bermain dengan bule di pinggir rel kereta...

1
Anneke Pendiri sekolah informal terkadang mereka memberi kami bantuan,” ungkap Junaedi, warga Luar Batang. Setelah puas berkeliling dan bersendau gurau dengan warga Luar Batang, Ronny mengajak kedua tamunya ke kawasan Senen. Di sana Ron dan Chris melihat langsung tingkat kemis- kinan yang lebih parah jika di- bandingkan dengan kondisi ekonomi warga Luar Batang. Rumah-rumah petak di antara rel menyambut Ron dan Chris. Anak-anak pun berebut mengerumuni. Ada yang minta bersalaman, bahkan ada pula yang mengajak bermain bersa- ma. Chris pun tak segan-segan menggendong anak-anak itu. Untuk menjelajah sisi lain Ja- karta, Ron dan Chris harus mengeluarkan uang jasa US$50 atau sekitar Rp430 ribu. Sete- ngah dari uang itu dimasukkan ke Yayasan Intrakultur, bentu- kan Ronny dan istrinya. Sisanya didonasikan buat fakir miskin. “Melalui yayasan ini kami membiayai anak-anak yang tidak mampu untuk melanjut- kan sekolah mereka,” jelas An- neke yang mendirikan sebuah sekolah informal di kawasan Senen. Ronny yang jebolan Institut Kesenian Jakarta menggagas paket tur ke kantong-kantong kemiskinan sejak 2008. Tur ber- tajuk Jakarta Hidden Tour mem- berikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi secara langsung dengan kaum terpinggirkan. Umumnya peminat warga negara asing. Pernah ada orang Indonesia, tapi hanya satu atau dua orang. Ronny kerap dituding men- jual kemiskinan dan memper- malukan bangsa. Namun, ia tidak mau mundur. Apalagi sebagian besar penghasilan justru dikembalikan kepada orang-orang kebanyakan terse- but. “Kami justru ingin menaik- kan derajat mereka yang ter- pinggirkan,” pungkasnya. Tur tersebut sebagai langkah awal untuk membantu kaum miskin di Jakarta. “Nantinya saya akan memberikan program pember- dayaan bagi mereka, tapi ini bertahap.” Tidak etis Bagi Tieneke Saraswati Arif, pengamat sosial, cara Ronny mencari uang kurang etis dan tidak baik bagi perkembangan bangsa. Kemiskinan merupakan aib yang harus disembunyikan dan diatasi dengan kerja keras oleh semua pihak. “Kemiskinan tidak pantas dipamerkan, apalagi dijadikan kunjungan wisatawan man- canegara,” ujar dosen Universi- tas Indonesia itu. Bukan hanya bagi bangsa, untuk perkem- bangan si miskin sendiri tidak baik. Mereka menganggap melalui kemiskinan, mereka dapat memperoleh uang. Aki- batnya si miskin tidak mau be- kerja keras mengubah nasib menjadi lebih baik. “Mereka beranggapan begini saja (mis- kin) dapat uang, tidak perlu kerja keras,” ujarnya. Jika penyelenggara wisata kemiskinan berdalih sebagian dana dari wisatawan dialihkan untuk pemberdayaan ekonomi si miskin, menurut Tieneke, itu hanya mencari-cari pembe- naran. “Berapa besar yang dialihkan untuk si miskin? Itu kan juga tidak terbuka,” cetusnya. Saat ini banyak cara mencari uang, tapi sering tidak memer- hatikan etika dan dampaknya. “Apakah tidak ada jalan lain untuk memberdayakan si mis- kin selain menjual kemiskinan mereka?” tanyanya. Ia pun mengingatkan kemiskinan bu- kan untuk hiburan bagi seke- lompok orang. Kemiskinan tidak untuk dipertontonkan. Setiap negara pasti punya kelompok ma- syarakat yang miskin. Setiap negara akan menutup kemiski- nannya bagi dunia lain. “Kalau saya ke luar negeri, selalu ditunjukkan tempat yang bagus dan indah. Kemiskinan tetap ada, tapi tidak untuk dipa- merkan.” Pemerintah, lanjutnya, memi- liki program pengentasan rakyat dari kemiskinan. Di sinilah peran warga negara, jika ingin turut memberantas kemiskinan, dengan memantau atau turut serta mengoptimalkan program tersebut. Media massa juga sepatutnya menyosialisasikan program tersebut. “Jadi, fungsi media sebagai penyebar informasi juga berjalan,” imbuhnya. (*/J-1) [email protected] KEMISKINAN tidak layak di- tonton. Saya kaget kegiatan tersebut masih berlangsung. Itu kan tidak ubahnya seperti berkunjung ke kebun binatang tempat kemiskinan dieksploita- si sebagai tontonan. Memang kegiatan itu dimak- sudkan untuk membuka mata orang-orang tentang kemis- kinan yang nyata di masyarakat secara langsung. Namun, hal itu tidak menyentuh substansi upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Semua tahu di negara kita banyak orang miskin. Seharusnya, ada kegiatan langsung dan berkepanjangan agar warga miskin bisa diber- dayakan. Kalau hanya menon- ton, posisi struktur kemiskinan tidak akan berubah. Layaknya menonton monyet di kebun binatang, kita sudah senang melihat aktivitas si monyet ketika diberi uang, tetapi hak- hak