buletin issn : 1693 - 3265 volume 10, nomor 1, januari ... · volume 10, nomor 1, januari - april...

93
Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012 HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Upload: vodieu

Post on 07-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan

Tindak Pidana Perbankan

Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking

Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan

Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak

Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank

Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 2: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe

Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,

Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti

Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,

Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 4: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 1, Edisi Januari s.d April 2012 kembali hadir

ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya dalam format dan nuansa baru. Penerbitan kali ini merupakan edisi

khusus dalam rangka memperingati Kartini. Sebagai bentuk ekspresinya, seluruh penulis dalam edisi kali ini adalah

perempuan dengan segala keindahan dan keahlian di bidangnya masing-masing.

Topik utama Buletin menyoroti mengenai Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai

Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan, yang ditulis oleh Dr. Tini Kustini, SH. Dalam rangka penanganan

Tipibank, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara

Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan dari

koordinasi tersebut adalah untuk penegakan hukum di lingkungan perbankan mengingat bank dapat digunakan sebagai

sarana dan/atau sasaran Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih dari praktik penyimpangan yang dilakukan

oleh bank ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan Tipibank.

Selain itu, dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :

1. Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking, Prof. Dr. Etty S.Suhardo, SH, MS.

2. Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan, Dr. Go Lisanawati SH, MH.

3. Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang

Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank, Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat

Hukum Yunior).

4. Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda),

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai

dengan April 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, April 2012

Redaksi

i

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan

Tindak Pidana Perbankan........................................................................................................................ 1 - 12

Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,

Bank Indonesia

Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking.............................................................................. 13 - 28

Prof. Dr. Etty S. Suhardo, SH, MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan .............................. 29 - 40

Dr. Go Lisanawati SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita PajakTerhadap Harta Kekayaan

Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank............................................................. 41 - 46

Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior),

Departemen Hukum, Bank Indonesia

Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK............................................................................... 47 - 54

Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,

Bank Indonesia

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012.............. 55 - 58

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum, Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012........ 59 - 85

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum Bank Indonesia)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

VOLUME 10, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2012

iii

Page 7: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

A. PENDAHULUAN

Perkembangan dalam industri perbankan dan

teknologi informasi, disamping berdampak positif

dapat pula menimbulkan dampak negatif berupa

semakin beragamnya tindak pidana perbankan

(Tipibank).

Bank sering dijadikan sebagai sarana dan/atau sasaran

untuk memperkaya diri sendiri, keluarga atau

kelompok tertentu secara melawan hukum yang

dapat dilakukan oleh anggota dewan komisaris,

direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan/atau

pemegang saham baik dilakukan secara sendiri-

sendiri maupun bersama-sama dengan pihak di luar

bank.

Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengawas bank,

Bank Indonesia dapat menemukan adanya dugaan

Tipibank yang selanjutnya penanganannya akan

ditindaklanjuti melalui proses hukum.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang

pelakunya diancam hukuman pidana berdasarkan

Undang-Undang. Unsur dari tindak pidana adalah

subyek (pelaku) dan wujud perbuatan baik yang

bersifat positif yaitu melakukan suatu perbuatan,

maupun negatif yaitu tidak melakukan suatu

perbuatan yang wajib dilakukan.

Tindak pidana perbankan melibatkan dana

masyarakat yang disimpan di bank, oleh karenanya

Tipibank merugikan kepentingan berbagai pihak,

baik bank itu sendiri selaku badan usaha maupun

nasabah penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas

perbankan, pemerintah dan masyarakat luas, sehingga

memerlukan penanganan yang tuntas.

Bank Indonesia ikut serta dalam penegakan hukum

(law enforcement) dalam bentuk investigasi dan/atau

pemeriksaan forensik terhadap Tipibank yang terjadi

pada suatu bank. Hasil investigasi dilaporkan kepada

penegak hukum sesuai dengan Hukum Acara Pidana

yang berlaku, dan pada akhirnya menghasilkan suatu

putusan pengadilan.

Peranan perbankan yang strategis dan karakteristik

bank sebagai lembaga kepercayaan, maka setiap hal

yang mengganggu kegiatan perbankan seperti

Tipibank memerlukan penanganan yang baik.

Mengingat, Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan

untuk melakukan penyidikan, maka penanganan

dugaan Tipibank memerlukan koordinasi dengan

lembaga lain, salah satunya adalah koordinasi antara

1

NOTA KESEPAHAMAN BANK INDONESIA, KEPOLISIAN, DAN KEJAKSAAN SEBAGAI BENTUK KOORDINASI

PENANGANAN TINDAK PIDANA PERBANKANOleh :

Dr. Tini Kustini, SH, Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia

Abstrak

MoU-Tipibank-Koordinasi.

Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank merupakan suatu MoU dengan bentuk gentlemen’s agreement yang

pelaksanaannya didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga mempunyai kekuatan mengikat secara moral

(moral obligation).

Page 9: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Bank Indonesia dengan penegak hukum. Selanjutnya,

untuk memperlancar, mempercepat, dan

mengoptimalkan penanganan Tipibank dilakukan

koordinasi antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia

yang ditetapkan dalam suatu Nota Kesepahaman.

B. TINDAK PIDANA PERBANKAN

Pemakaian istilah Tipibank dan tindak pidana di bidang

perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila

ditinjau dari segi yuridis tidak satupun peraturan

perundang-undangan yang memberikan pengertian

tentang Tipibank dengan tindak pidana di bidang

perbankan.1

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),

Departemen Kehakiman memberikan pengertian

yang berbeda untuk kedua Tipibank dan tindak

pidana di bidang perbankan, yaitu2

a. Tindak pidana perbankan adalah:

1) Setiap perbuatan yang melanggar peraturan

perundang-undangan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

(Undang-Undang Perbankan).3

2) Tindak pidana yang dilakukan dalam

menjalankan fungsi dan usahanya sebagai

bank berdasarkan Undang-Undang

Perbankan.4

b. Tindak pidana di bidang perbankan adalah:

1) Segala jenis perbuatan melanggar hukum yang

berhubungan dengan kegiatan dalam

menjalankan usaha bank, baik bank sebagai

sasaran maupun sebagai sarana.5

2) Tindak pidana yang tidak hanya mencakup

pelanggaran terhadap Undang-Undang

Perbankan saja, melainkan mencakup pula

tindak pidana penipuan, penggelapan,

pemalsuan dan tindak pidana lain sepanjang

berkaitan dengan lembaga perbankan.6

Apabila ditinjau dari kedua pengertian istilah tersebut

di atas, maka terlihat perbedaan yang cukup mendasar.

Secara terminologis, istilah Tipibank berbeda dengan

tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana

di bidang perbankan mempunyai pengertian yang

lebih luas, yaitu segala jenis perbuatan melanggar

hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

dalam menjalankan usaha bank, sehingga terhadap

perbuatan tersebut dapat diperlakukan peraturan-

peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan

perbankan yang memuat ketentuan pidana maupun

peraturan-peraturan Hukum Pidana umum/khusus,

selama belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana

yang secara khusus dibuat untuk mengancam dan

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

1 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN, Jakarta, 1992, hlm. 68. Istilah tindak pidana di bidang perbankan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun dalam Undang-Undang tersebut tidak terdapat definisi atau pengertian tentang tindak pidana di bidang perbankan.

2 Ibid., bandingkan dengan Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 14, yang mengemukakan bahwa perbedaan yang cukup mendasar atas pengertian tindak pidana di bidang perbankan dan Tipibank adalah:a. Tipibank merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan).

b. Tindak pidana di bidang perbankan merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, KUHP, dan Peraturan Hukum Pidana Khusus, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Subversi, dan Undang-Undang No. 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

3 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.

4 Ibid, hlm. 8. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet. 2, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44, menyebut tindak pidana di bidang perbankan sebagai kejahatan perbankan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Istilah kejahatan perbankan digunakan mengingat belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana yang khusus dibuat untuk mengancam dan menghukum perbuatan-perbuatan tersebut di atas. Selain itu kejahatan perbankan mempunyai arti luas, karena dapat berarti bank sebagai korban maupun bank sebagai pelaku.

5 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.

6 Ibid, hlm.12-13.

Page 10: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

menghukum perbuatan-perbuatan tersebut.7 Artinya

tindak pidana di bidang perbankan menyangkut

perbuatan yang berkaitan dengan perbankan dan

diancam dengan pidana, meskipun diatur dalam

peraturan lain,8 atau disamping merupakan perbuatan

yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang

Perbankan dan Undang-Undang Perbankan Syariah,

juga merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan

di luar Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang

Perbankan Syariah yang dikenakan sanksi berdasarkan

antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Tindak Pidana Pencucian Uang, perbuatan mana

berhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha bank

seperti money laundering dan korupsi yang melibatkan

bank. Sementara itu, Tipibank lebih tertuju kepada

perbuatan yang dilarang, diancam pidana yang termuat

khusus hanya dalam Undang-Undang yang mengatur

perbankan.9

Sementara itu, Moch. Anwar membedakan

pengertian Tipibank dengan tindak pidana di bidang

perbankan berdasarkan perlakuan peraturan terhadap

perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum

yang berhubungan dengan kegiatan dalam

menjalankan usaha bank.10

Khusus untuk Tipibank, Indriyanto Seno Adji melihat

dalam dua sisi pengertian, yakni sempit dan luas.

Dalam pengertian sempit, Tipibank hanya terbatas

kepada perbuatan yang dikategorikan sebagai

perbuatan pidana menurut Undang-Undang

Perbankan. Sementara dalam pengertian luas,

Tipibank tidak terbatas hanya kepada yang diatur

oleh Undang-Undang Perbankan, namun mencakup

pula perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam

perbuatan pidana yang mengganggu sektor ekonomi

secara luas, yang juga meliputi kejahatan pasar modal

(capital market crime), kejahatan komputer (computer

crime), baik dengan itu timbul akibat kerugian pada

perusahaan swasta, maupun Pemerintah dan BUMN,

fiskal dan bea cukai (custom crime).11

Dalam rangka kesamaan persepsi atas pengertian

Tipibank, Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank

Indonesia No.12/35/INTERN tanggal 23 Juli 2010

tentang Pedoman Mekanisme Koordinasi Penanganan

Dugaan Tindak Pidana Perbankan, memberikan

pengertian Tipibank sebagai tindak pidana yang

memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang

Perbankan atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66

Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan

Syariah). Unsur-unsur tindak pidana meliputi subyek

(pelaku) dan wujud perbuatannya baik yang bersifat

positif yaitu melakukan suatu perbuatan, maupun

yang bersifat negatif yaitu tidak melakukan suatu

perbuatan yang wajib dilakukan.

Dimensi bentuk tindak pidana di bidang perbankan

dapat berupa tindak pidana seseorang terhadap bank,

tindak pidana bank terhadap bank lain, ataupun

tindak pidana bank terhadap perorangan, sehingga

bank dapat menjadi korban ataupun pelaku.

Sedangkan dimensi ruang tindak pidana di bidang

perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu,

namun dapat melewati batas-batas teritorial suatu

7 H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana ... Op. Cit., hlm. 44. Bandingkan dengan M. Solehuddin, Tindak Pidana Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 11, yang menyatakan bahwa istilah tindak pidana perbankan sebenarnya terkandung tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perbankan, melainkan juga Undang-Undang Bank Indonesia, KUHP, dan peraturan tindak pidana khusus seperti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak PidanaPencucian Uang, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Lalu Lintas Devisa, dan Undang-Undang Anti Subversi.

8 Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 274.

9 Ibid, hlm. 274.

10 Istilah Tindak Pidana di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch Anwar, SH dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, H.A.K. Moch Anwar, Tindak Pidana ..... op.cit. Lihat pula Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan, Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm. 74.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

3

11 N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008, hlm. 212.

Page 11: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

negara. Demikian pula dengan dimensi waktu, tindak

pidana di bidang perbankan dapat terjadi seketika,

namun dapat pula berlangsung beberapa lama.

Sementara itu, ruang lingkup terjadinya tindak pidana

di bidang perbankan dapat terjadi pada keseluruhan

lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat

berkaitan dengan kegiatan perbankan dan mencakup

dengan lembaga keuangan lainnya.

Undang-Undang Perbankan membedakan sanksi

pidana kedalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan

pelanggaran. Tindak pidana perbankan dengan

kategori kejahatan terdiri dari tujuh, yaitu Pasal 46,

47, 47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan Pasal 50A. Sementara

itu, Tipibank dengan kategori pelanggaran dengan

sanksi pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana

yang digolongkan sebagai kejahatan, terdiri dari satu

pasal, yaitu Pasal 48 ayat (2). Penggolongan Tipibank

ke dalam kejahatan didasarkan pada pengenaan

ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan

dengan pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank

adalah lembaga yang menyimpan dana yang

dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga

perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya

kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada

dasarnya juga akan merugikan bank maupun

masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Harapan

penggolongan Tipibank sebagai kejahatan, agar dapat

lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap

ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan.12

Sementara Undang-Undang Perbankan Syariah tidak

membedakan sanksi Tipibank dan mencantumkannya

ke dalam delapan pasal, yaitu Pasal 59 sampai dengan

Pasal 66.

Perbandingan antara Undang-Undang Perbankan

yang mengenakan sanksi kumulatif pidana penjara

dengan pengenaan terendah 2 tahun sampai dengan

tertinggi selama 15 tahun ditambah denda terendah

sebesar Rp.4 miliar dan tertinggi sebesar Rp.200

miliar,13 dengan beberapa sanksi yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-

Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) yang hanya

mengenakan sanksi pidana penjara tertinggi selama

20 tahun ditambah denda tertinggi sebesar Rp.10

miliar,14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang

mengenakan sanksi pidana dengan empat variasi,

yaitu kumulatif dengan pengenaan pidana penjara

terendah 1 tahun dan tertinggi seumur hidup

ditambah denda terendah sebesar Rp.50 juta dan

tertinggi Rp.1 miliar, kumulatif dengan sanksi tertinggi

pidana penjara paling lama 3 tahun ditambah denda

paling banyak Rp.50 juta, kumulatif dan alternatif

dengan sanksi tertinggi pidana penjara paling lama

3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.150

juta, kumulatif dan alternatif pidana penjara terendah

1 tahun dan tertinggi 20 tahun dan/atau pidana

denda terendah sebesar Rp.50 juta dan tertinggi

12 Pasal 51 berikut penjelasannya Undang-Undang Perbankan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

4

13 Undang-Undang Perbankan mengatur sanksi pidana untuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan secara kumulatif, sementara perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran secara alternatif dan kumulatif, yaitu:1. Kumulatif:

a. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 46);

b. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 47 ayat (1));

c. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.8 miliar (Pasal 47 ayat (2));

d. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.15 miliar (Pasal 47A);

e. Pidana penjara: 2 s.d 10 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 48 ayat (1));

f. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 49 ayat (1));

g. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 49 ayat (2));

h. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 50);

i. Pidana penjara: 7 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 50A);

2. Kumulatif dan Alternatif:Pidana kurungan: 1 s.d 2 tahun dan/atau pidana denda: Rp.1 s.d Rp.2 miliar (Pasal 48 ayat (2)).

14 Undang-Undang PPTPPU mengatur sanksi pidana secara kumulatif, namun hanya mengatur sanksi tertinggi, sehingga sanksi terendah diserahkan kepada pengadilan, yaitu:1. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda:

paling banyak Rp.10 miliar (Pasal 3);2. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda:

paling banyak Rp.5 miliar (Pasal 4);3. Pidana penjara: paling lama 5 tahun ditambah pidana denda: paling

banyak Rp.1 miliar (Pasal 5).

Page 12: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Rp.1 miliar,15 dan KUHP, seperti penggelapan yang

mengenakan sanksi pidana penjara maksimal selama

4 tahun dan denda maksimal sebesar Rp.900,-, maka

sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang

Perbankan untuk pidana penjara sudah seimbang

dengan pengaturan dalam Undang-Undang PPTPPU,

Undang-Undang Tipikor, dan KUHP, sementara untuk

sanksi pidana denda, Undang-Undang Perbankan

mengenakan sangat tinggi bahkan tertinggi bisa

mencapai Rp.200 miliar.

C. KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA

PERBANKAN

Dalam rangka penanganan Tipibank, Bank Indonesia

melakukan koordinasi dengan beberapa instansi

terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang

dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan

dari koordinasi tersebut adalah untuk penegakan

hukum di lingkungan perbankan mengingat bank

dapat digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran

Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih

dari praktik penyimpangan yang dilakukan oleh bank

ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar,

mempercepat dan mengoptimalkan penanganan

Tipibank.

Koordinasi antara Bank Indonesia dan penegak hukum

telah dilaksanakan sejak tahun 1997 dengan

penetapan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia, dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-

126/JA/11/1997, KEP/10/XI/1997, No.30/6/KEP/GBI

tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama

Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan,

yang kemudian pada tanggal 20 Desember 2004

diganti dengan Surat Keputusan Bersama No.KEP-

902/A/J.A/12/2004; No.POL:Skep/924/XII/ 2004; dan

No.6/91/KEP.GBI/2004 tentang Kerjasama Penanganan

Tindak Pidana di Bidang Perbankan (SKB Tipibank),16

dan akhirnya pada tanggal 19 Desember 2011 diganti

dengan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia

dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Kejaksaan Republik Indonesia No.13/104/KEP.GBI/2011,

No.B/31/XII/2011, No.Kep-261/A/JA/ 12/2011 tentang

Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan (NK

Penanganan Tipibank).17

15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur sanksi pidana secara kumulatif dan gabungan antara kumultatif dan alternatif, yaitu:1. Kumulatif:

a. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 2);

b. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 6);

c. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 7);

d. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 8);

e. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 9);

f. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 10);

g. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 11);

h. Pidana penjara: seumur hidup atau pidana penjara 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12);

i. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12B).

2. Kumulatif dengan sanksi tertinggi:Pidana penjara: paling lama 3 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.50 juta(Pasal 12A).

3. Kumulatif dan Alternatif dengan sanksi tertinggi:a. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda:

paling banyak Rp.150 juta(Pasal 13);b. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda:

paling banyak Rp.150 juta(Pasal 24).4. Kumulatif dan Alternatif:

a. Pidana penjara: 1 s.d 20 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 3);

b. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 5);

c. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 21);

d. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 22);

e. Pidana penjara: 1 s.d 6 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.300 juta (Pasal 23).

16 SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menyampaikan Surat No.S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005 kepada Presiden Republik Indonesia yang menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian dugaan Tipibank mengacu pada SKB Tipibank.

17 Jangka waktu berlakunya Nota Kesepahaman ini selama tiga tahun terhitung sejak penandatanganan tanggal 19 Desember 2011, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Lihat Praemisi NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa para pihak adalah:“a. Darmin Nasution selaku Gubernur Bank Indonesia, selaku Gubernur

Bank Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BANK INDONESIA, berkedudukan di Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

5

Page 13: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam

penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian melalui Surat No.

S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005

kepada Presiden Republik Indonesia yang

menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan

RI, dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian

dugaan Tipibank dengan mengacu pada SKB

Tipibank, yang berlaku pula untuk NK Penanganan

Tipibank sebagai pengganti dari SKB Tipibank.

Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank terdiri dari

7 Bab dan 28 Pasal, dengan ruang lingkup koordinasi

antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik

Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia dalam

penanganan Tipibank sebagaimana diatur dalam

Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang

Perbankan, atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66

Undang-Undang Perbankan Syariah, dengan bentuk

koordinasi meliputi pembahasan dan pelaporan

dugaan Tipibank, penyediaan saksi dan ahli,

pemblokiran rekening, penyitaan uang dan dokumen,

tukar menukar informasi, evaluasi, dan kegiatan

lainnya.18

Maksud NK Penanganan Tipibank adalah sebagai

landasan bagi Bank Indonesia, Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia

untuk melakukan koordinasi memperkuat penerapan

tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih di

lingkungan Bank Indonesia, Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Adapun tujuan Nota Kesepahaman ini adalah

tercapainya koordinasi dalam rangka memperlancar,

mempercepat, dan mengoptimalkan penanganan

Tindak Pidana Perbankan.

Bank Indonesia melakukan investigasi atas dugaan

Tipibank pada bank, selanjutnya hasil investigasi

dibahas pada rapat Tim Kerja dan apabila diperlukan

dibahas pula pada rapat Tim Pleno. Apabila hasil

pembahasan terdapat indikasi kuat adanya dugaan

Tipibank, maka selanjutnya Bank Indonesia melaporkan

kepada penyidik disertai informasi antara lain jenis

pelanggaran, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar,

barang bukti, dan pelaku.

Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan NK

Penanganan Tipibank, pelaksanaan koordinasi NK

Penanganan Tipibank dilakukan oleh Tim Koordinasi

dengan dibantu oleh Sekretariat yang dilaksanakan

oleh Bank Indonesia.19 Tim Koordinasi terdiri atas

Tim Pengarah, Tim Koordinasi Tingkat Pusat dan Tim

Koordinasi Tingkat Daerah, yang masing-masing

terdiri dari Tim Pleno dan Tim Kerja.20 Tim Pleno dan

Tim Kerja terdiri dari perwakilan dari Bank Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan

Republik Indonesia.

Tim Pengarah terdiri dari atas tiga anggota, yaitu

Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik

Indonesia. Tim Pengarah mempunyai tugas

memberikan arahan dan/atau keputusan yang bersifat

strategis.21

Tim Pleno dibagi menjadi Tim Pleno Tingkat Pusat

dan Tim Pleno Tingkat Daerah, yang menyelenggarakan

rapat sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.

Tim Pleno Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap

dan anggota tidak tetap.22 Anggota tetap Tim Pleno

Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang

b. JENDERAL POLISI Drs. TIMUR PRADOPO selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Trunojoyo Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

c. BASRIEF ARIEF selaku Jaksa Agung Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Sultan Hasanudin 1, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK KETIGA.”

18 Pasal 2 NK Penanganan Tipibank.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

6

19 Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 10 s.d Pasal 12 NK Penanganan Tipibank.

20 Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.

21 Pasal 5 NK Penanganan Tipibank.

22 Pasal 6 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.

Page 14: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

memutus,23 sedangkan anggota tidak tetap Tim

Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada

anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat.24

Tim Pleno Tingkat Daerah terdiri atas Pemimpin Bank

Indonesia, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala

Kejaksaan Tinggi.25

Tim Pengarah atau Tim Pleno dapat melakukan siaran

pers terkait penanganan Tipibank sesuai dengan tugas

dan wewenang masing-masing lembaga, dengan

mempertimbangkan dampak bagi kelangsungan

usaha bank dan industri perbankan pada umumnya.

Tim Kerja dibagi menjadi Tim Kerja Tingkat Pusat

yang menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya

empat kali dalam setahun dan Tim Kerja Tingkat

Daerah yang menyelenggarakan rapat sekurang-

kurangnya dua kali dalam setahun.

Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap

dan anggota tidak tetap.26 Anggota tetap Tim Kerja

Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang

memutus,27 sedangkan anggota tidak tetap Tim Kerja

Tingkat Pusat dapat hadir pada rapat Tim Kerja

Tingkat Pusat dan memberikan masukan kepada

anggota tetap Tim Kerja Tingkat Pusat sepanjang

ditunjuk oleh Ketua Tim Kerja Tingkat Pusat.28

Sementara Tim Kerja Tingkat Daerah terdiri atas

perwakilan masing-masing lembaga.29

Tim Kerja menyelenggarakan rapat sekurang-

kurangnya dua kali dalam satu tahun untuk

mengevaluasi tindak lanjut atau perkembangan

penanganan dugaan Tipibank yang sedang diproses

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau

Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam rangka pelaksanaan dari NK Penanganan

Tipibank, maka diterbitkan ketentuan pelaksana

yang mengatur pelaksanaan koordinasi, yaitu

Petunjuk Pelaksanaan No.13/10/KEP. DpG/2011;

No.B/4768/XII/2011/Bareskrim; No.Kep-04/E/EJP/12/

2011; No.Juk 12/F/Fsp/12/ 2011 tanggal 19 Desember

2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi

Penanganan Tindak Pidana Perbankan. Petunjuk

Pelaksanaan yang mengatur antara lain persiapan

dan pelaksanaan Rapat Tim Koordinasi, tata cara

pelaksanaan koordinasi meliputi antara lain

pembahasan dugaan Tipibank, pelaporan dugaan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

7

23 Pasal 6 ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“Anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang memutus, terdiri atas empat anggota, yaitu:a. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang membawahkan

Bidang Investigasi;b. Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik

Indonesia;d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik

Indonesia.”

