buku prosiding -...

83
i MANAJEMEN BENCANA FAKULTAS KEAM UNIVERSITA SENTUL, 11 APRIL 2019 BUKU PROSIDING SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA

Upload: others

Post on 31-Jan-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

MANAJEMEN BENCANA FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL UNIVERSITAS PERTAHANAN

© UNHAN PRESS

SENTUL, 11 APRIL 2019

BUKU PROSIDING

SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA DAERAH UNTUK

MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA

ii

BUKU PROSIDING

SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI

“KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA”

Sentul, 11 April 2019

UNIVERSITAS PERTAHANAN

Kawasan IPSC Sentul Sukahati Citereup Bogor 16810

2019

i

iii

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam

bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam

atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

iv

BUKU PROSIDING

SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI

“Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah

Untuk Mendukung Pertahanan Negara”

Sentul – Bogor, 11 April 2019

Penanggung jawab:

Dr. Tri Legionosuko, S.IP., M.AP

Reviewer:

Prof. Dr. Syamsul Maarif

Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT

Dr. Arief Budiarto, DESS Dr. Dr. Anwar Kurniadi, S.KP., M.Kep

Dr. Fauzi Bahar, M.Si

Dr. Sri Sundari

Tim Editor:

Dr. IDK Kerta Widana, SKM., MKKK

Faisol Abdul Kharis, S.Hum

Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar, S.P

Saifuli Sofi’ah, S.Pd

Oktavia Putri Rahmawati, S.Si

Nurul Safitry, S.Pd

Ilustrator:

Dindin, SE

Ns. Elviana Kaban, S.Kep., M.Han

Published by Universitas Pertahanan Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia 16810 Website: www.idu.ac.id

ISBN : 978-602-5808-54-8

v hlm + 75 hlm + 21x23cm email : [email protected]

081380920299

Kawasan IPSC, Sentul, Sukahati, Citereup, Bogor,

Jawa Barat, Indonesia, 16810

2019

iii

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Esa atas segala rahmat dan hidayahnya, buku Artikel

Penelitian Program Studi Manajemen Bencana

merupakan hasil penelitian yang telah dipublikasikan

pada acara Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri,

Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan

dengan tema “Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali

dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah untuk

Mendukung Pertahanan Negara” tanggal 11 April

2019.

Buku artikel penelitian ini memuat sembilan

artikel hasil penelitian Program Studi Manajemen Bencana di Provinsi Bali pada bulan

Februari 2019 yang telah dilakukan oleh mahasiswa dan dosen Program Studi Manajemen

Bencana dengan fokus kepada Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam Penanggulangan Bencana. Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari peningkatan

dan penguatan sumber daya manusia pertahanan di bidang kebencanaan. Oleh karena itu,

dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Pertahanan, Letnan Jenderal Dr. Tri Legiono Suko, SIP, MAP

yang telah mendukung dan memfasilitasi semua kegiatan seminar penelitian

Program Studi Manajemen Bencana.

2. Dekan Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan, Laksamana Muda

TNI Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT yang telah mendukung dan memberi

arahan dalam kegiatan penelitian dan seminar Program Studi Manajemen

Bencana.

3. Bapak dan Ibu seluruh panitia Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri Program Studi

Manajemen Bencana yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya. 4. Para peserta Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri Program Studi Manajemen

Bencana yang telah menyumbangkan artikel hasil penelitiannya.

iv

vi

Semoga buku artikel penelitian ini dapat memberi manfaat bagi kita semua untuk

pengembangan ilmu pertahanan, khususnya di bidang manajemen bencana untuk

keamanan nasional serta dapat menjadi referensi bagi pembangunan dan peningkatan

sumber daya manusia pertahanan di bidang kebencanaan.

Sekretaris

Program Studi Manajemen Bencana

Universitas Pertahanan

Dr. IDK Kerta Widana, SKM, MKKK

Kolonel Kes NRP 516772

NIDN: 4709106401

v

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................... iv

Implementasi Sister Village sebagai Alternatif Penanganan Pengungsi Erupsi

Agung: Studi Kasus Desa Semarapurakangin, Bali F. A. Kharis, B. D. Priambodo, M. P. Rizayati, IDK Kerta Widana ................................ 1

Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali dalam Menghadapi Risiko Bencana

Deddie Wijayanto, Novita A. Nainupu, Oktavia P. Rahmawati, Santi Oktariyandari ...... 11

Koordinasi dalam Komunikasi Bencana di Provinsi Bali

Deny Widi Anggoro, Dian Efrianti, Novita Berhitu ...................................................... 19

Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali terhadap Potensi Bencana

Tsunami Dodi Andrian, Fautia Erfanisa, Nur Ikhsani Rahmatika ................................................. 29

Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Taruna Siaga Bencana (TAGANA) di

Provinsi Bali

Bram Ronald Sanjaya, Kristiyono, Yuniar Kurnia Widasari .......................................... 38

........................................................................................................................................

Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Badung dan Pangkalan TNI AL (Lanal Denpasar

dalam Penanggulangan bencana)

Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar, Mohammad Ali, Nur Intan Sari ......................... 48

Kesiapan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Bali Adib Hermawan, Saifuli Sofi’ah, Sugeng Widodo ........................................................ 57

Kesiapsiagaan dalam Manajemen Bencana (Studi Kasus SLBN 1 Badung

Menghadapi Potensi Ancaman Bencana Gempa Bumi dan Tsunami)

Zahrotul Khumairoh, Dewi Apriliani, Taufiq Prasetyo .................................................. 66

iv

1

Implementasi Sister Village sebagai Alternatif Penanganan Pengungsi Erupsi

Gunung Agung: Studi Kasus Desa Semarapurakangin, Bali

F. A. Kharis1, B. D. Priambodo

1, M. P. Rizayati

1, IDK Kerta Widana

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi pelaksanaan sister village antara Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten

Karangasem dengan Desa Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten

Klungkung, Provinsi Bali pada September 2017. Penelitian ini penting dilakukan untuk

menekan dampak dari risiko yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Agung. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pemilihan sampel

menggunakan purposive dan snowball sampling berdasarkan kriteria tertentu diantaranya

adalah pejabat yang berkompeten dan terlibat langsung dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana terutama penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung Agung.

Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi dan studi pustaka. Teknik

analisis data menggunakan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan

kesimpulan. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 28

desa yang berada di wilayah kerawanan tinggi erupsi Gunung Agung. Radius aman pada

level situasi “awas” berjarak 6 km terdapat 10 desa di sekitar Gunung Agung yang

menjadi daerah rawan. Adapun 18 desa lain berstatus sebagai desa penyangga. Apabila

radius aman ditingkatkan menjadi 10 km, maka desa penyangga yang direkomendasikan

oleh BPBD Karangasem tersebar di tiga kabupaten yaitu Bangli, Singaraja dan

Klungkung. Sister village sebagai model pemberdayaan masyarakat Bali dalam

menghadapi erupsi Gunung Agung antara desa Duda Utara dengan Desa

Semarapurakangin sudah berjalan dengan baik. Sister village tumbuh berdasarkan

tingginya solidaritas sosial masyarakat Desa Semarapurakangin dalam memberikan

bantuan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan sehingga meminimalisir korban. Model

ini merupakan salah satu prosedur pemberdayaan masyarakat dalam membantu korban erupsi Gunung Agung menyediakan fasilitas emergency darurat bencana. Sister village

antara Desa Duda Utara dengan Desa Semarapurakangin ini dikombinasikan dengan

kearifan lokal asli masyarakat Bali, yaitu Nguopin atau penerapan gotong royong dengan

hati yang tulus ikhlas tanpa menerima imbalan.

Kata Kunci: Erupsi Gunung Agung, Kearifan Lokal, Sister Village

2

1. Pendahuluan Bali adalah salah satu daerah di Indonesia dengan tradisi lokal dan modernisasi dapat

berjalan beriringan. Pembangunan peradaban modern di Bali yang kian massive karena

tuntutan perkembangan zaman dan arus imigrasi, tidak serta merta menggerus budaya asli

Bali. Hal tersebut tidak terlepas dari campur tangan masyarakat Bali yang membentuk

berbagai kelompok desa. Kelompok-kelompok desa tersebut kemudian berkembang dan

menciptakan suatu kebudayaan-kebudayaan yang memiliki ciri khas masing-masing desa.

Kesenian tradisional, tarian adat, rumah masyarakat, upacara-upacara adat dan persembahyangan masih terjaga dengan baik. Masyarakat Bali Aga atau Bali Pegunungan

merupakan masayarakat desa tradisional tertua di Bali. Masyarakat Bali Aga adalah nenek

moyang orang Bali berasal dari keturunan Austronesia dari zaman Megalithikum yang

tinggal berkelompok di suatu daerah tertentu dan tetap memegang teguh tradisinya

(Purwadi dan Aliffiati, 2015:5).

Selain nilai-nilai adat dan tradisi lokal yang terjaga dengan baik, Bali memiliki

potensi sumber daya alam seperti lahan pertanian padi dan kopi, pantai terumbu karang

dan rumput laut. Sektor pariwisata unggulan Bali seperti pantai, upacara dan ritual

keagamaan serta wisata pedesaan menyumbang pemasukan paling besar dalam

menjalankan pemerintahan dan perekonomian Bali. Hal tersebut tentu saja dapat

mengundang wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk menjadikan Bali sebagai destinasi pilihan utama untuk berwisata dan menghabiskan waktu libur.

Sisi lain dari kemajuan Provinsi Bali di bidang perekonomian dan pariwisata,

terdapat berbagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat

Bali maupun wisatawan. Ancaman tersebut adalah potensi bencana seperti tsunami, banjir,

tanah longsor dan ancaman erupsi Gunung Agung dan Gunung Batur.

Posisi geografis Bali termasuk dalam daerah rawan bencana, yakni “ring of fire”

yang membentang sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Sulawesi

yang sewaktu-waktu berpotensi terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami dan

fenomena-fenomena alam lainnya (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017).

Topografi dan relief Pulau Bali terbentang pegunungan aktif, yaitu Gunung Agung dan

Gunung Batur. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di Bali yang berada di Kabupaten

Karangasem dengan tinggi puncaknya adalah 3.142 mdpl. Adapun Gunung Batur yang tingginya 1.717 mdpl berada di Kabupaten Bangli.

Pada September 2017, Gunung Agung meletus akibat meningkatnya aktivitas gempa

tektonik yang menyebabkan perubahan status dari siaga menjadi awas (Bhaskara,

2017:32). Masyarakat terdampak (radius 6 km) di sekitar Agung harus mengungsi ke

daerah aman berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) Kabupaten Karangasem. Salah satu penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung

Agung pada September 2017 adalah melalui kearifan lokal sister village. Implementasi

konsep sister village dalam penanganan pengungsi dari Desa Duda Utara, Kecamatan

Selat, Kabupaten Karangasem dilaksanakan di Balai Banjar Lebah, Desa

Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Pada

umumnya, kedatangan pengungsi dari suatu daerah ke daerah lain dapat mengganggu stabilitas keamanan di daerah pengungsian, namun masyarakat Desa Semarapurakangin,

3

Kabupaten Klungkung mampu melaksanakan penanganan pengungsi dengan baik.

Pelaksanaan sister village tersebut terbukti membantu warga Desa Duda Utara.

Berdasakan kasus tersebut, Pemerintah Provinsi Bali harus menjadi aktor birokrasi yang

menangani kebencanaan dengan menggunakan alternatif model kerjasama sister village.

2. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten

Klungkung, Provinsi Bali. Metode penelitian yang digunakan berupa kualitatif dengan menggunakan data-data deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

implementasi pelaksanaan sister village sebagai solusi permasalahan yang ditimbulkan

akibat erupsi Gunung Agung pada tahun 2017.

2.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan beberapa teknik, yaitu melalui teknik

wawancara, observasi lapangan dan studi pustaka. Subjek penelitian adalah pihak-pihak

yang terlibat langsung sebagai narasumber dan memahami tentang topik penelitian.

Teknik pemilihan sampel menggunakan purposive dan snowball sampling. Purposive

sampling adalah mengambil sampel dari populasi berdasarkan kriteria tertentu. Adapun

snowball sampling adalah narasumber yang dipilih memenuhi kriteria yang ditetapkan, diantaranya adalah pejabat yang berkompeten dan terlibat langsung dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama penanganan pengungsi akibat erupsi

Gunung Agung (Sugiyono, 2013:125). Narasumber yang dimaksud diantaranya adalah

sebagai berikut:

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karangasem

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Klungkung

Tokoh masyarakat Pecalang atau Polisi Adat Bali

2.2 Analisis

Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan data-data deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

interaktif sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Hubberman (2014) yaitu suatu

teknik analisis yang dilakukan secara terus-menerus selama pengumpulan data di lapangan

sampai dengan pengumpulan data selesai dilakukan sehingga data yang didapatkan sudah

jenuh. Teknik analisis data model interaktif sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles

dan Hubberman terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan langkah

terakhir adalah penarikan kesimpulan. Langkah-langkah dalam analisis data adalah

sebagai berikut:

2.2.1 Pengumpulan data

Analisis data penelitian sudah dilakukan mulai saat pengumpulan data penelitian

berlangsung hingga pengumpulan data selesai dilakukan.

4

2.2.2 Reduksi data

Reduksi data merupakan penyerderhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan

dan keabsahan data mentah menjadi informasi yang bermakna, sehingga memudahkan

penarikan kesimpulan.

2.2.3 Penyajian data

Penyajian data yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk naratif.

Penyajian-penyajian data berupa sekumpulan informasi yang tersusun secara sistematis dan mudah dipahami.

2.2.4 Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data yang dilakukan melihat

hasil reduksi data tetap mengacu pada rumusan masalah secara tujuan yang hendak

dicapai. Data yang telah disusun dibandingkan antara satu dengan yang lain untuk ditarik

kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.

Data primer, data sekunder dan hasil survei lapangan yang diperoleh dianalisis

dengan deskripsi hasil in-depth interview dan tabulasi data sosiometri. Reduksi data

dilakukan dengan teknik coding. Perlu diperhatikan bahwa kode-kode yang ditentukan dalam menjawab setiap rumusan pertanyaan dapat berinteraksi satu sama lain sesuai

dengan hasil di pengamatan di lapangan. Uji keabsahan data dilakukan dengan

menggunakan teknik triangulasi sumber. Peneliti membandingkan pendapat dari BPBD

Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Karangasem, tokoh masyarakat berupa Ketua Adat

Komunitas Pecalang, serta hasil pengamatan dan observasi peneliti.

3. Hasil dan Pembahasan Bergesernya paradigma penanganan bencana oleh pemerintah yang ingin memberikan

peran lebih besar kepada masyarakat, dirancang sebuah pendekatan penanganan bencana

berbasis masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk mendorong dan mengundang partisipasi

yang lebih aktif dari masyarakat agar dapat menyampaikan ide-ide perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi program-program, kesiapan, kesiapsiagaan darurat, respon, dan pemulihan.

Gunung Agung adalah titik tertinggi di Pulau Bali dengan tinggi mencapai 3.142

mdpl. Gunung api dengan tipe stratovolcano ini meletus pada tahun 1963, 2017, 2018 dan

terakhir pada Maret 2019. Dampak dari erupsi Gunung Agung mengakibatkan masyarakat

yang tinggal di sekitar lereng harus mengungsi. Selain itu, terjadinya erupsi Gunung

Agung juga berdampak pada kerugian berupa kerusakan dan hilangnya aset sumber mata

pencaharian masyarakat.

3.1 Pembentukan Sister Village di Desa Semarapurakangin, Klungkung

Pada September 2017, aktivitas tektonik Gunung Agung mengalami peningkatan. Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Gunung Agung dari level III (siaga) menjadi level IV (awas). Intensitas semburan asap dan abu vulkanik

5

Gunung Agung terus meningkat disertai dentuman yang terdengar hingga 12 kilometer.

Masyarakat, wisatawan dan pendaki dilarang beraktivitas pada radius 9 kilometer dari

kawah Gunung Agung. Daerah pada radius tersebut harus steril dan kosong dari aktivitas

masyarakat. Hal tersebut menyebabkan gelombang pengungsi datang ke daerah-daerah

aman yang telah direkomendasikan oleh BPBD Kabupaten Karangasem. Gambar berikut

menggambarkan kawasan rawan bencana pada kondisi awas Gunung Api Agung yang

dipetakan pada radius 6 km dari puncak.

Gambar 1. Peta kawasan rawan bencana kondisi awas Gunung Api Agung Provinsi Bali.

Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2018

Gambar menunjukkan bahwa terdapat 28 desa yang berada di wilayah kerawanan tinggi

erupsi Gunung Agung. Radius aman pada level situasi “awas” berjarak 6 km serta terdapat

18 desa di sekitar Gunung Agung yang menjadi daerah rawan. Adapun 10 desa lain

berstatus sebagai desa penyangga.

6

Pemerintah Kabupaten Karangasem melalui Surat Keputusan Bupati Karangasem

No. 14/HK/2018 telah menetapkan desa dan dusun yang masuk dalam radius berbahaya

erupsi Gunung Agung. Pemerintah menetapkan 28 desa terdampak erupsi Gunung Agung.

Adapun daftar 28 desa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Daftar desa terdampak erupsi Gunung Agung

Kecamatan Desa Terdampak Jumlah

Kubu Tulamben, Kubu, Dukuh, Baturinggit, Sukadana, Ban dan Tianyar (kecuali Tianyar Tengah dan Barat)

7

Abang

Pidpid Atas, Nawa Kerti, Kesimpar Atas

(perbatasan dengan Wates Datah), Datah Atas (Kedampal, Karangsari, Wates) dan Ababi Atas (Umanyar, Besang dan sekitarnya)

5

Bebandem Bhuana Giri, Budakeling (dekat sungai Embah Api), Bebandem Atas (Tihing Sekaa, Tihingan) dan Jungutan

4

Selat Duda Utara, Amertha Buana, Sebudi, Peringsari Atas (Lusuh, Padangaji), Muncan

Atas (Pejeng dan sekitarnya)

5

Rendang Besakih, Menanga Atas (Batusesa, Tegenan dan sekitarnya), Pempatan Atas (Pemuteran, Gunung Lebah, Keladian) dan Puragae

4

Karangasem Padangkerta (kecuali Desa Adat Peladung dan Temega), Subagan (kecuali Desa Adat Jasri), dan Karangasem yang dekat dengan Tukad Janga

3

Sumber: BPBD Karangasem, 2018

Saat Gunung Agung berstatus “awas”, radius aman yang telah ditetapkan oleh

PVMBG berjarak 6 km. Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Karangasem

No. 14/HK/2018 tentang penetapan desa dan dusun yang masuk dalam radius berbahaya 6

km dari puncak Gunung Agung di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan ketetapan

tersebut, 10 desa di 5 kecamatan di Kabupaten Karangasem termasuk dalam kategori

kerentanan tinggi. Adapun 10 desa tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

7

Tabel 2. Daftar desa dan dusun yang masuk dalam radius 6 km dari puncak Gunung

Agung

Kecamatan Daerah Bahaya

Desa Dusun

Rendang Besakih Temukus, Angsoka, Kidulingkreteg, Br.Kesimpar

Kubu

Ban Bunga, Daya, Cegi, Pengalusan, Belong, Pucang, Bonyoh,

Cucut

Dukuh Dukuh, Batu Giling, Buana Kusuma, Pandan Sari

Kubu Juntal Kaja

Baturinggit Bantas

Abang Datah Kedampal, Karangsari, Juwuk, Wates

Nawakerti Batukawan, Baukangin, Laga

Bebande Buana Giri Ttanah Aron, Nangka, Kemoning, Bhuana Kerta Jungutan Yeh Kori, Kubu Pangi, Untalan, Galih

Selat Sebudi

Lebih, Telung Buana, Badeg Dukuh, Sogra, Pura, Badeg

Tengah, Desa Adat

Sebun

Sumber: Surat Keputusan Bupati Karangasem No. 14/HK/2018, 2018

Salah satu implementasi pelaksanaan sister village sebagai alternatif penanganan

pengungsi erupsi Gunung Agung dilaselenggarakan di Desa Semarapurakangin,

Kabupaten Klungkung yang menampung pengungsi dari Desa Duda Utara, Kabupaten

Karangasem. Sebelumnya, BPBD Kabupaten Karangasem telah berkoordinasi dengan

daerah-daerah aman di sekitar Kabupaten Karangasem untuk dijadikan sebagai desa

penyangga. Adapun desa penyangga tersebut tersebar di tiga kabupaten yang diantaranya

adalah Kabupaten Bangli, Kabupaten Singaraja dan Kabupaten Klungkung. Desa-desa

yang teridentifikasi masuk ke dalam daerah terpapar erupsi Gunung Agung diberikan

sosialisasi dan mitigasi dari BPBD Kabupaten Karangasem melalui pimpinan desa adat dan Pecalang. Himbauan dari BPBD Kabupaten Karangasem saat terjadi erupsi Gunung

Agung adalah untuk segera mengungsi ke salah satu desa yang telah terdaftar sebagai

posko pengungsian. Konsep ini disebut dengan sister village. Praktik pelaksanaan model

sister village antara desa Duda Utara dengan desa Semarapurakangin dijadikan sebagai

salah satu dasar penentuan kebijakan kearifan lokal sister village di daerah-daerah lain

sebagai bentuk antisipasi dan solusi penanganan pengungsi saat terjadi erupsi Gunung

Agung.

Model sister village merupakan upaya menyatukan dua pasang desa atau lebih adalah

suatu hubungan kerja sama dalam manajemen pengungsi yang terencana saat terjadi suatu

bencana. Model sister village dilaksanakan untuk menekan risiko bencana berupa luka-

luka, kehilangan harta benda hingga kematian. Hal tersebut didukung oleh desa penyangga sebagai lokasi penempatan pengungsi baik di rumah penduduk maupun fasilitas umum

(Avianti, 2015:117). Sister village merupakan bentuk kerja sama antara desa yang

terdampak bencana dengan desa yang aman.

8

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan

bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana).

Penyelenggaraan penanggulangan bencana melibatkan banyak pihak, tidak terkecuali pada

pelaksanaan model sister village. Pemerintah dalam hal ini melalui BPBD tidak dapat

melaksanakan penyelenggaraan tersebut sendiri. BPBD membutuhkan bantuan dan

koordinasi dari berbagai pihak seperti masyarakat dan dunia usaha atau swasta non pemerintah. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan model sister village penanganan

pengungsi erupsi Gunung Agung adalah antara Desa Duda Utara dengan Desa

Semarapurakangin.

3.2 Teknis dan Prosedur Pelaksanaan Sister Village

Teknis pelaksanaan model sister village antara desa terdampak dengan desa penyangga

berjalan secara sistematis. Apabila muncul tanda-tanda adanya erupsi Gunung Agung,

warga masyarakat lereng gunung yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Duda Utara

menuju desa penyangga yang dalam hal ini adalah Desa Semarapurakangin untuk

mengungsi. Pelaksanaan ini berjalan setelah adanya kesepakatan antara dua desa tersebut.

Sinergi dan koordinasi sister village antar desa melibatkan Pasebaya yang merupakan kepala desa adat masing-masing desa.

Masayarakat Desa Duda Utara saat mengungsi si Desa Semarapurakangin memiliki

berbagai aktivitas untuk menghidupkan perekonomian secara mandiri tanpa terus

mengharap bantuan dari orang lain. Salah satunya adalah membuat kerajinan Canangsari

untuk digunakan sebagai sesaji umat Hindu. Selain untuk beribadah kerajinan Canangsari

tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk menambah bahan makanan sehari-hari di

pengungsian.

3.3 Keuntungan Pelaksanaan Sister Village

Keuntungan pelaksanaan sister village diantaranya adalah sebagai berikut:

Masyarakat Desa Duda Utara yang menjadi korban erupsi Gunung Agung dimudahkan untuk mendapatkan tempat mengungsi karena sudah diatur dengan

persetujuan dan koordinasi yang baik dan jelas, sehingga apabila terjadi erupsi

Gunung Agung alur evakuasi korban terdampak dapat berjalan dengan tertib.

