buletin issn : 1693 - 3265 volume 10, nomor 2, mei ... · pdf filenegara bukan pajak dari...

93
Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012 HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Upload: vanhuong

Post on 06-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi

Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara

Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi

(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara)

Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia

Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari

Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe

Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,

Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti

Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,

Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 2, Edisi Mei s.d Agustus 2012 kembali hadir

ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.

Topik utama Buletin menyoroti mengenai Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi, yang ditulis oleh Dr. Tini

Kustini, SH. Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang dapat menyelesaikan

permasalahan dengan damai, cepat, murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan dan kewajaran dan tentunya

perikemanusiaan.

Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :

1. Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara oleh Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD.

2. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang

No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) oleh Soehirman, SH., MS.

3. Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia oleh Fred B.G. Tumbuan,

4. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan

Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi oleh Indrawati, SH., LL.M

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai

dengan Agustus 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Agustus 2012

Redaksi

i

DARI MEJA REDAKSI

Halaman ini sengaja dikosongkan

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi ...................................................................................... 1 - 13

Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,

Bank Indonesia

Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara......................................................................................... 15 - 19Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD, Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI.,

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi

(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) .......................... 21 - 28

Soehirman, SH., MS, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia ................................................................................. 29 - 37

Fred B.G. Tumbuan, Pengacara Senior

Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi........................ 39 - 54

Indrawati, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012.............. 55 - 57

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum, Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012........ 59 - 86

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum Bank Indonesia)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

VOLUME 10, NOMOR 2, MEI – AGUSTUS 2012

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

I. PENDAHULUAN

Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan

hukum antara para pihak yang timbul antara lain dari

suatu perjanjian. Perjanjian bertujuan untuk mengatur

hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak

dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya

mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.

Dengan adanya suatu perjanjian, maka terdapat suatu

fakta hukum bahwa terdapat hubungan hukum antara

para pihak, misalnya bank dengan nasabahnya, dan

apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan

sesuai dengan perjanjian atau hukum yang berlaku.

Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan

kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat

dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar

pengadilan (out of court system). Salah satu cara

penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan

adalah mediasi.

Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS). Masyarakat internasional

(sipil atau publik)1 menghendaki setiap sengketa dan

ketidaksepahaman diselesaikan dengan damai, cepat,

murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan

dan kewajaran dan tentunya perikemanusiaan.2

Hal ini berkaitan dengan adanya reformasi di bidang

hukum, salah satu yang berkembang adalah

restorative justice sebagai langkah pembaharuan di

bidang peradilan informal, pembaharuan hak korban

dan ganti rugi. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan

menganjurkan pendayagunaan konsep restorative

justice secara lebih luas dalam sistem peradilan tidak

hanya terkait peradilan perdata namun diperluas ke

peradilan pidana,3 yang menekankan penyelesaian

masalah melalui mekanisme di luar pengadilan (out

of court system). Prinsip dasar dari restorative justice

adalah keadilan dengan memperbaiki pihak yang

dirugikan dan para pihak diberi kesempatan untuk

berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa dan

membuat segalanya baik (making things right).

Di berbagai negara telah terjadi pergeseran konsep

keadilan dalam penyelesaian perkara dari keadilan

atas dasar pembalasan menjadi keadilan dalam

bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang mengarah

pada keadilan yang menekankan pada kepentingan

1

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI

Oleh : Dr. Tini Kustini, SH,*

Abstrak

Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat

dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar pengadilan (out of court system).

Salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan adalah mediasi. Mediasi melibatkan pihak

ketiga yang netral yang akan bertindak untuk menghubungkan para pihak.

Key words : mediasi, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), wanprestasi

* Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia

1 Lihat Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2 Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm.iii.

3 Lihat United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.

penyembuhan bagi pihak yang dirugikan. Restorative

justice merupakan suatu paradigma pergeseran atau

perubahan dalam peradilan (shift in justice).

Alternatif Penyelesaian Sengketa berada pada jalur

doktrin yang baku, yakni pertama: doktrin

internasionalisme, bahwa dimanapun di dunia, filsafat,

prinsip, aturan dan kebiasaan APS dapat dikatakan

sama dan sebangun; kedua: doktrin universal, yakni

sengketa/ketidaksepahaman bentuk apapun, apakah

yang sipil/perdata maupun publik dapat diselesaikan

melalui APS. Artinya sengketa/selisih di bidang publik

dapat pula diselesaikan melalui APS, misalnya Prof.

Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH, LL.M pernah

diangkat oleh para pihak anggota PBB menyelesaikan

sengketa perbatasan Iraq dan Kuwait. Selanjutnya,

Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD pernah

dipilih dan diangkat oleh para pihak sebagai arbiter

tunggal penyelesaian sengketa antara RRC - Indonesia

dalam sengketa Slot Satelit di orbit geostasioner.4

Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi akan

dibahas melalui bagan alur sebagai berikut:

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

4 Ibid, hlm.iii – iv.

Putusan Pengadilan (Akte van Dading), Perjanjian Perdamaianmemiliki kekuatan eksekutorial

Tidak TercapaiTidak Tercapai

HUKUM PERDATA

PERJANJIAN

SENGKETA

COURT SYSTEM OUT OF COURT SYSTEM

PERADILAN APS

MEDIASI *) MEDIASI

WANPRESTASI

Wanprestasi

Pemeriksaan Pokok Perkara

Putusan Pengadilan

Dapat dilakukan Upaya Hukum

Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)

Putusan Pengadilan (Akte van Dading)

memiliki kekuatan eksekutorial

Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)

Tidak daftar di Pengadilan

ArbitrasePengadilan (Gugatan)

MEDIASI *)

Gugatan

Tercapai Tercapai

FINALTidak dapat dilakukan

Upaya Hukum

Daftar di Pengadilan

FINALTidak dapat dilakukan

Upaya Hukum

= Perjanjian PerdamaianTidak memiliki kekuatan

eksekutorial

Gugatan ke pengadilan a/d Wanprestasi Perjanjian

Perdamaian

II. PERJANJIAN

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih.5 Dalam suatu perjanjian

tercipta hubungan hukum antara dua orang.6 Artinya,

perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum

antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji

atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal

atau untuk tidak melakukan sesuatu hal yang disebut

dengan debitur7, sedang pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu yang disebut dengan kreditur.8

Artinya, perjanjian merupakan perbuatan untuk

memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu

akibat-akibat hukum yang merupaka konsekuensinya.9

Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan

hukum dan melahirkan seperangkat hak dan

kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya

mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,10

mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak

yang membuatnya.11

Kehendak para pihak merupakan faktor utama untuk

terjadinya perjanjian, tanpa adanya kehendak, tidak

mungkin tercipta perjanjian. Suatu perjanjian sudah

dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau

suatu perjanjian pada hakikatnya sudah dianggap

terjadi dengan adanya persetujuan (konsensus) dari

para pihak12 atau perjanjian sudah dilahirkan dan

mengikat pada saat atau detik tercapainya

konsensus.13 Para pihak wajib melaksanakan perjanjian

dan tidak dibenarkan untuk membatalkan atau

mengakhiri perjanjian tanpa persetujuan kedua belah

pihak atau tanpa alasan yang dibenarkan oleh Undang-

Undang.14

Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat

syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

(3) suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang

halal.15 Tidak terpenuhinya syarat perjanjian16 akan

membuat perjanjian itu menjadi tidak sah, yaitu syarat

nomor satu dan dua merupakan syarat subyektif

karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian,

sedangkan syarat nomor tiga dan empat merupakan

syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.

Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka

perjanjian batal demi hukum (nul and void), artinya

secara hukum sejak awal atau dari semula dianggap

tidak pernah dilahirkan atau ada suatu perjanjian.

Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum

adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar

untuk saling menuntut di depan hakim atau dikatakan

bahwa perjanjian itu null and void.

Dalam hal salah satu atau kedua syarat subyektif

tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan

pembatalan oleh salah satu pihak. Salah satu pihak

mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian

dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat menuntut

pembatalan kepada hakim melalui pengadilan. Pihak

yang dapat meminta pembatalan perjanjian adalah

pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak bebas

dalam memberikan sepakatnya. Akibatnya perjanjian

yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak

dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

3

14 Lihat Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

15 Lihat Pasal 1320 KUHPerdata.

16 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.17. Lihat pula Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.67.

5 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata.

6 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm.161.

7 Ibid, hlm.13.

8 Ibid, hlm.13.

9 Dikutip pada http://legalakses.com/perjanjian/ (12 Januari 2012).

10 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.9.

11 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

12 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.164.

13 Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.3.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

berhak meminta pembatalan. Perjanjian ini dinamakan

voidable atau vernietigbaar.

III.SENGKETA PERDATA

Perjanjian yang telah disepakati mengakibatkan

terikatnya para pihak, oleh karenanya para pihak

mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi

sesuai dengan perjanjian. Namun, dalam

pelaksanaannya ada kemungkinan terjadi sengketa

yang pada akhirnya akan mempengaruhi tujuan

perjanjian.

Apakah sengketa itu dan mengapa terjadi sengketa?

Sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah

mengemuka. Sengketa adalah perselisihan atau

perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara

dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan

kepentingan yang berdampak pada terganggunya

pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.17

Pemicu sengketa adalah (1) kesalahan pemahaman;

(2) perbedaan penafsiran; (3) ketidak jelasan

penafsiran; (4) ketidak puasan; (5) ketersinggungan;

(6) kecurigaan; (7) tindakan tidak patut, curang dan

tidak jujur; (8) kesewenang-wenangan, ketidak adilan;

dan (9) terjadi keadaan yang tidak terduga.

Sengketa dalam bahasa Inggris adalah dispute yang

mempunyai pengertian menurut Black’s Law

Dictionary adalah:18

“Dispute is a conflict or controversy; a conflict of

claims or right; an assertion of a right, claim, or

demand on one side, met by contrary claims or

allegations on the other. The subject of litigation;

the matter for which a suit is brought and upon

which issue is joined, and in relation to which jurors

are called and witnesses examined.”

Sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau

non litigasi yaitu APS. Pilihan cara penyelesaian

sengketa melalui jalur litigasi akan menghasilkan

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

eksekutorial, namun akan memakan waktu lama

(lambat), memerlukan biaya yang besar (mahal),

formal dan bersifat permusuhan.19 Sementara itu,

jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa

melalui musyawarah mufakat.

Sengketa berawal dari adanya perasaan tidak puas

dari salah satu pihak karena pihak lain tidak memenuhi

prestasi atau wanprestasi. Suatu perjanjian dikatakan

telah terlaksana apabila para pihak telah memenuhi

prestasinya sesuai dengan perjanjian.

IV.WANPRESTASI

Perjanjian menghendaki adanya suatu prestasi dari

para pihak. Yang dimaksud dengan prestasi adalah

seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan

sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu.20 Artinya,

seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi

apabila (1) tidak melakukan apa yang disanggupi

akan dilakukannya, (2) melakukan apa yang

diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,

(3) melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,

dan (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian

tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi adalah suatu keadaan karena adanya

kelalaian atau kesalahan, dimana debitur tidak dapat

memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan

dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan

memaksa.21 Istilah wanprestasi dalam bahasa Inggris

4

17 Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.2.

18 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.472.

19 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.71.

20 Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Lihat pula Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.173.

21 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hlm. 21.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

adalah breach of contract yaitu failure, without legal

excuse, to perform any promise which forms the

whole or part of a contract.22 Dengan demikian,

wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur

tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi

sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.

Wanprestasi dapat timbul karena kesengajaan atau

kelalaian debitur itu sendiri atau adanya keadaan

memaksa (overmacht).

Wanprestasi berkaitan erat dengan adanya perjanjian

antara para pihak, baik berdasarkan perjanjian sesuai

Pasal 1338 s.d Pasal 1431 KUHPerdata maupun

perjanjian yang bersumber dari Undang-Undang

berdasarkan Pasal 1352 s.d Pasal 1380 KUHPerdata.

Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi,

maka menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk

mengajukan gugatan.

Dalam restatement of the law of contacts (Amerika

Serikat), wanprestasi disebut dengan breach of

contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1)

total breachts, artinya pelaksanaan perjanjian tidak

mungkin dilaksanakan, dan (2) partial breachts,

artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk

dilaksanakan. Sementara wanprestasi di Indonesia

dikenal beberapa bentuk, yaitu:23

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, yang

disebabkan debitur memang tidak mau berprestasi

atau debitur secara obyektif tidak mungkin

berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada

gunanya lagi untuk berprestasi.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya

atau terlambat berprestasi, dimana para pihak

masih mengharapkan memenuhi prestasinya.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru

berprestasi, dimana debitur memenuhi prestasinya

namun keliru. Debitur beranggapan telah

memenuhi prestasinya, tetapi dalam kenyataannya,

kreditur menerima prestasi berbeda dari yang

diperjanjikan. Apabila prestasi yang keliru tersebut

tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan

tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Penentuan terjadinya wanprestasi tidak mudah, namun

apabila dalam perjanjian telah ditentukan suatu waktu

tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan

kewajiban, maka dengan lewatnya waktu sudah

dapat dikatakan terjadi wanprestasi. Berbeda halnya

apabila dalam perjanjian tidak ditentukan waktu

tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi, maka

akan sulit menentukan terjadinya wanprestasi. Oleh

karenanya, kreditur terlebih dahulu harus memberikan

peringatan atau somasi kepada debitur untuk

memenuhi prestasinya.24 Wanprestasi memerlukan

pernyataan lalai terlebih dahulu25 atau adanya klausul

dalam perjanjian yang menyatakan debitur langsung

dianggap lalai tanpa melalui somasi.26

Somasi diartikan sebagai teguran dari kreditur kepada

debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan

isi perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya.27

Artinya debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah

ada somasi,28 dan apabila debitur setelah dilakukan

somasi namun melewatkan tenggang waktu somasi

tanpa memberikan prestasinya, maka debitur

dianggap wanprestasi. Namun demikian, debitur

dapat langsung dinyatakan wanprestasi tanpa

memerlukan somasi, dalam hal sebagai berikut:

5

22 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.188.

23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999, hlm.18.

24 Lihat Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.

25 Lihat Pasal 1243 KUHPerdata.

26 Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 menyatakan: “Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur.”

27 Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 96.

28 Apabila debitur telah diberikan somasi oleh kreditur, dimana somasi dilakukan minimal tiga kali, maka apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa permasalahannya ke pengadilan untuk memutuskan wanprestasi yang dilakukan debitur.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

1. Perjanjian menentukan termin waktu.

2. Debitur menolak pemenuhan atau debitur sama

sekali tidak memenuhi prestasi.

Kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila

debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga

kreditur dapat menganggap suatu somasi atas

sikap penolakan debitur tidak akan menimbulkan

suatu perubahan.

3. Debitur mengakui kelalaiannya atau

memberitahukan bahwa debitur dalam keadaan

wanprestasi.

Pengakuan debitur atas kelalaiannya dapat

dilakukan secara tegas atau diam-diam dengan

menawarkan ganti rugi.

4. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

Debitur wanprestasi tanpa adanya somasi, apabila

prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin

dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan

barang yang harus diserahkan atau barang tersebut

musnah.

5. Pemenuhan tidak berarti lagi.

Apabila pemenuhan prestasi debitur digantungkan

dalam batas waktu tertentu, dan debitur

memenuhi prestasinya namun dengan waktu yang

telah lampau.

6. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana

mestinya atau debitur keliru memenuhi prestasi.

7. Ditentukan dalam Undang-Undang bahwa

wanprestasi terjadi demi hukum.29

Akibat dari adanya wanprestasi adalah: (1) Perjanjian

tetap ada; (2) Debitur harus membayar ganti rugi

kepada kreditur;30 (3) Prinsip dasar wanprestasi adalah

ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga,31

dimana debitur bertanggungjawab dengan seluruh

harta bendanya;32 (4) Beban risiko beralih untuk

kerugian debitur, jika halangan timbul setelah debitur

wanprestasi, kecuali apabila terdapat kesalahan dari

kreditur, dimana peralihan risiko terjadi sejak saat

terjadinya wanprestasi, dan risiko atas obyek perjanjian

menjadi tanggungan debitur.33 Dalam hal berupa

perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibannya memberikan

kontra prestasi.34

V. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diatur dalam

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) yang

memberikan pengertian pada APS sebagai lembaga

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian

ahli.35 Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

hanya dapat ditempuh apabila para pihak telah

menyepakati bahwa sengketanya akan diselesaikan

melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan.36

6

29 Misalnya Pasal 1626 KUHPerdata yang berbunyi:“Sekutu yang diwajibkan memasukkan sejumlah uang dan tidak melakukannya itu, menjadi berutang bunga atas jumlah itu demi hukum dan dengan tidak usah ditagihnya pembayaran uang tersebut, terhitung sejak hari uang tersebut sedianya harus dimasukkan.Hal yang sama berlaku terhadap jumlah-jumlah uang yang telah diambilnya dari kas bersama, terhitung sejak hari ia telah mengambilnya guna kepentingannya pribadi.Kesemuanya itu tidak mengurangi penggantian tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.”

30 Pasal 1243 KUHPerdata.

31 Lihat Pasal 1246, 1247, 1248, dan Pasal 1267 KUHPerdata.

32 Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata.

33 Lihat Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata.Teori Hukum mengenal ajaran tentang risiko, resicoleer, yaitu seseorang wajib memikul kerugian apabila terjadi suatu kejadian atas obyek perjanjian di luar kesalahan salah satu pihak. KUHPerdata mengatur risiko dalam beberapa pasal, yaitu:1. Pasal 1237 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian

pemberian kebendaan, maka sejak saat perjanjian dilahirkan kebendaan tersebut menjadi tanggungan debitur.

2. Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian jual beli, maka sejak saat pembelian barang yang sudah ditentukan menjadi tanggungan pembeli meskipun belum dilakukan levering (penyerahan), sementara penjual mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas harga barang dimaksud.

3. Pasal 1545 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian tukar menukar, apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat mengajukan tuntutan atas kembalinya barang yang telah diberikan dalam tukar menukar.

4. Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa menyewa, apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan musnah sama sekali karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa menjadi gugur demi hukum.

34 Pasal 1266 KUHPerdata.

35 Pasal 1 angka 10 UU AAPS.

36 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Sengketa yang dapat diselesaikan oleh para pihak

melalui APS hanyalah sengketa di bidang perdata,

dan hanya akan tercapai apabila didasarkan pada

itikad baik dan tekad untuk menyampingkan pilihan

penyelesaian litigasi melalui pengadilan.37

Pengertian APS menurut Stanford M. Altschul:

“Alternative Dispute Resolution (ADR) is a trial of a

case before a private tribunal agreed to by the parties

so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid

lengthy trial delays,”38

APS sebagai suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis

swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan

menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas

dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele.

Sementara Hukum Amerika memberikan pengertian:

“Alternative Dispute Resolution is a mechanism by

which different types of legal disputes are resolved

through out-of-court processes like arbitration, and

mediation as an alternative to civil litigation. ADR

methods can be effective in reducing the time, money,

and adversarial nature associated with traditional

court-based proceedings.”39

Tujuan APS sebagaimana disebutkan oleh Phillip D.

Bostwick:

“Alternative Dispute Resolution (ADR) is a set of

practices and legal techniques that aims to permit

legal disputes to be resolved outside the courts for

the benefit of all disputants, to reduce the cost of

conventional litigation and the delay to which it is

ordinary subjected, to prevent legal dispute that

would otherwise likely be brought to the courts.”40

Dalam APS para pihak akan menetapkan sendiri

keputusan finalnya, melalui suatu proses yang dipilih

oleh para pihak, seperti negosiasi dimana para pihak

menyelesaikan sengketanya secara langsung, atau

mediasi dimana para pihak dalam menyelesaikan

sengketanya meminta bantuan pihak ketiga sebagai

penengah, namun pihak ketiga ini tidak menetapkan

suatu keputusan.

Dalam proses litigasi adakalanya pihak yang menang

perkara akan mengambil segala sesuatu yang

disengketakan, winner takes all. Hal ini berbeda

dengan proses non litigasi, APS, yang menyelesaikan

sengketa secara kooperatif,41 win win solutions,

dimana semua pihak sama-sama merasa menang.

Ilustrasi penyelesaian win win solutions sebagaimana

diuraikan oleh Fisher dan Ury adalah:42

“A win-win solution with the traditional example of

two young girls wanting an orange. On the

Approaches to Dispute Resolution diagram above,

the win lose solution would be for one girl to get

the whole orange and for the other to get none. The

compromise solution would be for one girl to get

half the orange and for the other girl to get half.

The win-win solution would be to look for the needs

or interests of the girls. Why do they want the orange?

It may be that one wants a drink of the juice and

the other wants the peel to bake a cake, or even the

seed to plant for a science experiment. In this situation,

it would be possible for a co-operative solution to

enable both girls to get their needs met. To find a

co-operative solution requires people to expand their

thinking and to look for creative solutions, that fulfil

the requirements of each of the parties in dispute.”

Contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa solusi

menang kalah akan terjadi apabila hanya satu pihak

mendapatkan seluruh benda yang disengketakan,

7

37 Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.5-6.

38 Stanford M. Altschul, The Most Important Legal Terms You’ll Ever Need To Know, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.

39 Dikutip pada http://openjurist.org/law/alternative-dispute-resolution (2 Februari 2012).

40 Phillip D. Bostwick, Going Private With the Judicial System, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.

41 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.13.

42 Fisher dan Ury, Getting to Yes, 1981, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.14.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

sedangkan pihak yang lain sama sekali tidak akan

mendapatkan apa-apa. Dengan pendekatan

kompromis, win win solutions, diperlukan pemikiran

yang lebih luas dan mencari penyelesaian kreatif,

sehingga para pihak yang bersengketa akan

mendapatkan sesuai dengan keinginan masing-

masing.

Sebagaimana diketahui bahwa penyelesaian sengketa

perdata, disamping dapat diajukan ke peradilan

umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui

arbitrase dan APS sebagaimana diatur dalam UU

AAPS. Salah satu cara penyelesaian sengketa di luar

pengadilan adalah mediasi.43

Dalam sidang perkara perdata di pengadilan sebelum

dilaksanakan pemeriksaan pokok gugatan, pertama-

tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang

berperkara. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg44

memberikan suatu kewajiban kepada hakim untuk

terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian

sebelum dimulainya proses pengadilan, hal ini

diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan,45 dengan sanksi

apabila tidak menempuh proses mediasi adalah

ancaman putusan batal demi hukum. Pelembagaan

proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat

memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga

pengadilan dalam penyelesaian sengketa, disamping

proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).46

VI.MEDIASI

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui

proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

para pihak dengan dibantu oleh mediator.47 Artinya,

mediasi merupakan suatu prosedur penengahan

dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan”48

untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga

pandangan mereka yang berbeda atas sengketa

tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan,

tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu

perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.

