biokimia utama

Upload: asrianti-situmorang

Post on 11-Jul-2015

962 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

UJI WIDAL

Apakah Uji Widal itu ? Uji Widal adalah uji aglutinasi yang menggunakan suspensi kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dalam serum pasien.

Indikasi

Demam TifoidSpesimen

Serum pasienAntigen yang Dipergunakan1. Antigen H (antigen flagelar) Salmonella typhi 2. Antigen O (antigen somatik) Salmonella typhi 3. Antigen PA (antigen Salmonella paratyphi A) 4. Antigen PB (antigen Salmonella paratyphi B)

Beberapa Cara Cara klasik1. Uji Widal Lempeng (Slide Agglutination Test/SAT) 2. Uji Tabung (Tube Agglutination Test/TAT)

Cara Stokes Uji Widal dengan microtiter plate U

Rincian Cara Klasik Uji TabungTabungLarutan garam fisiologis (ml)

1 0.9

II 0.5

III 0.5

IV 0.5

V 0.5

Serum pasien (ml) Suspensi antigen (ml

0.1

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

Titer antibodi

1/10 1/20 1/40 1/80 1/160

Keterangan 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien Tabung I dipindahkan ke Tabung II 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien Tabung II dipindahkan ke Tabung III dan seterusnya kocok inkubasi (37oC, 24 jam)

Keterangan Tabung kontrol (+) : larutan garam fisiologis +

serum pasien + suspensi antigen aglutinat harus kelihatan Tabung kontrol (-) : larutan garam fisiologis + suspensi antigen aglutinat tidak kelihatan

Keterangan

aglutinat : hasil aglutinasi Yang diperhatikan : AGLUTINAT !Cara Menentukan Titer AntibodiTabung 1 Titer 1/10 1/201/40 1/801/160 +Deretan Tabung +

II ++

III +

IV -

V -

VI -

+

+

+

+

+

-

Cara Menentukan Titer Antibodi + : aglutinat kelihatan - : aglutinat tidak kelihatan Perhatikan : tabung terakhir dengan aglutinat + ! kesimpulan : 1. deretan tabung I titer 1/20 2. deretan tabung II titer 1/40

3. deretan tabung III titer 1/160

Dari mana titer 1/10 pada Tabung I ?

Tabung I 1. solut = 0,1 ml serum pasien, solven = 0,9 larutan garam fisiologis 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/1,0 = 1/10 2. kesimpulan : Titer Tabung I = 1/10Dari mana titer 1/20 pada Tabung II ? 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien Tabung I (titer 1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis Tabung II Tabung II mempunyai titer 1/20 dan seterusnya

Apakah arti/makna titer 1/10 atau titer antibodi 1:10 ?

di dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi tambahan : semakin tinggi titer merupakan indikator semakin tinggi pula respon antibodiKapan Uji Widal dianggap positif ?

tergantung acuan yang dipakai atau, dengan kata lain, tergantung Pedoman Diagnosis dan Terapi yang menjadi acuan !Bagian Pediatri dan Interna FKU-UAB

Uji Widal disebut positif apabila 1. pemeriksaan lab I pemeriksaan lab II : 4x atau 2. titer 1/200

Bagian Interna UPH Uji Widal dianggap positif apabila 1. titer O pada pemerikaan lab I 1/320 atau 2. titer O pada pemeriksaan lab I pemeriksaan lab II : 4x atau 3. titer O pada pemeriksaan lab I (-) titer O pada pemeriksaan lab II (+) (tidak peduli titernya !)

Keterangan tambahan

jangka waktu dari pemeriksaan lab I dengan pemeriksaan lab II : 57 hari (kurang lebih 1 minggu) titer antibodi 1. minggu II : mulai naik 2. minggu V/VI : puncak

Keterangan tambahan antibodi 1. dapat dideteksi sampai dengan beberapa minggu setelah gejala klinis Demam Tifoid menghilang 2. dijumpai setelah demam berlangsung 1 minggu, antibodi O dahulu, setelah itu baru antibodi H 3. kadang-kadang terdeteksi setelah sembuh (pada anak)

REAKSI ANTIGEN ANTIBODIGuna memperdalam keilmuan kita tentang kekebalan pada ternak, maka teori antigen-antibodi penting untuk dipelajari. Antigen adalah zat-zat asing yang pada umumnya merupakan protein yang berkaitan dengan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Beberapa berupa olisakarida atau polipeptida, yang tergolong makromolekul dengan BM > 10.000. Antigen bertindak sebagai benda asing atau nonself oleh seekor ternak dan akan merangsang timbulnya antibodi. Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen tersebut. Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang cocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya. Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis limfosit yang berperan, yaitu limfosit B dan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabricius pada unggas, sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan jaringan limfoid dalam dinding usus. Pendewasaan limfosit T terjadi di organ timus. Sistim kebal atau imun terdiri dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kebal humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi g- globulin. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah. Sistim humoral merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab). Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan seluler disebut juga respon yang diperantarai sel. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh ternak maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Kalau antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka respon yang muncul dari tubuh berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat , lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun primer.

ImunisasiImunisasi adalah cara untuk membuat ternak kebal terhadap penyakit menular. Imunisasi dibagi menjadi dua macam yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Kedua macam imunisasi tersebut berbeda dalam beberapa aspek berdasarkan cara memperolehnya, sifat resistensi yang dihasilkan, cepat lambatnya kemunculan antibodi maupun katabolismenya. Imunisasi Pasif Imunisasi pasif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh ternak dengan cara memindahkan antibodi dari ternak resisten kepada ternak yang.rentan. Ternak rentan tidak perlu secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi kebal, di

dalam tubuh terna ktidak terjadi reaksi antara antigen dengan antibodi. Resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi perlindungan yang cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga ternak resipien menjadi rentan kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel ingatan yang akan melindungi ternak apabila antibodi telah habis. Pada ayam, imunitas pasif diturunkan dari induk kepada anak ayam melalui kuning telur. Contoh-contoh imunisasi pasif, antara lain adalah (1) antibodi dalam kolustrum yang diberikan oleh induk sapi kepada pedet yang baru lahir. (2) antibodi yang diberikan induk ternak lewat plasenta saat fetus masih dalam kandungan. (3) antitoksin tetanus yang diberikan pada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap tetanus. (4) Antiserum anthrax yang diberikan kepada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap penyakit anthrax.

Imunisasi AktifImunisasi aktif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh pada ternak melalui pemberian antigen pada ternak sehingga ternak menanggapinya dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantaraan sel atau antibodi atau kedua-duanya. Pada imunisasi aktif, kekebalan tidak terbentuk secara cepat, namun sekali terbentuk akan bertahan lama dan terbentuk sel ingatan, sehingga memiliki kemampuan perangsangan ulang. Imunitas aktif bisa diperoleh melalui infeksi alami atau buatan dengan vaksinasi. Imunitas aktif bisa dirusak oleh sesuatu yang berdampak negatif terhadap sistim kebal humoral maupun seluler yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh ternak berespon terhadap antigen.

Deteksi Virus Den pada Monosit dengan Uji Streptavidin Biotin untuk Diagnosis Dini Penyakit Demam Berdarah DengueDetektion antigen virus den on monocyts by streptavidin biotin test as early diagnostic for dengue fever haemorhagicPENDAHULUAN Demam Berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia, karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang meningkat dan merupakan penyebab utama perawatan penderita di Rumah Sakit dan kematian anak-anak. (Gubler,1998;Sumarmo,1998) Patogenesis DBD dan Dengue Syock Syndrome ( DSS) masih merupakan masalah yang kontroversial, 2 teori yang banyak dianut ialah Secondary Heterologous Infection atau terjadinya Antibody Dependent Enhancement/ADE yang menyatakan secara tidak langsung bahwa penderita yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heteroloog, mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita DBD/DSS.

Infeksi dengue ( virus DEN ) manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari yang asimptomatik, demam ringan yang tidak spesifik, DBD hingga DSS.( Nimmannitya,1993; Nimmannitya,1996;WHO,1997; Sutaryo 1998, Wuryadi,1999; DBD dan DSS merupakan bentuk yang lebih berat di banding bentuk lainnya, yang dapat menyebabkan syock dan kematian. (Halsteadt,1990;Nimmannitya,1993 ) Namun pada stadium awal dimana gejalanya kurang begitu khas sulit dibedakan, sehingga menyulitkan para klinisi dalam upaya menegakkan diagnosis dan penata laksanaannya (Faizi,1998). Diagnosis awal DBD umumnya ditegakkan berdasarkan kriteria WHO dan hasil pemeriksaan laboratoris yang konvensional ( pemeriksaan jumlah trombosit dan kadar hematokrit)., tapi hasilnya sangat tidak memuaskan. Perkembangan selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium penunjang dengan penentuan antibodi dengan uji hemaglutinasi inhibisi atau deteksi IgM dan IgG anti dengue, tetapi hasil posistif dibutuhkan interval waktu karena IgM baru positif setelah panas hari kelima juga hasil positif dapat dideteksi sampai beberapa bulan, disamping terjadi reaksi silang dengan golongan flavivirus yang lain. Saat ini cara terbaru untuk deteksi virus penyebab dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction/ RT-PCR dimana cara ini selain mahal membutuhkan alat khusus dan ketrampilan tertentu (Pangkalila,1997;Faizy, 1998). Penelitian ini memperkenalkan suatu cara pemeriksaan untuk mendiagnose penyakit DBD yang mudah, murah, cepat tapi handal yaitu dengan memeriksa antigen virus DEN yang ada dipermukaan monosit dengan cara immunositokimia dengan metode streptavidin biotin. Seperti diketahui bahwa uji imunositokimia adalah suatu uji diagnosis yang spesifik dan saat ini telah berkembang pesat berkat adanya antibodi monoklonal dan dapat digunakan untuk berbagai penelitian sebagai uji penunjang dalam menentukan diagnosis secara tepat adanya bentuk kelainan jaringan baik pada tumbuh-tumbuhan,hewan dan manusia (Wasito 1997). BAHAN DAN METODE 32 sampel darah dari penderita tersangka DBD yang berumur diatas 10 tahun, yang berobat ke Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta dari bulan Januari sampai Juni 2004. Diagnosis didasarkan kriteria WHO dari hasil pemeriksaan klinis melalui anamnesis, pemeriksaan laboratoris dengan pemeriksaan darah, meliputi pemeriksaan jumlah trombosit dan nilai hematokrit. Spesimen darah yang berupa darah vena dicampur dengan EDTA dan dibagi 2 bagian, 1 bagian

untuk pemeriksaan IgM dan IgG anti- dengue dan sisanya dilakukan isolasi monosit. Setelah diambil Buffycoatnya ( Periferal Blood Monocyt Cel/PBMC) dibuat preparat hapus tipis diatas decglass seperti membuat preparat darah tepi dan difixasi dengan aceton dan dikeringkan dalam udara terbuka. Setelah kering kemudian dicat dengan immunositokimia dengan streptavidin biotin dan setelah ditambah hematoxyllin kemudian diamati dibawah mikroskop. Hasil yang positif akan terlihat warna kecoklatan.Gambar 1. Skematis pemeriksaan virus DEN di permukaan monosit dengan uji immunositokimia dengan streptavidin biotin. 1) Antigen : Virus dengue pada monosit; 2) Antibodi primer : Mouse anti dengue kompleks antibodi monoklonal; 3) Antibodi sekunder : Biotynilated Goat Anti Polyvalent; 4) Labelisasi enzim: Streptavidin peroksidase; 5) Pewarna : Substrat chromogen

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 32 penderita klinis tersangka DBD setelah diketahui hasil pemeriksaan serologinya, maka untuk memudahkan analisa statistik dibagi 3 kelompok; pertama terdiri dari 18 penderita DBD dengan hasil pemeriksaan IgM anti dengue (+) dan IgG anti-dengue (+), dan kelompok kedua terdiri dari 7 penderita DBD dengan hasil pemeriksaan IgM anti-dengue (+) dan IgG anti-dengue (-) serta kelompok ketiga terdiri dari 7 penderita dengan hasil pemeriksaan IgM anti-dengue (-) dan IgG anti- dengue (-). Distribusi penderita berdasarkan Umur dan Jenis kelamin Dari tabel 1 dibawah ini, dilaporkan dari 32 penderita , penderita wanita yang berumur 10 20 tahun sebanyak 6 (18,75%), yang berumur 21-30 tahun sebanyak 9 (28,125%), yang berumur 31-40 tahun sebanyak 2 ( 6,25%) dan yang berumur 41-50 tahun sebanyak 3 ( 9,375%).Penderita pria yang berumur antara 10-20 tahun sebanyak 4 ( 9,375%), yang berumur 21-30 tahun sebanyak 6 (18,75%) dan yang berumur antara 31-40 tahun sebanyak 2 (6,25%) dan yang berumur 41-50 tahun sebanyak 1 (3,125%). Dari hasil distribusi DBD berdasarkan umur dan jenis kelamin terlihat disini penderita umur 21-30 tahun menunjukkan angka terbanyak, hal ini sesuai dengan kepustakaan ( Sugiyanto, 2004) yang menyatakan distribusi penderita DBD yang berumur 15 tahun keatas jumlahnya meningkat. Juga dapat dilihat bahwa ternyata distribusi penderita dengan jenis kelamin wanita lebih banyak dari pria, hal ini berbeda dengan beberapa kepustakaan yang menyebutkan pada umumnya pria dan wanita mempunyai perbandingan yang sama. Chan ( 1996) di Thailand menyebutkan bahwa penderita wanita dan pria di Filipina berbanding 1:1. Nimmanitya (1987) di Thailand menyebutkan meskipun kasus berat lebih banyak pada wanita, tetapi secara statistik tidak berbeda. Sutaryo (2004) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah kasus pria dan wanita. Dari tabel 2, distribusi penderita menurut gejala klinis terlihat bahwa gejala klinis penderita yang menonjol adalah adanya panas yang terus menerus kurang dari 7 hari, gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah dan gangguan perdarahan yang berupa RL (+), hal ini sesuai dengan kepustakaan yang ada.WHO (1997) yang menyebutkan bahwa fenomena perdarahan paling umum adalah test torniket positif, menurut Sutaryo ( 2004)

manifestasi perdarahan yang minimal adalah test torniket positif, sedangkan perdarahan yang berupa epistaxis hanya ditemukan pada beberapa kasus. Secara keseluruhan hasil uji serologi untuk mendeteksi adanya antibodi IgM dan IgG anti dengue pada penderita tersangka DBD dengan menggunakan metode rapid test diagnostik menunjukkan 32 penderita tersangka DBD didapatkan IgM anti-dengue(+) dan IgG anti-dengue(-) sebanyak 7 orang (21,875%), IgM anti-dengue(+) dan IgG anti-dengue (+) sebanyak 18 (56,25%) sedang sisanya 7 orang (21,875%) hasilnya IgM anti-dengue (-) dan IgG anti dengue (-)

Gambaran hasil uji Immunositokimia dengan streptavidin biotin pada ketiga kelompok penderita tersangka DBD berdasarkan hasil uji serologi IgM dan IgG anti-dengue sebagai uji diagnostik. Pada tabel 4 terlihat hasil uji serologi IgM dan IgG antidengue dan hasil uji immunositokimia dengan streptavidinbiotin. Untuk mengetahui apakah hasil uji immunositokimia ini dapat digunakan secara bermakna sebagai uji diagnostik untuk penderita tersangka DBD maka hasil uji immunositokimia ini dilakukan uji statistik terhadap ketiga kelompok diatas. Uji statistik yang digunakan uji chi square dengan harga sebesar p< 0,01 Gambaran hasil uji immunositokimia dengan streptavidin biotin pada dua kelompok penderita tersangka DBD berdasarkan hasil uji serologi IgM dan IgG anti-dengue untuk mengetahui validitasnya sebagai uji diagnostik DBD Untuk mengetahui apakah uji immunositokimia dengan streptavidin biotin untuk mendeteksi antigen virus dengue pada permukaan monosit dapat digunakan sebagai fasilitas penunjang untuk diagnosis penyyakit DBD, maka perlu dilakukan uji sensitivitas dan spesivititasnya dengan standard pembanding menggunakan hasil diagnosis klinis sesuai kriteria WHO yang ditunjang dengan pemeriksaan serologis IgM dan IgG anti- dengue. Hasil pengujian sensitivitas dan spesivisitas dapat dilihat pada tabel 5. Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, karena walaupun jumlah angka kematian sudah dapat ditekan, tetapi jumlah kasus secara keseluruhan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Suroso, 1997). Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai gejala yang paling berat yang dapat disertai dengan renjatan ( WHO, 1986; Soewandoyo, 1997).Kelompok penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis DBD menduduki jumlah yang paling besar dan kelompok ini epidemiologis sangat penting artinya karena dapat bertindak sebagai sumber penularan bagi orang disekitarnya (Syahrurahman dkk,1997). Demikian juga kelompok lain yaitu penderita klinis tersangka DBD apabila diagnosa tidak segera ditegakkan secara dini maka dapat menuju kearah lebih berat, mudah terjadi renjatan dan akhirnya dapat berakibat fatal karena terjadinya DSS. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka diagnose `pasti DBD penting sekali artinya, karena selain membantu penatalaksanaan dan pengelola kriteria WHO dan hasil

pemeriksaan laboratoris yang konvensional ditunjang dengan penentuan antibodi dengan uji hemaglutinasi atau deteksi IgM dan IgG anti- dengue. Secara teoritis apabila semua hasil pemeriksaan tersebut sudah didapatkan, maka diagnosis DBD dapat ditegakkan, namun dalam kenyataannya hasil inipun tidak segera didapat secara lengkap, kadang kala sampai berhari-hari dan spesivitas dan sensitivitasnya untuk deteksi IgM dan IgG anti dengue sering tidak memadai di lapangan. Hal ini tergantung dari derajat penyakitnya, kondisi , type/serotype virusnya maupun virulensinya ( Wuryadi, 1999). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari upaya baru unruk menegakkan diagnosis pasti DBD antara lain pemeriksaan kultur untuk mengisolasi virus penyebabnya atau melalui tehnik hibridisasi PCR, namun kedua metode ini meskipun dapat untuk menentukan diagnosis pasti masih banyak kendalanya, selain hasilnya terlalu lama diperoleh juga memerlukan peralatan canggih sehingga beayanya cukup mahal dan angka positivitasnya sangat bervariasi.(Myagostovich dkk, 1997).Demikian juga

Page 4SRI WAHYUNINGSIH Deteksi virus Den pada Monosit untuk diagnosis dini demam berdarah

177 saat ini bila disuatu daerah terjadi KLB ( Kejadian Luar Biasa) dari DBD, umumnya diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan serologis (deteksi IgM dan IgG anti-dengue) dan hasilnya sering tidak bisa diharapkan.Hal ini disebabkan pada saat penderita datang di rumah sakit kemungkinan belum terbentuk antibodi, atau hasil positif mungkin berasal dari penyakit yang terdahulu atau dapat disebabkan oleh infeksi flavivirus yang lain. Penelitian ini mendeteksi antigen virus yang terdapat pada permukaan monosit secara invitro dengan antibodi anti - dengue monoklonal dsn kompleks mengingat adanya virus DEN yang masuk pertama kali kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti, maka selama inkubasi virus akan masuk keperedaran darah dan terjadi viremia. Kejadian viremia pada infeksi dengue sangat pendek, dan target utama virus dengue adalah monosit dan virus dengue akan ditangkap oleh monosit karena monosit mempunyai reseptor pada permukaannya (Juffrie et al , 2000 ; Yun-Chi Chen, 2002) Pada tabel 1 berdasarkan umur dan jenis kelamin ternyata penderita DBD dapat mengenai semua kelompok umur, jenis kelamin dan secara uji statistik tidak ada perbedaan secara bermakna . Pada penelitian ini peneliti memilih penderita DBD umur 10 tahun keatas karena ada kaitannya dengan pengambilan sampel darah yang memerlukan jumlah darah sebanyak 10 cc, sehingga untuk penderita anak-anak sulit selain orang tuanya biasanya non kooperatif. Namun dari hasil penelitian ini ternyata sesuai dengan beberapa kepustakaan ( Gubler dkk, 1992; Soemarmo, 1992; Tongcharoen ,1993) yang menyebutkan penderita DBD pada orang dewasa telah meningkat, bahkan pada penelitian ini diketemukan juga 4 penderita pada orang tua ( umur lebih 40 tahun). Hubungan umur dan jenis kelamin dengan gejala klinis DBD untuk digunakan sebagai penunjang diagnosis DBD.

Selanjutnya berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini , kelompok wanita cenderung lebih banyak , menurut Sugiyanto (2004) jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan nyata diantara anak pria dan wanita. Juga menurut Sugiyanto (2004) beberapa negara melaporkan banyak kelompok wanita dengan DSS menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi dariu pada pria.Demikian juga berdasarkan gejala klinis yang ditemukan adanya gejala demam sebesar 32 orang (100%), muntah 22 orang (68,75%),uji torniket posistif 32 ( 100%), myalgia 25 orang ( 78,125%), nyeri kepala 14 orang (43,75%). Gejala ini merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita DBD dan berdasarkan uji statistik di daapatkan hasil tidak bermakna sehingga gejala klinis tidak dapat dipakai sebagai sarana pembantu untuk menegakkan diagnosis DBD.Oleh karena itu perlu dipoerkuat dengan sarana diagnosis penunjang lainnya. Hubungan hasil uji serologis antibodi antivirus dengueIgM dan IgG dengan hasil deteksi antigen virus pada monosit dengan immunositokimia menggunakan streptavidin-biotin dalam menegakkan diagnosis DBD. Untuk menentukan diagnosis DBD berdasarkan pemeriksaan klinis dan kemudian dilajutkan dengan uji serologis untuk konfirmasi,( pemeriksan antibodi antidengue yaitu IgM dan IgG) merupakan uji serologis rutin yang sering dilakukan oleh para klinisi di Rumah Sakit.Bila hasil IgM anti-dengue (+) dan IgG anti dengue (+) menunjukkan penderita DBD primer maupun sekunder, bila hanya IgM anti-dengue saja yang positif dan IgG antisdengue (-) menunjukkan penyakit DBD primer, sedangkan bila IgM anti-dengue maupun IgG anti-dengue negatif berasal dari penyakit demam lainnya atau non DBD. Berdasarkan data-data diatas, maka peneliti melakukan uji hipotesis dengan uji immunositokimia menggunakan streptavidin biotin kepada masing-masing kasus penderita tersangka DBD diatas.Hasil penelitian pada 32 penderita tersangka DBD menunjukkan bahwa 23 serum penderita DBD (71,88%) memberikan hasil uji streptavidin-biotin positif dan 9 serum penderita DBD ( 28,12%) menunjukkan hasil uji streptavidin-biotin negatif.Hasil uji streptavidin biotin terhadap 7 serum penderita non DBD didapatakan bahwa 5 serum ( 71,43%) menunjukkan hasil negatif dan 2 serum (28,57%) menunjukkan hasil positif. Selanjutnya dari 25 sampel serum penderita DBD dengan 7 serum penderita non DBD dengan uji Chi square ditemukan ada perbedaan secara bermakna. Artinya dengan pemeriksaan immunositokimia dengan streptavidin biotin dapat membedakan antara penderita DBD dengan penderita non DBD. Untuk mengetahui apakah uji immunositokimia dengan streptavidin biotin merupakan uji yang handal untuk dapat digunakan sebagai alat diagnosis DBD maka uji streptavidin - biotin ini perlu diketahui validitasnya sebagai uji diagnostik. Pada penelitian ini, untuk mengetahui validitas diagnostik dari hasil deteksi antigen virus pada permukaan monosit dengan pemeriksaan immunositokimia menggunakan streptavidin - biotin, maka berdasarkan pada tabel 2 x 2 , hasilnya akan dibandingkan terhadap kelompok sampel dari penderita DBD sesuai dengan kriteria WHO

ditunjang dengan hasil pemeriksaan serologi antibodi anti dengue IgM dan IgG dengan penderita demam lain non DBD sebagai non healthy control. IgM dan IgG antidengue (+) didapatkan hasil sensitivitasnya sebesar 88% dan spesivitasnya sebasar 85,71%. Hasil penelitian pada 25 serum penderita pada pengujian immunositokimia senggunakan streptavidin biotin didapatkan hasil negatif sebesar 3 orang ( 12%) hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain fixasi yang kurang baik menyebabkan antigennya rusak atau waktu menggores yang tidak tepat sehingga monosit berada dipinggir. Secara teoritis hasil false negatif maupun false positif kiranya tidak mungkin terjadi pada uji immunositokimia ini, karena pada uji immunositokimia ini dipergunakan antibodi yang spesifik dan sudah dilakukan kontrol reaqen, selain kontrol dengan serum yang berasal dari non healthy control .Untuk kontrol reagen peneliti tidak memberikan antibodi primer, dan ternyata hasilnya negatif dengan tidak terlihatnya warna kecoklatan pada monosit.Sehingga hasil negatif yang diperoleh dengan tidak terlihatnya warna kecoklatan betul betul hasil yang negatif bukan negatif palsu. Validitas uji immunositokimia untuk mendeteksi antigen virus dengue pada monosit menggunakan streptavidin biotin. Demikian sebaliknya pada 7 kasus penderita non DBD hasil pengujian immunositokimia menggunakan streptavidin biotin diketemukan hasil positif 1 orang ( 14,2%). Hasil positif kemungkinan disebabkan karena pada masa inkubasi sebelumnya virus dengue telah menyerang sel target monosit penderita, namun belum terbentuk IgM maupun IgG dalam serumnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa uji immunositokimia akan lebih cepat memberikan hasil untuk mengetahui adanya infeksi virus dengue, karena pada caracara pemeriksaan yang sekarang dipakai untuk menegakkan diagnosis masih mendasarkan adanya antibodi, sehingga hasilnya kadang negatif karena butuh waktu untuk menunggu munculnya antibodi anti - dengue tersebut.

DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN Ascaridia galli DENGAN IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen ekskretori/sekretori Ascaridia galli dengan metode imunohistokimia. Cacing A. galli dewasa dipotong secara melintang dan memanjang pada bagian kepala dan ekor. Jaringan tubuh A. galli yang dipotong diblok di dalam parafin dan preparat histologi dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Keberadaan antigen pada jaringan cacing A. galli dideteksi dengan uji imunohistokimia. Slide dihangatkan di dalam buffer sitrat pada temperatur 90-95oC. Aktivitas endogen dihambat

dengan H2O2 3% dan skim milk 0,1%. Slide diinkubasikan dengan antibodi primer imunoglobulin yolk (IgY) selama satu malam pada temperatur 4oC, dan antibodi sekunder anti-chicken IgY HRP-conjugat selama satu jam pada temperatur ruangan. Slide diwarnai dengan kromogen AEC, conterstain dengan Lillie Mayer Haematoxylin, dan ditutup di dalam genangan gliserin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antigen dapat dideteksi keberadaannya pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal antigen A. galli sehingga IgY tersebut dapat digunakan dalam imunodiagnostik. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, imunohistokimia ABSTRACT The purpose of the present study was to determine the presence of antigen in the Ascaridia galli. A. galli adult worms were cut in transversal and longitudinal by mean of cranial and caudal. The tissue of A. galli were blocked in paraffin and the histologic preparates were done by means of dehydration, clearing, infiltration and embedding in paraffin, section and staining. The antigen were detected with immunohistochemistry. Slides were warmed in citrate buffer at 90-95oC. Endogenous activities were blocked with 3% H2O2 and 0.1% skim milk. Slides were incubated with both primary antibody yolk immunoglobulin (IgY) for overnight at 4oC and secondary antibody rabbit anti-chicken IgY HRP-conjugate for one hour at room temperature. Slides were stained with AEC chromogen, counterstained with Lillie Mayer Haematoxylin, and mounted in glyserin aqueous mount. The result showed that antigen were able detected in cuticle and intestines of A. galli. This research concluded that IgY stimulated by the excretory/ secretory antigen of L3 stage was able to recognized A. galli antigen so the IgY could be applied for immunodiagnostic. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, immunohistochemistry

Page 255 PENDAHULUAN Metode deteksi antigen-antibodi telah banyak dikembangkan seiring dengan penemuan teknologi mutakhir dalam bidang biologi molekuler bersamaan dengan penemuan terbaru metode produksi antibodi spesifik terhadap antigen di dalam serum dan kuning telur (yolk). Kemajuan tersebut memberi kesempatan untuk membuat cara imunodiagnostik yang aman dan akurat (Motoi et al. 2005). Lehr et al. (1999) menyatakan bahwa kombinasi dari konsep-konsep imunologis dan histologis merupakan suatu jalan yang terbukti sangat berguna dalam biologi molekuler dan biomedis, terutama dalam analisis imunoserologis pada organ-organ dalam keadaan normal maupun patologik. Untuk tujuan tersebut telah digambarkan pendekatan kuantitatif sejak abad terakhir ini, misalnya oleh Ehrlich dan Landsteiner sebagai pelopor-pelopor dalam pengembangan teknik ini. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Pada penelitian ini, metode imunohistokimia ditujukan untuk mendeteksi antigen cacing A. galli dengan menggunakan IgY yang dipicu oleh antigen ekskretori/sekretori stadium

L3 A. galli sebagai antibodi primer sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Motoi et al. (2005) membuktikan bahwa IgY yang dipicu oleh antigen virus rabies dapat digunakan pada uji imunohistokimia yang sangat rektif mengenal antigen rabies pada sitoplasma sel-sel neuron (sel syaraf) dari ganglion trigeminal jaringan otak tikus. Imunohistokimia diartikan sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigenantibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas warna yang terbentuk maupun gambaran kuantitatif. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksikan komponen sel, biomakromolekul seperti protein, karbohidrat (Lehr et al. 1999; Ding dan Candido 2000; Nagano et al. 2004; Yarim et al. 2004; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005).

Page 356 Kemajuan teknologi yang telah dicapai untuk produksi imunoglobulin yolk (IgY) yang mudah dan efisien membuka peluang pemanfaatan IgY dalam berbagai uji imunodiagnostik dan pencegahan penyakit infeksi. IgY telah dimanfaatkan untuk mencegah diare dan karies pada gigi (Soejoedono et al. 2005), dan untuk mencegah rabies (Motoi et al. 2006; dan Paryati 2006). IgY dapat dimanfaatkan untuk imunodiagnostik melalui uji imunohistokimia (Motoi et al. 2005) dan uji ELISA (Paryati 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dengan menggunakan IgY terhadap ekskretori/sekretori A. galli melalui uji imunohistokimia. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Patologi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 2 bulan dari bulan Juni sampai dengan Juli 2007. Rancangan Penelitian Cacing A. galli dewasa dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 5 m. Preparat objek ditetesi antibodi primer terhadap ekskretori/sekretori A. galli, antibodi sekunder (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken). Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, dan kromogen 3-amino-9-ethyl-carbazole (AEC). Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass yang digenangi dengan gliserin. Visualisasi endapan berwarna (kromogranin) yang terbentuk diamati di bawah mikroskop yang menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999). Uji Imunohistokimia Preparat histologi jaringan tubuh cacing A. galli dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Jaringan diblok di dalam parafin dan disimpan di dalam lemari es

Page 457

agar parafin menjadi lebih keras sehingga memudahkan pemotongan. Cacing A. galli dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 5 m dengan mikrotom. Sayatan jaringan diapungkan diatas air hangat pada temperatur 60oC dan dilekatkan pada gelas objek. Parafin dihilangkan dengan xylol (III, II, dan I) masing-masing selama 3 menit. Rehidrasi dilakukan dengan cara merendam preparat objek secara bergantian dalam alkohol konsentrasi 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit. Preparat objek dicuci (clearing) dengan diionized water selama 15 menit. Peroksidase endogen dihilangkan dengan H2O2 3% selama 20 menit dan skim milk 0,1% selama 30 menit, dibilas dengan diionized water dan PBS masing-masing 3 kali 5 menit (Yarim et al. 2004). Slide (preparat objek) ditetesi antibodi primer IgY terhadap ekskretori/sekretori A. galli secara merata. Antibodi primer yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil purifikasi IgY dengan metode fast performans liquid chromatografi (FPLC) di dalam kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Preparat objek dimasukkan ke dalam kotak preparat (humidity chamber) diberi kertas tissue yang ditetesi dengan PBS untuk menjaga kelembaban, dimasukkan ke dalam lemari es pada temperatur 4oC selama satu malam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi antibodi sekunder (IgY conjugate HRP rabbit anti-chicken, Promega), diinkubasi pada temperatur ruangan selama satu jam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 30 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS (Ding dan Candido 2000; Inoue et al. 2003; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005). Preparat objek ditetesi kromogen AEC, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 3 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata selama satu menit dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan gliserin. Imunoreaktivitas positif dievaluasi di bawah mikroskop dengan lensa objektif 40 kali. Visualisasi endapan berwarna (kromogranin) yang terbentuk menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999).

Page 558 HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi poliklonal IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal keberadaan antigen cacing A. galli. Kompleks antigen-antibodi ditunjukkan oleh reaksi positif yang ditandai munculnya warna jingga kontras pada potongan melintang dan memanjang pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli (Gambar 12). Gambar 12. Reaksi positif uji imunohistokimia terhadap antigen A. galli Keterangan: A = potongan melintang (20x), B = potongan memanjang (10x). Panah tebal = kutikula, Panah tipis = saluran cerna

B

A20 m 20 m

Page 659 PEMBAHASAN Teknik polymer peroxidase merupakan teknik yang banyak digunakan. Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas produk warna yang terbentuk (Lehr et al. 1999). Pembentukan kompleks reaksi antigen-antibodi tersebut berlangsung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13. Kompleks antigen-antibodi pada teknik polimer peroksidase Untuk mendeteksi peroksidase, ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan endapan berwarna (kromogranin) pada suatu reaksi sehingga produk dapat tervisualisasi. Tujuan umum teknik imunohistokimia adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi komponen struktur dan fungsi sel, oleh karena itu kompleks antigen-antibodi yang terjadi harus dilabel dengan suatu cara khusus agar dapat tervisualisasi. Substansi yang cocok untuk melabel kompleks tersebut adalah yang memberikan reaksi warna yang tegas. Kromogen yang digunakan pada reaksi yang berperoksidase adalah AEC sehingga reaksi berlangsung seperti yang terlihat pada Gambar 14. Peroksidase H2O2 Endapan merah jambu (kromogranin) AEC Gambar 14. Reaksi pembentukan produk berwarna P

Page 760 Penambahan AEC tidak akan menghasilkan kromogranin tanpa adanya H2O2 dan peroksidase. Antibodi primer akan bereaksi/berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi, selanjutnya antibodi yang dilabel dengan peroksidase akan bereaksi dengan antibodi primer tersebut. Sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-antibodi. Pada penelitian ini, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk pada kutikula dan sepanjang saluran cerna cacing A. galli menghasilkan warna jingga kontras (Gambar 12). Lehr et al. (1999) melaporkan bahwa uji imunohistokimia terhadap karsinoma sel-sel tumor epitel pada itik membentuk dua warna yang kontras. Warna turquoise (biru hijau) adalah representasi positif sitokeratin sel-sel tumor sedangkan warna pink (merah jambu) adalah representasi positif vimentin stroma. Teknik imunohistokimia adalah salah satu metode imunokimiawi yang sudah dikembangkan pada imunodiagnostik penyakit parasitik. Yarim et al.

(2004) menyatakan bahwa uji imunohistokimia dapat mendeteksi keberadaan enzim 3-hydroxysteroid-dehidrogenase (3-HSD) pada bradyzoit yang menutupi sarcocysts di dalam otot skelet domba sebagai inang intermediet Sarcocystis spp. Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa antibodi primer dapat mengenal antigen cacing Clonorchis sinensis yang berlokasi pada sel-sel epitel intestinal cacing dewasa dan pada telur intrauterin. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori larva L3 A. galli dapat mengenal antigen yang berada pada kutikula dan saluran cerna A. galli. SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui kemungkinan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 dan atau IgY dapat mengurangi kelangsungan hidup A. galli perlu dilakukan penelitian secara in vivo dan in vitro.

MUNOHISTOKIMIAImunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi protein di dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi dan antigen pada jaringan hidup. Pengecatan imunohistokimia banyak digunakan pada

pemeriksaan sel abnormal seperti sel kanker. Molekul spesifik akan mewarnai sel-sel tertentu seperti sel yang membelah atau sel yang mati sehingga dapat dibedakan dari sel normal. Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan. Umumnya jaringan yang berasal dari tubuh akan dipotong menjadi potongan yang sangat tipis dengan menggunakan alat yang disebut vibrating microtome. Beberapa contoh imunohistokimia yang banyak digunakan antara lain :

Carcinoembryonic Antigen (CEA) mengidentifikasi adenocarcinoma. Sifat kurang spesifik. Cytokeratins mengidentifikasi carcinoma, namun dapat pula member hasil positif pada kasus sarcoma. CD 15 dan CD 30 digunakan untuk penyakit Hodgkin Alpha Fetoprotein untuk tumor yolk sac dan kanker sel hati CD 117 (KIT) untuk tumor gastrointestinal stromal Prostate Spesific Antigen (PSA) untuk kanker prostat Estrogen dan progesteron mendeteksi sel tumor CD 20 mengidentifikasi limfoma sel B CD 3 mengidentifikasi limfoma sel T

Imunohistokimia merupakan suatu teknik penentuan keberadaan (lokasi) antigen (protein target) dalam jaringan atau sel menggunakan reaksi antigen-antibodi. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Histoteknik dijelaskan pada mata kuliah lain. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia. Interaksi antara antigen dan antibodi adalah reaksi yang tidak kasat mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan melabel antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim (yang dipakai untuk melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang terang). Imunohistokimia yang menggunakan fluorokrom untuk melabel antibodi, dapat langsung diamati (tanpa direaksikan lagi dengan kemikalia yang menghasilkan warna) di bawah mikroskop fluorescence.

Teknik lmunodiagnostik dalam Masyarakat I. Prinsip-prinsip dasar teknik imunodiagnostik RINGKASAN Teknik imunodiagnostik berdasarkan reaksi antigen dan antibodi banyak digunakan dalam bidang pertanian, kesehatan dan pengawasan lingkungan. Dalam tulisan ini dibahas prinsip-prinsip dasar teknik imunodiagnostik, terutarna aspek kimiawinya. Selain itu juga dibahas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil reaksi tersebut

PENDAHULUAN Salah satu teknik yang banyak digunakan dalam bidang kesehatan serta pengawasan mutu bahan pangan dan hasil olahannya ialah teknik imunodiagnostik. Teknik imunodiagnostik cukup luas dan bervariasi, semuanya berdasarkan reaksi sistim kekebalan dalam tubuh manusia yang diaplikasikan secara in vitro (1) . Imunoassay merupakan salah satu teknik imunodiagnostik paling banyak digunakan. Teknik ini berdasarkan reaksi kimia antara dua jenis analit (antigen dan anti bodi) yang dapat rnemberi hasil bervariasi bergantung indikatornya. Sebagai indikator biasanya digunakan bahan radioaktif biasanya yodium 125 (radioimmunoassay/RIA), sistim enzim -substrat tertentu seperti peroksidase-kloronaftol, fosfatase-bromo-kloro-indolinfosfat, zat golongan fuorokrom atau fluoresen don lain-lain Reaksi antigen dan antibodi in vitro Reaksi antigen (Ag) don antibodi (Ab) dapat dinyatakan sebagai berikut : Ag-Ab Ag + Ab Ag-Ab (kompleks antigen-antibodi) dengan K = (Ag) x (Ab) Berdasarkan prinsip ini, sistim reaksi dapat dikategorikan menjadi reaksi dengan antibodi berlebih (tipe 1): Ag+Ab Ag-Ab+Ab berlebih; dan reaksi dengan antigen berlebih (tipe 2), yaitu: Ag + Ab Ag - Ab + Ag berlebih (2) . Reaksi tipe 1 kurang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang depat mempengaruhi kinetika reaksi seperti jarum dan urea, selain itu lebih sensitif jika dibandingkan dengan reaksi tipe 2. Reaksi tipe 2 dipengaruhi oleh pelabelan antigen; karena umumnya antigen terdapat dalam jumlah sedikit dalam bahan yang diuji, maka tipe 2 kurang populer jika dibanding dengan tipe 1 (4) . Selain prinsip reaksi kimianya, sistim imunoassay juga dapat dilakukan (diformat) dalam dua sistim, yaitu sistim heterogen yang memerlukan pemisahan dan sistim homogen yang tidak memerlukan pemisahan reaktan pasta reaksi. Pada sistim heterogen, sifat label sebelum dan sesudah reaksi tetap sama, jadi perlu pemisahan komponen reaktan yang berlebih dengan kompleks Ag-Ab yang terbentuk, sebab kuantitas kompleks ini yang akan dihitung. Pada sistim homogen, sifat label sebelum dan sesudah reaksi sangat berbeda, jadi tidak

perlu lagi pemisahan komponen reaktan secara fisis (5) . Berdasarkan mekanisme reaksinya, sistim imunoassay dapat dikategorikan menjadi assay kompetitif dan non kompetitif, sistim terakhir ini prinsip dasarnya sama dengan prinsip peran substrat-inhibitor dalam reaksi enzimatis (6) . Gabungan dari sistim di etas menghasilkan produk-produk imunodiagnostik komersial dengan enam model reaksi dasar (7) . Keenarn model tersebut ialah : 1) Assay kornhetitif meuggoncrkan antigen terlabel (Gambar 1) bertujuan mendeteksi antigen dengan konsentrasi antibodi yang terbatas dan mengunakan antigen serupa yang dilabel sebagai kompetitornya. Nilai yang diukur biasanya kompleks Ag-Ab. Karena sifatnya kompetitif maka antibodi yang sudah mengikat antigen alami tidak mampu lagi mengikat antigen terlabel. Dengan menggunakan antibodi yang spesifisitasnya tinggi, assay ini dapat mendeteksi 210 -15 Mol. antigen dalam contoh bahan r 1. Reaksi model 1: Suatu assay kompetitif dengan antigen (E-L) terlabel enzim dan antigen tidak terlabel (L) berkompetisi untuk mendapat tempat di molekul antibodi yang terbatas dan terikat (immobilized) pada suatu fasa padat

Berbagai Pemeriksaan Imunologi untuk Menunjang Diagnosa dr. Siti Boedina Kresno Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi dan imunokimia membuka jalan bagi kinik untuk secara luas menerapkan pemeriksaan laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosa dan sebagai pedoman

penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan imunologi dalam menunjang diagnosa tersebut dibagi dalam dua golongan 1 , yaitu : I. pemeriksaan imunologi untuk menentukan kompetensi imunologik baik pada orang normal maupun pada kelainan respons imunologik. II. pemeriksaan imunologi yang dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik. Dalam makalah ini penulis membatasi diri pada prinsip-prinsip imunodiagnostik in vitro yang pada saat ini telah dapat dilakukan di laboratorium Patologi Klinik FKUI/RSCM. Disamping itu akan dikemukakan pula beberapa tes untuk menguji respons imunologik seluler yang sepengetahuan penulis telah dapat dilakukan di laboratorium laboratorium tertentu di Indonsia. Pada bagian lain tulisan ini akan dikemukakan prinsipprinsip berbagai tes imunokimia yang selain dapat dipakai untuk menguji respons imunologik humoral juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik. I. Pemeriksaan untuk menilai fungsi imunologik. Untuk memudahkan Bellanti ' membagi pemeriksaanpemeriksaan ini dalam 3 golongan, yaitu tes untuk menguji respons imunologikc non spesifik (primer), spesifik (sekunder) dan yang mengakibatkan kerusakan jaringan (tertier). 1. Tes untuk menguji respons imunologik nonspesifik menggambarkan respons tubuh terhadap benda asing secara nonspesifik, baik berupa reaksi inflamasi maupun reaksi fagositosis. Yang dapat dilakukan in vitro diantaranya adalah

hitung jumlah leukosit danhitung jenis, penetapan laju endap darah, dan penetapan CRP untuk reaksi inflamasi, serta penetapan NBT (nitroblue tetrazolium) untuk reaksi fagositosis. 2. Tes untuk menguji respons imunologik spesifik (sekunder) dapat pula digolongkan dalam jenis-jenis tes untuk menguji respons imunologik seluler d an jenis-jenis tes untuk menguji respons imunologik humoral. Uji respons imunologik seluler. Diantara uji respons imunologik seluler yang sudah sering dilakukan adalah penentuan jumlah limfosit T dan B, uji hambatan migrasi leukosit atau makrofag (LMI) dan stimulasi limfosit. 2 ,3 Tahap pertama yang diperiksa adalah jumlah limfosit secara absolut. Adanya limfopenia mengarahkan pikiran kita kepada imunodefisiensi. Tahap selanjutnya adalah penentuan jumlah masing masing populasi limfosit. Limfosit T dan B dapat dibedakan satu dari yang lain berdasarkan surface markers limfosit T dan B yang berbeda. Limfosit B pada permukaannya menunjukkan imunoglobulin sehingga apabila direaksikan dengan anti-imunoglobulin yang telah ditandai (label) dengan zat warna fluorescein atau zat warna lain dapat dibihat sebagai limfosit yang berfluoresensi dan dapat diperlcsa dibawah mikroskop fluoresensi.

Limfosit T mempunyai sifat yang khas yaitu dapat membentuk roset dengan eritrosit domba secara spontan suatu sifat yang tidak dipunyai oleh limfosit B. Dengan menghitung berapa persen limfosit yang berfluoresensi dan berapa yang membentuk roset dapat diketahui jumlah limfosit B dan T dalam darah perifer seseorang. Dalam keadaan normal jumlah limfosit B adalah 1--15% sedangkan limfosit T 75--85%. 1 Selebinya merupakan limfosit non--T non--B, termasuk diantaranya sel K atau sel Null dan sel NK (natural killer).

Uji hambatan migrasi leukosit adalah suatu tes berdasarkan kemampuan sel T untuk mengeluarkan zat-zat tertentu apabila dirangsang. Sel T penderita yang sensitif terhadap salah satu jenis antigen. Bila dikonfrontasikan dengan antigen itu, akan mengeluarkan berbagai zat (faktor). Salah satu faktor merupakan suatu zat yang dapat menghambat migrasi leukosit atau makrofag. 3 Prinsip tes ini adalah untuk mengukur migrasi leukosit yang diinkubasi dalam tissue culture medium limfosit yang berisi antigen tertentu. Pada keadaan hipersensitifitas limfosit terhadap antigen itu, migrasi leukosit ini dihambat. Tes stimulasi limfosit berdasarkan responst limfosit terhadap stimulasi antigen. Responst itu dapat berupa transformasi limfosit ke dalam blast, proliferasi atau peningkatan sintesa DNA dan RNA dalam sel tersebut. Aktifitas ini dapat diukur dengan berbagai cara, diantaranya yang paling mudah adalah memeriksa transformasi sel setelah dirangsang dengan phytohemaglutinin (PHA). 1,2 Uji respons imunologik humoral. Yang paling banyak dilakukan in vitro adalah penetapan imunoglobulin secara kwantitatif yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya cara imunodifusi radial, rocket imunoelektroforesis, imunonefelometri dan turbidimetri. 4-8 Penetapan ini dilakukan apabila disangka ada imunodefisi ensi akibat gangguan fungal sel B. Ciri utama kelainan ini adalah penurunan kadar imunoglobulin hingga defisiensi secara selektif misalnya defisiensi IgA, defisiensi IgM bahkan defisiensi subkelas IgG. Pada kelainan imunoporliferatif, disamping penetapan imunoglobulin kuantitatif perlu pula dilakukan penetapan imunoglobulin kualitatif. Telah diketahui bahwa ada 2 jenis kelainan imunoproliferatif yaitu gamopati polilclonal yang terjadi akibat stimulasi antigenik secara kronik, dan gamopati monoklonal yang terjadi akibat proliferasi imunosit yang berasal dari satu clone secara tidak terkendalikan yang biasanya terjadi pada kegana -

san 9,10 Kedua jenis gamopati ini prognosanya jauh berbeda sehingga perlu keduanya dibedakan satu dari yang lain. Beberapa cara untuk membedakannya adalah elektroforesis protein serum, imunoelektroforesis serum dengan menggunakan antisera monospesifik, serta elektroforesis dan imunoelektroforesis urin 24 jam. 3. Uji respons imunologik yang mengakibatkan kerusakan jaringan dilakukan apabila kerusakan jaringan disangka terjadi akibat adanya responst imunologik baik terhadap antigen eksogen (alergi), antigen homolog (transfusi, transplantasi, tumor) maupun antigen autolog (penyakit autoimun). Beberapa tes in vitro yang dapat dilakukan adalah pengukuran IgE dan anti--IgE pad a alergi yang dapat dilakukan dengan cara RIA (radioimmunoassay) atau (enzymeimmunoassay (EIA), tes Coombs dan tes terhadap aglutinin eritrosit pada reaksi transfusi yang dapat dilakukan dengan cara aglutinasi, dan apabila kerusakan jaringan disangka disebabkan penyakit autoimun dapat dilakukan pemeriksaan terhadap 34 Cermin Dania Kedokteran No. 31 RA faktor, komplemen dan antibodi terhadap berbagai jaringan tubuh seperti anti-nuclear-antibody, anti-smooth muscleantibody dB. II. Pemeriksaan imunologi untuk menunjang diagnosa penyakit non-imunologik. Berdasarkan kenyataan bahwa sebagai reaksi terhadap antigen, tubuh dapat membentuk antibodi spesifik terhadap antigen itu, amak penetapan adanya antibodi terhadap kuman-kuman tertentu dapat dipakai untuk menentukan diagnosa berbagai jenis infeksi Disamping itu dengan tersedianya antiserum spesifik terhadap berbagai jenis antigen atau protein, dapat pula ditetapkan adanya antigen-antigen tertentu misalnya HBsAg, AFP dan lain-lain atau perubahan berbagai jenis protein seperti fraksi-fraksi protein tertentu, hormon dan lain lain dalam serum. Dasar tes imunokimia yang dipakai adalah interaksi antigen antibodi yang dapat ditetapkan dengan macam-macam cara misalnya imunopresipitasi dan aglutinasi, radio-immunoassay (RIA) enzyme-immunoassay (EIA) atau imunomikroskopi. Berbagai jenis tes tadi mempunyai spesifisitas dan sensitifitas yang berbeda-beda. Cara RIA dan EIA dapat mencapai sensitifitas

sampai kadar nanogram per mililiter, akan tetapi untuk cara ini diperlukan reagens berupa antigen atau antibodi yang murni (purified) dan suatu teknik untuk memisahkan kompleks antigen antibodi dari antigen atau antibodi yang bebas. 11-13 Sebaliknya cara presipitasi dan aglutinasi sensitifitasnya hanya mencapai mikrogram per mililiter, akan tetapi cara ini biasanya sederhana dan mudah dilakukan. Dalam memilih cara yang akan dipakai, perlu pula diperhatikan nilai diagnostik'hasil yang diperoleh. Sebagi contoh, dengan cara imunodifusi kadar terendah AFP yang dapat ditentukan adalah 3000 nanogram/ml, dan biasanya kadar setinggi signifikan untuk hepatokarsinoma atau karsinoma embrional. 14 Dengan cara RIA kadar AFP dapat ditentukan sampai 1 nanogram/ml, yaitu suatu kadar AFP yang bukan saja terdapat pada berbagai jenis penyakit hati, tetapi juga pada keadaan normal. Cara imunopresipitasi. 4, 6-8 Termasuk ke dalam golongan ini adalah antara lain cara imunodifusi ganda, elektrimunodifusi, imunoelektroforesis, imunodifusi radial dan imunonefelometri. Imunodifusi ganda. Yang masih banyak dipakai adalah imunodifusi ganda menurut Ouchterlony. Teknik ini menggunakan lapisan agar sebagai media yang memisahkan antigen dari antibodi. Pada lapisan agar tersebut dibuat sumur-sumur, kemudian ke dalam dua sumur yang berhadapan masing masing dimasukkan antigen dan antibodi. Setelah itu antigen dan antibodi dibiarkan mendifusi kedalam lapisan agar dan ditempat dimana keduanya bertemu dan mencapai keseimbangan akan terbentuk kom-

pleks antigen antibodi berupa gads presipitasi. Teknik ini dapat dipakai untuk menetapkan antigen atau

IMUNODIFUSI GANDA GARIS PRESIPITASI Difusi Difusi ii i -0_1% : A Ekses Antibodi ( Prozone) Ekses Antigen ( Postzone) Y Reaktan Lapisan agar t Sample Keseimbangan antibodi secara semikuantitatif, yaitu dengan melakukan beberapa pengenceran dan melaporkan pengenceran tertinggi yang masih dapat membentuk presipitasi. Elektroimunodifusi. Prinsip cara elektroimunodifusi ini sama dengan cara Ouchterlony, hanya saja di sini difusi dipercepat dengan meletakkan kedua reaktan di antara medan listrik. Juga di sini presipitasi kompleks antigen-antibodi terjadi pada titik keseimbangan kedua reaktan. Imunoelektroforesis. Imunoelektroforesis merupakan gabungan antara teknik pemisahan fraksi fraksi protein dengan cara elektroforesis dan teknik imunodifusi ganda. Setelah fraksi fraksi protein dipisahkan satu dari yang lain dengan elektroforesis, ke dalam parit yang dibuat sejajar dengan garis migrasi fraksi fraksi protein, dimasukkan antiserum, kemudian dibiarkan berdifusi. Setiap fraksi protein akan beraksi dengan masing -

masing antibodi spesifik yang terdapat di dalam antiserum, sehingga masing-masing fraksi kemudian dapat diidentifikasikan secara terpisah. Cara ini selain dapat dipakai menetapkan adanya antigen tertentu, juga dapat dipakai untuk menunjukkan kelainan pada salah satu fraksi, misalnya kelainan imunoglobulin yang disebut gamopati monoklonal atau paraprotein. 9 " 0 Pada keadaan normal atau pada gamopati polildonal garis presipitasi berbentuk lengkung merata, sedangkan paraprotein atau gamopati monoklonal menunjukkan kelainan dalam bentuk garis presipitasi seperti scooping, bulging atau bifurkasi. Imunodifusi radial Prinsip imunodifusi radial menurut Mancini,' adalah menggunakan lapisan agar yang telah mengandung antibodi monospesifik kemudian ke dalam sumur-sumur yang dibuat pada agar tersebut dimasukkan serum yang akan diperiksa. Setelah serum dibiarkan berdifusi, maka presipitasi kompleks antigen antibodi yang terjadi tampak sebagai suatu cincin di sekitar sumur. Cara ini adalah cara kuantitatif; besarnya cincin merupakan parameter untuk kadar antigen yang ada dalam serum dan dapat ditentukan dengan menggunakan kurve standar. Aplikasi klinik yang terpenting dari cara ini adalah penetapan imunoglobulin di dalam serum. " Rocket elektroimunodifusi " . Cara ini dikembangk:an oleh Laurell dan menupakan variasi cara imunodifusi radial. Juga di sini digunakan lapisan agar yang telah mengandung antibodi, kemudian ke dalam sumursumur yang dibuat pada agar tersebut dimasukkan serum yang ingin diperiksa atau larutan standar. Difusi dipercepat dengan meletakkan lempeng agar ini di antara medan listrik, sehingga presipitasi kompleks antigen -

antibodi tampak sebagai kerucut. Tinggi kerucut dapat diukur dan merupakan parameter untuk kadar antigen dalam serum. Imunonefelometri. Dalam dekade terakhir telah dikembangkan suatu cara yang menggunakan alat yang dapat mengukur cahaya yang dihamburkan oleh molekul molekul kompleks antigen antibodi. Dengan menggunakan sinar laser sebagai sumber cahaya yang mempunyai energi yang lebih kuat daripada lampu halogen biasa, sensitifitas tes dapat ditingkatkan. Aglutinasi 4 ' 8 Teknik ini dapat menentukan antigen atau antibodi secara semikuantitatif, sedangkan aglutinasi dapat dilihat dengan mata belaka atau dengan mikroskop. Bermacam-macam variasi telah dikemukakan oleh para hali, akan tetapi yang banyak dipakai adalah aglutinasi lateks dan hemaglutinasi, yang masing-masing menggunakan partikel lateks dan sel eritrosit yang dilapisi antibodi atau antigen, tergantung apakah yang Cermin Dunia Kedokteran No. 31 35

36 Cumin Dania Kedokteran No. 31 hendak ditentukan itu antigen atau antibodi. Cara aglutinasi lateks banyak dipakai untuk menetapkan adanya rheumatoid faktor (RA) atau CRP dalam serum dan human chorionic gonadotropin (HCG) dalam urin, sedangkan cara hemaglutinasi sering dipakai untuk menetapkan HBsAg dan anti--HBsAg, masing masing cars reverse passive hemaglutination (RPHA) dan passive hemaglutination (PHA), disamping itu juga untuk menetapkan adanya antibodi terhadap Treponema pallidum. Radioimmunoassay (RIA)" Sejak cara RIA untuk pertama kali dikemukakan oleh Berson, Yalow dan Eskins sekitar tahun 1960, berbagai modifikasi cara ini telah dikembangkan untuk menyederhanakan dan memudahkan penggunaan serta meningkatkan sensitifitas cara ini. Kalau dahulu dipergunakan liquid phase RIA, maka sekarang lebth disukai solid phase RIA. Pada cara terakhir ini antibodi dilekatkan pada benda padat seperti misalnya dinding bagian dalam sebuah tabung, cakram kertas, butir-butir gelas atau lain lain, sehingga dengan demikian kompleks antigenantibodi dengan mudah dapat dipisahkan dari antigen atau antibodi yang bebas. Salah satu cara yang disukai adalah cara sandwich, yaitu menginkubasikan serum penderita yang disangka mengandung antigen tertentu dengan benda padat yang telah dilapisi anti-

bodi. Setelah terbentuk kompleks antigen-antibodi, dimasukkan antibodi yang telah ditandai dengan radioisotop, sehingga membentuk kompleks Ab--Ag--Ab *. Setelah antibodi radioktif yang bebas dipisahkan, maka radioaktifitas kompleks Ab--Ag-Ab* dapat diukur dengan gammacounter dan merupakan ukuran untuk kadar antigen yang ada dalam serum. Enzymeimmunoassay (EIA) ts,13 Prinsip cara EIA sebenarnya sama dengan cara RIA, hanya saja di s i n sebagaipengganti isotop radioaktif untuk menandai antibodi dipakai salah satu jenis enzim. Enzim yang banyak dipakai adalah peroksidase dan fosfatase. Cara EIA mempunyai kelebtan daripada cara RIA, yaitu tidak mengandung bahaya radioaktif, mempunyai shelf life yang lebih lama, dapat menggunakan spektrofotometer biasa, sedangkan sensitifitasnya hampir sama dengan cara RIA. Juga pada EIA disukai cara sandwich, yaitu melapisi bendan padat dengan antibodi atau antigen, kemudian menginkubasikannya dengan serum yang mengandung antigen atau antibodi. Setelah serum yang tidak bereaksi dibuang, kompleks antigen-antibodi direaksikan dengan antibodi yang ditandai dengan enzim (Ab E ), sehingga terbentuk kompleks Ab--Ag--Ab b . Ab E yang bebas kemudian dipisahkan, dan kepada kompleks Ab--Ag--Ab E dibubuhkan suatu substrat. Substrat ini dihidrolisa oleh enzim tadi, dan jumlah substrat yang dihidrolisa dapat dinyatakan dengan perubahan warna yang terjadi dan dapat diukur dengan spektrofotometer. Imunomikroskopi 15 Imunomikroskopi adalah suatu cara histokimiawi atau sitokimiawi untuk menyatakan adanya kompleks antigen-antibodi Anti-imunoglobulin di-label dengan fluorescein

Antigen Jaringan Kaca _ ~ obyek Sinai U.V. II / ftt ( & Z /i1\ /11\ rIl 1 Its bag I TEST IMUNOFLUORESENSI DENGAN CARA INDIREK pada permukaan sel atau jaringan. Dengan menggunakan antigen atau antibodi yang ditandai dengan zat warna atau indikator, kompleks tersebut dapat dilihat dibawah mikroskop. Untuk teknik imunofluoresensi, indikator yang dipakai Antibodi Antibodi * Antigen Antibodi yang dilekatkan Benda padat RADIO IMMUNOASSAY Antibodi Antigen Antibocli yang dilekatkan Benda padat anti Antibodi *

Cermin Dunia Kedokteran No. 31 37 adalah fluorescein dan mikroskop yang digunakan adalah imun, misalnya adanya antinuclear-antibody (ANA), anti mikroskop fluoresensi. Untuk teknik imunoperoksidase indi- smooth-muscle-antibody dan lain-lain. Disamping itu cara ini kator yang dipakai adalah enzim peroksidase yang apabila dapat pula dipakai untuk menentukan adanya antibodi terhadiwarnai dengan zat warna khusus dapat dilihat dibawah mi- dap mikroorganisme tertentu seperti Treponema, tuberkulosis, kroskop cahaya biasa.toxoplasma dan lain-lain. Imunomikroskopi bermanfaat untuk menentukan adanya antibodi terhadap sel atau komponen sel tubuh seperti autoantibodi yang terdapat dalam serum penderita penyakit auto-

Prinsip radioimmunoassay Prinsip: Menggunakan reaksi imun [Antigen - Antibodi] untuk memperkirakan reaksi ligan Ag + * + Ab Ab + Ag *Ag + Ag + Ab * AgAb Tdk dijilid Ag * dan Ag dicuci Radioaktivitas residu terikat diukur Ligan conc berbanding terbalik dengan radioaktivitas [Ag: ligan untuk diukur; * Ag radiolabelled ligan] Kelebihan & Kekurangan RIA Keuntungan Yang sangat spesifik: reaksi kekebalan yang spesifik sensitivitas tinggi: reaksi kekebalan sensitif Kekurangan bahaya Radiasi: Penggunaan radiolabelled reagen Membutuhkan orang-orang yang terlatih khusus Labs memerlukan lisensi khusus untuk menangani bahan radioaktif Membutuhkan pengaturan khusus Permintaan, penyimpanan bahan radioaktif pembuangan limbah radioaktif. Persyaratan untuk RIA Persiapan & karakterisasi Antigen [Ligan untuk dianalisis] Radiolabelling dari Antigen yang Penyusunan Antibodi Spesifik Pengembangan Sistem Assay Persiapan & Radiolabelling dari Antigen tersebut Antigen disiapkan oleh .. Sintesis molekul Isolasi dari sumber-sumber alam Radiolabelling [Tagging prosedur] 3 H 14 C 125 aku digunakan sebagai tag radioaktif Antigen ditandai untuk 3 14 C H 125 Tagging TIDAK akan mempengaruhi spesifisitas antigenik & aktivitas antigen! Penyusunan Antibodi Spesifik Tambahkan diketahui jumlah sampel uji + berlabel antigen ke dalam sumur microtitre memungkinkan reaksi untuk mencapai penyelesaianMenetaskan Tuang & menghapus semua antigen terikatmencuci isi sumur Radioaktivitas tersisa dalam sumur Microtitre diukur oleh], sintilasi Counter [GM dll counter counter Intensitas radioaktivitas berbanding terbalik berkorelasi dengan conc antigen dalam

sampel uji Sensitif terhadap conc sangat rendah antigen Enzim Linked immunosorbent Assay Prinsip: Menggunakan reaksi imun seperti RIA Berbeda dengan metode RIA dalam deteksi Deteksi berdasarkan Enzim katalis reaksi OR Fluorescent probe TIDAK keunggulan [radioaktivitas yang besar!] Keuntungan ELISA Sensitif: tingkat nanogram atau lebih rendah Yg dpt digandakan Minimal reagen Kualitatif & Kuantitatif kualitatif tes HIVMisalnya Misalnya Ada.tes kuantitatif Drug Monitoring Lingkup yang lebih besar: Wells bisa dilapisi dengan antigen Antibodi OR kecepatan tinggiCocok untuk otomatisasi NO bahaya radiasi Jenis ELISA Kompetitif mengikat uji atau metode Sandwich Antigen sistem pengukuran [Titrewells dilapisi dengan antibodi; antibodi berlabel enzim] Antibodi sistem pengukuran [Titrewells dilapisi dengan antigen; Enzim berlabel antiantibodies] assay mengikat Kompetitif [Titrewells dilapisi dengan antibodi; Enzim antigen berlabel] Assay nonkompetitif atau Sandwich Aplikasi dari immunoassays [RIA & ELISA] Analisis hormon, vitamin, metabolit, diagnostik spidol Misalnya. ACTH, FSH, T3, T4, Glukagon, insulin, testosteron, vitamin B12, prostaglandin, glukokortikoid, Terapi obat pemantauan: Barbiturates, morfin, digoksin, Diagnostik prosedur untuk mendeteksi infeksi HIV, Hepatitis A, B dll

Characterized as: Non-covalent interaction (similar to lock and key fit of enzyme-substrate) Does not lead to irreversible alteration of Ag or Ab This exact and specific interaction has led to many immunological assays used to: detect Ag or Ab diagnose disease measure magnitude of humoral IR identify molecules of bio and med interest Ag-Ab interactions Bonds: hydrogen Ionic Hydrophobic interactions Van der Waals forces Each bond is weak; many are strong To hold they must be close requiring high amts of complementarity! Measuring affinity of Ab to Ag Assoc between CDR and monovalent Ag can be expressed as k1 = forward (assoc) rate constant whereby k1/k-1 = Ka k-1 = reverse (dissoc) rate constant the assoc/equilibrium constant value of Ka depends on k1; for small haptens, k1 is high for large protein Ags, k1 is lower Cross-reactivity Sometimes, Ab can cross-react with unrelated Ag. (can occur if Ags share an identical/similar epitope) Often seen with polysaccharide Ags e.g. ABO Blood groups glycoproteins -persons lacking one or both of the blood (AB) Ags will Abs vs.the missing Ags -these Abs produced from cross-reactive MO Ags!! -provides basis for blood typing tests -necessitates compatible blood types during transfusions, etc. Other MO cross-reactions: 1) Streptococcus pyogenes 2) Vaccinia virus Immunologic tests:

have serum

Precipitation Rxns: -Abs and Ags in aqueous solns form a lattice => Precipitin Lattice formation requires: 1) polyvalent Abs 2) Ag must be bivalent, polyvalent Precipitation rxns, once popular, have been replaced by faster, more sensitive tests Immunologic tests: Precipitation rxns in gels 2. Immunoelectrophoresis: Incorp electrophoresis w/ double diffusion An Ag mixture is 1st separated by charge Then, troughs are cut to direction of elec field and antisera is added to trough Ags and Abs diffuse towards each other to produce precipitin bands Used to detect: a)presence/absence of specific proteins or Ig classes b) immunodeficiency or immunoproliferative disorder 3) Agglutination reactions simple, inexpensive, but sensitive! Several types exist: a) Hemagglutination of RBCs b) Bacterial Agglutination c) Passive Agglutination d) Agglutination Inhibition 4) Radioimmunoassay (RIA) very sensitive test; used for measuring hormones, serum proteins, drugs, etc. at low [C]s ( 0.001ug/ml) measures competitive binding of radiolabelled Ag + unlabelled (test) Ag to high affinity Ab ELISA tests: dep on enzyme conugated to 2 Ab reacting with a specific substrate to produce a color rxn. Most sensitive of tests for Ag/Ab!! Variations of ELISAs: Allows for qualitative or quantitative testing. Each one can be used for qualitative detection of Ag or Ab Also, a std curve based on known [C]s of Ag/Ab can be prepped and an unknown [C} can be ascertained Indirect ELISA Sandwich ELISA Competitive ELISA 6) Western Blot Used to id specific proteins in mixtures Proteins are separated on SDS-PAGE Proteins then transferred to membrane

Membrane flooded w/ radio-labelled or enz-linked poly/monoclonal Abs specific for protein 7) Immunoprecipitation -Provides a quick and sensitive test for finding proteins/Ags Especially in low [C]s -Binds Ab to synthetic bead support centrifuged -Or 2 Ab w/ bead or magnetic bead -> collect by magnetism 8) Immunofluorescence Provides a quick method for the id of pathogens and lymphocytes Abs are conjugated with a fluorescent dye (fluorescein, rhodamine, phycoerythrin) If Abs bind to specific Ags, they can be illum w/ UV light and emit bright colors There are currently 2 methods employed: Direct staining Indirect staining

Dicirikan sebagai: Non-kovalen interaksi (mirip dengan "gembok dan kunci" cocok enzim-substrat) Tidak mengakibatkan perubahan ireversibel Ag atau Ab Interaksi tepat dan spesifik telah mengarah ke tes imunologi banyak digunakan untuk: mendeteksi Ag atau Ab mendiagnosa penyakit mengukur besarnya IR humoral mengidentifikasi molekul kepentingan bio dan med Ag-Ab interaksi Obligasi: hidrogen Ionis Interaksi hidrofobik Van der Waals kekuatan Setiap ikatan lemah, banyak yang kuat Untuk "terus" mereka harus dekat membutuhkan amts tinggi saling melengkapi! Mengukur afinitas Ab untuk Ag Assoc antara CDR dan Ag monovalen dapat dinyatakan sebagai k1 = depan (Assoc) tingkat konstan dimana k1/k-1 = Ka k-1 = reverse (dissoc) tingkat Assoc konstan / konstanta kesetimbangan Ka nilai tergantung pada k1; untuk haptens kecil, k1 tinggi untuk besar protein Ag, k1 lebih rendah Cross-reaktivitas Kadang-kadang, Ab dapat "cross-bereaksi" dengan Ag yang tidak terkait .... (Dapat terjadi jika berbagi Ag yang identik / serupa epitope) Sering dilihat dengan polisakarida Ag umpamanya Darah ABO kelompok - glikoprotein -Orang yang tidak memiliki salah satu atau kedua dari darah (AB) Ag akan memiliki serum vs.the Ab hilang Ag -Ab ini yang dihasilkan dari silang-reaktif MO Ag! -Menyediakan dasar untuk mengetik tes darah -Menuntut jenis yang kompatibel saat transfusi darah, dll Lain-reaksi silang MO: 1) Streptococcus pyogenes 2) vaccinia virus Kekebalan tes: Pengendapan Rxns: -Ab 's dan Ag dalam bentuk soln air adalah kisi => Precipitin Kisi pembentukan membutuhkan: 1) polyvalent Ab's

2) harus Ag bivalen, polyvalent rxns Air hujan, begitu populer, telah diganti dengan lebih cepat, tes lebih sensitif Kekebalan tes: Pengendapan rxns dalam gel 2. Immunoelectrophoresis: Incorp w elektroforesis difusi / ganda Sebuah Ag campuran 1 dipisahkan oleh muatan Kemudian, "palung" dipotong ke arah medan elec dan antiserum akan ditambahkan ke palung Ag dan Ab menyebar terhadap satu sama lain untuk menghasilkan band precipitin Digunakan untuk mendeteksi: a) kehadiran / adanya protein spesifik atau kelas Ig b) immunodeficiency atau gangguan immunoproliferative

immunosorbent assay enzim-linked, juga disebut ELISA, atau EIA enzim immunoassay, adalah teknik yang digunakan terutama di biokimia imunologi untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam sampel. Tes ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang kedokteran dan patologi tanaman, serta memeriksa kontrol kualitas di berbagai industri. Secara sederhana, dalam ELISA, jumlah tidak diketahui antigen adalah ditempelkan pada permukaan, dan kemudian antibodi spesifik menyapu permukaan sehingga dapat mengikat antigen. antibodi ini terkait dengan enzim, dan di langkah terakhir ditambahkan suatu zat yang dapat mengkonversi enzim untuk beberapa signal terdeteksi. Jadi, dalam kasus fluoresensi ELISA, ketika cahaya bersinar panjang gelombang tepat pada sampel, setiap antigen / antibodi kompleks akan berpendar sehingga jumlah antigen dalam sampel dapat disimpulkan melalui besarnya fluoresensi. Melakukan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifisitas untuk antigen tertentu. Sampel dengan jumlah yang tidak diketahui antigen adalah amobil pada dukungan solid (biasanya sebuah pelat mikro polystyrene) baik non-khusus (melalui adsorpsi ke permukaan) atau khusus (melalui menangkap oleh lain antibodi spesifik terhadap antigen yang sama, dalam sebuah sandwich " "ELISA). Setelah antigen adalah deteksi antibodi amobil ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Deteksi antibodi dapat kovalen dihubungkan dengan enzim, atau sendiri bisa terdeteksi oleh antibodi sekunder yang terkait dengan enzim melalui bioconjugation. Antara setiap langkah piring biasanya dicuci dengan larutan deterjen ringan untuk menghilangkan protein atau antibodi yang tidak terikat secara khusus. Setelah langkah terakhir cuci piring dikembangkan dengan menambahkan substrat enzim untuk menghasilkan sinyal terlihat, yang menunjukkan jumlah antigen dalam sampel. ELISA Tradisional biasanya melibatkan wartawan chromogenic dan substrat yang memproduksi beberapa jenis perubahan warna diamati untuk menunjukkan adanya antigen atau analit. ELISA-teknik yang lebih baru seperti menggunakan fluorogenic, electrochemiluminescent, dan wartawan PCR real-time untuk membuat sinyal terukur. Ini wartawan baru dapat memiliki berbagai keunggulan termasuk kepekaan yang lebih tinggi dan [multiplexing 1] [2]. Secara teknis, pengujian yang lebih baru dari jenis ini tidak ketat ELISA karena mereka tidak "enzim-link" tetapi bukan terkait dengan beberapa wartawan non-enzimatik. Namun, mengingat bahwa prinsip-prinsip umum dalam tes ini sebagian besar sama, mereka sering dikelompokkan dalam kategori yang sama dengan ELISA. Aplikasi Karena ELISA dapat dilakukan untuk mengevaluasi baik adanya antigen atau adanya antibodi dalam sampel, adalah alat yang berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi serum (seperti dengan tes HIV [3] atau West Nile Virus). Hal ini juga ditemukan Aplikasi dalam industri makanan dalam mendeteksi potensi alergen makanan seperti susu, kacang tanah, walnut, almond, dan telur. [4] ELISA juga dapat digunakan dalam toksikologi sebagai layar dugaan cepat untuk kelas tertentu dari obat. The ELISA, atau enzim immunoassay (EIA), merupakan tes pertama banyak digunakan untuk HIV karena sensitivitas yang tinggi. Dalam ELISA, serum seseorang diencerkan

400 kali lipat dan diterapkan pada pelat yang dilampirkan antigen HIV. Jika antibodi terhadap HIV yang hadir dalam serum, mereka dapat mengikat antigen HIV ini. pelat tersebut kemudian dicuci untuk menghapus semua komponen lain dari serum. Sebuah antibodi "khusus disiapkan sekunder" - sebuah antibodi yang mengikat untuk antibodi lain - kemudian diaplikasikan ke plate, diikuti dengan mencuci lain. Ini antibodi sekunder adalah kimia terkait di muka untuk enzim. Dengan demikian, pelat tersebut akan mengandung enzim secara proporsional dengan jumlah antibodi sekunder terikat ke plate. Sebuah substrat untuk enzim diterapkan, dan katalisis oleh enzim menyebabkan perubahan warna atau fluoresensi. ELISA hasil dilaporkan sebagai nomor; aspek paling kontroversial dari tes ini adalah menentukan cut-off "titik antara hasil positif dan negatif. Sebuah titik cut-off dapat ditentukan dengan membandingkan dengan standar yang dikenal. Jika tes ELISA digunakan untuk skrining obat di tempat kerja, konsentrasi cutoff, 50 ng / mL, misalnya, didirikan, dan sampel akan disiapkan yang berisi standar konsentrasi analit. Diketahui bahwa menghasilkan sinyal yang lebih kuat daripada sampel dikenal adalah "positif". Mereka yang menghasilkan sinyal lemah, yang "negatif." ELISA dapat juga digunakan untuk menentukan tingkat antibodi dalam konten feses ... khusus metode langsung Sejarah Sebelum pembangunan EIA / ELISA, satu-satunya pilihan untuk melakukan sebuah immunoassay adalah radioimmunoassay, teknik menggunakan radioaktif-label antigen atau antibodi. Dalam radioimmunoassay, radioaktivitas memberikan sinyal yang menunjukkan apakah suatu antigen tertentu atau antibodi hadir dalam sampel. Radioimmunoassay pertama kali diuraikan dalam makalah oleh Rosalyn Sussman Yalow dan Salomo Berson diterbitkan pada tahun 1960 [5]. Karena radioaktivitas menimbulkan ancaman kesehatan potensial, alternatif yang lebih aman dicari. Sebuah alternatif cocok untuk radioimmunoassay akan menggantikan sinyal non-radioaktif di tempat sinyal radioaktif. Ketika enzim (seperti peroksidase) bereaksi dengan substrat yang tepat (seperti ABTS atau 3,3 ', 5,5'-Tetramethylbenzidine), ini menyebabkan perubahan warna, yang digunakan sebagai sinyal. Namun, sinyal harus terkait dengan adanya antibodi atau antigen, yang enzim mengapa harus dihubungkan dengan antibodi sesuai. Proses menghubungkan ini dikembangkan sendiri oleh Stratis Avrameas dan GB Pierce [6]. Karena itu perlu untuk menghapus terikat antibodi atau antigen dengan mencuci, antibodi atau antigen harus tetap ke permukaan wadah, yaitu immunosorbent harus disiapkan. Sebuah teknik untuk mencapai ini diterbitkan oleh Wide dan Jerker Porath pada tahun 1966. [7] Pada tahun 1971, Peter Perlmann dan Eva Engvall di Universitas Stockholm di Swedia, dan Anton Schuurs dan Bauke van Weemen di Belanda, makalah yang diterbitkan secara independen disintesis pengetahuan ini ke dalam metode untuk melakukan AMDAL / ELISA Jenis

"Tidak Langsung" ELISA Langkah-langkah dari "tidak langsung" berikut ELISA mekanisme di bawah ini: * Sebuah larutan buffer dari antigen protein yang akan diuji untuk ditambahkan ke setiap sumur piring mikro, di mana ia diberikan waktu untuk mematuhi plastik melalui interaksi biaya. * Sebuah solusi non-protein bereaksi, seperti albumin serum sapi, atau kasein akan ditambahkan untuk memblokir setiap permukaan plastik di dalam sumur yang masih dilapisi oleh antigen protein. * Kemudian ditambahkan serum, yang berisi campuran serum antibodi donor itu, konsentrasi tidak diketahui, beberapa yang dapat mengikat secara khusus untuk menguji antigen pelapis yang baik. * Setelah itu, antibodi sekunder adalah ditambahkan, yang akan mengikat setiap antibodi yang dihasilkan oleh anggota spesies donor (misalnya, antibodi diproduksi dalam tikus yang akan mengikat setiap antibodi kelinci). Antibodi sekunder ini sering memiliki enzim yang melekat padanya, yang tidak berpengaruh pada sifat pengikatan antibodi. * Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Seringkali, ini perubahan warna pada substrat reaksi dengan enzim. Perubahan warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder yang terikat antibodi primer, yang sangat berarti bahwa donor memiliki reaksi kekebalan terhadap antigen tes. Hal ini dapat membantu dalam pengaturan klinis, dan di R & D. * Semakin tinggi konsentrasi antibodi utama yang hadir dalam serum, semakin kuat perubahan warna. Seringkali spektrometer yang digunakan untuk memberikan nilai kuantitatif untuk kekuatan warna. Enzim bertindak sebagai amplifier, bahkan jika hanya enzim-linked antibodi beberapa tetap terikat, molekul molekul enzim akan menghasilkan sinyal banyak. Dalam batasbatas yang masuk akal enzim dapat terus menghasilkan warna tanpa batas, tapi lebih utama adalah antibodi hadir dalam serum donor, semakin enzim antibodi + sekunder akan mengikat, dan warna lebih cepat akan berkembang. Kelemahan utama dari ELISA tidak langsung adalah bahwa metode imobilisasi antigen non-spesifik, ketika serum digunakan sebagai sumber antigen tes, semua protein dalam sampel dapat menempel pada plat mikro yang baik, sehingga kecil konsentrasi analit dalam serum harus bersaing dengan protein serum lainnya ketika mengikat ke sumur permukaan. Sandwich atau ELISA langsung memberikan solusi untuk masalah ini, dengan menggunakan capture "" antibodi spesifik untuk antigen tes untuk menariknya dari campuran molekul serum itu. ELISA dapat dijalankan dalam format yang baik kualitatif maupun kuantitatif. hasil kualitatif memberikan hasil yang positif atau negatif sederhana (ya atau tidak) untuk sampel. The cutoff antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan mungkin statistik. Dua atau tiga kali standar deviasi (kesalahan yang melekat dalam ujian) sering digunakan untuk membedakan positif dari sampel negatif. Dalam ELISA kuantitatif, kerapatan optik (OD) sampel dibandingkan dengan kurva standar, yang biasanya pengenceran serial solusi dikenal-konsentrasi molekul target. Sebagai contoh jika hasil tes sampel Anda sebuah OD 1,0, titik pada kurva standar Anda yang memberi OD = 1.0 harus konsentrasi

analit yang sama sebagai sampel Anda. Sandwich ELISA Sebuah varian yang kurang umum teknik ini, disebut "sandwich" ELISA, digunakan untuk mendeteksi antigen sampel. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan permukaan yang dikenal kuantitas antibodi menangkap terikat. 2. Blok mengikat yang bukan situs spesifik di permukaan. 3. Terapkan sampel yang mengandung antigen ke plate. 4. Cuci piring, sehingga antigen terikat dihapus. 5. Terapkan enzim terhubung antibodi utama sebagai deteksi antibodi yang juga mengikat secara khusus untuk antigen. 6. Cuci piring, sehingga konjugat antibodi-enzim terikat akan dihapus. 7. Menerapkan kimia yang diubah oleh enzim menjadi warna atau fluorescent atau sinyal elektrokimia. 8. Ukur serap atau fluoresensi atau sinyal elektrokimia (misalnya, saat ini) dari sumur piring untuk menentukan keberadaan dan jumlah antigen. Gambar ke kanan termasuk penggunaan antibodi sekunder konjugasi dengan enzim, meskipun secara teknis ini tidak diperlukan jika antibodi primer dikonjugasikan untuk enzim. Namun, penggunaan sekunder konjugat antibodi menghindari proses mahal menciptakan antibodi enzim-linked untuk setiap antigen mungkin ingin mendeteksi. Dengan menggunakan enzim-linked antibodi yang mengikat wilayah Fc dari antibodi lain, antibodi ini enzim-linked yang sama dapat digunakan dalam berbagai situasi. Tanpa lapisan pertama dari "menangkap" antibodi, setiap protein dalam sampel (termasuk protein serum) kompetitif dapat menyerap ke permukaan piring, menurunkan jumlah antigen amobil .. ELISA Kompetitif Sebuah penggunaan ketiga ELISA adalah melalui mengikat kompetitif. Langkah-langkah untuk ELISA ini agak berbeda dengan dua contoh pertama: 1. antibodi Unlabeled adalah diinkubasi di hadapan antigen-nya. 2. Antibodi ini terikat / kompleks antigen kemudian ditambahkan ke suatu antigen dilapisi dengan baik. 3. piring ini dicuci, sehingga antibodi terikat dihapus. (Yang lebih antigen dalam sampel, antibodi kurang akan dapat mengikat antigen dalam sumur, maka "persaingan.") 4. Antibodi sekunder, khusus untuk ditambahkan antibodi primer. Antibodi kedua ini digabungkan untuk enzim. 5. Sebuah substrat ditambahkan, dan enzim yang tersisa memperoleh sinyal chromogenic atau neon. Untuk ELISA kompetitif, semakin tinggi konsentrasi antigen asli, sinyal lemah akhirnya. Keuntungan utama dari ELISA kompetitif adalah kemampuan untuk menggunakan sampel kasar atau kotor dan masih secara selektif mengikat antigen yang mungkin hadir.

(Catatan bahwa beberapa kit ELISA kompetitif termasuk antigen enzim-linked daripada enzim-linked antibodi antigen berlabel yang bersaing untuk situs mengikat antibodi primer dengan antigen sampel Anda (unlabeled).. Yang lebih banyak antigen dalam sampel, antigen berlabel kurang masih dipertahankan dalam sumur dan sinyal lemah itu). Umumnya antigen tidak pertama diposisikan dalam sumur. Reverse ELISA Sebuah teknik baru menggunakan fase padat yang terdiri dari sebuah batang polistiren immunosorbent dengan 4-12 ogives menonjol. Seluruh perangkat direndam dalam tabung reaksi berisi sampel dikumpulkan dan langkah-langkah berikut (cuci, inkubasi pada conjugate dan inkubasi dalam chromogenous) dilakukan dengan cara mencelupkan ogives di microwells dari microplates standar telah terisi dengan reagen. Kelebihan dari teknik ini adalah sebagai berikut: 1. The ogives dapat masing-masing menjadi peka terhadap suatu reagen yang berbeda, yang memungkinkan deteksi antibodi yang berbeda secara simultan dan antigen yang berbeda untuk tes multi-target; 2. Volume sampel dapat ditingkatkan untuk meningkatkan sensitivitas uji klinis (air liur, urin), makanan (susu massal, mengumpulkan telur) dan lingkungan (air) sampel; 3. Satu ogive yang tersisa unsensitized untuk mengukur reaksi non-spesifik sampel; 4. Penggunaan perlengkapan laboratorium mengenai penetapan aliquots sampel, mencuci solusi dan reagen di microwells tidak diperlukan, memfasilitasi siap digunakan lab dan kit-kit di tempat.

Imunologi - BAB TUJUH Imunoglobulin-antigen-antibodi REAKSI DAN DIPILIH UJI I. SIFAT Reaksi antigen-antibodi A. Kunci dan Kunci Konsep Situs kombinasi dari antibodi yang terletak di bagian Fab molekul dan dibangun dari daerah hipervariabel dari rantai berat dan ringan. studi kristalografi X-Ray interaksi antigen-antibodi menunjukkan bahwa nestles determinan antigenik di celah yang dibentuk oleh situs kombinasi dari antibodi seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Jadi, konsep kita tentang reaksi antigen-antibodi merupakan salah satu (tombol yaitu antigen) yang cocok dengan kunci (yakni antibodi). B. Non-kovalen Obligasi ia obligasi yang memegang antigen ke antibodi menggabungkan semua situs nonkovalen di alam. Ini termasuk ikatan hidrogen, ikatan elektrostatik, gaya Van der Waals dan obligasi hidrofobik. Beberapa ikatan antara antigen dan antibodi memastikan bahwa antigen akan terikat erat antibodi. C. Reversibility Sejak antigen-antibodi reaksi terjadi melalui ikatan non-kovalen, mereka menurut sifatnya reversibel I. Affinity DAN kegemaran besar A. Affinity afinitas Antibodi adalah kekuatan reaksi antara antigen determinan tunggal dan situs menggabungkan tunggal pada antibodi. Ini adalah jumlah kekuatan yang menarik dan menjijikkan yang beroperasi di antara determinan antigenik dan situs kombinasi dari antibodi seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Afinitas adalah konstanta kesetimbangan yang menggambarkan reaksi antigen-antibodi seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Kebanyakan antibodi afinitas tinggi terhadap antigen mereka. B. kegemaran besar Kegemaran besar adalah ukuran dari keseluruhan kekuatan pengikatan antigen dengan determinan antigen dan antibodi multivalent banyak. Kegemaran besar dipengaruhi baik oleh valensi antibodi dan antigen valensi. Kegemaran besar lebih dari jumlah afinitas individu. Ini diilustrasikan pada Gambar 4. Untuk mengulang, afinitas mengacu pada kekuatan mengikat antara determinan antigenik

tunggal dan antibodi individu menggabungkan situs kegemaran besar sedangkan mengacu pada keseluruhan kekuatan mengikat antara multivalent antigen dan antibodi. III. KHUSUS DAN CROSS Reaktivitas A. Spesifisitas Kekhususan mengacu pada kemampuan individu dari antibodi menggabungkan situs untuk bereaksi dengan hanya satu determinan antigenik atau kemampuan dari suatu populasi molekul antibodi untuk bereaksi dengan satu antigen. Secara umum, ada kekhususan tinggi pada reaksi antigen-antibodi. Antibodi dapat membedakan perbedaan 1) struktur primer dari antigen, 2) bentuk isomerik antigen, dan 3) struktur sekunder dan tersier suatu antigen. B. Cross reaktivitas Cross reaktivitas mengacu pada kemampuan individu dari antibodi menggabungkan situs untuk bereaksi dengan lebih dari satu determinan antigenik atau kemampuan dari suatu populasi molekul antibodi untuk bereaksi dengan lebih dari satu antigen. Gambar 5 menggambarkan bagaimana reaksi silang bisa timbul. Cross reaksi muncul karena saham antigen bereaksi silang sebuah epitope yang sama dengan antigen imunisasi atau karena memiliki epitope yang secara struktural mirip dengan yang di imunisasi antigen (multispecificity). V. UJI UNTUK Reaksi antigen-antibodi A. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran reaksi antigen-antibodi Satu-satunya cara bahwa kita mengetahui bahwa reaksi antigen-antibodi telah terjadi adalah memiliki beberapa cara langsung atau tidak langsung mendeteksi kompleks yang terbentuk antara antigen dan antibodi. Kemudahan yang satu dapat mendeteksi reaksi antigen-antibodi akan tergantung pada sejumlah faktor. 1. Afinitas Semakin tinggi afinitas antibodi untuk antigen, semakin stabil akan interaksi. Dengan demikian, kemudahan yang satu dapat mendeteksi interaksi ditingkatkan. 2. Keinginan besar Reaksi antara antigen dan antibodi multivalent multivalent lebih stabil sehingga lebih mudah untuk dideteksi. rx-6.jpg (40108 bytes) Gambar 6 3. Rasio antigen antibodi Rasio antara antigen dan antibodi pengaruh deteksi antigen-antibodi kompleks karena ukuran kompleks yang terbentuk berkaitan dengan konsentrasi antigen dan antibodi. Hal ini digambarkan pada Gambar 6. 4. Bentuk fisik antigen Bentuk fisik antigen pengaruh bagaimana mendeteksi satu reaksi dengan antibodi.

Jika antigen adalah partikulat, satu umumnya mencari aglutinasi antigen dengan antibodi. Jika antigen yang larut satu umumnya mencari presipitasi antigen setelah produksi besar kompleks antigen-antibodi tidak larut.

B. Tes Aglutinasi 1. Aglutinasi / hemaglutinasi Ketika antigen adalah partikulat, reaksi antibodi dengan antigen dapat dideteksi dengan aglutinasi (penggumpalan) dari antigen. The agglutinin istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan antibodi yang menggumpalkan antigen partikulat. Ketika antigen adalah istilah hemaglutinasi eritrosit digunakan. Semua antibodi secara teoritis dapat menggumpalkan antigen partikulat tapi IgM, karena valensi tinggi, sangat baik agglutinin dan satu kadang-kadang menyimpulkan bahwa antibodi mungkin kelas IgM jika antibodi agglutinating baik. a. Uji aglutinasi kualitatif Tes Aglutinasi dapat digunakan dengan cara kualitatif untuk menguji terhadap adanya antigen atau antibodi. antibodi ini bercampur dengan antigen partikulat dan tes positif ditunjukkan oleh aglutinasi dari antigen partikulat. (Gambar 7). Misalnya, sel darah merah darah pasien dapat dicampur dengan antibodi terhadap antigen golongan darah untuk menentukan jenis darah seseorang. Dalam contoh kedua, serum pasien dicampur dengan sel darah merah dari darah diketahui jenis pengujian terhadap adany