buletin issn : 1693 - 3265 volume 10, nomor 1, januari ... · volume 10, nomor 1, januari - april...
TRANSCRIPT
Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana Perbankan
Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking
Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan
Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak
Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank
Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,
Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti
Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,
Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 1, Edisi Januari s.d April 2012 kembali hadir
ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya dalam format dan nuansa baru. Penerbitan kali ini merupakan edisi
khusus dalam rangka memperingati Kartini. Sebagai bentuk ekspresinya, seluruh penulis dalam edisi kali ini adalah
perempuan dengan segala keindahan dan keahlian di bidangnya masing-masing.
Topik utama Buletin menyoroti mengenai Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai
Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan, yang ditulis oleh Dr. Tini Kustini, SH. Dalam rangka penanganan
Tipibank, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan dari
koordinasi tersebut adalah untuk penegakan hukum di lingkungan perbankan mengingat bank dapat digunakan sebagai
sarana dan/atau sasaran Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih dari praktik penyimpangan yang dilakukan
oleh bank ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan Tipibank.
Selain itu, dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :
1. Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking, Prof. Dr. Etty S.Suhardo, SH, MS.
2. Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan, Dr. Go Lisanawati SH, MH.
3. Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang
Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank, Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat
Hukum Yunior).
4. Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda),
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai
dengan April 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, April 2012
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana Perbankan........................................................................................................................ 1 - 12
Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,
Bank Indonesia
Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking.............................................................................. 13 - 28
Prof. Dr. Etty S. Suhardo, SH, MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan .............................. 29 - 40
Dr. Go Lisanawati SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita PajakTerhadap Harta Kekayaan
Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank............................................................. 41 - 46
Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior),
Departemen Hukum, Bank Indonesia
Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK............................................................................... 47 - 54
Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,
Bank Indonesia
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012.............. 55 - 58
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum, Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012........ 59 - 85
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 10, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2012
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
A. PENDAHULUAN
Perkembangan dalam industri perbankan dan
teknologi informasi, disamping berdampak positif
dapat pula menimbulkan dampak negatif berupa
semakin beragamnya tindak pidana perbankan
(Tipibank).
Bank sering dijadikan sebagai sarana dan/atau sasaran
untuk memperkaya diri sendiri, keluarga atau
kelompok tertentu secara melawan hukum yang
dapat dilakukan oleh anggota dewan komisaris,
direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan/atau
pemegang saham baik dilakukan secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama dengan pihak di luar
bank.
Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengawas bank,
Bank Indonesia dapat menemukan adanya dugaan
Tipibank yang selanjutnya penanganannya akan
ditindaklanjuti melalui proses hukum.
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang
pelakunya diancam hukuman pidana berdasarkan
Undang-Undang. Unsur dari tindak pidana adalah
subyek (pelaku) dan wujud perbuatan baik yang
bersifat positif yaitu melakukan suatu perbuatan,
maupun negatif yaitu tidak melakukan suatu
perbuatan yang wajib dilakukan.
Tindak pidana perbankan melibatkan dana
masyarakat yang disimpan di bank, oleh karenanya
Tipibank merugikan kepentingan berbagai pihak,
baik bank itu sendiri selaku badan usaha maupun
nasabah penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas
perbankan, pemerintah dan masyarakat luas, sehingga
memerlukan penanganan yang tuntas.
Bank Indonesia ikut serta dalam penegakan hukum
(law enforcement) dalam bentuk investigasi dan/atau
pemeriksaan forensik terhadap Tipibank yang terjadi
pada suatu bank. Hasil investigasi dilaporkan kepada
penegak hukum sesuai dengan Hukum Acara Pidana
yang berlaku, dan pada akhirnya menghasilkan suatu
putusan pengadilan.
Peranan perbankan yang strategis dan karakteristik
bank sebagai lembaga kepercayaan, maka setiap hal
yang mengganggu kegiatan perbankan seperti
Tipibank memerlukan penanganan yang baik.
Mengingat, Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan penyidikan, maka penanganan
dugaan Tipibank memerlukan koordinasi dengan
lembaga lain, salah satunya adalah koordinasi antara
1
NOTA KESEPAHAMAN BANK INDONESIA, KEPOLISIAN, DAN KEJAKSAAN SEBAGAI BENTUK KOORDINASI
PENANGANAN TINDAK PIDANA PERBANKANOleh :
Dr. Tini Kustini, SH, Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia
Abstrak
MoU-Tipibank-Koordinasi.
Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank merupakan suatu MoU dengan bentuk gentlemen’s agreement yang
pelaksanaannya didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga mempunyai kekuatan mengikat secara moral
(moral obligation).
Bank Indonesia dengan penegak hukum. Selanjutnya,
untuk memperlancar, mempercepat, dan
mengoptimalkan penanganan Tipibank dilakukan
koordinasi antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia
yang ditetapkan dalam suatu Nota Kesepahaman.
B. TINDAK PIDANA PERBANKAN
Pemakaian istilah Tipibank dan tindak pidana di bidang
perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila
ditinjau dari segi yuridis tidak satupun peraturan
perundang-undangan yang memberikan pengertian
tentang Tipibank dengan tindak pidana di bidang
perbankan.1
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
Departemen Kehakiman memberikan pengertian
yang berbeda untuk kedua Tipibank dan tindak
pidana di bidang perbankan, yaitu2
a. Tindak pidana perbankan adalah:
1) Setiap perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
(Undang-Undang Perbankan).3
2) Tindak pidana yang dilakukan dalam
menjalankan fungsi dan usahanya sebagai
bank berdasarkan Undang-Undang
Perbankan.4
b. Tindak pidana di bidang perbankan adalah:
1) Segala jenis perbuatan melanggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan dalam
menjalankan usaha bank, baik bank sebagai
sasaran maupun sebagai sarana.5
2) Tindak pidana yang tidak hanya mencakup
pelanggaran terhadap Undang-Undang
Perbankan saja, melainkan mencakup pula
tindak pidana penipuan, penggelapan,
pemalsuan dan tindak pidana lain sepanjang
berkaitan dengan lembaga perbankan.6
Apabila ditinjau dari kedua pengertian istilah tersebut
di atas, maka terlihat perbedaan yang cukup mendasar.
Secara terminologis, istilah Tipibank berbeda dengan
tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana
di bidang perbankan mempunyai pengertian yang
lebih luas, yaitu segala jenis perbuatan melanggar
hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
dalam menjalankan usaha bank, sehingga terhadap
perbuatan tersebut dapat diperlakukan peraturan-
peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan
perbankan yang memuat ketentuan pidana maupun
peraturan-peraturan Hukum Pidana umum/khusus,
selama belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana
yang secara khusus dibuat untuk mengancam dan
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
1 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN, Jakarta, 1992, hlm. 68. Istilah tindak pidana di bidang perbankan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun dalam Undang-Undang tersebut tidak terdapat definisi atau pengertian tentang tindak pidana di bidang perbankan.
2 Ibid., bandingkan dengan Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 14, yang mengemukakan bahwa perbedaan yang cukup mendasar atas pengertian tindak pidana di bidang perbankan dan Tipibank adalah:a. Tipibank merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan).
b. Tindak pidana di bidang perbankan merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, KUHP, dan Peraturan Hukum Pidana Khusus, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Subversi, dan Undang-Undang No. 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
3 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.
4 Ibid, hlm. 8. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet. 2, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44, menyebut tindak pidana di bidang perbankan sebagai kejahatan perbankan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Istilah kejahatan perbankan digunakan mengingat belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana yang khusus dibuat untuk mengancam dan menghukum perbuatan-perbuatan tersebut di atas. Selain itu kejahatan perbankan mempunyai arti luas, karena dapat berarti bank sebagai korban maupun bank sebagai pelaku.
5 BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.
6 Ibid, hlm.12-13.
menghukum perbuatan-perbuatan tersebut.7 Artinya
tindak pidana di bidang perbankan menyangkut
perbuatan yang berkaitan dengan perbankan dan
diancam dengan pidana, meskipun diatur dalam
peraturan lain,8 atau disamping merupakan perbuatan
yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Perbankan dan Undang-Undang Perbankan Syariah,
juga merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan
di luar Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
Perbankan Syariah yang dikenakan sanksi berdasarkan
antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang, perbuatan mana
berhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha bank
seperti money laundering dan korupsi yang melibatkan
bank. Sementara itu, Tipibank lebih tertuju kepada
perbuatan yang dilarang, diancam pidana yang termuat
khusus hanya dalam Undang-Undang yang mengatur
perbankan.9
Sementara itu, Moch. Anwar membedakan
pengertian Tipibank dengan tindak pidana di bidang
perbankan berdasarkan perlakuan peraturan terhadap
perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum
yang berhubungan dengan kegiatan dalam
menjalankan usaha bank.10
Khusus untuk Tipibank, Indriyanto Seno Adji melihat
dalam dua sisi pengertian, yakni sempit dan luas.
Dalam pengertian sempit, Tipibank hanya terbatas
kepada perbuatan yang dikategorikan sebagai
perbuatan pidana menurut Undang-Undang
Perbankan. Sementara dalam pengertian luas,
Tipibank tidak terbatas hanya kepada yang diatur
oleh Undang-Undang Perbankan, namun mencakup
pula perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam
perbuatan pidana yang mengganggu sektor ekonomi
secara luas, yang juga meliputi kejahatan pasar modal
(capital market crime), kejahatan komputer (computer
crime), baik dengan itu timbul akibat kerugian pada
perusahaan swasta, maupun Pemerintah dan BUMN,
fiskal dan bea cukai (custom crime).11
Dalam rangka kesamaan persepsi atas pengertian
Tipibank, Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No.12/35/INTERN tanggal 23 Juli 2010
tentang Pedoman Mekanisme Koordinasi Penanganan
Dugaan Tindak Pidana Perbankan, memberikan
pengertian Tipibank sebagai tindak pidana yang
memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang
Perbankan atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan
Syariah). Unsur-unsur tindak pidana meliputi subyek
(pelaku) dan wujud perbuatannya baik yang bersifat
positif yaitu melakukan suatu perbuatan, maupun
yang bersifat negatif yaitu tidak melakukan suatu
perbuatan yang wajib dilakukan.
Dimensi bentuk tindak pidana di bidang perbankan
dapat berupa tindak pidana seseorang terhadap bank,
tindak pidana bank terhadap bank lain, ataupun
tindak pidana bank terhadap perorangan, sehingga
bank dapat menjadi korban ataupun pelaku.
Sedangkan dimensi ruang tindak pidana di bidang
perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu,
namun dapat melewati batas-batas teritorial suatu
7 H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana ... Op. Cit., hlm. 44. Bandingkan dengan M. Solehuddin, Tindak Pidana Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 11, yang menyatakan bahwa istilah tindak pidana perbankan sebenarnya terkandung tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perbankan, melainkan juga Undang-Undang Bank Indonesia, KUHP, dan peraturan tindak pidana khusus seperti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak PidanaPencucian Uang, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Lalu Lintas Devisa, dan Undang-Undang Anti Subversi.
8 Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 274.
9 Ibid, hlm. 274.
10 Istilah Tindak Pidana di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch Anwar, SH dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, H.A.K. Moch Anwar, Tindak Pidana ..... op.cit. Lihat pula Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan, Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm. 74.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
3
11 N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008, hlm. 212.
negara. Demikian pula dengan dimensi waktu, tindak
pidana di bidang perbankan dapat terjadi seketika,
namun dapat pula berlangsung beberapa lama.
Sementara itu, ruang lingkup terjadinya tindak pidana
di bidang perbankan dapat terjadi pada keseluruhan
lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat
berkaitan dengan kegiatan perbankan dan mencakup
dengan lembaga keuangan lainnya.
Undang-Undang Perbankan membedakan sanksi
pidana kedalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan
pelanggaran. Tindak pidana perbankan dengan
kategori kejahatan terdiri dari tujuh, yaitu Pasal 46,
47, 47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan Pasal 50A. Sementara
itu, Tipibank dengan kategori pelanggaran dengan
sanksi pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana
yang digolongkan sebagai kejahatan, terdiri dari satu
pasal, yaitu Pasal 48 ayat (2). Penggolongan Tipibank
ke dalam kejahatan didasarkan pada pengenaan
ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan
dengan pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank
adalah lembaga yang menyimpan dana yang
dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga
perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya
kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada
dasarnya juga akan merugikan bank maupun
masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Harapan
penggolongan Tipibank sebagai kejahatan, agar dapat
lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap
ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan.12
Sementara Undang-Undang Perbankan Syariah tidak
membedakan sanksi Tipibank dan mencantumkannya
ke dalam delapan pasal, yaitu Pasal 59 sampai dengan
Pasal 66.
Perbandingan antara Undang-Undang Perbankan
yang mengenakan sanksi kumulatif pidana penjara
dengan pengenaan terendah 2 tahun sampai dengan
tertinggi selama 15 tahun ditambah denda terendah
sebesar Rp.4 miliar dan tertinggi sebesar Rp.200
miliar,13 dengan beberapa sanksi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-
Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) yang hanya
mengenakan sanksi pidana penjara tertinggi selama
20 tahun ditambah denda tertinggi sebesar Rp.10
miliar,14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang
mengenakan sanksi pidana dengan empat variasi,
yaitu kumulatif dengan pengenaan pidana penjara
terendah 1 tahun dan tertinggi seumur hidup
ditambah denda terendah sebesar Rp.50 juta dan
tertinggi Rp.1 miliar, kumulatif dengan sanksi tertinggi
pidana penjara paling lama 3 tahun ditambah denda
paling banyak Rp.50 juta, kumulatif dan alternatif
dengan sanksi tertinggi pidana penjara paling lama
3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.150
juta, kumulatif dan alternatif pidana penjara terendah
1 tahun dan tertinggi 20 tahun dan/atau pidana
denda terendah sebesar Rp.50 juta dan tertinggi
12 Pasal 51 berikut penjelasannya Undang-Undang Perbankan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
4
13 Undang-Undang Perbankan mengatur sanksi pidana untuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan secara kumulatif, sementara perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran secara alternatif dan kumulatif, yaitu:1. Kumulatif:
a. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 46);
b. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 47 ayat (1));
c. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.8 miliar (Pasal 47 ayat (2));
d. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.15 miliar (Pasal 47A);
e. Pidana penjara: 2 s.d 10 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 48 ayat (1));
f. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 49 ayat (1));
g. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 49 ayat (2));
h. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 50);
i. Pidana penjara: 7 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 50A);
2. Kumulatif dan Alternatif:Pidana kurungan: 1 s.d 2 tahun dan/atau pidana denda: Rp.1 s.d Rp.2 miliar (Pasal 48 ayat (2)).
14 Undang-Undang PPTPPU mengatur sanksi pidana secara kumulatif, namun hanya mengatur sanksi tertinggi, sehingga sanksi terendah diserahkan kepada pengadilan, yaitu:1. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda:
paling banyak Rp.10 miliar (Pasal 3);2. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda:
paling banyak Rp.5 miliar (Pasal 4);3. Pidana penjara: paling lama 5 tahun ditambah pidana denda: paling
banyak Rp.1 miliar (Pasal 5).
Rp.1 miliar,15 dan KUHP, seperti penggelapan yang
mengenakan sanksi pidana penjara maksimal selama
4 tahun dan denda maksimal sebesar Rp.900,-, maka
sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang
Perbankan untuk pidana penjara sudah seimbang
dengan pengaturan dalam Undang-Undang PPTPPU,
Undang-Undang Tipikor, dan KUHP, sementara untuk
sanksi pidana denda, Undang-Undang Perbankan
mengenakan sangat tinggi bahkan tertinggi bisa
mencapai Rp.200 miliar.
C. KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA
PERBANKAN
Dalam rangka penanganan Tipibank, Bank Indonesia
melakukan koordinasi dengan beberapa instansi
terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang
dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan
dari koordinasi tersebut adalah untuk penegakan
hukum di lingkungan perbankan mengingat bank
dapat digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran
Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih
dari praktik penyimpangan yang dilakukan oleh bank
ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar,
mempercepat dan mengoptimalkan penanganan
Tipibank.
Koordinasi antara Bank Indonesia dan penegak hukum
telah dilaksanakan sejak tahun 1997 dengan
penetapan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-
126/JA/11/1997, KEP/10/XI/1997, No.30/6/KEP/GBI
tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama
Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
yang kemudian pada tanggal 20 Desember 2004
diganti dengan Surat Keputusan Bersama No.KEP-
902/A/J.A/12/2004; No.POL:Skep/924/XII/ 2004; dan
No.6/91/KEP.GBI/2004 tentang Kerjasama Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perbankan (SKB Tipibank),16
dan akhirnya pada tanggal 19 Desember 2011 diganti
dengan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Kejaksaan Republik Indonesia No.13/104/KEP.GBI/2011,
No.B/31/XII/2011, No.Kep-261/A/JA/ 12/2011 tentang
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan (NK
Penanganan Tipibank).17
15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur sanksi pidana secara kumulatif dan gabungan antara kumultatif dan alternatif, yaitu:1. Kumulatif:
a. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 2);
b. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 6);
c. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 7);
d. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 8);
e. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 9);
f. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 10);
g. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 11);
h. Pidana penjara: seumur hidup atau pidana penjara 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12);
i. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12B).
2. Kumulatif dengan sanksi tertinggi:Pidana penjara: paling lama 3 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.50 juta(Pasal 12A).
3. Kumulatif dan Alternatif dengan sanksi tertinggi:a. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda:
paling banyak Rp.150 juta(Pasal 13);b. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda:
paling banyak Rp.150 juta(Pasal 24).4. Kumulatif dan Alternatif:
a. Pidana penjara: 1 s.d 20 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 3);
b. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 5);
c. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 21);
d. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 22);
e. Pidana penjara: 1 s.d 6 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.300 juta (Pasal 23).
16 SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menyampaikan Surat No.S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005 kepada Presiden Republik Indonesia yang menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian dugaan Tipibank mengacu pada SKB Tipibank.
17 Jangka waktu berlakunya Nota Kesepahaman ini selama tiga tahun terhitung sejak penandatanganan tanggal 19 Desember 2011, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Lihat Praemisi NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa para pihak adalah:“a. Darmin Nasution selaku Gubernur Bank Indonesia, selaku Gubernur
Bank Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BANK INDONESIA, berkedudukan di Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
5
SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam
penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian melalui Surat No.
S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005
kepada Presiden Republik Indonesia yang
menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan
RI, dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian
dugaan Tipibank dengan mengacu pada SKB
Tipibank, yang berlaku pula untuk NK Penanganan
Tipibank sebagai pengganti dari SKB Tipibank.
Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank terdiri dari
7 Bab dan 28 Pasal, dengan ruang lingkup koordinasi
antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia dalam
penanganan Tipibank sebagaimana diatur dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang
Perbankan, atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66
Undang-Undang Perbankan Syariah, dengan bentuk
koordinasi meliputi pembahasan dan pelaporan
dugaan Tipibank, penyediaan saksi dan ahli,
pemblokiran rekening, penyitaan uang dan dokumen,
tukar menukar informasi, evaluasi, dan kegiatan
lainnya.18
Maksud NK Penanganan Tipibank adalah sebagai
landasan bagi Bank Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia
untuk melakukan koordinasi memperkuat penerapan
tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih di
lingkungan Bank Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Adapun tujuan Nota Kesepahaman ini adalah
tercapainya koordinasi dalam rangka memperlancar,
mempercepat, dan mengoptimalkan penanganan
Tindak Pidana Perbankan.
Bank Indonesia melakukan investigasi atas dugaan
Tipibank pada bank, selanjutnya hasil investigasi
dibahas pada rapat Tim Kerja dan apabila diperlukan
dibahas pula pada rapat Tim Pleno. Apabila hasil
pembahasan terdapat indikasi kuat adanya dugaan
Tipibank, maka selanjutnya Bank Indonesia melaporkan
kepada penyidik disertai informasi antara lain jenis
pelanggaran, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar,
barang bukti, dan pelaku.
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan NK
Penanganan Tipibank, pelaksanaan koordinasi NK
Penanganan Tipibank dilakukan oleh Tim Koordinasi
dengan dibantu oleh Sekretariat yang dilaksanakan
oleh Bank Indonesia.19 Tim Koordinasi terdiri atas
Tim Pengarah, Tim Koordinasi Tingkat Pusat dan Tim
Koordinasi Tingkat Daerah, yang masing-masing
terdiri dari Tim Pleno dan Tim Kerja.20 Tim Pleno dan
Tim Kerja terdiri dari perwakilan dari Bank Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan
Republik Indonesia.
Tim Pengarah terdiri dari atas tiga anggota, yaitu
Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik
Indonesia. Tim Pengarah mempunyai tugas
memberikan arahan dan/atau keputusan yang bersifat
strategis.21
Tim Pleno dibagi menjadi Tim Pleno Tingkat Pusat
dan Tim Pleno Tingkat Daerah, yang menyelenggarakan
rapat sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Tim Pleno Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap
dan anggota tidak tetap.22 Anggota tetap Tim Pleno
Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang
b. JENDERAL POLISI Drs. TIMUR PRADOPO selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Trunojoyo Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
c. BASRIEF ARIEF selaku Jaksa Agung Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Sultan Hasanudin 1, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK KETIGA.”
18 Pasal 2 NK Penanganan Tipibank.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
6
19 Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 10 s.d Pasal 12 NK Penanganan Tipibank.
20 Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
21 Pasal 5 NK Penanganan Tipibank.
22 Pasal 6 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
memutus,23 sedangkan anggota tidak tetap Tim
Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada
anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat.24
Tim Pleno Tingkat Daerah terdiri atas Pemimpin Bank
Indonesia, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala
Kejaksaan Tinggi.25
Tim Pengarah atau Tim Pleno dapat melakukan siaran
pers terkait penanganan Tipibank sesuai dengan tugas
dan wewenang masing-masing lembaga, dengan
mempertimbangkan dampak bagi kelangsungan
usaha bank dan industri perbankan pada umumnya.
Tim Kerja dibagi menjadi Tim Kerja Tingkat Pusat
yang menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya
empat kali dalam setahun dan Tim Kerja Tingkat
Daerah yang menyelenggarakan rapat sekurang-
kurangnya dua kali dalam setahun.
Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap
dan anggota tidak tetap.26 Anggota tetap Tim Kerja
Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang
memutus,27 sedangkan anggota tidak tetap Tim Kerja
Tingkat Pusat dapat hadir pada rapat Tim Kerja
Tingkat Pusat dan memberikan masukan kepada
anggota tetap Tim Kerja Tingkat Pusat sepanjang
ditunjuk oleh Ketua Tim Kerja Tingkat Pusat.28
Sementara Tim Kerja Tingkat Daerah terdiri atas
perwakilan masing-masing lembaga.29
Tim Kerja menyelenggarakan rapat sekurang-
kurangnya dua kali dalam satu tahun untuk
mengevaluasi tindak lanjut atau perkembangan
penanganan dugaan Tipibank yang sedang diproses
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau
Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan dari NK Penanganan
Tipibank, maka diterbitkan ketentuan pelaksana
yang mengatur pelaksanaan koordinasi, yaitu
Petunjuk Pelaksanaan No.13/10/KEP. DpG/2011;
No.B/4768/XII/2011/Bareskrim; No.Kep-04/E/EJP/12/
2011; No.Juk 12/F/Fsp/12/ 2011 tanggal 19 Desember
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana Perbankan. Petunjuk
Pelaksanaan yang mengatur antara lain persiapan
dan pelaksanaan Rapat Tim Koordinasi, tata cara
pelaksanaan koordinasi meliputi antara lain
pembahasan dugaan Tipibank, pelaporan dugaan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
7
23 Pasal 6 ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“Anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang memutus, terdiri atas empat anggota, yaitu:a. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang membawahkan
Bidang Investigasi;b. Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik
Indonesia;d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.”
