blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-bab-iv.docx · web view2016/11/08 ·...
TRANSCRIPT
112
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Temuan Gap Antara Teori Dan Praktek
Tujuan pelaksanaan kegiatan magang adalah untuk melihat relevansi atau
praktik kerja yang terjadi di lapangan dengan teori-teori yang telah diberikan
dalam perkuliahan kesenjangan atau gab antara teori dan praktik seringkali terjadi
di lapangan. Karena dalam praktik di lapangan seringkali tidak dapat
mengimplementasikan teori yang ada secara sempurna dengan keseluruhan,
dengan melihat kesenjangan antara praktik dan teori dapat diperoleh kekurangan-
kekurangan dan rekomendasi yang dapat menjadi perbaikan praktik dimasa depan.
Sehingga, dapat meningkatkan kualitas kinerja dari pegawai Biro Organisasi
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. Selain menjelaskan temuan antara teori
dan praktik, bagian pembahasan ini juga sedikit mengulas tentang budaya
organisasi yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan publik.
a. Budaya Organisasi Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik
Dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat sehari – hari tentunya tidak
terlepas dari suatu ikatan yang disatukan dalam budaya. Budaya dapat mengikat
anggota masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan, dimana hal tersebut dapat
menciptakan keseragaman dalam berperilaku maupun bertindak. Budaya
terbentuk dari kegiatan masyarakat itu sendiri, baik itu dalam keluarga,
lingkungan, sampai dengan organisasi pasti terjadi ikatan budaya. Dalam
organisasi ikatan budaya tersebut dinamakan budaya organisasi. Budaya
organisasi dapat digunakan sebagai alat manajemen untuk mencapai efisiensi,
efektifitas, produktivitas, serta etos kerja dalam Sutrisno (2010, h. 1).
Menurut Sutrisno (2010, h.1) budaya organisasi merupakan suatu kekuatan
sosial yang tidak tampak, yang dapat menggerakkan orang-orang dalam suatu
organisasi untuk melakukan aktivitas kerja. Jadi disini, budaya organisasi secara
tidak langsung setiap anggota dalam organisasi tersebut tentunya mempelajari,
karena mereka harus mengetahui apa kebiasaan dari organisasi tersebut, apa yang
113
dilarang, dan apa saja yang harus dikerjakan. Karena budaya organisasi sangatlah
menentukan apakah orang tersebut bisa diterima serta berbaur dengan lingkungan
organisasi tersebut atau tidak. Salah satu hal yang mendukung tercapainya tujuan
organisasi itu adalah dari faktor sumber daya manusia yang ada di dalam
organisasi tersebut, karena sumber daya manusia merupakan motor penggerak
dari organisasi itu, sementara bagi Sumber Daya Manusia (SDM) perlu adanya
dukungan dari budaya untuk menggerakkan kebijakan organisasi. Karena budaya
organisasi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku bagi organisasi
kedepannya. Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990),
Robbins (1990) dalam Sutrisno (2010, h.3), budaya yang kuat dan positif
sangatlah berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja organisasi, yaitu :
1. Nilai-nilai kunci yang salin menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasi,
menjiwai para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak
2. Perilaku-perilaku karyawan secara tak disadari terkendali dan
terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak tampak
3. Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi
4. Adanya musyawarah dan kebersamaan atau kesertaan dalam hal-hal yang
berarti sebagai bentuk partisipasi, pengakuan, dan penghormatan terhadap
karyawan
5. Semua kegiatan berorientasi atau diarahkan kepada misi atau tujuan
organisasi
6. Menimbulkan kesenangan bagi karyawan karena merasa dihargai martabat
dan kontribusinya dalam organisasi
7. Adanya koordinasi, integrasi dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan
organisasi
8. Ada tiga aspek yang dipengaruhi dalam organisasi, yakni ; pengarahan
perilaku kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi
dan kekuatannya untuk melaksanakan nilai-nilai budaya
9. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.