Mempermudah perhitungan jumlah kebutuhan bantuan, kesehatan, pendidikan,

dan logistik.

Pelaksanaan rehabilitasi dan pemulihan korban menjadi lebih terkoordinasi

dengan baik.

Pengungsi di Balai Banjar Lebah Desa Semarapurakangin merasa nyaman

karena kemudahan akses tempat pengungsian, fasilitas kesehatan dan air bersih.

Perekonomian warga masyarakat Desa Dadu Utara masih tetap bisa berjalan

walaupun sedang terdampak bencana.

9

3.4 Kendala Pelaksanaan Sister Village

Kendala dalam pelaksanaan sister village diantaranya adalah tidak semua masyarakat

terdampak erupsi bersedia untuk tidur di pengungsian dan lebih memilih untuk mengungsi

ke tempat keluarga. Hal tersebut menyebabkan sulitnya mengidentifikasi kekuatan penuh

masyarakat desa terdampak yang mengungsi di desa penyangga melalui model sister

village. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pokok pengungsi belum berjalan dengan

maksimal. Meskipun banyak bantuan yang datang untuk pengungsi, namun tidak semua

bantuan tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena bantuan yang dikirimkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengungsi.

4. Simpulan Pelaksanaan kebijakan sister village sebagai bagian dari penanggulangan bencana berbasis

masyarakat secara mandiri sehingga mengurangi ketergantungan dari pemerintah maupun

orang lain. Implementasi di Bali didasari oleh local wisdom kehidupan masyarakat yang

saling bergotong-royong yaitu Nguopin (mendukung tetangga/saudara dekat dan

Pasebaya). Sister Village dapat menjadi alternatif solusi dalam penanganan korban

terdampak erupsi Gunung Agung pada September 2017. Pelaksanaan sister village yang

terorganisir dengan baik memudahkan pengungsi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat

terdampak sudah tahu lokasi pengungsian. Bagi pemerintah (khususnya BPBD Provinsi Bali dan Kabupaten Karangasem), model sister village dapat digunakan sebagai salah satu

model penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang efektif. Pemerintah melalui

BPBD juga dimudahkan dalam melakukan aksi cepat tanggap pendataan dan penyaluran

bantuan. Setiap desa terdampak dan desa penyangga harus memiliki MoU (Memorandum

of Understanding) yang jelas dengan difasilitasi oleh masing-masing perwakilan

Pasebayan dan pemerintah melalui BPBD untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman

dan potensi konflik.

5. Acknowledgement Kami berterima kasih kepada BPBD Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Karangasem, BPBD

Klungkung dan Pecalang atau Polisi Adat Bali yang telah memberikan informasi terkait

risiko bahaya erupsi Gunung Agung dan konsep pelaksanaan model sister village. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan kajian untuk menentukan kebijakan

penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung Agung.

Referensi [1] Astriani, Fiqih 2017 Mitigasi Bencana Gunung Merapi Berbasis Desa Bersaudara

(Sister Village) di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Jawa Tengah

[undergraduated thesis] (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta).

[2] Avianti N dan Bevaola Kusumasari 2015 Modal Sosial di dalam Upaya

Pengurangan Risiko Bencana Merapi “Sister village”: Studi Kasus Desa

Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanggung Kecamatan Muntilan

[undergraduate thesis] (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada) p 117.

10

[3] Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2017 Potensi dan Ancaman Bencana

(Jakarta: Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan).

[4] Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali dalam Angka=Bali Province in Figures

2018 (Bali: BPS-Statistic of Bali Province).

[5] Bhaskara, Gde Indra 2017 Gunung Berapi dan Pariwisata: Bermain dengan Api

Vol. 17 No. 1 (Bali: Jurnal Analisis Pariwisata) p 31-40.

[6] Kristifolus, Willybrodus Gabriel 2017 Analisis Implementasi Sister Village

Ssebagai Upaya Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Merapi dalam Status Aaktif Normal (Pra Bencana0 DI Kabupaten Magelang [undergraduated

thesis] (Semarang: Universitas Diponegoro).

[7] Miles, Matthew B., A. Michael Huberman dan J Saldana 2014 Qualitative Data

Analysis: A Methods Sourcebook (Los Angeles: Sage Publication).

[8] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bab I Pasal 1 (2).

[9] Purwadi dan Aliffiati 2015 Napak Tilas Jati Diri Orang Bali (Bali: Program Studi

Antropologi Universitas Udayana) p. 5.

[10] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) 2018 Peta KRB

Kondisi Awas Gunung Api Agung Provinsi Bali (Electronic Materials).

[11] Sugiyono 2013 Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta) p 122-125.

[12] Surat Keputusan Bupati Karangasem No. 14/HK/2018 tentang Penetapan desa dan

dusun yang masuk dalam radius berbahaya menjadi 6 km dari puncak Gunung

Agung di Kabupaten Karangasem.

11

Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali dalam Menghadapi Risiko Bencana

Deddie Wijayanto 1

, Novita A. Nainupu 1

, Oktavia P. Rahmawati1, dan Santi

Oktariyandari 1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak. Pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia menunjukkan bahwa sektor pariwisata adalah penghasil devisa terbesar untuk Indonesia. Wisata budaya Bali yang

sangat populer di tingkat internasional dan telah dinobatkan sebagai tujuan terbaik di

dunia menjadi penyumbang devisa terbesar ke sektor pariwisata Indonesia sebesar 70%.

Salah satu ancaman utama dalam industri pariwisata adalah rentan terhadap bencana, jika

tidak dikelola dengan baik dampaknya akan memengaruhi ekosistem pariwisata dan

pencapaian target kinerja pariwisata. Mitigasi dan pengurangan risiko bencana adalah

tindakan yang tepat dalam menghadapi ancaman dan ditempatkan sebagai bentuk investasi

dalam pengembangan pariwisata. Tindakan mitigasi dapat mengambil bentuk peran

informasi dari manajemen objek wisata terkait untuk memberikan jaminan rasa tenang dan

keamanan yang dibutuhkan oleh wisatawan dalam melaksanakan liburan mereka.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif berdasarkan pertimbangan pelaksanaan upaya mitigasi penanggulangan bencana yang

melibatkan berbagai aspek yang harus digali lebih dalam dan komprehensif. Upaya

mitigasi yang dilakukan adalah bentuk kesiapsiagaan untuk merespons tantangan yang

dihadapi oleh sektor pariwisata di Bali khususnya adalah memberikan rasa nyaman dan

aman bagi wisatawan yang datang dan segala bentuk ancaman harus diantisipasi oleh

pihak-pihak terkait.

Kata kunci: Kesiapan, Manajer Pariwisata, Pulau Bali, Risiko Bencana

1. Pendahuluan

Perkembangan pariwisata di Indonesia luar biasa pesat. Data World Travel and Tourism

Council (WTTC) pada tahun 2018 melaporkan bahwa Top-30 Travel and Tourism

Countries Power Rangking yang didasarkan pada pertumbuhan absolut pada periode tahun

2011 dan 2017 untuk empat indikator perjalanan dan pariwisata utama menunjukkan

Indonesia berada pada peringkat sembilan sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata

tercepat di dunia. Dalam daftar yang dikeluarkan, China; Amerika Serikat; dan India

menempati posisi tiga besar. Pariwisata di kawasan Asia, Indonesia berada peringkat tiga setelah China dan India. Sedangkan pariwisata di kawasan Asia Tenggara, posisi

Indonesia terbaik diantara negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu Thailand yang

12

berada di peringkat 12; Filipina dan Malaysia di peringkat 13; Singapura di peringat 16;

dan Vietnam di peringkat 21.

Pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan

komparatif. Terlihat dari jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia yang mengalami

peningkatan sebesar 55% secara absolut, dari tahun 2014 sebesar 9 juta menjadi 14 juta

pada tahun 2017. Angka ini menunjukan bahwa sektor pariwisata merupakan penghasil

devisa terbesar. Putu Agus Yudiantara selaku Kasi Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata

Provinsi Bali menyatakan bahwa pariwisata di Indonesia yang menyumbang devisa terbesar adalah Pariwisata Bali yang mampu menyumbang Rp. 150 miliar/bulan untuk

devisa wisata negara atau sekitar 70% untuk sektor pariwisata di Indonesia. Akan tetapi,

industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana apabila tidak dikelola dengan baik,

dampaknya akan mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja

pariwisata. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan dan wisatawan melihat

keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata. Bencana

merupakan salah satu faktor yang sangat rentan dan nyata yang akan mempengaruhi naik

turunnya permintaan dalam industri pariwisata.

Pariwisata budaya Bali yang sangat populer di kancah internasional telah

berkembang sejak tahun 1920-an yang menarik wisatawan termasuk wisatawan

mancanegara. Pulau Bali dinobatkan sebagai destinasi terbaik di dunia berdasarkan penghargaan yang diberikan oleh TripAdvisor lewat Travellers’ Choice Awards 2017.

Dalam penghargaan ini, Bali menduduki peringkat pertama dari 25 destinasi terbaik di

dunia mengalahkan London (Inggris) dan Paris (Perancis). Perkembangan kedatangan

wisatawan mancanegara ke Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mengalami

peningkatan yang cukup pesat, yaitu dari 6.394.307 orang (2014); menjadi 7.149.115

orang (2015); menjadi 8.643.680 (2016); menjadi 8.735.633 orang (2017); dan menjadi

9.757.991 orang (2018) (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2018). Dalam beberapa tahun

terakhir, kunjugan pariwisata ke Bali terus meningkat. Tingkat Penghunian Kamar (TPK)

hotel berbintang di Provinsi Bali pada Agustus tahun 2018 mencapai 73,83% juga

memperjelas besarnya tingkat wisatawan di Provinsi Bali (BPS, 2018). Akan tetapi, angka

kunjungan dapat dipengaruhi oleh faktor bencana alam di Bali. Erupsi Gunung Agung di

Bali tahun 2017 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian mencapai Rp 11 trilyun di sektor pariwisata.

Mitigasi sangat diperlukan Provinsi Bali untuk menjaga kestabilan jumlah wisatawan

yang datang. Mitigasi bencana harus ditempatkan menjadi salah satu prioritas dalam

pembangunan sektor pariwisata. Mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya

ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata itu sendiri. Dinas pariwisata

Bali yang didukung oleh Kementrian Pariwisata Republik Indonesia melakukan empat

langkah taktis untuk merespon situasi krisis akibat erupsi Gunung Agung yang telah

terjadi. Multihazard yang terdapat di Provinsi Bali sangat mengancam Pemerintah

Provinsi Bali. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bali sudah memulai beberapa tindakan

mitigasi untuk mengatasi segala bentuk ancaman dari bencana tsunami sebagai upaya

kesiapsiagaan.

13

2. Metode

Sejalan dengan fokus masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Peneliti

menggunakan metode kualitatif berdasarkan atas pertimbangan pelaksanaan upaya

mitigasi penanggulangan bencana yang melibatkan berbagai aspek yang harus digali lebih

mendalam dan komprehensif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan

untuk memehami suatu fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007). Penelitian

ini diharapkan dapat mendapatkan berbagai informasi yang dapat digunakan dalam

mendukung tindakan mitigasi dalam upaya pengurangan risiko bencana kepada

wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara di Provinsi Bali.

3. Hasil dan Pembahasan

Bali memiliki berbagai macam tempat wisata memukau yang dapat menarik

wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara dari berbagai macam negara di

dunia. Namun, tidak dapat dipungkiri letak geografis Provinsi Bali dikelilingi oleh

berbagai macam ancaman bencana dari erupsi gunung, tsunami, banjir, angin topan, dan lain sebagainya (Gubernur Provinsi Bali, 2019). Pemerintah Provinsi Bali telah

melaksanakan koordinasi yang sangat baik kepada instansi dan lembaga dalam hal

menangani terjadinya potensi bencana di Provinsi Bali khususnya daerah wisata. Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali yang memiliki tanggungjawab

dalam menangani kebencanaan bekerja sama dengan instansi terkait, seperti BPBD

Kabupaten di seluruh Provinsi Bali, BMKG, Basarnas, PMI, NGO, dan lain lain untuk

memastikan keamanan lokasi wisata dalam menghadapi potensi bencana. BPBD di daerah

Provinsi Bali merupakan instansi yang memiliki kajian yang sangat baik dalam

memaksimalkan program kerja untuk memberikan informasi terkait bencana.

Beberapa hal yang telah dilakukan oleh BPBD Provinsi Bali, yaitu terjalinnya

kerjasama dalam memaksimalkan kerja Early Warning System (EWS) yang telah terdapat

di sembilan titik pantai yang berpotensi tsunami. Setiap tanggal 26 tiap bulannya pukul 10.00 WITA Pemda Provinsi Bali bekerja sama dengan BPBD dan BMKG selalu

melakukan uji coba sirine EWS yang terdapat diseluruh titik di Bali. Hal ini bertujuan

untuk mengetahui apakah alat EWS tersebut masih berfungsi dengan baik atau tidak.

Disamping itu, BPBD Provinsi Bali juga telah memiliki standarisasi hotel tahan gempa

dengan adanya bukti sertifikasi yang dikeluarkan oleh BPBD Provinsi Bali dengan syarat

indikator sesuai ketentuan yang berlaku. Saat ini sudah 60 Hotel yang tersertifikasi (BPBD

Provinsi Bali, 2019).

14

Gambar 1 dan 2 Jalur Evakuasi di Bangunan dan Lobby Hotel

Gambar 3 dan 4 Titik Kumpul di Lapangan Terbuka Hotel

Kegiatan lain yang mendukung program mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap

bencana di Bali juga sudah dilasanakan oleh BPBD Kabupaten Badung yang memiliki

objek wisata yang cukup banyak sehingga keberadaan wisatawan harus diperhatikan. Program sosialisasi di objek wisata sudah dilakukan secara berkala dengan didukung

pemberian brosur kepada wisatawan sebagai informasi batasan daerah rawan bencana di

tempat wisata (BPBD Kab. Badung, 2019). Pariwisata budaya Bali yang berkembang

sejak tahun 1920-an telah menarik datangnya wisatawan termasuk wisatawan

mancanegara maupun domestik. Perkembangan kedatangan wisatawan baik mancanegara

maupun wisatawan domestik ke Bali dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami

peningkatan yang cukup pesat berdasarkan data Dinas Pariwisata Provinsi Bali, khususnya

kedatangan wisatawan mancanegara sebaga berikut:

15

Tabel 1 The Number Foreign Tours Arrival Bali By Month

Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total

2014

Tourist 279.2

6

275

.80

276

.57

280

.10

286

.03

330

.40

361

.07

336

.76

354

.76

341

.65

296

.88

347

.37

3.766

.638

-/ +(%) 19.89 14.

03

9.3

3

15.

57

15.

35

19.

85

21.

21

8.9

1

16.

08

28.

17

-

3.3

8

16.

17 14.89

2015

Tourist 301.7

5

338

.99

305

.27

313

.76

295

.27

359

.70

382

.68

303

.62

389

.06

369

.45

270

.94

370

.64

4.001

.835

-/ +(%) 8.05 22.

91

10.

38

12.

02

3.4

8

8.8

7

5.9

9

-

9.84

9.6

7

8.1

4

-

8.74

6.7

0 6.24

2016

Tourist 350.5

9

375

.74

364

.11

380

.77

394

.56

405

.84

484

.23

438

.14

445

.72

432

.22

413

.23

442

.80

4.927

.937

-/ +(%) 16.19 10.

84

19.

27

21.

35

33.

31

12.

83

26.

54

44.

30

14.

58

16.

99

52.

52

19.

47 23.14

2017

Tourist 460.8

2

453

.99

425

.50

477

.46

489

.38

504

.14

592

.05

601

.88

550

.52

465

.09

361

.01

315

.91

5.697

.739

-/ +(%) 31.44 20.

82

16.

86

25.

40

24.

03

24.

22

22.

27

37.

37

23.

51

7.6

1

-

12.

60

-

28.

70

15.62

2018

Tourist 358.0

6

452

.42

492

.68

516

.78

528

.51

544

.55

624

.37

573

.77

555

.90

517

.89

406

.73

498

.82

6.070

.473

-/ +(%) -

22.30

20.

41

35.

31

35.

72

33.

95

34.

18

28.

94

30.

96

24.

72

19.

82

-

1.5

7

12.

65 23.18

Dalam beberapa tahun terakhir, kunjugan pariwisata ke Bali terus meningkat. Seiring

semakin banyaknya potensi tempat wisata yang telah tereksplorasi dengan baik. Mulai dari

wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata kuliner, dan perbelanjaan. Semua

komponen masyarakat yang ada di Bali dimulai dari warga masyarakat, kampung adat,

pemerintah hingga dunia usaha mampu meramu Bali menjadi pusat wisata dunia. Bali

mampu menyumbang 70% pendapatan dari sektor pariwisata yang ada di Indonesia (Dinas

Pariwisata Provinsi Bali, 2018). Pemerintah menargetkan delapan juta kunjungan

wisatawan mancanegara. Namun, target angka kunjungan wisatawan mancanegara

sebanyak delapan juta itu dipengaruhi oleh efek faktor terjadinya bencana alam di Bali.

Erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 menyebabkan penurunan jumlah kedatangan

wisatawan sebanyak 1 juta yang mengakibatkan penerimaan devisa sektor pariwisata menurun.

16

Penyebab menurunnya jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali bukan

akibat timbulnya rasa takut akan erupsi Gunung Agung, tetapi jumlah kedatangan

wisatawan asing menurun lebih disebabkan akibat adanya penutupan Bandara

Internasional I Gusti Ngurah Rai oleh pihak PT. Angkasa Pura I sebagai upaya antisipasi

terhadap radius sebaran abu vulkanik Gunung Agung. Akibat penutupan bandara adalah

penurunan wisatawan mancanegara ke Bali, tetapi wisatawan yang sudah berada di Bali

menjadi resah karena ketidakpastian Bandara I Gusti Ngurah Rai akan dibuka ataupun

ditutup. Hal tersebut membawa keresahan bagi para turis asing yang jadwal berliburnya sudah terjadwal. Pada akhirnya banyak turis asing mancanegara yang mengalihkan tujuan

wisata ke Bali menjadi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya serta turis yang sudah

berada di Bali mempercepat waktu kunjungannya di Bali. Kejadian ini langsung

menyebabkan turunnya target kedatangan turis, khususnya turis mancanegara ke Bali yang

memiliki targer pada tahun 2017 adalah delapan juta wisatawan.

Melihat kejadian ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali tidak tinggal diam, banyak

cara dan usaha nyata dalam menarik wisatawan mancanegara untuk tetap datang ke Bali

dan “menahan” untuk tetap tinggal di Bali serta tidak mempercepat waktu kunjungnya di

Bali. Salah satu cara yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, yaitu

menerapkan aturan “one night free” bagi para pengelola perhotelan di Bali untuk

diberikan kepada para turis. Pada malam pertama saat terjadinya erupsi Gunung Agung memberikan pelayanan angkutan gratis bagi para turis yang akan pindah hotel ketempat

hotel yang lebih aman dari radius erupsi Gunung Agung. Langkah-langkah yang ditempuh

ini akan diterapkan bukan hanya pada erupsi gunung Agung, tetapi juga diterapkan saat

terjadi kejadian luar biasa khususnya bencana alam untuk menyelamatkan para wisatawan

dan bisnis pariwisata yang menjadi andalan Bali dan pariwisata di Indonesia.

Di era digital saat ini, pada setiap kejadian bencana alam selalu diikuti munculnya

berita-berita bohong atau hoax yang selalu mengikuti peristiwanya. Disaat Gunung Agung

masih tingkatan siaga tiga, tetapi berita yang beredar di media sosial terkait erupsi disertai

gambar-gambar yang mengerikan telah ditelusuri kebenarannya bahwa kabar erupsi

Gunung Agung tersebut adalah berita bohong. Pihak pemerintah melalui BMKG telah

memberikan klarifikasi terhadap pemberitaan yang salah tersebut. Dengan demikian,

sebagian besar turis mancanegara lebih teliti dan waspada terhadap segala macam pemberitaan, sehingga turis asing lebih mengerti dan mengetahui bagaimana mendapatkan

informasi yang benar dan tepat terhadap peristiwa Gunung Agung. Akhirnya, turis tidak

mudah terprovokasi terhadap beredarnya berita-berita hoax di media sosial. Wisatawan

mancanegara lebih khawatir karena penutupan Bandara I Gusti Ngurah Rai oleh PT.

Angkasa Pura I karena penutupan bandara akan merubah jadwal kunjungan maupun

jadwal kepulangan mereka untuk kembali ke negaranya.

Berdasarkan peristiwa Erupsi Gunung Agung diatas, peran informasi serta kepastian

dari para aparat yang berkompeten dalam lingkup dunia pariwisata khususnya di Bali

menjadi sangat penting perannya untuk memberikan kepastian rasa tenang dan aman yang

sangat dibutuhkan oleh para wisatawan dalam melaksanakan liburannya. Saling

keterkaitan lintas instansi lembaga pemerintah dalam menunjang peningkatan dunia pariwisata di Bali, khususnya langkah antisipasi jika terjadi bencana alam khususnya

17

dampak erupsi Gunung Agung. Pemerintah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali pada

hari Kamis tanggal 22 November 2017 menyelenggarakan FGD (Focus Group Discusion)

dan Tactical Floor Game Mitigasi SOP Pelayanan Wisatawan jika Airport Ngurah Rai

ditutup. Dinas terkait yang terlibat adalah Tenaga Ahli Kemenpar RI, Kadis Pariwisata

Bali, Ketua GIPI, PT Angkasa Pura I, BPBD, OTBAN Ngurah Rai, Basarnas, Dinas

Perhubungan, TNI, Polisi serta Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Dalam FGD tersebut

tercapai kesepahaman dalam bertindak seluruh aparat berwenang apabila terjadi keadaan

darurat yang diakibatkan oleh bencana alam sehingga terjadi penutupan bandara. Upaya ini termasuk dalam mitigasi kebencanaan sehingga kerentanan masyarakat khususnya

wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan dapat dikurangi sehingga rasa aman

dan nyaman para wisatawan terjamin karena kesiapsiagaan aparat pemerintah maupun

dunia usaha dalam menghadapi risiko bencana yang setiap saat akan datang.

Tantangan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Bali pada khususnya adalah

memberikan rasa nyaman dan aman terhadap para wisatawan yang datang. Segala macam

bentuk ancaman harus mampu diantisipasi oleh pihak-pihak terkait. Tragedi Bom Bali I

dan II tidak boleh terulang lagi dengan memperkecil ruang gerak teroris untuk kembali

meneror Bali. Namun, saat ini ancaman nyata dan faktual adalah bencana alam, baik itu

berupa erupsi gunung berapi maupun ancaman gempa besar yang disusul tsunami. Hal

tersebut dimungkinkan terjadi karena di selatan Bali terdapat lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang sangat aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar.

4. Kesimpulan

Industri pariwisata di Indonesia, terutama di Pulau Bali, semakin menjadi idola

wisatawan asing. Devisa yang dihasilkan menunjukkan grafik peningkatan setiap tahun

dan mampu berkontribusi 70% dari pariwisata devisa di Indonesia. Namun, bisnis

pariwisata di Bali bukannya tanpa hambatan dan ancaman, salah satu ancaman nyata dan

faktual adalah bencana alam. Kesiapan Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi

ancaman bencana alam dilakukan secara serius dan terintegrasi. Hal ini bisa dilihat dari

kolaborasi antara badan-badan pemerintah, dunia bisnis, dan komunitas yang saling terkait

secara harmonis. Melalui Kantor Pariwisata Pemerintah, Pemerintah Provinsi Bali telah

mampu menjadi sektor utama yang menjaga pariwisata Bali untuk tetap menjadi tujuan wisata dunia. Upaya nyata dalam memberikan kepastian keamanan dan kenyamanan

wisatawan dari ancaman, salah satunya adalah mitigasi bencana terhadap destinasi wisata.