24 Pasal 6 ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“Anggota tidak tetap Tim Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat, terdiri atas delapan anggota, yaitu:a. Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia;b. Direktur Hukum Bank Indonesia;c. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan sekitarnya;d. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta;e. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus pada Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia;f. Direktur Tindak Pidana Korupsi pada Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia;g. Direktur Tindak Pidana Umum Lainnya pada Jaksa Agung Bidang
Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia; danh. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum
Kejaksaan Agung Republik Indonesia.”
25 Pasal 7 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
26 Pasal 8 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
27 Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas 17 anggota, yaitu Kepala Biro Investigasi Perbankan Bank Indonesia, sebagai Ketua, dan beranggotakan perwakilan dari masing-masing lembaga Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI.
28 Pasal 8 ayat (6) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa terdiri atas 9 (sembilan) anggota dari perwakilan masing-masing lembaga.
29 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi:“(1)Tim Kerja Tingkat Daeraj terdiri atas sebanyak-banyaknya tujuh
anggota, yaitu:a. Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang
Perbankan;b. Pejabat Kantor Bank Indonesia yang membawahkan Bidang
Perbankan dan/atau Pejabat Kantor Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi Sekretariat Tingkat Daerah;
c. Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah;d. Kepala Sub Direktorat yang menangani Perbankan pada
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah;e. Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi; dan f. Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi.
(2) Tim Kerja Tingkat Daerah diketuai oleh Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Perbankan.”
Tipibank, penyediaan saksi dan ahli, pemblokiran
rekening, penyitaan uang dan dokumen, tukar
menukar informasi, evaluasi, kegiatan lainnya, dan
siaran pers.
D. KEKUATAN MENGIKAT NOTA KESEPAHAMAN
Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri
dari UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota, dan Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR/DPR/
DPD/MA/MK/BPK/KY/BI/Menteri/badan/lembaga atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang/Pemerintah atas perintah Undang-Undang/
DPRD Provinsi/Gubernur/DPRD Kabupaten/Kota/
Bupati/Walikota/Kepala Desa atau yang setingkat.
Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-
undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Artinya,
Nota Kesepahaman bukan merupakan salah satu
jenis peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya
timbul suatu pertanyaan, jenis apakah Nota
Kesepahaman? dan bagaimana kekuatan mengikat
dari suatu Nota Kesepahaman?
Nota Kesepahaman adalah sama dengan
Memorandum of Understanding (MoU) yang sering
menjadi dasar bagi suatu kerjasama diantara beberapa
lembaga.
Memorandum of Understanding berasal dari kata
Memorandum dan Understanding. Pengertian
Memorandum dalam Black’s Law Dictionary adalah
a brief note, in writing, of some transaction or an
outline of some intended instrument drawn up in
brief and compendious form.30 Sementara, pengertian
Understanding adalah in the law of contracts, an
agreement. An implied agreement resulting from
the express terms of another agreement, whether
written or oral.31
Wikipedia menyatakan bahwa: A Memorandum of
Understanding is a document describing a bilateral
or multilateral agreement between parties. It expresses
a convergence of will between the parties, indicating
an intended common line of action. It most often is
used in cases where parties do not intend to imply a
legal commitment. It is a more formal alternative to
a gentlemen's agreement. In some cases, depending
on the exact wording, MoUs can have the binding
power of a contract; as a matter of law, contracts do
not need to be labeled as such to be legally binding.
Whether or not a document constitutes a binding
contract depends only on the presence or absence
of well-defined legal elements in the text proper of
the document (the so-called "four corners"). This can
include express disclaimers of legal effect, or failure
of the MoU to fulfill the elements required for a valid
contract (such as lack of consideration in common
law jurisdictions). For example, a binding contract
typically must contain mutual consideration - a legally
enforceable obligations of the parties, and its formation
must take place free of the so-called real defenses to
contract formation (fraud, duress, lack of age or
mental capacity, etc.).32
MoU merupakan suatu dokumen hukum yang
menjelaskan persetujuan para pihak, namun MoU
tidaklah seformal sebuah perjanjian.
Memorandum of Understanding dibuat antara subyek
hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya,
baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk
melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kegiatan
dengan jangka waktu tertentu. Dasar penyusunannya
adalah sama dengan perjanjian atas dasar hasil
30 Black’s Law Dictionary, Third Edition, New York, 1991, hlm.295.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
8
31 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.1526.
32 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012).
permufakatan para pihak. Namun demikian, MoU
bukanlah merupakan suatu perjanjian secara utuh,
namun merupakan suatu perjanjian pendahuluan,
dalam arti akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian
lain yang mengatur secara lebih terinci. Oleh
karenanya, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.
Dengan perkataan lain, MoU merupakan suatu
dokumen yang memuat saling pengertian di antara
para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU
harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga MoU
mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini sesuai dengan
pendapat beberapa pakar, yaitu Munir Fuady yang
menyatakan bahwa MoU merupakan perjanjian
pendahuluan, yang nanti akan dijabarkan dan
diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat
aturan dan persyaratan secara lebih detail. Sebab itu
materi MoU berisi hal-hal yang pokok saja. Selanjutnya,
Erman Radjagukguk menyatakan bahwa MoU
merupakan dokumen yang memuat saling pengertian
dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan
dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua
belah pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus
dituangkan kembali dalam perjanjian sehingga menjadi
kekuatan yang mengikat.
Di Inggris, MoU sering dinamakan dengan concordat
yang merupakan perjanjian sukarela (voluntary
agreement).33 Sementara dalam Hukum Perdata
Amerika, MoU biasanya dipersamakan dengan letter
of intent (LoI).34 Tujuan lembaga menggunakan MoU
adalah untuk menetapkan koordinasi. LoI vice versa
MoU, atau LoI sering dirujuk sebagai MoU dan
demikian sebaliknya MoU sering dirujuk sebagai LoI.
MoU vice versa LoI sebagai perjanjian pendahuluan
dan bukan sebagai suatu perjanjian yang formal
tercermin dalam pengertian dan karakteristik suatu
LoI, yaitu ”LoI is a document outlining an agreement
between two or more parties before the agreement
is finalized. The concept is similar to a heads of
agreement. Such agreements may be Asset Purchase
Agreements, Share Purchase Agreements, Joint-
Venture Agreements and overall all Agreements which
aim at closing a financially large deal. LoI is resemble
written contracts, but are usually not binding on the
parties in their entirety. Many LoI, however, contain
provisions that are binding, such as non disclosure
agreements, a covenant to negotiate in good faith,
or a “stand stil”l or “no-shop” provision promising
exclusive rights to negotiate. A LoI may sometimes
be interpreted by a court of law as binding the parties
to it, if it too closely resembles a formal contract.”35
Namun demikian, terdapat perbedaan yang sepesifik
antara MoU dan LoI, yaitu LoI menguraikan maksud
dari salah satu pihak kepada pihak lainnya sehubungan
dengan suatu perjanjian, dan dapat ditandatangani
hanya oleh pihak yang mempunyai maksud tersebut,
sementara MoU harus ditandatangani oleh semua
pihak agar menjadi sah sebagaimana halnya suatu
perjanjian.
Beberapa unsur yang terdapat dalam MoU adalah:
(1) MoU merupakan perjanjian pendahuluan; (2)
Materi muatan MoU merupakan hal-hal yang pokok;
(3) Materi muatan MoU akan dituangkan lebih lanjut
dalam perjanjian. Mengingat perjanjian (meskipun
MoU dikategorikan sebagai perjanjian pendahuluan)
berada dalam ranah Hukum Perdata, maka MoU
tunduk pada ketentuan perikatan sebagaimana diatur
dalam Buku Ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). Artinya, syarat sahnya MoU
9
35 Dikutip http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012),
33 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), An example is the 2004 The Concordat between bodies inspecting, regulating and auditing health or social care is a "voluntary agreement between organisations that regulate, audit, inspect or review elements of health and healthcare in England". It is made up of 10 objectives designed to promote closer working between the signatories. Each objective is underpinned by a number of practices that focus developments on areas that will help to secure effective implementation. The term is often used in the context of devolution, for example the 1999 concordat between the central Department for Environment, Food and Rural Affairs and the Scottish Environment Directorate.
34 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), In private U.S. law, MoU is a common synonym for a letter of intent. One example is the MoU between Bush and Kerry for the 2004 debates iii.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3)
suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang halal.
Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan
hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,36
mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak
yang membuatnya.37
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kekuatan
mengikat dan memaksa suatu MoU dapat ditinjau
dari dua hal, yaitu perjanjian dan perjanjian
pendahuluan.
Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian, maka
MoU mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
yang sama dengan perjanjian, yaitu MoU yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
para pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, MoU yang
telah dibuat secara sah memenuhi persyaratan sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka MoU tersebut
mempunyai kekuatan mengikat dapat disamakan
dengan sebuah Undang-Undang yang memiliki
kekuatan mengikat dan memaksa atas muatan materi
dalam MoU. Apabila terjadi pelanggaran atau
kelalaian atas MoU dari salah satu pihak, maka upaya
hukum yang dapat dilakukan adalah pihak yang lain
dapat melakukan upaya Hukum Perdata atas dasar
wanprestasi.
Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian
pendahuluan, sebagai bukti awal suatu kesepakatan
dengan muatan materi hal-hal pokok, serta harus
diikuti oleh perjanjian lain, maka MoU mempunyai
kekuatan mengikat hanya sebatas moral, meskipun
pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan
dalam KUHPerdata. Dengan perkataan lain, MoU
merupakan gentlemen’s agreement berisi pernyataan
kesepakatan dari para pihak yang pelaksanaannya
didasarkan pada suatu itikad baik (good faith),
sebagaimana halnya suatu gentlemen’s agreement
is generally an unsigned and unforceable agreement
made between parties who expect its performance
because of good faith.38 Mengingat MoU merupakan
perjanjian pendahuluan dimana kesepakatan para
pihak hanya bersifat ikatan moral (moral obligation),
maka harus ditindaklanjuti dengan perjanjian agar
mengikat para pihak secara hukum. Apabila terjadi
pelanggaran atau kelalaian atas MoU dari salah satu
pihak, maka para pihak tidak dapat melakukan upaya
hukum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka NK Penanganan
Tipibank merupakan MoU yang disamakan dengan
perjanjian pendahuluan atau merupakan gentlemen’s
agreement yang hanya bersifat ikatan moral (moral
obligation), dengan dasar penyusunan perjanjian atas
dasar hasil permufakatan Bank Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik
Indonesia yang pelaksanaannya didasarkan pada
itikad baik (good faith). Hal ini sesuai dengan praemisi
NK Penanganan Tipibank bahwa NK dilaksanakan
sesuai dengan tugas dan wewenang para pihak
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Artinya pelaksanaan tugas dan wewenang
para pihak tetap berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan bukan pada NK Penanganan
Tipibank. Dengan perkataan lain, NK Penanganan
Tipibank tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang para pihak.
Disamping itu untuk memperkuat bahwa NK
Penanganan Tipibank berbeda dengan perjanjian,
maka dapat ditinjau pula dari Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang
36 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 9.
37 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
10
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
38 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.686.
menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga Negara Indonesia.39 Artinya,
pengertian antara nota kesepahaman dibedakan
dengan perjanjian, karena disebutkannya keduanya
dalam satu klausul, sehingga bukan merupakan suatu
kesetaraan.
E. PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan penyidikan, oleh karenanya
penanganan dugaan Tipibank memerlukan
koordinasi dengan lembaga lain antara lain
penegak hukum.
2. Koordinasi penanganan Tipibank ditetapkan dalam
suatu Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Kejaksaan Republik Indonesia.
3. Tujuan Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank
adalah untuk memperlancar, mempercepat, dan
mengoptimalkan penanganan tipibank.
4. Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank
merupakan suatu MoU dengan bentuk
gentlemen’s agreement yang pelaksanaannya
didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga
mempunyai kekuatan mengikat secara moral
(moral obligation).
5. Apabila terjadi pelanggaran atau kelalaian atas
NK Penanganan Tipibank, maka para pihak tidak
dapat melakukan upaya hukum.
11
39 Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi:“(1)Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam notakesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaganegara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembagaswasta Indonesia atau perseorangan warga negaraIndonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asingditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebutdan/atau bahasa Inggris.”
Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi:
“Ayat (1)Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat olehpemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjekhukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2)Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/ataubahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
12
DAFTAR PUSTAKA
1. BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN,
Jakarta, 1992.
2. Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
4. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet.2, Alumni, Bandung, 1986
3. Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
5. N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008
6. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Prof. Dr. Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011,
7. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997,
8. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
9. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.
10.Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
11.UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
A. PENDAHULUAN
Dunia pebankan saat ini telah berkembang
sedemikian pesat, seiring dengan berkembangnya
bidang teknologi dan informasi. Perkembangan
teknologi informasi yang sangat pesat tersebut telah
mempengaruhi sebagian besar bangsa di dunia,
termasuk masyarakat Indonesia yaitu adanya
perubahan pola kehidupan yang terjadi hampir di
semua bidang, baik sosial, budaya, maupun bidang
politik dan ekonomi.
Pemanfaatan teknologi informasi yang berkembang
khususnya pada pengelolaan informasi dan transaksi
elektronik yang diakses melalui internet mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan perdagangan
dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka
menghadapi perdagangan bebas. Saat ini dunia sudah
mengglobal, tidak ada lagi batas-batas negara dan
semuanya sudah serba transparan yang mempengaruhi
dunia perdagangan pada umumnya dan perbankan
pada khususnya. Dalam upaya meningkatkan
pelayanan global, bank dituntut untuk mengakomodasi
kebutuhan nasabah, baik berupa sarana maupun
prasarana yang memadai, dengan berbasiskan
perangkat teknologi.
Sejalan dengan berkembangnya industri perbankan
sebagian besar telah menggunakan teknologi
informasi dan media elektronik1 sebagai basis
layanannya. Teknologi informasi telah digunakan
13
ASPEK HUKUM TRANSAKSI BISNIS PADA INTERNET BANKING
Oleh : Prof. Dr Etty S.Suhardo, SH, MS *)
Abstrak
Pemanfaatan teknologi informasi dalam beberapa waktu terakhir sangat berkembang, khususnya pada pengelolaan
informasi dan transaksi elektronik yang diakses melalui internet, kondisi ini mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas.
Dalam perkembangnya industri perbankan sebagian besar telah menggunakan teknologi informasi dan media elektronik
sebagai basis layanannya. Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah bank, pelayanan internet banking
memberikan pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri ( ATM) dan Short Message Service (SMS) Banking. Dalam kaitan
hal ini perlu diperhatikan aspek hukum dari transaksi transaksi pada internet banking, SMS maupun ATM.
Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan perjanjian yang dilakukan pada internet banking. Perjanjian tersebut
dituangkan ke dalam kontrak elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE Ps.18 (1) ), dengan demikian seperti yang
diatur pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Keabsahan pada transaksi Internet Banking terletak pada Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE)
*) Prof.Dr.Etty S.Suhardo, SH.MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum UNDIP
1 Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah merubah total sistem perbankan konvensional, pada sistem ini selalu diikuti dengan dokumen pada kertas tertentu disertai tanda tangan, dalam perkembangannya pada transaksi elektronik, dokumen tanpa kertas dan pesan-pesan elektronik dianggap sebagai dasar untuk keabsahan suatu transaksi perbankan, hal ini telah berlaku sebagai suatu kebiasaan.
sebagai salah satu pelayanan dari Bank, yang
menyediakan fasilitas bagi nasabah pengguna, berupa
tabungan, simpanan, dan fasilitas lain yang disediakan
sebagai sarana yang saling menguntungkan bagi
pengguna fasilitas perbankan maupun bagi bank itu
sendiri.
Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah
bank, pelayanan internet banking memberikan
pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
dan Short Message Service (SMS) Banking. Interaksi
melalui teknologi tidak lagi secara fisikal sebagaimana
yang telah dilakukan selama ini, namun interaksi
tersebut dilakukan secara virtual yaitu bertransaksi
pada dunia maya (cyberspace) yang berkolaborasi
pada media komputer untuk mengakses data melalui
internet2.
Electronic Banking (e-banking) memberikan layanan
melalui Internet, sehingga istilah yang digunakan
adalah Internet Banking yaitu sebagai media alternatif
yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi
nasabah suatu bank hal ini menjadi solusi yang cukup
efektif, yang tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan
yang dimiliki oleh internet itu sendiri, dimana
seseorang ketika ingin melakukan transaksi melalui
layanan i-banking, dapat melakukannya dimana dan
kapan saja.
Tujuan dari suatu bank dalam memperluas layanan
jasanya melalui internet banking, antara lain3:
1. Produk-produk yang lebih kompleks dari bank
dapat ditawarkan dalam kualitas yang sama
dengan biaya yang murah dan potensi nasabah
yang lebih besar;
2. Dapat melakukan hubungan di setiap tempat dan
dimana saja, baik pada waktu siang dan malam.
Tujuan lain diantaranya untuk mempermudah para
pebisnis dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis
sehingga lebih efektif dan efisien, karena dapat diakses
secara mudah dan cepat.
Perkembangan teknologi perbankan pada internet
banking membuat pihak bank harus memperhatikan
aspek perlindungan nasabah khususnya keamanan
yang berhubungan dengan privasi nasabah. Keamanan
layanan online ada empat, yaitu: - keamanan koneksi
nasabah, - keamanan data transaksi, keamanan
koneksi server, dan - keamanan jaringan sistem
informasi dari server. Selain itu aspek penyampaian
informasi produk perbankan sebaiknya disampaikan
secara proporsional, artinya bank tidak hanya
menginformasikan keunggulan atau kekhasan
produknya saja, tapi juga sistem keamanan
penggunaan produk yang ditawarkan.
Saat ini msih banyak nasabah yang kurang yakin
untuk menggunakan i-banking dengan berbagai
alasan, karena masyarakat belum memahami apa dan
bagaimana i-banking. Tidak percaya pada kapasitas
jaringan internetnya, jika banyak pihak yang mengakses
pada bank yang sama dalam waktu yang bersamaan,
maka dimungkinkan akan bermasalah.
Keadaan tersebut sangat mempengaruhi nasabah
bank yang tidak yakin untuk melakukan transaksi
elektronik, khususnya yang berhubungan dengan
simpanan uangnya di kas bank, kekhawatirannya
adalah salah tekan tombol, sehingga uangnya
menghilang dari rekening Bank.
Nasabah bank sebagai pengguna i-banking, walaupun
belum semua nasabah memahami tentang rangkaian
kegiatan yang dilakukan, akan tetapi untuk nasabah
tertentu karena kebutuhan akan praktis dan efisiennya
penggunaan i-banking, maka para nasabah pengguna
i-banking tetap menggunakan i-banking dalam
bertransaksi.
Pada transaksi perbankan pada umumnya secara riil
selalu ada dokumen-dokumen disertai tanda tangan
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
2 Etty Susilowati Suhardo, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008, hal. 2.
3 Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce
petugas Bank dan nasabah yang bersangkutan serta
cap dari Bank, sedangkan pada i-banking hanya ada
dokumen-dokumen tanpa kertas (paperless) serta
pesan-pesan elektronik saja, tanpa ada tanda tangan,
tanpa cap lembaga bank, untuk itu kita akan melihat
bagaimana aspek hukum transaksi elektronik pada
Internet Banking, khususnya meninjau dari segi hukum
keabsahan transaksi elektronik tersebut.
B. Transaksi Electronic Commerce dan Internet
Banking
Transaksi bisnis senantiasa membutuhkan media bank
yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur
dana masyarakat, serta jasa-jasa Bank lainnya.
Pada perkembangannya bidang perbankan telah
menerapkan dan memanfaatkan media elektronik,
khususnya di dalam memberikan layanan kepada
masyarakat luas, yaitu transaksi elektronik berupa
layanan internet banking. Para pelaku bisnis
bertransaksi untuk melakukan penawaran dan
permintaannya melalui perangkat lunak yang tersedia
sehingga dapat bertransaksi di dunia maya.
Transaksi bisnis melalui e-commerce merupakan
kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen
(consumers), manufaktur (manufactures), services
providers dan pedagang perantara (intermediateries)
dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer
yaitu internet4. Pengertian e-commerce adalah
pembelian dan penjualan barang dan jasa konsumen
melalui online di internet. Model transaksi seperti ini
dikenal dengan istilah transaksi e-commerce.
Istilah e-commerce menurut ECEG (Electronic
Commerce Expert Group)
Electronic Commerce is a broad concept that covers
any commercial transaction that is effected via
electronic means and would include such means as
faxcimile, telex, EDI, internet and the telephone5.
Pengertian transaksi electronik adalah:
A transaction formed by electronic messages in which
of one or both parties will not be ret be reviewed by
an individual as an expected step in forming a
contract6.
Pada Undang-Undang Informasi dan Teknologi No.
11 Tahun 2008, Pasal 1 point 1 pengertian informasi
elektronik sebagai berikut:
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronic
(electronic mail), telegram, teleks, atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode, akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pengertian yang dikemukakan oleh ECEG Australia,
e-commerce adalah transaksi perdagangan melalui
media internet, juga meliputi media elektronik lainnya
seperti facsimile, EDI dan telepon. Pengertian ini
mempunyai makna bahwa e-commerce pada suatu
transaksi perdagangan dapat dilakukan melalui
internet, hal ini seperti yang dikemukakan oleh UU
Informasi dan Teknologi No. 11 Tahun 2008, tentang
Informasi Elektronik meliputi semua data elektronik,
yang dikemukakan secara luas, sedang menurut ECEG
lebih singkat, akan tetapi mempunyai makna yang
sama.
Pemahaman informasi elektronik menurut penulis
lebih tepat seperti yang dikemukakan oleh UU ITE
Pasal 1 point 1, hanya perlu ditambahkan bahwa
untuk mengakomodasi perkembangan teknologi
secara luas hendaknya disebutkan uraian jenis
teknologi yang digunakan, sehingga mempunyai
makna yang cukup luas, utamanya supaya hukum
dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi,
walaupun demikian jenis informasinya tetap harus
disebutkan untuk mendapatkan kepastian hukum.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
4 Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005 hal. 10.
5 http: //www. Law.gov.au/aghome/advisory/eceg/single.htm diakses 10 Oktober 2011.
15
6 Ibid, 1999, page 530.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa rangkaian kegiatan bisnis dapat
dilakukan melalui transaksi elektronik, walaupun
sama sekali tidak menyebutkan tentang “program
komputer”, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan
apakah rangkaian kegiatan tersebut termasuk dalam
pengertian informasi elektronik.
Menurut Undang-Undang Hak Cipta No.19 Tahun
2002, program komputer termasuk pada Hak cipta
atas ciptaan (Pasal 30), secara harfiah yang dimaksud
dengan hak cipta atas komputer adalah : “suatu
program yang dibuat untuk tujuan tertentu sesuai
dengan program yang dikehendaki, sehingga
memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu”.