si monyet tidak tersentuh. Ada kecenderungan orang kaya menikmati saat melihat orang miskin. Mereka seakan- akan bangga bisa memberi bantuan. Sumbangan kepada orang miskin itu hanya seremo- nial sebab tidak menyentuh hak si miskin. Wisata kemiskinan atas nama apa pun tidak dapat dibenarkan karena memang tidak layak untuk ditonton. Warga miskin sepatutnya diberdayakan. Pemerintah harus segera menghentikan penggusuran, bukan malah mengusir. Itu kan sama saja menciptakan masalah baru di kemudian hari. Keberadaan orang-orang miskin itu nyata. Mereka ting- gal di bantaran kali, kolong tol, dan kampung-kampung grey area dan bekerja di jalanan. Akan tetapi, pemerintah seakan-akan tutup mata dan menganggap sebagai koreng dalam pembangunan. Jakarta semakin tidak ramah terhadap warga miskin. Hal itu bisa dilihat dari pola pemba- ngunan yang lebih menguta- makan kalangan menengah ke atas. Di tengah kemewahan Jakarta, masih banyak orang kesulitan makan sekali sehari. Padahal, itu adalah kebutuhan paling dasar manusia. Solusi konkret yang harus segera dilakukan pemerintah antara lain menghentikan peng- gusuran dan menata dan mengesahkan kampung-kam- pung yang termasuk grey area. Bersamaan dengan itu, pe- merintah pusat harus mende- sentralisasikan lapangan peker- jaan ke desa-desa agar tenaga kerja tidak mengalir ke Jakarta saja sehingga mengurangi mag- net Kota Jakarta. (*/J-1) GAPOLITAN 21 JUMAT, 4 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA SAYA sudah empat kali berkun- jung ke Indonesia. Biasanya pergi untuk bertemu teman dan kepentingan pekerjaan. Kali ini saya tertarik menyusuri sisi lain kota lewat Jakarta Hidden Tour. Karena itu, saya mengajak ayah, Ron, 75, untuk ikut berkeliling. Kami kerap mengunjungi beberapa negara di Asia. Na- mun, kami selalu pergi ke hotel dan melihat mal yang ada di sana. Namun, bosan juga, ya, karena pemandangannya se- rupa. Itulah sebabnya saya dan ayah ikut Jakarta Hidden Tour. Kami start dari Hotel Mulia di kawasan Senayan menuju Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, dengan naik metromini. Cukup menyenangkan naik metromini, tidak ada pendingin udara, berdesak-desakan de- ngan penumpang lain. Sesampai di Kampung Luar Batang, kami disambut anak- anak yang bercanda. Ada juga anak-anak yang minta digen- dong. Saya peluk anak itu dan menggendongnya. Menye- nangkan, bukan? Hari itu, kami tidak hanya melihat Kampung Luar Batang. Ada juga perkampungan di kawasan pinggiran rel Senen, Jakarta Pusat. Saya dan ayah bermain dengan anak-anak di pinggiran rel. Saya pikir, kemis- kinan di Jakarta tak berbeda jauh dengan di India. Ketika kami berkunjung ke India, saya pun melihat apa yang terjadi di sini, tidak jauh beda. Yang menyenangkan adalah ketika melihat anak- anak di Kampung Luar Batang dan Senen tetap bersemangat untuk belajar, berhitung, atau membaca. Kemiskinan di Ja- karta harus mendapat perha- tian khusus. Ayah saya sangat senang mengikuti Jakarta Hidden Tour. Ia sangat menikmati ketika berinteraksi dengan warga. Ayah saya senang membantu orang. Ia akan membantu tanpa melihat statusnya. Ketika melihat seorang ibu kesulitan dengan mesin cuci- nya, ayah saya datang mem- bantu memperbaiki. Mesin yang rusak itu akhirnya ber- fungsi kembali. Ibu itu sangat senang. Bagi ayah saya, hal itu sudah cukup. Kami mengatakan kepada Ronny (pemandu wisata) agar terus menjaga komunikasi. Kalau ada yang perlu dibantu, kami mau saja membantu. (*/J-1) ntong Kemiskinan MI/LALITYA HAYUNINGTYAS aktu lalu. Warga miskin di Jakarta memanfaatkan lahan sempit untuk dijadikan tempat tinggal. DOK MI/TERESIA AAN MELIANA WISATA KEMISKINAN: Turis asing Ron berjalan bersama seorang anak ketika berkeliling di permukiman kumuh di Senen, beberapa waktu lalu. MI/LALITYA HAYUNINGTYAS Christopher, 47 Warga Negara Amerika Serikat PENGANTAR: JAKARTA kota megapolitan. Semua kemegahan dan keme- wahan ada di sini. Di sela-sela gemerlapnya kota, masih terselip perkampungan miskin. Namun, siapa sangka, ternyata kemis- kinan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing. Bermain dengan Bule di Pinggir Rel Kereta Api TEMA: Mencari Peradilan Anak yang Berkeadilan POLKAM SENIN (7/3/2011) FOKUS MI/M SOLEH Wardah Hafidz Koordinator Urban Poor Consortium Ada kecenderungan orang kaya menikmati saat melihat orang miskin. Mereka seakan-akan bangga bisa memberi bantuan.” Melalui yayasan ini kami membiayai anak-anak yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah mereka.”