Mediasi merupakan suatu metode untuk menyelesaikan

sengketa di luar pengadilan (out of court system)

dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang

akan bertindak untuk menghubungkan para pihak,

hal ini sesuai dengan pengertian mediasi menurut

Black’s Law Dictionary, “Mediation is a method of

settling disputes outside of a court setting; the

imposition of a neutral third party to act as a link

between the parties.”49 Proses mediasi dibantu oleh

8

(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.

(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.”

46 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.47- 48.

47 Pasal 1 angka 7 Perma Mediasi.

48 Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.15-16.

49 Black’s Law Dictionary, Third Edition, Steven H. Gifis, Baron’s Educational Series, Inc, New York, 1991, hlm.295.

43 Pasal 1 angka 10 UU AAPS yang berbunyi:”Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

44 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg.Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat) dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa. Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan. Oleh karena itu, mengingat akta perdamaian berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.

45 Pasal 2 Perma Mediasi. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) yang berbunyi:“(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang

terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

pihak ketiga yang netral yang disebut dengan mediator

untuk mencapai kesepakatan, namun mediator tidak

berwenang memaksa para pihak, keputusan tetap

berada pada para pihak, sebagaimana disebutkan

dalam Black’s Law Dictionary: “Mediation is a private,

informal disputes resolution process in which a neutral

third person, the mediator, helps disputing parties to

reach an agreement. The mediator has no power to

impose a decision on the parties.”50 Dalam mediasi,

maka mediator bertindak sebagai fasilitator netral

dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang

arif dan tidak berat sebelah bagi para pihak yang

bersengketa.

Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela

atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada

bidang perdata, sederhana, tertutup, dan rahasia,

serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai

fasilitator. Dengan adanya prinsip ini, maka para pihak

dapat menjaga kerahasiaan dan ketertutupan yang

tidak ada dalam proses litigasi. Mediasi dapat dilakukan

dalam proses pengadilan (berdasarkan Pasal 130 HIR

dan Pasal 154 RBg serta Perma Mediasi) dan dapat

pula dilakukan secara pribadi atau di luar pengadilan

(berdasarkan UU AAPS).

Mediasi dalam proses pengadilan dikenal dengan

Mediasi Hukum merupakan proses mediasi yang

dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata

ke pengadilan, dan diberdayakan kembali sejak tahun

2002.51 Ketentuan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal

154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh

proses perdamaian dengan cara mengintegrasikan

proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di

Pengadilan Negeri (litigasi). Tujuan penerapan mediasi

di pengadilan pada awalnya adalah untuk pembatasan

kasasi, namun kemudian Mahkamah Agung

menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu

proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan

murah, serta dapat memberikan akses yang lebih

besar kepada para pihak dalam menemukan

penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa

keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses

beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu

instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan

perkara di pengadilan serta memperkuat dan

memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan

yang bersifat memutus (adjudikatif).52

Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg mengatur tentang

perdamaian (dading) dalam proses beracara perdata

di pengadilan. Pada hari sidang pertama, hakim

menawarkan dan memberi kesempatan kepada kedua

belah pihak yang berperkara untuk melakukan

perdamaian dan melaporkannya pada hari sidang

berikutnya. Sikap hakim pasif dan tidak ada sanksi

apabila hakim lalai untuk mendamaikan kedua belah

pihak terlebih dahulu. Namun, dengan berlakunya

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan (Perma Mediasi),53 maka apabila hakim

lalai untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu,

maka putusan pengadilan menjadi batal demi

hukum.54 Hakim mendorong para pihak untuk aktif

9

50 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.981.

51 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan terakhir diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

52 Konsiderans “Menimbang” huruf a. dan huruf b. Perma Mediasi.

53 Berdasarkan Perma Mediasi terkait mediasi dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:1. Mediasi wajib (mandatory) atas seluruh perkara perdata yang

diajukan ke pengadilan tingkat pertama.2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses

mediasi.3. Hakim wajib memunda sidang dan memberikan kesempatan para

pihak untuk mediasi.4. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur mediasi dan

biayanya.5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum, maka setiap keputusan

yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum,

kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.

54 Pasal 2 ayat (3) Perma Mediasi.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

melakukan mediasi,55 artinya mediasi dilakukan oleh

para pihak, karena sesuai dengan falsafah mediasi

bahwa keputusan mediasi diambil secara sukarela

(volunteer) dan berdasarkan kata sepakat kedua

belah pihak, sehingga mediasi tidak akan berhasil

dan berjalan baik apabila tidak didasari oleh kemauan

dan itikad baik bersama diantara para pihak untuk

berdamai.56

Mediasi pribadi atau di luar pengadilan diatur dan

dilakukan oleh para pihak sendiri dibantu oleh

mediator atau mengikuti pendapat ahli tanpa adanya

proses perkara di pengadilan, dengan tujuan

menyelesaikan sengketa para pihak untuk mencapai

kesepakatan secara damai dan saling menguntungkan.

Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu langsung

dengan mediator, untuk saling tukar informasi dan

dokumen terkait dengan sengketa. Mediator tidak

dalam posisi memaksa, namun lebih pada

mengoptimalkan para pihak untuk menentukan

keinginan sesuai dengan kebutuhannya. Mediator

memfasilitasi diskusi, mengklarifikasi keinginan para

pihak, memandu, meluruskan perbedaan pandangan,

dan membantu para pihak untuk menyelesaikan

sengketa sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, para

pihak sendirilah yang menyelesaikan masalah yang

disengketakan sesuai dengan keinginannya untuk

mencapai win-win solution. Apabila sudah tercapai

kesepakatan, maka para pihak membuat suatu

kesepakatan tertulis yang memuat kesepakatan yang

telah dicapai dan ditandatangani oleh para pihak

dan mediator. Kesepakatan tertulis ini mempunyai

kekuatan sama dengan perjanjian sehingga disebut

dengan perjanjian perdamaian yang bersifat final

and binding. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana

apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan

Perjanjian Perdamaian secara sukarela? Apakah

pelaksanaan Perjanjian Perdamaian dapat dipaksakan?

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya,

maka harus menempuh jalur pengadilan dengan

mengajukan gugatan ke pengadilan. Masalah yang

diajukan gugatan bukanlah masalah semula tetapi

masalah wanprestasi karena salah satu pihak tidak

melaksanakan isi dalam Perjanjian Perdamaian. Suatu

Perjanjian Perdamaian bersifat final and binding yang

mengikat para pihak, namun Perjanjian Perdamaian

tidak memiliki daya eksekusi sebagaimana halnya

dengan Putusan Pengadilan dengan irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

yang merupakan salah satu persyaratan daya eksekusi.

Produk hukum dari suatu proses mediasi adalah

kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (6), (7)

dan ayat (8) Undang-Undang No.30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(UU AAPS) bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa

atau beda pendapat yang telah tercapai dibuat dalam

bentuk tertulis adalah final dan mengikat (final and

binding), para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad

baik (te goede trouw) serta wajib didaftarkan57 di

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak penandatanganan oleh semua pihak

yang terkait, sehingga Perjanjian Perdamaian memiliki

kekuatan eksekutorial yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya dan dapat memberikan suatu

kepastian hukum terhadap para pihak yang

menyepakatinya. Artinya, walaupun Perjanjian

Perdamaian telah memiliki kekuatan mengikat (final

and binding), namun untuk mendapatkan kekuatan

eksekutorial perjanjian damai tersebut wajib

didaftarkan di Pengadilan Negeri. Pendaftaran

dilakukan untuk memperoleh Akta Perdamaian

dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak

lawan dalam Perjanjian Perdamaian. Apabila Perjanjian

Perdamaian tidak didaftarkan, maka Perjanjian

Perdamaian tidak memiliki kekuatan eksekutorial

sebagaimana halnya putusan pengadilan dan menjadi

seperti suatu perjanjian biasa yang mengikat para

pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta

sunt servanda). Pelaksanaan Perjanjian Perdamaian

55 Pasal 7 ayat (3) Perma Mediasi.

56 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.127.

10

57 Pasal 23 Perma Mediasi.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

pendaftaran di Pengadilan Negeri.

Proses mediasi di pengadilan, dalam hal tercapai

kesepakatan, maka sesuai dengan Pasal 17 ayat (5)

Perma Mediasi para pihak dapat mengajukan

Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan

dalam bentuk Akta Perdamaian dan akan ditempelkan

dalam Putusan Pengadilan (Akte van Dading)

sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR. Keputusan

dari Akte van Dading tidak dapat dilakukan upaya

hukum.58 Kekuatan hukum yang melekat pada Akta

Perdamaian (Akte van Dading) adalah sebagai

berikut:59

1. Disamakan dengan putusan yang berkekuatan

hukum tetap.

Sesuai dengan Pasal 1858 KUHPerdata, maka

perdamaian diantara para pihak sama kekuatannya

seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa

Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama

seperti putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap.

2. Mempunyai kekuatan eksekutorial.

Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa

Putusan Akta Perdamaian berkekuatan sebagai

putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, dan juga berkekuatan eksekutorial

(execotorial kracht) sebagaimana halnya putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Salah satu persyaratan daya eksekusi adalah harus

memiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Putusan Akta

Perdamaian tercantum amar kondemnatoir,

sehingga apabila putusan tidak ditaati dan

dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan

pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.

3. Putusan perdamaian tidak dapat dibanding.

Sesuai dengan Pasal 130 ayat (3) HIR, maka

Putusan Akta Perdamaian tidak dapat dibanding,

dengan kata lain terhadap putusan tersebut

tertutup upaya hukum (baik banding maupun

kasasi). Larangan ini sejalan dengan ketentuan

yang mempersamakan kekuatan Putusan Akta

Perdamaian sebagai putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada

lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Artinya,

secara teknis dan yuridis pada Putusan Akta

Perdamaian dengan sendirinya melekat kekuatan

eksekutorial sebagaimana layaknya putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya, dalam hal para pihak tidak mengajukan

Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk memperoleh

Akta Kesepakatan, maka Perjanjian Perdamaiannya

harus memuat klausul pencabutan gugatan atau

pernyataan perkara telah selesai.60 Sementara itu,

dalam hal tidak tercapai kesepakatan pada proses

mediasi, maka para pihak berdasarkan kesepakatan

secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian

sengketa melalui lembaga arbitrase, sebagaimana

diatur dalam Pasal 6 ayat (9) UU AAPS. Sementara

mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa

proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya

kepada hakim, dan hakim akan melanjutkan untuk

memeriksa pokok perkara sebagaimana diatur dalam

Pasal 18 Perma Mediasi.

11

58 Putusan bersifat final and binding, artinya putusan bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilah “final” berarti putusan tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan, artinya sengketa yang diperiksa diakhiri atau diputuskan. Pengertian “binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal Teori res adjudicata pro veritare habetur, artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Dengan demikian putusan mengikat para pihak dan wajib ditaati oleh para pihak. Lihat Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi ... Op.Cit., hlm.49.

59 Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.192-193. 60 Pasal 17 ayat (6) Perma Mediasi.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

VII.PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Mediasi merupakan salah satu satu cara APS

dalam penyelesaian sengketa perdata di luar

pengadilan (out of court system).

2. Terdapat perbedaan dalam penyelesaian sengketa

mediasi, yaitu Perma Mediasi mengatur prosedur

mediasi di pengadilan, sehingga mediasi

dimasukkan dalam suatu rangkaian proses

pemeriksaan di pengadilan, sementara UU AAPS

mengatur upaya mediasi di luar pengadilan.

3. Produk dari mediasi berupa Perjanjian Perdamaian

yang memiliki kekuatan mengikat (final and

binding).

4. Perjanjian Perdamaian dapat dikuatkan menjadi

Akta Perdamaian yang diperoleh melalui suatu

gugatan di Pengadilan Negeri.

5. Akta Perdamaian ditempelkan dalam Putusan

Pengadilan (Akte van Dading) sehingga memiliki

kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan

upaya hukum.

12

13

• Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian

Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009

• Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011

• Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

• Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456

BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

• Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979

• Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003

• R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999

• Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009

• Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

• Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

• Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,

2009

• Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional,

Sinar Grafika, Jakarta, 2011

• Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung,

2007

• Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959

• Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997

• Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative

Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung

• KUH Perdata

• Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

• United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters

DAFTAR PUSTAKA

Halaman ini sengaja dikosongkan

Pengantar

Dalam beberapa tahun terakhir para pejabat Negara

gundah dan khawatir mengingat kebijakan yang dibuat

kerap berujung pada masalah pidana, khususnya tindak

pidana korupsi.

Istilah yang kerap digunakan adalah kriminaliasi kebijakan.

Menjadi pertanyaan apakah kebijakan dapat

dikriminalisasi.

Tulisan ini akan membahas mungkin tidaknya kebijakan

dikriminalkan. Di samping itu tulisan ini juga akan

membahas keuangan negara yang dikaitkan dengan

tindak pidana korupsi.

Kebijakan

Kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan, meski

keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.

Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan

keputusan, sedangkan kebijaksanaan merupakan

keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang

dimiliki oleh pejabat yang berwenang.

Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat

umum ataupun khusus. Kebijakan yang bersifat umum,

antara lain, kebijakan luar negeri (foreign policy), kebijakan

pertahanan (defence policy), kebijakan fiskal (fiscal policy),

kebijakan pemberantasan korupsi.

Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain, adalah

kebijakan rekonstruksi pasca Tsunami, kebijakan

penyaluran subsidi kepada orang yang berhak, kebijakan

ujian nasional.

Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat

dicontohkan sebagai polisi yang mengarahkan lalu lintas

untuk berjalan melawan arus yang seharusnya. Tujuannya

adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang dilakukan

oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun atas

dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang

berwenang diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan

yang melanggar aturan demi kemaslahatan yang besar.

Bila dicermati dalam bailout Bank Century oleh Komite

Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang

diambil lebih tepat bila dikatagorikan sebagai suatu

kebijakan daripada kebijaksanaan. Sebagaimana

disampaikan oleh Presiden, keputusan bailout merupakan

15

KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN KEUANGAN NEGARA

Oleh : Hikmahanto Juwana*

Abstrak

Kebijakan yang dibuat pejabat negara kerap berujung pada masalah pidana,

khususnya tindak pidana korupsi Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan.

Sedangkan kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari

diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang.

Key words ; kebijakan, sanksi pidana, keuangan negara.

1 *Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI. Meraih SH dari UI (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan

perekonomian nasional dari krisis.

Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan

di sektor publik diambil karena kewenangan yang dimiliki

oleh seseorang yang memegang jabatan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Presiden, Menteri,

Gubernur, Bupati, Camat hingga Ketua Rukun Tetangga

(RT) dalam hal dan situasi tertentu berwenang dan

diharuskan mengambil kebijakan yang disertai dengan

keputusan.

Pasca pengambilan kebijakan serta keputusan maka

evaluasi pun dapat dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan

oleh atasan langsung, DPR terhadap Pemerintah seperti

dalam bailout Bank Century, bahkan oleh pers dan publik.

Bila evaluasi atas kebijakan serta keputusan dilakukan,

agar fair tentunya harus berdasar situasi dan kondisi

ketika kebijakan serta keputusan tersebut diambil. Bila

kebijakan serta keputusan masa lalu dievaluasi dengan

kacamata hari ini maka bisa jadi apa yang telah diambil

akan salah semua.

Di sini pentingnya Panitia Angket Bank Century

memperoleh data, fakta dan informasi dari berbagai

pihak yang terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi

dan kondisi ketika kebijakan serta keputusan diambil.

Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis

besar dapat dibagi dalam dua katagori. Benar atau Salah.

Menjadi pertanyaan apakah hasil evaluasi yang

menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah

dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi

pidana? Jawaban atas hal ini membawa kontroversi.

Sanksi Pidana?

Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan,

keputusan berikut para pelakunya maka akan masuk

dalam ranah hukum administrasi negara. Hukum

administrasi negara tentu harus dibedakan dengan

hukum pidana yang mengatur sanksi pidana atas

perbuatan jahat.

Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan

pelakunya dapat dipidana maka ini berarti kesalahan

dari pengambil kebijakan serta keputusan merupakan

suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu tidak

benar.

Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan

atau keputusan tidak dapat dipidana. Dalam hukum

administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi

yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara

lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan

pangkat, demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan

diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan. Namun

demikian terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta

keputusan yang salah tidak dapat dikenakan sanksi

pidana, terdapat pengecualian. Ada paling tidak tiga

pengecualian.

Pertama adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat

yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional

atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai

pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Dalam doktrin

hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan

perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan

pemerintah yang bertujuan melakukan kejahatan

internasional telah dikriminalkan. Adapun kejahatan

internasional yang dimaksud ada empat katagori yaitu

kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan

perang dan perang agresi.

Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil

kebijakan serta keputusan yang secara tegas ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh

di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal

165 Undang-undang Pertambangan Mineral dan

Batubara. Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat

yang mengeluarkan izin dibidang pertambangan

dikenakan sanksi pidana.

Ketiga, adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat

koruptif atau pengambil kebijakan dalam mengambil

kebijakan serta keputusan bermotifkan kejahatan. Disini

yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukanlah

kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika

membuat kebijakan. Contohnya adalah pejabat yang

membuat kebijakan serta keputusan untuk menyuap

pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh

pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri

atau orang lain.

Keuangan Negara dan Tipikor

Di Indonesia, salah satu bentuk korupsi berkaitan erat

dengan pengelolaan keuangan negara. Tidak heran bila

para pejabat negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

maupun entitas yang menggunakan uang yang berasal

dari keuangan negara terjerat oleh Undang-undang

Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Namun perlu dipahami tindakan koruptif dalam

pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk memperkaya

diri sendiri atau pihak lain bisa juga terjadi pada entitas

swasta atau non-publik.

Tidak heran bila perbuatan korupsi dalam United Nations

Convention Against Corruption yang telah diratifikasi

oleh Indonesia mencakup pengelolaan keuangan di sektor

swasta. Pasal 21 dan 22 mengatur tentang penyuapan

dan penggelapan di sektor swasta sebagai korupsi.

Hanya saja berdasarkan UU Tipikor perbuatan jahat yang

terkait dengan pengelolaan keuangan masih terbatas

pada keuangan negara. Ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1)

dan 3 UU Tipikor yang menggunkan kata “keuangan

negara.” Sementara untuk pengelolaan keuangan yang

bukan keuangan negara berlaku tindak pidana umum,

antara lain, penggelapan.

Dua Pendapat

Dalam perdebatan tentang keuangan negara, inti

perdebatan terletak pada apakah uang yang dikelola

oleh BUMN ataupun entitas yang didirikan oleh negara,

seperti LPS, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

atau Badan Hukum Milik Negara, dianggap sebagai

keuangan negara atau bukan? Ada dua pendapat terkait

dengan hal ini.

Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan

bahwa keuangan BUMN atau entitas yang didirikan oleh

negara bukan merupakan keuangan negara.

Pendapat ini didasarkan pada doktrin bahwa entitas

yang didirikan oleh negara dan berstatus badan hukum

bukanlah bagian dari negara. Entitas tersebut memiliki

kepribadian hukumnya sendiri. Oleh karenanya perlu

dilakukan pembedaan antara uang publik (negara)

dengan uang privat (entitas yang didirikan oleh negara).

Memang bila menilik peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar bagi negara dalam mendirikan suatu

entitas terdapat kalimat ‘kekayaan negara yang dipisahkan’.

Pasal 4 ayat 1 UU BUMN, misalnya, menyebutkan “Modal

BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara

yang dipisahkan.”

Dari segi akutansi, tentu negara yang telah melakukan

penyetoran modal pada entitas yang didirikan akan

mencatatnya sebagai saham yang dimiliki atau setoran

modal yang telah dilakukan. Sementara uang yang telah

disetor oleh negara akan dicatat sebagai kekayaan dari

entitas yang didirikan.

Dalam konteks ini suatu kejanggalan bila memperhatikan

penjelasan pasal 8 UU 49 Prp Tahun 1960. Disitu disebutkan

bahwa piutang BUMN merupakan piutang negara.

Janggal karena piutang BUMN adalah aset BUMN dan

bukan aset/kekayaan negara. Bila piutang BUMN adalah

piutang negara berarti piutang tersebut akan dicatat

dalam pembukuan Negara dan pembukuan BUMN.

Menjadi lain jika penjelasan pasal 8 diinterpretasi sebagai

penyelesaian piutang BUMN bisa di-‘urus’ atau

diselesaikan oleh Panitia Piutang Negara (sesuai judul

dari UU), disamping oleh BUMN itu sendiri.

Selanjutnya, pendapat kedua adalah pendapat yang

mengatakan keuangan BUMN atau entitas yang didirikan

oleh negara merupakan keuangan negara. Pendapat ini

didasarkan pada hukum positif dan sejumlah putusan

pengadilan.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Berdasarkan penjelasan umum UU Tipikor disebutkan

bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara

dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak

dipisahkan. Pada huruf (b) diperjelas dengan kalimat

“berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan

Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan

perusahaan yang menyertakan modal negara, atau

perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

Selanjutnya dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara,

menyebutkan keuangan negara sebagai, “kekayaan

negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,

serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,

termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/ perusahaan daerah.”

Demikian pula menurut Pasal Pasal 1 angka (1) UU

Perbendaharaan Negara yang menyebutkan

“Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk

investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan

dalam APBN dan APBD.”

Sejumlah putusan pengadilan-pun yang menghukum

para pejabat BUMN telah menafsirkan keuangan BUMN

sebagai keuangan negara.

Unsur

Terlepas dari perdebatan apakah uang BUMN atau entitas

yang didirikan oleh negara merupakan keuangan negara

atau bukan, satu hal yang pasti dalam menjadikan

seseorang sebagai tersangka, terdakwa maupun

terhukum yaitu harus dibuktikan adanya unsur niat dan

perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi.

Pembuktian unsur ini sangat penting mengingat tindakan

koruptif bisa terjadi dimana saja baik institusi publik

ataupun swasta. Oleh karenanya perdebatan tentang

keuangan negara ataupun swasta tidak terlalu relevan.

Dengan demikian niat dan perbuatan jahat untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi

yang akan menjadi faktor penentu apakah kerugian

negara merupakan akibat dari korupsi, atau semata-

mata karena keputusan bisnis yang tidak selalu

mendatangkan keuntungan, bahkan suatu kebijakan

pengelolaan keuangan yang pasca dievaluasi dinilai salah.

