buletin issn : 1693 - 3265 volume 10, nomor 3, september ... · kedudukan sebagai pembantu...
TRANSCRIPT
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Kemandirian Anggaran Bank Indonesia
Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267
Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia
Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012
Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,
Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti
Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,
Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 3, Edisi September s.d Desember 2012 kembali
hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.
Topik utama Buletin menyoroti mengenai Kemandirian Anggaran Bank Indonesia yang merupakan hasil kerjasama
penelitian FH-UGM dengan DHk BI. Kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang penting dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral, mengingat kemandirian anggaran merupakan bagian
dari independensi bank sentral secara keseluruhan.
Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 3 artikel lainnya, yaitu:
1. Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme oleh Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
2. Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia oleh Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H,
Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung.
3. Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi oleh Rumawi, Mahasiswa Program
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai
dengan Desember 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Desember 2012
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Kemandirian Anggaran Bank Indonesia................................................................................................... 1 - 28
Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia
Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267
Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme........................................................................... 29 - 41
Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia............................................. 43 - 57
Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum
Universitas Bandar Lampung
Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi....................................... 59 - 71
Rumawi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia,
September - Desember 2012................................................................................................................... 73 - 76
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum, Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia,
September - Desember 2012................................................................................................................... 77 - 140
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 10, NOMOR 3, SEPTEMBER – DESEMBER 2012
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23D Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945),
bahwa Negara memiliki suatu bank sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab,
dan independensinya diatur dengan undang-undang;
menunjukan adanya pengakuan secara konstitusional
terhadap kemandirian bank sentral dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya. Kemandirian bank sentral
dipandang sangat urgent oleh para pembentuk UUD
Negara RI Tahun 1945 sebab, secara historis, ketidak-
mandirian dari bank sentral merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya krisis ekonomi pada tahun-
tahun sebelum dilakukannya perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Bersamaan dengan proses dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat juga melakukan proses Undang-UndangNomor
13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Penggantian
UU ini dilakukan karena Bank Indonesia, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, diberi
kedudukan sebagai pembantu pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan moneter yang disusun dan
ditetapkan oleh Dewan Moneter2. Konsekuensinya,
Bank Indonesia, pada saat itu, merupakan bagian
integral dari pemerintah. Oleh karenanya Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden bersepakat
memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia,
sebagai bank sentral Republik Indonesia3 melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Pemberian kemandirian kepada Bank
1
KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA
Oleh :
Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia1
Abstrak
Terdapat peluang normatif untuk memberikan kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia. Hal tersebut
karena adanya norma terbuka yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 23D,
mengingat Pasal ini tidak menentukan sampai derajat mana kemandirian dan indipendensi yang dapat diberikan kepada
Bank Sentral. Pembentukan Supervisory Board merupakan salah opsi yang dapat mendukung implementasi kemandirian
Bank Indonesia, termasuk dalam bidang penganggaran.
Interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia
sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia
merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral.
Keyword: kemandirian, anggaran,
1 Tim Peneliti UGM (Prof. Dr. Nindya Pramono, SH., MS, Ertambang Nahartyo, M.Sc. Ph.D, Andi Sandi ATT, SH., LLM, Drs. Paripurna PS, SH, M.Hum, LLM) dan Departemen Hukum Bank Indonesia.
2 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
3 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
bertujuan agar Bank Indonesia tidak lagi menjadi
bagian yang integral dari pemerintah.
Namun dalam perjalanannya, kemandirian Bank
Indonesia yang diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun
1999, direvisi melalui Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Revisi
yang dilakukan meliputi redefinisi terhadap kemandirian
Bank Indonesia dengan memberikan batasan terhadap
kemandirian yang dimiliki oleh Bank Indonesia melalui
perubahan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999. Kemandirian Bank Indonesia, menurut Pasal
4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dibatasi dalam
hal melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal
ini dipandang penting oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden sebab diperlukan koordinasi yang lebih
erat antara Bank Indonesia, sebagai pemegang
otoritas moneter, dengan Pemerintah, sebagai
pemegang otoritas fiskal dan sektor riil, dalam rangka
mewujudkan kestabilan nilai rupiah4. Redefinisi atas
kemandirian Bank Indonesia, setidaknya menunjukan
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah
membuka kembali kemungkinan adanya kerja sama
antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam
menjaga stabilitas perekonomian nasional. Hal mana
sama sekali tidak diberi kemungkinan normatif
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebab dalam UU ini ada
kemandirian Bank Indonesia yang bersifat absolut.
Revisi kemandirian dan luasan cakupan kerja sama
antara Bank Indonesia dan Pemerintah berdasarkan
kondisi normatif di atas setidaknya dapat
mempengaruhi kemandirian Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam
menjaga stabilitas nilai rupiah. Kemandirian Bank
Indonesia tidak lagi seabsolut pada saat sebelumnya,
tetapi kemandirian itu telah dibarengi dengan
mekanisme checks and balances system dengan
lembaga negara lainnya melalui kerja sama. Salah
satu kerja sama dengan lembaga negara lainnya yaitu
dalam penentuan anggaran Bank Indonesia. Mengenai
hal tersebut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 menentukan
bahwa anggaran Bank Indonesia ditetapkan oleh
Dewan Gubernur Bank Indonesia. Anggaran tersebut
harus dimintakan persetujuan dari komisi Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi urusan Bank
Indonesia.
Kondisi normatif ini terlihat kontradiktif sebab
Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah
mengariskan bahwa bank sentral milik negara
haruslah independen, namun kenyataannya masih
ada di bawah "bayang-bayang" DPR dalam proses
penyusunan penganggarannya. Idealnya, sebuah
lembaga yang independen,seharusnya juga
mempunyai kemandirian dalam menentukan
penganggarannya, sebab tanpa itu, sulit untuk
mengkategorikan institusi ini sebagai institusi yang
independen.Dengan kondisi normatif dan empiris di
atas, perlu dilakukan sebuah kajian akademis terkait
kemungkinan diberikannya kemandirian pada Bank
Indonesia dalam proses penyusunan anggaran
agarnorma yang ditentukan dalam UUD Negara RI
Tahun 1945 dapat diimplementasikan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam kajian akademik ini akan dibahas dan diberi
jawaban secara akademis dan yuridis normatif atas
permasalahan:
1. Adakah peluang normatif untuk memberikan
kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia?
2. Bagaimana prosedur penganggaran Bank
Indonesia yang dapat mendukung implementasi
kemandirian Bank Indonesia?
2
4 Lihat Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
C. BANK SENTRAL DAN KEMANDIRIAN BANK
SENTRAL
1. Bank Sentral di Berbagai Negara
Salah satu lembaga keuangan yang terpenting
dalam perekonomian modern adalah bank sentral.
Dewasa ini hampir tiap negara mempunyai bank
sentral. Peter S. Rose, memberi defenisi bahwa
bank sentral adalah agen pemerintah yang
mempunyai fungsi kebijakan publik terpenting
dalam pengawasan kegiatan sistem keuangan
dan pengendalian jumlah peredaran uang5.
Di banyak negara status bank sentral adalah
badan hukum milik negara. Jika pun ada
mempunyai status hukum yang lain, bukan berarti
terlepas sama sekali dari pemerintah. Dalam istilah
perbankan disebut dengan “independent within
the government”, yang kurang lebih berarti bebas
terpimpin6.
Umumnya diberbagai negara peranan bank sentral
di dalam sistem keuangan dan perekonomian
meliputi7:
a. mengontrol peredaran uang.
b. menjaga stabilisasi pasar uang dan pasar modal
c. memberikan jasa peminjaman terakhir (lender
of last resort). Atau, bertindak sebagai bankir
bank umum dalam negeri (banker’s bank).
d. mejaga mekanisme pembayaran.
e. mengawasi sistem perbankan.
Berikut dipaparan pengaturan bank sentral di berbagai
negara, antara lain, Indonesia, Singapura, Jepang dan
Amerika Serikat dalam suatu bentuk tabel.
3
1.
2.
3.
4.
JepangItemNo.
Nama Bank Sentral
Berdiri
Status
Tugas Pokok
Bank Indonesia (BI)
1953
Lembaga negara di luar pemerintah
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
b. mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran
c. mengatur dan mengawasi bank
Federal Reserve System (The Fed)
1913
Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada kongres
a. melaksanakan kebijakan moneter
b. mengawasi dan menjaga perbankan
c. menjaga kestabilan system keuangan
d. menyediakan jasa keuangan tertentu.
Monetory Authority of Singapore (MAS)
1970
Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan
a. melaksanakan kebijakan moneter, kecuali mengedarkan uang-dikelola oleh Board of Commission of Currency.
b. Menetapakan perizinan, pengawasan bank, lembaga pembiayaan, asuransi, dan dana pensiun.
Bank of Japan
1882
Badan khusus non pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan
a. melaksanakan fungsi otoritas moneter.
b. Mengawasi dan membina perbankan
c. Menjaga kestabilan system keuangan
d. Menyediakan jasa keuangan tertentu
Indonesia Singapura Amerika Serikat
Perbandingan Bank Indonesia dengan Bank Sentral Negara Lain8
5 Peter S Rose, 2000, Money and Capital Markets: Financial Institution and Instrumen in Global Market-Seventh Edition, The McCrow-Hill Inc, North America, hal. 493
6 Siswanto Sutojo, 1997, Manajemen Terapan Bank, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13
7 Peter. S Rose, Money and Capital Market, op.ct, hal. 494.
8 Didik J. Rachbini, 2000, “BI Menuju Indipensi Bank Sentral ”, Madyo Mulyo, hal. 184
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. DPR sebagai Pemegang Kekuasaan Legaslatif
Dalam konteks constitutionalism, banyak sekali
teori-teori yang digunakan untuk melakukan
pembatasan kekuasaan. Salah satunya adalah
Trias Politica. Menurut Montesquieu dalam bukunya
“L”Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan
pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara
dalam tiga cabang, yaitu: kekuasaan eksekutif
sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasan
eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan
untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi
Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan
negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legaslatif
(the legaslative function), eksekutif (the executive
or administrative function) dan yudisial (the judicial
function).9
4
5.
6.
7.
JepangItemNo.
Lembaga pimpinan
Masa Jabatan
Otoritas Pengaturan dan sanksi terhadap bank
1 Gubenur, 1 Deputi Gubenur Senior, 4-7 Deputi Gubenur yang diangkat Presiden dengan persetujuan DPR
7 tahun
BI, khusus untuk pengawasan akhir 2002 diserahkan lansung ke lembaga indipenden
1 Chairman2 Vice Chairman5 Board of Governor12 Presiden Federal System Regional
7 tahun
a. The Fed khusus Bank Holding Companies State Member, State and Federally Licensed Branches, dan Foreign Owned Bank Operation.
b. Office of the compotraller of the currency, khusus untuk National Bank, Federally Licensed Branches and agencies of Foreign-owned bonds
c. Federal Deposit Insurance Coorporation, khusus untuk bank-bank yang bergerak dalam Deposit Insurance Fund, yaitu kelompok state non-member bank
d. Office of Thrift Supervission, khusus untuk federation state saving association dan Thrift Holding Companies
e. National Credit Union Administration, khusus untuk credit union (state and federal)
-
4 tahun
MAS
1 Gubenur, 2 Wakil Gubenur yang diangkat Kabinet
7 tahun
Menteri Keuangan
Indonesia Singapura Amerika Serikat
9 Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 283
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Prinsip checks and balances coba diterapkan pada
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia pasca
dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.
Khususnya, yang terkait dengan perubahan yang
dilakukan pada Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI
1945, yang menentukan bahwa “Kedaulatan ada
di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-
Undang Dasar”. Kesimpulan ini dapat diambil
karena berdasarkan distribusi kewenangan yang
dilakukan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, telah
membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga)
kekuasaan (legaslatif, eksekutif, dan yudikatif)
dan ditambahkan dengan kewenangan di bidang
lain, seperti ekonomi, kebudayaan, agama,
lambang negara, dan pelaksanaan pemilihan
umum. Salah satunya adalah kekuasaan legaslatif
yang dilekatkan kepada DPR.
Jimly Asshiddiqie membagi kekuasan legislatif
atas tiga fungsi, yaitu: pertama, fungsi pengaturan
(legislasi); kedua fungsi pengawasan (control);
dan ketiga fungsi perwakilan (representasi). Fungsi
legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan,
pertama, prakarsa pembuatan undang-undang
(legislative initiation); kedua, pembahasan
rancangan undang-undang (law making process);
ketiga, persetujuan atas pengesahan undang-
undang (law enactment approval); empat,
pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi
atas perjanjian atau persetujuan internasional
dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat
lainnya (binding dicision making on international
law agreement and treaties or other legal biding
documents).10
Terkait dengan fungsi kontrol, lembaga perwakilan
rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan
kontrol dalam tiga hal, yaitu (i) kontrol atas
pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol
atas pengeluaran (control of expenditure); dan
(iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of
taxation). Lebih jauh, secara teoritis, fungsi-fungsi
kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai
lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan,
yaitu:11
1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan
(control of policy making);
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
(control of policy executing);
3. Pengawasan terhadap penggaran dan belanja
negara (control of budgeting);
4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
dan belanja negara (control of budget
implementation);
5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan
(control of giverment performances);
6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat
publik (control of political appoinment of public
officials) dalam bentuk persetujuan atau
penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian
pertimbangan oleh DPR.
Khusus kontrol terhadap penganggaran dan
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja,
yang terkait erat dengan kinerja pemerintahan,
harus dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh
lembaga perwakilan rakyat. Daya serap anggaran
dan pelaksanaan anggaran menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhubungan
erat dengan kinerja pemerintahan (goverment
performances). Oleh karena itu, kontrol terhadap
kedua hal ini, sama-sama penting dalam rangka
fungsi kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 69 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (“UU No. 27 Tahun
2009”), menyebutkan bahwa DPR mempunyai
fungsi: (a) legislasi; (b) anggaran; dan (c)
pengawasan.12 Ketiga fungsi tersebut dijalankan
dalam kerangka representasi rakyat.13 Fungsi
5
10 Jimly Asshiddiqie, op.ct, hal. 300
11 Ibid, hal. 302
12 Lihat Pasal 69 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009
13 Lihat Pasal 69 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR
selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang.14 Fungsi anggaran dilaksanakan untuk
membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan persetujuan
terhadap rancangan undang-undang tentang
APBN yang diajukan oleh Presiden.15 Fungsi
pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.16
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
untuk memberikan keterangan tentang suatu hal
yang perluditangani demi kepentingan bangsa
dan negara.17 Sehubungan dengan permintaan
DPR tersebut, setiap pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
wajib memenuhi.18 Penolakan terhadap permintaan
DPR dikenakan panggilan paksa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.19
3. Beberapa Kajian Kemandirian Bank Sentral
dan Pengaruhnya
Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,
indipendensi dan good governance menjadi dua
topik yang tidak terpisahkan. Tiga prinsip yang
membangun Central Bank Governance (CBG)
adalah independensi, akuntabilitas, dan
transparansi. Beberapa penelitian mengenai
pengaruh independensi bank sentral dan
transparansi bank sentral terhadap berbagai
macam indikator ekonomi telah dilakukan,
diantaranya adalah, pengaruh independensi
terhadap tingkat inflasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahwa tingkat inflasi akan
dapat dikendalikan dengan lebih baik apabila
bank sentral dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter tidak mendapat
campur tangan dari pemerintah. Berikut ini adalah
beberapa penelitian tersebut:
6
14 Lihat Pasal 70 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009
15 Lihat Pasal 70 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009
16 Lihat Pasal 70 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009
17 Lihat Pasal 72 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009
18 Lihat Pasal 72 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009
19 Lihat Pasal 72 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009
PengujianPeneliti
Grili, Masciandaro dan Tabellini (1991)
Cukierman, webb, dan Neyapti (1992)
Den Haan dan Van’T Hag (1994)
Mengestimasikan pengaruh indikator-indikator ekonomi dan independensi politik terhadap inflasi
Meneliti hubungan antara inflasi; turn over pergantian gubernur dan tingkat independensi
Meneliti hubungan antara CBI dan inlasi, tingkat pengangguran, kebijkan moneter, dan inflasi di lingkungan non-regulatory
CBI selalu mempunyai pengaruh negatif terhadap inflasi
Semakin tidak independen menyebabkan inflasi semakin tinggi. Pergantian gubernur mempunyai pengaruh signifikan dalam menjelaskan inflasi
CBI mempunyai korelasi positif dengan sejarah pengalaman inflasi
18 negara-negara OECD1950-1989
72 negara berkembang dan industri1950-1989
Negara-negara OECD1980-1989
Regresi
Regresi
Regresi
Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil
Tabel 1. Hubungan antara Central Bank Indipendence (CBI) dengan Tingkat Inflansi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Selain pengaruh indipendensi terhadap
perekenomian, pernah juga diteliti pengaruh
transparansi bank sentral terhadap kebijakan
moneter, antara lain oleh Eijffinger dkk (2006) dan
Crowde dkk (2007), serta Claessens dkk (2007).
Eijffinger dkk20 (2006) dan Crowe dkk21 (2007)
mengukur tingkat transparansi bank sentral
dengan lima kategori. Pertama, transparansi politik
(political transparency), yaitu kejelasan mandat
legal yang dimiliki oleh bank sentral; kedua,
transparansi ekonomi (economic transparency),
mengacu pada publikasi data ekonomi, model,
dan peramalan yang digunakan oleh bank sentral
untuk menghasilkan kebijakan; ketiga,
transparansi prosedural, yaitu pengkomunikasian
strategi kebijakan dan informas-informasi dalam
proses pengambilan keputusan; keempat,
transparansi kebijakan (policy transparency), yaitu
pengumuman dan penjelasan pelaksanaan
kebijakan dan perkiraan tindakan-tindakan yang
akan dilaksanakan di masa yang akan datang
secara tepat waktu; kelima, transparansi
operasional (operational transparency), yaitu
diskusi dan pembahasan hal-hal yang dapat
menganggu perekonomian maupun hal-hal yang
menyebabkan salah kebijakan yang kemungkinan
mempengaruhi penerapan kebijakan saat ini.
Penelitian tentang corporate governance yang
dilakukan oleh Claessens dkk (2002)22
menunjukkan bahwa transparansi yang rendah
merupakan cerminan dari rendahnya tingkat
corporate governance. Survey yang dilakukan
oleh Fry dkk. (1996)23 terhadap 94 bank sentral
juga menunjukan bahwa 74% dari responden
menganggap bahwa transparansi merupakan
komponen kerangka kebijakan moneter yang
vital dan sangat penting. Berikut ini adalah
penelitian terkait transparansi di bank sentral:
7
22 Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002. Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance, 3( 2), 71-103.
23 Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A. 1996. Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and Independence. Routledge, London.
PengujianPeneliti
Cukierman dan Webb (1995)
Brumm dan Krashevski (2003)
Ismihan dan Ozkan (2004)
Mengukur hubungan antara inflasi dan CBI
Meneliti hubungan antara sacrifice ratio dan inflasi
Hubungan antara CBI, investasi publik dan inflasi
Negara berkembang secara umum mempunyai inflasi lebih tinggi dibandingkan dengan negara industri
Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara sacrifice ratio dan CBI
Mengemukakan bahwa pengaruh pertumbuhan membuat CBI sulit untuk menurunkan inflasi dalam jangka panjang
67 negara berkembang dan industri1950-1989
Analisa permasalahan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya
Model teoritis dua perioda
Regresi
Regresi
Model untuk pembuat kebijakan
Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil
20 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats.2006. How Transparent Are Central Banks? EuropeanJournal of Political Economy, 22(1), 1–21.
21 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007.The Evolution of Central Bank Governance around the World.Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
D. KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA
1. Tinjauan Normatif Indipendensi Bank
Indonesia dari Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2009 sampai dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
dapat dilihat norma-norma yang memberikan
kemandirian kepada bank sentral sebagai salah
satu upaya normative demi mewujudkan reformasi
pembangunan. Konsideran huruf d Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 sangat jelas
mendeskripsikan bahwa salah satu tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah
memberikan kemandirian kepada bank sentral
demi memelihara stabilitas nilai rupiah. Lebih
lanjut, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 juga disebutkan bahwa
Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mandiri,
bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak
lain. Konsekuensinya, kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara yang independen di luar
pemerintahan. Dengan kedudukannya yang
independen tersebut, DPR dan Presiden, sebagai
pemegang kekuasaan pembentukan undang-
undang, memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk mengatur atau membuat/
menerbitkan peraturan yang merupakan
pelaksanaan undang-undang dan menjangkau
seluruh Bangsa dan Negara Indonesia26. Dengan
independensi ini, secara tidak langsung DPR dan
Presiden memberikan sebagian dari kewenangan
konstitusionalnya, untuk membentuk peraturan
perundang-undangan, kepada Bank Indonesia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak
sekali ditemukan delegasi pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Meskipun,
jika ditinjau dari sudut pandang teori trias politica,
harusnya merupakan kewenangan dari kekuasaan
legislatif atau rule making function. Kekuasaan
legislatif dalam konteks UUD 1945 diberikan
kepada Presiden dengan persetujuan DPR27.
Berdasarkan kenyataan ini, sangat dimungkinkan
secara konstitusional melakukan atribusi
kewenangan kepada sebuah lembaga negara;
8
24 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats. 2006. How Transparent Are Central Banks? European Journal of Political Economy, 22(1), 1–21.
25 Amtenbrink, Fabian. 2004. The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http:// www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf
PengujianNama Peneliti
Eijffinger dan Hoebrichts (2002)24
De Haan dan Amtenbrink (2003)25
Semakin banyak transparansi yang dilakukan maka tingkat inflasi akan semakin rendah dan juga diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply shock
Bank sentral di ECB mendapat peringkat tinggi dari indikator pengungakapan. Namun bukti menunjukkan bahwa pasar keuangan tidak menganggap ECB tranparan
5 bank sentral utama
European Central Bank (ECB) dan 5 negara lainnya.
Pembuatan model
Konstruksi indeks pengungkapan
Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil
Tabel 2. Penelitian Terkait Prinsip Transparansi
Model Teoritis dari transparansi, termasuk juga transparansi dan otoritas dari penanggung jawab akhir untuk kebijakan moneter
Sebuah Indikator dari bank sentral untuk mengukur pengungkapan dengan memasukan tujuan, strategi, dan
26 Lihat Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
27 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
bahkan atribusi ini juga melingkupi kewenangan
konstitusional. Akan tetapi, atribusi dimungkinkan
sepanjang diperbolehkan oleh konstitusi dan
atribusi tersebut harus disertai dengan metode
atau prosedur pengawasannya. Model atribusi
inilah yang disebut dengan delegation doctrine
dalam studi hukum administrasi negara di Amerika
Serikat.
Selain diberi kewenangan untuk mengatur atau
membuat/menerbitkan peraturan, Bank Indonesia
juga diberi keleluasaan dalam mengatur struktur,
kepegawaian, keuangan, dan bahkan gaji bagi
gubernur, deputi senior gubernur, dan para deputi
Bank Indonesia. Dengan demikian kemandirian
tidak hanya sebatas pembentukan peraturan
perundang-undangan saja, tetapi juga diberi
kemandirian dalam menentukan dan mengatur
organisasinya. Lebih lagi, dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia juga diberi
kewenangan untuk secara langsung mengusulkan
dan menetapkan anggaran tahunan dan
memberitahukannya ke DPR dan Presiden28.
Konstruksi ini setidaknya sangat mengukuhkan
kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi
sistem ketatanegaraan Indonesia sebab tidak ada
lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang dapat secara langsung mengajukan
anggarannya kepada DPR dan Presiden; melainkan
harus melalui proses pengganggaran yang normal,
yaitu melalui proses anggaran pendapatan dan
belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal
23 UUD 194529. Meskipun demikian, kemandirian
mengusulkan dan menetapkan penganggaran
secara normatif mulai direduksi dengan
dilakukannya perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
Perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 secara spesifik difokuskan
pada penyesuaian mekanisme perumusan
kebijakan moneter dan penataan kembali
kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung
jawab otoritas kebijakan moneter30. Kedua hal
ini menjadi fokus perubahan karena dengan
perubahan ini diharapkan dapat memperkuat
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank
Indonesia tanpa mengurangi makna independensi
lembaga negara31. Namun, harapan tinggal
menjadi harapan saja, sebab dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 sudah mulai
dilakukan pembatasan terhadap independensi
yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
Pembatasan ini mulai dilakukan dengan membatasi
makna kata “independensi” dalam Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
dengan menambahkan frase “...dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya,..”.
Dengan ditambahkannya frase ini, makna
independesi dibatasi hanya dalam melaksanakan
tugas dan kewenangan saja; tidak pada bidang
lain. Maknanya, DPR dan Presiden sepakat untuk
melakukan reduksi derajat independensi yang
telah mereka berikan melalui Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai legal entity
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23D UUD
Negara RI 1945 mendapatkan legitimasi melalui
Pasal 4 Ayat (1) UU Bank Indonesia. Kedudukan
Bank Indonesia sebagai sebuah lembaga negara
9
28 Lihat Pasal 60 UU No.23 Tahun 1999.
29 Note: Dalam UUD 1945 sebutkan secara jelas bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh pemerintah. Artinya, semua penganggaran bagi lembaga negara harus dilakukan melalui pemerintah. Namun berdasarkan Pasal 23 UUD Negara RI Tahun 1945, kewenangan pengusulan anggaran pendapatan dan belanja negara harus diajukan melalui Presiden sebab dalam ketentuan tersebut jelas disebutkan bahwa rancangan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden. Ketentuan ini menutup kemungkinan adanya pengajuan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara dari pihak DPR.
30 Lihat Penjelasan Umum UU No.3 Tahun 2004.
31 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
lebih diperjelas dalam rumusan Pasal 4 Ayat (2)
UU Bank Indonesia yang menentukan bahwa Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam Undang-undang ini .
Dengan kedudukannya dalam Struktur Ketata-
negaraan Republik Indonesia, Bank Indonesia
dibentuk dengan tujuan utama untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia
diberi tugas:
1. untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter,
2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, dan
3. mengatur dan mengawasi bank sebagaimana
ditentukan32.
Dalam UUD Negara RI Tahun 1945, tidak ditentukan
secara jelas kewenangan lembaga negara apa
yang mengatur keuangan negara (dalam perspektif
trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Bahkan kewenangan di bidang keuangan negara
didistribusikan kepada beberapa lembaga negara,
seperti DPR (dalam kewenangannya di bidang
budgeter dan perpajakan), DPD (dalam hal
memberikan pertimbangan terhadap RAPBN yang
diusulkan Presiden), Presiden (dalam bidang
mengajukan RAPBN), BPK (dalam hal pengawasan
penggunaan keuangan Negara), dan Bank Sentral.
Dalam tataran akademis, ketika kewenangan itu
diberikan atau diatur lebih lanjut melalui suatu
undang-undang secara tidak langsung kewenangan
lembaga/institusi tersebut berada di bawah
pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang,
yaitu DPR dan Presiden sebab berdasarkan Pasal
23 sampai dengan Pasal 23D UUD Negara RI
Tahun 1945, seluruh hal yang terkait dengan
keuangan negara akan diatur dengan undang-
undang. Konsekuensinya, kemudian, semua
lembaga atau state agencies yang dibentuk
maupun diberi kewenangannya oleh undang-
undang ada di bawah DPR dan Presiden.
Berkaitan dengan independensi setiap lembaga
atau state agencies yang diberi kewenangan atau
dibentuk, tidak berarti mereka sama sekali bebas
dari kekuasaan lembaga negara yang lain sehingga
akan tercipta checks and balances. Oleh karena
itu, setiap lembaga negara yang dibentuk dan
diberi kewenangannya oleh undang-undang hanya
berwenang untuk melaksanakan tugas dan
kewenangan yang diatribusikan oleh undang-
undang.
Berkaitan dengan kedudukan Bank Indonesia
dalam Struktur Kenegaraan Republik Indonesia,
memang tidak ditentukan secara jelas dalam UUD
Negara RI Tahun 1945 tetapi hanya ditentukan
dalam undang-undang Bank Indonesia. Dengan
undang-undang Bank Indonesia inilah Bank
Indonesia secara eksplisit ditentukan sebagai bank
sentral Negara Republik Indonesia. Jadi Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang ditentukan
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tetapi
kewenangannya diberikan oleh undang-undang,
sehingga sangatlah sulit untuk mengatakan bahwa
Bank Indonesia adalah state agency (dalam
perspektif state agency adalah lembaga atau
institusi yang dibentuk oleh undang-undang),
sebab Bank Indonesia adalah bank sentral RI
sebagaimana diklaim lewat undang-undang Bank
Indonesia dan keberadaan bank sentral diatur
dalam Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945.
Akan tetapi, kewenangan dan tugasnya ditentukan
dalam undang-undang Bank Indonesia; bukan
dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 4 Ayat
(1) undang-undang Bank Indonesia ditentukan
bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang
10
32 Note: Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengawasan dan pengaturan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia harus dialihkan kepada otoritas jasa keuangan paling lambat 31 Desember 2013.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dimaksudkan dalam UUD 1945. Selain itu, pada
ayat (2) pasal yang sama juga ditentukan bahwa
Bank Indonesia adalah lembaga yang independen,
bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak-pihak
lain.
Tidak hanya berhenti dengan melakukan
pembatasan makna kata “independesi” saja;
melainkan, DPR dan Presiden juga coba menciptakan
sebuah lembaga supervisi sebagai kepanjangan
tangan DPR dalam melakukan fungsi pengawasan
kepada Bank Indonesia33. Lembaga ini hanya
dimaksudkan untuk melakukan supervisi dan tidak
masuk dalam struktur Bank Indonesia dan
berkewajiban untuk melaporkan hasil supervisinya
kepada DPR. Latar belakang dibentuknya badan
ini setidaknya menunjukan bahwa adanya
peningkatan derajat akuntabilitas Bank Indonesia
kepada masyarakat yang dilakukan melalui para
wakilnya yang duduk di DPR. Peningkatan derajat
akuntabilitas ini juga dibarengi dengan pembatasan
anggaran yang dapat ditetapkan oleh Dewan
Gubernur Bank Indonesia.Dahulu, seluruh
anggaran tahunan Bank Indonesia ditetapkan oleh
Dewan Gubernur dengan kewajiban untuk
dilaporkan saja kepada DPR dan Pemerintah.
Namun, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004, anggaran tahunan yang dapat ditetapkan
oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia hanya
terbatas pada anggaran kegiatan operasional dan
anggaran untuk kebijakan moneter, sistem
pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan
perbankan34. Bahkan terkait dengan anggaran
kegiatan operasional diwajibkan untuk mendapat
persetujuan DPR; sedangkan anggaran lainnya
cukup dilaporkan saja secara khusus kepada DPR.
Konsekuensinya, Kemandirian Bank Indonesia
dalam penetapan anggaran tahunannya pun juga
direduksi oleh DPR dan Presiden. Dengan
tereduksinya kemandirian penganggaran Bank
Indonesia, mau-tidak-mau, Bank Indonesia
diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan
pihak lain, yang dalam hal ini DPR, dalam
menentukan anggarannya.
Elaborasi di atas setidaknya menunjukan bahwa
DPR dan Presiden melakukan redefinisi makna
independesi yang mereka berikan kepada Bank
Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan karena
adanya norma terbuka yang diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, khususnya Pasal 23D UUD Negara RI Tahun
1945. Pasal ini tidak menentukan sampai derajat
mana kemandirian dan independensi yang dapat
diberikan kepada bank sentral. Derajat tersebut
akan ditentukan melalui kesepakatan antara DPR
dan Presiden dalam produk hukum undang-
undang. Oleh karenanya, tidak mengherankan
jika bank sentral, yang dalam hal ini adalah Bank
Indonesia, dikategorikan sebagai lembaga negara
yang disebutkan dalam UUD Negara RI Tahun
1945, tetapi kewenangannya diatur dengan
undang-undang. Hal ini sangat berdampak kepada
bentuk perlindungan yang dapat digunakan Bank
Indonesia, ketika terjadi konflik kewenangan
dengan lembaga negara lain atau terjadinya
pelanggaran atau pengurangan kewenangan Bank
Indonesia yang dilakukan oleh lembaga negara
lain terhadap Bank Indonesia. Jika derajat
kemandirian dan independensinya ditentukan
dalam konstitusi maka terdapat alat ukur yang
jelas untuk mengetahui telah dilakukan atau
tidaknya reduksi derajat kemandirian dan
independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
Selain itu, sengketa kewenangannya pun dapat
diajukan dan diselesaikan melalui Mahkamah
Konstitusi. Ketidakjelasan ukuran inilah yang
menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap
derajat kemandirian dan independensi Bank
Indonesia sehingga seberapa tinggi atau rendahnya
derajat kemandirian dan independensi Bank
Indonesia, sangatlah tergantung dari kesepakatan
11
33 Lihat Pasal 58 A UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.
34 Lihat Pasal 60 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
antara DPR dan Presiden. Jadi interprestasinya
diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan Presiden.
Jika hal ini dikaitkan dengan kemandirian Bank
Indonesia dalam bidang penganggaran, setidaknya
romantisme masa lalu yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 hanya
akan menjadi idealisme saja; tanpa kejelasan
penerapannya kembali. Semuanya, sangat
bergantung pada DPR dan Presiden. Kondisi ini,
setidaknya menunjukan bahwa kemandirian dan
independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral
akan selalu mendapat “pengaruh” dari interprestasi
yang disepakati oleh DPR dan Presiden. Padahal,
seharusnya Bank Indonesia bebas dari pengaruh
pemerintah dan pihak lain. Yang mana definisi
pihak lain ini pun sangat terbuka, yaitu semua
pihak diluar Bank Indonesia termasuk pemerintah
dan/atau lembaga lainnya35. Seharusnya hal ini
dihindari sebab menurut Charles A.E. Goodhart:
The second strand of argument relates to the
danger that anexecutive, and the legislature,
having together established theunderlying laws
and regulations by which a country should be
run, might then be tempted to bend or to subvert
the subsequent legal and operational rulings in
their own short-run political interest. This danger
is all the greater because the executive, especially
when it dominates the legislature, as it is designed
to do here in the UK, has great power36.
Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia
sangatlah berbeda sebab derajat kemandirian dan
independensinya sangat dipengaruhi oleh
interpretasi DPR dan Presiden yang dilakukan
melalui undang-undang.
2. Central Bank Governance (CBG) pada Bank
Indonesia (Indipendensi, Akuntabilitas, dan
Transparansi)
Fungsi bank sentral sebagai pemegang otoritas
moneter menuntut bank sentral untuk menjadi
institusi yang independen sekaligus penegak good
governance dalam setiap aktivitas operasionalnya.
Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,
independensi dan good governance menjadi dua
topik yang tak terpisahkan.Tiga prinsip yang
membangun Central Bank Governance (CBG)
adalah independensi, akuntabilitas, dan
transparansi.37 Dengan demikian, CBG merupakan
fungsi dari independensi dan keduanya berjalan
beriringan.38
a. Independensi
Independensi mengacu pada kemampuan
bank sentral untuk menggunakan berbagai
macam instrumen pengendalian moneter tanpa
instruksi, panduan, atau campur tangan dari
pemerintah (Henning, 2004).39 Di beberapa
literatur, International Monetary Fund (IMF)
lebih memilih untuk menggunakan istilah
otonomi dibandingkan dengan independensi.
Otonomi dianggap lebih mengandung makna
sebagai kebebasan secara operasional
(operational freedom) sedangkan independensi
hanya dianggap mengindikasikan tidak adanya
batasan secara institusional.40 Meskipun
demikian, makalah ini tetap menggunakan
istilah independensi karena di Indonesia istilah
ini sudah lebih umum digunakan.
Sebagai pemegang otoritas moneter, bank
sentral seharusnya berdiri sendiri sebagai
institusi independen yang terlepas dari
12
37 Amtenbrink, Fabian, lot.cit.
38 Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006. Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications. JOAAG, 1 (1), 47-67
39 Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics.
40 Lybek, Lot.cit
35 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
36 Milton Freidman dan Charles E. A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank, the Institute of Economic Affairs, London, Hal. 92-93.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pengaruh legislatif maupun eksekutif.
Pengukuran terhadap tingkat independensi
bank sentral dapat dilihat dari karakteristik
dan status hukum institusi. Beberapa
karakteristik yang mencerminkan independensi
bank sentral terhadap pemerintah, yaitu: (1)
apabila pihak manajemen bank sentral
terlindungi dari tekanan politik; (2) pemerintah
tidak dapat ikut campur dalam berbagai macam
pengambilan dan penerapan kebijakan; (3)
mandat yang diterima oleh bank sentral secara
resmi memerinci tujuan dari kebijakan moneter;
dan (4) adanya batasan yang membatasi
pinjaman dari pemerintah (limit lending to
government).41
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab
sebelumnya, beberapa penelitian mengenai
pengaruh independensi bank sentral terhadap
berbagai macam indikator ekonomi juga telah
dilakukan, antara lain, adalah pengaruh
independensi terhadap tingkat inflasi. Hasil
dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tingkat inflasi akan dapat dikendalikan
dengan lebih baik apabila bank sentral dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter tidak mendapat campur tangan dari
pemerintah.
Dalam konteks Bank Indonesia, hingga saat
ini, Independensi Bank Indonesia selaku bank
sentral di Indonesia masih menjadi objek
perdebatan. Banyak pihak yang menganggap
Bank Indonesia masih belum independen
karena masih adanya campur tangan DPR
selaku legislatif dan pemerintah selaku
eksekutif. Otoritas atau mandat yang diberikan
kepada Bank Indonesia masih dalam taraf awal
dan bersifat relatif rentan.
1) Pelajaran dari Sejarah
Bank Indonesia telah mengalami perubahan
secara institusional maupun struktural dari
masa ke masa sejak Indonesia merdeka.
Perubahan-perubahan ini membawa imbas
pada independensi Bank Indonesia. Ada
kalanya Bank Indonesia berdiri sebagai institusi
independen mutlak; namun ada masanya Bank
Indonesia menjadi bagian dari pemerintah.
Berikut ini adalah sejarah perubahan status
independensi Bank Indonesia dari masa ke
masa yang hingga kini pun masih menjadi
bahan perdebatan.
Semestinya pemerintah dapat belajar dari
sejarah dan praktik-praktik terbaik yang ada,
yaitu bahwa bank sentral yang independen
akan mempunyai kemampuan yang lebih baik
dalam membuat berbagai macam kebijakan
moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian
nasional. Hal ini telah dibuktikan melalui
berbagai macam penelitian terkait Independensi
bank sentral yang telah dijabarkan sebelumnya.
Bank sentral yang proses pembuatan kebijakan
moneternya mendapat campur tangan
pemerintah akan mendapatkan tekanan politik
dari pemerintah untuk membantu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi tingkat pengangguran melalui
kebijakan-kebijakan moneternya. Namun,
apabila kondisi perekonomian tidak bisa
melampaui GDP potensial ataupun tingkat
pengangguran alaminya maka dalam jangka
panjang kebijakan moneter yang diambil justru
akan menciptakan inflasi yang tinggi.42 Oleh
karena itu, solusinya adalah dengan
mendelegasikan kebijakan moneter kepada
bank sentral dan individu-individu yang
independen dari pemerintah.
13
41 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007. The Evolution of Central Bank Governance around the World. Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.
42 Kydland, Finn, and Edward Prescott.1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of Political Economy 85 (3), 473–90.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2) Hubungan Bank Indonesia dengan
Pemerintah
Bank Indonesia menjalin hubungan dengan
Pemerintah, baik dalam rangka koordinasi
kebijakan maupun hubungan kerja operasional.
Hubungan antara Bank Indonesia dengan
berbagai macam lembaga pemerintah
diperlihatkan pada Peraga 1. Tujuannya Bank
Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah
adalah agar kebijakan dan kerja operasional
yang menjadi kewenangan masing-masing
dapat saling bersinergi dalam rangka mencapai
sasaran ekonomi makro.Namun hal ini justru
berlawanan dengan prinsip independensi yang
harus dimiliki oleh bank sentral untuk dapat
menciptakan CBG.Hal ini juga bertentangan
dengan Pasal 23D UUD Negara RI tahun 1945
yang telah menggariskan bahwa bank sentral
haruslah independen.
14
Badan SupervisiSupervisory Body
PresidenPresident
Mengusulkan dan Mengangkat anggota Dewan Gubernur BI
dengan persetujuan DPR
Nominates and appoints members of BI’s board of
Governors with approval from House of Representatives
Mahkamah Agung Supreme Court
Mengambil sumpah/janji anggota Dewan Gubernur BI
Takes the oath/pledge of the BI’s Board of Governors
Badan Pemeriksa KeuanganSupreme Audit Board
Memeriksa Laporan Keuangan BI
Audit’s BI’s Financial Reports
Dewan Perwakilan RakyatHouse of Representatives
Menilai kinerja BI dan Dewan Gubernur BI
Evaluates the performance of BI dan BI’s Board of Gubernur
Masyarakat*Public*
Laporan
Report
Laporan
Report
MasyarakatPublic
Lembaga Tinggi NegaraThe State High Institution
PemerintahThe Government
* Bukan Lembaga Tinggi Negara Not a State High Institution Sumber: www.bi.go.id
Peraga 1. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur
yang terdiri dari seorang gubernur sebagai
pemimpin dibantu oleh seorang deputi
gubernur senior sebagai wakil, dan sekurang-
kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya
tujuh deputi gubernur. Dewan gubernur secara
keseluruhan bertindak sebagai policy-making
body, sedangkan Deputi Gubernur dan
Direktur-Direktur bertindak sebagai executing
body. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.Sementara Deputi Gubernur
diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh
Presiden dengan persetujuan DPR. Kinerja
Dewan Gubernur dan Bank Indonesia dinilai
oleh DPR sedangkan laporan keuangannya
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
3) Personnel Indipendence
Dilihat dari sistem pengangkatan Dewan
Gubernur maka Bank Indonesia dapat dikatakan
masih belum memiliki personnel independence,
yaitu kewenangan bank sentral untuk menolak
campur tangan pemerintah dan pihak-pihak
lain dalam pelaksanaan kebijakan moneternya,
termasuk juga dalam penentuan masa jabatan,
jumlah anggota, dan masa jabatan berjenjang
dari anggota pembuat kebijakan moneter yang
dalam hal ini adalah Dewan Gubernur.
Agar Bank Indonesia mempunyai personnel
independence maka semestinya intervensi
pemerintah dan lembaga negara dalam
pemilihan Dewan Gubernur diminimalkan.
Lalu, suara dari pemangku kepentingan Bank
Indonesia lainnya juga dimasukkan ke dalam
proses pemilihan dan pengangkatan Dewan
Gubernur Bank Indonesia, tidak hanya melalui
proses pencalonan pejabat dari Presiden dan
Gubernur Bank Indonesia saja. Untuk
penempatan posisi Gubernur dan Deputi
Gubernur Senior tetap dapat menggunakan
sistem saat ini, sedangkan untuk pemilihan
Deputi Gubernur dapat mengacu pada sistem
yang digunakan oleh Federal Reserved Bank
of America, yaitu pemilihan Deputi Gubernur
secara langsung oleh bank umum agar Deputi
Gubernur mempunyai latar belakang dan
sudut pandang yang berbeda-beda yang pada
akhirnya mendatangkan manfaat dalam proses
pembuatan kebijakan moneter dan kebijakan-
kebijakan lainnya.
Untuk mengurangi keeratan hubungan antara
DPR dengan Bank Indonesia maka pemerintah
perlu menambahkan semacam Supervisory
Board (Dewan Pengawas) yang independen
dengan beranggotakan orang-orang yang
mempunyai kompetensi tinggi di bidang
moneter ke dalam struktur Dewan Gubernur
Bank Indonesia.
4) Financial Indipendence
Selain belum mempunyai personnel
independence Bank Indonesiajuga belum
independen dalam menentukan anggarannya.
Hal ini dikarenakan anggaran operasional
Bank Indonesia harus diajukan dan disetujui
15
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur Senior
Gubernur
Peraga 2. Struktur Dewan Gubernur BI
Sumber: www.bi.go.id
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
terlebih dahulu oleh DPR. Sedangkan untuk
anggaran kebijakan wajib dilaporkan secara
khusus kepada DPR.Penggunaannya pun
mendapat pengawasan dari DPR. Hal ini
tentunya mendistorsi independensi fungsi dan
kewenangan Bank Indonesia. Dengan demikian,
saat ini Bank Indonesia dapat dikatakan belum
independen secara menyeluruh.
Apabila Bank Indonesiaingin menjadi bank
sentral yang independen dan menerapkan CBG
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
maka sebaiknya sistem ini diubah. Bank
Indonesia dapat merancang sistem
penganggaran baru yang lebih independen
dengan menggunakan dasar pelbagai macam
best practices yang disesuaikan dengan tatanan
politik dan undang-undang yang melandasinya.
Alternatif lainnya, Bank Indonesia dapat juga
mengadopsi mekanisma penganggaran bank
sentral di negara lain yang dianggap lebih baik
dan lebih independen yang tentunya
disesuaikan dengan sistem ekonomi yang
dianut di Indonesia, misalnya saja sistem
anggaran dari Reserved Bank of Australia (RBA)
yang hanya membutuhkan persetujuan dari
Gubernur RBA atau sistem Anggaran dari
Central Bank of Bahrain yang sudah sepenuhnya
independen dengan pertanggungjawaban
pada saat diaudit.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat menjadi
lebih independen lagi apabila beroperasi tanpa
menggunakan modal dari pemerintah.Hal ini
memungkinkan untuk dilakukan mengingat
Bank Indonesia mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan bank umum maupun dengan
perusahaan lainnya.
Karakteristik bank umum menuntut bank
umum untuk mempunyai likuiditas jangka
pendek yang tinggi. Bank umum harus mampu
memenuhi permintaan penarikan dana dari
nasabah seketika itu juga saat nasabah
meminta. Penarikan ini tidak bisa ditunda seperti
halnya perusahaan manufaktur yang menunda
pembayaran terhadap pemasoknya saat
mengalami kekurangan kas (cash shortages).
Hal inilah yang mendorong pembuat kebijakan,
yaitu Bank Indonesia untuk menetapkan
cadangan wajib minimum di bank umum.
Sementara itu, bank sentral tidak membutuhkan
cadangan berupa modal dalam jumlah yang
banyak dan bahkan bank sentral dapat tetap
beroperasi dengan normal meski dengan
cadangan modal nol. Cadangan modal yang
dimaksud dalam konteks ini adalah modal
yang berasal dari pemerintah dan laba ditahan.
Hal ini dikarenakan bank sentral mempunyai
kemampuan untuk menciptakan likuiditas
domestik sehingga bank sentral dianggap
sebagai obligor handal dan oleh karenanya
tidak membutuhkan modal sebagai jaminan
dalam melakukan pinjaman. Bank of Canada
dan Bundesbank bahkan telah membuktikan
bahwa mereka dapat beroperasi dengan modal
nol tanpa menimbulkan dampak material pada
kebijakan maupun profitabilitasnya.43
b. Akuntabilatas
Prinsipini menuntut bank sentral untuk
mempertanggungjelaskan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Akuntabilitas bank
sentral diperlukan untuk memastikan kalau
pelaksanaan kebijakan dan fungsi-fungsi yang
ada sudah berjalan dengan efektif dan efisien
yang berarti bahwa bank sentral telah mengelola
sumber dayanya juga dengan cara yang efektif
dan efisien dalam upaya pencapaian tujuannya,
yaitu stabilitas harga.
Untuk memudahkan pemantauan kinerja,
undang-undang bank sentral harus mewajibkan
16
43 Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
bank sentral untuk menerbitkan laporan kinerja
minimal setahun sekali beserta laporan tahunan
tentang kebijakan moneter dan kegiatan
operasional kebanksentralan lainnya. Baru-
baru ini semakin banyak aturan hukum yang
mewajibkan bank sentral untuk menerbitkan
laporan kebijakan moneter dan analisisnya
secara semesteran.
Seringnya pengungkapan informasi mengenai
kebijakan moneter yang diambil oleh bank
sentral juga dapat membuat pemerintah sulit
melakukan intervensi terhadap bank sentral
tanpa diketahui oleh publik.Untuk itu pelaporan
juga harus secara jelas memaparkan faktor-
faktor internal maupun eksternal di luar kendali
bank sentral yang mempengaruhi hasil
kebijakan.
1) Akuntabilitas Bank Indonesia
Sebagai lembaga publik, Bank Indonesia wajib
akuntabel atau mempertanggungjelaskan
tugas dan tujuan yang dilaksanakan, otoritas
yang diberikan, kondisi keuangan, dan efisiensi
sumber daya yang digunakan. Terkait kondisi
keuangan, Bank Indonesia mempertanggung
jelaskan kinerjanya kepada masyarakat, Badan
Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan
Rakyat, serta Pemerintah.
Saat ini, Bank Indonesia menyampaikan laporan
tahunan kepada DPR dan Pemerintah pada
setiap awal tahun beserta anggaran yang
memuat pelaksanaan tugas dan wewenang
pada tahun sebelumnya serta rencana kebijakan,
penetapan sasaran, dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang tahun yang
akan datang. Bank Indonesia juga wajib
menyampaikan laporan triwulanan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya kepada DPR dan
Pemerintah. Lagi-lagi, akuntabilitas yang dimiliki
oleh Bank Indonesia belum didukung oleh
CBG yang baik dikarenakan persetujuan
terhadap laporan pelaksanaan tugas dan
wewenang harus dievaluasi dan disetujui oleh
DPR.
2) Supervisory Board
Salah satu isu terkait independensi bank sentral
adalah bagaimana bank sentral dapat menjaga
keseimbangan antara independensi dengan
akuntabilitas.Seperti yang disebutkan dalam
undang-undang tentang bank sentral, tugas
bank sentral adalah menjaga kestabilan harga.
Hal ini otomatis membuat bank sentral
mempunyai wewenang untuk mengambil
keputusan-keputusan yang dibutuhkan untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan
moneter. Wewenang ini harus diimbangi
dengan akuntabilitas agar tidak muncul
“negara di dalam negara.”
Saat ini, undang-undang tentang bank sentral
tengah ditinjau ulang di berbagai negara
terutama terkait dengan topik bagaimana
cara menyeimbangkan independensi dan
akuntabilitas bank sentral. Konsep supervisory
board yang telah digunakan di beberapa
negara dianggap sebagai salah satu opsi yang
tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Supervisory Board dibentuk untuk meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi bank sentral,
serta memberikan counterbalance
(penyeimbang) terhadap independensi yang
dimiliki bank sentral. Konsep supervisory board
di tiap negara juga berbeda-beda, tergantung
pada hukum dan lingkungan politiknya.
Supervisory board harus memahami tugas
dan fungsinya dengan baik, seperti (1) tidak
boleh ikut campur dan mempengaruhi
kebijakan moneter yang diambil oleh bank
sentral, dan (2) dapat menjaga kerahasiaan
bank sentral. Keharusan untuk menjaga
kerahasiaan ini dapat bertentangan dengan
tujuan awal pembentukan supervisory board,
yaitu meningkatkan transparansi dan
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
akuntabilitas bank sentral. Oleh karena itu,
lingkup kerahasian bank sentral harus selalu
dinilai dan dievaluasi ulang.
c. Transparansi
Tranparansi bank sentral mengacu pada
kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral
sebagai pemegang otoritas moneter untuk
menyediakan informasi bagi publik sehingga
publik dapat menerima keputusan tersebut
beserta alasan yang mendasarinya. Transparansi
merupakan prekondisi untuk menciptakan
akuntabilitas.44
Sebagaimana telah juga disebutkan sebelumnya
terdapat juga beberapa penelitian terkait
dengan transparansi bank sentral ini.
Diantaranya oleh Eijffinger dan Hoebrichts
yang menunjukkan bahwa semakin banyak
transparansi yang dilakukan maka tingkat
inflasi akan semakin rendah dan juga
diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply
shock. Claessens dkk.menunjukan bahwa
transparansi yang rendah merupakan cerminan
dari rendahnya tingkat corporate governance.
Survey yang dilakukan oleh Fry dkk terhadap
94 bank sentral juga menunjukan bahwa
74% dari responden menganggap bahwa
transparansi merupakan komponen kerangka
kebijakan moneter yang vital dan sangat
penting. Namun yang menarik adalah hasil
temuan penelitian oleh De Haan dan
Amtenbrink yang menyatakan bahwa Bank
sentral di European Central Bank (ECB)
mendapat peringkat tinggi dari indikator
pengungakapan, namun bukti menunjukkan
bahwa pasar keuangan tidak menganggap
ECB tranparan.
Dalam konteks Bank Indonesia, agar kebijakan
moneter dapat berjalan dengan baik maka
komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia
dengan masyarakat sangat dibutuhkan.
Transparansi juga dibutuhkan karena pasar
dan pelaku ekonomi membutuhkan informasi
untuk mengelola ekspektasi terhadap arah
kebijakan bank sentral. Hal inilah yang
mendorong Bank Indonesia untuk senantiasa
transparan mengkomunikasikan berbagai
macam kebijakan yang diambilnya kepada
masyarakat. Transparansi dilakukan kepada
berbagai pihak seperti parlemen, pemerintah,
pasar, para pemerhati bank sentral, dan media
massa. Komunikasi yang Bank Indonesia
lakukan dapat berupa pengumuman maupun
penjelasan-penjelasan mengenai sasaran inflasi
ke depan, analisis Bank Indonesia terhadap
perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-
langkah kebijakan moneter yang telah akan
ditempuh, kerangka kerja, dan langkah-
langkah kebijakan moneter yang telah dan
akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur
(RDG), serta hal-hal lainnya yang ditetapkan
oleh Dewan Gubernur.
Komunikasi kebijakan dapat dilakukan dalam
bentuk siaran pers, konferensi pers, publikasi
Tinjauan/Laporan Kebijakan Moneter yang
memuat latar belakang pengambilan keputusan,
maupun penjelasan langsung dan diskusi
kepada masyarakat luas, media massa, pelaku
ekonomi, analis pasar dan akademisi. Media
komunikasinya dapat berupa publikasi Tinjauan
Kebijakan Moneter, Laporan perekonomian
Indonesia, Laporan Triwulan DPR RI, dan Siaran
Pers Kebijakan Moneter.
Kewenangan bank sentral untuk mengambil
keputusan kebijakanmoneter diberikan oleh
legislatif sehingga wewenang ini juga dapat
diambil setiap saat dengan undang-undang.
Legislatif hanya akan memberikan
kepercayaannya apabila bank sentral dapat
membuat kebijakan moneter yang beralasan
dan dapat diterima serta dapat menjalankan
18
44 Amtenbrink, Lot.cit
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
fungsi lainnya dengan baik. Oleh karena itu
penting bagi bank sentral untuk memaparkan
aktivitas-aktifivasnya agar mendapat dukungan
politik dan publik dalam menjalankan tugasnya
untuk menjaga stabilitas harga. Komunikasi
yang terbuka dan langsung dengan legislatif
sangatlah penting dalam pengelolaan bank
sentral
3. Pentingnya Kemandirian Bank Indonesia
dalam Pencapaian Tujuan Bank Indonesia
Bank sentral dikatakan tidak memiliki personal
independence jika ada otoritas lain (pemerintah
dan/atau parlemen), yang menunjuk atau memilih
anggota-anggota dalam kepemimpinan bank
sentral, dapat melakukan tekanan politik secara
tidak langsung kepada anggota-anggota tersebut.45
Hal seperti ini dapat dilakukan, misalnya, dengan
memberhentikan atau tidak memperpanjang
jabatan dari salah satu atau beberapa anggota
pimpinan bank sentral. Dalam bentuk lain, tidak
adanya personal independence adalah, misalnya,
adanya perwakilan dalam kepemimpinan bank
sentral dan prosedur penunjukan pimpinan bank
sentral.47
Financial Independence atau sering dikenal dengan
budgetary independence adalah kemandirian bank
sentral dalam mendanai pengeluarannya sendiri.48
Jika politisi dapat mempengaruhi bank sentral
dalam penyusunan dan penggunaan anggarannya,
maka dikatakan bahwa bank sentral tidak
mempunyai kemandirian keuangan.
Policy independence menyangkut seberapa besar
ruang gerak dari bank sentral dalam merumuskan
dan melaksanakan kebijakan moneter. Kemandirian
kebijakan ini dapat dibagi dua, yakni, goal
independence dan instrument independence.49
Goal independence menyangkut seberapa besar
kemandirian bank dalam menentukan tujuan bank
sentral, sedangkan instrument independence
menyangkut mengenai ada tidaknya atau seberapa
besar keharusan bank sentral untuk mendapatkan
persetujuan pemerintah dan/atau parlemen dalam
memilih sarana yang dipilih untuk mencapai
tujuannya.
Sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan
akhir dan pertanggungjawaban final tentang
kebijakan moneter, kemandirian bank sentral
berlawanan dengan akuntabilitas demokratis.50
Dalam masyarakat yang demokratis, De Haan dan
Eijffinger menyatakan bahwa bank sentral
seharusnya tidak memiliki goal independence baik
eksplisit maupun implisit.51 Meskipun mekanisme
pengenyampingan mengurangi independensi bank
sentral, tetapi dapat meningkatkan akuntabilitas
demokratis, sebagaimana tanggung jawab final
dari kebijakan moneter berada pada tangan politisi
yang dipilih secara demokratis.
Ada tiga bentuk akuntabilitas bank sentral yakni:52
1. Keputusan tetang definisi eksplisit dan
pemeringkatan dari tujuan-tujuan moneter
19
45 Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, Hal., 33-35
46 Misalnya, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 menentukan bahwa Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-Direktur meskipun masa jabatan yang bersangkutan belum berakhir; (a) karena meninggal dunia; (b) karena melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank Indonesia atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara; (c) karena sesuatu hal yang menyebabkan ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan wajar; (c) atas permintaan sendiri.
47 Lihat misalnya Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 yang menentukan bahwa Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya adalah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) dari pasal tersebut kemudian menentukan bahwa Pemerintah dibantu oleh Dewan Moneter.Pasal 10 dari undang-undang tersebut menentukan bahwa Dewan moneter terdiri dari tiga orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidangi Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank Indonesia.
48 Lihat Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris, Hal., 15
49 De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, loc.cit.
50 Loc.cit.
51 Loc.cit.
52 Loc.cit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Transparansi dalam kebijakan monoter yang
29ormat
3. Siapa yang harus memberikan pertanggung-
jawaban final kebijakan moneter
Dalam akuntabilitas demokratis, politisi terpilih
harus menentukan defnisi eksplisit dan peringkat
tujuan-tujuan dari kebijakan moneter. Transparansi
dalam kebijakan moneter dicapai apabila badan
pengambil keputusan dalam bank sentral diminta
untuk mengumumkan berita acara rapat dan atau
mengapa suatu keputusan telah diambil. Dalam
pertanggungjawaban akhir dari kebijakan monoter,
terdapat tiga hal yang krusial, yakni: hubungan
bank sentral dengan parlemen, mekanisme
pengenyampingan, dan prosedur pemecatan
gubernur bank sentral.
Mengenai hubungan bank sentral dengan
parlemen, menurut kehendak akuntabilitas
demokratis seharusnya terdapat keharusan yuridis
bank sentral untuk melaporkan dan atau
menjelaskan policy action-nya dan sebaliknya bank
sentral mempunyai kesempatan untuk menjelaskan
kebijakannya. Parlemen juga harus mendapatkan
kesempatan untuk menilai kinerja bank sentral.
Logika dari hubungan tersebut adalah karena
kebijakan moneter ditetapkan oleh politisi. Dalam
konstruksi ini, politisi diberi kewenangan untuk
merubah peraturan yang menyangkut independensi
bank sentral agar bank sentral memenuhi kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh parlemen.
Sehubungan dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger
menyatakan bahwa: “It has been argued in the
context of national central banks in general that
Parliament always holds the ultimate responsibility
for monetary policy since it can change the legal
basis of the Central Bank.” Dengan demikian,
lembaga yang menetapkan kebijakan moneter
(dalam hal ini parlemen) harus mempunyai
29ormative29 untuk memastikan bahwa kebijakan
tersebut dijalankan (oleh bank sentral) sesuai
dengan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, De Haan dan
Eijffinger mengatakan bahwa: “Indeed, the mere
threat of a change of the law may induce even
independent central banks to ensure that
monetary policy will in general be in accordance
with the wishes of elected politicians.” Dengan
demikian, jika parlemen telah menetapkan
kebijakan moneter, maka bank sentral harus
mempunyai akuntabilitas demokratis yang tinggi.
Sebaliknya jika goal independence yang dimiliki
oleh bank sentral adalah tinggi, maka akuntabilitas
demokratisnya lebih rendah. Tinggi rendahnya
akuntabilitas secara umum dapat diukur dari
materi yang harus di-“jelaskan” maupun dari
seberapa besar kewenangan pihak yang meminta
penjelasan untuk menggunakan haknya sewaktu-
waktu. Akuntabilitas berupa kewajiban untuk
menyampaikan laporan tahunan dan laporan
triwulan tentang pelaksanaan tugas dan
wewenangnya sebagai evaluasi kinerja tentu
dipandang lebih rendah tingkatannya dibandingkan
dengan kewajiban (juga) untuk menyampaikan
penjelasan secara lisan maupun tertulis selama
diminta oleh pihak evaluator.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas,
dengan memperhatikan isi Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. Pasal
8, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999,
jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004,
maka dapat dikatakan bahwa secara yuridis Bank
Indonesia mempunyai goal independence yang
memadai. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang Bank
Indonesia tersebut menyatakan bahwa tujuan
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Dalam mencapai tujuan
tersebut, Pasal 8 Ayat (1) undang-undang Bank
Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter. Goal
independence tersebut diperkuat dengan Pasal 9
undang-undang Bank Indonesia, yang melarang
campur tangan pihak lain dan sekaligus
mewajibkan Bank Indonesia untuk menolak dan
atau mengabaikan campur tangan tersebut.
20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Goal independence Bank Indonesia dibatasi oleh
dua hal, yakni keharusan Bank Indonesia untuk
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah
di bidang perekonomian (Pasal 7 Ayat (2) undang-
undang Bank Indonesia) dan memperhatikan
sasaran laju inflasi dalam menetapkan sasaran-
sasaran moneter (Pasal 10 Ayat (1) huruf a undang-
undang Bank Indonesia).
Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 mewajibkan Bank Indonesia untuk
menyampaikan laporan tahunan secara tertulis
kepada DPR mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenangnya yang dilakukan pada tahun yang
lalu maupun rencana kebijakan, penetapan sasaran
dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan
wewenangnya untuk tahun yang akan datang.
Diantara laporan tahunan yang harus diserahkan
kepada DPR, Bank Indonesia wajib melaporkan
pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada
DPR (dan Pemerintah) setiap tiga bulan (triwulanan)
(Pasal 58 Ayat (2) undang-undang Bank Indonesia).
Kewajiban pelaporan perencanaan dan pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada DPR
tersebut merupakan input bagi DPR dalam rangka
penilaian kinerja Bank Indonesia (Pasal 58 Ayat (3)
undang-undang Bank Indonesia). Memperhatikan
isi Pasal 58 Ayat (1), (2) dan (3) tersebut, secara
teoritis akses DPR terhadap pencapaian tujuan
Bank Indonesia dengan kebijakan moneternya
tampak telah cukup memadai. Artinya, check and
balances antara pembuat kebijakan moneter (Bank
Indonesia) dan pihak yang memberikan penilaian
kinerja (DPR) dicerminkan dengan baik.
Isi dari Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 menunjukkan tingginya tingkat
akuntabilitas demokratis Bank Indonesia. Ayat (3)
dari pasal ini menyatakan bahwa dalam hal DPR
memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, termasuk dalam rangka penilaian
terhadap kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia
wajib menyampaikan penjelasan secara lisan
dan/atau tertulis. Mempertimbangkan perlunya
Bank Indonesia mendapatkan pengawasan dari
DPR dalam menjalankan tugasnya tampaknya isi
pasal ini merupakan pasal yang memadai bagi
DPR untuk “setiap waktu” dapat meminta
penjelasan dari Bank Indonesia terkait dengan
tugas dan wewenang Bank Indonesia. Akan tetapi
perlu diingat bahwa adalah Bank Indonesia yang
mempunyai kemandirian dalam bidang penentuan
kebijakan moneter (goal independence). Dalam
hal ini jika dihubungkan dengan pendapat De
Haan dan Eijffinger tersebut di atas bahwa
sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan
akhir dan pertanggungjawaban final tentang
kebijakan moneter, kemandirian bank sentral
berlawanan dengan akuntabilitas demokratis maka
keberadaan Ayat (3) tersebut dapat dipandang
berlebihan. Esensi dari akuntabilitas demokratis
adalah parlemen perlu sarana yuridis yang dapat
memastikan bahwa kebijakan moneter “yang
ditetapkannya” dapat “dilaksanakan” oleh bank
sentral. Manakala bank sentral itu sendiri yang
menentukan kebijakan monerter maka dapat
dipandang kurang seimbang apabila pengawasan
parlemen sampai pada tingkat sebagaimana
dimuat dalam Ayat (3) Pasal 58 undang-undang
Bank Indonesia tersebut di atas.
Dampak dari muatan Pasal 58 Ayat (3) undang-
undang Bank Indonesia tersebut adalah bahwa
DPR dapat melakukan intervensi terhadap
kebijakan jangka pendek yang dibuat oleh Bank
Indonesia. Disamping hal ini menjadi tidak terlalu
efisien, hal ini juga dapat mengarah kepada
pengutamaan kepentingan di luar kepentingan
tujuan moneter Bank Indonesia.53 Dampak lebih
buruk dapat terjadi jika makna dari Ayat (3) pasal
tersebut menyangkut mengenai penganggaran
21
53 Bandingkan dengan pendapat Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York., pp. 34-46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Bank Indonesia.Jika hal ini terjadi maka bukan
tidak mungkin DPR berdasarkan Ayat (3) pasal
tersebut ikut campur tangan terhadap pelaksanaan
anggaran kebijakan Bank Indonesia yang seharusnya
hanya wajib dilaporkan (tanpa harus dimintakan
persetujuan) DPR. Padahal sebagaimana dengan
jelas dirumuskan dalam Pasal 60 undang-undang
Bank Indonesia bahwa anggaran operasional wajib
mendapatkan persetujuan DPR (Ayat (3)), tetapi
anggaran kebijakan hanya wajib “dilaporkan”
kepada DPR.
4. Perbandingan Kemandirian Penganggaran
Bank Sentral di Berbagai Negara
Untuk menentukan kemandirian penganggaran
yang mungkin dapat diterapkan oleh Bank
Indonesia di masa yang akandatang, penelitian
ini coba melihat proses penganggaran yang
diterapkan di beberapa negara.Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, pilihan dijatuhkan
pada negara-negara di bawah ini, didasarkan
pada keberagamanan sistem pemerintahan yang
dianut oleh negara-negara ini Australia adalah
negara yang menganut sistem pemerintahan
parlementer; sedangkan Filipina menggunakan
sistem pemerintahan presidensil. Korea Selatan
berbeda dengan kedua kelompok negara
sebelumnya, karena Korea Selatan adalah salah
satu negara yang menganut sistem pemerintahan
hybrid.
Keberanekaragaman sistem pemerintahan dipilih
karena Indonesia tidak sepenuhnya menganut
sistem presidensil dalam sistem pemerintahannya,
namun juga terdapat feature parlementer dalam
sistemnya. Oleh karena itu, pilihan perbandingan
dengan negara-negara di atas digunakan agar
dapat melihat pola-pola yang dilakukan dalam
proses penganggaran dalam berbagai sistem
pemerintahan yang ada saat ini. Berikut adalah
uraian dari setiap negara sebagaimana disebutkan
di atas.
1) Australia
The Reserve Bank of Australia adalah bank sentral
Australia berdasarkan Act No.4 of 1959 tentang
Reserve Bank Act sebagaimana diubah terakhir
Act No.82 of 2010. Bank ini dipimpin seorang
gubernur dan seorang wakil gubernur. Gubernur
adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
manajemen dari the Reserve Bank of Australia.
