bunga rampai penginderaan jauh indonesia 2013

171
ISBN 978-602-19911-3-8

Upload: hartanto

Post on 22-Jul-2016

285 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Buku Kajian Geospasial: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 oleh Pusat Penginderaan Jauh ITB, Editor: Ketut Wikantika dan Lissa Fajri. Publikasi April 2015.

TRANSCRIPT

Page 1: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

ISBN 978-602-19911-3-8

Page 2: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai

Penginderaan Jauh Indonesia

2013

Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132

Page 3: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

ISBN 978-602-19911-3-8

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh,

Institut Teknologi Bandung

Gedung Labtek IX-C, lt. 3

Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132

http://crs.itb.ac.id

email: [email protected]

Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman

Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil, Nur Fajar Trihantoro

Cetakan Pertama : April 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau

Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

Page 4: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 ii

Kata Pengantar

Indonesia telah banyak dihadapkan dengan berbagai bencana alam,

kependudukan, sosial-ekonomi, dan berbagai masalah lain yang sesungguhnya

secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lingkungan. Berbagai

penelitian dari banyak cabang ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikerahkan

dalam rangka mengatasi isu-isu tersebut. Salah satu upaya yang sangat vital ialah

pendekatan dari segi informasi geospasial yang cepat dan akurat untuk membantu

dalam proses perencanaan pembangunan, monitoring, dan pengambilan

keputusan.

Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi berbasis geospasial dengan

keunggulan yang dapat memberi informasi mengenai gambaran di permukaan

bumi. Teknologi ini telah cukup dikenal dengan kemampuan yang dapat

memudahkan manusia untuk dapat melakukan analisis spasial terhadap fenomena

yang terjadi pada lingkungan sekitar.

Buku berjudul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013” ini ditujukan

sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penginderaan

jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai bidang baik

lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian dalam buku

ini.

Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,

petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh.

Partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga terus dinantikan agar semakin

banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai penginderaan jauh

di masa yang akan datang.

Tim Redaksi

Page 5: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Page 6: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 iv

Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................... iv

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data

Satelit TRMM (1998-2011) ................................................................................... 1

Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam

Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled

Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data

Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan .............................. 23

Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan

Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM ....................................................... 37

Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan

Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster ..................... 63

Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+

Multi-temporal (2000-2009) ................................................................................ 81

Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi .............. 96

Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 Berbasis Fuzzy Logic ...... 114

Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat

Menggunakan Data SAR ................................................................................... 137

Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem

Informasi Geografis (SIG) ................................................................................. 154

Page 7: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Page 8: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Page 9: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

1

Karakteristik Pola Curah Hujan di

Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit

TRMM (1998-2011)

Parwati Sofan

Page 10: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

2 Parwati Sofan.

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia

Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011)

Parwati Sofan

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Jl. LAPAN No.70 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710

E-mail: [email protected]

Abstrak

Karakteristik utama dari variabilitas curah hujan Indonesia pada skala tahunan

didominasi oleh monsun Asia-Australia (AA). Pada skala waktu tahunan,

distribusi curah hujan bergerak sejalan dengan zona suhu musiman maksimum.

Dalam tulisan ini, beberapa karakteristik hujan di Indonesia dianalisis

menggunakan data curah hujan berdasarkan data satelit Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) periode 1998 - 2011 pada resolusi 0.25 x 0.25.

Secara spasial nilai rata-rata curah hujan setiap pixel diinterpolasi dengan metode

Inverse Distance Weighted (IDW). Selanjutnya dilakukan pengkelasan curah

hujan berdasarkan acuan BMKG sehingga diperoleh wilayah-wilayah di

Indonesia yang memiliki Intensitas curah hujan sangat tinggi, tinggi, menengah,

dan rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan sangat tinggi (> 401

mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua

Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian

wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu),

Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan)

terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah

Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).

Selain itu juga dilakukan pengkelasan pola hujan (Monsun, Ekuatorial, Lokal)

terhadap 32 provinsi di Indonesia, dimana pola hujan monsun memiliki hujan

maksimum pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), sedangkan pola hujan

ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, dan pola hujan

lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA). Hasil

korelasi data TRMM dengan data curah hujan BMKG (r 0.8) menunjukkan

bahwa data TRMM mampu dengan baik merepresentasikan kondisi curah hujan

di wilayah Indonesia.

Kata Kunci: TRMM, klasifikasi curah hujan, pola hujan, analisis korelasi

Abstract

The most striking characteristic of the Indonesian rainfall variability at the

annual scale is dominated by the Asian-Australian (AA) monsoon. On the yearly

time scale, the rainfall moves in association with the zone of maximum seasonal

Page 11: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 3

temperatures. In this paper, some characteristics of monsoon over Indonesia are

investigated using the spaced-based rainfall data of the Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) for the period 1998 – 2011 at a 0.25 x 0.25 resolution. The Inverse Distance Weighted (IDW) method was used to interpolate

the rainfall in each pixel. Further more, we used the BMKG classification to

clasify the monthly average of rainfall using spasial analysis in Indonesia. The

result shows that the very high rainfall class (> 401 mm/month) occurs in Central

Papua, East Papua, West Papua. The high rainfall class (301-400 mm/month)

occurs in Central Kalimantan, West Kalimantan, South Sulawesi (Luwu), West

Sumatera, and North Sumatera. The low rainfall class (0-100 mm/month) occurs

in Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. The rest of Indonesia region exist in the

middle rainfall class (101 – 300 mm/month). We also clasify the type of rainfall

pattern (Monsun, Equatorial, Local) for 32 provinces in Indonesia. The

monsun type has maximum rainfall in Desember-Januari-Februari (DJF)

period, while the equatorial type has rainfall peak in March and October. The

local type has maximum rainfall in Juni-Juli-Agustus (JJA) period. The

correlation between rainfall from TRMM and rain gauge stations in Indonesia

show good correlation ((r 0.8). It shows that the TRMM data can represent the

local rainfall condition in Indonesia.

Keywords: TRMM, rainfall classification, rainfall type, correlation analysis.

1. PENDAHULUAN

Intertropical Convergence Zone (ITCZ) merupakan zona tekanan rendah yang

berada di dekat ekuator dimana dua angin pasat yang berasal dari belahan bumi

utara dan selatan berkonvergensi. Pada zona ini terjadi peningkatan konveksi,

keawanan dan presipitasi yang membentuk sirkulasi meridional Hadley. Interaksi

antara darat dan laut menyebabkan adanya zonasi pemanasan yang

memutarbalikkan sirkulasi barat-timur atau dikenal sebagai sirkulasi Walker

dimana udara diangkat naik oleh adanya pemanasan di suatu lintang dan

dialihkan ke lintang yang lain. Tiga wilayah yang menjadi pusat konvergensi dari

sirkulasi Walker berada di Indonesia, Afrika Tengah dan Daratan Amazon.

Dalam analisis iklim global, stuktur, posisi, dan migrasi ITCZ sangat penting

diketahui, sedangkan dalam skala lokal iklim suatu wilayah dapat dianalisis

berdasarkan interaksi antara udara dan laut (Waliser dan Gautier, 1933; Zhang,

1993, Roswintiarti, 199).

Kondisi iklim di Indonesia pada skala waktu tahunan mengikuti pergerakan ITCZ

yang bergerak berdasarkan zona suhu maksimum pada suatu musim. ITCZ akan

mencapai posisi terjauh di selatan pada periode Januari-Februari, kemudian

bergerak ke utara pada Maret-April dan Mei-Juni, dan mencapai posisi terjauh di

utara pada periode Juli-Agustus. Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ke

selatan pada periode September-Oktober dan November-Desember. Pergerakan

ITCZ lebih dominan melewati wilayah daratan termasuk wilayah Indonesia pada

Page 12: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

4 Parwati Sofan.

saat bergerak dari Samudera Hindia menuju Laut Pasifik Barat, dan dominan

melewati lautan dari Laut Pasifik sebelah timur hingga Laut Atlantik (Hastenrath,

1990). Pergerakan posisi ITCZ ini jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi

curah hujan di Indonesia.

Selain ITCZ, karakteristik dan variabilitas curah hujan di Indonesia secara

tahunan juga dipengaruhi oleh Asian-Australian (AA) monsoon. AA monsoon

merupakan kunci utama dari sistem iklim bumi yang berpengaruh terhadap

kehidupan manusia lebih dari 60% populasi di wilayah tropic (Word Bank Atlas,

2003). Monsoon pada saat winter (northeast monsoon) umumnya bersirkulasi

mulai dari bulan November hingga Februari yang ditandai dengan pergerakan

angin pasat utara melewati Pasifik Barat dan Asia Tenggara mulai dari lintang

20N menuju ke ekuator. Selanjutnya menuju ke selatan melewati ekuator

melalui Pulau Jawa, Australia bagian utara dan Pasifik bagian barat daya. Pada

periode monsoon ini, pemanasan utama terdapat di Australia bagian utara dan

Pasifik barat di ekuator, sedangkan sumber pendinginan berpusat di daratan Asia.

Hujan lebat yang berasosiasi dengan pelepasan panas hasil kondensasi berada

diantara lintang 5S dan 15S mulai dari Samudera Hindia hingga Laut Pasifik

bagian barat (Gambar 1 sebelah kanan). Sementara itu, pada monsoon summer

(southwest monsoon) umumnya terjadi pada periode Juni hingga September

ketika angin pasat bergerak dari Samudera Hindia menuju Asia. Sumber

pemanasan utama terdapat di Daratan Tibet, sedangkan sumber pendinginan

terletak di Samudera Hindia bagian selatan. Hujan lebat terjadi di wilayah India

dan negara tetangga di sekitarnya, serta di China bagian selatan dan tengah.

Meskipun demikian sumber uap air berasal dari wilayah ekuator di Indonesia

(Gambar 1 sebelah kiri).

Gambar 1. Sirkulasi AA Monsoon pada saat musim northeast moonson (kanan) dan

southwest monsoon (kiri) (Sumber: Geogonline G3a Climatic hazard. 2013, 2013)

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pentingnya kita memiliki

informasi iklim di wilayah Indonesia yang terkait dengan siklus AA Monsoon

dan zona konvergensi ITCZ. Penyediaan informasi iklim tidak hanya berdasarkan

hasil pengukuran di stasiun iklim, namun kini telah berkembang pesat melalui

Page 13: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 5

satelit penginderaan jauh. Melalui kapasitasnya yang mampu meliput wilayah

yang luas dalam periode yang panjang, data satelit mampu mengestimasi

konveksi di wilayah tropis. Kini estimasi hujan bukan hanya berdasarkan

kapabilitas spektrum radiasi inframerah dan radiasi sinar tampak, namun

diintegrasikan dengan sensor microwave yang mampu mengestimasi kadar uap

air dalam awan dan intensitas curah hujan. Pada tanggal 28 November 1997

Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) telah diluncurkan pada

pada ketinggian 403 km, dan dapat memantau dan mempelajari curah hujan di

wilayah tropik (50LU – 50LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit

(Gambar 2). TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan

Aerospace Exploration Agency (JAXA). Jenis sensor TRMM dapat dilihat pada

Tabel 1.

Gambar 2. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM

(Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)

Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan

temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor

berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Tabel 2. Produk

data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center NASA

(GSFC NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation

Research Center JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.

Page 14: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

6 Parwati Sofan.

Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan

(Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari 2006).

Tabel 1. Jenis sensor TRMM

Jenis Sensor Resolusi

spasial

Lebar

sapuan Kemampuan

Precipitation Radar (PR) 5 km 247 km menyediakan profil vertikal

hujan/salju dari permukaan

hingga ketinggian 20 km

mendeteksi intensitas hujan

ringan (sampai 0.7mm/jam)

mendeteksi intensitas hujan

lebat

TRMM Microwave

Imager (TMI)

5.1 km 878 km menghitung kandungan uap air

dalam atmosfer dan awan

menghitung intensitas curah

hujan

Visible and Infrared

Scanner (VISR)

2 km 720 km Mengetahui kondisi keawanan

Lightning Imaging

Sensor (LIS)

4 km 600 km Mengetahui penyebaran dan

variabilitas awan

Cloud and Earth Radiant

Energy Sensor (CERES)

25 km seluruh

bumi

Mengetahui penyebaran dan

variabilitas awan

Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42. Data TRMM 3B42 ini

merupakan hasil kombinasi data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan dari

satelit lain baik dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42

memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak 01-01-1998. Cakupan

wilayah datanya meliputi Latitude: 50°S - 50°N; Longitude:180°W - 180°E,

dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°; dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom

= 1440. Contoh data dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Produk TRMM 3B42 pada 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber :

trmm.gsfc.nasa.gov)

Page 15: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 7

Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia

Jenis Deskripsi Resolusi

Periode Spasial Temporal

3A11 Khusus curah hujan di atas

lautan, diperoleh dari sensor

PR.

5.0 x 5.0 bulanan Desember

1997 -

sekarang

3A25 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

sensor PR.

5.0 x 5.0

dan

0.5 x 0.5

bulanan Desember

1997 -

sekarang

3A26 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

sensor PR.

5.0 x 5.0 bulanan Desember

1997 -

sekarang

3A31 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

sensor PR dan TMI.

5.0 x 5.0 bulanan Desember

1997 -

sekarang

3A46 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

sensor SSM/I*.

1.0 x 1.0 bulanan Januari 1998

-sekarang

3B42 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

sensor-sensor TRMM dan

lainnya (SSM/I, AMSR-E**

,

AMSU-B***

).

0.25 x

0.25

setiap 3 jam Desember

1997 -

sekarang

3B46 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari

gabungan data 3B42 dan

raingauge.

0.25 x

0.25

setiap 3 jam Januari 1998

- sekarang

*SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite

Program) **

AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System

(satelit Aqua) ***

AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit – B (satelit NOAA)

Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan

global dari stasiun pengukur curah hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM

3B43 merupakan kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM

dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global dari stasiun

pengukur hujan (CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA

Climate Prediction Center, sedangkan data curah hujan global dari stasiun

pengukur hujan diproduksi oleh Global Precipitation Climatology Center (GPCC).

Saat ini data TRMM 3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juni 2011, tim

NOAA CPC sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk

memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi wilayah Lintang:

50°S - 50°N; Bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan

jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Verifikasi data TRMM 3B43 di

Indonesia telah dilakukan oleh Roswintiarti et al, 2009; 2010 yang menunjukkan

Page 16: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

8 Parwati Sofan.

bahwa ada korelasi yang cukup tinggi (r > 0.8) antara data curah hujan TRMM

dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di beberapa wilayah di

Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu, Bandung), Bali, Palangkaraya, dan

Maros (Sulawesi Selatan).

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik spasial dan temporal curah

hujan berdasarkan data TRMM di wilayah di Indonesia- terkait dengan AA

Monsoon dan ITCZ dalam kurun waktu 14 tahun (1998-2011).

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan adalah data TRMM versi 3B43.6 yang mempunyai resolusi

spasial 0.25 x 0.25 dan resolusi temporal bulanan selama 1998 – 2011 (198

bulan). Lokasi studi berada pada wilayah 92.50E – 141.25E; 8.00N – 12.0S

dengan dimensi pixel 80 x 195 setiap 0.25 derajat (Gambar 4).

Gambar 4. Studi area penelitian

Analisis statistik yang dilakukan adalah nilai rata-rata curah hujan jangka panjang

dan musiman (x), standard deviasi (s), nilai rata-rata musiman, dan trend curah

hujan di wilayah daratan dan lautan secara regional dan lokal. Jumlah data yang

digunakan (n) adalah 198 bulan. Berikut adalah formula rata-rata (mean) dan

standar deviasi (Steel and Torrie, 1993) yang dikalkulasi untuk setiap grid data

spasial yang terdiri dari 80 baris dan 195 kolom pixel.

(1)

(2)

Page 17: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 9

Selanjutnya pada analisis spasial dilakukan interpolasi terhadap nilai rata-rata

bulanan dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW) yang

mengestimasi nilai suatu sel dengan analisis rata-rata terhadap nilai titik sample

tetangga terdekat di setiap sel. Rumus umum IDW adalah sebagai berikut

(Bonham-Carter, 1994).

(3)

dimana z0 merupakan nilai yang diduga dan zi merupakan sekumpulan nilai

penduga. Nilai pembobot dalam teknik IDW umumnya dihitung dengan rumus

umum berikut:

(4)

dimana di0 merupakan jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga.

Pembobotan nilai dengan melibatkan kuadrat jarak bukanlah ketetapan yang

mutlak. Beberapa varian dari penetapan nilai pembobot ini antara lain dengan

teknik eksponensial dan teknik decay. Interpolasi IDW tersedia baik pada

perangkat lunak ArcView maupun ArcGIS (Trisasongko et al, 2008).

Ekstraksi nilai curah hujan rata-rata juga dilakukan berdasarkan batas

administrasi yang bersumber dari hasil pemetaan Bakosurtanal tahun 2000,

dimana Indonesia dibagi menjadi 32 provinsi. Hasil ekstraksi diplot dalam grafik

untuk melihat pola hujan pada masing-masing provinsi di Indonesia.

Analisis timeseries dan korelasi dilakukan terhadap data TRMM dengan data

curah hujan dari stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika (BMKG). Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

data TRMM dapat merepresentasikan nilai curah hujan aktual di lapangan.

Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut (Steel and

Torrie, 1993):

x, y = Cov (x,y) / (x, y) (5)

dimana -1 ≤ x, y ≤ 1, dan

(6)

dalam hal ini x = data TRMM, y = data curah hujan BMKG, = koefisien

korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data

ke-i, x y = nilai rata-rata (mean) dari x dan y.

Page 18: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

10 Parwati Sofan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Nilai Statistik Klimatologi Curah Hujan dari Data TRMM

Berdasarkan klasifikasi curah hujan bulanan dari BMKG yang membagi kelas

hujan menjadi 4 kelas, yaitu kelas rendah (0-100 mm/bulan), kelas menengah

(101-300 mm/bulan), kelas tinggi (301-400 mm/bulan), dan kelas sangat tinggi (>

401 mm/bulan), maka dilakukan klasifikasi curah hujan rata-rata bulanan periode

tahun 1998-2011 dari data TRMM. Hasil analisis curah hujan rata-rata bulanan

di wilayah Indonesia secara spasial diperoleh bahwa curah hujan sangat tinggi

terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah

hujan kategori tinggi terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah,

Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Selebihnya wilayah Indonesia sebagian besar curah hujannya berada dalam

kategori menengah (101-300 mm/bulan), kecuali di wilayah Maluku, Bali, dan

Nusa Tenggara yang termasuk dalam curah hujan kategori rendah (0 – 100

mm/bulan) (Gambar 5).

Gambar 5. Rata-rata curah hujan berdasarkan data TRMM 1998-2011.

Analisis rata-rata curah hujan bulanan dari Januari hingga Desember dapat dilihat

pada Gambar 6, dimana dapat dilihat bahwa pada periode bulan Januari-Februari

ketika ITCZ berada paling jauh di selatan, Curah hujan sangat tinggi (> 401

mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) umumnya masih mendominasi

sebagian wilayah Indonesia dengan maksimum curah hujan berada pada

Sumatera bagian selatan, P. Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah,

Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta sebagian Papua. Pada bulan Maret-

April saat ITCZ menuju ke ekuator dari posisinya di selatan, curah hujan sangat

tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) masih mendominasi

sebagian besar wilayah Indonesia dan mempunyai maksimum curah hujan di

wilayah Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera bagian selatan, sebagian P. Jawa,

sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Page 19: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 11

Sementara pada bulan Mei-Juni dimana ITCZ bergerak ke utara ekuator, curah

hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) sudah

mulai berkurang dan hanya nampak di sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua.

Pada periode ini nampak curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) berada di wilayah

Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa Timur. Pada posisi terjauh di utara

ekuator (Juli – Agustus), ITCZ telah menyebabkan berkurangnya curah hujan

hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan sangat tinggi (> 401

mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) hanya nampak di sebagian kecil

Papua Barat dan Papua Tengah, sedangkan curah hujan rendah (0-100 mm/bulan)

telah meluas meliputi wilayah Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Sulawesi bagian

selatan.

Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ekuator dan ke bagian selatan ekuator

pada periode September - Oktober dan November - Desember yang

mengimplikasikan adanya peningkatan curah hujan di wilayah Sumatera bagian

utara dan barat, Kalimantan bagian barat, serta Papua. Pada periode bulan

Oktober curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) mulai berkurang dan hanya

nampak di wilayah Nusa Tenggara. Selanjutnya memasuki bulan November

curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan)

kembali mendominasi wilayah Indonesia dan puncaknya pada bulan Desember di

mana curah hujan maksimum banyak terdapat di wilayah Indonesia (Gambar 6).

3.2 Pola Hujan Bulanan di Wilayah Indonesia

Berdasarkan acuan yang digunakan oleh BMKG, curah hujan di wilayah

Indonesia pada umumnya dibagi menjadi 3, yaitu: pola hujan Monsoon, pola

hujan Ekuatorial, dan pola hujan Lokal. Hasil analisis pola curah hujan bulanan

dari data TRMM periode tahun 1998-2011 yang diekstraksi berdasarkan batas

provinsi di Indonesia (32 provinsi) dari peta Bakosurtanal tahun 2000 dapat

dilihat pada Gambar 7-9.

Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa wilayah provinsi yang memilki pola hujan

Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI

Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada

pola hujan ini memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau, tipe

hujan memiliki pola unimodal dengan puncak musim hujan pada bulan

Desember-Januari-Februari (DJF), dan musim kemarau pada bulan Juni-Juli-

Agustus (JJA). Berdasarkan analisis periode tahun 1998-2011, pada pola hujan

monsun periode DJF nilai rata-rata maksimum curah hujannya sekitar 306

mm/bulan, sedangkan nilai rata-rata minimumnya adalah 49 mm/bulan yang

terjadi pada periode JJA.

Page 20: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

12 Parwati Sofan.

Gambar 6. Curah hujan bulanan (Januari-Desember) rata-rata periode tahun 1998-2011

berdasarkan data TRMM.

Page 21: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 13

Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan

(Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 7) khususnya untuk

wilayah yang memiliki pola hujan monsun menunjukkan bahwa umumnya

standar deviasi pada musim kemarau atau pada bulan-bulan yang memiliki curah

hujan rendah (JJA) bernilai lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (DJF).

Nilai standar deviasi yang dirata-rata pada wilayah provinsi dengan pola hujan

monsun memiliki nilai minimum pada bulan Agustus yaitu sebesar 35 mm/bulan,

sedangkan pada musim hujan memiliki nilai standar deviasi yang maksimum

pada bulan Desember (80 mm/bulan). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim

kemarau variasi nilai curah hujannya kecil, sedangkan pada musim hujan variasi

nilai curah hujannya besar dimana terjadi nilai maksimum curah hujan dalam

periode tersebut.

Pada Gambar 8 ditunjukkan pola hujan Ekuatorial yang dimiliki oleh wilayah

Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan

Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, dan Riau. Pada pola hujan ekuatorial wilayahnya memiliki

distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan dan hampir

sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Puncak hujan umumnya

terjadi pada bulan Maret atau Oktober.

Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan

(Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 8) khususnya untuk

wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial menunjukkan bahwa nilai standar

deviasi tertinggi terdapat pada bulan Maret (77 mm/bulan) dan Oktober (89

mm/bulan) yang merupakan puncak musim hujan. Sebaliknya pada musim

kemarau atau pada saat curah hujan minimum mempunyai nilai standar deviasi

yang rendah, yaitu Januari (61 mm/bulan), Mei (56 mm/bulan), dan November

(62 mm/bulan).

Page 22: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

14 Parwati Sofan.

Gambar 7. Pola hujan monsoon di wilayah Indonesia periode tahun 1998-2011 TRMM

(nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standard deviasi ditunjukkan oleh

grafik garis)

Page 23: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 15

Gambar 8. Beberapa contoh pola hujan ekuatorial yang dianalisis dari data TRMM

periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai stadard deviasi

ditunjukkan oleh grafik garis)

Pada Gambar 9 ditunjukkan pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua

Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pola hujan

ini memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan) dimana puncak

hujannya berada dalam bulan JJA. Berdasarkan analisis nilai standar deviasi pada

pola hujan lokal, umumnya nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada periode

bulan JJA dengan nilai maksimum 96 mm/bulan (Agustus). Sedangkan nilai

Page 24: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

16 Parwati Sofan.

standar deviasi terendah terdapat pada bulan Februari dan November dengan

kisaran antara 49 – 50 mm/bulan.

Gambar 9. Contoh pola hujan lokal yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011

(nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standar deviasi ditunjukkan oleh

grafik garis)

3.3 Validasi dengan Data Lapangan

Analisis timeseries dan korelasi dilakukan antara data curah hujan dari TRMM

dan data stasiun klimatologi BMKG. Periode data yang digunakan untuk validasi

adalah 1998 – 2007 di wilayah Indramayu dan Bali, Palangkaraya, Bandung,

Aceh dan Maros (Sulawesi Selatan). Gambar 10 menunjukkan hasil analisis

korelasi dimana nilai koefisien korelasi (r) di wilayah kajian mencapai lebih dari

0.8. Oleh karenanya data TRMM dapat merepresentasikan kondisi curah hujan

lokal di sebagian besar wilayah Indonesia.

Page 25: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 17

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 910

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.807

Indramayu - West Java (1998 - 2004)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

700

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.779

Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.807

Aceh (1998 - 2000)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 910

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.881

Bali (1998 - 2005)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rain

fall

(mm

/mo

nth

)

r = 0.838

Bandung - West Java (1998 - 2006)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

-100

100

300

500

700

900

1100

1300

1500

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rain

fall

(mm

/mo

nth

)

r = 0.940

Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

Page 26: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

18 Parwati Sofan.

Gambar 10. Grafik timeseries antara TRMM dan curah hujan stasiun di Indramayu,

Palangkaraya, Aceh, Bali, Bandung, dan Maros periode tahun 1998 - 2007

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 910

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.807

Indramayu - West Java (1998 - 2004)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

700

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.779

Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.807

Aceh (1998 - 2000)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

6001 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

11

12

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Rain

fall

(mm

/mo

nth

) r = 0.881

Bali (1998 - 2005)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rain

fall

(mm

/mo

nth

)

r = 0.838

Bandung - West Java (1998 - 2006)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

-100

100

300

500

700

900

1100

1300

1500

1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5 7 9

11 1 3 5

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rain

fall

(mm

/mo

nth

)

r = 0.940

Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM

Rainfall_Ground Based

Page 27: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 19

4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis bulanan data curah hujan dari TRMM periode tahun 1998 –

2011 (198 bulan) diketahui bahwa:

Rata-rata curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian

wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori

tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan

Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan

Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah

Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk

dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).

Wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali,

Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pola hujan Ekuatorial dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung,

gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera

Barat, dan Riau.

Pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah,

Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.

Curah hujan maksimum pada pola hujan monsun terjadi pada periode

Desember-Januari-Februari (DJF), pola hujan ekuatorial memiliki puncak

hujan pada bulan Maret dan Oktober, sedangkan pola hujan lokal memiliki

hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA).

DAFTAR REFERENSI

Bonham-Carter GF. 1994. Geographic inforation systems for geoscientists. Pergamon,

Kidlington, UK. 398p.

Geogonline G3a Climatic hazard. 2013. Tropical Region - Summary Explanatory

Descriptions of Main Climate Types. http://www.geogonline.org.uk/g3a_ki3.2.htm.

Disunting pada tanggal 10 September 2013

Hastenrath, S. 1990. The relationship of highly reflective clouds to tropical climate

anomalies. J.Climate, 3, 353-365.

Ichikawa, Hiroki, Tetsuzo Yasunari, 2006: Time–Space Characteristics of Diurnal

Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. J.

Climate, 19, 1238–1260. Shige et al. 2007.

Mori, S., H. Jun-Ichi, Y.I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,

H. Hashiguchi, T. Sribimawati, 2004: Diurnal land–sea rainfall peak migration over

Sumatra Island, Indonesian Maritime Continent, observed by TRMM satellite and

intensive rawinsonde soundings. Mon. Wea. Rev, 132, 2021–2039.

Page 28: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

20 Parwati Sofan.

Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropical

Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Dissertation. Marine, Earth and

Atmospheric Sciences. North Carolina State University.

Roswintiarti, O., S. Parwati, A. Zubaidah. 2009. Pemanfaatan Data TRMM dalam

Mendukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia. Berita Inderaja

Volume VIII, No. 14, Juli.

Roswintiarti, O., dan P. Sofan. 2010. The Relationship between the Indonesian and Indian

Monsoon Based on TRMM Rainfall Data. Proceedings of the International

Symposium on Equatorial Monsoon System. Jakarta, July 28-29, 2010. BMKG.

Steel, R. G. D.. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Trisasongko, B.H, DR Panuju, Harimurti, AF Ramly, H Subroto. 2008. Kajian

spasialkesetimbangan air pada skala DAS. Publikasi Teknis DATIN, Kementrian

Negara Lingkungan Hidup. Jakarta

TRMM Background. http://trmm.gsfc.nasa.gov. Disunting pada 10 Agustus 2013.

Waliser, D. E., and C. Gautier, 1993: A satellite-derived climatology of the ITCZ.

J.Climate, 6, 2162-2174.

Wolff, David B., D. A. Marks, E. Amitai, D. S. Silberstein, B. L. Fisher, A. Tokay, J.

Wang, J. L. Pippitt, 2005: Ground Validation for the Tropical Rainfall Measuring

Mission (TRMM). J. Atmos. Oceanic Technol., 22, 365–380.

Word Bank Atlas, 2003. Atlas Of Global Development. World Bank.

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg

Zhang, C., 1993: Large-scale variability of atmospheric deep convection in relation to sea

surface temperature in the tropics. J. Climate, 6, 1898-1913.

Page 29: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 21

BIOGRAFI PENULIS

Parwati Sofan, S.Si., M.Sc.

Penulis menyelesaikan studi S1 pada Program Studi

Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi

FMIPA-IPB tahun 1999. Sejak tahun 2002 bekerja di

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai

peneliti bidang lingkungan dan mitigasi bencana alam.

Tahun 2008 penulis menyelesaikan Program Master pada

program studi Remote Sensing and GIS Applications di

International School of Beihang University of

Aeronautics and Astronautic (BUAA), di Beijing-China.

Penelitian yang sudah dilakukan antara lain adalah

aplikasi data satelit penginderaan jauh untuk analisis cuaca dan iklim, bencana

alam (kekeringan, banjir, kebakaran hutan, letusan gunung berapi), pertanian

(pertumbuhan padi, produktivitas padi). Penulis aktif menuliskan papernya baik

pada jurnal nasional maupun internasional. Pada tahun 2011, penulis diberi

kesempatan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APCSO) untuk

mengajar pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring

Through Space Technology baik materi maupun praktek pengolahan data dengan

tema “Space Applications – Drought” yang dilaksanakan di Dhaka,

Bangladesh tanggal 26-30 November 2011. Penulis juga pernah menjadi

Technical Suporter periode tahun 2009-2011 pada kegiatan Voluntary Project :

Space Applications for Environment (SAFE) Prototype on Potential Drought

Monitoring bersama dengan Universitas Tokyo dan Geo-Informatics Center,

Asian Institute of Technology, (GIC-AIT) yang dikoordinasi oleh JAXA.

Page 30: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Page 31: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

23

Pemanfaatan Data Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi

Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah

Hujan Coupled Model Intercomparison

Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data

Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan

Syaraf Tiruan

Jalu Tejo Nugroho, Safwan Hadi, Bayong Tjasyono, The Houw Liong

Page 32: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

24 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission

(TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran

Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project

Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia

Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan

Jalu Tejo Nugroho

1, Safwan Hadi

1, Bayong Tjasyono

1, dan The Houw Liong

2

1Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB

2Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB

E-mail: [email protected]

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk meningkatkan akurasi keluaran model curah

hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah

Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring Mission

(TRMM) sebagai verifikator. Hasil simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) dua

masukan, yaitu data CMIP3 dan data sinar kosmik pada wilayah dengan klaster II

terbukti meningkatkan koefisien korelasi (R) data latih dan data uji masing-

masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan simulasi dengan satu masukan.

Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar

kosmik yang intensitasnya di atmosfer bumi dimodulasi oleh aktivitas matahari

pada curah hujan di wilayah Indonesia. Mekanisme yang melatarbelakangi

hubungan tersebut adalah kelistrikan global di atmosfer yang mempengaruhi inti

kondensasi awan di lapisan troposfer.

Kata kunci: model curah hujan CMIP3, Tropical Rainfall Measuring Mission

(TRMM), sinar kosmik, jaringan syaraf tiruan (JST)

Abstract

In this study we have successfully to improve the accuracy of rainfall global

model namely Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) in

Indonesia region by using Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) data as

verification. The addition of cosmic rays parameter as an input of artificial

neural network (ANN) have increased the correlation coefficient (R) of training

and testing data up to 31.8% and 5.6% respectively for cluster II region. This

result supports the previous study about effects of solar activity on rainfall in

Indonesia region. The mechanism underlying this relationship is global

electricity in the atmosphere that affect cloud condensation nuclei in the

troposphere.

Keywords: CMIP3 model, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), cosmic

rays, artificial neural network (ANN)

Page 33: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 25

1. PENDAHULUAN

Sistem iklim di permukaan bumi saling berinteraksi satu sama lain sehingga

menyebabkan mekanismenya menjadi sangat kompleks dan sulit dipahami. Untuk

mengatasi tuntutan ini para ahli menciptakan model numerik dari sistem bumi

yang mengacu pada model kesetimbangan energi yang telah berevolusi selama

beberapa dekade terakhir. Pada dasarnya, model iklim berusaha untuk mereplika

proses sistem iklim di bumi (sebagai contoh termodinamika, dinamika fluida, dan

proses ekosistem) yang memungkinkan kita untuk bereksperimen dengan

parameter-parameter sistem dan menarik kesimpulan tentang bagaimana sumber

yang berbeda menciptakan sifat/karakter yang berbeda. Dalam hal ini dikenal

istilah model sirkulasi global yang mengintegrasikan beberapa model yang telah

ada sebelumnya, seperti model atmosfer, dinamika awan, permukaan tanah, serta

model-model lainnya. Salah satu model iklim yang telah banyak digunakan

adalah World Climate Research Programme (WCRP) Coupled Model

Intercomparisan Project Phase 3 (CMIP3) oleh Meehl et al. (2007) yang berbasis

pada proyeksi iklim yang digunakan oleh Intergovermental Panel on Climate

Change (IPCC). Salah satu dari model iklim global untuk curah hujan tersebut

adalah CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B yang merupakan model downscaled

menggunakan metode bias-correction/spatial.

Untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di daerah tropis satelit

Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) merupakan wahana yang tepat.

Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM untuk mengetahui

karakteristik ruang dan waktu dari siklus diurnal curah hujan di Kalimantan.

Mereka menyimpulkan bahwa komponen baratan (timuran) troposfer bawah

berhubungan dengan periode konveksi aktif (tidak aktif) di atas pulau yang

berkaitan dengan gangguan atmosfer intramusiman yang diakibatkan oleh

Madden Julian Osillation (MJO). Meneghini et al. (2004) dengan menggunakan

metode Surface Reference Technique (SRT) dan metode Hitschfeld–Bordan telah

meneliti profil curah hujan global menggunakan data TRMM dari sensor PR.

Dari perhitungan selama dua minggu diperoleh bahwa 90% estimasi kejadian

hujan di sepanjang lautan masih berada dalam rentang nilai yang dapat ditoleransi.

Siklus harian curah hujan dan variasi regional di Sumatera, Indonesia juga telah

diteliti oleh Mori et al. (2004) menggunakan data TRMM dari sensor yang sama.