Perlu dipahami perbuatan korupsi merupakan kejahatan

yang didasarkan pada adanya kesengajaan. Ini dapat

dilihat dalam UU Tipikor dimana terdapat kata “dengan

sengaja.”

Dalam konteks pembuktian maka kesengajaan harus

memenuhi dua syarat yaitu adanya niat jahat (mens rea)

dan adanya implementasi niat tersebut dalam bentuk

perbuatan jahat (actus reus).

Konsekuensinya perbuatan koruptif atas pengelolaan

keuangan tidak mungkin didasarkan pada kelalaian atau

ketidak-sengajaan. Kelalaian dalam hukum berarti tidak

adanya unsur niat jahat, namun adanya unsur perbuatan

jahat.

Disinilah aparat penegak hukum harus menelusuri dan

mendapatkan bukti adanya niat dan perbuatan jahat

untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi bila seseorang yang melakukan pengelolaan

keuangan dituduh melakukan korupsi.

Unsur niat dan perbuatan jahat penting untuk dibuktikan

agar tidak ada orang yang dipersalahkan secara pidana

hanya karena dianggap telah merugikan keuangan

negara.

18

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara .

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

DAFTAR PUSTAKA

19

Halaman ini sengaja dikosongkan

Pendahuluan

Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, dinyatakan bahwa Keuangan Negara

adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai

dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau

barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Adapun dalam pengelolaan keuangan negara / daerah

dikenal dan diterapkan dengan menggunakan asas-asas

pengelolaan keuangan negara antara lain terdiri dari:

• Asas Tahunan;

• Asas Universalitas;

• Asas Kesatuan; dan

• Asas Spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

pencerminan best practices penerapan kaidah-kaidah

yang baik dalam pengelolaan keuangan negara/

daerah, antara lain terdiri dari:

- Akuntabilitas berorientasi pada hasil;

- Profesionalitas;

- Proporsionalitas;

- Keterbukaan;

- Pemeriksaan keuangan oleh pemeriksa yang bebas

dan mandiri.

Asas-asas Umum tersebut diperlukan guna menjamin

terselenggaranya pemerintahan yang baik sebagaimana

terumus dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya

asas-asas umum tersebut dalam Undang-undang Nomor

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pelaksanaan

undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi

menejemen keuangan negara sekaligus dimaksudkan

untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi

dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Adapun kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan,

yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan

negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

21

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN YURIDIS ATAS UNDANG-UNDANG NO.17

TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA)Oleh :

Soehirman, SH., MS*

Abstrak

Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian

disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel Administratief recht, dan pengelolaannya menjadi sentral yang

penting dan strategis, karena kedudukannya sebagai urat nadi negara. Dalam pada itu pemerintah menempati posisi

yang sangat penting dan strategis dalam pengambilan kebijakan keuangan negara untuk melaksanakan roda pemerintahan.

Key words : pengelolaan, urat nadi negara, kebijakan keuangan, fungsi anggaran

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat

umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk

membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan

yang dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut

dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola

fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan

negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan

lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang

kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri

Keuangan sebagai Pembantu Presiden dalam bidang

keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer

(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sedangkan Menteri/

Pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief

Operational Officer (COO) Pemerintah Republik Indonesia

untuk satu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini

perlu dilaksanakan secara konsisten, agar didapat kejelasan

dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab,

terlaksananya mekanisme checks and balances serta

mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam

penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Adapun bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi

pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi

makro, penganggaran, administrasi perpajakan,

administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan

keuangan.

Sesuai dengan Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden

diserahkan kepada Gubernur/Buapati/Walikota selaku

pengelola keuangan daerah. Untuk mencapai stabilitas

nilai rupiah, tugas menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank

Sentral.

Dalam pada itu, setiap penyelenggara negara wajib

mengelola keuangan negara/daerah secara tertib, taat

pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,

transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk

dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian

disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel

Administratief recht. Pemerintah dalam pengelolaan

keuangan negara mempunyai posisi yang sangat strategis

dalam pengambilan kebijakan keuangan negara guna

kepentingan yang mendesak bagi penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan nasional.

Dalam sisi yang lain, keputusan Presiden adalah mengatur

tata cara pelaksanaan APBN dalam kerangka memberikan

landasan operasional bagi pelaksanaan dan penggunaan

keuangan negara melalui APBN sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya

berbagai kasus korupsi di negara Indonesia ini, baik di

lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif

menggambarkan pengelolaan keuangan negara tidak

berjalan dengan baik walaupun sudah dibekali dengan

berbagai peraturan perundang-undangan dan sanksi

yang berat untuk menjerat pelaku korupsi (koruptor).

Dengan melihat adanya fenomena banyaknya pejabat

negara baik itu Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota,

serta berpuluh anggota DPR/DPRD, Direktur Bank, dan

lain sebagainya yang ditangkap oleh KPK, hal ini

menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara

tersebut sangat jelek, tidak transparan dan kurang

bertanggung jawab. Kebanyakan pejabat negara tersebut

kurang memperhatikan aspek-aspek kejujuran,

profesionalisme, transparansi dan bertanggung jawab.

Hal ini kemudian ditambah lagi pola kerja yang seharusnya

bersifat praktis, ekonomis, dinamis, harmonis, bebas,

aktif, transparan, dan bertanggung jawab. Adapun

jabaran pola kerja di atas di atas adalah sebagai berikut:

• Aspek Praktis: karena tidak terlalu bertele dengan

teori melulu, langsung membawa manfaat praktis

bagi rakyat.

• Aspek ekonomis: karena penganggaran itu dilakukan

sehemat mungkin sesuai dengan kebutuhan (bilamana

dipandang perlu) dan jauh dari pemborosan dan

kebocoran keuangan negara yang dikelolanya.

• Aspek dinamis: karena pengelolaan keuangan negara

itu mampu menggerakkan rakyat untuk ikut dalam

berpartisipasi dalam setiap gerak pembangunan

nasional sesuai dengan keadaan dan potensinya

masing-masing.

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

• Aspek harmonis: karena sifat kebersamaan tanpa

pamrih dalam partisipasinya pada pembangunan

nasional.

• Aspek bebas: karena setiap kebijakan yang dibuat

pejabat itu tidak kaku, melainkan sangat luwes, dan

mengacu pada kepentingan masyarakat atau rakyat.

• Aspek aktif: karena diharapkan pejabat dan rakyat

bersama secara gotong royong ikut partisipasi dalam

setiap gerak pembangunan yang ada.

• Aspek transparan: karena setiap sen uang yang berasal

dari rakyat dan semua pengelolaan sumber daya alam

yang ada di negara kita baik berupa pajak, non pajak,

BUMN/BUMD dan lain-lain sumber dana perusahaan

negara/daerah, harus ditransparansikan ke rakyat

agar rakyat tahu untuk apa uang/dana itu digunakan.

• Aspek bertanggung jawab: karena semua kegiatan

pengelolaan keuangan negara itu harus bisa

dipertanggungjawabkan secara hukum kepada

masyarakat.

Untuk itu semua dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang

berkesadaran, yaitu selalu mentaati dan melaksanakan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

pengelolaan keuangan negara.

Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah

pengelolaan keuangan negara itu telah dilaksanakan

dengan baik, efektif, efisien sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Vide Undang-

Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara).

Dalam hal ini permasalahan pengelolaan keuangan negara

itu menyangkut :

• Pola atau bentuk penyimpangan apa saja yang

merupakan perilaku korupstif dalam pengelolaan

keuangan negara.

• Apa sanksi-sanksi yang diterapkan kepada para pelaku

korupsi sudah sesuai dengan rasa keadilan yang ada

dalam masyarakat dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (vide UU No. 31 Tahun 1999

tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun

2011 tentang Pidana Korupsi).

Dalam penyelenggaraan keuangan negara itu dikenal

adanya fungsi anggaran yang terurai sebagai berikut :

1. Fungsi Otorisasi, yaitu dasar untuk melaksanakan

pendapatan dan belanja pada tahun yang

bersangkutan.

2. Fungsi Perencanaan, yaitu pedoman bagi

menejemen dalam perencanaan kegiatan pada tahun

yang bersangkutan.

3. Fungsi Pengawasan, yaitu pedoman untuk menilai

apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan

negara sudah sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan.

Bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang luas ini

kemudian dikelompokkan menjadi sub bidang

pengelolaan fiskal, sub bidang pengeloaan moneter,

dan sub bidang pengeloaan negara yang dipisahkan.

Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi

dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah

penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan

pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu

dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi

pemerintah yang telah diterima secara umum.

Adapun Laporan keuangan tersebut terdiri atas :

• Laporan realisasi anggaran;

• Neraca;

• Laporan arus kas;

• Catatan atas laporan keuangan yang tersusun secara

standar akuntansi pemerintahan.

Ketentuan Pidana, Sanksi Administrasi dan Ganti

Rugi

Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota

yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan

yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN/

Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan Pidana

Penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-

undang.

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/

Satuan Kerja Perangkat yang terbukti melakukan

penyimpangan kegiatan anggaran yang telah

ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Perda

tentang APBD diancam dengan Pidana Penjara dan

Denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Dalam pada itu Presiden dapat memberikan sanksi

administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang

kepada Pegawai Negeri serta pihak-pihak lain yang tidak

memenuhi kewajibannya sesuai dengan undang-undang

yang berlaku.

Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang

Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap

orang yang secara melawan hukum melakukan perbuiatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara dipidana dengan Pidana seumur

hidup atau Pidana Penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan

denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus

juta rupiah).

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut dilakukan

dalam keadaan tertentu, maka pidana mati dapat

dijatuhkan.

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (menyalah-

gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar

rupiah), hal ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang

di atas.

Pengembalian kerugian negara atau perekonomian

negara tidak menghapuskan dipidananya Pelaku Tindak

Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal

3 undang-undang tersebut di atas.

Dalam undang-undang itu juga dinyatakan demi

kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda milik isteri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau

yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak

pidana korupsi yang dilakukan tersangka.

Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsung

maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam

pemborongan, pengadaan, persewaan yang saat

dilakukan perbuatan untuk seluruh/sebagian ditugaskan

untuk mengurus/mengawasinya dipidana minimal 4

(empat) tahun maksimal 20 (dua puluh tahun) dengan

denda minimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)

maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (suatu

contoh Kasus eskalator Pasar Turi) –> Pasal 12 huruf

(i) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

Keuangan Negara

Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004

tersebut dinyatakan bahwa Setiap orang dipidana paling

lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda

Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bila :

• Ayat (1): Tidak menjalankan kewajiban, menyerahkan

dokumen, memberikan keterangan demi

kepentingan kelancaran pemeriksaan

sebagaimana dimaksud Pasal 10 undang-

undang ini.

• Ayat (2): Mencegah, menghalangi, menggagalkan

pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana

dimaksud Pasal 10 undang-undang ini.

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

• Ayat (3) : Menolak pemanggilan yang dilakukan oleh

BPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 undang-

undang ini tanpa alasan penolakan secara

tertulis.

• Ayat (4) : Memalsukan atau membuat dokumen palsu,

dokumen yang diserahkan sebagaimana

dimaksud ayat (1) dipidana paling lama 3

(tiga) tahun dan/atau denda

Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

TAP MPR NO. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan

Berbangsa

• Penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan

moral dalam kehidupan berbangsa.

• Target mencetak kualitas manusia yang beriman,

bertakwa, dan berakhlak mulia serta berkepribadian

Indonesia dalam kehidupan berbangsa.

• Etika kehidupan berbangsa selalu mengedepankan

kejujuran, amanah, keteladan,. Sportivitas, disiplin,

etos kerja, kemandirian, sikap toleran, rasa malu,

tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat

diri sebagai warga bangsa.

• Etika penegakan hukum yang berkeadilan harus

dilakukan melalui penegakan hukum secara adil,

perlakuan yang sama, tidak diskriminatif,

menghindarkan penggunaan hukum secara salah

sebagai alat kekuasaan, dan bentuk-bentuk manipulasi.

Penyimpangan-Penyimpangan atas Anggaran

Negara/Daerah

Berikut ini adalah beberapa penyimpangan atas Anngaran

Negara/Daerah yang dikalukan dari berbagai jenis

penyimpangan yang dilakukan dengan berbagai cara

antara lain:

1. Mark up anggaran

Yaitu penyimpangan yang terjadi dengan Mark up

harga melebihi harga sebenarnya. Penyimpangan ini

dilakukan antara lain dengan melakukan Proses

penetapan anggaran melebihi kebutuhan

sebenarnya, Memanipulasi data/data fiktif, baik

data tentang Jumlah penduduk yang akan dibiayai

oleh anggaran tersebut, Luas wilayah, Potensi dan

volume pekerjaan.

Biasanya sebelum pelaksanaan pembangunan baik

yang ada di pusat maupun daerah, biasanya

dilakukan suatu proses estimasi anggaran atau

pendanaan dengan mengacu pada kemungkinan

kebutuhan-kebutuhan baik prasarana maupun sarana

guna mendukung proyek-proyek yang didanai itu

(direncanakan). Di sinilah biasanya dilakukan

penyimpangan dalam pendanaannya misalnya

anggaran yang dibuat melebihi kebutuhan yang

sebenarnya. Hal ini kemudian ditunjang pula dengan

memanipulasi data yang ada (data fiktif), misalnya

tentang jumlah penduduk, luas wilayah, potensi dan

volume pekerjaan sehingga terjadilah mark up harga

melebihi harga sebenarnya.

2. Kekurangan volume pekerjaan

Penyimpangan atas Pekerjaan fisik, mengurangi

jumlah waktu dan hari termasuk Mengantongi

sisa anggaran yang tidak digunakan (SPPD lama

hari tidak sesuai).

Penyimpangan-penyimpangan anggaran berikut dapat

pula dilakukan melalui manipulasi ketebalan aspal

dan beton untuk jalan, perbandingan semen yang

digunakan, misalnya seharusnya 5 banding 1, tetapi

dibuat 8 banding 1, akhirnya jalan tersebut mudah

cepat retak, rontok, jebol dan ambles.

Mengacu pada hal tersebut di atas, penyimpangan

itu juga dilakukan terhadap jumlah waktu dan hari,

misalnya proyek pelatihan dari 5 hari menjadi 3 hari,

tapi kadang-kadang menjadi 1 hari. Dalam pada itu

SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) ternyata

lamanya hari untuk tugas yang dimaksud tidak sesuai

dengan realita (menyerap sisa anggaran yang tidak

digunakan).

3. Pemotongan setoran anggaran

Bentuk lain dari penyimpangan yang dilakukan saat

mengajukan penawaran harga/anggaran suatu Proyek.

Penyimpangan berupa penyetoran dana oleh peserta

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

tender kepada pimpinan proyek, sebagai maksud

agar dapat dimenangkan dalam tender. Sehingga

saat proyek tersebut diserahkan akan beresiko

berkurangnya volume pekerjaan karena dana kurang

dan pada gilirannya akan mengurangi biaya teknis,

dan pelaksanaan pekerjaan yang menyimpang dari

bestek bangunan, pengurangan jumlah pengadaan,

pengurangan gaji karyawan, pengurangan kualitas

pekerjaan.

Dalam pada itu, tidak menutup kemungkinan adanya

uang-uang pelicin, komitmen lisan, transfer uang

tanpa kuitansi.

4. Pertanggungjawaban fiktif

Bentuk lain dari penyimpangan anggaran adalah

sebenarnya kegiatan itu tidak ada atau fiktif, tetapi

anggaran sudah ada, maka dibuatlan laporan

administrasi abal-abal (tidak benar secara riil, dan

dana kemudian dibagi-bagi).

5. Pengalihan pos anggaran

Penyimpangan yang dilakukan saat memberikan

pertanggungjawaban anggaran, memasukkan dalam

uraian tugas dan tanggung jawab yaitu dengan

melakukan penggelapan sumber anggaran,

mempertanggungjawabkan jenis anggaran dan

kegiatan yang tidak sama/tidak jelas (seperti anggaran

lain-lain atau biaya tidak terduga, Anggaran kesehatan,

tidak digunakan tapi dipertanggungjawabkan fiktif).

6. Pertanggungjawaban ganda

Bentuk penyimpangan yang lain berupa Duplikasi

proyek (pertanggungjawaban ganda/fiktif), yaitu ada

satu kegiatan yang obyeknya sama tetapi juga

dilakukan oleh lembaga lain yang berbeda dengan

lembaga sebelumnya. Dalam pada itu ada suatu hibah

(bantuan luar negeri) tetapi hibah tersebut

dipertanggungjawabkan dalam APBN/APBD.

7. Penggelapan pajak dan Restitusi

Penyimpangan ini seringkali dilakukan oleh Petugas

Pajak yang bekerjasama dengan Wajib Pajak yang

menginginkan pengurangan dalam membayar

kewajiban pajaknya. Penyimpangan dapat berupa

Petugas yang tidak mendaftarkan Wajib Pajak, tapi

Wajib Pajak tetap dimintai uang dalam jumlah tertentu,

Selain itu Petugas, Petugas /wajib Pajak membuat

daftar kekayaan Wajib Pajak tidak sesuai dengan

kekayaan Wajib Pajak sebenarnya, dan tidak

menyetorkan pajak/restitusi yang dibayar oleh Wajib

Pajak (sistem pembayaran iuran/restitusi yang manual).

Sesuai ketentuan.

8. Pengalihan dana

Penyimpangan berikut juga dapat dilakukan oleh

pemegang kas negara/daerah yang bekerja sama

dengan oknum perbankan, baik bank

pemerintah/daerah. Dalam hal ini biasanya dilakukan

dalam bentuk laporan-laporan fiktif proyek

pembangunan tersebut, terutama banyak terjadi di

daerah-daerah.

9. Pungutan liar/suap

Penyimpangan anggaran negara/daerah itu terjadi

juga dalam proses pengurusan hak-hak warga negara,

misalnya pengurusan KTP, Akta Lahir, Akta Kematian,

Akta Nikah, SIUP, NPWP, SITU, SIM, Surat Kelakukan

Baik dari Polisi (SKCK). Penyimpangan juga dilakukan

dalam urusan-urusan meminta setoran-setoran kepada

calon pegawai, CPNS, TARUNA AKABRI, POLRI,

SECABA, SECAPA, SECATAM, bentuk natura kepada

penetap kebijakan.

10.Setoran tidak langsung

Adapun bentuk lainnya adanya penyimpangan, yaitu

misalnya pemasukan uang negara ke rekening pribadi

sampai beberapa hari/minggu, yang seharusnya

anggaran/dana itu harus segera disetor langsung ke

instansi atasan tetapi kenyataannya ditahan lebih

dahulu dengan memasukkan ke rekening pribadi

sampai beberapa hari atau minggu. Hasil bunga dari

uang yang diendapkan dalam rekening pribadi itu

kemudian diambil oleh yang bersangkutan untuk

diambil manfaat bagi pribadi-pribadi.

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Kesimpulan:

• Bahwa ternyata pengelolaan keuangan negara itu

tidak dijalankan secara akuntabel yang berorientasi

pada hasil, profesional, proporsional, keterbukaan

dan kejujuran (Vide UU No. 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara)

• Bahwa ternyata pelaku-pelaku korupsi itu tidak

mengindahkan etika kehidupan berbangsa, khususnya

etika penegakan hukum yang berkeadilan (Vide Tap

MPR No. VI/MPR/2001)

• Bahwa penyelenggaraan keuangan negara merupakan

isu sentral yang penting dan stretegis disebabkan

kedudukannya sebagai urat nadi negara.

• Bahwa walau pemberantasan korupsi itu telah

dilaksanakan dengan maksimal, tetapi masih saja

timbul pelaku-pelaku korupsi yang makin menjamur.

Saran:

• Bahwa pengelolaan keuangan negara seharusnya

dijalankan dengan lebih tertib, taat perundang-

undangan, efisien, efektif, ekonomis, transparan, dan

bertanggung jawab (vide Undang-Undang No 17

tahun 2003 tentang Keuangan Negara)

• Bahwa terhadap pelaku-pelaku korupsi atas keuangan

negara itu seharusnya dihukum maksimal 20 tahun

(dimiskinkan menurut Presiden) atau bila perlu

dihukum mati sesuai dengan pasal 10 KUHP,

disebabkan tindakan korupsi itu sama artinya dengan

membunuh seluruh aspek kehidupan rakyat/bangsa

dan merusak sendi-sendi negara (vide Undang-Undang

No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo

Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Tindak

Pidana Korupsi.

27

28

• Arifin PS, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PT. Gramedia, Yogyakarta, 1986.

• John F Due, Keuangan Negara, UI Press, 1984.

• M. Ikhwan, Administrasi Keuangan, Liberty, Yogyakarta, 1989.

• Suparmoko, Keuangan Negara dalam Praktek dan Teori, BPFE Gama, Yogyakarta, 1987.

• Sjahruddin Rasul, Sistem Akuntabilitas Kinerja dalam Perspektif Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003.

• Sukarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah, Airlangga University Press, 2005

Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen.

2. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

3. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

4. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

5. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

6. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 337/ KMKU.12/2003 tentang Sistenm Akuntasi dan Laporan Keuangan Pusat

DAFTAR PUSTAKA

Pendahuluan

Undang-Undang tentang kepailitan menetapkan dalam

pasal 55 bahwa pemegang jaminan fidusia termasuk

kreditor separatis yang berhak mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Memperhatikan

ketentuan tersebut, penulis bermaksud menyajikan dalam

tulisan ini pokok-pokok serta ciri-ciri khas jaminan fidusia

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada tanggal 30

September 1999 (selanjutnya disebut “UU Fidusia”).

1. Pengertian

Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat

tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat

hukum Romawi. Dalam hukum Romawi lembaga

jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum

creditore contracta (artinya, janji kepercayaan yang

dibuat dengan kreditor). Isi janji yang dibuat oleh

debitor dengan kreditornya adalah bahwa debitor

akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda

kepada kreditornya sebagai jaminan untuk utangnya

dengan kesepakatan bahwa debitor tetap akan

menguasai secara fisik benda tersebut dan bahwa

kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan

tersebut kepada debitor bilamana utangnya sudah

dibayar lunas.

Dengan demikian berbeda dari pignus (gadai) yang

mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang

digadaikan, dalam hal fiducia cum creditore pemberi

fidusia tetap menguasai benda yang menjadi obyek

fidusia. Dengan tetap menguasai benda tersebut

pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksud

dalam menjalankan usahanya.

