buku-tim-8

326
Lukman Adam 1 BAGIAN PERTAMA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN Oleh Lukman Adam 1 1 Penulis adalah Calon Peneliti P3DI Setjen DPR RI, dan anggota tim asistensi RUU tentang Horti- kultura.

Upload: anonymous-yqzf2qu

Post on 27-Dec-2015

127 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

DFG

TRANSCRIPT

Page 1: buku-tim-8

Lukman Adam

1

BAGIAN PERTAMA

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA

SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKANKETAHANAN PANGAN

Oleh Lukman Adam1

1 Penulis adalah Calon Peneliti P3DI Setjen DPR RI, dan anggota tim asistensi RUU tentang Horti-kultura.

Page 2: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

2

Page 3: buku-tim-8

Lukman Adam

3

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Dibentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikul-

tura merupakan upaya optimal agar kekayaan alam dan kekayaan hayati yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dijaga, dilestarikan, dan dimanfaatkan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekayaan hayati yang dimiliki tersebut berbentuk tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman bahan obat, tanaman florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air, yang mempunyai fungsi sayuran, bahan obat nabati, dan estetika.

Kekayaan hayati produk hortikultura yang dimiliki Indonesia sangat tinggi. Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 551/Kpts/PD.9/2006, komodi-tas hortikultura yg potensial dikembangkan sebanyak 323 komoditas, terdiri atas buah-buahan sebanyak 60 jenis, sayuran sebanyak 80 jenis, biofarmaka sebanyak 66 jenis dan tanaman hias sebanyak 117 jenis. Dari jumlah komoditas tersebut, sampai akhir tahun 2007 hanya 70 jenis yang tercatat dalam data statistik Badan Pusat Statistik (BPS), yang kemudian meningkat menjadi 91 jenis pada tahun 2008. Dari kekayaan genetika tersebut, dapat diciptakan produk-produk masa depan di bidang hortikultura yang bermanfaat bagi pembangunan nasional. Dewasa ini, banyak jenis tanaman hortikultura in-digenous (asli Indonesia) dan jenis yang belum dikenali, tetapi mempunyai po-tensi ekonomi untuk diupayakan pengembangannya menjadi produk komer-sial seperti buah merah, mahkota dewa, dan purwoceng. Keragaman potensi sumber daya alam dan sumber daya hayati yang sangat luas tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam rangka pengembangan usaha agribisnis hortikultura yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi.

Page 4: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

4

Dibandingkan komoditas pertanian lainnya, produk hortikultura memi-liki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sehingga pengembangannya diharapkan berdampak nyata terhadap pendapatan masyarakat, penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional. Produk hortikultura nasional juga perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing yang tercermin dari peningkatan mutu, cita rasa, penampilan, keterjangkauan harga, keberlanjutan pasokan, keefisienan produksi dan perluasan jangkauan pasar.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pasar domestik oleh produk horti-kultura nasional akibat tidak memenuhi harapan masyarakat dimanfaatkan negara lain dengan mengekspor produk hortikultura ke tanah air. Hal ini menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap produk impor yang dalam jangka panjang akan menguras cadangan devisa. Membanjirnya produk impor juga menyebabkan menurunnya citra Indonesia sebagai negara produsen horti-kultura tropis di kalangan internasional.

Walaupun demikian, peran sub sektor hortikultura dalam perekonomian Indonesia sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sangat besar dan mempunyai kecenderungan selalu meningkat. Sebagai contoh, PDB sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tahun 2004 mencapai 329.124,6 (milyar rupiah), sehingga kon-tribusi PDB sub sektor hortikultura pada tahun tersebut mencapai 17,3 persen.

Kontribusi komoditas buah-buahan untuk PDB hortikultura dibandingkan komoditas lainnya mencapai di atas 50 persen, kecuali pada tahun 2009 yang hanya sebesar 49 persen. Untuk komoditas tanaman obat nilainya terus menga-lami peningkatan. Pada tahun 2003, kontribusinya hanya sebesar 1 persen, namun pada tahun 2009 kontribusinya mencapai 6,6 persen.

Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode 2003-2009(Milyar Rp.)

Komoditas

Nilai PDB

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Buah-buahan 28.246 30.765 31.694 35.448 37.539 40.717 43.650

Sayuran 20.573 20.749 22.630 24.694 25.762 27.891 32.106

Tanaman Obat 565 722 2.806 3.762 4.211 4.528 5.791

Tanaman Hias 4.501 4.609 4.662 4.734 5.319 5.929 6.732

Total 53.885 56.844 61.792 68.639 72.831 79.065 88.279Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura

Page 5: buku-tim-8

Lukman Adam

5

Kontribusi sub sektor hortikultura dalam pembentukan devisa negara dapat dilihat dari kontribusinya dalam perdagangan internasional. Berdasar-kan data dari Direktorat Jenderal Hortikultura, pada kurun waktu tiga tahun terakhir volume ekspor produk hortikultura berfluktuatif. Sedangkan untuk nilai ekspornya terus mengalami peningkatan. Dari keempat komoditas da-lam sub sektor hortikultura, komoditas buah-buahan mempunyai volume dan nilai yang terbesar.

Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Hortikultura di Indonesia

Tahun

Komoditas

Sayuran Buah-Buahan Tanaman Hias Tanaman Obat

2003

Volume (kg) 120.500.259 189.254.435 681.928 464.554

Nilai (US $) 53.295.642 131.284.927 1.387.338 640.528

2004

Volume (kg) 107.493.047 171.822.618 14.065.154 3.097.914

Nilai (US $) 60.981.193 100.163.544 12.914.439 3.030.364

2005

Volume (kg) 152.658.158 272.296.672 18.259.265 8.590.449

Nilai (US $) 110.581.931 150.062.557 15.027.410 5.119.942

2006

Volume (kg) 236.225.397 262.358.494 15.047.349 4.832.493

Nilai (US $) 126.217.171 144.492.469 16.331.671 4.896.140

2007

Volume (kg) 209.347.875 157.620.956 15.875.683 7.684.734

Nilai (US $) 137.106.305 93.652.526 12.573.931 6.364.773

2008

Volume (kg) 175.927.334 323.888.910 3.343.562 14.670.214

Nilai (US $) 171.468.367 234.867.444 9.230.721 9.448.130

2009

Volume (kg) 212.344.750 275.691.012 10.928.470 11.452.749

Nilai (US $) 194.823.905 224.911.650 18.910.192 13.748.308Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura

Page 6: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

6

Apabila diperhitungkan neraca perdagangan (Tabel 2 dikurangi Tabel 3), komoditas sayuran dan buah-buahan mengalami defisit neraca perdagangan, yang mengindikasikan bahwa perkembangan kedua komoditas ini sangat di-pengaruhi impor dan belum mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan devisa negara. Sedangkan untuk tanaman hias dan tanaman obat mengalami surplus neraca perdagangan.

Tabel 3. Volume dan Nilai Impor Komoditas Hortikultura di Indonesia

Tahun

Komoditas

Sayuran Buah-Buahan Tanaman Hias Tanaman Obat

2003

Volume (kg) 343.935.792 228.447.156 123.999 93.087

Nilai (US $) 103.389.845 194.864.350 376.295 48.102

2004

Volume (kg) 441.944.855 355.257.966 806.647 312.430

Nilai (US $) 156.872.636 186.403.182 1.185.705 329.525

2005

Volume (kg) 508.324.447 413.410.644 1.009.391 318.491

Nilai (US $) 187.983.300 234.071.026 1.848.998 599.019

2006

Volume (kg) 550.437.570 427.484.330 1.076.953 625.720

Nilai (US $) 257.782.590 337.516.726 1.563.464 845.383

2007

Volume (kg) 784.905.479 502.156.143 9.492.285 1.448.754

Nilai (US $) 351.395.713 449.163.864 5.130.110 861.225

2008

Volume (kg) 917.190.172 501.962.718 7.901.365 709.994

Nilai (US $) 442.412.698 474.185.631 4.115.371 588.662

2009

Volume (kg) 954.714.360 615.254.375 9.120.358 675.919

Nilai (US $) 567.919.625 505.221.367 5.224.801 579.214Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura

Page 7: buku-tim-8

Lukman Adam

7

Menurut Made Antara, sejak tahun 1997/1998 harga produk hortikul-tura impor menjadi relatif mahal, sehingga semakin menempatkan pasar hor-tikultura dalam negeri sebagai ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan. Hal ini terlihat dari meningkatnya permintaan produk-produk hortikultura, baik oleh pasar domestik maupun pasar internasional.2 Namun demikian, untuk memberikan kesempatan berkembangnya produk-produk hortikultura dan aneka tanaman dalam negeri, pemerintah harus membatasi jumlah impor yang disesuaikan dengan produksi dalam negeri dan permintaan masyarakat. Sedangkan untuk meningkatkan ekspor produk-produk hortikultura, Indo-nesia masih memiliki persediaan areal pertanian dan lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di beberapa negara pesaing areal pertanian semakin terbatas. Peningkatan produksi hortikultura untuk memenuhi ekspor masih menghadapi beberapa kendala teknis, seperti pro-duksi bibit/benih buah-buahan lokal dari segi kualitas relatif rendah dan dari segi kuantitas relatif terbatas. Untuk itu, Indonesia harus membangun komponen agribisnis benih yang dapat menciptakan lapangan kerja, sehing-ga benih impor dapat ditekan. Sedangkan untuk menunjang ekspor produk hortikultura, teknologi biologi, budi daya dan teknologi pengolahan, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas usaha dan mutu produk agar produk hortikultura Indonesia secara perlahan mampu meraih keung-gulan kompetitif.

Belum optimalnya pemanfaatan potensi produk hortikultura dan defisit-nya neraca perdagangan menunjukkan bahwa subsektor hortikultura masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara maksimal ka-rena permasalahan-permasalahan yang menghambat pengembangannya. Be-berapa permasalahan yang dihadapi adalah: Pertama, harga komoditas hortikul-tura yang fluktuatif. Para petani yang mengusahakan komoditas hortikultura sering mengalami kerugian karena tidak bisa menutupi biaya produksi yang telah dikeluarkan. Akibatnya banyak petani hortikultura yang tidak merawat tanamannya; bahkan cukup banyak juga yang beralih ke komoditas lainnya yang dianggap lebih menguntungkan atau beresiko lebih rendah. Kedua, bu-

2 Made Antara, Sistem Pengembangan Agribisnis Hortikultura Berkelanjutan dan Berdaya Saing Tinggi di Kawasan Timur Indonesia, Disajikan pada Forum Pertemuan ‘Sosialisasi Program dan Organisasi Hortikultura dan Aneka Tanaman Wilayah Timur Indonesia”, Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman, Departemen Pertanian RI, di Denpasar, Bali, 12 Desember 2000.

Page 8: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

8

didaya komoditas hortikultura yang diusahakan di Indonesia sebagian be-sar merupakan perkebunan rakyat. Banyak dari petani komoditas tersebut masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan usahataninya karena tidak mengenal teknologi yang lebih baik, sehingga memberikan hasil (yield) yang rendah. Banyak daerah-daerah yang usahataninya terserang hama atau-pun gangguan-gangguan lainnya tidak dapat mengatasi permasalahannya ka-rena terkendala oleh tingkat teknologi yang relatif masih tradisional. Ketiga, permasalahan yang selalu muncul dalam rangka pengembangan usaha tani adalah kendala permodalan. Untuk mengembangkan suatu usaha tani, per-modalan merupakan faktor yang sangat penting. Masalah permodalan teru-tama disebabkan karena petani umumnya mengandalkan modal sendiri, se-hingga jumlahnya sangat terbatas, atau modal dari pelepas uang dengan suku bunga yang relatif sangat tinggi. Ketiadaaan kolateral dan sangat sedikitnya keberadaan lembaga keuangan mikro di perdesaan menyebabkan besarnya keterbatasan akses para petani hortikultura ke sumber-sumber permodalan yang menerapkan biaya modal (cost of capital) yang relatif lebih rendah. Keem-pat, ekspor komoditas hortikultura masih terkendala dengan mahalnya biaya transportasi, sehingga menyebabkan daya saing komoditas ini menjadi lebih rendah dibandingkan komoditas yang sama dari beberapa negara eksportir lainnya. Hal ini juga diperparah dengan buruknya fasilitas pendingin di ham-pir seluruh rantai sistem agribisnis, padahal komoditas hortikultura merupa-kan komoditas yang mudah rusak yang secepatnya membutuhkan penanga-nan rantai dingin agar mutunya tetap terjaga3.

Menurut Arief Daryanto, komoditas hortikultura memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang baik, namun faktanya masih sulit bersaing untuk memasuki pasar ekspor Singapura karena masalah kualitas dan konti-nuitas pasokan. 4 Kemungkinan hal ini sangat terkait dengan belum adanya perencanaan pengaturan produksi yang disesuaikan dengan permintaan pa-sar, sistem panen dan sistem distribusi yang menimbulkan resiko kerusakan fisik yang tinggi.

3 Arief Daryanto, Peranan dan Pengembangan Hortikultura melalui Pendekatan Klaster dan Contract Far-ming, Disampaikan dalam Konperensi Nasional (Konpernas) ke XV Perhimpunan Ekonomi Perta-nian Indonesia (PERHEPI), Hotel Sahid Raya, Solo, 3-5 Agustus 2007.

4 Arief Daryanto, Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya, Disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, Bogor, 14 Oktober 2009.

Page 9: buku-tim-8

Lukman Adam

9

Pendekatan pengembangan produk hortikultura harus dilakukan mela-lui pendekatan konsep ketahanan pangan yang pertama kali diperkenalkan oleh FAO. Konsep ini tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi pangan, dari mana produksi pangan tersedia. Terpenting, sejumlah pangan tersedia dalam jumlah yang cukup (availability of food). Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) bahkan menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar (availability of food in the market). Artinya, pangan yang mengabdi kepada kepentingan pasar, inilah yang didesain dalam berba-gai beleid WTO5. Ketahanan pangan yang demikian didasarkan pada sistem market-based.

Tulisan ini dibatasi hanya membahas materi mengenai pembiayaan, pen-jaminan dan penanaman modal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Pemberlakuan dalam undang-undang ini tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penana-man Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persya-ratan di Bidang Penanaman Modal yang telah ada lebih dahulu, dan secara khusus mengatur mengenai penanaman modal.

Metode PenulisanB. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analitik deskriptif, mela-

lui studi kepustakaan dengan memperoleh data atau bahan dari buku, jurnal dan laporan hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam tu-lisan ini.

Tulisan ini juga melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembiayaan, penjaminan dan penanaman modal.

5 Bomer Pasaribu, Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Disampaikan dalam Seminar Sehari Peringatan 40 Tahun Fraksi Partai Golongan Karya DPR-RI, Jakarta, 11 Februari 2008.

Page 10: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

10

Page 11: buku-tim-8

Lukman Adam

11

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Ketahanan PanganA. Konsep ketahanan pangan lebih luas dibandingkan dengan konsep swa-

sembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek kecukupan produksi bahan pangan6. Ketahanan pangan mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan (kuantitas dan kualitas) dan aksesibilitas masyarakat. Ketersediaan yang mencakup kuantitas dan kualitas ini dimaksudkan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan nutrisi untuk menjalan-kan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Unsur pokok kedua dalam ketahanan pangan adalah aksesibilitas setiap individu terhadap pangan. Hal ini dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien.

Ketahanan pangan, di samping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak asasi pangan masyarakat, juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa. Oleh sebab itu, seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah dan ma-syarakat, sepakat untuk bersama-sama membangun ketahanan pangan nasional. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistis saat ini, pelaku utama pembangunan pangan mulai dari produksi, penyediaan, distribusi dan konsumsi adalah masyarakat, sedangkan pemerintah lebih berperan sebagai inisiator, fasilitator, serta regulator, agar kegiatan masyarakat yang meman-faatkan sumber daya nasional dapat berjalan lancar, efisien, berkeadilan dan bertanggungjawab7.

6 Bustanul Arifin, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.

7 Kaman Nainggolan, Arah Kebijakan Perberasan Nasional Dalam Inpres Nomor 13 Tahun 2005, Lokakarya dalam Rangka Hari Pangan Sedunia, Malang, Jawa Timur, 15 Maret 2005.

Page 12: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

12

Kebijakan pemerintah terkait dengan katahanan pangan semestinya seja-lan dengan amanat World Food Security and World Food Summit (1996) yang me-nyebutkan perlunya tiga pra-syarat awal yang diperlukan sehingga hak untuk pangan dapat terwujud, yaitu: (i) Political will. Tanpa kemauan politik, hampir tidak mungkin agenda tersebut dapat dilaksanakan dan akan berhasil, (ii) Negara harus punya organisasi dan kapasitas manajerial di tiap tingkatan pe-merintahan untuk melaksanakan kemauan politik tersebut, dan (iii) Perlunya mengalokasikan dan menggunakan sumber daya (termasuk anggaran) untuk memenuhi agenda hak untuk pangan8.

Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan LainB. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura mempu-

nyai keterkaitan dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ekonomi. Keterkaitan yang sangat kuat di bidang ekonomi adalah: 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Peru-bahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, 2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai-mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indo-nesia, 3) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, 4) Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan 5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam Pasal 8 disebutkan bahwa ”Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya se-suai dengan yang dijanjikan”. Dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, ”Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pem-

8 Mustafa Abubakar, Peranan Perum Bulog dalam Ketahanan Pangan, Disampaikan dalam Seminar Sehari Peringatan 40 Tahun Fraksi Partai Golongan Karya DPR-RI, Jakarta, 11 Februari 2008.

Page 13: buku-tim-8

Lukman Adam

13

berian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan”. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa; ”Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. Selain itu, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pasific Econo-mic Cooperation (APEC), dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) diperlukan berbagai penyesuaian dalam peraturan perbankan nasional termasuk pembukaan akses pasar dan perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja perbankan nasional.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang antara lain melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada pengaturan kredit atau pembiayaan. Da-lam ayat (3) disebutkan bahwa ”pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia”.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal se-mestinya berkaitan dengan upaya penyelenggaraan perekonomian nasional dan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan serta mewujudkan kesejahte-raan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.

Permasalahan pokok yang dihadapi penanaman modal dalam memulai usaha di Indonesia ialah rumitnya pengesahan dan perizinan. Oleh karena itu, undang-undang ini mengatur tentang pelayanan terpadu satu pintu. Dengan pelayanan tersebut diharapkan dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaiannya, meningkatkan kepastian pembe-rian fasilitas dan memperkuat peran penanaman modal. Peningkatan peran

Page 14: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

14

penanaman modal harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan nasio-nal yang direncanakan dengan tetap memperhatikan kestabilan makroekono-mi dan keseimbangan ekonomi antar wilayah, antar sektor, pelaku usaha dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional serta memenuhi kaidah tata kelola perusaan yang baik.

Fasilitas penanaman modal seyogyanya diberikan dengan mempertimbang-kan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Penting-nya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi dan fasilitas perizinan impor. Meskipun demikian, pemberian fasilitas pena-naman modal tersebut juga diberikan sebagai upaya mendorong penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan kepada penanam modal dengan menggunakan barang modal atau mesin atau perala-tan produksi dalam negeri, serta fasilitas terkait dengan lokasi penanaman modal di daerah tertinggal dan di daerah dengan infrastruktur terbatas.

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pena-naman Modal menyebutkan bahwa “Semua bidang usaha atau jenis usaha ter-buka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”, sedangkan ayat (2) me-nyebutkan bahwa “Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Dalam ayat (4) menyebutkan “Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang ter-buka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”. Dan untuk ayat (5) menyebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah”.

Namun dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 Ten-tang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka

Page 15: buku-tim-8

Lukman Adam

15

dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk kepemilikan modal asing dibatasi mak-simal 95 % untuk sektor pertanian dengan bidang usaha: budidaya jagung, padi dan ubi kayu, tanaman pangan pokok selain ubi kayu dan jagung, usaha perbenihan/pembibitan padi dan palawija, usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih, usaha industri pengolahan hasil perkebunan, usaha per-kebunan dengan luas 25 Ha atau lebih yang terintegrasi dengan unit pengo-lahan, dan usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih.

Di lingkup internasional, perjanjian internasional yang sudah diratifikasi dan mempunyai pengaruh langsung secara ekonomi dalam pengembangan sub sektor hortikultura adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Perjanjian World Trade Orga-nization (WTO) dibidang pertanian (Agreement on Agriculture /AoA) bertujuan untuk mengupayakan terbentuknya sistem perdagangan yang adil (fair) tanpa diskriminasi, transparan, saling menguntungkan, serta berorientasi pasar mela-lui serangkaian koreksi terhadap segala bentuk gangguan (distorsi) terhadap pasar dunia. Meskipun semua negara di dunia percaya bahwa pasar bebas akan membawa peningkatan kesejahteraan bagi semua dan akan mengurangi bahkan menghapuskan segala bentuk hambatan yang mendistorsi pasar, pada kenyataannya hampir semua anggota WTO masih tetap melakukan proteksi mulai dari tarif dan non tarif, subsidi domestik dan subsidi ekspor.

Negara maju sangat protektif terhadap produk olahan dengan mene-rapkan tarif eskalasi yang tinggi. Kondisi ini sangat mengecewakan bagi per-tumbuhan industri pengolahan produk pertanian di negara lain termasuk Indonesia, misalnya tarif bea masuk untuk beberapa komoditi cukup tinggi. Penerapan subsidi oleh negara maju berdampak pada menurunnya harga pro-duk pertanian di pasar dunia. Hal ini telah berlangsung secara terus menerus selama implementasi Agreement on Agriculture, pada saat dimana Indonesia menerapkan pasar bebas secara sepihak seperti yang dilakukan dalam kon-teks AFTA dengan ASEAN yaitu tarif Most Favorite Nation (MFN) 0-5 persen (kecuali untuk beras dan gula) dan subsidi yang sangat minimal. Produk-produk murah tersebut tidak bisa dibendung memasuki pasar domestik Indonesia. Membanjirnya impor produk pertanian murah akan menurunkan minat petani

Page 16: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

16

dalam berproduksi. Kekhawatiran ini sudah mulai tampak pada beberapa komoditi dimana luas panen dan produksinya mulai menurun dari tahun ke tahun.

Tiga isu pokok atau pilar dalam perjanjian bidang pertanian yaitu: Akses pasar (1. market access) berkaitan dengan masalah: tarif (bound tariff rate dan tariff rate quota), dan pengamanan khusus (Special Safeguard/SSG).Subsidi domestik (2. domestic support), terdiri dari berbagai jenis subsidi mu-lai dari yang tidak mendistorsi pasar hingga mendistorsi pasar. Green Box merupakan subsidi yang tidak mendistorsi pasar, di dalamnya termasuk subsidi untuk: (i) layanan umum, seperti penelitian dan pengembangan, penyuluhan dan pendampingan, infrastruktur, pelatihan, pengendalian hama dan penyakit, pengawasan, pemasaran dan promosi; (ii) stok pangan untuk ketahanan pangan, (iii) bantuan pangan domestik; (iv) bantuan langsung ke petani, (v) dukungan kompensasi pendapatan; (vi) partisi-pasi pemerintah dalam asuransi pendapatan dan jaringan pengaman so-sial; (vii) bantuan untuk bencana alam, (viii) bantuan untuk penyesuaian struktur (structural adjustment assistance); (ix) program bantuan pembiayaan wilayah tertinggal; dan (x) pembiayaan program lingkungan. Disamping itu terdapat Blue Box, yaitu subsidi yang paling sedikit mendistorsi pasar. Subsidi ini paling banyak digunakan oleh negara Uni Eropa, misalnya pembiayaan langsung dalam program pembatasan produksi. Subsidi do-mestik lainnya adalah Amber Box yaitu subsidi yang harus dikurangi bah-kan dihapuskan karena sangat mendistorsi pasar. Khusus untuk subsidi kategori ini, masing-masing negara anggota masih diperbolehkan meng-gunakannya maksimal 10 persen dari total produksinya untuk negara berkembang dan 5 persen untuk negara maju, subsidi ini dikenal dengan de minimis. Dalam kategori amber box, penghitungannya dilakukan dengan Total Aggregate Measurements Support (AMS). Subsidi ekspor (3. export subsidy or competition) mencakup beberapa elemen subsidi ekspor, yaitu: kredit ekspor, pajak ekspor, dan bantuan pangan.Disamping itu beberapa isu lain terkait dengan kesepakatan yang sering

dibahas antara lain: 1) perhatian terhadap isu non-perdagangan (non-trade con-cerns), 2) multi fungsi pertanian (multi-functionality of agriculture), dan 3) perla-kuan khusus dan berbeda (special and differencial treatment/S&D).

Page 17: buku-tim-8

Lukman Adam

17

BAB IIIPEMBAHASAN

Penanaman ModalA. Dalam Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Hortikultura, disebutkan bahwa ”Besarnya penanaman modal asing dibatasi pa-ling banyak 30% (tiga puluh persen)”. Pembatasan kepemilikan asing tersebut tampaknya akan berdampak besar bagi pelaku bisnis hortikultura yang seba-gian besar dimiliki oleh asing. Di Indonesia, tercatat sebanyak 12 perusahaan benih buah dan sayuran dimiliki oleh investor asing. Dari 12 perusahaan ini, sebanyak 9 perusahaan yaitu PT East West Seed Indonesia, PT Syngenta Indonesia, PT Takii Indonesia, PT Monsanto Indonesia, PT Marcopolo, PT Nunhems Indonesia, PT Namdhari, PT Koreana Seed Indonesia, dan PT Rijk Zwaan adalah perusahaan yang bergerak di bidang benih sayuran. Sedangkan tiga perusahaan lainnya yaitu PT Advanta Indonesia, PT Bayer Indonesia, dan PT Dupont Indonesia bergerak di bidang benih tanaman pangan seperti jagung dan padi.9 Padahal penanaman modal adalah bagian sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk sektor pertanian. Dalam perspektif jangka panjang, penanaman modal akan meningkatkan stok kapi-tal, dimana penambahan stok kapital akan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasio-nal.10 Di bidang pertanian, stok kapital setidaknya mencakup tiga komponen pokok, yaitu bangunan, alat/mesi pertanian dan infrastruktur termasuk nilai perbaikannya.

9 12 Perusahaan hortikultura harus lepas saham ke lokal, Kontan, 2 November 2010.

10 P. Van der Eng, 2008, Capital Formation and Capital Stock in Indonesia 1950 – 2007, Working Paper no. 2008/24, The Australian National University, Australia.

Page 18: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

18

Ketentuan dalam Pasal ini tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanaman modal, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bi-dang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut sub sektor hortikultura tidak diatur sebagai bidang usaha yang tertutup atau setengah tertutup. Sehing-ga penanam modal asing bisa melakukan usaha dalam bidang hortikultura, baik untuk usaha perbenihan, budidaya, panen dan pasca panen, pengolahan, sampai kepada penelitian, dengan tidak ada pembatasan.

Namun, upaya seperti tertuang dalam Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura merupakan cara untuk mengem-balikan kedaulatan negara atas sumber daya yang dimilikinya kepada pemi-lik yang sesungguhnya. Menilik dari tulisan Sritua Arief, Indonesia selalu menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing11. Modal asing yang mengalir ke negara-negara berkembang ada tiga ma-cam, yaitu dana bantuan, utang, dan investasi. Investasi terdiri atas “investasi modal portofolio”, yang kepemilikan sahamnya lebih mencari pengembalian uang ketimbang pengaruh manajerial, dan investasi langsung asing (FDI), yang melibatkan pembelian saham sembari mempengaruhi manajemen peru-sahaan pada basis reguler.12

Data neraca pembayaran menunjukkan bahwa selama ini nilai kumulatif arus masuk investasi asing jauh lebih rendah nilainya dari keuntungan investa-si asing yang direpatriasi ke luar negeri. Ini termasuk investasi asing dalam saham perusahaan. Hal ini disebabkan tingginya komponen sumber-sumber keuangan di dalam negeri kita yang telah digunakan untuk membiayai investasi asing. Dalam konteks ini, Indonesia yang merdeka sekarang ini dapat dika-takan merupakan replika dari Indonesia yang terjajah pada zaman kolonial Belanda. Indonesia terus merupakan pemasok surplus ekonomi yang setia kepada pihak asing.13 Bahkan beberapa undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, sudah mengakomodasi kepentingan asing, se-perti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

11 Sritua Arief, Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, LP3ES, Jakarta, 2002.

12 Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies and the Treat to The Developing World, Random House Business Books, Singapore, 2007.

13 Sritua Arief, op cit.

Page 19: buku-tim-8

Lukman Adam

19

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyatakan bahwa terjadi perubahan paradigma ekonomi dan tata kehidupan bermasyarakat yang menuntut pema-haman mendalam yang mencakup unsur-unsur kesejahteraan dan efisiensi berkeadilan, yang dapat didekatkan untuk kesejahteraan individu dan kese-jahteraan kolektif.14 Kesejahteraan kolektif merupakan elemen kesejahteraan yang dihasilkan oleh kebersamaan rakyat Indonesia sebagai suatu komunitas besar. Elemen penting dalam penciptaan kesejahteraan kolektif ini adalah penciptaan pemerataan ekonomi yang juga memperhatikan prinsip keberhakan. Pemerataan ekonomi tidak saja perlu tercipta dalam dimensi antar kelompok pendapatan dalam masyarakat, namun juga esensial dalam dimensi spasial dan regional. Proses pembangunan, karenanya diarahkan kepada peningkatan kemampuan daerah untuk mencapai keberhakan ekonomi yang makin tinggi dari waktu ke waktu.

Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi kegiatan penanaman modal untuk sektor lain. Perubahan paradigma pemikiran berakibat regulasi yang mengatur secara khusus mengenai penanaman modal untuk sub sektor hortikultura menjadi berubah. Pengaturan mengenai penanaman modal seyogyanya diatur secara terperinci dan sesuai dengan amanat konstitusi.

Kondisi infrastruktur yang buruk15, birokrasi yang tidak efisien, akses ke pasar keuangan yang rendah, dan sekarang adalah kebijakan yang tidak stabil merupakan faktor penghambat kegiatan penanaman modal, terutama penanaman modal asing. Salah satu tuntutan dari PMA berupa iklim usaha yang kondusif, yaitu kondisi yang menyebabkan biaya dan resiko investasi serendah-rendahnya.

PembiayaanB. Dalam Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang

Hortikultura dinyatakan bahwa untuk pengembangan usaha hortikultura, Pemerintah menetapkan persentase portofolio kredit bersubsidi dari alokasi

14 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Tanggapan Terhadap RUU Demokrasi Ekonomi, Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum ISEI dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 2 Februari 2009.

15 Terkait dengan infrastruktur, World Competitiveness Yearbook 2010 menyatakan bahwa peringkat daya saing Indonesia tahun 2010 berada di urutan 35 dari 57 negara. Meningkat dibandingkan peringkat daya saing tahun 2009 yang berada di urutan 42 dari 57 negara. Dalam menentukan peringkat negara-negara tersebut, ada salah satu kriteria yang diukur, yaitu infrastruktur. Peringkat Indonesia dalam kriteria infrastruktur berada pada urutan 55 tahun 2010 (tahun 2009 juga di urutan 55), dan menurun dibandingkan tahun 2008 yang berada di urutan 53. Sejak tahun 2006, kriteria infrastruktur Indonesia selalu berada di urutan 50-an.

Page 20: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

20

kredit untuk sektor pertanian. Pasal ini merupakan jawaban terhadap per-masalahan yang dialami oleh petani hortikultura Indonesia, yaitu kurangnya permodalan. Dalam Laporan Bappenas, salah satu faktor penyebab lemahnya pertanian Indonesia karena sulitnya petani mendapatkan akses ke sumber modal yang ada. Akses petani ke perbankan yang sangat lemah dapat disebab-kan karena: (i) petani tidak memiliki jaminan/agunan guna mendapatkan kredit; (ii) pertanian dianggap sebagai usaha yang memiliki high risk sehingga perbankan mengalami kesulitan dalam menyalurkan kreditnya; dan (iii) skala kredit yang dibutuhkan rumah tangga petani sangat kecil (karena sempitnya lahan) sehingga tidak memenuhi skala kredit kecil dari perbankan. 16 Lem-baga pembiayaan juga masih belum membuka pintu bagi petani, hal ini di-buktikan dengan rendahnya alokasi kredit bagi sektor pertanian. Kesadaran petani untuk meminjam kepada lembaga pembiayaan, dan bukan kepada tauke/tengkulak juga rendah. Petani beranggapan bahwa meminjam kepada lembaga pembiayaan memerlukan waktu yang sangat lama dan prosedur yang rumit.

Hal ini juga diperkuat oleh Anny Ratnawati, bahwa keterbatasan atau-pun kendala dalam pembiayaan pertanian di Indonesia berasal dari dua sisi. Pertama, adanya keterbatasan dana APBN. Kedua, hambatan petani dalam mengakses perbankan yang diakibatkan oleh tidak adanya jaminan (collateral), kurang pemahaman atas administrasi perbankan, tingginya cost of transaction dan cara pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang musiman.17 Pemerintah harus bersedia menjadi penjamin bagi petani dan melakukan sosialisasi kepada petani. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah analisis kredit di lembaga pembiayaan dibuat bukan oleh tenaga yang mengerti karakteristik pertanian.

Proporsi kredit perbankan untuk sektor pertanian sampai saat ini masih kecil, yaitu di bawah 6 persen. Masih jauh lebih kecil dibandingkan kredit untuk sektor perdagangan dan perindustrian.

Ashari memberikan argumentasi penyebab rendahnya alokasi kredit per-bankan, yaitu: 1) perbankan memandang sektor pertanian sangat risky sehingga

16 Bappenas, Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2006.

17 Anny Ratnawati, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009

Page 21: buku-tim-8

Lukman Adam

21

sangat hati-hati dalam pemberian kredit; 2) pihak perbankan trauma dengan pemberian KUT di masa lalu yang terjadi kurang baik; 3) banyak perbankan yang tidak mempunyai pengalaman menyalurkan kredit di sektor pertanian; 4) dominasi usaha mikro kecil memiliki kelemahan dalam manajemen dan pembukuan; serta 5) adanya resiko sosial dan status lahan yang kurang kon-dusif bagi perbankan.18 Rendahnya alokasi kredit ini juga dapat disebabkan tidak adanya kesepahaman antara pemerintah dan lembaga pembiayaan. Pemerintah semestinya memberikan insentif dan advokasi kepada lembaga pembiayaan agar lembaga pembiayaan tidak ragu-ragu memberikan alokasi kredit yang lebih besar kepada petani.

Kombinasi dari kebijakan harga dan desain dan ketepatan alokasi angga-ran akan berpengaruh terhadap kebijakan pangan dan pertanian jangka pen-dek. Faktor yang paling menentukan dari kebijakan jangka panjang terhadap sektor pangan dan pertanian antara lain adalah kebijakan harga jangka pan-jang, biaya investasi yang didanai dari anggaran pemerintah dan swasta dan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan pekerjaan. Fakta tersebut masih sesuai dengan teori Timmer, Falcon dan Pearson yang menggambar-kan diagram keterkaitan antara kebijakan makro ekonomi, kondisi makro dan kebijakan pangan dan pertanian.

Gambar 1. Hubungan antara Kebijakan Ekonomi Makro dengan Kebijakan Pangan19

18 Ashari, Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 27 No.1, 2009.

19 C.P. Timmer, The Macroeconomics of Food and Agriculture. In: International Agricultural Develop-ment, 3rd Ed., The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1998.

Page 22: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

22

Pendekatan yang dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura akan menimbulkan pertanyaan lanjutan mengenai berapa proporsi alokasi kredit yang baik? Namun setidaknya undang-undang ini merupakan suatu terobosan keberpihakan kebijakan pemerintah yang berwujud pada kebijakan perbankan agar lebih pro kepada pelaku usaha mikro dan kecil. Sesungguhnya, pembuatan kebijakan ini tidak terlalu sulit dilakukan karena bisa melalui Peraturan bersama antara Bank Indonesia dan Menteri Pertanian. Patut diperhatikan juga, bahwa dalam konteks yang lebih agregat, bahwa penetapan persentase portofolio kredit ini akan membebani APBN dari sektor pertanian, sehingga perlu juga dipikirkan untuk meningkat-kan alokasi anggaran sektor pertanian dalam APBN.

Setidaknya kita akan mengikuti jejak Thailand yang telah memberikan pembiayaan dengan kredit berbunga rendah yang berasal dari lembaga keuangan dan pembiayaan seperti Bank of Agriculture and Agricultural Cooperation (BAAC) dan berhasil menurunkan biaya produksi produk hortikultura di Thailand, sehingga harga produksi menjadi lebih rendah (low cost), lebih kompetitif di pasar domestik dan di pasar internasional. 20 Indonesia tidak perlu membentuk Bank bagi Petani seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tetapi cukup dengan mengoptimalkan lembaga keuangan dan pembiayaan yang su-dah ada, khususnya dengan memulai dari lembaga keuangan dan pembiayaan milik negara.

PenjaminanC. Dalam Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Hortikultura berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memfasilitasi usaha mikro dan kecil hortikultura untuk memperoleh fasilitas dan pinjaman tanpa agunan dari lembaga keuangan berdasarkan kelayakan usaha’. Bentuk fasilitasi tersebut dapat berupa pemberian jaminan untuk pinjaman. Sesungguhnya perbankan yang mempunyai potensi untuk menopang sumber pembiayaan sektor pertanian melalui penghimpunan dana dalam jumlah sangat besar dari masyarakat, dibandingkan lembaga keuangan non-bank. Namun, pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata hanya 5,72 persen.21

20 Made Antara, op cit.

21 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2006, Bank Indonesia, Jakarta, 2006.

Page 23: buku-tim-8

Lukman Adam

23

Selain itu, permasalahan lain yang juga muncul terkait dengan lembaga perbankan adalah: 1) jangkauan pelayanan kredit/pembiayaan masih sangat terbatas; 2) persyaratan aplikasi masih sangat rigid sehingga tidak semua ma-syarakat dapat mengakses pinjaman yang disalurkan; 3) jangka waktu proses pencairan kredit relatif lama karena adanya screening dan checking; 4) biaya transaksi dianggap masih terlalu besar; 5) persyaratan agunan dengan mene-tapkan barang yang telah memiliki kekuatan hukum formal sangat membe-ratkan; dan 6) penilaian terhadap nilai agunan cenderung sangat underestimate sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai pinjaman yang diberikan.22 Selain itu, permasalahan lain yang juga muncul adalah: sosialisasi dari lembaga per-bankan yang sangat rendah, dan keharusan bergabung dalam kelompok pe-tani. Petani semestinya diberikan keleluasaan untuk memilih, bergabung da-lam kelompok atau mandiri. Di beberapa tempat, petani cenderung enggan berkelompok disebabkan ketidakpercayaan kepada manajemen kelompok, dan mekanisme pengawasan yang diterapkan. Petani beranggapan bahwa kelompok hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pengurus.

Syukur menemukan fakta dalam penelitiannya, bahwa penyediaan agunan merupakan persyaratan yang paling sulit dipenuhi oleh pelaku usaha pertanian. Apalagi jika agunan yang dipersyaratkan harus berupa sertifikat tanah atau bangunan. Sehingga menjadi sulit bagi pelaku usaha pertanian untuk akses terhadap sumber kredit formal.23 Apalagi bukti kepemilikan tanah/lahan ga-rapan yang dimiliki petani tidak berupa sertifikat, tetapi hanya berupa ”girik”. Selain itu, mayoritas petani di Jawa hanya merupakan petani penggarap, bukan petani pemilik.

Dalam Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 2003 – Januari 2009, alokasi kredit untuk sektor pertanian hanya berkisar antara 5,14 – 5,92. Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor perindustrian, perda-gangan dan jasa. Ashari menduga hal ini terkait dengan strategi penyaluran kredit perbankan yang lebih diarahkan pada kredit beresiko rendah24. Apakah hal ini bisa diartikan sektor pertanian beresiko tinggi?

22 Nurmanaf, Endang Hastuti, Ashari, Supena Friyatno, dan Bambang Wiryono, Analisis Sistem Pem-biayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 2006.

23 Mat Syukur, Endang Hastuti, Soentoro, Adang Supriatna, Supadi, Sumedi, dan Bambang W.D. Wicaksono, Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 2002.

24 Ashari, op cit.

Page 24: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

24

Tabel 4. Alokasi Penyaluran Kredit Perbankan Nasional 2004 – 2009 (%)

Sektor Ekonomi Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jan 09

Pertanian 5,55 5,92 5,34 5,70 5,68 5,14 5,21

Pertambangan 1,16 1,40 1,17 1,78 2,62 2,46 2,46

Perindustrian 28,11 25,90 24,62 23,23 20,52 20,74 20,87

Perdagangan 19,24 20,21 19,53 20,63 21,64 19,85 19,51

Jasa listrik, konstruksi, pengangkutan

20,35 7,80 7,50 8,51 26,10 10,69 10,64

Jasa lain 25,59 38,77 41,83 40,16 40,68 41,11 41,32

Total 100 100 100 100 100 100 100Sumber: Statistik Perbankan Indonesia

Sekitar 55 persen petani Indonesia25, merupakan petani-petani gurem

yang diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin berpendapatan rendah. Ke-beradaan kredit benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan untuk perte-muan sosial lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke mu-sim lainnya tanpa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Kita harus mencontoh Thailand yang memberikan kredit pertanian yang ber-bunga rendah dan tanpa agunan, terutama yang disediakan oleh BAAC26. Da-lam hal penyaluran kredit perbankan, intervensi pemerintah Thailand relatif kecil, kecuali dalam hal penyaluran kredit pertanian yang tetap diintervensi oleh Pemerintah dengan berbagai kebijakan, walaupun pihak perbankan me-miliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan kebijakan tersebut.

Kebijakan pemerintah mengenai permodalan bagi petani miskin dilakukan melalui kelompok dengan Bantuan Langsung Masyarakat, bagi petani tidak mampu dilakukan dengan bunga komersial melalui skim Kredit Ketahanan Pangan-Energi dan Program Kemitraan Bina Lingkungan dari penyisihan laba BUMN.27 Sedangkan kebijakan Bank Indonesia dalam memberikan sejum-

25 BPS dan Kementerian Pertanian (2010)

26 Made Antara, op cit.

27 Mat Syukur, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Dis-cussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.

Page 25: buku-tim-8

Lukman Adam

25

lah fasilitasi, diantaranya adalah pola pembiayaan UMKM, pengembangan UMKM melalui pengembangan klaster, dan program pengembangan inti plasma, serta fasilitasi percepatan dan pemberdayaan ekonomi daerah.28

Agar kebijakan ini berhasil, Pemerintah sudah harus membuat skema pem-biayaan yang berbeda untuk setiap kondisi pelaku usaha. Lembaga keuangan dapat juga memanfaatkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru tentang sistem resi gudang, agar produk hortikultura dapat dijadikan jaminan. Selain itu, patut dipikirkan juga mengenai mediator antara petani dan perbankan sebagaimana yang telah dilakukan oleh IFC-Pensa di Kabupa-ten Bantaeng, Sulawesi Selatan. IFC-Pensa telah berhasil menghubungkan dan merealisasikan pembiayaan Bank Syariah Mandiri Makassar kepada petani jagung.

28 Ashari, op cit.

Page 26: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

26

Page 27: buku-tim-8

Lukman Adam

27

BAB IVPENUTUP

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura merupa-kan upaya nyata sebagai manifestasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ne-gara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang ini akan menyebabkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal perlu se-gera diganti, karena substansi dalam undang-undang ini tidak menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha dalam negeri dan usaha mikro, kecil dan menengah. Berlakunya undang-undang ini bisa mempengaruhi kegiatan penanaman modal untuk sektor lain. Pengaturan mengenai penanaman mo-dal seyogyanya diatur secara terperinci dan sesuai dengan amanat konstitusi. Oleh karena itu, diharapkan penggantian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal harus segera dilakukan agar tidak menim-bulkan kontradiksi lebih dalam dan undang-undang ini harus berlaku dalam jangka menengah.

Kombinasi dari kebijakan harga dan desain dan ketepatan alokasi ang-garan akan berpengaruh terhadap kebijakan hortikultura dalam jangka pen-dek. Faktor yang paling menentukan dari kebijakan jangka panjang adalah kebijakan harga, biaya investasi yang didanai dari anggaran pemerintah dan swasta, dan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan pekerjaan.

Kebijakan pemerintah mengenai permodalan akan berhasil jika Pemerin-tah sudah membuat skema pembiayaan yang berbeda untuk setiap kondisi pelaku usaha. Lembaga keuangan dapat juga memanfaatkan ketentuan pera-turan perundang-undangan yang baru tentang sistem resi gudang, agar pro-duk hortikultura dapat dijadikan jaminan. Dan hal lain yang juga penting mengenai mediator antara petani dan perbankan.

Page 28: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

28

Page 29: buku-tim-8

Lukman Adam

29

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bustanul Arifin, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.

C.P. Timmer, The Macroeconomics of Food and Agriculture. In: Internatio-nal Agricultural Development, 3rd Ed, The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1998,.

Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies and the Treat to The Developing World, Random House Business Books, Singapore, 2007.

Sritua Arief, Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, LP3ES, Jakarta, 2002.

Koran

12 Perusahaan hortikultura harus lepas saham ke lokal, Kontan, 2 November 2010.

Makalah/Jurnal

Anny Ratnawati, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampai-kan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Perta-nian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.

Arief Daryanto, Peranan dan Pengembangan Hortikultura melalui Pendekatan Klaster dan Contract Farming, Disampaikan dalam Konperensi Nasional (Konpernas) ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PER-HEPI), Hotel Sahid Raya, Solo, 3-5 Agustus 2007.

___________, Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya, Disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, Bogor, 14 Oktober 2009.

Page 30: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

30

Ashari, Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 27 No.1, 2009.

Bomer Pasaribu, Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Disampai-kan dalam Seminar Sehari Peringatan 40 Tahun Fraksi Partai Golongan Karya DPR-RI, Jakarta, 11 Februari 2008.

Handewi Purwanti Saliem Rahman dan Mewa Ariani, Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan Strategi, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 20 No. 1, 2002.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Tanggapan Terhadap RUU Demokrasi Eko-nomi, Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum ISEI dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 2 Februari 2009.

Kaman Nainggolan, Arah Kebijakan Perberasan Nasional Dalam Inpres Nomor 13 Tahun 2005, Lokakarya dalam Rangka Hari Pangan Sedunia, Malang, Jawa Timur, 15 Maret 2005.

Made Antara, Sistem Pengembangan Agribisnis Hortikultura Berkelanjutan dan Berdaya Saing Tinggi di Kawasan Timur Indonesia, Disajikan pada Forum Pertemuan ‘Sosialisasi Program dan Organisasi Hortikultura dan Aneka Tanaman Wilayah Timur Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Direk-torat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman, Departemen Pertanian RI, di Denpasar, Bali, 12 Desember 2000.

Mat Syukur, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.

Mustafa Abubakar, Peranan Perum Bulog dalam Ketahanan Pangan, Disampai-kan dalam Seminar Sehari Peringatan 40 Tahun Fraksi Partai Golongan Karya DPR-RI, Jakarta, 11 Februari 2008.

Laporan

Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 7, No. 2, Januari 2009.

Bappenas, Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Per-tanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ba-dan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2006.

Page 31: buku-tim-8

Lukman Adam

31

Nurmanaf, Endang Hastuti, Ashari, Supena Friyatno, dan Bambang Wiryono, Analisis Sistem Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Per-desaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 2006.

Mat Syukur, Endang Hastuti, Soentoro, Adang Supriatna, Supadi, Sumedi, dan Bambang W.D. Wicaksono, Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002.

P. Van der Eng, Capital Formation and Capital Stock in Indonesia 1950 – 2007, Working Paper No. 2008/24, The Australian National University, Australia, 2008.

Page 32: buku-tim-8

Undang-Undang Hortikultura Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan

32

Page 33: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

33

BAGIAN KEDUA

ANALISIS PERMASALAHANJALAN TOL DI INDONESIA

Oleh Achmad Wirabrata1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 34: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

34

Page 35: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

35

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Jalan memiliki peranan penting sebagai pendukung kemajuan di bidang

perekonomian, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan serta ling-kungan hidup suatu wilayah. Jaringan jalan menghubungkan distribusi ba-rang dan jasa didalam satu wilayah serta antar wilayah. Dalam mewujudkan prasarana transportasi darat yang melalui jalan, harus terbentuk wujud yang menyebabkan pelaku perjalanan baik orang maupun barang, selamat sampai tujuan, dan perjalanan harus dilakukan secepat mungkin, dengan biaya per-jalanan yang adil sehingga bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Tuntutan tersebut mendasari pembangunan jaringan jalan yang sesuai dengan sifat-sifat perjalanan yaitu yang berjarak pendek dengan banyak va-riasi tujuan sampai dengan yang berjarak jauh dengan tempat tujuan yang le-bih menyatu. Jalan sebagai prasarana pendukung kegiatan transportasi darat mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pertumbuhan transportasi dan jaringan jalan, sesuai dengan RPJP 2005 - 2025. Jaringan jalan sesuai yang diprogramkan pemerintah melalui RPJM 2009 – 2014, akan dibangun jalan tol sepanjang 500 km sementara jalan lintas sepanjang 8450 km.

Saat ini pertumbuhan jalan yang relatif tinggi masih berada dipulau Jawa dan Sumatera, pada dasarnya peningkatan kemudahan transportasi darat dengan didukung jaringan jalan yang baik berkorelasi dengan peningkatan perekonomian suatu daerah. Jaringan jalan sebagai penunjang sistem trans-portasi darat di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ketahun.

Page 36: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

36

Table 1 peningkatan jumlah panjang jalan nasional.

No Pulau Total Panjang (KM)

Lajur - KM Akhir 2005

Lajur - KM Akhir 2006

Lajur - KM Akhir 2007

1 Sumatera 10,589 22,380 22,900 23,590

2 Jawa 5,119 16,980 17,590 18,400

3 Kalimantan 5,706 11,580 11,830 12,160

4 Sulawesi 7,092 13,510 13,540 13,580

5 Bali 502 1,500 1,510 1,520

6 NTB 602 1,240 1,240 1,240

7 NTT 1,273 2,040 2,050 2,060

8 Maluku 985 1,360 1,370 1,370

9 Maluku Utara 458 730 730 730

10 Papua 2,303 3,610 3,380 4,130

Total 34,629 74,930 76,140 78,780Sumber : Buku Pintar Kementrian Pekerjaan Umum, 2009

Data panjang jalan nasional dalam kurun waktu 14 tahun terakhir telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 17.800 km pada tahun 1994 menjadi sekitar 34.629 km pada tahun 2008.2

Untuk jalan tol Hingga akhir 2008, Indonesia memiliki 18 ruas yang su-dah beroperasi sepanjang 630 kilometer. Jumlah dan panjang jalan tol ini ma-sih dianggap minim bila dibandingkan dengan kebutuhan jaringan jalan yang tersedia. Rasio panjang jalan tol di Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara di Asia, seperti Malaysia, Jepang , China dan Korea3.

Tabel 2 Perbandingan panjang jalan tol

Sumber: Investory Dialy

2 Kementrian Pekerjaan Umum, Buku Pintar Kementrian Pekerjaan Umum, 2009

3 http://id.citra.idbk.info/berita-dan-event/berita-terkini/348/-20-ruas-tol-mangkrak--perpres-no-13-2010-tidak-implementatif/, diakses tanggal 1 Mei 2010

Page 37: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

37

Rasio panjang jalan tol saat di Indonesia dihitung dari panjang jalan tol per satu juta penduduk masih sebesar 126, sementar Jepang saat ini memiliki 9.422 dan Malaysia 3.008.

Penyediaan infrastruktur jalan yang andal menjadi isu penting untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, pengembangan daya saing kawasan, serta pada akhirnya peningkatan standar hidup masyarakat. Keter-sediaan infrastruktur jaringan jalan dengan infrastruktur lainnya merupakan prasyarat utama bergeraknya investasi dan pada akhirnya mendorong pertum-buhan ekonomi. Infrastruktur jalan yang handal yang berarti harganya ra-sional, kualitasnya prima, jumlahnya cukup dan ketersediaannya sinambung akan menjamin terciptanya peningkatan efisiensi dan produktivitas nasional. Pada sisi lain, penyediaan infrastruktur transportasi juga dapat mendorong terciptanya stabilitas ekonomi dan sosial yang mantap.

Dalam era otonomi daerah, peran pemerintah daerah didorong untuk bekerjasama dan berbagi beban serta kewenangan secara proporsional dengan pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan in-frastruktur. Pemerintah pusat dan daerah dapat bekerjasama dalam penyedi-aan layanan dengan skema public service obligation, misalnya subsidi dalam pengembangan layanan sistem transportasi perkotaan, serta pembiayaan dan pelaksanaan program-program keselamatan.

Mengandalkan peran pemerintah saja tidak cukup, diperlukan peran swasta yang lebih besar terutama untuk meningkatkan akumulasi asset serta mendorong mendorong system penyediaan layanan infrastruktur jalan yang efisien. Beberapa jenis infrastruktur jalan yang dapat dan layak diusahakan oleh swasta didorong untuk dikerjasamakan, diserahkan sebagian pengusa-haannya, atau bahkan diprivatisasi. Para investor swasta perlu mendapatkan jaminan kepastian usaha, antara lain return menarik yang bisa diperkirakan jumlahnya dan volume pasar yang memenuhi skala ekonomis.

Pelibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur jalam perlu diprioritaskan proyek-proyek yang secara finansial dan bisnis layak untuk diusahakan. Stra-tegi unbundling perlu diterapkan pada proyek-proyek penyediaan infrastruktur transportasi, seperti infrastruktur jalan, untuk mengidentifikasi kemungkinan bagian proyek mana yang dapat dikerjasamakan dengan swasta.

Dalam penyediaan infrastruktur jalan yang melibatkan swasta, peran pe-merintah utamanya adalah sebagai fasilitator dan regulator. Sebagai fasilita-

Page 38: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

38

tor, pemerintah harus dapat memecahkan kebuntuan (bottleneck) investasi, seperti proses penyediaan lahan (land acquisition), dan pemberian jaminan sebagian risiko bisnis. Sebagai regulator, pemerintah berkewajiban untuk me-nyusun strategi dan kerangka kebijakan yang tepat agar tercipta lingkungan kompetisi yang sehat, penetapan standar layanan prima, dan penetapan tarif optimum yang mempertimbangkan kepentingan bisnis sekaligus daya beli konsumen.

Meninjau kembali pentingnya pembangunan jalan sebagai bagian dari infrastruktur dalam konteks pembangunan nasional. Di Indonesia infrastruk-tur jalan mempunyai peranan yang penting dan sangat strategis.

Konsep penyelenggaraan yang diusung dalam perencanaan penyelengga-raan jalan sangat mempengaruhi permasalahan yang diangkat terkait dengan penyelenggaraan jalan dan tujuan yang akan dicapai. Penyusunan kerangka konsep penyelenggaraan infrastruktur jalan harus memandang berbagai aspek yang terkait, yaitu mulai dari kondisi sosial masyarakat, penyediaan infra-struktur hingga dampak yang ditimbulkan dari penyelenggaraan infrastruk-tur tersebut. Secara konsep berbagai aspek yang terkait dengan penyeleng-garaan infrastruktur jalan dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Struktur dan sistem politik dan sosial masyarakat; 2) Penyediaan infrastruktur (supply); 3) Struktur pemerintahan (Pengaturan kelembagaan); 4) Sistem transportasi; 5) dampak sosial dan ekonomi.

Penyelenggaran infrastruktur jalan pada hakekatnya bertujuan untuk mencapai 4 hal pokok, yaitu: 1. Menciptakan infrastruktur berkeadilan, 2. meningkatkan kesejahteraan dengan infrastruktur efisien ramah lingkungan, 3. Meningkatkan pertumbuhan industri, dan 4. Meningkatkan keserasian antara wilayah kota-desa. Dalam hal menciptakan infrastruktur yang berkea-dilan, penyelenggaraan jalan semestinya mampu menciptakan keadilan da-lam distribusi dampak (biaya dan manfaat) akibat transportasi. Terdapat 3 jenis keadilan bertransportasi, yaitu: keadilan horizontal, keadilan vertikal terhadap tingkat kesejahteraan (income), dan keadilan vertikal terhadap ke-butuhan (need) dan kemampuan (ability).4

4 Litman, Todd, “Evaluating Transportation Equity, “ World Transportation Policy & Practice (http://ecoplan.org/wtpp/wt_index.htm), Volume 8, No. 2, Summer 2002, pp. 50-65.

Page 39: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

39

Rumusan PermasalahanB. Investasi jalan tol menghadapi berbagai risiko yang apabila tidak diren-

canakan dengan sungguh-sungguh dapat menciptakan beban yang harus di-tanggung baik oleh Pemerintah, investor (swasta), dan masyarakat pengguna. Dari berbagai macam risiko tersebut, risiko proses pembebasan lahan dan risiko tarif jalan tol merupakan dua isu pokok yang selama ini muncul di tataran perencanaan dan implementasinya. Dengan memperhatikan perma-salahan yang ada, muncul berbagai pemikiran, yang saat ini telah diakomodir oleh Dewan Legislatif (DPR) untuk mewujudkan penyelenggaraan infrastruk-tur jalan di Indonesia secara efektif dan efisien, antara lain: (1) pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol; (2) hak dan kewajiban operator dan investor jalan tol; (3) menciptakan alternatif sumber dan mekanisme pembiayaan pembangunan infrastruktur jalan yang memadai dan dapat di-prediksi; (4) alternative pembiayan jalan melalui dana preservasi jalan untuk mempertahankan kualitas infrastruktur jalan.

Tujuan PenulisanC. Adapun tujuan utama penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh

mana perkembangan jalan tol dan masalah-masalah yang terjadi di jaringan jalan tol. Sehingga diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan untuk pembuatan RUU tentang revisi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 ten-tang Jalan, yang saat ini masuk dalam prioritas Prolegnas.

Page 40: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

40

Page 41: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

41

BAB IILANDASAN TEORI

JalanA. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian ja-

lan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntuk-kan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.5

Jalan dikelompokan menjadi 2, yaitu jalan umum adalah jalan yang diper-untukan bagi lalu lintas umum dan jalan khusus adalah jlan yang yang di-bangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.

Secara sistem, jaringan jalan dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem yakni sistem jaringan primer adalah kesatuan jaringan jalan dan jembatan yang berperan melayani pergerakan orang dan barang untuk pengembangan semua wilayah ditingkat nasional atau dikenal dengan jalan yang menghu-bungkan antar kota atau disebut sistem jalan antar kota, serta sistem jaringan jalan sekunder adalah kesatuan jalan dan jembatan yang berperan melayani pergerakan orang dan barang di dalam suatu kawasan perkotaan atau berada dalam satu wilayah kota atau sering disebut sebagai jalan kota.

Jalan berdasarkan fungsinya dibagi 4 kriteria yaitu 1) jalan arteri adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. 2) jalan kolektor adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri per-jalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk di-

5 Lihat pasal 1 ayat 4 Undang-undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan

Page 42: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

42

batasi. 3) jalan local adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 4) jalan lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

Selain dikelompokan berdasarkan fungsinya, jalan juga dibedakan ber-dasarkan kelasnya. Pembagian kelas ini dimaksudkan untuk pengaturan peng-gunaan jalan dan kelancaran lalu lintas. Pengelompokan kelas terdiri atas6

Jalan bebas hambatan adalah jalan masuk dikendalikan dengan penuh, (1) tidak ada persimpangan sebidang, dibatasi pagar ruang milik jalan, dileng-kapi dengan median, paling sedikit memiliki 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3,5 meter. Jalan raya adalah jalan umum untuk lalu lintas secara menerus dengan (2) pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit memiliki 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3,5 meter.Jalan sedang adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan (3) pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sdikit 2 (dua) jalur un-tuk 2 arah dengan lebar 7 meter. Jalan kecil adalah jalan umum yang melayani lalu lintas setempat, paling (4) sedikit 2 jalur untuk 2 arah dengan lebar jalur paling esedikit 5,5 meter.Masing –masing kriteria jalan tersebut memiliki dimensi maksimum dan

Muatan Sumbu Terberat (MST) kendaraan bermotor yang harus ditampung.7 Ketentuan maksimum dan MTS ini harus dipatuhi agar jalan tetap dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan umur rencana.

6 Lihat pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006 tentang Jalan

7 Lihat pasal 19 ayat 2 Undang-unang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Page 43: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

43

Tabel 2 Kelas Jalan Berdasarkan Fungsi dan Penggunaannya

Sumber : PP 43/1993, UU LLAJ/2009

Berdasarkan statusnya, jalan dikelompokan atas lima kategori, yaitu 1) Ja-lan Nasional adalah merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol, 2) Jalan Provinsi adalah merupakan jalan ko-lektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota pro-vinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi, 3) Jalan Kabupaten adalah merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegia-tan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten, 4) Jalan Kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang

Page 44: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

44

menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubung-kan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota., dan 5) Jalan Desa adalah merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau permukiman didalam desa, serta jala lingkungan.

Jalan TolB. Jalan tol merupakan jalan umum dan bagian dari sistem jaringan jalan

nasional dan bagi penggunanya diwajibkan membayar atau dikenakan baya-ran sejumlah tertentu. Berbeda dengan penggunaan jalan pada umumnya dimana semua pengguna jalan bisa menggunakan tanpa perkecualian, jalan tol digunakan hanya untuk kendaraan bermotor minimal roda 4 (dibeberapa jalan tol juga tersedia jalur untuk kendaraan roda 2) yang mampu membayar sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapa-tan dari jalan tol dimanfaatkan untuk pengembalian investasi yang diperlu-kan untuk membangun ruas jalan tol tersebut dan sebagai pemeliharan dan pengembangan jalan tol itu sendiri. Dan maksud dari tol adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.

Pendapatan tol digunakan untuk beberapa hal, pertama adalah untuk mengembalikan investasi yang diperlukan untuk membangun ruas jalan tol tersebut. Kedua untuk kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan jalan tol itu sendiri.

Pembangunan jalan tol harus memenuhi berbagai ketentuan yang dikla-sifikasikan menjadi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan teknis jalan tol adalah (1)mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenya-manan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi. (2) didesain memiliki kecepatan rencana paling rendah 80 km/jam untuk lalulintas luar kota dan kecepatan paling rendah 60 km/jamuntuk jalantol dalam kota. (3) mampu menahan muatan sumbu terberat paling rendah 8 ton. (4) dilakukan pemagaran dan dan dilengkapi fasilitas penyeberangan jalan dalam bentu jembatan atau tero-wongan. (5)penyediaan bangunan pengamanan yang mempunyai kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan pada tempat-tempat yang membahayakan pengguna jalan tol. (6) penyediaan rambu lalu lintas, marka jalan, dan pemberi isyarat lalu lintas.8

8 Lihat pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol

Page 45: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

45

Standar Pelayanan Minimum (SPM) pada jalan tol merupakan ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. Besaran ukuran dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. SPM meliputi kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibili-tas, mobilitas, dan keselamatan.

Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh inflasi, dengan formula: Tarif Baru = tarif lama (1 + inflasi).

Inflasi dihitung berdasarkan perubahan indeks harga konsumen (IHK) regional yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik. Pemberlakuan tarif tol awal dan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan besarnya tarif tol awal ditetapkan pada saat penandatangan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dan dilakukan penyesuaian 2 tahun diatur dalam PPJT antar Pe-merintah dengan Badan Urusan Jalan Tol (BUJT).

Penyesuain tarif tol yang dilakukan 2 tahun sekali diharapkan bisa me-narik investor untuk berinvestasi, kepastian tentang pengembalian dana in-vestasi yang lebih mudah dihitung. Dengan banyaknya investor yang tertarik untuk berinvestasi di infrastruktur jalan tol akan memberikan kontribusi ke-pada pertumbuhan perekonomian. Hal ini didasari atas kemudahan dalam aktivitas bisnis, kemudahan perpindahan barang dan jasa.

