budaya pesantren

Upload: dedi-fachrozi

Post on 07-Jul-2015

339 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

http://sosialcorner.com/mekanisme-survival-pesantren-peran-dan-tantanganpesantren-pasca-realisasi-jembatan-suramadu-dan-industrialisasi-madura Mekanisme Survival pesantren: Peran dan tantangan Pesantren pasca realisasi jembatan Suramadu dan industrialisasi Madura at Berbagi referensi ilmu SosiaL Strategi Pembangunan kawasan Suramadu Sisi Madura Pasca realisasi jembatan Suramadu dan industrialisasi Madura Multi nasional corporations (MNC) sebagai instrument kapitalisme dalam Ekspolitasi level produksi dan konsumsi di Negara sedang berkembang: potret dan solusi Mekanisme Survival pesantren: Peran dan tantangan Pesantren pasca realisasi jembatan Suramadu dan industrialisasi Madura Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pesantren merupakan institusi pendidikan yang melembaga dalam sub-kultur masyarakat Indonesia. Pesantren tidak hanya mengandung unsur keaslian (native) Indonesia, tetapi juga mengandung unsur keislaman. Pesantren yang awalnya sebagai lembaga pendidikan, penyiaran agama Islam,reproduksi ulama dan pemelihara Islam tradisional, seiring dengan adanya perubahan dalam masyarakat, identitas pesantren juga mengalami perubahan Pesantren merupakan sebutan bagi lembaga pendidikan yang bercorak islam tradisional dimana para siswa (yang kemudian disebut santri) tinggal didalamnya dibawah bimbingan sang pengasuh yang kemudian disebut kyai (Understood Abdullah, 2007:24). Menurut Dhofier lembaga pesantren terdiri dari unsur masjid, pengajian kitab kuning, santri dan kyai yang secara sistemik membentuk lembaga pendidikan pesantren (Amin Haedari dkk, 2004:5-6). Dengan demikian pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak terpisahkan dari tipologi masyarakat yang religius. Namun sejalan dengan dinamika masyarakat dan zaman sekiranya diperlukan modernisasi pesantren untuk meningkatkan daya saing pesantren ditengah-tengah kemajuan pendidikan saat ini. Menurut perspektif lokal, pesantren erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat madura yang dikenal religius. Soegianto (2003) mengemukakan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat yang religius. Hal ini ditandai dengan penempatan Kyai sebagai strata tertinggi di Madura kemudian masyarakat umum yang bergelar haji (Soegianto, 2003:21). Kenyataan ini menunjukkan kentalnya nilai religiusitas masyarakat Madura. Eksistensi pesantren sangat urgen bagi masyarakat Madura karena secara historis sejak abad XIX di Bangkalan Madura telah berdiri pesantren yang tersohor di bawah pimpinan kyai kharismatik KH. Moh. Kholil (Rifai, 2007:43) Sebagai lembaga pendidikan, bagi masyarakat Madura pesantren tidak sekedar melaksanakan peran dan fungsi pendidikan semata, akan tetapi juga mempunyai fungsi