Di samping lembaga jaminan fiducia dimaksud,

hukum Romawi juga mengenal suatu lembaga titipan

yang dikenal dengan nama fiducia cum amico

contracta (artinya, janji kepercayaan yang dibuat

dengan teman). Lembaga fiducia ini sering digunakan

oleh seorang pater familias yang harus meninggalkan

keluarga dan tanahnya untuk jangka waktu yang

lama karena ia harus membuat perjalanan jauh atau

pergi perang. Dalam hal demikian pater familias

tersebut akan menitipkan familia-nya, yaitu keluarga

dan seluruh kekayaannya, kepada seorang teman

yang selanjutnya akan mengurus tanah dan

kekayaannya serta memberi bimbingan dan

perlindungan kepada keluarga yang ditinggalkan

oleh pater familias. Tentu saja antara pater familias

dan temannya tersebut dibuat janji bahwa teman

29

MENCERMATI POKOK-POKOKUNDANG-UNDANG FIDUSIA

Oleh : Fred B.G. Tumbuan*

Abstrak

Undang-Undang tentang kepailitan menetapkan dalam pasal 55 bahwa pemegang jaminan fidusia termasuk

kreditor separatis yang berhak mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. UU Fidusia menegaskan

bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid, security right

in rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan kepada Penerima Fidusia.

Key words : fiducia, perjanjian, objek jaminan, eksekusi

* Pengacara Senior

tersebut akan mengembalikan kepemilikan atas

familia tersebut bilamana si pater familias sudah

kembali dari perjalanannya. Pada dasarnya lembaga

fiducia cum amico sama dengan lembaga “trust”

sebagaimana itu dikenal dalam sistem hukum Anglo-

Amerika (common law).

Memperhatikan asal lembaga fiducia yang

menunjukkan adanya dua macam lembaga fiducia,

maka untuk menghindarkan salah faham UU Fidusia

dalam judulnya menegaskan bahwa yang diatur

dalam UU Fidusia adalah lembaga jaminan fidusia.

2. Timbulnya Jaminan Fidusia

Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang kita

kenal sekarang dalam bentuk “fiduciaire

eigendomsoverdracht” atau “FEO” (pengalihan hak

milik secara kepercayaan) timbul berkenaan dengan

adanya ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 KUH

Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa

kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh

berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut

mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat

mempergunakan benda yang digadaikan untuk

keperluan usahanya. Hambatan tersebut diatasi

dengan mempergunakan lembaga FEO yang

kemudian diakui oleh jurisprudensi Belanda dalam

Arrest Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang

dikenal dengan nama “Bierbrouwerij-arrest”.

Di Indonesia lembaga FEO tersebut diakui oleh

jurisprudensi Hindia Belanda berdasarkan arrest

Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM vs

Clynett).

3. Hakikat Jaminan Fidusia

Di atas kita lihat bahwa dalam hal jaminan fidusia

benar terjadi pengalihan hak kepemilikan. Namun

demikian pengalihan hak kepemilikan dalam hal

jaminanfidusia adalah pengalihan hak kepemilikan

atas suatu benda atas dasar kepercayaandengan janji

bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tetap berada dalam penguasaan pemberi jaminan

fidusia (“Pemberi Fidusia”)1. Pengalihan hak

kepemilikan atas benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia seperti tersebut di atas dilakukan dengan cara

constitutum possessorium (verklaring van

houderschap), artinya, pengalihan hak kepemilikan

atas suatu benda dengan tetap menguasai secara

fisik benda tersebut yang berakibat bahwa Pemberi

Fidusia seterusnya akan menguasai dan memakai

benda dimaksud untuk kepentingan penerima

jaminan fidusia “(Penerima Fidusia”). Pengalihan hak

kepemilikan atas suatu benda dengan cara tersebut

dikenal dan digunakan secara luas di Perancis sejak

abad pertengahan. Pengalihan hak kepemilikan

tersebut berbeda dari pengalihan hak milik

sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 jo. pasal

612 ayat 1 KUH Perdata. Dalam hal jaminan fidusia

pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-

mata sebagai jaminan/agunan bagi pelunasan utang2,

bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia.

4. Sifat Jaminan Fidusia

UU Fidusia menegaskan secara jelas bahwa jaminan

fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan

kebendaan (zakelijke zekerheid, security right in

rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan

kepada Penerima Fidusia. Penerima Fidusia memiliki

hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak

yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus

karena adanya kepailitan Pemberi Fidusia3. Penegasan

dimaksud menghilangkan keraguan dan pendapat

bahwa jaminan fidusia tidak menimbulkan hak

agunan atas kebendaan, melainkan hanya merupakan

perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat

“persoonlijk” (perorangan) bagi kreditor.

Selain itu, UU Fidusia juga menegaskan bahwa jaminan

fidusia merupakan perjanjian ikutan atau asesor

(accessoir) dari suatu perjanjian pokok4. Ini berbeda

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

30

1 Lihat pasal 1 butir 1 UU Fidusia

2 Lihat pasal 1 butir 2 dan pasal 33 UU Fidusia

3 Lihat pasal 1 butir 2 dan Pasal 27 UU Fudusia

4 Lihat Pasal 4 UU Fidusia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

dengan anggapan yang berlaku di Jerman bahwa

FEO tidak bersifat asesor. Akibat dari sifat ikutan

jaminan fidusia adalah bahwa jaminan fidusia hapus

demi hukum bilamana utang yang dijamin dengan

jaminan fidusia hapus5.

Pasal 1 butir 2 UU Fidusia menentukan bahwa jaminan

fidusia diberikan sebagai agunan bagi pelunasan

utang. Selanjutnya butir 7 dari pasal 1 dimaksud dan

pasal 7 UU Fidusia mengatur lebih lanjut jenis utang

yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan

fidusia. Sehubungan dengan kedua ketentuan

dimaksud perlu penulis tegaskan di sini bahwa yang

dimaksud dengan utang yang pemenuhannya dapat

dijamin dengan jaminan fidusia tidak terbatas pada

pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam

kedua pasal tersebut, melainkan mencakup setiap

perikatan (verbintenis) sebagaimana dimaksud dalam

pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Pengertian utang

dijabarkan dengan cukup rinci dalam Pasal 1 butir

6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

Adapun utang yang lahir karena undang-undang

(demi hukum) adalah misalnya kewajiban membayar

ganti rugi karena perbuatan melawan hukum (pasal

1365 KUH Perdata)6 dan negotiorum gestio

(zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam pasal

1354 – 1357 KUH Perdata.7 Sedangkan utang yang

lahir karena perjanjian adalah kewajiban untuk

memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau

untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH

Perdata).

Contohnya:

• Kewajiban pemasok untuk menyerahkan pupuk

yang dijualnya kepada petani yang membelinya.

• Kewajiban debitor untuk membayar kembali

pinjaman kepada kreditornya.

• Kewajiban seorang penanggung untuk melunasi

utang yang ia telah jamin bilamana debitor cidra

janji.

• Kewajiban pemilik sebidang tanah untuk tidak

menutup jalan masuk ke rumah tetangganya yang

melintasi bidang tanah tersebut karena telah

diperjanjikannya (servituut).

Semua jenis utang tersebut di atas adalah utang yang

dapat ditagih di muka pengadilan. Oleh karena itu

utang-utang tersebut dapat dijamin dengan jaminan

fidusia. Sehubungan dengan jenis utang tersebut di

atas, perlu diperhatikan bahwa utang yang lahir

karena perjudian dan pertaruhan tidak dapat

dituntut pemenuhannya di muka pengadilan (pasal

1788 KUH Perdata) dan oleh karena itu tidak dapat

dijamin dengan jaminan fidusia atau jaminan lainnya.

Jaminan fidusia dapat diberikan untuk menjamin

utang kepada lebih dari seorang kreditor asalkan

diberikan pada saat yang sama.8 Misalnya jaminan

fidusia yang diberikan kepada konsorsium kreditor

dalam rangka pinjaman sindikasi (syndicated loan).

Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah

bahwa tidak mungkin adanya fidusia ulang yaitu

fidusia ganda atau lebih atas benda yang sudah dan

masih dibebani jaminan fidusia9. Ketidakmungkinan

ini disebabkan oleh karena hak kepemilikan atas

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sudah

beralih kepada Penerima Fidusia. Sedangkan syarat

bagi sahnya jaminan fidusia adalah bahwa Pemberi

Fidusia mempunyai hak kepemilikan atas benda yang

31

8 Lihat pasal 8 UU Fidusia. Pengaturan sejenis dapat dibaca pula dalam pasal 3 ayat(2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

9 Lihat Pasal 17 UU Fidusia

5 Lihat Pasal 25 ayat (1)a UU Fudusia

6 Dalam suatu putusan yang terkenal tanggal 31 Januari 1919 Hoge Raad Belana memutuskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kelalaian yang (i) melanggar hak orang lain, atau (ii) bertentangan dengan kewajiban pelaku, atau melanggar (iii) kesusilaan atau (iv) kecermatan yang harus diperhatikan terhadap pribadi atau milik seseorang.

7 Pasal 1358 KUH Perdata mengatur bahwa (negotiorum) gestor tidak berhak atas suatu upah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu ia memberi

jaminan fidusia.

5. Obyek Jaminan Fidusia

UU Fidusia mengatur bahwa yang dapat menjadi

obyek jaminan fidusia adalah benda apapun yang

dapat dimiliki dan hak kepemilikan tersebut dapat

dialihkan, baik benda itu berwujud maupun tidak

berwujud, terdaftar maupun tak terdaftar, bergerak

maupun tak bergerak, dengan syarat bahwa benda

dimaksud tidak dapat dibebani dengan hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

atau hipotek sebagaimana dimaksud dalam pasal 314

ayat 3 KUH Dagang jis pasal 1162 dst. KUH Perdata10.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU

Fidusia yang menegaskan bahwa yang dimaksud

dengan benda adalah termasuk piutang (receivables),

maka jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UU

Fidusia telah menggantikan FEO dan cessi jaminan

atas piutang-piutang (zekerheidscessie van

schuldvorderingen, fiduciary assignment of receivables)

yang dalam praktek pemberian kredit banyak

digunakan.

Selanjutnya UU Fidusia mengatur bahwa selain benda

yang sudah dimiliki pada saat dibuatnya jaminan

fidusia, juga benda yang diperoleh kemudian

dapat dibebani dengan jaminan fidusia11. Ini berarti

bahwa benda tersebut demi hukum akan dibebani

dengan jaminan fidusia pada saat benda dimaksud

menjadi milik Pemberi Fidusia. Berkenaan dengan

pembebanan jaminan fidusia atas benda, termasuk

piutang, yang diperoleh kemudian UU Fidusia

menetapkan bahwa tidak perlu dibuat perjanjian

jaminan fidusia tersendiri12 oleh karena sudah

dilakukan pengalihan hak kepemilikan “sekarang

untuk nantinya” (nu voor alsdan) atas benda

tersebut. Dimungkinkannya pembebanan jaminan

fidusia atas benda yang diperoleh kemudian sangat

membantu dan menunjang pembiayaanpengadaan/

pembelian persediaan (stock) bahan baku dan bahan

penolong.

Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia, UU Fidusia mengatur bahwa

jaminan fidusia meliputi hasil tersebut. Demikian pula

jaminan fidusia meliputi demi hukum klaim asuransi13

sehingga klaim asuransi tersebut akan menggantikan

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia bilamana

benda tersebut musnah.14 Ketentuan serupa juga

terdapat dalam pasal 11 ayat (2)i. Undang-Undang

No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan

pasal 297 KUH Dagang berkenaan dengan hipotek.

Perbedaannya adalah bahwa hal tersebut harus

diperjanjikan secara khusus oleh dan antara pemberi

hak tanggungan dan hipotek di satu pihak dan oleh

penerima hak tanggungan dan hipotek di pihak lain.

6. Bentuk dan Isi Perjanjian Fidusia dan Lahirnya

Jaminan Fidusia

UU Fidusia menegaskan bahwa bentuk perjanjian

fidusia harus tertulis, bahkan harus dibuat dengan

akta notaris dalam bahasa Indonesia.15 Pengecualiannya

berlaku bagi perjanjian jaminan fidusia, baik itu berupa

FEO maupun cessi jaminan atas piutang, yang telah

ada sebelum berlakunya UU Fidusia.16 Alasan mengapa

UU Fidusia menetapkan bentuk khusus (akta notaris)

bagi perjanjian jaminan fidusia adalah bahwa

sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUH Perdata,

akta notaris karena merupakan akta otentik memiliki

kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang

dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para

32

10 Lihat pasal 1 butir 2 dan 4 dan pasal 3 UU Fidusia

11 Lihat pasal 9 ayat (1) UU Fidusia

12 Pasal 9 ayat (2) UU Fidusia

13 Lihat pasal 10 UU Fidusia

14 Lihat pasal25 ayat (2) UU Fidusia

15 Lihat pasal 5 ayat (1) UU Fidusia.

16 Lihat pasal 37 ayat (2) UU Fidusia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

ahli warisnya atau para pengganti haknya. Mengingat

bahwa obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah

barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah

sewajarnya bahwa bentuk akta otentiklah yang

dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum

berkenaan dengan obyek jaminan fidusia.

Isi akta perjanjian jaminan fidusia diatur dalam pasal

6 UU Fidusia dan paling tidak harus memuat hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tersebut.

Berlainan dalam hal FEO dan cessi jaminan yang lahir

pada waktu perjanjiannya dibuat antara debitor dan

kreditor, jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia lahir

pada tanggal jaminan fidusia dicacat dalam Buku

Daftar Fidusia. Adapun bukti bagi kreditor bahwa ia

merupakan pemegang jaminan fidusia adalah

Sertipikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan pada

tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran jaminan fidusia.17 Dengan

demikian jelas bahwa perbuatan konstitutip yang

melahirkan jaminan fidusia adalah pendaftarannya

dalam Buku Daftar Fidusia. Hal ini ditegaskan lagi

dalam pasal 28 UU Fidusia yang mengatur bahwa

apabila atas benda yang sama yang menjadi obyek

jaminan fidusia dibuat lebih dari 1 (satu) perjanjian

jaminan fidusia, maka kreditor yang lebih dahulu

mendaftarkannya adalah Penerima Fidusia. Hal ini

penting diperhatikan oleh kreditor yang menjadi

pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, teristimewa

karena hanya Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya

yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia.18

Ketentuan-ketentuan dalam UU Fidusia tentang

pendaftaran jaminan fidusia tersebut di atas

merupakan terobosan penting mengingat bahwa

pada umumnya obyek jaminan fidusia adalah benda

bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit

mengetahui siapa pemiliknya. Teristimewa lagi dengan

adanya ketentuan dalam pasal 1977 KUH Perdata

yang mengatur bahwa barang siapa menguasai

benda bergerak ia dianggap sebagai pemiliknya (bezit

geldt als volkomen titel). Tidak didaftarnya FEO dan

cessi jaminan saat ini menjadi sebab utama mengapa

FEO dan cessi jaminan merupakan lembaga jaminan

yang kurang memberi perlindungan bagi kreditor

pemegang FEO dan cessi jaminan. Melalui keharusan

mendaftarkan jaminan fidusia.19 UU Fidusia memenuhi

asas publisitas yang merupakan salah satu saka

guru hukum jaminan kebendaan.

7. Tanggung Jawab atas Obyek Jaminan Fidusia

Oleh karena Pemberi Fidusia tetap menguasai secara

fisik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan

dia yang memakainya serta merupakan pihak yang

sepenuhnya memperoleh manfaat ekonomis dari

pemakaian benda tersebut, maka Pemberi Fidusialah

yang bertanggung jawab atas semua akibat dan

harus memikul semua risiko yang timbul berkenaan

dengan pemakaian dan keadaan benda dimaksud.20

Ketentuan serupa juga terdapat dalam perjanjian

“financial leasing” yang mengatur bahwa semua

risiko berkenaan dengan benda yang menjadi obyek

perjanjian leasing harus dipikul oleh lessee karena

lessee yang memakai benda tersebut dan memperoleh

manfaat ekonomis dari pemakaian tersebut.

Seperti halnya hak jaminan kebendaan lainnya,

jaminan fidusia menganut prinsip “droit de suite”.21

Pengecualian atas prinsip ini terdapat dalam hal benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda

persediaan dan hak kepemilikannya dialihkan dengan

cara dan prosedur yang lazim berlaku dalam usaha

perdagangan dan dengan memperhatikan persyaratan

tertentu.22 Dimungkinkannya pengecualian tersebut

perlu dalam hal benda persediaan terdiri dari barang

jadi (finished goods) yang diproduksi Pemberi Fidusia

33

17 Lihat pasal 14 UU Fidusia

18 Lihat pasal 13 ayat (1) UU Fidusia.

19 Lihat pasal 11 UU Fidusia.

20 Lihat pasal 24 UU Fidusia.

21 Lihat pasal 20 UU Fidusia.

22 Lihat pasal 21 UU Fidusia.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

untuk dipasarkan.23 Selanjutnya UU Fidusia mengatur

secara khusus dalam pasal 23 ayat (1) bahwa

penggunaan, pengalihan benda atau hasil benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia yang disetujui

oleh Penerima Fidusia tidak berakibat bahwa ia akan

kehilangan jaminan fidusia atas benda tersebut.

Pengaturan ini perlu mengingat bahwa pada umumnya

yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah aneka

ragam barang bergerak. Sehubungan dengan itu

terdapat larangan jelas dalam pasal 23 ayat (2) untuk

mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan

kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia yang bukan merupakan benda persediaan,

kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari

Penerima Fidusia. Pelanggaran larangan tersebut

diancam dengan pidana penjara dan denda.24

Ancaman pidana tersebut adalah konsekwensi dari

pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia dengan cara constitutum

possessorium. Terlebih lagi bilamana diperhatikan

bahwa ketentuan dalam pasal 1977 KUH Perdata

menentukan bahwa penguasaan atas barang bergerak

merupakan alas hak bagi kepemilikannya (bezit geldt

als volkomen titel).

8. Eksekusi Jaminan Fidusia

Sebagaimana juga dalam hal hak tanggungan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan25 Sertifikat

Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.26 Berdasarkan

titel eksekutorial tersebut Penerima Fidusia dapat

langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan

umum atas obyek jaminan fidusia tanpa melalui

pengadilan.

Di samping eksekusi terhadap benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial,

UU Fidusia memberi kemudahan dalam pelaksanaan

eksekusi melalui lembaga parate eksekusi.27

Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan

fidusia tersebut juga dikenal dalam hal gadai

sebagaimana diatur dalam pasal 1155 KUH Perdata,

hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 6

jo pasal 20 ayat (1) a. Undang-Undang No. 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan dan hipotek

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1178 ayat 2 KUH

Perdata. Yang perlu diperhatikan dalam hal parate

eksekusi adalah bahwa penjualan benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia harus melalui pelelangan

umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat

diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek

jaminan fidusia. Namun demikian dalam hal penjualan

melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan

menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan

baik Pemberi maupun Penerima Fidusia, maka

dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan

hal tersebut disepakai oleh Pemberi dan Penerima

Fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan

tersebut dipenuhi.28 Dibukanya kemungkinan cara

penjualan di bawah tangan dimaksud adalah untuk

mempermudah penjualan obyek jaminan fidusia

dengan harga penjualan tertinggi.

Khusus dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang

dapat diperjual belikan di pasar atau di bursa, UU

Fidusia mengatur bahwa penjualannya dapat dilakukan

di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.29 Bagi efek yang

terdaftar di bursa di Indonesia, berlaku peraturan

perundang-undangan di bidang Pasar Modal.

Pengaturan serupa kita temukan pula dalam hal

34

23 Lihat Pasal 22 UU Fidusia.

24 Lihat Pasal 36 UU Fidusia.

25 Lihat pasal 23 ayat (3) UU Hak Tanggungan.

26 Lihat pasal 15 ayat (2) UU Fidusia.

27 Lihat pasal 15 ayat (3) jo pasal 29 ayat (1) b. UU Fidusia.

28 Lihat pasal 29 ayat (1) c . dan ayat (2) UU Fidusia.

29 Lihat pasal 31 UU Fidusia.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

lembaga gadai sebagaimana hal itu diatur dalam

pasal 1155 KUH Perdata.

Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi jaminan

fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 29 dan 31

UU Fidusia bersifat mengikat (dwingend recht) yang

tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para

pihak. Penyimpangan dari ketentuanketentuan

tersebut berakibat bahwa penyimpangan dimaksud

batal demi hukum.30 Selanjutnya mengingat bahwa

jaminan fidusia adalah lembaga jaminan dan bahwa

pengalihan hak kepemilikan dengan cara

constitutum possessorium dimaksudkan untuk

semata-mata memberi agunan dengan hak yang

didahulukan kepada Penerima Fidusia, maka setiap

janji yang memberi kewenangan kepada Penerima

Fidusia untuk memiliki obyek jaminan fidusia adalah

batal demi hukum.31 Ketentuan tersebut dibuat untuk

melindungi Pemberi Fidusia, teristimewa jika nilai

obyek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang

dijamin.32 Ketentuan serupa kita jumpai pula dalam

pasal 1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai,

pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan dan pasal 1178 ayat 1 KUH Perdata

sehubungan dengan hipotek.

9. Kepailitan Pemberi dan Penerima Fidusia

Seperti halnya hak agunan atas kebendaan lainnya

seperti gadai, hak tanggungan dan hipotek,33 jaminan

fidusia menganut prinsip “droit de pr_f_rence” yang

berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor

Pendaftaran Fidusia.34 Berdasarkan ketentuan dalam

pasal 28 UU Fidusia tersebut, maka berkenaan dengan

jaminan fidusia berlaku adagium “first registered,

first secured”. Yang dimaksud dengan hak yang

didahulukan tersebut adalah bahwa Penerima Fidusia

berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas

hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia mendahului kreditor-kreditor lain. Bahkan

sekalipun Pemberi Fidusia dinyatakan pailit, hak yang

didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sekalipun

termasuk dalam harta pailit Pemberi Fidusia berada

di luar kepailitan dan/atau likwidasi.35 Dengan demikian

Penerima Fidusia tergolong dalam kelompok kreditor

separatist.

Bagaimana apabila Penerima Fidusia dinyatakan pailit?

Apakah benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

dan yang hak kepemilikannya secara fidusia ada pada

Penerima Fidusia termasuk dalam harta pailitnya?

Penulis berpendapat bahwa obyek jaminan fidusia

tidak menjadi bagian harta pailit Penerima Fidusia,

oleh karena hak kepemilikan atas obyek tersebut

diperolehnya semata-mata sebagai jaminan. Ini

ditegaskan secara jelas dalam ketentuan sebagaimana

dimaksud pasal 33 UU Fidusia yang mengatur bahwa

setiap janji yang memberi kewenangan kepada

Penerima Fidusia untuk memiliki obyek jaminan fidusia

adalah batal demi hukum.

