analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di .../analisis...perpustakaan.uns.ac.id...

66
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Eka Candra Budi Utama NIM. E0007120 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Upload: vuhanh

Post on 16-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA

DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

Eka Candra Budi Utama

NIM. E0007120

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Eka Candra Budi Utama

NIM : E0007120

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI

INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDAadalah betul-betul karya sendiri.

Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda

citasi dan ditunjukkan dalam daftaar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti

pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik

berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum (skipsi) ini.

Surakarta, 5 Januari 2012

Yang membuat pernyataan

Eka Candra Budi Utama

NIM.E0007120

Page 5: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran (QS. an-Nahl; 90).

Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut

oleh manusia ialah menundukan diri sendiri(Ibu Kartini ).

Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat

justitia pereat mundus

(Aristoteles).

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang

harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka

menyukainya atau tidak (Aldus Huxley).

PERSEMBAHAN

Tulisan ini kupersembahkan kepada :

1. Allah Subhanahu wa-ta'ala

2. Ayah dan Ibuku tersayang

3. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani

4. Della Arginia Octaviadon

5. Sahabat - sahabatku

6. Angkatan 2007 Fakultas Hukum yang saya banggakan

7. Almamaterku tercinta.

Page 6: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRAK

Eka Candra Budi Utama. E0007120.ANALISIS STUDI KOMPARASI

TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI

BELANDA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan

tindak pidana euthanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda serta perbandingan

pengaturan kedua Negara tersebut sehingga dapat diketahui kelebihan maupun

kelemahan masing-masing pengaturan tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

sumber bahan sekunder. Sumber bahan sekunder terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunderdan bahan hukum tersier. Bahan hukum sekunder

diperoleh dari studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum. Teknik pengumpulan bahan yang digunakan penulis

adalah studi kepustakaan atau melalui bahan pustaka karena dalam hal ini penulis

menggunakan pendekatan perbandingan(comparative approach).Teknik analisis

bahan yang digunakan adalah analisis isi karena penulis menggunakan metode

interpretasi sistematis dan metode silogisme.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, di Indonesia tidak

ada aturan khusus mengenai tindak pidana eutanasia dan Indonesia merupakan

negara yang tidak mengakui tindakan eutanasia.Pasal-pasal dalam KUHP

Indonesia yang relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia seperti Pasal

340, Pasal 344 dan Pasal 359, bukan merupakan Pasal yang baku atau yang benar-

benar dibuat untuk mengatur tindak pidana euthanasia.Di Belanda telah ada aturan

khusus mengenai tindakan eutanasia yaitu Undang-Undang yang disahkan pada

tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan

amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU

Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted).Dalam UU tersebut

jelas terdapat pasal-pasal yang mengatur tindakan euthanasia yang dilakukan

dokter, terutama euthanasia aktif dan dokter diperkenankan melakukan euthanasia

dan bunuh diri dibantu.

Kata kunci : Tindak Pidana, Eutanasia, Komparasi.

Page 7: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRACT

Eka Candra Budi Utama. E0007120. ANALISIS STUDI KOMPARASI

TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI

BELANDA.The Faculty Of Law Sebelas Maret University.

The writing of this law aims to find out about setting up a criminal acts of

euthanasia in Indonesia and in the Netherlands as well as a comparison of the two

settings of the country so as to know the advantages and disadvantages of each of

these settings.

This research is the normative legal research using secondary source

material. Source of secondary materials consist of primary legal materials, legal

materials and secondary legal materials tertiary.Secondary legal material obtained

from studies i.e. libraries through text books, legal dictionaries, legal journals. The

technique of collecting materials used writer's study library or through references

because in this case the author used the approach of comparison (comparative

approach).Analysis techniques of materials used is the analysis of the content

because the author uses systematic methods and interpretation method of

syllogisms.

Based on the results of research could be taken, at the conclusion there is

no special rule of Indonesia concerning the crime of euthanasia and Indonesia is a

country that does not recognize the Act of euthanasia.The articles in the PENAL

CODE relevant to Indonesia applied euthanasia as a criminal offence, article 344

Article 340 and Article 359, not an Article that is raw or who really created to

regulate euthanasia criminal acts.In the Netherlands there have been special about

euthanasia action rules that a law was passed on 12 April 2001 on the review of

euthanasia and assisted suicide and the amendment of the CRIMINAL CODE and

the Act of burial and Cremation (law Termination of life on Request and Assisted

Suicide).In the ACT clearly contained clauses that govern actions performed

euthanasia doctor, particularly active euthanasia and physicians are allowed to

perform euthanasia and assisted suicide.

Keywords: criminal acts, Euthanasia, Comparisons.

Page 8: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :

ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI

INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA.Penyusunan skripsi ini bertujuan

untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.Penyusunan skripsi ini

dapat terselesaikan karena adanya bantuan, bimbingan, dorongan, saran dan

nasehat dari berbagai pihak. Oleh Karena itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta beserta seluruh Pembantu Rektor.

2. Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana.

4. Bapak Winarno Budyatmo,S.H.,M.S.,selaku Dosen Pembimbing I yang

telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan

bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.

5. Bapak Sabar Slamet,S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

mengarahkan dan membuka pikiran penulis bagi tersusunnya penulisan

hukum ini.

6. Tim penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan

memberikan masukan untuk menyempurnakan penulisan hukum ini.

7. Ibu Siti Warsini, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik.

8. Ayah dan Ibu tersayang yang senantiasa mendoakan penulis dalam setiap

langkah hidup serta melimpahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada

henti.

9. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani yang selalu memberikan

dukungan dan semangat .

Page 9: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuannya bagi penulis dalam penulisan hukum ini.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat

bagi kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi,

maupun masyarakat umum.

Surakarta, 5 Januari 2012

Penulis

Eka Candra Budi Utama

Page 10: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .............................................................................................. i

Halaman Persetujuan Pembimbing ............................................................... ii

Halaman Pengesahan Penguji ....................................................................... iii

Halaman Pernyataan ...................................................................................... iv

Halaman Motto Dan Persembahan………………………………………….. v

Abstrak .......................................................................................................... vi

Abstract ……………………………………………………………………. vii

Kata Pengantar .............................................................................................. viii

Daftar Isi ....................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 5

E. Metode Penelitian .................................................................... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12

A. Kerangka Teori ........................................................................ 12

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan ............................. 12

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ............................ 17

3. Tinjauan Umum Tentang Eutanasia .................................... 20

B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 26

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28

A. Pengaturan Eutanasia Di Indonesia ......................................... 29

B. Pengaturan Eutanasia Di Negeri Belanda……………………. 36

Page 11: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

C. Perbedaan Pengaturan Tindak Pidana Eutanasia Di Indonesia Dan Di

Negeri Belanda……………………………………… 50

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 53

A. Simpulan .................................................................................. 53

B. Saran ........................................................................................ 54

Daftar Pustaka .............................................................................................. 56

Page 12: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia

yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia

bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang

bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan

yang tinggi.Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi

terhadap hukum juga bisa berubah.

Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem

demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-

nilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja), ditandai dengan

berkembangnya paham sekularisme.Siapapun (termasuk pemerintah) tidak

boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.

Namun hak-hak yang dimiliki setiap individu tersebut harus

disusun dalam suatu aturan hukum yang mengikat agar dalam setiap

upaya-upaya pemenuhan hak individu tidak menyimpang dari kaidah dan

norma yang berlaku. Kaidah dan norma yang disusun dalam aturan hukum

memiliki karakteristik masing-masing yang tidak identik antara satu

negara dengan negara lain. Guna mengetahui perbedaan maupun

persamaan antara aturan hukum dari negara yang berbeda, maka perlu

melakukan suatu perbandingan hukum.

“Secara sederhana perbandingan dapat diartikan sebagai suatu

kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan/atau

perbedaan antara dua gejala tertentu, atau lebih” (Soerjono Soekanto,

1989:10).

Perbandingan hukum adalah kegiatan mengadakan identifikasi

terhadap gejala hukum tertentu untuk menentukan persamaan dan/atau

perbedaan antara dua gejala hukum atau lebih. “Bahan-bahan yang

Page 13: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

dipergunakan dalam perbandingan hukum dapat berupa bahan yang

langsung didapat dari masyarakat (=data primer), maupun bahan

kepustakaan (=data sekunder)” (Soerjono Soekanto, 1989:54).

Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan

kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra

terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan

pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia

harus melihat.

Beberapa memandang eutanasia sebagai titik akhir bagi

penderitaan yang tak tertahan atau suatu situasi tanpa harapan. Orang lain

melihat eutanasia sebagai suatu cara untuk memperlancar peralihan yang

bagaimanapun sedang berlangsung. Orang lain lagi menganggap eutanasia

sebagai mengantisipasi saja yang tak terhindarkan. “Eutanasia dipandang

juga sebagai suatu hak atau sebagai pengungkapan terakhir harkat

manusiawi seseorang. Cara lain untuk mengerti eutanasia adalah

melihatnya sebagai pembunuhan” (K. Bertens, 1995:67).

Dengan memandang eutanasia sebagai pembunuhan, maka

eutanasia dianggap sebagai penyalahgunaan kuasa terhadap dirinya sendiri

atau melangkahi batas-batas tanggung jawab atas tubuhnya sendiri.

Dengan demikian berbagai upaya yang dilakukan terhadap diri dan

tubuhnya merupakan serangkaian perwujudan eutanasia.

“Eutanasia secara literal berarti kematian yang baik atau bahagia.

Hal ini sering disamakan dengan pembunuhan karena kasihan” (Larry

May;dkk, 2001:324). Ada dua tipe euthanasiayaitu euthanasia aktif dan

euthanasia pasif. Eutanasia aktif mengacu pada praktek membawa

kematian secara langsung, baik orang tersebut menghendaki atau tidak.

Eutanasia pasif adalah tindakan tidak melakukan apapun untuk mencegah

kematian terjadi.

Perbedaan antara eutanasia aktif dan eutanasia pasif dianggap

krusial bagi etika medis. “Setidaknya dalam beberapa kasus bisa diizinkan

untuk menolak memberikan perawatan dan membiarkan seorang pasien

Page 14: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

meninggal, tapi tidak pernah diizinkan untuk mengambil tindakan

langsung yang dirancang untuk membunuh pasien” (Larry May;dkk.

2001:326). Doktrin ini kelihatannya diterima oleh kebanyakan dokter dan

disahkan dalam sebuah pernyataan yang dipakai oleh Dewan Delegasi dari

Asosiasi Medis Amerika pada tanggal 4 Desember 1973.

Namun sekarang banyak orang berpendapat bahwa larangan

eutanasia dalam hukum itu harus diubah. Alasannya juga pertimbangan

etika. Mereka menekankan hak pasien terminal untuk mengakhiri

hidupnya, jika penderitaannya tidak tertahankan lagi. Dalam situasi seperti

itu manusia mempunyai the right to die atau dirumuskan dengan lebih

tepat the right to die with dignity.“Karena diketahui bahwa dalam masalah

euthanasia ini si pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in

persistent vegetative state)” (Suwarto, 2009:172).