Dengan kemampuan sensor dalam mendeteksi hujan secara langsung terlepas dari

kondisi permukaan dan awan mereka mengemukakan bahwa curah hujan

konvektif banyak mendominasi wilayah Sumatera pada waktu lokal 15.00

sampai

dengan 20.00

.

As-syakur dan Prasetia (2010) menyebutkan adanya tingkat korelasi yang sedang

sampai kuat antara data satelit TRMM dengan data obserasi dari Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Data satelit

tersebut dapat memberikan informasi sebaran spasial temporal curah hujan di

Indonesia. Data curah hujan TRMM juga dapat dijadikan untuk memverifikasi

Page 34: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

26 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

keluaran model curah hujan global. Satiadi (2009) membandingkan antara curah

hujan konvektif hasil simulasi model sirkulasi umum atmosfer dengan data

TRMM. Hasil perbandingan menunjukkan pola distribusi yang secara umum

mengikuti pola data TRMM. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur et

al. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi

yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan

dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002.

Data TRMM di wilayah ini diketahui memiliki nilai yang lebih rendah (under

estimated) dibandingkan dengan data pengukuran.

Aktivitas matahari dalam berbagai literatur telah terbukti ikut berperan pada

variabilitas iklim di permukaan bumi, termasuk di dalamnya curah hujan. Sinar

kosmik telah diketahui berkorelasi negatif dengan aktivitas matahari yang

dikarakterisasi oleh bilangan bintik matahari (sunspot). Pada saat aktivitas

matahari maksimum maka intensitas sinar kosmik yang mencapai permukaan

bumi akan menjadi minimum dan sebaliknya. Secara umum dikatakan apabila

fluks sinar kosmik yang mencapai atmosfer bumi maksimum maka tutupan awan

di atmosfer pun menjadi maksimum yang dapat berdampak pada peningkatan

intensitas curah hujan di bumi oleh Svensmark dan Friis-Christensen (1997) serta

Gernowo (2009).

Menurut Rosenfeld (2006) dan Tinsley et al. (2007), mekanisme antara intensitas

sinar kosmik yang masuk ke atmosfer bumi dengan variabilitas curah hujan di

permukaan bumi adalah melalui kelistrikan global di atmosfer melalui proses

ionisasi, dimana ionisasi oleh sinar kosmik menjadikan atmosfer sebagai plasma

penghantar listrik sehingga arus listrik melewati ionosfer menuju atmosfer bawah

yang pada akhirnya mempengaruhi inti kondensasi awan. Konsentrasi droplet inti

kondensasi awan ini akan mengontrol reflektivitas awan dan efisiensi curah hujan

pada awan rendah (Carslaw et al, 2002).

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memanfaatkan data TRMM

sebagai verifikator dalam peningkatan akurasi keluaran model curah hujan di

wilayah Indonesia dengan melibatkan faktor sinar kosmik sebagai masukan

(input) jaringan syaraf tiruan.

2. DATA DAN METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data bulanan TRMM tipe 3B43

yang dapat diperoleh dari http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/ TRMM mulai dari bulan

Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan resolusi 0,25o x 0,25

o

dan dalam satuan mm/jam. Data sinar kosmik bersumber dari observatorium

Beijing, Cina diunduh dari: ftp.ngdc.noaa.gov/ dalam satuan hourly counting rate,

mulai dari bulan Januari 1993 s.d Juni 2010. Data keluaran model iklim untuk

curah hujan yang digunakan bersumber dari www.engr.scu.edu/ dan yang dipilih

adalah data CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B. Data tersebut merupakan data bulanan

Page 35: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 27

grid global tiap 0,5o x 0,5

o berturut-turut untuk lintang dan bujur. Data yang

dipergunakan dalam penelitian dipilih untuk wilayah Indonesia dengan posisi

bujur dan lintang masing-masing adalah 95,25oBT-141,75

oBT dan 9,75

oLU-

11,75oLS dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.

Metode penelitian yang digunakan adalah jaringan syaraf tiruan (JST) propagasi

mundur (backpropagation) yang terdiri atas satu neuron pada lapisan masukan

dan satu neuron pada lapisan keluaran. Mengacu pada Kusumadewi (2004),

arsitektur jaringan menggunakan dua lapisan tersembunyi, masing-masing

dengan sepuluh neuron pada lapisan tersembunyi pertama dengan fungsi aktivasi

tansig dan lima neuron pada lapisan tersembunyi kedua dengan fungsi aktivasi

logsig. Pada lapisan keluaran digunakan fungsi aktivasi purelin. Sebelum

dilakukan proses propagasi mundur terlebih dulu dilakukan proses preprocessing

dan propagasi maju (feedfordward propagation).

Dengan asumsi data masukan (data keluaran model curah hujan dan sinar

kosmik) disimpan pada matriks p dan target (data curah hujan observasi) pada

matriks t, maka:

[pn, meanp, stdp, tn, meant, stdt] = prestd (P,T) (1)

dimana pn dan tn masing-masing adalah matriks masukan dan keluaran yang

ternormalisasi, meanp dan meant berturut-turut adalah rata-rata (mean) pada

matriks masukan (p) dan keluaran (t), stdp dan stdt adalah deviasi standar pada

matriks masukan (p) dan keluaran (t), dan prestd adalah fungsi untuk mengubah

data ke bentuk normal dengan rata-rata = 0 dan deviasi standar = 1. Tahap

selanjutnya dibangun jaringan dengan metode pembelajaran traingdm:

net = newff(minmax(pn), [10 5 1], {'tansig' 'logsig' 'purelin'}, 'traingdm') (2)

dengan newff adalah fungsi yang digunakan untuk membangun jaringan

backpropagation, minmax(pn) adalah fungsi untuk menentukan skala masukan

dan keluaran, serta traingdm adalah fungsi untuk menghitung gradien serta

memperbaiki nilai bobot pada setiap pengoperasian data masukan. Proses

pembelajaran dilakukan dengan perintah:

net = train(net, pn, tn) (3)

Selanjutnya dilakukan pengujian (simulasi) terhadap data-data yang ikut dilatih:

an = sim(net, pn) (4)

dengan an adalah vektor yang digunakan untuk menyimpan hasil simulasi

jaringan. Selanjutnya keluaran jaringan dan target dianalisis dengan regresi linear

yang menghasilkan persamaan garis serta koefisien korelasi dengan

menggunakan fungsi postreg.

Page 36: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

28 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

[m, a, r] = postreg(a, T) (5)

dimana m, a, dan r berturut-turut adalah gradien hasil regresi linear, titik

perpotongan dengan sumbu-y, dan koefisien korelasi antara keluaran jaringan

dengan target.

Pengelompokan wilayah yang menjadi lingkup penelitian ini dilakukan

menggunakan metode pengklasteran samar (fuzzy clustering). Teknik ini dapat

menentukan klaster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada

bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor. Fuzzy c-means (FCM) adalah

suatu teknik pengklasteran data dimana keberadaan tiap-tiap titik data dalam

suatu klaster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM adalah

menentukan pusat klaster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap

klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat keanggotaan tiap-tiap

titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat klaster akan

bergerak menuju lokasi yang tepat.

Mengacu pada Kusumadewi (2006), masukan data X yang akan diklaster dapat

dinyatakan sebagai matriks berukuran n x m yang dituliskan dengan: Xij = data

sampel ke-i (i = 1,2,3,..., n), atribut ke-j (j = 1,2,3,..., m), dengan n adalah jumlah

sampel data dan m adalah atribut tiap data. Langkah selanjutnya adalah

menentukan jumlah cluster (c), pangkat (w), maksimum iterasi (MaxIter), galat

terkecil yang diharapkan (), fungsi obyektif awal (Po= 0), dan iterasi awal (t =1).

Bilangan random μik, dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c dibangkitkan sebagai

elemen-elemen matriks partisi awal U. Jumlah setiap kolom (atribut) dihitung

menggunakan persamaan:

Q𝑗 = ∑ 𝜇𝑖𝑘𝑐𝑘=1 (6)

dengan j = 1,2,...,m. Pusat cluster ke- k: Vkj dapat dihitung sebagai berikut:

𝑉𝑘𝑗 = ∑ ((𝜇𝑖𝑘)𝑤 ∗ 𝑋𝑖𝑗)𝑛

𝑖=1

∑ 𝑛𝑖=1 (𝜇𝑖𝑘)𝑤

(7)

dengan k = 1,2,...,c dan j = 1,2,...,m. Tahap selanjutnya adalah menghitung fungsi

obyektif pada iterasi ke-t, Pt:

P𝑡 = ∑ ∑ ([∑ (𝑋𝑖𝑗 − 𝑉𝑖𝑗)2𝑚

𝑗=1 ] (𝜇𝑖𝑘)2)𝑐𝑘=1

𝑛𝑖=1 (8)

serta perubahan matriks partisi:

Page 37: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 29

𝜇𝑖𝑘 = [∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)

2𝑚𝑗=1 ]

−1𝑤−1

∑ [∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)2𝑚

𝑗=1 ]

−1𝑤−1𝑐

𝑘=1

(9)

dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c. Kondisi berhenti tercapai jika (|Pt – Pt-1| < ξ)

atau (t>MaxIter). Jika tidak maka: t = t + 1, yang berarti mengulang langkah-

langkah sebelumnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap pertama penelitian ini adalah mengaplikasikan metode pengklasteran

untuk mengklasifikasikan daerah di Indonesia berdasarkan kesesuaian data yang

dianalisis, yaitu data keluaran model curah hujan serta data TRMM dengan

jumlah klaster yang dipilih sebanyak tiga klaster. Gambar 1 merupakan hasil

pengklasteran data bulanan keluaran model curah hujan tahun 2000 sementara

Gambar 2 adalah hasil pengklasteran data bulanan TRMM untuk tahun yang

sama. Pemilihan tahun 2000 dalam penentuan klaster dengan pertimbangan

bahwa tahun tersebut bersesuaian dengan kondisi aktif matahari yang merupakan

puncak siklus ke- 23 aktivitas matahari. Diharapkan agar pada saat identifikasi

pengaruh masukan parameter aktivitas matahari di dalam jaringan syaraf tiruan

(JST) guna peningkatan akurasi keluaran model curah hujan akan dapat diperoleh

hasil yang maksimal.

Perhitungan koefisien korelasi statistik (R) antara data keluaran model curah

hujan dengan data TRMM dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan

Desember 2010 untuk masing-masing klaster telah dilakukan. Tabel 1 memuat

nilai R tertinggi yang diperoleh pada daerah dengan klaster II, baik untuk data

TRMM maupun data keluaran model curah hujan. Gambar 3 menunjukkan plot

dari kedua data tersebut.

Langkah yang selanjutnya dilakukan adalah mengaplikasikan metode JST untuk

merekonstruksi serta memprediksi data keluaran model curah hujan dengan

menjadikan data TRMM sebagai data untuk mengecek akurasinya. Pemilihan

klaster serta rentang waktu data yang akan diuji mengacu pada data yang

mempunyai nilai korelasi linear tertinggi antara data keluaran model curah hujan

dengan data TRMM, yaitu klaster II data keluaran model curah hujan dengan

klaster II data TRMM untuk keseluruhan bulan.

Page 38: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

30 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Gambar 1. Hasil pengklasteran data keluaran model curah hujan tahun 2000. Klaster I,

II, dan III, masing-masing ditandai dengan area berwarna biru tua (I), biru muda (II),

dan coklat (III).

Gambar 2. Hasil pengklasteran data TRMM tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masing-

masing ditandai dengan area berwarna coklat (I), hijau (II), dan biru (III).

Tabel 1. Nilai Koefisien korelasi data keluaran model curah hujan dan data

TRMM untuk keseluruhan bulan Januari 1998 sampai Desember 2010

untuk setiap klaster

TRMM

Klaster I Klaster II Klaster III

Mo

del

CH

Klaster I 0.05 0.16 0.12

Klaster II -0.20 0.57 0.04

Klaster III -0.21 0.40 -0.06

Page 39: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 31

y = 0.0244x - 0.0086 R² = 0.3275

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

0 4 8 12 16

TRM

M (

mm

/jam

)

Keluaran Model Curah Hujan (mm/hari)

Gambar 3. Plot persamaan linear dan koefisien korelasi antara data keluaran model

curah hujan dengan data TRMM untuk keseluruhan bulan mulai dari Januari 1998

sampai dengan Desember 2010

Data yang menjadi masukan pada proses simulasi menggunakan JST dengan satu

masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan, mulai dari Januari

1998 sampai dengan Juni 2010. Data yang menjadi target yaitu data TRMM

dengan rentang yang sama. Jumlah data yang digunakan sebanyak 150 data, 100

data pertama merupakan data pelatihan dan sisanya menjadi data pengujian. Nilai

optimum R antara data pengujian dengan data target sebesar 0,58 yang tercapai

pada saat epoch 12000. Gambar 4 merupakan plot persamaan linier serta R antara

data pengujian dengan data target hasil simulasi JST dengan satu masukan.

Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan

dalam Gambar 5.

Untuk meningkatkan akurasi data keluaran model curah hujan yang menjadi input

jaringan terhadap data TRMM sebagai data acuan secara hipotesis dapat

dilakukan dengan memperhitungkan parameter lain yang telah terbukti secara

fisis ikut berkontribusi pada variabilitas curah hujan sebagai input tambahan.

Peningkatan akurasi tersebut ditandai dengan adanya peningkatan nilai koefisien

korelasi antara data pengujian dengan data target.

Berdasarkan perhitungan R antara data bilangan bintik matahari dengan data

TRMM klaster II diperoleh hasil korelasi yang negatif sebesar 0,05. Sementara R

antara data sinar kosmik dengan data TRMM klaster II sebesar 0,39. Dari

perhitungan ini maka parameter aktivitas matahari yang dimasukkan sebagai

masukan tambahan pada arsitektur JST adalah sinar kosmik. Data yang menjadi

masukan JST dengan dua masukan adalah data bulanan keluaran model curah

hujan serta data sinar kosmik sementara yang menjadi target yaitu data TRMM.

Interval data dimulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Dengan

demikian, arsitektur yang yang dibangun terdiri atas dua neuron pada lapisan

Page 40: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

32 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Gambar 4. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk

satu masukan

Gambar 5. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target pada jaringan dengan satu

masukan

input dan satu neuron pada lapisan keluaran. Dari simulasi diperoleh nilai optimal

R antara data pelatihan dengan data target sebesar 0,87 dan untuk data pengujian

dengan data target sebesar 0,62 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 6

merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target

sementara plot data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan

dalam Gambar 7.

Page 41: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 33

Gambar 6. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk

dua masukan dengan nilai epoch optimal 12000.

Gambar 7 Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk dua input pada nilai

epoch optimal 12000

Diperoleh hasil bahwa nilai R jaringan dengan dua masukan (yaitu data keluaran

model curah hujan dan data sinar kosmik), baik untuk data pelatihan maupun

untuk data pengujian mengalami peningkatan terhadap data target (yaitu data

TRMM) dibandingkan pada jaringan dengan hanya satu masukan saja (data

keluaran model curah hujan saja). Tabel 2 menampilkan persentase kenaikan nilai

R terhadap penambahan masukan JST. R11, R12, R21, dan R22 berturut-turut

menyatakan R data pelatihan terhadap data target untuk satu masukan, data

pelatihan terhadap data target untuk dua masukan, data pengujian terhadap data

Page 42: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

34 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

target untuk satu masukan, dan data pelatihan terhadap data target untuk dua

masukan.

Tabel 2. Persentase kenaikan nilai koefisien korelasi (∆R) terhadap

penambahan input pada epoch optimal

R11 R12 R21 R22

0,66 0,87 0,587 0,62

% ∆R 31,8% 5,6%

Dari Tabel 2 di atas terlihat adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih

maupun data uji pada hasil simulasi JST dengan dua masukan dibandingkan

terhadap JST dengan satu masukan. Dengan penambahan masukan berupa

parameter sinar kosmik pada simulasi JST telah dapat meningkatkan akurasi

keluaran model curah hujan untuk wilayah Indonesia dengan klaster II dengan

menggunakan data TRMM sebagai verifikator hasil prediksi yang diperoleh.

Hasil penelitian ini dapat melengkapi bukti-bukti sebelumnya tentang pengaruh

sinar kosmik pada variabilitas curah hujan di berbagai wilayah di permukaan

bumi. Zherebtsov et al. (2005) mengatakan bahwa tingkat dan korelasi antara

intensitas sinar kosmik dan keawanan global bergantung pada posisi lintang,

karakter permukaan (daratan atau lautan) serta karakteristik tutupan awan.

4. KESIMPULAN

Dengan penambahan faktor yang ikut berkontribusi terhadap variabilitas curah

hujan di permukan yaitu sinar kosmik telah dapat meningkatkan akurasi keluaran

model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di

wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring

Mission (TRMM) sebagai verifikator. Peningkatan akurasi yang diperoleh

ditunjukkan dengan peningkatan nilai koefisien korelasi (R) simulasi

menggunakan metode jaringan syaraf tiruan (JST) baik antara data latih maupun

data uji yang dibandingkan terhadap data acuannya.

Dari metode pengklasteran diperoleh nilai R optimal antara data TRMM dengan

data CMIP3 sebesar 0,57 untuk wilayah dengan klaster II. Hasil simulasi JST

dengan dua masukan menunjukkan adanya peningkatan nilai R, baik untuk data

latih dan data uji masing-masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan dengan

hasil simulasi satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada

sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya dimodulasi oleh

aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia.

Page 43: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 35

DAFTAR REFERENSI

As-syakur, A.R., dan R. Prasetia, 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama

Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite

Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan, Prosiding

Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, pp. 505-516, Universitas Udayana

As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R., Swardika, I.K., dan Kasa, I.W., 2011,

Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and

daily-monthly gauge data over Bali, International Journal of Remote Sensing, Vol.

32, No. 24, 8969–8982

Carslaw, K. S., Harison R. G., dan Kirkby J., 2002, Cosmic Rays, Clouds, and Climate,

Science, 298, 1732-1737

Didi Satiadi, 2009, Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model Sirkulasi Umum

Atmosfer dengan Data Observasi Satelit TRMM, Majalah Sains dan Teknologi

Dirgantara Vol. 4 No. 1, hal. 31-40

Gernowo R., 2009, Dinamika Atmosfer Curah Hujan Ekstrim dan Evaluasi Awal

Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di DKI Jakarta (Disertasi), Institut

Teknologi Bandung

Ichikawa H. And T. Yasunari, 2006. Time – Space Characteristics of Diurnal Rainfall

over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. Journal of

Climate: Vol. 19, No. 7, pp. 1238-1260

Kusumadewi, S., 2004, Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan

Excel Link, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta

Kusumadewi, S., 2006, Multi-Attribute Decision Making (FMADM), Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta

Meehl, G. A., C. Covey, T. Delworth, M. Latif, B. McAvaney, J. F. B. Mitchell, R. J.

Stouffer, and K. E. Taylor: The WCRP CMIP3 multi-model dataset: A new era in

climate change research, Bulletin of the American Meteorological Society, 88, 1383-

1394, 2007.

Meneghini, R., J. A. Jones, T. Iguchi, K. Okamoto and J. Kwiatkowski, 2004. A Hybrid

Surface Reference Technique and Its Application to the TRMM Precipitation Radar.

Journal of Atmospheric and Oceanic Technology: Vol. 21, No. 11, pp. 1645-1658

Mori S., H. Jun-Ichi, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,

H. Hashiguchi, and T. Sribimawati, 2004. Diurnal Land-Sea Rainfall Peak

Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by

TRMM Satellite and Insentive Rawinsonde, Soundings. Monthly Weather Review:

Vol. 132, No. 8, pp. 2021-2039

Rosenfeld, D., 2006. Aerosol-cloud interactions control of earth radiation and latent heat

release budgets, Space Sci. Rev., 125, 149-157

Svensmark, H. dan Friis-Christensen, 1997, Variation of cosmic ray flux and global cloud

coverage - a missing link in solar-climate relationships, J. Atmos. Solar Terr. Phys.

59, p. 1225-1232

Tinsley B. A., G.B. Burns, Limin Zhou, 2007. The role of the global electric circuit in

solar and internal forcing of clouds and climate, Advances in Space Research 40, pp.

1126–1139

Zherebtsov G.A., Kovalenko V.A., Molodykh S.I., 2005, The physical mechanism of the

solar variability influence on electrical and climatic characteristics of the

troposphere, Advances in Space Research, Volume 35, Issue 8, pp. 1472–1479

Page 44: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

36 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

BIOGRAFI PENULIS

Jalu Tejo Nugroho

Jalu Tejo Nugroho lahir di Jakarta (39) bekerja pada

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional. Saat ini sedang

menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian Institut Teknologi Bandung. Penulis

memperoleh gelar sarjana dan master di Departemen

Fisika, Universitas Indonesia.

Page 45: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan

Danau Matano, Mahalano, dan Towuti

Menggunakan Data Landsat-7 ETM

Nana Suwargana

Page 46: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

38 Nana Suwargana

Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano,

Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM

Nana Suwargana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

Email: [email protected]

Abstrak

Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk mengkaji kualitas perairan Danau

melalui pendeteksian zat-zat organik maupun anorganik yang terlarut dalam

perairan seperti, kecerahan, klorofil-a dan muatan padatan terlarut telah banyak

dilakukan. Cahaya (radiance) berbentuk gelombang elektomagnetik yang

dipantulkan (reflected) oleh permukaan air Danau dapat dideteksi (detected) oleh

sensor citra satelit, yang kemudian dapat dihasilkan data konsentrasi klorofil-a.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji konsentrasi klorofil-a di Danau Matano,

Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan dengan data satelit Landsat-7 ETM.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis dan

membandingkan penurunan dari algoritma yang dikembangkan oleh Wibowo et.al

(1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Analisis dilakukan melalui

regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM dari ketiga

algoritma tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa: a). Konsentrasi klorofil-a

mempunyai nilai relatif tinggi dengan algoritma Wouthuyzen (1991) jika

dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al (1994) dan algoritma Mayo et.al

(1995) nilainya lebih rendah, namun ketiganya memiliki kemiripan pola; b).

Hasil penurunan regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data

Landsat-7 ETM dari model Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995) diperoleh

bentuk fungsi baru (WoutMayo) y = 0,0704 x +0,1658 dengan koefesien

determinasi (R)=1, algoritma ini cukup signifikan untuk dilakukan penelitian

berkelanjutan; c). Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui perhitungan

persamaan algoritma WoutMayo dan Mayo et.al (1995) nampak keduanya

menunjukkan pola kesetaraan yang sama.

Kata kunci : klorofil-a, citra Landsat-7 ETM, regresi, pantulan.

Abstract

Application of remote sensing technology to assess water quality of the lake

through the detection of organic substances and inorganic dissolved in water

such as, brightness, chlorophyll-a and dissolved solids loads have been carried

out. Electromagnetic wave-shaped light reflected by the surface of the lake water

can be detected by the sensor of satellite image, which can then be generated

chlorophyll-a concentration data. The purpose of this study is to assess the

Page 47: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 39

concentration of chlorophyll-a in Lake Matano, Mahalano and Towuti in South

Sulawesi with satellite data of Landsat-7 ETM. The method used in this study is

by analyzing and comparing the decline of the algorithm developed by Wibowo

et.al (1994), Wouthuyzen (1991), and the Mayo et.al (1995). The analysis was

performed through a regression between reflectance calculation canals Landsat-

7 ETM of the three algorithms. The analysis showed that: a).The concentration of

chlorophyll-a have a relatively high value of the algorithm Wouthuyzen (1991 )

when compared with the algorithm Wibowo et.al (1994) and Mayo algorithm

et.al (1995) the value is lower, but all three have similar pattern b). Results of

regression between the decrease in reflectance calculations canals Landsat-7

ETM Wouthuyzen model (1991) and Mayo et.al (1995) obtained a new function

form (WoutMayo) y = 0.0704 x +0.1658 with a coefficient of determination

(R)=1, this algorithm is quite significant for ongoing research, c). Distribution of

chlorophyll-a is obtained by calculating the equation algorithm and Mayo

WoutMayo et.al (1995) both appear to show the same pattern of equality.

Keywords : chlorophyll -a , Landsat -7 ETM , regression , reflection.

1. PENDAHULUAN

Parameter yang sangat menentukan produktivitas perairan baik di perairan laut

maupun perairan air tawar (Danau) biasanya adalah klorofil-a. Tinggi dan

rendahnya sebaran konsentrasi klorofil-a berkaitan langsung dengan kondisi

perairan itu sendiri. Beberapa parameter fisika-kimia yang mempengaruhi

sebaran klorofil-a adalah intensitas cahaya dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan

silikat). Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan Danau

sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui

limpasan air sungai. Oleh karena itu ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya

matahari di suatu perairan sangat mempengaruhi konsentrasi klorofil-a. Apabila

nutrien dan intensitas cahaya matahari tersedia cukup, maka konsentrasi klorofil-

a akan tinggi begitu pula sebaliknya. Perairan di daerah tropis umumnya memiliki

konsentrasi klorofil-a yang rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya

stratifikasi kolom perairan sebagai akibat pemanasan permukaan perairan yang

terjadi sepanjang tahun. Sebaran fitoplankton dapat diestimasi dari kandungan

klorofilnya melalui teknologi penginderaan jauh yaitu melalui data satelit Landsat.

Data satelit Landsat-7 ETM bisa memberikan informasi data perairan berdasarkan

sinar pantulan yang terdeteksi oleh sensor satelit Landsat-7 ETM.

Model pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan deteksi

klorofil-a telah dipublikasikan dalam banyak paper seperti: Wibowo et.al (1994)

dalam Halida et.al (2010); Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009);

Mayo et.al (1995); Brezonik et al. (2002); Kneubühler M. et al. (2007) ; Griffin.

C. G. (2010); Sebastiá M.T. et al. (2012); Zhang. Y. (2010); Luoheng Han.

(2002); Jamadar. B. (2013). Brezonik et al. (2002) telah membuat model

pemetaan klorofil-a dan kecerahan perairan Danau menggunakan data Landsat-7

Page 48: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

40 Nana Suwargana

ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara operasional untuk memantau

kondisi beberapa Danau di Amerika, demikian juga algorithma dari Wibowo

et.al (1994) yang dipakai dalam Nuriya.H (2010) telah melakukan penelitian

untuk medeteksi klorofil-a secara operasional untuk wilayah selat Madura.

Selain itu, juga Mayo et.al (2010) telah membuat model deteksi klorofil-a

menggunakan data Landsat-7 ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara

operasional di Danau Kinneret. Tel-Aviv, Israel, demikian juga Wouthuyzen

(1991) yang dikembangkan oleh Pentury. R. et al .(2009) telah melakukan

penelitian untuk deteksi dan pemetaan klorofil-a secara operasional di Teluk

Kayeli, Kabupaten Buru Provinsi Maluku.

Metode pemantauan kualitas air Danau untuk deteksi klorofil-a di Indonesia

masih banyak menggunakan pengukuran langsung di lapangan atau analisa

laboratorium dari pada memanfaatkan teknologi satelit penginderan jauh. Model

pemanfaatan teknologi satelit penginderan jauh, telah banyak pula model

algorithma yang dipublikasikan untuk menentukan ekstraksi klorofil-a baik

melalui jurnal nasional maupun jurnal internasional. Untuk daerah-daerah di

Indonesia terutama untuk kajian Danau yang menjadi periotas perlu dikaji dengan

menggunakan data Landsat-7 ETM. Hal tersebut perlu dilakukan studi

pembanding dari hasil penurunan algorithma-algorithma tersebut apabila ingin

mendapatkan profil klorofil-a untuk suatu perairan yang lebih luas dari pada

pengukuran klorofil-a dengan metode dilapangan yang harus menggunakan

banyak titik sampel. Tentu saja untuk melakukannya diperlukan waktu yang

relatif lama dalam mengumpulkan sampel dan dana yang cukup besar dalam

menganalisis dan pengumpulan datanya. Oleh karena itu, teknologi pengukuran

klorofil-a menggunakan metode penginderaan jauh banyak berbagai kemudahan

dalam melakukan penelitian untuk mengkaji kualitas perairan air tawar

khususnya perairan Danau. Salah satunya memudahkan penelitian adalah

mudah dilakukan di daerah cakupan yang luas. Selanjutnya dengan menggunakan

analisis Land Satellite (Landsat) dapat didapatkan profil sebaran klorofil-a secara

real time. Sebagai contoh aplikasi penginderaan jauh untuk pendeteksian,

pemantauan dan inventarisasi terhadap klorofil-a, suhu permukaan air, kekeruhan

dan lain sebagainya memiliki banyak kelebihan dibanding dengan cara

konvensional.

Dari kesemua algorithma-algorithma yang telah diturunkan oleh para peneliti,

dalam penelitan ini telah dilakukan kajian menggunakan data Landsat-7 ETM.

Dalam penelitian disini dicoba melakukan studi banding dari model algorithma:

Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Sedangkan

untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan untuk tahun penelitian

berikutnya. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian estimasi konsentrasi

klorofil-a di perairan Danau Matano, Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan

dengan menggunakan data penginderaan jauh citra satelit Landsat-7 ETM. Metoda

penelitian yang dilakukan adalah menurunkan dan menganalisis algorithma yang

telah dikembangkan oleh Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo

Page 49: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 41

et.al (1995) serta melakukan studi banding dari ketiga penurunan algorithma

tersebut dengan membuat persamaan regresi antara perhitungan reflektansi

kanal-kanal data Landsat-7 ETM. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh

pihak-pihak terkait sebagai alternatif pengganti metode pengukuran lapangan.

Pengukuran lapangan hanya digunakan untuk pembangunan metode dan

verifikasi hasil. Serta untuk mendukung model pembuatan peta sebarannya.

2. METODOLOGI 2.1 Data dan Lokasi Penelitian

Data yang digunakan adalah Citra Landsat-7 ETM dengan posisi citra pada

path/row: 113/062. Data set citra yang diakuisisi tanggal 17 Oktober 1997

mencakup didalamnya perairan Danau Matano, Danau Mahalano, dan Danau

Towuti yang terletak di Kecamatan Nuha, Sorowaka, Kabupaten Luwu Timur,

Sulawesi Selatan. Data set citra Landsat-7 ETM (daerah kajian) tersusun oleh

kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter lihat Tabel 1.

Tabel 1. Saluran spektral yang digunakan dalam sistem data Landsat-7

ETM dan karakteristiknya

Kanal

Panjang

Gelombang

(µm)

Resolusi

Spasial

(m)

Karakteristik

1 (biru) 0,45-0,51 30 Penetrasi maksimum pada air

berguna untuk pemetaan batimetri

perairan dangkal

2 (hijau) 0,52-0,60 30 Berfungsi untuk mengindera

puncak pantulan vegetasi.

3 (merah) 0,63-0,69 30 Berfungsi untuk membedakan

absorbsi klorofil dan tipe vegetasi.

4 (Inframerah

dekat)

0,75-0,90 30 Untuk menentukan kandungan

biomas, tipe vegetasi, pemetaan

garis pantai.

5 (Infra-merah

tengah I)

1,55-1,75 30 Menunjukkan kandungan

kelembaban tanah dan kekontrasan

tipe vegetasi.

6 (Infra-merah

thermal)

10,4 – 12,5 30 Untuk mendeteksi gejala alas yang

berhubungan dengan panas.

7 (Infra-merah

tengah II.)

2,09-2,35 30 Rasio antara kanal 5 dan 7 untuk

pemetaan perubahan batuan secara

hidrotermal dan sensitive terhadap

kandungan kelembaban vegetasi

8

(Pankromatik)

0,52-0,90 15 Bermanfaat untuk identifikasi

obyek lebih detail.

Sumber: Landsat-7 ETM: Eros Data Center (1995).

Page 50: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

42 Nana Suwargana

Data sekunder yang digunakan dlm penelitian ini adalah peta letak topografis

dan profil danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Contoh data

sekunder peta topografis yang digunakan diperlihatkan pada (Gambar 1) dan

profil danau Matano diperlihatkan pada (Gambar 2).

Secara geografis lokasi kajian untuk Danau Matano terletak pada

koordinat : 2° 29' 45" LU 121° 20' 35"BT, Danau Mahalona terletak pada

koordinat : 2° 29' 7" LU 121° 20' 03" BT, dan Danau Towuti terletak pada

koordinat : 2° 45′ 0″ LU 121° 30′ 0″ BT ditunjukkan pada (Gambar 1). Luas

Danau Matano berkisar 16.408 hektar dengan sumbu memanjang 28 km pada

arah timur barat (limnologi.lipi.go.id). Posisi dasar Danau ini sangat khas karena

letaknya lebih rendah dari permukaan laut memiliki kedalaman berkisar 595

meter dengan letak dasar danaunya berada pada 203 meter di bawah permukaan

laut (Gambar 2). Danau Matano merupakan Danau terdalam di Asia Tenggara

bahkan terdalam kedelapan di dunia. Pembentukan Danau Matano bukan

merupakan pembentukan dari beberapa anak sungai, tetapi terbentuk karena dari

ribuan mata air yang muncul akibat gerakan tektonik; lipatan dan patahan kerak

bumi yang terjadi di sekitar daerah litosfir yang membutuhkan waktu lama

untuk terisi oleh air dan membentuk danau sekitar 4 juta tahun yang lalu

(limnologi.lipi.go.id). Sehingga danau ini tidak akan pernah mengalami

kekeringan dan airnya sangat jernih. Karena kejernihannya maka kecerahan air

yang mencapai berkisar 23 meter sehingga sangat menggoda untuk olahraga

snorkling dan diving. Di Danau Matano juga terdapat berbagai jenis flora dan

fauna endemik yang masih terjaga dengan baik. Flora dan fauna endemik adalah

makhluk hidup yang hanya ditemui di suatu tempat dan tidak ditemukan di

tempat yang lain. Sedangkan Danau Mahalona dan Danau Towuti terbentuk

dibagian selatan Danau Matano. Kedalaman Danau Mahalona berkisar 60 meter

dengan luas 2.440 hektar dan Danau Towuti mempunyai kedalaman berkisar 200

meter dengan luas 56.108 hektar. Pergerakan arus air yang mengalir dari Danau

Matano dialirkan melalui sungai Larona ke Danau Mahalona kemudian ke Danau

Towuti dan selanjutnya menuju muara melalui sungai Malili dan berakhir di Laut

Bone. Sungai inilah yang menjadi penggerak PLTA Larona dan PLTA

Balambano dan PLTA Karebbe.

Topografis dan kondisi penutup lahan di danau Matano sebagaian pemanfaatan

lahan dominan sekitar perairan Danau adalah hutan alam yang berada di bagian

timur, utara dan barat danau. Penutup lahan Danau. Permukiman yang

pemanfaatannya berada di bagian selatan terutama di Solosa yang secara

mengelompok. Lahan ladang terdapat disekitar permukiman karena merupakan

bagian mata pencaharian pendudk di sekitar Danau. Terdapat pula keberadaan

lahan tebuka yang pemanfaatannya berada disebelah timur Danau.

