buku dan kesusastraan bukan kartu pos

1
4 Menjual buku dan kesusastraan di pameran buku luar negeri tanpa membawa- bawa nama ’’Indonesia’’ mungkin sesuatu yang tak bisa dibayangkan, terutama oleh para pemegang kebijakan. Apalagi, uang yang dipergunakan merupakan uang negara yang berasal dari pajak.” RUANG PUTIH Jawa Pos Minggu 31 Mei 2015 Oleh EKA KURNIAWAN BANYAK orang masih sering berpikir buku, khususnya kesusastraan, sebagai- mana mereka berpikir mengenai kartu pos, terutama dalam hubungannya dengan orang/negeri asing. Lama saya juga sering terjebak dalam pikiran semacam itu. Seperti kita tahu, kartu pos sering berfungsi sebagai sejenis memento. Kita berada di satu tempat, lalu mengirimkan kartu pos yang berhubungan dengan tempat itu kepada seseorang yang kita anggap penting. Pesannya jelas: saya pernah ada di sini, kamu bisa mengenali tempat (suasana) yang saya alami, dengan melihat kartu pos yang saya kirim. Dengan kacamata seperti itu, buku di- tempatkan sebagai sejenis memento yang sama: jika ingin mengetahui Indonesia, bacalah buku (atau kesusastraan) Indo- nesia. Para penulis buku atau siapa pun yang terlibat dalam penerbitan buku juga melihat dengan cara serupa: saya ingin memperkenalkan negeri saya, Indonesia, melalui buku ini. Lihatlah, ini orang-orang Indonesia, ini kebudayaan kami, ini sejarah kami. Disampaikan dalam bentuk novel atau puisi. Bacalah, dengan cara seperti itu, Anda akan mengenali kami. Hal itu diperkuat dengan stereotipe yang telah lama berlaku, seperti ”buku merupakan jendela dunia” , yang bukankah sama persis dengan fungsi kartu pos? Atau bahkan prangko? Bahkan dengan bentuknya yang persegi, kartu pos jauh lebih mirip ’’jendela dunia” tersebut. Atau lihat kutipan semacam ’’Dunia ini buku, yang tak pernah bepergian hanya membaca satu halaman buku” (dari Augustine Hippo), yang pengertiannya juga bisa dibalik. Tahun ini Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di ajang Frankfurt Book Fair, Oktober 2015 (dan diawali dengan ke- ikutsertaan di pameran buku Leipzig, Bologna, dan London yang baru saja usai). Mengambil tema 17.000 Islands of Imagination, kita ingin memperkenalkan 17.000 kepulauan Indonesia, dengan beragam kebudayaan, etnik, ras, kekayaan alam (dan sebagainya, termasuk khayalan- khayalannya). Kita akan datang ke sana untuk ’’memperkenalkan’’ Indonesia melalui buku. Adakah yang salah dengan hal itu? Se- benarnya tidak bisa dibilang salah, seba- gaimana kita memang bisa memperlakukan buku dengan cara seperti itu. Tapi, kun- jungan saya ke London Book Fair, 14–16 April, memberi saya sudut pandang yang berbeda dan menyadarkan saya tentang hal penting yang seharusnya saya sadari secara alamiah. Tentang kenapa buku ditulis, kenapa para penulis memutuskan menulis buku, dan tentu saja tentang bagaimana pada akhirnya buku-buku dibaca. Di pameran buku yang sering disebut Olimpiade-nya buku (terbesar kedua setelah Frankfurt), saya berkesempatan bertemu dengan orang-orang perbukuan dari beberapa negara. Bahkan, ikut pesta kecil yang dipenuhi penulis, penerjemah, editor, dan agensi dari berbagai negara. Tentu saya tak mungkin berkenalan dengan semua orang, tapi satu-dua teman baru bisa membawa percakapan yang lebih panjang dan serius. Salah satu teman berbincang saya adalah seorang penerjemah Korea-Inggris sekaligus seorang editor dari satu penerbit di London yang banyak menerbitkan karya sastra dari wilayah Asia. Awalnya perbincangan kami dimulai dengan memperbandingkan keadaan kesusastraan Indonesia dan Korea (maksudnya Korea Selatan), di mana kami sepakat, dengan begitu banyak potensi, sejarah panjang, keunikan masing-masing, kedua negara itu praktis tak terlihat dalam peta kesu- sastraan dunia. Bahkan, khusus untuk Korea, keadaan itu semakin mencolok jika dibandingkan dengan fenomena musik pop (siapa yang tak kenal Super Junior atau Girls’ Ge- neration?) dan film mereka (siapa tak kenal Park Chan-wook atau Kim Ki-duk?), yang tak hanya merajai pasar lokal, tapi juga diakui dunia. ’’Pemerintah Korea menggelontorkan banyak uang untuk memperkenalkan kesusastraannya. Subsidi diberikan untuk penerjemahan maupun penerbitan di luar negeri. Bahkan, penulis-penulis asing diundang untuk residensi di Korea,” kata teman berbincang saya (saya mampir ke stan Korea Selatan dan memang mereka mempromosikan kesusastraannya dengan penuh semangat). ”Meskipun begitu, kadang saya merasa pemerintah Korea tidak mengerti ke- susastraan mereka sendiri.” Ia kemudian memandang saya agak