24 Pasal 6 ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“Anggota tidak tetap Tim Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat, terdiri atas delapan anggota, yaitu:a. Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia;b. Direktur Hukum Bank Indonesia;c. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan sekitarnya;d. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta;e. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus pada Badan Reserse Kriminal

Kepolisian Negara Republik Indonesia;f. Direktur Tindak Pidana Korupsi pada Badan Reserse Kriminal

Kepolisian Negara Republik Indonesia;g. Direktur Tindak Pidana Umum Lainnya pada Jaksa Agung Bidang

Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia; danh. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum

Kejaksaan Agung Republik Indonesia.”

25 Pasal 7 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.

26 Pasal 8 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.

27 Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas 17 anggota, yaitu Kepala Biro Investigasi Perbankan Bank Indonesia, sebagai Ketua, dan beranggotakan perwakilan dari masing-masing lembaga Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI.

28 Pasal 8 ayat (6) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa terdiri atas 9 (sembilan) anggota dari perwakilan masing-masing lembaga.

29 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“(1)Tim Kerja Tingkat Daeraj terdiri atas sebanyak-banyaknya tujuh

anggota, yaitu:a. Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang

Perbankan;b. Pejabat Kantor Bank Indonesia yang membawahkan Bidang

Perbankan dan/atau Pejabat Kantor Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi Sekretariat Tingkat Daerah;

c. Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah;d. Kepala Sub Direktorat yang menangani Perbankan pada

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah;e. Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi; dan f. Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi.

(2) Tim Kerja Tingkat Daerah diketuai oleh Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Perbankan.”

Page 15: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Tipibank, penyediaan saksi dan ahli, pemblokiran

rekening, penyitaan uang dan dokumen, tukar

menukar informasi, evaluasi, kegiatan lainnya, dan

siaran pers.

D. KEKUATAN MENGIKAT NOTA KESEPAHAMAN

Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1)

Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri

dari UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan

Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/

Kota, dan Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR/DPR/

DPD/MA/MK/BPK/KY/BI/Menteri/badan/lembaga atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-

Undang/Pemerintah atas perintah Undang-Undang/

DPRD Provinsi/Gubernur/DPRD Kabupaten/Kota/

Bupati/Walikota/Kepala Desa atau yang setingkat.

Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-

undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Artinya,

Nota Kesepahaman bukan merupakan salah satu

jenis peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya

timbul suatu pertanyaan, jenis apakah Nota

Kesepahaman? dan bagaimana kekuatan mengikat

dari suatu Nota Kesepahaman?

Nota Kesepahaman adalah sama dengan

Memorandum of Understanding (MoU) yang sering

menjadi dasar bagi suatu kerjasama diantara beberapa

lembaga.

Memorandum of Understanding berasal dari kata

Memorandum dan Understanding. Pengertian

Memorandum dalam Black’s Law Dictionary adalah

a brief note, in writing, of some transaction or an

outline of some intended instrument drawn up in

brief and compendious form.30 Sementara, pengertian

Understanding adalah in the law of contracts, an

agreement. An implied agreement resulting from

the express terms of another agreement, whether

written or oral.31

Wikipedia menyatakan bahwa: A Memorandum of

Understanding is a document describing a bilateral

or multilateral agreement between parties. It expresses

a convergence of will between the parties, indicating

an intended common line of action. It most often is

used in cases where parties do not intend to imply a

legal commitment. It is a more formal alternative to

a gentlemen's agreement. In some cases, depending

on the exact wording, MoUs can have the binding

power of a contract; as a matter of law, contracts do

not need to be labeled as such to be legally binding.

Whether or not a document constitutes a binding

contract depends only on the presence or absence

of well-defined legal elements in the text proper of

the document (the so-called "four corners"). This can

include express disclaimers of legal effect, or failure

of the MoU to fulfill the elements required for a valid

contract (such as lack of consideration in common

law jurisdictions). For example, a binding contract

typically must contain mutual consideration - a legally

enforceable obligations of the parties, and its formation

must take place free of the so-called real defenses to

contract formation (fraud, duress, lack of age or

mental capacity, etc.).32

MoU merupakan suatu dokumen hukum yang

menjelaskan persetujuan para pihak, namun MoU

tidaklah seformal sebuah perjanjian.

Memorandum of Understanding dibuat antara subyek

hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya,

baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk

melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kegiatan

dengan jangka waktu tertentu. Dasar penyusunannya

adalah sama dengan perjanjian atas dasar hasil

30 Black’s Law Dictionary, Third Edition, New York, 1991, hlm.295.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

8

31 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.1526.

32 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012).

Page 16: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

permufakatan para pihak. Namun demikian, MoU

bukanlah merupakan suatu perjanjian secara utuh,

namun merupakan suatu perjanjian pendahuluan,

dalam arti akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian

lain yang mengatur secara lebih terinci. Oleh

karenanya, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.

Dengan perkataan lain, MoU merupakan suatu

dokumen yang memuat saling pengertian di antara

para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU

harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga MoU

mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini sesuai dengan

pendapat beberapa pakar, yaitu Munir Fuady yang

menyatakan bahwa MoU merupakan perjanjian

pendahuluan, yang nanti akan dijabarkan dan

diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat

aturan dan persyaratan secara lebih detail. Sebab itu

materi MoU berisi hal-hal yang pokok saja. Selanjutnya,

Erman Radjagukguk menyatakan bahwa MoU

merupakan dokumen yang memuat saling pengertian

dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan

dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua

belah pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus

dituangkan kembali dalam perjanjian sehingga menjadi

kekuatan yang mengikat.

Di Inggris, MoU sering dinamakan dengan concordat

yang merupakan perjanjian sukarela (voluntary

agreement).33 Sementara dalam Hukum Perdata

Amerika, MoU biasanya dipersamakan dengan letter

of intent (LoI).34 Tujuan lembaga menggunakan MoU

adalah untuk menetapkan koordinasi. LoI vice versa

MoU, atau LoI sering dirujuk sebagai MoU dan

demikian sebaliknya MoU sering dirujuk sebagai LoI.

MoU vice versa LoI sebagai perjanjian pendahuluan

dan bukan sebagai suatu perjanjian yang formal

tercermin dalam pengertian dan karakteristik suatu

LoI, yaitu ”LoI is a document outlining an agreement

between two or more parties before the agreement

is finalized. The concept is similar to a heads of

agreement. Such agreements may be Asset Purchase

Agreements, Share Purchase Agreements, Joint-

Venture Agreements and overall all Agreements which

aim at closing a financially large deal. LoI is resemble

written contracts, but are usually not binding on the

parties in their entirety. Many LoI, however, contain

provisions that are binding, such as non disclosure

agreements, a covenant to negotiate in good faith,

or a “stand stil”l or “no-shop” provision promising

exclusive rights to negotiate. A LoI may sometimes

be interpreted by a court of law as binding the parties

to it, if it too closely resembles a formal contract.”35

Namun demikian, terdapat perbedaan yang sepesifik

antara MoU dan LoI, yaitu LoI menguraikan maksud

dari salah satu pihak kepada pihak lainnya sehubungan

dengan suatu perjanjian, dan dapat ditandatangani

hanya oleh pihak yang mempunyai maksud tersebut,

sementara MoU harus ditandatangani oleh semua

pihak agar menjadi sah sebagaimana halnya suatu

perjanjian.

Beberapa unsur yang terdapat dalam MoU adalah:

(1) MoU merupakan perjanjian pendahuluan; (2)

Materi muatan MoU merupakan hal-hal yang pokok;

(3) Materi muatan MoU akan dituangkan lebih lanjut

dalam perjanjian. Mengingat perjanjian (meskipun

MoU dikategorikan sebagai perjanjian pendahuluan)

berada dalam ranah Hukum Perdata, maka MoU

tunduk pada ketentuan perikatan sebagaimana diatur

dalam Buku Ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata). Artinya, syarat sahnya MoU

9

35 Dikutip http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012),

33 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), An example is the 2004 The Concordat between bodies inspecting, regulating and auditing health or social care is a "voluntary agreement between organisations that regulate, audit, inspect or review elements of health and healthcare in England". It is made up of 10 objectives designed to promote closer working between the signatories. Each objective is underpinned by a number of practices that focus developments on areas that will help to secure effective implementation. The term is often used in the context of devolution, for example the 1999 concordat between the central Department for Environment, Food and Rural Affairs and the Scottish Environment Directorate.

34 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), In private U.S. law, MoU is a common synonym for a letter of intent. One example is the MoU between Bush and Kerry for the 2004 debates iii.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 17: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian

sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata,

yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3)

suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang halal.

Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan

hukum dan melahirkan seperangkat hak dan

kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya

mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,36

mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak

yang membuatnya.37

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kekuatan

mengikat dan memaksa suatu MoU dapat ditinjau

dari dua hal, yaitu perjanjian dan perjanjian

pendahuluan.

Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian, maka

MoU mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa

yang sama dengan perjanjian, yaitu MoU yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi

para pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, MoU yang

telah dibuat secara sah memenuhi persyaratan sesuai

dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka MoU tersebut

mempunyai kekuatan mengikat dapat disamakan

dengan sebuah Undang-Undang yang memiliki

kekuatan mengikat dan memaksa atas muatan materi

dalam MoU. Apabila terjadi pelanggaran atau

kelalaian atas MoU dari salah satu pihak, maka upaya

hukum yang dapat dilakukan adalah pihak yang lain

dapat melakukan upaya Hukum Perdata atas dasar

wanprestasi.

Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian

pendahuluan, sebagai bukti awal suatu kesepakatan

dengan muatan materi hal-hal pokok, serta harus

diikuti oleh perjanjian lain, maka MoU mempunyai

kekuatan mengikat hanya sebatas moral, meskipun

pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan

dalam KUHPerdata. Dengan perkataan lain, MoU

merupakan gentlemen’s agreement berisi pernyataan

kesepakatan dari para pihak yang pelaksanaannya

didasarkan pada suatu itikad baik (good faith),

sebagaimana halnya suatu gentlemen’s agreement

is generally an unsigned and unforceable agreement

made between parties who expect its performance

because of good faith.38 Mengingat MoU merupakan

perjanjian pendahuluan dimana kesepakatan para

pihak hanya bersifat ikatan moral (moral obligation),

maka harus ditindaklanjuti dengan perjanjian agar

mengikat para pihak secara hukum. Apabila terjadi

pelanggaran atau kelalaian atas MoU dari salah satu

pihak, maka para pihak tidak dapat melakukan upaya

hukum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka NK Penanganan

Tipibank merupakan MoU yang disamakan dengan

perjanjian pendahuluan atau merupakan gentlemen’s

agreement yang hanya bersifat ikatan moral (moral

obligation), dengan dasar penyusunan perjanjian atas

dasar hasil permufakatan Bank Indonesia, Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik

Indonesia yang pelaksanaannya didasarkan pada

itikad baik (good faith). Hal ini sesuai dengan praemisi

NK Penanganan Tipibank bahwa NK dilaksanakan

sesuai dengan tugas dan wewenang para pihak

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Artinya pelaksanaan tugas dan wewenang

para pihak tetap berlandaskan pada peraturan

perundang-undangan bukan pada NK Penanganan

Tipibank. Dengan perkataan lain, NK Penanganan

Tipibank tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang para pihak.

Disamping itu untuk memperkuat bahwa NK

Penanganan Tipibank berbeda dengan perjanjian,

maka dapat ditinjau pula dari Pasal 31 ayat (1) Undang-

Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,

dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang

36 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 9.

37 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

10

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

38 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.686.

Page 18: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan

dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang

melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah

Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau

perseorangan warga Negara Indonesia.39 Artinya,

pengertian antara nota kesepahaman dibedakan

dengan perjanjian, karena disebutkannya keduanya

dalam satu klausul, sehingga bukan merupakan suatu

kesetaraan.

E. PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk

melakukan penyidikan, oleh karenanya

penanganan dugaan Tipibank memerlukan

koordinasi dengan lembaga lain antara lain

penegak hukum.

2. Koordinasi penanganan Tipibank ditetapkan dalam

suatu Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan

Kejaksaan Republik Indonesia.

3. Tujuan Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank

adalah untuk memperlancar, mempercepat, dan

mengoptimalkan penanganan tipibank.

4. Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank

merupakan suatu MoU dengan bentuk

gentlemen’s agreement yang pelaksanaannya

didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga

mempunyai kekuatan mengikat secara moral

(moral obligation).

5. Apabila terjadi pelanggaran atau kelalaian atas

NK Penanganan Tipibank, maka para pihak tidak

dapat melakukan upaya hukum.

11

39 Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi:“(1)Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam notakesepahaman atau

perjanjian yang melibatkan lembaganegara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembagaswasta Indonesia atau perseorangan warga negaraIndonesia.

(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asingditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebutdan/atau bahasa Inggris.”

Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi:

“Ayat (1)Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat olehpemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjekhukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.

Ayat (2)Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/ataubahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 19: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

12

DAFTAR PUSTAKA

1. BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN,

Jakarta, 1992.

2. Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995

4. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet.2, Alumni, Bandung, 1986

3. Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

5. N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008

6. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Prof. Dr. Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011,

7. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997,

8. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.

9. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.

10.Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan

11.UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Page 20: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

A. PENDAHULUAN

Dunia pebankan saat ini telah berkembang

sedemikian pesat, seiring dengan berkembangnya

bidang teknologi dan informasi. Perkembangan

teknologi informasi yang sangat pesat tersebut telah

mempengaruhi sebagian besar bangsa di dunia,

termasuk masyarakat Indonesia yaitu adanya

perubahan pola kehidupan yang terjadi hampir di

semua bidang, baik sosial, budaya, maupun bidang

politik dan ekonomi.

Pemanfaatan teknologi informasi yang berkembang

khususnya pada pengelolaan informasi dan transaksi

elektronik yang diakses melalui internet mempunyai

peranan penting dalam meningkatkan perdagangan

dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka

menghadapi perdagangan bebas. Saat ini dunia sudah

mengglobal, tidak ada lagi batas-batas negara dan

semuanya sudah serba transparan yang mempengaruhi

dunia perdagangan pada umumnya dan perbankan

pada khususnya. Dalam upaya meningkatkan

pelayanan global, bank dituntut untuk mengakomodasi

kebutuhan nasabah, baik berupa sarana maupun

prasarana yang memadai, dengan berbasiskan

perangkat teknologi.

Sejalan dengan berkembangnya industri perbankan

sebagian besar telah menggunakan teknologi

informasi dan media elektronik1 sebagai basis

layanannya. Teknologi informasi telah digunakan

13

ASPEK HUKUM TRANSAKSI BISNIS PADA INTERNET BANKING

Oleh : Prof. Dr Etty S.Suhardo, SH, MS *)

Abstrak

Pemanfaatan teknologi informasi dalam beberapa waktu terakhir sangat berkembang, khususnya pada pengelolaan

informasi dan transaksi elektronik yang diakses melalui internet, kondisi ini mempunyai peranan penting dalam

meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas.

Dalam perkembangnya industri perbankan sebagian besar telah menggunakan teknologi informasi dan media elektronik

sebagai basis layanannya. Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah bank, pelayanan internet banking

memberikan pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri ( ATM) dan Short Message Service (SMS) Banking. Dalam kaitan

hal ini perlu diperhatikan aspek hukum dari transaksi transaksi pada internet banking, SMS maupun ATM.

Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan perjanjian yang dilakukan pada internet banking. Perjanjian tersebut

dituangkan ke dalam kontrak elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE Ps.18 (1) ), dengan demikian seperti yang

diatur pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Keabsahan pada transaksi Internet Banking terletak pada Informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE)

*) Prof.Dr.Etty S.Suhardo, SH.MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum UNDIP

1 Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah merubah total sistem perbankan konvensional, pada sistem ini selalu diikuti dengan dokumen pada kertas tertentu disertai tanda tangan, dalam perkembangannya pada transaksi elektronik, dokumen tanpa kertas dan pesan-pesan elektronik dianggap sebagai dasar untuk keabsahan suatu transaksi perbankan, hal ini telah berlaku sebagai suatu kebiasaan.

Page 21: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

sebagai salah satu pelayanan dari Bank, yang

menyediakan fasilitas bagi nasabah pengguna, berupa

tabungan, simpanan, dan fasilitas lain yang disediakan

sebagai sarana yang saling menguntungkan bagi

pengguna fasilitas perbankan maupun bagi bank itu

sendiri.

Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah

bank, pelayanan internet banking memberikan

pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

dan Short Message Service (SMS) Banking. Interaksi

melalui teknologi tidak lagi secara fisikal sebagaimana

yang telah dilakukan selama ini, namun interaksi

tersebut dilakukan secara virtual yaitu bertransaksi

pada dunia maya (cyberspace) yang berkolaborasi

pada media komputer untuk mengakses data melalui

internet2.

Electronic Banking (e-banking) memberikan layanan

melalui Internet, sehingga istilah yang digunakan

adalah Internet Banking yaitu sebagai media alternatif

yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi

nasabah suatu bank hal ini menjadi solusi yang cukup

efektif, yang tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan

yang dimiliki oleh internet itu sendiri, dimana

seseorang ketika ingin melakukan transaksi melalui

layanan i-banking, dapat melakukannya dimana dan

kapan saja.

Tujuan dari suatu bank dalam memperluas layanan

jasanya melalui internet banking, antara lain3:

1. Produk-produk yang lebih kompleks dari bank

dapat ditawarkan dalam kualitas yang sama

dengan biaya yang murah dan potensi nasabah

yang lebih besar;

2. Dapat melakukan hubungan di setiap tempat dan

dimana saja, baik pada waktu siang dan malam.

Tujuan lain diantaranya untuk mempermudah para

pebisnis dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis

sehingga lebih efektif dan efisien, karena dapat diakses

secara mudah dan cepat.

Perkembangan teknologi perbankan pada internet

banking membuat pihak bank harus memperhatikan

aspek perlindungan nasabah khususnya keamanan

yang berhubungan dengan privasi nasabah. Keamanan

layanan online ada empat, yaitu: - keamanan koneksi

nasabah, - keamanan data transaksi, keamanan

koneksi server, dan - keamanan jaringan sistem

informasi dari server. Selain itu aspek penyampaian

informasi produk perbankan sebaiknya disampaikan

secara proporsional, artinya bank tidak hanya

menginformasikan keunggulan atau kekhasan

produknya saja, tapi juga sistem keamanan

penggunaan produk yang ditawarkan.

Saat ini msih banyak nasabah yang kurang yakin

untuk menggunakan i-banking dengan berbagai

alasan, karena masyarakat belum memahami apa dan

bagaimana i-banking. Tidak percaya pada kapasitas

jaringan internetnya, jika banyak pihak yang mengakses

pada bank yang sama dalam waktu yang bersamaan,

maka dimungkinkan akan bermasalah.

Keadaan tersebut sangat mempengaruhi nasabah

bank yang tidak yakin untuk melakukan transaksi

elektronik, khususnya yang berhubungan dengan

simpanan uangnya di kas bank, kekhawatirannya

adalah salah tekan tombol, sehingga uangnya

menghilang dari rekening Bank.

Nasabah bank sebagai pengguna i-banking, walaupun

belum semua nasabah memahami tentang rangkaian

kegiatan yang dilakukan, akan tetapi untuk nasabah

tertentu karena kebutuhan akan praktis dan efisiennya

penggunaan i-banking, maka para nasabah pengguna

i-banking tetap menggunakan i-banking dalam

bertransaksi.

Pada transaksi perbankan pada umumnya secara riil

selalu ada dokumen-dokumen disertai tanda tangan

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

2 Etty Susilowati Suhardo, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008, hal. 2.

3 Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce

Page 22: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

petugas Bank dan nasabah yang bersangkutan serta

cap dari Bank, sedangkan pada i-banking hanya ada

dokumen-dokumen tanpa kertas (paperless) serta

pesan-pesan elektronik saja, tanpa ada tanda tangan,

tanpa cap lembaga bank, untuk itu kita akan melihat

bagaimana aspek hukum transaksi elektronik pada

Internet Banking, khususnya meninjau dari segi hukum

keabsahan transaksi elektronik tersebut.

B. Transaksi Electronic Commerce dan Internet

Banking

Transaksi bisnis senantiasa membutuhkan media bank

yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur

dana masyarakat, serta jasa-jasa Bank lainnya.

Pada perkembangannya bidang perbankan telah

menerapkan dan memanfaatkan media elektronik,

khususnya di dalam memberikan layanan kepada

masyarakat luas, yaitu transaksi elektronik berupa

layanan internet banking. Para pelaku bisnis

bertransaksi untuk melakukan penawaran dan

permintaannya melalui perangkat lunak yang tersedia

sehingga dapat bertransaksi di dunia maya.

Transaksi bisnis melalui e-commerce merupakan

kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen

(consumers), manufaktur (manufactures), services

providers dan pedagang perantara (intermediateries)

dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer

yaitu internet4. Pengertian e-commerce adalah

pembelian dan penjualan barang dan jasa konsumen

melalui online di internet. Model transaksi seperti ini

dikenal dengan istilah transaksi e-commerce.

Istilah e-commerce menurut ECEG (Electronic

Commerce Expert Group)

Electronic Commerce is a broad concept that covers

any commercial transaction that is effected via

electronic means and would include such means as

faxcimile, telex, EDI, internet and the telephone5.

Pengertian transaksi electronik adalah:

A transaction formed by electronic messages in which

of one or both parties will not be ret be reviewed by

an individual as an expected step in forming a

contract6.

Pada Undang-Undang Informasi dan Teknologi No.

11 Tahun 2008, Pasal 1 point 1 pengertian informasi

elektronik sebagai berikut:

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan

data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronic

(electronic mail), telegram, teleks, atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, kode, akses, simbol, atau perforasi

yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pengertian yang dikemukakan oleh ECEG Australia,

e-commerce adalah transaksi perdagangan melalui

media internet, juga meliputi media elektronik lainnya

seperti facsimile, EDI dan telepon. Pengertian ini

mempunyai makna bahwa e-commerce pada suatu

transaksi perdagangan dapat dilakukan melalui

internet, hal ini seperti yang dikemukakan oleh UU

Informasi dan Teknologi No. 11 Tahun 2008, tentang

Informasi Elektronik meliputi semua data elektronik,

yang dikemukakan secara luas, sedang menurut ECEG

lebih singkat, akan tetapi mempunyai makna yang

sama.

Pemahaman informasi elektronik menurut penulis

lebih tepat seperti yang dikemukakan oleh UU ITE

Pasal 1 point 1, hanya perlu ditambahkan bahwa

untuk mengakomodasi perkembangan teknologi

secara luas hendaknya disebutkan uraian jenis

teknologi yang digunakan, sehingga mempunyai

makna yang cukup luas, utamanya supaya hukum

dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi,

walaupun demikian jenis informasinya tetap harus

disebutkan untuk mendapatkan kepastian hukum.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

4 Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005 hal. 10.

5 http: //www. Law.gov.au/aghome/advisory/eceg/single.htm diakses 10 Oktober 2011.

15

6 Ibid, 1999, page 530.

Page 23: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa rangkaian kegiatan bisnis dapat

dilakukan melalui transaksi elektronik, walaupun

sama sekali tidak menyebutkan tentang “program

komputer”, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan

apakah rangkaian kegiatan tersebut termasuk dalam

pengertian informasi elektronik.

Menurut Undang-Undang Hak Cipta No.19 Tahun

2002, program komputer termasuk pada Hak cipta

atas ciptaan (Pasal 30), secara harfiah yang dimaksud

dengan hak cipta atas komputer adalah : “suatu

program yang dibuat untuk tujuan tertentu sesuai

dengan program yang dikehendaki, sehingga

memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu”.

Pada UU ITE rumusan tentang Informasi Elektronik

yang diakses melalui komputer termasuk program

komputer merupakan sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronic (electronic mail),

telegram, teleks, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

kode, akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah,

hal ini akan mempunyai makna yang multitafsir,

apakah juga termasuk program komputer. Menurut

penulis program komputer termasuk juga disini,

walaupun diciptakan khusus untuk program tertentu,

hal ini mempunyai makna yang cukup luas sehingga

memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu.