Page 51: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 43

Gambar 1. Peta Letak Topografi Danau Matano, Mahalano, dan Towuti. Garis kuning

menunjukkan sistem sungai yang menghubungkan masing-masing danau dan menjadi

satu sebelum bermuara ke Teluk Bone. Garis putih menunjukkan sungai penyuplai air

(river inlet). Dari peta topografi di atas terlihat bahwa seluruh danau dikelilingi oleh

bukit-bukit dengan ketinggian 500-700 m. (Sumber: http://upload.wikimedia.org)

Gambar 2. Frofil Danau Matano kedalamannya lebih rendah dari permukaan laut

memiliki kedalaman berkisar 595 meter dengan letak dasar Danaunya berada pada 203

meter di bawah permukaan laut. (Sumber: limnologi.lipi.go.id)

Page 52: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

44 Nana Suwargana

2.2 Metode

Pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan estimasi

konsentrasi klorofil-a berbasiskan data Landsat-7 ETM. Tahapan metode

penelitian pertama yaitu menganalisis dan membandingkan penurunan dari

algorithma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) dari

citra Landsat-7 ETM, kedua menentukan persamaan regresi dari hubungan

antara reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma Wibowo et.al

(1994) terhadap reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma

Wouthuyzen (1991), atau Mayo et.al (1995) dan sebaliknya. Tahapan pengolahan

meliputi pengolahan awal serta ekstraksi klorofil-a.

2.2.1 Pengolahan awal ( Pre-processing )

Pengolahan citra dilakukan dengan software ERDAS ER Mapper Versi 7.2.

Sebelum melakukan pengolahan dan analisis citra, terlebih dahulu dilakukan koreksi

geometrik citra dengan tujuan agar citra dapat mempunyai koordinat yang sama

dengan koordinat peta yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal. Kemudian dilakukan

overlay antara kanal (membuat citra gabungan/citra RGB) dan penajaman serta

analisisa visual dengan tujuan untuk mengidentifikasi obyek air Danau. Setelah

melakukan koreksi geometrik dilakukan koreksi radiometrik, dan koreksi

atmosfir.

Koreksi geometrik dilakukan dengan metode registrasi (image to image). Citra

acuannya adalah citra georefernsi yang telah terkoreksi dengan koordinat peta

dari Bakosurtanal. Penyamaan posisi ini dimaksudkan agar posisi piksel citra

original menjadi sama dengan citra terkoreksi. Jadi proses registrasi citra ke citra

disini melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah terkoreksi.

Transfomasi kiordinat pada citra menggunakan model polynomial. Pada

persamaan poliminal dengan orde-t, maka jumlah minimal GCP (Ground Control

Point) yang diperlukan (n) mengikuti (persamaan 1).

𝑛 =(𝑡+1)(𝑡+2)

2 (1)

Dimana; n = jumlah GCP yang dibutuhkan

t = orde persamaan yang diterapkan

Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan Root Mean Square Error/RMSE

(persamaan 2) dan Standard Deviation/STD (persamaan 3) hasil transformasi

koordinat sehingga dapat diketahui kepresisian datanya. Minimal besarnya nilai

RMSE yang dapat diterima adalah sebesar 0.5 piksel. Formula RMSE dan STD:

(2)

Page 53: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 45

(3)

Dengan:

x', y' = koordinat citra hasil koreksi

(x,y)origin = koordinat GCP pada bidang referensi

n = jumlah GCP

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai

dengan yang seharusnya, biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer

sebagai kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel

terendah pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya nol, sesuai dengan bit-

coding sensor. Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan

nol, maka nilai penambah (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan

atmosfer. Fungsi dari koreksi radiometrik adalah untuk menghilangkan kesalahan

radiometrik (radiometric error) yang disebabkan oleh aspek eksternal berupa

gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini

dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel

pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di

lapangan. Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan

interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara dijital yang mendasarkan

pada nilai piksel. Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk

dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan. Koreksi

radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah

penyesuaian regresi, penyesuaian histogram, dan kalibrasi bayangan. Proses

koreksi dilakukan dengan merubah nilai dijital piksel menjadi nilai radian (radiasi

dari objek ke sensor). Persamaan konversi DN (Nilai Dijital) ke Radian

diperlihatkan pada (persamaan 4) pada (Gambar 3) dan setelah dimasukan slope

ke persamaan 4, diperoleh koreksi radiometrik (persamaan 5).

Gambar 3. Konversi DN ke Radian

Page 54: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

46 Nana Suwargana

Bentuk konversi DN ke Radian adalah :

L= G x DN+B (4)

Dimana:

DN =Nilai dijital

G = Gradien (kanal gain)

L = Radian di atas atmosfir

B = Titik potong (kanal offset)

Untuk koreksi radiansi citra Landsat:

L=[(Lmax – Lmin)/255] x DN + Lmin (5)

Dimana:

Lmax = radian maksimum pada kanal (1-7)

Lmin = radian minimum pada kanal (1-7)

Koreksi atmosfir menggunakan model 6s (Second Simulation of a Satellite Signal

in the Solar Spectrum) yang diunduh dari (http://6s.ltdri.org/). Model 6s

menghitung nilai global transmittance dan total scattering transmitannce

berdasarkan informasi kondisi atmosfer pada saat data direkam. Nilai koefisien

yang dihasilkan model 6s dapat digunakan untuk menghitung nilai reflectance

perairan yang telah bebas dari pengaruh kondisi atmosfir. Tahap terakhir

melakukan normalisasi antar waktu sehingga perbedaan nilai spektral pada data

yang berlainan waktu dan berlainan sensor dapat dikurangi atau dihilangkan. Cara

melakukan koreksi atmosfir adalah memasukan website : http://www.6s.ltdri.org

kemudian siapkan header file dari data Landsat-7 ETM dimana input yang

dimasukan diantaranya : jenis sensor, tanggal dan waktu perekaman, latitude dan

longitude pada titik pusat citra, dan visibility dari atmosfir.

Dengan memasukan input data Landsat-7 ETM ke model 6S dan mengunduh

http://6s.ltdri.org/ diperoleh parameter-parameter koreksi atmosfir acr

(Atmopheric Correction Result) :

**************************************************************************

atmospheric correction result

-----------------------------

input apparent reflectance : 0.000

measured radiance [w/m2/sr/mic] : 0.000

atmospherically corrected reflectance

Lambertian case : -0.10217

BRDF case : -0.10217

coefficients xa xb xc : 0.00246 0.10054 0.15892

y=xa*(measured radiance)-xb; acr=y/(1 +xc*y)

**************************************************************************

Page 55: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 47

Dari output atmospheric correction (arc) diperoleh persamaan sebagai berikut:

y = xa(radiasi yang diukur)-xb = (xa*L)-xb (6)

dan koreksi atmosfir:

arc = y/(1+xc*y) (7)

Dimana:

xa, xb,xc = coefesien koreksi atmosfir

L = Koreksi radiometrik citra Landsat (kanal 1-7).

2.2.2 Ekstraksi informasi klorofil-a

Klorofil-a yang terdeteksi oleh citra pada dasarnya merupakan pigmen yang

terkandung dalam tubuh fitoplankton yang merupakan produsen primer di

dalam perairan. Informasi klorofil-a tersebut dapat dianalisis berdasarkan sinar

pantulan (reflectance) yang terdeteksi oleh sensor. Hubungan radiansi spektral

kanal tunggal dari tubuh air dengan konsentrasi klorofil-a sangat rendah, sehingga

untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a dapat digunakan ratio kanal biru (range:

0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range: 0,52 – 0,60 µm). Seperti yang

dikembangkan oleh Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009)

menggunakan kanal biru (range:0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range:0,52–

0,60 µm), Mayo et.al (1995) pengembangannya mengunakan kanal biru

(range:0,45 – 0,51 µm), kanal hijau (range:0,52 – 0,60 µm) dan kanal infra

merah (range:0,63-0,69 µm). Bahkan beberapa peneliti lainnya seperti Wibowo

et.al (1994) dalam Halida et.al (2010) menggunakan kanal infra merah (range:

0,63 – 0,69 µm), kanal infra merah dekat (range:0,75 – 0,90 µm) dan kanal

Infra-merah tengah I (range:1,55- 1,75 µm); Kneubühler M. et al. (2007)

menggunakan ratio kanal biru, kanal merah dan kanal hijau yaitu model :

([0.45,0.52 µm]-[0.63.69 µm])/[0.52,0.60 µm]; Griffin. C. G. (2010)

menggunakan kanal 1-4 yaitu, (biru: 0.45-0.52 µm, hijau: 0.52-0.60 µm, merah:

0.63-0.69 µm, infra merah dekat: 0.67-0.90 µm); Zhang. Y. (2010);

menggunakan ratio kanal maksimum, yang dihitung sebagai maksimum dari ratio

reflektasi tiga kanal pada panjang gelombang 0.443, 0.490, 0.520, dan 0.564 µm

(ρ0.443/ρ0.565, ρ0.490/ρ0.565, ρ0.520/ρ0.565) dapat digunakan untuk estimasi

klorofil-a; Luoheng Han. (2002) melakukan pendekatan model dengan kanal

biru 0.45-0.52 µm, hijau 0.52-0.60 µm, merah 0.6-0.69 µm dan infra merah dekat

0.76-0.90 µm; Sebastiá M.T.et al. (2012) melakukan pendekatan sama dengan

model Luoheng Han. (2002) menggunakan kanal biru: 0.45-0.52 µm, kanal

hijau : 0.52-0.60 µm kanal merah: 0.6-0.69 µm, infra merah dekat: 0.76-0.90 µm;

dan Jamadar.B.(2013) menggunakan ratio antara kanal hijau (0.50-0.60 μm) dan

kanal merah (0.60- 0.70 μm) atau sebaliknya dan rasio antara kanal biru (0,40-

0,50 mm) dan kanal merah atau sebaliknya.

Page 56: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

48 Nana Suwargana

Algorithma-algorithma yang digunakan untuk menentukan estimasi konsentrasi

klorofil-a dengan kajian data Landsat-7 ETM adalah melakukan studi banding

dari model algoritma: Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al

(1995). Sedangkan untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan

untuk tahun penelitian berikutnya. Untuk menentukan hubungan antara radiansi

spektral dari tubuh air dengan kandungan klorofil-a yang diturunkan Wibowo et.al

(1994) dalam Halida et.al (2010) menyatakan bahwa kanal infra merah (TM3),

kanal infra merah dekat (TM4) dan kanal Infra-merah tengah I (TM5) dari citra

satelit Landsat-7 ETM dapat digunakan untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a di

perairan. Algoritma yang diturunkan adalah pada (persamaan 8).

C = 0.2812 x (𝑇𝑀4+𝑇𝑀5

𝑇𝑀3)

3.497

(8)

Di mana :

C = konsentrasi klorofil-a (mg/l)

TM3 : kanal 3

TM4 : kanal 4

TM5 : kanal 5

Sedangkan dari pemaparan peneliti lainnya seperti Wouthuyzen et.al (1991)

dalam Pentury et al (2009) menyatakan bahwa kandungan konsentrasi klorofil-

a dapat dideteksi melalui citra satelit Landsat-7 ETM dengan menggunakan kanal

biru (TM1) dan kanal hijau (TM2). Algoritma yang diturunkan adalah pada

(persamaan 9).

Chl= 10.359(TM2/TM1)-2.355 (9)

Di mana:

TM1 = kanal 1

TM2= kanal 2

yang telah terkoreksi atmosfir (dijelaskan pada persamaan 7)

Kemudian pemaparan lainnya yang dikemukakan oleh Mayo et.al (1995) telah

melakukan penelitian di Danau Kinneret Israel, menyatakan bahwa pendeteksian

klorofil-a dapat menggunakan kanal biru, kanal hijau dan kanal infra merah.

Hasil penurunan regresinya diperoleh bahwa hubungan antara reflektansi kanal-

kanal ETM yang disimulasikan terhadap pengukuran klorofil yang

sebenarnya (langsung dilangan/ground truth) dengan satuannya dalam miligram

per meter kubik. Algorithma yang diturunkan adalah pada (persamaan 10).

Chl = 0.164{[TM1)-(TM3)]/(TM2)}-0.98

(10)

Di mana :

TM1 = kanal 1

TM2 = kanal 2

TM3 = kanal 3

Page 57: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 49

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karena pada penelitian ini tidak ada pengambilan data klorofil di lapangan

(ground truth) yang sama dengan waktu akuisisi dari citra Landsat-7 ETM, maka

peta sebaran konsentrasi klorofil-a langsung didapatkan dengan mengaplikasikan

model-model dari pendekatan algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen

(1991) dan Mayo et.al (1995). Sebelum pembuatan peta sebaran klorofil terlebih

dahulu dilakukan pembuatan citra warna gabungan RGB. Pada citra Landsat-7 ETM

dibuat citra gabungan RGB 421 (Gambar 4) kemudian dipertajam (enhancement)

sehingga dapat memperlihatkan ciri obyek yang lebih jelas dari kondisi air dan

penutup lahan disekitarnya (Gambar 5) disertai dengan titik-titik lokasi

pengamatan. Air Danau ditunjukkan dengan rona keruh (biru muda) hingga cerah

(biru tua), sedangkan tutupan lahan disekitarnya didominasi tutupan bervegetasi

(hutan dan tanaman campuran lain-lain yang ditunjukkan denga rona warna merah),

tutupan lahan lainnya adalah lahan terbuka, permukiman dan lain-lain.

Berdasarkan data statistik citra Landsat-7 ETM yang setelah didelineasi batas-batas

Danaunya maka dapat diketahui luasan masing-masing Danau. Luas Danau Matano

berkisar 16.188,48 Hektar, Danau Mahalano berkisar 2.276,20 Hektar dan Danau

Towuti berkisar 55.087,34 Hektar.

Gambar 4. Citra Landsat-7 ETM Gabungan RGB 421

Citra hasil olahan konsentrasi klorofil-a yang diturunkan dari model algorithma

Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) yang

diterapkan pada perairan Danau Matano, Mahalano, Towuti di Kecamatan Nuha,

Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan menampilkan citra dalam bentuk Color

Page 58: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

50 Nana Suwargana

Mode Pseudocolor dan Color Table Pseudocolor. Citra hasil penerapan ketiga

algorithma tersebut memperlihatkan penampakan obyek yang mirip sama antara

model yang satu dengan lainnya. Penampakan konsentrasi klorofil-a ditampilkan

dengan warna rona biru muda hingga biru tua, namun apabila dihitung

berdasarkan algorithma dari ketiga model besaran nilai angka dijital antara satu citra

dengan citra yang lainnya tidak sama dan bervariasi. Perbedaan nilai angka digital

dari ketiga algorithma tersebut dapat ditampilkan lebih jelas dalam kedalam bentuk

histogram dan sebaran klorofil-a (Gambar 6-a,b,c) serta hasil klasifikasi kedalam

bentuk peta sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada (Gambar 6-d,e,f).

Gambar 5. Citra Satelit Landsat-TM RGB 421 Danau Matano, Danau Mahalano dan

Danau Towuti, Aquisisi Tanggal 17 Oktober 1997 dan lokasi titik-titik pengamatan.

Danau Matano 15 titik lokasi, Danau Mahalona 6 titik lokasi dan Danau Towuti 20 titik

lokasi.

Page 59: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 51

(a) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al (1994).

(b) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wouthuyzen (1991)

(c) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995)

Page 60: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

52 Nana Suwargana

(d) Klasifikasi Peta Sebaran

Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al

(1994).

(e) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a

Algorithma Wouthuyzen (1991)

(f) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995)

Gambar 6. Model sebaran konsentrasi klorofil-a dari penurunan algorithma Wibowo

et.al (1994), Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995).

Untuk mengetahui apakah penurunan algorithma hasil olahan citra dari ketiga

peneliti tersebut mempunyai nilai konsentrasi klorofil-a yang setara antara satu

sama dengan yang lainnya, maka berdasarkan statistik dapat dihitung nilai

konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari piksel-piksel angka dijital citra

Landsat-7 ETM terebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan mencatat nilai

angka dijital pada setiap titik-titik lokasi pengamatan terhadap kanal-kanal :

TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6 dan TM7. Pengambilan angka dijital pada

lokasi titik-titik sampel pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Pengambilan

sampel nilai angka dijital pada Danau Matano diambil 15 titik lokasi pengamatan,

pada Danau Matano 6 titik lokasi pengamatan, dan pada Danau Towuti sebanyak

20 lokasi titik pengamatan, ditampilkan pada (Gambar 5).

Page 61: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 53

Hasil penghitungan penurunan algorithma dari ketiga peneliti diperoleh nilai

konsentrasi klorofil-a untuk setiap titik-titik lokasi pengamatan dengan satuannya

dalam mg/l, lihat Tabel 3. Berikut ini contoh hasil olahan citra dari model

algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995)

dijelaskan sebagai berikut:

Algoritma Wibowo et.al (1994):

Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wibowo et.al

(1994) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a bervariasi antara 0.4879 – 0.7221

mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara

0.479 – 0.541 mg/l, lihat (Gambar 6a) dan rata-rata = 0.5858 mg/l, StDev =

0.0585 lihat (Tabel 3). Dengan mengklasifikasikan (unsupervised

classification) citra hasil dari penurunan algorithma Wibowo (1994) diperoleh

peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6d). Hasil klasifikasinya

dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.4879 mg/l), kelas 3 (0.5464 mg/l),

kelas 4 (0.6050 mg/l), kelas 5 (0.6636 mg/l), kelas 6 (0.7221 mg/l).

Algoritma Wouthuyzen (1991):

Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wouthuyzen

(1991) di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran

nilai klorofil-a bervariasi antara 1.1343 – 1.1649 mg/l, dengan frekwensi tertinggi

didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 1.157 – 1.179 mg/l, lihat

(Gambar 6b) dan rata-rata = 1.2879 mg/l, StDev = 0.1092 lihat (Tabel 3). Hasil

klasifikasi (unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma

Wouthuyzen (1991) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada

(Gambar 6e). Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (1.1343

mg/l), kelas 3 (1.2644 mg/l), kelas 4 (1.3946 mg/l), kelas 5 (1.5247 mg/l), kelas 6

(1.6549 mg/l).

Algoritma Mayo et.al (1995):

Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma di perairan

Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a

bervariasi antara 0.2456 – 0.2823 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi

oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.247 – 0.249 mg/l, lihat (Gambar 6c) dan

rata-rata = 0.2564 mg/l, StDev = 0.0076, lihat (Tabel 3). Hasil klasifikasi

(unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma Mayo et.al

(1995) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6f).

Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.2456 mg/l), kelas 3

(0.2547 mg/l), kelas 4 (0.2639 mg/l), kelas 5 (0.2731 mg/l), kelas 6 (0.2822 mg/l).

Page 62: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

54 Nana Suwargana

Tabel 2. Nilai angka dijital dilokasi titik-titik pengamatan pada citra

Landsat-TM setiap kanal: TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6, dan TM7 di

Lokasi Danau Matano(Mt), Danau Mahalano(Mh) dan Danau Towuti(Tw)

Pengamatan

Koordinat Nilai Angka Digital

Latitude Longitude TM

1

TM

2

TM

3

TM

4

TM

5

TM

7

Mt1 2:26:16.33S 121:13:0.31E 89 31 26 21 12 6

Mt2 2:25:47.22S 121:17:10.1E 89 31 25 21 10 5

Mt3 2:27:30.81S 121:21:47.5E 90 32 26 19 10 5

Mt4 2:29:35.92S 121:25:29.83E 86 29 24 19 10 6

Mt5 2:31:49.19S 121:31:49.19E 88 31 26 21 10 4

Mt6 2:33:17.78S 121:26:14.06E 86 30 23 19 8 5

Mt7 2:31:17.37S 121:22:27.42E 93 35 28 20 11 6

Mt8 2:30:2.96S 121:19:31.87E 90 31 26 21 11 6

Mt9 2:28:33.23S 121:16:36.74E 87 31 24 19 9 6

Mt10 2:26:56.94S 121:15:11.78E 89 31 25 16 10 5

Mt11 2:27:39.53S 121:17:39.65E 90 32 25 16 11 6

Mt12 2:28:33.83S 121:19:23.4E 90 31 26 16 11 7

Mt13 2:29:4.63S 121:21:44.26E 92 32 27 17 11 6

Mt14 2:29:47.55S 121:23:31.16E 91 31 26 16 10 6

Mt15 2:31:2.26S 121:25:3.96E 88 31 25 16 8 7

Mh1 2:36:37.35S 121:28:52.51E 94 34 27 21 11 5

Mh2 2:55:4.85S 121:28:13.02E 92 33 27 23 11 6

Mh3 2:33:52.46S 121:30:18.28E 90 32 24 22 10 5

Mh4 2:36:41.76S 121:30:47.07E 93 36 31 20 10 3

Mh5 2:34:42.91S 121:29:44.27E 95 34 26 20 11 4

Mh6 2:35:48.31S 121:29:19.45E 93 32 26 18 9 5

Tw1 2:41:41.5S 121:25:37.25E 94 33 27 20 11 7

Tw2 2:40:6.31S 121:30:57.71E 94 33 26 17 11 6

Tw3 2:39:35.18S 121:35:7.78E 91 31 25 20 10 6

Tw4 2:39:28.84S 121:38:15.32E 92 31 26 21 10 4

Tw5 2:41:29.41S 121:39:33.33E 92 31 25 16 8 5

Tw6 2:44:54.8S 121:36:15.14E 89 31 25 15 9 6

Tw7 2:50:16.77S 121:33:35.86E 92 32 27 20 10 5

Tw8 2:52:31.46S 121:31:2.0E 95 32 26 19 10 5

Tw9 2:55:14.92S 121:28:3.34E 96 34 27 20 9 6

Tw10 2:55:59.06S 121:23:32.78E 95 34 28 21 9 6

Tw11 2:53:11.44S 121:23:31.3E 94 34 27 23 11 6

Tw12 2:49:13.3S 121:25:45.77E 96 35 28 20 10 6

Tw13 2:44:1.73S 121:26:57.81E 94 34 27 20 8 5

Tw14 2:42:46.04S 121:30:27.57E 94 32 26 16 10 6

Tw15 2:42:42.4S 121:34:25.89E 91 31 25 15 9 6

Tw16 2:48:55.32S 121:30:14.08E 94 32 27 16 9 6

Tw17 2:51:11.35S 121:28:11.48E 94 33 27 17 10 6

Tw18 2:53:11.66S 121:26:4.98E 96 34 28 18 11 5

Tw19 2:46:56.82S 121:22:11.08E 96 35 28 22 11 7

Tw20 2:43:36.22S 121:19:12.95E 90 32 27 24 13 5

Page 63: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 55

Tabel 3. Konsentrasi klorofil-a di setiap titik-titik lokasi pengamatan

diperairan Danau Matano (Mt), Mahalona (MH), dan Towuti (Tw)

Pengamatan Konsentrasi Klorofil mg/l

Wibowo Wouthuyzen Mayo WoutMayo

Mt1 0.668851 1.253191 0.253977 0.19032135

Mt2 0.653447 1.253191 0.253977 0.19032135

Mt3 0.587778 1.3282 0.2592568 0.19083111

Mt4 0.63676 1.138151 0.2458795 0.18953953

Mt5 0.628315 1.294193 0.2568631 0.1906

Mt6 0.618621 1.258605 0.2543581 0.19035814

Mt7 0.583435 1.543548 0.274415 0.19229462

Mt8 0.648583 1.2131 0.251155 0.19004889

Mt9 0.614802 1.336138 0.2598156 0.19088506

Mt10 0.548052 1.253191 0.253977 0.19032135

Mt11 0.569131 1.3282 0.2592568 0.19083111

Mt12 0.547242 1.2131 0.251155 0.19004889

Mt13 0.546491 1.24813 0.2536208 0.19028696

Mt14 0.526974 1.17389 0.2483951 0.18978242

Mt15 0.505895 1.294193 0.2568631 0.1906

Mh1 0.624561 1.391872 0.2637386 0.19126383

Mh2 0.663596 1.360728 0.2615464 0.19105217

Mh3 0.702631 1.3282 0.2592568 0.19083111

Mh4 0.509974 1.654935 0.2822554 0.19305161

Mh5 0.628315 1.352432 0.2609625 0.19099579

Mh6 0.547242 1.209387 0.2508937 0.19002366

Tw1 0.605044 1.28167 0.2559816 0.19051489

Tw2 0.56751 1.28167 0.2559816 0.19051489

Tw3 0.632368 1.17389 0.2483951 0.18978242

Tw4 0.628315 1.135533 0.2456951 0.18952174

Tw5 0.505895 1.135533 0.2456951 0.18952174

Tw6 0.505895 1.253191 0.253977 0.19032135

Tw7 0.585526 1.24813 0.2536208 0.19028696

Tw8 0.587778 1.134347 0.2456117 0.18951368

Tw9 0.566009 1.313813 0.2582441 0.19073333

Tw10 0.564615 1.352432 0.2609625 0.19099579

Tw11 0.663596 1.391872 0.2637386 0.19126383

Tw12 0.564615 1.421719 0.2658395 0.19146667

Tw13 0.546491 1.391872 0.2637386 0.19126383

Tw14 0.526974 1.171468 0.2482246 0.18976596

Tw15 0.505895 1.17389 0.2483951 0.18978242

Tw16 0.487938 1.171468 0.2482246 0.18976596

Tw17 0.526974 1.28167 0.2559816 0.19051489

Page 64: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

56 Nana Suwargana

Pengamatan Konsentrasi Klorofil mg/l

Wibowo Wouthuyzen Mayo WoutMayo

Tw18 0.545794 1.313813 0.2582441 0.19073333

Tw19 0.621076 1.421719 0.2658395 0.19146667

Tw20 0.722149 1.3282 0.2592568 0.19083111

Minimum 0.487938 1.134347 0.2456117 0.18951368

Maksimum 0.722149 1.654935 0.2822554 0.19305161

Rata-rata 0.585882 1.287914 0.2564211 0.19055733

Stdev 0.058574 0.109207 0.007687 0.00074217

Bila dilihat pada Tabel 3 ternyata nilai konsentrasi klorofil-a di ketiga Danau

nampak bervariasi. Nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algorithma

Wouthuyzen (1991) relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan algorithma

Wibowo et.al (1994) dan algorithma Mayo et.al (1995), namun apabila dilihat

dari kenampakan spektral dari ketiga citra hasil olahan memiliki kemiripan pola.

Pola penampakan spektral yang setelah diklasifikasikan kedalam bentuk peta

sebaran klorofil-a ditampilkan pada Gambar 6 d, e, f. Konsentrasi tinggi dominan

diperlihatkan pada perairan Danau Matano tersebar di pinggiran Danau dengan

ditunjukkan warna hijau muda dan agak kekuning-kuningan menurun berangsur-

angsur hingga biru muda ke arah tengah Danau. Di perairan Danau Mahalona

dominan rata-rata tinggi ditunjukkan dengan warna hijau muda dan di perairan

Danau Towuti dominan konsentrasinya rendah ditunjukkan dengan warna biru

muda, namun dipinggiran Danau dan ke arah outlet dominan tinggi ditunjukkan

dengan warna hijau muda dan kuning.

Ketidaksamaan nilai angka dijital dari pola sebaran klorofil-a yang diperoleh

melalui hasil perhitungan ketiga metode ini disebabkan karena tiap metode

menggunakan kanal yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan nilai

konsentrasi klorofil-a yang berbeda pula (Gambar 7a). Dalam perbedaan nilai ini,

kemudian dibuat simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dari ketiga model

algoritma tersebut. Simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dilakukan dengan

pengambilan sampel (angka dijital) pada objek titik-titik pengamatan dan

diantara ketiga algorithma tersebut kemudian dibuat persamaan regresinya.

(Gambar 7b) memperlihatkan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi

kanal-kanal ETM dari model Wibowo et.al dan Wouthuyzen yang

menghasilkan fungsi y = 0,1844 x +1,1799 dan koefesien determinasi (R2) =

0,0098. Selanjutnya (Gambar 7c) memperlihatkan regresi antara perhitungan

reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM model Wouthuyzen (1991) dan Mayo

et.al (1995) yang menghasilkan fungsi y = 0,0704 x +0,1658 dan koefesien

determinasi (R2) = 1. Kemudian (Gambar 7d) memperlihatkan regresi antara

perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model Mayo et.al

(1995) dan Wibowo et.al (1994) yang menghasilkan fungsi y = 0,7536 x +0,3926

dan koefesien determinasi (R2) = 0,0098.

Page 65: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 57

(a) Nilai Klorofil-a: Wibowo et.al,

Wouthuyzen dan Mayo et.al

(b) Regresi antara Wibowo et.al dan

Wouthuyzen

(c) Regresi antara Wouthuyzen dan Mayo

et.al

(d) Regresi antara Mayo et.al dan

Wibowo et.al

Gambar 7. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dan bentuk regresi antara

perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM dari model algoritma

Wibowo et.al, Wouthuyzen, dan Mayo et.al.

Dari ketiga persamaan regresi yang ditampilkan kita dapat memilih persamaan-

persamaan yang relatif setara dengan ketiga model yang dihasilkan, sehingga

persamaan tersebut mempunyai nilai yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk

penelitian yang berkelanjutan. Apabila dicermati ternyata hasil penurunan

algoritma dengan cara menurunkan persamaan regresi antara perhitungan

reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM yang paling baik adalah

regresi antara perhitungan model Wouthuyzen dan Mayo t.al dengan perolehan

fungsinya, yaitu: y = 0,0704 x + 0,1658 dengan koefesien determinasinya (R2) =

1. Kedua persamaan algorithma dari Wouthuyzen dan Mayo et.al menunjukkan

hasil yang cukup signifikan karena mempunyai koefesiannya R2=1 sehingga

keduanya setara dan dapat dipakai untuk ekstraksi informasi konsentrasi

klorofil-a yang berkelanjutan. Oleh karena itu, persamaan regresi tersebut bisa

kita pakai untuk ekstraksi informasi klorofil-a berkelanjutan yang mana kita sebut

persamaan baru tersebut adalah ”WoutMayo” (Wouthuyzen dan Mayo et.al) :

y = 0.1844x + 1.1799 R² = 0.0098

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Wo

uth

u

Wibowo

Persamaan Regresi

Wibowo vs Wouthu

y = 0.0704x + 0.1658 R² = 1

0.24

0.25

0.26

0.27

0.28

0.29

0 0.5 1 1.5 2

May

o

Wouthu

Persamaan Regresi

Wouthu vs Mayo

y = 0.7536x + 0.3926 R² = 0.0098

0

0.2

0.4

0.6

0.8

0.24 0.26 0.28 0.3

Wib

ow

o

Mayo

Persamaan Regresi

Mayo vs Wibowo

Page 66: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

58 Nana Suwargana

Y=0,0704 (TM2/TM1) + 0,1658 (11)

Di mana: TM1 = kanal biru,

TM2 = kanal hijau yang telah terkoreksi atmosfir (telah dijelaskan

pada pengolahan awal).

Hasil perhitungan nilai onsentrasi klorofil-a untuk ketiga model Wouthuyzen, Mayo

dan WoutMayo pengalami perbedaan. Konsentrasi Wouthuyzen nampak lebih

tinggi dari pada Mayo dan WoutMayo (Gambar 8a). Ini disebabkan karena

komposisi kanal untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal biru

dan hijau yaitu ratio kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo

menggunakan input tiga kanal biru, hijau dan merah yaitu ratio kanal TM1,

TM2 dan TM3.

(a) Nilai Klorofil-a Wouthuyzen, Mayo

dan WoutMayo

(b) Regresi antara Mayo dan

WoutMayo

(c) Histogram Konsentransi Klorofil-a

Perhitungan WoutMayo

(d) Peta Sebaran Klorofil-a Hasil

Klasifikasi Metode WoutMayo

Gambar 8. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dari WoutMayo, (b). bentuk regresi

antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model algoritma Mayo

dan WoutMayo, (c). Histogram konsentrasi klorofil-a WoutMayo, dan (d).Peta sebaran

klorofil-a hasil klasifikasi WoutMayo

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

D1

D4

D7

D10

D13 B

1

B4

M1

M4

M7

M10

M13

M16

M19

Klo

rofi

l mg/

l

Pengukuran Konsentrasi Klorofil

Wouthu Mayo WoutMayo

y = 0.0965x + 0.1658 R² = 1

0.189

0.1895

0.19

0.1905

0.191

0.1915

0.192

0.1925

0.193

0.1935

0.24 0.26 0.28 0.3

Wo

utM

ayo

Mayo

Persamaan Regresi Mayo vs WoutMayo

Page 67: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 59

Kemudian pola sebaran klorofil-a yang diperoleh dari algorithma WoutMayo dan

Mayo et.al (1995) nampak setara, artinya kedua model algorithma dari hasil

penurunannya membentuk suatu garis yang parallel (Gambar 8a) dan kalau

dilihat dari titik-titik lokasi pengamatan dari kedua model algorithma tersebut

diperoleh suatu persamaan regresi yang membentuk suatu persamaan garis lurus

dengan nilai persamaan y=0,0965x + 0,1658 dan nilai koefesien determinasinya

R2=1 diperlihatkan pada (Gambar 8.b).

Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algoritma WoutMayo

menghasilkan kisaran nilai klorofil-a yang bervariasi antara 0.1895 – 0.1930 mg/l,

dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara

0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata 0.1905 mg/l, StDev = 0.0007. Seluruh

frekwensi konsentrasi klorofil-a ditampilkan dalam bentuk histogram (Gambar

8c). Hasil klasifikasi dibuat menjadi 6 kelas, yakni kelas 1(nilai nol), kelas 2

(0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913 mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l),

kelas 6 (0.1931 mg/l) ditunjukkan pada (Gambar 8d).

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Konsentrasi klorofil-a di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti)

dengan menggunakan tiga model algoritma nilainya bervariasi. Konsentrasi

klorofil-a yang relatif tinggi diperoleh dengan menggunakan algorithma

Wouthuyzen (1991) jika dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al

(1994) dan algoritma Mayo et.al (1995). Ini disebabkan karena komposisi

band untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal yaitu ratio

kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo menggunakan input

ratio kanal TM1, TM2 dan TM3. Namun ketiganya memiliki kemiripan

pola dimana konsentrasi klorofil-a yang tinggi dihasilkan pada perairan

sekitar pinggiran danau dan disekitar outlet. Konsentrasi akan menurun

berangsur-angsur dari inlet ke tengah danau.

2. Hasil menurunkan persamaan regresi dari model Wouthuyzen (1991)

dan Mayo et.al (1995) diperoleh bentuk persamaan regresi baru

WoutMayo Y = 0,0704 X +0,1658 dengan koefesien determinasi (R2)

= 1. Dari persamaan algoritma ini menunjukkan hasil yang cukup

signifikan dan setara untuk dipakai mengekstraksi informasi konsentrasi

klorofil-a berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan referensi dari model

Wibowo,Wouthuyzen dan Mayo, dapat dibuat model WoutMayo dengan

tujuan utama adalah untuk mengembangkan model lain dari deteksi dan

ekstraksi informasi konsentrasi klorofil-a di perairan danau menggunakan

data satelit penginderaan jauh.

Page 68: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

60 Nana Suwargana

3. Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui hasil perhitungan metode

WoutMayo dan metode Mayo et.al (1995) nampak menunjukkan pola

kesetaraan yang sama dengan nilai keduanya paralel. Estimasi kandungan

klorofil-a menggunakan algoritma WoutMayo diperoleh kisaran nilai

klorofil-a antara 0.1895 – 0.1930 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi

oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata

0.1905 mg/l. Hasil pengkelasan algoritma WouthMayo dikelaskan menjadi:

kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913

mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l), kelas 6 (0.1931 mg/l).

