buku pedoman nilai humanis universitas ngudi...

35
Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo | 1 | BUKU PEDOMAN NILAI HUMANIS UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

Upload: phamdang

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 1 |

BUKU PEDOMAN NILAI HUMANIS

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

| 2 |

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya buku panduan

Nilai Humanis Universitas Ngudi Waluyo Ungaran dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Buku panduan ini merupakan turunan dari Rencana Strategis Universitas Ngudi Waluyo, Panduan

Nilai Humnais ini bersifat umum dan komprehensif untuk mahasiswa, seluruh dosen dan tenaga

kependidikan serta semua masyarakat Universitas Ngudi Waluyo . Isi dari buku ini meliputi

bagaimana masyarakat UNW dalam berperilaku di Lingkungan UNW dan masyarakat. Buku

Panduan nilai humanis ini diharapkan dapat memberikan panduan dalam bermasyarakat di

Universitas Ngudi Waluyo.

Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada tim penyusun Buku Panduan Nilai

Humanis Universitas Ngudi Waluyo, semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan

hidayah dalam pengabdian di almamater ini.

Semarang, Maret 2017

Rektor

Universitas Ngudi Waluyo

Prof. Dr. Subyantoro, M.Hum

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 3 |

DAFTAR ISI

Hal Kata Pengantar 2 Daftar Isi 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 4 B. Tujuan

C. Sasaran D. Indikator Keberhasilan E. Capaian Kualitas F. Capaian Kuantitas

6 7 8 8 9

BAB II FILOSOFI, NILAI, DAN LANDASAN IMPLEMENTASI HUMANIS

A. Filosofi Humanis B. Nilai Humanis

BAB III NILAI HUMANISTIK UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

A. Kepedulian B. Kepekaan C. Kebersamaan D. Kejujuran E. Keteladanan F. Kecendekiawanan

12

12 17 23

23 35 42 45 57 65

BAB IV STRATEGI IMPLEMENTASI DAN

SANKSI PELANGGARAN NILAI-NILAI

HUMANIS

A. Strategi Iplementasi Nilai-Nilai Humanis

74

| 4 |

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyebutkan bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka men- cerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.

Pendidikan karakter tidak saja merupakan tuntutan undang-undang dan peraturan

pemerintah, tetapi juga oleh agama. Setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak pada

pemeluknya. Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajarannya yang

memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya, yaitu aqidah

dan syariah. Nabi Muhammad Saw., dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa

kehadirannya di muka bumi ini mem- bawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia

yang mulia. Akhlak karimah merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam

melalui nash al-Quran dan Hadis.

Dalam realitas kehidupan menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan

semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh

kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20

persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di

dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill.

Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau

sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih

mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat

mata namun, tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin,

keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Soft skill sangat

berkaitan dengan karakter seseorang (Akbar 200).

Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan

intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal.

Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya

kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi

moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang

sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi

pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan

kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Tonggak sejarah Universitas Ngudi Waluyo (UNW) sebagai universitas berbudaya sehat

dan bereputasi (bertaraf) internasional pada tahun 2040. Kebijakan UNW sebagai universitas

berbudaya sehat dikarenakan UNW berawal dari Perguruan Tinggi Swasta di bidang kesehatan,

sehingga budaya akademik di bidang kesehatan sudah melekat pada program studi yang ada di

UNW. Kurikulum yang ada di UNW sudah jelas sekali kurikulum yang mendukung Universitas

yang berbudaya sehat, Sebagai konsekuensi logisnya, berbudaya sehat harus mewarnai

kehidupan warga kampus dan memayungi segala program kegiatan Tridharma perguruan tinggi

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 5 |

beserta budaya akademik- nya. Bersamaan dengan nilai budaya sehat, penguatan pada aspek

sikap dan perilaku segenap warga UNW serta lingkungan di sekitarnya menjadi program

berbudaya sehat, termasuk di dalamnya etika sosial. Berkenaan dengan hal tersebut Universitas

Ngudi Waluyo menjadi Universitas terdepan untuk mendukung tanggung jawab tersebut. Betapa

tidak, bidang keilmuan yang dikembangkan oleh UNW memang terkait dengan bidang

berbudaya sehat.

B. Tujuan

Pendidikan humanis bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil

pendidikan di UNW yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia

mahasiswa secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui

pendidikan humanis diharapkan mahasiswa mampu secara mandiri meningkatkan dan meng-

gunakan pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai

karakter humanis sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan humanis pada tingkatan lembaga universitas mengarah pada pembentukan

budaya universitas, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan

simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga universitas, dan masyarakat sekitar

universitas. Budaya universitas merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra universitas

tersebut di mata masyarakat luas.

C. Sasaran

Sasaran pendidikan humanis adalah seluruh sivitas akademi UNW. Semua warga UNW,

meliputi para mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan universitas menjadi

sasaran program ini.

Melalui program ini diharapkan lulusan UNW memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu,

berbudaya sehat sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya

Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan humanis nantinya diharapkan menjadi

budaya UNW.

D. Indikator Keberhasilan

BUDAYA HUMANISTIK sebagai simbol subjek yang bertindak atau sebagai objek yang

tengah dikaji. Seluruh aktivitas dan gerakan humanistik berada dalam skenario (bingkai) UNW

sebagai universitas berbudaya sehat dan bereputasi internasional. Dari titik pusat kemudian

membentang garis vertikal yang menggambarkan tingkat kualitas capaian, yaitu Selaras, Serasi,

Seimbang pada lingkaran puncak. Dari titik pusat konsentris juga membentang garis horizontal

yang membelah menjadi empat wilayah, yang sekaligus berfungsi sebagai pilar penyangga ketiga

capaian vertikal. Bentangan horizontal tersebut menggambar tataran kuantitas, yaitu cara

pandang, tradisi (adat), nilai budaya, dan perilaku berbudaya. Analognya adalah keempat faktor

atau aspek tersebut merupakan wahana untuk menggapai capaian kualitas nilai budaya

humanistik, yaitu selaras, serasi, dan seimbang.

| 6 |

E. Capaian Kualitas

Selaras adalah keadaan yang menggambarkan suasana yang tertib, teratur, aman dan

damai, meski kadang ada pertentangan, tetapi tidak menggoyahkan ketenteraman lahir batin.

Ibarat busur anak panah (Jw: laras), semakin direntang semakin kuat dan kencang ikatannya.

Biasanya terefleksi dalam perilaku, artinya semakin banyak perbedaan semakin kuat ikatan

untuk bersatu. Serasi merupakan keadaan yang melukiskan kesesuaian antara unsur atau

aspek yang berbeda dalam suatu interaksi sosial sehingga menimbulkan kesatuan yang utuh,

di sini etika-moral berperan sangat penting sebagai mediasi. Seimbang adalah keadaan yang

menggambarkan suatu interaksi sosial yang sepantasnya, sepatutnya dalam melaksanakan

hak dan kewajiban. Seimbang menyangkut soal tata nilai yang menjadi kesepakatan bersama

atas dasar kepatutan dan norma tertentu yang diikuti.

Dengan nilai budaya humanistik selaras, serasi, dan seimbang dimaksudkan agar di

dalam kehidupan masyarakat (pergaulan sosial antarwarga UNW), tumbuh dan berkembang

perilaku yang baik, sikap sopan berdasarkan tata tertib pergaulan yang penuh rasa tanggung

jawab. Dengan demikian, diharapkan (1) dapat menumbuhkan sikap saling menghargai dan

saling menghormati antarsesama warga UNW (memegang prinsip Hormat: wedi, isin,

sungkan),1 (2) tidak menempatkan pribadi atau individu secara berlebihan dan menganggap

orang lain lebih rendah, (3) tidak pamer kekayaan, kekuasaan, kepintaran secara berlebihan,

(4) saling tolong menolong dan saling mengunjungi (silahturrohim) pada saat gembira

maupun berduka, (5) keserasian hidup dengan masyarakat atau sesama di sekitar UNW perlu

dipupuk dan dipelihara terus (berdasarkan prinsip Rukun: kesatuan tanpa ketegangan,

harmonis sosial, tolerani, dan pengendalian diri).

F. Capaian Kuantitas

Dalam memahami dan mengembangkan nilai budaya humanistik sangat dipengaruhi

dan atau bergantung pada empat faktor/wilayah, yaitu cara pandang, tradisi yang berlaku, nilai

budaya yang melatarbelakangi, dan perilaku budaya seseorang atau kelompok orang.

Keberhasilan program pendidikan humanis dapat diketahui, terutama melalui

pencapaian butir-butir berikut oleh civitas akademika UNW

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangannya.

2. Memahami kekurangan, kelebihan diri sendiri, dan menunjukkan sikap percaya diri.

3. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan dan memanfaatkan

lingkungan secara bertanggung jawab.

4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam

lingkup nasional.

5. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara

logis, kritis, dan kreatif.

1Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai reaksi terhadap akibat kurang enak suatu tindakan.

Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah–maka penting belajar ngerti isin. Sungkan adalah malu dalam arti

lebih positif, rasa hormat yang sopan kepada atasan/orang belum dikenal, pengekangan halus terhadap pribadi sendiri (lihat Geertz

1961).

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 7 |

6. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, dan kemampuan belajar

secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

7. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

8. Menghargai tugas pekerjaan, karya seni, budaya nasional, dan memiliki kemampuan untuk

berkarya.

9. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik

di kampus maupun di masyarakat.

10. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, santun, dan menghargai perbedaan

pendapat.

11. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di kampus dan

masyarakat.

Pada tataran universitas, kriteria pencapaian pendidikan humanis adalah terbentuknya

budaya universitas, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang

dipraktikkan oleh semua warga universitas dan masyarakat sekitar universitas harus

berlandaskan nilai-nilai tersebut.

| 8 |

BAB II

FILOSOFI, NILAI, DAN LANDASAN IMPLEMENTASI HUMANIS

A. Filosofi Humanis

Humanistik dapat dimaknai sebagai prinsip sikap dan tindakan menghormati nilai-nilai

kemanusiaan. Humanistik secara umum berarti sikap yang secara prinsip menghormati setiap

orang dalam keutuhannya sebagai manusia, dalam martabatnya sebagai makhluk yang bebas,

yang berhak menentukan sendiri arah kehidupan serta keyakinannya (Suseno 1994). Untuk itu

menghargai keberadaan manusia merupakan upaya menjadikan manusia sebagai manusia

sesungguhnya, yang memiliki sifat, perilaku maupun nilai-nilai kehidupan. Berdasarkan

kebudayaan sebagai kebutuhan yang bias dipelajari manusia dalam kehidupannya, maka nilai-

nilai humanistik bisa juga dipelajari, bahkan perlu dibiasakan dalam kehidupan kampus agar

berkembang menjadi budaya-budaya humanistik.