Gubernur ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam
masa jabatan 7 (tujuh tahun) dan dapat dipilih
kembali sepanjang in good behavior54.
Secara normative di dalam pengelolaan the Reserve
Bank of Australia terdapat Board of Bank yang
terbagi atas 2 (dua) kamar, yaitu Reserve Bank
Board dan Payment System Board. Reserve Bank
Board bertanggung jawab atas kebijakan moneter
dan perbankan, serta tanggung jawab lainnya
selain tanggung jawab yang didelegasikan kepada
the Payment System Board; sedangkan the Paymet
System Board mempunyai tanggung jawab
mengenai sistem pembayaran dari the Reserve
Bank of Australia. Lebih lanjut, kedua board ini
harus secara bersama-sama melakukan
kewenangan55:
a. the stability of the currency of Australia;
b. the maintenance of full employment in
Australia; and
c. the economic prosperity and welfare of the
people of Australia.
Namun, kedua board ini sebenarnya hanyalah
pengelompokan dalam proses pengambilan
kebijakan, sebab keduanya secara bersama-sama
beranggotakan gubernur the Reserve Bank of
Australia.
The Reserve Bank Board terdiri atas56:
a. the Governor;
b. the Deputy Governor;
22
54 Lihat Article 24 the Reserve Bank Act 1959.
55 Lihat Article 10 section (2) the Reserve Bank Act 1959.
56 Lihat Article 14 section (1) the Reserve Bank Act 1959.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
c. the Secretary to the Department of the
Treasury; and
d. 6 other members, who shall be appointed in
writing by the Treasurer in accordance with
this section.
The Payment System Board beranggotakan57:
a. the Governor;
b. 1 (one) representative of the Reserve Bank of
Australia;
c. 1 (one) representative of Australian Prudential
Regulation Authority (APRA);
d. up to 5 (five) other members.
Lima anggota lain di atas akan ditunjuk secara
tertulis oleh menteri keuangan.
Dengan keanggotaan dan pola penunjukannya,
terlihat sangat jelas bahwa the reserve bank of
Australia mempunyai keterkaitan yang erat dengan
pemerintah, khususnya menteri keuangan. Hal ini
wajib dilaksanakan karena adanya kewajiban untuk
selalu dilakukan kerjasama antara pemerintah dan
the reserve bank of Australia.
Berkaitan dengan penganggaran, dalam the reserve
bank act 1959, sama sekali tidak disinggung
mengenai proses penganggaran the Reserve Bank
of Australia. Meskipun demikian dan berkaitan
dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di
Australia, penganggaran harus tetap melalui
persetujuan parlemen. Hal ini disebabkan karena
parlemen adalah pemegang purse power terhadap
seluruh belanja yang akan dilakukan oleh lembaga-
lembaga federal, termasuk bank sentral.
2) Korea Selatan
Sedikit berbeda dengan Jepang, Korea Selatan
adalah salah satu negara yang menerapkan sistem
pemerintahan hybrid. Dikategorikan sebagai sistem
pemerintahan hybrid, karena dalam sistem
pemerintahannya, Korea Selatan, selain memiliki
presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan58, juga terdapat perdana menteri59
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
pemerintahan sehari-hari. Selain kedua jabatan
eksekutif tersebut, dalam sistem Korea Selatan
juga ada parlemen (National Assembly), yang
memegang kekuasaan legaslatif dan merupakan
representasi dari rakyat60.
Berkaitan dengan bank sentral, Bank of Korea di
pimpin oleh seorang gubernur yang melaksanakan
manajemen dan kebijakan yang ditetapkan oleh
the Monetary Policy Committee. The Monetary
Policy Committee tersebut adalah organ yang
mempunyai kewenangan tertinggi dalam struktur
Bank of Korea, khususnya dalam menetapkan
kebijakan61. Committee ini beranggotakan
Gubernur Bank of Korea, Senior Deputy Gubernur
Bank of Korea, seorang anggota yang
direkomendasikan oleh Minister of Strategy and
Finance, seorang anggota yang direkomendasikan
oleh Gubernur Bank of Korea, seorang anggota
yang direkomendasikan oleh Ketua Komisi
Keuangan National Assembly, seorang anggota
yang direkomendasikan oleh Ketua Kamar Dagang
dan Industri, dan seorang anggota yang
direkomendasikan oleh Ketua Perhimpunan
Bank62. Seluruh anggota the Monetary Policy
Committee, termasuk gubernur yang juga
menjabat sebagai ketua committe; kecuali senior
deputy gubernur, diangkat oleh presiden setelah
mendapatkan persetujuan dari the National
Assembly63.
Selain the Monetary Policy Committee, manajemen
sehari-hari the Bank of Korea dilaksanakan oleh
23
57 Lihat Article 25A the Reserve Bank Act 1959.
58 Lihat Chapter IV Section 1 Article 66 of the South Korea Constitution.
59 Lihat Chapter IV Section 2 Article 86 of the South Korea Constitution.
60 Lihat Chapter IIIArticle 40 of the South Korea Constitution.
61 Lihat Chapter II Section 1 Article 12 of the Bank of Korea Act.
62 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 of the Bank of Korea Act.
63 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 (3) of the Bank of Korea Act.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
seorang Gubernur, Seorang Deputy Senior Gubernur
dan paling banyak 5 (lima) deputy gubernur64.
Gubernur Bank of Korea diangkat oleh presiden
atas persetujuan the National Assembly, sedangkan
deputy senior gubernur direkomendasikan oleh
gubernur dan diangkat oleh presiden. Berbeda
halnya dengan para deputy, sebab mereka diangkat
dan diberhentikan oleh gubernur.
Dalam melaksanakan tugasnya, para pimpinan
the Bank of Korea menggunakan anggaran yang
ditetapkan oleh the Monetary Policy Committee65.
Namun khusus yang berkaitan dengan gaji, yang
ditetapkan oleh presiden, tetap harus dimintakan
persetujuan kepada Minister of Strategy and
Finance. Konsep penganggaran ini sangat
dimungkinkan karena dalam the monetary policy
committee telah berbaur para anggota eksekutif
dan 35ormative35. Konsekuensinya, penganggaran
tidak lagi harus diajukan secara mandiri kepada
the national assembly sebab assembly telah
memiliki wakil dalam committee; sama halnya
dengan pihak eksekutif. Oleh karenanya, sangat
wajar jika proses penganggaran the Bank of Korea
terlihat cukup sederhana jika dibandingkan dengan
proses penganggaran yang diterapkan pada proses
penganggaran Bank Indonesia.
3) Filipina
Filipina memberikan kewenangan bank sentralnya
kepada the Bangko Sentral ng Pilipinas66. Dalam
melaksanakan fungsinya sebagai bank sentral,
the Bangko Sentral ng Pilipinas diberi kewenangan
policy directions in the areas of money, banking,
and credit67. Yang mana kewenangan tersebut
mempunyai tujuan akhir untuk maintain price
stability conducive to a balanced and sustainable
growth of the economy68.
Dalam melaksanakan kewenangannya, di dalam
struktur the Bangko Sentral ng Pilipinas dibentuk
the Bangko Sentral Monetary Board, yang
beranggotakan 7 (tujuh) orang anggota, yaitu
gubernur bank sentral, yang juga berkedudukan
sebagai ketua dari board tersebut, 1 (satu) wakil
dari pemerintah, dan 5 (lima) orang dari pihak
swasta yang ditunjuk oleh presiden69.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya the
board dibantu oleh manajemen the Bangko Sentral
ng Pilipinas, yang dipimpin oleh seorang gubernur
dan paling banyak 3 orang deputy gubernur. Lebih
lanjut, Sama dengan mekanisme penunjukan
deputy senior gubernur the Bank of Korea, para
deputy gubernur the Bangko Sentral ng Pilipinas
diangkat oleh gubernur atas persetujuan the
board70.
Dalam melaksanakan fungsinya, the Bangko
Sentral ng Pilipinas menggunakan anggaran yang
ditetapkan oleh the board berdasarkan usulan
yang disampaikan oleh gubernur71. Konstruksi ini
dimungkin secara ormative, karena tingkat
independensi yang dimiliki oleh the Bangko Sentral
ng Pilipinas cukup besar. Namun tetap saja berada
di bawah pengawasan dari the congress, sebab
gubernur diwajibkan untuk bertanggung jawab
dalam penggunaan anggaran yang diperuntukan
bagi the Bangko Sentral ng Pilipinas.
5. Proses Penganggaran yang Tepat bagi Bank
Indonesia
Berdasarkan uraian dari negara-negara di atas,
cukup jelas terlihat bahwa kemandirian
penganggaran dapat dilakukan sebab telah terjadi
mixed atau pembauran antara pihak-pihak
eksekutif dan legislaif dalam sebuah board atau
komisi di bank sentral. Dengan pembauran ini,
24
64 Lihat Chapter III Section 1 Article 32 of the Bank of Korea Act.
65 Lihat Chapter VII Section 1 Article 98 (2) of the Bank of Korea Act.
66 Lihat Chapter I Article I Section 2 of the Republic Act No.7563.
67 Lihat Chapter I Article I Section 3 of the Republic Act No.7563.
68 Ibid.
69 Lihat Chapter I Article II Section 1 of the Republic Act No.7563.
70 Lihat Chapter I Article III Section 21 of the Republic Act No.7563.
71 Chapter I Article II Section 15(d) of the Republic Act No.7563
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
maka proses penganggaran tidak lagi dimintakan
secara langsung kepada parlemen atau legislatif
sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara;
tetapi persetujuan telah diberikan melalui wakil
yang mereka tunjuk atau yang mereka tugasi
untuk duduk dalam board di bank sentral. Oleh
karena itulah, tidak mengherankan jika proses
penganggaran yang dilakukan terlihat sederhana
dan nirpolitik, sebab telah ada pembauran dalam
board yang merupakan lembaga tertinggi dalam
bank sentral.
Kembali kepada kemungkinan kemandirian
penganggaran bagi Bank Indonesia, sebenarnya
hal tersebut di atas sangatlah terbuka untuk
diterapkan di Indonesia. Bahkan melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999, kewenangan
kemandirian penganggaran yang dimiliki oleh
Bank Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan negara-negara di atas.
Kemungkinan ini secara konstitusional sangat
terbuka dan sangat bergantung pada will dari
pembentuk undang-undang untuk dapat
diterapkan di Indonesia. Namun jika menginginkan
pola sebagaimana diterapkan oleh negara-negara
pada sistem parlementer di atas, dapat saja Badan
Supervisi Bank Indonesia dilebur menjadi bagian
dari sebuah dewan tertinggi dalam struktur Bank
Indonesia. Dengan begitu, secara tidak langsung
DPR sudah mempunyai wakil dalam struktur
Bank Indonesia, sehingga dalam menentukan
anggarannya, cukup dimintakan persetujuan pada
dewan tersebut. Akan tetapi, kemungkinan ini
juga memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya
adalah politisasi dalam pelaksanaan fungsi bank
sentral karena tidak dapat dihindari bahwa dengan
memasukannya DPR dalam struktur Bank Indonesia,
pengaruh politik akan sangat terasa dalam
langkah-langkah yang dapat diambil oleh Bank
Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.
Pada sisi lainnya, mekanisme penganggaran yang
saat ini diterapkan mungkin adalah mekanisme
yang terbaik untuk tetap menjaga independensi
Bank Indonesia dan juga untuk menekan
kemungkinan politisasi dalam proses pelaksanaan
kewenangan bank Indonesia.
E. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam bab-bab
terdahulu untuk memberikan jawaban atas
permasalahan yang telah ditentukan, berikut ini adalah
kesimpulan dan rekomendasi terkait permasalahan-
permasalahan yang telah ditentukan:
1. Kesimpulan
a. Bahwa terdapat peluang normatif untuk
memberikan kemandirian penganggaran pada
Bank Indonesia. Hal tersebut karena adanya
norma terbuka yang diberikan oleh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya Pasal 23D, mengingat Pasal ini tidak
menentukan sampai derajat mana kemandirian
dan indipendensi yang dapat diberikan kepada
Bank Sentral. Oleh karenanya, kemungkinan
ini secara konstitusional sangat terbuka dan
sangat bergantung pada will dari pembentuk
undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden), untuk menginterpretasikan
sejauh mana ketentuan Pasal 23D tersebut.
b. Pembentukan Supervisory Board merupakan
salah opsi yang dapat mendukung implementasi
kemandirian Bank Indonesia, termasuk dalam
bidang penganggaran. Melalui opsi ini, maka
proses penggaran tidak lagi dimintakan secara
langsung ke DPR sebagai pemegang kekuasaan
keuangan negara, mengingat persetujuan
telah diberikan oleh DPR melalui wakilnya yang
ditugasi untuk duduk di Board bank sentral-
dalam ini Bank Indonesia. Supervisory Board
dibentuk untuk meningkatkan akuntabilitas
dan transparansi bank sentral serta memberikan
counterbalance (penyeimbang) terhadap
indipendensi yang dimiliki oleh bank sentral.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Rekomendasi
a. Mengingat bahwa interpretasi ketentuan Pasal
23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia
sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif
untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian
anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal
yang sangat penting dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya sebagai Bank
Sentral.
b. Selain point pertama tersebut di atas, ada
baiknya Bank Indonesia menginisiasi pihak-
pihak terkait, antara lain, pakar hukum
perbankan, hukum tata negara, pakar hukum
administrasi negara, ekonom, pelaku usaha
perbankan, dan pemangku kepentingan
lainnya, untuk dapat memberikan sejauh bana
batasan interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
bersifat terbuka tersebut. Tujuannya adalah
untuk memberikan atau memperoleh
pemahaman dari para pakar dari berbagai
kalangan terkait batasan interpretasi Pasal
23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sehingga Bank Indonesia mempunyai
gambaran pendapat dari berbagai pakar
terkait.
26
Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006, “Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems
and Policy Implications”. JOAAG, 1 (1), 47-67
Amtenbrink, Fabian, 2004, “The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code
of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF)”, tersedia di:
http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf
Aziz, Harry Azhar, 2011, “Governance dan Akuntabilitas Bank Indonesia”, Available at :
http://pekikdaerah.wordpress.com/2011/02/08/governance-dan-akuntablitas-bank-indonesia/
Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and
the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York.
Barro, Robert, and David Gordon, 1983, “Rules, Discretion, and Reputation in a Model of Monetary Policy”. Journal of
Monetary Economics, 12(1), 101–21.
Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are
primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than
by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge
University Press, New York.
Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002, “Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance”, 3( 2), 71-103.
Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E, 2007, “The Evolution of Central Bank Governance around the World”. Journal
of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.
De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, The Democartic Accountability of the European Central Bank: A Comment
on Two Fairy-tales, dalam Journal of Common Market Studies, Vol. 38. No. 3.
Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats, 2006, “How Transparent Are Central Banks?”, European Journal of Political
Economy, 22(1), 1–21.
Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A, 1996, Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and
Independence, Routledge, London.
Freidman, Milton dan Charles E.A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank,
the Institute of Economic Affairs, London.
Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for
International Economics.
Http://www.bi.go.id
DAFTAR PUSTAKA
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Kydland, Finn, and Edward Prescott. 1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of
Political Economy 85(3), 473–90.
Lybek, Tonny. 2004. Central Bank Autonomy, Accountability, and Governance: Conceptual Framework. Working Paper,
International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/lybek.pdf
Lybek, T. dan Morris, J. 2004. Central Bank Governance: A Survey of Board and Management. Working paper, Internatioanl
Monetary Fund (IMF) Nomor 04/226. Tersedia di :http://www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04226.pdf
Ribeiro, Fausto de Andrade. 2002. Central Bank: Independence, Governance and Accountability. Working paper, Minerva
Program, The George Washington University. Tersedia di:
http://www.gwu.edu/~ibi/minerva/Fall2002/Fausto.Ribeiro.pdf
Oritani, Yoshiharu. 2010. Public Governance of Central Banks: an Approach from New Institutional Economics. Working
Paper, Bank For Internatioanl Settlements. Tersedia di:
http://www.kisc.meiji.ac.jp/~oritani/Homepage2005/BISFINAL.pdf
Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83
Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan
Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris.
Peraturan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901)
Bank of Japan Act (Act No.89 of June 18, 1997)
Constitution of the People’s Republic of Bangladesh.
The Bangladesh Bank Order 1972 (President’s Order No.127 of 1972) sebagaimana diubah terakhir 10 Maret 2003.
The South Korea Constitution.
The Bank of Korea Act.
28
PENDAHULUAN
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pendanaan terorisme sama pentingnya dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana lainnya
yang mengingat sifat dan hakikatnya muncul menjadi
tindak pidana yang membahayakan negara dengan
sifatnya yang trans boundaries. Sama halnya dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,
pendanaan terorisme juga harus dicegah dan diberantas
dengan sekuat tenaga. Saat ini sedang dilakukan
dilakukan usul untuk segera mengundangkan rancangan
Undang Undang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini tidak
terlepas dari berbagai aspek yang melandasi, yaitu aspek
filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Ditinjau
dari sudut filosofis, maka perlu dipahami bahwa dalam
rangka mewujudkan ultimate value, yang merupakan
tujuan dari social policy, maka perlu diadakan suatu
kebijakan kriminal atas pendanaan terorisme. Ultimate
value itu adalah untuk perwujudan masyarakat yang
adil dan makmur, dan tercapainya kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Kerangka kebijakan kriminal yang harus
dituju adalah dikriminalisasikannya pendanaan terorisme
sebagai suatu tindak pidana, mengingat sifat dan hakikat
yang sama berbahayanya dengan terorisme itu sendiri.
Mengenai social policy ini, Kongres PBB ke-7 di Milan
mengenai “National Development and the prevention
of crime” menegaskan sebagai berikut:
Crime prevention as a part of social policy
21. The criminal justice system, besides being an
instrument to effect control and deterrence, should also
contribute to the objective of maintaining peace and
order for equitable social and economic development,
redressing inequalities and protecting human rights. In
order to relate crime prevention and criminal justice to
national development targets, effort should be made to
secure the necessary human and material resources,
including the allocation of adequate funding, and to
utilize as much as possible all relevant institutions and
29
PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE ATAS RESOLUSI DK PBB NOMOR 1267 GUNA PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISMEOleh :
Dr. Go Lisanawati SH, M.HumFakultas Hukum Universitas Surabaya
Abstrak
Penerapan prinsip ketaatan dan kepatuhan bank pada aturan yang berlaku bagi bank merupakan salah satu
hal yang penting di dalam upaya perwujudan rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme.
Berdasarkan sifat dan karakteristik perpindahan uang untuk kegiatan pendanaan terorisme yang cepat
membutuhkan kecermatan dan ketepatan dari Bank untuk mampu mengenali dan dengan kemudian melakukan
pembekuan atas dana tersebut. Hal tersebut sejalan dengan diimplementasikannya Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor 1267 oleh semua negara sebagai suatu bentuk perwujudan rezim pemberantasan pendanaan
terorisme. Penerapan prinsip ketaatan tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan Customer Due Diligence.
Kata Kunci: Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Resolusi 1267, Customer Due Diligence
resources of society, thus ensuring the appropriate
involvement of the community
Aspek yuridis yang dijadikan landasan berpijak untuk
dilakukannya kriminalisasi adalah adanya Undang Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (selanjutnya disebut sebagai UU Terorisme),
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (selanjutnya disebut sebagai UU TPPU), serta
Undang Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Ratifikasi
International Convention for the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999.
Aspek sosiologis yang melandasi adalah adanya Resolusi
Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 tanggal 15 Oktober
1999, yang secara khusus menghendaki dilakukannya
pembekuan seketika atas asset-asset yang berasal dari
individual terrorist ataupun organisations terrorist baik
yang merupakan afiliasi dengan Taliban, Al-Qaeda,
maupun dengan Usama Bin Laden. Dengan demikian
harus dilakukan pencegahan sedini mungkin mengenai
kemungkinan penggunaan dana-dana hasil kegiatan
terorisme untuk dipakai kembali membiayai kegiatan
terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373
(2001) juga menghendaki dilakukannya prevent and
suppress the financing of terrorist act. Selain itu juga
diterapkannya international best practices melalui
rekomendasi-rekomendasi dari The Financial Action Task
Force.
Terkait dengan keberadaan kedua resolusi tersebut,
maka perbankan memiliki peranan dan tanggung jawab
yang tidak kalah besar di dalam upaya pencegahan dan
pendanaan terorisme. Perbankan harus tanggap di dalam
upaya pembekuan aset-aset terorisme sebagaimana
dikehendaki oleh resolusi tersebut, sekaligus harus aktif
di dalam mengupayakan pencegahan dipergunakannya
aset-aset tersebut untuk mendanai kegiatan terorisme.
Namun demikian untuk menjembatani pencegahan dan
pemberantasan pendanaan terorisme dapat dilakukan
dari berbagai sudut, dengan menggunakan aturan-
aturan hukum yang sudah ada, maupun bentuk regulasi-
regulasi lainnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana
penerapan prinsip Customer Due Diligence oleh
Perbankan dapat berperan aktif di dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 dan
Resolusi No. 1373
Rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan
terorisme menghendaki diadakannya suatu akselerasi di
berbagai bidang dan semua komponen manusia
pelaksananya. Tindak pidana pendanaan terorisme sejauh
ini dianggap kurang penting dibandingkan dengan tindak
pidana itu sendiri. Namun demikian pandangan tersebut
ternyata harus bergulir, dan akhirnya tiba pada suatu
pemahaman yang komprehensif bahwasanya pendanaan
terorisme itu sama berbahayanya dengan tindak pidana
terorisme.
Hal tersebut dapat dipahami dari ketentuan Resolusi
Dewan Keamanan PBB Nomor 1267, dalam
pertimbangannya menjelaskan:
Deploring the fact that the Taliban continues to provide
safe haven to Usama bin Laden and to allow him and
others associated with him to operate a network of
terrorist training camps from Taliban-controlled territory
and to use Afghanistan as a base from which to sponsor
international terrorist operations,...
Insists that the Afghan faction known as the Taliban,
which also calls itself the Islamic Emirate of Afghanistan,
comply promptly with its previous resolutions and in
particular cease the provision of sanctuary and training
for international terrorist and their organizations, take
appropriate effective measures to ensure that the territory
under its control is not used for terrorist installations
and camps, or for the preparation of organizations of
terrorist acts against other States or their citizen, and
cooperate with efforts to bring indicted terrorist to
justice..
Berdasarkan penjelasan tersebut dipahami bahwa ada
kepentingan yang sama besarnya untuk melakukan
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pemberantasan tindak pidana terorisme sekaligus
pendanaan atasnya. Mengenai Resolusi tersebut,
dijelaskan oleh wikipedia sebagai berikut:
United Nations Security Council Resolution 1267, adopted
unanimously on 15 October 1999, after recalling
resolutions 1189 (1998), 1193 (1998) and 1214 (1998)
on the situation in Afghanistan, the council established
a sanctions regime to cover individuals and entities
associated with Al-Qaida, Osama bin Laden and/or the
Taliban wherever located...
The regime has since been reaffirmed and modified by
a dozen further UN Security Council Resolutions. It caused
dire hardship to the people of Afghanistan under the
Taliban regime at a time when they were heavily reliant
on international food aid, while failing to satisfy any of
its demands. Since the US of Afghanistan in 2001, the
sanctions have been applied to individuals and
organizations in all parts of the world1.
Penekanan dari Resolusi 1267 adalah upaya pembekuan
seketika atas setiap dana dan aset keuangan lainnya
atau sumber-sumber ekonomis dari individu dan entitas
yang berkaitan dengan Al-Qaeda, Usama bin Laden,
dan/atau Taliban.2 Point 4 huruf b dari Resolusi 1267
tersebut mengatur:
Freeze funds and other financial resources, including
funds derived or generated from property owned or
controlled directly or indirectly by the Taliban, or by any
undertaking owned or controlled by the Taliban, as
designated by the committee established by paragraph
6 below, and to ensure that neither they nor any other
funds or financial resources so designated are made
available, by their nationals or by any undertaking owned
or controlled, directly or indirectly by the Taliban, except
as may be authorized by the Committee on a case-by-
case basis on the grounds of humanitarian need.
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 merupakan
resolusi yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak
pidana terorisme. Resolusi 1373 dalam penjelasannya
menegaskan bahwasanya tindak pidana terorisme itu
harus diberantas dengan berbagai cara karena telah
mengancam keamanan dan perdamaian internasional,
yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya
pengorganisasian, penghasutan, pembantuan maupun
turut serta di dalam tindak pidana terorisme. Secara
lengkap penegasan tersebut adalah:
Reaffirming the need to combat by all means, in
accordance with the Charter of the United Nations,
threats to international peace and security caused by
terrorist acts...
Reaffirming the principle established by the General
assembly in its declaration of October 1970 (resolution
2625 (XXV)) and reiterated by the Security Council in its
resolution 1189 (1998) of 13 August 1998, namely that
every State has the duty to refrain from organizing,
instigating, assisting or participating on terrorist acts in
another State or acquiescing in organized activities within
its territory directed towards the commission of such
acts...
Tujuan dari resolusi tersebut adalah untuk mencegah
dan memberantas kelompok teroris dengan berbagai
cara, mengingat bahwa tindak pidana terorisme muncul
dan menjelma menjadi tindak pidana serius menurut
hukum dan peraturan domestik, sekaligus mengancam
dunia internasional. Mengingat keseriusan tersebut perlu
diimbangi dengan ancaman pidana sebagaimana
mestinya. Melalui resolusi ini, dipahami bahwa ada 4
(empat) kewajiban dari negara-negara peserta yaitu
meliputi:
a. Prevent and suppress the financing of terrorist acts;
b. Criminalize the willful provisions or collection, by any
means, directly or indirectly, of funds by their nationals
or in their territories with the intention that the funds
should be used, or in the knowledge that they are to
be used, in order to carry out terrorist acts;
c. Freeze without delay funds and other financial assets
or economic resources of persons who commit, or
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
31
1 Diakses dari http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012
2 Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Februari 2011, h.10
attempt to commit, terrorist acts or participate in or
facilitate the commission of terrorist acts; of entities
owned or controlled directly or indirectly of such
persons and entities, including funds derived or
generated from property owned or controlled directly
or indirectly by such persons and associated persons
and entities;
d. Prohibit their nationals or any persons and entities
within their territories from making any funds, financial
assets or economic resources or financial or other
related services available, directly or indirectly, for the
benefit of persons who commit or attempt to commit
or facilitate or participate in the commission of terrorist
acts, of entities owned or controlled, directly or
indirectly, by such persons and of persons and entities
acting on behalf of or at the direction of such persons.
Selain itu negara-negara harus melaksanakan kewajiban
lainnya, yang meliputi:
a. Deny safe haven to those who finance, plan, support,
or commit terrorist acts, or provide safe havens;
b. Prevent those who finance, plan, facilitate or commit
terrorist acts from using their respective territories for
those purposes against other States or their citizens;
c. Ensure that any person who participates in the
financing, planning, preparation or perpetration of
terrorist acts or in supporting terrorist acts is brought
to justice and ensure that, in addition to any other
measures against them, such terrorist acts, including
assistance in obtaining evidence in their possession
necessary for the proceedings;
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh para teroris
(baik individual maupun kelompok) membutuhkan
perpindahan yang sifatnya cepat, aman, dan dalam
jumlah yang cukup besar. Salah satu caranya adalah
melibatkan lembaga perbankan untuk dapat melakukan
pendanaan terorisme.
Resolusi No. 1904 DK PBB menghukum Al-Qaida, Usama
bin Laden, dan Taliban, maupun teroris perseorangan,
organisasi teroris, maupun pihak-pihak yang berhubungan
dengan teroris tersebut, untuk dilaksanakannya berbagai
tindak pidana terorisme (condemned Al-Qaida, Usama
bin Laden, the Taliban and other individuals, groups,
undertakings and entities, associated with them, for
ongoing and multiple criminal terrorist acts). Perihal yang
dimaksud dengan Persons atau Entities, dijelaskan oleh
Peter Scott, sebagai berikut:
Persons or entities identified by the resolutions as being
subject to financial sanctions are:
RES 1267/1333 (now RES 1988)
• Al-Qaida;
• Individuals, groups, undertakings and entities
associated with them, as referred to in the list created
pursuant to RES 1267.
RES 1267/1333 (now RES 1989)
• The Taliban;
• Individuals, groups, undertakings and entities
associated with them, as referred to in the list created
pursuant to RES 1989, i.e UNSC itself designates who
is subject to the measure
RES 1373
Persons or entities identified by the resolution as being
subject to financial sanctions are:
- Persons who commit, or attempt to commit, terrorist
acts or participate in or facilities the commission of
terrorist acts;
- entities owned or controlled directly or indirectly by
such persons;
- persons and entities acting on behalf of, or at the
direction of, such persons and entities3.
Memahami hal tersebut, maka sesungguhnya dapat
disimpulkan adanya beberapa kategori yang dimaksud
sebagai orang atau perusahaan yang termasuk sebagai
pelaku tindak pidana terorisme, yaitu:
- Setiap orang, siapapun, baik yang berupa orang
perseorangan, kelompok, maupun organisasi, yang
melakukan atau mencoba melakukan, atau
32
3 Peter Scott. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
berpartisipasi di dalam kegiatan terorisme. Secara
khusus dimaksudkan adalah Al-Qaida, Usama bin
Laden, dan Taliban, meliputi pula orang-orang yang
termasuk di dalamnya;
- Perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh
orang-orang yang dimaksudkan sebelumnya.
- Orang atau perusahaan lain yang bertindak mewakili
kepentingan orang atau perusahaan lain yang
dimaksudkan sebelumnya.
Pendekatan Follow the Money dalam Pendanaan
Terorisme
Standar internasional sebagaimana dimaksud di dalam
the Financial Action Tasks Force Recommendation (The
FATF Recommedations) tentang International Standards
on Combating Money laundering and the Financing of
Terrorism and Proliferation, menghendaki agar
dilakukannya kriminalisasi atas pendanaan terorisme.
Kriminalisasi tersebut tidak saja meliputi pendanaan atas
tindak pidana terorisme, tetapi juga pendanaan oleg
organisasi teroris maupun teroris individu (terrorist
organisation and individual terrorist) yang tidak harus
dihubungkan dengan suatu kegiatan tertentu dari teroris.
Interpretative note atas rekomendasi mengenai tindak
pidana pendanaan terorisme tersebut sebenarnya
mengingatkan kepada negara-negara agar menjadikan
pendanaan terorisme sebagai salah satu tindak pidana
asal dari pencucian uang. Untuk itu pendekatan yang
dapat dipergunakan adalah sama dengan pendekatan
yang dipakai di dalam tindak pidana pencucian uang.
Terkait dengan hal tersebut, David Shannon4
memaksudkan bahwa: Following the money is at the
heart of combating the financing of terrorism.
Pendekatan follow the money pada hakikatnya
meletakkan prinsip bahwasanya yang harus dirampas
adalah harta kekayaan hasil kejahatan, tidak semata-
mata pada pelakunya. Dengan dikuasainya harta kekayaan
hasil kejahatan maka dapat diyakini bahwa pelaku tindak
pidana asal akan jera, dan lama kelamaan akan dapat
menghentikan tindak pidana asal. Oleh karenanya sangat
dibutuhkan instrumen-instrumen terkait dengan upaya
pembekuan sampai dengan perampasan aset hasil
kejahatan. Pendekatan follow the money ini dipergunakan
dalam keadaan sebagai berikut:
- Follow the money dapat menghubungkan kejahatan
dengan pelaku intelektual;
- Follow the money merupakan alat untuk asset recovery5
Melalui penjelasan tersebut dapat dimaknakan bahwa
melalui pendekatan follow the money diharapkan dapat
memberantas aset-aset maupun sumber-sumber
ekonomis yang dihasilkan dari hasil illegal maupun legal,
tetapi dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.
Pendanaan Teroris (Terrorist Financing) itu sendiri dapat
meliputi 2 hal, yaitu:
- Funding specific terrorist operations
- Broader organisational costs to develop and maintain
an infrastructure of organisational support and to
promote the ideology of a terrorist organisation6
Merujuk pada pendapat tersebut di atas dapat dipahami
bahwa area pendanaan terorisme itu sangat luas, yang
dapat dipergunakan oleh siapapun yang akan
mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan
maupun mendukung terlaksananya ideologi dari
organisasi teroris tersebut.
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam Perspektif
Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara hakikat, yang dimaksud dengan tindak pidana
pendanaan terorisme merupakan tindak pidana sebagai
suatu bagian dalam pelaksanaan kegiatan terorisme.
33
5 Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011, h. 3
6 Tim Goodrick. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011, h.2
4 David Shannon. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Hal tersebut sebenarnya dapat dilihat dari derivatif
ketentuan pasal-pasal yang ada di dalam UU Terorisme.
Ketentuan Pasal 11 UU Terorisme menentukan: “...,
setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan
atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme...”.
Berdasarkan hal tersebut, nyatalah bahwa penyediaan
dana ataupun pengumpulan dana tersebut dilakukan
secara sengaja atau patut diduganya akan dipergunakan
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana
terorisme.
Ketentuan Pasal 12 UU Terorisme mengatur: “..., setiap
orang yang dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan...”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Terorisme ini dipahami
pula bahwasanya kegiatan pendanaan terorisme dilakukan
sebagai upaya untuk melaksanakan kegiatan terorisme.
Bentuk kesalahan yang nampak dari rumusan mengenai
pendanaan terorisme tersebut diwujudkan dalam suatu
bentuk kesengajaan, ataupun kealpaan yang diperberat
(culpa lata).
Ketentuan selanjutnya adalah Pasal 13 huruf a UU
Terorisme, yang menentukan: “Setiap orang yang dengan
sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. Memberikan
atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme”.
Tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah tindak
pidana perbantuan, yang dapat diberikan dengan
memberikan kemudahan kepada pelaku tindak pidana,
yaitu yang dapat berupa memberikan atau meminjamkan
uang atau barang atau harta kekayaan lainnya.
Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum di
dalam UU Terorisme tersebut dipahami sesungguhnya
pendanaan terorisme merupakan bagian penting dari
kegiatan terorisme itu sendiri. Di samping UU Terorisme,
pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan UU TPPU. Pasal 2 ayat (2) UU TPPU
menentukan: “Harta Kekayaan yang diketahui atau patut
diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan
dengan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n” (tindak pidana terorisme, red). Ketentuan
Pasal 2 ayat (2) UU TPPU menunjukkan bahwasanya
tindak pidana pendanaan terorisme menjadi sama
berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri,
sehingga patut diperhatikan dan dipertimbangkan
sebagai tindak pidana asal, yang dapat saja menghasilkan
suatu tindak pidana lanjutan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya
dapat dipahami bahwasanya tindak pidana pendanaan
terorisme merupakan sumber munculnya proceeds of
crime, yang pastinya adalah merupakan sumber yang
tidak sah. Tindak pidana pendanaan terorisme sendiri
dapat dihasilkan dari sumber pendanaan yang legal
maupun yang illegal. Berdasarkan uang atau harta
kekayaan atau barang yang diperolehnya tersebut,
diupayakan untuk disembunyikan asal usul sumbernya,
demi membiayai atau mendukung atau melaksanakan
kegiatan terorisme. Diupayakan serapi mungkin untuk
menghindari terkuaknya asal usul dana terorisme tersebut.
Ketentuan Special Recommendation II of FATF
menegaskan:
Terrorist financing offences should extend to:
- Funds from legitimate or illegitimate sources.
- Funds that were not actually used to commit/attempt
a terrorist act, and are not linked to a specific terrorist
act.
- The financing of terrorist acts, terrorist organisations
and individual terrorist that are located in the same
or a different country from the terrorist financier
Melalui ketentuan Special Recommendation II of FATF
tersebut, maka pendanaan terorisme itu haruslah
diperluas, meliputi:
- Dana-dana (termasuk di dalamnya semua properti)
yang digunakan untuk pendanaan terorisme yang
diperoleh dari sumber-sumber yang sah dan yang
tidak sah.
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
- Dana-dana tersebut yang walaupun pada
kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan
terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan
kegiatan terorisme tertentu.
- Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang
dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris
perseorangan, yang dilakukan di tempat yang sama
maupun di tempat uang berbeda dari penanggung-
jawab di bidang keuangan dari kegiatan terorisme
itu sendiri.
Dengan diperluasnya pemahaman mengenai dana, maka
haruslah didekati dengan pendekatan Follow the money
yang juga diberlakukan kepada tindak pidana pencucian
uang. FATF pada bulan Februari 2012 telah mengeluarkan
suatu standar baru terkait dengan tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme, yang sebelumnya diatur
di dalam Special Recommendation of FATF, yaitu dalam
International Standards on Combating Money Laundering
and the Financing of Terrorism & Proliferation. Berdasarkan
standar tersebut, dinyatakan bahwa:
Combating terrorist financing is a very significant challenge.
An effective AML/CFT (Anti Money Laundering/Counter
Financing of Terrorism, red) system, in general, is important
for addressing terrorist financing, and most measures
previously focused on terrorist financing are now
integrated throughout Recommendations, therefore
obviating the need for special recommendations. However,
there are Recommendations that are unique to terrorist
financing, which are set out in Section C of the FATF
Recommendation
Dengan mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme
itu sendiri, maka menjadi sangat relevan apabila kegiatan
tersebut harus dicegah bahkan diberantas. Cara berpikir
yang harus dimiliki guna mengkriminalisasikan pendanaan
terorisme ini adalah dengan merujuk kembali pada adanya
Ultimate Value dari Social Policy, yaitu demi kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia, dan demi mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, tertib dan aman.
Scott Burkard menambahkan bahwasanya Terrorist
Financing itu dijelaskan dalam konteks:
- All terrorism activities require funding.
- Amounts involved can be small or large.
- All fundraising activities opportunities for investigations
and disruption.
- Raising funds through local criminal activity brings
terrorist into contact with petty criminals motivated
by greed not ideology7.
Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya
pencegahan pendanaan terorisme menjadi suatu hal
yang sangat signifikan dilaksanakan.
Customer Due Diligence sebagai Instrumen
Pencegahan Pendanaan Terorisme
Salah satu instrumen yang dapat dipergunakan untuk
mencegah adanya pendanaan terorisme adalah melalui
instrumen-instrumen mengenali nasabah. Prinsip Know
Your Customer yang kemudian dikukuhkan dengan
prinsip Customer Due Diligence sekaligus pelaksanaan
Enhance Due Diligence bagi pihak-pihak yang
dikategorikan sebagai high risk customer, dengan high
economic profile ataupun tergolong sebagai Politically
Exposed Persons (PEPs).
International Standards on Combating Money Laundering
and the Financing of Terrorism & Proliferation, yang
merupakan instrumen baru dari ketentuan 9 Special
Recommendation of the FATF, pada hakikatnya dipakai
sebagai suatu standar baru bagi standar pengawasan
kepatuhan atas tindak pidana-tindak pidana yang terkait
dengan pencucian uang, pendanaan terorisme, maupun
proliferation. Instrumen pengenalan nasabah dan
pengguna jasa menjadi instrumen utama yang harus
dapat dijadikan sebagai sarana terdepan (the first resort)
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang maupun pendanaan terorisme.
Secara teori antara Customer Due Diligence dan Enhance
Due Diligence terdapat perbedaan. Yang dimaksud
dengan Customer Due Diligence merupakan identifikasi
35
7 Scott Bruckard. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan verifikasi atas informasi dan dokumen pelapor,
sementara Enhance Due Diligence pada dasarnya
merupakan verifikasi yang lebih ketat terhadap calon
pengguna jasa yang berisiko tinggi. Customer Due
Diligence dijelaskan sebagai:
Financial institutions should be prohibited from keeping
anonymous accounts or accounts in obviously fictitious
names.
Financial institutions should be required to undertake
customer due diligence (CDD) measures when:
(i). establishing business relations;
(ii). carrying out occasional transactions: (i). above the
applicable designated threshold (USD/EUR 15,000);
or (ii) that are wire transfers in the circumstances
covered by the interpretative Note to
Recommendation 16;
(iii).there is a suspicion of money laundering or terrorist
financing;
(iv).the financial institution has doubts about the veracity
or adequacy of previously obtained customer
identification data
The CDD measures to be taken are as follows:
(a). Identifying the customer and verifying that customer’s
identity using reliable, independent source documents,
data or information.
(b). Identifying the beneficial owner, and taking reasonable
measures to verify the identity of the beneficial owner,
such that the financial institution is satisfied that it
knows who the beneficial owner is. For legal persons
and arrangements this should include financial
institutions understanding the ownership and control
structure of the customer;
(c). Understanding and, as appropriate, obtaining
information on the purpose and intended nature of
the business
(d).Conducting ongoing due diligence on the business
relationship and scrutiny of transactions undertaken
throughout the course of that relationship to ensure
that the transactions being conducted are consistent
with the institution’s knowledge of the customer,
their business and risk profile, including where
necessary, the sources of funds.
Financial institutions should be required to apply each of
the CDD measures under (a) to (d) above, but should
determine the extent of such measures using a risk-based
approach (RBA)
Berdasarkan penjelasan dari FATF new recommendation
tersebut dapat dipahami bahwasanya mekanisme Due
Diligence merupakan suatu keharusan bagi penyedia
jasa keuangan. Mekanisme ini dianggap sebagai suatu
mekanisme penghati-hati, mengingat bahwa kesulitan
yang mungkin timbul berikut dengan ancamannya akan
membuat penyedia jasa keuangan berhadapan dengan
ketentuan hukum. Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman
paling tidak menggaris bawahi dalam sebuah konteks:
“The Law is rather a coercive method of social control:
It demands both the attention and compliance of those
to whom its regulations are directed”.8 Persinggungan
antara hukum dengan etik sangat tipis, yang kemudian
menuntut kepatuhan pihak-pihak yang terikat dan terkait
dengan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, dan
secara keseluruhan bagi seluruh masyarakat. Untuk
memenuhi persyaratan memaksa, sebetulnya dapat
teratasi dengan adanya kepatuhan. Dengan demikian
tidak perlu diberikan suatu sanksi apabila dari subjek
hukum memiliki etika dan kesadaran untuk patuh.
Namun demikian hukum adalah hukum, di mana hukum
harus mengandung suatu sanksi yang bersifat untuk
memaksa kepatuhan subjek hukum tersebut. KYC dan
CDD, berikut juga EDD pada akhirnya menjadi suatu
keharusan yang harus ditaati di tengah pergulatan dan
pergolakan munculnya berbagai jenis tindak pidana
serius, bersifat transnasional, dan extra ordinary yang
memang harus dicegah dan ditanggulangi. Instrumen
ini sama pentingnya dengan upaya penegakan hukumnya.
FATF Recommendation lebih lanjut menyatakan:
Financial Institutions should be required to verify the
identity of the customer and beneficial owner before and
during the course of establishing a business relationship
or conducting transactions for occasional customers.
36
8 Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press, London, p. 20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Countries may permit financial institutions to complete
the verification as soon as reasonably practicable following
the establishment of the relationship, where the money
laundering and terrorist financing risks are effectively
managed and where this is essential not to interrupt the
normal conduct of business.
Where the financial institution is unable to comply with
the applicable requirements under paragraph (a) to (d)
above (subject to appropriate modification of the extent
of the measure on a risk-based approach), it should be
required not to open the account, commence business
relations or perform the transaction; or should consider
making a suspicious transactions report in relation to the
customer.
These requirements should apply to all new customers,
although financial institutions should also apply this
Recommendation to existing customers on the basis of
materiality and risks abd should conduct due diligence
on such existing relationships at appropriate times.
Penjelasan dari FATF Recommendation di atas menegaskan
kembali bagaimana kebutuhan dan keharusan
pelaksanaan mekanisme CDD menjadi suatu mekanisme
untuk mencegah kemungkinan terancamnya sistem
keuangan dari resiko besar yang meliputinya, termasuk
pada munculnya tindak pidana. Resiko itu adalah berupa
munculnya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Tindak pidana-tindak pidana tersebut semakin
lama semakin menguat seiring dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang harus dicegah
sedini mungkin. CDD dipandang sebagai suatu mekanisme
yang harus diperkuat dan dilaksanakan secara patuh dan
ketat, dengan sebuah dimensi pemahaman kritis akan
fungsi dan peruntukannya yang memang dewasa ini
berkembang menjadi alat hal yang sangat penting terkait
dengan pencegahan berkembangnya tindak pidana yang
menggunakan jasa dari penyedia jasa keuangan.
Tindak pidana tersebut pada hakikatnya rentan atas
disalahgunakannya oleh orang-orang yang memiliki
kedudukan secara politis menjadi salah satu pihak yang
dianggap patut diwaspadai karena posisinya yang rentan
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya
secara sah. Pihak-pihak dalam posisi ini disebut sebagai
suatu Politically Exposed Persons (PEPs), yang dalam posisi
ini dapat berposisi sebagai nasabah, ataupun pemilik.
Guna mengatasi kemungkinan disalahgunakannya
penyedia jasa keuangan berikut berbagai fasilitas
yang diberikan oleh sektor keuangan, maka FATF
Recommendation, sebagaimana diejahwantahkan dalam
UU TPPU, menegaskan perlunya dilaksanakan mekanisme
Enhance Due Diligence (EDD) sebagai suatu mekanisme
tambahan untuk nasabah-nasabah khusus dan berbagai
aktifitasnya.
Financial institutions should be required, in relation to
foreign politically exposed persons (PEPs) (whether as
customer or beneficial owner), in addition to performing
normal customer due diligence measures, to:
(a).Have appropriate risk management systems to
determine whether the customer or the beneficial
owner is a politically exposed person;
(b).Obtain senior managemnet approval for establishing
(or continuing, for existing customers) such business
relationships;
(c).Take reasonable measures to establish the source of
wealth and source of funds; and
(d).Conduct enhanced ongoing monitoring of the business
relationship.
Financial institutions should be required to take reasonable
measures to determine whether a customer or beneficial
owner is a domestic PEP or a person who is or has been
entrusted with a prominent function by an international
organisation. In cases of a higher risk business relationship
with such persons, financial institutions should be to
apply the measures referred to in paragraphs (b), (c),
and (d).
The requirements for all types of PEP should also apply
to family or close associates of such PEPs.
Memperhatikan ketentuan di atas sesungguhnya
memahami tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan
dengan pendanaan terorisme dan money laundering,
merupakan tindak pidana yang sangat complicated dan
rumit. Pendanaan terorisme selalu dipandang sama jahat
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu
sendiri, bahkan dengan posisi yang lebih sulit dilacak
karena berhubungan dengan kemudahan dalam sistem
keuangan yang dipergunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan melakukan suatu tindak pidana yang
semakin hari semakin canggih.
Sebagaimana dimaksudkan dalam Interpretative Note to
recommendation about Terrorist Financing Offence,
karakteristik tindak pidana pendanaan terorisme yang
harus diperhatikan adalah:
- Terrorist financing offences should extend to any
person who willfully provides or collects funds by any
means, directly or indirectly, with the unlawful intention
that they should be used, or in the knowledge that
they are to be used, in full or in a part: (a). To carry
out a terrorist act(s); (b). By a terrorist organization;
or (c). By an individual terrorist.... .
- Terrorist financing offences should apply, regardless
of whether the person alleged to have committed
the offence(s) is in the same country or a different
country from the one in which the terrorist(s)/ terrorist
organization(s) is located or the terrorist act(s)
occurred/will occur.
Melalui karakteristik tersebut sesungguhnya dapat
dipahami bahwa permasalahan financing of terrorism
sangat membutuhkan perhatian dan keseriusan yang
lebih, khususnya terkait dengan terancamnya kehidupan
dan integritas semua rakyat. Dengan krakteristiknya
yang tumbuh sebagai extra ordinary crime dan
transnational organized crime, financing of terrorism
telah menjadi sesuatu yang hars dicegah dan diberantas.
Kewajiban Freezing Without Delay and Without
Prior to Notice Oleh Penyedia Jasa Keuangan
The New FATF Recomendation mewajibkan setiap negara
untuk memberlakukan penjatuhan sanksi keuangan
(targeted financial sanctions) atas kelompok-kelompok
teroris maupun teroris perorangan, sebagaimana
dimaksudkan dalam Resolusi DK PBB No. 1267 (1999)
berikut resolusi-resolusi lainnya yang terkait, dan Resolusi
DK PBB No. 1373 (2001). Lebih lanjut melalui rekomendasi
ini, negara dapat melakukan suatu upaya-upaya
pencegahan yang khusus dan unik untuk menghentikan
perputaran dana maupun aset lainnya dari para kelompok
teroris, dan penggunaan dana-dana dan aset-aset
tersebut oleh kelompok teroris.
Penyedia Jasa Keuangan diharapkan dapat memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menentukan
mengenai orang perorangan maupun lembaga keuangan
ataupun badan-badan yang mendukung pelaksanaan
kegiatan terorisme, misalnya sebagaimana yang dimaksud
sebelumnya, seperti Al-Qaida, The Taliban, Usama bin
Laden. Menindaklanjuti hal tersebut perlu diimbangi
dengan proses listing dan delisting. Hal ini yang harus
selalu diperhatikan oleh pihak Penyedia jasa keuangan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian.
Salah satu hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan
oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah terkait dengan
upaya bagaimana menyelamatkan negara dari
kemungkinan untuk dipergunakannya dana-dana yang
dihasilkan dari tindak pidana ataupun kegiatan legal yang
dipakai untuk mendukung kegiatan terorisme. Hal tersebut
adalah terkait dengan upaya undue delay atas harta
kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana pendanaan
terorisme tersebut. Upaya undue delay sangat diperlukan
terkait perpindahan dana terorisme yang sangat cepat
dan tidak terlihat secara fisik. Selain itu pemanfaatan
dana tersebut dapat dicegah pemanfaatannya secara
lebih dini.
Berdasarkan Ketentuan UNSCR 1373 ditegaskan
bahwasanya setiap negara haruslah mempunyai peraturan
maupun prosedur untuk beberapa hal yang dirasakan
diperlukan untuk melakukan pembekuan atas aset-aset
kekayaan teroris yang didapatkan melalui pendanaan
terorisme. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
Countries are required to have laws and procedures to:
1. Freeze the funds and their assets of terrorist and
associated persons and entities without delay and
without prior notice to targets (e.g through domestic
listing mechanism or through criminal justice
procedures); this involves both a domestic decision-
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
making process on designations and a process to then
freeze the funds of those designated.
2. Receive from other countries requests to take UNSCR
1373 freezing action;
3. Examine such requests (i.e promptly determine
whether reasonable grounds or a reasonable basis
exists to initiate a freezing action); and
4. Take action to freeze assets in response to the request,
if appropriate, without delay and without prior notice
to targets.
Mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksudkan
di atas harus diikuti dengan kemampuan Penyedia Jasa
Keuangan untuk tidak salah di dalam menelaah dana-
dana apa saja yang masuk dan keluar dari rekening
seseorang yang tentunya harus memiliki kemampuan
untuk memahami apakah rekening tersebut terindikasi
dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan pendanaan
terorisme ataukah tidak. Ketentuan dalam UNSCR 1373
jelas menghendaki adanya sensitivitas dari penyedia jasa
keuangan untuk mampu mengenali dengan baik siapa
customer yang melakukan transaksi menggunaan jasa
pada bank tersebut.
Hasil analisis terhadap perputaran masuk dan keluarnya
dana dari nasabahnya tersebut, yang apabila terindikasi
dipergunakan untuk pendanaan terorisme, maka
Penyedia Jasa Keuangan, dalam hal ini bank, wajib
melakukan pembekuaan dana tanpa menunda dan tanpa
pemberitahuan. Hal tersebut merupakan kewajiban dari
bank. Penciptaan mekanisme Freezing without delay
dan without prior to notice membawa kepada suatu
dimensi berpikir munculnya rezim baru yang disebut
sebagai Extraordinary Regime, yang oleh David Shanon
dijelaskan sebagai berikut:
An extraordinary regime:
1. Requires an indefinite freeze to be possible, even in
the absence of a prosecution
2. May include administrative and/ or judicial process
1. Must not be reliant on having to prove or
investigate a TF (Terrorist Financing, red) offence
to keep funds frozen
2. Must involve a direct obligation on financial
institutions and those who hold assets to freeze
without undue delay9
Rezim extraordinary ini tentunya dibangun berdasarkan
suatu pemahaman akan hakikat dan eksistensi tindak
pidana pendanaan terorisme yang telah bersifat
transnational organized dan sama berbahaya serta
jahatnya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri.
Berdasarksn rezim inilah harus dibangun suatu mekanisme
pencegahan dan pengawasan secara ketat dalam
kegiatan transaksi dari nasabah yang ditengarai dipakai
dalam kegiatan terorisme. Untuk itu perlu diperkuatnya
pengoperasionalisasian standar-standar pengenalan
nasabah, Customer Due Diligence, dan Enhance Due
Diligence.
Kesimpulan
Rezim extraordinary yang dipahami dalam keterkaitannya
dengan tindak pidana pendanaan terorisme menempatkan
kemampuan dan kemauan dari penyedia jasa keuangan
untuk dapat mengoperasionalisasikan dengan tepat dan
bijak setiap standar-standar pengenalan akan nasabah
beserta dengan transaksi yang dilakukan dari, dalam,
dan melalui institusi bank. Kecermatan bank di dalam
mengenali nasabah dan transaksi yang dilakukannya
akan membawa pada adanya upaya untuk mengantisipasi
semakin meluasnya dan cepatnya pendanaan terorisme.
Upaya lain yang dituntutkan kepada Penyedia Jasa
Keuangan untuk dilakukan adalah upaya melakukan
pembekuan atas aset atau kekayaan orang-orang ang
diduga, dindikasi, dan diidenifikasikan terlibat dalam
kegiatan pendanaan terorisme tanpa ada kewajiban
untuk menunda-nunda maupun memberikan peringatan
terlebih dahulu. Hal tersebut sesungguhnya didasarkan
dari pemahaman akan sifat dan hakikat dari tindak pidana
pendanaan terorisme, dantindak pidana terorisme itu
sendiri. Dengan demikian Indonesia akan daat menjadi
negara yang mendukung upaya-upaya pencegahan tindak
pidana pendanaan terorisme, sebagaimana ditegaskan
39
9 David Shannon, Op.Cit, p. 20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan dikehendaki dalam dunia internasional. Terlebih
khusus adalah adanya kewajiban untuk membekukan
aset teroris perseorangan maupun organisasi teroris yang
telah dimaksudkan di dalam UNSCR 1267 dan UNSCR
1373.
40
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
41
Bruckard, Scott. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study
Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
Goodrick, Tim. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism
Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012
Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan
Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19
Februari 2011
Murphy, Jeffrie G., and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press,
London
Scott, Peter. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study
Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
Shannon, David. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam
Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9
Februari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Halaman ini sengaja dikosongkan
1. Pendahuluan
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan,
baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik,
budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah
fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan
ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum
sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi
yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya
permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi
dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga
dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi
tersebut akan sering terjadi. Namun demikian
berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri,
peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga
tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia
yang menjadi daya dorong utama dalam
pembangunan ekonomi.
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat
tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
43
IMPLEMENTASI HUKUM PEMBANGUNANDALAM SISTEM PERBANKAN DI INDONESIA
Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H.1
Abstrak
Di Indonesia dengan pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti dilakukan pembaharuan hukum
terutama melalui perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses pembentukan Undang-Undang harus dapat
menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan
Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum
yang efektif. Lebih lanjut menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak
hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum tersebut dalam kenyataan.
Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembaharuan atau pembangunan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum
dalam arti kaidah atau peraturan hukum dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Untuk itu salah satu
upaya penting dalam sistem perbankan nasional di Indonesia diperlukan konsep pengembangan dan pembaharuan
Hukum Perbankan Nasional melalui perbaikan dan perubahan Undang-Undang Perbankan dengan memperhatikan
perangkat hukum yang berlandaskan pada perumusan aturan hukum yang tidak saja melihat hukum sebagai suatu
perangkat aturan akan tetapi juga didasarkan pada hukum sebagai sarana yang dapat mengikuti perubahan dan
perkembangan kondisi masyarakat baik dalam kegiatan sosial politik, maupun ekonomi dan kegaiatan perbankan.
1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung dan saat ini juga sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung (PSHP-UBL).
mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir
dan berkreasi. Karenanya diperlukan berbagai bentuk
aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa
melaksanakan kegiatannya dengan aman, tidak saling
mengganggu atau bahkan saling menghancurkan
sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian
diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk
melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan
ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat
diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat
membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga
memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat
untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat
menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara.
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah
ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis
dengan menempati kedudukan istimewa dalam
klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai
ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri.
Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan
berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya
tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas
yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh
kekuatan publik.2
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu
bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan
keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi
hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan
ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan.
Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan
secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak
buruk terhadap pembangunan ekonomi.
Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai
sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan
pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia
menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara
hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa
Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum
diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan
hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi
pun akan mudah untuk direalisasikan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi
politik hokum, seringkali pembentukan hukum,
khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan
harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang
menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena
banyak kepentingan yang berkembang di seputar
pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang
berupa adanya tarik menarik antara kepentingan
nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat
dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan
menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru
kepentingan asing yang dominan.
Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama
ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah
menggambarkan adanya polarisasi dalam artian
substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi
sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan
oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-
negara maju. Upaya pengaturan baik secara global
melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat
dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama
sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama
bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai
penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati.
Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala
merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya
senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan
nasional (national interests). Untuk dapat mencapai
hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat
menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran
ini menjadi sarana yang cukup efektif.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan
politik hukum dalam konteks hukum sangat
memegang peranan yang sangat strategis. Melalui
pendekatan politik hukum, hukum yang dibentuk
44
2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pun setidaknya akan banyak memperhatikan kepada
kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional
bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun
kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam
upaya memasuki dunia global.
Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah
selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya
meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi
tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri
bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari
pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan
tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam
menjalankan orientasi politik hukum lebih
mengedepankan pembentukan instrumen-instrumen
hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
2. Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan
Nasional.
Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia
merupakan pembangunan yang menyeluruh dalam
semua sektor. Untuk itu diharapkan semua lapisan
masyarakat ikut berperan serta dalam pembangunan.
Demikian pula pembangunan dalam bidang ekonomi
diharapkan dapat menunjang pembangunan pada
sektor-sektor lain dan untuk tertibnya pelaksanaan
pembangunan yang tertib dan berkeadilan, maka
penunjang utamanya adalah pembangunan dalam
bidang hukum yang mengabdi kepada kepentingan
hukum nasional.
Menurut Sunaryati Hartono, pembangunan hukum
dilakukan dengan terus menerus dan merupakan
proses yang tidak pernah selesai (never ending
process), karena setiap kemajuan akan menuntut
perubahan-perubahan yang lebih maju dalam
masyarakat yang terus berubah-ubah. Makna dari
pembangunan hukum tersebut, meliputi:3
a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih
baik);
b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;
c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum
ada, atau
d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem
lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok
dengan sistem baru.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, bahwa di Indonesia dengan
pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti
dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui
perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses
pembentukan Undang-Undang harus dapat
menampung semua hal yang erat hubungannya
(relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak
diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila
perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan
suatu pengaturan hukum yang efektif.4 Selanjutnya
dijelaskan bahwa pengertian hukum yang memadai
harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus
pula mencakup lembaga (institutions) dan proses
(process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
tersebut dalam kenyataan.5
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
ketertiban dalam masyarakat.6 Hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
Fungsi ini diperlukan dalam masyarakat, karena
terdapat hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi,
dan diamankan. Dalam masyarakat yang sedang
membangun, fungsi hukum harus dapat juga
membantu proses perubahan masyarakat, sehingga
hukum mempunyai peranan dalam proses pembaruan
masyarakat.
45
3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Binacipta, Bandung, tanpa tahun, hlm.14. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006, hlm.3.
5 Ibid, hlm. 15.
6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.13.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Latar belakang konsepsi hukum sebagai alat atau
sarana pembaharuan disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, adanya tanggapan bahwa hukum tidak
dapat berperan bahkan menghambat perubahan
dalam masyarakat. Kedua, telah terjadi perubahan
pemikiran tentang hukum dalam beberapa dasawarsa
terakhir. Hukum bukan hanya kaidah tetapi juga
merupakan gejala.
Peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur
atau hukum sebagai alat pembaruan masyarakat.7
Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-
undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
dari keduanya. Perubahan yang teratur melalui
prosedur hukum lebih baik daripada perubahan yang
tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-
mata, karena baik perubahan maupun ketertiban
merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang
sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh
Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya
memperkenalkan konsep hukum baru dengan
menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai
sarana pembaruan masyarakat. Pengertian hukum
menurut teori ini tidak hanya memandang hukum
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi
harus pula mencakup lembaga dan proses yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
kenyataan.
Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembaruan atau pembangunan itu merupakan suatu
yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu,
dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau
sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaharuan.
Disesuaikan pada situasi dan kondisi di Indonesia,
konsepsi law as a tool of social engineering oleh
Mochtar Kusumaatmadja dikembangkan menjadi
konsepsi hukum sebagai ”sarana” pembaharuan
masyarakat Indonesia yang lebih luas jangkauan dan
ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat
kelahirannya. Hal tersebut dikarenakan beberapa
hal, yaitu:8
a. Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam
proses pembaharuan hukum di Indonesia,
walaupun yurisprudensi juga memegang peranan,
berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat
dimana teori Pound ditujukan terutama pada
peranan pembaruan daripada keputusan-
keputusan pengadilan, khususnya keputusan
Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap
kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis
dari konsepsi law as a tool of social engineering.
Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan
dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang
tidak banyak berbeda dari penerapan legisme
yang dalam sejarah Hukum Indonesia (Hindia
Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam
pengembangannya di Indonesia, konsepsi (teoretis)
hukum sebagai alat atau sarana pembangunan
ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan
filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan
policy oriented dari Laswell dan Mc. Dougal.9 Sifat
mekanistis nampak dengan digunakannya istilah
”tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya
mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung
menggunakan istilah ”sarana” daripada alat.10
46
7 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.19 - 20.
8 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.83-84.
9 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.9.
10 Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,.hlm.73.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula
hukum internasional kita di Indonesia sebenarnya
sudah menjalankan asas hukum sebagai alat
pembaruan jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan
secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan
hukum. Dengan demikian, perumusan resmi itu
sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman
masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah.
Perombakan hukum di bidang pertambangan
(termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan
di bidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik Belanda dan tindakan lain di
bidang hukum sejak Tahun 1958 yang bertujuan
mengadakan perubahan-perubahan mendasar
merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa
Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum
dan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, walaupun secara
teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan
hukum dan perundang-undangan dapat diterangkan
menurut peristilahan teori masa kini yang berkembang
di Eropa dan Amerika Serikat, namun hakikatnya
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan lahir
dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan
kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-
faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan
bangsa Indonesia.
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu
mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang
berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan
hukum juga harus mampu menampung semua
kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam
semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan
sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan serta tahapan pembangunan disegala
bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan
kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar
pelaksanaan pembangunan.11
Lebih lanjut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
bahwa penggunaan hukum sebagai sarana
pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam
bidang-bidang hukum yang sifatnya netral.12 Bidang
hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah
untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti
perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
ketertiban dan kepatutan.
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum
nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan
hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara
nasional.13
Beberapa masalah dalam penerapan Teori Hukum
Pembangunan, dalam pembaharuan hukum melalui
perundang-undangan, adalah kesulitan untuk secara
rasional dan pasti menetapkan prioritas yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, dan untuk menyusun
hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran
hukum masyarakat.
Fungsi hukum dalam pembangunan nasional, untuk
menjamin adanya kepastian dan ketertiban
digambarkan dengan ungkapan sebagai ”sarana
pembaharuan masyarakat” atau ”sarana
pembangunan” mempunyai pokok-pokok pikiran:
(1) adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaruan itu merupakan suatu
yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak)
47
11 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.16. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep …..Op.cit., hlm.38-39.
13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, Bandung, 2008, hlm.189.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
perlu; (2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)
atau sarana pembangunan14 dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaruan.
Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh
diidentikkan dengan pembangunan Undang-Undang
atau peraturan perundang-undangan menurut istilah
yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk
Undang-Undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti
sama dengan membentuk hukum. Pembentukan
Undang-Undang hanya bermakna pembentukan
norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi
budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata,
karena itu diperlukan ruh tertentu agar tatanan
tersebut memiliki kapasitas. Norma hukum hanya
merupakan salah satu bagian dari kehidupan hukum.
Meminjam konsep Lawrence Friedman,15 norma
hukum adalah aspek substansial hukum. Di samping
substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum.
Struktur merujuk pada lembaga pembentukan dan
pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum
merujuk pada nilai, orientasi, dan harapan atau mimpi-
mimpi orang tentang hukum. Aparatur dan model
hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan
hukum. Artinya pembentukan, tata kelola, tata nilai,
orientasi, dan mimpi-mimpi orang tentang hukum
harus menjadi prioritas utama.
Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam
setiap Undang-Undang secara positif dianggap
merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap
orang, namun secara empiris selalu saja terlihat cacat
celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan
norma-norma yang ada dalam Undang-Undang.
Penyebabnya sangat beragam, diantaranya adalah
norma tersebut tidak sejalan dengan orientasi dan
mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum16
mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih
merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan
kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.
Pemahaman mengenai fungsi hukum dalam
masyarakat sangat diperlukan, karena sebagian
masyarakat menganggap hukum dan penggunaannya
tidak dapat dipercaya, sementara sebagian masyarakat
lain masih mendengungkan “the rule of law” dengan
harapan segala sesuatu akan beres kembali dan
tercapai masyarakat yang damai. Fungsi hukum dalam
masyarakat dapat dijawab melalui tujuan hukum.
Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban.
Kebutuhan akan ketertiban merupakan syarat pokok
bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Ketertiban merupakan suatu fakta obyektif yang
berlaku bagi seluruh masyarakat manusia dalam
segala bentuk. Hal tersebut, mengingat manusia
selalu hidup di masyarakat dan hukum merupakan
pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga
pemeo Romawi “ubi societas ibi ius” sangat tepat
untuk menggambarkan hal ini.
Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan,
sehingga harus diusahakan terwujudnya kepastian
dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai
suatu masyarakat yang berkehidupan teratur. Tanpa
kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang
dijelmakan oleh hukum, manusia tak mungkin
mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang
diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam
masyarakat tempat masyarakat tersebut hidup.17
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.18 Dalam suatu
48
14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm. 13.
15 Margarito Kamis, “Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, 28 Maret 2007, hlm.5, melalui http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=234&Itemid=76 (12/12/2009)
16 Ibid., hlm. 5.
17 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan.….Op.cit., hlm. 2 - 3.
18 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan….Op.cit., hlm. 8
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
masyarakat dalam masa transisi, perubahan terjadi
pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Pembangunan nasional yang terpenting bukanlah
pembangunan secara fisik, tetapi perubahan yang
sedang terjadi pada anggota masyarakat dan nilai-
nilai yang mereka anut. Sehingga, hakikat dari
pembangunan nasional adalah masalah pembaruan
cara berpikir dan sikap hidup. Selanjutnya harus dipilih
nilai-nilai yang akan diadopsi oleh hukum di Indonesia.
Perkembangan dan pembaharuan suatu negara
dipelopori oleh Pemerintah, maka hukum memegang
peranan dalam proses pembaharuan ini, karena segala
tindakan Pemerintah akan berwujud pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban
dalam masyarakat. Sifat hukum pada dasarnya adalah
konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan
mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, karena ada hasil
yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
Disamping itu, dalam masyarakat transisi, hukum
berfungsi juga untuk membantu proses perubahan
masyarakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang
kemudian sebagian pasal-pasalnya diubah dan
ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 dan terakhir dikeluarkan kembali
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank
Indonesia, sebagaimana Teori Hukum Pembangunan,
bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat, untuk itu dalam penyusunan Undang-
Undang tentang Bank Indonesia tersebut merupakan
sebagai produk hukum yang disepakati Pemerintah
bersama DPR, dilakukan karena adanya kondisi yang
mengharuskan adanya pembaharuan hukum dalam
instrumen Hukum Perbankan yang memberikan
kedudukan independen kepada Bank Indonesia,
dengan pertimbangan penerbitan Undang-Undang
tersebut adalah untuk memelihara kesinambungan
pelaksanaan pembangunan nasional guna
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.