Disarankan agar penelitian lanjutan dengan melakukan uji lapangan untuk

menghasilkan algoritma klorofil-a yang valid khusus untuk perairan Danau

(Matano, Mahalona dan Towuti), mengingat belum adanya algoritmma yang

dikembangkan untuk perairan tersebut dengan menggunakan data penginderaan

jauh. Kemudian diharapkan dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan

pengelolaan danau berkelanjutan (Memanfaatkan Danau dengan memperhatikan

kelestariannya).

DAFTAR REFERENSI

Balasaheb Jamadar., Purandara, B.K. “Review on Study of Lake Water Using Multi Sensor

Remote Sensing Data”. Department of PG Studies-Visveswaraiah Technological

University Belgaum, Karnataka India 2 Scientists, Regional Centre, National

Institute of Hydrology, Hanuman Nagar, Belgaum, Karnataka, India-590 00. IOSR

Journal of Mechanical and Civil Engineering (IOSR-JMCE) e-ISSN: 2278-1684,p-

ISSN: 2320-334X, Volume 6, Issue 5 (May. - Jun. 2013), PP 50-52

www.iosrjournals.org

Brezonik et al. (2002), Satellite and GIS Tools to Assess Lake Quality”, Water Resources

Center, University of Minnesota.

Butler, MJA,M.C Moucot,V Barale and Le Blanc 1988. The Aplication of Remote

Sensing Technology to Marine Fisheries An Introductory manual FAO. New York.

165p.

Claire G. Griffin. ”Remote sensing of chlorophyll-a in texas estuary” CE 394K.3. GIS in

Water Resources.Fall 2010.

Halida et.al (2010). Pengukuran Konsentrasi Klorofil-a dengan Pengolahan Citra

Landsatm ETM-7 dan Uji Laboratorium di Perairan Selat Madeura Bagian Barat.

Jurnal Kelautan, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : 1907-9931

Mayo.M, Gitelson.A, Yacobi.Y.Z and Ben-Avraham.Z (1995).Chlorophyll

Distribution in Lake Kinneret Determined from Landsat Thematic Mapper Data.

Departemen of Geophysics and Planetary Sciences. Tel-Aviv University. Israel.

INT.J.REMOTE SENSING, 1995, VOL. 16.No1 I.175-182. Internotionoi Journal of

Remote Sensing 12,2045-2063.

Kneubuhler.M. et.al (2007).Mapping Chlorophyll-a in Lake Kivu with Remote Sensing

Methods. Remote Sensing Laboratories (RSL), University of Zürich,

Winterthurerstrasse 190, 8057 Zürich, Switzerland. Proc. ‘Envisat Symposium 2007’,

Montreux, Switzerland 23–27 April 2007 (ESA SP-636, July 2007)

Page 69: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 61

Luoheng Han.. “Mapping Chlorophyll Using Landsat ETM+ Data”. Department of

Geography University of Alabama. (2002).

O’ Relly, J. E., S. Maritorena, B.G. Mitchell, D.A. Siegel, K.L. Carder. S.A. Garver, M

Kahru, and C. Mc Clain , 1998, “ Ocean Color Algorithm for Sea Wifs” J.

Ceophysical Res. 103. 24, 937 – 24, 953.

Pentury.R dan Waas.H.J.D. Penentuan Konsentrasi Klorofil-a Perairan Teluk Kayeli

Pulau Buru Menggunakan Metode Inderaja. Jurusan Manajemen Sumberdaya

Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura . Jurnal TRITON

Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009.hal 60-66.

Risdianto R .K. 1995. Algorithm Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan

Data Landsat-TM Untuk Barat. Skripsi Fakultas Perikanan IPB 106

hal.Pemetaan Horizontal Produktivitas Primer di Perairan Selatan Jawa

Sebastiá1, M.T, J. Estornell2, M. Rodilla1, J. Martí1 and S. Falco1. “Estimation of

Chlorophyll-a A Quickbird “.Revista de Teledetección (2012) 37, 23-33. The

Valencian Gulf (Mediterranean Sea) Spain (2012).

Yuanzhi Zhang1, Hui Lin, Chuqun Chen, Liding Chen, Bing Zhang and Anatoly A

Gitelson. ”Estimation of Chlorophyll-a Concentration in Estuarine Waters:

Case Study of The Pearl River Estuary, South China Sea“. Enviromental Research

Letters . Environ. Res. Lett. 6 (2011) 024016.(9pp). Published 1 June 201.

Page 70: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

62 Nana Suwargana

BIOGRAFI PENULIS

Drs. Nana Suwargana, M.Si.

Drs. Nana Suwargana, M.Si. dilahirkan di Banjar pada

tanggal 09 Maret 1955. Peneliti Madya bidang

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh LAPAN. Gelar

Magister penulis diperoleh dari pendidikan Ilmu Tanah,

Pascasarjana, IPB (2002). Gelar sarjana diraih tahun

1982 di bidang Fisika, Unpad. Gelar spesialis dari Post

Graduate Course: Training “Digitale Verabetung von

Satellitendaten” im Rahmen des Overseses Felowship

Programe, DLR Jerman (1988).

Penelitian yang dilakukan banyak berkaitan dengan penginderaan jauh,

pemantauan dan inventarisasi Sumber Daya Wilayah Pesisir Laut dan Sumber

Wilayah Perairan Darat. Organisasi profesi yang menaungi aktivitasnya adalah

Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Tulisan ilmiahnya antara

lain: Pemantauan Perubahan Tutupan Lahan Pulau Rambut dan Pulau Untung

Jawa di Kepulauan Seribu, Analisis Perubahan Penutup Lahan di Pulau

Karimun Propinsi Kepulauan Riau, Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan

Pesisir Pantai Indah Kapuk Menggunakan Data Satelit Landsat dan Ikonos,

Dampak Musim Hujan Terhadap Pola Sebaran TSM di Danau Limboto

Gorontalo Menggunakan Data Landsat-TM, dan Pemantauan Luas Rawa Pening

Periode 1992, 2001, dan 2006 Berbasis Data Landsat-TM dan Ikonos.

Page 71: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian

di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode

Klasifikasi Kontekstual dari Citra

Landsat-TM dan Aster

Ardhi Arnanto, Westi Utami

Page 72: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

64 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi

PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra

Landsat-TM dan Aster

Ardhi Arnanto

1, Westi Utami

2

1) Plt. Kepala Laboratorium Sistem Informasi Geografi dan Sistem Informasi

Pertanahan STPN 2)

Staf STPN dan Mahasiswa Magister Manajemen Bencana SPS UGM,

Badan Pertanahan Nasional RI

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta 55293 No. Telp. : 0274 587239; No Fax : 0274 587138

Email : 1)

[email protected]

Abstrak

Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan,

terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non

pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri

urban khususnya di Kabupaten Bantul yang terjadi cukup intensif. Berdasarkan

data tahun 2007 luasan sawah di Bantul 16.123 ha sedangkan pada tahun 2009

menjadi 16.046 ha. Hanya kurun waktu 2 tahun telah terjadi alih fungsi lahan

persawahan seluas 77 ha (BPN RI, 2010). Kompetisi lahan yang memang tidak

berimbang memerlukan pengawasan dan pengaturan agar masing-masing

kepentingan dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable). Pelaksanaan

pengawasan yang kurang baik menyebabkan kepentingan untuk mempertahankan

lahan yang menghasilkan pangan menjadi terabaikan. Akibatnya, potensi

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat mungkin terjadi.

Pendaftaran tanah pertanian menjadi salahsatu instrumen penting dalam

administrasi lahan dan dapat dijadikan sebagai alat pengawasan alih fungsi lahan.

Dalam hal ini kebijakan Pemerintah melalui BPN telah memberikan insentif

terhadap lahan pertanian melalui program nasional sertifikasi tanah pertanian

(PRONA). Pelaksanaan pengawasan akan berjalan efektif jika didukung

ketersediaan data spasial yang cepat dan lengkap. Perkembangan teknologi

pemetaan memungkinkan untuk mendapatkan data tersebut, yaitu dengan

teknologi penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan sebuah pendekatan

ekstraksi data citra digital dengan metode contextual and multisource

classification untuk mendapatkan data penggunaan lahan dengan cepat dan

lengkap yang diharapkan dapat mengetahui tingkat ketelitian klasifikasi

penggunaan lahannya. Klasifikasi penggunaan lahan didapatkan dengan

mengekstraksi 2 citra digital multitemporal, yaitu citra digital Landsat TM tahun

1996 dan ASTER tahun 2007. Perhitungan uji ketelitian klasifikasi dilakukan

Page 73: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 65

dengan matrik uji ketelitian untuk mendapatkan nilai ketelitian klasifikasi yang

digunakan sebagai dasar kelayakan pemanfaatan data tersebut. Hasil dari

penelitian ini adalah identifikasi alih fungsi lahan pertanian yang didapatkan

dengan menumpang tindihkan peta penggunaan lahan hasil klasifikasi, yaitu peta

penggunaan lahan tahun 1996 dan peta penggunaan lahan tahun 2007.

Kata kunci: Identifikasi, Lahan Pertanian, PRONA, Contextual and

Multisourcce Classification

Abstract

The consequence of increasing activities in urban area requires more space to

support the activities. Urban area that cannot accomodate its activities, leads the

development of new settlement and infrastructure using land in the peri-urban

areas. Population growth caused by rapid development in Yogyakarta and the

surrounding area makes the differences in interest of the land, especially interest

to agricultural and non-agricultural land. As a consequence, this leads to

intensive agricultural land use change in Bantul District peri-urban areas. The

data shows that agricultural areas in Bantul was 16,123 ha in 2007 and was

16,046 ha in 2009, where agricultural areas changed 77 ha (BPN RI, 2010). A

lack of proportion on the land competition betwen agricultural and non-

agricultural sector needs monitoring and regulation to accommodate all interests

fulfilled sustainably. An undeveloped monitoring, will cause the preservation of

food producing area decreased, and consequently it will lead to the declining of

food security. Agricultural land administration/registration will become one of

the important instruments to monitor landuse change. In this sense, Indonesian

Government’s policy via BPN gives an insentif to the people who have

agricultural land through the national program on land administration, called

PRONA. Monitoring can be implemented efectively if it is supported by the

availability of a quick and complete system to provide the spatial data. The

development of mapping technology gives opportunity to provide data that we

need quickly and completely using remote sensing technology. This research

applied contextual and multisource classification to extract quickly land use

information from digital satelite image which is expected to determine the level of

land use classification accuracy. Land use classification was obtained by

extracting 2 multitemporal digital images, Landsat TM that recorded in 1996 and

ASTER that recorded in 2007. Classification accuracy test calculated by

accuracy test matrix to obtain a classification accuracy values were used as the

basis of the feasibility data. The research results is identification of agriculture

land use changes that obtained by overlaying betwen land use maps in 1996 and

land use map in 2007.

Keywords: Identification, Agricultural land, PRONA, Contextual and

Multisource Classification

Page 74: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

66 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

1. PENDAHULUAN

Kondisi infrastruktur perkotaan yang relatif lebih baik dari daerah perdesaan

mendorong berbagai kegiatan ekonomi tumbuh di daerah ini. Pusat perkantoran,

perdagangan, industri, maupun jasa tumbuh dengan pesat. Kesempatan kerja yang

tercipta menjadi magnet bagi penduduk dari luar kota untuk mendapatkan

pekerjaan di daerah perkotaan. Hal ini membawa permasalahan demografi di

daerah perkotaan yaitu pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi

tinggi.Kondisitersebut tentu sajamembawa dampak negatif bagi perkotaan,

munculnya permukiman kumuh tidak akan terhindarkan lagi karena kebutuhan

ruang yang tidak terpenuhi. Keberadaan lingkungan kumuh membawa beberapa

aspek negatif terhadap lingkungan kota, baik aspek spasial, lingkungan biotik,

lingkungan abiotik, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan lingkungan

budaya. Bertambahnya jumlah penduduk juga memicu meningkatnya kegiatan

penduduk karena tuntutan kehidupan masyarakat.

Keterbatasan ruang menyebabkan kebutuhan ruang harus dipenuhi oleh daerah-

daerah yang ada di pinggiran kota (peri urban). Hal ini menyebabkan alih fungsi

lahan-lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah tersebut terjadi secara

intensif. Menurut data Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)

tahun 2007, lahan pertanian di Pulau Jawa masih sekitar 4,1 juta hektar, namun

berdasarkan audit lahan yang dilakukan Kementan tahun 2010, didapatkan data

yang sudah berubah drastis menjadi 3,5 juta hektar.

Yogyakarta sebagai salahsatu kota di Pulau Jawa juga mengalami permasalahan

alih fungsi lahan pertanian. Kota dengan basis ekonomi bertumpu pada

pendidikan dan pariwisata tumbuh dengan pesat seiring peningkatan infrastruktur.

Di kota pendidikan ini terdapat 2872 institusi pendidikan dari tingkat sekolah

dasar hingga perguruan tinggi (BPS, 2010). Sebagai daerah tujuan pariwisata

kedua di Indonesia setelah Bali dengan obyek wisata 23 tempat baik berupa

wisata alam, wisata pendidikan maupun wisata budaya, Yogyakarta mempunyai

magnet tersendiri bagi wisatawan asing maupun domestik sehingga setiap tahun

jumlah pengunjung selalu meningkat (Profil Kota Yogyakarta, 2006).

Peningkatan aktivitas ini tentu membawa konsekuensi kebutuhan ruang untuk

mendukung kegiatan tersebut. Ruang di dalam kota yang sudah tidak mampu

menampung menyebabkan pembangunan permukiman dan sarana kegiatan baru

mengambil lahan pada daerah yang masih kosong di pinggiran kota (peri urban).

Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan,

terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non

pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri

urban. Trend perluasan kebutuhan ruang kota terjadi ke arah utara yaitu Sleman

dan ke selatan yaitu Kabupaten Bantul. Alih Fungsi lahan yang terjadi di Bantul

cukup intensif, kurang lebih 38 Ha/Th (BPN RI, 2010). Adanya kebijakan yang

menjadikan kawasan ring road selatan sebagai kawasan perkembangan kota

Page 75: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 67

menuju sektor perdagangan dan jasa, tentu sangat berpengaruh terhadap kawasan

peri urban.

Berdasarkan data yang ada tingkat produksi pangan cenderung berkurang akibat

laju alih fungsi lahan sawah. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2004 hingga 2006

produksi padi mengalami penurunan dari produksi 154.443 ton pada tahun 2004

menjadi 145.106 ton pada tahun 2006 (BPS, 2006). Dampak lebih lanjut dari alih

fungsi lahan ke non pertanian akan mengancam persediaan bahan pangan di

wilayah Bantul, lebihdari setengah luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan

kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan

didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada.

Pengendalian alih fungsi lahan secara teoritis dapat dilakukan dengan

memberikan insentif yang besar kepada petani agar mereka tidak menjual atau

mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Pendekatan ini membutuhkan dana yang

sangat besar karena perbandingan landrent untuk penggunaan pertanian dan non

pertanian sekitar 1 : 500 dan 1 : 622 untuk kawasan industri dan kawasan

perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Model pendekatan seperti ini tidak

digunakan di Indonesia, pendekatan pengendalian yang digunakan baru sebatas

pendekatan hukum (law enforcement), termasuk peraturan mengenai pelaksanaan

sertifikasi lahan-lahan pertanian.

Kebutuhan data spasial sebagai sarana administrasi, pengawasan (monitoring),

dan pengendalian dapat memanfaatkan kemajuan teknologi pemetaan yang telah

berkembang dengan pesat. Data yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan

masa lalu dengan aktual oleh masyarakat dapat diperoleh dengan relatif cepat dan

lengkap melalui pengolahan data digital penginderaan jauh. Pemanfaatan citra

satelit untuk pengelolaan sumberdaya alam sudah banyak dilakukan di Indonesia.

Citra Landsat TM (Thematic Mapper) dan ASTER merupakan salahsatu citra

multispekstral yang biasa digunakan di Indonesia dalam kegiatan pemetaan

penggunaan lahan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi digital

penginderaan jauh memberikan keuntungan dalam memperoleh data secara cepat

dan efisien. Projo Danoedoro di tahun 2003 memanfaatkan citra Landsat TM dan

peta topografi skala 1 : 50.000 untuk memetakan penggunaan tanah di daerah

Unggaran, Kabupaten Semarang. Informasi morfologi lahan digunakan sebagai

data tambahan dalam mengklasifikasi penggunaan lahan sehingga diharapkan

dapat memberikan informasi penggunaan lahan yang lebih akurat. Pemanfaatan

data citra resolusi besar (hight resolution) juga semakin sering digunakan untuk

pemetaan penggunaan lahan skala besar, baik itu dalam tingkatan penelitian

maupun praktisi. Penelitian yang dilakukan oleh Melania Swetika Rini pada

tahun 2010 memanfaatkan data citra quickbird untuk memetakan penggunaan

lahan perkotaan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta.

Beberapa penelitian tersebut menjadi salahsatu referensi dalam penelitian ini

untuk mengembangkan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh digital dalam

Page 76: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

68 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

bidang pertanahan, terutama mengetahui ketelitian hasil klasifikasi kontekstual

untuk menghasilkan informasi penggunaan lahan. Hasil klasifikasi ini diharapkan

mampu menjadi salah satu sumber data untuk menganalisis alih fungsi lahan

pertanian di daerah-daerah yang pernah menjadi lokasi PRONA.

2. METODE

2.1. Area Studi

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan

Kota Yogyakarta dan menjadi daerah perkembangan kota (urban sprawl). Secara

geografis Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" hingga 08° 00' 27"

Lintang Selatan dan 110° 12' 34" hingga 110° 31' 08" Bujur Timur. Luas wilayah

Kabupaten Bantul 516,13 km2, sekitar 15,90% dari luas wilayah Propinsi DIY.

Secara administratif Kabupaten Bantul dibagi dalam 17 kecamatan terdiri dari 75

desa yang dibagi lagi dalam 933 pedukuhan. Selopamioro yang terletak di

Kecamatan Imogiri merupakan desa terluas di Kabupaten Bantul dengan luas

20,80 km2 atau sekitar 4,03% dari luas Kabupaten Bantul.

Secara fisik, Kabupaten Bantul dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu sungai Oyo

di sebelah timur dan sungai Progo di sebelah barat yang membatasi, peta dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Bantul

Page 77: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 69

2.2. Data Satelit

Citra Landsat TM mempunyai tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk

memaksimalkan kemampuan analisis objek (terutama vegetasi) dalam berbagai

bidang terapan. Citra Landsat TM dirancang dengan resolusi spasial 30 meter

kecuali untuk saluran inframerah termal sebesar 120 meter. Namun sejak tahun

2004 sensor Landsat TM mengalami gangguan sehingga data yang dihasilkan

tidak sempurna, timbul baris-baris data yang hilang (strip line). Di bawah ini

disajikan tujuh saluran spektral citra Landsat TM beserta kemampuan analisisnya

(John R. Jensen, 1996).

Tabel 1. Citra Landsat TM dan Kemampuan Analisisnya

SALURAN KEMAMPUAN ANALISIS

Saluran satu

(0,45 μm – 0,52 μm)

Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan mendukung

analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

Saluran dua

(0,52 μm – 0,60 μm)

Mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau

yang terletak diantara dua saluran spektral serapan khlorofil.

Respon pada saluran ini menekankan pada hasil pembedaan

vegetasi dan penilaian kesuburan.

Saluran tiga

(0,63 μm – 0,69 μm)

Merupakan saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi.

Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan khlorofil

dan memperkuat kontras antara kenampakkan vegetasi dan

bukan vegetsi juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi.

Saluran empat

(0,76 μm – 0,90 μm)

Saluran yang peka terhadap vegetasi sehingga membantu

identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman

– tanah dan tanaman – air.

Saluran lima (1,55

μm – 1,75 μm)

Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kondisi

air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah.

Saluran tujuh (2,08

μm – 2,35 μm) Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan.

Saluran enam

(10,40 μm – 12,50

μm)

Saluran inframerah termal yang dikenal bermanfaat untuk

klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisah

kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang

berhubungan dengan panas.

Sumber : John R. Jensen, 1996

Sensor ASTER dikembangkan untuk monitoring permukaan bumi oleh Ministry

of Economy, Trade and Industry, Jepang, yang diluncurkan oleh platform

Amerika yang bernama TERRA, diluncurkan pada Desember 1999 mengelilingi

bumi dengan orbit polar, selaras matahari (sunsyncronous), dengan ketinggian

705 km di atas ekuator setiap jam 10.30 pagi. Lintasan selama 99 menit dengan

pengulangan waktu rekaman pada tempat yang sama setiap 16 hari. Sejak

diluncurkan sensor ini telah mengobservasi permukaan bumi dengan skala global

sebanyak 500 ribu citra (60 km x 60 km per citra). Sensor ini mengobservasi

permukaan bumi dari ketinggian 705 km dengan frekuensi band : Visible dan

Near Infrared - VNIR (tiga band + satu band arah belakang (backward) untuk

data stereoskopik dengan resolusi spatial 15 m), Short Wave Infrared - SWIR

Page 78: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

70 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

(enam band dengan resolusi spatial 30 m) dan Thermal Infrared - TIR (lima band

dengan resolusi spatial 90m), total berjumlah 14 band. Sensor ASTER beroperasi

atas kerjasama NASA dan ERSDAC. Sensor ASTER merupakan peningkatan

dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1 (Abrams, M.,

et. al., 1999). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Sensor ASTER

Sumber : Abrams, M., et. al., 1999.

2.3. Klasifikasi Pendekatan Kontekstual

Teknik klasifikasi digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah contextual

and multisource classification, yaitu salah satu teknik ekstraksi data dalam

penelitian penginderaan jauh digital. Metode ini mendasarkan pada beberapa

sumber data sebagai dasar pengklasifikasian penggunaan lahan pada data citra

digital, mencakup klasifikasi multispektral sebagai teknik ekstraksi data tutupan

lahan (landcover). Pengklasifikasian kembali hasil ektraksi dengan klasifikasi

multispektral dibantu dengan data tambahan (ancillary data) sehingga

mendapatkan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi multispektral dengan

metode supervised mencakup langkah pemilihan ROI (region of interest),

perhitungan algoritma klasifikasi, dan pengklusteran nilai piksel. Data yang akan

dicari adalah unit-unit penggunaan lahan sesuai dengan tahun perekaman.

Algoritma maximum likelihood digunakan dalam klasifikasi multispektral ini

karena algoritma ini dipandang sebagai algoritma yang paling bagus (Danoedoro,

1996). Teknik klasifikasi multispektral ini dipandang hanya mampu

mengklasifikasikan tutupan lahan, sehingga harus dibutuhkan variabel lain untuk

bisa mengklasifikasikan penggunaan lahan dengan data citra digital.

Page 79: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 71

Pengunaan lahan sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi dari suatu wilayah,

seperti bentuk lahan, kelerengan, dan ketinggian (Danoedoro, 2003). Penelitian

ini menggunakan data tambahan kemiringan lereng sebagai dasar

pengklasifikasian kembali tutupan lahan menjadi penggunaan lahan. Beberapa

lokasi sering menunjukkan kenampakan tutupan lahan tanah terbuka, hal ini

ditunjukkan dengan nilai spektral yang sama namun satu obyek adalah

persawahan yang sedang bera dan obyek yang lain memang benar-benar obyek

tanah terbuka. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan respon

spektral sebagai data tunggal untuk menentukan penggunaan lahan dapat

dikurangi dengan adanya data tambahan yang secara kontekstual mempengaruhi

penggunaan lahan di wilayah tersebut, seperti kondisi morfologi.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Page 80: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

72 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

Data morfologi, dalam hal ini adalah data kelerengan membantu dalam

mengklasifikasikan kembali tutupan lahan yang sama tersebut menjadi kelas

penggunaan lahan yang berbeda.

2.4 Uji Ketelitian Interpretasi

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan untuk keperluan uji ketelitian

interpretasi citra digital adalah proporsional purposive sampling. Teknik ini

digunakan untuk memperoleh sampel yang proporsional untuk masing-masing

unit penggunaan lahan. Pengambilan proporsi masing-masing unit penggunaan

lahan didasarkan pada tingkat kesulitan klasifikasi digital dan luasannya yang

dapat diketahui setelah dilakukan klasifikasi citra secara digital. Lokasi

pengambilan sampel ditentukan secara purposive (bertujuan), yaitu pada lokasi-

lokasi yang mudah dijangkau untuk memudahkan pengambilan sampel.

Tabel 3.Perhitungan Jumlah Sampel Uji Ketelitian

No Kategori

(Bobot)

Penggunaan

Lahan

Jumlah

PL x

Bobot

Persentase

Sampel

Persentase PL

per Kategori

Jumlah

Sampel

1 Mudah

(1)

Hutan

1 x 2 = 2

2

15× 100%

= 13,33 %= 𝟏𝟑 %

229,36

388,25× 100 %

= 𝟓𝟗%

5

Kebun

158,90

388,25× 100 %

= 𝟒𝟏%

3

2 Sedang

(2)

Persawahan

2 x 2 = 4

4

15× 100%

= 26,66 %= 𝟐𝟕 %

2695,23

2834,55× 100 % = 𝟗𝟓%

15

Pertanian

Tanah Kering

Semusim

139,32

2834,55× 100 % = 𝟓%

1

3 Sulit

(3)

Permukiman

Perdesaan

3 x 3 = 9

9

15× 100%

= 𝟔𝟎 %

2992,64

5716,69× 100 % = 𝟓𝟐%

19

Permukiman

Perkotaan

2484,30

5716,69× 100 % = 𝟒𝟑%

16

Tanah

Terbuka

239,75

5716,69× 100 % = 𝟒%

2

Jumlah 15 100 % 60

Keterangan: PL = Penggunaan Lahan

PS = Persentase Sampel

PPK = Persentase Penggunaan Lahan per Kategori

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝐿 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙(60) × 𝑃𝑆 × 𝑃𝑃𝐾

Page 81: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 73

Perhitungan persentase proporsi sampel pada tiap kategori tingkat kesulitan

klasifikasi citra digital dilakukan dengan memberikan bobot sesuai dengan

tingkat kesulitannya. Kategori mudah diberi bobot 1, kategori sedang diberi bobot

2, dan kategori sulit diberi bobot 3. Nilai bobot tingkat kesulitan akan dikalikan

dengan jumlah penggunaan lahan yang termasuk dalam setiap kategori. Proporsi

jumlah sampel pada tiap penggunaan lahan mempertimbangkan persentase luasan

penggunaan lahan tersebut pada masing-masing kategori. Tabel 3 merincikan

perhitungan mengenai pembagian sampel secara proporsional.

Setelah diketahui proporsi jumlah sampel untuk masing-masing bentuk

penggunaan lahan selanjutnya untuk menentukan unit penggunaan lahan yang

akan dijadikan sampel dilakukan dengan cara purposive (bertujuan). Tujuan yang

dimaksud adalah memudahkan pemilihan titik sampel yang akan dicek di

lapangan. Pertimbangannya adalah objek-objek yang mempunyai klasifikasi

penggunaan lahan yang sama dan dipilih objek yang mudah dijangkau

(akesibilitasnya baik). Pertimbangan aksesibilitas digunakan dalam penentuan

lokasi-lokasi pengambilan sampel, sedangkan distribusi sampel pada di wilayah

peri urban mempertimbangkan tingkat keterwakilan dari masing-masing zona

wilayah peri urban. Hal ini dimaksudkan agar setiap sampel memenuhi

keterwakilan karakteritik dari zona wilayah peri urban.

Pengambilan sampel dilapangan menggunakan metode area sampling karena data

hasil klasifikasi merupakan data piksel. Luas wilayah satu lokasi sampel minimal

seluas 1 piksel sesuai dengan resolusi spasialnya. Resolusi spasial citra Landsat

TM adalah 30 m maka minimal luas pengambilan sampelnya 900 m2

dan

resolusi spasial citra ASTER adalah 15 m maka minimal luas pengambilan

sampelnya 225 m2. Hasil pengukuran seluruh sampel dianalisis confusion matrix

calculation dengan menumpangsusunkan peta sampel dan citra hasil klasifikasi.

Hasil tumpangsusun tersebut akan didapatkan data matrik jumlah kesesuaian

klasifikasi piksel dengan data sampel lapangan sehingga didapatkan prosentase

kesesuaian yang disebut dengan nilai tingkat ketelitian interpretasi.

Uji ketelitian hasil klasifikasi citra Landsat TM tahun 1996 menunjukan bahwa

ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 89,57% (lihat tabel 4).

Berdasarkan pendapat Jensen (1996) suatu hasil interpretasi dapat digunakan

keperluan analisis jika tingkat ketelitiannya mencapai minimal 85%, ini berarti

hasil klasifikasi citra Landsat TM dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria,

sehingga dapat diterima ketelitiannya.

Uji ketelitian hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2007 menunjukan bahwa

ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 92,20% (lihat tabel 5).

Hal ini berarti data hasil dari klasifikasi digital citra ASTER dapat digunakan

untuk analisis lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi pada citra ASTER mempunyai

nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan ketelitian klasifikasi yang

dihasilkan oleh citra Landsat TM, hal ini disebabkan oleh (1) citra ASTER

mempunyai resolusi spasial lebih baik dari pada citra Landsat TM yaitu 15 m, (2)

Page 82: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

74 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

citra ASTER tersebut direkam pada tahun 2007 sehingga lebih mendekati kondisi

aktual dilapangan.

Tabel 4. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra Landsat TM Tahun 1996

PENGGUNAAN

LAHAN

Hasil Cek Lapangan (piksel) Jumlah

Ketelitian

(%) TT PPk PPd PTKS P K H

Co

nte

xtu

al

an

d M

ult

isou

rce

Cla

ssif

ica

tio

n(p

ikse

l) TT 95 8 0 4 0 0 0 107 88,79

PPk 2 49 1 0 2 0 0 54 90,74

PPd 0 5 90 5 1 0 0 101 89,11

PTKS 2 0 0 10 0 0 0 12 83,33

P 0 2 1 1 42 0 0 46 91,30

K 0 0 0 0 0 4 0 4 100,00

H 0 0 0 0 0 0 2 2 100,00

JUMLAH 99 64 92 20 45 4 2 326 89,57

Keterangan:TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman

Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan

H (Hutan)

Tabel 5. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra ASTER Tahun 2007

PENGGUNAAN

LAHAN

Hasil Cek Lapangan (piksel) Jumlah

Ketelitian

(%) TT PPk PPd PTKS P K H

Co

nte

xtu

al

an

d M

ult

isou

rce

Cla

ssif

ica

tio

n (

pik

sel)

TT 386 26 1 0 0 0 0 413 93,46

PPk 22 219 0 0 0 0 0 241 90,87

PPd 0 10 254 9 1 0 0 274 92,70

PTKS 0 0 2 26 0 0 0 28 92,86

P 0 0 11 0 169 0 0 180 93,89

K 0 0 0 7 0 44 0 51 86,27

H 6 0 1 1 0 0 48 56 85,71

JUMLAH 414 255 269 43 170 44 48 1243 92,20

Keterangan: TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman

Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan

H (Hutan)

3. ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI TANAH LOKASI PRONA

Percepatan pendaftaran tanah melalui prona/prodamerupakan salahsatu upaya

pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berperan secara jelas untuk

terciptanya tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan, menjamin

keberlanjutan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara untuk

meminimalkan perkara, sengketa dan konflik pertanahan. Pemerintah Kabupaten

Page 83: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 75

Bantul melaksanakan beberapa program percepatan pendaftaran tanah melalui

prona/proda di beberapa desa yang termasuk dalam wilayah peri urban, seperti

Bangunharjo, Potorono, Tamanan, Singosaren, dan Wirokerten. Luas sertifikasi

prona/proda di wilayah desa Bangunharjo 103529,37 m2, Potorono seluas

318456,64 m2, Singosaren seluas 490440,50 m

2, Tamanan seluas 652592,42 m

2,

dan Wirokerten seluas 488659,85 m2, seperti yang terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Peta Lokasi Prona di Kabupaten Bantul

Penggunaan lahan yang disertifikasi melalui program prona/proda pada umumnya

adalah permukiman perdesaan dan persawahan yang mengelompok pada satu

lokasi. Dinamika wilayah peri urban akibat pengaruh Kota Yogyakarta

membawa konsekuensi terhadap penggunaan lahan selama tahun 1996–2007

mengalami perubahan. Permukiman perdesaan di setiap desa mengalami

perkembangan menjadi permukiman perkotaan, hal ini berarti terjadi proses

densifikasi permukiman perdesaan sehingga menjadi permukiman perkotaan.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa proses densifikasi banyak dilakukan oleh

individu terjadi akibat jual beli tanah dan proses pemecahan waris. Proses alih

fungsi lahan pertanian berupa lahan persawahan juga banyak terjadi, persawahan

dialihfungsikan menjadi permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan.

Proses alih fungsi lahan persawahan menjadi pemukiman pada umumnya

dilakukan oleh para pengembang.

Upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang

dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul salahsatunya melalui

Page 84: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

76 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

program sertifikasi lahan pertanian. Pemberian sertifikat hak atas tanah kepada

penduduk diikuti dengan syarat bahwa tanah tersebut minimal 5 tahun tidak akan

dialihfungsikan untuk peruntukan non pertanian. Hal ini diharapkan akan mampu

menekan alih fungsi lahan pertanian di wilayah ini. Data mengenai luas lahan

pertanian dan luas alih fungsi lahan pertanian pada tanah-tanah yang telah

diberikan sertifikat hak atas tanah dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian Bersertifikat Hak Atas Tanah

Berdasarkan Citra Tahun 2011

Desa Luas Lahan Pertanian

Bersertifikat

Luas Alih Fungsi

Lahan Th 1996 - 2007

Bangunharjo 88184,88 4596,66

Potorono 120267,28 12401,28

Potorono 19658,82 141,49

Singosaren 297498,18 79242,53

Tamanan 107136,95 0,00

Tamanan 415607,74 204735,83

Wirokerten 318428,83 10660,98

Wirokerten 39906,22 26567,75

Data tersebut menunjukkan bahwa luas alih fungsi lahan pertanian mengikuti luas

tanah pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah. Setiap kenaikan

luasan dari lahan pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah maka

diikuti juga dengan kenaikan luas alih fungsi lahan pertanian. Hal ini berarti

kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang positif. Hal ini didasarkan

kebutuhan akan lahan non pertanian yang semakin besar untuk menunjang

aktifitas Kota Yogyakarta, sehingga seberapapun luas ketersediaan lahan

pertanian yang dapat dengan mudah dialihfungsikan menjadi non pertanian tetap

akan diserap oleh pasar.

Alih fungsi lahan pertanian dalam hal ini persawahan menjadi permukiman

perdesaan pada umumnya dilakukan oleh perseorangan, hanya beberapa yang

dilakukan oleh pengembang, terutama pengembang-pengembang kecil yang

membangun perumahan kecil dekat dengan lokasi permukiman perdesaan yang

sudah ada terlebih dahulu.Alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman

perkotaan menunjukkan kecenderungan terjadi pada lahan yang telah bersertifikat,

ditunjukkan dengan kejadian tersebut terjadi sebesar 20,09 % dari luas

keseluruhan lahan pertanian bersertifikat. Hal ini banyak dilakukan oleh

pengembang perumahan yang membutuhkan proses perizinan untuk

mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi non pertanian. Pengembang

perumahan akan lebih memilih lahan-lahan yang memiliki sertifikat hak atas

tanah, baik itu sertifikat hak milik atau hak guna bangunan karena diperlukan

dalam proses perijinan alih fungsi.