Forum Diskusi Kelompok dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mengimplementasikan

tindakan-tindakan dari otoritas terkait jika ancaman bencana terjadi. Pemerintah Provinsi

Bali telah memasang sembilan titik Sistem Peringatan Dini dan akan memasang sebanyak

sepuluh unit sebagai upaya mitigasi di daerah-daerah yang rawan gempa bumi disertai

dengan tsunami. Pelatihan rutin setiap bulan dan bangunan hotel yang aman dari gempa

bumi bersama dengan instruksi evakuasi dan tempat berkumpulnya evakuasi adalah

standar yang harus diterapkan. Pemahaman tentang bencana melalui penyediaan brosur

bencana dan latihan yang melibatkan wisatawan adalah salah satu tindakan nyata

pemerintah daerah Bali dalam melindungi wisatawan dan pariwisata.

18

Ucapan Terima Kasih

Peneliti menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ibu dan Saudara atas kesediannya

untuk memberikan informasi yang menjadi sumber data pada penelitian ini. Ucapan

terimakasih disampaikan kepada Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata, Bapak Putu

Agus Yudiantara, A.PAR, M.PAR; Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, Bapak Made

Rentin; Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Bapak Dewa Indra; dan Pengelola White Rose

Hotel.

Referensi

[1] Badan Pusat Statistik. 2018. Tingkat Penghunian Kamar pada Hotel Bintang di

Bali. Diakses dari laman https://bali.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/19

pada tanggal 7 Maret 2019.

[2] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali. 2018.

[3] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Badung. 2019.

[4] Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Bali. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara Ke Bali Tahun 2013-2018.

[5] Gubernur Provinsi Bali. 2019.

[6] Kompas. 2017. Bali Dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Terbaik di Dunia.

diakses dari laman https://travel.kompas.com/read/2017/04/14/200540027/bali.

dinobatkan.sebagai.destinasi.wisata.terbaik.di.dunia pada tanggal 9 Maret 2019.

[7] Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Penerbit

PT. Remaja Rosdakarya Offset.

[8] Putu Agus Yudiantara. 2019. Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali

Menghadapi Risiko Bencana. Hasil Wawancara: 27 Februari 2019, Dinas

Pariwisata Provinsi Bali.

[9] World Travel & Tourism Council. 2018. Economic Impact 2018 World. London

(UK): WTTC.

19

Koordinasi dalam Komunikasi Bencana di Provinsi Bali

Deny Widi Anggoro 1

, Dian Efrianti1, dan Novita Berhitu

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional

1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected],

E-mail: [email protected]

Abstrak. Melihat secara historis data statistik peristiwa kebencanaan yang terjadi di Indonesia yang semakin meningkat menunjukkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan

keberadaan manajemen bencana dalam penanggulangan becana Indonesia. Hal ini perlu

dijadikan arus utama dalam pembangunan oleh pemerintah sehingga mampu mewujudkan

keamanan nasional bangsa dan keamanan insani (human security). Salah satu upaya

penanggulangan bencana dilakukan dengan koordinasi kebencanaan kepada unsur

pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, dan masyarakat. Berdasarkan penelitian

di Provinsi Bali, semua unsur tersebut sangat kooperatif dalam usaha bersama

menanggulangi bencana yang dibantu oleh komunitas media yang peduli terhadap bidang

kebencanaan serta membantu diseminasi informasi kebencanaan di Provinsi Bali menjadi

efektif dan efisien untuk diakses oleh masyarakat luas. Koordniasi yang baik dalam

penanggulangan bencana ini menjadikan masyarakat Bali terbentuk menjadi masyarakat yang paham akan bencana dan harapannya menjadi tangguh dalam menghadapi potensi

bencana yang mengancam di wilayahnya.

Kata kunci: Bali, Bencana, Koordinasi

1. Pendahuluan Usaha pertahanan negara dipersipakan sejak dini oleh pemerintah baik pusat maupun

daerah dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan segenap sumber daya

nasionalnya secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan. Selain usaha pertahanan

negara militer tak kalah pentingnya saat ini adalah usaha pertahanan negara non-militer

yang diupayakan untuk mengurangi dampak dari ancaman non-militer yang nyata seperti

bencana yang akhir-akhir ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Salah satu

wilayah yang memiliki potensi ancaman bencana yang cukup besar adalah Pulau Bali

yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Dewata. Pulau Bali bukan saja dikenal di kancah nasional melainkan sangat terkenal di dunia internasional karena karakteristik seni dan

budaya yang menjadi nilai jual dan daya tarik wisatawan mancanegara.

20

Pulau Bali terletak sangat dekat dengan zona subduksi antara Lempeng Indo-

Australia dan Lempeng Eurasia. Zona pertemuan lempeng ini merupakan kawasan yang

menjadi sumber utama bagi gempa maupun tsunami yang dapat berdampak bagi

masyarakat di Pulau Bali. Provinsi Bali menjadi salah satu daya tarik wisata yang paling

popular bagi wisatawan internasional dengan menawarkan segala keindahan alam yang

memikat dan terhampar luas serta budaya dan kehidupan masyarakat lokal yang masih

sangat kuat dijaga dan dilestarikan. Akan tetapi, di balik keindahan tersebut, Bali juga

menyimpan kerentanan yang sangat besar terhadap potensi bencana. Secara historis, berbagai bencana pernah terjadi di Provinsi Bali seperti gempa bumi, letusan gunung api,

banjir, longsor, kekeringan, dan angin kencang. Provinsi Bali memiliki dua gunung api

aktif, yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur serta tidak menutup kemungkinan Gunung

Batukaru akan berpotensi menjadi aktif.

Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai pemberitaan bencana di Indonesia, masih

menunjukkan beberapa problematika di lapangan seperti yang dikemukakan Budi (2011)

bahwa setelah melalui berbagai penguatan landasan hukum, kelembagaan, dan

pengalaman penanganan bencana ternyata masih menyisakan banyak persoalan baik

secara konseptual maupun lapangan. Persoalan utama adalah komunikasi, informasi,

koordinasi, dan kerjasama. Dari aspek kecepatan, ketepatan, keakuratan, kehandalan,

aspek komunikasi, dan informasi masih menjadi hal yang problematik, terutama ketika berbicara mengenai kesimpangsiuran informasi, berbagai tindakan yang tidak tepat

sasaran, keterpaduan antar sektor dalam penanganan bencana atau ketumpangtindihan

masih banyak terjadi [1]. Pada satu sisi menunjukkan bahwa aspek egosentris sektoral

masih tampak serta pada sisi lain pemahaman atas aspek kebijakan dan implementasi yang

terintegrasi mengenai aspek bencana belum menjadi agenda utama. Problematika tersebut

tentu harus diperbaiki dan menjadi kesempatan untuk mengimplementasikan kebijakan,

strategi, dan operasional penanggulangan bencana sebagai suatu gerakan yang terintegrasi

dan sistemik.

Permasalahan yang menonjol saat ini adalah terjadinya pembiasan berita atau yang

lebih sering kita kenal dengan hoax. Berita hoax yang sifatnya masih belum dapat dinilai

kebenarannya menjadi masalah yang sangat serius karena dapat mengakibatkan salahnya

informasi dan komunikasi yang diberikan kepada masyarakat luas. Terlebih lagi dihadapkan pada situasi bencana, kesalahan informasi yang diberikan akan berdampak

sangat fatal bagi masyarakat serta wisatawan asing. Oleh karena itu, pemerintah harus

fokus dalam menghadapi permasalahan ini. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan

bahwa sebenarnya mudah untuk menentukan suatu informasi bencana yang hoax. Jika

dalam berita tersebut disebutkan kapan atau waktu prediksi bencana itu terjadi, maka jelas

berita tersebut adalah hoax. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya teknologi atau

ahli yang mampu memprediksi kapan bencana terjadi.

Pola hoax dengan menyebarkan video atau foto tentang kejadian bencana yang sudah

terjadi namun disebarkan kembali dengan membuat video atau foto tersebut seolah

kejadian dari bencana yang sedang terjadi. Pola yang lain dengan memanfaatkan pernyataan ahli yang sudah disampaikan berdasarkan penelitian dan pengamatan, tetapi

21

kembali dimuat dengan mengubah konteksnya seakan-akan menjadi sebuah ancaman.

Selain menyebarkan ketakutan, para pelaku hoax terkadang mempunyai motif kriminal.

Contohnya adalah muncul isu akan terjadi gempa susulan, kemudian masyarakat diminta

mengungsi dengan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dan pencuri masuk untuk

mengambil harta benda yang ditinggalkan. Berdasarkan penyataan Kapusdatin dan Humas

BNPB tersebut membuktikan bahwa berita hoax sudah beredar sampai sekala nasional.

Ancaman hoax yang semakin meluas harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Terutama pemerintah daerah, dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali selaku leading sector dalam penanggulangan kebencanaan di

tingkat daerah harus aktif dalam memberikan counter opini dan pemberian update

informasi secara terus menerus. Hasilnya adalah informasi dapat tersampaikan dengan

benar tanpa pembiasan informasi serta penyalahgunaan berita dan informasi. Mengingat

Provinsi Bali memiliki potensi bencana gempa, tsunami, longsor, banjir, dan potensi

bencana sosial, maka pemerintah, lembaga masyarakat, komunitas adat serta dunia usaha

berperan untuk menyebarluaskan informasi kebencanaan kepada masyarakat.

2. Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif menggunakan

observasi dan wawancara sebagai alat alat utama dalam mengambil data. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling. Pengambilan sampel yang

dilakukan secara sengaja dan peneliti menentukan sendiri sampel yang akan diambil

dengan berbagai pertimbangan tertentu. Menurut Creswel (2006) prosedur pengambilan

data melalui purposive sampling merupakan prosedur pengambilan data yang paling tepat

dalam penelitian kualitatif karena dengan metode ini akan dapat menjawab dengan baik

pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan baik dan tepat sasaran [2]. Hal ini disebabkan

oleh informan yang dipilih telah mempertimbangkan beberapa aspek tertentu yang sesuai

dengan bidang yang diteliti. Informan yang dipilih antara lain Dinas Komunikasi dan

Informasi, Badan Penaggulangan Bencana Daerah, dan Wartawan Peduli Bencana.

3. Pembahasan dan Hasil Penelitian

Pada dasarnya manusia membutuhkan komunikasi dalam hidupnya untuk memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan untuk menunjang aktifitasnya. Pola komunikasi

dapat dilakukan dengan cara tatap muka, melalui tulisan, telopon, maupun media sosial

yang kini makin berkembang seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi

dan komunikasi untuk menciptakan kemudahan, kecepatan, murah dan praktis. Pada

umumnya, aparatur pemerintah menggunakan majalah, buletin, koran, televisi, media

sosial, hingga pameran untuk menyosialisasikan kegiatan yang bertujuan untuk

meningkatkan kinerja melalui program dan kegiatan yang diinformasikan kepada

masyarakat dan berujung pada kesejahteraan hidup masyarakat.

Berbagai informasi yang disiarkan melalui media massa maupun media cetak dapat

mempengaruhi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap suatu peristiwa yang terjadi

termasuk didalamnya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Akhir-akhir ini informasi terjadinya bencana alam seperti tsunami, banjir bandang, tanah

22

longsor, meletusnyanya gunung berapi, gempa bumi, dan likuifaksi memenuhi semua

media massa dan media cetak bahkan yang lebih populer di media sosial. Oleh karena itu,

masyarakat lebih tertarik untuk membaca dan mendengar berbagai informasi melalui

media sosial dibandingkan media massa yang memungkinkan terjadinya penyimpangan

terhadap pemberitaan kejadian-kejadian tersebut. Penelitian ini akan membahas bentuk

koordinasi dalam penyebaran informasi bencana di Provinsi Bali melalui Dinas Informasi

dan Komunikasi yang bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan

Wartawan Peduli Bencana maupun instansi terkait lainnya. Komunikasi pada bidang kebencanaan khususnya komunikasi serta diseminasi

informasi bencana sangat penting bagi masyarakat. Upaya penanggulangan bencana akan

melibatkan berbagai stakeholder yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing

dalam satu komando yang terkoordinasi dengan baik. Informasi dan komunikasi sangat

berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat setempat, apabila informasi itu

tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat maka akan berdampak negatif

terhadap pola dan perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Paradigma tentang

penangulangan bencana yang semula adalah pandangan konvensional dengan masyarakat

sebagai sumber kerentananndan tidak bisa mengatasi ancaman bencana itu sendiri serta

menunggu bantuan dari pemerintah, saat ini berubah menjadi masyarakat yang tangguh

dan memiliki kesiapsiagaan dengan masyarakat adalah sumber daya utama dalam menanggulangi bencana itu sendiri. Oleh karena itu, salah satu bentuk kesipsiagaan

masyarakat dalam menghadapi bencana adalah melalui informasi dan komunikasi

kebencanan dalam bentuk pengetahuan dan sikap masyarakat.

Belajar dari peristiwa bencana yang terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda serta

yang baru saja terjadi di Sentani menunjukkan bahwa masyarakat masih belum siap dalam

menghadapi bencana itu sendiri, padahal upaya pemerintah dan masyarakat sudah sampai

pada tahap kesiapsiagaan. Hal ini dibuktikan dengan banyak korban jiwa dan hilang harta

benda serta melumpuhkan seluruh aktivitas pemerintah dan ekonomi masyarakat yang

membutuhkan waktu rehabilitasi dan rekonstuksi yang cukup lama. Pemerintah dan

masyarakat adalah pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut, karena

lemahnya sistem informasi yang disampaikan kepada masyarakat yang disebut sistem

peringatan dini dan sikap masyarakat yang tidak peka terhadap ancaman bencana. Saat bencana itu terjadi, masyarakat tidak mampu menghadapi dan pasrah untuk menerima

ancaman yang berujung pada bencana.

Bencana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tentu menjadi pembelajaran

bagi daearah-daerah lainnya yang memiliki potensi ancaman bencana itu sendiri, demikian

juga Pemerintah Provinsi Bali yang memiliki potensi bencana yang sangat tinggi karena

berada pada pertemuan dua lempeng besar dunia. Sebagai daerah wisata, Pemerintah Bali

sangat memperhatikan daerahnya dalam penanggulangan bencana, yaitu mengurangi

risiko ancaman bencana melalui kesiapsiagaan masyarakat dalam bidang informasi dan

komunikasi. Pulau Bali memiliki banyak pantai dan gunung berapi yang berpotensi

terhadap risiko bencana. Namun, hal itu tidak mengurangi minat dan daya tarik wisatawan

yang datang dari berbagai negara di dunia, bahkan banyak wisatawan asing yang sudah menetap di Pulau Bali. Pantai dan gunung berapi sebagai sumber bencana tealah berubah

23

menjadi nilai jual pariwisata bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Pemerintah

Provinsi Bali yang bertanggung jawab penuh untuk menjaga dan melindungi

masyarakatnya dari ancaman militer maupun ancaman non-militer yang datang dari luar

maupun dari dalam negeri.

Masalah kebencanaan bukan hanya tanggung jawab BNPB ataupun BPBD, tetapi

menjadi tanggung jawab bersama mulai dari unsur pemerintahan, media, pihak swasta,

industri, komunitas-komunitas, dan masyarakat. Supaya masyarakat memiliki

kesiapsiagaan dan ketangguhan dalam mengahadapi bencana, maka diperlukan peningkatan pengetahuan dan sikap dalam bidang informasi dan komunikasi kebencanaan

yang baik. Pihak yang memiliki tugas dan fungsi menginformasikan dan mengkomunikasi

informasi kebencanaan, yaitu Dinas Informasi dan Komunikasi sehingga masyarakat peka

dan tangguh serta menghilangkan rasa panik yang terjadi di awal sebelum terjadinya

bencana. Bagi wisatawan yang sering berkunjung bahkan sudah menetap di Pulau Bali

memiliki citra yang baik tentang Bali, apalagi Bali sering menjadi tempat dilaksanakannya

event internasional.

Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Bali berdiri pada tahun 2017

yang sebelumnya salah satu bidang pada Dinas Perhubungan. Akan tetapi, sebelum

disatukan dan masuk dalam Dinas Perhubungan, semua informasi dan komunikasi berada

dalam tupoksi Biro Pusat Data. Ketidakterkaitan antara Dinas Perhubungan dengan Informasi Komunikasi, maka bidang tersebut dipisahkan dan berdiri sendiri menjadi Dinas

Komunikasi, Informastika, dan Statistik di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014. Sesuai dengan Peraturan Gubernur

Provinsi Bali No. 102 Tahun 2016 menjelaskan bahwa Dinas Komunikasi, Informatika,

dan Statistik Provinsi Bali mempunyai tugas membantu gubernur melaksanakan urusan

pemerintahan bidang komunikasi, informatika, statistik, dan persandian yang menjadi

kewenangan daerah serta melaksanakan tugas dekonsentrasi yang dipimpin oleh seorang

kepala dinas serta berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui

sekretaris daerah.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Komunikasi dan Informatika

Provinsi Bali mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai perumus kebijakan teknis dibidang komunikasi, informatika, statistika, dan persandian yang menjadi kewenangan provinsi;

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi,informatika, statistik, dan

persandian yang menjadi kewenangan provinsi;

3. Penyelenggaraan administrasi dinas bidang komunikasi, informatika, statistik,

dan persandian;

4. Penyelenggaraan evaluasi dan pelaporan dinas; dan

5. Penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh gubernur terkait dengan tugas

dan fungsinya [3].

Kinerja Pelayanan Dinas Kominfo dan Statistik Provinsi Bali terdiri atas (1)

Telecenter, merupakan pusat informasi bagi masyarakat berbasis Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) dalam rangka memberdayakan masyarakat yang dikelola oleh masyarakat, Fasilitas ini disediakan untuk memberikan kemudahan pada masyarakat

24

dalam mengakses informasi secara cepat dan murah, (2) Penerapan tata kelola TIK dalam

Pemeringkatan E-Gov untuk melihat peta kondisi pemanfaatan TIK oleh lembaga-lembaga

pemerintah secara nasional, (3) Surat menyurat eletonik (E-Office), (4) Fasilitas Co-

location dan Hosting sebagai pelayanan teknis kepada SKPD Provinsi Bali dan

Kabupaten/Kota dengan menempatkan server dan aplikasinya untuk memperoleh fasilitas

akses internet dalam mendukung layanan informasi publik, (5) Infrastruktuk jaringan

TIK, (6) Pemberdayaan kelompok informasi masyarakat (KIM), (7) Forum Bakohumas

Provinsi Bali, (8) Media online, (9) Majalah potensi, (10) Fasilitasi Komisi Informasi Provinsi (KIP), dan (11) Fasilitas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Bali.

Strategi yang sudah dilakukan adalah pemasangan wi-fi di setiap daerah di Provinsi

Bali, desa adat, instansi pemerintah, dan fasilitas umum. Hal ini dilakukan dengan tujuan

penyebaran informasi kepada masyarakat maupun instansi pemerintahan dapat diterima

dengan cepat dan tepat serta memudahkan penyebarluasan informasi, khususnya informasi

kebencanaan. Pemasangan wi-fi ini juga ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan dalam mengkases berbagai berita dan informasi, termasuk berita dan

informasi kebencanaan. Selain itu, pemasangan wi-fi mendukung kegiatan ekonomi

masyarakat dengan dukungan media dan teknologi untuk memudahkan survei pasar,

pemasaran, dan transaksi. Dalam kaitannya dengan respon terkait banyaknya informasi

yang mengandung unsur hoax, Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik memiliki tim teknis untuk menganalisa dan validasi informasi dengan turun langsung ke lapangan.

Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik telah bekerjasama dan melakukan

koordinasi dengan semua perangkat daerah terkait informasi dan data yang ditemui

dilapangan untuk dianalisa dan ditindaklanjuti menjadi informasi yang akan didiseminasi

kepada masyarakat. Diskominfo dan Statistik selalu bekerjasama dengan semua wartawan,

media center, hingga media elektronik terkait untuk mendukung penyiaran dan publikasi

data informasi kepada masyarakat. Berita yang akan disampaikan kepada masyarakat

adalah berita yang valid dan akurat serta memiliki keterpaduan antar berbagai pihak baik

pemerintah maupun swasta. Diskominfo dan Statistik Bali tidak memiliki kewenangan

menindak jika ditemukan pemberitaan hoax bencana, tetapi yang memiliki kewenangan

untuk menindak lanjuti adalah Kementerian Kominfo.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005, lembaga penyiaran swasta wajib menyebarluaskan informasi peringatan dini yang berasal dari sumber resmi

pemerintahan tentang kemungkinan terjadinya bencana yang dapat mengancam

keselamatan jiwa dan mengakibatkan kerusakan harta benda milik warga. Lembaga

penyiaran dan penyebarluasan melalui media komunikasi berperan untuk

menyebarluaskan informasi penanggulangan bencana, mulai dari fase pra bencana dengan

bentuk edukasi kebencanaan, saat bencana atau masa tanggap darurat, dan pasca bencana

pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi [4].

Sekilas membahas peran media sebagai salah satu bentuk penyebaran informasi

dalam kejadian bencana di Indonesia, terdapat peran ganda yang dilaksanakan oleh media

menurut Masduki (2007), yaitu peran informatif dengan mendiseminasikan informasi

bencana secara intensif dan peran sosial karitatif melalui kegiatan pengumpulan serta penyaluran bantuan bencana. Namun, porsi dalam pemberitaan bencana antara kejadian

25

bencana dan upaya mitigasi bencana masih belum seimbang [5]. Upaya mitigasi bencana

harusnya mendapatkan porsi lebih banyak dalam pemberitaan untuk meningkatkan

kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana dan sebagai upaya pengurangan risiko

bencana. Peran media bukan hanya sebatas menyebarkan informasi bencana, melainkan

mengedukasi masyarakat untuk mampu menghadapi bencana.

Rizki (2016) menyatakan bahwa dalam pemberitaan harus mengutamakan kebenaran

mutlak karena akan berpengaruh pada kredibilitas media [6]. Proses penyusunan

pemberitaan harus mampu melihat hal-hal penting menjadi informasi menarik dan relevan, bukan sebaliknya membuat informasi menarik yang dipaksakan menjadi pemberitaan

utama yang penting. Dalam kaitannya dengan pemberitaan bencana, diusahakan memuat

berita-berita dengan headline yang menarik, tetapi tidak menjadi teror bagi masyarakat

yang membacanya. Media dengan pemberitan yang baik mampu menggiring opini

masyarakat untuk tetap berpikiran positif terhadap bencana dan digunakan sebagai media

edukasi masyarakat dalam upaya nyata pengurangan risiko bencana dengan peningkatan

kapasitas masyarakat.

Dalam pemberitaan informasi kebencanaan haruslah mengandung unsur-unsur fakta

yang dikemas dengan bahasa yang elegan, tetapi tetap menarik untuk dibaca dan tidak bias

maknanya. Menurut Soehoet (2003) dalam literatur barat telah ditemukan rumusan 5 W+1

H sebagai unsur-unsur pembangun berita yakni What, Who, Where, When, Why, How [7]. Berita yang dimuat berisi laporan atas peristiwa faktual dalam waktu yang relatif cepat

dengan mengonfirmasi berita kepada pihak yang berwenang terkait kejadian bencana yang

sedang terjadi. Pemberitaan yang disebarluaskan bukan berita yang mengandung unsur

kebohongan dan mengada-ada. Peran media dalam pemberitaan kebencanaan ini sungguh

penting, menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR)

(2011), informasi dari media mampu mempengaruhi keputusan politik, mengubah

perilaku, dan mampu menyelamatkan jiwa manusia [8]. Komunikasi merupakan inti dalam

kegiatan sukses mitigasi bencana, kesiapsiagaan, respons, dan rehabilitasi bencana.