Berbicara tentang hak, maka kita berbicara tentang hukum, dan

hukum selalu berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban yang timbal

balik dan tentang boleh dan tidak boleh. Jadi kalau hak untuk mati dari

seseorang, maka ada kewajiban dari pihak lain untuk menghargai hak

seseorang itu dan sebaliknya. Kalau tidak ada hak untuk mati, apabila

seseorang melakukan bunuh diri atau melaksanakan eutanasia, maka

terjadi perbuatan melanggar hukum dan perbuatan itu dapat dikenakan

sanksi hukum.

Indonesia, melalui Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), menentukan tentang dapat dipidananya seseorang yang

menghilangkan nyawa orang atas permintaan orang itu sendiri, meskipun

dinyatakan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh.

Unsur terpenting disini adalah “atas permintaan sendiri yang nyata

dan sungguh-sungguh”, jika demikian, pembuat dikenakan pasal-pasal

pembunuhan biasa (Winarno Budyatmojo, 2009:122).

Tetapi dulu di Negeri Belanda (asal dari KUHP Indonesia – het

Wetboek van Straafrecht), diatur tentang dapat dipidananya seseorang

Page 15: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

yang telah gagal melakukan percobaan bunuh diri (sekarang pasal yang

mengatur tentang itu telah dicabut dari het Wetboek van Straafrecht).

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan

penulisan hukum tentang pengaturan mengenai perbuatan eutanasia, maka

penulis termotivasi untuk menulis penulisan hukum dengan judul,

“ANALISISSTUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA

DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk

membatasi masalah yang akan dikaji dalam pembahasan agar tidak

memberikan penafsiran yang bermacam-macam serta sebagai upaya

pemecahan masalah yang ingin dicapai dari uraian latar belakang

diatas.Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merumuskan

permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di

negeri Belanda?

2. Apakah perbedaan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia

dan negeri Belanda?

C. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian pada dasarnya mempunyai suatu tujuan

yang hendak dicapai agar dapat memberikan manfaat bagi penulis

maupun orang lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini adapun tujuan

yang hendak dicapai adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui tentang pengaturan tindak pidana

eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

b. Untuk mengetahui tentang perbedaan pengaturan tindak

pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetauan dan wawasan penulis di

bidang Hukum Pidana khususnya mengenai pengaturan

Page 16: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda;

dan

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh

gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Pemilihan masalah dalam penelitian ini bertujuan agar hasil

penelitian ini dapat bermanfaat, karena nilai dari sebuah penelitian

ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat di ambil dari penelitian

tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara

lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

terutama dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum

pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

literatur, referensi, dan bahan-bahan acuan ilmiah serta

pengetahuan bidang hukum, khususnya tentang pengaturan

tindak pidana eutanasia.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti penulis.

b. Dapat meningkatkan pola pemikiran yang dinamis dan

mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

pengetahuan bagi para pihak yang trkait dengan masalah yang

diteliti.

E. Metode Penelitian

“Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35).

Page 17: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum

yang timbul. Oleh karena itu, “penelitian hukum merupakan suatu

penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum”. Hasil yang

dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41).

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan

penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah “peneliti

harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi

penelitian disiplin ilmunya” (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian

hukum, “konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam

suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum

beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan

aktualitasnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 28).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian

ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian

doktrinal (doctrinal research) aitu penelitian berdasarkan bahan-bahan

hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari

bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum

menurut Johnny Ibrahim ialah “suatu prosedur ilmiah untuk

menemukan kebenaran bedasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 57).

Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo

yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum

normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang

terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang

bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan

Page 18: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu “chaos atau

mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu Istructured whole of

system” (Johnny Ibrahim, 2006: 57).

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut

penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum

sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, menurut penelitian

penulis bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan

dengan penelitian yang dilakukan penulis mengenai perbandingan

pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda,

sehingga dibutuhkan “penalaran dari aspek hukum normatif, yang

merukan ciri khas hukum normatif” (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi

berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian

hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek

kajian atau isu hukum yang diangkat.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu

sendiri. “Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif,

artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari

tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum”

(Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan

preskriptif mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia

di Indonesia dan di negeri Belanda.

3. Pendekatan Penelitian

“Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran untuk mengungkap kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan

konstruksi (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003:20)”. Penelitian

hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang

Page 19: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan

kenyataan.

Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat

beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute

approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan

analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case

approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 30).

Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan

penelitian hukum ini adalah pendekatan perbandingan. Yaitu

perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di

negeri Belanda.

4. Jenis Dan Sumber Data

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang

dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoriatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan

“bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yan meliputi buku-buku

teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas

putusan pengadilan” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer

yakni perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-

dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum

dan jurnal-jurnal hukum.

Page 20: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

5. Teknik Pengumpulan Bahan

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud

mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal

adanya data. Sehingga yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal

ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

“Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas”(Peter Mahmud

Marzuki, 2009: 141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.

b. Bahan Hukum Sekunder

“Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi” (Peter

Mahmud Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum sebagai

pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian

ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal

hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya, yang memiliki

korelasi untuk mendukung penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian

normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan

metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir

deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan

hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terkait teks undang-

undang agar lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan

peristiwa tertentu.

Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode

silogisme dengan teknik analisis deduksi. Metode deduksi adalah

Page 21: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian

diajukan premis minor dari kedua premis ini kemudian ditarik

kesimpulan atau conclusion. Artinya bahwa melakukan pengolahan

analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum untuk mempermudah pemahaman

mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai

sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam

penliian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk

sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana

tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk

memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian.

Adapun penulis menyusun sistematika penelitian hukum sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metodologi penelitian dan sistematika

penulisan hukum untuk memberikan pemahaman

mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang

berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka

pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan

diuraikan mengenai tinjauan umum tentang

perbandingan, yang meliputi istilah perbandingan;

perbandingan sebagai metode dan ilmu, perbandingan

hukum dan cabang-cabangnya.Tinjauan umum tentang

tindak pidana yang meliputi pengertian tindak pidana,dan

pemaparan unsur-unsur tindak pidana. Tinjauan umum

Page 22: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

tentang eutanasia, meliputi pengertian eutanasia, jenis

eutanasia, bentuk-bentuk semu eutanasia, tujuan

eutanasia. Keseluruhan uraian dapat memudahkan

pembaca untuk membaca dan memahami mengenai

analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di

Indonesia dan di Negeri Belanda.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab tiga, penulis akan menyajikan pembahasan

dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis,

yaitu berupa analisis studi komparasi tindak pidana

eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda.

BAB IV : PENUTUP

Bab empat merupakan bab terakhir dari keseluruhan

penulisan hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari

pembahasan rumusan masalah hasil penelitian dalam

penulisan hukum dan disertai saran yang didasari dari

simpulan hasil penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan

a. Istilah Perbandingan

Istilah “komparasi” dilihat dari Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti perbandingan (http://kamusbahasaindonesia.org/

komparasi). Istilah perbandingan memiliki arti :

1) “perbedaan (selisih) kesamaan;

2) persamaan; ibarat;

3) pedoman pertimbangan”

(http://kamusbahasaindonesia.org/perbandingan).

Sedangkan istilah analisis menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah “penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya

dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian

untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti

keseluruhan” (H. Alwi, 2002:43).

Jadi analisis perbandingan adalah penyelidikan mengenai

persamaan dan atau perbedaan mengenai suatu hal atau peristiwa

dengan penelaahan bagian-bagian sendiri serta hubungan

antarbagian untuk mengetahui pengertian dan keadaan yang

sebenarnya.

Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan

hukum, yakni antara lain: “Comparative Law, Comparative

Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare

(istilah Perancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan

Rechtsvergleichung atau vergleichende Rechlehre (istilah Jerman)”

(Barda Nawawi Arief, 2002:3). Di dalam Black’s Law Dictionary

dikemukakan: Comparative Jurisprudence is the study of

Page 24: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

principles of legal science by the comparison of various systems of

law (suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan

melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum). Ada

pendapat yang membedakan antara Comparative law dengan

Foreign Law, yaitu:

1) Comparative Law

Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud

untuk membandingkannya;

2) Foreign Law

Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata

mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara

nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem

hukum yang lain (Barda Nawawi Arief, 2002:3).

Istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan hukum ini

adalah perbandingan hukum yang mengarah dan berfokus pada

hukum pidana. Apabila diamati istilah asingnya, comparative law

dapat diartikan bahwa titik beratnya adalah pada perbandingannya

atau comparative dimana kalimat comparative memberikan sifat

kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum

dengan demikian menitikberatkan kepada segi perbandingannya,

bukan kepada segi hukumnya. Jadi intinya perbandingan hukum

adalah membandingkan sistem-sistem hukum.

Berikut ini beberapa definisi mengenai perbandingan hukum

dari beberapa pakar hukum sebagaimana dikutip oleh Romli

Atmasasmita, diantaranya sebagai berikut:

1) Rudolf B. Schlesinger

Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan

dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang lebih dalam

tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum adalah

bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan

bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik

untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah

hukum (Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita,

2000:7).

Page 25: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

2) Winterton

“Perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu

perbandingan sitem hukum dan perbandingan tersebut

menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan”

(Winterton dalam Romli Atmasasmita, 2000:7).

3) Gutteridge

Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan

yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Ia

membedakanantara comparative law dengan foreign law

(hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk

membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan

pengertian istilah hukum yang kedua adalah mempelajari

hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya

dengan sistem hukum yang lain (Gutteridge dalam The

AmJ. Of Comp. L., 197:72, dalam buku Romli

Atmasasmita, 2000:7).

4) Lemaire

Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan

(yang juga mempergunakan metode perbandingan)

mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-kaidah hukum,

persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-

dasar kemasyarakatannya (Lemaire dalam Romli

Atmasasmita, 2000:9).

5) Ole Lando

“Perbandingan hukum mencakup analysis and comparison

of the laws. Pendapat tersebut sudah menunjukkan

kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai

cabang ilmu hukum” (Ole Lando dalam Romli

Atmasasmita, 2000:9).

6) Hessel Yutema

Comaparative law is simply another name for legal science,

or like other branches of science it has a universal

humanistic outlook; it contemplates hat while the technique

may vary, the problems of justice are basicaly the same in

time and space throughout the world (Hessel Yutema dalam

Romli Atmasasmita, 2000:9).

Page 26: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu

hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu

ilmu sosial, atau seperti cabang ilu lainnya. Perbandingan

hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun

caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya baik

menurut waktu dan tempat di seluruh dunia.

7) Orucu

Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining

similarities and differences and finding out relatioship

between various legal systems, their assence and style,

looking at comparable legal institutions and concepts and

typing to determine solutions to certain problems in these

systems with a definite goal in mind, such as law reform,

unification etc (Orucu dalam Romli Atmasasmita, 2000:9).

Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum

yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta

menemukan hubungan-hubungan yang erat antara berbagai

sistem hukum, melihat perbandingan lembaga-lembaga

hukum, konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu

penyelsaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-

sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan

hukum, unifikasi hukum, dll.