Upload: dinhtram

Post on 14-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bermain dengan Bule di Pinggir Rel Kereta Apiftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2011-03-04/mediaindonesia... · paling dasar manusia. ... kawasan pinggiran rel Senen, Jakarta Pusat

AnnekePendiri sekolah informal

terkadang mereka memberi kami bantuan,” ungkap Junaedi, warga Luar Batang.

Setelah puas berkeliling dan bersendau gurau dengan warga Luar Batang, Ronny mengajak kedua tamunya ke kawasan Senen. Di sana Ron dan Chris melihat langsung tingkat kemis-kinan yang lebih parah jika di-bandingkan dengan kondisi ekonomi warga Luar Batang.

Rumah-rumah petak di antara rel menyambut Ron dan Chris. Anak-anak pun berebut mengerumuni. Ada yang minta bersalaman, bahkan ada pula yang mengajak bermain bersa-ma. Chris pun tak segan-segan menggendong anak-anak itu.

Untuk menjelajah sisi lain Ja-karta, Ron dan Chris harus mengeluarkan uang jasa US$50 atau sekitar Rp430 ribu. Sete-ngah dari uang itu dimasukkan ke Yayasan Intrakultur, bentu-kan Ronny dan istrinya. Sisanya didonasikan buat fakir miskin.

“Melalui yayasan ini kami membiayai anak-anak yang

tidak mampu untuk melanjut-kan sekolah mereka,” jelas An-neke yang mendirikan sebuah sekolah informal di kawasan Senen.

Ronny yang jebolan Institut Kesenian Jakarta menggagas paket tur ke kantong-kantong kemiskinan sejak 2008. Tur ber-tajuk Jakarta Hidden Tour mem-berikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi secara langsung dengan kaum terpinggirkan.

Umumnya peminat warga negara asing. Pernah ada orang Indonesia, tapi hanya satu atau

dua orang. Ronny kerap dituding men-

jual kemiskinan dan memper-malukan bangsa. Namun, ia tidak mau mundur. Apalagi sebagian besar penghasilan justru dikembalikan kepada orang-orang kebanyakan terse-but.

“Kami justru ingin menaik-kan derajat mereka yang ter-pinggirkan,” pungkasnya. Tur tersebut sebagai langkah awal untuk membantu kaum miskin di Jakarta. “Nantinya saya akan memberikan program pember-dayaan bagi mereka, tapi ini bertahap.”