Pada UU ITE rumusan tentang Informasi Elektronik
yang diakses melalui komputer termasuk program
komputer merupakan sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronic (electronic mail),
telegram, teleks, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode, akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah,
hal ini akan mempunyai makna yang multitafsir,
apakah juga termasuk program komputer. Menurut
penulis program komputer termasuk juga disini,
walaupun diciptakan khusus untuk program tertentu,
hal ini mempunyai makna yang cukup luas sehingga
memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu.
Ruang lingkup e-commerce meliputi tiga aspek, yaitu:
1. bussines to bussines (sistem komunikasi bisnis
antara para pelaku bisnis).
2. bussines to consumer (sistem komunikasi antara
pebisnis dengan konsumen)
3. consumer to consumer (sistem komunikasi antar
konsumen).
Dari ke tiga ruang lingkup e-commerce tersebut,
e-banking termasuk pada lingkup sistem komunikasi
antara pelaku bisnis dan sistem komunikasi antara
pebisnis dan konsumen. Karakteristik antara para
pelaku bisnis pada e-banking mempunyai ciri-ciri
umum sebagai berikut:
- Trading partners berkomunikasi tentang bisnis
dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.
- Pertukaran yang dilakukan berulang-ulang dan
berkala, dengan format data yang telah disepakati,
menggunakan system dan standar yang sama,
- Para pelaku bisnis tidak harus menunggu partners
untuk mengirimkan data,
- Model yang digunakan adalah peer to peer dimana
processing intelegence dapat didistribusikan pada
kedua pelaku bisnis7.
Karakteristik dari para pelaku bisnis kepada konsumen
dengan sistem e-banking diantaranya mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
- Informasi terbuka untuk umum
- service yang diberikan bersifat umum, sehingga
mekanisme dapat digunakan oleh umum,
- service diberikan atas dasar permintaan konsumen,
yang telah disediakan oleh jasa-jasa Bank
- pendekatan dilakukan client-server, pihak
konsumen sebagai klien menggunakan sistem
yang minimal (berbasis web) dan penyedia barang
atau jasa (bussines procedure) berada pada pihak
server,
Peran strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan
i-banking sebagai sarana yang memadai dalam
transaksi bisnis untuk mengakomodasi kebutuhan
para nasabah bank, sebagian besar bank saat ini
mengandalkan teknologi informasi dan media
elektronik sebagai basis layanannya. Masyarakat pada
umumnya dan pebisnis pada khususnya merasa lebih
aman setelah terbitnya Undang-Undang No. 11 Tahun
2008, tentang Informasi dan transaksi elektronik,
walaupun masih minim yang mengatur tentang
bisnis, akan tetapi ketentuan ini setidaknya dapat
melengkapi Undang-Undang Perbankan, sehingga
dapat melindungi masyarakat yang menggunakan
e-commerce dalam rangka kepastian hukum yang
sangat dibutuhkan pada transaksi bisnis.
7 Dianalisis dari Onno W Purbo, Aang Arif Wahyudi Mengenal E-Commerce, 2001 PT. Elax Media Komputerindo, Jakarta. 2001 hal. 5 - 7.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
16
Pihak perbankan saat ini telah berlomba-lomba untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabahnya
dan bahkan tidak menutup kemungkinan dengan
internet banking, keuntungan (profits) dan pembagian
pasar (marketshares) akan semakin besar dan luas,
disamping keuntungan tersebut internet banking
memiliki beberapa kelemahan yang ditandai dengan
banyaknya modus kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dalam
hal ini pihak perbankan seringkali tidak dapat
mengatasi secara cepat, walaupun sudah merugikan
pihak nasabah Bank.
C. Aspek Hukum Transaksi Bisnis pada Internet
Banking,
1. Perjanjian Dasar pada Internet Banking
Perjanjian antara bank dengan nasabah, dapat
dilihat dari formulir yang dibuat oleh pihak Bank
dan diisi oleh nasabah pengguna, selanjutnya
ditanda tangani sebagai tanda setuju atas syarat-
syarat yang dikemukakan oleh pihak bank.
Kesepakatan yang tercantum pada isi formulir
pendaftaran ditentukan bahwa bank menerima
dan menjalankan setiap instruksi dari nasabah
sebagai instruksi yang sah berdasarkan
penggunaan user ID dan PIN.
Perjanjian dasar pada Internet Banking senantiasa
mengacu pada Pasal 1338 KUH Pdt, Pasal 1313
KUH Pdt dan 1320 KUH Pdt. Bank tidak
mempunyai kewajiban untuk meneliti atau
menyelidiki keaslian maupun keabsahan atau
kewenangan pengguna user ID dan PIN atau
menilai maupun membuktikan sebaliknya. Untuk
melakukan instruksi transaksi finansial nasabah
harus memasukkan PIN sebagai tanda persetujuan.
Instruksi tersebut bersifat sah dan mengikat
nasabah pada saat transmisi diterima oleh pihak
bank, walaupun pelaksanaannya baru terjadi
pada saat bank telah mendapat konfirmasi dari
nasabah mengenai instruksi transaksi yang ingin
dilakukan.
Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut
merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai
dasar kesepakatan para pihak, sedangkan
perjanjian itu sendiri menjadi tolok ukur untuk
menentukan sejauh mana kewenangan dan
tanggung jawab para pihak. yaitu hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Pada layanan Internet Banking, perjanjian antara
pihak bank dengan nasabah tidak berbeda dengan
perjanjian pada umumnya. Pihak bank telah
membuat syarat dan ketentuan yang dibakukan
pada suatu formulir perjanjian (dalam hal ini
termasuk syarat dan ketentuan yang terdapat
dalam screen ATM dari bank yang bersangkutan
dan situs internet bank yang bersangkutan) untuk
disetujui oleh nasabah, hampir tidak memberikan
kebebasan kepada pihak nasabah untuk
melakukan negosiasi atas syarat dan ketentuan
tersebut, dalam hal ini take it or leave it bagi
pengguna i-banking, karena Bank lain yang
menawarkan hal yang sama masih banyak, tinggal
pilih yang sesuai dengan keinginannya.
Bagi nasabah yang sudah setuju dengan syarat
dan ketentuan tersebut secara sukarela telah
mengikatkan diri, maka dianggap bahwa nasabah
telah melakukan kesepakatan dengan pihak bank.
Konfirmasi dari nasabah dalam melakukan
transaksi pada i-Banking adalah ketika nasabah
menekan tombol "kirim". Untuk itu nasabah tidak
dapat membatalkan semua transaksi yang telah
diinstruksikan kepada bank, kecuali instruksi
tersebut dibatalkan oleh nasabah dengan menekan
tombol "batal" sebelum nasabah menekan tombol
"kirim".
Pasal 1320 KUH Perdata tentang sah nya perjanjian
sebenarnya tidak mempermasalahkan media yang
digunakan dalam transaksi, dengan kata lain Pasal
1320 KUH Perdata tidak mensyaratkan bentuk
dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi,
dengan demikian dapat saja dilakukan secara
langsung oleh para pihak maupun secara elektronik.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
17
Pada asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH
Perdt, para pihak dapat dengan bebas menentukan
dan membuat suatu perjanjian yang dilakukan
dengan itikad baik, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Ditinjau dari Undang-Undang tentang Dokumen
Perusahaan dalam, melaksanakan kegiatan
transaksi bisnis dapat dilakukan dengan corak
apapun seperti yang tersirat pada Pasal 1 angka
2 Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan yang menyebutkan bahwa:
“Data, catatan, dan/atau keterangan yang dibuat
atau diterima oleh perusahaan dalam rangka
pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain maupun terekam dalam
bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca
atau didengar”.
Pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa:
a) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam
mikrofilm atau media lainnya.
b) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam
mikrofilm atau media lainnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sejak
dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh
perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dan dikaitkan
dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Pdt maka transaksi melalui media elektronik
adalah sah menurut hukum, demikian juga pada
Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan
yang menyebutkan dapat dialihkan pada dokumen
lainnya.
Pada perjanjian internet banking, disebutkan
mengenai persyaratan nasabah untuk menggunakan
fasilitas internet banking yang ditawarkan oleh
bank tersebut. Adapun persyaratan tersebut berupa:
a. Setiap nasabah yang menyimpan dana di bank
dan mempunyai kartu yang dapat digunakan
untuk melakukan transaksi perbankan di ATM,
berhak untuk menikmati fasilitas Internet
Banking.
b. Untuk dapat menggunakan fasilitas Internet
Banking tersebut, nasabah harus memiliki
identitas pengguna Internet Banking (user ID)
dan Personal Identification Number (PIN) yang
diperoleh pada saat nasabah melakukan
registrasi di mesin ATM tersebut.
c. User ID yang diberikan pihak bank bersifat
permanen dan tidak dapat diubah kecuali
nasabah mengganti kartu yang dapat digunakan
untuk melakukan transaksi perbankan di ATM
karena rusak atau hilang. Sehingga pihak yang
dapat menggunakan fasilitas Internet Banking
yang ditawarkan pihak bank penyedia layanan
Internet Banking tersebut hanya nasabah bank
yang bersangkutan saja. Untuk itu nasabah
tersebut harus tunduk pada ketentuan-
ketentuan yang telah disepakati bersama
dengan pihak bank8.
Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut
merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai
landasan atau dasar, sedangkan perjanjian itu
sendiri menjadi tolok ukur untuk menentukan
sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab
masing-masing pihak.
Pada layanan Internet Banking, nasabah dan bank
yang setuju dan sepakat menggunakan layanannya
harus mematuhi syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam perjanjian, karena syarat dan
ketentuan tersebut bersifat mengikat dan sah
demi hukum. Dalam hal salah satu pihak di dalam
perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak
lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan
pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur
hukum yang berlaku.
Perjanjian Internet Banking dibuat dalam bentuk
formulir-formulir yang telah dibakukan secara
8 http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit. Diakses Tanggal 21 Oktober 2011,
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
18
cermat dan rinci. Dalam perjanjian Internet
Banking, isinya direncanakan terlebih dahulu oleh
pihak bank. Nasabah tinggal menyetujuinya saja
apabila nasabah bersedia menerima aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
serta yang ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh bank.
Setelah formulir diisi oleh nasabah tersebut,
selanjutnya hanya tinggal memilih untuk
menerima atau menolak menggunakan jasa
internet banking di bank tersebut. Nasabah tidak
mempunyai kewenangan untuk mengajukan
syarat-syarat yang diinginkannya, perjanjian baku
yang sifatnya “take it or leave it”9. tanpa ada
negosiasi sebelumnya. Perjanjian yang demikian
itu dinamakan perjanjian standar atau perjanjian
baku10.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya telah
dibakukan dan dituangkan dalam suatu bentuk
formulir. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian
baku adalah suatu perjanjian yang berlaku dan
akan mengikat antara pihak yang saling
berkepentingan dan yang isinya dituangkan dalam
suatu bentuk tertentu yang dijadikan tolak ukur
oleh pihak yang satu tanpa membicarakan isinya
terlebih dahulu.
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1
point 10 Undang -Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Yang
dibakukan dalam perjanjian tersebut adalah
klausul-klausulnya bukan perjanjiannya”.
Kedudukan nasabah disini sangat lemah sehingga
ia menerima saja aturan dan syarat-syarat yang
disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak
demikian tidak akan mendapatkan pelayanan jasa
Internet Banking. Hal ini menunjukkan ketidak
seimbangan antara pihak bank dengan pihak
nasabah di dalam membuat perjanjian dahulu
dengan pihak yang lain, tetapi para pihak dianggap
telah menyetujuinya.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
maka perjanjian dengan klausula baku telah
dilarang. Larangan membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian diatur dalam Pasal 18 ayat (1), berupa:
a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha.
b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen.
c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli konsumen.
d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa.
g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
19
9 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 53.
10 Ibid 2001
h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
Pasal 18 ayat (2)
“pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula
baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat,
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti”.
Pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa:
“setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi
hukum”.
Diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen,
memberikan pemahaman bahwa perjanjian
dengan klausula baku telah dilarang khususnya
tentang segala sesuatu yang pengungkapannya
sulit dimengerti dan apabila dilakukan maka
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum
(Pasal 18 ayat (3). Hal Ini merupakan penegasan
kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yo Pasal
1337 KUH Perdata. Artinya perjanjian yang
memuat klausula baku dilarang oleh Pasal 18
ayat (1) atau yang memiliki format seperti ayat
(2), UUPK No. 8 Tahun 1999 dianggap tidak
pernah ada dan mengikat para pihak.
Pada kenyataannya perjanjian ini masih
dipergunakan oleh dunia usaha, bahkan telah
menjadi kebiasaan bisnis termasuk dalam perjanjian
Internet Banking, walaupun larangan yang sulit
dipahami oleh konsumen sebagai klausula baku
tidak ditaati oleh pihak pembuat perjanjian yang
tentunya ada pada pihak yang lebih kuat. Untuk
itu eksistensi perjanjian baku masih tetap eksis
karena cukup praktis dan masih tetap dibutuhkan
pada dunia usaha, walaupun demikian diperlukan
batasan-batasan tertentu sehingga adanya
keseimbangan bagi para pihak yang terkait.
Pada perjanjian Internet Banking antara bank
dengan nasabah banyak ditemukan syarat-syarat
baku yang sangat merugikan kepentingan nasabah
tersebut. Perjanjian dengan syarat-syarat baku
yang telah memuat syarat-syarat yang membatasi
kewajiban kreditur. Syarat ini dinamakan eksonerasi
klausul, hal ini berarti tanggung jawab salah satu
pihak yang dibatasi.
Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan
oleh peraturan perundang-undangan dihapus
terhadap penyusun perjanjian dengan syarat-
syarat eksonerasi11. Hal ini dapat ditemui dalam
perjanjian Internet Banking berupa:
(1)Bank tidak bertanggung jawab terhadap
segala akibat apapun yang timbul karena
ketidaklengkapan, ketidakjelasan data atau
ketidaktepatan instruksi dari nasabah.
Sehingga ini menjadi tanggung jawab nasabah
yang melakukan transaksi Internet Banking
itu sendiri.
(2)Bank tidak bertanggung jawab atas segaia
kegagalan pengiriman informasi ke alamat
e-mail nasabah yang terjadi bukan karena
kesalahan atau kelalaian Bank.
(3)Bank tidak berkewajiban untuk menyimpan
dan/atau mengirimkan ulang informasi yang
gagal dikirim ke alamat e-mail nasabah.
Bank dapat mengelak atas semua tanggung
jawab, sekiranya Bank dapat membuktikan bahwa
kesalahan bukan pada pihak Bank, sehingga
nasabah harus menanggung semua transaksi atas
kasalahannya.
Hubungan kontraktual antara bank dengan
nasabah merupakan suatu bentuk kontrak
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
20
11 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta : Daya Widya,1999 ,hal. 104
campuran, yaitu disatu pihak terjadi kontrak pada
sisi lain memperlihatkan ciri-ciri perjanjian
pemberian kuasa (lastgeving), sebagaimana diatur
dalam Pasal 1792 KUH Perdata. Hal ini tercantum
dalam perjanjian Internet Banking, bahwa nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mendebet
rekening nasabah sesuai dengan transaksi yang
diinstruksikan nasabah dan untuk pembayaran
biaya atas transaksi. Pemberian kuasa oleh
nasabah ini tidak akan berakhir selama nasabah
masih memiliki kewajiban terhadap bank.12
Pemberian kuasa yang diberikan oleh nasabah
kepada Bank sesuai dengan kuasa yang diberikan
kepada Bank, sehingga diberlakukan Pasal-Pasal
1792 sampai dengan Pasal 1819 KuH Pdt, tentang
pemberian kuasa.
Perjanjian antara Bank dan nasabah pengguna
internet Banking akan berakhir sesuai dengan
perjanjian yang dilakukan, seperti juga yang diatur
pada Pasal 1381 KUH Perdata, Perikatan hapus
karena adanya: 1. pembayaran, 2. penawaran
pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan, 3. pembaharuan utang, 4.
perjumpaan utang atau kompensasi, 5.
pencampuran utang; 6. pembebasan utang; 7.
musnahnya barang yang terutang, 8. kebatalan
atau pembatalan, 9. berlakunya suatu syarat
pembatalan dan 10. karena kadaluwarsa.
Berakhirnya perjanjian antara bank dan nasabah
pengguna internet banking menunjukkan bahwa
tidak ada lagi hubungan hukum diantara
keduanya. Nasabah akan mengakhiri penggunaan
kartu ATM dan menutup semua rekening yang
terhubung pada kartu ATM yang disediakan oleh
layanan internet Banking, maka e-mail yang
diterima oleh nasabah berakhir satu bulan setelah
layanan internet banking berakhir.
2. Keabsahan Perjanjian pada Transaksi Internet
Banking
Transaksi bisnis secara on line yang menggunakan
internet banking secara yuridis maupun ekonomis
sebenarnya sangat riskan, terlalu banyak risiko
yang timbul, baik bagi lembaga perbankan
maupun bagi nasabah bank, utamanya hal ini
ketika belum diberlakukannya UU ITE No. 11
Tahun 2008 yaitu tentang validitas keabsahan
dari pesan elektronik sebagai alat bukti seperti
yang dimaksud oleh Buku ke IV BW dan HIR/Rbg.
Alat bukti mempunyai peran yang sangat sentral
dalam memberikan keamanan dan sarana
perlindungan pada transaksi elektronik.
Pesan elektronik digunakan pada transaksi
elektronik berupa “massage” yang dikirim dan
langsung ada yang menerima, maka validitasnya
dianggap sah menurut hukum apabila electronic
massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak
ada yang mengubah substansinya, sehingga
penerima akan percaya penuh atas massage yang
dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat
berupa data elektronik, pesan electronik (electronic
massage) dan rekam elektronic (electronic record).
Electronic Massage yang dikirim dan diterima oleh
pihak lain maksudnya adalah merupakan data
yang diakses, dan digunakan dalam ruang lingkup
komersial perdagangan, sepanjang sudah ada
kata penerimaan oleh pihak penerima massage
(yang diajukan oleh pihak pengirim), maka sudah
terjadi kata sepakat, sehingga informasi elektronik
sudah dianggap sah. Pada UU ITE terdapat pada
Pasal 6, diantaranya dikatakan bahwa:
“........informasi elektronik dan/atau Dokumen
elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang
tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung-
jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”.
Pelayanan jasa internet bagi nasabah Bank
memberikan layanan perbankan yang dapat12 Ibid hal. 126
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
diakses secara langsung sesuai kebutuhan,
sehingga memudahkan dalam melakukan transaksi
di segala bidang. Aktivitas pelayanan jasa internet
diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen
Risiko, yang dimaksud dengan Internet banking
adalah:
“Salah satu pelayanan jasa bank yang akan
memungkinkan nasabah untuk memperoleh
informasi, melakukan komunikasi dan melakukan
transaksi perbankan melalui jaringan internet dan
bukan merupakan bank yang menyelenggarakan
layanan perbankan melalui internet, sehingga
pendirian dan kegiatan Internet Online Bank tidak
diperkenankan.”
Layanan yang diberikan internet banking kepada
nasabah berupa transaksi pembayaran tagihan,
informasi rekening, pemindah bukuan antar
rekening, informasi terbaru mengenai suku bunga
dan nilai tukar valuta asing, administrasi mengenai
perubahan Personal Identification Number (PIN),
alamat rekening atau kartu, data pribadi dan lain-
lain, terkecuali pengambilan uang atau penyetoran
uang, karena pengambilan yang masih memerlukan
layanan ATM dan penyetoran uang masih
memerlukan bantuan bank cabang lainnya13.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004
tentang Penerapan Manajemen Risiko Pasal 1,
menyebutkan bahwa:
“Internet banking merupakan suatu pemanfaatan
media internet oleh bank untuk mempromosikan
dan sekaligus melakukan transaksi secara online,
baik produk yang sifatnya komersial maupun yang
baru. Internet banking merupakan salah satu
pelayanan perbankan tanpa cabang, yaitu berupa
fasilitas yang akan memudahkan nasabah untuk
melakukan transaksi perbankan tanpa perlu datang
ke kantor cabang”.
Ditinjau dari segi perbankan pemanfaatan layanan
internet banking menjadikan lembaga perbankan
tidak lagi memerlukan pengembangan kantor
baru atau wilayah layanan baru, dimana biaya
yang diperlukan sangat besar. Persepsi ini
didukung semata-mata karena adanya inovasi
pada perusahaan yang memungkinkan
berinteraksinya secara lebih baik dan sekaligus
dapat mempromosikan layanannya sendiri14.
Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum
yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE), apabila ditinjau
dari Hukum Pembuktian Perdata berarti bahwa
essensi perdagangan pada e-commerce terletak
pada informasi elektronik dan electronic signature
sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan
electronic signature (termasuk digital signature)
sama dengan tanda tangan biasa karena belum
ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu
dengan menggunakan tinta berbasis kertas,
Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya
adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian
suatu akta, dokumen atau surat.
Pada perjanjian yang dilakukan pada e-commerce
dikatakan bahwa transaksi Elektronik yang
dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat
para pihak (UU ITE Pasal 18 (1)), dengan demikian
seperti yang diatur pada Pasal 1313 KUH Pdt
bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perjanjian tersebut “Sah” apabila memenuhi syarat
seperti yang tercantum pada Pasal 1320 KUH Pdt,
yaitu:
1. Syarat subyektif yang meliputi kata sepakat
dan cakap bertindak,
2. Syarat obyektif berisi hal tertentu dan kausa
yang halal,
22
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
13 Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001, hal. 85.
14 Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. hal. 15.
Pada sahnya suatu perjanjian apabila diterapkan
pada transaksi e-commerce,
1. Kesepakatan dapat terjadi bilamana masing-
masing pihak (pengirim dan penerima data)
melakukan pernyataan kehendaknya atas
penawaran dan penerimaan yang akan
menimbulkan hubungan hukum, walaupun
kedua orang yang bertransaksi tersebut tidak
saling bertemu muka.
2. Cakap bertindak untuk bertransaksi, pada Pasal
1329 KUH Pdt disebutkan bahwa setiap orang
cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika
ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak
cakap. Pada transaksi e-commerce syarat ini
harus dipenuhi, walaupun masing-masing tidak
saling bertatap muka.
3. Hal tertentu diatur pada Pasal 1333 KUH Pdt,
Suatu perjanjian mempunyai sebagai pokok,
suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu
terkemukakan dapat ditentukan atau dihitung.
Pada transaksi e-commerce, obyek hukum yang
ditawarkan harus ada dalam arti jelas dan riil
apa yang menjadi obyek hukum perjanjian.
4. Sebab yang halal, tentu saja pada transaksi
e-commerce tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang dan kepentingan umum.
Esensi kontrak sebagai suatu perjanjian selalu
harus memenuhi empat syarat tersebut diatas,
selanjutnya mengikat para pihak. Demikian juga
pada e-commerce, kontrak tersebut mengikat dan
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak,
dalam pelaksanaannya harus tetap dibatasi oleh
itikad baik, sebelum, selama ataupun berakhirnya
suatu kontrak. Apapun bentuk dan media dari
kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat
para pihak karena perikatan tersebut merupakan
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
(Pasal 1338 ayat (1)).