Budaya humanistik dapat dimengerti sebagai pikiran, tindakan dan atau kebiasaan orang

yang memperjuangkan pergaulan berdasarkan asas perikemanusiaan agar terwujud pergaulan

hidup yang lebih baik berdasarkan asas peri- kemanusaan. Tindakan menghargai, bermakna

memanusiakan manusia, dan menumbuhkan rasa perikemanusiaan ini disebut dengan

humanisasi atau proses pembudayaan humanistik. Penghormatan kepada orang lain dalam

identitasnya, dalam keyakinannya, kepercayaannya, cita-citanya, ketakutannya, dan

kebutuhannya sering disebut humanisme. Definisi humanisme menurut Merriam Webster

Dictionary adalah sebuah doktrin, sikap, atau cara hidup yang berpusat pada kepentingan (nilai-

nilai) manusia terutama filsafat yang biasanya menolak supernaturalisme dan lebih menekankan

martabat individu, nilai serta kapasitasnya untuk merealisasi diri melalui akal (Cherry 2004).

Pribadi yang humanistik dapat digambarkan sebagai pribadi yang memiliki sikap tahu

diri, bijaksana, menyadari keterbatasannya, sehingga sering mengambil sikap yang wajar,

terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan (Suseno 2001). Bersikap positif terhadap sesama,

tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-

lain. Pribadi humanistik adalah antikepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak,

tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu

menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampu melihat

yang positif di balik perbedaan. Dalam suatu lembaga yang humanistik memiliki kerangka hukum

atau aturan serta konstitusional yang inklusif (norma), yang tidak berdasarkan pada pandangan

satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua golongan atau

kelompok sebagai anggota lembaga sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam

identitas dan kekhasan masing-masing.

Kini, bergantung kepada pribadi setiap manusia (baca: kita) yang memiliki pilihan,

apakah akan memelihara atau merusak alam, apakah akan bersikap baik atau tidak baik, apakah

akan berperilaku sopan atau norak, apakah selalu mengutamakan persahabatan atau

permusuhan, dan sebagainya.

Landasan empirik terdiri atas: (1) Logis yakni cara pandang berdasarkan penalaran, akal

budi; (2) Realistis artinya sesuai kenyataan yang berfungsi sebagai wilayah pandang; (3) Etis

artinya selalu menjunjung tinggi moralitas, kejujuran, kesetaraan; dan (4) Estetis (keindahan)

yakni memahami indahnya perbedaan sehingga mampu melahirkan sikap toleran dan cinta kasih

terhadap sesama makhluk Tuhan.

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 9 |

Landasan empirik mencakup wilayah logis, realistis, etis, dan estetis atas produk/ hasil

kebudayaan manusia. Logis dalam pengertian dapat diterima akal budi, masuk nalar –

berpikir, dan bertindak dengan ungkapan bahasa yang sesuai dengan realitas (faktual) yang

dapat dipahami dan dimaknai dengan argumen yang benar. Dengan demikian, ada saling

ketergantungan antara apa yang dipikirkan, dilakukan, kemasan pikiran (bahasa sebagai

sistem tanda), dan kenyataan yang bias dipahami dengan akal sehat. Potensi logis hanya

mungkin bisa dimiliki bila dilandasi oleh penalaran yang berkarakter. Artinya penalaran yang

didasari oleh sifat pribadi yang relatif stabil (bernilai khas) pada diri seseorang.

Realistis artinya bersifat nyata, wajar, layak. Seseorang disebut realistis bila ia berpikir

dan bersikap secara nyata. Artinya berpijak pada sesuatu yang sudah, sedang, akan pasti

terjadi dalam kenyataan hidup ini. Pada umumnya, orang menganggap yang realistis adalah

mereka yang memiliki pola pikir seperti kebanyakan orang lainnya. Bila pola pikir seseorang

tidak sama dengan rata-rata kebanyakan orang, maka biasanya dianggap kurang atau tidak

realistis. Itulah cara pandang kebanyakan orang dalam menilai dan mengukur tingkat

realistisnya. Sungguh pun disadari, bahwa cara pandang kebanyakan orang tersebut belum

tentu benar sepenuhnya karena manusia pada dasarnya tidak sanggup menguasai dunia

sehingga cara pandang manusia selalu bersifat parsial, terkotak-kotak, terbatas. Berpikir,

bersikap, dan bertindak realistis adalah sangat krusial karena mencerminkan kemampuan

dalam mengenali kenyataan dan menghormati kebenaran. Demikian pula UNW dalam

pengembangan nilai budaya humanistik harus berlandaskan cara pandang yang realistis.

Etika dan moral merupakan teori yang membahas tentang baik-buruk perilaku

manusia yang masih dapat dijangkau oleh akal maupun kepatutan situasional. Etika

mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak, sedangkan moral mempersoalkan

bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik

dan buruk suatu hal dan berlaku umum. Moral adalah suatu gagasan tentang perilaku manusia

(baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika adalah mencari

ukuran tentang penilaian perilaku perbuatan manusia. Maksud dan tujuan perilaku etis ini

tidak hanya untuk memastikan bahwa suatu lembaga maupun warga di lembaga (UNW) itu

telah mematuhi semua peraturan kelembagaan dan perundang- undangan yang terkait, tetapi

juga memberikan panduan kepada lembaga dan orang-orang di dalam lembaga dalam

melakukan interaksi berdasarkan nilai-nilai moral yang merupakan bagian dari budaya

berorganisasi. Oleh karena itu, untuk menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis dan

komunikatif, diperlukan suatu pedoman tentang perilaku etis (Code of Conduct) yang memuat

nilai-nilai etika kelembagaan. Nilai-nilai yang dianut oleh lembaga harus mendukung visi, misi,

tujuan, dan strategi lembaga, serta harus diterapkan terlebih dahulu oleh jajaran pimpinan

lembaga, untuk selanjutnya menular dan meresap ke dalam warga yang ada di lembaga

(UNW). Sebab, setiap orang yang berkomunikasi hampir dapat dipastikan merupakan

komunikasi antarbudaya. Setiap ada dua orang atau lebih yang berkomunikasi selalu memiliki

perbedaan budaya, meskipun hanya dalam derajat yang sangat kecil (Mulayan & Rakhmat

1996:vi). Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert Spencer dan

John Dewey dalam hal komunikasi memandang, bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai etis

atau tidak etis berdasarkan seberapa besar tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan

alamiah, seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat. Dengan demikian, perilaku

etis akan senantiasa menjunjung moralitas, kejujuran, dan kesetaraan.

Estetis dapat dipahami sebagai rasa keindahan yang berkaitan dengan kejiwaan. Lalu

bagaimana yang dapat disebut indah atau estetis? Suatu estetis akan muncul ketika suatu

| 10 |

pengalaman (seperti melihat, menghayati, mengkreasi suatu karya) dapat diulang untuk

menghasilkan kesan yang menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang

mampu menimbulkan efek terharu dan terpesona, maka pengalaman itu telah menjadi sebuah

pengalaman estetis (Djelantik 1999:2). Demikian pula pada benda atau karya seni yang lain

dapat dikatakan indah atau estetis bila mampu menimbulkan pengalaman estetis. Pengalaman

estetis seperti itulah yang dimaksudkan ‘estetis’ dalam pengembangan nilai budaya

humanistik ini. Dengan kata lain, bahwa estetis dimaknai sebagai kesadaran akan daya pesona

dan rasa haru kepada indahnya perbedaan dan setiap perbedaan cenderung merupakan wujud

keragaman yang sekaligus memiliki potensi kekuatan, keunikan, kekhasan yang mampu

memberikan daya hidup dan dinamika demi mewujudkan indahnya humanistik. Kesadaran

akan perbedaan menjadi sangat mendesak ketika lembaga UNW dihuni oleh warga yang

heterogen, yakni berbeda-beda latar belakang budaya, berbagai bidang kompetensi dan

keahliannya, serta berbeda tingkat berpikirnya. Dengan kesadaran pesona dan keharuan

tentang indahnya perbedaan akan terbangun suatu relasi sosial yang kondusif dan harmonis.

Singkatnya, estetis dimaknai indahnya perbedaan demi kerukunan dan keutuhan. Pikiran,

sikap, dan tindakan macam apa yang dipertunjukkan hendaknya dapat memberi kebahagian,

kesenangan, dan bermakna bagi yang melihatnya, bisa memberi pengalaman baru dan

kesadaran rohani (transendental), baik secara individual maupun kelompok manusia (dalam

hal ini warga dan lembaga UNW).

B. Nilai Humanis

Nilai-nilai humanistik universal, yang mendapatkan pengakuan dunia oleh PBB pada

10 Desember 1948 tertuang dalam naskah Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia (The Universal

Declaration Of Human Right) disebut sebagai “living values” yang terdiri atas: (1) kedamaian

(peace), (2) penghargaan (respect), (3) tanggung jawab (responsibility), (4) kebahagiaan

(happiness), (5) kebebasan (freedom), (6) tolerani (tolerance), (7) kerja sama (cooperation), (8)

cinta kasih (love), (9) kesederhanaan (simplicity), (10) persatuan (unity), dan (11) kerendahan

hati (humility).

Dalam pandangan Islam pendidikan memuat lima aspek keselamatan, yakni (1)

keselamatan fisik siswa dari tindakan badani (kekerasan) di luar ketentuan sehingga

pendidikan memperhatikan pentingnya kesegaran jasmani, (2) keselamatan keyakinan yang

dilakukan dengan penanaman pengetahuan akidah yang murni dan benar (keilmuan yang

akuntabel), (3) keselamatan kelompok artinya bahwa pendidikan harus memberikan wawasan

kepada siswa tentang arti penting kebersamaan, kerukunan, dan kerjasama, (4) keselamatan

hak milik, bahwa pendidikan harus memperhatikan hak dan kewajiban baik guru maupun

siswa, (5) keselamatan akal yang berarti bahwa pendidikan sangat menghargai dan memper-

hatikan profesionalitas seseorang. Oleh karena itu, dalam pendidikan perlu memperhatikan

fenomena historis-empirik yang majemuk bangsa Indonesia. Sebab, keutuhan suatu bangsa ini

hanya dapat terwujud manakala ada proses pendidikan yang mampu melahirkan wawasan

yang inklusif-pluralis tanpa melihat latar belakang agama, budaya, etnis, golongan, dan ras.