Ruang lingkup e-commerce meliputi tiga aspek, yaitu:

1. bussines to bussines (sistem komunikasi bisnis

antara para pelaku bisnis).

2. bussines to consumer (sistem komunikasi antara

pebisnis dengan konsumen)

3. consumer to consumer (sistem komunikasi antar

konsumen).

Dari ke tiga ruang lingkup e-commerce tersebut,

e-banking termasuk pada lingkup sistem komunikasi

antara pelaku bisnis dan sistem komunikasi antara

pebisnis dan konsumen. Karakteristik antara para

pelaku bisnis pada e-banking mempunyai ciri-ciri

umum sebagai berikut:

- Trading partners berkomunikasi tentang bisnis

dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.

- Pertukaran yang dilakukan berulang-ulang dan

berkala, dengan format data yang telah disepakati,

menggunakan system dan standar yang sama,

- Para pelaku bisnis tidak harus menunggu partners

untuk mengirimkan data,

- Model yang digunakan adalah peer to peer dimana

processing intelegence dapat didistribusikan pada

kedua pelaku bisnis7.

Karakteristik dari para pelaku bisnis kepada konsumen

dengan sistem e-banking diantaranya mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

- Informasi terbuka untuk umum

- service yang diberikan bersifat umum, sehingga

mekanisme dapat digunakan oleh umum,

- service diberikan atas dasar permintaan konsumen,

yang telah disediakan oleh jasa-jasa Bank

- pendekatan dilakukan client-server, pihak

konsumen sebagai klien menggunakan sistem

yang minimal (berbasis web) dan penyedia barang

atau jasa (bussines procedure) berada pada pihak

server,

Peran strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan

i-banking sebagai sarana yang memadai dalam

transaksi bisnis untuk mengakomodasi kebutuhan

para nasabah bank, sebagian besar bank saat ini

mengandalkan teknologi informasi dan media

elektronik sebagai basis layanannya. Masyarakat pada

umumnya dan pebisnis pada khususnya merasa lebih

aman setelah terbitnya Undang-Undang No. 11 Tahun

2008, tentang Informasi dan transaksi elektronik,

walaupun masih minim yang mengatur tentang

bisnis, akan tetapi ketentuan ini setidaknya dapat

melengkapi Undang-Undang Perbankan, sehingga

dapat melindungi masyarakat yang menggunakan

e-commerce dalam rangka kepastian hukum yang

sangat dibutuhkan pada transaksi bisnis.

7 Dianalisis dari Onno W Purbo, Aang Arif Wahyudi Mengenal E-Commerce, 2001 PT. Elax Media Komputerindo, Jakarta. 2001 hal. 5 - 7.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

16

Page 24: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Pihak perbankan saat ini telah berlomba-lomba untuk

memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabahnya

dan bahkan tidak menutup kemungkinan dengan

internet banking, keuntungan (profits) dan pembagian

pasar (marketshares) akan semakin besar dan luas,

disamping keuntungan tersebut internet banking

memiliki beberapa kelemahan yang ditandai dengan

banyaknya modus kejahatan yang dilakukan oleh

orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dalam

hal ini pihak perbankan seringkali tidak dapat

mengatasi secara cepat, walaupun sudah merugikan

pihak nasabah Bank.

C. Aspek Hukum Transaksi Bisnis pada Internet

Banking,

1. Perjanjian Dasar pada Internet Banking

Perjanjian antara bank dengan nasabah, dapat

dilihat dari formulir yang dibuat oleh pihak Bank

dan diisi oleh nasabah pengguna, selanjutnya

ditanda tangani sebagai tanda setuju atas syarat-

syarat yang dikemukakan oleh pihak bank.

Kesepakatan yang tercantum pada isi formulir

pendaftaran ditentukan bahwa bank menerima

dan menjalankan setiap instruksi dari nasabah

sebagai instruksi yang sah berdasarkan

penggunaan user ID dan PIN.

Perjanjian dasar pada Internet Banking senantiasa

mengacu pada Pasal 1338 KUH Pdt, Pasal 1313

KUH Pdt dan 1320 KUH Pdt. Bank tidak

mempunyai kewajiban untuk meneliti atau

menyelidiki keaslian maupun keabsahan atau

kewenangan pengguna user ID dan PIN atau

menilai maupun membuktikan sebaliknya. Untuk

melakukan instruksi transaksi finansial nasabah

harus memasukkan PIN sebagai tanda persetujuan.

Instruksi tersebut bersifat sah dan mengikat

nasabah pada saat transmisi diterima oleh pihak

bank, walaupun pelaksanaannya baru terjadi

pada saat bank telah mendapat konfirmasi dari

nasabah mengenai instruksi transaksi yang ingin

dilakukan.

Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut

merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai

dasar kesepakatan para pihak, sedangkan

perjanjian itu sendiri menjadi tolok ukur untuk

menentukan sejauh mana kewenangan dan

tanggung jawab para pihak. yaitu hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

Pada layanan Internet Banking, perjanjian antara

pihak bank dengan nasabah tidak berbeda dengan

perjanjian pada umumnya. Pihak bank telah

membuat syarat dan ketentuan yang dibakukan

pada suatu formulir perjanjian (dalam hal ini

termasuk syarat dan ketentuan yang terdapat

dalam screen ATM dari bank yang bersangkutan

dan situs internet bank yang bersangkutan) untuk

disetujui oleh nasabah, hampir tidak memberikan

kebebasan kepada pihak nasabah untuk

melakukan negosiasi atas syarat dan ketentuan

tersebut, dalam hal ini take it or leave it bagi

pengguna i-banking, karena Bank lain yang

menawarkan hal yang sama masih banyak, tinggal

pilih yang sesuai dengan keinginannya.

Bagi nasabah yang sudah setuju dengan syarat

dan ketentuan tersebut secara sukarela telah

mengikatkan diri, maka dianggap bahwa nasabah

telah melakukan kesepakatan dengan pihak bank.

Konfirmasi dari nasabah dalam melakukan

transaksi pada i-Banking adalah ketika nasabah

menekan tombol "kirim". Untuk itu nasabah tidak

dapat membatalkan semua transaksi yang telah

diinstruksikan kepada bank, kecuali instruksi

tersebut dibatalkan oleh nasabah dengan menekan

tombol "batal" sebelum nasabah menekan tombol

"kirim".

Pasal 1320 KUH Perdata tentang sah nya perjanjian

sebenarnya tidak mempermasalahkan media yang

digunakan dalam transaksi, dengan kata lain Pasal

1320 KUH Perdata tidak mensyaratkan bentuk

dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi,

dengan demikian dapat saja dilakukan secara

langsung oleh para pihak maupun secara elektronik.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

17

Page 25: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Pada asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH

Perdt, para pihak dapat dengan bebas menentukan

dan membuat suatu perjanjian yang dilakukan

dengan itikad baik, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.

Ditinjau dari Undang-Undang tentang Dokumen

Perusahaan dalam, melaksanakan kegiatan

transaksi bisnis dapat dilakukan dengan corak

apapun seperti yang tersirat pada Pasal 1 angka

2 Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan yang menyebutkan bahwa:

“Data, catatan, dan/atau keterangan yang dibuat

atau diterima oleh perusahaan dalam rangka

pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas

kertas atau sarana lain maupun terekam dalam

bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca

atau didengar”.

Pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-undang

tersebut dinyatakan bahwa:

a) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam

mikrofilm atau media lainnya.

b) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam

mikrofilm atau media lainnya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sejak

dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh

perusahaan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan tersebut dan dikaitkan

dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUH

Pdt maka transaksi melalui media elektronik

adalah sah menurut hukum, demikian juga pada

Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan

yang menyebutkan dapat dialihkan pada dokumen

lainnya.

Pada perjanjian internet banking, disebutkan

mengenai persyaratan nasabah untuk menggunakan

fasilitas internet banking yang ditawarkan oleh

bank tersebut. Adapun persyaratan tersebut berupa:

a. Setiap nasabah yang menyimpan dana di bank

dan mempunyai kartu yang dapat digunakan

untuk melakukan transaksi perbankan di ATM,

berhak untuk menikmati fasilitas Internet

Banking.

b. Untuk dapat menggunakan fasilitas Internet

Banking tersebut, nasabah harus memiliki

identitas pengguna Internet Banking (user ID)

dan Personal Identification Number (PIN) yang

diperoleh pada saat nasabah melakukan

registrasi di mesin ATM tersebut.

c. User ID yang diberikan pihak bank bersifat

permanen dan tidak dapat diubah kecuali

nasabah mengganti kartu yang dapat digunakan

untuk melakukan transaksi perbankan di ATM

karena rusak atau hilang. Sehingga pihak yang

dapat menggunakan fasilitas Internet Banking

yang ditawarkan pihak bank penyedia layanan

Internet Banking tersebut hanya nasabah bank

yang bersangkutan saja. Untuk itu nasabah

tersebut harus tunduk pada ketentuan-

ketentuan yang telah disepakati bersama

dengan pihak bank8.

Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut

merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai

landasan atau dasar, sedangkan perjanjian itu

sendiri menjadi tolok ukur untuk menentukan

sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab

masing-masing pihak.

Pada layanan Internet Banking, nasabah dan bank

yang setuju dan sepakat menggunakan layanannya

harus mematuhi syarat dan ketentuan yang telah

ditetapkan dalam perjanjian, karena syarat dan

ketentuan tersebut bersifat mengikat dan sah

demi hukum. Dalam hal salah satu pihak di dalam

perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak

lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan

pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur

hukum yang berlaku.

Perjanjian Internet Banking dibuat dalam bentuk

formulir-formulir yang telah dibakukan secara

8 http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit. Diakses Tanggal 21 Oktober 2011,

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

18

Page 26: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

cermat dan rinci. Dalam perjanjian Internet

Banking, isinya direncanakan terlebih dahulu oleh

pihak bank. Nasabah tinggal menyetujuinya saja

apabila nasabah bersedia menerima aturan atau

ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan

serta yang ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh bank.

Setelah formulir diisi oleh nasabah tersebut,

selanjutnya hanya tinggal memilih untuk

menerima atau menolak menggunakan jasa

internet banking di bank tersebut. Nasabah tidak

mempunyai kewenangan untuk mengajukan

syarat-syarat yang diinginkannya, perjanjian baku

yang sifatnya “take it or leave it”9. tanpa ada

negosiasi sebelumnya. Perjanjian yang demikian

itu dinamakan perjanjian standar atau perjanjian

baku10.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya telah

dibakukan dan dituangkan dalam suatu bentuk

formulir. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian

baku adalah suatu perjanjian yang berlaku dan

akan mengikat antara pihak yang saling

berkepentingan dan yang isinya dituangkan dalam

suatu bentuk tertentu yang dijadikan tolak ukur

oleh pihak yang satu tanpa membicarakan isinya

terlebih dahulu.

Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1

point 10 Undang -Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam

suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Yang

dibakukan dalam perjanjian tersebut adalah

klausul-klausulnya bukan perjanjiannya”.

Kedudukan nasabah disini sangat lemah sehingga

ia menerima saja aturan dan syarat-syarat yang

disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak

demikian tidak akan mendapatkan pelayanan jasa

Internet Banking. Hal ini menunjukkan ketidak

seimbangan antara pihak bank dengan pihak

nasabah di dalam membuat perjanjian dahulu

dengan pihak yang lain, tetapi para pihak dianggap

telah menyetujuinya.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

maka perjanjian dengan klausula baku telah

dilarang. Larangan membuat atau mencantumkan

klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian diatur dalam Pasal 18 ayat (1), berupa:

a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab

pelaku usaha.

b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak

menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen.

c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak

menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

dibeli konsumen.

d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen

kepada pelaku usaha baik secara langsung

maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya

kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang

dibeli oleh konsumen.

f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi

harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek

jual beli jasa.

g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada

peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan

lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen memanfaatkan

jasa yang dibelinya.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

19

9 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 53.

10 Ibid 2001

Page 27: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa

kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak

tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen

secara angsuran.

Pasal 18 ayat (2)

“pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula

baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat,

atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti”.

Pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa:

“setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh

pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi

hukum”.

Diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen,

memberikan pemahaman bahwa perjanjian

dengan klausula baku telah dilarang khususnya

tentang segala sesuatu yang pengungkapannya

sulit dimengerti dan apabila dilakukan maka

perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum

(Pasal 18 ayat (3). Hal Ini merupakan penegasan

kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang

diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yo Pasal

1337 KUH Perdata. Artinya perjanjian yang

memuat klausula baku dilarang oleh Pasal 18

ayat (1) atau yang memiliki format seperti ayat

(2), UUPK No. 8 Tahun 1999 dianggap tidak

pernah ada dan mengikat para pihak.

Pada kenyataannya perjanjian ini masih

dipergunakan oleh dunia usaha, bahkan telah

menjadi kebiasaan bisnis termasuk dalam perjanjian

Internet Banking, walaupun larangan yang sulit

dipahami oleh konsumen sebagai klausula baku

tidak ditaati oleh pihak pembuat perjanjian yang

tentunya ada pada pihak yang lebih kuat. Untuk

itu eksistensi perjanjian baku masih tetap eksis

karena cukup praktis dan masih tetap dibutuhkan

pada dunia usaha, walaupun demikian diperlukan

batasan-batasan tertentu sehingga adanya

keseimbangan bagi para pihak yang terkait.

Pada perjanjian Internet Banking antara bank

dengan nasabah banyak ditemukan syarat-syarat

baku yang sangat merugikan kepentingan nasabah

tersebut. Perjanjian dengan syarat-syarat baku

yang telah memuat syarat-syarat yang membatasi

kewajiban kreditur. Syarat ini dinamakan eksonerasi

klausul, hal ini berarti tanggung jawab salah satu

pihak yang dibatasi.

Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan

oleh peraturan perundang-undangan dihapus

terhadap penyusun perjanjian dengan syarat-

syarat eksonerasi11. Hal ini dapat ditemui dalam

perjanjian Internet Banking berupa:

(1)Bank tidak bertanggung jawab terhadap

segala akibat apapun yang timbul karena

ketidaklengkapan, ketidakjelasan data atau

ketidaktepatan instruksi dari nasabah.

Sehingga ini menjadi tanggung jawab nasabah

yang melakukan transaksi Internet Banking

itu sendiri.

(2)Bank tidak bertanggung jawab atas segaia

kegagalan pengiriman informasi ke alamat

e-mail nasabah yang terjadi bukan karena

kesalahan atau kelalaian Bank.

(3)Bank tidak berkewajiban untuk menyimpan

dan/atau mengirimkan ulang informasi yang

gagal dikirim ke alamat e-mail nasabah.

Bank dapat mengelak atas semua tanggung

jawab, sekiranya Bank dapat membuktikan bahwa

kesalahan bukan pada pihak Bank, sehingga

nasabah harus menanggung semua transaksi atas

kasalahannya.

Hubungan kontraktual antara bank dengan

nasabah merupakan suatu bentuk kontrak

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

20

11 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta : Daya Widya,1999 ,hal. 104

Page 28: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

campuran, yaitu disatu pihak terjadi kontrak pada

sisi lain memperlihatkan ciri-ciri perjanjian

pemberian kuasa (lastgeving), sebagaimana diatur

dalam Pasal 1792 KUH Perdata. Hal ini tercantum

dalam perjanjian Internet Banking, bahwa nasabah

memberikan kuasa kepada bank untuk mendebet

rekening nasabah sesuai dengan transaksi yang

diinstruksikan nasabah dan untuk pembayaran

biaya atas transaksi. Pemberian kuasa oleh

nasabah ini tidak akan berakhir selama nasabah

masih memiliki kewajiban terhadap bank.12

Pemberian kuasa yang diberikan oleh nasabah

kepada Bank sesuai dengan kuasa yang diberikan

kepada Bank, sehingga diberlakukan Pasal-Pasal

1792 sampai dengan Pasal 1819 KuH Pdt, tentang

pemberian kuasa.

Perjanjian antara Bank dan nasabah pengguna

internet Banking akan berakhir sesuai dengan

perjanjian yang dilakukan, seperti juga yang diatur

pada Pasal 1381 KUH Perdata, Perikatan hapus

karena adanya: 1. pembayaran, 2. penawaran

pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan

atau penitipan, 3. pembaharuan utang, 4.

perjumpaan utang atau kompensasi, 5.

pencampuran utang; 6. pembebasan utang; 7.

musnahnya barang yang terutang, 8. kebatalan

atau pembatalan, 9. berlakunya suatu syarat

pembatalan dan 10. karena kadaluwarsa.

Berakhirnya perjanjian antara bank dan nasabah

pengguna internet banking menunjukkan bahwa

tidak ada lagi hubungan hukum diantara

keduanya. Nasabah akan mengakhiri penggunaan

kartu ATM dan menutup semua rekening yang

terhubung pada kartu ATM yang disediakan oleh

layanan internet Banking, maka e-mail yang

diterima oleh nasabah berakhir satu bulan setelah

layanan internet banking berakhir.

2. Keabsahan Perjanjian pada Transaksi Internet

Banking

Transaksi bisnis secara on line yang menggunakan

internet banking secara yuridis maupun ekonomis

sebenarnya sangat riskan, terlalu banyak risiko

yang timbul, baik bagi lembaga perbankan

maupun bagi nasabah bank, utamanya hal ini

ketika belum diberlakukannya UU ITE No. 11

Tahun 2008 yaitu tentang validitas keabsahan

dari pesan elektronik sebagai alat bukti seperti

yang dimaksud oleh Buku ke IV BW dan HIR/Rbg.

Alat bukti mempunyai peran yang sangat sentral

dalam memberikan keamanan dan sarana

perlindungan pada transaksi elektronik.

Pesan elektronik digunakan pada transaksi

elektronik berupa “massage” yang dikirim dan

langsung ada yang menerima, maka validitasnya

dianggap sah menurut hukum apabila electronic

massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak

ada yang mengubah substansinya, sehingga

penerima akan percaya penuh atas massage yang

dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat

berupa data elektronik, pesan electronik (electronic

massage) dan rekam elektronic (electronic record).

Electronic Massage yang dikirim dan diterima oleh

pihak lain maksudnya adalah merupakan data

yang diakses, dan digunakan dalam ruang lingkup

komersial perdagangan, sepanjang sudah ada

kata penerimaan oleh pihak penerima massage

(yang diajukan oleh pihak pengirim), maka sudah

terjadi kata sepakat, sehingga informasi elektronik

sudah dianggap sah. Pada UU ITE terdapat pada

Pasal 6, diantaranya dikatakan bahwa:

“........informasi elektronik dan/atau Dokumen

elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang

tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan,

dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung-

jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”.

Pelayanan jasa internet bagi nasabah Bank

memberikan layanan perbankan yang dapat12 Ibid hal. 126

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 29: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

diakses secara langsung sesuai kebutuhan,

sehingga memudahkan dalam melakukan transaksi

di segala bidang. Aktivitas pelayanan jasa internet

diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor

6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen

Risiko, yang dimaksud dengan Internet banking

adalah:

“Salah satu pelayanan jasa bank yang akan

memungkinkan nasabah untuk memperoleh

informasi, melakukan komunikasi dan melakukan

transaksi perbankan melalui jaringan internet dan

bukan merupakan bank yang menyelenggarakan

layanan perbankan melalui internet, sehingga

pendirian dan kegiatan Internet Online Bank tidak

diperkenankan.”

Layanan yang diberikan internet banking kepada

nasabah berupa transaksi pembayaran tagihan,

informasi rekening, pemindah bukuan antar

rekening, informasi terbaru mengenai suku bunga

dan nilai tukar valuta asing, administrasi mengenai

perubahan Personal Identification Number (PIN),

alamat rekening atau kartu, data pribadi dan lain-

lain, terkecuali pengambilan uang atau penyetoran

uang, karena pengambilan yang masih memerlukan

layanan ATM dan penyetoran uang masih

memerlukan bantuan bank cabang lainnya13.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004

tentang Penerapan Manajemen Risiko Pasal 1,

menyebutkan bahwa:

“Internet banking merupakan suatu pemanfaatan

media internet oleh bank untuk mempromosikan

dan sekaligus melakukan transaksi secara online,

baik produk yang sifatnya komersial maupun yang

baru. Internet banking merupakan salah satu

pelayanan perbankan tanpa cabang, yaitu berupa

fasilitas yang akan memudahkan nasabah untuk

melakukan transaksi perbankan tanpa perlu datang

ke kantor cabang”.

Ditinjau dari segi perbankan pemanfaatan layanan

internet banking menjadikan lembaga perbankan

tidak lagi memerlukan pengembangan kantor

baru atau wilayah layanan baru, dimana biaya

yang diperlukan sangat besar. Persepsi ini

didukung semata-mata karena adanya inovasi

pada perusahaan yang memungkinkan

berinteraksinya secara lebih baik dan sekaligus

dapat mempromosikan layanannya sendiri14.

Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum

yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE), apabila ditinjau

dari Hukum Pembuktian Perdata berarti bahwa

essensi perdagangan pada e-commerce terletak

pada informasi elektronik dan electronic signature

sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan

electronic signature (termasuk digital signature)

sama dengan tanda tangan biasa karena belum

ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu

dengan menggunakan tinta berbasis kertas,

Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya

adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian

suatu akta, dokumen atau surat.

Pada perjanjian yang dilakukan pada e-commerce

dikatakan bahwa transaksi Elektronik yang

dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat

para pihak (UU ITE Pasal 18 (1)), dengan demikian

seperti yang diatur pada Pasal 1313 KUH Pdt

bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian tersebut “Sah” apabila memenuhi syarat

seperti yang tercantum pada Pasal 1320 KUH Pdt,

yaitu:

1. Syarat subyektif yang meliputi kata sepakat

dan cakap bertindak,

2. Syarat obyektif berisi hal tertentu dan kausa

yang halal,

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

13 Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001, hal. 85.

14 Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. hal. 15.

Page 30: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Pada sahnya suatu perjanjian apabila diterapkan

pada transaksi e-commerce,

1. Kesepakatan dapat terjadi bilamana masing-

masing pihak (pengirim dan penerima data)

melakukan pernyataan kehendaknya atas

penawaran dan penerimaan yang akan

menimbulkan hubungan hukum, walaupun

kedua orang yang bertransaksi tersebut tidak

saling bertemu muka.

2. Cakap bertindak untuk bertransaksi, pada Pasal

1329 KUH Pdt disebutkan bahwa setiap orang

cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika

ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak

cakap. Pada transaksi e-commerce syarat ini

harus dipenuhi, walaupun masing-masing tidak

saling bertatap muka.

3. Hal tertentu diatur pada Pasal 1333 KUH Pdt,

Suatu perjanjian mempunyai sebagai pokok,

suatu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa

jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu

terkemukakan dapat ditentukan atau dihitung.

Pada transaksi e-commerce, obyek hukum yang

ditawarkan harus ada dalam arti jelas dan riil

apa yang menjadi obyek hukum perjanjian.

4. Sebab yang halal, tentu saja pada transaksi

e-commerce tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang dan kepentingan umum.

Esensi kontrak sebagai suatu perjanjian selalu

harus memenuhi empat syarat tersebut diatas,

selanjutnya mengikat para pihak. Demikian juga

pada e-commerce, kontrak tersebut mengikat dan

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak,

dalam pelaksanaannya harus tetap dibatasi oleh

itikad baik, sebelum, selama ataupun berakhirnya

suatu kontrak. Apapun bentuk dan media dari

kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat

para pihak karena perikatan tersebut merupakan

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(Pasal 1338 ayat (1)).

Pada setiap kontrak senantiasa dibubuhi tanda tangan

para pihak.Tanda tangan tersebut menunjukkan

kesepakatan para pihak dan berfungsi sebagai

pengakuan dan penerimaan atas isi informasi

elektronik, bukan bagian dari substansi/transaksi

dari suatu kontrak, hanya sebagai bagian dari bentuk

transaksi. Untuk e-commerce hal ini berlaku juga

yaitu berupa digital signature sebagai sandi dari

informasi elektronik (kriptografi). Pesan/tanda

elektronik dalam transaski elektronik diamankan

dengan proses enkripsi, sehingga data/pesan tersebut

disamarkan dan tidak terbaca oleh pihak lain, hanya

akan terbaca melalui proses deskripsie.

