bentuk tangung jawab negara terhadap …repository.uinjambi.ac.id/2967/1/bookmark skripsi ana...
TRANSCRIPT
1
BENTUK TANGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN
TIM MEDIS DALAM KONFLIK BERSENJATA DI PALESTINA
MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
SKRIPSI
ANA PRASETIANI
NIM. SPI.141812
PEMBIMBING:
Dr.H. ISHAQ, SH,.M. Hum
M. ZAKI, S. Ag.,M.Ag
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019 M/1440 H
2
3
4
v
MOTTO
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِ
Artinya :"Barang siapa yang bersungguh sungguh, sesungguhnya kesungguhan tersebut
untuk kebaikan dirinya sendiri" ( QS. Al- Ankabut :6 )
vi
PERSEMBAHAN
Sembah sujud serta syukur kepada Allah swt . Taburan cinta dan kasih sayang-Mu
telah memeberikanku kekuatan , membekaliku dengan ilmu serta memeperkenalkanku
dengan cinta .
Langit takkan indah jika tidak dihiasi dengan kedap kedip bintang dimalam hari
meski kadang ditutup kabut awan malam. Memikul harapan mereka meskupun dihadang
tantangan dan hambatan . Manisnya hasil kerja keras akan terasa apabila semuanya terlalui
dengan sabar meski harus memerlukan pengorbanan.
Alhamdulillahirabbil alamin, Akhirnya aku sampai ketitik ini , sepercik
keberhasilan yang engkau hadiahkan padaku ya Rabb, tak henti hentinya aku
mengucapkan syukur padamu serta shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada idola ku
Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia.
Bagi keluargaku tercinta…..
Ku persembahkan karya mungil ini untuk belahan jiwaku bidadari syurgaku yang
tanpamu aku bukanlah siapa siapa didunia fana ini ibundaku tersayang.
Serta orang orang yang menginjeksikan segala prinsip , edukasi , dan kasih sayang
berlimpah dengan wajah datar menyimpan kegelisahan dan perjuangan yang tiada pernah
kenal lelah namun tenang dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa
keluarga yang telah memberikan segalanya untukku. Untuk adik ku tercinta , Puji Prasetio
dan Renny Widyastuti , terima kasih doanya.
Tak lupa juga terima kasih kepada bapak M. Zaki ( pembimbing 2 ) , dan bapak ishaq (
pembimbing 1 ) yang telah banyak membantu dalam membimbing skripsiku dengan sabar
dan penuh keikhlasan . Tanpa bapak yang menuntun selama ini mungkin kutak bisa
menyusun skripsi ini dengan baik dan benar . Terimakasih banyak banyak dosen
pembimbing terhebat.
Untuk yang tak bisa dilupakan sepanjang perkuliahan , teman teman angkatan 2014 ,
khususnya jurusan Hukum Tata Negara A yang selalu ada disetiap hari hariku . Mengenal
kalian adalah hal terindahku.
Terimakasih semuanya.
vii
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tangung jawab negara terhadap tim
medis dalam konflik angkatan bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter
internasional. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan
metode pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan
dokumentasi. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan terhadap tim
medis dalam konflik bersenjata menurut hukum humaniter internasional tidak
terlaksana terutama pada penerapan ketentuan Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan
Protokol Tambahan I tahun 1977 saat konflik terjadi di Palestina disebabkan
bukan lemahnya hukum yang mengatur namun karena kurangnya kemauan dan
itikad baik serta komitmen bersama dari pihak yang bertikai atau yang
bersengketa untuk menetapkan dan mematuhi ketentuan Hukum Humaniter
Internasional pada saat konflik terjadi. Bentuk tangung jawab negara terhadap tim
medis dalam konflik angkatan bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter
internasional nyaris tidak ada. Hal ini dibuktikan saat konflik bersenjata terjadi
petugas medis tidak mendapat perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi
Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977. Bahwa agar hak-hak petugas
medis belum dapat dilindungi saat konflik bersenjata yang terjadi dibutuhkan
itikad baik dan komitmen bersama dari pihak yang bertikai atau bersengketa
secara sungguh-sungguh untuk mengutamakan ketentuan yang dapat melindungi
petugas medis yaitu ketentuan Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan Protokol
Tambahan I 1977.
Keyword: Tangung Jawab Negara, Tim Medis, Hukum Humaniter Internasional
viii
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 7
C. Batasan Masalah.................................................................... 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual............................................ 9
F. Tinjauan Pustaka ................................................................... 16
BAB II METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ........................................................... 19
B. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 19
C. Instrumen Pengumpulan Data ............................................... 20
D. Teknik Analisis Data ............................................................. 21
E. Sistematika Penulisan ........................................................... 22
F. Jadwal Penelitian ................................................................... 23
BAB III HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Istilah tentang Hukum Humaniter ......................................... 24
B. Tahap Perkembangan Hukum Humaniter ............................. 25
C. Aturan Pokok Hukum Humaniter Internasional ................... 29
D. Asas-Asas Pembeda Hukum Humaniter ............................... 30
E. Prinsip Pembeda Hukum Humaniter ..................................... 30
F. Perkembangan Prinsip Pembeda Hukum Humaniter ............ 33
G. Klausua Martens dan Klausua Siomnes ................................ 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Tim Medis dalam
Konflik Bersenjata menurut Hukum Humaniter
Internasional .......................................................................... 41
B. Bentuk Tangung Jawab Negara terhadap Tim Medis dalam
Konflik Angkatan Bersenjata di Palestina Menurut Hukum
Humaniter Internasional ........................................................ 55
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 61
B. Saran-Saran ........................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 62
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 64
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... 65
xi
DAFTAR SINGKATAN
HAM : Hak Azasi Manusia
HHI : Hukum Humaniter Internasional
ICRC : International Committee of the Red Cross
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
UU : Undang-undang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan suatu negara tidak lepas dari hubungannya dengan negara
lainnya. Setiap negara mengharapkan perdamaian dari pada peperangan. Hal
tersebut merupakan suatu cita-cita setiap negara guna menghindari konflik.1
Hubungan antar bangsa sebagai sebuah sistem dalam masyarakat internasional
telah menunjukkan banyak unit yang terpisah-pisah dalam situasi dan kondisi
tertentu, namun di sisi lain merupakan sebuah keadaan yang saling mempengaruhi
dari kekuatan-kekuatan yang terbentuk dari masing-masing unit dan memang
sejak awal menginginkan adanya keinginan untuk menunjukkan hegemoni
kekuatannya.2
Peranan hukum humaniter internasional dalam perkembangan sistem hukum
suatu Negara mempunyai fungsi yang cukup penting. Khususnya mengatur
perlindungan terhadap petugas medis dalam konflik bersenjata. Hukum humaniter
internasional merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap
Negara damai maupun Negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan
yang dialami masyarakat akibat konflik bersenjata yang terjadi di berbagai
Negara.3
1Muhammad Iqbal Asnawi, Kosistensi Penegakan Hukum Humaniter Internasional Dalam
Hubungan Antar Bangsa, (Jurnal Hukum Vol. 12. No. 1 Januari 2017), hlm. 112. 2Mansyur Effendi, Hukum Humaniter Internasional, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hlm.
69. 3Ayuni Yuliatiningsih, Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional, (Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12 Januari 2012), hlm. 98.
2
Dokter atau petugas medis merupakan bagian dari komunitas dan salah satu
bagian utama dalam dunia kesehatan sangat mungkin untuk terlibat dalam suasana
perang. Hukum Humaniter Internasional mengikat tenaga kesehatan untuk
memberikan perawatan pada korban dari pihak kesehatan kepada penduduk sipil
yang terluka.4
Hal ini dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa I 1949 dari Protokol
Tambahan I 1977 melindungi tenaga kesehatan dari serangan langsung saat
perang, selama mereka tidak ikut berperang secara langsung (Geneva Conventions
protect health care personnel from direct attack, so long as they themselves do not
become combatants), namun dalam kenyataanya masih banyak petugas medis
yang menjadi korban atau menjadi sasaran perang dengan serangan.5
Pada 1 juni 2018, salah satu anggota tim medis yang bernama Razan al-
Najjar, 21 tahun, ditembak mati oleh tentara Israel saat dia lari menuju pagar
perbatasan di dekat Khan Younis, untuk menolong korban yang terluka di Gaza.
Pada saat itu, Razan al-Najjar menggunakan seragam putih yang menandakan
dirinya adalah petugas medis serta mengangkat tangannya yang menandakan dia
bukanlah ancaman, namun tentara Israel tetap menembaknya. Razan al-Najjar
merupakan orang Palestina ke-119 yang tewas sejak protes Great Retrun March
yang dimulai bulan Maret 2018.6
Uni Eropa dan PBB menuduh Israel menggunakan kekuatan yang
berlebihan, sementara kelompok-kelompok HAM mengatakan aturan kontak
senjata Israel ilegal karena menggunakan kekuatan mematikan terhadap
4Haryo Mataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 9.
5https://m.liputan6.com. diakses 11 November 2018
6https://m. republika.co.id.Palestina-Israel. diakses 19 November 2018
3
demonstran tidak bersenjata ketika nyawa tentara Israel sendiri tidak dalam.
Pejabat-pejabat militer Israel menyalahkan Hamas atas pertumpahan darah itu.
Mereka mengatakan kelompok itu telah menggunakan demonstrasi sebagai
perlindungan untuk melancarkan serangan lintas perbatasan dan menggunakan
para demonstran sebagai perisai. Lebih dari 115 warga Palestina tewas dan
hampir 3.700 lainnya luka-luka dalam aksi-aksi protes di sepanjang perbatasan
Israel yang sudah berlangsung hampir setiap minggu, demikian menurut petugas
kesehatan Palestina. Kebanyakan korban tewas adalah warga yang tidak
bersenjata, antara lain wartawan, tenaga medis, remaja dan dua perempuan.7
Petugas medis yang termasuk dalam Palang Merah Internasional ataupun,
Perhimpunan suka rela atau Relawan harus dihormati dan dilindungi. Hal ini
terdapat di dalam Konvenis Jenewa I 1949 dalam Pasal 24: Anggota dinas
kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan,
mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit dan
staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan dan bangunan
kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan.8
Personil Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan himpunan yang bersifat
netral juga mendapat hak yang sama. Hal ini juga dipertegas oleh Protokol
Tambahan I 1977 dalam Pasal 12 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: Satuan-satuan
7Natalia Lana Lekong, Tangung Jawab Negara dalam Menyelesaikan Konflik Bersenjata
Internal Melalui Pengadilan Hybrid Menurut Perspektif Hukum Internal dan Hukum Nasional,
(Jurnal Hukum Vol. 5. No. 1. April 2015), hlm. 43. 8Ayuni Yuliatingsih, Agresi terhadap Palestina Perspektif Ukum Humaniter Internasional,
(Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No.12 Januari, 2012), hlm. 98.
4
kesehatan harus setiap saat selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh
menjadi sasaran serangan.9
Hukum Humaniter Internasional dahulu disebut hukum perang atau hukum
sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia,
atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Perang semakin berkembang ketika
memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional
menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah
prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan tenaga medis di
medan tempur.10
Tenaga medis memiliki peranan yang sangat penting pada saat terjadinya
konflik bersenjata antar para pihak yang berperang. Momentum yang menentukan
dengan pendirian Palang Merah Internasional sebagai tempat bernaungnya tenaga
medis dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi sumber bagi
tenaga medis ataupun tenaga kesehatan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik itu
di daerah konflik bersenjata ataupun daerah non konflik bersenjata.11
Konvensi Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa
konflik bersenjata, dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak
lagi, ikut serta dalam permusuhan, antara lain kombatan yang terluka atau sakit,
tawanan perang, orang sipil, personel dinas medis dan dinas keagamaan.
Mengenai perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik diatur dalam
9Haryo Mataram, Hukum Humaniter, hlm. 9.
10D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Alih bahasa Bambang Iriana Jatmaja,
(Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm. 30. 11
Adwani, Perlindungan Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut Hukum
Humaniter Internasional, (Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12 Januari, 2012), hlm. 98.