8) Zweigert dan Kotz

“Comparative law is the comparison of the spirit and style

different legal system or of comparable legal institutions of

the solutions of comparable legal problems in different

system” (Zweigert dan Kotz dalam Romli Atmasasmita,

2000:9).

Perbandingan hukum ialah perbandingan dari jiwa dan

gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga-

lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian

Page 27: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem

hukum yang berbeda-beda.

b. Perbandingan Sebagai Metode dan Ilmu

Perbandingan hukum menunjukkan pembedaan antara

perbandingan hukum sebagai metode dan sebagai ilmu.

Ketidakjelasan tersebut biasanya dijumpai pada perumusan yang

bersifat luas, seperti yang dapat ditemui pada Black’s Law

Dictionary yang menyatakan bahwa “comparative jurisprudence”

adalah “The study of the principles of legal science by the

comparison of various system of law” (Henry Campbell Black

dalam Soerjono Soekanto 1989:24). Akan tetapi perumusan

tersebut sebenarnya cenderung untuk mengklasifikasikan

perbandingan hukum sebagai metode, karena yang dimaksud

dengan comparative adalah Proceeding by the method of

comparison; founded on comparison; estimated by comparison.

“Ilmu-ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan

antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk

mencapai tujuannya, maka dipergunakan metode sosiologis,

sejarah dan perbandingan hukum” (L. J. Van Apeldoorn dalam

Romli Atmasasmita, 2000:15).

Penggunaan metode-metode tersebut dimaksudkan untuk :

1) Metode sosiologis : untuk meneliti hubungan antara hukum dan

gejala-gejala sosial lainnya;

2) Metode sejarah : untuk meneliti tentang perkembangan hukum;

3) Metode perbandingan hukum : untuk membandingkan berbagai

tertib hukum dari macam-macam masyarakat (Romli

Atmasasmita, 2000:15).

“Metode perbandingan tidak akan membatasi diri pada

perbandingan yang bersifat dekriptif, juga diperlukan data tentang

berfungsinya atau efektivitas hukum, sehingga diperlukan metode

sosiologis” (L. J. Van Apeldoorn dalam Soerjono Soekanto

1989:26). Juga diperlukan metode sejarah, untuk mengetahui

Page 28: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

perkembangan dari hukum yang diperbandingkan. Dengan

demikian maka ketiga metode tersebut saling mengisi dalam

mengembangkan penelitian hukum.

c. Perbandingan Hukum dan Cabang-cabangnya

Pentingnya perbandingan hukum dan berkembangnya

pengkhususan ini, antara lain terbukti dari kenyataan bahwa

kemudian muncul subspesialisasi, yaitu :

1) “Descriptive comparative law;

2) Comparative history of law;

3) Comparative legislation atau comparative jurisprudence

(proper)” (Eduard Lambert dalam Soerjono Soekanto,

1989:52).

Descriptive comparative law merupakan suatu studi yang

bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sistem hukum

berbagai masyarakat atau sebagian masyarakat.

Comparative history of law berkaitan erat dengan sejarah,

sosiologi hukum, antropologi hukum dan filsafat hukum.

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

“Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan

subyek tindak pidana” (Wirjono Projodikoro, 1999:45). Istilah

tindak pidana muncul dari pihak kementerian kehakiman dalam

membuat perundang-undangan maupun peraturan lain. Ada

bermacam-macam penyebutan yang berbeda mengenai istilah

tindak pidana. Untuk mengalihkan bahasa dari istilah asalnya

dalam bahasa Belanda yaitu strafbaar feit.

Dalam perundang-undangan dan kepustakaan Belanda tidak

dijumpai bermacam-macam istilah, karena hanya ada satu istilah

yaitu Strafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam straf wet

Page 29: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

boek atau KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah

dalam bahasa asing yaitu delict.

“Strafbaar feit adalah kelakuan (Handleling) yang diancam

dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang

bertanggungjawab” (Simons dalam Moeljatno, 2008:61).

Sedangkan Van Hamel merumuskan “strafbaar feit adalah

kelakuan orang (menselijke gerdraging) yang dirumuskan dalam

wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan

dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno, 2008:61).

Profesor Van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan

itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan

tindakan tersebut. Menurut beliau, perkataan strafbaar itu berarti

voor straf in aanmerking komend atau straf verdienend yang juga

mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan

strafbaar feit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk

undang-undang di dalamm Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu tindakan, yang

karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang

menjadi dapat dihukum atau sesuatu feit terzake van hetwelk een

nersoon strafbaar is(P. A. F. Lamintang, 1997:184).

b. Unsur Tindak Pidana

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan

itu dapat merupakan een doeri atau een niet doen atau dapat

merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan

sesuatu, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut

sebagai een nalaten yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu

yang diwajibkan (oleh undang-undang). Akan tetapi “strafbaar feit

itu oleh Hoge Raad juga pernah diartikan bukan sebagai suatu

tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu

keadaan” (P. A. F. Lamintang, 1997:192-193).

Unsur-unsur strafbaar feit menurut Simons adalah :

1) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau

tidak berbuat atau membiarkan),

Page 30: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld),

3) Melawan hokum (onrechtmatig),

4) Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband stand),

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar person) (Sudarto, 1990:41).

Walaupun demikian dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana tindak pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam

unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua

macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri

si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan

termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dan sesuatu tindak pidana itu

adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad

seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan

pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat

di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308

KUHP(P. A. F. Lamintang, 1997:193-194).

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif

adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan

dari si pelaku itu harus di lakukan. Unsur-unsur objektif dari

sesuatu tindak pidana itu adalah:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang

pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal

415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris

Page 31: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut

Pasal 398 KUHP;

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat(P. A. F.

Lamintang, 1997:194).

Bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap ialah sifat

melawan hukum dan kesalahan, itu belum lengkap, harus ada unsur

lain, ialah sub-sosial, ialah semacam kerusakan dalam ketertiban

hukum. Ada 4 lingkungan yang terkena oleh suatu delik, ialah :

1) Sipembuat sendiri ada kerusakan (ontwrichting)

padanya;

2) Sikorban : ada perasaan tidak puas;

3) Lingkungan terdekat : ada kehendak untuk meniru

berbuat jahat.

4) Masyarakat umum : perasaan cemas (Vrij dalam

Sudarto, 1990:48).

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP

itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana,

yaitu:

1) Unsur tingkah laku;

2) Unsur melawan hukum;

3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.

Perumusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat

dalam KUHP dan dari peraturan undang-undang lainnya.Syarat

untuk memungkinkan terjadinya penjatuhan pidana ialah adanya

perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-

undang.Adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini

penting artinya sebagai prinsip kepastian hukum (Sudarto, 1990: 51)

Sudarto mengartikan perbuatan konkrit adalah perbuatan

dari si pembuat harus mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik

sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang,

perbuatan tersebut harus masuk dalam perumusan delik

tersebut.Dalam rumusan undang-undang melukiskan perbuatan yang

Page 32: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

dimaksud secara skematis, tidak secara konkrit. Misalnya pasal 338

KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat apa yang harus

ada pada suatu perbuatan agar tidak dipidana berdasarkan pasal

tersebut (Sudarto,1990: 52).

Syarat-syarat itu juga disebut unsur-unsur delik.Pengertian

unsur disini dipakai dalam arti sempit, ialah unsur yang terdapat

dalam rumusan undang-undang. Rumusan dalam undang-undang ini

tidak terikat akan tempat dan waktu. Tidak demkian halnya dengan

perbuatan yang dimaksud. Ini adalah perbuatan konkrit, yang

berlangsung disuatu tempat dan pada suatu waktu dan yang dapat di

tangkap secara panca indra (Sudarto,1990: 52).

3. Tinjauan Umum Tentang Eutanasia

a. Pengertian Eutanasia

Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa

penderitaan; sedang tanathos = mati. Dengan demikian eutanasia

dapat diartikan: mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang

menterjemahkan : mati cepat tanpa derita. Tetapi dalam kalangan

medis, istilah itu berarti “membantu seseorang untuk meninggal

dunia lebih cepat demi untuk membebaskannya dari penderitaan

akibat penyakitnya” (Kartono Muhammad, 1992:19). Belanda,

salah satu negara Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum

kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan rumusan yang

dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter

Belanda) :

Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk

memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan

sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang

pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M.

Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:105).

Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, kata eutanasia

dipergunakan dalam tiga arti :

1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa

penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2). Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit

dengan memberinya obat penenang.

Page 33: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja

atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya(Kode Etik

Kedokteran Indonesia, 1969: 21).

Menurut hasil-hasil seminar, eutanasia diartikan :

1). Pada umumnya dengan sengaja melakukan sesuatu untuk

mengakhiri hidup seseorang pasien.

2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk

memperpanjan hidup pasien.

3.) Semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu

sendiri. Atas permintaan atau tanpa permintaan pasien(Petrus

Yoyo Karyadi, 2001: 27).

Pengertian menurut Petrus Yoyo Karyadi :

Eutanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang

bertanggungjawab kepadanya atau tenaga medis tertentu untuk

mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien

atau tidak melakukan suatu tindakan medis untuk memperpanjang

hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu

kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa

permintaan pasien dan atau keluarganya sendiri, demi kepentingan

pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 28).

Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur eutanasia adalah sebagai berikut :

1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien.

3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan

kembali.

4). Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.

5). Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya(Petrus Yoyo

Karyadi, 2001: 29).

Sejak abad ke-19, terminologi eutanasia dipakai untuk menyatakan

penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang

sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.

Pemakaian terminologi eutanasia ini mencakup tiga kategori,

yaitu):

Page 34: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

1) Pemakaian secara sempit

Secara sempit eutanasia dipakai untuk tindakan

menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi

kematian. Dalam hal ini eutanasia berarti perawatan dokter

ynag bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat

dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan

kaidah-kaidah hukum, etika atau adat yang berlaku.

2) Pemakaian secara lebih luas

“Secara lebih luas, terminologi eutanasia dipakai untuk

perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan

dengan risiko efek hidup diperpendek”.

3) Pemakaian paling luas

Dalam pemakaian paling luas ini, “eutanasia berarti

memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side

effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan

penderitaan pasien” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001:26).

b. Jenis Eutanasia

Dilihat dari cara dilaksanakan, eutanasia dapat dibedakan atas :

1) “Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau

mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk

mempertahankan hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri

Amir, 1999:107).

“Eutanasia pasif yang dilakukan atas permintaan pasien

sendiri disebut juga sebagai auto eutanasia” (Kartono

Muhammad, 1992:31). Dalam hal ini pasien secara sadar

menolak pertolongan medis yang dapat memperpanjang

hidupnya dan ia mengetahui bahwa sikapnya itu akan

mengakhiri hidupnya.

2) “Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara

medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan

tujuan untuk mengakhiri hidup manusia” (M. Jusuf

Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). Jika “eutanasia ini dimulai

oleh dokter atau tenaga medis, ini disebut homicide” (F.

Hartono, 2009:133).

Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :

Page 35: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

a) Eutanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya

tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan

mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup

pasien. Jenis eutanasia ini dikenal juga sebagai mercy

killing.

b) Eutanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah di mana

dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik

untuk meringankan penderitaan pasien, namun

mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek

atau mengakhiri hidup pasien (M. Jusuf Hanafiah, Amri

Amir, 1999:107).