Page 46: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

46

Page 47: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

47

BAB IIIPEMBAHASAN

Pemenuhan Standar Pelayanan MinimumA. Ruas jalan tol merupakan ruas jalan alternatif dari ruas jalan umum yang

sudah ada. Ruas jalan tol harus memiliki spesifikasi dan layanan yang lebih baik dari ruas jalan umum non tol. Penyelenggaraan jalan tol bertujuan me-ningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat per-kembangannya. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antarkota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 (delapan puluh) kilometer per jam, dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam.

Jalan tol harus mempunyai spesifikasi teknis:tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan (1) prasarana transportasi lainnya;jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara (2) efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara penuh;jarak antarsimpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan (3) tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan;jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah;(4) menggunakan pemisah tengah atau median; dan(5) lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur (6) lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat.Penyelenggaraan ruas jalan tol harus memenuhi kelayakan operasi yang

ditentukan berdasarkan pada stadar pelayanan minimal (SPM) jalan tol.

Page 48: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

48

Pemenuhan SPM jalan tol merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh badan usaha penyelenggara jalan tol. SPM juga merupakan hak bagi penggu-na jalan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara jalan tol, mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, dan keselama-tan serta besarnya ukuran standar dapat dievaluasi secara berkala berdasar-kan hasil pengawasan fungsi dan manfaat9. Komitmen penyelenggara tol yang tinggi untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada pengguna dan menyadari bahwa pengguna jalan merupakan sumber dana.

Selain terkait dengan SPM, pelayanan dari ruas jalan tol harus berada pada level of service B10 yaitu dengan kondisi:

Arus stabil dengan volumen lalu lintas sedang dan kecepatan mulai diba-(1) tasi oleh kondisi lalu lintas.Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum mem-(2) pengaruhi kecepatan.Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya (3) dan lajur jalan yang digunakan.PerMen PU No 392 / 2005 tentang SPM Jalan Tol, Pasal 8 menyatakan

bahwa: “Terhadap jalan tol yang sudah beroperasi, pemenuhan indikator standar pelayanan minimal khusus untuk ketidakrataan diberikan tenggang waktu paling lama 5 (lima) tahun, dan pemenuhan indikator pagar rumija diberikan tenggang waktu paling lama 3 (tiga) tahun dengan pelaksanaan dilakukan secara bertahap.”

Dalam konteks ini, penerapan tarif jalan tol semestinya diikuti dengan pemenuhan terhadap layanan (SPM) yang akan diberikan kepada pengguna (masyarakat), sebagaimana menjadi kewajiban pihak Operator Jalan Tol yang tertuang dalam kontrak pelaksanaan.Namun, dalam implementasinya, kenai-kan tarif jalan tol selama ini belum diikuti dengan upaya perbaikan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), kondisi pelayanan jalan tol dalam kota ditinjau dari aspek kondisi lalu lintas rata-rata berada pada level of service E. Padahal menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun 2006 dinyatakan bahwa level of service dari ruas jalan tol minimal pada level B. Apabila merujuk pada peraturan lain

9 Lihat pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005

10 Lihat pasal 7 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Di Jalan.

Page 49: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

49

terkait dengan SPM yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005, menyatakan bahwa untuk kecepatan perjalanan minimal rata-rata ruas tol dalam kota adalah 1,6 kali dari ruas jalan umum. Untuk ruas jalan tol antar kota, kondisi pelayanan rata-rata pada level of service A (BPJT, 2007), meskipun pada beberapa segmen yang berada di sekitar DKI Jakarta berada di bawah level B. Apabila ditinjau dari standar SPM yang menyatakan bahwa kecepatan perjalanan minimal rata-rata ruas tol antar kota adalah 1,8 kali dari ruas jalan umum, rata-rata dapat memenuhi persyaratan tersebut.

Setiap SPM memiliki tolok ukur yang mencakup dua unsur: ukuran dan target yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan. Ukuran merupakan standar/kriteria penilaian atau formula pengukuran. Dengan pedoman ini maka kinerja SPM tiap tahun dapat kita nilai apakah SPM sudah terpenuhi atau belum, sehingga pengembangan kearah yang lebih baik dapat kita tentu-kan. Besaran ukuran harus dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil penga-wasan fungsi dan manfaat.

Permasalahan SPM yang secara umum tidak dapat dipenuhi adalah ter-kait dengan kecepatan tempuh di dalam ruas jalan tol yang dipersyaratkan akibat padatnya kendaraan di dalam ruas jalan tol. Salah satu opsi penanga-nan yang dapat dilakukan adalah dengan pengontrolan arus kendaraan yang masuk ke jalan tol sehingga kepadatan kendaraan dapat dikontrol. Hal ini telah dilakukan oleh operator ketika ruas jalan di luar jalan tol dalam kondisi lancar. Namun ketika kondisi ruas jalan di luar tol mengalami kemacetan maka sebuah pilihan yang dilematis bagi operator. Apabila dilakukan buka tutup jalan tol, pelayanan di dalam ruas tol akan sangat baik, namun kondisi ruas jalan di luar tol akan macet total dan dampaknya kendaraan yang akan keluar tol terhambat. Apabila tidak melakukan buka tutup maka kemacetan juga akan terjadi di dalam jalan tol, karena pada prinsipnya jalan merupakan satu kesatuan jaringan sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pengatu-rannya secara mutlak.

Permasalahan yang terjadi sesungguhnya adalah tidak adanya kontrol jum-lah kendaraan, sehingga dengan skema penanganan yang difokuskan pada jalan tol saja tidak akan pernah cukup. Perlu adanya instrumen manajemen lalu lintas dan pengendalian jumlah kendaraan. Penerapan manajemen lalu lintas tidak hanya di ruas jalan tol saja, namun mencakup keseluruhan jaringan jalan yang ada sehingga akan terjadi kelancaran dalam operasi lalu lintas.

Page 50: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

50

Hak dan Kewajiban Operator dan Investor Jalan TolB. Telah diatur kewajiban dari badan usaha penyelenggara jalan tol yang

antara lain meliputi kewajiban untuk menjamin kondisi jalan tol layak untuk dioperasikan dan mengganti kerugian pengguna akibat kesalahan penyelenggara tol. Sedangkan untuk hak, badan usaha jalan tol berhak menerima pendapa-tan dari pengoperasian jalan tol dan berhak menolak kendaraan yang melebi-hi batas standar kendaraan. Selain itu operator dan investor dapat menikmati perubahan tarif yang ditinjau kembali setiap 2 tahun sesuai dengan tingkat inflasi,

Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal, yang terlaksana hanya penerimaan pendapatan tol oleh ba-dan penyelenggara jalan tol. Banyak ruas jalan tol yang layak diperasikan seca-ra struktural fisik namun secara kapasitas lalu lintas tidak dapat dioperasikan yang tetap beroperasi sehingga merugikan pengguna. Kewajiban badan usaha penyelenggara tol yang harus mengganti kerugianpengguna akibat kesalahan pengoperasian juga tidak pernah terlaksana. Ketika terjadi kemacetan pada ruas jalan tol, pengguna mengalami kerugian karena tidak memperoleh laya-nan sesuai dengan kelayakan operasional, namun badan usaha penyelenggara jalan tol tidak pernah memberikan ganti rugi.Selain itu ketimpangan regulasi yang mengatur antara hak kewajiban juga merupakan salah satu faktor yang memicu tidak terpenuhinya pelaksanaan kewajiban operator dan investor ja-lan tol pada beberapa ruas jalan tol, terutama pada ruas tol dalam kota.

Di sisi lain, Investor saat ini merupakan salah satu alternatif yang pa-ling menjadi prioritas dalam penyelenggaraan jalan tol, karena pemerintah mengalami kesulitan di dalam pendanaan. Pemerintah dan investor jalan tol diharapkan bisa bekerjasama dalam penyelenggaraan sistem jaringan jalan tol yang telah direncanakan serta dapat mengkaji bersama dalam investasi pada program tersebut. Dengan begitu, lalu lintas harian rata-rata atau LHR bisa tercapai pada ruas tol itu selesai dibangun. Tercapainya target LHR diharap-kan dapat mendorong investor tol lainnya untuk ikut menanamkan modal. Sebaliknya, jika LHR tidak tercapai, hal itu bisa menimbulkan efek negatif bagi industri jalan tol dan perbankan kesulitan yang dihadapi investor akibat tanah dimasukkan dalam investasi jalan tol.

Salah satu kendala yang menjadi permasalahan bagi investor jalan tol adalah permasalahan infrastruktur khususnya di bidang pembebasan lahan.

Page 51: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

51

Sampai saat ini ada sekitar 20 jalan tol yang terhenti tanpa progress karena kendala pembebasan lahan. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka inves-tor akan enggan untuk menginvestasikan ke bidang jalan tol. Konsesi dan tariff yang selama ini menjadi bahan pertimbangan investor kini terkendala masalah lahan. Tiap tahun nilai pembebasan lahan semakin membengkak. Permasalahan pembebasan lahan harus segera dicarikan alternatif solusi, sa-lah satunya melalui pemberian payung regulasi yang tepat, agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dan perkembangan prasarana mengalami stangnasi.

Kaitannya dengan hokum bahwa antara penyelenggara jalan tol (opera-tor) dan pengguna jalan tol (konsumen) memiliki “kontrak” kerjasama. Dalam artian ada kesepakatan dari kedua belah pihak tentang sesuatu, dalam hal ini adalah jasa tol. Hak dan kewajiban harus dipenuhi masing-masing pihak, mis-alnya konsumen berkewajiban membayar tol sebesar nominal tertentu dan berhak mendapat fasilitas yang ditawarkan oleh operator jalan tol yang sesuai dengan biaya yang dikeluarkan tadi. Sedang operator berhak menerima biaya lewat tol dengan berkewajiban memberikan pelayanan yang ditawarkan ke-tika pengguna menggunakan jasa tol. Selama ini tidak ada kontrak kesepaka-tan antara badan usaha penyelenggaran tol dengan konsumen pengguna laya-nan jalan tol, sehingga pengguna jalan tol tidak dapat menuntut kewajiban penyelenggaraan jalan tol yang layak kepada badan usaha pengelola jalan tol. Oleh karena itu perlu adanya suatu kontrak kesepakatan dan kesepahaman sehingga badan usaha penyelenggara jalan tol dapat menjamin terpenuhinya hak dari pengguna jalan tol karena pengguna telah memenuhi kewajibannya yaitu membayarkan sejumlah uang sesuai dengan tarif tol. Hal –hal pokok yang diatur dalam regulasi adalah mengenai hak dan kewajiban pihak peng-guna jalan tol dan operator jalan tol.

Hak dan kewajiban dari pengguna jalan tol adalah sebagai berikut11:Pengguna jalan tol wajib membayar tol sesuai dengan tarif yang telah (1) ditetapkan.Pengguna jalan tol wajib mengganti kerugian Badan Usaha yang diakibat-(2) kan oleh kesalahannya sebesar nilai kerusakan yang ditimbulkan.Pengguna jalan tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha (3) atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan jalan tol.

11 Lihat pasal 86 - 88 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol

Page 52: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

52

Pengguna jalan tol berhak mendapatkan pelayanan jalan tol yang sesuai (4) dengan standar pelayanan minimal.Sedangkan hak dan kewajiban operator jalan tol adalah sebagai be-

rikut12:Badan Usaha berhak untuk menolak masuknya dan/atau mengeluarkan (1) pengguna jalan tol yang tidak memenuhi ketentuan batasan sumbu ter-berat.Badan Usaha wajib menyediakan unit ambulans, unit pertolongan penye-(2) lamatan pada kecelakaan, unit penderek, serta unit-unit bantuan dan pelayanan lainnya sebagai sarana penyelamatan di jalan tol.Badan Usaha wajib menyediakan unsur pengaman dan penegakan hukum (3) lalu lintas jalan tol bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.Badan Usaha wajib mengusahakan agar jalan tol selalu memenuhi syarat (4) kelayakan untuk dioperasikan.Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna ja-(5) lan tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan jalan tol.

Pendanaan jalan tolC. Penyelenggaraan jalan menghadapi keterbatasan sumber daya jalan atau

resources constraint. Keterbatasan sumber daya jalan disebabkan oleh ketidak-seimbangan antara peningkatan jumlah pergerakan barang dan manusia pada suatu wilayah dengan pertumbuhan kuantitas panjang jalan. Pertumbuhan jumlah pergerakan barang dan manusia yang tidak diimbangi dengan per-tumbuhan kuantitas panjang jalan menyebabkan terjadinya kemacetan. Hal ini banyak dijumpai pada wilayah perkotaan dengan mobilitas arus barang dan manusia yang tinggi, sedangkan lahan yang disediakan bagi pembangu-nan prasarana jalan semakin terbatas, sehingga peningkatan kuantitas pan-jang jalan tidak mampu memenuhi peningkatan lalu lintas. Agar hambatan bagi pemakai jalan dapat dikurangi, pada daerah yang sudah berkembang dengan lalu-lintas tinggi, jalan tidak lagi murni public goods, tetapi menjadi semi public goods, setiap pengguna jalan harus berkompetisi dalam memanfaat-kan ruas jalan yang terbatas. Untuk menurunkan hambatan bagi pergerakan

12 Lihat pasal 89 - 90 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol

Page 53: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

53

barang dan manusia pada jalan-jalan semi public good, penyelenggara jalan dapat membebankan biaya penggunaan jalan kepada pengguna jalan. Dana preservasi jalan yang diperoleh dari pembebanan biaya penggunaan jalan ini dikembalikan kepada sektor jalan dalam wujud layanan prasarana jalan, se-perti pemeliharaan jalan, rehabilitasi jalan, dan rekonstruksi selain diperun-tukan untuk pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib dan lancar, kondisi jalan harus dipertahankan13.

Pergeseran kedudukkan prasarana jalan dari public goods menjadi semi public goods hingga menjadi private goods, mendorong perlunya perubahan kerangka pengaturan tentang jalan. Sesuai dengan prinsip dasar prasarana jalan yang tidak mengenal batas wilayah administrasi serta menghindarkan analisis yang bias wilayah, perubahan Undang-Undang Jalan ini harus mam-pu mengakomodasikan perbedaan tingkat utilitas prasarana jalan di seluruh Indonesia dengan memperhatikan wilayah geografis pembangunan jaringan.Secara kontekstual, muatan Perubahan Undang-Undang Jalan harus mam-pu menjamin pemerataan dan keadilan bagi masyarakat pengguna jalan di-seluruh Indonesia dalam mengakses jalan sesuai dengan tingkat utilitas pra-sarana jalan.

Pada wilayah perkotaan yang sudah berkembang dengan utilitisasi ja-lan yang tinggi, Perubahan kerangka pengaturan Undang-Undang Jalan ini menuntut perubahan pendekatan penyelenggaraan jalan yang menekankan pada kualitas layanan penyelenggaraan jalan yang diprioritaskan pada peme-liharaan jalan. Kualitas layanan penyelenggaraan jalan ini menggunakan pa-rameter berupa aspek ekonomi dan eksternalitas negatif. Aspek ekonomi dari penurunan kualitas layanan penyelenggaraan jalan berupa peningkatan biaya operasional kendaraan yang ditanggung oleh pengguna jalan dari hambatan yang ditimbulkan oleh lalu lintas yang macet, sedangkan eksternalitas negatif berupa polusi udara yang ditimbulkan oleh kenaikan emisi gas buang ken-daraan pada jalan-jalan dengan lalu lintas yang macet.

Perkembangan jumlah kendaraan yang tinggi yang berdampak pada penu-runan kinerja jaringan jalan, namun hanya sedikit kontribusinya terhadap pembiayaan penyelenggaraan jalan. Bahkan, trend yang menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan yang semakin tinggi berlawanan dengan trend penurunan pembiayaan negara untuk sektor infrastruktur.

13 Lihat pasal 29 Undang- undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Page 54: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

54

Page 55: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

55

BAB III PENUTUP

KesimpulanA. Belum maksimalnya kinerja operator dalam menjalankan Standar Pelaya-(1) nan Minimum (SPM), masih terdapat banyak pelanggaran atau penilaian dibawah standar yang diajukan oleh Mentri PU. Adanya jalan berlubang, kecepatan yang tidak maksimum dikarenakan kepadatan jalan tol tidak terkontrol.Pelaksanaan hak dan kewajiban operator dan investor jalan tol hingga (2) saat ini belum terlaksana dengan optimal, yang terlaksana hanya peneri-maan pendapatan tol oleh badan penyelenggara jalan tol. Ketimpangan regulasi antara hak dan kewajiban juga merupakan salah satu faktor yang memicu tidak terpenuhinya kewajiban operator dan investor pada bebe-rapa ruas jalan tol, terutama pada ruas tol dalam kota.Keterbatasan sumberdaya jalan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara (3) peningkatan jumlah pergerakan barang dan manusia dengan pertumbu-han kuantitas panjang jalan, sehingga menyebabkan kemacetan. Penuru-nan pembiayaan infrastruktur jalan, dan adanya kebijakan pendapatan dari pajak kendaraan bermotor 10% yang dialokasikan untuk pembangu-nan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda transportasi umum

SaranB. Berdasarkan kesimpulan maka saran yang dapat diberikanDiperlukan adanya regulasi yang setingkat antara penetapan tarif dan (1) pemenuhan SPM. Dalam UU 38 tahun 2004 telah disyaratkan bahwa ruas jalan tol mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi dari

Page 56: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

56

pada jalan umum yang ada, namun dalam klausul tersebut belum me-nyebutkan secara eksplisit bahwa standar pelayanan yang harus menjadi acuan dalam menilai kelayakan operasional adalah SPM. Regulasi yang menyatakan bahwa pengoperasian jalan tol harus memenuhi SPM bera-da dalam PP Nomor 15 Tahun 2005. Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu adanya penambahan klausul bahwa pengoperasian jalan tol harus memenuhi kriteria kelayakan operasional dan memenuhi SPM.Perlu diatur mengenai kebijakan penyelenggara jalan tol untuk wajib (2) menjaga kondisi jalan tol untuk selalu memenuhi kelayakan operasional. Hak dan kewajiban operator dan investor selanjutnya tergantung pada skema kontrak penyelenggaraan tol.Adanya peran aktif pemerintah dalam penyediaan lahan, agar investor (3) tertarik untuk berinvestasi di infrastruktur jalan tol.Mengubah pajak kendaraan bermotor menjadi pajak jalan. Pembiayaan (4) jalan dengan skema road fund dan dana preservasi jalan yang saat ini belum maksimal.

Page 57: buku-tim-8

Achmad Wirabrata

57

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kementrian Pekerjaan Umum, Buku Pintar Kementrian Pekerjaan Umum, 2009

Internet

”20 Ruas Rol Mangkrak Perpres No.13/2010 Tidak Implementatif”, http://id.citra.idbk.info/berita-dan-event/berita-terkini/348/-20-ruas-tol-mang-krak--perpres-no-13-2010-tidak-implementatif/, diakses tanggal 18 No-vember 2010

Litman, Todd, “Evaluating Transportation Equity, “ World Transportation Policy & Practice (http://ecoplan.org/wtpp/wt_index.htm), Volume 8, No. 2, Summer 2002, pp. 50-65, diakses tanggal 10 September 2010

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Peraturan Pemerintah Nomor. 34 tahun 2006 tentang Jalan

Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Di Jalan.

Page 58: buku-tim-8

Analisis Permasalahan Jalan Tol Di Indonesia

58

Page 59: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

59

BAGIAN KETIGA

PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

DALAM PERSPEKTIF ANGGARAN DAN KEBIJAKAN

Oleh Ariesy Tri Mauleny1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 60: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

60

Page 61: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

61

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia tidak terlepas

dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman. Perumahan dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, yang juga memili-ki peran strategis sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan pe-ningkatan kualitas generasi mendatang, serta merupakan wadah pengembangan diri menuju manusia yang berkualitas. Permasalahan perumahan dan permu-kiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik se-mata, tetapi lebih kompleks terkait sektor yang lebih luas seperti pertanahan, industri bahan bangunan, lingkungan hidup dan aspek lainnya yang terkait dengan dimensi kehidupan bermasyarakat yang meliputi aspek sosial, eko-nomi, budaya, teknologi, ekologi maupun politik dalam upaya membangun kehidupan masyarakat yang harmonis.

Upaya pembangunan perumahan dan permukiman yang telah dilaksana-kan selama ini, masih bersifat sektoral dan hanya berupa proyek-proyek parsi-al dan tidak berkelanjutan. Disamping itu, upaya pembangunan perumahan dan permukiman di daerah-daerah masih sangat terbatas karena keterbatas-an kemampuan sumber daya manusia, sumber pembiayaan maupun pengem-bangan pilihan-pilihan teknologi serta upaya perberdayaan masyarakat setem-pat yang kurang mendapat perhatian.

Saat ini pemenuhan kebutuhan perumahan dari sudut demand dan supply hanya terbatas pembiayaannya untuk bentuk-bentuk pasar formal bagi go-longan menengah ke atas yang jumlahnya relatif kecil, sementara untuk go-longan menengah ke bawah masih terbatas sekali bentuk-bentuk kredit dan

Page 62: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

62

bantuan subsidi yang tersedia. Sementara kebutuhan tersebut selalu mening-kat seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk sehingga menimbulkan peningkatan backlog setiap tahunnya. Padahal dapat dikatakan bahwa sektor perumahan dan permukiman menjadi salah satu sektor penting dalam pereko-nomian nasional terkait dengan efek multiflier yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan sektor perumahan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang memasukkan faktor peruma-han sebagai salah satu indikator, menempatkan Indonesia di urutan107 dari 175 negara. Pembangunan perumahan yang efisien akan mampu mendorong pertumbuhan perekonomian lokal, regional dan nasional. Dari sisi investasi, pembangunan perumahan di Indonesia masih ketinggalan (hanya 1,4% dari PDB, tahun 2002), sementara Malaysia dan Amerika mencapai 27,7% dan 45,3%.5.2

Perbedaan-perbedaan sudut pandang yang ada sesungguhnya bukan un-tuk dipertentangkan, tetapi sebagai suatu upaya untuk memperkaya tinjauan agar dapat lebih memandang persoalan perumahan dan permukiman secara lebih holistik. Kesadaran akan adanya keragaman tersebut penting, karena hal tersebut dapat melahirkan alternatif-alternatif strategi penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman untuk menuju Visi yang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menargetkan peningkatan jumlah rumah tangga menengah dan miskin yang menempati perumahan layak huni dengan sarana dan prasarana memadai. Diharapkan dalam lima tahun ke depan jumlah atau luas lingkungan permukiman ku-muh akan berkurang. Pembangunan yang dilaksanakan harus terprogram dan terencana, evaluasi atas pembangunan permukiman dan perumahan dalam RPJMN tahun 2005-2009 menjadi keharusan.3 Banyak masalah yang berhasil diidentifikasi, antara lain, belum mantapnya kelembagaan penyeleng-garaan pembangunan perumahan, lemahnya jaminan kepastian bermukim, keterbatasan akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap la-

2 Murbaintoro, Tito, “Potensi Instrumen Pembiayaan Syariah dan Wakaf untuk Pembangunan Perumahan dan Permukiman”, Jakarta, 2009

3 Ir. Budi Hidayat, M. Eng. SC disampaikan dalam Rapat Koordinasi Penyusunan RPJMN 2010-2014 bidang pembangunan perumahan dan pemukiman, Senin (10/08) di ruang 301 Bappenas, pukul 09.30 WIB. dihadiri perwakilan dari Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya.

Page 63: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

63

han, keterbatasan MBR pada pembiayaan, belum mantapnya pasar primer dan sekunder perumahan, masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan dan pemanfaatan sumber daya pembangunan lokal yang belum optimal.4

Sementara itu, tuntutan otonomisasi menghendaki penyelenggaraan pe-rumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan karakteristik persoa-lan perumahan dan permukiman yang khas kontekstual serta perkembangan potensi kemampuan masyarakat yang semakin memadai dalam merespon persoalan perumahan dan permukiman. Disamping itu juga, sesuai dengan tuntutan kebijakan pembangunan nasional dan ketentuan peraturan perun-dang-undangan yang menekankan pada semangat pelaksanaan otonomi dae-rah secara nyata dan bertanggung jawab.

Isu lain yang menyangkut perumahan dan permukiman adalah masalah lingkungan pada kawasan permukiman yang umumnya muncul sebagai aki-bat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pe-manfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman, baik secara fungsional maupun visual, merupakan isu utama dalam menciptakan lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Hal ini juga semakin menjadi masalah, mengingat masih belum diterapkannya secara optimal standar teknis minimal perumahan dan permu-kiman yang berbasis indeks pembangunan berkelanjutan di setiap daerah.

Perumusan MasalahB. Beberapa permasalahan mengenai pembangunan perumahan dan per-

mukiman yang akan dibahas sebagai berikut:Bagaimanakah kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman 1. yang ada sampai saat ini?Bagaimana tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan pembangunan 2. perumahan dan permukiman?Bagaimana potensi pembiayaan pembangunan perumahan dan permu-3. kiman?

4 http://www.bappenas.go.id, Humas Bappenas, Selasa, 2 November 2010 10:44:47 AM

Page 64: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

64

Tujuan PenulisanC. Tulisan ini hendak merefleksikan hal-hal sebagai berikut:Mengetahui kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman.1. Mengetahui tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan pembangunan 2. perumahan dan permukimanMengetahui potensi pembiayaan pembangunan perumahan dan permu-3. kiman.

Page 65: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

65

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Konsep Permintaan dan Penawaran (A. Demand-Supply)5

Penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri dan dalam pereko-nomian, segala sesuatu akan terus berjalan karena kebutuhan akan semakin banyak yang selanjutnya menciptakan perubahan yang kemudian akan me-lahirkan kebutuhan kembali (supply creates its own demand). Namun demikian perkembangan yang terjadi dalam sebuah perekonomian seringkali memiliki sifat yang kumulatif daripada bersifat menyeimbangkan, contoh dalam hal ini lingkaran kemiskinan. Dengan demikian, sistem pasar tidak akan berjalan dengan baik ketika terjadi proses yang kumulatif, bahkan ketika semua ele-men selalu bergerak, keluwesan dan kesederhanaan teori harga dalam mem-berikan respon menjadi hilang. Hal ini dapat digambarkan dengan keadaan apabila investasi pada sebuah sektor akan meningkatkan output yang me-nyebabkan harga turun dan kemudian berdampak pada keuntungan produ-sen yang semakin rendah. Pada kasus ini, produsen akan merespon dengan berbagai cara yaitu pertama, diam dan tidak melakukan apa-apa sehingga berujung pada kebangkrutan. Kedua, meninggalkan dan melakukan investasi di sektor lain. Ketiga, melakukan investasi lebih besar agar biaya yang dikelu-arkan menjadi lebih kecil dan keempat, menaikkan harga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan diantaranya tingkat penda-patan per kapita, harga barang itu sendiri dan barang lain, jumlah penduduk, distribusi pendapatan, selera dan sebagainya. Sementara faktor yang mem-pengaruhi penawaran yaitu harga barang itu sendiri maupun barang lain,

5 Mankiw, Gregory, “Principles of Economics” 3th Edition, South Western of Thomson Learning, South Western, 2004

Page 66: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

66

harga faktor produksi, jumlah penjual, tujuan perusahaan dan kebijakan pe-merintah.6

Penawaran dan permintaan menentukan harga suatu barang dan jum-lah yang dijual. Apabila terkait barang publik atau yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat baik itu sandang, pangan dan papan, membutuhkan peran aktif negara selaku pemegang kuasa kebijakan. Kebijakan negara seringkali mampu menggeser penawaran dan permintaan yang kemudian mengubah harga serta jumlah keseimbangan. Pengendalian harga dan pemenuhan ke-butuhan yang menjadi hak publik dapat didorong pemerintah dalam penye-diaan maupun pengembangannya dengan berpegang pada prinsip keterse-diaan, keadilan dan pemerataan.

’Trickle Down Effect’B. dan ’Multiplier Effect’ dalam Perekonomian NasionalDalam pandangan tradisional, pembangunan yang dilakukan difokus-

kan pada sebuah sektor ekonomi atau di sebuah lokasi yang dinilai strategis. Dengan fokus pembangunan di satu titik ini, diharapkan hasil yang dipero-leh pada titik yang menjadi pusat perhatian proses pembangunan akan da-pat dirasakan oleh sektor ekonomi lain atau daerah lain yang berhubungan dengan titik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk perluasan kesempatan kerja serta berbagai peluang ekonomi lainnya misalnya sektor jasa dan permukiman. Proses yang demikian ini disebut se-bagai ’efek penetesan ke bawah’ atau yang lebih dikenal dengan istilah ’trickle down effect’.7

Namun demikian, proses pembangunan berdasar atas pandangan tradi-sional ini masih menyisakan berbagai permasalahan seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan ketidakpastian perbaikan pendapatan riil se-bagian besar penduduknya karena sekedar mengedepankan pada pencapaian pertumbuhan PDB.

Dilatarbelakangi oleh permasalahan yang belum dapat diatasi oleh pan-dangan tradisional, muncullah pandangan modern yang menitikberatkan pembangunan pada upaya multi dimensional yang meliputi perubahan pada

6 Manurung, Mandala dan Rahardja, Pratama, “Pengantar Ilmu Mikroekonomi dan Makroekonomi”, Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia, 2004.

7 Widodo, Tri, “Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah), Penerbit UPP STIM YKPN, Cetakan Pertama, Mei 2006.

Page 67: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

67

berbagai aspek termasuk didalamnya struktur sosial, dalam memperbaiki kua-litas kehidupan masyarakat.

Peran Negara dalam Perekonomian dan Kebijakan PublikC. Hingga saat ini, dua pandangan yang ekstrem sering mendominasi ber-

bagai diskusi mengenai peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Pandangan yang pertama adalah bahwa pemerintahan yang efektif tidak ha-nya perlu karena adanya kegagalan pasar, namun bahkan merupakan syarat cukup untuk meraih keberhasilan pembangunan ekonomi. Secara implisit, pandangan ini mengandung pengertian bahwa jika suatu rezim tertentu ti-dak dapat diandalkan untuk melaksanakan proses pembangunan secara kom-peten dan jujur, rezim tersebut akan dipaksa untuk melakukannya karena tekanan politis yang semakin besar, atau rezim tersebut akan kehilangan ke-kuasaannya.

Pandangan kedua, yang dikaitkan dengan kontrarevolusi neoklasik atau aliran ortodoks baru dan berakar pada pemegang Nobel Friedrich von Hayek, yang dikembangkan menurut gagasan pemegang Nobel James Buchanan dan diterapkan dalam kebijakan pembangunan oleh Anne Krueger maupun Depak Lal. Menurut pandangan ini, para pelaku dalam pemerintahan seperti politisi dan birokrat, sama egoisnya dan sama mementingkan dirinya sendiri dengan para pemilik perusahaan. Bedanya para pemilik perusahaan sedikit banyak dikendalikan oleh pasar, sedangkan para politisi dan birokrat tidak. Bahkan ketika perekonomian terperangkap dalam jebakan kemiskinan, pemerintah dapat memainkan peran strategis dalam equilibrium yang buruk tersebut se-hingga disimpulkan bahwa pemerintah hanya dapat membuat keadaan men-jadi lebih buruk, setidaknya dalam perannya yang minimum.8

Namun demikian, di negara-negara Dunia Ketiga terdapat sejumlah fak-tor yang tidak memungkinkan untuk terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam rangka mengembangkan diri seperti yang dilakukan negara-negara yang tergolong maju selama tahap-tahap awal pembangunannya. Mungkin alasan yang paling penting adalah bahwasannya pasar-pasar di negara berkembang diliputi oleh banyak ketidaksempurnaan. Salah satu dari ketidaksempurnaan itu adalah kurangnya informasi dan besarnya ketidakpastian yang dihadapi oleh produsen dan konsumen serta besarnya eksternalitas.

8 Michael Todaro dan Stephen C. Smith, “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Jilid 2, Penerbit Erlangga, Edisi kedelapan, 2003, halaman 259.

Page 68: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

68

Banyak jenis barang dan jasa yang sebenarnya memiliki nilai sosial yang tinggi, tetapi hal tersebut tidak tercermin pada harga-harga pasarnya. Oleh ka-rena, negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan mini-mum bagi warganya maka negara harus mengambil bagian dalam memastikan terselenggaranya pemerintahan dan roda perekonomian yang mengedepan-kan kepentingan publik. Apabila dikaitkan dengan masalah pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dan memburuknya kemiskinan, yang menjadi ciri dari kebanyakan negara berkembang, maka kemungkinan besar peranan sektor publik, yang biasa disebut kebijakan ’ramah pasar’ akan terus meningkat.

Meskipun seandainya mekanisme pasar benar-benar beroperasi secara lebih efisien dalam rangka mengalokasikan sumber-sumber daya yang ada dibandingkan dengan mekanisme sektor publik, hal tersebut tidak berarti bahwa peranan sektor publik atau negara dalam pengelolaan perekonomi-an nasional, bisa dihilangkan sama sekali. Sesungguhnya, sampai dengan batas-batas tertentu, peranan negara dalam mengalokasikan sumber-sumber daya masih tetap perlu, khususnya dalam sektor-sektor tertentu yang kurang mendapat perhatian swasta maupun yang menguasai hajat hidup orang ba-nyak. Terutama dalam rangka pembentukan modal (capital formation) adalah kebutuhan mendasar dalam pembangunan ekonomi terutama dalam tahap-tahap awal pembangunan Dunia Ketiga, maka negaralah yang harus memain-kan peranan utama dalam upaya mengakumulasi modal yakni melalui pene-rapan kebijakan fiskal dan moneter.

Negara juga dapat memainkan peranan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan dalam jangka panjang melalui perencanaan dan pengelolaan yang tepat sasaran. Mengingat, setiap organisasi atau individu membutuhkan insentif tertentu untuk bekerja secara maksimal, berinovasi, mengendalikan biaya serta mengalokasikan segenap sumber daya secara efisien namun hal tersebut tidak mudah ditiru dan diterapkan oleh lembaga pemerintahan dan BUMN, sehingga seringkali boros dan tidak efisien.9 Selain itu, perencanaan bisa dimanipulasikan oleh kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan mak-mur untuk melanggengkan kekuasaanya dan mengabaikan sektor publik.

9 Michael Todaro dan Stephen C. Smith, “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Edisi kedelapan, 2003, halaman 249.

Page 69: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

69

BAB IIIPEMBAHASAN

Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman A. Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah Indonesia yang

mandiri, maju, adil dan makmur yang akan diwujudkan melalui salah satu misinya yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/dae-rah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pe-layanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan dis-kriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.

Salah satu sasaran pokok RPJPN10 Tahun 2005–2025 Bidang Peruma-han dan Permukiman adalah terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, dengan salah satu tandanya adalah terpenuhinya kebutu-han hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujud-kan kota tanpa permukiman kumuh.

Terkait dengan pembangunan permukiman dan perumahan, misi kelima dan keenam yang secara jelas mencantumkan keterkaitannya yaitu mewujud-kan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, yang diantaranya me-negaskan kebutuhan hunian menjadi salah satu dari empat sasaran pokok (sasaran ke-3) dan salah satu dari 21 arah pembangunan (arah ke-19); dan misi keenam adalah mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yang diantaranya menegaskan perumahan dan permukiman terkait dengan pemanfaatan ru-

10 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025

Page 70: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

70

ang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, sosial ekonomi dan konservasi.

Arah kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman yang akan dicapai sampai dengan tahun 2025 adalah:

Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya 1. diarahkan pada (i) penyelenggaraan pembangunan perumahan yang ber-kelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara profesional, kredibel, mandiri, dan efisien; (ii) penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan poten-si pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, mencip-takan lapangan kerja, serta meningkatkan pemerataan dan penyebaran pembangunan; dan (iii) pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk 2. mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan. Pembangunan air minum dan sanitasi dilakukan melalui (i) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penye-diaan air minum dan sanitasi; (ii) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat; (iii) penyelenggaraan pelaya-nan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional; dan (iv) penye-diaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.Kebijakan pembangunan perumahan rakyat yang akan dilakukan pada

jangka menengah melalui pengembangan peraturan perundangan-undangan dibidang perumahan, peningkatan pemberdayaan komunitas perumahan pada semua tingkatan, peningkatan penataan dan kawasan perumahan dan permukiman serta pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan

Page 71: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

71

pasar perumahan. Selain itu juga melalui peningkatan penyediaan rumah, prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman formal, peningka-tan penyediaan dan kualitas rumah, prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman swadaya, peningkatan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, serta teknologi di bidang perumahan dan permukiman dan peningkatan kapasitas pelaku penyelenggara pembangunan perumahan permukiman.

Sementara itu, strategi pembangunan perumahan rakyat dijabarkan ber-dasarkan kepada kebijakan pembangunan perumahan. Penjabaran kedelapan butir kebijakan beserta masing-masing strategi jangka menengah pembangu-nan perumahan rakyat11 tersebut adalah sebagai berikut:

Mengembangkan peraturan perundangan-undangan dibidang peruma-1. han Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik.a. Penyusunan,pengembangan dan sosialisasi Norma, Standar, Panduan, b. Manual (NSPM) bidang perumahan.Percepatan penyusunan peraturan perundang-undangan dan kelem-c. bagaan di bidang perumahan.Penciptaan kepastian dan perlindungan hukum dalam bermukim.d. Pembentukan Badan Layanan Umum Perumahan.e.

Meningkatkan pemberdayaan komunitas perumahan pada semua ting-2. katan Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Penguatan lembaga Pemerintah dan non Pemerintah dalam pembangu-a. nan perumahan.Pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat miskin dalam mendorong b. pemenuhan kebutuhan rumahnya.

Meningkatkan penataan dan kawasan perumahan dan permukiman 3. Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Pengembangan kawasan perumahan skala besar.a. Peningkatan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan b. permukimanPengintegrasian pengembangan kawasan perumahan dan permuki-c. man dengan prasarana dan sarana perkotaan dan atau perdesaan.Peningkatan pola keserasian antar kawasan perumahan dan permuki-d. man serta penerapan pola hunian berimbang.

11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014

Page 72: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

72

Peningkatan pengembangan perumahan dan Permukiman sesuai e. dengan rencana tata ruang.

Mengembangkan sistem pembiayaan dan pemberdayaan pasar peruma-4. han Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Pengembangan pola subsidi baru yang lebih tepat sasaran.a. Pengembangan pembiayaan mikro pembangunan rumah baru dan b. perbaikan rumah.Pemantapan pasar primer dan sekunder perumahan.c. Percepatan operasionalisasi dan pengembangan SMF dan SMM.d. Pengembangan insentif fiskal bagi swasta yang menyediakan hunian e. bagi MBRPengintegrasian pembiayaan perumahan dengan sumber-sumber pem-f. biayaan jangka panjang.Pengintegrasian pembiayaan perumahan dan permukiman dengan g. sumber-sumber pembiayaan jangka panjang.

Meningkatkan penyediaan rumah, prasarana dan sarana dasar peruma-5. han dan permukiman formal Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Peningkatan penyediaan hunian (sewa/milik) bagi MBR.a. Penyediaan sarana dan prasarana dasar bagi kawasan rumah seder-b. hana sehat.Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman akibat dampak c. bencana alam dan kerusuhan sosial

Meningkatkan penyediaan dan kualitas rumah, prasarana dan sarana da-6. sar perumahan dan permukiman swadaya Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Peningkatan fasilitasi dan pemberdayaan MBR dalam penyediaan pe-a. rumahan dan permukiman.Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman yang b. bertumpu pada keswadayaan masyarakat .Peningkatan kualitas perumahan serta prasarana dan sarana dasar c. lingkungan perumahan dan permukiman

Meningkatkan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, 7. serta teknologi di bidang perumahan dan permukiman Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Page 73: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

73

Peningkatan koordinasi dan kerjasama pelaksanaan kebijakan serta a. penyelenggaraan agenda global dibidang perumahan dan permukiman.Pembinaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan peruma-b. han dan permukiman.Pengembangan inovasi, teknologi, dan industri perumahan serta c. penerapannya

Meningkatkan kapasitas pelaku penyelenggara pembangunan peruma-8. han dan permukiman Strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut meliputi :

Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pembangunan peru-a. mahan dan permukiman.Peningkatan kapasitas SDM dalam penyelenggaraan pembangunan b. perumahan dan permukiman .Peningkatan kapasitas Stakeholders dalam penyelenggaraan pembangu-c. nan perumahan dan permukiman.

Pada dasarnya di Indonesia, perhatian terhadap sektor perumahan telah dimulai sejak zaman pra kemerdekaan, karena pada tahun 1926 Pemerin-tah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan Pembangunan Pe-rumahan Rakyat (N.V. Volkshuisvesting) di 13 Kotapraja dan Kabupaten dan dilanjutkan dengan kegiatan penyuluhan perumahan rakyat dan perbaikan kampong (kampong verbetering) dalam rangka penanggulangan penyakit pes. Sementara pada tahun 1934 juga diterbitkan peraturan mengenai Peruma-han Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling/BWR). 12

Disamping itu, sebagai bagian dari dunia internasional, selayaknya Indo-nesia memperhatikan kesepakatan Internasional dalam mewujudkan pem-bangunan perumahan dan permukiman. Kesepakatan Internasional terkait aspek perumahan dapat dilihat dibawah ini:

12 Irawan, Willy, “Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia”, BAPPENAS, 2008 halaman 13.

Page 74: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

74

Tabel 1. Kesepakatan/Deklarasi Internasional Bidang Perumahan

Tahun Kesepakatan/Deklarasi Ringkasan Kesepakatan

1966 The International Cove-nant on Economic, Sosial, and Cultural Rights

Hak perumahan sebagai bagian dari hak asasi yang menegaskan “Pemerintah di setiap Negara harus dapat memberikan hak berupa standar hidup yang layak bagi penduduknya, termasuk makanan, pakaian dan rumah, serta peningkatan kondisi kehidupan setiap orang di Ne-gara tersebut”.

1976 The Vancouver Declaration on Human Settlements

Jaminan kepemilikan rumah bagi masyarakat harus dipe-nuhi pemerintah di seluruh dunia melalui penanganan masalah-masalah permukiman.

1988 The Global Strategy for Shelter to the Year 2000

Perumahan layak merupakan hak universal dan dasar dari suatu kebijakan pemenuhan kebutuhan peruma-han. Pemerintah bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan perumahan.

1992 Agenda 21 Akses terhadap perumahan yang aman dan sehat adalah hal penting bagi kehidupan fisik, sosial dan ekonomi suatu individu, dan menjadi bagian penting secara na-sional dan internasional.Negara segera melakukan sesuatu untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah.Upaya Negara dalam mengurangi kemiskinan perkotaan dengan menyediakan pendampingan khusus masyarakat berpenghasilan rendah, pembangunan infrastruktur so-sial, dan backlog perumahan serta penyediaan pelayanan publik yang sesuai.

1996 Habitat Agenda Hak setiap orang atas standar peningkatan kehidupan yang layak, komitmen peningkatan kondisi lingkungan perumahan dan pekerjaan yang berkelanjutan, serta ketentuan rumah layak mencakup privasi, aksesibilitas, keamanan, kepemilikan, ketahanan struktur, penerang-an, ventilasi, infrastruktur dasar perumahan (air bersih, sanitasi, air kotor), lingkungan yang baik, lokasi dekat tempat usaha/kerja, dan seluruhnya diperoleh dengan harga pas.

2000 Millenium Development Goals

Perbaikan kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020

Sementara kesepakatan atau deklarasi internasional untuk aspek permuki-man dapat dilihat dalam tabel 2 dibawah ini:

Page 75: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

75

Tabel 2. Kesepakatan/Deklarasi Internasional Bidang Permukiman

Tahun Kesepakatan/Deklarasi Ringkasan Kesepakatan

1977 Mar Del Plata Action Rekomendasi terkait manajemen air meliputi efisiensi penggunaan, lingkungan, pengendalian polusi, pendi-dikan publik, bencana alam serta kerjasama lintas Ne-gara.Tahun 1980-1990 sebagai dekade air bersih dan sanitasi.

1981 - 1990

International Decade for Water and Sanitation

Penyediaan akses air dan sanitasi dasar yang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya bagi setiap pendu-duk pada tahun 1990.

1990 New Delhi Statement Prinsip perlindungan lingkungan dan menjamin kese-hatan melalui manajemen terintegrasi dari sumber daya air, air limbah dan persampahan, partisipasi dan peran wanita diseluruh tingkatan, peningkatan pelayanan pu-blic dan penyederhanaan teknologi sebagai solusi penye-diaan air bersih bagi masyarakat miskin.

1992 Dublin Statement on Wa-ter and Sustaiinable Deve-lopment

Pengelolaan Sumber Daya Air merujuk pada suatu pen-dekatan yang menyeluruh, mengaitkan pembangunan sosial dan ekonomi dengan perlindungan terhadap eko-sistem alami;Air sebagai benda ekonomi;Pengembangan dan pengelolaan air didasarkan atas pendekatan partisipatif;Kaum perempuan diberi peran utama dalam upaya pe-nyediaan, pengelolaaan dan pemeliharaan kelestarian air.

2010 Cities Without Slums Ini-tiative Declaration

Pentingnya upaya perwujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukimkan kumuh dengan mengedepan-kan strategi pemberdayaan melalui pelibatan seluruh unsur stakeholder dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya penanganan permukiman kumuh ini adalah dalam rangka mewujudkan ling-kungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan serta terwujud masyarakat yang mandiri, produktif dan berjatidiri.

Perumahan dan permukiman masuk ke dalam pembangunan infrastruk-tur yang menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dapat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Sasaran pembangunan perumahan selayaknya ditujukan bagi pemenu-han kebutuhan hunian bagi masyarakat melalui terciptanya pasar primer yang sehat, efisien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh la-pisan masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang market friendly, efisien, dan akuntabel.

Page 76: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

76

Tantangan Pembangunan Perumahan dan PermukimanB. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala

bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan ke-pendudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta me-menuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa. Perencanaan pengarahan mobilitas penduduk dan/atau penyebaran pendu-duk dilakukan dengan menggunakan data dan informasi dan persebaran penduduk dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah13. Pengem-bangan sistem informasi kesempatan kerja yang memungkinkan penduduk untuk melakukan mobilitas ke daerah tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Mengingat rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan mempunyai arti penting dalam pengembangan kehidupan sosi-al-ekonomi dan jati diri bangsa.

Perkembangan kependudukan di Indonesia yang merupakan bagian dari Negara Dunia Ketiga perlu mendapat perhatian khusus mengingat lonjakan jumlah penduduknya sangat luar biasa. Laju pertumbuhan penduduk bagi Negara dunia ketiga pada umumnya dihitung berdasarkan angka pertamba-han alami yaitu selisih antara angka kelahiran dan angka kematian. Pada dekade tahun 1970 sampai dengan tahun 1980, pertambahan jumlah pendu-duk Indonesia termasuk sangat tinggi, dan kemudian sedikit terkendali pada periode berikutnya dimana pemerintah berupaya untuk focus pada pengen-dalian jumlah penduduk. Hal tersebut terlihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Pertambahan Penduduk Indonesia

Penduduk Indonesia

1971 1980 1990 1995 2000 2010*)

119,208,229 147,490,298 179,378,946 194,754,808 206,264,595 206,264,595

Catatan : Termasuk Penghuni Tidak Tetap (Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk Ulang-alik/Ngelaju)

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995

13 Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga

Page 77: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

77

Menurut pendukung aliran pemikiran neo-Malthus, bangsa-bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil mencapai tingkat pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali apabila mereka mengada-kan pemeriksaan preventif awal terhadap laju pertumbuhan populasi mereka, atau dengan menerapkan pengendalian kelahiran14. Apabila hal tersebut ti-dak dilaksanakan secepatnya, maka dapat menimbulkan berbagai hambatan pembangunan seperti meningkatnya jumlah pengangguran, permukiman ku-muh, pencapaian target pendidikan dan kesehatan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, termasuk bertambahnya backlog permintaan atas peruma-han yang sulit dipenuhi pemerintah. Laju pertumbuhan penduduk Indone-sia dalam tiga periode dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun

1971-1980 1980-1990 1990-2000

2.31 1.98 1.49

Catatan : Tidak Termasuk Timor Timur

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980 , 1990 , 2000 dan Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995

Menurut hasil penelitian empiris terakhir, segenap konsekuensi negatif yang potensial dari pertumbuhan penduduk terhadap pembangunan ekono-mi adalah menurunkan tingkat pendapatan per kapita di sebagian Negara berkembang, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, distribusi anggaran pendidikan semakin kecil dengan kata lain mengorbankan kualitas untuk kuantitas, sulitnya memenuhi standar kesehatan yang lebih baik, ketersedia-an bahan pangan dan papan yang semakin sulit dipenuhi, proses kerusakan dan pengrusakan lingkungan hidup serta kelebihan tenaga kerja terhadap langan kerja yang tersedia dalam perekonomian. 15

Hal tersebut mendasari pemerintah melakukan berbagai cara untuk me-ngendalikan laju pertumbuhan penduduk diantaranya melalui mempenga-ruhi masyarakat untuk memiliki pola keluarga kecil, melancarkan program keluarga berencana, memanipulasikan innsentif maupun disinsentif ekono-mi guna mengurangi jumlah anak dalam keluarga, pemberlakuan beberapa

14 Michael Todaro dan Stephen C. Smith, “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Edisi kedelapan, 2003, halaman 309

15 Ibid, hal. 326.

Page 78: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

78

perundang-undangan yang memaksa rakyatnya untuk tidak memiliki banyak anak dan yang terakhir menaikkan status sosial dan ekonomi kaum wanita. Dan seluruh upaya tersebut berdampak signifikan dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Namun demikian, hal tersebut belum sepenuhnya menjadi solusi bagi terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi segenap masyarakat terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah dimana backlog permintaan perumahan yang masih cukup tinggi.

Tabel 3. Backlog Perumahan Tahun 2007

Backlog Perumahan Tahun 2007

Kondisi Perumahan Jumlah (Juta Unit)

Backlog 5,8

Pertumbuhan Kebutuhan/ Tahun 0,8

Rumah Tidak Layak Huni 13

Sumber: Presentasi Rencana dan Sasaran Program Kemenpera 2005-2007

Backlog perumahan tersebut terus meningkat dimana pada tahun 2009 mencapai 11,6 juta unit dan masih akan terus bertambah menjadi tantangan tersendiri yang harus diselesaikan. Sementara untuk jumlah unit yang di-butuhkan seperti dalam table 4 berikut ini:

Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Rumah16

Jumlah Kebutuhan Rumah Tahun 2000, 2004 dan 2008

Tahun Jumlah RT yang belum memiliki Rumah

Total Kebutuhan Rumah (Unit)

2000 4.338.864 1.663.533

2004 Tidak ada data 5.832.665

2009 Tidak ada data 11.665.330

Sumber: RPJMN 2005-2009

Pencapaian indikator perumahan Indonesia dari tahun ke tahun me-mang sedikit mengalami peningkatan namun masih jauh untuk dibanggakan seperti ditunjukkan pada tabel 5 berikut ini.

16 Ibid, hal. 36

Page 79: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

79

Tabel 5. Indikator Perumahan Tahun 1995 s.d 2008

No. Indikator Perumahan 1995 1996 1998 20001) 20022) 2004 2006 2008

1 Persentase rumah tangga dengan status rumah sewa

n.a n.a n.a - - - 3.06 4.51

2 Persentase rumah tangga dengan luas lantai < 50 meter persegi

44.39 43.86 41.71 41.38 41.82 38.07 44.09 40.36

3 Persentase rumah tangga dengan luas lantai < 9 meter persegi/orang

- - - - - - - -

4 Persentase rumah tangga dengan sumber air minum bukan ledeng 4)

83.63 82.41 80.91 80.92 80.27 79.59 77.19 73.70

5 Persentase rumah tangga dengan dinding bukan tembok

51.77 48.81 45.91 41.65 40.34 37.94 37.78 34.51

6 Persentase rumah tangga dengan atap daun, ijuk, dan lainnya 5)

8.73 8.51 7.04 5.57 4.69 4.63 4.65 4.10

7 Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan non PLN 6)

37.05 31.63 22.06 16.32 14.66 13.44 12.24 10.54

a) Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan bukan listrik 7)

33.3 27.91 19.26 13.91 12.43 10.99 9.38 7.27

b) Persentase rumah tangga dengan sum-ber penerangan non PLN

3.75 3.72 2.8 2.41 2.23 2.45 2.86 3.27

Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan PLN

62.95 68.37 77.94 83.68 85.34 86.56 87.76 89.46

8 Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah berlantai tanah

23.55 22.34 18.29 15.49 16.79 15,10 16.35 12.47

9 Persentase rumah tangga mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri

46.76 48.79 53.58 55.34 57.49 61,62 60.38 61.68

10 Persentase rumah tangga mempunyai kloset leher angsa

30.34 33.34 38.9 58.13 61.64 63.85 62.36 74.67

11 Persentase rumah tangga menggunakan tangki utk pembuangan akhir tinja

27.52 30.55 33.53 38,46 39.65 42,71 40.67 53.33

12 Persentase rumah tangga yang mempu-nyai fasilitas air minum sendiri

47.51 49.93 50.78 53.71 52.71 55.34 56.56 56.18

Sumber: BPS

Dengan demikian, beberapa isu terkait pembangunan perumahan dan permukiman17 diantaranya:

Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam penyediaan prasarana dan sarana a. perumahanKemampuan pemerintah untuk mendukung penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan masih terbatas. Faktor ini menjadi salah satu

17 Hasil Focus Group Discussion, “Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Mengentaskan Ke-miskinan”, diprakarsai BAPPENAS, 2008

Page 80: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

80

penghambat dalam penyediaan perumahan untuk masyarakat berpeng-hasilan rendah serta pemicu menurunnya kualitas kawasan yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah.Meningkatnya luasan kawasan kumuh.b. Luasan kawasan kumuh cenderung terus meningkat setiap tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin tidak terkendalinya pertumbuhan kota utama (primacy city) yang menjadi penarik meningkat-nya arus migrasi. Selain itu, laju pertumbuhan kawasan kumuh (di pusat kota maupun di tepi kota) juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan dan ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah (home improvement).Belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan c. dan permukiman.Kelembagaan penyelenggara pembangunan perumahan belum berada pada tingkat kinerja yang optimal untuk menjalankan fungsi, baik seba-gai pembangun (provider) maupun pemberdaya (enabler).Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah.d. Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah semakin Pembangu-nan Perumahan dan Permukiman di Indonesia meningkat. Berdasar-kan Data Statistik Perumahan dan Permukiman tahun 2004, terdapat 19,07% rumah tangga yang belum memiliki rumah dan meningkat men-jadi 21,78% pada tahun 2007. Apabila upaya penyediaan perumahan tidak mampu untuk memenuhi backlog dan pertumbuhan baru selama kurun waktu 2005 - 2009 maka diperkirakan jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah akan terus meningkat.Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaan perumahane. Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umum-nya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada umumnya mempunyai masa jatuh tempo dalam jangka panjang. Kesenjangan tersebut dalam jangka pan-jang menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat karena ketidak-stabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan.Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahanf. Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam pembangu-nan perumahan merupakan satu persoalan yang senantiasa dihadapi da-

Page 81: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

81

lam pembangunan perumahan. Hal ini akan semakin menjauhkan keter-jangkauan masyarakat terhadap harga rumah yang ditawarkan.Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yang memungkinkan ter-g. jadinya salah sasaranBerbagai bantuan program perumahan tidak sepenuhnya terkoordinasi dan efektif. Bantuan pembangunan dan perbaikan rumah secara swa-daya dan berkelompok masih bersifat proyek dan kurang menjangkau kelompok sasaran. Sementara tantangan yang dihadapi pencapaian target MDGs bidang pe-

rumahan di Indonesia antara lain:Terjadinya kesenjangan dalam pembiayaan perumahan1. Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umum-nya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan tabungan), sementara sifat kredit pemilikan rumah pada umumnya mempunyai tenor jangka panjang. Kesenjangan tersebut dalam jangka panjang menyebabkan pa-sar perumahan menjadi tidak sehat karena ketidakstabilan ketersediaan sumber pembiayaan.Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan2. Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam pem-bangunan perumahan merupakan persoalan yang selalu dihadapi dalam pembangunan perumahan. Biaya perijinan untuk pembangunan peruma-han saat ini mencapai 20% dari harga rumah sehingga makin menjauh-kan keterjangkauan masyarakat terhadap harga rumah.Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yang memungkinkan ter-3. jadinya salah sasaranHal ini disebabkan karena program perumahan tidak sepenuhnya terko-ordinasi dan efektif sehingga masih sering terjadi ketidakkonsistenan an-tara institusi yang terlibat. Disamping, pemerintah daerah masih belum menjadikan pembangunan perumahan sebagai salah satu prioritas. Secara ringkas dapat disebutkan 8 (delapan) tantangan terbesar yang di-

hadapi dalam pembangunan perumahan dan permukiman yaitu pemenuhan kebutuhan rumah yang masih cukup besar (backlog perumahan yang masih sangat tinggi, dan pertumbuhan kebutuhan rata-rata 800.000 unit/tahun), penanganan kawasan permukiman kumuh di perkotaan, tingkat ketersedia-an rumah layak huni dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk, mobi-

Page 82: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

82

lisasi pembiayaan perumahan serta akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terhadap pembiayaan perumahan dan permukiman. Selain itu juga pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permuki-man, efisiensi pasar primer perumahan (sisi penawaran dan permintaan) dan daya beli masyarakat (purchasing power).

Potensi Pembiayaan dan Strategi Pembangunan Perumahan dan Per-C. mukiman Penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan sebagai satu

kesatuan sistem yang berkelanjutan dengan memanfaatkan pendekatan rele-van dan implementasinya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan perumahan dan permu-kiman dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam pencapaian tujuan pembangunan lingkungan, pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi.

Oleh karena itu, pengelolaan pembangunan perumahan dan permuki-man senantiasa memperhatikan ketersediaan daya dukung serta dampak ter-hadap kelestarian lingkungan baik dalam tahap perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan serta pengelolaan dan pengembangannya, agar se-laras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan dalam rangka mendorong terwujudnya keseimbangan pembangu-nan perkotaan dan perdesaan secara selaras dan saling mendukung. Dengan terjadinya keseimbangan pembangunan diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman yang responsif turut mengendalikan terjadinya laju per-pindahan penduduk. Oleh karena itu diperlukan pembangunan perumahan dan permukiman yang kontributif terhadap pencapaian penataan ruang yang disusun secara transparan dan partisipatif serta memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama.

Dengan adanya kinerja perekonomian yang akan terus membaik pada tahun-tahun berikutnya dengan besarnya ekspektasi masyarakat pada perbai-kan ekonomi diharapkan berdampak positif pada perekonomian di tahun-tahun mendatang, hal itu terlihat dalam tabel 6 dibawah ini. Dengan asumsi tidak kembali memburuknya perekonomian dunia dan relatif stabilnya kon-disi politik dalam negeri, perekonomian Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh di atas angka 6 persen.

Page 83: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

83

Tabel 6. Laju Pertumbuhan PDB Menurut sektor EkonomiNo Sektor Ekonomi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1Pertanian, peternakan, kehutanan, peri-kanan 1.9 1.7 3.5 3.8 3.3 2.7 3.4 3.4 4.7

2 pertambangan dan penggalian 5.5 1.3 1 -1.4 -4.5 3.2 1.7 2 0.5

3 industri pengolahan 6 3.1 5.3 5.3 6.4 4.6 4.6 4.7 3.7

4 listrik, gas dan air bersih 7.6 8.2 8.9 4.9 5.2 6.3 5.8 10.3 10.9

5 konstruksi 5.6 4.4 5.5 6.1 7.5 7.5 8.3 8.6 7.3

6 perdagangan, hotel dan restoran 5.7 3.7 4.3 5.5 5.7 8.3 6.4 8.4 7.2

7 pengangkutan dan komunikasi 8.6 7.8 8.4 12.2 13.4 12.8 14.4 14 16.2

8 keuangan, real estate dan jasa perusahaan 4.6 5.4 6.7 6.7 7.7 6.7 5.5 8 8.2

9 jasa-jasa 2.3 3.1 3.8 4.4 4.9 5.2 6.2 6.6 6.4

Produk Domestik Bruto (PDB) 4.92 3.45 4.5 4.78 5.05 5.69 5.51 6.28 6.01

Sumber: BPS

Seiring dengan terus meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan pe-ningkatan kinerja penerimaan negara, maka akan memberikan peningkatan anggaran belanja sektor publik. Kemampuan penerimaan negara tersebut harus memberikan pengaruh positif pada upaya pemerintah dalam mem-berdayakan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat pada indikator kon-sumsi terpilih Indonesia yang terus mengalami peningkatan seperti yang ter-lihat dalam tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Indikator Konsumsi TerpilihIndikator Terpilih 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Rata-rata Pendapatan per Kapita

- Persentase pengeluaran rumah-tangga untuk makanan 58.47 56.89 54.59 51.37 53.01 49.24 50.17 50.62

- Persentase pengeluaran rumah-tangga untuk bukan makanan 41.53 43.11 45.42 48.63 46.99 50.76 49.83 49.38

Distribusi pendapatan

- 40 % penduduk dengan penda-patan terendah 20.92 20.57 20.8 18.81 19.75 19.1 19.56 21,22*

- 40 % penduduk dengan penda-patan menengah 36.89 37.1 37.13 36.4 38.1 36.11 35.67 37,54*

- 20 % penduduk dengan penda-patan tertinggi 42.19 42.33 42.07 44.78 42.15 44.79 44.77 41,24*

Page 84: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

84

Gini Indeks 0.33 0.32 0.32 0.36 0.33 0.36 0.35 0,37*

Rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari

- Tanpa makanan jadi 1789,04 1777,58 1766,97 1774.57 1709.91 1768.87 1748.32 1649.17

- Dengan makanan jadi 1987,13 1989,89 1986,06 2007.65 1926.74 2014.91 2038.17 1927.63

Rata-rata konsumsi Protein per kapita sehari

- Tanpa makanan jadi 49.11 49.53 48.65 50.15 47.82 50.33 49.13 46.25

- Dengan makanan jadi 54.45 55.37 54.66 56.59 53.65 57.66 57.49 54.35

* Dihitung dengan menggunakan data individu bukan data kelompok pengeluaran seperti pada tahun sebelumnya.

Sumber : BPS

Hal tersebut semakin memberikan harapan positif dalam upaya me-menuhi backlog perumahan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah apabila dikaitkan dengan kemampuan pemerintah dalam meningkatan penerimaan Negara seperti terlihat dalam gambar diba-wah ini.

Gambar 1. Penerimaan Negara dari Tahun 1984 s.d 2010

Data diolah

Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan secara struk-tural sehingga pada tingkat nasional diharapkan dapat berlaku dalam rentang waktu yang cukup agar dapat mengakomodasikan berbagai ragam konstekstu-al masing-masing daerah dan dapat memudahkan penjabaran yang sistematik pada tingkat yang lebih operasional oleh para pelaku pembangunan peruma-

Page 85: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

85

han dan permukiman, baik dalam bentuk rencana, program, proyek maupun kegiatan yang diprioritaskan pada kelembagaan, pemenuhan kebutuhan pe-rumahan dan pencapaian kualitas perumahan itu sendiri.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berbasis pada pe-libatan masyarakat sebagai pelaku utama harus dapat dilembagakan secara berkelanjutan sampai pada tingkat komunitas lokal, dan didukung secara efektif oleh sistem wilayah/regional dan sistem pusat/nasional. Untuk meng-aktualisasikan pelaksanaan misi pemberdayaan, diperlukan keberadaan lem-baga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat melaksana-kan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan yaitu pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat yang berkepentingan di bidang perumahan dan permukiman, baik ditingkat nasional, regional maupun lokal.