lama, seperti menunggu saya berkomentar. Tapi, karena saya tak mengatakan apa pun, ia sendiri yang menambahkan, ”Mungkin itu pula yang terjadi dengan pemerintah Indonesia. Siapa pun yang memegang kebijakan mungkin tak mengerti kesu- sastraan secara umum atau kesusastraan Indonesia secara khusus.” Saya tak bisa menebak apa yang ada di pikiran pemegang kebijakan di Indonesia, tapi mungkin ia benar. Apa yang dimaksudnya dengan ’’tidak mengerti’’ adalah: kadang-kadang mereka (pemegang kebijakan) berpikir menjual buku atau kesusastraan seperti menjual potensi pariwisata. Itu seperti kita mem- baca sastra Jepang dan yang kita peroleh melulu tentang kimono, teh, samurai, dan bunga sakura di musim semi. Itu hal yang sama terjadi di Korea, katanya. ”Dan bagaimana dengan Indonesia?” tanya saya. Ia menjawab, ”Sebagai pembaca sastra, saya tak ingin membaca apa pun tentang batik, keris, wayang, Borobudur, atau Bali. Atau komodo. Saya sudah tahu soal itu, kalau mau lebih tahu, saya akan baca buku lain.” Percakapan itu sedikit banyak menampar saya. Batik, keris, wayang, Borobudur, Bali (dan bisa ditambahkan banyak hal lainnya) merupakan hal-hal yang sangat dibanggakan orang Indonesia. Dan kita sering berpikir, jika kita ingin menjual Indonesia, menjual kesusastraan Indonesia, kita bisa menjual hal-hal itu. Kita tak pernah sadar hal tersebut bisa menjerumuskan kita ke dalam stereotipe tentang Indonesia. ’’Tidak. Buku dan kesusastraan bukan kartu pos.’’ Saya harus pergi jauh ke London, berbincang dengan orang asing, untuk memperoleh tonjokan keras semacam itu. Untuk kembali ke kesadaran bahwa buku pada dasarnya adalah mengenai gagasan, mengenai dialog. Mengenai ’’menciptakan Borobudur’’ yang lain. Borobudur merupakan sumbangan Indo- nesia untuk dunia. Para penulis Indonesia, jika dunia ingin kembali ’’membaca’’ Indonesia, sudah seharusnya memberikan sumbangan yang lain. Lebih agung daripada Borobudur, melebihi apa yang sudah diciptakan nenek moyang kita. Tentu saja pameran buku pada akhir- nya memang pameran dagang. Ia berbeda dengan festival sastra, mi- salnya. Di sana siapa pun mencoba berjualan atau membeli. Meskipun begitu, jika memang tujuan utamanya memperkenalkan Indonesia, kebudayaannya, kekayaan alamnya, khayalan-khayalannya… dan pada akhirnya berharap orang berkunjung kemari, pameran pariwisata di tangan Kementerian Pariwisata barangkali akan jauh lebih cocok dan lebih efektif. Di pameran buku, kita menjual dan membeli buku, dan artinya kita menjual dan membeli gagasan. Kita berdialog. Bagi saya, menawarkan konsep ’’puisi sebagai mantra” dari Sutardji Calzoum Bachri (semoga ia selalu diberi kesehatan yang baik), dalam konteks dadaisme atau pascamodern, misalnya, jauh lebih menarik sebagai jualan dalam dialog kesusastraan/ perbukuan semacam ini, ketimbang memperkenalkan sejarah literasi Indonesia secara umum sejak zaman prasasti ditulis hingga penulis paling kontemporer. Terlepas gagasan itu masih laku atau tidak. Atau apa gagasan para penulis dan intelektual kita mengenai problem dunia seperti terorisme dan fundamentalisme (problem yang juga kita hadapi)? Sekali lagi, bisa saja memang buku dilihat dan diperlakukan seperti kartu pos. Jika seseorang membaca buku atau kesusastraan Indonesia dengan harapan mengenal Indonesia (dalam banyak aspeknya), pemerintah mungkin akan senang. Tapi, para penulis, saya yakin setidaknya kebanyakan penulis, akan lebih senang jika karyanya dibaca secara sederhana karena buku itu menarik, karena ga- gasannya diperlukan si pembaca. Se- bagaimana kita membaca Moby Dick dan tak ambil pusing Herman Melville itu orang Amerika. Menjual buku dan kesusastraan di pameran buku luar negeri tanpa membawa- bawa nama ’’Indonesia’’ mungkin sesuatu yang tak bisa dibayangkan, terutama oleh para pemegang kebijakan. Apalagi, uang yang dipergunakan merupakan uang negara yang berasal dari pajak. Dan mungkin karena itu, kita masih jauh dan jalan masih panjang, mengharapkan dunia membaca karya anak bangsa ini semata-mata karena karya itu hebat, tanpa embel-embel ’’karena ditulis oleh penulis Indonesia’’ . Apalagi dibaca hanya karena ingin mengetahui tentang Indonesia, seolah-olah karya sastra sejenis buku panduan semacam Lonely Planet. Saya barangkali termasuk penulis yang masih berpikir tentang kartu pos dan perlu terus-menerus disadarkan bahwa buku dan kesusastraan lebih dari sekadar itu. (*) Penulis novel dan cerita pendek Politik Kebudayaan Buku dan Kesusastraan Bukan Kartu Pos Patung Gus Dur: Merawat

