biofarmasetika umum

25
B I O F A R M A S E T I K A I. PENGERTIAN Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien”. Perbedaan sifat fisiko kimia dari sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku (ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel. Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase Biofarmasi, Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika. Dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet yaitu : Tablet dengan Zat Aktif (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah, zat aktif lepas dan larut Obat tersedia untuk resorpsi Absorpsi, Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE FARMAKOKINETIKA) Obat tersedia untuk bekerja Interaksi dengan reseptor di tempat kerja (FASE FARMAKODINAMIKA) EFEK. Pada makalah ini hanya akan dijelaskan fase biofarmasi saja yaitu fase pelepasan senyawa aktif obat dari sediaannya hingga senyawa aktif tersebut di absorbsi oleh tubuh.

Upload: liya-agustina

Post on 02-Dec-2015

331 views

Category:

Documents


25 download

DESCRIPTION

pengenalan biofaemasetika

TRANSCRIPT

Page 1: biofarmasetika umum

B I O F A R M A S E T I K A

I. PENGERTIAN

Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara

sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi

sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien”. Perbedaan sifat fisiko kimia dari

sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan

perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku

(ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.

Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai

suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari

sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang

sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat

dari tubuh.

Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam tubuh,

yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam

garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase Biofarmasi,

Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika.

Dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet

yaitu :

• Tablet dengan Zat Aktif (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah,

zat aktif lepas dan larut Obat tersedia untuk resorpsi Absorpsi,

Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE FARMAKOKINETIKA) Obat

tersedia untuk bekerja Interaksi dengan reseptor di tempat kerja (FASE

FARMAKODINAMIKA) EFEK.

Pada makalah ini hanya akan dijelaskan fase biofarmasi saja yaitu fase

pelepasan senyawa aktif obat dari sediaannya hingga senyawa aktif tersebut di absorbsi

oleh tubuh.

Page 2: biofarmasetika umum

II. BENTUK SEDIAAN OBAT

I. Sediaan Peroral

- Larutan - Kapsul

- Suspensi - Tablet

- Emulsi

II. Sediaan Rektal dan Vaginal

III. Sediaan Parenteral

- Intravena

- Intramuskular

- Subkutan

IV. Sediaan Topikal dan Transdermal

V. Sediaan Respiratori

VI. Sediaan Mata

III. RUTE PEMAKAIAN DAN BENTUK SEDIAAN

Page 3: biofarmasetika umum

IV. FORMULASI OBAT DAN PHARMACEUTICAL AVAILABILITY

Farmaceutical Availability merupakan ukuran waktu yang diperlukan untuk

obat yang dilepaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,

sehingga bentuk obat padat memerlukan ukuran waktu yang lebih panjang dari pada

bentuk obat cair (F.A. tablet lebih besar dari pada F.A. sirup). Banyak penyelidikan

tentang hal ini telah dilangsungkan dengan tablet sebagai bentuk sediaan yang paling

umum.

Tablet Granul Terlepas Zat Aktif Terlepas Zat Aktif Melarut

Keterangan Skema :

Setelah ditelan, tablet di dalam lambung akan pecah (disintegrasi) menjadi

banyak granul kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dengan eksipien antara lain zat

pengisi dan pelekat. Kemudian granul-granul ini pecah pula, zat aktif terlepas, dan jika

zat larutnya cukup besar akan larut dalam cairan lambung atau usus. Baru setelah obat

larut, proses resorpsi oleh usus dapat dimulai, proses yang disebut Farmaceutical

Availability. Jelaslah dari uraian diatas, bahwa obat bila diberikan dalam bentuk

larutan akan mencapai keadaan Farmaceutical Availability dalam waktu yang lebih

singkat daripada tablet.

Kecepatan melarut obat tergantung dari berbagai bentuk sediaan dengan urutan

sebagai berikut :

Larutan - Suspensi - Emulsi - Serbuk - Kapsul - Tablet - Enterik Coated - Tablet Kerja

Panjang

Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan obatnya ke dalam

tubuh agar diserap secara cepat seluruhnya, sebaliknya produk lain dirancang untuk

melepaskan obatnya secara perlahan–lahan supaya pelepasannya lebih lama dan

memperpanjang kerja obat. Tipe obat yang disebutkan terakhir umumnya dikenal tablet

atau kapsul yang kerjanya controlled release, delayed-release, sustained-action,

prolonged-action, sustained release, prolonged-release, timed-release, slow-release,

extended-action atau extended-release (Ansel, 1999).