“Eutanasia murni adalah usaha untuk meringankan kematian

seseorang tanpa memperpendek hidupnya”(Franz Magnis Suseno

S.J. dalam Petrus Yoyo Karyadi, 2001:29). Di situ termasuk semua

usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati

dengan baik.

Ditinjau dari permintaan, eutanasia dibedakan atas :

1) Eutanasia voluntir atau eutanasia sukarela (atas permintaan

pasien) adalah eutanasia yang dilakukan atas permintaan

pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.

2) Eutanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah

eutanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak

sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta(M. Jusuf

Hanafiah, Amri Amir, 1999:107).

Kedua jenis eutanasia diatas dapat digabung misalnya

eutanasia pasif voluntir, eutanasia aktif involuntir, eutanasia

aktif langsung involuntir dan sebagainya.

Ada yang melihat pelaksanaan eutanasia dari sudut lain dan

membaginya atas 4 kategori, yaitu :

1) Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud

memperpendek hidup pasien.

2) Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud

memperpendek hidup pasien.

3) Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan

memperpendek hidup pasien.

4) Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan

memperpendek hidup pasien (M. Jusuf Hanafiah, Amri

Amir, 1999:107).

Page 36: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

c. Bentuk-bentuk semu eutanasia

Disebut bentuk semu dari eutanasia karena mirip dengan eutanasia,

tetapi sebetulnya bukan eutanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran

hidup yang mirip dengan eutanasia disebut oleh Prof. H.J.J. Leenen

adalah sebagai “schijngestaten van euthanasie” (Fred Ameln

dalam Petrus Yoyo Karyadi, 2001:33).

Adapun yang termasuk ke dalam bentuk semu dari eutanasia adalah

sebagai berikut:

1) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah

tidak ada gunanya (zinloos).

2) Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya).

3) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati

otak (braindeath).

4) Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis

yang terbatas (emergency).

5) Eutanasia akibat sikon(Petrus Yoyo Karyadi, 2001:33).

d. Tujuan Eutanasia

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain

yaitu:

1) Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing);

2) Eutanasia hewan;

3) Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk

laindaripada eutanasia agresif secara

sukarela(http://fathurrahmancr7.blogspot.com/2009/01/eutana

sia.html).

Page 37: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

B. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana

Eutanasia

Pengaturan

Tindak Pidana Eutanasia Tindak Pidana Eutanasia

Di Negeri Belanda ? Di Indonesia ?

Perbedaan ?

Page 38: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Keterangan :

Berdasarkan bagan diatas, dapat dije;askan bahwa eutanasia

merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Yang tidak hanya populer di dunia

internasional namun juga sudah dikenal konsep mengenai tindak pidana eutanasia

di Indonesia. Salah satu negara yang juga mengenal konsep tindak pidana

eutanasia adalah Negeri Belanda. Masing-masing pengaturan mengenai tindak

pidana eutanasia ini berbeda di setiap negara, antara pengaturan tindak pidana

eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda juga berbeda. Mengenai bagaimana

unsur yang mendasari suatu perbuatan dikatakan sebagi tindak pidana eutanasia

juga berbeda. Dari kerangka berpikir tersebut penulis berusaha menemukan

pengaturan mengenai tindak pidana eutanasia, baik di Indonesia maupun di

Negeri Belanda. Kemudian penulis berusaha menyusun suatu kesimpulan yang

menunjukkan karakteristik yang membedakan pengaturan tindak pidana eutanasia

di kedua negara tersebut.

Page 39: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perbandingan hukum adalah kegiatan mengadakan identifikasi terhadap

gejala hukum tertentu untuk menentukan persamaan dan/atau perbedaan antara

dua gejala hukum atau lebih. “Bahan-bahan yang dipergunakan dalam

perbandingan hukum dapat berupa bahan yang langsung didapat dari masyarakat

(=data primer), maupun bahan kepustakaan (=data sekunder)” (Soerjono

Soekanto, 1989:54).

Untuk mendapatkan suatu perbandingan hukum yang obyektif maka

dilakukan dengan membandingkan 2 (dua) macam pengaturan mengenai eutanasia

di 2 (dua) negara berbeda yaitu negara Indonesia dan negara Belanda. Terdapat

perbedaan mengenai aturan eutanasia di masing-masing negara tersebut, namun

untuk definisi eutanasia kedua negara tersebut menganut pengertian yang sama

yaitu pengertian eutanasia yang dikenal secara global.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,

terhormat atau gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.

Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.

Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan

atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut “Philo (50-20 SM)

euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis

Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti

mati cepat tanpa derita” (http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-

hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/).

Sedangkan macam eutanasia secara mudah dan ringkas dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) yaitu:

1. “Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut

segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk

mempertahankan hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir,

1999:107).

Page 40: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

2. “Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik

melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk

mengakhiri hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir,

1999:107).

A. Pengaturan Eutanasia Di Indonesia

Masalah eutanasia seringkali dikaitkan dengan bunuh diri. Dalam hukum

pidana mengenai bunuh diri yang harus dibahas adalah orang yang mencoba

melakukan bunuh diri dan orang lain yang membantu melakukan bunuh diri. Di

Amerika Serikat seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana,

begitu juga di Israel. Bahkan di Belanda pernah ada aturan yang mengatur

percobaan bunuh diri, sebelum kemudian dicabut. Namun dalam penelitian ini

bukan mengkaji eutanasia dari sudut pandang sebagai perbuatan bunuh diri,

melainkan menganalisis aturan mengenai eutanasia.

Dalam KUHP Indonesia, Pasal-pasal yang dapat dikaitkan dengan

eutanasia meliputi, Pasal 338, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Keempat Pasal

tersebut mengandung larangan untuk membunuh. Masing-masing pasal tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Pasal 338 KUHP

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,

karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas

tahun” (Moeljatno, 2003:122).

2. Pasal 340 KUHP

“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana

(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

(Moeljatno, 2003:123).

3. Pasal 344 KUHP

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang

itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,

Page 41: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

(Moeljatno, 2003:124).

4. Pasal 359 KUHP

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun” (Moeljatno, 2003:127).

Pasal 338 KUHP sebagai aturan pokok mengenai kejahatan terhadap

nyawa. Adapun unsur-unsurnya sebgai berikut :

Unsur subyektif:

Dengan sengaja.

Unsur obyektif:

1. Perbuatan: Menghilangkan nyawa,

2. Obyek: Nyawa orang lain.

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat

yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Adanya wujud perbuatan,

2. Adanya suatu kematian (orang lain),

3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan

akibat kematian (orang lain).

Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah dengan sengaja.Dimana

kesengajaan pelaku untuk menghilangkan nyawa korban harus dapat dibuktikan

dan dinyatakan dengan jelas.Karena pasal ini memandang bahwa menghilangkan

nyawa adalah suatu kesengajaan dikarenakan sebab tertentu.

Pasal 340 KUHP sebagai aturan khusus dengan dimasukkannya unsur

dengan rencana terlebih dahulu, maka bisa dikatakan sebagai pasal pembunuhan

yang direncanakan atau pembunuhan berencana.

Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP terdiri dari unsur

sebagai berikut :

Unsur subyektif:

Page 42: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

1. Dengan sengaja,

2. Dengan rencana terlebih dahulu.

Unsur obyektif :

1. Perbuatan : menghilangkan nyawa orang,

2. Obyek : nyawa orang lain.

Moord pada dasarnya mengandung tiga syarat :

1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang,

2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai

dengan pelaksanaan kehendak,

3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

Pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP mengandung semua unsur

pembunuhan pokok Pasal 338 KUHP dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan

rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud

dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP

adalah dengan rencana terlebih dahulu.

Namun di Indonesia belum ada Undang-undang khusus yang mengatur

mengenai eutanasia. Jadi, apabila eutanasia dipandang sebagai suatu tindak pidana

maka aturan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan eutanasia

adalah menggunakan pasal-pasal pembunuhan dalam Kitab Undang-undang

hukum Pidana. Maka beralihlah rumusan perbuatan pidana dari eutanasia ke

pembunuhan, karena di Indonesia tidak mengenal tindak pidana eutanasia.

Dari isi pasal 344 KUHP dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seseorang

itu tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun

pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri,

apalagi orang tersebut justru orang yang perlu ditolong, orang yang tengah

menderita sakit parah yang tidak tersembuhkan, meski hal itu atas permintaannya

sendiri.

Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP, terdiri dari unsur

sebagai berikut:

Page 43: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

1. Perbuatan : menghilangkan nyawa.

2. Obyek : nyawa orang lain.

3. Atas permintaan orang itu sendiri.

4. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.

Sehingga dalam Pasal 344 KUHP terdapat unsur:

1. Atas permintaan korban sendiri,

2. Yang jelas dinyatakan dengan sunguh-sungguh,

3. Tidak dicantumkannya unsur kesengajaan.

Dari unsur atas permintaan korban sendiri menunjukkan bahwa inisiatif

untuk melakukan pembunuhan adalah keinginan korban sendiri. Meskipun tidak

mengenal hak untuk mati namun dari unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa hak

untuk menentukan atas nyawa pemilik sendiri masih dihargai. Dari pidana juga

berbeda antara permintaan dengan permintaan sendiri dengan pembunuhan biasa

dalam Pasal 338 KUHP.

Dalam Pasal 338 KUHP pidana bagi pembunuhan biasa adalah maksimal

lima belas tahun penjara. Karena unsur-unsur pasal tersebut menunjukkan

pembunuhan dilakukan atas inisiatif pelaku sendiri tidak ada campur tangan dari

korban. Sedangkan pidana bagi pembunuhan atas permintaan sendiri adalah

maksimal dua belas tahun penjara.

Permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang

lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang

yang diminta, terdapat kebebasan untuk memutuskan kehendaknya, apakah

permintaan korban yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu akan

dipenuhi atau tidak.

Dari unsur yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh mengandung

arti bahwa pernyataan untuk dilakukan pembunuhan itu harus dengan sungguh-

sungguh dan kesungguhan itu harus dinyatakan dengan jelas. Maka ada dua hal

yang harus dibuktikan, yaitu:

1. Dibuktikan tentang adanya pernyataan,

Page 44: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

2. Isinya menyatakan itu tentang kesungguhan bahwa, korban meminta

agar nyawanya dicabut.

Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena dua hal tersebut yang

menentukan seseorang yang melakukan euthanasia dapat dipidana dengan Pasal

344 KUHP atau tidak.Unsur permintaan korban sendiri yang dinyatakan dengan

sungguh-sungguh harus bisa dibuktikan dengan saksi-saksi atau alat-alat bukti

yang ada.Karena dalam KUHP Indonesia tidak mengenal perbuatan euthanasia,

maka setiap perbuatan yang merupakan perbuatan euthanasia baik aktif maupun

pasif apabila hendak dijerat dengan Pasal 344 KUHP harus jelas dinyatakan unsur

tersebut telah dilakukan.