Tidak etis Bagi Tieneke Saraswati Arif,

pengamat sosial, cara Ronny mencari uang kurang etis dan tidak baik bagi perkembangan bangsa. Kemiskinan merupakan aib yang harus disembunyikan dan diatasi dengan kerja keras oleh semua pihak.

“Kemiskinan tidak pantas dipamerkan, apalagi dijadikan

kunjungan wisatawan man-canegara,” ujar dosen Universi-tas Indonesia itu. Bukan hanya bagi bangsa, untuk perkem-bangan si miskin sendiri tidak baik. Mereka menganggap melalui kemiskinan, mereka dapat memperoleh uang. Aki-batnya si miskin tidak mau be-kerja keras mengubah nasib menjadi lebih baik. “Mereka beranggapan begini saja (mis-kin) dapat uang, tidak perlu kerja keras,” ujarnya.

Jika penyelenggara wisata kemiskinan berdalih sebagian dana dari wisatawan dialihkan untuk pemberdayaan ekonomi si miskin, menurut Tieneke, itu hanya mencari-cari pembe-naran.

“Berapa besar yang dialihkan untuk si miskin? Itu kan juga tidak terbuka,” cetusnya.

Saat ini banyak cara mencari uang, tapi sering tidak memer-hatikan etika dan dampaknya. “Apakah tidak ada jalan lain untuk memberdayakan si mis-kin selain menjual kemiskinan

mereka?” tanyanya. Ia pun mengingatkan kemiskinan bu-kan untuk hiburan bagi seke-lompok orang.

Kemiskinan tidak untuk dipertontonkan. Setiap negara pasti punya kelompok ma-syarakat yang miskin. Setiap negara akan menutup kemiski-nannya bagi dunia lain.

“Kalau saya ke luar negeri, selalu ditunjukkan tempat yang bagus dan indah. Kemiskinan tetap ada, tapi tidak untuk dipa-merkan.”

Pemerintah, lanjutnya, memi-liki program pengentasan rakyat dari kemiskinan. Di sinilah peran warga negara, jika ingin turut memberantas kemiskinan, dengan memantau atau turut serta mengoptimalkan program tersebut.

Media massa juga sepatutnya menyosialisasikan program tersebut. “Jadi, fungsi media sebagai penyebar informasi juga berjalan,” imbuhnya. (*/J-1)

[email protected]

KEMISKINAN tidak layak di-tonton. Saya kaget kegiatan tersebut masih berlangsung. Itu kan tidak ubahnya seperti berkunjung ke kebun binatang tempat kemiskinan dieksploita-si sebagai tontonan.

Memang kegiatan itu dimak-sudkan untuk membuka mata orang-orang tentang kemis-kinan yang nyata di masyarakat

secara langsung. Namun, hal itu tidak menyentuh substansi upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Semua tahu di negara kita banyak orang miskin.

Seharusnya, ada kegiatan langsung dan berkepanjangan agar warga miskin bisa diber-dayakan. Kalau hanya menon-ton, posisi struktur kemiskinan tidak akan berubah. Layaknya menonton monyet di kebun binatang, kita sudah senang melihat aktivitas si monyet ketika diberi uang, tetapi hak-hak si monyet tidak tersentuh.

Ada kecenderungan orang kaya menikmati saat melihat orang miskin. Mereka seakan-akan bangga bisa memberi bantuan. Sumbangan kepada orang miskin itu hanya seremo-nial sebab tidak menyentuh hak si miskin. Wisata kemiskinan atas nama apa pun tidak dapat dibenarkan karena memang tidak layak untuk ditonton.

Warga miskin sepatutnya diberdayakan. Pemerintah harus segera menghentikan penggusuran, bukan malah mengusir. Itu kan sama saja menciptakan masalah baru di kemudian hari.

Keberadaan orang-orang miskin itu nyata. Mereka ting-gal di bantaran kali, kolong tol, dan kampung-kampung grey area dan bekerja di jalanan. Akan tetapi , pemerintah seakan-akan tutup mata dan menganggap sebagai koreng dalam pembangunan.

Jakarta semakin tidak ramah terhadap warga miskin. Hal itu bisa dilihat dari pola pemba-ngunan yang lebih menguta-makan kalangan menengah ke atas. Di tengah kemewahan Jakarta, masih banyak orang kesulitan makan sekali sehari. Padahal, itu adalah kebutuhan paling dasar manusia.