Pada setiap kontrak senantiasa dibubuhi tanda tangan
para pihak.Tanda tangan tersebut menunjukkan
kesepakatan para pihak dan berfungsi sebagai
pengakuan dan penerimaan atas isi informasi
elektronik, bukan bagian dari substansi/transaksi
dari suatu kontrak, hanya sebagai bagian dari bentuk
transaksi. Untuk e-commerce hal ini berlaku juga
yaitu berupa digital signature sebagai sandi dari
informasi elektronik (kriptografi). Pesan/tanda
elektronik dalam transaski elektronik diamankan
dengan proses enkripsi, sehingga data/pesan tersebut
disamarkan dan tidak terbaca oleh pihak lain, hanya
akan terbaca melalui proses deskripsie.
Pada transaksi e-commerce digital signature tidak
berbasis kertas, digital elektronic tidak dapat
dipalsukan, sehingga dapat menjamin keaslian serta
mencerminkan keutuhan data yang dikirim oleh
pengirim kepada penerima.
Ditinjau dari Pasal 164 HIR (Ps. 283 Rbg) dan Pasal
1866 KUH Pdt, alat bukti yang dapat dihadirkan
sebagai alat bukti di Pengadilan, diantaranya pada:
1. alat bukti tertulis, 2. bukti dengan saksi, 3.
persangkaan-persangkaan, 4. pengakuan, dan 5.
sumpah. Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dinyatakan
bahwa yang termasuk dalam katagori alat bukti
adalah: 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3.
surat, 4.petunjuk, 5. keterangan terdakwa.
Pasal-Pasal yang menyangkut alat bukti diatas
memperlihatkan bahwa digital signature tidak ada
pada katagori tersebut, hal ini akan sulit apabila ada
sengketa antara pengirim dan penerima pesan/data,
sehingga keberadaan digital signature sebagai alat
bukti secara hukum masih ambivalensi untuk suatu
kebenaran tanda tangan elektronik.
Ditinjau dari UU ITE No. 11 Tahun 2008, diharapkan
mampu mengakomodir penggunaan tanda tangan
digital sebagai alat bukti di Pengadilan, khususnya
seperti yang tercantum pada Pasal 11 dan 12 UU ITE
dengan kriteria dan persyaratan serta pengecualian
tertentu. Pasal 11 ayat (2) UU ITE, dinyatakan bahwa:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tanda tangan
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Hanya saja sampai pada saat ini belum ada Peraturan
yang secara spesifik mengatur tentang tanda tangan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
23
digital sepertii yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat
(2)’ sehingga belum dapat meyakinkan para pihak
pada penggunaan tanda tangan digital tersebut,
walaupun demikian sampai saat ini tetap digunakan
dalam pelaksanaan transaksi bisnis secara on line,
bahkan saat ini semakin marak bisnis on line tersebut,
selain cukup praktis juga saling menguntungkan.
Pada perjanjian internet banking telah ditentukan
layanannya akan berakhir jika nasabah mengakhiri
penggunaan kartu ATM dan menutup semua rekening
yang terhubung di kartu ATM pada bank penyedia
layanan Internet Banking tersebut. Selain itu, dengan
berakhirnya layanan Internet Banking, maka e-mail
yang diterima oleh nasabah akan berakhir satu bulan
setelah layanan internet banking berakhir.
Hubungan hukum antara bank dan nasabah terdapat
pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, sejak tahun 2001 aspek
pengaturan perbankan diperluas dengan aspek
perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai
konsumen pengguna jasa bank. Undang-Undang
perlindungan konsumen diberlakukan guna melakukan
perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, khususnya
untuk kepentingan para pengguna jasa perbankan.
Fasilitas Internet Banking yang dihadirkan oleh suatu
bank mempunyai tanggung jawab yang harus
dipenuhi bank. Tanggung jawab maksudnya disini
adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib
memenuhi standar keamanan dan kenyamanan
dalam pemberian layanan kepada nasabah pengguna
fasilitas Internet Banking.
Tanggung jawab di dalam jasa perbankan yang berupa
Internet Banking dapat dilihat dari Undang-Undang
No. 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,
dari segi standar keamanan dan kenyamanan dalam
pemberian layanan kepada nasabah pengguna
fasilitas Internet Banking. Bank mempunyai beberapa
tanggung jawab yang harus dijalankannya.
Kegagalan terhadap pelaksanaan tanggung jawab
dapat memberikan akibat dan berpengaruh terhadap
kredibilitas bank sebagai pemberi layanan. Tanggung
jawab yang harus dipenuhi oleh bank sebagai pemberi
layanan Internet Banking antara lain:
1. Pengamanan terhadap data-data nasabah
Pengamanan ini bertujuan untuk menghindari
penggunaan data nasabah oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan melakukan kegiatan
yang diluar wewenang, terutama melakukan
transaksi finansial tanpa sepengetahuan nasabah
pemilik data.
2. Bank bertanggung jawab terhadap setiap
pemberian perintah dari nasabah, wajib
melaksanakan setiap perintah yang diberikan
oleh nasabah dalam penggunaan fasilitas Internet
Banking tanpa harus memeriksa kebenaran
identitas nasabah tersebut. Hal ini yang membuat
bank selalu menganjurkan kepada nasabah
untuk selalu berhati-hati pada saat menggunakan
fasilitas Internet Banking, karena apabila data
nasabah bersangkutan digunakan oleh pihak lain
maka hal tersebut merupakan tanggung jawab
dari nasabah yang bersangkutan.
Dalam penggunaan teknologi sistem informasi
terdapat risiko yang bersifat teknis dan khusus yang
berbeda dengan penggunaan sistem manual. Risiko
yang dimaksud antara lain resiko kekeliruan pada
tahap pengoperasian, risiko akses oleh pihak yang
tidak berwenang, risiko kehilangan dan risiko
kerusakan data. Selain itu kemungkinan adanya
pengacakan dari para “hacker”, yang membuat
pengguna internet kebingungan dalam mengakses
transaksi-transaksi yang dilakukan.
Tanggung jawab penanggulangan risiko dalam
transaksi Internet Banking dicantumkan dalam
ketentuan Force Majeure, dinyatakan bahwa nasabah
pengguna akan membebaskan bank dari segala
tuntutan apapun, dalam hal ini bank tidak dapat
melaksanakan perintah dari nasabah pengguna (baik
sebagian maupun seluruhnya), karena kejadian
kejadian atau sebab-sebab di luar kekuasaan atau
kemampuan bank dan tidak terbatas pada segala
gangguan virus computer atau system Trojan Horses
atau komponen membahayakan yang dapat
mengganggu layanan Internet Banking, web browser
atau computer sistem bank, nasabah atau Internet
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Services Provider, karena bencana alam, perang,
keadaan peralatan, sistem atau transmisi yag tidak
berfungsi, gangguan listrik, gangguan telekomunikasi,
kebijakan pemerintah, serta kejadian-kejadian atau
sebab-sebab lain di luar kekuasaan atau kemampuan
bank15.
Pada pelaksanaan tanggung jawab terhadap Internet
Banking, peristiwa Force Majeur dapat terjadi
sewaktu-waktu, karena merupakan hal yang tidak
dapat diduga sebelumnya, hal ini dapat digunakan
sebagai alasan terjadinya wanprestasi bagi para
pihak yang terkait. Dalam hal ini, pihak bank tidak
ingin dipersalahkan, karena menurutnya peristiwa
server down timbul di luar kemauan dan kemampuan
pihak bank.
Server down dapat digolongkan ke dalam Force
Majeur yang bersifat subjektif/relative dan sementara.
Bersifat subjektif karena penyediaan kualitas akses
server tergantung pada pihak bank. Bank masih
mungkin menyediakan kualitas akses server yang
lebih baik dan lebih terjamin, agar bank dapat
memenuhi perintah dari setiap nasabah dengan
lancar. Hal ini bank mempunyai konsekuensi, harus
mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk
operasionalnya. Bersifat sementara karena transaksi
tidak menjadi batal tetapi akan diproses kembali
setelah sistem normal.
Force Majeur yang terjadi karena server down
merupakan yang bersifat subjektif/relatif, maka
seharusnya bank sebagai penyedia layanan internet
banking dapat mengadakan sistem (Internet System
Program) yang menjamin kelancaran proses transaksi.
Hal ini berkaitan dengan kewajiban dan hak bank
yang tercantum dalam syarat dan ketentuan maupun
perjanjian. Bank telah menyatakan kemampuannya
untuk menerima dan menjalankan setiap perintah
dari nasabah pengguna dan pelanggan16.
Bank wajib menyelenggarakan sistem yang lancar
untuk menjalankan perintah nasabah. Selain itu,
bank juga sudah mendapat hak dari nasabah berupa
kuasa untuk mendebet rekening nasabah untuk
pembayaran administrasi maupun biaya transaksi.
Pemberian kuasa tersebut memberikan kebebasan
kepada bank untuk mendebet dalam batas yang
wajar sesuai dengan kebutuhan bank dalam
menyelenggarakan transaksi secara lancar.
Hak bank telah dipenuhi oleh nasabah, maka nasabah
berhak pula mendapatkan pemenuhan kewajiban
bank secara lancar dan tepat waktu. Jika kewajiban
bank tidak dipenuhi, maka nasabah dapat menuntut
bank atas dasar wanprestasi yang bukan terjadi
karena Force Majeur, melainkan kesalahan bank.
D. Kesimpulan
1. - Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan
perjanjian yang dilakukan pada internet banking.
Perjanjian tersebut dituangkan ke dalam kontrak
elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE
Ps.18 (1)), dengan demikian seperti yang diatur
pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
- Kesepakatan antara bank dan nasabah, dapat
dilihat pada substansi formulir pendaftaran yaitu
bahwa bank menerima dan menjalankan setiap
instruksi dari nasabah sebagai instruksi yang sah
berdasarkan penggunaan user ID dan PIN.
- Pesan elektronik digunakan pada transaksi
elektronik berupa “massage” yang dikirim dan
langsung ada yang menerima, maka validitasnya
dianggap sah menurut hukum apabila electronic
massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak
ada yang mengubah substansinya, sehingga
penerima akan percaya penuh atas massage yang
dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat
berupa data elektronik, pesan electronik
(electronic massage) dan rekam elektronic
(electronic record).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
25
15 Syarat dan Ketentuan Internet Banking, bagian VI diakses tanggal 22 Oktober 2011.
16 Syarat dan Ketentuan Internet Banking., bagian III No. 6 Diakses tanggal 22 Oktober 2011.
2. - Keabsahan pada transaksi Internet Banking
terletak pada Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat
(1) UU ITE), apabila ditinjau dari Hukum
Pembuktian Perdata berarti bahwa essensi
perdagangan pada e-commerce terletak pada
informasi elektronik dan electronic signature
sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan
electronic signature (termasuk digital signature)
sama dengan tanda tangan biasa karena belum
ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu
dengan menggunakan tinta berbasis kertas,
Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya
adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian
suatu akta, dokumen atau surat.
- Tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh bank
pada fasilitas yang diberikan Internet Banking
adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib
memberikan pelayanan maksimal pada standar
keamanan dan kenyamanan kepada nasabah
pengguna fasilitas Internet Banking.
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Anderson, Ronald A. Business Law, South Western Pblishing Co. Ohio: Cincinnati, 1978.
Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung, 1999
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta: Daya Widya,1999.
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994.
Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Djoni S.Gazali, dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Etty Susilowati, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008.
Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Harahap, M Yahya, ADR Merupakan Jawaban Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Masa Depan, Yogyakarta
2003.
Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung
Karen, et.al, “Internet Banking: Developmentand Prospect,” Program on Information Resources Policy, Harvad University,
2002.
Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001.
Interenet
http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit.
Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce
27
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi ke 27, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko.
28
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
A. Pendahuluan
Tindak Pidana Pencucian Uang bukanlah suatu tindak
pidana yang biasa dan yang tidak memerlukan banyak
energi untuk memberantasnya. Perkembangan tindak
pidana pencucian uang bukanlah semakin berkurang,
melainkan semakin meningkat dan berkembang
pesat. Tidak sedikit upaya terpadu yang telah diambil
oleh masyarakat Internasional, Regional, maupun
Nasional untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasannya. Setiap upaya yang diusahakan
oleh Pemerintah negara-negara dunia untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang menjadi suatu perhatian menarik dari
masyarakat. Goodwill dari Pemerintah dan seluruh
bangsa-bangsa di dunia untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana ini harus didukung oleh
seluruh komponen dan elemen masyarakat, berikut
perangkat hukum dan peraturan-peraturannya.
Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering
pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang
29
TELAAH ATAS EKSISTENSI LEMBAGA PENGAWAS DAN PENGATUR MENURUT UU PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, UU BANK INDONESIA DAN UU OTORITAS JASA KEUANGAN
Oleh : Dr. Go Lisanawati, SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Abstrak
Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya
mengancam suatu negara tertentu saja, tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi seluruh bangsa.
Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam mencegah
dan memberantas tindak pidana pencucian uang,. Hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan atas Undang Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, menjadi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (yang selanjutnya disebut dengan UU PPTPPU).
Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah
lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi kepada Pihak Pelapor. Bagi
sektor Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia. Dalam
perkembangannya berdasarkan UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan
beralih ke Otoritas Jasa Keuangan.
Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya
memerlukan deskripsi kewenangan, batasan persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi lembaga terkait
dengan PPATK.
tidak hanya mengancam suatu negara tertentu saja,
tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi
seluruh bangsa. Chibuike U. Uche memandang Money
Laundering dari suatu perspektif yang menarik untuk
dipahami, sebagai berikut:
This is because money laundering is truly an
international phenomenon. Money launderers are
always looking for ways of disguishing the true source
of their wealth. Some developing countries have
characteristic that money launderes find attractive.
Understanding the social, political and economic
environment of these developing countries is therefore
a vital ingridient in the war against money
laundering... It argues that the greatest danger to
the success of international efforts to tackle money
laundering is the ever increasingly disparity in the
structure of the financial systems of both developed
and developing countries. The greatest threat to the
business of laundering is documentation. Even after
the launderers have beaten the system, their success
well be temporary.1
Tindak pidana pencucian uang yang berdimensi
internasional sesungguhnya juga terkait dengan
karakteristik nasionalnya. Konsekuensi logis yang
terjadi bahwa sesungguhnya upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
membutuhkan perspektif nasional, sebagai negara
berkembang dengan kebutuhannya sendiri, di tengah-
tengah pergulatan dimensi internasionalnya, yang
banyak dipengaruhi oleh insight dari negara maju.
Perspektif internasional di tengah keberagaman
perspektif nasional akan mempengaruhi tingkat
keberhasilan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
Namun demikian di sisi lain tetap perlu dipahami
bahwasanya tindak pidana pencucian uang juga
sudah berkembang dengan sangat meluas.
Melihat sifat meluasnya tindak pidana pencucian
uang, N.H.T Siahaan memberikan penjelasan:
“Berhubung money laundering merupakan salah satu
aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu,
bangsa, dan negara maka pada gilirannya, sifat money
laundering menjadi universal dan menembus batas-
batas yurisdiksi negara, sehingga masalahnya bukan
saja nasional, tetapi juga masalah regional dan
internasional...2”. Alasan-alasan yang dikemukakan
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang yang saat ini giat dilakukan
oleh seluruh pemerintah negara-negara di dunia
adalah terkait dengan sifat kriminalitas yang dimiliki
dari tindak pidana pencucian uang. Setiap pencucian
uang pada hakikatnya hendak mencuci uang-uang
yang diperoleh dari harta kekayaan.
Salah satu hal yang membuat negara-negara peduli
dengan upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang adalah bahwa negara-
negara akan menjadi self victim atas tindak pidana
tersebut. Dengan atau tanpa persetujuan, negara
akan tetap menjadi korban atas tindak pidana
pencucian uang apabila tindak pidana tersebut tetap
berlangsung, langsung ataupun tidak langsung.
Sebagaimana dipahami dalam konstruksi pencucian
uang adalah mengenai sulitnya mengurai tahapan di
dalam tindak pencucian uang yang sangat kompleks
pada setiap tahapannya. Hal tersebut mengakibatkan
memang tidak mudahnya mengungkapkan mengenai
tindak pidana pencucian uang. Tahapan pencucian
uang pada hakikatnya terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Placement atau penempatan; b. Layering atau
pelapisan; dan c. Integration atau integrasi. Yang
dimaksud dengan Placement menurut Sutan Remy
Sjahdeini dijelaskan sebagai: “tahapan untuk
menempatkan uang haram ke dalam sistem keuangan
(financial system)”3 Pada tahap Placement, uang yang
telah ditempatkan di dalam sistem keuangan akan
1 Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_ cuuche.html
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
2 N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta, h. 3
3 Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, h.33
dapat dipindahkan ke bank lain, baik bank yang ada
di dalam domestik, maupun bank di luar negeri.
Tahap Layering, atau pelapisan, menurut Adrian
Sutedi, dimaknakan sebagai “memisahkan hasil
tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya
melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
dana.”4 Pada tahap layering terjadi suatu proses yang
ditujukan untuk melakukan pemindahan atas suatu
dana yang berasal dari beberapa rekening atau
tempat lainnya, yang dihasilkan dari tahap placement
sebelumnya. Tahap terakhir adalah yang disebut
dengan tahap Integration. Menurut Adrian Sutedi,
Integration adalah “upaya menggunakan harta
kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati
langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk
kekayaan materiil atau keuangan, dipergunakan
untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun
untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana”.5
Berdasarkan penjelasan tersebut, apapun yang
dilakukan oleh para pelaku kejahatan untuk mencuci
uang hasil kejahatannya, hal terakhir yang harus
dilakukan adalah dapat mempergunakan harta-harta
yang sudah nampak sah tersebut untuk melakukan
kegiatannya. Selalu ada hasil yang diharapkan dengan
dilakukannya pencucian uang.
Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-
undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang, sekalipun tidak dipungkiri bahwa jenis tindak
pidana ini juga semakin banyak terjadi di Indonesia.
Salah satu kehendak baik yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia adalah melakukan perubahan
atas Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, menjadi
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (yang selanjutnya disebut dengan
UU PPTPPU). Beberapa materi yang diatur di dalam
UU PPTPPU ini menunjukkan beberapa perubahan
pentinguntuk memenuhi kepentingan nasional dan
standar Internasional. Pada penjelasan Umum UU
PPTPPU, materi perubahan tersebut antara lain
mengenai pengukuhan penerapan prinsip mengenali
Pengguna Jasa; perluasan Pihak Pelapor; dan penataan
mengenai Pengawasan Kepatuhan. Yunus Husein
menjelaskan bahwa sasaran pembentukan Undang
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru,
salah satunya adalah “meningkatkan koordinasi
penegakan hukum dalam pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”6,
dengan mengingat inti dari permasalahan yang ada
di dalam TPPU yaitu meluasnya jenis kejahatan lanjutan
ini, yang secara signifikan membawa dampak atas
stabilitas dan integritas sistem keuangan nasional.
Berdasarkan penjelasan Umum UU PPTPPU, terdapat
beberapa hal penting yang perlu dibahas lebih
mendalam, yaitu terkait dengan adanya upaya
penataan mengenai pengawasan kepatuhan, dan
pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna
jasa. Lembaga pengawas dan pengatur sebelumnya
belum pernah dikenal eksistensinya, tetapi dengan
diberikannya kewenangan untuk mengawasi
kepatuhan dari pihak Pelapor, Lembaga Pengawas
dan Pengatur memperoleh fungsi penting. Salah satu
lembaga tersebut adalah Bank Indonesia. Dimana
kedudukan Bank Indonesia sebagai pengawas
penyedia jasa keuangan bank.
Yang menjadi isu hukum untuk dibahas di dalam
tulisan ini adalah mengenai fungsi pengawasan dan
pengaturan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang untuk Penyedia Jasa Keuangan, dan
terkait pula dengan keberadaan Orotitas Jasa
Keuangan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
31
4 Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti, h. 19 - 20
5 Ibid, h. 21
6 Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010, Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010, h. 5
B. Fungsionalisasi Lembaga Pengawas dan
Pengatur dan Koordinasinya dengan PPATK
Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang
dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur
adalah lembaga yang memiliki kewenangan
pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi
kepada Pihak Pelapor. Definisi tersebut memberikan
penjabaran bahwasanya diberlakukannya UU PPTPPU
telah memberikan suatu pengaturan mengenai
adanya lembaga baru dengan tugas, fungsi dan
kewenangan yang meliputi pengawasan, pengaturan,
bahkan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor yang
melanggar ketentuan. Fungsi yang dilakukan oleh
Lembaga Pengawas dan Pengatur (selanjutnya disebut
dengan LPP) adalah untuk melakukan Pengawasan
Kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 18 UU PPTPPU. Untuk pelaksanaan fungsi ini,
UU mengamanatkan dilakukan oleh LPP dan PPATK.
Menilik ketentuan di atas memberikan suatu
pemahaman bahwa eksistensi LPP tidaklah berdiri
secara sendirian, tetapi berdampingan dengan PPATK,
yang berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf b, juga
melaksanakan fungsi pengawasan kepatuhan atas
pihak pelapor. Namun demikian UU PPTPPU tidak
secara eksplisit metegaskan mengenai pemisahan
ataupun pembagian kewenangannya. Ketentuan
Pasal 30 ayat (1) dan (2) hanya menegaskan bahwa
sejauh LPP itu belum terbentuk, maka PPATK yang
akan mengenakan sanksi administratif kepada pihak
Pelapor. Ketentuan tersebut hanya memberikan
penekanan atas pengenaan sanksi administratif,
padahal LPP berfungsi pula melakukan pengawasan
dan pengaturan.
Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 11 UU PPTPPU adalah setiap
Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib
menyampaikan laporan kepada PPATK. Yang
dimaksud dengan setiap Orang adalah orang
perseorangan atau Korporasi (vide Pasal 1 angka 9
UU PPTPPU). Di sisi lain, UU PPTPPU juga
memperkenalkan pihak lain, yaitu yang disebut
dengan Pihak Pengguna Jasa, yaitu pihak yang
menggunakan Jasa Pihak Pelapor. (vide Pasal 1 angka
12 UU PPTPPU). Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut memunculkan interpretasi ganda, yaitu: (i).
Apakah semua Pihak Pelapor wajib melaporkan
kepada PPATK secara langsung?; dan (ii). Apakah
Pihak Pelapor yang telah memiliki LPP juga harus
melaporkan kepada PPATK?. UU PPTPPU belum secara
jelas membedakannya, sehingga seolah-oleh
memunculkan tumpang tindih kewenangan antara
LPP dengan PPATK. Apakah posisi PPATK berada di
atas dibandingkan dengan LPP, ataukah berada sejajar.
Beberapa ketentuan pasal di atas menunjukkan betapa
sulitnya menjalankan fungsi pengawasan, pengaturan,
audit kepatuhan, bahkan pengenaan sanksi tersebut.
Konstruksi koordinasi yang bagaimanakah yang dapat
dilakukan oleh instansi tersebut.
Mengenai Pihak Pelapor, Bab IV UU PPTPPU tentang
Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan menjelaskan
mekanisme pelaporan dan pengawasan kepatuhan.
Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor pada hakikatnya
meliputi 2 kelompok, yaitu kelompok Penyedia Jasa
Keuangan, dan Penyedia Barang dan/atau Jasa
lainnya. (Vide Pasal 17 UU PPTPPU).
Tugas LPP sebagaimana telah ditentukan di dalam
Pasal 18 UU PPTPPU pada hakikatnya meliputi
penetapan mengenai ketentuan prinsip mengenali
Pengguna Jasa. Lembaga ini pula yang berkewajiban
untuk melaksanakan pengawasan kepatuhan Pihak
Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali
Penguna Jasa. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat
(1) UU PPTPPU, tugas dari LPP selanjutnya adalah
menjatuhkan sanksi administratif kepada Pihak
Pelapor.
Ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU PPTPPU kembali
menegaskan bahwasanya dalam hal belum
terbentuknya LPP, maka yang berkewajiban
mengenakan sanksi administratif kepada Pihak
Pelapor adalah PPATK. Penegasan dari Pasal 30 ayat
(3) UU PPTPPU, memberikan penjelasan mengenai
sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
32
oleh PPATK. Namun demikian tidak jelas bentuk
sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan
oleh LPP.
Eksistensi LPP menurut UU PPTPPU juga ditunjukkan
melalui fungsi Pengawasan Kepatuhan. Ketentuan
Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU PPTPPU mengatur
mengenai fungsi pengawasan kepatuhan sebagaimana
dimaksudkan di dalam Pasal 17 ayat (1) tersebut
dilakukan LPP. PPATK baru akan bertindak sebagai
lembaga yang melaksanakan fungsi pengawasan
kepatuhan apabila belum terdapat atau terbentuk
lembaga pengawas dan pengatur tersebut. Hasil
pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang telah
dilaksanakan oleh LPP harus disampaikan kepada
PPATK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 UU PPTPPU dapat
dipahami bahwa sebenarnya terdapat koordinasi
yang harus dilakukan oleh LPP dengan PPATK.
Koordinasi tersebut berupa suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh LPP dalam hal ditemukannya
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak
dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, maka
Lembaga Pengawas dan Pelapor itulah yang harus
menyampaikan laporannya kepada PPATK. Secara
umum, ketentuan Pasal 33 UU PPTPPU mengatur
bahwasannya LPP sangat berkewajiban untuk
memberitahukan perihal kegiatan ataupun Transaksi
Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya
dilakukan baik langsung ataupun tidak langsung
dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Dengan demikian dapat dijelaskan koordinasi antara
Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap PPATK
dapat bersifat koordinatif horizontal dan koordinatif
vertikal.
C. Penguatan Customer Due Diligence dan Enhance
Due Diligence Dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang
Salah satu instrumen penting di dalam mencegah
dan memberantas tindak pidana pencucian uang
adalah bagaimana setiap sektor bisnis, baik oleh
Penyedia Jasa Keuangan berupa bank ataupun non
bank, dan juga Penyedia Barang dan/atau Jasa dapat
mengenali pengguna jasanya. Istilah Pengguna Jasa
ini lebih luas dibandingkan dengan istilah nasabah
yang ada di dalam undang-undang tindak pidana
pencucian uang yang sebelumnya. Makna pengguna
jasa ini akan meliputi secara keseluruhan atas orang
yang menjadi nasabah di dalam suatu kegiatan
perbankan, maupun pembeli pada kegiatan sektor
lainnya.
Istilah yang sebenarnya sama yang dipergunakan
sebagai instrumen untuk penerapan UU di bidang
pencucian uang adalah prinsip mengenali nasabah
(know your customer principle), atau dalam terjemahan
lain juga disebut dengan prinsip mengenali Pengguna
Jasa. Beberapa pengaturan mengenai KYC yang sudah
ada, antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah
dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal
Nasabah; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Nomor 2/1/Kep.PPATK/2003
tentang Pedoman Umum Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi
Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor
2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa
Keuangan; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Nomor
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
33
LPP PPATK
Pihak Pelapor
Hasil Pengawasan Kepatuhan
Skema 1: Hubungan antara Pihak Pelapor - LPP - PPATK
2/6/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara
Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi
Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor
3/I/KEP.PPATK/2004 tentang Pedoman Laporan
Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporannya
Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 18 UU PPTPPU yang mengatur mengenai
penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
meletakkan kewajiban kepada LPP untuk menetapkan
ketentuan mengenai Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa. Jacky Uly dan Bernard L. Tanya menambahkan
bahwa: “setiap LPJK (Lembaga Penyedia Jasa
Keuangan, cetak miring oleh penulis) dianjurkan
untuk senantiasa melakukan identifikasi terhadap
para nasabah/klien, dan menolah setiap tranaksi yang
mencurigakan”.7 Untuk itu Pihak Pelapor wajib
menerapkan prinsip tersebut. Untuk itu pula LPP yang
wajib melaksanakan pengawasannya atas kepatuhan
Pihak Pelapor di dalam menerapkan prinsip Mengenali
Pengguna Jasa. Hanya saja tidak secara tegas
dinyatakan dan digambarkan bagaimana mekanisme
pengawasan yang dimaksud, sedangkan di satu sisi
bagi pengguna jasa yang belum ditetapkan LPP-nya,
maka fungsi pengawasannya dilakukan oleh PPATK.
Secara a contrario pernyataan tersebut dipahami dari
Pasal 18 ayat (6), dengan suatu pemahaman dasar
bahwa Pihak Pelapor yang diwajibkan untuk
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa harus
bertanggungjawab kepada PPATK.
Setidaknya ada 3 hal yang harus diutamakan di
dalam Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, yaitu a.
Identifikasi Pengguna Jasa; b. Verifikasi Pengguna
Jasa; dan c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam konteks
inilah yang disebut dengan Customer Due Diligence
(CDD) dan Enhance Due Diligence (EDD). Hal tersebut
sejalan dengan Rekomendasi Nomor 5 Financial
Action Task Force on Money Laundering.
Rekomendasi tersebut menyatakan:
“The customer due diligence (CDD) measures to be
taken are as follows:
a) Identifying the customer and verifying that
customer’s identity using reliable, independent
source documents, data or information
b) Identifying the beneficial owner, and taking
reasonable measures to verify the identity of the
beneficial owner such that the financial institution
is satisfied that it knows who the beneficial owner
is. For legal persons and arrangements this should
include financial institutions taking reasonable
measures to understand the ownership and
control structure of the customer.
c) Obtaining information on the purpose and
intended nature of the business relationship.
d) Conducting ongoing due diligence on the business
relationship and scrutiny of transactions undertaken
throughout the course of that relationship to
ensure that the transactions being conducted are
consistent with the institutions knowledge of the
customer, their business and risk profile, including,
where necessary, the sources of fund”.
Yang paling penting dilakukan di dalam kaitannya
dengan Customer Due Diligence ini adalah bahwa
Pihak Pelapor dapat sewaktu-waktu melakukan
pemeriksaan atas hubungan usaha dan analisis
transaksi-transaksi yang dilakukan. Usaha tersebut
harus dilakukan secara menyeluruh guna menjamin
transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa konsisten
dengan apa yang diketahui lembaga keuangan atas
nasabah, kegiatan usahanya dan profil resiko, termasuk
sumber dana jika diperlukan. Kemutakhiran data
Pengguna Jasa harus selalu dijamin oleh Pihak Pelapor.
Namun demikian apabila penerapan CDD berdasarkan
poin a sampai dengan d di atas berhadapan dengan
suatu resiko yang lebih besar, maka penerapan yang
harus dilakukan adalah dengan Enhance Due
Diligence, yaitu sebagai berikut:
“Financial institutions should apply each of the CDD
measures under (a) to (d) above, but may determine7 Jacky Uly dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya, hal. 49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
34
the extent of such measures on a risk sensitive basis
depending on the type of customer, business
relationship or transaction. The measures that are
taken should be consistent with any guidelines issued
by competent authorities. For higher risk categories,
financial institutions should perform enhanced due
diligence. In certain circumstances, where there are
low risks, countries may decide that financial institutions
can apply reduced or simplified measures.”
Namun demikian apabila Lembaga Keuangan melihat
terdapatnya kemungkinan resiko yang besar, berikut
juga dengan jenis nasabah dan hubungan
transaksinya, maka perlu ditingkatkan upaya kehati-
hatiannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
tindakan yang diambil harus konsisten dengan setiap
petunjuk yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.
Untuk kategori berisiko tinggi, lembaga keuangan
harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam.
Dengan demikian apabila dalam situasi tertentu
ditemukan suatu fakta bahwa apabila terdapat risiko
rendah, negara-negara dapat memutuskan bahwa
lembaga keuangan dapat menerapkan tindakan-
tindakan yang disederhanakan. Hal tersebut yang
membedakan antara CDD dan EDD.
Prinsipnya pada upaya mengenali pengguna jasanya,
ketentuan Pasal 19 mempertegas bahwasanya
masalah penginformasian mengenai identitas, sumber
dana, dan tujuan dilakukannya Transaksi menjadi
sesuatu yang harus diberikan oleh setiap Orang yang
melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor. Dengan
demikian Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ini menjadi
suatu prinsip yang selalu harus dikedepankan di dalam
upaya penanganan tindak pidana pencucian uang.
D. Lembaga Pengawas dan Pengatur atas Pihak
Pelapor Bank berdasarkan UU Bank Indonesia -
UU Transfer Dana - UU Otoritas Jasa Keuangan
Ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan
arti yang sangat penting kepada Sektor Perbankan,
mengingat dalam setiap tahapan pencucian uang
masih menempatkan Lembaga Keuangan sebagai
tempat yang cukup beresiko dan disukai oleh para
pencuci uang. Namun demikian UU PPTPPU tidak
menempatkan Lembaga Keuangan Bank saja yang
harus berperan aktif, tetapi kepada semua pihak
Pelapor, yang meliputi Penyedia Jasa Keuangan Bank
dan Non Bank, serta Penyedia Barang dan/atau Jasa
lainnya.
Mengingat bahwa LPP diberikan tempat dan peran
yang sangat penting di dalam UU PPTPPU, maka harus
dipahami betul fungsi dan peranannya terkait dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Bagi sektor
Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka
yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 24
Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, dan diubah
dengan UU 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia,
yang menekankan pada adanya Fungsi Mengatur
dan Mengawasi Bank, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 8 huruf c UU Bank Indonesia tersebut. Ketentuan
Pasal 24 tersebut memberikan tugas kepada Bank
Indonesia untuk mengadakan peraturan-peraturan
terkait dengan kewenangannya mengawasi Bank,
dan juga menjatuhkan sanksi kepada Bank. Pembedaan
fungsi Bank Indonesia terjadi di dalam 2 hal, yaitu
Fungsi pengaturan dan Fungsi pengawasan.
Pelaksanaan tugas mengatur Bank, Pasal 25 ayat (1)
UU Bank Indonesia memberikan kewenangan kepada
Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-
hatian. Prinsip kehati-hatian yang dimaksud di sini
adalah termasuk pula dengan apa yang dimaksudkan
di dalam UU Perbankan. Selanjutnya pelaksanakan
kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia (vide Pasal 25 ayat (2) UU Bank
Indonesia). Pengawasan tersebut akan dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung (vide Pasal
27 UU Bank Indonesia), yang selanjutnya mewajibkan
Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan
penjelasan sesuatu dengan tata cara yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia (vide Pasal 28 ayat (1) UU Bank
Indonesia). Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
35
UU Bank Indonesia pula dapat dipahami bahwasanya
dalam hal terdapat suatu transaksi yang patut di
duga merupakan tindak pidana di bidang perbankan,
maka Bank Indonesia dapat memerintahkan bank
untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
transaksi tertentu tersebut.
Terkait dengan pemberian tugas sebagai LPP menurut
UU PPTPPU, maka sesungguhnya fungsi pengawasan
oleh BI terkait dengan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Penunjukkan Bank Indonesia sebagai LPP untuk
Penyedia Jasa Keuangan sektor Perbankan seharusnya
sejalan dengan fungsi pengawasannya di dalam UU
Bank Indonesia. Kewenangan yang diberikan UU
PPTPPU cukup terbatas dengan adanya keberadaan
PPATK yang juga melaksanakan fungsi pengawasan
dan pengaturan manakala LPP tersebut belum
terbentuk. Permasalahannya justru UU PPTPPU belum
memberikan batasan kewenangan yang sama
besarnya dengan PPATK, atau paling tidak menunjukkan
distinct yang tegas bagaimana sifat koordinatif antara
Bank Indonesia sebagai LPP dengan keberadaan
PPATK, salah satu contoh adalah terkait dengan
kewenangan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor
yang ternyata tidak tegas.
Ketentuan Pasal 33 UU Bank Indonesia menegaskan
apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat
suatu keberlangsungan usaha Bank yang bersangkutan
dan/atau membahayakan sistem perbankan atau
terjadi sutau kesulitan bagi perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, maka Bank
Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana
diatur di dalam undang-undang tentang perbankan
yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,
yang menjadi rambu-rambu pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud baik oleh UU Bank Indonesia,
UU Perbankan, maupun UU PPTPPU, yaitu sistem
perbankan dan perekonomian nasional.
Pasal 34 UU Bank Indonesia selanjutnya menjelaskan
bahwa tugas pengawasan atas Bank sebagaimana
dimaksud sebelumnya yang akan dilakukan oleh
Bank Indonesia, akan dilaksanakan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen
yang dibentuk dengan undang-undang. Mutatis
mutandis dengan hal tersebut, Pasal 35 UU Bank
Indonesia menekankan sepanjang belum diadakannya
lembaga pengawasan yang dimaksud, tugas
pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan
oleh Bank Indonesia.
Permasalahan mengenai entitas Lembaga Pengawas
dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU
Bank Indonesia dan UU PPTPPU ini berkembang
terkait pula dengan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan
(selanjutya disebut dengan OJK), sebagaimana
dimaksud di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai
UU OJK). Pasal 1 menentukan bahwasanya OJK
merupakan lembaga yang independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan (vide
Pasal 1 angka 1 UU OJK). Permasalahan selanjutnya
adalah bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Jasa
Keuangan di dalam undang-undang tersebut adalah
meliputi pelaksanaan kegiatan di sektor Perbankan,
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiataan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
(vide Pasal 1 angka 4 UU OJK). Pasal 1 angka 10 UU
OJK selanjutnya juga memuat mengenai Lembaga
Jasa Keuangan lainnya, yang ternyata akan meliputi
pula lembaga penggadaian, lembaga penjaminan,
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
melaksanakan pengelolaan dana masyarakat yang
bersifat wajib, meliputi penyelenggara program
jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.
Fungsi OJK selanjutnya ditentukan di dalam Pasal 5
UU OJK, bahwasanya OJK berfungsi menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang berintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan. Pasal 7 selanjutnya menjelaskan mengenai
pembagian fungsi pengaturan dan pengawasan, yang
meliputi:
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
36
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan bank.
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan
bank
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek
kehati-hatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian
uang, dan
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan
kejahatan perbankan, dan
d. Pemeriksaan bank
Berdasarkan ketentuan di atas, OJK yang bertugas
untuk mengawal pelaksanaan prinsip mengenal
nasabah dan anti pencucian uang. Ketidak konsistenan
penggunaan peristilahan prinsip mengenali nasabah
berbeda dengan peristilahan yang terdapat di dalam
UU PPTPPU, yaitu prinsip mengenali pengguna jasa.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi LPP
sebagaimana dimaksud di dalam UU PPTPPU telah
dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK.
Ketentuan selanjutnya yang terkait adalah Pasal 39
UU OJK, yang menegaskan bahwa berhubungan
dengan pelaksanaan tugas, maka OJK akan
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat
peraturan pengawasan di bidang Perbankan, tetapi
tidak berkaitan dengan pengawasan atas pelaksanaan
prinsip mengenali Pengguna Jasa dan anti pencucian
uang. Pasal 40 UU Otoritas Jasa Keuangan menegaskan
untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank
tertentu, Bank Indonesia dapat (cetak miring oleh
penulis) melakukan pemeriksaan langsung terhadap
bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Namun
sayangnya Pasal 40 ayat (2) memberikan pembatasan
atas apa yang tidak dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia, yaitu dalam melaksanakan kegiatan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
(1), maka Bank Indonesia tidak dapat memberikan
penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Berbagai
interpretasi yang muncul dari ketentuan UU OJK ini
cukup menyulitkan untuk memahami dan menyelami
fungsi sebagai LPP itu berada di pihak siapa. Begitu
luasnya perihal yang ingin diatur dan diawasi oleh
OJK, semakin menunjukkan inkonsistensi kewenangan
mana yang harusnya dilimpahkan kepada OJK, dan
manakah yang tetap pada Bank Indonesia. Mengingat
kompleksitas macam aturan yang harus dipertegas
dalam kerangka tindak pidana pencucian uang dan
berbagai rambu-rambu kehati-hatian yang harus
senantiasa diperlihatkan dan diperhatikan oleh sektor
perbankan, maka perlu dipikirkan tugas OJK sebagai
LPP.
Pada intinya masih terdapat tumpang tindih yang
tetap terjadi, yaitu sebenarnya Bank Indonesia
sebetulnya akan mengawasi mengenai sektor
perbankan dengan segala keluasan kewenangan yang
diberikan oleh UU Perbankan dan UU Bank Indonesia,
tetapi terbatas saat ini dengan OJK. Nindyo Pramono
pernah menuliskan pada saat dibuatnya RUU OJK
sebagai berikut: “Saya kawatir kehadiran OJK yang
mengambil fungsi pengawasan BI atas Bank-bank
Umum, akan tetap tumbuh atau bertabrakan dengan
fungsi pengaturan BI yang secara tidak langsung akan
bersinggungan dengan fungsi pengawasan
(macroprudential)”8
Namun OJK juga masih dapat meminta bantuan dari
Bank Indonesia untuk pelaksanaan fungsi pengawasan
dan pengaturannya, hanya tidak dapat meliputi
penilaian mengenai kesehatan bank. Secara asas, UU
OJK ini adalah UU khusus yang baru saja dibentuk,
tetapi tidak merupakan lex specialis terhadap UU
Bank Indonesia. Hal tersebut dikarenakan cakupan
tugas pengawasan dan pengaturan oleh OJK terlalu
luas, dan tidak melulu menyangkut perbankan,
tetapi sektor keuangan. Cakupan tersebut akan
37
8 Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
menempatkan OJK menjadi super supervisory body
atas suatu lembaga yang memang sudah terbentuk
terlebih dahulu dengan undang-undang yang lainnya.
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia juga cukup spesifik, dibandingkan dengan
apa yang diatur di dalam UU OJK.
Memperhatikan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU
Perbankan Syariah, terdapat kewajiban dari Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah untuk menyampaikan
mengenai segala keterangan dan penjelasan yang
berkenaan dengan usahanya kepada Bank Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut ketentuan Pasal 52 ayat (3)
selanjutnya memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk melakukan beberapa hal yang
menyangkut dengan fungsi pengawasan. Nampaknya
kewenangan pengawasan ini telah menjadi
kewenangan penyidikan oleh OJK (lihat Pasal 49 UU
OJK). Dengan demikian dapat dipahami betul bahwa
pelaksanaan fungsinya sudah berbeda. Sekedar
mengingatkan bahwasanya kewenangan OJK meliputi
3 hal, yaitu fungsi pengawasan, pengaturan, dan
penyidikan.
Keberadaan Lembaga semacam OJK di Inggris
dimaksudkan sebagai Financial Services Authority
(FSA), yang sebenarnya tidak ditujukan untuk
mengontrol pelaksanaan UU pencucian uang atas
bidang perbankan, melainkan atas sektor keuangan
seperti untuk mengendalikan leasing companies,
commercial finance providers, safe custody services,
lending, offering guarantees and commitments,
participation in securities issues, advising on capital
sturctures, money broking, portofolio management
and advice, safekeeping and administration of
secutirities, trading for own account.9 Berdasarkan
hal tersebut sebaiknya perlu ditegaskan kembali LPP
untuk Penyedia Jasa Keuangan Bank demi kepentingan
pelaksanaan UU PPTPPU itu seharusnya diberikan
kepada siapa.
Secara keseluruhan UU OJK ini lebih memberikan
perhatian pada sektor perbankan, dibandingkan
dengan sektor keuangan lainnya. Muncullah pula
sebuah pemikiran, dengan demikian apakah OJK
juga akan mampu melaksanakan secara keseluruhan
tugasnya yang begitu luas untuk menjadi LPP
sebagaimana dikehendaki oleh UU PPTPPU dan UU
OJK di bidang pencucian uang untuk sektor keuangan
secara keseluruhan.
Kesulitan lainnya apabila terlalu luasnya ketentuan
pengawasan dan pengaturan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, adalah apa yang terkait dengan rambu-
rambu kehati-hatian sebagaimana dimaksud di dalam
UU Perbankan, UU Bank Indonesia, dan UU OJK, yang
nantinya berkorelasi pula dengan UU Transfer dana.
Ketentuan UU Transfer Dana sendiri pada hakikatnya
sangat berhubungan erat dengan kegiatan TPPU.
Sebagaimana dipahami, kekurang hati-hatian dalam
pengelolaan dan pelaksanaan transfer dana akan
mengakibatkan ditempatkannya Bank maupun
lembaga transfer dana lain bukan bank sebagai
sarana untuk melakukan pencucian uang. Untuk itu
kegiatannya harus dipantau. Ketentuan 72 UU
Transfer Dana mengatur mengenai kegiatan
pemantauan transfer dana, yang dilakukan oleh Bank
Indonesia. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa
di dalam melaksanakan fungsi pemantauan tersebut,
Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan otoritas
pengawas terkait. Namun demikian masih perlu
ditelaah lagi apakah yang dimaksudkan adalah OJK
sebagaimana dimaksud di dalam UU OJK. Bismar
Nasution menambahkan “Masalah utama yang
dihadapi industri keuangan khususnya perbankan
saat ini bukanlah telah semakin menyatunya dengan
industri keuangan lainnya, tetapi lemahnya penerapan
good corporate governance. Masalah good corporate
governance tidak akan selesai dengan beralihnya
kewenangan pengawasan”10. Dengan demikian
9 Lihat dalam Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007 : Our Approach, http://www.fsa.gov.uk, diakses tanggal 2 Februari 2012
10 Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
38
kehadiran OJK dengan kewenangannya yang
terlampau luas, menyisakan suatu perenungan
mengenai diselesaikannya setiap tugas-tugas yang
diembannya, dengan mendasarkan pada realitas
semakin kompleks, rumit, dan tumpang tindihnya
kewenangan yang diberikan oleh setiap undang-
undang yang berlaku.
Kesimpulan
Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana
dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya
memerlukan deskripsi kewenangan, batasan
persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi
dengan PPATK.
