berbagai pendekatan konteks studi islam

21
BERBAGAI PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan, khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan- pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua permasalahan yang terjadi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya, pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya. 1.2. Rumusan Masalah 1. Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam? 2. Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan? 1.3. Tujuan Penulisan Makalah Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam. BAB II

Upload: stis-syarif-abdurrahman-pontianak

Post on 19-Jul-2015

152 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BERBAGAI PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan

kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal

merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan,

khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk

mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya

tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai

cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah

yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-

pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua

permasalahan yang terjadi.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis,

historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya,

pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?

2. Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah

Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencari

dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa pendekatan yang

digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis,

historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis.

2.1. PENDEKATAN TEOLOGIS

1. Pengertian Teologi

Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani,

theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut,

dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia

tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok

karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan,

baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam.

Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan

sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh

kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam

sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-

serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.

Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang

membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali

diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian

luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi

biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang

beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui

konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang

bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi

adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).

Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan

keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi

yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim

dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.[1]

2. Teologi sebagai Metode Studi Islam

Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak

Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak tuhan itu dapat

dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis

dalam studi agama disebut juga pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara

umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari

pembenaran dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran

keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.

Dalam Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan ilmu-ilmu

keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara

lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-

masing memiliki cabang atau ilmu bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu

seperti ulun Al-Qur’an, asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu- ilmu keagamaan berdiri

sendiri, tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan

menjelaskan kehendak tuhan.[2]

3. Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi Keagamaan

Ada tiga konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:

a. Jelas bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci

bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu

masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi keagamaan memainkan

peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibandingkan peran teologi

Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul baik dalam lingkungan studi-studi

keagamaan maupun dalam teologis.

b. Studi-studi keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model

yang telah dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus tentang

apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen humanitas

(departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi lainnya, studi keagamaan

mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena itu, bagaimanapun juga ia

memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan. Teologi tampaknya juga perlu

memperluas focus intelektualnya pada wilayah pengetahuan yang lebih luas dan membantu

proses “rethinking” sekalipun kerangka kerja tradisinya bersifat partikular yang

menjadikannya lebih rumit daripada studi-studi keagamaan.

c. Studi keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting

dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan di atas,

tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan mulai tumbuh

kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam

agama dunia global.[3]

4. Teologi Agama-Agama (Theology of Religions)

Bagi umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter

bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang Brahmana sebagai realitas

ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner dalam manusia, nasib manusia sebagai

lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari

kelahiran kembali, cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di

dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai dewa personal

seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu (avataras) yakni Rama dan

Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam

pengertian Brahmana), dan bahkan (real self) diri yang sesungguhnya (dalam pengertian

Atman) dan menggunakan kata seperti “transendentologi” sebagai ganti teologi untuk

mengakomodasi gagasan-gagasan Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki

nuansa transendensi.

Dalam menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan

menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bias

jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi (ways of doing

theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat bertepatan dengan perbedaan-

perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian.

Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat empat

macam tipe:

1. Tipe teologi deskriptif, historis, positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap

tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doctrinal tanpa

mengabaikan pertimbangan lain. Tipe ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi

fenomenologis, dan lebih memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.

2. Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman

dalam suatu pengertian pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar

menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan

persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu. Seluruh tradisi

keagamaan memiliki tipe tipologi ini.

3. Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat

filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu

tujuannya mungkin tetap apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya

sendiri dengan argument yang ternalar.

4. Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir

, tipe ini lebih lazim namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung

keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri,

bukan semata-mata karena alasan apologetik. [4]

5. Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah Etika Global

Pada tanggal 4 September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun

Chicago world parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika

global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.

Kami Menyatakan:

Kita saling bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan

oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang, tumbuhan,

pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.

Kita memilki pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh

keputusan, perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.

Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.

Kita membuat suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan

diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa terkecuali.Kita harus

memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat memaafkan, belajar dari masa

lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita diperbudak oleh memori kebencian.

Membuka hati untuk orang lain.

Kita mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan

murah hati. Kita hidup harus tidak untuk diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain,

tidak pernah melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita,

cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.

Kita commit pada suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan

kedamaian. Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain,

meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.

Kita harus berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap

orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai

seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan dengan

rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari prasangka dan

kebencian.

Kami menyeru seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal

yang sama.

Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami system-sistem konseptual

agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika agama.[5]

2.2. Pendekatan Yuridis

Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman

agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah

berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam

mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu

sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah

dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama. Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya

dapat dibagi menjadi 4 periode:

1. Periode Nabi

2. Periode Sahabat

3. Periode Ijtihad dan kemajuannya

4. Periode Taklid dan kemundurannya

1. Periode Nabi

Segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada,

karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi, tetapi

secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang dikeluarkan Nabi

bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan

melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum yang ditinggalkan Nabi

untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.