Solusi konkret yang harus segera dilakukan pemerintah antara lain menghentikan peng-gusuran dan menata dan mengesahkan kampung-kam-pung yang termasuk grey area.

Bersamaan dengan itu, pe-merintah pusat harus mende-sentralisasikan lapangan peker-jaan ke desa-desa agar tenaga kerja tidak mengalir ke Jakarta saja sehingga mengurangi mag-net Kota Jakarta. (*/J-1)

GAPOLITAN 21JUMAT, 4 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

SAYA sudah empat kali berkun-jung ke Indonesia. Biasanya pergi untuk bertemu teman dan kepentingan pekerjaan. Kali ini saya tertarik menyusuri sisi lain kota lewat Jakarta Hidden Tour. Karena itu, saya mengajak ayah, Ron, 75, untuk ikut berkeliling.

Kami kerap mengunjungi beberapa negara di Asia. Na-mun, kami selalu pergi ke hotel dan melihat mal yang ada di sana. Namun, bosan juga, ya, karena pemandangannya se-rupa. Itulah sebabnya saya dan ayah ikut Jakarta Hidden Tour.

Kami start dari Hotel Mulia di kawasan Senayan menuju Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, dengan naik metromini. Cukup menyenangkan naik metromini, tidak ada pendingin udara, berdesak-desakan de-ngan penumpang lain.

Sesampai di Kampung Luar Batang, kami disambut anak-anak yang bercanda. Ada juga anak-anak yang minta digen-dong. Saya peluk anak itu dan menggendongnya. Menye-nangkan, bukan?

Hari itu, kami tidak hanya melihat Kampung Luar Batang. Ada juga perkampungan di kawasan pinggiran rel Senen, Jakarta Pusat. Saya dan ayah bermain dengan anak-anak di pinggiran rel. Saya pikir, kemis-kinan di Jakarta tak berbeda jauh dengan di India.

Ketika kami berkunjung ke India, saya pun melihat apa

yang terjadi di sini, tidak jauh beda. Yang menyenangkan adalah ketika melihat anak-anak di Kampung Luar Batang dan Senen tetap bersemangat untuk belajar, berhitung, atau membaca. Kemiskinan di Ja-karta harus mendapat perha-tian khusus.

Ayah saya sangat senang mengikuti Jakarta Hidden Tour. Ia sangat menikmati ketika berinteraksi dengan warga. Ayah saya senang membantu orang. Ia akan membantu tanpa melihat statusnya.

Ketika melihat seorang ibu kesulitan dengan mesin cuci-nya, ayah saya datang mem-bantu memperbaiki. Mesin yang rusak itu akhirnya ber-fungsi kembali. Ibu itu sangat senang. Bagi ayah saya, hal itu sudah cukup.

Kami mengatakan kepada Ronny (pemandu wisata) agar terus menjaga komunikasi. Kalau ada yang perlu dibantu, kami mau saja membantu. (*/J-1)

ntong Kemiskinan MI/LALITYA HAYUNINGTYAS

aktu lalu. Warga miskin di Jakarta memanfaatkan lahan sempit untuk dijadikan tempat tinggal.

DOK MI/TERESIA AAN MELIANA

WISATA KEMISKINAN: Turis asing Ron berjalan bersama seorang anak ketika berkeliling di permukiman kumuh di Senen, beberapa waktu lalu.

MI/LALITYA HAYUNINGTYAS

Christopher, 47Warga Negara Amerika Serikat

PENGANTAR: JAKARTA kota megapolitan. Semua kemegahan dan keme-wahan ada di sini. Di sela-sela gemerlapnya kota, masih terselip perkampungan miskin. Namun, siapa sangka, ternyata kemis-kinan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing.

Bermain denganBule di Pinggir Rel Kereta Api

TEMA:Mencari

Peradilan Anak yang Berkeadilan

POLKAMSENIN (7/3/2011)

FOKUS

MI/M SOLEH

Wardah HafidzKoordinator Urban Poor Consortium

Ada kecenderungan

orang kaya menikmati saat melihat orang miskin. Mereka seakan-akan bangga bisa memberi bantuan.”

Melalui yayasan ini kami

membiayai anak-anak yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah mereka.”