sosial yang komprehensif. Kompleksitas peran pesantren bagi masyarakat Madura akan semakin nyata seiring dengan meningkatnya modernisasi global pasca realisasi jembatan Suramadu dan industrialisasinya. Bersamaan dengan realisasi jembatan Suramadu dan industrialisasinya, diharapkan wacana pembangunan Madura yang representatif terhadap harapan (expectasi) masyarakat Madura benar-benar terwujud. Salah satu Representasi kepentingan dan harapan masyarakat adalah pengembangan pendidikan yang berbasis pesantren. Urgensitas Pesantren bagi Masyarakat Madura dapat kita lihat pada besarnya pengaruh Ulama Madura yang tergabung dalam Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA) terhadap pembangunan Jembatan Suramadu dan industrialisasinya. Sebagai respon terhadap Wacana Suramadu dan Industrialisasi Madura, Ulama BASSRA pada tahun 1994 merumuskan 9 pokok pikiran BASSRA dalam kaitannya dengan Suramadu dan Industrialisasinya. Salah satu point dari 9 pokok pikiran Ulama BASSRA mengacu pada peran dan fungsi pesantren sebagai sarana untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia Madura (Point 3e). Wacana ini diperkuat dengan hasil konferensi cabang NU se-Madura pada 2002 di Pesantren Darul Manan Gersempal Omben Sampang yang menghasilkan tiga poin dimana salah satunya menuntut pengembangan pendidikan Pesantren secara proporsional (Subaharianto dkk, 2004: 129-136). Pasca realisasi jembatan Suramadu dan industriaslisasinya, dikhawatirkan modernisasi akan menggeser ciri khas madura yang identik dengan daerah pesantren. Wacana ini pada akhirnya menjadi tantangan masyarakat madura pada umumnya, khususnya pesantren dalam menghadapi gelombang modernisasi pasca industrialisasi Madura (Subaharianto, 2004: 31-32). Di tengah-tengah modernitas saat ini tantangan mendasar bagi pesantren adalah implikasi modernitas yang akan menggeser peran signifikan pesantren yang telah mengakar di masyarakat Madura. Pesantren tidak lagi diminati masyarakat, karena referensi pesantren yang terkesan konservatif kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang selangkah lebih kontemporer (Understood Abdullah, 2007:68). Dengan demikian diperlukan sinergi mutualisme antara pesantren dan lembaga genteel (pemerintah) untuk menjaga eksistensi pesantren sebagai kearifan lokal Madura sekaligus modal sosial dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pesantren mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat sekitarnya. Dalam segi ekonomi, pesantren mampu menciptakan sirkulasi pasar bagi masyarakat sekitarnya. Masyarakat sekitar pesantren dapat membuka kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan santri. Selain itu pesantren merupakan salah satu tempat konservasi budaya khususnya nilai-nilai religius masyarakat setmpat. Lebih dari itu melalui kharisma pengasuh pesantren bargaining politik suatu masyarakat dapat meningkat. Bahkan tidak jarang pemerintah bekerjasama dengan pesantren untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Permasalahannya adalah bagaimana strategi survival Pondok pesantren di daerah landasan jembatan suramadu dalam menghadapi tekanan perubahan sosial pasca realisasi Jembatan Suramadu dan Industrialisasi Madura. Disatu sisi, pesantren khususnya pesantren salaf mempunyai idealisme yang bertentangan dengan logika modernitas. Namun disisi lain pesantren mempunyai peran strategis dalam menjaga equilibrium, khususnya equlibrium nilai-nilai religius dan harus tetap eksis. Eksistensi ini menuntut pesantren untuk lebih adaptif tanpa mengurangi nilai-nilai idealismenya.