2. Periode Sahabat

Pada zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang

diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan susunan

masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Jadi persoalan-

persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada masyarakat yang berada di daerah

baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat

Arabia itu sendiri.

Untuk mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang

ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah tidak

dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat maka pada masa

kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits) tidak dibukukan karena

para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.

Pada masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah

mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut, maka

mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma pada periode

Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat. Maksudnya ijma’ yaitu

kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri tetapi bertanya lebih dahulu

kepada para sahabat yang lainnya.

Sumber hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah

sahabat.

3. Periode Ijtihad

Pada periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi.

Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in

(generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah islam, berbagai macam

bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi dan system

kemasyarakatan. Problematika hokum yang dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-

ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi,

sunnah sahabat. Maka timbullah ahli-ahli hokum mujtahid yang disebut imam atau faqih

(fuqaha’) dalam islam.

Maka kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab

yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.

4. Periode Tklid

Periode taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan

kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada sumber-sumber

hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu hanya untuk

mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap individu atau kelompok.

Ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu

Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad yang dijalankan para ul;ama belum mencapai

derajat yang mujtahid, maka mereka hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan

dalam masyarakat.

2.3. Pendekatan Psikologis

Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala

perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang

nampak jahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang

ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru,

rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan

yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan

oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut oleh

seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman keyakinan agama tersebut terlihat

pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah- istilah yang menggambarkan sikap batin

seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang

saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-

gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,

dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk

memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini

agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya.

Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya

dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan mengetahui ini, maka dapat disusun langkah- langkah baru

yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini

banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai

pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog,

sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman

agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog

dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan

pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan

memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari

agama.

2.4. Pendekatan Historis

Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya pohon. Dalam

bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa

Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada

bahasa Yunani yaitu historia, yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa

Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan

tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.

Pengertian sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan

memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa

tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa

itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat dalam peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat

empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau

keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan

historis.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu

sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial

kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan stusi yang mendalam

terhadap terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia

mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-

Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian

kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.

Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata mendapati banyak sekali istilah al-

Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin

etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah- istilah, atau

singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah

dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan

istilah- istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang

ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah- istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam

pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak

maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang

ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga

ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat

diamati (obsereable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-

oran lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang kaya),

mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.

Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksut membentuk

pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang

berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan

untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-

peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi,

manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi

ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat historis ataupun

menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang

keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.

Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya

berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan

memahami agam keluar dari konteks historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an

secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau

kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu

Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya

berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul ini seseorang dapat

mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum

tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya. [6]

2.5. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat

praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan

pendekatan seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi

setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang

dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk memehami

agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan langsung yang

bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat). Pendekatan antopologis

dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian antropologis yang induktif dan

grounded maksudnya pendekatan yang turun kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk

membebaskan diri dari suatu teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak

sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –

model matematis, dan ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.

Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat

dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat dimunculkan dan

dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang

positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik suatu masyarakat.jadi

kkesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan

masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat

mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan tatanan

masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan

pihaknya.[7]

2.6. Pendekatan Sosiologis

Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.

Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi

didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan

pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola

organisasi serta hukum-hukumnya.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan

tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial

lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah

bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala

sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat

dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya,

sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal

demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami

secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.

Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa

besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan

mengajukan lima alasan sebagai berikut:

Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum

Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya

Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa

perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial

adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah

sosial).

Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya

kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang

penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),

melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari

pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah

dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan

ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau

batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan

sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan

mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.

Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini

dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional

dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial

dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran

agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah

sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk

memahami agamanya.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus

perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak

agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya

serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:

Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.

Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan

usia.

Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran,

dan birokrasi.

· Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal,

penyimpangan, dan globalisasi.

Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam.

Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat memerlukan telaah

dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap

berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim

di berbagai tempat.

2.7. Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran ilmu,

dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat tertentu, berusaha

menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai

pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum

dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan

arti adannya sesuatu . Jika kita melihat definisi yang diberikan oleh dua oranng yang mula-

mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita dapat mulai melihat bagaimana

kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendiskripsikan filsuf sebagai orang

yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas.

Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai “pengetahuan mengenai

kebenaran”. Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat meambah definisi ketiga yang

diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah suatu aktifitas yang melindungi kehidupi

yang bahagia melalui diskusi dan argumen. Maka unsure kunci yang menyusun “cinta pada

kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas,

dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran .

Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan

mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan melaui

karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog, berbincang dengan

orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang. Gagasannya adalah bahwa kkita dapat

menggunakan dialog untuk mencari kebenaran sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide

dan eorang menanggapinya,dan kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu

melaui respon yang diberikan dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual

meninngkatkan kebenaran yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang

gradual. Dialog –dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak

masalah karena ini justtru memberitahukan kkita hal yang menarik kentang filsafat.

Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk memberikan

sesuatu pembahasan yang rasional ……tentang watang yang dilawaankan dengan

pembahasan yang diterima …murni berdasar otoritas atau kenyakinan atau tradisi.

