bhinneka tunggal ika

18
koleksi arsip milik : Edy Pekalongan Januari 2007 email: edy_pekalongan @yahoo.co.uk

Upload: edy-pekalongan

Post on 12-Jun-2015

922 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

arsip edy pekalongan tentang kajian bhineka tunggal ika, memperdalam pemahaman kita tentang dasar negara kita.

TRANSCRIPT

Page 1: BHINNEKA TUNGGAL IKA

koleksi arsip milik : Edy Pekalongan

Januari 2007

email: edy_pekalongan @yahoo.co.uk

Page 2: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Buku Karya Edy Pekalongan

Buku Anahata , Motivasi Inspirasi . ISBN 978 – 602 – 19498 – 1-8.

Buku ini mengajak pembaca mengolah perasaannya menjadi seluas samudra sehingga

memiliki sifat kuat, tenang dan damai. Memahami bahwa sesungguhnya terlahir sebagai

manusia adalah karunia yang luar biasa, gunakanlah kesempatan ini untuk belajar

memahami tujuan penciptaan anda di planet bumi ini, bukan hanya sekedar

menghabiskan usia dengan makan, minum, sex, mencari uang, mengurus keluarga dan

tidur. Dalam diri manusia ada keistimewaan, hanya tidak semua manusia mengetahuinya

dan mengembangkannya.

Buku ini akan memotivasi anda agar berani menjadi diri sendiri dan menginspirasi anda

agar berani bertindak mewujudkan cita cita.

Harga : 77 ribu rupiah

Info Kunjungi :

http://edypekalongan.blogspot.com/2011/12/karyaku-untuk-indonesia-2012.html

Page 3: BHINNEKA TUNGGAL IKA

BHINNEKA TUNGGAL IKA

Pluralisme ataukah Multikulturalisme ?

Disampaikan dalam

SEMINAR SUTASOMA

DALAM KONTEKS PENINGKATAN CINTA TANAH AIR

oleh :

huttaqi

20 Juli 2006

R.M.YUSRO – Jombang – Jawa Timur

Prolog :

Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga

ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja Râjasanagara. Ia masih saudara

sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa

Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.

Nama "Tantular" terdiri dari dua kata: tan ("tidak") dan tular ("tular" atau

"terpengaruhi"). Artinya ia orangnya ialah "teguh". Sedangkan kata mpu merupakan

gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.

Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka

terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua

kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama

kakawin Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil

menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika" atau

berbeda-beda namun satu jua

(Sumber :Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.)

Page 4: BHINNEKA TUNGGAL IKA

I. KISAH SUTASOMA

Pada zaman-zaman dahulu, Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma dalam

berbagai raja-raja di dunia,dan pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha)

untuk meredakan amarah Kala.

Buddha bereinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu.

Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma sangat rajin

beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan

dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri

dari negara Hastina.

Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang

raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka

datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah

diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya

diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka

sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa

yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada

suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan

babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi

tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat

dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat

sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau

bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam,

Page 5: BHINNEKA TUNGGAL IKA

maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu

beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik

dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak

bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika

beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.

Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak

mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak

mau, ingin bertapa saja.

Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa

ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan

mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma.

Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah

dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama

makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu

dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau

ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan

diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya

Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan

dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau

betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah

batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya

pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

Page 6: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu,

masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya

pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke

Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk

dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka.

Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena

Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.

Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan

asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala,

bahkan Porusada pun menjadi terharu. Dewa Siwa yang menitis pada Porusada

akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah

Buddha sendiri. Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika,

tan hana dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-

beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme

dalam kebenaran agama).

(Sumber : Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi, 1952)

II. SUTASOMA dan BUNG KARNO

SUATU malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau

Dewata cerah bermandikan cahaya purnama. "Saya sangat terkesan dengan ucapan

Sutasoma tadi," kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I

Nyoman Granyam, seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk

melakonkan Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal

dengan lakon Sutasoma itu.