Upaya pemenuhan perumahan dengna mekanisme pasar formal relatif kecil mencapai 15%, sedangkan sekitar 85% masih dipenuhi sendiri oleh masyarakat secara swadaya melalui mekanisme informal. Berkaitan dengan hal tersebut, peningkatan peran masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hunian melalui pembangunan perumahan, baik berupa pembangunan baru maupun peningkatan kualitas (pemugaran dan perbaikan) yang mengandal-kan potensi keswadayaan masyarakat, menjadi penting dan strategis untuk mewujudkan perumahan yang layak huni. Namun penyelenggaraan peruma-han swadaya secara individual sering kurang optimal dalam memenuhi pra-sarana dan sarana dasar.

Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam pengembangan perumahan swadaya dilaksanakan dalam kerangka pembangunan partisipa-tif yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dipandang strategis dalam pengembangan keluarga-keluarga, komunitas dan lingkungan tempat tinggal yang produktif dan reproduktif, menjadi bagian penting didalam pengembangan perumahan swadaya. Untuk itu pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman perlu menggunakan pen-dekatan perkembangan keluarga sebagai pertimbangan dalam mendukung keberhasilan pengembangan sistem dan mekanisme subsidi perumahan. Bantuan dapat berbentuk subsidi pembiayaan, subsidi prasarana, dan sarana dasar lingkungan perumahan dan permukiman, atau kombinasi dari kedua bentuk subsidi tersebut.

Page 86: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

86

Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah seperti pegawai ins-tansi pemerintah, karyawan swasta/perusahaan yang penghasilannya teratur namun belum mampu memenuhi kebutuhan rumahnya karena relatif ren-dah tingkat kemampuan daya belinya, diperlukan suatu skema perumahan berbasis tempat kerja (work based housing scheme). Demikian juga untuk kelom-pok masyarakat lainnya seperti petani, nelayan dan masyarakat berpenghasi-lan rendah yang bekerja di sektor informal tetap perlu diberdayakan secara kelompok. Kelompok-kelompok perumahan ini perlu mendapatkan stimulasi subsidi dengan skema subsidi perumahan yang dapat secara mudah diakses.

Pada dasarnya subsidi pembiayaan perumahan dapat dikembangkan un-tuk pengadaan rumah baru, perbaikan dan pemugaran rumah, serta untuk hunian sistem rumah sewa. Sedangkan subsidi prasarana dan sarana peruma-han dapat dikembangkan untuk mendukung kelengkapan standar pelayanan minimal lingkungan yang berkelanjutan seperti ketersediaan air bersih, jalan lingkungan, saluran drainase, pengelolaan limbah, ruang terbuka hijau, uti-litas umum. Sistem dan mekanisme subsidi perlu diatur dan dikembangkan sehingga esensi dan ketepatan sasaran subsidi yang memenuhi rasa keadilan social tercapai secara maksimal.

Bertambahnya luas kawasan permukiman kumuh dan informal pada hakikatnya menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan perumahan yang layak khususnya di kawasan perkotaan, yang mencerminkan belum mampunya Negara memenuhi hak atas rumah layak bagi seluruh rakyat. Untuk itu diperlukan penanganan permukiman kumuh menuju kota-kota bebas kumuh melalui pemberian jaminan bermukim bagi warga khususnya yang berpendapatan rendah dan golongan miskin yang ti-dak memiliki akses ke berbagai sumber daya kunci perumahan dan permuki-man di perkotaan.

Selain itu juga, penanganan tanggap darurat merupakan bagian dari upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka penanganan pengungsi, sebagai bagian dari kegiatan penyelamatan korban bencana alam atau kerusu-han social.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghadapi tantangan diantaranya mendorong terbentuknya National Housing Authority sebagai institusi yang mempunyai wewenang penuh dalam memecahkan seluruh persoalan di bidang perumahan dan mengembangkan kebijakan

Page 87: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

87

pengembangan perumahan. Selain itu juga melalui penataan kembali pemili-kan, penguasaan tanah yang tidak teratur menjadi teratur melalui konsolida-si lahan (Land Readjustment) serta menciptakan sumber pembiayaan peruma-han jangka panjang melalui pembentukan fasilitas pembiayaan perumahan jangka panjang yaitu pendirian SMF (Secondary Mortgage Facility) dan SMM (Secondary Mortgage Market), serta inovasi dan rekayasa keuangan (financial engineering). 18

Pembangunan perumahan dan permukiman yang ditujukan untuk kelom-pok MBR dan miskin (propoor), melalui program bantuan kredit mikro, pro-gram fasilitasi perumahan swadaya, maupun pola hunian berimbang 1-3-6, yang dipandang sebagai pro-poor. Sistem Penyediaan Perumahan yang Pro-poor (Pro-poor Housing Delivery Sistem). Sistem perumahan bukan semata program atau semacam proyek bantuan langsung tunai sebagaimana proyek P2KP, PPK atau NUSSP. Sistem perumahan adalah suatu kerangka kepranataan yang mengelola urusan-urusan sektor perumahan dan permukiman secara utuh, yang meliputi aspek pasokan (supply) dan kebutuhan/permintaan (need/de-mand) di dalam proses yang saling kait mengkait pula dengan pasar properti. Proses di dalam sistem/pasar perumahan rakyat terkait dengan, namun lebih luas dari, proses di dalam pasar properti yang melihat perumahan (bangunan dan tanah) sebatas sebagai komoditi. Pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat tidak dapat diserahkan seluruhnya pada pasar properti. Pemerintah memiliki peran untuk membangun sistem dan pasar perumahan rakyat se-cara bertahap dan secara utuh yang berorientasi pada asas keseimbangan dan keadilan untuk semua golongan masyarakat. Sistem penyediaan perumahan yang pro-poor adalah jawaban atas kebijakan untuk menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat, khususnya kelompok miskin, yang perlu dikembangkan secara bertahap dan progresif.19

Bidang perumahan dan permukiman pada dasarnya harus dibangun se-cara utuh di atas sistem penyediaan (housing delivery sistem) yang tanggap ter-hadap sistem kebutuhan (housing need sistem) yang ada. Ketika sistem kebutu-han perumahan belum dapat dikenali dengan baik, maka sistem penyediaan yang dapat dihasilkan hanya berwujud program-program yang tidak menge-

18 http://www.ampl.or.id/detail/detail01.php?row=&tp=laporan_ampl&ktg=&kd_link=2&jns=& kode=231, 21 Oktober 2010, diunduh tanggal 2 nov 2010 pk.10.45 wib

19 http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=, 23 November 2010, di-unduh tanggal 25 November pk.13.25 wib

Page 88: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

88

nai sasaran secara efektif. Sedangkan pada prakteknya, sejumlah anggaran dan sumbedaya tetap dikerahkan setiap tahunnya, dan masyarakat juga tetap memenuhi kebutuhan alamiah perumahannya setiap hari dan setiap saat. Namun seberapa jauh praktek pasokan dan kebutuhan ini bekerja di dalam suatu sistem yang berimbang, terencana dan terkendali, dapat dilihat dari wajah perumahan dan permukiman yang masih jauh dari memadai.

Wajah permukiman di tanah air ditandai oleh segregasi spasial yang sangat mencolok antara permukiman kelas atas dan kelas miskin/MBR. Termasuk juga sisi wajah perumahan di Indonesia adalah proporsi permukiman informal (informal/squatter settlements) yang terus meluas. Disatu sisi benteng-benteng perumahan kelas atas dilengkapi sistem sekuriti yang maksimal di satu sisi, dan rumah-rumah sub standar di bantaran rel kereta dan bantaran sungai di sisi lain, adalah gambaran ketimpangan wajah perumahan dan permukiman di Indonesia. Segregasi spasial ini berkorelasi positif pula dengan segregasi sosial di masyarakat, yang merupakan sasaran pengentasan kemiskinan.

Jika kita mengartikan sistem perumahan sebagai pasar perumahan yang berimbang dan berkeadilan, maka peran utama pemerintah adalah mere-gulasi pasar. Peran sebagai regulator sama sekali berbeda dengan menyusun dokumen-dokumen regulasi yang mencantumkan istilah-istilah perumahan di dalamnya namun tidak berfungsi secara efektif. Mengapa dikatakan tidak efektif? Karena ternyata berbagai dokumen regulasi tidak mewujud secara efektif di lapangan. Ketika subsidi RSH, Rusunawa dan Rusunami akhirnya jatuh di tangan yang tidak/kurang berhak ibarat menabur garam ke laut, dan ketika pasar perumahan sekunder terkendala pasar perumahan primer yang belum kondusif (insecure), ketika kredit mikro perumahan tidak menunjuk-kan progresifitas pengentasan yang berarti, ketika pengembangan kawasan melalui kasiba tidak dijalankan secara benar, maka sesungguhnya pemerin-tah belum menjalankan perannya meregulasi pasar perumahan. Apalagi jika semua praktek ini sudah berlangsung puluhan tahun hingga kini dan terus berlangsung di tengah laju formasi permukiman kumuh dan informal (liar) yang tidak terbendung. Pasar perumahan yang efektif juga belum terbangun. Urusan perumahan rakyat hanya berkubang di dalam rimba bisnis properti yang spekulatif. Mempertahankan pasar properti (perumahan sebagai komo-diti) yang spekulatif berarti membiarkan pasar perumahan rakyat tidak ber-kembang sehat. Berbagai sumberdaya publik juga akan habis secara sia-sia

Page 89: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

89

tanpa berkontribusi terhadap pengembangan sistem dan proses institusiona-lisasi.

Bentuk sistem/pasar perumahan yang dinilai efektif dan perlu dibangun secara progresif dinamakan “enabling housing market”. Konsep enabling housing market berarti pasar perumahan yang bersifat memampukan. Terkandung pula makna menguatkan (strengthening) dan memberdayakan (empowering) di dalamnya. Pasar perumahan yang memberdayakan dapat dikembangkan melalui; pertama dimulai dengan melakukan segmentasi atau strukturisasi pa-sar perumahan. Strukturisasi pasar perumahan adalah wujud peran aktif pe-merintah untuk meregulasi pasar perumahan secara efektif. Selain itu, kedua, membangun pasar perumahan yang memberdayakan menujukan (addressing) intervensi pada input sistem (tanah, prasarana dan pembiayaan perumahan). Ketiga, memperbaiki pula sistem pendukung (administrasi tanah, penataan ruang, perijinan, pengukuran kinerja, penghitungan kebutuhan, dsb). Kemu-dian, keempat, mengelola sama baiknya, sistem pasokan dan sistem kebutuhan sekaligus, termasuk misalnya, memberdayakan calon komunitas penghuni ru-mah susun secara terpadu dengan proses konstruksi rumah susun tersebut. Kelima, mengembangkan sistem yang terpadu dan saling memberdayakan an-tara ketiga segmen pasar (komersial, publik dan sosial) tersebut.20

Dari seluruh segmen pasar yang ada, yang perlu mendapat perhatian adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpengha-silan menengah (MBM). Mengingat MBR dan MBM adalah masyarakat yang memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang belum/tidak dapat memenuhi kebutuhan rumahnya. Matriks kebijakan program bantuan perumahan dan permukiman untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.

20 http://www.kemenpera.go.id/detail_brt.asp?id=535, “Pembangunan Perumahan Permukiman ha-rus memiliki Strategi Pemberdayaan, diunduh tanggal 23 November 20011 pk.13.43 wib

Page 90: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

90

Tabel 8. Matriks Kebijakan Program Bantuan Perumahan dan Permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Menengah 21

Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan pembangunan peruma-han dan permukiman ini mempostulasikan bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertum-buhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat melalui apa yang disebut meka-nisme tetesan ke bawah (trickle-down mechanism). Mekanisme tetesan ke bawah dipercayai akan terjadi dalam situasi kelembagaan masyarakat, struktur sosial dan daya beli masyarakat yang ada.

Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan pola bantuan pembiayaan perumahan dan permukiman nasional sebagai be-rikut:

Fasilitasi Pembiayaan Perumahan Pasar Primera. Perumahan Formal dan Perumahan Swadaya•

Fasilitasi pembiayaan perumahan formal; industry perumahan –Fasilitasi pembiayaan perumahan swadaya; self helphousing –

Rumah Tapak dan Rumah Susun•Fasilitasi pembiayaan rumah tapak; areal lahan yang diperlukan luas –

21 Murbaintoro, Tito, “Potensi Instrumen Pembiayaan Syariah dan Wakaf untuk Pembangunan Perumahan dan Permukiman”, disampaikan dalam seminar sehari potensi wakaf untuk bidang perumahan rakyat, kerjasama kemenpera dan masyarakat ekonomi syariah, Jakarta, 24 Juni 2009.

Page 91: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

91

Fasilitasi pembiayaan rumah susun; efisiensi dalam pemanfaatan –lahan perkotaan

Konvensional dan Syariah•Fasilitasi pembiayaan perumahan skim konvensional –Fasilitasi pembiayaan perumahan skim syariah; universal –

Fasilitasi Pembiayaan Perumahan Pasar Sekunderb. Sekuritisasi KPR dan atau Fasilitasi Likuiditas KPR (Refinancing)Fasilitasi Insentif Perpajakanc. Bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Yang peru dijaga dan dihindari adalah adanya hubungan yang eksploita-tif antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif dapat terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Dan hubungan yang eksploitatif dapat juga terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh. Untuk itu, pe-merintah berupaya melibatkan berbagai pihak baik pihak swasta di bidang property maupun perbankan dalam mengambil bagian dan berperan aktif mendukung pembangunan perumahan dan permukiman. Kerjasama di bi-dang pembiayaan dapat dilakukan baik menggunakan skim konvensional maupun syariah seperti ditunjukkan dalam gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2. Skim Pembiayaan22

22 Murbaintoro, Tito, Op. cit.

Page 92: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

92

Page 93: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

93

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Pembangunan perumahan dan permukiman harus dilakukan secara ter-

program dan terencana dengan melibatkan berbagai pihak termasuk dilaku-kannya evaluasi atas penyelenggaraan pembangunan permukiman dan peru-mahan dalam periode sebelumnya. Permasalahan yang teridentifikasi dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman antara lain, belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan, lemahnya jaminan kepastian bermukim, keterbatasan akses MBR terhadap lahan, keterbatasan MBR pada pembiayaan, belum mantapnya pasar primer dan sekunder perumahan, masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan dan pemanfaatan sumber daya pembangunan lokal yang belum optimal.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berbasis pada pe-libatan masyarakat sebagai pelaku utama harus dapat dilembagakan secara berkelanjutan sampai pada tingkat komunitas lokal., dan didukung secara efektif oleh sistem wilayah/regional dan sistem pusat/nasional. Untuk meng-aktualisasikan pelaksanaan misi pemberdayaan, diperlukan keberadaan lem-baga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat melaksana-kan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan yaitu pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat yang berkepentingan di bidang perumahan dan permukiman, baik ditingkat nasional, regional maupun lokal.

Masih perlu dilakukan peningkatan dan pengembangan kebijakan dan program yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan rumah yang masih cu-kup besar (backlog perumahan yang masih sangat tinggi, dan pertumbuhan kebutuhan rata-rata 800.000 unit/tahun), penanganan kawasan permuki-

Page 94: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

94

man kumuh di perkotaan, tingkat ketersediaan rumah layak huni dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk, mobilisasi pembiayaan perumahan, akses MBR terhadap pembiayaan perumahan dan permukiman, pemberdaya-an masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman, efisiensi pasar primer perumahan (sisi pasokan dan sisi permintaan) dan daya beli masyarakat (purchasing power).

SaranB. Perlu perubahan dan penyempurnaan pengaturan penyelenggaraan di

bidang perumahan dan permukiman, agar tujuan dari pegaturan tersebut yaitu peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur dapat segera terwujud.

Diperlukan jaminan hukum yang lebih memadai untuk memastikan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dapat berperan aktif dan strategis dalam penyelenggaraan pembangunan peruma-han dan permukiman melalui pembagian tugas yang bersandar pada prinsip keadilan dan pemerataan dalam mewujudkan perbaikan kualitas masyarakat yang menjadi tujuan utama pembangunan.

DPR, Pemerintah, Swasta dan publik perlu berperan aktif dalam proses penyusunan kebijakan yang memberikan dukungan strategis dalam berpo-tensi mengatasi kendala yang muncul dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman.

Semua pihak harus memastikan ambil bagian dalam rencana pembangu-nan perumahan dan permukiman yang mengacu pada rencana pembangu-nan perumahan dan permukiman di daerah yang aspiratif dan akomodatif yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Pe-rumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D); melalui tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terseleng-garanya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya; dan terako-modasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan ren-dah; serta tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pemerin-tah serta bagi berbagai pihak yang akan terlibat/melibatkan diri.

Page 95: buku-tim-8

Ariesy Tri Mauleny

95

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Irawan, Willy, “Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia”, Direk-torat Perumahan dan Permukiman BAPPENAS, 2008

Mankiw, Gregory, “Principles of Economics” 3th Edition, South Western of Thomson Learning, South Western, 2004

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, ”Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jilid 1, Jakarta: Penerbit Erlangga, Edisi Kedelapan, 2003.

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, ”Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jilid 2, Jakarta: Penerbit Erlangga, Edisi Kedelapan, 2003.

Manurung, Mandala dan Rahardja, Pratama, “Pengantar Ilmu Mikroekonomi dan Makroekonomi”, Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia, 2004.

Musgrav, Richard dan Peggy, “Public Finance, in Theory and Practice”, Fifth Edi-tion, Singapore, 1989.

Soetjipto, Kery dan Seno. “Akuntansi Anggaran: Suatu Pengantar”. Jakarta. 1987

Widodo, Tri, “Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi Dae-rah), Penerbit UPP STIM YKPN, Cetakan Pertama, Mei 2006.

Hidayat, Budi, “Pembangunan Perumahan dan Permukiman”, disampaikan dalam Rapat Koordinasi Penyusunan RPJMN 2010-2014 bidang pembangunan perumahan dan pemukiman, Senin (10/08) di ruang 301 Bappenas, pu-kul 09.30 WIB.

Murbaintoro, Tito, “Potensi Instrumen Pembiayaan Syariah dan Wakaf untuk Pembangunan Perumahan dan Permukiman”, disampaikan dalam seminar sehari potensi wakaf untuk bidang perumahan rakyat, kerjasama kemen-pera dan masyarakat ekonomi syariah, Jakarta, 24 Juni 2009.

Page 96: buku-tim-8

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Perspektif Anggaran dan Kebijakan

96

Dokumen Resmi

UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014

Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2004-2009

Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014

Statistik Perumahan dan Permukiman, Biro Pusat Statistik, Jakarta

Human Development Report, United Nation Development Program (UNDP) Tahun 2004

Human Development Report, United Nation Development Program (UNDP) Tahun 2009

Laporan Komisi V DPR RI tanggal 5 Februari 2007

Laporan Komisi V DPR RI tanggal 1 Maret 2007

Laporan Komisi V DPR RI tanggal 5 Maret 2007

Laporan Komisi V DPR RI tanggal 11 November 2009

Laporan Komisi V DPR RI tanggal 15 April 2010

Internet

http://www.bappenas.go.id, Humas Bappenas, Selasa, 2 November 2010 10:44:47 AM

http://www.ampl.or.id/detail/detail01.php?row=&tp=laporan_ampl&ktg= &kd_link=2&jns=&kode=231, 21 Oktober 2010, diunduh tanggal 2 nov 2010 pk.10.45 wib

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=, 23 November 2010, diunduh tanggal 25 November pk.13.25 wib

http://www.kemenpera.go.id/detail_brt.asp?id=535, “Pembangunan Peruma-han Permukiman harus memiliki Strategi Pemberdayaan, diunduh tang-gal 23 November 20011 pk.13.43 wib

Page 97: buku-tim-8

Izzaty

97

BAGIAN KEEMPAT

PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN RUMAH SUSUN

Oleh Izzaty1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 98: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

98

Page 99: buku-tim-8

Izzaty

99

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Urbanisasi memang sudah menjadi momok di sejumlah kota besar di

negeri ini. Urbanisasi merupakan fenomena global yang berdampak pada ke-timpangan penyediaan perumahan dan pemukiman di perkotaan. Tingkat perpindahan penduduk atau laju urbanisasi berkisar 1% - 1,5% per tahun, sehingga diperkirakan dalam kurun waktu 20 hingga 25 tahun lagi, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65%. Pada tahun 2010 kehidu-pan masyarakat Indonesia sebagian besar berada di kota, kisarannya sekitar 52%. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 274 juta jiwa, sekitar 60%-nya menetap di perkotaan. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di sejumlah negara lain, terutama negara berkembang2.

Perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan menda-patkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pe-layan kesehatan. Selain itu, rumah juga merupakan kebutuhan dasar manu-sia dalam meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan jatidiri dalam upaya peningkatan taraf hidup, serta memben-tuk watak dan jatidiri bangsa.

Namun demikian pemenuhan akan hak dasar atas perumahan tersebut pada saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu penyebabnya

2 Tidak Boleh Lagi Ada Kekumuhan, dalam www.properti-indonesia.com/articledetail.aspx?cat= na-sional& aid=111, diakses tanggal 2 November 2010.

Page 100: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

100

adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang relatif masih besar. Kondisi lahan semakin sempit dan mahal menjadi ma-salah besar pengadaan perumahan di perkotaan. Kota yang semakin padat, permintaan rumah semakin tinggi, pemanfaatan lahan secara besar-besaran, mengakibatkan nilai lahan naik dan harga unit perumahan menjadi naik, menjadi efek domino yang menyertai program pengadaan perumahan.

Pengembangan perumahan ke arah vertikal dianggap menjadi alternatif terbaik karena efisiensi pemanfaatan lahan untuk menghasilkan pola huni-an yang lebih teratur dan baik. Hal tersebut terjadi antara lain karena masih kurangnya kemampuan daya beli masyarakat khususnya kelompok Masyara-kat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam memenuhi kebutuhan peruma-hannya. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang memilih tinggal di pemuki-man kumuh. Sebagian lagi masyarakat memilih tinggal di daerah pinggiran bahkan luar kota menimbulkan masalah kemacetan dan polusi. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu pemikiran untuk meminimalisir pergerakan di kota-kota dengan menetapkan tata guna lahan yang memungkinkan percampu-ran peruntukan sehingga masyarakat tidak harus melakukan perjalanan jauh untuk melakukan berbagai aktivitas. Unit-unit permukiman mandiri meru-pakan unit-unit bangunan bersusun, sehingga lahan yang dihemat dapat di-gunakan untuk ruang terbuka hijau dan hutan kota.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1985, Peraturan Pe-merintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun dan Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman telah memuat pengaturan dan pembinaan Rumah Susun (rusun): Mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan daerah perkotaan ke arah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh; meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya tanah perkotaan; mendorong pembangunan pemukiman berkepadatan tinggi.

PermasalahanB. Ide membangun rusun berawal dari keinginan pemerintah untuk mena-

ta ruang pemukiman dan perkotaan, terutama ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Pengembangan rusun di seluruh Indonesia masuk dalam salah satu pro-gram pemerintah pusat yang dikenal dengan nama “Program Seribu Tower”.

Page 101: buku-tim-8

Izzaty

101

Program ini merupakan kebijakan yang strategis dan tepat karena melihat pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup pesat per tahunnya, menurut ahli demografi rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia 2,5 % per tahun sampai tahun 2025. Semakin bertambahnya penduduk maka semakin ber-tambahnya lahan yang dijadikan pemukiman atau hunian. Karena itu diper-lukan perencanaan jangka panjang untuk mengantisipasi kebutuhan pendu-duk akan pemukiman atau hunian. Dari uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah apa saja kendala yang dihadapi pemerin-tah dalam pengembangan rumah susun dan apakah ada upaya pemerintah dalam mengatasinya?

Metode PenelitianC. Metode penelitian yang akan digunakan adalah kerangka metode deskrip-

tif. Suatu prosedur penelitian yang memecahkan permasalahan dengan meng-gambarkan keadaan subyek/obyek penelitian. Pengumpulan data yang akan dilakukan melalui studi pustaka untuk mempelajari standar perencanaan rusunawa yang merupakan faktor penentu yang didapat dari berbagai sumber maupun kebijakan pemerintah berupa peraturan-peraturan yang berlaku.

Page 102: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

102

Page 103: buku-tim-8

Izzaty

103

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Rumah SusunA. Pengertian atau istilah rumah susun, kondominium merupakan istilah

yang dikenal dalam sistem hukum negara Italia. Kondominium terdiri atas dua suku kata con yang berarti bersama-sama dan dominum berarti kepemi-likan Di negara Inggris dan Amerika menggunakan istilah Joint Property se-dangkan di negara Singapura dan Australia mempergunakan istilah Strata Title. Banyaknya istilah yang digunakan masyarakat di Indonesia seperti apar-temen, flat, kondominium, rumah susun pada dasarnya sama.

Adapun definisi menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 ten-tang Rumah Susun adalah “bangunan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan diperguna-kan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 60/PRT/ 1992 tentang persyaratan teknis pembangunan rumah susun, pengertian dan pembangunan rumah susun adalah :

Lingkungan rumah susun adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang •jelas, diatasnya dibangun rumah susun termasuk prasarana dan fasilitas-nya secara keseluruhan merupakan tempat pemukiman.Satuan lingkungan rumah susun adalah kelompok rumah susun yang ter-•letak pada tanah bersama sebagai salah satu lingkungan yang merupakan satu kesatuan sistem pelayanan pengelolaan.Satuan lingkungan rumah susun adalah kelompok rumah susun yang ter-•letak pada tanah bersama sebagai salah satu lingkungan yang merupakan satu kesatuan sistem pelayanan pengelolaan.

Page 104: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

104

Rumah susun adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu •lingkungan yang terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan se-cara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpi-sah, terutama untuk hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama.Prasarana lingkungan rumah susun adalah kelengkapan dasar fisik ling-•kungan yang memungkinkan rumah susun dapat berfungsi sebagaimana mestinya.Rumah susun atau yang biasa disingkat dengan rusun dalam kehidupan

sehari- hari (kontemporer) di Indonesia telah berkembang menjadi3:Rumah susun untuk menyebut bangunan gedung bertingkat banyak 1. dengan fungsi hunian dalam pengertian umum seperti dimaksudkan oleh terminologi internasional sebagai condominium atau apartemen atau tower (menara).Rumah susun sederhana (rusuna) dimaksudkan sebagai rumah susun 2. (rusun) yang memperhatikan keterjangkauan daya beli masyarakat/keluar-ga golongan berpenghasilan menengah ke bawah (berpendapatan di atas Rp 2.500.000 sampai dengan Rp 4.500.000 per bulan), oleh sebab itu rusuna sering disebut sebagai apartemen rakyat. Selain itu yang disebut-sebut sebagai pembangunan 1000 tower sebagaimana yang dicanangkan oleh Pemerintah pada periode 2007-2011 adalah rusuna-rusuna.Rumah susun sederhana bertingkat tinggi, dimaksudkan sebagai rumah 3. susun sederhana (rusuna) dengan jumlah lantai lebih dari delapan lan-tai sampai dengan 20 lantai.Istilah ini erat kaitannya dengan maksud pengaturan mengenai persyaratan teknis rumah susun yang diatur oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum.Rumah susun sederhana milik (rusunami) dimaksudkan sebagai rumah 4. susun sederhana yang satuan-satuan rumah susunnya diperuntukkan di-beli/dimiliki oleh masyarakat menengah ke bawah.Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) dimaksudkan sebagai rumah 5. susun sederhana (rusuna) yang satuan-satuan rumah susunnya diperuntuk-kan disewa/dikontrak oleh masyarakat golangan menengah ke bawah.

3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun.

Page 105: buku-tim-8

Izzaty

105

Aspek KeterjangkauanB. Tiga konsep untuk memahami keterjangkauan4 adalah :

Kemampuan untuk membayar perumahan.1. Bahkan setelah berusaha mengurangi biaya, perumahan tetap mahal. Seringkali untuk membangun atau membeli rumah, harus meminjam uang. Jumlah yang dapat dipinjam oleh rumah tangga (sehubungan dengan tipe rumah yang mereka dapat beli) tergantung pada kemam-puan untuk membayar pinjaman tersebut. Keterjangkauan adalah kunci untuk menyediakan perumahan bagi kelompok MBR di kota. Membuat perumahan terjangkau berarti memperbaiki akses masyarakat ke sumber tambahan(seperti pinjaman), sehingga mereka mampu membeli rumah yang tadinya tidak terjangkau. Agen perumahan memiliki tiga cara untuk menentukan kemampuan membayar sebuah rumah tangga :

Menggunakan persenan dari pendapatan per bulan.•Mengurangi pengeluaran (termasuk biaya sewa atau pengeluaran un-•tuk rumah saat ini) dari pendapatan per bulan, untuk menentukan kemampuan membayar.Membiarkan rumah tangga itu sendiri.•

Pendapatan rumah tangga per bulan.2. Pendapatan rumah tangga adalah indikator kondisi ekonomi yang baik. Terutama pendapatan di sektor formal yang mampu menentukan penda-patan saat ini dan masa depan dengan mudah. Banyak rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber pendapatan. Umumnya pendapa-tan ini datang dari pekerjaan di sektor informal, sektor ini sangat tidak stabil sehingga pendapatan berfluktuasi dan krisis bisa datang tiba-tiba. Semua ini membuat lembaga keuangan formal kesulitan dalam menen-tuan jumlah total pendapatan sebuah keluarga.

Kebutuhan perumahan vs permintaan.3. Pada saat kebutuhan akan rumah tinggi, mungkin akan banyak rumah kosong, namun karena harganya terlalu tinggi, tidak akan ada permin-taan banyak dari masyarakat. Dalam merencanakan perumahan kota, pen-

4 Panduan Ringkas Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota Asia, Pembiayaan Perumahan UNESCAP & UN-HABITAT, 2009

Page 106: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

106

ting untuk mempertimbangkan angka yang menggambarkan kebutuhan akan rumah dan estimasi kemungkinan permintaan untuk jenis dan harga rumah yang berbeda untuk diproduksi.

Sasaran Pembangunan Rumah susunC. Sasaran pembangunan rumah susun tahun 2007-2011 yaitu pemenu-

han kebutuhan rumah susun layak huni sebanyak 1000 tower atau sekitar 350.000 unit rusun, dengan harga sewa/jual yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah di kawasan perkotaan. Agar pembangunan rusun mencapai kelompok sasaran yang dituju, maka diperlukan upaya yang sinergis dan sistematis dari seluruh pemangku kepentingan agar harga jual/sewa rusun dapat dijangkau oleh kelompok sasaran tersebut. Melalui berbagai penciptaan iklim yang kondusif bagi berkembangnya pembangunan rusun. Sasaran pembangunan rusun juga dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pasokan, antara lain berupa fasilitasi pengadaan tanah bagi pembangunan rusun, percepatan proses pembebasan dan sertifikasi tanah, percepatan pro-ses perijinan, pengurangan/penangguhan/pembebasan biaya perijinan dan beban pajak, dukungan pembiayaan investasi pembangunan rusun. Disam-ping itu perbaikan dari sisi permintaan antara lain berupa: peningkatan ka-pasitas daya beli dan kapasitas meminjam masyarakat dan dukungan kebija-kan fiskal yang dapat mendorong tumbuhnya pasar rusun diperkotaan.

Prioritas utama pembangunan rusun ditujukan pada kota-kota dengan tingkat urbanisasi dan kekumuhan yang tinggi. Kota-kota yang menjadi prio-ritas pembangunan antara lain : Medan, Batam, Palembang, Jabodetabek (Ja-karta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Bandung, Semarang, Jogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar.

Page 107: buku-tim-8

Izzaty

107

BAB IIIPEMBAHASAN

Pembangunan rumah susun untuk meremajakan perkampungan kumuh berlangsung lambat. Banyak hambatan sosial dan ekonomi insentif sudah di-berikan pemerintah untuk pembangunan apartemen rakyat antara lain pembe-basan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui SK Menkeu No 31/2007 khu-sus tipe 21-36 m2 dengan harga maksimal Rp144 juta. Juga pembebasan PPN jasa konstruksi rusunami untuk bangunan dengan luas maksimal 21 m2 dan dijual dengan harga paling tinggi Rp75 juta per unit seperti tertuang pada SK Menkeu No 36/2007, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 7/2007 mengenai subsidi selisih bunga serta ketentuan bantuan uang muka lengkap dengan jumlah yang dialokasikan. Sementara insentif lainnya masih ditunggu para pengembang. Dengan pemberian insentif kepada developer dan konsumen, demand terhadap rusuna akan terus meningkat karena pada da-sarnya demand rusuna sama besarnya dengan Rumah Sederhana Sehat(RSH). Kalau pengembang terus saja menunggu insentif lain, rakyat juga yang akhir nya menerima akibatnya, sulit untuk memiliki apartemen murah.

Para pengembang merasa dirugikan karena pembayaran subsidi tertunda akibat pemerintah mengubuh skim pembiayaan subsidi bunga menjadi Fa-silitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Disamping masalah peri-zinan, pertanahan, infrastruktur di dalam dan sekitar rusun, pembiayaan, pajak sampai kepenghunian.

Pemda memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolaan rumah susun. Diperlukan otonomi yang dapat dipercaya dengan perbaikan pada kemam-puan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat dalam mengelola pembangunan pemukiman.

Page 108: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

108

Kebijakan pembangunan rusunami di kawasan perkotaan sudah ditindak-lanjuti dengan mengeluarkan Perda untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan kebijakan tersebut. Akan tetapi tindak lanjut dari Pemda tidak didasari oleh kemampuan Pemda dalam mengelola pembangunan pemuki-man. Tindak lanjut masih sebatas formalitas penyelenggaran pemerintahan. Perkembangan pemukiman yang terjadi di perkotaan memerlukan perhatian ekstra dari Pemda karena terkait dengan keterbatasan lahan pemukiman.

Dalam hal kebijakan pembangunan rusun sudah memberikan peran pen-ting dalam peningkatan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyara-kat. Pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan dan peraturan pendukung yang bisa dijalankan swasta sebagai pengembang untuk membangun unit hu-nian beserta sarana dan prasarana sehingga dapat dijual di masyarakat.

Aspek keterjangkauan Kebutuhan akan hunian harus disesuaikan dengan kemampuan untuk

memiliki atau menyewa hunian yang ditunjukkan oleh tingkat keterjangkau-an masyarakat untuk memiliki rumah melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah (KPR). Aspek ini sangat penting karena indeks keterjangkauan.

Sesuai dengan PERMENPERA Nomor 18/ PERMEN/M/2007 menyebut-kan kriteria penetapan tarif rusunawa harus terjangkau oleh masyarakat me-nengah bawah khususnya MBR dengan besaran tarif tidak lebih besar 1/3 dari penghasilan, sedang kriteria besaran tarif ditetapkan dengan differensiasi dan subsidi silang antara kelompok tarif penghuni. Suatu keluarga dikatakan mampu membayar sewa beli jika persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah biaya utilitas dasar, pajak dan asuransi adalah 20% sampai dengan 30% dari total pendapatan.

Perbandingan di Beberapa negaraDi Amerika Serikat5, Perumahan subsidi dapat menimbulkan dampak :

Menimbulkan perubahan nilai properti dilingkungannya.1. Adanya kecemburuan secara rasial (kulit hitam dengan kulit putih).2. Kantong-kantong kemiskinan.3. Kriminalitas.4.

5 Journal Of Planning Literature Subsidized Housing and Neighborhood Impact, by Lance Freeman and Hillary Botein, Sage Publication, Volume 16 No 3, Feb 2002 New York

Page 109: buku-tim-8

Izzaty

109

Umumnya kualitas rumah susun yang dibangun dengan subsidi pemerin-tah kualitasnya kurang baik dan diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu/miskin. Perumahan ini berdampak negatif terhadap lingkungan-nya, terutama jika didirikan di lingkungan masyarakat dengan tingkat sosial lebih tinggi. Karena kehadiran rumah susun bersubsidi umumnya dihuni oleh orang-orang yang dianggap pemalas berpendidikan rendah cenderung melakukan tindakan kriminal yang pada akhirnya menurunkan dan merugi-kan nilai jual perumahan di sekitarnya. Dilain pihak, apabila rumah susun bersubsidi ini didirikan pada lingkungan tersendiri dan terpisah, akan me-nimbulkan konsentrasi kantong-kantong kemiskinan baru dan menambah kekumuhan pemukiman.

Pemerintah Singapura6 telah memulai menangani perumahan kumuh sejak tahun 1960 dengan membangun rumah susun (flat) dan ditangani oleh sebuah BUMN yaitu : Housing & Development Board (HDB). Misi utamanya adalah membangun rumah susun bersubsidi secara besar-besaran agar terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. HDB memiliki akses penguasaan tanah murah yang didukung pemerintah serta mengontrol 65% suplai rumah me-nengah ke bawah. Pemerintah Singapura juga memiliki Central Providence Fund (CPF), yakni dana yang dihimpun dari masyarakat dengan cara memo-tong gaji pekerja dan karyawan untuk pembangunan perumahan.Kebijakan perumahan Singapura adalah :

Menyediakan tempat tinggal untuk merumahkan keluarga.1. Mendorong kepemilikan rumah.2. Mendorong keakraban masyarakat.3.

Keberhasilan pembangunan, pengelolaan dan penghunian rumah susun di Singapura adalah karena dukungan :

Ketersediaan dana murah dalam jumlah yang cukup, baik di pasar atau 1. dari pemerintah.Lengkapnya peraturan perundangan yang mendukung dan penegakan 2. hukum yang berjalan baik.Keterbatasan lahan pemukiman yang dimilki dan tingginya kualitas sum-3. ber daya manusia.

6 Housing & Development Board (HDB), Singapore Government Policy, by Mr.Wong-Tan Poh Hong, June 2001

Page 110: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

110

Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).Guna mendongrak daya beli masyarakat terhadap properti hunian pe-

merintah kerap memberikan kemudahan serta bantuan bagi masyarakat ber-penghasilan rendah agar dapat memiliki tempat tinggal ataupun hunian yang layak, salah satunya dengan memberikan KPR bersubsidi. Langkah ini diang-gap efektif untuk menggenjot daya beli masyarakat terhadap rumah atau hu-nian. Namun dalam pelaksanaannya justru penyaluran KPR bersubsidi kerap tersendat sehingga target penyerapan hunianpun melenceng jauh. Akhirnya, pemerintah perlu segera memberlakukan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Ru-mah (FLPP) karena sejak awal tahun 2010 perbankan menghentikan penyalu-ran kredit menunggu pemberlakuan FLPP.

Penerima FLPP adalah mereka yang mempunyai penghasilan maksimal Rp 4,5 juta per bulan bagi MBM dan maksimal Rp 2,5 juta per bulan bagi MBR. Agar tepat sasaran, masyarakat penerima manfaat FLPP diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Surat Pemberitahuan Ta-hunan (SPT) PPh orang pribadi. Kebijakan FLPP tidak mengatur harga ru-mah tapi mengatur maksimum KPR dengan prinsip keadilan7.

Adapun kepemilikan rumah susun, pemerintah memfasilitasi MBM dengan maksimum KPR sejahtera susun seharga Rp 135 juta per unit. Jika KPR rumah susun mencapai Rp 135 juta per unit, bunga yang dikenai 9,95 % per tahun. Pola subsidi yang baru lewat fasilitas likuiditas lebih mengun-tungkan dibandingkan pola lama. Hal tersebut karena jumlah unit yang dibi-ayai lebih besar yaitu antara 316 ribu hingga 530 ribu unit. Jumlah dana yang harus disediakan perbankan juga lebih kecil yaitu antara Rp 12 triliun hingga Rp 14,22 triliun8.

Masyarakat berpenghasilan rendah bisa menikmati KPR dengan suku bunga relatif rendah selama jangka waktu kredit. Jadi bukan hanya untuk empat hingga enam tahun.

Dua hal yang menyebabkan rusun belum terisi hingga kini, Pertama, se-bagian besar rusun yang dibangun pemerintah pusat belum diserahkan pada Pemda. Pemda belum dapat berbuat apa-apa karena belum diserahkan pe-merintah pusat, padahal jumlahnya cukup banyak, sekitar 2.600 unit yang

7 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.15 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan FLPP.

8 FLPP, Harapan Baru untuk Rakyat, Bisnis Indonesia, Sabtu, 2 Oktober 2010.

Page 111: buku-tim-8

Izzaty

111

dibangun oleh pemerintah pusat, Kedua, belum tersedia fasilitas air dan listrik karena warga yang berminat menempati rusun suatu lokasi karena belum mencapai 100 orang. Kalau peminat rusun di suatu lokasi sudah mencapai 100 orang atau lebih, Pemda baru akan menyediakan air PAM dan listrik. Pemerintah akan berupaya secepatnya menyediakan fasilitas-fasilitas yang di-perlukan bila jumlah peminat rusun sudah sesuai dengan rencana, yakni satu lokasi sebanyak lebih dari 100 orang.

Isu-isu strategis periode 2007-2011C. 9

Pada tahun 2003 pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Pengem-bangan Sejuta Rumah. Namun gerakan ini kurang efektif mengingat iklim investasi pembangunan perumahan, terutama untuk konsumen berpenghasi-lan menengah ke bawah, belum cukup menarik minat untuk para pengembang perumahan swasta. Rendahnya belanja pembangunan pemerintah terhadap perbaikan dan pembangunan infrastruktur fisik mengakibatkan rendahnya tingkat laba yang diperoleh pengembang. Pemerintah juga mengalami laju urbanisasi dan semakin meluasnya perumahan kumuh dikota-kota besar. Pada tahun 2005, perkiraan kasar kebutuhan rumah baru per tahun 400.000 unit per tahun yang hampir separuhnya merupakan kebutuhan masyarakat perkotaan.

Perkembangan pemukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pe-satnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena faktor pertumbu-han penduduk kota itu sendiri maupun karena urbanisasi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman pun meningkat.

Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)Pemerintah menyediakan rumah susun sederhana sewa yang dapat di-

sewa oleh masyarakat secara murah, baik untuk pekerja, pegawai, PNS, TNI/POLRI, mahasiswa, maupun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh perkotaan. Berdasarkan data pemerintah, saat ini jumlah penduduk akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Se-

9 Kebijakan dan Rencana Strategis Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan 2007-2011, dalam www. docstoc.com/docs/36568554/KEBIJAKAN-DAN-RENCANA-STRATEGIS-PEMBANGUNAN-RUMAH-SUSUN, diakses tanggal 5 November 2010.

Page 112: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

112

lanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada giliran-nya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh. Akibat makin banyaknya permukiman kumuh dan liar yang pada gilirannya akan menjadi berat bagi pemerintah kota untuk menanganinya.

Rencana Pembangunan Rusunawa Kementerian Perumahan Rakyat menargetkan membangun 729 menara

rusunawa pada 2010-2014 dengan kapasitas 100.000 unit untuk mahasiswa, pekerja dan warga miskin perkotaan. Satu menara yang dibangun berupa twin block (TB) berkapasitas sekitar 96 unit. Pembangunan rusunawa itu ditujukan bagi mahasiswa, pekerja dan pengurangan kawasan kumuh perkotaan. Data Kemenpera menyebutkan target penyediaan rusunawa pada periode 2004-2009 hanya tercapai 62,85% atau terealisasi 37.709 unit.

Rencana Pembangunan Rusunawa Tahun 2010-2014 (dalam menara)Tahun Untuk Mahasiswa & Pekerja Untuk Kawasan Kumuh

2010 100 50

2011 200 75

2012 150 75

2013 150 50

2014 129 63

Jumlah 729 313Sumber : Kemenpera, 2010

Salah satu permasalahan di Indonesia adalah semakin meluasnya pe-mukiman kumuh. Pada tahun 1996, luas pemukiman kumuh di Indonesia mencapai 40.053 hektar. Sedang pada tahun 2000, luas pemukiman kumuh berkembang menjadi 47.393 hektar. Pada tahun 2009, kawasan kumuh di Indonesia tercatat 54.000 hektar. Tantangan pemerintah yang sangat penting adalah mengurangi kawasan-kawasan kumuh. Kemenpera menargetkan pengu-rangan kawasan kumuh seluas 4.000 hektar dalam 5 tahun mendatang.

Page 113: buku-tim-8

Izzaty

113

Penyebab tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh di perkotaan antara lain disebabkan karena kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutu-han perumahan bagi diri sendiri sangat rendah. Kondisi kemiskinan mem-buat mereka hanya mampu mengakses lingkungan kumuh atau lingkunga pe-rumahan liar di pinggiran kota. Lingkungan kumuh yang oleh dicirikan oleh minimnya sarana infrastruktur perumahan menyebabkan masyarkat miskin hidup dalam lingkungan perumahan yang kualitas kehidupannya buruk serta kurangnya pelayanan penyediaan sarana dan prasarana dasar lingkungan.

Rencana strategis 2010 – 2014 Ditjen Cipta Karya yang menargetkan 270 Twin Block (TB) rusunawa, meningkat hampir 50% dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 193 TB, dengan anggaran sekitar Rp 3,24 triliun atau Rp 12 miliar untuk tiap pembangunan TB rusunawa. Sejak 2003-2009, Ditjen Cipta Karya telah membangun 18.653 unit rusunawa, atau 193,5 TB yang tersebar di 142 lokasi di seluruh Indonesia. Program ini telah dimulai sejak 2007 dan dicanangkan Presiden RI pada 5 April 2007. Melalui program 1000 tower, sampai dengan bulan Juni 2009 telah terealisasi sebanyak 7 tower atau 2.633 unit Rusunami.

Terbatasnya pasokan rumah susun dikarenakan beberapa masalah men-dasar berupa : beban biaya yang tinggi dalam pengurusan proses perijinan( ijin pemanfaatan ruang, ijin lokasi, sertifikasi tanah, dan ijin mendirikan bangunan); beban pajak; keterbatasan dukungan prasarana, sarana dan uti-litas (PSU); serta masih tingginya beban bunga pinjaman. Sedangkan dari sisi permintaan rusun bagi masyarakat, masih terkendala : terbatasnya daya beli masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, terbatasnya penyediaan uang muka, rendahnya kemampuan meminjam akibat tenor pinjaman yang pendek, serta permasalahan sosial dan budaya. Disamping itu bermukim di hunian vertikal memiliki beberapa kelemahan yaitu bising, rawan konflik, padat dan sempit, serta mahal dan hal lain seperti sarana kurang dan harus membeli rumah atau menyewa rumah.

Kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih senang tinggal di rumah tapak memberikan kesan bahwa memiliki rusun dapat diartikan belum se-penuhnya memiliki rumah. Untuk itu, masalah security of tenure sebuah rusun harus jelas bagi penghuni maupun calon penghuni. Hal ini disebabkan aspek psikologis masyarakat Indonesia yang mempunyai budaya “dekat dengan tanah” dan tanah sebagai aset yang dapat diwariskan atau menjadi barang

Page 114: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

114

modal sangat mempengaruhi perasaan memiliki sebuah rumah. Oleh karena itu, sangat diperlukan status yang jelas terhadap aspek kepemilikan penghuni terhadap tanah bersama dimana rusun tersebut dibangun.

Dua hal yang menyebabkan rusun belum terisi hingga kini, Pertama, se-bagian besar rusun yang dibangun pemerintah pusat belum diserahkan pada Pemda. Pemda belum dapat berbuat apa-apa karena belum diserahkan pe-merintah pusat, padahal jumlahnya cukup banyak, sekitar 2.600 unit yang dibangun oleh pemerintah pusat, Kedua, belum tersedia fasilitas air dan listrik karena warga yang berminat menempati rusun suatu lokasi karena belum mencapai 100 orang. Kalau peminat rusun di suatu lokasi sudah mencapai 100 orang atau lebih, Pemda baru akan menyediakan air PAM dan listrik. Pemerintah akan berupaya secepatnya menyediakan fasilitas-fasilitas yang di-perlukan bila jumlah peminat rusun sudah sesuai dengan rencana, yakni satu lokasi sebanyak lebih dari 100 orang.

Berdasarkan hasil penelitian10, kebijakan pembangunan rusunami dika-wasan perkotaan hanya memaparkan jumlah besaran tower yang akan didiri-kan dan kemampuan daya tampung dari tower tersebut sehingga dapat menga-tasi atau mengurangi permasalahan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat. Kebijakan pembangunan rusunami di kawasan perkotaan belum memberikan standar mengenai batasan aman dan sehat bagi penghuni unit hunian dalam rusunami dalam penyelenggaraan rusunami.

Secara teknis permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan ru-mah susun adalah mahalnya harga tanah di pusat-pusat kota yang berdekatan dengan tempat bekerja dan berusaha, sehingga harga jual rusunawa masih mahal walaupun telah disubsidi.

Kebijakan pembangunan rusun memberikan kontribusi nyata bagi pem-bangunan ekonomi, hal ini dibuktikan dengan nilai investasi yang dihadir-kan dalam setiap pembangunan unit bangunan rusun. Selanjutnya keterpa-duan rumah dengan pembangunan rusun muncul setelah unit-unit hunian bangunan rusun tersebut mulai ditempati, sehingga keberadaan rusun dapat memberikan nilai strategis bagi penghuninya. Nilai strategisnya terdapat pada faktor lokasi rusun yang berdekatan dengan tempat kerja yang tersedia di pu-sat-pusat kegiatan komersil (baik pasar maupun pusat hiburan), pusat-pusat

10 Murbaintoro,Tito. 2009. Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Peruma-han Berkelanjutan. Disertasi. IPB.Bogor.

Page 115: buku-tim-8

Izzaty

115

perkantoran ( baik kantor pemerintah maupun kantor swasta), pusat-pusat layanan pendidikan, pusat-pusat layanan kesehatan. Selain itu, penghuni rusun juga dilayani oleh transportasi publik yang dapat menghubungkan penghuni rusun dengan transportasi publik massal. Penghuni rusun memi-liki kesempatan untuk bekerja dalam lingkungan rusunami itu sendiri yaitu dengan membeli kios-kios yang dijual di lantai bawah setiap rusun untuk dijadikan lokasi usaha bermacam-macam jenis usaha diantaranya salon, biro jasa, warung makan, warung kelontong dan bengkel.

Sudah lebih dari dua tahun program pembangunan seribu menara ru-mah susun sederhana milik (rusunami) dicanangkan. Program ini dimaksud-kan sebagai jawaban atas tingginya kebutuhan hunian yang layak dan ter-jangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan.

Presiden menyatakan bahwa sesuai dengan Rencana Pembangunan Jang-ka Menengah Nasional 2004-2009, target pembangunan rusunami dengan peran swasta adalah 25.000 unit. Tapi kenyataannya, hingga menteri bergan-ti dalam jajaran kabinet baru, jumlah itu tak kunjung tercapai. Padahal sebe-lum dicanangkan secara resmi pemerintah sudah menghasilkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006, dalam rangka mempercepat pembangunan rusunami tersebut.

Awalnya, para pengembang menyambut baik program ini. Hal ini ka-rena pemerintah berjanji memberikan sejumlah insentif, seperti bebas pa-jak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPh). Pemerintah juga membuat program subsidi bagi konsumen berupa subsidi uang muka dan selisih bunga atas pembelian unit dengan harga maksimal Rp144 juta. Ti-dak heran, banyak pengembang, termasuk yang kelas nasional pun ramai-ramai membangun rusunami ini, sebut saja PT Bakrieland Development dan Agung Podomoro Group (APG).Pengembang seperti PT Primaland yang mengembangkan Prima1 yang dijadikan sebagai tempat pencanangan pro-gram ini di Pulo Gebang, Jakarta Timur.

Tapi semuanya tidak aplikatif. Dana subsidi bagi konsumen rusunami pun tak kunjung turun. Halangan lain berupa proses verifikasi subsidi yang panjang dan rumit. Sebagai gambaran, dari sekitar 3000 orang yang sudah lolos verifikasi untuk mendapat subsidi, hanya 72 orang yang subsidinya su-dah cair. Ini karena verifikasi dilakukan dua lapis, yaitu oleh perbankan dan

Page 116: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

116

kantor Kementerian Perumahan Rakyat. BTN sebagai bank penyalur utama subsidi ini ambil langkah balik badan untuk tak mau lagi mengucurkan da-nanya, selama urusan di kementerian belum usai.

Tak hanya itu, sejumlah peraturan pemerintah daerah/kota di mana rusunami itu dibangun, ternyata tak mendukung. Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang koefisien luas bangunan (KLB) yang direvisi dari 6 menjadi 3,5. Sebelumnya, dengan KLB 6, ketinggian rusunami bisa hingga 20 lantai, sementara kini hanya bisa maksimal 12 lantai. Kendala lainnya adalah proses perizinan yang berbelit, sehingga terjadi penyegelan yang jelas merugikan ke-dua belah pihak, pengembang dan konsumen. Pembeli menilai proyek yang dibelinya tak berijin sementara pihaknya sudah mengeluarkan uang yang tak sedikit. Bagi pengembang, tentu ini terkait dengan nama baik dan pihaknya pun harus mengeluarkan fulus lagi untuk membayar denda.

Bisa dikatakan pengembang dalam program rusunami kesulitan karena memang ruwet dan rumit. Saat ini ratusan pembeli unit di rusunami yang dibangun di jalan Daan Mogot, Jakarta Barat itu sedang resah karena belum bisa akad kredit. Padahal mereka sudah melunasi down payment (uang muka) dan sudah mendapat Surat Pemberitahuan Persetujuan Pemberian Kredit (SP3K) dari BTN. Hal ini karena proses verifikasi terhadap subsidi mereka masih tertahan di Kemenpera. Konsumen terus mengejar pengembang agar bisa akad kredit. Tapi itu tidak bisa dilakukan karena belum ada verifikasi subsidi dari Kemenpera. Kasus seperti ini dialami oleh PT Reka Rumanda Agung Abadi pengembang Rusunami City Park, Cengkareng, Jakarta Barat. Pengembang ini sudah melakukan serah terima kunci kepada 1.698 pembeli-nya, tetapi verifikasi itu hingga kini juga belum usai. Akibatnya pengembang harus menanggung selisih bunga kredit para konsumennya sebesar Rp 400 juta setiap bulan.

Menjawab keluhan pengembang ini, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa berjanji akan menyelesaikan masalah-masalah itu. Seperti proses verifikasi cukup di pihak perbankan dan Kemenpera hanya berperan sebagai pengawas. Permen atau penghapusan tim verifikasi Kemenpera sudah terbit.

Revisi UU No 16 Tahun 1985

Dalam prakteknya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Ru-mah Susun belum mampu memenuhi tujuan dari pembentukkannya, yaitu

Page 117: buku-tim-8

Izzaty

117

dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan ta-raf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah. Disamping itu, otonomi daerah telah membawa perubahan dalam hubungan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang belum diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Sebenarnya persoalan rusunami itu bukan hanya di proses pembangunan dan kepemilikannya saja. Perihal pengelolaan ketika rusun itu beroperasi disi-nyalir juga akan berpotensi menimbulkan banyak problem. Menurut praktisi hukum properti, karena pemerintah terlambat mengantisipasi booming pro-yek rusunami, juga properti apartemen dan perkantoran secara umum. Oleh sebab itu, usulan agar pemerintah segera merevisi UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun, dengan lebih berorientasi pada tata niaga dan hubungan bis-nis agar pasar bisa bergerak dengan pedoman yang lebih jelas.

Menurut Naskah Akademik Revisi UU No 16 Tahun 1985, disarankan:Rancangan undang-undang tentang rumah susun perlu memuat dua hal 1. pokok, yaitu kebijakan penyelenggaraan rumah susun, terutama keberpi-hakannnya pada masyarakat berpenghasilan menengah bawah, dan penga-turan mengenai pembangunan, penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan rumah susun.Perlu perubahan dalam pengaturan penyelenggaraan di bidang rumah 2. susun, agar dapat mewujudkan peningkatan kualitas pemukiman teru-tama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas yang memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat; Perlu pengaturan khusus tentang kepemilikan satuan rumah susun oleh 3. orang asing, sejauh memberikan manfaat bagi negara dan bangsa Indo-nesia.Konflik antara pengembang, pembeli, Perhimpunan Penghuni Rumah

Susun (PPRS) dan Badan Pengelola Gedung makin banyak muncul karena tidak jelasnya aturan formal soal hubungan para pihak dalam hubungan bis-nis tersebut. Regulasinya harus segera disempurnakan agar bisa menertibkan dan mengharmoniskan hubungan antar pihak dalam bisnis itu. Sengketa antara pembeli apartemen dan pengembang, serta perhimpunan penghuni paling banyak muncul saat ini.

Page 118: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

118

Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 1985 itu muncul waktu apartemen belum jadi industri dan produk investasi. Waktu itu rumah susun baru sebagai hunian. Kini kondisinya apartemen dan perkantoran merupakan komoditas yang menjadi produk investasi dan spekulasi bisnis. Karena itu harusnya regulasi menyesuaikan diri agar benar-benar menjawab kebutuhan riil di lapangan.

Asosiasi Manajemen Properti Indonesia (AMPRI) mengusulkan agar dibuat aturan yang memperjelas hak dan tanggung jawab antara penghuni, pengembang dan pengelola gedung atau apartemen. Selama ini hal tersebut tidak diatur secara jelas, sehingga terjadi penafsiran yang berbeda-beda yang menyebabkan munculnya benturan dan sengketa antarpihak. Masalah kewaji-ban finansial dalam operasional gedung sangat krusial. Ini sering memuncul-kan konflik antara pengembang dengan pembeli untuk menentukan sebatas mana kewajiban masing-masing. Jika regulasi bisnis ini tidak cepat dibenahi, akan memperbesar masalah dan konflik bisnis di antara pihak yang terkait.

Dalam perjalanannya pembangunan rusun khususnya rusunami yang menjadi program pemerintah kerap mengalami kendala mengenai perijinan lokasi pembangunan. Kendala yang terjadi justru lebih banyak di Jakarta se-dangkan di 9 daerah lainnya jarang terjadi. Masalah perizinan rusunami di DKI Jakarta karena muncul revisi Peraturan Gubernur Nomor 136 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Rumah Susun Sederhana di Provinsi DKI Jakarta menjadi Pergub No 27/ 2009 tentang Pembangunan Rumah Susun Sederhana. Kedua pergub itu berisi pemahaman yang berbeda soal luas lahan, dan tingkat kepadatan hunian. Seharusnya Percepatan program pembangunan rusunami tidak boleh memangkas aturan perizinan. Akan te-tapi, proses perizinan rusunami diharapkan bisa berlangsung lebih mudah dan cepat.

Kendala pembangunan yang terjadi di Jakarta adalah akibat kurang kom-paknya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah khususnya membuat program pembangunan rusun di Jakarta tertunda cukup lama. Pada awal ber-jalannya proyek rusun, pemerintah DKI Jakarta melalui dinas P2B (Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan) Jakarta menyegel 9 proyek rusun yang sedang berjalan. Alasannya adalah pengembang yang menjadi mitra pemerin-tah dalam pembangunan rusun tersebut belum mengantongi IMB (Ijin Men-dirikan Bangunan) dari Pemda setempat sehingga terpaksa di segel. Selain

Page 119: buku-tim-8

Izzaty

119

itu belum adanya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam perencanaannya juga menjadi alasan penyegelan terhadap beberapa rusun. Adanya kasus tersebut mencerminkan kurangnya komunikasi yang lebih an-tar lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah.

Selain itu kendala juga terjadi pada rusun kategori rusunawa (rumah susun sewa).

Kendala yang terjadi lebih tertuju pada faktor penyewa. Hingga kini rusu-nawa yang telah terbangun sangat minim akan penyewa. Seperti rusun di Marunda. Akibat minimnya fasilitas maka peminatnya pun sedikit pemerin-tah nampaknya akan gagal dalam menjalankan proyek rusunawa karena sepi-nya peminat pada rusnawa yang telah terbangun.

Peralihan kepemilikan Satuan Rumah Susun (SRS), terutama dari peng-huni asal kepada pendatang, merupakan fenomena yang penting untuk di-cermati dan diantisipasi. Pasalnya, tujuan awal dari pembangunan rumah susun sederhana adalah memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta menertibkan dan meremajakan keberadaan pemukiman kumuh. Dengan adanya peralihan kepemilikan subsidi yang se-dianya untuk golongan masyarakat berpendapatan rendah justru dinikmati oleh masyarakat yang tidak berhak. Disamping itu, adanya peralihan kepe-milikan kepada kelompok bukan sasaran menyebabkan munculnya kantong-kantong permukiman kumuh lainnya di perkotaan, baik pada lokasi yang telah diremajakan maupun pada lokasi baru serta meluasnya kantong pe-mukiman kumuh di perkotaan. Berdasarkan penelitian Yovi11, tentang pe-ralihan penghuni rumah susun dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ditemukan bahwa alasan yang memotivasi penghuni asal pindah dan/atau mengalihkan kepemilikan SRS yang dihuninya. Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi perpindahan dan peralihan kepemilikan di Rumah Susun. Faktor ekonomi yang mempengaruhi perpindahan sebagai internal stressor adalah karakteristik sosial ekonomi penghuni asal. Sedangkan faktor ekonomi yang mempengaruhi sebagai eksternal stressor adalah kon-disi rumah susun yaitu tingginya permintaan masyarakat umum dan harga SRS yang tinggi.

11 Yovi, 2005. Perpindahan dan Peralihan Kepemilikan Satuan Rumah Susun. Tugas Akhir, ITB, Bandung.

Page 120: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

120

Pengalihan kepemilikan Rumah susun (rusun) akan dilakukan melalui Badan Pengelola Rumah Susun. Dengan sistem ini rusun bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dipastikan akan tetap berada di tangan yang berhak.

Dalam revisi UU Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, DPR memasukkan pasal tentang pembentukan Badan Pengelola Ru-mah Susun. Badan ini bertugas untuk mengelola rusun pascapembangunan, termasuk soal pengalihan kepemilikan.

Regulasi yang mungkin adalah dengan memberikan subsidi kepemilikan rumah susun sederhana kepada orang atau keluarga yang belum memiliki rumah; dan mengeluarkan ketentuan untuk memberikan status melekat atas rumah bersubsidi tersebut. Artinya walaupun rumah tersebut dipindah- tangan-kan, hanya orang yang belum memiliki rumahlah yang boleh memiliki ru-mah subsidi tersebut. Hal tersebut harus ditetapkan dengan peraturan yang mempunyai kekuatan hukum, dengan sanksi yang tegas atas pelanggarannya. Misalnya jika ternyata pemilik rumah tersebut sudah memiliki rumah lain se-belumnya maka kepemilikan rumah tersebut secara otomatis gugur demi hu-kum. Bahkan si pelanggar tersebut kemudian harus membayar ganti kerugian kepada pemerintah. Dalam hal si pemilik rumah subsidi tersebut kemudian hendak membeli rumah lagi maka ia wajib untuk melepaskan kepemilikan atas rumah tersebut, dengan menjualnya atau memindahtangankannya. Sia-papun yang memiliki rumah subsidi tetapi memiliki rumah lain pemilikan rumah bersubsidi menjadi tidak sah secara hukum.

Di samping itu pemerintah harus menghapuskan ketentuan-ketentuan yang justru membebani mereka yang tidak mampu. Misalnya ketentuan me-minta surat keterangan dari pemerintah setempat bahwa mereka belum me-miliki rumah. Ketentuan ini hanya akan menyuburkan pungutan liar dan lebih membebani masyarakat kecil. Juga ketentuan mengenai rentang peng-hasilan tertentu bagi penerima subsidi hal itu terasa mengada-ada. Rumah adalah kebutuhan pokok jika memang seseorang itu mampu maka pasti ia akan membeli rumah. Kenyataan bahwa seseorang belum memiliki rumah sudah menunjukkan dengan jelas bahwa ia memang tidak mampu membeli rumah.

Dengan peraturan pembatasan pemilikan rumah subsidi tersebut di atas maka otomatis akan mengurangi kegiatan spekulasi, dan akan tersedia le-

Page 121: buku-tim-8

Izzaty

121

bih banyak pasokan rumah bagi mereka yang membutuhkannya. Selanjutnya dengan demikian harga rumah tidak akan terlalu membubung tinggi, dan lebih banyak lagi rakyat kecil yang memiliki rumah sendiri.