Dengan kata lain, “cinta kepada kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang

mengikuti sesuatu argument atau alur pemikiran atau suatu ide sampai pada suatu

kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk

ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai

bersifat sementara dan tentative.

Pengertian filsafat yang umum digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba .

Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam

rangka mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.

Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti,

hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari

sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.

Dalam pendekatan ini kita memperoleh petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini ,

filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud

dengan “ seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan

terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut dengan

argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji

kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan, dan mengembangkannya dalam suatu

cara yang koheren dan logis. Berfilsafat sama halnya dengan murid-murid diajari menulis

esai. Seolah – olah melakukan dialog dengan diri sendiriatau dialog dengan lawan imaginer.

Secara khusus kita dapat mengidentifiksikan empat posisi mengenai hubungan antara filsafat

dan agama, sebagaimana muncul dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah :

(1) Filsafat sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang

membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama.

Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study tentang penalaran

yang digunakan dalam pemikkkiran keagamaan.

Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup pemikiran-pemikiran seperti

Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne

dan Griffen. Inti dari pendekatan ini trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak

realitas tertinggi – kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan

wawasan-wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi

memberikan gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan

metafisik ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita

suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.

Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti

Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan

pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual : ia dapat

menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sfat

Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi untuk membangnun argument-

argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap

dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal dari teologi natural . Akan tetapi teologi natural

tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus

merenspon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas,

wahyu adalah komunitas Tuhan tentang kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat

diperoleh dengan sendirinnya, nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John

Locke mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar

keebenaran .yanng ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak

boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam karya

Richard Swinburn baru-baru ini.

Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti pemikiran-

pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. Refleksi,

paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya dalam membuat

pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan keterbatasan-

keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan

manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh pengetahuan dari Tuhan.

Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali adalah posisi yang

paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti Antony Flew , Paul Van Buren , R.B.

Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena merupakan cara

berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah

menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan bahasa

untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang digunakan untuk mendukung

pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana semua itu dikaitkan dengan cara hidup

mereka.

Posisi kelima, filsafat sebagai study penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan,

merupakan suatu perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David

Pailin, Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah

bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan

kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya merupakan kondisi

bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat telliti berbagai konteks dimana

orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasikan factor-faktor yang

beroperasi dalam konteks itu yang dapat memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat

bagaimana kenyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah

pada kebudayaan sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan.

Sejumlah perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic.

Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang menentang –

dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini. Kita mesti menyepkati hal ini.

Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi karakteristik yang menjadi inti

pendekatan filosofis terhadap agama.[8]

2.8. Pendekatan Fenomenologis

Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi, bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya,

istilah ini telah digunakan oleh para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah

realitas. Menurut Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert, seorang

filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18, terutama bukunya Neo

Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah ini untuk menjelaskan teorinya tentang

penampakan fundamental pada semua pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama,

Emmanuel Kant mmenggunakan istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan

noumena. Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam

kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi

objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain oleh Hegel, yaitu

conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya, jika kita membaca pikiran

semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian berbagai fenomena dalam

penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu bagian dari pengetahuan

mental, dan inilah yang disebut phenomenology of mind.

Moritz Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan

psychology. Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental

life) dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation) kehidupan mental.

Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.

Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik yang kukuh dengfan dasar-

dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti psikologistik

melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis. Kedua, dia bertolak dari filsafat

konsepsional sebagai akar psikologi deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah

disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang

disebut “transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan fenomenologinya yang

pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi

intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup ontologis yang mencakup

dunia sosial tentang budaya dan sejarah.

Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini merupakan respon filosofisnya

terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat

bahwa penyebab terjadinya bkrisis manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap

dan semangat Yunanian yang mempercayai adanya kebenara dan validitas universal

(“universally valid thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat

selama beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun tidak

terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan perlunya

dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara kembali

kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari “proyek” rehabilitasi ini.

Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode sains natural seperti pragmatisme,

“naturalisme” atau “psikologisme” kaum positivistik yang menurutnya bertanggung jawab

atas krisis humanitas tersebut.[9]

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan agama itu dapat di

lakukan dengan brbagai metode yaitu :

- pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan sebagai

upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.

- Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis

adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam.

- Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang

melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.

- Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa

dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa

tersebut.

- Pendekatan Antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara

melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.

- Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata

kehidupan bersama.

- Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi

mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam

semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.

3.2. Saran

Demikian makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami

paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang

membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari

pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita

semua. Amin.

[1] Imam Suprayogo dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya, 2003)h.57-58

[2] Ibid, h.59

[3]Peter Connolly Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,

2002),h.323-324

[4] Ibid, h.332-335

[5] Ibid, h.373-376

[6] Ibid, hal 46-48

[7] Ibid hal 35-38

8Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998) Hal. 42

[9] Lukman s. Thahir, studi islam interdisipliner.yogyakarta, qirtas, 2003, hal.57-61