Menurut Ibnu Hamad (2004) media massa melakukan konstruksi realitas, elemen dasar

seluruh media massa [9]. Media massa seperti liputan, berita, laporan lapangan, hasil

analisa berupa artikel, dan opini adalah bahasa verbal dan non-verbal. Isi media cetak

adalah bahasa secara tertulis yang direpresentasikan dengan kata-kata, angka, gambar, maupun secara grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV

menggabungkan bahasa, tulisan, gambar, dan bunyi-bunyian (audiovisual).

Shaw dan Gupta (2009) dalam penelitiannya secara khusus menyoroti isu

komunikasi dalam manajemen bencana melihat hubungan antara siklus manajemen

bencana dan aspek komunikasi, yaitu pada dimensi informasi, koordinasi, dan kerja

sama[10]. Pada tahap sebelum kejadian bencana, aspek yang perlu dikuatkan adalah

komunikasi yang bergerak dalam bidang pengumpulan informasi yang akurat, koordinasi,

dan kerjasama dengan badan, lembaga, dan komunitas tentang upaya mitigasi bencana dan

sosialisasi kebencanaan kepada masyarakat terutama masyarakat yang berada di kawasan

rawan bencana. Hal ini menjadi kunci keberhasilan sebagai upaya untuk menguragi risiko

bencana dan menghindari jatuhnya korban dan kerugian. Pada tahap kondisi tanggap darurat bencana maka keempat aspek saling bersinergi untuk menangani bencana dan

26

evakuasi korban bencana serta memanajemen bantuan bencana. Pada tahap rehabilitasi

dan rekonstruksi diupayakan tindakan pemulihan dan membangun kembali dengan

memperhatikan aspek keamanan dan risiko bencana di wilayah pembangunan untuk

menghindari peristiwa serupa di kemudian hari.

Masalah kebencanaan bukan hanya tanggung jawab BNPB atau BPBD, tetapi

menjadi tanggung jawab bersama mulai dari unsur pemerintah, media, pihak swasta,

industri, komunitas-komunitas, dan masyarakat. BNPB telah membentuk komunitas

jurnalis, yaitu Wartawan Peduli Bencana (WAPENA) yang menjadi media penggerak dalam penyebaran informasi kebencanaan dan edukasi bencana bagi masyarakat dengan

mengusung misi peduli kemanusiaan serta mendukung penanggulangan bencana.

Komunitas-komunitas relawan yang memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi secara

sukarela membantu dalam kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi Bali. Masyarakat

Provinsi Bali juga memiliki beberapa kearifan lokal yang sangat ditaati sehingga

memudahkan dalam edukasi bencana.

WAPENA adalah forum wartawan peduli bencana yang didirikan oleh BNPB, saat

ini menjadi mitra BPBD dan lembaga dalam penyebaran informasi dan edukasi

kebencanaan kepada masyarakat. Komunitas WAPENA bersinergi antar wartawan yang

memiliki jiwa relawan, BNPB, BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta menjalin

kejasama dengan komunitas kebencanaan, yaitu Pramuka Peduli Bencana. Seluruh anggota WAPENA telah melakukan pelatihan kebencanaan bersama BNPB, BPBD

Provinsi dan BPBD Kabupaten. Pelatihan secara rinci yang dimulai dari bagaimana

menyampaikan dan menulis berita yang bertanggung jawab dan berkonten positif sampai

dengan kemampuan untuk dapur umum, pertolongan pertama, dan water rescue. Target

organisasi WAPENA adalah semua media di Bali memiliki minimal satu wartawan khusus

yang terlatih untuk meliput kejadian bencana di wilayah Provinsi Bali khusunya.

WAPENA melakukan edukasi serta mitigasi bencana melalui media cetak maupun

elektronik yang berkonten positif dan bertanggung jawab serta menginformasikan fakta

yang diolah untuk menghindari kekhawatiran pembacanya.

Konten pemberitaan oleh WAPENA didapatkan langsung dari masyarakat yang

dikonfirmasi kebenaran dan kevalidan beritanya kepada BPBD maupun instansi terkait

lainnya sebelum disebarluaskan. Pemberitaan kebencanaan dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik seperti TV dan radio, media cetak, maupun media

mainstream seperti media sosial. WAPENA melakukan pengamatan lapangan, tetapi tetap

berkoordinasi dengan pemerintah terkait, yaitu BPBD sebagai badan yang memiliki

wewenang dalam pengambilan keputusan terkait kebencanaan.

Aspek komunikasi dalam bidang kebencanaan di Provinsi Bali sudah terkoordinasi

dan terlaksana dengan baik. Informasi dan komunikasi terkait kebencanaan di Provinsi

Bali dapat diseminasikan secara baik kepada masyarakat. Namun ada beberapa hal yang

perlu dilakukan, yaitu peningkatan dalam rangka menunjang kinerja dari Dinas

Komunikasi, Informatika, dan Statistik. Globalisasi informasi yang berdampak pada

keterbukaan informasi publik sehingga memudahkan pengambilan dan penerimaan

informasi di internet melalui media sosial, kesenjangan informasi di masyarakat, pesatnya

27

perkembangan TIK, ketersediaan infrastruktur TIK yang belum merata, dan terbatasnya

pemahaman aparatur dan masyarakat terhadap TIK.

Seluruh instansi pemerintahan, lembaga masyarakat, komunitas-komunitas adat, serta

masyarakat saling bersinergi untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana. Tidak

hanya dari masyarakat, Bali sebagai destinasi wisata dunia yang menghadirkan banyak

wisatawan berusaha semaksimal mungkin untuk mengedukasi terkait kebencanaan dengan

baik. WAPENA bertugas mencari dan menyebarkan berita seluas-luasnya dengan tetap

berkoordinasi dengan Diskominfo dan BPBD sebagai penanggung jawab terbesar dalam kebencanaan. Secara keseluruhan instansi pemerintahan di Provinsi Bali saling bahu

membahu dalam mewujudkan ketangguhan menghadapi bencana dengan memanfaatkan

berbagai peluang yang ada dalam bidang komunikasi dan informasi, yaitu kepedulian

pimpinan terhadap bidang komunikasi dan informasi, tersedianya media komunikasi dan

informasi untuk digunakan, peningkatan kualitas pelayanan publik, pengembangan muatan

e-Government, kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi, kebutuhan

pengembangan TIK dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tersedianya perundangan-

undangan yang mendasari bidang komunikasi, informasi, dan statistik.

4. Kesimpulan

Dalam upaya penanggulangan bencana diperlukan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas,

media, dan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan penanggulangan becana

bukanlah tanggung jawab BNPB dan BPBD saja, masalah kebencanaan adalah masalah

bersama yang perlu dukungan banyak pihak dalam pelaksanaannya untuk mencapai hasil

yang baik dan meminimalkan jumlah korban dan kerugian yang akan dialami masyarakat

ketika terjadi bencana. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

memiliki daya tarik wisatawan yang sangat tinggi dan menjadi sumber devisa bagi negara.

Provinsi Bali memiliki potensi ancaman bencana yang tidak kalah penting yang harus

menjadi perhatian. Seluruh upaya manajemen bencana di Provinsi Bali didukung oleh

berbagai unsur, mulai dari pemerintah, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas,

media, hingga masyarakat adat yang sangat kooperatif. Selain program yang diluncurkan

oleh pemerintah, komunitas adat di Provinsi Bali memiliki kearifan lokal dalam hal kebencanaan yang sangat diyakini dan dipatuhi sehingga efektif sebagai sarana edukasi

bencana. Peraan media dilaksanakan dengan baik, khususnya dalam pemberitaan

kebencanaan melalui forum Wartawan Peduli Bencana (WAPENA) yang sudah dibekali

kemampuan jurnalistik dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi dalam bidang

kebencanaan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi

pada penelitian ini. Kepada pihak Universitas Pertahanan, Sesprodi Manajemen Bencana,

BPBD Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Badung, Dinas Komunikasi dan Informasi

Provinsi Bali, Komunitas Wartawan Peduli Bencana, Dosen Manajemen bencana, dan seluruh pihak yang membantu dalam penelitian ini.

28

Referensi

[1] Budi, H.H. Setio (ed). 2011. Komunikasi Bencana. Jurnal ASPIKOM. Yogyakarta

(ID): Perhumas Yogyakarta dan Buku Litera.

[2] Creswell, J. W. 2006. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Aproach. California (US): Sage Publication.

[3] Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Bali 2017. dalam

www.diskominfos.go.id

[4] Lestari, P., Prabowo, A., dan Wibawa, A. 2012. Manajemen Komunikasi Bencana

Merapi 2010 Pada Saat Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume

10, Nomor 2, Agustus 2012, 173-197.

[5] Hasibuan, Malayu. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Bumi

Aksara.

[6] Rizki, J. W. S. 2016. Kepemilikan Media dan Ideologi Pemberitaan. Yogyakarta

(ID): Deepublish.

[7] Soehoet, Haoeta. 2003. Dasar-Dasar Jurnalistik. Jakarta: IISP.

[8] [UN-ISDR] United Nations International Strategy for Disaster Reduction. 2011.

dalam www.unisdr.org.

[9] Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta (ID): Granit.

[10] Shaw, R., Srinivas, H., Sharma, A. et al. 2009. Urban Risk Reduction: An Asian

Perspective. Bingley (UK): Emerald Group Publishing Limited.

29

Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Terhadap Potensi Bencana

Tsunami

Dodi Andrian 1, Fautia Erfanisa

1, dan Nur Ikhsani Rahmatika

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak. Indonesia secara geografis berada di pertemuan tiga lempeng utama bumi, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia serta dilewati oleh Cincin Api

Pasifik yang menyebabkan Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap berbagai bencana

alam. Provinsi Bali merupakan pulau yang berada di bagian selatan Indonesia dan berada

dekat dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia

sehingga Provinsi Bali sangat rawan terhadap bencana tsunami. Salah satu upaya dalam

pengurangan risiko bencana adalah dengan melakukan penataan ruang yang berbasis

mitigasi bencana. Pembangunan Provinsi Bali ditujukan untuk mengembangkan pariwisata

yang merupakan sektor paling dominan dalam PDRB Provinsi Bali, maka pembangunan

dan penataan ruang Provinsi Bali harus memperhatikan risiko bencana yang ada. Tujuan

penelitian adalah untuk mengkaji kesesuaian pembangunan tata ruang Provinsi Bali

terhadap risiko bencana tsunami. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan

arah kebijakan penataan ruang di Provinsi Bali telah mempertimbangkan aspek

kebencananan, tetapi dalam implementasinya masih ditemukan beberapa penyimpangan

perubahan pola ruang atau alih fungsi sehingga diperlukan evaluasi dan penetapan

kebijakan untuk membatasi perubahan pola ruang dan alih fungsi lahan.

Kata Kunci: Bali, Bencana, Rencana, Tata Ruang

1. Pendahuluan

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,

hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Perencanaan tata ruang menjadi hal yang penting dalam pembangunan pengembangan wilayah, oleh karena

itu setiap wilayah Provinsi, Kota/ Kabupaten harus mempunyai aturan yang akan menjadi

pedoman dalam penataan ruang dan menjadi acuan dalam pelaksaanaan pembangunan.

Perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan beberapa aspek salah satunya aspek

30

kebencananaan. Pembangunan dengan perencanaan tata ruang yang tidak

mempertimbangkan aspek kebencanaan akan menimbulkan berbagai dampak dan risiko.

Provinsi Bali merupakan pulau yang berada di bagian selatan Indonesia. Pulau ini

merupakan salah satu destinasi wisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan salah satu

provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia dan

pendapatan utama Provinsi Bali adalah dari sektor pariwisata sebagai leading sector.

Kondisi ini menyebabkan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan

industri pariwisata, yaitu kelompok sektor tersier sangat dominan dalam memberikan warna pada struktur perekonomian daerah Bali.

Akan tetapi, di balik potensi wisatanya, Bali memiliki potensi ancaman bencana yang

cukup tinggi karena berada dekat zona subduksi sebagai sumber utama terjadinya gempa

bumi dan tsunami. Tsunami yang menerjang pulau Bali akan berdampak parah pada

pesisirnya yang berpenduduk padat. Provinsi Bali pernah mengalami beberapa kali

kejadian gempa bumi besar dan juga tsunami di masa lalu. Lokasi geografis Bali yang

dekat dengan zona subduksi ditambah dengan riwayat seismiknya, Provinsi Bali diprediksi

akan kembali terdampak oleh tsunami di masa depan.

1. Metodologi

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode studi kepustakaan dan dokumentasi serta wawancana. Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan literatur dan dokumen terkait

dengan masalah penelitian. Sedangkan wawancara dilakukan dengan informan, yaitu

orang yang dekat dengan masalah penelitian seperti para ahli di bidang terkait. Dalam

penelitian ini menggunakan data dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer

diperoleh langsung dari hasil wawancara kepada informan, yaitu Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(Bappeda) Provinsi Bali, serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)

Provinsi Bali. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, tulisan/artikel, laporan

hasil penelitian, dan buku-buku literatur dari sumber yang berkompeten, terkait dengan

konteks penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Potensi Bencana Tsunami Di Bali

Secara geografis, Bali terletak di 8°25'23" LS dan 115°14'55" BT. Provinsi Bali terdiri

dari Pulau Bali dan Pulau-pulau kecil dengan luas wilayah 563.286 Ha. Adapun pulau-

pulau kecil yang masuk dalam wilayah Provinsi Bali adalah Pulau Nusa Penida, Pulau

Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan, dan Pulau Menjangan. Secara administratif Provinsi Bali dibagi menjadi 8 Kabupaten dan 1 Kotamadya, 51

Kecamatan, 565 Desa, 79 Kelurahan dan 3.499 Banjar/Dusun. Ancaman bencana yang ada

di Provinsi Bali diantaranya adalah bencana geologi seperti letusan gunung api, yaitu

Gunung Agung dan Gunung Batur, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah. Bencana

hidrometeorologi, yaitu banjir bandang dan kekeringan. Bencana biologi seperti wabah

31

penyakit dan zoonosis. Bencana lingkungan seperti kebakaran pemukiman, kebakaran

lahan dan hutan. Dan juga ada ancaman bencana sosial, yaitu konflik sosial dan terorisme.

Pulau Bali diapit oleh dua sumber gempa bumi, dari selatan subduksi lempeng Indo-

Australia dan dari utara adalah sesar naik di dasar laut. Keduanya berpotensi memicu

gempa bumi merusak dan dapat memicu timbulnya tsunami. Beberapa bencana gempa

bumi dan tsunami yang pernah terjadi di Bali tercatat mulai pada 22 November 1815 dan

21 Januari 1917 yang mencapai 7 SR disertai tsunami dan menewaskan 1.200 orang.

Gempa lain terjadi pada 14 Juli 1976, 26 Januari 1977, 20 Oktober 1979 dan 17 Desember 1979 dengan magnitudo yang bervariasi mulai dari 5 SR hingga 6,6 SR. Gempa pada 17

Desember 1979 tersebut menyebabkan 400 orang terluka. Kemudian gempa lainnya juga

tercatat terjadi pada 13 Mei 1857 dan menimbulkan tsunami setinggi 3,4 meter.

Kawasan rawan tsunami sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Daerah No.

16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029,

ditetapkan dengan kriteria zona kerawanan tinggi yang merupakan daerah pantai dengan

elevasi rendah atau dengan kontur ketinggian kurang dari 10,0 (sepuluh) meter dengan

jarak dari garis pantai kurang dari 50,0 (lima puluh) meter. Sebaran kawasan rawan

tsunami adalah kawasan pantai yang berada pada zona kerawanan tinggi dengan daerah

topografi yang landai dengan ketinggian < 10 meter diatas muka laut terutama di bagian

selatan kawasan pesisir Pulau Bali yang memanjang dari arah pesisir barat (Kawasan Pekutatan, Kabupaten Jembrana) sampai ke pesisir timur (Kawasan Ujung, Kabupaten

Karangasem) di luar kawasan Semenanjung Bukit, serta pada perairan utara Nusa

Lembongan dan Nusa Penida. Peta indeks risiko bencana tsunami Provinsi Bali menurut

Badan Nasional Penanggulangan Bencana dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami Di Provinsi Bali (Sumber: BNPB, 2010)

32

Peta indeks risiko bencana tsunami Provinsi Bali diatas menunjukkan Kota

Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar memiliki

tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana Tsunami. Peta indeks risiko bencana

diperlukan sebagai rujukan untuk semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam

pembangunan Provinsi Bali. Peta indeks risiko bencana diperlukan bagi perencanaan

tataguna lahan dan perencanaan pembangunan baik jangka menengah maupun jangka

panjang untuk menanggulangi dampak potensial dari tsunami. Penyesuaian Rencana

Pembangunan dan rencana tata ruang wilayah dengan potensi bencana yang ada merupakan tanggungjawab pemerintah daerah.

3.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Berbasis Mitigasi Bencana

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah hasil perencanaan ruang pada wilayah yang

merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek administratif. Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari

kegiatan perencanaan ruang berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan

mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang. Selain itu,

bertujuan untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya

lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi yang

tidak sesuai peruntukan. Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana adalah sebagai salah satu instrumen pengurangan risiko bencana. Rencana tata ruang juga

berfungsi sebagai kebijakan pembangunan. Menurut Brody (2004) dalam (Sagala dan

Bisri, 2011), keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk

mengurangi komponen pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi

kerentanan, dan memperkuat kapasitas dalam menghadapi bencana.

Perencanaan tata ruang (spatial plan) bertujuan untuk menghasilkan penggunaan

ruang dan lahan yang efisien, termasuk diantaranya menimimalkan risiko bencana.

Indonesia sebagai negara yang sering mengalami bencana, baik karena faktor geografis

atau peningkatan paparan (exposure) terhadap bencana karena pembangunan atau

urbanisasi, memerlukan upaya-upaya untuk mengurangi besarnya resiko bencana. Burby

dan French (1981) menyebutkan bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk

pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya bencana. Hal ini termasuk pembuatan kode bangunan (building code) untuk daerah-daerah yang rawan

terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Dampak dari pembatasan pembangunan di

daerah-daerah yang berbahaya akan mengurangi potensi paparan (exposure), pengurangan

terhadap korban jiwa serta kerugian harta benda di daerah rawan bencana. Pembangunan

yang tidak mempertimbangkan aspek kebencanaan dapat berakibat pada besarnya risiko

bencana yang timbul, seperti pembangunan permukiman dan lokasi pariwisata di

sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami. Kebijakan penataan ruang yang

terintegrasi dengan aspek mitigasi bencana dapat menjalankan peran penting dalam

penetapan rencana pemanfaatan ruang yang aman dari dampak negatif bencana alam.

Perencanaan tata ruang yang mempertimbangkan aspek kebencananaan

memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan

33

bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan, bergantung pada jenis bencana dan tujuan

kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis

kegiatan mitigasi dan tujuan dari kegiatan tersebut seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1

berikut:

Tabel 1. Berbagai Jenis Kegiatan Mitigasi dan Tujuan Penggunaanya

No Jenis Kegiatan Mitigasi Tujuan Mitigasi

1 Perencanaan Tata Guna Lahan Pengaturan pembangunan di lokasi yang aman

2 Building Codes Penguatan terhadap tekanan bahaya

3 Pengaturan zonasi Pembatasan terhadap penggunaan area berbahaya 4 Pengaturan subdivisi Penguatan infrastruktur terhadap bahaya

5 Analisis bahaya/pemetaan

risiko Identifikasi area berbahaya

6 Sistem informasi bahaya Peningkatan kesadaran terhadap risiko

7 Edukasi publik Peningkatan pengetahuan kebencanaan

8 Pemantauan Pemantauan Implementasi peraturan

9 Pengambilan lahan yang

berbahaya Pengalihan fungsi menjadi ruang terbuka/rekreasi

10 Relokasi Pemindahan kondisi rentan ke lokasi yang aman

11 Insentif dan disesnsitif Penciptaan motivasi untuk pindak ke lokasi yang

aman

12 Asuransi bencana Pemberian kompensasi terhadap kerugian

ekonomi

Sumber : Godschalk, 1991:136 dalam Kaiser et al (1995)

3.3. Arahan Penataan Ruang Wilayah Bali

Pembangunan dan Penataan Ruang di Wilayah Provinsi Bali didasarkan pada Peraturan

Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun

2009-2029. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, perencanaan tata ruang di provinsi Bali

telah memuat dan mempertimbangkan potensi kebencanaan yang ada. Pembangunan

daerah Provinsi Bali menitikberatkan pada pembangunan pariwisata yang merupakan

leading sector PDRB Provinsi Bali sehingga penataan ruang wilayah Provinsi Bali salah

satunya bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang tanggap terhadap mitigasi

dan adaptasi bencana. Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk

mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan

pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan

yang berhasil guna, berdaya guna, dan berkelanjutan. Penataan ruang sebagai suatu sistem

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus

dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat

mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu

mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi

34

pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan

kualitas ruang.

Arahan pembangunan Provinsi Bali yang berhubungan dengan tata ruang diantaranya

adalah arahan penataan ruang wilayah, arahan penyediaan prasarana wilayah, dan arahan

pengembangan kawasan prioritas. Dalam arahan yang berhubungan dengan tata ruang

wilayah diantaranya adalah:

1. Pengembangan Wilayah dalam 20 tahun kedepan diarahkan pada

pengembangan kawasan-kawasan strategis Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Bali merupakan salah satu kawasan strategis pariwisata

namun dalam pembangunannya juga perlu memperhatikan risiko bencana yang

ada.

2. Kebijakan pengendalian banjir dan pengendalian sedimen dengan melakukan

tindakan penegahan fisik (tindakan langsung ke anak sungai) dan non fisik

(tindakan tidak langsung ke anak sungai), serta menetapkan wilayah target.

Arahan tata ruang ini berkaitan dengan penanggulangan bencana banjir yang

merupakan salah satu ancaman bahaya yang ada di Bali.

3. Tantangan dalam pengelolaan hutan, yaitu mengubah paradigma berpikir

masyarakat untuk membatasi pembukaan hutan dan alih fungsi lahan hutan.

Pembatasan alih fungsi lahan ini merupakan salah satu langkah tegas Pemerintah Provinsi Bali untuk mengurangi risiko bencana dengan

mengeluarkan rancangan undang undang alih fungsi lahan sehingga

pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan lingkungan.

4. Luasan ruang terbuka hijaau yang mengalami penurunan terlihat dari

menurunnya luas lahan sawah, sedangkan luas lahan untuk permukiman

meningkat. Meningkatnya luas lahan untuk pemukiman merupakan salah satu

peningkatan kerentanan terhadap risiko bencana yang ada sehingga perlu

diperhatikan ancaman bencana yang ada. Penutupan vegetasi yang jarang dan

banyaknya pertanian tanaman pangan dengan konservasi tanah yang kurang

memadai dapat mempercepat kerusakan lahan dan meningkatnya sedimentasi.

Sedimentasi juga merupakan salah satu ancaman bencana yang ada di Bali

sehingga harus dilakukan penanggulangan dan mitigasi untuk meminimalisasi risiko bencana.

5. Persoalan pencemarann (air, tanah, dan udara) menimbulkan kekhawatiran

dalam ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam rnenyangga kehidupan

rnanusia dan pembangunan jangka panjang.

35

Gambar 2. Peta Rencana Pola Ruang Provinsi Bali (Sumber: Bappeda, 2009)

Peta pola ruang Provinsi Bali dapat dilihat pada Gambar 2. arah kebijakan penataan

ruang di Provinsi Bali telah mempertimbangkan aspek kebencananan, tetapi dalam

implementasinya masih ditemukan penyimpangan dalam pembangunan dan perubahan pola ruang atau alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan ini utamanya terjadi pada lahan

pertanian (yang berarti ruang terbuka hijau) yang beralih fungsi menjadi area permukiman

atau akomodasi pariwisata. Salah satu penataan ruang yang menjadi prioritas di Bali

adalah pengembangan wilayah Bali tengah untuk daerah resapan air bagi Bali utara dan

bali Selatan. Namun, daerah tersebut sangat rawan kerusakan yang disebabkan oleh

meningkatnya bahaya erosi dan longsor. Pemeliharaan daerah tersebut dari bahaya erosi

disebabkan tingkat kecuraman yang berkisar antara 15-40% dan kurangnya vegetasi.