Pada transaksi e-commerce digital signature tidak

berbasis kertas, digital elektronic tidak dapat

dipalsukan, sehingga dapat menjamin keaslian serta

mencerminkan keutuhan data yang dikirim oleh

pengirim kepada penerima.

Ditinjau dari Pasal 164 HIR (Ps. 283 Rbg) dan Pasal

1866 KUH Pdt, alat bukti yang dapat dihadirkan

sebagai alat bukti di Pengadilan, diantaranya pada:

1. alat bukti tertulis, 2. bukti dengan saksi, 3.

persangkaan-persangkaan, 4. pengakuan, dan 5.

sumpah. Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dinyatakan

bahwa yang termasuk dalam katagori alat bukti

adalah: 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3.

surat, 4.petunjuk, 5. keterangan terdakwa.

Pasal-Pasal yang menyangkut alat bukti diatas

memperlihatkan bahwa digital signature tidak ada

pada katagori tersebut, hal ini akan sulit apabila ada

sengketa antara pengirim dan penerima pesan/data,

sehingga keberadaan digital signature sebagai alat

bukti secara hukum masih ambivalensi untuk suatu

kebenaran tanda tangan elektronik.

Ditinjau dari UU ITE No. 11 Tahun 2008, diharapkan

mampu mengakomodir penggunaan tanda tangan

digital sebagai alat bukti di Pengadilan, khususnya

seperti yang tercantum pada Pasal 11 dan 12 UU ITE

dengan kriteria dan persyaratan serta pengecualian

tertentu. Pasal 11 ayat (2) UU ITE, dinyatakan bahwa:

“Ketentuan lebih lanjut tentang tanda tangan

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Hanya saja sampai pada saat ini belum ada Peraturan

yang secara spesifik mengatur tentang tanda tangan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

23

Page 31: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

digital sepertii yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat

(2)’ sehingga belum dapat meyakinkan para pihak

pada penggunaan tanda tangan digital tersebut,

walaupun demikian sampai saat ini tetap digunakan

dalam pelaksanaan transaksi bisnis secara on line,

bahkan saat ini semakin marak bisnis on line tersebut,

selain cukup praktis juga saling menguntungkan.

Pada perjanjian internet banking telah ditentukan

layanannya akan berakhir jika nasabah mengakhiri

penggunaan kartu ATM dan menutup semua rekening

yang terhubung di kartu ATM pada bank penyedia

layanan Internet Banking tersebut. Selain itu, dengan

berakhirnya layanan Internet Banking, maka e-mail

yang diterima oleh nasabah akan berakhir satu bulan

setelah layanan internet banking berakhir.

Hubungan hukum antara bank dan nasabah terdapat

pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, sejak tahun 2001 aspek

pengaturan perbankan diperluas dengan aspek

perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai

konsumen pengguna jasa bank. Undang-Undang

perlindungan konsumen diberlakukan guna melakukan

perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, khususnya

untuk kepentingan para pengguna jasa perbankan.

Fasilitas Internet Banking yang dihadirkan oleh suatu

bank mempunyai tanggung jawab yang harus

dipenuhi bank. Tanggung jawab maksudnya disini

adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib

memenuhi standar keamanan dan kenyamanan

dalam pemberian layanan kepada nasabah pengguna

fasilitas Internet Banking.

Tanggung jawab di dalam jasa perbankan yang berupa

Internet Banking dapat dilihat dari Undang-Undang

No. 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,

dari segi standar keamanan dan kenyamanan dalam

pemberian layanan kepada nasabah pengguna

fasilitas Internet Banking. Bank mempunyai beberapa

tanggung jawab yang harus dijalankannya.

Kegagalan terhadap pelaksanaan tanggung jawab

dapat memberikan akibat dan berpengaruh terhadap

kredibilitas bank sebagai pemberi layanan. Tanggung

jawab yang harus dipenuhi oleh bank sebagai pemberi

layanan Internet Banking antara lain:

1. Pengamanan terhadap data-data nasabah

Pengamanan ini bertujuan untuk menghindari

penggunaan data nasabah oleh pihak yang tidak

bertanggung jawab dengan melakukan kegiatan

yang diluar wewenang, terutama melakukan

transaksi finansial tanpa sepengetahuan nasabah

pemilik data.

2. Bank bertanggung jawab terhadap setiap

pemberian perintah dari nasabah, wajib

melaksanakan setiap perintah yang diberikan

oleh nasabah dalam penggunaan fasilitas Internet

Banking tanpa harus memeriksa kebenaran

identitas nasabah tersebut. Hal ini yang membuat

bank selalu menganjurkan kepada nasabah

untuk selalu berhati-hati pada saat menggunakan

fasilitas Internet Banking, karena apabila data

nasabah bersangkutan digunakan oleh pihak lain

maka hal tersebut merupakan tanggung jawab

dari nasabah yang bersangkutan.

Dalam penggunaan teknologi sistem informasi

terdapat risiko yang bersifat teknis dan khusus yang

berbeda dengan penggunaan sistem manual. Risiko

yang dimaksud antara lain resiko kekeliruan pada

tahap pengoperasian, risiko akses oleh pihak yang

tidak berwenang, risiko kehilangan dan risiko

kerusakan data. Selain itu kemungkinan adanya

pengacakan dari para “hacker”, yang membuat

pengguna internet kebingungan dalam mengakses

transaksi-transaksi yang dilakukan.

Tanggung jawab penanggulangan risiko dalam

transaksi Internet Banking dicantumkan dalam

ketentuan Force Majeure, dinyatakan bahwa nasabah

pengguna akan membebaskan bank dari segala

tuntutan apapun, dalam hal ini bank tidak dapat

melaksanakan perintah dari nasabah pengguna (baik

sebagian maupun seluruhnya), karena kejadian

kejadian atau sebab-sebab di luar kekuasaan atau

kemampuan bank dan tidak terbatas pada segala

gangguan virus computer atau system Trojan Horses

atau komponen membahayakan yang dapat

mengganggu layanan Internet Banking, web browser

atau computer sistem bank, nasabah atau Internet

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 32: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Services Provider, karena bencana alam, perang,

keadaan peralatan, sistem atau transmisi yag tidak

berfungsi, gangguan listrik, gangguan telekomunikasi,

kebijakan pemerintah, serta kejadian-kejadian atau

sebab-sebab lain di luar kekuasaan atau kemampuan

bank15.

Pada pelaksanaan tanggung jawab terhadap Internet

Banking, peristiwa Force Majeur dapat terjadi

sewaktu-waktu, karena merupakan hal yang tidak

dapat diduga sebelumnya, hal ini dapat digunakan

sebagai alasan terjadinya wanprestasi bagi para

pihak yang terkait. Dalam hal ini, pihak bank tidak

ingin dipersalahkan, karena menurutnya peristiwa

server down timbul di luar kemauan dan kemampuan

pihak bank.

Server down dapat digolongkan ke dalam Force

Majeur yang bersifat subjektif/relative dan sementara.

Bersifat subjektif karena penyediaan kualitas akses

server tergantung pada pihak bank. Bank masih

mungkin menyediakan kualitas akses server yang

lebih baik dan lebih terjamin, agar bank dapat

memenuhi perintah dari setiap nasabah dengan

lancar. Hal ini bank mempunyai konsekuensi, harus

mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk

operasionalnya. Bersifat sementara karena transaksi

tidak menjadi batal tetapi akan diproses kembali

setelah sistem normal.

Force Majeur yang terjadi karena server down

merupakan yang bersifat subjektif/relatif, maka

seharusnya bank sebagai penyedia layanan internet

banking dapat mengadakan sistem (Internet System

Program) yang menjamin kelancaran proses transaksi.

Hal ini berkaitan dengan kewajiban dan hak bank

yang tercantum dalam syarat dan ketentuan maupun

perjanjian. Bank telah menyatakan kemampuannya

untuk menerima dan menjalankan setiap perintah

dari nasabah pengguna dan pelanggan16.

Bank wajib menyelenggarakan sistem yang lancar

untuk menjalankan perintah nasabah. Selain itu,

bank juga sudah mendapat hak dari nasabah berupa

kuasa untuk mendebet rekening nasabah untuk

pembayaran administrasi maupun biaya transaksi.

Pemberian kuasa tersebut memberikan kebebasan

kepada bank untuk mendebet dalam batas yang

wajar sesuai dengan kebutuhan bank dalam

menyelenggarakan transaksi secara lancar.

Hak bank telah dipenuhi oleh nasabah, maka nasabah

berhak pula mendapatkan pemenuhan kewajiban

bank secara lancar dan tepat waktu. Jika kewajiban

bank tidak dipenuhi, maka nasabah dapat menuntut

bank atas dasar wanprestasi yang bukan terjadi

karena Force Majeur, melainkan kesalahan bank.

D. Kesimpulan

1. - Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan

perjanjian yang dilakukan pada internet banking.

Perjanjian tersebut dituangkan ke dalam kontrak

elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE

Ps.18 (1)), dengan demikian seperti yang diatur

pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

- Kesepakatan antara bank dan nasabah, dapat

dilihat pada substansi formulir pendaftaran yaitu

bahwa bank menerima dan menjalankan setiap

instruksi dari nasabah sebagai instruksi yang sah

berdasarkan penggunaan user ID dan PIN.

- Pesan elektronik digunakan pada transaksi

elektronik berupa “massage” yang dikirim dan

langsung ada yang menerima, maka validitasnya

dianggap sah menurut hukum apabila electronic

massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak

ada yang mengubah substansinya, sehingga

penerima akan percaya penuh atas massage yang

dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat

berupa data elektronik, pesan electronik

(electronic massage) dan rekam elektronic

(electronic record).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

25

15 Syarat dan Ketentuan Internet Banking, bagian VI diakses tanggal 22 Oktober 2011.

16 Syarat dan Ketentuan Internet Banking., bagian III No. 6 Diakses tanggal 22 Oktober 2011.

Page 33: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

2. - Keabsahan pada transaksi Internet Banking

terletak pada Informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat

(1) UU ITE), apabila ditinjau dari Hukum

Pembuktian Perdata berarti bahwa essensi

perdagangan pada e-commerce terletak pada

informasi elektronik dan electronic signature

sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan

electronic signature (termasuk digital signature)

sama dengan tanda tangan biasa karena belum

ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu

dengan menggunakan tinta berbasis kertas,

Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya

adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian

suatu akta, dokumen atau surat.

- Tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh bank

pada fasilitas yang diberikan Internet Banking

adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib

memberikan pelayanan maksimal pada standar

keamanan dan kenyamanan kepada nasabah

pengguna fasilitas Internet Banking.

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 34: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Anderson, Ronald A. Business Law, South Western Pblishing Co. Ohio: Cincinnati, 1978.

Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung, 1999

A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta: Daya Widya,1999.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994.

Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Djoni S.Gazali, dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Etty Susilowati, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008.

Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Harahap, M Yahya, ADR Merupakan Jawaban Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Masa Depan, Yogyakarta

2003.

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung

Karen, et.al, “Internet Banking: Developmentand Prospect,” Program on Information Resources Policy, Harvad University,

2002.

Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001.

Interenet

http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit.

Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce

27

DAFTAR PUSTAKA

Page 35: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi ke 27, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko.

28

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 36: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

A. Pendahuluan

Tindak Pidana Pencucian Uang bukanlah suatu tindak

pidana yang biasa dan yang tidak memerlukan banyak

energi untuk memberantasnya. Perkembangan tindak

pidana pencucian uang bukanlah semakin berkurang,

melainkan semakin meningkat dan berkembang

pesat. Tidak sedikit upaya terpadu yang telah diambil

oleh masyarakat Internasional, Regional, maupun

Nasional untuk melakukan pencegahan dan

pemberantasannya. Setiap upaya yang diusahakan

oleh Pemerintah negara-negara dunia untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian

uang menjadi suatu perhatian menarik dari

masyarakat. Goodwill dari Pemerintah dan seluruh

bangsa-bangsa di dunia untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana ini harus didukung oleh

seluruh komponen dan elemen masyarakat, berikut

perangkat hukum dan peraturan-peraturannya.

Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering

pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang

29

TELAAH ATAS EKSISTENSI LEMBAGA PENGAWAS DAN PENGATUR MENURUT UU PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, UU BANK INDONESIA DAN UU OTORITAS JASA KEUANGAN

Oleh : Dr. Go Lisanawati, SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Abstrak

Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya

mengancam suatu negara tertentu saja, tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi seluruh bangsa.

Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam mencegah

dan memberantas tindak pidana pencucian uang,. Hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan atas Undang Undang

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, menjadi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (yang selanjutnya disebut dengan UU PPTPPU).

Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah

lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi kepada Pihak Pelapor. Bagi

sektor Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia. Dalam

perkembangannya berdasarkan UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan

beralih ke Otoritas Jasa Keuangan.

Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya

memerlukan deskripsi kewenangan, batasan persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi lembaga terkait

dengan PPATK.

Page 37: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

tidak hanya mengancam suatu negara tertentu saja,

tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi

seluruh bangsa. Chibuike U. Uche memandang Money

Laundering dari suatu perspektif yang menarik untuk

dipahami, sebagai berikut:

This is because money laundering is truly an

international phenomenon. Money launderers are

always looking for ways of disguishing the true source

of their wealth. Some developing countries have

characteristic that money launderes find attractive.

Understanding the social, political and economic

environment of these developing countries is therefore

a vital ingridient in the war against money

laundering... It argues that the greatest danger to

the success of international efforts to tackle money

laundering is the ever increasingly disparity in the

structure of the financial systems of both developed

and developing countries. The greatest threat to the

business of laundering is documentation. Even after

the launderers have beaten the system, their success

well be temporary.1

Tindak pidana pencucian uang yang berdimensi

internasional sesungguhnya juga terkait dengan

karakteristik nasionalnya. Konsekuensi logis yang

terjadi bahwa sesungguhnya upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang

membutuhkan perspektif nasional, sebagai negara

berkembang dengan kebutuhannya sendiri, di tengah-

tengah pergulatan dimensi internasionalnya, yang

banyak dipengaruhi oleh insight dari negara maju.

Perspektif internasional di tengah keberagaman

perspektif nasional akan mempengaruhi tingkat

keberhasilan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang.

Namun demikian di sisi lain tetap perlu dipahami

bahwasanya tindak pidana pencucian uang juga

sudah berkembang dengan sangat meluas.

Melihat sifat meluasnya tindak pidana pencucian

uang, N.H.T Siahaan memberikan penjelasan:

“Berhubung money laundering merupakan salah satu

aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu,

bangsa, dan negara maka pada gilirannya, sifat money

laundering menjadi universal dan menembus batas-

batas yurisdiksi negara, sehingga masalahnya bukan

saja nasional, tetapi juga masalah regional dan

internasional...2”. Alasan-alasan yang dikemukakan

dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang yang saat ini giat dilakukan

oleh seluruh pemerintah negara-negara di dunia

adalah terkait dengan sifat kriminalitas yang dimiliki

dari tindak pidana pencucian uang. Setiap pencucian

uang pada hakikatnya hendak mencuci uang-uang

yang diperoleh dari harta kekayaan.

Salah satu hal yang membuat negara-negara peduli

dengan upaya pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana pencucian uang adalah bahwa negara-

negara akan menjadi self victim atas tindak pidana

tersebut. Dengan atau tanpa persetujuan, negara

akan tetap menjadi korban atas tindak pidana

pencucian uang apabila tindak pidana tersebut tetap

berlangsung, langsung ataupun tidak langsung.

Sebagaimana dipahami dalam konstruksi pencucian

uang adalah mengenai sulitnya mengurai tahapan di

dalam tindak pencucian uang yang sangat kompleks

pada setiap tahapannya. Hal tersebut mengakibatkan

memang tidak mudahnya mengungkapkan mengenai

tindak pidana pencucian uang. Tahapan pencucian

uang pada hakikatnya terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:

a. Placement atau penempatan; b. Layering atau

pelapisan; dan c. Integration atau integrasi. Yang

dimaksud dengan Placement menurut Sutan Remy

Sjahdeini dijelaskan sebagai: “tahapan untuk

menempatkan uang haram ke dalam sistem keuangan

(financial system)”3 Pada tahap Placement, uang yang

telah ditempatkan di dalam sistem keuangan akan

1 Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_ cuuche.html

30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

2 N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta, h. 3

3 Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, h.33

Page 38: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

dapat dipindahkan ke bank lain, baik bank yang ada

di dalam domestik, maupun bank di luar negeri.

Tahap Layering, atau pelapisan, menurut Adrian

Sutedi, dimaknakan sebagai “memisahkan hasil

tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya

melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul

dana.”4 Pada tahap layering terjadi suatu proses yang

ditujukan untuk melakukan pemindahan atas suatu

dana yang berasal dari beberapa rekening atau

tempat lainnya, yang dihasilkan dari tahap placement

sebelumnya. Tahap terakhir adalah yang disebut

dengan tahap Integration. Menurut Adrian Sutedi,

Integration adalah “upaya menggunakan harta

kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati

langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk

kekayaan materiil atau keuangan, dipergunakan

untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun

untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana”.5

Berdasarkan penjelasan tersebut, apapun yang

dilakukan oleh para pelaku kejahatan untuk mencuci

uang hasil kejahatannya, hal terakhir yang harus

dilakukan adalah dapat mempergunakan harta-harta

yang sudah nampak sah tersebut untuk melakukan

kegiatannya. Selalu ada hasil yang diharapkan dengan

dilakukannya pencucian uang.

Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-

undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian

uang, sekalipun tidak dipungkiri bahwa jenis tindak

pidana ini juga semakin banyak terjadi di Indonesia.

Salah satu kehendak baik yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia adalah melakukan perubahan

atas Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang

Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, menjadi

Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang (yang selanjutnya disebut dengan

UU PPTPPU). Beberapa materi yang diatur di dalam

UU PPTPPU ini menunjukkan beberapa perubahan

pentinguntuk memenuhi kepentingan nasional dan

standar Internasional. Pada penjelasan Umum UU

PPTPPU, materi perubahan tersebut antara lain

mengenai pengukuhan penerapan prinsip mengenali

Pengguna Jasa; perluasan Pihak Pelapor; dan penataan

mengenai Pengawasan Kepatuhan. Yunus Husein

menjelaskan bahwa sasaran pembentukan Undang

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru,

salah satunya adalah “meningkatkan koordinasi

penegakan hukum dalam pencegahan dan

pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”6,

dengan mengingat inti dari permasalahan yang ada

di dalam TPPU yaitu meluasnya jenis kejahatan lanjutan

ini, yang secara signifikan membawa dampak atas

stabilitas dan integritas sistem keuangan nasional.

Berdasarkan penjelasan Umum UU PPTPPU, terdapat

beberapa hal penting yang perlu dibahas lebih

mendalam, yaitu terkait dengan adanya upaya

penataan mengenai pengawasan kepatuhan, dan

pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna

jasa. Lembaga pengawas dan pengatur sebelumnya

belum pernah dikenal eksistensinya, tetapi dengan

diberikannya kewenangan untuk mengawasi

kepatuhan dari pihak Pelapor, Lembaga Pengawas

dan Pengatur memperoleh fungsi penting. Salah satu

lembaga tersebut adalah Bank Indonesia. Dimana

kedudukan Bank Indonesia sebagai pengawas

penyedia jasa keuangan bank.

Yang menjadi isu hukum untuk dibahas di dalam

tulisan ini adalah mengenai fungsi pengawasan dan

pengaturan oleh Bank Indonesia dalam rangka

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang untuk Penyedia Jasa Keuangan, dan

terkait pula dengan keberadaan Orotitas Jasa

Keuangan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

31

4 Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti, h. 19 - 20

5 Ibid, h. 21

6 Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010, Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010, h. 5

Page 39: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

B. Fungsionalisasi Lembaga Pengawas dan

Pengatur dan Koordinasinya dengan PPATK

Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang

dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur

adalah lembaga yang memiliki kewenangan

pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi

kepada Pihak Pelapor. Definisi tersebut memberikan

penjabaran bahwasanya diberlakukannya UU PPTPPU

telah memberikan suatu pengaturan mengenai

adanya lembaga baru dengan tugas, fungsi dan

kewenangan yang meliputi pengawasan, pengaturan,

bahkan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor yang

melanggar ketentuan. Fungsi yang dilakukan oleh

Lembaga Pengawas dan Pengatur (selanjutnya disebut

dengan LPP) adalah untuk melakukan Pengawasan

Kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

angka 18 UU PPTPPU. Untuk pelaksanaan fungsi ini,

UU mengamanatkan dilakukan oleh LPP dan PPATK.

Menilik ketentuan di atas memberikan suatu

pemahaman bahwa eksistensi LPP tidaklah berdiri

secara sendirian, tetapi berdampingan dengan PPATK,

yang berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf b, juga

melaksanakan fungsi pengawasan kepatuhan atas

pihak pelapor. Namun demikian UU PPTPPU tidak

secara eksplisit metegaskan mengenai pemisahan

ataupun pembagian kewenangannya. Ketentuan

Pasal 30 ayat (1) dan (2) hanya menegaskan bahwa

sejauh LPP itu belum terbentuk, maka PPATK yang

akan mengenakan sanksi administratif kepada pihak

Pelapor. Ketentuan tersebut hanya memberikan

penekanan atas pengenaan sanksi administratif,

padahal LPP berfungsi pula melakukan pengawasan

dan pengaturan.

Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 11 UU PPTPPU adalah setiap

Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib

menyampaikan laporan kepada PPATK. Yang

dimaksud dengan setiap Orang adalah orang

perseorangan atau Korporasi (vide Pasal 1 angka 9

UU PPTPPU). Di sisi lain, UU PPTPPU juga

memperkenalkan pihak lain, yaitu yang disebut

dengan Pihak Pengguna Jasa, yaitu pihak yang

menggunakan Jasa Pihak Pelapor. (vide Pasal 1 angka

12 UU PPTPPU). Berdasarkan ketentuan-ketentuan

tersebut memunculkan interpretasi ganda, yaitu: (i).

Apakah semua Pihak Pelapor wajib melaporkan

kepada PPATK secara langsung?; dan (ii). Apakah

Pihak Pelapor yang telah memiliki LPP juga harus

melaporkan kepada PPATK?. UU PPTPPU belum secara

jelas membedakannya, sehingga seolah-oleh

memunculkan tumpang tindih kewenangan antara

LPP dengan PPATK. Apakah posisi PPATK berada di

atas dibandingkan dengan LPP, ataukah berada sejajar.

Beberapa ketentuan pasal di atas menunjukkan betapa

sulitnya menjalankan fungsi pengawasan, pengaturan,

audit kepatuhan, bahkan pengenaan sanksi tersebut.

Konstruksi koordinasi yang bagaimanakah yang dapat

dilakukan oleh instansi tersebut.

Mengenai Pihak Pelapor, Bab IV UU PPTPPU tentang

Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan menjelaskan

mekanisme pelaporan dan pengawasan kepatuhan.

Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor pada hakikatnya

meliputi 2 kelompok, yaitu kelompok Penyedia Jasa

Keuangan, dan Penyedia Barang dan/atau Jasa

lainnya. (Vide Pasal 17 UU PPTPPU).

Tugas LPP sebagaimana telah ditentukan di dalam

Pasal 18 UU PPTPPU pada hakikatnya meliputi

penetapan mengenai ketentuan prinsip mengenali

Pengguna Jasa. Lembaga ini pula yang berkewajiban

untuk melaksanakan pengawasan kepatuhan Pihak

Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali

Penguna Jasa. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat

(1) UU PPTPPU, tugas dari LPP selanjutnya adalah

menjatuhkan sanksi administratif kepada Pihak

Pelapor.

Ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU PPTPPU kembali

menegaskan bahwasanya dalam hal belum

terbentuknya LPP, maka yang berkewajiban

mengenakan sanksi administratif kepada Pihak

Pelapor adalah PPATK. Penegasan dari Pasal 30 ayat

(3) UU PPTPPU, memberikan penjelasan mengenai

sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

32

Page 40: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

oleh PPATK. Namun demikian tidak jelas bentuk

sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan

oleh LPP.