Khusus untuk Rusun Umum yang diperuntukan bagi MBR, pengalihan kepemilikan hanya bisa dilakukan melalui Badan Pengelola rumah Susun. Badan ini nanti akan mengarahkan alih kepemilikan rusun umum hanya ke-pada yang berhak. Dengan cara ini, kelemahan dalam UU Rusun yang lama terkait pengalihan kepemilikan ini bisa diatasi.

Selama ini rusunami bersubsidi yang khusus diperuntukkan bagi MBR pada prakteknya sering dibeli oleh golongan masyarakat yang tidak berhak, untuk kemudian dijadikan komoditas investasi. Keberadaan badan pengelola ini akan menghilangkan praktek yang selama ini terjadi.

Badan ini akan dibentuk paling lambat 1 tahun setelah UU ini disah-kan. Nantinya akan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Perumahan Rakyat. Dalam draft RUU ini, kedudukan badan ini ada di pusat. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengelola ini akan diatur dalam PP pelaksana undang-undang ini.

Pengalihan ini perlu diatur karena rusun umum akan mendapat subsidi. Rusun sederhana yang harga keekonomiannya Rp 200 juta, disubsidi oleh negara sehingga harga jualnya hanya Rp 144 juta. Wacana yang berkembang, pembelian rusun umum juga akan melalui badan ini sehingga dari awal bisa dikontrol.

Dalam UU ini nanti akan diatur pengalihan rusun umum dilakukan secara bersyarat. Misalnya sudah pindah domisili, strata ekonominya sudah meningkat, atau meninggal dunia.

Dalam draft UU ini, pengalihan dilakukan minimal lima tahun setelah pembelian rusun. Patokan ini mengacu pada waktu minimal Kredit Pemili-kan Rumah (KPR). Namun, patokan waktu ini masih dalam perdebatan di internal DPR. Ada keinginan untuk tetap menggunakan patokan 20 tahun seperti UU yang lama.

Sementara untuk rusun komersial, bisa dialihkan sebagai komoditas in-vestasi. Pengalihannya pun akan mengikuti mekanisme pasar karena tidak mendapat subsidi.

Page 122: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

122

Page 123: buku-tim-8

Izzaty

123

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Pembangunan rusun di kawasan perkotaan bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan perumahan bagi masyarakat di kawasan perkotaan dengan mela-kukan efisiensi terhadap pemanfaatan lahan yang sesuai dengan peruntukan-nya. Dalam pengembangannya, terdapat beberapa masalah mendasar yaitu penyediaan lahan karena mahalnya harga tanah di pusat-pusat kota yang berdekatan dengan tempat bekerja dan berusaha; perizinan;rancang bangun dan penyediaan prasarana dan sarana umum dan komposisi hunian dalam lokasi rusun. Sedangkan permasalahan dari segi permintaan adalah masa-lah daya beli masyarakat berpenghasilan rendah sehingga kepemilikannya berkemungkinan mengalami pengalihan ke masyarakat berpenghasilan me-nengah ke atas. Ketiadaan dana murah sangat menghambat perluasan pa-sar rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, baik untuk konstruksi maupun untuk kepemilikan. Untuk itu sangat diperlukan berbagai skema pembiayaan rumah susun salah satunya melalui Badan Penge-lola Rumah Susun sehingga memungkinkan turunnya biaya transaksi dan biaya keuangan. Potensi rumah susun sebagai instrumen untuk peningkatan kualitas hidup warga kota melalui pelaksanaan pembangunan kembali (urban development) dan peremajaan kota ( urban revitalization) belum banyak diman-faatkan karena keterbatasan skema pembangunan rumah susun.

Terjadinya pengalihan pemilik satuan rusun lebih disebabkan karena faktor ekonomi sehingga pembangunan rusun salah sasaran. Oleh karena itu perlu pengaturan mekanisme pembelian dan penjualan kembali satuan rumah susun serta hak-hak kepemilikannya.

Page 124: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

124

Kelemahan kelembagaan yang ada selama ini ikut menentukan rendah-nya kualitas pengadaan dan pelayanan perumahan dan rumah susun. Diperlu-kan lembaga-lembaga pendukung pembangunan perumahan seperti lembaga penyediaan dana murah, fasilitas likuiditas oleh pemerintah, lembaga penge-lola bank tanah, pengelola tabungan perumahan, lembaga keuangan non-bank, dari sisi pembiayaan. Dari sisi pelayanan dan pengelolaan diperlukan lembaga pengelola kawasan dan bangunan rumah susun, lembaga layanan informasi, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk mengurangi anggaran pengelolaan rumah susun, maka perlu dikembangkan pengelolaan yang berbasis kepada prakarsa dan swadaya penghuni.

SaranB. Pembangunan rumah susun seribu tower dapat terwujud jika ada political

will pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membangun peruma-han yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah, khususnya masyara-kat berpenghasilan rendah. Disamping mempermudah masalah perizinan, pembiayaan juga mendorong instansi pusat dan daerah (Kementrian/De-partemen/Pemda/Badan) untuk memanfaatkan tanah yang dikelolanya bagi pembangunan rusun karyawannya. Mengembangkan pasar rusuna yang ber-kesinambungan melalui peningkatan investasi dibidang perumahan dan per-mukiman. Monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan mulai perencanaan, pengadaan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan pengawasan dan pelaksana-annya serta perlindungan konsumen.Terakhir sosialisasi dan pendampingan pembentukan PRS bagi rusunami dan Badan Pengelola bagi rusunawa.

Revisi terhadap Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 1985 mendesak untuk dilakukan oleh DPR dan pemerintah, karena undang-un-dang tersebut tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai regulasi karena apabila dilanjutkan penggunaannya akan mengakibatkan multitafsir dan men-jadi biang konflik.

Page 125: buku-tim-8

Izzaty

125

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Hermit, Herman. 2009. Komentar Atas Undang-Undang Rumah Susun. CV. Mandar Maju.

Pembiayaan Perumahan : Cara-cara untuk membantu kaum miskin membiayai perumahan. UNESCAP & UNHABITAT.

Naskah Akademik Perubahan UU No 15 tahun 1985 tentang Rumah Susun

Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.15 Tahun 2010 tentang Pe-tunjuk Pelaksanaan Pengelolaan FLPP

Permen PU no 05/PRT/M/2007.

Pedoman Teknis Pengelolaan Rumah Susun.

Tesis :

Murbaintoro,Tito. 2009. Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangu-nan Perumahan Berkelanjutan. Disertasi. IPB.Bogor.

Siregar, Romauli. 2009. Peralihan Penghuni Rumah Susun Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Kawasan Pusat Kota Jakarta), Tugas Akhir Jurusan Teknik Planologi, ITB.Bandung.

Yovi. 2005. Perpindahan dan Peralihan Kepemilikan Satuan Rumah Susun (Studi Kasus : Rumah Susun Kemayoran Jakarta Pusat). ITB. Bandung.

Page 126: buku-tim-8

Permasalahan Dalam Pengembangan Rumah Susun

126

Internet

FLPP, Harapan Baru Untuk Rakyat, Bisnis Indonesia, 2 Oktober 2010 Serial Onine www. mirror.unpad.ac.id/koran/bisnis/2010-10-02_020.pdf.

Kebijakan dan Rencana Strategis pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan 2007-2011 Serial Online www.docstoc.com/docs/36568554/KEBIJAKAN-DAN-RENCANA- STRATEGIS-PEMBANGUNAN-RU-MAH SUSUN.

Santoso, Soly Imam, Perhitungan Harga Sewa Dan Sewa Beli Rumah Susun Sederhana Serta Daya Beli Masyarakat Berpendapatan Rendah di DKI Jakarta Serial Online www.sappk.itb.ac.id/ppk/images/stories/pdf/ring-kasan_soly.pdf

Ribuan rusun di Jakarta jadi Sarang Hantu, Serial Online www.poskota.co.id/.../ribuan-rusun-di-jakarta-jadi-sarang-hantu

Tidak Boleh Lagi Ada Kekumuhan, dalam www.properti-indonesia.com/ar-ticledetail.aspx?cat=nasional&aid=111.

Jurnal

Housing & Development Board (HDB) Singapore Government Policy, by Mr Wong Tan Poh Hong, June 2001

Journal Of Planning Literature Subsidized Housing and Neighborhood Impact, by Lance Freeman and Hillary Botein, Sage Publication, Volume 16 No 3, Feb 2002 New York

Page 127: buku-tim-8

T. Ade Surya

127

BAGIAN KELIMA

URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 1999

TENTANG JASA KONSTRUKSI

Oleh T. Ade Surya1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 128: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

128

Page 129: buku-tim-8

T. Ade Surya

129

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis yang memegang peran

penting dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional, terutama di masa pemulihan ekonomi sekarang ini. Posisi strategis tersebut dikarenakan sektor ini mampu menjadi stimulus khususnya pada pembangunan infra-struktur bagi pengembangan sektor-sektor lainnya. Menurut Menteri Peker-jaan Umum, Djoko Kirmanto, sektor jasa konstruksi terbukti telah membe-rikan kontribusi 8 – 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau menempati peringkat 6 dari 9 sektor utama penyumbang PDB. Sektor ini juga memberikan kontribusi 5,3 juta tenaga kerja atau 5,4% dari angkatan kerja dan diprediksikan tenaga kerja konstruksi yang terserap akan terus meng-alami peningkatan.2

Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian penting dari terben-tuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai pasok yang menen-tukan keberhasilan dari proses penyediaan jasa konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan jasa kon-struksi menjadi agenda publik yang penting dan strategis bila melihat per-kembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa konstruksi juga tidak bisa

2 http://www.gapensi.org/modules/artikel.php?ID_Artikel=458&ID_Kategori_Artikel=2, diakses 16 November 2010.

Page 130: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

130

dilepaskan dari konteks proses transformasi politik, budaya, ekonomi, dan bi-rokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa konstruksi dihadap-kan masalah domestik berupa dinamika penguatan masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat daerah dan nasional, ketatnya pertarungan hegemoni global di sisi eksternal serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan antara penyedia, pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan swasta.

Sejumlah tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan pengua-tan kembali pengaturan kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi yang telah berlaku selama 10 tahun.

Perumusan MasalahB. Pengaturan jasa konstruksi selama kurun waktu 10 tahun belum sepenuh-

nya berjalan dengan baik dalam pembangunan sektor konstruksi yang kokoh, terutama dalam menghadapi persaingan global. Hal tersebut dapat dilihat dari persoalan yang muncul akibat dari implementasi Undang-Undang Jasa Konstruksi ini. Pertama, pemahaman yang belum sama di antara para pe-mangku kepentingan (stakeholders) terhadap konsepsi demokratisasi industri konstruksi. Kedua, interpretasi yang berbeda terhadap peran pemerintah, pe-ran masyarakat dalam bentuk lembaga pengembangan jasa konstruksi dan forum jasa konstruksi (seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi/LPJK dan Forum Jasa Konstruksi Nasional/FJKN) dan peran institusi masyarakat (asosiasi, badan sertifikasi, institusi diklat). Ketiga, rumusan yang kurang efek-tif mengenai ketentuan bidang/sub-bidang usaha, klasifikasi/kualifikasi ba-dan usaha dan tenaga kerja. Keempat, kewenangan dan proses akreditasi dan sertifikasi yang diwarnai oleh konflik kepentingan.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa industri konstruksi nasio-nal sedang menghadapi tuntutan dan tekanan yang semakin besar. Globali-sasi ekonomi dan keuangan dunia telah mendorong tuntutan kerja sama re-gional dan global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan jasa konstruksi seperti GATS–WTO dan AFAS-ASEAN.

Page 131: buku-tim-8

T. Ade Surya

131

Distorsi transformasi sebagian dari rantai suplai sektor konstruksi Indo-nesia akan menempatkan sektor konstruksi Indonesia berhadapan dengan berbagai risiko, seperti pertumbuhan rendah, profitabilitas kecil, sustainabi-litas tidak tercapai, daya saing rendah, dan produktifitas rendah serta tingkat kegagalan usaha yang tinggi. Peran sektor konstruksi sebagai ”economic develop-ment driven” akan semakin jauh capaian keberhasilannya. Apabila sektor kon-struksi gagal menjadi pendorong pembangunan ekonomi, maka akan ber-dampak pada penurunan mutu produk dan jasa, serta kompetensi usaha dan sumber daya manusia konstruksi. Secara jangka panjang akan menempatkan industri konstruksi nasional semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Kondisi ini akan menyebabkan industri konstruksi Indonesia tidak sehat, selanjutnya tidak semakin konstruktif tetapi menuju destruktif.

Apabila tidak dilakukan penataan kelembagaan dan pengembangan ter-hadap usaha, tenaga kerja dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh, maka gelombang globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa kon-struksi akan membuat Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap pihak asing. Berbagai infrastruktur dan properti akan banyak dibuat oleh industri konstruksi asing yang memiliki daya saing yang lebih tinggi. Akibat-nya bangsa Indonesia akan lebih banyak mengeluarkan devisa dan keamanan dalam negeri (national security) juga akan menjadi lebih rentan.

Tujuan PenulisanC. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui hal-hal apa

saja yang kiranya menjadi persoalan dan perlu dilakukan evaluasi dalam Un-dang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, sehingga dapat menjadi masukan dalam proses perumusan perubahan atas ruang lingkup substansi perubahan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi.

Metode PenulisanD. Metode penulisan yang dilakukan adalah evaluasi berdasarkan data-data

yang ada dan perkembangan sektor jasa konstruksi saat ini.

Page 132: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

132

Page 133: buku-tim-8

T. Ade Surya

133

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Jasa KonstruksiA. Mengacu kepada UU No 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi yang

dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perenca-naan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Sementara itu pekerjaan konstruksi sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan atau seba-gian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta penga-wasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; Sementara ruang lingkup pekerjaan konstruksi sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang men-cakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Jadi jasa konstruksi ini meliputi semua pekerjaan kon-struksi dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan.

Jasa Konstruksi menurut Suraji (2003) adalah jasa yang menghasilkan prasarana dan sarana fisik. Jasa tersebut meliputi kegiatan studi, penyusunan rencana teknis/rancang bangun, pelaksanaan dan pengawasan serta pemeli-haraannya. Mengingat bahwa prasarana dan sarana fisik merupakan landasan pertumbuhan sektor-sektor dalam pembangunan nasional serta kenyataan bahwa jasa konstruksi berperan pula sebagai penyedia lapangan kerja, maka jasa konstruksi penting dalam pembangunan nasional.3

3 Suraji, A., “Peta Kesiapan Industri Jasa Konstruksi Menuju Liberalisasi Perdagangan Jasa Konstruksi”, Proceeding Seminar Nasional Peran Jasa Industri Era Otonomi Daerah dan AFTA/AFAS, Jakarta, FT UI, 2003.

Page 134: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

134

KonstruksiB. Kata konstruksi secara umum dipahami sebagai segala bentuk pembua-

tan/pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, gedung, dan sebagainya) serta pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan in-frastruktur (Well, 1986).4 Salah satu sektor ekonomi yang meliputi unsur pe-rencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi suatu bentuk (produk) konstruksi (Mo-avenzadeh, 1978).5 Industri konstruksi sangat penting dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri konstruksi seperti berbagai sarana dan prasarana merupakan kebutuhan mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod, 1984).6 Industri konstruksi secara luas yang terdiri dari pelaksanaan kegiatan di la-pangan beserta pihak stakeholders seperti kontraktor, konsultan, material supplier, plant supplier, transport supplier, tenaga kerja, asuransi, dan per-bankan dalam suatu transformasi input, menjadi suatu produk akhir yang mana dipergunakan untuk mengakomodasi kegiatan sosial maupun bisnis dari society (Bon, 2000).7

Pengertian konstruksi secara lebih luas juga dapat dijelaskan dengan pendekatan kluster konstruksi (Suparto, 2007).8 Kluster konstruksi meng-gambarkan semua elemen, baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan elemen-elemen konstruksi. Barret (2005) menggunakan istilah sis-tem konstruksi untuk menggambarkan berbagai entitas baik subyek maupun obyek berdasarkan kerangka siklus hidup proyek konstruksi sebagai suatu ”meso economic framework”. Menurut Barret (2005) dalam sistem konstruksi terdapat 3 (tiga) arena dimana pemangku kepentingan berperan melakukan perubahan. Pada arena pengetahuan dan perilaku, masyarakat dan pendi-dikan serta penelitian menjadi pemangku kepentingan. Selanjutnya, pada

4 Wells, J., “The Construction Industry in Developing Countries: Alternative Strategies for Development”, Croom Helm Ltd, London, 1986.

5 Moavenzadeh, F., “Construction in developing countries”. World Development, Vol. 6, No. 1, pp. 97-116, 1978.

6 Henriod, “The Construction Industry Issues and Strategis in Developing Countries”, World Bank Publica-tion, Geneva, 1984.

7 Bon, R., “Economic Structure and Maturity (Collected Papers in Input-Output Modelling and Application”, Ashgate Publishing Company, UK, 2000.

8 Suparto, H.G., “Industri Konstruksi Indonesia, dalam Konstruksi: Industri, Pengelolaan dan Rekayasa”, KK MRK ITB, Penerbit ITB, 2007.

Page 135: buku-tim-8

T. Ade Surya

135

arena kerangka kerja dan penyelenggaraan konstruksi, pihak industri atau klien, pihak yang mengadakan konstruksi, dan pemerintah serta tim proyek konstruksi menjadi pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah, in-dustri atau klien serta pihak yang mengadakan konstruksi adalah pemangku kepentingan utama sebagai pemantik perubahan.9

Menurut BPS hasil kegiatan konstruksi dapat mencakup berbagai macam jenis konstruksi. Selanjutnya BPS mengklasifikasikan jenis-jenis konstruksi sebagai berikut:

Konstruksi gedung tempat tinggal meliputi rumah, apartemen, kondomi-a. nium dan sejenisnya.Konstruksi gedung bukan tempat tinggal mencakup perkantoran, kawa-b. san industri/ pabrik, bengkel, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, bioskop, gelanggang olah raga, gedung kesenian/ hiburan, tempat ibadah dan sejenisnya.Konstruksi bangunan sipil: jalan, tol, jembatan, landasan pesawat ter-c. bang, jalan rel dan jembatan kereta api, terowongan, bendungan, waduk, menara air, jaringan irigasi, drainase, sanitasi, tanggul pengendali banjir, teriminal, stasiun, parkir, dermaga,pergudangan, pelabuhan, bandar dan sejenisnya.Konstruksi bangunan elektrik dan telekomunikasi: pembangkit tenaga d. listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan komunikasi dan se-jenisnya.Instalasi gedung dan bangunan sipil: instalasi listrik termasuk alat e. pendingin dan pemanas ruangan, instalasi gas, instalasi air bersih dan air limbah serta saluran drainase dan sejenisnya.Pengerukan: meliputi pengerukan sungai, rawa, danau dan alur pelaya-f. ran, kolam dan kanal pelabuhan baik bersifat pekerjaan ringan, sedang maupun berat.Penyiapan lahan untuk pekerjaan konstruksi, termasuk pembongkaran g. dan penghancuran gedung atau bangunan lainnya serta pembersihan.Penyelesaian konstruksi seperti pemasangan kaca dan aluminium; penger-h. jaan lantai, dinding dan plafon gedung, pengecatan; pengerjaan interior dan dekorasi dalam penyelesaian akhir; pengerjaan eskterior dan per-

9 Barrett, P., “Revaluing Construction: A Global CIB Agenda. Publication 305, International Council for Research and Innovation in Building”, Rotterdam, The Netherlands, 2005.

Page 136: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

136

tamanan pada gedung dan bangunan sipil lainnya.Penyewaan alat konstruksi dengan operatornya seperti derek lori, molen, i. buldoser, alat pencampur beton, mesin pancang dan sejenisnya.

Page 137: buku-tim-8

T. Ade Surya

137

BAB IIIPEMBAHASAN

Implementasi dari Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang telah berjalan selama 10 tahun dirasakan sudah tidak mam-pu menjawab tantangan di era globalisasi sekarang ini. Masih banyak per-masalahan-permasalahan yang muncul dari implementasi undang-undang ini sehingga menghambat perkembangan di sektor jasa konstruksi. Padahal kita tahu sektor jasa konstruksi mempunyai peran yang strategis dalam mendu-kung tercapainya pembangunan nasional.

Kelembagaan Jasa KonstruksiA. Permasalahan utama muncul dari sisi penataan kelembagaan pengem-

bangan jasa konstruksi. Saat ini peran masyarakat diwadahi dalam lembaga independen yaitu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi atau LPJK. LPJK menaungi asosiasi profesi dan perusahaan serta representasi pemerintah dan perguruan tinggi. Dalam perkembangannya juga menjadi lembaga sertifikasi independen, lembaga pendidikan dan pelatihan. Persoalannya adalah bagai-mana menata kembali kelembagaan yang menjadi wadah peran masyarakat ini mampu menjadi sumber pemberi masukan dalam kerangka pembuatan regulasi atau kebijakan publik, terutama menjadi jembatan pembangunan kebijakan konstruksi antara pelaku usaha, profesional dan pemerintah.

Pemberian kewenangan yang begitu besar kepada LPJK dirasakan ter-lalu tergesa-gesa tanpa ada kesiapan dari Lembaga itu sendiri, karena untuk membentuk Lembaga yang independen dan mandiri seharusnya dilakukan secara bertahap. Diawali dengan pemerintah yang memfasilitasi suatu forum stakeholders untuk menampung aspirasi dari para pemangku kepentingan kemudian membentuk suatu badan dalam pemerintah yang bertanggung ja-

Page 138: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

138

wab melaksanakan pengembangan jasa kontruksi. Badan ini didanai oleh pe-merintah melalui APBN. Setelah badan milik pemerintah ini mampu berdiri sendiri, kemudian dapat dibentuk badan yang independen dan mandiri yang harus mampu mendanai dirinya sendiri, namun wewenang penetapan regu-lasi tetap menjadi wewenang pemerintah. Pada akhirnya apabila pemerintah menganggap badan telah diakui sebagai suatu badan regulator, status badan tersebut dapat menjadi suatu badan regulasi yang independen.

Peran, tanggungjawab, dan kewenangan lembaga independen dalam Un-dang-Undang Jasa Konstruksi perlu dievaluasi kembali agar dapat menjawab persoalan pembinaan dan pembuatan kebijakan dan pengembangan jasa konstruksi. Saat ini dirasakan bahwa keberadaan lembaga ini kurang efektif melakukan pembinaan dan pengembangan usaha jasa konstruksi. Salah satu kelemahannya adalah berdirinya lembaga ini melompat tidak sesuai dengan tahapan kematangan masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan kelompoknya. Apakah ke depan perlu dilakukan penataan kembali dengan mendorong pemerintah untuk memfasilitasi suatu forum para pemangku kepentingan yang menampung aspirasi dari para pemangku kepentingan un-tuk kemudian membentuk suatu badan dalam pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan pengembangan jasa kontruksi. Atau adanya penataan kembali tata kelola kelembagaan agar lebih mencerminkan prinsip good gover-nance baik dari sisi proses pengisian pimpinan dan anggotanya serta pendana-annya, sehingga lembaga ini dapat efektif membina sektor jasa konstruksi.

Bidang Usaha Jasa KonstruksiB. Pada sisi pengaturan bidang usaha, pengaturan dalam Undang-Undang

Jasa Konstruksi ini harus mempertimbangkan kembali dasar acuan penga-turan jenis, bentuk dan bidang usaha jasa konstruksi dari ASMET, karena perkembangan industri jasa konstruksi mulai tumbuh dengan acuan Central Product Clasification (CPC). ASMET lebih mencerminkan jenis pekerjaan atau profesi berdasarkan keilmuan bukan pembagian bidang usaha yang berkembang dalam praktek maupun standar yang ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi membagi jenis usaha menjadi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang sesungguhnya merupakan bagian dari siklus proyek. Ke-

Page 139: buku-tim-8

T. Ade Surya

139

mudian, penetapan bidang usaha didasarkan pada bidang pengetahuan atau pendidikan yaitu arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan (ASMET).

Selanjutnya, pembagian sub-bidang usaha menjadi arsitektur bangunan, arsitektur lansekap, dalam praktek bisnis dan juga pendekatan proyek kurang memiliki fokus jika dikaitkan dengan playing field. Padahal, secara umum dari sisi proyek dan kebutuhan telah terjadi pengembangan berdasarkan product life cycle atau siklus proyek konstruksi. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada pemikiran untuk pembagian bidang usaha jasa konstruksi meng-gunakan sistem Central Product Classification (CPC). Penataan bidang usaha selanjutnya akan mendorong penyesuaian asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi di sektor konstruksi.

Dalam pengaturan bidang usaha, pembangunan jasa konstruksi nasional juga harus mempertimbangkan masalah market mechanism sektor konstruksi yang ada saat ini terutama dalam mempertemukan prinsip kerja sama dan kompetisi sebagaimana prinsip yang ingin dibangun dalam Pasal 17 Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pengembangan jasa konstruksi me-merlukan iklim usaha dan playing field yang jelas, datar dan harus dibina ber-sama oleh para pemangku kepentingan (stakeholders). Playing field harus datar dalam arti bahwa playing field tersebut disediakan untuk suatu klasifikasi dan kualifikasi yang sama agar terjamin kompetisi yang fair di sektor konstruksi dan tidak terjadi anomali kompetisi antar kelas dan kualifikasi kecil, men-engah dan besar bermain pada lapangan yang tidak seimbang.

Dalam hal ini pengaturan lapangan usaha juga harus mampu menjawab keberadaan badan usaha asing yang seharusnya mampu diarahkan untuk be-kerjasama dengan badan usaha nasional agar ada keadilan dan proses pening-katan daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional. Secara faktual, pelaku jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik tetapi juga inter-nasional. Kehadiran badan usaha konstruksi asing, baik melalui skema pinja-man untuk pengadaan proyek-proyek pemerintah maupun penanaman modal asing (PMA) telah meningkatkan persaingan di pasar konstruksi domestik. Kebijakan pembinaan konstruksi perlu dikaitkan dengan upaya menjadikan industri konstruksi nasional dapat menguasai pasar konstruksi domestik. Tindakan keberpihakan (affirmative actions) kepada usaha mikro, kecil, dan

Page 140: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

140

menengah oleh pihak pemerintah pada industri konstruksi domestik dapat dilakukan dengan memberikan peluang dan akses kepada permodalan dan kemitraan untuk proyek-proyek konstruksi pemerintah skala tertentu. Disam-ping itu, kebijakan ini juga terkait dengan upaya menciptakan kepemilikan saham dalam industri konstruksi nasional yang dikuasai oleh badan usaha atau orang perorangan warga negara Indonesia.

Hal yang sama juga harus dilakukan di sisi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa konstruksi agar terjadi proses transfer teknologi dan keterampilan serta perlakuan yang setara antara tenaga asing dengan lokal. Walaupun itu terkait dengan peraturan perundang-undangan di sektor tenaga kerja, namun iklim usaha jasa konstruksi harus mampu membangun sistem pembinaan sumber daya manusia jasa konstruksi yang lebih dalam dan kuat.

Pengembangan Jasa KonstruksiC. Dalam hal pengelolaan pengembangan jasa konstruksi, terdapat 4 (em-

pat) sisi utama yang perlu dibangun yaitu (a) trust & sinergy; (b) reciprocity; (c) competency dan (d) networking. Trust & Sinergy dibutuhkan pada sisi internal untuk menjamin terjadinya kerjasama antar dan inter pelaku bisnis. Recipro-city dibutuhkan pada sisi eksternal untuk menumbuhkan kerjasama antar stakeholders seperti perguruan tinggi, lembaga riset, lembaga swadaya ma-syarakat. Competency dibutuhkan pada sisi individual untuk meningkatkan kapasitas dan kepercayaan dari setiap individu pelaku jasa konstruksi. Net-working dibutuhkan pada sisi international untuk mengembangkan jaringan global seperti ekspor-impor.

Perkembangan usaha di sektor konstruksi membutuhkan berbagai sum-berdaya dan cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah satu kompo-nen penting dari usaha konstruksi. Peningkatan daya saing industri kon-struksi nasional akan sangat membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Lemahnya penguasaan teknologi menyebabkan sering terjadinya kegagalan bangunan karena mutu konstruksi yang belum sesuai standar.10 Oleh karena itu, kebijakan ini akan erat kaitannya dengan penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek konstruksi di Indonesia. Disamping itu, inventa-risasi terhadap teknologi domestik dan teknologi tepat perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja di-

10 http://bpksdm.pu.go.id/?menu=10&kd=456, diakses 1 Desember 2010.

Page 141: buku-tim-8

T. Ade Surya

141

arahkan untuk mendorong pelaku sektor konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.

Kegiatan jasa konstruksi akan sangat tergantung dari proporsi besarnya pendapatan pengguna. Ketersediaan pinjaman dan tingkat bunga yang kom-petitif akan mendorong permintaan (demand) sektor konstruksi. Disamping itu, pelaku sektor ini, misal kontraktor, sangat tergantung dari dana pinjaman untuk menjaga aliran tunai (cash flow) dari proyek konstruksinya. Oleh karena itu, usaha di sektor konstruksi jelas membutuhkan pembiayaan atau modal. Pemerintah perlu mendorong partisipasi sektor keuangan untuk memberi-kan akses terhadap pelaku usaha di sektor konstruksi. Lembaga perbannkan dan pembiayaan swasta juga didorong untuk juga mampu menyerap kebutu-han pembiayaan konstruksi. Pemerintah juga dapat mendorong penyerapan pembiayaan usaha kecil dan menengah oleh industri konstruksi nasional.

Kompetensi sumber daya manusia konstruksi merupakan persyaratan mutlak bagi peningkatan daya saing industri konstruksi nasional. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan konstruksi ini diarahkan untuk meningkatan pro-fesionalitas sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan sertifikasi keahlian dan keterampilan, baik tingkat nasional maupun internasional. Pemerintah dapat menfasilitasi dan mendorong aso-siasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi dan proses sertifikasi tenaga ahli dan terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat mendo-rong peningkatan jumlah sumber daya manusia konstruksi nasional yang ber-sertifikasi keahlian dan ketrampilan.

Peraturan nasional untuk registrasi, sertifikasi dan akreditasi untuk penga-kuan lisensi profesionalitas dari sumber daya manusia konstruksi perlu segera diwujudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dan stagnasi dalam menyiap-kan profesionalisme, kehandalan dan daya saing sumber daya manusia kon-struksi. Bakuan kompetensi perlu segera disusun oleh setiap asosiasi profesi, termasuk adanya pengukuran atau penilaian profesionalitas dari para profe-sional Indonesia yang bekerja di sektor konstruksi.

Daya saing pelaku usaha di sektor konstruksi akan sangat dipengaruhi oleh kesehatan perusahaan. Oleh karena itu, revitalisasi transformasi kon-struksi juga berkaitan dengan upaya menjadikan perusahaan-perusahaan jasa

Page 142: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

142

konstruksi sehat secara finansial berdasarkan parameter kondisi keuangan organisasi usaha. Upaya ini diarahkan agar perusahaan-perusahaan jasa kon-struksi memiliki ukuran-ukuran kesehatan keuangan yang tinggi. Liquidity ratio tersebut dapat direpresentasikan, misalnya dari perbandingan nilai aset sekarang (current asset) dengan jumlah pertanggungan (liabilities). Activity ratio dapat dinyatakan, misalnya, nilai perbandingan dari jumlah penjualan (sales) terhadap nilai aset tetap (fixed asset). Profitability ratio merupakan batas keuntungan bersih (net profit margin) yang dihitung dengan membandingkan pendapatan bersih (net income) dan penjualan (sales). Sedangkan growth ra-tio dapat dinyatakan sebagai pendapatan bersih (net income) yang dihitung berdasarkan prosentase pertumbuhan keuntungan tahunan (annual percen-tage growth in profit). Perusahaan jasa konstruksi perlu didorong untuk mem-perbesar nilai aset, peningkatan penjualan, pertumbuhan nilai keuntungan tahunan dan mengurangi jumlah pertanggungan. Leverage ratio merupakan perbandingan, misalnya, jumlah keseluruhan hutang dibanding jumlah ke-seluruhan aset perusahaan.

Persaingan usaha di sektor konstruksi menuntut perusahaan jasa kon-struksi, kontraktor dan konsultan, memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan ini berkaitan dengan upaya mendorong perusahaan jasa konstruksi untuk melakukan proses produksi dengan efektif dan efisien. Disamping itu, perusahaan jasa konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat meningkatkan kapasitas produksi, memiliki perangkat inventori yang handal, satuan kerja yang profesional, dan mengutamakan kualitas proses dan produk.

Kegagalan konstruksi dapat memberikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Kebijakan ini diarahkan untuk dua aspek, yaitu mengurangi jumlah dan besarnya kerugian dan dampak dari kegagalan dan atau mengu-rangi terjadinya kegagalan itu sendiri. Oleh karena itu revitalisasi transforma-si konstruksi ini terkait dengan upaya (i) mengurangi jumlah kegagalan kon-struksi, misalnya terjadinya kecelakaan konstruksi; (ii) mengurangi dampak ekonomi langsung maupun tidak langsung; dan (iii) dampak sosial, misalnya kerusuhan sosial, penggusuran, kehilangan nyawa, kesehatan lingkungan, ke-miskinan, pengangguran, dan pengurangan pendapatan.

Kepuasan pelanggan (clients, consumers, dan users satisfaction) merupakan sasaran dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Keluaran (output) dan ha-

Page 143: buku-tim-8

T. Ade Surya

143

sil guna (outcome) produk konstruksi akan dirasakan oleh masyarakat pemakai dan pemanfaat produk konstruksi. Revitalisasi transformasi perlu diarahkan agar pelaku usaha jasa konstruksi dapat menyediakan produk konstruksi yang prima agar dapat mengurangi keluhan (complain) dan tuntutan (claim) dari pe-makai dan pemanfaat, misalnya, adanya cacat bangunan, ketidaktepatan uku-ran, ketidaktahanan bangunan dan timbulnya kerusakan dini bangunan.

Sektor jasa konstruksi merupakan salah satu sektor ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja cukup besar, khususnya tenaga tidak terampil (unskil-led labours). Penggunaan teknologi berbasis tenaga kerja (labor based techno-logy) pada pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pedesaan, misalnya jalan-jalan pedesaan, irigasi perdesaan, dan jaringan air bersih untuk masyara-kat desa akan sangat menguntungkan untuk memberikan perluasan kerja sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan ini akan terkait dengan tindakan keberpihakan (affirmative actions) terhadap pengembangan kontrak-kontrak skala kecil untuk kontraktor skala kecil (petty dan small scale contractors) bagi pelaksanaan pembangunan infrastruktur per-desaan.

Penguatan dan penataan jasa konstruksi nasional sangat dibutuhkan se-bagai pijakan dasar dalam membangun industri konstruksi yang kokoh dan berdaya saing tinggi serta mandiri dalam menyongsong arus globalisasi. Oleh karena itu, penataan institusi untuk pengembangan industri konstruksi per-lu diarahkan menjadi organisasi yang profesional dalam memfasilitasi dan mendorong industri dan perdagangan konstruksi nasional berkelas dunia. Karakter profesional tersebut akan sangat dibutuhkan dalam melakukan misi menciptakan industri konstruksi nasional yang handal, profesional, dan ber-daya saing tinggi serta mandiri dan menciptakan pengusahaan (tata niaga) konstruksi Indonesia yang menjamin mekanisme pasar yang adil, pengadaan yang transparan dan hasil yang memiliki akuntabilitas publik tinggi. Globali-sasi politik, ekonomi dan keuangan telah mendorong industri konstruksi di seluruh belahan dunia, termasuk industri konstruksi nasional, menghadapi persaingan global. Kondisi ini memaksa industri tersebut berusaha menjadi pemain kelas dunia. Artinya, industri konstruksi nasional harus mampu ber-tahan kompetitif di pasar internasional. Secara praktis, industri ini dituntut menunjukkan kinerja yang tinggi, baik disisi inputan, proses, keluaran mau-pun sistem manajemen. Hal ini bisa dicapai jika industri konstruksi nasional

Page 144: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

144

semakin (i) profesional, produktif dan progresif; (ii) berbasis ilmu dan tek-nologi serta para pekerja yang terampil; (iii) memiliki kapasitas superior dan sinergi melalui kemitraan dan usaha-usaha bersama seluruh pihak pemangku kepentingan; (iv) mampu mengintegrasikan seluruh proses agar tercapai “buil-dability” yang lebih besar; (v) mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta “cost effectiveness”; (vi) memiliki kecakapan tinggi sebagai industri ekspor.

Pengusahaan jasa konstruksi membutuhkan ketersediaan informasi dan akses informasi yang terpercaya. Peningkatan layanan informasi di bidang konstruksi perlu terus diupayakan. Oleh karena itu untuk memperkokoh jasa konstruksi, perlu dibangunnya sistem informasi konstruksi yang dapat memuat berbagai data dan informasi tentang usaha dan pengusahaan kon-struksi nasional, termasuk didalamnya informasi mengenai pasar konstruksi.

Page 145: buku-tim-8

T. Ade Surya

145

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Evaluasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang diamanahkan oleh Un-

dang-Undang Jasa Konstruksi menunjukkan keadaan yang tidak menggem-birakan. Kondisi jasa konstruksi nasional saat ini jauh dari tujuan tersebut. Sebagian penyebab kondisi buruk pelaksanaan Undang-Undang Jasa Kon-struksi ini adalah kelemahan implementasi dari seluruh stakeholders, namun terdapat beberapa aspek pengaturan itu sendiri yang tidak mendukung pen-capaian tujuan Undang-Undang Jasa Konstruksi dan perkembangan jasa kon-struksi secara umum.

Hal yang sangat relevan terhadap pengaturan ini adalah adanya perbe-daan konteks nasional di Tahun 2010 ini dibandingkan dengan pada Tahun 1999 saat Undang-Undang Jasa Konstruksi diterbitkan. Pada konteks saat ini terdapat isu desentralisasi pemerintahan yang mempengaruhi pembinaan jasa konstruksi nasional. Di samping itu, perkembangan situasi pada tahun-tahun belakangan ini terjadi konflik kepentingan dalam peran masyarakat jasa konstruksi. Sistem kelembagaan LPJK yang sekarang berlaku selain me-nimbulkan konflik kepentingan, juga menjadikan ketidakjelasan tanggung jawab lembaga ini. Lembaga ini diserahi tugas pengembangan jasa konstruksi yang sangat strategis, namun sistem administrasi, keuangan, serta pertang-gungjawabannya sangat minim pengaturannya.

Pengaturan lebih lanjut juga dibutuhkan pada bidang usaha jasa kon-struksi, karena dasar acuan yang digunakan dalam undang-undang jasa kon-struksi mengenai pengaturan jenis, bentuk, dan bidang usaha jasa konstruksi sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri jasa konstruksi saat ini. Terkait badan usaha asing dan tenaga kerja asing juga perlu dilakukan eva-

Page 146: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

146

luasi. Keberadaan badan usaha asing harus mampu dimanfaatkan untuk pe-ningkatan daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional. Sedangkan kebe-radaan tenaga kerja asing harus diatur agar terjadi proses transfer teknologi dan keterampilan kepada tenaga kerja lokal.

Salah satu kritik lainnya terhadap Undang-Undang Jasa Konstruksi ini adalah bahwa kurang tepat dalam memberikan kewenangan pengantuan yang mandiri/independen kepada masyarakat jasa konstruksi yang dinilai belum siap. Masyarakat jasa konstruksi yang profesional hingga saat ini belum ter-bentuk secara luas, masih didominasi oleh tenaga ahli dan terampil dengan kompetensi yang kurang kompetitif bahkan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Pelimpahan wewenang pengembangan jasa konstruksi kepada masyarakat (lembaga) yang juga mencakup fungsi sertifikasi dan registrasi se-cara utuh tidak selayaknya dilakukan, bahkan kepada masyarakat yang sudah profesional sekalipun. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan keselamatan dan kepentingan umum/publik tetap perlu dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini tidak terkait pada faktor kesiapan masyarakat, namun lebih merupakan konsep pembagian kewenangan publik.

SaranB. Dari hasil evaluasi yang dilakukan mengenai permasalahan-permasalahan

pada Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa konstruksi ini, di-harapkan pemerintah dan pihak terkait lainnya dapat mengkaji lebih jauh untuk menemukan solusi ataupun pendekatan terbaik yang tidak merugikan pihak manapun dalam perubahan yang akan dilakukan, sehingga industri jasa konstruksi nasional dapat memberikan kontribusi yang lebih besar lagi dalam pembangunan nasional.

Page 147: buku-tim-8

T. Ade Surya

147

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Suparto, H.G., “Industri Konstruksi Indonesia, dalam Konstruksi: Industri, Pengelo-laan dan Rekayasa”, KK MRK ITB, Penerbit ITB, 2007.

Makalah / Jurnal

Barrett, P., “Revaluing Construction: A Global CIB Agenda. Publication 305, In-ternational Council for Research and Innovation in Building”, Rotterdam, The Netherlands, 2005.

Bon, R., “Economic Structure and Maturity (Collected Papers in Input-Output Mo-delling and Application”, Ashgate Publishing Company, UK, 2000.

Bon, R., “Direct and indirect resource utilization by the construction sector: the case of USA since World War II”, Habitat International, 12, 49-74, 1988.

Henriod, “The Construction Industry Issues and Strategis in Developing Countries”, World Bank Publication, Geneva, 1984.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Position Paper KPPU Terhadap Per-kembangan Industri Jasa Konstruksi.

Moavenzadeh, F., “Construction in developing countries”. World Development, Vol. 6, No. 1, pp. 97-116, 1978.

Suraji, A., “Peta Kesiapan Industri Jasa Konstruksi Menuju Liberalisasi Perdagang-an Jasa Konstruksi”, Proceeding Seminar Nasional Peran Jasa Industri Era Otonomi Daerah dan AFTA/AFAS, Jakarta, FT UI, 2003.

Suraji, A., & Wirahadikusumah, R.D., “Optimasi Peran dan Fungsi LPJK: Menuju Konstruksi Indonesia Kokoh, Handal dan Berdayasaing”, Makalah Diskusi, BPKSDM Departemen PU, 21 Juni, 2007.

Page 148: buku-tim-8

Urgensi Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

148

Wells, J., “The Construction Industry in Developing Countries: Alternative Strategies for Development”, Croom Helm Ltd, London, 1986.

Internet

http://bpksdm.pu.go.id/?menu=10&kd=456, diakses pada tanggal 1 Desem-ber 2010.

http://www.gapensi.org/modules/artikel.php?ID_Artikel=458&ID_Kate-gori_Artikel=2, diakses pada tanggal 16 November 2010.

Publikasi Resmi

Badan Pusat Statistik.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Page 149: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

149

BAGIAN KEENAM

SISTEM LOGISTIK DALAM RANGKA PENGUATAN DAYA SAING

Oleh Dewi Restu Mangeswuri1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 150: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

150

Page 151: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

151

BAB IPENDAHULUAN

Dalam 10 tahun terakhir ini, praktek logistik dalam industri mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Kecenderungan global mendorong ekspan-si pasar perdagangan internasional hampir terjadi pada semua wilayah teru-tama di Asia-Pasifik. Kompetisi global dalam pasar produk dan jasa mendo-rong keragaman produk untuk memenuhi kebutuhan segmen pasar yang juga beragam, standar kualitas produk tinggi, penyerahan barang tepat waktu yang sangat tergantung ketersediaan, dan kondisi infrastruktur publik yang disediakan pemerintah suatu negara. Akibatnya tuntutan efisiensi dalam ke-giatan logistik semakin tinggi, termasuk tingkatan kualitas keamanan, kese-lamatan dan pelayanannya.

Persaingan saat ini adalah persaingan antar rantai suplai. Logistik adalah kegiatan dalam rantai suplai. Sektor logistik penting dalam peningkatan daya saing negara. Porsi biaya logistik terhadap harga barang adalah sekitar 20% le-bih. Biaya logistik negara di dunia memiliki besaran sekitar 10%- 20% untuk negara maju dan berkembang. Kondisi ini telah menginspirasi banyak negara untuk melakukan penataan dan merumuskan kebijakan nasional mereka dalam sektor logistik. Indonesia bisa menjadikan perkembangan di beberapa negara sebagai referensi yang sangat berharga. Australia misalnya, mematok sasaran dan strategi bisnis logistik sebagai bagian dari daya saing nasional. Untuk itu, mereka membentuk Australian Logistics Council yang khusus menangani masa-lah ini. Hong Kong mencanangkan visi sebagai “Gateway for Pearl River Delta”, yaitu pintu gerbang ke wilayah China di sekitarnya. Singapura jelas menem-patkan strategi sektor logistik menjadi primadona industrinya dan memiliki visi “A Leading Integrated Logistics Hub in Asia by 2010”. Masyarakat Ekonomi Eropa, melalui “EULOC Vision 2015”, mendukung terbangunnya “linkage”

Page 152: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

152

antar negara anggota, untuk meningkatkan daya saing satu Eropa, melalui peningkatan standardisasi logistik. Amerika Serikat memiliki “Vision 2050: An Integrated National Transportation System” yang fokus pada pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dibutuhkan oleh semua industri. SementaraThailand, merencanakan menjadi “Regional Logistics Hub” untuk kawasan Indochina (Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar dan sebagian Main-land China). Thailand juga mencanangkan tujuan untuk dapat menurunkan total biaya logistik-nya sebanyak 9% selama 5 tahun ke depan. 2

Sistem logistik nasional saat ini masih belum efisien dan efektif. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga tercatat lebih tinggi dibanding negara lain. Pelaku usaha Indonesia lebih suka impor karena ongkos transportasinya lebih murah ketimbang ongkos angkutan antar pulau di Indonesia. Ongkos angkutan yang mahal, buruknya infrastruktur, banyak restribusi daerah, pungu-tan oknum aparat dan preman, serta peraturan perundangan yang tumpang tindih menjadi penyebab utama mahalnya biaya logistik di Indonesia. Kele-mahan ini membuat Indonesia tidak bisa berkompetisi dalam perdagangan bebas dengan negara lain, sehingga Indonesia masih lemah dalam sejumlah faktor daya saing. Lemahnya daya saing Indonesia disebabkan oleh tinggi-nya ongkos logistik, misalnya dalam hal biaya pergudangan dan pengang-kutan. Pengangkutan yang diharapkan adalah yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 bahwa pembangunan bidang ekonomi khususnya kelancaran produksi dan distribusi barang dalam sistem perdagangan diarahkan pada upaya me-majukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial.3 Untuk mendukung terwujudnya kelancaran produksi dan distribusi barang, diperlukan adanya sistem resi gudang sebagai salah satu instrumen pembiayaan, dan agar penye-lenggaraan sistem ini dapat berjalan dengan lancar, tertib, dan teratur serta memberikan kepastian hukum bagi pihak yang melakukan kegiatan dalam sistem resi gudang maka diperlukan landasan hukum yang kuat. Undang-Undang mengenai Resi Gudang telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

2 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

Page 153: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

153

H.M.N. Purwosutjipto mengatakan pengangkutan memiliki arti yaitu su-atu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan penumpang atau pengirim barang dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menye-lenggarakan pengangkutan barang/orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat sedangkan pihak lainnya (pengirim, penerima, dan penumpang) mengikatkan dirinya berkewajiban untuk membayar sejumlah biaya tertentu dalam penyelenggaraan pengangkutan tersebut.4 Menurut Subekti “Pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi un-tuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya”.5

Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dimana antara satu pulau dengan pulau yang lain terpisah oleh selat dan laut sangat mengandal-kan adanya sistem transportasi yang mantap. Hal ini juga dilandasi oleh se-mangat terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa yaitu masyarakat adil dan merata, yang memiliki esensi pemerataan pembangunan di segala daerah. Demikian juga dengan perbaikan infrastruktur dan transportasi yang mampu mendukung pendistribusian produk barang yang diperdagangkan. Perdagang-an yang dimaksud dalam ekspor sangat mengandalkan transportasi laut. Per-saingan di pasar internasional dibutuhkan efisiensi dan adanya kepastian hu-kum. Dalam mengirimkan hasil produksinya, banyak importir dan eksportir mengutamakan sistem kontainer dengan alasan keamanan, keselamatan, dan kelancaran pengangkutan.6 Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, disebutkan di pasal 15 ayat (2) bahwa “Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan, mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya”.7 Dari penjelasan pasal tersebut, dapat kita artikan bahwa Pemerintah memberikan jaminan masalah pengangkutan bahan baku dan hasil produksi industri yang berbahaya.

Implementasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 khususnya pasal 15, tidak dirasakan oleh pengguna layanan pengangkutan atau logistik,

4 H. M. N. Purwosutjipto (1991). Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan.

5 R. Subekti (1985). Hukum Perjanjian PT Internasional. Jakarta: Praditya Paramita.

6 Frans M. Royan (2010). Distributorship Management: Cara Cerdas Mengelola & Memberdayakan Distributor. Jakarta: PT. Gramedia

7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Page 154: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

154

mereka masih menyayangkan lambannya perubahan ke arah perbaikan. Ha-rapan lain yag diinginkan oleh pelaku usaha adalah adanya jaminan kese-lamatan selama pengangkutan produk mereka menuju ketempat tujuan atau penerima. Adapun mengenai jaminan keselamatan sampainya barang yang dikirim hingga ke penerima dirasa perlu juga untuk diperhatikan. Asuransi yang mampu memberikan perlindungan untuk jasa pengangkutan, tidak ha-nya di laut, tetapi di darat dan udara, agar terdapat jaminan kerugian apabila diderita akibat misalnya kapal tenggelam atau lainnya.8

Berdasarkan data dari Bank Dunia (2009), Indonesia berada di posisi ke-43 dari 150 negara dalam survei kinerja sektor logistik nasional. Penempatan Indonesia pada posisi itu terkait dengan indikator biaya logistik yang lebih tinggi dibanding negara lain. Pentingnya sektor logistik dalam rangka pening-katan daya saing suatu entitas (perusahaan atau negara) dapat pula dilihat dari tingginya prosentase biaya logistik perusahaan dibandingkan dengan har-ga barang dari berbagai industri yang berbeda dan porsi biaya logistik nasio-nal dibandingkan dengan GDP dari negara yang bersangkutan. Biaya logistik negara-negara di dunia rata-rata 10%-20%, sedangkan biaya logistik di negara Indonesia mencapai lebih 25% dari GDP.9 Hambatan kegiatan logistik di In-donesia disebabkan oleh pengembangan infrastruktur pelabuhan yang tidak diimbangi dengan pengembangan listrik. Energi listrik, masih menjadi salah satu kendala bagi perkembangan usaha di Indonesia.

8 E.A. Sihombing (2010). Tanggung Jawab Penerbangan Terhadap Pengangkutan Orang dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

9 http://transportasi.bappenas.go.id/ Biaya Logistik Indonesia Paling Mahal

Page 155: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

155

BAB IIPEMBAHASAN

Iklim usaha di Indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut lapo-ran Bank Dunia Doing Business Report 2008 (Bank Dunia, 2007b), pandangan dunia usaha tentang iklim investasi di Indonesia sudah mengalami peningka-tan hampir di sebagian besar daerah di Indonesia. Secara keseluruhan tingkat “kemudahan berusaha” di Indonesia telah meningkat dari 135 pada tahun 2007 menjadi 123 pada tahun 2008. Indikator ekonomi makro telah menga-lami stabilisasi dan tingkat pertumbuhan PDB pada kwartal kedua tahun 2007 mencapai 6,3%.

Walaupun persepsi iklim usaha sedang mengalami peningkatan hampir pada sebagian besar lini, persepsi tentang prasarana dan transportasi tam-paknya semakin buruk. Dalam beberapa sektor ekspor, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri mencapai lebih dari 40% dari total biaya logistik (Carana, 2004).10 Hal ini sangat menurunkan daya saing usaha Indonesia dan mendorong ekonomi biaya tinggi. Besarnya biaya trans-portasi darat sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, untuk mengangkut barang dari Warsawa ke Hamburg dengan jarak 750 ki-lometer, biayanya adalah setengah dari ongkos pengiriman barang dari Ma-kassar ke Enrekang di Sulawesi yang hanya berjarak 240 kilometer (Carana, 2004). Biaya prasarana, perizinan, dan berbagai pungutan jalan, semuanya berkontribusi terhadap biaya operasional secara keseluruhan dan mengan-cam kegiatan perdagangan dalam negeri dan iklim investasi di Indonesia.

Kondisi prasarana jalan yang buruk sangat menghambat perkembangan industri angkutan barang di Indonesia serta membatasi kemampuan pemilik usaha kecil untuk mencapai target pasar yang menguntungkan. Mutu jalan

10 Carana (2004) Impact of Transport and Logistics on Indonesia’s Trade Competitiveness. Carana Corporation

Page 156: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

156

kabupaten yang buruk juga merupakan hambatan terhadap kegiatan perda-gangan antar kabupaten serta menghambat upaya untuk melakukan integrasi antara wilayah-wilayah terbelakang dengan pasar yang lebih besar. Di tingkat kabupaten, hanya 49% dari jalan kabupaten memiliki kondisi yang memadai (Bank Dunia, 2007c). Besarnya biaya dan waktu yang diperlukan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) atau petani untuk mencapai pasar menyebabkan penurunan tingkat keuntungan yang cukup besar. Sekitar 70% dari muatan di Indonesia diangkat menggunakan truk, dan oleh karena itu sistem jaring-an jalan menjadi sangat penting. Sayangnya, kebanyakan armada truk sudah tua dan perawatan mereka juga buruk. Kondisi prasarana yang buruk menye-babkan terjadinya peningkatan biaya untuk pemeliharaan dan bahan bakar, yang pada akhirnya akan mempersempit margin keuntungan pengusaha.11

Praktek-praktek yang membahayakan dan mahal seperti kelebihan mua-tan merupakan hal biasa yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun secara hukum diperlukan adanya jembatan timbang, para supir truk begitu saja melewati jembatan timbang dengan cara membayar setoran kepada petu-gas pada jembatan timbang tersebut. Akibatnya terjadi kelebihan muatan di mana-mana yang sangat membahayakan keselamatan dan memperparah ke-rusakan jalan. Di samping adanya biaya prasarana, pengusaha dan supir truk masih harus membayar biaya perizinan dan berbagai macam pungutan di ja-lan. Biaya-biaya, baik yang resmi maupun tidak resmi, menyebabkan hamba-tan cukup besar bagi daya saing produsen lokal. Korupsi dalam bentuk uang suap dan pungutan liar merupakan kondisi kronis sektor angkutan barang di Indonesia. Pengenaan biaya-biaya semacam ini menyebabkan terjadinya pe-ningkatan harga yang harus dibayar oleh konsumen. Laporan yang baru-baru ini diterbitkan tentang Aceh (Olken dan Barron, 2007) menemukan bahwa truk yang menempuh rute Banda Aceh-Medan harus mengeluarkan sekitar USD 40 sekali jalan, atau sekitar 13% dari total biaya perjalanan, untuk suap dan uang keamanan.

Sektor angkutan di Indonesia merupakan sektor yang sangat penting dan terus mengalami perkembangan. Antara 2004 dan 2006, kontribusi sektor transportasi dan perhubungan mencapai angka rata-rata sebesar 6% dari Pro-duk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pertumbuhan sektor ini juga melebihi

11 The Asia Foundation (2008). Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation.

Page 157: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

157

tingkat pertumbuhan sektor-sektor yang lain. Rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan selama tiga tahun antara 2004 dan 2006 sebesar 13% merupakan angka yang melebihi dua kali lipat tingkat pertumbuhan sektor non-migas se-besar 6%. Angkutan jalan, yang merupakan bagian dari sektor perhubungan, mengalami perkembangan yang stabil, walaupun tingkat pertumbuhannya lebih kecil dari pertumbuhan sektor perhubungan laut dan udara

Untuk sektor angkutan darat, pada tahun 2005 diperkirakan terdapat sekitar 47,6 juta kendaraan yang beroperasi di seluruh Indonesia, dan sekitar 4,6 juta adalah truk, yang merupakan 10% dari jumlah seluruh kendaraan (Pemerintah Indonesia, 2007). Sektor truk angkutan barang di Indonesia me-miliki beberapa kendala. Industri truk angkutan barang tampaknya memiliki tingkat persaingan yang ketat, mengingat besarnya jumlah perusahaan ang-kutan barang swasta. Tidak ada banyak hambatan untuk memasuki sektor ini dan terdapat banyak penyedia jasa. Tidak ada peraturan untuk memasuki sektor angkutan barang atau untuk melewati rute-rute tertentu. Wilayah ope-rasional truk (dan kendaraan pengangkut barang lainnya) tidak dibatasi oleh wilayah yuridis tertentu.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan seluruh dunia, in-dustri angkutan barang di Indonesia tergolong berbiaya tinggi dan tidak efi-sien. Biaya yang terkait dengan prasarana, perizinan, dan pungutan di jalan semuanya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain. Indonesia menempati urutan ke 43 dari 150 negara dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) Bank Dunia (Bank Dunia, 2007a). Indeks ini merupakan alat pengukuran acuan capaian yang mengukur tingkat kinerja dalam rangkaian pasokan logis-tik dalam satu negara. Indeks ini menempatkan Indonesia di bawah banyak negara tetatangganya di Asia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Thailand. Salah satu faktor yang diukur oleh LPI adalah biaya logistik dalam negeri, yang meliputi biaya transportasi dalam negeri dan sewa gudang.

Logistik di India lebih unggul daripada di Indonesia, sekalipun pendapa-tan perkapita Indonesia lebih tinggi, India berada di urutan 47 pada Indeks Kinerja Logistik (LPI) 2010, sedangkan Indonesia 75. Logistik memang bu-kan sekedar tentang kemacetan. Indeks LPI keluaran Bank Dunia itu berbi-cara mengenai enam dimensi. Selain infrastruktur (termasuk jalan raya), ia memperhatikan efisiensi kepabeanan, kemudahan pengiriman barang, kom-petensi petugas jasa logistik, kemudahan pelacakan barang kiriman,dan kete-

Page 158: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

158

patan waktu.ternyata, pada semua dimensi ini, posisi kita dibawah India. Bah-kan kita masih dibawah semua negara ASEAN kecuali Laos, Kamboja dan Burma. Filipina dan Vietnam yang biasanya “bersaing” dengan kita dalam hal ketertinggalan berada di urutan 44 dan 53, padahal pada 2007 mereka masih dibawah kita.12

Terlepas dari berbedanya indeks-indeks tersebut, peran infrastruktur atau logistik secara umum, dalam pembangunan ekonomi sangat penting. Ting-ginya biaya logistik dapat menyebabkan tergerusnya daya saing produk di pa-sar internasional. Pengausaha secara rasional akan menggeser seluruh atau sebagian biaya logistik kepada konsumen lewat kenaikan harga. Sayangnya untuk kebanyakan komoditas, Indonesia adalah pengikut harga (price taker) di pasar global. Artinya pengusaha tak bisa terus menaikkan harga, karena itu justru menyebabkan ciutnya pangsa pasar. Bagi mereka yang sudah tak mampu menaikkan harga, satu-satunya cara adalah memotong margin ke-untungan. Lagi-lagi ini ada batasnya. Maka sebagian yang sudah tak mampu melakukan keduanya terpaksa gulung tikar, dan membawa masalah baru yaitu pemutusan hubungan kerja para para karyawan.

Faktor logistik dan infrastruktur menjadi lebih penting lagi ketika In-donesia semakin masuk ke dalam jaringan produksi regional. Ekspor dan impor di wilayah Asia Timur meningkat dari 23 persen dan 26 persen pada 1985 menjadi 45 persen dan 41 persen pada 2006, sedangkan intensitas per-dagangan negara-negara Asia Timur dengan Amerika Utara dan Uni Eropa cenderung menurun pada saat yang sama, pertumbuhan perdagangan kom-ponen dan suku cadang meningkat melebihi perdagangan barang jadi.13 Se-mua ini menunjukkan sedang terjadi fragmentasi produksi yang melintasi ba-tas negara, sebagai bagian dari jaringan produksi regional di Asia. Indonesia juga telah masuk kedalam jejaring rantai nilai raksasa ini. Namun, untuk bisa optimal, banyak hal yang harus dibenahi.

Untuk dapat mengoptimalkan keuntungan bergabung dengan jaringan produksi regional, sembari juga meningkatkan konektivitas domestik, mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan daya tarik dan memperbaiki iklim investasinya. Sisi permintaan pada perekonomian kita relatif baik, tapi ken-

12 Arianto. A. Patunru, Tempo, Sekali Lagi Logistik, 12 Desember 2010

13 http://majalah.tempointeraktif.com/ Matahari Meredup, Naga Menggeliat

Page 159: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

159

dala utama di sisi penawaran adalah faktor logistik dan infrastruktur.14 Ini meliputi biaya logistik input (segmen logistik di antara pasar input dan pabrik), biaya logistik dalam pabrik (in-house), ataupun biaya logistik output (segmen antara pabrik dan pasar output). Selain itu, ia mencakup infrastruktur keras (jalan, pelabuhan, listrik), serta infrastruktur lunak (sistem, pengelola).

Studi-studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2005, 2008, 2010) menemukan bahwa bi-aya logistik input ataupun output jauh lebih besar daripada biaya logistik inhouse.15Ini berarti sebagian besar dari biaya logistik memang diluar ke-mampuan perusahaan untuk menguranginya. Ini adalah jalan yang rusak, pelabuhan yang tak memadai, dan pungutan liar. Biaya transportasi barang dengan truk di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di negara-negara tetangga. Tranportasi air dan laut juga tidak banyak membantu mengurangi biaya lo-gistik, karena inefisiensi di pelabuhan dan penyeberangan. Sayangnya dari ri-buan pelabuhan yang ada di Indonesia, tak satupun yang memenuhi standar internasional untuk menjadi pusat simpul utama (primary hub port) seperti pelabuhan di Singapura.

Biaya tambahan di pelabuhan (auxiliary cahrges, biaya-biaya selain tarif yang ditetapkan perusahaan pengiriman) bisa mencapai 40 persen dari total pengiriman barang. Angka itu belum termasuk pungutan tidak resmi, pada-hal kalangan bisnis sering mengeluhkan masih adanya pungutan liar yang juga harus mereka tanggung.16 Studi kasus LPEM mencatat pungutan tidak resmi bervariasi antara Rp 23 ribu untuk sebuah kasus di jalur hijau (green lane) di pelabuhan hingga Rp 1,5 juta untuk kasus lain di jalur merah. Biaya bukan hanya yang bersifat moneter. Lamanya waktu yang diperlukan untuk proses klarifikasi serta verifikasi dokumen dan fisik untuk ekspor ataupun impor juga merupakan biaya. Studi Ray (2009) menunjukkan dalam banyak ukuran kinerja pelabuhan, termasuk waktu tunggu, waktu tunda, dan waktu kerja, Indonesia masih jauh dibelakang standar internasional. Laporan lain (Bank Dunia, 2008) menunjukkan waktu yang dibutuhkan di Indonesia un-tuk ekspor sekitar 21 hari. Walaupun relatif sama dengan di Cina (21 hari) dan Vietnam (24 hari), ia jelas jauh di bawah Singapura (5) dan rata-rata di OECD (9,8 hari).