Upload: eka-kurniawan

Post on 06-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Diterbitkan di "Jawa Pos", 31 Mei 2015.

TRANSCRIPT

  • Oleh WIDYANUARI EKO PUTRA

    BELUM lama ini (25 April 2015) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok meresmikan patung Gus Dur di Taman Amir Hamzah. Patung itu menampilkan wujud Gus Dur kecil yang berusia sembilan tahun dalam pose membaca. Peletakan patung di taman tentu memiliki pamrih tertentu. Orang-orang datang ke taman untuk ber-santai, menikmati ketenangan, mem-baca, bahkan pelesir dan bermain sepak bola. Patung Gus Dur kecil itu dimaksudkan untuk merangsang anak-anak agar mau membaca. Pengun jung bakal melihat patung Gus Dur kecil sedang menenteng buku, mengingatkan sosok Gus Dur sebagai manusia berbuku.

    Di Indonesia, cara menghormati tokoh penggerak bangsa kerap diwujudkan dalam pembuatan patung. Mereka yang diakui sebagai tokoh besar dihadirkan lagi dalam wujud patung. Niat membuat patung biasa-nya untuk menghormati dan nostalgia. Patung berdiri di museum, taman kota, perempatan jalan, taman budaya, gedung pemerintahan, dan halaman rumah. Membuat patung adalah usaha merawat ingatan.

    Gairah membuat patung di tempat-tempat publik pernah dialami Indonesia di era Presiden Soekarno. Kita mengenal, Soekarno adalah penggila patung. Di bawah pimpinan Soekarno, Indo-nesia adalah negara yang menggemari patung. Pa-tung dihadirkan di ha-dapan publik sebagai perwujudan misi nasio-nalisme dan har ga diri bang-sa. Patung mene guhkan sikap politik dan pan dangan negara. An-tusiasme Soekarno pada patung tak lepas dari gelar in sinyur dan ga gasan politiknya.