Terkait dengan hal tersebut adalah pada pelaksanaan
prinsip mengenali pengguna jasa bagi Penyedia Jasa
Keuangan Bank seharusnya membutuhkan ketelitian
yang lebih lagi. Oleh karena itu tidak dapat serta merta
dialihkan kepada OJK. Mengingat spesifiknya pengaturan
mengenai perbankan, dan pentingnya peran perbankan
di dalam suatu proses pencegahan pencucian uang,
berikut juga meluasnya tanggungjawab OJK sebagaimana
dimaksud di dalam UU OJK, maka perlu dipikirkan
kembali apakah menempatkan Bank Indonesia tetap
sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana
dikehendaki di dalam UU PPTPPU, ataukah menyerahkan
tugas tersebut kepada OJK.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti
Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan
Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010
Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International
Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_cuuche.html
Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007: Our Approach,
downloaded from http://www.fsa.gov.uk, tanggal 2 Februari 2012
Jacky Uly, dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya
Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian
Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010
N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta
Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti
Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan
UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010,
Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010
40
A. Pendahuluan
Dalam perspektif Penagihan Pajak, investasi oleh
Wajib Pajak dalam bentuk rekening, simpanan, giro,
deposito berjangka dan bentuk investasi lainnya di
bank, telah memunculkan peluang pencairan
tunggakan pajak melalui penyitaan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank
UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan
UU No. 19 Tahun 2000 (UU Penagihan Pajak),
diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan
yang timbul berkenaan dengan tunggakan pajak
serta dapat memberikan motivasi peningkatan
kesadaran dan kepatuhan masyarakat wajib pajak,
sehingga dapat memberikan penekanan yang lebih
seimbang antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak
dan kepentingan negara. UU Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa telah mengatur ketentuan tentang tata
cara tindakan penagihan pajak yang berupa
penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan surat
paksa, penyitaan, pencegahan, dan atau
penyanderaan, serta pelelangan. Bahkan surat paksa
diberi kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuaatan hukum tetap dan tidak dapat
diajukan banding sehingga surat paksa langsung
dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti sampai
pelelangan barang Penanggung Pajak.
B. Agunan Tunai (Cash Collateral)
Bank adalah lembaga mediasi yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk menjaga
kepercayaan masyarakat berkaitan dengan simpanan
tersebut, maka Bank dituntut untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Untuk itu, Bank sangat memperhatikan
adanya agunan sebagai faktor yang harus
dipertimbangkan dalam memberikan kredit.
Dalam praktek perbankan, agunan tunai (cash
collateral) seperti giro, deposito, tabungan, setoran
jaminan dan atau emas, lazim digunakan dalam
pemberian kredit oleh Bank. Memperhatikan sifat
agunan yang sangat “likuid” tersebut, Bank Indonesia
EFEKTIVITAS PEMBLOKIRAN DAN UPAYA PENYITAAN OLEH JURU SITA PAJAK TERHADAP HARTA KEKAYAAN
PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKUKAN SITA AGUNAN OLEH BANK
Oleh :
Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan
Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior), Departemen Hukum, Bank Indonesia
41
Abstrak
Pemblokiran-Penyitaan-Pajak
Sebagai bagian dari awal proses penyitaan harta kekayaan Penangung Pajak yang tersimpan di Bank, pemblokiran
terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak menjadi proses yang sangat krusial. Untuk menjamin proses pemblokiran
dapat berjalan efektif, diperlukan kerjasama yang baik antara dirjen pajak dan pihak perbankan.
melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah
mengatur mengenai persyaratan agunan dan
pencairan agunan tunai dimaksud dalam
hal terjadi wanprestasi, yaitu 7 hari kerja setelah
debitur dinyatakan wanprestasi (event of default).
Dalam hal ini, agunan tunai yang dipergunakan
tersebut wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat
kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk
keuntungan Bank Penerima Agunan, termasuk
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan
angsuran pokok atau bunga;
2. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama
dengan jangka waktu aktiva produktif .
3. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally
enforceable) sebagai agunan, bebas dari segala
bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk
tujuan penjaminan yang jelas, dan
4. disimpan pada Bank penyedia jasa atau pada
prime bank.
Lebih lanjut, PBI mengatur bahwa agunan harus
bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan, harus dapat dicairkan selambat-lambatnya
7 hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan
sebagian untuk membayar tunggakan angsuran
pokok atau bunga serta tidak dijamin kembali (counter
quarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang
bukan prime bank.
Dalam hal deposito tersebut telah diserahkan kepada
bank sebagai agunan tunai, maka sebenarnya telah
terjadi penyerahan “kepemilikan”, yaitu bahwa
agunan tunai tersebut berada dalam “penguasaan
bank” dan sewaktu-waktu dapat dicairkan apabila
terjadi wanprestasi. Pengaturan mengenai agunan
tunai tersebut dilakukan dalam rangka memberikan
perlindungan dan menempatkan bagi bank sebagai
“kreditur preferent”.
Sementara itu, Pasal 14 ayat (1) UU No. 19 Tahun
2000 (UU Penagihan Pajak), mengatur secara definitif
bahwa obyek sita adalah barang penanggung pajak
yang dapat dijadikan jaminan utang pajak, yaitu
barang milik penanggung pajak, termasuk yang
penguasaannya berada di tangan pihak atau
dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu,
yang antara lain dapat berupa deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
UU Penagihan Pajak hanya mengecualikan obyek
sita pajak berupa barang milik Penanggung Pajak
yang dipergunakan untuk hidup, dan bahkan dibatasi
dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.
20.000.000,- (vide Pasal 15 UU Penagihan Pajak).
Pengaturan dalam UU Penagihan Pajak Sita Pajak
tersebut bersifat memaksa. Meskipun demikian UU
Penagihan Pajak memberikan perlindungan hukum
baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga
berupa hak untuk mengajukan gugatan. Dalam hal
ini, bank sebagai pihak ketiga dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan negeri terhadap tindakan
pelaksanaan penagihan pajak berupa pelaksanaan
Surat Paksa, sita atau lelang diajukan berkaitan
kepemilikan barang yang disita.
Dalam hal ini pengadilan negeri merupakan tempat
untuk menguji dan memberikan prioritas terhadap
kepentingan perlindungan bagi pemegang hak
agunan ataukah mengutamakan “sifat pajak” yang
berdasarkan UU harus selalu didahulukan.
C. Pemblokiran dan Pemindahbukuan
UU tentang Bank Indonesia dan UU tentang
Perbankan tidak mengatur pemberian kewenangan
kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan
pemblokiran kepada Bank. Pemberian kewenangan
kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan
dilakukannya pemblokiran kepada Bank, baru
diberikan oleh Pasal 52 ayat (3) huruf c UU tentang
Perbankan Syariah.
“Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank
melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik
rekening simpanan maupun rekening pembiayaan.”
Kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran
oleh Bank Indonesia kepada Bank, dilakukan dalam
konteks pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh
Bank Indonesia. Adapun cakupan dari rekening
simpanan maupun rekening pembiayaan yang dapat
diblokir adalah meliputi rekening-rekening, baik yang
ada pada bank yang diawasi/diperiksa maupun pada
bank lain yang terkait dengan objek pengawasan/
pemeriksaan Bank Indonesia.
Pada hakekatnya, pemblokiran rekening pada dasarnya
adalah tindakan pengamanan, yang dilakukan dengan
tujuan agar terhadap simpanan tersebut tidak terdapat
perubahan/mutasi selain penambahan jumlah atau
nilai.
Dalam hal ini, terdapat beberapa pengaturan tentang
pemblokiran yang dapat dilakukan terhadap simpanan
nasabah pada bank, yang pengaturannya berada
pada level Undang-Undang, dan memberikan
kewenangan kepada instansi atau lembaga aparat
penegak hukum tertentu untuk dapat melakukan
pemblokiran atas rekening simpanan, dan dilakukan
untuk kepentingan publik tertentu, misalnya :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan dalam penanganan perkara tindak
pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan dalam perkara tindak pidana
terorisme sebagaimana diatur dalam UU No. 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-undang;
3. Untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun
2002;
4. Untuk kepentingan penagihan pajak dengan surat
paksa sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 19 Tahun 2000.
Dalam proses pemblokiran selain harus memperhatikan
peraturan perundang-undang yang berlaku, bank
juga harus mengedepankan prinsip kehati-hatian
(prudentiality). Dalam hal ini, pada saat bank
menerima perintah dari pejabat pajak, bank tetap
harus melakukan verifikasi kembali terhadap
kesesuaian data dan informasi yang tercantum dalam
surat perintah dengan data dan informasi nasabah
yang dimilikinya. Hal dimaksud perlu dimengerti
mengingat bank akan terpapar dengan risiko hukum
dalam hal bank melaksanakan pemblokiran ketika
terdapat ketidaksesuaian antara data dan informasi
yang dimintakan dengan data dan informasi yang
dimiliki bank. Risiko hukum tersebut antara lain
gugatan dari pemilik rekening dan/atau sanksi pidana
bagi manajemen bank sebagaimana diatur dalam
Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan.
Namun demikian, dalam hal data dan informasi yang
disampaikan oleh pejabat pajak telah sesuai dengan
data dan informasi yang dimiliki bank maka pada
prinsipnya tidak ada alasan bagi bank untuk tidak
melaksanakan perintah pejabat pajak. Demikian pula
terkait dengan perintah pemindahbukuan atas
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro atau bentuk simpanan lainnya di bank yang
sebelumnya telah dilakukan pemblokiran. Sesuai
dengan Pasal 7 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September
2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan pemblokiran
dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak
yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa apabila
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak penyitaan, pejabat pajak segera
meminta kepada pimpinan bank untuk memindah-
bukukan harta kekayaan penanggung pajak yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
43
tesimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang
tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Terkait ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pada prinsipnya bank tidak dapat menolak untuk
melakukan pemindahbukuan ke kas negara dalam
hal pejabat pajak dapat menyampaikan bukti bahwa
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak penyitaan. Penyampaian bukti
dimaksud sangat penting bagi bank guna meyakini
bahwa pemindahbukuan secara hukum dapat
dilaksanakan mengingat sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa apabila bank tidak
memiliki alas hak untuk melakukan pemindahbukuan
maka bank terpapar dengan risiko hukum.
D. Dukungan Bank Indonesia
Bank Indonesia selaku otoritas pengaturan dan
pengawasan perbankan pada prinsipnya senantiasa
mendukung upaya yang dilakukan oleh Kementerian
Keuangan dalam rangka meningkatkan kepatuhan
wajib pajak termasuk upaya paksa untuk pelunasan
utang pajak.
Berkaitan dengan hal tersebut Bank Indonesia telah
menerbitkan beberapa ketentuan yang mewajibkan
bank dalam menjalankan bisnisnya untuk senantiasa
patuh terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya di luar peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan. Pengaturan mengenai hal tersebut
antara lain tercermin dalam Pasal 49 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006, yang mewajibkan
bank untuk tidak hanya patuh pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia namun juga patuh
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku.
Selain dalam bentuk ketentuan, wujud konkrit
dukungan Bank Indonesia terhadap upaya yang
dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka
memperlancar proses penagihan pajak yang diawali
dengan pelaksanaan pemblokiran adalah menerbitkan
surat yang ditujukan kepada bank di seluruh Indonesia,
yaitu surat Deputi Gubernur Nomor 2/35/DpG tanggal
30 Mei 2000, yang intinya menghimbau perbankan
nasional untuk dapat melaksanakan aturan-aturan
sebagaimana terdapat dalam UU tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan peraturan
pelaksanaannya, sebagai respon dari permintaan
dukungan yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak
kepada Bank Indonesia. Perihal yang sama ditegaskan
kembali oleh Bank Indonesia kepada perbankan
nasional melalui surat Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia Nomor 8/3/DGS/DPNP pada tahun 2006.
Selain itu, sebagai salah satu bentuk respon yang
dilakukan oleh BI dalam memberikan solusi alternatif
atas persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan
yang dihadapi oleh pejabat pajak maupun oleh Bank,
khususnya terkait dengan adanya praktek yang berbeda
antara pengaturan dalam Lampiran I Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang
Tersimpan Pada Bank Indonesia yang mewajibkan
pencantuman nomor rekening wajib pajak dalam
perintah pemblokiran, dengan praktek penerbitan
perintah pemblokiran oleh pejabat Pajak kepada
bank yang tidak menyebutkan nomor rekening,
melalui surat No.7/4/DGS/DHk tanggal 24 November
2005, Bank Indonesia menyarankan perlunya
amandemen atas Lampiran I Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001 tersebut,
dengan menghapus kewajiban pencantuman nomor
rekening dalam surat perintah pemblokiran.
Selanjutnya dalam rangka memperoleh informasi
terkait dengan kepatuhan bank terhadap perintah
pemblokiran yang diajukan oleh pejabat pajak, yang
merupakan salah satu jenis risiko (risiko kepatuhan/
compliance risk) yang harus dikelola oleh bank, Bank
Indonesia telah menginformasikan kepada Direktur
Jenderal Pajak (dhi melalui Sekretaris Direktorat
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
44
Jenderal Pajak) melalui surat No.12/470/DHk tanggal
19 November 2010 agar tembusan-tembusan
perintah pemblokiran dapat ditembuskan kepada
satuan kerja pengawasan bank di Bank Indonesia.
E. Penutup
Masih banyaknya pertanyaan tertulis yang diajukan
oleh perbankan kepada Bank Indonesia terkait dengan
tindak lanjut perintah pemblokiran dari pejabat pajak
kepada bank, menunjukkan bahwa aturan-aturan
terkait dengan pemblokiran dalam konteks penagihan
pajak dengan surat paksa, belum tersosialisasi secara
optimal. Permasalahan yang muncul di lapangan
tersebut diantaranya meliputi:
1. Ketidakcocokan antara identitas data nasabah
pada bank dengan identitas data penanggung
pajak yang diminta untuk diblokir;
2. Jangka waktu pemblokiran;
3. Perlakuan atas saldo rekening koran yang
merupakan rekening pinjaman nasabah pada
bank;
4. Permintaan pemblokiran yang diikuti dengan
permintaan kepada bank agar menyampaikan
laporan pelaksanaan pemblokiran kepada pejabat
pajak disertai dengan pemberian data dan
keterangan mengenai simpanan yang diblokir;
5. Permintaan pemblokiran oleh KPP kepada Bank
Indonesia atas rekening giro salah satu bank.
Memperhatikan banyaknya permasalahan tersebut,
maka diperlukan sosialisasi bagi Pejabat Pajak dan
bank berkenaan implementasi berbagai pengaturan
terkait Penagihan Pajak tersebut, dalam rangka
mengefektifkan pelaksanaannya dilapangan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
45
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun
2000.
2. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
3. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.
4. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
5. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Menjadi Undang-Undang.
6. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
7. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
8. Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
46
A. Pendahuluan
Setelah wacana pembentukan “mega” otoritas
untuk jasa keuangan yang sudah lama didengung-
dengungkan, akhirnya pada bulan November 2011
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang
mengatur mengenai pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Mungkin tidak berlebihan bila
disebut dengan istilah “mega” mengingat nantinya
lembaga OJK ini akan memiliki kewenangan terhadap
sektor-sektor penting yang menunjang perekonomian
Indonesia yaitu perbankan, pasar modal, perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga
keuangan lainnya.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan1:
a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan
akuntabel;
b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c) Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan
masyarakat.
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 UU OJK yaitu
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap:
a) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
b) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
c) Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga
jasa keuangan lainnya.
OJK dibentuk dan dilandasari dengan prinsip-prinsip
tata kelola yang baik, yang meliputi independensi,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan
kewajaran (fairness)2. Secara kelembagaan, OJK
berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa
OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah3.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-
unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan
yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan
otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter4.
Pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK
merupakan lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
MENCERMATI CELAH INDEPENDENSI OJK DALAM UU OJK
Oleh :
Fransiska Ari Indrawati, SH,
Analis Bank Muda, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia
47
1 Pasal 4 UU OJK.
Abstrak
UU No. 21 Tahun 2011 telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Lembaga tersebut melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Independen-OJK)
2 PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK.
3 Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK.
4 Ibid.
campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam UU OJK.
Asas independensi secara lebih tegas dituangkan
dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan
bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya
berlandaskan antara lain asas independensi yaitu
independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,
dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku5.
Sebelum menelaah independensi OJK dari sisi
pengaturan dalam UU OJK, perlu dipahami terlebih
dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan
independensi secara umum.
Independensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan
sebagai “Independent : not dependent, not subject
to control, restriction, modification or limitation from
a given outside source”6. Dalam kamus tersebut,
independensi dipahami sebagai suatu kondisi yang
terbebas dari ketergantungan, terbebas dari kontrol,
modifikasi atau pembatasan dari pihak lain.
Bade and Parkin (1982) mengartikan independensi
pada suatu lembaga negara, misalnya bank sentral,
dikaitkan dengan terbebasnya dari pengaruh politik
dan hubungan dengan kepemerintahan.
“Political Independence is defined essentially as in
Bade and Parkin (1982), as the ability of the central
bank to select its policy objectives without influence
from the government. This measure is based on
factors such as whether or not its governor and the
board are appointed by the goverment, the length
of their appointments, whether government
representatives sit on the board of the bank, whether
goverment aproval for monetary policy decisions is
required and whether the “price stability” objective
is explicitly and prominently part of the central bank
statute7.”
Independen secara politik oleh Bade and Perkin
diartikan bahwa bank sentral memiliki kemampuan
untuk menentukan kebijakan tanpa pengaruh dari
Pemerintah. Penilaian tersebut didasarkan pada faktor
sebagai berikut : (i) apakah dewan gubernur dipilih
oleh Pemerintah, (ii) bagaimana jangka waktu
penunjukkannya, (iii) apakah Pemerintah menjadi
duduk dalam dewan pada bank sentral, (iv) apakah
persetujuan Pemerintah diperlukan untuk kebijakan
moneter dan (v) apakah stabilitas harga merupakan
tujuan utama bank sentral.
Seorang pakar, Fabian Amtenbrink, menguraikan
bahwa pendekatan secara hukum mengenai
independensi suatu otoritas keuangan, dalam hal ini
bank sentral, dilihat dari segi independensi institusi,
fungsi, organisasi dan keuangan/finansial (institutional
independence, functional independence,
organisational independence, and financial
independence)8. Kemandirian institusi yang dimaksud
adalah terpisahnya suatu bank sentral dari kekuasaan
eksekutif dan kewenangan legislatif. Sedangkan
untuk kemandirian fungsi dinilai dari kebebasan
institusi memilih instrumen yang diperlukan untuk
mencapai tujuannya. Kemandirian organisasi dalam
hal ini dihubungkan dengan susunan personalia dari
organ-organ yang ada di bank sentral dan sistem
pengangkatan dan pemberhentian karyawannya.
Sementara itu kemandirian finansial dihubungkan
dengan anggaran yang disusun tersendiri dan terlepas
dari persetujuan Pemerintah.
Dari beberapa pengertian independensi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa independensi merupakan
suatu keadaan yang terbebas dari pengaruh apapun
baik dari kekuasaan pemerintah ataupun pihak lainnya
termasuk dari sisi anggaran yang dimiliki atau dikelola.
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
7 Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy.” Unpublished, 1982.
8 Fabian Amtenbrink, The Democratic Accountability of Central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999, hal 18 -21
5 Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK.
6 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm. 472.
Tulisan ini selanjutnya akan mencermati pokok-pokok
pengaturan dalam UU OJK yang dirasa dapat
memberikan celah untuk timbulnya campur tangan
dari pihak ketiga terhadap pelaksanaan tugas dan
kewenangan OJK, yaitu pengaturan mengenai (1)
hubungan antar instansi/kelembagaan, (2) komposisi
Dewan Komisioner OJK dan (3) anggaran.
B. HUBUNGAN ANTAR INSTANSI/KELEMBAGAAN
Sesuai dengan UU OJK, OJK akan melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan di seluruh sektor jasa keuangan yaitu
di perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan
lainnya. Apabila dicermati lebih mendalam, hubungan
atau koordinasi OJK dengan lembaga negara lainnya
dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai
berikut:
1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan9,
yang akan terkait dengan lembaga:
a. Bank Indonesia;
b. LPS.
2. Tugas penyidikan10, yang akan terkait dengan
lembaga:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain;
b. Kejaksaan;
c. Kepolisian;
d. Pengadilan.
3. Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan11, yang akan
terkait dengan:
a. Menteri Keuangan;
b. Gubernur Bank Indonesia;
c. Ketua Dewan Komisioner LPS.
Hubungan dengan seluruh instansi tersebut tidak
langsung diartikan bahwa OJK sebagai lembaga
negara yang tidak independen. Hubungan dan
koordinasi dengan lembaga lain tetap diperlukan
dalam rangka koordinasi, kerjasama dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter dan sektor jasa
keuangan. Namun demikian, dalam rangka menjaga
independensi OJK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya tersebut, sebaiknya teknis pelaksanaan
hubungan antar instansi tersebut dituangkan secara
tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan
agar menjadi jelas batasan-batasannya.
Dari hubungan antar instansi tersebut, terdapat dua
titik rawan pada hubungan kelembagaan yang dapat
mempengaruhi OJK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya secara mandiri, yang lebih lanjut
diuraikan berikut ini.
1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan
Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
menyusun pengaturan tertentu terkait pengawasan
di bidang perbankan. Selain itu, Pasal 40 UU OJK
lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam
rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank
Indonesia tetap berwenang untuk melakukan
pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan
secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) huruf (a) UU OJK
menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan
ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan
yang berkaitan dengan microprudential.
Sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas
pengaturan perbankan terkait macroprudential.
Berkaitan dengan hal ini, jelas bahwa tugas
pengaturan perbankan tidak sepenuhnya
dilaksanakan secara independen oleh OJK karena
pengaturan microprudential dan macroprudential
akan sangat berkaitan.
Dalam pengaturan tersebut, kita juga dapat
melihat bahwa OJK masih memiliki “hubungan
khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
49
9 Lihat Pasal 39 s.d Pasal 43 UU OJK.
10 Lihat Pasal 51 UU OJK.
11 Lihat Pasal 44 Ayat 1 UU OJK.
Bagaimanapun Bank Indonesia sebagai bank
sentral, dimana sebelum diterbitkannya UU OJK
dan pengalihan pada akhir Desember 2013,
mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan
dan pengawasan bank dan memiliki pengalaman
lebih lama dalam mengatur dan mengawasi
perbankan sehingga masukan pengaturan yang
disampaikan oleh Bank Indonesia akan memiliki
pengaruh yang besar dalam pengaturan yang
dilakukan oleh OJK.
Selain itu, “hubungan khusus” antara OJK dengan
Bank Indonesia lainnya dapat dilihat dari Pasal
41 Ayat 2 UU OJK, dimana OJK menginformasikan
kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-
langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan
likuiditas atau memburuknya kesehatan pada
bank. Yang dimaksud dengan langkah-langkah
tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan
jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank
Indonesia sebagai lender of last resort12.
Berdasarkan hal tersebut, maka bila bank
mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya
kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat
memberikan kredit kepada bank dengan jaminan
agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
Dengan demikian, tidak dipungkiri bahwa
keberadaan Bank Indonesia sebagai lender of last
resort masih sangat diperlukan di sektor perbankan
dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada
Bank Indonesia khususnya yang terkait dengan
penyelamatan bank.
Hal-hal semacam inilah yang dapat menimbulkan
pertanyaan terhadap independensi OJK secara
institusi/kelembagaan dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya, khususnya dalam sektor
perbankan karena masih terdapat hubungan yang
erat antara OJK terhadap Bank Indonesia.
2. Tugas Penyidikan
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur
dalam Pasal 49 s.d Pasal 51 UU OJK. Dalam
pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai
Negeri yang telah diangkat menjadi Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan
kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49
Ayat (3) huruf i UU OJK lebih lanjut mengatur
bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang
meminta bantuan aparat penegak hukum lain
dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan.
Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian
adalah Pasal 51 UU OJK yang menyebutkan
bahwa PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya
dapat ditarik dengan pemberitahuan paling
singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan
tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat
diartikan bahwa dimungkinkan adanya PPNS yang
merupakan penugasan dari instansi lain misalnya
penyidik dari Kepolisian Negara RI13 atau Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(disingkat Bapepam-LK)14 yang dipekerjakan di
OJK.
Dengan adanya penugasan bersifat sementara
dari instansi lain tersebut, tugas penyidikan
menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena
adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain
mengingat pejabatnya dipekerjakan di OJK.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
50
12 Penjelasan Pasal 41 Ayat (2) UU OJK.
13 Pasal 6 KUHAP berbunyi sebagai berikut:Pasal 6(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah
14 Pasal 101 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal berbunyi sebagai berikut:Pasal 101(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Jika dibandingkan pengaturan penyidikan pada
instansi lain, misalnya Bapepam-LK, Bapepam-LK
yang bukan merupakan lembaga independen
negarapun,pelaksanaan tugas penyidikannya
diatur secara independen, dalam artianterbebas
dari campur tangan pihak lain.
Dalam penyidikan yang dilakukan oleh Bapepam-
LK, penyidik hanya dibatasi dari lingkungan
Bapepam-LK. Lebih lanjut diatur bahwa dalam
rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan
tersebut Bapepam-LK dapat meminta bantuan
dari aparat penegak hukum lainnya misalnya
Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan
Agung15. Dari pengaturan tersebut, dapat
diartikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik lain sifatnya berupa “bantuan”tanpa
harus dipekerjakan atau menjadi bagian dari
Bapepam-LK.
C. KOMPOSISI DEWAN KOMISIONER
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK
dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri atas 9
(sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7
(tujuh) anggota yang dipilih oleh DPR berdasarkan
calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2
(dua) anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang
merupakan anggota dewan Gubernur Bank Indonesia
dan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan16.
Keseluruhan anggota Dewan Komisioner lebih lanjut
memiliki hak suara yang sama.
Pemilihan dan penentuan calon anggota Dewan
Komisioner dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang
dibentuk dengan Keputusan Presiden yang terdiri
atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia dan
masyarakat.
Pengertian independen terkait dengan komponen
Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi dipertanyakan
mengingat terdapat unsur Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan dalam Dewan Komisioner
OJK. Seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi pun
berasal antara lain dari unsur Pemerintah sehingga
dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa anggota
Dewan Komisioner OJK yang terpilih nantinya
merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa
kepentingan tertentu.
Namun demikian, Pasal 22 UU OJK telah mengantisipasi
agar anggota Dewan Komisioner terbebas dari
pengaruh politik ataupun pengaruh lainnya dalam
melaksanakan tugasnya. Dalam ketentuan tersebut,
tersebut diatur bahwa anggota Dewan Komisioner
dilarang:
a. Memiliki benturan kepentingan di lembaga jasa
keuangan yang diawasi oleh OJK;
b. Menjadi penggurus dari organisasi pelaku atau
profesi di Lembaga Jasa Keuangan;
c. Menjadi pengurus partai politik; dan
d. Menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali
dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang OJK dan/atau penugasan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehubungan dengan hal tersebut dan melihat
pengaturan komposisi Dewan Komisioner OJK saat
ini, diharapkan agar Dewan Komisioner OJK yang
akan dipilih nantinya dapat bersikap independen
dalam melaksanakan tugasnya dan dapat mengemban
amanat demi kepentingan OJK sebagai lembaga
negara yang independen demi perkembangan sektor
jasa keuangan di Indonesia.
D. ANGGARAN
Pengaturan tentang anggaran OJK diatur pada Pasal
34 s.d Pasal 37 UU OJK. Pasal 34 UU OJK mengatur
bahwa anggaran OJK bersumber dari:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
dan/atau
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
51
15 Lihat Pasal 101 Ayat (6) UU Pasar Modal dan Penjelasannya.
16 Lihat Pasal 10 UU OJK.
2. Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan
di sektor jasa keuangan,yaitu Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau orang perseorangan atau
badan hukum yang melakukan kegiatan disektor
jasa keuangan.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional
OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana
awal ke OJK17.
Anggaran OJK tersebut nantinya digunakan untuk
membiayai kegiatan sebagai berikut18:
1. Kegiatan operasional, mencakup kegiatan
penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang
OJK, antara lain pengaturan, pengawasan,
penegakan hukum, edukasi dan perlindungan
konsumen;
2. Kegiatan administratif, mencakup kegiatan
perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan,
pengembangan organisasi dan sumber daya
manusia;
3. Kegiatan pengadaan aset, mencakup aset lancar
dan aset non lancar antara lain persediaan, gedung,
peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan
kantor, serta infrastruktur teknologi informasi.
4. Kegiatan pendukung lainnya.
Dengan adanya pengaturan anggaran OJK yang
demikian, maka dapat diartikan bahwa pelaksanaan
tugas dan wewenang OJK bergantung kepada APBN
yang disetujui oleh DPR dan/atau Pihak yang diawasi
oleh OJK, serta Pemerintah. Hal yang perlu dicermati
lebih lanjut adalah apabila anggaran OJK sepenuhnya
berasal dari APBN ataupun dari penempatan dana
awal dari Pemerintah.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (UUKN), APBN merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara
yang disetujui oleh DPR. APBN disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
negara dengan berpedoman kepada rencana kerja
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya
tujuan bernegara19.
Apabila anggaran OJK berasal dari APBN, maka dapat
dikatakan pula bahwa OJK merupakan bagian
dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara.OJK dikhawatirkan
juga akan rentan terhadap tekanan politik dari
Pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh
APBN tersebut. Dengan demikian, dikhawatirkan
OJK akan kehilangan kemandiriannya sebagai suatu
insitusi.
Demikian halnya jika Pemerintah melakukan
penempatan dana awal pada OJK, maka sudah
sewajarnya jika Pemerintah merasa ikut andil dalam
pembiayaan OJK sehingga dapat melakukan kontrol
terhadap OJK.
E. PENUTUP
OJK diamanatkan dalam UU OJK sebagai lembaga
memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan
dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan secara terpadu, independen dan
akuntabel.
19 Pasal 12 UUKN berbunyi sebagai berikut:“Pasal 12(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat..”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
52
17 Lihat Pasal 35 Ayat (3) UU OJK.
18 Lihat Pasal 35 jo Penjelasan Pasal 35 UU OJK
Pengaturan dalam UU OJK tentang koordinasi dan
kerjasama dengan instansi/lembaga lain sebenarnya
tidak serta merta menjadikan OJK menjadi institusi
yang tidak mandiri mengingat kewenangan
sepenuhnya masih tetap berada pada OJK. Namun
demikian, apabila OJK ingin menjadi lembaga yang
independen sepenuhnya, maka pelaksanaan
kewenangan OJK harus dilaksanakan seutuhnya oleh
OJK dengan mempertimbangkan hasil koordinasi
dan kerjasama dengan pihak lainnya.
OJK juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang
independen meskipun anggota Dewan Komisioner
OJK nantinya akan berasal dari unsur Pemerintah,
Bank Indonesia dan masyarakat. Dewan Komisioner
diharapkan dapat mengedepankan kepentingan OJK
dan meniadakan kepentingan instansi/lembaga yang
diwakilinya ataupun kepentingan politik tertentu.
Dari aspek anggaran, pengaturan dalam UU OJK
telah mengatur bahwa anggaran OJK antara lain
dapat bersumber dari APBN ataupun dapat berupa
penempatan dana awal dari Pemerintah. Meskipun
demikian, diharapkan OJK dapat ditempati oleh
pejabat yang profesional sehingga dapat melakukan
tugas dan wewenangnya tanpa intervensi dari
Pemerintah maupun lembaga negara lainnya sehingga
tujuan pembentukan OJK sebagai lembaga yang
independen sebagaimana diamanahkan dalam UU
OJK dapat terwujud.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
53
54
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan
2. Black’s Law Dictionary, 6th edition, henry Campbell Black, MA, St Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997
3. Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy”, unpublished, 1982.
4. Fabian Atembrink, The Democratic Accountability of central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999.
55
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2012
14/3/PBI/2012
14/2/PBI/2012
14/1/PBI/2012
Tanggal Satker PerihalPeraturan
29/03/2012
6/01/2012
4/01/2012
DASP
DASP
DPbS
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.9/5/PBI/2007 tentang
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
56
Halaman ini sengaja dikosongkan
57
DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012
Tanggal Satker PerihalPeraturan
14/14/DASP
14/13/DPNP
14/12/DSM
14/11/DPM
14/10/DPNP
14/9/DPM
14/8/DPNP
14/7/DPbS
14/6/DPM
14/5/DSM
14/4/DPNP
18/04/2012
9/04/2012
21/03/2012
21/03/2012
15/03/2012
9/03/2012
6/03/2012
29/02/2012
13/02/2012
27/01/2009
25/01/2012
DASP
DPNP
DSM
DPM
DPNP
DPM
DPNP
DPbS
DPM
DSM
DPNP
Tata Cara Penerbitan dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah
Negara.
Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia No.23/15/BPPP tanggal 28
Februari 1991 Perihal Kegiatan Bank Di Pasar Modal
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM
tanggal 30 Desember 2011 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa oleh Bank
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD
perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian
Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran BI No.12/18/DPM tanggal 7 Juli
2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP
tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum
Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah
Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara
Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka
Operasi Pasar Terbuka Syariah
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM
tanggal 22 Januari 2009 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum
Bank Umum
58
Tanggal Satker PerihalPeraturan
14/3/DPM
14/2/DPM
14/1/DPM
4/01/2012
4/01/2012
4/01/2012
DPM
DPM
DPM
Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah
Antarbank
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
59
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012
14/3/PBI/2012 1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
(APU dan PPT) yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa sistem
pembayaran. Saat ini program APU dan PPT telah diterapkan pada
penyelenggara jasa sistem pembayaran yaitu bank umum dan BPR. Oleh
karenanya dipandang perlu untuk menerbitkan aturan bagi pihak selain
Bank.
2. Yang dimaksud sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain
Bank (Penyelenggara) dalam PBI ini adalah badan usaha berbadan hukum
Indonesia yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Kewajiban untuk
menerapkan program APU dan PPT khususnya berlaku bagi Penyelenggara
Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai:
a.penerbit dan/atau acquirer kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK);
b.penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik; dan
c. penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU).
3. Terdapat 4 (empat) besaran dari program APU dan PPT yang harus
diterapkan oleh Penyelenggara, yaitu:
a. tanggung jawab direksi dan pengawasan aktif dewan komisaris;
b.kebijakan dan prosedur tertulis;
c. pengendalian internal; dan
d.sumber daya manusia.
4. Tanggung jawab Direksi Penyelenggara antara lain mencakup:
a.menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program APU
dan PPT;
b.memastikan penerapan program APU dan PPT;
c. memastikan penyampaian laporan kepada PPATK sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
RingkasanTanggalPeraturan
29 Maret 2012
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Di sisi lain, tanggung jawab Dewan Komisaris antara lain:
d.memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU
dan PPT; dan
e.mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan
program APU dan PPT.
5. Kebijakan dan prosedur yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa
sistem pembayaran selain bank mencakup:
a.Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due
Diligence (EDD);
b.Penatausahaan dokumen;
c. Penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna
jasa;
d.Penolakan dan penghentian hubungan usaha;
e.Kebijakan dan prosedur transfer dana; dan
f. Pelaporan kepada PPATK.
6. Yang dimaksud dengan CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi,
dan pemantauan terhadap pengguna jasa yang dilakukan Penyelenggara
untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan profil pengguna jasa.
Sedangkan EDD pada prinsipnya merupakan tindakan CDD lebih mendalam
yang dilakukan Penyelenggara pada saat berhubungan dengan pengguna
jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan pencucian
uang dan pendanaan terorisme. Baik dalam pelaksanaan CDD maupun
EDD, Penyelenggara diharuskan untuk meminta berbagai dokumen yang
berguna dalam melakukan identifikasi dan penyusunan profil pengguna
jasa, seperti dokumen identitas, dan melakukan pencatatan informasi
terkait transaksi yang dilakukan pengguna jasa, seperti nilai dan tanggal
transaksi.
7. Untuk memenuhi kewajiban terkait pengendalian internal, Penyelenggara
harus menyusun kebijakan pembagian wewenang dan tanggung jawab
masing-masing satuan kerja yang terkait dengan penerapan program
APU dan PPT, serta melaksanakan pemeriksaan internal terhadap
pelaksanaan program APU dan PPT.
8. Terkait sumber daya manusia, Penyelenggara diwajibkan untuk:
a.melakukan prosedur penyaringan (screening) penerimaan pegawai
baru;
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
61
b.menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan mengenai
penerapan program APU dan PPT; dan
c. membentuk unit kerja atau menunjuk pejabat yang bertanggung
jawab atas penerapan program APU dan PPT di Penyelenggara.
9. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban menerapkan program
APU dan PPT dapat dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia
berupa:
a. teguran tertulis;
b.penghentian sementara seluruh atau sebagian kegiatan usaha
Penyelenggara;
c. pembatalan izin; dan/atau
d.pencabutan izin.
10.Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebelum
berlakunya PBI ini wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai program APU dan PPT yang dimilikinya menjadi sesuai dengan
PBI ini paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya PBI ini.
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan
penerapan aspek kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan
manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).
2. Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank
Indonesia ini antara lain meliputi:
a. penegasan definisi Acquirer dalam rangka memperjelas peran dan
cakupan kegiatan Acquirer, serta pencantuman definisi Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain, yang dikenal
dengan Alih Daya.
b.pengaturan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit, yang besarnya
ditetapkan Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
c. pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit seperti
batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum
plafon kredit, dan jumlah maksimum Penerbit yang dapat memberikan
fasiltas Kartu Kredit yang akan diatur secara rinci dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
RingkasanTanggalPeraturan
14/2/PBI/2012 06 Januari 2012
d.penerapan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen seperti
penyeragaman pola perhitungan bunga Kartu Kredit, pengenaan biaya
dan denda, serta kewajiban penyampaian informasi kepada pemegang
kartu.
e. pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada PBI
tentang Alih Daya (outsourcing) terutama yang terkait dengan penagihan
utang Kartu Kredit.
f. pengaturan peningkatan keamanan transaksi alat pembayaran berupa
kewajiban implementasi transaction alert kepada Pemegang Kartu Kredit.
g.kewajiban penyediaan sistem yang dapat saling dikoneksikan.
h.penegasan kewenangan Bank Indonesia dalam perizinan dan pengenaan
sanksi dalam penyelenggaraan APMK.
3. Pengaturan mengenai penetapan batas maksimum suku bunga Kartu
Kredit, pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit
berlaku secara efektif per 1 Januari 2013.
4. Dalam rangka pengaturan persyaratan pemberian fasilitas Kartu Kredit,
Penerbit diwajibkan melakukan pembaruan data Pemegang Kartu seperti
data pendapatan per bulan. Disamping itu Penerbit juga diwajibkan
melakukan penyesuaian fasilitas Kartu Kredit yang telah diperoleh dengan
diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
1 Januari 2013.
5. Beberapa ketentuan lain secara rinci akan diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tata cara penyampaian informasi,
penentuan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit dan pokok-pokok
etika penagihan Kartu Kredit.
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini dilakukan dalam rangka
mendorong dan mengembangkan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS), melalui penyempurnaan mekanisme transaksi
PUAS.
2. Perubahan yang terjadi dalam PBI ini mencakup:
a. Peserta Transaksi PUAS dan Perusahaan Pialang
1. Diperjelasnya keikutsertaan Bank Asing dalam transaksi PUAS.
2. Diperjelasnya peran Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
(Perusahaan Pialang) dalam transaksi PUAS.
RingkasanTanggalPeraturan
14/1/PBI/2012 04 Januari 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
62
b.Pengalihan Kepemilikan Instrumen PUAS
Mengatur mekanisme terkait pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS
sebelum jatuh waktu dengan cara jual beli. Penjual Instrumen PUAS
dapat berjanji (al wa’d) untuk membeli kembali instrumen PUAS yang
telah dialihkan pada harga yang disepakati di awal.
c. Pengaturan mengenai sanksi
1. Sanksi terkait pelanggaran perizinan instrumen PUAS dan transaksi
instrumen PUAS yang belum memperoleh izin dari BI akan dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh
lima juta rupiah).
2. Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dapat
melakukan penempatan pada instrumen yang diterbitkan oleh
Bank Asing, sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah. Pelanggaran
terhadap hal tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
Terminologi dalam PBI
Dilakukan penyesuaian istilah dalam PBI dengan mengacu pada
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yaitu semua penyebutan “Bank Syariah” dalam PBI No. 9/5/PBI/2007
tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah beserta
peraturan pelaksanaannya harus dimaknai sebagai “BUS”.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
63
Halaman ini sengaja dikosongkan
1. Penerbitan SE BI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri Keuangan No.05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang
Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana
Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut, terdapat
penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) melalui metode lelang SBSN tambahan atau green
shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen Lelang dalam hal ini harus
menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Lelang SBSN,
mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SE BI No.12/31/DASP tanggal
10 November 2010, belum memuat mengenai mekanisme lelang tambahan
atau green shoe option tersebut.
2. Lelang SBSN Tambahan (green shoe option) adalah penjualan SBSN di
pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang
tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah
ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar SBSN
dan mendorong pasar keuangan syariah pada umumnya.
3. Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh
Bank Indonesia, LPS, dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan
penawaran pembelian dalam lelang SBSN;
b.Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian
dalam lelang SBSN;
c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi
paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut
pada lelang SBSN sebelumnya, dan
d.Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN
Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia.
65
RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012
14/14/DASP
RingkasanTanggalPeraturan
18 April 2012
4. Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia
mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Jenis dan seri;
b.Peserta lelang;
c. Waktu pelaksanaan lelang;
d.Jangka waktu;
e. Tanggal penerbitan;
f. Tanggal setelmen;
g.Tanggal jatuh waktu;
h.Jenis mata uang; dan
i. Waktu pengumuman hasil lelang.
Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang tersebut setelah penetapan
Lelang SBSN oleh Menteri Keuangan c.q DJPU.
5. Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan
tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN
sebelumnya yaitu:
a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2).
b.Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5).
6. Dalam hal Menteri Keuangan c.q. DJPU melakukan pembatalan Lelang
SBSN atau menolak seluruh penawaran pembelian Lelang SBSN, Bank
Indonesia akan mengumumkan pembatalan atau penolakan tersebut
melalui BI-SSSS dan LHBU atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
7. Dengan diterbitkannya SE BI ini, maka SE BI No.12/31/DASP tanggal 10
November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
8. Penerbitan SEBI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012
tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di
Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut,
terdapat penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat
Berharga Syariah Negara melalui metode lelang Surat Berharga Syariah
Negara tambahan atau green shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
RingkasanTanggalPeraturan
Lelang dalam hal ini harus menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan
pelaksanaan Lelang SBSN, mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SEBI
No. 12/31/DASP tanggal 10 November 2010, belum memuat mengenai
mekanisme lelang tambahan atau green shoe option tersebut.
9. Lelang SBSN Tambahan (Green Shoe Option) adalah penjualan SBSN di
pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang
tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah
ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar Surat
Berharga Syariah Negara dan mendorong pasar keuangan syariah pada
umumnya.
10.Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan
dengan ketentuan sebagai beikut:
a.Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh
Bank Indonesia, LPS dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan
penawaran pembelian dalam lelang SBSN;
b.Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian
dalam lelang SBSN;
c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi
paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut
pada lelang SBSN sebelumnya, dan
d.Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN
Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia.
11.Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia
mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Jenis dan seri;
b.Peserta lelang;
c. Waktu pelaksanaan lelang;
d.Jangka waktu;
e. Tanggal penerbitan;
f. Tanggal setelmen;
g.Tanggal jatuh waktu;
h.Jenis mata uang; dan
i. Waktu pengumuman hasil lelang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
67
RingkasanTanggalPeraturan
12.Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan
tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN
sebelumnya yaitu:
a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2)
b.Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5).
13.Dengan diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka SEBI No.
12/31/DASP tanggal 10 November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan
Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
1. Surat Edaran (SE) ini diterbitkan untuk mencabut SE BI No.23/15/BPPP
tanggal 28 Februari 1991 perihal Kegiatan Bank di Pasar Modal.
2. SE No.23/15/BPPP merupakan surat penyampaian kepada bank umum,
bank pembangunan, dan lembaga keuangan bukan bank di Indonesia
terkait terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990
tanggal 4 Desember 1990 tentang Pasar Modal.
3. Pencabutan SE No.23/15/BPPB dilakukan karena Keputusan Menteri
Keuangan (KMK) No.1548/KMK.013/1990 yang menjadi dasar penerbitan
SE tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan KMK
No.645/KMK.010/1995 tanggal 30 Desember 1995.
4. Substansi pengaturan mengenai kegiatan di pasar modal selanjutnya
mengacu kepada Undang-Undang No.8 Tahun 1998 tentang Pasar Modal.
5. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 9 April 201
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.14/12/DSM tanggal 21 Maret 2012
tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM
Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank diterbitkan sebagai
tindak lanjut atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/21/PBI/2011
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank.
RingkasanTanggalPeraturan
14/13/DPNP 09 April 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
68
14/12/DSM 21 Maret 2012
RingkasanTanggalPeraturan
2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor No.13/33/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
oleh Bank.
3. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 2012.
4. Perubahan dalam Surat Edaran ini meliputi:
a. Batas waktu penggunaan sandi sementara untuk keterangan dan data
yang belum diperoleh dari nasabah, yaitu sebelum berakhirnya MPL.
b.Penggunaan sandi tertentu untuk informasi Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB) terkait kegiatan ekspor dengan PEB yang dikeluarkan
sebelum 2 Januari 2012.
5. Sanksi ketidakbenaran laporan sehubungan dengan penyampaian rincian
transaksi terkait ekspor nasabah mulai berlaku untuk data periode laporan
Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah
kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan bagi kegiatan
ekonomi di sektor riil yang membutuhkan valuta asing, khususnya terkait
dengan kegiatan perdagangan internasional. Di samping itu, beberapa
penyempurnaan pengaturan dalam ketentuan ini diharapkan juga dapat
mendukung upaya pendalaman pasar valuta asing domestik dengan
tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah.
II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :
1.Pembelian valuta asing terhadap rupiah hanya dapat dilakukan untuk
jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen
underlying, kecuali untuk valuta asing yang likuiditasnya tidak tersedia
di pasar keuangan domestik.
2.Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing
kepada Bank di atas USD 100.000,00 (seratus ribu US Dollar) atau
ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing dengan jenis
underlying “Penempatan pada simpanan dalam valas” dihapus.
3.Pengaturan mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh
Nasabah melalui Automated Teller Machine (ATM) dihapus.
TanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
69
14/11/DPM 21 Maret 2012
RingkasanTanggalPeraturan
4.Dokumen yang dipersyaratkan dalam rangka transaksi pembelian
valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh Nasabah dengan
nilai nominal di atas USD100.000,00 (seratus ribu US Dollar), dilampirkan
pada setiap transaksi berdasarkan tanggal transaksi. Dalam hal dokumen
yang dipersyaratkan tidak dapat dilampirkan pada tanggal transaksi
maka dokumen dapat disampaikan paling lambat pada tanggal valuta
transaksi yang bersangkutan dengan mencantumkan tanggal transaksi.