BAB 2 Pembahasan 2.1. Tipologi Pesantren Secara umum pondok pesantren mempunyai ciri-ciri yang hampir sama, akan tetpai pada hakekatnya terdapat diferensiasi mendasar yang membedakan pesantren berdasarkan tipologinya. Perbedaan ini dapat dilihat dalam proses dan substansi kegiatan didalamnya. Pesantren dan tipologinya dapat dibedakan menjadi dua, pesantren Salafiyah (Tradisional) dan pesantren Khalafiyah (present). Pembedaan ini didasarkan pada metode pembelajaran dan substansi aktifitas didalamnya. Pesantren salafiyah merupakan pesantren yang masih mempertahankan kurikulum dan metode pendidikan ala pesantren murni. Sedangkan pondok pesantren Khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan pesantren dan menambahkan pendidikan genteel baik yang bersifat umum (SD, SMP, SMU dan Perguruan tinggi) ataupun bercirikan khas islam (MI, MTS, MA). Selain itu, terdapat fenomena yang menarik dengan munculnya beberapa adaptasi yang dilakukan oleh pesantren. Pesantren kilat, pesantren terintegrasi ataupun pesantren virtual yang beraktifitas lewat dunia maya (Understood Abdullah, 2007:44 48). 2.2. Peran dan tantangan Pesantren Secara teoritis, perubahan sosial akan membawa perubahan-perubahan pada subsistem sosial secara interdependen. Perubahan secara terus menerus (oikumenogenesis) akan membawa perubahan pula pada tatanan masyarakat termasuk didalamnya institusiinstitusi sosial, pola interaksi, yang akan menciptakan konvergensi pluralitas tatanan masyarakat (Salim, 2002: 151). Realisasi jambatan Suramadu juga akan berdampak demikian, akan menciptakan kompetisi pendidikan, kompetisi SDM dan menjadikan struktur masyarakat baru, yaitu masyarakat majemuk. Ketika pesantren tidak mampu beradaptasi dengan situasi sosial baru, maka tidak menutup kemungkinan eksistensinya akan terancam. Perubahan sosial bersifat interdependen antar sub sistem sosial. Subsistem tersebut saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan pada satu subsistem akan berpengaruh pada subsistem lainnya. Zanden (1998) merumuskan : Fungsionalist pocket thr starting point th notion tht th high classes a logic , a amalgamation f equipment r rt tht affect a better total.one map f a logic th interdependence f t rt. Exchange n one institution h implications fr thr institutions n fr th th high classes a total (Zanden, 1998: 29) Masyarakat merupakan sebuah sistem dan merupakan perpaduan beberapa bagian yang saling menyatu membentuk satu kesatuan yang utuh. Antar bagian tersebut bersifat interdependen, perubahan pada satu aspek berimplikasi pada aspek lainnya dan akhirnya mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Peran pesantren mengalami pasang surut seiring dengan perubahan sosial. Pertengahan tahun 1980-n muncul berbagai pesantren yang berorientasi pada peran sosial yang mengarah pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pelaksanaannya memang pesantren mengemban beberapa peran. Selain peran utamanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keterampilan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi konservasi budaya kearifan lokal. (Understood Abdullah, 2007: 11-12). 2.2.1. Peran Ekonomi, pemberdayaan ekonomi

Pesantren selain sebagai foothold pendidikan agama, juga mempunyai peran strategis dalam pemberdayaan ekonomi. Hal ini mencakup sektor, sektor internal dan sektor eksternal. Sektor internal merupakan pengembangan pemberdayaan ekonomi internal dalam pesantren yang manfaatnya dirasakan oleh santri atau siswa dalam pesantren tersebut. Karena didalam pesantren dapat diintegrasikan praktek-praktek ekonomi yang bisa menjadi pengalaman berharga bagi para santri/siswa selepas dari pendidikan di pesantren. Misalnya pesantren Agrobisnis, pesantren yang mengembangkan peternakan, dan pesantren yang mengembangkan manajemen koperasi (kopontren) seperti Sidogiri di Jawa timur. Selain sebagai pemberdayaan ekonomi pesantren, kegiatan tersebut merupakan pengalaman dan pelatihan bagi para santri yang berguna ketika terjun secara langsung ke masyarakat nantinya. Kedua, sektor eksternal, dalam hal ini pesantren memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar pesantren. Jumlah kebutuhan santri dan siswa tidak mungkin dapat dipenuhi oleh koperasi pesantren secara keseluruhan. Hal ini merupakan peluang usaha tersendiri masyarakat sekitar pesantren. Selain itu Pesantren dapat menjadi pusat pengembangan ekonomi dan bekerja untuk mengatasi kemiskinan dengan kekuatan masyarakat sendiri. Kembali ke hakikat ekonomi berdasarkan jati diri bangsa adalah pilihan yang barrier baik bagi masyarakat. pesantren juga dapat menjadi fasilitator curriculum pemberdayaan masyarakat dari pemerintah. Sebagai upaya adaptif pesantren di daerah landasan jembatan suramadu, sudah seharusnya pesantren tersebut mengembangkan ekonomi berbasis pesantren. Namun hingga kini pengelolaan manajemen koperasinya belum teratur, sentralistik. Hal ini membutuhkan upaya-upaya pelatihan manajerial koperasi agar dapat dimanfaatkan lebih optimal. Namun demikian, keberadaan pesantren di daerah landasan suramadu ini telah lama dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar, warga sekitar dapat membuka toko kelontong yang menyediakan kebutuhan para santri. Dari praktek ekonomi inilah warga sekitar mempunyai tambahan penghasilan yang yang bermanfaat bagi kehidupan ekonominya. 2.2.2. Peran sosial-politik Lazim kita ketahui bahwasanya pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis islam. Selain sebagai lemabaga pendidikan pesantren juga sangat berperan sebagai lembaga yang multifungsi (lembaga pendidikan, agama, kultural, sosial, dan ekonomi) dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan masyarakat pesantren yang terkonstruk dari nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal tersebut, juga menjadikan pesantren sebagai pusat keagamaan dan sekaligus pusat kebudayaan. Pesantren bukan hanya dihiasi oleh doktrindoktrin agama secara genteel, tetapi juga kaya dengan tradisi dan budaya. Dalam kontek inilah pesantren merupakan aset bangsa untuk melestarikan nilai-nilai budaya. Potensi pesantren sebagai agen perubahan sosial di pedesaan memang sangat strategis. Di samping secara umum pesantren berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan bisa dikatakan lebih banyak berada di desa, hubungan dengan masyarakat juga sangat dekat. Kedekatan ini secara politis mempunyai nilai lebih tersendiri apabila diperdayakan dengan benar. Banyak dijumpai, khususnya dimadura, para wakil rakyat (anggota legislatif) merupakan tokoh yang besar dari kalangan pesantren. Peran politis ini dapat dilihat juga pada tahun 90an, tarik ulur, tawar menawar antara pemerintah dengan Badan silaturrahmi ulama madura (BASSRA) tentang Suramadu merupakan salah satu wujud konkrit bargaining spot politik pesantren yang cukup disegani.