10.Hapusnya Jaminan Fidusia

Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan

atau aksesor dari perjanjian pokok36, maka demi

hukum jaminan fidusia hapus bila utang yang

bersumber pada perjanjian pokok tersebut dan yang

dijamin dengan fidusia hapus. Di samping itu, pasal

25 UU Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia juga

hapus karena pelepasan hak atas jaminan fidusia

oleh Penerima Fidusia atau musnahnya benda yang

menjadi obyek jaminan fidusia. Apakah dengan

hapusnya jaminan fidusia dalam hal hapusnya utang

35

30 Lihat pasal 32 UU Fidusia.

31 Lihat pasal 33 UU Fidusia.

32 Lihat pasal 34 UU Fidusia.

33 Lihat psal 1150 KUH Perdata tentang gaddai dan pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

34 Lihat pasal 28 UU Fidusia.

35 Lihat pasal 27 ayat (3) UU Fidusia jo. Pasal 55 Undang-Undang tentang Kepailitan.

36 Lihat pasal 4 UU Fidusia.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

yang dijamin perlu dilakukan pengalihan kembali

(retrooverdracht) atas hak kepemilikan oleh Penerima

Fidusia kepada Pemberi Fidusia? Memperhatikan

bahwa pengalihan hak kepemilikan atas obyek

jaminan fidusia dilakukan oleh Pemberi Fidusia kepada

Penerima Fidusia sebagai jaminan atas kepercayaan

bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya

akan kembali bilamana utang lunas (adanya syarat

batal atau “onder ontbindende voorwaarde”), maka

penulis berpendapat bahwa tidak perlu dilakukan

pengalihan kembali secara tersendiri. Ini kiranya

sesuai dengan sifat aksesor jaminan fidusia

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 UU Fidusia.

Adapun ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 25 ayat (3) adalah guna memberi kepastian

kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mencoret

pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia

dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan

bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan

tidak berlaku lagi.37

Demikian beberapa pokok Jaminan Fidusia

sebagaimana diatur dalam UU Fidusia. Semoga

bermanfaat.

Jakarta, Juli 2012

36

37 Lihat pasal 26 UU Fidusia.

37

• I. van Creveld, Mr.: Cessie van Schuldvorderingen, tweede herziene druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1953.

• A. Veenhoven, Dr.: Eigendomsoverdracht tot Zekerheid, 2e druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1956.

• P.A. Stein, Prof. Mr.: Zekerheidsrechten, Zekerheidsoverdracht, Pand en Borgtocht. Kluwer – Deventer, 1970.

• Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH. Prof. Dr.: Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Fiducia di

dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Bulaksumur, Yogyakarta, 1977.

• Asser-Oven: Zakenrecht, Zekerheidsrechten, tiende druk, Tjeenk Willink, Zwolle,1978.

• Asser-Rutten: Verbintenissenrecht I, zesde druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1981.

• O.K. Brahn, Prof. Mr.: Fiduciaire eigendomsoverdracht eneigendomsvoorbehoud, Tjeenk Willink, Zwolle, 1981.

• Noordraven, Mr.: De Fiducia in het Romeinse recht, Kluwer – Deventer, 1988.

• Feenstra, R. Prof. Mr.: Romeinsrechtelijke Grondslagen van het NederlandsPrivaatrecht, Inleidende Hoofd-

stukken, Zesde druk, Leiden, 1994.

DAFTAR PUSTAKA

Halaman ini sengaja dikosongkan

I. PENDAHULUAN

Pada dasarnya pembangunan yang sedang

dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini mempunyai

tujuan untuk mencapai tingkat kemakmuran rakyat

yang tinggi. Hal ini sesuai dengan arah tujuan negara

Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan

UUD 1945 alinea ke-4 yang mengatur tujuan negara,

yaitu:

“….melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial…”

Pelaksanaan pembangunan tersebut harus bersandar

pada sumber pendanaan yang tersedia yakni APBN

(Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebagaimana

diatur dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara.

Sejalan dengan hal tersebut berbagai upaya telah

ditempuh oleh pemerintah untuk menyeimbangkan

anggaran pengeluaran dan pemasukan dalam APBN.

Salah satunya adalah menggali potensi sumber daya

alam di Indonesia berupa minyak dan gas bumi yang

mampu memberikan andil bagi penerimaan negara

baik dari sektor pajak maupun bukan pajak.

Indonesia saat ini memiliki potensi untuk memproduksi

gas yang cukup besar bukan hanya di lokasi Arun

Aceh dan Bontang Kalimantan Timur saja, tapi juga

di beberapa tempat lain seperti di Donggi Senoro

Sulawesi, Masela Laut Timor dan Semai di Kawasan

39

PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI

Oleh : Indrawati, SH., LL.M1

Abstrak

Government constructs many infrastructures in all areas in Indonesia in order to reach the highest welfare for

Indonesian people. To build it needs funding from State revenue and expenditure (APBN) which it is regulated in

Act No. 17 in the year 2003 about state finance. To balance between expenditure and revenue, Government

attempts to find others state revenues which one is to explore natural resources that are consist of crude oil and

gas. This confers potentially revenues from non tax revenues. Furthermore all expenses of activities related to

exploration and exploitation crude oil and gas have covered by Government. To minimize leakage state finance

required the harmonization of revenues regulations based on the principle good financial governance

Keyword : state revenues, regulation, good financial governance,

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Indonesia Timur, Tangguh di Papua dan Natuna di

Kepulauan Riau.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan

Gas Bumi (BP Migas) mencatat,

penerimaan negara dari kegiatan hulu migas di tahun

2008 meningkat dibanding tahun sebelumnya, sampai

kuartal ketiga 2008, penerimaan kotor dari sektor

hulu migas sebesar USS 45,6 miliar. Dari jumlah itu,

negara meraih keuntungan USS 30,3 miliar alias 67%

dari penerimaan kotor. Bandingkan dengan tahun

2007. Penerimaan kotor sebesar USS 38,7 miliar, dan

negara menerima USS 23,7 miliar alias sebesar 61%.

Penerimaan negara tahun ini bisa meningkat lantaran

secara rata-rata, perkiraan realisasi lifting (produksi

siap jual) sampai akhir 2008 sebesar 988.060 barel

per hari. Angka ini naik 1,1% dari target dalam APBN

sebesar 977.000 barel per hari.2

Penerimaan negara dari kegiatan migas tersebut

dapat diperoleh dari kegiatan usaha hulu migas dan

kegiatan usaha hilir migas yang secara jelas diatur

dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang

Minyak dan Gas Bumi sebagai pengganti dari Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU

No. 22 Tahun 2001).3

Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2001

dianggap sebagai tonggak reformasi kegiatan hulu

dan hilir migas. Jiwa UU No. 22 Tahun 2001 tersebut

sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-undang tersebut secara eksplisit

dinyatakan bahwa Pemerintah sebagai pemegang

kuasa pertambangan migas yang terkandung di bumi

NKRI, dan Badan Pelaksana Migas dibentuk untuk

mengelola kegiatan hulu migas serta Badan Pengatur

migas untuk mengelola kegiatan hilir migas di

Indonesia. Di samping itu sesuai dengan Peraturan

Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan

Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan

Perseroan (Persero), di mana Pertamina dikembalikan

kepada fungsi sebenarnya sebagai kontraktor migas

(production sharing contractor).

Kegiatan Usaha Hulu Migas tersebut dilakukan

oleh Badan Usaha (Badan Usaha Milik Negara; Badan

Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil dan badan

usaha swasta) atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan

Kontrak Kerjasama dengan Badan Pelaksana.

Dalam hal eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan hasil

minyak bumi, Indonesia mempunyai teknologi, modal

dan sumber daya manusia yang belum memadai.

Untuk itu agar kemampuan tehnologi, modal dan

sumber daya manusia cukup memadai, telah

diusahakan dalam bentuk kerjasama dengan investor

sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kerjasama

tersebut dalam bentuk production sharing contract.

Kontrak Production sharing merupakan suatu

penggabungan usaha antara pemerintah yang diwakili

oleh Badan Pelaksana sebagai Badan Hukum Milik

Negara dengan perusahaan lainnya untuk

mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas

bumi. Ciri yang menonjol dari Kontrak Production

Sharing adalah manajemen dan kepemilikan aset

berada pada Pemerintah yang diwakili oleh Badan

Pelaksana, serta yang dibagi adalah hasil produksi

setelah dikurangi biaya operasi (operation cost).

Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kegiatan

Hulu Migas, terdiri atas: bagian negara; pungutan

negara yang berupa iuran tetap dan iuran

40

2 Zal, Penerimaan Negara dari Sektor Migas Naik, Harian Kontan, Rabu, 24 Desember 2008.

3 Kegiatan Hulu MigasPasal 1 angka 7 Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;Kegiatan Hilir MigasPasal 1 angka 10Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Eksplorasi dan Eksploitasi; bonus-bonus (Pasal

31 UU No. 22 Tahun 2001).

Kegiatan Usaha Hilir Migas yang meliputi pengolahan,

pengangkutan, penyimpanan, dan Niaga bukan

kegiatan usaha yang berkaitan langsung dengan

pengambilan sumber daya alam yang tak terbarukan,

dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapatkan

izin usaha dari Pemerintah.

Mengingat Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan

pengambilan sumber daya alam yang tak terbarukan

yang merupakan kekayaan negara, maka dalam

kegiatan ini negara harus memperoleh manfaat yang

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sedangkan

Kegiatan Usaha Hilir merupakan kegiatan yang

bersifat usaha bisnis pada umumnya, di mana biaya

produksi dan kerugian yang mungkin timbul tidak

dapat dibebankan (dikonsolidasikan) pada biaya

Kegiatan Usaha Hulu. Tidak dimungkinkannya

konsolidasi biaya dari Kegiatan Usaha Hulu dan

Kegiatan Usaha Hilir dimaksudkan juga agar

pembagian penerimaan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 ayat (6) menjadi jelas. Dalam hal Badan

Usaha melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan

Usaha Hilir secara bersamaan harus membentuk

badan hukum yang terpisah, antara lain secara

Holding Company. (Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU

No. 22 Tahun 2001).

Laporan tahunan keuangan menyatakan Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP), pada tahun anggaran

2008 realisasi PNBP dari gas mencapai Rp42,6 Triliun

atau sekitar 125,89% dari yang ditargetkan. Untuk

tahun 2009, peneriman SDA dari gas ini direncanakan

akan mencapai Rp 39,1 Triliun.4

Oleh karena pengelolaan kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi migas tersebut setiap sen yang dihasilkan

dari sepersekian barel atau sepersekian kaki kubik

minyak dan gas bumi, maupun setiap sen rupiah yang

dibelanjakan untuk kegiatan eksplorasi dan ekspoitasi

migas adalah uang negara untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, maka pengendalian keuangan

negara yang dihasilkan dari atau yang dibelanjakan

untuk kegiatan ini harus dikendalikan secara benar.5

Atas hal tersebut di atas potensi sumber penerimaan

negara dari Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Kegiatan

Usaha Hilir Migas telah memberikan andil yang cukup

besar dalam APBN. Namun demikian untuk

memaksimalkan potensi tersebut, perlu kiranya

pengelolaan dan pemeriksaan keuangan secara

profesional, transparan, akuntabel, adil,

proporsional, demokratis dan bertanggung

jawab sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-

undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara

Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan

kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai

dengan kedudukan dan kewenangannya, yang

meliputi perencanaan,pelaksanaan, pengawasan, dan

pertanggungjawaban.

Pengaturan pengelolaan keuangan negara di

Indonesia merupakan implementasi dari asas negara

hukum, asas legalitas dan asas kepastian hukum.

Oleh karenanya salah satu upaya untuk mewujudkan

transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan

negara adalah penyampaian laporan pertanggung-

jawaban keuangan pemerintah yang memenuhi

prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan

mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah

diterima secara umum (Penjelasan UU 17 Tahun 2003

Butir 9).

41

4 Y/T, Produsen Gas Terbesar Dunia Penerimaan Negara Bukan Pajak, www.pajak.go.id, 03/03/2009 12:01:14

5 Setyadi, Didik S., Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Kajian Sosial Nusa Makmur, Surabaya, 2007, hal.26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Selaras dengan prinsip-prinsip good governance,

pengelolaan keuangan negara dalam bingkai good

financial governance yang modern secara yuridis

harus dituangkan dalam perangkat ketentuan hukum

yang mengandung asas keterbukaan (transparency)

dan peran serta masyarakat (public particiption).6

Dengan demikian sebagai realisasi dari penerapan

asas good financial governance, maka pengaturan

pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari

penerimaan negara dari Kegiatan Usaha Hulu migas

dan kegiatan Usaha Hilir Migas dalam sejumlah

peraturan perundang-undangan di Indonesia harus

selaras dengan prinsip-prinsip efisien, ekonomis,

efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Adapun titik tolak permasalahan dalam tulisan ini

adalah: apakah pengaturan pengelolaan keuangan

negara yang bersumber pada Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

telah bertumpu pada prinsip-prinsip good financial

governance.

II. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

Menurut M. Suparmoko, penerimaan negara kita

artikan sebagai penerimaan negara dalam arti yang

seluas-luasnya, yaitu meliputi penerimaan yang

diperoleh dari hasil penjualan barang-barang dan

jasa-jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh Negara,

pinjaman negara, mencetak uang,dan sebagainya.7

Sumber-sumber penerimaan negara ataupun cara-

cara yang dapat ditempuh oleh Pemerintah untuk

mendapatkan uang dapat kita golongkan sebagai

berikut :

1. Pajak, yang dimaksud dengan pajak ialah

pembayaran iuran oleh rakyat kepada negara

yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa

yang secara langsung dapat ditunjuk;

2. Retribusi. Yang dimaksud dengan retribusi ialah

suatu pembayaran dari rakyat kepada

negaradimana kita dapat melihat adanya

hubungan antara balas jasa yang langsung diterima

dengan adanya pembayaran retribusi;

3. Keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara.

Penerimaan yang berasal dari sumber ini

merupakan penerimaan-penerimaan Pemerintah

dari hasil penjualan (harga) barang-barang yang

dihasilkan oleh Perusahaan-perusahaan negara;

4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan

oleh Pemerintah;

5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang

diberikan oleh Pemerintah seperti pembayaran

biaya-biaya perizinan (lisensi);

6. Pencetakan uang kertas. Karena sifat dan

fungsinya, maka Pemerintah memiliki kekuasaan

yang ini tidak dimiliki oleh para individu dalam

masyarakat;

7. Hasil dari undian negara.

8. Pinjaman. Pinjaman ini dapat berasal dari luar

negeri maupun dari dalam negeri.

9. Hadiah. Sumber dana jenis ini dapat terjadi antara

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dari

swasta kepada Pemerintah dan dapat pula terjadi

dari Pemerintah Negara suatu negara kepada

negara lain. Penerimaan negara dari sumber ini

sifatnya adalah volunteer dengan tanpa balas jasa

baik langsung mupun tidak langsung.8

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai salah

satu unsur pendapatan Negara dalam APBN

merupakan aspek yang sangat potensial untuk

meningkatkan penerimaan negara di luar sektor pajak.

42

6 Tomkins, Adam, Transparancy and the Emergence of Europian Administrative Law. Dalam G.H. Addink, Transparancy of Administration, Utrecht University, 2001, hal. 8 (Lihat Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Finacial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal. 4).

7 Suparmoko M., Asas-asas Ilmu Keuangan Negara, Edisi Kedua, Liberty Offset, Yogyakarta, Desember, 1980, hal. 43 8 Ibid., hal. 44-46.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Menurut Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng,

Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai

bagian dari Hukum Keuangan Negara memiliki ruang

lingkup sebagai obyek kajiannya, walaupun kedua-

duanya bersumber pada dari Pasal 23A Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945. Ruang lingkup Hukum Penerimaan

Negara Bukan Pajak, tidak membicarakan tentang

pajak, melainkan Penerimaan Negara Bukan Pajak,

yang pemungutan tersebut dilakukan oleh negara

dan sifatnya memaksa.9

Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 1997

Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh

penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari

penerimaan perpajakan;

Adapun ketentuan mengenenai Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) tidak secara tegas ditentukan

dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa

pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk

kepentingan negara diatur dengan undang-undang.

Penerimaan negara bukan pajak tidak tergolong

sebagai pajak, tetapi pada hakekatnya tergolong

sebagai pungutan yang bersifat memaksa dan

pungutan tersebut dilakukan oleh negara. Oleh karena

digunakan untuk kepentingan negara, maka

pengaturannya harus melalui undang-undang agar

tidak dikategorikan negara melakukan perampasan

sebagian kekayaan rakyatnya.

Dalam hal ini jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pasal 2

(1)Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak

meliputi:

b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya

alam;

Penjelasan Pasal 2

Ayat (1) Huruf b

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok

penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber

daya alam, antara lain, royalti di bidang perikanan,

royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang

pertambangan. Khusus mengenai penerimaan dari

minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang

Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Negara terdapat unsur royalti, namun karena

didalamnya terkandung banyak unsur-unsur

perpajakan, maka penerimaan yang merupakan

bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak

termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan

Usaha Hulu Migas dan Kegiatan Usaha Hilir Migas

adalah sebagai berikut,

Pasal 31 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001

Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :

a. bagian negara;

b. pungutan negara yang berupa iuran tetap dan

iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;

c. bonus-bonus.

Penjelasan Pasal 31 ayat (3) huruf b

Huruf b

Ketentuan ini didasarkan pada pengertian bahwa

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan

membayar iuran tetap sesuai luas Wilayah Kerja

sebagai imbalan atas "kesempatan" untuk melakukan

kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi. Iuran Eksplorasi

dan Eksploitasi dikenakan pada Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap, sebagai kompensasi atas

pengambilan kekayaan alam Minyak dan Gas Bumi

yang tak terbarukan. Pungutan negara yang menjadi

penerimaan Pemerintah Pusat merupakan Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

43

9 Saidi, Muhammad Djafar, dan Huseng, Rohana, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hal.12.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

a. Lease Bonus

Lease Bonus merupakan pembayaran di muka

yang ditentukan berdasarkan tender atau

wewenang pemerintah. Pembayaran tersebut

pada umumnya mudah untuk diadministrasikan.

Ini berarti bahwa investor menanggung risiko

bahwa proyek tidak layak secara komersial karena

pengembalian pada pemerintah bersifat tetap.10

b. Royalti

Royalti dikenakan baik berdasarkan volume atau

berdasarkan nilai sumber daya yang diekstraksi.

Royalti menjamin penerimaan minimum yang

segera setelah dimulainya produksi dan jauh lebih

mudah diadministrasikan daripada instrument

fiscal.11

Suatu pandangan alternatif berpendapat bahwa

royalti adalah harga untuk sumber daya alam yang

diekstraksi dan dengan demikian, tidak bersifat

distorsif. Royalti sebagai harga sumber daya alam

yang diekstraksi memainkan peranan dalam

menentukan apakah investasi akan atau tidak

dilanjutkan. Minyak dan gas bumi yang dimiliki

oleh pemerintah harus tidak dieksploitasi jika

perusahaan tidak bersedia membayar harga yang

mencerminkan opportunity cost pemerintah atas

eksploitasi sumber daya alam. Pemerintah harus

menentukan berapa pembayaran minimum yang

ingin diterima sebagai ganti atas dieksploitasinya

sumber daya alam yang dimilikinya. Tidak terdapat

alasan untuk memberikan sumber daya alam pada

peusahaan secara gratis.12

III.DANA BAGI HASIL

UU No. 22 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai

kewenangan daerah untuk mengatur ataupun

melaksanakan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi

migas di daerahnya, namun daerah masih diberi hak

pemanfaatan dari: Perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah (selanjutnya

disebut UU No. 33 Tahun 2004).

Pasal 10 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004

Dana Perimbangan terdiri atas:

a. Dana Bagi Hasil;

b. Dana Alokasi Umum; dan

c. Dana Alokasi Khusus.

Untuk selanjutnya Dana Bagi Hasil diatur dalam

ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun

2004 dinyatakan bahwa,

Huruf e:

Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang

dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan

setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan

lainnya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, dibagi dengan imbangan:

1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen)

untuk Pemerintah; dan

2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.

Huruf f:

Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan

dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah

dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi

dengan imbangan:

1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen)

untuk Pemerintah; dan

2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.

44

10 Nellor, David C.L., Taxation of Mineral and Petroleum Resources, dalam Parthasarathi Shome (Ed.), Tax Policy handbook, Washington: Tax Policy Division-Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund, 1995, hal. 230 (Lihat juga Hutagaol, John, Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007)

11 Ibid.

12 Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Penyerahan dana Perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah ini tidak otomatis dilaksanakan oleh BP Migas

atau KKKS kepada Pusat maupun Daerah. UU No.

22 Tahun 2001 menentukan bahwa penjualan hasil

produksi migas yang menjadi bagian negara (sesuai

dengan Kontrak Kerja Sama/Bagi Hasil) akan masuk

terlebih dahulu sebagai penerimaan negara dalam

APBN (yang dalam hal ini dikelola oleh Menteri

Keuangan), kemudian setelah itu oleh Menteri

Keuangan diatur pembagian perimbangan

keuangannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan disetor kepada rekening

kas daerah sebagai penerimaan daerah.

Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Kegiatan Usaha Hilir

Migas merupakan potensi sumber Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) bagi APBN Indonesia, maka perlu

kiranya pengelolaan PNBP yang merupakan bagian

dari keuangan negara, dilakukan secara transparan,

akuntabel, responsif, efektif, efisien, dan memenuhi

rasa keadilan serta kepastian hukum untuk

mengoptimalkan penerimaan negara tersebut.

IV.PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL GOVERNANCE

DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA

DARI KEGIATAN USAHA HULU MIGAS DAN

KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS DI INDONESIA

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kepada

kekuasaan belaka (Machtsstaat). Oleh karenanya

segala bentuk kebijakan dan tindakan aparatur yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan

keuangan negara harus didasarkan atas hukum, tidak

semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat

pada kedudukan aparatur penyelenggara negara itu

sendiri.

Adapun syarat-syarat Rechtsstate yang dikemukakan

oleh Burkens, et. al., yang dikutip Philipus M. Hadjon

dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia adalah

sebagai berikut:

1. Asas legalitas, setiap tindakan pemerintahan

harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-

undangan (wetterlike grondslag). Dengan landasan

ini, undang-undang dalam arti formal dan UUD

sendiri merupakan tumpuan dasar tindak

pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk

undang-undang merupakan bagian penting

negara hukum.

2. Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung

makna bahwa kekuasaan negara tidak hanya

boleh bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechsten): hak-hak dasar

merupakan sasaran perlindungan hukum bagi

rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentukan undang-undang.

4. Pengawasan Pengadilan: bagi rakyat tersedia

saluran melalui pengadilan yang bebas untuk

menguji keabsahan tindak pemerintahan

(Rechtmatigheids toetsing).13

Atas hal tersebut sebagai implementasi dari negara

hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan

keuangan negara perlu kiranya memperhatikan

prinsip-prinsip good governance, karena asas-asas

pengelolaan keuangan dalam kaitannya dengan

penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu dan

Kegiatan Usaha Hilir Migas tersebut sedasar dengan

asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang

baik (konsep good governance).

Good Financial Governance dalam Pengelolaan

Keuangan Negara yang Bersumber dari

Penerimaan Negara dari Sektor Migas

Pada dasarnya prinsip-prinsip pengelolaan keuangan

Negara dalam bingkai good financial governance

sedasar dengan prinsip-prinsip good governance

45

13 Hadjon Philipus M., Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, yang diolah kembali dari makalah yang berjudul Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila, yang disampaikan pada Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XV/Lustrum VIII UA, Surabaya, 3 Nopember 1994, hal. 3.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh

karenanya pengkajian prinsip-prinsip good financial

governance tersebut ditelaah dari konsep-konsep

prinsip-prinsip good governance.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lembaga

Administrasi Negara mengartikan governance adalah

proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam

melaksanakan penyediaan public goods and public

services.14

Atas hal tersebut dari pengertian governance dan

good governance dapat ditarik kesimpulan bahwa

masalah good governance adalah masalah yang tidak

hanya berada dalam lingkup negara, namun juga

berkaitan dengan sektor-sektor yang lain (swasta dan

masyarakat), selain itu good governance mengatur

masalah penyelenggaraan atau aktivitas dari

penyelenggara pemerintahan.

Adapun karakteristik good governance menurut

United Nations Development Programme adalah

sebagai berikut Participation; Rule of Law;

Transparency; Responsiveness, Consensus

orientation; Equity; Effectiveness and Efficiency;

Accountability; Strategic vision.15

Atas hal tersebut kunci utama memahami good

governance adalah memahami prinsip-prinsip di

dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip good

governance didapatkan tolok ukur kinerja suatu

pemerintahan, untuk itu baik buruknya pemerintahan

bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua

unsur prinsip-prinsip good governance.

Dalam pemerintahan yang dikatakan good governance

dipastikan tercermin suasana harmoni, stabilitas, dan

ketertiban antar semua sektor pemerintahan. Dari

konsep ini akan dijabarkan 6 (enam) elemen utama

good governance, yaitu :

1. The rule of law: to enact laws, regulations, rule,

and derective that are fair, up to date, and they

are accepted and confermed to by citizenry.

2. The rule of integrity: to encourage ethical and

exemplary behavior by government officials, and

to inculcate the values of integrity, fairness,

hardwork, and discipline among The Thai people

as national characteristics.

3. The rule of transparency: to create a climate

of mutual trust through a change in processes in

all sectors to ensure transparency and enable

public scrutiny, to guarantee access to accurate

information throughout the system, and to provide

information in a straightforward manner in

language that is a clear and easy to understand.

4. The rule of participation: to welcome input

from the general public, and to encourage their

partication in significant decisions of the country

through public hearings, referenda, and public

investigation.

5. The rule of accountability: to raise public

awareness of the rights of individuals, as well as

the duties and responsibilities of citizens towards

society, and to encourage the general public to

be mindful of social problems and difficulties and

active in seeking their solution. At the same time

they must respect the opinions of others and be

willing to accept the consequences of their actions.

6. The rule of value for money:to encourage all

sectors to utilize and manage limited resources

efficiently and effectively, to conserve natural

resources; to promote thrift and economy to

maximize the benefit from limited resources for

the national good; to support the production of

quality products and services so as to be

competitive in the global marketplace.16

46

14 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000, hal. 1.

15 Ibid, hal 7.16 Office of The Civil Service Commission, Good Governance, Bangkok,

Thailand, 1999, hal. 3-4.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

Adapun prinsip good governance jika dikaji dari

perspektif Hukum Administrasi, sebelumnya perlu

dipahami dahulu konsep Hukum Administrasi

menurut Van Wijk Konijnenbelt yang merupakan

instrumen yuridis bagi penguasa untuk secara aktif

terlibat dengan masyarakat, dan pada sisi yang lain

Hukum Administrasi merupakan hukum yang

memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi

penguasa dan memberikan perlindungan terhadap

penguasa.17 Berkaitan dengan konsep negara hukum

kemasyarakatan (social rechtsstate) Hukum Administrasi

sebagai instrument yuridis yang memungkinkan

pemerintah mengendalikan kehidupan masyarakat

dan pada sisi lain memungkinkan berpartisipasi dalam

pengendalian (pemerintahan) tersebut.18

Dalam hal ini wujud nyata dari pengelolaan Keuangan

Negara yang bertumpu pada tatanan good governance

(yang dewasa ini telah menjadi pola dinamik

penyelenggaraan negara di seantero dunia yang

digolongkan menuju kemantapan demokrasi) adalah

pengelolaan keuangan negara yang bernuansa :

solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta

diselenggarakan secara partisipatif.19

Dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi,

asas yang diketengahkan dalam good governance

dan asas tata pemerintahan yang baik, pada dasarnya

bertumpu pada 2 (dua) landasan Hukum Tata Negara

dan Hukum Administrasi, yaitu negara hukum dan

demokrasi.20 Landasan negara hukum berkaitan

dengan jaminan perlindungan hukum terhadap

kekuasaan pemerintahan antara lain :

• Asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan

(wetmatigheid van bestuur: soal kewenangan,

prosedur dan substansi);

• Perlindungan Hak Asasi (grondrechten: hak klasik

dan hak sosial);

• Pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan

(machtverdeling antara lain melalui desentralisasi

fungsional maupun teritorial );

• Pengawasan oleh pengadilan (rechterlijke control).21

Adapun landasan demokrasi yang melandasi Hukum

Administrasi sebagaimana dikemukakan oleh Philipus

M. Hadjon,

Landasan demokrasi terutama berkaitan dengan

prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan

pemerintahan, baik berupa pengambilan keputusan

maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Prinsip-

prinsip demokrasi adalah sebagai berikut :

• Kedudukan badan perwakilan rakyat.

• Asas bahwa tidak ada jabatan seumur hidup.

• Asas keterbukaan dalam pemerintahan (aktif dan

pasif)’

• Peran serta.22

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian

good governance dalam lingkup Hukum Administrasi

ada 3 (tiga) hal, pertama good governance dapat

dipadankan dengan fungsi mengendalikan kehidupan

masyarakat (sturen), dan kedua, terbukanya peluang

atau kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi

dalam pengendalian tersebut, ketiga, perlindungan

hukum bagi masyarakat. Ketiga hal tersebut

didasarkan pada prinsip negara hukum dan prinsip

demokrasi. Di dalam prinsip negara hukum

bertumpu pada asas legalitas dan perlindungan

hak asasi, sedangkan prinsip demokrasi berdasarkan

21 Hadjon Philipus M., Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1993, hal 3-4.

22 Ibid.

47

17 Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia ( Intoduction to the Indonesian Administrative Law ), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hal.27.

18 Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal 70.

19 Hadjon Philipus M., dan Sri Djatmiati Tatiek, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ( Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi ) paper disampaikan dalam Seminar Nasional Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Pemantapan Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung jawab, diselenggarakan oleh Universitas Warmadewa Denpasar, Mei 2002, hal 3.

20 Ibid, hal. 7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

pada asas keterbukaan dan peran serta

masyarakat.

Oleh karena prinsip-prinsip good governance selaras

dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara,

yakni prinsip-prinsip good financial governance, maka

pengelolaan keuangan negara yang bersumber pada

penerimaan negara dari Kegiatan Usaha Hulu dan

Hilir Migas tersebut dikaitkan dengan prinsip negara

hukum dan prinsip demokrasi yang merupakan

landasan dalam Hukum Administrasi.

Berkaitan dengan hal tersebut selanjutnya timbul

pertanyaan bagaimanakah implementasi prinsip-

prinsip good financial governance dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia khususnya yang

mengatur mengenai pengelolaan Keuangan Negara

yang bersumber pada Penerimaan Negara Bukan

Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu dan Hilir Migas.

V. IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL

GOVERNANCE DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945;

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945,

Alinea keempat UUD 1945 mengandung prinsip-

prinsip demokrasi, prinsip negara hukum dan

perlindungan hak asasi.

Adapun ketentuan dalam UUD 1945 yang

mengatur mengenai prinsip-prinsip good

financial governance adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Demokrasi

Ketentuan UUD 1945 yang mengatur prinsip

demokrasi dalam kaitannya dengan pengelolaan

keuangan negara yang bersumber pada

penerimaan negara dari kegiatan Usaha Hulu

dan Hilir Migas adalah sebagai berikut :

Pasal 33

Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha

bersama berdasar atas asas kekeluargaan

Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan

berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi,

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.

b. Prinsip Negara Hukum dan Perlindungan

Hak Asasi

Ketentuan UUD 1945 yang mengatur prinsip

negara hukum dan perlindungan hak asasi

dalam kaitannya dengan pengelolaan

keuangan negara tersebut adalah sebagai

berikut:

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 23

Ayat (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara sebagai wujud dari pengelolaan

keuangan negara ditetapkan setiap

tahun dengan undang-undang dan

dilaksanakan secara terbuka dan

bertanggung jawab untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

• Perlindungan Hak Asasi

Pasal 33

Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

negara.

Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

2. Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak

• Prinsip Demokrasi

Pasal 3 ayat (1)

Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak ditetapkan dengan memperhatikan

dampak pengenaan terhadap masyarakat

dan kegiatan usahanya, biaya

penyelenggaraan kegiatan Pemerintah

sehubungan dengan jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak yang bersangkutan,

dan aspek keadilan dalam pengenaan

beban kepada masyarakat.

• Prinsip Negara Hukum

Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 1997

Dengan berpegang teguh pada prinsip

kepastian hukum, keadilan dan

kesederhanaan, maka arah dan tujuan

perumusan Undang-undang Penerimaan

Negara Bukan Pajak adalah :

....d. menunjang upaya terciptanya aparat

Pemerintah yang kuat, bersih dan

berwibawa, penyederhanaan prosedur

dan pemenuhan kewajiban, peningkatan

tertib administrasi keuangan dan

anggaran negara serta peningkatan

pengawasan.

Ketentuan UU No. 20 Tahun 1997 mengandung

prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang

selaras dengan prinsip-prinsip good financial

governance

3. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi

• Prinsip Demokrasi

Pasal 2

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan

Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang

ini berasaskan ekonomi kerakyatan,

keterpaduan, manfaat, keadilan,

keseimbangan, pemerataan, kemakmuran

bersama dan kesejahteraan rakyat banyak,

keamanan, keselamatan, dan kepastian

hukum serta berwawasan lingkungan.

Pasal 3

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan

Gas Bumi bertujuan :

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan

pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi

dan Eksploitasi secara berdaya guna,

berhasil guna, serta berdaya saing tinggi

dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas

Bumi milik negara yang strategis dan tidak

terbarukan melalui mekanisme yang

terbuka dan transparan;

b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan

pengendalian usaha Pengolahan,

Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga

secara akuntabel yang diselenggarakan

melalui mekanisme persaingan usaha

yang wajar, sehat, dan transparan;

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 4

(1)Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya

alam strategis tak terbarukan yang

terkandung di dalam Wilayah Hukum

Pertambangan Indonesia merupakan

kekayaan nasional yang dikuasai oleh

negara.

(2)Penguasaan oleh negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan

oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertambangan.

(3)Pemerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertambangan membentuk Badan

Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 23.

Ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 mengandung

prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang

selaras dengan prinsip-prinsip good governance.

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

4. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara

Ketentuan Undang-undang No. 17 Tahun 2003

yang memuat prinsip-prinsip good financial

governance sebagaimana diatur dalam Pasal 3

ayat (1), meliputi: Keuangan Negara dikelola

secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, efisien, ekonomis, efektif,

transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Asas-asas tersebut selaras dengan prinsip-prinsip

good financial governance.

5. Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 1 angka 7

Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah

kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan

pengelolaan keuangan negara secara tertib,

taat pada peraturan perundang-

undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan

transparan, dengan memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan.

Ketentuan UU No. 15 Tahun 2004 mengandung

prinsip negara hukum yang sedasar dengan prinsip-

prinsip good governance.

6. Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang

Energi

• Prinsip Demokrasi

Pasal 2

Energi dikelola berdasarkan asas

kemanfaatan, efisiensi berkeadilan,

peningkatan nilai tambah, keberlanjutan,

kesejahteraan masyarakat, pelestarian

fungsi lingkungan hidup, ketahanan

nasional, dan keterpaduan dengan

mengutamakan kemampuan nasional.

Ketentuan UU No. 30 Tahun 2007 terkandung

prinsip demokrasi yang selaras dengan prinsip-

prinsip good governance.

7. Undang-undang Republik Indonesia No. 10

Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011

• Prinsip Demokrasi

Dalam ketentuan menimbang UU No. 10

Tahun 2010, bahwa Rancangan APBN Tahun

Anggaran 2011 disusun sesuai dengan

kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan

negara dan kemampuan dalam menghimpun

pendapatan negara dalam rangka mendukung

terwujudnya perekonomian nasional

berdasarkan atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.

Ketentuan UU No. 10 Tahun 2010 terkandung

prinsip demokrasi yang selaras dengan prinsip-

prinsip good governance.

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

• Prinsip Demokrasi

Pasal 9

Ayat (1) Badan Pelaksana mengelola keuangan

sesuai dengan standar akuntansi keuangan

Ayat (2) Pengelola keuangan Badan Pelaksana

dilaksanakan dengan prinsip efisien, efektif,

transparan, dan akuntabel

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 10

Badan Pelaksana mempunyai fungsi melakukan

pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu

agar pengambilan sumber daya alam Minyak

50

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan

manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi

negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku

Pada Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 8

Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

berlaku pada Departemen Energi dan Sumber

Daya Mineral wajib disetor langsung

secepatnya ke Kas Negara.

Pasal 10

Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang berlaku pada Departemen Energi dan

Sumber Daya Mineral yang belum tercakup

dalam Peraturan Pemerintah ini, akan disusulkan

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam

Peraturan Pemerintah ini dan pencantuman-

nya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah

tersendiri.

10.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha

Hilir Minyak dan Gas Bumi

• Prinsip Demokrasi

Pasal 2

Kegiatan Usaha Hilir dilakukan oleh Badan

Usaha yang telah memiliki Izin Usaha yang

dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan

melalui mekanisme persaingan usaha yang

wajar, sehat dan transparan.

• Prinsip Negara Hukum

Pasal 3

Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan

dan pengawasan atas penyelenggaraan

kegiatan usaha hilir sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2

Prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang

terkandung dalam PP No. 38 Tahun 2008 sedasar

dengan prinsip-prinsip good governance.

11.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha

Hulu Minyak dan Gas Bumi

• Prinsip Demokrasi

Pasal 4 ayat (1)

Menteri menetapkan kebijakan penawaran

Wilayah Kerja berdasarkan pertimbangan

teknis, ekonomis, tingkat resiko, efisiensi, dan

berazakan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas

dan persaingan.

Prinsip demokrasi yang terkandung dalam PP No.

55 Tahun 2009 sedasar dengan prinsip-prinsip

good governance.

Atas hal tersebut nyatalah bahwa beberapa

ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang

mengatur pengelolaan keuangan negara yang

bersumber pada Penerimaan Negara Bukan Pajak

dari kegiatan usaha Hulu dan Hilir Migas memuat

prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang

merupakan penopang dari prinsip-prinsip good

financial governance.

51

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

VI.Kesimpulan

Dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai pengelolaan

keuangan negara yang bertumpu pada Penerimaan

Negara Bukan Pajak dari sektor minyak dan gas bumi

terkandung prinsip-prinsip good financial governance

meliputi keuangan negara dikelola secara tertib, taat

pada peraturan perundang-undangan, efisien,

ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab

dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,

dan manfaat untuk masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut

selaras dengan prinsip-prinsip good governance dan

sepatutnya menjadi tumpuan pengaturan keuangan

negara di Indonesia.

52

Literatur :

Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Intoduction to the Indonesian Administrative Law),

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.

Hutagaol, John, Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance,

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000.

Nellor, David C.L., Taxation of Mineral and Petroleum Resources, dalam Parthasarathi Shome (Ed.), Tax Policy handbook,

Washington: Tax Policy Division-Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund, 1995.

Saidi, Muhammad Djafar, dan Huseng, Rohana, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, Rajawali Pers, Jakarta 2008

Setyadi, Didik S., Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Kajian Sosial

Nusa Makmur, Surabaya, 2007

Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Finacial Governance,Airlangga

University Press, Surabaya, 2005

Suparmoko., M., Asas-asas Ilmu Keuangan Negara, Edisi Kedua, Liberty Offset, Yogyakarta, Desember, 1980

Tomkins, Adam, Transparancy and the Emergence of Europian Administrative Law. Dalam G.H. Addink, Transparancy

of Administration, Utrecht University, 2001.

Makalah :

Hadjon Philipus M., Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,

1993.

___________________ , Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, yang diolah kembali dari

makalah yang berjudul Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila, yang disampaikan pada

Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XV/Lustrum VIII UA,

Surabaya, 3 Nopember 1994, hal. 3.

DAFTAR PUSTAKA

53

___________________ , dan Sri Djatmiati Tatiek, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

(Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi) paper disampaikan dalam Seminar Nasional Good

Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Pemantapan Otonomi Luas, Nyata

dan Bertanggung jawab, diselenggarakan oleh Universitas Warmadewa Denpasar, Mei 2002.

Office of The Civil Service Commission, Good Governance, Bangkok, Thailand, 1999, hal. 3-4.

Koran :

Zal, Penerimaan Negara dari Sektor Migas Naik, Harian Kontan, Rabu, 24 Desember 2008

Internet :

Y/T, Produsen Gas Terbesar Dunia Penerimaan Negara Bukan Pajak,

www.pajak.go.id, 03/03/2009 12:01:14.

54

55

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) MEI - AGUSTUS 2012

Tanggal Satker PerihalPeraturan

14/4/PBI/2012

14/5/PBI/2012

14/6/PBI/2012

14/7/PBI/2012

14/8/PBI/2012

14/9/PBI/2012

7/06/ 2012

8/06/ 2012

18/06/ 2012

27/06/ 2012

13/07/2012

26/07/2012

DSM

DPM

DPbS

DPU

DPNP

DKBU

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011

Tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan

Bank

Perubahan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi

Moneter

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah

dan Unit Usaha Syariah

Pengelolaan Uang Rupiah

Kepemilikan Saham Bank Umum

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR

Halaman ini sengaja dikosongkan

14/15/DPM

14/16/DPbS

14/17/DASP

14/18/DPM

14/19/DASP

14/20/DPNP

14/21/DPNP

10 /05/2012

31/05/ 2012

7/06/2012

8/06/2012

26/06/2012

27/06/2012

18/07/2012

DPM

DPbS

DASP

DPM

DASP

DPNP

DPNP

Perizinan, Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi

Pedagang Valuta Asing Bukan Bank

Produk Pembiayaan Kepemilikan Emas Bagi Bank Syariah dan Unit

Usaha Syariah

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP

perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan

Menggunakan Kartu

Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/18/DPM

tanggal 7 Juli 2010 Perihal Operasi Pasar Terbuka

Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal

18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank

Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia

Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP

tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode

Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar

57

DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012

Tanggal Satker PerihalPeraturan

Halaman ini sengaja dikosongkan

59

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka

meningkatkan kualitas data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan

pelaporan lalu lintas devisa (LLD) oleh Lembaga Bukan Bank (LBB) serta

untuk lebih meningkatkan kesiapan LBB dalam memenuhi ketentuan

kewajiban pelaporannya.

2. Pokok-pokok aturan dalam PBI ini mencakup:

a. Batas waktu penyampaian laporan LLD dan koreksi laporan LLD

1. Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya untuk laporan LLD.

2. Paling lama tanggal 20 bulan berikutnya untuk koreksi laporan LLD.

b.Pemberlakuan sanksi administratif

Sanksi administratif berupa denda atas kewajiban pelaporan lalu lintas

devisa mulai berlaku untuk data bulan Juli 2012 yang disampaikan

pada bulan Agustus 2012.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 2012

dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia dilakukan dalam rangka peningkatan

ketahanan perekonomian domestik melalui pengelolaan likuiditas dan

pengkayaan instrumen operasi moneter guna mendukung pengembangan

pasar valuta asing domestik dan pencapaian sasaran operasional kebijakan

moneter.

2. Perubahan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mencakup :

a.Menambahkan pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing sebagai

salah satu cara untuk mendukung pencapaian sasaran operasional

kebijakan moneter, selain melalui cara absorpsi dan/atau injeksi likuiditas

di pasar uang rupiah.

b.Menyempurnakan jenis kegiatan Operasi Pasar Terbuka dengan

penambahan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia

dalam valuta asing, sehingga ruang lingkup kegiatan OPT menjadi

sebagai berikut:

14/4/PBI/2012

SatkerTanggalPeraturan

7 Juni 2012

Tentang

Perubahan Atas

Peraturan Bank

Indonesia Nomor

13/15/PBI/2011

Tentang

Pemantauan

Kegiatan Lalu

Lintas Devisa

Lembaga Bukan

Bank

14/5/PBI/2012 8 Juni 2012

Tentang

Perubahan Bank

Indonesia No.

12/11/PBI/2010

tentang Operasi

Moneter

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

60

1. penerbitan SBI;

2. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga;

3. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright;

4. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah;

5. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam

valuta asing;

6. jual beli valuta asing terhadap rupiah;dan

7. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing.

c. Menambahkan pengaturan terkait penempatan berjangka (term

deposit) dalam valuta asing, meliputi antara lain fitur transaksi dan

mekanisme penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing

sebagai berikut :

1. Transaksi Term Deposit valas dapat dicairkan sebelum jatuh waktu

(early redemption) dan dapat dialihkan menjadi transaksi FX Swap.

2. Transaksi Term Deposit valas dapat menjadi pengurang perhitungan

Posisi Devisa Neto dengan persyaratan tertentu.

3. Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian Posisi

Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah

memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam

valuta asing sebagai pengurang. Apabila pelaporan dimaksud tidak

dilakukan, peserta Operasi Moneter tidak dapat menjadikan

penempatan berjangka (term deposit) sebagai faktor pengurang

Posisi Devisa Neto.