5
Konvensi Jenewa pertama tanggal 12 Agustus 1949 (Konvensi Jenewa), di
antaranya dalam Bab IV tentang anggota dinas Kesehatan.12
Lebih lanjut, pengaturan mengenai perlindungan terhadap petugas kesehatan
dalam medan perang dapat ditemui dalam pasal-pasal Konvensi Jenewa dan
Protokol tambahannya. Misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 bahwa
dalam hal-hal dimana oleh mereka dianggap perlu demi kepentingan-kepentingan
orang-orang yang dilindungi, terutama dalam hal terdapatnya perbedaan pendapat
antara Pihak-pihak dalam sengketa mengenai pelaksanaan atau penafsiran
ketentuan-ketentuan Konvensi ini, maka Negara-negara Pelindung harus
memberikan jasa-jasa baik mereka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu.
Untuk maksud ini, tiap Negara Pelindung boleh, atau atas undangan salah satu
Pihak atau atas inisiatip sendiri, mengusulkan kepada Pihak-pihak dalam sengketa
suatu pertemuan antara wakil-wakil mereka, terutama penguasa-penguasa yang
bertanggung jawab atas yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan dan
rohaniwan, yang sedapat mungkin diadakan atas wilayah netral yang dipilih
sepantasnya. Pihak-pihak dalam sengketa harus melaksanakan usul-usul yang
diajukan kepada mereka untuk maksud ini. Negara-negara Pelindung dapat,
apabila perlu, mengusulkan untuk disetujui oleh Pihak-pihak dalam sengketa,
seorang yang berasal dari Negara Netral atau yang dikuasakan oleh Komite
Palang Merah Internasional, yang akan diundang mengambil bagian dalam
pertemuan tersebut.
12
Ibid., hlm. 17.
6
Berdasarkan konvensi Jenewa maka petugas kesehatan harus dihormati dan
dilindungi dalam segala keadaan, di antaranya yaitu, seseorang yang ditugaskan,
baik permanen maupun sementara, semata-mata untuk pekerjaan medis (mencari,
mengumpulkan, mengangkut, membuat diagnosa dan merawat orang yang cedera,
sakit, korban kapal karam dan untuk mencegah penyakit). Mereka itu adalah
dokter, perawat, juru rawat, dan pembawa usungan. Dan seseorang yang
ditugaskan, baik permanen maupun sementara, semata-mata untuk mengelola atau
menyelenggarakan kesatuan medis atau pengangkutan medis. Mereka itu adalah
administrator, pengemudi, juru masak dan lain-lain.13
Hukum Humaniter Internasional mencoba untuk mengatur agar suatu perang
dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Pada
dasarnya tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang.14
Menurut Konvensi Jenewa 1949 tenaga medis merupakan salah satu pihak yang
dilindungi atau bisa disebut juga sebagai protected persons. Seseorang atau satuan
tenaga medis tidak dapat dengan sengaja dibunuh, dilukai, atau digunakan untuk
percobaan medis, karena mereka seharusnya dilindungi dan dihormati karena
pekerjaan mereka yang hanya dapat dilakukan dengan baik apabila mereka tidak
diserang.15
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk mengangkat
masalah ini menjadi objek kajian penelitian dalam bentuk skripsi dengan judu:
13
Muhammad Heikal Daudi, Tangung Jawab Negara Terhadap Pelarangan Menyeluruh
Ranjau Anti Personel di Indonesia dalam Konflik Bersenjata di Aceh, (Jurnal Ilmu Hukum Vol.
12. No. 60 Agustus, 2013), hlm. 250. 14
Natalia Lana Lekong, Tangung Jawab Negara…., hlm. 43. 15
Sefriani, Peranan Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer,
(Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm. 69.
7
Bentuk Tangung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Tim Medis dalam
Konflik Bersenjata di Palestina Menurut Ketentuan Hukum Humaniter
Internasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan terhadap tim medis dalam konflik
bersenjata menurut hukum humaniter internasional?
2. Bagaimanakah bentuk tangung jawab negara terhadap tim medis dalam
konflik angkatan bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter
internasional?
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan dengan harapan pembahasan ini menjadi
fokus pada titik permasalahan tertentu dan tidak melebar pada permasalahan
lainnya. Mengingat luasnya permasalahan yang akan dibahas, maka penulis
membatasi masalah pada pelaksanaan perlindungan terhadap tim medis dalam
konflik bersenjata Israel-Palestina menurut hukum humaniter internasional sampai
tahun 2018.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pokok permasalahan yang
menjadi objek pembahasan, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah:
8
a. Ingin mengetahui pelaksanaan perlindungan terhadap tim medis dalam konflik
angkatan bersenjata menurut hukum humaniter internasional.
b. Ingin menjelaskan bentuk tangung jawab negara terhadap tim medis dalam
konflik bersenjata di Palestina.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian yang di peroleh dari hasil penelitian ini terdiri atas
kegunaan secara teoritis dan praktis. Secara teoritis dapat dijelaskan di bawah ini
yaitu:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam rangka
pengembanggan pengetahuan khususnya dalam bentuk tangung jawab negara
terhadap perlindungan tim medis dalam konflik bersenjata menurut ketentuan
hukum humaniter internasional.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menjadi referensi tentang
bentuk tangung jawab negara terhadap perlindungan tim medis dalam konflik
bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter internasional.
Sedangkan secara praktisnya dapat dilihat dibawah ini :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna di kalangan akademisi dan
masyarakat tentang bentuk tangung jawab negara terhadap perlindungan tim
medis dalam konflik bersenjata menurut hukum humaniter internasional.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri, sebagai
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) pada program studi
Hukum Tata Negara Pada Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
9
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan suatu model yang menerangkan bagaimana
hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam
suatu masalah tertentu. Adapun kerangka teori yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
a. Tangung Jawab Negara dalam Konflik Bersenjata
Dalam pasal 2 pasal-pasal ILC menegaskan bahwa semua negara
bertangung jawab original responsibility yang lahir dari tindakan negara sendiri
sebagai subjek utama hukum internasional yang diwakili melalui organ Negara
baik itu tingkat tinggi maupun tingkat rendah dan tangung jawab vicarious
responsibility.16
b. Perlindungan Tim Medis Menurut Hukum Humaniter Internasional
Mengenai perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik diatur
dalam konvensi jenewa pertama tanggal 12 Agustus 1949 dan protokol tambahan
1 1977 melindungi petugas kesehatan secara langsung (Geneva konventions
protect health car personnel from direct attact, so long as they themselves do not
become combatants).17
Hukum perikemanusiaan internasional melindungi mereka yang tidak
ambil bagian atau tidak terlibat dalam pertikaian yaitu seperti warga sipil serta
petugas medis dan rohani. Hukum perikemanusiaan juga melindungi mereka yang
16
Ayuni Yuliatiningsih, Agresi Terhadap Palestina…., hlm. 112. 17
Adwani, Perlindungan Terhadap Korban dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut
Perspektif Hukum Humaniter Internasional, (Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2. No. 5 Februari 2015),
hlm. 12.
10
tidak lagi ambil bagian dalam pertikaian seperti mereka yang telah terluka atau
korban kapal karam, mereka yang sakit atau yang telah dijadikan tawanan. Orang
yang dilindungi tidak boleh diserang. Mereka harus bebas dari penyiksaan fisik
dan perlakuan yang merendahkan martabat. Korban yang luka dan sakit harus
dikumpulkan dan dirawat. Aturan-aturan yang terinci, termasuk penyediaan
makanan serta tempat berteduh yang layak dan jaminan hukum, berlaku bagi
mereka yang telah dijadikan tawanan atau mengalami penahanan. Tempat-tempat
dan objek-objek tertentu seperti rumah sakit dan ambulans, juga dilindungi dan
tidak boleh menjadi sasaran penyerangan. Hukum humaniter internasional
menetapkan sejumlah lambang-lambang yang dapat dikenali dengan jelas dan
sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang dan
tempat-tempat yang dilindungi. Lambang-lambang ini termasuk palang merah dan
bulan sabit merah.18
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar
tentang suatu topik yang akan dibahas.19
Adapun konsep-konsep tersebut antara
lain sebagai berikut:
a. Tangung Jawab Negara
Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian
sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara
18
Ibid., hlm. 12. 19
Amirul Hadi, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 43.
11
terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelaku-nya
dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban.20
Menurut hukum humaniter internasional, tangung jawab negara timbul
dalam hal negara itu merugikan negara lain. Seperti yang dikemukakan Shaw,
yang menjadi karakteristik penting adanya tangung jawab negara ini bergantung
kepda faktor-faktor dasar yaitu, adanya suatu perbuatan kelalaian yang melanggar
kewajiban hukum internasional, adanya kerusakan atau kerugian, dan adanya
suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.21
Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu kaidah di mana
prinsip fundamental hukum internasional menyebutkan bahwa negara atau suatu
pihak yang dirugikan berhak mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Suatu doktrin serupa berlaku dalam kaitannya dengan unit-unit bagian lain dari
negara-negara pada umumnya, baik federal maupun kesatuan. Laporan tahun 1974
Komisi Hukum Internasional menyebutkan: Prinsip bahwa negara bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian organ-organ dari kesatuan-
kesatuan pemerintah teritorial, seperti kotapraja dan propinsi, dan daerah-daerah,
telah lama diakui secara tegas di dalam keputusan-keputusan judisial internasional
dan praktik-praktik Negara.22
Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan
yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 ILC
20
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Azazi Manasia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
hlm. 71. 21
Ibid., hlm. 72. 22
Morenna Thasya Sumolang, Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Warga Negara
di Luar Negeri Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1963 Tentang Hubungan Konsuler, (Lex Et
SocietatisVol. VI/No. 5/Jul/2018), hlm. 35.
12
Draft –Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001 yang
meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan
(coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah
secara internasional.23
b. Perlindungan Tim Medis
Demi kepentingan orang-orang yang cidera, sakit dan korban kapal karam,
setiap satuan medis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah kekuasaan
pihak yang berwenang harus dilindungi. Berdasarkan pasal 37 Konvensi Jenewa,
Petugas medis harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan. Petugas
medis yang termasuk dalam palang merah internasional ataupun, perhimpunan
sukarela, atau relawan harus dihorrmati dan dilindungi. Hal ini terdapat dalam
Konvensi Jenewa 1949 dalam pasal 24: Anggota dinas kesehatan yang
dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut, atau
merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit staf yang
dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan dan bangunan kesehatan harus
dihormati dan dilindungi dalam segala hal.24
c. Konflik Bersenjata
Konflik bersenjata (armed conflict) merupakan konfrontasi dari beberapa
pihak, yaitu dua negara atau lebih, satu Negara dengan suatu entitas bukan negara,
23
Morenna Thasya Sumolang, Tanggung Jawab Negara…, hlm. 35. 24
Rafika Mayang Sari, Tinjauan Yuridis Terhadap Konvensi Jenewa 1949 Terhadap Negara-
Negara yang Berperang Menurut Hukum Internasional, (Jurnal Hukum Vol. 5. No. 12 Januari
2013).
13
suatu negara dan suatu faksi pemberontakan atau, dua kelompok etnis yang berada
dalam suatu negara.25
d. Hukum Humaniter Internasional
Menurut Mocthar Khusumadmaja mengemukakan bahwa hukum
humaniter internasional adalah bagian hukum yang mengatur perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perng yang mengatur hukum itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Sedangkan
menurut Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai
bagian dari aturan-aturan hukum internasional publik yang berfungsi sebagai
perlindungan individu dalam waktu konflik bersenjata.26
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam
berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil
dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka
yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh
harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang.
3) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di
sini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.27
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip
pembedaan (distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang
membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam
pertempuran (combatant) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan
25
Haryo Mataram, Hukum Humaniter, hlm. 59. 26
Ibid., hlm. 86. 27
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Azazi Manasia, hlm. 335.
14
harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil). Di samping prinsip
pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu:
1) Prinsip kepentingan militer (military necessity). Berdasarkan prinsip ini
pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam praktiknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam
rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan
harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu : “prinsip
yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh
operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan
metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional
(harus proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan.”
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang
membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat
menimbulkan akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
2) Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip ini maka
pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan
kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga
disebut dengan “unnecessary suffering principle”.
3) Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di
dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang
tidak terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat
dilarang.
4) Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi
perang/konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk
sipil (civilian) di satu pihak dengan “combatant”serantara obyek sipil di
satu pihak dengan obyek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini
hanya kombatan dan obyek militer yang boleh terlibat dalam perang dan
dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip
pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum
humaniter. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan sedikit lebih
rinci tentang prinsip pembedaan yang dimaksud.28
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter
internasional adalah bagian hukum yang mengatur perlindungan korban perang,
28
Ibid., hlm. 334-335.