Page 7: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Lalu Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud,

"Nanging hana pamintaku uripana sahananing ratu kabeh" (Tetapi permohonanku,

hidupkanlah raja-raja itu semua). Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada,

sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Dari karya Tantular ini berasal istilah "bhinneka tunggal Ika" yang menjadi simbol

dalam Lambang Burung Garuda Indonesia-ungkapan yang menurut Dr Soewito dalam

tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975)- "is a magic one of great

significance and it embraces the sincere hope the whole nation in its struggle to

become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community".

2.Perhatian yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma “Mangka Jinatwa

lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat

Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya

tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran ketuhanan)”. Yang

kedua ini menjadi sangat penting sebab inilah yang menjadi akar keyakinan agama-

agama yang ada di Indonesia, sebagaimana sesuatu akar keyakinan yang dipegang

oleh Bung Karno selama hidupnya. (Sebagian menganggapnya sebagai faham

Pantheisme),

3. Perhatian yang diberikan Bung Karno pada kisah Sutasoma yang rela

mengorbankan dirinya sendiri demi selamatnya seratus raja. Merupakan symbol dari

pemecahan masalah kemajemukan bangsa (Pluralitas) dimana banyak raja-raja yang

akan “selamat” tetap hidup, alias tidak dimatikan meski dengan terbentuknya Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Adanya Negara kesatuan dengan tetap menghormati

akan hak para raja-raja, seperti Raja dari Keraton Jogjakarta sebagai salah satu daerah

Page 8: BHINNEKA TUNGGAL IKA

istimewa, dan juga Raja-raja diseluruh kerajaan di Indonesia. Tidak ada yang

dimatikan dengan adanya Negara kesatuan republik Indonesia. Sebab itu, maka istilah

“Bhinneka Tunggal Ika” sebagai lambang pemersatu bangsa menjadi luar biasa

tepatnya sebagai sebuah refleksi dari cerita Sutasoma di masa Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

4. Dan seolah menjadi keyakinan yang mendarah daging pada diri Bung Karno,

ternyata jalan yang sama seperti yang ditempuh Sutasoma akhirnya ditempuh oleh

Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya "perang saudara" pasca-

Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. “Seorang anak revolusi akan dimakan oleh api

revolusinya sendiri”, demikian kurang lebih ucapan Bung Karno. Dan seperti

Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan dirinya sendiri, rela tenggelam demi

keutuhan bangsa dan negaranya. "Cak Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam. Tetapi

ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak terpecah belah",

tegasnya kepada Ruslan Abdulgani.

II.1. Bung Karno di mata kawan dan lawan politiknya

Bung Karno adalah sosok yang kontroversial. Di mata lawan-lawan politiknya

di Tanah Air-nya sendiri, sebagian menganggap ia mewakili sosok politisi kaum

abangan yang "kurang islami". Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong

kelompok "nasionalis sekuler". Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari

Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-

balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam).

Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di negerinya sendiri diperdebatkan, justru

dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, "lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa'

allatiy ja'alha al-Qur'an sya'ana min syu'un al-mu'minin" (tidak lain hanyalah salah

satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi

Page 9: BHINNEKA TUNGGAL IKA

kaum beriman).

Di mata lawan politiknya di Barat, seperti tampak dari ucapan Willard A

Hanna, Bung Karno adalah "politisi tanpa identitas dan tanpa prinsip, yang berpadu

dalam dirinya nabi dan playboy, tukang sulap dan tukang obat". Tetapi, orang-orang

Arab menamakannya Ra'is, dan orang-orang Mesir di Kota Cairo menjulukinya al-

Hakim. Tak seorang pun meragukan popularitasnya di negeri-negeri Islam itu. Nama

besar Bung Karno diabadikan antara lain dalam Qamus al-Munjid. Konon, hanya dua

tokoh Indonesia yang dicatat dalam kamus karya Louise Ma'louf, seorang Arab-

Kristen itu. Soekarno, dan satunya lagi Syeikh Nawawi al-Banteni. Sampai-sampai

sekarang ini di Rusia, nama Indonesia sendiri kurang dikenal, tetapi kalau nama

Soekarno yang disebut, baik yang muda maupun yang tua mereka tahu. Bung

Karnolah justru yang pernah mensitir ayat al Quran di siding PBB yakni surat Hujurot