14 Memahami Asumsi Makro dan APBN 2009, Bisnis Indonesia, tanggal 29 januari 2009, hal 1

15 http://diskusiekonomi.blogspot.com/2008/04/Kendala Sisi Penawaran Infrastruktur dan Logistik

16 Salam Tempel Sepanjang Jalan. Tempo. 12 Desember 2010

Page 160: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

160

Biaya logistik yang tinggi merupakan akibat dari kondisi penegakan pera-turan yang buruk, pungutan jalan yang tinggi, dan biaya yang terkait dengan buruknya prasarana. Biaya prasarana di Indonesia menjadi tinggi sebagian di-sebabkan oleh kondisi jalan sekunder yang buruk. Sebuah survei yang dilaku-kan oleh World Economic Forum telah menempatkan Indonesia pada posisi 91 dari of 131 negara dalam prasarana transportasi.17 Hanya 58% dari total pan-jang jalan di Indonesia diaspal, sehingga hal ini telah menyebabkan pening-katan biaya pemeliharaan kendaraan yang melintasi jalan sekunder, terutama truk-truk dengan muatan berat. Sebagai perbandingan, 98,5% dari jalan di Thailand dan 80,8% di Malaysia sudah diaspal (The IRF World Road Statistics, 2006). Walaupun kini sudah mulai pulih, Indonesia masih mengalami kondisi buruk akibat kurangnya investasi untuk jalan selama sekitar sepuluh tahun. Setelah krisis moneter melanda Asia, pengeluaran untuk prasarana umum tu-run menjadi sekitar 1% dari PDB untuk tahun 2000. Pada tahun 2007 angka ini telah meningkat menjadi 3,4%, yang masih berada di bawah tingkat se-belum krisis, sekitar 5 – 6% dari PDB (Bank Dunia, 2007c).18 Secara umum, pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional dan provinsi di Indonesia di-danai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), sementara Dana Alokasi Umum (DAU) mendanai pemeliharaan jalan kabupaten/kota. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia tentang kondisi jalan dan kaitannya ter-hadap UKM di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Minimnya anggaran DAU merupakan hambatan paling besar terhadap kemampuan pemerintah untuk memelihara kondisi jalan kabupaten/kota, karena alokasi dana tersebut di-dasarkan pada jumlah penduduk, dan bukan pada luasnya wilayah.

Penelitian Bank Dunia juga menunjukkan bahwa kondisi prasarana yang buruk, baik karena mutu atau alasan topografi, ternyata juga memiliki dam-pak sekunder. Sebagai contoh, prasarana yang buruk berpengaruh terhadap kepastian pengiriman barang. Tingkat kerusakan dan kebocoran akibat lama-nya waktu tempuh dan kondisi jalan dapat berarti bahwa usaha kecil tidak dapat mencapai akses pasar yang lebih besar seperti jaringan supermarket. Kua-litas jalan yang buruk juga menyebabkan pembengkakan biaya dan kadang-kadang mengurangi ketersediaan input untuk kebutuhan produksi seperti pupuk. Secara keseluruhan, mutu jalan yang buruk pada wilayah-wilayah ter-

17 The Jakarta Post, 27 February 2008

18 http://balianzahab.wordpress.com/ Makalah Hukum Pengangkutan

Page 161: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

161

pencil di Indonesia secara signifikan meningkatkan pengeluaran biaya yang dialami oleh usaha kecil, perusahaan angkutan, dan konsumen. Pemetaan terhadap lingkungan regulasi juga dilakukan baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini bertujuan untuk memahami peraturan-peraturan penting yang mengatur sektor angkutan barang dan untuk memahami hambatan yang diakibatkan oleh peraturan tersebut terhadap sektor ini. Sebuah tim peneliti di Jakarta mengumpulkan perundang-undangan dan regulas di tingkat pusat sementara sejumlah peneliti lapangan bertugas untuk mengumpulkan ber-bagai peraturan daerah yang berdampak secara langsung atau tidak langsung terhadap usaha angkutan truk.19 Cakupan wilayah peraturan itu meliputi peraturan umum tentang perusahaan, peraturan teknis, peraturan tentang pasar/sektor, dan peraturan tentang perizinan. Tingkat peraturan yang ber-hasil dikumpulkan meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, keputu-san menteri, dan peraturan daerah. Wawancara dilaksanakan terhadap para pejabat Departemen Perhubungan untuk mengklarifikasi posisi kebijakan pemerintah terhadap industri angkutan barang. Di samping itu, wawancara dengan DPP Organda Pusat dan Indonesian Forwarders Association (Gafeksi/INFA) dilakukan di Jakarta untuk memperoleh gambaran mengenai isu-isu nasional yang dihadapi oleh sektor ini.

Peraturan yang mengatur angkutan jalan raya dapat dibagi menjadi dua jenis: peraturan yang berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan ang-kutan truk, kendaraan, dan penggunaan jalan; serta peraturan yang terkait dengan sarana dan prasarana fisik. Kedua jenis peraturan ini terkait dengan peraturan tingkat pusat tentang standar keselamatan dan teknis, yang bertu-juan untuk menjaga keselamatan di jalan maupun mutu jalan-jalan umum. Semua aspek konstruksi dan klasifikasi prasarana jalan berada di bawah ke-wenangan yuridis Departemen Pekerjaan Umum. Kerangka hukum ini meli-puti peraturan dan standar yang terkait dengan pembangunan, peningkatan, dan pemeliharaan jalan. Peraturan yang paling penting terkait dengan pra-sarana adalah UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerin-tah No. 34 tahun 2006, UU No. 38 tahun 2004 tersebut membagi jalan berdasarkan sistem jaringan jalan, fungsi, kelas, dan tingkat wewenang.20

19 http://balianzahab.wordpress.com/ Makalah Hukum Pengangkutan

20 The Asia Foundation (2008). Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation

Page 162: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

162

Peraturan lalu-lintas, akses jalan, dan standar keselamatan ditentukan dan dipantau oleh Departemen Perhubungan. Hal ini meliputi tidak saja penge-lolaan jalan, tetapi juga ketentuan mengenai perizinan yang berhubungan dengan transportasi barang Peraturan-peraturan kuncinya adalah UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1993. Angkutan barang melalui jalan juga secara khusus dia-tur oleh Departemen Perhubungan. Walaupun banyak kerangka peraturan tingkat pusat yang rumit, ternyata tidak ada peraturan yang menghambat un-tuk memasuki sektor angkutan barang di jalan (entry regulation). Di samping adanya peraturan teknis dan peraturan lalu lintas, industri angkutan barang secara umum tidak diatur oleh pemerintah pusat. Tidak ada peraturan entry bagi perusahaan angkutan barang atau untuk rute-rute tertentu. Satu-satunya izin yang diperlukan oleh perusahaan angkutan umum adalah izin usaha ang-kutan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Izin ini sendiri tidak dianggap sebagai hambatan dalam sektor ini, tetapi merupakan tanda daftar perusahaan. Jenis perusahaan lain yang mengoperasikan truk untuk mendukung kegiatan usaha utama mereka bahkan tidak diwajibkan untuk memiliki izin ini sama sekali.

Menurut Council of Supply Chain Management Professional (CSCMP) yang berkedudukan di Amerika Serikat: “ Logistics Management is that part of Supply Chain Management that plans, implements, and controls the efficient, effective for-ward and reverse flow and storage of goods, services and related information between the point of consumption in order to meet customers’ requirements”, atau, “Manaje-men Logistik adalah bagian dari Manajemen Rantai Suplai yang merencana-kan, menerapkan dan mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas dari arus dan penyimpanan barang, jasa dan informasi yang terkait, dari hulu ke hilir dan sebaliknya, mulai dari titik asal barang tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk dapat memenuhi per-syaratan dan permintaan dari pelanggan”.

Sesuai dengan definisi dari CSCMP yang berpusat di Amerika Serikat, kegiatan logistik adalah kegiatan arus barang kearah hilir maupun arus seba-liknya, penyimpanan barang-barang, layanan-layanan lain dan juga arus in-formasi yang berkaitan dengan barang-barang tersebut, mulai dari titik asal barang tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelang-

Page 163: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

163

gan. Dalam sistem logistik di suatu industri atau negara, model teoritis ten-tang pengendalian arus pergerakan barang, membagi pelaku kegiatan logistik dalam lima kelompok, yaitu: 21

Produsen dan Pedagang yang menentukan lokasi berdasarkan sumber a. pasokan bahan baku dan jaringan distribusi yang dibutuhkan, bentuk proses produksi dan jenis jalur penjualan, serta jenis/tipe/merek dan harga dari produknya; Konsumen yang menentukan jenis dan jumlah barang-barang yang akan b. dibeli dari produsen, dan preferensi dimana produk tersebut di beli; Penyedia jasa logistik yang menyimpan barang atas nama pemilik ba-c. rang, mencatat, mensortir dan termasuk juga mengemas bilamana perlu, mengangkut sesuai dengan rencana penyediaan (fulfillment plan), yang juga disesuaikan dengan karakteristik barang yang di angkut dan moda angkutan yang diperlukan; Pemilik prasarana dan sarana angkutan yang biasanya adalah agen yang d. melaksanakan kegiatan angkutan tersebut, sesuai prinsip operasi moda angkutannya; Pemerintah yang menyiapkan peraturan perundangan dan infrastruktur e. yang diperlukan untuk terlaksananya proses logistik didalam suatu sistem. Khusus untuk usaha penyedia jasa logistik, definisi dari World Trade

Organization (WTO), dan sesuai yang tercantum pada dokumen ASEAN Ro-admap for Logistics Integration, yang telah disepakati oleh pemerintah Indone-sia, menyebutkan bahwa cakupan jasa logistik ini terdiri dari 11 sektor dan dikelompokkan dalam 3 Tier yaitu:

TIER I : Core Freight Logistic Services, •TIER II : Related Freight Logistic Services •TIER III : Non-Core Freight Logistic Services •

Sektor jasa logistik tidak didefinisikan sebagai sektor yang terpisahkan di dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), akan tetapi hanya dimasukan dalam kategori jasa lain, termasuk jasa penolong (service auxiliary) untuk seluruh moda pengangkutan. Komitmen atas jasa-jasa penolong (ser-vice auxiliary) terhadap seluruh moda angkutan selama Uruguay Round tetap

21 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

Page 164: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

164

kembar (binary), dengan beberapa anggota mempertahankan pembatasan da-lam bidang tersebut seperti pendirian; pagu ekuitas asing; syarat minimum modal; jumlah terbatas dan jangka waktu dari usaha bersama; kebangsaan, persyaratan tempat kedudukan dan bahasa ; persyaratn kualifikasi; dan jang-ka waktu menetap dan kondisi peatihan. Dalam putaran terbaru sektor jasa logistik telah diakui dan di bahas pada tingkat pluralatal/ bilateral, dan ber-dasarkan umpan balik informal hal ini secara relatif item yang sering disebut dalam pemohonan.

Proposal yang di ajukan negara-negara dan kelompok yang relevan tentang logistik sejak tahun 2004 di bahas. Proposal Swiss menyampaikan subsektor jasa logistik berikut ini: cargo handling service, freight transport agency service, termasuk other auxiliary transport service. Proposal dari Hongkong, Cina seba-gian besar diinspirasi oleh daftar nama-nama yang disusun oleh kelompok “The Friend of logistics services“ proposal tersebut bertujuan untuk memperoleh komitmen dalam: freight transportation service, cargo handling service, storage and warehousing service, customs clearance service, transport agency service, container sta-tion and depot service, custom clearance service, inventory management service, order processing service, production planning service, and production control service.

“The Friends of Logistics Service“ mengusulkan pengklasifikasian jasa sama seperti penjabaran USITC 2005 di atas:22

Core freight logistics servicea. , yang terutama sekali mencakup services auxiliary untuk seluruh moda angkutan, Related freight logistics service,b. yang mencakup freight transport service dan jasa-jasa logistik terkait lainnya seperti Technical testing and analysis service, courier service : dan Non-core freight logistics servicec. seperti computer and related service, packaging, and management consulting and related service. Istilah logistik itu sendiri lebih diartikan pada “eksekusi dan proses kegia-

tan” didalam supply chain. Supply chain dan logistik adalah merupakan elemen-elemen penting dalam meningkatkan daya saing suatu “entitas” (perusahaan). Dalam konsep atau model Value Chain yang diperkenalkan oleh Michael E. Porter, mayoritas dari kegiatan utama dalam model tersebut adalah kegiatan logistik. Dalam dunia usaha, sebuah value chain atau sebuah entitas bisnis (perusahaan) harus mampu bersaing untuk terus hidup dan berkembang.

22 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

Page 165: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

165

Michael E. Porter juga menyebutkan bahwa “The productivity of a country is ultimately set by the productivity by its companies. An economy can not be competi-tive unless companies operating there are competitive, wheter they are domestic firms or subsidiaries of foreign companies”, atau “Tingkat produktivitas suatu negara ditentukan oleh produktivitas dari perusahaan-perusahaannya. Suatu negara tidak dapat bersaing bila perusahaan yang beroperasi di negara tersebut tidak punya daya saing yang baik, baik itu perusahaan lokal maupun perusahaan asing yang beroperasi di negara itu”. (Dalam bukunya yang berjudul Competi-tive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance)

Tidak semua produsen mampu menyalurkan produknya sendiri ke seluruh wilayah Nusantara. Persoalan yang sering mengganggu produsen adalah per-tama: investasi dalam membangun infrastruktur seperti kantor cabang, SDM, dan armada pengantaran; kedua: masalah risiko yang sangat besar, seperti huru-hara sehingga orang asing tidak mau berinvestasi dalam infrastruktur jalur distribusi produk; dan ketiga: kemampuan dan penguasaan sumber daya manusia terhadap para pelanggan lokal yang menyebabkan produsen memilih penggunaan distributor sebagai kepanjangan tangannya. Selain itu, adanya kendala wilayah Indonesia secara geografis yang merupakan negara kepulauan yang memiliki 33 propinsi yang tersebar di 3.100 kepulauan ber-penghuni, selebar 5.100 km dari barat ke timur dan sepanjang 1.900 km dari utara ke selatan serta tersebar di 432 kota, yang nantinya membuat produsen bertanggung jawab melayani kurang lebih 2,1 juta pengecer kelas bawah dan 3.000 outlet modern.23

Biaya logistik di dalam negeri lebih tinggi 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara pesaing, sehingga menyebabkan produk ekspor Indonesia ka-lah bersaing. Pemerintah dapat mengatasi hal itu dengan mempermudah pro-sedur ekspor impor, memperbaiki akses jalan, serta membenahi infrastruktur pelabuhan. Disamping itu masih terdapat hambatan dalam perizinan. Pada saat ini persaingan produk sudah masuk pada tahap hiperkompetitif. Sebe-lumnya, tanpa dipasarkan secara agresif pun, produk sudah bisa laku, tapi se-karang agar laku produk harus dipasarkan secara agresif. Istilahnya sekarang adalah perusahaan harus menjemput bola, kalau tidak ia akan dilibas oleh lawan-lawannya.

23 Frans M. Royan (2010). Distributorship Management: Cara Cerdas Mengelola & Memberdayakan Distributor. Jakarta: PT. Gramedia

Page 166: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

166

Persaingan hiperkompetitif ini mendorong perusahaan untuk berusaha semaksimal mungkin agar produknya diterima konsumen. Upaya Itu antara lain dengan mengiklankan produk secara meluas di televisi, dan strategi me-nyambut iklan yang bertubi-tubi itu perusahaan memerlukan tangan-tangan yang dapat menyalurkan produknya ke seluruh penjuru tanah air. Dengan demikian, faktor logistik yang baik yang akan menjadi penentu utama. Jika tidak terdapat sistem logistik yang baik maka tidak akan tersalurkan produk-produk yang dihasilkan dan membuat perusahaan kehilangan kesempatan untuk menjual produknya. Oleh sebab itu, pada persaingan yang hiperkom-petitif ini banyak perusahaan membutuhkan logistik yang baik untuk mewu-judkan kerjasama yang baik.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, yang harus dipeta-kan adalah sumber arus barang, tujuannya, hingga di titik saat harus ada hub port (pelabuhan pengumpul). Ini dilakukan agar terjadi interkonektivitas logistik antar daerah serta sinergi pemerintah pusat dan daerah, dan instansi pemerintah lainnya. Cetak biru ini ditujukan untuk pemerataan harga antar daerah yang selama ini terdapat perbedaan tinggi, terutama untuk bahan ke-butuhan pokok. Cetak biru logistik tidak hanya mencakup soal transportasi tapi juga procurement atau pengadaan, tracking, serta jasa dan sarana logistik. Cetak biru ini akan mendorong sistem transportasi laut dan kereta api.24

Untuk pembangunan sistem logistik nasional ini, kata Mari Elka, pemerin-tah akan meresmikan National Single Window untuk efisiensi dokumen ekspor dan impor. Sejumlah langkah yang akan diambil dalam waktu dekat adalah beroperasinya dry port di Cikarang. Dalam jangka panjang akan memben-tuk interkonektivitas antar daerah pada 2015. Adapun visi logistik Indonesia untuk tahun 2025 yaitu “Locally Integrated, Globally Connected”, atau dalam Bahasa Indonesia yaitu Terintegrasi Secara Lokal, Terhubung Secara Global. Pada tahun 2025, sektor logistik Indonesia, yang secara domestik terintegra-si antar-pulau dan secara internasional terkoneksi dengan ekonomi utama dunia, dengan efisien dan efektif, akan meningkatkan daya saing nasional untuk sukses dalam era persaingan rantai suplai dunia. Sebuah visi akan se-makin kuat dan berdampak lebih besar pada penentuan arah kebijakan bila dilengkapi dengan sasaran yang solid.

24 http://www.tempointeraktif.com. Pemerintah Segera Bentuk Tim Logistik Nasional

Page 167: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

167

Kondisi kinerja sektor nasional masih belum menunjukkan kontribusi yang memadai dilihat dari perspektif kepentingan nasional. Perkiraan ini diper-kuat oleh hasil pemotretan beberapa badan dunia, seperti World Economic Forum dan World Bank, yang menunjukkan posisi Indonesia dalam laporan mereka berjudul Global Competitive Index (GCI) dan Logistics Performance Index (LPI). Kedua, kebutuhan akan pembenahan sektor logistik nasional semakin terasa, terutama untuk mengatasi berbagai persoalan distribusi barang-barang secara nasional, yang terkadang cukup merepotkan pemerintah dan seluruh stakeholders sektor logistik nasional. Ketiga, munculnya berbagai kesepakatan global dan regional, misalnya APEC dan ASEAN, yang mendorong Indonesia harus sesegera mungkin merespon berbagai perkembangan ini. Salah satunya adalah sektor logistik, yang bahkan sudah tercantum dalam berbagai kese-pakatan di tingkat global dan ASEAN. Khusus untuk lingkungan ASEAN, kesepakatan tentang adanya AEC (ASEAN Economic Community) tahun 2015 menjadi barometer utama.

Berbagai kesepakatan ini mendorong Indonesia harus sesegera mungkin merumuskan langkah-langkah antisipatif, yang di antaranya adalah melalui penyusunan perencanaan strategis di sektor logistik nasional. Strategi Logis-tik Indonesia akan mengutamakan strategi pada ”6 (enam) faktor penentu logistik nasional” atau ”the 6 (six) major national logistics drivers”, yaitu:25

Komoditas Penentu • (Key Commodities), Peraturan dan Perundangan • (Laws and Regulations), Prasarana dan Sarana • (Infrastructure), Sumber Daya Manusia dan Manajemen • (Human Resources and Management), Teknologi Informasi dan Komunikasi • (Information and Communication Technology) Penyedia Jasa Logistik • (Logistics Service Providers).

Komoditas Penentu a. Kebijakan logistik nasional harus merupakan kebijakan logistik yang mendukung kinerja dan pengembangan komoditi utama nasional. Ke-bijakan harus disusun berdasarkan komoditas penentu (key commodities) atau industri kunci dari seluruh kegiatan logistik di Indonesia. Komodi-

25 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

Page 168: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

168

tas Perdagangan dan Perindustrian tersebut mencakup kebutuhan Do-mestik maupun Internasional. Sesuai dengan prinsip kegiatan logistik, maka komoditas kunci terebut ditentukan bukan oleh nilai/harganya, tetapi dari volume atau beratnya.

Peraturan dan Perundang-undangan b. Kebijakan logistik nasional harus mencakup upaya sinkronisasi dan pe-nyempurnaan peraturan perundangan (laws dan regulations) yang telah ada, atau menyiapkan peraturan perundangan yang baru apabila diper-lukan, dalam kerangka memberikan “payung hukum” yang sesuai untuk tercapainya 5 (lima) komponen strategi logistik nasional lainnya. Kebi-jakan logistik juga harus meliputi peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan sektor logistik secara khusus dan kepentingan negara pada umumnya. Selain pembuatan dan sinkronisasi dari peratu-ran-peraturan, juga digarisbawahi pentingnya upaya penegakan hukum (law enforcement) agar peraturan-peraturan yang dibuat dapat efektif dija-lankan oleh para pelaku.

Infrastruktur c. Kebijakan logistik nasional harus menentukan lintasan distribusi op-timal untuk rencana arus komoditas penentu (key commodity) tersebut diatas. Yang dimaksud dengan lintasan optimal adalah lintasan dengan biaya termurah, waktu tersingkat dan jarak terpendek. Lintasan optimal ini membutuhkan jenis dan lokasi (“apa dan dimana”) dari infrastruktur (prasarana dan sarana) yang mendukungnya. Infrastruktur adalah “landa-san” dari strategi logistik nasional. Kebijakan logistik nasional akan me-netapkan rencana pembangunan, penataan kembali dan pengembangan infrastruktur logistik nasional secara bertahap.

Sumber Daya Manusia dan Manajemen d. Kebijakan logistik nasional harus menggariskan kebijakan peningkatan dan pengembangan kompetensi sumberdaya manusia, termasuk pengem-bangan institusi lembaga pendidikan bidang logistic dalam rangka pe-ningkatan kompetensi, yang pada gilirannya akan memperbaiki kinerja tempat SDM tersebut berkarya.

Page 169: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

169

Teknologi Informasi dan Komunikasi e. Kebijakan logistik nasional harus menentukan arah pembangunan ja-ringan teknologi informasi, dan intensifikasi pemanfaatan teknologi in-formasi dan komunikasi untuk menunjang kualitas dan kinerja sektor logistik nasional sehingga mampu memonitor pergerakan arus barang se-tiap saat pada semua simpul lintasan distribusi dan juga mempermudah transaksi antara berbagai pihak yang terkait dalam rantai suplai.

Penyedia Jasa Logistik f. Kebijakan logistik nasional harus fokus untuk memberdayakan jasa-jasa yang terkait dengan logistik, dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para penyedia jasa logistik untuk mengembangkan usaha-nya dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dalam arti yang luas termasuk perusahaan penyedia jasa logistik (Logistics Service Provider - LSP) milik lokal, agar lebih professional dan memiliki daya saing, tidak saja dalam skala lokal tetapi juga global. Seluruh upaya pemberdayaan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip bahwa tujuan utama kegia-tan logistik adalah “High Service at Low Cost”.

Menekan biaya dan meningkatkan kualitas sistem logistik dan transpor-tasi akan meningkatkan akses ke pasar internasional, yang akan bedampak langsung pada peningkatan perdagangan, dan melalui hal ini, akan mening-katkan pendapatan dan berarti mengurangi tingkat kemiskinan secara signi-fikan (World Bank). Penelitian dan survey Global Competitiveness Index (GCI) yang dilakukan oleh World Economic Forum pada tahun 2007-2008 menem-patkan Indonesia pada urutan ke 54 dari 131 negara yang disurvey, berada di-bawah Thailand (28), Malaysia (21), dan Singapura (7). Dalam laporan survey Logistics Performance Index (LPI) tahun 2007, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke 43, dari 150 negara yang di survey, berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Khusus untuk salah satu dari 7 (tujuh) tolok ukur yang ada dalam LPI diatas, indikator biaya logistik domestik Indo-nesia berada di peringkat 92 dari total 150 negara yang disurvey. 7 (Tujuh) tolok ukur yang ada dalam LPI (Logistics Performance Index ) yaitu:

Efisiensi akan suatu proses1. Kualitas perdagangan dan infrastruktur transportasi2.

Page 170: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

170

Kemudahan pengaturan pengangkutan3. Kualitas layanan logistik4. Akses kemudahan jalan 5. Tepat waktu6. Biaya domestik (pengepakan dan pengangkutan)7.

Page 171: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

171

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanA. Kementerian Perdagangan bersama dengan Tim Kecil Cetak Biru Logistik te-

lah menyelesaikan hasil analisa selama 1,5 tahun dan dalam waktu dekat akan disahkan. Cetak biru tersebut memuat rancangan kebutuhan pembangunan infrastruktur Indonesia. Untuk mendukung cetak biru ini juga diusulkan perubahan atas beberapa kebijakan. Inti dari cetak biru logistik ini terkait permintaan dan pasokan.

Persaingan global dalam pemasaran produk-produk juga telah mendo-rong tuntutan standar yang lebih tinggi untuk kualitas layanan dari penyedia jasa logistik oleh para produsen. Tuntutan para produsen semakin kompleks seperti:26

Kecepatan respons pada tuntutan pelanggan •Jangkauan layanan yang lebih luas, lintas Negara •Ketepatan dan Kecepatan waktu pengantaran •Fleksibilitas untuk melakukan pengantaran yang semakin sering dan cepat •Tuntutan atas keamanan barang dari pencurian dan juga keutuhan ba-•rang selama perjalanan Tuntutan untuk dapat ikut menjaga dan meningkatkan • corporate image dari produsen Tuntutan untuk dapat memberikan layanan yang memberi nilai tambah •bagi produsen

26 http://forum.banjarmasinpost.co.id. Indonesia Hadapi Tujuh Masalah Logistik.

Page 172: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

172

Selain tuntutan yang lebih kompleks, persaingan yang semakin mening-kat juga menuntut peningkatan efisiensi sehingga dapat menekan biaya-biaya:

Transportasi dan Pergudangan •Biaya • Inventory Kerusakan atau penurunan mutu barang •Kehilangan atas pencurian atau pendodosan •Asuransi dan administrasi lain •Proses pengeluaran Bea dan Cukai dan badan lainnya •Pungutan-pungutan liar dan hambatan-hambatan yang mengada-ada •Visi yang ingin dicapai melalui penerapan strategi logistik Indonesia me-

miliki 6 (enam) penggerak utama logistik nasional yaitu:27

Komoditas penentu 1. (Key Commodities)Peraturan dan Perundangan 2. (Laws and Regulations)Prasarana dan Sarana 3. (Infrastructure)Sumber Daya Manusia dan Manajemen 4. (Human Resources and Management)Teknologi Informasi dan Komunikasi 5. (Information and Communication Technology)Penyedia Jasa Logistik 6. (Logistics Service Providers)Berdasarkan Visi dan Strategi Logistik Nasional tersebut, dan mengacu

pada Prinsip-Prinsip Dasar Kebijakan Logistik Nasional, maka pemerintah Indonesia melalui dokumen Cetak Biru Logistik Nasional ini menetapkan Arah Kebijakan Logistik Nasionalnya, menyarankan pentingnya pembentu-kan Kelembagaan Logistik Nasional, dan merencanakan pelaksanaan Penin-jauan dan Pemantauan terhadap semua rencana aksi yang akan dilakukan.

Kinerja yang baik dalam kegiatan logistik sebuah entitas akan mendu-kung kinerja daya saing entitas tersebut secara keseluruhan. Logistik adalah kegiatan/ eksekusi yang terjadi dalam rantai suplai, dan karena semakin terli-hat kritikalnya peran rantai suplai dalam persaingan bisnis, banyak ahli yang menyebutkan bahwa bisnis saat ini tidak lagi merupakan persaingan antar merek, tetapi telah menjadi persaingan antar rantai suplai – “ today is the era of supply chain competition”.

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa sistem logistik yang baik adalah sistem logistik yang terpadu, yang saling menunjang dan dapat me-

27 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

Page 173: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

173

ningkatkan efisiensi. Terciptanya sistem keamanan yang baik, diyakini mam-pu meningkatkan kelancaran pendistribusian barang, dan kesemuanya nanti akan bermuara pada kesejahteraan rakyat. Untuk tatanan makro, suatu ne-gara adalah sebuah value chain (entitas bisnis) dalam lingkungan perdagangan ekonomi global, yang tentu saja harus punya daya saing guna tetap hidup dan berkembang. Sektor logistik nasional suatu negara otomatis menjadi penting untuk meningkatkan daya saing negara tersebut. Suatu negara akan mampu meningkatkan daya saingnya apabila memiliki sektor logistik yang tersusun baik. Apabila hal ini dapat terimplementasi, maka tingkat investasi di Indo-nesia akan baik, kemampuan untuk bersaing dengan negara lain juga akan baik, dan yang pasti kedepannya Indonesia akan siap menghadapi tantangan globalisasi.

Saran B. Tentu tak mudah mengharapkan masalah biaya logistik yang tinggi bisa

diselesaikan dalam waktu singkat. Namun perbaikan bertahap pun akan membantu sektor-sektor yang paling banyak bersinggunagan dengan faktor logistik, seperti industri manufaktur (termasuk otomotif, semen, makanan dan minuman) untuk bisa berkontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi. Tahun ini pertumbuhan sektor manufaktur diproyeksikan 4,2 – 4,4 persen dan pada 2011 secara keseluruhan bisa mencapai 6,4 persen.28 Jika ada perbaikan signifikan dalam penurunan biaya logistik, tentu kinerja perekonomian pada tahun-tahun berikutnya akan lebih baik lagi, termasuk lewat ekspor yang makin meningkat. Selain itu akan berdampak paada ke-giatan impor. Tetapi persaingan dari impor akan menciptakan efek disiplin perdagangan (trade discipline effect), ketika perusahaan domestik berusaha ber-saing dengan pesaing dari luar sehingga dengan sendirinya akan mencapai efisien. Akhirnya sistem logistik yang lebih lancar juga mempermudah akses pada input serta teknologi.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam jangka relatif pendek adalah realokasi anggaran. Saat ini 13 persen dari total belanja pemerintah digunakan untuk menyubsidi konsumsi energi (bahan bakar minyak dan lis-trik), sedangkan jatah untuk infrastruktur hanya 8 persen.29 Kemampuan pe-

28 Sekali Lagi Logistik, Tempo, 12 Desember 2010

29 http://www.bappenas.go.id. Sidang Tahunan ADB 2010

Page 174: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

174

merintah membiayai pembangunan infrastruktur sangat terbatas dan sistem kemitraan dengan swasta belum berjalan dengan baik. Maka perlu realokasi anggaran dari subsidi yang kurang produktif kepada pembiayaan infrastruk-tur tanpa harus menambah defisit. Langkah lain untuk memperbaiki logistik secara umum adalah meningkatkan program-program yang sudah dimulai, seperti National Single Window, sistem operasi pelabuhan 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu (24/7), serta mengoptimalkan pelaksanaan cetak biru nasional dan Undang-Undang Pelayaran yang baru.

Dalam konferensi di Delhi itu, dibicarakan juga mengenai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, artinya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi sembari menciptakan lapangan kerja yang cukup. Bahkan dalam dimensi ini pun peran logistik tak mungkin dinafikan. Untuk Indonesia misalnya, sektor industri manufaktur adalah sektor penyerap tenaga kerja. Namun sektor ini juga yang banyak terbebani biaya logistik yang tinggi. Maka peningkatan ki-nerja logistik diharapkan bisa membantu pertumbuhan sektor manufaktur, dan tentunya penyerapan tenaga kerja.

Page 175: buku-tim-8

Dewi Restu Mangeswuri

175

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008). Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

Porter, Michael (1998). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press

Bawersok, Donald (2006). Manajemen Logistik Jilid 1. Jakarta: Bumi Aksara.

H. M. N. Purwosutjipto (1991). Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Ja-karta: Djambatan.

R. Subekti (1985). Hukum Perjanjian PT Internasional. Jakarta: Praditya Para-mita.

Frans M. Royan (2010). Distributorship Management: Cara Cerdas Mengelola & Memberdayakan Distributor. Jakarta: PT. Gramedia

Dokumen Resmi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

Makalah/ Jurnal

The Asia Foundation (2008). Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation.

Carana (2004) Impact of Transport and Logistics on Indonesia’s Trade Competitive-ness. Carana Corporation.

Page 176: buku-tim-8

Sistem Logistik Dalam Rangka Penguatan Daya Saing

176

E.A. Sihombing (2010). Tanggung Jawab Penerbangan Terhadap Pengangkutan Orang dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Undang-Undang No. 1 Tahun 2009. Universitas Sumatera Utara

Arianto A. Patunru. Sekali Lagi Logistik. Tempo. 12 Desember 2010

Salam Tempel Sepanjang Jalan. Tempo. 12 Desember 2010

Internet

http://forum.banjarmasinpost.co.id. Indonesia Hadapi Tujuh Masalah Lo-gistik. Artikel diunduh pada tanggal 10 Agustus 2010.

http://www.tempointeraktif.com. Pemerintah Segera Bentuk Tim Logistik Nasional. Artikel diunduh pada tanggal 17 September 2010.

http://balianzahab.wordpress.com/ Makalah Hukum Pengangkutan. Artikel diunduh pada tanggal 21 Oktober 2010.

http://www.bappenas.go.id. Sidang Tahunan ADB 2010. Artikel diunduh pada tanggal 3 Desember 2010.

http://majalah.tempointeraktif.com/ Matahari Meredup, Naga Menggeliat. Artikel diunduh pada tanggal 10 Agustus 2010

Page 177: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

177

BAGIAN KETUJUH

KEBUTUHAN LEGALITAS LEMBAGA KEUANGAN MIKRO UNTUK MENUNJANG

KEMANDIRIAN EKONOMI BANGSA

Oleh Dewi Wuryandani1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 178: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

178

Page 179: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

179

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 tidak menyu-

rutkan kemampuan para pengusaha yang berada pada sektor usaha mikro, ke-cil dan menengah (UMKM) karena memiliki potensi untuk mendorong kem-bali laju pertumbuhan ekonomi nasional. Banyaknya jumlah UMKM yang tersebar dipelosok daerah diharapkan mampu menyerap tenaga kerja namun untuk meningkatkan usahanya banyak yang masih terkendala masalah pem-biayaan dikarenakan rendahnya akses pengusaha mikro untuk mendapatkan kredit atau pinjaman ke bank. Secara umum kredit melalui perbankan dini-lai terlalu komersial. Hal ini yang membuat para pengusaha mikro kesulitan dalam memenuhi persyaratan administrasi dan masalah agunan (jaminan). Umumnya dalam setiap pengajuan pembiayaan, pihak bank memperlakukan para pengusaha mikro sama dengan pengusaha menengah dan besar. Selain itu jumlah kantor unit perbankan yang menjangkau ke pelosok daerah masih terbatas.

Pihak Perbankan masih berpendapat sektor UMKM memiliki resiko ting-gi dalam hal pembiayaan. Manajemen UMKM yang relatif tradisional, tidak memiliki badan hukum yang jelas dan stigma bahwa UMKM relatif beresiko, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan engganannya sektor perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor UMKM. Sebaliknya, sektor UMKM masih menganggap sektor perbankan sebagai alternatif terakhir untuk mem-peroleh tambahan modal.

Adapun upaya pemberdayaan UMKM yang telah dilakukan pemerintah diantaranya Program Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pe-

Page 180: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

180

sisir (PEMP), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Proyek Penanggulangan Kemiskinana Perkotaan (P2KP) dan lain-lain, namun program-program tersebut belum berjalan lagi.

Rakyat pedesaan di Indonesia telah lama akrab dengan berbagai transaksi keuangan yang melibatkan pihak ketiga, seperti perbankan, koperasi atau bah-kan hingga yang disebut sebagai rentenir. Adapun lembaga keuangan mikro memiliki pengertian sebagai sebuah lembaga yang melakukan kegiatan penye-diaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat ber-penghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar bertujuan untuk bisnis.

Manfaat yang disumbangkan lembaga mikro diantaranya menumbuhkan minat masyarakat dan pengusaha kecil di pedesaan dalam menunjang pro-gram pemerintah untuk meningkatkan produktifitas usaha kecil masyarakat di pedesaan, meningkatkan pendapatan penduduk desa, menciptakan la-pangan kerja baru sehingga dapat memperkecil arus urbanisasi, dan menun-jang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Lembaga keuangan mikro mempunyai peran yang potensial dalam menunjang perkembangan perekonomian bangsa ka-rena merupakan salah satu sarana efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil.

PermasalahanB. Transaksi keuangan baik itu berupa menabung, pinjaman, pembayaran

yang terjadi di perbankan atau koperasi memiliki landasan hukum dan aturan yang kuat dan jelas sedangkan pada jenis Lembaga Keuangan Mikro selama ini belum mempunyai landasan undang-undang yang jelas yang dapat me-lindungi para nasabah atau anggotanya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas akan dibahas manfaat yang akan ditimbulkan bila lembaga keuangan mikro memiliki landasan hukum atau undang-undang yang mengatur.

Page 181: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

181

BAB IIKERANGKA TEORI

Pengertian Kredit MikroA. Pengertian kredit mikro menurut Microcredit summit (1997)2 adalah pro-

gram pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya.

Bank Indonesia (BI) mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang di-berikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelom-pok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta pertahun.

Bank Rakyat Indonesi (BRI) mendefinisikan kredit mikro sebagai pelaya-nan kredit dibawah Rp 50 juta. Asian Development Bank (ADB) mendefini-sikan LKM sebagai lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Dapat di-katakan bahwa fungsi LKM adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi masyaratkat berpenghasilan rendah serta usaha mikro untuk kegiatan konsumtif maupun produktif.

Sehingga keuangan mikro dapat didefinisikan sebagai tempat yang menye-diakan pelayanan keuangan seperti menabung, pinjaman, pembayaran, de-posito maupun asuransi yang melayani rakyat miskin dengan menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksible.

2 Wijono, Wiloejo Wirjo,Pemberdayaan Lembaga keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan, Kajian Ekonomi dan Keu-angan, Edisi Khusus, November 2005.

Page 182: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

182

Bentuk-Bentuk Lembaga Keuangan MikroB. Bentuk- bentuk Lembaga Keuangan Mikro dibagi tiga3 yaitu,

Lembaga formal seperti bank desa dan koperasi1. Lembaga semi formal misalnya organisasi non pemerintah2. Sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang3. Secara garis besar BI membagi LKM menjadi 2 kategori saja yaitu LKM

yang berwujud bank dan non bank4, yaituBank1.

BRI Unit, berupa kantor-kantor cabang pembantu BRI•BPR, berupa bank-bank mikro yang tunduk pada Undang-Undang •Perbankan serta Peraturan Perbankan oleh BIBKD (Badan Kredit Desa)•

Nonbank2. Keluarga LKM nonbank yang besar ( LDP di Bali, BKK di Jawa Tengah, •BKD di Jawa dan madura, BMT dan BK3D)Keluarga LKM nonbank yang kecil, dengan simpanan atau aktiva yang •berjumlah kecilBerbagai program keuangan mikro, NGO dan ratusan ribu asosiasi •tidak resmi, KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dan lain-lain

Secara umum lembaga keuangan mikro memberikan bantuan yang cu-kup besar pada usaha mikro untuk menjalin hubungan dengan berbagai pi-hak seperti pemerintah, konsumen, pemasok, lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder lainnya yang pada akhirnya dapat memperluas jaringan (net working) dan social capital dari pengusaha mikro tersebut. Misalnya di Poltar-Slovakia, lembaga keuangan mikro bekerjasama dengan sebuah lembaga swa-daya masyarakat dalam menyediakan berbagai layanan untuk para pelaku usaha mikro seperti: penelitian pasar, pelatihan, pembinaan dan supervisi pinjaman usaha mikro. Peran lembaga keuangan mikro pada berbagai ne-gara berkembang (misal: Bangladesh) memberikan dampak yang signifikan terutama dalam hal pengurangan tingkat kemiskinan. Pada dasarnya peran lembaga keuangan mikro dapat dilihat dari empat fungsi berikut:

3 www. ADB.co.id

4 http://wardoyo.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/372/Pesat+Ekonomi+Full+Paper.pdf,Upaya Penguatan Usaha Mikro, kecil dan Menengah di wilayah Jabotabek. Diunduh tanggal 1 Oktober 2010.

Page 183: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

183

Financing 1. Social intermediary2. Service market 3. Entrepreneur4. Pembiayaan oleh lembaga keuangan mikro dengan pola pendekatan ke-lom-

pok banyak dikembangkan diberbagai negara berkembang. Model pembiayaan yang digunakan relatif bervariasi. Contohnya, Grameen Bank di bangladesh dan BancoSol di Bolivia, FINCA dan ROSCA di Afrika, menerapkan pola pinjaman berkelompok dengan mekanisme jaminan kelompok (joint liability). Sementara pola pinjaman kelompok melalui credit union dan koperasi me-nerapkan mekanisme jaminan kelompok melalui pola simpanan wajib dan simpanan sukarela. Sementara di indonesia, pendekatan yang serupa juga diterapkan oleh BRI unit desa (village bank) melalui penerapan pinjaman dengan pola mekanisme jaminan individu.

Di Indonesia, LKM dapat di bedakan menjadi 3 (tiga) bentuk5, yaitu for-mal, semi formal dan non-formal. LKM formal merupakan LKM yang keber-adaannya telah mempunyai payung hukum Undang-undang. Termasuk LKM ini, adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), berdasarkan Undang-undang no-mor 10 tahun 1998 tentang perbankan. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi, berdasarkan Undang-undang nomor 25, tahun 1992 tentang perkoperasian.

LKM semi formal, merupakan LKM yang keberadaannya berdasarkan SK Gubernur. Yang termasuk LKM ini antara lain, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, serta Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Untuk Rakyat Kecil (KURK), Lum-bung Kredit Pedesaan (LKP) masing-masing di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Dalam perkembangannya LKM semi formal ini dapat ditingkatkan sta-tusnya menjadi LKM formal Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara LPD di Bali operasionalnya sebagai layaknya perbankan di bawah supervisi Bank Pemerintah Daerah (BPD) setempat.

5 www. koranrakyatonline, Pendekatan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Implikasinya, diunduh 2 November 2010.

Page 184: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

184

Sedangkan LKM non-formal merupakan LKM yang keberadaannya berdasarkan inisiatif masyarakat sendiri atau ditumbuhkan oleh LSM serta beberapa Dinas. Oleh beberapa pihak, LKM non-formal ini disebut seba-gai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Masuk kedalam golongan KSM ini antara lain, Kelompok Simpan Pinjam (KSP), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPP-KS), BMT/BQ, dan Credit Union.

Saat ini penyedia layanan keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu Bank, Koperasi, dan LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (LKM B3K). Bank tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Koperasi tunduk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, sedangkan LKM B3K belum memiliki landasan hu-kum. Untuk itu diperlukan peran pemerintah dalam menyediakan kerangka hukum yang jelas bagi LKM agar tidak terjadi kerancuan baik itu bagi pendiri UKM maupun pengguna/nasabah.

Berdasarkan Keputusan dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 41B/DPRRI/I/2009-2010 tentang program Legislasi Nasional Ran-cangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2010, bahwa RUU Lembaga Keu-angan Mikro telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional, hal ini merupakan bukti keseriusan DPR serta Pemerintah dalam rangka mening-katkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pemberlakuan Undang-undang tentang LKM merupakan bagian dari imple-mentasi Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Keuangan Mikro, serta wujud nyata keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat miskin. Hal ini mengingat fakta sosiologis menunjukkan pesatnya perkembangan LKM. Keberadaan LKM sebagai lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan skala mikro mampu memberikan pelayanan di bidang keuangan secara luas kepada masyaraka miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta usaha mikro, memperluas lapangan kerja, berperan sebagai proses pemerata-an dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kesejahte-raan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. LKM juga mampu menjangkau hingga ke pelosok pedesaan di hampir seluruh wilayah Republik Indonesia.

Page 185: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

185

BAB IIIPEMBAHASAN

Situasi dan Keberadaan LKM di IndonesiaA. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia sudah lama berkembang dan

telah menjadi topik pembicaraan hangat para ahli ekonomi dalam mencari solusi pengentasan kemiskinan dikota dan didaerah, dengan mendorong usaha-usaha kecil dan mikro melalui kemudahan memperoleh bantuan mo-dal dan bimbingan berwirausaha yang benar, baik itu secara berkelompok maupun perseorangan.

Sejak jaman sebelum kemerdekaan, LKM menjadi alternatif bagi kelom-pok berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan dana mereka. Pada saat itu, LKM tumbuh dan berkembang dalam berbagai variasinya seseuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tanpa adanya intervensi dari pemerin-tah. Pada perkembangan setelah kemerdekaan, LKM tetap bertahan ditengah kondisi yang tidak kondusif karena kebijakan pembangunan lebih mendu-kung pengusaha besar.

Berkembangnya berbagai skema keuangan dan semakin tingginya kebutu-han akan pengembangan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong terbentuknya forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM) pada tahun 2000 untuk mengembangkan keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin secara lebih luas6.

Dengan kemudahan memperoleh modal, diharapkan timbul dampak po-sitif pada pertumbuhan usaha-usaha keluarga miskin mandiri, yang diikuti dengan peningkatan pendapatan sehingga taraf kehidupannya meningkat dari tahapan kelompok pra sejahtera tingkat pertama dan sejahtera dalam

6 http://www.gemari.or.id/file/edisi95/gemari9532.pdf

Page 186: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

186

BPS sebagai Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Rumah Tangga Miskin (RTM), dan Rumah Tangga Hampir miskin (RTHM)7.

Model pembiayaan dengan pola pendekatan kelompok telah banyak di-kembangkan dibeberapa negara berkembang. Diantaranya Grameen Bank di Bangladesh, BancoSol di Bolivia, FINCA dan ROSCAs di Afrika. Sementara Credit Union dan koperasi menerapkan mekanisme pola jaminan kelompok melalui pola simpanan wajib dan simpanan sukarela.

Tabel 1 Peta Lembaga Keuangan Mikro

Jenis LKM

Total

Peminjam(Ribu orang)

Peminjaman(Juta rupiah)

Rata-rataPinjaman(Rp. Ribu)

JumlahDeposit

(Rp. Juta)

LDR

BRI Unit 3.694 2.518 6.141.400 2.439 17.477.868 0,36

BPR Non BKD 2.427 1.889 3.066.078 1.623 2.621.709 1,89

Badan Kredit Desa 5.345 726 147.648 203 24.003 6,15

KSP 1.097 655 530.814 810 166.625 3,19

USP 35.218 10.141 3.629.053 359 1.156.804 3,14

Lembaga Dana Kredit Pedesaan

2.272 1.326 358.000 270 334.000 1,07

Lembaga Pengga-daian

685 10.000 793.000 793 --- ---

Sumber: Bank Indonesia 2001

Pada tabel 2 terlihat bahwa ternyata masyarakat sudah sangat memanfaat-kan fungsi dari lembaga keuangan mikro baik yang ada dipedesaan dan juga dikota dimana jumlah peminjam yang cukup banyak dan artinya membuka peluang lembaga Keuangan Mikro dalam menghimpun dan penyaluran dana. Nilai LDR pada BRI Unit dibawah 1, hal ini menunjukkan keberhasilan BRI Unit dalam mengelola tabungan masyarakat sebesar Rp. 17 triliun lebih bila dibandingkan dengan yang lain.

Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro di IndonesiaB. Sebelum membahas mengenai lembaga keuangan mikro, hendaknya kita

mengetahui terlebih dahulu siapa saja yang mungkin menjadi nasabah atau pengguna jasa layanan keuangan dari LKM. Adapun mereka adalah para pengusaha yang memiliki usaha produktif, milik orang perorangan dan/atau

7 http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas4Des07_MP_A_Rachmat.pdf

Page 187: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

187

badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Menurut depkop, kriteria untuk usaha mikro adalah yang memiliki asset maksimal 50 juta dan omzet maksimal 300 juta.

Usaha mikro memiliki andil yang cukup besar dalam perekonomian di indonesia, khususnya didaerah. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah dan tenaga kerja dibidang usaha mikro begitu pula pendapatan yang dipero-leh dari usaha mikro. Melihat perkembangan ini, maka wajar bila diberikan kemudahan dalam memperoleh tambahan modal/pinjaman yang seringkali sulit diperoleh para usahawan mikro dalam rangka mengembangkan usaha-nya agar dapat bersaing dengan produk lain.

Pada tabel 3 terlihat bahwa perkembangan usaha mikro dari tahun 2007 hingga 2008 mengalami peningkatan sebesar 2,88%, mampu menyerap te-naga kerja yang sangat banyak dan memberikan kontribusi yang tidak kecil.

Tabel 2 Data UKM Tahun 2007-2008

No Indikator Satuan

Tahun Perkembangan Tahun 2007-

2008 (%)2007 *) 2008 **)

-1 -2 -3 -4 -5 -6

1 Unit Usaha - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Besar (UB)

(Unit) 49.828.586 49.287.276 498.565 38.282 4.463

51.261.909 50.697.659 520.221 39.657 4.372

2,88 2,86 4,34 3,59 (2,04)

2 Tenaga Kerja - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Besar (UB)

(Orang) 91.528.262 81.732.430 3.864.995 3.142.319 2.788.518

93.672.484 83.647.711 3.992.371 3.256.188 2.776.214

2,34 2,34 3,30 3,62 (0,44)

3 PDB Atas Dasar Harga Berlaku - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Besar (UB)

(Rp. Milyar) 3.743.977,5

1.208.029,0 385.313,5 511.792,6 1.638.842,4

4.696.481,2

1.505.308,0 473.267,3 630.784,8 2.087.121,1

25,44

24,61 22,83 23,25 27,35

Page 188: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

188

4 PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Besar (UB)

(Rp. Milyar) 1.882.313,6

620.251,1 203.847,3 275.202,7 783.012,4

1.997.725,8

654.762,7 217.219,9 293.274,9 832.468,3

6,13

5,56 6,56 6,57 6,32

5 Total Ekspor Non Migas - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Besar (UB)

(Rp. Milyar) 715.241,0 15.024,8 34.661,8 93.325,7 572.228,7

910.927,9 20.247,2 44.148,3 119.363,6 727.168,9

27,36 34,76 27,37 27,90 27,08

Sumber: BPS, 2008

Menurut BPS terdapat lebih 50 juta usaha mikro yang tumbuh dan ber-kembang di Indonesia dan memberikan banyak kontribusi. Kontribusi yang diberikan oleh usaha mikro adalah 50,69 juta unit usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 83,64 juta pekerja, memberikan kontribusi terhjadap PDB sebesar Rp.1,5 triliun dan masih banyak yang belum terlayani oleh lembaga keuangan formal.

Pemerintah mempunyai peran dalam membangun kapasitas kelembaga-an lembaga keuangan mikro, melaksanakan supervisi serta pengaturan pasar keuangan mikro agar berfungsi sebagaimana semestinya yaitu meningkat-kan kesejahteraan masyarakat miskin dalam hal ini para pengusaha mikro. Apakah dengan melegalkan LKM sudah berarti akan mencukupi kebutuhan masyarakat miskin dan meningkatkan semangat usahawan untuk mencapai kemandirian atau ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan. Beberapa per-masalahan yang dihadapi seperti belum adanya kepastian hukum bagi LKM, masih kurangnya partisipasi ekonomi pada level akar rumput masyarakat lo-kal, minimnya akses pengusaha mikro ke perbankan/lembaga pembiayaan yang ada, serta banyaknya pelanggaran hukum terkait dengan penghimpu-nan dan penyaluran dana masyarakat yang dilakukan secara ilegal.

Dalam perkembangan LKM menghadapi beberapa permasalahan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Permasalah eksternal yang dihadapi adalah berkaitan dengan aspek kelembagaan, yang mengakibatkan bentuk LKM yang beraneka ragam. Misalkan BRI Udes dan BPR, misalnya adalah bentuk LKM yang secara kelembagaan jelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia. LKM jenis ini lebih tera-

Page 189: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

189

rah dan terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapat fasilitas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sementara, pada LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam atau Unit Simpan Pinjam, segala ketentuan operasio-nal dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kementrian KUMK. Bahkan untuk LKM lain seperti BKD, LDKP, Credit Union, maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan-nya dan pembinanya.8

Tabel 3 Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi LKM, Koperasi, BPR dan BRI Unit Desa

Aspek BPR & BRI Udes Koperasi LKM Lainnya

Kemampuan menghim-pun dana

Mengandalkan ting-kat suku bunga > rata-rata bank umum

Mengandalkan jum-lah anggota

Mengandalkan modal sendiri dan anggota

Kemampuan menyalur-kan dana

Rasio Loan to de-posit Ratio (LDR), namun kualitasnya perlu diperhatikan

Terbatasnya karena kemampuan SDM dan pengalaman usaha

Terbatasnya karena kemampuan SDM dan pengalaman usaha.

Kemampuan mengha-silkan laba

Relatif lebih baik dibandingkan bank umum (ROE dan ROA)

Tergantung dari kemampuan pengu-rus dan komitmen anggota

Tergantung dari kemampuan pengu-rus dan komitmen anggota

Kemampuan jaringan dan akses pasar

Focus pada usaha perdagangan

Masih terbatas Masih terbatas

Kemampuan perenca-naan dan pelaporan

Masih beragam, khususnya BPR yang mempunyai modal terbatas dan yang beroperasi di luar Jawa dan Bali

Masih kurang Masih kurang

Kemampuan menaje-men operasional

Tergantung pada be-berapa SDM kunci`

Tergantung pada pengurus

Tergantung pada pengurus

Sumber: Wahyudin dalam Wijono (2005)

Selain menghadapi permasalahan eksternal, LKM juga dihadapkan pada masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Diantaranya adalah menyangkut kemampuan LKM dalam menghim-

8 Ashari, Potensi Lembaga Keuangan Mikro Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebija-kan Pengembangannya, Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 4 No. 2, Juni 2006.

Page 190: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

190

pun dana. Sebagian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena masih tergantung kepada jumlah anggota/nasabah serta besaran modal sendiri. Ke-mampuan sumber daya manusia yang mengelola LKM juga masih terbatas, bahkan menjadi faktor penghambat yang cukup serius9.

Tabel 4 Permasalahan yang Dihadapi LKM dan UMKM10

Lembaga Keuangan Mikro Usaha Mikro, Kecil dan Mengah

1. Kekurangan tenaga pendamping

2. Minimnya dana pendampingan

3. Pembayaran angsuran kurang lancar

4. Kekurangan sumber daya murah

5. Keberlanjutan tidak terjain karena hanya bersifat proyek

1. Akses ke bank formal

2. Kekurangan permodalan

3. Kuantitas dan kualitas produksi

4. Pembukuan

5. Pemasaran

Bila diperhatikan pada tabel 5 terlihat adanya hubungan yang sangat erat

antara permasalahan yang dihadapi oleh LKM dan UMKM. Bagi UMKM, masalah akses ke bank formal yang terbatas dan permodalan dapat diatasi oleh LKM dengan cara mengakses ke lembaga keuangan internasional mau-pun bank formal. Sementara masalah produksi, pembukuan dan pemasaran dapat diatasi dengan pelatihan, dimana peran LKM adalah sebagai fasilitator. Disamping itu beberapa LKM juga masih kesulitan mencari pasar untuk pro-duknya.

Gejala persaingan yang tidak sehat dapat terjadi dan perlu diantisipasi karena bila kepentingan mencari target (nasabah) terlalu diutamakan, ja-lan pintas yang sering dilakukan adalah mengambil alih nasabah bank lain/lembaga keuangan lain dengan menawarkan persyaratan dan prosedur kredit yang lebih longgar. Kalau semua lembaga keuangan pada akhirnya berlomba-lomba memperlonggar prosedur dan persyaratan membuat resiko kreditnya menjadi tinggi. Terlalu longgarnya prosedur dan persyaratan dapat menim-bulkan moral hazard baik itu dikalangan petugas lembaga keuangan maupun nasabah.11

9 Ibid, hal 154.

10 http://wardoyo.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/372/Pesat+Ekonomi+Full+Paper.pdf, Upaya Penguatan Usaha Mikro, kecil dan Menengah di wilayah Jabotabek. Diunduh tanggal 1 Oktober 2010.

11 Krisna Wijaya, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Gramedia, 2010

Page 191: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

191

Kurangnya tenaga pendamping dan minimnya dana pendampingan dapat diatasi dengan melakukan pelatihan terhadap LKM atau unsur lain-nya. Atau dengan kata lain LKM mengatasinya dengan capacity building baik kelembagaan maupun para stafnya.

Pendampingan atau technical assistance selalu ada dalam paket pinjaman antar pemerintah (G to G). Pembiayaan hibah dan bahkan dijaman Kredit Bimas (1968-1984) melalui penyuluh pertanian lapangan PPL dan penyuluh pertanian spesialis PPS. Para PPL dan PPS aktif melakukan pendampingan berkaitan dengan cara bercocok tanam sampai dengan pengelolaan pasca pa-nen. Dalam KUR, objeknya bukan sekadar memberikan kemudahan dalam bentuk penyediaan jaminan lebih dari itu seharusnya disertai program pen-dampingan agar mereka semakin pintar berusaha dan mengelolanya. Sebab kalau hanya disediakan penjaminan seringkali mengundang moral hazard seingga kualitas kreditnya cenderung buruk.12

Dalam pengembangan dan pemberdayaan lembaga keuangan mikro un-tuk mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan ekonomi rakyat tidak cukup hanya dilakukan melalui pengembangan BPR, BRI Unit Desa dan ke-giatan bank umum lainnya, pegadaian, atau Koperasi Simpan Pinjam. Oleh sebab itu diperlukan pengakuan atas eksistensi lembaga keuangan mikro se-bagai entitas tersendiri.

Dalam usaha menanggulangi kemiskinan dan menggerakkan ekonomi rakyat penguatan, pemberdayaan, dan pengembangan keuangan mikro perlu dilakukan dengan prinsip13:

Menghormati keragaman, keunikan, dan keterkaitan keuangan mikro 1. dengan perkembangan masyarakat,Memberikan pengakuan dan legalitas atas keberadaan keuangan mikro 2. dan lembaga keuangan mikro, Memberikan perlindungan kepada masyarakat yang terlibat dalam kegia-3. tan keuangan mikro,Memprioritaskan strategi pengembangan keuangan mikro atas dasar 4. gerakan bersama dari semua pihak yang terkait dengan pengembangan keuangan mikro.

12 Ibid, 184-185.

13 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/artikel_2.htm, Rangkuman Hasil Temu Nasional dan Ba-zar Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia, diunduh 2 November 2010.

Page 192: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

192

Strategi yang dapat dilakukan dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro mencakup hal-hal sebagai berikut:

Mengembangkan pendampingan yang mandiri dan berkelanjutan, ter-1. masuk melakukan penguatan lembaga-lembaga pendampingan terutama yang berfungsi menghubungkan sector formal dan non-formal.Memadukan pendekatan kelompok dan individual sesuai dengan ke-2. butuhan dan penerimaan masyarakat.Mengembangkan keterpaduan antara penyaluran pinjaman dan mobili-3. sasi tabungan masyarakat, sekaligus menjadikan tabungan sebagai basis system dan kekuatan keuangan mikro.Membangun kapasitas lembaga keuangan mikro, melalui kerjasama dengan 4. perguruan tinggi, lembaga pendamping, dunia usaha, lembaga interna-sional, kerjasama antar LKM, dan instansi pemerintah; terutama dalam hal peningkatan kemampuan sumberdaya manusia; system dan prose-dur operasi, teknologi, terutama teknologi informasi; jaringan kerjasa-ma; dan aksesibilitas terhadap berbagai dukungan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.Menegaskan kembali sekaligus memberikan pengakuan dan apresiasi 5. terhadap arti peranan perempuan dalam setiap usaha pengembangan keuangan mikro.Mengembangkan lembaga-lembaga penunjang keuangan mikro sebagai 6. berikut:

lembaga yang dapat berfungsi sebagai sumber permodalan bagi lem-a. baga keuangan mikro (secondary source of fund), baik melalui pengem-bangan keterkaitan (linkage) dengan bank dan lembaga keuangan yang sudah ada maupun melalui pengembangan lembaga pendanaan (who-leseler of fund, polling of fund) khusus untuk keuangan mikro.Lembaga yang dapat menjalankan fungsi perlindungan atas simpanan b. dan pinjamanLembaga pengawasan, yang sekaligus melakukan standarisasi minimal c. terhadap praktik keuangan mikro, supervisi, audit, rating, dan sertifi-kasi lembaga keuangan mikro.Lembaga yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi pengembangan keu-d. angan mikro, mulai dari sosialisasi peran dan fungsi KM, pengem-bangan SDM, pengembangan sistem dan prosedur, pengembangan

Page 193: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

193

teknologi, dan pengembangan data-base keuangan mikro Indonesia; sertaLembaga yang membangun jaringan kerjasama (e. network) antar LKM.

Perlu dipikirkan untuk dipertimbangkan dibentuknya semacam lembaga 7. “bank sentral alternatif bagi LKM” yang dibentuk oleh pemerintah, Bank Indonesia dan (asosiasi) LKM.Mewujudkan komitmen perbankan dalam pengembangan keuangan 8. mikro, khususnya dengan memastikan agar alokasi dana senilai Rp. 4,6 trilyun dalam ‘business-plan’ perbankan yang diperuntukkan bagi pengu-saha mikro yang memiliki integritas dan kapabilitas teruji. Dalam hal ini perlu dikembangkan strategi Hubungan Bank dan Lembaga Keuangan Mikro (HBL) sebagai pengembangan dari strategi Hubungan Bank dan Kelompok (HBK).Mengembangkan dan menguatkan kerjasama dengan berbagai lembaga in-9. ternasional baik dalam bidang keuangan, bantuan teknis bagi pembangu-nan kapasitas, maupun dalam pengembangan jaringan kerjasama dan hubungan dengan pihak-pihak lainnya.Mengembangkan dan menguatkan kerjasama dengan dunia usaha teruta-10. ma dalam bentuk pengembangan kerjasama bisnis, ‘sharing’ kompetensi, ‘sharing’ jaringan kerjasama, dan sharing modal. Kerangka Hukum dan pengaturan keuangan mikro sangat dibutuhkan

bagi (1) perlindungan kepentingan masyarakat yang menyimpan uang di LKM dan perlindungan atas azas legalitas LKM serta dalam hubungannya dengan lembaga lain; dan (2) penguatan dan pengembangan keuangan mikro.

Kerangka hukum tersebut tidak harus mengarahkan pengembangan LKM dalam jalur pengembangan perbankan, karena memang LKM bukan bank dan bukan koperasi.

Kerangka hukum tersebut juga harus memberikan toleransi dan apresiasi bagi LKM yang karena kondisinya belum memungkinkan untuk diatur da-lam suatu perangkat hukum dan perundang-undangan yang ketat.

Menggunakan draft RUU Keuangan Mikro yang telah dirumuskan seba-gai bahan diskusi, diharapkan dapat dilakukan peninjauan dan pengkajian ulang menyangkut hal-hal:

pengertian dan difinisi mengenai LKM(1) Bahwa yang dimaksud dengan LKM tidak dibatasi dengan besar simpa-(2)

Page 194: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

194

nan Rp. 50 s/d Rp. 1 milyar, dan bahwa LKM yang memiliki simpanan lebih besar dari 1 milyar tidak harus menjadi bank, tetapi mendapat penga-turan yang lebih ketatBagi LKM dan ketentuan yang mengatur kerjasama LKM dengan lem-(3) baga keuangan lain (bank dan non-bank).Bahwa dalam RUU LKM perlu dicantumkan ketentuan mengenai per-(4) lindungan terhadap nasabah, baik simpanan maupun pinjaman; yang tidak harus berarti penjaminan.Bahwa RUU LKM perlu lebih tegas mencantumkan perlindungan ter-(5) hadap LKM sehingga tetap dapat menjadi organisasi dari, oleh, dan un-tuk masyarakat setempat.Bahwa harus diperhatikan kemampuan untuk melakukan pengawasan (6) dan pengambilan tindakan atas ketentuan yang diundangkan. Adapun beberapa keunggulan yang dimiliki LKM14, diantaranya adalah:Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan 1. kecil (UKM);Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM);2. Mandiri dan mengakar di masyarakat;3. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas;4. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota 5. masyarakat;Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang selama ini 6. tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin;Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang dapat dipenuhi 7. anggotanya (tanpa agunan);Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders);8. Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan;9. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang diha-10. silkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik

Setelah membahas mengenai keunggulan dan permasalahan yang di-hadapi oleh Lembaga Keuangan Mikro, maka harus dipahami juga kesulitan

14 http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/LEMBAGA_KEUANGAN_MIKRO.pdf, Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat? Diunduh 18 November 2010.