15
berlainan dengan hukum perng yang mengatur hukum itu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.
e. Hukum Humaniter Internasional
Definisi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam adalah kumpulan
kaidah-kaidah hukum Islam yang bertujuan untuk melindungi manusia dan hak-
haknya saat konflik bersenjata. Sesuai dengan pengertian bahwa perang dalam
perspektif Islam bersifat darurat yang dinilai secara proposional dan berpegang
kepada difinisi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang disinggung di
atas, dapat ditarik dua kaidah penting dalam hukum tersebut. Pertama, perang,
baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, harus terbatas pada sifat darurat saja.
Kedua,apapun yang terjadi dalam perang itu, harus bersifat kemanusiaanatau
menghormati aspek kemanusiaan pihak-pihak yang terlibat. Kedua kaidah tersebut
merupakan prinsip Islam dalam soal perang. Pertama, prinsip darurat, di mana
dalam Syari‟at Islam ditetapkan bahwa darurat diukur secara proposional. Selama
perang itu bersifat darurat, maka harus tidak melewati batas darurat itu. Melewati
batas ini dianggap sebagai pelanggaran dan penyerangan terhadap pihak lain.
Kedua, kaidah kemanusiaan.29
Islam adalah agama yang pertama kali mendeklarasikan dan
memperjuaangkan hak-hak asasi manusia. Bagi Islam, menghormati dan dan
memelihara hak-hak tersebut merupakan suatu keniscayaan. Mereka yang
mendalami disiplin hukum atau syariat Islam akan dengan mudah mendapati
29
Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid, Pengantar Hukum Humaniter Internasional dalam
Islam, terj. Masri Elmahsyar Bidin dan Abdullah Syamsul Arifin, (International Committee of the
Red Cross (ICRC) Delegasi Regional Indonesia, 2008), hlm. 23.
16
bahwa tujuan pokok ajaran Islam (maqasid al-syari„ah) dengan jelas
merefleksikan penghormatannya terhadap hak-hak asasi manusia yang harus
dipelihara, yakni jiwa, agama, akal, harta benda, dan keluarga.30
Islam telah memiliki aturan secara universal terhadap semua persoalan umat
manusia. Aturan Hukum Humaniter Internasional dalam Islam tentu sudah ada
dalam sumber-sumber hukum Islam, mulai sumber hukum utama yaitu Al-Qur‟an
dan As-sunnah/Al-Hadits maupun sumber hukum lainnya seperti Ijma‟, Mazhab
sahabat, Syariat terdahulu, „Urf/adat.31
F. Tinjauan Pustaka
Sebelumnya penulis sudah membuat dengan tujuan untuk mengkaji materi-
materi yang terdahulu yang dimiliki, yang sama dengan tema yang dipilih oleh
penulis dan materi/karya-karya tersebut adalah Adinda Putri Ratna Devi32
,
Dengan judul skripsi “Perlindungan Hukum Petugas Medis dalam Sengketa
Bersenjata Non Internasional di Suriah Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan II 1977”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk
perlindungan terhadap petugas medis dalam sengketa bersenjata non internasional
di Suriav berdasarkan konvensi jenewa dan protokol tambahan II 1977, dan faktor
apa saja yang menyebabkan aturan dari hukum humaniter internasional tentang
perlindungan petugas medis tidak dapat dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa
di Suriah.
30
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Tafsir Al Qur‟an Tematik “Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia”, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Al-Qur‟an, 2010), hlm. 12. 31
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan & Fleksibilitas, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm. 3 32
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2008.
17
Karya kedua adalah Renata Idama Siahaan33
, dengan judul skripsinya
“Perlindungan Terhadap Anggota Dinas Kesehatan Menurut Konvensi Jenewa
1949 dan Pengaturannya di Indonesia”. Dalam skripsi ini membahas tentang
bagaimana bentuk perlindungan anggota dinas kesehatan menurut konvensi
jenewa 1949, dan bagaimana pengaturan hukum di Indonesia terhadap anggota
dinas kesehatan.
Karya ketiga adalah Aires Oldeard Assuncao Sarmento,34
dengan judul
skripsinya "Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Hukum Humaniter Internasional
Tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konflik Bersenjata di Lebanon
Tahun 2006”. Karya ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan perlindungan
penduduk sipil dan obyek-obyek sipil dalam konflik bersenjata di Lebanon tahun
2006.
Kajian Adinda Putri Ratna Devi membahas tentang bagaimana bentuk
perlindungan terhadap petugas medis dalam sengketa bersenjata non internasional
di Suriah berdasarkan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II 1977, dan
faktor apa saja yang menyebabkan aturan dari hukum humaniter internasional
tentang perlindungan petugas medis tidak dapat dipatuhi oleh para pihak yang
bersengketa di Suriah. Kajian Renata Idama Siahaan membahas tentang
bagaimana bentuk perlindungan anggota dinas kesehatan menurut Konvensi
Jenewa 1949, dan bagaimana pengaturan hukum di Indonesia terhadap anggota
dinas kesehatan. Kajian Aires Oldeard Assuncao Sarmento membahas tentang
baggaiman pelaksanaan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil dalam
33
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universita Lampung, 2014. 34
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010.
18
konflik bersenjata di Lebanon tahun 2006. Sedangkan persamaannya yaitu saling
membahas tentang hukum humaniter Internasional.
Berbeda dengan peneliti sendiri membahas tentang bentuk tangung jawab
negara terhadap perlindungan tim medis dalam konflik bersenjata di Palestina
menurut ketentuan hukum humaniter internasional. Jadi antara peneliti terdahulu
dengan peneliti sekarang terdapat perbedaan dan persamaan, perbedaannya yaitu
pada skripsi ini peneliti membahas tentang bentuk tangung jawab negara terhadap
tim medis dalam konflik angkatan bersenjata di Palestina menurut hukum
humaniter internasional, dan bagaimanakah pelaksanaan perlindungan terhadap
tim medis dalam konflik bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter
internasional.
Sedangkan peneliti terdahulu membahas tentang, perlindungan hukum
petugas medis dalam sengketa bersenjata non internasional di Suriah menurut
Konvensi Jenewa 1949 dan protokol tambahan II 1977. Sedangkan persamaan
yaitu sama-sama membahas hukum humaniter internasional.
19
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka penulis
menggunakan pendekatan konseptual, yakni metode atau cara yang digunakan di
dalam penelitian yang dilakukan deangan cara meneliti bahan pustaka yang ada
kaitanya.35
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer
dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung atau asli yang
belum diproses, dan diperoleh dari hasil lapangan berupa wawancara, atau
keseluruhan data hasil penelitian, yang diperoleh dari lapangan.36
b. Data sekunder adalah data yang sudah diperoleh atau sumber data penelitian
yang diperoleh melalui media perantara yang diperoleh dari perpustakaan,
buku, serta jurnal yang ada kaitanya dengan judul yang diteliti.37
Dalam
penelitian ini penulis hanya menggunakan data sekunder, karena penelitian
adalah penelitian pustaka.
35
Amirul Hadi, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 84. 36
Ibid, hlm 86. 37
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jambi: Syariah Press, 2014), hlm. 34.
20
2. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah reseponden,
sedangkan data sekunder berasal dari hasil penelitian pustaka berupa buku, jurnal
dan lain sebagainya yang berhubungan dnegan kajian yang diteliti.38
C. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumulan data adalah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data dan fakta penelitian.39
Instrumen pengumpulan data yang
dilakukan oleh penulis dengan cara dokumentasi. Metode dokumentasi digunakan
untuk mendapatkan informasi non manusia, sumber informasi (data) non manusia
ini berupa catatan-catatan, pengumuman, instruksi, aturan-aturan, laporan,
keputusan atau surat-surat lainnya, catatan-catatan dan arsip-arsip yang ada
kaitannya dengan fokus penelitian. Data yang dikumpulkan mengenai teknik
tersebut berupa kata-kata, tindakan dan dokumen tertulis lainnya, dicatat dengan
menggunakan catatan-catatan. Dokumentasi penulis gunakan sebagai intrumen
utama untuk memperoleh semua data-data yang berhubungan dengan gambaran
umum lokasi. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data yang
berhubungan dengan diskripsi lokasi penelitian dan dokumen bentuk tangung
jawab negara terhadap perlindungan tim medis dalam konflik bersenjata di
Palestina menurut hukum humaniter internasional.
Pengumpulan data untuk jenis penelitian pustaka (library research)
berwujud studi dokumentasi atau studi literatur. Dalam pengumpulan data ini,
38
Ishaq, Metode Penelitian Hukum: Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi (Bandung:
Alfabeta, 2017), hlm. 67. 39
Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), hlm. 104.
21
penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan cara
mengumpulkan, membaca, menelaah, mencatat, dan menganalisis buku-buku
literatur, jurnal, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini.
D. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dengan tahap selanjutnya adalah melakukan
analisis data. Analisis data tentunya sesuai dengan tujuan yang dilakukan. Analisis
data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari bahan-bahan yang bersangkutan dengan judul sehingga dapat mudah
dipahami dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan
kedalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, dan memilih
mana yang penting dalam penelitian.40
Untuk memudahkan penulisan dalam menganalisis suatu data yang sudah
terkumpul, maka penulis menganalisis melalui proses sebagai berikut:
1. Induktif, yaitu membahas dan menyusun fakta-fakta yang bersifat khusus,
kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum. Menurut Abdul
Kadir Muhammad, bahwa proses berpikir induktif dimulai dengan
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai ruang lingkup yang
khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang bersifat umum.41
2. Deduktif, merupakan cara bernalar berdasarkan pada pangkal pikir yang
bersifat umum, kemudian diturunkan kesimpulan yang bersifat khusus. dengan
40
Ibid., hlm. 113-118. 41
Ishaq, Metode Penelitian Hukum: Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, hlm. 8.
22
perkataan lain penalaran yang menarik dari kaidah yang bersifat umum untuk
menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus.34
3. Komparatif, yaitu cara membandingkan antara dua data yang berlainan untuk
mengambil satu pendapat yang logis, tepat dan kuat untuk dijadikan bahan
rujukan dan pedoman dalam menetapkan masalah yang dibahas.42
E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah proses penulisan dalam penelitian ini, maka penulis
kerangka yang sistematik untuk membantu pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab-bab yang terdiri dari:
BAB I : Pendahuluan, diawali dengan latar belakang masalah berisi
penjelasan, data-data yang dijadikan alasan bagi penulis dalam
memilih pembahasan ini, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematik
penulisan.
BAB II : Berisi tinjauan umum mengenai bentuk tangung jawab negara
terhadap perlindungan tim medis dalam konflik bersenjata di
Palestina menurut hukum humaniter internasional
BAB III : Berisi tinjauan hukum humaniter internasional mengenai bentuk
tangung jawab negara terhadap perlindungan tim medis dalam
konflik bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter
internasional.
42
Ibid., hlm. 24.
23
BAB IV : Bab ini merupakan pembahasan utama dalam penelitian ini berisi
bentuk tangung jawab negara terhadap perlindungan tim medis
dalam konflik bersenjata di palestina menurut hukum humaniter
internasional.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
F. Jadwal Penelitian
Supaya penelitian dan penulisan skripsi terencana dengan waktu yang
efektif dan efesien sehingga dapat selesai tepat waktu, maka peneliti membagi
langkah-langkah penelitian yang akan dijalani dalam bentuk jadwal untuk menjadi
pedoman, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.1
Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Tahun 2018
November
2018
Desember
2018
Januari
2019
Februari
2019
Juni
2019
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pengajuan Judul x
2. Pembuatan Proposal X x
3. Perbaikan Proposal dan
Seminar
X
4. Surat Izin Riset
5. Pengumpulan Data X
6. Pengolahan dan Analisis
Data
X
7. Pembuatan Laporan X
8. Bimbingan dan Perbaikan X
9. Agenda dan ujian Skripsi X
10. Perbaikan dan Penjilidan X
24
BAB III
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Istilah tentang Hukum Humaniter
Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain
dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata.
Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik,
yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar negara.
Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik, hukum
laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa. Dibandingkan dengan
cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu
keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat
melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional,
namun substansinya banyak mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau
dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup
unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara
atau organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang
perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu
peperangan.43
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa
bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat
non-internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata
43
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Azazi Manasia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
hlm. 333.
