blok 8 issue 6 setengah jadi

44
3 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Persarafan dari Gigi geligi dan Struktur Pendukungnya Ujung saraf sensorik terdapat pada gusi, ligament periodontal dan pulpa. Serabut sensorik somatic yang keluar pada ujung-ujung saraf ini, membentuk n. alveolaris inferior, akan berhubungan dengan serabut n. mentalis yang keluar dari ujung saraf sensoris, terletak pada cutis, membrane mukosa dagu dan labium oris inferior. N. alveolaris inferior juga mengandug beberapa serabut symphaticus non-mielinisasi yang kecil dari ganglion servikal superior, didistribusikan ke otot polos pembuluh darah gigi geligi rahang bawah, gingival, labium oris inferius, dan bagian depan pipi. Sebagian besar serabut n. symphaticus ini didistribusikan oleh plexus saraf perivaskuler, mengelilingi pembuluh arteri besar ke region tersebut. Plexus mengandung serabut postganglionic yang berorigo pada ganglion servicale superior. 1. Persarafan Gigi geligi Bawah Persarafan gigi geligi bawah berasal dari n. alveolarisinferior, cabang divisi posterior truncus mandibularis n. Trigeminus (n. cranialis V). gingival pada vacies lingualis gigi geligi bawah mendapat persarafan serabut sensoris dari n.

Upload: febri-tok

Post on 08-Dec-2014

139 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

3

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Persarafan dari Gigi geligi dan Struktur Pendukungnya

Ujung saraf sensorik terdapat pada gusi, ligament periodontal dan pulpa.

Serabut sensorik somatic yang keluar pada ujung-ujung saraf ini, membentuk n.

alveolaris inferior, akan berhubungan dengan serabut n. mentalis yang keluar dari

ujung saraf sensoris, terletak pada cutis, membrane mukosa dagu dan labium oris

inferior. N. alveolaris inferior juga mengandug beberapa serabut symphaticus

non-mielinisasi yang kecil dari ganglion servikal superior, didistribusikan ke otot

polos pembuluh darah gigi geligi rahang bawah, gingival, labium oris inferius,

dan bagian depan pipi. Sebagian besar serabut n. symphaticus ini didistribusikan

oleh plexus saraf perivaskuler, mengelilingi pembuluh arteri besar ke region

tersebut. Plexus mengandung serabut postganglionic yang berorigo pada ganglion

servicale superior.

1. Persarafan Gigi geligi Bawah

Persarafan gigi geligi bawah berasal dari n. alveolarisinferior,

cabang divisi posterior truncus mandibularis n. Trigeminus (n. cranialis

V). gingival pada vacies lingualis gigi geligi bawah mendapat persarafan

serabut sensoris dari n. lingualis. Gingival pada vacies bucalis molar dan

premolar bawah mendapat suplai dari n. buccalis, yang merupakan cabang

terminal (sensorik) dari divisi anterior n. mandibularis. Saraf ini berjalan

pada permukaan luar m. buccinator disertai arteri. N. mentalis berfungsi

mempersarafi mukosa labial pada region caninus dan incisivus (Dixon,

1993).

2. Persarafan Gigi geligi Atas

Cabang maksila n. trigeminus akan bercabang lagi menjadi n.

alveolaris superior. N. alveolatis superior akan bercabang lagi menjadi 3,

antara lain:

a. n. alveolaris superior anterior,

N. alveolaris superior anterior mengeluarkan n. infraorbitalis

sedikit di belakang foramaen infraorbital. Saraf akan berjalan

Page 2: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

4

dalam kanalis yang menuju sisi lateral kanalis infraorbitalis dan

berjalan di bawah foramen infraorbital pada facies anterior

maksila. Di dekat aperture nasalis, saraf turun kea rah apeks gigi

incisivus. Saraf akan terus berjalan melalui tulang dalam

hubungan yang erat dengan membrane mukosa pembatas di depan

sinus maksilaris dan mengeluarkan percabangan sebagai berikut:

1) Rami posterior berhubungan dengan n. alveolaris superior

posterior dan n. alveolaris superior medius bila ada, dan

mempersarafi gigi caninus serta premolar.

2) Rami incisivus ke gigi incisivus

3) Rami nasales ke membrane mukosa nasalis, menutupi

daerah sinus cavum nasi.

4) Cabanng-cabang ke membrane mukosa sinus maksilaris

(Dixon, 1993).

b. n. alveolaris superior medius,

n. alveolaris superior medius dapat ditemukan pada 50 %

kasus. Saraf ini dapat terletak pada salah satu sisi wajah, tidak ada

pada sisi berlawanan. Saraf ini mengeluarkan n. infraorbitalis di

antara a. alveolaris superior anterior dan fisura orbitalis inferior.

Saraf biasanya berjalan turun pada dindinng lateral sinus jauh ke

dalam processus zygomaticus maxillae dank arena itu akan

terletak tidak jauh dari permukaan tulang. Saraf akan bergabung

dengan plexus saraf yang dibentuk melalui n. alveolaris superior

posterior dan rami posterior n. alveolaris anterior yang

bertumpang tindih. Saraf berfungsi mempersarafi gigi premolar

dan membantu mempersarafi jaringan pendukung gigi caninus dan

molar pertama tetap. Saraf ini mengeluarkan cabang-cabangnya ke

membrane mukosa sinus (Dixon, 1993).

c. n. alveolaris superior posterior.

N. alveolaris superior anterior atau n. alveolaris, merupakan

cabang n. maksilaris ketika a. maksilaris berjalan melewati fossa

pterygopalatina. Saraf ini berjalan turun pada bagian belakang

Page 3: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

5

maksila bersama dengan arteri. Beberapa cabang akan tetap

berjalan pada permukaan tulang untuk mempersarafi gingival yang

berhubungan dengan molar tetap dan pipi. Cabang-cabang lainnya

masuk ke satu atau beberapa foramina pada bagian belakang

maksila, berjalan horizontal dalam kanalis tulang di bawah

processus zygomaticus maxillae, kea rag facialis tulang,

membentuk plexus bersama dengan n. alveolaris superior anterior

dan n. alveolaris superior medius, n. alveolaris superior posterior

berfungsi mempersarafi gigi molar dan membrane mukosa sinus

maksilaris (Dixon, 1993).

Plexus yang dibentuk oleh n. alveolaris superior

berhubungan erat dengan apeks gigi geligi atas dan terbentuk

melalui distribusi tiga cabang saraf yang bertumpang tindih.

Incisivus mendapat persarafan dari rami anterior, caninus

mendapat persarafan dari rami anterior dan media bila ada,

premolar mendapatkan persarafan dari rami anterior dan atau rami

media bila ada, molar pertama tetap mendapat suplai dari rami

medius bila ada dan rami posterior, sedangkan rami medius selalu

mempersrafi molar kedua dan ketiga (Dixon, 1993).

2.2 Penyakit Periodontal

2.2.1 Definisi Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan

pendukung gigi (periodontium). Penyakit periodontal dapat hanya mengenai

gingiva (gingivitis) atau dapat menyerang struktur yang lebih dalam

(periodontitis). Gambaran klinis yang membedakan antara gingivitis dan

periodontitis adalah ada tidaknya kerusakan jaringan periodontal destruktif

umumnya dihubungkan dengan keberadaan dan atau meningkatnya jumlah

bakteri patogen spesifik seperti Phorphyromonas gingivalis (P.g), prevotella

intermedia (P.i), bacteriodes forsytus (Bi) dan actinobacillus

actinomycetemcomitans (A.a).

Page 4: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

6

2.2.2 Klasifikasi Penyakit Periodontal

2.2.2.1 Gingivitis

a. Gingivitis karena plak gigi

Adalah radang gusi atau gingivitis adalah akibat infeksi

bakteri.Gingivitis dapat terjadi pada usia berapapun, tapi paling sering

timbul pada usia remaja.

Perawatan : perawatan untuk gingivitis akut dan kronis terdiri atas

menghilangkan plak gigi diikuti oleh kebersihan mulut sehari-hari

(Wolf dkk., 2005).

b. Gingivitis Hormonal

Adalah suatu peradangan hiperplastik terhadap plak mikrobial

yang umumnya mengenai wanita selama pubertas, kehamilan atau

menopause.

Perawatan : selama kehamilan, pemberian instuksi dan motivasi untuk

menjaga mulut harus dilakukan secara berulang-ulang, penghilangan

plak dan kalkulus dengan skaling (Wolf dkk., 2005).

c. Gingivitis Diabetik

Merupakan kelainan metabolik progresif yang ditandai

hiperglikemia, glukosuria, poliurea, polidipsi, pruritis dan menurunnya

berat badan.

Perawatan : yang umum dilakukan yaitu mengendalikan kadar glukosa

dalam darah dengan diet, obat-obatan hipoglikemik atau insulin (Wolf

dkk., 2005).

d. Herpatik Gingivostomatitis Akut

Adalah suatu infeksi mulut primer yg disebabkan oleh virus herpes

simpleks tipe I dan sering terjadi pada anak-anak dengan gambaran

klinis lesi vesikel ulseratif pada mulut dan gingivitis marginal akut.

Perawatan : terapi bersifat suportif dan pemberian obat kumur

Chlorhexidine glukonate 0,2 %. (Wolf dkk., 2005)

e. Gingivitis Ulseratif Akut yang Nekrosis

Page 5: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

7

Yaitu suatu tipe gingivitis akut yg berhubungan dengan spesies-

spesies bakteri tertentu dan stress. ANUG adlh penyakit keradangan

destruktif gingival dengan symptom dan tanda yg spesifik.

Perawatan : pencegahan ANUG dpt dilakukan dg menjaga kebersihan

mulut (sikat gigi,obat kumur,dental floss), makan bergizi, tdk merokok.

(Wolf dkk., 2005)

f. Gingivitis Deskuamatif Akut

Yaitu suatu tipe gingivitis akut yg berhubungan dengan spesies-

spesies bakteri tertentu dan stress. ANUG adlh penyakit keradangan

destruktif gingival dengan symptom dan tanda yg spesifik.

Perawatan : pencegahan ANUG dpt dilakukan dg menjaga kebersihan

mulut (sikat gigi,obat kumur,dental floss), makan bergizi, tdk merokok

(Wolf dkk, 2005).

g. Papillon-Lefevre Syndrome

Merupakan kelainan autosomal resesif yg ditandati dg

hiperkeratosis telapak tangan dan telapak kaki disertai gingivitis dan

periodontitis yg berkembang dg cepat dan parah. Terlihat adanya

gingivitis dan periodontitis yg parah,plak gigi,dan pendarahan spontan.

Perawatan: terapi meliputi ekstraksi gigi yang tidak mungkin

dipertahankan, pembuatan GTSL (Wolf dkk, 2005).

h. Perikoronitis

Merupakan peradangan pd jaringan lunak disekeliling gigi yg akan

erupsi, paling sering terjadi pd molar 3 bawah.

Perawatan: pencabutan gigi yg bersangkutan (Wolf dkk., 2005).

2.2.2.2 Periodontitis

1. Periodontitis juvenile lokalisata (LJP)

a. Penderita biasanya berumur 12-26 tahun, tetapi bisa juga terjadi pada

umur 10-11 tahun.

b. Perempuan lebih sering diserang daripada laki-laki (3:1)

Page 6: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

8

c. Gigi yang pertama dirusak molar satu dan insisivus

d. Angka kaies biasanya rendah

e. Netrofil memperlihatkan kelainan khemotoksis dan fagositosis

f. Sangat sedikit dijumpai plak atau kalkulus yang melekat pada gigi,

tetapi pada tempat yang rusak dijumpai kalkulus subgingiva.

g. Gingiva bisa kelihatan normal tetapi dengan probing bisa terjadi

perdarahan dan gigi yang dikenal akan terlihat goyang (Berkovitz

dkk., 2009).

2. Periodontitis juvenile generalisata (GJP)

GJP ini mirip dengan LJP, tetapi GJP terjadi secara menyeluruh

pada gigi permanen dan dijumpai penumpukan plak yang banyak serta

inflamasi gingiva yang nyata. Melibatkan keempat gigi molar satu dan

semua insisivus serta dapat merusak gigi lainnya (C, P, M2).

3. Periodontitis kronis

Periodontitis kronis merupakan suatu diagnosa yang digunakan

untuk menyebut bentuk penyakit periodontal destruktif, namun tidak

sesuai dengan kriteria periodontitis juvenile generalisata, lokalisata

maupun prepubertas

a. Penyakit ini mirip dengan gingivitis kronis, akan tetapi terjadi

kehilangan sebagian tulang dan perlekatan jaringan ikat.

b. Perbandingan penderita antara perempuan dan laki-laki hampir

sama.

c. Angka karies biasanya tinggi

d. Respon host termasuk fungsi netrofil dan limfosit normal

(Berkovitsz dkk., 2009).

4. Periodontitis prepubertas

a. Periodontitis prepubertas ada dua bentuk terlokalisir dan

menyeluruh. Bentuk terlokalisir biasanya dijumpai pada usia 4 tahun

dan mempengaruhi hanya beberapa gigi saja, sedangkan bentuk

Page 7: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

9

menyeluruh dimulai saat gigi tetap mulai erupsi dan mempengaruhi

semua gigi desidui.

b. Pasien dibawah umur 12 tahun (4 atau 5 bulan)

c. Perbandingan jenis kelamin hampir sama

d. Angka karies biasanya rendah

e. Plak dan kalkulus yang melekat pada gigi biasanya sedikit

f. Kehilangan tulang dan lesi furkasi (furcation involment) terlihat

secara radiografis

g. Kerusakan jaringan periodontal lebih cepat pada bentuk generalisata

daripada bentuk terlokalisir (Hatta, 2011).

Perawatan

Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:

Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara

menghilangkan beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa

melakukan tindakan bedah periodontal atau melakukan perawatan

restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah beberapa prosedur yang

dilakukan pada fase I :

1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.

2. Scaling dan root planing

3. Perawatan karies dan lesi endodontik

4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging

5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)

6. Splinting temporer pada gigi yang goyah

7. Perawatan ortodontik

8. Analisis diet dan evaluasinya

9. Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut diatas

(Evy, 2006).

Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas

anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni

oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan

menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal.

Berikut ini adalah bebertapa prosedur yang dilakukun pada fase ini:

Page 8: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

10

1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan cara antara lain:

kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal,

rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal

(bone and tissue graft)

2. Penyesuaian oklusi

3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi yang

hilang. (Evy, 2006)

Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah

terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah

beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini:

1. Riwayat medis dan riwayat gigi pasien

2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat scor

plak, ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas

gigi

3. Melekukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan

tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali

4. Scalling dan polishing tiap 6 bulan sekali, tergantung dari evektivitas

kontrol plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan kalkulus

5. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies. (Evy,

2006)

Terapi Periodontitis:

Pencegahan penyakit periodontal antara lain dengan cara :

1. Menyikat gigi setiap habis makan dengan pasta gigi yang mengandung

fluoride

2. Membersihkan sela-sela antara gigi dengan dental floss, dental floss ini

gunanya untuk mengangkat sisa makanan yang terdapat di leher gigi dan

di bawah gusi

3. Saat ini sudah banyak di produksi "dental water jet" yang terbukti lebih

efektif menghilangkan perdarahan gusi di bandingkan dental floss

4. Makanan bergizi yang seimbang

5. Mengunjungi dokter gigi secara teratur untuk dilakukan pemeriksaan

rutin dan cleaning. (Evy, 2006)

Page 9: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

11

2.2.3 Faktor Penyebab Penyakit Periodontal

Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian

yaitu faktor lokal (ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik). Faktor lokal

merupakan menyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan

faktor sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum

(Lamford,1995).

Faktor Lokal :

1. Plak Bakteri

Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang

melekat erat pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan

kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra

gingival yang berada disekitar tepi gingival dan plak sub-gingiva yang

berada pada apikal dari dasar gingival.

Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus gingiva

mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit periodontal

berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa plak bakteri

bersifat toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit periodontal secara

tidak langsung dengan jalan :

a. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh

b. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh

c. Menggerakan proses immuno patologi

Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama

terjadinya gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai

penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi antara

mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya tahan tubuh

(Lamford,1995).

2. Kalkulus

Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang

mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah.

Kalkulus merupakan pendukung penyebab terjadinya gingivitis dan lebih

banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama

terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis

Page 10: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

12

adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan

kalkulus, mempengaruhi gingiva secara tidak langsung (Lamford,1995).

3. Impaksi Makanan

Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan

keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal.

Gigi yang berjejal atau miring merupakan tempat penumpukan sisa

makanan dan juga tempat terbentuknya plak, sedangkan gigi dengan oklusi

yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi.

Tanda – tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi

makanan,yaitu :

a. Perasaan tertekan pada daerah proksimal

b. Rasa sakit yang sangat dan tidak menentu

c. Inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering

berbau

d. Resesi gingiva

e. Pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari

soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan

sensitif terhadap perkusi.

f. Kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar

4. Pernafasan Mulut

Kebiasan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk.

Hal ini sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen

misalnya pada anak dengan kelainan saluran pernafasan, bibir maupun

rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut terlalu lama. Sementara

misalnya pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi depan

atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir. Keadaan ini

menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada

permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang,

populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan

akhirnya memudahkan terjadinya penyakit periodontal.

5. Sifat fisik makanan

Page 11: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

13

Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang

bersifat lunak seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan

sedikit pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah melekat disekitar

gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta memudahkan

pembentukan karang gigi.

Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi

massa yang sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang

demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi dikulum di dalam mulut

sampai lunak bercampur dengan ludah atau makanan cair, penumpukan

makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit.

Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat

self cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi

dan jaringan mulut secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang

segar, buah-buahan dan ikan yang sifatnya tidak melekat pada permukaan

gigi.

6. Iatrogenik Dentistry

Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan

dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan

pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada

jaringan sekitar gigi.

7. Trauma dari oklusi

Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringann periodonsium,

tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik

oklusi. Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh:

a. Perubahan-perubahan tekanan oklusal. Misal adanya gigi yang

elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan buruk seperti

bruksim.

b. Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal

Faktor Sistemik :

1. Demam yang tinggi

Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita

demam yang tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal

Page 12: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

14

ini disebabkan anak yang sakit tidak dapat melakukan pembersihan

mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan biasanya

berbentuk cair. Pada keadaan ini saliva dan debris berkumpul pada

mulut menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit

periodontal.

2. Defisiensi Vitamin

Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan

periodontal, karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat.

Defisiensi vitamin C sendiri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit

periodontal, tetapi adanya iritasi local menyebabkan jaringan kurang

dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut sehingga terjadi

reaksi inflamasi.

3. Drugs atau obat-obatan

Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada

anak-anak penderita epilepsi yang mengkonsumsi obat anti kejang,

yaitu phenytoin (dilantin). Dilantin bukan penyebab langsung penyakit

jaringan periodontal, tetapi hyperplasia gingiva mempermudah

terjadinya penyakit.

2.2.4 Mekanisme Kerusakan Tulang Pada Penyakit Periodontal

Faktor yang terlibat dalam kerusakan tulang pada penyakit periodontal adalah

bakteri dan host. Produk bakteri plak menyebabkan differensiasi sel progenitor

tulang menjadi osteoklas dan menstimulasi sel gingival untuk mengeluarkan

mediator yang mempunyai efek yang sama. Pada penyakit dengan perkembangan

yang cepat seperti localized juvenile periodontitis, terdapat mikrokoloni bakteri

atau sel bakteri yang berada diantara serat kolagen dan diatas permukaan tulang

yang dapat memberikan efek langsung.

Beberapa faktor host dikeluarkan oleh sel inflamasi dapat menyebabkan

resorpsi tulang secara in vitro dan dapat berperan dalam penyakit periodontal,

termasuk prostaglandin dan prekursornya, interleukin 1-α dan –β, dan Tumor

Necrosis Factor (TNF)-α yang dihasilkan oleh host.

Page 13: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

15

Ketika diinjeksikan secara interdental, prostaglandin E2 menyebabkan

perubahan vaskular yang terlihat pada inflamasi, apabila diinjeksikan diatas

permukaan tulang akan menyebabkan resorpsi tulang tanpa adanya sel inflamasi

dan dengan sedikit multinucleated osteoklas. Obat anti-inflamasi non steroid

(AINS) seperti flurbiprofen atau ibuprofen dapat menghambat produksi

prostaglandin E2, memperlambat kehilangan tulang pada penyakit periodontal.

Efek ini terjadi tanpa perubahan pada inflamasi gingiva dan kambu kembali 6

bulan setelah pengehentian obat.

Kecepatan kerusakan tulang bervariasi tergantung pada tipe penyakit yang

ada. Didasarkan pada kerusakan interproksimal diklasifikasikan menjadi :

1. Rapid progression dan penyakit periodontal, kehilangan tulang 0,1-1 mm

dalam satu tahun.

2. Moderate progressive periodontal disease, kehilangan tulang alveolar

sebesar 0,05-0,5 mm dalam satu tahun.

3. Perkembangan kerusakan minimal atau tidak ada yaitu jika

perkembangan kerusakan 0,05-0,09 mm dalam satu tahun.

1. Pola kerusakan tulang pada penyakit periodontal

Penyakit periodontal dapat merubah gambaran morfologi tulang alveolar

sehingga terjadi penurunan ketinggian tulang.

a. Resorpsi Tulang Alveolar

Resorpsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang paling

sering ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar mengalami

penurunan, tetapi margin tulang yang tersisa tegak lurus terhadap permukaan gigi.

Septum interdental serta bagian facial dan lingual juga mengalami kerusakan,

tetapi derajat kerusakan disekeliling gigi berbeda-beda.14

b. Defek Vertikal atau Angular

Defek vertikal atau angular terjadi dalam arah oblique, membuat lubang yang

menembus ke dalam tulang di sepanjang akar, dasar defek terletak ke arah apikal

Page 14: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

16

di sekitar tulang. Defek angular disertai poket infrabony yang mendasari defek

angular.

Defek angular diklasifikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus. Defek

angular dapat memiliki satu, dua atau tiga dinding. Jumlah dinding pada bagian

apical defek lebih besar daripada bagian oklusal yang disebut combined osseus

defect.

Defek vertikal terjadi pada interdental yang dapat terlihat secara jelas pada

gambaran radiografis,walaupun kadang tertutup oleh kepingan tulang yang tebal.

Defek angular juga terdapat pada permukaan facial dan lingual atau palatal, tetapi

defek ini tidak terlihat pada gambaran radiografis. Pembedahan merupakan cara

yang pasti untuk mengetahui adanya bentuk defek tulang vertikal.

Defek vertikal meningkat sesuai dengan usia. Hampir 60% orang dengan

defek angular interdental hanya mempunyai satu defek. Defek vertikal dapat

dideteksi dengan pemeriksaan radiografi yang telah dilaporkan bahwa banyak

terlihat pada permukaan distal dan mesial, akan tetapi defek dengan tiga dinding

lebih sering ditemukan pada permukaan mesial molar atas dan bawah.

Defek vertikal dengan tiga dinding biasa disebut dengan defek infrabony.

Defek ini paling sering terdapat pada bagian mesial dari molar kedua dan ketiga

rahang atas dan bawah. Defek vertikal dengan satu dinding disebut juga

henniseptum.

c. Keterlibatan furkasi

Istilah keterlibatan furkasi menunjukkan adanya invasi penyakit periodontal

ke daerah bifurkasi dan trifurkasi pada gigi dengan akar banyak. Prevalensi

keterlibatan furkasi pada gigi molar masih belum jelas, tetapi terdapat beberapa

laporan yang mingindikasikan bahwa molar pertama rahang bawah paling sering

terkena dan premolar rahang atas yang paling jarang, sedangkan yang lainnya

telah ditemukan prevalensi yang lebih tinggi pada rahang atas. Jumlah keterlibatan

furkasi meningkat sesuai dengan usia.

Page 15: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

17

Keterlibatan furkasi dapat terlihat secara klinis atau tertutup oleh dinding

poket. Perluasan keterlibatan dapat diketahui dengan cara mengeksplorasi

menggunakan probe yang tumpul disertai semprotan udara hangat untuk

mempermudah visualisasi.

d. Cacat tulang pada tulang alveolar.

Cacat ini dijumpai pada septum interdental maupun permukaan tulang

sebelah luar (oral atau vestibular).

e. Cacat tulang pada septum interdental.

Adanya cacat tulang ini dapat dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas

diketahui dengan mengadakan probing sewaktu diadakan pembukaan flap dalam

prosedur operatif.

2.3 Pulpa

2.3.1 Bagian Pulpa

Gigi umumnya berongga tengah, disebut rongga pulpa yang berisi pulpa

gigi. Bagian bagiannya adalah:

1. Ruang pulpa, yait rongga pulpa yang terdapat pada bagian tengah korona

gigi dan selalu tungal.

2. Tanduk pulpa, yaitu ujung dari ruang pulpa.

3. Saluran pulpa/ saluran akar, yaitu rongga pulpa yang terdapat pada bagian

akar gigi.

4. Foramen apikal, ujung dari saluran pulpa yang terdapat pada apeks, akar

berupa suatu lubang kecil.

5. Supplementary canal, beberapa akar gigi mungkin mempunyai lebih dari

satu foramen. Dalam hal ini, saluran tersebut mempunyai 2 atau lebih

cabang dekat apikalnya yang disebut multiple foramina/ supplementary

canal.

6. Orifice/entrance into the pulp canal. Yaitu pintu masuk ke saluran akar

gigi. Saluran pulpa dihubungkan dengan ruang pulpa. Ada kalanya

Page 16: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

18

ditemukan suatu akar mempunyai lebih dari satu salut=ran pulpa, misalnya

akar mesio bukal dari M1 atas dan akar mesial dari M1 bawah mempunyai

2 saluran pulpa yang berakhir pada sebuah foramen apikal.

Pulpa gigi merupakan jaringan lunak dari bagian gigi. Umumnya,

garis luar jaringan pulpa mengikutigaris luar bentuk gigi. Bentuk garis luar

ruang pulpa mengikuti bentuk mahkota gigi dan bentuk gari luar saluran

pulpa mengikuti bentuk akar gigi.

Pulpa gigi dalam rongga pulpa berasal dari jaringan mesenkim dan

memiliki fungsi, diantaranya adalah:

a. Sebagai pembentuk, menginduksi pembentukan enamel dan dentin.

b. Sebagai penahan, membentuk pertahanan berupa respon terhadap

substansi asing.

c. Mengandung zat zat makanan, memberi asupan nutrisi untuk

pembentukan dentin melslui tubulus dentin

d. Mengandung sel sel saraf/ sensori, merasakan sensasi panas dan

mekanis.

Fungsi permulaan pulpa adalah membentuk dentin.

Sistem sensori yang kompleks dari pulpa gigi adalah mengontrol

peredaran darah dan sensasi rasa sakit. Pembentukan dari reparasi atau

iritasi dentin sebagai penahan dari berbagai bentuk iritasi mekanis,

thermis, khemis atau bakteri (Itjiningsih, 1991)

Page 17: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

19

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Ukuran Pulpa

1. Umur gigi

Ruang pulpa lambat laun mengecil sesuai dengan umur gigi. Pada waktu

periode perkembangan akar, diameter dari saluran akar terbesar pada bagian

apikal, yang menunjukkan suatu benmtuk seperti corong. Bentuk corong ini

lambat laun mengecil sesuai dengan berlangsungnya perkembangan akar dan

akhirnya pada masa proses perkembangan hampir berakhir bentuk corong

tersebut menyempit sampai sampai apeks akar komplit dengan suatu foramen

apikal yang kecil

2. Aktivitas fungsional

a. Maloklusi

oklusi abnormal dimana tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi

pada maxila dan mandibula

b. Oklusi traumatis

c. Thermal shock

d. Abrasi, erosi dan atris

Banyaknya dentin sekunder yang dibentuk sesuai dengan banyaknya

daerah dentin yang terkena hal tersebut.

3. Riwayat Hidup

Pembentukan dentin sekunder terjadi selama penghiudupan berlangsung,

rongga pulpa lama kelamanaan akan menjadi sempit dengan meningkatnya

umur dan lamanya gigi tersebut digunakan untuk mengunyah

4. Penyakit sistemik

Salah satunya adalah diabetes mellitus. Diabetes yang tidak terkontrol

dengan kadarglukosa yang tinggi cenderung meningkatkan kadar kolesterol

dan trigliserida. Bentuk kolesterol LDL pada penderita diabetes lebih padat

dengan u kuran lebih kecil yang disebut Small Density LDL , sehingga mudah

masuk kedalam lapisan pembuluh darah yang lebih dalam. Bentuk kolesterol

LDL ini lebih berbahaya karena lebih bersifat aterogenik (lebih mudah

menempel pada pembuluh darah dan lebih mudah mem bentuk plak).

Page 18: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

20

Keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah

sebab kurangnya insulin dapat menghambat kerja lipase yang berperan untuk

menghancurkan lemak dalam darah. Jadi pada penderita diabetes yang kurang

insulin dapat terbentuk plak pada pembuluh darah.

2.3.3 Penyakit Pulpa

A. Hiperemi Pulpa

Hiperemi pulpa bukanlah penyakit, tetapi merupakan suatu tanda bahwa

ketahanan pulpa yang normal telah ditekan sampai kritis. Hiperemi pulpa

ditandai dengan rasa sakit yang tajam dan pendek. Umumnya rasa sakit timbul

karena rangsangan air, makanan atau udara dingin, juga karena makanan yang

manis atau asin. Rasa sakit ini tidak spontan dan tidak berlanjut jika

rangsangan dihilangkan (Taringan R, 2002).

B. Pulpitis

Menurut Henry H. Burchard (2009), pulpitis adalah fenomena

peradangandalam jaringan pulpa. Pulpitis merupakan peradangan pulpa,

kelanjutan dari hiperemi pulpa, yaitu bakteri yang telah menggerogoti jaringan

pulpa. Menurut Ingle, atap pulpa mempunyai persyarafan terbanyak dibanding

bagian lain pada pulpa. Jadi, saat melewati pembuluh saraf yang terbanyak ini,

bakteri akan menimbulkan peradangan awal dari pulpitis akut (Tarigan, 2002).

Peradangan merupakan reaksi jaringan ikat vaskuler yang sangat penting

terhadap cedera. Reaksi pulpa sebagian disebabkan oleh lama dan intensitas

rangsangnya. Rangsang yang ringan dan lama bisa menyebabkan peradangan

kronik, sedangkan rangsang yang berat dan tiba-tiba besar kemungkinan

mengakibatkan pulpitis akut (Walton dan Torabinejad, 2003).

Klasifikasi Pulpitis

Menurut Tarigan (2002), klasifikasi pulpitis adalah sebagai berikut.

a. Berdasarkan sifat eksudat yang keluar dari pulpa, pulpitis terbagi atas :

1. Pulpitis akut serosa. Secara struktur, jaringan pulpa sudah tidak

dikenali lagi, tetapi sel-selnya masih terlihat jelas. Pulpitis akut dibagi

menjadi pulpitis akut serosa parsialis yang hanya mengenai jaringan

Page 19: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

21

pulpa di bagian kamar pulpa saja dan pulpitis akut serosa totalis jika

telah mengenai saluran akar.

2. Pulpitis akut fibrinosa. Banyak ditemukan fibrinogen pada pulpa.

3. Pulpitis akut hemoragi. Di jaringan pulpa terdapat banyak eritrosit.

4. Pulpitis akut purulenta. Terlihat infiltrasi sel-sel masif yang berangsur

berubah menjadi peleburan jaringan pulpa. Bergantung pada keadaan

pulpa, dapat terjadi pernanahan dalam pulpa

b. Berdasarkan ada tidaknya gejala, pulpitis terbagi atas:

1. Pulpitis simtomatis : Pulpitis ini merupakan respons peradangan dari

jaringan pulpa terhadap iritasi, dengan proses eksudatif memegang

peranan. Rasa sakit timbul karena adanya peningkatan tekanan intrapulpa.

Rasa sakit ini berkisar antara ringansampai sangat hebat dengan intensitas

tinggi, terus menerus, dan berdenyut.Yang termasuk dalam pulpitis

simtomatis adalah :

Pulpitis akut

Pulpitis akut dengan periodontitis apikalis akut/ kronis

Pulpitis sub akut

Gambaran radiografi memperlihatkan adanya karies yang luas dan

dalam, kadang-kadang terjadi sedikit pelebaran ligamen periodontal.

Pada pulpitis simtomatis yang disertai periodontitis apikalis terjadi

kepekaan terhadap perkusi. Rangsangan panas akan menyebabkan

sakit, sebaliknya rasa sakit berkurang dengan adanya rangsang

dingin. Pada stadium awal, gigi menunjukkan kepekaan yang tinggi

terhadap tes elektrik, selanjutnya kepekaan ini berkurang sejalan

dengan keparahan penyakit.

2. Pulpitis asimtomatis : Merupakan proses peradangan yang terjadi sebagai

mekanisme pertahanan dari jaringan pulpa terhadap iritasi dengan proses

proliferasi berperan di sini.Tidak ada rasa sakit karena adanya

pengurangan dan keseimbangan tekanan intra pulpa. Yang termasuk

pulpitis asimtomatik:

Pulpitis kronik ulseratif 

Pulpitis kronik hiperplastik

Page 20: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

22

Pulpitis kronis yang bukan disebabkan oleh karies (prosedur

operatif,trauma, gerakan ortodonti)

c. Berdasarkan gambaran histopatologi dan diagnosis klinis, pulpitis terbagi

atas:

1. Pulpitis reversibel yaitu vitalitas jaringan pulpa masih dapat dipertahankan

setelah perawatanortodonti. Yang termasuk pulpitis reversibel adalah :

Peradangan pulpa stadium transisi

Atrofi pulpa

Pulpitis akut

2. Pulpitis ireversibel yaitu keadaan ketika vitalitas jaringan pulpa tidak

dapat dipertahankan, tetapigigi masih dapat dipertahankan di rongga mulut

setelah perawatan endodontidilakukan. Yang termasuk pulpitis ireversibel

adalah :

Pulpitis kronis parsialis tanpa nekrosis

Pulpitis kronis parsialis dengan nekrosis

Pulpitis kronis koronalis dengan nekrosis

Pulpitis kronis radikulairs dengan nekrosis

Pulpitis kronis eksaserbasi akut

C. Degenerasi Pulpa

Degenerasi pulpa jarang ditemukan, biasanya terdapat pada gigi orang

dewasa. Penyebabnya adalah iritasi ringan yang persistensi sewaktu muda.

Degenerasi pulpa tidak selalu berhubungan dengan infeksi atau karies

walaupun kadang-kadang terjadi pada gigi yang telah ditumpat. Keadaan ini

biasanya asimtomatis, gigi tidak mengalami perubahan warna dan pulpa dapat

bereaksi terhadap tes termal maupun elektrik. Namun, jika degenerasi pulpa

total, misalnya akibat trauma atau infeksi, gigi dapat berubah warna dan tidak

memberikan respons terhadap rangsang (Taringan R. 2002).

Macam-macam degenerasi pulpa :

1. Degenerasi hialin

Terjadi penebalan jaringan ikat pulpa karena penempelan karbohidrat

Page 21: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

23

2. Degenerasi amiloid

Terlihat gumpalan-gumpalan sel pada pulpa

3. Degenerasi kapur

Terjadinya mineralisasi pada pulpa sehingga dapat terbentuk dentikel.

Mineralisasi ini dapat terjadi pada jaringan saraf, jaringan ikat, terutama

pada saluran akar.

D. Nekrosis Pulpa

Nekrosis pulpa adalah kematian yang merupakan proses lanjutan dari

radang pulpa akut maupun kronis atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-

tiba akibat trauma. Nekrosis pulpa dapat parsial atau total. Ada dua tipe

nekrosis pulpa, yaitu :

1. Tipe koagulasi. Disini terdapat bagian yang larut, mengendap, dan berubah

menjadi bahan yang padat.

2. Tipe liquefaction. Enzim proteolitik mengubah jaringan pulpa menjadi

suatu bahan yang lunak atau cair.

2.4 Macam-macam pemeriksaan untuk Penegakan Diagnosis Penyakit

Endodonsia

Untuk menghindari kesalahan diagnosis harus dilakukan pendekatan yang

sistematik secara bertahap dalam menegakkan diagnosis dan membuat rencana

perawatan, yaitu:

1. Tentukan keluhan utama

Keluhan utama pada umumnya merupakan informasi pertama yang

dapat diperoleh. Keluhan ini berupa gejala atau masalah yang diutarakan

pasien dengan bahasanya sendiri yang berkaitan dengan kondisi yang

membuatnya cepat-cepat datang mencari perawatan.

2. Tentukan informasi penting yang berkaitan dengan riwayat medis dan riwayat

kesehatan gigi pasien

Page 22: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

24

Riwayat kesehatan umum yang lengkap bagi pasien baru terdiri atas

data demografis rutin yang mengidentifikasikan karakter pasien, riawayat

medis, riwayat dental, keluhan utama dan sakit yang sekarang diderita

3. Lakukan pemeriksaan subjektif, objektif dan radiografis yang teliti

4. Lakukan analisis data yang diperoleh

5. Formulasikan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat (Walton, 2008).

Macam-macam pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis

penyakit endodonsia, antara lain:

1. Pemeriksaan Subjektif

a. Penyakit yang sedang diderita

Sebagian besar pasien yang menderita penyakit endodonsia biasanya

tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) atau hanya mengalami gejala

ringan saja. Jika dicurigai ada penyakit pulpa atau periradikuler akibat

temuan lain, ketiadaan gejala yang nyata harus dicatat dan teruskan dengan

pemeriksaan objektif. Meskipun demikian, banyak juga pasien yang

menunjukkan tingkatan nyeri yang jelas dan merasa tertekan. Pasien

demikian memerlukan pemeriksaan subjektif yang sistematis dan hati-hati

disertai pertanyaan tajam dan terarah (Walton, 2008).

b. Aspek nyata dari nyeri

Nyeri adalah suatu entitas yang ompleks. Sering, nyeri pulpa atau

nyeri periapeks terasa berdenyut-denyut sesuai dengan irama denyut

jantung sistolik. Identifikasi sifat nyeri akan membantu membedakan nyeri

dental dari nyeri yang disebabkan oleh jaringan lain. Sejumlah aspek nyeri

merupakan petunjuk kuat bagi adanya penyakit pulpa dan/atau

periradikuler sehingga bisa memberi petunjuk pula bagi perawatannya yang

sesuai. Aspek-aspek ini adalah:

Intensitas nyeri

Spontanitas

Persistensi nyeri (Walton, 2008).

Page 23: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

25

2. Pemeriksaan Objektif

Selama tahap ini, jaringan ekstraoral dan intraoral diperiksa dan

dibandingkan secara bilateral untuk memeriksa ada tidaknya penyakit (Walton,

2008).

Pemeriksaan Ekstraoral

Penampilan umum, tonus kulit, asimetri wajah, pembengkakan,

perubahan warna, kemerahan, jaringan parut ekstraoral atau saluran sinus, dan

kepekaan atau membesarnya nodus limfe servikal atau fasial adalah indikator

bagi status fisik pasien. Pemeriksaan ekstraoral yang hati-hati akan membantu

mengidentifikasikan sumber keluhan pasien serta adanya dan luasnya reaksi

inflamasi di rongga mulut (Walton, 2008).

Pemeriksaan Intraoral

Jaringan Lunak

Pemeriksaan jaringan lunak rongga mulut biasanya dilaksanakan secara

visual atau dengan palpasi secara lengkap dan teliti. Hal yang diperiksa

meliputi bibir, mukosa oral, pipi, lidah, palatum dan otot-otot serta semua

keabnormalan yang ditemukan (Walton, 2008).

Gigi Geligi

Pemeriksaan gigi geligi dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan

warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi yang luas atau abnormalitas

lain. Mahkota yang berubah warna sering merupakan tanda adanya penyakit

pulpa atau merupakan akibat perawatan saluran akar yang telah dilakukan

sebelumnya.

a. Tes Klinis

Tes Klinis meliputi tes dengan menggunakan kaca mulut dan sonde

serta tes periodontium selain tes untuk mengetahui keadaan jaringan pulpa

dan periapeks. Sebagian besar tes ini memiliki keterbatasan, ada yang tidak

dapat digunakan untuk setiap gigi, sehingga tesnya impulkan apa-apa. Oleh

Page 24: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

26

karena itu, sangatlah beresiko jika penegakan diagnosis dilandaskan hanya

pada satu macam tes saja. Hasil satu tes harus dikonfirmasikan dengan tes

tambahan yang lain. Tes-tes ini sifatnya tidak mutlak dan cenderung boleh

dikatakan memberi hasil kasar (Walton, 2008).

Kaca Mulut dan Sonde

Kaca mulut dan sonde dipakai untuk memeriksa karies yag luas atau

karies sekunder, terbukanya pulpa, fraktur mahkota, restorasi yang rusak

dan kebocoran daerah korona pada gigi yang telah dirawat saluran akarnya.

Pada beberapa keadaan (yakni karies besar di korona), kaca mulut dan sonde

dapat memberikan bantuan yang memadai dalam menegakkan diagnosis

akhir. Tetapi, mengingat perubahan patologis tak dapat ditentukan oleh cara

ini saja, tes klinis lainnya pun masih diperlukan (Walton, 2008).

Gigi Kontrol

Bantuan berharga dalam pengetesan pulpa dan periapeks adalah

penggunaan kontrol (pembanding), yakni gigi-gigi yang sehat yang akan

memberikan respons normal. Gigi kontrol mempunyai tiga fungsi:

1. Pasien belajar apa yang diharapkan dari stimulus

2. Dokter gigi dapat mengobservasi sifat respons pasien sampai tingkat

stimulus tertentu

3. Dokter gigi dapat menentukan bahwa stimulus mampu menimbulkan

respons.

Contohnya, gigi posterior orang dewasa, terutama molar, mungkin

tidak responsif terhadap tes termal. Hal ini menyebabkan tes dingin

merupakan tes yang tidak efektif jika diletakkan pada suatu molar yang

sehat dan pasien tidak merasakan sensasi apa-apa (Walton, 2008).

b. Tes Periapeks

1) Perkusi

Page 25: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

27

Perkusi dapat menentukan ada tidaknya penyakit periradikuler.

Respons positif yang jelas menandakan adanya inflamasi periodontium.

Cara melakukan perkusi adalah dengan mengetukkan ujung kaca mulut

yang dipegang paralel atau tegak lurus terhadap mahkota pada permukaan

insisal atau oklusal mahkota. Jika nyeri subjektifnya parah, hindarkan

pengetukan gigi tetapi tekanlah gigi perlahan-lahan dengan ujung jari

telunjuk. Untuk memperoleh perbandingan, lakukan juga tes pada gigi

kontrol. Cara tes lain yang juga baik adalah dengan meminta pasien

menggigit obyek yang keras misalnya gulungan kapas, baik pada gigi yang

dicurigai maupun gigi kontrol. Tes ini dapat dipercaya jika pasien

melaporkan adanya nyeri ketika mengunyah (Walton, 2008).

Gambar 1. Tes Gigitan (Walton, 2008)

2) Palpasi

Seperti halnya perkusi, palpasi menentukan seberapa jauh proses

inflamasi telah meluas ke arah periapeks. Respons positif pada palpasi

menandakan adanya inflamasi periradikuler. Palpasi dilakukan dengan

menekan mukosa di atas apeks dengan cukup kuat. Penekanan dilakukan

dengan ujung jari dan seperti pada tes perkusi, pemeriksaan hendaknya

memakai juga paling sedikit satu gigi pembanding (Walton, 2008).

Page 26: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

28

Gambar 2. Palpasi (Walton, 2008)

c. Tes Kevitalan Pulpa

Variasi respons pulpa gigi normal atau patologik sangat banyak.

Mengingat keterbatasan yang dimilikinya, tes-tes ini harus selalu disertai

kontrol yang memadai dan hasilnya diinterpretasikan dengan hati-hati.

Macam-macam tes kevitalan pulpa meliputi:

Stimulasi dentin langsung

Tes dingin

Tes panas

Pengetesan pulpa secara elektrik

Menentukan aliran darah (Walton, 2008).

d. Pemeriksaan Periodontium

Lesi periapeks sering menyerupai lesi periodontium, karena itu kedua hal

ini harus dapat dibedakan :

1. Penyondean

Pemeriksaan dengan sonde periodontium (probing) adalah tes klinis

yang penting yang sering terabaikan dan tidak dipakai semestinya

dalam penegakan diagnosis lesi periapeks. Kerusakan tulang dan

jaringan lunak periodontium diinduksi oleh baik penyakit

periodontium dan lesi periapeks. Sonde periodontium dapat

Page 27: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

29

menunjukkan perlekatan jaringan ikat. Gigi dengan pulpa nekrosis

yang menginduksi inflamasi periapeks yang meluas kea rah servikal

memeiliki prognosis yang baik jika saluran akarnya dirawat dengan

baik. Kedalaman yang bias disonde disepanjang permukaan dan

furkasi harus diukur dan dicatat agar dapat digunakan sebagau

pembanding dikemudian hari.

2. Mobilitas

Tes mobilitas sebagian menunjukkan keadaan ligament periodontium

dan prognosis bagi setiap macam perawatan. Mobilitas ditentukan

dengan menempatkan jari telunjuk pada aspek lingual dan

mengaplikasikan tekanan dengan kaca mulut pada permukaan fasial.

Gerakan lebih dari 2-3mm atau depresi menandakan bahwa harapan

keberhasilan perawatan salurannya sangat sedikit jika penyebab utama

mobilitas adalah penyakit periodontium dan bukan patosis

periradikular (Walton, 2008).

e. Pemeriksaan Radiografis

Radiograf bermanfaat dan penting sebagai alat bantu diagnosis dan

perawatan. Sebagian besar perubahan patologis tidak kasat mata, dengan

demikian lesi periradikular tidak menghasilkan perubahan radiografis pada

tahapnya yang masih dini. Untuk memperoleh suatu gambaran interpretasi

3 dimensi sebaiknya diambil gambar suatu struktur yang sama dari

berbagai sudut. Pemeriksaan radiografis memungkinkan evaluasi masalah

yang disebabkan oleh gigi (Walton, 2008).

f. Tes Khusus

Setelah pemeriksaan objektif dan subjektif serta tes klinis

diselesaikan, biasanya penegakan diagnosis dan pembuatan rencana

perawatan yang tepat dapat dilakukan. Tetapi jika terdapat keadaan tertentu

yang mencegah ditegakkannya diagnosis definitif, lakukanlah tes tambahan

Page 28: Blok 8 Issue 6 Setengah Jadi

30

misalnya pembuangan karies, anestesi selektif dan transiluminasi (Walton,

2008).

1) Pembuangan Karies

Pada beberapa keadaan, yang perlu dilakukan untuk menentukan

diagnosis pulpa yang tepat adalah menentukan kedalaman penetrasi karies.

Keadaan yang sering dijumpai secara klinis adalah adanya karies dalam yang

terlihat secara radiografis, tidak ada riwayat penyakit atau gejalan yang

sidnifikan, dan pulpa yang memberikan respons terhadap tes klinis. Tes

pembuktian yang terakhir adalah pembuangan seluruh karies untuk melihat

keadaan pulpanya (Walton, 2008).

2) Anestesi Selektif

Tes ini berlawanan dengan tes kavitas, yang dilaksanakan pada gigi

tanpa nyeri maupun gigi yang menimbulkan gejala. Tes anestesi selektif

bermanfaat pada gigi yag sedang nyeri terutama jika pasien tidak dapat

menentukan gigi mana yang sakit, bahkan tak dapat pula menentukan lengkung

giginya. Jika yang dicurigai gigi di daerah mandibula, anestesi blok mandibula

akan mengkonfirmasikan paling tidak regio saktnya ketika nyeri tersebut

hilang setelah di anestesi. Pada maksila yang paling efektif adalah anestesi

masing-masing gigi. Anestesi dilakukan dalam arah anterior ke posterior sesuai

dengan distribusi saraf sensorisnya. Karena blok saraf alveolaris inferior akan

menganestesi aemua gigi di dalam kuadran, anestesi selektif tidak bermanfaat

pada mandibula. Anestesi selektif paling bermanfaat untuk mengidentifikasi

lengkung mana yang menjadi sumber nyeri (Walton, 2008).

3) Transiluminasi

Tes ini membantu mengidentifikasi fraktur mahkota longitudinal karena

suatu fraktur tidak akan mentransiluminasikan cahaya. Transiluminasi

menghasilkan bayangan gelap dan terang yang kontras di daerah fraktur

(Walton, 2008).