bioremediasi
DESCRIPTION
bioremidiasi, biologiTRANSCRIPT
BioremediasiKonsep dasar dari bioremediasi adalah biodegradasi (penguraian/ perombakan secara
biologis) limbah dalam tambak menjadi senyawa-senyawa yang tidak membahayakan udang dan tidak menyebabkan turunnya kualitas air. Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar. Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun (Prayitno dan Budi, 2009).
Biodegradasi suatu senyawa ditentukan oleh sifat dan susunan bahan, dimana pada umumnya senyawa organik mempunyai sifat yang cepat terurai. Tetapi di dalam kenyataannya, khususnya di lingkungan alami, biodegribilitas ditentukan pula oleh banyak faktor, baik yang bersifat abiotik dan biotik. Proses biologis memerlukan penelaahan sehubungan dengan sifat dan bentuk substrat serta sifat dan bentuk jasad yang berperan di dalamnya, karena keseluruhan proses berlangsung secara enzimatis. Proses biologis merupakan proses-proses alami yang bersifat dinamis dan kontinyu selama faktor-faktor yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mikroorganisme yang terlibat dapat terpenuhi (Aquatech and B. Development Pokphand, 2000).
2.3 Cuprum (Cu)Tembaga dengan nama kimia Cuprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini
berbentuk kristal dengan warna kemerahan, memiliki nomor atom 29 dan berat atom 63,546 (Palar, 1994). Berdasarkan kepentingan biota perairan, Cu termasuk ke dalam logam essensial yang berarti dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh. Sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat menyebabkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktifitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton dan kadar Cu sebesar 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh ikan-ikan (Rochyatun, 2003 dalam Silfia, 2004).
Tanaman memerlukan unsur hara makro dan mikro dalam hidup dan pertumbuhannya. Jaringan tubuhnya dibentuk atau dibangun dari karbohidrat-karbohidrat, lemak-lemak, protein dan nukleoprotein. Agar jaringan-jaringan tersebut dapat berfungsi maka diperlukan enzim-enzim. Untuk pembentukan jaringan biasanya diperlukan unsur-unsur hara makro seperti C, H, O, N, S, P, K. Sedangkan untuk pembentukan enzim diperlukan unsur-unsur hara mikro seperti Fe, Zn, Cr, Mo, Mn, Pb, Cu dan Bo. Unsur-unsur hara ini disebut sebagai unsur mikro atau minor atau trace element sebab hanya sedikit saja diperlukan oleh tanaman (Sarief, 1986). Unsur hara mikro tersebut di dalam sistem periodik digolongkan ke dalam golongan logam berat. Keberadaan logam berat dalam perairan pada umumnya bersifat toxic (racun) jika berada dalam jumlah yang berlebih tetapi tetap dibutuhkan dalam jumlah sedikit sebagai katalisator.
Menurut Rioardi (2009), kebanyakan Cu terdapat dalam kloroplas (>50%) dan diikat oleh plastosianin. Tembaga (Cu) diserap dalam bentuk ion Cu2+ dan mungkin dapat diserap dalam bentuk senyawa kompleks organik, misalnya Cu-EDTA (Cu-ethilen diamine tetra
acetate acid) dan Cu-DTPA (Cu diethilen triamine penta acetate acid). Dalam tanaman hampir semua Cu membentuk kompleks senyawa dengan asam amino. Kekurangan Cu antara lain: pembungaan dan pembuahan terganggu, warna daun muda kuning dan kerdil, daun-daun lemah, layu dan pucuk mengering serta batang dan tangkai daun lemah. Sedangkan menurut Mitratani (2008), Cu kegunaannya sebagai pengaturan sistem enzim dan pembentukan klorofil juga sangat dibutuhkan pada tanah alkalis dan organik. Kecepatan penyerapan Cu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:a) umur organisme, semakin tua umur suatu organisme maka kemampuannya untuk
menyerap Cu semakin rendahb) keadaan lingkungan yang mendukung pertumbuhan organismec) keberadaan organisme dalam lingkungan hidupnya
Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya adalah sifatnya yang tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan. Logam-logam tersebut akhirnya terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Jones, 2000). Tembaga sebagai salah satu jenis logam berat yang memiliki tingkat toksisitas tinggi masuk dalam tatanan lingkungan perairan dari peristiwa-peristiwa alamiah dan sebagai efek samping dari aktifitas yang dilakukan oleh manusia (Huysman dan Brooks, 1994). Secara alamiah, Cu masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfer yang dibawa turun oleh air hujan (Efendi, 2003).
Tembaga pada dasarnya merupakan mikroelemen essensial untuk semua tanaman dan hewan termasuk manusia. Logam Cu diperlukan oleh berbagai sistem enzim di dalam tubuh manusia (Jones, 2000). Fungsi Cu adalah mengaktifkan enzim sitokrom-oksidase, askorbit-oksidase, asam butirat-fenolase, dan laktase. Cu juga berperanan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Oleh karena itu, apabila tanaman kekurangan Cu sintesis protein terganggu, maka protein yang ada jadi larut. Cu merupakan kofaktor sintesis enzim dan juga berpengaruh pada RNA dan DNA (Rosmarkam dan Nasih, 2002).
Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah
PENDAHULUAN
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam
industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia
menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia
merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga
peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8
dunia (Gautama, 2007). Namun demikian, pertambangan
selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai
sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang
sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak
diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang
punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun.
Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka
(open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada
penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan
tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara
disingkirkan.
Permasalahan yang paling berat akibat penambangan
terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD)
atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral
bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna
air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan
serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya
pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah
terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya
merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin
et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara
PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm,
pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang
batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang
demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang
demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi
memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih
dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki
kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan
adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan
mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang
dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan
cara mengeliminasi kontaminan (Wilkipedia, 2006). Kelompok
mikrobaa yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS
dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera
berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada
lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk
logam sulfida yang reduktif (Hards and Higgins, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPS
yang diisolasi dari limbah industri kertas untuk menurunkan
kadar sulfat pada lahan bekas tambang batubara.
BAHAN DAN METODE
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari limbah
industri kertas (sludge) PT. Indah Kiat Pulp and Paper di
Riau sedangkan tanah bekas tambang batubara diambil BIODIVERSITAS Vol. 8, No. 3,
Oktober 2007, hal. 283-286
284
dari PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan. Bakteri diisolasi
pada media Postgate (Atlas and Park, 1993) yang
mengandung (g/l) Na laktat (3,5), Mg.SO4 (2,0), NH4Cl
(0,2), KH2PO4 (0,5), FeSO4. 7 H2O (0,5) dan Agar (16,0)
dan pH 4 kemudian disterilkan pada suhu 121○
C tekanan 1
atmosfir selama 15 menit. Pertumbuhan BPS ditandai
dengan timbulnya koloni berwarna coklat tua sampai hitam
pada dasar tabung.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat pada media Postgate
cair
Isolat BPS yang digunakan pada penelitian ini
merupakan hasil seleksi berdasarkan kecepatan
tumbuhnya (Widyati, 2003). Komposisi isolat yang
digunakan merupakan campuran 4 isolat yang berdasarkan
identifikasi awal keempatnya termasuk genus Desulfovibrio
(Widyati, 2006). Masing-masing isolat dipelihara pada
media Postgate.