3. Kepastian Hukum Dalam Sistem Perbankan
Nasional.
Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas
hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian
sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar
1945, yang berarti bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah nagara hukum (Recht staat) yang
mana tindakan-tindakan pemerintah maupun
lembaga-lembaga lain termasuk warga masyarakat
harus berdasarkan hukum. Secara umum hukum
merupakan ketentuan tata tertib yang berlaku dalam
masyarakat, dimana hukum tersebut dalam
pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan
mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Keadilan dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan jiwa
atau sikap. Keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di
ubah-ubah melalui logika atau penalaran, melainkan
melibatkan seluruh pribadi seseorang.19 Roscoe Pound
menyatakan bahwa keadilan dikonsepkan sebagai
hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat.
Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang
diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan
manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya, atau dengan kata lain semakin meluas/
banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka
akan semakin efektif menghindari pembenturan
antara manusia.
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan
bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki
keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang
dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan
luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-
tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan
peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk
terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini
hukum harus membuat apa yang dinamakan
49
19 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm. 16.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
“Algemeene Regels” (Peraturan/Ketentuan umum),
dimana peraturan/ketentuan umum tersebut
diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.20
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena
kepastian hukum ( peraturan/ketentuan umum)
mempunyai sifat yaitu adanya paksaan dari luar
(sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan
dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
alat- alatnya, serta Sifat Undang- Undang yang berlaku
bagi siapa saja.21
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia,
yang tidak mempersoalkan apakah sikap batin
seseorang itu baik atau buruk, dan yang diperhatikan
adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian
hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang
mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi
yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap
bathin yang buruk tersebut atau menjadikannya
perbuatan yang nyata atau konkrit.
Pada praktiknya apabila kepastian hukum di kaitkan
dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan
satu sama lain. Hal tersebut di karenakan di suatu
sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan
prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang
pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian
hukum. Kemudian apabila dalam praktiknya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya
adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati
nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum
lahir dari sesuatu yang konkrit.
Penegakkan Hukum merupakan elemen yang tidak
dapat dipisahkan dan sangat penting dalam menjaga
sistem demokrasi yang berkualitas dan juga mendukung
iklim berusaha yang baik agar kegiatan ekonomi
dapat berjalan dengan pasti, aman dan efisisen,
dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Sasaran
reformasi penegakan hukum adalah tercapainya
suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan
hukum (rule of law) dan terjaganya ketertiban umum.
Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan
ketertiban (order). Tujuan tersebut sejalan dengan
fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban
merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat.
Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan
kebutuhan objektif bagi setiap masyarakat manusia.22
Sebagian besar para ahli hukum menyatakan bahwa
“kepastian hukum” sebagai tujuan hukum, dimana
ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud
tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang
pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian
dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat
dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).23 Kepastian
hukum yang dimaksud adalah kepastian yang
fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsir secara luas,
melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan
antisipatif.24 Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
hukum, masyarakat akan lebih tertib. Oleh karenanya,
maka hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
yang tujuan akhirnya adalah ketertiban masyarakat.25
Adanya aturan-aturan yang dibuat oleh negara
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
atau melakukan tindakan terhadap individu serta
pelaksanaan dari aturan tersebut menimbulkan
kepastian hukum.26 Kepastian hukum mengandung
2 (dua) pengertian, yaitu:27
50
20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 28.
21 R. Soeroso, Op.cit, hlm. 29.
22 Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127.
23 Ibid.
24 Ibid.
25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 141.
26 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158.
27 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan;
b. Adanya keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum tersebut individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.
Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan
diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-
kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan
masyarakat juga menginginkan agar terdapat
peraturan-peraturan yang memberikan jaminan
kepastian dalam hubungan individu satu sama lain.
Dengan demikian, hukum dituntut untuk memenuhi
berbagai karya dan oleh Gustav Radbruch di dalam
hukum tersebut harus mengandung Nilai-nilai dasar.
Adapun nilai-nilai dasar tersebut disamping berupa,
keadilan dan kegunaan juga terdapat kepastian
hukum. Selanjutnya, yang utama bagi kepastian
hukum adalah adanya peraturan itu sendiri.28
Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the
rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4)
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ide dasar
negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar
tentang ‘rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut
oleh Belanda yang meletakkan dasar perlindungan
hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua
harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus
dibentuk secara sadar.
Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan
Perundang-undangan bukanlah hanya memberikan
bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-
Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara
di bidang pengaturan. Selanjutnya, Peraturan
Perundang-undangan adalah salah satu metoda dan
instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-
cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian
yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang
adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan
jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa
melalui hukum yang dibentuknya.29
Dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat
erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu
negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat,
maka akan dapat menunjang pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu negara
tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya
suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus
dilakukan secara berkesinambungan yang berdampak
pada terwujudnya kepastian hukum dalam
pelaksanaan kegiatan perbankan di Indonesia melalui
prinsip kehati-hatian.
Lembaga yang bertanggungjawab dalam mewujudkan
sistem perbankan nasional yang sehat adalah Bank
Sentral.30 Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan bank adalah sebagai
alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan
yang sehat, yang menjamin dan memastikan
dilaksanakannya segala bentuk Peraturan perundang-
undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha
bank oleh lembaga perbankan yang bersangkutan.
Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan perbankan
nasional khususnya di dalam pelaksanaan
perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat
bersikap lebih tegas untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap semua lembaga perbankan
di Indonesia tanpa adanya campur tangan dari pihak
51
28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 19.
29 Endang Sutrisno, Bunga Rampai : Hukum Dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 104-105.
30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Op.cit, hlm. 164
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
lain (per 1 Januari 2014 beralih ke OJK). Di samping
itu, Bank Indonesia dapat lebih independen dan tegas
untuk melaksanakan penegakan hukum (law
enforcement) yang juga diikuti dengan penerapan
sanksi-sanksi berkaitan dengan pembinaan perbankan
di Indonesia.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen
mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang
tentang Bank Indonesia. Fungsi pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
terhadap lembaga perbankan nasional di Indonesia
dimaksudkan untuk menciptakan sistem perbankan
yang sehat dengan memelihara kepentingan
masyarakat dan menjaga agar perbankan dapat
tumbuh secara wajar dan dapat bermanfaat bagi
perekonomian nasional.
Pengawasan dan penegakkan hukum (Law
Enforcement) merupakan dua komponen yang tak
terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak
akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem
pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau
tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal
ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka
pengawasan dan law enforcement dapat berperan
dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar
tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem
perbankan secara menyeluruh maupun individual,
dan mampu memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar dan
bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan
dan mengandung kepastian hukum antara lain
berkaitan dengan pengaturan kepemilikan,
kepengurusan, pembukaan kantor bank dan perluasan
jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank dan Badan
Hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas
permintaan sendiri (pada saat ini masih merupakan
kewenangan Bank Indonesia). Sesuai dengan
Perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank,
melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan
sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan
perbankan yang berlaku.
Demikian pula di bidang Hukum Perdata dalam
membangun sistem hukum perbankan nasional yang
bertujuan untuk mengatur agar kegiatan usaha bank
selaku lembaga intermediasi dapat dilakukan secara
berhati-hati (prudent), aman, dan sehat, dipengaruhi
oleh filosofi usaha bank sebagai intermediary institution
(lembaga intermediasi) dan dianutnya doktrin dalam
penyelenggaraan usaha perbankan yang sehat seperti
prudent banking dan good corporate governance.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha bank
secara prudent atau hati-hati, serta untuk memberikan
kepatian hukum, maka otoritas perbankan harus
menerbitkan peraturan terkait dengan kehati-hatian
dalam pengelolaan bank dan mewajibkan bank untuk
memenuhi peraturan prudential banking, terkait
dengan ratio-ratio pengukuran tingkat likuiditas
bank, seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Kualitas Aktiva
Produktif (KAP), dan Posisi Devisa Netto (PDN).31
52
31 CAR adalah Modal dibagi dengan ATMR, atau rasio kecukupan modal bank yang merupakan pembagian jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko.ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) terdiri dari: Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat, dan beberapa pos dalam off balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat. BMPK adalah: Prosentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank (lihat Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum). Aktiva Produktif adalah: Penanaman dana bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. PDN adalah: Angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing dinyatakan dalam Rupiah. (Dikutip dari Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, hlm. 30, Jakarta, 2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Krisis moneter Tahun 1997 - 1998 dijadikan
pembelajaran mengenai arti pentingnya suatu
perangkat hukum yang mampu berfungsi sebagai
landasan hukum untuk mengupayakan penyelamatan
bank bermasalah dan sebagai perangkat hukum yang
mampu memberikan kepastian kepada para nasabah
serta meminimalkan kemungkinan terjadinya rush
(serbuan) terhadap individual bank serta sekaligus
berfungsi sebagai jaring pengaman bagi nasabah
penyimpan dana apabila suatu bank dinyatakan
bermasalah dan pada akhirnya tidap dapat
diselamatkan lagi sehingga dinyatakan sebagai Bank
gagal dan dicabut izin usahanya.
Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank,
merupakan salah satu sumber instabilitas. Oleh karena
itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani
untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem
pembayaran dan arus kelancaran penyaluran kredit
dalam kegiatan perekonomian. Terkait dengan hal
tersebut di atas, maka upaya membangun sistem
keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan
hukum (legal framework) yang mampu menjadi
landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral
secara utuh khususnya di Indonesia.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dapat
dijelaskan bahwa dalam upaya melakukan
perkembangan pembangunan hukum ekonomi
nasional, khususnya yang berkaitan dengan
pembangunan hukum perbankan, maka pembenahan
perangkat hukum dalam sektor perbankan di Indonesia
sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi
terselenggaranya pembangunan hukum secara
keseluruhan. Perangkat hukum sistem perbankan
yang ada akan sangat berperan sebagai landasan
dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
pembangunan hukum perbankan dan hukum
ekonomi secara keseluruhan serta memberikan
kepastian hukum bagi para pengguna jasa perbankan
di Indonesia.
David M. Trubek (Guru Besar dari University of
Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law”
merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas
bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia,
yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan
untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum
dalam perubahan ekonomi.32 Hal tersebut juga dapat
diimplementasikan dalam sistem perbankan nasional,
dimana hukum pembangunan dalam kegiatan
perbankan menjadi suatu hal yang strategis dalam
menyikapi perkembangan perekonomian dunia
khususnya dalam lingkup regional dan internasional.
Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar
dalam pembangunan dan peranan hukum dalam
pembangunan ekonomi tidak lain karena secara
umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan
perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja,
hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang
diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF)
dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah
mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak
terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.33
Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan
hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan
terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu
suku bunga tinggi yang pada gilirannya akan
menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah
ke bawah.
Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada
saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya
yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara
hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa
dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan
koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis
hukum (crisis of law).34
53
32 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1.
33 Ibid.
34 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya
melakukan perkembangan dalam pembangunan
nasional terutama yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi, secara umum dapat
dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi/
pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan
berkorelasi pula dengan peranan Hukum perbankan
dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan.
Membangun indsutri perbankan yang kuat dan sehat
adalah suatu prasyarat mutlak dalam perekonomian
nasional, karena melalui peran intermediasi perbankan,
roda perekonomian dapat digerakkan lebih cepat,
sistem kuangan dapat berjalan dengan maksimal,
sehingga stabilitas ekonomi juga dapat terpelihara.
Dengan demikian lembaga perbankan nasional harus
dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan
mengedepankan prinsip prudensialitas serta
diperlukan pula arah yang jelas dalam upaya
menciptakan indsutri perbankan yang sehat, kuat
dan efisen. Oleh karenanya dalam implementasi
kegiatan perbankan yang efektif sangat diperlukan
regulasi yang efektif sebagai legal framework
khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Bank
Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai
lender of the last resort, dalam pemberian kebijakan
bantuan likuiditas terhadap penyelamatan perbankan
nasional sebagai upaya penyelematan perekonomian
nasional sehingga tercipta kepastian hukum yang
efektif sesuai dengan aturan dan norma-norma yang
ada.
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional
yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang
hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang budaya. Srategi
pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi
yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-
anggota masyarakat.
4. Penutup
Konsep Hukum Pembangunan yang digagas oleh
Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya
memperkenalkan konsep hukum baru dengan
menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai
sarana pembaruan masyarakat. Pemikiran hukum
sebagai sarana pembaharuan adalah adanya
keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembaharuan atau pembangunan itu merupakan
suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak
perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum memang dapat berfungsi sebagai alat
pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu
mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang
berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan
hukum juga harus mampu menampung semua
kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam
semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan
sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan serta tahapan pembangunan disegala
bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan
kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar
pelaksanaan pembangunan. Penggunaan hukum
sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya
kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya
netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan
mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan
mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain,
asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
ketertiban dan kepatutan.
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum
nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
54
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan
hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara
nasional.
Penggunaan hukum sebagai sarana pembaharuan,
akan lebih terasa daya kerjanya dalam bidang-bidang
hukum yang sifatnya netral. Bidang hukum yang
sifatnya netral akan dengan mudah untuk
mengadaptasi hukum asing dan mengikuti
perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
ketertiban dan kepatutan.
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum
nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan
hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara
nasional.
Pengawasan dan penegakkan hukum (Law
Enforcement) merupakan dua komponen yang tak
terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak
akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem
pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau
tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal
ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka
pengawasan dan law enforcement dapat berperan
dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta
sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan
secara menyeluruh maupun individual, dan mampu
memelihara kepentingan masyarakat dengan baik,
berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi
perekonomian nasional.
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
A. Buku-Buku:
Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397.
Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,
(Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2007.
Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993.
CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988.
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991.
Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008.
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007.
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005.
---------------------------, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4
Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian
Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001.
Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
---------------, dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan
B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,
2007.
DAFTAR PUSTAKA
56
------------------------, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung,
1996.
------------------------, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983.
Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, Modern Political Economy, An Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc,
New York, 1988.
R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998.
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006.
Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998.
B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah:
Anwar Nasution, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII – BPHN, 2004.
Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan
Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan
pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 Tahun 2003.
------------------------, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law
Journal, (Vol. 82, 1 November 2000).
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004
Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Halaman ini sengaja dikosongkan
1. Latar Belakang Masalah
Sebelum lahir UUHT, ada dua hak jaminan yaitu hak
jaminan hipotik dan hak jaminan Credietverband.
Hal ini disebabkan tanah masih dibedakan dari hak-
hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak
barat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hipotik
yang diatur dalam KUH Perdata, dan hak-hak atas
tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia
asli (adat), yang tunduk pada ketentuan-ketentuan
Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190.1
Ketentuan-ketentuan tentang Hipotik diatur dalam
Buku II KUH Perdata dan Credietverband dalam S.
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-
190, sepanjang mengenai pembebanan hak
tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UUHT.2
Hak Tanggungan merupakan suatu istiah baru dalam
hukum jaminan yang dipopulerkan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (sering disebut dengan
UUPA), yang semua tidak dikenal dalam hukum adat
maupun KUH Perdata. Hak tanggungan dapat
dibebankan terhadap hak milik, hak guna usaha, dan
hak guna bangunan,3 sebagaimana tercantum dalam
Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1960. Atas dasar amanat
tersebut, terbitlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang
terkenal dengan sebutan UUHT.
UUHT ditetapkan dengan pertimbangan yang mendasar,
seperti yang termaktub dalam konsideransnya.
Pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan filosofis
yuridis dan filosofis sosiologi. Pertimbangan filosofi
yuridis, yaitu UUHT sebagai pelaksanaan amanat Pasal
51 UUPA, dan pertimbangan filosofi sosiologis4 yaitu
pertama, bahwa ketentuan-ketentuan tentang Hipotik
dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S.
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-
190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan perkembangan perkreditan dalam tata
ekonomi Indonesia. Kedua, untuk penyesuaian
perkembangan pengaturan dan administrasi hak-hak
atas tanah sehingga selain hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan, juga hak pakai atas tanah
tertentu, yang wajib didaftar dan menurut sifatnya
dapat dipindahkan, dapat dibebani hak tanggungan.
PRINSIP PARATE EXECUTIE DALAM HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI
Oleh : Rumawi*
59
* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember, dan bekerja pada Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
1 Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume 10 Nomor 2 Desember 2007, hlm. 172.
2 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
3 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
4 Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan, hlm. 42.
Dengan kata lain, UUHT yang disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996
sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang
(RUU) Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
benda yang berkaitan dengan tanah. Pemerintah
dalam penjelasan mengenai RUU tersebut yang
disampaikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertahanan Nasional tanggal 15 September
1996 disebutkan untuk memenuhi tuntutan
pembangunan dan melaksanakan amanat UUPA.
Dua alasan itu yang menjadi latar belakang RUU
tersebut.5
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan
atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan Pemegang
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.6 Kreditur pemegang hak tanggungan
yang pemenuhan piutang didahulukan dari piutang-
piutang yang lain disebut kreditur preferen. Dan
sebaliknya, kreditur konkuren yaitu kreditur yang
kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus
didahulukan dalam pemenuhan piutangnya.7 Apabila
debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri terhadap objek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya.8
2.Rumusan Masalah
2.1Apa Yang Dimaksud Pemegang Hak Tanggungan
Pertama Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri
Terhadap Objek Hak Tanggungan Secara Lelang?
2.2Apakah Pemegang Hak Tanggungan Pertama
Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap
Objek Hak Tanggungan Tanpa Melalui Lelang?
2.3Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang
Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan
Sulit Dilaksanakan?
3.Pembahasan Masalah
3.1Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dapat
Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek
Hak Tanggungan Secara Lelang
Pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual
atas kekuasaan sendiri terhadap objek hak
tanggungan artinya pemegang hak tanggungan
baik orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang
sebagai pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri terhadap objek hak tanggungan melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan
kata lain ”suatu penjualan yang berada di luar
wilayah hukum acara dan tidak perlu ada penyitaan,
tidak melibatkan juru sita, kesemuanya dilaksanakan
seperti orang yang menjual barang sendiri di
depan umum.”9 Kewenangan untuk menjual atas
kekuasaan sendiri dalam hal debitur wanprestasi
oleh kreditur pemegang hak tanggungan pertama
bisa dilaksanakan eksekusi terhadap objek hak
tanggungan tanpa harus minta fiat dari ketua
pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main
dalam hukum acara perdata, tidak perlu ada sita
terlebih dahulu, dan karenanya tidak perlu
60
5 Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
6 Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
7 Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp.
8 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
9 Menurut Pitlo dikutip dari Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hlm. 242.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
melibatkan juru sita.10 Dengan kata lain, Pemberi
hak tanggungan adalah orang perorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan yang bersangkutan,
kewenangan yang sudah dimiliki ketika dilakukan
pendaftaran hak tanggungan,11 sedang pemegang
hak tanggungan adalah perorangan atau badan
hukum sebagai pihak yang berpiutang.12
Hak tanggungan dinyatakan dalam UUHT, tertulis
bahwa: hak tanggungan atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain.13
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengertian hak tanggungan mempunyai tiga
unsur, yaitu: 1. Merupakan hak jaminan untuk
pelunasan utang; 2. Dapat dibebankan pada hak
atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;
dan 3. Menimbulkan kedudukan didahulukan
daripada kreditor-kreditor lain.14
Hak tanggungan sebagai bentuk jaminan yang
kuat bagi kreditur karena beberapa hal: 1. Memberi
kedudukan yang diutamakan bagi kreditor;15 2.
Selalu mengikuti objek yang dijaminkan, dalam
tangan siapapun objek berada;16 3. Memenuhi
azas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat
pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum
bagi para pihak yang berkepentingan;17 dan 4.
eksekusi mudah dan pasti dalam pelaksanaannya.18
Ada tiga ciri lagi dari hak tanggungan yang
menyebabkannya mempunyai sifat sebagai hak
kebendaan, sebagai lawan dari hak perorangan,
yaitu:19 1. Mempunyai hubungan langsung
dengan/atas benda atau hak atas benda tertentu,
yang benda atau hak atas benda itu merupakan
milik pemberi hak tanggungan; 2. Yang lebih tua
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, yaitu
menyangkut soal peringkat masing-masing hak
tanggungan dalam objek hak tanggungan dibebani
dengan lebih dari satu hak tanggungan;20 dan 3.
Dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.21
Pemegang hak tanggungan pertama sebagai
kreditur yang diutamakan atau diistimewakan
(preferen) merupakan kedudukan yang diberikan
Hak Tanggungan. Dalam KUH Perdata, kreditur
dibedakan menjadi kreditur konkuren dan kreditur
preferen. Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan
bahwa segala kebendaan dari si berutang (debitur),
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti
bahwa segala harta kekayaan orang perseorangan
atau badan hukum menjadi jaminan untuk seluruh
utang-utangnya, dalam hal pada saat jatuh tempo
61
10 J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 60; lihat juga J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 212.
11 Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUHT.
12 Pasal 9 UUHT.
13 Pasal 1 butir 1 UUHT.
14 Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan, hlm. 40.
15 Pasal 1 butir 1 UUHT.
16 Pasal 7 UUHT.
17 Pasal 11 jo. Pasal 13 UUHT.
18 Pasal 14 s/d 20 UUHT.
19 J. Satrio, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 237; juga Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
20 Pasal 5 UUHT.
21 Pasal 16 UUHT.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
utangnya dan lalai dalam memenuhi kewajiban
terhadap krediturnya, maka kekayaan tersebut
dapat disita dan dilelang, yang hasil penjualannya
digunakan untuk pemenuhan kewajiban atau
membayar hutang kepada krediturnya.
Namun, jaminan pelunasan utang dalam Pasal
1131 KUH Perdata tidak diberi jaminan bahwa
seorang kreditur akan mendapat pembayaran
penuh dari hasil lelang barang-barang debitur.
Hal ini disebabkan ada kemungkinan hasil
penjualan lelang tidak cukup untuk membayar
para kreditur secara penuh sehingga terpaksa
harus menerima pembayaran menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing kreditur. Kreditur yang
dikecualikan dari pembagian menurut prinsip
keseimbangan tersebut adalah kreditur yang
mempunyai kedudukan diistimewakan. Oleh
karenanya, ada dua jenis kreditur, yaitu kreditur
yang piutangnya tidak diistimewakan yang disebut
kreditur konkuren, dan kreditur yang piutangnya
diistimewakan yang disebut kreditur preferen.
Kreditur preferen akan mendapat pembayaran
lebih dahulu dari hasil penjualan barang-barang
debitur yang telah diikat sebagai jaminan, dan
apabila terdapat sisa lebih nanti sisanya yang
dibayarkan kepada kreditur konkuren menurut
prinsip keseimbangan secara proporsional sesuai
dengan besar kecilnya utang.22
Di dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan
pihak-pihak yang berkedudukan sebagai kreditur
preferen, yaitu: 1. orang yang berpiutang yang
mempunyai hak istimewa; 2. orang-orang
pemegang gadai; dan 3. orang-orang pemegang
Hipotik. Kreditur yang mempunyai hak istimewa
adalah kreditur yang piutangnya oleh undang-
undang diberi kedudukan yang lebih tinggi
terhadap kreditur-kreditur lain karena sifatnya
piutang itu. Contoh penjual barang yang harga
barangnya belum dibayar mendapat hak istimewa
terhadap hasil penjualan barang. Namun, menurut
pasal tersebut pemegang gadai dan Hipotik
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
kreditur yang mempunyai hak istimewa tadi.
Keistimewaan atau keutamaan yang dimiliki oleh
pemegang gadai, Fidusia, Hipotik, dan hak
tanggungan, dalam hal pihak debitur lalai dalam
membayar utangnya atau wanprestasi/cidera janji.
Untuk memperoleh pelunasan atas piutangnya
kreditur tidak perlu menggugat melalui pengadilan,
bahkan bagi pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak menjual atas kekuasaan sendiri
terhadap objek hak tanggungan melalui pelelangan
di muka umum, yang dinamakan parate executie.
Dalam praktik berlaku untuk pemberian Hipotik
dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang
Hipotik, pemberian hak tanggungan dapat
dilakukan berdasarkan Surat Kuasa Membebankan
hak tanggungan. Dalam praktiknya, Surat Kuasa
Memasang Hipotik fungsinya hanya untuk
mengamankan posisi kreditur kalau debitur lalai
dalam membayar utangnya sehingga jarang kreditur
yang benar-benar menggunakan surat kuasa
tersebut untuk memasang hipotik. Hal yang sama
sulitnya, jangka waktu berlakunya Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan hanya satu bulan
untuk tanah yang sudah terdafdar atau tiga bulan
untuk tanah yang belum terdaftar. Suatu hal yang
sangat beresiko bagi kreditur apabila Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak segera
digunakan untuk memasang Hak Tanggungan.
Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang
bersifat accessoir sehingga untuk pemberian hak
tanggungan harus diperjanjikan dalam perjanjian
pokok, yaitu perjanjian utang-piutang yang dibuat
antara kreditor dan debitur.23 Pemberian hak
tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
62
22 Pasal 1132 KUH Perdata. 23 Pasal 10 ayat (1) UUHT.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).24 Namun, kelahiran
hak tanggungan bukan pada tanggal pembuatan
APHT melainkan tanggal pendaftaran pada buku
tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak
tanggungan di kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tanggal pendaftaran pada buku tanah sebagai
tanggal kelahiran hak tanggungan, juga penentu
peringkat hak tanggungan apabila suatu objek
dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Hak
tanggungan yang didaftarkan lebih awal
mempunyai peringkatlebih tinggi dari hak
tanggungan yang didaftarkan belakangan. Dalam
hal pendaftaran tersebut dilakukan pada hari
yang sama, maka peringkat masing-masing hak
tanggungan ditentukan oleh tanggal pembuatan
APHT-nya. Penentuan peringkat hak tanggungan
sangat penting bagi kreditur karena semakin
tinggi peringkatnya semakin tinggi pula
kemungkinan untuk memperoleh pembayaran
piutang secara penuh. Bagi pemegang hak
tanggungan mempunyai kedudukan sebagai
peringkat pertama dapat memperoleh pelunasan
piutang melalui parate executie.
Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang diterbitkan
Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota
sebagai bukti keberadaan hak tanggungan. SHT
yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
yang memberi titel eksekutorial sehingga
mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti Grosse Akta Hipotik
yang dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan
berdasarkan Pasal 258 RBg (Pasal 224 HIR).
Hak tanggungan bersifat accessoir terhadap
perjanjian pokok, apabila terjadi pengalihan
piutang, misal cessie, subrogasi, atau pewarisan
maka hak tanggungan juga beralih kepada kreditor
yang baru.25 Peralihan piutang tersebut harus
didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang akan
dicatat pada buku tanah hak atas tanah yang
menjadi objek hak tanggungan, yang selanjutnya
disalin ke dalam SHT, dan tanggal pendaftaran
tersebut berlaku sebagai tanggal peralihan hak
tanggungan bagi pihak ketiga.26
Hak tanggungan bersifat yang accessoir terhadap
perjanjian pokok, apabila piutang yang dijamin
dengan hak tanggungan hapus maka hak
tanggungan juga menjadi hapus. Sebagai salah
satu jenis perikatan, perjanjian kredit hapus karena
terjadi salah satu hal, dalam Pasal 1381 KUH
Perdata, yaitu pembayaran secara sukarela atau
proses eksekusi, penawaran pembayaran yang
diikuti dengan penitipan (konsinyasi), pembaharuan
utang (novasi), perjumpaan utang (konpensasi),
pencampuran utang, pembebasan utang,
musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau
pembatalan perikatan. Di samping itu, hak
tanggungan hapus karena dilepaskan secara
sukarela oleh pemegang hak tanggungan yang
dilakukan pernyataan tertulis dari pemegang hak
tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.
Hak tanggungan hapus karena pembersihan hak
tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan
tersebut dapat dilakukan atas permintaan pembeli
dari objek hak tanggungan kepada pemegang
hak tanggungan agar objek yang dibeli, dibebaskan
dari beban hak tanggungan yang melebihi harga
pembelian. Pembersihan dilakukan dengan
pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan
yang menyatakan penghapusan beban hak
tanggungan yang melebihi harga pembelian.
Apabila objek hak tanggungan dibebani beberapa
hak tanggungan, dan tidak terdapat kesepakatan
di antara para pemegang hak tanggungan untuk
membersihkan hak tanggungan yang melebihi
harga pembelian, maka pembeli objek hak
63
24 Pasal 10 ayat (2) UUHT.
25 Pasal 16 ayat (1) UUHT.
26 Pasal 16 ayat (2), (3) dan (5) UUHT.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
tanggungan dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah objek
hak tanggungan untuk ditetapkan pembersihan
dan sekaligus ditetapkan ketentuan pembagian
hasil penjualan lelang di antara kreditur, dan
peringkatnya sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pembersihan tersebut
tidak dapat dilakukan apabila pembelian dilakukan
dalam jual beli sukarela (diluar lelang eksekusi)
atau ada janji untuk tidak dilakukan pembersihan
beban hak tanggungan yang melebihi harga
penjualan, yang diperjanjikan dengan pemegang
hak tanggungan pertama dalam APHT.
3.2Pemegang Hak Tanggungan Pertama Menjual
Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek Hak
Tanggungan Tanpa Melalui Lelang
Eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20
dan 21 UUHT. Pasal 20 ayat (1) dinyatakan sebagai
berikut:
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk
menjual objek hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial
sebagaimana terdapat dalam sertifikat hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat 2, objek hak tanggungan dijual melalui
pelelangan umum menurut tatacara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
untuk pelunasan piutang pemegang hak
tanggungan dengan hak mendahului kreditor-
kreditor lainnya.
Ketentuan ayat ini, suatu hal pertama yang harus
dijelaskan kapan atau dalam hal apa seorang
debitur disebut cidera janji. Hal itu harus dilihat
pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit
atau utang piutang (pinjam meminjam uang),
apabila diatur dalam perjanjian pokok, sesuai
dengan Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan dalam
perjanjian harus diperlakukan. Kalau dalam
perjanjian pokok tidak diatur, maka berlaku
ketentuan Pasal 1763 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa debitur dipandang cidera
janji apabila tidak mengembalikan pinjaman sesuai
dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang
ditentukan. Ketentuan pasal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa seorang debitur dipandang
cidera janji dalam hal: 1. Tidak mengembalikan
pinjaman sama sekali, baik pinjaman pokok
maupun bunganya; 2. Mengembalikan pinjaman
tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang
diperjanjikan; dan 3. Mengembalikan pinjaman
tetapi melewati waktu yang diperjanjikan.
Ketentuan tentang cidera janji perlu diperhatikan,
terutama dalam kasus kredit macet perbankan,
karena biasanya di dalam perjanjian kredit
perbankan pengembalian pinjaman tidak dilakukan
sekaligus melainkan dalam beberapa termin
angsuran, yang setiap angsuran sudah ditentukan,
baik jumlah pinjaman yang harus dikembalikan
maupun waktu pengembalian. Seorang debitur
pada waktu yang ditentukan tidak membayar
angsuran atau membayar tetapi besarnya tidak
sesuai dengan perjanjian, atau membayar angsuran
tetapi terlambat dari waktu yang ditentukan dalam
perjanjian, maka debitur telah melakukan cidera
janji. Dalam keadaan seperti itu, apabila kreditur
menghendaki sudah dapat dilakukan proses
eksekusi sekalipun perjanjian kredit belum jatuh
tempo. Sebelum dinyatakan cidera janji, debitur
harus diberi ingebrekestelling (peneguran) terlebih
dahulu oleh kreditur secara tertulis. Peneguran
harus diberitahukan dengan jelas apa yang dituntut
dan atas dasar apa, serta kapan diharapkan
pemenuhannya.27 Namun, peneguran tidak
diperlukan apabila ditentukan untuk tidak
diperlukan peneguran yang diatur dalam perjanjian
pokok.
Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang
yang diberikan pemegang hak tanggungan kepada
64
27 R. Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta,
hlm. 17.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak
atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan
berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan
tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan,
dan pemberi hak tanggungan tidak dapat
menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Untuk menjamin pelaksanaan penjualan dilakukan
secara jujur, diharuskan penjualan dilaksanakan
melalui pelelangan umum sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan
kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk
menjual atas kekuasaan sendiri terhadap objek
hak tanggungan melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan
apabila debitur cidera janji, dan tidak perlu meminta
persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak
tanggungan serta tidak perlu meminta penetapan
dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk
dilakukan eksekusi.28 Pemegang hak tanggungan
pertama cukup mengajukan permohonan kepada
kepala kantor lelang negara setempat untuk
pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka
eksekusi objek hak tanggungan. Kewenangan
pemegang hak tanggungan pertama merupakan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,
artinya kewenangan tersebut dimiliki demi
hukum.29 Oleh karenanya, Kantor Lelang Negara
harus menghormati dan mematuhi kewenangan
tersebut. Lembaga jaminan kebendaan memiliki
ciri-ciri yang antara lain bersifat asesoir (pelengkap),
memberikan hak didahulukan (privilege), dan droit
de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana
saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya hak
tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor
4 Tahun 1996, dan hak gadai atau hak agunan
atas kebendaan lainnya. Pemegang hak
tanggungan, ataupun pemegang hak gadai
ataupun pemegang hak agunan mempunyai hak
retensi.30 Oleh karenanya, pelaksanaan eksekusi
atas harta pailit di antaranya perlu memperhatikan
hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang
hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur
pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak
mendahului atas kreditur lain untuk perolehan
pelunasan utang-utang debitur, dengan cara
menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan
kepada kreditur tersebut secara preferen. Kreditur
yang memegang hak jaminan atas kebendaan,
mempunyai hak separatis. Hak Separatis merupakan
hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
kreditur pemegang hak jaminan bahwa barang
jaminan yang dibebani dengan hak jaminan tidak
termasuk harta pailit.