24
25
internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan
perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing
dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa
bersenjata internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-
internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah
negara. Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya bersifat
internal (non-internasional) bisa berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang
bersifat internasional. Hal yang terakhir ini disebut dengan internasionalisasi
konflik internal (internationalized internal conflict). Namun demikian tidak
semua sengketa bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada
campur tangan dari negara lain. Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana
keterlibatan atau turut campurnya negara lain tersebut.
Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk sengketa bersenjata, baik itu
perang konvensional, perang non-konvensional dan perang modern. Bahkan pada
situasi tertentu, hukum humaniter juga dapat diberlakukan dalam kerangka perang
yang oleh sebagian negara disebut sebagai perang melawan terorisme.44
B. Tahap Perkembangan Hukum Humaniter
Hampir tidak mungkin untuk menemukan bukti dokumenter kapan dan
dimana aturan-aturan Hukum Humaniter ini timbul dan lebih sulit lagi untuk
menyebutkan siapa penciptanya. Sekalipun dalam bentuk sekarang relatif baru,
Hukum Humaniter atau hukum perang memiliki sejarah yang panjang. Hukum ini
44
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Azazi Manasia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
hlm. 333-334.
26
sama tuanya dengan perang itu sendiri dan perang sama tuanya dengan kehidupan
manusia di bumi. Sampai kepada bentuk yang sekarang, Hukum Humaniter
Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang. Dalam rentang
waktu yang panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Selama masa-masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan
perlakuan semena-mena.
Upaya-upaya tersebut, yang sering kali mengalami pasang surut, mengalami
hambatan dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam beberapa
tahap perkembangan hukum humaniter berikut ini:45
1. Tahap Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk
menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan meraka dengan baik,
menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan
maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan
tawanan perang dengan baik.
Sebelum perang dimulai pihak musuh akan diberi peringatan terlebih
dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak
akan diarahkan ke hati dan segera apabila ada yang terbunuh dan terluka,
pertempuran akan dihentikan selama 15 (lima belas) hari. Gencatan senjata
semacam ini sangat dihormati, sehingga prajurit di kedua belah pihak ditarik dari
medan pertempuran.Juga dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-
45
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2007), hlm. 2.
27
1500 SM upaya-upaya seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukan oleh Pictet,
antara lain sebagai berikut:
a. Di antara bangsa-bangsa Sumaria, perang sudah merupakan lembaga
yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang,
kemungkinan mengadakan abitrasi, kekebalan utusan musuh dan
perjanjian perdamaian.
b. Kebudayaan Mesir Kuno sebagai mana disebutkan di dalam “Seven
Works of True Mercy”, yang menggambarkan adanya perintahan untuk
memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada
musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit, dan menguburkan yang
mati.
c. Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara
yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas
keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan
traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota tidak
diganggu. Kota-kota di mana para penduduknya melakukan perlawanan
maka akan ditindak tegas, namun hal ini merupakan pengecualian
terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya di bantai atau
dijadikan budak.
d. Di India sebagai mana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata
dan undang-undang Manu, para satria dilarang membunuh musuh yang
cacat, yang menyerah, yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka
setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau
senjata beracun dan panah api dilarang. Penyitaan hak milik musuh dan
syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur dan
pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.46
Berdasarkan sejarah ini dapat diketahui bahwa pada masa ini para pemimpin
militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang
tertangkap, memperlakukan meraka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil
musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang
berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
2. Tahap Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatria. Ajaran agama Kristen misalnya
46
Ibid., hlm. 2-3.
28
memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau jus war, ajaran
Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah
ayat 190 dan ayat 191, Al-Anfal ayat 39, At-Taubah ayat 5, Al-Hajj ayat 3947
,
yang memandang perang sebagai pembelaan diri dan menghapuskan
kemungkaran. Adapun prinsip kesatria yang berkembang pada abad pertengahan
ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan
penggunaan senjata tertentu.
3. Tahap Zaman Modern
Kemajuan yang menentukan terjadinya perang mulai abad ke-18, dan
setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya
Perang Dunia I, praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan
dalam perang (Jus in bello). Salah satu tonggak penting dalam perkembangan
hukum humaniter adalah didirikannya organisasai Palang Merah Internasional dan
ditanda-tanganinya Konvensi Jenewa tahun 1864. Pada waktu yang hampir
bersamaan di Amerika Serikat Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar
hukum imigran Jerman untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah
Instructions for Government of Armies of the United States atau disebut Lieber
Code, dipublikasikan pada tahun 1863. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan
rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan
terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu
seperti tawanan perang, yang luka, dan sebagainya.48
47
Masjhur Efendi, Moh. Ridwan & Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum
Internasional, (Malang: IKIP Malang, 1995), hlm 6. 48
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, hlm. 3.
29
Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi perbaikan keadaan tentara yang luka di
medan pertempuran darat. Konvensi 1864 sebagai awal dari konvensi Jenewa dan
berikutnya berkaitan perlindungan korban perang.
C. Aturan Pokok Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional dahulu disebut hukum perang atau hukum
sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia,
atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Perang semakin berkembang ketika
memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional
menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah
prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan tenaga medis di
medan tempur. Haryomataram membagi Hukum Humaniter menjadi dua aturan-
aturan pokok, yaitu:
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
perang (Hukum Den Haag/The Hague Laws)
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/ The Geneva
Laws).49
Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana cara negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi 2 yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukanya perang (conduct of war).
Bagian ini biasanya disebut the hague laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva laws.50
49
Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, (Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1994), hlm. 1. 50
Haryomataram, Hukum Humaniter..., hlm. 2-3.
30
Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dahulu disebut hukum perang atau
hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban
manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Perang semakin berkembang
ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara
nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan
sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan tenaga
medis di medan tempur.
D. Asas-Asas Pembeda Hukum Humaniter
Dalam Hukum Humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu:
1. Asas Kepentingan Militer (military necessity). Berdasarkan asas ini
maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan asas ini maka pihak
yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan (chivalry). Asas ini mengandung arti bahwa di dalam
perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat yang tidak
terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat
khianat dilarang.51
Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang,
sebagaimana dikatakan oleh Kunz: “Law of war, to be accepted and to be applied
in practice, must strike the correct between, on the on hand the principle of
humanitary and chivalry, and on the other hand, military interest”.
E. Prinsip-Prinsip Pembeda Hukum Humaniter
Prinsip pembedaan merupakan prinsip yang penting dalam Hukum
Humaniter, yaitu suatu prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari
51
Ayuni Yuliatingsih, Agresi terhadap Palestina Perspektif …, hlm. 113.
31
suatu negara yang sedang perang atau terlibat dalam suatu konflik bersenjata ke
dalam tiga golongan yaitu:
1. Kombatan adalah orang-orang yang tergabung dalam suatu angkatan
perang yang terorganisir kecuali personil atau petugas kesehatan yang
menggunakan tanda-tanda pengenal atau seragam dan dipersenjatai.
Kombatan berhak untuk berperang dan karenanya dapat dijadikan
sasaran militer, oleh sebab itu kombatan dituntut untuk membedakan
dirinya dari penduduk sipil ketika mereka terlibat dalam suatu
pertempuran atau dalam suatu persiapan operasi militer untuk
melakukan serangan.
2. Non Kombatan adalah orang-orang sipil atau anggota angkatan perang
yang tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran atau tidak
memenuhi syarat sebagai kombatan (misalnya petugas/personel
kesehatan dan bintal, penduduk sipil dan wartawan sipil yang
menyertai angkatan perang, kombatan yang menyerah, luka dan sakit
termasuk tawanan perang)
3. Penduduk Sipil adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam
kelompok kombatan dan non kombatan. Penduduk sipil tidak
diperbolehkan terlibat secara langsung dalam pertempuran dan mereka
dilindungi dari serangan. Jika mereka terlibat secara langsung dalam
pertempuran maka mereka kehilangan perlindungan.52
Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang
boleh dijadikan sasaran milliter atau objek militer dan mereka yang tidak turut
serta dalam permusuhan, sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek
militer. Hal ini untuk membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang
dan objek-objek sipil yang tidak boleh diserang. Objek-objek sipil harus
dihormati. Hal ini berarti bahwa, dilarang untuk melakukan penjarahan terhadap
objek-objek sipil. Pada situasi dan kondisi tertentu objek-objek sipil hanya boleh
diambil alih untuk dipergunakan bagi kepentingan militer. Hal ini juga dipertegas
dalam Pasal 52 ayat 1 dan 2 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa:
52
Adwani, Perlindungan Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut Hukum
Humaniter Internasional, (Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12 Januari, 2012), hlm. 4-6.
32
1. Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau
tindakan pembatasan. Obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang
bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat (2).
2. Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-
sasaran militer. Sebegitu jauh mengenai obyek-obyek, sasaran-sasaran
militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak tempatnya,
tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif
bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau
sebagian, direbut atau dinetralisasi, di dalam keadaan yang berlaku
pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.53
Ini sangat penting untuk ditekankan karena perang sesungguhnya berlaku
bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bermusuh, Sedangkan
penduduk sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan itu harus dilindungi. Prinsip
pembeda ini memerlukan pejabaran lebih jauh dalam asas pelaksana yaitu:
1. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara
kombatandan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan
objek-objek sipil.
2. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perseorangan tidak
boleh dijadikan objek serangan walaupun dalam hal pembalasan.
3. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk
menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.
4. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah
pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil
atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang
tidak disengaja menjadi sekecil mungkin.
5. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh.
Anggota angkatan bersenjata yang bertempur harus memperlakukan orang-
orang yang tidak ikut dalam pertempuran secara manusiawi tanpa membedakan
suku, agama dan jenis kelamin. Menurut Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, bahwa
pihak-pihak yang bertikai dalam wilayah suatu Negara berkewajiban untuk
melindungi orang-orang yang tidak turut secara aktif dalam pertikaian, termasuk
anggota angkatan bersenjata/kombatan yang telah meletakkan senjatanya tidak
53
Protokol Tambahan I 1977
33
lagi turut serta karena sakit, luka-luka, ditahan dan sebab lainnya supaya
diperlakukan secara manusiawi.54
Dengan kata lain kombatan dilarang melakukan
kekerasan terhadap jiwa dan raga, seperti pembunuhan dan perkosaan.
Perlindungan terhadap korban dalam konflik bersenjata telah dikuatkan lagi oleh
Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang konflik bersenjata internasional dan
Protokol II 1977 tentang konflik bersenjata non internasional, dengan tujuan
untuk mencegah atau meminimalkan korban akibat tindakan kekerasan perang.55
Akan tetapi dalam kenyataannya walaupun telah ada aturan atau larangan
terhadap tindakan tersebut, namun dalam konflik bersenjata yang terjadi di
berbagai belahan dunia, seperti di Irak, Pelestina, Libanon, termasuk dalam
konflik bersenjata non internasional sebagaimana pernah terjadi di Indonesia,
seperti di Papua dan Aceh, banyak orang yang harus dilindungi menjadi korban.
Padahal pihak-pihak yang bertikai telah diwajibkan untuk melindungi orang-orang
tersebut.