13, tentang penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk

saling kenal mengenal, sedangkan Negara-negara yang menyatakan diri mereka

Negara Islam malahan tidak pernah menyampaikan ayat al Quran ketika bersidang di

PBB. Dan ayat al Hujurot 13 ini yang konon kemudian diabadikan di tempat sidang

PBB.

Tatkala memuncaknya ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal

status Palestina, pers sensasional Arab yang salah paham dengan pencabutan sebutan

Deicidium (pembunuh Tuhan) kepada kaum Yahudi, menyambut Bung Karno, "Juara

untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba". Pada pihak lain,

Tahta Suci Vatikan sendiri memberikan kepadanya tiga gelar penghargaan kepada

presiden pertama dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

(Sumber : Kompas CyberMedia, Jumat, 1 Juni 2001)

Page 10: BHINNEKA TUNGGAL IKA

II.2. Keyakinan Religius Bung Karno

Relevansi mengemukakan keyakinan religius Bung Karno ini, terkait erat

dengan peranannya dalam menentukan masa depan Indonesia, berangkat dari

pluralisme agama yang merupakan problem tersendiri di Negara Indonesia.

Kenyataan ini dikemukakan, dengan sepenuhnya menyadari bahwa mengemukakan

spiritualitas Bung Karno adalah juga merupakan bagian dari kontroversi itu sendiri.

"Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri," tulis Clifford Geertz dalam

Islam Observed (1982). Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah

mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti

Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai "bergaya ekspansif seolah-olah

hendak merangkul seluruh dunia". Sebaliknya, ungkapan semacam itu-menurut BJ

Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)-"hanya merupakan

perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya

Jawa". Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru "merupakan keberanian

untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan

formalis sebagai bid’ah".

Ungkapan Bung Karno ini, di mata para penghayat tasawuf bukanlah hal yang

asing. Seperti apa yang disampaikan oleh Ibn Al-'Arabi (1076-1148) mendendangkan

kesadaran yang sama. "Laqad shara qalbiy qabilan kulla shuratin, famar'a lighazlanin

wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa ka'batu thaifi wal wahu tawrati wa

mushafu qur'anin” (Hatiku telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-

rahib Kristen, rumah berhala, Kabah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al

Quran).

Demikian juga dengan istilah yang seolah berlawanan tetapi sama dengan apa

yang disebutkan di dalam salah satu syair Jalalludin Rumi,”Tidak kutemukan Tuhan

Page 11: BHINNEKA TUNGGAL IKA

di atas tiang salib, tidak kutemukan Tuhan di dalam Vihara dan Klenteng, tidak juga

kutemukan Tuhan di dalam Ka’bah melainkan kutemukan Tuhan dihati orang-orang

suci”

Ketika menerima gelar doctor honoris causa (doktor kehormatan) di

Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Bung Karno menyebut bahwa tauhid yang

dianutnya sebagai Panteis-monoteis. Bung Karno yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi

Ia hadir dan berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan Islam dan Kristen, istilah

pantheisme ini sebagian mengundang menjadi salah paham. Kontan saja, orang

langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar, "Al-Hallaj"-

nya orang Jawa yang mengatakan,”Siti Jenar tidak ada yang ada adalah Allah”, atau al

Hallaj yang mengatakan,”di balik jubahku ini yang ada adalah al Haq”, atau dengan

apa yang disampaikan oleh Syech Yazid Bustami,”Laa ilaha ila anna,

fa’budni”,”Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku” (kutipan dari Al

Quran surat Thoha 14), dan coba bandingkan dengan ajaran Hindu Tat Twam Asi

(Aku adalah dia, dia adalah aku). Atau apa yang diyakini oleh Katolik,”Abba ya

Bapa” “Bapa didalam aku dan aku di dalam Bapa”