Berbicara masalah output dari organisasi, tentunya budaya organisasi juga
sangat berperan penting dalam pencapaian output organisasi itu. Keduanya
memiliki keterkaitan erat, karena budaya organisasi itu dapat mencerminkan
114
bagaimana output tersebut dikerjakan, termasuk di dalamnya pelayanan publik.
Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah
yang memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat. Oleh
karena itu, kualitas layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas
birokrasi pemerintah. Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu
membawa organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada
hakekatnya dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Tangkilisan (2005) mengatakan bahwa organisasi publik
dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat berfungsi
melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat, artinya tidak ada hambatan (sekat)
yang terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat dalam memberikan
pelayanan, serta mampu memecahkan fenomena yang terjadi akibat adanya
perubahan sosial yang sangat cepat dari faktor eksternal.
Pada pembahasan budaya organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik,
disini budaya organisasi diimplementasikan sebagai sistem nilai budaya yang
merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam pemikiran sekelompok
manusia/individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara.
Hal tersebut disebabkan secara praktis budaya organisasi mengandung beberapa
pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi tehadap nilai-nilai dan
lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan
mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja. Di dalam proses budaya
terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik
sosial maupun lingkungan sosial. Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk
atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, disamping itu bekerja juga
merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya, dan dapat
menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.
Sementara pelayanan publik yang dilakukan oleh Biro Organisasi di
Sekretariat daearah Jawa Timur lebih pada pelayanan publik intern, artinya
pelayanan yang diberikan untuk aparatur publik, jadi pelayanan ini tidak langsung
diberikan kepada masyarakat hanya melalui aparatur publiknya saja, seperti
pegawai negeri sipil (PNS). Tujuan budaya organisasi yang utama adalah
peningkatan kinerja aparatur. Dimana untuk meningkatkan kinerja, aparatur perlu
115
memperhatikan etika aparatur yang disebut Etika Aparatur Sipil Negara (ASN)
yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014
pasal 4 ayat (2), yang meliputi :
1. Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan
berintegritas tinggi
2. Melaksanakan tuganya dengan cermat dan disiplin
3. Melayani dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan
4. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
5. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang
berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan etika pemerintah
6. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara
7. Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung
jawab, efektif dan efisien
8. Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan
tugasnya
9. Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak
yang lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan
10. Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan,
dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat
bagi diri sendiri atau untuk orang lain
11. Memegang teguh nilai dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) dan selalu
menjaga reputasi dan integritas Aparatur Sipil Negara (ASN)
12. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin
pegawai.
Dalam menjalankan kegiatan organisasinya, disini Biro Organisasi juga
menggunakan Etika Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam tugasnya, termasuk
dalam pelayanan publik Biro Organisasi juga bertindak sesuai kode etik Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang tercantum dalam Undang-undang Etika Aparatur Sipil
Negara (ASN) yang dapat digunakan sekaligus sebagai pedoman budaya
116
organisasi di Biro Organisasi tersebut. Selain menggunakan Etika ASN untuk
meningkatkan kinerja aparatur dalam rangka melaksanakan pelayanan publik Biro
Organisasi juga mengatur tentang disiplin pegawai yang tertuang dalam 10
budaya malu apartur, yang meliputi :
1. Terlambat masuk kantor
2. Tidak ikut apel
3. Tidak kerja tanpa alasan
4. Sering minta ijin tidak masuk kerja
5. Bekerja tanpa program kerja
6. Pulang sebelum waktunya
7. Sering meninggalkan kantor tanpa alasan
8. Bekerja tanpa pertanggung jawaban
9. Pekerjaan terbengkalai
10. Berpakaian sering tidak rajin tanpa atribut.
Alasan utama Biro Organisasi untuk menerapkan 10 hal tersebut untuk
dijadikan kebiasaan dan budaya, namun yang utama adalah untuk mengontrol
disiplin pegawai khususnya pegawai Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi
Jawa Timur, karena kedisiplinan dari aparatur merupakan faktor awal apakah
aparatur tersebut bisa bekerja dengan baik dan sesuai atau tidak yang nantinya
akan berdampak pada kualitas pelayanan publik yang dijalankan.
Gambar 50. Halaman Pertama yang muncul ketika Membuka situs apapun
menggunakan wifi.id Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hal ini merupakan salah
117
satu cara untuk mensosialisasikan kepada seluruh pegawai mengenai 10 Budaya
Malu Aparatur yang harus dipatuhi dalam rangka meningkatkan kinerja untuk
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Gambar 51. Tampak Depan Pintu Masuk Biro Organisasi terdapat X-Banner yang
berisi tentang 10 Budaya Malu Aparatur. Tempat ini sangat strategis dikarenakan
merupakan tempat lalu lalang pegawai ketika masuk kerja. X-Banner tersebut juga
terdapat pada Pintu Masuk Seluruh Biro di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa
Timur.
Gambar 52. Tampak Depan Pintu Masuk Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
yang juga merupakan tempat yang amat strategis untuk pemasangan X-Banner
yang berisi 10 Budaya Malu Aparatur.
118
10 Budaya Malu Aparatur dibuat oleh Bagian Tata Laksana Biro
Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur yang fungsinya adalah untuk
membentuk serta mewujudkan etika Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui budaya
tersebut yang pada intinya menekankan kepada kedisiplinan pegawai untuk
meningkatkan kinerja aparatur. 10 Budaya Malu Aparatur ini berlaku untuk
seluruh pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. 10 Budaya Malu
Aparatur dibuat berkonotasi negatif dikarenakan menurut fenomena yang ada,
Aparatur Sipil Negara banyak memiliki sifat yang berkonotasi negatif dalam
persepsi masyarakat seperti yang dijelaskan pada 10 Budaya tersebut. Sehingga
dengan diterapkannya 10 Budaya Malu Aparatur tersebut, diharapkan Aparatur
dapat menghindari perilaku-perilaku tersebut. Berdasarkan Analisis Kelompok
kami, Implementasi 10 Budaya Malu Aparatur di Sekretariat Daerah, khususnya
Biro Organisasi adalah sebagai berikut :
1. Terlambat masuk kantor
Jam kerja Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur adalah Pukul 07.00
WIB. Beberapa pegawai sudah menerapkan hal tersebut dalam kedisiplinan
pegawai dikarenakan ada absensi pegawai datang dan pulang menggunakan sidik
jari, sehingga tidak bisa diwakilkan atau terjadi kecurangan dalam hal absensi.
Seringkali ada beberapa pegawai yang lupa melakukan absensi pada saat datang
ke kantor. Hal ini menyebabkan tercatatnya pegawai tersebut seperti terlambat
masuk kantor. Fenomena lain juga terjadi seperti terlambatnya pegawai masuk ke
kantor melebihi pukul 07.00 WIB, namun dapat dimaklumi dikarenakan sudah
melakukan ijin sebelumnya kepada Kepala Bagian masing-masing atau
melakukan ijin setelahnya. Jadi terdapat komunikasi yang baik antara atasan
dengan bawahan sehingga beberapa fenomena diatas tidak menghambat kinerja
organisasi.
2. Tidak ikut apel
Setiap pegawai diwajibkan mengikuti apel pagi setiap hari sebelum
melakukan pekerjaan masing-masing. Banyak sosialisasi yang disampaikan oleh
Gubernur Jawa Timur maupun Kepala Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
119
tentang pentingnya mengikuti apel pagi dan penerapan kedisiplinan pegawai. Hal
ini membuat kesadaran beberapa pegawai untuk selalu mengikuti apel pagi setiap
harinya. Meskipun ada beberapa pegawai yang terlambat dalam mengikuti apel
pagi, namun Kepala Sub Bagian Tata Usaha masing-masing Biro selalu
mengingatkan pegawainya untuk mengikuti apel pagi.
3. Tidak kerja tanpa alasan
Komunikasi yang baik terjalin antara atasan dan bawahan dalam artian
Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian dan Staf dalam setiap biro,
khususnya di Biro Organisasi membuat Kepala Sub Bagian Tata Usaha selalu
mengetahui alasan pegawai ketika tidak masuk kerja dikarenakan setiap pegawai
selalu melakukan konfirmasi apabila absen masuk kerja.
4. Sering minta ijin tidak masuk kerja
Banyak kepentingan pegawai selain mengerjakan pekerjaan serta
tanggungjawab di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, seperti menempuh
pendidikan S2 maupun S3 sambil bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara,
melakukan diklat untuk mengembangkan skill, melakukan penelitian diluar
kantor, sakit, urusan keluarga, dan sebagainya membuat pegawai terkadang harus
melakukan ijin untuk mengerjakan hal lain tersebut. Pegawai memiliki
konsekuensi ketika sering meminta ijin tidak masuk bekerja, yaitu menyelesaikan
pekerjaan dan tanggungjawab kerja meskipun intensitas masuk kerja sangat
sedikit. Hal ini wajib dilakukan oleh seluruh pegawai baik Kepala Biro, Kepala
Bagian maupun Staf. Apabila tidak dilakukan paling tidak memberikan
Pertanggungjawaban tersebut atau melimpahkan tugas pada Staf (Untuk Kepala
Bagian dan Kepala Sub Bagian).
5. Bekerja tanpa program kerja
Setiap Pegawai wajib bekerja berdasarkan program kerja yang telah
disusun. Kendala yang dialami adalah ketika kondisi lapangan tidak bisa untuk
merapakan program kerja tersebut, misalkan dikarenakan kurangnya anggaran,
dan sebagainya. Hal ini dimaklumi karena perencanaan atau program kerja yang
120
akan dilaksanakan mengalami kendala di lapangan. Sedangkan sejauh ini belum
ada pegawai yang bekerja tanpa program kerja karena semua perencanaan sudah
diprogramkan dan diarsipkan, baik secara online maupun offline.
6. Pulang sebelum waktunya
Jam kerja pegawai adalah mulai pukul 07.00 WIB – 15.30 WIB untuk Hari
Senin sampai dengan Kamis, sedangkan pada Hari Jumat pukul 07.00 WIB
sampai dengan 14.30 WIB. Memang banyak fenomena yang ditemui bahwa
beberapa pegawai pulang kerja sebelum waktunya dikarenakan ada keperluan
maupun alasan yang lainnya. Hal ini tidak menghambat kinerja organisasi selama
pekerjaan tersebut sudah diselesaikan sebelum waktu pulang. Beberapa fenomena,
Kepala Sub Bagian dan Kepala Bagian banyak mengambil jam kerja lembur untuk
menyelesaikan beberapa pekerjaan. Sehingga memang jarang ditemui
permasalahan akibat pulangnya pegawai sebelum waktunya dikarenakan ada
absensi dan proses perijinan.
7. Sering meninggalkan kantor tanpa alasan
Jam Istirahat pegawai adalah pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 13.00
WIB. Memang tidak sedikit pegawai yang meninggalkan kantor diluar jam
tersebut, namun hal tersebut masih wajar dilakukan asalkan tidak keluar dari
koridor etika Aparatur Sipil Negara. Hal tersebut dilakukan pegawai dengan
alasan membeli sarapan atau makan, melakukan print atau fokokopi diluar kantor,
bertemu dengan seseorang diluar kantor, dan sebagainya. Karena melakukan
pekerjaan dengan serius selama jam kerja tersebut juga mengakibatkan kebosanan
dan rasa jenuh pada pegawai. Jarang ditemui pegawai sering meninggalkan kantor
jika tanpa alasan.
8. Bekerja tanpa pertanggung jawaban
Setiap program kerja yang telah dilaksanakan sudah pasti akan diminta
pertanggungjawaban yang dituangkan kedalam laporan pertanggungjawaban
meliputi laporan keuangan/laporan anggaran dan laporan kegiatan. Jadi tidak
ditemukan pegawai yang bekerja tanpa pertanggungjawaban.
121
9. Pekerjaan terbengkalai
Pekerjaan yang terbengkalai ini memang pernah terjadi pada beberapa
pegawai, namun setiap pegawai yang meninggalkan pekerjaan mempunyai
konsekusi sendiri dan bertanggungjawab kepada Kepala Sub Bagian/Kepala
Bagian/Kepala Biro masing-masing.
10. Berpakaian sering tidak rajin tanpa atribut
Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki seragam dan ketentuan atribut
setiap harinya. Karena ketentuan tersebut seragam, jadi jarang ditemui pegawai
yang menggunakan atribut berbeda. Namun memang seringkali pegawai
melakukan pelepasan atibut ketika sedang berada diluar kantor meskipun pada
saat jam kerja misalnya pada saat makan siang, dan sebagainya. Hal ini wajar
dilakukan dikarenakan pada saat diluar kantot, seorang aparatur memang harus
disamakan dengan masyarakat dikarenakan mereka adalah pelayan masyarakat.
Mungkin akan terjadi suatu kecanggungan apabila interaksi dilakukan oleh
seorang aparatur dan masyarakat setempat diluar kantor dengan atribur tersebut.
Kesimpulannya adalah beberapa kendala tersebut, tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kedisiplinan pegawai dalam rangka
meningkatkan kinerja organisasi dalam rangka memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat secara menyeluruh tanpa diskriminasi atau dikenal dengan
pelayanan publik.
Sejak diterbitkannya Perda tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur tahun
2007 silam, berbagai langkah nyata terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik di belahan timur Pulau Jawa itu. Di Jawa Timur sendiri melalui
Biro Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki upaya dalam
keberhasilan pelayanan publik melalui :
1. Gelar pameran pelayanan publik (setiap 2 tahun)
Kegiatan ini dilakukan untuk menyebarluaskan informasi kepada
masyarakat tentang inovasi pelayanan publik yang sudah dilakukan oleh
pemerintah daerah. Tahun ini peserta lebih 250 both.
122
2. Kompetisi inovasi pelayanan publik (setiap tahun)
Kegiatan ini dilakukan untuk menjaring inovasi pelayanan publik dari
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota di
Jawa Timur.
3. Laporan pengaduan masyarakat melalui Biro Organisasi bekerjasama
dengan Ombudsman
Pemerintah Provinsi Jawa Timur khusunya Biro Organisasi memberikan
fasilitas kepada masyarakat terkait pengaduan layanan dimana Biro Organisasi
akan bekerjasama dengan Ombudsman terkait dalam memecahkan masalah
tersebut. Hal ini bertujuan agar aspirasi masyarakat dapat ditampung sepenuhnya
oleh Pemerintah Provinsi serta akan dipecahkan bersama Ombudsman terkait.
4. Monitoring dan evaluasi tentang kepatuhan terhadap UU Nomor 25 tahun
2009 tentang Pelayanan Publik
Melakukan monitoring serta evaluasi terhadap Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota apakah pelayanan yang dilakukan sudah
sesuai serta berpedoman dengan UU Nomor 25 tahun 2009 atau tidak. Tujuannya
agar setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota dapat
melaksanakan pelayanan yang sesuai dengan harapan serta aturan yang berlaku.
5. Rapat koordinasi terkait standar pelayanan minimal, standar pelayanan
publik, dan inovasi pelayanan publik (dua kali dalam setahun)
Dilakukan untuk memberikan informasi terkini terkait perundangan
tentang pelayanan publik dan hal-hal lain, serta diikuti oleh Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi serta Kabupaten dan Kota.
6. Pemberian reward and punishment
Reward akan diberikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
maupun kabupaten/kota yang dapat menyelenggarakan pelayanan dengan
maksimal serta tidak melanggar aturan yang berlaku. Hal ini dilakukan agar
123
kedepannya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota
dapat menciptakan inovasi yang lebih baik lagi serta dapat menjalankannya secara
konsisten. Sementara punishment akan diberikan pada Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota dalammelaksanakan pelayanan tidak
sesuai aturan yang telah ditetapkan. Tujuannya adalah untuk melakukan kontrol
terhadap daerah agar pelayanan maupun inovasi pelayanan kedepannya bisa
dilakukan secara maksimal.
7. Inovasi sebagai gerakan atau pembudayaan
Artinya bahwa Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota sesering mungkin
mengeluarkan inovasi terkait pelayanan publik. Tujuannya agar mereka mampu
meningkatkan pelayanan secara berkelanjutan sesuai dengan inovasi yang
dikeluarkan.
Dengan menerapkan 7 upaya peningkatan pelayanan publik, Jawa Timur
berhasil memperoleh penghargaan TOP 35 dan TOP 99, hal tersebut
membuktikan bahwa keberhasilan pelayanan publik tidak terlepas dari perilaku
aparatur publiknya yang sesuai dengan budaya organisasi yang berasas pada etika
Aparatur Sipil Negara (ASN) serta peraturan disiplin pegawai.
b. Peran SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah)dalam Kinerja Aparatur Sipil Negara)
SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dibangun
dengan konsep pertanggung jawaban sesungguhnya adalah bagian dari upaya
untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah melalui penerapan manajemen
kinerja. Penerapan SAKIP selalu berkaitan dengan SPIP (Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah) karena SPIP mendefinisikan bahwa tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui
kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan
124
aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan
PP Nomor 60 tahun 2008. SAKIP yang memberikan manfaat adalah sebuah
sistem yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaiki kebijakan serta
mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam mendesain
program dan kegiatan. Selanjutnya SAKIP juga dapat digunakan sebagai dasar
untuk memberikan reward and punishment terkait dengan kinerja Aparatur Sipil
Negara (ASN). Sementara peran dari SAKIP sendiri dapat dibagi menjadi dua,
antara lain; 1. Sebagai media pertanggungjawaban kinerja, 2. Sebagai alat
pengendalian manajemen. Karena kedua peran demikian maka diharapkan SAKIP
disini tidak hanya dianggap sebagai formalitas saja, melainkan juga mendukung
terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terwujudnya
pemerintahan yang bersih yang akan berdampak pada meningkatnya kualitas
pelayanan publik.
SAKIP sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik. Terbitnya SAKIP melalui Inpres Nomor 7 Tahun 1999 pun bagian dari
paket reformasi penyelenggaraan pemerintahan setelah orde baru. SAKIP terbit
sebagai bagian dari salah satu konsekuensi diterapkannya otonomi daerah di
Indonesia. Dalam memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah harus
dibarengi dengan peningkatan akutabilitas, jika hal tersebut tidak dilakukan maka
akan lebih sering terjadi penyelewengan kewenangan. Selain hal diatas SAKIP
juga merupakan bagian dari penerapan anggaran berbasis kinerja (Performance-
based Budgeting). Perubahan dari line-item budgeting menjadi performance-
based budgeting mengharuskan pemerintah daerah untuk menyusun anggaran
dengan mengacu pada target kinerja yang akan dicapai. Jika pada penganggaran
sebelumnya hanya didasarkan pada incremental cost atau jumlah anggaran
meningkat berdasarkan persentase tertentu dibandingkan tahun sebelumnya, maka
dalam performance-based budgeting seluruh anggaran harus dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Artinya, setiap dana yang dikeluarkan harus
dapat dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkan. Sehingga, SAKIP harus
terintegrasi dalam penganggaran. Dengan kata lain, SAKIP sesungguhnya bisa
digunakan untuk mengukur sejauh mana pemerintah daerah berupaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperbaiki tata kelola pemerintahannya,
125
meningkatkan kualitas pelayanan publik bahkan untuk mendorong pemberantas
korupsi. Kesimpulannya bahwa jika SAKIP itu bagus maka juga akan
berpengaruh pada tata kepemerintahan yang baik yang berdampak pada kualitas
pelayanan publik yang baik pula.
4.2. Gap Teori Dan Praktek
Sesuai pembahasan tentang budaya organisasi dalam pelayanan publik
yang sudah dijelaskan sebelumnya praktik budaya organisasi yang dijalankan oleh
Bagian Pelayanan Publik Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
sudah dijalankan dengan cukup baik, tetapi terdapat beberapa hal yang perlu
diperbaiki dimana ditemukan sedikit gap antara teori dengan praktik yang
ditemukan peserta magang selama menjalankan magang di Biro Organisasi
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur tersebut. Adapun temuan gap antara teori
dengan praktik, meliputi :
Dari segi Internal Organisasi terjadi Gap antara teori dengan praktek yaitu
ketika berbicara budaya organisasi tentunya tidak bisa terlepas dengan Etika
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014,
dimana mungkin hal ini yang masih sering dilanggar oleh para aparatur publik itu
sendiri yakni Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
disiplin pegawai di Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.
Padahal ketika berbicara organisasi pasti motor penggerakknya adalah Sumber
Daya Manusia (SDM) itu sendiri. Sementara untuk budaya organisasi yang terkait
kedisiplinan pegawai itu masih sedikit terabaikan. Sementara pada biro sendiri
juga sudah diatur terkait disiplin pegawai yang tertuang dalam 10 budaya malu
aparatur. Sehingga harapan kedepannya mungkin disiplin pegawai tersebut bisa
menjadi prioritas bukan hanya formalitas saja demi tercapainya tujuan organisasi
serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena jika disiplin pegawai hanya
sekedar formalitas saja akan berdampak terhadap banyak hal yang bermuara pada
menurunnya kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur, seperti pemberian
pelayanan kepada masyarakat baik secara intern maupun ekstern kurang
126
memuaskan. Karena saat ini di Biro Organisasi Sumber Daya Manusia (SDM)
yang terlihat masih disiplin hanya terbatas pada masuk dan pulang kerja saja, hal
itu disebabkan adanya harapan terkait tunjangan prestasi yang telah
diprogramkan. Sehingga yang terjadi belum ada kesadaran dari para aparatur yang
bekerja sesuai tupoksi yang diberikan atasan.
Selain hal diatas sikap pegawai yang kurang disiplin adalah disebabkan
oleh terlalu banyaknya pekerjaan yang diberikan, sehingga menjadikan pekerjaan
tersebut tidak selesai tepat waktu. Dari segi eksternal organisasi, hal yang menjadi
kendala adalah keterlambatan daerah dalam mengerjakan tugasnya serta
melaporkan data ke Pemerintah Provinsi. Hal tersebut tentunya menjadikan
pelayanan akan diselenggarakan lebih lama serta penerapannya pun juga lebih
lama. Contohnya : pelaporan SKM.
Sementara untuk Peran SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah) dalam Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN), yang sudah dijelaskan
sebelumnya, praktik budaya organisasi yang dijalankan oleh Biro Organisasi
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur sudah dijalankan dengan cukup baik,
tetapi terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki dimana ditemukan sedikit gap
antara teori dengan praktik yang ditemukan peserta magang selama menjalankan
magang di Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur tersebut.
Adapun temuan gap antara teori dengan praktik, meliputi :
Kondisi yang ada saat ini adalah SAKIP belum terbangun secara
sempurna. Kelemahan dalam penyusunan perencanaan yang seharusnya dapat
digunakan sebagai penilaian keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya belum terwujudkan. Indikator
kinerja utama beserta target yang terukur sesungguhnya adalah acuan dalam
penyusunan anggaran. Namun, justru kedua hal ini lah yang belum dibangun. Hal
ini mengingat konsep anggaran berbasis kinerja hanya akan dapat berjalan jika
instansi pemerintah telah menetapkan indikator kinerja yang terukur. Jika tidak,
anggaran berbasis kinerja akan menjadi formalitas.
4.3. Rekomendasi
127
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik rekomendasi antara lain sebagai
berikut :
1. Perbaikan pemberian pelayanan kepada masyarakat
Saat ini terkadang publik merasa kurang puas dengan pelayanan yang
dilakukan oleh aparatur publik. Bahkan publik saat ini lebih memilih pelayanan
swasta, karena swasta memiliki pelayanan yang lebih baik dibanding dengan
pemerintah. Maka dari itu demi tercapainya kepuasan publik sebaiknya
pemerintah melakukan perbaikan terkait pelayanan publik.
2. Memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan melalui
mekanisme yang inovatif
Sebaiknya dalam perumusan kebijakan saran dari publik itu penting.
Karena biasanya ide yang inovatif tidak hanya keluar dari para aparatur publik
saja, melainkan dari publik juga. Mungkin hal tersebut bisa ditampung secara
manual melalui kotak saran inovasi pelayanan maupun dapat ditampung secara
online dengan menciptakan aplikasi tertentu.
3. Mendorong pemerintahan berbasis pendekatan kolaboratif dalam era
informasi
Pemerintahan berbasis pendekatan kolaboratif disini adalah
memungkinkan adanya pendekatan yang dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Di era informasi kerjasama bisa hanya dilakukan via online saja
tanpa harus bertemu secara langsung. Jadi ketika memiliki inovasi pelayanan
daerah tidak hanya bisa menyalurkan secara langsung seperti datang ke pusat,
namun juga bisa melalui media aplikasi yang sudah dibuat.
4. Pelayanan publik sebaiknya lebih mengaplikasikan teknologi informasi
dan komunikasi
Jadi dalam melakukan pelayanan publik perlu adanya keterlibatan
teknologi informasi dan komunikasi, karena dapat mempermudah fasilitasi
terhadap daerah terkait kritik, saran, bahkan sampai inovasi pelayanan.
5. Menerapkan mekanisme reward and punishment
128
Pemberian reward and punishment ini lebih pada aparatur publik yang
menjalankan. Reward akan diberikan ketika aparatur publik tersebut dapat
menjalankan tugas dengan baik bahkan lebih dari ekspektasi. Hal ini dilakukan
untuk memotivasi pegawai tersebut agar kedepannya bisa bekerja lebih lagi
daripada saat ini. Sementara punishment diberikan bagi pegawai yang salah
satunya melakukan pelanggaran disiplin sampai dengan yang bekerja tidak sesuai
dengan programnya. Hal demikian dilakukan agar pegawai tersebut bisa
memperbaiki pekerjaannya serta tidak melakukannya kembali.
6. Mengimplementasikan pengawasan internal
Disini pengawasan internal lebih ditekankan, karena biasanya
pengendalian dari internal organisasi tersebut yang harus dilakukan terlebih
dahulu sebelum melakukan pengawasan dari eksternal organisasi tersebut.
Pengawasan internal dilakukan pada aparatur publik yang menjalankan program
kerja organisasi. Apakah program tersebut sudah dijalankan secara baik dan benar
atau belum, hal ini dilakukan demi tercapainya peningkatan kualitas pelayanan
yang diinginkan.
7. Melaksanakan pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan
Pelayanan publik yang dilaksanakan harus berpedoman pada standar
pelayanan publik termasuk di dalamnya; prosedur pelayanan, waktu penyelesaian,
produk pelayanan, biaya pelayanan, sarana dan prasarana, serta kompetensi
petugas pemberi layanan (Keputusan Menteri PAN 63/2003).