Page 195: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

195

yang dialami para pengusaha mikro dalam mengakses perbankan. Sehingga hendaknya LKM memfokuskan diri melayani para pengusaha mikro terlepas dari besar kecil dari LKM tersebut. Jadi letak permasalahannya bukanlah be-sar kecilnya LKM, namun pada fungsi (core competence) dari keberadaan LKM. Bila LKM ikut melayani sektor usaha menengah atau besar, maka ia sudah tidak dapat disebut LKM.

Semakin besar LKM asal sesuai fungsinya tentu patut didukung, sebab akan melayani semakin banyak pula pengusaha mikro (masyarakat miskin). Sebagai contoh saja, di Bangladesh terdapat banyak LKM yang melayani pengusa-ha mikro (client) dengan jumlah sangat besar. Ambil contoh saja, BRAC (3,5 juta client), Grameen (2,5 juta client), ASA (2,5 juta client), dan Proshika (1,7 juta client).

Nampak jelas, untuk melayani pengusaha mikro yang jumlahnya puluhan jutaan diperlukan capital resources yang cukup besar, namun belum tentu ke-mudian harus diwujudkan menjadi bank. Bukankah apabila berwujud men-jadi bank, lagi-lagi pengusaha mikro akan kesulitan kembali untuk mengak-ses, sebab harus berhadapan dengan prosedur yang konvensional15. Merujuk pada RUU Lembaga Keuangan Mikro, dimana aturannya cenderung mem-perlakukan LKM mirip perbankan dan belum diakuinya keberadaan LKM non formal secara legal juga membuat para pengusaha mikro terhambat da-lam mengembangkan diri.

15 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_6.htm, Rangkuman Hasil Temu Nasional dan Bazar Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia, diunduh 2 November 2010.

Page 196: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

196

Page 197: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

197

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Kebutuhan akan legalitas lembaga keuangan mikro, yang saat ini masih

berupa RUU LKM diharapkan menjadi bagian dari implementasi Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Keuangan Mikro, serta wujud nyata dari keberpihakan Pemerintah yang pro masyarakat miskin, dan sebagai tindaklanjut dari Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia 2005. Hal yang perlu diingat, apabila dana yang digunakan berasal dari APBN yang merupakan uang rakyat, maka akan sangat ironis bila uang rakyat tersebut tidak digunakan secara optimal dan habis untuk sesuatu yang produktif. Lem-baga keuangan mikro mempunyai peran besar dalam menumbuhkan calon-calon pengusaha ditingkat desa, meningkatkan produktifitas usaha kecil ma-syarakat pedesaan, serta menunjang program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.

SaranB. Pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi yang tepat sasaran, artinya 1. sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat kecil dan tidak dibing-ungkan oleh bermacam-macam program yang pada akhirnya akan menye-babkan kredit macet.Baik itu LKM, KUR, Koperasi disosialisasikan lebih khusus lagi agar ti-2. dak ada tarik menarik calon nasabah sehingga membuat persaingan yang tidak sehat diantara lembaga keuangan yang ada.Perlunya pengawasan yang lebih intensif. Dalam RUU LKM yang sedang 3. disusun, terlihat bahwa pendirian dan pembubaran sebuah LKM sangat-lah mudah sehingga hal ini dapat membuat celah bagi debitur yang nakal dan pada akhirnya akan merugikan pemerintah.

Page 198: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

198

Mengadakan langkah-langkah nyata sebagai suatu gerakan bersama un-4. tuk mewujudkan strategi pengembangan Keuangan Mikro yang telah di-rumuskanMenyarankan agar Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro 5. Indonesia (Gema PKM Indonesia), bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Komite Penanggulangan Kemiskinan melakukan monitoring dan evaluasi serta melakukan langkah-langkah yang diperlukan agar:

Kesepakatan (MOU) Bank Indonesia dan pemerintah yang telah di-a. nyatakan pula dalam Business Plan perbankan nasional untuk menya-lurkan dana senilai Rp. 4,6 trilyun kepada usaha mikro dapat diwu-judkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan mikro.Peraturan perundang-undangan yang memberikan legalitas, perlindung-b. an bagi masyarakat, sekaligus sebagai dasar pengembangan LKM da-pat segera diwujudkan.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan legal status yang jelas, apakah 5. akan diarahkan menjadi bank, koperasi atau lembaga keuangan bukan bank dan bukan koperasi.

Page 199: buku-tim-8

Dewi Wuryandani

199

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Krisna Wijaya, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Gramedia, Jakarta, 2010.

Mohammad Iqbal, Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Gramedia, Jakarta, 2010.

Jurnal

Ashari, Potensi Lembaga Keuangan Mikro Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya, Analisis Kebijakan Perta-nian, Volume 4 No. 2, Juni 2006.

Rudjito, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan. Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, No-mor 1, Maret 2003.

Wiloejo Wirjo Wijono, Pemberdayaan Lembaga keuangan Mikro Sebagai Sa-lah Satu Pilar Sistem Keuangan nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi khusus, No-vember 2005.

Website

http://www.bps.go.id, Data UKM Tahun 2007-2008, diunduh 1 Juli 2010

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/VOL15_02/4_%20Riana.pdf, Kerjasama Bank, Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mendukung Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), diunduh 2 November 2010.

Page 200: buku-tim-8

Kebutuhan Legalitas Lembaga Keuangan Mikro Untuk Menunjang Kemandirian Ekonomi Bangsa

200

http://wardoyo.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/372/Pesat+ Ekonomi+Full+Paper.pdf, Upaya Penguatan Usaha Mikro, kecil dan Me-nengah diwilayah Jabotabek. Diunduh tanggal 1 Oktober 2010.

http://www.bi.go.id/,JurnalKajianUpayaPenguatanMicrobankingdiSumateraBarat.pdf, diunduh 29 Juni 2010.

http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/LEMBAGA_KEUANGAN_MIKRO.pdf.

http://www.smecda.com/kajian/files/summary/execut.GRAM.pdf, Grameen Bank di Bangladesh, diunduh 2 November 2010.

http://www.gemari.or.id/file/edisi95/gemari9532.pdf, Tantangan dan Pelu-ang LKM Indonesia, diunduh 20 Oktober 2010.

http://www.cgap.org/gm/document-1.9.2751/KeyPrincMicrofinance_in.pdf, Prinsip-Prinsiip Kunci Keuangan Mikro, diunduh 2 November 2010.

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/artikel_2.htm, Rangkuman Hasil Temu Nasional dan Bazar Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia, diunduh 2 November 2010.

http://www.koranrakyatonlie, Pendekatan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Implikasinya, diunduh 2 November 2010.

http://Profi.or.id/ind/downloads/ThirdWindowsummaryMFIstudytransla-tion_Ind.pdf, diunduh tanggal 2 November 2010

http://www.scribd.com/doc/28662238/Bps-Data-Kemiskinan-2009, diunduh tanggal 2 November 2010

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas4Des07_MP_A_Rachmat.pdf, Fenomena Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspekti Pembanguna Ekonomi Pedesaan. Diunduh 29 Juli 2010.

http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content& view= article& id=129 diunduh tanggal 2 november 2010

file:///C:/Users/Gateway/Documents/BAHAN%20LKM/jurnal%20eko-nomi%20metode%20riset%20%20%20Warta%20Warga.htm diunduh tanggal 21 Oktober 2010.

Page 201: buku-tim-8

Hilma Meilani

201

BAGIAN KEDELAPAN

SISTEM RESI GUDANG UNTUK MENINGKATKAN PEMBIAYAAN SEKTOR

PERTANIAN DI INDONESIA

Oleh Hilma Meilani1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 202: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

202

Page 203: buku-tim-8

Hilma Meilani

203

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan salah satu instrumen dalam sis-

tem pembiayaan perdagangan yang digunakan untuk mengurangi fluktuasi harga komoditas yang merugikan petani, dan menjadi alternatif pembiayaan usaha. Salah satu permasalahan dalam sektor pertanian di Indonesia yaitu fenomena jatuhnya harga komoditas pertanian pada saat panen raya sehingga berpotensi merugikan petani. Hal ini disebabkan para petani tidak dapat me-nyimpan hasil panen dalam jangka waktu lama karena kekurangan dana, dan tidak mempunyai gudang yang layak untuk menyimpan hasil panen. Selain itu, pengijon/tengkulak membeli komoditas dari petani sebelum masa panen dengan harga di bawah harga pasar. Salah satu alternatif untuk mengatasi keru-gian petani akibat anjloknya harga gabah adalah dengan menerapkan SRG. Permasalahan lain yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan petani berkaitan dengan kebutuhan akan sumber pembiayaan. Pengusaha kecil dan petani pada umumnya tidak memiliki akses kredit, atau menghadapi hambatan un-tuk memperoleh fasilitas kredit karena tidak memiliki agunan yang sifatnya permanen seperti tanah atau bangunan.

SRG digunakan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan alternatif pembiayaan usaha bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di sektor pertanian dan petani dengan menjadikan hasil usahanya sebagai agunan, sehingga dapat melanjutkan kegiatan produksi atau pengembangan usaha tanpa perlu menunggu sampai produknya terjual pada tingkat harga yang diha rapkan. Resi Gudang adalah suatu tanda bukti penyimpanan ko-moditas yang dapat digunakan sebagai agunan kepada bank atau kreditor, ka-rena tanda bukti tersebut dijamin dengan adanya sediaan komoditas tertentu dalam suatu gudang yang dikelola oleh Pengelola Gudang.

Page 204: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

204

SRG merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem pembiayaan perdagangan, karena:2

sistem ini dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan a. agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang,sistem ini dapat menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara pen-b. jualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun, sistem ini dapat digunakan pemerintah untuk mengendalikan harga dan c. stok komoditas nasional.SRG merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemasaran

yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini dapat meningkatkan efisiensi sektor pertanian karena produsen atau petani dapat mengubah sta-tus sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi produk yang dapat di-perjualbelikan secara luas. Hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang meru-pakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.

Penjelasan UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang menyebut-kan bahwa dalam SRG, pembiayaan yang akan diperoleh pemilik barang ti-dak hanya berasal dari perbankan dan lembaga keuangan nonbank, tetapi dapat berasal dari investor melalui Derivatif Resi Gudang. Sebagai surat ber-harga, Resi Gudang juga dapat dialihkan atau diperjualbelikan di pasar yang terorganisasi (bursa) atau di luar bursa oleh Pemegang Resi Gudang kepada pihak ketiga. Dengan terjadinya pengalihan Resi Gudang tersebut, kepada Pe-megang Resi Gudang yang baru diberikan hak untuk mengambil barang yang tercantum di dalamnya. Hal ini akan menciptakan sistem perdagangan yang lebih efisien dengan menghilangkan komponen biaya pemindahan barang.

Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an, sektor pertanian dan pengusaha ekonomi menegah dan kecil di Indonesia dapat bertahan dari terpaan krisis, karena sektor ini mempunyai margin yang relatif tinggi, tidak memerlukan modal besar, barang yang dijual adalah barang yang dibutuhkan, perputaran usaha relatif cepat, dan pengelolaan usaha relatif sederhana. Jika produksi sektor UMKM meningkat, maka perputaran ekonomi akan bertambah, dan banyak pengangguran terserap sebagai tenaga kerja. Kontribusi UMKM terhadap

2 Iswi Hariyani, S.H., M.H., Ir. R. Serfianto. D.P., Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit & Alat Perda-gangan, Jakarta: Sinar Grafika, Juni 2010, hal.xii.

Page 205: buku-tim-8

Hilma Meilani

205

pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat, sehingga segera diperlu-kan kemudahan akses pada sumber pendanaan.

Pola Resi Gudang sudah lama diterapkan di negara-negara maju. Namun di Indonesia (terutama untuk komoditas pertanian), pola tersebut baru dite-rapkan di daerah tertentu, seperti di Indramayu. Pola Resi Gudang dipraktek-kan oleh salah satu kelompok Unit Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) di Ke-camatan Sliyeg, Indramayu dengan komoditas padi/gabah. Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani anggota UPJA menunda penjualan namun tetap memperoleh uang tunai untuk menyambung hidup-nya dengan ikut ambil bagian dalam pemasaran dengan pola Resi Gudang. Dalam pola Resi Gudang, petani menyimpan gabahnya ke Pengelola Gudang (dalam hal ini milik UPJA) untuk memperoleh bukti penyimpanan dalam bentuk Resi Gudang, yang kemudian dijadikan jaminan ke lembaga keu-angan untuk mendapatkan talangan dana. Petani mendapatkan dana senilai 70% dari total harga gabah yang dititipkan di gudang dengan harga yang berlaku di pasar saat itu. Setelah berjalan beberapa waktu (3-4 bulan), yaitu pada masa paceklik atau harga gabah di pasar cukup tinggi, pemilik dana ser-ta manajer/pengurus UPJA menjual gabah milik petani. Penjualan biasanya dilakukan dengan sistem lelang untuk mendapatkan harga tertinggi. Dari ha-sil penjualan tersebut petani dapat menebus dan mengembalikan pinjaman ke lembaga keuangan, dan setelah dikurangi harga penjualan gabah petani (harga pasar pada saat perjanjian Resi Gudang) akan terdapat selisih harga atau keuntungan. Keuntungan tersebut dibagi ke semua pihak yang terikat kontrak pola Resi Gudang dengan proporsi sesuai dengan kesepakatan. Me-kanisme pola Resi Gudang secara ringkas disajikan pada Gambar 1.3

3 Ashari, Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 29, No. 4, 2007.

Page 206: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

206

Gambar 1. Skema Pemasaran Komoditas Pertanian dengan Pola Resi Gudang

Sumber: Ashari, 2007

Praktek perdagangan dan pembiayaan kredit dengan skema mirip Resi Gudang telah sering dilakukan dalam kegiatan bisnis di Indonesia sebelum ada UU SRG. Praktek Resi Gudang sebelum ada UU SRG dijalankan mela-lui model jaminan fidusia. Jaminan Resi Gudang pada dasarnya merupakan bagian dan perkembangan lebih lanjut dari jaminan fidusia. Objek jaminan fidusia mencakup barang bergerak dan barang tidak bergerak yang tidak da-pat diikat dengan hak tanggungan (hipotik), sedangkan objek jaminan Resi Gudang hanya khusus ditujukan bagi barang bergerak hasil pertanian/perke-bunan/perikanan.4

Untuk membangun Sistem Resi Gudang (Warehouse Receipt System) dan memberikan kepastian hukum tentang SRG di Indonesia, pemerintah mener-bitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (UU SRG) beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu PP Nomor 36 Tahun 2007, Permendag No. 26 Tahun 2007, dan Peraturan Kepala BAPPEBTI. Dengan diundangkannya UU SRG dan peraturan pelaksanaannya, maka SRG di Indonesia diharapkan dapat berjalan dengan baik dan meningkat dengan cepat. Namun pelaksanaan SRG saat ini belum berkembang dengan baik di Indonesia. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem

4 Iswi Hariyani, S.H., M.H., Ir. R. Serfianto. D.P., op.cit., hal.2.

Page 207: buku-tim-8

Hilma Meilani

207

Resi Gudang melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 – 2014.

PermasalahanB. Sektor pertanian memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan

nasional dan terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Namun pembiayaan perbankan untuk sektor per-tanian di Indonesia saat ini masih rendah karena sektor pertanian masih di-anggap sebagai sektor yang risikonya tinggi bagi perbankan. SRG digunakan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan alternatif pembiaya-an usaha bagi UMKM di sektor pertanian dan petani dengan menjadikan ha-sil usahanya sebagai agunan, sehingga dapat me lanjutkan kegiatan produksi atau pengembangan usaha tanpa perlu menunggu sampai produknya ter jual pada tingkat harga yang diha rapkan.

Diterbitkannya UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang menimbulkan harapan bahwa SRG di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan meningkat dengan cepat. Dengan dikeluarkannya UU SRG maka tingkat keamanan penyaluran kredit ke sektor pertanian akan lebih terjamin karena dokumen Resi Gudang dapat diikat dengan hak jaminan dan diakui sebagai agunan kredit, sehingga diharapkan pembiayaan perbankan di sektor perta-nian akan meningkat. Namun kenyataannya, perkembangan kredit dengan agunan Resi Gudang di Indonesia masih belum berjalan dengan baik setelah adanya UU SRG. UU SRG dinilai masih belum memberi kepastian hukum kepada masyarakat, petani maupun perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia.

Pemerintah perlu untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat, petani, dan perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, dan SRG dapat berkembang dengan pesat sehingga dapat meningkatkan pembiayaan sektor pertanian di Indonesia.

Page 208: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

208

Page 209: buku-tim-8

Hilma Meilani

209

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Resi GudangA. Menurut UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang di-

maksud dengan Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Pengelola Gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan, pemelihara-an, dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta berhak menerbitkan Resi Gudang. Sedangkan yang dimaksud dengan Derivatif Resi Gudang adalah turunan Resi Gudang yang dapat berupa kontrak berjangka Resi Gudang, Opsi atas Resi Gudang, indeks atas Resi Gudang, surat berhar-ga diskonto Resi Gudang, unit Resi Gudang, atau derivatif lainnya dari Resi Gudang sebagai instrumen keuangan. Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh persetujuan Badan Pengawas, dan Derivatif Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh bank, lembaga keu-angan nonbank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat persetujuan Badan Pengawas. Badan Pengawas menetapkan Pusat Registrasi untuk mela-kukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi.

Resi Gudang (Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrumen pen-ting, efektif dan negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukar-kan) dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Di samping itu, Resi Gudang juga dapat dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diteri-ma sebagai bukti penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak deri-vatif yang jatuh tempo, sebagaimana terjadi dalam suatu Kontrak Berjangka.

Page 210: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

210

Dengan demikian sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang.5

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU SRG disebutkan bahwa Resi Gudang terdiri atas Resi Gudang Atas Nama dan Resi Gudang Atas Perintah. Yang dimak-sud dengan Resi Gudang Atas Nama adalah Resi Gudang yang mencantum-kan nama pihak yang berhak menerima penyerahan barang. Sedangkan Resi Gudang Atas Perintah adalah Resi Gudang yang mencantumkan perintah pihak yang berhak menerima penyerahan barang.

Barang yang dimaksud dalam UU SRG adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum. Pada tanggal 29 Juni 2007 telah diterbitkan Peraturan Menteri Perda-gangan (Permendag) Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang yang Dapat Disimpan di Gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang. Dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa barang yang dimaksud dapat disimpan di gudang untuk diterbitkan Resi Gudang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:

memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan;1. memenuhi standar mutu tertentu; dan2. jumlah minimum barang yang disimpan.3. Delapan komoditas pertanian yang ditetapkan sebagai barang yang dapat

disimpan di gudang dalam penyelenggaraan SRG berdasarkan Pasal 4 Per-mendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 adalah: gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut.

Manfaat Sistem Resi GudangB. Menurut Dean Novel et al. 6, manfaat Sistem Resi Gudang (SRG) adalah:

Pertama, SRG dapat memberikan manfaat bagi petani karena dapat memper-panjang masa penjualan produk. Petani yang menyerahkan hasil panennya kepada perusahaan pergudangan yang berhak mengeluarkan Resi Gudang,

5 Sistem Resi Gudang dan Peranan Perbankan (UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang), (http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2CE50101-3268-4B57-957D-CCDF3C3AC638/10574/ Boks1.pdf, diakses 12 November 2010).

6 Dean Novel, SE, MM dan Sriyanto, SE, MM, Sistem Resi Gudang sebagai Sistem Pembayaran Perda-gangan, (http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/ahim/2009/07/03/system-resi-gudang-sebagai-system-pembayaran-perdagangan/, diakses 14 November 2010).

Page 211: buku-tim-8

Hilma Meilani

211

akan menerima tanda bukti berupa Resi Gudang, yang dapat dijadikan se-bagai agunan untuk memperoleh pinjaman jangka pendek di bank, sehingga para petani tidak perlu tergesa-gesa menjual produknya pada masa panen yang umumnya ditandai dengan turunnya harga komoditas. Hal ini dilaku-kan petani karena harga setelah panen biasaya akan naik, sehingga dengan menunda penjualan akan memberikan hasil yang optimal bagi petani. Petani dapat memperoleh sumber kredit dari bank untuk digunakan sebagai modal kerja seperti pembelian bibit, pupuk dan keperluan lainnya.

Kedua, Resi Gudang dapat digunakan sebagai agunan bank, karena mem-berikan jaminan adanya persediaan komoditas dengan kualitas tertentu ke-pada pemegang Resi Gudang tanpa harus melakukan pengujian secara fisik. Resi Gudang dapat dimanfaatkan petani untuk pembiayaan produknya, se-dangkan bagi produsen untuk membiayai persediaanya. Bila terjadi penyim-pangan dalam sistem ini, para pemegang Resi Gudang akan memperoleh prioritas dalam penggantian sesuai dengan nilai agunannya.

Ketiga, SRG mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kom-petitif, karena Resi Gudang memberikan informasi yang diperlukan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi sebagai dasar untuk melakukan per-dagangan komoditas secara luas. Keberadaan Resi Gudang dapat mening-katkan volume perdagangan sehingga dapat menurunkan biaya transaksi. Hal ini dimungkinkan karena dalam bertransaksi tidak perlu lagi dilakukan inspeksi terhadap barang yang disimpan, baik yang ada di gudang atau di tem-pat transaksi. Di negara-negara yang telah menerapkan sistem ini transaksi umumnya hampir tidak pernah lagi dilakukan di gudang. Bila transaksi dila-kukan untuk penyerahan barang dikemudian hari (perdagangan berjangka), Resi Gudang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memenuhi penyera-han komoditas bagi kontrak berjangka di Bursa Komoditas yang jatuh-tempo atau lelang spot komoditas.

Keempat, SRG mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga di bidang komoditas, karena jika harga komoditas strategis berada di bawah harga dasar, maka pemerintah dapat membeli Resi Gudang, sehingga tidak perlu lagi menerima penyerahan barang secara fisik. Karena adanya jaminan kualitas dan kuantitas komoditas di gudang-gudang penyimpanan maka pe-merintah dalam rangka pengelolaan cadangan strategis cukup memegang Resi Gudang. Jika swasta melakukan pembelian, penyimpanan, dan penjua-

Page 212: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

212

lan komoditas melalui mekanisme Resi Gudang dalam jumlah yang besar dan sekaligus melakukan lindung nilai di pasar berjangka, maka peran pe-merintah dalam stabilisasi harga dapat dihapuskan.

Kelima, SRG memberikan kepastian nilai minimum dari komoditas yang dijadikan agunan. Karena sifat komoditas primer yang cepat rusak dan stan-dar kualitasnya berbeda-beda maka tanpa adanya Resi Gudang dan lindung nilai (hedging), bank-bank umumnya akan memberikan kredit sebesar 50-60% dari nilai agunan. Bank dapat memberikan kredit yang lebih besar kepada peminjam yang melakukan lindung nilai untuk komoditas yang dipinjam-kannya (sampai dengan 80-90 % dari nilai agunan).

Selain itu, penerapan SRG juga dapat memberikan manfaat bagi petani, dunia usaha, perbankan dan pemerintah, antara lain:7

Keterkendalian dan kestabilan harga komoditas. Sistem ini bermanfaat a. dalam menstabilkan harga pasar, melalui fasilitasi penjualan sepanjang tahun.Keterjaminan modal produksi. Pemegang komoditas mempunyai modal b. usaha untuk produksi berkelanjutan karena adanya pembiayaan dari lembaga keuangan.Keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan. Dunia perbankan nasio-c. nal memperoleh manfaat dari terbentuknya pasar bagi penyaluran kredit perbankan. SRG di banyak negara dianggap sebagai instrumen penjamin kredit tanpa risiko.Keterjaminan produktivitas. Jaminan produksi komoditas menjadi lebih d. pasti karena adanya jaminan modal usaha bagi produsen/petani.Keterkendaliaan sediaan (e. stock) nasional. Sistem ini mendukung ter-bangunnya kemampuan pemerintah untuk memantau dan menjaga ke-tahanan sediaan, melalui jaringan data dan infromasi terintegrasi yang terbangun oleh SRG.Keterpantauan lalu lintas produk/komoditas. Sistem ini membangun ke-f. mampuan pemerintah di pusat dan daerah untuk meningkatkan kuali-tas komoditas, upaya perlindungan konsumen, pengendalian ekosistem, pengendalian lalu lintas produk komoditas ilegal.Keterjaminan bahan baku industri. SRG telah terbukti mampu mening-g. katkan efisiensi sektor agrobisnis dan agroindustri, karena baik produsen

7 Sistem Resi Gudang dan Peranan Perbankan, op.cit.

Page 213: buku-tim-8

Hilma Meilani

213

maupun sektor komersial terkait dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi untuk menjadi produk yang dapat diperjual-belikan secara luas.Efisiensi logistik dan distribusi. Sebagai surat berharga, Resi Gudang da-h. pat dialihkan atau diperjualbelikan oleh Pemegang Resi Gudang kepada pihak ketiga, di pasar yang terorganisir (bursa) atau di luar bursa. Dengan terjadinya pengalihan Resi Gudang tersebut, kepada Pemegang Resi Gu-dang yang baru, diberikan hak untuk mengambil barang sesuai dengan deskripsi yang tercantum di dalamnya. Dengan demikian akan tercipta suatu sistem perdagangan yang lebih efisien dengan dihilangkannya kom-ponen biaya pemindahan barang.Kontribusi fiskal. Melalui transaksi-transaksi Resi Gudang, pemerintah i. memperoleh manfaat fiskal yang selama ini bersifat potensial.

Model Sistem Resi Gudang di IndonesiaC. Model SRG yang dikembangkan di Indonesia untuk mendapatkan pen-

jaminan pembiayaan adalah Resi Gudang Bergaransi yang didefinisikan seba-gai bukti penyimpanan komoditas yang diagunkan yang telah diregistrasi oleh Lembaga Penjamin Penyelesaian untuk memperoleh penjaminan pembiayaan atas transaksi-transaksi impor/ekspor/beli kembali dimana.agunan tersebut dikelola oleh Pengelola Gudang/Agunan dan pelunasan kewajiban dijamin dari penjualan komoditas fisik. Untuk dapat memanfaatkan skema SRG ini, para produsen termasuk petani, kelompok tani, prosesor, dan eksportir yang selanjutnya menyimpan komoditas mereka di Perusahaan Pergudangan yang mengeluarkan Resi Gudang. Resi Gudang tersebut diregistrasi oleh Lembaga Penjamin Penyelesaian yang kemudian menerbitkan Resi Gudang Bergaransi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai agunan pembiayaan atau diperda-gangkan.8

Agar Sistem Resi Gudang Bergaransi dapat dijalankan, beberapa persya-ratan yang harus dapat dipenuhi antara lain:9

Aspek Legala. Diperlukan aspek hukum yang integral (lintas instansi) yang mendu-•kung Resi Gudang yang dapat didayagunakan sebagai agunan untuk

8 Dean Novel, SE, MM dan Sriyanto, SE, MM, op.cit.

9 Ibid.

Page 214: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

214

memperoleh pembiayaan dari perbankan atau kreditor dan juga dapat diperdagangkanUndang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang, mengatur •badan pengawas, penjamin (clearing), pengelola agunan/pergudangan, bank, lembaga surveyor, dan asuransi).Semua hak dan kewajiban pihak-pihak terkait dalam operasional sua-•tu Resi Gudang (petani, kelompok tani, eksportir, prosesor, pengelola agunan/pergudangan, penjaminan, asuransi, perusahaan sertifikasi dan perbankan) harus didefinisikan secara jelas.Apabila terjadi • default atau cidera janji, maka harus ada kepastian hu-kum tertentu (dalam kontrak kerjasama) bahwa penjamin dan peme-gang Resi Gudang Bergaransi terakhir memperoleh prioritas peneri-maan hasil likuidasi komoditas yang digunakan sebagai agunan.Lembaga Penjamin melakukan registrasi atas setiap Resi Gudang yang •diterimanya dan menerbitkan Resi Gudang Bergaransi yang selanjut-nya dapat digunakan sebagai agunan pembiayaan atau diperdagang-kan. Lembaga Penjamin juga melakukan pengelolaan risiko terhadap fluktuasi harga komoditas dan jatuh tempo sertifikat mutu komoditas atau Resi Gudang yang bersangkutan.Apabila terjadi • default atau cidera janji Lembaga Penjamin Penyelesai-an sebagai counterparty menanggulangi penyelesaian kewajiban kepada bank/kreditor dari hasil penjualan fisik komoditas.

Aspek Operasionalb. Pihak Pengelola Gudang yang mampu mengelola pergudangan dengan •profesional dan memenuhi standar internasional sehingga komoditas yang disimpan tidak berubah mutunya pada saat jatuh tempo Resi GudangDiperlukan Lembaga Sertifikasi independen yang melakukan serti-•fikasi, verifikasi dan inspeksi atas kuantitas dan kualitas komoditas yang disimpan di gudang.Diperlukan adanya institusi independen yang berkaitan dengan asuransi, •verifikasi dan inspeksi atas kuantitas dan kualitas produk yang disim-pan di gudang.Diperlukan Lembaga Asuransi yang memiliki produk khusus tentang •risiko Resi Gudang untuk melindungi risiko umum seperti kebanjiran,

Page 215: buku-tim-8

Hilma Meilani

215

perampokan/pencurian, huru-hara, kebakaran dan juga risiko yang diakibatkan petugas internal Pengelola Gudang yang berkaitan dengan fidelity dan moral hazard.Diperlukan dukungan sistem teknologi informasi yang terintegrasi an-•tara Pengelola Gudang, Bank/Kreditor dan Lembaga Penjamin Penye-lesaian.

Integritas Sistemc. Adanya jaminan bahwa kuantitas produk yang disimpan di gudang •sama dengan yang tertera pada Resi Gudang dan kualitasnya sama atau lebih baik daripada yang dipersyaratkan. Selain itu ada jaminan penyelesaiaan transaksi pada saat Resi Gudang Bergaransi tersebut ja-tuh tempo sehingga ada kepastian para pihak untuk memperoleh hak setelah memenuhi kewajibannya. Hal ini merupakan prasyarat agar sistem ini dapat diterima para pelaku bisnis dan kalangan perbankan sebagai suatu dokumen yang dapat diperdagangkan. Tanpa adanya jaminan ini maka pihak-pihak terkait akan ragu menggunakan Resi Gudang sebagai agunan.Adanya dana jaminan dan dana agunan yang disesuaikan secara hari-•an yang dihimpun dari para pelaku pasar. Dana-dana tersebut diguna-kan apabila terjadi gagal bayar/gagal serah. Apabila dana jaminan dan dana agunan tersebut digunakan akan mengurangi biaya bunga pin-jaman pada bank.

Page 216: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

216

Page 217: buku-tim-8

Hilma Meilani

217

BAB IIIPEMBAHASAN

Sistem Resi Gudang Di Negara LainA. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa SRG dapat mem-

bantu para petani, dengan menyimpan barang di gudang sampai harga naik dan menggunakan barang tersebut sebagai jaminan kredit sehingga petani dapat memperoleh dana sebelum menjual barangnya.

Istilah Warehouse Receipt (WR) atau Resi Gudang telah secara baku dite-rapkan di dunia internasional, yaitu sebagai negotiable instrument dalam tran-saksi perdagangan berjangka komoditas. Penerapan SRG disambut positif di banyak negara berkembang, seperti di Afrika, dalam pembiayaan sektor pertanian. Manfaat yang dapat diambil terutama dalam hal menjaga stabi-litas harga produk pertanian yang dikenal musiman dan sangat rentan ter-hadap fluktuasi harga. Para petani dapat terbantu memperoleh modal kerja dan mendapat jaminan penjualan hasil panennya dengan tingkat harga yang memadai. Penerapan SRG juga dapat mendukung sistem pengendalian se-diaan bahan-bahan kebutuhan pokok, seperti beras. Di Amerika Serikat, skim pembiayaan dengan instrumen Resi Gudang sangat berkembang dalam mendukung sektor pertanian. Pemerintah bertindak sebagai penjamin atas penerbitan Resi Gudang.10

Beberapa negara lain yang sudah menjalankan program SRG antara lain adalah India, Uganda, Polandia, Nigeria, Tanzania dan Ghana. Di negara-negara tersebut SRG telah memberikan pengaruh besar bagi sektor pertanian maupun perbankan. Penerapan Resi Gudang di negara-negara itu dilatarbela-kangi permasalahan yang sama dengan yang dihadapi petani di Indonesia,

10 Aviliani dan Usman Hidayat, Menuju Skim Pembiayaan Resi Gudang yang Atraktif, (http://www.in-def.or.id/xplod/upload/arts/Resi%20Gudang.HTM, diakses 15 November 2010).

Page 218: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

218

yaitu petani terbiasa menjual hasil pertaniannya saat panen raya meski saat itu harga anjlok, karena memerlukan uang tunai untuk membayar biaya se-kolah anak-anak, membayar gaji buruh dan membeli kebutuhan masa tanam berikutnya. Dengan SRG, petani bisa meminjam uang ke bank dengan ja-minan hasil panen, sehingga dapat digunakan untuk membeli benih untuk masa tanam berikutnya.

Di Uganda, program SRG diformulasikan dalam Undang-Undang Sistem Resi Gudang yang disahkan parlemen pada tanggal 5 April 2006. Program ini sudah dimulai setahun sebelumnya dengan pilot project Resi Gudang kopi di dua lokasi yakni, Uganda Barat dan Uganda Timur. Setelah UU disahkan, Resi Gudang dilanjutkan dengan komoditas kapas. Untuk mempermudah, program ini juga dilengkapi dengan Sistem Informasi Pasar, layanan informa-si komoditas, seperti fluktuasi harga. Informasi ini disebarkan melalui radio, koran gratis dan pesan singkat telepon seluler. Petani Uganda dimanapun berada dapat mengetahui harga kopi di pasar internasional dan nasional di lima lokasi berbeda dengan segera, sehingga petani bisa mengambil keputu-san cepat dengan mengetahui kondisi harga di pasaran. Namun tidak semua program Resi Gudang di Uganda berhasil. Pilot project Resi Gudang komo-ditas kopi arabika di Uganda Timur seperti Mbale, Sironko, Manafa dan Kapchorwa berjalan lambat karena iklim kering sempat merusak hasil panen kopi, dan pengelola program ini juga harus bersaing dengan pembeli lokal yang sangat agresif mendekati petani.

Tanzania juga memiliki konstitusi khusus yang mengatur SRG. Tanzania membuat aturan operasional Resi Gudang yang lebih terperinci, termasuk pengembangan manual operasional dan pembentukan badan regulator. Keper-cayaan petani terhadap program SRG terus meningkat, deposit hasil panen komoditas kapas dan angka Resi Gudang kopi juga meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan Resi Gudang ini berbanding lurus dengan penigkatan kredit perbankan di sektor pertanian. Pengembangan Resi Gudang komodi-tas kapas di Tanzania sempat terhambat karena biji randu sering rusak karena minimnya jumlah mesin pemisah kapas. Untuk mengatasinya, Departemen Koperasi dan Pemasaran memberikan dana untuk membuka empat lokasi mesin pemisahan biji randu. Sejak itu, Resi Gudang telah menghasilkan efi-siensi besar-besaran, dan kualitas komoditas meningkat.

Page 219: buku-tim-8

Hilma Meilani

219

Petani-petani di Ghana juga merasakan manfaat program Resi Gudang. Para petani bisa menjual panen mereka di masa panceklik sekitar 75-270 persen lebih tinggi dari harga panen raya. Sedangkan di India, Resi Gudang telah memacu industri perbankan dan sektor pertanian. Program ini berman-faat meningkatkan manajemen risiko harga, mengurangi biaya transaksi dan biaya pemasaran sektor pertanian. Resi Gudang juga memainkan peran pen-ting yang membuka peluang bagi India untuk berkompetisi di pasar perta-nian dunia.11

Pada negara-negara maju, Resi Gudang merupakan bagian dari instrumen keuangan yang dapat digunakan dalam bernegosiasi. Instrumen ini merupa-kan alat yang dapat berperan dalam masa transisi dimana pemerintah mulai mengurangi perannya dalam kebijaksanaan stabilisasi harga dan pemasaran komoditas menuju perdagangan komoditas yang didasarkan kepada meka-nisme pasar. Sedangkan pada negara-negara berkembang, sistem ini kurang berkembang karena adanya berbagai hambatan, antara lain:12

Kurangnya insentif atau peluang bagi berkembangnya sistem pergudangan a. yang efisien yang diselenggarakan pihak swasta. Hal ini merupakan kon-sekuensi dari intervensi pemerintah dalam stabilisasi harga komoditas.Masih kurangnya aspek legalitas yang integratif yang mendukung Resi b. Gudang sebagai instrumen keuangan yang dapat diperdagangkan.Kurangnya pemahaman dari sektor-sektor komersial tentang Resi Gu-c. dang sebagai surat berharga yang dapat diperdagangkan.Fluktuasi tingkat bunga yang belum stabil, menyebabkan kurang menari-d. knya sistem ini khususnya dukungan dari perbankan.

Sistem Resi Gudang di IndonesiaB. Sistem Resi Gudang (Warehouse Receipt System) di Indonesia diatur oleh

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang yang diundangkan pada tanggal 14 Juli 2006. Pada tanggal 22 Juni 2007 pemerin-tah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gu-dang, untuk melaksanakan ketentuan dalam UU SRG.

11 Kisah Sukses dari Negeri Seberang, (http://www.resigudang.com/Artikel/tabid/64/mid/386/new-sid386/ 19/Default.aspx, diakses 15 November 2010).

12 Dean Novel, SE, MM dan Sriyanto, SE, MM, op.cit.

Page 220: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

220

Dalam Penjelasan Umum UU No. 9 Tahun 2006 disebutkan bahwa UU tentang Sistem Resi Gudang dimaksudkan untuk memberikan kepas-tian hukum, menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, kelanca-ran arus barang, efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Untuk mendukung maksud tersebut diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor-sektor terkait yang mendukung SRG, serta pasar lelang komoditas.

Definisi Sistem Resi Gudang menurut UU SRG adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian tran-saksi Resi Gudang. Perdagangan Resi Gudang di Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Sistem Resi Gudang yang selanjutnya disebut Badan Pengawas, yai-tu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan SRG. Resi Gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib dilakukan penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang disebut Lembaga Penilaian Kesesuaian dan mendapat persetujuan Badan Pengawas. Lembaga Penilaian Kesesuaian melakukan serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi. Sedangkan untuk melakukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang di Indonesia yang meliputi penca-tatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jami-nan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah Pusat Registrasi Resi Gudang yang selanjutnya disebut Pusat Registrasi yang meru-pakan suatu badan usaha yang berbadan hukum. Kegiatan Pusat Registrasi dapat dilakukan oleh lembaga kliring berjangka atau badan usaha lain yang khusus dibentk untuk itu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Penatausahaan oleh Pusat Registrasi bertujuan agar peredaran, pengali-han, dan penjaminan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang dapat dipantau oleh Pusat Registrasi sehingga memberikan kepastian hukum bagi Pemegang Resi Gudang dan kreditor. Selain itu, dengan penatausahaan yang terpusat akan memudahkan pemerintah dalam memantau sediaan nasional.13

13 Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Page 221: buku-tim-8

Hilma Meilani

221

Sesuai ketentuan Pasal 5 UU SRG, Resi Gudang harus memuat seku-rang-kurangnya:

judul Resi Gudang;a. jenis Resi Gudang, yaitu Resi Gudang Atas Nama atau Resi Gudang Atas b. Perintah;nama dan alamat pihak pemilik barang;c. lokasi gudang tempat penyimpanan barang;d. tanggal penerbitan;e. nomor penerbitan;f. waktu jatuh tempo;g. deskripsi barang;h. biaya penyimpanan;i. tanda tangan pemilik barang dan Pengelola Gudang; danj. nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke k. dalam Gudang.Dalam SRG, pembiayaan yang akan diperoleh pemilik barang tidak hanya

berasal dari perbankan dan lembaga keuangan nonbank, tetapi dapat berasal dari investor melalui Derivatif Resi Gudang. Sebagai surat berharga, Resi Gu-dang juga dapat dialihkan atau diperjualbelikan di pasar yang terorganisasi (bursa) atau di luar bursa oleh Pemegang Resi Gudang kepada pihak ketiga. Dengan terjadinya pengalihan Resi Gudang tersebut, kepada Pemegang Resi Gudang yang baru diberikan hak untuk mengambil barang yang tercantum di dalamnya. Hal ini akan menciptakan sistem perdagangan yang lebih efisien dengan menghilangkan komponen biaya pemindahan barang. Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan (document of title) atas barang dapat dijadikan agunan kredit karena Resi Gudang dijamin dengan komoditas tertentu yang berada dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi.14

Dasar hukum Resi Gudang sebagai jaminan utang atau agunan kredit adalah UU SRG Pasal 4 ayat (1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang, dan Pasal 4 ayat (2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya; serta Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Peru-bahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang

14 Ibid.

Page 222: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

222

Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Pasal 46 yang menyatakan bahwa agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva) ditetapkan sebagai berikut:

Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di a. Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai.Tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan.b. Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan c. hak tanggungan.Pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) me-d. ter kubik yang diikat dengan hipotik.Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.e. Resi Gudang yang diikat dengan hak jaminan atas Resi Gudang. f. Hak jaminan atas Resi Gudang adalah hak jaminan yang dibebankan

pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor lain, se-bagaimana dimaksud dalam UU SRG dan peraturan perundang-undangan lainnya.15

Dalam mekanisme Resi Gudang, untuk memberikan rasa aman bagi pi-hak pemberi dana dalam pengucuran dana ke pihak pertama, akan diperlu-kan adanya hak jamin yang berbeda jenisnya. Sehingga perbedaan hak jamin di dalam fidusia, gadai, dan Resi Gudang, terletak pada penguasaan barang. Pada Resi Gudang, barang itu ada di pihak ketiga, bukan pada penerima dana atau pemberi dana.16

UU SRG melengkapi hukum penjaminan yang berlaku di Indonesia se-perti gadai dan jaminan fidusia. Gadai adalah jaminan atas benda bergerak namun penguasaan objek jaminan berada di tangan kreditor. Sedangkan menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang

15 Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Pera-turan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

16 Rommy Rustami, RUU Resi Gudang & UU Lain Ddikhawatirkan Bentrok, (http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5709&coid=2&caid=11&gid=3, diakses 14 November 2010).

Page 223: buku-tim-8

Hilma Meilani

223

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Pada jaminan fidusia, penguasaan objek ja-minan berada di tangan debitor. Sedangkan dalam SRG yang menjadi objek jaminan adalah Resi Gudang di mana penguasaan terhadap barang berada di tangan Pengelola Gudang.

Pembiayaan Sektor Pertanian di IndonesiaC. Sektor pertanian memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan

nasional yaitu sebagai penyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap Produk Do-mestik Bruto, sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil lainnya. Sek-tor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi.17 Namun demikian, pembiayaan perbankan un-tuk sektor pertanian di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan sektor perdagangan dan perindustrian.

Data kredit perbankan dan alokasi penyaluran kredit berdasarkan sektor ekonomi pada tahun 2005 – 2009 dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Data ta-hun 2005 – 2009 menunjukkan bahwa alokasi penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya sekitar 5% dari total kredit perbankan. Pada tahun 2009 penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian sebesar 5,38%, jauh lebih rendah dibandingkan penyaluran kredit untuk sektor per-dagangan, restoran dan hotel (20,96%) dan sektor perindustrian (17,21%). Hal ini disebabkan sektor pertanian masih dianggap sebagai sektor yang risi-konya tinggi bagi perbankan, dibandingkan dengan sektor perdagangan yang dinilai mempunyai risiko lebih rendah.

17 Ashari, Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 27 No. 1, Juli 2009.

Page 224: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

224

Tabel 1. Kredit Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2005–2009 (dalam miliar Rupiah)

No. Sektor Ekonomi 2005 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian 37.178 45.180 56.901 67.202 77.412

2. Pertambangan 8.127 14.086 26.212 32.215 42.894

3. Perindustrian 171.288 184.023 205.610 271.187 247.440

4. Listrik, gas dan air 5.367 7.224 7.920 18.475 24.560

5. Konstruksi 26.986 33.088 44.088 58.753 64.225

6. Perdagangan, restoran dan hotel 135.837 163.443 216.874 259.632 301.382

7.Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi

19.829 27.068 36.807 62.579 73.213

8. Jasa dunia usaha 72.628 78.455 109.748 152.302 150.843

9. Jasa sosial/masyarakat 10.029 12.040 13.882 15.747 17.038

10. Lain-lain 208.378 227.690 283.970 369.596 438.923

Total 695.648 792.297 1.002.012 1.307.688 1.437.930Sumber: Diolah dari BI

Tabel 2. Alokasi Penyaluran Kredit Bank Umum Tahun 2005–2009 (dalam persentase)

No. Sektor Ekonomi 2005 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian 5,34 5,70 5,68 5,14 5,38

2. Pertambangan 1,17 1,78 2,62 2,46 2,98

3. Perindustrian 24,62 23,23 20,52 20,74 17,21

4. Listrik, gas dan air 0,77 0,91 0,79 1,41 1,71

5. Konstruksi 2,88 4,18 4,40 4,49 4,47

6. Perdagangan, restoran dan hotel 19,53 20,63 21,64 19,85 20,96

7.Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi

2,85 3,42 3,67 4,79 5,09

8. Jasa dunia usaha 10,44 9,90 10,95 11,65 10,49

9. Jasa sosial/masyarakat 1,44 1,52 1,39 1,20 1,18

10. Lain-lain 29,95 28,74 28,34 28,26 30,52

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: Diolah dari BI

Pembiayaan sektor pertanian belum mendapat alokasi yang besar dalam perbankan nasional walaupun pemerintah telah berupaya memberikan prio-ritas dengan kebijakan-kebijakan perkreditan perbankan di sektor pertanian, antara lain: Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Kredit Usaha Tani (KUT), Kre-dit Kepada Koperasi (KKOP). Meskipun telah menjadi salah satu pilar dalam strategi pembangunan, sektor pertanian tetap kesulitan memperoleh pem-biayaan dari perbankan. Rendahnya kredit pada sektor pertanian ini cukup

Page 225: buku-tim-8

Hilma Meilani

225

ironis, menggingat sebagian besar rakyat Indonesia kehidupannya bertumpu pada sektor pertanian. Keengganan perbankan menyalurkan kredit pada sek-tor pertanian ini karena adanya “trauma” tingginya risiko kredit bermasalah (macet) terutama sejak banyak mencuatnya kasus KUT yang macet beberapa tahun lalu.18

Menurut Aviliani19, beberapa kendala yang dihadapi dalam pendanaan sektor pertanian dapat dilihat dari beberapa segi: (1) Risiko On Farm, yaitu yang terjadi dalam budidaya tanaman seperti ketersediaan pupuk, bibit, pes-tisida dan teknik budidaya, (2) Risiko Pemasaran, yaitu risiko yang terjadi karena kesulitan pemasaran produk pertanian sehingga menimbulkan risiko penurunan sehingga menimbulkan risiko penurunan harga atau tidak terse-rapnya produk hasil pertanian, (3) Masalah Sosial, yaitu masalah penjarahan atau ketimpangan sosial antara petani dengan perusahaan, (4) Risiko status lahan, yaitu status tanah menyulitkan sebagai agunan kredit, masalah serti-fikasi tanah prosesnya lama dengan timing pemberian kredit menjadi berke-panjangan, (5) Dominasi usaha mikro kecil yang memiliki kelemahan dalam manajemen, pembukuan, distribusi pemasaran, permodalan, dan agunan, (6) Ketergantungan kepada industri hilir sangat tinggi yang mengakibatkan bargaining power petani rendah, serta (7) Keterbatasan kompetensi, bank yang mempunyai kompetensi di sektor pertanian masih terbatas, sehingga belum semua bank berani membiayai sektor pertanian.

Dengan dikeluarkannya UU SRG maka tingkat keamanan penyaluran kredit ke sektor pertanian akan lebih terjamin karena dokumen Resi Gudang dapat diikat dengan hak jaminan dan diakui sebagai agunan kredit, sehing-ga diharapkan pembiayaan perbankan di sektor pertanian akan meningkat. Namun kenyataannya, perkembangan kredit dengan agunan Resi Gudang di Indonesia masih belum berjalan dengan baik setelah adanya UU SRG.

Kredit Resi Gudang adalah program pemerintah dimana petani bisa me-manfaatkan subsidi bunga dari pemerintah. Fasilitas ini juga menguntung-kan petani karena biaya sewa gudang yang relatif murah, dan gudang penyim-panan yang ditunjuk juga dijamin dengan asuransi sehingga petani bisa lebih mudah mendapatkan pembiayaan bank. Namun, sampai saat ini bank-bank

18 Darmawanto, SH, Pengembangan Kredit Sektor Pertanian (Tinjauan pada PT. Bank Pembangunan Dae-rah Jawa Tengah), Thesis, tidak dipublikasikan, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sar-jana Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.

19 Ashari, op, cit.

Page 226: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

226

masih kesulitan menyalurkan kredit Resi Gudang karena ada beberapa risiko kredit yang belum bisa dianalisis. Direktur Utama BNI Gatot Suwondo me-nyatakan bahwa nilai kredit Resi Gudang yang disalurkan perbankan belum signifikan karena biasanya bank akan selalu enggan menyalurkan kredit jika belum punya pengalaman menyalurkan kredit ke sektor tersebut.20

Berdasarkan catatan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), pembiayaan bank untuk Resi Gudang dengan skema subsi-di bunga, baru mencapai Rp721 juta dari dua bank, yaitu Bank Jabar Banten senilai Rp280 juta dan Bank Jatim Rp441 juta. Pembiayaan kedua bank ter-sebut hanya 24% dari total pembiayaan Resi Gudang yang sudah disalurkan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya. Total pembiayaan untuk Resi Gu-dang sejak tahun 2008 hingga 12 Oktober 2010 tercatat sebesar Rp3 miliar. Sebanyak tiga bank, yaitu Bank Jateng, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Kalsel, belum berpartisipasi dalam merealisasikan pengucuran kredit pembi-ayaan Resi Gudang. Untuk meringankan beban bunga bank dalam peman-faatan SRG, khususnya bagi petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi tani, pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang pembe-rian subsidi bunga kredit Resi Gudang, yang tertuang dalam Peraturan Men-teri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.21

Menurut Permendag No. 66/M-DAG/PER/12/2009, Skema Subsidi Resi Gudang (S-SRG) adalah kredit yang mendapat subsidi bunga dari pe-merintah dengan jaminan Resi Gudang yang diberikan oleh bank pelaksana/lembaga keuangan nonbank kepada petani, kelompok tani, gabungan kelom-pok tani, dan koperasi.

Menteri Keuangan melalui Permenkeu No. 171/PMK.05/2009 menetap-kan peraturan tentang Skema Subsidi Resi Gudang. Berdasarkan Pasal 2, S-SRG bertujuan untuk memfasilitasi petani, kelompok tani, gabungan kelom-pok tani, dan koperasi untuk memperoleh pembiayaan dari bank pelaksana maupun lembaga keuangan nonbank dengan memanfaatkan Resi Gudang sebagai jaminan/agunan guna menjaga kesinambungan produksi pertanian. Kegiatan yang dapat dibiayai melalui S-SRG adalah usaha produktif untuk

20 Bank Kurang Minati Kredit Resi Gudang, Kontan, 19 Juli 2010.

21 3 Bank Belum Realisasikan Kredit Resi Gudang, Bisnis Indonesia, 18 Oktober 2010.

Page 227: buku-tim-8

Hilma Meilani

227

mendukung kegiatan produksi pertanian yang hanya dapat dimanfaatkan oleh petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi. Petani yang mengajukan kredit dengan agunan berupa Resi Gudang akan menda-pat subsidi sebesar selisih antara tingkat bunga pasar yang berlaku dengan beban bunga yang harus ditanggung petani tersebut. Pada Pasal 10 ayat (4) ditetapkan besaran plafon S-SRG yaitu maksimal sebesar 70% dari nilai Resi Gudang yang dimiliki peserta S-SRG atau maksimal sebesar Rp75 juta per pe-tani. Menurut Pasal 12 ayat (4) dan (5), tingkat bunga S-SRG ditetapkan sebe-sar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku bunga pinjaman simpanan pada bank umum yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan ditambah 5%. Sedangkan beban bunga kepada peserta S-SRG ditetapkan sebesar 6%.

Kepala BAPPEBTI, Deddy Saleh, menyatakan bahwa minat perbankan untuk membiayai kredit dengan agunan Resi Gudang masih rendah walau-pun pemerintah sudah memberikan subsidi bunga Resi Gudang dari Ang-garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membantu petani me-nikmati fasilitas tersebut. Dana subsidi bunga Resi Gudang tersebut belum dipakai semuanya, masih tergantung pada bank yang siap memberikan kredit dengan agunan Resi Gudang.

Untuk mengatasi masih rendahnya minat perbankan membiayai Resi Gudang sejumlah BUMN dibawah koordinasi PT Kliring Berjangka Indone-sia (KBI) sepakat untuk bersinergi dalam mengembangkan pembiayaan Resi Gudang melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Beberapa BUMN yang berkomitmen mengembangkan Resi Gudang itu adalah Bank Mandiri, BRI, BTN, Jamsostek, Taspen, Permodalan Nasional Madani, Jasa Raharja, dan Askes.22 Untuk percepatan implementasi SRG di Indonesia, pada tahun 2010 pemerintah telah mengganggarkan dana dari APBN sebesar Rp81 miliar. Dana tersebut diantaranya dialokasikan untuk pembelian mesin pengering, pembanguan sekitar 12 unit gudang dan pelatihan SDM serta sosialisasi mengenai SRG di Indonesia.23

Selain upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut di atas, agar SRG dapat berkembang dengan pesat di Indonesia, maka perlu dilaku-kan perubahan terhadap UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

22 Kepastian Hukum “Roh” Revisi UU Resi Gudang, Bisnis Indonesia, 29 Juli 2010.

23 Anonim, 9 Kabupaten Operasikan SRG, Bappebti/Mjl/111/IX/2010/Edisi Juni, 2010.

Page 228: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

228

untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat, pe-tani, dan perbankan atau lembaga keuangan dalam melakukan implementasi SRG di Indonesia.

Amandemen UU Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi GudangD. Dalam amandemen UU SRG diperlukan penambahan definisi dan ke-

tentuan baru mengenai Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (Indemnity Fund). Pembentukan lembaga tersebut untuk mewadahi jaminan atau asuransi yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling). Pembentu-kan Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (LDJ) ditujukan untuk mengurangi risiko apabila Pengelola Gudang tidak dapat melaksanakan kewajibannya un-tuk mengembalikan barang yang disimpan sesuai dengan kualitas dan kuanti-tas yang tertera dalam Resi Gudang.

Dari hasil kajian oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komo-ditas (BAPPEBTI) bekerja sama dengan tenaga ahli dari International Finan-ce Corporation (IFC)-Bank Dunia, ternyata di Indonesia belum ada produk asuransi yang bisa mengcover jika Pengelola Gudang mengalami pailit atau lalai dalam pengelolaan sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai kualitas dan kuantitas, sebagaimana tertera dalam SRG. Jika ada perusahaan asuransi yang berse-dia akan menyebabkan biaya premi sangat tinggi dan secara ekonomis tidak layak apabila diterapkan dalam SRG. Untuk menyiasatinya, disimpulkan me-kanisme jaminan pelaksanaan (performance guarantee) untuk SRG yang paling murah dan terjangkau oleh pengguna SRG yakni dengan membentuk dana ganti rugi (guarantee fund). Tenaga ahli dari IFC-Bank Dunia menyatakan bah-wa untuk membentuk dana ganti rugi diperlukan dasar hukum yang kuat berupa undang-undang karena mewajibkan Pengelola Gudang menjadi ang-gota dan membayar iuran.24

Mekanisme LDJ ini telah dikenal dalam sektor perbankan di Indonesia dalam bentuk Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang dibentuk berdasar-kan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan. Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan di bank, dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai

24 Ketiadaan Asuransi Hambat SRG, Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2010.

Page 229: buku-tim-8

Hilma Meilani

229

dengan kewenangannya. Lembaga penjamin seperti inilah yang dibutuhkan dalam SRG untuk menjamin simpanan barang di gudang dan memelihara stabilitas SRG.

LDJ akan menjamin hasil panen petani yang disimpan melalui Resi Gu-dang. Selain itu, pembiayaan dari perbankan juga akan dilindungi. Bila Resi Gudang tersebut bangkrut, LDJ akan memberikan ganti rugi kepada petani dan perbankan. Pembentukan LDJ tersebut akan menjadi salah satu solusi perkembangan Resi Gudang yang berjalan lambat. Tanpa ada yang menja-min, petani akan takut untuk memanfaatkan Resi Gudang, dan perbankan juga enggan membiayai Resi Gudang. Sebab, selama ini Pengelola Gudang dijalankan oleh pihak swasta. Bila terjadi salah pengelolaan atau kelalaian, Pengelola Gudang tersebut bisa saja rugi hingga menyebabkan kebangkrutan. Bila ada LDJ, petani dan perbankan akan percaya untuk memanfaatkan Resi Gudang.25

Kepala BAPPEBTI, Deddy Saleh, mengatakan perlunya memperkuat kelem-bagaan SRG agar dapat dipercaya masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya mishandling dan pailit Pengelola Gudang. Sebagai instrumen perlin-dungan terhadap nasabah apabila terjadi mishandling dan pailit yang paling murah, lembaga ini diharap dapat menjaga stabilitas dan kredibilitas SRG. Instrumen Indemnity Fund merupakan sarana asuransi paling murah untuk permasalahan SRG.

Pembentukan instrumen Indemnity Fund merupakan satu solusi untuk mengembangkan SRG yang saat ini berjalan lambat, karena tanpa ada yang menjamin, petani akan takut untuk memanfaatkan Resi Gudang. Begitu hal-nya dengan perbankan, tidak mau membiayai Resi Gudang. Lembaga penja-minan tersebut akan bekerja seperti LPS. Lembaga ini akan menjamin hasil panen petani yang disimpan melalui Resi Gudang. Selain itu, pembiayaan dari perbankan juga akan dilindungi. Lembaga ini akan memberikan ganti rugi kepada petani dan perbankan jika nantinya Pengelola Gudang menga-lami kebangkrutan.26

25 DPR Akan Bentuk Lembaga Penjaminan Resi Gudang, Kontan, 29 Juli 2010.

26 Ada lembaga Baru dalam Revisi UU Sistem Resi Gudang, (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c52c8de65ccb/ada-lembaga-baru-dalam-revisi-uu-sistem-resi-gudang-, diakses 15 November 2010).

Page 230: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

230

Menurut Sudianto Suryodarmodjo (Direktur Utama PT. Kliring Berjang-ka Indonesia (Persero)), substansi amandemen UU SRG adalah27: peningka-tan kepercayaan dan kemantapan kreditor Resi Gudang, memerlukan adanya Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (Indemnity Fund), fleksibilitas layanan Lembaga Penilaian Kesesuaian dan Pengelola Gudang untuk Resi Gudang produk pangan, penambahan tentang jenis sanksi administratif yang tegas jika terjadi kerusakan karena kesalahan Pengelola Gudang (penggantian ba-rang yang rusak atau hilang di Pengelola Gudang), dan perluasan program dukungan dalam pengembangan SRG.

Alfon Samosir (Karo Hukum BAPPEBTI)28 menyatakan bahwa isu po-kok perubahan UU SRG adalah penambahan pengaturan lembaga baru yaitu Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (Indemnity Fund). Hal ini untuk memperkuat kelembagaan agar SRG dapat lebih dipercaya masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya mishandling dan pailit Pengelola Gudang, menjaga stabilitas dan kredibilitas SRG, sebagai instrumen perlindungan terhadap nasabah apabila terjadi mishandling dan pailit yang paling murah. Beberapa negara yang telah mengatur Dana Jaminan Ganti Rugi (Indemnity Fund) dan SRGnya dipercaya dan berkembang dengan pesat adalah Amerika Serikat, Bulgaria, Kazakhstan, Ukraina.

Dengan dibentuknya LDJ untuk SRG maka diharapkan kepercayaan pelaku usaha (pemegang Resi Gudang, bank, dan Pengelola Gudang) ter-hadap integritas SRG akan semakin meningkat, sehingga dalam waktu sing-kat diharapkan implementasi dan penggunaan SRG, serta jumlah kredit yang diberikan oleh perbankan bagi pembiayaan sektor pertanian di Indonesia dapat meningkat dengan cepat.

Selain pembentukan LDJ untuk mengurangi risiko Pengelola Gudang tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disim-pan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang, penambahan definisi penerima hak jaminan dalam UU SRG juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi perbankan.29

27 PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero), Amandemen Undang-Undang No.32 TH 1997 TTG PBK, No.09 TH 2006 TTG SRG, Jakarta, 30 Agustus 2010, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR Ri tanggal 30 Agustus 2010.

28 Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), Kementerian Perdagangan Repu-blik Indonesia, Amandemen UU No. 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, Bahan Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI Masukan dan Penjelasan Kepala Biro Hukum Bappebti, Jakarta, 30 Agustus 2010, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI tanggal 30 Agustus 2010.

29 Kepastian Hukum “Roh” Revisi UU Resi Gudang, op.cit.

Page 231: buku-tim-8

Hilma Meilani

231

Penerima Hak Jaminan adalah orang yang memegang atau berhak atas hak jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan akta pembebanan hak jaminan. Hak jaminan atas Resi Gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor lain, sebagaimana dimaksud dalam UU SRG dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pada Resi Gudang, barang jaminan berada di tangan pihak ketiga (Pengelola Gu-dang), bukan pada penerima dana atau pemberi dana, sehingga penambahan definisi Penerima Hak Jaminan akan memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi pihak pemberi dana/perbankan dalam pemberian dana kepada debitor.

Dalam amandemen UU SRG juga diperlukan adanya penambahan jenis sanksi administratif. Pasal 40 ayat (2) UU SRG telah mencantumkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, pembatasan ke-giatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, dan/atau pembatalan persetujuan. Namun belum ada sanksi administratif bagi Pengelola Gudang jika ada barang yang rusak atau hilang dalam gudang. Apabila Resi Gudang jatuh tempo, Pengelola Gudang harus memberikan barang yang sama secara kuantitas dan kualitas sesuai dengan yang tercantum dalam Resi Gudang. Jika barang tersebut tidak ada dalam gudang di mana Resi Gudang dikeluarkan, maka Pengelola Gudang berkewajiban untuk mengganti dengan barang lainnya yang disimpan di gudang lain. Oleh karena itu, perlu ditambahkan jenis sanksi administratif yang dijatuhkan kepada Pengelola Gudang yang tidak memenuhi kewajiban tersebut, yaitu berupa perintah penggantian komoditas dengan barang dengan kualitas dan kuantitas yang sama sesuai dengan yang tercantum dalam Resi Gudang.

Page 232: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

232

Page 233: buku-tim-8

Hilma Meilani

233

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan salah satu instrumen dalam sistem

pembiayaan perdagangan yang digunakan oleh pemerintah untuk mengu-rangi fluktuasi harga komoditas yang merugikan petani, dan menjadi alter-natif pembiayaan usaha bagi UMKM di sektor pertanian dan petani. Sektor pertanian memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan nasional dan terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi kri-sis ekonomi. Namun demikian, pembiayaan perbankan untuk sektor perta-nian di Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan dengan penyaluran kredit di sektor perdagangan dan perindustrian. Pada tahun 2009 penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian sebesar 5,38%, jauh lebih rendah dibandingkan penyaluran kredit untuk sektor perdagangan, restoran dan hotel (20,96%) dan sektor perindustrian (17,21%). Hal ini disebabkan sek-tor pertanian masih dianggap sebagai sektor yang risikonya tinggi bagi per-bankan, dibandingkan dengan sektor perdagangan yang dinilai mempunyai risiko lebih rendah. SRG digunakan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan alternatif pembiayaan usaha bagi UMKM di sektor perta-nian dan petani dengan menjadikan hasil usahanya sebagai agunan, sehingga dapat me lanjutkan kegiatan produksi atau pengembangan usaha tanpa perlu menunggu sampai produknya ter jual pada tingkat harga yang diha rapkan.