Sebagaimana juga apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali (wafat 1111),

At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai'in ilallah (Tauhid sejati adalah

penglihatan atas Allah dalam segala sesuatu). Juga, menurut Ibn al-'Arabi, segenap

alam semesta adalah tajjali atau penampakan dari Allah. Atau kadang juga para sufi

menyatakan dengan istilah Laa Maujuda ilalloh, Tidak ada yang wujud melainkan

hanya Allah semata. Dzat Wajibal wujud. Sebagian menyebut faham ini dengan

istilah Wujudiyah atau juga Wahdatul Wujud.

Keyakinan ini sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam al Quran,”Kemana engkau

menghadap di situ yang tampak wajah Allah”

Page 12: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Atau sesuai dengan apa yang disampaikan oleh sahabat Abu bakar Shiddiq, “Sebelum

aku melihat sesuatu di situ aku melihat Allah”,

Atau seperti yang disampaikan oleh Umar bin Khottob,”Saat aku melihat sesuatu di

situ aku melihat Allah”,

Atau juga seperti yang disampaikan oleh Ali kwh, “Setelah aku melihat sesuatu, aku

melihat Allah”,

Semuanya sama meski istilahnya berbeda-beda, sebab mereka semua fokus lahir

bathinnya, segenap jiwa dan raganya hanyalah terfokus dan tertuju kepada Allah

semata.

Ini yang kemudian menjadi sila yang pertama dalam Pancalisa “KETUHANAN

YANG MAHA ESA”

II.3. Nasionalisme Bung Karno adalah Nasionalisme Agamis

Berangkat dari keyakinannya terhadap agama Islam itulah, maka Bung Karno

faham benar akan keutamaan “Bakti kepada Orang tua”, “Cinta Tanah Air bagian dari

Iman”,dll. Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti

mencintai Pencipta-Nya. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu diawali dari

Bumi tempat kakinya berpijak, Bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan takjub

dan hormat sebagai "Ibu".

Lebih jelas lagi, kita bisa mengikuti deskripsi Bung Karno mengenai nasionalisme

Indonesia yang diungkapkan begitu berapi-api: "Bukan saya berkata Tuhan adalah

Indonesia", kata Bung Karno, "tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia".

Singkat kata, di mata Bung Karno, perjuangan terhadap tanah air, bebasnya tanah air

dari tanah penjajahan merupakan wujud perjuangannya di dalam membela “ibu”

kandungnya, tempat dimana ia dilahirkan, dan merupakan perwujudan kecintaannya

kepada Tuhannya yang diwujudkan melalui Cinta Tanah air. Perjuangan sampai titik

Page 13: BHINNEKA TUNGGAL IKA

darah terakhir demi bebasnya Ibu Pertiwi ini.

Gambaran ini pulalah yang menyebabkan lambang Burung Garuda (Garudeya)

dipilih sebagai lambing bangsa Indonesia. Di dalam kisah Garudeya, adalah seorang

ibu (lambang ibu pertiwi) yang sedang ditawan oleh ular-ular raksasa, dan hanya

anaknya, sang Garuda lah yang dapat membebaskan ibunya melalui pencarian terhadap air

amarta, tirta kamandanu, air kehidupan atau dalam istilah al Quran ma’an

ghodaqoh.

Meski begitu, Bung Karno mengatakan, mensitir Gandhi, " My Nasionalism is

humanity”. Dan inilah yang kemudian menjadi sila ke 2 dari Pancasila, sila

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang merupakan wujud dari Nasionalisme di

sila ke 3 ,”Persatuan Indonesia”.

II.4. "Pluralisme" spiritualitas Bung Karno

Latar belakang keyakinan Soekarno seperti yang diuraikan di atas, sudah

barang tentu membentuk dan menentukan sosialisasi pemikiran keagamaan

selanjutnya. Meski begitu, religiusitas Bung Karno itu bukanlah sinkretisme

(percampuran) agama-agama, pluralisme bukanlah sinkretisme agama, pluralisme

bukanlah pencampuradukan agama-agama, dan inilah yang perlu untuk dipahami.

Atau di dalam istilah Bambang Noorseha (tokoh Kristen Syiria ortodoks), keyakinan

Bung karno adalah sebuah "melintas batas" (passing over) berbagai agama dan tradisi

spiritual. Hal itu kata Bambang, tampak dari pidato-pidato tanpa teks, ketika ia

mengemukakan perbandingan-perbandingan dari berbagai agama, tamsil-tamsil dari

ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Ayat-ayat suci itu dikutipnya bahkan di

luar komunitas agama yang menganutnya. Misalnya, tanpa ragu-ragu ia mengutip Injil

atau Bhagawad Gita di forum Islam. Sebagaimana tanpa ragu-ragu pula ia mengutip

firman Allah di al Quran ketika berpidato di depam anggota-anggota PBB.

Page 14: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Masih menurut Bambang Noorseha, warisan keberagaman itu bukan

diterimanya sebagai kontradiksi atau pertentangan, sebaliknya sebagai suatu kekayaan

rohani berdasarkan kesadarannya akan kesatuan transendental agama-agama. Dalam

menggembleng rakyatnya, Bung Karno, misalnya sering mengutip

Al Quran. ar Ra'd 11: Innallaha laa yughayiru maa bi qaumin hatta yughayiru ma bi

anfusihim (Allahtidak mengubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu mengubah

sendirinasibnya), tetapi Bung Karno juga mengutip dari Bhagawad Gita (II,47) ketika

menekankan prinsip yang sama: Karmany ewadhikaras te maphalesu kadacana

(Berjuanglah dengan tanpa menghitung-hitung untung rugi bagimu).

Bahkan Bung Karno pernah membuat terperanjat Mr Siegenbeek van

Heukelom yang mengadilinya di Landraad Bandung tahun 1930. "Ik ben een

revolutionaire" (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno. Tetapi kata dia

selanjutnya: "Ik werk niet met bommen en granaten" (Saya bekerja tanpa bom dan

granat). Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung Karno menyebut bahwa Yesus

adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia bekerja tanpa kekerasan. "Revolusi",

kata Bung Karno, adalah "eine Umgestaltung von Grundaus"

(perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun dalam ajaran

keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di luar kepala dapat menghapal Injil

Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.

Bung Karno hanyalah salah satu dari mereka tokoh-tokoh Indonesia yang juga

berpikiran sama, seperti Muh. Yamin, Hatta, H. Agus Salim, dll, yang telah begitu

mendalami agama Islam dan juga mendalami agama-agama yang ada di Indonesia,

juga termasuk masalah budaya-budaya yang ada di Indonesia, telah menyatukan

Page 15: BHINNEKA TUNGGAL IKA

bangsa Indonesia melalui kesepatakan/musyawarah dengan pemilihan symbol-simbol

Pluralisme seperti Sang Merah Putih, Burung Garuda, Pancasila, semboyan Bhinneka

Tunggal Ika, yang kesemuanya merupakan perekat kuat, bangsa Indonesia dengan

kemajemukannya dalam agama, dalam suku, dalam budaya, dalam bahasa, dll.

III. Multikulturalisme dan Pluralisme

Multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari posmodernisme.

Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan (West,1998;Collins; Lemert,1993)

yang mengambil ide dari gagasan posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara

analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka (Spivak, 1988;, Butler, 1990).

Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep

memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang

membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus

mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternative yang secara

fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme

merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk

menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka.

Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya

kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai

mengubah struktur sosial secara keseluruhan.

Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social,

dengan menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak

individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda

politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada

liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141)

Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak,

dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar

Page 16: BHINNEKA TUNGGAL IKA

kelompok kita yang harus di akui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah faham

tentang pluralitas, demikian definisi yang disampaikan oleh Richard J.Mouw dan

Sander Griffon dalam bukunya Pluralisme & Horizon (1993:13). Pengertian seperti

ini, menurut mereka, akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini

bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan itu.