Dalam Pasal 359 KUHP dirumuskan unsur-unsur mengenai kejahatan

sebagai berikut :

1. Adanya wujud kelalaian (culpa),

2. Adanya wujud perbuatan tertentu,

3. Adanya akibat kematian orang lain,

4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat

kematian orang lain itu.

Terdapat dua syarat untuk terpenuhinya culpa :

1. “Dilakukan karena kurang hati-hati atau waspada,

2. Pelakuseharusnya dapat membayangkan timbulnya akibat denganakal

sehatnya” (http://www.scribd.com/doc/34418197/Tugas-Tindak-

Pidana-Tertentu-Analisis-Pasal).

Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah kelalaian.Apabila dikaitkan

dengan euthanasia bahwa dalam melakukan setiap tindakan medis adalah dengan

kesadaran dokter bahkan dengan kesepakatan dari keluarga pasien maupun pasien

sendiri yang menghendaki euthanasia.Namun tidak menutup kemungkinan pasal

ini dapat diterapkan dalam euthanasia apabila dokter dalam euthanasia pasif

menyatakan salah mendiagnosa penyakit dan memberikan pengobatan yang keliru

sehingga menyebabkan hilangnya nyawa pasien, Keadaan seperti itu dapat

dinyatakan sebagai kelalaian.

Page 45: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Dibandingkan dengan Pasal 338 KUHP yang menyatakan unsur

kesengajaan, maka bertolak belakang dengan Pasal 359 KUHP yang menyatakan

kelalaian sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang.

Eutanasia yang terdiri dari dua macam bentuk yaitu eutanasia aktif dan

eutanasia pasif, tidak begitu saja dapat dijerat dengan pasal-pasal pembunuhan

tersebut. “Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak

damai, dan sebagainya.Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk

mati” (Diah Nurul, 2010:2).Karena eutanasia sering dikaitkan dengan hak untuk

mati, sedangkan di Indonesia melalui Pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak

untuk mati termasuk dengan bantuan orang lain. Dalam pasal tersebut jelas

menyatakan orang yang membantu orang lain untuk menghilangkan nyawa dapat

dipidana.

Berbagai macam tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien,

semata-mata bertujuan untuk kesembuhan pasien. Beratnya beban penderitaan

pasien dengan penyakit yang dideritanya menimbulkan suatu perasaan putus asa

terhadap kesembuhan penyakitnya. Perasaan putus asa tersebut dapat menjadi

motif timbulnya eutanasia aktif ataupun eutanasia pasif.

Indonesia tidak mengakui adanya euthanasia namun tidak menutup

kemungkinan adanya praktik euthanasia yang terjadi karena tindakan medis yang

dilakukan dokter terhadap pasien.Berikut beberapa tindakan medis yang dapat

digolongkan sebagai perbuatan euthanasia :

1. Penghentian pengobatan melelui oral atau nasal (tablet, kapsul, elixir,

sirup, dan obat melalui pernapasan), atas permintaan pasien atau

keluarga pasien dan atau yang dilakukan secara tidak langsung ataupun

secara sengaja oleh dokter yan bertugas dan kemudian pasien

meninggal.

2. Tindakan penghentian pengobatan melalui perenteral (injeksi, infus

dan sejenisnya), atas permintaan pasien atau keluarga pasien dan atau

yang dilakukan secara tidak langsung ataupun secara sengaja oleh

dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal.

3. Tindakan memindahkan pasien yang dalam keadaan kritis dari satu

rumah sakit ke rumah sakit yang lain yang sangat kurang mampu

menangani pasien, atau memindahkan pasien ke rumah sakit, dengan

atau tanpa fasilitas medis, atas permintaan pasien atau keluarga pasien

Page 46: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

atau yang disarankan secara sengaja atau secara tidak langsung diakui

oleh dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal.

4. Tindakan menolak dioperasi atas permintaan pasien atau keluarga

pasien (Bunga Lily, 2002:45).

Berbagai tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang berhubungan

dengan mendukung kehidupan pasien dipengaruhi oleh keinginan pasien sendiri

atau keluarga pasien. Di Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan dimana pasien

yang telah lama dirawat di rumah sakit namun tidak kunjung sembuh kemudian

keluarga memutuskan untuk membawa pulang pasien dengan harapan apabila

tidak dapat disembuhkan lagi kemudian meninggal pasien telah berada dirumah

dan untuk mengurangi biaya pengobatan. Jadi alasan ekonomi juga

mempengaruhi tindakan medis yang dilakukan dokter selain permintaan dari

pasien atau keluarga pasien.

Dari penjabaran beberapa Pasal dalam KUHP yang menyangkut kejahatan

terhadap nyawa, maka Pasal yang paling relevan diterapkan untuk tindak pidana

euthanasia adalah Pasal 344 KUHP, karena di dalamnya terdapat unsur

“permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh”.

Maksud dari orang itu dalam Pasal 344 KUHP dapat dinyatakan sebagai pasien

atau keluaga pasien yang meminta pengakhiran hidup kepada dokter dan

permintaan tersebut dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Biasanya dokter

membuat suatu surat pernyataan yang berisi permintaan pasien dan ditandatangani

pasien dan dokter itu sendiri. Surat pernyataan tersebut menjadi suatu bukti

tertulis unsur pemintaan yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh.

Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,

apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga

yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan

hukum.Mungkin saja dokter terlepas dari tuntutan Pasal 344 ini namun tidak dapat

terlepas dari Pasal 388, sehingga terhadap dokter dapat dikenakan dua asal dan

tidak menutup Pasal lain dapat ikut disertakan. Tidak hanya Pasal 344 dan Pasal

338 namun dapat juga antara Pasal 344 dengan Pasal 340, hal ini disebut dengan

concursus idealis.

Page 47: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Dokter yang melakukan euthanasia bisa diberhentikan dari jabatannya,

karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :

434/Men.Kes/SK/X/1983 Pasal 10 menyebutkan : Setiap dokter harus senantiasa

mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani.

Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :

a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan

pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.

B. Pengaturan Eutanasia Di Negeri Belanda

In The Netherlands, euthanasia is defined as the deliberate termination of

the life of a person on his request by another person. Although, in this limited

sense, euthanasia is only one of the issues raised by medical decision-making at

the end of life, it is, in particular, the acceptance of euthanasia in this country that

has attracted attention from abroad. Also, in The Netherlands itself, the toleration

of the courts of euthanasia (if carried out by a physician under strict conditions)

has given rise to much debate.This contribution surveys the developments in the

law (including recent legislation), and in medical practice, and explores the

relation between the two, with particular attention to the position of the physician

(Sjef Gevers, 1996:326).

Euthanasie in Nederland is geregeld in de wet Toetsing levensbeëindiging

op verzoek en hulp bij zelfdoding . De wet is met een parlementaire meerderheid

van D66 ,VVD en PvdA , vastgesteld op 12 april 2001. Een jaar later traden de

wetsregels in werking, op 1 april 2002. De wet geldt uitsluitend voor gevallen van

actieve euthanasie , dus levensbeëindigend handelen en hulp bij zelfdoding - op

uitdrukkelijk verzoek van de patiënt zélf

(http://nl.wikipedia.org/wiki/Euthanasie_in_Nederland).

Terjemahannya adalah pada tanggal 10 April 2001Belanda menerbitkan

undang-undang yang mengizinkan euthanasia.Eutanasiadi

BelandadiaturolehUU eutanasia reviewdan bunuhdiriyangdibantu(Toetsing

levensbeëindigingop verzoek en hulp bij zelfdoding). UU ini oleh mayoritas

parlemen, D66 , VVD dan PvdA , diadopsi pada tanggal 12 April 2001. Setahun

kemudian bergabung dengan aturan-aturan hukum yang berlaku pada tanggal 1

April 2002. Undang-undang hanya berlaku untuk kasus-kasus aktif eutanasia , jadi

mengakhiri hidup dan bunuh diri dibantu yang dinyatakan atas permintaan pasien.

“Assisted suicide occurs when a person — typically someone suffering from an

Page 48: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

incurable illness or chronic intense pain — intentionally kills himself with the

help of another individual” (CBCNews, 2009:1).

Sejak berlakunya UU tersebut menjadikan Belanda menjadi negara

pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang

mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri

penderitaannya sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda

secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai

perbuatan kriminal.Maka dengan berlakunya UU euthanasia dan bunuh diri

berbantuan membuat suatu pengecualian pada tindakan medis tertentu sehingga

tidak dianggap sebagai perbuatan kriminal, dengan kata lain UU tersebut

melegalkan perbuatan medis tertentu meskipun hal itu termasuk perbuatan

euthanasia.

Berikut adalah isi dari UU Eutanasia dan Bunuh Diri Berbantuan yang

disahkan di Belanda sesuai dengan naskah aslinya :

WET van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op

verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en

van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en

hulp bij zelfdoding)

WIJ BEATRIX, bij de gratie Gods, Koningin der Nederlanden, Prinses

van Oranje-Nassau, enz. enz. enz.

Allen, die deze zullen zien of horen lezen, saluut! doen weten:

Alzo Wij in overweging genomen hebben, dat het wenselijk is in het

Wetboek van Strafrecht een strafuitsluitingsgrond op te nemen voor de arts die

met inachtneming van wettelijk vast te leggen zorgvuldigheidseisen

levensbeëindiging op verzoek toepast of hulp bij zelfdoding verleent, en daartoe

bij wet een meldings- en toetsingsprocedure vast te stellen;

Zo is het, dat Wij, de Raad van State gehoord, en met gemeen overleg der

Staten-Generaal, hebben goedgevonden en verstaan, gelijk Wij goedvinden en

verstaan bij deze:

Hoofdstuk I. Begripsomschrijvingen

Artikel 1

In deze wet wordt verstaan onder:

Page 49: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

a. Onze Ministers: de Ministers van Justitie en van Volksgezondheid,

Welzijn en Sport;

b. hulp bij zelfdoding: het opzettelijk een ander bij zelfdoding behulpzaam

zijn of hem de middelen daartoe verschaffen als bedoeld in artikel 294,

tweede lid, tweede volzin, Wetboek van Strafrecht;

c. de arts: de arts die volgens de melding levensbeëindiging op verzoek heeft

toegepast of hulp bij zelfdoding heeft verleend;

d. de consulent: de arts die is geraadpleegd over het voornemen van een arts

om levensbeëindiging op verzoek toe te passen of hulp bij zelfdoding te

verlenen;

e. de hulpverleners: hulpverleners als bedoeld in artikel 446, eerste lid, van

boek 7 van het Burgerlijk Wetboek;

f. de commissie: een regionale toetsingscommissie als bedoeld in artikel 3;

g. regionaal inspecteur: regionaal inspecteur van de Inspectie voor de

Gezondheidszorg van het Staatstoezicht op de Volksgezondheid;

Hoofdstuk II. Zorgvuldigheidseisen

Artikel 2

1. De zorgvuldigheidseisen, bedoeld in artikel 293, tweede lid, Wetboek van

Strafrecht, houden in dat de arts:

a. de overtuiging heeft gekregen dat er sprake was van een vrijwillig en

weloverwogen verzoek van de patiënt,

b. de overtuiging heeft gekregen dat er sprake was van uitzichtloos en

ondraaglijk lijden van de patiënt,

c. de patiënt heeft voorgelicht over de situatie waarin deze zich bevond en

over diens vooruitzichten,

d. met de patiënt tot de overtuiging is gekomen dat er voor de situatie waarin

deze zich bevond geen redelijke andere oplossing was,

e. ten minste één andere, onafhankelijke arts heeft geraadpleegd, die de

patiënt heeft gezien en schriftelijk zijn oordeel heeft gegeven over de

zorgvuldigheidseisen, bedoeld in de onderdelen a tot en met d, en

f. de levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding medisch zorgvuldig heeft

uitgevoerd.

2. Indien de patiënt van zestien jaren of ouder niet langer in staat is zijn wil

te uiten, maar voordat hij in die staat geraakte tot een redelijke waardering

van zijn belangen terzake in staat werd geacht, en een schriftelijke

verklaring, inhoudende een verzoek om levensbeëindiging, heeft afgelegd,

dan kan de arts aan dit verzoek gevolg geven. De zorgvuldigheidseisen,

bedoeld in het eerste lid, zijn van overeenkomstige toepassing.

Page 50: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

3. Indien de minderjarige patiënt een leeftijd heeft tussen de zestien en

achttien jaren en tot een redelijke waardering van zijn belangen terzake in

staat kan worden geacht, kan de arts aan een verzoek van de patiënt om

levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding gevolg geven, nadat de ouder of

de ouders die het gezag over hem uitoefent of uitoefenen dan wel zijn

voogd bij de besluitvorming zijn betrokken.

4. Indien de minderjarige patiënt een leeftijd heeft tussen de twaalf en zestien

jaren en tot een redelijke waardering van zijn belangen terzake in staat kan

worden geacht, kan de arts, indien een ouder of de ouders die het gezag

over hem uitoefent of uitoefenen dan wel zijn voogd zich met de

levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding kan of kunnen verenigen, aan het

verzoek van de patiënt gevolg geven. Het tweede lid is van

overeenkomstige toepassing.

Hoofdstuk III. Regionale toetsingscommissies voor levensbeëindiging op

verzoek en hulp bij zelfdoding

Paragraaf 1:. Instelling, samenstelling en benoeming

Artikel 3

1. Er zijn regionale commissies voor de toetsing van meldingen van gevallen

van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding als bedoeld in

artikel 293, tweede lid, onderscheidelijk 294, tweede lid, tweede volzin,

van het Wetboek van Strafrecht.

2. Een commissie bestaat uit een oneven aantal leden, waaronder in elk geval

één rechtsgeleerd lid, tevens voorzitter, één arts en één deskundige inzake

ethische of zingevingsvraagstukken. Van een commissie maken mede deel

uit plaatsvervangende leden van elk van de in de eerste volzin genoemde

categorieën.

Artikel 4

1. De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden worden

door Onze Ministers benoemd voor de tijd van zes jaar. Herbenoeming

kan eenmaal plaatsvinden voor de tijd van zes jaar.

2. Een commissie heeft een secretaris en één of meer plaatsvervangend

secretarissen, allen rechtsgeleerden, die door Onze Ministers worden

benoemd. De secretaris heeft in de vergaderingen van de commissie een

raadgevende stem.

3. De secretaris is voor zijn werkzaamheden voor de commissie uitsluitend

verantwoording schuldig aan de commissie.

Paragraaf 2:. Ontslag

Artikel 5

De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden kunnen te

allen tijde op hun eigen verzoek worden ontslagen door Onze Ministers.

Page 51: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Artikel 6

De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden kunnen

door Onze Ministers worden ontslagen wegens ongeschiktheid of onbekwaamheid

of op andere zwaarwegende gronden.

Paragraaf 3:. Bezoldiging

Artikel 7

De voorzitter en de leden alsmede de plaatsvervangende leden ontvangen

vacatiegeld alsmede een vergoeding voor de reis- en verblijfkosten volgens de

bestaande rijksregelen, voor zover niet uit anderen hoofde een vergoeding voor

deze kosten wordt verleend uit 's Rijks kas.

Paragraaf 4:. Taken en bevoegdheden

Artikel 8

1. De commissie beoordeelt op basis van het verslag bedoeld in artikel 7,

tweede lid, van de Wet op de lijkbezorging, of de arts die

levensbeëindiging op verzoek heeft toegepast of hulp bij zelfdoding heeft

verleend, heeft gehandeld overeenkomstig de zorgvuldigheidseisen,

bedoeld in artikel 2.

2. De commissie kan de arts verzoeken zijn verslag schriftelijk of mondeling

aan te vullen, indien dit voor een goede beoordeling van het handelen van

de arts noodzakelijk is.

3. De commissie kan bij de gemeentelijke lijkschouwer, de consulent of de

betrokken hulpverleners inlichtingen inwinnen, indien dit voor een goede

beoordeling van het handelen van de arts noodzakelijk is.

Artikel 9

1. De commissie brengt haar gemotiveerde oordeel binnen zes weken na

ontvangst van het verslag als bedoeld in artikel 8, eerste lid, schriftelijk ter

kennis van de arts.

2. De commissie brengt haar oordeel ter kennis van het College van

procureurs-generaal en de regionaal inspecteur voor de gezondheidszorg:

a. indien de arts naar het oordeel van de commissie niet heeft gehandeld

overeenkomstig de zorgvuldigheidseisen, bedoeld in artikel 2; of

b. indien de situatie zich voordoet als bedoeld in artikel 12, laatste volzin van

de Wet op de lijkbezorging.

De commissie stelt de arts hiervan in kennis.

3. De in het eerste lid genoemde termijn kan eenmaal voor ten hoogste zes

weken worden verlengd. De commissie stelt de arts hiervan in kennis.

4. De commissie is bevoegd het door haar gegeven oordeel mondeling

tegenover de arts nader toe te lichten. Deze mondelinge toelichting kan

plaatsvinden op verzoek van de commissie of op verzoek van de arts.

Page 52: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Artikel 10

De commissie is verplicht aan de officier van justitie desgevraagd alle

inlichtingen te verstrekken, welke hij nodig heeft:

1°.ten behoeve van de beoordeling van het handelen van de arts in het

geval als bedoeld in artikel 9, tweede lid; of

2°. ten behoeve van een opsporingsonderzoek.

Van het verstrekken van inlichtingen aan de officier van justitie doet de

commissie mededeling aan de arts.

Paragraaf 6:. Werkwijze

Artikel 11

De commissie draagt zorg voor registratie van de ter beoordeling gemelde

gevallen van levensbeëindiging op verzoek of hulp bij zelfdoding. Bij ministeriële

regeling van Onze Ministers kunnen daaromtrent nadere regels worden gesteld.

Artikel 12

1. Een oordeel wordt vastgesteld bij gewone meerderheid van stemmen.

2. Een oordeel kan slechts door de commissie worden vastgesteld indien alle

leden van de commissie aan de stemming hebben deelgenomen.

Artikel 13

De voorzitters van de regionale toetsingscommissies voeren ten minste

twee maal per jaar overleg met elkaar over werkwijze en functioneren van de

commissies. Bij het overleg worden uitgenodigd een vertegenwoordiger van het

College van procureurs-generaal en een vertegenwoordiger van de Inspectie voor

de Gezondheidszorg van het Staatstoezicht op de Volksgezondheid.

Paragraaf 7:. Geheimhouding en Verschoning

Artikel 14

De leden en plaatsvervangend leden van de commissie zijn verplicht tot

geheimhouding van de gegevens waarover zij bij de taakuitvoering de

beschikking krijgen, behoudens voor zover enig wettelijk voorschrift hen tot

mededeling verplicht of uit hun taak de noodzaak tot mededeling voortvloeit.

Artikel 15

Een lid van de commissie, dat voor de behandeling van een zaak zitting

heeft in de commissie, verschoont zich en kan worden gewraakt indien er feiten of

omstandigheden bestaan waardoor de onpartijdigheid van zijn oordeel schade zou

kunnen lijden.

Artikel 16

Een lid, een plaatsvervangend lid en de secretaris van de commissie

onthouden zich van het geven van een oordeel over het voornemen van een arts

om levensbeëindiging op verzoek toe te passen of hulp bij zelfdoding te verlenen.

Page 53: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Paragraaf 8:. Rapportage

Artikel 17

1. De commissies brengen jaarlijks vóór 1 april aan Onze Ministers een

gezamenlijk verslag van werkzaamheden uit over het afgelopen

kalenderjaar. Onze Ministers stellen hiervoor bij ministeriële regeling een

model vast.

2. Het in het eerste lid bedoelde verslag van werkzaamheden vermeldt in

ieder geval:

a. het aantal gemelde gevallen van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij

zelfdoding waarover de commissie een oordeel heeft uitgebracht;

b. de aard van deze gevallen;

c. de oordelen en de daarbij gemaakte afwegingen.

Artikel 18

Onze Ministers brengen jaarlijks ter gelegenheid van het indienen van de

begroting aan de Staten-Generaal verslag uit met betrekking tot het functioneren

van de commissies naar aanleiding van het in het artikel 17, eerste lid, bedoelde

verslag van werkzaamheden.

Artikel 19

1. Op voordracht van Onze Ministers worden bij algemene maatregel van

bestuur met betrekking tot de commissies regels gesteld betreffende

a. hun aantal en relatieve bevoegdheid;

b. hun vestigingsplaats.

2. Bij of krachtens algemene maatregel van bestuur kunnen Onze Ministers

met betrekking tot de commissies nadere regels stellen betreffende

a. hun omvang en samenstelling;

b. hun werkwijze en verslaglegging.

Hoofdstuk IV. Wijzigingen in andere wetten

Artikel 20

[Wijzigt het Wetboek van Strafrecht.].

Artikel 21

[Wijzigt de Wet op de lijkbezorging.]

Artikel 22

[Wijzigt de Algemene wet bestuursrecht.]

Page 54: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Hoofdstuk V. Slotbepalingen

Artikel 23

Deze wet treedt in werking op een bij koninklijk besluit te bepalen tijdstip.

Artikel 24

Deze wet wordt aangehaald als: Wet toetsing levensbeëindiging op

verzoek en hulp bij zelfdoding.

Lasten en bevelen dat deze in het Staatsblad zal worden geplaatst en dat

alle ministeries, autoriteiten, colleges en ambtenaren wie zulks aangaat, aan de

nauwkeurige uitvoering de hand zullen houden.

Gegeven te 's-Gravenhage, 12 april 2001

BEATRIX

De Minister van Justitie,

A.H. Korthals

De Minister van Volksgezondheid, Welzijn en Sport,

E. Borst-Eilers

Uitgegeven de zesentwintigste april 2001

De Minister van Justitie,

A.H. Korthals

(http://www.st-ab.nl/wetten/0829_Wet_toetsing_levensbeeindiging_op_

verzoek_en_hulp_bij_zelfdoding.htm).

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

Undang-Undang pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia

dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan

dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted).

Kami Beatrix, dengan rahmat Allah Ratu Belanda, Putri Orange-Nassau,

dll dll dll

Untuk semua orang yang akan melihat atau mendengar hadiah

ini! melakukan hal ini:

Sedangkan Kami telah mempertimbangkan hal itu diinginkan dalam

KUHP pidana tanah pengecualian untuk memasukkan dokter sesuai dengan

hukum untuk membangun pemutusan due diligence kehidupan di bunuh diri

meminta atau dibantu menyediakan, dan oleh hukum melaporkan dan meninjau

proses untuk menentukan;

Jadi, Kami, Dewan Negara, dan konsultasi dengan Jenderal Amerika, telah

disetujui dan ditetapkan sebagaimana Kami dengan ini menyetujui dan keputusan:

Page 55: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

BabI. Definisi

Pasal1

Undang-undang ini berlaku:

a. Menteri kami berarti Menteri Kehakiman dan Kesehatan, Kesejahteraan

dan Olahraga;

b. bunuh diri dibantu: sengaja membantu orang lain untuk melakukan bunuh

diri atau memberikannya sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294,

paragraf kedua, kalimat kedua, KUHP ;

c. dokter berarti dokter menurut laporan diterapkan bunuh diri eutanasia atau

dibantu;

d. konsultan berarti dokter yang berkonsultasi niat seorang dokter untuk

mengakhiri hidup berdasarkan permintaan atau menerapkan untuk

memberikan bunuh diri yang dibantu;

e. pengasuh: perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446, paragraf

pertama Buku 7 dari Kode Sipil ;

f. komite berarti komite peninjau daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

3 ;

g. inspektur daerah berarti daerah inspektur Inspektorat Kesehatan

Inspektorat Negara untuk Kesehatan;

Bab II. perawatan Persyaratan

Pasal2

1. Kriteria perawatan karena sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293, ayat

kedua Kode Pidana berarti bahwa dokter:

a. memiliki keyakinan bahwa ada permintaan sukarela dan informasi pasien,

b. keyakinan bahwa ada penderitaan abadi dan tak tertahankan pasien,

c. Pasien diberitahu tentang situasi dia dan tentang prospek nya,

d. dengan pasien pada keyakinan bahwa situasi dia ada solusi yang masuk

akal lain

e. setidaknyasatudokterlainberkonsultasi,pasientelahmelihatdanmenulisopini

diberikanperawatankarenakriteria sebagaimana dimaksud dalam

huruf untuk d, dan

f. Perawatan bunuh diri eutanasia atau dibantu medis yang dilakukan.

2. Jika pasien enam belas tahun atau lebih tua tidak lagi mampu

mengungkapkan kehendak-Nya, tapi sebelum itu hilang untuk pemahaman

yang wajar kondisi kepentingannya dianggap, dan pernyataan tertulis yang

memuat permintaan untuk euthanasia telah dibuat, dokter dapat

memberikan permintaan ini. Kriteria perawatan karena sebagaimana

dimaksud dalam paragraf pertama, berlaku secara mutatis mutandis.

Page 56: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

3. Jika pasien minor berusia antara enam belas dan delapan belas tahun dan

pemahaman yang masuk akal kepentingannya mungkin dianggap, dapat

dokter meminta pasien untuk bunuh diri eutanasia atau dibantu, setelah

orangtua atau orang tua yang berolahraga atau latihan otoritas atas dia atau

walinya dalam proses pengambilan keputusan.

4. Jika pasien minor berusia antara dua belas dan enam belas tahun dan

pemahaman yang masuk akal kepentingannya mungkin dianggap, dokter,

jika orang tua atau orang tua dengan tahanan dari dia untuk latihan atau

olahraga atau walinya setuju dengan eutanasia atau bunuh diri dibantu

mungkin atau bisa bersatu, atas permintaan pasien tindak lanjut. Paragraf

kedua akan berlaku secara mutatis mutandis.

Bab III. Daerah meninjau komite untuk bunuh diri eutanasia dan dibantu

Bagian 1:. Pembentukan, komposisi dan penunjukan

Pasal 3

1. Ada komite regional untuk meninjau kasus yang dilaporkan bunuh

dirieutanasia dandibantu dalam Pasal 293, ayat dua, atau 294 paragraf

kedua, kalimat kedua dari KUHP.

2. Sebuah komite yang terdiri dari angka ganjil anggota, termasuk setidaknya

satu anggota yang memenuhi syarat hukum, juga ketua, satu dokter dan

satu pakar masalah etika atau filosofis. Komite juga berisi anggota wakil

masing-masing kategori yang tercantum dalam kalimat pertama.

Pasal 4

1. Ketua dan anggota dan anggota alternatif yang ditunjuk oleh Menteri kami

untuk jangka waktu enam tahun. Mereka dapat diangkat kembali setelah

ditahan selama jangka waktu enam tahun.

2. Sebuah komite memiliki sekretaris dan satu atau lebih wakil sekretaris,

semua hukum, yang ditunjuk oleh Menteri kami. Sekretaris dalam

pertemuan komite dalam kapasitas sebagai penasihat.

3. Sekretaris untuk karyanya pada komite yang bertanggung jawab semata-

mata untuk panitia.

Bagian 2: pemecatan

Pasal 5

Ketua dan anggota dan anggota alternatif dapat sewaktu-waktu atas

permintaan mereka sendiri diberhentikan oleh Menteri kami.

Pasal 6

Ketua dan anggota dan anggota alternative mungkin oleh para Menteri

kami dipecat karena tidak sesuai atau ketidakmampuan atau untuk alasan

mendesak lainnya.

Bagian 3:. Remunerasi

Page 57: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

Pasal 7

Ketua dan anggota dan anggota menerima alternatif liburan dan uang saku

untuk biaya perjalanan dan akomodasi sesuai dengan pemerintah yang ada,

sepanjang tidak dinyatakan sudah menjadi kompensasi untuk biaya ini diberikan

dari kas Negara.

Bagian 4: Tugas dan tanggung jawab

Pasal 8

1. Komite menilai berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat kedua dari Penguburan dan UU Kremasi, atau dokter yang

mengakhiri kehidupan di permintaan atau dibantu bunuh diri telah

diberikan bertindak sesuai dengan kriteria perawatan karena sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2.

2. Komite dapat meminta laporan dokter secara tertulis atau lisan untuk

melengkapi, jika penilaian yang tepat dari tindakan dokter diperlukan.

3. Komite dapat, di koroner lokal, konsultan atau penyedia perawatan yang

terlibat, jika ini adalah penilaian yang baik dari tindakan dokter

diperlukan.

Pasal 9

1. Komite harus memberikan pendapatnya beralasan dalam waktu enam

minggu setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

ayat menulis ke dokter.

2. Komite temuan kepada Dewan prokurator Umum dan inspektur perawatan

kesehatan daerah:

a. jika pendapat dokter, komisi tidak bertindak sesuai dengan kriteria-hati

dimaksud dalam Pasal 2;

b. jika situasi muncul dalam Pasal 12, kalimat terakhir dari Penguburan dan

UU Kremasi.

Panitia harus memberitahukan dokter ini.

3. Pada periode sebagaimana dimaksud sekali untuk sampai enam minggu.

Panitia harus memberitahukan dokter ini.

4. Komite mungkin pada pendapatnya secara lisan ke dokter untuk lebih

menjelaskan. Ini penjelasan lisan dapat terjadi atas permintaan komite atau

atas permintaan dokter.

Pasal 10

Komite wajib meminta jaksa penuntut umum informasi yang dia

butuhkan:

1 .untuk menilai tindakan dokter dalam hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9, ayat, atau

Page 58: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

2 .untuk investigasi kriminal.

Memberikan informasi kepada penuntut umum, panitia memberitahukan

dokter.

Bagian 6:.metode

Pasal 11

Komite bertanggung jawab untuk mendaftar untuk menilai kasus yang

dilaporkan bunuh diri eutanasia atau dibantu.Menteri peraturan oleh aturan kami

lebih lanjut ditetapkan Menteri.

Pasal 12

1. Pendapat diadopsi oleh suara mayoritas.

2. Pendapat hanya dapat ditentukan oleh komisi jika semua anggota komite

telah berpartisipasi dalam pemungutan suara.

Pasal 13

Para presiden dari komite peninjau daerah melakukan setidaknya dua kali

setahun, dengan setiap metode kerja dan kinerja komite.Pada konsultasi diundang

untuk seorang wakil dari Dewan prokurator Umum dan perwakilan dari

Perawatan Kesehatan Inspektorat Inspektorat Negara untuk Kesehatan.

Bagian 7:. Kerahasiaan dan

Pasal 14

Para anggota dan anggota wakil komite diperlukan untuk menjaga

kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam kinerja tugas memiliki akses, kecuali

bila ada ketentuan hukum mewajibkan mereka untuk mengungkapkan pekerjaan

mereka atau kebutuhan untuk berkomunikasi muncul.

Pasal 15

Seorang anggota panitia, untuk pengobatan kasus duduk di komite, dirinya

dan dapat menantang jika ada fakta-fakta atau keadaan yang ketidakberpihakan

pendapat itu bisa mengalami kerusakan.

Pasal 16

Satu anggota, satu anggota alternatif dan sekretaris komite menahan diri

dari memberikan pendapat tentang niat seorang dokter untuk mengakhiri

kehidupan di permintaan untuk menerapkan atau untuk memberikan bantuan

dengan bunuh diri.

Bagian 8.pelaporan

Pasal 17

1. Komite setiap tahunnya wajib sebelum 1 April sampai dengan Menteri

kami laporan bersama pada kegiatan tahun kalender terakhir. Menteri kami

diperlukan untuk membangun model yang didirikan atas perintah menteri.

Page 59: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

2. Paragraf pertama dalam laporan kegiatan wajib dalam hal apapun:

a. jumlah kasus yang dilaporkan eutanasia dan bunuh diri dibantu, yang

panitia telah diberikan pendapat;

b. sifat dari kasus ini;

c. penilaian dan pertimbangan yang terlibat.

Pasal 18

Menteri kami melaporkan setiap tahun pada kesempatan menyajikan

anggaran untuk Amerika-Jenderal untuk melaporkan fungsi komite dalam

menanggapi, pasal 17 paragraf pertama, laporan kegiatan.

Pasal 19

1. Rekomendasi dari Menteri kami, agar di dewan mengenai komite pada

aturan yang ditetapkan

a. jumlah dan yurisdiksi lokal;

b. lokasi.

2. Oleh atau berdasarkan Order di Dewan Menteri kami pada komite

meletakkan aturan-aturan lebih lanjut tentang mereka

a. ukuran dan komposisi;

b. mereka metode dan pelaporan.

Bab IV. Amandemen Kisah lainnya

Pasal 20

[Kesalahannya KUHP.].

Pasal 21

[Kesalahannya yang Penguburan dan Kremasi Undang-Undang.]

Pasal 22

[Kesalahannya Law Act Administrasi Umum.]

Bab V. akhir ketentuan

Pasal 23

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal yang akan ditentukan oleh

Royal SK.

Pasal 24

Undang-undang ini dapat disebut sebagai Pemutusan Hidup di Permintaan

dan Bunuh Diri Assisted.

Kami memesan dan perintah bahwa UU ini akan diterbitkan dalam

Lembaran dan bahwa semua kementerian, pemerintah, badan dan pejabat yang

berkepentingan dengan tekun harus menerapkan hal itu akan terus.

