bioremediasi

56
Bioremediasi Konsep dasar dari bioremediasi adalah biodegradasi (penguraian/ perombakan secara biologis) limbah dalam tambak menjadi senyawa-senyawa yang tidak membahayakan udang dan tidak menyebabkan turunnya kualitas air. Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar. Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun (Prayitno dan Budi, 2009). Biodegradasi suatu senyawa ditentukan oleh sifat dan susunan bahan, dimana pada umumnya senyawa organik mempunyai sifat yang cepat terurai. Tetapi di dalam kenyataannya, khususnya di lingkungan alami, biodegribilitas ditentukan pula oleh banyak faktor, baik yang bersifat abiotik dan biotik. Proses biologis memerlukan penelaahan sehubungan dengan sifat dan bentuk substrat serta sifat dan bentuk jasad yang berperan di dalamnya, karena keseluruhan proses berlangsung secara enzimatis. Proses biologis merupakan proses-proses alami yang bersifat dinamis dan kontinyu selama faktor-faktor yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mikroorganisme yang terlibat dapat terpenuhi (Aquatech and B. Development Pokphand, 2000). 2.3 Cuprum (Cu) Tembaga dengan nama kimia Cuprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan, memiliki nomor atom 29 dan berat atom 63,546 (Palar, 1994). Berdasarkan kepentingan biota perairan, Cu termasuk ke dalam

Upload: alfarobee

Post on 08-Apr-2016

136 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bioremidiasi, biologi

TRANSCRIPT

Page 1: Bioremediasi

BioremediasiKonsep dasar dari bioremediasi adalah biodegradasi (penguraian/ perombakan secara

biologis) limbah dalam tambak menjadi senyawa-senyawa yang tidak membahayakan udang dan tidak menyebabkan turunnya kualitas air. Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar. Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun (Prayitno dan Budi, 2009).

Biodegradasi suatu senyawa ditentukan oleh sifat dan susunan bahan, dimana pada umumnya senyawa organik mempunyai sifat yang cepat terurai. Tetapi di dalam kenyataannya, khususnya di lingkungan alami, biodegribilitas ditentukan pula oleh banyak faktor, baik yang bersifat abiotik dan biotik. Proses biologis memerlukan penelaahan sehubungan dengan sifat dan bentuk substrat serta sifat dan bentuk jasad yang berperan di dalamnya, karena keseluruhan proses berlangsung secara enzimatis. Proses biologis merupakan proses-proses alami yang bersifat dinamis dan kontinyu selama faktor-faktor yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mikroorganisme yang terlibat dapat terpenuhi (Aquatech and B. Development Pokphand, 2000).

2.3 Cuprum (Cu)Tembaga dengan nama kimia Cuprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini

berbentuk kristal dengan warna kemerahan, memiliki nomor atom 29 dan berat atom 63,546 (Palar, 1994). Berdasarkan kepentingan biota perairan, Cu termasuk ke dalam logam essensial yang berarti dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh. Sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat menyebabkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktifitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton dan kadar Cu sebesar 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh ikan-ikan (Rochyatun, 2003 dalam Silfia, 2004).

Tanaman memerlukan unsur hara makro dan mikro dalam hidup dan pertumbuhannya. Jaringan tubuhnya dibentuk atau dibangun dari karbohidrat-karbohidrat, lemak-lemak, protein dan nukleoprotein. Agar jaringan-jaringan tersebut dapat berfungsi maka diperlukan enzim-enzim. Untuk pembentukan jaringan biasanya diperlukan unsur-unsur hara makro seperti C, H, O, N, S, P, K. Sedangkan untuk pembentukan enzim diperlukan unsur-unsur hara mikro seperti Fe, Zn, Cr, Mo, Mn, Pb, Cu dan Bo. Unsur-unsur hara ini disebut sebagai unsur mikro atau minor atau trace element sebab hanya sedikit saja diperlukan oleh tanaman (Sarief, 1986). Unsur hara mikro tersebut di dalam sistem periodik digolongkan ke dalam golongan logam berat. Keberadaan logam berat dalam perairan pada umumnya bersifat toxic (racun) jika berada dalam jumlah yang berlebih tetapi tetap dibutuhkan dalam jumlah sedikit sebagai katalisator.

Menurut Rioardi (2009), kebanyakan Cu terdapat dalam kloroplas (>50%) dan diikat oleh plastosianin. Tembaga (Cu) diserap dalam bentuk ion Cu2+ dan mungkin dapat diserap dalam bentuk senyawa kompleks organik, misalnya Cu-EDTA (Cu-ethilen diamine tetra

Page 2: Bioremediasi

acetate acid) dan Cu-DTPA (Cu diethilen triamine penta acetate acid). Dalam tanaman hampir semua Cu membentuk kompleks senyawa dengan asam amino. Kekurangan Cu antara lain: pembungaan dan pembuahan terganggu, warna daun muda kuning dan kerdil, daun-daun lemah, layu dan pucuk mengering serta batang dan tangkai daun lemah. Sedangkan menurut Mitratani (2008), Cu kegunaannya sebagai pengaturan sistem enzim dan pembentukan klorofil juga sangat dibutuhkan pada tanah alkalis dan organik. Kecepatan penyerapan Cu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:a) umur organisme, semakin tua umur suatu organisme maka kemampuannya untuk

menyerap Cu semakin rendahb) keadaan lingkungan yang mendukung pertumbuhan organismec) keberadaan organisme dalam lingkungan hidupnya

Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya adalah sifatnya yang tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan. Logam-logam tersebut akhirnya terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Jones, 2000). Tembaga sebagai salah satu jenis logam berat yang memiliki tingkat toksisitas tinggi masuk dalam tatanan lingkungan perairan dari peristiwa-peristiwa alamiah dan sebagai efek samping dari aktifitas yang dilakukan oleh manusia (Huysman dan Brooks, 1994). Secara alamiah, Cu masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfer yang dibawa turun oleh air hujan (Efendi, 2003).

Tembaga pada dasarnya merupakan mikroelemen essensial untuk semua tanaman dan hewan termasuk manusia. Logam Cu diperlukan oleh berbagai sistem enzim di dalam tubuh manusia (Jones, 2000). Fungsi Cu adalah mengaktifkan enzim sitokrom-oksidase, askorbit-oksidase, asam butirat-fenolase, dan laktase. Cu juga berperanan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Oleh karena itu, apabila tanaman kekurangan Cu sintesis protein terganggu, maka protein yang ada jadi larut. Cu merupakan kofaktor sintesis enzim dan juga berpengaruh pada RNA dan DNA (Rosmarkam dan Nasih, 2002).

Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah

PENDAHULUAN

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam

industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia

menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor

batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia

merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga

peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8

dunia (Gautama, 2007). Namun demikian, pertambangan

selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai

sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang

sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak

Page 3: Bioremediasi

diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang

punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun.

Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka

(open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada

penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan

tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara

disingkirkan.

Permasalahan yang paling berat akibat penambangan

terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD)

atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral

bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna

air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan

serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya

pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah

terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya

merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin

et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan

bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara

PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm,

pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang

batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang

demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan

kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang

demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi

memerlukan biaya yang mahal.

Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih

dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki

kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan

adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan

mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang

dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan

cara mengeliminasi kontaminan (Wilkipedia, 2006). Kelompok

mikrobaa yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki

kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri

Page 4: Bioremediasi

pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS

dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera

berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada

lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk

logam sulfida yang reduktif (Hards and Higgins, 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPS

yang diisolasi dari limbah industri kertas untuk menurunkan

kadar sulfat pada lahan bekas tambang batubara.

BAHAN DAN METODE

Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari limbah

industri kertas (sludge) PT. Indah Kiat Pulp and Paper di

Riau sedangkan tanah bekas tambang batubara diambil BIODIVERSITAS Vol. 8, No. 3,

Oktober 2007, hal. 283-286

284

dari PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan. Bakteri diisolasi

pada media Postgate (Atlas and Park, 1993) yang

mengandung (g/l) Na laktat (3,5), Mg.SO4 (2,0), NH4Cl

(0,2), KH2PO4 (0,5), FeSO4. 7 H2O (0,5) dan Agar (16,0)

dan pH 4 kemudian disterilkan pada suhu 121○

C tekanan 1

atmosfir selama 15 menit. Pertumbuhan BPS ditandai

dengan timbulnya koloni berwarna coklat tua sampai hitam

pada dasar tabung.

Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat pada media Postgate

cair

Isolat BPS yang digunakan pada penelitian ini

merupakan hasil seleksi berdasarkan kecepatan

tumbuhnya (Widyati, 2003). Komposisi isolat yang

digunakan merupakan campuran 4 isolat yang berdasarkan

identifikasi awal keempatnya termasuk genus Desulfovibrio

(Widyati, 2006). Masing-masing isolat dipelihara pada

media Postgate.

Masing-masing isolat murni BPS tersebut (0,25 ml)

Page 5: Bioremediasi

diinokulasi ke media Postgate cair yang diperkaya dengan

larutan asam sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) jika populasi

telah mencapai 105

cfu/ml media. Kultur diinkubasi dalam

tabung ulir volume 25 ml sampai penuh. Percobaan

dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 kali

ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 3 tabung ulir.

Setiap lima hari sampai hari keduapuluh dilakukan

pengukuran sulfat. Sebagai kontrol adalah perlakuan

media postgate B yang diperkaya dengan larutan asam

sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) tetapi tidak diinokulasi

dengan BPS.

Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi

tanah bekas tambang batubara

Komposisi bakteri yang digunakan pada percobaan ini

sama dengan pada percobaan uji BPS pada media

Postgate cair. Sebelum diinokulasikan pada tanah bekas

tambang batubara, biakan BPS sebanyak 1% dicampurkan

pada bahan organik steril kemudian diinkubasi selama 4

hari. Setelah bakteri tumbuh yang ditandai dengan

terbentuknya gelembung dipermukaan bahan organik

segera dimasukkan ke dalam tanah bekas tambang

batubara dengan perbandingan 1 : 3 (v/v). Selanjutnya

tanah ditambah dengan air steril sampai jenuh (berbentuk

pasta/lumpur). Percobaan dilakukan dalam rancangan

acak lengkap dengan 3 kali ulangan, masing-masing

ulangan terdiri atas 5 ember. Sebagai kontrol diberikan

tanah bekas tambang batubara yang diberi bahan organik

steril dan dilumpurkan. Setiap 5 hari sampai hari ke-20

dilakukan pengukuran sulfat, pH dan Eh tanah. Untuk

mengetahui pertumbuhan BPS setiap 5 hari selama 20 hari

pada perlakuan BPS dilakukan re-isolasi pada media

Postgate agar kemudian dihitung jumlah koloni yang

tumbuh. Efisiensi bioremediasi dihitung untuk mengetahui

Page 6: Bioremediasi

berapa persen polutan yang dapat diturunkan selama

perlakuan. Efisiensi dihitung dengan rumus Widyati (2006),

sebagai berikut:

1. Efisiensi masing-masing perlakuan

(konsentrasi sulfat awal) – (konsentrasi sulfat akhir) x 100%

(konsentrasi awal)

2. Efisiensi perlakuan terhadap kontrol dihitung dengan

rumus:

(kons. sulfat akhir kontrol) – (kons. sulfat akhir perlakuan) x100%

(konsentrasi sulfat akhir kontrol)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada perlakuan

yang tidak diinokulasi dengan BPS konsentrasi sulfat dalam

larutan tersebut relatif tidak mengalami perubahan (Gambar

1). Sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi dengan

BPS terjadi penurunan dari konsentrasi sulfat sebesar

48.400 ppm pada hari ke-0 menjadi 9.300 ppm pada hari

ke-20 setelah inkubasi. Pada percobaan ini BPS mulai

menurunkan sulfat setelah hari ke-5 inkubasi.

Isolat murni BPS yang diisolasi dari limbah industri

kertas dapat mereduksi sulfat yang ditambahkan ke dalam

media Postgate (Gambar 1). Penurunan tersebut apabila

dihitung dengan rumus efisiensi (Widyati, 2006) didapatkan

nilai efisiensi sebesar 83,88%, sedangkan kontrol yang

tidak diinokulasi dengan BPS hanya mengalami penurunan

dengan efisiensi sebesar 0,81% dalam waktu 20 hari.

Penurunan konsentrasi sulfat pada penelitian ini karena

BPS dapat menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron

untuk aktivitas metabolismenya (Higgins et al., 2003).

Karena sulfat menerima elektron maka senyawa ini akan

mengalami reduksi menjadi sulfida sehingga

konsentrasinya dalam kultur tersebut mengalami

penurunan.

Ujicoba pemanfaatan BPS juga dilakukan untuk

Page 7: Bioremediasi

menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang

batubara. Hasil pengukuran perubahan kadar sulfat pada

tanah bekas tambang batubara oleh aktivitas BPS

ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa perlakuan bioremediasi dengan BPS

dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam tanah bekas

tambang batubara secara signifikan (P<0,05), dengan

efisiensi 91,28% dibanding kontrol.

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

0 5 10 15 20 hari ke-

konsentrasi sulfat pada media (ppm)

BPS

Kontrol

Gambar 1. Uji aktivitas BPS pada medium Postgate cair yang

diperkaya dengan larutan asam sulfat 2N 5%; K: kontrol; BPS:

bakteri pereduksi

Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan

sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor

elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber

karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor

elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan

penyusun selnya (Groudev et al., 2001). Sedangkan

menurut Djurle (2004) BPS menggunakan donor elektron

H2 dan sumber C (CO2) yang dapat diperoleh dari bahan

organik. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Van

Page 8: Bioremediasi

Houten (2003) dalam Djurle (2004) adalah sebagai berikut:

SO4

2-

+ H2 + 2 H+

→ H2S + 4H2O WIDYATI – Bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi tanah

bekas tambang batubara

285

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol

(bahan organik + penggenangan) juga mengalami

penurunan. Penurunan yang terjadi pada perlakuan kontrol

ini karena pada perlakuan ini ke dalam tanah bekas

tambang batubara ditambahkan bahan organik dan

ditambahkan air sampai jenuh. Penjenuhan air

mengakibatkan tanah menjadi anaerob yang ditandai

dengan perubahan potensial redoks (Eh) menjadi negatif

(Gambar 3). Penurunan Eh menunjukkan adanya

perubahan kondisi lingkungan dari aerob (positif) menjadi

anaerob (negatif) karena oksigen yang mengisi pori-pori

tanah terdesak dan digantikan oleh air. Pada kondisi

anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor

elektron (Groudev et al., 2001). Ketika sulfat menerima

elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi

membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan oleh

Foth (1990) dalam persamaan reaksi sebagai berikut:

SO4

2-

+ H2O + 2 e-

→ SO3

2-

+ 2 OH-

Page 9: Bioremediasi

SO3

2-

+ H2O + 6 e-

→ S2-

+ 6 OH-

Menurunnya konsentrasi sulfat pada perlakuan kontrol

terjadi karena dalam kondisi anaerob akseptor elektron

yang pada kondisi aerob dilakukan oleh oksigen bebas

akan digantikan oleh molekul lain (Foth, 1990), seperti nitrat

dan sulfat (Foth, 1990; Groudev et al., 2001). Pada

penelitian ini yang berperan sebagai akseptor elektron

adalah sulfat yang konsentrasinya pada tanah bekas

tambang batubara berkisar antara 32.000 – 60.000 ppm

(Widyati 2006).

Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi sulfat

(termasuk asam kuat) akan meningkatkan pH tanah

(Gambar 4). Hal ini terjadi karena beberapa proses yang

saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan

bahan organik dan aktivitas BPS. Pada proses

penggenangan seperti yang ditunjukkan oleh reaksi (Foth,

1990) dilepaskan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion

H+

. Disamping itu peningkatan pH juga terjadi karena

pemberian bahan organik. Bahan organik mempunyai

buffering capacity sehingga dapat meningkatkan atau

menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1994).

Apabila dibandingkan antara perlakuan kontrol dengan

perlakuan BPS, meskipun kedua perlakuan memberikan

suasana anaerob yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

(Gambar 3), tetapi memberikan hasil yang berbeda nyata

dalam menurunkan sulfat dan meningkatkan pH tanah

bekas tambang batubara. Perlakuan BPS menurunkan

sulfat dan meningkatkan pH secara signifikan sedangkan

Page 10: Bioremediasi

perlakuan kontrol tidak. Perlakuan BPS dapat mereduksi

sulfat tanah >80% (Gambar 2) sehingga dapat

meningkatkan pH mendekati netral (Gambar 5). Hal ini

menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis

oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia

karena penjenuhan dan penambahan bahan organik.

Namun demikian, penambahan bahan organik dan

penjenuhan tetap diperlukan karena menurut Alexander

(1977) bahwa reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi

sulfida dapat ditingkatkan melalui penambahan kadar air

dan penambahan bahan organik tanah. Proses ini

memerlukan Eh yang rendah (anaerob) dan umumnya

dibatasi oleh pH di atas 6.

Untuk menguji apakah BPS yang diinokulasikan dapat

hidup dan berperan aktif dalam proses bioremediasi tanah

bekas tambang batubara, maka setiap 5 hari selama 20

hari dilakukan re-isolasi BPS. Hasil re-isolasi ditunjukkan

pada Gambar 5, dimana BPS yang diinokulasikan dapat

tumbuh dengan baik, sehingga pada hari ke-15 jumlahnya

meningkat 195 kali lipat. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Alexander (1977), bahwa ketika terjadi defisiensi

O2 karena penggenangan (flooding) maka akan

meningkatkan populasi BPS ribuan kali lipat dalam waktu

kurang lebih 2 minggu. Populasi mikroba ini berkembang

menjadi 23.000% dalam waktu 20 hari. Dalam tanah

bekas tambang batubara banyak mengandung sulfat yang

sangat diperlukan oleh BPS sebagai sumber energi untuk

menerima elektron selama aktivitas metabolik dalam

selnya. Karena menurut Hards and Higgins (2004), bahwa

BPS dalam hidupnya memerlukan sulfat sebagai akseptor

elektron dan bahan organik sebagai sumber C. Sehingga

ketika mereka dimasukkan ke dalam lingkungan tanah

bekas tambang batubara yang banyak mengandung sulfat,

sudah barang tentu dapat meningkatkan aktivitas

Page 11: Bioremediasi

metaboliknya dan mengakibatkan populasinya berkembang

baik.

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

0 5 10 15 20

Hare ke-

Konsentrasi sulfat tanah (ppm)

BPS

Kontrol

Gambar 2. Perubahan konsentrasi sulfat selama proses

bioremediasi tanah bekas tambang batubara

-600

-500

-400

-300

-200

-100

0

100

200

300

0 5 10 15 20

hari ke-

Eh (mvolt)

BPS

Kontrol

Page 12: Bioremediasi

Gambar 3. Perubahan potensial redoks (Eh) tanah bekas tambang

batubara selama proses biorememediasi

Menurut Alexander (1977) BPS terdiri dari 2 genus,

yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio

hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan

Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil

(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian

lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi

perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 (Gambar

5) dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C)

tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS BIODIVERSITAS Vol. 8, No. 3,

Oktober 2007, hal. 283-286

286

yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus

Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) media

Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang

paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus

Desulfovibrio.

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

0 5 10 15 20

hari ke-

pH BPS

Kontrol

Page 13: Bioremediasi

Gambar 4. Perubahan pH tanah bekas tambang batubara selama

proses bioremediasi

0.02

0.9

2.4

4.6

3.9

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

0 5 10 15 20

Gambar 5. Pertumbuhan BPS setelah diinokulasikan pada tanah

bekas tambang batubara; spk : satuan pembentuk koloni

Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat

sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang

batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi

lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang

dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat

baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi

maupun kehidupan biota lainnya.

Page 14: Bioremediasi

KESIMPULAN

Bakteri pereduksi sulfat (BPS) efektif digunakan dalam

proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara

dengan waktu inkubasi 20 hari. Aktivitas BPS dapat

menurunkan konsentrasi sulfat pada tanah bekas tambang

batubara dengan efisiensi 89,76% dalam waktu inkubasi 20

hari. Penurunan sulfat tersebut dapat meningkatkan pH

tanah bekas tambang batubara dari 4,15 menjadi 6,66

dalam waktu yang sama. Nilai pH tersebut merupakan pH

yang ideal untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman,

sehingga bioremediasi tanah dengan BPS akan sangat

membantu kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang

batubara.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd

ed. John Willey

& Son. New York

Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media.

CRC Press. Boca Raton.

Djurle, C. 2004. Development of a Model for Simulation of Biological

Sulphate Reduction with Hidrogen as Energy Source. Master Thesis.

Department of Chemical Engineering. Lund Institute of Technology. The

Netherlands.

Feio, M.J., H.B. Beech, M. Carepo, J.M. Lopes, C.W.S. Cheung, R. Franco,

J. Guezennec,J.R. Smith, J.I. Mitchell, J.J.G. Moura and A.R. Lino.

1998. Isolation and characterization of a novel sulphate-reducing

bacterium of the Desulfovibrio genus. Anaerobe (4): 117 – 130.

Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th

ed. John Willey&son.

New York.

Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang:

aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.

www.itb.ac.id/favicon.ico[20 Mei 2007]

Groudev, S.N., K. Komnitsas, I.I. Spasova and I. Paspaliaris. 2001.

Page 15: Bioremediasi

Treatment of AMD by a natural wetland. Minerals Engineering 12: 261-

270.

Hards, B.C. and J.P. Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock

Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario.

Havlin, J.L., J.B. Beaton, S.L. Tisdale SL and W.L. Nelson. 1999. Soil

Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management.

Prentice Hall. New Jersey.

Higgins, J.P., B.C. Hards and A.I. Mattes. 2003. Biremediation of Acid

Rock Drainage Using Sulfate Reducing Bacteria.

www.Jacqueswhitford.com/site_jw/ media/ 1_4SC_

sudburrypapers2003mayHiggins10_8_pdf [16 Juli 2004]

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd

ed. Academic

Press. London.

Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition,

Reaction. John Willey&son. New York.

Untung, S.R. 1993. Dampak Air Asam Tambang dan Upaya

Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tambang Batubara dan Mineral.

Bandung (Tidak dipublikasikan).

Widyati, E. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri pengasimilasi sulfur. Laporan

tahunan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak

dipublikasikan.

Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan

Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi

Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

www.wilkipedia.com.thefreeencyclopedia/bioremediation.htm. Bioremediation.

[18 Juni 2006]

Page 16: Bioremediasi

Bioremediasi

Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat

toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah

terkontaminasi menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila

menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi.

Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan

organik dan beberapa kontaminan anorganik.

Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik, perkotaan,

pertanian, industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat masuk kedalam

residu tanaman penutup tanah (crop) seperti rumput, lumpur limbah perkotaan, pembibitan,

dan tanah melalui penggunaannya pada kegiatan pertanian, perumahan, maupun industri.

Kontaminan organik lainnya seperti PCBs (Poly Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic

Aromatic Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari aktivitas pembakaran bensin atau

dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan menghambat pertumbuhan

bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya akumulasi hidrokarbon

didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan bahan peledak atau komponen peledak

didalam tanah pada aktivitas militer, menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang

merupakan konstituen dari propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah

kontaminan yang larut didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh

tumbuhan serta berdampak langsung bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal (Pb),

kadmium (Cd) dan merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi kesehatan manusia dan

kelangsungan kehidupan di lingkungan (USDA NRCS, 2000). Walaupun pada konsentrasi

yang sedemikian rendah efek ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga

terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya kontaminan organik yang telah dijelaskan

sebelumnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat jauh di lingkungan,

selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya berpengaruh

terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber

polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang dikonsumsinya

mengandung logam berat. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap

Page 17: Bioremediasi

peningkatan kontaminan tersebut karena pemasukan utama kontaminan logam kedalam

lingkungan ditemukan dari kegiatan perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri

komoditi seperti industri tekstil, pestisida, kulit, plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan

dan lain sebagainya.

Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping lainnya diatas

dapat masuk kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari proses-proses terkait

dengan kegiatan domestik, perkotaan, pertanian, industri dan militer.

Gambar 19. Proses Bioremediasi oleh Mikroorganisme[2]

Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam upaya

pemulihan kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah biayanya

dan efektif dibandingkan dengan teknik remediasi (pemulihan) menggunakan bahan kimia.

Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan (senyawa)

organik menjadi stabil melalui proses penguapan dan reduksi konsentrasi kandungannya.

Dimana kontaminan organik berbahaya akan terurai (degradasi) secara biologis, menjadi

senyawa lain yang lebih sederhana seperti karbon dioksida, metan, air, garam anorganik,

biomassa dan hasil lain yang sangat sederhana komposisinya (Citroreksoko, 1996).

Sedangkan logam-logam berat dalam sumber air atau tanah terkontaminasi yang berasal dari

limbah berbagai pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik bioremediasi ini

melalui proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga).

Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi bahan pencemar

secara biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian pencemaran sumber-sumber air

dan tanah terkontaminasi secara in situ. In-situ disini dimaksudkan sebagai pengolahan

sumber air dan atau tanah terkontaminasi yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal

ini dimungkinkan karena prinsip proses bioremediasi memanfaatkan aktifitas

mikroorganisme indigenous yang terdapat didalamnya, sehingga seluruh proses penghilangan

dan pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan secara langsung di

lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik.

Page 18: Bioremediasi

Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan mikroorganisme

endigenous atau dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik. Hal ini disebabkan

mikroorganisme endigenous merupakan mikroorganisme yang telah mendapatkan pengayaan

dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di Laboratorium, sehingga lebih unggul dan

tidak membutuhkan waktu lama bila diaplikasikan di lapangan.

Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai

atau bozem atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat

tanah terkontaminasi berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.

Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah:

· Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak ada penggalian

atau pemindahan tanah)

· Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang beresiko terkena

paparan bahan berbahaya beracun yang ada didalam sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit

(minimal)

· Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan (transportasi) yang

sangat mahal

· Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan didalam

KepMenLH No. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan

Limbah Minyak Bumi (petroleum hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak

Bumi Secara Biologis

Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan menyeluruh

terkait lokasi pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat penting guna

menghindari terjadinya perluasan area pencemaran akibat perpindahan atau perembesan

kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu, aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan

nutrien dan oksigen kedalam sedimen (endapan) guna mencapai syarat habitat

mikroorganisme yang akan digunakan.

Page 19: Bioremediasi

Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya untuk

pekerjaan penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi pengolahan. Akan tetapi

kelebihan dari teknik ex-situ adalah dapat diolah dengan beragam cara seperti: (1)

landfarming; (2) composting; (3) menggunakan reaktor lumpur.

Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik bioremediasi

adalah:

· susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat didegradasi oleh

mikroorganisme

· Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan, artinya proses

bioremediasi dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia lingkungannya dapat dikontrol sesuai

kebutuhan mikroorganismenya

Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan treatability

study sebelum teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study diperlukan guna

mendapatkan informasi yang pasti terkait karakteristik lokasi pengolahan; sifat fisik & kimia

lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga dapat diketahui dengan pasti apakah

kontaminan tersebut dapat didegradasi atau tidak; berapa kecepatan degradasi yang

dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang diinginkan dan lain sebagainya.

Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa digunakan

jenis native (indigenous) atau mikroorganisme komersial (endogenous). Hanya saja, bila

menggunakan mikroorganisme indigenous, waktu pengolahan yang dibutuhkan akan lebih

lama dibandingkan dengan mikroorganisme komersial.

Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui lima (5)

tahapan kerja yaitu:

Tahap 1: Survai Awal

Page 20: Bioremediasi

Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang sebenarnya dari

sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi bioremediasi. Hasil dari survai

ini pun menentukan strategi investigasi yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.

Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi yang akan

diolah harus didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya adalah peta lokasi dan

alur aliran air yang existing di lapangan. Daerah tangkapan (catchment area) terkait jenis-

jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi (dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada

dan lain sebagainya sangat menentukan prediksi cemaran (kontaminan) dan hipotesis

selanjutnya.

Tahap 2: Investigasi Lokasi

Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk memperoleh data

yang mewakili (representative) kondisi sedimen/endapan untuk penilaian faktor resiko

selanjutnya; data tentang intensitas dan ekstensitas cemaran (kontaminan) dalam

sedimen/endapan; kemungkinan ada atau tidaknya emisi bahan beracun ke udara;

kemungkinan ada atau tidaknya ledakan; kemungkinan ada atau tidaknya intrusi cemaran

(kontaminan) ke lingkungan disekitarnya.

Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian resiko;

pelaporan dan penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi. Pada tahap ini

diperlukan pula sampling dan uji laboratorium terhadap beberapa parameter dan atau

kontaminan yang ada.

Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi

Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain bioremediasi

yang sesuai baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya dilapangan.

Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi lahan

tambahan guna mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai dengan kondisi

lapangan dan sesuai pula dengan persyaratan teknis yang berlaku.

Page 21: Bioremediasi

Tahap 4: Operasi & Evaluasi

Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses

bioremediasi yang sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi yang diolah.

Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan parameter-

parameter yang akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan evaluasi, termasuk rencana

tanggap darurat (emergency response) dan sistem alert pada satu keadaan/kriteria dimana

proses bioremediasi perlu dihentikan dan dilakukan evaluasi.

Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form pelaporan dimana

memuat apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan.

Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi

Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah terpulihkan

ke area-area penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini bisa dilakukan bila

digunakan proses bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan pekerjaan lanjutan yaitu

penggalian, pemuatan dan pemindahan sedimen/endapan yang telah pulih menjadi tanah

hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang disediakan.

Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses

bioremediasi adalah menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap ini adalah

berkurangnya sedimen/endapan dan bertambahnya daya tampung saluran Drainase tersebut.

Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming

Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan sedimen/endapan

pada saluran Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll) sebagai upaya pembersihan

cepat (kuratif). Teknik ini masih dianggap paling efisien (cepat) walau membutuhkan biaya

pengerukan dan transportasi yang cukup mahal.

Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan yang dilakukan

oleh instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan telah selesai dengan

Page 22: Bioremediasi

memindahkannya dari saluran Drainase ke tempat pembuangan akhir. Padahal bila kita amati

di lapangan, sedimen/endapan yang ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk

pengeringan) sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke

saluran Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan pada saluran-saluran Drainase (got)

dan menimbulkan masalah baru.

Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan sementara

tersebut, diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan menjadi tanah hidup dan

dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penghijauan perkotaan.

Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe landfarming ini

adalah:

· Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan yang ada

didalam sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan pemindahan ke lokasi

penampungan sementara. Data primer hasil sampling kontaminan tersebut menjadi

pertimbangan penentuan langkah pengolahan selanjutnya.

· Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan landfarming

harus disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah B3 pada surat KepKaBapedal

No. 1 tahun 1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat

kontaminan-kontaminan logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan pada catchment

areanya.

· Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara, sehingga perlu

disiapkan sistem Drainase didalam area yang bersifat tertutup (closed cyrcle). Larian air dari

Drainase tersebut harus ditampung dan diolah didalam bioreaktor.

· Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah (ranting, potongan

kayu, plastik, potongan logam dll) secara mekanik dan atau manual. Sampah-sampah

Page 23: Bioremediasi

tersebut akan menghambat proses bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus

dikeluarkan/dibersihkan dari sedimen/endapan tersebut.

Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi dilakukan dengan

beberapa tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan apa yang akan didegradasi terlebih

dahulu. Tentunya, kandungan kontaminan yang terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu.

Sebagai contoh, bila kandungan PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi

bertujuan untuk meningkatkan populasi mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti

dengan proses bioremediasi untuk mendegradasi kontaminan selanjutnya.

Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut:

· Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan beckho agar

diperoleh sedimen/endapan yang homogen.

· Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi atau pupuk)

sebagai bahan nutrisi bagi mikroorganisme indigenous.

· Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan kayu, sekam

padi atau limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk agen ini dimaksudkan untuk

memperoleh tekstur tanah (moisture) yang disyaratkan.

· Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan lahan (tempat

penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian maksimal 50 cm.

· Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan dilakukan

penyiraman air secara rutin. Air yang digunakan untuk penyiraman ini haruslah air bersih

dengan pH normal (pH 6-8) dan tidak tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun

bakteri lain. Dalam kondisi iklim kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000

liter per hari per lokasi penampungan sementara. Sedangkan dimusim hujan, kelebihan

kandungan air didalam tanah akibat curah hujan harus bisa dialirkan ke saluran-saluran

Drainase agar tidak menghambat operasional alat berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal

untuk menutup sementara permukaan tanah yang diolah selama turunnya hujan.

Page 24: Bioremediasi

· Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous yang ada

didalam tanah, dilakukan dengan cara pembalikan permukaan sedimen/endapan

menggunakan traktor dengan rotovator. Pembalikkan secara rutin dapat mempertahankan

pemaparan oksigen diudara kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga

mencapai tanah lapisan dalam yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi tanah terlihat

kompak (liat) maka proses pembalikkan tanah dilakukan lebih sering guna meningkatkan

proses aerasi. Sebaliknya bila kondisi tanah terlihat berpasir (granular) maka proses

pembalikkan dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak.

Gambar 20. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming

· Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang berjalan, perlu

dilakukan sampling dimulai pada hari ke-10 sejak pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap

hasil analisis sampling tersebut menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang

perlu dilakukan selanjutnya.

What is Bioremediation?

1.

Bioremediasi adalah penggunaan organisme hidup untuk detoksi,

memulihkan/mengurangi polusi dan kerukan lingkungan

Page 25: Bioremediasi

2.

Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan

memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah

konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama

bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari

limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi

terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang

terkontaminasi oleh senyawa – senyawa kimia toksik atau beracun.

3.

Bioremediasi merupakan proses biologis (bioproses) yang memanfaatkan bakteri

mikrobiologis di dalam proses kerjanya. Selama ini, proses ini lebih banyak dikenal dan

popular digunakan dalam fermentasi pada pembuatan tape singkong. Sejak Tahun 1980-an,

Proses bioremediasi sebenarnya telah dikembangkan dan diuji-coba di berbagai negara sejak

tahun 1980-an , khususnya di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, aplikasi bioremediasi

masih dalam tahap pengembangan.

4.

Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan

secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan

mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek

komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah

dan bersifat fleksibel.

What is the “bio” in Bioremediation?

Remediasi dapat disebut juga pemulihan bisa berarti kondisi lingkungan yang terdegradasi

dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal sebelum

kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Kata “bio” dalam bioremediasi berarti biologi yaitu

organisme yang hidup dan bergantung pada kondisi lingkungan juga nutrisi. Dari pengertian

dua kata tersebut bioremediasi dapat diartikan pemulihan bisa berarti kondisi lingkungan

yang terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal

Page 26: Bioremediasi

sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi dengan menggunakan bantuan

mikroorganisme.

Why Bioremediation, aren’t there other ways to cleanup these sites?

Secara ekonomi dan fungsi, penggunaan teknik bioremediasi harus dapat berkompetisi

dengan teknologi remediasi lainnya, seperti pembakaran (insinerasi) atau perlakuan kimia.

Sebelum suatu teknik bioremediasi diaplikasikan, informasi tentang keadaan lokasi dan

potensi mikroorganisme harus sudah diketahui. Untuk itu perlu dilakukan uji laboratorium

untuk mengetahui kecepatan degradasi pada suatu fungsi lingkungan tertentu seperti pH,

konsentrasi oksigen, nutrien, komposisi mikroba, ukuran partikel tanah, dan juga suhu.

Dibanding teknik remediasi lain, aplikasi bioremediasi jauh lebih murah. Levine and Gealt

(1993) menyatakan bahwa bioremediasi untuk satu yard tanah yang terkontaminasi

diperlukan dana sekitar 40 sampai 100 dolar. Sedangkan melalui proses lainnya, seperti

dengan insinerasi, memerlukan biaya 250 sampai 800 dolar dan landfilling sekitar 150

sampai 250 dolar untuk kapasitas tanah yang sama. Bioremediasi dapat diaplikasikan pada

lingkungan-lingkungan yang terpolusi melalui berbagai mekanisme. Litchfield (1991),

bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan berikut: bioreaktor, perlakuan fase padat,

pengomposan, landfarming, dan perlakuan in situ. Berbagai proses teknologi telah

berkembang di masing- masing bidang.

How does it work?

Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan

bakteri alami pengurai limbah baik organik maupun anorganik yang akan ditangani. Bakteri

ini kemudian akan menguraikan limbah tersebut yang telah dikondisikan sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu tertentu dengan

bakteri yang telah ditebarkan kedalam lingkungan tercemar akan menujukan lingkungan

tersebut berkurang kandungan limbahnya bahkan hilang, inilah yang disebut sistem

bioremediasi.

Kunci sukses bioremediasi adalah dilakukan karakterisasi lahan (site characterization) dan

treatability study. Menurut Idrus Maxdoni Kamil, ahli teknik lingkungan dari Institut

Page 27: Bioremediasi

Teknologi Bandung (ITB), karakterisasi lahan tercemar, bukan hal rumit. Memang data yang

diperlukan cukup banyak, seperti sifat dan struktur geologis lapisan tanah, lokasi sumber

pencemar dan perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas dalam tanah. Sifat-sifat

lingkungan tanah juga harus diketahui, mulai dari derajat keasaman (pH), kelembaban hingga

kandungan kimia yang sudah ada. Karakterisasi lahan berfungsi pula mengetahui keberadaan

dan jenis mikroba yang ada dalam tanah.

Dulunya bioremediasi hanya dilakukan pada limbah organik yang mudah ‘dibersihkan’

secara alamiah. Baru pada tahun 1980-an, bioremediasi mulai dikembangkan penggunaannya

pada limbah yang lebih sulit, misalnya pada kontaminasi tanah.

Is it safe?

Bioremediasi yang berasal dari bakteri yang telah mengalami rekayas genetik maupun tidak

kan memberikan dampak yang aman. Proses Bioremediasi juga diatur ketentuannya oleh

Kementrian Lingungan Hidup, misalnya, saat ini sudah membuat sebuah payung hukum yang

mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi untuk mengatasi permasalahan lingkungan

akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam

berat dan pestisida) yang disusun dan tertuang didalam Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.128 tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis dan

pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis

(Bioremediasi).Produk akhir dari bioremediasi dapat berupa air terproduksi yang sudah

memenuhi baku mutu lingkungan dan padatan (solid), produk yang dapat digunakan untuk

bahan pembentuk batu concrete untuk bahan bangunan dan pupuk. Terkait dengan

pengembangan dan pengelolaan lanskap pada area pertambangan dan area pasca tambang

dapat dilakukan dengan cara reklamasi lahan dan penanaman ulang (revegetation). Untuk

meningkatkan kualitas tanah pada lahan yang terdegradasi tersebut dapat dilakukan dengan

penimbunan tanah organik, top soil atau tanah tambang yang telah ditreatment dengan teknik

bioremediasi. Konsep ekologis yang memperhatikan hubungan antara kondisi tanah pada

setiap tapak, kesesuaian lahan untuk penggunaan tanaman tertentu, pemilihan jenis tanaman

lokal yang diketahui telah memiliki daya adaptasi tinggi akan menjadi kunci utama dari

keberhasilan program revegetasi. Dengan demikian pengelolaan lanskap (landscape

management) secara berkelanjutan pada lahan pertambangan dan lahan pasca tambang dapat

dikembangkan melalui konsep perencanaan lanskap dan perancangan lanskap yang lebih baik

Page 28: Bioremediasi

dengan peruntukan yang sesuai dengan keinginan pemilik dan pengguna. Peruntukan tersebut

bisa menuju ke penghutanan kembali, atau untuk lahan pertanian, atau untuk resor wisata

alam yang diusahakan dapat mengembalikan potensi keragaman jenis biologi flora dan fauna

(Arifin et al., 2004). Lahan yang sudah diolah dengan teknologi ramah lingkungan dapat

dikonversi menjadi unit kegiatan bisnis lain seperti pemanfaatan lahan untuk padang golf

(golf court), peternakan (ranch) dan sebagainya.

Are these processes being used today?

PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex) merupakan perusahaan eksplorasi dan produksi migas

yang memelopori penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia. Bermula dari partisipasi

Caltex pada sebuah seminar internasional mengenai bioremediasi tahun 1994.

Caltex adalah perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) BPMIGAS yang beroperasi

di Riau sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1994, Caltex mulai melakukan uji coba

bioremediasi pada tanah yang mengandung minyak di lapangan Minas yang memproduksi

minyak ringan (Sumatran Light crude oil/SLC). Minas dipilih karena dalam kegiatan

produksi di lapangan minyak itu, terbawa juga tanah yang mengandung minyak ke atas

permukaan bumi.

What does the future have in store?

Peluang kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis pada teknologi

bioremediasi dengan system one top solution (close system) dan dengan pendekatan multi-

proses remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang

terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal

sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Usaha mencapai total grenning program

ini dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi lahan dengan melakukan kegiatan phytoremediasi

dan penghijauan (vegetation establishement) untuk lebih efektif dalam mereduksi,

mengkonrol atau bahkan mengeliminasi limbah berbahaya, hasil bioremediasi kepada

tingkatan yang sangat aman lagi buat lingkungan.

Dengan keseluruhan rangkaian proses dari mulai limbah dikeluarkan, bioremediasi,

phytoremediasi dan pembentukan vegetasi adalah greening program yang merupakan bentuk

Page 29: Bioremediasi

pengelolaan limbah berbahaya secara terpadu (integrated waste management). Biasanya

greening program juga merupakan salah satu bentuk aktifitas community development dari

perusahaan-perusahan. Untuk wilayah pesisir dan pantai greening program dapat berupa

penanaman kembali bibit mangrove dan vegetasi pantai lain ataupun program lain seperti

artificial reef, fish shelter ataupun reef transplantation.

Daftar Pustaka

Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case Study in

East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International Symposium

“Environmental Degradation and Ecosystem Restoration in East Asia” Tokyo University –

Japan. 9 p.

Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of

Cold Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990.

Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill,

Inc. Toronto.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DAERAH WISATA BAHARI

Juli 11, 2008 at 10:50 am (Uncategorized)

PENDAHULUAN

Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan

memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia,

berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan

berbagai jenis ikan hias.

Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan

swasta, di antaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar, berlayar, rekreasi pantai

dan wisata pesiar. Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias

Page 30: Bioremediasi

yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan

berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu

pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat

besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek wisata bahari.

Untuk menjaring masyarakat dan wisatawan sebanyak mungkin, setiap kawasan wisata

bahari harus menjaga keunikan, kelestarian, dan keindahannya. Semakin banyak kunjungan

wisatawan, maka aktivitas dikawasan tersebut akan meningkat, baik aktivitas sosial maupun

ekonomi. Setiap aktivitas yang dilakukan, akan menghasilkan manfaat ekonomi bagi kawasan

tersebut. Namun yang harus diingat adalah bahwa limbah atau sampah yang ditimbulkan dari

kegiatan tersebut dapat mengancam kawasan wisata alam.

Sampah apabila dibiarkan tidak dikelola dapat menjadi ancaman yang serius bagi

kelangsungan dan kelestarian kawasan wisata alam. Sebaliknya, apabila dikelola dengan

baik, sampah memiliki nilai potensial, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan

kualitas dan estetika lingkungan, dan pemanfaatan lain sebagai bahan pembuatan kompos

yang dapat digunakan untuk memperbaiki lahan kritis di berbagai daerah di Indonesia, dan

dapat juga mempengaruhi penerimaan devisa negara.

PENGELOLAAN SAMPAH

Agar pengelolaan sampah berlangsung dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan,

maka setiap kegiatan pengelolaan sampah harus mengikuti filosofi pengelolaan sampah.

Filosofi pengelolaan sampah adalah bahwa semakin sedikit dan semakin dekat sampah

dikelola dari sumbernya, maka pengelolaannya akan menjadi lebih mudah dan baik, serta

lingkungan yang terkena dampak juga semakin sedikit.

Tahapan Pengelolaan sampah yang dapat dilakukan di kawasan wisata alam adalah:

a. Pencegahan dan Pengurangan Sampah dari Sumbernya

Kegiatan ini dimulai dengan kegiatan pemilahan atau pemisahan sampah organik dan

anorganik dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik disetiap kawasan yang

sering dikunjungi wisatawan.

Page 31: Bioremediasi

b. Pemanfaatan Kembali

Kegiatan pemanfaatan sampah kembali, terdiri atas:

1). Pemanfaatan sampah organik, seperti composting (pengomposan). Sampah yang mudah

membusuk dapat diubah menjadi pupuk kompos yang ramah lingkungan untuk melestarikan

fungsi kawasan wisata.

Berdasarkan hasil, penelitian diketahui bahwa dengan melakukan kegiatan composting

sampah organik yang komposisinya mencapai 70%, dapat direduksi hingga mencapai 25%.

2). Pemanfaatan sampah anorganik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pemanfaatan kembali secara langsung, misalnya pembuatan kerajinan yang berbahan baku

dari barang bekas, atau kertas daur ulang. Sedangkan pemanfaatan kembali secara tidak

langsung, misalnya menjual barang bekas seperti kertas, plastik, kaleng, koran bekas, botol,

gelas dan botol air minum dalam kemasan.

c. Tempat Pembuangan Sampah Akhir

Sisa sampah yang tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomis baik dari kegiatan composting

maupun pemanfaatan sampah anorganik, jumlahnya mencapai ± 10%, harus dibuang ke

Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Di Indonesia, pengelolaan TPA menjadi

tanggung jawab masing-masing Pemda.

Dengan pengelolaan sampah yang baik, sisa sampah akhir yang benar-benar tidak dapat

dimanfaatkan lagi hanya sebesar ± 10%. Kegiatan ini tentu saja akan menurunkan biaya

pengangkutan sampah bagi pengelola kawasan wisata alam, mengurangi luasan kebutuhan

tempat untuk lokasi TPS, serta memperkecil permasalahan sampah yang saat ini dihadapi

oleh banyak pemerintah daerah.

Air limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata bahari merupakan buangan air kotor dari

hotel, rumah makan maupun perumahan penduduk. Air limbah di kawasan wisata dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu:

Page 32: Bioremediasi

*

Air limbah manusia (tinja)

*

Air bekas cuci dan mandi.

Air limbah umumnya dikelolah secara individual dengan menggunakan septic-tank. Tetapi

metode seperti ini dikiranya dapat berdampak buruk bagi jika tetap dibiarkan. Biasanya

septic-tank yang ada dibuat sekedarnya dapat dimungkinkan tercemar dengan air lingkungan

sekitar. Sedangkan dengan air bekas mandi biasanya pengelola tempat wisata lebih senang

langsung membuangnya ke laut tanpa memperhatikan kandungan air limbah tersebut dapat

menggagu kehidupan organisme yang ada dilaut. Oleh sebab itu perlu dibuatkan suatu tempat

penampungan terpadu yang khusus mengolah limbah tersebut. Dari MCK yang ada disekitar

pantai misalnya air buangannya dapat dibuatkan saluran sehingga tidak langsung mencemari

air laut.

Berikut contoh design pengolahan limbah :

DESIGN PENGOLAHAN LIMBAH TEMPAT WISATA

Limbah buangan dari MCK dialirkan kedalam bak anaerob. Hal ini dimaksudkan unruk

mengurangi bau yang dihasilkan dari tinja buangan. Dalam bak ini terdapat filter yang terdiri

dari pasir, karbon aktif, ijuk, yang semuanya bertujuan untuk menyaring kotoran. Juag

ditambahkan mikroorganisme yang dapat mempercepat proses pendegradasian. Selanjutnya

limbah diendapkan dikolam pengendapan. Setelah mengalami pengendapan maka kandungan

oksigen yang ada akan turun secara drastis. Diperlukan aerasi yang cukup sampai DO yang

terkandung cukup. Air yang telah diaerasi di tampung di kolam penampungan air bersih.

Karena orientasi kita pada wisata makan hasil pangolahan air dapat digunakan untuk

mengaliri area perikanan yang ada untuk menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Hal

ini dapat juga dikembangkan menjadi wisata limbah dimana air yang dari MCK dapat

berguna lagi untuk tempat biak hasil perikanan. Selain itu air hasil olahan ini dapat digunakan

Page 33: Bioremediasi

untuk pertanian, bahkan dapat juga digunakan untuk air minum jika diolah lagi secara lebih

steril.

Selanjutnya hasil endapan yang berasal dari kolam pengendapan dialirkan ke tempat

tersendiri. Karena endapan berasal dari sisa metabolisme maka kaya akan unsur hara. Hasil

endapan ini nantinya juga dapat berguna sebagai pupuk.

Ancaman Bagi Kawasan Wisata Alam

Dampak negatif yang ditimbulkan dari sampah yang tidak dikelola dengan baik adalah

sebagai berikut:

a. Gangguan Kesehatan:

*

Timbulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat yang dapat mendorong

penularan infeksi;

*

Timbulan sampah dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus;

b. Menurunnya kualitas lingkungan

c. Menurunnya estetika lingkungan

Timbulan sampah yang bau, kotor dan berserakan akan menjadikan lingkungan tidak indah

untuk dipandang mata;

d. Terhambatnya pembangunan negara

Dengan menurunnya kualitas dan estetika lingkungan, mengakibatkan pengunjung atau

wisatawan enggan untuk mengunjungi daerah wisata tersebut karena merasa tidak nyaman,

Page 34: Bioremediasi

dan daerah wisata tersebut menjadi tidak menarik untuk dikunjungi. Akibatnya jumlah

kunjungan wisatawan menurun, yang berarti devisa negara juga menurun.

Penutup

Pengelolaan sampah yang dilakukan di kawasan wisata alam, akan memberikan banyak

manfaat, diantaranya adalah:

1.

Menjaga keindahan, kebersihan dan estetika lingkungan kawasan sehingga menarik

wisatawan untuk berkunjung;

2.

Tidak memerlukan TPS yang luas, sehingga pengelola wisata dapat mengoptimalkan

penggunaan pemanfaatan kawasan;

3.

Mengurangi biaya angkut sampah ke TPS;

4.

Mengurangi beban Pemda dalam mengelola sampah.

5.

Mengurangi penggunaan air tanah.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

PENAMBAHAN NUTRISI PADA PROSES BIOREMEDIASI

Juli 11, 2008 at 10:36 am (PAL, bioremediasi, tugas, ujian)

IDENTIFIKASI MASALAH

Page 35: Bioremediasi

Tumpahan minyak mentah yang terjadi di perairan, mengakibatkan pencemaran di daerah

lingkungan pantai. Hal ini karena daerah tersebut merupakan daerah di tepi laut yang masih

mendapat pengaruh keadaan laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut

(Triatmodjo, 1999). Tumpahan minyak mentah yang terbawa bersama arus pasang dapat

terpenetrasi dan terakumulasi di dalam tanah (Pezeshki dkk., 2000). Minyak mentah adalah

campuran senyawa hidrokarbon yang terbentuk berjuta tahun silam, yang berasal dari fosil

tumbuhan, hewan, atau plankton selama jutaan tahun di dalam tanah atau pun di dasar lautan

(Wymer, 1972).

Untuk mengatasi tumpahan minyak mentah, telah ditempuh banyak metode, baik metode

fisika, kimia, maupun bioremediasi. Metode fisika memiliki beberapa kelemahan seperti

banyaknya tenaga manusia yang dibutuhkan untuk membuang minyak secara manual

(Hozumi dkk., 2000), pembakaran polutan yang menyebabkan polusi udara (Gogoi dkk.,

2003), atau matinya tumbuh-tumbuhan pesisir akibat aktivitas pengumpulan minyak

(Kiesling dkk., 1988; OTA, 1990; Owens dkk., 1993a dalam Pezeshki dkk., 2000). Hal

serupa juga terjadi pada metode kimia. Zat-zat kimia yang digunakan untuk menanggulangi

tumpahan minyak sering kali jauh lebih beracun daripada minyak itu sendiri (Burridge dan

Shir, 1995 dalam Wrabel dan Peckol, 2000).

PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH

Bioremediasi adalah aplikasi dari prinsip-prinsip proses biologi untuk mengolah air tanah,

tanah, dan lumpur yang terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya (Cookson, 1995). Tujuan

akhir bioremediasi adalah memineralisasi kontaminan, yaitu mengubah senyawa kimia

berbahaya menjadi kurang berbahaya seperti karbon dioksida atau beberapa gas lain, senyawa

anorganik, air, dan materi yang dibutuhkan oleh mikroba pendegradasi (Eweis et al., 1998).

Untuk rancangan bioremediasi memerlukan estimasi jumlah zat (termasuk nutrien) yang

harus diberikan ke bioreaktor atau ke bawah-permukaan laut atau ke tanah untuk in-situ

treatment. Perhitungan ini menjadi dasar bagi penentuan ukuran fasilitas-fasilitas proses,

seperti perpipaan, pompa, kontrol emisi, penyimpanan bahan kimia yang digunakan, dan

biaya. Jumlah total dan laju pemberian (rate of delivery) zat ini diproyeksikan sebagai

penerima elektron, pemberi elektron, substrat primer, kontrol pH, dan penambahan nutrien

(Cookson,1995).

Page 36: Bioremediasi

Semua reaksi biologis yang menghasilkan energi merupakan reaksi redoks dalam hal ini

oksidasi senyawa organik kontaminan akan membebaskan sejumlah elektron. Senyawa

organik ini sering disebut sebagai pemberi elektron (electron donor). Oleh karena itu, dalam

proses bioremediasi, harus tersedia senyawa yang akan menerima elektron ini (electron

acceptor) dalam jumlah yang cukup dan tipe yang sesuai. Beberapa penerima elektron yang

lazim dikenal adalah oksigen, nitrat, sulfat, karbon dioksida, dan sejumlah senyawa organik

(Cookson, 1995).

Metode bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman

bagi lingkungan (Prince dkk., 2003). Selain itu, metode ini juga bisa dipadukan dengan

metode fisika maupun kimia (Boopathy, 2000). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan

dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai

ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di

mana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien

dan/atau mengubah habitat (Venosa dan Zhu, 2003). Meskipun teknik bioremediasi belum

terlihat efektif untuk menangani pencemaran minyak pada perairan terbuka, tetapi metode ini

efektif untuk membersihkan tumpahan minyak pada lingkungan pantai (Munawar dan

Mukhtasor, 2005).

KONSEP TEORITIS

1.

Wrabel dan Peckol (2000) melakukan eksperimen laboratorium untuk mempelajari

efektivitas pemakaian nutrien (N dan P) pada populasi mikroba laut asli sebagai teknik

bioremediasi untuk merespons tumpahan minyak di sepanjang pantai Atlantik Utara sebelah

barat yang beriklim sedang. Di mana pemakaian nutrien (N dan P) sebagai teknik

bioremediasi akan mengatasi pengaruh racun minyak pada alga coklat F. vesiculosus tanpa

mengakibatkan peningkatan pertumbuhan makroalga. Analisis sampel dengan menggunakan

kromatografi gas menunjukkan adanya penguraian minyak yang lebih besar oleh mikroba

pada lingkungan yang diperkaya nutrien bila dibandingkan dengan lingkungan yang tidak

diperkaya nutrien.

1.

Page 37: Bioremediasi

Prince dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemakaian nutrien larut terbukti menjadi cara

yang efektif dan ramah lingkungan dalam menstimulasi biodegradasi minyak pada Pantai

Arktik (pantai di daerah kutub utara). Pemakaian nutrien organik akan diikuti oleh

peningkatan konsumsi oksigen, evolusi karbon dioksida, biomassa mikroba, dan

meningkatkan secara signifikan biodegradasi minyak.

1.

Pelletier dkk. (2004), yang melakukan penelitian bioremediasi minyak mentah pada

sedimen intertidal sub-Antartika, menunjukkan bahwa pupuk kompos tulang ikan yang

dilengkapi dengan urea, fosfor anorganik, dan surfaktan lipidik terbukti mampu menguraikan

hidrokarbon minyak bumi secara efektif dalam waktu tiga bulan. Bahkan campuran tersebut

jauh lebih efektif dari pada INIPOL, suatu pupuk urea. Dari dua penelitian ini (Barahona

dkk., 2004 dan Pelletier dkk., 2004) membuktikan bahwa nutrien organik terbukti efektif

dalam menguraikan minyak baik di sedimen laut maupun di daratan.

PROSEDUR APLIKASI DAN PENGEMBANGAN

Dalam banyak percobaan lapangan, metode bioaugmentasi terbukti kurang efektif, mengingat

kondisi isolasi bakteri yang tidak sama dengan kondisi lapangan. Sebaliknya, banyak

percobaan laboratorium maupun lapangan yang menunjukkan keberhasilan biostimulasi

(Venosa dkk., 1992; Lee dan Levy, 1987; Tagger dkk., 1983; Simon dkk., 1999 dalam

Venosa dan Zhu, 2003). Hanya saja, dalam metode biostimulasi ini, kondisi dan komposisi

penambahan nutrien yang paling optimal masih belum ditemukan. Kebanyakan mereka

menyatakan bahwa jenis dan konsentrasi nutrien optimal sangat bervariasi tergantung

properti minyak dan kondisi lingkungan (Venosa dan Zhu, 2003). Mengenai jumlah nutrien

yang harus ditambahkan, misalnya, hanya ada sedikit kesepakatan di antara para peneliti

(Head dan Swannel, 1999). Percobaan mengenai jenis nutrien yang paling tepat untuk

ditambahkan pada proses biostimulasi masih belum banyak dilakukan, dan usaha untuk

melihat kemungkinan sumber nutrient dari kompos sejauh ini belum ditemukan dalam

literatur. Sumber nutrient yang digunakan ini bersumber dar kompos.

Cara Kerja dan Variabel

Page 38: Bioremediasi

Jika dilakukan sejumlah t perlakuan sebanyak n kali untuk setiap perlakuan, maka rancangan

acak lengkap membutuhkan alokasi nt percobaan secara acak kepada nt satuan percobaan.

Dengan melakukan pengacakan, maka alokasi eksperimen maupun urutan eksperimen yang

akan dilakukan bisa ditentukan secara acak. Metode statistika mensyaratkan agar observasi

(atau galat) terdistribusi secara merata. Pengacakan menjadikan syarat ini terpenuhi

(Montgomery, 2001).

Metode percobaan ini merujuk dari percobaan yang dilakukan Delille dkk. (2004). Percobaan

ini terdiri atas 19 petak percobaan, yaitu 18 petak perlakuan dan 1 petak kontrol. Variabel

bebas pada percobaan ini terdiri atas pemberian berbagai dosis nutrien organik (0,2; 0,3; dan

0,4 kg/petak tanah) dan perlakuan dibalik dan tidak dibalik, masing-masing perlakuan

diulang sebanyak tiga kali. Variabel terikat pada penelian ini adalah jumlah total bakteri

tanah (cfu/g tanah), kadar minyak dalam tanah (g/kg tanah), dan bioremediasi minyak (%),

pengacakan perlakuan di lapangan dengan cara diundi.

Pengukuran Respons

Pada masing-masing petak ditumpahkan minyak mentah sebanyak 1 liter, 3 hari kemudian

pada masing-masing petak tersebut diberi nutrien organik dan dibalik atau tidak dibalik

sesuai dengan perlakuan percobaan. Pengukuran jumlah total bakteri tanah (cfu/g) dan

konsentrasi polutan minyak (kg/kg tanah) dilakukan secara berkala dengan mengambil

sampel tanah setiap petak pada minggu ke-2, ke-4, dan minggu ke-6. Pengukuran pada setiap

petak secara periodik merupakan respons percobaan yang diteliti. Data yang diperoleh

kemudian diuji statistik dengan ANOVA, apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT

(Beda Nyata Terkecil) dan uji Duncan pada taraf 5%.

KESIMPULAN

Penambahan nutrien organik pada bioremediasi tumpahan minyak mentah mampu

menstimulasi pertumbuhan mikroba tanah. Dalam waktu tertentu, bioremediasi dengan teknik

ini mampu menurunkan konsetrasi minyak. Secara umum, hasil percobaan ini menunjukkan

bahwa bahan organik memberikan indikasi yang baik untuk digunakan sebagai sumber

nutrien pada proses bioremediasi tumpahan minyak dengan metode biostimulasi.