5.Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah yang memiliki
kriteria berikut:
a. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara reguler
dengan jumlah pembelian yang relatif tetap dari waktu ke waktu;
b. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara bertahap
untuk tujuan pembayaran kewajiban valuta asing dengan total
jumlah pembelian paling banyak sebesar jumlah kebutuhan valuta
asing yang tercantum dalam dokumen underlying; dan
c. Nasabah telah dikenal baik oleh Bank dan Bank memiliki track
record Nasabah yang bersangkutan, dokumen yang dipersyaratkan
untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah dibuat 1
(satu) kali dalam satu tahun kalender atau sampai dengan jumlah
pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk pembayaran
sebagaimana tercantum dalam dokumen underlying terpenuhi,
tergantung mana yang lebih dahulu.
6.Dokumen transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh
Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa antara lain berupa
fotokopi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang, Letter of Credit (L/C), invoice dengan masa
berlaku paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal penerbitan invoice
atau sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau list of
invoices.
7.Dokumen underlying transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah
oleh Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa yang berupa list
of invoices diatur sebagai berikut:
a. list of invoices ditandatangani oleh pihak berwenang dari Nasabah;
dan
b. penyerahan list of invoices oleh Nasabah disertakan dengan invoices
asli untuk kepentingan verifikasi oleh Bank dan untuk selanjutnya
invoices asli tersebut dapat ditatausahakan oleh Nasabah;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
70
8.Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyediakan invoices asli
sewaktu-waktu untuk kepentingan pemeriksaan Bank (post audit).
A. Latar belakang
Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) maka Bank perlu
meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB karena
pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan
berbagai Risiko bagi Bank. Sementara dari sudut pandang makroprudensial,
pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan
harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble)
sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan
eksposur kredit properti yang besar.
Untuk itu, agar tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif dan
mampu menghadapi tantangan sektor keuangan dimasa yang akan
datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan
sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang
dapat timbul, termasuk pertumbuhan KPR dan KKB yang berlebihan.
Kebijakan tersebut dilakukan melalui penetapan besaran Loan to Value
(LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB.
B. Pokok-pokok ketentuan
1.Pengaturan Loan to Value (LTV) pada KPR:
LTV paling tinggi 70% untuk kredit kepemilikan rumah dengan kriteria
tipe bangunan diatas 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan
terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan
pemerintah.
2.Pengaturan uang muka kredit atau Down Payment (DP) pada Kredit
Kendaraan Bermotor:
71
14/10/DPNP
RingkasanTanggalPeraturan
15 Maret 2012
KeteranganKetentuan
DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor
roda dua.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
72
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
RingkasanTanggalPeraturan
KeteranganKetentuan
DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor
roda empat untuk keperluan non
produktif.
DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor
roda empat atau lebih untuk keperluan
produktif, yaitu bila memenuhi salah
satu syarat :
• Merupakan kendaraan angkutan
orang atau barang yang memiliki izin
yang dikeluarkan oleh pihak
berwenang untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu, atau
• Diajukan oleh perorangan atau
badan hukum yang memiliki izin
usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan
untuk mendukung kegiatan
operasional usaha yang dimiliki.
3.Rasio LTV untuk KPR dan besaran DP untuk KKB sebagaimana terdapat
dalam angka 1 dan angka 2 di atas dapat disesuaikan dari waktu ke
waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
4.Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB sesuai Surat Edaran ini
mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran (sejalan
dengan pengaturan oleh Bapepam LK).
5.Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB tidak berlaku untuk kredit
yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya sesuai
Surat Edaran ini.
6.Sanksi pelanggaran atas :
a. Pemberian KPR dan KKB dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei
2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009
tanggal 1 Juli 2009, antara lain berupa:
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
73
RingkasanTanggalPeraturan
14/9/DPM 09 Maret 2012
14/8/NP 06 Maret 2012
1) Teguran tertulis;
2) Penurunan tingkat kesehatan Bank;
3) Pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
4) Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat
predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan
atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
b. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan
dan prosedur dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah
dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.
7.SE ini mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan
mengenai besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB mulai berlaku
pada tanggal 15 Juni 2012.
Pada prinsipnya, penyempurnaan ketentuan dilakukan sebagai upaya
penyempurnaan mekanisme pengajuan transaksi early redemption Term
Deposit. yaitu yang semula diajukan secara manual, diubah, untuk diajukan
melalui BI-SSSS Terminal (ST). Pengajuan early redemption melalui sistem
mulai dilakukan sejak terbitnya Surat Edaran ini.
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia No.13/19/PBI/2011 tanggal 22 September 2011
(Perubahan PBI LBBU) dan dalam rangka menyesuaikan dengan format
laporan dan melengkapi informasi yang diatur dalam ketentuan lainnya.
2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah:
a.menyempurnakan formulir laporan profil maturitas sesuai ketentuan
mengenai manajemen risiko likuiditas dan formulir pos-pos neraca
mingguan dalam rangka penyelarasan dengan format LBU yang baru;
b.melakukan penambahan formulir laporan perhitungan ATMR untuk
Risiko Kredit sesuai ketentuan mengenai perhitungan ATMR untuk
Risiko Kredit dan laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) sesuai
ketentuan mengenai transparansi informasi SBDK;
RingkasanTanggalPeraturan
14/7/DPbS 29 Februari 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
74
3. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, kewajiban penyampaian laporan SBDK
secara offline kepada Bank Indonesia sesuai SE BI No. 13/5/DPNP tanggal
8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya laporan perhitungan
SBDK tersebut disampaikan secara online melalui LBBU.
4. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Maret 2012.
1. Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi perbankan
syariah dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas, yang merupakan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah
(UUS), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
3. Produk Qardh Beragun Emas memiliki karakteristik (fitur) sebagai berikut:
a. Tujuan penggunaan adalah untuk membiayai keperluan dana jangka
pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk golongan
nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
b.Akad yang digunakan adalah akad qardh (untuk pengikatan pinjaman
dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah), akad
rahn (untuk pengikatan emas sebagai agunan atas pinjaman dana)
dan akad ijarah (untuk pengikatan pemanfaatan jasa penyimpanan
dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman dana).
c. Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS kepada
nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya
penyimpanan dan pemeliharaan.
d.Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang
disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga.
e. Tujuan penggunaan dana oleh nasabah wajib dicantumkan secara
jelas pada formulir aplikasi produk.
f. Emas yang akan diserahkan sebagai agunan Qardh Beragun Emas
harus sudah dimiliki oleh nasabah pada saat permohonan pembiayaan
diajukan.
4. Bank Syariah dan UUS dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
75
a.Mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
b.Memiliki kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP)
tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko.
c. Jumlah portofolio Qardh Beragun Emas Bank Syariah pada setiap akhir
bulan paling banyak adalah jumlah terkecil antara 20% dari jumlah
seluruh pembiayaan yang diberikan atau 150% dari modal bank
(Kewajiban Penyediaan Modal Minimum/KPMM); dan untuk UUS,
sebesar 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan.
d.Jumlah pembiayaan paling banyak sebesar Rp250.000.000,00 untuk
setiap nasabah, dengan jangka waktu paling lama 4 bulan dan dapat
diperpanjang paling banyak 2 kali. Khusus untuk nasabah UMK dapat
diberikan pembiayaan paling banyak sebesar Rp50.000.000,00, dengan
jangka waktu paling lama 1 tahun dengan angsuran setiap bulan dan
tidak dapat diperpanjang.
e. Jumlah pembiayaan dibandingkan dengan nilai agunan atau Financing
to Value (FTV) paling banyak 80% dari rata-rata harga jual emas 100
gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT. ANTAM (Persero)
Tbk.
f. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis
(transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk (antara
lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila
terdapat sengketa) dan hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila
terjadi eksekusi agunan emas.
5. Bank Syariah dan UUS yang menjalankan produk Qardh Beragun Emas
sebelum memperoleh izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan
denda uang, dan bagi Bank Syariah atau UUS yang menjalankan produk
Qardh Beragun Emas yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam SE dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk tersebut.
6. Bagi Bank Syariah atau UUS yang telah menjalankan produk Qardh
Beragun Emas sebelum berlakunya SE ini wajib menyesuaikan:
a. kebijakan dan prosedur dengan mengacu pada karakteristik dan fitur
produk Qardh Beragun Emas paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak berlakunya SE ini.
b. jumlah portofolio Qardh Beragun Emas, jumlah dan jangka waktu
pembiayaan setiap nasabah, dan FTV paling lama 1 tahun terhitung
sejak berlakunya SE ini.
14/6/DPM 13 Februari 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
76
1. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) secara outright di Pasar Sekunder dalam
rangka kontraksi moneter dan/atau ekspansi moneter serta dalam rangka
menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi
Moneter Syariah (OMS) dalam mencapai sasaran operasional kebijakan
moneter Bank Indonesia.
2. Bank yang dapat mengikuti transaksi, harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan BI-RTGS;
b.Tidak dalam masa penghentian sanksi sementara untuk mengikuti
OMS;
c. Memiliki Rekening Giro; dan
d.Memiliki Rekening Surat Berharga.
3. Bank Indonesia dapat melakukan transaksi pada setiap hari kerja, melalui
mekanisme lelang dan non lelang, serta mencakup SBSN Jangka Panjang
dan/atau SBSN Jangka Pendek.
a. Transaksi Lelang
1. Transaksi secara lelang dilakukan melalui BI-SSSS dengan metode
harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate
tender) antara pukul 08.00-16.00 sesuai dengan pengumuman
Bank Indonesia.
2. Pengajuan penawaran lelang dilakukan melalui BI-SSSS secara
langsung atau melalui Lembaga Perantara. Penawaran yang diajukan
Lembaga Perantara hanya untuk kepentingan Bank. Penawaran
dimaksud mencakup kuantitas transaksi, untuk lelang dengan
metode fixed rate tender atau kuantitas transaksi dan yield atau
harga SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.
3. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan
pembelian SBSN setelah window time ditutup secara individual
kepada pemenang lelang melalui BI-SSSS (mencakup nilai nominal
dan yield atau harga yang dimenangkan) dan secara keseluruhan
melalui BI-SSSS, Sistem LHBU, dan/atau sarana lainnya (berupa
nominal seluruh penawaran yang masuk, kisaran bid rate dan rata-
rata tertimbang tingkat yield).
b.Transaksi Non Lelang
Transaksi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan counterparty Bank
atau Lembaga Perantara melalui Reuters Monitoring Dealing System
(RMDS) atau Bloomberg atau sarana lainnya.
Ringkasan
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
77
TanggalPeraturan
14/5/DSM 27 Januari 2012
4. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk
setelmen pembelian SBSN secara outright di pasar sekunder atau memiliki
jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk
setelmen penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder.
5. Setelmen transaksi dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja melalui Sistem
BI-RTGS dan BI-SSSS secara delivery versus payment (DVP) dengan
mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross).
6. Dalam hal Bank tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat
Berharga atau tidak memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN
secara outright di pasar sekunder yang dilakukan sampai dengan cut-
off warning Sistem BI-RTGS, transaksi dinyatakan batal dan Bank dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar
sekunder yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah);
c. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf
b dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal
sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank
dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti
OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Februari
2012.
1. Surat Edaran ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank
Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PBI
No.12/2/PBI/2010.
2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana telah diubah
dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret
2010.
RingkasanTanggalPeraturan
14/4/DPNP 25 Januari 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
78
3. Surat Edaran mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2012
yang disampaikan pada bulan Februari 2012.
4. Perubahan dalam Surat Edaran ini adalah terkait dengan perubahan
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). Dengan
berlakunya Surat Edaran ini maka Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan
Bank Umum (LBU) yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi.
5. Apabila terdapat pertanyaan yang terkait dengan teknis/sistem cara
pelaporan, program data entry, dan sistem transmisi diajukan kepada
Tim Statistik Moneter, Keuangan dan Fiskal, Kantor Pusat Bank Indonesia,
Jakarta atau Kantor Bank Indonesia setempat. Sementara, apabila
pertanyaannya terkait dengan materi pelaporan, PSAK, dan PAPI diajukan
kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan atau Direktorat
Pengawasan Bank yang membawahi bank pelapor atau Kantor Bank
Indonesia setempat.
1. Surat Edaran (SE) ini merupakan petunjuk pelaksanaan atas Peraturan
Bank Indonesia No. 13/27/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (PBI).
2. Dalam rangka penerapan manajemen risiko terkait anggota Direksi,
Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif serta pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank, Bank wajib memiliki
kebijakan dan prosedur yang paling kurang mencakup:
a. persyaratan dan tata cara pemilihan, penggantian, dan pemberhentian
anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif; dan
b.perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat
dan/atau penutupan kantor Bank dengan memperhatikan: visi dan
misi Bank, penilaian potensi ekonomi, penilaian kinerja kantor Bank,
dan realisasi tahun sebelumnya atas rencana pembukaan, perubahan
status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank.
3. Bank wajib menyusun kajian sebagai dasar untuk menetapkan rencana
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan
kantor Bank dengan berpedoman pada aturan yang dimuat dalam
lampiran SE ini. Kajian tersebut wajib dicantumkan dalam lampiran
rencana bisnis bank terkait rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai rencana bisnis bank.
RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
79
14/3/DPM 04 Januari 2012
4. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan
sebagaimana diatur dalam PBI tersebut wajib diajukan oleh Bank kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format dan tata cara sebagaimana
ditetapkan dalam SE ini. Dalam hal format lampiran tidak diatur secara
khusus dalam SE ini, maka format penyampaian pengajuan permohonan
atau rencana dan/atau penyampaian laporan diserahkan kepada masing-
masing Bank.
5. Penyampaian laporan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian
Pejabat Eksekutif serta laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan
status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank melalui
laporan kantor pusat bank umum efektif berlaku pada tanggal 2 Januari
2012. Selama laporan dimaksud belum dapat disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan kantor pusat bank umum maka laporan
dimaksud wajib disampaikan secara offline setiap bulan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya dengan berpedoman pada Lampiran 35,
Lampiran 35.a, dan Lampiran 37 SE, kepada Bank Indonesia dengan
alamat Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) ke Jl. M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350.
6. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/5/DPNP tanggal 28 Januari 2009 perihal Bank Umum dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
I. UMUM
1.Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank
(SiKA) adalah sertifikat yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
oleh BUS atau UUS dalam transaksi PUAS yang merupakan bukti jual
beli dengan pembayaran tangguh atas perdagangan Komoditi di
Bursa.
2.Komoditi di Bursa adalah komoditi yang dipastikan ketersediaannya
untuk ditransaksikan di pasar komoditi syariah sebagaimana ditetapkan
oleh Bursa atas Persetujuan Dewan Pengawas Syariah, kecuali indeks
dan valuta asing.
3.Bursa adalah PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange)
yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk mengadakan kegiatan pasar
komoditi syariah.
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
80
4.Peserta Pedagang Komoditi adalah peserta yang menyediakan persediaan
(stock) komoditi di pasar komoditi syariah.
5.Peserta Komersial adalah BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membeli Komoditi
di Bursa.
6.Konsumen Komoditi adalah BUS atau UUS yang membeli Komoditi
di Bursa dari Peserta Komersial dengan cara menerbitkan SiKA.
II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN
SiKA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:
1.Diterbitkan atas dasar transaksi jual beli Komoditi di Bursa dengan
menggunakan akad Murabahah;
2.Diterbitkan dalam rupiah;
3.Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless);
4.Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari;
5.Tidak dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu.
III. MEKANISME TRANSAKSI
1.BUS atau UUS dapat menerbitkan SiKA (Konsumen Komoditi).
2.BUS, UUS, atau Bank Asing yang melakukan kegiatan berdasarkan
Prinsip Syariah dapat membeli SiKA (Peserta Komersial).
3.Penerbit SiKA menginformasikan kepada Pembeli SiKA antara lain:
informasi nilai nominal perdagangan Komoditi di Bursa sesuai Surat
Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT); marjin perdagangan
Komoditi di Bursa; dan jangka waktu pembayaran tangguh oleh
Konsumen Komoditi.
Peserta Pedagang Komoditi
Peserta Pedagang Komoditi
Peserta Pedagang Komoditi
BURSA
PIALANG
Rp100 + marjin, tangguh
SPAKTPeserta Komersial Konsumen Komoditi
Rp100 tunai
SPAKT Rp100 tunai
SPAKT
81
RingkasanTanggalPeraturan
4.Peserta Komersial membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Pedagang
Komoditi dengan pembayaran tunai (al bai’) sebesar nilai nominal
komoditi.
5.Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang berupa SPAKT.
6.Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen Komoditi
dengan akad Murabahah.
7.Konsumen Komoditi membayar kepada Peserta Komersial secara
tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan dalam akad Murabahah
dan menerbitkan SiKA.
8.Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung dan/atau melalui
Perusahaan Pialang dengan akad Ju’alah.
IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI
1.Pada saat pembelian Komoditi di Bursa, Peserta Komersial melakukan
transfer dana kepada Peserta Pedagang Komoditi sebesar nilai nominal
komoditi dan memperoleh SPAKT dari Peserta Pedagang Komoditi.
2.Pada saat SiKA diterbitkan, Peserta Komersial menyerahkan SPAKT
kepada Konsumen Komoditi.
3.Pada saat penjualan Komoditi di Bursa oleh Konsumen Komoditi
kepada Peserta Pedagang Komoditi, Peserta Pedagang Komoditi
melakukan transfer dana kepada Konsumen Komoditi sebesar nilai
nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT.
4.Pada saat SiKA jatuh waktu, Konsumen Komoditi melakukan transfer
dana kepada Peserta Komersial sebesar nilai nominal komoditi ditambah
marjin perdagangan Komoditi di Bursa.
V. PELAPORAN
BUS atau UUS yang melakukan transaksi SiKA wajib melaporkan transaksi
SiKA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem LHBU. Namun demikian,
dalam hal SiKA belum dapat dilaporkan secara online melalui Sistem
LHBU, softcopy laporan disampaikan melalui e-mail dan hardcopy laporan
disampaikan melalui faksimili kepada Direktorat Perbankan Syariah dan
Direktorat Pengelolaan Moneter dengan format sebagaimana Lampiran
Surat Edaran.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari
2012.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
82
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
RingkasanTanggalPeraturan
14/2/DPM 04 Januari 2012 I. UMUM
1.Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA) adalah sertifikat
yang diterbitkan oleh Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha
Syariah (UUS) yang digunakan sebagai transaksi di PUAS.
2.Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shohibul
maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung
dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue
sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati
sebelumnya.
II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN
SIMA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:
1.Diterbitkan dengan akad Mudharabah;
2.Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun valuta asing;
3.Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless);
4.Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari;
5.Dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu;
6.Dapat diterbitkan berdasarkan aset yang memiliki imbal hasil tetap
dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap;
7.Dapat diterbitkan paling banyak sebesar nilai aset yang menjadi dasar
penerbitannya.
III. MEKANISME TRANSAKSI
1.BUS atau UUS dapat menerbitkan SIMA.
2.BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat membeli SIMA.
3.Penerbit SIMA menginformasikan kepada Pembeli SIMA antara lain:
nilai nominal investasi; nisbah bagi hasil; jangka waktu investasi;
tingkat imbalan SIMA atau indikasi tingkat imbalan SIMA tergantung
pada jenis aset yang menjadi dasar penerbitannya, dan jenis aset yang
menjadi dasar penerbitan SIMA yaitu aset yang memiliki imbal hasil
tetap dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap.
4.Dalam hal terjadi pengalihan kepemilikan SIMA, pembeli SIMA terakhir
harus memberitahukan kepada penerbit SIMA agar memudahkan
penerbit SIMA dalam membayar nominal investasi pada saat jatuh
waktu dan pembayaran imbalan.
5.Dalam melakukan transaksi SIMA, peserta PUAS dapat menggunakan
jasa Perusahaan Pialang dengan menggunakan akad Ju’alah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
83
RingkasanTanggalPeraturan
IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI
1.Pada saat SIMA diterbitkan, pembeli SIMA melakukan transfer dana
kepada penerbit SIMA sebesar nominal SIMA.
2.Pada saat SIMA jatuh waktu, penerbit SIMA melakukan transfer dana
kepada pembeli SIMA sebesar:
a. nilai nominal SIMA ditambah imbalan, untuk SIMA yang diterbitkan
dengan dasar aset yang memiliki imbal hasil tetap.
b. nilai nominal SIMA, untuk SIMA yang diterbitkan dengan dasar
aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap dan pembayaran imbalan
dilakukan pada hari kerja pertama bulan berikutnya setelah SIMA
jatuh waktu.
3.Pada saat SIMA dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu dengan
akad jual beli (al bai’) dan penjual SIMA berjanji (al wa’d) untuk membeli
kembali SIMA, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Para pihak yang bertransaksi menyepakati harga pada saat penjualan
SIMA dan harga pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli
kembali pada awal transaksi.
b. Pada saat penjualan SIMA, pembeli SIMA melakukan transfer dana
ke rekening penjual SIMA sebesar harga yang disepakati.
c. Pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli kembali,
penjual SIMA melakukan transfer dana ke rekening pembeli SIMA
sebesar harga yang disepakati di awal
V. PELAPORAN
BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi SIMA wajib
melaporkan transaksi SIMA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari
2012.
VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia No.9/8/DPM tanggal 30 Maret 2007 perihal
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
RingkasanTanggalPeraturan
14/1/DPM 04 Januari 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
84
I. UMUM
1.Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS) adalah
kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan
prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
2. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip
syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai
sarana transaksi di PUAS
II. TATA CARA PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN INSTRUMEN
PUAS
1.BUS atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang
telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan
surat permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS kepada
Bank Indonesia u.p. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) dengan
tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM).
2.Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus
disertai dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS
yang akan diterbitkan;
b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari BUS atau UUS terhadap
Instrumen PUAS yang akan diterbitkan;
c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan, yang
paling kurang menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses
akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur yang diperlukan
dan analisis risiko Instrumen PUAS tersebut;
d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak
keuangan; dan
e. informasi dan/atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan
berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut
III. MEKANISME TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS
1.BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat membeli Instrumen
PUAS yang diterbitkan oleh BUS atau UUS
2.BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat melakukan
pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu untuk
Instrumen PUAS yang menurut ketentuan Bank Indonesia dapat
dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu.
RingkasanTanggalPeraturan TanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
85
3.Dalam melakukan transaksi di PUAS, baik pada saat penerbitan
maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum
jatuh waktu, BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat
menggunakan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Perusahaan
Pialang).
4.BUS atau UUS yang melakukan penempatan dana pada instrumen
lain yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib memenuhi prinsip syariah.
IV. TATA CARA PELAPORAN
BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS wajib
melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai LHBU.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1.BUS atau UUS yang tidak menaati ketentuan tatacara penerbitan
Instrumen PUAS dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah).
2.BUS atau UUS yang melakukan Penempatan dana pada instrumen
yang diterbitkan oleh Bank Asing dalam transaksi PUAS yang tidak
memenuhi prinsip syariah, dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 4 Januari 2012.
VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No.9/7/DPM
tanggal 30 Maret 2007 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Halaman ini sengaja dikosongkan