Eksistensi LPP menurut UU PPTPPU juga ditunjukkan

melalui fungsi Pengawasan Kepatuhan. Ketentuan

Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU PPTPPU mengatur

mengenai fungsi pengawasan kepatuhan sebagaimana

dimaksudkan di dalam Pasal 17 ayat (1) tersebut

dilakukan LPP. PPATK baru akan bertindak sebagai

lembaga yang melaksanakan fungsi pengawasan

kepatuhan apabila belum terdapat atau terbentuk

lembaga pengawas dan pengatur tersebut. Hasil

pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang telah

dilaksanakan oleh LPP harus disampaikan kepada

PPATK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 UU PPTPPU dapat

dipahami bahwa sebenarnya terdapat koordinasi

yang harus dilakukan oleh LPP dengan PPATK.

Koordinasi tersebut berupa suatu kewajiban yang

harus dilaksanakan oleh LPP dalam hal ditemukannya

Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak

dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, maka

Lembaga Pengawas dan Pelapor itulah yang harus

menyampaikan laporannya kepada PPATK. Secara

umum, ketentuan Pasal 33 UU PPTPPU mengatur

bahwasannya LPP sangat berkewajiban untuk

memberitahukan perihal kegiatan ataupun Transaksi

Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya

dilakukan baik langsung ataupun tidak langsung

dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Dengan demikian dapat dijelaskan koordinasi antara

Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap PPATK

dapat bersifat koordinatif horizontal dan koordinatif

vertikal.

C. Penguatan Customer Due Diligence dan Enhance

Due Diligence Dalam Tindak Pidana Pencucian

Uang

Salah satu instrumen penting di dalam mencegah

dan memberantas tindak pidana pencucian uang

adalah bagaimana setiap sektor bisnis, baik oleh

Penyedia Jasa Keuangan berupa bank ataupun non

bank, dan juga Penyedia Barang dan/atau Jasa dapat

mengenali pengguna jasanya. Istilah Pengguna Jasa

ini lebih luas dibandingkan dengan istilah nasabah

yang ada di dalam undang-undang tindak pidana

pencucian uang yang sebelumnya. Makna pengguna

jasa ini akan meliputi secara keseluruhan atas orang

yang menjadi nasabah di dalam suatu kegiatan

perbankan, maupun pembeli pada kegiatan sektor

lainnya.

Istilah yang sebenarnya sama yang dipergunakan

sebagai instrumen untuk penerapan UU di bidang

pencucian uang adalah prinsip mengenali nasabah

(know your customer principle), atau dalam terjemahan

lain juga disebut dengan prinsip mengenali Pengguna

Jasa. Beberapa pengaturan mengenai KYC yang sudah

ada, antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor

3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah

dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001

tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal

Nasabah; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan Nomor 2/1/Kep.PPATK/2003

tentang Pedoman Umum Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi

Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor

2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi

Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa

Keuangan; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan Nomor

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

33

LPP PPATK

Pihak Pelapor

Hasil Pengawasan Kepatuhan

Skema 1: Hubungan antara Pihak Pelapor - LPP - PPATK

Page 41: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

2/6/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara

Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi

Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor

3/I/KEP.PPATK/2004 tentang Pedoman Laporan

Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporannya

Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

Pasal 18 UU PPTPPU yang mengatur mengenai

penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

meletakkan kewajiban kepada LPP untuk menetapkan

ketentuan mengenai Prinsip Mengenali Pengguna

Jasa. Jacky Uly dan Bernard L. Tanya menambahkan

bahwa: “setiap LPJK (Lembaga Penyedia Jasa

Keuangan, cetak miring oleh penulis) dianjurkan

untuk senantiasa melakukan identifikasi terhadap

para nasabah/klien, dan menolah setiap tranaksi yang

mencurigakan”.7 Untuk itu Pihak Pelapor wajib

menerapkan prinsip tersebut. Untuk itu pula LPP yang

wajib melaksanakan pengawasannya atas kepatuhan

Pihak Pelapor di dalam menerapkan prinsip Mengenali

Pengguna Jasa. Hanya saja tidak secara tegas

dinyatakan dan digambarkan bagaimana mekanisme

pengawasan yang dimaksud, sedangkan di satu sisi

bagi pengguna jasa yang belum ditetapkan LPP-nya,

maka fungsi pengawasannya dilakukan oleh PPATK.

Secara a contrario pernyataan tersebut dipahami dari

Pasal 18 ayat (6), dengan suatu pemahaman dasar

bahwa Pihak Pelapor yang diwajibkan untuk

menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa harus

bertanggungjawab kepada PPATK.

Setidaknya ada 3 hal yang harus diutamakan di

dalam Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, yaitu a.

Identifikasi Pengguna Jasa; b. Verifikasi Pengguna

Jasa; dan c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.

Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam konteks

inilah yang disebut dengan Customer Due Diligence

(CDD) dan Enhance Due Diligence (EDD). Hal tersebut

sejalan dengan Rekomendasi Nomor 5 Financial

Action Task Force on Money Laundering.

Rekomendasi tersebut menyatakan:

“The customer due diligence (CDD) measures to be

taken are as follows:

a) Identifying the customer and verifying that

customer’s identity using reliable, independent

source documents, data or information

b) Identifying the beneficial owner, and taking

reasonable measures to verify the identity of the

beneficial owner such that the financial institution

is satisfied that it knows who the beneficial owner

is. For legal persons and arrangements this should

include financial institutions taking reasonable

measures to understand the ownership and

control structure of the customer.

c) Obtaining information on the purpose and

intended nature of the business relationship.

d) Conducting ongoing due diligence on the business

relationship and scrutiny of transactions undertaken

throughout the course of that relationship to

ensure that the transactions being conducted are

consistent with the institutions knowledge of the

customer, their business and risk profile, including,

where necessary, the sources of fund”.

Yang paling penting dilakukan di dalam kaitannya

dengan Customer Due Diligence ini adalah bahwa

Pihak Pelapor dapat sewaktu-waktu melakukan

pemeriksaan atas hubungan usaha dan analisis

transaksi-transaksi yang dilakukan. Usaha tersebut

harus dilakukan secara menyeluruh guna menjamin

transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa konsisten

dengan apa yang diketahui lembaga keuangan atas

nasabah, kegiatan usahanya dan profil resiko, termasuk

sumber dana jika diperlukan. Kemutakhiran data

Pengguna Jasa harus selalu dijamin oleh Pihak Pelapor.

Namun demikian apabila penerapan CDD berdasarkan

poin a sampai dengan d di atas berhadapan dengan

suatu resiko yang lebih besar, maka penerapan yang

harus dilakukan adalah dengan Enhance Due

Diligence, yaitu sebagai berikut:

“Financial institutions should apply each of the CDD

measures under (a) to (d) above, but may determine7 Jacky Uly dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya, hal. 49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

34

Page 42: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

the extent of such measures on a risk sensitive basis

depending on the type of customer, business

relationship or transaction. The measures that are

taken should be consistent with any guidelines issued

by competent authorities. For higher risk categories,

financial institutions should perform enhanced due

diligence. In certain circumstances, where there are

low risks, countries may decide that financial institutions

can apply reduced or simplified measures.”

Namun demikian apabila Lembaga Keuangan melihat

terdapatnya kemungkinan resiko yang besar, berikut

juga dengan jenis nasabah dan hubungan

transaksinya, maka perlu ditingkatkan upaya kehati-

hatiannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka

tindakan yang diambil harus konsisten dengan setiap

petunjuk yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.

Untuk kategori berisiko tinggi, lembaga keuangan

harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam.

Dengan demikian apabila dalam situasi tertentu

ditemukan suatu fakta bahwa apabila terdapat risiko

rendah, negara-negara dapat memutuskan bahwa

lembaga keuangan dapat menerapkan tindakan-

tindakan yang disederhanakan. Hal tersebut yang

membedakan antara CDD dan EDD.

Prinsipnya pada upaya mengenali pengguna jasanya,

ketentuan Pasal 19 mempertegas bahwasanya

masalah penginformasian mengenai identitas, sumber

dana, dan tujuan dilakukannya Transaksi menjadi

sesuatu yang harus diberikan oleh setiap Orang yang

melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor. Dengan

demikian Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ini menjadi

suatu prinsip yang selalu harus dikedepankan di dalam

upaya penanganan tindak pidana pencucian uang.

D. Lembaga Pengawas dan Pengatur atas Pihak

Pelapor Bank berdasarkan UU Bank Indonesia -

UU Transfer Dana - UU Otoritas Jasa Keuangan

Ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan

arti yang sangat penting kepada Sektor Perbankan,

mengingat dalam setiap tahapan pencucian uang

masih menempatkan Lembaga Keuangan sebagai

tempat yang cukup beresiko dan disukai oleh para

pencuci uang. Namun demikian UU PPTPPU tidak

menempatkan Lembaga Keuangan Bank saja yang

harus berperan aktif, tetapi kepada semua pihak

Pelapor, yang meliputi Penyedia Jasa Keuangan Bank

dan Non Bank, serta Penyedia Barang dan/atau Jasa

lainnya.

Mengingat bahwa LPP diberikan tempat dan peran

yang sangat penting di dalam UU PPTPPU, maka harus

dipahami betul fungsi dan peranannya terkait dengan

peraturan perundang-undangan lainnya. Bagi sektor

Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka

yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 24

Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana

diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, dan diubah

dengan UU 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia,

yang menekankan pada adanya Fungsi Mengatur

dan Mengawasi Bank, sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 8 huruf c UU Bank Indonesia tersebut. Ketentuan

Pasal 24 tersebut memberikan tugas kepada Bank

Indonesia untuk mengadakan peraturan-peraturan

terkait dengan kewenangannya mengawasi Bank,

dan juga menjatuhkan sanksi kepada Bank. Pembedaan

fungsi Bank Indonesia terjadi di dalam 2 hal, yaitu

Fungsi pengaturan dan Fungsi pengawasan.

Pelaksanaan tugas mengatur Bank, Pasal 25 ayat (1)

UU Bank Indonesia memberikan kewenangan kepada

Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan-

ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-

hatian. Prinsip kehati-hatian yang dimaksud di sini

adalah termasuk pula dengan apa yang dimaksudkan

di dalam UU Perbankan. Selanjutnya pelaksanakan

kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan

Bank Indonesia (vide Pasal 25 ayat (2) UU Bank

Indonesia). Pengawasan tersebut akan dilakukan

secara langsung maupun tidak langsung (vide Pasal

27 UU Bank Indonesia), yang selanjutnya mewajibkan

Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan

penjelasan sesuatu dengan tata cara yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia (vide Pasal 28 ayat (1) UU Bank

Indonesia). Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

35

Page 43: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

UU Bank Indonesia pula dapat dipahami bahwasanya

dalam hal terdapat suatu transaksi yang patut di

duga merupakan tindak pidana di bidang perbankan,

maka Bank Indonesia dapat memerintahkan bank

untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh

transaksi tertentu tersebut.

Terkait dengan pemberian tugas sebagai LPP menurut

UU PPTPPU, maka sesungguhnya fungsi pengawasan

oleh BI terkait dengan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Penunjukkan Bank Indonesia sebagai LPP untuk

Penyedia Jasa Keuangan sektor Perbankan seharusnya

sejalan dengan fungsi pengawasannya di dalam UU

Bank Indonesia. Kewenangan yang diberikan UU

PPTPPU cukup terbatas dengan adanya keberadaan

PPATK yang juga melaksanakan fungsi pengawasan

dan pengaturan manakala LPP tersebut belum

terbentuk. Permasalahannya justru UU PPTPPU belum

memberikan batasan kewenangan yang sama

besarnya dengan PPATK, atau paling tidak menunjukkan

distinct yang tegas bagaimana sifat koordinatif antara

Bank Indonesia sebagai LPP dengan keberadaan

PPATK, salah satu contoh adalah terkait dengan

kewenangan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor

yang ternyata tidak tegas.

Ketentuan Pasal 33 UU Bank Indonesia menegaskan

apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat

suatu keberlangsungan usaha Bank yang bersangkutan

dan/atau membahayakan sistem perbankan atau

terjadi sutau kesulitan bagi perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional, maka Bank

Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana

diatur di dalam undang-undang tentang perbankan

yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,

yang menjadi rambu-rambu pelaksanaan tugas

sebagaimana dimaksud baik oleh UU Bank Indonesia,

UU Perbankan, maupun UU PPTPPU, yaitu sistem

perbankan dan perekonomian nasional.

Pasal 34 UU Bank Indonesia selanjutnya menjelaskan

bahwa tugas pengawasan atas Bank sebagaimana

dimaksud sebelumnya yang akan dilakukan oleh

Bank Indonesia, akan dilaksanakan oleh lembaga

pengawasan sektor jasa keuangan yang independen

yang dibentuk dengan undang-undang. Mutatis

mutandis dengan hal tersebut, Pasal 35 UU Bank

Indonesia menekankan sepanjang belum diadakannya

lembaga pengawasan yang dimaksud, tugas

pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan

oleh Bank Indonesia.

Permasalahan mengenai entitas Lembaga Pengawas

dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU

Bank Indonesia dan UU PPTPPU ini berkembang

terkait pula dengan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan

(selanjutya disebut dengan OJK), sebagaimana

dimaksud di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai

UU OJK). Pasal 1 menentukan bahwasanya OJK

merupakan lembaga yang independen dan bebas

dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai

fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan (vide

Pasal 1 angka 1 UU OJK). Permasalahan selanjutnya

adalah bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Jasa

Keuangan di dalam undang-undang tersebut adalah

meliputi pelaksanaan kegiatan di sektor Perbankan,

Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiataan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

(vide Pasal 1 angka 4 UU OJK). Pasal 1 angka 10 UU

OJK selanjutnya juga memuat mengenai Lembaga

Jasa Keuangan lainnya, yang ternyata akan meliputi

pula lembaga penggadaian, lembaga penjaminan,

lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan

pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang

melaksanakan pengelolaan dana masyarakat yang

bersifat wajib, meliputi penyelenggara program

jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.

Fungsi OJK selanjutnya ditentukan di dalam Pasal 5

UU OJK, bahwasanya OJK berfungsi menyelenggarakan

sistem pengaturan dan pengawasan yang berintegrasi

terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan. Pasal 7 selanjutnya menjelaskan mengenai

pembagian fungsi pengaturan dan pengawasan, yang

meliputi:

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

36

Page 44: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai

kelembagaan bank.

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan

bank

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek

kehati-hatian bank, meliputi:

1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian

uang, dan

4. pencegahan pembiayaan terorisme dan

kejahatan perbankan, dan

d. Pemeriksaan bank

Berdasarkan ketentuan di atas, OJK yang bertugas

untuk mengawal pelaksanaan prinsip mengenal

nasabah dan anti pencucian uang. Ketidak konsistenan

penggunaan peristilahan prinsip mengenali nasabah

berbeda dengan peristilahan yang terdapat di dalam

UU PPTPPU, yaitu prinsip mengenali pengguna jasa.

Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi LPP

sebagaimana dimaksud di dalam UU PPTPPU telah

dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK.

Ketentuan selanjutnya yang terkait adalah Pasal 39

UU OJK, yang menegaskan bahwa berhubungan

dengan pelaksanaan tugas, maka OJK akan

berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat

peraturan pengawasan di bidang Perbankan, tetapi

tidak berkaitan dengan pengawasan atas pelaksanaan

prinsip mengenali Pengguna Jasa dan anti pencucian

uang. Pasal 40 UU Otoritas Jasa Keuangan menegaskan

untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya

memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank

tertentu, Bank Indonesia dapat (cetak miring oleh

penulis) melakukan pemeriksaan langsung terhadap

bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan

secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Namun

sayangnya Pasal 40 ayat (2) memberikan pembatasan

atas apa yang tidak dapat dilakukan oleh Bank

Indonesia, yaitu dalam melaksanakan kegiatan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

(1), maka Bank Indonesia tidak dapat memberikan

penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Berbagai

interpretasi yang muncul dari ketentuan UU OJK ini

cukup menyulitkan untuk memahami dan menyelami

fungsi sebagai LPP itu berada di pihak siapa. Begitu

luasnya perihal yang ingin diatur dan diawasi oleh

OJK, semakin menunjukkan inkonsistensi kewenangan

mana yang harusnya dilimpahkan kepada OJK, dan

manakah yang tetap pada Bank Indonesia. Mengingat

kompleksitas macam aturan yang harus dipertegas

dalam kerangka tindak pidana pencucian uang dan

berbagai rambu-rambu kehati-hatian yang harus

senantiasa diperlihatkan dan diperhatikan oleh sektor

perbankan, maka perlu dipikirkan tugas OJK sebagai

LPP.

Pada intinya masih terdapat tumpang tindih yang

tetap terjadi, yaitu sebenarnya Bank Indonesia

sebetulnya akan mengawasi mengenai sektor

perbankan dengan segala keluasan kewenangan yang

diberikan oleh UU Perbankan dan UU Bank Indonesia,

tetapi terbatas saat ini dengan OJK. Nindyo Pramono

pernah menuliskan pada saat dibuatnya RUU OJK

sebagai berikut: “Saya kawatir kehadiran OJK yang

mengambil fungsi pengawasan BI atas Bank-bank

Umum, akan tetap tumbuh atau bertabrakan dengan

fungsi pengaturan BI yang secara tidak langsung akan

bersinggungan dengan fungsi pengawasan

(macroprudential)”8

Namun OJK juga masih dapat meminta bantuan dari

Bank Indonesia untuk pelaksanaan fungsi pengawasan

dan pengaturannya, hanya tidak dapat meliputi

penilaian mengenai kesehatan bank. Secara asas, UU

OJK ini adalah UU khusus yang baru saja dibentuk,

tetapi tidak merupakan lex specialis terhadap UU

Bank Indonesia. Hal tersebut dikarenakan cakupan

tugas pengawasan dan pengaturan oleh OJK terlalu

luas, dan tidak melulu menyangkut perbankan,

tetapi sektor keuangan. Cakupan tersebut akan

37

8 Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 45: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

menempatkan OJK menjadi super supervisory body

atas suatu lembaga yang memang sudah terbentuk

terlebih dahulu dengan undang-undang yang lainnya.

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Bank

Indonesia juga cukup spesifik, dibandingkan dengan

apa yang diatur di dalam UU OJK.

Memperhatikan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU

Perbankan Syariah, terdapat kewajiban dari Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah untuk menyampaikan

mengenai segala keterangan dan penjelasan yang

berkenaan dengan usahanya kepada Bank Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut ketentuan Pasal 52 ayat (3)

selanjutnya memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk melakukan beberapa hal yang

menyangkut dengan fungsi pengawasan. Nampaknya

kewenangan pengawasan ini telah menjadi

kewenangan penyidikan oleh OJK (lihat Pasal 49 UU

OJK). Dengan demikian dapat dipahami betul bahwa

pelaksanaan fungsinya sudah berbeda. Sekedar

mengingatkan bahwasanya kewenangan OJK meliputi

3 hal, yaitu fungsi pengawasan, pengaturan, dan

penyidikan.

Keberadaan Lembaga semacam OJK di Inggris

dimaksudkan sebagai Financial Services Authority

(FSA), yang sebenarnya tidak ditujukan untuk

mengontrol pelaksanaan UU pencucian uang atas

bidang perbankan, melainkan atas sektor keuangan

seperti untuk mengendalikan leasing companies,

commercial finance providers, safe custody services,

lending, offering guarantees and commitments,

participation in securities issues, advising on capital

sturctures, money broking, portofolio management

and advice, safekeeping and administration of

secutirities, trading for own account.9 Berdasarkan

hal tersebut sebaiknya perlu ditegaskan kembali LPP

untuk Penyedia Jasa Keuangan Bank demi kepentingan

pelaksanaan UU PPTPPU itu seharusnya diberikan

kepada siapa.

Secara keseluruhan UU OJK ini lebih memberikan

perhatian pada sektor perbankan, dibandingkan

dengan sektor keuangan lainnya. Muncullah pula

sebuah pemikiran, dengan demikian apakah OJK

juga akan mampu melaksanakan secara keseluruhan

tugasnya yang begitu luas untuk menjadi LPP

sebagaimana dikehendaki oleh UU PPTPPU dan UU

OJK di bidang pencucian uang untuk sektor keuangan

secara keseluruhan.

Kesulitan lainnya apabila terlalu luasnya ketentuan

pengawasan dan pengaturan oleh Otoritas Jasa

Keuangan, adalah apa yang terkait dengan rambu-

rambu kehati-hatian sebagaimana dimaksud di dalam

UU Perbankan, UU Bank Indonesia, dan UU OJK, yang

nantinya berkorelasi pula dengan UU Transfer dana.

Ketentuan UU Transfer Dana sendiri pada hakikatnya

sangat berhubungan erat dengan kegiatan TPPU.

Sebagaimana dipahami, kekurang hati-hatian dalam

pengelolaan dan pelaksanaan transfer dana akan

mengakibatkan ditempatkannya Bank maupun

lembaga transfer dana lain bukan bank sebagai

sarana untuk melakukan pencucian uang. Untuk itu

kegiatannya harus dipantau. Ketentuan 72 UU

Transfer Dana mengatur mengenai kegiatan

pemantauan transfer dana, yang dilakukan oleh Bank

Indonesia. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa

di dalam melaksanakan fungsi pemantauan tersebut,

Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan otoritas

pengawas terkait. Namun demikian masih perlu

ditelaah lagi apakah yang dimaksudkan adalah OJK

sebagaimana dimaksud di dalam UU OJK. Bismar

Nasution menambahkan “Masalah utama yang

dihadapi industri keuangan khususnya perbankan

saat ini bukanlah telah semakin menyatunya dengan

industri keuangan lainnya, tetapi lemahnya penerapan

good corporate governance. Masalah good corporate

governance tidak akan selesai dengan beralihnya

kewenangan pengawasan”10. Dengan demikian

9 Lihat dalam Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007 : Our Approach, http://www.fsa.gov.uk, diakses tanggal 2 Februari 2012

10 Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

38

Page 46: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

kehadiran OJK dengan kewenangannya yang

terlampau luas, menyisakan suatu perenungan

mengenai diselesaikannya setiap tugas-tugas yang

diembannya, dengan mendasarkan pada realitas

semakin kompleks, rumit, dan tumpang tindihnya

kewenangan yang diberikan oleh setiap undang-

undang yang berlaku.

Kesimpulan

Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana

dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya

memerlukan deskripsi kewenangan, batasan

persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi

dengan PPATK.

Terkait dengan hal tersebut adalah pada pelaksanaan

prinsip mengenali pengguna jasa bagi Penyedia Jasa

Keuangan Bank seharusnya membutuhkan ketelitian

yang lebih lagi. Oleh karena itu tidak dapat serta merta

dialihkan kepada OJK. Mengingat spesifiknya pengaturan

mengenai perbankan, dan pentingnya peran perbankan

di dalam suatu proses pencegahan pencucian uang,

berikut juga meluasnya tanggungjawab OJK sebagaimana

dimaksud di dalam UU OJK, maka perlu dipikirkan

kembali apakah menempatkan Bank Indonesia tetap

sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana

dikehendaki di dalam UU PPTPPU, ataukah menyerahkan

tugas tersebut kepada OJK.

39

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 47: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti

Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan

Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010

Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International

Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_cuuche.html

Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007: Our Approach,

downloaded from http://www.fsa.gov.uk, tanggal 2 Februari 2012

Jacky Uly, dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya

Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian

Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010

N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta

Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka

Utama Grafiti

Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan

UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010,

Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010

40

Page 48: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

A. Pendahuluan

Dalam perspektif Penagihan Pajak, investasi oleh

Wajib Pajak dalam bentuk rekening, simpanan, giro,

deposito berjangka dan bentuk investasi lainnya di

bank, telah memunculkan peluang pencairan

tunggakan pajak melalui penyitaan harta kekayaan

Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank

UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak

Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan

UU No. 19 Tahun 2000 (UU Penagihan Pajak),

diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan

yang timbul berkenaan dengan tunggakan pajak

serta dapat memberikan motivasi peningkatan

kesadaran dan kepatuhan masyarakat wajib pajak,

sehingga dapat memberikan penekanan yang lebih

seimbang antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak

dan kepentingan negara. UU Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa telah mengatur ketentuan tentang tata

cara tindakan penagihan pajak yang berupa

penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan surat

paksa, penyitaan, pencegahan, dan atau

penyanderaan, serta pelelangan. Bahkan surat paksa

diberi kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuaatan hukum tetap dan tidak dapat

diajukan banding sehingga surat paksa langsung

dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti sampai

pelelangan barang Penanggung Pajak.