Untuk membangun Sistem Resi Gudang (Warehouse Receipt System) dan memberikan kepastian hukum tentang SRG di Indonesia, pemerintah me-nerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gu-dang (UU SRG), beserta peraturan pelaksanaannya. UU SRG dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, menjamin dan melindungi kepen-

Page 234: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

234

tingan masyarakat, kelancaran arus barang, efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Namun kenyataannya, perkembangan kredit Resi Gudang di Indonesia masih belum berjalan dengan baik setelah adanya UU SRG. UU SRG dinilai masih belum memberi kepastian hukum kepada pe-tani maupun perbankan karena tidak tersedianya mekanisme jaminan atau asuransi yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gu-dang. Kondisi tersebut yang dinilai menghambat minat perbankan dalam mendukung instrumen Resi Gudang, dan menyebabkan banyak perbankan yang belum aktif menyalurkan pembiayaan dengan Resi Gudang sebagai agu-nan kredit.

Pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat, petani, dan perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, agar SRG dapat berkembang dengan pesat sehingga dapat me-ningkatkan pembiayaan sektor pertanian di Indonesia.

SaranB. Dalam amandemen UU SRG diperlukan penambahan definisi dan keten-

tuan mengenai Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (Indemnity Fund) untuk mewadahi jaminan atau asuransi yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling).

Untuk memberikan kepastian hukum bagi perbankan, di dalam UU SRG perlu adanya penambahan definisi Penerima Hak Jaminan. Penerima Hak Jaminan adalah orang yang memegang atau berhak atas hak jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan akta pembebanan hak jaminan.

Selain itu, dalam amandemen UU SRG juga diperlukan adanya penam-bahan jenis sanksi administratif yang dijatuhkan kepada Pengelola Gudang yang wanprestasi, yaitu berupa perintah penggantian komoditas dengan ba-rang dengan kualitas dan kuantitas yang sama sesuai dengan yang tercantum dalam Resi Gudang.

Page 235: buku-tim-8

Hilma Meilani

235

Untuk pengembangan SRG di Indonesia, diperlukan perluasan dukungan dari pemerintah dengan menyediakan gudang dan sarana pendukung lain-nya, serta sosialisasi mengenai SRG.

Page 236: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

236

Page 237: buku-tim-8

Hilma Meilani

237

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Iswi Hariyani, S.H., M.H., Ir. R. Serfianto. D.P., Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, Jakarta: Sinar Grafika, Juni 2010.

Artikel dalam Jurnal atau Majalah:

Anonim, 9 Kabupaten Operasikan SRG, BappebtiI/Mjl/111/IX/2010/Edisi Juni, 2010.

Ashari, Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indone-sia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 27 No. 1, Juli 2009.

Ashari, Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 29, No. 4, 2007.

Dokumen Resmi:

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

Peraturan Menteri Keuangan No.171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang yang Dapat Disimpan di Gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang.

Peraturan Menteri Perdagangan No.66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelak-sanaan Skema Subsidi Resi Gudang.

Page 238: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

238

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jami-nan Fidusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lem-baga Penjamin Simpanan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Thesis

Darmawanto, SH, Pengembangan Kredit Sektor Pertanian (Tinjauan pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah), Thesis, tidak dipublikasikan, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Di-ponegoro, Semarang, 2008.

Makalah:

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (BAPPEBTI), Kemente-rian Perdagangan Republik Indonesia, Amandemen UU No. 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, Bahan Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI Masukan dan Penjelasan Kepala Biro Hukum BAPPEBTI, Jakarta, 30 Agus-tus 2010.

PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero), Amandemen Undang-Undang No.32 TH 1997 TTG PBK, No.09 TH 2006 TTG SRG, Jakarta, 30 Agustus 2010.

Surat Kabar:

3 Bank Belum Realisasikan Kredit Resi Gudang Resi Gudang, Bisnis Indone-sia, 18 Oktober 2010.

Bank Kurang Minati Kredit Resi Gudang, Kontan, 19 Juli 2010.

DPR Akan Bentuk Lembaga Penjaminan Resi Gudang, Kontan, 29 Juli 2010.

Page 239: buku-tim-8

Hilma Meilani

239

Kepastian Hukum “Roh” Revisi UU Resi Gudang, Bisnis Indonesia, 29 Juli 2010.

Ketiadaan Asuransi Hambat SRG, Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2010.

Internet:

Ada Lembaga Baru dalam Revisi UU Sistem Resi Gudang, (http://www.hukumon-line.com/berita/baca/lt4c52c8de65ccb/ada-lembaga-baru-dalam-revisi-uu-sistem-resi-gudang-, diakses 15 November 2010).

Aviliani dan Usman Hidayat, Menuju Skim Pembiayaan Resi Gudang yang Atraktif, (http://www.indef.or.id/xplod/upload/arts/Resi%20Gudang.HTM), diakses 15 November 2010).

Dean Novel, SE, MM dan Sriyanto, SE, MM, Sistem Resi Gudang sebagai Sis-tem Pembayaran Perdagangan, (http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/ahim/2009/07/03/system-resi-gudang-sebagai-system-pembayaran-per-dagangan/, diakses 14 November 2010).

Kisah Sukses dari Negeri Seberang, (http://www.resigudang.com/Artikel/tabid/ 64/mid/386/newsid386 /19/Default.aspx, diakses 15 November 2010).

Rommy Rustami, RUU Resi Gudang & UU Lain Dikhawatirkan Bentrok, (http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5709&coid=2&caid=11&gid=3, diakses 14 November 2010).

Sistem Resi Gudang dan Peranan Perbankan (UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sis-tem Resi Gudang), (http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2CE50101-3268-4B57-957D-CCDF3C3AC638/10574/ Boks1.pdf, diakses 12 November 2010).

Page 240: buku-tim-8

Sistem Resi Gudang Untuk Meningkatkan Pembiayaan Sektor Pertanian Di Indonesia

240

Page 241: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

241

BAGIAN KESEMBILAN

UPAYA INDONESIA UNTUK MENEGAKKAN REZIM ANTI PENCUCIAN UANG

Oleh Niken Paramita Purwanto1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI

Page 242: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

242

Page 243: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

243

BAB IPENDAHULUAN

Kemerdekaan Indonesia sudah sejak 65 tahun yang lalu namun fakta menunjukan bahwa Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan men-dasar dalam perkembangannya seperti masalah tingkat penganguran dan kemiskinan yang masih tinggi sehingga berdampak pada kesenjangan sosial-ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. Kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia beberapa tahun belakangan ini menunjukan per-kembangan kearah yang lebih baik, hal ini dapat dicermati khususnya di bidang moneter dengan stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan tingkat suku bunga. Namun tidak demikian halnya dengan sisi mikro, kebijakan belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku pasar khususnya perbankkan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lam-bannya pertumbuhan investasi baik di dalam maupun luar negeri, sehingga mengakibatkan sektor riil belum bergerak sesuai yang diharapkan. Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya penda-patan perkapita masyarakat yang pada akhirnya berimplikasi pula pada per-masalahan sosial kemasyarakatan sehingga meningkatnya tindak pidana.

Dalam penegakan hukum, Indonesia masih belum dapat memenuhi harapan bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum tetapi juga perangkat perundang-undangan yang belum memadai serta prasarana pendukung.

Salah satu tindak pidana yang menjadi perhatian pemerintah adalah tindak pidana korupsi, illegal logging dan terorisme serta narkoba. Upaya pen-cegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut bukan hanya menjadi dominasi aparat penegak hukum tetapi sudah memerlukan peran aktif se-mua unsur seperti sektor swasta dan pemerintah yang lingkupnya tidak hanya

Page 244: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

244

domestik tetapi juga mendunia. Saat ini pemerintah sudah melakukan upaya baik sendiri maupun dengan berkerjasama sama dengan negara-negara lain walaupun hasil yang dirasakan belum maksimal.

Pada dasarnya tindak pidana korupsi, illegal logging dan narkoba pada da-sarnya bermotif ekonomi, tanpa ada kepentingan ekonomi tindak pidana ti-dak akan terjadi. Demikian pula dengan terorisme, aksi tersebut tidak mung-kin dilakukan tanpa pendanaan untuk melakukan aksi-aksi tersebut. Seorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya menjadi tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu tindak pidana apabila hasil perbuatan pi-dananya akan dikejar dan diramapas untuk negara. Pendekatan ini sering disebut dengan “strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang”.2

Kejahatan pencucian uang telah menjadi perhatian dunia selama lebih dari 20 tahun terutama dalam konteks kejahatan peredaran obat-obat terla-rang. Hal ini dikarenakan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan obat-obat terlarang sangat besar serta dampak negatif yang ditimbulkan dari penya-lahgunaan obat terlarang tersebut di tengah-tengah masyarakat. Keadaan ini kemudian menjadi perhatian serius dari banyak negara untuk melawan para pengedar obat-obat terlarang melalui hukum dan peraturan perundang-un-dangan agar mereka tidak dapat menikmati uang haram hasil penjualan obat obat terlarang tersebut. Disisi lain organisasi kejahatan melalui uang haram yang dihasilkan oleh penjualan obat terlarang bisa mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek baik pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial. Saat ini pencucian uang telah menjadi fenomena global melalui infrasruktur financial internasional yang beroperasi 24 jam sehari.

Ciri khas mendasar pencucian hasil kekayaan hasil kejahatan yang juga meliputi operasi kejahatan terorganisir dan transnasional adalah bersifat global,fleksibel dan sistem operasinya berubah-ubah, tehnologi canggih serta bantuan tenaga profesional. Namun selain itu, satu karakteristik yang jarang dicermati adalah deteksi secara terus-menerus atas profit dan ekspansi ke area-area baru untuk melakukan kegiatan kejahatan.

Mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkan dalam praktik pen-cucian uang maka isu ini menjadi isu yang lebih penting dari era sebelumnya. Kemajuan komunikasi dan transportasi membuat dunia semakin sempit,

2 Sherman T, “International Efforts to Combat Money Laundering: The Role of Financial Task Force” dalam MacQueen L (ed.), Money Laundering (Edinburg1993), hal. 12.

Page 245: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

245

sehingga penyembunyian kejahatan serta hasil kejahatan lebih mudah dila-kukan. Pelaku memiliki kemampuan untuk berpindah tempat serta memin-dahkan kekayaannya ke negara-negara lain dalam hitungan hari, jam, menit bahkan detik. Dana dapat ditransfer dari satu pusat keuangan dunia ke tem-pat lain secara real time melalui sarana online system.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu upaya untuk mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang lebih konsisten dan sistemik guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum di Indonesia.

Page 246: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

246

Page 247: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

247

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Istilah pencucian uang (money laundering) pertama kali muncul ketika All Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat tahun 1920-an memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena meng-gunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Alcapon tidak dapat dituntut dan dihukum demgan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Se-lain AlCapone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan penutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal itu dikirim ke beberapa bank di Swiss yang sangat mengutama-kan kerahasiaan nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian dia-gunkan untuk mendapatkan pinjaman untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Mayer Lansky justru bebas dari tuntutan mela-kukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya kegiatan pencucian uang di suatu negara3:

Glabalsasi sistem keuangan1. Pino Arlacchi, excecutive director UN Officer for Drug Control and Crime Prevention menyatakan bahwa “globalisation has turned the international fi-nancial system into a money launder’s dream, and this criminal process siphons

3 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Iktisar ketentuan pencegahan dan pemberanta-san tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. Jakarta 2010

Page 248: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

248

away billions of dollars per year for economic growth at the time when financial heatlh of every country affects the stability of the global of marketplace.Kemajuan bidang tehnologi informasi2. Yang mendorong maraknya pencucian uang adalah tehnologi di bidang informasi, salah satunya adalah kemunculan internet di dunia maya. Batas-batas negara menjadi tidak berarti lagi. Akibatnya kejahatan ke-jahatan terorganisir yang dilakukan oleh organisasi kejahatan menjadi mudah dilakukan secara lintas batasnegara-negara.Ketentuan kerahasiaan bank yang sangat ketat3. Berkaitan dengan informasi di bidang perpajakan (tax reforms), Uni Eropa baru-baru ini mengimbau negara-negara anggotanya untuk meniadakan ketentuan-ketentuan mengenai kerahasiaan bank. Menurut delegasi Ing-gris, Uni Eropa hanya dapat secara serius mengurangi tax evasion (seba-gai kejahatan pencucian uang) apabila Uni Eropa mempertimbangkan mengenai dihapuskannya ketentuan rahasia bank. Gagasan ini telah dengan keras ditentang di Luxemborg dan Austria.Penggunaan nama samaran atau anonim4. Di suatu negara terdapat ketentuan perbankkan yang memperbolehkan menggunakan nama samaran atau anonim bagi nasabah (individu atau korporasi) yang menyimpan dana di suatu bank. Seperti negara Austria ditengarai sebagai salah satu negara yang akhir-akhir ini menjadi salah satu negara yang akhir-akhir ini menjadi salah-satu negara yang dijadikan pangkalan untuk kegiatan pencucian uang dari parakoruptor dan organi-sasi-organisasi yang bergerak dalam perdagangan narkoba. Sehubungan dengan itu, The Financial Action Task Forces (FATF), telah menyampaikan rekomendasinya agar Austria dipekukan sebagai anggota FATF terhitung dari Juni 2000, karena Austria tidak bertindak apapun untuk menia-dakan dilakukannya penyimpanan dana tanpa nama (anonymous saving “passbook” accounts).Penggunaan electronic money (5. e-money)Munculnya jenis uang baru disebut electronic money (e-money), yang tidak terlepaskan dari maraknya e-commrece melalui internet. Praktik pen-cucian uang yang dilakukan dengan jaringan internet (cyberspace) ini di-sebut cyberlaundering. Produk-produk e-money yang telah dikembangkan terutama digunakan melalui jaringan komputer terbuka (open computer

Page 249: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

249

networks), tanpa melakukan faceto face purchase. Fasilitas ini baru tersedia secara terbatas di sebagian negara-negara yang termasuk anggota G-20. Sistem ini dapat menyediakan cara untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa melalui internet.Praktik pencucian uang secara layering6. Dengan cara layering, pihak yang menyimpan dana di bank bukanlah pe-milik sesungguhnya dari dana tersebut. Deposan tersebut hanyalah seke-dar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositkan uang itu di sebuah bank. Sering juga terjadi bahwa pihak yang menerima amanah juga bukan penerima ama-nah langsun dari si pemilik uang tetapi dari pihak lain yang menerima kuasa dari pemilik sesungguhnya. Dengan kata lain, penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik sesungguhnya dari dana tersebut, karena dia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bah-kan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanah kepada penyim-pan dana yang memanfaatkan uang di bank ternyata adalah lapis yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik sesungguhnya, terjadi estafet berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa yang bertindak secara berla-pis-lapis adalah kantor pengacara. Penegak hukum sering kali mengalami kesulitan untuk mendeteksi penyembunyian hasil-hasil kejahatan secara layering. Dalam hal ini, uang telah ditempatkan di sebuah bank dipin-dah ke bank lain, baik bank yang ada di negara tersebut atau bank yang ada di negara lain. Pemindahan dilakukan beberapa kali, sehingga sangat sulit dilacak sekalipun dengan kerjasama antar penegak hukum secara nasional, regional ataupun internasional.Berlakunya ketentuan hukum terkait kerahasiaan hubungan antara lawyer 7. dan akuntan dengan kliennya masing-masing.Dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan suatu kantor penga-cara. Menurut hukum di kebayakan negara maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para Lawyer yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.

Page 250: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

250

Pemerintah dari suatu negara kurang bersungguh-sungguh untuk mem-8. berantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem per-bankan.Pemerintah yang bersangkutan sengaja membiarkan praktek pencucian uang berlangsung di negaranya guna memperoleh keuntungan dengan menempatkan uang-uang haram di industri perbankan untuk membi-ayai pembangunan. Seperti negara Swiss, meskipun telah memiliki pera-turan perbankan yang baru, otoritas Swiss enggan mengambil tindakan terhadap nasabah-nasabah yang dicurigai. Tindakan otoritas Swiss hanya akan dilakukan apabila pemerintah negara asing dapat menyampaikan fakta atau bukti yang kuat atas tuntutannya dan memenuhi prosedur yang sangat ketat berkenaan dengan tuntutan tersebut.4

Tindak kriminalisasi perbuatan pencucian uang di suatu negara.9. Dengan kata lain, negara tersebut tidak memiliki undang-undang ten-tang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana. Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang di negara tersebut biasanya juga karena adanya keengganan dari negara tersebut untuk bersungguh-sungguh ikut aktif memberantas prktik pencucian uang secara internasional dan di negaranya sendiri.5

Ada berbagai Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh Metode Pencucian Uang bagi suatu negara diantaranya6:

Merongrong sektor swasta yang sah1. Untuk menyembunyikan dan mengaburkan hasil-hasil kejahatannya, para pencuci uang seringkali menggunakan perusahaan perusahaan ter-tentu untuk mencampuradukan uang haram dan uang yang sah. Peru-sahaan-perusahaan yang diciptakan untuk melakukan pencucian uang-mengelola dana dalam jumlah besar, yang digunakan untuk mensubsidi barang-barang atau jasa-jasa yang akan dijual di bawah harga pasar. Bah-kan perusahaan-perusahaan tersebut menawarkan barang-barang di ba-

4 James Petras, “Dirty Money: Foundation of US Growth and Empire Size and Scope of Money Laundering by US Bank”, http://www.globalresearch.ca//articles/PET1 08A.html, diakses pada tanggal 10 juni 2010

5 Sultan Remy Sjahdeni, Seluk beluk Pencucian Uang, Jakarta:Grafiti Press 2007

6 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Iktisar ketentuan pencegahan dan pemberanta-san tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. Jakarta 2010

Page 251: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

251

wah harga produksi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tersebut memiliki competitive advantage terhadapperusahaan-perusahaan sejenis yang bekerja secara sah. Sebagai konsekuensinya bisnis yang sah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga dapat menga-kibatkan perusahaan yang sah mengalami kerugian ataupun bangkrut.Merongrong Intergritas Pasar-Pasar keuangan2. Likuiditas dari lembaga-lembaga keuangan (financial institution) seperti bank akan mrnjadi buruk apabila dalam operasionalnya cenderung meng-andalkan dana hasil kejahatan. Hasil kejahatan pencucian uang dalam jumlah besar yang baru saja ditempatkan dalam sebuah bank, namun ti-ba-tiba ditarik dari bank tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akibatnya bank tersebut mengalami masalah likuiditas yang cukup serius (liquidity risk).Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi3. Pencucian uang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap nilai mata uang dan tingkat suku bunga karena uang haram yang telah diinvesta-sikan secara cepat ditarik untuk ditempatkan keembalidi negara-negara yangb tingkat keamanan atau kerahasiaannya cukup ketat. Dana investasi yang bersifat sementara itu akan otoritas dalam mewujudkan nilai mata ung dan suku bunga yang stabil sesuai dengan diharapkan, Dan pada itu,pencucian uang dapt meningkatkan ancaman terhadap ketidakstabi-lan moneter sebagai akibat terjadinya misalokasi sumber daya karena dis-torsi-distorsi aset dan harga-harga komoditas yang direkayasa. Pencucian uang dan kejahatan bidang keuangan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terhadap jumlah permintaan terhadap uang dan meningkatnya volatilitas dari arus modal internasional, suku bunga, dan nilai tukar mata uang.Sifat pen-cucian uang yang tidak dapat diduga itu menyebabkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi yang sehat yang belum dicapai.Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi4. Penanaman dana hasil kejahatan dengan tujuan pencucian uang bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi mereka lebih tertarik un-tuk melindungi hasil kejahatan. Pencuci uang tidak mempertimbangkan apakah dana yang diinvestasikan tersebut bermanfaat bagi negara pene-rima dana atau investasi. Akibat sikap yang seperti itu mengakitbatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat terganggu.

Page 252: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

252

Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak5. Pendapatan pajak pemerintah bisa berkurang karena kaburnya dana hasil kejahatan. Biasanya pemerintah setiap tahun telah mentargetkan pendapatan pajaknya. Dalam hal harta kekayaan yang menjadi objek pa-jak dipindahkan ke luar yuridiksi mengakibatkan target perolehan pajak tidak tercapai. Untuk memenuhi target ini, pemerintah membuat kebi-jakan untuk meningkatkan tarif pengenaan pajak yang merugikan wajib pajak lainnya (higher taxes rates)Risiko pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi6. Pelaku pencurian uang dapat mengancam upaya pemerintah dalam melak-sanakan program privatisasi. Dengan kepemilikan dana yang cukup besar mereka dapat menbeli saham–saham perusahaan negara yang diprivati-sasi meskipun harga jauh lebih tinggi daripada calon-calon pembeli lain. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menyembunyikan atau menya-markan hasil kejahatannya. Dan bukan untuk memperoleh keuntungan melalui investasi tersebut.Merusak reputasi negara7. Maraknya kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crimes) di suatu negara dapat mengakibatkan terkikisnya keper-cayaan pasar terhadap sistem dan institusi keuangan negara yang ber-sangkutan. Rusaknya reputasi tersebut dapat mengakibatkan hialngnya peluang-peluang bisnis yang sah. Hal tersebut pada gilirannya bisa meng-gangu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.Menimbulkan biaya sosial yang tinggi8. Hasil-hasil kejahatan yang telah dicuci oleh pelaku kejahatan, besar kemung-kinan akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas aksi-aksi kejahatan mereka. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan mengeluarkan biaya tambahan untuk kegiatan penegakan hukum dan dampak-dampak lain yang ditimbulkannya. Apabila hasil kegiatan pencucian uang itu jumlah-nya besar, dapat dimanfaatkan oleh pelaku pencucian uang mengalih-kan kekuatan ekonomi, bahkan mengendalikan atau mengambil alih pemerintah berkuasa

Page 253: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

253

BAB IIIPEMBAHASAN

Besarnya perhatian masyarakat Internasional terhadap aktivitas pencuci-an uang terutama karena pengaruh buruk yang ditimbulkannya antara lain berupa instabilitas sistem keuangan, sistem perekonomian negara dan dunia secara keseluruhan mengingat aktifitas pencucian uang sebagai salah satu kejahatan tranasional (transnational crime) yang modusnya banyak melintasi batas negara (cross border).7

Perhatian masyarakat international bukan satu-satunya alasan lahirnya kesadaran mengenai pentingnya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Perkembangan aktifitas pencucian uang memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku pencucian uang untuk meningkatkan kejaha-tannya seperti korupsi, perdagangan narkoba, penyelundupan,pembalakan liar dan aktifitas lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat menghasilkan asset atau uang yang jumlahnya sangat besar.8

Aktifitas pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan adalah dengan menyembunyikan, menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan9 dari hasil kejahatan dengan maksud agar dapat menikmati dan mengguna-kan hasil kejahatan tersebut dengan bebas karena uang haram tersebut seo-lah olah berasal dari kegiatan yang sah atau halal. Dalam perkembangannya modus pencucian uang semakin hari semakin kompleks dan canggih sejalan dengan kemajuan tehnologi informasi khususnya dibidang perbankan dan keuangan. Pelaku pencucian uang selalu berusaha menghindari pelacakan

7 http://www.moneylaundering/international.htm

8 IMF working paper no.96/55 (may 1996) at 3 dan 4

9 Sultan Remy Sjahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti,2004), hal.167-168.

Page 254: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

254

harta hasil kejahatan oleh aparat penegak hukum dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada.

Indonesia sudah menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 april 2002 dengan disahkannya Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, yang selanjuthya telah direvisi dengan undang-undang nomor 25 tahun 2003. Dalam pelaksanaannya banyak kelemahan yang ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai salah satu lembaga pelaksana UU TPPU yang berperan dalam upaya pengefektifan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU.

Modus TPPU terus berkembang dengan cara yang semakin kompleks dengan mengkaitkan lembaga keuangan dan lembaga lain yang terkait dengan keuangan. Kendala legislasi diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efek-tifnya pelaksanaan dan penegakan hukum TPPU. Hal ini juga akan menjadi sorotan dan perhatian komunitas internasional yaitu FATF, APG, IMF dan World Bank dalam mengevaluasi kepatuhan Indonesia terhadap standart internasional yang telah dirubah dan disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF Recomendations. Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas inter-nasional dinilai negatif, maka akan merusak reputasi Indonesia dimata inter-nasional.

Faktor-faktor pendukung lain yang mendukung perlunya dilaksanakan pembaharuan hukum adalah dikeluarkannya revisi rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) sebagai “standart setter” dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang harus diadopsi oleh semua negara dan adanya perkembangan “best practice”. Salah satu dari rekomendasi terse-but adalah perlunya memperluas lingkup dari pihak pelapor yang wajib mela-porkan transksi yang mencurigakan kepada lembaga yang berfungsi sebagai financial Intelligence Unit (FIU) seperti PPATK.10

Kegiatan pencucian uang memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan. Tidak seperti kejahatan lainnya seperti perampokan, pencurian atau pembunuhan yang ada korbanya secara langsung menimbul-kan kerugian.

Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak telalu mempertimbang-kan hasil yang akan diperoleh dan besarnya biaya yang harus dilakukan, ka-

10 Rekomendasi FATF no.12-16 yang telah direvisi tanggal 22 juni 2003

Page 255: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

255

rena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

Sekalipun terdapat berbagai macam tipologi /modus operandi pencuci-an uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu placement, layering dan integration. Dalam praktiknya ketiga kegiatan tersebut dapat ter-jadi secara terpisah atau simultan, namun pada umumnya dilakukan secara tumpang tindih11.

Placement1. Upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan.Bentuk kegiatan antara lain:

Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini kegiatan a. ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk menga-b. burkan audit trail.Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.c. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha d. yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.Membeli barang-barang berharga yang berniali tinggi untuk keperlu-e. an pribadi, membelikan hadiah yang nialinya mahal sebagai penghar-gaan/hadiah kepada pihak lain yang membayrkannya melaui PJK.

Layering2. Upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pi-dananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembu-nyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu se-bagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:

Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/a. negara.Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung tran-b. saksi yang sah.

11 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Iktisar ketentuan pencegahan dan pemberanta-san tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. Jakarta 2010

Page 256: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

256

Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegia-c. tan usaha yang sah maupun shell company.

Integration3. Upaya untuk menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvetasikan ke dalam berbagai bentuk kekaya-an material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali tindak pidana.International Monetary Fund (IMF)12 mencatatkan beberapa implikasi makro-

ekonomi sebagai akibat dari pencucian uang yang dapat menyebabkan ter-jadinya:

Kesalahan kebijakan karena kesalahan pengukuran data statistik makro-•ekonomiVolatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya trans-•fer data secara cross-borderPerkembangan • liability base yang tidak stabil dan struktur-struktur asset lembaga keuangan yang tidak sehat telah menimbulkan resiko sistemik yang pada gilirannya akan mengakibatkan ketidakstabilan moneterDampak buruk dari pengumpulan pajak dan juga dari pembelajaan pu-•blik karena terjadinya pelaporan yang direkayasa dan pelaporan menge-nai pendapatan yang dibuat lebih rendah dari yang semestinya.Tidak tepatnya alokasi sumber daya karena terjadinya distorsi nilai asset •dan harga-harga komoditasDampak-dampak negatif terhadap transaksi-transaksi yang sah karena •transaksi-transaksi itu diduga telah terkontaminasi oleh praktik-praktik pencucian uang.Penegakan hukum TPPU harus sejalan dengan perkembangan ekonomi

nasional. Diasumsikan semakin baik peningkatan hukum TPPU maka akan perpengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dengan ada-nya peningkatan dalam penegakan hukum maka kepastian hukum, keterti-ban dan keadilan akan menjadi lebih baik sehingga tingkat kriminalitas juga akan menurun sehingga pada akhirnya stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan menjadi lebih baik.

Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini

12 APG, history and background”, http://www.apgml.org/content/historyandbackground .isp.

Page 257: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

257

tidak terlepas dari dampak negatif tindak pidana pencucian uang antara lain dapat meningkatkan motivasi seseorang atau organisasi kejahatan un-tuk mengembangkan kejahatannya yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan dan kebodohan, merusak struktur keuangan dan perekonomian serta terganggunya stabilitas pemerintahan.

Sistem dan mekanisme penegakan hukum pencucian uang dan rezim anti pencucian uang, berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana kon-vensional. Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, penelusuran dana melalui transaksi keuangan merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejaha-tan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan. Upaya untuk me-motong mata rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasipelaku untuk mengulangi kejahatannya. Hilangnya motivasi tersebut karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil ke-jahatan menjadi terhalang dan pelaku kejahatan terorganisir tidak mampu melanjutkan kegiatannya karena sumbernya telah disita dan dirampas untuk-kepentingan bangsa.

Sebagai salah satu komponen dalam bidang keuangan PJK dapat mem-berikan manfaat maksimal kepada para pemegang saham yaitu keuntungan berupa deviden atau capital gain, bagi karyawan dapat meningkatkan peng-hasilannya dan untuk masyarakat luas dapat membuka lapangan pekerjaan, secara optimal dapat memanfaatkan fasilitas atau layanan lembaga keuangan seperti pemberian kredit. Sedang untuk pemerintah sendiri, disamping man-faat pengumpulan pajak untuk membiayai pembangunana nasional juga da-pat untuk membantu kebijakan moneter.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang masih memiliki keterbatasan dalam upaya pendeteksian tindak pidana pencucian uang, se-hingga terbuka peluang bagi pelaku tindak pidana untuk mencuci hasil ke-jahatannya. Kewenangan dari pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan rezim anti pencucian uang belum diatur secara tegas dan jelas. Ketentuan terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU serta pendanaan tero-risme tersebar dibeberapa konvesi international. Dengan telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional maka perlu dilakukan harmonisasi perun-dang-undangan yang terkait.

Page 258: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

258

Page 259: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

259

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Secara politis pembangunan rezim anti pencucian uang telah menjadi ba-

gian penting dalam pembangunan politik dalam negeri maupun internatio-nal. Pembangunan politik dalam negeri menuntut adanya good governance dalam setiap proses penyelenggaraan negara.

Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat international senan-tiasa berupaya melaksanakan tata pergaulan internasional agar dapat secara seimbang dan proposional duduk sejajar dan bersama negara-negara lain. Se-hingga pembangunan rezim pencucian uang merupakan kebutuhan bersama seluruh negara untuk diterapkan dalam sistem hukum masing-masing.

Untuk dapat membangun rezim anti pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengatisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya menyembunyikan hasil kejahatannya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dalam un-dang-undang yang ada mengandung beberapa kelemahan antara lain krimi-nalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, karena adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi saksi berikut bentuk-bentuk saksi. Ketiga masih terbatasnya pihak pelapor yang ha-rus menyampaikan laporan kepada ppatk termasuk jenis laporannya.

Page 260: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

260

Kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan per-hatian dari komunitas internasioanal yaitu FATF,APG, IMF dan world bank dalam mengevaluasi kepatuhan indonesia terhadap standart internasional yang disepakati bersama yaitu 40+9 FATF Recommendations. Apabila hasil eva-luasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, maka akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga Indone-sia akan dianggap sebagai negara yang tidak koperatif dalam pemberantasan TPPU.

SaranB. Sehubungan dengan hal tersebut maka Indonesia perlu segera melaku-

kan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam UU no.15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU no.25/2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah merubah sebagaimana tercermin dalam “revised 40+9 FATF recommendation serta ketentuan anti mo-ney laundering regime yang berlaku secara internasional.

Adapun beberapa materi pokok dalam RUU yang telah disepakati ber-sama, antara lain:

Penyempurnaan kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang lebih jelas 1. dan tidak menimbulkan multi tafsir serta memasukan atau menambahkan rumusan mengenai pemindanaan terhadap setiap orang yang menyem-bunyikan atau menyamarkan atas asal-usul, sumber, alokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekaya-an yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana.Penjatuhan sanksi pidana dan saksi administratif, dimana saksi pidana 2. dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda dan menghapus ketentuan mengenai sanksi pidana minimum khusus. Khusus bagi kor-porasi, selain pidana pokok berupa denda, dapat dijatuhkan pidana tam-bahan.Pengukukhan penerapan prinsip Pengguna Jasa, dimana ketentuan menge-3. nai prinsip mengenali pengguna jasa ditetapkan da diawasi oleh lembaga pengawas dan pengatur (Bank Indonesia dan BAPEPAM-LK kementeri-an Keuangan). Namun dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap pihak pelapor yang bersangkutan, maka ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur oleh PPATK.

Page 261: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

261

Perluasan pihak plapor, dimana pihak pelapor meliputi Penyedia Jasa 4. Keuangan dan Penyedia Barang dan atau Jasa lainnya seperti perusahaan properti/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang perma-ta berlian dan perhiasan / logam mulia, pedagang barang seni dan antik atau balai lelang.Perluasan pelaporan dan penyedisa Jasa Keuangan (PJK) dimana selain 5. pelaporan Transaksi Keuangan Mencurugakan (TKM) dan pelaporan Transaksi Keuangan Tunai (TKT), PJK wajib melaporkan kepada PPATK transfer dana ke dalam dan keluar wilayah Indonesia atau yang dikenal dengan IFTI atau International Fund Transfer Instraction.Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa, 6. dimana penyedia barang dan /atau jasa lain wajib menyampaikan kepada PPATK laporan transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa yang nilai-nya paling sedikit atau setara dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).Pemberiaan kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi, 7. dimana penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan terhadap transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja dalam hal pengguna jasa mela-kukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, atau diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu;Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyi-8. dik dugaan tindak pidana pencucian uang, dimana diatur bahwa penyi-dik tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pida-na asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU pencegahan dan pemberantasan TPPU;Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk meng-9. hentikan sementara transaksi, dimana PPATK melakukan pemeriksaan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan terkaitdengan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain dan da-pat meminta jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi.

Page 262: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

262

Page 263: buku-tim-8

Niken Paramita Purwanto

263

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Revised 40+9 FATF Recommendations, FATF, 22 Juni 2003 dan 22 oktober 2004.

Rosalia Suci H, ”Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Custo-mer/KYC) Di Perbankan”, dalam Laporan Pelaksanaan Seminar KYC dan Undang-undang Tindak Pidana PencucianUang (Mei 2005).

Sherman T, “International Efforts to Combat Money Laundering: The Role of The Financial Task Force”, dalam MacQueen L (ed), Money Launde-ring, Edinburg 1993.

James Petras, ”Difty Money: Foundation of US Growth and Empire Size and Scope of Money.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Iktisar ketentuan pencega-han dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. Jakarta 2010.

Sultan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang, Jakarta: Grafiti Press 2007.

Sultan Remy Sjahdeini. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: PT. Puataka Utama Grafiti, 2008.

Tim Penyusun, Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum TPPU, Jakarta: Direktoran Hukum dan Regulasi, PPATK, 2009.

Yunus Husein, ”Kata Pengantar” dalam Tim Penyusun, Sistem dan Mekanis-me Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Lain. Jakarta PPATK, 2006.

Page 264: buku-tim-8

Upaya Indonesia Untuk Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang

264

Makalah/Jurnal

Vito Tanzi, ”Money Laundering and the Intenational Finance System”, IMF Working Paper No. 96155 (May 1996).

Internet

APG, history and background”, http://www.apgml.org/conten/historyand-background .isp. diakses padatanggal 10 Juni 2010.

Laundering by US Bank”, http://www.globalresearch.ca//articles/PET1 08A.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2010.

Marjono Reksodiputro, ” Money Laundering Bank Secrecy Acts, (Desember 2003), http : //www.komisihukum.go.id/article_opinion. diakses pada tanggal 10 Juni 2010.

Page 265: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

265

BAGIAN KESEPULUH

PERKEMBANGAN PASAR MODAL DI INDONESIA

Oleh Nidya Waras Sayekti1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 266: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

266

Page 267: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

267

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangA. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional suatu negara, diper-

lukan pembiayaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Kebutuhan pembiayaan pembangunan tersebut semakin besar seiring perkembangan dan tidak akan dapat dibiayai oleh pemerintah saja melalui penerimaan pajak dan penerimaan lainnya. Pada Bab IV Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 ten-tang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 ditegaskan menge-nai masalah Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi. Dalam Butir A.7 dari Bab IV tersebut disebutkan bahwa “Mengembangkan peratu-ran perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.” Selanjutnya Bab IV GBHN Butir B.7 menyebutkan bahwa “Mengembang-kan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efesiensi, efektivitas, untuk menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri” dan Butir B.8 menyebut-kan bahwa “Mengembangkan pasar modal yang sehat, transparan, efisien, dan meningkatkan penerapan peraturan perundangan sesuai dengan standar internasional dan diawasi oleh lembaga independen.”

Atas dasar hal tersebut, maka pasar modal sebagai salah satu alternatif pembiayaan pembangunan harus dapat memfasilitasi perkembangan ekono-mi pasar2. Pada era globalisasi, pasar modal merupakan alternatif pendanaan jangka panjang yang cukup penting. Pasar modal dapat diibaratkan dengan mall atau pusat perbelanjaan, hanya saja yang membedakannya adalah barang-barang yang diperjualbelikan. Pasar modal hanya menjajakan produk-produk

2 Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, PT Alumni, Bandung, 2005, hal.2.

Page 268: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

268

yang bersifat seperti obligasi dan efek. Pasar ini berfungsi untuk menghu-bungkan investor, perusahaan dan institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang3.

Melalui pasar modal, investor dapat melakukan investasi di beberapa perusahaan melalui pembelian efek-efek baru yang ditawarkan atau yang di-perdagangkan di pasar modal. Sementara itu, perusahaan dapat memperoleh dana yang dibutuhkan dengan menawarkan instrumen keuangan jangka pan-jang. Adanya pasar modal memungkinkan para investor untuk memiliki pe-rusahaan yang sehat dan berprospek baik, karena tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang tertentu. Penyebaran kepemilikan yang luas akan mendorong perkembangan perusahaan yang transparan. Ini tentu saja akan mendorong menuju terciptanya good corporate governance.

Nilai positif lainnya dari lembaga pasar modal adalah menyediakan sara-na diversifikasi risiko, baik untuk emiten maupun untuk pemodal. Ada pula fungsi lainnya, antara lain fungsi pasar modal dalam mekanisme alokasi mo-dal dan pemantauan korporasi, serta sebagai sarana bagi pemerintah untuk melaksanakan ekonomi pasar disamping memanfaatkan baik kebijakan fis-kal maupun moneter. Dalam hal pasar modal sebagai suatu pusat ekonomi, maka apabila pasar modal runtuh akan berakibat berantai pada sektor lain. Itulah sebabnya mengapa pasar modal harus diawasi secara ketat4.

Sejarah perkembangan pasar modal di Indonesia mengalami pasang surut sejak awal keberadaannya hingga saat ini. Menurut Jasso Winarto per-kembangan pasar modal di Indonesia terjadi karena adanya kebijaksanaan pembangunan nasional dari pemerintah yang melahirkan jangkauan yang lebih luas dibandingkan di banyak negara. Jangkauan tersebut mencakup 3 aspek mendasar, yaitu:5

Mempercepat proses perluasan keikutsertaan masyarakat dalam pemili-1. kan saham perusahaan;Diarahkan pada aspek pemerataan pendapatan masyarakat melalui pe-2. merataan pemilikan saham perusahaan;Untuk lebih menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pengerahkan 3. dan menghimpun dana untuk digunakan secara produktif.

3 http://www.infovesta.com/roller/vesta/entry/perkembangan_pasar_modal_di_indonesia, Perkem-bangan Pasar Modal Indonesia, diakses 15 November 2010.

4 Jusuf Anwar, opcit, hal.3.

5 Ibid, hal.5.

Page 269: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

269

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pasar mo-dal adalah prinsip-prinsip keterbukaan dan perlindungan para investor ka-rena prinsip tersebut merupakan prinsip baku yang berlaku universal dan hal itu harus dijamin melalui sistem hukum yang baik, kelembagaan yang je-las fungsi dan tugasnya masing-masing, serta pelaksanaan penegakan hukum yang tegas dan adil.

PermasalahanB. Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat

diidentifikasi yaitu sebagai berikut:Bagaimana perkembangan pasar modal di Indonesia dari awal keberada-1. annya hingga saat ini?Bagaimana struktur pasar modal yang ada di Indonesia saat ini?2. Bagaimana peranan hukum dalam pasar modal Indonesia?3. Bagaimana peran Pasar Modal Syariah dalam pembangunan ekonomi 4. nasional?

Tujuan PenulisanC. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana per-

kembangan pasar modal di Indonesia dari awal keberadaannya hingga saat ini, mengetahui struktur pasar modal yang ada di Indonesia saat ini, menge-tahui bagaimana peranan hukum dalam pasar modal Indonesia, dan menge-tahui bagaimana peran pasar modal syariah dalam pembangunan ekonomi nasional.

Page 270: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

270

Page 271: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

271

BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN

Sejarah perkembangan Pasar Modal di Indonesia dapat dibedakan men-jadi empat periode, yaitu:

Periode Sebelum Kemerdekaan Indonesia (tahun 1912 sampai dengan 1. 1940)Periode Orde Lama (tahun 1950 sampai dengan 1960)2. Periode Orde Baru (tahun 1960 sampai dengan 1997) 3. Pasar Modal Dewasa Ini (Pasca Orde Baru)4. Aktivitas pasar modal yang merupakan salah satu potensi perekonomian

nasional, memiliki peranan yang penting dalam menumbuhkembangkan per-ekonomian nasional. Dukungan sektor swasta menjadi kekuatan nasional se-bagai dinamisator aktivitas perekonomian nasional. Walaupun demikian, di Indonesia, ternyata pasar modal masih didominasi oleh pemodal asing. Pada penutupan perdagangan BEI tahun 2010, BEI membukukan nilai pembelian bersih (nett buy) asing selama 2010 senilai Rp 26,74 triliun, atau melonjak dari posisi tahun 2009 Rp 13,78 triliun.6 Idealnya, dalam pasar modal perlu ada keseimbangan antara pemodal asing dengan pemodal lokal. Pasar modal Indonesia masih dianalogikan dengan arena judi, bukan sebagai sarana in-vestasi. Akibatnya, hal ini menyebabkan peningkatan fluktuasi dan merugikan investor minoritas.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal merupakan landasan utama mengenai kebijakan pasar modal. Konsekuensi logis dari pengaturan ini adalah harus dilakukannya peningkatan kualitas seperti in-formasi, pelayanan, dan lain-lain. Robert Pardy dalam Jusuf Anwar mengata-kan bahwa pengembangan pasar modal memerlukan adanya campur tangan

6 Berharap Rekor Baru 2011, Bisnis Indonesia, 31 Desember 2010.

Page 272: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

272

pemerintah dalam bentuk pengawasan dan pembangunan yakni7:Pengawasan (1. supervisory): dituangkan dalam bentuk kewenangan dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan dalam format Lembaga Pengawas.Pembangunan (2. development): Mengembangkan pasar modal termasuk da-lam kebijakan fiscal dan moneter.Perkembangan pasar modal dan peraturan adalah dua realitas yang ha-

rus seiring sejalan dengan perkembangan pasar modal dunia. Merespon per-kembangan global dan dinamika internal tersebut, pemerintah Indonesia saat ini berusaha untuk memajukan pasar modal agar sesuai dengan kondisi perkembangan ekonomi dunia8. Seiring perkembangan pasar modal Indo-nesia, perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah menjadi prioritas pembahasan DPR RI di tahun 2011.

Selanjutnya, untuk menunjang tugas operasional yang menyangkut pembi-naan, pengaturan, dan pengawasan pasar modal, Bapepam menetapkan Pera-turan Bapepam yang dijabarkan dalam keputusan Ketua Bapepam9. Menurut bidang tugasnya, pelaku pasar modal bisa dikelompokkan menjadi pengawas, penyelenggara, pelaku utama, lembaga dan profesi penunjang pasar modal10.

Dalam perkembangannya, pasar modal pun menyadari potensi penghim-punan dana umat Islam cukup besar dan perlu diinvestasikan di tempat yang benar. Dalam rangka itu, Bapepam meluncurkan pasar modal syariah pada tanggal 14-15 Maret 2003 sekaligus melakukan penandatanganan Nota kese-pahaman dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). DSN juga melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan PT Danareksa Investment Management yang selanjutnya membentuk Jakarta Islamic Index (JII) untuk kepentingan investasi syariah.

7 Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, PT Alumni, Bandung, 2005, hal.69.

8 Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesiai, Ken-cana, Jakarta, 2009, hal.9.

9 opcid, hal.69.

10 Sawidji Widiatmodjo, Pasar Modal Indonesia:Pengantar & Studi Kasus, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hal.33.

Page 273: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

273

BAB IIIPEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Pasar Modal IndonesiaA. Periode Sebelum Kemerdekaan Indonesia (tahun 1912 sampai dengan 1. 1940)Kegiatan jual beli saham dan obligasi sebenarnya telah dimulai pada abad

XIX. Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa di Batavia. Bursa ini merupakan bursa tertua keempat di Asia, setelah Bombay, Hongkong dan Tokyo. Bursa yang dinamakan Vereniging voor de Effectenhandel, memperjualbelikan saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.

Minat masyarakat terhadap pasar modal mendorong didirikannya bursa di kota Surabaya (11 Juni 1925) dan Semarang (1 Agustus 1925). Perkembangan pasar modal pada saat itu, terlihat dari nilai efek yang mencapai NIF 1,4 milyar, pun demikian perkembangan pasar modal ini mengalami penyurutan akibat Perang Dunia II. Saham Belanda pada saat itu dikuasai musuh sehingga pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijakan untuk memusatkan perda-gangan efeknya di Batavia dan menutup bursa efek di Semarang dan Surabaya. Pada tanggal 17 Mei 1940, dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam Bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup.

Page 274: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

274

Periode Orde Lama (tahun 1950 sampai dengan 1960)2. Setahun setelah Pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepat-

nya pada tahun 1950, pemerintah mengeluarkan obligasi Republik Indo-nesia, yang menandakan mulai aktifnya Pasar Modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat Nomor 13 tanggal 1 Sep-tember 1951, yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 15 tahun 1952 tentang Bursa disusul dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 28973/UU tanggal 1 November 1951.

Setelah terhenti selama 12 tahun, Pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952. Penyelenggaraan tersebut kemudian diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efeknya (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan se-belum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik per-orangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam. Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diaki-batkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.

Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hu-bungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indo-nesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi Nomor 86 Tahun 1958.

Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indo-nesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia. Sebagian be-

Page 275: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

275

sar investor perseorangan dan perusahaan Belanda banyak yang meninggal-kan Indonesia11.

Tingkat inflasi yang cukup tinggi ketika itu ikut mengguncangkan keper-cayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal serta mata uang ru-piah sendiri. Hal ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi men-jadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.

Periode Orde Baru (tahun 1960 sampai dengan 1997) 3. Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru adalah mena-

han dan membuat perekonomiaan Indonesia normal kembali. Kebijaksanaan ini mampu mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal.

Dengan Surat Keputusan Direksi BI (waktu itu masih bernama BNI Unit I) No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968, di Bank Indonesia di bentuk Tim Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal (PUM). Tim ini bertugas mengumpulkan data dan memberikan usul kepada gubernur bank sentral untuk mengembang-kan pasar modal di Indonesia. Dari hasil penelitian tim tersebut, dapat dike-tahui bahwa benih dari pasar modal di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952. Akan tetapi, berhubung dengan situasi politik dan akibat suramnya suasana di bidang moneter, serta masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 sampai dengan tahun 1976 mengalami kemunduran.

Setelah tim persiapan PUM menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka tim dibubarkan dan sekaligus dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep-02/MK/IV/1970, maka didirikan tim Pasar Uang dan Pasar Modal yang diketuai oleh gubernur bank sentral dengan tugas:

Membantu menteri keuangan mempersiapkan langkah-langkah ke arah a. pelaksanaan pengembangan PUM;Mengaktifkan kembali bursa efek.b.

11 Sawidji Widiatmodjo, Pasar Modal Indonesia:Pengantar & Studi Kasus, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Page 276: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

276

Tugas yang dikerahkan menteri keuangan kepada tim mengenai dasar pe-mikiran pengembangan PUM telah selesai dilaksanakan, maka dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan dan dibentuk Badan Pembina Pasar Uang dan Modal (Bapepum) dengan tugas membantu menteri keuangan dalam kegiatan:

Melaksanakan pembinaan PUM tahap demi tahap menurut situasi serta a. kebutuhan;Mempersiapkan pembentukan suatu lembaga pasar uang dan modal;b. Melaksanakan pengawasan atas aktivitas bursa efek.c. Dengan terbentuknya wadah pasar uang dan modal yang diketuai oleh

gubernur bank sentral, maka terlihat kesungguhan dan intensitas pembahasan usaha-usaha untuk membentuk kembali pasar uang dan modal di Indonesia.

Untuk memenuhi tenaga teknis yang akan mengemban tugas operasional yang masih langka, sebanyak 15 orang pejabat Bank Indonesia dan departemen Keuangan dilatih di luar negeri, terutama di Negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, yang diperkirakan memiliki problem-problem hampir sama dengan Indonesia.

Pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang dike-tuai oleh Gubernur Bank Sentral. Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali Pasar Uang dan Pasar Modal. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.

Sebagai klimaksnya, pada 10 Agustus 1977, berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1976, pasar modal di Indonesia diaktifkan kembali dengan tujuan:

Mempercepat proses perluasan pengikutsertaan masyarakat dalam pemi-a. likan saham perusahaan-perusahaan swasta menuju pemerataan penda-patan masyarakat;Menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pengarahan dan penghim-b. punan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional; sertaMendorong perusahaan-perusahaan yang sehat dan baik untuk menjual c. sahamnya melalui pasar modal dengan memberikan keringanan-keringanan di bidang perpajakan.Pada zaman orde baru inilah perkembangan pasar modal dapat dikelom-

pokkan menjadi dua, yaitu tahun 1977 sampai dengan tahun 1987 dan tahun 1987 sampai dengan tahun 1990.

Page 277: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

277

Pra-Deregulasi (1976 – 1987)a. Sampai dengan tahun 1983, telah tercatat 26 (dua puluh enam) perusaha-an yang telah go publik dengan dana yang terhimpun sebesar Rp 285,50 miliar. Aktifitas go publik dan kegiatan perdagangan saham di pasar modal pada saat itu masih berjalan sangat lambat, walaupun pemerintah telah memberikan beberapa upaya kemudahan antara lain berupa fasilitas per-pajakan untuk merangsang kegiatan di bursa efek. Beberapa hal berikut ini merupakan faktor penyebab kurang bergairahnya aktifitas pasar modal:

Ketentuan laba minimal sebesar 10% dari modal sendiri sebagai sya-1) rat go publik adalah sangat memberatkan emiten;Investor asing tidak diijinkan melakukan transaksi dan memiliki sa-2) ham di bursa efek;Batas maksimal fluktuasi harga saham sebesar 4% per hari;3) Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan 4) seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa efek.

Era Deregulasi (1987 – 1990)b. Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai dere-gulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.

Paket Kebijakan Desember (Pakdes) 19871) Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam), seperti biaya pendafta-ran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memper-kenalkan bursa parallel (over the counter market) sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 19882) Pakto 1988 pada hakekatnya ditujukan pada sektor perbankan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit) dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif ter-

Page 278: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

278

hadap perkembangan pasar modal sebab dengan keluarnya kebijaksa-naan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.Paket Kebijakan Desember (Pakdes) 19883) Pakdes 1988 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh terhadap pasar modal sehingga pemanfaatan dana dari pasar modal sama mudah dan murahnya dengan sumber dana lainnya, dan yang paling penting, Pakdes membuka peluang bagi swasta untuk menyeleng-garakan bursa.

Tiga kebijaksanaan inilah yang mengubah aktivitas pasar modal dari stagnasi pada periode 1977 hingga 1987 menjadi aktif untuk periode 1988 hingga terjadinya krisis moneter tahun 1997.

Pasar Modal Dewasa Ini (Pasca Orde Baru)4. Di era reformasi ini, ada empat peristiwa penting yang pantas dicatat

sebagai sejarah pasar modal Indonesia, yaitu krisis moneter; indeks menem-bus angka tiga digit; merger; dan bursa berganti nama. Pada pertengahan 1997, Indonesia tertular krisis moneter dari Thailand, bahkan derita yang disandang Indonesia jauh lebih sakit disbanding Thailand, kondisi ini sangat berdampak besar bagi pasar modal Indonesia. Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp 2000-an menjadi di atas Rp 10.000-an, membuat pasar modal Indonesia tidak menarik sebab banyak perusahaan yang sudah terdaftar di bursa menjadi merosot kinerjanya, bahkan negative modalnya. Ini menyebabkan merosotnya harga-harga saham sehingga membuat investor merugi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah mencapai di atas 700-an, anjlok dan tinggal sedikit di atas 200-an12.

Pada periode ini bisa dikatakan sebagai “masa berkabung” bagi dunia pasar modal sebab terjadi berbagai penurunan, mulai dari size-yang ditandai dengan menurunnya market capitalization-hingga jumlah investor yang me-nyusut menjadi tinggal 50.000 orang. Upaya untuk mengatasi masalah ini memang banyak dilakukan, yang paling berarti di antaranya melepas batasan kepemilikan asing; yang tadinya 49% menjadi 100%, kecuali untuk saham perbankan. Bahkan, akhirnya investor asing boleh memiliki saham bank se-cara full 100%. Namun demikian, tampaknya dengan adanya peristiwa krisis

12 Ibid, hal.22

Page 279: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

279

moneter tersebut, justru pasar modal mendapat pelajaran paling berharga, yaitu menjadi lebih reliastis. Misalnya, harga perdana yang ditawarkan men-jadi tidak terlalu jauh berbeda disbanding harga nominal, bahkan dari nilai buku. Demikian pula para perusahaan pialang menjadi lebih aktif melaku-kan pemasaran dalam rangka menjaring investor, sementara itu perusahaan reksadana menjadi makin kreatif13.

Kini, semua upaya itu telah membuahkan hasil. IHSG sudah kembali ke posisi sebelum krisis, yaitu di atas 700-an, bahkan sudah mencapai rekor baru menembus tiga digit, 1000. Langkah penting lainnya adalah menggabungkan (merger) dua bursa pada September 2007 yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), yang masing-masing dijalankan oleh perseroan terbatas menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Melalui merger ini diharapkan dapat makin memberikan peluang bagi perusahaan ke pasar modal.

Melalui penggabungan ini, biaya pencatatan menjadi lebih murah, ka-rena hanya mencatatkan saham secara single listing, sudah terakreditasi pada BEI. Sementara itu, bagi anggota bursa, dengan menjadi anggota bursa atau pemegang saham BEI, akan langsung menembus pasar. Bagi investor peng-gabungan ini menjadikan makin banyaknya pilihan investasi, karena tidak ada lagi pembedaan pasar BES dan BEJ, karena produk investasi ditawarkan dalam satu atap, BEI.

Dalam penutupan perdagangan akhir tahun 2010, indeks IHSG BEI mencapai 3.703,51. Pencapaian itu naik 46,13% dibandingkan dengan posisi tahun 2009 yang berada di level 2.534,36. Selain itu, nilai kapitalisasi pasar tahun 2010 menembus Rp 3.247,09 triliun atau naik 60,79% disbandingkan dengan perolehan tahun 2009 senilai Rp 2.019,38 triliun14. Gambaran ten-tang kinerja BEI pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009 adalah sebagai berikut:

13 Ibid, hal.23

14 Berharap Rekor Baru 2011, Bisnis Indonesia, 31 Desember 2010.

Page 280: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

280

Tabel 1.3KINERJA BEI

Indikator 2009(Rp triliun)

2010(Rp triliun)

%

Nilai Kapitalisasi Pasar 2.019,38 3.247,09 60,79

Nilai Transaksi Saham 975,21 1.249,27 28,10

Nilai Transaksi Harian 4,80 4,05 18,74

Nilai Bersih Transaksi Saham 13,78 26,74 94,04

Nilai Emisi IPO 3,72 29,3 687,63

Nilai Emisi Right Issue 10,83 48,67 349,39

Nilai Emisi Obligasi 29,31 34,7 23,53

Nilai Emisi Sukuk 1,78 0,7 (60,67)Sumber: Bisnis Indonesia

Struktur Pasar Modal IndonesiaB. Pelaku pasar modal adalah seluruh unsur, bisa individu atau organisasi,

yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal sehingga pasar modal bisa melakukan kegiatan seperti yang kita lihat sehari-hari. Banyak pihak yang mempunyai andil dalam kegiatan di pasar modal itu. Secara struktural, bisa dilihat di bagan 3.1., sedangkan menurut bidang tugasnya, pelaku pasar mo-dal bisa dikelompokkan menjadi15:

Pengawas1. Untuk tugas pengawasan, secara resmi dilakukan oleh Bapepam-LK (Ba-dan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan). Bapepam-LK adalah lembaga pemerintah di bawah Departemen Keuangan. Pada prinsipnya, Bapepam-LK berperan:

Mengawasi kegiatan perdagangan efek agar tidak menyimpang dari a. peraturan yang ada, terutama terhadap UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal;Melakukan pengujian terhadap semua personil yang menyandang b. profesi tertentu di pasar modal, seperti pialang, manajer investasi, penasehat investasi, dan yang lainnya;Memberikan izin kepada perusahaan yang ingin melakukan kegiatan c. di pasar modal.

15 Sawidji Widiatmodjo, Pasar Modal Indonesia:Pengantar & Studi Kasus, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Page 281: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

281

Penyelenggara2. Bursa efek adalah penyelenggara bursa (perdagangan surat berharga). Tu-gas utama bursa adalah menyediakan fasilitas perdagangan agar proses transaksi bisa berjalan dengan fair dan efesien. Untuk bisa menjalankan tugas ini, BEI terus memperbaiki teknologi yang dimilikinya. Adapun peran bursa efek adalah16:

Pada intinya mengorganisasikan dan menyediakan fasilitas bagi ang-a. gotanya sehingga semua anggota bursa dapat melakukan perdagangan secara adil, efeisen, dan transparan;Melakukan pencatatan, pembekuan perdagangan, dan pencabutan b. (delisting) atas efek yang listing di bursa bersangkutan.

Sedangkan hubungan bursa efek dengan emiten adalah:Memantau atau paling tidak meminta informasi kepada emiten jika a. terjadi sesuatu yang luar biasa atas saham emiten tersebut. Dengan de-mikian emiten seharusnya menjalin hubungan yang harmonis dengan bursa efek.Bursa efek melakukan pemantauan kegiatan dalam rangka melindungi b. investor dari prakti-praktik yang dilarang oleh peraturan bursa efek dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Karena itu, emiten harus benar-benar memahami segala peraturan yang berlaku yang berhubungan dengan perlindungan investor, sebab eksistensi emiten akan ditentukan oleh investor ini. Jika investor tidak berminat membeli efek emiten, maka emiten tidak akan bisa masuk bursa efek.

Pelaku Utama3. Pelaku inti transaksi di pasar modal adalah investor dan emiten. Hanya saja, pelaku inti ini tidak bisa melakukan transaksi secara langsung, me-reka harus dibantu oleh tenaga professional yang dinyatakan telah lulus ujian profesi dan dibuktikan dengan dengan kepemilikan sertifikat. Se-cara lengkap, para pelaku utama terdiri atas:

Emitena. Emiten adalah perusahaan swasta atau BUMN (Badan Usaha Milik Ne-gara) yang mencari modal dari bursa efek dengan cara menerbitkan efek (saham, obligasi, right issue, dan waran). Adapun peran emiten adalah17:

16 Ibid, hal.35.

17 Ibid, hal.36.

Page 282: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

282

Menerbitkan efek, yang kemudian dijual kepada investor guna 1) mendapatkan modal;Untuk bisa menerbitkan efek yang laku dijual, emiten harus mem-2) punyai prestasi yang baik dan tidak memiliki cacat hukum. Dengan demikian, emiten berperan menjamin efek yang diterbitkan sah menurut hukum;Emiten merupakan sumber pertama informasi mengenai efeknya. 3) Kebenaran informasi dari emiten merupakan tanggung jawab emiten bersangkutan.

Investorb. Investor adalah individu atau organisasi yang membelanjakan uangnya di pasar modal. Jadi pada prinsipnya semua pihak bisa menjadi investor. Penjamin Emisi (c. Underwriter)Penjamin emisi adalah perusahaan swasta atau BUMN yang menjadi penanggung jawab atas terjualnya efek kepada investor. Sebelum pernya-taan pendaftaran diajukan ke Bapepam-LK, emiten harus menunjuk penjamin emisi. Sebenarnya, penjamin emisi inilah yang menjual efek, sedangkan emiten hanya menerbitkannya. Penjamin emisi lebih banyak membantu kepentingan emiten disbanding kepentingan investor.Pialangd. Pialang atau broker adalah perusahaan swasta atau BUMN yang akti-vitas utamanya adalah melakukan penjualan atau pembelian efek di pasar sekunder (setelah efek dicatat di bursa). Namun, peranannya juga diperlukan pada pasar perdana, yaitu membantu penjamin emisi da-lam memasarkan efek; sebagai agen penjual. Perusahaan pialang bisa bertindak atas nama investor kalau sedang melaksanakan amanah in-vestor atau bertindak atas kepentingannya sendiri ketika melakukan transaksi untuk portofolionya sendiri. Manajer investasie. Manajer investasi adalah perusahaan yang kegiatannya menyelenggara-kan pengelolaan portofolio efek. Perusahaan inilah yang menerbitkan sertifikat reksadana. Dalam melakukan investasi, manajer investasi bisa menggunakan modalnya sendiri (dari promoter) dan ditambah dengan modal yang dikumpulkan dari para investor. Jadi, hampir sama dengan perusahaan pialang, manajer investasi juga bisa mewakili kepen-

Page 283: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

283

tingan investor. Hanya saja, manajer investasi berkewajiban memberi-kan imbalan kepada investor, sedangkan perusahaan pialang tidak18.Penasehat investasif. Penasihat investasi adalah perusahaan atau perorangan yang kegiatan usahanya memberi nasihat, membuat analisis, dan membuat laporan mengenai efek kepada piha lain, seperti manajer investasi, lembaga pengelola dana pension ataupun pemodal perorangan. Adapun peran penasihat investasi adalah mempermudah dalam pengambilan kepu-tusan untuk membentuk portofolio, misalnya berap persen dana yang diinvestasikan pada saham, berapa persen untuk obligasi, dan yang lainnya19.

Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal4. Bagi calon perusahaan public, pelaku lembaga dan profesi penunjang pasar modal adalah yang sangat penting karena akan membantu proses penerbitan saham. Tugas utama penunjang saham adalah membantu terselenggaranya penerbitan efek. Penunjang atau pendukung ini terdiri atas dua kelompok, yaitu lembaga penunjang pasar modal terdiri dari20:

Biro administrasi efek (BAE)a. Biro Administrasi Efek (BAE) adalah perusahaan yang berdasrakan kontrak tertentu dengan emiten, menyediakan perusahaan yang ber-dasarkan kontrak tertentu dengan emiten, menyediakan jasa-jasa, beru-pa melaksanakan pembukuan, transfer dan pencatatan, pembayaran dividen, pembagian hak opsi, dan emisi sertifikat atau laporan tahunan untuk emiten.Tempat Penitipan Harta atau b. CustodianTempat Penitipan Harta (TPH) atau custodian adalah perusahaan yang memberikan jasa menyelenggarakan penyimpanan harta yang dititip-kan oleh pihak lain. Wali amanatc. Wali amanat trust agent) adalah perusahaan yang dipercaya untuk me-wakili kepentingan seluruh investor obligasi atau sekuritas kredit.