    Hilmar Farid dalam Kisah Tiga Patung (2012) mengingatkan pengor-banan Soekarno demi melunasi ambisi pembangunan patung. Kisah muram terjadi saat pembangunan Patung Dirgantara. Patung dibangun untuk mengenang keberanian penerbang Indonesia melawan Be-landa, yang saat itu hanya menggu-nakan pesawat bekas Jepang. Proyek tersebut mulai dikerjakan pada 1965, tetapi tersendat setelah meletus petaka G 30 S. Soekarno lengser dan pendanaan proyek mandek.

    Tak ingin melihat ambisinya gagal, Soekarno menyuruh ajudannya menjual mobilnya dan menyerahkan uang hasil penjualan demi melan-jutk an proyek patung itu. Pada 1970, pem bangunan Patung Dirgantara rampung meski tak seorang pejabat

    pun datang untuk meresmikan. Patung prestisius itu berdiri dalam sepi dan duka. Soekarno wafat sebelum sempat menyaksikan pe-resmian patung tersebut.

    Rezim Soekarno tumbang. Soe harto melenggang sebagai penguasa Orde Baru dan ambisi membuat patung terus dilakoni. Pada era Soe harto, patung dibuat dalam bentuk sosok militer, anak-anak sekolah, hingga ibu dan dua anaknya. Trisno Yulianto (2015) menganggap patung-patung pada era Soeharto dibuat sebagai perayaan atas ke berhasilan program-program pe merintah seperti keluarga berencana dan wajib belajar enam tahun. Patung dalam bentuk sosok-sosok militer bermisi penguatan

    ingatan atas ideologi antikomunis mi lik Soeharto.

    PemaknaanPatung Gus Dur di Taman Amir

    Ham zah mengundang tafsir dan pe-maknaan filosofis. Kita mengenal Amir Hamzah sebagai penyair kon-dang dan penulis puisi legendaris Padamu Jua. Di taman itu, Patung Gus Dur tampil sederhana, tak mene-bar kemewahan dan pengultusan. Kita bisa menyentuh, memandang, dan membayangkan kehadiran Gus Dur dari dekat. Patung Gus Dur ber-ukuran mungil tapi sanggup mem-berikan ajakan-ajakan literatif.

    Kita mengenang Gus Dur sebagai pembaca buku yang tekun. Saat-saat

    menjadi mahasiswa di Universitas Al Azhar adalah kesempatan bagi Gus Dur untuk memenuhi hasrat membaca. Gus Dur menghabiskan waktu di perpustakaan, kedai kopi, dan bioskop. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003) mencatat, Ia (Gus Dur) membaca apa saja, tan pa memilih-memilih tempat. Ia juga membaca di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku, maka potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan bacaan.

    Gus Dur melahap pelbagai jenis buku dari para pengarang kondang dunia, tak melulu dari literatur Islam. Dari novel karya William Faulkner, Leo Tolstoy, Kafka, hingga buku-buku kiri seperti karangan Karl Marx dan Lenin. Godaan berbuku memaksa Gus Dur mengganti waktu berkuliah, beralih ke ritus-ritus membaca di perpustakaan di Kairo. Patung kecil itu selaras dengan pribadi Gus Dur sebagai penggila buku tanpa harus dimaknai sebagai agenda propaganda dan pencitraan.

    Ide membuat patung memang kerap berpamrih politis. Soekarno meng-abadikan setiap peristiwa besar dalam babakan politik Indonesia dalam

    bentuk patung. Sedangkan Soeharto membuat patung bermisi pengabaran agenda-agenda pemerin tah. Pada masa lalu, patung seperti tak pernah hadir tanpa niat dan misi politik.

    Di koran-koran dan media daring, kita bisa melihat patung itu hadir tanpa menampilkan kesan pengultusan atas kebesaran tokoh. Patung Gus Dur tampil dalam bentuk yang sederhana dan tak menjulang tinggi-tinggi. Hal itu mengisyaratkan gagasan Gus Dur perihal isu kesetaraan.

    Kehadiran Gubernur Ahok dalam peresmian patung tersebut kentara bermaksud menabalkan gagasan pluralisme Gus Dur. Gus Dur adalah tokoh yang berseru lantang mene-gaskan kesetaraan warga Tionghoa sebagai warga negara Indonesia. Kedatangan Gubernur Ahok saat peresmian patung adalah repre-sentasi Gus Dur di mata kalangan Tiong hoa Indonesia.