Page 60: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Selesai di Den Haag, April 12, 2001

Beatrix

Menteri Kehakiman,

A.H. Korthals

Menteri Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga,

E. Borst-Eilers

Diterbitkan April 2001 dua puluh enam

Menteri Kehakiman,

A.H. Korthals

(http://translate.google.co.id/)

Dalam UU tersebut jelas dinyatakan mengenai perbuatan euthanasia yaitu

pada Pasal 2.Ayat-ayat dalam pasal tersebut memberikan keterangan dan kriteria

yang jelas mengenai euthanasia aktif terutama mengenai unsur pokok euthanasia

aktif yaitu adanya permintaan yang jelas dari pasien sendiri atau dari keluarga

korban. Mengenai unsur permintaan tersebut telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat

(1) huruf e, yang dinyatakan sebagai opini yang dibuat pasien setelah mengetahui

keadaan dirinya yang sebenarnya dari dokter mengenai penderitaannya tidak dapat

disembuhkanlagi.

Ditentukan dalam ayat 2 bahwa pasien berumur enam belas tahun atau

lebih dapat menyatakan kepentingannya dan meminta kepada dokter untuk

melakukan euthanasia terhadap dirinya dengan pernyataan tertulis. Sedangkan

dalam ayat 3 ditentukan pasien berumur antara enam belas tahun dan delapan

belas tahun dapat meminta euthanasia melalui orang tua atau walinya.

Dalam ayat 4 ditentukan pasien berumur antara dua belas tahun dan enam

belas tahun dapat meminta euthanasia sesuai dengan keadaan yang dianggap

mungkin, sesuai dengan persetujuan orang tua atau walinya.

Dari isi ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa isi ayat 2 adalah

merupakan euthanasia aktif dimana pasien meminta kepada dokter dengan

pernyataan tertulis. Sedangkan ayat 3 dan ayat 4 juga merupakan euthanasia aktif,

namun permintaan dinyatakan oleh orang tua atau wali karena pasien masih

Page 61: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

berusia minor yaitu antara usia dua belas tahun dan enam belas tahun. Maka Pasal

2 UU tersebut merupakan aturan yang jelas mengenai euthanasia terutama

euthanasia aktif di Belanda, serta menjadi dasar euthanasia diterima dan legal di

Negeri Belanda.

In addition, there are substantive requirements adoctor must meet when

performing euthanasia or assisted suicide. These were published by the General

Board ofthe Royal Dutch Medical Association in 1984 and have been confirmed

in court decisions. The requirements are cumulative: voluntary and durable

request; full information; intolerable and hopeless suffering; no acceptable

alternatives left; and consulta-tion with another physician. In general, a doctor

will not be prosecuted if acting according to these require-ments. In 1990 the

Royal Dutch Medical Association and the Ministry of Justice agreed on a

notification proce-dure. The doctor does not issue a declaration of a natural

death; the doctor informs the medical examiner by means of an extensive

questionnaire; and the medical examiner reports to the public prosecutor, who

decides whether a prosecution must be started (Gerrit van der Wal, Robert J M

Dillmann, 1994:1347).

C. Perbedaan Pengaturan Tindak Pidana Eutanasia Di Indonesia Dan Di

Negeri Belanda

Dari pengaturan euthanasia di kedua Negara tersebut terdapat perbedaan

mengenai euthanasia dari tinjauan kedua pengaturan tersebut yaitu :

1. Tidak adanya satu pasal yang pasti mengatur tentang tindak pidana

euthanasia dalam KUHP Indonesia membuat tidak adanya kepastian

hokum tentang tindakan euthanasia. Namun hakim dapat

menggunakan Pasal 344 KUHP untuk menjerat tindakan euthanasia.

Tindakan euthanasia tidak diakui di Indonesia dengan menggunakan

pasal tersebut tindakan euthanasia berubah menjadi kejahatan

menghilangkan nyawa orang lain. Pasal 344 dapat dikenakan untuk

perbuatan euthanasia aktif. Sedangkan untuk euthanasia pasif dapat

dikenakan Pasal 340 atau Pasal 359 KUHP, yaitu mengenai kejahatan

menhilangkan nyawa orang lain dengan rencana terlebih dahulu dan

arena kealpaan. Penggunaan pasal tersebut dapat disesuaikan dengan

tindakan dokter yang mengurangi pengobatan kepada pasien dengan

tujuan mempercepat hidup pasien. Tindakan tersebut dapat dianggap

Page 62: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

lalai dalam memberi pengobatan atau memang telah direncanakan

untuk melakukan tindakan tersebut.

Sedangkan di Negeri Belanda telah dibuat aturan khusus mengenai

euthanasia dan bunuh diri dibantu.Yaitu dalam Pasal 2 UU tersebut

yang menyatakan mengenai euthanasia aktif, namun tidak terdapat

aturan jelas mengenai euthanasia pasif. Dengan adanya UU tersebut

maka jelas ada kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana euthanasia

di Negari Belanda. Isi Pasal 2 UU tersebut selaras dengan Pasal 293

ayat kedua KUHP Belanda yang menyatakan unsur suatu perbuatan

euthanasia.

2. Ancaman pidana dalam Pasal 344 KUHP Indonesia yaitu pidana

penjara paling lama dua belas tahun, sedangkan Pasal 340 KUHP

ancaman pidana mati atau seumur hidup atau penjara paling lama dua

puluh tahun dan pasal 359 KUHP ancaman pidana penjara palin lama

lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Pasal 344 KUHP

dapat digunakan untuk menjerat tindakan euthanasia aktif dan telah

jelas ancaman pidananya. Sedangkan untuk euthanasia pasif belum

ada pasal yang tepat,tetapi dapat menggunakan Pasal 340 KUHP dan

Pasal 359 KUHP, ancaman pidana juga telah jelas. Meskipun

euthanasia tidak diakui di Indonesia dan tidak ada aturan khusus

mengenai euthanasia, maka dengan pasal-pasal tersebut dapat

menjerat pelaku euthanasia apabila muncul kasus euthanasia dan

sampai ke persidangan.

Sedangkan dalam UU euthanasia dan bunuh diri dibantu di Negeri

Belanda, tidak ada ancaman bagi pelaku tindakan euthanasia karena

UU tersebut melegalkan euthanasia.UU tersebut berisi kriteria/unsur

euthanasia dan pembentukan komite yang membawahi dokter-dokter

dan mengawasi pelaksanaan euthanasia.Dalam UU tersebut

euthanasia tidak disebut sebagai tindak pidana melainkan sebagai

perawatan.Dapat diartikan bahwa euthanasia bukan merupakan

Page 63: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

tindakan membunuh pasien, namun perawatan hingga pasien

meninggal.

Page 64: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan

terhadap masalah-masalah yang diangkat dalam penulisan ini mengenai analisis

studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda, dapat

ditarik beberapa simpulan yang penting untuk menjadi bahan kajian selanjutnya.

1. Di Indonesia tidak ada aturan khusus mengenai tindak pidana eutanasia

dan Indonesia merupakan negara yang tidak mengakui tindakan eutanasia.

Namun apabila ada kasus eutanasia yang dilaporkan dan sampai ke

persidangan, maka hakim dapat menggunakan Pasal 344 KUHP untuk

menjerat pelaku. Pasal tersebut merupakan pasal yang paling relevan

untuk menjerat tindakan eutanasia terutama eutanasia aktif. Sedangkan

bagi eutanasia pasif belum ada pasal yang tepat untuk menjerat tindakan

tersebut. Dapat menggunakan Pasal 340 KUHP atau Pasal 359 KUHP,

namun unsur pasal dan unsur eutanasia pasif kurang selaras. Penggunaan

pasal dapat dengan mengabaikan unsur-unsur eutanasia pasif.

Di Belanda telah ada aturan khusus mengenai tindakan eutanasia yaitu

Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001 tentang review

euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-

Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan

dan Bunuh Diri Assisted). Dalam UU tersebut jelas terdapat pasal-pasal

yang mengatur tindakan euthanasia yang dilakukan dokter, terutama

euthanasia aktif dan dokter diperkenankan melakukan euthanasia dan

bunuh diri dibantu.Yaitu dalam Pasal 2 UU tersebut yang menyatakan

mengenai euthanasia aktif, namun tidak terdapat aturan jelas mengenai

euthanasia pasif. Isi Pasal 2 UU tersebut selaras dengan Pasal 293 ayat

kedua KUHP Belanda yang menyatakan unsur suatu perbuatan

euthanasia.

Page 65: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

2. Pasal-pasal dalam KUHP Indonesia yang relevan diterapkan untuk tindak

pidana euthanasia seperti Pasal 340, Pasal 344 dan Pasal 359, bukan

merupakan Pasal yang baku atau yang benar-benar dibuat untuk mengatur

tindak pidana euthanasia. Jadi dalam KUHP Indonesia sendiri saat ini

belum ada pengaturan pasti yang baku mengenai tindak pidana euthanasia.

Sedangkan Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001

tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP

dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di

Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) di Negeri Belanda adalah suatu

aturan pasti mengenai tindak pidana euthanasia. Aturan tersebut

melegalkan euthanasia, maka pelaksanaan euthanasia di Negeri Belanda

diijinkan dan didukung dengan aturan yang pasti.

B. Saran

1. Dalam KUHP Indonesia harus memuat aturan mengenai tindak pidana

pidana euthanasia. Yaitu aturan khusus dalam pasal tersendiri yang

mengatur tentang tindak pidana euthanasia. Karena Indonesia dalam

KUHP yang sekarang tidak mengenal tindak pidana euthanasia, sedangkan

sesuai perkembangan bioteknologi menuntut suatu batasan-batasan hukum

agar hak manusia dapat terlindungi. Indonesia melarang tindak pidana

euthanasia, maka harus disusun suatu pasal yang mengatur larangan

melakukan euthanasia, sehingga mewujudkan kepastian hukum.

Dalam Undang-Undangtentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu

dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi

(UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) selain

memuat mengenai ketentuan pelaksanaan euthanasia aktif juga

dimasukkan ketentuan mengenai euthanasia pasif. Karena dalam UU

tersebut belum jelas menyebutkan kriteria dan ketentuan pelaksanaan

euthanasia pasif.Sedangkan dalam prakteknya euthanasia pasif tidak dapat

diabaikan, karena pasti ada dokter atau komunitas medis yang melakukan

hal itu.Eutanasia aktif telah dilegalkan berdasar UU tersebut, seharusnya

Page 66: ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI .../Analisis...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id NIM ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI Eka Candra Budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

euthanasia pasif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari euthanasia

aktif.Karena memang dilegalkan maka harus ada aturan yang jelas

mengatur hal itu.

2. Dalam KUHP Indonesia harus memuat aturan mengenai tindak pidana

pidana euthanasia. Yaitu aturan khusus dalam pasal tersendiri yang

mengatur tentang tindak pidana euthanasia.

Dalam Undang-Undangtentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu

dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi

(UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) selain

memuat mengenai ketentuan pelaksanaan euthanasia aktif juga

dimasukkan ketentuan mengenai euthanasia pasif.