B. Agunan Tunai (Cash Collateral)

Bank adalah lembaga mediasi yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk menjaga

kepercayaan masyarakat berkaitan dengan simpanan

tersebut, maka Bank dituntut untuk menerapkan

prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan

usahanya. Untuk itu, Bank sangat memperhatikan

adanya agunan sebagai faktor yang harus

dipertimbangkan dalam memberikan kredit.

Dalam praktek perbankan, agunan tunai (cash

collateral) seperti giro, deposito, tabungan, setoran

jaminan dan atau emas, lazim digunakan dalam

pemberian kredit oleh Bank. Memperhatikan sifat

agunan yang sangat “likuid” tersebut, Bank Indonesia

EFEKTIVITAS PEMBLOKIRAN DAN UPAYA PENYITAAN OLEH JURU SITA PAJAK TERHADAP HARTA KEKAYAAN

PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKUKAN SITA AGUNAN OLEH BANK

Oleh :

Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan

Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior), Departemen Hukum, Bank Indonesia

41

Abstrak

Pemblokiran-Penyitaan-Pajak

Sebagai bagian dari awal proses penyitaan harta kekayaan Penangung Pajak yang tersimpan di Bank, pemblokiran

terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak menjadi proses yang sangat krusial. Untuk menjamin proses pemblokiran

dapat berjalan efektif, diperlukan kerjasama yang baik antara dirjen pajak dan pihak perbankan.

Page 49: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah

mengatur mengenai persyaratan agunan dan

pencairan agunan tunai dimaksud dalam

hal terjadi wanprestasi, yaitu 7 hari kerja setelah

debitur dinyatakan wanprestasi (event of default).

Dalam hal ini, agunan tunai yang dipergunakan

tersebut wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat

kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk

keuntungan Bank Penerima Agunan, termasuk

pencairan sebagian untuk membayar tunggakan

angsuran pokok atau bunga;

2. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama

dengan jangka waktu aktiva produktif .

3. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally

enforceable) sebagai agunan, bebas dari segala

bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak

sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk

tujuan penjaminan yang jelas, dan

4. disimpan pada Bank penyedia jasa atau pada

prime bank.

Lebih lanjut, PBI mengatur bahwa agunan harus

bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat

dibatalkan, harus dapat dicairkan selambat-lambatnya

7 hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan

sebagian untuk membayar tunggakan angsuran

pokok atau bunga serta tidak dijamin kembali (counter

quarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang

bukan prime bank.

Dalam hal deposito tersebut telah diserahkan kepada

bank sebagai agunan tunai, maka sebenarnya telah

terjadi penyerahan “kepemilikan”, yaitu bahwa

agunan tunai tersebut berada dalam “penguasaan

bank” dan sewaktu-waktu dapat dicairkan apabila

terjadi wanprestasi. Pengaturan mengenai agunan

tunai tersebut dilakukan dalam rangka memberikan

perlindungan dan menempatkan bagi bank sebagai

“kreditur preferent”.

Sementara itu, Pasal 14 ayat (1) UU No. 19 Tahun

2000 (UU Penagihan Pajak), mengatur secara definitif

bahwa obyek sita adalah barang penanggung pajak

yang dapat dijadikan jaminan utang pajak, yaitu

barang milik penanggung pajak, termasuk yang

penguasaannya berada di tangan pihak atau

dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu,

yang antara lain dapat berupa deposito berjangka,

tabungan, saldo rekening koran, giro, atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

UU Penagihan Pajak hanya mengecualikan obyek

sita pajak berupa barang milik Penanggung Pajak

yang dipergunakan untuk hidup, dan bahkan dibatasi

dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.

20.000.000,- (vide Pasal 15 UU Penagihan Pajak).

Pengaturan dalam UU Penagihan Pajak Sita Pajak

tersebut bersifat memaksa. Meskipun demikian UU

Penagihan Pajak memberikan perlindungan hukum

baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga

berupa hak untuk mengajukan gugatan. Dalam hal

ini, bank sebagai pihak ketiga dapat mengajukan

gugatan kepada pengadilan negeri terhadap tindakan

pelaksanaan penagihan pajak berupa pelaksanaan

Surat Paksa, sita atau lelang diajukan berkaitan

kepemilikan barang yang disita.

Dalam hal ini pengadilan negeri merupakan tempat

untuk menguji dan memberikan prioritas terhadap

kepentingan perlindungan bagi pemegang hak

agunan ataukah mengutamakan “sifat pajak” yang

berdasarkan UU harus selalu didahulukan.

C. Pemblokiran dan Pemindahbukuan

UU tentang Bank Indonesia dan UU tentang

Perbankan tidak mengatur pemberian kewenangan

kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan

pemblokiran kepada Bank. Pemberian kewenangan

kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan

dilakukannya pemblokiran kepada Bank, baru

diberikan oleh Pasal 52 ayat (3) huruf c UU tentang

Perbankan Syariah.

“Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 50: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank

melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik

rekening simpanan maupun rekening pembiayaan.”

Kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran

oleh Bank Indonesia kepada Bank, dilakukan dalam

konteks pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh

Bank Indonesia. Adapun cakupan dari rekening

simpanan maupun rekening pembiayaan yang dapat

diblokir adalah meliputi rekening-rekening, baik yang

ada pada bank yang diawasi/diperiksa maupun pada

bank lain yang terkait dengan objek pengawasan/

pemeriksaan Bank Indonesia.

Pada hakekatnya, pemblokiran rekening pada dasarnya

adalah tindakan pengamanan, yang dilakukan dengan

tujuan agar terhadap simpanan tersebut tidak terdapat

perubahan/mutasi selain penambahan jumlah atau

nilai.

Dalam hal ini, terdapat beberapa pengaturan tentang

pemblokiran yang dapat dilakukan terhadap simpanan

nasabah pada bank, yang pengaturannya berada

pada level Undang-Undang, dan memberikan

kewenangan kepada instansi atau lembaga aparat

penegak hukum tertentu untuk dapat melakukan

pemblokiran atas rekening simpanan, dan dilakukan

untuk kepentingan publik tertentu, misalnya :

1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau

pemeriksaan dalam penanganan perkara tindak

pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam

UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau

pemeriksaan dalam perkara tindak pidana

terorisme sebagaimana diatur dalam UU No. 15

Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, Menjadi Undang-undang;

3. Untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang

ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun

2002;

4. Untuk kepentingan penagihan pajak dengan surat

paksa sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19

Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan

Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan

UU Nomor 19 Tahun 2000.

Dalam proses pemblokiran selain harus memperhatikan

peraturan perundang-undang yang berlaku, bank

juga harus mengedepankan prinsip kehati-hatian

(prudentiality). Dalam hal ini, pada saat bank

menerima perintah dari pejabat pajak, bank tetap

harus melakukan verifikasi kembali terhadap

kesesuaian data dan informasi yang tercantum dalam

surat perintah dengan data dan informasi nasabah

yang dimilikinya. Hal dimaksud perlu dimengerti

mengingat bank akan terpapar dengan risiko hukum

dalam hal bank melaksanakan pemblokiran ketika

terdapat ketidaksesuaian antara data dan informasi

yang dimintakan dengan data dan informasi yang

dimiliki bank. Risiko hukum tersebut antara lain

gugatan dari pemilik rekening dan/atau sanksi pidana

bagi manajemen bank sebagaimana diatur dalam

Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan.

Namun demikian, dalam hal data dan informasi yang

disampaikan oleh pejabat pajak telah sesuai dengan

data dan informasi yang dimiliki bank maka pada

prinsipnya tidak ada alasan bagi bank untuk tidak

melaksanakan perintah pejabat pajak. Demikian pula

terkait dengan perintah pemindahbukuan atas

deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,

giro atau bentuk simpanan lainnya di bank yang

sebelumnya telah dilakukan pemblokiran. Sesuai

dengan Pasal 7 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal

Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September

2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan pemblokiran

dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak

yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan

Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa apabila

penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan

biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari sejak penyitaan, pejabat pajak segera

meminta kepada pimpinan bank untuk memindah-

bukukan harta kekayaan penanggung pajak yang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

43

Page 51: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

tesimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang

tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.

Terkait ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pada prinsipnya bank tidak dapat menolak untuk

melakukan pemindahbukuan ke kas negara dalam

hal pejabat pajak dapat menyampaikan bukti bahwa

penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan

biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari sejak penyitaan. Penyampaian bukti

dimaksud sangat penting bagi bank guna meyakini

bahwa pemindahbukuan secara hukum dapat

dilaksanakan mengingat sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya bahwa apabila bank tidak

memiliki alas hak untuk melakukan pemindahbukuan

maka bank terpapar dengan risiko hukum.

D. Dukungan Bank Indonesia

Bank Indonesia selaku otoritas pengaturan dan

pengawasan perbankan pada prinsipnya senantiasa

mendukung upaya yang dilakukan oleh Kementerian

Keuangan dalam rangka meningkatkan kepatuhan

wajib pajak termasuk upaya paksa untuk pelunasan

utang pajak.

Berkaitan dengan hal tersebut Bank Indonesia telah

menerbitkan beberapa ketentuan yang mewajibkan

bank dalam menjalankan bisnisnya untuk senantiasa

patuh terhadap peraturan perundang-undangan

lainnya di luar peraturan perundang-undangan di

bidang perbankan. Pengaturan mengenai hal tersebut

antara lain tercermin dalam Pasal 49 Peraturan Bank

Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan

Good Corporate Governance bagi Bank Umum

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006, yang mewajibkan

bank untuk tidak hanya patuh pada ketentuan yang

dikeluarkan oleh Bank Indonesia namun juga patuh

terhadap peraturan perundang-undangan lainnya

yang berlaku.

Selain dalam bentuk ketentuan, wujud konkrit

dukungan Bank Indonesia terhadap upaya yang

dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka

memperlancar proses penagihan pajak yang diawali

dengan pelaksanaan pemblokiran adalah menerbitkan

surat yang ditujukan kepada bank di seluruh Indonesia,

yaitu surat Deputi Gubernur Nomor 2/35/DpG tanggal

30 Mei 2000, yang intinya menghimbau perbankan

nasional untuk dapat melaksanakan aturan-aturan

sebagaimana terdapat dalam UU tentang Penagihan

Pajak dengan Surat Paksa dan peraturan

pelaksanaannya, sebagai respon dari permintaan

dukungan yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak

kepada Bank Indonesia. Perihal yang sama ditegaskan

kembali oleh Bank Indonesia kepada perbankan

nasional melalui surat Deputi Gubernur Senior Bank

Indonesia Nomor 8/3/DGS/DPNP pada tahun 2006.

Selain itu, sebagai salah satu bentuk respon yang

dilakukan oleh BI dalam memberikan solusi alternatif

atas persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan

yang dihadapi oleh pejabat pajak maupun oleh Bank,

khususnya terkait dengan adanya praktek yang berbeda

antara pengaturan dalam Lampiran I Keputusan

Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan

Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang

Tersimpan Pada Bank Indonesia yang mewajibkan

pencantuman nomor rekening wajib pajak dalam

perintah pemblokiran, dengan praktek penerbitan

perintah pemblokiran oleh pejabat Pajak kepada

bank yang tidak menyebutkan nomor rekening,

melalui surat No.7/4/DGS/DHk tanggal 24 November

2005, Bank Indonesia menyarankan perlunya

amandemen atas Lampiran I Keputusan Direktur

Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001 tersebut,

dengan menghapus kewajiban pencantuman nomor

rekening dalam surat perintah pemblokiran.

Selanjutnya dalam rangka memperoleh informasi

terkait dengan kepatuhan bank terhadap perintah

pemblokiran yang diajukan oleh pejabat pajak, yang

merupakan salah satu jenis risiko (risiko kepatuhan/

compliance risk) yang harus dikelola oleh bank, Bank

Indonesia telah menginformasikan kepada Direktur

Jenderal Pajak (dhi melalui Sekretaris Direktorat

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

44

Page 52: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Jenderal Pajak) melalui surat No.12/470/DHk tanggal

19 November 2010 agar tembusan-tembusan

perintah pemblokiran dapat ditembuskan kepada

satuan kerja pengawasan bank di Bank Indonesia.

E. Penutup

Masih banyaknya pertanyaan tertulis yang diajukan

oleh perbankan kepada Bank Indonesia terkait dengan

tindak lanjut perintah pemblokiran dari pejabat pajak

kepada bank, menunjukkan bahwa aturan-aturan

terkait dengan pemblokiran dalam konteks penagihan

pajak dengan surat paksa, belum tersosialisasi secara

optimal. Permasalahan yang muncul di lapangan

tersebut diantaranya meliputi:

1. Ketidakcocokan antara identitas data nasabah

pada bank dengan identitas data penanggung

pajak yang diminta untuk diblokir;

2. Jangka waktu pemblokiran;

3. Perlakuan atas saldo rekening koran yang

merupakan rekening pinjaman nasabah pada

bank;

4. Permintaan pemblokiran yang diikuti dengan

permintaan kepada bank agar menyampaikan

laporan pelaksanaan pemblokiran kepada pejabat

pajak disertai dengan pemberian data dan

keterangan mengenai simpanan yang diblokir;

5. Permintaan pemblokiran oleh KPP kepada Bank

Indonesia atas rekening giro salah satu bank.

Memperhatikan banyaknya permasalahan tersebut,

maka diperlukan sosialisasi bagi Pejabat Pajak dan

bank berkenaan implementasi berbagai pengaturan

terkait Penagihan Pajak tersebut, dalam rangka

mengefektifkan pelaksanaannya dilapangan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

45

Page 53: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun

2000.

2. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.

3. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.

4. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

5. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

Menjadi Undang-Undang.

6. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

7. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

8. Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

46

Page 54: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

A. Pendahuluan

Setelah wacana pembentukan “mega” otoritas

untuk jasa keuangan yang sudah lama didengung-

dengungkan, akhirnya pada bulan November 2011

diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang

mengatur mengenai pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan (OJK). Mungkin tidak berlebihan bila

disebut dengan istilah “mega” mengingat nantinya

lembaga OJK ini akan memiliki kewenangan terhadap

sektor-sektor penting yang menunjang perekonomian

Indonesia yaitu perbankan, pasar modal, perasuransian,

dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga

keuangan lainnya.

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan

kegiatan di dalam sektor jasa keuangan1:

a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan

akuntabel;

b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c) Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan

masyarakat.

Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 UU OJK yaitu

melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan

terhadap:

a) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;

b) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c) Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,

dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga

jasa keuangan lainnya.

OJK dibentuk dan dilandasari dengan prinsip-prinsip

tata kelola yang baik, yang meliputi independensi,

akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan

kewajaran (fairness)2. Secara kelembagaan, OJK

berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa

OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah3.

Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-

unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya

OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan

yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan

otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter4.

Pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK

merupakan lembaga yang independen dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari

MENCERMATI CELAH INDEPENDENSI OJK DALAM UU OJK

Oleh :

Fransiska Ari Indrawati, SH,

Analis Bank Muda, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia

47

1 Pasal 4 UU OJK.

Abstrak

UU No. 21 Tahun 2011 telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen dan bebas dari

campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan

penyidikan sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Lembaga tersebut melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar

Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Independen-OJK)

2 PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK.

3 Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK.

4 Ibid.

Page 55: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang

secara tegas diatur dalam UU OJK.

Asas independensi secara lebih tegas dituangkan

dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan

bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya

berlandaskan antara lain asas independensi yaitu

independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,

dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku5.

Sebelum menelaah independensi OJK dari sisi

pengaturan dalam UU OJK, perlu dipahami terlebih

dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan

independensi secara umum.

Independensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan

sebagai “Independent : not dependent, not subject

to control, restriction, modification or limitation from

a given outside source”6. Dalam kamus tersebut,

independensi dipahami sebagai suatu kondisi yang

terbebas dari ketergantungan, terbebas dari kontrol,

modifikasi atau pembatasan dari pihak lain.

Bade and Parkin (1982) mengartikan independensi

pada suatu lembaga negara, misalnya bank sentral,

dikaitkan dengan terbebasnya dari pengaruh politik

dan hubungan dengan kepemerintahan.

“Political Independence is defined essentially as in

Bade and Parkin (1982), as the ability of the central

bank to select its policy objectives without influence

from the government. This measure is based on

factors such as whether or not its governor and the

board are appointed by the goverment, the length

of their appointments, whether government

representatives sit on the board of the bank, whether

goverment aproval for monetary policy decisions is

required and whether the “price stability” objective

is explicitly and prominently part of the central bank

statute7.”

Independen secara politik oleh Bade and Perkin

diartikan bahwa bank sentral memiliki kemampuan

untuk menentukan kebijakan tanpa pengaruh dari

Pemerintah. Penilaian tersebut didasarkan pada faktor

sebagai berikut : (i) apakah dewan gubernur dipilih

oleh Pemerintah, (ii) bagaimana jangka waktu

penunjukkannya, (iii) apakah Pemerintah menjadi

duduk dalam dewan pada bank sentral, (iv) apakah

persetujuan Pemerintah diperlukan untuk kebijakan

moneter dan (v) apakah stabilitas harga merupakan

tujuan utama bank sentral.

Seorang pakar, Fabian Amtenbrink, menguraikan

bahwa pendekatan secara hukum mengenai

independensi suatu otoritas keuangan, dalam hal ini

bank sentral, dilihat dari segi independensi institusi,

fungsi, organisasi dan keuangan/finansial (institutional

independence, functional independence,

organisational independence, and financial

independence)8. Kemandirian institusi yang dimaksud

adalah terpisahnya suatu bank sentral dari kekuasaan

eksekutif dan kewenangan legislatif. Sedangkan

untuk kemandirian fungsi dinilai dari kebebasan

institusi memilih instrumen yang diperlukan untuk

mencapai tujuannya. Kemandirian organisasi dalam

hal ini dihubungkan dengan susunan personalia dari

organ-organ yang ada di bank sentral dan sistem

pengangkatan dan pemberhentian karyawannya.

Sementara itu kemandirian finansial dihubungkan

dengan anggaran yang disusun tersendiri dan terlepas

dari persetujuan Pemerintah.

Dari beberapa pengertian independensi tersebut,

dapat disimpulkan bahwa independensi merupakan

suatu keadaan yang terbebas dari pengaruh apapun

baik dari kekuasaan pemerintah ataupun pihak lainnya

termasuk dari sisi anggaran yang dimiliki atau dikelola.

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

7 Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy.” Unpublished, 1982.

8 Fabian Amtenbrink, The Democratic Accountability of Central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999, hal 18 -21

5 Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK.

6 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm. 472.

Page 56: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Tulisan ini selanjutnya akan mencermati pokok-pokok

pengaturan dalam UU OJK yang dirasa dapat

memberikan celah untuk timbulnya campur tangan

dari pihak ketiga terhadap pelaksanaan tugas dan

kewenangan OJK, yaitu pengaturan mengenai (1)

hubungan antar instansi/kelembagaan, (2) komposisi

Dewan Komisioner OJK dan (3) anggaran.

B. HUBUNGAN ANTAR INSTANSI/KELEMBAGAAN

Sesuai dengan UU OJK, OJK akan melaksanakan

tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan

jasa keuangan di seluruh sektor jasa keuangan yaitu

di perbankan, pasar modal, perasuransian, dana

pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan

lainnya. Apabila dicermati lebih mendalam, hubungan

atau koordinasi OJK dengan lembaga negara lainnya

dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai

berikut:

1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan9,

yang akan terkait dengan lembaga:

a. Bank Indonesia;

b. LPS.

2. Tugas penyidikan10, yang akan terkait dengan

lembaga:

a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain;

b. Kejaksaan;

c. Kepolisian;

d. Pengadilan.

3. Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan11, yang akan

terkait dengan:

a. Menteri Keuangan;

b. Gubernur Bank Indonesia;

c. Ketua Dewan Komisioner LPS.

Hubungan dengan seluruh instansi tersebut tidak

langsung diartikan bahwa OJK sebagai lembaga

negara yang tidak independen. Hubungan dan

koordinasi dengan lembaga lain tetap diperlukan

dalam rangka koordinasi, kerjasama dan harmonisasi

kebijakan di bidang fiskal, moneter dan sektor jasa

keuangan. Namun demikian, dalam rangka menjaga

independensi OJK dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya tersebut, sebaiknya teknis pelaksanaan

hubungan antar instansi tersebut dituangkan secara

tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan

agar menjadi jelas batasan-batasannya.

Dari hubungan antar instansi tersebut, terdapat dua

titik rawan pada hubungan kelembagaan yang dapat

mempengaruhi OJK dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya secara mandiri, yang lebih lanjut

diuraikan berikut ini.

1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan

Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK

berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam

menyusun pengaturan tertentu terkait pengawasan

di bidang perbankan. Selain itu, Pasal 40 UU OJK

lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan

fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam

rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank

Indonesia tetap berwenang untuk melakukan

pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan

secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.

Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) huruf (a) UU OJK

menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam

mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan

ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan

yang berkaitan dengan microprudential.

Sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas

pengaturan perbankan terkait macroprudential.

Berkaitan dengan hal ini, jelas bahwa tugas

pengaturan perbankan tidak sepenuhnya

dilaksanakan secara independen oleh OJK karena

pengaturan microprudential dan macroprudential

akan sangat berkaitan.

Dalam pengaturan tersebut, kita juga dapat

melihat bahwa OJK masih memiliki “hubungan

khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam

pengaturan dan pengawasan perbankan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

49

9 Lihat Pasal 39 s.d Pasal 43 UU OJK.

10 Lihat Pasal 51 UU OJK.

11 Lihat Pasal 44 Ayat 1 UU OJK.

Page 57: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Bagaimanapun Bank Indonesia sebagai bank

sentral, dimana sebelum diterbitkannya UU OJK

dan pengalihan pada akhir Desember 2013,

mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan

dan pengawasan bank dan memiliki pengalaman

lebih lama dalam mengatur dan mengawasi

perbankan sehingga masukan pengaturan yang

disampaikan oleh Bank Indonesia akan memiliki

pengaruh yang besar dalam pengaturan yang

dilakukan oleh OJK.

Selain itu, “hubungan khusus” antara OJK dengan

Bank Indonesia lainnya dapat dilihat dari Pasal

41 Ayat 2 UU OJK, dimana OJK menginformasikan

kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-

langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan

likuiditas atau memburuknya kesehatan pada

bank. Yang dimaksud dengan langkah-langkah

tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan

jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank

Indonesia sebagai lender of last resort12.

Berdasarkan hal tersebut, maka bila bank

mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya

kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat

memberikan kredit kepada bank dengan jaminan

agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.

Dengan demikian, tidak dipungkiri bahwa

keberadaan Bank Indonesia sebagai lender of last

resort masih sangat diperlukan di sektor perbankan

dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada

Bank Indonesia khususnya yang terkait dengan

penyelamatan bank.

Hal-hal semacam inilah yang dapat menimbulkan

pertanyaan terhadap independensi OJK secara

institusi/kelembagaan dalam melaksanakan tugas

dan kewenangannya, khususnya dalam sektor

perbankan karena masih terdapat hubungan yang

erat antara OJK terhadap Bank Indonesia.

2. Tugas Penyidikan

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur

dalam Pasal 49 s.d Pasal 51 UU OJK. Dalam

pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai

Negeri yang telah diangkat menjadi Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan

kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49

Ayat (3) huruf i UU OJK lebih lanjut mengatur

bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang

meminta bantuan aparat penegak hukum lain

dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan.

Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian

adalah Pasal 51 UU OJK yang menyebutkan

bahwa PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya

dapat ditarik dengan pemberitahuan paling

singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan

tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat

diartikan bahwa dimungkinkan adanya PPNS yang

merupakan penugasan dari instansi lain misalnya

penyidik dari Kepolisian Negara RI13 atau Badan

Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

(disingkat Bapepam-LK)14 yang dipekerjakan di

OJK.