Page 85: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 77

Kesadaran masyarakat terhadap hukum yang masih relatih rendah menyebabkan

sertifikasi tanah pertanian menjadi tidak mempunyai pengaruh signifikan, hal ini

ditunjukkan dengan kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengurus

ijin mendirikan bangunan (IMB), padahal hal ini menjadi instrumen penting

dalam pengawasan dan pengendalian pendirian bangunan. Faktor ekonomi

menjadi faktor lain dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, hal ini bisa dilihat

dari landrent lahan pertanian dan land value (nilai lahan) dari lahan pertanian

yang telah disertifikasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa landrent lahan

pertanian jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan landrent lahan non pertanian,

sehingga secara ekonomis penggunaan lahan non pertanian jauh lebih ekonomis,

hal ini menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan

pertanian. Nilai lahan yang telah mempunyai sertifikat memiliki nilai lahan yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai lahan yang belum mempunyai

sertifikat, dalam beberapa temuan dilapangan juga memperlihatkan bahwa

pengembang lebih menyukai lahan yang bersertifikat karena fungsi sertifikat

yang dapat diagunkan untuk memperoleh kredit dari bank. Ketiadaan instrumen

insentif bagi masyarakat yang mempertahankan lahannya untuk pertanian

semakin membuat penggunaan lahan pertanian tidak mempu bersaing dengan

penggunaan lahan non pertanian. Fakta-fakta di lapangan yang ditemui

menunjukkan bahwa nilai pajak bumi dan bangunan (PBB) antara lahan yang

digunakan untuk persawaahan dan permukiman pada daerah-daerah strategis

adalah sama, sehingga nilai pajak akan semakin memberatkan pemilik lahan yang

digunakan untuk pertanian. Faktor-faktor tersebut yang dapat menjelaskan bahwa

status lahan tidak mampu secara signifikan mengurangi penyusutan lahan

pertanian menjadi non pertanian.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat ditarik sejumlah kesimpulan

sebagai berikut, analisis uji ketelitian menunjukkan bahwa tingkat ketelitian hasil

klasifikasi digital dengan metode contextual and multisource classification pada

citra digital Landsat TM tahun 1996 dan citra ASTER tahun 2007 untuk

pemetaan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kabupaten Bantul masing-

masing adalah 89,57% dan 92,20%. Hal ini berarti bahwa data hasil klasifikasi

digital ini layak untuk digunakan analisis selanjutnya yang menggunakan data

tersebut.

Dinamika penggunaan lahan yang terjadi selama 11 tahun sebagai konsekuensi

dari meningkatnya aktivitas kota membuat alih fungsi lahan pertanian terjadi

tidak terkendali. Desa Wirokerten terjadi alih fungsi seluas 468796,70 m2

(1,64 %), Desa Bangunharjo seluas 1138634,73 m2 (2,60 %), Desa Bangunjiwo

seluas 7635987,14 m2(4,87 %), Desa Banguntapan seluas 673285,45 m

2(3,81 %),

Desa Baturetno seluas 1655201,00 m2

(4,17%), Desa Ngestiharjo seluas

695608,49 (4,16 %), Desa Panggungharjo seluas 688208,74m2(2,46 %), Desa

Potorono seluas 652639,29m2

(2,19%), Desa Singosaren seluas

Page 86: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

78 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

81621,51m2(2,04 %), Desa Tamanan seluas 1040672,23m

2(4,84 %), Desa

Tamantirto seluas 2899965,04m2(5,33 %), dan Desa Tirtonirmolo seluas

620169,85m2(3,15 %). Data alih fungsi lahan pertanian dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian di Lokasi PRONA/PRODA

Berdasarkan Citra Tahun 2011

DESA

Kelas Penggunaan

Lahan

Luas (m2) Luas Total

(m2)

Persentase

Alih Fungsi

Lahan

Pertanian

(%)

Tahun

1996 Tahun 2007

Bangunharjo Pertanian Non Pertanian 1138634,73

3988679,69 2,60 Pertanian Pertanian 2850044,96

Bangunjiwo

Pertanian Kehutanan 1698873,23

14261948,80 4,87 Pertanian Non Pertanian 7635987,14

Pertanian Pertanian 4927088,43

Banguntapan Pertanian Non Pertanian 673285,45

1607811,58 3,81 Pertanian Pertanian 934526,13

Baturetno Pertanian Non Pertanian 1655201,00

3605602,82 4,17 Pertanian Pertanian 1950401,82

Ngestiharjo Pertanian Non Pertanian 695608,49

1519715,05 4,16 Pertanian Pertanian 824106,56

Panggungharjo Pertanian Non Pertanian 688208,74

2541902,65 2,46 Pertanian Pertanian 1853693,91

Potorono Pertanian Non Pertanian 652639,29

2709212,05 2,19 Pertanian Pertanian 2056572,76

Singosaren Pertanian Non Pertanian 81621,51

363099,13 2,04 Pertanian Pertanian 281477,62

Tamanan Pertanian Non Pertanian 1040672,23

1956053,40 4,84 Pertanian Pertanian 915381,17

Tamantirto

Pertanian Kehutanan 25972,58

4943532,10 5,33 Pertanian Non Pertanian 2899965,04

Pertanian Pertanian 2017594,48

Tirtonirmolo

Pertanian Kehutanan 2118,20

1787045,89 3,15 Pertanian Non Pertanian 620169,85

Pertanian Pertanian 1164757,84

Wirokerten Pertanian Non Pertanian 468796,70

2596961,55 1,64 Pertanian Pertanian 2128164,85

Page 87: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 79

DAFTAR REFERENSI Abrams, M., & Hook, S., 2000, ASTER User Handbook Version 2. Pasadena : EROS

Data Centre.

Anonim, 2009. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan, Diperoleh dari www.setneg.go.id, diakses tanggal

27 Desember 2010.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2006. Database Profil Daerah Kabupaten

Bantul Tahun 2006. Laporan. Bantul : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Badan Pertanahan Nasional RI, 2008. Penggunaan Tanah di Indonesia. Laporan Tahunan.

Jakarta : Badan Pertanahan Nasional RI

Badan Pusat Statistik, 2004. Bantul Dalam Angka 2004. Bantul : Badan Pusat Statistik

Kabupaten Bantul.

Badan Pusat Statistik, 2006. Bantul Dalam Angka 2006. Bantul : Badan Pusat Statistik

Kabupaten Bantul.

Badan Pusat Statistik, 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Bantul : Badan Pusat Statistik

Kabupaten Bantul.

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, 2010. Audit

Lahan Pertanian, Diperoleh dari http://psp.deptan.go.id/index.php/page/lahan_audit,

diakses tanggal 27 Desember 2010.

Hadi Sabari Yunus, 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

I Gde Nyoman G., & Soeradji, 2007. Pendaftaran Tanah Pertama Kali. Yogyakarta :

STPN Press

Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing Perspecstive.

New Jersey : Prentice Hall.

Melania Swestika Rini, 2010. Penyusunan Neraca Perubahan Penggunaan Lahan

Berdasarkan Pedoman Baku di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Dengan

Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Skripsi.

Program Pendidikan Geografi UNY.

Nasoetion, L. dan J. Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan

Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding

Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:

Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Bogor : Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.

Projo Danoedoro, 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya Dalam Bidang

Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

______________, 2003. Multisource Classification for Landuse Mapping Based on

Spectral, Textural, and Terrain Information Using Landsat Thematic Mapper

Imagery : A Case Study of Semarang - Ungaran Area, Central Java. Indonesian

Juranal of Geography Vol.35 No. 2. Page 81 – 106.

Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2010. Penggunaan Tanah Kabupaten Bantul

Tahun 2007 – 2009, Laporan Tahunan. Bantul : Kantor Pertanahan Kabupaten

Bantul.

Page 88: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

80 Ardhi Arnanto dan Westi Utami

BIOGRAFI PENULIS

Ardhi Arnanto

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 1980.

Pendidikan SD, SMP, dan STM Jurusan Geologi

Pertambangan di selesaikan di Yogyakarta. Pendidikan

tinggi diawali dengan menyelesaikan Program Diploma

III Penginderaan Jauh dan SIG Fakultas Geografi UGM,

dilanjutkan Program Sarjana di Prodi Pendidikan

Geografi UNY. Saat ini bekerja di Sekolah Tinggi

Pertanahan Nasional sebagai Kepala Laboratorium

SIG/SIP.

Westi Utami

Lahir di Bantul pada tanggal 16 Juli 1983, Pendidikan

SD, SMP, SMA di Bantul. Gelar Sarjana diperoleh pada

Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas

Geografi UGM pada tahun 2005, saat ini sedang

menyelesaikan Program Master pada Program Studi

Magister Manajemen Bencana UGM. Penulis adalah

Staf pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Page 89: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum

dengan Landsat TM/ETM+ Multi-temporal

(2000-2009)

Bambang Trisakti

Page 90: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

82 Bambang Trisakti

Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat

TM/ETM+ Multitemporal (2000-2009)

Bambang Trisakti

Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia

e-mail : [email protected]

Abstrak

Informasi spasial nilai minimum dan dan maksimum dari indek kehijauan

vegetasi (NDVI) sangat diperlukan sebagai data masukan untuk pendugaan laju

erosi tanah. Informasi spasial NDVI pada daerah tangkapan air (DTA)

membutuhkan citra satelit dengan resolusi spasial menengah, seperti citra Landsat.

Tetapi tutupan awan/haze dan perbedaan pencahayaan karena topografi dapat

mengakibatkan tidak akuratnya NDVI. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat

informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci

menggunakan 19 citra Landsat TM/ETM+ periode 2000-2009. Data yang

digunakan adalah perekaman bulan berbeda yang mewakili musim kemarau dan

hujan. Standardisasi data dengan melakukan koreksi geometri matahari dan

koreksi terrain menggunakan metode C-correction. Proses berikutnya adalah

menghilangkan awan/haze dan bayangan pada setiap citra, konversi ke NDVI,

pemotongan citra dan penggabungan data, serta perhitungan NDVI maksimum

dan minimum. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat perubahan NDVI.

Hasil memperlihatkan bahwa kondisi topografi, awan dan bayangan

mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu

standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting

mendapatkan NDVI yang konsisten dan akurat. Perubahan NDVI tinggi terjadi

pada penutup lahan yang dinamis (sawah), sedangkan perubahan NDVI rendah

terjadi pada penutup lahan yang statis (hutan dan tubuh air).

Kata Kunci: NDVI, standardisasi, Landsat TM/ETM+, topografi, penghilangan

awan/bayangan

Abstract

Spatial information of minimum and maximum Normalized Difference Vegetation

Index (NDVI) are needed as input data to estimate soil erosion rate. Spatial

information of NDVI in water catchment area (DTA) needs middle resolution of

satellite image such as Landsat image. Cloud/haze cover and lightening

difference due to topography can cause inconsistency of NDVI, therefore NDVI

extraction process should consider those factors. The purpose of the research is

Page 91: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 83

to produce spatial information of minimum and maximum NDVI in Danau

Kerinci catchment area using 19 images of Landsat TM/ETM+ along 2000-2009

periods. Those data were recorded in different months that represented rain and

dry season. Standardization of data was conducted by doing sun geometry

correction, terrain correction using C correction method. The next procedures

were cloud and shadow removal for each image, NDVI extraction, cropping and

layer stacking, and then minimum and maximum NDVI calculation. Further

analysis was conducted to observe the NDVI change in catchment area. The

results show that topographic condition and cloud/shadow cover give significant

effect to NDVI, especially for determining minimum NDVI. Therefore data

standardization and cloud/shadow removal become important to be done to get

consistent and accurate NDVI. High change of NDVI occurred in dynamic land

use (paddy field), otherwise low change of NDVI occurred in static land use

(forest and water body).

Keywords: NDVI, standardization, Landsat TM/ETM+, topography,

cloud/shadow removal

1. PENDAHULUAN

Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya

kerusakan di bagian hulu Daerah Tangkapan Air (DTA), yang selanjutnya

mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan turun

pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk ke dalam tanah yang memiliki

kesuburan tinggi. Dengan tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar

meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan meningkat. Aliran air

permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang

subur sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Sehingga dampak yang

terjadi adalah meningkatnya erosi tanah pada musim hujan dan kurangnya air

pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (Nurdin,

2011).

Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti:

pendangkalan dan penyempitan danau, penyebaran eceng gondok dan turunnya

kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar kerusakan

DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-

danau tersebut dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah

telah menggulirkan program nasional penyelamatan danau 2010-2014 yang

diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH, 2011).

Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I

di Bali pada tahun 2009 dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011,

yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian dan penegasan kembali

untuk pemulihan 15 danau prioritas.

Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan

bahwa status ekosistem danau ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah

Page 92: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

84 Bambang Trisakti

satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah,

baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi

yang tinggi dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi

status mengalami kerusakan. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat baik

diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran

permukaan (As-syakur, 2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa

masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu tersedia untuk setiap

wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan

jauh, yang membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk wilayah kajian (Hazarika

dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi tanah

adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode

tertentu.

NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat

mengambarkan kondisi tingkat kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi.

NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada perbedaan nilai

pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap

gelombang pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan

gelombang pada spektrum inframerah. Parameter indek vegetasi sebaiknya

memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari parameter

biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari,

sudut pandang sensor, atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh

dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan tanah, kondisi topografi, jenis

tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur

seperti biomassa atau Leaf Area Index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi

dan kontrol kualitas informasi.

Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh dari faktor luar dan

faktor dalam, tetapi pada kenyataannya pengaruh faktor-faktor tersebut

mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena

itu NDVI yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari

pengaruh tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah

pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan karena perbedaan

kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk

wilayah Indonesia adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di

wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan awan.

Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum

dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan citra multi temporal

Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standardisasi data

dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian

melakukan penghilangan awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan

kombinasi band. Diharapkan proses standardisasi data dan penghilangan

Page 93: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 85

awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga

dapat digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat.

2. METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Data

Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci,

Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar 1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari

15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas tahun 2010-

2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian

Pengembangan), KLH. Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai

permasalahan dengan terjadinya kerusakan DAS karena konversi lahan yang

mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini

mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan

bukit barisan, dengan penutup lahan yang utama terdiri dari pertanian,

perkebunan, hutan dan ladang/tegalan.

Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM

selama periode 2000-2009, dan data Digital Elevation Model (DEM) SRTM X-C

band. Kedua jenis data mempunyai resolusi spasial yang sama yaitu 30 m. Data

Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon

Accounting System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari

(konversi nilai dijital ke reflektansi) dan sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari

data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk selanjutnya

dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan.

Data yang dipilih juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim

hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 1.

Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air

Danau Kerinci (Kanan)

Page 94: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

86 Bambang Trisakti

Tabel 1. Data Landsat yang digunakan

No. Jenis data Tanggal Perekaman

1. Landsat TM 22 Januari 2000

2. Landsat TM 5 Mei 2000

3. Landsat TM 13 Mei 2000

4. Landsat TM 3 Juli 2001

5. Landsat TM 11 Juli 2001

6. Landsat ETM+ 24 Maret 2002

7. Landsat ETM+ 28 Juni 2002

8. Landsat ETM+ 15 Agustus 2002

9. Landsat TM 6 Januari 2003

10. Landsat ETM+ 17 Juni 2004

11. Landsat TM 13 September 2004

12. Landsat TM 27 Mei 2005

13. Landsat TM 30 Mei 2006

14. Landsat TM 1 Juli 2006

15. Landsat ETM+ 11 September 2006

16. Landsat TM 1 Mei 2007

17. Landsat TM 19 Mei 2008

18. Landsat TM 20 April 2009

19. Landsat TM 22 Mei 2009

2.2 Metodologi Penelitian

Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama

adalah melakukan koreksi terrain dengan menggunakan algoritma C correction

(Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan mengenai koreksi

terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian

sebelumnya (Trisakti et al., 2009).

LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C) (1)

Dimana:

LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar)

LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena

kondisi topografi)

sz : Sudut zenith matahari

i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan

arah matahari

c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan

gradient (b/m) dari persamaan regresi LT = m Cos I + b

Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal) dan bayangan

awan untuk data Landsat. Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan

Page 95: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 87

metode penghilangan awan secara bertahap menggunakan band biru (band 1) dan

band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut:

if X4 > Acloud-thres then P = piksel awan,

if X1 > Bcloud-thres then P = piksel awan,

Selain itu adalah piksel non awan,

dimana:

X1 = Band 1

X4 = Band 4

Acloud-thres = Nilai batas awan band 4

Bcloud-thres = Nilai batas awan band 1

Sedangkan untuk penghilangan bayangan awan digunakan metode penghilangan

bayangan secara bertahap menggunakan band albedo (penjumlahan band visible)

dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut:

if X1+X2+X3 < Acloud-thres then P = piksel bayangan,

if X4 < Bcloud-thres then P = piksel bayangan,

Selain itu adalah piksel non awan,

dimana:

X1, X2, X3 = Band 1, Band 2 dan Band 3

X4 = Band 4

Acloud-thres = Nilai batas bayangan band albedo

Bcloud-thres = Nilai batas bayangan band 4

Nilai batas awan dan bayangan ditentukan dengan melakukan perbandingan

visual antara hasil citra penerapan algoritma penghilangan awan dan bayangan

dengan citra Landsat komposit RGB 542. Bila hasil masking awan dan bayangan

belum sesuai maka dilakukan iterasi sehingga diperoleh batas yang paling

optimal. Setelah itu tahap berikutnya adalah mengubah piksel non awan menjadi

nilai NDVI dengan persamaan umum dari NDVI.

NDVI = (X4-X3)/(X4+X3) (2)

dimana :

X3, X4 = Band 3 dan band 4

Konversi NDVI dilakukan untuk seluruh data (19 data), selanjutnya melakukan

kroping dengan batas DTA yang diturunkan dengan data DEM menggunakan

metode akumulasi aliran. Selanjutnya menggabung seluruh data NDVI dan

menghitung sebaran nilai maksimal (Max-NDVI) dan nilai minimum (Min-

NDVI) dari seluruh data selama periode 2000-2009. Tahap terakhir adalah

menentukan perubahan NDVI (NDVI ) dengan menghitung selisih antara nilai

maksimum dan nilai minimum NDVI untuk setiap piksel, kemudian membagi

Page 96: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

88 Bambang Trisakti

menjadi tiga kelas yaitu perubahan NDVI rendah, perubahan NDVI menengah

dan perubahan NDVI tinggi untuk daerah tangkapan air Danau Kerinci.

NDVI Max = f (i1, i2, …, in)

NDVI Min = f (i1, i2, …, in)

NDVI = NDVI Max – NDVI Min (3)

dimana:

i1, i2, …, in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh terrain, awan, dan bayangan awan pada nilai NDVI

Nilai NDVI diekstrak secara dijital dengan menggunakan kombinasi band 3

(merah) dan band 4 (inframerah), dimana band ini dipengaruhi oleh kondisi

keawanan (awan, haze dan bayangan) dan topografi permukaan bumi. Gambar 2

memperlihatkan Landsat dengan kondisi topografi di wilayah kajian yang

berbukit dan hasil NDVI yang diturunkan dari data tersebut. Kondisi topografi

yang bervariasi mengakibatkan terjadinya perbedaan pencahayaan matahari

terhadap permukaan bumi. Bagian yang menghadap matahari akan memperoleh

intensitas pencahayaan yang tinggi sehingga mempunyai nilai piksel yang juga

tinggi (terang), sedangkan bagian yang membelakangi matahari akan memperoleh

intensitas pencahayaan yang rendah sehingga mempunyai nilai yang lebih rendah

(gelap). Berkurangnya intensitas pencahayaan pada bagian yang membelakangi

matahari, lebih mempengaruhi nilai spektral pada band dengan panjang

gelombang lebih panjang (band 4) dibandingkan band dengan panjang gelombang

Citra Landsat RGB 542

Nilai NDVI

Gambar 2. Citra Landsat (Kiri) dan Nilai NDVI dari citra Landsat (Kanan)

Page 97: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 89

yang lebih pendek (band 2). Oleh karena itu permukaan yang membelakangi

matahari mempunyai nilai NDVI yang rendah seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 2, khususnya dalam kotak hitam.

Pengaruh awan sangat berdampak terhadap objek di permukaan bumi, awan tebal

akan memblok gelombang elektromagnetik yang datang dan memantulkan

kembali ke atmosfir. Sedangkan awan tipis (haze) hanya memblok sebagian

gelombang elektromagnetik yang datang ke permukaan bumi, sehingga

mengakibatkan berkurangnya intensitas cahaya pada daerah yang dipengaruhi

haze. Pengurangan intensitas cahaya juga terjadi pada daerah yang menjadi

proyeksi awan pada permukaan bumi (daerah bayangan awan atau haze).

Pengurangan intensitas cahaya mempengaruhi nilai NDVI seperti diperlihatkan

pada Gambar 3. Nilai NDVI menjadi sangat rendah pada daerah yang ditutupi

oleh awan dan haze. Berdasarkan hal yang dijelaskan tersebut maka penurunan

NDVI perlu melakukan proses standardisasi data dan penghilangan awan, haze

dan bayangan.

Awan dan bayangan

Awan tipis (haze)

Bayangan

NDVI karena awan

NDVI karena haze

NDVI karena bayangan

Gambar 3. Pengaruh awan, haze dan bayangan pada nilai NDVI

Page 98: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

90 Bambang Trisakti

3.2 Standardisasi data dan penurunan NDVI

Standardisasi data dilakukan dengan melakukan koreksi radiometrik (koreksi

geometri matahari dan koreksi terrain), serta penghilangan awan dan bayangan.

Gambar 4 memperlihatkan data sebelum dan setelah dilakukan proses koreksi

terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam

bentuk 3 dimensi berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang

lebih gelap dari bagian yang membelakangi matahari menjadi lebih terang

sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis

secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang

membelakangi matahari bertambah, dan nilai-nilai dari band pada objek yang

menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band pada objek yang pada

bagian datar.

Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan

menggunakan metode penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi

band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan dengan cukup baik.

Permasalahannya yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan

bayangan adalah perlunya melakukan iterasi untuk mendapatkan nilai batas yang

optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Sehingga apabila

nilai batas tidak optimal, maka akan mengakibatkan tidak optimalnya nilai NDVI

(NDVI lebih rendah dari semestinya). Setelah data terstandardisasi, maka

dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1. Gambar

6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal

perekaman berbeda selama periode 2000-2009.

Data belum terkoreksi terrain

Data terkoreksi terrain

Gambar 4. Hasil koreksi terrain pada data Landsat

Page 99: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 91

Awan dan bayangan pada citra

Penghilangan awan dan bayangan

Gambar 5. Hasil penghilangan awan dan bayangan pada data Landsat

11 juli 2001

27 Mei 2005

22Mei 2009

Gambar 6. Nilai NDVI pada data Landsat yang telah dikoreksi

3.3 Perubahan NDVI di DTA Danau Kerinci

Seluruh informasi spasial NDVI untuk DTA Danau Kerinci kemudian disusun

dan dihitung nilai NDVI maksimum dan minimum untuk setiap piksel. Hasil

NDVI minimum dan NDVI maksimum di DTA Danau Kerinci diperlihatkan

pada Gambar 7. NDVI minimum memperlihatkan nilai NDVI terendah

sepanjang periode 2000-2009, tidak menutup kemungkinan nilai rendah tersebut

diakibatkan oleh pengaruh haze, bayangan atau kondisi topografi. Tetapi

berdasarkan hasil evaluasi secara visual, standardisasi data yang dilakukan telah

mengurangi pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga diharapkan NDVI yang

dihasilkan lebih konsisten dan akurat. Nilai NDVI minimum terpantau pada air

danau, sawah (dalam fase air) di dataran rendah, dan daerah lahan terbuka di

0.1 0.9 0.1 0.9 0.1 0.9

Page 100: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

92 Bambang Trisakti

bagian hulu DTA (puncak Gunung Kerinci). Sedangkan Nilai NDVI maksimum

sepanjang periode 2000-2009 teridentifikasi di daerah hutan pada bagian

perbukitan. Nilai NDVI maksimum pada area sawah di bagian tengah DTA

adalah kondisi sawah dalam fase vegetatif.

(a)

(b)

(c)

Keterangan:

a) NDVI Minimum 200-2009

b) NDVI Maksimum 2000-2009

c) Perubahan NDVI 2000-2009

Legenda

Nilai NDVI

Gambar 7. NDVI minimum, NDVI maksimum dan perubahan NDVI selama periode 2000-

2009

0.2 0.9

Page 101: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 93

Analisis perubahan nilai NDVI di DTA Danau Kerinci dilakukan dengan

mengurangi NDVI maksimum dengan NDVI minimum. Besarnya selisih NDVI

yang diperoleh kemudian dibagi menjadi tiga bagian dan dikelaskan menjadi

kelas perubahan NDVI rendah, kelas perubahan NDVI sedang dan kelas

perubahan NDVI tinggi. Kelas perubahan NDVI tinggi dan NDVI sedang

teridentifikasi di daerah sawah, ladang dan perkebunan yang mempunyai

perubahan tingkat kehijauan yang tinggi. Yaitu kehijauan vegetasi saat masa

penanaman atau masa setelah panen yang didominasi oleh tanah (NDVI rendah)

dengan kehijauan vegetasi saat fase vegetasi yang didominasi oleh tutupan daun

yang rapat (NDVI tinggi). Sedangkan kelas perubahan NDVI rendah terpantau

pada hutan, air danau, permukiman, semak belukar yang tingkat kehijauannya

relatif tetap (cenderung sama).

4. KESIMPULAN

Pada kegiatan ini dilakukan pembuatan NDVI maksimum dan minimum untuk

wilayah DAS Danau Kerinci dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+

selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,

Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi

NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu

standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting

mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju

erosi tanah yang akurat

Standardisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk

penghilangan pengaruh perbedaan pencahayaan karena topografi dan

penghilangan awan/haze dan bayangan.

Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang

dinamis seperti sawah, sedangkan perubahan NDVI rendah terjadi pada

penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.

REFERENSI As-syakur, A.R. 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem

Informasi Geogra_s (SIG) Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan.

PIT MAPIN XVII:Bandung.

Foth, H.D. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Hazarika, M.K. dan Honda, K. 1999. Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing

and GIS, Its Valuation and Economic Implications on Agricultural Production.

Proceeding, The 10th

International Soil Conservation Organization Meeting held

May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion

Research Laboratory.

Jensen, J.R. 2000. Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective.

PP.361. Published by Pearson Education Inc. First Indian Reprint, 2003.

KLH. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014. Kementerian Lingkungan

Hidup.

Page 102: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

94 Bambang Trisakti

KLH. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Kementerian Lingkungan Hidup.

Nurdin, Ali. http:// www.salmaghaliza.blogspot.com. Keseimbangan Ekosistem. 10

November 2011.Rouse, J.W. Haas, R.H. Schell, J.A. dan Deering, D.W. 1974.

Monitoring Vegetation System in The Great Plains with ERTS. Proceeding, Third

Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium. Greenbelt: NASA SP-351.

3010-317.

Trisakti, B. Kartasasmita, M. Kustiyo dan Kartika T. 2009. Kajian Koreksi Terrain pada

Citra Landsat Thematic Mapper. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra

Digital. Vol.6.

Wu, X. Furby, S. dan Wallace, J. 2004. An Approach for Terrain Illumination Correction.

Proceeding, The 12th

Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association

Conference, held in Fremantle, Western Australia 18-22 October 2004.

Page 103: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 95

BIOGRAFI PENULIS

Bambang Trisakti

Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada

tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan

pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas

Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai

tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf

peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat

Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan

dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional

adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan

penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk

berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya

air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang

diminati adalah image processing.

Page 104: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM,

dan Peta Topografi

Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto

Page 105: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 97

Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta

Topografi

Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto

Penelitian Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Digital Elevation Model (DEM) dapat dihasilkan dari peta topografi,

Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) atau citra stereo optik. Masing-

masing DEM memiliki kelebihan dan kelemahan berkaitan dengan kedetilan

informasi, cakupan wilayah dan tingkat akurasi. Pada penelitian ini dilakukan

penggabungan data DEM yang berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM

dan DEM dari ALOS PRISM) untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan

informasi dan tingkat akurasi yang lebih baik. Penggabungan DEM dilakukan

dengan 2 metode, yaitu: DEM Integration dan DEM fusion. DEM integration

dilakukan dengan menentukan Height Error Map (HEM) pada DEM,

menghilangkan daerah error pada batas tertentu, mengisi void dengan titik

ketinggian dari DEM berbeda dan melakukan interpolasi untuk membentuk DEM

baru. Sedangkan, DEM fusion dilakukan dengan menggabungkan 2 DEM

menggunakan bobot yang dihitung dari HEM setiap DEM. Perbaikan kualitas dan

tingkat Akurasi dari DEM dievaluasi menggunakan perubahan HEM, analisis

jumlah bull eyes, serta pengujian dengan data pengukuran lapangan

menggunakan GPS Geodetik. Hasil memperlihatkan bahwa pada penggabungan

DEM topografi dan DEM SRTM, Metode DEM integration mampu memperbaiki

HEM dan meningkatkan akurasi vertikal DEM. Sedangkan pada penggabungan

DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, DEM fusion mampu memperbaiki bull

eyes dan meningkatkan akurasi vertikal DEM.

Kata kunci: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes,

akurasi

Abstract

Digital Elevation Model (DEM) can be generated based on topographic map,

Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) or stereoscopic image. Each

DEM has advantages and disadvantages related to information detail, coverage

area and accuracy level. This research focused on DEM combination using

different DEM sources (DEM from topographic map, DEM SRTM, and DEM

from ALOS PRISM) for obtaining new DEM with better information detail and

accuracy. DEM combination was conducted using 2 methods: DEM Integration

and DEM fusion. DEM integration was done by determining Height Error Map

Page 106: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

98 Atriyon Julzarika, dkk.

(HEM) of DEM, remove error area using threshold, filling the void using height

points from other DEM, and doing co-krigging interpolation. DEM fusion was

done by combining two DEMs using weight factors calculated from HEM of each

DEM. Quality and accuracy improvement were evaluated by analyzing HEM

change, bull eyes, and vertical accuracy assessment using height data measured

in the field. The results show that DEM integration method reduced HEM and

improved the vertical accuracy of DEM for combination between DEM from

topographic map and SRTM. On other hand, DEM fusion reduced the bull eyes

number and improved the vertical accuracy of DEM for combination between

DEM from ALOS PRISM and SRTM.

Keywords: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes,

accuracy

1. LATAR BELAKANG

Digital Elevation Model (DEM) adalah model digital dari ketinggian (topografi)

suatu wilayah permukaan bumi, setiap pikselnya mempunyai informasi titik

koordinat (XY) dan ketinggian (Z). Pembuatan DEM dapat dilakukan dengan

metode Interpolasi titik tinggi (dari peta topografi atau hasil pengukuran

lapangan), dan menghitung ketinggian secara langsung berbasis citra stereo optik

atau Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) (Trisakti et al., 2006).

Saat ini, Data DEM yang umum digunakan dan mudah diperoleh adalah data

DEM yang berasal peta topografi, DEM Shutlle Radar Topography Mission

(SRTM) dan DEM yang diturunkan dari citra stereo optik (seperti: DEM dari data

ASTER atau ALOS PRISM). Masing-masing DEM memiliki kelebihan dan

kelemahan yang berbeda-beda terkait dengan kedetilan informasi, tingkat akurasi

data, cakupan perekaman data, dan hilangnya data karena tutupan awan. Sebagai

contoh data DEM SRTM memiliki akurasi vertikal yang baik (Tabel 1) tapi

mempunyai resolusi spasial kurang detil (30 m untuk X band dan 90 m untuk C

band). selain itu data DEM berbasis InSAR dapat memiliki error yang

disebabkan oleh layover, shadow dan atmosferic effect (temporal decorrelation)

(Karkee et al., 2006).

Peta topografi merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari

berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:10.000 atau 1:25.000) bahkan

skala menengah (1:50.000) belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Selain

itu kontur ketinggian kurang rapat di wilayah datar sehingga mengakibatkan

hilangnya informasi topografi antara 2 garis kontur. Sedangkan DEM dari citra

stereo ALOS PRISM merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan DEM

dengan resolusi spasial tinggi (2.5-10 m) dan akurasi tinggi (2-6 m) (Tabel 1),

tetapi cakupan DEM tersebut sempit (lokal) dan adanya bull eyes (error lokal)

yang terjadi bila pada saat pembuatannya distribusi dan jumlah GCP tidak

mencukupi atau adanya tutupan awan (Trisakti et al, 2010).

Page 107: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 99

Table 1. Akurasi DEM SRTM dan DEM dari stereo ALOS PRISM

Tahun Sensor satelit Referensi Akurasi (m)

2005 SRTM X- band Gesch D. 3 – 5 m

2006 SRTM X band Yastikh et al. 5.6

2006 SRTM C band Yastikh et al. 9.6 m

2006 ALOS PRISM JAXA < 6.5 m

2008 ALOS PRISM Bignone & Umakawa 2 – 5 m

2008 ALOS PRISM Schneider et al. 4 m

2010 ALOS PRISM Geo Image 5 m

2010 ALOS PRISM Trisakti et al. < 5 m

Dewasa ini, pembangunan di setiap wilayah membutuhkan DEM yang akurat

untuk memenuhi kebutuhan peta topografi wilayah. Selain itu banyaknya

kejadian bencana di Indonesia, mengakibatkan DEM yang detil dan akurat

menjadi data vital untuk memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena itu,

perlu dilakukan suatu upaya untuk menghasilkan data DEM dengan akurasi dan

kedetilan yang lebih baik dari DEM yang digunakan saat ini. Salah satu cara

adalah melakukan penggabungan DEM untuk menghasilkan DEM yang lebih

baik dari DEM pembentuknya. Hoja et al. (2006) melaporkan bahwa

penggabungan antara DEM SPOT 5 dan SRTM dapat mengurangi bull eyes

sehingga meningkatkan akurasi DEM yang dihasilkan. Beberapa metode

penggabungan adalah DEM integration, DEM fusion (Hoja and d’Angelo, 2010),

dan Spatial Fequency Domain menggunakan Fast Fourier Transform (FFT)

(Honikel (1998); Karkee et al.( 2006)). Metode-metode tersebut digunakan untuk

menggabungkan antara DEM dari citra optik (SPOT dan ASTER) dan citra SAR

(SRTM) untuk wilayah kajian masing-masing, sementara penggabungan DEM

untuk perbaikan kualitas DEM dari peta topografi dan citra stereo ALOS PRISM,

khususnya untuk wilayah Indonesia, dengan menggunakan model Geoid 2008

masih jarang dilakukan.

Kegiatan ini bertujuan untuk menkaji metode penggabungan data DEM yang

berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM dan DEM dari ALOS PRISM)

untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan informasi dan tingkat akurasi yang

lebih baik dibandingkan DEM awal, selanjutnya tingkat akurasi dari DEM yang

dihasilkan dievaluasi dengan menggunakan perubahan HEM, perubahan jumlah

bull eyes serta pengujian dengan data pengukuran lapangan menggunakan GPS

Geodetik.

2. METODOLOGI

2.1 Lokasi Kajian

Lokasi kajian yaitu: Kabupaten Enrekang dan sekitarnya di Provinsi Sulawesi

Selatan dengan ketinggian wilayah berkisar dari 0-2000 m, dan Kabupaten Sragen

Page 108: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

100 Atriyon Julzarika, dkk.

dan sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian wilayah berkisar dari 50

– 500 m (Gambar 1). Wilayah kajian di dalam kotak kuning.

Pemilihan lokasi-lokasi tersebut dilakukan dengan pertimbangan:

Wilayah-wilayah ini mempunyai kondisi topografi yang bervariasi sehingga

dapat mewakili lingkungan bertopografi rendah sampai lingkungan

bertopografi tinggi.

Ketersediaan data yang lengkap (DEM SRTM, peta topografi, Citra stereo

dan GCP )

(a)

(b)

Gambar 1. Lokasi kajian pembuatan DEM: (a) Kab. Enrekang dan (b) Kab. Sragen

Enrekang

Sragen

Page 109: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 101

2.2 Data yang Digunakan

- Data SRTM X (resolusi 30 m) atau C (resolusi 90 m) band untuk wilayah

Enrekang dan Sragen.

- Peta topografi 1 : 50.000 (Peta Rupa Bumi) untuk wilayah Enrekang

- DEM dari citra stereo PRISM resolusi 10 m untuk wilayah Sragen

- Data GCP (XYZ) pengukuran lapangan wilayah Enrekang dan Sragen

2.3 Metode Penelitian

Alur kegiatan (flowchart) penelitian diperlihatkan pada Gambar 2, dimana

proses dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:

1. Penyiapan data DEM yang akan digabung, yang meliputi:

Pembuatan DEM

Standarisasi Model Elipsoid-Geoid 2008

Co-registrasi dan koreksi ketinggian

2. Penggabungan data DEM menggunakan 3 model penggabungan, yaitu:

DEM fusion

DEM integration

3. Verifikasi hasil penggabungan data DEM, dengan menggunakan

Perubahan Height Error Map

Deteksi bull eyes

GCP pengukuran Lapangan

Gambar 2. Flowchart proses penggabungan DEM

Pembuatan DEM Stereo PRISM danPeta topografi

DEM SRTM

DEM Integrasi

DEM stereo, DEM topo

Verifikasi hasilKualitas up?

GCP Pengukuran,Height ErrorJumlah Bull eyes

DEM gabungan

Koreksi Geoid (Model EGM 2008)

DEM Fusion

Co-registrasi dan koreksi ketinggian (mean dan std deviasi)

Metode terbaik untuk wilayah kajian

Tidak

Ya

Page 110: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

102 Atriyon Julzarika, dkk.

Standarisasi model elipsoid-geoid diperlukan untuk menyamakan titik acuan dari

seluruh DEM yang akan digabung. Pada umumnya model geoid yang digunakan

saat ini adalah model elipsoid-geoid 1996 (EGM 96), tetapi model ini

diperbaharui dengan model elipsoid-geoid 2008 (EGM 2008). Pada penelitian ini,

DEM berbasis EGM 96 dikembalikan sistem elipsoid kemudian dirubah ke EGM

2008.

Ko-registrasi dilakukan untuk menyamakan posisi horisontal kedua DEM, proses

ini dilakukan dengan mencari titik kontrol pada objek dengan kenampakan sama

di kedua DEM (menggunakan penampakan 3D dengan sudut matahari dan azimut

yang sama). Titik kontrol sekitar 10 titik kontrol yang terletak menyebar di

seluruh wilayah, kemudian melakukan koreksi dengan model transformasi linear

dan model resampling Nearest Neighbor. Koreksi (Normalisasi) ketinggian

dilakukan untuk menyamakan range ketinggian antara 2 DEM, dengan cara

mempersamakan nilai mean dan variance dari kedua DEM.

Penggabungan DEM dengan metode DEM integrasi dilakukan dengan

menurunkan Height Error Map DEM yang ingin diperbaiki. Selanjutnya

dilakukan deteksi dan penghilangan error dengan menggunakan metode

threshold standar deviasi >2σ. Bagian error yang dihilangkan akan diisi dengan

titik tinggi yang diekstrak dari DEM, selanjutnya dilakukan proses intepolasi Co-

Krigging sehingga menghasilkan DEM gabungan. Sedangkan, DEM fusion

mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh Hoja et al. (2006), walaupun

terdapat perbedaan dalam pembuatan HEM. Penggabungan DEM dilakukan

dengan menurunkan HEM dari ke dua DEM yang akan digabung, selanjutnya

dilakukan penggabungan dengan mempertimbangkan besar error setiap piksel

dari kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model

pembobotan menggunakan Persamaan (1).

(1)

Dimana,

pi = 1/ai , ai > 0

hi : Ketinggian DEM (1,2)

ai : Tingkat akurasi DEM, error DEM (1,2)

Tahap terakhir melakukan pengujian dengan cara:

1. Perbandingan HEM sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan.

2. Perbandingan jumlah bull eyes sebelum dan sesudah dilakukan

penggabungan.

3. Pengujian tingkat akurasi dengan menggunakan data pengukuran

lapangan menggunakan GPS geodetik

Page 111: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 103

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Penggabungan DEM Topografi dan DEM SRTM

Gambar 3 memperlihatkan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM yang telah

dikoreksi (Koreksi Geoid, Coregistrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk

digabungkan. Berdasarkan gambar 3, diketahui bahwa walaupun DEM SRTM

mempunyai resolusi yang rendah (kurang detil) tetapi DEM SRTM mempunyai

pola topografi yang lebih dapat diterima (realistis) di wilayah datar dibandingkan

DEM dari peta topografi. Pada penelitian ini kami tidak membedakan antara

DSM dan DTM, dengan kata lain kondisi kedua DEM diasumsikan sama.

Berdasarkan alasan di atas, maka DEM SRTM digunakan untuk memperbaiki

kesalahan yang terjadi pada DEM peta topografi.

Gambar 3. DEM yang akan digabungkan

3.1.1 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Integration

Gambar 4 memperlihatkan hasil dari setiap tahapan proses penggabungan

DEM dengan metode DEM Integrasi. Berdasarkan HEM terlihat bahwa daerah

dengan topografi rendah di bagian kiri bawah mempunyai error tinggi sedangkan

daerah bertopografi tinggi mempunyai error rendah (4a). Selanjutnya error

dihilangkan dengan treshold (>2), dan diisi dengan titik tinggi dari DEM SRTM

(4b). Hasil penggabungan (pengisian) titik tinggi berbasis HEM dapat menutupi

seluruh kekurangan titik, dengan kata lain titik rapat dan menutupi seluruh daerah

(4c). Selanjutnya pembuatan DEM gabungan dengan metode interpolasi Co-

Krigging sehingga dihasilkan DEM gabungan (4d) dan HEM DEM gabungan

(4e). Hasil DEM gabungan mempunyai pola topografi yang lebih realistis dan

0 2200m 0 2200m

(a) DEM dari peta

topografi - Resolusi spasial

25m

(b) DEM SRTM – Resolusi

spasial 90 m

Page 112: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

104 Atriyon Julzarika, dkk.

relatif mirip dengan DEM SRTM tetapi mempunyai kedetilan informasi yang

sama detilnya dengan DEM peta topografi (resolusi spasial 25 m). Hasil analisis

HEM sebelum dan sesudah proses penggabungan memperlihatkan adanya

pengurangan error yang cukup signifikan.

(a) Height Error Map DEM

topografi

(b) Error <2 (merah error)

(c) Pengisian void dengan titik

tinggi DEM pengisi

(d) DEM gabungan dengan

metode DEM Integrasi

(e) Height Error Map DEM

gabungan

Keterangan Height Error

Keterangan Error

Keterangan DEM

Gambar 4. Hasil dari setiap tahapan proses penggabungan DEM dengan metode DEM

Integrasi

0 100

Error Non Error

0 2200

Page 113: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 105

3.1.2 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Fusion

Gambar 5 memperlihatkan DEM hasil penggabungan dengan metode DEM

fusion dan HEM dari hasil DEM gabungan. Hasil memperlihatkan bahwa DEM

gabungan (5a) mempunyai pola topografi yang baik di seluruh wilayah dan

mempunyai resolusi yang detil (25 m). Selain itu, perbandingan antara HEM hasil

penggabungan dengan metode DEM fusion (5b) dengan HEM sebelum

pengggabungan (4a) memperlihatkan bahwa sebagian error dapat diturunkan

sehingga distribusi menjadi lebih rendah.

(a) DEM gabungan dengan DEM fusion

(b) HEM dari DEM gabungan

Gambar 5. Hasil DEM dan HEM dengan metode DEM Integrasi

3.1.3 Pengujian Hasil DEM Gabungan

Gambar 6 memperlihatkan perbandingan nilai error (>2) antara DEM SRTM,

DEM peta topografi, DEM hasil fusion dan DEM hasil integration. Hasil

memperlihatkan bahwa DEM SRTM mempunyai error sebesar 18.4%, DEM RBI

mempunyai error sebesar 8%, DEM hasil fusion sebesar 5.8 % dan DEM hasil

integration sebesar 2%.

Selanjutnya dilakukan pengujian akurasi vertikal dengan membandingkan

ketinggian pada DEM gabungan dengan ketinggian hasil pengukuran lapangan

dengan menggunakan GPS Geodetik. Hasil diperlihatkan pada Tabel 2. DEM

gabungan dengan metode DEM integration dapat menurunkan error dan

meningkatkan akurasi vertikal cukup signifikan dibandingkan DEM

pembentuknya.

Page 114: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

106 Atriyon Julzarika, dkk.

Gambar 6. Distribusi 99% histogram dari HEM, dan Error > 2 untuk setiap DEM

Table 2. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan

DEM Akurasi (m)

DEM peta topografi 14.5

DEM SRTM 19.6

DEM fusion 14.8

DEM integration 12.6

3.2 Hasil Penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM

Gambar 7 memperlihatkan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang telah

dikoreksi (Koreksi Geoid, co-registrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk

digabungkan. Berdasarkan gambar 6, diketahui bahwa DEM ALOS mempunyai

tingkat kedetilan yang tinggi (teramati adanya alur sungai yang sangat jelas).

Tetapi DEM ini mempunyai permasalahan dengan bull eyes (anomali ketinggian),

dengan adanya pit (lubang) dan spire (puncak) yang cukup banyak dan tersebar

pada seluruh bagian citra, terutama di bagian tengah yang mempunyai topografi

yang relatif datar seperti diperlihatkan pada Gambar 8. Sedangkan DEM SRTM

mempunyai kedetilan yang lebih rendah, tapi mempunyai bull eyes (pit/spire)

yang sangat sedikit, bahkan tidak dideteksi adanya bull eyes di wilayah datar.

DEM INTEGRASIDEM FUSION

DEM RBIDEM SRTM

4 30 3 19

3 15 3 12

2 2

2 2

18.4%

8 %

5.8 %

2 %

Page 115: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 107

(a) DEM ALOS PRISM – Resolusi spasial

10 m

(b) DEM SRTM – Resolusi Spasial 30 m

Gambar 7. DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang akan digabungkan

(a)Sebaran bull eyes DEM ALOS spasial 10 m

Spire setting radius: 150m, height: 12m

Pits setting radius : 150m, depth: 12 m

Hasil (Pits (merah): 3687, Spires (hijau): 201)

0 500m 0 500m

Page 116: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

108 Atriyon Julzarika, dkk.

(b) Sebaran bull eyes DEM SRTM

Spire setting radius: 250m, height: 12m

Pits setting radius : 250m, depth: 12 m

Hasil (Pits (merah): 9, Spires (hijau): 7)

Gambar 8. Sebaran bull eyes pada DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM

3.2.1 Hasil Penggabungan DEM

Gambar 9 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes

menggunakan DEM Integration. Perbandingan terhadap HEM memperlihatkan

bahwa besar error pada DEM gabungan mengalami pengurangan, demikian juga

perbandingan terhadap jumlah bull eyes sebelum dan sesudah penggabungan

memperlihatkan adanya pengurangan, walaupun secara statistik pengurangan

yang terjadi tidak terlalu besar.

Gambar 10 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan jumlah bull eyes yang

dibuat dengan metode DEM fusion. Hasil pengamatan visual terlihat bahwa HEM

sedikit berkurang, sedangkan jumlah bull eyes mengalami penurunan yang cukup

signifikan.

Page 117: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 109

(a) DEM gabungan spasial 10 m

0 22 m

(b) HEM DEM gabungan

(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 250m, height: 12m

Pits setting radius : 250m, depth: 12 m

Hasil (Pits (merah): 2648, Spires (hijau): 97) Gambar 9. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM Integration

Page 118: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

110 Atriyon Julzarika, dkk.

(a) DEM gabungan spasial 10 m

0 22 m

(b) HEM DEM gabungan

(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 150m, height: 12m

Pits setting radius : 150m, depth: 12 m

Hasil (Pits (merah): 1673, Spires (hijau): 60) Gambar 10. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM fusion

Page 119: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 111

3.2.2 Pengujian Hasil DEM Gabungan

Pengujian dilakukan dengan melakukan deteksi jumlah bull eyes sebelum dan

sesudah penggabungan. Hasil rangkuman jumlah bull eyes (pit dan spire)

diperlihatkan bahwa DEM gabungan dengan metode fusion dapat mengurangi

sampai 70% dari jumlah bull eyes DEM awal, sementara DEM gabungan dengan

metode integration hanya mengurangi sampai 30%.

Akurasi vertikal DEM gabungan diuji dengan membandingkannya dengan

ketinggian hasil pengukuran lapangan, hasil diperlihatkan pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa DEM gabungan dengan metode

fusion dan DEM integration mempunyai akurasi vertikal yang lebih baik

dibandingkan dengan DEM awal (DEM ALOS PRISM), dimana akurasi vertikal

terbaik diperoleh dari DEM gabungan menggunakan metode DEM fusion.

Table 3. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan

DEM Akurasi (m)

DEM ALOS PRISM 7.6

DEM Integration 7.4

DEM Fusion 7.3

4. KESIMPULAN

Pengembangan metode penggabungan data DEM yang berbeda dengan

menggunakan metode DEM integration dan DEM fusion telah dilakukan,

beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah:

1. Tahap penyiapan data yang meliputi penyamaan model referensi tinggi dan

normalisasi data DEM, dari sumber DEM yang berbeda, perlu dilakukan

untuk mendapatkan DEM gabungan dengan kualitas yang baik.

2. Pada penggabungan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM, Metode

DEM integration merupakan pilihan terbaik untuk menghasilkan DEM

gabungan yang detil dan akurat. Karena DEM integration dapat mengisi

kekurangan informasi di wilayah datar sehingga memperbaiki HEM dan

meningkatkan akurasi vertikal DEM gabungan.

3. Pada penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, metode DEM

fusion dapat memperbaiki bull eyes secara menyeluruh, sehingga

meningkatkan akurasi vertikal dari DEM gabungan.

DAFTAR REFERENSI Bignone F. and Umakawa H., 2008, Assessment of ALOS PRISM Digital Elevation Model

Extraction ove Japan, The International Archives of the Photogrammetry, Remote

Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII, Beijing, 2008

Page 120: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

112 Atriyon Julzarika, dkk.

Gesch D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the

United States: Implications for Topographic Change Detection, SRTM Data

Validation and Applications Workshop

Hoja D. and d’Angelo P, 2010, Analysis Of Dem Combination Methods Using High

Resolution Optical Stereo Imagery And Interferometric SAR Data, International

Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science,

Volume XXXVIII, Part 1, Calgary, Canada, 2010

Hoja D., Reinartz P. and Schroeder M., 2006, Comparison Of Dem Generation And

Combination Methods Using High Resolution Optical Stereo Imagery And

Interferometric SAR Data, International Archives of the Photogrammetry, Remote

Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVI, Part 1, Paris, France,

2006

Honikel M. 1998, “Fusion of Optical and Radar Digital Elevation Models in the Spatial

Fequency Domain”, Workshop ESTEC, 21-23 Oktober 1998

JAXA, 2006, The 2nd ALOS Research Announcement: Calibration and Validation,

Utilization Research, and Scientific Research, Earth Observation Research Center

Japan Aerospace Exploration Agency, Japan

Schneider M., Lehner M., Muller R. And Reinartz P., 2008, Stereo Evaluation of

ALOS/PRISM Data on ESA-AO Test Sites – First DLR Results, ALOS Symposium,

Rhodos, 2008

Trisakti B. and Pradana F.A., 2006, “Application of ASTER stereoscopic Image for

developing topography updating model”, Research Report 2006, Remote Sensing

Application and Development Center, LAPAN.

Trisakti B. dkk, 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi Dem (Digital Elevation Model)

Dari Data ALOS PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset Dasar, Pusbangja,

LAPAN, 2010

Yastikh et al., 2006, Accuracy and Morphological Analyses of GTOPO30 and SRTM X-C

band DEMS in the Test Area Istambul, ISPRS Workshop, Ankara.

Page 121: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 113

BIOGRAFI PENULIS

Bambang Trisakti

Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada

tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan

pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas

Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai

tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf

peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat

Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan

dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional

adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan

penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk

berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya

air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang

diminati adalah image processing.

Page 122: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat

TM5 berbasis Fuzzy Logic

(Studi Kasus Wilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)

Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna

Page 123: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 115

Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 berbasis

Fuzzy Logic (Studi KasusWilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)

Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna

Departemen Geografi, FMIPA Universitas Indonesia

Kampus UI, Depok 16424

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Berdasarkan fisiografi Pulau Jawa (Bemmelen, 1949), Gunung Endut termasuk

dalam jajaran zona gunungapi kuarter, di mana aktivitas vulkanisme dan

magmatisme menandakan daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi sistem panas bumi di Gunung

Endut berdasarkan kondisi fisik wilayah yang dikenali menggunakan data citra

satelit Landsat TM-5 dan data-data geologi. Dalam penelitian ini, wilayah

prospek panas bumi diintegrasi dalam sistem kepakaran mesin yaitu Fuzzy Logic.

Model ini mengintegrasikan nilai variabel penciri kehadiran sistem panas bumi

di permukaan, seperti struktur kelurusan, endapan hidrotermal dan satuan

morfologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa prospek panas bumi di Gunung

Endut terletak di sebelah barat dari kerucut Gunung Endut itu sendiri dengan luas

wilayah prospek sebesar 17,5 km2. Wilayah ini ditandai oleh kemunculan air

panas Cikawah dan Handeleum serta bentukan morfologi sungai stream offset.

Hasil penelitian memiliki keselarasan cukup baikdengan hasil delineasi

pengukuran geofisika pada penelitian sebelumnya oleh Badan Geologi pada

tahun 2006. Satuan morfologi merupakan variabel yang paling tinggi

mempengaruhi hasil delineasi wilayah prospek, ditunjukkan oleh koefisien

korelasi regresi sebesar 0,5. Berdasarkan delineasi prospek dan karakteristik fisik

wilayahnya, Gunung Endut merupakan Lapangan Panas Bumi dengan Sistem

Vulkano-Tektonik (kerucut vulkanik-graben).

Kata kunci: Fuzzy Logic, Gunung Endut, panas bumi, penginderaan jauh,

Wayang Windu

Abstract

Based on physiographic of Java Island (Bemmelen, 1949), Mount Endut is

included in the ranks of the volcanic zones quarter, where volcanism and

magmatism indicate this area is a geothermal potential location. This study aims

to determine the location of the geothermal system at Mount Endut based on the

physical condition of the area which identified using Landsat TM-5 sattellite

image and geological data. In this study, geothermal prospect areas were

Page 124: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

116 Faris Pramadhani, dkk.

delineated using Fuzzy Logic engine system. This model integrates the value of

the variable identifier for geothermal systems such as lienament structures,

hydrothermal alteration and morphological units. The results showed that the

geothermal prospects in Mount Endut located on the west of the Gunung Endut

with the prospect of about 17.5 km2. This region is characterized by the

appearance of hot water in Cikawah and Handeuleum river and streamoffset

morpholgic feature. The results have a pretty good aggrement with the results of

the delineation of geophysical measurements in previous studies by the

Geological Survey in 2006. Morphological unit is the highest variable affecting

outcome of prospect regions which indicated by the regression of correlation

coefficient about 0.5. Based on physical characteristics of the region and the

prospect area, Mount Endut is a Geothermal Field with Volcano-tectonic

(volcanic cone-graben) system.

Keywords: Fuzzy Logic, geothermal, Mount Endut, remote sensing, Wayang-

Windu

1. PENDAHULUAN

Energi panas bumi merupakan alternatif energi terbarukan yang ramah

lingkungan dan berkelanjutan. Di Indonesia, sebagian besar energi panas bumi

yang telah dimanfaatkan selama ini merupakan energi yang diekstrak dari sistem

konvektif hidrotermal. Namun, potensi panas bumi dari satu lapangan ke

lapangan panas bumi lainnya tidak selalu sama. Lokasi sumber panas, sirkulasi

fluida, dan jalur patahan sebagai komponen utama sistem panas bumi bergantung

pula pada bagaimana karakteristik fisik wilayahnya. Dengan mengetahui

keterkaitan antara sistem panas bumi dan karakteristik fisik suatu wilayah, dapat

diketahui pula implikasinya terhadap potensi panas bumi yang muncul di wilayah

tersebut (Utami Pri & Soetoto, 2001).

Kehadiran struktur kedalaman lokal yang berkaitan dengan panas bumi dapat

tercemin terhadap ekspresi struktur geologi di permukaan, seperti kelurusan –

kelurusan topografi dan bentukan struktur melingkar. Di samping itu, sistem

rekahan dan patahan di lapangan panas bumi sebagai media penetrasi fluida naik

ke atas pada umumnya ditandai dengan deposit mineral di permukaan yang

berhubungan dengan manifestasi dan gejala alterasi batuan (umumnya lempung).

Data mengenai manifestasi ini dapat berguna dalam tahap prospeksi untuk

mengenali dimana terdapat sistem panas bumi pada suatu wilayah (Saptadji,

2002).

Kriteria geologi ataupun ekspresi gejala panas bumi di permukaan dapat

diidentifikasi lewat aplikasi penginderaan jauh dan diintegrasikan menggunakan

model SIG (Sistem Informasi Geografis). Penilaian permeabilitas batuan

(patahan/rekahan) dalam suatu lapangan panas bumi dapat diukur menggunakan

metode Fault and Fracture Density (Soengkono, 1999). Sementara kaitannya

Page 125: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 117

dengan ciri panas bumi lain di permukaan, seperti batuan alterasi/endapan

hidrotermal dapat dikenali lewat metode Defoliant Tehnique menggunakan sensor

citra inframerah (Utami & Soetoto, 2001).

Penelitian ini mengambil studi kasus yaitu Gunung Endut, Kabupaten Lebak,

Propinsi Banten. Daerah ini memiliki sejarah aktifitas vulkanisme pada zaman

Kuarter. Kehadiran gunungapi kuarter di daerah penelitian adalah penanda bahwa

daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi(Saepulloh, 2012).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi penginderaan

jauh dan sistem Fuzzy Logic dapat memetakan prospek panas bumi di daerah

penelitian dan mengetahui pengaruh karakteristik fisik wilayah terhadap potensi

panas bumi di daerah penelitian.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Panas Bumi di Indonesia

Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga

lempeng besar (Eurasia, Hindia–Australia, dan Pasifik) menjadikannya

memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Subduksi antar lempeng benua

dan samudra menghasilkan suatu proses peleburan magma dalam bentuk

partial melting batuan mantel dan magma mengalami diferensiasi pada saat

perjalanan ke permukaan. Proses tersebut membentuk kantong–kantong magma

yang berperan dalam pembentukan jalur gunungapi yang dikenal sebagai

lingkaran api (ring of fire). Munculnya rentetan gunung api Pasifik di sebagian

wilayah Indonesia beserta aktivitas tektoniknya, dapat dijadikan sebagai model

konseptual pembentukan sistem panas bumi di Indonesia (Kasbani, 2010).

Berdasarkan kriteria tatanan geologinya, sistem panas bumi konvektif hidrotermal

di Indonesia dibagi dalam 3 kategori utama (Badan Geologi, 2008, dalam

Kasbani, 2010) :

(a) Sistem Vulkanik. Sistem panas bumi vulkanik berasosiasi dengan aktifitas

vulkanik kuarter. Fluida panas bumi pada sistem ini menerima panas dari

intrusi magma dengan panas yang tertinggi (≤370oC) dibanding dengan tipe

sistem panas bumi lainnya.

(b) Sistem Vulkano – Tektonik. Sistem ini adalah sistem panas bumi yang

berasosisasi antara struktur graben (tektonik) dan kerucut vulkanik, umumnya

ditemukan di daerah Sumatera pada jalur sistem sesar sumatera

(Sesar Semangko) dan memiliki reservoar menengah (50 – 100 MW) sampai

tinggi (>100 MW).

(c) Sistem Tektonik. Sistem panas bumi yang tidak berkaitan langsung

dengan vulkanisme dan umumnya berada di luar jalur vulkanik

Kuarter (Kasbani, 2010), dimana gaya tektonik menyebabkan regangan pada

Page 126: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

118 Faris Pramadhani, dkk.

lapisan bumi dan menyebabkan material panas (heat source) dapat muncul di

kedalaman dangkal (Ballard, 2000).

2.2 Geomorfologi Lapangan Panas Bumi Vulkanik

Studi geomorfologi pada suatu lapangan panas bumi umumnya mempunyai dua

tujuan utama. Pertama, bermaksud mengorganisasikan secara sistematik

pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan. Kedua, bermaksud

untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari

pengelompokan, guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam tata

lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin

dicapai (Bloom, 1979., dalam Mardiana, 2007). Setidaknya terdapat dua bentukan

menyimpang di lapangan vulkanik yang berhubungan dengan kepanasbumian,

yaitu struktur melingkar yang menandakan adanya sector collapse atau deformasi

vulkanik dan struktur kelurusan yang menandakan adanya pergeseran posisi

batuan.

2.3 Peran Penginderaan Jauh dalam Eksplorasi Panas Bumi

Penginderaan jauh dapat membantu pemetaan geologi permukaan, khususnya

dalam memetakan struktur geologi, daerah manifestasi panas, dan pelamparan

batuan teralterasi (Utami dan Soetoto, 2001). Di samping dapat membantu

menentukan strategi ground survey (baik geokimia maupun geofisika), dan

membantu pemilihan lokasi pemboran eksplorasi.

Struktur geologi perlu dipetakan dan diketahui karakteristiknya karena struktur

tersebut mengontrol permeabilitas reservoar panas bumi (Soengkono, 1999). Foto

udara banyak dipakai untuk membantu memetakan struktur geologi, seperti yang

telah dilakukan di Taupo, Selandia Baru (Soengkono, 1999), dan Islandia Selatan

(Khodayar et al., 2010).

Saepulloh, et al (2010) menyebutkan bahwa citra ASTER yang memiliki resolusi

spasial 15-30 m untuk band VNIR-SWIR dapat mengenali daerah panas bumi di

Pulau Bacan, Maluku Utara. Mereka memetakan sebaran mineral kaolinite, illite

dan alunite melalui metode Spectral Angle Mapper (SAM). Berikutnya, Wibowo

(2006) melakukan pengenalan daerah panas bumi lewat pemetaan daerah alterasi

lempung dan oksida besi di Jawa Barat menggunakan sensor citra Landsat TM.

Hasilnya menunjukan adanya korelasi antara kejadian panas bumi dan sebaran

alterasi di permukaan dalam jarak tertentu.

2.4 Fuzzy Logic

Konsep Fuzzy Logic diperkenalkan pertama kali oleh Wilkinson pada tahun 1963

dan Zadeh pada tahun 1965 (Zadeh, 1993). Konsep Fuzzy Logic merupakan

pengembangan dari logika Boolean/Klasik, dimana logika Boolean menyatakan

bahwa segala hal diekspresikan dalam istilah binari (seperti : 0 atau 1, hitam atau

putih, ya atau tidak).

Page 127: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 119

Fuzzy Linear merupakan salah satu fungsi dalam Fuzzy Logic yang hanya

mentransformasikan nilai maksimum dan minimun dari input awal menjadi garis

linear 0 sampai 1 (Gambar 1). Fuzzy Large merupakan fungsi yang mengubah

nilai berurutan, yaitu semakin besar

maka nilai fuzzy mendekati 1. Sedangkan Fuzzy Small merupakan fungsi

kebalikan dari fungsi Large.

Gambar 1. Grafik Fungsi Fuzzy Linear (Zadeh, 1993)

2.5. Fisik Wilayah Gunung Endut

Gunung Endut terletak di Kecamatan Lebakgedong, Ciparay, Leuwidamar, Sajira,

Sobang dan Muncang, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Dimensi penelitian ini

mencakup keseluruhan tubuh Gunung Endut menuju ke lereng barat. Dalam

fisiografi skala regional, Gunung Endut berada pada jajaran pertemuan 3

Fisiografi, yaitu antara Zona Bogor, Punggungan dan Kubah dalam Zona Depresi

dan Zona Gunungapi Kuarter, di mana merupakan perbukitan lipatan yang

tersedimentasi dan terpatahkan di laut dalam pada zaman Tersier dan membentuk

Antiklinorium kemudian tertindih oleh gunungapi kuarter yang lebih muda (Van

Bemmelen, 1949).

Ketinggian di Gunung Endut berkisar kurang lebih antara 70 sampai 1.500 mdpl.

Berdasarkan klasifikasi Sandy (1985), wilayah ketinggian di Daerah Gunung

Endut terbagi dalam 3 klasifikasi, yaitu wilayah pertengahan (>500 mdpl),

wilayah pegunungan (500-1000 mdpl) dan wilayah pegunungan tinggi (1000-

1500 mdpl).Kemiringan lereng bervariasi dengan kisaran antara 0 – 50 %. Daerah

dengan kemiringan lereng curam (30 -50%) berada di bagian barat Gunung Endut

dan sekeliling G. Pilar di barat laut daerah penelitian. Kemudian kemiringan

lereng antara 0 - 15% dan 15 – 30% menempati sebagian besar daerah

penelitian, terutama di bagian tengah dan selatan.

Berdasarkan rujukan Peta Geologi Sistematik skala 1:50.000 hasil laporan

Penyelidikan Terpadu PSDG (Kusnadi et al, 2006), Batuan di Daerah Gunung

Endut dikelompokkan menjadi 12 satuan. Urutan dari tua ke muda adalah

Formasi Badui (Tmd), Anggota Batugamping (Tmb), Anggota Batupasir (Tmbp),

Dasit (Tda), Intrusi Andesit (Ta), Batuan Gunungapi Pra-Endut (Tve), Batuan

Page 128: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

120 Faris Pramadhani, dkk.

Gunungapi Pilangranal (Tvp), Diorit (Td), Granodiorit (Tgr), Batuan Gunungapi

Pilar (Qvpi), Batuan Gunungapi Endut (Qve) dan Aluvium (Qal).

Gambar 2. Fisiografi Jawa Barat dan Penampang Topografi Gunung Endut

3. METODOLOGI PENELITIAN

Wilayah prospek panas bumi diukur dengan menyusun variabel-variabel penciri

utama sistem panas bumi dalam satu model spasial Fuzzy Logic. Didalamnya

meliputi tahap delineasi wilayah berdasarkan hasil integrasi variabel penciri

sistem panas bumi, yaitu tingkat permeabilitas batuan, morfologi struktural dan

sebaran batuan alterasi.

Pengaruh karakteristik fisik terhadap potensi panas bumi di masing-masing

daerah penelitian dikaji melalui konsep korelasi. Dua hal yang dikorelasikan

adalah variabel fisik dengan area prospek panas bumi. Variabel fisik yang

digunakan adalah struktur geologi, litologi dan geomorfologi. Dengan

mengetahui keterkaitan keduanya, maka dapat diketahui variabel penciri yang

paling mempengaruhi prospek panas bumi di masing-masing daerah penelitian.

Secara garis besar, metodologi penelitian meliputi tahap pekerjaan, yang terdiri

dari:

1) Pengumpulan dan pemasukkan data yang digunakan sebagai variabel.

2) Pembuatan model yang didasarkan pada studi empiris dan penentuan kriteria

umum untuk mengenali gejala sistem panas bumi di masing-masing daerah

penelitian. Termasuk validasi hasil model prediksi dengan data lapangan.

3) Korelasi antara potensi panas bumi dengan karakteristik fisik wilayah di

masing-masing daerah penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dan peta Geologi

Sistematik skala 1: 50.000, data DEM (Digital Elevation Model) yang di ektstrak

Gunung

Endut

Page 129: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 121

dari kontur Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000, data citra Landsat TM-5 tahun 1999,

dan data ground truth diperoleh dari Laporan hasil penyelidikan terpadu panas

bumi Gunung Endut milik Badan Geologi - Pusat Sumber Daya Geologi

Bandung tahun 2006. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa perangkat

lunak pengolah citra satelit, data spasial, dan non-spasial diantaranya ENVI 4.7,

Global Mapper 14.0, PCI Geomatica 12, dan ArcGIS 9.3.

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian antara lain :

1) Morfologi bentukan asal struktural

antara lain : a) Morfologi Tapal Kuda (sector collapse), b) Kawah atau sisa

kawah, berhubungan dengan eksplosi, c) Kaldera, d) Graben/Horst.

Satuan morfologi diperoleh menggunakan analisis tumpang tindih peta. Data peta

yang termasuk dalam parameter ini adalah bentuk medan dengan bentukan asal.

Bentuk medan diperoleh dari penampalan peta ketinggian dan kemiringan lereng.

Klasifikasi bentuk medan yang digunakan mengacu pada Dessaunets (1977).

Sedangkan bentukan asal diperoleh melalui interpretasi data dan peta geologi.

Data geologi meliputi informasi garis patahan/sesar, komposisi, umur, dan

sebaran batuan penyusun. Peta klasifikasi satuan geomorfologi mengacu pada

klasifikasi menurut Brahmantyo & Bandono (1999), yaitu berdasarkan pemerian

bentukan asal, struktur, dan proses.

2) Batuan Alterasi

Sebaran Batuan Alterasi merupakan parameter yang mewakili variabel Zona

Pengaruh Proses Hidrotermal. Sebaran ini berhubungan dengan keberadaan

Proses Hidrotermal di kedalaman. Karena pada kenyataannya, sirkulasi

hidrotermal sering kali memunculkan batuan alterasi di permukaan akibat adanya

pelamparan panas.

Pengolahan sebaran alterasi dilakukan menggunakan metode Defoliant atau

Directed Principal Component (DPC)Analysis. DPC di kalkulasi menggunakan

syarat tertentu. Band rasio untuk objek kajian harus secara teoritis tinggi (yaitu,

lebih besar dari 1) di salah satu input gambar lainnya dan secara teoritis rendah

(yaitu, kurang dari 1) dalam gambar input lainnya. Hasil DPC yaitu berupa nilai

hubungan dari input dua band rasio. Warna terang dan gelap dalam hasil

luaran gambar menunjukkan ada tidaknya mineral lempung (clay).

3) Permeabilitas Batuan

a. Kerapatan Patahan dan Rekahan

Patahan dan rekahan ditinjau dari kelurusan-kelurusan yang nampak sebagai

struktur topografi (topographic lineament). Struktur topografi ini

berhubungan dengan adanya pengsesaran dan perekahan batuan di

kedalaman.

b. Kerapatan Titik Perpotongan Struktur (Patahan dan Rekahan)

Page 130: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

122 Faris Pramadhani, dkk.

Parameter ini menggambarkan zona bukaan struktur (jog) dari hasil

perpotongan kelurusan yang memiliki anomali kerapatan tinggi sebagai

media potensial bagi fluida panasbumi muncul ke permukaan. Titik

Perpotongan Struktur ditarik dari struktur topografi yang berpotongan

dengan patahan regional.

Pengolahan struktur dilakukan melalui metode FFD, yang diperkenalkan oleh

Soengkono pada tahun 1999. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memperoleh

densitas kelurusan. Selanjutnya dibuat peta kontur nilai densitas kelurusan yang

diasumsikan bahwa pada densitas tinggi berasosiasi dengan pusat pergerakan

fluida panas bumi atau zona permeabel.

Untuk memperoleh wilayah prospek panas bumi pada masing-masing daerah

penelitian dilakukan proses tumpang tindih peta yang menginformasikan derajat

kehadiran variabel panas bumi dengan menggunakan model Fuzzy Logic. Proses

ini menggabungkan variabel-variabel kriteria fisik wilayah dan manifestasi

sebagai indikator panas bumi.Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini

adalah operator Fuzzy Gamma dan Fuzzy SUM.

Gambar 3. Skema Pengolahan Model Fuzzy

Hasil wilayah prospek (predicitive) berdasarkan karakteristik fisik di verifikasi

dengan jangkuan manifestasi, dimana menurut Saptadji (2002), lokasi panas bumi

umumnya berjarak 3 km dari manifestasinya. Sehingga berdasarkan gabungan

kriteria fisik wilayah dan manifestasi dapat didelineasi wilayah prospek panas

bumi (predictive). Angka ~0 untuk wilayah non prospek dan > 0,7 untuk wilayah

Page 131: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 123

prospek. Wilayah dengan nilai Fuzzy > 0,7 didasarkan pada batas nilai Gamma

0,7 yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah skema Fuzzy yang

digunakan dalam tahap analisis wilayah prospek (Gambar 3).

Untuk pengujian akurasi model Wilayah Prospek, dilakukan tahap validasi antara

hasil Model Prediksi Fuzzy Logic dengan data Ground Truth, yaitu hasil delineasi

pengukuran geofisika menggunakan analisis Kappa. Analisis Kappa dilakukan

dengan menampalkan sampel pengukuran hasil pengukuran Fuzzy dengan

pengukuran geofisika. Sampel diambil tiap grid dengan ukuran 1 x 1 km. Nilai

Kappa akan menunjukkan tingkat keselarasan (aggrement) dan prosentase total

akurasi dari kedua hasil pengukuran. Skema analisis wilayah prospek secara garis

besar ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Skema Analisis Wilayah Prospek

Manifestasi

Upflow

Peta Geologi sistematik

skala 1 : 100.000 LANDSAT TM-5

Kerapatan Patahan

dan Rekahan

Perpotongan

Struktur

Peta RBI

Daerah Penelitian I dan II

Wilayah

Ketinggian dan

Kemiringan

Lereng

DPC

Ratio 2 gabungan

PCA band

SWIR/VNIR

Sebaran Alterasi

Lempung

Stratigrafi

Patahan Regional

FFD (Fault

And Fracture

Density)

Bentuk Medan

dan Pola Aliran

Sungai

Satuan Morfologi

Fuzzy Logic

System

Wilayah

Prospek Panas

Bumi

Data Sekunder:

Validasi Model Prospek

- Lokasi Sumur Eksisting

- Pengukuran MT Resistivity

- Lokasi Mata Airpanas

Overlay

Gunung Endut

Page 132: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

124 Faris Pramadhani, dkk.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Geomorfologi

a. Morfologi Gunungapi

Morfologi ini ditandai dengan bentukan medan pegunungan dimana

ketinggiannya berada di atas bagian morfologi lain di sekitarnya. Pada daerah ini

hanya terdapat satu morfologi puncak yang masih terlihat utuh sebagai kerucut

gunung api, yaitu Puncak Gunung Endut (Gambar 5), ditandai dengan vegetasi

lebat dan erosi kuat. Komposisi batuan adalah breksi dan lava Gunungapi Endut.

Gambar 5. Morfologi Gunung Endut

Bentuk aktivitas magma lainnya adalah Deretan Kubah Intrusi dengan berbagai

komposisi, yaitu Andesit, Dasit, Granodiorit dan Diorit (mengandung kuarsa).

Deretan Kubah Intrusi ini tersingkap di permukaan akibat terjadinya pengerosian

intensif sedimen atau batuan vulkanik yang mengisi di atasnya. Dan akibat erosi

tersebut, batuan di atas tertransportasi menjadi debris dan menyisakan batuan

beku intrusi dangkal yang relatif lebih resisten terhadap erosi. Deretan Kubah

Intrusi andesit berumur Miosen ini sekaligus menandakan bahwa terdapat pula

gejala intrusi dangkal di dalam permukaan saat ini, yang mungkin masih

mengalami proses pemanasan dari dapur magma (jika jalurnya belum terputus)

dan menjadi sumber panas (heat source) bagi sistem panas bumi yang ada.

Page 133: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 125

b. Morfologi sesar

Di Gunung Endut morfologi bentukan asal struktural yang terbentuk bersifat

struktur kelurusan (sesar). Morfologi ini mengisi bagian tengah ke barat daya

daerah penelitian. Bagian morfologi ini menandakan terjadinya deformasi

struktural akibat pengsesaran (tektonisme). Anggota Unit Morfologi yang masuk

dalam Gejala Patahan adalah Punggungan Struktural Pilar-Endut, Lembah

Struktural Pilar-Endut, Gawir Sesar dan Kelurusan Struktur Sesar.

Gambar 6. Horst/Graben Daerah Gunung Endut

4.2 Permeabilitas Batuan

4.2.1 Fault And Fracture Density ( FFD )

Dari modelling DEM, kemudian dilakukan transformasi menjadi mode Hillshade

Image melalui delapan arah inklinasi cahaya berbeda, yaitu arah Timur (0°),

Timur Laut (45°), Utara (90°), Barat Laut (135°), Barat (180°), Barat Daya

(225°), Selatan (270°) dan Tenggara (315°). Delapan arah cahaya ini kemudian

dibentuk menjadi 2 image berbeda menggunakan analisis overlay. Dari 2

tampilan hasil overlay tersebut, kemudian ditentukan image terbaik yang

berhubungan dengan arah patahan utama setelah di analisis menggunakan tren

Diagram Roset. Setelah mendapatkan image pilihan, kemudian dapat ditarik

kelurusan-kelurusan yang diasumsikan merupakan struktur geologi lewat

perbedaan kontras rona. Kelurusan-kelurusan inilah yang mengontrol tinggi-

rendahnya kerapatan.

Page 134: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

126 Faris Pramadhani, dkk.

Gambar 7. Hillshade image sudut inklinasi cahaya 00, 45

0, 90

0, 135

0dan ekstraksi

kelurusan

Penarikan kelurusan diekstrak menggunakan software PCI Geomatica

menggunakan mode Automatice Line Extraction (ALE). Hasil tren arah

menunjukan arah kelurusan permukaan signifikan dengan arah patahan utama di

daerah penelitian, yaitu sesar mendatar berarah Barat Daya – Timur Laut.

Struktur dominan berarah Barat Daya – Timur Laut merupakan struktur yang

mengikuti Pola Meratus, dimana merupakan struktur awal penunjaman lempeng

Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda (Kusnadi et al, 2006).

Gambar 8. FFD Gunung Endut

Page 135: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 127

Hasil FFD di Daerah Gunung Endut menunjukan nilai kerapatan dengan kisaran

0,5 – 7,4 km/km2. Sebaran nilai FFD tinggi terkonsentrasi di kaki barat Gunung

Endut dan menjauh ke barat daya daerah penelitian mengikuti arah aliran sungai.

Diasumsikan bahwa daerah nilai FFD > 5 km/km2 adalah zona patahan dan

rekahan intensif. Dalam zona ini terdapat sesar mendatar (strike slip fault) yang

ditandai dari kenampakan jaringan sungai yang mengalami pembelokan tegak

lurus aliran asal/stream offset.

4.2.2 Kerapatan Titik Perpotongan Struktur

Di daerah Gunung Endut, titik lokasi perpotongan struktur berada di kaki Gunung

Endut yang bentuk medannya relatif bergelombang landai sampai terjal, dengan

nilai kerapatan sebesar 26/km2. Pada lokasi tertentu memperlihatkan bidang

morfologi Graben dan Horst, dimana terdapat bidang sesar sejajar bertemu

dengan sesar dari arah lain dan saling berpotongan membentuk sesar kompleks di

zona tersebut.

Gambar 9. Perpotongan Struktur Gunung endut

4.3 Sebaran Endapan Hidrotermal (Alterasi)

Berdasarkan kolom respon spektral USGS library yang disebandingkan dengan

panjang gelombang masing-masing saluran citra Landsat TM-5, didapatkan

variasi kurva pantulan vegetasi dan lempung yang digunakan untuk masukan

(loading) DPC. Dari rumus Defoliant, maka dua input rasio yang dipilih di

masing-masing daerah penelitian adalah 4/5 dan 5/7. Pada rasio 4/5, nilai vegetasi

secara teoritis akan tinggi sedangkan nilai lempung (kaolinit) akan rendah pada

rasio tersebut. Pada rasio yang berbeda yaitu 5/7, nilai lempung (kaolinit) secara

teoritis akan tinggi.

Pusat Perpotongan

Struktur

U

Page 136: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

128 Faris Pramadhani, dkk.

Tabel 1. Statistik PCA alterasi lempung (clay)

Eigen vector 4/5 5/7 Eigenvalue Eigenvalue (%)

DPC 1 +0.397648 +0.917538 1.341606 92.65701931

DPC 2 +0.917538 -0.397648 0.106321 7.342980689

Hasil komputasi statistik eigenvalue DPC menunjukkan nilai kontras negatif (-

0,397648) dan positif (+0,917538) serta eigenvalue sebesar 7,34 % pada loading

DPC 2. Kondisi ini menjelaskan bahwa sebaran alterasi lempung dapat dikenali

pada loading ini. Sebaran berada pada nilai negatif dan ditandai dengan rona

gelap pada citra luaran (Gambar 10). Di daerah Gunung Endut, sebaran alterasi

lempung berada di kaki kerucut Gunung Endut sebelah timur sampai timur laut

mengikuti arah aliran sungai di lereng kerucut Endut.

Gambar 10. Citra loading DPC 2 menunjukan sebaran alterasi lempung dalam rona

gelap

4.4 Wilayah Prospek Panas Bumi

Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini adalah operator Fuzzy Gamma

dan Fuzzy SUM. Berikut ini adalah gambar hasil tumpang susun data kriteria

fisik yang telah difuzzifikasi (Gambar 11).

Di Daerah Gunung Endut wilayah prospek terkonsentrasi di barat Daerah

Penelitian dengan luas sebesar 17,57 km2. Relatif berada di barat dari kaki

Gunung Endut mengisi sekitar aliran sungai Cikawah dan sungai Handeleum.

Konsentrasi berikutnya nampak di utara kaki Gunung Endut. Terdapat pula dua

kosentrasi tidak dominan di utara Gunung Barebangeun. Konsentrasi ini mengisi

sekitar aliran sungai.

Page 137: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 129

Gambar 11. Fuzzy Sets Wilayah Prospek Panas Bumi, berturut-turut (A) FFD, (B)

Perpotongan Struktur (C) Batuan Alterasi, dan (D) Morfologi bentukan asal struktural.

Gambar 12. Peta Wilayah Prospek Gunung Endut

Hasil Analisis Kappa memperlihatkan bahwa sebanyak 149 sampel kedua hasil

pengukuran menunjukan keselarasan (agreement) dalam menyatakan titik non-

prospek dari total 150 titik sampel non prospek hasil pengukuran Fuzzy.

Kemudian sebanyak 7 sampel kedua hasil pengukuran menunjukan keselarasan

Page 138: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

130 Faris Pramadhani, dkk.

(agreement) dalam menyatakan titik prospek dari total 19 titik sampel prospek

hasil pengukuran Fuzzy. Tingkat akurasi keselarasan dari kedua pengukuran

sebesar 64 % dan nilai Kappa termasuk dalam kelas cukup (0,484). Sehingga,

berdasarkan hasil ekstraksi titik mata airpanas dan analisis Kappa, delineasi

prospek panas bumi menggunakan model prediksi Fuzzy cukup akurat untuk

dijadikan Wilayah Prospek Panas Bumi di Daerah Gunung Endut.

Gambar 13. Analisis Kappa Wilayah Prospek

Tabel 2. Hasil Analisis Kappa

Fuzzy MT Resistivity Row

Total 0 1

0 149 1 150

1 12 7 19

Column Total 161 8 169

Kappa Accuraccy 0.484

(%) 90.0233

4.5 Pengaruh Karakteristik Fisik Wilayah Terhadap Potensi Panas Bumi

Morfologi Graben dan Horst merupakan variabel yang paling mempengaruhi

tingkat prospek panas bumi di daerah penelitian, dimana ditunjukkan oleh nilai

koefisien regresi sebesar 0,5813 (Tabel 3).

Interpretasi keselarasan (Landies and Koch 1997, dalam Carranza 2002):

Kappa <0,4 : buruk Kappa 0,6 – 0.75 : memuaskan

Kappa 0,4 – 0,6 : cukup Kappa >0,75 : istimewa

Keterangan :

0 = Non Prospek;

1 = Prospek

Page 139: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 131

Tabel 3. Korelasi Regresi Wilayah Prospek dengan variabel masukan

Regression Statistics

Multiple R 0.89637351

R Square 0.80348547

Adjusted R Square 0.799454402

Standard Error 0.175090806

Observations 200

Coeffi-

cients

Std.

Error t Stat P-value

Lower

95%

Upper

95%

Lower

95,0%

Upper

95,0%

Intercept -0.428 0.1136 -3.769 0.0002 -0.6520 -0.2041 -0.6520 -0.2041

FFD 0.0597 0.0131 4.5712 0.0000 0.0339 0.0854 0.0339 0.0854

Perp.

Struktur 0.0054 0.0035 1.5375 0.1258 -0.0015 0.0123 -0.0015 0.0123

Morfologi 0.5813 0.0337 17.271 0.0000 0.5150 0.6477 0.5150 0.6477

Alterasi 0.2800 0.1232 2.2722 0.0242 0.0370 0.5230 0.0370 0.5230

Sumber panas bumi di Daerah Gunung Endut saat ini berasal dari intrusi batuan

beku 500 m dari bawah permukaan yang ditandai dengan anomali tahanan jenis

tinggi (Kusnadi et al, 2006). Intrusi tersebut ditandai pula dengan adanya

kawasan perbukitan dan kubah Intrusi Batuan Beku di selatan daerah penelitian.

Jika kubah dan perbukitan ini terbentuk pada zaman tersier, maka telah terjadi

perlipatan yang sangat kuat hingga tersingkapnya morfologi tersebut saat ini.

Perlipatan yang sangat kuat ini telah didiskusikan pula oleh Van Bemmelen

(1949) pada pembagian Zona Fisiografi Jawa Bagian Barat, dimana Daerah

Gunung Endut termasuk dalam Zona pertemuan Antiklinorium Bogor, Kubah

Bayah dan Zona Gunungapi Kuarter Jawa. Gaya perlipatan yang sangat kuat di

mana melebihi tingkat elastistas batuan menimbulkan ketidakseimbangan posisi

batuan yang berujung pada aktivitas pengsesaran atau morfologi bentukan

struktural saat ini.

Di Daerah Gunung Endut, kelurusan struktur di dominasi oleh tren berarah barat

daya – timur laut dan barat laut - tenggara. Sesar mendatar barat daya – timur laut

ini mengontrol pemunculan morfologi Graben dan Mata Airpanas Cikawah. Di

sisi lain, inflasi atau deflasi vulkanisme Gunungapi Endut pada kala Pleistosen

menyebabkan sesar di barat daerah penelitian semakin kompleks dan membentuk

reservoar panas bumi saat ini.

Adanya perselingan morfologi kerucut Gunungapi kuarter dan morfolgi Graben

berbatuan Tersier-Kuarter ini mendukung keberadaan sesar kompleks disana,

dimana terjadi potong-memotong antara sesar lama berarah Barat Daya – Timur

Laut dengan sesar baru berarah Barat Laut – Tenggara. Maka, berdasarkan

karakteristik fisik wilayah dengan kondisi suhu reservoar kelas sedang (1800-

2200C) dan potensi sedang (50 – 100 MWe), Lapangan Panasbumi Gunung Endut

merupakan lapangan dengan Sistem Vulkano-Tektonik atau Kerucut Vulkanik-

Graben.

Page 140: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

132 Faris Pramadhani, dkk.

Gambar 14. Model Konseptual Sederhana Sistem Panasbumi Vulkano-Tektonik

(Kerucut Vulkanik-Graben) Gunung Endut

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Wilayah prospek panas bumi di Gunung Endut dapat dikenali menggunakan

kompilasi data-data penginderaan jauh dan geologi. Potensi tersebut berada di

luar kerucut Gunung Endut, yaitu berada di sekitar aliran Sungai Cikawah dan

Handeuleum dengan luas 17,57 km2. Analisis Kappa menunjukkan wilayah

prospek hasil penelitian memiliki tingkat keselarasaan yang cukup baik (0,484)

setelah disebandingkan dengan data pengukuran geofisika.

Morfologi bentukan asal struktural merupakan variabel yang paling

mempengaruhi nilai prospek panas bumi dalam sistem Fuzzy, di mana

berdasarkan korelasi regresi berganda, koefisien morfologi berada pada nilai

tertinggi, yaitu 0,5813. Tingginya pengaruh morfologi dalam delineasi prospek

dipengaruhi oleh pola keruangan yang cenderung in-situ dalam satu luasan ruang

yang tinggi dan mengelompok (clustered). Sedangkan FFD, perpotongan struktur

dan batuan alterasi cenderung tinggi dalam ruang yang acak (random), meskipun

berkontribusi dalam tingginya nilai Fuzzy dalam wilayah prospek.

5.2 Saran

Selain untuk kebutuhan analisis karakteristik fisik wilayah pada tahap eksplorasi

panas bumi, aplikasi penginderaan jauh dapat pula digunakan untuk membantu

mengidentifikasi anomali suhu permukaan yang berkaitan dengan kehadiran

manifestasi permukaan seperti fumarole, kolam lumpur, kawah atau mata air

Page 141: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 133

panas. Namun aplikasi ini membutuhkan perangkat sensor termal dengan resolusi

spasial dan spektral yang detail. Karena sampai saat ini, sensor termal LANDSAT

TM yang memiliki resolusi spasial 90 m x 90 m belum cukup membantu dalam

pemetaan sebaran anomali panas tersebut.

Delineasi alterasi lempung (clay) dengan teknik penginderaan jauh, akan lebih

baik menggunakan citra ASTER jika dibandingkan dengan citra LANDSAT TM,

karena citra ASTER memiliki jumlah salurannya yang lebih banyak dibandingkan

LANDSAT Thematic Mapper sehingga lebih peka terhadap refleksi lempung.

Data hasil identifikasi penginderaan jauh, geokimia dan pendekatan alat lapangan

seperti MT Resistivity, Gravity, dll dapat dikolaborasi menggunakan Metode

Fuzzy Logic untuk memantapkan penentuan lokasi titik bor di daerah-daerah yang

terindikasi memiliki potensi dan sistem panas bumi.

DAFTAR REFERENSI

Badan Standardisasi Nasional. (1999). Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di

Indonesia.

Ballard, D., Robert. (Ed.). (2000). Encyclopedia of Volcanoes. New York: Academic

Press.

Badan Geologi Kementrian ESDM. (2006). Peta Kompilasi Daerah Panas Bumi Gunung

Endut Kabupaten Lebak Banten. http://pertambangan-geologi.blogspot.com

Bemmelen, R.W., van. (1949). The Geology of Indonesia (Vol 2). The Hague.

Bogie, I., Shanti, R.A.S, & Dwiyogarani, M. (2010). Volcanic Landforms that

Mark the Successfully Developed Geothermal Systems of Java,

Indonesia Identified from ASTER Satellite Imagery. Proceedings World

Geothermal Congress, Bali.

Brahmantyo, B., & Bandono. (1999). Geomorpholigical Information in Spatial Planning

of Indonesia Region. Proceedings of Indonesian Association of Geologist, Jakarta.

Bronto, S. (2010). Geologi Gunungapi Purba. Bandung: Badan Geologi ESDM.

Carranza, E.J.M. (2002). Geologically-Constrained Fuzzy Mineral Potential Mapping,

Examples from the Philippines. ITC Publication No. 86.

Giggenbach, W.F. (1988). Chemical Techniques in Geothermal Exploration.

New Zealand: Chemistry Division, DSIR, Private Bag.

Gupta, H., dan Sukanta, R. (2007). Geothermal Energy: An Alternative Resource For The

21st Century. United Kingdom: Oxford.

Kasbani. (2010). Tipe Sistem Panas Bumi di Indonesia dan Estimasi Potensi Energinya.

Bandung: Badan Geologi, ESDM.

Khodayar, M., Sveinbjorn, B., & Hjalti, F. (2010). Effect of Tectonics and Earthquakes

on Geothermal Activity Near Plate Boundaries: A Case Study From South Iceland,

Journal Geothermics, 39, 207-219. Elsevier. http://www.sciencedirect.com

Kusnadi, D., Alanda, I., Yuanno, R., Suhanto, & Edi, S. (2006). Penyelidikan Terpadu

Panasbumi Daerah Gunung Endut Kabupaten Lebak, Banten. Prosiding

Pemaparan Hasil Kegiatan lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya

Geologi, Bandung.

Page 142: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

134 Faris Pramadhani, dkk.

Mardiana, U. (2007). Manifestasi Panasbumi Berdasarkan Nilai Tahanan Jenis Batuan :

Studi Kasus Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat.

Laboratorium Geofisika, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Noor, D. (2012). Pengantar Geologi. Universitas Pakuan, Fakultas Teknik.

Pannekoek, A.J. (1989). Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa.

Pusat Sumber Daya Geologi. (2006). Data Analisis Contoh Air Geokimia Daerah Panas

Bumi G. Endut, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. (Tidak dipublikasikan).

Saepulloh, A., Minoru, U., Prihadi, S., & Suryantini. (2012). Spatial Priority Assesment

of Geothermal Potentials Using Multi-sensor Remote Sensing Data and

Applications. Proceedings Geothermal Workshop ITB, Bandung.

Saptadji, N.M. (2002). Teknik Panasbumi. Bandung: Departemen Teknik Perminyakan-

Institut Teknologi Bandung.

Soengkono, S. (1999). Assessment of Faults and Fractures at The Mokai Geothermal

Field, Taupo Volcanic Zone, New Zealand. Auckland, Geothermal Institute.

Sugiono, S.R.A., & Ali, A.R. (2012). Fault and Fracture Assessment at Wayang-Windu

Geothermal Field, Indonesia. Proceedings 1st ITB Geothermal Workshop, Institut

Teknologi Bandung.

U.S. Department of Energy. (2010). Exploration 1976 – 2006 : A History of Geothermal

Energy Research and Development in the United States. Geothermal Technologies

Program.

Utami, Pri., & Soetoto. (2001). Peran Citra Penginderaan Jauh Dalam Pengembangan

Sumberdaya Panasbumi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wibowo, H. (2006). Spatial Data Analysis and Integration for Regional-Scale

Geothermal Prospectivity Mapping, West Java, Indonesia. Msc Thesis.

International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation,

Enschede, The Netherlands.

Zadeh, L.A. (1993). Fuzzy sets Information Control. California: University of California,

Department of Electrical Engineering.

Page 143: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 135

BIOGRAFI PENULIS

Faris Pramadhani

Faris Pramadhani lahir di Cirebon pada 19 Februari 1992.

Penulis memiliki minat khusus dalam dunia GIS dan

Remote Sensing sejak duduk di semester 3 di pendidikan

tinggi Universitas Indonesia dan menuntaskan gelar

sarjana sains pada bidang Geografi pada Januari 2014.

Penulis pernah duduk sebagai GIS support analyst untuk

memetakan Banjir Jakarta pada tahun 2013 bersama

World Bank dan BPBD Jakarta. Menjadi salah satu

mahasiswa peneliti dalam bidang tehnologi rekayasa yang

diadakan DIKTI tahun 2013 untuk judul "Aplikasi D-

InSAR untuk Mendeteksi Land Subsidence di Kota Surabaya" dan "ALOS

PALSAR D-InSAR untuk Estimasi Volume Material Vulkanik Akibat Letusan

Gunung Semeru 2006 – 2009. Sampai saat ini, penulis aktif menjadi pembicara

dan intruktur dalam berbagai pelatihan GIS dan Remote Sensing.

Rokhmatuloh

Rokhmatuloh dilahirkan di Tangerang, Baten pada tahun

1971. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di

bidang Geografi di Universitas Indonesia tahun 1996, Ia

memulai karirnya sebagai dosen di Departemen Geografi

dalam bidang penginderaan jauh dan interpretasi foto

udara.

Setelah enam tahun mengajar, ia memperoleh kesempatan

untuk melanjutkan studinya di Universitas Chiba, melalui

dukungan Monbukagakusho, Jepang. Selama studinya ini

ia bergabung dengan Center of Environmental Remote

Sensing (CEReS), serta aktif berpartisipasi dalam konferensi lokal dan

internasional. Kemudian gelar Ph.D juga diperolehnya dari universitas yang sama.

Riset yang dilakukannya meliputi radar speckle noise filtering, percent tree cover

and global land cover mapping, dan ground truth selection.

Saat ini Rokhmatuloh aktif sebagai pengajar khususnya di bidang aplikasi

penginderaan jauh dan SIG untuk mitigasi bencana, pengembangan daerah,

managemen lingkungan, dan interpretasi citra digital.

Page 144: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

136 Faris Pramadhani, dkk.

Supriatna

Supriatna lahir di Sukabumi, pada 14 Maret 1967. ia

menyelesaikan program sarjana dari Departemen Geografi,

Fakultas MIPA, Universitas Indonesia pada tahun 1992,

dan memperoleh gelar Master dari Program Sistem

Informasi Spasial-Geodesi, FTSP, Institut Teknologi

Bandung enam tahun kemudian. Selain itu, berbagai

program tambahan juga diikutinya, seperti GIS course with

software Caris, oleh PT Mitra Teknokorpora pada tahun

1993, Remote Sensing course and GIS in Land resources

evaluation, di Fakultas Geografi, UGM, pada 1994-1995,

dan juga GIS course with software Genasis, oleh PT. Multimatra Prakarsa pada

1995.

Berbagai riset ilmiah telah dipublikasikan, seperti "Kualitas Air Tanah di Desa

Sukmajaya, Depok" hasil kerja sama dengan pusat riset UI dan Senat Fakultas

MIPA UI, dan riset berjudul "Kualitas Lingkungan di Grogol Petamburan"

dengan Kelompok Studi Geografi (KSG), Fakultas MIPA, UI pada tahun 1989,

serta riset seputar konservasi magrove di Kawasan Pantai Paojepe, Siwa, Kab.

Wajo, Sulawesi Selatan pada 1999 yang merupakan riset hasil kerja sama dengan

Antropologi, FISIP-UI, Biologi LIPI, Demografi, FE-UI, dan Geografi, FMIPA-

UI.

Supriatna juga bergabung dengan berbagai organisasi seperti Ikatan Geografi

Indonesia (IGI), Asosiasi Kartografi Indonesia (AKI), dand Masyarakat

Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Saat ini ia aktif sebagai pengajar di

bidang Kartografi Digital dan SIG, dan juga menjabat sebagai Wakil Dekan

Fakultas MIPA, UI.

Page 145: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah

Karst Kecamatan Cipatat Menggunakan Data

SAR

Dimas Ade Prasetyo, Ketut Wikantika, Asep Saepuloh

Page 146: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

138 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan

Cipatat Menggunakan Data SAR

Dimas Ade Prasetyo

1, Ketut Wikantika

2, Asep Saepuloh

3

1Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung

2Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Institut

Teknologi Bandung 3Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung

Email : [email protected]

Abstrak

Daerah karst merupakan daerah gamping yang memiliki manfaat di berbagai

aspek kehidupan sehingga adanya informasi mengenai permukaan tanah di

wilayah karst tersebut sudah merupakan suatu keharusan. Penelitian ini bertujuan

untuk melakukan karakterisisasi permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan

Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh,

proses karakterisasi tersebut menjadi lebih cepat dan dapat menghemat biaya

survei geologi. Metode yang dilakukan adalah dengan mengklasifikasikan citra

fusi dan citra kerapatan kelurusan di Kecamatan Cipatat dengan menggunakan

metode region growing. Citra kerapatan kelurusan didapat dari hasil penarikan

kelurusan (linear features) pada dua frame citra ALOS PALSAR dengan mode

ascending dan descending, sedangkan citra fusi Kecamatan Cipatat merupakan

penggabungan dari 2 band data ALOS AVNIR-2 dengan 1 band data ALOS

PALSAR polarimetric. Dengan metode region growing, maka akan dihasilkan

zona-zona karakteristik permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat.

Kata Kunci : Karst, Karakterisasi, Permukaan Tanah, Kerapatan Kelurusan,

Citra Fusi, AVNIR-2, ALOS, Metode Region Growing.

Abstract

Karst area are limestone areas which can be used for various benefits hence

knowledge upon land surface of karst area is a necessity. The purpose of this

research is to characterize land surface of karst area in Cipatat Subdistrict in the

western Bandung District. The time and cost spent in geological surveys when

characterizing the karst area can be reduced with the technology of remote

sensing. The method used in this research is by classifying fusion image and

linear features density image of Cipatat Subdistrict using region growing method

classification. Linear features density image were obtained from linear features

of two frame images of ALOS PALSAR ascending and descending mode, while

the fusion images of Cipatat Subdistrict were joint images from double band data

ALOS AVNIR-2 with single band data ALOS PALSAR polarimetric. The result of

Page 147: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 139

the region grown method classification are shown as different class

characteristics of land surface of the Cipatat Subdistrict.

Keywords : Karst, Characterization, Land Surface, Linear Features Density,

Fusion Image, AVNIR-2, ALOS, Region Growing Method.

1. PENDAHULUAN

Wilayah karst merupakan wilayah gamping yang telah mengalami proses

pelarutan dengan ciri-ciri berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna

putih (Ford dan Williams, 1989). Salah satu daerah yang memiliki wilayah karst

luas di Pulau Jawa ini adalah Kecamatan Cipatat.

Keberadaan karst di Kecamatan Cipatat merupakan suatu keuntungan tersendiri

karena memiliki nilai strategis dan ekonomis, antara lain sebagai sumber air bagi

penduduk, bahan baku semen, bahan baku pestisida, dan lain-lain. Oleh karena itu,

adanya informasi karateristik mengenai permukaan tanah di wilayah karst ini

sudah semestinya menjadi suatu keharusan.

Karakterisasi permukaan tanah sebenarnya dapat dilakukan langsung di lapangan

dengan survei geologi. Namun, pada kenyataannya kegiatan survei geologi

membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang banyak. Dengan adanya teknologi

penginderaan jauh, seperti data SAR (Synthetic Aperture Radar) ini sangat

membantu dalam proses karakterisasi permukaan tanah. Penginderaan jauh

memberikan informasi mengenai suatu objek di permukaan bumi tanpa harus

mendekati secara langsung objek tersebut.

2. WILAYAH STUDI

Gambar 1. Wilayah Studi

Page 148: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

140 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Wilayah studi pada penelitian ini adalah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung

Barat, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Cipatat memiliki 12 kelurahan.

Kecamatan Cipatat merupakan wilayah karst karena sebagian besar wilayahnya

berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna putih. Wilayah

Kecamatan Cipatat dapat dilihat pada Gambar 1.

3. METODE PENELITIAN

Secara umum, metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini ditunjukkan

oleh gambar 2.

Gambar 2. Metode Penelitian

Page 149: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 141

3.1 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SAR (Synthetic Aperture

Radar) yang merupakan hasil akuisisi satelit ALOS (Advanced Land Observing

Satellite) dari sensor PALSAR (Phase Array type L-band Synthetic Aperture

Radar), yaitu berupa 1 frame citra hasil akuisisi mode ascending pada tanggal 9

September 2010 dan 1 frame citra hasil akuisisi mode descending pada tanggal 5

Januari 2011. Citra ascending dan descending yang digunakan ditunjukkan oleh

gambar 3.

Gambar 3. Citra Ascending (kiri) dan Citra Descending (kanan)

Data lain yang digunakan adalah citra fusi Kecamatan Cipatat. Citra fusi ini

merupakan hasil penggabungan antara data citra optis dan data citra SAR. Citra

fusi ini terdiri dari 3 band, dengan komposisi 2 band dari citra ALOS AVNIR-2

dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (Marcella, 2013). Citra fusi

Kecamatan Cipatat ditunjukkan oleh gambar 4.

Selain itu, juga digunakan peta Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa, karya

Sudjatmiko tahun 1972. Peta geologi menampilkan sumber informasi dasar dari

jenis-jenis batuan (litologi), ketebalan, kedudukan satuan batuan (jurus dan

kemiringan), susunan atau urutan satuan batuan, struktur sesar, perlipatan dan

kekar serta proses-proses yang pernah terjadi di daerah ini. Peta Geologi Lembah

Cianjur ditunjukkan oleh gambar 5.

Page 150: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

142 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Gambar 4. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013)

Gambar 5. Wilayah Kecamatan Cipatat pada Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa

3.2 Metode

3.2.1 Pra-pengolahan Citra

Tahap pra-pengolahan yang dilakukan meliputi koreksi geometrik, speckle noise

filtering, dan pemotongan citra (masking). Koreksi geometrik dilakukan agar citra

ALOS PALSAR ascending dan descending memiliki datum dan sistem proyeksi

peta yang sama dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Metode

Page 151: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 143

yang digunakan adalah image registration (image to image) menggunakan titik

kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point) sebanyak 10 titik dan titik ICP

(Independent Check Point) sebanyak 5 titik pada masing-masing citra ascending

dan descending. Dari proses image registration yang dilakukan, didapatkan nilai

RMSE dari GCP pada citra ascending sebesar 0,121197 pixel dan pada citra

descending sebesar 0,164934 pixel. Sedangkan nilai RMSE dari ICP pada citra

ascending sebesar 0,147894 pixel dan pada citra descending sebesar 0,221719

pixel.l. Dari nilai RMSE yang didapatkan, maka koreksi geometrik metode image

registration yang dilakukan telah memenuhi persyaratan standar kesalahan yaitu

di bawah 0.5 pixel (Ekadinata, 2013).

Proses speckel noise filtering dilakukan dengan untuk mengurangi kesalahan-

kesalahan yang timbul akibat gangguan pada saat pengambilan citra karena

gangguan-gangguan tersebut mempengaruhi kenampakan pada citra sebagai

piksel yang terang atau gelap (Ragajaya, 2012). Metode yang dipakai adalah

adaptive filters bit errors dengan filter size 3x3, sigma factor 3, dan tolerance 5.

Setelah proses filtering, citra terlihat lebih halus karena speckle noise telah

berkurang.

Setelah melewati proses koreksi geometrik dan speckel noise filtering, maka akan

didapat citra yang telah terkoreksi. Tahap selanjutnya adalah pemotongan citra

(masking). Pemotongan citra (masking) dilakukan dengan menampalkan

(overlay) citra dengan batas administrasi Kecamatan Cipatat. Hasil akhir dari

proses pra-pengolahan data ditunjukkan oleh gambar 6.

Gambar 6. Hasil Akhir Tahap Pra-Pengolahan Data. Citra Ascending (kiri) dan Citra

Descending (kanan)

3.2.2 Penarikan Kelurusan (Linear Features)

Kelurusan berkaitan dengan fenomena yang bersifat linear pada suatu obyek

permukaan bumi. Fenomena kelurusan merupakan refleksi bidang

Page 152: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

144 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

ketidakmenerusan pada batuan, seperti rekahan, kekar, dan sesar (Singhal dan

Gupta, 1999).