    Pembuatan patung itu adalah ejawantah etos Gus Dur semasa hidup. Sejak kecil, Gus Dur sudah bersentuhan dengan rimbunan buku-buku. Gus Dur tampil sebagai intelektual dan tokoh penting di negara berkat in-telektualitas yang dimiliki berkat re ferensi buku bacaannya.

    Gus Dur kecil itu membaca, ber-petuah agar anak-anak, juga orang-orang penting di negeri ini, memaksa diri untuk berkeinginan membaca. Merawat ingatan bersama buku-buku. (*)

    Lahir di Purbalingga, 25 Januari 1989. Bergiat di Kelab Buku

    Semarang

    4

    Menjual buku dan

    kesusastraan di pameran

    buku luar negeri tanpa

    membawa-bawa nama Indonesia

    mungkin sesuatu yang

    tak bisa dibayangkan,

    terutama oleh para

    pemegang kebijakan.

    Apalagi, uang yang

    dipergunakan merupakan

    uang negara yang berasal

    dari pajak.

    ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

    RUANG PUTIH Jawa Pos Minggu 31 Mei 2015

    Oleh EKA KURNIAWAN

    BANYAK orang masih sering berpikir buku, khususnya kesusastraan, seba gai-mana mereka berpikir mengenai kartu pos, terutama dalam hubungannya dengan orang/negeri asing. Lama saya juga sering terjebak dalam pikiran semacam itu. Seperti kita tahu, kartu pos sering berfungsi sebagai sejenis memento. Kita berada di satu tempat, lalu mengirim kan kartu pos yang berhubungan dengan tempat itu kepada seseorang yang kita anggap penting. Pesannya jelas: saya pernah ada di sini, kamu bisa mengenali tempat (suasana) yang saya alami, dengan melihat kartu pos yang saya kirim.

    Dengan kacamata seperti itu, buku di-tempatkan sebagai sejenis memento yang sama: jika ingin mengetahui Indonesia, bacalah buku (atau kesusastraan) In do-nesia. Para penulis buku atau siapa pun yang terlibat dalam penerbitan buku juga melihat dengan cara serupa: saya ingin memperkenalkan negeri saya, Indonesia, melalui buku ini. Lihatlah, ini orang-orang Indonesia, ini kebudayaan kami, ini sejarah kami. Disampaikan dalam bentuk novel atau puisi. Bacalah, dengan cara seperti itu, Anda akan mengenali kami.

    Hal itu diperkuat dengan stereotipe yang telah lama berlaku, seperti buku merupakan jendela dunia, yang bukankah sama persis dengan fungsi kartu pos? Atau bahkan prangko? Bahkan dengan bentuknya yang persegi, kartu pos jauh lebih mirip jendela dunia tersebut. Atau lihat kutipan semacam Dunia ini buku, yang tak pernah bepergian hanya membaca satu halaman buku (dari Augustine Hippo), yang pengertiannya juga bisa dibalik.

    Tahun ini Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di ajang Frankfurt Book Fair, Oktober 2015 (dan diawali dengan ke-ikut sertaan di pameran buku Leipzig,

    Bologna, dan London yang baru saja usai). Mengambil tema 17.000 Islands of Imagination, kita ingin memperkenalkan 17.000 kepulauan Indonesia, dengan beragam kebudayaan, etnik, ras, kekayaan alam (dan sebagainya, termasuk khayalan-khayalannya). Kita akan datang ke sana untuk memperkenalkan Indonesia me lalui buku.

    Adakah yang salah dengan hal itu? Se-be narnya tidak bisa dibilang salah, seba-gaimana kita memang bisa memperlakukan buku dengan cara seperti itu. Tapi, kun-jungan saya ke London Book Fair, 1416 April, memberi saya sudut pandang yang ber beda dan menyadarkan saya tentang hal penting yang seharusnya saya sadari secara alamiah. Tentang kenapa buku ditulis, kenapa para penulis memutuskan menulis buku, dan tentu saja tentang bagaimana pada akhirnya buku-buku dibaca.