4. Dalam hal Peserta Operasi Moneter tidak dapat menyelesaikan

kewajiban setelmen transaksi penempatan berjangka (term deposit)

dalam valuta asing, maka transaksi dimaksud dinyatakan batal.

Atas pembatalan transaksi tersebut, peserta Operasi Moneter

dikenakan sanksi.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2012.

Latar Belakang:

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada masyarakat

terhadap industri perbankan, perlu dipastikan bahwa pengelolaan bank

syariah dilakukan oleh pihak yang mampu dan patut (Fit and Proper) sehingga

pengelolaan bank syariah dilakukan sesuai dengan tatakelola yang baik (good

governance).

SatkerTanggalPeraturan

14/6/PBI/2012 18 Juni 2012

Tentang Uji

Kemampuan dan

Kepatutan (Fit and

Proper Test) Bank

Syariah dan Unit

Usaha Syariah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

61

Materi Pengaturan:

1. Perubahan yang utama dalam peraturan baru meliputi:

a. Penyederhanaan mekanisme penilaian.

b.Pengetatan sanksi dan konsekuensi bagi pihak yang dinyatakan Tidak

Lulus.

c. Meningkatkan kepastian eksekusi sanksi.

d.Pengaturan Fit and Proper Test bagi bank dalam penyelamatan/

penanganan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

2. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan:

a.New Entry

1. Bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi

bank, wawancara hanya dilakukan apabila diperlukan yaitu apabila

ditemukan adanya informasi negatif atau apabila yang bersangkutan

dinilai tidak memiliki kompetensi yang cukup di bidang perbankan.

2. Bagi calon PSP, wawancara tetap merupakan keharusan hanya

pelaksanaannya tidak harus menunggu seluruh penelitian administratif

selesai.

b.Existing

1. Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus namun

dapat dilakukan melalui pengawasan aktif (pemeriksaan), pengawasan

pasif atau sumber lainnya.

2. Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai atas

hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.

3. Penyederhanaan langkah-langkah penilaian dari 8 tahap menjadi

4 tahap yaitu:

a. Klarifikasi temuan & bukti kepada Pihak yang Dinilai.

b. Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan

dan kepatutan.

c. Tanggapan dari Pihak Yang Dinilai atas hasil penilaian sementara.

d. Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan

kepatutan.

3. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus.

a. Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan pihak

yang dinilai terhadap kerugian yang berpengaruh pada permodalan,

keuntungan dan/atau potensi kerugian bank syariah namun dikaitkan

dengan jenis dan frekuensi pelanggaran yang dilakukan.

SatkerTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

b.Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak

Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.

4. Faktor yang dinilai dalam Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper

Test) adalah:

a. Integritas dan Kelayakan Keuangan untuk Pemegang Saham Pengendali

(PSP).

b. Integritas, Kompetensi dan Reputasi Keuangan untuk anggota Dewan

Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pemimpin Kantor Perwakilan

Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif.

5. Pihak yang harus menjalani Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and

Proper Test) adalah:

a.Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi,

calon Direktur UUS, dan calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank

Asing sebelum menjalankan fungsi dan tugasnya.

b.PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pemimpin

Kantor Perwakilan Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif yang sedang

menjabat namun terindikasi melakukan pelanggaran integritas, kelayakan/

reputasi keuangan dan atau kompetensi.

6. Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:

a. pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) dan/atau PSP pada

seluruh Bank Syariah.

b.pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank Perkreditan

Rakyat.

c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat

Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada industri

perbankan dalam jangka waktu tertentu.

7. Pihak-pihak yang telah ditetapkan predikat Tidak Lulus dapat kembali

menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,

dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing apabila telah menjalani

sanksi dan jangka waktu sanksi telah dilalui serta telah menjalani Uji

Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terlebih dahulu.

8. LPS sebagai pengendali dari bank yang diselamatkan/ditangani tidak

harus melalui Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) namun

calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon Direktur

SatkerTanggalPeraturan

62

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

63

UUS yang akan diangkat LPS wajib mengikuti Uji Kemampuan dan

Kepatutan (Fit And Proper Test).

9. Perbedaan mekanisme Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper

Test) bagi calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan

calon Direktur UUS pada bank dalam penyelamatan/penanganan LPS,

yaitu persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam 2 tahap yaitu: tahap

1 merupakan persetujuan sementara dan tahap 2 merupakan persetujuan

akhir.

10.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa ketentuan

dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tentang Uji Kemampuan

dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah;

b.ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; dan

c. ketentuan dalam Pasal 58 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Peraturan

Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good

Corporate Governance Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

1. Ketentuan ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur mengenai

kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan uang Rupiah

yang meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran,

pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang Rupiah.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang

Pengelolaan Uang Rupiah meliputi:

a.Ciri umum Uang Rupiah kertas memuat frasa “Negara Kesatuan

Republik Indonesia”, tanda tangan Pemerintah dan Bank Indonesia”,

dan pada Rupiah logam salah satunya memuat frasa “Republik

Indonesia”;

b.Bank Indonesia menetapkan bahan baku Rupiah yang mengutamakan

produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga

yang bersaing;

c. Perencanaan, pencetakan dan pemusnahan Rupiah dilaksanakan oleh

Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah;

SatkerTanggalPeraturan

14/7/PBI/2012 27 Juni 2012

Tentang

Pengelolaan

Uang Rupiah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

64

d.Bank Indonesia melaksanakan pencetakan Rupiah yang dilaksanakan

di dalam negeri dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

sebagai pelaksana pencetakan Rupiah. Dalam hal BUMN tidak sanggup

melaksanakan pencetakan Rupiah, maka pencetakan Rupiah dilaksanakan

oleh BUMN dengan bekerjasama dengan lembaga lain yang ditunjuk;

e. Pemusnahan Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi

dengan Pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk Nota Kesepahaman;

f. Jumlah dan nilai nominal Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia

ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI);

g.Bank Indonesia wajib melaporkan pengelolaan Rupiah secara periodik

setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

h.Larangan meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau

promosi dengan memberi kata spesimen;

i. Bank Indonesia berwenang menentukan keaslian Rupiah; dan

j. Uang Rupiah kertas dengan ciri umum mulai berlaku, dikeluarkan dan

diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014.

k. Pengaturan penukaran Uang Rupiah oleh Bank yang beroperasi di

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada masyarakat.

1. Latar belakang pengaturan ini adalah :

a.Dalam rangka menghadapi dinamika perkembangan perekonomian

regional dan global, industri perbankan nasional perlu meningkatkan

ketahanan.

b.Peningkatan ketahanan perbankan dilakukan melalui peningkatan

penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good

corporate governance).

c. Untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola

bank yang baik (good corporate governance), diperlukan penataan

struktur kepemilikan bank.

d.Penataan struktur kepemilikan saham bank dilakukan melalui penerapan

batas maksimum kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi

dominasi kepemilikan yang dapat berdampak negatif terhadap

operasional bank.

e. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham juga akan berdampak

positif untuk mendorong konsolidasi perbankan dalam rangka

memperkuat industri perbankan nasional.

2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini meliputi antara lain:

SatkerTanggalPeraturan

14/8/PBI/2012 13 Juli 2012

Tentang

Kepemilikan

Saham Bank

Umum

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

65

a. Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan

kategori pemegang saham sebagai berikut:

i. 40% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa

badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan

bukan bank,

ii. 30% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa

badan hukum bukan lembaga keuangan, dan

iii. 20% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan

pada bank umum konvensional. Batas maksimum kepemilikan

saham untuk kategori pemegang saham perorangan pada bank

umum syariah adalah sebesar 25% dari modal Bank.

b.Pemegang saham yang memiliki keterkaitan berdasarkan adanya

hubungan kepemilikan, hubungan keluarga hingga derajat kedua,

dan/atau hubungan acting in concert ditetapkan sebagai satu pihak.

Jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam satu pihak tersebut

sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang

saham dalam satu pihak tersebut dengan komposisi masing-masing

pemegang saham dalam satu pihak tersebut paling tinggi sebesar

batas maksimum kepemilikan sesuai dengan kategori pemegang

saham.

c. Calon pemegang saham pengendali yang merupakan warga negara

asing dan/atau badan hukum yang berkedudukan di luar negeri,

wajib memenuhi persyaratan memiliki komitmen untuk mendukung

pengembangan perekonomian Indonesia, memperoleh rekomendasi

dari otoritas negara asal bagi badan hukum lembaga keuangan, dan

memiliki peringkat investasi paling kurang sebagaimana ditetapkan

dalam ketentuan ini.

d.Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham Bank

lebih dari 40% dari modal Bank sepanjang memperoleh persetujuan

Bank Indonesia dan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

e. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum

kepemilikan saham pada Bank yang memperoleh penilaian Tingkat

Kesehatan Bank (TKS) dan/atau penilaian Good Corporate Governance

(GCG) peringkat 3, 4, atau 5 pada posisi penilaian bulan Desember

2013, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan

saham paling lama 5 tahun sejak 1 Januari 2014.

f. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum

kepemilikan saham pada Bank yang memperoleh penilaian TKS dan

penilaian GCG peringkat 1 atau 2 pada posisi penilaian bulan Desember

SatkerTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

2013 wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan

saham, apabila Bank mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau

penilaian GCG menjadi peringkat 3, 4, atau 5 selama 3 periode

penilaian berturut-turut atau pemegang saham atas inisiatif sendiri

melakukan penjualan saham yang dimilikinya, yaitu paling lama 5

tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang

dimilikinya.

g.Pemegang saham yang akan memiliki saham Bank dalam penyelamatan

atau penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank dalam

pengawasan khusus, dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum

kepemilikan saham dan wajib menyesuaikan dengan batas maksimum

kepemilikan saham paling lama 20 tahun sejak membeli saham bank,

sedangkan pemegang saham yang akan memiliki saham bank dalam

pengawasan intensif, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum

kepemilikan saham paling lama 15 tahun sejak membeli saham bank.

h.Pemegang saham pada bank hasil penggabungan atau peleburan

yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian TKS dan penilaian

GCG peringkat 1 atau 2, dapat memiliki saham Bank hasil penggabungan

atau peleburan lebih dari batas maksimum kepemilikan saham dan

wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham

paling lama 10 tahun sejak bank hasil penggabungan atau peleburan

mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau penilaian GCG selama

3 periode penilaian berturut-turut atau penjualan saham atas inisiatif

sendiri yang terjadi dalam periode paling lama 10 tahun setelah

penggabungan atau peleburan.

i. Pemegang saham pada bank hasil penggabungan atau peleburan

yang berasal dari bank yang memperoleh penilaian TKS dan/atau

penilaian GCG peringkat 3, 4, atau 5, jangka waktu tersebut adalah

paling lama 20 tahun sejak penggabungan atau peleburan.

j. Pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off)

Unit Usaha Syariah, dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum

kepemilikan saham dan wajib menyesuaikan dengan batas maksimum

kepemilikan saham paling lama akhir Desember 2028.

k. Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menyesuaikan

dengan batas maksimum kepemilikan saham paling lama 5 tahun

sejak 1 Januari 2014 atau 5 tahun sejak periode penilaian terakhir

bagi Bank yang mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau penilaian

GCG, wajib menyusun rencana tindak dalam rangka menyesuaikan

dengan batas maksimum kepemilikan saham.

SatkerTanggalPeraturan

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

67

l. Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian

dengan batas maksimum kepemilikan saham, dikenakan pembatasan

berupa hak yang bersangkutan dalam perhitungan kuorum dan

pengambilan keputusan dalam RUPS, penundaan pembayaran dividen

untuk kelebihan saham yang dimilikinya, dan dapat dilakukan uji

kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) bagi pemegang saham

tersebut.

m.Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi

kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham, wajib

mengenakan pembatasan bagi pemegang saham yang tidak memenuhi

batas maksimum kepemilikan saham. Bank yang melanggar kewajiban

tersebut akan dikenakan sanksi administratif dan dapat dilakukan uji

kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap anggota

direksi dan/atau dewan komisaris bank tersebut.

n.Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan

persetujuan kepada pemegang saham untuk memiliki saham bank

melebihi batas maksimum kepemilikan saham untuk jangka waktu

tertentu.

o.Bank Indonesia dapat memerintahkan pemegang saham yang tidak

memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan

saham agar bank yang dimilikinya melakukan penggabungan atau

peleburan.

Latar belakang:

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada masyarakat

terhadap industri perbankan, perlu dipastikan agar pengelolaan BPR dilakukan

oleh pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan

sehingga pengelolaan BPR dilakukan sesuai dengan tatakelola yang baik

(good corporate governance).

Materi penyempurnaan:

1. Perubahan utama dalam peraturan meliputi:

a. Penambahan obyek uji kemampuan dan kepatutan.

b.Penyederhanaan mekanisme uji kemampuan dan kepatutan.

c. Pengetatan sanksi dan konsekuensi bagi pihak yang diberikan predikat

Tidak Lulus.

SatkerTanggalPeraturan

14/9/PBI/2012 26 Juli 2012

Tentang Uji

Kemampuan dan

Kepatutan (Fit

and Proper Test)

BPR

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

d.Pengaturan uji kemampuan dan kepatutan bagi BPR dalam penyelamatan/

penanganan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

2. Penambahan obyek uji kemampuan dan kepatutan menjadi:

Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi sebelum

menjalankan fungsi dan tugasnya; PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota

Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat; juga diperluas

pihak-pihak yang sudah tidak menjadi PSP BPR atau sudah tidak menjabat

sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif

BPR.

3. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP,

anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang

sedang menjabat (existing):

a. Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus namun

dapat dilakukan melalui pengawasan aktif (pemeriksaan), pengawasan

pasif atau sumber lainnya.

b.Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai atas

hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.

c. Penyederhanaan langkah-langkah penilaian dari 10 tahap menjadi 4

tahap yaitu:

1. Klarifikasi temuan & bukti kepada pihak yang dinilai.

2. Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan

kepatutan.

3. Tanggapan dari pihak yang dinilai atas hasil penilaian sementara.

4. Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan

kepatutan.

4. Predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan hanya ada dua predikat

yaitu Lulus dan Tidak Lulus.

5. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus:

a. Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan pihak

yang dinilai terhadap penurunan CAR namun dikaitkan dengan jenis

dan frekuensi pelanggaran yang dilakukan.

b.Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak

Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.

c. Konsekuensi bagi pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus

dilarang menjadi:

SatkerTanggalPeraturan

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

69

1. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan dan wajib

mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya, dan

2. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif

pada industri perbankan dalam jangka waktu tertentu.

6. Penambahan pengaturan yang terkait dengan proses uji kemampuan

dan kepatutan bagi BPR yang diselamatkan oleh Lembaga Penjamin

Simpanan.

7. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI

No.6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan

dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

SatkerTanggalPeraturan

Halaman ini sengaja dikosongkan

71

RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012

1. Surat Edaran Bank Indonesia No.14/15/DPM tanggal 10 Mei 2012 perihal

Tata Cara Perizinan, Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi

Pedagang Valuta Asing Bukan Bank merupakan ketentuan pelaksanaan

dari Peraturan Bank Indonesia No. 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang

Valuta Asing yang diterbitkan tanggal 22 Desember 2010 dan merupakan

perubahan dan/atau penyempurnaan atas Surat Edaran No.9/23/DPM

tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang

Valuta Asing Bukan Bank.

2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran (SE) ini meliputi:

a. Penambahan dokumen persyaratan dan penyesuaian tata cara untuk

pengajuan permohonan izin usaha, pembukaan kantor cabang,

pemindahan alamat kantor, perubahan pemegang saham, anggota

dewan komisaris dan anggota direksi, perubahan nama Perseroan

Terbatas, perubahan modal dasar dan/atau modal disetor dan

penghentian kegiatan usaha PVA Bukan Bank.

b.Pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh

izin usaha bagi PVA Bukan Bank yang akan melakukan kegiatan usaha

pengiriman uang dan PVA Bukan Bank yang sekaligus melakukan

kegiatan usaha pengiriman uang.

c. Penambahan pengaturan persyaratan dan tata cara pembukaan gerai.

d.Penyesuaian pengaturan penerapan prinsip mengenal nasabah dengan

berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai

penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan

terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank dan Surat Edaran

Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pedoman Standar Penerapan

Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada

Pedagang Valuta Asing.

e. Penyesuaian aspek pemeriksaan umum dalam rangka pengawasan

dengan mengakomodir Pasal 18 dan Pasal 31 UU No.8 tahun 2010

dimana Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur

(LPP) dari PVA.

14/15/DPM

RingkasanTanggalPeraturan

10 Mei 2012

Perihal Perizinan,

Pengawasan,

Pelaporan, dan

Pengenaan

Sanksi Bagi

Pedagang Valuta

Asing Bukan

Bank

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

72

f. Perubahan tata cara penyampaian laporan PVA dari penyampaian

laporan dalam bentuk hardcopy, atau dalam bentuk hardcopy yang

disertai dengan media lain seperti disket atau CD dengan format

laporan yang ditentukan oleh Bank Indonesia menjadi penyampaian

laporan dalam bentuk data elektronik yang disampaikan secara

online.

g.Perumusan kembali periode penyampaian laporan PVA dengan tetap

menyesuaikan pada PBI No.12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta

Asing.

h.Penambahan pengaturan mengenai mekanisme penyampaian laporan

dalam hal terjadi gangguan.

3. Proses perizinan dan perubahan perizinan yang diterima oleh Bank

Indonesia sebelum berlakunya Surat Edaran yang disempurnakan ini,

diberlakukan dan diproses sesuai dengan SE Bank Indonesia No.9/23/DPM

tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang

Valuta Asing Bukan Bank.

4. Tata cara penyampaian laporan secara online dilakukan secara bertahap

yang semula disampaikan secara “manual” dalam bentuk hardcopy yang

disertai dengan media lain seperti disket atau CD dengan format laporan

yang ditentukan oleh Bank Indonesia, untuk selanjutnya disampaikan

secara online dalam bentuk data elektronik melalui website Laporan

Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).

5. Dengan diberlakukannya SE ini, maka beberapa ketentuan dibawah ini

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:

a. SE Bank Indonesia No.9/23/DPM tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata

Cara Perizinan, Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, Pengawasan,

Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang Valuta Asing Bukan

Bank; dan

b.Surat Edaran No.11/7/DPM tanggal 13 Maret 2009 perihal Perubahan

atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/23/DPM tanggal 8 Oktober

2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah,

Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang Valuta

Asing Bukan Bank.

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

73

1. Penerbitan SE ini dilatarbelakangi oleh adanya fatwa Dewan Syariah

Nasional Nomor 77/DSN-MUI/V/2010 tanggal 3 Juni 2010 perihal Jual

Beli Emas Secara Tidak Tunai yang memungkinkan masyarakat untuk

memiliki emas melalui pembelian secara tangguh.

2. Penerbitan SE ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi perbankan

syariah dalam menjalankan produk Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE)

dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bank yang menyalurkan

produk PKE.

3. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah,

dan BPRS.

4. Pokok-pokok pengaturan produk PKE sebagai berikut :

a. Bank Syariah atau UUS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis

secara memadai.

b.Agunan PKE adalah emas yang dibiayai oleh Bank Syariah atau UUS

yang diikat secara gadai, disimpan secara fisik di Bank Syariah atau

UUS, dan tidak dapat ditukar dengan agunan lain.

c. Bank Syariah atau UUS dilarang mengenakan biaya penyimpanan dan

pemeliharaan atas emas yang digunakan sebagai agunan PKE.

d.Jumlah PKE setiap nasabah ditetapkan paling banyak sebesar

Rp150.000.000,00. Nasabah dimungkinkan untuk memperoleh PKE

dan Qardh Beragun Emas secara bersamaan, dengan jumlah saldo

secara keseluruhan paling banyak Rp250.000.000,00 dan jumlah saldo

untuk PKE paling banyak Rp150.000.000,00.

e.Uang muka PKE paling rendah 20% untuk emas lantakan (batangan)

dan paling rendah sebesar 30% untuk emas perhiasan.

f. Jangka waktu PKE paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 tahun.

g.Pembayaran PKE dilakukan dengan cara angsuran dalam jumlah yang

sama setiap bulan. Pelunasan dipercepat dapat dilakukan dengan

ketentuan sebagai berikut:

1) paling singkat 1 tahun setelah akad pembiayaan berjalan;

2) nasabah wajib membayar seluruh pokok dan margin (total piutang)

dengan menggunakan dana yang bukan berasal dari penjualan

agunan emas; dan

3) nasabah dapat diberikan potongan atas pelunasan dipercepat

namun tidak boleh diperjanjikan dalam akad.

RingkasanTanggalPeraturan

14/16/DPbS 31 Mei 2012

Perihal Produk

Pembiayaan

Kepemilikan

Emas Bagi Bank

Syariah dan Unit

Usaha Syariah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

74

h. Apabila nasabah tidak dapat melunasi PKE pada saat jatuh tempo

dan/atau PKE digolongkan macet maka agunan dapat dieksekusi oleh

Bank Syariah atau UUS setelah melampaui 1 tahun sejak tanggal akad

PKE. Hasil eksekusi agunan diperhitungkan dengan sisa kewajiban

nasabah sebagai berikut:

1) apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari sisa kewajiban nasabah

maka selisih lebih tersebut dikembalikan kepada nasabah; atau

2) apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari sisa kewajiban nasabah

maka selisih kurang tersebut tetap menjadi kewajiban nasabah.

i. Bank Syariah atau UUS harus menjelaskan secara lisan dan tertulis

karakteristik produk PKE.

5. Bank Syariah atau UUS yang akan menyalurkan produk PKE harus

memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.

6. Bank Syariah atau UUS wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk

PKE paling lama 10 hari setelah dikeluarkannya produk PKE tersebut.

7. Bank Syariah dan UUS yang menjalankan produk PKE sebelum memperoleh

izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan denda uang. Bagi Bank

Syariah atau UUS yang menjalankan produk PKE yang tidak sesuai dengan

ketentuan dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk PKE

tersebut.

8. Bagi Bank Syariah atau UUS yang telah memperoleh persetujuan BI untuk

menjalankan produk PKE sebelum berlakunya SE ini maka:

a. akad yang telah ada masih tetap berlaku dan tidak dapat diperpanjang;

dan

b.tidak melayani nasabah baru sampai dengan mendapatkan persetujuan

produk PKE dari Bank Indonesia.

1. Materi yang dimuat dalam perubahan Surat Edaran Bank Indonesia ini

antara lain mencakup:

a. prinsip perlindungan nasabah;

b.prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian Kartu

Kredit;

c. standar keamanan APMK;

d.kerjasama antara penyelenggara APMK dengan pihak lain;

e. penyampaian laporan.

RingkasanTanggalPeraturan

14/17/DASP 7 Juni 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

75

RingkasanTanggalPeraturan

2. Dalam rangka penerapan prinsip perlindungan nasabah, Penerbit APMK

diwajibkan:

a.menyampaikan informasi tertulis kepada calon Pemegang Kartu dan

Pemegang Kartu atas APMK yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib

menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti,

ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon Pemegang

Kartu dan Pemegang Kartu; dan

b.menyediakan sarana dan nomor telepon yang dapat secara mudah

digunakan dan/atau dihubungi oleh calon Pemegang Kartu dan

Pemegang Kartu dalam rangka melakukan verifikasi kebenaran segala

fasilitas yang ditawarkan dan/atau informasi yang disampaikan oleh

Penerbit.

3. Untuk Kartu Kredit, informasi tertulis sebagaimana yang dimaksud pada

butir 2.a yang wajib disampaikan oleh Penerbit Kartu Kredit kepada calon

Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu Kredit, termasuk pula informasi

tentang:

a. bunga Kartu Kredit yang paling kurang meliputi:

1. besarnya suku bunga Kartu Kredit, baik suku bunga bulanan

maupun suku bunga tahunan;

2. pola, tata cara dan komponen penghitungan bunga Kartu Kredit;

dan

3. tata cara serta persyaratan permohonan penghapusan bunga jika

terdapat kesalahan dalam pembebanan bunga Kartu Kredit;

Informasi tata cara dan dasar penghitungan bunga Kartu Kredit

harus dilengkapi dengan contoh atau ilustrasi yang mudah dipahami

oleh Pemegang Kartu Kredit. Besarnya suku bunga Kartu Kredit

tidak boleh melampaui suku bunga maksimum yang diditetapkan

oleh Bank Indonesia.

b.tata cara dan persyaratan bagi Pemegang Kartu Kredit untuk mengakhiri

dan/atau menutup fasilitas Kartu Kredit, yang paling kurang memuat

informasi:

1. persyaratan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit;

2. mekanisme pengajuan permohonan pengakhiran dan/atau penutupan

fasilitas Kartu Kredit;

3. jangka waktu penanganan oleh Penerbit Kartu Kredit terhadap

permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu

Kredit; dan

4. informasi penting lainnya yang perlu diketahui oleh Pemegang

Kartu Kredit.

TanggalPeraturan

perihal

Perubahan atas

Surat Edaran

Bank Indonesia

Nomor

11/10/DASP

perihal

Penyelenggaraan

Kegiatan Alat

Pembayaran

dengan

Menggunakan

Kartu

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

RingkasanTanggalPeraturan

c. ringkasan transaksi Pemegang Kartu Kredit yang mencakup informasi

transaksi Pemegang Kartu Kredit selama satu tahun berjalan dihitung

sejak bulan mulai berlakunya Kartu Kredit, yang paling kurang memuat

informasi:

1. total transaksi pembelanjaan selama satu tahun;

2. total transaksi tarik tunai selama satu tahun;

3. total bunga selama satu tahun;

4. total biaya selama satu tahun;

5. total denda selama satu tahun;

6. performa pembayaran Pemegang Kartu Kredit atas tagihan Kartu

Kredit selama satu tahun; dan

7. kualitas kredit Pemegang Kartu Kredit posisi terakhir.

4. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kartu

Kredit Penerbit Kartu Kredit diwajibkan menerapkan manajemen risiko

kredit yaitu:

a. batas minimum usia calon Pemegang Kartu Kredit

1. Kartu Kredit utama adalah 21 (dua puluh satu) tahun atau telah

kawin;

2. Kartu Kredit tambahan adalah 17 (tujuh belas) tahun atau telah

kawin;

b.batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu Kredit adalah Rp

3.000.000,00 (tiga juta Rupiah) tiap bulan;

c. batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada Pemegang

Kartu Kredit secara kumulatif kepada 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit

adalah sebesar 3 (tiga) kali pendapatan tiap bulan;

d.batas maksimum jumlah Penerbit Kartu Kredit yang dapat memberikan

fasilitas Kartu Kredit untuk 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah 2

(dua) Penerbit Kartu Kredit;

e. persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu Kredit paling

kurang sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan. Pembatasan

pada huruf b dan huruf c tidak berlaku bagi calon Pemegang Kartu

Kredit dan Pemegang Kartu Kredit yang memiliki pendapatan di atas

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) tiap bulan.

5. Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka

4, Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk melakukan:

a. pengkinian data Pemegang Kartu Kredit;

b.penyesuaian plafon kredit dan jumlah Penerbit Kartu Kredit yang dapat

memberikan Kartu Kredit terhadap Pemegang Kartu Kredit yang

76

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

77

memiliki pendapatan tiap bulan Rp3.000.000,00 (tiga juta Rupiah)

sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah); dan

c. pengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit bagi Pemegang Kartu

Kredit yang memiliki pendapatan di bawah Rp3.000.000,00 (tiga juta

Rupiah). Untuk pelaksanaan dan penyelesaian ketentuan ini, Penerbit

Kartu Kredit diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung

sejak 1 Januari 2013.

6. Pembayaran Pemegang Kartu Kredit sebesar 10% (sepuluh persen) dari

total tagihan. atau lebih tetapi tidak penuh, harus dialokasikan oleh

Penerbit Kartu Kredit untuk pembayaran biaya dan denda apabila ada,

dan sisanya paling kurang sebesar 60% (enam puluh persen) untuk

pemenuhan kewajiban pokok transaksi.

7. Sebagai upaya peningkatan keamanan transaksi Pemegang Kartu Kredit,

Penerbit Kartu Kredit diwajibkan mengimplementasikan:

a. PIN paling kurang 6 (enam) digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi;

dan

b.transaction alert kepada Pemegang Kartu Kredit dengan menggunakan

teknologi layanan pesan singkat (short message service/sms) atau

sarana lainnya berdasarkan pilihan Pemegang Kartu Kredit, apabila

terdapat transaksi Kartu Kredit yang memenuhi kriteria:

1. transaksi terjadi di Pedagang (Merchant) yang menurut Penerbit

Kartu Kredit memiliki risiko tinggi (high risk Merchant);

2. transaksi terjadi dalam jumlah dan/atau nilai yang besar atau

menyimpang dari profil transaksi Pemegang Kartu Kredit;

3. transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang berbeda

lokasi dalam waktu yang relatif singkat;

4. transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang sama

untuk pembayaran pembelanjaan barang dan/atau jasa yang sama;

atau

5. transaksi pertama atas Kartu Kredit baru.

8. Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga

penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa

penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa:

a. tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait

dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang

berlaku;

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

78

b.identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh

Penerbit Kartu Kredit;

c. tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-

pokok etika penagihan sebagai berikut:

1. menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit

Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;

2. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman,

kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan

Pemegang Kartu Kredit;

3. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan

secara fisik maupun verbal;

4. penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu

Kredit;

5. penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan

secara terus menerus yang bersifat mengganggu;

6. penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan

atau domisili Pemegang Kartu Kredit;

7. penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan

pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan

8. penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud

pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar

persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit

terlebih dahulu.

Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang

menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu

Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi

penyelenggara APMK.

9. Dalam rangka mendukung kajian Bank Indonesia untuk penetapan suku

bunga maksimum Kartu Kredit, Penerbit diwajibkan menyampaikan

Laporan Laba Rugi (Profit/Loss Report) Kartu Kredit. Laporan ini wajib

disampaikan Penerbit Kartu Kredit kepada Bank indoensia secara berkala,

yaitu triwulanan.

10.Pemberlakuan secara efektif ketentuan dalam SEBI APMK ini diatur

sebagai berikut:

a. ketentuan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian seperti minimum

usia calon Pemegang Kartu Kredit, minimum pendapatan calon

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

79

Pemegang Kartu Kredit, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum

perolehan Kartu Kredit, maksimum suku bunga Kartu Kredit, dan

penyampaian transaction alert, diberlakukan secara efektif per 1

Januari 2013;

b.ketentuan mengenai migrasi teknologi tanda-tangan menjadi PIN

paling kurang 6 (enam) digit untuk transakasi Kartu Kredit wajib

diselesaikan paling lambat 31 Desember 2014. Dengan demikian per

1 Januari 2015 penggunaan PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk

transaksi Kartu Kredit sudah wajib diimplementasikan secara penuh;

dan

c. ketentuan-ketentuan lainnya diberlakukan sejak tanggal perubahan

SEBI APMK ini diterbitkan.

1. Transaksi Term Deposit valas merupakan transaksi penempatan dana

valuta asing milik peserta transaksi Term Deposit Valas secara berjangka

di Bank Indonesia.

2. Transaksi Term Deposit valas menggunakan mata uang US Dollar dengan

jangka waktu 7 hari, 14 hari dan 30 hari. Atas penempatan tersebut,

Bank Indonesia memberikan bunga.

3. Peserta Transaksi Term Deposit Valas adalah Peserta OPT yang merupakan

bank devisa. Dalam melakukan penawaran transaksi Term Deposit valas,

Peserta OPT dapat mengajukan penawaran secara langsung atau melalui

Lembaga Perantara.

4. Pokok pengaturan terkait transaksi Term Deposit valas adalah sebagai

berikut:

a.Dilakukan melalui mekanisme lelang via RMDS dengan metode fixed

rate tender atau variable rate tender.

b.Lelang diselenggarakan pada setiap hari Rabu atau hari kerja lain yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan window time antara pukul

08.00 – 16.00.

c. Pengumuman lelang dilakukan BI melalui Sistem LHBU atau sarana

lainnya yang ditetapkan oleh BI.

d.Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-

masing jangka waktu yang ditawarkan BI. Atas penawaran tersebut,

peserta transaksi hanya dapat mengajukan 1(satu) kali koreksi untuk

RingkasanTanggalPeraturan

14/18/DPM 8 Juni 2012

Perihal

Perubahan

Keempat Atas

Surat Edaran

Bank Indonesia

No. 12/18/DPM

tanggal 7 Juli

2010 Perihal

Operasi Pasar

Terbuka

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

setiap penawaran dengan tetap memenuhi persyaratan pengajuan

penawaran.

e. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang

melalui Sistem LHBU dan melakukan konfirmasi kepada pemenang

lelang secara individual melalui RMDS atau sarana lainnya.

f. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi Term Deposit valas pada

2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, dimana setelmen dilakukan

untuk setiap 1 (satu) deal ticket.

g.Pada tanggal setelmen, Peserta Transaksi Term Deposit Valas wajib

mentransfer kewajiban setelmen transaksi Term Deposit valas untuk

setiap penawaran yang dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di

bank koresponden.

h.Dalam hal peserta tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen maka

transaksi dianggap batal dan peserta dikenakan sanksi.

5. Peserta transaksi dapat mengajukan early redemption atas Term Deposit

valas yang berjangka waktu paling singkat 3 hari setelah setelmen

transaksi Term Deposit valas. Pengajuan dimaksud dapat diajukan setiap

hari kerja kecuali pada hari pelaksanaan lelang melalui RMDS.

6. Peserta Transaksi Term Deposit Valas dapat mengajukan pengalihan

transaksi Term Deposit valas menjadi transaksi FX Swap dalam hal

membutuhkan likuiditas rupiah, yaitu FX Swap jual USD/IDR Bank Indonesia.

Pokok pengaturan terkait pengalihan transaksi Term Deposit valas menjadi

FX Swap adalah sebagai berikut:

a. Pengajuan pengalihan dilakukan melalui RMDS.

b.FX Swap yang berasal pengalihan Term Deposit dilakukan dengan

jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) hari.

c. Setelmen pengalihan transaksi Term Deposit valas dilakukan T+2 dari

tanggal pengajuan pengalihan, dimana BI akan melakukan pencatatan

pengalihan valas dari early redemption Term Deposit valas menjadi

sumber dana untuk setelmen valas transaksi FX Swap dan mengkredit

Rekening Giro rupiah peserta transaksi FX Swap di BI, sebesar ekuivalen

nilai tunai early redemption dalam rupiah.

d.Pada tanggal setelmen second leg FX Swap, Bank Indonesia mendebet

Rekening Giro peserta transaksi FX Swap sebesar nilai tunai dalam

rupiah dan melakukan transfer valas ke rekening peserta transaksi FX

Swap di bank koresponden sebesar nilai nominal valas FX Swap.

RingkasanTanggalPeraturan

80

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

81

e. Dalam hal pada tanggal setelmen second leg peserta transaksi FX

Swap tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi

kewajiban setelmen, maka wajib membayar nominal transaksi pada

hari kerja berikutnya.

f. Atas keterlambatan pemenuhan kewajiban setelmen tersebut, peserta

transaksi FX Swap dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban

membayar.

7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2012.

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan perubahan atas SE

BI No.11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem

Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain

Bank Indonesia. Perubahan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia

ini terkait dengan pemberian bantuan keuangan yang diberikan oleh

Bank Indonesia kepada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) Selain Bank

Indonesia.

2. Setelah berlakunya SE BI ini, maka nilai nominal bantuan keuangan per

bulan akan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Departemen Akunting

dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Sebelumnya, besar nilai nominal

bantuan keuangan per bulan ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima

juta rupiah) sebagaimana diatur dalam SE BI No.11/15/DASP.

3. Bantuan keuangan diberikan kepada PKL Selain BI sesuai criteria sebagai

berikut:

TanggalPeraturan Ringkasan

14/19/DASP 26 Juni 2012

Perihal

Perubahan Surat

Edaran Bank

Indonesia Nomor

11/15/DASP

tanggal 18 Juni

2009 perihal

Penyelenggaraan

Sistem Kliring

Nasional Bank

Indonesia oleh

Penyelenggara

Kliring Lokal

Selain Bank

Indonesia

Jumlah Bank *)

Kriteria

Rata-rata Harian Wark at Kliring Penyerahan Selama 1 Bulan

Jumlah Bantuan Keuangan

³ 4 < 30 wark at 50%

30 ² wark at ² 500 100%

500 < wark at ² 1000 150%

> 1000 wark at 200%

< 4 ³ 0 wark at 0%

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

82

4. PKL Selain BI dapat menetapkan iuran kepada Peserta jika bantuan

keuangan yang diberikan oleh Bank Indonesia tidak dapat menutupi

seluruh biaya operasional dalam penyelenggaraan SKNBI. Besarnya iuran

dan perhitungan biaya operasional yang menjadi dasar penetapan iuran

wajib disampaikan kepada dan disetujui oleh seluruh Peserta di Wilayah

Kliring yang bersangkutan. Penggunaan bantuan keuangan dan iuran

Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI wajib dilaporkan secara triwulanan

kepada Peserta.

5. Kantor pusat Bank wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Bank

Indonesia mengenai:

a. pendistribusian dan besarnya nilai nominal bantuan keuangan; dan

b.besarnya iuran yang ditetapkan oleh masing-masing kantor yang

menjadi PKL Selain BI,

6. Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Bab IV mengenai Bantuan

Keuangan dalam SE BI No.11/15/DASP.

LATAR BELAKANG PENGATURAN

Mengatur lebih lanjut pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.13/25/PBI/2011

tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain dan PBI

No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran

dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan PBI

No.14/2/PBI/2012.

SUBSTANSI PENGATURAN

1. Menjelaskan lebih lanjut penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen

risiko atas pelaksanaan Alih Daya oleh Bank, yang mencakup:

a.Melakukan analisis dan penilaian Perusahaan Penyedia Jasa (PPJ);

b.Menyusun perjanjian Alih Daya dengan PPJ sesuai dengan cakupan

minimum perjanjian yang dipersyaratkan dalam PBI;

c. Menerapkan manajemen risiko secara efektif atas pelaksanaan Alih

Daya;

d.Memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

e. Melakukan upaya-upaya dalam rangka memberikan perlindungan hak

dan kepentingan nasabah.

RingkasanTanggalPeraturan

14/20/DPNP 27 Juni 2012

Perihal Prinsip

Kehati-hatian

bagi Bank

Umum yang

Melakukan

Penyerahan

Sebagian

Pelaksanaan

Pekerjaan

Kepada Pihak

Lain

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

83

RingkasanTanggalPeraturan

2. Menjelaskan bahwa pelaksanaan penyerahan pekerjaan yang spesifik

kepada pihak lain tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia lainnya

yang mengaturkegiatan/pekerjaan yang spesifik, termasuk pelaksanaan

Alih Dayanya.

3. Menjelaskan pengertian pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang

beserta contohnya.

4. Menjelaskan bahwa Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya

dengan PPJ berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Perusahaan

Terbatas (PT) atauKoperasi.

5. Menjelaskan upaya yang harus dilakukan oleh bank sehubungan dengan

pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank dalam

memberikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan nasabah,

antara lain dengan:

a.Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh PPJ

secaraberkala; dan

b.Melakukan langkah-langkah perbaikan dengan segera dan efektif

atas permasalahan yang teridentifikasi, sehingga pelaksanaan pekerjaan

tetap berjalan dengan baik dan kepentingan nasabah terlindungi.

6. Menambah penjelasan penyerahan pekerjaan yang tidak menjadi cakupan

Alih Daya, seperti:

a. Penyerahan pekerjaan kepada kantor pusat atau kantor wilayah Bank

yang berkedudukan di luar negeri, perusahaan induk, dan entitas lain

dalam satu kelompok usaha Bank di dalam maupun di luar negeri,

sepanjang penyerahan pekerjaan tersebut tetap tunduk pada ketentuan-

ketentuan Bank Indonesia lainnya yang mengatur kegiatan/pekerjaan

yang spesifik, termasuk pelaksanaan Alih Dayanya, serta dengan

memperhatikan kesesuaian dan kewajaran penyerahan pekerjaan

dimaksud.

b.Penyerahan pekerjaan jasa konsultansi atau keahlian khusus, misalnya

jasa konsultan hukum, jasa notaris, jasa penilai independen (appraisal),

dan akuntan publik.

c. Penyerahan pekerjaan jasa pemeliharaan barang dan gedung, misalnya

pemeliharaan mesin pendingin ruangan (Air Conditioner/AC), fotocopy,

komputer, dan printer serta jasa pemeliharaan gedung kantor Bank.

TanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

7. Menjelaskan prinsip kehati-hatian dalam penyerahan pekerjaan penagihan

kredit, diantaranya:

a.Cakupan penagihan kredit dalam ketentuan ini adalah penagihan

kredit secara umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan

utang kartu kredit.

b.Penagihan kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada pihak

lain adalah kredit dengan kualitas Macet sesuai ketentuan Bank

Indonesia mengenai penilaian kualitas aset bank umum.

c. Perjanjian kerjasama antara Bank dan PPJ harus dilakukan dalam

bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja.

d.Bank wajib memiliki kebijakan etika penagihan, yang paling kurang

mencakup hal-hal sebagaimana dijabarkan dalam SE, misalnya:

1. Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain debitur;

2. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan

secara terus menerus yang bersifatmengganggu;

3. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan

pukul 20.00 wilayah waktu debitur

4. penagihan di luar waktu diatas hanya dapat dilakukan atas dasar

persetujuan dan/atau perjanjian dengan debitur;

5. Petugas penagih wajib menggunakan kartu identitas resmi yang

dikeluarkan oleh Bank, yang dilengkapi dengan foto diri yang

bersangkutan; dan

6. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan

atau domisili debitur.

8. Menjelaskan prinsip kehati-hatian dalam penyerahaan pekerjaan

pengelolaan kas, diantaranya:

a. Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan PPJ yang

memenuhi persyaratan, misalnya:

1. Berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas

(PT);

2. Memiliki ijin operasional sebagai perusahaan jasa kawal angkut

uang tunai dan barang berharga yang masih berlaku dari instansi

yang berwenang;

3. Memiliki sumber daya manusia dengan kuantitas dan kualitas yang

dapat mendukung pelaksanaan pengelolaan kas Bank.

4. Memiliki mesin hitung dan mesin sortir yang dapat mendeteksi

keaslian fisik uang, memiliki khazanah untuk menyimpan uang

tunai Rupiah, dan memiliki infrastruktur dan sarana angkutan yang

memenuhi persyaratan standar keamanan.

RingkasanTanggalPeraturan

84

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

85

RingkasanTanggalPeraturan

b.Adanya kewajiban PPJ untuk menjamin dan mengasuransikan seluruh

uang tunai milik Bank yang berada dalam pengelolaan PPJ tersebut.

c. Kesediaan PPJ untuk memberikan akses pemeriksaan kepada Bank

Indonesia.

9. Menjelaskan format, substansi, waktu dan alamat penyampaian laporan

Alih Daya.

10.Memberikan Lampiran contoh dan penjelasan beberapa pekerjaan pokok

dan pekerjaan penunjang.

11.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

1. Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini dilakukan dalam

rangka harmonisasi dengan SE BI No. 13/6/DPNP tanggal 18 Februari

2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko

untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar.

2. Pokok-pokok pengaturan penyempurnaan SE BI ini antara lain:

a. perubahan kategori pembobotan dalam perhitungan Risiko Spesifik

untuk Risiko Suku Bunga yang merupakan bagian dari perhitungan

ATMR untuk Risiko Pasar dengan menggunakan metode standar.

b.perhitungan Risiko Spesifik dari surat berharga ditentukan dari:

a. kategori penerbit; dan

b. peringkat dan/atau sisa jatuh tempo.

3. Penyempurnaan pengaturan ini mengubah Formulir I.a Lampiran 2 terkait

dengan Risiko Spesifik. Selama pelaporan Risiko Spesifik tersebut belum

dapat dilakukan secara online melalui Laporan Berkala Bank Umum

(LBBU), laporan disampaikan secara offline.

4. Laporan secara offline tersebut disampaikan secara bulanan untuk posisi

setiap akhir bulan dan disampaikan pada periode penyampaian I

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur

mengenai LBBU.

5. Laporan tersebut disampaikan pertama kali untuk posisi akhir bulan

Agustus 2012 yang disampaikan pada periode penyampaian I di bulan

September 2012.

TanggalPeraturan

14/21/DPNP 18 Juli 2012

Perihal Perubahan

atas Surat Edaran

Bank Indonesia

Nomor 9/33/DPNP

tanggal 18

Desember 2007

perihal Pedoman

Penggunaan

Metode Standar

dalam Perhitungan

Kewajiban

Penyediaan Modal

Minimum Bank

Umum dengan

Memperhitungkan

Risiko Pasar

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

6. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2012.

RingkasanTanggalPeraturan

86