erich fromm ; psikoanalis humanis

22
BELAJAR DARI ERICH FROMM Oleh : Zainal Habib A. Biografi Erich Fromm. Erich Fromm dikenal luas sebagai tokoh psikoanalisa dan filosof sosial. Terlahir tanggal 23 Maret 1900 di Frankfurt Jerman dalam lingkungan keluarga Yahudi ortodoks. Fromm adalah anak tunggal dari seorang ayah pemurung, cemas dan tegang yang berprofesi sebagai pengusaha, dan seorang ibu yang mengalami depresi sebagai pengurus rumah tangganya. Keluarga Fromm mengalami ketidakharmonisan yang disebabkan adanya perbenturan antara perhatian besar nilai-nilai spiritual Ibunya dengan keberhasilan material sang ayah. Dari keadaan keluarga yang demikian ini, masa kecil Fromm terlihat tidak begitu bahagia. Ia menjuluki orang tuanya dengan highly neurotic dan menjuluki masa kecilnya dengan a probably rather unbearable, neurotic child (Funk, 1982:1). Sejak kecil Fromm telah diperkenalkan dengan kitab perjanjian lama. Ia sangat tertarik dengan visi perdamaian universal yang diajarkan para Nabi. Pada masa

Upload: zainal-habib

Post on 12-Jun-2015

4.437 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BELAJAR DARI ERICH FROMM

Oleh : Zainal Habib

A. Biografi Erich Fromm.

Erich Fromm dikenal luas sebagai tokoh psikoanalisa dan

filosof sosial. Terlahir tanggal 23 Maret 1900 di Frankfurt Jerman

dalam lingkungan keluarga Yahudi ortodoks. Fromm adalah anak

tunggal dari seorang ayah pemurung, cemas dan tegang yang

berprofesi sebagai pengusaha, dan seorang ibu yang mengalami

depresi sebagai pengurus rumah tangganya. Keluarga Fromm

mengalami ketidakharmonisan yang disebabkan adanya

perbenturan antara perhatian besar nilai-nilai spiritual Ibunya

dengan keberhasilan material sang ayah. Dari keadaan keluarga

yang demikian ini, masa kecil Fromm terlihat tidak begitu

bahagia. Ia menjuluki orang tuanya dengan highly neurotic dan

menjuluki masa kecilnya dengan a probably rather unbearable,

neurotic child (Funk, 1982:1).

Sejak kecil Fromm telah diperkenalkan dengan kitab

perjanjian lama. Ia sangat tertarik dengan visi perdamaian

universal yang diajarkan para Nabi. Pada masa remaja, Fromm

mulai berkenalan dengan model pemikiran Yahudi, ia mendapat

didikan dari Herman Cohen (seorang pemikir Kantian), Rabbi

Salman Baruch Rabinkow dan Rabbi Nehemia Nobel. Ketiga guru

Fromm ini memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda,

Cohen adalah seorang liberal yang kurang menyukai ritual-ritual

keagamaan, ia juga sangat tidak tertarik dengan dunia mistik dan

lebih tertarik pada keutamaan etika keagamaan. Nobel

merupakan penganut Talmudian yang sangat mengagumi Goethe

dan pencerahan Jerman, ia juga banyak tertarik pada

psikoanalisa. Sedangkan Rabinkow banyak memberi pelajaran

Fromm tentang mistisisme Yahudi dan ide-ide humanisme sosialis.

Namun sebagai anak yang termasuk kritis, Fromm tidak

menerima begitu saja apa yang didapat dari gurunya ini.

Pada tahun 1920, Fromm mendapat kesempatan untuk

menempuh studi doktoral di Universitas Heidelberg, dan pada

tahun 1922 dia memperoleh gelar Ph.D, dengan disertasi berjudul,

Das Judische Gesetz ein Beitrag Zur Soziologie des Diaspora

Judentums, disertasi ini tentang struktur sosial pada tiga

komunitas Yahudi, Diaspora kaica, Heidisme dan pembaharuan

Yahudi.

Tahun 1924, Fromm mulai keluar dari lingkungan Rabbi

dan mendalami psikoanalisa. Ia belajar satu tahun dengan

Wilhelm Witenberg di Munich, dan kepada Karl Landauer di

Frankfurt dan terakhir dengan Hans Sach serta Theodor Reik di

Berlin. Setelah menikah pada tahun 1926 dengan Freida

Reichman, pada tahun 1927, Fromm bersama dengan Karl

Laundauer, George Broddeck, Heinrich Meng dan Ernst Schneider

mendirikan Frankfurt Psichoanalitic Institute, dan ia membuka

praktek psikoanalisa di sana. Pada tahun ini pula, Fromm

berkenalan dengan pemikiran Buddhisme. Ketertarikan Fromm

kepada Buddhisme membuatnya kemudian belajar Buddhisme

pada D.T. Suzuki, peristiwa penting yang banyak mempengaruhi

pemikirannya kemudian, terutama analisisnya terhadap

irrasionalitas dan paksaan dalam agama serta gagasan rasional

dan mistis yang banyak diungkapkannya (Funk, 1982:3).

Pada tahun 1932, dengan bantuan Horkheimer, Fromm

masuk dalam lingkungan Institute Fur Social Forschung dan

menjadi direktur sosial psikologi. Di Institute inilah Fromm banyak

menimba pengalaman tentang berbagai bidang pemikiran,

terutama materialisme, psikoanalisa, pengaruh ekonomi terhadap

kejiwaan, serta karakter sosial masyarakat.

Pada tahun 1933 Fromm menderita penyakit Tubercoluse

(TBC), sejalan dengan itu, Fromm meninggalkan Nazi Jerman dan

pindah ke USA. Di USA, pada tahun 1935, Fromm bergabung

dengan kelompok Internasional Institute for Social Research di

Universitas Columbia. Setahun kemudian (1936), Fromm

bergabung dengan para antropolog untuk mengadakan penelitian

tentang manusia dan kebudayaannya, dan setelah itu dia menjadi

dosen psikologi sosial di New York Psichoanalytic Institute.

Tahun 1944, Fromm menikah untuk yang kedua kalinya,

dan resmi sebagai warga negara USA. Tahun 1945, bersama

dengan Clara Thompson, Freida Fromm Reichman (mantan

isterinya), serta Harry S. Sullivan (pakar psikologi interpersonal)

mendirikan William Alanson White Institute, di sini Fromm menjadi

direktur periode 1946-1950. Pada saat yang sama, Fromm juga

menjadi profesor tamu di Michigan University, Yale University

serta New York University. Sebelum jabatannya ini berakhir, pada

tahun 1949, karena alasan kesehatan, Fromm pindah ke Mexico

dan mengajar di National Authonomous University.

Di negaranya yang baru, Fromm pernah mendirikan

‘Sane’, sebuah kelompok gerakan masyarakat USA untuk

perdamaian international. Fromm juga pernah mengikuti

kampanye memperjuangkan senator Eugene Mc Carty untuk

menduduki kursi Presiden dari Partai Demokrasi. Pada usia 80

tahun di bulan yang sama dengan kelahirannya, tepatnya tanggal

19 Maret 1980, Fromm mengakhiri karier keilmuannya dengan

meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

B. Karya-karya Erich Fromm.

Awal karier akademis Fromm diawali pada tahun 1922

dengan ditulisnya disertasi yang berjudul Das Judische Gesetz ein

Beitrag Zur Soziologie des Diaspora Judentums, yang berisi

tentang struktur sosial pada tiga komunitas Yahudi, Diaspora

Kaica, Heidisme dan pembaharuan Yahudi. Setelah itu, pada

tahun 1930 dia menulis The Development of Dogma Christ ; a

Psychoanalytical Study on The Socio-Psychological Function of

Religion, yang banyak mengungkapkan hubungan antara agama

dan gagasan keagamaan dengan realitas kultural dan sosial

masyarakat. Karyanya ini merupakan analisis sosio-psikologis

dalam mengkaji fenomena perilaku sosial. Melalui tulisannya ini,

Fromm mulai menyinggung teori super-struktur Marx dan

psikoanalisa Freud yang menurutnya memiliki beberapa

kelemahan.

Keberadaan Fromm sebagai pemikir kritis mulai banyak

dikenal semenjak terbitnya buku Escape from Freedom, pada

tahun 1941. Dalam buku ini banyak dianalisa pelarian diri

manusia modern dari diri dan kebebasannya. Gerakan totaliter

telah menjadi suatu dambaan sebagai tempat pelarian dari suatu

yang dicapai manusia bebas di dunia modern. Fromm melihat

bahwa telah bebasnya manusia modern dari ikatan-ikatan abad

pertengahan ternyata tidak membuatnya bebas untuk

membangun suatu hidup yang bermakna berdasarkan akal budi

dan cinta. Karena itu mereka mencari rasa aman baru dalam

kepatuhan kepada pemimpin, ras atau negara.

Dalam buku Escape from Freedom, Fromm mencoba

melakukan analisis perilaku masyarakat modern setelah lepas dari

ikatan pra industri. Menurut Fromm manusia modern tidak

memperoleh suatu yang positif, karena kebebasannya dari ikatan

pra-industri mengarah pada ketundukan baru, bukannya maju

pada perwujudan kebebasan positif yang didasarkan atas

individualitas manusia. Fenomena semacam inilah yang menurut

Fromm membuat manusia teralienasi dari diri dan lingkungannya.

Karya Fromm selanjutnya yang banyak menjadi perhatian

adalah Man for Himself ; an Inquiry into the Psychology of Ethics

yang ditulis pada tahun 1946. Dalam bukunya ini Fromm

mengembangkan ide-ide tentang pelbagai orientasi karakter yang

menggantikan skema Freudian tentang perkembangan libido.

Orientasi karakter ini diasumsikan dapat membimbing manusia

menuju realisasi individualitasnya.

Dalam bukunya ini, Fromm banyak mengfokuskan

pembahasannya pada masalah etika humanistik yang berakar dari

kodrat manusia. Menurutnya, agar dapat mengetahui apa yang

baik dan apa yang buruk bagi manusia, orang harus mengetahui

sifat dasar manusia. Fromm disini juga menjelaskan tentang tidak

dapat dilepaskannya psikologi dari filsafat, karena personalitas

manusia tidak dapat dipahami jika seseorang tidak melihat

manusia dalam totalitasnya, yang mencakup kebutuhan

mendapat sebuah jawaban atas pertanyaan mengenai arti

eksistensinya dan menemukan norma yang sesuai dengan

bagaimana dia seharusnya hidup. Fromm menegaskan bahwa

mustahil memahami manusia dan gangguan emosional secara

mental tanpa memahami sifat dasar, nilai, dan konflik-konflik

moral, yang mengarah pada tujuan manusia untuk menjadi

dirinya, dan mengada bagi dirinya.

Fromm dalam karyanya ini juga menunjukkan hubungan

struktur sosio-ekonomis masyarakat dengan pembentukan

karakter manusia. Fromm menjelaskan bahwa struktur watak

(karakter) personalitas yang matang dan terpadu, suatu karakter

produktif, merupakan sumber dan basis dari ‘kebaikan’, dan sifat

buruk pada hakikatnya adalah pengabdian pada dirinya sendiri

dan perusakan diri. Nilai penting bagi kemanusiaan menurut

Fromm bukan penolakan diri atau bukan keadaan mementingkan

diri, melainkan ‘cinta diri’; bukan peniadaan terhadap individu,

melainkan penegasan diri kemanusiaan yang sebenarnya.

Dalam analisis Fromm, kebaikan dalam pengertian

modern adalah sebuah konsepsi tentang etika otoritarianisme.

Menjadi baik menandakan penolakan diri dan kepatuhan pada

otoritas kekuasaan, dan penindasan individualitas lebih baik

daripada realisasinya paling penuh.

Pada tahun 1955 Fromm menulis The Sane Society yang

mencermati perkembangan masyarakat yang sedang beranjak

dalam transisi dari kolektivitas tradisional agraris menuju kota --

industrialis yang individualis. Fromm dalam bukunya ini

menunjukkan prasyarat-prasyarat bagaimana mewujudkan

masyarakat yang terbuka dan sehat.

The Sane Society menunjukkan bahwa segala rekayasa

sosial akan mencapai batasnya manakala tidak ada penghargaan

pada kesadaran masing-masing individu melalui konsensus yang

dialogis. Kesulitan pengelolaan masyarakat dengan budaya yang

telah ada menurut Fromm banyak disebabkan karena terlalu

ekstrem memberikan semua kemerdekaan tanpa batas pada

individu, sehingga mengakibatkan anarkhi (situasi kacau karena

masing-masing individu menurut kemauannya sendiri). Di lain

pihak, bila perkembangan masyarakat diatur ketat dengan

kekerasan tangan besi, maka yang terjadi adalah masyarakat

otoriter, beku, apatis, karena daya kreatif anggota-anggotanya

sudah dibekukan dalam sistem penataan. Karya Fromm ini

menjelaskan sejauh mana ruang bebas untuk pemekaran

kesadaran masing-masing individu bisa menumbuhkan pola

kesepakatan untuk kohabitasi atau hidup bersama dengan saling

menghargai.