    Di pameran buku yang sering disebut Olimpiade-nya buku (terbesar kedua setelah Frankfurt), saya berkesempatan bertemu dengan orang-orang perbukuan dari beberapa negara. Bahkan, ikut pesta kecil yang dipenuhi penulis, penerjemah, editor, dan agensi dari berbagai negara. Tentu saya tak mungkin berkenalan dengan semua orang, tapi satu-dua teman baru bisa membawa percakapan yang lebih panjang dan serius.

    Salah satu teman berbincang saya adalah seorang penerjemah Korea-Inggris sekaligus seorang editor dari satu penerbit di London yang banyak menerbitkan karya sastra dari wilayah Asia. Awalnya perbincangan kami dimulai dengan memperbandingkan keadaan kesusastraan Indonesia dan Korea (maksudnya Korea Selatan), di mana kami sepakat, dengan begitu banyak potensi, sejarah panjang, keunikan masing-masing, kedua negara itu praktis tak terlihat dalam peta kesu-sastraan dunia.

    Bahkan, khusus untuk Korea, keadaan itu semakin mencolok jika dibandingkan

    dengan fenomena musik pop (siapa yang tak kenal Super Junior atau Girls Ge-neration?) dan film mereka (siapa tak kenal Park Chan-wook atau Kim Ki-duk?), yang tak hanya merajai pasar lokal, tapi juga diakui dunia.

    Pemerintah Korea menggelontorkan banyak uang untuk memperkenalkan kesusastraannya. Subsidi diberikan untuk penerjemahan maupun penerbitan di luar negeri. Bahkan, penulis-penulis asing diundang untuk residensi di Korea, kata teman berbincang saya (saya mampir ke stan Korea Selatan dan memang mereka mempromosikan kesusastraannya dengan penuh semangat).

    Meskipun begitu, kadang saya merasa pemerintah Korea tidak mengerti ke-susastraan mereka sendiri. Ia kemudian me mandang saya agak lama, seperti menunggu saya berkomentar. Tapi, karena saya tak mengatakan apa pun, ia sendiri yang menambahkan, Mungkin itu pula yang terjadi dengan pemerintah Indonesia. Siapa pun yang memegang kebijakan mungkin tak mengerti kesu-sastraan secara umum atau kesusastraan Indonesia secara khusus.

    Saya tak bisa menebak apa yang ada di pikiran pemegang kebijakan di Indonesia, tapi mungkin ia benar.

    Apa yang dimaksudnya dengan tidak mengerti adalah: kadang-kadang mereka (pemegang kebijakan) berpikir menjual buku atau kesusastraan seperti menjual potensi pariwisata. Itu seperti kita mem-baca sastra Jepang dan yang kita peroleh melulu tentang kimono, teh, samurai, dan bunga sakura di musim semi. Itu hal yang sama terjadi di Korea, katanya.

    Dan bagaimana dengan Indonesia? tanya saya. Ia menjawab, Sebagai pembaca sastra, saya tak ingin membaca apa pun tentang batik, keris, wayang, Borobudur, atau Bali. Atau komodo. Saya sudah tahu soal itu, kalau mau lebih tahu, saya akan baca buku lain.

    Percakapan itu sedikit banyak menampar saya. Batik, keris, wayang, Borobudur, Bali (dan bisa ditambahkan banyak hal lainnya) merupakan hal-hal yang sangat dibanggakan orang Indonesia. Dan kita sering berpikir, jika kita ingin menjual Indonesia, menjual kesusastraan Indonesia, kita bisa menjual hal-hal itu. Kita tak pernah sadar hal tersebut bisa menjerumus kan kita ke dalam stereotipe tentang Indonesia.

    Tidak. Buku dan kesusastraan bukan kartu pos.

    Saya harus pergi jauh ke London, berbincang dengan orang asing, untuk memperoleh tonjokan keras semacam itu. Untuk kembali ke kesadaran bahwa buku pada dasarnya adalah mengenai gagasan, mengenai dialog. Mengenai menciptakan Borobudur yang lain. Borobudur merupakan sumbangan Indo-nesia untuk dunia. Para penulis Indonesia, jika dunia ingin kembali membaca Indonesia, sudah seharusnya memberikan sumbangan yang lain. Lebih agung daripada Borobudur, melebihi apa yang sudah diciptakan nenek moyang kita.