F. Perkembangan Prinsip Pembeda Hukum Humaniter
Perkembangan peraturan prinsip pembeda dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Konvensi Den Haag 1907
Dalam kaitannya dengan prinsip pembeda, walau tidak secara ekplisit
dapat di temukan dalam Konvensi Den Haag 1907, tetapi secara implisit
ketentuan mengenai mengenai pembedaan yang terdapat dalam Konvensi Den
Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang Darat. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 1 yaitu: Hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang
54
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 55
Protokol Tambahan I tahun 1977
34
tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga pada milisi dan kelompok
sukarelawan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: b. Dipimpin oleh
seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya, b)
Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak
jauh, c) Membawa senjata secara terbuka, d) Melakukan operasinya sesuai
dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan perang.56
Berdasarkan ketentuan di atas yang diatur di dalamnya adalah
penegasan bahwa hukum, hak dan kewajiban perang bukan hanya berlaku
pada kombatan, melainkan juga pada milisi dan korp sukarelawan sepanjang
memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1-4 Konvensi
Den Haag 1907. Bahkan dalam Pasal 2 menyatakan: “Penduduk di wilayah
yang belum diduduki, yang pada saat musuh akan menyerang, yang secara
spontan mengangkat senjata untuk memberikan perlawanan tanpa sempat
mengorganisir diri mereka sendiri sesuai dengan Pasal 1, harus dianggap
sebagai Belijeren apabila mereka mengangkat senjata secara terbuka dan
apabila mereka mematuhi hukum dan kebiasaan perang.57
2. Konvensi Jenewa 1949
Dalam Konvensi Jenewa 1949 tidak menyebutkan istilah kombatan,
melainkan hanya menentukan yang berhak mendapatkan perlindungan seperti
dalam pasal 13 Konvensi Jenewa I dan II 1949, dan yang berhak mendapatkan
perlakuan sebagai tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh dijelaskan
dalam pasal 4 Konvensi Jenewa III. Mereka yang harus disebut dalam pasal-
56
Konvensi Den Haag 1907 pasal 1 57
Konvensi Den Haag 1907
35
pasal itu harus dibedakan dengan penduduk sipil. Pasal 13 Kovensi I dan II
menyatakan bahwa konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka dan yang
sakit yang termasuk dalam golongan-golongan berikut:
a. Anggota-anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa,
begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela,yang
merupakan bagian dari angkatan perang itu;
b. Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari barisan sukarela
lainnya termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang
tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam
atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal
saja milisi atau barisan sukarela tersebut termasuk gerakan
perlawanan yang diorganisir memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas
bawahannya;
2) Mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap yang dapat
dikenal dari jauh;
3) Membawa senjata terang-terangan; dan
4) Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum-
hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang,
c. Anggota-anggota angkatan perang regular tunduk pada suatu
pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui Negara Penahan;
d. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan
sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti
anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang,
pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-
dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang,
asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang
yang mereka sertai;
e. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda, pemandu
laut, taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam
sengketa, yang tidak mendapat perlakuan yang lebih
menguntungkan menurut ketentuan lain apapun dalam hukum
internasional,
f. Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh
mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat
senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa
mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata
antara mereka yang teratur, asal saja mereka membawa senjata
secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan
kebiasaan-kebiasaan perang.58
58
Konvensi Jenewa I dan II 1949
36
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dapat diketahui bahwa konvensi ini
menjelaskan mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai
tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh. Salah satunya adalah orang-orang
yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota
dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer,
wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau
dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal
saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka
sertai.
3. Protokol Tambahan I 1977
Protokol tambahan 1977 merupakan suatu perjanjian yang sangat
ambisius dan aturan kemanusian yang paling komprehensif yang mengatur
tentang perlindungan penduduk sipil. Aturan tentang penduduk sipil ini
terdapat pada bagian IV Protokol. Untuk penduduk sipil, maka pasal 48
mengatur tentang aturan-aturan dasar, bagi mereka yang dinyatakan sebagai
berikut: Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap
penduduk sipil dan obyek sipil, pihak-pihak dalam sengketa setiap saat harus
membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran
militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-
sasaran militer saja.59
Dari pasal di atas, maka kita dapat membedakan penduduk sipil, objek
sipil di suatu pihak, serta kombatan dan sasaran militer. Berdasarkan pasal di
59
Protokol tambahan 1977 pasal 48
37
atas kita dapat melihat bahwa obyek militer dan sasaran militer baru tercantum
diterima oleh negara-negara dalam Protokol Tambahan I 1977. Untuk
mengetahui definisi dari objek sipil maka kita dapat melihatnya dalam Pasal
52 ayat 1 Protokol Tambahan I 1977 sebagai berikut: Obyek-obyek sipil tidak
boleh dijadikan sasaran serangan atau tindakan pembatasan. Obyek-obyek
sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan
dalam ayat (2) yang menyatakan: Serangan-serangan harus dengan tegas
dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer. Sebegitu jauh mengenai obyek-
obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya,
letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang
efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau
sebagian, direbut atau dinetralisasi, di dalam keadaan yang berlaku pada
waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.60
Menurut Hans-Peter Gasser, orang yang dilindungi adalah orang yang
berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tamabahan 1977 memiliki
perlindugan secara khusus. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang
yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah
berstatus „hors de conmbat‟ harus dilindungai dalam segala keadaan. Perang
merupakan hal yang paling mengerikan bagi semua orang. Di dalam perang
tentu banyak orang yang menjadi korban, terutama para kombatan yang
sedang bertempur di baris depan yang dapat mengakibatkan luka, sakit bahkan
kematian. Oleh sebab itu untuk memanusiawikan para kombatan yang sedang
60
Protokol Tambahan I 1977 Pasal 52 ayat 1
38
sakit maka Konvensi Jenewa I 1949 memberikan perlindungan kepada mereka
yang diatur dalam Pasal 12 yang menyatakan: Anggota angkatan perang dan
orang-orang lain yang disebut dalam pasal berikut, yang luka atau sakit wajib
dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan. Mereka wajib diperlakukan
secara perikemanusiaan dan dirawat oleh pihak dalam sengketa dalam
kekuasaan siapa mereka mungkin berada, tanpa perbedaan merugikan yang
didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, pendapat-pendapat politik
atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Tiap percobaan pembunuhan terhadap
mereka atau tindakan kekerasan atas mereka harus dilarang keras, mereka
khususnya tidak boleh dibunuh atau dimusnahkan, dijadikan obyek
penganiayaan atau percobaan biologis, mereka tidak boleh dengan sengaja
ditinggalkan tanpa bantuan dan perawatan kesehatan, begitu pula tidak boleh
ditimbulkan keadaan-keadaan yang mengakibatkan mereka mendapat penyakit
menular atau infeksi. Hanya alasan-alasan kesehatan yang mendesak dapat
menentukan prioritas dalam urutan pengobatan yang diberikan. Wanita harus
diperlakuakan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat
jenis kelamin mereka. Pihak dalam sengketa yang terpaksa meninggalkan
yang luka dan sakit di tangan musuh harus meninggalkan pada mereka
sebagian dari anggota dan bagian dinas kesehatan untuk menolong perawatan
mereka, sejauh pertimbangan-pertimbangan militer mengijinkannya.61
Petugas medis yang termasuk dalam Palang Merah Internasional
ataupun perhimpunan Sukarela atau relawan harus dihormati dan dilindungi.
61
Konvensi Jenewa I 1949
39
Hal ini terdapat didalam Konvensi Jenewa I 1949 dalam Pasal 24: Anggota
dinaskesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan,
mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit
dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan dan bangunan
kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan. Personil
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan himpunan yang bersifat netral juga
mendapat hak yang sama.
Hal ini juga dipertegas oleh Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal 12
Ayat 1 yang menyatakan: bahwa satuan-satuan kesehatan harus setiap saat
selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.
Apabila mungkin pihak-pihak dalam sengketa harus menjamin bahwa satuan-
satuan kesehatan ditempatkan sedemikian rupa sehingga serangan-serangan
terhadap objek-objek militer tidak membahayakan keselamatan mereka.
Dengan kata lain bahwa petugas medis harus dihormati dan dilindungi. 62
G. Klausua Martens dan Klausua Siomnes
Klausa dalam hukum humaniter ada dua yaitu:
1. Klausua martens, klausua ini menentukan bahwa apabila Hukum Humaniter
belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu,
maka ketentuan yang dipergunkan harus mengacu kepada prinsip-prinsip
Hukum Internasional yang tejadi dari kebiasaan yang terbentuk di antara
negara-negara yang beradap, dari hukum kemanusiaan yang serta dari
pendapat publik.
62
Protokol tambahan 1977
40
2. Klausua siomnes yaitu bahwa Konvensi IV Den haag hanya berlaku apabila
kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah
satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.63
63
Konvensi Den Haag 1907
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Tim Medis dalam Konflik
Bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional
Pelaksanaan perlindungan terhadap tim medis dalam konflik bersenjata
menurut hukum humaniter internasional adalah:
1. Kasus-Kasus Terhadap Tim Medis di Palestina
Perang sebagai salah satu penyelesaian sengketa secara paksa seharusnya
dihindari oleh negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik.
Seandainya perang harus ditempuh maka para pihak harus melaksanakan sesuai
dengan hukum humaniter. Istilah hukum humaniter berawal dari istilah hukum
perang (law of war), yang kemudian menjadi hukum sengketa bersenjata (law of
armed conflict) dan sekarang dikenal sebagai hukum humaniter internasional
(international humanitarian law).64
Sengketa bersenjata merupakan bencana yang paling mengerikan. Dalam
situasi perang, pelayanan kesehatan pada umumnya menjadi tidak terorganisir
atau sebagian mengalami kehancuran, pada saat mana terdapat sejumlah besar
orang sakit dan terluka yang membutuhkan perawatan. Petugas medis dan mobil
ambulans, semakin sering menjadi sasaran tembak dalam konflik bersenjata.
Komite Palang Merah Internasional memulai kampanye, untuk meningkatkan
jaminan keamanan bagi sarana medis.
64
Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: ICRC, 1999), hlm. 1.
42
Kawasan konflik di seluruh dunia, jalan menuju rumah sakit atau lokasi
pelayanan medis, biasanya dirintangi blokade jalanan, yang dijaga kelompok pria
bersenjata. Merekalah yang menentukan, siapa yang boleh lewat dan siapa yang
tidak. Semakin sering terjadi, petugas medis dilarang melewati blokade jalanan
itu.
Berdasarkan laporan Al-Mezan Center of Human Right, organisasi pembela
hak-hak asasi manusia menyimpulkan bahwa pasukan Israel pada dasarnya
mengabaikan fakta bahwa standar medis Palestina berpegang tegung pada standar
Internasional dalam memperlakukan demonstran di Gaza. Tentara Israel juga
disebut menembah para tenaga media dengan segaja meskipun staf medis telah
menggunakan seragam berbeda, yang mengidentifikasikan mereka sebagai tenaga
media. Ada tiga tenaga media yang menjadi sasaran tenaga Israel, yaitu Abdullah
Sabry Atia Al-Qatty (22 Tahun), Razan Al-Najjar (20 tahun), dari lembaga
bantuan medis palestina dan Musa Jaber Abdul Salam Abu Hassanein (34 tahun)
seorang tenaga medis dari pertahanan sipil.65
Palestina hanya satu contoh, bagi masalah mendasar di kawasan konflik
bersenjata di seluruh dunia, yakni nyaris tidak adanya jaminan keamanan, yang
menghambat akses ke lokasi layanan kesehatan, justru ketika hal itu amat
diperlukan. Banyak orang mati sia-sia, karena jalan menuju rumah sakit amat
berbahaya dan tidak dapat diperhitungkan resikonya. Personil medis dan
ambulans seringkali diserang, bahkan rumah sakit juga ditembaki. Untuk
mendokumentasikan besarnya masalah, Palang Merah Internasional mencatat dan
65
www.seraamedia.org, Bukan Kecelakaan, Israel Bunuh Sipil Dan Tenaga Medis Dengan
Sengaja, akses 23 Mei 2019
43
menganalisa insiden yang terjadi di negara-negara yang menjadi wilayah
tugasnya.
Ambil contoh Razan al-Najjar dihujam timah panas militer Israel saat
sedang menolong para demonstran yang terluka dalam aksi 'Great March
Return' 1 Januari 2018. Najjar adalah perawat sukarela yang bertugas di
Khan Yunis, Jalur Gaza selatan. Bermula razan a-Najjar berlari menuju
pagar di Kota Khan Younis saat bentrokan pecah antara aparat Israel dan
demonstran Palestina, Jumat pekan lalu. Sambil mengangkat tangan, Najjar
yang berseragam putih mencoba membantu pejuang Palestina yang terluka.
Perempuan itu mengangkat tangan. Sebagai tanda bahwa ia adalah seorang
perawat. Namun, dari jauh penembak runduk seperti sudah mengincarnya.
Peluru itu melesak menembus gadis yang baru berusia 21 tahun tersebut.
Najjar awalnya tak sadar. Namun, tajam peluru membuatnya terjatuh. Ia
menangis. Rompi putihnya dengan sekejap berubah menjadi merah darah.