18 Ibid, hal.41.

19 Ibid, hal.42.

20 Ibid, hal.43.

Page 284: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

284

Penanggungd. Penanggung adalah perusahaan yang menanggung pembayaran kem-bali jumlah pokok dan bunga emisi obligasi atau sekuritas kredit da-lam hal emiten cidera janji.Lembaga Kliring dan Penjamin (LKP)e. Lembaga Kliring dan Penjamin (LKP) adalah perusahaan yang tugas utamanya mencatat transaksi yang dilakukan perusahaan pialang. Se-karang ini, di Indonesia hanya ada satu LKP, yaitu PT Kliring dan Penjamin Efek Indonesia (KPEI)Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan (LPP)f. Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan (LPP) adalah perusahaan yang mempunyai tanggung jawab menyelesaikan (settlement) semua transaksi yang sudah dicatat LKP. Disamping itu, LPP juga memberi-kan jasa TPH. Di Indonesia, LPP ditangani oleh PT KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia).

dan profesi penunjang pasar modal terdiri atas:Akuntan publika. Konsultan hukumb. Notariesc. Penilaid.

Page 285: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

285

Bagan 3.1.Struktur Pasar Modal Indonesia

Sumber: Sawidji Widoatmojo

Peranan Hukum dalam Pasar Modal IndonesiaC. Marak dan rumitnya kegiatan pasar modal, menuntut adanya perangkat

hukum sehingga pasar lebih teratur, adil, dan sebagainya. Jadi hukum pasar modal mengatur segala segi yang berkenaan dengan pasar modal. Hukum pasar modal dapat digolongkan ke dalam kelompok hukum ekonomi yang khusus namun bersifat universal.

Kekhususan dari rezim hukum pasar modal terletak pada kerangka hu-kum (legal frame work) yang dinamis sesuai dengan perkembangan pasar. Sifat universal yang termuat di dalam hukum pasar modal disebabkan oleh adanya kesamaan sistim dan mekanisme pasar modal yang ada di seluruh dunia21.

Sumber hukum pasar modal di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2004 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun

21 http://www.legalitas.org/?q=content/peranan-hukum-pasar-modal-perkembangan-ekonomi-indo-nesia-0, Peranan Hukum Pasar Modal dalam Perkembangan Ekonomi Indonesia, diakses 15 No-vember 2010.

Page 286: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

286

1995 tentang Penyelenggaraan Kegiataan di Bidang Pasar Modal dan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Selain itu terdapat perangkat hukum teknis lainnya yang dikeluar-kan Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Self Regulatory Organization (SRO) seperti bursa efek dan lembaga lainnya22.

Efektifitas hukum pasar modal untuk menstimulasi perkembangan pasar terletak pada beberapa faktor, yaitu23:

Pembaharuan hukum yang pararel dengan kepentingan pasar.a. Pembahuruan hukum menjadi kunci utama karena pasar modal hanya dapat berkembang jika pasar dapat menawarkan produk baru yang mu-rah dan efesien dalam bentuk efek-efek (obligasi dan saham). Pembahu-ruan hukum yang dimaksud adalah pembentukan hukum yang nyaman bagi pasar (market friendly) oleh otoritas pasar yang independen dan kuat. Dinamika pasar modal menuntu keberadaan regulator yang mam-pu memberikan kepastian hukum bagi setiap kegiatan di pasar modal. Pembahuruan hukum akan mendorong pasar kearah yang lebih kompe-titif dan modern sehingga berbagai peluang investasi akan mendorong masuknya partisipasi investor yang lebih tinggi.Otoritas yang kuat dan penegakan hukum pasar modal.b. Kualitas penegakan hukum menjadi sangat penting di pasar modal. Pe-negakan hukum yang efektif akan memastikan bahwa setiap pihak di pasar modal akan menjalankan prinsip keterbukaan informasi, pedoman perilaku, benturan kepentingan, dan tata kelola perusahaan yang baik. Penegakan hukum akan menjadi efektif bila industry pasar modal memi-liki otoritas yang kuat, dalam hal ini adalah Bapepem-LK dan Bursa Efek yang secara yuridis kedudukannya ditegaskan dalam UU Pasar Modal.Perlindungan investor.c. Aspek perlindungan investor adalah benteng utama yang senatiasa harus tercermin di dalam kerangka hukum pasar modal. Secara universal, aspek perlindungan investor akan tercermin dalam kerangka hukum yang se-cara tegas akan menempatkan kepentingan investor dalam setiap kebija-kan dan keputusan strategis yang mereka ambil karena investor adalah segala-galanya di pasar modal. Sejalan dengan hal tersebut, peranan pranata

22 Ibid.

23 Ibid.

Page 287: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

287

hukum dalam perkembangan pasar modal adalah sangat penting, khu-susnya untuk mendorong terciptanya iklim inventasi dan perdagangan saham yang kondusif di Indonesia.

Melihat perkembangan pasar modal Indonesia saat ini, Bapepam-LK be-rencana memfokuskan pengawasan sebai bagian dari upaya meningkatkan perlindungan terhadap investor sesuai dengan standar internasional. Tujuan-nya, untuk memastikan pasar berjalan wajar dan transparan sehingga mengu-rangi risiko-risiko sistemik.24

Peranan Pasar Modal SyariahD. Pasar modal dilihat dari sisi syariah adalah salah satu sarana atau produk

muamalah. Transaksi di dalam pasar modal, menurut prinsip hukum sya-riah tidak dilarang atau dibolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertantangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. Diantara yang dilarang oleh syariah adalah transaksi yang mengandung bunga dan riba. Syariah juga melarang transaksi yang di dalamnya terdapat spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu transaksi yang didalamnya dimungkinkan terjadi penipuan.

Dengan adanya berbagai ketentuan dan pandangan syariah seperti di atas, maka investasi tidak dapat dilakukan terhadap semua produk pasar modal karena diantara produk pasar modal itu banyak yang bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu, investasi di pasar modal harus dilakukan dengan selektif dan hati-hati supaya tidak masuk kepada produk non hala. Sehingga hal inilah yang mendorong islamisasi pasar modal.

Terkait dengan upaya pengembangan pasar modal syariah, hingga saat ini terdapat 6 (enam) Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal. Fatwa-fatwa tersebut adalah:

Fatwa nomor 5 tahun 200 tentang Jual Beli Saham;a. Fatwa nomor 20 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi un-b. tuk Reksa Dana Syariah;Fatwa nomor 32 tahun 2002 tentang Obligasi Syariah;c. Fatwa nomor 33 tahun 2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;d.

24 Berharap Rekor Baru 2011, Bisnis Indonesia, 31 Desember 2010.

Page 288: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

288

Fatwa nomor 40 tahun 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum e. Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal;Fatwa nomor 41 tahun 2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.f. Dengan diterbitkannya fatwa-fatwa yang berkaitan dengan pasar modal,

telah memberikan dorongan untuk mengembangkan alternatif sumber pem-biayaan yang sekaligus menambah alternatif instrumen investasi halal. Per-kembangan pasar modal syariah saat ini ditandai dengan maraknya perusahaan yang listing di Jakarta Islamic Index (JII), penawaran umum Obligasi Syariah dan juga Reksadana Syariah.

Kinerja saham syariah yang terdaftar dalam JII mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari kenaikan JII sebesar 38,60% jika dibandingkan dengan akhir tahun 2003. Kapitalisasi pasar saham syariah yang terdaftar dalam JII juga meningkat signifikan, yaitu sebesar 46,06% dari Rp 177,78 triliun menjadi Rp 259,66 triliun pada akhir Desember 2004.

Dengan keluarnya fatwa Obligasi Ijarah tahun 2004 telah mendorong sebanyak 7 (tujuh) emiten mendapat pernyataan efektif dari Bapepam untuk menawarkan Obligasi Syariah Ijarah dengan total nilai emisi sebesar Rp 642 milyar. Sehingga sampai dengan akhir 2004, secara kumulatif terdapat 13 (tiga belas) obligasi syariah dengan total nilai emisi sebesar Rp 1,38 triliun. Hal ini berarti bahwa jumlah obligasi syariah telah tumbuh sebesar 116,67% dan nilai emisi obligasi syariah tumbuh sebesar 86,7% jika dibandingkan dengan akhir tahun 2003.

Reksadana syariah juga tumbuh sangat mengesankan, sebelumnya pada tahun 2003 hanya ada 3 (tiga) reksa dana syariah yang efektif, kemudian ber-tambah secara kumulatif menjadi 10 (sepuluh) reksa dana syariah sampai dengan akhir 2004.

Bapepeam juga telah membentuk unit khusus yang membawahi pengem-bangan kebijakan pasar modal syariah pada Oktober 2004 yang lalu. Pemben-tukan unit khusus ini dalam rangka mengembangkan pasar modal syariah serta melihat tantangan yang semakin besar untuk mengatur dan mengawasi kegiatan pasar modal syariah yang semakin berkembang.

Page 289: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

289

BAB IVPENUTUP

KesimpulanA. Keberadaan pasar modal di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 1. dengan diawali oleh kegiatan jual beli saham dan obligasi. Kemudian Amserdamse Effectenbueurs mendirikan bursa di Batavia (14 Desem-ber 1912), Surabaya (11 Juni 1925), dan Semarang (1 Agustus 1925). Akibat Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda memusatkan perdagangan efeknya di Batavia dan menutup bursa efek di Surabaya dan Semarang. Pada tanggal 17 Mei 1940, secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan mulai aktif kembali pada tahun 1950 dengan dikeluarkannya obligasi Republik Indonesia oleh Pemerintah. Pada tanggal 31 Juni 1952, Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali dan penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efeknya (PPUE). Namun pada tahun 1958, terjadi ke-lesuan perdagangan di Bursa, akibat konfrontasi pemerintah dengan Belanda. Pemerintah di masa Orde Baru, berusaha untuk mengemba-likan kepercayaan rakyat dengan membentuk Bapepam (Badan Pem-bina Pasar Modal) dan PT Danareksa Pada tahun 1976, pemerintah. Pada tanggal 10 Agustus 1977, Pemerintah membentuk Pasar Uang dan Pasar Modal. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977–1987, mengalami kelesuan sehingga pemerintah menerbitkan paket-paket deregulasi: Paket Desember 1987 (Pakdes 87), Paket Desember 1988 (Pakto 88), dan Paket Desember 1988 (Pakdes 88). Penerbitan paket deregulasi ini menandai liberalisasi ekonomi Indonesia yang ber-dampak pada pasar modal Indonesia aktif kembali hingga sekarang.

Page 290: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

290

Berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 1995, struktur pasar 2. modal di Indonesia tertinggi berada pada Menteri Keuangan yang menunjuk Bapepam-LK yang melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan pasar modal dan bursa efek sebagai penyelenggara dan penyedia sistem atau sarana perdagangan efek. Sedangkan menurut bidang tugasnya, pelaku pasar modal bisa dikelompokkan menjadi pengawas, penyelenggara, pelaku utama, lembaga dan profesi penun-jang pasar modal.Perenanan hukum dalam pasar modal adalah sebagai acuan dalam 3. segala aktivitas yang berkaitan dengan pasar modal. Hukum pasar mo-dal dapat menstimulasi perkembangan pasar apabila terdapat: pemba-haruan hukum yang pararel dengan kepentingan pasar; Otoritas yang kuat dan penegakan hukum pasar modal; dan Perlindungan investor. Peraturan Perundang-undangan yang ada sekarang belum lengkap mendukung terbentuknya pasar modal yang teratur, wajar, efesien. Oleh karena itu, perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dijadikan prioritas pembahasan DPR RI di tahun 2011.Dilihat dari sisi syariah, pasar modal adalah salah satu produk mua-4. malah yang kegiatannya diatur oleh melalui 6 (enam) Fatwa yang di-keluarkan oleh DSN-MUI. Perkembangan pasar modal syariah saat ini ditandai dengan maraknya perusahaan yang listing di Jakarta Isla-mic Index (JII), penawaran umum Obligasi Syariah dan Reksadana Syariah.

Saran B. Sebagai lembaga pengawasan, Bapepam harus menjaga tegaknya nilai-nilai yang baik (good corporate governance) yang meliputi jaminan adanya keter-bukaan (transparancies), kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability) serta pertanggungjawaban (responsibility). Untuk melaksanakan misinya tersebut, regulator pasar modal perlu dikembangkan ke arah lembaga yang independen.

Page 291: buku-tim-8

Nidya Waras Sayekti

291

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Resmi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Ne-gara Tahun 1999-2004

Buku

Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009.

E.A. Koetin, Analisis Pasar Modal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.

Indra Safitri, Catatan Hukum Pasar Modal, Go Global Book, Jakarta, 1998.

Jiwa Sarana, dkk., Pasar Modal dalam Pembangunan Berkelanjutan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2008.

Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, PT Alumni, Bandung, 2005.

Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2008.

Sawidji Widoatmodjo, Pasar Modal Indonesia Pengantar & Studi Kasus, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Sjahrir, Tinjauan Pasar Modal, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Sumantoro, Pengantar tentang Pasar modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Ja-karta, 1990.

Page 292: buku-tim-8

Perkembangan Pasar Modal Di Indonesia

292

Internet/Makalah Individual/Artikel

Berharap Rekor Baru 2011, Bisnis Indonesia, 31 Desember 2010.

http://www.iei.or.id/publicationfiles/Perkembangan%20Pasar%20Modal%20 Syariah.pdf, Perkembangan Pasar Modal Syariah, diakses 13 Desember 2010.

http://www.legalitas.org/?q=content/peranan-hukum-pasar-modal-perkembang-an-ekonomi-indonesia-0, Peranan Hukum Pasar Modal dalam Perkembang-an Ekonomi Indonesia, diakses 15 November 2010.

http://pasarmodal.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/04/perkembangan-pasar-modal-di-indonesia/, Industri Pasar Modal di Indonesia, diakses 15 Novem-ber 2010.

http://www.infovesta.com/roller/vesta/entry/perkembangan_pasar_modal_di_indonesia, Perkembangan Pasar Modal Indonesia, diakses 15 November 2010.

www.erdikha.com/data/files/teknis/AO_MO2010.pdf, Perkembangan Ekono-mi Indonesia & Pasar Modal 2010, diakses 15 November 2010.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&jd=Perkembangan+Pasar+Modal+Indonesia&dn=20080113134905, Perkembangan Pasar Mo-dal Indonesia, diakses 15 November 2010.

http://www.bapepam.go.id/old/profil/sejarah_orla.htm, Sejarah Pasar Mo-dal, diakses 15 November 2010.

Page 293: buku-tim-8

Venti Eka Satya

293

BAGIAN KESEBELAS

KEBIJAKAN MONETER DAN MATA UANGDALAM MENGENDALIKAN INFLASI

Oleh Venti Eka Satya1

1 Penulis adalah Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di P3DI Sekretariat Jen-deral DPR RI.

Page 294: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

294

Page 295: buku-tim-8

Venti Eka Satya

295

BAB IPENDAHULUAN

Indonesia sudah mengalami krisis ekonomi yang cukup berat sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1940an (ketika penjajahan Jepang), tahun 1965 (disaat ambruknya pemerintahan Bung Karno), ketiga pada tahun 1997. Secara em-pirik, pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari krisis tahun 1997-1998 yang mengakibatkan terganggunya sektor riil. Krisis ini diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar rupiah ter-hadap dolar) yang kemudian merambat kepada semua sektor tanpa terke-cuali. Tingkat Inflasi ketika itu sebesar 77,60% yang diikuti pertumbuhan ekonomi minus 13,20%.2

Sedangkan pada tahun 2008, ketika krisis ekonomi yang melanda Ameri-ka Serikat merambah menjadi krisis global, perekonomian Indonesia cukup tertekan. Walaupun kondisi ekonomi Indonesia masih menunjukkan stabi-litas yang terjaga, faktor-faktor eksternal seperti krisis subprime mortgage dan melonjaknya harga minyak dunia sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar dan pencapaian target inflasi di tahun 2008 ini.

Setiap tahunnya otoritas moneter senantiasa menargetkan bahwa angka atau tingkat inflasi harus diturunkan menjadi satu digit atau inflasi mode-rat. Dengan paradigma berpikir seperti itu, otoritas moneter dalam upayanya menyelesaikan permasalahan inflasi cenderung “berkutat” pada bagaimana menurunkan tingkat inflasi yang tinggi, bukan berpikir bagaimana agar in-flasi tidak terjadi. Dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga stabil-nya nilai mata uang, Pemerintah dan otoritas moneter yang ada mengambil beberapa kebijakan baik dari segi moneter, fiskal, maupun sektor riil. Dari

2 Hatta, M.,Telaah Singkat Pengendalian Inflasi Dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam, Jurnal Eko-nomi Ideologis, Juli 2009, hal.1

Page 296: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

296

segi moneter maka bank sentral akan menaikkan suku bunga dan penge-tatan likuiditas perbankan, mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter, mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi, mem-formulasikan respon kebijakan moneter.

Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih meng-gunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat dan sema-kin terbuka, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian mone-ter dengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan. Pengalaman kita selama ini menunjukkan semakin sulitnya mengarahkan agregat moneter sesuai dengan yang dikehendaki, teru-tama dalam jangka pendek. Masalah ini terjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter, dimana perkembangannya lebih ba-nyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan bukan sebaliknya.

Page 297: buku-tim-8

Venti Eka Satya

297

BAB IISEJARAH, DEFINISI DAN FUNGSI UANG

Inflasi dan mata uang adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketika kita berbicara tentang inflasi, maka yang kita bahas adalah mengenai penuru-nan nilai suatu mata uang. Tingkat stabilitas mata uang sangat menentukan tinggi rendahnya tingkat inflasi.

Dari waktu ke waktu, fungsi uang terus berkembang bahkan bergeser cukup jauh dari fungsi dasarnya yaitu sebagai alat tukar. Dalam kehidupan masyarakat moderen uang menjadi tidak hanya sebatas sebagai alat tukar, me-lainkan juga menjadi sebuah barang (komoditas) yang turut diperdagangkan dengan imbalan bunga (interest).

Sejarah UangA. Sejak kapan manusia mulai mengenal uang dan bagaimana manusia pada akhir-nya menemukan uang sebagai alat tukar adalah sebuah pertanyaan yang me-narik. Bisa jadi pada awal kehidupannya di muka bumi ini manusia tidak mem-butuhkan uang, karena tingkat kebutuhan manusia yang masih sangat dasar dan besarnya kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dengan berjalannya waktu, kebutuhan manusia semakin meningkat, sedangkan sumber daya yang mereka miliki atau kuasai untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Sehingga mereka butuh bantuan manusia lain untuk melengkapi atau memenuhi kebutuhannya. Bantuan ini tentu saja ada imbalannya, maka timbullah sistem barter. Ketika sistem barter ini tidak lagi dianggap memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin ba-nyak dan beragam, maka manusia mulai memikirkan suatu alat tukar yang bisa diterima umum. Inilah cikal bakal terciptanya uang.

Page 298: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

298

Pada awalnya manusia hanya menjadikan benda-benda tertentu untuk dijadikan alat tukar. Kriteria benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertu-karan itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum ( generally accepted ), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki ni-lai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari, misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi ter-sebut masih terlihat sampai sekarang, orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.

Ketika manusia berpikir keras untuk bisa menemukan satu benda yang memenuhi syarat untuk dijadikan “uang”. Muncullah apa yang dinamakan uang logam yang terbuat dari emas dan perak. Logam tersebut dipilih seba-gai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat -syarat tersebut adalah emas dan perak.

Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money) yang memiliki arti sebagai yang yang memiliki nilai yang sesungguhnya atau nilai instrinsik (nilai bahan) dimana bahan pembuat uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual, atau memakai-nya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam ber-tambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas se-hingga nilainya kian lama kian tinggi. Ini sejalan dengan prinsip universal ekonomi dimana ada permintaan tinggi sementara barang langka maka har-ganya akan meningkat, dan sebaliknya. Selain itu, penggunaan uang emas dan perak ini juga tidak menjawab pertukaran barang yang kecil-kecil alias yang murah, sehingga lama kelamaan timbullah ide untuk membuat uang kertas (promise money).

Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti atas kepe-milikan emas dan perak sebagai alat perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin sepenuhnya atau 100% dengan emas atau perak yang disimpan

Page 299: buku-tim-8

Venti Eka Satya

299

dipandai emas atau perak, dan kapanpun bisa ditukar penuh dengan jami-nannya. Pada perkembangan selanjutnya, ketika lembaga-lembaga atau insti-tusi keuangan dalam bentuk yang sederhana sudah dibangun manusia, maka uang kertas yang memiliki nilai nominal tertentu dan lebih kecil ketimbang nilai emas pun kian digemari orang. Bisa jadi karena dianggap lebih praktis masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertu-karan dan lebih menggunakan promise money alias surat utang tersebut sebagai alat tukar.

Definisi UangB. Dalam Ekonomi Tradisional Uang didefinisikan Sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu berupa benda apa saja yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran ba-rang dan jasa.Dalam ilmu ekonomi modern definisi Uang adalah sebagai berikut: Me-nurut D.H. Robertson dalam bukunya Money, disebutkan bahwa uang adalah sesuatu yang bisa diterima dalam pembayaran untuk mendapatkan barang-barang. Menurut R.G. Thomas dalam bukunya Our Modern Banking menjelaskan uang adalah sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta ke-kayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Menurut A.C. Pigou dalam bukunya The Veil of Money, yang dimaksud uang adalah alat tukar.

Uang adalah segala sesuatu yang dapat dipakai dan diterima umum un-tuk melakukan berbagai macam transaksi ekonomi/pembayaran seperti pem-belian barang dan jasa, pelunasan hutang, investasi, dan lain-lainya. Sedang-kan uang dalam ilmu ekonomi modern, didefinisikan beberapa ahli sebagai berikut (Darmawan, 2006):

AC Pigou; dalam bukunya The Veil of Money, yang dimaksud uang 1. adalah alat tukarDH Robertson; dalam bukunya Money, ia mengatakan bahwa uang 2. adalah sesuatu yang bisa diterima dalam pembayaran untuk mendapat-kan barang-barang.RG Thomas; dalam bukunya Our Modern Banking, menjelaskan uang 3. adalah sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pem-bayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan ber-harga lainnya serta untuk pembayaran utang.

Page 300: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

300

Syarat untuk dapat berfungsi sebagai Uang adalah:Diterima dan diketahui oleh umum1. Memiliki nilai yang relatif stabil2. Fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan 3. transaksiHarus mudah dibawa, disimpan, dan dipergunakan4. Tidak mudah rusak5. Dapat dipecah dalam ukuran nilai yang lebih kecil6. Menurut fungsinya Uang diartikan sebagai satuan nilai dan sebagai stan-

dar pembayaran yang tertunda-tidak menolong untuk menentukan “benda” yang termasuk dalam penawaran uang dan mana yang tidak termasuk, karena benda-benda tersebut berupa abstraksi yang dapat dihubungkan dengan banyak benda lain yang berbeda”. (Stephen M.Golgfeld dan Lester V. Chandler 11)

Definisi uang menurut hukum menyebutkan bahwa uang tidak memuas-kan untuk keperluan analisis ekonomi. Alasannya antara lain, bahwa orang mungkin menolak menerima benda-benda secara hukum yang didefinisikan sebagai uang dan mungkin bahkan menolak untuk menjual barang dan jasa kepada mereka yang memberikan alat pembayaran yang sah dalam pembaya-rannya.(Stephen M.Golgfeld dan Lester V. Chandler 11)

Menurut George Simmel, uang memiliki kemampuan mentransformasikan atau mengubah dunia sosial ke dalam dunia aritmatik, uang juga merupakan “sarana reifikasi paling murni: karena kemampuan kalkulatifnya. Menurut Emile Durkheim, uang dapat dipahami sebagai fakta sosial yang keberadaan-nya dalam masyarakat bersifat bebas dari motif-motif personal, obyektif bah-kan bersifat memaksa terhadap individu. Menurut Talcote Parsons, uang tidak hanya sebagai instrument ekonomi tetapi juga bahasa simbolik yang terbagi, ini bukan komoditi melainkan penanda. Menurut Zelizer, uang menunjuk-kan pada konsep special monies. Sebagian besar diskusi tentang uang yang dilakukan oleh para antropolog tersebut hanya berurusan dengan bentuk-bentuk uang primitif. 3

Fungsi UangB. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, fungsi uang pada kehidupan masyarakat moderen sekarang ini telah berkembang. Pada awalnya uang hanya memiliki

3 http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/uang-definisi-fungsi-dan-jenisnya.html

Page 301: buku-tim-8

Venti Eka Satya

301

fungsi pokok namun seiring kemajuan jaman fungsi bekembang sampai ke-pada fungsi turunannya seperti diuraikan berikut ini.Fungsi pokok uang:Uang mempunyai satu tujuan fundamental dalam sistem ekonomi, yaitu:

Memudahkan pertukaran barang dan jasa.•Mempersingkat waktu dan usaha yang diperlukan untuk melakukan per-•dagangan.

Fungsi-fungsi asli uang:Uang sebagai satuan nilai•

Fungsi uang yang pertama dikenal dengan berbagai sebutan, salah satunya yang paling umum adalah satuan nilai (unit of value), standar nilai (standard of value), satuan hitung (unit of account), nilai ukur umum (common measure of value) dan nilai denominasi umum (common denominator of value). Semua istilah-istilah ini mewakili satu gagasan yang umum : Satuan moneter ber-fungsi sebagai satuan terhadap mana nilai dari barang dan jasa diukur dan dinyatakan.

Uang sebagai alat tukar•Adalah Uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertuka-ran. Agar uang dapat berfungsi dengan baik diperlukan kepercayaan masyara-kat. Masyarakat harus bersedia dan rela menerimanya. Berbagai istilah telah diberikan untuk fungsi uang yang kedua ini: alat tukar (medium of exchange), perantara pembayaran (medium of payment), alat sirkulasi (sirculating medium), dan alat pembayaran (means of payment). Satu-satunya syarat yang diperlukan untuk obyek yang akan digunakan sebagai uang adalah bahwa orang umum-nya bersedia menerimanya dalam pertukaran barang dan jasa.

Uang sebagai gudang nilai (• store of value)Fungsi ketiga dari uang, yang sebagian besar yang berasal dari fungsi alat tukar, ialah bahwa uang itu berfungsi sebagai gudang nilai. Yang dimaksud dengan fungsi ini pada dasarnya adalah bahwa uang itu berfungsi sebagai alat tukar, baik sepanjang waktu maupun sewaktu-waktu.

Uang sebagai alat penimbun kekayaan•Setelah uang digunakan sebagai satuan nilai dan diterima secara umum se-bagai alat pembayaran, dengan cepat uang itu digunakan secara luas seba-gai alat penimbun kekayaan. Semua orang dan pelaku bisnis bebas memilih

Page 302: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

302

dalam bentuk apa, mereka akan menimbun kekayaan mereka, menetukan berapa yang akan mereka pegang dalam bentuk uang dalam berbagai bentuk non moneter dan merubahnya dari waktu ke waktu untuk mencapai proporsi yang menurut mereka paling menguntungkan berdasarkan penghasilan, kea-manan dan likuiditas.

Uang sebagai unit perhitungan•Untuk menentukan harga sejenis barang diperlukan satuan hitung, juga dengan adanya satuan hitung, kita dapat mengadakan perbandingan harga satu barang dengan barang lain. Walaupun uang hampir selalu berfungsi se-bagai unit perhitungan, namun ada contoh-contoh sejarah dimana hal itu tidak terjadi. Dalam hiper–inflasi (inflasi yang sangat besar). Misalnya, bila harga-harga naik hampir setiap jam, para pedagang mengadakan pembukuan dengan menggunakan istilah valuta asing, dengan nilai yang lebih stabil da-ripada nilai mata uang dalam negeri walaupun mata uang dalam negeri itu terus beredar. Dengan alasan ini beberapa sarjana dan ahli ekonomi lebih suka berfikir tentang unit perhitungan sebagaimana yang diharapkan, tetapi tidak harus merupakan sifat dan milik (property) uang. Tetapi untuk segala tujuan yang praktis, uang itu berfungsi sebagai unit perhitungan.

Fungsi Turunan: Sebagai alat pembayaran yang sah•

Tidak semua orang dapat menciptakan uang terutama uang kartal, karena uang hanya dikeluarkan oleh lembaga tertentu, di Indonesia dikeluarkan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral.

Alat penyimpan kekayaan dan pemindah kekayaan.•Dengan uang, kekayaan berupa tanah, gedung, dapat dipindah pemilikannya dengan menggunakan uang.

Alat pendorong kegiatan ekonomi.•Apabila nilai uang stabil, orang senang menggunakan uang itu dalam kegia-tan ekonomi, selanjutnya apabila kegiatan ekonomi meningkat, uang dalam peredaran harus ditambah sesuai dengan kebutuhan.

Standar pencicilan utang.•Uang dapat berfungsi sebagai standar untuk melakukan pembayaran dike-mudian hari, pembayaran berjangka panjang atau pencicilan utang.

Page 303: buku-tim-8

Venti Eka Satya

303

Jenis-Jenis UangUang yang beredar dalam masyarakat atau menurut lembaga yang mengelu-arkan dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

Uang kartal•Uang kartal adalah alat pembayaran yang sah dan wajib digunakan oleh ma-syarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari.

Uang giral•Uang giral merupakan uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpa-nan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Untuk menarik uang ini, orang menggunakan cek. Cek yang dibuat atas nama statu rekening deposito merupakan perintah kepada bank untuk membayar kepada orang yang dit-unjuk pemilik rekening. Uang giral merupakan uang yang sah secara ekono-mi tetapi secara hukum tidak, artinya hanya berlaku pada kalangan tertentu saja sehingga orang yang menolak pembayaran dengan uang giral contohnya cek tidak dapat dituntut. Untuk mengambil uang giral dapat digunakan cek atau giro.

Jenis-jenis uang menurut bahan pembuatannya dibedakan menjadi:Uang logam•

Uang logam biasanya terbuat dari emas atau perak karena emas dan perak memenuhi syarat-syarat uang yang efisien. Karena harga emas dan perak yang cenderung tinggi dan stabil, emas dan perak mudah dikenali dan diterima orang. Disamping itu, emas dan perak tidak mudah musan. Emas dan perak juga mudah dibagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil. Di zaman sekarang, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal itu merupakan pernyataan bahwa sejumlah emas dengan berat tertentu terkandung di dalamnya.Uang logam memiliki tiga macam nilai, yaitu :

Nilai Intrinsik yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya 1. berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.Nilai Nominal yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga 2. yang tertera pada mata uang. Nilai Tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukar-3. kan dengan statu barang (daya beli uang).

Page 304: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

304

Uang kertas•Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).

Jenis-jenis uang menurut nilainya dibedakan menjadi:Uang penuh (• Full bodied Money)

Nilai uang dikatakan sebagai uang penuh apabila nilai yang tertera diatas uang tersebut sama nilainya dengan bahan yang digunakan. Dengan kata lain nilai nominal=nilai intrinsik. Jika uang itu terbuat dari emas, maka nilai uang itu sama dengan nilai emas yang dikandungnya.Contoh : uang emas dan uang perak.

Uang tanda (• Token Money) Nilai uang dikatakan sebagai uang tanda apabila nilai yang tertera diatas uang lebih tinggi dari nilai bahan yang digunakan untuk membuat uang atau dengan kata lain nilai nominal lebih besar dari nilai intrinsik uang tersebut. Contoh: uang kertas

Page 305: buku-tim-8

Venti Eka Satya

305

BAB IIIPERAN MATA UANG DAN KEBIJAKAN

MONETER DALAM MENGENDALIKAN INFLASI

InflasiA. Definisi inflasi dalam Dictionary of Economics didefinisikan dengan suatu

peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlang-sung secara terus menerus dari waktu ke waktu. Samuelson dan Nordhaus dalam buku mereka Macro Economics mendefinisikan inflasi dengan cukup pendek yaitu kenaikan tingkat harga umum. Adapun Bank Indonesia men-definisikan inflasi dengan kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus.Definisi di atas mendapat kritikan cukup tajam dari mazhab ekonomi Austria. Ekonom dari mazhab Austria mengata-kan bahwa definisi inflasi di atas tidak mengambarkan fakta inflasi sesung-guhnya, terlebih lagi adalah faktor pemicu inflasi itu sendiri. Definisi di atas hanya sebatas menjelaskan salah satu akibat inflasi.4

Aliminsyah dan Padji memberikan definisi inflasi sebagai berikut “suatu keadaan yang menunjukkan jumlah peredaran uang yang lebih banyak dari pada jumlah barang yang beredar, sehingga menimbulkan penurunan daya beli uang dan selanjutnya terjadi kenaikan harga yang menyolok”. Definisi ini hampir senada dengan yang disampaikan oleh Murray N. Rothbard. Ter-jadinya perbedaan delam mendefinisikan inflasi ini dikarenakan sebagian pakar ekonomi menjelaskan makna inflasi berdasarkan sebab yang menim-bulkan inflasi dan sebagian yang lain berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh inflasi.

4 John Eatwell, Murray Milgate, and Peter Newman, The New Palgrave: A Dictionary of Economics. London and New York: 1987. hal. 405

Page 306: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

306

Secara umum, berdasarkan penyebabnya inflasi terbagi ke dalam 3 ma-cam, yakni: Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi ini tim-bul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian. Kedua, dorongan biaya (cosh-push inflation). Inflasi ini timbul karena adanya depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga ko-moditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Ketiga, ekspektasi inflasi. Inflasi ini dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercer-min dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional.

Berdasarkan lajunya, inflasi dapat dibedakan atas:Inflasi merayap (1. creeping Inflation) Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10%pertahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama. Inflasi Menengah (2. galloping Inflation) Ditandai dengan laju inflasi yang cukup besar dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi (harga dalam kurun waktu ming-guan atau bulanan)efeknya terhadap perekonomian lebih besar daripada inflasi yang merayap (creeping inflation) Inflasi tinggi (3. Hyper inflation) Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali lipat. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyim-pan uang sebab nilai uang merosot dengan tajam sehingga perputaran uang semakin cepat dan harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang dibelanjakan dan ditutupi dengan mencetak uang.

Page 307: buku-tim-8

Venti Eka Satya

307

Inflasi menurut sebab terjadinya dibedakan atas: Inflasi permintaan (a. Demand-pull inflation) Inflasi ini timbul karena permintaan masyarakat akan barang terlalu kuat,sehingga disebut demand-pull inflation. Dampak yang ditimbulkan demand pull inflation tidak menyebabkan berkurangnya kesejahteraan ma-syarakat karena kenaikan harga diiringi dengan kenaikan jumlah barang Inflasi biaya (b. Cost-Push Inflation) Inflasi jenis ini timbul karena kenaikan ongkos produksi. Inflasi ini di-kenal dengan istilah cost-push inflation atau supply inflation. Untuk lebih jelasnya simak baik-baik kurva diatas. Apabila ongkos produksi ini misal-nya disebabkan kenaikan harga alat-alat produksi yang didatangkan dari luar negeri atau kenaikan bahan mentah maupun bahan baku. Pada Cost Push Inflation kenaikan harga menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat karena mengurangi jumlah output.Inflasi campuran c. Kedua macam inflasi yang telah dijelaskan di atas jarang sekali dijumpai dalam praktik sehari-hari. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara merupakan campuran dari kedua. Macam inflasi tersebut. Inflasi campuran merupakan campuran antara inflasi permintaan (demand- pull infltion) dan inflasi biaya (cost-push Inflation).

Menurut asal muasal terjadinya, Inflasi dapat disebabkan oleh: Domestic inflationa. yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri sendiri. Hal ini bisa disebabkan karena adanya defisit anggaran belanja yang dibiayai

P2

P1

Q1 Q2

AS

AD2

AD1

National Output

Grafik 1. Grafik Demand and Pull Inflation

P r i c e L e v e l

P2

P1

Q1 Q2

AD

AS2 AS1

National Output

Grafik 2. Grafik Cost Push Inflation

P r i c e L e v e l

Page 308: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

308

dengan mencetak uang baru, pembatasan kredit untuk kegiatan produksi atau gagalnya panen sehingga harga-harga makanan menjadi mahal Imported inflationb. adalah inflasi yang berasal dari luar negeri sebagai aki-bat dari naiknya barang-barang impor. Hal ini bisa terjadi dinegara-nega-ra berkembang karena sebagian besar bahan baku berasal dari luar negeri (impor)

Dampak dari inflasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Efek terhadap pendapatan (1. Equity Effect) Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata,ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorangyang mem-peroleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Misalnya seorang yang memperoleh pendapatan tetap Rp.500.000,00 per tahun sedang laju inflasi sebesar 10%, akan menderita kerugian penurunan pendapatan riil sebesar laju inflasi tersebut, yakni Rp.50.000,00 Efek terhadap efisiensi (2. Efficiency Effect) Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Peruba-han ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu sehingga mengakibatkan alokasi fak-tor produksi menjadi tidak efisien. Efek terhadap 3. output (Output Effect) Dalam menganalisa kedua efek diatas (Equity dan Efficiency Effect) diguna-kan suatu anggapan bahwa output tetap. Hal ini dilakukan supaya dapat diketahui efek inflasi terhadap distribusi pendapatan dan efisiensi dari jumlah output tertentu tersebut.5

Inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan mendukung perkembangan eko-nomi. Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih suka mengguna-kan uangnya untuk tujuan spekulasi. Antara lain tujuan ini dicapai dengan pembeli harta-harta tetap setiap tanah, rumah dan bangunan. Oleh karena pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan investasi yang bersifat seperti ini, investasi produktif akan berkurang dan tingkat kegiatan ekonomi menu-run. Sebagai akibatnya lebih banyak pengangguran akan terwujud. Disam-

5 http://www.scribd.com/doc/34618397/Teori-Ekonomi-Inflasi

Page 309: buku-tim-8

Venti Eka Satya

309

ping menimbulkan efek buruk ke atas kegiatan ekonomi Negara, inflasi juga akan menimbulkan efek-efek berikut kepada individu masyarakat yaitu:

Inflasi akan menimbulkan pendapatan riil orang-orang yang berpenda-a. patan tetap. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. b. Memperburuk pembagian kekayaanc. Inflasi dalam perekonomian moderen saat ini tidak dapat dihindari.

Dimana harga terus merangkak naik, dan nilai mata uang terus marambat turun. Ini terjadi hampir disemua negara di dunia dan kepada hampir semua mata uang dunia. Kebijakan moneter yang dikeluarkan tidak akan mampu menghentikan inflasi, melainkan hanya memperlambat lajunya. Untuk itu dibutukan solusi-solusi baru untuk mengatasinya.

Kebijakan Moneter dan Mata Uang dalam Mengendalikan InflasiB. Mata uang adalah satuan hitung alat tukar yang resmi digunakan pada suatu wilayah tertentu. Di dunia ini sedikitnya ada 115 mata uang yang digunakan oleh tiap-tiap Negara. Umumnya satu mata uang hanya digunakan atau men-jadi mata uang resmi pada satu Negara. Akhir-akhir ini untuk mempermudah transaksi antar negara diciptakanlah mata uang regional seperti Uero yaitu mata uang yang berlaku pada masyarakat Uni Eropa. Ini dimaksud untuk mempermudah pembayaran sekaligus untuk menjaga stabilitas nilai mata uang yang sangat mudah terpengaruh oleh neraca pembayaran antar negara.

Sebelum menggunakan mata uang tunggal, di Indonesia pernah terdapat beberapa mata uang yang digunakan pada wilayah yang berbeda dalam satu negara kesatuan republik Indonesia selama periode 1945-1950, yaitu:

ORI, Uang Republik Indonesia yang hanya berlaku di pulau Jawa1. URIDAB, Uang Repbublik Indonesia Daerah Banten2. URIPS, Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatra, yakni uang yang 3. berlaku di sebagian wilayah SumatraURITA, Uang Republik Indonesia Tapanuli, yang beralu hanya di dae-4. rah TapanuliURIPSU, Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatra Utara5. URIBA, Uang Republik Indonesia Baru Aceh, yang hanya berlaku di 6. AcehUang Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang yang berlaku hanya 7. di daerah Palembang saja

Page 310: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

310

Namun sejak tahun 1968 dengan keluarnya ketentuan Undang-undang Pokok Perbankan Nomor 13 tahun 1968, ditetapkan bahwa satuan hitung uang di Republik Indonesia adalah Rupiah.

Dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, hu-bungan ekonomi antar negara menjadi saling terkait dan mengakibatkan pe-ningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta modal antar negara. Terjadinya perubahan indikator makro di negara lain, secara tidak langsung akan berdampak pada indikator suatu negara. Perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu negara atau bentuk hubungan antar negara juga dapat mempengaruhi tingkat inflasi.

Seperti yang terjadi pada negara Indonesia ketika diberlakukannya sis-tem nilai tukar mengambang penuh/bebas (freely floating system) yang dimulai sejak Agustus 1997. sejak saat itu, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (khususnya US$) ditentukan oleh mekanisme pasar. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap US$ pasca diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang terus mengalami kemerosotan. Pada bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp3.035/US$, terus mengalami teka-nan sehingga pada Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ tercatat sebesar Rp4.650/US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp14.900/US$ yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar ru-piah terhadap US$ tahun 1999 melakukan recovery menjadi sebesar Rp7.810/US$, tahun 2000 kembali melemah sebesar Rp8.530/US$, tahun 2001 mele-mah lagi menjadi Rp10.265/US$, tahun 2002 kembali menguat menjadi Rp9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp8.570/US$ dan pada tahun 2004 sebesar Rp8.985/US$.

Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat me-nembus level US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar ter-hadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap US$ dan berada kisaran Rp9.200 sampai Rp10.200 per US$.

Nilai tukar rupiah merupakan satu indikator ekonomi makro yang ter-kait dengan besaran APBN. Asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, se-

Page 311: buku-tim-8

Venti Eka Satya

311

perti penerimaan pinjaman dan pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Dengan demikian, variabel asumsi da-sar ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk dana perimbangan, serta besarnya pembiayaan anggaran.

Pada tahun 2004, asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN ditetapkan sebesar Rp8.600 per US$. Dalam realisasinya, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ selama tahun 2004 adalah sebesar Rp8.930, atau mengalami penyimpangan sebesar 3,5 persen (under-estimated). Demikian pula pada tahun 2005, dalam APBN-P asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp9.300 per US$, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ sampai dengan Oktober 2005 sebesar Rp9.590 per US$, atau menyimpang sebesar 3%.

Perbedaan nilai mata uang atau yang sering disebut dengan kurs, sangat dipengaruhi oleh neraca perdagangan antar negara. Perang kurs memperli-hatkan dilema besar dalam sistem keuangan global di mana dolar Amerika menjadi cadangan mata uang resmi dunia. Dilema itu adalah ketika Amerika memakai referensi global ini sebagai instrumen domestiknya, maka pereko-nomian global terancam perang harga besar-besar.

Dolar Amerika mendominasi pasar uang di dunia, mata uang ini be-gitu dominan dalam kegiatan perdagangan global. Penyebabnya adalah jum-lah rakyatnya yang besar, yang mengakibatkan tingginya tingkat konsumsi serta produktifitas. Produk-produk Amerika merambah hampir ke seluruh belahan dunia, ini membuat mata uang ini begitu dominan dalam kegiatan perdagangan global. Begitu juga di Indonesia, indikator membaik atau mem-buruknya perekonomian negara sering bahkan selalu dikaitkan dengan apre-siasi rupiah terhadap dolar. Bila nilai rupiah terhadap dolar meningkat, maka dapat dikatakan kondisi ekonomi Indonesia membaik, dan sebaliknya.

Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluk-tuatif telah berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana mata uang kertas yang tidak ditopang emas dija-dikan sebagai alat tukarnya. Pada era sebelumnya hingga hancurnya Bretton Woods Agreement, peredaran mata uang masih dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian tersebut ditetapkan bahwa mata uang suatu negara harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara dollar sendiri yang diedarkan oleh AS juga ditopang oleh emas. Dengan demikian pertumbuhan supply dollar akan di-tentukan seberapa besar cadangan emas AS. Namun sistem tersebut dibubar-

Page 312: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

312

kan oleh AS, mereka terus mencetak dolar untuk membiayai belanja fiskal-nya. Sehingga pada akhirnya dolar yang tersedia tidak lagi ditopang dengan persediaan emas.

Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan ber-lakunya Bretton Woods Agreement yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat money) dimana dollar sebagai panglimanya.6

Kebijakan moneter Amerika tersebut sangat mempengaruhi kurs mata uang dan tingkat inflasi dunia. Wikipedia memberikan definisi kebijakan moneter dengan sebuah proses yang dilakukan oleh pemerintah, bank sen-tral, atau otoritas moneter dari sebuah negara untuk mengontrol, penawaran uang, ketersediaan uang, tingkat bunga, dalam rangka mencapai seperangkat tujuan orientasi kepada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dimana bia-sanya kebijakan moneter dikenal sebagai pilihan antara kebijakan ekspansi atau kebijakan kontraksi. Definisi ini hampir senada dengan definisi yang diberikan oleh Dictionary of Economics, dimana dikatakan kebijakan mone-ter adalah suatu instrumen kebijakan ekonomi makro yang mengatur pena-waran uang, kredit dan tingkat bunga dalam rangka mengendalikan tingkat pembelanjaan atau pengeluaran dalam perekonomian.7

Aulia Pohan mengatakan kebijakan moneter (monetary policy) adalah suatu pengaturan di bidang moneter yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.8 Ham-pir senada dengan definisi yang diutarakan Pohan, dalam kamus istilah keu-angan dan perbankan kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter, dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. 9

6 http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/25/dinar-dan-dirham-vs-fiat-money-bahaya-mata-uang-kertas-fiat-money-1/

7 http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter

8 Pohan, Aulia. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, cet. I, Jakarta; Rajawali Pers, 2008. hal.48

9 Aliminsyah, S.E., Drs. Padji, Kamus istilah keuangan dan perbankan : Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris Cet. 1.Description Bandung : Yrama Widya, 2003. hal.330

Page 313: buku-tim-8

Venti Eka Satya

313

Di Indonesia kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Central, dalam hal ini Bank Indonesia. Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia mene-rapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem ni-lai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh kare-nanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengu-rangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasa-ran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengen-dalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah. 10

Saat ini muncul fenomena baru, nilai kurs mata uang tidak hanya diten-tukan oleh surplus atau minusnya neraca perdagangan antar negara. Akan tetapi sudah dicampuri oleh kebijakan yang bersifat fiskal bahkan politik. Terkadang suatu negara sengaja mendefaluasi kurs mata uangnya untuk me-ningkatkan nilai ekspor dan menekan importer dengan meningkatkankan pajak. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk tujuan ekonomis tetapi juga poli-tis. Sebagai mana yang dilakukan Amerikan Serikat saat kampanye presiden yang diwarnai krisis ekonomi hebat di tahun 2008.

10 hhtp://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter

Page 314: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

314

Solusi yang Ditawarkan untuk Mencegah InflasiC. Beberapa solusi coba ditawarkan oleh berbagai pihak untuk mengatasi

masalah inflasi yang seolah menjadi momok dalam sistem perekonomian saat ini. Ekonom Islam berpendapat bahwa sesungguhnya, apabila inflasi didefinisikan dengan kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum, maka akan kita dapati bahwa dalam setiap perekonomian (apakah itu meng-gunakan sistem ekonomi Kapitalis ataupun Islam) akan senantiasa ditemui permasalahan inflasi. Hanya saja, terdapat perbedaan yang cukup signifikan (baik secara kuantitatif maupun kualitatif) antara permasalahan inflasi yang ada di dalam perekonomian Islam dengan yang ada di dalam perekonomian Kapitalis.

Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan itu adalah dikarenakan mata uang yang digunakan dalam perekonomian Islam adalah bimetalik (di-nar dan dirham). Dimana dalam diri dinar dan dirham tersebut mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan dengan mata uang kertas yang diguna-kan pada saat ini. Salah satu keunggulan itu adalah adanya nilai intrinsik (nilai ini tidak terdapat pada fiat money) yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, inflasi yang disebabkan faktor lemahnya mata uang (depresiasi nilai) sebagaimana yang terjadi dalam perekonomian Kapitalis tidak akan ter-jadi dalam perekonomian Islam.

Setidaknya ada tujuh kebijakan moneter Islam yang dianggap dapat mengendalikan inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: Dinar dan dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing, hu-kum pertukaran mata uang, hukum bunga, hukum pasar modal, hukum per-bankan, hukum pertukaran internasional, dan otoritas kebijakan moneter.

Sebagian ahli menyatakan bahwa emas merupakan alat tukar yang nilai-nya paling stabil, dan bisa dijadikan alat tukar yang sifatnya global. Sudah ada keinginan dari beberapa orang untuk mengganti alat tukar perdagangan menjadi emas. Hal ini disebabkan mereka merasa bahwa emas lebih stabil dan adil nilainya dibandingkan dengan sistem uang yang digunakan selama ini. Memang emas lebih stabil nilainya dengan uang kertas sekarang.

Tapi dalam kenyataannya emas tidak sestabil yang dibayangkan. Emas itu ada kecendrungan nilainya naik dari tahun ke tahun jika dibandingkan dengan harga barang lainnya. Hal ini dikarenakan emas tidak luput dari hu-kum ekonomi dasar yakni nilai sesuatu benda ekonomi tergantung pada pe-

Page 315: buku-tim-8

Venti Eka Satya

315

nawaran dan permintaan. Dan emas itu termasuk kedalam jenis barang yang tidak terbarukan.

Dan bahkan saat ini, jumlah emas itu sudah tidak dapat mengikuti per-mintaan yang ada. Makanya nilai real emas saat ini cenderung akan terus meningkat jika dibanding barang lain yang rasio permintaan dan penawaran-nya tidak sekecil emas. Sekarang saja, saat emas tidak sebagai alat tukar yang dipakai secara luas, sudah banyak pengamat ekonomi terkemuka yang mem-prediksi bahwa nilai emas akan meningkat berlipat dalam beberapa tahun ke depan. Maka jika pada akhirnya emas menjadi alat tukar utama yang dipakai di seluruh dunia nilai emas akan sangat melonjak melebihi prediksi para ekonom itu. Nilai emas akan sangat melonjak dikarenakan akan semakin sulit untuk memperoleh emas (karena permintaan yang melonjak tajam). Ji-kapun berhasil memperoleh emas dari yang memiliki, maka itu harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Dan pada gilirannya perekonomian dunia akan dikuasai oleh segelintir orang atau negara yang memiliki emas ini. Bisa jadi bahwa pada akhirnya ekonomi hanya akan dikuasai oleh negara yang memilki tambang emas.

Sebaiknya Negara-negara di dunia kembali pada kebijakan dimana jum-lah uang yang beredar harus ditopang oleh persediaan emas dan perak. Pe-merintah atau otoritas moneter yang berwenang tidak selayaknya mencetak uang demi memenuhi kebutuhan fiskal. Di pasar bebas, uang dapat dipero-leh dengan menjual komoditas berupa barang maupun jasa yang dibutuhkan oleh pihak lain. Namun dengan wewenang yang dimilikinya pemerintah atau otoritas moneter dapat saja melangkahi cara ini dengan cara mencetak uang sesuai dengan kebutuhannya untuk memperoleh atau menguasai sumber daya yang dibutuhkannya. Tindakan ini sama saja dengan pemalsuan, yaitu nama lain untuk inflasi.

Yang akan menjadi korban metode pemalsuan ini adalah kelompok-kelompok yang berpenghasilan tetap seperti karyawan upahan dan pensiu-nan. Kontrak-kontrak dengan nilai tetap juga mengalami kerugian seperti manfaat asuransi jiwa, pemegang obligasi atau deposito jangka panjang, pe-milik properti yang menyewakannya untuk jangka panjang, serta pemegang uang tunai.

Sistem perbankan yang ada saat ini yang menggunakan sistem bunga juga turut memperparah inflasi. Bunga atau interest yang diterapkan menjadikan

Page 316: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

316

uang sebagai objek atau komoditas yang diperjual belikan. Bila uang telah menjadi komoditas penghasil uang maka aktifitas produksi barang dan jasa tidak lagi menjadi cara utama untuk menghasilkan uang. Tidak hanya inflasi yang akan meningkat, tetapi juga akan terjadi kelangkaan barang dan jasa, hal ini mengakibatkan kenaikan harga yang juga dapat meningkatkan inflasi.

Page 317: buku-tim-8

Venti Eka Satya

317

BAB IVPENUTUP

Inflasi didefinisikan dengan suatu peningkatan tingkat harga umum da-lam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. Inflasi, mata uang dan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan dan akan selalu terkait. Ketika kita membahas tentang inflasi, maka yang kita bicarakan adalah mengenai penurunan nilai mata uang dan hal ini sangat tergantung pada kebijakan moneter yang diambil oleh otoritas moneter yang berkuasa.

Mata uang adalah satuan hitung alat tukar yang resmi digunakan pada suatu wilayah tertentu. Manusia menciptakan uang untuk memenuhi kebutu-hannya. Ketika manusia tidak lagi mampu memenuhi kebutuhannya dengan sumberdaya yang dimilikinya, maka timbullah barter. Kebutuhan manusia te-rus meningkat sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhannya hanya dengan barter, maka timbullah ide untukmenciptakan alat tukar yang dapat diterima umum. Beragam alat tukar telah digunakan, manusia dari mulai garam sam-pai logam mulia. Akhirnya muncullah ide menciptakan uang.

Pada awalnya uang terbuat dari emas dan perak, karena sulit untuk me-mecahnya menjadi pecahan kecil maka diciptakanlah uang tanda atau token money yang mana nilai instrinsiknya lebih kecila dari nilai nominalnya. Ketika uang kertas diciptakan, ada aturan yang harus dipenuhi yaitu nilai nominal-nya harulah di back up dengan persediaan logam mulia. Sehingga pemerintah tidak dapat mencetak uang tanpa didukung oleh persedian komoditas yang nilainya sama dengan nilai uang beredar. Namun sejak Amerika menghenti-kan berlakunya Bretton Woods Agreement yang telah digagas sejak tahun 1942, sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era terse-but selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat money). Sistim fiat

Page 318: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

318

money ini telah memicu percepatan inflasi. Pemerintah dapat dengan leluasa mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan fiskalnya. Ketika jumlah uang beredar terus meningkat, maka nilainya akan terus menurun inilah salah satu faktor penyebab inflasi.

Selain fiat money, sistem nilai tukar mengambang penuh/bebas (freely floa-ting system) juga merupakan pemicu inflasi di suatu negara. Neraca perdagang-an antar negara sangat menentukan nilai kurs ketika sistem ini diterapkan. Negara yang menguasai produksi akan paling banyak mengekspor dan akan paling diuntungkan, dan sebaliknya negara yang paling banyak mengimpor akan mengalami inflasi yang lebih tinggi.

Perkembangan ekonomi dan moneter telah menambah fungsi uang, dari sebagai alat tukar menjadi komoditas yang diperdagangkan, hal ini memberi-kan andil yang cukup besar terhadap inflasi. Sistem perbankan konvensional yang memakai sistem bunga atau interest telah memberikan andil juga pada peningkatan inflasi.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi inflasi yang seolah telah menjadi momok dan tidak terhindarkan. Yaitu kembali pada sistem full bodied money atau mem-back up setiap uang yang beredar dengan persediaan logam mulia dalam hal ini emas dan perak. Otoritas moneter yang berkuasa seharusnya mengendalikan kurs mata uang dan jumlah uang beredar dengan lebih baik, sistem nilai tukar mengambang hanya akan memperparah inflasi, terutama untuk Negara berkembang seperti Indonesia.

Sistem ekonomi Islam juga telah menawarkan beberapa solusi, setidaknya ada tujuh kebijakan moneter Islam yang dianggap dapat mengendalikan in-flasi baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: Dinar dan dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing, hukum pertukaran mata uang, hukum bunga, hukum pasar modal, hukum perbankan, hukum pertukaran internasional, dan otoritas kebijakan moneter.

Page 319: buku-tim-8

Venti Eka Satya

319

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aliminsyah dan Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, cet. II, Bandung: Yrama Widya, 2006

Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Biro Sta-bilitas Sistem Keuangan, Kajian Stabilitas Keuangan, no.9 september 2007.

Hatta, M.,Telaah Singkat Pengendalian Inflasi Dalam Perspektif Kebijakan Mone-ter Islam, Jurnal Ekonomi Ideologis, Juli 2009

John Eatwell, Murray Milgate, and Peter Newman, The New Palgrave: A Dictio-nary of Economics. London and New York: 1987.

Kuncoro, Mudrajat, Metode Kuantitatif; Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Macmillan Education LTD, 1990.

MacDonald, Ronald (1995), Long Run Exchange Rate Modeling: A Survey of the Recent Evidence, IMF Staff Papers 42:437-489.

Pohan, Aulia. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, cet. I, Jakarta; Rajawali Pers, 2008

Rothbard.Murray N., What has Government Done to Our Money? (Apa yang Dila-kukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?), cet I Jakarta; Granit, 2007

Sarwono, Hartadi A. dan Perry Warjiyo, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel:Suatu Pemikiran untuk Penerapan-nya di Indonesia,Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Wibowo, Tri dan Hidayat Amir, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4 Desember 2005

Page 320: buku-tim-8

Kebijakan Moneter dan Mata Uang Dalam Mengendalikan Inflasi

320

Yusanto, Ismail. Mencari Solusi Krisis Ekonomi-Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, cet. I ,Jakarta; PIRAC, SEM Institute, Infid, 2001

Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter

hhtp://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/25/dinar-dan-dirham-vs-fiat-money-bahaya-ma-ta-uang-kertas-fiat-money-1

http://www.bi.go.id

http://www.junedzone.co.cc/feeds/posts/default?orderby=updated

http://www.scribd.com/doc/34618397/Teori-Ekonomi-Inflasi

http://www.sebi.ac.id

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/uang-definisi-fungsi-dan-jenisnya.html

http://staff.ui.ac.id/internal/060803004/material/SuplemenNoteKuliah1.pdf

Page 321: buku-tim-8

321

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas

BIOGRAFI PENULIS

Lukman Adam, S.Pi.,M.SiLahir pada tanggal 3 Maret 1978. Calon peneliti bidang Ekonomi dan

Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR. Menyelesaikan studi sarjana dan magister di In-stitut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2007, aktif terlibat sebagai tim asistensi dalam penyusunan dan pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang. Pada tahun 2006 pernah membawakan makalah pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari tahun 2000 sampai saat ini terlibat dalam berbagai penelitian bidang ekonomi, ling-kungan hidup, pertanian, dan perikanan.

Achmad Wirabrata, ST., MM., Lahir di Ujungpandang, 24 Desember 1977. Pendidikan S1 Teknik Mesin

diselesaikan di Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti Jakarta pada tahun 2003. Pendidikan S2 Manajemen Operasional diselesaikan di Magis-ter Manajemen Sekolah Tinggi Manajemen PPM pada tahun 2006. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan se-bagai Tim Pendamping pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR RI tentang perubahan UU tentang Jalan.

Page 322: buku-tim-8

322

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas

Ariesy Tri Mauleny, S.Si.,M.ELahir di Palembang, 26 Maret 1975. Pendidikan S1 Fisika diselesaikan

di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia pada tahun 1997, dan Pendidikan S2 Keuangan Pusat dan Daerah diselesai-kan di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Uni-versitas Indonesia pada tahun 2007. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2008 sebagai Tenaga Ahli pada Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI. Sejak 2009 memulai karir sebagai Kandidat Peneliti Bidang Eko-nomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan In-formasi (P3DI) dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping dalam pembahasan Rencana Strategis (RENSTRA) DPR RI Tahun 2010-2014, Arah Kebijakan Umum Pengelolaan Anggaran DPR RI Tahun 2011, Pedoman Umum Pengelolaan Anggaran DPR RI, Pedoman Umum Pengelolaan Kehumasan DPR RI, Pe-doman Umum Peliputan Media Massa pada Kegiatan DPR RI, Pembentukan Badan Fungsional Keahlian, Tata Tertib Penghunian dan Pengelolaan RJA, Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan Kerumahtanggaan, Pedoman Pengawasan Pelaksanaan dan Pengelolaan Anggaran DPR RI serta pendala-man terhadap penyusunan anggaran dan realisasi pelaksanaan anggaran DPR RI dan realisasi pelaksanaan anggaran DPR RI.

Izzaty,S.T.,M.ELahir di Padang, 5 Desember 1977. Pendidikan S1 Teknik Sipil disele-

saikan di Fakultas Teknik Universitas Andalas Padang pada tahun 2000. Pendidikan S2 Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik diselesaikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2009. Bekerja di Sekre-tariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan dalam pen-dampingan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR RI tentang pe-rubahan UU tentang Jalan.

Page 323: buku-tim-8

323

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas

T. Ade Surya, ST., MM., Lahir di Lhokseumawe, 24 Maret 1981. Pendidikan S1 Teknik Industri

diselesaikan di Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia pada tahun 2006. Pendidikan S2 diselesaikan di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mu-lai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Pu-blik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Ting-kat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping RUU tentang perubahan UU tentang Jasa Konstruksi.

Dewi Restu Mangeswuri, SE., M.Si., Lahir di Klaten, 6 Mei 1982. Pendidikan S1 Akuntansi diselesaikan di

Fakultas Ekonomi STIE YKPN Yogyakarta pada tahun 2004. Pendidikan S2 Akuntansi diselesaikan di Magister Akuntansi STIE YKPN Yogyakarta pada tahun 2006. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 se-bagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pemantauan Pelaksanaan UU di DPR RI un-tuk memantau UU tentang Perindustrian, dan UU tentang Undian, serta bersama dengan Tim Pengawasan Internal dan BURT menyusun draft Meka-nisme Pengawasan di DPR RI.

Dewi Wuryandani, S.T., MM., Lahir di Jakarta, 13 Agustus 1979. Pendidikan S1 Teknik Kimia dise-

lesaikan di Fakultas Teknik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta pada tahun 2002. Pendidikan S2 Finance diselesaikan di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004. Bekerja di Sekre-tariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR RI yaitu RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Page 324: buku-tim-8

324

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas

Hilma Meilani, S.T., MBA., Lahir di Kudus, 08 Mei 1977. Pendidikan S1 Teknik Kimia diselesaikan

di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002. Pendidikan S2 Finance diselesaikan di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping pembahasan beberapa Ran-cangan Undang-Undang di DPR RI, antara lain RUU tentang Perubahan UU tentang Minyak dan Gas Bumi, dan RUU tentang Perubahan UU ten-tang Sistem Resi Gudang.

Niken Paramita Purwanto, SE., M.Ak., Lahir di Jakarta, 25 Juni 1977. Pendidikan S1 Manajemen diselesaikan di

Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta pada tahun 2000, dan Pendidi-kan S2 Akuntansi diselesaikan di Magister Akuntansi Universitas Indonesia pada tahun 2004. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping Pansus RUU di DPR RI tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Nidya Waras Sayekti, S.E.,M.MLahir di Jakarta tanggal 3 Juli 1978. Pendidikan D3 Perbankan diselesai-

kan di Politeknik Universitas Indonesia pada tahun 1999, Pendidikan S1 Ma-najemen diselesaikan di Universitas Mercu Buana Fakultas Ekonomi pada tahun 2003 dan Pendidikan S2 Magister Manajemen diselesaikan di Univer-sitas Mercu Buana pada tahun 2006. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2005 sebagai Staf di Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI dan mulai tahun 2010 memulai karir sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Infor-masi (P3DI) dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan sebagai Tim Pendamping Penyusunan Pedoman Umum

Page 325: buku-tim-8

325

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas

Pengelolaan Anggaran DPR RI, Pedoman Umum Pengelolaan Aspirasi dan Pengaduan Masyarakat DPR RI, Pedoman Pengawasan atas Pengelolaan Ang-garan DPR RI.

Venti Eka Satya, SE., M.Si. Ak., Lahir di Dumai, 16 Januari 1975. Pendidikan S1 Akuntansi diselesaikan

di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang pada tahun 2003. Pendidi-kan S2 Akuntansi diselesaikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Kandidat Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat/golongan Penata Muda Tingkat I (Golongan III/b). Ditugaskan dalam pendampingan Tim Pengawasan Kasus Bank Century DPR RI.

Page 326: buku-tim-8

326

Ekonomi dan Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas