bioetika eutanasia ana widiana
TRANSCRIPT
Ana Widiana, 30609007
Tugas Filsafat Ilmu (BI7101)
Dosen : Intan Ahmad, PhD
BIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIA
Disusun oleh :
Ana Widiana, 30609007
SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010
Ana Widiana, 30609007
BIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIABIOETIKA : EUTANASIA
Bioetika (Wikipedia, 2009)
Adalah : Biologi dan ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di bidang kehidupan, tidak
hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi
juga memperhatikan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang.
Fransese Abel merumuskan definisi tentang bioetika (dalam Bertens, 2009) sebagai studi
interdisipliner tentang problem-problem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun makro, dan dampaknya atas
masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang.
Dalam Wikipedia juga dikemukakan bahwa terdapat tiga etika dalam bioetika, yaitu :
1. Etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu kelompok
sebagai pegangan bagi tingkah lakunya.
2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas (apa yang dianggap
baik atau buruk). Contohnya: kode etik kedokteran, kode etik rumah sakit.
3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai-nilai
moral.
Jacques (19980) menyatakan bahwa pada saat ini terdapat cakupan bioetika tentang kajian-
kajian mengenai penanganan pasien yang tidak mungkin tertolong lagi, eutanasia, rekayasa
genetik, stem cell, dan banyak kajian lainnya. Dan salah satu kajian dalam bioetika yang masih
menjadi kontroversi pada saat ini adalah mengenai Eutanasia. Eutanasia (Bahasa Yunani: -ευ, eu
yang artinya "baik", dan thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan
manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan (Wikipedia
Bahasa Indonesia).
Ana Widiana, 30609007
Eutanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara
tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk
meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya (Parikesit, 2007).
Hadiwardoyo (1989) menyatakan bahwa dahulu istilah euthanasia menunjukkan usaha tenaga
medis untuk membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik, tanpa penderitaan
yang terlalu hebat. Apabila euthanasia dipandang sebagai bantuan medis pada pasien yang
sudah mendekati akhir hidupnya, dengan cara yang sesuai dengan perikemanusiaan, maka
tindakan tersebut baik motivasi tau caranya tidak bertentangan dengan rasa hormat terhadap
martabat manusia.
Pada saat ini banyak sekali pertentangan terhadap praktek eutanasia. Ada pihak-pihak yang
kontra terutama dari kalangan pemuka agama yang menganggap bahwa tindakan eutanasia
merupakan upaya pembunuhan baik yang dilakukan secara terencana ataupun tidak dan juga
dipandang menyalahi aturan agama karena mendahului kehendak Allah SWT. Tetapi tidak
sedikit juga yang menjadi kelompok yang pro akan tindakan eutanasia ini yang umumnya di
anut terutama oleh kebanyakan pasien atau orang yang memiliki penyakit atau penderitaan
yang tak berkesudahan dan kesempatan untuk sembuhnya tipis. Mereka merasa bahwa dengan
melakukan eutanasia, selain tidak terlalu lama mengalami penderitaan, mereka juga tidak
merepotkan dan membebani pihak keluarga yang selama ini mengurus dan mengusahakan
dana perawatan mereka.
Menurut Utomo (2009), dalam praktek kedokteran dikenal dua macam eutanasia yaitu,
euthanasia aktif dan eutanasia pasif.
Eutanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit
pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
Ana Widiana, 30609007
memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah
parah. Contoh kasus etanisia aktif misalnya pada orang yang mengalami keadaan koma yang
sangat lama, karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami
benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan
mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak
akan dapat disembuhkan.
Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat
bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita
sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif yang kemudian akan
memudahkan proses kematiannya.
Eutanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan
ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk
biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi. Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam eutanasia pasif, yaitu
upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin bisa sembuh. Contoh kasus dalam hal ini seseorang yang kondisinya sangat kritis dan
akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan
pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita
penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan
kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan
lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam
keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat
membawa kematiannya.
Ana Widiana, 30609007
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia
pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak
berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif
itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
Dalam Aturan Hukum
Aturan hukum mengenai masalah eutanasia sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan
atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-
negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. Menurut Hilman
(dalam Jurnal Persi, 2006), “Membiarkan penderita meninggal secara alamiah, dengan alasan
karena menurut logika medik tidak mungkin lagi dapat disembuhkan, secara etika dapat
diterima dan bukan merupakan pelanggaran”.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang telah
melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus
dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian
Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan
bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang
yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat
akhir hidupnya.
Berdasarkan hukum di Indonesia, eutanasia merupakan sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, seperti yang dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Seperti juga yang dinyatakan pada
Ana Widiana, 30609007
pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun (Wikipedia, 2009).
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Eutanasia hingga saat ini tidak
sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku
yakni KUHP (Wikipedia, 2009).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan
eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi
Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk
memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak
pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Dalam Ajaran Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir
dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum
Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Janganlah
Ana Widiana, 30609007
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah
kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri (Wikipedia,
2009).
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . Eutanasia
dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan
pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Pengertian “mempercepat
kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan
kematian adalah Allah (QS.Yunus:49). Dengan demikian eutanasia sebenarnya merupakan
pembunuhan, yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam Wikipedia (2009) juga disebutkan bahwa pada prinispnya pembunuhan secara sengaja
terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas
akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat
dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah
saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari
dan Muslim). Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah
Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk
memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Ana Widiana, 30609007
Eutanasia Menurut Pandangan Saya Pribadi
Saya mengambil kasus Eutanasia sebagai makalah bioetika karena apa yang menjadi
bahasannya pernah terjadi pada kehidupan saya pribadi.
Dimulai dari peristiwa dioperasinya jantung ayah saya (operasi by pass) karena kondisinya yang
sering merasakan sesak dan sakit di bagian dada. Dokter mendiagnosis bahwa hampir 70%
pembuluh darah di jantung sudah tersumbat atau tidak berfungsi baik yang diakibatkan
kebiasaan buruk ayah saya sebagai perokok. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi By
pass untuk menghilangkan sumbatan tersebut. Pembuluh di jantung yang hilang karena
dipotong akan digantikan oleh pembuluh yang berasal dari betisnya. Hari kedua setelah
operasi, ayah saya sudah bisa sadar, mengkonsumsi makanan cair dan berkomunikasi dengan
kami. Tapi di hari ketiga ayah saya tidak sadarkan diri (koma). Tim dokter mengatakan bahwa
terjadi emboli (gelembung udara) di daerah sambungan pembuluh di betis sehingga darah tidak
dapat mengalir ke kaki bagian bawah. Yang kemudian menjadi berita mengejutkan pada saat
dokter meminta persetujuan keluarga untuk mengamputasi kaki ayah saya sampai batas lutut
karena kaki di bawah lutut menjadi busuk. Setelah berunding, keluarga memutuskan untuk
tidak mengamputasi kaki ayah saya dengan banyak sekali pertimbangan yang harus
diperhatikan. Pada hari-hari berikutnya, karena pembusukan pada organ tubuh ayah saya terus
menjalar ke arah tubuh bagian atas, ayah saya mengalami kegagalan organ-organ vital seperti
fungsi jantung dan ginjal sehingga setiap hari ayah saya harus menjalani cuci darah dan
tergantung pada alat bantu nafas. Kami tahu bahwa ayah saya masih mendengar setiap kami
mengajak bicara beliau. Itu dapat kami ketahui dari matanya yang berair setiap kami berbicara
kepada beliau meskipun secara fisik tidak ada tanda-tanda pergerakan atau kehidupan. Tim