    Tentu saja pameran buku pada akhir-nya memang pameran dagang. Ia ber beda dengan festival sastra, mi-salnya. Di sana siapa pun mencoba ber jualan atau membeli.

    Meskipun begitu, jika memang tujuan utamanya memperkenalkan Indonesia, kebudayaannya, kekayaan alamnya, khayalan-khayalannya dan pada akhirnya berharap orang berkunjung kemari, pameran pariwisata di tangan Kementerian Pariwisata barangkali akan jauh lebih cocok dan lebih efektif. Di pameran buku, kita menjual dan membeli buku, dan artinya kita menjual dan membeli gagasan. Kita berdialog.

    Bagi saya, menawarkan konsep puisi sebagai mantra dari Sutardji Calzoum Bachri (semoga ia selalu diberi kesehatan yang baik), dalam konteks dadaisme atau pascamodern, misalnya, jauh lebih menarik

    sebagai jualan dalam dialog kesusastraan/perbukuan semacam ini, ketimbang memperkenalkan sejarah literasi Indonesia secara umum sejak zaman prasasti ditulis hingga penulis paling kontemporer. Terlepas gagasan itu masih laku atau tidak. Atau apa gagasan para penulis dan intelektual kita mengenai problem dunia seperti terorisme dan fundamentalisme (problem yang juga kita hadapi)?

    Sekali lagi, bisa saja memang buku dilihat dan diperlakukan seperti kartu pos. Jika seseorang membaca buku atau kesusastraan Indonesia dengan harapan mengenal Indonesia (dalam banyak aspeknya), pemerintah mungkin akan senang. Tapi, para penulis, saya yakin setidaknya kebanyakan penulis, akan lebih senang jika karyanya dibaca secara sederhana karena buku itu menarik, karena ga-gasannya diperlukan si pembaca. Se-bagaimana kita membaca Moby Dick dan tak ambil pusing Herman Melville itu orang Amerika.

    Menjual buku dan kesusastraan di pameran buku luar negeri tanpa membawa-bawa nama Indonesia mungkin sesuatu yang tak bisa dibayangkan, terutama oleh para pemegang kebijakan. Apalagi, uang yang dipergunakan merupakan uang negara yang berasal dari pajak. Dan mungkin karena itu, kita masih jauh dan jalan masih panjang, mengharapkan dunia membaca karya anak bangsa ini semata-mata karena karya itu hebat, tanpa embel-embel karena ditulis oleh penulis Indonesia. Apalagi dibaca hanya karena ingin mengetahui tentang Indonesia, seolah-olah karya sastra sejenis buku panduan semacam Lonely Planet.

    Saya barangkali termasuk penulis yang masih berpikir tentang kartu pos dan perlu terus-menerus disadarkan bahwa buku dan kesusastraan lebih dari sekadar itu. (*)

    Penulis novel dan cerita pendek

    Oleh TJAHJONO WIDARMANTO

    PENTINGNYA peran kebudayaan sebagai salah satu variabel untuk menuju kemajuan peradaban manusia tak perlu lagi disangsikan. Teori-teori modern dalam pelbagai aliran dan perspektif selalu menyebutkan betapa pentingnya nilai-nilai budaya. Dalam konteks itu, kebudayaan harus dipahami sebagai kata bergulir; sesuatu yang dinamis, seperti sebuah organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, bahkan mati. Kebudayaan harus disadari sebagai extrasomatic atau berada di luar tubuh manusia sehingga harus dipelajari, bahkan dikoreksi terus-menerus.

    Manusia merupakan wahana pengembangan kebudayaan. Manusia tumbuh bersama kebudayaannya. Kebudayaan tidak dirasakan karena merupakan bagian dalam suasana keseharian masyarakat pendukungnya sehingga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain di sekeliling manusia, antara lain geografi, politik, ekonomi, dan tingkah laku sejarah.