Namun demikian menurut Nurcholis Madjid (Rachman, 2001; 31), pluralisme

tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,

beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya

menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh

dipahami sekedar kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaannya untuk

menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati

kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within

the bond of civility).

Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000) disebutkan bahwa

pluralisme dapat dipahami sebagai “the existence of many different group ini one

society, for example people of different races or different political or religious beliefs:

cultural or political pluralism”. Jadi Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi

keberagaman etnik atau kelompok-kelompok cultural dalam suatu masyarakat atau

Negara, serta keberagaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan

dan sebagainya. Definisi seperti inilah yang menurut Masykuri Abdillah, mengandung

pluralisme social atau primordial (Achmad, 2001:11). Untuk merealisasikan dan

mendukung konsep tersebut diperlukan adanya toleransi. Sebab toleransi tanpa sikap

pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang

langgeng, begitupun sebaliknya.

Page 17: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Dari penjelasan di atas, yakni tentang Multikulturalisme dan Pluralisme, maka

bisa dipahami perbedaan prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari

individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau

kekayaan perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami

untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis),

berbeda dengan Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk

kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong,

gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi pencampuradukan ajaran agama

(sinkretisme), melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat aktif-

participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa Indonesia

melalui Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas keTuhanan

YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya

itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di lambang burung Garuda Pancasila

yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai

dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bung Karno pernah menyampaikan bahwa beliau menggali sila “Ketuhanan

Yang Maha Esa” ini dalam sekali, mulai masa Hindu, Budha, dan masa Islam yang

sekarang ini di Indonesia. Dari galian sejarah bangsa yang sebagian sudah penulis

tulis di atas itulah, kemudian diangkat oleh Bung Karno sebagai dasar Negara kita

yaitu Pancasila di sila yang pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” (1964; 67). Inti

dari kultur bangsa Indonesia menurut Bung Karno adalah terletak pada “gotong

royong”, yaitu sikap yang memiliki toleransi tinggi, saling tolong menolong di antara

sesama penduduk Indonesia, tanpa memandang adanya perbedaan etnis, agama,

ekonomi,dan lain-lain. Inilah akar dari sikap bangsa Indonesia yang meski berbeda-

beda tetapi tetap satu jua “Bhinneka Tunggal Ika”

Page 18: BHINNEKA TUNGGAL IKA

IV. Epilog

Dari penjelasan di atas, maka menurut penulis, bahwa lebih tepat apabila

dikatakan bahwa konsep “Bhinneka Tunggal Ika” itu sekarang lebih sering atau lebih

tepat dikatakan merupakan faham Pluralisme, yang bukan berarti Sinkretisme maupun

Multikulturalisme.

Inilah yang lebih cocok dengan sejarah bangsa Indonesia, yang lebih cocok dengan

keberagaman Indonesia, dan yang lebih cocok dengan semangat dan jiwa bangsa

Indonesia maka dimasa keadaan bangsa Indonesia sekarang ini yang sudah tampak

kecondongan terpecah belah, individualis dengan dalih otonomi daerah, tidak lagi

muncul sifat tolong menolong atau gotong royong, semangat “Bhinneka Tunggal Ika”

perlu untuk di sosialisasikan lagi.

Api dari Persatuan Indonesia melalui “Bhinneka TUnggal Ika” perlu untuk dinyalakan

lagi di hati anak bangsa. Dan dibagian terakhir ini saya ingat apa yang pernah

disampaikan oleh Bung Karno dalam salah satu pidatonya “JANGAN WARISI ABU

DARI PERJUANGAN INDONESIA !, JANGAN WARISI ABUNYA!!!, tetapi

WARISILAH API DARI PERJUANGAN INDONESIA!!!”

“Sudah waktunya api Bhinneka Tunggal Ika dinyalakan di hati anak bangsa !!!”

Wassalam