Masing-masing isolat murni BPS tersebut (0,25 ml)
diinokulasi ke media Postgate cair yang diperkaya dengan
larutan asam sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) jika populasi
telah mencapai 105
cfu/ml media. Kultur diinkubasi dalam
tabung ulir volume 25 ml sampai penuh. Percobaan
dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 kali
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 3 tabung ulir.
Setiap lima hari sampai hari keduapuluh dilakukan
pengukuran sulfat. Sebagai kontrol adalah perlakuan
media postgate B yang diperkaya dengan larutan asam
sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) tetapi tidak diinokulasi
dengan BPS.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi
tanah bekas tambang batubara
Komposisi bakteri yang digunakan pada percobaan ini
sama dengan pada percobaan uji BPS pada media
Postgate cair. Sebelum diinokulasikan pada tanah bekas
tambang batubara, biakan BPS sebanyak 1% dicampurkan
pada bahan organik steril kemudian diinkubasi selama 4
hari. Setelah bakteri tumbuh yang ditandai dengan
terbentuknya gelembung dipermukaan bahan organik
segera dimasukkan ke dalam tanah bekas tambang
batubara dengan perbandingan 1 : 3 (v/v). Selanjutnya
tanah ditambah dengan air steril sampai jenuh (berbentuk
pasta/lumpur). Percobaan dilakukan dalam rancangan
acak lengkap dengan 3 kali ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 5 ember. Sebagai kontrol diberikan
tanah bekas tambang batubara yang diberi bahan organik
steril dan dilumpurkan. Setiap 5 hari sampai hari ke-20
dilakukan pengukuran sulfat, pH dan Eh tanah. Untuk
mengetahui pertumbuhan BPS setiap 5 hari selama 20 hari
pada perlakuan BPS dilakukan re-isolasi pada media
Postgate agar kemudian dihitung jumlah koloni yang
tumbuh. Efisiensi bioremediasi dihitung untuk mengetahui
berapa persen polutan yang dapat diturunkan selama
perlakuan. Efisiensi dihitung dengan rumus Widyati (2006),
sebagai berikut:
1. Efisiensi masing-masing perlakuan
(konsentrasi sulfat awal) – (konsentrasi sulfat akhir) x 100%
(konsentrasi awal)
2. Efisiensi perlakuan terhadap kontrol dihitung dengan
rumus:
(kons. sulfat akhir kontrol) – (kons. sulfat akhir perlakuan) x100%
(konsentrasi sulfat akhir kontrol)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada perlakuan
yang tidak diinokulasi dengan BPS konsentrasi sulfat dalam
larutan tersebut relatif tidak mengalami perubahan (Gambar
1). Sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi dengan
BPS terjadi penurunan dari konsentrasi sulfat sebesar
48.400 ppm pada hari ke-0 menjadi 9.300 ppm pada hari
ke-20 setelah inkubasi. Pada percobaan ini BPS mulai
menurunkan sulfat setelah hari ke-5 inkubasi.
Isolat murni BPS yang diisolasi dari limbah industri
kertas dapat mereduksi sulfat yang ditambahkan ke dalam
media Postgate (Gambar 1). Penurunan tersebut apabila
dihitung dengan rumus efisiensi (Widyati, 2006) didapatkan
nilai efisiensi sebesar 83,88%, sedangkan kontrol yang
tidak diinokulasi dengan BPS hanya mengalami penurunan
dengan efisiensi sebesar 0,81% dalam waktu 20 hari.
Penurunan konsentrasi sulfat pada penelitian ini karena
BPS dapat menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron
untuk aktivitas metabolismenya (Higgins et al., 2003).
Karena sulfat menerima elektron maka senyawa ini akan
mengalami reduksi menjadi sulfida sehingga
konsentrasinya dalam kultur tersebut mengalami
penurunan.
Ujicoba pemanfaatan BPS juga dilakukan untuk
menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang
batubara. Hasil pengukuran perubahan kadar sulfat pada
tanah bekas tambang batubara oleh aktivitas BPS
ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlakuan bioremediasi dengan BPS
dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam tanah bekas
tambang batubara secara signifikan (P<0,05), dengan
efisiensi 91,28% dibanding kontrol.
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
0 5 10 15 20 hari ke-
konsentrasi sulfat pada media (ppm)
BPS
Kontrol
Gambar 1. Uji aktivitas BPS pada medium Postgate cair yang
diperkaya dengan larutan asam sulfat 2N 5%; K: kontrol; BPS:
bakteri pereduksi
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan
sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber
karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor
elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan
penyusun selnya (Groudev et al., 2001). Sedangkan
menurut Djurle (2004) BPS menggunakan donor elektron
H2 dan sumber C (CO2) yang dapat diperoleh dari bahan
organik. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Van
Houten (2003) dalam Djurle (2004) adalah sebagai berikut:
SO4
2-
+ H2 + 2 H+
→ H2S + 4H2O WIDYATI – Bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi tanah
bekas tambang batubara
285
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol
(bahan organik + penggenangan) juga mengalami
penurunan. Penurunan yang terjadi pada perlakuan kontrol
ini karena pada perlakuan ini ke dalam tanah bekas
tambang batubara ditambahkan bahan organik dan
ditambahkan air sampai jenuh. Penjenuhan air
mengakibatkan tanah menjadi anaerob yang ditandai
dengan perubahan potensial redoks (Eh) menjadi negatif
(Gambar 3). Penurunan Eh menunjukkan adanya
perubahan kondisi lingkungan dari aerob (positif) menjadi
anaerob (negatif) karena oksigen yang mengisi pori-pori
tanah terdesak dan digantikan oleh air. Pada kondisi
anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor
elektron (Groudev et al., 2001). Ketika sulfat menerima
elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi
membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan oleh
Foth (1990) dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
SO4
2-
+ H2O + 2 e-
→ SO3
2-
+ 2 OH-
SO3
2-
+ H2O + 6 e-
→ S2-
+ 6 OH-
Menurunnya konsentrasi sulfat pada perlakuan kontrol
terjadi karena dalam kondisi anaerob akseptor elektron
yang pada kondisi aerob dilakukan oleh oksigen bebas
akan digantikan oleh molekul lain (Foth, 1990), seperti nitrat
dan sulfat (Foth, 1990; Groudev et al., 2001). Pada
penelitian ini yang berperan sebagai akseptor elektron
adalah sulfat yang konsentrasinya pada tanah bekas
tambang batubara berkisar antara 32.000 – 60.000 ppm
(Widyati 2006).
Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi sulfat
(termasuk asam kuat) akan meningkatkan pH tanah
(Gambar 4). Hal ini terjadi karena beberapa proses yang
saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan
bahan organik dan aktivitas BPS. Pada proses
penggenangan seperti yang ditunjukkan oleh reaksi (Foth,
1990) dilepaskan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion
H+
. Disamping itu peningkatan pH juga terjadi karena
pemberian bahan organik. Bahan organik mempunyai
buffering capacity sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1994).
Apabila dibandingkan antara perlakuan kontrol dengan
perlakuan BPS, meskipun kedua perlakuan memberikan
suasana anaerob yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Gambar 3), tetapi memberikan hasil yang berbeda nyata
dalam menurunkan sulfat dan meningkatkan pH tanah
bekas tambang batubara. Perlakuan BPS menurunkan
sulfat dan meningkatkan pH secara signifikan sedangkan
perlakuan kontrol tidak. Perlakuan BPS dapat mereduksi
sulfat tanah >80% (Gambar 2) sehingga dapat
meningkatkan pH mendekati netral (Gambar 5). Hal ini
menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis
oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia
karena penjenuhan dan penambahan bahan organik.