Pendidikan perlu memberikan corak yang mampu menghargai perbedaan keyakinan, tidak

membatasi atau melarang kerja sama antara sesama umat, terutama dalam hal-hal yang

menyangkut kepentingan umat manusia. Urgensi dari wawasan maupun proses pembelajaran

yang mendorong kerjasama para siswa tersebut, tentu dapat diwujudkan dalam praktik

kehidupan. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti

adagium Islam yang menyatakan; ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 11 |

terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (mā lā yatimmu al-wājib illā bihi

fahuwa wājibun)”

Berdasarkan beberapa konsep di atas, adaptasi nilai-nilai humanis yang dapat dijadilan

indikator karakter humanis dipaparkan pada bagian berikut.

NO. INDIKATOR NILAI UNSUR NILAI DESKRIPSI 1 Religius Iman dan taqwa Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2 Pengetahuan dan Keterampilan

Berwawasan luas, cerdas, mandiri, terampil, kreatif

Sikap dan perilaku suka berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki dan tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

3 Kearifan Kebajikan, kebebasan yang bertanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

4 Keteguhan (Komitmen)

Integritas, vitalitas Sikap dan perilaku yang mengingat dan melekat pada seseorang untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya.

5 Penegakan nilai kemanusiaan

Kasih sayang/cinta kasih, kepedulian/ tolong-menolong

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah ketidaknyamanan pada sesama dan selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

6 Keadilan Kemaslahatan, kesejahteraan

Sikap,perkataan, dan tindakan memperlakukan orang sesuai dengan upaya dan kemampuan yang telah dihasilkan.

7 Pengendalian diri Sederhana, saling menghargai, toleran, kerendahan hati

Sikap dan tindakan yang menggambarkan kemampuan mengaktualisasikan sesuatu secara efektif dan efisien; mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; dan tidak menonjolkan diri (tumaninah/ Istiqomah).

8 Keselamatan Badani, agama (aqidah), kelompok, hak milik, akal

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa aman dan nyaman atas kehadiran dirinya berkaitan dengan badani, aqidah, hak milik, maupun hasil peikiran.

9 Kedamaian Cinta damai, persatuan, kerja sama,

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

10 Kebenaran Ilmiah, religi, tanggung jawab

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menjunjung kebenaran ilmiah, religi, dan tanggung jawab.

| 12 |

Di Universitas Ngudi Waluyo nilai humanis yang dikembangkan adalah :

1. Kepedulian 2. Kepekaan 3. Kebersamaam 4. Kejujuran 5. Keteladanan 6. Kecendekiawanan

Nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh seluruh civitas akademica Universitas Ngudi Waluyo. Dengan

nilai humanis yang dikembangkan UNW agar menjadi masyarakat yang lebih baik.

Landasan empirik yang dapat dijadikan dasar atau acuan melakukan implementasi humanis

terdiri atas hal-hal berikut.

(1) Logis yakni cara pandang berdasarkan penalaran, akal budi;

(2) Realistis artinya sesuai kenyataan yang berfungsi sebagai wilayah pandang;

(3) Etis artinya selalu menjunjung tinggi moralitas, kejujuran, kesetaraan;

(4) Estetis yakni memahami indahnya perbedaan sehingga melahirkan sikap toleran dan cinta

terhadap sesama makhluk Tuhan.

Adapun prosedur pencapaian humanis dapat dilakukan melalui empat tahapan berikut ini.

(1) Di awali dari KARSA (greget, spirit) yaitu kehendak kuat dan semangat membara untuk

melakukan sesuatu (aktivitas apa pun) secara optimal dan profesional;

(2) CIPTA (keteguhan prinsip) artinya pemikiran tentang sesuatu agar “ada” dan menjadi nyata –

sebuah pemikiran yang diyakini mampu menumbuhkan percaya diri;

(3) RASA (fokus, menyatu, sawiji), yaitu keteguhan nurani sebagai self control (penyelarasan antara

konsentrasi dan kontemplasi);

(4) KARYA (produksi, tujuan), yaitu pelaksanaan apa yang telah dikehendaki, dipikirkan dan

dirasakan harus dilandasi oleh sikap disiplin dan pantang mundur (ora mingkuh), sabar dan

pasrah (bergeming) agar dapat mencapai tujuan, menghasilkan sesuatu.

Dasar pemikiran tersebut nampaknya dapat dijadikan pedoman bagi segala aktivitas manusia

dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan kampus seperti pekerjaan, pergaulan (interaksi

sosial), pemograman, pendidikan, dan pengabdian. Sebab, di dalam dasar pemikiran memuat nilai-

nilai yang diperlukan manusia dalam proses aktivitas yang dilakukan. Nilai adalah suatu keyakinan

mengenai cara bersikap, bertingkah laku untuk menggapai tujuan akhir yang diinginkan, dan

digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Uraian berikut ini mencakup penerapan

nilai humanistik yang tergambar pada bagan tersebut di atas.

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 13 |

BAB III

NILAI HUMANISTIK UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

A. KEPEDULIAN

1. Definisi Kepedulian

Kata peduli memiliki makna yang beragam. Banyak literatur yang

menggolongkannya berdasarkan orang yang peduli, orang yang dipedulikan dan

sebagainya. Oleh karena itu kepedulian menyangkut tugas, peran, dan hubungan.

Kata peduli juga berhubungan dengan pribadi, emosi dan kebutuhan (Tronto dalam

Phillips, 2007). Tronto (1993) mendefinisikan peduli sebagai pencapaian terhadap

sesuatu diluar dari dirinya sendiri. Peduli juga sering dihubungkan dengan

kehangatan, postif, penuh makna, dan hubungan (Phillips, 2007). Swanson (1991)

mendefinisikan kepedulian sebagai salah satu cara untuk memelihara hubungan

dengan orang lain, dimana orang lain merasakan komitmen dan tanggung jawab

pribadi. Noddings (2002) menyebutkan bahwa ketika kita peduli dengan orang lain,

maka kita akan merespon positif apa yang dibutuhkan oleh orang lain dan

mengeksresikannya menjadi sebuah tindakan. Menurut Bender (2003) kepedulian

adalah menjadikan diri kita terkait dengan orang lain dan apapun yang terjadi

terhadap orang tersebut. Orang yang mengutamakan kebutuhan dan perasaan orang

lain daripada kepentingannya sendiri adalah orang yang peduli. Orang yang peduli

tidak akan menyakiti perasaan orang lain. Mereka selalu berusaha untuk

menghargai, berbuat baik, dan membuat yang lain senang. Banyak nilai yang

merupakan bagian dari kepedulian, seperti kebaikan, dermawan, perhatian,

membantu, dan rasa kasihan. Kepedulian juga bukan merupakan hal yang dilakukan

karena mengharapkan sesuatu sebagai imbalan. May (dalam Leininger 1981)

mendefinisikan kepedulian sebagai perasaan yang menunjukkan sebuah hubungan

dimana kita mempersoalkan kehadiran orang lain, terdapat hubungan pengabdian

juga, bahkan mau menderita demi orang lain. Dedication, mattering, dan concern

menjadi elemen-elemen penting dalam kepedulian. Kepedulian bermula dari

perasaan, tetapi bukan berarti hanya sekedar perasaan. Kepedulian mendorong

perilaku muncul sebagai wujud dari perasaan tersebut. Ketika sesuatu terjadi maka

kita rela memberikan tenaga, agar yang baik dan positiflah yang terjadi pada orang

yang kita pedulikan. Kepedulian atau memperdulikan itu meminta perasaan berubah

| 14 |

ke dalam bentuk perilaku. Perilaku dan perasaan tersebut tentunya berdasarkan

pemikiran. Perasaan dari kepedulian tersebut bukanlah tanpa pemikiran, tapi justru

sebaliknya perasaan itu juga berdasarkan pertimbangan. Heidegger (dalam

Leininger 1981) mengatakan bahwa kepedulian merupakan “sumber dari

kehendak”. Menurut Heidigger, kehendak itulah yang mendorong kekuatan hidup

dan kepedulian adalah sumbernya.

Peduli merupakan fenomena dasar dari eksistensi manusia termasuk dirinya

sendiri, dengan kata lain jika kita tidak peduli, maka kita akan kehilangan

kepribadian kita, kemauan kita dan diri kita. Leininger (1981) menyimpulkan bahwa

kepedulian adalah perasaan yang ditujukan kepada orang lain, dan itulah yang

memotivasi dan memberikan kekuatan untuk bertindak atau beraksi, dan

mempengaruhi kehidupan secara konstruktif dan positif, dengan meningkatkan

kedekatan dan self actualization satu sama lain. Leininger (1981) mengusulkan ada

empat tahap dari kepedulian, attachment, assiduity, intimacy dan confirmation.

Masing-masing tahap dicapai dengan memenuhi tugas kebutuhan secara baik.

Kepedulian menjadi tidak berfungsi atau terhambat, apabila satu atau lebih

kebutuhan tidak tepenuhi. Menurut Boyatzis dan McKee (2005), kepedulian

merupakan wujud nyata dari empati dan perhatian. Ketika kita bersikap terbuka

kepada orang lain, maka kita dapat menghadapi masa-masa sulit dengan kreativitas

dan ketegaran. Empati mendorong kita untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

Empati akan muncul ketika kita memulai rasa ingin tahu kita terhadap orang lain dan

pengalaman pengalaman mereka. kemudian empati itu akan diwujudkan ke dalam

bentuk tindakan. Kepedulian didasarkan pada hasrat secara penuh untuk membina

ikatan dengan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun

bagaimanapun cara terbaik untuk memahami apa itu kepedulian adalah dengan cara

meihat bagaimana kepedulian tersebut dipraktikan.

Kepedulian juga dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang memiliki tiga

komponen, yaitu :

1. Pemahaman dan empati kepada perasaan dan pengalaman orang lain

2. Kesadaran kepada orang lain

3. Kemampuan untuk bertindak berdasarkan perasaan tersebut dengan perhatian

dan empati.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepedulian

merupakan cara memelihara hubungan dengan orang lain yang bemula dari

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 15 |

perasaan dan ditunjukkan dengan perbuatan seperti memperhatikan orang lain,

bebelas kasih, dan menolong. 2. Dimensi Kepedulian Menurut Swanson (2000).

lima dimensi penting dalam kepedulian.

a. Mengetahui Berusaha keras memahami kejadian-kejadian yang memiliki makna

dalam kehidupan orang lain. Pada aspek ini menghindari asumsi tentang

kejadian yang dialami orang lain sangat penting, berpusat pada kebutuhan orang

lain, melakukan penilaian yang mendalam, mencari isyarat verbal dan non

verbal, dan terlibat pada kedua isyarat tersebut.

b. Turut hadir secara emosi dengan menyampaikan ketersedian, berbagi

perasaan, dan memantau apakah orang lain terganggu atau tidak dengan emosi

yang diberikan.

c. Melakukan sesuatu bagi orang lain, seperti melakukannya untuk diri sendiri,

apabila memungkinkan, seperti menghibur, melindungi, dan mendahulukan,

seperti melakukan tugas-tugas dengan penuh keahlian dan kemampuan saat

mempertahankan martabat.

d. Memungkinkan, memfasilitasi perjalanan hidup dan kejadian yang tidak biasa

yang dimiliki oleh orang lain dengan memberikan informasi, memberikan

penjelasan, memberikan dukungan, fokus pada perhatian yang sesuai, dan

memberikan alternatif.

e. Mempertahankan keyakinan Mendukung keyakinan orang lain akan

kemampuannya menjalani kejadian atau masa transisi dalam hidupnya dan

menghadapi masa yang akan datang dengan penuh makna. Tujuan tersebut

untuk memungkinkan orang lain dapat memaknai dan memelihara sikap yang

penuh harapan.

2. Tujuan Kepedulian Menurut Leininger (1981) adapun maksud dari kepedulian dapat

ditunjukkan dengan melihat tujuan dari kepedulian tersebut.

a. Memudahkan pencapaian self actualization satu sama lain. Mencapai potensial

secara maksimal merupakan tujuan yang paling penting dalam kehidupan.

Beberapa diantara kita terus berusaha mencapai prestasi yang ingin dicapai.

Prestasi berarti mengembangkan kemampuan, kemampuan untuk mengetahui

dan mengalami secara penuh human being, kemampuan untuk bersabar,

melakukan kebaikan, terharu, kasih, dan kepercayaan, dan kemampuan untuk

melatih kemampuan fisik yang tersembunyi, wawasan, imajinasi dan kreatifitas.

Pada intinya, prestasi merupakan kemampuan untuk memenuhi ambisi, tujuan,

| 16 |

dan impian, sehingga mendapat kepuasaan terhadap hidup dan kemajuannya,

dan akhirnya menjadi manusia yang berpotensial penuh.

b. Memperbaiki perhatian seseorang dan kondisi, pengalaman kemudian untuk

melanjutkan hubungan dengan kepedulian, serta mengekspresikan perasaan

mengenai hubungan ( Leininger, 1981

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepedulian

a. Budaya mempengaruhi bagaimana kepedulian tersebut diekspresikan dan

diwujudkan ke dalam tindakan. Budaya mengendalikan bagaimana aksi atau

tindakan tersebut diwujudkan. Penerimaan sosial da

b. Nilai yang dianut oleh individu berpengaruh terhadap proses pengambilan

keputusan bagi seseorang, seperti bagaimana menentukan prioritas, mengatur

keuangan, waktu dan tenaga. Motivasi, maksud dan tujuan juga bergantung pada

nilai yang dianut.

c. Faktor selanjutnya merupakan harga. Harga apa yang kita dapatkan ketika kita

bersedia untuk memberikan waktu, tenaga, bahkan uang, harus sesuai dengan

nilai dari hubungan kita dengan orang lain. Kepedulian yang sungguh-sungguh

tidak akan membuat waktu, uang, dan tenaga yang bersedia kita berikan menjadi

sia-sia atau tidak bijaksana. Untuk mencapai suatu tujuan yang sangat penting

(misalnya demi keselamatan nyawa), orangyang peduli mungkin akan melukai

dirinya sendiri. Tetapi jika mengarah kepada hal yang membahayakan tentu saja

bukan termasuk wujud dari kepedulian.

d. Faktor berikutnya adalah keeksklusifan. Pada sebuah hubungan, hal ini bisa saja

dialami. Jika hal ini terus terjadi, maka faktor ini akan memberikan pengaruh

yang negatif dan oleh karena itu bukan lagi merupakan wujud dari kepedulian.

Hubungan lain terlihat sebagai kebutuhan untuk kondisi manusia seperti untuk

bertumbuh, stimulasi, memperdulikan, tetapi bagi hubungan yang eksklusif, hal

ini tidak akan diberikan.

e. Level kematangan dari keprihatinan seseorang dalam sebuah hubungan

kepedulian dapat berpengaruh terhadap kualitas dan tipe hubungan kepedulian

tersebut. Hubungan kepedulian membutuhkan kesatuan dari kepedulian yang

dilengkapi dengan keintegritasan dari kepribadian itu.

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 17 |

4. Prinsip- prinsip kepedulian yang perlu di praktekkan dalam kehidupan nyata

:

a. Peduli berarti memberi perhatian kepada hal kecil yang mengakibatkan dampak besar

(dan bukan memberikan perhatian kepada hal besar tetapi memberikan dampak kecil).

b. Peduli berarti berkomunikasi dengan orang yang disayangi meskipun dialog yang

dilakukan sepertinya tidak berja lan dengan baik.

c. Peduli berarti mengerti situasi orang yang disayangi meskipun situasinya membuat

kita tidak nyaman.

d. Peduli berarti melakukan tindakan dengan segera pada kesempatan pertama dan

bukan sekedar berkotbah beiaka . ( nato = no action talk only )

e. Peduli berarti memberi kenyamanan terhadap orang yang disayangi bahkan pada

saat-saat yang paling sulit sekali

f. Peduli berarti panjang kasih dan sabar serta memberikan bimbingan kepada orang

yang disayangi untuk menemukan dan mencapai tujuann

g. Peduli berarti berbagi bahkan untuk hal-hal yang paling berharga sekalipun sesuai

kebutuhan orang yang disayang

h. Peduli berarti komitmen jangka panjang bahkan ketika orang yang disayangi sudah

tidak ada

i. Peduli berarti memaafkan bahkan untuk hal yang paling menyakitkan sekalipun demi

tujuan yang lebih besar lagi

j. Peduli berarti percaya terhadap orang yang disayangi, terhadap diri sendiri dan

terhadap visi bersama .

k. Peduli berarti menyucikan diri dari kepentingan diri sendiri , lebih mementingkan

prinsip kebersamaan

B. KEPEKAAN

1. Definisi Kepekaan

Kepekaan adalah kemampuan dan kemauan individu untuk membaca tanda-tanda,

baik yang tersurat maupun tersirat. Tanda-tanda tersebut kecil namun sebenarnya nyata,

mengarah kepada suatu perubahan, sesuatu hal yang tak biasanya.

Kepekaan sosial merupakan kemampuan untuk merasakan dan mengamati reaksi-

reaksi atau perubahan orang lain yang ditunjukkannya baik secara verbal maupun nonverbal.

Kepekaan adalah roh kita akan bergejolak saat melihat sesuatu yang terjadi dan tidak

sesuai dengan hati nurani,

Kepekaan adalah ketika kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain.

| 18 |

Kepekaan adalah ketika kita mengerti untuk membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk.

Seseorang yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi akan mudah memahami dan

menyadari adanya reaksi-reaksi tertentu dari orang lain, entah reaksi tersebut positif

ataupun negatif. Adanya kepekaan sosial akan membuat seseorang dapat bersikap dan

bertindak yang tepat terhadap orang lain yang ada di sekitarnya. Jadi, orang yang memiliki

kepekaan sosial pastinya akan menjadi pribadi yang asyik untuk diajak bergaul. Banyak

teman yang akan suka kepadanya dan merasa nyaman bersamanya.

Kepekaan bukan semata-mata bakat, bukan pula mengenai minat, akan tetapi

sesuatu yang bisa, dan sebaiknya,dipelajari

Cara yang mampu menumbuhkan kepekaan sosial dalam diri sehingga menjadi pribadi yang

asyik untuk diajak bergaul oleh siapapun.

1. MENYADARI BAHWA KITA TIDAK BISA HIDUP SENDIRI

Mengapa orang tidak mampu memiliki kepekaan sosial yang baik? Salah satu

penyebabnya adalah karena orang itu sering menyendiri dan tidak mau berbaur

dengan yang lain. Ia ada dalam sebuah lingkungan, tetapi ia tidak pernah mau untuk

berkumpul bersama dengan orang-orang yang ada dalam lingkungannya. Tiap ada

kegiatan bersama, orang yang semacam ini akan cenderung tidak mau hadir.

Sejak mulanya, manusia diciptakan bukan dalam kesendirian. Pada awal penciptaan,

Allah berfirman, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan

penolong baginya, yang sepadan dengan dia" . Di mata Allah, kesendirian adalah hal

yang tidak baik. Kesendirian akan menjadikan manusia tidak memiliki penolong yang

sepadan. Sebab itu, Allah menciptakan manusia dalam sebuah kebersamaan dengan

manusia yang lain.

Karena itu, dalam rangka membangun kepekaan sosial, keluarlah dari kesendirian

dan masukilah kehidupan bersama dengan orang lain yang ada di sekitar kita.

2. BERGAUL DENGAN SEBANYAK-BANYAKNYA ORANG

Perjumpaan dengan banyak orang akan membuat kita makin mudah mengetahui

perbedaan karakter dari tiap-tiap pribadi. Ketika Tuhan menciptakan manusia,

Tuhan menciptakannya dengan keunikan dan kekhususan masing-masing. Di dunia

ini, tidak ada manusia yang sama persis. Orang yang kembar identik pun tetap

memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Karena itu, ketika kita membiasakan

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 19 |

diri kita untuk bergaul dengan banyak orang, hal itu akan mengasah kemampuan kita

untuk melihat masing-masing orang dengan keunikannya.

3. MEMPERHATIKAN DAN MEMPERBAIKI CARA BERBICARA

Cara berbicara adalah hal yang perlu untuk kita perhatikan dalam hidup bersama

orang lain. Banyak orang yang dalam kehidupan sehari-hari berselisih dan

bertengkar karena cara bicaranya yang tidak menunjukkan kepekaan terhadap

orang-orang yang ada di sekitarnya. Keterlibatan kita dalam organisasi akan

mengasah kita untuk memiliki kepekaan dalam mengutarakan ide dan pendapat

sehingga tidak melukai orang lain. Keterlibatan ini juga akan membuat kita mampu

mengenali cara berpikir dan cara bicara orang lain sehingga sedikit banyak

kemampuan kita untuk mengenal orang lain akan terasah.

4. TERLIBAT DALAM KEGIATAN SOSIAL

Kegiatan sosial merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang pada

masa sekarang. Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam berbagai macam bentuk,

misalnya: kunjungan ke panti asuhan, pengumpulan dana untuk korban bencana,

pengobatan gratis, dsb. Jika Anda mendengar di sekolah Anda atau di lingkungan

Anda melakukan kegiatan-kegiatan semacam itu, sedapat mungkin terlibatlah dalam

kegiatan itu. Ambillah peran sesuai dengan talenta dan kemampuan Anda. Kegiatan

ini merupakan kegiatan positif yang akan mengasah kepekaan terhadap orang-orang

yang sedang membutuhkan pertolongan. Melalui kegiatan itu, Anda akan dibentuk

menjadi pribadi yang memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang perlu

diperhatikan dan dipedulikan dalam hidup ini.

5. MENGEMBANGKAN EMPATI

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang

lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan

nonverbal, seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.

Seseorang yang memiliki kemampuan ini akan lebih pandai menyesuaikan diri, lebih

mudah bergaul, dan lebih peka. Empati dapat kita kembangkan apabila kita

membiasakan diri untuk bergaul dengan orang lain dan mengamati orang-orang

yang ada di sekitar kita.

6. BERPERILAKU PROSOSIAL

Perilaku prososial adalah istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk

menjelaskan perilaku sukarela yang ditujukan untuk kepentingan atau keuntungan

| 20 |

orang lain, seperti: berbagi, membantu seseorang yang membutuhkan, bekerja sama

dengan orang lain, dan mengungkapkan simpati. Perilaku ini menuntut adanya

kesediaan untuk berkorban bagi orang lain, menghargai keberadaan orang lain, dan

tidak menempatkan diri sendiri lebih tinggi dari orang lain.

7. MELIHAT DAN BERTINDAK

Di sekitar kita, banyak orang yang memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat

menjalankan aktivitas sosialnya dengan normal. Misalnya, orang-orang miskin, anak-

anak jalanan, dan orang-orang yang sudah lanjut usianya. Mereka membutuhkan

perhatian lebih, bahkan pertolongan yang nyata dalam kesusahan mereka.

Orang yang memiliki kepekaan sosial adalah orang yang pada saat melihat orang lain

yang ada dalam kondisi yang susah tidak akan hanya berhenti pada memandang

orang itu, melainkan melakukan sesuatu untuk orang yang dilihatnya itu. "Sesuatu"

di sini tidak harus dengan memberi uang atau barang, melainkan juga bisa dalam

bentuk perbuatan lain, misalnya berdoa untuk orang itu.

Demikianlah Seven Steps yang bisa Anda lakukan untuk dapat menumbuhkan

kepekaan sosial dalam diri Anda. Lakukanlah mulai dari sekarang dan rasakanlah

perubahan yang akan terjadi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati usaha

Anda!

C. KEBERSAMAAN

Dunia kita menyimpan sejarah indah tentang kebersamaan dalam keragaman, antara bangsa

yang satu dengan bangsa yang lainnya, dan antara umat agama satu dengan umat agama yang

lainnya. Sejarah itu terjaga secara apik di berbagai generasi.

Menurut Sugondo, memaknai suatu kebersamaan itu sebenarnya sangat menarik, sifat

seorang manusia adalah tidak akan pernah menghargai suatu kebersamaan tersebut sampai

mereka-mereka yang kita sayang telah pergi.

“Mereka masih berpikir bahwa kebersamaan secara fisik itu bisa bisa merapatkan hati, namun

pada kenyataannya tidak demikian. Kebersamaan secara fisik mungkin berarti lebih dekat secara

fisik, namun belum tentu secara hati karena hati itu sesuatu yang abstrak yang tidak bisa dilihat

oleh panca indra biasa” .

Dari sanalah kita akan bisa mengartikan artikan betapa Indahnya Kebersamaan. Mungkin

kita pernah memiliki sahabat sahabat terbaik pada masa sekolah. Pada masa-masa

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 21 |

sekolah, kita bisa selalu berkumpul setiap waktu, saat sekolah kita bisa saling curhat, saling

berbagi dan saling belajar.

“Keindahan pada saat bersama itu menjadi lebih berarti pada saat hari perpisahan sekolah. Di

hari perpisahan itulah, air mata kita akan mudah jatuh karena pada saat itu adalah hari

perpisahan dan setelah itu tidak ada lagi kebersamaan seperti hari-hari sebelumnya. Dari

situ kita bisa belajar arti kebersamaan yang lebih baik.

Kebersaman sebenarnya memiliki arti yang jauh lebih kompleks daripada yang kita

bayangkan sebelumnya, karena kebersamaan itu sendiri merupakan makna yang

berlapis, yaitu bersama secara fisik dan bersama secara hati.

Untuk mendapatkan makna kebersamaan yang seutuhnya, kita harus menyatukan makna fisik

dan hati itu sendiri sehingga menjadi satu, barulah kita akan mendapat makna kebersamaan

yang sesungguhnya.

Berapa banyak pasangan yang secara fisik bersama tapi secara hati mereka tidak

bersama, ini menunjukkan bahwa arti kebersamaan itu sendiri bagi mereka belumlah

sempurna, karena mereka tidak mendapat esensi dari kebersamaan tersebut.

Sugondo menegaskan, Sementara yang perlu kita renungi bersama di sini adalah bagaimana

memaknai arti kebersamaan yang sesungguhnya. Kebersamaan yang sesungguhnya didapat

dari totalitas kita menghadirkan diri secara fisik dan secara batin kepada orang-orang yang kita

ajak untuk bersama.

Disitulah kita mendapat pengalaman yang sempurna tentang arti kebersamaan. Renungi

bagaimana kondisi hidup ini dari waktu ke waktu, renungi berapa banyak fase Perpisahan

dengan orang-orang yang pernah kita sayang, orang-orang yang dekat dengan kita sepanjang

hidup ini dan rasakan betapa kita merasa kehilangan jika kita bisa melakukan perbandingan

kontras dari kondisi antara kebersamaan dengan perpisahan.

Maka kita akan menemukan makna kebersamaan yang sesungguhnya. Kita lebih

mensyukuri, lebih merasa berterima kasih kepada Tuhan bahwa kita masih disatukan dengan

orang-orang yang kita sayang. Itulah pembelajaran terbaik Bagaimana memaknai kebersamaan

secara sempurna, Yaitu melakukan proses kontradiktif antara saat berpisah dengan saat

bersama dengan orang yang kita sayang.

” Jika perpisahan menimbulkan kesedihan seharusnya kebersamaan menimbulkan

kebahagiaan, tapi renungkan Mengapa begitu banyak orang yang pada saat bersama tidak

mengalami kebahagiaan. Itu pertanda karena mereka belum bisa memaknai arti kebahagiaan dan

kebersamaan dalam arti yang sesungguhnya. Renungi bagaimana segala sesuatunya akan

berubah. Kebersamaan nantinya akan berubah menjadi perpisahan, entah orang yang kita

sayang pergi atau kita yang pergi karena perpisahan itu sendiri merupakan bagian dari kepastian

hidup.

| 22 |

Oleh karena itu, sebelum kita berpisah dengan orang-orang yang kita

sayang, syukurilah, maknailah kebersamaan kita dengan mereka dalam arti yang sempurna.

Renungilah suatu saat kita atau mereka yang akan pergi meninggalkan kita.

D. KEJUJURAN

1. Pengertian

Kejujuran adalah salah satu sikap yang dimana perbuatannya, ucapannya yang dikeluarkan

dari hati, sesuai dengan fakta. Lawannya jujur adalah bohong atau dusta. Jujur merupakan sifat yang

harus diteladani setiap orang seperti sifat yang diteladani Rasulullah SAW adalah merupakan contoh

terbaik dan seorang yang memiliki pribadi utama dalam hal kejujuran.

Ketidak percayaan diri sendiri dan ketakutan jika kita bicara benar akan dikucilkan yang

membuat diri kita berbohong. Begitulah tampilan yang ada di Indonesia yang sering kita saksikan,

karena semakin lama nilai kejujuran semakin memudar terutama dikalangan mahasiswa, walaupun

sekecil apapun nilai kejujuran akan berdampak besar bagi diri sendiri dan bagi sang maha pencipta.

Dan jika kebohongan sekecil apapun disembunyikan pasti akan ketahuan juga, karena seperti kata

pepatah sepintar-pintarnya bangkai disembunyikan pasti akan kecium juga.

Manusia sendiri mengajarkan pentingnya hidup dengan berlaku jujur dalam begitu banyak

kesempatan, dimanapun dan kapanpun. Betapa besar nilai kejujuran yang ada di dunia ini. Mungkin

di dunia ini kita bisa mengalami kerugian atau bahkan malah mendapat masalah karena

memutuskan untuk berlaku jujur, seringkali dunia memang memperlakukan kita dengan tidak adil,

tetapi itu bukanlah masalah karena kelak dalam kehidupan selanjutnya yang abadi semua itu akan

diperhitungkan sebagai kebenaran yang berkenan di hadapan Allah dan sebaliknya jika kita

melakukan dusta Allah maha mengetahui

Sebelum Anda mengatakan suatu kejujuran kepada orang lain, mungkin kita harus

menyediakan waktu sejenak dan bertanya kepada diri sendiri apa yang akan katakan. Itulah

kenapa pengertian atau makna kejujuran yang meyeluruh adalah jika apa yang anda beritahukan

adalah hal yang benar, baik dan berguna. Kejujuran juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang

dilakukan sesuai hati dan norma. Kejujuran seharusnya diterapkan mulai dari kecil, dalam

keluarga, dan dalam bermasyarakat. Kejujuran bukan hanya diterapkan pada anak di rumah tetapi

juga sekolah dan universitas harus menerapkan kepada anak muridnya untuk melakukan kejujuran

dalam keseharian. Sehingga jika berada dalam masyarakat anak tersebut akan menerapkannya.

Kejujuran juga merupakan harga yang sangat mahal yang tidak bisa digantikan atau dibeli dengan

barang” apapun, jika kita melakukan kebohongan sekali saja, orang lain pasti akan sulit percaya

dengan kita. Pendidikan karakter kejujuran telah diterapkan didalam UU Sisdiknas tahun 2003 yang

dinyatakan dalam tujuan yakni agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang

cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa

yang tumbuh dengan karakter yang bernafas nilai-nilai yang luhur bangsa serta agama (Menurut

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 23 |

Depdiknas, 2011) Menurut hasil penelitian tahun 2010 di Amerika yang dilakukan oleh NIMH

(National Institute of Mental Health) menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang

berbohong terhadap 30% orang lain dalam komunitas. Mahasiswa malah menunjukkan angka 38%

jumlah orang yang mereka bohongi. Jadi kira-kira, dari 100 orang yang diajak berinteraksi dalam

seminggu, maka ada 38 orang yang telah dibohongi. Dalam ruang lingkup akademis pada hakikatnya

muntuk membangun sebuah karakter disiplin dan penempaan moral yang lebih baik, meliputi salah

satunya adalah penanaman sikap kejujuran di lingkup akademis. Akan tetapi, nyatanya fenomena ini

malah menjadi sebuah dilema yang sudah tidak dapat dipungkiri kembali. Terbukti, diberbagai

tingkatan dalam dunia pendidikan sering kita jumpai praktik-praktik ketidakjujuran tersebut. Salah

satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga

pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh mahasiswa. Contoh : Dalam menjalankan tugas akhir

program mahasiswa diharuskan menyelesaikan tugas dalam jangka waktu yang ditentukan

kemudian siswa tersebut bingung apa yang harus dia lakukan sementara tugas belum selesai secara

keseluruhan, akhirnya mahasiswa tersebut menghalalkan segala cara dengan melakukan plagiat.

Begitu besarnya manfaat dengan kejujuran, niscaya seseorang akan dapat mencapai derajat orang-

orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan dalam hidupnya. Kejujuran bagi mahasiswa

juga akan mudah meraih kesuksesan, banyak teman, menjadi percaya diri. Karena pada dasarnya

kejujuran adalah sebuah refleksi diri sebagai ukuran tentang seberapa besar nilai kualitas hidup

seseorang. Kejujuran juga sangat menentukan kesuksesan hidup seseorang. Hati menjadi tenang

tidak dikejar-kejar rasa bersalah. Kejujuran juga mempunyai manfaat yaitu mempunyai teman yang

banyak dan kunci sukses ada ditangan kita. Nabi Muhammad SAW bersabda “Wajib atas kalian untuk

jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga,

begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di

sisi Allah atas kejujurannya.

Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan

akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya,

sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta” ( HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud). Banyak

ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai kejujuran salah satunya adalah : ·“Hai hamba2 yang

beriman bertaqwalah kepada Allah & berkumpullah bersama hamba2 Allah yang jujur (QS At Taubah

119), karekteristik orang taqwa itu adalah JUJUR. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah

kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (Jujur). (QS At Taubah : 119).

dalam surat tersebut dijelaskan jika orang jujur termasuk orang yang beriman dan bertakwa. Dalam

buku The awareness: kesadaran tentang Keajaiban Hati dan Jiwa Menuju Manusiadijelaskan“

The power of zero adalah kekuatan yang menjadi naluri pada setiap manusia. kejujuran merupakan

mutiara yang ada di setiap hati manusia. Namun kejujuran disimbolkan kejujuran tertanam didasar

tanah yang dilapisi banyak kotoran, bebatuan dan pada akhirnya tidak dapat terlihat lagi. Adapun

tanda-tanda orang berdusta dan yang jujur: Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana

| 24 |

yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah

bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila

berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.”(HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Jadi pentingnya kejujuran bagi mahasiswa akan memberikan kebahagian tersendiri, dan

orang yang memiliki kejujuran adalah mereka yang mengetahui kebenaran sebagai sesuatu yang

nyata, mereka tidak takut terhadap resiko apapun. Sehingga orang yang memiliki kejujuran pastilah

akan mudah meraih kesuksesan dan teman.

Kesimpulan Kejujuran memang kekayaan dalam hati yang bernilai emas dan sangat

bermanfaat bagi kehidupan kita kejujuran harus dimulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan

mulai dari hal yang kecil. Oleh karena itu untuk menekan begitu besarnya budaya ketidakjujuran di

kalangan mahasiswa, maka perlu diterapkan nilai kejujuran di institusi akademisi agar mahasiswa

dapat menerapkan dimanapun berada dan karenanya penanaman kejujuran akademis haruslah

dimulai sejak dini dan oleh diri sendiri. .

2. Kejujuran dan Kepercayaan

Kejujuran merupakan pangkal dari kepercayaan, yang menilai Anda jujur adalah Allah, Sang

Pencipta dan orang-orang di sekitar Anda. Sedangkan kepercayaan adalah imbas positis dari sikap

jujur. Orang yang mendelegasikan kepercayaan merupakan hasil dari penilaiannya terhadap sikap

kita. Jadi sekali lagi kepercayaan adalah amanah yang harus dijaga erat.

Karena kepercayaan tak timbul dari penilaian sesaat pula. Orang lain berteman terhadap kita

digerakan dari rasa kepercayaan pula, pikiran postitif menimbulkan persepsi bahwa si A

kelihatannya memegang prinsip kejujuran dan bisa dipercaya. Di lain contoh kejujuran juga bagian

dari syarat kenaikan jabatan dalam sebuah sistem manajemen di perusahaan.

Setiap ada peserta ujian yang berbuat curang terkena tindakan hukuman dari sekolahan. Namun

ujian yang paling berat justru ketika siswa lulus sekolah dan kembali dalam kehidupan

bermasyarakat dan bekerja di perusahaan atau mengabdi menjadi Pegawai Negeri Sipil di situlah

banyak godaan yang mengancam norma kejujuran.

Tak ada pengawasan yang ketat dan hati nurani dipertaruhkan demi materi yang bukan haknya.

Kalau iman kita tak diikat kuat dari ibadah, bakalan kebobolan.

Kejujuran yang selama masa sekolah dijunjung tinggi, ternyata hilang karena godaan setan.

Koruptor yang terbukti bersalah menggelapkan uang negara, alih-alih malu, malah menunjukan

ekpresi tak bersalah. Sungguh menjijikan. Mereka taksadar bahwa dia adalah contoh buruk bagi

pelajaran norma kejujuran. Selama orang tak jujur bakalah kehilangan harga diri didepan

masyarakat dan Allah.

Masyarakat sudah tak percaya lagi terhadap pejabat dan pelaku yang terbukti menyelewengkan

kepercayaan. Untuk membangkitkan kepercayaan dari masyarakat sangat sulit, karena nilai

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 25 |

kejujuran sudah dirusak sendiri.

Kejujuran Adalah Harga Diri

Kejujuran adalah harga mati yang harus dipegang sampai mati pula. Jujur di dunia selamat

di akhirat. Prinsipnya miskin materi tak mengapa asalkan kita masih punya nilai kejujuran. Karena

kejujuran ibarat pelampung penyelamat ketika manusia menghadapi pengadilan super adil yakni

pada hari perhitungan kelak.

Norma jujur itulah salah satu saksi yang menyelamatkan dari hukuman Allah. Apa jadinya jika harga

diri kita sendiri dirusak oleh sikap-sikap yang bertentangan dengan norma kejujuran? Yang pasti

akan mendapatkan hukuman dari negara, masyarakat maupun rasa bersalah terhadap Allah

penciptanya. Memang sesal hanya terjadi di belakangan.

Namun sebisa mungkin janganlah merusak harga diri dengan kebohongan dan tindakan yang

melawan norma kejujuran di mana saja Anda berada. Sekali Anda berbohong di depan masyarakat

luas, hilanglah harga diri Anda selamanya.

Tindakan yang Merusak Kejujuran

Berikut ini merupakan contoh-contoh perbuatan yang melanggar norma kejujuran, nilai-

nilai moral dan agama. Contoh-contoh itu adalah tindakan yang harus dihindari siapa saja yang

mengaku dirinya beragama dan bermasyarakat.

1. Mencuri atau mengambil barang yang bukan hak kita, merupakan tindakan melanggar

norma kejujuran. Pemilik barang yang sah pasti merasa terpukul karena kehilangan barang

kesayangannya. Mungkin barang yang berharga memiliki nilai sejarah tersendiri bagi

pemiliknya. Manusia biasa pun bisa tergoda ingin mencuri ketika ada kesempatan dan

kelemahan iman.

2. Bohong adalah salah satu perusak nilai kejujuran. Bohong bisa saja terjadi karena faktor

lingkungan yang mempengaruhi anak untuk berbohong. Kebohongan yang dipelihara

terus-menerus bisa merusak karakter manusia, si pembohong bahkan bisa menjadi

psikopat. Sekali berbohong dia akan berbohong kedua kali untuk menutup kebohonganya

yang pertama. Dan terus berbohong untuk menutupi omongan kosongannya. Bohong

adalah lingkaran setan yang pasti sulit di hentikan.

3. Manipulasi merupakan kegiatan untuk merekayasa fakta yang sebenarnya. Apapun

alasannya, tindakan manipulasi sangat bertolak belakang dengan norma kejujuran dan

agama. Contoh manipulasi adalahmark up proyek pembangungan, mark up pengadaan

barang. Jadi nilai barang digenjot naik melebih nilai beli aslinya. Agar ada selisih harga, jadi

ketika dana cair, selisihnya harganya dipakai untuk kepentingan pribadi. Manipulasi

menjadi racun pembangunan di Indonesia, mental oknum seperti ini hanya mementingkan

urusan pribadinya tanpa memikirkan kepentingan pembangunan bangsa.

| 26 |

4. Korupsi. Salah satu tindakan illegal yang menerjang tataran norma kejujuran antara lain

korupsi. Istilah melayu nya rasuah. Korupsi atau rasuah adalah penyakit akut yang sedang

menggrogoti Indonesia. Korupsi ibarat penyakit kanker yang menyebar keseluruh institusi

di Indonesia. Wuih berat juga kelihatnya. Mengelola dana milik masyarakat Indonesia

adalah amanah yang luar biasa berat. Namun jika amanah itu dikelola dengan benar

insyallah itu adalah ibadah yang dijanjikan pahala yang luar biasa besar oleh Allah Swt.

Tapi sayangnya sebagian oknum pemerintah pada gelap mata ketika diberi mandat

mengurus hal yang berkaitan dengan dana besar, mereka tergoda mencuri barang yang

bukan haknya.

5. Ingkar janji. Janji adalah hutang dan yang namanya hutang itu harus dibayar. Demikian juga

dengan janji ya harus di tepati. Karena setiap janji yang dikeluarkan dari mulut, didengar

oleh Allah dan disaksikan oleh malaikat. Orang yang sering ingkar janji disebut juga

pembohong, memang gampang mengumbar janji, tapi ketika menepati janji bukanlah

perkara mudah, inilah yang sering terjadi pada setiap kampanye pemimpin daerah, dan

kampanye legislatif saat pemilu. Penyakit ingkar janji masih menjadi masalah besar dari

pemimpin di Indonesia.

Akibat Tidak Memiliki Sifat Kejujuran

Berikut ini merupakan dampak buruk dari tindakan merusak norma kejujuran. Yang jelas akibatnya

merugikan diri sendiri dan merusakan nama baik keluarga dan komunitas.

1. Hilang kepercayaan. Salah satunya adalah hilangnya kepercayaan dari masyarakat atau

orang-rang di sekelilingnya. Kalau sudah terbukti bohong atau mencuri, pasti tindakan

dan ucapan tersangka bakalan dicurigai maupun diacuhkan sama sekali.

2. Susah naik pangkat. Demikian juga risiko yang bakal dihadapi oleh pegawai yang terbukti

melakukan kebohongan dan pelanggaran aturan di kantor swasta maupun pemerintah,

bakalan kesulitan naik pangkat dan jabatan.

3. Dosa. Dosa adalah hukuman dari Tuhan kepada manusia yang melanggar larangan dan

perintahnya. Berbohong merupakan tindakan yang berdosa besar karena melanggar

norma agama. Takaran dosa berbeda bisa besar atau kecil tergantung pada tindakan.

E. KETELADANAN

1. Pengertian Keteladanan

Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang paling ampuh

dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab,

seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan

santunnya akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 27 |

dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi,

maupun spiritual. Meskipun anak berpotensi besar untuk meraih sifat-sifat baik dan menerima

dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan positif dan terpuji jika dengan kedua

matanya ia melihat langsung pendidikan yang tidak bermoral. Memang yang mudah bagi

pendidik adalah mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada anak, sedang yang sulit bagi anak

adalah mempraktekkan teori tersebut jika orang yang mengajar dan mendidiknya tidak pernah

melakukannya atau perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya

Keteladanan berasal dari kata dasar “teladan” yang berarti sesuatu atau perbuatan yang

patut ditiru atau dicontoh. Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “uswatun hasanah” yang berarti

cara hidup yang diridlai oleh Allah SWT. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dan telah

dilakukan pula oleh nabi Ibrahim dan para pengikutnya.

Jadi yang dimaksud dengan keteladanan dalam pengertiannya sebagai uswatun

hasanah adalah suatu cara mendidik, membimbing dengan menggunakan contoh yang baik yang

diridloi Allah SWT sebagaimana yang tercermin dari prilaku Rasulullah dalam bermasyarakat dan

bernegara.

1. Landasan Teologis tentang Keteladanan

Metode pendidikan Islam dalam penerapannya banyak menyangkut wawasan keilmuan

yang sumbernya berada di dalam Al-Qur’an dan hadits. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof.

DR. Oemar Muhammad At-Toumy Al-Saibany, bahwa penentuan macam metode atau tehnik yang

dipakai dalam mengajar dapat diperoleh pada cara-cara pendidikan yang terdapat dalam Al-

Qur’an, Hadist, amalan-amalan Salaf as Sholeh dari sahabat-sahabat dan pengikutnya.

Dalam Al-Qur’an banyak mengandung metode pendidikan yang dapat menyentuh

perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode tersebut mampu menggugah

puluhan ribu kaum muslimin untuk membuka hati manusia agar dapat menerima petunjuk Ilahi.

Adapun mendidik dengan memberi keteladanan memiliki dasar sebagaimana ayat-ayat

Al-Qur’an yang menerangkan tentang dasar-dasar pendidikan antara lain:“Sesungguhnya telah

ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang

mengharapkan rahmat Allah, dan hari akhir dan dibanyak mengingat Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21).

Ayat di atas sering diangkat sebagai bukti adanya keteladanan dalam pendidikan.

Muhammad Qutb, misalnya mengisyaratkan sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata dalam

bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa: “Pada diri Nabi Muhammad Alloh menyusun suatu

bentuk sempurna yaitu bentuk yang hidup dan abadi sepanjang sejarah masih berlangsung”.

Keteladanan ini dianggap penting, karena aspek agama yang terpenting adalah akhlaq yang

terwujud dalam tingkah laku (behavior). Untuk mempertegas keteladanan Rasulullah, Al-

Qur’an lebih lanjut menjelaskan akhlaq Nabi yang disajikan tersebar dalam berbagai ayat di

dalam Al-Qur’an. Dalam surat Al- Fath bahwa sifat Nabi SAW beserta pengikutnya itu bersikap

keras terhadap orang-orang kafir akan tetapi berkasih sayang pada mereka, senantiasa ruku’ dan

| 28 |

sujud (sholat), mencari keridloan Allah. Pada ayat lain dijelaskan bahwa diantara tugas yang

dilakukan Nabi adalah menjadi saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru

kepada agama Allah dengan izinnya dan untuk menjadi cahaya yang meneranginya. (QS. Al-

Ahzab: 45-46).

2. Landasan Psikologis tentang Keteladanan

Secara psikologis manusia butuh akan teladan (peniruan) yang lahir dari ghorizah (naluri)

yang bersemayam dalam jiwa yang disebut juga dengan taqlid. Yang dimaksud peniruan disini

adalah hasrat yang mendorong anak, seseorang untuk meniru prilaku orang dewasa, atau orang yang

mempunyai pengaruh. Misalnya dari kecil anak belajar berjalan, berbicara, dan kebiasaan-kebiasaan

lainnya. Setelah anak bisa berbicara ia akan berbicara sesuai bahasa dimana lingkungan tersebut

berada.

2. Landasan Yuridis

Adalah dasar pelaksanaan yang berasal dari perundang-undangan pemerintah yang dapat

dijadikan pegangan dalam pelaksanaannya. Sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang RI

No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pada Bab III pasal (4) ayat (4) yang berbunyi:

“Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan

mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran”

3. Keteladanan Dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan banyak ditemukan keragaman bagaimana cara mendidik atau

membimbing anak, siswa dalam proses pembelajaran formal maupun non formal (masyarakat).

Namun yang terpenting adalah bagaimana orang tua, guru, ataupun pemimpin untuk menanamkan

rasa iman, rasa cinta pada Allah, rasa nikmatnya beribadah shalat, puasa, rasa hormat dan patuh

kepada orang tua, saling menghormati atau menghargai sesama dan lain sebagainya. Hal ini agak

sulit jika di tempuh dengan cara pendekatan empiris atau logis.

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan, seorang pendidik dapat saja menyusun sistem

pendidikan yang lengkap, dengan menggunakan seperangkat metode atau strategi sebagai pedoman

atau acuan dalam bertindak serta mencapai tujuan dalam pendidikan. Namun keteladanan seorang

pendidik sangatlah penting dalam interaksinya dengan anak didik. Karena pendidikan tidak hanya

sekedar menangkap atau memperoleh makna dari sesuatu dari ucapan pendidiknya, akan tetapi

justru melalui keseluruhan kepribadian yang tergambar pada sikap dan tingkah laku para

pendidiknya. Dalam pendidikan Islam konsep keteladanan yang dapat dijadikan sebagai cermin dan

model dalam pembentukan kepribadian seorang muslim adalah ketauladanan yang di contohkan

oleh Rasulullah.

Rasulullah mampu mengekspresikan kebenaran, kebajikan, kelurusan, dan ketinggian

pada akhlaknya. Dalam keadaan seperti sedih, gembira, dan lain-lain yang bersifat fisik, beliau

senantiasa menahan diri. Bila ada hal yang menyenangkan beliau hanya tersenyum. Bila tertawa,

beliau tidak terbahak-bahak. Diceritakan dari Jabir bin Samurah: “beliau tidak tertawa, kecuali

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 29 |

tersenyum.” Jika menghadapi sesuatu yang menyedihkan, beliau menyembunyikannya serta

menahan amarah. Jika kesedihannya terus bertambah beliau pun tidak mengubah tabiatnya, yang

penuh kemuliaan dan kebajikan.

Berkaitan dengan makna keteladanan, Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa

keteladanan mengandung nilai pendidikan yang teraplikasikan, sehingga keteladanan memiliki azas

pendidikan sebagai berikut:

a. Pendidikan Islam merupakan konsep yang senantiasa menyeru pada jalan Alloh. Dengan

demikian, seorang pendidik dituntut untuk menjadi teladan dihadapan anak didiknya. Karena

sedikit banyak anak didik akan meniru apa yang dilakukan pendidiknya (guru) sebagaimana

pepatah jawa “guru adalah orang yang digugu dan ditiru”. Sehingga prilaku ideal yang

diharapkan dari setiap anak didik merupakan tuntutan realistis yang dapat diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah.

b. Sesungguhnya Islam telah menjadikan kepribadian Rasulullah SAW sebagai teladan abadi dan

aktual bagi pendidikan. Islam tidak menyajikan keteladanan ini untuk menunjukkan kekaguman

yang negatif atau perenungan imajinasi belaka, melainkan Islam menyajikannya agar manusia

menerapkannya pada dirinya. Demikianlah, keteladanan dalam Islam senantiasa terlihat dan

tergambar jelas sehingga tidak beralih menjadi imajinasi kecintaan spiritual tanpa dampak yang

nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin beliau ajarkan

melalui tindakannya, kemudian menterjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana

memuja Alloh, bagaimana bersikap sederhana, apa yang beliau katakan tentang kejujuran,

keadilan, toleransi, bagaimana duduk dalam sholat, do’a, dan lain sebagainya. Semuanya ini

beliau lakukan dulu dan kemudian baru mengajarkannya kepada orang lain. Sebagai hasilnya,

apapun yang beliau ajarkan diterima dengan segera di dalam keluarganya dan oleh para

pengikutnya, karena ucapan beliau menembus ke dalam hati sanubari mereka.

Keteladanan inilah yang nampaknya menjadi sarana yang paling efektif dalam

menyampaikan materi pendidikan beliau. Beliau tampil sebagai contoh kongkrit dari semua

materi dakwah dan pendidikan yang beliau sampaikan. Murid-murid beliau tidak pernah lagi

bertanya seperti apa contoh kongkrit dari kejujuran, kesederhanaan, toleransi, dan lain

sebagainya. Karena mereka dapat menyaksikan semua itu secara langsung, pada guru mereka

sendiri, yaitu Rasulullah. Keteladanan yang beliau tampilkan. Adalah betul-betul menjadi

langkah dan strategi pendidikan yang amat manjur dan jitu untuk menularkan semua

kecerdasan yang beliau miliki. Sebab, semua yang beliau tampilkan baik berupa perbuatan

ataupun perkataan mampu menyedot perhatian besar para peserta didiknya sehingga dengan

| 30 |

penuh kesadaran yang tinggi mereka ingin untuk meniru dan melaksanakan apa yang dikatakan

dan dikerjakan oleh beliau.

Beliau telah sukses menampilkan dirinya sebagai sosok yang memang pantas ditiru dan

diteladani. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan akan selalu

membutuhkan orang lain untuk berinteraksi. Dalam proses interaksi inilah akan terjadi saling

mempengaruhi, karena secara psikologis manusia terutama anak-anak memiliki

kecenderungan atau naluri meniru orang lain. Di samping itu, secara psikologis pula, seseorang

membutuhkan tokoh teladan dalam kehidupannya. Semua itu disadari atau tidak akan

mempengaruhi kepribadian seseorang

4. Arti Penting Keteladanan Seorang Dosen

Di dalam proses pembelajaran seorang pendidik memiliki peran penting dalam

mensukseskan keberhasilan dalam pembelajaran. Mendidik tidak hanya sekedar memenuhi

prasyarat administrasi dalam proses pembelajaran, tetapi perlu totalitas. Artinya ada keseluruhan

komponen yang masuk di dalamnya. Lebih khusus lagi adalah kepribadian seorang dosen.

Kepribadian seorang dosen sangatlah penting terutama di dalam mempengaruhi

kepribadian siswa. Karena guru memiliki status seseorang yang di anggap terhormat dan patut di

contoh. Selain itu, dosen adalah seorang pendidik. Pendidikan itu sendiri memiliki arti

menumbuhkan kesadaran kedewasaan. Bahkan di dalam Islam arti pendidikan itu sangat beragam.

F. KECENDEKIAWANAN

Pengertian Cendekiawan

Pengertian cendekiawan yang selama ini ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan diterima

secara luas adalah : (1) Orang cerdik pandai, orang intelek, (2) Orang yang memiliki sikap hidup yang

terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami

sesuatu. Dalam pengertian ini sama sekali tidak disinggung bahwa cendekiawan itu boleh atau tidak

berada dalam institusi pemerintahan.

Meskipun istilah cendekiawan sebenarnya sudah cukup jelas namun dalam praktik sehari-

hari yang muncul adalah sebuah pengelompokan pendapat bahwa cendekiawan itu sah untuk

institusi ekonomi dan lain-lain. Namun di lain pihak ada juga pendapat yang mentabukan

cendekiawan terlibat dalam institusi pemerintahan. Kalangan ini mendukung cendekiawan berada

di luar institusi dan ikut aktif berfungsi sebagai pengontrol kekuasaan, penegak kebenaran dan lain-

lain.

Perbedaan pendapat demikian sebenarnya hanya akan membuat para cendekiawan

berputar-putar di sekitar posisi cendekiawan dan bukan bagaimana seseorang cendekiawan harus

bersikap terhadap kecendekiawanannya. Padahal, seorang cendekiawan jelas harus memiliki sikap

independen atau harus berpikir bebas dimana pun posisinya. Sebab dengan cara ini seorang

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 31 |

cendekiawan dapat terus-menerus mengaktualkan cara berpikirnya sesuai dengan perkembangan

seluruh sektor kehidupan. Pengertian bahwa cendekiawan harus berpikiran bebas inilah yang sering

menjebak dan disalahartikan bahwa cendekiawan tidak boleh masuk ke dalam institusi

pemerintahan. Padahal, maksud sebenarnya, kecendekiawanan harus bebas dari kungkungan semua

kekuasaan, terutama kekuasaan paham (isme) dan bukan sekadar kekuasaan institusi.

Jadi, seorang cendekiawan, boleh saja di dalam struktur kekuasaan apa pun (pemerintahan,

agama, perguruan tinggi, partai politik, militer), namun dia dituntut untuk berpikir bebas. Ketakutan

bahwa posisi cendekiawan dalam institusi ini akan mematikan kecendekiawanannya sebenarnya

juga bisa ditujukan kepada cendekiawan yang berada di luar struktur dalam posisi sebagai

“pengontrol” kekuasaan. Sebab posisi cendekiawan sebagai pengontrol kekuasaan pun, bisa juga

mengakibatkan sang cendekiawan kehilangan kecendekiawanannya karena terhanyut (tidak bisa

bebas) dari pengaruh posisi tersebut maupun pengaruh isme-isme yang ada.

Ada sesuatu yang lebih urgen untuk diperhatikan oleh para cendekiawan, yakni sikap pikiran

yang bebas dari kungkungan isme, agama dan lain-lain paham termasuk upaya penyeragaman

berpikir. Kebebasan berpikir, kalau kemudian diajarkan ke orang lain, pada akhirnya akan

membentuk isme baru dan justru berubah menjadi upaya penyeragaman berpikir. Socrates dan

Plato adalah salah satu tonggak kebebasan berpikir yang kemudian dilembagakan berupa sekolah

dan terutama perguruan tinggi, namun dalam praktik sehari-hari institusi sekolah maupun

perguruan tinggi ini lebih banyak melakukan praktik penyeragaman berpikir daripada kebebasan

berpikir.

Di Indonesia, pendidikan yang diberikan oleh orang-orang Badui Dalam terhadap anak-anak

mereka pelan-pelan namun pasti akan tergusur oleh pendidikan modern ala Barat. Pendidikan

model pesantren yang khas itu juga harus menyesuaikan diri dengan kurikulum resmi pemerintahan

agar lulusannya dapat diakui atau disamakan. Kebebasan berpikir dari Socrates itu telah berubah

total menjadi penyeragaman berpikir.

Jadi kecendekiawanan itu sendiri sebenarnya juga membawa sebuah paradoks. Begitu sikap

berpikir bebas itu ditularkan ke orang lain, lebih-lebih diwadahi dengan paham dan institusi baru,

maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pengekangan dan penyeragaman berpikir. Jadi

tantangan yang dihadapi cendekiawan, bukan hanya sekadar membebaskan dirinya dari isme

tertentu, namun juga membebaskan diri dari niat untuk mengajarkan dan memaksakan ismenya

kepada orang lain.

Pembebasan pikiran para cendekiawan dari kekuasaan isme, institusi dan lain-lain, tidak

bisa dipaksakan ke masyarakat, bukan hanya karena paradoks tadi. Ada alasan lain. Masyarakat pada

umumnya memang cenderung senang dikuasai, senang ditindas, senang membayar upeti, senang

diperlakukan tidak adil (diskriminatif) dan lain-lain. Sebagai imbalan dari sikap ini, masyarakat

menuntut untuk dilindungi, dibina, dibela, diarahkan dan diberi pedoman serta hiburan.

| 32 |

Cendekiawan adalah individu yang kuat dan bebas. Dia tidak memerlukan perlindungan,

pembina atau pimpinan. Sebaliknya, cendekiawan juga tidak bisa dikuasai, dilindungi, ditentukan

arahnya dan lain-lain oleh siapa pun.

Kecendekiawan adalah milik khas umat manusia. Hanya dengan memelihara dan

mengembangkan kecendekiawanannya manusia tidak menjadi binatang.

Saat ini pemerintah, agama, konglomerat, pendidikan, media massa dan lain-lain cenderung

mengungkung dan menyeragamkan pikiran manusia. Kalau ini dibiarkan, manusia akan kembali

mirip dengan binatang.

Tugas cendekiawan adalah senantiasa mengaktualkan pikirannya agar bebas dari kekuasaan

apa pun, termasuk kekuasaan intelektualnya sendiri untuk sekadar membentuk isme/institusi baru.

Namun cendekiawan juga dituntut rendah hati. Kecendekiawanan hanyalah keterampilan otak biasa.

Mirip dengan keterampilan menganyam rotan, menembak, bela diri dan lain-lain. Kecendekiawanan

sah untuk digunakan sang pemilik otak guna mencari nafkah. Misalnya dengan menjadi wartawan,

konsultan, staf ahli menteri, dosen dan lain-lain tanpa perlu mengorbankan kecendekiawanannya.

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 33 |

BAB IV

STRATEGI IMPLEMENTASI DAN SANKSI

PELANGGARAN NILAI-NILAI HUMANIS

B. Strategi Iplementasi Nilai-Nilai Humanis

Sehubungan dengan cara atau strategi pembelajaran nilai humanistik, salah satu alternatif

yang dapat dilakukan seperti berikut.

Pertama, strategi pembelajaran yang humanistik dikem- bangkan dan dilakukan agar tercapai

kemanusiaan trans- primordial berupa kemampuan untuk menghormati martabat, keutuhandan

hak-hak asasi manusia, tidak pandang apakah ia termasuk golongan primordial suku, daerah, agama,

bangsa sendiri atau lainnya.

Kedua, materi pembelajaran dipusatkan pada suatu rang- kaian masalah kemanusiaan yang

harus didiskusikan bersama. Masalah tersebut dipilih untuk menimbulkan konflik kognitif, yakni

rasa tidak puas mengenai apa yang benar dan menim- bulkan perbedaan pendapat yang dapat

merangsang berpikir di antara siswa.

Ketiga, mengembangkan kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik, perasaan mencintai

akan kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari sikap nilai yang perlu

difasilitasi. Perasaan kemanusiaan ini akan sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik.

Keempat, prosedur pembelajaran mengandalkan pada induksi konflik kognitif mengenai

masalah nilai-nilai kehidupan, dan keterbukaan terhadap tahap berpikir yang berada langsung di

atas tahap berpikir anak itu sendiri.

Kelima, pendekatan humanistik di lembaga formal (kampus) menuntut terciptanya iklim

pembelajaran yang menghormati dan menjunjung persamaan hak, peraturan yang menjamin bahwa

setiap siswa tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama dan diperlakukan

sesuai dengan aturan yang berlaku, ada upaya terarah pada pencapaian keadilan sosial, solidaritas

bagi siswa yang paling lemah.

Keenam, pengalaman belajar tidak sebatas mengacu pada silabus semata, tetapi lebih

menekankan pada proses terbentuknya berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang

tersurat dan tersirat sebagai tujuan pendidikan yang utuh.

Ketujuh, kemampuan melakukan keputusan, perasaan kemanusiaan dan kebangsaan ke dalam

perilaku nyata perlu dimunculkan dan dikembangkan dalam kehidupan bersama sehari-hari.

| 34 |

PUSTAKA ACUAN

Akbar, Ali Ibrahim. 2000. Pendidikan Karakter. USA: Harvard University.

Cherry, Debby L. 2004. Exaping the Parent Trap, 14 Principles for a Balanced Family Life. Eastbourne: Life Journey.

Geertz, H. 1961. The Javanese Family: A Study of Kinship and Sosialization. USA: The Free Press of Glencoe, Inc.

Kemdiknas. 2010. Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur-Balitbang, Kemdiknas.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Stange, P. 1998. Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Suseno, Magnis. 1994. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Suseno, Magnis. 2001. “Kebangsaan yang Humanistik”. Makalah Semnas. Yogyakarta: USD Newcomb, T. M.

Pilar Humanis Universitas Ngudi Waluyo

| 35 |