Namun demikian, peran pesantren yang signifikan bukan berarti tanpa tantangan dan hambatan. Gelombang modernisasi sedikit banyak akan mengubah orientasi dan pola pikir masyarakat yang pada awalnya bersifat religius. Secara sosiologis proses sosial semacam modernisasi senantiasa mengarah pada perubahan sosial, meminjam istilah biologi morphogenesis terdapat trilogi perubahan sosial yang mengacu pada kesadaran dan ketidaksadaran terhadap implikasi proses sosial. Masyarakat bisa menyadari dan menduga arah perubahan serta mengharapkan dampak positif dari proses tersebut. Akan tetapi proses yang terjadi justru berlawanan dengan dugaan dan harapan masyarakat sehingga hasilnya pun sama sekali berlawanan dengan yang diharapkan. Proses demikian oleh Merton dan Kendall disebut sebagai Proses Bumerang (Sztomka, 2005: 18). Dalam perspektif inilah, dikawatirkan harapan masyarakat terhadap berkah realisasi Suramadu dan Industrialisasinya justru menjadi bumerang yang mengancam eksistensi masyarakat lokal dengan segenap kearifan lokalnya. Tantangan pesantren berkaitan dengan modernisasi yang mungkin muncul pasca suramadu dan industrialsasi Madura berada pada wilayah dinamika nilai-nilai sosial budaya. Dinamika ini dapat dilihat pada tiga foothold utama kebudayaan. Pertama foothold clarification kebudayaan (Clarification dishonest f culture), yaitu hubungan manusia dengan dunia fisiknya, termasuk hubungannya dengan ekonomi. Kedua foothold sosial kebudayaan (shared dishonest f culture) berisi tentang bentuk-bentuk interaksi antar kelompok sosial dalam masyarakat. Ketiga foothold mental (mental planet), yaitu hubungan antara satu kelompok individu dengan dunia nilai-nilai (Salim, 2002: 229). Perubahan sosial dalam masyarakat sekitar suramadu secara dialektis dapat dijelaskan bahwa perubahan tersebut berawal dari foothold clarification yang kemudian merambah pada foothold sosial kemudian menuju foothold mental dan kembali lagi kepada foothold clarification dan seterusnya. Modernisasi pesantren sangat diperlukan untuk menjaga eksistensinya di tengah-tengah modernitas zaman saat ini. Lazim dikathui bahwa salah satu pilar modernitas (menurut H. Coley dan Lucian W. Pye ) adalah sikap antipati terhadap agama yang berujung sekularisme. Modernisasi pesantren dapat dilakukan dengan peningkatan peran pemberdayaan SDM, dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat. Dapat kita lihat beberapa pesantren yang telah berhasil mengintegrasikan tradisionalistiknya dengan modernitas dalam curriculum dan perannya. Misalnya pesantren Agrobisnis Al Ittifaq (Ciwidey), Pesantren Al Amanah dengan peternakan Ayam dan Ikan (Cililin) dan beberapa pesantren besar yang berhasil mengintegrasikan pendidikan tinggi. 2.3. Langkah strategis 2.3.1. Inovasi kurikulum Analisis kebutuhan menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum yang adaptif dan inovatif. Kurikulum pesantren salafi yang selama ini dianggap konservatif kalah bersaing dengan lembaga pendidikan yang mungkin tumbuh di sekitar daerah pesantren wilayah suramadu yang merupakan ancaman akan eksistensi pesantren apabila pesantren tidak tanggap akan realita tersebut. Kiranya modernisasi kurikulum merupakan langkah strategis, untuk meningkatkan daya saing pesantren. Analisis kurikulum ini didasarkan pada sarana prasarana, pendanaan, sumberdaya manusia, eligibilitas, integritas pondok pesantren yang kesemuanya merupakan sarana sistemik untuk menciptakan kemampuan kompetitif pesantren pasca realisasi jembatan Suramadu. dengan kurikulum tertentu