Berdasarkan hasil pertimpalan (overlay) antara peta indeks rawan bencana dan peta

pola ruang Provinsi Bali dapat dilihat bahwa daerah rawan bencana tsunami didominasi

berada pada sektor pariwisata dan pemukiman. Arahan peraturan zonasi kawasan rawan

tsunami pada Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 terdiri atas pengembangan sistem peringatan dini;

pengembangan pada zona penyangga berupa ruang terbuka disepanjang garis pantai;

pengembangan jaringan prasarana yang mendukung upaya evakuasi masyarakat;

perlindungan terumbu karang; pengembangan pelindung buatan seperti terumbu koral,

gumuk pasir, pepohonan (jalur hijau), dinding pemecah gelombang, hutan

bakau/mangrove; pengembangan jalur/rute evakuasi menuju ketempat yang lebih tinggi

minimal 10 meter diatas permukaan laut; dan pengembangan bangunan sebagai tempat

evakuasi pada ketinggian minimal 10 (sepuluh) meter dengan kontruksi yang kuat, kokoh,

bagian bawah kosong dan dapat menampung banyak orang.

36

Dinas PUPR Provinsi Bali berkoordinasi dengan BPBD dan pihak-pihak terkait

dalam perencanaan penataan ruang di wilayah Bali dengan mempertimbangkan potensi-

potensi bencana yang ada di Provinsi Bali dan mengupayakan pembangunan mitigasi

struktural untuk menghadapi potensi bencana di Povinsi Bali. Berbagai upaya mitigasi

bencana tsunami telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Bali diantaranya pembangunan

early warning system, pembuatan jalur evakuasi tsunami dan melakukan sertifikasi

bangunan yag dapat digunakan sebagai shelter evakuasi seperti hotel, mall, gedung

perkantoran dan gedung-gedung bertingkat lainnya yang berfungsi sebagai jalur evakuasi horizontal saat terjadinya tsunami. Sertifikasi ini merupakan dokumen formal yang

diselenggarakan oleh BPBD Provinsi Bali untuk menyatakan kesiagaan bangunan

terhadap bencana, seperti kondisi fisik bangunan, pengetahuan tentang bencana yang

dimiliki oleh penghuni bangunan, kesiapsiagaan dalam upaya mitigasi, dan keamanan.

Program ini mencakup cara-cara untuk menentukan keamanan suatu daerah, rencana

evakuasi dan menciptakan tempat perlindungan sehingga penghuni bangunan memiliki

informasi yang cukup tentang mitigasi bencana dan dapat membantu memandu wisatawan

untuk keselamatan jika terjadi bencana. Sertifikasi siaga bencana bertujuan memberikan

penilaian serta pembinaan dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana di

sektor pariwisata, bisnis perhotelan, dan sektor jasa lainnya. Sertifikasi siaga bencana

memiliki peran sangat penting bagi industri pariwisata di Bali mengingat potensi bencana yang bisa melanda Provinsi Bali.

4. Kesimpulan

Perencanaan tata ruang pada daerah rawan bencana berfungsi sebagai instrumen

pengurangan risiko bencana. Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 yang merupakan acuan dalam

pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang Pronvinsi Bali telah memuat dan

mempertimbangkan aspek potensi bencana yang ada di Provinsi Bali. Pelaksanaan

pembangunan Provinsi Bali yang menitikberatkan pada sektor pariwisata telah

menyesuaikan arah kebijakan penataan ruang Provinsi Bali. Pemerintah Provinsi Bali juga

telah mengupayakan berbagai mitigasi bencana dalam menghadapi potensi bencana

tsunami. Akan tetapi, masih ditemukan beberapa penyimpangan dalam pembangunan serta adanya perubahan pola ruang atau alih fungsi lahan yang dapat berdampak pada timbulnya

risiko bencana. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Bali perlu mengevaluasi kembali dan

mengeluarkan sebuah kebijakan untuk membatasi perubahan pola ruang dan alih fungsi

lahan.

Referensi

[1] Akil S 2007 Implementasi Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata

Berkelanjutan dari Perspektif Penataan Ruang. Jakarta (ID): Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata.

[2] Burby, R., Deyle, R., Godschalk, D., and Olshansky, R. 2000. Creating Hazard

Resilient Communities Through Land-Use Planning. Natural Hazards Review 1(2).

37

[3] Burby, R. and French, S. 1981. Coping with Floods: the Land Use Management

Paradox. Journal of American Planning Association. 47 (3), 289-300.

[4] Darmawati, Choirul dan Imam, H. 2015. Implementasi Kebijakan Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 4 (2).

[5] Kaiser, E., Godschalk, D. and Chapin, J. F. 1995. Urban Land Use Planning.

Washington (ID): Joseph Henry Press.

[6] Lanya, I. and Subadiyasa, N. N. 2012. Penataan Ruang dan Permasalahannya di Provinsi Bali. Journal of Bali Studies. 2 (1).

[7] Pande, I. M. B. K. N., Ibrahim, R. dan Sudiarta, I. K. 2018. Pengaturan Sistem

Penanggulangan Bencana Dalam Pentaan Ruang di Kabupaten Klungkung.

Kertha Negara. 6 (1).

[8] Rosary, T. O. 2014. Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten

Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Gunung Merapi. Surakarta (ID):

Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

[9] Rosita, A., Deasy, A., Fitria, N., Memet, S. dan Dwiyana, P. 2018. Daerah Rawan

Bencana Gerakan Tanah Dalam Arahan Kebijkan Kabupaten Ciamis. Jurnal

Planologi. Bandung (ID): Universitas Pasundan. 5 (1).

[10] Sagala, S. and Bisri, M. 2011. Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

[11] Shofwan, M. dan Farida, N. A. 2015. Kebijakan Penataan Ruang Dan Mitigasi di

Kawasan Rawan Bencana. Jurnal Ilmu Sosial. 3 (2).

[12] Suryanta, J. dan Irmadi, N. 2016. Kajian Spasial Evaluasi Rencana Tata Ruang

Berbasis Kebencanaan Di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah. Majalah

Ilmiah Globë. 18 (1).

[13] Wicaksono, A. P., Riswanda, dan Didik, H. 2016. Studi Kelayakan Rencana Jalur

Evakuasi dan Logistik Bencana Poros Kerinci-Bungo, Provinsi Jambi. Journal

Sains dan Teknologi Lingkungan. 8 (1).

[14] Windari, R. A. 2013. Korelasi Yuridis Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

(RTRWP) Terhadap Keajegan Alam Bali. Denpasar (ID): Media Komunikasi

FIS. 11 (1). [15] Wirosoedarmo, R., Jhohanes, B. R. W., dan Yono, W. 2014. Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan Berbasis

Kemampuan Lahan. Agritech. 34 (4).

[16] Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2010 Peta Indeks Risiko Bencana

Tsunami Di Provinsi Bali.

[17] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali 2009 Peta Pola Ruang

Provinsi Bali.

[18] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

[19] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

[20] Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.

38

Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Taruna Siaga Bencana (TAGANA) di

Provinsi Bali

Bram Ronald Sanjaya1, Kristiyono

1, Yuniar Kurnia Widasari

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

Email address: [email protected]

Abstrak. Bencana ialah salah satu bentuk ancaman yang menimbulkan kerugian baik jiwa maupun materi. Bencana juga dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas dan keamanan

nasional. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menghadapi ancaman

bencana mulai dari aspek kelembagaan hingga pada aspek pengelolaan sumber daya yang

telah diputuskan melalui berbagai produk hukum. TAGANA atau Taruna Siaga Bencana

ialah salah satu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah terkait dengan

penanggulangan bencana. Implementasi kebijakan TAGANA sebagaimana yang termuat

dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna

Siaga Bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang terdapat pada fase pra bencana, saat

bencana, dan pasca bencana. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis bagaimana

pelaksanaan kebijakan TAGANA yang terdapat pada Peraturan Menteri Sosial Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2012. Implementasi kebijakan dikaji melalui beberapa variabel/indikator yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, hubungan antar

organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, dan disposisi implementor. Secara

umum, pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi sebagai pembina dan anggota

TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari kebijakan pemerintah walaupun

mayoritas dari mereka tidak mengetahui secara detail tentang apa yang termuat dalam

kebijakan tersebut. Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan

TAGANA dapat dikatakan sudah terpenuhi. Namun, sumber daya non manusia seperti

dukungan finansial dan peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan

masih menjadi problematika. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas

TAGANA juga masih memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya

sehingga terkadang menyulitkan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Hubungan

antar organisasi terkait seperti BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain-lain telah terjalin cukup baik. Pihak

terkait menggunakan metode “grup Whatsapp” yang dapat memudahkan komunikasi dan

koordinasi sehingga pengarahan TAGANA dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

Komunikasi dan koordinasipun dilakukan secara hierarki dan berjenjang dari mulai

Kementerian Sosial, Dinas Sosial Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten/Kota, hingga

pada personil TAGANA di seluruh Provinsi Bali. Kondisi sosial masyarakat Bali pun

sangat mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait TAGANA dalam

39

penangulangan bencana. TAGANA dapat dikatakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk

menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.

Kata Kunci: Bali, Bencana, Taruna Siaga Bencana

1. Pendahuluan

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ialah salah satu

tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang

Dasar 1945. Tujuan nasional tersebut mengandung esensi bahwa negara beserta dengan

pemerintahannya memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjaga seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk ancaman yang dapat menimbulkan kerugian baik jiwa

maupun materi. Dalam perkembangannya, bencana ialah salah satu bentuk ancaman

dimana selain menimbulkan kerugian baik jiwa maupun materi, bencana juga dapat

mengakibatkan terganggunya stabilitas dan keamanan nasional. Peristiwa tsunami di Aceh

pada tahun 2004 yang notabennya merupakan bencana nasional, telah menyadarkan

pemerintah bahwa ancaman bencana perlu mendapatkan perhatian serius dan menjadi

prioritas serta pertimbangan dalam setiap rencana pembangunan baik ditingkat nasional

hingga daerah. Dalam hal ini, segala usaha perlu dilakukan oleh pemerintah melalui

kebijakannya dalam menghadapi ancaman bencana sehingga salah satu esensi dari tujuan

nasional dapat terwujud.

Secara konseptual bencana dapat dikatakan sebagai suatu fenomena bertemunya antara ancaman/bahaya (hazard) dengan kerentanan manusia (vulnerability). Hazard

merupakan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat mengganggu eksistensi atau

keberfungsian manusia serta menimbulkan kerugian harta benda. Hazard memiliki

berbagai dimensi dan faktor baik alamiah maupun buatan. Sementara itu, vulnerability

dikonsepkan sebagai keadaan, kemampuan, atau kapasitas manusia dalam menghadapi

setiap hazard yang datang. Artinya suatu fenomena akan disebut bencana ketika manuasia

tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menghadapi ancaman sehingga dapat

menyebabkan kerugian baik korban jiwa maupun kerugian lainnya seperti harta benda.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

dikatakan bahwa bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor

alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis.

Dalam perkembangannya banyak upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah

dalam menghadapi ancaman bencana mulai dari aspek kelembagaan hingga pada aspek

pengelolaan sumber daya yang telah diputuskan melalui berbagai produk hukum.

TAGANA atau Taruna Siaga Bencana ialah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang

diputuskan oleh pemerintah terkait dengan penanggulangan bencana. Ide dasar

pembentukan TAGANA pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan paradigma dalam

pengurangan risiko bencana dimana masyarakat tidak lagi dipandang sebagai objek yang

rentan, melainkan juga subjek dalam skema pengurangan risiko bencana. Peningkatan

40

kapasitas masyarakat sangat diperlukan sehingga masyarakat mampu untuk menekan atau

bahkan menghilangkan risiko terjadinya bencana. Masyarakat perlu untuk dilibatkan

dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana sebagai salah satu potensi sumber daya

manusia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

menyebutkan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan

komunitasnya. Hal inilah yang kemudian mendasari dibentuknya Taruna Siaga Bencana

(TAGANA) oleh Kementerian Sosial pada tahun 2004 dan dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana

karena melihat pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana dilihat

dari aspek kesejahteraan sosial.

Kebijakan mengenai TAGANA telah berjalan lebih dari satu dekade dan telah

dilaksanakan di seluruh daerah-daerah otonom di Indonesia sesuai dengan kebutuhan dan

potensi ancaman yang ada. Pelaksanaan kebijakan TAGANA pun telah dilaksanakan di

Provinsi Bali yang memiliki 9 daerah Kabupaten/Kota. Provinsi Bali merupakan salah satu

daerah dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi. Menurut Data Informasi

Bencana Indonesia (DIBI), sedikitnya telah terjadi 48 kejadian bencana pada tahun 2018

di Provinsi Bali, mulai dari letusan gunung api, puting beliung, banjir, tanah longsor,

gelombang pasang, kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi. Jika dilihat dari data 4 tahun terakhir, kejadian bencana di Provinsi Bali mengalami peningkatan yang signifikan

dan telah mengakibatkan berbagai kerugian korban jiwa, kerusakan rumah, dan kerusakan

berbagai fasilitas lainnya. Selain itu, dilihat dari Peta Indeks Kerawanan Bencana, Provinsi

Bali memiliki tingkat kerawanan bencana yang berkisar antara sedang hingga tinggi.

41

Gambar 1. Peta Indeks Rawan Bencana Provinsi Bali

Implementasi kebijakan TAGANA sebagaimana yang termuat dalam Peraturan

Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang terdapat pada fase pra bencana, saat bencana, dan pasca

bencana. Pada kegiatan mitigasi, kerjasama dan koordinasi antara instansi pemerintahan

dengan TAGANA dilakukan secara berkesinambungan. Masyarakat pun turut serta pada

setiap kegiatan mitigasi sehingga masyarakat siap dalam menghadapi bencana. Di sisi lain,

peran TAGANA di daerah-daerah cenderung masih terfokus pada kegiatan tanggap

darurat dan pasca bencana. Padahal dalam kebijakannya tidak demikian, TAGANA

memiliki peran pada fase pra bencana. Dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA terdapat

faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat pelaksanaannya di daerah-daerah,

diantaranya ialah adanya kesesuaian antara kebijakan dengan organisasi pelaksana,

dukungan masyarakat, komunikasi antar lini, ketersediaan sumber daya manusia, dan

alokasi sumber daya finansial. Tujuan penelitian ini secara langsung ialah untuk menganalisis bagaimana

pelaksanaan kebijakan TAGANA yang terdapat pada Peraturan Menteri Sosial Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana. Implementasi kebijakan

dikaji melalui beberapa variabel/indikator yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber

daya, hubungan antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial dan disposisi

implementor. Pada akhirnya dapat disimpulkan dan diketahui bagaimana pelaksanaan

42

kebijakan TAGANA di Provinsi Bali yang dikaji dengan menggunakan variabel/indikator

tersebut.

2. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian

naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting);

disebut juga sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak

digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif. Teknik pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini ialah wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Wawancara dilakukan secara mendalam untuk memperoleh data primer dari narasumber.

Narasumber penelitian berasal dari instansi terkait, yaitu BPBD Provinsi Bali dan

beberapa anggota TAGANA. Observasi juga dilakukan untuk mengamati apa yang terjadi

di lapangan. Selain itu dokumentasi juga dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman dalam

Sugiono. Analisis data berdasarkan Miles and Huberman ialah data reduction (reduksi

data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing and verification (penarikan

kesimpulan dan verifikasi).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.

Apabila standar dan sasaran kebijakan ambigu, maka akan terjadi multi interpretasi dan

mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. Standar dan sasaran

kebijakan pada dasarnya telah termuat dalam produk kebijakan itu sendiri yakni Peraturan

Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana.

Muatan yang terdapat pada kebijakan tersebut menyatakan bahwa TAGANA ditetapkan

dengan maksud membantu pemerintah dan pemerintah daerah untuk perlindungan sosial

dalam penanggulangan bencana. Pembentukan TAGANA juga bertujuan untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam

melaksanakan tugasnya, TAGANA memiliki fungsi pada saat pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Selain itu, dalam kebijakan tersebut juga terdapat penjelasan mengenai

standar dan sasaran dari fungsi TAGANA, walaupun tidak dibahas secara detail mengenai

program dan kegiatannnya. Artinya Dinas Sosial Provinsi Bali perlu untuk membuat

program atau kegiatan sebagai penjabaran lebih lanjut dari standar dan sasaran kebijakan. Dalam pelaksanaanya sendiri di Provinsi Bali, standar dan sasaran tidak mengalami

multi interpretasi dalam artian pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi Bali

sebagai pembina dan anggota TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari

kebijakan tersebut walaupun mayoritas dari mereka tidak mengetahui secara detail tentang

apa yang termuat dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun

2012 tentang Taruna Siaga Bencana. TAGANA sendiri pada dasarnya bergerak atas dasar

perintah dari pemerintah yaitu Dinas Sosial baik provinsi maupun kabupaten/kota. Oleh

43

karena itu, pemahaman Dinas Sosial Provinsi Bali mengenai standar dan sasaran kebijakan

perlu diperkuat.

3.2 Sumber Daya

Sumber daya menjadi salah satu hal yang krusial dalam pelaksanaan kebijakan.

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human

resources) maupun sumber daya non manusia (non-human resources). Tanpa sumber daya

yang memadai tidak akan mungkin suatu kebijakan dapat dilaksanakan. Terkait dengan implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang

Taruna Siaga Bencana, ada dua hal penting yang menjadi penekanan yakni sumber daya

manusia dan sumber daya non manusia. Untuk sumber daya manusia dalam kebijakan

tersebut terdapat dua implementor utama yakni pemerintah yang dalam hal ini ialah

lembaga atau instansi sosial dan anggota TAGANA. Pemerintah sebagaimana yang

dimaksudkan ialah Kementerian Sosial maupun Dinas Sosial Provinsi atau

Kabupaten/Kota memiliki peran dan fungsi yang penting dalam perekrutan, pelatihan, dan

pengerahan TAGANA. Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan

TAGANA dapat dikatakan sudah terpenuhi. Sedangkan untuk anggota TAGANA sendiri

hingga saat ini sudah mencapai 726 orang yang tersebar di 9 kabupaten/kota di Provinsi

Bali. Seluruh anggota TAGANA tersebut telah terkoordinir dengan baik oleh Dinas Sosial Provinsi Bali dan siap dikerahkan jika dibutuhkan. Seperti contohnya ialah ketika ada

bencana erupsi Gunung Agung dan Gempa Bumi di Lombok, TAGANA di Provinsi Bali

dikerahkan untuk membantu kegiatan tanggap darurat. Pengerahan TAGANA dalam hal

ini dilakukan atas dasar pertimbangan jarak dan biaya.

Di sisi lain sumber daya non manusia seperti dukungan finansial dan

peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan masih menjadi

problematika dalam implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29

Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana. Keterbatasan sumber dana yang dimiliki oleh

pemerintah pusat maupun daerah terkadang menjadi hambatan dalam pelaksanaan

program dan kegiatan TAGANA. Seperti contohya ialah dalam hal pelatihan dan

pengerahan personil terkadang dibatasi oleh kuota karena disesuaikan dengan dana yang

tersedia. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas TAGANA juga masih memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya sehingga terkadang

menyulitkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.

3.3 Hubungan Antar Organisasi

Dalam implementasi kebijakan sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan

instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi

keberhasilan suatu program. Berbicara mengenai hubungan antar organisasi, erat

kaitannya dengan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Bencana sendiri dapat dikatakan sebagai kejadian yang dapat mempengaruhi atau

berdampak pada seluruh aspek kehidupan sehingga perlu adanya koordinasi dari pihak-

pihak terkait. Terlebih instansi yang bertanggung jawab dalam urusan bencana bukanlah Kementerian Sosial atau Dinas Sosial, melainkan BNPB atau BPBD sebagai leading

44

sectors. Komunikasi dan koordinasi ialah suatu kebutuhan dan harus selalu dilaksanakan

terutama dalam mendukung pelaksanaan kebijakan tentang TAGANA. Dalam

pelaksanaannya sendiri di Provinsi Bali, komunikasi dan koordinasi giat dilakukan oleh

instansi-instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal, mulai dari sesama anggota

TAGANA di seluruh Bali, hingga antara TAGANA dengan Dinas Sosial Provinsi Bali dan

Kabupaten/Kota serta instansi-instansi lainnya.

Sebagaimana penuturan narasumber, untuk memudahkan dalam hal komunikasi dan

koordinasi ialah dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi. Metodenya ialah dengan membuat “grup WhatsApp” yang di dalamnya berisi seluruh pihak yang

terkait dengan penanggulangan bencana dari mulai BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas

Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain sebagainya.

Metode ini sangat memudahkan dalam komunikasi dan koordinasi sehingga pengarahan

TAGANA dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Terlepas dari itu, sebenarnya

dalam hal ini komunikasi dan koordinasi lebih banyak dilakukan antara TAGANA dengan

Dinas Sosial Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota karena dalam aturannya terdapat

hubungan hierarki antara keduanya. Selain itu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk

mengarahkan TAGANA sehingga mekanisme pelaksanaan tugas dan tanggung jawab

TAGANA sepenuhnya bergantung pada inisiatif instansi sosial. Komunikasi dan koordinasi dilakukan secara hierarki dan berjenjang dari mulai Kementerian Sosial, Dinas

Sosial Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten/Kota, hingga pada personil TAGANA di

seluruh Provinsi Bali.

3.4 Karakteristik Agen Pelaksana

Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur organisasi, norma-norma, dan

hubungan yang terjadi dalam organisasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi

implementasi dari suatu program. Terkait dengan implementasi kebijakan Peraturan

Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana

di Provinsi Bali, terdapat dua karakteristik agen pelaksana yakni agen pemerintah yang

dalam hal ini instansi sosial dan anggota TAGANA. Karakteristik agen pemerintahan atau

instansi sosial dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA berperan sebagai aktor utama yang kemudian akan menjadi mentor bagi anggota TAGANA. Selayaknya agen pemerintah,

mereka bertugas berdasarkan pada aturan dan prosedur yang berlaku karena mereka digaji

dan dipekerjakan oleh negara untuk mengurusi birokrasi. Sementara itu, anggota

TAGANA memiliki karakteristik sebagai relawan. Mereka bekerja dan bertindak atas

panggilan jiwa dan hati nurani. Walaupun pada dasarnya mereka bertindak atas dasar

perintah dari agen pemerintah, namun apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan

merepresentasikan keinginan orang lain atau organisasi, melainkan merepresentasikan

keinginannya sendiri untuk membantu sesama dalam penanggulangan bencana.

3.5 Kondisi Sosial

Kondisi sosial mencakup sumber daya keadaan lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok atau masyarakat

45

memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakeristik para partisipan, yakni

mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan

apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. Dari hasil analisis data, kondisi

sosial masyarakat Provinsi Bali terbilang banyak dipengaruhi oleh unsur agama dan

budaya yang masih cenderung melekat kuat. Walaupun Provinsi Bali menjadi destinasi

wisata yang sering dikunjungi turis manca negara, tidak membuat adat istiadat dan budaya

masyarakat rovinsi Bali menjadi luntur atau terkikis dengan budaya asing. Mereka masih

memegang teguh nilai dan norma yang mereka yakini sehingga hal ini berpengaruh pada kondisi sosial mereka. Terkait dengan implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana, kondisi sosial

masyarakat Provinsi Bali sangat mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada

dasarnya output dan outcame yang diinginkan dari pelaksanaan kebijakan TAGANA ialah

meningkatkan kapasitas masyarakat dan memacu keterlibatannya dalam penanggulangan

bencana mulai dari fase pra bencana, saat bencana, hingga pada pasca bencana. Ada

semacam “rasa memiliki” yang ada pada masyarakat Provinsi Bali sehingga mereka

bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan tempat tinggalnya. TAGANA dapat

dikatakan sebagai sarana bagi mereka untuk menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa kondisi sosial masyarakat sangat mendukung

pelaksanaan kebijakan TAGANA di Provinsi Bali.