Tahun 1962 Fromm menulis The Art of Loving, karya yang

memperoleh best seller. Dalam karyanya ini Fromm menggugat

konsepsi cinta yang selama ini dipercayai dan disepakati. Dalam

Pandangan Fromm cinta adalah perhatian aktif terhadap hidup

dan perkembangan dari apa atau siapa yang dicintai, karena

perhatian aktif ini berkurang, maka tidak ada lagi cinta. Cinta bagi

Fromm tidak identik dengan ‘jatuh’ cinta, karena hal ini

menunjukkan kepasifan, suatu bentuk cinta semu yang lebih

terlihat ‘mendewakan’ yang dicintai. Jika seorang pribadi tidak

mencapai tingkat tempat ia memiliki suatu kesadaran identitas,

rasa keakuan yang berdasarkan pengungkapan produktif, maka ia

cenderung untuk ‘memuja’ pribadi yang dicintainya. Ia terasing

dari kekuatan-kekuatannya sendiri dan memproyeksikan ke dalam

pribadi yang dicintainya itu sebagai summum bonum.

Pada tahun 1976 Fromm menulis karyanya yang terakhir

yang diberi judul To Have or To Be. Dalam karyanya ini Fromm

menjalaskan bahwa karakter yang produktif dan karakter non

produktif dalam diri manusia maupun perilaku budaya manusia

pada akhirnya berakar pada orientasi dasar manusia to have dan

to be. Dua orientasi dasar ini merupakan dua modus pengalaman

dan kecenderungan yang secara fundamental berbeda. Orientasi

dasar yang dominan akan menentukan seluruh pikiran, perasaan

dan perbuatan seseorang.

C. Pemikiran yang Mempengaruhi.

Dalam pelbagai tulisannya, Fromm terlihat berupaya

menjembatani kesenjangan pemikiran antara Marx dan Freud.

Namun pemikiran Fromm tidak hanya bersumber dari dua tokoh

ini, latar belakang Yahudi dan perkenalannya dengan Buddhisme

Zen setidakya juga banyak mempengaruhi pemikirannya.

Marx dan Freud meletakkan pijakan teoretik tentang

perilaku manusia individual maupun kelompok serta perubahan-

perubahannya. Di samping itu, kedua tokoh ini memiliki sikap

yang skeptis terhadap ideologi (Fromm, 1962:12). Fromm

beranggapan bahwa sistem pemikiran Marx sedikit banyak telah

meninggalkan aspek individu dalam memahami tingkah laku

manusia, sebaliknya Freud banyak meninggalkan komponen

sosial. Fromm menjelaskan sebagai berikut :

I wanted to understand the laws that govern the life of the individual man and the law of society –that is of man in their social existence. I tried to see the lasting truth in Freud’s concept as against those assumption which were in need of revision. I tried to do the same with Marx’s theory, and finally I tried to arrive at a synthesis which followed from the understanding and the criticism of both thinkers (Fromm, 1962:6).

a. Pengaruh Karl Marx.

Dalam pandangan Marx, struktur ekonomi masyarakat

(alat-alat produksi dan hubungan sosial dalam produksi)

merupakan dasar yang sebenarnya bagi perilaku sosial dalam

masyarakat. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar

struktur ekonomi ini dan menyesuaikan diri dengan tuntutan

dan pra-syarat yang terdapat didalamnya. Kebutuhan

masyarakat, termasuk standar moral, kepercayaan agama,

sistem filsafat, ideologi, budaya dan politik mencerminkan

pengalaman hidup yang riil dari orang-orang yang terjalin

dalam hubungan ekonomi (Johnson, 1986:134)

Johnson juga menjelaskan bahwa dalam pemikiran Marx

perubahan-perubahan yang terjadi pada sejarah dalam bentuk

kesadaran, ideologi atau asumsi-asumsi filosofis

mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan-perubahan

dalam kehidupan sosial dan material manusia. Kondisi-kondisi

kehidupan material bergantung pada sumber-sumber alam

yang ada, dan kegiatan manusia yang produktif. Hubungan

antara infra-struktur dan ekonomi, super-struktur budaya dan

struktur sosial yang dibagi atas dasar sistem ekonomi itu

merupakan akibat langsung yang wajar dari materialisme

historis Marx (Johnson, 1986:134-135). Adaptasi manusia

terhadap lingkungan material selalu melalui hubungan-

hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan ini sedemikian

meresapnya sehingga semua hubungan sosial lainnya dan

juga bentuk-bentuk dasar kesadaran dibentuk oleh hubungan

ekonomi.