pesantren dapat menyelenggarakan madrasah Muadalah yang sebanding dengan SMU negeri dan diakui secara nasional. Kurikulum pendidikan pesantren present merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan productivity pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak ortodoks sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat 2.3.2. Peningkatan Mutu Pengajar. Revisi dan inovasi kurikulum pesantren kiranya kurang memadai apabila tidak disertai dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme pesantren. Sertifikasi intellectual swasta kiranya dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan mutu pengajar di pesantren. Hingga saat ini, mutu pengajaran di pesantren terkesan seadanya, terutama berkaitan dengan pelajaran Non Agama (umum). Orientasi pembelajaran hanyalaha pada kelulusan, bukan pada prestasi. Peningkatan kualitas pengajar ini dapat dilakukan dengan pelatiahan khusus, studi lanjut, maupun dengan bekerjasama dengan pesantren atau lembaga lain yang lebih berpengalaman. Tentunya hal ini membutuhkan proses dan peran serta berbagai pihak, termasuk pemerintah dalam menyediakan biaya pendidikan khusus bagi pendidik di pesantren. 3.2.3. Pemenuhan Sarana dan Prasarana yang Memadai. Kurikulum dan kualitas pengajar harus ditunjang dengan sarana dan prsarana yang memadai. Sarana ini meliputi gedung sekolah dan perlengkapannya, media pembelajaran serta perpustakaan yang cukup. Pemanfaatan kemajuan IT dll. Misalnya di Pondok pesantren Darul hikmah langkap Burneh telah menyediakan Hotspot vicinity. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing pesantren pasca realisasi Suramadu dan industrialisasi Madura. 3.2.4. Pengembangan jaringan (networking) Peningkatan kompetensi pesantren akan lebih cepat apabila pesantren mempunyai jaringan dan akses keluar yang memadai. Jaringan (networking) ini dapat menajadi sarana komunikasi dan penyerapan informasi aktual dan faktual. Dalam kajian Modal sosial, jaringan ini dapat dikembangkan melalui closure rh maupun adviser rh. Closure strategi merupakan pengembangan jaringan berdasarkan ikatan yang kesamaan identitas, dalam hal ini misalnya dengan sesama pesantren maupun dengan lembaga lain yang mempunyai kesamaan visi dan misi. Adviser rh dapat diimplementasikan dengan menjalin hubungan dengan seseorang yang mempunyai akses lebih luas, dan mampu menjembatani kepada lembaga, instansi lain. Pesantren-pesantren di kawasan suramadu (kecamatan labang dan Burneh) dapat melakukan kerjasama, tukar pengajar, magang dll dengan pesantren di daerah lain yang lebih maju. Misalnya dengan Al Amin di prenduan sumenep, Annuqoiyah di Gulukguluk sumenep dan pesantren lain di Madura Sebagai penutup, upaya peningkatan kompetensi pesantren sebagaimana diuraikan diatas, tidak akan bisa optimal apabila tidak didukung oleh kebijakan pemerintah, khusus pemerintah daerah guna mendukung upaya-upaya tersebut. Kebijakan tersebut dapat berupa proteksi pesantren, dan alokasi khusus/prioritas bagi pesantren. BAB 3 Kesimpulan