3.6 Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup dua hal yang penting yakni respon implementor

terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan

dan kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan. Respon implementor yakni instansi

sosial, anggota TAGANA dan masyarakat secara umum memberikan respon positif

terhadap pelaksanaan kebijakan TAGANA di Provinsi Bali. Dengan maraknya kejadian

bencana alam yang terjadi di Indonesia memicu adanya kesadaran dari para implementor

kebijakan akan pentingnya penguatan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat Provinsi

Bali dalam menghadapi bencana. Terlebih lagi karena ini sifatnya ialah relawan maka

tidak ada paksaan yang mengikat dari pemerintah sehingga kebijakan dapat dilaksanakan

dan direspon dengan baik oleh para implementor. Terkait dengan aspek kognitif, nampak bahwa Peraturan Menteri Sosial Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana masih belum dipahami

oleh sebagian implementor. Terutama oleh para anggota TAGANA sendiri yang tidak

begitu paham akan tugas dan fungsinya dimana mereka hanya sebatas melaksanakan

perintah dan instruksi dari Dinas Sosial Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Berdasarkan

hasil pengumpulan data, orientasi anggota TAGANA dalam penanggulangan bencana

hanya pada fase saat bencana. Padahal dalam aturannya tugas dan fungsi TAGANA juga

ada pada fase pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa

pemahanan implementor terhadap muatan kebijakan masih minim.

46

4. Simpulan

Secara keseluruhan, implementasi kebijakan pemerintah tentang Taruna Siaga Bencana

(TAGANA) di Provinsi Bali telah sesuai dengan variabel/indikator dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut, walaupun perlu pembenahan dan pemahaman yang lebih di beberapa

indikator. Implementasi kebijakan tersebut dikaji melalui beberapa variabel/indikator

yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, hubungan antar organisasi,

karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, dan disposisi implementor. Secara umum,

pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi sebagai pembina dan anggota TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari kebijakan pemerinah walaupun mayoritas dari

mereka tidak mengetahui secara detail tentang apa yang termuat dalam Peraturan Menteri

Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana.

Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA dapat dikatakan

sudah terpenuhi. Namun, sumber daya non manusia seperti dukungan finansial dan

peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan masih menjadi

problematika. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas TAGANA juga masih

memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya sehingga terkadang

menyulitkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.

Hubungan antar organisasi terkait seperti BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas

Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain-lain, telah terjalin cukup baik. Pihak terkait menggunakan metode “grup Whatsapp” yang dapat

memudahkan komunikasi dan koordinasi sehingga pengarahan TAGANA dapat

dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Komunikasi dan koordinasi pun dilakukan secara

hierarki dan berjenjang dari mulai Kementerian Sosial, Dinas Sosial Provinsi Bali, Dinas

Sosial Kabupaten/Kota, hingga pada personil TAGANA di seluruh Provinsi Bali. Kondisi

sosial masyarakat Bali pun sangat mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait

TAGANA dalam penangulangan bencana. TAGANA dapat dikatakan sebagai sarana bagi

masyarakat untuk menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.

Referensi

[1] Undang-Undang Dasar 1945.

[2] Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. [3] [UNISDR]. (2005). Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the

Resilience of Nations and Communities to Disasters. World Conference on

Disaster Reduction. Hyogo (JP): 18-22 Januari.

[4] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal

26 Ayat 1E.

[5] [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2018. Jumlah Kejadian

Bencana Provinsi Bali Tahun 2018. dalam http://bnpb.cloud/dibi/laporan5.

[6] Rahman, Aulia. 2016. Peran Taruna Siaga Bencana Dalam Mitigasi Bencana di

Kabupaten Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.

Kementerian Sosial Republik Indonesia.

47

[7] Sari, D. P. 2014. Analisis Peran Taruna Siaga Bencana (Tagana) Dalam

Penanggulangan Bencana di Kota Bengkulu. Bengkulu (ID): Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu.

[8] Fauzan Ersad, Zainal Hidayat. 2016. Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri

Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 Tentang Taruna Siaga

Bencana Dalam Penanggulangan Bencana di Kota Semarang. Semarang (ID):

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro.

[9] Subarsono, A. G. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

[10] Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID):

Alfabeta.

48

Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Badung dan Pangkalan TNI AL (Lanal) Denpasar

dalam Penanggulangan Bencana

Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar1, Mohammad Ali

1, Nur Intan Sari

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

Email address: [email protected]

Abstrak. Secara tidak langsung untuk melindungi dan mencapai kesejahteraan diperlukan keamanan nasional sebagai bentuk terbebasnya negara, masyarakat, dan warga negara dari

segala bentuk ancaman. Bencana alam adalah salah satu ancaman yang ada di Indonesia.

Posisi geografis memungkinkan timbulnya ancaman bencana alam akibat pergerakan

lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik. Provinsi Bali memiliki relief dan topografi

dengan pegunungan yang memanjang dari barat ke timur serta terdapat gugusan gunung

berapi. Peran aktif dari seluruh instansi dalam penanggulangan bencana sangat dibutuhkan

untuk mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Beberapa pihak yang memiliki

peran penting dalam penanggulangan bencana adalah BPBD dan TNI. Tujuan dari

penelitian ini terdiri atas menganalisis mitigasi dan kesiapsiagaan BPBD Kabupaten

Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan

personel dan pengetahuan BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan sarana BPBD Kabupaten Badung dan

Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, dan hubungan koordinasi antara BPBD

Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana. Upaya mitigasi

dan kesiapsiagaan dari BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar memenuhi standar

yang ada berdasarkan Standar Operasi Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontigensi

Penanggulangan Bencana di Kabupaten Badung. Kesiapan personel di dalam lingkungan

BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum cukup memadai untuk pelaksanaan

tugas-tugas penanggulangan bencana. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten

Badung dapat diatasi oleh jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan

personel Lanal Denpasar terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi

dan penyelamatan setiap tiga bulan sekali serta Pelatihan Kontigensi Bencana Gempa dan

Tsunami. Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di BPBD Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat

jenis bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sedangkan sarana yang

ada di Lanal Denpasar merupakan alusista yang mampu mendukung penanggulangan

bencana. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah

(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan

koordinasi berdasarkan Standar Operasi yang telah ditetapkan.

49

Kata Kunci : BPBD, Lanal, Kesiapsiagaan, Penanggulangan Bencana,

1. Pendahuluan

Tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum. Secara tidak langsung, untuk melindungi dan mencapai kesejahteraan diperlukan

keamanan nasional sebagai bentuk terbebasnya negara, masyarakat, dan warga negara dari

segala bentuk ancaman. Bencana alam adalah salah satu ancaman yang ada di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh posisi geografis Indonesia yang terletak pada tiga lempeng

bumi, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng bumi yang selalu

bergerak dan saling mendesak satu sama lainnya sehingga menyebabkan terjadi akumulasi

energi tabrakan yang pada akhirnya akan dilepas dalam bentuk gempa bumi [1]. Posisi

geografis tersebut memungkinkan timbulnya ancaman bencana alam akibat pergerakan

lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik. Bencana alam yang dapat ditimbulkan antara

lain gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Salah satu provinsi di Indonesia dengan aktivitas tektonik dan vulkanik yang cukup

intensif adalah Provinsi Bali. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau

Lombok dengan ibukota provinsinya adalah Denpasar yang terletak di bagian selatan

Pulau Bali. Terletak pada titik koordinat 08°03'40"-08°50'48"LS dan 114°25'53"-115°42'40"BT. Provinsi Bali memiliki luas wilayah secara keseluruhan sebesar 5.636,66

km2. Provinsi Bali dibagi ke dalam delapan kabupaten dan satu kota yang terdiri atas

Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar,

Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem,

dan Kota Denpasar [2].

Provinsi Bali memiliki relief dan topografi dengan pegunungan yang memanjang dari

barat ke timur serta terdapat gugusan gunung berapi. Gunung Agung (3.142 mdpl) dan

Gunung Batur (1.717 mdpl) menjadi salah satu potensi ancaman yang ada di Provinsi Bali

saat tejadi peningkatan aktivitas vulkanik. Gunung lain yang ada di Provinsi Bali, yaitu

Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya yang menjadi bukti adanya

pergerakan tektonik. Berdasarkan peristiwa aktivitas vulkanik Gunung Agung yang pernah

terjadi pada tahun 2017 dan 2018 mengakibatkan abu vulkanik, guguran material letusan, lahar, gas beracun, kerusakan rumah, kerusakan infrastruktur, dan evakuasi masyarakat

dari tempat tinggalnya.

Peran aktif dari seluruh instansi dalam penanggulangan bencana sangat dibutuhkan

untuk mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Beberapa pihak yang memiliki

peran penting dalam penanggulangan bencana adalah BPBD dan TNI. BPBD danTNI

berperan dalam mendukung pemerintah untuk menghadapi bencana yang terjadi di

Indonesia. Berdasarkan Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah,

BPBD memiliki dasar koordinasi, komando, dan pengedalian serta dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana dilakukan pembinaan, pengawasan, dan pelaporan [3].

Sedangkan TNI memiliki dasar yang terkandung dalam Ketentuan Dasar Tugas Bantuan

Tentara Nasional Indonesia, yaitu (1) memberi manfaat yang nyata dan sebesar-besarnya

50

guna mendukung tercapainya tujuan dan sasaran pertahanan negara dalam aspek bantuan

kemanusiaan untuk bencana alam, pengungsian, dan bantuan kemanusian; dan (2)

menjamin terwujudnya tingkat keselamatan manusia sesuai peran serta, hahekat fungsi

TNI dan tujuan pertahan negara [4].

Sipil dan militer telah beroperasi secara simultan dan terdapat saat sipil dan militer

mempunyai hubungan kerjasama yang dekat [5]. Bencana tidak hanya menjadi urusan

sipil, tetapi diperlukannya keterlibatan dari pihak militer. Koordinasi sipil-militer terbukti

mampu mempercepat penanganan bencana sehingga jumlah korban dan kerusakan dapat diminimalisasi. Metcalfe dan Hanysom (2012) menyatakan bahwa Civil Military

Coordination (CMCoord) atau koordinasi sipil militer adalah dialog penting antara aktor

sipil dan aktor militer dalam bidang kemanusiaan, menghindari persaingan, meminimalkan

ketidakkonsistenan, dan mencapai tujuan bersama [6]. Pengertian tersebut juga digunakan

oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA) dan

Inter Agency Standing Committee (IASC). Koordinasi antara kedua belah pihak

merupakan tanggung jawab bersama yang difasilitasi oleh penghubung dan pelatihan

umum. Elemen kunci koordinasi antara sipil militer dalam bencana alam dan keadaan

darurat yang kompleks adalah pembagian informasi, pembagian tugas, dan perencanaan

[7].

Dalam upaya penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan banyak terjadi interaksi antara militer (TNI) dengan otoritas sipil (BPBD), pemerintah daerah,

masyarakat sipil lainya seperti swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik

dalam tahap pra bencana, saat terjadinya bencana, maupun pasca bencana [8]. BPBD

secara tidak langsung memiliki keterbatasan dalam pelaksanaan tanggap darurat sehingga

diperlukan koordinasi dan perencanaan program tanggap darurat yang terpadu antara

pihak sipil dan militer. Faktanya pengerahan pasukan TNI dalam skala besar lebih cepat

dibandingkan dengan sipil. Kecepatan dalam memberikan bantuan kepada korban

memungkinkan untuk menekan jumlah korban [9].

Kerjasama sipil militer bertujuan untuk memaksimalkan efek positif dan

meminimalisasi efek negatif. Sampai saat ini, komunitas kemanusiaan mengadopsi strategi

dalam setiap konteksnya, mulai dari koeksistensi sampai dengan kooperasi yang erat. Pada

saat kondisi damai, hubungan kerjasama sipil dan militer bersifat cooperation dengan hubungan interaksi yang semakin dekat yang bekerja bersama-sama dalam satu organisasi.

Sedangkan dalam kondisi darurat, dibentuk suatu penghubung antara pihak sipil dan pihak

militer dengan struktur yang disesuaikan terhadap suatu operasi yang dihadapi [10].

Tujuan dari penelitian ini terdiri atas menganalisis mitigasi dan kesiapsiagaan BPBD

Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis

kesiapan personel dan pengetahuan BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam

penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan sarana BPBD Kabupaten Badung dan

Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, dan hubungan koordinasi antara BPBD

Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana.

51

2. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik

pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumen. Penelitian kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang terdiri dari kata-

kata tertulis dan lisan dari narasumber [11]. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Teknik wawancara mendalam untuk

memperoleh data primer dari narasumber. Narasumber penelitian berasal dari instansi

terkait, yaitu BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar. Teknik dokumentasi untuk mengumpulkan data sekunder sehingga mendukung data yang diperoleh dalam teknik

wawancara.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman dalam

Sugiono (2010) [11]. Analisis data berdasarkan Miles and Huberman adalah data

reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing and

verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi) [12].

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Mitigasi dan Kesiapsiagaan

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis data, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang

telah dilaksanakan oleh BPBD Kabupaten Badung terdiri atas bimbingan teknis dan pelatihan; memfasilitasi pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana), Sekolah Aman

Bencana, dan Forum Pengurang Risiko Bencana (FPRB); mengadakan sosialisasi,

simulasi, dan pendidikan; menyusun, menetapkan serta menginformasikan peta rawan

bencana dan peta evakuasi rawan bencana kepada masyarakat; pemasangan rambu-rambu

dan peta jalur evakuasi; penyusunan dokumen Rencana Kontigensi Kabupaten Badung;

dan rapat koordinasi penanggulangan bencana dan pengendalian zoonosis. Bimbingan

teknis dan pelatihan TRC BPBD Kabupaten Badung dan Relawan Bencana Kabupaten

Badung menjadi contoh upaya mitigasi non-struktural yang diterapkan sehingga mampu

meningkatkan kesiapsiagaan. BPBD Kabupaten Badung memiliki dokumen Rencana

Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Badung dan Kajian Risiko Bencana

Kabupaten Badung. Dokumen tersebut sesuai dengan kesiapsiagaan sehingga optimal

dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang telah dilaksanakan oleh Lanal Denpasar

terdiri atas Prosedur Tetap Buku Induk Tempur, Buku Standar Operasi Penanggulangan

Bencana, latihan evakuasi dan penyelamatan, dan pelatihan kontigensi bencana gempa dan

tsunami. Kesiapsiagaan di Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Denpasar juga terlihat

dari jalur evakuasi yang tersedia berupa dua titik kumpul di lingkungan Pangkalan TNI

Angkatan Laut (Lanal) Denpasar, yaitu titik kumpul 1 di lapangan utama Mako Lanal dan

titik kumpul 2 di lapangan tenis Mako Lanal. Kesiapsiagaan yang tinggi di Lanal

Denpasar dalam koordinasi terkait potensi ancaman bencana alam di Bali digambarkan

oleh koordinasi dengan BNPB, BPBD, BMKG, Kominfo, dan Pemerintah Provinsi Bali.

52

Gambar 1. Peta Jalur Evakuasi di Lingkungan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) V

Denpasar

3.2 Kesiapan Personel dan Pengetahuan

Kesiapan personel di dalam lingkungan BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum

cukup memadai untuk pelaksaan tugas-tugas penanggulangan bencana serta didominasi

oleh tingkat pendidikan S1 dan SMA. Bimbingan teknis dan pembekalan pengetahuan

dasar diberikan kepada 65 anggota TRC Kabupaten Badung dalam penanggulangan bencana. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten Badung dapat diatasi oleh

jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan personel Lanal Denpasar

terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi dan penyelamatan secara

rutin setiap tiga bulan sekali serta pelatihan kontigensi bencana gempa dan tsunami.

Lanal Denpasar dalam pemberian bantuan penanggulangan bencana sesuai dengan

Standar Operasi Penanggulangan Bencana yang menjadi dasar pengetahuan

penanggulangan bencana. Dasar Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 10 Ayat 3 tentang Pertahanan Negara menyatakan

bahwa TNI bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan juga melaksanakan

OMSP seperti bantuan kemanusian, memberikan bantuan kepada Polisi dalam keamanan

dan ketertiban nasional, bantuan kepada pemerintah sipil, memberikan bantuan pengamanan pelayaran dan penerbangan, dan juga memberikan bantuan search and rescue

serta memberikan bantuan pada saat penanggulangan bencana.

53

3.3 Kesiapan Sarana

Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di BPBD

Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat jenis

bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sarana kerja BPBD Kabupaten

Badung terdiri atas antena VHF dan FM stationery, mini bus, motor boat, pick up,

portable generating set, stalion wagon, transceiver UHF transportable, dan transceiver

VHF transportable. Sedangkan sarana yang ada di Lanal Denpasar merupakan alusista

yang mampu mendukung penanggulangan bencana. Alutsista yang mendukung penanggulangan bencana terdiri atas kendaraan angkut personel, kendaraan angkut barang,

mobil ambulans, tenda pleton, Kal 28 meter, Patkamla 18 meter, Patkamla 28 meter, sea

rider, dan rubber boat.

Sumberdaya TNI selalu siap ditugaskan kapan saja dan dimana saja serta tersedia

dalam jumlah yang besar, salah satu contohnya adalah latihan bersama antara TNI dan

Polri dalam pelaksanaan pengamanan KTT APEC 2013. Keberadaan TNI dalam tanggap

darurat dilapangan juga didukung koordinasi yang baik antara pihak BNPB dan BPBD.

Anggota TNI sebagai prajurit yang terlatih dalam berbagai kondisi dan kompleks serta

memiliki mobilitas tinggi didukung alutsista yang berguna dalam penanggulangan

bencana. Hal ini menjadi kemampuan strategis dan taktis, sumberdaya, ketepatan, dan

kecepatan bertindak dalam menghadapi hal-hal yang bersifat darurat.

3.4 Koordinasi BPBD dan TNI

Pembagian tugas sipil dan militer dalam penanggulangan bencana merupakan hal yang

penting karena mampu menjabarkan jenis aktifitas kemanusiaan yang sesuai dalam proses

pertolongan dengan aset militer dibawah kondisi yang bermacam-macam, tetapi terlebih

dahulu semua elemen terkait harus di konsultasikan mengenai hal ini untuk menjelaskan

sifat dan keperluan dari pertolongan tersebut [13]. Menurut United Natioan Office for the

Coordination of Humanitarian Affairs menyebutkan pembagian tugas sipil dan militer

dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (1) Direct Assistance, dalam masa damai militer dapat

memberikan bantuan secara langsung kepada masyarakat; (2) Indirect Assitance,

terkadang tugas militer hanyalah sekedar membantu dalam pendistribusian dan

pengangkutan logistik bantuan atau personel kemanusiaan; dan (3) Infrastructure Support,

memberi jasa umum seperti perbaikan jalan, manajemen wilayah udara, dan pembangkit listrik yang memfasilitasi kegiatan kemanusiaan. Hal tersebut memberikan penjelasan

terhadap inti dari prinsip-prinsip pelaksanaan bantuan kemanusiaan, yaitu Humanity,

Neutrality, Independence, dan Impartiality [14].

Berdasarkan Process Based Partnership Model, terdapat tiga fase dalam koordinasi,

yaitu fase pembentukan, fase operasional di lapangan, dan fase evaluasi sebagai akhir

koordinasi. Dalam Process based Partnership Model terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi performa kerjasama sipil militer. Tahapan yang dilaksanakan terdiri atas

keputusan untuk melakukan kerjasama, pemilihan pasangan kerjasama, desain hubungan

kerjasama, implementasi kerjasama, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan evaluasi

kerjasama [15]. Koordinasi adalah suatu proses dan suatu usaha terhadap ketepatan,

efektifitas, dan efisiensi dalam pelayanan kemanusiaan [16]. Hal tersebut mencakup

54

penggunaan instrumen kebijakan, yaitu menyediakan kepemimpinan dan manajerial dari

badan-badan perwakilan, negosiasi dan mempertahankan hubungan baik dan kerangka

kerja, mengatur divisi yang berfungsi secara baik, perencanaan secara strategis, mobilisasi

sumber daya, mengumpulkan data dan mengatur ketersediaan informasi, memastikan

adanya akuntabilitas, dan menyediakan dukungan.

Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah

(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan

koordinasi berdasarkan Standar Operasi yang telah ditetapkan. Koordinasi yang dilaksanakan pada program pemulihan pasca bencana melalui peningkatan koordinasi

dengan instansi terkait dan dunia usaha, meningkatkan pemahaman tentang regulasi yang

ada, serta pelibatan psikiater dan pembimbing rohani. Organisasi Perangkat Daerah (OPD)

yang terkait terdiri atas Dinas Cipta Karya, Dinas Bina Marga, Dinas Kebersihan dan

Pertamanan, Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Tenaga

Kerja, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Bappeda dan

Litbang, Badan Kesbangpol dan Linmas, Satpol PP, Bagian Keuangan Setda Kabupaten

Badung, TNI, Polri, Basarnas, BMKG Wilayah III Denpasar, Balawista, PMI, Pusdalops

Provinsi Bali dan masyarakat Kabupaten Badung.

4. Simpulan Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dari BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar

memenuhi standar yang ada berdasarkan Standar Operasi Penanggulangan Bencana dan

Rencana Kontigensi Penanggulangan Bencana di Kabupaten Badung. Kesiapan personel

di dalam lingkungan BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum cukup memadai

untuk pelaksanaan tugas-tugas penanggulangan bencana serta didominasi oleh tingkat

pendidikan S1 dan SMA. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten Badung

dapat diatasi oleh jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan personel

Lanal Denpasar terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi dan

penyelamatan secara rutin setiap tiga bulan sekali serta Pelatihan Kontigensi Bencana

Gempa dan Tsunami.

Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di

BPBD Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat jenis bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sedangkan sarana yang

ada di Lanal Denpasar merupakan alusista yang mampu mendukung penanggulangan

bencana. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah

(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan

koordinasi berdasarkan standar operasi yang telah ditetapkan. Koordinasi yang

dilaksanakan pada program pemulihan pasca bencana melalui peningkatan koordinasi

dengan instansi terkait dan dunia usaha, meningkatkan pemahaman tentang regulasi yang

ada, serta pelibatan psikiater dan pembimbing rohani.

55

Referensi

[1] [PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2015. Gempa Bumi

dan Tsunami. Bandung (ID): Badan Geologi, Kementerian Energi dan

Sumberdaya Mineral.

[2] [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2018. Provinsi Bali dalam Angka 2018.

Bali (ID) : BPS Provinsi Bali.

[3] Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008

tentang Pedoman Pembentukan Badan penanggulangan Bencana Daerah.

[4] Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang

Pokok-Pokok Penyelenggaraan Tugas Bantuan Tentara Nasional Indonesia

dalam Menanggulangi Bencana Alam, Pengungsian, dan Bantuan

Kemanusiaan.

[5] Rietjens, S. J. H. and Bollen M. T. I. B. 2008. Managing Civil-Military

Cooperation: A 24/7 Joint Effort for Stability. Farnham (UK): Ashgate

Publishing Limited.

[6] Metcalfe, V., Haysom, S., and Gordon, S. 2012. Trends and Challenges in

Humanitarian Civil Coordination: A Review of The Literature. London (UK):

Humanitarian Policy Group.

[7] [UN-OCHA] United Natioan Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.

2015. UN-CMCoord Field Handbook. Geneva (CH): Civil-Military

Coordination Section, UN-OCHA.

[8] Nugroho, S. A. 2012. Analisis Kerjasama Sipil Militer dalam Bantuan

Kemanusiaan Indonesia (Studi Kasus Masa Tanggap Darurat Penanggulangan

Bencana Alam Letusan Gunung Merapi 2010). Bogor (ID): Sekolah Kajian

Pertahanan dan Stategis, Program Studi Manajemen Pertahanan, Universitas

Pertahanan.

[9] Nugroho, S. P., Suprapto, dan Pandanwangi, T. S. 2016. Kerjasama Sipil Militer

dalam Penanggulangan Bencana (Studi Kasus Tanggap Darurat Banjir Jakarta

2013, 2014, 2015). Jurnal Penanggulangan Bencana. Vol. 7, No. 2, Hlm. 103-

110. Jakarta (ID): Badan Nasional Penanggulangan Bencana. ISSN 2087 636X.

[10] Pradana, S., Sutisna, S., dan Sari, D. A. P. 2018. Kerjasama Sipil Militer dalam

Tanggap Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2014.

Bogor (ID): PT. Idemedia Pustaka Utama.

[11] Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): PT. Remaja

Rosdakarya.

[12] Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung (ID): Alfabeta.

56

[13] Williams, G. H. 2005. Engineering Peace: The Military Role in Postconflict

Reconstruction. Washington (US): United States Institute of Peace.

[14] [UN-OCHA] United Natioan Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.

2017. The Use Foreign Military and Civil Defense Assests in Disaster Relief.

Geneva (CH): Civil-Military Coordination Section, UN-OCHA.

[15] Rietjens, S. J. H. 2008. Civil Military Cooperation in Response to A Complex

Emergency: Just Another Drill?. Leiden (NL): Koninklijke Brill NV.

57

Kesiapan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Bali

Adib Hermawan1, Saifuli Sofi’ah

1, dan Sugeng Widodo

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional

1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak. Ancaman bencana tsunami bagi masyarakat Indonesia sangatlah besar terutama

masyarakat yang hidup di kawasan pesisir Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi bagaimana keterlibatan dan koordinasi antara pemerintah daerah atau lembaga

terkait kesiapsiagaan penanggulangan ancaman bencana tsunami ke beberapa stakeholder

terkait antara lain Pemerintah Provinsi Bali, BPBD, dan BMKG Wilayah III Denpasar.

Penelitian ini juga menggali informasi mengenai upaya mitigasi bencana, prosedur tetap

yang dilaksanakan BPBD dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dan beberapa

keterangan dari BMKG Provinsi Bali terkait dengan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan

yang telah dilakukan melalui program yang dilaksanakan. Masyarakat Bali sudah dibekali

pengetahuan oleh para stakeholder setempat antara lain tanda aktivasi sirine tsunami

sebagai peringatan dini, mengetahui jalur evakuasi jika tsunami terjadi, bahkan

masyarakat telah beberapa kali melaksanakan simulasi penanggulangan bencana. Upaya

sosialisasi dan diseminasi informasi bencana yang sudah dilakukan kepada masyarakat, kesiapan personil dan sarana prasarana terkait penanggulangan bencana, update informasi

dan kesiapan sistem peringatan dini. Dengan demikian, dapat diketahui kesiapan

Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi bencana tsunami.

Keywords: Bencana Tsunami, Early Warning Systems, Kesiapan, Pemerintah Provinsi

Bali

1. Pendahuluan

Secara geografis, Bali terletak di 8°3′40″-8°50′48″ LS dan 114°25′53″-115°14′55″ BT

yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Provinsi Bali adalah

bagian dari kepulauan Sunda Kecil dengan luas wilayah 5.636,66 km2 dengan panjang

garis pantai 529 km. Provinsi Bali terdiri dari 8 Kabupaten dan 1 Kota dengan jumlah

penduduk 4.2227.705 orang atau mendekati 4,3 juta penduduk. Wilayah Bali terdiri dari 6

wilayah daratan yaitu Pulau Bali, Pulau Menjangan, Pulau Serangan, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, dan Pulau Nusa Ceningan. Batas fisiknya adalah sebelah utara

dengan Laut Bali, sebelah timur dengan Selat Lombok, sebelah selatan dengan Samudera

Indonesia, dan sebelah barat dengan Selat Bali. Secara administratif, Provinsi Bali terbagi

atas 8 kabupaten, 1 kota, 57 kecamatan, dan 716 desa/kelurahan. Kabupaten/Kota terdiri

atas Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar,

58

Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng,

dan Kota Denpasar.

Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali terbesar dari sektor pariwisata.

Hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan, tingkat

investasi, sektor perdagangan, dan perhotelan berpengaruh positif terhadap Pendapatan

Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali[1]. Oleh karena itu, industri pariwisata menjadi sektor

paling utama yang dikembangkan di Provinsi Bali. Pariwisata sebagai industri utama

sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah faktor keamanan. Bencana sebagai bagian dari keamanan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi sektor

pariwisata. Secara manusiawi, wisatawan merasa khawatir untuk mengunjungi destinasi

yang rawan terhadap bencana. Keamanaan dan keselamatan pengunjung menjadi gagasan

multidimensional dalam berbagai komponen seperti kemanan politik, keselamatan publik,

kesehatan dan sanitasi, keamanan data pribadi, perlindungan bencana, dan jaminan

kualitas layanan[2]. Oleh karena itu, faktor keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi

hal utama yang harus diperhatikan Pemerintah Provinsi Bali dalam pembangunan sektor

pariwisatanya.

Bencana erupsi Gunung Agung di tahun 2017 yang berlangsung hingga tahun 2018,

telah memberi dampak terhadap sebagian besar masyararakat Bali terutama yang bekerja

di sektor pariwisata. Dampak erupsi Gunung Agung sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat lokal dari usaha akomodasi [3]. Berkurangnya kunjungan

wisatawan akibat travel warning serta ditutupnya Bandara Ngurah Rai untuk beberapa hari

akibat semburan abu vulkanik sempat membuat industri di sektor pariwisata mengalami

keterpurukan. Pemberitaan media terkait erupsi Gunung Agung juga turut mengakibatkan

turunnya jumlah wisatawan. Peran media yang komprehensif sebagai sistem diseminasi

peringatan dini kepada masyarakat sebenarnya dapat meminimalkan korban jiwa dan

jumlah kerugian karena masyarakat dapat mengambil sikap dan tindakan antisipatif.

Keterlibatan media dalam memberikan edukasi dan sistem diseminasi peringatan dini

kepada masyarakat sebagai merupakan bagian dari mitigasi bencana [4].

Secara umum, kawasan pantai di Indonesia rawan terhadap bencana gelombang

tsunami tidak terkecuali kawasan pesisir pantai di Bali. Kawasan barat pulau Sumatera,

Selat Sunda, Selatan Pulau Jawa, sampai ke Nusa Tenggara Timur merupakan zona bahaya tsunami. Empat titik kawasan seismic gap (daerah zona gempayang tidak pernah

diguncang gempa dahsyat antara 50-100 tahun) di Indonesia berada di Selat Sunda, pantai

selatan Jawa, Selat Bali, dan kawasan dekat Pulau Alor berpotensi menimbulkan tsunami

[5]. Kawasan pesisir pantai Bali merupakan salah satu kawasan pantai yang berada pada

seismic gap sehingga sangat rawan dengan ancaman bencana tsunami. Penyebab tsunami

sebagian besar diakibatkan oleh gempa bumi tektonik yang biasanya bersifat dangkal,

magnitude besar, dan mempunyai sesar naik atau turun. Tabel 1 merupakan data kejadian

bencana tahun 2018 di Provinsi Bali.

59

Tabel 1. Kejadian Bencana di Provinsi Bali Tahun 2018

No. Kejadian Bencana Jumlah Kejadian

1 Gempa bumi 902

2 Tsunami 0

3 Kebakaran 442

4 Banjir 151

5 Tanah Longsor 250

6 Puting beliung 23

7 Gunung meletus 3

8 Kekeringan 11

Berdasarkan data pada Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa gempa bumi merupakan

bencana dengan kejadian bencana terbanyak sepanjang tahun. Padahal, dalam penjelasan

sebelumnya gempa tektonik merupakan penyebab sebagian besar tsunami. Oleh karena

itu, perlu diupayakan kegiatan mitigasi bencana guna mereduksi dampak yang ditimbulkan

jika terjadi tsunami. Salah satu kegiatan mitigasi bencana yang dapat dilakukan adalah

dengan adanya sistem peringatan dini tsunami.

Sistem peringatan dini menurut UN-ISDR (United Nations-International Strategy for

Disaster Reduction) adalah penyediaan informasi yang tepat waktu dan efektif melalui

lembaga yang teridentifikasi yang memungkinkan individu yang terpapar bahaya untuk

mengambil tindakan menghindari atau mengurangi risiko mereka dan bersiap utnuk

respons yang efektif. Sistem peringatan dini yang efektif dan lengkap terdiri dari empat elemen yang saling berinteraksi yaitu pengetahuan risiko, layanan pemantauan dan

peringatan, penyebaran dan komunikasi, dan kemampuan respon[6]. Sistem peringatan

dini yang efektif tidak hanya mementingkan hal-hal yang bersifat teknis semata, tetapi

juga berfokus pada orang yang terpapar risiko baik yang timbul dari bahaya alam atau

kerentanan sosial. Pendekatan sistem yang menggabungkan semua faktor yang relevan

dalam risiko itu sangat dibutuhkan demi terwujudnya sistem peringata dini yang efektif.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti mengambil tema Kesiapan Sistem Peringatan

Dini (Early Warning System) Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi bencana

tsunami dengan alasan bahwa untuk mengetahui bagaimana kemampuan dan kesiapan

Bali dalam mempertahankan situasi dan kondisi yang aman dan nyaman di bidang

kepariwisataan dengan tujuan mengetahui bagaimana langkah pemerintah setempat dan pemangku jabatan serta peran masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan

Bali sebagai merupakan salah satu tempat wisata andalan Indonesia. Kesiapan dan

pengembangan strategi kesiapan lokal adalah kunci untuk menangani tsunami.

2. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan, yaitu metode penelitian kualitatif yang menerapkan

pendekatan pragmatis dalam praktik penanggulangan bencana dalam hal kesiapan

menghadapi ancaman bencana tsunami wilayah pesisir Bali. Pengumpulan data dilakukan

melalui wawancara dan studi dokumentasi terkait pengembangan kesiapsiagaan terhadap

60

bencana Tsunami di Bali. Wawancara adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi

dengan bertanya langsung [7]. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang melakukan

upaya peningkatan kesiapan menghadapi ancaman tsunami di Bali, antara lain, Pemerintah

Provinsi Bali, BPBD Bali, dan BMKG wilayah III Denpasar. Studi dokumentasi adalah

salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis

dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek

studi dokumentasi seperti catatan, foto, rekaman video atau suara [8]. Studi dokumentasi

dilakukan dengan mengkaji dokumen terkait kesiapsiagaan tsunami dalam pencegahan tsunami di Bali seperti rencana kontingensi dan dokumen perencanaan penanggulangan

bencana.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kesiapan BPBD Pusdalops Provinsi Bali

Sistem peringatan dini hanya efektif berfungsi bila kedatangan (intensitas dan waktu) dari suatu peristiwa di suatu tempat sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu,

dibutuhkan informasi atau tool untuk mendeteksi akan terjadinya suatu peristiwa tersebut.

Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu proses analisis

data tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi

hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis dan sintesis yang memicu keluarnya

informasi mempunyai ketepatan tinggi. Dengan demikian, terdapat dua bagian utama

dalam sistem peringatan dini, yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas

data menjadi informasi yang tepat dan bagian hilir berupa usaha agar informasi cepat

sampai kepada masyarakat.

Keberadaan BPBD Pusdalops Provinsi Bali bertujuan untuk mengintegrasikan

manajemen penanggulangan bencana di daerah yang mengemban empat fungsi, yaitu

pusat data dan informasi kebencanaan, sistem peringatan dini, pengendali operasi tanggap darurat, dan pelayanan kegawatdaruratan. Peranan dan fungsi Pusdalops diantaranya (1)

memberi peringatan dini kepada masyarakat sehingga terhindar dari segala ancaman

bencana/ keamanan, (2) pusat pengendali mobilitas masyarakat agar terhindar dari

bencana, dan (3) monitoring titik-titik rawan bencana. Sistem peringatan dini (Early

Warning System) BPBD Pusdalops Provinsi Bali memiliki sarana penunjang dan sumber

daya manusia (SDM) antara lain Server BMKG/INA TEWS dan CCTV, menara

pemantau, CCTV, workstation BMKG dan aktivasi sirine tsunami, sirine peringatan dini,

layar proyektor CCTV & LCD TV, terminal informasi digital, radio komunikasi,

workstation CCTV, SOP, dan SDM (D3 IT).

Kesiapan Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi ancaman tsunami dari

wilayah pantai selatan Provinsi Bali terdiri atas:

Melakukan sosialisasi bahaya tsunami,

Memasang sirine peringatan dini pada sembilan titik di seluruh Provinsi Bali,

Menjalin kerjasama dengan French Red Cross (Palang Merah Perancis) untuk

mendirikan Crisis Centre,

Menjalin kerjasama dengan German Indonesia Tsunami Early Warning System

(GITEWS), dan

61

Menjalin kerjasama dengan pemerinah kabupaten/kota untuk memasang papan

petunjuk evakuasi.

Kesiapan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali telah sesuai dalam mewujudkan

sistem peringatan dini tsunami yang efektif. Kerjasama yang dilakukan pemerintah baik

dengan French Red Cross (Palang Merah Perancis) dan German Indonesia Tsunami Early

Warning System (GITEWS) merupakan komitmen yang dilakukan oleh pemerintah demi

menghasilkan pengamatan dan analisis risiko bencana sebagai komponen dari sistem

peringatan dini. Pemerintah juga telah melakukan sosialisasi bahaya tsunami kepada masyarakat melalui program desa tangguh bencana, sosialisasi aktivasi sirine tsunami, dan

sekolah aman bencana. Pembuatan jalur evakuasi di seluruh wilayah Bali juga dilakukan

dalam rangka mempermudah proses evakuasi jika memang diperlukan.

Aktivasi sirine tsunami yang ada di Bali dilakukan pada tanggal 26 setiap bulan

dalam rangka pengawasan sirine yang ada di seluruh wilayah Provinsi Bali. Penempatan

sebaran sirine di Provinsi Bali ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Penempatan Sirine di Provinsi Bali

Penempatan sirine yang ada di Provinsi Bali seperti yang tertera dalam Gambar 1

belum menjangkau seluruh kawasan pantai di Bali sehingga membutuhkan tambahan

sepuluh sirine tsunami untuk dapat menjangkau seluruh wilayah pantai di Bali. Kegiatan

aktivasi sirine tsunami ini selain digunakan untuk pengecekan alat peringatan dini tsunami juga dimanfaatkan sebagai sarana sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya mitigasi

bencana tsunami. Selain itu, Pusdalops memiliki armada dan piranti yang mendukungnya

dengan peran dan fungsinya antara lain:

62

DVB (Digital Video Broadcasting) berfungsi untuk menerima dan diseminasi

info gempa bumi dan potensi tsunami. Pusdalops PB memberikan peringatan dini

tsunami ke handphone terdaftar berupa SMS,

KOMODO (Komunikasi Multi Moda Kendali Operasi),

Mobil Komunikasi, DVB (Digital Video Broadcasting),

Sistem Informasi Kebencanaan, Monitoring CCTV, dan LED Display serta

perangkat Desiminasi Pusdalops PB BPBG, dan

Sistem Radio Komunikasi.

Penggunaan sistem radio komunikasi sebagai piranti pendukung dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana di Bali berfungsi jika pada saat terjadi sistem

jaringan internet tiba-tiba down. BPBD Provinsi Bali melakukan round table

menggunakan radio komunikasi sebanyak tiga kali sehari dengan BMKG untuk

memperbarui informasi terkait kebencanaan.

3.3 Kesiapan BMKG Wilayah III Denpasar

Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika Wilayah III Denpasar mempunyai

tugas melaksanakan pengamatan, pengelolaan data, prakiraan, riset, kerjasama, kalibrasi,

dan pelayanan meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika di wilayah Provinsi

Bali. Peraturan Kepala BMKG Kep. 015 Tahun 2014 menyatakan bahwa Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mempunyai tugas melaksanakan pengamatan,

pengelolaan data, prakiraan, riset, kerjasama, kalibrasi, dan pelayanan meteorologi,

klimatologi, kualitas udara, dan geofisika. Berdasarkan peraturan tersebut upaya mitigasi

dan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh BMKG adalah memberikan peringatan dini.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,

Klimatologi, dan Geofisika, BMKG melakukan pelayanan peringatan dini tsunami. Oleh

karena itu, Indonesia melalui BMKG beserta institusi terkait di bawah koordinasi

Kementerian Riset dan Teknologi telah mengembangkan teknologi, peralatan, sistem, dan

tata kelola peringatan dini tsunami sejak tahun 2005 yang dinamakan Sistem Peringatan

Dini Tsunami Indonesia atau Indonesia Tsunami Early Warning System yang disingkat

InaTEWS. InaTEWS dibangun dengan menerapkan beberapa sistem terintegrasi seperti jejaring

seismograf yang rapat dan sensitif, pembangunan sistem DART (Deep-ocean Assessment

and Reporting of Tsunamis) beserta perangkatnya seperti buoy, sistem satelit, dan tide

gauge yang ditempatkan di pelabuhan untuk mengamati karakter gelombang dan juga

kamera dengan pemantauan secara visual pada tempat-tempat dengan ketinggian tertentu.

Perangkat lain yang digunakan oleh InaTEWS adalah DSS (Decision Support System).

DSS mengumpulkan semua informasi dari kelompok sensor untuk memutuskan apakah

terjadi tsunami atau tidak.

63

Gambar 2. Desain InaTEWS

Desain InaTEWS menghasilkan produk berupa informasi gempa dan peringatan dini

tsunami seperti dalam Gambar 2. InaTEWS menggunakan sistem pemantauan darat dan

sistem pemantauan laut. Sistem pemantauan darat yang terdiri atas jaringan seismometer

broadband dan GPS. Sistem pemantauan laut (sea monitoring system) terdiri atas tide

gauges, buoy, dan CCTV. Data hasil observasi dikirimkan ke BMKG untuk diproses dan

dianalisa untuk menghasilkan informasi peringatan dini tsunami terkait daerah-daerah

yang mungkin terdampak, tingkat peringatan, dan waktu kedatangan tsunami. Ranah kerja BMKG dalam sistem peringatan dini tsunami berada dalam ranah

upstream yang berarti BMKG menjalankan fungsinya lembaga yang memberikan

pelayanan informasi melalui analisis data hasil pemantauan terkait peringatan dini

tsunami. Lembaga yang bersifat downstream berfungsi untuk menyebarluaskan informasi

(fungsi diseminasi) peringatan dini kepada masyarakat seperti BPBD, TNI, media, dan

Kominfo kepada masyarakat terpapar di kawasan pesisir pantai. Kesiapan BMKG Wilayah

III Denpasar Bali meliputi kesiapan personil dengan melakukan kerjasama dengan

universitas baik dalam maupun luar negeri dalam pengembangan InaTEWS. Personil

BMKG juga diberikan pelatihan di Pusdiklat BMKG serta terdapat sertifikasi internal

untuk setiap personilnya. Kesiapan sarana dan prasarana dalam menghadapi bencana

tsunami sudah cukup baik sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam InaTEWS. Kegiatan maintenance sarana dan prasarana meliputi beberapa kegiatan yakni

preventif (pengecekan alat), korektif (koreksi alat yang rusak), kalibrasi alat, dan

penggantian alat yang sudah tidak layak.

64

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesiapan sistem peringatan dini tsunami di Bali melibatkan berbagai sektor, seperti

BPBD, Pemerintah Bali, dan BMKG. Peran dari BPBD diantaranya adalah sebagai pusat

data dan informasi kebencanaan, sistem peringatan dini, pengendali operasi tanggap

darurat, dan pelayanan kegawatdaruratan. Peran Pemerintah Provinsi Bali diantaranya

adalah menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga kebencanaan internasional,

pemasangan sirine di Bali bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, dan melakukan sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat. Peran BMKG berkaitan dengan ancaman

Tsunami adalah menghasilkan informasi terkait kegempaan dan peringatan dini tsunami.

Ketiga lembaga tersebut telah memiliki tugas pokok, fungsi, dan sinergitas yang baik

dalam menghadapi ancaman tsunami di Bali.

BPBD telah memiliki rencana penambahan sirine tsunami di wilayah pesisir pantai

yang masih belum terjangkau oleh suara sirine yang sudah ada. Rekomendasi untuk

BMKG adalah untuk peningkatan kerjasama dalam pengembangan sensor deteksi

peringatan dini tsunami agar dapat menghasilkan informasi peringatan dini tsunami yang

lebih cepat dan akurat. Dengan adanya upaya dan tindakan yang nyata sebelum, ketika,

dan setelah bencana diharapkan mampu menciptakan image positif terhadap Bali sehingga

tercipta pariwisata yang berkelanjutan tanpa kekhawatiran terhadap bencana alam.

Ucapan Terima Kasih

Peneliti mengucapkan terimakasih atas bantuan atau dorongan dari Pemerintah Provinsi

Bali, BPBD Provinsi Bali, BMKG Wilayah III Denpasar, dan Program Studi Manajemen

Bencana Universitas Pertahanan Indonesia.

References

[1] Sari, P. L. P. (2013). Analisis Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan

Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali. JINAH (Jurnal Ilmiah Akuntansi dan

Humanika. 2 (2).

[2] Kovari, I. dan Zimányi, K. 2011. Safety and Security in the Age of Global Tourism

(The changing role and conception of Safety and Security in

Tourism). APSTRACT: Applied Studies in Agribusiness and Commerce. 5(1033-2016-84147), 59.

[3] Sri, A. A. P. dan Sari, N. P. R. 2018. Dampak Pariwisata Pasca Erupsi Gunung

Agung bagi Usaha Akomodasi Masyarakat Lokal di Desa Kedewatan Ubud,

Bali. Jurnal Kepariwisataan dan Hospitalitas. 2(2), 120-135.

[4] Panuju, R. 2018. Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan

Gunung Agung di Portal Berita Balipost.com. Jurnal Ilmu Komunikasi. 15 (2).

[5] Marwanta, B. 2014. Tsunami Di Indonesia Dan Upaya Mitigasinya. Alami, 10(2).

[6] Basher, R. 2006. Global Early Warning Systems for Natural Hazards: Systematic

and People Centred. Philosophical Transactions of The Royal Society A

Mathematical, Physical, and Engineering Sciences. 364 (1845), 2167-2182.

[7] Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID):

65

LP3S.

[8] Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Penerbit

Rosdakarya.

66

Kesiapsiagaan Dalam Manajemen Bencana (Studi Kasus SLBN 1 Badung

Menghadapi Potensi Ancaman Bencana Gempa Bumi dan Tsunami)

Zahrotul Khumairoh1, Dewi Apriliani

1 dan Taufiq Prasetyo

1

1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

16811, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak. Komunitas sekolah adalah salah satu pemangku kepentingan penting dalam kesiapsiagaan bencana alam. Komunitas ini merupakan subjek sekaligus objek dalam

bencana, maka perlu adanya upaya peningkatan kesiapsiagaan komponen fisik sekolah

(komponen struktural), seperti bangunan dan infrastruktur lainnya, dan juga kapasitas

sumber daya manusia (komponen non-struktural ). Penelitian ini terdiri dari tiga

pertanyaan utama. Pertama, bagaimana kesiapsiagaan struktural SLBN 1 Badung dalam

menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Kedua, bagaimana kesiapsiagaan non-struktural

SLBN 1 Badung dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Dan terakhir,

rekomendasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman gempa bumi dan

tsunami di SLBN 1 Badung. Penelitian ini menggunakan mix-methode sederhana yang

menggunakan pendekatan kualitatif dilengkapi dengan data kuantitatif. Berdasarkan hasil

data yang diperoleh, rekomendasi prioritas SLBN 1 Badung adalah meningkatkan kesiapsiagaan non-struktural. Penelitian ini juga menyarankan bahwa penting untuk

penelitian selanjutnya untuk melibatkan anggota komunitas sekolah lainnya seperti kepala

sekolah dan siswa agar sepenuhnya konsisten dengan Buku Panduan Penerapan Sekolah

Siaga Bencana yang dikeluarkan oleh LIPI.