Saksi menyebut ada dua atau tiga peluru yang ditembakkan dari tentara
Israel. Nyawanya pun tak berhasil diselamatkan. Tindakan militer Israel itu
melanggar Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil
Dalam Waktu Perang. Palestina sudah dianggap sebagai sebuah subjek
hukum internasional. Sehingga harusnya dalam konflik misalnya Israel
dengan Palestina ini diberlakukan juga ketentuan itu.66
Berdasarkan kasus ini maka tidak ada pelaksanaan perlindungan terhadap
tim medis dalam konflik bersenjata di Palestina baik itu dari pihak Israel maupun
pihak Palestina. Kenyataannya seorang tenaga medis, Razan al-Najjar, tewas
tertembak saat melakukan evakuasi seorang warga palestina yang terluka saat itu.
Uni Eropa dan PBB menuduh Israel menggunakan kekuatan yang
berlebihan, sementara kelompok-kelompok HAM mengatakan aturan kontak
senjata Israel ilegal karena menggunakan kekuatan mematikan terhadap
demonstran tidak bersenjata ketika nyawa tentara Israel sendiri tidak dalam.
Pejabat-pejabat militer Israel menyalahkan Hamas atas pertumpahan darah itu.
Mereka mengatakan kelompok itu telah menggunakan demonstrasi sebagai
66
https://kumparan.com/@kumparannews/tembak-mati-tenaga-medis-palestina-israel-
langgar-konvensi-jenewa, diakses 24 Desember 2018
44
perlindungan untuk melancarkan serangan lintas perbatasan dan menggunakan
para demonstran sebagai perisai. Lebih dari 115 warga Palestina tewas dan
hampir 3.700 lainnya luka-luka dalam aksi-aksi protes di sepanjang perbatasan
Israel yang sudah berlangsung hampir setiap minggu, demikian menurut petugas
kesehatan Palestina. Kebanyakan korban tewas adalah warga yang tidak
bersenjata, antara lain wartawan, tenaga medis, remaja dan dua perempuan.67
Padahal terhadap mereka dilarang selama mereka mempertahankan fungsi
netral dan merawat semua pasien secara setara tanpa melihat politik, keagamaan,
atau etnis mereka. Lambang-lambang perlindungan seperti Palang Merah, Bulan
Sabit Merah dan Kristal Merah diberlakukan untuk mengidentifkasi dengan jelas
instalasi, kendaraan, dan personil medis sebagai entitas yang dilindungi.
Orang-orang yang dilindungi tersebut tidak boleh diserang, meskipun di
Palestina tidak demikian. Mereka harus dihindarkan dari tindakan penyiksaan
fisik atau tindakan yang tidak manusiawi lainnya. Orang terluka dan sakit harus
dikumpulkan serta dirawat. Peraturan-peraturan yang rinci, termasuk pemberian
makanan dan tempat berteduh yang memadai serta jaminan hukum, diberlakukan
kepada mereka yang ditahan atau ditawan. Personil pelayanan kesehatan
menghadapi banyak tantangan ketika bekerja dalam situasi konflik bersenjata di
Palestina, karena mereka harus menyesuaikan standar pelayanan dengan sumber
daya yang tersedia dan harus menangani besarnya jumlah pasien masuk yang
membutuhkan penanganan segera untuk menyelamatkan nyawa. Di luar tantangan
67
Natalia Lana Lekong, Tangung Jawab Negara dalam Menyelesaikan Konflik Bersenjata
Internal Melalui Pengadilan Hybrid Menurut Perspektif Hukum Internal dan Hukum Nasional,
(Jurnal Hukum Vol. 5. No. 1. April 2015), hlm. 43.
45
profesional tersebut, mereka juga sering kali menghadapi bahaya besar yang
terkait dengan hakikat pekerjaan mereka.
Kasus berikutnya siang hari tanggal 7 Januari 2009, tim ambulans Komite
Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunan Nasional Bulan Sabit
Merah Palestina mendapati pemandangan yang mengguncang hati di sebuah
rumah di kawasan Zaytun, Kota Gaza, empat anak kecil meringkuk di samping
ibu-ibu mereka yang sudah tidak bernyawa. Rumah itu dihujani tembakan empat
hari sebelumnya, tetapi tim ambulans tidak diizinkan mendatangi para korban.
Ketika tiba di rumah itu, dua belas jenazah tergeletak di lantai kamar sedangkan
keempat anak kecil tadi terlampau lemah untuk berdiri.
Para prajurit yang bertugas di pos pemeriksaan di dekat rumah itu tidak
memberikan bantuan kepada korban-korban luka, dan memerintahkan tim
ambulans pergi ketika tim itu tiba di lokasi kejadian yang memilukan hati
tersebut. Petugas ambulans menolak perintah itu dan menolong korban yang
masih hidup. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah diamankan oleh
Konvensi Jenewa 1949 terhadap petugas medis dalam memberikan pertolongan
kepada orang yang sakit.
Kenyataan ini membuat terkejut para petugas humaniter paling
berpengalaman sekalipun. Jutaan orang di seluruh dunia, terkena dampak dari
ancaman atau aksi kekerasan nyata terhadap sarana layanan kesehatan. Palang
Merah Internasional menyebutnya sebagai salah satu tantangan terbesar ICRC.
Mengungkap Permasalahan HCID, kemanusiaan di zaman ini, yang
sekaligus juga tidak banyak mendapat perhatian publik. Kini Komite Palang
46
Merah Internasional (ICRC) memulai kampanye, untuk meningkatkan perhatian
internasional, bagi masalah yang dihadapi rumah sakit dan tenaga kesehatan di
kawasan perang. Pesan yang disampaikan kepada pemerintah, militer dan
kelompok perang lainnya amatlah jelas. Mereka harus menghormati netralitas
para petugas medis, serta menghormati hak untuk mendapat perawatan medis bagi
orang sakit, dalam kondisi apapun. Untuk itu Palang Merah Internasional
memutuskan, harus melakukan tindakan penyuluhan, agar dapat mendorong
terjadinya perubahan situasi.
2. Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Tim Medis Hukum Humantier
Sebagaimana diketahui tim medis merupakan orang yang tidak ikut serta
dalam suatu konflik bersenjata, sehingga mereka tidak sebagai pihak yang sah
untuk menjadi korban. Berdasarkan hukum humaniter bahwa mereka harus
dilindungi secara manusiawi. Konflik secara teori disebabkan karena adanya
kontradiksi sosial. Kontradiksi sosial menurut Karl Marx sebagai common
interests. Konflik adalah produk dari hubungan social karena dua pihak yang
berinteraksi salam bertentangan (kontradiksi sosial). Kontradiksi social
bersumber dari kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian
kewenangan (outhority) secara tidak merata.68
Hukum Humaniter Internasional melindungi mereka yang tidak terlibat
dalam peperangan (non-kombatan) seperti orang-orang sipil dan petugas medis
serta agama. Hukum Humaniter Internasional juga melindungi mereka yang tidak
68
Muslim Mufti, Teori-Teori Politik, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 161-162.
47
lagi terlibat dalam peperangan seperti orang-orang terluka atau korban kapal
karam atau orang sakit, atau orang-orang yang ditawan.
Hal ini dijelaskan di dalam Konvensi Jenewa I 1949 dalam Pasal 24 yaitu:
Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau
mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk
mencegah penyakit dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi
kesatuan dan bangunan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala
keadaan. Personil Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan himpunan yang
bersifat netral juga mendapat hak yang sama. 69
Setiap orang, termasuk tim medis, dalam aturan hak asasi manusia memiliki
hak, yaitu hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi serta hak persamaan
dan kebebasan dari diskriminasi.70
Penyerangan terhadap petugas medis
merupakan sebuah perlangaran terhadap Hukum Humaniter Internasional, dimana
para petugas medis seharusnya mendapat perlindungan dan dihormati dalam
keadaan apapun. Hal ini dijelaskan dalam Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal
12 Ayat 1 yang menyatakan: bahwa satuan-satuan kesehatan harus setiap saat
selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.71
Dokter atau petugas medis merupakan bagian dari komunitas dan salah satu
bagian utama dalam dunia kesehatan sangat mungkin untuk terlibat dalam suasana
perang. Hukum Humaniter Internasional mengikat tenaga kesehatan untuk
memberikan perawatan pada korban dari pihak kesehatan kepada penduduk sipil
69
Konvensi Jenewa I 1949 dalam Pasal 24 70
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.
29. 71
Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal 12 ayat 1
48
yang terluka.72
Hal ini dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa I 1949 dari Protokol
Tambahan I 1977 melindungi tenaga kesehatan dari serangan langsung saat
perang, selama mereka tidak ikut berperang secara langsung (Geneva Conventions
protect health care personnel from direct attack, so long as they themselves do not
become combatants), namun dalam kenyataanya masih banyak petugas medis
yang menjadi korban atau menjadi sasaran perang dengan serangan.73
Peranan hukum humaniter internasional dalam perkembangan sistem hukum
suatu Negara mempunyai fungsi yang cukup penting. Khususnya mengatur
perlindungan terhadap petugas medis dalam konflik bersenjata. Hukum humaniter
internasional merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap
Negara damai maupun Negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan
yang dialami masyarakat akibat konflik bersenjata yang terjadi di berbagai
Negara.74
Ketentuan-ketentuan tersebut, diatur dalam keempat Konvensi Jenewa 1949
dan Protokol-protokol Tambahan 1977, membuat hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan setara dengan kewajiban bagi semua pihak dalam konfik
untuk mencari dan mengumpulkan korban luka setelah pertempuran usai dan
memfasilitasi akses ke sarana pelayanan kesehatan. Hukum Humaniter
internasional melalui Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
melindungi pelayanan kesehatan setiap saat dan dalam keadaan apapun.
72
HaryoMataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 9. 73
https://m.liputan6.com. Akses 11 November 2018 74
Ayuni Yuliatiningsih, Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional, (Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12 Januari 2012), hlm. 98.
49
Selain dari pada itu, terkait dengan masalah tim medis, sesuai prinsip-
prinsip hukum humaniter internasional terhadap perlindungan terhadap penduduk
sipil dalam konflik bersenjata sejak dahulu telah diatur dan dipraktekkan. Seperti
halnya perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata yang
terjadi di dalam wilayah suatu Negara serta diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa
1949 dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Pasal ini biasa juga disebut sebagai
Konvensi Mini (Convention in Miniature).
Pasal 3 (1) menetapkan beberapa larangan yaitu:
a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan rasa;
b. Penyanderaan;
c. Perkosaan atas kehormatan pribadi;
d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati, tanpa didahului keputusan
yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur.75
Ayat 2 dinyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan
dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti International Committee
of the Red Cross (ICRC) dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak yang
bersengketa. Adapun Protokol II Tahun 1977 menetapkan antara lain:
a. Perlindungan terhadap operasi militer;
b. Larangan dijadikannya orang sipil termasuk tim medis sebagai sasaran
pertikaian bersenjata.
c. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian;
dan
d. Larangan menyerang bangunan dan instansi yang mengandung kekuatan
berbahaya.
e. Perlindungan kumpulan orang sipil penolong korban pertikaian
bersenjata seperti medis.76
75
Konvensi Jenewa 1949 76
Komite Internasional Palang Merah, Ringkasan Konvensi-Konvensi Jenewa Tertanggal 12
Agustus 1949 serta Protokol-Protokol Tambahannya, (Jakarta: ICRC Delegasi Indonesia, 2011),
hlm. 21-25.
50
Perlindungan tenaga medis merupakan suatu aturan yang luas cakupannya,
teknis dan rinci serta memuat sistem deklarasi dan sistem verifikasi yang
dilakukan oleh suatu rezim internasional dibawah naungan Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjend PBB). Bahkan dari pengalaman-
pengalaman serupa, dalam konflik bersenjata non-internasional pun tim meds
harus mendapat perlindungan.
Pada dasarnya, mengutip penjelasan halaman 7 buku “Ringkasan Konvensi-
Konvensi Jenewa Tertanggal 12 Agustus 1949 Serta Protokol-Protokol
Tambahannya” yang diterbitkan oleh Komite Internasional Palang Merah, demi
kepentingan orang-orang yang cedera, sakit dan korban kapal karam, setiap
kesatuan medis, baik militer maupun sipil, yang berada dibawah kekuasaan pihak
yang berwenang harus dilindungi.