dokter telah menjelaskan kepada pihak keluarga bahwa kemungkinan hidup ayah saya tinggal
10% dan meminta pertimbangan dari keluarga untuk penanganan ke depan. Pihak keluarga
berkumpul dan merundingkan tindakan apa yang akan diambil. Kami berfikir tidak mau
mendahului kehendak yang maha kuasa. Segala usaha kami upayakan untuk kesembuhan ayah
kami. Tapi akhirnya kami harus ikhlas juga dengan kehendak-Nya. Tepat hari ke sepuluh, tim
dokter kembali merundingkan kepada pihak keluarga tentang kondisi ayah saya. Dan kami
sekeluarga membuat kesepakatan untuk menyerahkan sepenuhnya keputusan yang terbaik
Ana Widiana, 30609007
bagi ayah kami kepada dokter dan tim dokter memutuskan untuk menghentikan dan melepas
alat bantu nafas dan semua peralatan medis yang terpasang pada tubuh ayah saya dan
mengikhlaskan ayah saya untuk kembali pada sang Khalik. Bukan karena kami tidak sayang atau
tidak perduli dengan kondisi ayah kami, tapi karena kami sangat menyayangi beliau dan kami
tahu juga sadar bahwa ayah saya lebih menderita dibanding apa yang terlihat dari luar. Oleh
karena itu kami mengijinkan dokter untuk menghentikan semua upaya medis yang selama ini
diberikan pada ayah saya. Kami berharap ayah kami tidak lagi mengalami lagi penderitaan yang
selama koma/tidak sadar beliau rasakan. Semoga keputusan yang kami ambil adalah keputusan
yang tepat dan semoga Allah SWT mengampuni dosa kami apabila keputusan yang diambil
tidak tepat. Kami hanya tidak ingin ayah kami menderita lebih lama. Tepat jam 9.00 dokter
melepas semua peralatan yang terpasang pada tubuh ayah saya, dan kemudian beliau
menghembuskan nafas terakhirnya.
Jadi menurut saya, keputusan untuk mengambil tindakan eutanasia tergantung pada banyak hal
dan alasan. Tapi yang utama bahwa keluarga telah sepakat untuk mengambil tindakan tersebut
karena pasien sendiri secara medis sudah terlalu kecil harapan hidupnya atau dilakukan
terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Kita tidak
pernah tahu apakah tindakan melepas atau menghentikan alat bantu nafas adalah tindakan
yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT karena kita juga tidak tahu apakah
mempertahankan hidup seseorang dengan bantuan alat bantu nafaspun termasuk menentang
kehendak-Nya.
Berdasarkan penuturan Utomo (2009), melakukan pengobatan atau berobat hukumnya sunnah
ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan
sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti
dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam
media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang
Ana Widiana, 30609007
cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh
Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak
mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Utomo (2009) juga menjelaskan bahwa memudahkan proses kematian (taisir al-maut)
semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-
rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang
terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib
ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun
hukum positif. Tindakan eutanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh)
dan dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal yang terkait dengan contoh yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang
menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan
otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan
tidak memberikan pengobatan. Eutanasia untuk hal seperti ini adalah bukan termasuk kategori
eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan
tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien
sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja,
padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang
mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena
jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan
si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta
memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan
tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya.
Ana Widiana, 30609007
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Bioetika. Asal usul tujuan, dan cakupannya. Pusat Pengembangan Etika. Universitas
Atma Jaya. Jakarta.
Hadiwardoyo, A.P. 1989. Etika Medis. Pustaka Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hilman, I. 2006. Membiarkan Mati Secara Alamiah (Letting Die Naturally) Pada Pasien Yang
Secara Medis Tidak Mungkin Lagi Dapat Disembuhkan. Jurnal Persi Vol 06.
Jacques, T.P. 1980. Ethics, Theory and Practice. Glencoe Publishing co., Inc. Encino. California.
Parikesit, A.A. 2007. Euthanasia dan Kematian Bermartabat. Suatu Tinjauan Bioetika.
Netsains.com>SchoolWork>Homework.
Utomo, S.B. 2009. Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. Fikih Kontemporer.
www.eramuslim.com>konsultasi>Fikihkontemporer.
Wikipedia. 2009. Bioetika. Wikipedia Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas.
Id.wikipedia.org/wiki/Bioetika.
Wikipedia. 2009. Eutanasia. Wikipedia Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas.
Id.wikipedia.org/wiki/Bioetika.