Dengan menganalisis pelbagai pandangan Marx,

Fromm beranggapan bahwa kebanyakan pemikir telah

melakukan kekeliruan besar dalam menafsirkan gagasan

Marx. Mereka meyakini bahwa asumsi dasar teoretik Marx

telah menunjukkan bahwa motif utama manusia adalah

memperoleh keuntungan dan kesenangan material belaka,

serta mereka meyakini bahwa Marx memiliki tendensi yang

anti spiritual. Fromm menjelaskan sebagai berikut :

Interpreted Marx thought in the economistic and materialistic categories that are prevalent in capitalism. For them, socialism is not society humanly different from capitalism, but rather, a form of capitalism in which the working class has achieved a higher status (Fromm, 1966:6).

Salah paham yang sering terjadi tentang teori Marx

adalah interpretasi seakan-akan Marx memaksudkan bahwa

usaha-usaha untuk memperoleh materi merupakan motif

utama dalam diri manusia. Sebenarnya pandangan seperti ini

merupakan ide dasar kapitalisme yang terus menerus

menekankan bahwa pendorong utama manusia bekerja

adalah keinginan untuk mendapatkan uang. Konsepsi Marx

sangat berbeda dari asumsi ini, karena konsepsinya tentang

faktor ekonomi tidak bersifat psikologis, melainkan lebih

bersifat sosiologis, yaitu perkembangan ekonomi adalah

kondisi objektif bagi pengembangan budaya.

Konsepsi Marx yang mengandaikan bahwa kondisi-

kondisi material manusia menentukan cara produksi dan

konsumsi, yang pada gilirannya menentukan pula organisasi

sosial-politik, budaya, serta praktek hidupnya, dan akhirnya

mempengaruhi cara berpikir dan cara menghayati sesuatu ini

banyak mempengaruhi analisis Fromm terhadap karakter

individu dan watak sosial masyarakat.

Dialektika materialisme Marx juga mendapat tempat

tersendiri dalam pemikiran Fromm. Menurut Fromm teori

materialisme historis menawarkan konsep-konsep ilmiah yang

penting untuk memahami hukum-hukum sejarah. Titik

pengembangan teori ini akan melihat korelasi antara

perkembangan ekonomi dan perkembangan kebudayaan.

Fromm sebagai pemikir kritis juga melakukan kritik

terhadap Marx yang menurutnya kurang menyadari bahwa

kodrat manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan eksistensial

yang harus dipenuhi yang terus menerus berinteraksi dengan

kondisi-kondisi ekonomi dalam membentuk sejarah. Marx

menurut Fromm tidak memiliki konsepsi yang cukup tentang

karakter manusia, ia kurang menyadari bahwa di samping

manusia dibentuk oleh struktur sosial dan struktur ekonomi,

manusia pada gilirannya juga membentuk struktur-struktur itu

(Fromm, 1955:123).

b. Pengaruh Sigmund Freud.

Konsep dasar pemikiran Freud adalah bahwa individu

muncul untuk memenuhi dorongan-dorongan biologis yang

perlu dipuaskan. Agar dorongan itu dapat terpuaskan, individu

harus mengadakan hubungan dengan objek lain. Freud

melakukan analisis atas kekuatan irrasionalitas dan tindakan

bawah sadar yang menentukan tindakan manusia. Freud

menerima keyakinan tradisional tentang dikhotomi mendasar

antara manusia dan masyarakat, seperti halnya doktrin

tradisional mengenai jahatnya kodrat manusia. Manusia

menurut Freud pada dasarnya anti sosial, sehingga

masyarakat harus mampu menjinakkan dia, harus

memberikan kepuasan-kepuasan. Nafsu-nafsu biologis yang

ada pada diri manusia tidak dapat dimusnahkan, sehingga

masyarakat harus menyaring dan menyeleksi secara ketat

dorongan-dorongan dasar manusia tersebut. Namun sebagai

akibat dari penekanan terhadap dorongan alamiah manusia

oleh masyarakat ini menurut Freud sangat mengejutkan,

dorongan-dorongan yang ditekan berubah menjadi usaha-

usaha yang bernilai secara budaya, oleh karena itu menjadi

dasar bagi budaya manusia (Freud, 1993:43).