Lebih lanjut, pengaturan mengenai perlindungan terhadap petugas kesehatan
dalam medan perang dapat ditemui dalam pasal-pasal Konvensi Jenewa dan
Protokol tambahannya. Misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 11, Pasal 24-
27, Pasal 36, dan Pasal 37 Konvensi Jenewa maka petugas kesehatan harus
dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan, di antaranya mencangkup:
a. Seseorang yang ditugaskan, baik permanen maupun sementara, semata-
mata untuk pekerjaan medis (mencari, mengumpulkan, mengangkut,
membuat diagnosa dan merawat orang yang cedera, sakit, korban kapal
karam dan untuk mencegah penyakit). Mereka itu adalah dokter,
perawat, jururawat, pembawa usungan.
b. Seseorang yang ditugaskan, baik permanen maupun sementara, semata-
mata untuk mengelola atau menyelenggarakan kesatuan medis atau
pengangkutan medis. Mereka itu adalah administrator, pengemudi, juru
masak dan lain-lain.77
77
Konvensi Jenewa 1949
51
Konvensi Jenewa ini sebenarnya bukanlah satu-satunya sumber hukum
internasional yang mengatur tentang perlindungan terhadap tim medis dalam
wilayah peperangan. Perlindungan tentang tim medis dapat juga ditemui dalam
protokol-protokol tambahan terhadap Konvensi Jenewa. Namun sayangnya,
sebagaimana diberitakan dalam artikel Indonesia Berniat Ratifikasi Protokol
Konvensi Jenewa 1949, saat ini Indonesia belum meratifikasi protokol-protokol
tambahan dari Konvensi Jenewa, yaitu Protokol Tambahan I dan II. Protokol
Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata
Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban
Sengketa Bersenjata Non Internasional.
Tentang instrumen hukum internasional lainnya, kita akan merujuk pada
esei yang ditulis oleh konsultan hukum pada Divisi Hukum Komite Internasional
Palang Merah (ICRC) Jean-Marie Henckaerts berjudul “Studi (kajian) tentang
Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan” yang dipublikasikan dalam Jurnal
Internasional Review of The Red Cross volume 87 No. 857 Maret 2005 (diunduh
dari www.icrc.org). Henckaerts bahwa Konvensi Jenewa beserta Protokol-
Protokol Tambahannya merupakan rezim pengaturan HHI yang berdasarkan pada
perjanjian multilateral antara negara-negara (“HHI Perjanjian”). Selain HHI
Perjanjian, sumber hukum humaniter lainnya yang mengatur mengenai
perlindungan tim medis dalam wilayah peperangan adalah hukum yang
52
berdasarkan pada praktik kebiasaan, yang disebut sebagai Hukum Humaniter
Internasional Kebiasaan.78
Lebih lanjut Henckaerts yang juga ketua proyek Hukum Humaniter
Internasional Kebiasaan ICRC menjelaskan bahwa definisi HHI Kebiasaan
menurut Pasal 38 ayat (1) huruf (b) Statuta Pengadilan Internasional (the Statute
of the International Court of Justice) adalah "praktik-praktik umum yang telah
diterima sebagai hukum."
Menurut Henckaerts79
, ada banyak aturan dalam HI Kebiasaan yang
identik atau serupa dengan aturan yang terdapat dalam HI Perjanjian. Contoh
aturan-aturan yang didapati merupakan Kebiasaan tetapi memiliki padanan aturan
dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa antara lain adalah: kewajiban untuk
menghormati dan melindungi personil medis dan personil keagamaan, unit medis
dan sarana transportasi medis, personil dan barang-barang bantuan kemanusiaan;
dan kewajiban untuk melindungi tugas medis.
Konvensi Jenewa diratifikasi oleh negara Indonesia dengan diterbitkanya
UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam
Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949 (“UU No. 59/1958”). Maka
artinya Konvensi Jenewa ini juga berlaku di Indonesia.80
Mengingat bahwa ratifikasi Konvensi Jenewa ini dilakukan dengan
menerbitkan UU No. 59/1958, maka menurut hemat kami Konvensi Jenewa ini
78
Jean-Marie Henckaerts, Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan:
Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan Terhadap Tertib Hukum dalam Konflik
Bersenjata (Study on Customary International Humanitarian Law Volume 87 Nomor 857 Maret
2005), hlm. 1-3. 79
Ibid., hlm. 14. 80
UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh
Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949
53
juga berlaku mengikat layaknya Undang-Undang pada umumnya di Indonesia.
Jadi, dapat dikatakan bahwa peraturan khusus di Indonesia dan dunia
Internasional yang mengatur mengenai perlindungan tenaga kesehatan di medan
perang adalah Konvensi Jenewa ini.
Perlindungan terhadap petugas medis dalam Konvensi Jenewa I 1949 dan
Protokol Tambahan I 1977 didasarkan pada penghormatan pribadi dan tidak dapat
diganggu gugat hak dasar pribadi manusia baik pria maupun wanita. Artinya
orang-orang yang tidak terlibat langsung di dalam pertempuran atau perang
seperti petugas medis berhak harus dihormati dan dilindungi dengan segala
keadaan dan diperlakukan secara perikemanusiaan. Dilarang melakukan
kekerasan terhadap jiwa, kesehatan jasmani dan rohani seperti penganiayaan
secara kasar dan bahkan pembunuhan, bahkan di dalam pertempuran dilarang
melakukan penghukuman secara kolektif, tindakan teror dan perkosaan atas
kehormatan pribadi terutama tindakan yang dapat merendahkan martabat
manusia.81
Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup dengan membagikan
makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai upaya mengingatkan para pihak
yang berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas-batas
perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait
menghormati dan mempraktikan HHI, karena HHI memuat aturan tentang
perlindungan korban konflik serta tentang pembatasan dan cara perang.82
81
Konvensi Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 82
Ambarwati, Denny Ramdhany, & Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: RajaGrafido Persada, 2013), hlm. 28-29.
54
Serangan terhadap tim medis dan tidak ada perlindungan terhadapnya
merupakan tindakan yang tidak berkeperikemanusiaan yang merupakan
pelanggaran terhadap hak yang diperoleh petugas medis yaitu untuk mendapatkan
perlindugan dan dihormati yang tertuang dalam Konvensi Jenewa I 1949 dalam
Pasal 24 menyatakan: Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk
mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau
untuk mencegah penyakit dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi
kesatuan dan bangunan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala
keadaan. Personil Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan himpunan yang
bersifat netral juga mendapat hak yang sama.83
Hal ini juga dipertegas oleh Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal 12 Ayat
1 yang menyatakan: bahwa satuan-satuan kesehatan harus setiap saat selalu
dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan. Banyaknya
penyerangan terhadap petugas medis dalam konflik di Palestina, menurut penulis
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Konvensi Jenewa I 1949 dan Protokol
Tambahan I 1977. Hal tersebut menunjukkan petugas medis tidak mendapatkan
haknya yaitu dilindungi dan dihormati sebagaimana mestinya di dalam konflik di
Palestina. 84
Protokol Tambahan I 1977 Pasal 12 Ayat 1. Pelanggaran tersebut terlihat
jelas bahwa para pihak yang berkonflik yaitu Israel dan Palestina telah
menjadikan petugas medis yang tidak terlibat juga menjadi sasaran serang. Hal
83
Konvensi Jenewa I 1949 dalam Pasal 24 84
Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal 12 Ayat 1
55
tersebut menjadikan derita jasmani yang tidak terhingga, dan tidak jarang juga
menimbulkan korban jiwa atau hilangnya nyawa seseorang.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan oleh penulis, bahwa dalam
konflik yang terjadi di Palestina, pihak-pihak yang berperang yaitu Israel dan
Palestina telah melakukan tindakan-tindakan penyerangan terhadap petugas
medis. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para pengamat dan pakar di
bidang ini, maka menurut penulis, kasus-kasus yang telah terjadi merupakan
pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977
tentang perlindungan petugas medis dalam sebuah konflik.
Menurut penulis berdasarkan kondisi yang terjadi bukan karena terdapat
kelemahan dalam Konvesi Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 namun
kurangnya para pihak yang bertikai untuk mematuhinya.
B. Bentuk Tangung Jawab Negara terhadap Tim Medis dalam Konflik
Angkatan Bersenjata di Palestina Menurut Hukum Humaniter
Internasional
Negara merupakan suatu organisasi besar yang terdiri dari sekumpulan
masyarakat yang memiliki beragam kebutuhan, sudah tidak bisa eksis tanpa
berhubungan dengan negara lainnya, setiap negara mempunyai kepentingan
masing-masing yang terkadang kepentingan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
negara itu sendiri. Maka dari itu, negara harus terus bekerjasama dan berhubungan
dengan negara lain agar terpenuhi kebutuhan para masyarakat. Setiap negara yang
melakukan hubungan internasional dengan negara lain akan memberikan
kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan dari negara asing di negaranya,
56
hal ini diperlukan guna mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara dan
bukan untuk menjamin tugas dari pejabat diplomatik agar lebih efisien.85
Pada kasus perlindungan tim medis, maka bentuk tangung jawab negara
terhadap tim medis dalam konflik angkatan bersenjata nyaris tidak ada, baik dari
pihak Palestina maupun Israel. Israel tidak hadir sebagai negara yang bertanggung
jawab terhadap tewasnya sejumlah tenaga medis warga Palestina. Israel dalam hal
ini tidak tunduk pada hukum hubungan internasional. Padahal Tunduknya suatu
negara kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional merupakan syarat
mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur yang hanya
mungkin terwujud dengan adanya hukum internasional. Sekarang ini negara-
negara nasional tidak dapat bersembunyi di balik klaim urusan dalam negeri dan
berdasarkan prinsip non-intervention. Alas an-alasan kedaulatan nasional tidak
lagi memadai untuk melindungi Negara-negara yang mempunyai kejahatan
terhadap kemanusiaan.86
Negara-negara dalam mengadakan hubungan konsuler
antara rakyat-rakyat telah diadakan sejak dahulu kala sebagaimana maksud dan
azas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang persamaan derajat Negara-
negara berdaulat, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional serta
peningkatan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa.
Petugas medis juga menjadi sasaran tembak atau korban perang juga karena
lambang yang tidak terlihat sehingga menjadi sasaran tembak di saat menjalankan
tugas baik siang maupun malam, serta kelalaian petugas medis sendiri saat
85
Morenna Thasya Sumolang, Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Warga Negara
di Luar Negeri Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1963 Tentang Hubungan Konsuler (Jurnal Lex
Et Societatis Vol. VI/No. 5/Jul/2018), hlm. 34. 86
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Yogyakarta: Media Pressindo,
2007), hlm. 146-147.
57
bertugas sehingga menjadi sasaran tembak dalam sebuah konflik. Mendesak untuk
dilakukan bahwa negara baik Palestina maupun Israel harus hadis terhadap tim
medis dalam konflik angkatan bersenjata dengan memberikan perlindungan yang
tinggi demi keselamatan nyawa dan kehidupannya.
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara (state responcibility) dalam
hukum yaitu tidak ada satu negara pun dapat menikmati hak-haknya, tanpa
menghormati hak-hak yang hidup dan berkembang di negara lain. Hukum tentang
tanggung jawab negara adalah hukum mengenai kewajiban negara yang timbul
manakala negara, telah atau tidak melakukan suatu tindakan. Dengan kata lain
negara bertanggung jawab apabila telah melanggar ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati. Hukum tentang tanggung jawab negara masih dalam tingkat
evolusi dan kemungkinan akan meningkat pada tahap di mana negara-negara dan
individu-individu yang dikenai tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran
hukum internasional yang merupakan kejahatan internasional, yang berbeda dari
tanggung jawab biasa bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban yang
akibatnya menimbulkan penggantian kerugian atau pembayaran ganti-rugi.
Kesalahan atau kerugian-kerugian yang menimbulkan tanggung jawab negara
beragam jenisnya pada kasus di Palestina. Negara dikatakan bertanggung jawab,
karena melakukan pelanggaran kewajiban berupa a) suatu tindakan, dan b)
kelalaian. Menurut Starke, keadaan tersebut sangat tergantung pada tindakan
negara yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban kontraktualnya dan ini
diatur oleh standar-standar internasional yaitu seperti di bawah ini:
58
a. Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan
oleh suatu negara yang dianggap menimbulkan tanggung jawab;
b. Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan.87
Pada kasus konflik Israel dan Palestina, pelanggaran atau kelalaian Negara
terjadi pada butir a) merupakan suatu tindakan yang memenuhi beberapa kaidah
hukum internasional. Pada butir b) secara umum tidak terbuka peluang bagi suatu
negara, untuk membela diri dari klaim dengan menyatakan bahwa badan negara
tertentu yang diduga kuat melakukan tindakan kesalahan telah melebihi lingkup
kewenangannya menurut hukum nasional. Oleh karena itu, tanggung jawab dalam
arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan
kewajiban kedua neraga, Israel dan Palestina.
Negara Israel dan Palestina yang berkonflik bertanggung jawab menjamin
keselamatan kerja petugas medis, meskipun faktanya tidak ada sama sekali dari
pihak Israel. Keselamatan kerja dimaksudkan sebagai upaya perlindungan pekerja,
orang lain di tempat kerja dan sumber produksi agar selalu dalam keadaan selamat
selama dilakukan proses kerja.88
Penyerangan terhadap Petugas medis hanyalah
puncak dari gunung es dalam ranah konflik. Serangan terhadap sarana pelayanan
kesehatan, personil kesehatan, dan kendaraan medis, dan hambatan-hambatan
yang dihadapi korban luka dan sakit untuk memperoleh pelayanan kesehatan,
jamak terjadi dalam berbagai konfik dan pergolakan di seluruh dunia. Hal
semacam itu menimbulkan dampak sekunder jangka panjang, tenaga profesional
87
Muhammad Heikal Daudi, Tangung Jawab Negara Terhadap Pelarangan Menyeluruh
Ranjau Anti Personel di Indonesia dalam Konflik Bersenjata di Aceh..., hlm. 252-253. 88
Cecep Triwobowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm.
101.
59
kesehatan meninggalkan tempat tugas mereka, rumah sakit tutup, dan program
vaksinasi terhenti. Efek susul-menyusul ini membuat masyarakat secara
keseluruhan kehilangan akses ke pelayanan yang memadai. Kekerasan nyata dan
ancaman kekerasan terhadap pasien, pekerja medis, dan sarana kesehatan
merupakan salah satu masalah paling krusial tetapi juga paling terabaikan dewasa
ini.
Penyerangan tenaga tenaga medis Palestina oleh tentara Israel adalah
penghinaan terhadap martabat manusia. Fakta yang ada bahwa pelaksanaan
perlindungan terhadap tim medis dalam konflik bersenjata di Palestina hampir
tidak ada. Kenyataannya seorang tenaga medis tewas dalam penyergapan di
Palestina, kesehatan menyatakan bahwa mereka yang tewas dalam serangan di
perbatasan Gaza adalah pekerja kesehatan, sementara yang lain menyebutkan, di
antara korban ada juga orang tua bocah yang akan divaksinasi.
Tim medis perlu mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam bekerja
dalam wilayah konflik. Konflik sosial budaya terjadi karena kemajemukan
suku, budaya dan agama tidak teratasi dengan baik dan adil oleh
penyelenggara negara maupun masyarakat. Dengan kerangka itu diperlukan
penelenggaraan Negara yang mampu memahami dan mengelola
kemajemukan bangsa baik dan adil.89
Hal tersebut berkaitan dengan pengertian orang-orang yang dilindungi
dalam arti sempit, yaitu orang-orang yang turut serta dalam sengketa bersenjata
yang telah menjadi korban perang karena luka, sakit dan tertawan sebagaimana
diatur dalam pasal-pasal bersamaan dalam Konvensi I, II dan III yaitu Pasal 13
89
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretaris Jenderal MPRRI, 2012), hlm. 17-18.
60
dalam Konvensi I dan II dan Pasal 4 par A dalam Konvensi III dari Konvensi
Jenewa 1949.90
Pelaksanaan perlindungan terhadap tim medis dalam konflik bersenjata di
Palestina jika dilihat dari Hukum Humaniter Internasional tidak ada. Seharusnya
sesuai Hukum Humaniter Internasional Petugas medis yang termasuk dalam
Palang Merah Internasional ataupun, Perhimpunan suka rela atau Relawan harus
dihormati dan dilindungi. Hal ini terdapat di dalam Konvenis Jenewa I 1949
dalam Pasal 24: Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk
mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau
untuk mencegah penyakit dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi
kesatuan dan bangunan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala
keadaan.91
Hukum humaniter Internasional sudah menggariskan bahwa negara yang
berkonflik maupun yang tidak terlibat dengan konflik itu bertanggung jawab
melindungi tim medis. Hal ini sudah tertuang dalam Protokol Tambahan I
Konvensi Jenewa antara lain adalah: kewajiban untuk menghormati dan
melindungi personil medis dan personil keagamaan, unit medis dan sarana
transportasi medis, personil dan barang-barang bantuan kemanusiaan; dan
kewajiban untuk melindungi tugas medis. Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 melindungi pelayanan kesehatan setiap saat dan dalam keadaan apapun.
90
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949 Mengenai Perlindungan
Korban Perang, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 32. 91
Ayuni Yuliatingsih, Agresi terhadap Palestina Perspektif Ukum Humaniter Internasional,
(Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No.12 Januari, 2012), hlm. 98.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari penjelasan yang telah diuraikan pada hasil penelitian
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap tim medis dalam konflik bersenjata menurut hukum
humaniter internasional tidak terlaksana terutama pada penerapan ketentuan
Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977 saat
konflik terjadi di Palestina disebabkan bukan lemahnya hukum yang mengatur
namun karena kurangnya kemauan dan itikad baik serta komitmen bersama
dari pihak yang bertikai atau yang bersengketa untuk menetapkan dan
mematuhi ketentuan Hukum Humaniter Internasional pada saat konflik terjadi.
2. Bentuk tangung jawab negara terhadap tim medis dalam konflik angkatan
bersenjata di Palestina menurut hukum humaniter internasional nyaris tidak
ada. Hal ini dibuktikan saat konflik bersenjata terjadi petugas medis tidak
mendapat perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa I 1949
dan Protokol Tambahan I 1977. Bahwa agar hak-hak petugas medis belum
dapat dilindungi saat konflik bersenjata yang terjadi dibutuhkan itikad baik
dan komitmen bersama dari pihak yang bertikai atau bersengketa secara
sungguh-sungguh untuk mengutamakan ketentuan yang dapat melindungi
petugas medis yaitu ketentuan Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan Protokol
Tambahan I 1977.
62
B. Saran-Saran
Dalam penulisan skripsi ini, terdapat beberapa saran yang penulis berikan
terkait dengan masalah perlindungan petugas medis dalam konflik di Afghanistan,
antara lain:
1. Memfasilitasi akses yang lebih aman bagi staf dan relawan Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah ICRC terhadap ancaman-ancaman yang dihadapi pasien,
pekerja kesehatan, relawan, sarana pelayanan kesehatan, dan kendaraan medis
dalam situasi konflik.
2. Rumah sakit dan berbagai sarana pelayanan kesehatan di negara-negara yang
terkena dampak konflik bersenjata atau situasi kekerasan harus dilindungai.
Pengamanan pelayanan kesehatan tidak dapat dilakukan oleh komunitas
pelayanan kesehatan sendiri tanggung jawab utama ada di tangan politisi dan
kombatan.
3. Perlunya penyebarluasan pengetahuan Hukum Humaniter Internasional
kepada personil militer, pejabat pemerintah dan negara yang bersengketa
tentang tentang penghormatan hak-hak yang diberikan oleh Konvensi Jenewa
I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 tehadap petugas medis.
63
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Ambarwati, Denny Ramdhany, & Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional
dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: RajaGrafido Persada,
2013.
Amirul Hadi, Metode Penelitian, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2002.
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Media
Pressindo, 2007.
Cecep Triwobowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika,
2014.
D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Alih bahasa Bambang Iriana
Jatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
_______, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 1994.
Ishaq, Metode Penelitian Hukum: Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi
Bandung: Alfabeta, 2017.
Komite Internasional Palang Merah, Ringkasan Konvensi-Konvensi Jenewa
Tertanggal 12 Agustus 1949 serta Protokol-Protokol Tambahannya,
Jakarta: ICRC Delegasi Indonesia, 2011.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, Tafsir Al Qur‟an Tematik “Hukum Keadilan dan Hak Asasi
Manusia”, Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an, 2010.
Mansyur Effendi, Hukum Humaniter Internasional, Surabaya: Usaha Nasional,
1994.
64
Masjhur Efendi, Moh. Ridwan & Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar
Hukum Internasional, Malang: IKIP Malang, 1995.
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949 Mengenai
Perlindungan Korban Perang, Bandung: Alumni, 2002.
Muslim Mufti, Teori-Teori Politik, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretaris Jenderal
MPRRI, 2012.
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Azazi Manasia, Yogyakarta: PUSHAM
UII, 2008.
Sanapilah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007.
Sefriani, Peranan Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan & Fleksibilitas, Jakarta:
Sinar Grafika, 2007.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Jambi: Syariah Press, 2014.
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, 2007.
Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid, Pengantar Hukum Humaniter Internasional
dalam Islam, terj. Masri Elmahsyar Bidin dan Abdullah Syamsul Arifin,
International Committee of the Red Cross (ICRC) Delegasi Regional
Indonesia, 2008.
B. Skripsi, Jurnal
Adwani, Perlindungan Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut
Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12
Januari, 2012.
Adwani, Perlindungan Terhadap Korban dalam Daerah Konflik Bersenjata
Menurut Perspektif Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 2. No. 5 Februari 2015.
65
Ayuni Yuliatingsih, Agresi terhadap Palestina Perspektif Ukum Humaniter
Internasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No.12 Januari, 2012.
Jean-Marie Henckaerts, Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan
Terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata. Study on Customary
International Humanitarian Law Volume 87 Nomor 857 Maret 2005.
Morenna Thasya Sumolang, Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan
Warga Negara di Luar Negeri Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1963
Tentang Hubungan Konsuler. Jurnal Lex Et Societatis Vol. VI/No.
5/Jul/2018.
Muhammad Heikal Daudi, Tangung jawab negara Terhadap Pelarangan
Menyeluruh Ranjau Anti Personel di Indonesia dalam Konflik Bersenjata
di Aceh, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 12. No. 60 Agustus, 2013.
Muhammad Iqbal Asnawi, Kosistensi Penegakan Hukum Humaniter
Internasional dalam Hubungan Antar Bangsa, Jurnal Hukum Vol. 12.
No. 1 Januari 2017.
Natalia Lana Lekong, Tangung jawab negara dalam Menyelesaikan Konflik
Bersenjata Internal Melalui Pengadilan Hybrid Menurut Perspektif
Hukum Internal dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Vol. 5. No. 1. April
2015.
Rafika Mayang Sari, Tinjauan Yuridis Terhadap Konvensi Jenewa 1949 Terhadap
Negara-Negara yang Berperang Menurut Hukum Internasional, Jurnal
Hukum Vol. 5. No. 12 Januari 2013.
Yuliatiningsih, Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 1. No. 12 Januari 2012.
C. Internet
https://kumparan.com/@kumparannews/tembak-mati-tenaga-medis-palestina-
israel-langgar-konvensi-jenewa, diakses 24 Desember 2018
https://m. republika.co.id.Palestina-Israel. Akses 19 November 2018
https://m.liputan6.com. Akses 11 November 2018
www.seraamedia.org
66
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ana Prasetiani
NIM : SPI. 141812
Alamat : Mekar Sari, Rt 07, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten
Muaro Jambi
Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul :
“Bentuk Tangung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Tim Medis Dalam
Konflik Bersenjata Di Palestina Menurut Hukum Humaniter Internasional”.
Yang dimunaqasahkan pada hari Selasa, 21 Mei 2019
Dengan penguji : 1) H. Hermanto Harun, Lc.,M.HI.,Ph.D
Penguji : 2) Juharmen, S.HI.,M.Is
67
CURRICULUM VITAE
A. Identitas Diri
NAMA : Ana Prasetiani
Jenis Kelamin : Perempuan
Temat Tanggal Lahir : Mekar Sari, 13 April 1995
Nim : Spi 141812
No. Telp/Hp : 082346333501
Nama Ayah : Eko Yulianto
Nama Ibu : Supriati
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal :
a. SD. Tahun Lulus: SDN 149/IX Mekar Sari, 2009
b. SMP. Tahun Lulus : SMPN 29 Muaro Jambi, 2012
c. SMK. Tahun Lulus : SMKN 5 Muaro Jambi, 2014
2. Pendidikan Non-Formal ( Pelatihan, Kursus, Dll )
a. Kursus Computer, 2013
3. Prestasi Akademik/ Skil/Olahraga/ Budaya Yang Dimiliki :
Juara II O2SN Tingkat Kabupaten Muaro Jamb