Page 4: biofarmasetika umum

Gambar 1. menunjukkan perbandingan profil kadar obat di dalam darah yang

diperoleh dari pemberian bentuk sediaan konvensional, terkontrol (controlled-release),

lepas lambat (sustained-release). Tablet konvensional atau kapsul hanya memberikan

kadar puncak tunggal dan sementara (transient). Efek farmakologi kelihatan sepanjang

jumlah obat dalam interval terapetik. Masalah muncul ketika konsentrasi puncak

dibawah atau diatas interval terapetik, khususnya untuk obat dengan jendela terapetik

sempit. Pelepasan orde satu yang lambat yang dihasilkan oleh sediaan lepas lambat

dicapai dengan memperlambatpelepasan dari bentuk sediaan obat. Pada beberapa

kasus, hal ini dapat diperoleh melalui proses pelepasan yang kontinyu (Jantzen &

Robinson, 1996).

Gambar 1. Profil kadar obat vs waktu yang menunjukkan perbedaan antara

pelepasan terkontrol orde nol (zero-order release), pelepasan lambat orde satu

(sustained release) dan pelepasan dari sediaan tablet atau kapsul konvensional

(immediate release) (Jantzen & Robinson, 1996).

Faktor fisika-kimia yang mempengaruhi desain bentuk sediaan lepas lambat

peroral (Jantzen & Robinson, 1996) adalah :

Page 5: biofarmasetika umum

a. Ukuran dosis

Sediaan lepas lambat tidak cocok untuk obat – obat yang memiliki dosis

relative besar.

b. Kelarutan

Senyawa dengan kelarutan yang sangat rendah (< 0,01 mg/ml) sudah bersifat

lepas lambat, pelepasan obat dari bentuk sediaan dalam cairan gastrointestinal dibatasi

oleh kecepatan disolusinya.

c. Koefisien partisi

Senyawa dengan koefisien partisi yang rendah akan mengalami kesulitan

menembus membran sehingga bioavailabilitasnya rendah.

d. Stabilitas

Untuk obat yang tidak stabil dalam usus halus akan menunjukkan penurunan

bioavailabilitas jika diberikan dalam bentuk sediaan lepas lambat.

V. ZAT EKSIPIEN PADA OBAT

Pada tahun 1971 di Australia terjadi peristiwa difantoin (=fenitoin), pada mana

banyak pasien yang menelan tablet anti-apilepsi ini menunjukkan gejala-gejala

keracunan. Ternyata bahwa kadar fenitoin dari tablet-tablet tersebut sangat tepat, tetapi

pada pembuatannya zat pengisi kalsiumsulfat telah diganti dengan laktosa. Akibat

perubahan itu FA fenitoin dipertinggi, yang mengakibatkan meningkatnya resorpsi

dengan efek-efek toksis. Begitu pula terdapatnya zat-zat dengan kegiatan permukaan

(Tween dsb) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air (polivinilpirolidon,

carbowax) dapat mempercepat melarutnya zat aktif dari tablet. Efek

kebalikannya terjadi bila zat-zat hidrofob digunakan pada produksi tablet sebagai

pelicin untuk mempermudah mengalirnya campuran tablet ke tempat percetakan mesin

dan mencegah melekatnya pada stempel. Contoh zat ini adalah magnesium stearat, zat

ini dapat menghambat melarutnya zat aktif, maka itu sebaiknya dipakai sesedikit

mungkin pada pembuatan tablet, serbuk, atau kapsul. Kini,sering digunakan Aerosil

Page 6: biofarmasetika umum

(asam silikat koloidal) sebagai zat pelicin dan anti lengket, karena tidak menghambat

melarutnya zat aktif.

Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental seperti gom, gelatin, dan tajin

umunya juga memperlambat larutnya obat,sedangkan zat desintegrasi (seperti amylum)

justru mempercepat. Akhirnya, semakin keras pencetakan tablet, semakin sukar

melarutnya zat aktif. Begitu pula tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan

lebih sukar larut.

VI. BIOLOGICAL AVAILABILITY

Bio-Availability (ketersediaan hayati) adalah presentase obat yang diresorspi

tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapetiknya.

Dengan kata lain, Bio-Availability menyatakan jumlah obat dalam porsen

terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau

aktif.

Hal ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu tidak semua yang

diabsorpsi akan mencapai sirkulasi sistemik.Sebagian akan dimetabolisme

oleh enzim di dinding usus (pada pemberian oral) dan atau dihati pada lintas

pertama melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme

atau eliminasi lintas pertama atau eliminasi prasistemik.

Aspek biofarmasetika dari obat dan produk, yaitu :

1. Kelarutan

Kelarutan didefinisikan sebagai banyaknya materi (obat) yang dapat terlarut

dalam suatu solven (pelarut) pada kesetimbangan Kelarutan berkaitan dengan

disolusi (pelarutan) yaitu laju larutnya suatu zat dalam satuan waktu. Kelarutan

merupakan parameter biofarmasetik untuk pemberian oral, karena obat harus

larut dalam cairan lambung sebelum diabsorpsi.

2. Hidrofilisitas / lipofilisitas

Koefisien partisi atau distribusi dari suatu obat merupakan suatu ukuran relatif

dari kecenderungan senyawa untuk berbagi antara solven hidrofil dan lipofil,

Page 7: biofarmasetika umum

dan ini mengindikasikan sifat hidrofilik/lipofilik material tersebut. Lipofilisitas

penting dalam biofarmasetik karena sifat tersebut berefek terhadap partisi pada

membran biologis dan karenanya mempengaruhi permeabilitas melalui

membran yaitu berikatan atau berdistribusi pada jaringan in vivo.

3. Bentuk garam dan polimorf

Senyawa obat dapat berada dalam beragam bentuk, termasuk garam, solvat,

hidrat, polimorf atau amorf. Bentuk padatan akan mempengaruhi sifat zat padat

tersebut antara lain kelarutan, laju disolusi, stabilitas, higroskopisitas, dan juga

memberi dampak pada proses manufaktur dan kinerja klinis. Bentuk garam

dapat dipilih, yang mempunyai kelarutan lebih besar, dan ini akan

memperbaiki laju disolusi dari zat aktif.

4. Stabilitas

Stabilitas kimia dari obat amat penting untuk menghindarkan implikasi

aktivitas farmakologik dan/atau toksikologik. Profil stabilitas pH juga penting

dari perspektif fisiologik dengan pertimbangan rentang nilai pH yang terjadi in

vivo, khususnya dalam saluran cerna. Stabilitas fisik mengacu pada perubahan

senyawa obat padat yaitu termasuk transisi polimorfik, solvatasi/desolvatasi.

Ditingkat produk stabilitas menyangkut integritas sifat mekanis (kekerasan,

friabilitas, swelling) dan perubahan pada tampilan produk.

5. Sifat partikel dan serbuk

Sifat ruah (curah) serbuk farmasetis termasuk ukuran partikel, kerapatan, aliran,

wettability, dan luas permukaan. Beberapa sifat tersebut penting dari

pandangan proses pabrikasi (manufaktur) , misalnya kerapatan dan aliran,

sedangkan sifat lainnya dapat berpengaruh kuat pada laju disolusi produk obat

(ukuran partikel, wettability, dan luas permukaan).

6. Formulasi

Page 8: biofarmasetika umum

Bahan tambahan (eksipien) ditambahkan dalam suatu produk dapat

mempengaruhi absorpsi obat.

• Menaikkan kelarutan obat, menaikkan laju absorpsi obat

• Menaikkan waktu penahan obat dalam saluran cerna, hingga dapat

menaikkan jumlah obat yang terabsorpsi

• Menaikkan difusi obat melintasi dinding usus

• Memperlambat pelarutan (disolusi), menurunkan absorpsi obat.

VII. KELARUTAN

Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu konsentrasi zat

terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan

dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.

Misalnya 1 gr asam salisilat akan larut dalam 550 ml air. Suatu kelarutan juga dapat

dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen.

Pelepasan zat aktif dari suatu bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-

sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya.

Pelepasan zat aktif dari suatu bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-

sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain :

• pH

• Temperatur

• Jenis pelarut

• Bentuk dan ukuran partikel zat

• Konstanta dielektrik pelarut

• Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks, ion sejenis dll.

1. Pengaruh pH

Page 9: biofarmasetika umum

Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya adalah

zat organik yang bersifat asam lemah, dimana kelarutannya sangat dipengaruhi oleh pH

pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah seperti barbiturat dan sulfonamide

dalam air akan bertambah dengan naiknya pH karena terbentuk garam yang mudah

larut dalam air. Sedangkan basa-basa organik lemah seperti alkoholida dan anastetika

lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila pH larutan diturunkan dengan

penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam yang mudah larut dalam air.

2. Pengaruh temperatur (suhu)

Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada temperatur, titik

leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan suatu zat padat dalam

air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan

semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak

antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi

lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan

zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan menyebabkan kelarutan gas dalam air

berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang terlarut di dalam air akan terlepas

meninggalkan air bila suhu meningkat.

3. Pengaruh jenis pelarut

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan

melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan juga

bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari suatu

molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut larut

dalam air.

Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan

hydrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat. Senyawa polar (mempunyai

kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol,

dan semua asam merupakan senyawa polar sehingga mudah larut dalam air yang juga

merupakan senyawa polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam

senyawa nonpolar, misalnya lemak mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar

Page 10: biofarmasetika umum

umumnya tidak larut dalam senyawa polar, misalnya NaCl tidak larut dalam minyak

tanah.

Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut :

• Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam Kristal.

• Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat

amfiprotik.

• Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.

Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik antara ion-ion karena

konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan

tidak dapat membentuk jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat melarutkan zat-zat non

polar dengan tekanan internal yang sama melalui induksi antara aksi dipol. Pelarut semi

polar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-molekul pelarut non polar. Ia

bertindak sebagai perantara (Intermediete Solvent) untuk mencampurkan pelarut non

polar dengan non polar.

4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel

Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu zat.

Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan

zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila dibandingkan dengan

partikel yang bentuknya simetris.

5. Pengaruh konstanta dielektrik

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar

mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar

larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik ini menurut

moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu campuran

pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang

sudahdikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut.

6. Pengaruh penambahan zat-zat lain

Page 11: biofarmasetika umum

Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan

suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar.

Apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah, akan berkumpul pada

permukaan dengan mengorientasikan bagian polar ke arah air dan bagian non polar

kearah udara, surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk agregat

yang dikenal sebagai misel.

VIII. ABSORPSI

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik.

Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas

obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau

organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran

sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid

semipermeabel (Shargel dan Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat

itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan

banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama

adalah cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke

peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk

sediaannya. Secara ringkas

proses biofarmasetik digambarkan dalam gambar 4 (Joenoes, 2002).

Gambar 4. Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002)

Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi kalau

obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat sampai

tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi. Hanya kalau

Page 12: biofarmasetika umum

obat meresap/menembus dinding kapiler dan masuk ke dalam saluran darah baru itu

disebut absorpsi (Joenoes, 2002).

Berarti suksesnya perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral

kedalam sirkulasi umum bisa dicapai dengan empat langkah proses yaitu :

1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya

2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan

3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna

4. Pergerakan obat dari tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Syukri,

2002).

Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari

sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila

pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan

juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara

keseluruhan (Joenoes, 2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat :

1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat

Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang

dalam kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas

permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002).

2. Pengaruh daya larut obat

Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:

a. Sifat kimia : modifikasi kimiawi obat

b. Sifat fisik : modifikasi fisik obat

c. Prosedur dan teknik pembuatan obat

d. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002).

Page 13: biofarmasetika umum

3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat

a. pKa dan derajat ionisasi obat

Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga pada

pH lingkungannya. Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah; oleh karena

absorpsi dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak terionisasi (atau

molekul), maka perbandingan obat yang tidak terionisasi sangat menentukan absorpsi.

pKa obat merupakan faktor penting, apakah obat itu bila diberikan per oral diabsorpsi

lebih banyak di lambung atau lebih banyak di usus (Joenoes, 2002).

b. Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002).

Mekanisme Lintas Membran

Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi

mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan) bersaing dalam proses perlintasan

zat aktif melalui membran (Syukri, 2002).

a. Filtrasi atau konvektif

Filtrasi atau yang disebut juga “difusi secara konvensi” adalah mekanisme

penembusan pasif melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa yang berukuran

cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar

membran (membran seluler epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Å) dan

hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil

dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri

atas rantai panjang (Syukri, 2002).

b. Difusi pasif “pH partisi hipotesis”

Page 14: biofarmasetika umum

Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun

membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia

tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran.

Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum

difusi Fick (Syukri, 2002).

Laju penetrasi :

Konstanta Permeabilitas x Luas Permukaan x Perbedaan Konsentrasi

Konstanta permeabilitas :

Koefisien difusi x Koefisien partisi

Ketebalan membran

Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses

penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang

diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat aktif-protein yang

terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini

hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein merupakan faktor yang secara

tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran (Syukri, 2002).

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan

terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk

tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka

polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi

transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang

dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya faktor-faktor yang

berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul,

pH kompartemen) digarisbawahi dalam “Teori Difusi Non Ionik atau Hipotesa pH

Partisi” (Syukri, 2002).

Page 15: biofarmasetika umum

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa

kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk

elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang

sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung kelarutan bentuk tak

terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi

molekul (Syukri, 2002).

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach)

yaitu:

a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa

b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif

Untuk asam : pH = pKa + log Konsentrasi bentuk terionkan

Konsentrasi bentuk tak terionkan

Untuk basa : pH = pKa + log Konsentrasi bentuk tak terionkan

Konsentrasi bentuk terionkan

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran molekul,

dan sebagainya) merupakan hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme

pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan

perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat

(Syukri, 2002).

Page 16: biofarmasetika umum

Gambar 2. Transpor trans membran difusi pasif (Joenoes, 2002).

c. Tranpor aktif

Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran sangat

berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa

ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran.

Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada

permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri,

2002).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu

kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat

terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat

kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi

membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan

konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin

trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002).

Page 17: biofarmasetika umum

Gambar 3. Transpor trans membran transpor aktif (Joenoes, 2002)

d. Difusi sederhana (dipermudah = fasilitas)

Difusi sederhana merupakan cara pelintasan membran yang memerlukan suatu

pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa

tersebut bertanggungjawab terhadap transpor aktif, tetapi di sini perlintasan terjadi

akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi (Syukri, 2002).

Gambar 4. Transpor trans membran transpor yang dipermudah

Page 18: biofarmasetika umum

e. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul

besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan

pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).

Gambar 5. Transpor trans membran pinositosis (Joenoes, 2002)

f. Transpor oleh pasangan ion

Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu

senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan terjadi dengan

pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti

musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut

melalui membran (Syukri, 2002).

Page 19: biofarmasetika umum

Gambar 6. Transpor trans membran transpor pasangan ion (Joenoes, 2002)

Permeabilitas

Suatu senyawa obat untuk dapat memberikan aktivitas harus mampu menembus

membran biologis dan mencapai jaringan target dalam jumlah yang cukup untuk

menimbulkan aktivitas. Parameter sifat fisika kimia yang paling berperan dalam proses

distribusi tersebut adalah parameter lipofilik (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Membran-membran biologis dengan sifat lipoid, biasanya lebih permeabel

terhadap zat-zat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu pengangkutan melewati

membran-membran ini sebagian tergantung pada kelarutan lemak dari jenis zat yang

mendifusi. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat ditentukan oleh adanya gugus-gugus

nonpolar dalam struktur molekul obat tersebut, sebagaimana gugus-gugus yang dapat

terion dipengaruhi oleh pH setempat (Lachman, dkk, 1989).

Sering dikatakan bahwa molekul yang terionisasi tidak menembus membran,

kecuali untuk ion dengan diameter kecil. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena

terdapatnya membran karier untuk beberapa ion, yang mana efektif akan melindungi

atau menetralisasi muatan (bentuk pasangan ion). Ketika obat merupakan suatu asam

atau basa lemah, dalam bentuk tak terionisasi, dengan memiliki koefisien partisi

melewati membran biologis lebih cepat daripada bentuk terionisasi, bahwa hanya

bentuk tidak terionisasi yang dikaitkan dengan penembusan membran (Gennaro, 2001).

Page 20: biofarmasetika umum

Koefisien partisi dari obat tergantung pada polaritas dan ukuran dari molekul.

Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak terionisasi, mempunyai

kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan

saja mengurangi kelarutan dalam lemak sangat besar tetapi juga menghalangi

perlintasan melewati membran yang bermuatan (Gennaro, 2001). Umumnya koefisien

partisi lemak/air dari suatu molekul merupakan indeks yang berguna dalam

kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Lachman, dkk, 1989).

Koefisien partisi minyak/air merupakan ukuran sifat lipofilik suatu molekul, ini

merupakan rujukan untuk sifat fase hidrofilik atau lipofilik. Koefisien partisi harus

dipertimbangkan dalam pengembangan bahan obat menjadi bentuk obat. Koefisien

partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua fase,

yaitu pelarut organik dan air (Ansel, 1989). Bila molekul semakin larut lemak, maka

koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Tidak

boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila

koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan

hambatan pada proses difusi zat aktif.

Suatu senyawa yang dapat larut dalam dua pelarut yang tidak saling campur

maka senyawa akan terdistribusi ke dalam fase polar (misal: air) dan fase non polar

(misal: oktanol, kloroform, karbontetraklorida). Setelah tercapai kesetimbangan

ternyata kadar senyawa dalam kedua pelarut tersebut selalu tetap (pada suhu yang

tetap) sehingga dapat ditentukan nilai koefisien partisinya (Siswandono dan Soekardjo,

2000). Menurut Nernst,

koefisien partisi dapat disederhanakan sesuai dengan persamaan:

P= Co/Cw atau Log P= log Co – log Cw

Keterangan :

Co : Kadar molal dalam fase non-air

Cw : Kadar molal dalam air, setelah mengalami kesetimbangan partisi (Sardjoko,

1993).

Page 21: biofarmasetika umum

Nilai P : Seringkali dinyatakan dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P 1 setara

dengan nilai P 10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang

mengalami partisi ke dalam pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10

berarti bahwa 10 bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian

berada dalam lapisan air (Rohman, 2007).

Membran Sel

Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang berfungsi untuk memelihara

keutuhan sel, mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang, mengatur

keluar masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma. Membran sel bersifat

semipermeabel dan mempunyai ketebalan total ± 8 nm. Membran sel merupakan

bagian sel yang mengandung komponen-komponen terorganisasi dan dapat berinteraksi

dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan

dapat mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat. Sesudah pemberian secara oral,

obat harus melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem peredaran tertentu,

melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat (Siswandono dan

Soekardjo, 2000).

Membran sel terdiri komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu :

a. Lapisan Lemak Bimolekul

Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan fosfo

lipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin, fosfatidilserin dan

spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak bimolekul dibagi menjadi

dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai hidrokarbon, dan bagian polar

yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus gliserilfosfat fosfolipid

(Siswandono dan Soekardjo, 2000).

b. Protein

Page 22: biofarmasetika umum

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada

pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampifil karena mengandung gugus hidrofil dan

hidrofob (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

c. Mukopolisakarida

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak

dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti glikolipid,

atau dengan protein, seperti glikoprotein (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Membran sel mempunyai pori yang bergaris tengah antara 3,5-4,2 Ǻ,

merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping molekul protein yang

bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena kekuatan

tekanan darah (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Contoh membran biologis: sel epitel saluran cerna, sel epitel paru, sel endotel

buluh darah kapiler, sawar darah-otak, sawar darah-cairan serebrospinal, plasenta,

membran glomerulus, membran tubulus renalis, dan sel epidermis kulit (Siswandono

dan Soekardjo, 2000).

Usus Halus

Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam usus

halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi dan

enzim yang disekresi ke dalam lumennya oleh hati dan pankreas (Fawcett, 1994). Usus

halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum yang

terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9 m. Panjang

tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot, yang melingkari peritoneum

(Aiache, dkk, 1993).

Page 23: biofarmasetika umum

Gambar 7. Usus Halus (Deferme, et al, 2008)

Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal

abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C, mengitari

kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang terikat pada

dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat digerakkan bebas pada

mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan

ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Kelokan-kelokan jejunum menempati bagian

pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga. Terdapat

perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga segmen usus halus itu, namun batas di

antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis konsentris:

mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Fawcett, 1994). Mukosa terdiri dari

empat lapisan: permukaan lapisan tunggal, membran basal, lamina propia dan lamina

muskularis mukosa (Deferme, et al, 2008). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak

pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula

conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan

penuh dengan villi yang tingginya 0,75-1 mm dan selalu bergerak. Adanya vili ini lebih

memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40-50 m2 (Aiache,dkk,1993).

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum dan

bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari

jejunum dan ileum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-6,

jejunum 6-7, ileum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi obat,

Page 24: biofarmasetika umum

sebagai akibat disolusi dari berbagai bentuk sediaannya. Pada pH yang berbeda-beda

absorpsi optimal suatu obat tergantung juga pada pKa obat (Joenoes, 2002).

XI. BCS (Biopharmaceutical Classification System)

Sistem

Klasifikasi Biofarmasetika adalah suatu konsep untuk mengklasifikasikan zat obat

berdasarkan kelarutan air dan permeabilitas usus. Sistem klasifikasi ini ditemukan oleh

Amidon et al. Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification

System, BCS) ini dapat digunakan untuk menjustifikasi persyaratan-persyaratan

penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut secara cepat, mengandung bahan aktif

yang sangat larut dan sangat permeable (Goeswin,2009).

Jika diterima oleh Badan POM/FDA,

ketersediaan hayati dan bioekivalensi sediaan yang memenuhi persyaratan ini dapat

dibuktikan melalui pengujian kelarutan secara in vitro, permeabilitas dan studi disolusi

(Goeswin,2009). Sebaiknya obat dengan permeabilitas

buruk, kelarutan buruk dan/atau diformulasikan dalam bentuk sediaan yang melarut

secara lambat sangat mungkin akan menunjukkan masalah ketersediaan hayati, dan

bukan merupakan calon obat untuk diteliti ketersediaan hayati secara in vivo

(Goeswin,2009). Sistem klasifikasi Biofarmasetika (BCB)

Kelas1 High solubility High permeability

Kelas2 Low solubility High permeability

Kelas 3 High solubility Low permeability

Kelas 4 Low solubility Low permeability

Kelas solubility didasarkan kepada volume media air yang diperlukan untuk

melarutkan dosis tertinggi obat pada rentang pH 1 – 7.5

Page 25: biofarmasetika umum

Suatu obat dimasukkan dalam “high” soluble, jika dosis tertinggi obat (missal 6

mg) (obat, dosis 2.4 mg dan 6 mg) dalam volume 250 ml air. Sediaan oral padat

pelepasan segera (immediate release, IR) dikelompokkan dalam yagn menunjukkan

kecepatan disolusi cepat dan kecepatan dissolusi lambat. Sediaan IR adalah sediaan

farmasi dimana dissolusi ≥ 85% dari dosis (jumlah pernyataan) pada label obat dalam

waktu 30 menit (Q 30).

Pengujian disolusi harus dilakukan menurut cara UPS Apparatus I pada 100

rpm (atau Apparatus II pada 50 rpm) dalam volume ≤ 900 ml dari medium berikut:

(i) 0.1 N asam hidroklorida atau cairan simulasi lambung USP tanpa enzim

(ii) Pada dapar pH 4.5 dan

(iii) Pada dapar pH 6.8 atau cairan simulasi intestinal USP tanpa enzim

Profil disolusi produk T (test) dan R (reference) dibandingkan menggunakan

faktor kemiripan (similarity) (f2). Nilai f2 > 50 (atau mendekati 100) menjamin

kemiripan (ekivalensi) dari kedua profil disolusi yagn berarti kinerja dari produk yang

diuji dan referensi sebanding. Perbandingan profil menggunakan f2 tidak diperlukan

jika ≥ 85%, jumlah pernyataan kadar obat pada lebel baik produk yang diuji atas

referensi terdisolusi dalam waktu 15 menit menggunakan masing masing media

tersebut (Q15 ≥ 85% (Goeswin,2009).