Kelurusan morfologi yang tampak pada citra dapat terlihat pada beberapa

kenampakan, seperti pada jalur pegunungan, dataran, deretan gunung api, sungai-

sungai, memanjangnya tepi danau, garis pantai, palung, dan sebagainya (Modul

Kuliah Geomorfologi). Semua kelurusan yang tampak pada citra ascending dan

descending tersebut kemudian ditarik kelurusannya seperti yang ditunjukkan oleh

gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Kelurusan pada Citra Ascending Ditandai dengan Garis Merah

Gambar 8. Kelurusan pada Citra Descending Ditandai dengan Garis Kuning

Page 153: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 145

Dari citra ascending dan descending di atas, jumlah kelurusan yang dapat ditarik

adalah sebanyak 978 kelurusan. Persebaran posisi kelurusan dari kedua citra

tersebut ditunjukkan oleh gambar 9.

Gambar 9. Posisi Persebaran Kelurusan. Kelurusan pada Citra Ascending (Merah) dan

pada Citra Descending (Kuning)

Sebanyak 978 kelurusan yang sudah ditarik (gambar 10 kiri), kemudian diukur

arahnya dengan cara menghimpitkan titik pusat masing-masing kelurusan pada

titik pusat lingkaran diagram mawar (gambar 10 kanan). Setelah titik pusat

kelurusan dan titik pusat lingkaran diagram mawar berhimpit, maka akan dapat

terlihat arah atau jurus suatu kelurusan.

Gambar 10. Persebaran Posisi Kelurusan (kiri) dan Lingkaran Diagram Mawar (kanan)

Page 154: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

146 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Setelah semua kelurusan diketahui arahnya, kemudian dibuat diagram mawar

kelurusan Kecamatan Cipatat. Diagram mawar kelurusan Kecamatan Cipatat

ditunjukkan pada gambar 11.

Gambar 11. Diagram Mawar Kelurusan Kecamatan Cipatat. Arah Umum Kelurusan

Ditunjukkan oleh Garis Berwarna Merah

Dari diagram mawar di atas, dapat dilihat bahwa arah umum kelurusan di wilayah

Kecamatan Cipatat berada pada rentang 1°-10° atau 181°-190° dan rentang 151°-

160° atau 331°-340° karena kedua rentang sudut tersebut memiliki frekuensi

paling besar.

3.2.3 Pembuatan Citra Kerapatan Kelurusan (Linear Features Density Image)

Setelah mengukur arah umum kelurusan, maka tahap selanjutnya adalah

menghitung kerapatan kelurusan. Penghitungan kerapatan kelurusan ini bertujuan

untuk mengetahui konsentrasi dan pola penyebaran kelurusan-kelurusan

morfologi (Kim, 2003).

Penghitungan kerapatan kelurusan dimulai dengan pembuatan grid pada daerah

penelitian dengan interval yang tetap. Pada penelitian ini, ukuran grid yang

digunakan sebesar 10x10, sehingga akan menghasilkan 100 kotak kecil yang

memiliki luas yang sama. Grid yang dimaksud ditunjukkan pada gambar 12.

Dalam penghitungan kerapatan kelurusan ini, penulis mencetak grid kelurusan

dengan panjang 206 milimeter dan lebar 184 milimeter pada kertas. Dengan

demikian, maka tiap 1 kotak kecil pada grid akan memiliki panjang 20,6

milimeter dan lebar 18,4 milimeter. Luas tiap 1 kotak kecil pada grid adalah

379,04 milimeter².

Page 155: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 147

Gambar 12. Grid Kelurusan

Selanjutnya akan dilakukan penghitungan nilai % kerapatan kelurusan (% D)

pada setiap kotak kecil pada grid. Untuk menghitung nilai % kerapatan kelurusan

tersebut digunakan rumus sebagai berikut (Saepuloh et al., 2013 ):

% 𝐷 =𝑃

𝐿𝑥 100 % (1)

Dimana,

% D = % kerapatan kelurusan 1 kotak kecil pada grid

P = Jumlah panjang kelurusan dalam 1 kotak grid (satuan milimeter)

L = Luas 1 kotak grid (= 379,04 milimeter²)

Dari rumus di atas, maka akan didapatkan nilai % kerapatan kelurusan setiap

kotak kecil pada grid. Nilai % kerapatan kelurusan yang didapat memiliki rentang

antara 0 - 43,121693 seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1.

Tabel 1. Nilai % Kerapatan Kelurusan pada Grid

Page 156: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

148 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Nilai % kerapatan kelurusan di atas kemudian disimpan ke dalam format ASCII

(*.txt) sehingga setiap pixel akan akan menyimpan satu nilai % kerapatan

kelurusan. Setelah itu, akan ditampilkan sebagai citra kerapatan kelurusan. Pada

tahap pengolahan selanjutnya, citra kerapatan kelurusan akan digabungkan (layer

stacking) dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Oleh karena itu,

header dari citra kerapatan kelurusan ini harus disamakan dengan header dari

citra fusi Kecamatan Cipatat terlebih dahulu.

Gambar 13. Citra Kerapatan Kelurusan

Citra kerapatan kelurusan memiliki 1 band tunggal (grayscale). Rentang nilai

dalam band ini juga sudah normal karena sudah sesuai dengan rentang nilai

kerapatan kelurusan yang sebenarnya, yaitu antara 0 – 43,121693.

3.2.4 Penggabungan Band (Layer Stacking)

Penggabungan band (layer stacking) merupakan tahap menggabungkan dua data

citra yang sudah memiliki datum dan sistem koordinat yang sama. Pada

penelitian ini, layer stacking dilakukan dengan menggabungkan band dari citra

kerapatan kelurusan dengan band dari citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella,

2013).

Hasil dari tahap layer stacking akan menghasilkan citra fusi Kecamatan Cipatat

terbaru yang terdiri dari 4 band, yaitu 2 band ALOS AVNIR-2, 1 band ALOS

PALSAR polarimetric, dan 1 band kerapatan kelurusan. 2 band dari citra optis

ALOS AVNIR-2 dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric

Karena dalam citra fusi Kecamatan Cipatat terdapat 4 band, maka perlu

dilakukan pengaturan komposisi band terlebih dahulu, sehingga akan

menghasilkan 3 band RGB citra fusi Kecamatan Cipatat dengan komposisi

sabagai berikut:

Page 157: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 149

1. R-band adalah gabungan dari 2 band dari citra ALOS AVNIR-2 (R+G

band ALOS AVNIR-2).

2. G-band adalah 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (B-band

ALOS PALSAR polarimetric.

3. B-band adalah 1 band dari citra kerapatan kelurusan.

Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil dari tahap penggabungan band (layer

stacking) dan pengaturan komposisi band ditunjukkan oleh gambar 13.

Gambar 13. Citra Fusi Kecamatan Cipatat Hasil Layer Stacking

Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil layer stacking memiliki rentang nilai band

yang bervariasi. Untuk nilai R-band adalah 0 - 255, nilai G-band adalah 0 - 255,

dan nilai B-band adalah 0 - 43,121693.

3.2.5 Klasifikasi Citra Fusi

Pada citra penginderaan jauh, nilai respon spektral yang didapat akan sangat

beragam. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya nilai piksel pada tiap band citra

sehingga dibutuhkan metode yang dapat memudahkan untuk menganalisis dan

menginterpretasikan citra. Pada umumnya, klasifikasi citra satelit digunakan

untuk mendapatkan informasi karakteristik permukaan tanah dengan menerapkan

algoritma klasifikasi.

Pada penelitian ini, klasifikasi dilakukan dengan cara membuat zona-zona pada

citra fusi Kecamatan Cipatat. Pembuatan zona ini dilakukan dengan dua tahap.

Tahap pertama adalah pembuatan zona secara manual berdasarkan kenampakan

visual, yaitu pembuatan zona dilakukan berdasarkan penglihatan mata. Parameter

yang digunakan adalah warna (rona) atau nilai kecerahan pada setiap piksel citra

fusi Kecamatan Cipatat. Dengan proses tahap pertama ini, penulis dapat membagi

citra fusi Kecamatan Cipatat menjadi 7 zona seperti yang terlihat pada gambar 14.

Page 158: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

150 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Gambar 14. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (7 Zona) Hasil Layer Stacking

Tahap kedua adalah pembuatan zona dengan menggunakan metode region

growing. Region growing merupakan salah satu metode sederhana dalam proses

segmentasi citra yang berdasarkan region.

Prinsip metode region growing ini mulanya ialah penentuan sekumpulan seed

point. Kemudian diinisialisasikan suatu region awal dari seed tersebut. Region ini

akan terus berkembang dari seed point menjadi point-point yang saling

berdekatan tergantung pada kriteria yang dibuat seperti yang ditunjukkan oleh

gambar 15.

Gambar 15. Ilustrasi Metode Region Growing

Dalam penelitian ini, kriteria yang dibuat untuk membatasi perkembangan region

adalah dengan batas zona yang sudah dibuat berdasarkan pembuatan zona secara

visual seperti yang ditunjukkan oleh gambar 16.

Gambar 16. Contoh Proses Perkembangan Seed Point Sesuai dengan Batas Zona

Page 159: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 151

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil akhir penelitian ini berupa peta karakteristik permukaan tanah di wilayah

karst Kecamatan Cipatat. Peta tersebut menampilkan tujuh zona. Setiap zona

diberikan warna yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan oleh gambar 17.

Gambar 17. Peta Karakteristik Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat

Dari klasifikasi metode region growing, didapat data statistik untuk setiap zona

seperti yang ditampilkan oleh tabel 2. Statistik tersebut menampilkan informasi

rincian nilai rentang maximum, minimum, dan mean pada setiap band. Selain itu,

juga dilengkapi dengan informasi litologi pada masing-masing zona. Informasi

litologi tersebut didapatkan dengan mengacu pada legenda Peta Geologi Lembah

Cianjur.

Tabel 2. Statistik Zona Karakteristik Permukaan Tanah

Page 160: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

152 Dimas Ade Prasetyo, dkk.

Dari hasil penelitian (Marcella, 2013) telah dijelaskan bahwa setiap band pada

citra fusi akan menunjukkan karakteristik tertentu. Untuk R-band AVNIR-2

menunjukkan kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian. Untuk G-band ALOS

PALSAR polarimetric menunjukkan kekasaran obyek. Sedangkan, untuk B-band

kerapatan kelurusan hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan pada keberadaan

struktur geologi.

Dengan meninjau R-band AVNIR 2, dapat dilihat bahwa zona 4 dan 6 memiliki

nilai mean yang tinggi dibandingkan dengan zona lainnya, yang berarti zona 4

dan 6 memiliki nilai kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian yang tinggi

dibandingkan dengan zona lainnya. Litologi zona 4 dan 6 didominasi oleh batuan

breksi, lahar, lava, batupasir, dan serpih. Menurut informasi dari peta geologi,

batuan-batuan tersebut merupakan batuan hasil dari gunung api tua.

Dengan meninjau G-band ALOS PALSAR, dapat dilihat bahwa zona 6 memiliki

nilai mean tertinggi dan zona 3 memiliki nilai mean terendah. Zona 6 memiliki

litologi berupa breksi, lahar, lava, batupasir, serpih. Sedangkan, zona 3 memiliki

litologi berupa batupasir, batu gamping, batu lanau.

Dengan meninjau B-band kerapatan kelurusan, dapat dilihat bahwa zona 2, 3, 6,

dan 7 memiliki nilai mean yang tinggi. Hal ini berarti mengindentifikasikan

bahwa zona tersebut memiliki struktur geologi yang banyak jika dibandingkan

dengan zona lainnya. Struktur geologi tersebut bisa berupa patahan (sesar),

lipatan, maupun struktur kecil lainnya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa

didapat yaitu:

Hasil penelitian ini memberikan karakteristik permukaan tanah di wilayah

karst Kecamatan Cipatat dengan membaginya menjadi tujuh zona dan

disertai dengan nilai statistik pada masing-masing band RGB serta informasi

litologi pada masing-masing zonanya.

Dengan menggunakan data SAR dalam hal ini citra ALOS PALSAR

ascending dan ascending, proses penarikan kelurusan pada citra dapat

dilakukan dengan relatif mudah.

Dengan melakukan proses penggabungan band (layer stacking) antara fusi

hasil hasil penelitian (Marcella, 2013) dan citra kerapatan kelurusan hasil

penelitian ini, maka akan didapat citra fusi terbaru yang menampilkan warna

(rona) atau nilai piksel yang lebih beragam. Oleh karena itu, zona yang

terklasifikasi menjadi lebih banyak daripada hasil klasifikasi hanya dengan

menggunakan citra fusi hasil penelitian (Marcella, 2013) saja.

Page 161: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 153

5.2 Saran

Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan beberapa saran, yaitu:

Sebaiknya menggunakan peta geologi yang terkini agar informasi geologi

yang diperoleh sesuai dengan keadaan lapangan terkini.

Sebaiknya perlu mempelajari karakteristik litologi terlebih dahulu secara

mendalam sehingga dapat memberikan informasi karakteristik permukaan

tanah yang lebih baik.

DAFTAR REFERENSI

Choo, A. L., Chan, Y. K., dan Koo, V. C. (2011). Geometric Correction on SAR Imagery.

Progress in Electromagnetic Research Symposium Proceedings. Kuala Lumpur:

Multimedia University.

Ekadinata, A. (2008). Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan

Berbasis Sumber Daya Alam. World Agroforestry Centre, Bogor.

Ensiklopedia ITT Telkom. Diambil dari http://digilib.ittelkom.ac.id/

Ford, D and William, P. (2007). Karst Hidrogeology and Geomorphology, John Wiley &

Sons Ltd. The Atrium Gate, Chicester West Sussex, England

Gupta, R. P. (1991). Remote Sensing Geologi. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, New

York.

Kim, Gyoo-Bum. (2003). Construction of a Lineament Density Map with ArcView and

Avenue. Korea Water Resources Corporation, South Korea.

Marcella, Manda. (2013). Identifikasi Tutupan Lahan Wilayah Karst Kecamatan Cipatat

dengan Data ALOS PALSAR dan AVNIR : Kajian Perspektif Sosial,

Kependudukan, dan Ekonomi. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Modul Kuliah Geologi Dinamik. Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung.

Modul Kuliah Geologi Struktur. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung.

Modul Kuliah Geomorfologi. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung.

Prihanggo, Maundri. (2013). Identifikasi Genangan Air dengan Memanfaatkan Citra

Quickbird dan ALOS PALSAR: Studi Kasus Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten

Bandung. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Purwadhi, S. H. dan Sanjoto, T. B. (2008). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang.

Ragajaya, R. (2012). Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR

Menggunakan Citra ALOS PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Saepuloh, A., Urai, M., Meilano, I., dan Sumintadireja, P. (2013). Automatic Extraction

and Validation of Linear Features Density From ALOS PALSAR Data for Active

Faults and Volcanoes. Institute of Geology and Geoinformation and Technology,

National Inst. Of Advanced Industrial Science and Technology (AIST Japan).

Singhal, B. B. S., dan Gupta, R. P. (1999). Applied Hydrogeology of Fractured Rocks.

Kluwer Academic Publisher, Netherlands.

Yudhono, Erfianto Bagus. (2010). Klasifikasi Tutupan Lahan dan Tata Guna Lahan di

Kabupaten Bandung Barat dengan Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan ALOS

PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Page 162: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Pembelajaran dan Pemahaman Konsep

Lingkungan Berbasis Sistem Informasi

Geografis (SIG)

Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

Page 163: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 155

Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

Departemen Pendidikan Biologi, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

Jalan Dr. Setiabudhi 229, Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

1. PENDAHULUAN

Munculnya Sistem Geografi Informasi (SIG) sejak tahun 1980an, terutama

terdorong oleh perkembangan penginderaan jarak jauh, adanya komputer, dan

Global Positioning System (GPS). Sejak saat itu SIG mulai berkembang dan

menarik bagi berbagai pihak untuk keperluan yang sangat beragam. Oleh karena

itu, penggunaan SIG mengalami peningkatan yang sangat pesat sejak 1980-an.

Peningkatan dalam penggunaan SIG terjadi terutama di negara-negara maju, baik

di kalangan militer, pemerintahan, akademis, maupun untuk kepentingan bisnis.

SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang secara umum

dipergunakan untuk menyimpan, menampilkan, memanipulasi dan menganalisa

informasi-informasi data geografis (Prahasta 2005). Data geografis meliputi

fungsi lahan, administrasi desa, topografi, topologi, kandungan mineral tanah,

daerah aliran sungai, jaringan jalan, pemukiman dll. Produk yang dihasilkan

berupa peta konvensional (tradisional) yang dapat juga diubah ke dalam bentuk

peta digital, dengan maksud untuk lebih memudahkan pengguna melakukan akses

dan memperbanyak data. Bahkan dapat menghasilkan peta tematik yang

merupakan hasil modifikasi dan manipulasi dari peta asli serta disesuaikan

dengan kebutuhan (Surtikanti, dkk 2013).

Sistem ini dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisa objek-

objek dan fenomena-fenomena yang lokasi geografisnya merupakan karakteristik

yang penting atau kritis untuk dianalisis. Arc View merupakan salah satu

perangkat lunak dekstop SIG dan pemetaan yang dikembangkan oleh ESRI

(Environmental System Research Institute). Dengan demikian SIG merupakan

sistem yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi

geografis yaitu input (masukan), output (keluaran), manajemen data penyimpanan

dan pemanggilan data, serta analisis dan manipulasi data. SIG ini dapat

menampilkan gambar dua atau tiga dimensi suatu wilayah. Berbagai bentang

alam seperti bukit, sungai, serta berbagai informasi tambahan seperti jalan dan

perumahan dapat ditampilkan pada sistem ini.

Salah satu penggunaan SIG, yaitu dalam menganalisa fenomena/gejala yang

terjadi di permukaan bumi secara meruang. Fenomena ini dapat bersifat fisik

dan sosial (ekonomi, politik, budaya dan lingkungan). Adanya SIG, maka

Page 164: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

156 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

fenomena lokasi dan pola dapat diperoleh secara tepat dan akurat tanpa harus

kelapangan, sehingga memudahkan dalam menyelesaikan permasalahan terkait

(Andrasmoro dan Ratri, 2010).

Disini terjadi proses perkembangan pemanfaatan SIG dari yang bersifat pasif

yaitu berupa data dalam bentuk peta atau hard disk yang digunakan sebagai data

informasi, menuju ke pemanfaatan SIG yang bersifat aktif. Hal ini terlihat dari

beberapa hasil penelitian yang menggunakan SIG untuk menganalisa

permasalahan lingkungan, memprediksi kerusakan lingkungan dan dapat juga

digunakan untuk pengelolaan lingkungan.

Dalam pembelajaran SIG berada di 2 posisi yaitu belajar tentang SIG dan belajar

dengan SIG (Kerski 2013). Belajar tentang SIG meliputi materi Remote Sensing,

Geomatics dan informal education. Sedangkan belajar dengan SIG yaitu

mempelajari ilmu bumi, kimia, biologi, geografi, program komputer, sejarah,

dan matematika. Model pembelajaran konstruktivisme, pembelajaran berbasis

masalah, dan asesmen autentik sangat sesuai jika dikolaborasi dengan media SIG.

Walaupun SIG dikembangkan untuk melengkapi kemutakhiran data geografi,

tetapi SIG juga digunakan sebagai alat untuk kebutuhan dari segala aspek.

Khusus dalam bab ini akan dipaparkan bahwa SIG merupakan media teknologi

tinggi yang digunakan dalam pembelajaran dan penelitian yang berkaitan dengan

lingkungan.

2. SIG DAN LINGKUNGAN

Penggunaan SIG sangat erat hubungannya dengan lingkungan dan geografi.

Dibawah ini adalah paparan yang melukiskan bahwa SIG ternyata banyak

dimanfaatkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, yaitu: mempelajari

pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan, pengelolaan lingkungan dan populasi

hewan/tumbuhan.

Pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, SIG

merupakan salah satu media juga yang digunakan untuk memberikan gambaran

yang lebih luas. Bahri dan Irianto (2007) menggunakan SIG yang dipadu secara

integrasi dengan indeks kualitas air dalam mengkaji kualitas air sungai Citarum.

Adanya SIG ini, mampu memberikan kontribusi dalam menentukan kualitas air

secara spasial dan membantu para pengelola kebijaksanaan daerah setempat

(Triyono dan Wahyudi, 2008). Di penelitian lain, pemanfaatan SIG dalam

menjelaskan degradasi perubahan kualitas air DAS Cikapundung dari hulu hingga

hilir, juga memberikan penjelasan deskriptif yang komprehensif (Surtikanti, dkk

2013). Penyederhanaan peta DAS Cikapundung berbasis SIG dapat dilakukan

untuk memberikan gambaran fokus pada fungsi lahan dan pencemaran

lingkungan. Peta tersebut dapat dilengkapi dengan nilai biotik indeks (kualitas

air berbasis biologi) atau juga dengan menambahkan gambar benthos (biota air)

yang merupakan bioindikator air bersih maupun air kotor (Gambar 1). Peta di

Page 165: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 157

bawah ini merupakan hasil modifikasi dengan menggunakan program SIG, yaitu

menggambarkan profil DAS Cikapundung dari hulu hingga hilir dan fungsi lahan

yang berbeda. Kualitas DAS Cikapundung ini di evaluasi dengan menggunakan

bantuan bioindikator benthos. Keberadaan bioindikator benthos ini mencirikan air

bersih dan air tercemar.

Gambar 1. Paduan SIG dan bioindikator benthos dalam evaluasi kualitas air DAS

Cikapundung (Surtikanti, dkk 2013)

Aplikasi SIG juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan memantau tingkat

pencemaran udara, sungai dan laut. Hasil peta SIG ini memiliki kemampuan

memberikan informasi (data) dan dapat membandingkan parameter-parameter

yang melebihi standar baku mutu. Aplikasi ini juga dapat dilengkapi dengan

informasi lokasi industri dan daerah pengembangan industri. Puslit Air (2006)

membuat kombinasi bioindikator makrobenthos dengan SIG sehingga dihasilkan

data peta hubungan antara tingkat pencemaran pada sungai Citarum dengan skor

metric bioindikator dan jenis bioindikator. Dengan adanya program ini maka

pembaca dengan mudah dapat mengetahui informasi tingkat pencemaran udara,

sungai dan laut serta lokasi dimana terjadi pencemaran secara visual.

SIG juga dibutuhkan dalam memperoleh intepretasi data morfologi geografi,

lahan fungsi, drainase air, peta geologi, dan untuk mempelajari pencemaran air di

India (Alaguraja 2010). Sebab terjadinya pencemaran air, selain adanya

buangan limbah industri, pencemaran dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor

fisik lingkungan. Data fisik lingkungan ini sekarang dengan mudah dapat

diperoleh melalui SIG.

Page 166: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

158 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

Dalam pembelajaran ekologi populasi tupai, SIG dapat digunakan untuk

menunjang proses pembelajaran di tingkat universitas. SIG yang dipadukan

dengan kuliah lapangan ternyata lebih memotivasi siswa dalam belajar jika

dibandingkan dengan metode kuliah lapangan saja (Simmons, dkk 2008).

Penggunaan SIG akan lebih bermanfaat jika dilakukan pada skala ruang yang

sangat luas, kompleks dan sukar dijangkau jika dilakukan observasi di lapangan.

Walaupun begitu SIG dapat digunakan dalam pembelajaran bagi siswa yang tidak

nyaman melakukan kuliah lapangan.

Selain untuk mempelajari populasi dan habitat hewan, Purnama (2011) juga

memanfaatkan SIG dan GPS untuk mempelajari pola distribusi, komposisi dan

struktur komunitas hutan lamun di pantai Karang Tirta (Padang). SIG dan GPS

dalam studi tersebut membantu dalam menentukan lokasi sampling dan lokasi

penyebaran lamun. Peta sebaran lamun yang dihasilkan tersebut dapat

memberikan informasi yang jelas secara visual dan dapat memperlihatkan

kerusakan hutan lamun yang terjadi.

3. SIG DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Keberhasilan siswa dalam mempelajari lingkungan, khususnya literasi

lingkungan terdapat 6 aspek yang harus dipenuhinya yaitu memiliki: sikap peduli

lingkungan, menguasai pengetahuan ekologi, sosial-politik, masalah lingkungan,

kemampuan mendeteksi lingkungan, berfikir sistematik dan bertindak dalam

memecahkan permasalahan lingkungan, dan perilaku tanggung jawab terhadap

lingkungan (Hollweg, dkk. 2011). Untuk dapat mencapai ke 6 kriteria tersebut,

dibutuhkan beberapa strategi pembelajaran yang melibatkan model, metode dan

media pembelajaran yang sesuai. Pemanfaatan hasil Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) sudah banyak diimplementasikan di beberapa instansi

termasuk diantaranya di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam aktifitas

pembelajaran dikelas dan praktikum di laboratorium. Salah satu media TIK yang

sudah tidak asing lagi yaitu komputer yang menggantikan posisi mesin tik. Hasil

aktifitas yang dilakukan dengan menggunakan komputer sangat jauh manfaatnya

dibandingkan dengan mesin tik. Walaupun biaya yang dikeluarkan dengan

menggunakan komputer sangat tinggi tetapi dengan kemajuan yang diperoleh

sangat signifikan. Sehingga masyarakat dari segala umur sudah banyak mengenal

alat komputer. Pemanfaatan komputer dalam pengajaran diterapkan dalam bentuk

pembelajaran berbasis komputer yaitu CBI (computer based instruction) dan

CBL (computer based learning). Teknologi pembelajaran berbasis komputer

telah dibuktikan dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran (Riandi 2003).

Dengan munculnya komputer terutama pemanfaatannya di sekolah, banyak

dikembangkan beberapa proses pembelajaran yang dipadukan dengan komputer.

Pembelajaran tersebut diantaranya dengan menggunakan media power point,

virtual, internet, e-learning, e-book. Belajar mengajar Biologi dengan

menggunakan presentasi Power Point memberikan motivasi siswa untuk belajar

Page 167: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 159

biologi lebih bermakna (Kubiatko & Halakova 2009). Media pembelajaran

berbasis komputer yang dipadukan dengan e-learning dapat meningkatkan belajar

siswa pada ranah kognitif, efektif dan psikomotor di SMA (Riyadi 2011).

Media lain yang masih minim digunakan di Indonesia yaitu SIG. Di Amerika,

SIG yang dipadukan dengan kuliah lapangan dapat meningkatkan sikap dan

pengetahuan konseptual mahasiswa dalam mempelajari Ekologi (Simmons, dkk

2008). Kombinasi kuliah lapangan dan penggunaan SIG memiliki potensial

dalam pengembangan problem-based learning. Dalam kuliah lapangan saja,

mahasiswa hanya menggunakan alat radio telemetry untuk mencari lokasi.

Sedangkan SIG saja, hanya mengandung data yang digunakan untuk

menvisualisasi lokasi.

Tetapi akhir-akhir ini SIG digunakan untuk mendukung PBL (problem based

learning) oleh para pendidik (Summerby-Murray, 2001 & Drennon, 2005). Sebab

SIG memiliki potensi dalam meningkatkan pembelajaran lingkungan (NRC,

2006) dan meningkatkan sikap siswa terhadap lingkungan (West, 2003).

Walaupun sudah diketahui bahwa SIG sangat bermanfaat dalam pembelajaran,

tetapi dalam pelaksanaan di lapangan masih terhambat oleh beberapa kendala.

Kendala tersebut diantaranya ketrampilan guru yang masih minim terhadap

komputer, minimnya sarana komputer, pengetahuan SIG yang kompleks,

pemahaman SIG terhadap guru dan siswa, kebutuhan waktu lama untuk

memperkenalkan SIG di kelas, tingkat efektifitas penggunaan SIG yang belum

jelas dan membutuhkan biaya dan perlengkapan yang relatif mahal (Lloyd, 2001;

Baker, 2005; Simmons, dkk., 2008; Andrasmoro dan Ratri, 2010; dan Aina,

2013). Beberapa kendala tersebut merupakan keterbatasan dalam implementasi

SIG pada pembelajaran di kelas. Salah satu usaha dalam mengatasi kendala

tersebut yaitu pengembangan strategi pembelajaran oleh guru guna peningkatan

pemahaman materi Penginderaan Jauh dan SIG terhadap guru sendiri dan siswa

(Andrasmoro dan Ratri, 2010)

4. KESIMPULAN

Penggunaan teknologi SIG khususnya di bidang lingkungan sudah sangat luas

yaitu untuk evaluasi pencemaran sungai, mempelajari populasi hewan, dan

tumbuhan. Selain metode penelitian biologi yang sudah standar, tetapi dengan

adanya SIG ini memberikan kontribusi dalam melakukan penelitian berkaitan

lingkungan. Sehingga informasi yang diperoleh dari hasil penelitian sangat

komprehensif dan terpadu. Dalam pembelajaran di sekolah maupun di universitas,

SIG ternyata juga sudah diperkenalkan untuk pembelajaran terkait lingkungan.

Tetapi SIG hanya berupa media, dan SIG ini harus dipadukan dengan model

pembelajaran lain seperti PBL, Inquiry, Contextual Learning, CBL, dan lain-lain.

Perlu diantisipasi bahwa banyak kendala yang perlu dipertimbangkan dalam

menggunakan SIG dalam pembelajaran, sehingga implementasi SIG dapat

berlangsung tanpa hambatan.

Page 168: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

160 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

DAFTAR REFERENSI

Androsmoro, D. & Ratri DA. 2010. Kendala guru Geografi dalam pengembangan

pembeljaran pengindaraan jauh (Remote sensing) dan SIG (Sistem Informasi

Geografis) di lingkungan SMA kelas XII Kabupate Sragen. Seminar Nasional‐PJ dan SIG.

Aina, J.K. 2013. Effecrive teachingand learning in science education through information

and communication technology (ICT). IOSR Journal of Research and Method in

Education 2(5) 43-47.

Alaguraja, P., Yuvaraj D., Sekar M., Muthuveerran P., dan Manivel M. 2010. Remote

Sensing and GIS Approach for the Water Pollution and Management In

Tiruchirappli Taluk, Tamil Nadu, India. INTERNATIONAL JOURNAL OF

ENVIRONMENTAL SCIENCES Volume 1, No1.

Bahri, S. dan Irianto EW. 2007. Integrasi peta tematik dan indek kualitas air untuk kajian

kualitas air sungai. Buletin Pusair, Media Informasi Kegiatan Penelitian Keairan.

Vol. 16, No. 47.

Baker, TR. 2005. Internet-based GIS mapping in supportof K-12 education. Prof. Geogr.

57, 44-50.

Drennon, C. 2005. Teaching geographic information systems in a problem-based

learning environment. J. Geog. High. Educ. 29, 385-402.

Hollweg, K.S., Taylor J.R., Bybee R.W., Marcinkowski T.J., McBeth W.C. & Zoido

P. 2011. Developing a framework for assessing environmental literacy,

Washington, DC. North American Association for Environmental Education.

(http://www.naaee.net).

Kerski, J. 2013. Developments in Technologies and Methods in GIS In Education

http://www.josephkerski.com/data/spatial_thinking_wa10.pdf.

Kubiatko, M. and Halakova Z. 2009. Slovak high school students attitudes to ICT using

in biology lesson. Computers in Human Behaviour 25 743-748.

Lloyd, W.J. 2001. Intergrating GIS into the undergraduate learning environment. J. Geog.

100, 158-163.

Pardede, F.A.,Warnars, S.H.L.H. 2010. Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis

untuk menunjang pembangunan daerah.

http://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1006/1006.2085.pdf

Prahasta, E. 2005. Sistem informasi geografi: Konsep-konsep dasar, Penerbit Informatika,

Bandung.

Purnama, A.A. 2011. Pemetaan dan kajian beberapa aspek ekologis komunitas lamun di

perairan Pantai Karang Tirta Padang. http://pasca.unand.ac.id/id/wp-

content/uploads/2011/09/artikel-Arief-Anthonius-Purnama.pdf

Puslit Air. 2006. Penerapan Teknologi Spasial dan Sistem Informasi Geografi untuk

Pengelolaan Kualitas Lingkungan Keairan. Laporan akhir.

Qoriani, H.F. 2012. Sistem informasi geografis untuk mengetahui tingkat pencemaran

limbah pabrik di Kabupaten Sidoarjo, JURNAL LINK Vol 17/No. 2

Riandi. 2003. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan di

Indonesia dan Negara-negara Pasifik. Makalah disampaikan pada “The National

Seminar on Science and Mathematics Education”.

Riyadi, S. 2011. Studi experiment penggunaan Google Earth sebagai media pembelajaran

Sejarah berbasis E-Learning kelas XI IPS di SMA Negeri I Purwodadi Tahun

ajaran 2011/2012. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Semarang. (Tidak diterbitkan).

Page 169: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 161

Simmons, M.E., Wu X.B., Knight S.L., dan Lopez R.R. 2008. Assessing the influence an

field and GIS-based inquiry on student attitude and conceptual knowledge in an

undergraduate ecology lab.CBE Life Science Education Vol.7 338-345.

Summerby-Murray, R. 2001. Analysing heritage landscape with historical GIS:

contributions from problem-based inquiry and constructivist pedagogy. J.Geor.

High. Educ. 25, 37-52.

Surtikanti, H.K., Safaria T., dan Suryakusumah W. 2013. Kajian sistem informasi

geografi dan teknologi spasial untuk pengelolaan ekosistem sungai Cikapundung.

Laporan penelitian PPKBK, DIKTI-UPI.

Triyono, J. dan Wahyudi K. 2008. Aplikasi sistem informasi geografi tingkat pencemaran

industri di Kabupaten Gresik. Jurnal Teknologi, Vol. 1, No. 1: 1-8.

West, B.A. 2003. Student attitudes and the impact of GIS on thinking skills and

motivation. J. Geog. 102, 267-274.

Page 170: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

162 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat

BIOGRAFI PENULIS

Prof. Hertien Koosbandiah Surtikanti, M.Sc. ES. Ph.D

Hertien Koosbandiah Surtikanti merupakan guru besar

bidang biologi lingkungan di Departemen Pendidikan

Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Gelar Sarjana diraih tahun 1984 di bidang Biologi,

UNPAD. Gelar Magister penulis diperoleh dari RUG

Belgia di bidang Sanitasi Lingkungan (1990). Gelar Ph.D.

diraih penulis pada tahun 2001 dari UTS Sidney,

Australia di bidang Toksikologi Lingkungan. Penulis

sangat aktif melakukan riset di bidang biologi lingkungan

dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti biologi

molekuler, dan dengan memanfaatkan teknologi peninderaan jarak jauh.

Topik Hidayat, Ph.D

Topik Hidayat merupakan staf dosen di Departemen

Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia

(UPI) Bandung. Gelar Sarjana diraih tahun 1995 di bidang

Pendidikan Biologi, IKIP Bandung. Gelar Magister

penulis diperoleh dari ITB Bandung di bidang Biologi

(2001). Gelar Ph.D. diraih penulis pada tahun 2005 dari

The University of Tokyo, Japan di bidang Botani.

Bioteknologi Lingkungan merupakan salah satu bidang

riset yang sedang ditekuni saat ini, dimana salah satu

proyek risetnya adalah pemanfaatan pendekatan

metagenomik untuk menguji kualitas air. Bersama dengan Prof. Hertien pernah

melakukan riset tentang pengujian kualitas air menggunakan pendekatan

molekuler (penanda RAPD).

Page 171: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013