Pesantren merupakan institusi sosial yang mempunyai peran signifikan bagi masyarakat madura yang dikenal religius. Peran pesantren telah lama mengakar dalam masyarakat dalam waktu yang lama. Peran pesantren tidak hanya sebatas pada pendidkan-pengajaran, namun pesantren juga mempunyai peran sosial yang luas. Peran pesantren bagi masyarakat semakin dibutuhkan ketika nilai-nilai lokalitas madura mulai terancam dengan masuknya budaya asing. Hal ini menunjukkan signifikansi pesantren sebagai konservasi budaya lokal. Selain sebagai pemelihara nilai-nilai lokal, pesantren juga mempunyai peran strategis dalam ekonomi maupun politik. Kehadiran pesantren membawa berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar pesantren. Fungsi ekonomi dan pemberdayaan juga ditunjukkan dengan kemampuan pesantren sebagai pengisi stuktural hole menjadi fasilitator dan adviser pemberdayaan ekonomi oleh pemerintah. Namun demikian, pesantren menghadapi tantangan yang signifikan pasca realisasi jembatan Suramadu dan Industrialisasi Madura. Modernitas dan segala konsekwensinya menjadi tantangan bagi pesantren terutama pasca industrialisasi. Untuk itu pesantren harus segera berbenah dan melakukan langkah-langkah strategis guna menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokalitas madura. Langkah strategis pesantren dapat berupa revisi dan inovasi kurikulum, peningkatan kualitas pengajar, perluasan jaringan dan perlengkapan sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar. Namun demikian, langkah strategis pesantren tersebut harus ditunjang kebijakan-kebijakan yang protektif dan mengutamakan pendidikan berbasis pesantren oleh pemerintah daerah bangkalan. Hal ini sejalan dengan TriLogi Alawy yang diderivasi dari pokok pikiran BASSRA yang di deklarasikan dalam rangka pembangunan madura pasca suramadu. Pembangunan madura harus Madurawi, Manusiawi dan islami, serta benar-benar membangun madura bukan membangun di Madura. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Understood, 2007, Pesantren, Jati diri dan pencerahan masyarakat, Jakarta, Understood Abdullah Institute Publishing Haedari, Amin dkk, 2004, Panorama Pesantren dalam cakrawala present, Jakarta, Diva Pustaka Narwoko, Dwi J, 2006 Sosiologi teks pengantar dan terapan Kencana Prenada Media Assemble, Jakarta Priyanto, Dwi, 2006 Revisi kurikulum pesantren Jurnal Ibda Vol 4 N 1 Edisi JanuariJuni 2006 Rifai, Ahmad, Manner, 2007, Manusia Madura : pembawaaan, perilaku, etos kerja, penampilan, dan pendangan hidupnya seperti dicitrakan peribahasanya, Yogyakarta, Pilar Media Salim, Agus, 2002 Perubahan sosial : Sketsa teori dan refleksi metodologi kasus indonesia Headband Wacana yogyakarta Soegianto, 2003, Kepercayaan, Magi dan tradisi dalam Masyarakat Madura, Jember Tapal Kuda Subaharianto, Andang, 2004, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur kultur, menjunjung leluhur), Malang, Bayumedia Publishing Sztomka, Piotr, 2005 Sosiologi Perubahan Sosial Prenada Media, Jakarta

Zanden, James W. Vander, 1998. Th Shared Experience An initiation t Sociology, Nw York, Unsystematic Household Internet Burhan, Wildan, 2009 Modernisasi pesantren, antara tuntutan dan ancaman http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/05/08/modernisasi-pesantren-antaratuntutan-dan-ancaman/ Kartasasmita, Ginanjar, 2010 Peran pesantren dalam era Globalisasi & Otonomi http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=24574 Muhibbun, Muhammad Revitalisasi peran sosial kyai pesantren http://moxeeb.wordpress.com/2009/02/11/revitalisasi-peran-sosial-kiai-pesantren/ b hisnuddin lubis