Kata Kunci: Kapasitas, Kesiapsiagaan, Manajemen Bencana, SLBN

1. Pendahuluan

Gempa bumi merupakan bencana alam yang relatif sering terjadi di Indonesia akibat

interaksi lempeng tektonik dan letusan gunung berapi, di sepanjang pantai barat Sumatera

yang merupakan pertemuan lempeng Benua Asia dan Samudera Hindia; lempeng Benua

Australia dan Asia yang membentuk jalur gempa dengan ribuan titik pusat gempa dan

ratusan gunung berapi yang rawan bencana di Indonesia. Gempa bumi yang terjadi di laut

dapat mengakibatkan terjadinya tsunami (gelombang laut) terutama pada gempa yang terjadi di laut dalam yang diikuti deformasi bawah laut serta menimbulkan kerugian harta

benda dan jiwa dalam skala besar dan butuh waktu yang lama untuk melakukan

rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini cukup memprihatinkan karena peristiwa yang terjadi

dalam waktu yang relatif cukup singkat dapat menghancurkan bangunan dan infrastruktur

yang merupakan hasil pembangunan selama puluhan tahun [1].

67

Salah satunya adalah pada sektor pendidikan, yakni kerusakan pada bangunan, sarana

prasarana dan infrastruktur sekolah yang memberikan dampak buruk pada keberlanjutan

komunitas sekolah, baik guru, siswa dan warga sekolah lainnya. Lebih lanjut, berdasarkan

rencana nasional penanggulangan bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) tahun 2010 sampai 2014, sedikitnya terdapat 23 provinsi yang masuk dalam

kategori risiko tinggi terhadap gempa bumi di Indonesia dan lebih dari 130.000 bangunan

sekolah berpotensi terhantam gempa bumi dan juga mengancam siswa sekolah beserta

seluruh fasilitasnya. Hasil kajian yang dilakukan oleh LIPI juga menunjukkan bahwa komunitas sekolah di tujuh lokasi (Kota Bengkulu, Kabupaten Aceh Besar, Serang,

Cilacap, Sikka, Biak, dan Ternate) masih kurang siap dalam mengantisipasi bencana

gempa bumi dan tsunami [2].

Oleh karena itu, perlu untuk meningkatkan kesiapsiagaan komponen fisik sekolah

(bangunan dan infrastruktur lainnya) dan kapasitas SDM, karena komunitas sekolah

adalah salah satu pihak penting pada tahapan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana

alam. Komunitas sekolah adalah agen perubahan yang potensial untuk menyebarluaskan

pengetahuan tentang fenomena gempa dan tsunami dan memotivasi orang untuk

meningkatkan kesiapsiagaan [3]. Salah satunya adalah Sekolah Luar Biasa Negeri 1

Badung yang berlokasi di Jl. By Pass Ngurah Rai Jimbaran, Jimbaran, Kuta Selatan-Kabu,

Provinsi Badung, Bali yang telah melakukan salah satu upaya mitigasi bencana dengan pemasangan rute evakuasi bencana [4].

Berdasarkan surat edaran dari Menteri Pendidikan Nasional nomor 70A / MPN / SE /

2010 tentang permohonan kepada semua kepala daerah untuk menerapkan strategi yang

mempengaruhi pentingnya pengurangan risiko bencana di sekolah. Oleh karena itu,

diperlukan penelitian penting untuk menganalisis kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa

Negeri 1 Badung dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan tsunami dan

memberikan rekomendasi untuk upaya meningkatkan parameter kesiapsiagaan.

Rumus penelitian terdiri atas tiga pertanyaan utama. Yang pertama, bagaimana

struktur kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung dalam menghadapi ancaman

gempa dan tsunami. Yang kedua, bagaimana kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah

Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan

tsunami. Yang terakhir, apa rekomendasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan ancaman tsunami di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur kesiapsiagaan sekolah Luar Biasa

Negeri 1 Badung dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan tsunami,

menganalisis kesiapsiagaan non-struktural Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali

dalam menghadapi potensi ancaman gempa dan tsunami; dan untuk mengidentifikasi

rekomendasi guna meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi gempa bumi

dan ancaman tsunami di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali. Pengukuran serta

pengecekan kesiapsiagaan struktural dan non-struktural dalam menghadapi potensi

ancaman gempa bumi dan tsunami menggunakan parameter pedoman penerapan sekolah

aman bencana yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2013.

68

2. Metode

Penelitian ini menggunakan mix-methode dengan menggunakan pendekatan kualitatif

yang dilengkapi dengan data kuantitatif sehingga data yang diperoleh bersifat deskriptif-

analitik. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pembahasan

penelitian akan memberikan gambaran tentang kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1

Badung, Bali dalam menghadapi potensi ancaman gempa dan tsunami. Data kuantitatif

digunakan untuk mengukur indeks kesiapsiagaan bencana berdasarkan pedoman

penerapan sekolah aman bencana yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2013. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus untuk memperoleh gambaran rinci

tentang suatu fenomena. Objek yang dipelajari dalam penelitian studi kasus dianggap

dalam menggambarkan dirinya sendiri secara mendalam, terperinci, dan lengkap untuk

mendapatkan keutuhan dalam arti bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

dipelajari secara keseluruhan, utuh, dan terintegrasi [5].

Sifat penelitian yang sangat spesifik dari objek penelitian adalah pertimbangan utama

bagi peneliti untuk menguraikannya dengan mengeksplorasi secara mendalam. Penelitian

ini dilakukan selama empat hari dari 25-28 Februari 2019. Lokasi penelitian di Sekolah

Negeri 1 Badung didasarkan pada lokasi pantai Bali Selatan yang memiliki potensi risiko

tsunami karena adanya tabrakan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia [6].

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kepala sekolah, guru, dan siswa, sedangkan pengamatan langsung di lapangan dan hasil pengisian formulir survei oleh

kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur

tentang undang-undang, peraturan daerah, kebijakan atau peraturan sekolah, dan literatur

lain yang mendukung persiapan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap,

yaitu: pada tahap awal peneliti mendistribusikan formulir survei untuk mengukur struktur

dan indeks kesiapsiagaan non-struktural di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.

Keterbatasan penelitian, formulir survei tidak diberikan kepada siswa di SLBN 1

Badung. Selanjutnya peneliti melakukan pengamatan di lokasi penelitian dan menganalisis

kesiapsiagaan bencana sekolah dengan melakukan wawancara mendalam dengan

responden terpilih (kepala sekolah, guru, petugas selain guru dan siswa). Pada tahap akhir,

peneliti menghitung hasil formulir survei untuk mengukur indeks kesiapsiagaan sekolah

dan memverifikasi hasil wawancara yang telah dilakukan. Pemilihan sampel menggunakan teknik pengambilan sampel probabilitas, karena

pengambilan sampel probabilitas adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan

peluang yang sama untuk setiap elemen (anggota) populasi untuk dipilih sebagai anggota

sampel [7]. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus

Slovin. Formulir survei mengacu pada lampiran 6 (Formulir Kesiapsiagaan Non-

Struktural) dan lampiran 7 (Formulir Kesiapsiagaan Struktural) dalam panduan sekolah

aman bencana LIPI pada tahun 2013. Nilainya akan dikelompokkan ke dalam tiga tahap

nilai indeks (%): 67-100 berada di level tinggi; 34 - 66 berada di level sedang; dan 0 - 33

dalam level rendah. Nilai indeks kesiapsiagaan sekolah adalah nilai total kombinasi dari

indeks kesiapsiagaan struktural dan indeks kesiapsiagaan non-struktural.

69

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil

Pengambilan data penelitian di SLBN 1 dilakukan dengan menyebarkan bentuk kuesioner

kesiapsiagaan struktural sekolah dan kesiapsiagaan non-struktural sekolah kepada 30 guru.

Formulir kuesioner yang digunakan mengacu pada Buku Panduan Penerapan Sekolah

Siaga Bencana yang dikeluarkan oleh LIPI [8]. Keterbatasan penelitian, mengambil

jumlah sampel tidak menggunakan rumus Slovin, tetapi menggunakan teori Gay dan Diehl (1992) yang menyatakan bahwa jumlah sampel minimum penelitian deskriptif adalah 10%

dari populasi, dengan minimum 30 elemen penelitian populasi, 30 elemen penelitian

kelompok kausal perbandingan dan untuk penelitian eksperimental 15 elemen per

kelompok [9]. Menurut Cohen, et. al. (2007: 101) semakin besar ukuran sampel populasi

adalah semakin baik, tetapi ada batas minimum jumlah yang harus diambil oleh peneliti,

yaitu 30 sampel.

3.1.1 Kesiapsiagaan Struktural.

Hasil Kesiapsiagaan Struktural Sekolah:

Struktur Bangunan menggunakan indikator Pondasi, Balok, Tiang, Dinding and

Atap melalui 10 pertanyaan.

Arsitektur menggunakan indikator Desain Arsitektur, Langit-langit, Pintu dan

Jendela, Ornamen Permanen, Tangga, Lantai dan Keramik melalui 12 pertanyaan.

Perabot Sekolah menggunakan indikator Peralatan Listrik, Perabot, Gambar dan

Papan, Bahan Berbahaya dan Beracun melalui 15 pertanyaan.

Peralatan Listrik menggunakan indikator Peralatan Pendukung Penempatan melalui

6 pertanyaan.

Indeks kesiapsiagaan per parameter dihitung dengan persamaan berikut:

Indeks Parameter = Jumlah Jawaban /Jumlah Maksimum Pertanyaan x 100%

Menggunakan rumus di atas untuk hasil kuesioner 30 responden guru memperoleh hasil

sebagai berikut:

70

Tabel 1. Hasil Kuesioner 30 Guru sebagai Responden

Parameter Indeks Kesiapsiagaan per parameter

Struktural (S) 74%

Arsitektural (A) 70%

Perabotan dan Isi (Pi) 67%

Peralatan Pendukung (Pp) 67%

Selanjutnya, indeks kesiapsiagaan struktur sekolah dinilai dengan persamaan berikut:

Indeks = (10/43) x indeks S + (12/43) x indeks A + (15/43) x indeks Pi + (6/43) x

indeks Pp

Indeks = (0.23 x indeks S) + (0.28 x indeks A) + (0.35 x indeks Pi) + (0.14 x indeks

Pp)

Indeks = (0.23 x 0.74) + (0.23 x 0.7) + (0.35 x 0.67) + (0.14 x 0.67)

= 0.69

Kategori kesiapsiagaan struktur sekolah ditentukan sebagai berikut:

Tabel 2. Nilai Kesiapsiagaan Indeks Kategori Sekolah Siaga Bencana berdasarkan LIPI

2013

Nilai Indeks (%) Kategori Kesiapsiagaan

67-100 Tinggi

34-66 Sedang

0-33 Rendah

Kesiapsiagaan struktural Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali tinggi (69%) dengan

perincian untuk setiap parameter sebagai berikut:

struktur bangunan memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (74%),

arsitektur bangunan memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (70%),

perabotan dan isi memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (67%), dan

peralatan pendukung lainnya memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (67%).

3.1.2 Kesiapsiagaan Non-Struktural. Hasil kesiapsiagaan non-struktural sekolah:

Karena keterbatasan penelitian, kuesioner hanya diberikan kepada guru, sedangkan

anggota komunitas sekolah lainnya (kepala sekolah dan siswa) tidak diberikan formulir kuesioner.

Pengetahuan (K) menggunakan indikator Pengetahuan Bencana, Kerentanan Fisik,

Kapasitas Sekolah, dan Sikap terhadap Risiko Bencana melalui 10 pertanyaan.

71

Rencana Tanggap Darurat (EP) menggunakan Rencana indikator untuk Tanggap

Darurat, Rencana Evakuasi Pertolongan Pertama-Keselamatan-Penyelamatan,

Kepatuhan dengan Kebutuhan Dasar, Peralatan dan Persediaan, Fasilitas Publik

Penting, Pelatihan dan Simulasi / Latihan melalui 17 pertanyaan.

Sistem Peringatan Bencana Lokal dan Tradisional (WS) menggunakan indikator

Teknologi, Instalasi, Penyebaran Peringatan dan Mekanisme melalui 8 pertanyaan.

Mobilisasi Sumber Daya (RMC) menggunakan indikator Pengaturan Kelembagaan, Komunikasi dan Koordinasi antara Pemangku Kepentingan yang Relevan, Sumber

Daya Manusia melalui 6 pertanyaan.

Indeks kesiapsiagaan per parameter dihitung dengan persamaan berikut:

Parameter Indeks = Jumlah Jawaban / Jumlah Pertanyaan Maksimal x 100%

Menggunakan rumus di atas untuk hasil kuesioner 30 responden guru memperoleh hasil

sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Kuesioner 30 Responden Guru

Parameter Indeks Kesiapsiagaan Per Parameter

Pengetahuan (K) 35%

Rencana Tanggap Darurat (EP) 77%

Sistem Peringatan Dini (WS) 56%

Mobilisasi Sumber Daya (RMC) 73%

Selanjutnya, indeks kesiapsiagaan non-struktural dinilai dengan persamaan berikut:

Total Indeks

= (10/39 x indeks K) + (17/39 x indeks EP) + (8/39 x WS indeks) + (4/39 x indeks RMC)

= (0.26 x indeks K) + (0.44 x indeks EP) + (0.2 x WS indeks) + (0.1 x

indeks RMC)

= (0.26 x 0.35) + (0.44 x 0.77) + (0.2 x 0.56) + (0.1 x 0.73)

= 0.61

Menggunakan Tabel 3 pada bagian 3.1.2, kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah Luar

Biasa Negeri 1 Badung, Bali berada dalam kategori kesiapsiagaan sedang (61%) dengan

perincian untuk setiap parameter sebagai berikut:

Pengetahuan Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang sedang (35%),

Rencana Tanggap Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (77%),

Peringatan Dini Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang sedang (56%), dan

Mobilisasi Sumber Daya memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (73%).

72

Selanjutnya, nilai total indeks kesiapsiagaan bencana adalah total kombinasi dari indeks

kesiapsiagaan struktural dan nilai indeks kesiapsiagaan non-struktural yang dihitung

dengan persamaan berikut:

Indeks

Total

= (43/82 x indeks kesiapsiagaan struktural) + (39/82 x indeks

kesiapsiagaan non-struktural)

= (0,52 x indeks kesiapsiagaan struktural) + (0,48 x indeks

kesiapsiagaan non-struktural)

= (0,52 x 0,69) + (0,48 x 0,61) = 0,65

Dari perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa indeks kesiapsiagaan Sekolah Luar

Biasa Negeri 1 Badung, Bali adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Indeks Kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali

Parameter Nilai dan Kategori

Struktural 69% - Tinggi

Non-Struktural 61% - Sedang

Total 65% - Sedang

3.2 Pembahasan

3.2.1 Kesiapsiagaan Struktural. Hasil kesiapsiagaan struktural sekolah: Berdasarkan perhitungan pada poin 3.1.1, yaitu penilaian struktural kesiapsiagaan sekolah berdasarkan

parameter: struktur bangunan; arsitektur; perabot sekolah; dan peralatan pendukung,

menggunakan sekolah formula kesiapsiagaan indeks kesiapsiagaan bencana LIPI 2013.

Jadi, hasil berikut diperoleh:

Indeks Struktural (S) dengan nilai persentase 74% termasuk dalam kategori

tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi dan

tsunami..

Indeks Arsitektur (A) dengan nilai persentase 70% termasuk dalam kategori

tinggi dalam kesiapsiagaan bencana di sekolah yang menghadapi bencana

gempa bumi dan tsunami.

Furniture dan Content Index (Pi) dengan persentase 67% termasuk dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi

bencana gempa bumi dan tsunami.

Indeks Peralatan Pendukung (Pp) dengan nilai persentase 67% termasuk dalam

kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi

bencana gempa bumi dan tsunami.

3.2.2 Kesiapsiagaan Non-Struktural. Berdasarkan perhitungan pada poin 4.1.2, yaitu

penilaian kesiapsiagaan sekolah secara non-struktural berdasarkan parameter: a)

73

pengetahuan bencana; b) merencanakan kegiatan bencana; c) peringatan bencana; dan d)

mobilisasi sumber daya, menggunakan panduan sekolah aman bencana LIPI 2013. Jadi,

diperoleh hasil sebagai berikut:

Indeks Pengetahuan (K) dengan nilai persentase 35% termasuk dalam kategori

sedang di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi gempa

bumi dan tsunami.

Indeks Rencana Tanggap Darurat (EP) dengan nilai persentase 77% termasuk dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah siaga bencana yang menghadapi

gempa bumi dan tsunami.

Indeks Sistem Peringatan Bencana (WS) dengan nilai persentase 56% termasuk

dalam kategori sedang di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang

menghadapi gempa bumi dan tsunami.

Indeks Mobilisasi Sumberdaya (RMC) dengan nilai persentase 73% termasuk

dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang

menghadapi gempa bumi dan tsunami.

Dari hasil dua jenis indeksi kesiapsiagaan, yaitu struktural dan non-struktural, indeks

kesiapsiagaan sekolah kesiapsiagaan bencana dapat dilihat sebagai total kombinasi dari

keduanya. Kemudian, hasil indeks kesiapsiagaan sekolah diperoleh sebagai berikut:

Indeks Kesiapsiagaan Sekolah Struktural dengan nilai persentase 69% termasuk dalam

kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi gempa bumi

dan tsunami. Sementara itu, indeks Kesiapsiagaan Sekolah Non Struktural dengan nilai

persentase 61% termasuk dalam kategori sedang di sekolah siaga bencana yang

menghadapi gempa bumi dan tsunami. Dua nilai persentase diproses sebagai berikut:

Indeks Kesiapsiaagan Sekolah = 0.52 IKSS + 0.48 IKSNS

= (0.52 x 0.69) + (0.48 x 0.61)

= 0.65

Jadi, nilai indeks kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali dalam

menghadapi gempa dan tsunami adalah 65% yang termasuk dalam kategori kesiapsiagaan sedang.

3.2.3 Rekomendasi. Berdasarkan perhitungan data di atas, rekomendasi yang diberikan

oleh peneliti terkait dengan peningkatan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung dalam

menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah sebagai berikut:

Meningkatkan pengetahuan dan sikap, termasuk kemampuan untuk

menjelaskan dan menyebutkan jenis, sumber, penyeba, dan jenis bencana yang

ditimbulkan pasca gempa bumi, kerentanan lingkungan dan bangunan fisik

sekolah, serta memotivasi komunitas sekolah untuk mengantisipasi

kemungkinan bencana alam.

Mempertahankan penerapan rencana tanggap darurat, termasuk ketersediaan

prosedur tetap sekolah untuk keadaan darurat bencana, ketersediaan dokumen

74

cadangan dan akses ke fasilitas publik yang penting dan peningkatan simulasi

dan latihan untuk siswa, guru dan warga sekolah di sekitarnya. menghadapi

bencana gempa dan tsunami.

Meningkatkan sistem peringatan bencana termasuk akses ke informasi

peringatan bencana tradisional dan lokal, TEWS (Sistem Peringatan Dini

Tsunami), ketersediaan prosedur untuk mendistribusikan informasi peringatan

bencana.

Memelihara mobilisasi sumber daya termasuk ketersediaan tim khusus dalam menangani kondisi tanggap darurat, ketersediaan prosedur tetap dalam satu

perintah sehingga gerakan penyelamatan para korban lebih cepat dan lebih

efektif, meningkatkan kualitas dan keterampilan guru dalam kesiapsiagaan

tanggap darurat dan pengelolaan.

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil data, prioritas rekomendasi dalam penelitian ini adalah untuk

meningkatkan kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung.

Terutama terkait dengan pengetahuan dan sikap termasuk kemampuan untuk menjelaskan

dan menyebutkan jenis, sumber, penyebab, dan jenis bencana yang ditimbulkan pasca

gempa bumi, kerentanan lingkungan dan bangunan fisik sekolah, dan memotivasi komunitas sekolah untuk mengantisipasi kemungkinan bencana alam. Selain itu,

rekomendasinya adalah untuk meningkatkan sistem peringatan bencana termasuk akses ke

informasi peringatan bencana tradisional dan lokal, TEWS (Sistem Peringatan Dini

Tsunami), dan ketersediaan prosedur untuk mendistribusikan informasi peringatan

bencana.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk melibatkan anggota komunitas

sekolah lainnya seperti: kepala sekolah dan siswa, sehingga penilaian kesiapsiagaan

sekolah sesuai dengan Buku Panduan Penerapan Sekolah Siaga Bencana yang dikeluarkan

oleh LIPI dapat sepenuhnya dilaksanakan.

Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didukung oleh Program Studi Manajemen Bencana, Universitas Pertahanan

Indonesia melalui Program KKDN 2019. Terima kasih untuk semua staf Pemerintah

Provinsi Bali, serta para guru Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.

Referensi

[1] Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan

Bencana Republik Indonesia. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan

Risiko Bencana 2006-2009

[2] Koswara Asep and Triyono. 2011. Panduan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Siaga Bencana. Jakarta (ID): LIPI Press.

[3] Koswara Asep and Triyono. 2011. Panduan Monitoring dan Evaluasi Sekolah

75

Siaga Bencana. Jakarta (ID): LIPI Press.

[4] Kementrian Pendidikan Indonesia. Data Sekolah Indonesia.

[5] Yunus and Hadi, Sabari. 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer.

Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

[6] Baskara Bayu, Sukarasa I Ketut, Septiadhi Ardhianto. 2017. Pemetaan Bahaya Gempa Bumi dan Potensi Alam di Bali Berdasarkan Nilai Seismisitas. Jurnal

Buletin Fisika. 18 - 1.

[7] Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan

R&D. Bandung (ID): Alfabeta.

[8] Triyono, Ranthie Bariel Putri, Asep Koswara, dan Vishnu Aditya. 2013. Panduan

Penerapan Sekolah Siaga Bencana. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Geoteknologi

LIPI.

[9] Gay, L. R. dan Diehl, P.L. 1992. Metode Penelitian Bisnis.

76

Penerbit

Universitas Pertahanan

Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia

16810

081380920299

Website: www.idu.ac.id

Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

memiliki daya tarik wisatawan yang sangat tinggi dan menjadi sumber devisa bagi negara. Selain itu provinsi Bali juga memiliki potensi ancaman bencana

yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian. Seluruh upaya manajemen

bencana di Provinsi Bali perlu didukung oleh berbagai unsur, mulai dari pemerintah, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas, media, hingga

masyarakat adat yang sangat kooperatif. Selain unsure-unsur terlibat, kebijakan

pemerintah turut andil dalam mengelola sumber daya daerah untuk memitigasi

ancaman bencana, hingga pada akhirnya dapat mendukung Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman non militer yaitu bencana.

Upaya penanggulangan bencana dilakukan dengan penyusunan kebijakan dan koordinasi kebencanaan kepada unsur pemerintah, dunia usaha,

akademisi, komunitas, dan masyarakat. Semua unsur tersebut sangat kooperatif

dalam usaha bersama menanggulangi bencana yang dibantu oleh komunitas media yang peduli terhadap bidang kebencanaan serta membantu diseminasi

informasi kebencanaan di Provinsi Bali menjadi efektif dan efisien untuk

diakses oleh masyarakat luas. Kebijakan pemerintah yang baik dalam

penanggulangan bencana ini menjadikan masyarakat Bali terbentuk menjadi masyarakat yang paham akan bencana dan harapannya menjadi tangguh dalam

menghadapi potensi bencana yang mengancam di wilayah Provinsi Bali.