Namun demikian, penambahan bahan organik dan
penjenuhan tetap diperlukan karena menurut Alexander
(1977) bahwa reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi
sulfida dapat ditingkatkan melalui penambahan kadar air
dan penambahan bahan organik tanah. Proses ini
memerlukan Eh yang rendah (anaerob) dan umumnya
dibatasi oleh pH di atas 6.
Untuk menguji apakah BPS yang diinokulasikan dapat
hidup dan berperan aktif dalam proses bioremediasi tanah
bekas tambang batubara, maka setiap 5 hari selama 20
hari dilakukan re-isolasi BPS. Hasil re-isolasi ditunjukkan
pada Gambar 5, dimana BPS yang diinokulasikan dapat
tumbuh dengan baik, sehingga pada hari ke-15 jumlahnya
meningkat 195 kali lipat. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Alexander (1977), bahwa ketika terjadi defisiensi
O2 karena penggenangan (flooding) maka akan
meningkatkan populasi BPS ribuan kali lipat dalam waktu
kurang lebih 2 minggu. Populasi mikroba ini berkembang
menjadi 23.000% dalam waktu 20 hari. Dalam tanah
bekas tambang batubara banyak mengandung sulfat yang
sangat diperlukan oleh BPS sebagai sumber energi untuk
menerima elektron selama aktivitas metabolik dalam
selnya. Karena menurut Hards and Higgins (2004), bahwa
BPS dalam hidupnya memerlukan sulfat sebagai akseptor
elektron dan bahan organik sebagai sumber C. Sehingga
ketika mereka dimasukkan ke dalam lingkungan tanah
bekas tambang batubara yang banyak mengandung sulfat,
sudah barang tentu dapat meningkatkan aktivitas
metaboliknya dan mengakibatkan populasinya berkembang
baik.
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
0 5 10 15 20
Hare ke-
Konsentrasi sulfat tanah (ppm)
BPS
Kontrol
Gambar 2. Perubahan konsentrasi sulfat selama proses
bioremediasi tanah bekas tambang batubara
-600
-500
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 5 10 15 20
hari ke-
Eh (mvolt)
BPS
Kontrol
Gambar 3. Perubahan potensial redoks (Eh) tanah bekas tambang
batubara selama proses biorememediasi
Menurut Alexander (1977) BPS terdiri dari 2 genus,
yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio
hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan
Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian
lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi
perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 (Gambar
5) dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C)
tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS BIODIVERSITAS Vol. 8, No. 3,
Oktober 2007, hal. 283-286
286
yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus
Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) media
Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang
paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus
Desulfovibrio.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
0 5 10 15 20
hari ke-
pH BPS
Kontrol
Gambar 4. Perubahan pH tanah bekas tambang batubara selama
proses bioremediasi
0.02
0.9
2.4
4.6
3.9
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 5 10 15 20
Gambar 5. Pertumbuhan BPS setelah diinokulasikan pada tanah
bekas tambang batubara; spk : satuan pembentuk koloni
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat
sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang
batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi
lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang
dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat
baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi
maupun kehidupan biota lainnya.
KESIMPULAN
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) efektif digunakan dalam
proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara
dengan waktu inkubasi 20 hari. Aktivitas BPS dapat
menurunkan konsentrasi sulfat pada tanah bekas tambang
batubara dengan efisiensi 89,76% dalam waktu inkubasi 20
hari. Penurunan sulfat tersebut dapat meningkatkan pH
tanah bekas tambang batubara dari 4,15 menjadi 6,66
dalam waktu yang sama. Nilai pH tersebut merupakan pH
yang ideal untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman,
sehingga bioremediasi tanah dengan BPS akan sangat
membantu kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd
ed. John Willey
& Son. New York
Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media.
CRC Press. Boca Raton.
Djurle, C. 2004. Development of a Model for Simulation of Biological
Sulphate Reduction with Hidrogen as Energy Source. Master Thesis.
Department of Chemical Engineering. Lund Institute of Technology. The
Netherlands.
Feio, M.J., H.B. Beech, M. Carepo, J.M. Lopes, C.W.S. Cheung, R. Franco,
J. Guezennec,J.R. Smith, J.I. Mitchell, J.J.G. Moura and A.R. Lino.
1998. Isolation and characterization of a novel sulphate-reducing
bacterium of the Desulfovibrio genus. Anaerobe (4): 117 – 130.
Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th
ed. John Willey&son.
New York.
Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang:
aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.
www.itb.ac.id/favicon.ico[20 Mei 2007]
Groudev, S.N., K. Komnitsas, I.I. Spasova and I. Paspaliaris. 2001.
Treatment of AMD by a natural wetland. Minerals Engineering 12: 261-
270.
Hards, B.C. and J.P. Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock
Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario.
Havlin, J.L., J.B. Beaton, S.L. Tisdale SL and W.L. Nelson. 1999. Soil
Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management.
Prentice Hall. New Jersey.
Higgins, J.P., B.C. Hards and A.I. Mattes. 2003. Biremediation of Acid
Rock Drainage Using Sulfate Reducing Bacteria.
www.Jacqueswhitford.com/site_jw/ media/ 1_4SC_
sudburrypapers2003mayHiggins10_8_pdf [16 Juli 2004]
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd
ed. Academic
Press. London.
Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition,
Reaction. John Willey&son. New York.
Untung, S.R. 1993. Dampak Air Asam Tambang dan Upaya
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tambang Batubara dan Mineral.
Bandung (Tidak dipublikasikan).
Widyati, E. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri pengasimilasi sulfur. Laporan
tahunan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
dipublikasikan.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan
Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
www.wilkipedia.com.thefreeencyclopedia/bioremediation.htm. Bioremediation.
[18 Juni 2006]
Bioremediasi
Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat
toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah
terkontaminasi menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila
menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi.
Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan
organik dan beberapa kontaminan anorganik.
Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik, perkotaan,
pertanian, industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat masuk kedalam
residu tanaman penutup tanah (crop) seperti rumput, lumpur limbah perkotaan, pembibitan,
dan tanah melalui penggunaannya pada kegiatan pertanian, perumahan, maupun industri.
Kontaminan organik lainnya seperti PCBs (Poly Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic
Aromatic Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari aktivitas pembakaran bensin atau
dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan menghambat pertumbuhan
bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya akumulasi hidrokarbon
didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan bahan peledak atau komponen peledak
didalam tanah pada aktivitas militer, menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang
merupakan konstituen dari propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah
kontaminan yang larut didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh
tumbuhan serta berdampak langsung bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal (Pb),
kadmium (Cd) dan merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi kesehatan manusia dan
kelangsungan kehidupan di lingkungan (USDA NRCS, 2000). Walaupun pada konsentrasi
yang sedemikian rendah efek ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga
terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya kontaminan organik yang telah dijelaskan
sebelumnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat jauh di lingkungan,
selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya berpengaruh
terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber
polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang dikonsumsinya
mengandung logam berat. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap
peningkatan kontaminan tersebut karena pemasukan utama kontaminan logam kedalam
lingkungan ditemukan dari kegiatan perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri
komoditi seperti industri tekstil, pestisida, kulit, plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan
dan lain sebagainya.
Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping lainnya diatas
dapat masuk kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari proses-proses terkait
dengan kegiatan domestik, perkotaan, pertanian, industri dan militer.
Gambar 19. Proses Bioremediasi oleh Mikroorganisme[2]
Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam upaya
pemulihan kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah biayanya
dan efektif dibandingkan dengan teknik remediasi (pemulihan) menggunakan bahan kimia.
Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan (senyawa)
organik menjadi stabil melalui proses penguapan dan reduksi konsentrasi kandungannya.
Dimana kontaminan organik berbahaya akan terurai (degradasi) secara biologis, menjadi
senyawa lain yang lebih sederhana seperti karbon dioksida, metan, air, garam anorganik,
biomassa dan hasil lain yang sangat sederhana komposisinya (Citroreksoko, 1996).
Sedangkan logam-logam berat dalam sumber air atau tanah terkontaminasi yang berasal dari
limbah berbagai pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik bioremediasi ini
melalui proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga).
Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi bahan pencemar
secara biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian pencemaran sumber-sumber air
dan tanah terkontaminasi secara in situ. In-situ disini dimaksudkan sebagai pengolahan
sumber air dan atau tanah terkontaminasi yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal
ini dimungkinkan karena prinsip proses bioremediasi memanfaatkan aktifitas
mikroorganisme indigenous yang terdapat didalamnya, sehingga seluruh proses penghilangan
dan pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan secara langsung di
lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik.
Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan mikroorganisme
endigenous atau dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik. Hal ini disebabkan
mikroorganisme endigenous merupakan mikroorganisme yang telah mendapatkan pengayaan
dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di Laboratorium, sehingga lebih unggul dan
tidak membutuhkan waktu lama bila diaplikasikan di lapangan.
Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai
atau bozem atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat
tanah terkontaminasi berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.
Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah:
· Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak ada penggalian
atau pemindahan tanah)
· Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang beresiko terkena
paparan bahan berbahaya beracun yang ada didalam sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit
(minimal)
· Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan (transportasi) yang
sangat mahal
· Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan didalam
KepMenLH No. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan
Limbah Minyak Bumi (petroleum hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak
Bumi Secara Biologis
Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan menyeluruh
terkait lokasi pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat penting guna
menghindari terjadinya perluasan area pencemaran akibat perpindahan atau perembesan
kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu, aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan
nutrien dan oksigen kedalam sedimen (endapan) guna mencapai syarat habitat
mikroorganisme yang akan digunakan.
Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya untuk
pekerjaan penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi pengolahan. Akan tetapi
kelebihan dari teknik ex-situ adalah dapat diolah dengan beragam cara seperti: (1)
landfarming; (2) composting; (3) menggunakan reaktor lumpur.
Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik bioremediasi
adalah:
· susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat didegradasi oleh
mikroorganisme
· Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan, artinya proses
bioremediasi dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia lingkungannya dapat dikontrol sesuai
kebutuhan mikroorganismenya
Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan treatability
study sebelum teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study diperlukan guna
mendapatkan informasi yang pasti terkait karakteristik lokasi pengolahan; sifat fisik & kimia
lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga dapat diketahui dengan pasti apakah
kontaminan tersebut dapat didegradasi atau tidak; berapa kecepatan degradasi yang
dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang diinginkan dan lain sebagainya.
Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa digunakan
jenis native (indigenous) atau mikroorganisme komersial (endogenous). Hanya saja, bila
menggunakan mikroorganisme indigenous, waktu pengolahan yang dibutuhkan akan lebih
lama dibandingkan dengan mikroorganisme komersial.
Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui lima (5)
tahapan kerja yaitu:
Tahap 1: Survai Awal
Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang sebenarnya dari
sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi bioremediasi. Hasil dari survai
ini pun menentukan strategi investigasi yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.
Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi yang akan
diolah harus didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya adalah peta lokasi dan
alur aliran air yang existing di lapangan. Daerah tangkapan (catchment area) terkait jenis-
jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi (dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada
dan lain sebagainya sangat menentukan prediksi cemaran (kontaminan) dan hipotesis
selanjutnya.
Tahap 2: Investigasi Lokasi
Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk memperoleh data
yang mewakili (representative) kondisi sedimen/endapan untuk penilaian faktor resiko
selanjutnya; data tentang intensitas dan ekstensitas cemaran (kontaminan) dalam
sedimen/endapan; kemungkinan ada atau tidaknya emisi bahan beracun ke udara;
kemungkinan ada atau tidaknya ledakan; kemungkinan ada atau tidaknya intrusi cemaran
(kontaminan) ke lingkungan disekitarnya.
Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian resiko;
pelaporan dan penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi. Pada tahap ini
diperlukan pula sampling dan uji laboratorium terhadap beberapa parameter dan atau
kontaminan yang ada.
Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi
Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain bioremediasi
yang sesuai baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya dilapangan.
Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi lahan
tambahan guna mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai dengan kondisi
lapangan dan sesuai pula dengan persyaratan teknis yang berlaku.
Tahap 4: Operasi & Evaluasi
Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses
bioremediasi yang sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi yang diolah.
Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan parameter-
parameter yang akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan evaluasi, termasuk rencana
tanggap darurat (emergency response) dan sistem alert pada satu keadaan/kriteria dimana
proses bioremediasi perlu dihentikan dan dilakukan evaluasi.
Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form pelaporan dimana
memuat apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan.
Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi
Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah terpulihkan
ke area-area penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini bisa dilakukan bila
digunakan proses bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan pekerjaan lanjutan yaitu
penggalian, pemuatan dan pemindahan sedimen/endapan yang telah pulih menjadi tanah
hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang disediakan.
Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses
bioremediasi adalah menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap ini adalah
berkurangnya sedimen/endapan dan bertambahnya daya tampung saluran Drainase tersebut.
Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming
Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan sedimen/endapan
pada saluran Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll) sebagai upaya pembersihan
cepat (kuratif). Teknik ini masih dianggap paling efisien (cepat) walau membutuhkan biaya
pengerukan dan transportasi yang cukup mahal.
Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan yang dilakukan
oleh instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan telah selesai dengan
memindahkannya dari saluran Drainase ke tempat pembuangan akhir. Padahal bila kita amati
di lapangan, sedimen/endapan yang ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk
pengeringan) sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke
saluran Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan pada saluran-saluran Drainase (got)
dan menimbulkan masalah baru.
Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan sementara
tersebut, diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan menjadi tanah hidup dan
dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penghijauan perkotaan.
Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe landfarming ini
adalah:
· Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan yang ada
didalam sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan pemindahan ke lokasi
penampungan sementara. Data primer hasil sampling kontaminan tersebut menjadi
pertimbangan penentuan langkah pengolahan selanjutnya.
· Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan landfarming
harus disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah B3 pada surat KepKaBapedal
No. 1 tahun 1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat
kontaminan-kontaminan logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan pada catchment
areanya.
· Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara, sehingga perlu
disiapkan sistem Drainase didalam area yang bersifat tertutup (closed cyrcle). Larian air dari
Drainase tersebut harus ditampung dan diolah didalam bioreaktor.
· Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah (ranting, potongan
kayu, plastik, potongan logam dll) secara mekanik dan atau manual. Sampah-sampah
tersebut akan menghambat proses bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus
dikeluarkan/dibersihkan dari sedimen/endapan tersebut.
Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi dilakukan dengan
beberapa tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan apa yang akan didegradasi terlebih
dahulu. Tentunya, kandungan kontaminan yang terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu.
Sebagai contoh, bila kandungan PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi
bertujuan untuk meningkatkan populasi mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti
dengan proses bioremediasi untuk mendegradasi kontaminan selanjutnya.
Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut:
· Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan beckho agar
diperoleh sedimen/endapan yang homogen.
· Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi atau pupuk)
sebagai bahan nutrisi bagi mikroorganisme indigenous.
· Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan kayu, sekam
padi atau limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk agen ini dimaksudkan untuk
memperoleh tekstur tanah (moisture) yang disyaratkan.
· Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan lahan (tempat
penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian maksimal 50 cm.
· Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan dilakukan
penyiraman air secara rutin. Air yang digunakan untuk penyiraman ini haruslah air bersih
dengan pH normal (pH 6-8) dan tidak tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun
bakteri lain. Dalam kondisi iklim kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000
liter per hari per lokasi penampungan sementara. Sedangkan dimusim hujan, kelebihan
kandungan air didalam tanah akibat curah hujan harus bisa dialirkan ke saluran-saluran
Drainase agar tidak menghambat operasional alat berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal
untuk menutup sementara permukaan tanah yang diolah selama turunnya hujan.
· Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous yang ada
didalam tanah, dilakukan dengan cara pembalikan permukaan sedimen/endapan
menggunakan traktor dengan rotovator. Pembalikkan secara rutin dapat mempertahankan
pemaparan oksigen diudara kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga
mencapai tanah lapisan dalam yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi tanah terlihat
kompak (liat) maka proses pembalikkan tanah dilakukan lebih sering guna meningkatkan
proses aerasi. Sebaliknya bila kondisi tanah terlihat berpasir (granular) maka proses
pembalikkan dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak.
Gambar 20. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming
· Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang berjalan, perlu
dilakukan sampling dimulai pada hari ke-10 sejak pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap
hasil analisis sampling tersebut menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang
perlu dilakukan selanjutnya.
What is Bioremediation?
1.
Bioremediasi adalah penggunaan organisme hidup untuk detoksi,
memulihkan/mengurangi polusi dan kerukan lingkungan
2.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah
konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama
bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari
limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi
terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang
terkontaminasi oleh senyawa – senyawa kimia toksik atau beracun.
3.
Bioremediasi merupakan proses biologis (bioproses) yang memanfaatkan bakteri
mikrobiologis di dalam proses kerjanya. Selama ini, proses ini lebih banyak dikenal dan
popular digunakan dalam fermentasi pada pembuatan tape singkong. Sejak Tahun 1980-an,
Proses bioremediasi sebenarnya telah dikembangkan dan diuji-coba di berbagai negara sejak
tahun 1980-an , khususnya di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, aplikasi bioremediasi
masih dalam tahap pengembangan.
4.
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan
secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan
mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek
komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah
dan bersifat fleksibel.
What is the “bio” in Bioremediation?
Remediasi dapat disebut juga pemulihan bisa berarti kondisi lingkungan yang terdegradasi
dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal sebelum
kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Kata “bio” dalam bioremediasi berarti biologi yaitu
organisme yang hidup dan bergantung pada kondisi lingkungan juga nutrisi. Dari pengertian
dua kata tersebut bioremediasi dapat diartikan pemulihan bisa berarti kondisi lingkungan
yang terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal
sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi dengan menggunakan bantuan
mikroorganisme.
Why Bioremediation, aren’t there other ways to cleanup these sites?
Secara ekonomi dan fungsi, penggunaan teknik bioremediasi harus dapat berkompetisi
dengan teknologi remediasi lainnya, seperti pembakaran (insinerasi) atau perlakuan kimia.
Sebelum suatu teknik bioremediasi diaplikasikan, informasi tentang keadaan lokasi dan
potensi mikroorganisme harus sudah diketahui. Untuk itu perlu dilakukan uji laboratorium
untuk mengetahui kecepatan degradasi pada suatu fungsi lingkungan tertentu seperti pH,
konsentrasi oksigen, nutrien, komposisi mikroba, ukuran partikel tanah, dan juga suhu.
Dibanding teknik remediasi lain, aplikasi bioremediasi jauh lebih murah. Levine and Gealt
(1993) menyatakan bahwa bioremediasi untuk satu yard tanah yang terkontaminasi
diperlukan dana sekitar 40 sampai 100 dolar. Sedangkan melalui proses lainnya, seperti
dengan insinerasi, memerlukan biaya 250 sampai 800 dolar dan landfilling sekitar 150
sampai 250 dolar untuk kapasitas tanah yang sama. Bioremediasi dapat diaplikasikan pada
lingkungan-lingkungan yang terpolusi melalui berbagai mekanisme. Litchfield (1991),
bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan berikut: bioreaktor, perlakuan fase padat,
pengomposan, landfarming, dan perlakuan in situ. Berbagai proses teknologi telah
berkembang di masing- masing bidang.
How does it work?
Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan
bakteri alami pengurai limbah baik organik maupun anorganik yang akan ditangani. Bakteri
ini kemudian akan menguraikan limbah tersebut yang telah dikondisikan sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu tertentu dengan
bakteri yang telah ditebarkan kedalam lingkungan tercemar akan menujukan lingkungan
tersebut berkurang kandungan limbahnya bahkan hilang, inilah yang disebut sistem
bioremediasi.
Kunci sukses bioremediasi adalah dilakukan karakterisasi lahan (site characterization) dan
treatability study. Menurut Idrus Maxdoni Kamil, ahli teknik lingkungan dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), karakterisasi lahan tercemar, bukan hal rumit. Memang data yang
diperlukan cukup banyak, seperti sifat dan struktur geologis lapisan tanah, lokasi sumber
pencemar dan perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas dalam tanah. Sifat-sifat
lingkungan tanah juga harus diketahui, mulai dari derajat keasaman (pH), kelembaban hingga
kandungan kimia yang sudah ada. Karakterisasi lahan berfungsi pula mengetahui keberadaan
dan jenis mikroba yang ada dalam tanah.
Dulunya bioremediasi hanya dilakukan pada limbah organik yang mudah ‘dibersihkan’
secara alamiah. Baru pada tahun 1980-an, bioremediasi mulai dikembangkan penggunaannya
pada limbah yang lebih sulit, misalnya pada kontaminasi tanah.
Is it safe?
Bioremediasi yang berasal dari bakteri yang telah mengalami rekayas genetik maupun tidak
kan memberikan dampak yang aman. Proses Bioremediasi juga diatur ketentuannya oleh
Kementrian Lingungan Hidup, misalnya, saat ini sudah membuat sebuah payung hukum yang
mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi untuk mengatasi permasalahan lingkungan
akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam
berat dan pestisida) yang disusun dan tertuang didalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.128 tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis dan
pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis
(Bioremediasi).Produk akhir dari bioremediasi dapat berupa air terproduksi yang sudah
memenuhi baku mutu lingkungan dan padatan (solid), produk yang dapat digunakan untuk
bahan pembentuk batu concrete untuk bahan bangunan dan pupuk. Terkait dengan
pengembangan dan pengelolaan lanskap pada area pertambangan dan area pasca tambang
dapat dilakukan dengan cara reklamasi lahan dan penanaman ulang (revegetation). Untuk
meningkatkan kualitas tanah pada lahan yang terdegradasi tersebut dapat dilakukan dengan
penimbunan tanah organik, top soil atau tanah tambang yang telah ditreatment dengan teknik
bioremediasi. Konsep ekologis yang memperhatikan hubungan antara kondisi tanah pada
setiap tapak, kesesuaian lahan untuk penggunaan tanaman tertentu, pemilihan jenis tanaman
lokal yang diketahui telah memiliki daya adaptasi tinggi akan menjadi kunci utama dari
keberhasilan program revegetasi. Dengan demikian pengelolaan lanskap (landscape
management) secara berkelanjutan pada lahan pertambangan dan lahan pasca tambang dapat
dikembangkan melalui konsep perencanaan lanskap dan perancangan lanskap yang lebih baik
dengan peruntukan yang sesuai dengan keinginan pemilik dan pengguna. Peruntukan tersebut
bisa menuju ke penghutanan kembali, atau untuk lahan pertanian, atau untuk resor wisata
alam yang diusahakan dapat mengembalikan potensi keragaman jenis biologi flora dan fauna
(Arifin et al., 2004). Lahan yang sudah diolah dengan teknologi ramah lingkungan dapat
dikonversi menjadi unit kegiatan bisnis lain seperti pemanfaatan lahan untuk padang golf
(golf court), peternakan (ranch) dan sebagainya.
Are these processes being used today?
PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex) merupakan perusahaan eksplorasi dan produksi migas
yang memelopori penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia. Bermula dari partisipasi
Caltex pada sebuah seminar internasional mengenai bioremediasi tahun 1994.
Caltex adalah perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) BPMIGAS yang beroperasi
di Riau sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1994, Caltex mulai melakukan uji coba
bioremediasi pada tanah yang mengandung minyak di lapangan Minas yang memproduksi
minyak ringan (Sumatran Light crude oil/SLC). Minas dipilih karena dalam kegiatan
produksi di lapangan minyak itu, terbawa juga tanah yang mengandung minyak ke atas
permukaan bumi.
What does the future have in store?
Peluang kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis pada teknologi
bioremediasi dengan system one top solution (close system) dan dengan pendekatan multi-
proses remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang
terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal
sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Usaha mencapai total grenning program
ini dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi lahan dengan melakukan kegiatan phytoremediasi
dan penghijauan (vegetation establishement) untuk lebih efektif dalam mereduksi,
mengkonrol atau bahkan mengeliminasi limbah berbahaya, hasil bioremediasi kepada
tingkatan yang sangat aman lagi buat lingkungan.
Dengan keseluruhan rangkaian proses dari mulai limbah dikeluarkan, bioremediasi,
phytoremediasi dan pembentukan vegetasi adalah greening program yang merupakan bentuk
pengelolaan limbah berbahaya secara terpadu (integrated waste management). Biasanya
greening program juga merupakan salah satu bentuk aktifitas community development dari
perusahaan-perusahan. Untuk wilayah pesisir dan pantai greening program dapat berupa
penanaman kembali bibit mangrove dan vegetasi pantai lain ataupun program lain seperti
artificial reef, fish shelter ataupun reef transplantation.
Daftar Pustaka
Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case Study in
East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International Symposium
“Environmental Degradation and Ecosystem Restoration in East Asia” Tokyo University –
Japan. 9 p.
Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of
Cold Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990.
Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill,
Inc. Toronto.
Permalink Tinggalkan sebuah Komentar
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DAERAH WISATA BAHARI
Juli 11, 2008 at 10:50 am (Uncategorized)
PENDAHULUAN
Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan
memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia,
berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan
berbagai jenis ikan hias.
Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan
swasta, di antaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar, berlayar, rekreasi pantai
dan wisata pesiar. Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias
yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan
berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu
pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat
besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek wisata bahari.
Untuk menjaring masyarakat dan wisatawan sebanyak mungkin, setiap kawasan wisata
bahari harus menjaga keunikan, kelestarian, dan keindahannya. Semakin banyak kunjungan
wisatawan, maka aktivitas dikawasan tersebut akan meningkat, baik aktivitas sosial maupun
ekonomi. Setiap aktivitas yang dilakukan, akan menghasilkan manfaat ekonomi bagi kawasan
tersebut. Namun yang harus diingat adalah bahwa limbah atau sampah yang ditimbulkan dari
kegiatan tersebut dapat mengancam kawasan wisata alam.
Sampah apabila dibiarkan tidak dikelola dapat menjadi ancaman yang serius bagi
kelangsungan dan kelestarian kawasan wisata alam. Sebaliknya, apabila dikelola dengan
baik, sampah memiliki nilai potensial, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan
kualitas dan estetika lingkungan, dan pemanfaatan lain sebagai bahan pembuatan kompos
yang dapat digunakan untuk memperbaiki lahan kritis di berbagai daerah di Indonesia, dan
dapat juga mempengaruhi penerimaan devisa negara.
PENGELOLAAN SAMPAH
Agar pengelolaan sampah berlangsung dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan,
maka setiap kegiatan pengelolaan sampah harus mengikuti filosofi pengelolaan sampah.
Filosofi pengelolaan sampah adalah bahwa semakin sedikit dan semakin dekat sampah
dikelola dari sumbernya, maka pengelolaannya akan menjadi lebih mudah dan baik, serta
lingkungan yang terkena dampak juga semakin sedikit.
Tahapan Pengelolaan sampah yang dapat dilakukan di kawasan wisata alam adalah:
a. Pencegahan dan Pengurangan Sampah dari Sumbernya
Kegiatan ini dimulai dengan kegiatan pemilahan atau pemisahan sampah organik dan
anorganik dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik disetiap kawasan yang
sering dikunjungi wisatawan.
b. Pemanfaatan Kembali
Kegiatan pemanfaatan sampah kembali, terdiri atas:
1). Pemanfaatan sampah organik, seperti composting (pengomposan). Sampah yang mudah
membusuk dapat diubah menjadi pupuk kompos yang ramah lingkungan untuk melestarikan
fungsi kawasan wisata.
Berdasarkan hasil, penelitian diketahui bahwa dengan melakukan kegiatan composting
sampah organik yang komposisinya mencapai 70%, dapat direduksi hingga mencapai 25%.
2). Pemanfaatan sampah anorganik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemanfaatan kembali secara langsung, misalnya pembuatan kerajinan yang berbahan baku
dari barang bekas, atau kertas daur ulang. Sedangkan pemanfaatan kembali secara tidak
langsung, misalnya menjual barang bekas seperti kertas, plastik, kaleng, koran bekas, botol,
gelas dan botol air minum dalam kemasan.
c. Tempat Pembuangan Sampah Akhir
Sisa sampah yang tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomis baik dari kegiatan composting
maupun pemanfaatan sampah anorganik, jumlahnya mencapai ± 10%, harus dibuang ke
Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Di Indonesia, pengelolaan TPA menjadi
tanggung jawab masing-masing Pemda.
Dengan pengelolaan sampah yang baik, sisa sampah akhir yang benar-benar tidak dapat
dimanfaatkan lagi hanya sebesar ± 10%. Kegiatan ini tentu saja akan menurunkan biaya
pengangkutan sampah bagi pengelola kawasan wisata alam, mengurangi luasan kebutuhan
tempat untuk lokasi TPS, serta memperkecil permasalahan sampah yang saat ini dihadapi
oleh banyak pemerintah daerah.
Air limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata bahari merupakan buangan air kotor dari
hotel, rumah makan maupun perumahan penduduk. Air limbah di kawasan wisata dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
*
Air limbah manusia (tinja)
*
Air bekas cuci dan mandi.
Air limbah umumnya dikelolah secara individual dengan menggunakan septic-tank. Tetapi
metode seperti ini dikiranya dapat berdampak buruk bagi jika tetap dibiarkan. Biasanya
septic-tank yang ada dibuat sekedarnya dapat dimungkinkan tercemar dengan air lingkungan
sekitar. Sedangkan dengan air bekas mandi biasanya pengelola tempat wisata lebih senang
langsung membuangnya ke laut tanpa memperhatikan kandungan air limbah tersebut dapat
menggagu kehidupan organisme yang ada dilaut. Oleh sebab itu perlu dibuatkan suatu tempat
penampungan terpadu yang khusus mengolah limbah tersebut. Dari MCK yang ada disekitar
pantai misalnya air buangannya dapat dibuatkan saluran sehingga tidak langsung mencemari
air laut.
Berikut contoh design pengolahan limbah :
DESIGN PENGOLAHAN LIMBAH TEMPAT WISATA
Limbah buangan dari MCK dialirkan kedalam bak anaerob. Hal ini dimaksudkan unruk
mengurangi bau yang dihasilkan dari tinja buangan. Dalam bak ini terdapat filter yang terdiri
dari pasir, karbon aktif, ijuk, yang semuanya bertujuan untuk menyaring kotoran. Juag
ditambahkan mikroorganisme yang dapat mempercepat proses pendegradasian. Selanjutnya
limbah diendapkan dikolam pengendapan. Setelah mengalami pengendapan maka kandungan
oksigen yang ada akan turun secara drastis. Diperlukan aerasi yang cukup sampai DO yang
terkandung cukup. Air yang telah diaerasi di tampung di kolam penampungan air bersih.
Karena orientasi kita pada wisata makan hasil pangolahan air dapat digunakan untuk
mengaliri area perikanan yang ada untuk menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Hal
ini dapat juga dikembangkan menjadi wisata limbah dimana air yang dari MCK dapat
berguna lagi untuk tempat biak hasil perikanan. Selain itu air hasil olahan ini dapat digunakan
untuk pertanian, bahkan dapat juga digunakan untuk air minum jika diolah lagi secara lebih
steril.
Selanjutnya hasil endapan yang berasal dari kolam pengendapan dialirkan ke tempat
tersendiri. Karena endapan berasal dari sisa metabolisme maka kaya akan unsur hara. Hasil
endapan ini nantinya juga dapat berguna sebagai pupuk.
Ancaman Bagi Kawasan Wisata Alam
Dampak negatif yang ditimbulkan dari sampah yang tidak dikelola dengan baik adalah
sebagai berikut:
a. Gangguan Kesehatan:
*
Timbulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat yang dapat mendorong
penularan infeksi;
*
Timbulan sampah dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus;
b. Menurunnya kualitas lingkungan
c. Menurunnya estetika lingkungan
Timbulan sampah yang bau, kotor dan berserakan akan menjadikan lingkungan tidak indah
untuk dipandang mata;
d. Terhambatnya pembangunan negara
Dengan menurunnya kualitas dan estetika lingkungan, mengakibatkan pengunjung atau
wisatawan enggan untuk mengunjungi daerah wisata tersebut karena merasa tidak nyaman,
dan daerah wisata tersebut menjadi tidak menarik untuk dikunjungi. Akibatnya jumlah
kunjungan wisatawan menurun, yang berarti devisa negara juga menurun.
Penutup
Pengelolaan sampah yang dilakukan di kawasan wisata alam, akan memberikan banyak
manfaat, diantaranya adalah:
1.
Menjaga keindahan, kebersihan dan estetika lingkungan kawasan sehingga menarik
wisatawan untuk berkunjung;
2.
Tidak memerlukan TPS yang luas, sehingga pengelola wisata dapat mengoptimalkan
penggunaan pemanfaatan kawasan;
3.
Mengurangi biaya angkut sampah ke TPS;
4.
Mengurangi beban Pemda dalam mengelola sampah.
5.
Mengurangi penggunaan air tanah.
Permalink Tinggalkan sebuah Komentar
PENAMBAHAN NUTRISI PADA PROSES BIOREMEDIASI
Juli 11, 2008 at 10:36 am (PAL, bioremediasi, tugas, ujian)
IDENTIFIKASI MASALAH
Tumpahan minyak mentah yang terjadi di perairan, mengakibatkan pencemaran di daerah
lingkungan pantai. Hal ini karena daerah tersebut merupakan daerah di tepi laut yang masih
mendapat pengaruh keadaan laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut
(Triatmodjo, 1999). Tumpahan minyak mentah yang terbawa bersama arus pasang dapat
terpenetrasi dan terakumulasi di dalam tanah (Pezeshki dkk., 2000). Minyak mentah adalah
campuran senyawa hidrokarbon yang terbentuk berjuta tahun silam, yang berasal dari fosil
tumbuhan, hewan, atau plankton selama jutaan tahun di dalam tanah atau pun di dasar lautan
(Wymer, 1972).
Untuk mengatasi tumpahan minyak mentah, telah ditempuh banyak metode, baik metode
fisika, kimia, maupun bioremediasi. Metode fisika memiliki beberapa kelemahan seperti
banyaknya tenaga manusia yang dibutuhkan untuk membuang minyak secara manual
(Hozumi dkk., 2000), pembakaran polutan yang menyebabkan polusi udara (Gogoi dkk.,
2003), atau matinya tumbuh-tumbuhan pesisir akibat aktivitas pengumpulan minyak
(Kiesling dkk., 1988; OTA, 1990; Owens dkk., 1993a dalam Pezeshki dkk., 2000). Hal
serupa juga terjadi pada metode kimia. Zat-zat kimia yang digunakan untuk menanggulangi
tumpahan minyak sering kali jauh lebih beracun daripada minyak itu sendiri (Burridge dan
Shir, 1995 dalam Wrabel dan Peckol, 2000).
PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH
Bioremediasi adalah aplikasi dari prinsip-prinsip proses biologi untuk mengolah air tanah,
tanah, dan lumpur yang terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya (Cookson, 1995). Tujuan
akhir bioremediasi adalah memineralisasi kontaminan, yaitu mengubah senyawa kimia
berbahaya menjadi kurang berbahaya seperti karbon dioksida atau beberapa gas lain, senyawa
anorganik, air, dan materi yang dibutuhkan oleh mikroba pendegradasi (Eweis et al., 1998).
Untuk rancangan bioremediasi memerlukan estimasi jumlah zat (termasuk nutrien) yang
harus diberikan ke bioreaktor atau ke bawah-permukaan laut atau ke tanah untuk in-situ
treatment. Perhitungan ini menjadi dasar bagi penentuan ukuran fasilitas-fasilitas proses,
seperti perpipaan, pompa, kontrol emisi, penyimpanan bahan kimia yang digunakan, dan
biaya. Jumlah total dan laju pemberian (rate of delivery) zat ini diproyeksikan sebagai
penerima elektron, pemberi elektron, substrat primer, kontrol pH, dan penambahan nutrien
(Cookson,1995).
Semua reaksi biologis yang menghasilkan energi merupakan reaksi redoks dalam hal ini
oksidasi senyawa organik kontaminan akan membebaskan sejumlah elektron. Senyawa
organik ini sering disebut sebagai pemberi elektron (electron donor). Oleh karena itu, dalam
proses bioremediasi, harus tersedia senyawa yang akan menerima elektron ini (electron
acceptor) dalam jumlah yang cukup dan tipe yang sesuai. Beberapa penerima elektron yang
lazim dikenal adalah oksigen, nitrat, sulfat, karbon dioksida, dan sejumlah senyawa organik
(Cookson, 1995).
Metode bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman
bagi lingkungan (Prince dkk., 2003). Selain itu, metode ini juga bisa dipadukan dengan
metode fisika maupun kimia (Boopathy, 2000). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan
dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai
ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di
mana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien
dan/atau mengubah habitat (Venosa dan Zhu, 2003). Meskipun teknik bioremediasi belum
terlihat efektif untuk menangani pencemaran minyak pada perairan terbuka, tetapi metode ini
efektif untuk membersihkan tumpahan minyak pada lingkungan pantai (Munawar dan
Mukhtasor, 2005).
KONSEP TEORITIS
1.
Wrabel dan Peckol (2000) melakukan eksperimen laboratorium untuk mempelajari
efektivitas pemakaian nutrien (N dan P) pada populasi mikroba laut asli sebagai teknik
bioremediasi untuk merespons tumpahan minyak di sepanjang pantai Atlantik Utara sebelah
barat yang beriklim sedang. Di mana pemakaian nutrien (N dan P) sebagai teknik
bioremediasi akan mengatasi pengaruh racun minyak pada alga coklat F. vesiculosus tanpa
mengakibatkan peningkatan pertumbuhan makroalga. Analisis sampel dengan menggunakan
kromatografi gas menunjukkan adanya penguraian minyak yang lebih besar oleh mikroba
pada lingkungan yang diperkaya nutrien bila dibandingkan dengan lingkungan yang tidak
diperkaya nutrien.
1.
Prince dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemakaian nutrien larut terbukti menjadi cara
yang efektif dan ramah lingkungan dalam menstimulasi biodegradasi minyak pada Pantai
Arktik (pantai di daerah kutub utara). Pemakaian nutrien organik akan diikuti oleh
peningkatan konsumsi oksigen, evolusi karbon dioksida, biomassa mikroba, dan
meningkatkan secara signifikan biodegradasi minyak.
1.
Pelletier dkk. (2004), yang melakukan penelitian bioremediasi minyak mentah pada
sedimen intertidal sub-Antartika, menunjukkan bahwa pupuk kompos tulang ikan yang
dilengkapi dengan urea, fosfor anorganik, dan surfaktan lipidik terbukti mampu menguraikan
hidrokarbon minyak bumi secara efektif dalam waktu tiga bulan. Bahkan campuran tersebut
jauh lebih efektif dari pada INIPOL, suatu pupuk urea. Dari dua penelitian ini (Barahona
dkk., 2004 dan Pelletier dkk., 2004) membuktikan bahwa nutrien organik terbukti efektif
dalam menguraikan minyak baik di sedimen laut maupun di daratan.
PROSEDUR APLIKASI DAN PENGEMBANGAN
Dalam banyak percobaan lapangan, metode bioaugmentasi terbukti kurang efektif, mengingat
kondisi isolasi bakteri yang tidak sama dengan kondisi lapangan. Sebaliknya, banyak
percobaan laboratorium maupun lapangan yang menunjukkan keberhasilan biostimulasi
(Venosa dkk., 1992; Lee dan Levy, 1987; Tagger dkk., 1983; Simon dkk., 1999 dalam
Venosa dan Zhu, 2003). Hanya saja, dalam metode biostimulasi ini, kondisi dan komposisi
penambahan nutrien yang paling optimal masih belum ditemukan. Kebanyakan mereka
menyatakan bahwa jenis dan konsentrasi nutrien optimal sangat bervariasi tergantung
properti minyak dan kondisi lingkungan (Venosa dan Zhu, 2003). Mengenai jumlah nutrien
yang harus ditambahkan, misalnya, hanya ada sedikit kesepakatan di antara para peneliti
(Head dan Swannel, 1999). Percobaan mengenai jenis nutrien yang paling tepat untuk
ditambahkan pada proses biostimulasi masih belum banyak dilakukan, dan usaha untuk
melihat kemungkinan sumber nutrient dari kompos sejauh ini belum ditemukan dalam
literatur. Sumber nutrient yang digunakan ini bersumber dar kompos.
Cara Kerja dan Variabel
Jika dilakukan sejumlah t perlakuan sebanyak n kali untuk setiap perlakuan, maka rancangan
acak lengkap membutuhkan alokasi nt percobaan secara acak kepada nt satuan percobaan.
Dengan melakukan pengacakan, maka alokasi eksperimen maupun urutan eksperimen yang
akan dilakukan bisa ditentukan secara acak. Metode statistika mensyaratkan agar observasi
(atau galat) terdistribusi secara merata. Pengacakan menjadikan syarat ini terpenuhi
(Montgomery, 2001).
Metode percobaan ini merujuk dari percobaan yang dilakukan Delille dkk. (2004). Percobaan
ini terdiri atas 19 petak percobaan, yaitu 18 petak perlakuan dan 1 petak kontrol. Variabel
bebas pada percobaan ini terdiri atas pemberian berbagai dosis nutrien organik (0,2; 0,3; dan
0,4 kg/petak tanah) dan perlakuan dibalik dan tidak dibalik, masing-masing perlakuan
diulang sebanyak tiga kali. Variabel terikat pada penelian ini adalah jumlah total bakteri
tanah (cfu/g tanah), kadar minyak dalam tanah (g/kg tanah), dan bioremediasi minyak (%),
pengacakan perlakuan di lapangan dengan cara diundi.
Pengukuran Respons
Pada masing-masing petak ditumpahkan minyak mentah sebanyak 1 liter, 3 hari kemudian
pada masing-masing petak tersebut diberi nutrien organik dan dibalik atau tidak dibalik
sesuai dengan perlakuan percobaan. Pengukuran jumlah total bakteri tanah (cfu/g) dan
konsentrasi polutan minyak (kg/kg tanah) dilakukan secara berkala dengan mengambil
sampel tanah setiap petak pada minggu ke-2, ke-4, dan minggu ke-6. Pengukuran pada setiap
petak secara periodik merupakan respons percobaan yang diteliti. Data yang diperoleh
kemudian diuji statistik dengan ANOVA, apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT
(Beda Nyata Terkecil) dan uji Duncan pada taraf 5%.
KESIMPULAN
Penambahan nutrien organik pada bioremediasi tumpahan minyak mentah mampu
menstimulasi pertumbuhan mikroba tanah. Dalam waktu tertentu, bioremediasi dengan teknik
ini mampu menurunkan konsetrasi minyak. Secara umum, hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa bahan organik memberikan indikasi yang baik untuk digunakan sebagai sumber
nutrien pada proses bioremediasi tumpahan minyak dengan metode biostimulasi.