Freud menggunakan istilah ‘sublimasi’ untuk

menjelaskan transformasi aneh yang mengarah pada perilaku

beradab ini. Menurut Freud, jika tekanan lebih kuat dari

kapasitas sublimasi, individu-individu menjadi neurosis dan

karena itu perlu pengendoran terhadap tekanan. Secara

umum dalam analisis Freud, ada hubungan timbal balik

antara kepuasan dorongan-dorongan manusia dan

kebudayaan. Makin besar tekanan, makin besarlah budaya

dan makin tinggi pula bahaya neurosis yang ada pada diri

manusia.

Dalam pandangan Fromm, teori Freud menunjukkan

adanya hubungan antara individu dengan masyarakat yang

relatif sama, dan mengalami perubahan hanya sejauh

masyarakat menekan dengan lebih kuat dorongan-dorongan

alamiahnya (dan karena itu sublimasi) atau memberikan

pemuasan (dengan demikian mengorbankan kebudayaan)

(Fromm, 1941:7).

Dalam analisis Fromm, psikologi adalah keterkaitan

individu dengan dunianya, bukan kepuasan atau kefrustasian

hubungan atau kebutuhan instingtual itu sendiri. Dengan

asumsi bahwa hubungan antara individu dengan masyarakat

bukanlah hubungan yang bersifat statis. Walaupun ada

kebutuhan pokok yang umum ada bagi manusia, seperti :

lapar, haus, sex, namun ada dorongan-dorongan yang

berbeda dalam karakter manusia, seperti kebencian dan cinta,

haus akan kekuasaan dan kecenderungan untuk tunduk,

kesenangan kepada kesenangan inderawi dan ketakutan-

ketakutan terhadapnya yang kesemuanya merupakan produk

dari proses sosial. Kecenderungan-kecenderungan manusia

yang paling baik ataupun yang paling buruk bukan merupakan

kepastian atau secara biologis merupakan kodrat manusia,

melainkan merupakan hasil proses sosial yang membentuk

manusia.

Fromm menjelaskan bahwa masyarakat tidak hanya

merupakan fungsi penekan (walaupun itu juga merupakan

salah satu fungsinya), tetapi masyarakat juga sebagai fungsi

pembentuk. Perilaku manusia, nafsu dan kegelisahannya

merupakan produk kebudayaan. Dalam pandangan Fromm

manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, karena sejarah

juga diciptakan manusia. Seseorang tidak hanya

memperlihatkan bagaimana nafsu, keinginan, kegelisahan

tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari proses sosial,

melainkan juga memperlihatkan bagaimana energi manusia

mewujud dalam bentuk-bentuk khusus sedemikian rupa

sehingga menjadi kekuatan-kekuatan produktif yang

membentuk proses sosial. Dengan demikian Fromm juga

menolak pandangan psikologi behavioristik yang melihat

karakter manusia sebagai ‘budak’ sejarah, manusia selalu

beradaptasi dengan pola budaya baru.

Jika dilihat dari pelbagai karya Fromm akan tampak

bahwa walaupun ide-ide Fromm pada dasarnya berbeda

dengan gagasan-gagasan Freud, namun ide-ide Fromm

didasarkan pada penemuan-penemuan fundamental Freud,

jadi berada di bawah pengaruh gagasan-gagasan dan

pengalaman suatu generasi yang berdiri di atas bahu Freud.

Tetapi justru karena kritik langsung atau tidak langsung

terhadap Freud, Fromm ingin menekankan sejelas mungkin

bahwa ia melihat beberapa bahaya dalam arah perkembangan

pemikiran Freud. Pandangan Fromm yang terlihat mengambil

jarak dengan pemikiran Freud ini terutama disebabkan

pengaruh Marx. Misalnya, kalau Freud menekankan bahwa

fenomena tak-sadar merupakan penentu bagi tingkah laku

individual, Fromm melihat bahwa dalam perilaku masyarakat

juga fenomena tak-sadar memiliki peranan yang signifikan

(Bertens, 1991:xiv).

Hal penting yang dapat dilihat dari perbedaan

pandangan kedua tokoh ini adalah Fromm menganggap

bahwa watak manusia pada dasarnya dikondisikan secara

historis, walaupun ia tidak meremehkan arti penting dari

faktor-faktor biologis dan tidak mempercayai bahwa

persoalannya dapat diletakkan secara pasti dalam istilah

kebudayaan versus faktor-faktor biologis. Sedangkan Freud

memandang manusia sebagai suatu entitas, sistem yang

tertutup, dibekali oleh alam dengan dorongan-dorongan yang

dikondisikan secara psikologis.