Kreditur pemegang hak tanggungan pertama
berhak untuk melakukan menjual atas kekuasaan
sendiri yang diberikan oleh undang-undang
sebagai manifestasi dari hak kreditur pemegang
hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur
yang lainnya. Kreditur Separatis merupakan
kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan,
artinya kreditur separatis tetap dapat melaksanakan
hak-hak eksekusi meskipun debitur telah
dinyatakan pailit. Pemegang hak jaminan atau
hak agunan merupakan kreditur yang mempunyai
jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan
perjanjian, misal hak tanggungan, hipotik, gadai
dan fidusia.31
Pemegang hak tanggungan pertama dapat
menjual atas kekuasaan sendiri terhadap hak
tanggungan tanpa melalui proses yang diatur
Pasal 20 UUHT adalah batal demi hukum. Dalam
Pasal 20 UUHT dinyatakan bahwa:
65
28 Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan Dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Tahun ke-38 Nomor 2 April-Juni 2008, hlm. 163.
29 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung, hlm. 165.
30 Pasal 1812 KUHPerdata.
31 Pasal 1133 BW.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
(1)Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama
untuk menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek
Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan
untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan hak mendahulu dari
pada kreditor-kreditor lainnya.
(2)Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika
dengan demikian itu akan dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak.
(3)Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-
dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar
di daerah yang bersangkutan dan/atau media
massa setempat, serta tidak ada pihak yang
menyatakan keberatan.
(4)Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak
Tanggungan dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) batal demi hukum.
(5)Sampai saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan
pelunasan utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi
yang telah dikeluarkan.
Atas dasar pasal 20 UU Nomor 6 Tahun 1996,
menjual objek hak tanggungan tanpa melalui
proses sebagaimana diatur dalam Pasal 20 adalah
batal demi hukum, meski pemegang hak
tanggungan pertama pemegang hak tanggungan
mempunyai kuasa menjual atas kuasa sendiri.
3.3Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang
Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan
Sulit Dilaksanakan?
Parate executir hak dalam hak tanggungan
diberikan oleh Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996
yang menyatakan bahwa: Apabila debitur cidera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Parate executie dalam hak tanggungan tersebut
sulit untuk dilaksanakan permohonan eksesuki.
Ada beberapa Kantor Lelang Negara yang tidak
bersedia untuk melakukan lelang atas objek hak
tanggungan. Hal ini disebab oleh dua hal, yaitu
pertama, kerancuan dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 mempunyai
kekuatan kekuatan eksekutorial dan sebagai
pengganti grosse acte Hypotheek. Pasal 14 Ayat
5 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:
Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse acte Hypotheek
sepanjang mengenai hak atas tanah.
Eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang
ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement). Sertipikat Hak Tanggungan
tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek
atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan pasal 224 HIR.32 Pasal
224 HIR dinyatakan bahwa:
Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang,
yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan
yang memakai perkataan: "atas nama keadilan"
di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat
putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang
demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai,
maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian
ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa
badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan
oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan
itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di
luar daerah hukum pengadilan negeri, yang
ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka
peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua
dan yang berikutnya dituruti.
Menurut Pasal 224 HIR jelas bahwa grosse akta
dapat langsung dieksekusi oleh kreditur dengan
meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri
dalam hal debirut wanprestasi. Grosse akta dapat
langsung dieksekusi sebagaimana putusan hakim,
serta mekanisme eksekusi mengikuti eksekusi
putusan hakim sesuai dalam HIR, yang meliputi
dengan peringatan kepada debitur, penyitaan,
dan penjualan.33 Grosse Akte Hipotek yang disebut
dalam Pasal 224 HIR adalah syarat pelaksanaan
parate eksekusi. Jika debitur wanprestasi, bagi
kreditur pemegang hipotek dapat meminta kepada
ketua pengadilan negeri untuk diadakan apa yang
disebut parate eksekusi. Dalam praktik, untuk
melaksanakan parate eksekusi, ketua pengadilan
negeri menuntut penyerahan grosse akte hipotek.34
Akta hipotek dan akta ikatan kredit tidak digantikan
dengan akta hak tanggungan, namun dengan
sertifikat hak tanggungan. Hal ini dapat ditelusuri
pada peraturan-peraturan tahun 1960-an. Pada
tahun tersebut grosse akta hipotek/credietverband
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah,
dan disertakan di sertifikat terkait untuk berlaku
sebagai grosse akta.35 Tahun 1996 ditegaskan
bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan, yang memuat irah-irah “Demi
Keadilan …..” berlaku sebagai grosse menurut
Pasal 224 HIR.36 Hal ini merupakan peran pembuat
dan pendaftar akta yang pada masa kolonial
menjadi tanggung jawab satu pihak yang sama,
yaitu Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik
Nama/Overschrijvingsordonnantie, S. 1834-27,
terakhir diubah S. 1933-48jo.S.1938-2).37
Dalam putusannya, Pelelangan dengan parate
execute yang dikemukakan oleh pemohon kasasi,
Mahkamah Agung mempertimbangkan Bahwa
berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan
sebagai akibat adanya grosse akte hipotek dengan
memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai
kekuatan yang sama dengan suatu putusan
pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah
dan pimpinan ketua pengadilan negeri apabila
tidak terdapat perdamaian pelaksanaan.38 Di
putusan lainnya, Mahkamah Agung mempunyai
pendapat bahwa berdasar atas rasa keadilan
dengan berpedoman pada kreditur (pembukuan
bank) pada saat kreditur mengajukan permohonan
lelang eksekusi grosse akta hipotek kepada Ketua
Pengadilan Negeri.39
67
32 Poin A.9 Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
33 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir 23 Desember 2011.
34 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, hal 52.
35 Pasal 7 Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband
36 Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
37 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid.
38 Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986.
39 Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Pendapat pengadilan untuk memeriksa dan menguji
grosse akta yang dimintakan eksekusi yang
akhirnya hak penerima hak tanggungan/pemegang
hipotek untuk melakukan parate executie menjadi
terbatas. Hal ini bukan permasalahan dalam ranah
praktik sehari-hari. Kesalahan piker makna eksekusi
telah muncul dari penjelasan atas Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 yang dinyatakan bahwa parate
executie dan eksekusi dengan menggunakan
grosse akta.40 Dalam praktik ketentuan parate
executie yang terdapat dalam Pasal 6 UU Nomor
4 tahun 1996 tetap sulit dilaksanakan karena ada
persyaratan dari kantor lelang yang sulit dipenuhi,
antara lain:
(a) Permohanan lelang tetap diperlukan fiat dari
Kepala Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada
petunjuk Mahkamah Agung dalam Buku II
Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1994,
yang menyatakan bahwa eksekusi harus atas
perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan
negeri, yang ketentuan ini diberlakukan juga
terhadap eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada Putusan Mahkamah Agung
tanggal 30 Januari 1986 No. 3201K/Pdt/1984),
dan (b) Apabila tidak ada fiat dari Kepala Pengadilan
Negeri, kantor lelang meminta syarat agar ada
persetujuan harga limit lelang dari Pemberi Hak
Tanggungan kecuali ia sudah tidak diketahui lagi
keberadaannya, dan ada surat pernyataan dari
Pemegang Hak Tanggungan untuk bertanggung
jawab bila ada gugatan di kemudian hari.41
Hal tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh kekeliruan
pikir para pembentuk undang-undang dan lembaga
peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi
yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi
grosse akta. Yurisprudensi Mahkamah Agung
ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
yang mencampuradukan antara pengertian parate
executie dengan eksekusi grosse akta. Hal ini
menimbulkan kebingungan para pemegang hak
tanggungan yang telah memperjanjikan hak untuk
menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap objek
hak tanggungan. Pertimbangan Putusan MA-RI
Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa
penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan
merupakan perbuatan melawan hukum. Putusan
tersebut berdampak ketakutan bagi para pelaksana
lelang untuk menerima permohonan pelelalangan
berdasarkan titel parate eksekusi dari para
pemegang jaminan pertama.42
4.Kesimpulan
4.1.Pemegang hak tanggungan pertama dapat
menjual objek hak tanggungan secara lelang
ketika debitur wanprstasi. Penjualan objek hak
tanggungan ini tidak perlu fiat dari ketua
pengadilan, dan tidak perlu ada sita terlebih
dahulu. Penjualan objek hak tanggungan ini juga
tidak perlu melibatkan juru sita. Objek hak
tanggungan dapat dijual oleh pemegang hak
tanggungan pertama secara langsung melalui
kantor lelang.
4.2.Pemegang hak tanggungan pertama tidak dapat
menjual objek hak tanggungan tanpa lelang
kecuali dipenuhi persyaratan yang diatur dalam
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU HT dimungkinkan
penjualan di bawah tangan sehingga menjual
objek tanggungan tanpa lelang dan tidak
memenuhi persyaratan Pasal 20 ayat (2) dan ayat
(3) UUHT di atas bertentangan dengan undang-
undang, maka penjualan objek hak tanggungan
secara demikian batal demi hukum.
68
40 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid.
41 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, ibid.
42 D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pn-blambanganumpu.go.id/?p= 731, diakses terakhir 23 Desember 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
4.3.Parate Executie yang diberikan oleh Pasal 6 UU
No. 4 Tahun 1996 dimandulkan oleh poin A.9
penjelasan UU No. 4 Tahun 1996, dan
yurisprudensi Mahkamah Agung. Di sinilah terjadi
konflik norma yang mengatur tentang parate
executie, yang menimbulkan kesulitan dalam
menerapkan peraturan perundangan-undangan
untuk pelaksanaan parate executie.
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan
Pembangunan, Tahun ke-38 Nomor 2 April-Juni 2008.
D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pn-
blambanganumpu.go.id/?p=731, diakses terakhir 23 Desember 2011.
Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran
dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume
10 Nomor 2 Desember 2007.
Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/ berita/
baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir
23 Desember 2011.
J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti.
J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti.
Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp.
Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah
Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband.
Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998.
Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986.
R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta.
Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan.
Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program,
hal 52.
DAFTAR PUSTAKA
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan.
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh
Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan
Tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi
Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
71
72
Halaman ini sengaja dikosongkan
73
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2012
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
14/12/PBI/2012
14/13/PBI/2012
14/14/PBI/2012
14/15/PBI/2012
14/16/PBI/2012
14/17/PBI/2012
14/ 18 /PBI/2012
14/19/PBI/2012
14/20/PBI/2012
14/21/PBI/2012
14/22/PBI/2012
14/23/PBI/2012
14/24/PBI/2012
15 Oktober 2012
16 Oktober 2012
22 Oktober 2012
24 Oktober 2012
23 November 2012
23 November 2012
28 November 2012
30 November 2012
17 Desember 2012
21 Desember 2012
21 Desember 2012
26 Desember 2012
26 Desember 2012
DPNP
DPU
DPNP
DPU
DPNP
DPNP
DPNP
DKBU
DbPS
DSM
DKBU
DASP
DPNP
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga
pada Bank Indonesia
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank (mengubah PBI
No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi dan Kondisi Keuangan
Bank)
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan
(Trust)
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003
Tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
Dalam Rangka Kredit Program
Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank
Umum Syariah
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
Pemberian Kredit Atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis Dalam
Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Transfer Dana
Kepemilikan tunggal Pada Perbankan Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
14/25/PBI/2012
14/26/PBI/2012
14/27/PBI/2012
27 Desember 2012
27 Desember 2012
28 Desember 2012
DSM
DPNP
DPNP
Penerimaan Devisa Ekspor dan penarikan Devisa Utang Luar
Negeri
Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bardasarkan Modal Inti
Bank
Penerapan program APU PPT Bagi Bank Umum
74
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
14/25/DPbS
14/26/DKBU
14/27/DASP
14/28/DPM
14/29/DPU
14/30/DInt
14/31/DPNP
14/32/DPM
14/33/DPbS
14/34/DASP
14/35/DPNP
12 September 2012
19 September 2012
25 September 2012
27 September 2012
18 Oktober 2012
22 Oktober 2012
31 Oktober 2012
7 November 2012
27 November 2012
27 November 2012
10 Desember 2012
DPbS
DKBU
DASP
DPM
DPU
DInt
DPNP
DPM
DPbS
DASP
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah
Pedoman Kebijakan Dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank
Perkreditan Rakyat
Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia
Dalam Rangka Standing Facilities Syariah
Tata Cara Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan
Barang Berharga pada Bank Indonesia
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar
Negeri Bank
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia
Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah
dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah
Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit
Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu
yang Disampaikan kepada Bank Indonesia
75
DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
14/36/DKBU
14/37/DPNP
14/38/DASP
14/39/DPM
21 Desember 2012
27 Desember 2012
28 Desember 2012
28 Desember 2012
DKBU
DPNP
DASP
DPM
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Perkreditan Rakyat
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko
dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets
(CEMA)
Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang
dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM
tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
76
77
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012
1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.14/12/PBI/2012 ini adalah:
a. Perlu penambahan informasi baru yang selama ini dilaporkan secara
offline menjadi online dalam sistem LKPBU dalam rangka meningkatkan
efektivitas pemantauan kebijakan dan efisiensi di perbankan.
b. Perlu penambahan periode laporan yang semula bulanan dan triwulanan
menjadi mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan.
c. Perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU
dalam rangka harmonisasi dengan percepatan waktu penyampaian
laporan lainnya seperti LBU dan LBBU.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:
a. Menambah laporan baru secara online, sebagai berikut:
1) proyeksi arus kas;
2) aktivitas bank sebagai agen penjual produk non bank, yang meliputi:
a) bancassurance;
b) agen penjual efek reksa dana;
c) aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri;
3) e-banking;
4) structured product;
5) pejabat eksekutif;
6) jaringan kantor;
7) laporan keuangan publikasi;
8) tenaga kerja perbankan;
b. Menambah periode laporan dari 2 (dua) periode yaitu bulanan dan
triwulanan menjadi 4 (empat) periode yaitu: (1) mingguan; (2) bulanan;
(3) triwulanan; (4) tahunan.
c. Mempercepat waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU sebagai
berikut:
1) batas waktu penyampaian laporan dan koreksi laporan dipercepat
dari tanggal 15 menjadi 5 hari kerja (HK) tiap awal bulan untuk
laporan kegiatan kustodian, SKBDN, remittance TKI, mutasi rekening
pemerintah, e-banking, structured products, pejabat eksekutif,
14/12/PBI/2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
15 Oktober 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
78
jaringan kantor, laporan keuangan publikasi bulanan, dan pengaduan
nasabah.
2) batas waktu penyampaian laporan lainnya masih menggunakan
batas waktu penyampaian laporan pada tanggal 15.
3. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka ketentuan dibawah
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:
a. PBI No.10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum;
b. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal
49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1)
dan ayat (2) PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah;
c. Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30,
Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal
38, Pasal 39 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah;
d. Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 PBI No.11/26/PBI/2009
tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured
Product bagi Bank Umum; dan,
e. Pasal 19 PBI No.12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam
Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh
Bank Umum.
1. Peraturan Bank Indonesia mengenai penitipan sementara surat yang
berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan dengan
pertimbangan:
a. Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara surat yang
berharga, sekuritas, dan barang berharga pada Bank Indonesia dalam
rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan;
b. Bank Indonesia memandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan
mengenai jenis titipan, pihak yang dapat menitipkan, dan mekanisme
penitipan sementara pada Bank Indonesia.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada
Bank Indonesia meliputi:
a. Titipan yang dapat dititipkan di Bank Indonesia merupakan Titipan
tertutup yang terdiri atas:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/13/PBI/2012 16 Oktober 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
79
1) surat yang berharga;
2) sekuritas; dan/atau
3) barang berharga
c. Bank Indonesia dapat menerima Titipan berupa uang Rupiah palsu
dan uang Rupiah tiruan.
d. Titipan harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1) dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan;
dan/atau
2) dalam rangka penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita
oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata
atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang
berdampak luas.
e. Titipan bukan merupakan Titipan yang dianggap berbahaya atau
dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Penitip terdiri atas:
1) kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/
lembaga negara;
2) pengadilan tingkat pertama atau lembaga yang mempunyai
kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang;
3) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan/atau
4) pihak internal Bank Indonesia.
g. Jangka waktu penitipan ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal penitipan, dan dapat diperpanjang paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal jatuh waktu penitipan untuk setiap
perpanjangan.
h. Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Titipan yang ditata-
usahakan pada Bank Indonesia.
i. Titipan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penitip.
j. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi
kehilangan, kerusakan, penyusutan, kadaluwarsa dan/atau hal-hal lain
yang mungkin timbul atas Titipan yang mengakibatkan berkurangnya
nilai, kualitas dan/atau fisik Titipan.
3. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/16/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Penyimpanan
Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
1. Tujuan pengaturan Peraturan Bank Indonesia No.14/14/PBI/2012 ini adalah
agar sejalan dengan implementasi Basel II sesuai perkembangan standar
internasional dan standar akuntansi, memayungi beberapa kewajiban
penyampaian Laporan, serta meningkatkan transparansi Bank secara
umum.
2. Laporan Keuangan yang wajib disusun dan disampaikan Bank adalah
sebagai berikut:
a. Laporan Tahunan
b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
d. Laporan Keuangan Konsolidasi
e. Laporan Publikasi Lain
3. Cakupan Laporan Tahunan yang perlu disesuaikan antara lain:
a. Pada Informasi umum mengenai perkembangan usaha bank dan
kelompok bank, strategi dan kebijakan manajemen, dan laporan
manajemen yang dulu hanya mencakup Bank Konvensional sekarang
ditambahkan Unit Usaha Syariah (UUS).
b. Menambahkan Laporan Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Laporan Distribusi
Bagi Hasil bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan UUS.
c. Khusus untuk Bank Umum Konvensional (BUK) ditambahkan kewajiban
penyajian informasi mengenai:
1) Penyajian informasi secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap
potensi kerugian (risk exposures) atas beberapa jenis risiko tertentu
sesuai Pilar 3 Basel 2.
2) Informasi permodalan secara kualitatif dan kuantitatif (khusus
BUK), yang terdiri dari kecukupan modal dan struktur permodalan.
4. Penyesuaian yang dilakukan terhadap Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dan Bulanan, antara lain sebagai berikut:
a. Pengelompokkan informasi yang harus disampaikan dalam LKP
Triwulanan dan Bulanan.
b. Mekanisme penyampaian LKP melalui Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (LKPBU).
c. Jangka waktu penyampaian LKP melalui LKPBU.
5. Apabila Bank merupakan bagian dari kelompok usaha atau Bank memiliki
Perusahaan Anak, selain Laporan Tahunan Bank juga wajib menyampaikan:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/14/PBI/2012 18 Oktober 2012
80
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
81
RingkasanTanggalNo. Peraturan
a. Laporan Tahunan Perusahaan Induk atau Perusahaan Induk di bidang
Keuangan;
b. Laporan Tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham
mayoritas atau perusahaan yang melakukan Pengendalian langsung
kepada Bank; dan
c. Laporan Tahunan Perusahaan Anak.
6. Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Lain secara berkala atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan. Yang dimaksud dengan Laporan
Publikasi Lain antara lain adalah Laporan Suku Bunga Dasar Kredit dan
Laporan Lainnya.
7. Dalam rangka meningkatkan transparansi kondisi keuangan Bank, perlu
diatur kewajiban Bank untuk mengumumkan Laporan Tahunan dan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan melalui website.
8. Dalam hal Bank belum memiliki website, Bank wajib memiliki website
paling lambat akhir Desember 2012.
9. PBI ini hanya mengatur mengenai Laporan yang wajib disampaikan dan
disajikan oleh Bank. Pengaturan mengenai Kantor Akuntan Publik tetap
mengacu pada PBI sebelumnya, yaitu PBI No.3/22/PBI/2001.
10.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Pasal 1 sampai
dengan Pasal 15 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40
sampai dengan Pasal 41 PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun, ketentuan
pelaksanaan dari PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
I. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bersama, perbankan sebagai lembaga keuangan
yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk menyajikan laporan
keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank
secara utuh. Salah satu syarat dalam rangka penyajian laporan keuangan
yang akurat dan komprehensif, laporan keuangan dimaksud harus
disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
14/15/PBI/2012 24 Oktober 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
82
Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu tetap
mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai antara lain
dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan
penyisihan penghapusan aset.
Selanjutnya tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perekonomian global
dapat mempengaruhi kondisi dan kinerja perbankan nasional. Sehubungan
dengan itu diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk menjaga dan
melindungi kondisi perbankan.
Selain itu, ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aset telah mengalami
beberapa kali penyesuaian dan juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan
Bank Indonesia lainnya sehingga perlu dilakukan harmonisasi agar
implementasi atas ketentuan-ketentuan dimaksud dapat dilaksanakan
dengan baik.
II. Pokok-pokok Ketentuan
Ketentuan ini merupakan penyempurnakan dari ketentuan kualitas aset
sebelumya yaitu PBI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagimana diubah terakhir kali
dengan PBI No.11/2/PBI/2009. Adapun penyempurnaan ketentuan
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan cadangan berlaku untuk kelonggaran tarik kredit baik
yang bersifat committed maupun uncommitted namun cadangan
yang dibentuk hanya cadangan khusus yaitu untuk kelonggaran tarik
kredit yang memiliki kualitas non lancar.
2. Bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance)
tidak lagi menjadi kriteria penilaian kualitas penempatan antar bank
yang digolongkan macet.
3. Penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana lainnya untuk debitur
UMKM posisi bulan Agustus s.d. Januari mengacu pada penilaian TKS
posisi bulan Juni. Sedangkan penilaian kualitas kredit dan penyediaan
dana lainnya untuk debitur UMKM posisi bulan Februari s.d. Juli
mengacu pada penilaian TKS posisi bulan Desember tahun sebelumnya.
Hasil penilaian pengawas yang diberitahukan BI kepada Bank
disampaikan pada prudential meeting.
4. Deposito yang diakui sebagai agunan tunai hanya dapat disimpan
pada Bank penyedia dana.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
83
RingkasanTanggalNo. Peraturan
5. Kriteria Prime Bank adalah AA- berdasarkan penilaian S & P; Aa3
berdasarkan penilaian Moody’s; AA- berdasarkan penilaian Fitch.
6. Terkait Restrukturisasi Kredit terdapat beberapa perubahan yaitu:
a. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi hanya dapat meningkat paling
tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Kredit sebelum dilakukan
Restrukturisasi, setelah debitur memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut turut selama 3
(tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan.
b. Pengakuan pendapatan atas Kredit yang direstrukturisasi diakui
dan dicatat sesuai dengan ketentuan PSAK yang berlaku.
c. Pelaporan atas Kredit yang direstrukturisasi dilakukan secara on line
bersamaan dengan pelaporan LBBU.
7. Terkait Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) terdapat beberapa perubahan
yaitu:
a. Terdapat pencadangan sesuai konsep impairment dalam bentuk
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan tetap mempertahankan
konsep PPA sebagai prudential purposes.
b. Atas aset produktif tetap menghitung PPA umum dan khusus, yang
tidak dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan
KPMM. Hasil perhitungan PPA Produktif akan mempengaruhi
perhitungan KPMM setelah dikurangkan dari CKPN yang dibentuk.
c. Atas aset non produktif tetap menghitung PPA khusus, yang tidak
dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan
KPMM. Pengaruh PPA Non Produktif pada perhitungan KPMM
tidak melihat CKPN yang dibentuk, mengingat hal ini merupakan
disinsentif karena bank memiliki aset non produktif.
8. PBI ini diberlakukan pada tanggal ditetapkan.
I. Latar Belakang
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2008 dengan latar belakang
sebagai berikut:
1. Kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup
terjaga. Namun demikian, globalisasi dapat memicu tekanan terhadap
sistem perbankan yang tercermin pada keketatan likuiditas secara
mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank dapat mengalami
liquidity mismatch sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban GWM.
14/16/PBI/2012 23 November 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Dalam rangka mengantisipasi potensi tekanan yang bersumber dari
keketatan likuiditas tersebut, perlu diberikan akses bagi Bank untuk
memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia
sebagai lender of the last resort. Pengaturan kembali Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek merupakan upaya untuk dapat memelihara kepercayaan
masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus
dan sistem keuangan secara menyeluruh.
II. Pokok-Pokok Pengaturan
Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain:
1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan:
a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan,
b. persyaratan tentang agunan,
c. suku bunga Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek.
2. Persyaratan Bank disempurnakan menjadi: memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang 8% dan memenuhi
modal sesuai dengan profil risiko bank. Suku bunga fasilitas pendanaan
jangka pendek sebesar repurchase agreement (repo) rate ditambah
100 basis poin.
3. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas
tersebut adalah bank yang memenuhi persyaratan permodalan tertentu
dan memiliki agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi.
Agunan aset kredit hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank tidak
mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank tidak
memiliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan. Aset kredit
yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas Lancar dalam 12
bulan terakhir berturut-turut, dijamin oleh tanah dan atau bangunan
senilai 140%, bukan kredit kepada pihak terkait bank, belum pernah
direstrukturisasi, memiliki sisa jatuh tempo minimal 12 bulan dan baki
debetnya tidak melampaui batas maksimum pemberian kredit.
4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia, maka beberapa
ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:
1. PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4912); dan
RingkasanTanggalNo. Peraturan
84
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
85
2. PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4923),
I. Latar Belakang Pengaturan
1. Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional, Bank
Indonesia mengemban tugas untuk mencapai dan memelihara stabilitas
nilai tukar rupiah yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi keseimbangan antara permintaan dan penawaran
valuta asing di pasar keuangan dalam negeri;
2. Sumber pasokan valuta asing di pasar keuangan dalam negeri selama
ini sebagian besar berasal dari sektor keuangan terutama berupa
investasi portofolio asing yang berisiko mengalami pembalikan mendadak
(sudden capital reversal). Sementara itu pasokan devisa dari hasil
kegiatan ekspor yang merupakan dana yang berkesinambungan
(sustainable) belum dimanfaatkan secara optimal.
3. Sejalan dengan kebijakan pengelolaan pasokan devisa dan kebijakan
untuk meningkatkan peran serta daya saing perbankan dalam negeri,
maka diperlukan kebijakan yang dapat mendorong pelaku ekonomi
dalam mengelola devisa yang dimilikinya dengan menggunakan jasa
dan keahlian perbankan di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga
ditujukan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan (financial
deepening) di domestik.
4. Mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari pengelolaan devisa melalui
perbankan di dalam negeri, keterkaitannya dengan upaya menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah dan sasaran kebijakan makroprudensial,
serta untuk memberikan kepastian hukum atas kegiatan Trust dan
untuk mengakomodir kegiatan pengelolaan devisa, maka Bank
Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kegiatan
Usaha Bank dalam Bentuk Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) yang
tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/17/PBI/2012 23 November 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
II. Materi Pengaturan :
Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:
1. Trust adalah kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan.
2. Dalam kegiatan penitipan dengan pengelolaan (Trust) ini, terdapat 3
pihak yang terlibat yaitu Settlor sebagai pihak penitip yang memiliki
harta/dana dan memberikan kewenangan untuk mengelola dana
kepada Trustee; Trustee (dalam hal ini Bank) sebagai pihak yang diberi
kewenangan oleh Settlor/Penitip untuk mengelola harta/dana guna
kepentingan penerima manfaat yaitu Beneficiary; dan Beneficiary
sebagai pihak penerima manfaat dari harta/dana tersebut.
3. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam kegiatan Trust adalah sebagai
berikut:
a. Kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah dari unit
kegiatan Bank lainnya;
b. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee terbatas
pada aset finansial;
c. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee dicatat
dan dilaporkan terpisah dari harta Bank;
d. Dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust dilikuidasi, semua
harta Trust tidak dimasukkan dalam harta pailit (boedel pailit) dan
dikembalikan kepada Settlor atau dialihkan kepada Trustee pengganti
yang ditunjuk Settlor;
e. Kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis menggunakan
Bahasa Indonesia antara Trustee dan Settlor;
f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait kegiatan
Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian Trust, kecuali untuk
kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia;
g. Bank yang melakukan kegiatan Trust tunduk pada ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya
ketentuan mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU - PPT).
4. Kegiatan Trust yang diatur dalam PBI ini mencakup kegiatan antara
lain sebagai: agen pembayar (paying agent); agen investasi (investment
agent) dana secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah;
dan/atau agen peminjaman (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.
5. Trustee dapat dilakukan oleh Bank atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri (KCBA) dengan persyaratan sebagai
berikut:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
86
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
87
a. Bank: berbadan hukum Indonesia; memiliki modal inti paling sedikit
Rp5 Triliun dan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir secara
berturut-turut; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS) paling
rendah Peringkat Komposit (PK) 2 selama 2 periode penilaian (12
bulan) terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode sebelumnya;
mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis Bank;
memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust berdasarkan
hasil penilaian Bank Indonesia.
b. KCBA: berbadan hukum Indonesia paling lambat 3 tahun sejak
berlakunya PBI ini; hasil asesmen Bank Indonesia memiliki kapasitas
untuk melakukan kegiatan Trust; mencantumkan rencana kegiatan
Trust dalam Rencana Bisnis Bank; memiliki Capital Equivalency
Maintained Assets (CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai
ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun
dan rasio KPMM paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir
secara berturut-turut; memiliki TKS paling rendah PK 2 selama 2
periode penilaian terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode
sebelumnya.
6. Selama melakukan kegiatan Trust, Trustee wajib memenuhi persyaratan
terkait dengan modal inti minimum (bagi Bank) atau CEMA (bagi
KCBA), rasio KPMM dan TKS Bank, dengan rincian yaitu:
a. Bank: memiliki modal inti paling sedikit Rp5 Triliun; memiliki rasio
KPMM paling rendah 13%; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS)
paling rendah Peringkat Komposit (PK) 2;
b. KCBA: memiliki CEMA minimum dengan perhitungan sesuai
ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun;
memiliki KPMM paling rendah 13%; memiliki TKS paling rendah
PK 2.
7. Bank/KCBA yang melakukan merger atau konsolidasi wajib memenuhi
persyaratan sebagai Trustee.
8. Trustee yang tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai Trustee
diberikan waktu 6 bulan untuk memenuhi persyaratan dan dalam
masa tersebut tidak boleh membuat Perjanjian Trust yang baru.
9. Dalam hal sampai dengan batas waktu 6 bulan Trustee tidak dapat
memenuhi persyaratan, maka harta/dana Trust wajib dikembalikan
kepada Settlor atau kepada Trustee pengganti yang ditunjuk Settlor
sesuai Perjanjian Trust.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/18/PBI/2012 28 November 2012
10.Bank/KCBA wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia, berupa izin
prinsip dan surat penegasan yang diberikan kepada satu kantor Bank,
untuk dapat melakukan kegiatan Trust.
11.Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee atau
ujroh sesuai dengan perjanjian Trust.
12.Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam negeri
untuk seluruh kegiatan Trust dan melakukan pencatatan mutasi
rekening secara terpisah untuk masing-masing Settlor dan Beneficiary.
13.Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan laporan
tertulis secara berkala kepada Bank Indonesia dan Settlor mengenai
kinerja Trustee dalam pengelolaan harta Trust. Laporan kepada Bank
Indonesia wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
14.Bank yang tidak memenuhi ketentuan akan dikenakan sanksi.
15.Dalam hal Bank dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self
liquidation) atau dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, maka
Bank atau Tim Likuidasi wajib mengembalikan harta Trust kepada
Settlor atau mengalihkan harta Trust kepada Trustee pengganti sesuai
dengan perjanjian Trust.
1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah:
a. Sejalan dengan upaya untuk menciptakan sistem perbankan yang
sehat, mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun
internasional, perhitungan kecukupan modal Bank disesuaikan dengan
standar internasional yang berlaku.
b. Selain itu, diperlukan alokasi sejumlah modal kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri untuk ditempatkan ke dalam instrumen
keuangan tertentu untuk mengantisipasi dinamika perekonomian dan
sistem keuangan global.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:
a. Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko, sehingga
tidak hanya mampu menyerap potensi kerugian dari risiko kredit, risiko
pasar, dan operasional, melainkan juga risiko-risiko lainnya seperti
risiko likuiditas dan risiko lain yang material. Penyediaan modal minimum
sesuai profil risiko ditetapkan paling rendah sebagai berikut:
1. 8% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1;
2. 9% s.d kurang dari 10% dari ATMR untuk Bank dengan profil
risiko peringkat 2;
88
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
89
3. 10% s.d kurang dari 11% dari ATMR untuk Bank dengan profil
risiko peringkat 3;
4. 11% s.d 14% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat
4 atau peringkat 5;
Penetapan peringkat faktor profil risiko mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum.
b. Untuk menghitung modal minimum sesuai profil risiko, Bank wajib
memiliki Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP), yang
mencakup (i) pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; (ii)
Penilaian Kecukupan Permodalan; (iii) Pemantauan dan Pelaporan; (iv)
Pengendalian Internal.
c. Bank Indonesia akan melakukan kaji ulang terhadap ICAAP atau
disebut Supervisory Review and Evaluation Process (SREP).
d. Perhitungan modal minimum sesuai profil risiko untuk pertama kali
dilakukan untuk posisi Maret 2013 dengan menggunakan peringkat
profil risiko posisi Desember 2012.
e. Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) Minimum
sebesar 8% dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling
sedikit sebesar Rp1triliun.
f. Perhitungan CEMA minimum dilakukan setiap bulan dan wajib dipenuhi
paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya.
g. Aset keuangan yang dapat diperhitungan dalam CEMA adalah (i)
Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
(ii) Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan
hukum Indonesia, dan (iii) Surat berharga yang diterbitkan oleh
korporasi berbadan hukum Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu.
h. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
memenuhi CEMA minimum sebesar 8% dari total kewajiban bank
paling lambat pada posisi bulan Juni 2013.
i. Apabila CEMA minimum lebih kecil dari Rp1 triliun maka kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi
CEMA minimum sebesar Rp1 triliun paling lambat pada posisi bulan
Desember 2017.
j. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku secara efektif sejak tanggal
ditetapkan dan mencabut PBI No. 9/13/PBI/2007 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan
Risiko Pasar dan mencabut PBI No. 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Tanggal
1. Latar belakang dikeluarkannya perubahan Peraturan Bank Indonesia ini
adalah:
a. Perlunya lebih meningkatkan efektivitas pengawasan dan pemeriksaan
terhadap pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan penyaluran KLBI oleh Bank
Pelaksana.
b. Perlunya menetapkan suku bunga acuan sebagai dasar perhitungan
sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam pengelolaan KLBI yang
dilakukan BUMN atau penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam perubahan PBI dimaksud meliputi antara
lain:
a. Perubahan jumlah BUMN yang melakukan pengelolaan KLBI dari
semula 3 BUMN menjadi 2 BUMN, yaitu PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) dan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
b. Memperjelas wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan
dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN
dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana.
c. Memperjelas batas waktu penyampaian laporan penerimaan angsuran,
penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan.
d. Penetapan suku bunga Jakarta Inter Bank Offered Rate (JIBOR) overnight
ditambah 200 bps sebagai pengganti suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) 1 (satu) bulan untuk acuan perhitungan sanksi atas
pelanggaran:
1. penyaluran kembali (relending) angsuran KLBI di luar tujuan kredit
atau pembiayaan;
2. BUMN pengelola angsuran KLBI tidak dapat menyediakan dana
pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia pada saat KLBI
jatuh tempo; dan
3. tidak dilaporkannya pelunasan dini KLBI oleh Bank Pelaksana sesuai
dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu 14 (empat belas)
hari kalender setelah terjadinya pelunasan dini.
e. Pelanggaran atas ketentuan di atas yang terjadi sebelum berlakunya
PBI ini akan dikenakan sanksi sebagai berikut:
1. Untuk pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada tanggal 9 Juni
2010, sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku
bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang terakhir.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/19/PBI/2012 30 November 2012
90
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
91
RingkasanTanggalNo. Peraturan
2. Untuk pelanggaran yang terjadi setelah tanggal 9 Juni 2010,
sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku bunga SBI
jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang pada tanggal 9 Juni 2010.
3. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2012.
I. Latar Belakang
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2009 dengan latar belakang
karena kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan serta
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan saat ini semakin membaik,
sehingga dilakukan penyesuaian persyaratan bank penerima Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FJPJPS).
II. Pokok-Pokok Pengaturan
Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain:
1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan:
a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan,
b. persyaratan tentang agunan,
2. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJPS
adalah bank yang mengalami kesulitan jangka pendek, memiliki rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8%
dan modal sesuai dengan profil risiko bank, serta memiliki agunan
yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi.
3. Agunan aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank
tidak mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank
tidak memliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan.
Aset Pembiayaan yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas
tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut,
bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan
rumah, Pembiayaan dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan
dengan nilai paling rendah 140% (seratus empat puluh persen) dari
plafon Pembiayaan, bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak
terkait, Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi, sisa jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan paling singkat 12 (dua belas) bulan dari saat
persetujuan FPJPS, baki debet (outstanding) Pembiayaan tidak melebihi
14/20/PBI/2012 17 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
92
batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak
melebihi plafon Pembiayaan, dan memiliki perjanjian Pembiayaan dan
pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.
4. Haircut aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS paling
kurang 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJPS.
5. Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJPS dan/atau mengakhiri
perjanjian FPJPS sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran
persyaratan FPJPS oleh Bank. Penghentian pencairan FPJPS dan/atau
pengakhiran perjanjian FPJPS yang disebabkan karena pelanggaran
persyaratan agunan FPJPS dilakukan setelah Bank tidak dapat melakukan
penggantian/penambahan agunan FPJPS atau Bank telah melakukan
penggantian/penambahan agunan FPJPS namun tetap tidak dapat
memenuhi persyaratan agunan FPJPS.
6. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan yang
memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJPS kepada Bank
Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan
Juni dan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah
posisi akhir bulan bersangkutan. Untuk pertama kalinya laporan daftar
aset Pembiayaan disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013. Bank
dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki aset
Pembiayaan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJPS atau
tidak mengalokasikan aset Pembiayaan sebagai agunan untuk
mengantisipasi kebutuhan FPJPS.
7. Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima
FPJPS di Bank Indonesia dalam hal FPJPS jatuh tempo (pendebetan
sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS), FPJPS belum jatuh tempo
namun saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban
GWM (pendebetan paling tinggi sebesar nilai pokok FPJPS yang telah
diterima Bank), dan/atau FPJPS diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo
(pendebetan sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS).
8. Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJPS, Bank wajib
menyampaikan Bank kepada Bank Indonesia berupa laporan mengenai
penggunaan FPJPS, kondisi likuiditas Bank, pemantauan pemenuhan
persyaratan FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS pada setiap akhir
hari kerja dan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi
kesulitan likuiditas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan
FPJPS.
9. Bank yang melanggar PBI ini akan dikenakan sanksi.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
93
RingkasanTanggalNo. Peraturan
1. Tujuan :
Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan
dan mengintegrasikan ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa
(LLD) Lembaga Bukan Bank (LBB) dan Utang Luar Negeri (ULN). Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi duplikasi kedua pelaporan tersebut
sehingga efektivitas dan efisiensi pemantauan kegiatan LLD dapat
ditingkatkan.
2. Pokok-pokok dalam PBI ini mencakup:
A. Ruang lingkup pelaporan:
a. Laporan LLD yang meliputi keterangan dan data mengenai: (1)
transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara
Penduduk dengan bukan Penduduk; (2) posisi dan perubahan
AFLN dan/atau KFLN; dan (3) rencana dan/atau realisasi ULN.
b. Informasi Keuangan, khususnya bagi Pelapor yang memiliki posisi
ULN.
B. Ruang lingkup Pelapor:
a. Berdasarkan jenis usaha
1. Lembaga keuangan
a. Bank
b. Lembaga keuangan bukan Bank
2. Bukan lembaga keuangan
b. Berdasarkan kepemilikan usaha
1. BUMN
2. BUMD
3. BUMS
4. Badan lainnya
5. Perseorangan
C. Penyampaian laporan:
a. Untuk Laporan LLD disampaikan tanggal 1 s.d. 15, masa koreksi
dari tanggal 16 s.d. 20 setelah periode laporan.
Khusus untuk Laporan LLD berupa rencana ULN disampaikan setiap
awal tahun, paling lambat tanggal 15 Maret, sedangkan perubahan
rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli.
b. Khusus Informasi Keuangan (bagi perusahaan yang memiliki posisi
ULN) disampaikan setiap 6 bulan paling lambat tanggal 15 Juni
dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d. 20 Juni dan paling lambat
tanggal 15 Desember dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d.
20 Desember.
14/21/PBI/2012 21 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
D. Sanksi administratif berupa:
1. denda:
a. ketidaklengkapan dan/atau ketidakbenaran sebesar Rp50.000,00
untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak
benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00.
b. keterlambatan sebesar Rp500.000,00 untuk setiap hari
keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00.
c. tidak menyampaikan laporan sebesar Rp10.000.000,00.
2. surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas/instansi
berwenang untuk pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan
rencana ULN, perubahan rencana ULN, dan/atau Informasi Keuangan.
E. Masa parallel run:
Khusus untuk penyampaian Laporan LLD berupa rencana dan/atau
realisasi ULN dan Informasi Keuangan, parallel run kewajiban pelaporan
kegiatan LLD dan kewajiban pelaporan SIUL existing diberlakukan selama
enam bulan, yaitu sejak data bulan Januari 2013 yang disampaikan
bulan Februari 2013 s.d data bulan Juni 2013 yang disampaikan bulan
Juli 2013.
F. Pemberlakuan sanksi:
1. Untuk laporan LLD berupa realisasi ULN mulai diberlakukan sejak
data bulan Januari 2014 yang disampaikan bulan Februari 2014.
2. Untuk laporan LLD berupa rencana ULN mulai berlaku sejak pelaporan
rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat bulan
Maret 2014.
3. Untuk Informasi Keuangan mulai berlaku sejak pelaporan data
posisi bulan Desember 2013 yang disampaikan paling lambat bulan
Juni 2014.
G. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013, sehingga:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5222) dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 tanggal 7 Juni 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5320),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Februari 2013.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
94
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
95
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28 Januari
2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5102) dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tanggal 29
Desember 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5181),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus
2013.
1. Latar belakang dikeluarkannya PBI ini adalah:
a. Sejalan dengan berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta telah dicabutnya PBI
No.3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) maka
diperlukan keberadaan ketentuan yang dapat mendorong peningkatan
penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bBank uUmum kepada UMKM
yang sekaligus mampu mendorong peningkatan akses UMKM kepada
lembaga keuangan melalui penguatan kapabilitasnya.
b. Sebagai salah satu bentuk dukungan konkret Bank Indonesia dalam
mendorong percepatan pengembangan keuangan inklusif, keberpihakan
kepada sektor UMKM sebagai salah satu pilar ekonomi yang sangat
penting dalam mendukung perekonomian nasional, serta dukungan
terhadap program pemerintah yang berorientasi pada pro growth,
pro poor dan pro job.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI meliputi:
a. Kewajiban bank umum untuk menyalurkan dananya dalam bentuk
kredit/pembiayaan kepada UMKM dengan pangsa sebesar minimal
20% secara bertahap yang diikuti dengan penerapan insentif/disinsentif.
b. Pencapaian target kredit/pembiayaan kepada UMKM di atas dapat
dipenuhi oleh bank umum baik dengan pemberian kredit/pembiayaan
secara langsung dan/atau secara tidak langsung kepada UMKM melalui
kerjasama pola executing, pola channeling dan pembiayaan bersama.
c. Definisi kredit usaha mikro, kredit usaha kecil dan kredit usaha menengah
diharmonisasikan dengan kriteria usaha sebagaimana yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/22/PBI/2012 21 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
96
d. Perluasan bentuk dan penerima bantuan teknis. Kegiatan bantuan
teknis dilaksanakan dalam bentuk penelitian, pelatihan, penyediaan
informasi dan fasilitasi. Sementara penerima bantuan teknis adalah
Bank Umum, BPR/BPRS, Lembaga pembiayaan UMKM, Lembaga
Penyedia Jasa (LPJ) dan UMKM. Bantuan teknis yang disediakan oleh
Bank Indonesia di atas antara lain untuk meningkatkan kompetensi
bagi SDM perbankan dalam melakukan pembiayaan kepada UMKM
dan dalam rangka meningkatkan capacity building UMKM agar mampu
memenuhi persyaratan dari perbankan.
e. Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM, bank umum
wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rencana bisnis bank; laporan bulanan bank umum; laporan
keuangan publikasi triwulanan dan bulanan bank umum serta laporan
tertentu; sistem informasi debitur; transparansi informasi produk bank
dan penggunaan data pribadi nasabah.
f. Lebih lanjut dalam pokok-pokok PBI di atas, juga diatur tentang
perlunya penguatan koordinasi dan kerjasama dengan Pihak Lain
dalam pengembangan UMKM agar tercipta keselarasan program
pengembangan UMKM.
g. Bank Umum yang melanggar hal-hal yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini akan dikenakan sanksi.
h. Ketentuan Penutup:
1. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 21 Desember
2012. Namun, khusus pengaturan untuk pencapaian rasio Pembiayaan
UMKM mulai berlaku bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah pada tahun 2014.
2. Pada saat PBI ini berlaku, maka PBI No.7/39/PBI/2005 tentang
Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4543), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Namun, peraturan pelaksanaan dari PBI No.7/39/PBI/2005, dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam PBI ini.
1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam UU No.3 Tahun
2011 tentang Transfer Dana. Adapun materi utama yang diatur dalam
PBI ini adalah mengenai:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/23/PBI/2012 26 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
97
a. perizinan penyelenggaraan transfer dana;
b. pelaksanaan transfer dana;
c. transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai;
d. jasa, bunga, atau kompensasi;
e. biaya transfer dana;
f. pemantauan; dan
g. sanksi.
2. Badan usaha bukan Bank yang bermaksud untuk menyelenggarakan
kegiatan Transfer Dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Untuk
memperoleh izin tersebut, badan usaha bukan Bank wajib berbentuk
badan hukum Indonesia serta mengajukan permohonan izin secara tertulis
kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
3. Persyaratan untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara akan dituangkan
dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia, dan antara lain akan mencakup
persyaratan terkait keamanan sistem, permodalan, integritas pengurus,
pengelolaan risiko, dan/atau kesiapan sarana dan prasarana.
4. Kerjasama antara Penyelenggara dengan pihak lain di luar negeri untuk
menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana hanya dapat dilaksanakan
dengan pihak yang telah memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
Kerja sama tersebut harus didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling
kurang memuat pengaturan mengenai penerapan asas resiprositas antar
para pihak, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme penetapan kurs,
biaya, dan penyelesaian akhir, dan mekanisme penyelesaian permasalahan.
5. Terkait pelaksanaan Transfer Dana, dalam PBI ini dimuat ketentuan mengenai
pelaksanaan Transfer Dana dalam keadaan memaksa, mekanisme perbaikan
dalam hal terjadi kekeliruan pelaksanaan Transfer Dana, serta mekanisme
pengembalian Dana kepada pihak yang berhak.
6. Terkait Transfer Dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai, diatur
mekanisme yang harus dilakukan oleh Penyelenggara dalam menyampaikan
pemberitahuan kepada Penerima dan Pengirim Asal akan adanya Dana
yang harus diambil, serta mekanisme penyampaian Dana kepada Balai
Harta Peninggalan dalam hal Dana dimaksud tidak diambil oleh Penerima
dan Pengirim Asal (unclaimed funds).
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
7. Terkait jasa, bunga, atau kompensasi, diatur mekanisme pembayarannya
dari Penyelenggara kepada pihak yang berhak, sedangkan tata cara
perhitungannya akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
8. Terkait biaya Transfer Dana, diatur mengenai mekanisme pengenaan dan
penyampaian informasi biaya dari Penyelenggara kepada Pengirim Asal.
9. Terkait pemantauan, diatur mekanisme dan kegiatan yang dapat dilakukan
oleh Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan, pelaksanaan
pemantauan oleh pihak ketiga serta koordinasi antara Bank Indonesia
dengan otoritas lain dalam melakukan pemantauan.
10.Bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah
memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman
Uang dari Bank Indonesia, maka badan usaha dimaksud diakui sebagai
Penyelenggara menurut PBI ini setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
11.Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Money Transfer
Operator harus mengajukan dan memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai Penyelenggara paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
12.Pengertian Penyelenggara dalam PBI Ini mencakup pula Bank dan badan
usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang memperoleh
persetujuan atau izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Sistem BI-RTGS,
peserta SKNBI, dan penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu yang menyediakan jasa Transfer Dana.
13.Pelanggaran atas Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi.
14.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia No.8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
98
99
Latar Belakang
Untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan
global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing
sehingga memerlukan struktur perbankan yang kuat. Untuk mencapai struktur
perbankan yang sehat tersebut diperlukan pengaturan kembali kebijakan
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
Pokok-Pokok Pengaturan
1. Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1
(satu) Bank. Dalam hal suatu pihak:
a. telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu)
Bank; atau
b. melakukan pembelian saham Bank lain sehingga yang bersangkutan
menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank,
maka yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan Kepemilikan
Tunggal.
2. Pemenuhan kewajiban ketentuan Kepemilikan Tunggal dilakukan dengan
cara:
a. merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya;
b. membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan; atau
c. membentuk Fungsi Holding.
3. Ketentuan Kepemilikan Tunggal dikecualikan bagi:
a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-masing
melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara
konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; dan
b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang salah satunya
merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank).
4. Bagi PSP yang memilih opsi merger/konsolidasi untuk memenuhi struktur
kepemilikan sesuai PBI ini maka akan memperoleh insentif berupa:
a. pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM);
b. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK);
c. kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/atau
d. pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Govenance (GCG).
14/24/PBI/2012 26 Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
100
5. Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan adalah
Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
6. Fungsi Holding hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali
berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah
Republik Indonesia.
7. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding wajib
memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan
Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya.
8. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan
pengawasan Bank.
9. Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan
Kepemilikan Tunggal dilarang melakukan pengendalian dan dilarang
memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari
10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank dan wajib mengalihkan
kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) tersebut kepada pihak
lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu pemenuhan
ketentuan.
10.Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan
pemenuhan ketentuan Kepemilikan Tunggal wajib mencatat kepemilikan
saham dan hak suara yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham
Bank.
11.Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi.
12.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan
Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4642) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
101
RingkasanTanggalNo. Peraturan
b.Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan
Bank Indonesia No.8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka
Konsolidasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No.9/12/PBI/2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
c. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006
tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
1. Tujuan:
Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan
ketentuan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri yang diatur melalui PBI No.13/20/PBI/2011 sebagaimana diubah
melalui PBI No.14/11/PBI/2012. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
efektivitas pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan
devisa utang luar negeri melalui perbankan di Indonesia guna mendukung
optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri.
2. Pokok-pokok Perubahan dalam PBI ini mencakup:
A. Kewajiban Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui Bank Devisa.
1. Kewajiban penerimaan DHE melalui bank devisa tidak berlaku
untuk DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia
atau DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sepanjang
dibuktikan dengan penjelasan tertulis yang disertai dokumen
pendukung yang memadai.
2. Penerimaan DHE wajib dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga
setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
3. Penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C,
konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya
melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan pendaftaran
PEB, wajib dilakukan paling lama 14 hari setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran yang bersangkutan. Dalam hal batas akhir
jatuh pada hari libur, maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
14/25/PBI/2012 27 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
4. Penyampaian informasi yang tercantum pada PEB kepada bank
devisa serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung bagi
penerimaan DHE berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari
USD10,000.00 atau ekuivalennya. Penyampaian informasi yang
tercantum pada PEB terkait DHE melalui bank devisa dilakukan
paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima.
5. Dalam hal eksportir menerima DHE secara tunai untuk PEB dengan
nilai lebih besar dari USD10,000.00 atau ekuivalennya maka
eksportir wajib menyampaikan penjelasan tertulis beserta dokumen
pendukung paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan
pendaftaran PEB.
6. Untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance
L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection yang jatuh
temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan
pendaftaran PEB, eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dokumen pendukung kepada bank devisa untuk diteruskan
kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah bulan pendaftaran PEB. Dalam hal batas akhir merupakan
hari libur maka penyampaiannya dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
7. Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang
paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 maka DHE yang diterima
dianggap sesuai dengan nilai PEB dan eksportir tidak perlu
menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung.
8. Untuk selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari
ekuivalen Rp50.000.000,00, yang disebabkan oleh:
a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya
lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat
selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau
b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing,
perbedaan penilaian harga barang pada saat perjanjian ekspor
dengan harga pada saat barang diterima, perbedaan komposisi
barang, perbedaan kualitas barang, dan/atau perbedaan
kuantitas barang,
penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung disampaikan
kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh
eksportir melalui Bank Devisa.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/14/PBI/2012 18 Oktober 2012
102
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
9. Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan
eksportir dengan data PEB yang diterima dari Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan
data PEB yang dijadikan sebagai acuan pemenuhan ketentuan
DHE dan menginformasikan perbedaan antara data PEB dimaksud
kepada DJBC.
10.Penerimaan DHE yang lebih kecil dari nilai PEB yang disebabkan
netting antara tagihan ekspor dengan kewajiban eksportir hanya
diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang
terkait kegiatan ekspor yang bersangkutan, sepanjang terdapat
kesepakatan netting antara eksportir yang bersangkutan dengan
importir terkait (counterparty). Penerimaan DHE yang berasal dari
hasil netting dianggap sesuai dengan nilai PEB apabila eksportir
menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung
yang memadai.
11.Dalam hal importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure) maka untuk:
• eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari Nilai PEB, dengan
selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka
eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai
dengan dokumen pendukung yang memadai paling lambat
akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB kepada
bank devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia;
• eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE secara
tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka eksportir harus
menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen
pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia paling
lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.
Untuk ekspor yang dilakukan dengan dari cara pembayaran usance
L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang
jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan
pendaftaran PEB maka eksportir harus menyampaikan penjelasan
tertulis disertai dokumen pendukung terkait importir wanprestasi,
pailit, atau mengalami keadaan memaksa paling lama 14 hari
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
12.Dalam hal ekspor dilakukan melalui Perusahaan Jasa Titipan (PJT),
kewajiban penyampaian informasi dan penjelasan tertulis yang
disertai dokumen pendukung menjadi tanggung jawab pemilik
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
104
barang. Dalam hal ini PJT harus menyampaikan informasi terkait
PEB kepada pemilik barang.
B. Pengenaan Sanksi
1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
penerimaan DHE dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar 0,5% dari nilai nominal DHE yang belum diterima dengan
nominal paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 untuk satu
bulan pendaftaran PEB.
2. Dalam hal ekspor dilakukan melalui PJT, maka sanksi denda dan
sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor dikenakan kepada
pemilik barang.
3. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke Bank
Indonesia yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
C. Ketentuan Peralihan
Penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena
telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar
Indonesia, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan
tanggal 30 Juni 2013. Dalam hal ini, eksportir harus menyampaikan
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung.
D. Ketentuan Penutup
1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013.
2. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/
2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5243);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5241); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/11/PBI/2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa
Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5338), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
105
RingkasanTanggalNo. Peraturan
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor
Berdasarkan Modal Inti Bank mengatur mengenai cakupan kegiatan usaha
dan pembukaan jaringan kantor sesuai dengan modal inti Bank yang
bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan
nasional.
2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain:
a. Umum
1. Bank hanya dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan
kantor sesuai dengan modal inti yang dimiliki.
2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank
Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Umum
Konvensional dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri (Kantor Cabang Bank Asing – KCBA)
b. Pengaturan Kegiatan Usaha Bank
1. Berdasarkan modal inti yang dimiliki Bank dikelompokkan dalam
4 kelompok usaha (Bank Umum Kelompok Usaha – BUKU) sebagai
berikut:
a. BUKU 1, Bank dengan modal inti kurang dari Rp1 Triliun;
b. BUKU 2, Bank dengan modal inti Rp1 Triliun sampai dengan
kurang dari Rp5 Triliun;
c. BUKU 3, Bank dengan modal inti Rp5 Triliun sampai dengan
kurang dari Rp30 Triliun; dan
d. BUKU 4, Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun.
2. Cakupan produk dan aktivitas yang dapat dilakukan BUKU sebagai
berikut:
i. Bank Umum Konvensional
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas
dasar dalam Rupiah, kegiatan pembiayaan perdagangan,
kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan
kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic
banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan
modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit, dan
jasa lainnya, dalam Rupiah. BUKU 1 hanya dapat melakukan
kegiatan valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta
asing.
14/26/PBI/2012 27 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
b. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas
dalam rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih
luas dari BUKU 1. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan
treasury terbatas mencakup spot dan derivatif plain vanilla
serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga
keuangan didalam negeri;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam
Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar
25% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri
terbatas di kawasan Asia.
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam
rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar
35% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri
dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3
(international world wide).
ii. Bank Umum Syariah
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas
dasar dalam Rupiah, serta kegiatan pembiayaan perdagangan,
kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan
kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic
banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan
modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan,
dan jasa lainnya, dalam Rupiah berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 1 hanya dapat
melakukan kegiatan dalam valuta asing terbatas sebagai
pedagang valuta asing.
b. BUKU 2 hanya dapat melakukan kegiatan produk atau
aktivitas dalam Rupiah dan valuta asing dengan cakupan
yang lebih luas dan berdasarkan akad yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan
treasury terbatas mencakup transaksi spot dan kegiatan
treasury dasar lainnya berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah, serta melakukan
penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan syariah
di dalam negeri;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam
Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar
25% pada lembaga keuangan syariah di dalam dan di luar
negeri terbatas di kawasan Asia;
RingkasanTanggalNo. Peraturan
106
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
107
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam
Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar
35% pada lembaga keuangan dalam dan luar negeri dengan
cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international
world wide).
3. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah mengacu
pada kegiatan usaha Bank Umum Syariah sesuai dengan kelompok BUKU
dari Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya; dan untuk kegiatan-
kegiatan usaha tertentu yang tidak termasuk produk atau aktivitas dasar
bank syariah (kegiatan usaha Bank Umum Syariah BUKU 1) hanya dapat
dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
4. Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan kepada Bank
Umum Syariah sebesar 5% dari modal Bank atau lebih, diberikan tambahan
batasan penyertaan sebesar 5% dari modal Bank sehingga batasan
penyertaan modal pada BUKU 2 paling tinggi sebesar 20% dan BUKU 3
sebesar 30% dari modal Bank.
5. Bank dalam semua BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan
produktif termasuk kredit atau pembiayaan kepada UMKM dengan target
tertentu, yaitu:
a. BUKU 1 paling rendah 55% dari total kredit atau pembiayaan;
b. BUKU 2 paling rendah 60% dari total kredit atau pembiayaan;
c. BUKU 3 paling rendah 65% dari total kredit atau pembiayaan;
d. BUKU 4 paling rendah 70% dari total kredit atau pembiayaan
6. Pengecualian kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif
diberikan kepada Bank yang memfokuskan diri untuk membiayai
kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat paling kurang 75% dari
total kredit atau pembiayaan.
7. Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk melakukan
produk/aktivitas tertentu yang bukan merupakan cakupan produk atau
aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi,
antara lain penerbitan structure product, penerbitan surat utang ekuitas
dan kegiatan jasa sistem pembayaran.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
c. Pengaturan Jaringan Kantor
1. Persyaratan pembukaan jaringan kantor adalah Tingkat Kesehatan
Bank dan alokasi modal inti (Theoretical Capital – TC) sesuai lokasi
dan jenis kantor Bank.
2. BUKU 3 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan
jenis kantor lainnya didalam dan luar negeri terbatas di kawasan
Asia. Sedangkan BUKU 4 dapat membuka kantor cabang, kantor
perwakilan dan jenis kantor lainnya di wilayah yang lebih luas dari
BUKU 3 (international world wide).
3. Dalam perhitungan ketersediaan modal inti untuk jaringan kantor,
Bank Indonesia menetapkan:
a. pembagian zona berdasarkan tingkat kejenuhan Bank dan
pemerataan pembangunan;
b. koefisien masing-masing zona; dan
c. biaya investasi pembukaan jaringan kantor Bank untuk masing-
masing BUKU.
4. Bank wajib menyediakan alokasi modal inti yang cukup bagi
seluruh jaringan kantor yang dimiliki bank. Dalam hal Bank tidak
memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup, Bank tidak
dapat melakukan pembukaan jaringan kantor yang baru sampai
terpenuhinya peningkatan modal untuk mencukupi alokasi modal
inti yang dibutuhkan. Bank masih dapat dipertimbangkan untuk
membuka jaringan kantor yang baru apabila bank menyalurkan
kredit atau pembiayaan kepada UMKM minimal 20% atau UMK
minimal 10% dari total kredit atau pembiayaan bank serta terdapat
upaya pemupukan modal yang dilakukan bank.
5. Dalam menentukan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka,
selain pertimbangan TKS, alokasi modal inti, pangsa UMKM/UMK
dan pemupukan modal, Bank Indonesia akan mempertimbangkan:
a. Memberikan insentif tambahan jumlah jaringan kantor yang
dapat dibuka bagi Bank yang memiliki ketersediaan alokasi
modal inti yang cukup dan menyalurkan kredit UMKM paling
rendah 20% atau UMK paling rendah 10%.
b.pencapaian efisiensi bank.
6. Ketersedian alokasi modal inti tidak diberlakukan bagi:
a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan
operasional khusus penyaluran kredit atau pembiayaan kepada
UMK;
RingkasanTanggalNo. Peraturan
108
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
109
b. pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
7. Dalam rangka perimbangan penyebaran jaringan kantor, Bank
dalam BUKU 3 dan BUKU 4 yang membuka jaringan kantor di
Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan
pembukaan jaringan kantor di Zona 5 atau Zona 6 dengan jumlah
tertentu. Kewajiban ini dikecualikan bagi bank yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh Pemda yang melakukan pembukaan kantor
di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
d. Rencana Tindak (Action Plan)
1. Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan
usaha, kegiatan valuta asing, penyertaan, dan pemenuhan kewajiban
penyaluran kredit atau pembiayaan produktif paling lambat akhir
bulan Maret 2013.
2. Rencana tindak yang telah disetujui Bank Indonesia tersebut, akan
dijadikan acuan bagi Bank dalam merevisi RBB yang disampaikan
paling lambat akhir bulan Juni 2013.
3. Jangka waktu untuk melakukan penyesuaian produk, aktivitas,
dan penyertaan paling lama akhir Juni 2016. Sedangkan bagi BPD
jangka waktu penyesuaian paling lambat Juni 2018.
e. Perlakuan pengawasan terhadap Bank yang mengalami penurunan
Modal Inti.
Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga mengalami
penurunan BUKU selama 3 bulan berturut-turut wajib menyusun
rencana tindak yang dapat berupa penghentian kegiatan usaha yang
tidak sesuai dengan BUKU atau menambah modal. Bank diberikan
jangka waktu 1 tahun untuk menyelesaikan pelaksanaan action plan
tersebut.
f. Pengenaan sanksi kepada Bank.
Pengenaan sanksi kepada Bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan
atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah yaitu teguran tertulis, penurunan
peringkat Tingkat Kesehatan, larangan pembukaan jaringan kantor
dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu.
g. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa
peraturan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yaitu:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/27/PBI/2012 28 Desember 2012
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
No.5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip Kehati-
hatian dalam Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4296).
2. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang
Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum
Devisa.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal
7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank
Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku, pada saat berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Bank Indonesia ini yang mengatur mengenai kegiatan valuta asing
bagi Bank.
I. Latar Belakang
Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi
dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank
yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang
bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk
perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme,
dengan modus operandi yang lebih canggih.
Selain itu, Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) juga mengalami
penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung
upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ketentuan Bank Indonesia mengenai
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum yang selama ini diterapkan, dinilai perlu
disesuaikan dalam rangka harmonisasi dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan standar internasional. Penyesuaian pengaturan
tersebut antara lain meliputi:
a. Pengaturan mengenai transfer dana.
b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi.
110
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
111
c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya
dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan
inklusif (financial inclusion).
d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking.
II. Pokok-pokok pengaturan
1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris
Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup:
a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan
PPT);
b. mengusulkan kebijakan tertulis program APU dan PPT kepada
Dewan Komisaris;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
d. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU
dan PPT dan/atau menunjuk Pejabat yang bertanggungjawab
terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat;
e. melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam
menerapkan program APU dan PPT;
f. memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja khusus
dan memiliki:
1. pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau
2. pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.
g. memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha
yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
huruf f di atas dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan
kebijakan dan prosedur program APU dan PPT.
h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan
produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan
modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit
kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang
berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala. Sementara
itu, Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT;
dan
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Tanggal
b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap
penerapan program APU dan PPT
2. Kebijakan dan prosedur
Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib memiliki
pedoman pelaksanaan Program APU dan PPT yang memuat kebijakan
dan prosedur tertulis paling kurang mencakup:
a. Permintaan informasi dan dokumen;
b. Beneficial Owner;
c. Verifikasi dokumen;
d. CDD yang lebih sederhana;
e. Penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
f. Ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
g. Pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga;
h. Pengkinian dan pemantauan;
i. Cross Border Correspondent Banking;
j. Transfer dana;
k. Penatausahaan dokumen; dan
l. Pelaporan kepada PPATK
3. Pengendalian Intern
Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. Dalam
memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh Bank,
Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara
lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample
testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program
APU dan PPT Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif
antara lain dibuktikan dengan:
a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang
memadai;
b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait
dengan penerapan program APU dan PPT; dan
c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan
program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern.
4. Sistem informasi manajemen
Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif
mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank.
Sistem informasi tersebut harus dapat memungkinkan Bank untuk
menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan,
baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam
kaitannya dengan kasus peradilan.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
112
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Selain itu, Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara
terpadu (Single Customer Identification File), yang merupakan data
profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh
satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro
dan kredit, serta memiliki dan memelihara profil WIC.
5. Sumber daya manusia dan pelatihan
Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan
pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak
intern Bank, Bank wajib melakukan:
a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru
(pre employee screening); dan
b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pemanfaatan
jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan
terorisme dimungkinkan juga melibatkan karyawan Bank itu sendiri.
Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya
dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui
lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE)
yang diantaranya adalah melalui prosedur pre employee screening,
pengenalan dan pemantauan profil yang mencakup karakter,
perilaku dan gaya hidup karyawan.
Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan
tentang:
a. implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
program APU dan PPT;
b. teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan
terorisme; dan
c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta
peran dan tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian
uang atau pendanaan terorisme.
6. Penerapan Program APU dan PPT bagi Kantor Cabang dari Bank yang
Berbadan hukum Indonesia di luar negeri
Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan
dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor
dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya.
b. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank memiliki
peraturan APU dan PPT yang lebih ketat, maka kantor Bank dimaksud
wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara
dimaksud.
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
114
c. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank belum
mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar
Program APU dan PPT yang dimiliki lebih, kantor Bank dimaksud
wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia.
d. Dalam hal penerapan Program APU dan PPT mengakibatkan
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang
berlaku di negara tempat kedudukan kantor Bank berada maka
pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan
kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia.
7. Pelaporan
Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib menyampaikan
kepada Bank Indonesia:
a. penyesuaian action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam
laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi
kepatuhan pada bulan Juni 2013;
b. penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat 6
(enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia;
c. laporan rencana kegiatan pengkinian data disampaikan setiap tahun
dalam Laporan Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan
bulan Desember; dan
d. laporan realisasi pengkinian data disampaikan setiap tahun dalam
laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi
Kepatuhan bulan Desember.
8. Sanksi
Terdapat pengenaan sanksi administratif terhadap kewajiban penyampaian
pedoman dan laporan berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
b. dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Selain itu, terhadap Bank yang:
a. tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan
Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali pemeriksaan; dan/
atau
b. tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam action
plan dan/atau rencana kegiatan pengkinian data,
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
RingkasanTanggalNo. Peraturan
c. tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam
pedoman pelaksanaan program APU dan PPT yang berdampak
signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT, dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
9. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan
Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 mengenai Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5032),
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Seluruh ketentuan Bank Indonesia
yang mengacu kepada ketentuan mengenai Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank
Umum selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini,
kecuali diatur tersendiri.
115
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
116
Halaman ini sengaja dikosongkan
117
RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012
1. Surat Edaran Nomor 14/24/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan ketentuan pelaksanaan dari
Peraturan Bank Indonesia No.14/4/PBI/2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 Tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. Surat Edaran ini
mencabut Surat Edaran No. 13/21/DSM tanggal 15 Agustus 2011 perihal
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank.
2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan
aturan sebelumnya mencakup:
a. Penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan LLD dan koreksi
laporan LLD, yaitu:
1. Penyampaian laporan LLD dari sebelumnya paling lama tanggal
10 menjadi tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
periode laporan.
2. Penyampaian koreksi laporan LLD dari sebelumnya paling lama
tanggal 15 menjadi tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan periode laporan.
b. Pengunduran waktu pemberlakuannya sanksi atas Laporan LLD dan
koreksi Laporan LLD, yaitu dari sebelumnya mulai data periode laporan
Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012 menjadi
mulai data periode laporan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan
Agustus 2012.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 September
2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan petunjuk pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia No. 14/6/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan
(Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 18 Juni
2012. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan sebelumnya
14/24/DSM
RingkasanTanggalNo. Peraturan
7 September 2012
14/25/DPbS 12 September 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
118
yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/6/DPbS tanggal
8 Maret 2010 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Surat Edaran Bank Indonesia ini menjelaskan secara lebih rinci uji kemampuan
dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan Komisaris dan calon
anggota Direksi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS), calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak
awal hanya akan menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin
Kantor Perwakilan Bank Asing (KPwBA);
b. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap:
1. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif UUS,
serta pemimpin KPwBA; dan
2. Pihak yang sudah tidak menjadi PSP BUS dan BPRS atau tidak
menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif
UUS, serta pemimpin KPwBA, namun yang bersangkutan ditengarai
terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan
yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada
BUS, BPRS, UUS, atau KPwBA.
c. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) tidak dilakukan terhadap
perpanjangan jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi BUS atau BPRS, Direktur UUS, dan pemimpin KPwBA kecuali
perpanjangan jabatan untuk “Bank Syariah hasil penggabungan” yang
berasal dari “Bank Syariah yang menerima penggabungan (surviving
bank)”.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur secara lebih jelas mengenai
rincian dokumen administratif dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT
New Entry) yang harus dipenuhi oleh calon PSP, calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan BPRS, calon Direktur UUS
yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan menjabat sebagai Direktur
UUS, dan calon pemimpin KPwBA, berikut contoh format dokumen
administratif yang dipersyaratkan.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
119
4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur lebih rinci mengenai tata cara
(proses) uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon
PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan
BPRS, calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan
menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin KpwBA, yang
meliputi:
a. penelitian administratif;
b. pelaksanaan wawancara; dan
c. penetapan hasil penilaian.
5. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dijelaskan secara lebih rinci
pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP,
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS
dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA
yang terindikasi memiliki permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan dan/atau kompetensi, yang meliputi:
a. Cakupan yang menjadi obyek uji kemampuan dan kepatutan (FPT
Existing) terkait dengan permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan dan/atau kompetensi untuk PSP, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS,
Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA;
b. Tata cara atau prosedur yang dilakukan dalam uji kemampuan dan
kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS
dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA; dan
c. Penetapan hasil dan konsekuensi atas hasil uji kemampuan dan
kepatutan (FPT Existing) bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat
Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA.
6. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan setiap saat
berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan
(off site supervision dan/atau on site supervision) maupun informasi lainnya
yang diperoleh Bank Indonesia.
7. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan dengan melalui
4 (empat) langkah yaitu:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
120
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji;
b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak yang diuji;
c. tanggapan dari pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan
dan kepatutan; dan
d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
kepada pihak yang diuji.
8. Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan
berdasarkan tingkat keterlibatan atau peranan pihak yang diuji terhadap
permasalahan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan, yang dikategorikan
menjadi Pelaku dan Pelaku Pembantu.
9. Apabila PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,
Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan Tidak Lulus dalam
uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) karena memiliki permasalahan
integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi
pada BUS, UUS, BPRS atau KPwBA maka yang bersangkutan dilarang:
a. menjadi PSP pada seluruh BUS dan BPRS;
b. menjadi pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) pada
seluruh BUS dan BPRS;
c. menjadi pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank
Perkreditan Rakyat; dan/atau
d. bertindak sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur
UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA pada industri perbankan,
sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia.
10.Jangka waktu larangan terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan
Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dibedakan
menjadi 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun dan 20 (dua puluh) tahun sesuai
dengan perbuatan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan.
1. Surat Edaran yang diterbitkan tanggal 19 September 2012 ini merupakan
tindak lanjut amanat pasal 2A PBI Nomor 13/26/PBI/2011 tanggal 28
Desember 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/26/DKBU 19 September 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
121
RingkasanTanggalNo. Peraturan
telah diterbitkan dan mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2011. SE
ini mewajibkan BPR untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur
perkreditan secara tertulis.
2. SE Ekstern melampirkan Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan bagi
Bank Perkreditan Rakyat yang merupakan acuan standar minimal yang
wajib dipenuhi oleh BPR dalam menyusun Pedoman Kebijakan Perkreditan
BPR (PKPB). BPR harus menyusun dan mengembangkan Pedoman Kebijakan
Perkreditan BPR sesuai dengan kebutuhan, struktur organisasi BPR dan
kompleksitas operasional usahanya dengan tetap mengacu pada Pedoman
Standar Kebijakan Perkreditan bagi BPR sebagaimana lampiran SE Ekstern.
3. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan penting dimiliki oleh setiap
BPR dalam rangka:
a. Meningkatkan governance BPR terutama dalam pelaksanaan operasional
perkreditan.
b. Memastikan penerapan prinsip kehati-hatian dan azas-azas perkreditan
yang sehat dalam pelaksanaan perkreditan BPR.
c. Pelaksanaan mitigasi risiko terhadap penambahan jenis dan bentuk
pengikatan agunan yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang
dalam pembentukan PPAP sebagaimana diatur dalam PBI No.13/26/2011
dalam rangka peningkatan akses kredit UMKM kepada BPR.
4. Pokok-pokok kebijakan perkreditan BPR yang mengacu pada Pedoman
Standar KPB paling kurang mencakup:
a. Kebijakan Pokok dalam Perkreditan, yang paling kurang meliputi:
1. Prinsip Kehati-hatian dalam Perkreditan;
2. Organisasi dan Manajemen Perkreditan;
3. Kebijakan Persetujuan Kredit;
4. Dokumentasi dan Administrasi Kredit;
5. Pengawasan Kredit; dan
6. Penanganan Kredit Bermasalah;
b. Transparansi, yang merupakan kebijakan BPR untuk memberikan
informasi dengan lengkap dan jelas mengenai kredit yang ditawarkan
kepada debitur/calon debitur. Informasi tersebut paling kurang meliputi:
1. Informasi mengenai karakteristik kredit yang ditawarkan kepada
debitur/calon debitur yang mencakup nama kredit yang ditawarkan,
manfaat dan risiko yang melekat, persyaratan kredit, biaya-biaya
yang melekat, perhitungan bunga dan jangka waktu kredit yang
ditawarkan; dan
Tanggal
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
122
2. Kejelasan mengenai bentuk dan isi Perjanjian Kredit serta pengikatan
agunan.
5. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan perkreditan, yang paling kurang mencakup:
a. Menelaah dan menyetujui kebijakan perkreditan BPR yang diusulkan
oleh Direksi;
b. Mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan
pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan BPR;
c. Melaporkan hasil pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan
prosedur perkreditan BPR oleh Direksi kepada Bank Indonesia dalam
laporan pelaksanaan rencana kerja.
d. Laporan hasil pengawasan tersebut paling kurang memuat:
1. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
2. Penilaian terhadap pelaksanaan penanganan kredit bermasalah
6. BPR melakukan evaluasi atas PKPB untuk memastikan PKPB telah sesuai
dengan perkembangan organisasi dan kompleksitas operasional BPR.
Perubahan/perbaikan terhadap PKPB yang dilakukan atas dasar hasil
evaluasi tersebut harus tetap mengacu pada Pedoman Standar KPB ini.
7. BPR wajib menyampaikan PKPB kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 28 Desember 2012, sedangkan bagi BPR yang didirikan setelah
tanggal 28 Desember 2012, wajib menyampaikan PKPB kepada Bank
Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak izin usaha BPR diberikan.
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai aturan pelaksana
Pasal 58B Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 yang pada intinya
mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan penyesuaian kepemilikan
Kartu Kredit khususnya yang dimiliki Pemegang Kartu Kredit yang
berpendapatan antara Rp3juta s.d. Rp10juta tiap bulan. Penyesuaian
kepemilikan Kartu Kredit ini untuk meningkatkan penerapan aspek
kehati-hatian, dan aspek manajemen risiko pemberian kredit dalam
penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).
2. Pokok-pokok materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini
antara lain:
a. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yang meliputi pengaturan
mengenai:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/27/DASP 25 September 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
123
1. kewajiban Penerbit Kartu Kredit menyampaikan seluruh data
Pemegang Kartu Kredit kepada asosiasi Penerbit Kartu Kredit;
2. pelaksanaan kompilasi dan identifikasi data Pemegang Kartu Kredit
oleh asosiasi Penerbit Kartu Kredit;
3. penyampaian hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit oleh
asosiasi Penerbit Kartu Kredit;
4. kewajiban Penerbit menutup/mengakhiri penggunaan Kartu Kredit,
serta melakukan penyesuaian Kartu Kredit yang dimiliki oleh
Pemegang Kartu Kredit yang memiliki pendapatan tiap bulan
antara Rp3juta s.d. Rp10juta;
5. kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk meminta Pemegang Kartu
Kredit memilih/menentukan sendiri Kartu Kredit yang akan ditutup
dan/atau disesuaikan; dan
6. penyelesaian tagihan Kartu Kredit.
b. konsultasi dengan Bank Indonesia, yang meliputi pengaturan mengenai:
1. persyaratan dan tata cara permohonan konsultasi;
2. pelaksanaan konsultasi: tahap konsultasi awal, tahap konsultasi
lanjutan, dan tahap pelaksanaan hasil konsultasi;
c. metode penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yaitu:
1. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit berdasarkan kualitas kredit
dan masa perolehan Kartu Kredit; dan
2. penyesuaian plafon Kartu Kredit.
d. pengawasan dan laporan perkembangan penyesuaian Kartu Kredit,
meliputi pelaporan hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit, dan
pelaporan pelaksanaan hasil konsultasi.
3. Dalam melakukan penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, Penerbit diberikan
jangka waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari
2013. Dengan demikian per 1 Januari 2015, seluruh Pemegang Kartu
Kredit telah memenuhi persyaratan batas minimum usia, batas minimum
pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan batas maksimum jumlah
Penerbit Kartu Kredit yang memberikan fasilitas Kartu Kredit.
1. Peraturan ini diterbitkan untuk melakukan penyempurnaan mekanisme
Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) dalam rangka Standing Facilities Syariah (Repo SBSN).
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/28/DPM 17 September 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
124
2. Repo SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh BUS/UUS kepada
Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh BUS/UUS sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing
Facilities Syariah.
3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al
bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada
Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.
4. Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka
waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight).
5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN untuk kepentingan sendiri, dengan
memenuhi syarat :
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan OMS;
c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan
d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
6. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut :
a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek;
b. tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS;
c. tidak sedang diagunkan; dan
d. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat
second leg Repo SBSN.
7. Window time Repo SBSN adalah pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul
18.00 WIB pada setiap hari kerja. BUS/UUS dapat mengajukan Repo SBSN
melalui BI-SSSS yang meliputi antara lain nilai nominal, jenis dan seri SBSN
yang di-repo-kan.
8. Atas Repo SBSN, Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN yaitu
tingkat keuntungan (profit rate) dalam setahun (per annum) yang disepakati
oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. Bank Indonesia
menetapkan Marjin Repo SBSN sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal
transaksi ditambah marjin tertentu.
9. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
125
a. first leg
• setelmen first leg dilakukan pada tanggal setelmen setelah pre cut
off Sistem BI-RTGS.
• BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan
dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.
b.second leg
• setelmen second leg dilakukan pada tanggal setelmen second leg
BI-SSSS secara otomatis sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan
cut off warning Sistem BI-RTGS.
• BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah
yang cukup untuk setelmen second leg.
10.Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second
leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.
11.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban
setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi :
a. sanksi teguran tertulis;
b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal
sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS
dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan
d.sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg
dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN
pada transaksi first leg.
12.Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/44/DPM tanggal 10 Desember
2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia;
b.Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/24/DPM tanggal 30 Agustus
2010 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi
Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Dengan Bank Indonesia.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
126
1. Surat Edaran Bank Indonesia mengenai tata cara penitipan sementara
surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan
dengan pertimbangan:
a. sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
No.14/13/PBI/2012 tanggal 16 Oktober 2012 tentang Penitipan
Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5350);
b. memberikan informasi mengenai tata cara penitipan sementara surat
yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia kepada
masyarakat.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai
tata cara penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga
pada Bank Indonesia meliputi:
a. tata cara penerimaan barang yang akan dititipkan dari calon penitip
kepada Bank Indonesia;
b. tata cara pengambilan titipan baik pada tanggal jatuh waktu maupun
sebelum tanggal jatuh waktu;
c. tata cara penggantian Bukti Titipan Sementara yang hilang atau rusak;
d. tata cara perpanjangan jangka waktu titipan;
e. waktu pelaksanaan penerimaan titipan, penyerahan titipan, penggantian
BTS yang hilang atau rusak, atau perpanjangan jangka waktu titipan;
f. tata cara penyelesaian titipan kedaluwarsa; dan
g. tata cara pemutusan hubungan penitipan oleh Bank Indonesia.
3. Pada saat Surat Edaran BI ini mulai berlaku, Surat Edaran BI No.7/21/DPM
tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang
Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Surat Edaran BI No.11/20/DPM tanggal 4 Agustus 2009,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
I. Latar Belakang Perubahan Pengaturan
1. Review atas pengaturan Pinjaman Luar Negeri (PLN) Bank perlu dilakukan
secara kontinu dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan kredibilitas,
kualitas dan efektifitas pengaturan, serta konsistensi kebijakan dengan
melihat antara lain perkembangan kondisi perbankan, pasar keuangan,
dan perekonomian.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/29/DPU 16 Oktober 2012
14/30/DInt 22 Oktober 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Perubahan terhadap SE Ekstern No.9/1/DInt perihal PLN Bank dilakukan
karena dipandang perlu memperjelas pengaturan PLN Bank khususnya
mengenai mekanisme perpanjangan (roll over) PLN Bank. Dalam hal
ini, cakupan roll over adalah roll over PLN Jangka Panjang dan/atau
roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang.
II. Bentuk Perubahan
Penambahan satu butir ketentuan, yaitu butir I.D.3.f1 (di antara butir
I.D.3.f dan I.D.3.g) mengenai realisasi persetujuan roll over PLN Jangka
Panjang dan/atau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang
yang dapat disesuaikan dengan jatuh tempo per tranche.
III.Pokok-pokok Perubahan
Realisasi untuk persetujuan roll over PLN Jangka Panjang dan/atau roll
over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang dapat disesuaikan
dengan jatuh tempo per tranche. Dengan demikian, apabila realisasi PLN
Bank pada awalnya dilakukan secara bertahap (dalam beberapa tranches),
maka realisasi perpanjangan PLN tersebut dapat melampaui 3 (tiga) bulan
dari tanggal persetujuan roll over sesuai dengan jatuh tempo masing-
masing tranche pinjaman tersebut.
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia No. 14/12/PBI/2012 tanggal 15 Oktober 2012
dan dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan
penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah
menyempurnakan pedoman penyusunan laporan dan petunjuk teknis
aplikasi laporan khususnya terkait dengan laporan-laporan sebagai berikut:
1. proyeksi arus kas.
2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank yang meliputi:
a. bancassurance;
b. reksadana; dan
c. produk keuangan luar negeri.
3. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking.
4. structured products.
5. pejabat eksekutif.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/31/DPNP 31 Oktober 2012
127
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
6. jaringan kantor
7. laporan keuangan publikasi Bank
8. tenaga kerja perbankan
3. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 1 November 2012.
1. Repo SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk penambahan likuiditas Bank
dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS) atau ekspansi moneter.
2. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al
bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada
Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.
3. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja Bank
Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat
1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari.
4. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang
fixed rate tender maupun variable rate tender.
5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan
sendiri, dengan memenuhi syarat :
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan OMS;
c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan
d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
6. BUS/UUS dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara
langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara.
7. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing,
dan pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara Lembaga Perantara
hanya dapat mengajukan penawaran untuk kepentingan BUS/UUS dan
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/32/DPM 7 November 2012
128
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan
b.tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas
yang berwenang.
8. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut :
a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek;
b.tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS;
c. tidak sedang diagunkan; dan
d.memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat
second leg Repo SBSN.
9. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah
melalui BI-SSSS paling lambat sebelum window time, pelaksanaan lelang
antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.
10.Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi:
a. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang
dengan metode fixed rate tender; atau
b.nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo
SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.
11.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah
setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang
maupun secara keseluruhan.
12.Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:
a. first leg
BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan dalam
jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.
b.second leg
• setelmen second leg dilakukan secara otomatis di BI-SSSS pada
tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak
Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BI-
RTGS.
• BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah
yang cukup untuk setelmen second leg.
13.Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second
leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
129
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
14.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban
setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi :
a. sanksi teguran tertulis;
b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal
sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS
dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan
d.sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg
dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN
pada transaksi first leg.
1. Latar belakang
Sebagaimana pada perbankan konvensional, pertumbuhan pembiayaan
kepemilikan rumah (KPR iB) yang terlalu tinggi pada perbankan syariah
dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan
harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit
bagi bank yang memiliki eksposur pembiayaan properti yang besar.
Demikian pula untuk pembiayaan kendaraan bermotor (KKB iB) bahwa
pembiayaan KKB iB yang terlalu ekspansif dapat meningkatkan risiko
kredit bagi bank.
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan peningkatan peran
perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
melalui pembiayaan yang produktif maka sebagaimana yang telah
diberlakukan untuk perbankan konvensional, perbankan syariah perlu
menetapkan kebijakan terkait denganpembiayaan KPR iB dan KKB iB.
Kebijakan dalam pembiayaan KPR iB dan KKB iB pada perbankan syariah
dilakukan dengan tetap memperhatikan karakteristik produk perbankan
syariah termasuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
2. Pokok-pokok ketentuan
a. Produk pembiayaan KPR iB
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/33/DPbS 27 November 2012
130
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
131
1) Pengaturan pembiayaan KPR iB hanya diberlakukan untuk pembiayaan
KPR iB untuk rumah/bangunan tipe 70 ke atas dan tidak termasuk
KPR iB dalam rangka pelaksanaan program perumahan yang
ditetapkan pemerintah.
2) Pembiayaan KPR iB dengan akad Murabahah atau Istishna dikenakan
ketentuan batasan Financing to Value (FTV) paling tinggi 70% artinya
jumlah pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank syariah paling
banyak sebesar 70% dari nilai agunan yang diserahkan nasabah.
Agunan dalam hal ini adalah rumah/bangunan yang dibiayai bank.
3) Pembiayaan KPR iB dengan skim Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)
dipersyaratkan adanya batasan penyertaan (sharing) kepemilikan
rumah/bangunan pada saat awal oleh bank syariah ditetapkan
paling tinggi 80% dari nilai rumah/bangunan, atau dengan kata
lain nasabah diharuskan melakukan penyertaan (sharing) kepemilikan
awal paling rendah 20% nilai rumah/bangunan.
4) Pembiayaan KPR iB dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
(IMBT) dipersyaratkan adanya uang jaminan (deposit) yang harus
diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah paling rendah 20%
dari nilai rumah/bangunan. Uang jaminan tersebut nantinya akan
diperhitungkan sebagai pembayaran atas pembelian rumah/
bangunan pada saat akad IMBT jatuh tempo dalam hal nasabah
mengambil opsi untuk membeli rumah/bangunan yang menjadi
obyek IMBT.
Dalam hal nasabah tidak mengambil opsi untuk membeli rumah/
bangunan yang menjadi obyek IMBT, maka uang jaminan tersebut
akan dikembalikan kepada nasabah.
b. Produk pembiayaan KKB iB
Pembiayaan KKB iB pada perbankan syariah dipersyaratkan adanya
uang muka (down payment) dari nasabah yaitu:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Ketentuan Keterangan
Uang muka paling rendah
25%
Uang muka paling rendah
30%
untuk pembelian kendaraan bermotor
roda dua atau roda 3.
untuk pembelian kendaraan bermotor
roda empat untuk keperluan non
produktif.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
132
3. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk
KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 dan angka 3 tersebut di atas dapat disesuaikan
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
4. Sanksi pelanggaran:
a. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan kegiatan
produk KPR iB dan/atau KKB iB apabila melanggar ketentuan butir
IV.C, butir V.B, butir V.D, dan butir VI.B Surat Edaran ini.
b. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR iB
dan/atau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008
tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
5. BUS atau UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
penyaluran KPR iB dan/atau KKB iB sebelum Surat Edaran ini berlaku,
wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur KPR iB dan/atau KKB iB serta
menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal
31 Maret 2013.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Ketentuan Keterangan
Uang muka paling rendah
20%
untuk pembelian kendaraan bermotor
roda empat atau lebih untuk keperluan
produktif, yaitu bila memenuhi salah
satu syarat :
1) merupakan kendaraan angkutan
orang atau barang yang memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pihak
berwenang untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu; atau
2) diajukan oleh perorangan atau
badan hukum yang memiliki izin
usaha tertentu yang dikeluarkan
oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional usaha yang
dimiliki.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
6. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk
KPR iB dan uang muka (down payment) untuk KKB iB tidak berlaku untuk
KPR iB dan KKB iB yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum
berlakunya Surat Edaran ini.
7. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 27 November 2012, sedangkan
ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk
KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB mulai berlaku
pada tanggal 1 April 2013.
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan aspek
perlindungan konsumen pengguna Kartu Kredit di Indonesia serta
mendukung praktek pemberian Kartu Kredit yang lebih memperhatikan
manajemen risiko pemberian kredit.
2. Materi pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. penetapan batas maksimum suku bungan Kartu Kredit yang wajib
diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit, yaitu sebesar 2,95% (dua koma
sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh lima
koma empat puluh persen) per tahun;
b. batas maksimum suku bunga Kartu Kredit tersebut berlaku baik untuk
transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan
c. penegasan bahwa Bank Indonesia dapat mengubah batas maksimum
suku bunga Kartu Kredit tersebut dengan mempertimbangkan, antara
lain:
1) indikator perekonomian seperti BI rate;
2) struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund),
biaya operasional dan pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk
premium); dan/atau
3) praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku secara efektif pada 1 Januari
2013.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/34/DASP 27 November 2012
133
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Latar Belakang Pengaturan :
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia No. 14/14/PBI/2012 tanggal 18 Oktober 2012
tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. SE ini mewajibkan bank
untuk menyampaikan informasi berkala mengenai kondisi Bank secara
menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan transparansi kondisi keuangan
Bank kepada publik dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan. Penyesuaian SE ini juga diselaraskan dengan implementasi Pilar
3 Basel II mengenai market discipline.
Substansi Pengaturan :
1. Laporan Tahunan paling kurang mencakup:
a. Informasi Umum
b. Laporan Keuangan Tahunan
c. Opini dari Akuntan Publik
d. Pengungkapan Permodalan serta Pengungkapan Eksposur Risiko dan
Penerapan Manajemen Risiko Bank
e. Aspek Transparansi sesuai Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
f. Aspek Pengungkapan yang terkait dengan Kelompok Usaha
g. Aspek Pengungkapan sesuai Standar Akuntansi Keuangan
h. Informasi Lain
2. Penyesuaian utama dalam cakupan Laporan Tahunan adalah diwajibkannya
pengungkapan secara lebih detail dan komprehensif mengenai eksposur
risiko dan penerapan manajemen risiko bank, serta kecukupan permodalan
yang dimiliki. Pengungkapan permodalan serta pengungkapan eksposur
risiko dan penerapan manajemen risiko bank dilakukan untuk Bank secara
individual dan Bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, serta
paling kurang terdiri atas:
a. Pengungkapan permodalan; dan
b. Pengungkapan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko paling
kurang untuk risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas,
risiko hukum, risiko stratejik, riisko kepatuhan dan risiko reputasi.
3. Selain menyampaikan Laporan Tahunan, Bank yang merupakan bagian
dari kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak,
wajib menyampaikan laporan tahunan tertentu kepada Bank Indonesia
yang paling kurang mencakup:
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/35/DPNP 10 Desember 2012
134
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
135
a. Laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan
Induk di Bidang Keuangan;
b. Laporan tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham
mayoritas atau laporan tahunan perusahaan yang melakukan
pengendalian langsung kepada Bank; dan
c. Laporan tahunan Perusahaan Anak.
4. Ketentuan penyampaian Laporan Tahunan dan laporan tahunan tertentu
mulai berlaku terhadap penyampaian Laporan Tahunan dan laporan
tahunan tertentu Tahun Buku 2012.
1. Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari PBI No.14/9/PBI/2012
tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR.
2. Dengan diberlakukannya ketentuan ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia
No.6/35/DPBPR tanggal 16 Agustus 2004 perihal Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
3. Penyempurnaan pengaturan ini antara lain:
a. Penyempurnaan cakupan pihak-pihak yang wajib menjalani uji
kemampuan dan kepatutan.
1. Penambahan calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon
anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi BPR yang
melakukan merger dan konsolidasi sebagai pihak-pihak yang wajib
menjalani uji kemampuan dan kepatutan.
2. Penambahan PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
atau Pejabat Eksekutif yang sudah tidak lagi menjadi PSP atau
tidak lagi menjabat sebagai anggota Komisaris, Direksi, atau Pejabat
Eksekutif namun terindikasi mempunyai permasalahan integritas,
kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi pada bank,
sebagai pihak yang wajib menjalani uji kemampuan dan kepatutan.
3. Terhadap pengangkatan kembali jabatan anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi pada BPR yang sama tidak dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan. Pengangkatan kembali jabatan anggota
Dewan Komisaris dan anggota Direksi tersebut dilaporkan kepada
Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah RUPS dengan
memperhatikan berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/36/DKBU 24 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
b. Penyempurnaan tatacara uji kemampuan dan kepatutan:
1. New Entry
Memuat penjelasan mengenai:
• tata cara uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian
administratif dan wawancara.
• tatacara penghentian uji kemampuan dan kepatutan bagi calon
yang diajukan BPR.
2. Existing
Memuat penjelasan mengenai:
• tindakan/perbuatan yang termasuk dalam permasalahan
integritas, kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi
bagi uji kemampuan dan kepatutan.
• sumber bukti/data/informasi sebagai dasar dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan.
• tahapan penilaian.
• klasifikasi tingkat keterlibatan/peran dari pihak yang diuji.
• konsekuensi tidak lulus khususnya apabila pihak yang ditetapkan
tidak lulus tersebut telah menjadi pemegang saham atau
pengurus pada bank lain.
• surat kuasa menjual saham (bentuk, isi, dan pihak yang dapat
menerima surat kuasa menjual).
c. Penjelasan pengenaan jangka waktu sanksi, sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 3a dan 3b Surat Edaran ini.
d. Penjelasan ketentuan peralihan.
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini meliputi
antara lain:
a. Komponen Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
paling kurang mencakup:
1. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi dalam ICAAP antara
lain adalah (i) memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi
oleh Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan
mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki
Bank untuk mengantisipasi risiko-risiko yang dihadapi dan untuk
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/37/DPNP 27 Desember 2012
136
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
137
mendukung rencana bisnis serta rencana strategis Bank di masa
mendatang dan (ii) memastikan terlaksananya ICAAP secara
konsisten dan terintegrasi dalam aktivitas operasional Bank.
2. Penilaian Kecukupan Modal
Dalam pelaksanaan penilaian kecukupan modal, bank antara lain
wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai untuk
memastikan bahwa seluruh risiko telah diidentifikasi, diukur, dan
dilaporkan secara berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi.
Selain itu Bank wajib memiliki metode dan proses dalam melakukan
penilaian kecukupan permodalan dengan mengaitkan tingkat risiko
dengan tingkat permodalan yang dibutuhkan untuk menyerap
potensi kerugian dari risiko dimaksud. Hasil pengukuran risiko dan
perhitungan tingkat permodalan yang dibutuhkan, termasuk
metode dan asumsi yang digunakan wajib didokumentasikan.
3. Pemantauan dan Pelaporan
Dalam proses pemantauan dan pelaporan, Bank wajib memiliki
sistem informasi yang memadai untuk memantau dan melaporkan
eksposur risiko serta mengukur dampak perubahan profil risiko
terhadap kebutuhan modal Bank. Laporan disampaikan secara
berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi.
4. Pengendalian Internal
Dalam pelaksanaan pengendalian internal, Bank wajib memiliki
sistem pengendalian intern yang memadai untuk memastikan
keandalan dari ICAAP yang diimplementasikan serta melakukan
kaji ulang ICAAP secara berkala paling kurang 1 (satu) tahun sekali
dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan Bank.
b. Terhadap ICAAP bank, Bank Indonesia melakukan Supervisory Review
and Evaluation Process (SREP), yang meliputi penilaian terhadap:
1. Kecukupan pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
2. Kecukupan penilaian kecukupan modal;
3. Kecukupan pemantauan dan pelaporan;
4. Kecukupan pengendalian internal.
c. Laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko dan
Laporan pemenuhan CEMA minimum disusun sesuai pedoman yang
diatur dalam SE BI ini.
d. Dalam rangka pemenuhan CEMA, aset keuangan yang digunakan
sebagai CEMA harus bebas dari klaim pihak manapun yang dibuktikan
dengan surat pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri. Surat pernyataan tersebut mengacu pada format surat
pernyataan dalam Lampiran SE BI ini.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
138
e. Pemenuhan CEMA minimum dilakukan melalui tahapan implementasi
sebagai berikut:
1. Seluruh kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
wajib memenuhi CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen)
dari total kewajiban bank paling lambat posisi bulan Juni 2013.
2. Dalam hal CEMA minimum sebesar 8% terhadap rata-rata total
kewajiban lebih kecil dari Rp1 Triliun sejak posisi bulan Juni 2013
sampai dengan posisi bulan November 2017, kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri tetap wajib memenuhi
CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban
bank.
3. Kewajiban pemenuhan CEMA minimum paling sedikit Rp1 Triliun
bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada angka 2), berlaku sejak posisi bulan
Desember 2017.
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/3/PBI/2012 tentang Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5302), Surat
Edaran ini memuat pedoman standar penerapan program Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran Selain Bank.
2. Dalam menerapkan Program APU dan PPT, Penyelenggara wajib memiliki
kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup:
a. pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence
(EDD), yang terdiri dari:
1. permintaan informasi dan dokumen;
2. verifikasi dokumen; dan
3. pemantauan transaksi.
b. penatausahaan dokumen;
c. penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna
jasa;
d. penolakan dan penghentian hubungan usaha;
e. kebijakan dan prosedur transfer dana; dan
f. pelaporan kepada PPATK.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/38/DASP 28 Desember 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
3. Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank berhubungan
dengan Pengguna Jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan
pencucian uang dan pendanaan terorisme, Penyelenggara tersebut wajib
melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam yang disebut dengan
Enhanced Due Diligence (EDD).
4. Penyelenggara wajib menatausahakan dokumen dengan baik sebagai
upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan
penelusuran terhadap dana-dana yang diindikasikan berasal dari hasil
tindak pidana.
5. Penyelenggara wajib memiliki fungsi pengendalian internal yang efektif
yang dilakukan dengan penetapan kebijakan Direksi, yang dapat memastikan
bahwa pelaksanaan Program APU dan PPT telah sesuai dengan kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan.
6. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 8 Juni 2013.
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 13/3/DPM perihal Laporan Harian Bank Umum sehubungan dengan
adanya pengembangan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian
Bank Umum melalui perubahan beberapa form pelaporan.
II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :
1. Penyempurnaan pelaporan proyeksi arus kas terkait dengan
penyempurnaan metode perhitungan proyeksi arus kas berdasarkan
pendekatan remaining maturity dan berdasarkan pendekatan behavioral
dan rencana pendanaan-penggunaan.
2. Penyempurnaan pelaporan transaksi valas meliputi penyempurnaan
kode tujuan transaksi yang lebih rinci dan penambahan field jenis
dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa
forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya.
3. Pengaturan waktu dan media penyampaian koreksi atas data jenis
dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa
forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya, yaitu paling
lama pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi valas yang
bersangkutan. Koreksi atas data jenis dokumen dimaksud disampaikan
RingkasanTanggalNo. Peraturan
14/39/DPM 28 Desember 2012
139
140
kepada Bank Indonesia melalui daftar pesan pada sistem Laporan
Harian Bank Umum.
4. Perubahan waktu penyampaian koreksi terhadap data suku bunga
penawaran pada tanggal laporan, yang semula paling lama pukul
11.00 WIB pada hari kerja yang sama menjadi paling lama pukul 10.45
WIB pada hari kerja yang sama.
5. Penghapusan kewajiban pelaporan suku bunga dasar kredit rupiah
dan valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan harian bank
umum. Pelaporan suku bunga dasar kredit tersebut akan diatur lebih
lanjut dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
6.Penyempurnaan penyebutan nama satuan kerja di Bank Indonesia
sehubungan dengan adanya perubahan struktur dan fungsi organisasi
di Bank Indonesia.
RingkasanTanggalNo. Peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012