Dengan adanya penugasan bersifat sementara

dari instansi lain tersebut, tugas penyidikan

menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena

adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain

mengingat pejabatnya dipekerjakan di OJK.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

50

12 Penjelasan Pasal 41 Ayat (2) UU OJK.

13 Pasal 6 KUHAP berbunyi sebagai berikut:Pasal 6(1) Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan

diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah

14 Pasal 101 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal berbunyi sebagai berikut:Pasal 101(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi

wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Page 58: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Jika dibandingkan pengaturan penyidikan pada

instansi lain, misalnya Bapepam-LK, Bapepam-LK

yang bukan merupakan lembaga independen

negarapun,pelaksanaan tugas penyidikannya

diatur secara independen, dalam artianterbebas

dari campur tangan pihak lain.

Dalam penyidikan yang dilakukan oleh Bapepam-

LK, penyidik hanya dibatasi dari lingkungan

Bapepam-LK. Lebih lanjut diatur bahwa dalam

rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan

tersebut Bapepam-LK dapat meminta bantuan

dari aparat penegak hukum lainnya misalnya

Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal

Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan

Agung15. Dari pengaturan tersebut, dapat

diartikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik lain sifatnya berupa “bantuan”tanpa

harus dipekerjakan atau menjadi bagian dari

Bapepam-LK.

C. KOMPOSISI DEWAN KOMISIONER

Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK

dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri atas 9

(sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7

(tujuh) anggota yang dipilih oleh DPR berdasarkan

calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2

(dua) anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang

merupakan anggota dewan Gubernur Bank Indonesia

dan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan16.

Keseluruhan anggota Dewan Komisioner lebih lanjut

memiliki hak suara yang sama.

Pemilihan dan penentuan calon anggota Dewan

Komisioner dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang

dibentuk dengan Keputusan Presiden yang terdiri

atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia dan

masyarakat.

Pengertian independen terkait dengan komponen

Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi dipertanyakan

mengingat terdapat unsur Bank Indonesia dan

Kementerian Keuangan dalam Dewan Komisioner

OJK. Seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi pun

berasal antara lain dari unsur Pemerintah sehingga

dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa anggota

Dewan Komisioner OJK yang terpilih nantinya

merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa

kepentingan tertentu.

Namun demikian, Pasal 22 UU OJK telah mengantisipasi

agar anggota Dewan Komisioner terbebas dari

pengaruh politik ataupun pengaruh lainnya dalam

melaksanakan tugasnya. Dalam ketentuan tersebut,

tersebut diatur bahwa anggota Dewan Komisioner

dilarang:

a. Memiliki benturan kepentingan di lembaga jasa

keuangan yang diawasi oleh OJK;

b. Menjadi penggurus dari organisasi pelaku atau

profesi di Lembaga Jasa Keuangan;

c. Menjadi pengurus partai politik; dan

d. Menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali

dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan

wewenang OJK dan/atau penugasan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan hal tersebut dan melihat

pengaturan komposisi Dewan Komisioner OJK saat

ini, diharapkan agar Dewan Komisioner OJK yang

akan dipilih nantinya dapat bersikap independen

dalam melaksanakan tugasnya dan dapat mengemban

amanat demi kepentingan OJK sebagai lembaga

negara yang independen demi perkembangan sektor

jasa keuangan di Indonesia.

D. ANGGARAN

Pengaturan tentang anggaran OJK diatur pada Pasal

34 s.d Pasal 37 UU OJK. Pasal 34 UU OJK mengatur

bahwa anggaran OJK bersumber dari:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

dan/atau

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

51

15 Lihat Pasal 101 Ayat (6) UU Pasar Modal dan Penjelasannya.

16 Lihat Pasal 10 UU OJK.

Page 59: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

2. Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan

di sektor jasa keuangan,yaitu Lembaga Jasa

Keuangan dan/atau orang perseorangan atau

badan hukum yang melakukan kegiatan disektor

jasa keuangan.

Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional

OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana

awal ke OJK17.

Anggaran OJK tersebut nantinya digunakan untuk

membiayai kegiatan sebagai berikut18:

1. Kegiatan operasional, mencakup kegiatan

penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang

OJK, antara lain pengaturan, pengawasan,

penegakan hukum, edukasi dan perlindungan

konsumen;

2. Kegiatan administratif, mencakup kegiatan

perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan,

pengembangan organisasi dan sumber daya

manusia;

3. Kegiatan pengadaan aset, mencakup aset lancar

dan aset non lancar antara lain persediaan, gedung,

peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan

kantor, serta infrastruktur teknologi informasi.

4. Kegiatan pendukung lainnya.

Dengan adanya pengaturan anggaran OJK yang

demikian, maka dapat diartikan bahwa pelaksanaan

tugas dan wewenang OJK bergantung kepada APBN

yang disetujui oleh DPR dan/atau Pihak yang diawasi

oleh OJK, serta Pemerintah. Hal yang perlu dicermati

lebih lanjut adalah apabila anggaran OJK sepenuhnya

berasal dari APBN ataupun dari penempatan dana

awal dari Pemerintah.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara (UUKN), APBN merupakan

rencana keuangan tahunan pemerintahan negara

yang disetujui oleh DPR. APBN disusun sesuai dengan

kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara

dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan

negara dengan berpedoman kepada rencana kerja

Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya

tujuan bernegara19.

Apabila anggaran OJK berasal dari APBN, maka dapat

dikatakan pula bahwa OJK merupakan bagian

dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN

disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan negara dan kemampuan dalam

menghimpun pendapatan negara.OJK dikhawatirkan

juga akan rentan terhadap tekanan politik dari

Pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh

APBN tersebut. Dengan demikian, dikhawatirkan

OJK akan kehilangan kemandiriannya sebagai suatu

insitusi.

Demikian halnya jika Pemerintah melakukan

penempatan dana awal pada OJK, maka sudah

sewajarnya jika Pemerintah merasa ikut andil dalam

pembiayaan OJK sehingga dapat melakukan kontrol

terhadap OJK.

E. PENUTUP

OJK diamanatkan dalam UU OJK sebagai lembaga

memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan

dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor

jasa keuangan secara terpadu, independen dan

akuntabel.

19 Pasal 12 UUKN berbunyi sebagai berikut:“Pasal 12(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.

(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.

(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat..”

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

52

17 Lihat Pasal 35 Ayat (3) UU OJK.

18 Lihat Pasal 35 jo Penjelasan Pasal 35 UU OJK

Page 60: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Pengaturan dalam UU OJK tentang koordinasi dan

kerjasama dengan instansi/lembaga lain sebenarnya

tidak serta merta menjadikan OJK menjadi institusi

yang tidak mandiri mengingat kewenangan

sepenuhnya masih tetap berada pada OJK. Namun

demikian, apabila OJK ingin menjadi lembaga yang

independen sepenuhnya, maka pelaksanaan

kewenangan OJK harus dilaksanakan seutuhnya oleh

OJK dengan mempertimbangkan hasil koordinasi

dan kerjasama dengan pihak lainnya.

OJK juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang

independen meskipun anggota Dewan Komisioner

OJK nantinya akan berasal dari unsur Pemerintah,

Bank Indonesia dan masyarakat. Dewan Komisioner

diharapkan dapat mengedepankan kepentingan OJK

dan meniadakan kepentingan instansi/lembaga yang

diwakilinya ataupun kepentingan politik tertentu.

Dari aspek anggaran, pengaturan dalam UU OJK

telah mengatur bahwa anggaran OJK antara lain

dapat bersumber dari APBN ataupun dapat berupa

penempatan dana awal dari Pemerintah. Meskipun

demikian, diharapkan OJK dapat ditempati oleh

pejabat yang profesional sehingga dapat melakukan

tugas dan wewenangnya tanpa intervensi dari

Pemerintah maupun lembaga negara lainnya sehingga

tujuan pembentukan OJK sebagai lembaga yang

independen sebagaimana diamanahkan dalam UU

OJK dapat terwujud.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

53

Page 61: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

54

DAFTAR PUSTAKA

1. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan

2. Black’s Law Dictionary, 6th edition, henry Campbell Black, MA, St Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997

3. Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy”, unpublished, 1982.

4. Fabian Atembrink, The Democratic Accountability of central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999.

Page 62: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

55

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2012

14/3/PBI/2012

14/2/PBI/2012

14/1/PBI/2012

Tanggal Satker PerihalPeraturan

29/03/2012

6/01/2012

4/01/2012

DASP

DASP

DPbS

Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan

Kartu

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.9/5/PBI/2007 tentang

Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah

Page 63: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

56

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 64: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

57

DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012

Tanggal Satker PerihalPeraturan

14/14/DASP

14/13/DPNP

14/12/DSM

14/11/DPM

14/10/DPNP

14/9/DPM

14/8/DPNP

14/7/DPbS

14/6/DPM

14/5/DSM

14/4/DPNP

18/04/2012

9/04/2012

21/03/2012

21/03/2012

15/03/2012

9/03/2012

6/03/2012

29/02/2012

13/02/2012

27/01/2009

25/01/2012

DASP

DPNP

DSM

DPM

DPNP

DPM

DPNP

DPbS

DPM

DSM

DPNP

Tata Cara Penerbitan dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah

Negara.

Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia No.23/15/BPPP tanggal 28

Februari 1991 Perihal Kegiatan Bank Di Pasar Modal

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM

tanggal 30 Desember 2011 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas

Devisa oleh Bank

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD

perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.

Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian

Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor

Perubahan Ketiga atas Surat Edaran BI No.12/18/DPM tanggal 7 Juli

2010 perihal Operasi Pasar Terbuka

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP

tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum

Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah

Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara

Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka

Operasi Pasar Terbuka Syariah

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM

tanggal 22 Januari 2009 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum

Bank Umum

Page 65: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

58

Tanggal Satker PerihalPeraturan

14/3/DPM

14/2/DPM

14/1/DPM

4/01/2012

4/01/2012

4/01/2012

DPM

DPM

DPM

Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah

Antarbank

Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank

Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 66: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

59

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012

14/3/PBI/2012 1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan

program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

(APU dan PPT) yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa sistem

pembayaran. Saat ini program APU dan PPT telah diterapkan pada

penyelenggara jasa sistem pembayaran yaitu bank umum dan BPR. Oleh

karenanya dipandang perlu untuk menerbitkan aturan bagi pihak selain

Bank.

2. Yang dimaksud sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain

Bank (Penyelenggara) dalam PBI ini adalah badan usaha berbadan hukum

Indonesia yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk

menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Kewajiban untuk

menerapkan program APU dan PPT khususnya berlaku bagi Penyelenggara

Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai:

a.penerbit dan/atau acquirer kegiatan Alat Pembayaran dengan

Menggunakan Kartu (APMK);

b.penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik; dan

c. penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU).

3. Terdapat 4 (empat) besaran dari program APU dan PPT yang harus

diterapkan oleh Penyelenggara, yaitu:

a. tanggung jawab direksi dan pengawasan aktif dewan komisaris;

b.kebijakan dan prosedur tertulis;

c. pengendalian internal; dan

d.sumber daya manusia.

4. Tanggung jawab Direksi Penyelenggara antara lain mencakup:

a.menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program APU

dan PPT;

b.memastikan penerapan program APU dan PPT;

c. memastikan penyampaian laporan kepada PPATK sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

RingkasanTanggalPeraturan

29 Maret 2012

Page 67: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

60

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Di sisi lain, tanggung jawab Dewan Komisaris antara lain:

d.memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU

dan PPT; dan

e.mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan

program APU dan PPT.

5. Kebijakan dan prosedur yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa

sistem pembayaran selain bank mencakup:

a.Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due

Diligence (EDD);

b.Penatausahaan dokumen;

c. Penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna

jasa;

d.Penolakan dan penghentian hubungan usaha;

e.Kebijakan dan prosedur transfer dana; dan

f. Pelaporan kepada PPATK.

6. Yang dimaksud dengan CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi,

dan pemantauan terhadap pengguna jasa yang dilakukan Penyelenggara

untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan profil pengguna jasa.

Sedangkan EDD pada prinsipnya merupakan tindakan CDD lebih mendalam

yang dilakukan Penyelenggara pada saat berhubungan dengan pengguna

jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan pencucian

uang dan pendanaan terorisme. Baik dalam pelaksanaan CDD maupun

EDD, Penyelenggara diharuskan untuk meminta berbagai dokumen yang

berguna dalam melakukan identifikasi dan penyusunan profil pengguna

jasa, seperti dokumen identitas, dan melakukan pencatatan informasi

terkait transaksi yang dilakukan pengguna jasa, seperti nilai dan tanggal

transaksi.

7. Untuk memenuhi kewajiban terkait pengendalian internal, Penyelenggara

harus menyusun kebijakan pembagian wewenang dan tanggung jawab

masing-masing satuan kerja yang terkait dengan penerapan program

APU dan PPT, serta melaksanakan pemeriksaan internal terhadap

pelaksanaan program APU dan PPT.

8. Terkait sumber daya manusia, Penyelenggara diwajibkan untuk:

a.melakukan prosedur penyaringan (screening) penerimaan pegawai

baru;

RingkasanTanggalPeraturan

Page 68: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

61

b.menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan mengenai

penerapan program APU dan PPT; dan

c. membentuk unit kerja atau menunjuk pejabat yang bertanggung

jawab atas penerapan program APU dan PPT di Penyelenggara.

9. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban menerapkan program

APU dan PPT dapat dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia

berupa:

a. teguran tertulis;

b.penghentian sementara seluruh atau sebagian kegiatan usaha

Penyelenggara;

c. pembatalan izin; dan/atau

d.pencabutan izin.

10.Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebelum

berlakunya PBI ini wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis

mengenai program APU dan PPT yang dimilikinya menjadi sesuai dengan

PBI ini paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya PBI ini.

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan

penerapan aspek kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan

manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan Alat

Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).

2. Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank

Indonesia ini antara lain meliputi:

a. penegasan definisi Acquirer dalam rangka memperjelas peran dan

cakupan kegiatan Acquirer, serta pencantuman definisi Penyerahan

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain, yang dikenal

dengan Alih Daya.

b.pengaturan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit, yang besarnya

ditetapkan Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia.

c. pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit seperti

batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum

plafon kredit, dan jumlah maksimum Penerbit yang dapat memberikan

fasiltas Kartu Kredit yang akan diatur secara rinci dengan Surat Edaran

Bank Indonesia.

RingkasanTanggalPeraturan

14/2/PBI/2012 06 Januari 2012

Page 69: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

d.penerapan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen seperti

penyeragaman pola perhitungan bunga Kartu Kredit, pengenaan biaya

dan denda, serta kewajiban penyampaian informasi kepada pemegang

kartu.

e. pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada PBI

tentang Alih Daya (outsourcing) terutama yang terkait dengan penagihan

utang Kartu Kredit.

f. pengaturan peningkatan keamanan transaksi alat pembayaran berupa

kewajiban implementasi transaction alert kepada Pemegang Kartu Kredit.

g.kewajiban penyediaan sistem yang dapat saling dikoneksikan.

h.penegasan kewenangan Bank Indonesia dalam perizinan dan pengenaan

sanksi dalam penyelenggaraan APMK.

3. Pengaturan mengenai penetapan batas maksimum suku bunga Kartu

Kredit, pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit

berlaku secara efektif per 1 Januari 2013.

4. Dalam rangka pengaturan persyaratan pemberian fasilitas Kartu Kredit,

Penerbit diwajibkan melakukan pembaruan data Pemegang Kartu seperti

data pendapatan per bulan. Disamping itu Penerbit juga diwajibkan

melakukan penyesuaian fasilitas Kartu Kredit yang telah diperoleh dengan

diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal

1 Januari 2013.

5. Beberapa ketentuan lain secara rinci akan diatur lebih lanjut dengan

Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tata cara penyampaian informasi,

penentuan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit dan pokok-pokok

etika penagihan Kartu Kredit.

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini dilakukan dalam rangka

mendorong dan mengembangkan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan

Prinsip Syariah (PUAS), melalui penyempurnaan mekanisme transaksi

PUAS.

2. Perubahan yang terjadi dalam PBI ini mencakup:

a. Peserta Transaksi PUAS dan Perusahaan Pialang

1. Diperjelasnya keikutsertaan Bank Asing dalam transaksi PUAS.

2. Diperjelasnya peran Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing

(Perusahaan Pialang) dalam transaksi PUAS.

RingkasanTanggalPeraturan

14/1/PBI/2012 04 Januari 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

62

Page 70: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

b.Pengalihan Kepemilikan Instrumen PUAS

Mengatur mekanisme terkait pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS

sebelum jatuh waktu dengan cara jual beli. Penjual Instrumen PUAS

dapat berjanji (al wa’d) untuk membeli kembali instrumen PUAS yang

telah dialihkan pada harga yang disepakati di awal.

c. Pengaturan mengenai sanksi

1. Sanksi terkait pelanggaran perizinan instrumen PUAS dan transaksi

instrumen PUAS yang belum memperoleh izin dari BI akan dikenakan

sanksi berupa:

a. teguran tertulis; dan

b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh

lima juta rupiah).

2. Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dapat

melakukan penempatan pada instrumen yang diterbitkan oleh

Bank Asing, sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah. Pelanggaran

terhadap hal tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal

58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah

Terminologi dalam PBI

Dilakukan penyesuaian istilah dalam PBI dengan mengacu pada

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

yaitu semua penyebutan “Bank Syariah” dalam PBI No. 9/5/PBI/2007

tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah beserta

peraturan pelaksanaannya harus dimaknai sebagai “BUS”.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

63

Page 71: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 72: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

1. Penerbitan SE BI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan

Menteri Keuangan No.05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang

Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana

Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut, terdapat

penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat Berharga

Syariah Negara (SBSN) melalui metode lelang SBSN tambahan atau green

shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen Lelang dalam hal ini harus

menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Lelang SBSN,

mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SE BI No.12/31/DASP tanggal

10 November 2010, belum memuat mengenai mekanisme lelang tambahan

atau green shoe option tersebut.

2. Lelang SBSN Tambahan (green shoe option) adalah penjualan SBSN di

pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari

kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang

tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah

ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar SBSN

dan mendorong pasar keuangan syariah pada umumnya.

3. Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan

dengan ketentuan sebagai berikut:

a.Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh

Bank Indonesia, LPS, dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan

penawaran pembelian dalam lelang SBSN;

b.Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian

dalam lelang SBSN;

c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi

paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut

pada lelang SBSN sebelumnya, dan

d.Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN

Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia.

65

RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012

14/14/DASP

RingkasanTanggalPeraturan

18 April 2012

Page 73: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

4. Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia

mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang

memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Jenis dan seri;

b.Peserta lelang;

c. Waktu pelaksanaan lelang;

d.Jangka waktu;

e. Tanggal penerbitan;

f. Tanggal setelmen;

g.Tanggal jatuh waktu;

h.Jenis mata uang; dan

i. Waktu pengumuman hasil lelang.

Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang tersebut setelah penetapan

Lelang SBSN oleh Menteri Keuangan c.q DJPU.

5. Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan

tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN

sebelumnya yaitu:

a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat

2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2).

b.Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat

5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5).

6. Dalam hal Menteri Keuangan c.q. DJPU melakukan pembatalan Lelang

SBSN atau menolak seluruh penawaran pembelian Lelang SBSN, Bank

Indonesia akan mengumumkan pembatalan atau penolakan tersebut

melalui BI-SSSS dan LHBU atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

7. Dengan diterbitkannya SE BI ini, maka SE BI No.12/31/DASP tanggal 10

November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

8. Penerbitan SEBI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012

tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di

Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut,

terdapat penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat

Berharga Syariah Negara melalui metode lelang Surat Berharga Syariah

Negara tambahan atau green shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

RingkasanTanggalPeraturan

Page 74: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Lelang dalam hal ini harus menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan

pelaksanaan Lelang SBSN, mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SEBI

No. 12/31/DASP tanggal 10 November 2010, belum memuat mengenai

mekanisme lelang tambahan atau green shoe option tersebut.

9. Lelang SBSN Tambahan (Green Shoe Option) adalah penjualan SBSN di

pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari

kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang

tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah

ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar Surat

Berharga Syariah Negara dan mendorong pasar keuangan syariah pada

umumnya.

10.Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan

dengan ketentuan sebagai beikut:

a.Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh

Bank Indonesia, LPS dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan

penawaran pembelian dalam lelang SBSN;

b.Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian

dalam lelang SBSN;

c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi

paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut

pada lelang SBSN sebelumnya, dan

d.Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN

Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia.

11.Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia

mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang

memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Jenis dan seri;

b.Peserta lelang;

c. Waktu pelaksanaan lelang;

d.Jangka waktu;

e. Tanggal penerbitan;

f. Tanggal setelmen;

g.Tanggal jatuh waktu;

h.Jenis mata uang; dan

i. Waktu pengumuman hasil lelang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

67

RingkasanTanggalPeraturan

Page 75: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

12.Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan

tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN

sebelumnya yaitu:

a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat

2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2)

b.Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat

5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5).

13.Dengan diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka SEBI No.

12/31/DASP tanggal 10 November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan

Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

1. Surat Edaran (SE) ini diterbitkan untuk mencabut SE BI No.23/15/BPPP

tanggal 28 Februari 1991 perihal Kegiatan Bank di Pasar Modal.

2. SE No.23/15/BPPP merupakan surat penyampaian kepada bank umum,

bank pembangunan, dan lembaga keuangan bukan bank di Indonesia

terkait terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990

tanggal 4 Desember 1990 tentang Pasar Modal.

3. Pencabutan SE No.23/15/BPPB dilakukan karena Keputusan Menteri

Keuangan (KMK) No.1548/KMK.013/1990 yang menjadi dasar penerbitan

SE tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan KMK

No.645/KMK.010/1995 tanggal 30 Desember 1995.

4. Substansi pengaturan mengenai kegiatan di pasar modal selanjutnya

mengacu kepada Undang-Undang No.8 Tahun 1998 tentang Pasar Modal.

5. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 9 April 201

1. Surat Edaran Bank Indonesia No.14/12/DSM tanggal 21 Maret 2012

tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM

Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank diterbitkan sebagai

tindak lanjut atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/21/PBI/2011

tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank.

RingkasanTanggalPeraturan

14/13/DPNP 09 April 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

68

14/12/DSM 21 Maret 2012

Page 76: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor No.13/33/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa

oleh Bank.

3. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 2012.

4. Perubahan dalam Surat Edaran ini meliputi:

a. Batas waktu penggunaan sandi sementara untuk keterangan dan data

yang belum diperoleh dari nasabah, yaitu sebelum berakhirnya MPL.

b.Penggunaan sandi tertentu untuk informasi Pemberitahuan Ekspor

Barang (PEB) terkait kegiatan ekspor dengan PEB yang dikeluarkan

sebelum 2 Januari 2012.

5. Sanksi ketidakbenaran laporan sehubungan dengan penyampaian rincian

transaksi terkait ekspor nasabah mulai berlaku untuk data periode laporan

Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah

kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan bagi kegiatan

ekonomi di sektor riil yang membutuhkan valuta asing, khususnya terkait

dengan kegiatan perdagangan internasional. Di samping itu, beberapa

penyempurnaan pengaturan dalam ketentuan ini diharapkan juga dapat

mendukung upaya pendalaman pasar valuta asing domestik dengan

tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah.

II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :

1.Pembelian valuta asing terhadap rupiah hanya dapat dilakukan untuk

jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen

underlying, kecuali untuk valuta asing yang likuiditasnya tidak tersedia

di pasar keuangan domestik.

2.Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing

kepada Bank di atas USD 100.000,00 (seratus ribu US Dollar) atau

ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing dengan jenis

underlying “Penempatan pada simpanan dalam valas” dihapus.

3.Pengaturan mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh

Nasabah melalui Automated Teller Machine (ATM) dihapus.

TanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

69

14/11/DPM 21 Maret 2012

Page 77: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

4.Dokumen yang dipersyaratkan dalam rangka transaksi pembelian

valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh Nasabah dengan

nilai nominal di atas USD100.000,00 (seratus ribu US Dollar), dilampirkan

pada setiap transaksi berdasarkan tanggal transaksi. Dalam hal dokumen

yang dipersyaratkan tidak dapat dilampirkan pada tanggal transaksi

maka dokumen dapat disampaikan paling lambat pada tanggal valuta

transaksi yang bersangkutan dengan mencantumkan tanggal transaksi.