    Jawa Timur, seperti yang disampaikan guru besar Universitas Jember Prof Ayu Sutarto, memiliki catatan politik kultural yang menginspirasi dan mewarnai perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, Jawa Timur punya berbagai kelompok etnik. Juga, berbagai komunitas budaya tersebut memiliki berbagai warisan nilai budaya yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

    Melihat pentingnya nilai-nilai kebudayaan, bukanlah suatu yang berlebihan jika pembangunan Jawa Timur didasarkan pada paradigma nilai-nilai kebudayaan lokal. Untuk itu, harus selalu dilakukan berbagai penggalian kemungkinan yang terkait dengan kebudayaan lokal di Jatim yang bisa memperkukuh sekaligus merekonstruksi keutamaan dan keunggulannya. Upaya itu pada akhirnya akan menempatkan budaya yang sanggup menjadi soft power atau kekuatan lunak untuk memartabatkan bangsa dan negara.

    Agar dapat memosisikan kebudayaan sebagai soft power itulah, diperlukan sebuah strategi kebudayaan yang terarah. Berangkat dari konsep itulah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa Timur di Taman Candra Wilwatikta Pandaan, Pasuruan, 2122 Mei lalu.

    Ayu Sutarto dalam paparannya di kongres itu mengingatkan bahwa kebudayaan lokal di Jatim merupakan sumber inspirasi lahirnya sebuah peradaban Nusantara. Kebudayaan Majapahit menjadi bukti yang tak terbantahkan. Munculnya karya-

    karya sastra pada era Majapahit (bahkan sebelumnya) menjadi sumber nilai dan kearifan yang menunjukkan bahwa tradisi keaksaraan telah memicu tumbuhnya produk budi dan budi daya manusia. Juga, tradisi agraris yang berbasis pada tradisi religi dan tradisi sungai menunjukkan pengelolaan alam yang cerdas.

    Kekayaan dan kekuatan tersebut juga terdapat di berbagai wilayah Jatim lainnya. Budaya arek dan Malangan memiliki kekuatan spontanitas, terbuka, bersemangat, dan egaliter. Nilai-nilai religius yang kuat, etos kerja yang kuat, loyalitas yang tinggi, dan kekerabatan yang kuat pada masyarakat Madura, seperti dipaparkan Latief Wiyata, merupakan kekuatan nilai yang luar biasa yang harus diaktualisasikan.

    Hal yang sama terdapat pada kebudayaan masyarakat Tengger, masyarakat Samin, dan kebudayaan Panoragan. Semua warisan dan kekuatan kebudayaan tersebut tak hanya cukup dilestarikan, namun perlu diaktualisasikan dalam konteks kekinian sehingga dapat menjawab tantangan global.

    Berkaitan dengan tantangan global tersebut, dengan lugas pakar politik Unair Prof Hotman M. Siahaan menunjukkan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan contoh konkret dalam globalisasi. Perubahan dalam era masyarakat ekonomi global tersebut merupakan perubahan ekonomi yang akan memengaruhi kebudayaan. Karena itu, diperlukan sebuah strategi kebudayaan dari keragaman budaya Jatim untuk menghadapi MEA. Strategi kebudayaan tersebut harus mampu menciptakan suatu gerakan kebu-dayaan yang pada gilirannya akan membentuk otonomi kebudayaan. Gerakan itu tidak bersifat konfrontatif, melainkan merupakan kesadaran agar tidak menjadi korban dari kebudayaan lain.

    Untuk memanfaatkan kekuatan itu, diperlukan kemauan politik sekaligus komitmen kultural dari pemerintah dan pendukung budayanya. Harus ada politik kebudayaan yang tegas atau setidaknya politik yang responsif terhadap kebudayaan. Dengan begitu, ada keberpihakan dalam ranah kebudayaan yang mereposisi kembali peran dan fungsi kebudayaan.

    Tanpa politik yang responsif terhadap kebudayaan, segala nilai kebudayaan lokal di Jatim hanya akan menjadi artefak belaka. Dengan politik yang responsif terhadap kebudayaan, akan bisa dirancang strategi kebudayaan yang menempatkan kebudayaan sebagai roh pembangunan yang berdasar pada kepribadian Indonesia. (*)

    *) Sastrawan dan pemerhati

    kebudayaan yang tinggal di Ngawi, [email protected]

    Politik Kebudayaan

    Buku dan Kesusastraan Bukan Kartu Pos

    Patung Gus Dur: Merawat Ingatan dan Pemaknaan