5.Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah yang memiliki

kriteria berikut:

a. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara reguler

dengan jumlah pembelian yang relatif tetap dari waktu ke waktu;

b. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara bertahap

untuk tujuan pembayaran kewajiban valuta asing dengan total

jumlah pembelian paling banyak sebesar jumlah kebutuhan valuta

asing yang tercantum dalam dokumen underlying; dan

c. Nasabah telah dikenal baik oleh Bank dan Bank memiliki track

record Nasabah yang bersangkutan, dokumen yang dipersyaratkan

untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah dibuat 1

(satu) kali dalam satu tahun kalender atau sampai dengan jumlah

pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk pembayaran

sebagaimana tercantum dalam dokumen underlying terpenuhi,

tergantung mana yang lebih dahulu.

6.Dokumen transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh

Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa antara lain berupa

fotokopi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh

instansi yang berwenang, Letter of Credit (L/C), invoice dengan masa

berlaku paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal penerbitan invoice

atau sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau list of

invoices.

7.Dokumen underlying transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah

oleh Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa yang berupa list

of invoices diatur sebagai berikut:

a. list of invoices ditandatangani oleh pihak berwenang dari Nasabah;

dan

b. penyerahan list of invoices oleh Nasabah disertakan dengan invoices

asli untuk kepentingan verifikasi oleh Bank dan untuk selanjutnya

invoices asli tersebut dapat ditatausahakan oleh Nasabah;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

70

Page 78: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

8.Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyediakan invoices asli

sewaktu-waktu untuk kepentingan pemeriksaan Bank (post audit).

A. Latar belakang

Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) maka Bank perlu

meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB karena

pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan

berbagai Risiko bagi Bank. Sementara dari sudut pandang makroprudensial,

pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan

harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble)

sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan

eksposur kredit properti yang besar.

Untuk itu, agar tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif dan

mampu menghadapi tantangan sektor keuangan dimasa yang akan

datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan

sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang

dapat timbul, termasuk pertumbuhan KPR dan KKB yang berlebihan.

Kebijakan tersebut dilakukan melalui penetapan besaran Loan to Value

(LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB.

B. Pokok-pokok ketentuan

1.Pengaturan Loan to Value (LTV) pada KPR:

LTV paling tinggi 70% untuk kredit kepemilikan rumah dengan kriteria

tipe bangunan diatas 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan

terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan

pemerintah.

2.Pengaturan uang muka kredit atau Down Payment (DP) pada Kredit

Kendaraan Bermotor:

71

14/10/DPNP

RingkasanTanggalPeraturan

15 Maret 2012

KeteranganKetentuan

DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor

roda dua.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 79: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

72

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

RingkasanTanggalPeraturan

KeteranganKetentuan

DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor

roda empat untuk keperluan non

produktif.

DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor

roda empat atau lebih untuk keperluan

produktif, yaitu bila memenuhi salah

satu syarat :

• Merupakan kendaraan angkutan

orang atau barang yang memiliki izin

yang dikeluarkan oleh pihak

berwenang untuk melakukan

kegiatan usaha tertentu, atau

• Diajukan oleh perorangan atau

badan hukum yang memiliki izin

usaha tertentu yang dikeluarkan oleh

pihak berwenang dan digunakan

untuk mendukung kegiatan

operasional usaha yang dimiliki.

3.Rasio LTV untuk KPR dan besaran DP untuk KKB sebagaimana terdapat

dalam angka 1 dan angka 2 di atas dapat disesuaikan dari waktu ke

waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.

4.Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB sesuai Surat Edaran ini

mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran (sejalan

dengan pengaturan oleh Bapepam LK).

5.Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB tidak berlaku untuk kredit

yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya sesuai

Surat Edaran ini.

6.Sanksi pelanggaran atas :

a. Pemberian KPR dan KKB dikenakan sanksi administratif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei

2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum

sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009

tanggal 1 Juli 2009, antara lain berupa:

Page 80: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

73

RingkasanTanggalPeraturan

14/9/DPM 09 Maret 2012

14/8/NP 06 Maret 2012

1) Teguran tertulis;

2) Penurunan tingkat kesehatan Bank;

3) Pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau

4) Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau

pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat

predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan

atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana

diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

b. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan

dan prosedur dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

33 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan

Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah

dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.

7.SE ini mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan

mengenai besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB mulai berlaku

pada tanggal 15 Juni 2012.

Pada prinsipnya, penyempurnaan ketentuan dilakukan sebagai upaya

penyempurnaan mekanisme pengajuan transaksi early redemption Term

Deposit. yaitu yang semula diajukan secara manual, diubah, untuk diajukan

melalui BI-SSSS Terminal (ST). Pengajuan early redemption melalui sistem

mulai dilakukan sejak terbitnya Surat Edaran ini.

1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya

Peraturan Bank Indonesia No.13/19/PBI/2011 tanggal 22 September 2011

(Perubahan PBI LBBU) dan dalam rangka menyesuaikan dengan format

laporan dan melengkapi informasi yang diatur dalam ketentuan lainnya.

2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah:

a.menyempurnakan formulir laporan profil maturitas sesuai ketentuan

mengenai manajemen risiko likuiditas dan formulir pos-pos neraca

mingguan dalam rangka penyelarasan dengan format LBU yang baru;

b.melakukan penambahan formulir laporan perhitungan ATMR untuk

Risiko Kredit sesuai ketentuan mengenai perhitungan ATMR untuk

Risiko Kredit dan laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) sesuai

ketentuan mengenai transparansi informasi SBDK;

Page 81: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

14/7/DPbS 29 Februari 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

74

3. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, kewajiban penyampaian laporan SBDK

secara offline kepada Bank Indonesia sesuai SE BI No. 13/5/DPNP tanggal

8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya laporan perhitungan

SBDK tersebut disampaikan secara online melalui LBBU.

4. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Maret 2012.

1. Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi perbankan

syariah dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas, yang merupakan

pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008 tentang

Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah

(UUS), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

3. Produk Qardh Beragun Emas memiliki karakteristik (fitur) sebagai berikut:

a. Tujuan penggunaan adalah untuk membiayai keperluan dana jangka

pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk golongan

nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

b.Akad yang digunakan adalah akad qardh (untuk pengikatan pinjaman

dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah), akad

rahn (untuk pengikatan emas sebagai agunan atas pinjaman dana)

dan akad ijarah (untuk pengikatan pemanfaatan jasa penyimpanan

dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman dana).

c. Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS kepada

nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya

penyimpanan dan pemeliharaan.

d.Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang

disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga.

e. Tujuan penggunaan dana oleh nasabah wajib dicantumkan secara

jelas pada formulir aplikasi produk.

f. Emas yang akan diserahkan sebagai agunan Qardh Beragun Emas

harus sudah dimiliki oleh nasabah pada saat permohonan pembiayaan

diajukan.

4. Bank Syariah dan UUS dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas

wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

Page 82: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

75

a.Mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

b.Memiliki kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP)

tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko.

c. Jumlah portofolio Qardh Beragun Emas Bank Syariah pada setiap akhir

bulan paling banyak adalah jumlah terkecil antara 20% dari jumlah

seluruh pembiayaan yang diberikan atau 150% dari modal bank

(Kewajiban Penyediaan Modal Minimum/KPMM); dan untuk UUS,

sebesar 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan.

d.Jumlah pembiayaan paling banyak sebesar Rp250.000.000,00 untuk

setiap nasabah, dengan jangka waktu paling lama 4 bulan dan dapat

diperpanjang paling banyak 2 kali. Khusus untuk nasabah UMK dapat

diberikan pembiayaan paling banyak sebesar Rp50.000.000,00, dengan

jangka waktu paling lama 1 tahun dengan angsuran setiap bulan dan

tidak dapat diperpanjang.

e. Jumlah pembiayaan dibandingkan dengan nilai agunan atau Financing

to Value (FTV) paling banyak 80% dari rata-rata harga jual emas 100

gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT. ANTAM (Persero)

Tbk.

f. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis

(transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk (antara

lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila

terdapat sengketa) dan hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila

terjadi eksekusi agunan emas.

5. Bank Syariah dan UUS yang menjalankan produk Qardh Beragun Emas

sebelum memperoleh izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan

denda uang, dan bagi Bank Syariah atau UUS yang menjalankan produk

Qardh Beragun Emas yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam SE dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk tersebut.

6. Bagi Bank Syariah atau UUS yang telah menjalankan produk Qardh

Beragun Emas sebelum berlakunya SE ini wajib menyesuaikan:

a. kebijakan dan prosedur dengan mengacu pada karakteristik dan fitur

produk Qardh Beragun Emas paling lama 1 (satu) bulan terhitung

sejak berlakunya SE ini.

b. jumlah portofolio Qardh Beragun Emas, jumlah dan jangka waktu

pembiayaan setiap nasabah, dan FTV paling lama 1 tahun terhitung

sejak berlakunya SE ini.

Page 83: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

14/6/DPM 13 Februari 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

76

1. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) secara outright di Pasar Sekunder dalam

rangka kontraksi moneter dan/atau ekspansi moneter serta dalam rangka

menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi

Moneter Syariah (OMS) dalam mencapai sasaran operasional kebijakan

moneter Bank Indonesia.

2. Bank yang dapat mengikuti transaksi, harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a. Berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan BI-RTGS;

b.Tidak dalam masa penghentian sanksi sementara untuk mengikuti

OMS;

c. Memiliki Rekening Giro; dan

d.Memiliki Rekening Surat Berharga.

3. Bank Indonesia dapat melakukan transaksi pada setiap hari kerja, melalui

mekanisme lelang dan non lelang, serta mencakup SBSN Jangka Panjang

dan/atau SBSN Jangka Pendek.

a. Transaksi Lelang

1. Transaksi secara lelang dilakukan melalui BI-SSSS dengan metode

harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate

tender) antara pukul 08.00-16.00 sesuai dengan pengumuman

Bank Indonesia.

2. Pengajuan penawaran lelang dilakukan melalui BI-SSSS secara

langsung atau melalui Lembaga Perantara. Penawaran yang diajukan

Lembaga Perantara hanya untuk kepentingan Bank. Penawaran

dimaksud mencakup kuantitas transaksi, untuk lelang dengan

metode fixed rate tender atau kuantitas transaksi dan yield atau

harga SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.

3. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan

pembelian SBSN setelah window time ditutup secara individual

kepada pemenang lelang melalui BI-SSSS (mencakup nilai nominal

dan yield atau harga yang dimenangkan) dan secara keseluruhan

melalui BI-SSSS, Sistem LHBU, dan/atau sarana lainnya (berupa

nominal seluruh penawaran yang masuk, kisaran bid rate dan rata-

rata tertimbang tingkat yield).

b.Transaksi Non Lelang

Transaksi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan counterparty Bank

atau Lembaga Perantara melalui Reuters Monitoring Dealing System

(RMDS) atau Bloomberg atau sarana lainnya.

Ringkasan

Page 84: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

77

TanggalPeraturan

14/5/DSM 27 Januari 2012

4. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk

setelmen pembelian SBSN secara outright di pasar sekunder atau memiliki

jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk

setelmen penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder.

5. Setelmen transaksi dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja melalui Sistem

BI-RTGS dan BI-SSSS secara delivery versus payment (DVP) dengan

mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross).

6. Dalam hal Bank tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat

Berharga atau tidak memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi

untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN

secara outright di pasar sekunder yang dilakukan sampai dengan cut-

off warning Sistem BI-RTGS, transaksi dinyatakan batal dan Bank dikenakan

sanksi berupa:

a. teguran tertulis;

b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai

transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar

sekunder yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah);

c. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf

b dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal

sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank

dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti

OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.

7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Februari

2012.

1. Surat Edaran ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No.10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank

Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PBI

No.12/2/PBI/2010.

2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana telah diubah

dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret

2010.

Page 85: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

14/4/DPNP 25 Januari 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

78

3. Surat Edaran mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2012

yang disampaikan pada bulan Februari 2012.

4. Perubahan dalam Surat Edaran ini adalah terkait dengan perubahan

Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). Dengan

berlakunya Surat Edaran ini maka Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan

Bank Umum (LBU) yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi.

5. Apabila terdapat pertanyaan yang terkait dengan teknis/sistem cara

pelaporan, program data entry, dan sistem transmisi diajukan kepada

Tim Statistik Moneter, Keuangan dan Fiskal, Kantor Pusat Bank Indonesia,

Jakarta atau Kantor Bank Indonesia setempat. Sementara, apabila

pertanyaannya terkait dengan materi pelaporan, PSAK, dan PAPI diajukan

kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan atau Direktorat

Pengawasan Bank yang membawahi bank pelapor atau Kantor Bank

Indonesia setempat.

1. Surat Edaran (SE) ini merupakan petunjuk pelaksanaan atas Peraturan

Bank Indonesia No. 13/27/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan

Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (PBI).

2. Dalam rangka penerapan manajemen risiko terkait anggota Direksi,

Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif serta pembukaan, perubahan status,

pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank, Bank wajib memiliki

kebijakan dan prosedur yang paling kurang mencakup:

a. persyaratan dan tata cara pemilihan, penggantian, dan pemberhentian

anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif; dan

b.perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat

dan/atau penutupan kantor Bank dengan memperhatikan: visi dan

misi Bank, penilaian potensi ekonomi, penilaian kinerja kantor Bank,

dan realisasi tahun sebelumnya atas rencana pembukaan, perubahan

status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank.

3. Bank wajib menyusun kajian sebagai dasar untuk menetapkan rencana

pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan

kantor Bank dengan berpedoman pada aturan yang dimuat dalam

lampiran SE ini. Kajian tersebut wajib dicantumkan dalam lampiran

rencana bisnis bank terkait rencana pengembangan dan/atau perubahan

jaringan kantor sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia

mengenai rencana bisnis bank.

Page 86: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

79

14/3/DPM 04 Januari 2012

4. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan

sebagaimana diatur dalam PBI tersebut wajib diajukan oleh Bank kepada

Bank Indonesia dengan menggunakan format dan tata cara sebagaimana

ditetapkan dalam SE ini. Dalam hal format lampiran tidak diatur secara

khusus dalam SE ini, maka format penyampaian pengajuan permohonan

atau rencana dan/atau penyampaian laporan diserahkan kepada masing-

masing Bank.

5. Penyampaian laporan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian

Pejabat Eksekutif serta laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan

status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank melalui

laporan kantor pusat bank umum efektif berlaku pada tanggal 2 Januari

2012. Selama laporan dimaksud belum dapat disampaikan kepada Bank

Indonesia melalui laporan kantor pusat bank umum maka laporan

dimaksud wajib disampaikan secara offline setiap bulan paling lambat

tanggal 5 bulan berikutnya dengan berpedoman pada Lampiran 35,

Lampiran 35.a, dan Lampiran 37 SE, kepada Bank Indonesia dengan

alamat Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) ke Jl. M.H.

Thamrin No. 2, Jakarta 10350.

6. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 11/5/DPNP tanggal 28 Januari 2009 perihal Bank Umum dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku.

I. UMUM

1.Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank

(SiKA) adalah sertifikat yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah

oleh BUS atau UUS dalam transaksi PUAS yang merupakan bukti jual

beli dengan pembayaran tangguh atas perdagangan Komoditi di

Bursa.

2.Komoditi di Bursa adalah komoditi yang dipastikan ketersediaannya

untuk ditransaksikan di pasar komoditi syariah sebagaimana ditetapkan

oleh Bursa atas Persetujuan Dewan Pengawas Syariah, kecuali indeks

dan valuta asing.

3.Bursa adalah PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange)

yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Perdagangan

Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk mengadakan kegiatan pasar

komoditi syariah.

Page 87: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

80

4.Peserta Pedagang Komoditi adalah peserta yang menyediakan persediaan

(stock) komoditi di pasar komoditi syariah.

5.Peserta Komersial adalah BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membeli Komoditi

di Bursa.

6.Konsumen Komoditi adalah BUS atau UUS yang membeli Komoditi

di Bursa dari Peserta Komersial dengan cara menerbitkan SiKA.

II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN

SiKA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:

1.Diterbitkan atas dasar transaksi jual beli Komoditi di Bursa dengan

menggunakan akad Murabahah;

2.Diterbitkan dalam rupiah;

3.Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless);

4.Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari;

5.Tidak dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu.

III. MEKANISME TRANSAKSI

1.BUS atau UUS dapat menerbitkan SiKA (Konsumen Komoditi).

2.BUS, UUS, atau Bank Asing yang melakukan kegiatan berdasarkan

Prinsip Syariah dapat membeli SiKA (Peserta Komersial).

3.Penerbit SiKA menginformasikan kepada Pembeli SiKA antara lain:

informasi nilai nominal perdagangan Komoditi di Bursa sesuai Surat

Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT); marjin perdagangan

Komoditi di Bursa; dan jangka waktu pembayaran tangguh oleh

Konsumen Komoditi.

Peserta Pedagang Komoditi

Peserta Pedagang Komoditi

Peserta Pedagang Komoditi

BURSA

PIALANG

Rp100 + marjin, tangguh

SPAKTPeserta Komersial Konsumen Komoditi

Rp100 tunai

SPAKT Rp100 tunai

SPAKT

Page 88: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

81

RingkasanTanggalPeraturan

4.Peserta Komersial membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Pedagang

Komoditi dengan pembayaran tunai (al bai’) sebesar nilai nominal

komoditi.

5.Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang berupa SPAKT.

6.Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen Komoditi

dengan akad Murabahah.

7.Konsumen Komoditi membayar kepada Peserta Komersial secara

tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan dalam akad Murabahah

dan menerbitkan SiKA.

8.Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung dan/atau melalui

Perusahaan Pialang dengan akad Ju’alah.

IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI

1.Pada saat pembelian Komoditi di Bursa, Peserta Komersial melakukan

transfer dana kepada Peserta Pedagang Komoditi sebesar nilai nominal

komoditi dan memperoleh SPAKT dari Peserta Pedagang Komoditi.

2.Pada saat SiKA diterbitkan, Peserta Komersial menyerahkan SPAKT

kepada Konsumen Komoditi.

3.Pada saat penjualan Komoditi di Bursa oleh Konsumen Komoditi

kepada Peserta Pedagang Komoditi, Peserta Pedagang Komoditi

melakukan transfer dana kepada Konsumen Komoditi sebesar nilai

nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT.

4.Pada saat SiKA jatuh waktu, Konsumen Komoditi melakukan transfer

dana kepada Peserta Komersial sebesar nilai nominal komoditi ditambah

marjin perdagangan Komoditi di Bursa.

V. PELAPORAN

BUS atau UUS yang melakukan transaksi SiKA wajib melaporkan transaksi

SiKA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem LHBU. Namun demikian,

dalam hal SiKA belum dapat dilaporkan secara online melalui Sistem

LHBU, softcopy laporan disampaikan melalui e-mail dan hardcopy laporan

disampaikan melalui faksimili kepada Direktorat Perbankan Syariah dan

Direktorat Pengelolaan Moneter dengan format sebagaimana Lampiran

Surat Edaran.

VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari

2012.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

Page 89: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

82

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

RingkasanTanggalPeraturan

14/2/DPM 04 Januari 2012 I. UMUM

1.Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA) adalah sertifikat

yang diterbitkan oleh Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha

Syariah (UUS) yang digunakan sebagai transaksi di PUAS.

2.Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shohibul

maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan

usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung

dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue

sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati

sebelumnya.

II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN

SIMA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:

1.Diterbitkan dengan akad Mudharabah;

2.Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun valuta asing;

3.Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless);

4.Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari;

5.Dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu;

6.Dapat diterbitkan berdasarkan aset yang memiliki imbal hasil tetap

dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap;

7.Dapat diterbitkan paling banyak sebesar nilai aset yang menjadi dasar

penerbitannya.

III. MEKANISME TRANSAKSI

1.BUS atau UUS dapat menerbitkan SIMA.

2.BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat membeli SIMA.

3.Penerbit SIMA menginformasikan kepada Pembeli SIMA antara lain:

nilai nominal investasi; nisbah bagi hasil; jangka waktu investasi;

tingkat imbalan SIMA atau indikasi tingkat imbalan SIMA tergantung

pada jenis aset yang menjadi dasar penerbitannya, dan jenis aset yang

menjadi dasar penerbitan SIMA yaitu aset yang memiliki imbal hasil

tetap dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap.

4.Dalam hal terjadi pengalihan kepemilikan SIMA, pembeli SIMA terakhir

harus memberitahukan kepada penerbit SIMA agar memudahkan

penerbit SIMA dalam membayar nominal investasi pada saat jatuh

waktu dan pembayaran imbalan.

5.Dalam melakukan transaksi SIMA, peserta PUAS dapat menggunakan

jasa Perusahaan Pialang dengan menggunakan akad Ju’alah.

Page 90: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

83

RingkasanTanggalPeraturan

IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI

1.Pada saat SIMA diterbitkan, pembeli SIMA melakukan transfer dana

kepada penerbit SIMA sebesar nominal SIMA.

2.Pada saat SIMA jatuh waktu, penerbit SIMA melakukan transfer dana

kepada pembeli SIMA sebesar:

a. nilai nominal SIMA ditambah imbalan, untuk SIMA yang diterbitkan

dengan dasar aset yang memiliki imbal hasil tetap.

b. nilai nominal SIMA, untuk SIMA yang diterbitkan dengan dasar

aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap dan pembayaran imbalan

dilakukan pada hari kerja pertama bulan berikutnya setelah SIMA

jatuh waktu.

3.Pada saat SIMA dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu dengan

akad jual beli (al bai’) dan penjual SIMA berjanji (al wa’d) untuk membeli

kembali SIMA, dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Para pihak yang bertransaksi menyepakati harga pada saat penjualan

SIMA dan harga pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli

kembali pada awal transaksi.

b. Pada saat penjualan SIMA, pembeli SIMA melakukan transfer dana

ke rekening penjual SIMA sebesar harga yang disepakati.

c. Pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli kembali,

penjual SIMA melakukan transfer dana ke rekening pembeli SIMA

sebesar harga yang disepakati di awal

V. PELAPORAN

BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi SIMA wajib

melaporkan transaksi SIMA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU

sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU.

VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari

2012.

VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat

Edaran Bank Indonesia No.9/8/DPM tanggal 30 Maret 2007 perihal

Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Page 91: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan

14/1/DPM 04 Januari 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

84

I. UMUM

1.Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS) adalah

kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan

prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.

2. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip

syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai

sarana transaksi di PUAS

II. TATA CARA PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN INSTRUMEN

PUAS

1.BUS atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang

telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan

surat permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS kepada

Bank Indonesia u.p. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) dengan

tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM).

2.Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus

disertai dokumen sebagai berikut:

a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS

yang akan diterbitkan;

b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari BUS atau UUS terhadap

Instrumen PUAS yang akan diterbitkan;

c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan, yang

paling kurang menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses

akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur yang diperlukan

dan analisis risiko Instrumen PUAS tersebut;

d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak

keuangan; dan

e. informasi dan/atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan

berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut

III. MEKANISME TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS

1.BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat membeli Instrumen

PUAS yang diterbitkan oleh BUS atau UUS

2.BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat melakukan

pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu untuk

Instrumen PUAS yang menurut ketentuan Bank Indonesia dapat

dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu.

Page 92: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012

85

3.Dalam melakukan transaksi di PUAS, baik pada saat penerbitan

maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum

jatuh waktu, BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat

menggunakan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Perusahaan

Pialang).

4.BUS atau UUS yang melakukan penempatan dana pada instrumen

lain yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib memenuhi prinsip syariah.

IV. TATA CARA PELAPORAN

BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS wajib

melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU

sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai LHBU.

V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI

1.BUS atau UUS yang tidak menaati ketentuan tatacara penerbitan

Instrumen PUAS dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban

membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah).

2.BUS atau UUS yang melakukan Penempatan dana pada instrumen

yang diterbitkan oleh Bank Asing dalam transaksi PUAS yang tidak

memenuhi prinsip syariah, dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal

58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

VI. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada

tanggal 4 Januari 2012.

VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No.9/7/DPM

tanggal 30 Maret 2007 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip

Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Page 93: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari ... · Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan