bentuk-bentuk kekerasan dalam novel rumah kaca …
TRANSCRIPT
BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL RUMAH KACA KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER: PERSPEKTIF GALTUNG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh:
ALAN KURNIAWAN POKU
154114054
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Juni 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL RUMAH KACA KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER: PERSPEKTIF GALTUNG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh:
ALAN KURNIAWAN POKU
154114054
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Juni 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini ku persembahkan kepada kedua orang tuaku,
John Budzer Poku dan Ferlin Selviani Kalaena,
Dan kepada seluruh saudara-saudaraku yang ku kasihi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTO
Kolose 3:14
Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang
mempersatukan dan menyempurnakan.
“Indera manusia belum mampu menyempurnakan ilmu pengetahuan. Tapi imajinasi
menambahkan kekuasaan berpikir: Sensualisme”
(Alan Kurniawan Poku)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, skripsi saya yang berjudul
“Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta
Toer: Perspektif Galtung” ini bisa saya selesaikan. Semua itu saya yakini dan sadari
bahwa kuasa yang nyata, berkat melimpah, dan segala karunia-Nya hadir atas hamba-
Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini banyak pihak yang
mendukung, membantu, dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada.
Pertama-tama, penulis mengucapkan terima kasih kepada (Alm) Pak Herry
Antono, S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik (DPA) yang awal mula
sudah membimbing, memberikan arahan, memberikan kasih sayang kepada saya.
Terima kasih ini juga bersamaan dengan (Alm) Pak Dr. Ari Subagyo, M.Hum, yang
walau sekalipun waktunya hanya sementara berada disekitar kami, namun kasih
sayang dan pengajarannya tetap selalu berada disisi kami sampai saat ini. Terima
kasih juga buat Ibu S.E. Peni Adji, M.Hum, sebagai dosen pembimbing akademik
(DPA) Sastra Indonesia angkatan 2015. Terima kasih kepada ibu Peni yang sudah
memberikan motivasi, arahan, pengajaran yang semuanya itu dibalut dengan kasih
sayang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yapi Yosep Taum, M.
Hum, yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing I dan kepada Prof. Dr. I.
Praptomo Bariyadi, M. Hum., yang juga telah bersedia menjadi pembiming II. Terima
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
kasih atas saran, bimbingan, ilmu dan tuntunan yang kesemuaanya dibalut dengan
kesabaran dan kasih sayang.
Terima kasih juga kepada seluruh jajaran pejabat dan dosen Program studi
(Prodi) Sastra Indonesia. Pak Sonny Christian Sudarsono, M. Art., selaku wakaprodi
dan dosen, Pak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S,
M.Hum., terima kasih atas segala ilmu, bimbingan, arahan, nasehat, dan juga
pengajaran selama ini. Terima kasih juga kepada seluruh staf Sekrtetariat Fakultas
Sastra, terutama Mbak Rus dan Mbak Titin atas pelayanannya dan bantuannya yang
baik selama ini.
Ucapan terima kasih untuk kedua orang tua, John Budzer Poku dan Ferlin
Selviani Kalaena, yang sangat penulis sayangi dan kasihi. Kedua orang tua yang
sangat penulis sanjungkan dengan kesabaran, kebaikan, keikhlasan, dan kasih sayang
yang tulus, yang mampu memberikan penulis motivasi secara psikis untuk
menyelesaikan skripsi. Terima kasih Pa, Ma. Terima kasih juga kepada Margareth
Poku, Agung Poku, dan Indra Poku, yang juga turut memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis dan sebagai adik mereka. Terima kasih yang sangat-sangat
dalam saya berikan buat keluarga-ku yang sangat dan saling mengerti satu sama lain.
Terima kasih juga kepada saudara-saudaraku di kontrakan Morowali Utara,
Rizkal Monduale, Edy Perabu, Rein Sirang, Elriksen Podengge, Aryo Lasani, Novri
Samaliwu, Rizal Budiman, Reinal Maroi, Satya Malaeni, Rizki Balino, Andres
Dewangga, Viki Lubuk, dan Hadi Lubuk.
Terima kasih juga buat kedua orang yang sangat saya kasihi. Ucapan terima
kasih ini sengaja ditulis oleh penulis untuk memberikan tempat yang paling istimewa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRAK
Poku, Alan Kurniawan. 2019. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Novel Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer: Perspektif Galtung. Skripsi Strata Satu (S-1).
Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian yang berjudul “Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Novel Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer: Perspektif Galtung” memiliki tujuan untuk (1)
Mendeskripsikan struktur pembangun cerita yang mencakup alur, tokoh, penokohan, dan
latar dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, dan (2) Mendeskripsikan
bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer.
Studi ini menggunakan paradigma Wellek dan Warren yang membagi penelitian
sastra atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.
Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita dalam novel Rumah
Kaca. Teori yang digunakan adalah teori struktural. Pendekatan intrinsik digunakan untuk
menganalisis bentuk-bentuk kekerasan menurut perspektif Galtung. Teori yang digunakan
adalah teori sosiologi sastra dengan memanfaatkan teori kekerasan Galtung. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data menggunakan deskriptif
kualitatif dan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak catat dan teknik studi
pustaka.
Hasil analisis struktur pembangun cerita yang mencakupi, alur, tokoh, penokohan,
dan latar dalam novel Rumah Kaca sebagai berikut. Alur dalam novel adalah alur maju.
Tokoh utama dalam novel adalah Jacques Pangemanann dan R.M. Minke. Tokoh
tambahan, yaitu Jendral Idenburg, Donlad Nicolson, Robert Suurhof, Prinses Kasiruta,
Piah, Paulette, Rientje de Roo, Nyi Juju, Nyi Romlah, Frits Doertier, Hadji Samadi, Wardi,
D. Douwager, Tjiptomangun, Ayah Soendari, Bernhard Meyersohn, Pemuda. Latar waktu
dalam novel, yaitu (1) tahun 1912, (2) tahun 1914, (3) tahun 1911, (4) tahun 1919, (4) awal
tahun 1913. Latar tempat dalam novel adalah Hindia. Latar sosial-budaya yang terdapat
dalam novel adalah sosial budaya Eropa-Belanda. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk
kekerasan dalam penelitian ini sebagai berikut. Hasil penelitian kekerasan struktural, yaitu
(1) kekerasan struktural terhadap pemimpin organisasi, (2) kekerasan struktural pelajar
Pribumi, dan (3) kekerasan struktural perempuan. Hasil penelitian kekerasan personal,
yakni (1) kekerasan personal gerombolan Pitung, (2) kekerasan personal kaum Tionghoa,
(3) kekerasan personal gerombola Suurhof, (4) kekerasan personal wanita, (5) kekerasan
personal Bernhard Meyersohn. Hasil penelitian kekerasan simbolis, yakni (1) kekerasan
simbolis berupa bahasa, (2) kekerasan simbolis berupa Ideologi, (3) kekerasan simbolis
ilmu pengetahuan, dan (4) kekerasan simbolis berupa psikis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRACK
Poku, Alan Kurniawan. 2019. Forms of Violence in Novel Rumah Kaca by
Pramoedya Ananta Toer: Galtung Perspective. Undergraduate Thesis (S-1).
Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata Dharma
University
The study entitled "Forms of Violence in Rumah Kaca Novel by Pramoedya Ananta
Toer: Galtung Perspective" has the purpose of (1) Describing the structure of story builders
that includes plot, character, character, and background in the novel Rumah Kaca by
Pramoedya Ananta Toer, and (2) Describe the forms of violence contained in the novel
Rumah Kaca by Pramoedya Ananta Toer.
This study uses the Wellek and Warren paradigm that divides literary research into
two approaches, namely intrinsic approach and extrinsic approach. The intrinsic approach
is used to analyze the structure of stories in the novel Rumah Kaca. The theory used is
structural theory. The intrinsic approach is used to analyze forms of violence according to
Galtung's perspective. The theory used is the theory of sociology of literature by utilizing
Galtung's theory of violence. In this study, researchers used a method of data analysis using
descriptive qualitative and data collection techniques using note-taking techniques and
literature study techniques.
The results of the analysis of the structure of the story builders that cover, plot,
character, characterization, and background in the novel Rumah Kaca are as follows. The
flow in the novel is a forward flow. The main characters in the novel are Jacques
Pangemanann and R.M. Minke. Additional figures, namely General Idenburg, Donlad
Nicolson, Robert Suurhof, Prinses Kasiruta, Piah, Paulette, Rientje de Roo, Nyi Juju, Nyi
Romlah, Frits Doertier, Hadji Samadi, Wardi, D. Douwager, Tjiptomangun, Ayah
Soendari, Bernhard Meyersohn, Young man. The time frame in the novel, namely (1) in
1912, (2) in 1914, (3) in 1911, (4) in 1919, (4) in early 1913. The setting in the novel is the
Indies. The socio-cultural setting contained in the novel is European-Dutch social culture.
The results of the research on the forms of violence in this study are as follows. The results
of the study of structural violence, namely (1) structural violence against the leader of the
organization, (2) structural violence of Indigenous students, and (3) female structural
violence. The results of research on personal violence, namely (1) Pitung gang personal
violence, (2) Chinese personal violence, (3) Suurhof guerrilla personal violence, (4) female
personal violence, (5) Bernhard Meyersohn personal violence. The results of symbolic
violence research are (1) symbolic violence in the form of language, (2) symbolic violence
in the form of ideology, (3) symbolic violence of science, and (4) symbolic violence in the
form of psychology.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
MOTO ................................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................................ xi
ABSTRACK ........................................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................................................ 6
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................................. 6
1.5 Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 6
1.6 Landasan Teori ..................................................................................................... 8
1.6.1 Kajian Struktural ........................................................................................... 10
1.6.1.1 Alur ........................................................................................................... 10
1.6.1.2 Penokohan ................................................................................................ 11
1.6.1.3 Tokoh ........................................................................................................ 11
(1) Tokoh Utama ............................................................................................ 11
(2) Tokoh Tambahan ....................................................................................... 12
1.6.1.4 Latar .......................................................................................................... 12
(1) Latar Waktu ................................................................................................ 13
(2) Latar Tempat .............................................................................................. 11
(3) Latar Sosial-Budaya ................................................................................... 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
1.6.2 Pendekatan Ektrinsik ...................................................................................... 13
1.6.2.1 Teori Sosiologi Sastra .............................................................................. 14
1.6.2.2 Teori Kekerasan: Prespektif Galtung ....................................................... 14
1.7 Metode Penelitian ................................................................................................. 18
1.7.1 Objek Penelitian ............................................................................................. 19
1.7.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 19
1.7.3 Sumber Data ................................................................................................... 20
1.7.4 Metode Analisis Data ..................................................................................... 20
1.7.5 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ............................................................ 21
1.8 Sistematika Penyajian ........................................................................................... 21
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL RUMAH KACA KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER ...................................................................................... 22
Pengantar ............................................................................................................................... 22
2.1 Analisis Alur atau Plot ......................................................................................... 23
2.1.1 Peristiwa ..................................................................................................... 23
2.1.2 Konflik ....................................................................................................... 25
2.1.3 Klimaks ...................................................................................................... 26
2.2 Tokoh .................................................................................................................... 28
2.2.1 Tokoh Utama ............................................................................................. 29
2.2.1.1 Jacques Pangemanann ....................................................................... 29
2.2.1.2 Raden Mas Minke ............................................................................. 29
2.2.2 Tokoh Tambahan ....................................................................................... 30
2.2.2.1 Gubernur Jendral Idenburg .............................................................. 30
2.2.2.2 Komisaris Besar Donald Nicolson .................................................. 31
2.2.2.3 Robert Suurhof ................................................................................ 31
2.2.2.4 Prinses Kasiruta ............................................................................... 31
2.2.2.5 Piah .................................................................................................. 32
2.2.2.6 Paulette ............................................................................................ 32
2.2.2.7 Rientje de Roo ................................................................................. 33
2.2.2.8 Nyi Juju ........................................................................................... 33
2.2.2.9 Nyi Romlah ..................................................................................... 33
2.2.2.10 Frits Doertier ................................................................................... 34
2.2.2.11 Hadji Samadi ................................................................................... 34
2.2.2.12 Wardi ............................................................................................... 34
2.2.2.13 D. Douwager .................................................................................... 35
2.2.2.14 Tjiptomangun .................................................................................. 35
2.2.2.15 Ayah Soendari ................................................................................. 35
2.2.2.16 Bernhard Meyersohn ....................................................................... 36
2.2.2.17 Pemuda ............................................................................................ 36
2.2.2.18 Si Pitung .......................................................................................... 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2.2.2.19 Tuan L ............................................................................................. 37
2.2.2.20 Tuan de Beer .................................................................................... 37
2.2.2.21 Tuan Mr. K. ..................................................................................... 38
2.2.2.22 Tuan De Cagnie ............................................................................... 38
2.2.2.23 Tuan De Man ................................................................................... 38
2.2.2.24 Tuan R. ............................................................................................ 39
2.2.2.25 Nikolaas Knor .................................................................................. 39
2.2.2.26 Simon Zwijger ................................................................................. 39
2.2.2.27 Tuan Gr. ........................................................................................... 39
2.2.2.28 Mr. De Lange ................................................................................... 39
2.2.2.29 Cor Oosterhof .................................................................................. 40
2.2.2.30 Mas Tjokro ...................................................................................... 40
2.2.2.31 May Le Boucq ................................................................................. 40
2.2.2.32 Mas Marco Kartodikromo ............................................................... 40
2.2.2.33 Siti Soendari .................................................................................... 41
2.2.2.34 Strooman .......................................................................................... 41
2.2.2.35 Herschenbrok ................................................................................... 41
2.2.2.36 Semaoen .......................................................................................... 41
2.2.2.37 Mas Soewoyo .................................................................................. 42
2.2.2.38 Van Limburg Stirum ........................................................................ 42
2.2.2.39 Sarimin ............................................................................................ 42
2.2.2.40 Tuminah ........................................................................................... 43
2.2.2.41 Perwakilan Sindikat Gula ................................................................ 43
2.2.2.42 Goenawan ........................................................................................ 43
2.3 Penokohan ........................................................................................................... 43
2.3.1 Jacques Pangemanann ................................................................................ 44
2.3.2 Raden Mas Minke ...................................................................................... 49
2.3.3 Prinses Kasiruta ......................................................................................... 53
2.3.4 Robert Suurhof ........................................................................................... 54
2.3.5 Paulette ....................................................................................................... 55
2.3.6 Rientje de Roo ........................................................................................... 57
2.3.7 Nyi Juju ...................................................................................................... 59
2.3.8 Nyi Romlah ................................................................................................ 60
2.3.9 Frits Doertier .............................................................................................. 61
2.3.10 Mr. De Lange ............................................................................................. 62
2.3.11 Piah ............................................................................................................ 64
2.3.12 Hadji Samadi .............................................................................................. 65
2.3.13 Wardi ......................................................................................................... 67
2.3.14 D. Douwager .............................................................................................. 68
2.3.15 Tjiptomangun ............................................................................................. 69
2.3.16 Ayah Soendari ............................................................................................ 71
2.3.17 Herchenbrok ............................................................................................... 73
2.3.18 Bernhard Meyersohn .................................................................................. 73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
2.3.19 Pemuda ....................................................................................................... 75
2.3.20 Gubernur Jendral Idenburg ........................................................................ 76
2.3.21 Komisaris Besar Donald Nicolson ............................................................. 77
2.3.22 Si Pitung ..................................................................................................... 78
2.3.23 Tuan L. ....................................................................................................... 79
2.3.24 Tuan De Beer ............................................................................................. 79
2.3.25 Tuan Mr. K. ............................................................................................... 79
2.3.26 Tuan De Cagnie ......................................................................................... 81
2.3.27 Tokoh L. ..................................................................................................... 81
2.3.28 Tuan De Man ............................................................................................. 83
2.3.29 Tuan R. ....................................................................................................... 84
2.3.30 Nikolaas Knor ............................................................................................ 84
2.3.31 Cor Oosterhof ............................................................................................ 86
2.3.32 Mas Tjokro ................................................................................................. 86
2.3.33 Simon Zwijger ........................................................................................... 87
2.3.34 Mas Marco ................................................................................................. 87
2.3.35 May Le Boucq ........................................................................................... 89
2.3.36 Siti Soendari ............................................................................................... 89
2.3.37 Tuan Gr. ..................................................................................................... 92
2.3.38 Strooman .................................................................................................... 93
2.3.39 Semaoen ..................................................................................................... 93
2.3.40 Mas Soewoyo ............................................................................................. 94
2.3.41 Van Limburg Stirum .................................................................................. 96
2.3.42 Sarimin ....................................................................................................... 96
2.3.43 Tuminah ..................................................................................................... 98
2.3.44 Goenawan .................................................................................................. 99
2.4 Latar .................................................................................................................... 100
2.4.1 Latar Waktu ............................................................................................... 100
2.4.1.1 Tahun 1912 ....................................................................................... 101
2.4.1.2 Tahun 1914 ....................................................................................... 101
2.4.1.3 Tahun 1911 ....................................................................................... 102
2.4.1.4 Tahun 1919 ....................................................................................... 102
2.4.1.5 Siang ................................................................................................. 103
2.4.1.6 Jam Sembilan Pagi (Pertemuan dengan Tuan L.) ............................. 103
2.4.1.7 Sore (Kemunculan Prinses Kasiruta) ................................................ 104
2.4.1.7.1 Kemunculan Prinses Kasiruta dan Piah Untuk Kedua Kalinya ... 104
2.4.1.8 Sembilan Pagi (Pertemuan dengan Cor Oosterhof) ........................ 105
2.4.1.9 Awal Tahun 1913 ............................................................................ 105
2.4.1.10 Pagi (Penangkapan Wardi) .............................................................. 106
2.4.1.11 Malam (Mengejar Siti Soendari) ..................................................... 106
2.4.1.12 Pagi (Menjemput R.M. Minke) ....................................................... 106
2.4.1.13 20 Mei 1918 ..................................................................................... 107
2.4.2 Latar Tempat .............................................................................................. 107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
2.4.2.1 Hindia .............................................................................................. 108
(1) Betawi ................................................................................................. 108
(2) Buitenzorg .......................................................................................... 108
(3) Kwitang .............................................................................................. 109
(4) Ambon ................................................................................................ 110
(5) Selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi ................................. 110
(6) Sala ..................................................................................................... 111
(7) Bandung .............................................................................................. 112
(8) Semarang ............................................................................................ 112
(9) Surabaya ............................................................................................. 112
(10) Sukabumi ............................................................................................ 113
2.4.3 Latar Sosial-Budaya ................................................................................... 113
2.4.3.1 Hindia-Belanda ................................................................................. 114
Rangkuman ................................................................................................... 114
BAB III ANALISIS KEKERASAN DALAM NOVEL RUMAH KACA KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER ..........................................................................
.................................................................................................................................... 116
Pengantar ............................................................................................................................... 116
3.1 Kekerasan Struktural .......................................................................................... 116
3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Pemimpin Organisasi .............................. 117
(1) S.D.I. (Sarekat Dagang Islam) .................................................................. 117
(2) Indische Partij’ ......................................................................................... 121
3.1.2 Kekerasan Struktural Terhadap Pelajar Pribumi ...................................... 122
(1) Jacques Pangemanann .............................................................................. 122
(2) Ayah Soendari .......................................................................................... 125
3.1.3 Kekerasan Struktral Terhadap Perempuan ............................................... 127
(1) Perempuan-perempuan selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi .. 127
(2) Rientje de Roo ........................................................................................... 129
3.2 Kekerasan Personal ........................................................................................... 129
3.2.1 Kekerasan Personal Terhadap Gerombolan Pitung .................................. 130
3.2.2 Kekerasan Personal Terhadap Kaum Tionghoa ....................................... 133
3.2.3 Kekerasan Personal Terhadap Gerombolan Suurhof ............................... 134
3.2.4 Kekerasan Personal Tehadap Wanita ....................................................... 135
3.2.5 Kekerasan Personal Terhadap Dokter Bernhard Meyersohn ................... 137
3.3 Kekerasan Budaya atau Simbolis ..................................................................... 138
3.3.1 Kekerasan Simbolis berupa Bahasa ......................................................... 138
(1) Verbal ....................................................................................................... 138
a. Kata Pribumi ............................................................................................. 138
b. Kata Babu ................................................................................................. 140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
c. Surat kabar ................................................................................................ 140
d. Dokumen ataus Naskah (Rumah Kaca) .................................................... 142
3.3.2 Kekerasan Simbolis berupa Ideologi ........................................................ 142
(1) Vonnis Raad van Justitie Batavia ............................................................. 144
(2) Jabatan dan Karier .................................................................................... 145
3.3.3 Kekerasan Simbolis berupa Ilmu Pengetahuan ........................................ 146
3.3.4 Kekerasan Simbolis berupa Psikis ........................................................... 147
Rangkuman ........................................................................................................................... 149
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................. 152
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 153
4.2 Saran ................................................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya Sastra merupakan suatu rujukan pemetaan ideologi dari seorang
pengarang. Sastra bersifat komunikatif dan dipandang sebagai cara untuk
mengekspresikan pemikiran dan rasa seorang pengarang. Melalui karya sastra,
pengarang dapat menggambarkan kehidupan sosial sehari-hari dalam masyarakat.
Melalui karya sastra pula, segi-segi kehidupan realitas manusia tertuang dalam sebuah
karya sastra biasanya, masalah seputar “sastra dan masyarakat” bersifat sempit dan
eksternal.
Novel adalah salah satu ganre Sastra yang biasanya memberikan gambaran
persoalan-persoalan kompleks suatu periswtiwa. Melalui novel orang-orang dapat
merefleksikan kehidupan masyarakat ataupun individu yang tidak disadari. Novel dan
masyarakat tanpa disadari merupakan suatu cermin; sebagaimana novel menjadi
cerminan masyarakat dan masyarakat menjadi cermin dari sebuah novel.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Karya Sastra merupakan objek untuk
diteliti termasuk pengaruh-pengaruh dalam novel serta realitas pada suatu hubungan
masyarakat. Novel yang merupakan salah satu ganre Sastra terkadang lebih
menonjolkan suatu masalah atau problematika dalam kehidupan sosial yang realitas.
Kemudian munculah pertanyaan seputar karya Sastra walaupun sebelumnya sudah
terjawab dan mungkin akan lebih terjawab lagi dalam penelitian ini. Pertanyaan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
muncul adalah bagaimanakah peran sastra dalam masyarakat sosial dan apa pentingnya
Sastra yang mengkaji masalah-masalah sosial dalam lingkupan masyarakat.
Penelitian ini mengkaji novel dari seorang sastrawan terkemuka yaitu
Pramoedya Ananta Toer dengan judul novel “Rumah kaca” salah satu dari tetralogi
Pulau Buru. Adapun penelitian ini menggunakan teori kekerasan prespektif Johan
Galtung. Novel “Rumah Kaca” adalah salah satu dari tetralogi Pulau buru atau The
Buru Quartet karya Pramoedya Ananta Toer. Novel yang awalnya hanya diceritakan
lisan kepada teman-temannya dipenjara selama pembuangan di Pulau Buru ini
mengisahkan sebuah pergerakan awal Kebangkitan Nasional Indonesia antara tahun
1898-1918. Novel ini menceritakan kehidupan seorang tokoh bernama Minke. Minke
adalah nama samaran dari nama asli seorang tokoh perjuangan yaitu R.M Tirto Adhi
Soerjo. Namun penulisnya, Pramoedya tak pernah mau mengakui bahwa tokoh Minke
adalah seorang Tirto.
Dalam novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya, novel “Rumah Kaca”
berbeda dari tiga novel sebelumnya. Dalam novel ini, Minke (tokoh utama dalam dua
tiga novel seebelumnya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah), bukan
lagi menjadi sudut pandang utama. Novel “Rumah Kaca” mengambil sudut pandang
seorang Pangemanann dengan dua -n yang adalah seorang Pribumi peranakan Eropa
yang bekerja menjadi seorang polisi kemudian diangkat bekerja pada Algemenne
Secretarie milik Belanda. Paengamanann dengan dua -n tersebut adalah seorang
peranakan Eropa. Dalam kisah tersebut, secara ringkas, Pangemanann yang seorang
polisi harus memata-matai seorang yang sangat ia kagumi, hormati, bahkan dirinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
menganggap orang tersebut adalah gurunya; Minke. Melalui surat kabar dan organisasi
yang semula dipimpin oleh Minke, Pangemanann terus melacak gerak-gerik orang
yang sangat dikaguminya tersebut. Hal itu disebabkan karena Pangemanann yang
bekerja dibawah kekuasaan Belanda (Gubermen), dia harus menjalankan perintah
penguasanya.
Kisah awal Jacques Pangemanann yang bertemu dengan orang yang sangat
dikaguminya itu, Minke, bermula saat dirinya ditugaskan untuk ke rumah Minke
Bersama para bandit, Robert Shuroof. Namun Pangemanann tak berani masuk ke
dalam rumah Minke, dan hanya diwakili oleh Robert Shuroof dan kawan-kawannya.
Sementara itu tiba-tiba terjadi suara tembakan dari dalam rumah. Pangemanann pun
mengira bahwa Robert Shuroof menembak Minke. Setelah kejadian itu, akhirnya pihak
Hindia Belanda terpaksa mengasingkan Minke yang adalah seorang dibalik organisasi
yang menakuti pemerintahan Hindia Belanda. Pengasingan Minke saat itu ditemani
oleh orang yang memata-matainya, yaitu Jacques Pangemanann.
Setelah pengasingan tersebut, tokoh Pangemanann bukan habis pekerjaan,
dengan adanya demam organisasi di luar kontrol pemerintahan Hindia Belanda, beban
psikologi dari seorang Pangemanann semakin berat. Bentuk-bentuk kekerasan pun
hadir dari dalam diri dan juga psikologi dirinya.
Di sisi lain dari kisah dalam novel tersebut, para tokoh dan juga tokoh utama,
mengalami suatu problematika psikologi yang menyerang mereka, yaitu kekerasan.
Menurut Galtung, sesuai dengan penerapan teori pada penelitian ini, kekerasan terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasamani dan mentalnya
berada dibawah realisasi potensialnya.
Penelitian novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer dipilih sebagai
objek material penelitian ini, karena dua alasan. Alasan yang pertama adalah novel ini
menceritakan seorang tokoh bernama Jacques Pangemanann (sudut pandang baru
dalam tetralogi Pramoedya) dalam menjalani tugasnya sebagai anggota kepolisian
Hindia Belanda sampai menjadi bagian dari Algemenne secretarie. Dalam menjalankan
tugas itu, Jacques Pangemanann harus melawan hati nuraninya sendiri. Hal itu
dikarenakan pekerjaan yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan hati nuraninya.
Jacques Pangemanann hidup dalam keterpaksaan antara kenyataan dan hati nuraninya.
Alasan kedua, dalam novel ini terdapat banyak tindak kekerasan. Untuk menuju
suatu kekuasaan yang sejati, tokoh-tokoh di dalamnya harus mengalami penindasan
dan kekerasan. Kekerasan yang terjadi baik kekerasan struktural, maupun kekerasan
personal.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Pendekatan objektif berfungsi untuk
menganalisi struktur cerita dalam novel. Struktur cerita mencakup unsur pembangun
cerita, yaitu alur, tokoh, penokohan, dan latar. Pendekatan mimetik berfungsi untuk
menjelaskan tentang teori sosiologi sastra dan teori kekerasan Galtung. Pendekatan
mimetik juga bertujuan untuk membuktikan adanya tindak kekerasan yang terdapat
dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah yaitu
sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah struktur pembangun cerita dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer?
1.2.2 Bagaiamana bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer menurut perspektif Johan Galtung?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan struktur pembangun cerita dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer yang mencakup tokoh, alur, dan latar. Hal ini akan
dibahas dalam Bab II.
1.3.2 Mendesrkripsikan bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel
Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer menurut perspektif Johan
Galtung. Hal ini akan dibahas dalam Bab III.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memaparkan dua manfaat penelitian menjadi dua
bagian. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut. Penelitian ini diharapkan mampu
menambah wawasan dan manfaat tentang struktur pembangung cerita dan bagaiaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
kekerasan structural, kekerasan personal, dan juga kekrasan budaya dalam novel
“Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan manfaat secara
teoretis tentang struktur pembangun cerita dan bentuk-bentuk kekerasan dalam novel
“Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan manfaat praktis
tentang struktur pembangung cerita dan bentuk-bentuk kekerasan dalam novel “Rumah
Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian Utami (2018) yang membahas tentang novel Candik Ala 1965
dengan menggunakan paradigma M.H. Abrams untuk mengkaji unsur pembangun
cerita dam Teori kekerasan Johan Galtung dalam mengkaji kekerasan personal dan
struktural mendapat Hasil sebagai berikut.
Dalam pembahasan tersebut, Utami mengangkat unsur pembangun cerita yang
mencakup tokoh, penokohan, dan latar. Dalam penelitiannya tersebut, peneliti
mendapatkan hasil tokoh utama, yaitu Nik dan Ibu Kesawa. Adapun tokoh tambahan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
yaitu, Pak Kesawa, Mas Cuk, Mas Kun, Yu Parni, Sarjono, By Arum, Mas Kun, Nila,
Tris, Si Gagap, Kamil, Pak Djo, Leaph, dan Ibu Sul.
Penelitian tersebut kemudian berlanjut pada penokohan. Nik, sebagai tokoh
Utama mempunyai sifat keingintahuan yang sangat besar dan menjadi tokoh penggerak
alur dalam cerita. Ibu Kesawa dan Pak Kesawa sebagai orang tua memiliki sifat
bijaksana. Penokohan Mas Cuk, Mas Tok, dan Mas Kun adalah seorang aktivis politik.
Sifat Yu Parni adalah netral. Hasil dari tokoh yang mendapat tindak kekerasan dalam
cerita tersebut, yaitu Sarjono dan Bu Arum. Teman-teman Nik, seperti Nila, Tris, Si
Gagap, dan Kamil memiliki sifat yang baik. Leaph, yang adalah seorang teman wanita
yang tinggal di Amerika memilik kehidupan yang menyedihkan. Sedangkan saksi
kunci misteri yang selama ini membuat Nik penasaran adalah Ibu Sul.
Dalam penelitian untuk studi kasus kekerasan struktural yang menggunakan
teori Johan Galtung, peneliti mendapat hasil bahwa ada tiga jenis kekerasan struktural.
Adapun kekerasan struktural sebagai berikut; 1.) kekerasan struktural dialami oleh para
simpatisan PKI, 2.) Kekerasan struktural terhadap masyarakat sipil pada pemerintahan
orde baru, 3.) kekerasan struktural terhadap warga sipil di Kamboja. Sedangkan
kekerasan personal yang ditemukan oleh peneliti adalah sebagai berikut; 1.) kekerasan
personal terhadap anggota organisasi kepemudaan, 2.) kekerasan terhadap simpatisan
PKI, 3.) kekerasan personal terhadap wanita, 4.) kekerasan personal terhadap warga
sipil di Kamboja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1.6 Landasan Teori
Peneliti ini menggunakan paradigma Renne Wellek dan Austin Warren untuk
meneliti struktur pembangun cerita dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta
Toer, dan teori kekerasan dari Johan Galtung untuk meneliti bentuk kekerasan dalam
novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Renne Wellek dan Austin Warren menawarkan dua pendekatan dalam meneliti
karya Sastra, yaitu pendekatan secara Ekstrinsik dan secara Intrinsik. Namun dalam
penelitian ini, peneliti memakai pendekatan secara Intrinsik untuk meneliti unsur
pembangun cerita. Renne Wellek dan Austin Warren membagi empat pendekatan
Intrinsik dalam studi sastra, yaitu; 1) Modus keberadaan Karya Sastra, 2) Efoni, Irama,
dan Matra, 3) Gaya dan Stilistika, 4) Citra, metafora, simbol, dan mitos. Dalam
penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur
intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra
sebelum memasuki penelitian lebih lanjut, (Damono, 1984:2). Menurut Wellek dan
Warren (2015: 56), mengenai struktur itu sendiri punya batasan bahwa struktur
pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan estetik.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra,
unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta
membangun cerita, (Nurgiyantoro, 2015: 23). Nurgiyantoro menambahkan bahwa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
pembagian unsur intrinsik karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian
berdasarkan unsur bentuk dan isi. Yang dimaksudkan Nurgiyantoro adalah dalam
menganalisis, tidak mungkin rasanya membicarakan dan atau menganalisis salah satu
unsur itu tanpa melibatkan unsur lain.
Renne Wellek dan Austin Warren dikenal sebagai kaum strukturalis yang
memetakan kritik sastra atas dua pendekatan, yakni pendekatan intrinsik dan
pendekatan ekstrinsik. Jika dipetakan, pendekatan kedua tokoh ini dapat digambarkan
dalam skema 1 berikut ini.
Skema 1:
Paradigma Wellek & Warren
Pendekatan Intrinsik*) Pendekatan Ektrinsik
Tema
Penokohan
Alur
Latar
Sudut Pandang
Gaya Bahasa
Amanat
Biografi Pengarang
Nilai-nilai di dalam Karya Sastra
Kondisi Lingkungan dan Masyarakat
*) Ilustrasi pendekatan intrinsik dalam skema ini berkaitan dengan prosa fiksi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Dikutip dari, (Taum dkk, dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kritik
Sastra: “Kritik Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi, 2017: 3).
1.6.1 Kajian Struktural
Menurut Pradopo, kajian struktural merupakan metode yang berdasarkan teori
bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur
pembentuk struktur, (Pradopo, 2002: 21). Analisis struktural bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur
dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh,
(Teuw, 1984: 135).
Adapun unsur-unsur intrinsik yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
tentang bagaimana struktur cerita nilai dari alur, penokohan, dan latar.
1.6.1.1 Alur
Menurut Nurgiyantoro (2015:110), alur merupakan unsur fiksi yang penting,
bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara
berbagai unsur fiksi yang lain. Alur dalam prosa naratif atau drama mengandung
konflik yang menjadi dasar lakuan dan membuat tokoh terus Bergerac dari satu
peristiwa ke peristiwa lain hingga mencapai klimaks (Budianta dkk, 2008:174).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
1.6.1.2 Penokohan
Penokohan adalah unsur penting dalam cerita fiksi. Penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita unsur penokohan menunjuk pada sebuah teknik perwujudan dan pengembangan
tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2015: 248).
Penokohan secara singkat diartikan sebagai sifat atau karakteristik dari seorang
tokoh dalam cerita. Sifat dan karakteristik tokoh mempengaruhi struktur bagian dalam
sebuah cerita. Sifat dan karakteristik inilah yang menjadi sebuah gambaran tentang
bagaimana kondisi fisik, sifat dan psikis serial tokoh mengalami tindak kekerasan.
1.6.1.3 Tokoh
Abrams (1981:20) mengemukakan bahwa tokoh adalah orang (-orang) yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh mempunyai sifat penting dalam
sebuah cerita, yaitu sebagai penggerak alur cerita. Dalam sebuah alur cerita, ucapan
dan cara berlaku tokoh menentukan karakteristik penokohannya dalam menentukan
serial tindakan kekerasan yang dimiliki setiap tokoh.
1.6.1.3.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam sebuah
cerita. Penceritaan tentang tokoh utama tersebut, baik sebagai pelaku kejadian ataupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
sebagai yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga menjadi tokoh penentu
perkembangan alur dalam sebuah cerita.
1.6.1.3.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sering hadir dengan cerita yang lebih
sedikit dari tokoh utama. Dalam cerita, tokoh tambahan juga mempunyai peran penting
dalam mengembangkan atau membangun unsur dalam cerita.
1.6.1.4 Latar
Latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menunjuk pada
menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2015: 305). Latar atau setting kemudian dibedakan lagi menjadi latar waktu, latar
tempat, dan latar peristiwa, dan latar sosial budaya.
1.6.1.4.1 Latar Waktu
(Nurgiyantoro, 2015: 31), latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita fiksi. Latar waktu
dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika diagram secara teliti, terutama
jika dihubungkan dengan waktu sejarah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1.6.1.5 Latar Tempat
Dikutip dari Nurgiyantoro (2015: 314), latar tempat menunjukan pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat-tempat yang
bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata.
1.6.1.6 Latar Sosial Budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi,
(Nurgiyantoro, 2015: 322).
1.6.2 Pendekatan Ektrinsik
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra
itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem orientasi atau
sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai
unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri
tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun
cerita yang dihasilkan. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956: 75 –
135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuaannya itu akan mempengaruhi karya
yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun
penerapan prinsip psikologi dalam karya, dikutip dalam (Nurgiyantoro, 2015: 24-24).
Dalam penelitian ini, pendekatan ektrinsik bertujuan untuk menjelaskan teori
sosiologi sastra dalam menganalisis unsur pembangun cerita dan bentuk-bentuk
kekerasan dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
1.6.2.1 Teori Sosiologi Sastra
Teori Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan yang menitik beratkan
hubungan antara studi sosial dan studi sastra. Sebuah karya sastra yang diciptakan oleh
pengarangnya tentu mempunyai maksud untuk sekedar menyinggung permasalahan
sosial. Renne Wellek dan Austin Warren (2015: 98) menambahkan bahwa sastra
mempunyai fungsi sosial “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Sastra
dikaitkan dengan situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial
tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra
dan kedudukannya dalam masyarakat. Menurut Faruk (2010: 2), sosiologi sastra
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu
tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain.
1.6.2.2 Teori Kekerasan: Perspektif Galtung
Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa
sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya
(Windhu,1992: 64). Kekerasan dalam prespektif Galtung ini menitik beratkan atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
lebih ditentukan pada segi akibat dari kekerasan itu sendiri dan pengaruhnya kepada
manusia.
Menurut Galtung, kekerasan dapat didefinisi sebagai perbedaan, yaitu potensial
dan aktual. Di satu pihak manusia mempunyai potensi yang masih ada di "dalam", dan
di lain pihak, potensi menuntut untuk diaktualkan yaitu dengan merealisasikan dan
memperkembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang dipegangnya.
Pengertian "actus" di sini mencakup kegiatan, aktivitas yang tidak tampak (seperti
berfikir, bermenung, serta kegiatan mental atau psikologis lainnya) serta kegiatan,
tindakan, aktivitas yang dapat diamati/tampak (Windhu, 1992: 66).
Galtung menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu; 1).
Kekerasan fisis dan psikologis. Dalam kekerasan fisis tubuh manusia disakiti secara
jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah
tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak. 2). Pengaruh
positif dan negatif, sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya
terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang terbuka, cenderung manipulatif,
meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria. 3). Ada objek atau tidak, dalam
tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisis dan psikologis, meskipun tidak
memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia. 4). Ada subjek atau tidak,
kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada
pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah
menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai
kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. 5).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Disengaja atau tidak, bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang
hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi
kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban,
sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan. 6). Yang tampak dan tersembunyi,
Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat
dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu
yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan
tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat
realisasi aktual dapat menurun dengan mudah.
Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat
dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusi hasil dukungan militer yang
hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati
(Windhu, 1992: 68-72).
Menurut Galtung, kekerasan dibagi menjadi tiga, yaitu kekerasan Struktural,
kekerasan Personal dan kekerasan Simbolis. Kekerasan personal bertitik berat pada
"realisasi jasmani aktual". Galtung membagi tiga cara dalam melihat kekerasan
personal, yaitu; 1.) menggunakan badan atau senjata, 2.) bentuk organisasi seperti
individu, massa atau pasukan, 3.) yang menuju sasaran (manusia). Kekerasan personal
dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan secara fungsional
(fisiologis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan
bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan),
yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi (Windhu, 1992: 74).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Galtung kemudian menjelaskan pengertian kekerasan struktural dalam sebuah
mekanisme kekerasan struktural dengan bentuk enam faktor yang mendukung
pembagian tidak egaliter sebagai berikut; 1.) urutan kedudukan linear, 2.) pola interaksi
yang tidak siklis, 3.) korelasi antara kedudukan dan sentralitas, 4.) persesuaian antar
sistem, 5.) keselarasan antar kedudukan, 6.) dan perangkapan yang tinggi antar tingkat,
(Windhu, 1992: 75).
Singkatnya, Galtung membedakan kedua jenis kekerasan dengan pengamatan
bahwa sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan
fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan
struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak.
Selain daripada kedua kekerasan tersebut, Galtung menambahkan satu jenis
kekerasan, yaitu kekerasan Simbolis. Jadilah konsep teoritis Galtung tentang kekerasan
ini membentuk segitiga kekerasan atau trilogi kekerasan. Menururt Galtung, Kekerasan
budaya adalah ruang budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia, sebagaimana
dicontohkan dalam agama dan ideologi, seni dan bahasa, ilmu yang dapat dipakai untuk
menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung maupun struktural. Secara
sederhana, pemahaman Galtung tentang kekerasan budaya adalah bahwa kekerasan
budaya itu tidak berdiri sendiri, tetapi berupa thang simbolik yang berada dalam sistem
kognisi dan mendorong adanya kekerasan langsung dan struktural.
Pada penjelasannya yang lain Galtung kemudian menambahkan satu lagi
kekerasan, yaitu kekerasan Simbolis. Jadilah konsep teoritis Galtung tentang kekerasan
ini membentuk segitiga kekerasan. Kekerasan budaya menurut Galtung adalah ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia, sebagaimana dicontohkan dalam
agama dan ideologi, seni dan bahasa, iklmu yang dapat dipakai untuk menjustifikasi
atau melegitimasi kekerasan langsung maupun struktural. Simbol partai, kayu salib,
bulan sabit, totem, ceramah, nyanyian, cerita, adalah sesuatu yang ada dalam sistem
kognisi/pikiran manusia, atau ada dalam ruang simbolik yang dapat menjadi sumber
dan melegitimasi kekerasan langsung maupun struktural.
Kekerasan simbolik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan
nonverbal dan kekerasan verbal. Dalam rangkaian penjelasan mengenai kekerasan
verbal, Galtung mendefinisikan bahwa kekerasan verbal sebagai jenis-jenis kekerasan
tindak tutur, (Salmi 2003: 29-42).
Menurut (Praptomo 2012: 37) menyebutkan bahwa tindak tutur kekerasan
dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu (i) tindak tutur kekerasan tidak langsung,
(ii) tindak tutur kekerasan langsung, (iii) tindak tutur kekerasan repsresif, dan (iv)
tindak tutur kekerasan alienatif.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma Wellek dan Warren yang membagi
penelitian atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik
(Taum, 2004). Kedua pendekatan itu digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan
intrinsik menggunakan teori struktural, sedangkan pendekatan ekstrinsik menggunakan
teori sosiologi sastra, khususnya teori Johan Galtung tentang bentuk-bentuk kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif, yang bertujuan
memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi, dan kelompok. Analisis data
disajikan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu pemaknaan karya sastra
yang disajikan secara deskriptif (Ratna, 2012:46-48). Hasil analisis penelitian ini
berupa kesimpulan tentang bagaimana struktur cerita dan bentuk-bentuk kekerasan
dalam “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
Adapun tahap pengumpulan data dilakukan melalui tiga tahap, yakni (i) metode
penelitian data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil data.
1.7.1 Objek Penelitian
Dalam kajian ilmiah terdapat dua objek penelitian, yakni objek material dan
objek formal. Objek material penelitian ini adalah novel Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer.
Objek formal penelitian ini ada dua, yakni mengkaji struktur pembentuk novel
Rumah Kaca dan mengungkap bentuk-bentuk kekerasan menurut perspektif Johan
Galtung.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitan ini dilakukan menggunakan metode kepustakaan dengan mencari
sumber pustaka dengan pembacaan secara cermat. Metode ini digunakan agar data-data
mencukupi untuk dianalisis. Selain menggunakan metode studi pustaka, peneliti
menggunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik ini bertujuan sebagai sarana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
pendukung berupa hal-hal penting yang terdapat dalam objek dan teks-teks penelitian.
Adapun sumber data penelitian ini sebagai berikut.
Judul Buku : Rumah Kaca
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Terbit : 2006 (Cetakan kelima)
Tebal buku : 646 Halaman
Objek penelitian ini adalah merupakan salah satu dari tetralogi Pualu Buru
karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu “Rumah Kaca” cetakan kelima, September 2006.
1.7.2 Sumber Data
Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan metode studi pustaka. Studi
kepustakaan, yaiut mengadakan penelitian dengan cara mempelajari dan membaca
literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek
penelitian.
1.7.3 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan selanjutnya adalah metode analisis data. Metode
analisis data merupakan metode yang menganalisis isi. Isi yang dimaksud adalah
masalah-masalah yang terjadi sosial, ekonomi, politik, dan propaganda, termasuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi dalam karya
sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan yang dengan sendirinya sesuai dengan
hakikat sastra.
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis
Analisis data disajikan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu hasil
analisis data pemaknaan karya sastra yang disajikan secara deskriptif. Hasil analisis
penelitian ini berupa pengkajian dan kesimpulan mengenai pemberontakan dan
hegemoni dalam bentuk deskriptif.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil dari penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi tentang uraian struktur cerita dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer yang mencakup alur, penokohan, tokoh dan latar.
Bab III berisi tentang deskripsi kekerasn struktural, kekerasan personal, dan
juga kekerasan budaya yang terdapat dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer.
Bab IV berisi tentang kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL RUMAH KACA
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pengantar
Dalam bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian tentang kajian struktur cerita
dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil penelitian kajian
struktural yang akan dipaparkan mencakup; alur, tokoh, penokohan, dan latar.
Penelitian dengan menganalisis alur, tokoh, penokohan dan latar, bertujuan untuk
membuktikan adanya tindakan kekerasan yang terdapat dalam objek material. Keempat
unsur tersebut akan menjelaskan bagaimana pengaruh dalam struktur pembangun
jalannya cerita.
Pemilihan unsur pembangun cerita, yaitu; alur, tokoh, penokohan, dan latar,
mempunyai alasan karena keempat unsur tersebut mempengaruhi adanya tindakan
kekerasan dalam cerita. Berikut akan dijelaskan pengaruh keempat unsur tersebut
dalam tindak kekerasan. Unsur alur akan menjelaskan bagaimana proses jalannya cerita
dalam tindak kekerasan (kekerasan yang terjadi di masa lampau hingga akibat yang
terjadi dalam latar kejadian saat itu dalam cerita, dan kekerasan yang terjadi sesuai
dengan latar kejadian dalam cerita). Unsur tokoh dan penokohan akan menjelaskan
kondisi psikis, sifat dan fisik cerita para tokoh dalam cerita dan peran tokoh dalam
kaitannya dengan tindak kekerasan. Unsur latar akan menjelaskan penggambaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
kaitannya dengan tindak kekerasan. Unsur latar akan menjelaskan penggambaran
terjadinya tindak kekerasan personal dan struktural dalam cerita tersebut. Adapun
kajian keempat unsur struktur tersebut sebagai berikut.
2.1 Analisis Alur atau Plot
Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Alur
dalam prosa naratif atau drama mengandung konflik yang menjadi dasar lakuan dan
membuat tokoh terus bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa lain hingga mencapai
klimaks.
Dalam penelitian ini, peneliti akan membagi alur atau plot menjadi tiga bagian,
yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Alasan peneliti membagi dalam tiga tahapan itu
bertujuan untuk mendeskripsikan tindakan tokoh dalam cerita yang menuntut
terjadinya tindakan kekerasan sesuai alur/plot.
2.1.1 Peristiwa
Menurut Nurgiyantoro yang mengutip Luxemburg dkk, 1992:150, peristiwa
dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan
pengertian itu, kita akan dapat membedakan kalimat-kalimat tertentu yang
menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antar kalimat-kalimat yang
mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendiskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
“Sekarang Gubernur Jendral gelisah. Kemanusiaan – tugas etik yang
diembaninya – ditantang gejala jaman. Jaman yang memilih arahnya sendiri
bagai angin puyuh menerpa wajah kemanusiaannya. Berat. Berat bagi
Idenburg, dan dengan sendirinya berat bagiku ditibani tugas-tugas khusus.”
(Toer, 2006: 1-2).
“Sukses revolusi Tiongkok dan berpadunya bangsa Tiongkok di bawah
pimpinan Sut Yat Sen menggema di Hindia. Seperti oleh angin sejuk
masyarakat Tionghoa di Hindia dipadamkan dari kebakaran perpecahan dan
teror. Arus nasionalisme Tiongkok semakin deras dan memuncak dengan
berdirinya Republik Tiongkok pada 1911.” (Toer, 2006: 3).
“Seorang terpelajar Pirbumi, bukan saja dpengaruhi, malah menjadi
pengagum revolusi Tiongkok, seorang raden Mas, siswa STOVIA, Sekolah
Dokter Jawa. Dia membentuk organisasi dengan cara-cara bukan Eropa dan
kelihatannya menggunakan acuan kaum nasionalisme Tionghoa. Dia gandrung
menggunakan senjata ampuh golongan lemah terhadap golongan tua yang
bernama boycott. Ia berkhayal mempersatukan bangsa-bangsa Hindia di Hindia
dan di perantauan, di kawasan selatan Asia dan Afrika, sebagaimana Sun Yat
Sen telah melakukan dengan bangsanaya. Ia bercita-cita membangun
nasionalisme Hindia dengan cara-cara yang oleh bangsa-bangsa Pribumi
Hindia dapat dimengerti. Semua itu dapat dipelajari dari tajuk-tajuknya dalam
Medan, suratkabar yang dipimpinnya sendiri, sekalipun jarang sekali dia
langsung menyebut-nyebut Tionghoa dan Tiongkok. Dengan S.D.I. dan dengan
ajarannya tentang boycott, ia memasang ranjau-ranjau waktu hampir setiap kota
besar di Jawa. Dan di mata Idenburg sudah terbayang-bayang sautu kali ranjau-
ranjau ini meledak, membakar Jawa bila tidak segera diambil tindakan. Tugas
seberat itu dipercayakan dan dipikulkan di pundaku: Jacques Pangemanann.”
(Toer, 2006:4-5).
Dari kutipan novel, dapat disimpulkan bahwa peristwia sebagai awal mulanya
cerita dalam novel adalah ketika Gubernur Jendral Idenburg yang sesungguhnya orang
yang akan menghapuskan sisa-sisa pemerintahan kolonial yang kejam terpaksa harus
berbalik arah. Berdirinya republik Tiongkok pada tahun 1911 oleh seorang tokoh
bernama Sun Yat Sen membuat seluruh Asia berusaha untuk lepas dari kejamnya
pemerintahan kolonial, termasuk Hindia. Di Hindia, seorang bernama R.M. Minke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
mengikuti jejak dari revolusioner Tiongkok. Hal itulah yang membuat Gubernur
Jendral Idenburg khawatir masa pemerintahannya akan terancam dengan adanya R.M.
Minke.
2.1.2 Konflik
Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu
mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memlih peristiwa itu
menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald, 1972: 27) dalam Nurgiyantoro.
“Aku memulai tulisan ini pada umurku yang ke lima puluh. Aku anggap
usia tengah abad sudah cukup mantap untuk dapat menilai segala yang telah
dilewati, dilihat dan dialami. Orang terpelajar, sudah sepatutnya pada umur
sedemikian membuat penilaian tentang kebajikan dan kejahatan, kebenaran dan
kekeliruannya. Adalah tidak benar meninggalkan dunia ini dengan diam-diam,
dan berlagak suci di depan anak-anak, istri dan dunia itu sendiri! Aku
menghendaki anak-anakku berhasil, jauh lebih baik daripada aku sendiri, lebih
berbudi, lebih berkebajikan dan lebih bijak. Penilaian pertama atas perjalanan
hidup selama setengah abad ini adalah jelas: Sejak kecil sampai menjadi
Inspektur Polisi aku berada di jalan yang dikehendaki Tuhan. Sejak jadi Ajung
Komisaris sampai Komisari sekarang ini mentah-mentah aku berjalan di atas
lumpur, makin lama makin jauh memasuki padang lumpur, makin jauh dari
jalan yang dikehendaki oleh Tuhan. Kalianlah, anak-anaku, yang menjatuhkan
penilaian. Kalian akan tahu tentang diriku dan seluruh tanah Hindia, tempat aku
lahir dan bekerja menghamba pada Gubermen demi nafkah dan kesenangan-
kesenangan hidup. Barangkali lebih jujur jika kukatakan tempat aku
bergelimang di dalam lumpur. Bukankah sudah jelas? Baik sebagai Inspektur
maupun Komisaris Polisi, pekerjaanku tak lain terus mengawasi ketat
sebangsaku demi keselamatan dan kelangsungan hidup Gubermen. Semua
Pribumi – terutama Pitung-pitung modern yang mengusik-usik kenyamanan
Gubermen – semua telah dan akan kutempatkan dalam sebuah rumah kaca dan
kuletakan di meja kerjaku. Segalanya menjadi jelas terlihat. Itulah pekerjaanku:
mengawasi gerak-gerik seisi rumah kaca itu. Begitulah juga yang dikehendaki
Gubernur Jendral. Hindia tidak boleh berubah – harus dilestarikan. Maka bila
aku berhasil dapat menyelamatkan tulisan ini, dan sampai pada tangan kalian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
hendaknya kepada catatan-catatanku ini kalian beri judul Rumah Kaca….”.
(Toer, 2006: 100-101).
Dari kutipan dalam novel, dapat disimpulkan bahwa konflik dalam
novel Rumah Kaca adalah ketika Gubernur Jendral Idenburg telah merasa
geram dengan adanya organisasi-organisasi Pribumi yang mencoba melawan
pemerintahannya saat itu. Kegeraman Gubernur Jendral Idenburg terpaksa
harus dilimpahkan kepada Jacques Pangemanann sebagai anggota kepolisian
yang bertugas memata-matai organisasi Pribumi. Jacques Pangemanann
dengan terpaksa harus membubarkan organisasi-organisasi Pribumi yang
sesungguhnya menurut dirinya tidak melakukan suatu permasalahan dan hanya
ingin menuntuk keadilan di negerinya sendiri.
2.1.3 Klimaks
Klimaks, menurut Stanton (1965: 16), adalah saat konflik telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa
dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks sangat menentukan (arah)
perkembangan plot. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal
(keadaan) yang dipertentangkan dengan menentukan bagaimana permasalahan
(konflik itu) akan diselesaikan, (Nurgiyantoro, 2015: 127).
“Beginilah jadinya semua ini sekarang. Satu demi satu hilang dari
diriku. Satu demi satu meninggalkan diriku. Adakah bakalnya aku kehilangan
diriku sendiri juga, dan samasekali?” (Toer, 2006: 311).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
“Empatpuluh tahun lamanya aku telah jadi manusia sebagaimana aku
inginkan. Aku bentuk diriku sendiri dengan keras. Dalam beberapa belas tahun
belakangan, kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku telah memberikan
padaku watak baru yang memerangi, menghancurkan aku sekarang ini:
compang-camping, kehilangan satu demi satu. Inilah aku.” (Toer, 2006: 312).
“Baik, mari aku jawab untukumu, Pitung Modern. Telah kau tanamkan
ranjau-ranjau-waktu di mana ada cabang dan ranting syarikat. Engkau tidak
menyadari, atau engkau berpura-pura tidak tahu. Peristiwa-perisitwa berturut
terhadap penduduk Tionghoa membuktikan kebenaran dugaanku. Ranjau-
ranjau-waktu itu memang ada. Bukan salah kami. Nenek-moyangmu sendiri
tidak pernah tahu tentang keadilan. Ranjau-ranjau tidak membutuhkan
keadilan. (Setidak-tidaknya demikian menurut Tuan. L.). Carilah sampai
setengah mati kata kesamaan dari adil itu dalam bahasa ibumu. Sampai
jambulmu beruban kau takkan dapatkan. Memang tidak ada dalam kehidupan
nenek-moyangmu. Dari tulisan-tulisan Eropa kau tahu apa itu adil dan kau
membutuhkan pada waktunya yang tepat. Tak ada barang yang kau butuhkan
itu. Untuk itu kau harus menunggu sampai seluruh bangsa-bangsa Hindia
menjadi murid yang baik dari Eropa. Kau sendiri murid yang kurang baik. Baru
sekuku yang kau peroleh darinya, kau sudah gembung dan hendak menentang.
Bukankah Boedi Moeljo lebih benar daripada kau? Boedi Moeljo sehat-sehat
dan baik-baik saja menyebarkan piranti pada bangsanya untuk dapat jadi murid
Eropa. Kau hendak melangkahi perkembangan. Kau harus jatuh. Sekiranya
tidak karena kemurahan hatiku, nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi. Nah,
itulah jawabanku.” (Toer, 2006: 314).
Dari kutipan dalam novel, dapat dianalisis bahwa klimaks yang terdapat
dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer adalah ketika semua
orang telah meninggalkan dirinya, dia merasa bahwa dirinya bukan lagi seorang
polisi yang baik seperti dulu. Dia telah jatuh dalam sebuah kejahatan dalam
pekerjaan yang diperintah oleh atasannya hanya untuk mengamankan jabatan
dan karirnya sebagai polisi. Dalam kutipan, Dalam beberapa belas tahun
belakangan, kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku telah memberikan
padaku watak baru yang memerangi, menghancurkan aku sekarang ini:
compang-camping, kehilangan satu demi satu. Inilah aku. Pada akhir cerita,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
sebagai imbalan dari kejahatannya, Jacques Pangemanann harus mati akibat
pikirannya yang semakin menekan dirinya sendiri. Akhir dari cerita tersebut
bermula pada tahun 1912 dan berakhir pada tahun 1919.
Dari hasil penelitian alur yang mencakup peristiwa, konflik, dan klimaks, dapat
disimpulkan bahwa novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut.
Peristiwa terjadi pada tahun 1911, kemudian 1912 yaitu bagian dari penceritaan dan
1919 adalah akhir dari cerita. Alur dalam novel Rumah Kaca adalah alur maju. Hal itu
dapat dibuktikan dengan alasan bahwa sesungguhnya cerita ini adalah latar belakang
pengalaman seorang tokoh yang ditulisanya pada umur limapuluh tahun dan berjalan
sampai dirinya mati. Tokoh itu adalah Jacques Pangemanann.
2.2 Tokoh
Tokoh adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Tokoh mempunyai sifat penting dalam sebuah cerita, yaitu sebagai
penggerak alur cerita. Dalam sebuah alur cerita, ucapan dan cara berlaku tokoh
menentukan karakteristik penokohannya dalam menentukan serial tindakan kekerasan
yang dimiliki setiap tokoh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.2.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam sebuah
cerita. Penceritaan tentang tokoh utama tersebut, baik sebagai pelaku kejadian ataupun
sebagai yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga menjadi tokoh penentu
perkembangan alur dalam sebuah cerita.
2.2.1.1 Jacques Pangemanann
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh utama adalah
Jacques Pangemanann. Sedikit catatan tentang novel ini bahwa dari keempat novel
dalam tetralogi pulau buruh yang ditulis oleh Pramoedya, novel Rumah Kaca memillik
tokoh utama yang berbeda dari tiga novel sebelumnya. Tokoh utama, Jacques
Pangemanann, adalah seorang polisi yang bertugas sebagai juru arsip untuk memata-
matai kegiatan aktivis pribumi yang dapat mengancam kedudukan Gubermen sebagai
Gubernur pemerintahan Hindia Belanda.
2.2.1.2 Minke atau Raden Mas Minke
Dalam tetralogi pulau buruh karya Pramoedya Ananta Toer, Minke adalah
seorang tokoh utama dalam tiga novel sebelum Rumah Kaca. Tokoh Minke atau Raden
Mas Minke, adalah seorang jurnalis dan pelopor terbentuknya organisasi Sarekat
Dagang Islam. Minke adalah seorang tokoh perjuangan, aktivis yang selalu dimata-
matai oleh pemerintah Hindia-Belanda karena gagasan dan pemikirannya tentang
kebangkitan nasional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Kedua tokoh utama ini adalah penggerak jalannya cerita. Jacques Pangemanann
yang adalah seorang polisi, ditugaskan untuk memata-matai perjalanan aktivitas
Minke.
2.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sering hadir dengan cerita yang lebih
sedikit dari tokoh utama. Dalam cerita, tokoh tambahan juga mempunyai peran penting
dalam mengembangkan atau membangun unsur dalam cerita. Namun dalam penelitian
ini, tokoh tambahan yang dianalisis adalah tokoh tambahan yang berkaitan dengan
jalannya cerita kearah tindak kekerasan struktural, kekerasan personal, dan kekerasan
budaya.
2.2.2.1 Gubernur Jendral Idenburg
Gubernur Jendral Idenburg adalah seorang gubernur Hindia Belanda pada tahun
1912. Gubernur Jendral Idenburg adalah orang yang mendirikan H.C.S., sekolah
Hollandsch Chineesche School, sekolah berbahasa Belanda untuk anak-anak
Tionghoa, setingkat dengan sekolah dasar Belanda E.L.S. atau Europeesche Lagere
School. Idenburg mendirikan sekolah itu dengan bermaksud agar orang-orang
Tionghoa yang berada di Hindia berpihak pada Eropa dan tak ada inisiatif untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahannya seperti yang terjadi di Tiongkok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
2.2.2.2 Komisaris besar Donald Nicolson
Dalam novel tersebut, Donald Nicolson adalah seorang atasan dari tokoh
utama, Jacques Pangemann. Donald Nicolson seorang yang berbangsa Inggris adalah
orang memerintahkan Jacques Pangemanann untuk memata-matai kegiatan seorang
Minke. Donald Nicolson juga seorang yang aktif dalam memburu aktifitas Minke
dengan tangan kanannya, Jacques Pangemanann. Dia juga sempat memanggil seorang
kepala gerombolan centeng Ondernemersbon, Robert Suurhof, untuk bekerjasama
dengan Pangemanann.
2.2.2.3 Robert Suurhof
Dalam novel tersebut, Robert Suurhof adalah seorang kepala gerombolan
centeng Ondernemersbon. Robert Suurof adalah seorang bayaran yang kerjanya
menakut-nakuti pejabat-pejabat kecil setempat dan penduduk tak berdaya, penjual
seribu macam kesaksian palsu agar tunduk pada keinginan pengusaha Eropa. Seorang
residivis yang kerjanya keluar masuk bui (Toer, 2006: 16).
2.2.2.4 Prinses Kasiruta
Prinses Kasiruta adalah istri dari R.M. Minke. Diceritakan bahwa Prinses
Kasiruta pernah melepaskan tembakan ketika Robert Suurhof dengan gerombolan
datang ke rumahnya. Gerombolan Suurhof pun lari tunggang langgang. Kemudian
setelah penangkapan dan pembuangan Minke, Prinses Kasiruta kemudian mendatangi
rumahnya yang saat itu telah ditempati Jacques Pangemanann untuk datang membalas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
dendam. Dia datang dua kali bersama Piah. Kedatangan kedua kalinya, Prinses
Kasiruta membawa sebuah senjata. Jacques Pangemanann pun langsung melapor
kepada polisi dan menyurun menggiring mereka ke kantor polisi.
2.2.2.5 Piah
Dalam novel Rumah Kaca, sosok Piah berperan sebagai pembantu dari Prinses
Kasiruta. Penggambaran fisik Piah dalam novel tidak dijelaskan secara deskriptif.
Diceritakan dalam novel bahwa Piah adalah seorang pembantu setia Prinses Kasiruta.
Dia selalu berada bersama Prinses Kasiruta dimanapun Prinses Kasiruta pergi.
2.2.2.6 Paulette
Dalam cerita, Paullette adalah istri dari tokoh utama, yaitu Jacques
Pangemanann. Paullete berasal dari Prancis. Digambarkan dalam novel, Paullete
adalah seorang istri yang sangat memperhatikan keadaan suaminya. Paullete sering
menegur dan memanjakan suaminya, Jacques Pangemanann. Dari pernikahnya dengan
Jacques Pangemanann, mereka memiliki empat orang anak, yaitu Marquis, Desire,
Andre, dan Henri. Dalam novel tersebut, diceritakan bahwa Paulette akhirnya
meninggalkan suaminya, Jacques Pangemanann, karena sudah tak tahan lagi dengan
pikiran-pikiran aneh dari suaminya yang tak bisa membedakan antara pekerjaan dan
rumah tangga mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
2.2.2.7 Rientje de Roo
Rientje de Roo adalah seorang pelacur muda, cantik, yang banyak
menggegerkan pemuda Betawi perlente, pelacur dengan tarif tertinggi. Yang biasa
melangganinya hanya bandit, koruptor, pedagang manipulator, dan pejabat tinggi.
Rientje de Roo pertama kali bertemu dengan Pangemanann ketika Suurhof bebas dari
penjara dan melaporkan pada Pangemanann bahwa dirinya berada didaerah Kwitang,
disebuah rumah Pavilyun. Saat itu, Rientje de Roo dipergunakan Robert Suurhof untuk
menggoda-goda Pangemanann. Rientje de Roo mengaku kepada Pangemanann bahwa
dirinya diperintah oleh Robert Suurfhof untuk bekerja sebagai pelacur. Robert Suurhof
merenggut Rientje de Roo dari keluarganya untuk jadi salah satu perabot kekuasannya,
(Toer, 2006:58).
2.2.2.8 Nyi Juju
Dalam novel tersebut, Nyi Juju digambarkan sebagai seorang perempuan
dengan tubuh besar, kulit dan potongan mukanya tidak memper Pribumi. Nyi Juju anak
dari Nyi Romlah. Nyi Juju diambil dan diperistri oleh Kelang karena paksaan. Nyi Juju
ditangkap dalam suatu insiden penggrebekan si Pitung yang dilakukan oleh
Pangemanann bersama enampuluh orang.
2.2.2.9 Nyi Romlah
Nyi Romlah adalah seorang wanita yang diambil oleh Tuan Piton alias
Pinkerton, untuk dijadikan istri. Nyi Romlah merupakan korban dari Pinkerton. Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dipaksa untuk menjadi istri dari Pinkerton. Dari pengakuannya kepada Pangemanann,
dirinya diambil oleh tuan-tuang centeng dan dibawa ke rumah Piton. Saat itu tak ada
yang berani melawan anakbuah Pinkerton.
2.2.2.10 Frits Doertier
Frits Doertier dalam novel tersebut berperan sebagai pesuruh dikantor tempat
Pangemanann bekerja. Digambarkan dalam novel bahwa tokoh Frits berumur belasan
tahun dan berpendidikan sekolah dasar.
2.2.2.11 Hadji Samadi
Hadji Samadi adalah seorang tokoh pendiri organisasi S.D.I (Sarekat Dagang
Islam). Dalam novel tersebut diceritakan bahwa Hadji Samadi adalah pengganti Minke
dalam urusan keorganisasian S.D.I. Hadji Samadi juga yang mengeluarkan pernyataan
bahwa berdirinya sebuah organisasi Syarikat Islam.
2.2.2.12 Wardi
Wardi, dengan nama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat adalah salah
satu pendiri dari Indische Partij bersama D. Douwager dan Tjiptomangun. Wardi
dalam cerita tersebut akhirnya ditangkap oleh serdadu satu kompi pasukan KNIL,
bersama Jacques Pangemanann.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.2.2.13 D. Douwager
D.Douwager, penulis Rumah Kaca lebih suka menyebutnya kemanakan
Multatuli, penulis Belanda. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa D.Douwager
adalah salah satu pendiri dari Indische Partij dengan kedua temannya, yaitu Wardi, dan
Tjiptomangun. Douwager pernah mengikuti perang pada pihak Transvaal melawan
Inggris di Afrika Selatan. Douwager juga menjadi salah satu sasran Pangemanann
untuk dimata-matai karena aktivitasnya dengan Indische Partij.
2.2.2.14 Tjiptomangun
Tjiptomangun adalah seorang dokter. Dalam novel Rumah Kaca diceritakan
bahwa Tjiptomangun, bergabung bersama dan membentuk Indische Partij dengan trio
yang dikenal sebagai D-W-T alias Douwager, Wardi, dan Tjiptomangun.
2.2.2.15 Ayah Soendari
Diceritakan dalam novel, bahwa ayah Soendari adalah seorang terpelajar
jebolan STOVIA dan pernah menjabat kepala Pengadaian Negeri Pemalang. Dalam
novel diceritakan bahwa Ayah Soendari kala itu harus menjemput dan membawa
pulang anaknya dan memberhentikan aktivitas anaknya. Semua itu karena perintah dari
Gubermen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
2.2.2.16 Bernhard Meyerson
Bernhard Mayerson adalah seorang dokter berkebangsaan Jerman. Dia tinggal
di lingkungan Goenawan, teman Minke. Bernhard Meyerson-lah yang memeriksa
Minke terakhir kalinya, sebelum memutuskan bahwa Minke hanya terserang penyakit
disentri, sakit perut. Bernhard Meyerson orang yang sederhana itu diancam oleh
seorang pemuda peranakan Eropa untuk tidak memeriksa Minke.
2.2.2.17 Pemuda
Dalam novel tersebut, tokoh Pemuda digambarkan adalah seorang peranakan
Eropa. Diceritakan bahwa dirinya datang menghampiri seorang dokter bernama
Bernhard Meyerson dan mengencam dokter itu agar tak memeriksa Minke dan
mengatakan bahwa pasiennya tersebut hanya sakit perut, disentri.
Dalam penelitian ini, tokoh-tokoh yang telah dipaparkan adalah tokoh-tokoh
yang mendukung atau mengembangkan cerita dalam novel Rumah Kaca. Tokoh-tokoh
yang dipaparkan adalah tokoh-tokoh yang mengalami tindakan kekerasan.
Adapun tokoh-tokoh yang menjadi unsur pembangun cerita yang tidak
mengalami unsur tindak kekerasan akan dipaparkan juga sebagai berikut. Tokoh-tokoh
ini menjadi salah satu bagian penting pembangun cerita dalam novel Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
2.2.2.18 Si Pitung
Dalam novel diceritakan bahwa si Pitung berperan sebagai sosok yang selalu
hadir dalam imajinasi Jacques Pangemanann. Si Pitung selalu mengganggu,
mengancam, dan menantang Jacques Pangemanann di dalam pikirannya. Dalam novel,
di dalam pikiran Pangemanann, si Pitung adalah seorang yang berjubah putih,
bersorban putih. Giginya meringis, dua diantaranya ompong disamping.
2.2.2.19 Tuan L
Digambarkan dalam novel bahwa tokoh L mempunyai perawakan seorang
Belanda totok, muda, seorang arsivaris yang tak banyak diketahui oleh banyak umum.
Rambutnya pirang sibak tengah, dan tubuhnya jangkung dan berisi. Tokoh L berperan
saat Pangemanann mendapat surat mandat dari Algemeene Secretarie untuk
mempelajari beberapa dokumen-dokumen penting.
2.2.2.20 Tuan de Beer
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Tuan de Beer
tidak dijelaskan tentang deskripsi fisik dan juga psikis. Dalam novel tersebut
diceritakan bahwa tuan De Beer hanya bertemu Pangemanann saat berada di kantor
Algemeene Secretarie.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.2.2.21 Tuan Mr. K
Mr. K., adalah seorang intelektual dan seorang sarjana Hukum. Ia disegani oleh
tokoh-tokoh kolonial selebihnya, seorang teoritikus kolonial tanpa tanding. Dalam
novel tersebut digambarkan bahwa; pandangan matanya membikin orang menunduk
dan suaranya memaksa orang untuk menekur menyimak. Di kalangan elite, ia selalu
jadi pusat perhatian. Dan orang menungu-nunggu apa yang dikatakannya, (Toer: 2006:
85).
2.2.2.22 Tuan De Cagnie
Tuan De Cagnie adalah seorang Prancis, ayah angkat dari Jacques
Pangemanann. Tuang De Cagnie yang seorang apoteker tak mempunyai anak bersama
istrinya. Mereka membawa Pangemanann ke Lyon, tempat mereka mempunyai apotik
dan pabrik obat kecil.
2.2.2.23 Tuan De Man
Tokoh Tuan De Man dalam novel berperan sebagai pesuruh tokoh L. Cerita
dalam novel tersebut menceritakan bahwa tokoh Tuan De Man bertugas mengawasi
Pangemanann yang sedang mempelajari dokumen-dokumen di kantor
s’Landscharchief.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
2.2.2.24 Tuan R
Tuan R adalah sep baru Jacques Pangemanann saat berkantor di Algemeene
Secretarie. Tuan R berasal dari Perancis dan seorang sarjana Hukum. Tuan R
diceritakan dalam novel adalah seorang yang bersifat konservatif terhadap ke-
nasionalisme-nya.
2.2.2.25 Nikolaas Knor
Nikolaas Knor adalah seorang pengatur rumah tangga dikantor Algemenee
Secretarie. Nikolaas Knor dalam novel tersebut digambarkan sebagai seorang totok,
bertubuh gemuk dan tidak begitu tinggi. Seluruh rambutnya sudah putih.
2.2.2.26 Simon Zwijger
Simon Zwijger adalah seorang tukang bersih-bersih dikantor Algemenee
Secretarie.
2.2.2.27 Tuan Gr
Dalam novel diceritakan bahwa Tuan Gr seorang yang berinisiatif bekerjasama
bersama Jacques Pangemanann di Algemeene Secretarie.
2.2.2.28 Mr. De Lange
Mr. De Lange diceritakan dalam novel adalah seorang mantan Komisaris Polisi
yang tewas bunuh diri di kantor yang ditempati Jacques Pangemanann. Jacques
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Pangemanann menggantikan posisi Mr. De Lange yang tewas bunuh diri itu di kantor
Algemeene Secretarie.
2.2.2.29 Cor Oosterhof
Cor Oosterhof adalah seorang yang membantu Jacques Pangemanann dalam
memata-matai dan menghentikan perkembangan Syarikat Islam. Cor Oosterhof
digambarkan sebagai orang yang sangat mudah diajak bekerjasama dibandingkan
dengan RobertSuurhof. Dirinya tak pernah menunjukan suatu keangkuhan kepada
Jacques Pangemanann. Cor Oosterhof juga pernah terlibat dalam perkara
penyulundupan candu.
2.2.2.30 Mas Tjokro
Mas Tjokro atau seorang krani Borsumij Surabaya, dia seorang terpelajar baru
yang menggantikan Minke di dalam organisasi S.D.I.
2.2.2.31 May Le Boucq
May Le Boucq adalah salah satu penyanyi populer Prancis. Dalam novel
diceritakan bahwa Pangemanann sangat menyukai nyanyian May Le Boucq.
2.2.2.32 Mas Marco Kartodikromo
Dalam novel tersebut, diceritakan bahwa Mas Marco Kartodikromo alias
Marko adalah anak rohani dari Raden Mas Minke. Dalam novel tersebut juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
diceritakan bahwa Marko sangat mengagumi seorang wanita bernama Siti Soendari.
Marko juga pernah di penjara di Sala.
2.2.2.33 Siti Soendari
Siti Soendari adalah seorang pengarang wanita pada masa itu. Diceritakan
dalam novel bahwa Siti Soendari seorang lulusan H.B.S Semarang. Digambarkan
bahwa Siti Soendari wajahnya seperti daun sirih dan kulitnya langsat serta bibirnya
tipis. Ia terkenal karena keberaniannya dalam menulis dan berpidato untuk
mempropagandakan kebangkitan nasional. Dia juga menjadi salah satu sasaran yang
dimata-matai Jacques Pangemanann. Dan juga salah satu anak rohani dari Minke.
2.2.2.34 Strooman
Strooman, dalam cerita tersebut adalah seorang peranakan Eropa dan seorang
marine. Strooman adalah seorang setengah Inlander.
2.2.2.35 Herschenbrok
Herschenbrok adalah seorang pesuruh, seorang pegawai rendahan yang bekerja
diruangan Pangemanann dikantor Algemeene Secretarie.
2.2.2.36 Semaoen
Dalam novel, diceritakan bahwa Semaoen adalah seorang anak yang berumur
enambelas tahun. Semaoen adalah seorang anak yang berjiwa berani. Di umur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
enambelas tahun, dia sudah menjadi bagian dari V.S.T.P. Vereeniging van Spoor en
Trampersoneel. Semaoen adalah anak yang pandai berbicara di depan umum. Dia
diceritakan memperlihatkan diri sebagai calon agitator yang tangguh.
2.2.2.37 Mas Soewoyo
Mas Soewoyo atau Soewoyo adalah seorang Sekretaris dari Boedi Moeljo.
Diceritakan dalam novel, Mas Soewoyo ketika itu datang kepada Jacqeus
Pangemanann sebagai wakil utusan Boedi Moeljo.
2.2.2.38 Van Limburg Stirum
Jendral Van Limburg Stirum adalah seorang jendral Hindia yang
menggangtikan Jendral Idenburg.
2.2.2.39 Sarimin
Sarimini, diceritakan dalam novel adalah seorang agen polisi klas satu.
Diceriakan bahwa Sarimin datang kerumah Pangemanann untuk memberitahukan
kematian Rientje de Roo. Dirinya juga yang memegang buku perkara kematian Rientje
yang dalam buku itu tertulis nama Jacques Pangemanann. Dari dirinya, Pangemanann
sangat terusik dan menjadi terancam dengan adanya buku catatan Rintje yang dipegang
hanya oleh Sarimin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.2.2.40 Tuminah
Tuminah diceritakan dalam novel adalah seorang babu atau pembantu dirumah
Jacques Pangemanann. Diceritakan dalam novel, bahwa Tuminalah satu-satunya orang
yang membantu Jacques Pangemanann saat dalam keaadaan sakit. Ketika ditinggal
istrinya, Tumina-lah yang merawat Jacques Pangemanann. Tuminah adalah seorang
yang buta huruf, dari kampung, yang hanya tahu bahasa ibunya.
2.2.2.41 Perwakilan Sindikat Gula
Diceritakan dalam novel bahwa Perwakilan Sindikat Gula adalah seorang pria
muda yang langsing, tanpa kumis dan jenggot. Diceritakan dalam novel bahwa
perwakilan sindikat gula itu datang menemui Pangemanann untuk memberitahukan
bahwa semua uang simpanan milik Pangemanann telah habis.
2.2.2.42 Goenawan
Goenawan diceritakan adalah seorang pria bekas tokoh Syarikat Islam cabang
Betawi. Diceritakan dalam sebuah percakapan dengan Minke, Goenawan pernah
berselisih paham dengan Minke sewaktu mereka masih bersama-sama di S.D.I.
2.3 Penokohan
Penokohan adalah unsur penting dalam cerita fiksi. Penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
cerita unsur penokohan menunjuk pada sebuah teknik perwujudan dan pengembangan
tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2015: 248).
Penokohan secara singkat diartikan sebagai sifat atau karakteristik dari seorang
tokoh dalam cerita. Sifat dan karakteristik tokoh mempengaruhi struktur bagian dalam
sebuah cerita. Sifat dan karakteristik inilah yang menjadi sebuah gambaran tentang
bagaimana kondisi fisik, sifat dan psikis serial tokoh mengalami tindak kekerasan.
2.3.1 Jacques Pangemanann
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, Jacques
Pangemanann dengan dua -n adalah tokoh utama yang berperan sebagai seorang
Inspektur Polisi tingkat I. Digambarkan dalam novel fisik Pangemanann adalah
seorang pria berumur limapuluh tahun, dan seorang yang berpendidikan Prancis.
Dalam novel juga diceritakan bahwa Jacques adalah seorang Menado, yang ketika
menjelang lulus E.L.S. di Menado, diambil menjadi anak angkat oleh seorang Prancis
bernama Tuan De Cagnie dan istri. Setelah itu, Pangemanan memulai karir polisi sejak
di Vlaardingen sampai di Hertogenbosch, kemudian ke Betawi.
Jacques Pangemanann mempunyai istri bernama Paulette. Dari pernikahannya
dengan Paulette, dia mempunyai empat orang anak bernama Marquis, Desire, Andre,
dan Henri. Marquis dan Desire berada di Nederland untuk melanjutkan pendidikannya,
sedangkan Andre dan Henri berada bersama-sama Pangemanann dan Paulette.
Karir kepolisiannya bermula saat dirinya bekerja di kepolisan, menjadi
Inspektur polisi. Setelah tujuh tahun, dia naik jabatan menjadi seorang Ajung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Komisaris. Karir Pangemanan kemudian naik lagi menjadi seorang Komisaris Besar.
Setelah menjadi Komisaris Besar, Jacques kemudian naik jabatan atau dalam novel
disebutkan bahwa dirinya pensiun dini dan menjadi bagian di Algemeene Secretarie.
Sifat dan karakteristik Jacques Pangemanan dalam novel diceritakan adalah
seorang yang baik, seorang yang berpendidikan, dan mencintai kebenaran. Namun
dalam tugasnya sebagai polisi yang bekerja di bawah pemerintahan Hindia, maka harus
mengerjakan semua pekerjaan yang sesungguhnya ditentang oleh Pangemanann. Hal
itulah yang membuat dirinya semakin menjadi orang yang selalu memikirkan
kedudukan hati kolonialnya menjadi seorang yang posesif terhadap ancaman karirnya.
Diceritakan dalam novel, kala itu pemerintahan Hindia Gubernur Jendral
Idenburg di tahun 1912, tahun terberat buat Sang Gubernur Jendral. Pemerintahan
Hindia digoncang dengan adanya pertumbuhan organisasi yang di motori oleh
pemimpin surat redaksi kabar Medan, yaitu R.M. Minke. Sebagai polisi, atasan Jacques
Pangemanan, Komisaris Donald Nicolson memberi perintah dari Algemeene Secretarie
untuk Pangemanann agar memata-matai aktivitas Minke.
Pada mulanya, Jacques Pangemanan tidak mendapatkan sebuah bukti bahwa
Minke adalah seorang kriminal. Bahkan, Jacques Pangemanann semula ingin
membantu Minke dalam membela kaum Pribumi. Namun karena desakan dan ancaman
dari atasan dan juga Gubermen, Pangemanann akhirnya membalikan semua
keinginannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Dalam novel Rumah Kaca, Jacques Pangemanann mengalami sesuatu pilihan
dalam hidupnya; antara memilih prinsip atau karier? Dan moral atau jabatan? Tekanan
demi tekanan terus menghampirinya. Dari novel dikutip;
“….. Mengapa kubiarkan kenyataan dan harapan bertarung dalam
diriku? Mestikah aku dihadadapkan pada pilihan? Prinsip atau karier? Moral
atau jabatan? Aku tahu benar aku membutuhkan kedua-duanya…..”, (Toer:
2006:45).
Semula Pangemanan ingin membantu Minke. Dia menilai bahwa Minke adalah
orang yang baik dan tidak cukup bukti untuk menjadi seorang kriminal.
“Di hotel ini juga ku bulatkan tekad: harus kubantu orang yang berhati
baik dan berkemauan baik untuk Pribumi bangsanya itu. Demi Tuhan, aku akan
membantunya. Dia sebagai pribadi, aku sebagai pribadi, Demi Tuhan! Beri aku
kekuatan. Orang itu harus berhasil. Keadaan telah membantunya. Jaman telah
membikin Pribumi membutuhjan organisasi. Aku harus berpihak pada yang
maju, berpihak pada progresivitas sejarah. Ini kata nuraniku. Murni. Tak ada
kepentingan pribadi tersangkut didalamnya.” (Toer, 2006: 31).
Dengan tekanan dari atasannya, Komisaris Besar Donald Nicolson di
kepolisian, dan tekanan dari pemerintah Hindia, yaitu Gubermen, mengharuskan
Jacques Pangemanann mengikuti perintah dari mereka. Dalam novel tersebut dikutip
bahwa Jacques Pangemanann akhirnya memilih untuk menyingkirkan Minke dan
memilih jabatannya di Kepolisian. Walaupun sesungguhnya, Minke adalah orang yang
sangat dikagumi oleh Pangemeanann, dia menganggap Minke sebagai guru.
“Demi karierku, Minke, pemimpin redaksi Medan harus
disingkirkan….,”, (Toer: 2006: 53).
“Aku tahu, itu tidak berarti dia angkat mencabut pengangkatan dan
jabatanku. Kertas yang selama ini aku susun bukan atas perintah dia, atas
perintah Algemeene Secretarie. Dia hanya penyampai. Tak ada kekuatan yang
dapat menghalang-halangi kehendak instansi puncak itu. Sekalipun melanggar
hierarki yang ada. Pada akhirnya ini berarti aku tetap harus mengendalikan
kegiatan orang yang paling ku hormati dengan tindakan, cara dan tenaga diluar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
hukum. Aku yang harus mengerjakan. Aku, seorang pejabat kepolisian, seorang
abdi dan pelaksana hukum.”
“Kemudian terjadi yang tiada ku duga-duga. Aku mendapat surat
perintah melaksanakan vonis Raad van Justicie Batavia atas diri Minke,
pemimpin redaksi Medan – perintah pengasingan ke Ambon. Tanganku
menggeletar menerima surat perintah itu. Aku harus berhadapan dengan orang
yang harus kulumpuhkan.” (Toer, 2006: 68)
“Mereka berdua takkan pernah mengenal Pangemanann dengan dua n.
Mereka tak tahu bagaimana ia terbungkuk-bungkuk tertindas nuraninya,
menjadi orang tak berprinsip tanpa kemauan sendiri. Jadilah dia seorang Jongos
yang kerjanya hanya membersihkan kotoran-kotoran mereka. Wajah etik eropa
harus tetap bersih dan untuk itu aku harus dan boleh pakai cara-cara paling
kotor sekalipun.” (Toer, 2006: 82).
“Kata-kata Tuan K. yang merangsang otakku bekerja mempunyai
persangkutan dengan pekerjaanku. Filipina kedua bisa terjadi atas negeri
jajahan kita ini, katanya, kita bisa tertendang keluar!” (Toer, 2006: 89)
Setelah Jacques Pangemanann berhasil menyingkirkan Minke, tugas
Pangemanann ternyata belum selesai. Keadaan semakin bertambah parah di Hindia.
Oleh karen itiu, Jacques Pangemanann, orang yang telah berhasil menyingkirkan
Minke kembali ditugaskan dalam sebuah penggrebekan pada gerombolan Pitung.
“Begitulah aku berangkat membawa sepasukan gabungan polisi-
lapangan Betawi dan Buitenzorg, dengan kekuatan mendekati enampuluh
orang.
Di daerah sisa gerombolan Pitung berkuasa sudah tak ada hukum lagi,
tak ada pemerintahan. Yang ada hanya teror, ketakutan, pembunuhan,
penculikan, penganiayaan,. Aku rajang-rajang wilayah kejahatan ini menjadi
medan-medan kecil dengan gerakan cepat, keras dan tanpa ampun. Tuan-tuan
tanah Inggris, Tionghoa dan Belanda bersama keluarga, sebelumnya telah
melarikan diri dan mengungsi ke Betawi atau Buitenzorg.” (Toer, 2006: 73)
“Bila mau memasuki kampung, dua-tiga kali tembakan ke udara telah
membikin kampung itu sunyi senyap. Orang pada berlarian menyembunyikan
diri. Hanya anggota-anggota gerombolan yang tidak sembunyi di dalam rumah.
Mereka memusatkan diri dibalik-balik rumpun bambu. Mengetahui kebiasaan
ini berarti tahu bagaimana menumpasnya.” (Toer, 2006: 73-74).
“Ini kata-kata pelita bagiku. Hati-hatilah kau Pangemanann terhadap
kaum terpelajar Pribumi Hindia. Mereka pun bisa berbuat seperti terpelajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Pribumi Filipina, yang karena tiada berpengalaman mengundang negara
kolonial lain untuk membantunya.” (Toer, 2006: 89).
Jacques Pangemanann mempunyai suatu penyakit. Dia mengalami suatu
gangguan syaraf yang di akibatkan oleh pekerjaannya yang begitu berat dirasakannya.
Kejadian-kejadian mistis selalu dirasakannya, yaitu munculnya si Pitung dan Minke
dalam khayalannya.
“Ziihh, dengusku mengusir bayangan setan itu. Dan barulah ia hilang.
Tak pernah aku sampaikan gangguan syaraf ini pada istriku. Pergi pada
psikiater juga tak mungkin. Tak ada seorangpun diseluruh Hindia. Kenaikanku
menjadi Ajung Komisaris disertai kebiasaan mendengus Zihhh untuk mengusir
bayangan si Pitung. Ditambah pula serangan pitam-naik darah setiap kali
datang tuang-tuan ke rumah untuk mengucapkan terimakasih dengan cara
sendiri-sendiri. Dan jarang mereka datang dengan tangan kosong. Kadang-
kadang kepada istriku, kadang-kadang kepada anak mereka membawakan
sesuatu. Terimakasih karena mereka tak terganggu lagi melakukan
kesewenangan-wenangannya yang dulu terhadap Pribumi.” (Toer, 2006:81)
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, Jacques
Pangemanann menuliskan sebuah catatan yang diberinya judul Rumah Kaca kepada
keluarganya tentang apa sesungguhnya yang dia kerjakan.
“Itu tidak boleh. Maka aku putuskan membikin tulisan ini, agar kalian
tahu, istriku, agar kalian lebih mengenal lebih baik siapa sesungguhnya aku ini.
Dia samasekali tidak sebaik penialaian kalian, mungkin juga kebalikannya
secara total. Dan kalian, anak-anakku, jangan sampai mencontoh ayahmu,
seorang budak penghidupan yang kehilangan prinsip……,” (Toer, 2006: 99)
“Jangan contoh aku. Anggaplah ayahmu sebagai pribadi yang punah,
pribadi yang kalah, budak. Jadilah orang-orang yang erhati murni, berprinsip,
berpribadi, sebagaimana dicita-citakan peradaban Eropa…..,” (Toer,2006: 99)
“Aku memulai tulisan ini pada umurku yang ke limapuluh. Aku anggap
usia tengah abad sudah cukup mantap untuk dapat menilai segala yang telah
dilewati, dilihat dan dialami…...,” (Toer, 2006: 100)
“..… Penilaian pertama atas perjalann hidup selama setengah abad ini
adalah jelas: Sejak kecil sampai jadi Inspektur Polisi aku berada di jalan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
dikehendaki Tuhan. Sejak jadi Ajung Komisaris sampai Komisaris sekarang ini
mentah-mentah aku berjalan di atas lumpur, makin lama makin jauh memasuki
padang lumpur, makin jauh dari jalan yang dikehendaki Tuhan.” (Toer, 2006:
100).
“Bukankah sudah jelas? Baik sebagai Inspektur maupun Komisaris
Polisi, pekerjaanku tak lain terus mengawasi ketat sebangsaku demi
keselamatan dan kelangsungan hidup Gubermen. Semua Pribumi – terutama
Pitung-Pitung modern yang mengusik-usik kenyamanan Gubermen – semua
telah dan akan ku tempatkan dalam sebuah rumah kaca dan kuletakan di meja
kerjaku. Segalanya menjadi jelas terlihat. Itulah pekerjaanku: mengawasi
semua gerak-gerik seisi rumah kaca itu. Begitula juga yang dikehendaki
Gubernur Jendral. Hindia tidak boleh berubah – harus dilestarikan. Maka bila
aku berhasil dapat menyelamatkan tulisan ini, dan sampai pada tangan kalian,
hendaknya kepada catatan-catatanku ini kalian beri judul Rumah Kaca…”
(Toer, 2006: 101)
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Jacques Pangemanann
adalah seorang yang sesungguhnya baik. Namun karena dia memilih jabatan dan
kariernya, dia menjadi seorang yang jahat. Pangemanann memiliki sikap yang egois
dan perlakuan yang buruk kepada istrinya, Paulette. Namun Jacques Pangemanan
adalah seorang yang cerdik, licik, dan pintar dalam tugasnya sebagai polisi dan juga
anggota Algemeene Secretarie.
2.3.2 Minke atau Raden Mas Minke
Minke atau Raden Mas Minke, dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer adalah seorang pemimpin redaksi surat kabar Medan. Seorang yang
sangat berpengaruh dan juga pendiri S.D.I. Digambarkan dalam novel, Minke seorang
yang berkulit langsat, kumisnya terpelihara baik, hitam dan terpilin meruncing ke atas
pada ujung-ujungnya, dan tingginya mendekati 1.65 meter.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Dalam novel tersebut disebutkan bahwa Minke seorang yang baik.
“Dia termasuk golongan manusia yang pada dasarnya baik, tidak jahat.
Jelas bukan kriminal. Dia selalu berpakaian Jawa: destar, baju tutup putih
dengan rantai emas arloji tergantung pada saku atas bajunya, berkain batik
dengan wiron agak lebar dan berselop putih. Bila berjalan ia tak pernah
berlenggang dengan kedua belah tangannya, sejauh kuketahui, tidak
berlenggang, karena mengangkat dan memegangi ujung kain sebelah bawah.
Kulit agak langsat, kumis terpelihara baik, hitam lebat dan terpilin meruncing
keatas pada ujung-ujungnya. Langkahnya tegap, diwibawai perawakan yang
kukuh. Tingginya agak mendekati 1.65 meter. Untuk ukuran Pribumi, dia
termasuk ganteng, gagah, dan menarik, terutama bagi wanita. Tangan dan
mulutnya tidak hemat dalam menggunakan kata-kata, sehingga orang-orang
Pribumi yang biasa yang bercadang-cadang menjadi segan di dekatnya”, (Toer,
2006: 10-12).
Dalam cerita tersebut, Pangemanann mengakui bahwa Minke adalah titik-bakar
perkembangan mendatang. Belum pernah dalam seratus tahun ini seorang Pribumi
karena kepribadiannya, kemauan baik dan pengetahuannya, dapat mempersatukan
ribuan orang tanpa mengatasnamakan raja, nabi, wali, tokoh wayang atau iblis. Minke,
yang adalah seorang mantan siswa STOVIA, sekolah dokter Jawa, membentuk
organisasi-organisasi dengan cara-cara bukan Eropa dan menggunakan acuan kaun
nasionalisme Tionghoa. Dia gandrung dalam menggunakan senjata ampuh golongan
lemah terhadap golongan kuat bernama boycott. Minke berkhayal mempersatukan
bangsa-bangsa Hindia di Hindia dan di perantauan, dan juga membangun nasionalisme
Hindia dengan cara-cara yang oleh bangsa-bangsa Pribumi Hindia dapat mengerti.
Minke, adalah seorang pemimpin redaktur surat kabar Medan, dan dari surat kabar-lah,
Minke mempelopori pergerakan kebangsaan untuk melawan kolonialisme di Hindia.
Dalam novel diceritakan bahwa Minke diasingkan ke Ambon dan dihukum
tanpa peradilan. Minke diasingkan ke Ambon selama lima tahun. Setelah kembali dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Ambon, dia dijemput oleh Jacques Pangemanann. Dalam pertemuan yang kesekian
kalinya dengan Pngemanann, Minke tetap merasa kebebasannya direnggut karena
harus terus bersama dengan Pangemanann. Sikap Minke yang tegas dan berpendirian
terus ada sekalipun dirinya telah diasingkan. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat
yang diminta oleh pemerintah Hindia untuk ditandatangani oleh Minke agar tidak
mencampuri dan mengkikuti segala macam keorganisasian tidak dilakukan Minke.
Minke tak mau menanggapi hal tersebut dan langsung meninggalkan Pangemanann
sebagai orang yang memberikan surat tersebut padanya.
“Dia tetap dalam kebesarannya. Dan aku sudah kehilangan prinsip-
prinsip, sudah berubah jadi manusia lain. Aku sendiripun tidak mengenalinya
lagi. Dia orang besar, dia telah membangun pekerjaan besar untuk bangsanya.”
(Toer, 2006: 68)
“Minke bersikap tenang seakan tak terjadi sesuatu. Ia tak punya
keinginan untuk membawa perbekalan. Yang dibawanya hanya hanya kertas-
kertasnya.” (Toer, 2006: 68-69).
“Minke mengangguk, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Orang yang
royal dengan kata-katanya dalam suratkabarnya sekarang terlalu mahal dengan
kata-katanya. Orang yang biasa didengar orang, kini harus mendengarkan saja
ketentuan-ketentuan kolonial yang diberlakukan atas dirinya. Orang yang selalu
dibaca tulisannya, kini hanya meembacai peratiran-peraturan tentang
pembatasan kebebasannya.”
“….. Di sana ia di kenakan tahanan rumah. Harus melapor bila
berhubungan dengan seseorang dari luar rumahnya. Setiap minggu harus
mengajukan daftar orang atau tempat-tempat yang akan dikunjungi dalam tujuh
hari mendatang, dan melaprokan pertemuan-pertemuan yang telah
dilakukannya. Ia mendapat uang jaminan sebesar gaji seorang lulusan
STOVIA, tetapi karena ia tidak lulus, ia tidak menerima delapanbelas, tapi
limabelas gulden setiap bulan. Ia boleh menerima surat tapi ia tidak boleh
menulis surat kepada siapapun tanpa ijin. Gubernur memberikan untuknya
semua terbitan yang dikehendakinya, sebaliknya ia tidak boleh mengungumkan
sepatah kata pun dalam terbitan apapun.
“Bagi orang yang biasa mendapatkan pendapatnya, dapat aku rasakan,
ketentuan itu merupakan aniaya berat, siksaan batin bagi seseorang manusia
modern.” (Toer, 2006: 131).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Dapat disimpulkan bahwa penokohan R.M. Minke adalah seorang yang tidak
suka pada ketidakadilan bagi negerinya, dalam novel disebut nasionalisme. Dia orang
yang baik, tidak banyak bicara untuk lawan bicaranya yang dianggap tidak penting. Ia
selalu waspada disetiap rasa kecurigaannya muncul karena pengaruh kolonial
terhadapnya.
2.3.3 Prinses Kasitura
Prinses Kasiruta dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer
berperan sebagai istri Minke. Dalam novel, tidak dijelaskan secara deskriptif tentang
fisik Prinses Kasiruta. Sebagai seorang istri Minke, Prinses Kasiruta sangat
menyayangi suaminya. Semua itu terbukti ketika Robert Suurhof dan gerombolannya
datang di rumah Minke dan Prinses Kasiruta. Prinses Kasiruta melepaskan tembakan
yang membuat gerombolan Robert Suurhof lari ketakutan dari rumah itu.
“Ia menyusul, mencoba berjalan seiring. Menjawab dengan bisikan,
“Tidak, tuan. Sungguh mati aku tidak menembaknya.”
“Pembohong! Penipu! Bajingan!” makiku dalam bisikan.
“Sungguh mati, Tuan. Dia yang nembak.”
Aku berhenti berjalan. Ku tatap mukanya, bertanya tak percaya: “Dia yang
menembak? Dia? Minke?”
“Bukan, Tuan. Istrinya!” (Toer, 2006: 26).
“…… Dan Prinses Van Kasiruta, perempuan garang itu, melengking-
lengking kehilangan suami yang dipujanya selama ini. Yang terkapar tinggallah
seperti yang lain-lain yang terkapar. Wanita itu sangat mengagungkan
suaminya, mendorong-dorongnya untuk selalu bertindak tegas. Barangkali
ketegangan itu sangat meragukan, kare datangnya setelah Prinses van Kasiruta
mengusri gerombolan Suurhof dengan tembakan…..” (Toer, 2006: 63-64)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Prinses Kasiruta memiliki sifat kesetiaan pada suaminya. Hal itu terjadi saat
dirinya dan pembantunya, Piah, datang ke rumah Jacques Pangemanann yang dulunya
juga rumahnya dan suaminya. Diceritakan bahwa Prinses Kasirtua dan Piah terlihat
berdiri di dekat pagar rumah Jacques Pangemanann dan melihat kearah Jacques
Pangemanann dan Tuan L. yang sedang duduk diberanda rumah. Saat itu mereka diusir
oleh pihak penjaga istana yang dihubungi oleh Jacques Pangemanann. Kesetiaan
Prinses Kasiruta untuk membalas dendam terlihat lagi saat untuk keduakalinya mereka
mendatangi rumah Jacques Pangemanann. Dan saat itu pula Prinses Kasiruta datang
dengan memegang sebuah senjata api.
“Tiba-tiba suatu kekejutan membikin tanganku kehilangan tenaga.
Teropong itu jatuh ke atas kaca pelapis meja.
“Jacques!” istriku terpekik, melemparkan pekerjaannya. Juga anak-
anak berhenti membaca. Semua mengawasi aku.
Aku sendiri bergegas pergi ke pesawat telepon. Menghubungi kantor
polisi, minta diusirkan kedua perempuan itu!
“Dan geledah mereka.”
Perempuan itu tak lain dari Piah. Yang di depan si penembak mahir
Prinses Kasiruta. Anak celaka itu hendak bunuh aku. Betapa dia tak tahu diri,
tak tahu membalas guna. Bukan kah di dunia ini hanya aku yang dapat
membuktikan dia yang tembak Suurhof?” (Toer, 2006: 192).
Saat Prinses Kasiruta dan Piah digeledah oleh polisi istana, mereka mendapat
suatu kekerasan oleh pihak polisi istana. Hal itu dapat di buktikan di dalam kutipan
novel sebagai berikut.
“Terdengar dari tempat kami Prinses Kasiruta memaki-maki dan Piah
meraung terkena tendangan. Kemudian juga suara pekik kesakitan Prinses.
Nampak orang-orang ke luar dari rumah masing-masing dan menonton. Anak-
anak tak juga kembali. Rupa-rupanya mengikuti mereka digelandang ke kantor
polisi.” (Toer, 2006: 192).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa Prinses Kasiruta adalah seorang
istri yang sangat menyayangi suaminya. Dirinya rela menghadapi sebuah tindak
kekerasan untuk membalaskan dendam suaminya yang telah ditangkap dan dibuang
dalam pengasingan di Ambon.
2.3.4 Robert Suurhof
Penokohan Robert Suurhof digambarkan dalam novel adalah seorang pria yang
tubuhnya besar, berkumis, jenggot bercambang, bergigi ginsul pada bagian kiri, dan
wajahnya yang terlalu sering terbakar matari berkerut-kerut jadi garis-garis kaku.
Robert Suurhof adalah seorang bandit, seorang bayaran yang kerjanya
menakut-nakuti pejabat-pejabat kecil setempat dan penduduk tak berdaya, dan seorang
penjual seribu macam kesaksian palsu agar tunduk pada keinginan pengusaha Eropa.
Seorang kepala gerombolan centeng Ondernemersbond dari Algemeene Lanbouw
Syindicat. Seorang residivis yang kerjanya keluar masuk bui. Dia adalah orang yang
berada di luar hukum.
Dalam percakapanya dengan Pangemanann, Robert Suurhof hanyalah seorang
lulusan H.B.S di Hindia. Dia juga berkewarganegaraan Belanda. Dirinya sangat
dikenal oleh kepolisian betawi dan sebagai ketua De Knijpers atau disebut juga T.A.I
(Total Anti Inlanders).
Dalam novel Rumah Kaca, juga diceritakan bagaimana pertemuannya pertama
dengan Jacques Pangemanann.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
“Rupa-rupanya ia sudah terbiasa memperlakukan orang dengan cara
mengejuti dan dengan perubahan-perubahan sikap yang serba mendadak.
“Baik, Tuan belum hendak bicara,” ia bangkit berdiri, mengangkat topi
sedikti dan bersikap hendak pergi. Ia berhenti lama di ambang restoran. Bagian
depan kemejanya ia tarik-lepas cepat-cepat untuk mengusir sumuk badan.
Seakan terpikir sesuatu ia berbalik dan datang lagi.
“Belum berubah pendirian tuan?” ia berbisik mencangkungi aku.
Sikapnya terasa menghina, seakan akulah kriminal, dia yang polisi. Aku
menggeleng.” (Toer, 2006: 18).
Robert mempunyai sifat yang angkuh, lelaki tanpa prinsip, tanpa keperwiraan,
tanpa sikap, tanpa cita-cita. Kesenangan digaetnya lewat penganiyaan dan menaku-
nakuti orang tak berdaya. Dan dihadapan seorang perempuan bersenjata api (istri
Minke, Prinses Kasiruta) luluh seperti bubur kacang hijau, (Toer, 2006: 27).
2.3.5 Paulette
Dalam novel Rumah Kaca, Paulette berperan sebagai istri dari Jacques
Pangemanann. Seorang ibu rumah tangga yang tidak membiarkan orang lain menjamah
atau mencampuri urusan makan suaminya sejak memasak sampai menutup meja.
Paullete adalah seorang istri yang sangat perhatian kepada suaminya, Jacques
Pangemanan. Dia akan hanya melayani suaminya karena itu adalah satu-satunya
kewajiban dalam hidupnya, (Toer, 2006: 39)
“ “Jacques! Paullete tersengat. “Ada apa kau ini? Pikiranmu begitu
mengerikan hari ini.”
“Maafkan, sayang, aku terlalu lelah.”
“Beberapa hari yang lalu pun kau sudah begitu membikin aku ngeri.
Seperti sekarang. Kau bilang: matinya seorang pejabat tinggi menerbitkan
suka-cita bawahan. Lantas kau terdiam, beku seperti kayu, dan wajahmu
menakutkan. Juga sekarang”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
“Dan kau membantah. Kau bilang, kalau si mati orang baik, dia
diantarkan dengan hormat dan haru. Huih. Perasaan yang ditinggal mati bisa
berbeda. Yang mati tinggal mati.”
“Jacques, Jacques, mengapa mesti kau bawa yang seram-seram begitu
ke rumah. Buang dipinggir jalan itu!”
Aku menggeregap. Dia benar.
“Pikiranmu dulu tak seburuk itu, Jacques. Kau tahu, itu sebabnya aku
rela kau bawa ke Hindia ini. Belakangan ini betul-betul kau tidak manis lagi.”
“Ya, mungkin karena memang lelah.”
“Sekarang pendapatku lain. Bukan karena lelah. Barangkali kau
memang suka kalau aku yang mati lebih dulu?” ” (Toer, 2006: 62-63).
“Begini dingin dan lembab dan basah, sayang,” serunya dalam Prancis
begitu berkasih-sayang setelah membukakan pintu. Dia cium aku mesra, seperti
sudah sepuluh tahun merindukan suami. Meneruskan dalam Prancis, karena
itulah bahasa akrab keluarga kami, “Cepat-cepat lepas sepatu dan kaus kakimu.
Tak pakai sepatu tanahair?” (Toer, 2006: 88)
“Pakai sepatu sekotor itu ke dalam rumah akan bikin istriku naik pitam.
Bersitinjak aku masuk ke dalam, tanpa kaus, tanpa sepatu. Dia mulai
menuangkan air panas dari teremos ke dalam waskom dan menaruhnya di
bawah depan kursi, tempat aku akan duduk.” (Toer, 2006: 88)
“Dan istriku tidak tidur lagi untuk sisa pagi itu, menyertai suaminya
dalam kerusuhan hatinya. Perempuan luar biasa ini. Ia selalu hendak menyertai
suaminya dalam duka maupun suka. Dan justru karena kecintaanya dan
kesetiannya makin lama aku makin terperosok dalam pekerjaan yang
bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Aku ingin memberikan yang terbaik
kepadanya. Tak bisa lain, ini kewajiban moril. Telah aku renggutkan dia dari
kampung halaman dan keluarganya di peluaran kota Lyon Prancis. Waktu itu
dia muda dan cantik, seorang gadis tani yang tak tahu apa-apa tentang dunia.
Kami berdua bertemu, masing-masing muda dan jatuh cinta. Kami kawin
disebuah gereja desa yang telah tua, di bawah kesaksian orangtua mereka yang
tidak menyetujui. Sejak itu dia mengiktui aku ke negri-negri asing, ke
Nederland, kemudian ke Hindia ini. Diberikannya padaku empat orang anak.
Dua orang sedang meneruskan pelajaran di Nederland, dua lagi masih tinggal
bersama kami, seorang dipanggil Marquis dengan kependekan Mark, yang lain
dinamai Desiree, artinya dia yang dirindukan, nama pacar Napoleon Bonaparte
dan dipanggil dede.” (Toer, 2006: 93)
“Duduk di atas kasur begini isriku melepas pakaian dinasku, pakaian
yang tak bakal ku kenakan lagi…. Dipensiun tanpa ucapan terimakasih, tanpa
sesuatu upacara kebesaran… Dan pistol sarungnya jatuh berdembab di kasur.
Ia melepas tali-tali sepatuku, menariknya dengan susah-payah dan menahan
nafas, melepas kaus-kausnya, menaruh kakiku di atas kasur, dan merebahkan
kepalaku di atas bantal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
“Begini lemah kau belakangan ini, Jacques. Masih dua anakmu belum
lagi dewasa, Jacques,” ia turunkan kelambu, mendekat lagi, menciumi aku, dan,
“apa kurang aku mencintai kau, Jacques?”
“Singkirkan pakaian dinas kotor itu, sayang.”
Ia pergi dan melakukan apa yang ku kehendaki. Sabuk-sabuk kulit ia
lepas dari pakaian, kemudian seperti biasa menyangkutkan pada kapstok. Pistol
ia masukkan dalam lemari dan menguncinya kembali. Ia keluar dari kamar
membawa pakaian kotor. Tapi tak lama kemudian datang lagi, membuka
kelambu…..,” (Toer, 2006: 135).
“Aku berdiri, memeluk dan mencium wanita yang dahulu muda, dan
kini sudah berkulit kering, hilang kekenyalan tubuhnya. Aku dengar daia
terhisak-hisak, mungkin pertama kali dalam kehidupan perkawinan.”
Diceritakan dalam novel bahwa Paulette seorang istri yang sangat menyayangi
suaminya, Jacques Pangemanann. Namun dalam perjalanan perkawinannya dengan
Jacques, Paulette akhirnya meninggalkan Jacques dan pergi ke Prancis bersama anak-
anaknya. Semua itu karena Jacques yang selalu memikirkan kepentingan pekerjaannya
dan memilih mabuk-mabukan. Sedangkan keluarganya tidak diperhatikannya lagi.
“Perempuan yang penurut dan setiawan itu berubah jadi bukit karang
yang tak tergoyahkan. Dengan anak-anak ia telah berangkat ke Eropa. Aku tak
bisa bayangkan kehidupan mereka di Eropa yang sedang diamuk perang, semua
akan serba mahal dan nilai uang merosot. Tabungan kami, hasil kerja selama
lebih duapuluh tahun telah aku serahkan padanya. Dan ia menerimanya dengan
sangat menyesal, menyesali akhir dari hidup perkawinan yang demikian
jadinya….” (Toer, 2006: 311-312).
Dapat disimpulkan bahwa Paulette adalah seorang ibu yang baik, penyayang,
perhatian kepada suaminya, dan seorang teetotaller.
2.3.6 Rientje de Roo
Rienjte de Roo dalam novel digambarkan sebagai seorang wanita cantik,
montok, dan seorang pelacur muda. Suaranya tidak lebih halus daripada kulitnya. Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
seorang anak yang masih belasantahun dan diumurnya yang masih belia dia bertemu
dengan Robert Suurhof yang memaksanya untuk menjadi seorang pelacur.
“Suurhof bebas. Ia akan melapor padaku di Kwitang di rumah Rientje
de Roo, pelacur muda, cantik yang banyak menggegerkan pemuda Betawi
perlente, pelacur dengan tarif tertinggi. Hanya bandit, koruptor, pedagang
manipulator dan pejabat tinggi yang bisa melanggani dia. Dia yang
menyarankan tempat itu,” (Toer, 2006, 54).
“ “Mengapa menangis?” dan segera aku terapkan pengetahuanku
tentang bandir-bandit dan perburuannya, wanita-wanita cantik seperti ini.
“Tidak dengan semaunya sendiri kau berada di sini?” tanyaku lagi.
Ia bangkit berdiri dan menyembunyikan mukanya pada dadaku.
“Mengapa tak menjawab? Takut? Robert Suurhof baru saja lari lewat
pintu belakang. Celanannya biru.”
Ia mengangguk, tetap tak bicara.
“Kau lakukan semua ini karena dipaksa Suurhof?”
Ia mengangguk, tetap bisu oleh sedu-sedannya.
“Kau menyesali kehidupan seperti ini?” tanyaku lagi.
Sekali lagi ia mengangguk.
Dalam memeluk dan menyembunyikan mukanya pada dadaku begini,
terasa lagi ia seakan anak bungsuku sendiri. Mudah memahami, gadis normal,
dengan impian normal pula ini, telah direnggut dari keluarganya oleh bandit
Suurhof untuk jadi salah satu perabot kekuasaannya.
“Mau kembali pada keluargamu?”
“Mereka tidak akan terima aku kembali, Tuan,” baru ia menjawab.”
(Toer, 2006: 57-58).
Dalam cerita itu juga disebutkan bahwa Rientje mengalami suatu tindakan
kekerasan. Rientje de Roo dibunuh oleh orang tidak dikenal. Diceritakan bahwa
awalnya Pangemanann menunggu kedatangan Rientje de Roo ke rumah Jacques
Pangemanann. Namun tiba-tiba seorang agen polisi datang melaporkan kejadian bahwa
Rientje de Roo telah dibunuh dan tewas.
“Untuk kedua kalinya aku menggeregap. Dalam kepalaku terbayang
Rientje de Roo dalam pemeriksaan yang menyangkut-nyangkutkan diriku dan
Robert Suurhof.
“Jangan berbelit-belit. Perkara apa?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
“Noni Rientje, Tuan.”
“Mengapa dia?”
“Terbunuh, Tuan.”
Ia menceritakan sampai sekecil-kecilnya peristiwa itu. Terakhir ia
nampak bersama seorang Tionghoa muda.” (Toer, 2006: 480).
Dalam novel dapat disimpulkan bahwa Rientje de Roo adalah seorang
perempuan yang cantik, montok, dan juga muda. Rientje de Roo diambil hak-haknya
oleh Robert Suurhof dan dijadikan alat kekuasaannya.
2.3.7 Nyi Juju
Dalam novel digambarkan bahwa Nyi Juju mempunyai fisik tubuhnya besar,
dan wajahnya tidak seperti Pribumi. Nyi Juju seorang peranak Eropa tingakt pertama.
Nyi Juju adalah anak Nyi Romlah dan Tuan Pinkerton, dan suami Nyi Juju adalah
Kelang. Dia mengaku bahwa dia dipaksa oleh Kelang untuk menjadi istrinya.
“Setiap orang kebal mempunyai sekian banyak istri, sah atau tidak sah.
Dan istri-istri itu menjadi sumber keterangan yang agak wajar. Salah seorang
diantaranya adalah Nyi Juju. Waktu perempuan itu dihadapkan padaku aku
tercenung sebentar. Besar tubuh, kulit maupun potongan mukanya tidak
memper Pribumi. Jelas dia peranakan tingkat pertama. Pemerikasaan ini terjadi
disebuah pos di Cibarusa.
“Juju, siapa orang tuamu?” tanyaku dalam Melayu.
“Karta bin Dusun, Tuan besar”
Karta bin Dusun tidak bisa dihadapkan, dia tewas dalam satu
penggrebekan. Dia Pribumi biasa, juga istrinya, Nyi Romlah. (Toer, 2006: 75)
“Aku kembali lagi pada Juju di ruangan lain.
“Kau dengan semaumu sendiri diperistri Kelang?”
“Sahaya diambil dari rumah emak sahaya, Tuan Besar.”
“Awas kalau bohong.”
“Tidak, Tuan Besar.” (Toer, 2006: 77)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Nyi Juju pertama kali diceritakan dalam novel saat terjadi penggrebekan
gerombolan Si Pitung. Nyi Juju didapati bersama dengan istri-istri tuan centeng-
centeng.
2.3.8 Nyi Romlah
Nyi Romlah, dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer tidak
dijelaskan secara deskriptif tentang fisiknya. Diceritakan bahwa saat penggrebekan
gerombolan Si Pitung, Nyi Romlah bersama para istri-istri centeng tuan-tuan tanah
ditahan dan digeledah oleh Jacques Pangemanann. Nyi Romlah adalah ibu dari Nyi
Juju. Nyi Romlah mengatakan bahwa sesungguhnya dia hanya dipaksa dan diambil
dari rumahnya untuk dijadikan istri Tuan Pinkerton. Saat itu dia tak berani melawan
karena mereka takut kepada Tuan Pinkerton. Nyi Romlah diceritakan juga sudah
memiliki suami.
“Sekarang Nyi Romlah diperiksa di ruangan lain. “Betul Nyi Juju
anakmu?” tanyaku.
“Betul Tuan Besar.”
“Nyi Juju itu anakmu dengan Karta atau dengan orang lain?”
Romlah pucat seketika. Tingkahnya menjadi tidak karuan. Aku
pukulkan rotan pada meja, ia menggigil.
“Semua saja, yang memberi keterangan tidak benar akan dipicis,”
ancamku.
Romlah pingsan ia tak berani menyampaikan kebenaran. Ia takut
padaku dan kekuatan lain yang aku belum tahu. Aku masuk lagi ke ruangan
tempat Juju” (Toer, 2006: 75).
Dalam novel tersebut, Nyi Romlah mendapat suatu perlakuan kasar dari pihak
kepolisian. Karena dia takut mengakui bahwa anaknya, Nyi Juju, adalah hasil
perkawinannya dengan Tuan Pinkerton atau Tuan Piton.
“Romlah yang sudah siuman kembali setelah disiram air aku gebrak
langsung, “Juju itu anakmu dengan Tuan Piton, ya?” Ia tak berani
menjawab.
“Jangan takut pada Piton. jawab saja.”
“Benar Tuan Besar. Tapi bukan semau sahaya.”
“Baik, siapa saja diperlakukan Tuan Piton seperti kau?” Aku lihat ia
menarik rahang bawahnya karena ketakutan. “Jangan takut, katakan saja.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
“Banyak, Tuan, banyak sekali.”
“Bagaimana bisa banyak sekali?”
“Centeng-centeng Tuan-tanah mengambil sahaya dan yang lain-lain itu
dari rumah, di bawa ke rumah Tuan Piton.”
“Suamimu diam saja?”
“Tak ada yang berani Tuan Besar.”
“Mengapa tidak ada yang lapor pada kepala desa atau polisi?”
“Kami tidak berani, mereka malah bisa marah. Begitu biasanya, Tuan
Besar.”
“Anakmu si Juju juga begitu? Diambil dari rumah penjahat Kelang?”
“Sama saja, Tuan Besar, cuma tidak dikembalikan lagi pada sahaya.” ”
(Toer, 2006: 76-77).
Dapat disimpulkan bahwa, Nyi Romlah adalah seorang ibu yang penakut
karena menjaga namanya dari ancaman-ancaman orang yang akan membuat dirinya
dan anaknya terluka.
2.3.9 Frits Doertier
Frits Doertier berperan sebagai seorang pesuruh dikantor Algemeene
Secretarie. Frits Doertier digambarkan dalam novel adalah seorang anak muda belasan
tahun, seorang peranakan yang ganteng, bermata tajam dan berhidung mancung.
Sifatnya tidak sopan. Hanya lulusan sekolah dasar. Awalnya dia membenci
Pangemanann karena pertemuan pertama mereka, dia dimarahi oleh Jacques
Pangemanann. Namun setelah minum bersama Pangemanann dan Nicolas Knor, dia
tidak lagi membenci Pangemanann.
“Seorang pesuruh berpakaian serba putih, seorang peranakan yang
ganteng, bermata tajam dan berhidung mancung, masuk, kelihatan segan
menghormati aku, berdiri saja dengan pandangan padaku.
“Siapa kau!” gertakku tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Baru ia menganggukan kepalanya sedikit, “Frits Doertier, Tuan, pesuruh
Tuan.”
“Apa sekolahmu?” tanyaku pendek.
Ia nampak tersipu, menutupi kegugupannya dengan membetulkan rambut,
kemudian baru menjawab, “Sekolah Dasar, Tuan.”…..” (Toer, 2006: 148)
“Belum, Tuan, mungkin lain kali. Ah, mungkin juga ada: tahu Frits
Doertier? Doertier?”
“Tentu saja, Tuan.”
“Jangan dia masuk ruangan ini.”
“Akan dilaksanakan, Tuan. Anak muda, Tuan, baru belasan tahun,
belum tahu sopan-santun.” (Toer, 2006: 149).
Diceritakan dalam novel bahwa Frits Doertier sempat didapati oleh Jacques
Pangemanan sedang membaca beberapa dokumen rahasia di dalam kantor saat hendak
membersihkan ruangan. Hal itu memicu terjadinya kemarahan Jacques Pangemanannn,
Nicolas Knor. Setelah itu, Jacques Pangemanann akhirnya memanggil polisi istana
untuk menggeledah Frits Doertier. Dan tak ditemukan apa-apa. Sejak kejadian itu,
Nicolas Knor memutuskan untuk memecat Frits Doertier. Nikolas Knor sangat malu
dengan kelakuan Frits Doertier.
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Frits Doertier adalah seorang anak yang belum
tahu apa-apa tentang kesopanan, masih labil, pembenci, dan seorang yang suka minum-
minuman keras.
2.3.10 Mr. De Lange
Mr. De Lange berperan sebagai seorang yang digantikan oleh Jacques
Pangemanann untuk mempelajari dokumen-dokumen di gudang arsip. Tidak
dijelaskan secara deskriptif bagaimana fisik dari Mr. De Lange.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Diceritakan bahwa Mr. De Lange membunuh dirinya sendiri dengan sublimat
didalam ruang kerjanya sendiri. Tidak tahu pasti apa yang menyebabkan dirinya bunuh
diri. Diceritakan bahwa saat itu Nikolaas Knor, seorang pengatur rumah tangga yang
menemukan jenasah Mr. De Lange yang sudah dipenuhi darah.
“Begitu duduk di tempatku segera aku bertanya: “Tuan Knor, siapa
Tuan yang aku gantikan?”
“Tuan Mr. De Lange.”
“Pergi dengan pensiun atau…..”
“Kecelakaan, Tuan, kecelakaan rumahtangga.”
“Apa maksud Tuan dengan itu?”
“Bunuh diri, Tuan.”
“Di sini?”
“Di sini, Tuan, dengan sublimat,” katanya perlahan, kemudian
menuding pada Pintu, “itu terkunci. Ketahuan bubar kantor. Dia tak keluar-
keluar. Aku ketuk-ketuk. Tanpa jawaban. Masih begitu muda. Baru lima tahun
lulus universitas. Dari jendela sana,” ia menuding jendela dengan dagunya,
“aku mengintip dari situ. God! Tuan De Lange sudah menggeletak. Aku tak
berani masuk. Melapor melalui telepon pada keamanan istana. Mereka datang
dan masuk dari jendela. Juga aku, Tuan. God! Orang semuda itu. Sarjana,
belum lagi beristri! Di sini, Tuan!” ia menuding pada lantai, dekat kaki meja.
“Darah keluar dari mulut, dari pori-pori kulit. Mungkin pembuluh-pembuluh
darahnya pecah semua. Tak tahula aku.”
Aku rasai dingin menggigilkan ujung kakiku yang telah basah berkeringat.
“Mengapa dia bunuh diri?” tanyaku.
“Tak ada yang tahu sampai sekarang.”
“Mengapa di sini dia bunuh diri?”
“Hanya dia sendiri yang tahu, Tuan.” (Toer, 2006: 162-163)
“Tak pernah terdengar ada peristiwa bunuh diri di sini,” kataku.
“Memang tak perlu diketahui, Tuan.”
“Keluarganya tak ada yang mengurus?
“Tidak berkeluarga, Tuan.”
“Barangkali karena percintaan?”
“Siapa yang tahu, Tuan. Dia seorang periang yang disukai wanita.”
“Apa nama panggilannya?”
“Simon, Tuan, Simon De Lange.” (Toer, 2006: 163).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Mr. De Lange mempunyai sifat yang putus asa
dan cepat menyerah pada kehidupannya. Walaupun sesungguhnya dia seorang periang
dan ganteng.
2.3.11 Piah
Dalam novel diceritakan bahwa Piah berperan sebagai seorang pembantu
rumah tangga Minke dan Prinses Kasiruta. Dalam novel tersebut, tidak digambarkan
secara deskriptif tentang fisik dari tokoh Piah.
“Dan Piah itu – ya Tuhan, perempuan kampung itu justru besar jiwanya.
Rupanya tak benar-benar jiwa-jiwa besar hanya ada dalam sejarah Eropa. Dia
gunung, aku kerikil! Beerpendidikan Eropa, beberapa tahun duduk di bangku
universitas termasyur di dunia, ternyata belum bisa mencapai kebesaran
seorang pembantu rumahtangga bernama Piah. Dia mampu mempunyai
sikap…..” (Toer, 2006: 68).
Diceritakan juga dalam novel, ketika Prinses Kasiruta datang ke rumah
Pangemanann sebanyak dua kali, Piah selalu mengikutinya dari belakang. Saat itu Piah,
pembantu rumah tangga yang setia itu, selalu menghadang-hadang Prinses Kasiruta
yang hendak masuk ke rumah Jacques Pangemanann. Ketika kedua kalinya mereka
datang, Piah tetap menghadang-hadang Prinses Kasiruta dan pada saat itu Prinses
Kasiruta sedang memegang senjata.
Jacques Pangemanann yang saat itu berada dan memperhatikan Prinses
Kasiruta dan Piah melalu teropong, kemudian menelpon polisi untuk mengusir dan
menggeledah mereka berdua. Diceritakan dalam novel bahwa Prinses Kasiruta dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Piah mendapat perlakuan kasar dari polisi istana yang mngusir mereka. Piah di tendang
dan menjerit kesakitan. Begitu pula dengan Prinses Kasiurta.
“Terdengar dari tempat kami Prinses Kasiruta memaki-maki dan Piah
meraung terkena tendangan. Kemudian juga suara pekik kesakitan Prinses.
Nampak orang-orang ke luar dari rumah masing-masing dan menonton. Anak-
anak tak juga kembali. Rupa-rupanya mengikuti mereka digelandang ke kantor
polisi.” (Toer, 2006: 192).
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Piah adalah seorang pembantu
yang setia. Dirinyalah yang hendak menghalangi perbuatan Prinses Kasiruta untuk
berbuat kekacauan di rumah Jacques Pangemanann. Piah seorang yang besar hati. Dia
lebih tahu bagaimana caranya bersikap baik.
2.3.12 Hadji Samadi
Hadji Samadi berperan sebagai orang yang berpengaruh dalam organisasi
S.D.I.. Hadji Samadi adalah orang yang juga dimata-matai oleh Jacques Pangemanann
melalui keterlibatannya di organisasi S.D.I.. Dalam novel, tokoh Hadji Samadi
memang tidak pernah diceritakan bertemu atau tampil secara eksklusif atau langsung.
Tokoh Hadji Samadi juga tidak digambarkan secara deskriptif tentang fisik.
“Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan
tidak kurang dari empatpuluh halaman, ditulis oleh tangan yang mahir, kecil-
kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat buruk. Laporan itu
mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I di Sala, yang menarik perhatian
pemerintah putih dan Pribumi: Hadji Samadi dengan pimpinan S.D.I cabang
Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa telah didirikan perkumpulan
bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi semua
pimpinan di dalamnya adalah juga pimpinan S.D.I. Rupa-rupanya dengan tidak
mneyebut-nyebut nama S.D.I., Hadji Samadi dan rekan-rekannya menganggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
dirinya telah tidak punya persangkutan dengan Raden Mas Minke.” (Toer,
2006: 180).
“Orang masih membicarakan Minke. Dan siapa tak jengkel? S.D.I
ternyata tidak mati. Mataku, tentu juga mata Gubermen, tertuju ke Sala. Hadji
Samadi kini naik panggung. Keanggotaan organisasi itu membludak seperti tak
pernah terjadi dalam sejarah.” (Toer, 2006:196).
“Laporan yang dapat dipercayai kebenarnannya menyampaikan, Hadji
Samadi juga tidak dalam keadaan tenang. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya
dengan massa sebanyak itu – massa yang haus akan pimpinan dan aksi.
Mengurusinya berarti perusahaannya sendiri akan kapiran. Tidak mengurusi
berarti akan kehilangan kepercayaan umum. Mengurusinya pun ia tak tahu
bagaimana caranya.” (Toer, 2006: 199).
“Tetapi hanya orang seperti aku yang mengerti, mengapa Hadji Samadi
hendak cepat-cepat mengebaskan diri dari pimpinan organisasi ratusan ribu
manusia itu. Syarafnya tak dapat menanggungkan tekanan Gubermen. Dia
bukan orang yang bersyaraf kuat seperti R.M. Minke, yang tidak menamakan
sesuatu kepentingan pribadi di dalam organisasi.” (Toer, 2006: 225)
Diceritakan dalam novel bahwa Hadji Samadi adalah orang yang memutuskan
untuk merubah S.D.I (Sarekat Dagang Islam) menjadi Syarikat Islam dengan dirinya
sebagai pimpinan. Berita yang beredar kemudian bahwa Hadji Samadi mencari seorang
pemimpin baru untuk Syarikat Islam, kemudian didapatilah seorang terpelajar baru
yaitu Mas Tjokro. Diceritakan bahwa Hadji Samadi tak mampu menanggulangi
masalah yang ada di Hindia dengan keterlibatannya dalam organisasi Syarikat Islam.
Dapat disimpulkan bahwa penokohan Hadji Samadi adalah seorang yang
ambisi, individualis dalam hal memutuskan sesuatu untuk organisasinya, dan tidak
teguh pada prinsipnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
2.3.13 Wardi
Wardi berperan sebagai pendiri Indische Partij bersama teman-temannya, yaitu
D.Douwager, dan Tjiptomangun. Wardi adalah seorang bangsawan/priyai yang
melepas status kebangsawanannya tersebut. Wardi pernah merengkuh sekolah dokter
Jawa atau dulu STOVIA namun tidak sampai tamat. Diceritakan juga Wardi
berkenalan dengan Minke dan sempat membantu surat kabar Medan.
Adapun sifat dan karakteristik Wardi dapat ditemukan dalam novel yang
dikutip sebagai berikut.
“Wardi pernah diperkenalkan padaku oleh Minke. Ia nampak tak acuh, agak
pongah, atau memang Pribumi yang berpribadi angkuh. Atau mungkin ada sesuatu
dalam pikirannya, sehingga tak banyak memberikan perhatian padaku. Pada umumnya
orang yang bertubuh kecil dan pendek memang demikian. Ia berusaha memberi bobot
pada dirinya yang enteng dengan sikap seakan penting. Kalau ada bakat berambut,
tentu ia akan pelihara kumis segede tinju.” (Toer, 2006: 257).
Dalam novel tersebut juga diceritakan bahwa Wardi ditangkap oleh satu kompi
pasukan KNIL dan juga Jacques Pangemanann. Dalam novel dikutip sebagai berikut.
“Pada jam setengah sembilan pagi datang iring-iringan truk memuat
satu kompi pasukan KNIL yang siap tempur. Aku dipersilakan duduk dalam
truk pertama di dekat sopir, seorang kopral Ambon.” (Toer, 2006: 283)
“Tak lebih dari seperempat jam kemudian kulihat Wardi berjalan kaki
di jalanan dalam giringan para serdadu. Semua orang yang berjalan kaki
menonton pemandangan aneh itu: seorang preman dalam tangkapan militer!
Militernya begitu banyak. Yang ditangkap seorang Pribumi bertubuh kurus,
kecil, pendek.
Dan tangkapan itu berjalan tegap. Dagunya tertarik ke depan seakan-
seakan berdialog dengan semua orang yang melihatnya, “Beginilah mereka
memperlakukan aku. Beginilah serdadu-serdadu yang tak punya pekerjaan ini
dipekerjakan. Inilah aku. Wardi! Sampaikan pada semua orang, mereka sudah
tangkap aku dengan serdadu sebanyak ini.” (Toer, 2006: 283).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Diceritakan bahwa penangkapan Wardi adalah untuk menjatuhkan triumvirat
Indische Partij karena telah mengkilik-kilik kebanggan nasionalnya. Semua itu terjadi
atas perintah Gubernur Jendral dengan memakai hak-hak exorbitant yang ada padanya.
Tugas itu dibebankan kepada Jacques Pangemanann selaku orang yang
menandatangani penangkapan Wardi dan anggota triumvirat lainnya.
“Ia sorongkan padaku seberkas kertas dan konsep tuliasannya sendiri
yang belum selesai. Isinya adalah rumusan tentang perlunya Gubernur Jendral
menggunakan hak-hak exorbitant yang ada padanya… Sampai di sini aku
tutupkan mata: sepku menghendaki pembuangan triumvirat Indische Partij,
yang selama ini telah mengkilik-kilik kebanggan nasionalnya. Dan aku
selesaikan pekerjaan kotor ini.” (Toer, 2006: 277).
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa penangkapan Wardi dan anggota
triumvirat lainnya dipertanyakan oleh pihak Inggris dan Tionghoa, kejelasan dari
penangkapan itu.
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Wardi adalah seorang yang pintar, banyak
kenalan, dan berani dalam menghadapi ancaman walaupun secara fisik dia kurus, kecil,
bungkuk.
2.3.14 D. Douwager
Tokoh D. Douwager berperan sebagai salah satu pendiri Indische Partij. Dalam
novel tersebut tidak dijelaskan secara deskpritif bagaimana fisik dari D. Douwager.
Diceritakan dalam novel bawha D. Douwager datang ke Hindia setelah gagal
melakukan aksi revolusinya di Afrika Selatan. Saat tiba di Hindia, D. Douwager
ditemani oleh Wardi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
“Tuan itu bernama D. Douwager, suka menyebut-nyebut sebagai
kemanakan Multatuli. Pada pundaknya ia memikul banyak pengalaman
masalewat, yaitu perang pada pihak Transvaal terhadap Inggris di Afrika
Selatan. Sudah sejak lama ia di jauhi golongan kolonial, karena dianggap
mempunyai pikiran-pikiran aneh: kalau Belanda di Afrika Selatan bisa
mendirikan negara sendiri lepas dari Inggris ataupun Nederland, mengapa di
Hindia tidak bisa? Berdaulat sendiri. Dia mengimpikan suatu Republik Afrika
Selatan bagi Hindia.” (Toer, 2006: 230-231).
“Betapa besar tekad Tuan itu. Telah dicobanya menghubungi orang dari
tangsi-tangsi militer di Cimahi, Padalarang dan Bandung. Dan dia disambut
dingin malah dianggap sebagai orang gila.” (Toer, 2006: 231).
“Douwager pun menerbitkan koran De Expres berbahasa Belanda.
Dengan korannya Douwager mulai menggugat keadaan-keadaan yang
sumbang menurut ukuran-ukuran Eropa. Ia berseru-seru pada golongan
Peranakan Eropa yang digaji kurang dari Totok dengan pekerjaan yang sama.
Dengan bantuan Wardi didapatkan watak koran yang berkobar-kobar dan
sinisme yang menggigit.”
Diceritakan bahwa D. Douwager menerbitkan sebuah koran bernama De
Expres. Dalam koran tersebut, D. Douwager bersuara tentang ketidakadilan yang
berada di pihak peranakan Eropa. Karena tulisannya itu, dia akhirnya harus di tangkap
oleh pihak kepolisian melalui Jacques Pangemanann.
Dapat disimpulkan bahwa D. Douwager adalah seorang patriot nasional,
berjiwa besar, berani dan mencintai kebenaran. Dia orang yang tidak takut dengan
ancaman walaupun harus dibuang dan diasingkan ke tempat lain.
2.3.15 Tjiptomangun
Tjiptomangun di dalam novel diceritakan berperan sebagai salah satu pendiri
Indische Partij. Dalam novel tidak dideskripsikan secara jelas tentang fisik dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Tjiptomangun. Diceritakan bahwa Tjiptomangun adalah seorang lulusan STOVIA,
Sekolah Dokter Jawa dan ditempatkan oleh Gubermen di kota besar.
“…… Diantara tritunggal itu Dokter Tjiptomangun nampak semakin kurus
disebabkan melakukan kerja-rangkap sebagai dokter, politikus, redaktur, dan tukang
pidato sekaligus.” (Toer, 2006: 234)
Kemudian dalam novel juga diceritakan bahwa triumvirat Indische Partij,
dengan salah satu anggotanya Tjiptomangun ditangkap. Karena alasan yang tidak jelas
atas pengangkapan itu, Gubermen menawarkan dua pilihan kepada Tjiptomangun,
yaitu pembuangan di dalam Hindia, atau di luar Hindia. Semula Tjiptomangun memilih
yang pertama, namun kemudian dia memilih untuk dilakukan pembuangan di luar
Hindia.
“Wardi dan Douwager waktu ditawari pembuangan di dalam atau di
luar Hindia, memilih yang kedua, mereka berangkat ke Eropa. Tjipto mula-
mula memilih yang pertama, tetapi ia akhirnya memutuskan memilih negeri
Belanda.” (Toer, 2006: 285).
Dapat disimpulkan bahwa Tjiptomangun adalah seorang tokoh yang pintar,
cerdas, dan berjiwa nasionalisme. Tjiptomangun adalah seorang yang tak kenal lelah
dalam kegiatan-kegiatan yang direngkuhnya.
2.3.16 Ayah Soendari
Ayah Soendari berperan sebagai Ayah Siti Soendari. Dalam novel tidak
disebutkan nama asli dari Ayah Siti Soendari. Dalam novel juga tidak dijelaskan secara
deskriptif bagaimana fisik dari Ayah Soendari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Diceritakan dalam novel bahwa ketika itu Residen memerintahkan Bupati
Pemalang agar melakukan paksaan terhadap Ayah Siti Soendari untuk menahan
aktivitas anaknya. Bupati Pemalang kemudian memberikan dua pilihan kepada Ayah
Siti Soendari, yaitu kehilangan jabatan atau pensiun tanpa hormat dan kehilangan
putrinya atau membahagiakan putrinya dengan suatu perkawinan yang terhormat,
dengan tetap mengukuhi jabatan dan pensiun di kemudian hari. Gubermen bahkan
menyediakan nama calon menantu dan daftar putra-putra bupati atau calon-calon
dokter lulusan STOVIA. Dan bila sang ayah memilih yang pertama, ada kemungkinan
anak lelakinya akan dikeluarkan dari Sekolah Perdagangan Tinggi di Rotterdam.
Ayahnya kemudian memilih jabatannya. Ia terlalu takut pada murka Gubermen.
Dalam novel digambarkan tentang latar belakang Ayah dari Siti Soendari
adalah seorang bangsawan dari angkatan tua yang belum dapat menerapkan semangat
modern sepenuhnya, belum mampu membebaskan diri jadi diri pribadi merdeka. Ia
seorang terpelajar angkatan tua yang menganggap kebesaran bisa datang hanya sebagai
karunia Gubermen.
Dalam novel diceritakan bahwa Ayah Siti Soendari lalu bergegas mencari
anaknya, Siti Soendari. Dengan membawa koper kecil dan taksi sewaan, ayah Siti
Soendari kemudian berangkat ke Pacitan. Di Pacitan dia tidak bertemu dengan anaknya
karena sudah pindah. Ayah Siti Soendari kemudian pergi ke tempat kepindahan
anaknya mengajar. Di tempat itu juga ternyata Siti Soendari tidak juga ditemukan. Saat
mengetahui anaknya tidak ada di kedua tempat, ia pun menjadi gugup. Ayah seondari
kemudian mengirim telegram kepada sanaknya di Malang. Dari telegram itu dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
mendapat jawaban bahwa Siti Soendari pernah singgah di Malang dan terus ke
Surabaya. Alamat di Surabaya pun tidak jelas.
Dari Pacitan kemudian ayahnya berangkat ke Surabaya. Di Surabaya menginap
di rumah temannya. Saat di rumah temannya itu, dia terus mencari anaknya selama satu
minggu. Namun dia tak juga menemukan anaknya.
Dengan lesunya ia pulang ke Pemalang dengan naik kereta api. Saat hendak ke
Pemalang, ayah Siti Soendari singgah dan menginap di Semarang. Turun dari kereta
api, ia kemudian naik dokar dan mencari losmen. Saat perjalanan mencari losmen, di
atas dokar itu juga dia seketika melihat anaknya, Siti Soendari. Saat itu hari sudah
maghrib. Di temukannya Siti Soendari sedang berjalan kaki, semampai, agak kurus,
mukanya pucat. Saat melihat anaknya, hati ayah Soendari tiba-tiba menjadi ragu-ragu.
Saat dokar berhenti, dan Soendari terus dipanggil oleh kusir itu, Siti Soendari
terus berjalan dan tak mau menoleh. Saat itu sang ayah tak mampu lagi untuk turun
dari dokar. Ia tak mampu untuk berjalan. Ayah Soendari lalu menyuruh kusir untuk
memanggil Soendari. Namun Soendari tetap tak menoleh. Malahan langkah Siti
Soendari makin kencang dan kini setengah berlari. Lalu ayahnya dan kusir itu mencoba
mengejarnya melalui dokar. Dan mereka melihat Siti Soendari masuk disebuah gedung
wayang. Di gedung wayang itulah, ayah Soendari begitu tercengan melihat anaknya
yang berpidato di depannya dan di depan massa yang sangat ramai.
Setelah dari gedung wayang itu, ayah Soendari kemudian bertemu dengan
anaknya dan mengajaknya pulang. Saat mereka sudah tiba dirumah mereka di
Pemalang. Ayah Soendari kemudian mengajaknya ke sebuah rumah yang disebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dalam novel, ibu. Diceritakan bahwa percakapan ibu menyuruh Soendari untuk
menikah. Namun Soendari menolak untuk menikah. Dia mengingatkan pertemuan
ayahnya dengan R.M. Minke. dan pesan Mas Minke tentang pernikahan anaknya.
2.3.17 Herschenbrok
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Herschenbrok
berperan sebagai seorang persuruh di kantor Algemeene Secretarie. Dalam novel ini
tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik, psikis dan karakter dari Herschenbrok.
Diceritakan dalam novel bahwa Herschenbrok ketika itu sedang meletakan
tumpukan surat dan telegram di ruangan kerja sep baru Jacques Pangemanann, Tuan
R. ketika Tuan R masuk, dia langsung mengusir Herschenbrok seperti menyepak
kucing. Alasan itu karena sep baru Jacques Pangemanann tidak mempercayai setiap
pegawai rendahan.
2.3.18 Bernhard Meyersohn
Bernhard Meyerson berperan sebagai seorang dokter yang tinggal di
lingkungan Goenawan. Bernhard adalah seorang berkebangsaan Jerman. Diceritakan
bahwa Bernhard Meyerson adalah dokter yang memeriksa Minke ketika Goenawan
membawa Minke padanya. Dalam novel tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik
dari Bernhard Meyersohn.
Diceritakan dalam novel bahwa saat itu datang seorang pemuda peranakan
Eropa ke tempat praktek dokter Bernhard Meyerson. Pemuda itu mengancam Bernhard
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Meyerson. Dia mengatakan bahwa seseorang akan datang, orang itu adalah Minke, dan
Pemuda itu mengatakan pada dokter itu untuk jangan memeriksanya. Dan menyuruh
dokter agar mengatakan bahwa Minke hanya terkena disentri atau sakit perut. Semula
dokter itu mengelak dan tidak mau mengikuti perintah dari pemuda itu.
“…..Begitu berhadapan dengan dokter Meyersohn ia mengeluarkan
sebatang cambuk kulit dari dari balik kemejanya dan bertanya dalam Belanda
dan dengan gaya kasar, “Tahu apa ini, Dokter?”
“Cambuk kulit.”
Dokter itu ternyata orang yang sangat sederhana. Ia datang ke Hindia
semata-mata hanya untuk mencari penghidupan dan untuk bertenang-tenang. Ia
tak tahu dan tak ada keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang Hindia.
Dalam kesederhanaannya ia pandangi pasienya itu dengan terheran-heran, dan
mengira ia sedang menghadapi orang yang kurang beres ingatannya.” (Toer,
2006: 591).
Diceritakan kemudian Pemuda itu menempeleng keras-keras pipi kiri sang
dokter. Cambuk itu ia selitkan pada ikat pinggang dan dikeluarkannya sebilah belati
dan mengamangkan pada dokter itu. Dokter Bernhard mengelak permintaan dari
Pemuda itu. Pemuda itu kemudian mengancam ujung belati tepat dijantung dokter. Saat
itu dokter Meyersohn masih mengelak. Dan dengan tangan kirinya pemuda itu
menggunakan cambuknya. Sekali pukulan pada muka, dan dokter itu kehilangan
penglihatannya.
Dapat disimpulkan bahwa penokohan Bernhard Meyersohn adalah seorang
yang baik, sederhana, tegas pada prinsipnya, dan mencintai profesinya. Namun dalam
keadaan diancam, dia akhirnya mengikuti perintah dari Pemuda itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
2.3.19 Pemuda
Pemuda dalam novel tersebut berperan sebagai Pemuda peranakan Eropa yang
datang kepada seorang dokter dan mengancam dokter itu agar tak memeriksa Minke.
Dalam novel tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik Pemuda. Diceritakan
bahwa Pemuda itu datang kepada dokter Bernhard. Semula ia mengeluarkan cambuk
kulit dan bertanya kepada dokter Meyersohn.
“Kemudian Pemuda itu menempeleng keras-keras pipi kiri sang dokter.
Cambuk itu ia selitkan pada ikat pinggang dan dikeluarkannya sebilah belati
dan mengamangkan pada dokter itu.” (Toer, 2006: 591).
“Itu lebih baik lagi,” dan dengan sigapnya pemuda itu mengancamkan
ujung belati pada arah jantung dokter. “Lebih baik kau dengarkan aku daripada
berpidato tentang kegagahanmu. Belati ini tanpa ragu-ragu bisa membelah
jantungmu. Dengarkan sekarang: dalam beberapa jam ini akan di bawa ke mari
seorang pasien Pribumi. Awas, jangan perika dia, jangan obati dia. Katakan saja
dia sakit perut, disentri. Ingat? Disentri. Tuan akan selamat dan pasien itu akan
mati. Atau bisa juga yang sebaliknya terjadi, pasien itu hidup dan Tuan mati,
atau yang lain, kedua-duanya mati atau kedua-duanya hidup. Pilihlah yang
terbaik untuk Tuan. Yang pertama yang paling baik. Mengerti?”
“Itu urusanku.”
Dengan tangan kirinya pemuda itu menggunakan cambuknya. Sekali
pukulan pada muka, dan dokter itu kehilangan penglihatannya…….” (Toer,
2006: 592).
Dapat disimpulkan bahwa penokohan Pemuda adalah seorang peranakan Eropa
yang kejam, jahat, dan juga keras ketika mengancam seseorang.
Dalam penelitian ini, peneliti juga memaparkan unsur pembangun cerita yaitu
penokohan dari tokoh tambahan yang tidak mengalami dan melakukan kekerasan
sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
2.3.20 Gubernur Jendral Idenburg
Dalam novel tersebut, tidak dideskripsikan secara jelas bagaimana fisik dari
Jendral Idenburg. Gubernur Jendral Idenburg berperan sebagai Gubernur di Hindia
pada tahun 1912. Diceritakan bahwa Gubernur Jendral Idenburg adalah seorang yang
hatinya besar, kepalanya gede berisi sejuta rencana kemanusiaan. Dia adalah orang
yang mematahkan perlawanan bersenjata diseluruh Hindia. Namun dalam ambisinya
untuk memperlakukan kemanusiaan ditanah Hindia, dirinya ditibani oleh berbagai
macam gejala jaman.
Revolusi yang terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, membuat dirinya harus
mengambil langkah agar tidak terjadi di revolusi di Hindia. Bukan hanya itu,
menggemparnya revolusi Tiongkok membuat Gubernur harus merobohkan segalam
macam organisasi-organisasi yang bisa memperparah kedudukannya sebagai Gubernur
Jendral dihadapan Sri Ratu Wilhelmina. Sukses revolusi Tiongkok dan berpadunya
bangsa Tiongkok di bawah pimpinan Sun Yat Sen menggema di Hindia. Tionghoa di
Hindia dipadamkan dari kebakaran perepcahan dan teror. Gubernur Jendral Idenburg
sangat kewalahan menghadapi nasionalisme Asia yang bangkit di Hindia. Dirinya tak
punya kekuasaan sah untuk memberengus, dan tak punya wewenang berdasarkan hak-
hak exorbitan.
Gubernur Jendral akhirnya mengambil inisiatif, yaitu membangun sekolah
dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak Tionghoa, H.C.S., Hollandsch Chineschee
School. Dengan adanya pembangunan sekolah itu, Gubernur Jendral Idenburg berharap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
akan timbul inti dalam masyarakat Tionghoa di Hindia yang berkiblat dan berpihak
pada Eropa.
Dari Gubernur Jendral Idenburg-lah muncul sebuah perintah untuk memata-
matai semua tokoh-tokoh penting dalam organisasi-organisasi dan juga tokoh-tokoh
penting diluar organisasi yang punya kesempatan untuk menghancurkan pemerintahan
Gubernur Jendral Idenburg dan pemerintah Hindia.
2.3.21 Komisaris Besar Donald Nicolson
Dalam novel Rumah Kaca, tidak dijelaskan bagaimana fisik dari tokoh Donald
Nicolson. Dalam cerita tersebut, tokoh Donald Nicolson berperan sebagai atasan dari
Jacques Pangemanann. Dirinyalah yang memberi perintah sebagaimana mandat dari
Algemeene Secretari, untuk memata-matai aktivitas Minke dalam kesehariannya
sebagai pemegang surat kabar Medan dan keterlibatannya dalam organisasi S.D.I. .
Sebagai atasan Pangemanan di kepolisian, dan sebagai komisaris, Donald
Nicolson-lah yang mempertemukan Pangemanann dengan Robert Suurhof untuk
bekerjasama dalam menindak kasus Minke. Namun dalam kerjasama tersebut,
kegagalan-lah yang mereka terima.
“Di Betawi atasanku hanya mengangguk-ngangguk mendengar
kericuanku. Kemudian memberikan komentar yang sungguh-sungguh
menyakitkan., “menyusun kertas nampaknya lebih mudah daripada
mempraketkan.”
“Tuan dapat mencoba sendiri menyusun kertas, Tuan,” jawabku agak
sengit dan aku tahu kata-katanya disemburkan bukan padaku sebagai seorang
Komisaris yang diperbantukan padanya, tetapi sebagai peranakan yang
dianggap terlalu tinggi kedudukannya.” ”(Toer, 2006: 31-32)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
“Masuknya Robert Suurhof dalam penjara rupanya tidak sama sekali
mengurangi kesulitanku. Donald Nicolson semakin gencar memburu-buru aku
dengan fakta-fakta barunya: S.D.I terus bertambah-tambah juga anggotanya. Ia
sengaja menjurumuskan aku ke arah pengambilan tindakan yang lebih keras
terhadap pemimpin redaksi Medan itu.” (Toer, 2006: 47)
“Ia tersenyum. Aku tahu dia senang; dia telah membikin aku jadi
kriminal jorok. Aku tinggalkan kantor besar kepolisian Betawi dengan perasaan
rata – sadar aku pejabat kolonial, aku bandit, aku teroris” kata Pangemanann,
(Toer, 2006: 54)
Donald Nicolson adalah seorang Komisari di kepolisan Betawi, sebagai atasan
Jacques Pangemanan sewaktu masih menjadi Inspektur di kepolisian. Donald Nicloson
adalah orang yang membenci Pangemanann karena Pangemanann orang Pribumi yang
memegang jabatan di kepolisian untuk pemerintahan Hindia.
2.3.22 Si Pitung
Dalam novel diceritakan bahwa si Pitung berperan sebagai sosok yang selalu
hadir dalam imajinasi Jacques Pangemanann. Si Pitung selalu mengganggu,
mengancanm, dan menantang Jacques Pangemanann di dalam pikirannya. Dalam
novel, di dalam pikiran Pangemanann, si Pitung adalah seorang yang berjubah putih,
bersorban putih. Giginya meringis, dua diantaranya ompong disamping.
“Pitung datang mengganggu pikiranku. Dia pun berontak dengan
caranya sendiri. Dia bukan manusia terpelajar, dia tak mampu merumuskan
alasan dan kemauannya sendiri. Dia mengamuk seperti kerbau gila. Ah, terlalu
mudah untuk menumpas kau, Pitung. Zihhh!” (Toer, 2006: 90).
Dapat disimpulkan bahwa, tokoh si Pitung adalah tokoh yang mempunyai fisik
orang yang sudah tua, seorang wajahnya keriput, seorang yang taat akan agamanya dan
seorang yang berani dan mencintai keadilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
2.3.23 Tuan L
Dalam novel tersebut, tidak dijelaskan bagaimana deskripsi tentang fisik dari
Tuan L. Diceritakan dalam novel bahwa Tuan L adalah seorang yang suka memberi
kuliah tentang bangsa-bangsa Hindia. Untuk ukuran umur, dia jauh lebih muda
daripada Pangemanann.
“Untuk kepentingan itu aku temui kembali Tuan L dari s’Landscharchief.
Aku perlu mendengarkan kuliah-kuliahnya tentang bangsa-bangsa Hindia.” (Toer,
2006: 48)
2.3.24 Tuan de Beer
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Tuan de Beer
tidak dijelaskan secara deskriptif mengenai fisiknya. Tuan de Beer pertama kali
diceritakan dalam novel adalah saat bekerja-sama dengan Jacques Pangemanann. Tuan
de Beer juga diceritakan hanya sering menjelaskan tentang pengaruh revolusi Tionghoa
di Tiongkok dan Tionghoa di Pribumi.
“Sebulan setelah duduk-duduk dengan pekerjaan tak menentu, Van Dam tot
Dam memberi perintah menyusun penggolongan para perusuh diberbagai daerah
berdasarkan sikap dan tindak mereka terhadap kekuatan Gubermen. Barangtentu
takkan kusalinkan di sini tulisan-tulisan seperti itu. Pendeknya untuk selanjutnya
aku berurusan dengan Komisaris Besar De Beer.” (Toer, 2006: 84)
2.3.25 Tuan Mr.K
Tokoh Tuan Mr. K. di dalam novel Rumah Kaca ceritakan adalah seorang
intelektual dan sarjana hukum yang disegani oleh tokoh-tokoh kolonial selebihnya. Ia
dianggap teoritikus kolonial tanpa tanding. Namanya jarang sekali terpampang dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
pers. Ia tidak pernah menulis. Pandangan matanya membuat orang menunduk dan
suaranya memaksa orang untuk menekur menyimak. Dan orang-orang menunggu apa
yang akan dikatakannya. Jabatannya tidak jelas. Dikalangan elite dia selalu jadi pusat
perhatian. Lebih banyak tinggal di Eropa daripada di Hindia. Tiga orang Gubernur
Jendral berturut-turut memerlukan menengar nasehat dan pandangannya. Kepalanya
botak. Suaranya tergumam rendah seperti beruang sedang menggerutu. Kata-
katakanya-lah yang membuat Pangemanann terus ingat. Dia seorang tokoh kaliber
berat.
“Tanpa melihat sisa kepala dan mukanya segera orang tahu, itulah Mr.
K. Intelektual dan Sarjana Hukum yang disegani oleh tokoh-tokoh kolonial
selebihnya. Ia dianggap teoritikus kolonial tanpa tanding. Namanya jarang
sekali terpampang dalam pers. Ia tidak pernah menulis. Mungkin memang tidak
bisa. Pandangan matanya membikin orang menunduk dan suaranya memaksa
orang untuk menekur menyimak. Di kalangan elite ia selalu jadi pusat
perhatian. Dan orang menunggu-nunggu apa yang akan dikatakannya.
Jabatannya yang jelas aku tak tahu. Ia lebih banyak berada di Eropa daripada di
Hindia. Konon katanya tiga orang Gubernur Jendral berturut-turut memerlukan
mendengarkan nasehat dan pandangannya.” (Toer, 2006: 84-85)
“Kandil listrik dengan beberapa belas bola yang menyala tergantung
disana membikin botaknya memantulkan cahaya yang berombak-ombak
seirama dengan gerak kepalanya.” (Toer, 2006: 85)
“Tanya jawab yang terjadi memang menarik. Setiap pertanyaan dijawab
dengan terbuka oleh Tuan Mr. K. Suaranya tergumam rendah seperti beruang
sedang menggerutu. Kemudian terdengar kata-katanya yang takkan kulupakan
seumur hidup.
“Tajamkan pengamatan Tuan-tuan. Kalau tidak….. Filipina kedua bisa
terjadi atas negeri jajahan kita yang permai ini. Kita bisa tertendang keluar.
Salah satu negeri barat akan masuk, mungkin Amerika, mungkin Jerman,
mungkin Prancis atau mungkin juga Inggris. Tapi mungkin juga tidak.”
Dari hasil penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa tokoh Mr. K. adalah
seorang yang pintar, ahli dalam pengetahuan politik, seorang yang mempunyai sikap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
yang tegas, dan berwibawa. Seorang yang selalu menjadi perhatian untuk menemukan
perkembangan-perkembangan seputar politik yang terjadi di Eropa dan Hindia.
2.3.26 Tuan De Cagnie
Tokoh Tuan De Cagnie dalam novel Rumah Kaca berperan sebagai ayah angkat
dari Jacques Pangemanan. Tuan De Cagnie berasal dari Prancis. Bekerja sebagai
seorang apoteker dan mempunyai apotik dan pabrik kecil di Lyon.
“Aku yatim-piatu sejak kecil, dipungut adik ayahku, Frederick
Pangemanann. Menjelang lulus E.L.S di Menado, diambil anak pungut oleh
Tuan De Cagnie, seorang Prancis, seorang apoteker. Suami-istri sangat
berkenan dengan diriku. Mereka tak punya anak. Dibawanya aku pulang ke
Lyon, tempat mereka mempunyai apotik dan pabrik obat kecil.” (Toer, 2006:
94)
2.3.27 Tokoh L
Tokoh L berperan sebagai seorang arsivaris, seorang yang menyediakan
dokumen-dokumen untuk dipelajari oleh Jacques Pangemanann. Tokoh L. bekerja
disebuah gedung arsip.
“Dengan surat pengantar itu pejabat bersangkutan buru-buru ke luar
kamar-kerjanya dan menyambut aku. Ia pandangi aku seperti orang yang tidak
percaya, bagaimana mungkin aku bisa dapat surat pengantar seperti itu yang
tidak lain adalah mandat langsung dari Algemeene Secretarie. Segera ia
berubah sikap dan berkata ramah:
“A, Tuan Pangemanann,” katanya. “Apa yang dapat aku sajikan untuk
Tuan?”
Belanda totok, muda, seorang arsivaris yang tak banyak diketahui oleh umum,
bernama L., lebih suka mengenakan lornyet yang terikat dengan rantai emas
tipis dan halus. Berbaju tutup lena putih, juga celanannya. Rambutnya pirang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
sibak tengah. Sepatunya hitam. Tubuhnya agak jangkung dan berisi.” (Toer,
2006: 103).
“Tuan L menyambut aku di pendopo, yang dahulu menjadi tempat
resepsi dan berdansa dalam buaian lagu wals. Tetapi sekarang sunyi, yang ada
hanya seorang penjaga yang merangkap penerima tamu dan Tuan L.” (Toer,
2006:104).
“Ia menarik lempang bibirnya, menindas perasaannya agar tidak
menyembur ke luar. Rupanya ia butuhkan simpati, terlalu kesepian bertahun-
tahun dalam gedung kuburan ini.” (Toer, 2006: 119).
“ “Tuan memang sangat berkuasa atas dokumen-dokumen itu.
Terimakasih banyak atas bantuan Tuan.”
Sekarang ia tersenyum.
Mungkin ia katakan semua itu untuk melampiaskan kejengkelannya
karena harus melayani seorang Pribumi yang dapat mandat dari Algemeene
Secretarie. Mungkin dugaanku yang semula yang lebih tepat: ia menghendaki
agar diadakan promosi terhadap kantor ini melalui pembicaraanku melalui
Tuan Besar atau Dewa-dewa Algemeene Secretarie.” (Toer, 2006: 120-121).
“Di restoran Tong An menjadi jelas padaku. Tuan L. pecinta makanan
Tionghoa pada satu pihak, dan pecinta segala pengetahuan tentang Jawa pada
lain pihak.” (Toer, 2006: 122).
“Pada waktu itu juga aku mengerti, orang ini perlu perhatian Tuan Besar
Gubernur Jendral atau Algemeene Secretarie. Untuk dirinya sendiri ia cukup
berkubur di gedung mausoleum itu, sunyi dan dingin. Semua dokumen yang
dibutuhkan ada dan datang atas panggilannya, dapat membuat studi tanpa batas,
dan menyusun karya seluas dia kehendaki. Dia akan berhasil. Mengapa ia masih
perlukan perhatian? Siapa pun tahu, untuk waktu yang lama orang Jawa sendiri
belum akan menandinginya, apalagi kalau mereka tidak mulai mempelajari
logika secara Barat,……,” (Toer, 2006:122)
“Tuan L menyambut aku dengan girang. Segera dijamahnya persoalan
bangsa Jawa. Rasa-rasa bengkak otak mendengarkan kuliahnya yang tidak
berkeputusan. Ia ulangi kembali apa yang pernah dikatakannya, disana-sini
dengan tambahan-tambahan penguat.” (Toer, 2006: 206).
Dapat disimpulkan bahwa tokoh L. seorang Belanda totok, muda, seorang
arsivaris yang tak banyak diketahui oleh umum. Lebih suka mengenakan lornyet yang
terikat dengan rantai emas tipis dan halus. Berbaju tutup lena putih, juga celanannya.
Rambutnya pirang sibak tengah. Tubuhnya agak jangkung dan berisi. Seorang penjaga
merangkap penerima tamu di pendopo yang dahulunya menjadi tempat resepsi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
berdansa dalam buaian lagu wals. Sifatnya suka dikasihani dan ingin mendapat pujian.
Pecinta makanan Tionghoa dan pencinta segala pengetahuan tentang Jawa.
2.3.28 Tuan de Man
Tokoh Tuan de Man berperan sebagai pesuruh Tuan L. Diceritakan bahwa Tuan
de Man diperintahkan oleh Tuan L. untuk mengawasi Jacques Pangemanan ketika
membacai dokumen-dokumen didalam ruangan arsip.
“…. Segala kebutuhan Tuan barangkali akan Tuan dapatkan
didalamnya. Kalau ada keperluan apa-apa, perintahkan saja pada Tuan De Man
ini,” dan sambil menengok pada pesuruh itu, “Tuan De Man, ini Tuan
Pangemanann. Harap Tuan layani sepatutnya. Selamat bekerja Tuan
Pangemanann.” (Toer, 2006: 104).
“Barang duapuluh sentimeter tumpukan kertas di hadapanku itu
ternyata tak boleh aku sentuh sebelum menandatangani surat tanda peminjaman
yang disodorkan oleh Tuan De Man. Setelah aku menandatangani dan ia
simpan surat pinjaman, ia pergi menyingkir duduk di pojokan. Aku merasa
berada dibawah pengawasan seorang pegawai rendahan.” (Toer, 2006: 105).
“De Man duduk diam di pojokan, hanya matanya yang tak henti-
hentinya mengawasi aku dan tumpukan kertas di hadapanku.” (Toer, 2006:
105).
2.3.29 Tuan R
Tokoh Tuan R berperan sebagai sep baru Jacques Pangemanann di Algemeene
Secretarie. Diceritakan bahwa Tuan R berasal dari Prancis, didikan Prancis dan seorang
sarjana Hukum. Tuan R.-lah yang menahan masa cuti Jacques Pangemanann. Dia juga
suka berbicara dalam bahasa Prancis kepada Pangemanann.
“Pada jam delapan pagi aku datang ke kantor baruku. Seorang pegawai
membawa aku menghadap pada sepku yang baru. Ia ternyata seorang Sarjana
Hukum, seorang Prancis dan didikan Prancis, Tuan R.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Ia sambut aku dengan keramahan yang tak terduga-duga, dalam Prancis,
“Sudah setengah mati aku mencari tenaga berpengalaman yang menguasai
bahasa Melayu, berpendidikan tinggi, menguasai bahasa-bahasa modern. Tuan
anak angkat Tuan apoteker De Cagnie, bukan? Dari Lyon?” ia memberondong
aku. “Sekarang beliau sudah menarik diri dari perusahaan. Tuan sudah tahu,
bukan?” (Toer, 2006: 145-146).
“…..Lupakan cuti Eropa itu. Mari!” dan diajaknya aku masuk ke sebuah
ruangan. Dan dengan bahasa Prancis lidah selatan ia mulai menerangkan tugas
baruku. “Tuan sangat dibutuhkan di sini.” Jelas seperti siang aku kehilangan
cuti Eropaku. Aku tak dapat membayangkan betapa kecewa istri dan anak-
anak…..,” (Toer, 2006: 146).
“Sukakah Tuan mendapat sep orang Prancis?”
“Baru pagi ini aku mengenalnya, Tuan.” Jawabku.
“Seorang yang cerdas, pandai. Sayang sedikit, bila sudah sampai pada
saatnya untuk mengambil keputusan sangat penting ia berubah jadi
peragu,…..,” (Toer, 2006: 152).
“Begitu De Expres beredar, sepku sekali lagi datang gopoh-gapah tanpa
mengetuk pintu. Itulah adatnya bila ia sampai pada puncak kegugupannya.
“Tuan,” katanya dalam Prancis seperti biasa, “memalukan. Tentu tuan
dapat rasakan apa yang ku kandung dalam hatiku. Aku orang Prancis.”
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Tuan R adalah seorang yang cerdas, pandai,
dan ramah. Tapi bila sudah sampai saatnya untuk mengambil keputusan yang sangat
penting, dia jadi peragu. Seorang konservatif dalam hal bersifat Prancis.
2.3.30 Nikolaas Knor
Nikolaas Knor berperan sebagai pengatur rumahtangga di kantor arsip
Algemeene Secretarie. Seorang totok, bertubuh gemuk dan tidak begitu tinggi. Seluruh
rambutnya sudah putih. Diceritakan bahwa Nikolaas Knor selalu tinggal dalam
kompleks istana.
“Belum lagi lama ia pergi pintu diketuk lagi. Sekali ini masuk seorang
Totok, bertubuh gemuk dan tidak begitu tinggi. Seluruh rambutnya sudah putih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Juga ia mengenakan pakaian dinas putih-putih. Ia mengganguk dalam,
memperkenalkan,
“Pengatur rumahtangga, Tuan, Nikolaas Knor.”
“Pangemanann, Tuan Knor, pejabat baru di sini.”
“Selamat datang, Tuan, semoga senang bekerja di sini. Barangkali ada
sesuatu yang harus kukerjakan untuk Tuan?”…… (Toer, 2006: 148).
Diceritakan bahwa Nikolaas Knor suatu kali menemani Jacques Pangemanann
untuk minum Wiski bersama. Jacques Pangemanann merasa Nikolaas Knor adalah
orang yang tepat menemaninya minum karena Nikolaas Knor sangat ramah
terhadapnya. Saat itu Jacques Pangemanann sedang merasakan sesuatu yang aneh
dengan ruangan yang ditempatinya saat itu. Nikolaas Knor kemudian menjelaskan
tentang orang yang digantikan oleh Jacques Pangemanann di ruangan itu. Nikolaas
Knor adalah orang yang menemukan jenasah Tuan De Cagnie di dalam ruangannya.
Saat itu Nikolaas Knor hendak mencari Tuan De Cagnie karena semua pegawai
dikantor telah pulang. Sedangkan Tuan De Cagnie tak dilihatnya. Setelah mencari ke
ruangannya, dia melihat tubuh Tuan De Cagnie sudah dalam kondisi mengenaskan.
Diceritakan juga bahwa Nikolaas Knor-lah yang memecat Frits Doertier. Dia
merasa malu karena telah lalai mempekerjakan seorang anak belasan tahun, Frits
Doertier.
Dapat disimpulkan bahwa Nikolaas Knor adalah orang yang ramah, tahu diri,
hormat kepada atasan, dan orang yang keras terhadap pekerjaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
2.3.31 Cor Oosterhof
Cor Oosterhof berperan sebagai orang yang bekerjasama bersama Jacques
Pangemanann dalam memata-matai aktivitas organisai-organisai di Hindia. Dalam
novel, tidak dideskripsikan tentang bagaimana fisik dari Cor Oosterhof.
“Aku kenal mukanya, juga namanya, dalam pengusutan perkara
penyelundupan candu barang limabelas tahun yang lalu. Waktu itu ia seorang
perjaka mendekati umur duapuluh tahun. Stidak-tidaknya barang limabelas
tahun beberapa kali aku masih bertemu dengannya dalam beberapa perkara.
Kalau aku katakan dia pernah terlibat dalam perkara penyelundupan candu,
berarti ia mempunyai atau pernah mempunyai banyak hubungan dengan
gerombolan Thong, dan boleh jadi tanpa dia sendiri tahu tentang gerombolan
teror dan penjahat Tionghoa itu. Setelah Thong dibubarkan oleh usaha Sun Yat
Sen, tak tahu pula aku bagaimana Cor menempatkan dirinya. Setidak-tidaknya
ia mengetahui banyak orang, perbuatan dan persoalan penduduk Tionghoa di
Jawa.” (Toer, 2006: 24).
“Cor Oosterhof ternyata jauh, jauh lebih mudah daripada Robert
Suurhof. Ia tak pernah menunjukan tanda-tanda keangkuhan. Bahkan sebelum
minum pun ia mengangguk padaku dan dengan mulut dan matanya mengajak
bersama-sama minum. Sikap dan jiwanya tidak tegar. Menghadapi dia seakan
menghadapi seorang kenalan lama tanpa gangguan kenangan pada pengalaman
yang memalukan.” (Toer, 2006: 214-215).
Dapat disimpulkan bahwa Cor Oosterhof adalah seorang yang berkepribadian
sopan, sikap dan jiwanya tegar.
2.3.32 Mas Tjokro
Mas Tjokro berperan sebagai orang yang menggantikan Hadji Samadi sebagai
pemimpin Syarikat Islam. Sama halnya dengan Hadji Samadi, dalam novel Mas Tjokro
tidak pernah diceritakan tampil dimanapun dalam cerita. Dalam novel tersebut, tokoh
Mas Tjokro disebutkan dalam sebuah surat kabar yang menjadi bahan pelajaran dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Jacques Pangemanann. Singkatnya, Mas Tjokro dalam novel tersebut dimunculkan
hanya melalui suratkabar.
“Raden Mas Minke dibuang. Syarikat tidak mati, bahkan sekarang telah
ditemukan seorang pelajar baru, yang dicadangkan untuk menggantikannya.
Dia bernama Mas Tjokro, seorang Kranij Borsumij Surabaya. Kalau Mas
Tjokro ditangkap dan dibuang, akan muncul terpelajar baru lagi dan
seterusnya,” (Toer, 2006: 216-217)
“Maka sesuatu yang mengherankan peminat dan penonton Eropa
terjadi. Atas saran Hadji Samadi, si orang baru yang belum menentu jasanya
dalam organisasi Syarikat, diangkat menjadi ketua umum. Orang itu adalah
Mas Tjokro.”
“Pers luar negeri pernah menjulukinya sebagai “kaisar tanpa mahkota”,
ketua umum Syarikat Islam itu, walaupun hanya sebagai ejekan.” (Toer, 2006:
231-232).
“Tjokro mulai menggantikan Medan yang telah dibekukan dengan
Peroetoesan, dan Syarikat tetap tidak atau belum jadi partai. Mengikuti jejak
Minke, koran Tjokro berbahasa Melayu, bukan Jawa.” (Toer, 2006: 233)
Dapat disimpulkan bahwa Mas Tjokro adalah seorang yang berani mengambil
keputusan, seorang terpelajar, dan orang yang tidak peduli dengan ejekan orang-orang.
2.3.33 Simon Zwijger
Simon Zwijger berperan sebagai pesuruh atau pembantu di kantor arsip. Dalam
novel tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik dari Simon Zwijger.
2.3.34 Mas Marco
Mas Marco berperan sebagai penulis bebas yang juga dimata-matai oleh
Jacques Pangemanann. Namun perannya dalam novel tidak terlalu mencolok sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
orang yang pernah tampil secara fisik atau personal. Dalam novel Mas Marco hanya
selalu hadir lewat suratkabar yang dibaca oleh Jacques Pangemanann. Dalam novel
juga tidak dideskripsikan secara jelas tentang fisik dari Mas Marco.
Dalam novel diceritakan bahwa Mas Marco telah mendirikan sebuah kerajaan
atau dalam arti kata sebuah organisasi bagi dirinya sendiri di Sala. Diceritakan juga
dalam novel bahwa Mas Marco adalah anak rohani Minke. Mas Marco adalah anak
didik atau murid dari Minke. Mas Marco diceritakan sering menyurati seorang wanita,
yaitu Siti Soendari untuk berdiskusi melalui surat.
Mas Marco juga pernah ditangkap dan ketika dilepaskan di penjara Sala, dia
disambut oleh segelintir orang yang memuja-mujanya. Ketika keluar dari penjara, Mas
Marco kemudian pergi mengunjungi rumah Siti Soendari. Namun dirinya tak bertemu
dengan Siti Soendari.
“Sandiman dan Marko menghilang membawa kebebasannya yang
sangat berharga itu….” (Toer, 2006: 306)
“Memang benar rabaanmu, Marko memang punya kekuatan. Dan
kekuatannya adalah nalurinya tentang keadilan. Ia punya kekuatan, karena ia
kerahkan seluruh wujudnya untuk memenangkan keadilan. Jangan kau kira tak
ada seorang Hindia pun tidak memprotes perlakuan Gubermen atas dirimu.
Memang Samadi tidak. Mas Tjokro juga tidak. Hanya Marko-mu yang angkat
bicara. Tapi dia tidak bicara pada Gubermen. Dia bicara pada pendengar-
pendengar yang kurang tepat. Dia belum berani nyatakan protesnya dalam
tulisan untuk semua orang. Pada suatu kali mungkin juga ke sana
perkembangannya.”
“Baik, Pitung modern, akan ku sediakan map khusus untuk pengikutmu
yang paling setia ini. Dan Marko, mulai sekarang kau akan menyertai aku dalam
Rumah Kaca pada mejaku.” (Toer, 2006: 317).
“Ketika masih berada di bawah ketiak gurunya, ia adalah seorang
Marko. Setelah gurunya pergi mendadak ia mengubahnya menjadi Marco.”
(Toer, 2006:328).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
2.3.34 May Le Boucq
May Le Boucq dalam novel berperan sebagai penyanyi Prancis yang dikagumi
oleh Jacques Pangemanann. Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer,
tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik tokoh May Le Boucq.
“Dede pergi dan tak lama kemudian terdengar nyanyian populer Prancis
keluar dari fonograf, dinyanyikan oleh penyanyi yang sedang muncul di
gelanggan ketenaran: May Le Boucq. Nyanyian itu adalah Cintaku Takut Sang
Surya, sebuah nyanyian Paris sejati.”
“Tamuku tercengang. Matanya tak lagi gugup. Kepalanya menunduk
dan bergumam, “Paris! Tak ada buatan manusia lebih indah dari Paris!” Ia
angkat kepalanya, memandangi aku. “Orang Prancis mana yang tak kenal suara
itu?”
“May Le Boucq!” aku menyorong.
“Dan tak ada suara lebih indah daripada suara penyanyi Prancis.” (Toer,
2006: 271)
2.3.35 Siti Soendari
Dalam novel Rumah Kaca, Siti Soendari berperan sebagai seorang penulis di
suratkabar dan wanita pertama yang sering berpidato di hadpan Pribumi. Siti Soendari
juga seorang aktivis nasionalisme dalam sebuah organisasi Pribumi.
Diceritakan dalam novel bahwa kemunculan Siti Soendari, seorang wanita yang
membuat pemerintahan Hindia kala itu terguncang dengan tulisan dan pidato-
pidatonya. Siti Soendari adalah seorang lulusan H.B.S. Semarang.
“Pemunculan baru dengan nama Siti Soendari diduga adalah seorang
lulusan H.B.S Semarang beberapa tahun yang lalu. Sudah sejak di H.B.S. ia
memperlihatkan bakat dan kesukaan menulis…,” (Toer, 2006: 360).
Dideskripsikan dalam novel fisik dari tokoh Siti Soendari sebagai berikut.
“Tentunya cantik,” kataku menyarani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
“Demikian yang pernah disampaikan. Bila dia sedang bicara petugas-
petugas tak tahu lagi apa yang dikatakannya, lebih banyak terpesona kepada
kecantikan dan keluwesannya, pada senyumnya, pada giginya yang nampak
gemerlapan, pada tingakah-lakunya yang gemulai, pada bibirnya yang merah
dan selalu basah.” (Toer, 2006: 366-367).
“Pertama aku melihatnya,” sambung Komandan Polisi, “ia berkain
batik tanpa tanpa wiru. Wajahnya, kata peribahasa Pribumi, seperti daun sirih.
Kulitnya langsat, bibirnya tipis penuh. Orang akan terpikat pada bibirnya bila
sedang bicara.” (Toer, 2006: 368).
Dalam novel diceritakan bahwa saat itu, dalam keadaan senyap mencekam,
tiba-tiba sebuah koran dari Semarang membuat perhatian orang menggeregap bangun
dan meloncat. Surat itu berbahasa Belanda yang ditulis dan diberi inisial S.S. Jacques
Pangemanann menerka bahawa itu adalah tulisan Siti Soendari. Di dalam suratkabar
tersebut, dengan gaya penulisannya, Siti Soendari mencoba membesarkan hati
Pribumi. Namun, Jacques Pangemanann tidak ingin untuk menangkap Siti Soendari.
Alasan itu karena Siti Soendari seorang wanita.
Setelah Jacques Pangemanann mencaritahu kebenaran tentang Siti Soendari,
ternyata di dapati bahwa Siti Soendari adalah seorang lulusan H.B.S. . Siti Soendari
juga pernah menjadi aktivis Jong Java, aktivis Pemalang Bond, dan sebuah organisasi
pelajar Pribumi sewaktu masih duduk dibangku sekolah. Dan dalam organisasi
tersebut, dia selalu menjadi pemimpin. Setelah lulus dari sekolah, Siti Soendari
kemudian menjadi pengajar pada sebuah sekolah swasta. Kemudian Siti Soendari
pindah dan mengajar di sekolah dasar swasta Boedi Moeljo. Keterangan berikutnya
bahwa Siti Soendari adalah anak dari seorang ayah jebolan STOVIA dan menjabat
sebagai kepala Pegadaian Negeri Pemalang dan sebagai tuan-tanah yang berhasil. Siti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Soendari tak begitu mengenal ibunya karena ibunya meninggal sewaktu Soendari
berumur tujuh bulan. Siti Soendari mempunyai seorang kakak dan sedang belajar di
Belanda.
Jacques Pangemanann kembali mendapat sebuah laporan bahwa, “Siti
Soendari selalu berpakaian rapi, berkain dan berkebaya, berselop beledu hitam,
yang disulam berbunga-bunga. Kainnya terpasang sampai mata-kaki, datar, tak
ada bagian lebih rendah atau lebih tinggi. Sanggulnya dihias dengan tusuk
sanggul dari tanduk, dihias dengan keris kecil dari perak. Kebayanya selalu dari
kain katun bikinan Nederland. Sebagaimana patutnya pada wanita Jawa, ia
selalu mengenakan perhiasan dari emas yang termasuk mahal. Bahkan anting-
antingnya dari berlian biru.” (Toer, 2006: 405).
Diceritakan juga dalam novel, Siti Soendari yang suka berpindah-pindah
membuat sang ayah kebingungan untuk mencarinya. Ketika itu Gubermen menegur
ayahnya karena sikap dan aktivitas Siti Soendari membuat Gubermen terancam.
Gubermen kemudian memerintahkan ayahnya untuk menghentikan aktivitas Soendari,
anaknya. Ketika ayahnya mencari, Siti Soendari tidak pernah ditemukan. Ketika di
Pemalang, ayahnya akhirnya menemukan Siti Soendari. Ketika itu ayahnya meminta
Siti Soendari untuk pulang ke rumah. Namun Siti Soendari tak ada niat untuk mengikuti
perintah ayahnya. Ketika ayahnya terus mengikuti anaknya, ditemukan bahwa Siti
Soendari mengikuti sebuah rapat umum yang diselenggarakan V.S.T.P, Vereeniging
van Spoor en Trampersoneel yang bermarkas di Semarang. Dalam acara itu, Siti
Soendari terlihat berkobar-kobar saat menyampaikan pidatonya, yang disaksikan
langsung sang ayah. Dan saat itu juga, orang-orang meneriakan nama Soendari,
“Hidup Juffrow Soendari!!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Diceritakan juga bahwa ketika itu Siti Soendari bersama ayahnya pergi ke
sebuah tempat yang tak diketahui oleh Soendari. Disana dia ditanyai oleh seorang ibu
tentang pernikahannya. Namun Siti Soendari menolak dan tidak mau menikah. Dirinya
dan ayahnya pernah dipesan oleh Minke bahwa jangan pernah memaksa Siti Soendari
untuk menikah.
Dapat disimpulkan bahwa Siti Soendari adalah seorang perempuan yang cantik,
sopan, kuat, berprinsip keras, punya pendirian dan berjiwa nasionalisme dan berjiwa
pemimpin. Dia juga mencintai sang ayah.
2.3.36 Tuan Gr
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, fisik tokoh Tuan Gr.
tidak di jelaskan secara deskriptf dan jelas. Peran Tuan Gr. juga tidak diceritakan dan
dijelaskan dalam novel. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa Tuan Gr. bertemu
dengan Jacques Pangemananann saat diperkenalkan oleh Tuan R. setelah mereka
tinggal bertiga diruangan A. Tuan Gr. kemudian mengatakan bahwa dia mengenal ayah
dari Jacques Pangemanann adalah seorang apoteker dan sudah keluar dari perusahaan.
Tuan R. kemudian mengatakan bahwa Tuan Gr. adalah partner kerja bersama Jacques
Pangemanann.
Tuan Gr. diceritakan juga adalah seorang yang ahli tentang perkembangan
orang-orang Tionghoa di Hindia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
2.3.37 Strooman
Strooman berperan sebagai seorang marine dari Angkatan Laut Hindia Belanda
di Malang. Strooman adalah seorang peranakan Eropa yang bertemu dengan Jacques
Pangemanann di hotel orang Eropa. Tak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik dari
Strooman.
Di kutip dalam novel bagaimana pertemuan Strooman dan Jacques
Pangemanann.
“Ketika aku menghampiri meja bilyard, seorang peranakan Eropa telah
merampas tongkat yang hendak kupergunakan.
“Dengan ijin siapa kowe masuk ke mari?” gertaknya.
Dengan cepat pandanganku menggelincir pada pakaianku yang serba
putih, pada sepatu coklatku yang mengkilat dengan talinya yang tersimpul rapi.
Komandan Polisi Malang yang membawa aku kemari, Tuan
Roedentaal, sedang bicara dengan seorang berseragam marine.
Kata-kata peranakan itu sungguh menusuk perasaan, sekalipun aku
sendiri juga pernah menggunakannya terhadap orang lain.
“Komandan Polisi Malang, Tuan Roedentaal,” jawabku dalam Belanda.
“Biar malaikat pun tak punya hak memasukan Pribumi dan anjing ke
mari!” dengusnya geram dalam Melayu.” (Toer, 2006: 361-362).
“Terimakasih, Tuan,” kataku dalam Belanda. “Kalau Tuan tahu barang
sedikit kesopanan…..”
Peranakan itu naik pitam dan mengamangkan tongkat bilyard itu
padaku. Ketika itulah Tuan Roedentaal menengahi, “Tuan Strooman, rasanya
tak patut tindakan Tuan ini. Tuan Pangemanann adalah pensiunan Komisaris
Polisi, pejabat tinggi pada Algemeene Secretarie, dan sedang menjalankan
tugas untuk Tuan Besar Gubernur Jendral.” (Toer, 2006: 362).
Dapat disimpulkan bahwa Strooman mempunyai sikap tak sopan, acuh tak acuh
dan sombong.
2.3.37 Semaoen
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Semaoen
berperan sebagai anggota dari V.S.T.P, Vereeniging van Spoor en Trampersoneel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Diceritakan dalam novel bahwa ketika dalam sebuah acara yang diselenggarakan di
Semarang oleh V.S.T.P, Semaoen muncul dan memperkenalkan dirinya pada ayah Siti
Soendari.
“Seorang bocah berperawakan pendek, bercelana panjang dan
berkemeja pendek, semua serba putih, dengan gesitnya menghidangkan air teh.
Setelah meletakan gelas-gelas, ia berdiri tegak dan dalam Belanda yang lancar
mengucapkan selamat datang pada sang ayah dan sukses di atas podium untuk
Siti Soendari. Setelah itu iamembungkuk seperti seorang penggawa Kerajaan
di istana-istana Eropa dan memperkenalkan dirinya:
“Namaku Semaoen. Aku akan suka sekali mengenangkan peristiwa
gemilang ini. Tuan tentu akan demikian juga,” katanya kepada ayah Soendari.”
(Toer, 2006: 431).
“Garis S-S-Y semakin membuncah. Seorang bocah berumur enam belas
tahun, bertubuh pendek, yang beberapa tahun lalu masih melayani tamu-tamu
V.S.T.P. Semarang, dengan kelebihannya karena telah membacai beberapa
buku berbahasa Belanda, dan berbakat pandai bicara, telah memperlihatkan diri
sebagai calon agitator yang tangguh. Bocah itu bernama Semaoen. Dialah yang
paling gencar dan paling kencang memperingatkan pada umum: Janji Kerajaan
itu tak lain daripada kenyataan, bahwa posisi Hindia Belanda dan Kerajaan
Belanda dalam keadaan lemah, maka organisasi-organisasi Pribumi jangan
sampai terperosok menyambut tangan kerajaan yang diulurkan.” (Toer, 2006:
608).
“……Dari mulut si bocah itu pula untuk pertama kali Pribumi mengenal
kata-kata sihir seperti imperialisme, kapitalisme, nasionalisme,
internasional…..” (Toer, 2006: 610).
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Semaoen adalah seorang anak yang berani,
berjiwa nasional, cerdas dan giat dalam beroganisasi.
2.3.38 Mas Soewoyo
Mas Soewoyo berperan sebagai seorang Sekertaris Oemoem Boedi Moeljo.
Dalam novel tersubut tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik dari Mas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Soewoyo. Diceritakan bahwa Mas Soewoyo bertemu dengan Jacques Pangemanan
untuk memenuhi undangan dari Algemeene Secretarie.
“Begitu memasuki ruanganku ia berdiri membungkuk dan dengan gaya
berpidato di depan sebuah perayaan sekolah berkata, “Wakil Boedi Moeljo,
Mas Sewoyo, datang menghadap atas panggilan Algemeene Secrtarie”.
Belandanya lancar tak ada celanya. Lidah Jawanya sudah banyak terkikis.”
(Toer, 2006: 464)
“Ia duduk di kursi sambil meletakan tasnya di atas lantai. Aku angkat
tas itu dan aku letakan di atas meja. Nampak olehku ia mengenakan selop dari
kulit kualitas rendah.” (Toer, 2006: 464).
“Ternyata ia sedang berada di Yogya waktu menerima telegram tentang
akan adanya audiens itu. Ia datang terlambat.” (Toer, 2006: 464)
“Menghadapi seorang penguasa kolonial seperti aku ini, jawabannya
menggambarkan keprimitifannya sebagai seorang organisator. Kalau dia
hadapi Sneevliet jelas ia takkan bakal dapat membela diri. Bahasa Belandanya
memang jempolan, tapi cara berpikirannya masih lemah seperti nenek-
moyangnya. Nampaknya ia berhati baik, dan dengan modal itu tak kenal susah-
payah mengasuh organisasinya, yang tidak mendatangkan sesuatu keuntungan
pribadinya.” (Toer, 2006: 465)
“Maaf, Tuan Pangemanann, aku lebih suka diingat sebagai orang Boedi
Moeljo,” jawabannya yang aku nilai sebagai jawaban gembong. “Pekerjaan
mengurusi generasi muda Jawa ini adalah yang yang terpenting untuk kami.”
(Toer, 2006: 465)
“Dalam pertemuan itu dapat kutarik kesimpulan, Soewoyo berusaha
keras meyakini orang akan keyakinan orang akan keyakinan Boedi Moeljo,
bahwa tak ada seorang pun di antara pemuka-pemuka organisasinya yang
bergiat untuk sesuatu pamrih….” (Toer, 2006: 467).
Dapat disimpulkan bahwa penokohan Soewoyo dalam novel Rumah Kaca
adalah seorang pira yang baik, sopan, berpendidikan, pintar berbahasa Belanda, namun
lemah dalam jiwa nasionalisme, dan tunduk pada perintah kolonial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
2.3.39 Van Limburg Stirum
Van Limburg Stirum atau Jendral Gubernur Van Limburg Stirum berperan
sebagai pengganti Gubernur Jendral Idenburg sebagai Gubernur Hindia. Dalam novel
tidak digambarkan secara deskriptif tentang fisik dari Van Limburg Stirum.
“Pada hari-hari pertama dalam jabatannya, Gubernur Jendral Van
Limburg Stirum nampaknya tampak ada keinginan untuk mengetahui semua
itu. Staf Algemeene Secretarie menjadi tegang. Keadaan di luar istana semakin
bergejolak. Organisasi-organisasi pendukung Gubermen kehilangan inisiatif
untuk berofensif terhadap mereka. Kami menduga, Tuan Besar tidak
mempunyai perhatian terhadap segala yang sedang berkecamuk…..” (Toer,
2006: 474).
“Sembilan hari setelah kedatangannya baru Direktur ku mendapat
panggilan. Tak lama kemudian Tuan Besar datang ke kantor kami dalam
iringannya berikut para ajudan. Ia melakukan pemeriksaan ke semua ruang
kerja. Ia keliahatan tidak begitu angker, banyak senyum, kurang kata-kata.
Pandangan matanya tenang, tapi kepalanya yang agak botak sering
mengangguk, jarang menggeleng.” (Toer, 2006: 475).
Dapat disimpulkan bahwa penokohan Gubernur Jendral Van Limburg Stirum
adalah seorang yang tidak tegas, lamban dalam mengerjakan sesuatu, murah senyum
dan tidak terlalu banyak bicara.
2.3.40 Sarimin
Sarimin berperan sebagai seorang agen Polisi klas I yang mempunyai sebuah
buku catatan milik Rientje de Roo. Diceritakan bahwa Sarimin datang ke rumah
Jacques Pangemanann untuk memberitahukan kematian Rientje de Roo. Saat itu
memang Jacques Pangemanann sedang menunggu Rienjte de Roo. Alasan Sarimin
memberitahukan kematian Rientje de Roo adalah karena nama Jacques Pangemanann
tercatat dalam buku catatan milik Rientje de Roo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Hal itu membuat Jacques Pangemanann ketakutan dan marah. Ia meminta buku
catatan itu, namun Sarimin menolaknya dan meminta uang tebusan untuk buku catatan
itu. Sarimin mengaku bahwa dia akan mengawini anaknya dan meminta uang untuk
itu. Jacques Pangemanann tahu bahwa dia berbohong dan dia hendak berjudi. Jacques
Pangemanan pun menawarkan jumlah uang padanya, namun Sarimin menolak dengan
alasan terlalu rendah. Sarimin meminta sembilan ratus gulden. Namun Jacques
Pangemanann merasa terlalu tinggi. Sarimin pun tak kehabisan akal. Dia mengancam
akan mengatakannya semua di pengadilan. Jacques Pangemanann pun memberikannya
tigaratus gulden sebagai panjar. Sarimin pun menerimanya dan mengatakan bahwa
dalam satu minggu Jacques Pangemanann harus melunasinya dan menemuinya di
rumah untuk mengambil buku dan melunasinya.
Beberapa kali Jacques Pangemanann mencari Sarimin dan tak
mendapatkannya. Dan ketiga kalinya ia akhirnya bertemu dengan Sarimin. Saat itu
koran-koran sedang hangat memberitakan kematian Rientje de Roo. Saat pertemuan
itu, Sarimin kemudian mengajak Pangemanann untuk berjalan-jalan dan sampai
disebuah warung makan sate. Di waurng makan sate itulah terjadi negosiasi yang
sangat licik dari Sarimin. Dia terus membuat Jacques Pangemanann merasa terancam.
“Rupa-rupanya aku tak dapat menundukan bajingan tengik ini.
Sekiranya dia dulu melakukan tugas Suurhof untukku, mungkin aku lebih
berhasil. Menyesal juga baru aku temui dia sekarang.” (Toer, 2006: 489).
Kemudian diceritakan bahwa ternyata Sarimin mempunyai salinan dari buku
catatan itu. Sarimin pun berjanji, jika semua uang yang dia kehendaki sudah diberikan
padanya, dia akan melenyapkan buku aslinya. Dengan cepat lalu Jacques Pangemanann
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
memberikannya uang yang dikehendakinya. Setelah semua keinginan Sarimin
terpenuhi, mereka berjabatan tangan, Sarimin menerima uang, dan Jacques
Pangemanan menerima buku itu. Sarimin kemudian membakar salinan dari catatan itu.
Mereka berdua kemudian berpisah.
Setelah kejadian itu, Jacques Pangemanan kemudian mencari tahu riwayat dari
Sarimin.
“….. ia anak pungut seorang keluarga peranakan Eropa, yang telah
tumpas karena tbc. Ia seorang agen polisi yang mendapatkan catatan baik,
sehingga lebih cepat daripada yang lain-lain telah meningkat jadi agen klas
satu.” (Toer, 2006: 490-491).
Dapat disimpulkan bahwa Sarimin adalah seorang polisi yang cerdik, suka
bermain judi, pengancam, pembohong, licik, walaupun dalam tingkat akademik
kepolisian, dia seorang yang baik dan pintar.
2.3.41 Tuminah
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Tuminah
berperan sebagai seorang pembantu di rumah Jacques Pangemanann. Dalam novel
tersebut tidak dijelaskan secara deskriptif tentang fisik dari Tuminah.
Tuminah adalah seorang babu yang tetap setia menemani Jacques
Pangemanann ketika dirinya, Jacques Pangemanan, sedang berada dalam keadaan
depresi dan mabuk. Tumina adalah orang yang selalu membantu Jacques Pangemanann
dalam mengurusi rumahnya.
“Kau semakin tua juga, Pangemanann, Jacques. Di dunia ini tak ada lagi
yang mempedulikan kau kecuali Tuminah. Dia yang mengurus semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
kebutuhanmu dalam keadaan kau seorang diri menghabiskan sisa hidupmu.
Semua yang ada di luar rumah ini mencabik-cabik dan menelanmu.” (Toer,
2006: 497).
Diceritakan bahwa saat itu Jacques Pangemanann dalam keadaan yang sangat
depresi dan sedang minum. Tiba-tiba Tuminah mengatakan bahwa dirinya takkan
memberikan kunci buphet kepada Pangemanann. Dia tidak mau Jacques Pangemanann
minum sampai besok.
Dapat disimpulkan bahwa Tuminah adalah seorang yang baik hati, penyayang,
setia kepada majikannya.
2.3.42 Goenawan
Dalam novel tersebut, tokoh Goenawan berperan sebagai teman lama dari
Minke sewaktu masih terlibat di S.D.I.. Pertemuan keduanya saat itu diceritakan bahwa
Goenawan melihat seorang pria yang wajahnya sangat ia ketahui. Goenawan pun
mengikutinya dari belakang, dan tiba-tiba mengambil tas orang itu dan menaikannya
ke atas delman. Dalam novel tidak digambarkan secara deskriptif bagaimana fisik dari
Goenawan.
Diceritakan dalam novel, Goenawan akhirnya membawa Minke ke rumahnya.
Goenawan tahu bahwa Minke sedang sakit. Ia merasakan suhu badan temannya itu.
Saat sampai di rumah, mereka berbicara panjang lebar. Setelah percakapan itu,
Goenawan kemudian membawa Minke ke seorang dokter Jerman, yaitu Berhard
Meyersohn.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
2.4 Latar
Latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menunjuk pada
menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2015: 305). Later atau setting kemudian dibedakan lagi menjadi tiga unsur latar, yaitu
latar waktu, latar tempat, dan latar sial budaya. Dalam katiannya dengan penelitian ini,
latar berfungsi menjelaskan kapan terjadinya tindak kekerasan, tempat terjadinya, dan
bagaimana latar belakang sosial atau kultural pada masa itu (sesuai cerita dalam novel).
2.4.1 Latar Waktu
(Nurgiyantoro, 2015: 31), latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita fiksi. Latar waktu
dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika diagram secara teliti, terutama
jika dihubungkan dengan waktu sejarah.
Dalam penelitian ini, latar waktu yang akan dikaji dan dipaparkan adalah latar
waktu yang berhubungan dengan waktu berdasarkan zaman terjadinya dan latar waktu
yang berhubungan dengan terjadinya tindak kekerasan. Berikut pemaparan tentang
latar waktu berdasarkan novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
2.4.1.1 Tahun 1912
Dalam nove Rumah Kaca, Tahun 1912 adalah latar awal waktu penceritaan
dimulai. Latar waktu 1912 adalah latar wakut yang menunjukan sebuah pergolakan
hebat di Hindia. Pergolakan yang terjadi adalah pergolakan revolusi di Asia, tepatnya
di Tiongkok yang sampai menyebar ke Hindia. Pergolakan revolusi itu pun membuat
Pribumi di Hindia menjadi gencar dengan membentuk sebuah organisasi-organisasi
modern, yang kala itu dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama R.M. Minke. Tahun
1912 adalah tahun pengantar latarbelakang cerita sebelum maju kearah waktu cerita
yang ada.
Pada tahun itu, Gubernur Jendral Idenburg masih menjadi Gubermen di Hindia.
Pada tahun itu, tokoh utama dalam novel, Jacques Pangemanann menjabat sebagai
Inpektur kepolisian tingkat I..
2.4.1.2 Tahun 1914
Dalam novel tidak disebutkan tahun 1914. Berdasarkan kajian yang ada,
peneliti mendapatkan bahwa pada tahun 1914 adalah waktu dimana Gubernur Jendral
di Hindia mengambil jamannya sendiri dan tak dapat menentukan niat awalnya sebagai
orang yang mempunyai jiwa kemanusiaan.
Bukti penelitian ini dapat dibuktikan dari kutipan novel sebagai berikut.
“…. Datanglah sang pengganti laksana pangeran dari kahyangan, lepas
santai berlenggang-kangkung. Hatinya besar, kepalanya gede berisi sejuta
rencana kemanusiaan. Tak tahunya, tak lebih dari 3 tahun kemudian – waktu ia
semestinya berhasil memperlihatkan wajah malaikat Nederland, Eropa, jaman
mendadak berkisar mengambil arahnya sendiri….” (Toer, 2006: 1).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
2.4.1.3 Tahun 1911
Dalam novel diceritakan bahwa pada tahun 1911 adalah tahun revolusi
Tiongkok terjadi. Tahun 1911 juga menjadi tahun pertama Jacques Pangemanann di
perintahkan untuk memata-matai aktivitas Minke.
Dalam novel diceritakan pada awal tahun 1911, di Kantor Besar Kepolisian
Betawi, atasan Jacques Pangemanann, Donald Nicolson mendapat tugas dari
Algemeene Secretarie untuk memata-matai orang-orang yang terlibat dalam organisasi
S.D.I., termasuk R.M. Minke. Dan tugas itu diberikan oleh Jacques Pangemanann.
2.4.1.4 Tahun 1919
Dalam novel Rumah Kaca, tahun 1919 adalah tahun pengangkatan jabatan
Jacques Pangemanann dari Inspektur menjadi Komisaris dan dibebas tugaskan dari
lapangan. Dalam novel memang tak dituliskan tahun 1919. Namun dalam kutipan
novel ini dapat disimpulkan bahwa tahun pengangkatan jabatan Jacques Pangemanann
menjadi Komisari adalah tahun 1919. Dan kesimpulan dari hasil waktu tahun 1919,
didapati bahwa tahun inilah Jacques Pangemanann menuliskan catatannya yang diberi
judul Rumah Kaca.
“Dalam hanya tujuh tahun aku telah meningkat dengan lompatan
menjadi Komisaris dan dibebaskan dari pekerjaan lapangan ataupun kirminal.”
(Toer, 2006: 83).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
2.4.1.5 Siang
Dalam novel diceritakan saat itu Jacques Pangemanann dan Robert Suurhof
bersama tiga kawannya sudah merencanakan untuk datang ke rumah Minke.
diceritakan bahwa Jacques Pangemanann kala itu memerintahkan Robert dan kawan-
kawannya untuk terlebih dulu masuk ke dalam rumah. Jacques Pangemanann-pun
menunggu mereka di bawah sepokok kayu jalan. Matari kian condong, Jacques
Pangemanann menarik sebatang rokok dan membakarnya. Saat itu terdengar suara
“Darr!”, suara tembakan dari dalam rumah Minke. Jacques Pangemanann kaget dan
menuduh bahwa Robert Suurhof dan teman-temannya sudah melakukan kesalahan
dalam tugasnya. (Toer, 2006: 25).
2.4.1.6 Jam sembilan Pagi (Pertemuan dengan Tuan. L.)
Dalam novel diceritakan bahwa pada suatu hari datang instruksi baru buat
Jacques Pangemanann untuk pergi ke s’Landscharchief dengan surat pengantar dari
kantor Algemeene Secretarie yang berkedudukan di Buitenzorg. Perintah itu datang
sendiri atas dasar rencana-kerja yang dibuat oleh Pangemanann.
Di gedung s’Landscharchief itu lah pertemuan pertama Jacques Pangemanann
dan tokoh L., seorang tokoh yang mempelajari dan sangat menguasai perihal Pribumi
Jawa. Gedung s’Landscharchied adalah sebuah gedung yang berisi dokumen-dokumen
sejarah yang harus dipelajari oleh Jacques Pangemanann. (Toer, 2006: 102-104).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
2.4.1.7 Sore (Kemunculan Prinses Kasiruta dan Piah)
Dalam novel diceritakan saat itu sore-sore, Jacques Pangemanann sedang
duduk berdua di pelataran rumah bersama Tuan L.. Saat itu Tuan L. dan Jacques
Pangemanann sedang bercerita tentang Pribumi Jawa. Dan tiba-tiba di depan rumah,
dua orang perempuan sedang berdiri memegang pagar. Saat itu yang dibelakang
menarik-narik yang di depan. Perempuan itu adalah Prinses Kasiruta yang di depan dan
Piah, pembantunya yang berada di belakang. Kemudian Jacques Pangemanann
menyuruh Polisi untuk mengusir kedua pengemis tersebut. Saat itu, Jacques
Pangemanan mengira bahwa kedua perempuan itu adalah pengemis.
2.4.1.7.1 (Kemunculan Prinses Kasiruta dan Piah untuk kedua kalinya)
Dalam novel diceritakan kemunculan Prinses Kasiruta dan Piah untuk kedua
kalinya. Saat itu Jacques Pangemanann sedang menikmati udara sore yang nyaman
sambil menghisap cerutu. Jacques kala itu sedang ingin melupakan pekerjaan di kantor
yang sangat berat. Tiba-tiba muncul dua orang perempuan di depan rumah. Merasa
penasaran, Jacques Pangemanann kemudian mengambil teropong untuk
memperhatikan kedua perempuan itu. Setelah dilihatnya, betapa terkejutnya Jacques
Pangemanann mengetahui kedua orang itu adalah Prinses Kasiruta dan Piah. Sontak
Pangemanann langsung menelepon polisi untuk mengusir dan menggeledah mereka.
Polisi pun kemudian menggeledah dan mengusir kedua perempuan itu. Dari
rumah Pangemanann, suara kesakitan kedua perempuan itu terdengar. Mereka di
tendang dan kemudian di gelandang ke kantor Polisi. (Toer, 2006: 190-193).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
2.4.1.8 Sembilan Pagi (Pertemuan dengan Cor Oosterhof)
Diceritakan dalam novel, di sebuah kamar di Harmonie, Jacques Pangemanann
bertemu dengan seorang teman lama sewaktu mengusut perkara penyelundupan candu
limabelas tahun yang lalu. Pertemuannya dengan Cor Oosterhof adalah untuk memberi
perintah kepada Cor Oosterhof untuk mengadu dombakan kaum Tionghoa di Hindia
dan Pribumi.
2.4.1.9 Awal Tahun 1913
Diceritakan dalam novel, awal tahun 1913, Jacques Pangemanann pergi ke
Sukabumi. Kota yang selama ini dihindarinya. Saat itu Jacques Pangemanann menaiki
mobil dan ketika sampai di Sukabumi, ternyata mobil yang ditumpangi Jacques tak
bisa masuk dikarenakan banyak orang dijalanan membawa segala macam barang-
barang yang takkan mungkin disebutkan satu-persatu. Jacques akhrinya turun dari
mobil. Ia mengikuti orang-orang yang berarak-arak bersorak-sorak. Tiba-tiba arak-
arakan itu pecah dan bertebaran menyerang toko-toko Tionghoa di sepanjang jalan.
Setelah itu Jacques Pangemanann kemudian menaiki ulang mobil tumpangannya. Pada
waktu itu pula seluruh kekuatan kepolisan meninggalkan tangsi-tangisnya, dan tidak
kurang marahnya menyerbu membubarkan gerombolan penyerbu. Mereka memukul
dan menerjang, menghantam dan menendang. Penggada-penggada mereka berayun
turun-naik ke udara dan mendarati tubuh-tubuh manusia……, (Toer, 2006: 220-222).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
2.4.1.10 Pagi (Penangkapan Wardi)
Diceritakan dalam novel, jam setengah sembilan pagi telah datang satu kompi
pasukan KNIL yang siap tempur. Datang dengan iring-iringan truk. Saat itu Jacques
Pangemanann duduk di dalam truk pertama di dekat sopir yang seorang kopral Ambon.
Sesampainya di sebuah daerah, serdadu-serdadu itu melompat turun dan menyebar.
Jacques Pangemanann tetap duduk di dalam truk. Tak lebih dari seperempat jam
kemudian, terlihat Wardi sedang berjalan kaki di jalanan dalam giringan para serdadu.
Semua orang pun melihat kejadian itu. (Toer, 2006: 283).
2.4.1.11 Malam (Mengejar Siti Soendari)
Diceritakan dalam novel, ketika hari semakin gelap, ayah Soendari melihat
putri yang dicarinya selama ini masuk ke gedung wayang setelah ayah Soendari
mengejarnya dengan dokar. Ayahnya yang tak kuat lagi untuk turun karena baru
melihat anaknya kemudian ditolong masuk oleh dua orang bocah yang diupahnya.
Malam itu juga ayah Soendari melihat putrinya berpidato di hadapan orang banyak
yang berkerumun. Acara itu diselenggarakan oleh V.S.T.P. (Toer, 2006: 429)
2.4.1.12 Pagi (Menjemput R.M. Minke)
Diceritakan dalam novel, kapal K.P.M. telah merapat. Udara sangat jernih. Dan
matari nampak riang menyambut kedatangannya. Jam sembilan lewat tujuh menit.
Ketika itu Jacques Pangemanann diberi tugas untuk menjemput R.M. Minke. setelah
kapal bersandar di dermaga, Jacques Pangemanann kemudian mencari keterangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
tempat Minke. Didapatinya keterangan bahwa Minke berada di kabin klas II nomor 22.
Jacques Pangemanann kemudian bergegas ke alamt tersebut. Ia mendapati Minke
sedang duduk di atas ambin sambil merokok tenang-tenang. (Toer, 2006: 528).
2.4.1.13 20 Mei 1918
Diceritakan dalam novel bahwa saat itu organisasi Pribumi menginginkan
kedudukan di Volksraad. Gubernur Jendral Limburg Stirum telah mengambil alngkah
politik untuk membuka Volksraad bagi organisasi Pribumi. Kemudian diceritakan, 20
Mei 1918 mendapatkan hasil bahwa Pribumi yang mendapat kursi di dewan Volksraad
adalah Mas Sewoyo, Mas Tjokro, dan Tjipto, masing-masing diangkat oleh Gubernur
Jendral. Dan orang-orang Pribumi terpilih adalah Abdoel Moeis, Radjiman dan Abdoel
Rivai.
2.4.2 Latar Tempat
Latar tempat menunjukan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai
dalam dunia nyata.
Latar tempat yang akan dikaji dan dipaparkan adalah latar tempat kejadian
berdasarkan zaman terjadinya dan latar tempat yang berhubungan dengan terjadinya
tindakan kekerasan. Berikut pemaparan tentang latar tempat berdasarkan novel Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
2.4.2.1 Hindia
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, latar tempat
penceritaan adalah Hindia. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berlatar tempat secara luas
di Hindia. Diceritakan bahwa saat itu di Hindia sedang terjadi demam organisasi yang
diakibatkan oleh munculnya revolusi Tiongkok. Hal itu membuat seluruh Pribumi di
Hindia merasa memerlukan organisasi untuk melawan pemerintahan Gubermen.
Gejolak untuk membangun organisasi Pribumi yang paling terasa adalah kota-kota
besar di Jawa.
(1) Betawi
Betawi adalah sebuah kota tempat tinggal dan tempat bekerja Jacques
Pangemanann. Sewaktu menjabat Inspektur Polisi tingkat-I, Jacques Pangemanann
bekerja di Kantor Besar Kepolisian Betawi.
Sewaktu bekerja di Kantor Besar Kepolisian Betawi, Jacques Pangemanann
memiliki atasan, yaitu Donald Nicolson. Dari Donald Nicolson lah Jacques
Pangemanann mendapat tugas untuk memata-matai Minke.
(2) Buitenzorg
Di awal cerita, Buitenzorg menjadi tujuan Jacques Pangemanann dan Robert
Suurhof bersama teman-temannya untuk pergi ke rumah Minke. Keberangkatan
mereka ke Buitenzorg adalah untuk menakut-nakuti Minke sesuai dengan perintah
Jacques Pangemanann dari atasannya, Donald Nicolson.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Setelah pembuangan Minke di Ambon, rumah Minke yang berada di
Buitenzorg kemudian ditempati oleh Jacques Pangemanann, istri dan anak-anaknya.
Kepindahan Jacques itu didapatinya karena diangkat menjadi bagian dari Algemeene
Secretarie.
Diceritakan juga bahwa rumah di Buitenzorg itu, sewaktu Jacques
Pangemanann sedang bersantai-santai, tiba-tiba muncul Prinses Kasiruta dan Piah.
Jacques Pangemanann lalu memanggil polisi dan menyuruh menggeledah dan
mengusir kedua perempuan itu. Di depan rumah itu, kedua perempuan itu, Prinses
Kasiruta dan Piah mengalami tindak kekerasan dari polisi istana. Mereka di tendang
dan digelandang ke kantor polisi.
(3) Kwitang
Kwitang adalah nama daerah tempat Rientje de Roo. Diceritakan kala itu
Robert Suurhof yang telah bebas dari penjara melapor pada Jacques Pangemanann
bahwa dia akan bertemu di rumah Rientje de Roo di daerah Kwitang yang tenang. Di
rumah itu lah kali pertama pertemuan Jacques Pangemanann dan Rientje de Roo. (Toer,
2006: 54).
Diceritakan bahwa ketika itu Rientje de Roo menyambut dan menggoda
Jacques Pangemanann. Semua itu dilakukan Rientje de Roo atas perintah Robert
Suurhof.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
(4) Ambon
Diceritakan dalam novel, Ambon adalah tempat pengasingan Minke.
Diceritakan bahwa Jacques Pangemanann mendapatkan perintah melaksanakan vonnis
Raad van Justitie Batavia atas diri Minke, yaitu perintah pengasingan ke Ambon.
Pengasingan itu ternyata di terjadi hanya atas diri Minke. beberapa waktu yang lalu,
seorang Pangeran bernama Van Son. Pangerna itu ditangkap karena sering membuat
keonaran. Sedangkan pembuangan Minke ke Ambon hanya berdasarkan aksi di luar
hukum.
(5) Selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi
Diceritakan bahwa Komandan Jacques Pangemanan, komisaris Van Dam tot
Dam memerintahkan Jacques Pangemanann untuk menupas sisa-sisa gerombolan si
Pitung yang bergerak di selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi. (Toer, 2006:
72).
Ketika itu Jacques Pangemanann yang menjalankan perintah membawa
pasukan gabungan polisi-lapangan Betawi dan Buitenzorg, dengan kekuatan mendekati
gerombolan mendekati enampuluh orang. Diceritakan, bila mau memasuki kampung,
dua-tiga kali tembakan ke udara telah membikin kampung itu sunyi-senyap. Orang
pada berlarian menyembunyikan diri. Hanya anggota-anggota gerombolan yang tidak
sembunyi. Mereka memusatkan diri dibalik-balik rumpun bambu. Mengetahui
kebiasaan ini berarti tahu bagaimana menumpasnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Setelah penumpasan itu terjadi, Jacques Pangemanann mendapatkan tiga ratus
tahanan yang merupakan bukti suksesnya. Dalam keadaan jongkok, para tahanan hanya
menggedikan tumit pada tanah atau meludah yang membuat anggota polisi
menjatuhkan gagang senapan pada kepala mereka.
Diceritakan juga bahwa setelah penumpasan itu, beberapa tahanan merupakan
wanita. Salah seorang yang di interogasi adalah Nyi Juju dan Nyi Romlah. (Toer, 2006:
73-75).
(6) Sala
Sala adalah pusat organisasi S.D.I. Diceritakan bahwa Minke dan Hadji Samadi
bersepakat akan memindahkan pusat organisasi ke Sala. Alasan itu dikarenakan Sala
satu-satunya daerah di Jawa di mana penduduknya masih mengukuhi kepribadiannya
sendiri sebagaimana dinyatakan dalam kehidupan sosial-ekonominya. (Toer, 2006:
198).
Diceritakan kemudian, suatu saat berangkatlah Jacques Pangemanann ke Sala.
Di Sala ia melihat kota itu tenang, wanita-wanita mengisi jalan umum dengan
berselendang batik, menggendong anak, atau bakul atau tas. Semua dikendalikan oleh
wanita. Pengamatan Jacques Pangemanann berlanjut. Menurutnya, semua kegiatan
dilakukan oleh Pribumi sendiri, juga huru-hara yang terjadi pada sore hari untuk
menyambut kedatanganku. Beberapa bengkel orang Tionghoa yang tidak banyak
jumlahnya mendapat serangan dari sejumlah kecil orang. Kemudian kejadian biasa:
penangkapan-penangkapan, pemeriksaan-pemeriksaan dan kelak barangkali:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
pengadilan. Dan semuanya hanya bertujuan menjatuhkan Syarikat dari dalam. (Toer,
2006: 227-228).
(7) Bandung
Diceritakan dalam novel, di sebuah daerah di Bandung, ketika itu Jacques
Pangemanann yang dalam keadaan sakit harus menerima perintah pengangkapan
Wardi. Diceritakan, pada jam setengah sembilan pagi datang iring-iringan truk memuat
satu kompi pasukan KNIL siap tempur. Mereka kemudian bergegas pergi dengan iring-
iringan truk ke sebuah daerah. Para serdadu kemudian melompat turun dan berpencar.
Tak lama kemudian, dalam giringan para serdadu-serdau yang banyak jumlahnya itu,
Wardi berjalan dengan tegap. (Toer, 2006: 283).
(8) Semarang
Diceritakan dalam novel, kota Semarang adalah markas besar dari V.S.T.P.,
Vereniging van Spoor en Trampersoneel. Dalam novel diceritakan bahwa kota
Semarang menjadi tempat Siti Soendari melangsukan pidatonya yang berkobar-kobar
di hadapan orang banyak, Pribumi. Ayah Soendari yang kala itu mencarinya kemana-
mana pun mendapatkan anaknya di Semarang.
(9) Surabaya
Diceritakan dalam novel, kota Surabaya merupakan tempat kapal K.P.M. yang
memuat R.M. Minker tiba. Saat itu Jacques Pangemanann diperintahkan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
menjemput R.M. Minke di pelabuhan Surabaya. Dalam novel diceritakan bahwa
semula Jacques Pangemanann memberi tawaran kepada R.M. Minke untuk turun di
Surabaya atau Betawi. Saat itu Minke ingin turun di Surabaya dan ingin berpelesiran
di sana. Namun Minke tercengang kaget karena ternyata dia belum sepenuhnya bebas.
Jacques Pangemanann ternyata harus tetap mengikutinya kemapun dia pergi sampai
dia mau menandatangani surat dari Jacques Pangemanann.
Saat di Surabaya, banyak tempat yang dikunjungi oleh Minke. Tempat-tempat
itu adalah jalan H.B.S., Kranggan, Wonoromo, di jalan yang didepannya ada gelagah
tak begitu tinggi, dan Kembang Jepun.
(10) Sukabumi
Dalam novel, diceritakan bahwa Sukabumi adalah tempat yang dijadikan
Jacques Pangemanann untuk mengadu-dombakan gerombolan Pribumi dan kaum
Tionghoa. Saat itu Jacques Pangemanann memerintahkan Cor Oosterhof untuk
membuat kekacauan antara Pribumi dan kaum Tionghoa. Dan semua itu dimulai dari
Sukabumi. Jacques Pangemanann sesungguhnya menghindari tempat itu karena itu
adalah tempat pembuangan dari Prinses Kasiruta.
2.4.3 Latar Sosial Budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Berikut ini paparan hasil penelitian latar sosial budaya yang terdapat dalam novel
Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
2.4.3.1 Hindia: Eropa-Belanda
Dalam novel ini, latar sosial-budaya yang mendominasi adalah Eropa-
Nederland. Hasil ini didapati karena, dalam percakapan tokoh-tokoh sering
menggunakan bahasa Belanda. Bukti ini lebih menguatkan bahwa pada tahun 1912,
pemerintahan Hindia masih berada dalam tatanan pemerintah Belanda.
Rangkuman
Demikianlah analisis pendekatan objektif dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Dari hasil analisis yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa novel Rumah Kaca memilik alur maju. Dalam novel Rumah Kaca,
didapati bahwa tokoh utama adalah Jacques Pangemanan dan R.M. Minke. Jacques
Pangemanan adalah penggerak alur dalam cerita tersebut. Sedangkan, R.M. Minke
adalah tokoh sentral yang menjadi awal dari penceritaan dan sebab. Dari hasil analsisi,
dalam novel tersebut didapati ada empat puluh empat tokoh tambahan. Tokoh
tambahan dengan jumlah empat puluh empat tokoh itu sangat berpengaruh dalam
jalannya cerita dan penggambaran sebuah peristiwa yang terjadi dalam novel.
Adapun hasil dari penelitian tentang latar sebagai berikut. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa terdapat satu latar tempat dalam cerita tersebut, yakni:
Hindia. Hindia menjadi latar tempat sentral penceritaan. Adapun latar tempat di Hindia,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
yaitu Betawi, Buitenzorg, Kwitang, Ambon, Sala, Bandung, dan Semarang dan
sebagian diselingkaran Cileungsi, Cibarusa, dan Ciliwung, dan Sukabumi.
Dari hasil penelitian analisis struktural dengan pendekatan objektif yang
meliputi alur, tokoh, penokohan, dan latar, pada Bab II ini, dapat disimpulkan bahwa
dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, banyak ditemukan bentuk-
bentuk kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan itu lebih lanjut akan dibahas dalam bab
berikutnya, yaitu bab III.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
ANALISIS KEKERASAN DALAM NOVEL RUMAH KACA KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pengantar
Pada bab tiga ini, titik-pusat penelitian berfokus pada analisis tindak kekerasan
yang terdapat dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Pada bab
sebelumnya, yakni bab II, telah dipaparkan hasil penelitian struktural pembangun cerita
yang memaparkan tokoh-tokoh yang mengalami tindakan kekerasan. Pad bab III ini,
akan dipaparkan lebih dalam tentang tindak kekerasan yang tejadi dalam novel Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Pemaparan hasil analisis akan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu kekerasan struktural dan kekerasan personal. Berikut hasil analisis yang
akan dipaparkan.
3.1 Kekerasan Struktural
Menurut Galtung, kekerasan struktural bersifat statis, memperlihatkan stabilitas
tertentu dan tidak tampak. Kekerasan struktural juga biasanya disebut sebagai
kekerasan tidak langsung atau bila tidak ada pelakunya. Galtung kemudian
menjelaskan pengertian kekerasan struktural dalam sebuah mekanisme kekerasan
struktural dengan bentuk enam faktor yang mendukung pembagian tidak egaliter
sebagai berikut; 1.) urutan kedudukan linear, 2.) pola interaksi yang tidak siklis, 3.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
korelasi antara kedudukan dan sentralitas, 4.) persesuaian antar sistem, 5.) keselarasan
antar kedudukan, 6.) dan perangkapan yang tinggi antar tingkat, (Windhu, 1992: 75).
3.1.1 Kerasan Struktural terhadap Pemimpin Organisasi Pribumi
(1) S.D.I. (Sarekat Dagang Islam)
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, terdapat beberapa
kekerasan struktural. Diantaranya adalah kekerasan terhadap pemimpin organisasi
Pribumi. Diceritakan dalam novel, Gubernur Jendral Idenburg yang kala itu merasa
ketakutan dengan kebangkitan nasionalisme Pribumi yang ditanamkan melalui
organisasi Pribumi, memerintahkan Jacques Pangemanann dan anggota-anggotanya
untuk memata-matai aktivitas organisasi di Hindia. Organisasi yang paling dilirik oleh
Gubernur Jendral adalah Sarekat Dagang Islam yang dipimpin oleh Raden Mas Minke.
Tindak kekerasan struktural terhadap kaum terpelajar Pribumi dirasakan oleh
R.M. Minke. Kekerasan yang di rasakan oleh R.M. Minke berupa pembuangan ke
Ambon atau dalam teori yang bisa disematkan dalam analisis ini adalah ketidakadilan
sosial dan politik. Diceritakan dalam novel bahwa ketika itu Gubernur Jendral
mengalami sebuah tantangan jaman, yaitu demam organisasi di Hindia. Semua itu
pengaruh dari revolusi Tiongkok. Raden Mas Minke yang tergerak hatinya untuk
membentuk organisasi dan menumbuhkan jiwa nasionalisme dalam Pribumi Hindia
kemudian membentuk sebuah organisasi S.D.I., Sarekat Dagang Islam. Melalui
organisasi ini, keadaan pemerintah Gubernur Jendral merasa khawatir akan jatuhnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
kekuasaannya. Bukan hanya itu, melalui surat kabar Medan, R.M. Minke selalu
menumbuhkan rasa nasionalisme dalam tulisannya. Gubernur Jendral yang merasa
terganggu dengan keberadaan dan pengaruh R.M. Minke sesungguhnya tak punya hak
untuk menghukumnya. Namun Gubernur jendral, melalui hak exorbitant-nya
kemudian menjatuhkan hukuman kepada Minke yaitu pengasingan ke Ambon. Atau
dalam novel disebut menjalani hukuman vonnis Raad van Justitie Batavia.
Dalam novel tersebut diceritakan sebanyak tiga kali Jacques Pangemanann – orang
yang mendapat tugas untuk memata-matai aktivitas Minke – pergi menemui R.M.
Minke. Diceritakan dalam novel, kali pertama Minke kedatangan tamu di rumahnya,
yaitu segerombolan dari Robert Suurhof. Ketika itu Jacques Pangemanann hanya
menunggu di luar rumah. Tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat Robert
Suurhof dan teman-temannya lari. Hal itu dikarenakan istri dari Minke – Prinses
Kasiruta – menembak mereka dengan revolver.
Kedatangan kedua Pangemanann kemudian berujung pada kecurigaan Minke atas
dirinya yang sedang dimata-matai. Hal itu membuat dirinya harus menjadi orang yang
bermuka dua. Kemudian kedatangan ketiga Pangemanann adalah ketika mereka akan
menangkap Minke tanpa terjadinya suatu insiden kematian. Saat itu Jacques
Pangemanann datang bersama Robert Suurhof dan polisi. Namun ketika itu Minke
berhasil lari karena dia telah mencurigai orang-orang yang akan menangkapnya. Tapi
kejadian lain terjadi, yaitu Robert Suurhof dan teman-temannya jatuh dan menjelempah
di tanah. Maka atas kejadian itu pun, Minke di jatuhi hukuman pengasingan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Ketika pulang dari pengasingannya, Minke ternyata belum sepenuhnya bebas.
Minke harus menandatangani sebuah surat persetujuan untuk tidak mencampuri urusan
politik dan organisasi. Namun saat itu dia menolak untuk menandatanganinya.
Tokoh yang mendapat kekerasan struktural juga dialami oleh Hadji Samadi.
Selepas pembuangan R.M. Minke sebagai pimpinan S.D.I., Hadji Samadi kemudian
menggantikannya dan mengubah nama organisasi itu menjadi Sarekat Islam. Kenaikan
jumlah anggota organisasi membludak di kubu Sarekat Islam. Kemudian datanglah
sebuah suratkabar berbahasa Inggris yang mengatakan bahwa Hindia adalah neraka.
Suratkabar berbahasa Inggris itu juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam
itu bisa saja menjatuhkan kekuasaan Gubernur Jendral. Mendengar hal itu, Gubernur
Jendral pun naik-pitam. Melalui anggotanya, dia lalu memerintahkan untuk meredam
laju arus bertambahnya anggota Sarekat Islam.
Jacques Pangemanann yang ketika itu mendapat tugas untuk meredam anggota
Sarekat Islam kemudian memerintahkan Cor Oosterhof untuk membuat suatu
kerusuhan yang melibatkan Syarikat Islam dan orang-orang Tionghoa. Alasan itu di
gunakan Jacques Pangemanan agar pers luar negeri menganggap organisasi Islam di
Hindia tidak berarti sama sekali. Hal yang lain adalah agar orang-orang Tionghoa tetap
setia kepada Gubermen. Kerusuhan tersebut pun dikatakan bahwa Sarekat Islam
terlibat dalam penyerangan tersebut. Hadji Samadi, sebagai pimpinan, diberi
peringatan oleh Gubermen. Sarekat Islam yang dipimpin oleh Hadji Samadi kemudian
mengadakan konperensi pers nasional di Sala. Semua terasa mencekam ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Gubermen menekan Sarekat Islam. Oleh karena itu, Hadji Samadi kemudian mencari
penggantinya, yaitu Mas Tjokro.
Dari hasil analisis tersebut, maka didapati bahwa kekerasan struktural terhadap
pemimpin organisasi Sarekat Dagang Islam didorong oleh urutan kedudukan linear dan
pola interaksi yang tidak siklis. Sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi, R.M.
Minke dan Hadji Samadi tentunya mendapat suatu ancaman yang luar biasa dari
penguasa yang ada pada jaman itu. Oleh karena itu, urutan kedudukan linear terjadi
sebagai pendorong kekerasan struktural. Pola interaksi yang tidak siklis mencakup
bahwa keberadaan organisasi tersebut merupakan suatu kerugian besar dengan
ketakutan adanya pemberontakan yang dimungkinkan akan terjadi. Dengan adanya
kecemasan itu, pola interaksi yang tidak siklis pun terjadi dan mendorong adanya
tindakan kekerasan struktural.
(2) Indische Partij’
Indische Partijí’ adalah partai politik pertama di Hindia. Partai tersebut didirikan
oleh dua kaum terpelajar Pribumi, yaitu Wardi dan Tjiptomangun, dan satu orang
Eropa, D. Douwager.
Mereka bertiga dikenal dengan triumvirat atau trio D-W-T, dengan partai Indische
Partij’-nya mampu membuat Gubernur Jendral kala itu merasa terganggu atas
kehadiran mereka. Indische Parti’ mempunyai sebuah redaksi suratkabar, yaitu De
Express. Melalu surat kabar De Express, trio D-W-T mampu menyampaikan aspirasi-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
aspirasi yang membuat Gubernur Jendral naik-pitam. Diceritakan dalam novel, melalui
suratkabar De Express triumvirat menyatakan ketidakadilan yang terjadi di Hindia.
Mereka memberla orang-orang peranakan Eropa yang digaji tidak sama dengan Totok,
walaupun pekerjaan mereka sama. Hal lain juga ketika mereka membuat suratkabar
yang memuat tentang lepasnya kekuasaan Prancis atas Nederland. Pesta perayaan
Nederland yang diadakan di Hindia kala itu tak di muat oleh De Express. Redaksi
mereka malah mempertanyakan arti dari kemerdakaan itu di dalam pemerintahan di
Hindia yang sedang dilanda ketidakadilan menurut mereka.
Setelah beredarnya suratkabar tersebut, Gubernur Jendral akhirnya memakai hak-
hak exorbitant-nya untuk pembuangan triumvirat.
Diceritakan dalam novel tentang penangkapan Wardi. Ketika itu Jacques
Pangemanann bersama iring-irangan truk polisi siap tempur pergi menuju ke sebuah
daerah. Sesampainya disana, Wardi-pun ditangkap. Wardi kemudian diberi pilihan,
pembuangan di dalam atau di luar Hindia. Wardi memilih di luar Hindia, Eropa. Bukan
hanya Wardi, kedua pimpinan lain Indische Partij, D. Douwager dan Tjiptomangun
juga dibuang. Dan mereka memilih di luar Hindia.
Dari hasil analisis yang ada, dapat ditemukan bahwa faktor pendorong terjadinya
kekerasan struktural terhadap pemimpin Indische Partij adanya interaksi yang tidak
siklis. Keberadaan De Express, sebagai suratkabar Indische Partij’ yang memberitakan
tentang keberpihakan terhadap peranakn Eropa, membuat interaksi menjadi tidak siklis
antara pemimpin-pemimpin Indische Partij´ dan pemerintah Hindia. Terjadilah
kekerasan struktural dengan pembuangan terhadap triumvirat Indische Partij’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
3.1.2 Kekerasan Struktural Pelajar Pribumi
(1) Jacques Pangemanann
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, kekerasan struktural
ternyata tidak hanya dialami oleh Pribumi yang tingkat sosialnya rendah atau tak punya
jabatan dalam pemerintahan Hindia. Tokoh utama dalam novel, Jacques Pangemanann,
yang adalah seorang anggota kepolisian yang juga menjadi bagian dari pemerintah
Hindia juga mengalami kekerasan struktural.
Dalam novel diceritakan bahwa Jacques Pangemanann yang ketika itu masih
menjabat sebagai Inspektur kepolisian, ditugaskan untuk memata-matai aktivitas R.M.
Minke. Bagi Jacques Pangemanann, Raden Mas Minke bukanlah orang yang terlibat
kasus kriminal. Jacques Pangemanann semula ingin menolak dan bahkan ingin
membantu R.M. Minke untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu membangun semangat
nasionalis Pribumi di Hindia. Jacques Pangemanann merasa R.M. Minke adalah
seorang guru yang sangat dia hormati dan kagumi karena cita-cita dan tujuannya untuk
Pribumi Hindia.
Namun kenyataan berkata lain. Jacques Pangemanann yang ketika itu menjadi
bagian dari pemerintah Hindia – saat itu masih Inspektur – karena ancaman dari
atasannya, dari komisaris besar, dan juga dari Gubernur Jendral Idenburg, dirinya
terpaksa melaksanakan perintah untuk memata-matai aktivitas Minke. Bukan hanya
itu, dia dibebani tugas untuk membendung laju arus bertambahnya anggota S.D.I., yang
dipimpin oleh Raden Mas Minke.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Bertambahnya anggota S.D.I., maraknya aksi rusuh dari gerombolan Pitung,
berdirinya partai Indische Partij’, munculnya aktivis-aktivis yang berjiwa nasionalis,
membuat Gubernur Jendral semakin khawatir. Semua itu kemudian dibebankan kepada
Jacques Pangemanann. Diceritakan dalam novel, Jacques Pangemanann yang karena
jabatan dan karirnya, kemudian memilih untuk mengerjakan semua perintah yang
datang dari Gubernur Jendral. Secara psikologis, Jacques Pangemanann merasa
tertekan dengan pekerjaan itu. Dia menganggap bahwa dirinya adalah seorang yang
baik, didikan Prancis yang mencintai kebenaran, dan seorang yang bajik, ternyata harus
mengerjakan pekerjaan kotor. Kemudian dalam kehidupannya, dirinya selalu
dibayang-bayangi oleh kehadiran Si Pitung dan Minke yang selalu mengolok-oloknya
jika Jacques Pangemanann telah mengerjakan perintah membasmi perusuh-perusuh
yang dapat menjatuhkan kekuasaan Gubernur Jendral Idenburg.
Dalam kutipan yang akan dipaparkan akan dibuktikan terjadinya tindak
kekerasan struktural secara psikologis yang dialami oleh Jacques Pangemanann.
“Mereka berdua takkan pernah mengenal Pangemanann dengan dua n.
Mereka tak tahu bagaimana ia terbungkuk-bungkuk tertindas nuraninya,
menjadi orang tak berprinsip tanpa kemauan sendiri. Jadilah dia seorang
Jongos yang kerjanya hanya membersihkan kotoran-kotoran mereka. Wajah
etik eropa harus tetap bersih dan untuk itu aku harus dan boleh pakai cara-cara
paling kotor sekalipun”, (Toer, 2006: 82).
“Aku yang telah diresapi humanisme – dalam persangkutan denga
gereja atau tidak – tak dapat menerima ini, namun terseret melakukan juga
sebagai bagian dari kekuasaan kolonial”, (Toer, 2006: 98).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Dari hasil analisis yang ada, dapat dibuktikan bahwa Jacques Pangemanann
mengalami tindak kekerasan struktural. Faktor pendukung tindak kekerasan struktural
adalah korelasi antar kedudukan.
(2) Ayah Soendari
Kekerasan struktural juga dialami oleh Ayah Soendari. Ayah Soendari
memiliki putri bernama Siti Soendari. Siti Soendari adalah seorang penulis di
suratkabar, seorang aktivis, dan juga anggota V.S.T.P. Siti Soendari juga seorang
wanita pertama yang menulis disurat kabar. Tulisan-tulisannya itu mampu membuat
kekuasaan Gubernur Jendral menjadi goyah. Namun, keberadaan Siti Soendari kala itu
tidak diketahui. Dan penangkapan terhadap Siti Soendari yang seorang wanita itu
membuat Gubernur Jendral merasa malu. Akhirnya, semua ketakutan Gubernur Jendral
dilimpahkan kepada Ayah Soendari.
Diceritakan dalam novel, ketika itu, melalui Bupati Pemalang, Ayah Soendari
diperintahkan untuk mengendalikan putrinya dan menyuruhnya untuk menikah. Semua
itu untuk menghambat aktivitas Soendari sebagai penulis dan akitvis. Ayah Soendari
yang kala itu adalah seorang Kepala Penggadaian, kemudian diberikan dua pilihan:
kehilangan jabatan atau pensiun tanpa hormat dan kehilangan putrinya atau
membahagiakan putrinya dengan suatu perkawinan yang terhormat, dengan tetap
mengukuhi jabatan dan pensiun dikemudian hari. Ayahnya lalu memilih jabatan. Ia
terlalu takut pada murka Gubermen. Dengan tangan menggigil orang tua itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
mengangkat sembah pada sang Bupati, minta waktu barang dua bulan, dan buru-buru
pulang.
Diceritakan kemudian, ayah Soendari tidak menemukan putrinya itu diberbagai
tempat.
Ketika ayah Soendari menemukan putrinya, mendadak dirinya tak punya
kekuatan untuk bertemu tatap muka dengan anaknya itu. Disebutkan dalam novel,
ayahnya tak mampu lagi untuk mengejar putrinya yang terus menghindari ayahnya.
Ayahnya pun kemudian melihat putrinya itu masuk disebuah gedung wayang yang
telah banyak kerumunan. Di gedung wayang tersebut, ayah Soendari melihat
bagaimana anaknya berpidato. Ayah Soendari merasa bangga dengan anaknya saat itu.
Dia bahkan melupakan tujuan awalanya. Setelah Siti Soendari selesai berpidato,
ayahnya pun mengajak pulang anaknya.
Setelah kejadian itu, beberapa waktu kemudian, Siti Soendari tiba-tiba
menghilang dari rumah. Siti Soendari ternyata melanjutkan aktivitasnya yang membuat
Gubermen semakin marah. Ketika itu terjadi pemogokan pengangkutan di Semarang.
Ayahnya pun terkena amarah dari Gubermen. Ayah Soendari kemudian mencari lagi
putrinya itu.
Laporan yang diterima ayahnya dari telegram bahwa putrinya berada di
Semarang. Segera ayahnya pergi ke Semarang dan didapatinya anaknya itu berada di
gedung wayang, tempat yang dulu dia melihat putrinya berpidato. Taksi yang harusnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
mengantarkan ayah Soendari ke tempat itu ternyata menolak untuk mengantar. Ayah
Soendari pun memilih untuk berjalan kaki ke tempat itu. Sesampainya di tempat itu,
dia melihat anaknya sedang berpidato dengan luarbiasa. Selesai berpidato, ayah
Soendari kemudian bergegas menghampiri Soendari dan berkata; “Cepat, Ndari,”
katanya, “Mereka akan tangkap kau”. Setelah kejadian itu, Soendari dan ayahnya pun
tak kelihatan.
Dari hasil penelitian, dapat di analisis bahwa Ayah Soendari mendapat tindak
kekerasan personal dengan faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan
personal, yaitu urutan kedudukan linera dan korelasi antar kedudukan. Status
kedudukan Ayah Soendari yang berada di bawah status Bupati Pemalang dan juga
Gubernur Jendral, membuatnya harus mematuhi perintah tersebut. Korelasi antar
kedudukan membuatnya juga harus memilih untuk menjalankan perintah atasan yang
disebabkan oleh pilihan yang dapat mengakibatkan jabatannya hancur.
3.1.3 Kekerasan Struktural terhadap Perempuan
(1) Perempuan-perempuan selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi.
Kekerasan struktural juga dialami oleh beberapa wanita yang saat itu ditangkap
sewaktu operasi gerombolan Pitung. Wanita-wanita itu adalah istri-istri simpanan
centeng-centeng Tuan-tanah sah atau tidak sah. Diceritakan dalam novel, ketika
penumpasan gerombolan Pitung di selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi, di
dapati-lah istri-istri simpanan centeng-centeng Tuan-tanah yang dimintai keterangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
mereka. Diceritakan dalam novel, wanita-wanita yang dimintai keterangannya adalah
Nyi Juju dan Nyi Romlah.
Nyi Juju mengaku adalah anak dari Nyi Romlah dan Tuan Karta bin Dusun.
Namun kala itu, Jacques Pangemanann yang mengintrogasinya tak membenarkan
pernyataan Nyu Juju. Kemudian Jacques Pangemanann menemui ibu Nyi Juju, yaitu
Nyi Romlah. Pengakuan Nyi Romlah bahwa Nyi Juju adalah anaknya dengan Karta
bin Dusun. Kemudian Jacques Pangemanann mengancam Nyi Romlah dengan
menghantam rotan di meja dan mengatakan bahwa siapa yang tidak jujur akan di
hukum picis. Nyi Romlah yang ketakutan seketika pingsan. Nyi Juju kemudian di
tanyai lagi oleh Jacques Pangemanann. Dari pengakuannya didapati bahwa dirinya
sering dikatakan anak Tuan Piton. Dari situ Jacques Pangemanann mengetahui siapa
Tuan Piton. Tuan Piton atau Tuan Pinkerton adalah seorang nak-sanak tuan-tanah
Tanah Abang, seorang berkebangsaan Inggris, seorang joki balapan kuda di Betawi.
Jacques Pangemanann kemudian menemui Nyi Romlah yang sudah siuman ketika
disirami air. Nyi Romlah dengan takutnya kemudian mengakui bahwa dirinya telah
dipaksa untuk menjadi istri dari Tuan Pinkerton. Ketika itu Nyi Romlah juga mengaku
bahwa semua wanita yang berada didaerahnya juga diambil dan dipaksa untuk
dijadikan istri oleh centeng-centeng Tuan tanah. Adapaun hal yang sama juga
dirasakan oleh anaknya, Nyi Juju yang dipaksa untuk menjadi istri dari penjahat
Kelang. Nyi Romlah mengaku bahwa ketika itu tak ada yang berani melawan mereka
karena akan dimarah oleh centeng-centeng Tuan tanah. Dan jawaban-jawaban serupa
juga dikatakan oleh dua-puluh satu istri-istri gerombolan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Dari hasil analisis yang ada, dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung
adanya tindak kekerasan struktural pada wanita (seks) mencakup urutan kedudukan
linear. Sifat kedudukan linear yang tidak sama, yaitu status sosial, membuat adanya
diskriminasi pihak-pihak yang status sosialnya tinggi – centeng-centeng Tuan tanah –
dalam memperlakukan perempuan-perempuan yang status sosialnya rendah.
(2) Rientje de Roo
Kekerasan struktural dialami oleh Rientje de Roo. Rientje de Roo adalah
seorang pelacur yang tinggal di Kwitang. Diceritakan dalan novel, Rientje de Roo
dipaksa oleh Robert Suurhof untuk menjadi pelacur. Dalam novel disebut sebagai alat
kekuasaan Robert Suurhof.
Diceritakan, ketika itu Robert Suurhof baru saja keluar dari penjara dan
melapor kepada Jacques Pangemanann bahwa dirinya berada di Kwitang, di rumah
pelacur muda, yaitu Rientje de Roo. Sesampainya Jacques Pangemanann disana, dia
mendapati Rientje de Roo yang mencoba menggodanya saat itu. Kala itu Jacques
Pangemanann tahu bahwa Rientje de Roo hanya diperintah oleh Robert Suurhof yang
saat itu bersembunyi dibalik pintu belakang.
Ketika Robert Suurhof ketahuan oleh Jacques Pangemanann, Robert Suurhof
kemudian lari dan kembali setelah beberapa saat kemudian. Di waktu jeda tersebut,
Jacques Pangemanann lalu menanyai Rientje de Roo tentang dirinya. Dari percakapan
mereka, dengan memeluk dada Jacques Pangemanann, dan sambil menangis, Rientje
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
de Roo mengaku bahwa dirinya telah direnggut dia dari keluarganya dan dijadikan
pelacur, alat kekuasaan dari Robert Suurhof diumurnya yang masih sangat muda.
Rientje de Roo mati ditembak dan terakhir kali ditemukan bersama seorang
Tionghoa. Diceritakan bahwa ketika itu Jacques Pangemanann sedang menunggu
kedatangan Rientje de Roo di rumahnya. Namun seorang agen polisi bernama Sarimin
datang dan melaporkan kematian Rientje de Roo kepada Jacques Pangemanann.
Dari hasil analisis yang ada, faktor yang mendukung terjadinya tindak
kekerasan struktural adalah urutan kedudukan linear. Status sosial yang berbeda antara
Rientje de Roo dan Robert Suurhof, membuat Rientje de Roo mengalami paksaan yang
menjadikannya sebuah tindak kekerasn struktural.
3.2 Kekerasan Personal
Sifat kekerasan personal dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi
yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Secara singkat, kekerasan perosnal
adalah kekerasan yang dilakukan secara langsung atau ada pelakunya. Kekerasan
personal bertitik berat pada "realisasi jasmani aktual". Ada tiga pendekatan untuk
melihat kekerasan personal yaitu cara-cara yang digunakan (menggunakan badan
manusia atau senjata), bentuk organisasi (individu, massa atau pasukan), dan sasaran
(manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara
struktural) dan secara fungsional (fisiologis).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Galtung kemudian mendeskripsikan sifat-sifat kekerasan susunan anatomis
(secara struktural) dan secara fungsional (fisiologis). Kekerasan anatomis bersifat
menghancurkan (pertandingan tinju, ketapel), merobek (menggantung, menarik,
memotong), menembus (pisau, tombak, peluru), membakar (pembakaran, nyala),
meracuni (dalam air, dalam makanan, gas), dan penguapan (seperti di dalam ledakan
nuklir). Kekerasan fisiolgis bersifat meniadakan udara (mencekik, penyempitan),
meniadakan air (dehidrasi), meniadakan makanan (kelaparan karena perang), dan
meniadakan gerak dengan : (a) pembatasan badan (rantai, gas), pembatasan
ruang (penjara, tahanan, dibuang), dan (c) pengendalian otak (melemahkan syaraf,
“cuci otak”), (Windhu, 1992: 74).
3.2.1 Kekerasan Personal terhadap Gerombolan Pitung
Kekerasan personal dialami oleh gerombolan Pitung. Diceritakan dalam novel,
gerombolan Pitung adalah pengikuti-pengikut seorang tokoh yang bernama Pitung.
Dalam novel, Pitung bukanlah seorang sosok yang terlibat langsung dalam cerita. Si
Pitung hanya hadir dalam imajinasi dari Jacques Pangemanann. Dari dokumen-
dokumen yang dipelajari Jacques, Si Pitung adalah seorang tokoh yang digambarkan
tindakan-tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadap orang-orang kaya. Sosok
Pitung digambarkan kejam, sewenang-wenang, biadab menyerang desa-desa dengan
gerombolan besar, membunuh, merampok, membakar, menganiaya secara sadis para
pemungut pajak seakan-akan pegawai-pegawai itu tak lain dari musuh pribadinya. Dia
tumpas orang-orang yang menjalankan tugas Gubermen tanpa memandang bangsanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Apa yang dilakukannya, diulangi oleh sisa gerombolannya yang bangkit kembali.
Alasan perlawanan mereka sama.
Dasar itulah yang membuat Jacques Pangemanann mengambil tindakan
kekerasan. Setelah banyak kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah yang
dilakukan oleh gerombolan Pitung, Jacques Pangemanann lalu menyerang balik
gerombolan Pitung itu. Diceritakan dalam novel, kala itu komandan Jacques
Pangemanann, Komisari Van Dam tot Dam, memerintahkan untuk menumpas habis
sisa-sisa gerombolan Pitung di selingkaran Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi.
Dalam penumpasan itu, Jacques Pangemanann membawa pasukan gabungan
polisi-lapangan Buitenzorg dan Betawi dengan kekuatan mendekati enampuluh orang.
Diceritakan dalam novel, di daerah sisa gerombolan si Pitung berkuasa sudah tak ada
hukum lagi, tak ada pemerintahan. Yang ada hanya teror, ketakutan, pembunuhan,
penculikan, penganiayaan. Perlawanan gerombolan si Pitung dapat dipatahkan. Bila
mau memasuki kampung, dua-tiga kali tembakan ke udara telah membikin kampung
itu sunyi senyap. Orang pada berlarian menyembunyikan diri. Setelah penumpasan itu
berakhir, tigaratus tahanan pun di dapatkan. Mereka dimintai keterangan dalam
keadaan jongkok, mereka cumi menggedikkan tumit pada tanah atau meludah,
membuat anggota polisi-lapangan memukul kepala mereka dengan gagang senapan.
(Toer, 2006: 73-74).
Diceritakan juga dalam novel, dalam suasan yang berbeda, gerombolan pitung
yang kala itu menyerang orang-orang kaum Tionghoa di Sukabumi, juga mendapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisan untuk menumpas penyerangan
gerombolan tersebut.
Diceritakan dalam novel, pada waktu itu seluruh kekuatan kepolisian
meninggalkan tangsi-tangsinya, dan tidak kurang marahnya menyerbu membubarkan
gerombolan penyerbu. Mereka memukul dan menerjang, menghantam dan menendang.
Penggada-penggada mereka berayun turun-naik ke udara dan mendarati tubuh-tubuh
manusia. Hal serupa juga terjadi di Cirebon, Gresik, Kuningan, Madiun, dan kota-kota
kecil lainnya.
Penyerangan tersebut mempunyai suatu niat lain, yaitu menuduh bahwa pihak
Syarikat Islam telah terlibat dalam penyerangan dan huru-hara pada orang-orang kaum
Tionghoa.
Dari hasil analaisis, kekerasan personal yang dialami oleh gerombolan Pitung
merupakan bentuk kekerasan menggunakan badan manusia atau senjata, dalam bentuk
organisasi dengan sasarannya manusia dengan sifat kekerasan secara anatomis.
Kekerasan menggunakan badan manusia atau senjata dilakukan oleh pihak polisi-
lapangan yang membunuhan, menculik, dan menganiaya. Senjata pun digunakan
untuk melepaskan tembakan ke udara dan memukul kepala-kepala para tahanan.
Kekerasan itu terjadi dalam bentuk organisasi polisi-lapangan. Dan kekerasan anatomis
yang terjadi bersifat menghancurkan, karena polisi-lapangan memukul dan menerjang,
menghantam dan menendang. Penggada-penggada mereka berayun turun-naik ke
udara dan mendarati tubuh-tubuh manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
3.2.2 Kekerasan Personal terhadap kaum Tionghoa
Kekerasan personal juga dirasakan oleh orang-orang dari kaum Tionghoa.
Diceritakan dalam novel, semua itu akibat isu kebangkitan burjuasi Pribumi. Maka,
Jacques Pangemanann pun memerintahkan Cor Oosterhof untuk mengadu dombakan
orang-orang Pribumi untuk menyerang orang-orang dari kaum Tionghoa.
Seperti yang diceritakan dalam novel, perintah Jacques Pangemanann kepada
Cor Oosterhof untuk mengadu dombakan keduanya bermula dari Sukabumi. Saat
terjadi kerusuhan itu, Jacques Pangemanann hadir ditempat kejadian itu. Ia berjalan,
mengikuti orang-orang yang sedang berarak-arak bersoark-sorak. Beberapa saat
kemudian arak-arakan itu pecah dan menyebar menyerang toko-toko orang-orang
kaum Tionghoa di sepanjang jalan. Kemudian terdengar suara pekik-jeritan, serta
sorak-sorak penyerangan. Sorak-sorai padam berganti dengan penggerayangan atas
benda-benda yang nampak. Maka toko-toko yang dibangun hari demi hari, tahun demi
tahun, hancur binasa dalam semenit. Pribumi yang biasanya lesu tanpa daya itu berubah
menjadi kawanan serigala yang menggonggong, menyeringai, menerkam dan
menyobek-nyobek. Mata mereka menyala menyemburkan api dendam. (Toer, 2006:
221).
Dari hasil analaisis, kekerasan personal yang dialami oleh orang-orang kaum
Tionghoa merupakan bentuk kekerasan dengan menggunakan senjata dan berupa
organisasi atau masa. Dengan arak-arakan atau organisasi, gerombolan Pribumi
menyerbu toko-toko orang-orang Tionghoa. Kekerasan personal yang terjadi bersifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
anatomis, karena bersifat menghancurkan dan membakar. Masa Pribumi
menghancurkan toko-toko orang Tionghoa dan membakarnya. Terdengar pula suara
pekik-jeritan dari kaum orang-orang Tionghoa yang mengalami kekerasan personal.
3.2.3 Kekerasan Personal Terhadap Gerombolan Suurhof
Robert Suurhof dan gerombolannya juga mendapat tindak kekerasan. Robert
Suurhof dan gerombolannya mendapat tindak kekerasan yang pertama dilakukan oleh
Prinses Kasiruta. Diceritakan saat itu Robert Suurhof dan gerombolannya pergi ke
rumah Minke atas dasar perintah dari Jacques Pangemanann. Ketika itu Jacques
Pangemanann yang sedang menunggu di luar rumah mendengar suara tembakan yang
terdengar dari dalam rumah. Seketika itu juga, Jacques Pangemanann melihat Robert
Suurhof dan gerombolannya lari tunggang-langgang lintang-pukang ke luar rumah.
Robert Suurhof mengaku bahwa mereka ditembaki oleh istri dari Minke, Prinses
Kasiruta. Kejadian itu membuat Jacques malu. Dirinya merasa bahwa Robert Suurhof
adalah seorang pecundang yang lari karena tembakan dari Prinses Kasiruta.
Setelah kejadian itu, Robert Suurhof kemudian dipanggil lagi untuk bekerja
sama dengan Jacques Pangemanann. Diceritakan dalam novel, pada hari yang
ditentukan oleh Jacques Pangemanann, pergilah mereka menemui Minke dan
bermaksud menangkapnya. Semua sesuai dengan rencana Jacques Pangemanann. Saat
mereka mengetahui keberadaan Minke masuk di sebuah warung, Jacques
Pangemanann juga ikut masuk. Namun saat Minke mengetahui keberadaan mereka,
dengan cepat, Minke kemudian berpindah tempat. Tiba-tiba terdengar suara tembakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Dan saat itu ditemukan Robert Suurhof dan teman-temannya sudah menjelempah di
tanah. Robert Suurhof harus kehilangan sebelah tangannya akibat terkena peluru. Dan
teman-temannya roboh karena sebilah pisau. Saat itu tidak ditemukan siapa pelakunya.
Dapat disimpulkan bahwa kekerasan personal yang dialami oleh Robert
Suurhof dan gerombolannya berupa tindak kekerasan dengan badan manusia itu
sendiri. Dan kekerasan personal dengan sifat anatomis, yaitu menembus. Hal itu
dikarenakan seseorang yang tidak diketahui pelakunya membuat Robert Suurhof harus
kehilangan sebelah tangannya.
3.2.4 Kekerasan Personal terhadap Wanita
Kekerasan personal juga dialami oleh sebagian wanita dalam novel Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Wanita-wanita itu adalah Prinses Kasiruta dan
Piah. Prinses Kasiruta adalah istri Minke dan Piah adalah pembantu mereka yang setia.
Diceritakan dalam novel, ketika itu Jacques Pangemanann sedang bersantai-
santai diteras rumahnya. Tiba-tiba dua orang wanita yang dulu pernah datang kini hadir
lagi di depan pagar. Saat itu Jacques Pangemanann belum mengetahu siapa kedua
wanita tersebut. Dia hanya memperhatikan gerak-gerik keduanya. Yang berada di
belakang sedang menarik-narik yang didepan. Merasa penasaran, Jacques
Pangemanann kemudian mengambil teropong dan melihat mereka melalui teropong
tersebut. Sontak Jacques Pangemanann kaget. Dia akhirnya tahu bahwa kedua wanita
itu adalah Prinses Kasiruta dan Piah. Ketika itu Prinses Kasiruta sedang memegang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
senjata. Dengan cepat lalu Jacques Pangemanann menelepon pihak polisi istana untuk
mengusir dan menggeledah mereka.
“Terdengar dari tempat kami Prinses Kasiruta memaki-maki dan Piah
meraung terkena tendangan . Kemudian juga suara pekik kesakitan Prinses.
Nampak orang-orang keluar dari rumah masing-masing dan menonton. Anak-
anak tak juga kembali. Rupa-rupanya mengikuti mereka digelandang ke kantor
polisi.” (Toer, 2006: 192).
Dapat disimpulkan bahwa kekerasan personal yang dialami oleh Prinses
Kasiruta, yaitu dengan badan manusia itu sendiri, digelandang dengan gerombolan
polisi, dan mendapat kekerasan anatomis yang bersifat menghancurkan, karena
menendang kedua perempuan tersebut.
3.2.5 Kekerasan Personal terhadap Dokter Bernhard Meyersohn
Kekerasan personal juga dialami oleh Bernhard Meyersohn. Bernhard
Meyersohn adalah seorang dokter berkebangsaan Jerman yang hidup sederhana dan
tinggal di Hindia hanya semata-mata mencari pekerjaan. Bernhard Meyersohn tinggal
di sebuah lingkungan dekat rumah Goenawan, teman Minke di S.D.I. Dicertikan dalam
novel, ketika itu Minke jatuh sakit, dan Goenawan hendak membawanya ke dokter
Bernhard Meyersohn. Namun sebelum kedatangan mereka, seorang peranakan Eropa
telah lebih dahulu datang menghadap kepada dokter Bernhard Meyersohn.
Pemuda itu tidak nampak sakit. Setelah masuk didalam, dia lalu menunjukan
sebuah cambuk kulit kepada dokter Bernhard. Bernhard Meyersohn yang ketika itu
merasa bahwa pemuda itu salah masuk, lalu menyuruh pemuda itu untuk keluar dari
tempatnya. Pemuda itu lantas menampar keras-keras pipi kiri dokter Bernhard.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Cambuk yang berada pada pemuda itu lalu diselitkan pada ikat pinggang dan
dikeluarkannya sebilah belati dan mengamangkannya tepat pada jantung dokter itu.
Pemuda itu lalu mengancam dokter itu dan berkata bahwa seorang pribumi akan datang
memeriksa kesehatan, dan pemuda itu memerintahkan dokter Bernhard untuk tak
memeriksa pribumi itu dan menyuruhnya mengatakan bahwa pribumi itu hanya sakit
perut, disentri. Dokter itu sempat membantah dan mengelak permintaan dari pemuda
itu. Dengan tangan kirinya pemuda itu menggunakan cambuknya, memukul wajah
dokter itu sampai penglihatannya hilang.
Ketika datanglah Minke dan Goenawan pada dokter Bernhard, pemuda itu lalu
menyambut dan menyuruh masuk kedua pribumi itu. Setelah diperiksa, pemuda itu
mengatakan bahwa Minke hanya sakit perut dan pemuda itu menyuruh mereka untuk
pulang. Setelah mereka pulang, pemuda itu kemudian mengatakan bahwa dokter
Bernhard tak dapat melanjutkan praket ditempatnya.
Setelah kejadian itu, dokter Bernhard melapor kepada pihak kepolisian. Namun
dia tak begitu mengingat ciri-ciri dari pemuda tersebut.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa kekerasan personal yang dialami oleh
dokter Dokter Bernhard Meyersohn adalah kekerasan yang dimulai dengan badan
manusia, dalam bentuk individu, dengan sasaran manusia yang bersifat anatomis. Sifat
anatomis yang ditemukan adalah menghancurkan, yatiu menampeleng pipi kiri dari
dokter Bernhard Meyersohn.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
3.3 Kekerasan Budaya atau Simbolis
Johan Galtung menambahkan satu kekerasan dalam pemahamannya, yaitu
kekerasan budaya. Kekerasan budaya menurut Galtung adalah ruang budaya, yaitu
ruang simbolik keberadaan manusia, sebagaimana dicontohkan dalam agama dan
ideologi, seni dan bahasa, ilmu yang dapat dipakai untuk menjustifikasi atau
melegitimasi kekerasan langsung maupun kekerasan tak langsung atau kekerasan
personal dan kekerasan struktural. Simbol partai, kayu salib, bulan sabit, totem,
ceramah, nyanyian, cerita, adalah yang ada dalam sistem kognisi/pikiran manusia atau
ada dalam ruang simbolik yang dapat menjadi sumber dan melegitimasi kekerasan
langsung maupun struktural.
3.3.1 Kekerasan Simbolis berupa Bahasa
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, ada beberapa jenis
kekerasan simbolis berupa bahasa. Berikut akan dipaparkan hasil analisis dari
kekerasan simbolis berupa bahasa.
(1) Verbal
Dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, kekerasan simbolis
berupa bahasa dalam bentuk verbal banyak terjadi.
a. Kata Pribumi
Dalam novel Rumah Kaca, status sosial menjadi salah satu bentuk
kekerasan yang paling dominan. Status sosial tersebut membuat ketimpangan sosial
dan mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan. Dalam novel, perbedaan status itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
dapat ditemukan dalam kata “Pribumi”. Dalam novel, Pribumi adalah orang-orang
asli Hindia. Pribumi dalam pengertian novel ini adalah orang yang berada di bawah
status Totok (orang Eropa). Pribumi dalam novel Rumah Kaca adalah orang-orang
yang selalu mendapat tindak kekerasan. Kata Pribumi dalam novel, merujuk pada
sebuah penghinaan, seorang yang bodoh, tidak terpelajar dan harus tunduk pada
penguasa atau Totok Eropa.
“….. Tentu saja banyak pembesar rendahan dan tengahan Pribumi yang
menggerutu – hanya menggerutu. Menurunkan penggerutuannya ke atas surat
resmi tak berani. Dan birokrasi Hindia takkan memperhatikan gerutuan,
malahan surat-surat resmi pun banyak yang tak sampai ke alamat, tersasar lebih
dahulu ke kerangjang sampah di bawah meja pembesar-pembesar yang merasa
dilalui.” (Toer, 2006: 7).
“Di Hindia ini aku rasa cukup mempunyai kebebasan. Maksudku,
kebebasan dalam menindas Pribumi…….,” (Toer, 2006: 518).
Kata “Pribumi” merupakan suatu tindak kekerasan simbolis yang berarti
merendahkan, mencaci, dan menghina. Dengan status sosial yang menjadi dasar
tindak kekerasan, maka kata “Pribumi” – dalam rangkap kekerasan simbolis, yang
melegalitaskan atau menjustifikasi kekerasan tersebut.
Subordinasi kata “Pribumi” dapat dilihat dari grafik berikut ini.
Kolonial
Pribumi
Totok Sinyo
Peranakan Eropa
Priyai
Tinggi
Rendah
Status Sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
b.Kata Babu
Kata “Babu” juga sering digunakan dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Secara umum, babu adalah seorang pesuruh yang
mengerjakan pekerjaan majikannya. Dalam novel, babu adalah manusia terakhir
dalam kehidupan. Yang dimaksudkan adalah bahwa babu menjadi orang terakhir
yang bertanggung jawab atas semua kesalahan-kesalahan majikannya.
“Aku kena damprat atasanku. Aku mendamprat bawahanku.
Bawahanku boleh jadi mendamprat bininya, biniya mendamprat anaknya, dan
anaknya mendamprat babunya. Barulah berhenti, sebab babu adalah manusia
terakhir dalam kehidupan. Malam setelah banting tulang sepanjang hari dia
akan masuk biliknya, sering lupa makan malam. Dia akan menyerahkan air
mata dan pengaduannya kepada Gusti Allah, mengingatkan padaNya akan
haknya atas suatu sudut di surga bagi dirinya dan neraka bagi semua majikan.
Tapi bersok dia akan mengabdi lagi – bekerja lagi seperti biasa, dimaki lagi
seperti biasa. Meninggalkan majikan? Tak akan! Tepat seperti aku juga. Tak
akan tinggalkan dinas betapapun deras hujan dampratan.” (Toer, 2006: 35).
Kata “Babu” dalam tatanan kekerasan simbolis dalam novel Rumah Kaca
menjadi legal. Legalitasnya adalah ketimpangan sosial, dimana majikan sebagai
orang yang berkuasa dan bisa berbuat apa saja terhadap babu-nya.
c. Surat Kabar
Kekerasan simbolis yang melegetimasi berikutnya adalah surat kabar.
Dalam novel, saat itu surat kabar (pers) adalah sebuah ungkapan kata hati dari
penulisnya. Setiap penulis mempunyai hak untuk berbicara apa saja dalam surat
kabar tersebut. Dalam novel diceritakan, surat kabar menjadi salah satu media
untuk dipelajari oleh pemerintah Hindia dalam merekonstruksi pemerintahannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Surat kabar tersebut kemudian menjadi ancaman bagi siapa saja penulis dibalik
surat kabar tersebut.
“Kaum terpelajar Pribumi bukan menggerutu seperti halnya dengan
generasi sebelumnya. Mereka mengumumkan kejengkelannya di koran dan
majalah-majalah, dalam bahasa-bahasa yang dapat mereka gunakan.
Persoalannya menjadi umum, diketahui banyak orang, dan tidak lagi menjadi
persoalan diri semata. Koran dan majalah-majalah telah melahirkan semangat
demokratis tanpa semau Gubermen…..” (Toer, 2006: 8).
“Peristiwa penganiayaan itu diumumkan sendiri oleh Medan. Mr.H.
Frischboten dengan sigapnya telah membikin ini menjadi perkara. Tak dapat
dielakan. Pengadilan putih terpaksa diadakan oleh kegigihannya….” (Toer,
2006: 36).
“Dalam keadaan sakit aku rumuskan, bahwa D-W-T bukan ditangkap
sebagai pemuka-pemuka Indische Partij, bukan sebagai politikus, bukan
sebagai pimpinan, mereka ditangkap sebagai jurnalis-jurnalis yang dengan
tulisannya mengancam keamanan dan ketertiban umum.” (Toer, 2006: 284-
285).
“Memasuki tahun belasan ini koran bukan hanya penyampaian berita.
Dia mencoba menerangkan, mengajar, mengajak, menjajakan pikiran-pikiran.
Di belakang koran modern bukan hanya mesin-mesin cetak, juga mesin-mesin
otak. Sin Po dikendalikan oleh meson otak nasionalis Tiongkok, Peroetoesan
oleh mesin otak Syarikat, dan De Expres mesin otak Indische Partij. Dengan
koran itu otak bicara pada angota-anggota badannya sendiri, meniadakan jarak
ratusan mil. Tapi juga bicara padaku, dengan kata-kata dan maksud yang sama”
(Toer, 2006: 241).
“Dalam setiap penerbitan hampir selalu ada serangan terhadap yang
lain, dan jawaban atas serangan. Mengherankan, bahwa dalam semua terbitan
itu tak pernah ku dapati percecokan tentang agama. Percecokan pokok adalah
tentang makna Tanahair dan penghidupan. Yang satu mengukuhi kemuliaan
Tanahair. Tanah airlah yang menyebabkan adanya bangsa untuk memiliki,
memelihara, membangun dan mempertahankannya. Yang lain bilang persetan
dengan Tanahair. Sekalipun kutub dingin, bila dia memberikan penghidupan,
dialah Tanahair. Tanahair adalah alam semesta. Pertengkaran dan percecokan
tak henti-hentinya.” (Toer, 2006: 471).
“……. Dan Pribumi ini tidak bersenjatakan pedang dan tombak, juga
tidak dengan patriotisme, juga tidak dengan agama, mereka bersenjatakan
mulut dan pena belaka.” (Toer, 2006: 511-512)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Surat kabar menjadi alat legitimasi kekerasan simbolis. Melalui surat
kabar, kekerasan struktural bisa terjadi.
d. Dokumen atau naskah (Rumah Kaca)
Dokumen atau naskah juga menjadi salah satu sumber yang melegalitaskan
atau menjustufikasi kekerasan simbolis. Hal itu dibuktikan dalam cerita bahwa
pekerjaan Jacques Pangemanann dalam menjerumuskan orang-orang yang
melawan pemerintahan Gubermen, harus dituliskan dalam sebuah dokumen atau
naskah.
“Soal khusus, katanya – soal yang membikin aku tecabut dari kepolisian
yang aku cintai dan memasuki pekerjaan yang lebih memeras otak daripada
otot. Lima tahun pekerjaan sehari-hari hanya membaca koran dan majalah
terbitan Hindia, membikin interpiu, mempelajari dokumen-dokumen,
menyusun naskah kerja lantas kejatuhan tugas seperti ini. Kali ini aku sungguh-
sungguh memperlihatkan tak senang hatiku.” (Toer, 2006: 9).
“Dalam keadaan sakit aku rumuskan, bahwa D-W-T bukan ditangkap
sebagai pemuka-pemuka Indische Partij, bukan sebagai politikus, bukan sebagai
pimpinan, mereka ditangkap sebagai jurnalis-jurnalis yang dengan tulisannya
mengancam keamanan dan ketertiban umum.” (Toer, 2006: 284-285).
- Rumah Kaca
Pada bagian ini, peneliti mengkhususkan Rumah Kaca sebagai bagian dari
tindak kekerasan simbolis. Rumah Kaca, dalam novel ini diartikan adalah catatan-
catatan dari pengalaman dan studi Jacques Pangemanann. Catatan-catatan Rumah
Kaca yang dimaksud adalah tulisan Jacques Pangemanann dalam menjalani
kehidupannya yang begitu rumit dirasakannya: menjalani hidup kemanusiaannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
secara hati nurani atau menjalani hidup di bawah kekuasaan jabatan, karier,
keluarga, pemerintah Hindia, yang mengancam dirinya untuk melakukan suatu
tindak kekerasan.
Dalam novel dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Adalah tidak benar meninggalkan dunia ini dengan diam-diam, dan
berlagak suci di depan anak-anak, istri dan dunia itu sendiri! Aku menghendaki
anak-anakku berhasil, jauh lebih baik daripada aku sendiri, lebih berbudi, lebih
berkebajikan dan lebih bijak. Penilaian pertama atas perjalanan hidup setelah
setengah abad ini adalah jelas: Sejak kecil sampai jadi Inspektur Polisi aku
berada di jalan yang dikehendaki Tuhan. Sejak jadi Ajung Komisaris sampai
Komisaris sekarang ini mentah-mentah aku berjalan di atas lumpur, makin lama
makin jauh memasuki padang lumpur, makin jauh dari jalan yang dikehendaki
oleh Tuhan.” (Toer, 2006: 100).
Di akhir catatan Jacques Pangemanann, dia menyatakan bahwa “Maka
bila aku berhasil menyelamatkan tulisan ini, dan sampai pada tangan kalian,
hendaknya kepada catatan-catatanku ini kalian beri judul Rumah Kaca…”
(Toer, 2006: 101).
Rumah Kaca juga menjadi bagian dari studi Jacques Pangemanann
dalam melakukan penelitiannya untuk memasukan orang-orang yang melawan
pemerintahan Gubernur Jendral.
“…. Semua Pribumi – terutama Pitung-pitung modern yang
mengusik-usik kenyamanan Gubermen – semua telah dan akan
kutempatkan dalam sebuah rumah kaca dan kuletakan di meja kerjaku.
Segalanya menjadi jelas terlihat. Itulah pekerjaanku: mengawasii gerak-
gerik seisi rumah kaca itu. Begitulah juga yang dikehendaki Gubernur
Jendral….” (Toer, 2006: 101).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Orang-orang yang menjadi tahanan dalam Rumah Kaca adalah Minke,
Triumvirat Indische Partij’, anggota S.D.I., dan orang-orang yang berusaha
mengganggu kedudukan Gubernur Jendral.
3.3.2 Kekerasan Simbolis berupa Ideologi: Kekuasaan (Penguasa) Pemerintah
(Negara)
Kekerasan simbolis yang berikut adalah kekuasaan pemerintah yang berkuasa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan yang bersifat kolonialisme adalah
pemerintahan yang bersifat kekerasan. Diceritakan dalam novel, kekuasaan
pemerintahan Hindia yang ketika itu dikuasai oleh Gubernur Jendral Idenburg merasa
bahwa berdirinya organisasi dan partai-partai Pribumi membuat kekuasaannya
terancam. Sesungguhnya dalam novel diceritakan bahwa penguasa ketika itu tidak
mempunyai hak untuk melakukan sebuah tindakan yang merugikan Pribumi yang tidak
bersifat kriminal. Namun, Gubermen mempunyai hak-hak yang bisa dipakainya
sebagai landasan tindakan hukuman.
(1) Vonnis Raad van Justitie Batavia
Vonnis ini adalah sebuah hukuman pengasingan. Dalam novel, vonnis itu
diberikan kepada Minke untuk diasingkan ke Ambon. Diceritakan, ketika dilakukan
suatu penangkapan atas diri Minke, terjadi suatu peristiwa yang membuat Robert
Suurhof dan teman-temannya terluka. Sesungguhnya pengangkapan saat itu di luar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
hukum. Namun kejadian itu membuat Minke harus bertanggung jawab. Maka, Minke
harus menjalani hukuman vonnis Raad van Justitie Batavia.
“Kemudian terjadi yang tak ku duga-duga. Aku mendapat surat perintah
melaksanakan vonnis Raad van Justitie Batavia atas diri Minke, pemimpin redaksi
Medan – perintah pengasingan ke Ambon. Tanganku menggeletar menerima surat
perintah itu. Aku harus berhadapan dengan orang yang harus kulumpuhkan.”
(Toer, 2006: 68).
(2) Jabatan dan Karier
Jabatan dan Karier merupakan sebuah kekerasan yang melegitimasi atau
menjustufikasi adanya tindak kekerasan simbolis berupa ideologi dalam novel Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Diceritakan dalam novel, Jacques Pangemanann
yang adalah seorang Inspektur kepolisian dan sampai menjabat di Algemeene
Secretarie, lebih memilih jabatan dan kariernya demi mengikuti kemauan pemerintah
Hindia (Gubernur Jendral Idenburg). Semua itu sesungguhnya bukan berdasar pada
kemauan nuraninya. Namun karena jabatan dan kariernya, Jacques Pangemanann
terpaksa melakukan tindak kekerasan.
“Demi karierku, Minke, pimpinan redaksi Medan harus disingkirkan.
Dan demi nama baikku pula Suurhof juga harus di punahkan.” (Toer, 2006: 53).
“….. Dia orang besar, dia telah membangun pekerjaan besar untuk
bangsanya. Aku seekor hama tanpa bentuk dalam bungkusan seragam
berpangkat. Hidup macam apa begini ini? Tetapi demi jabatan, dan berbagai
demi, aku berangkat juga ke Buitenzorg. Kuambi satu regu polisi setempat, dan
melakukan penangkapan.” (Toer, 2006: 68).
“Dan aku? Nampaknya tak bisa lain – aku akan tetap dalam kehinaanku.
Ya Tuhan, betapa jabatan telah mengubah pedalaman manusia begini
macam….” (Toer, 2006: 71).
Dari hasil analsisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolis yang
terdapat dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, yakni kekerasasn
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
simbolis berupa bahasa kekerasan simbolis berupa ideologi kekuasaan (penguasa)
pemerintah (negara). Adapaun hasil penelitian dari kekerasan simbolis berupa bahasa
yakni kata “Pribumi, surat kabar, dan dokumen atau naskah. Kekerasan simbolis
berupa ideologi, yakni vonnis Raad van Justitie Batavia.
3.3.3 Kekerasan Simbolis berupa Ilmu Pengetahuan
Kekerasan simbolis berikutnya berupa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
dipakai sebagai alat yang melegitimasi atau menjustifikasi tindakan kekerasan
struktural ataupun personal. Dalam novel, ilmu pengetahuan dipakai untuk memerangi
keberadaan individu atau gerombolan yang mencoba mengganggu kekuasaan
pemerintah (Gubernur Jendral).
Diceritakan dalam novel, seorang tokoh intelektual bernama Tuan Mr. K. yang
disegani oleh tokoh-tokoh kolonial lainnya, pernah berbicara kepada Jacques
Pangemanann.
“Tajamkan pengamatan Tuan-tuan. Kalau tidak…. Filipina kedua bisa
terjadi atas negeri jajahan kita yang permai ini. Kita bisa tertendang keluar.
Salah satu negeri barat akan masuk, mungkin Amerika, mungkin Jerman,
mungkin Prancis atau mungkin juga Inggris. Tapi mungkin juga tidak.” (Toer,
2006: 86). Kata-kata inilah yang juga menjadi dasar pemikiran tokoh utama
dalam melakukan pekerjaannya.
“Kekuasaan kolonial ini mencemburui kau terpelajar Pribumi! bukan
satu kebetulan Gubermen menjual ilmu-pengetahuan semahal mungkin pada
Pribumi. ilmu-pengetahuan bisa membawa orang-orang sederhana dan primitif
ke dunia angan-angan yang tak bisa diukur dengan meteran ketinggiannya.
Maka logikanya setiap terpelajar Pribumi harus dibikin berpihak pada
Gubermen bukan? Pantas mereka dimanjakan untuk dapat berpihak pada
Gubermen, gaji baik, kedudukan baik, segala macam kehormatan yang tidak
kurang pula baiknya.” (Toer, 2006: 91).
“Dan instruksinya tepat sebagaimana aku gambarkan setelah Tuan K.
menyampaikan kata-katanya di kamar bola dulu. Pekerjaanku yang baru:
meneliti tulisan-tulisan Pribumi yang diumumkan di koran dan majalah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
menganalisa, membuat interpiu dengan penulis-penulis, membuat
perbandingan-perbandingan, dan membuat kesimpulan tentang bobot,
kecenderunguan dan itikadnya terhadap Gubermen Hindia Belanda.” (Toer,
2006: 97).
“Dengan modal keberanian dan teror saja tak banyak yang bisa dicapai
dalam kehidupan modern begini. Jaman sekarang jaman ilmu dan pengetahuan.
Segala-galanya ditimbang dan dinilai dengannya – jaman bagi pemimpin-
pemimpin pikiran, yang kadang-kadang tidak perlu turun ke gelanggang seperti
pitung. Kekuata pikiran yang memimpin, bukan keberanian dan teror,”(Toer,
2006: 114).
3.3.4 Kekerasan Simbolis berupa Psikis
Dalam penelitian ini, ditemukan sebuah unsur kekerasan simbolis yang berupa
kekerasan psikis. Dalam penelitian ini memang tidak dijelaskan teori kekerasan
simbolis berupa psikis. Namun ada hal yang menarik dari novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Tokoh Jacques Pangemanann mendapat suatu tindakan
kekerasan yang berupa psikis yaitu kemunculan berbagai macam tokoh dalam
imajinasinya. Tokoh-tokoh tersebut membuatnya berada dalam keadaan tertekan,
sebab tokoh-tokoh yang muncul sering menuding, mengecam, dan mengganggunya.
Penelitian ini bisa dibuktikan oleh peneliti melalui asumsi bahwa teori
kekerasan simbolis perspektif Galtung adalah ruang budaya atau ruang simbolik yang
berada dalam sistem kognitif/pikiran manusia. Ketika manusia dilahirkan dalam dunia,
dia menjadi bagian dari budaya dan kemudian melalui tindakan dan perilakuknya
menjadikan sebuah ruang simbolik yang berada dalam sistem kognitifnya itu. Maka
jika dianalisa lebih lanjut, didapatkan bahwa tokoh Jacques Pangemanann mengalami
sebuah tindak kekerasan simbolis berupa psikis(-nya) sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Diceritakan dalam novel, tokoh-tokoh tak nyata dalam novel dan tokoh-tokoh
yang nyata dalam cerita novel tersebut sering hadir dalam imajinasi Jacques
Pangemanann. Tokoh-tokoh yang selalu hadir adalah Si Pitung dan Minke.
“Zihhhh, enyah kau, Pitung! Ku bikin salib, kemudian mulau meneliti
diriku sendiri: mengapa perasaan ini berubah-ubah begini cepat? Benar-
benarkah aku sudah menjadi abnormal? Mengapa kubiarkan kenyataan dan
harapan bertarung dalam diriku? Mestikah aku dihadapkan pada pilihan?
Prinsip atau karier? Moral atau jabatan? Aku tahu benar aku membutuhkan
kedua-duanya. Pada-hal aku juga tahu aku harus ambil satu saja di antaranya,
tak mumgkin dua-duanya. Itulah yang jadi kesulitan selama ini. Bukan saja
dalam kehidupan, juga dalam kejiwaan. Dan aku tahu dengan pasti: ini masalah
pribadi dan hanya aku sendiri yang dapat memecahkan. Dan aku, aku tetap
menghendaki dua-duanya sekaligus.” (Toer, 2006: 45-46).
“Dalam upacara pengangkatanku sebagai Ajung Komisaris hampir-
hampir tak dapat aku mencegah keinginan untuk menggerakan tangan mengusir
bayang-bayangan di Pitung ini. Rasa-rasanya kumis jarangnya menempel pada
samping leher, serasa dia berbisik mengejek: Ajal untuk kami, kenaikan
pangkat untuk Tuan, ya, Tuan Pangemanann?”(Toer, 2006: 79).
“Terdengar tawa bahak di belakangku. Aku menoleh. Pitung dan Minke
tertawa sambil menuding, dan berunding dengan mata mereka. Zihhh, zihhh,
zihhh!” (Toer, 2006: 139).
“Kedua belah tanganku terangkat dengan sendirinya ke atas, hendak
mencekam kepalaku yang berdenyut tiba-tiba. Tak jadi. Seseorang masuk ke
dalam ruanganku, tua, kurus, keriput, rambutnya telah putih seluruhnya,
bertongkat, dan berpakaian Eropa yang sangat, sangat sederhana, tanpa sepatu,
hanya dengan selop. Ia makin mendekati aku. Tak bicara apa-apa.
“Tuan, Minke!” aku bergumam, “Sudah setua itu?”
Oh! Oh! Ini bayangan keparat. Syarafku terganggu lagi. Aku harus
menyadari: Syarafku terganggu lagi. Aku tekan tombol bel di belakang
sana…..” (Toer, 2006: 291).
Diceritakan bahwa, tokoh-tokoh yang selalu mengganggu pikiran Jacques
Pangemanann semakin membuat dirinya merasa tertekan. Tekanan itu lah yang
membuat dirinya semakin terjerumus dalam tindakan-tindakan kekerasan. Tokoh-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
tokoh itu adalah orang-orang yang menjadi bahan studi lalu kemudian menjadikan
tokoh-tokoh itu sebagai kriminal.
Dari hasil analisis kekerasan simbolis, dapat ditemukan bahwa kekerasan
simbolis dalam novel Rumah Kaca terdapat kekerasan simbolis berupa bahasa, yang
meliputi; kata “Pribumi, kata “Babu”, surat kabat (Rumah Kaca), dan dokumen atau
naskah. Kekerasan simbolis lainnya adalah kekerasan simbolis berupa ideologi, yakni
Vonnis Raad van Justitie Batavia dan jabatan atau karier. Kekerasan simbolis yang
berikut berupa Ilmu pengetahuan, dan yang terakhir kekerasan simbolis berupa psikis.
Rangkuman
Demikianlah hasil analisis bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
struktural dalam novel rumah kaca terdiri dari Kekerasan Struktural terhadap
Pemimpin Organisasi, Kekekrasan Struktural terhadap Pelajar Pribumi, Kekerasan
Struktural terhadap wanita. Kekerasan struktural terjadi karena adanya pola interaksi
yang tidak siklis dan urutan kedudukan linear.
Kekerasan Personal terdiri dari Kekerasan Personal terhadap Gerombolan
Pitung, Kekerasan Personal terhadap kaum Tionghoa, Kekerasan Personal terhadap
Gerombolan Suurhof, Kekerasan Personal terhadap wanita, Kekerasan Personal
terhadap Dokter Bernhard Meyersohn. Kekerasan Personal yang terjadi dapat diamati
dalam suatu bentuk tindak kekerasan yang bersifat anatomis. Kekerasan yang bersifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
anatomis dapat dibuktikan dengan adanya tindak kekerasan yang menghantam atau
menembus bagian tubuh.
Adapun kekerasan simbolis, yakni, Kekerasan Simbolis berupa Bahasa,
Kekerasan Simbolis berupa Ideologi, Kekerasan Simbolis berupa Ilmu Pengetahuan,
Kekerasan Simbolis berupa Psikis.
Tabel bentuk-bentuk kekerasan
dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer
No. TIGA JENIS KEKERASAN
Struktural Personal Simbolis
1 Kekerasan terhadap
Pemimpin Organisasi
Kekerasan terhadap
gerombolan Pitung
Kekerasan berupa
Bahasa
2 Kekerasan terhadap
pelajar Pribumi
Kekerasan terhadap
kaum Tionghoa
Kekerasan berupa
Ideologi
3
Kekerasan terhadap
wanita
Kekerasan terhadap
gerombolan Suurhof
Kekerasan berupa Ilmu
Pengetahuan
4 Kekerasan terhadap
wanita
Kekerasan berupa Psikis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
5 Kekerasan terhadap
Dokter Bernhard
Meyersohn
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan objek material novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Dalam penelitian ini, rumusan masalah dibagi menjadi dua,
yaitu (1) Bagaimanakah struktur pembangun cerita dalam novel Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer? (2) Bagaiamana bentuk-bentuk kekerasan dalam novel
Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer menurut perspektif Johan Galtung? Dalam
menganalisis bentuk-bentuk kekerasan, peneliti menggunakan teori kekerasan
perspektif Johan Galtung.
Pada bab II, peneliti memaparkan hasil analisis struktur pembangun cerita
dalam novel yang terdiri dari alur, tokoh, penokohan, dan latar. Unsur-unsur
pembangun cerita seperti alur, tokoh, penokohan, dan latar, bertujuan untuk
menjelaskan struktur cerita dalam kaitannya bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi
dalam novel. Adapun hasil dari analisis struktur pembangun cerita dalam pab II ini,
ditemukan bahwa alur yang dipakai dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer adalah alur maju. Dalam novel tersebut, peneliti mendapatkan bahwa
tokoh utama adalah (1) Jacques Pangemanann, dan (2) Raden Mas Minke. Adapun
tokoh tambahan dalam novel ini berjumlah empat puluh dua tokoh. Tokoh-tokoh
tambahan tersebut yaitu, (1) Gubernur Jendral Idenburg, (2) Donlad Nicolson, (3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
Robert Suurhof, (4) Prinses Kasiruta, (5) Piah, (6) Paulette, (7) Rientje de Roo, (8) Nyi
Juju, (9) Nyi Romlah, (10) Frits Doertier, (11) Hadji Samadi, (12) Wardi, (13) D.
Douwager, (14) Tjiptomangun, (15) Ayah Soendari, (16) Bernhard Meyersohn, (17)
Pemuda, (18) Si Pitung, (19) Tuan L., (20) Tuan De Beer, (21) Tuan Mr.K., (22) Tuan
De Cagnie, (23) Tuan De Man, (24) Tuan R., (25) Nikolaas Knor, (26) Simon Zwijger,
(27) Tuan Gr., (28) Mr. De Lange, (29) Cor Oosterhof, (30) Mas Tjokro, (31) May Le
Boucq, (32) Mas Marco, (33) Siti Soendari, (34) Strooman, (35) Herschenbrok, (36)
Semaoen, (37) Mas Soewoyo, (38) Van Limburg Stirum, (39) Sarimin, (40) Tuminah,
(41) Perwakilan Sindikat, (42) Goenawan.
Dalam novel Rumah Kaca, Jacques Pangemanann sebagai tokoh utama
mempunyai sifat yang egois dan lebih mementingkan jabatan dan kariernya. Jacques
Pangemanann, dengan keegoisannya, menjadi penggerak jalannya cerita dalam novel.
Tokoh Raden Mas Minke memiliki sifat yang pendiam, hemat berbicara, dan
berwibawa. Dalam cerita, tokoh Raden Mas Minke memang hanya muncul beberapa
kali dalam cerita. Namun, dikarenakan pengaruhnya sangat besar, dan dia adalah awal
dari segala kekacauan yang terjadi dalam novel. Tokoh-tokoh tambahan seperti Prinses
Kasiruta dan Piah adalah dua orang wanita yang baik dan mempunyai jiwa kesetiaan.
Gubernur Jendral Idenburg memiliki sifat tidak sabar dan rakus akan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti Donlad Nicolson, Robert Suurhof, Tuan L., Tuan De Beer, Tuan
Mr.K., Tuan De Man, Tuan R, Nikolaas Knor, Tuan Gr., Strooman dan Van Limburg
Stirum adalah orang-orang yang berwatak kolonialis. Tokoh-tokoh lainnya, Hadji
Samadi, Wardi, D. Douwager, Tjiptomangun, Ayah Soendari, Mas Tjokro, Mas Marco,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Semaoen, Goenawan, adalah tokoh-tokoh aktivis yang berjiwa nasionalis, ingin
memperjuangkan keadilan bagi Pribumi di Hindia.
Kemudian, dalam menganalisis latar, peneliti membagi latar dalam tiga bagian.
Adapun tiga bagian itu, yakni latar tempat, latar waktu, latar sosial-budaya. Dari hasil
analisis, latar waktu menunjukan tahun 1912 adalah awal Jacques Pangemanann
menulis catatan Rumah Kaca sampai dengan tahun 1918. Untuk latar tempat, Hindia
menjadi latar tempat penceritaan dalam novel. adapun latar tempat di Hindia, yaitu
Betawi, Buitenzorg, Kwitang, Ambon, selingkaran Cibinong, Cibarusa, Cileungsi.,
Sala, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Sukabumi. Untuk latar sosial-budaya, yang
mendominasi adalah sosial budaya Hindia (Eropa-Nederland).
Pada bab III, peneliti memaparkan hasil analisis tentang bentuk-bentuk
kekerasan yang terdapat dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Pada penelitian bentuk-bentuk kekerasan, peneliti menemukan tiga bentuk kekerasan,
yaitu kekerasan struktural, kekerasan personal, dan kekerasan simbolis. Kekerasan
struktural yang terdapat dalam novel, yaitu sebagai berikut: (1) Kekerasan struktural
terhadap pemimpin organisasi Pribumi, (2) Kekerasan struktural terhadap perajar
Pribumi, (3) Kekerasan struktural terhadap wanita. Kekerasan struktural yang terjadi
disebabkan oleh adanya urutan kedudukan linear dan pola interaksi yang tidak siklis.
Kekerasan struktural yang terjadi dalam novel menyebabkan korban tindak kekerasan
mengalami suatu pembuangan ke luar daerah atau pemaksaan menjadi seoang alat
kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Kekerasan personal yang telah dianalisis oleh peneliti mendapatkan hasil
sebagai berikut. (1) Kekerasan personal terhadap gerombolan Pitung, (2) Kekerasan
personal terhadap kaum Tionghoa, (3) Kekerasan personal terhadap gerombolan
Suurhof, (4) Kekerasan personal terhadap wanita, (5) Kekerasan personal terhadap
dokter Bernhard Meyersohn. Kekerasan personal yang terjadi pada gerombolan Pitung
menyebabkan korban-korban banyak yang tewas. Mereka sesungguhnya memberontak
untuk sebuah keadilan. Namun harus ditumpas demi keselamatan kekuasaan Gubernur
Jendral. Kekerasan personal juga harus dirasakan oleh kaum Tionghoa. Mereka diadu
dombakan oleh pihak-pihak agar muncul sebuah stigma bahwa Gubernur Jendral
adalah orang yang bisa memperbaiki keadaan. Namun mereka terlebih dahulu diadu
dombakan sebelum semua kerusuhan itu dibantu oleh pihak kepolisian. Kekerasan
personal juga dirasakn oleh gerombolan Suurhof. Demi menangkap Minke, Robert
Suurhof dan gerombolannya mengalami tindakan kekerasan personal berupa tembakan
yang membuat tangannya invalid selama-lamanya. Beberapa temannya juga tertusuk
oleh pisau. Kekerasan personal pun juga dihadapi oleh wanita oleh karena
kesetiaannya, Prinses Kasiruta dan Piah, harus mendapat tindak kekerasan, ditendang
dan digelandang ke kantor polisi. Bernhard Meyersohn yang adalah seorang dokter
yang sederhana juga harus mendapat tindak kekerasan personal. Hal itu membuat
dirinya kehilangan penglihatan sesaat dan membuat seorang Pribumi, Minke,
meninggal dunia karena mendapat ancaman dari seorang Pemuda. Kekerasan personal
dalam analisis ini lebih banyak ditemukan sebagai bentuk kekerasan personal yang
bersifat anatomis. Hal itu dikarenakan kekerasan personal dalam novel ini terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
tindak kekerasan menembak, membunuh, dan menghancurkan dengan alat-alat yang
digunakan.
Kekerasan simbolis yang dianalisis mendapat hasil sebagai berikut. (1)
Kekerasan simbolis berupa bahasa, (2) Kekerasan simbolis berupa ideologi, (3)
Kekerasan simbolis berupa Ilmu pengetahuan, dan (4) Kekerasan simbolis berupa
Psikis. Kekerasan simbolis berupa bahasa adalah sebuah kekerasan simbolis yang
diucapkan secara langsung dan tidak langsung. Dalam novel Rumah Kaca, kekerasan
simbolis berupa bahasa seperti kata “Pribumi” dan “babu” menunjukan sebuah
perbedaan sosial yang mendiskriminasi orang-orang yang di bawah sosialnya.
Kemudian kekerasan simbolis yang berupa ucapan tak langsung dalam bahasa seperti
surat kabar, dokumen, naskah, menjadi alat legitimasi kekerasan dalam menuduh,
memeras, dan mencaci. Kekerasan simbolis yang berikut berupa ideologi adalah
sebuah kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa, notabene akan
membuat orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya mendapat tindak
kekerasan. Kekerasan simbolis berikutnya berupa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang ada, kemudian menjadi sangat sadis ketika hal itu dipakai sebagai alat kekerasan.
Adapun ilmu pengetahuan sebagai tindak kekerasan simbolis adalah dengan membuat
suatu rencana yang matang dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menindak lanjuti
korban dengan menjadikannya tersangka. Kekerasan simbolis berikutnya adalah
kekerasan simbolis berupa psikis. Kekerasan simbolis berupa psikis adalah kekerasan
yang terjadi atas dasar sadar atau tak sadar yang terjadi dalam imajinasi atau dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
alam bawah sadar manusia. Hal ini membuat sebuah tindak kekerasan simbolis
melegitimasi atau menjustifikasi adanya tindak kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
4.2 Saran
Dalam menganalisis bentuk-bentuk kekerasan dalam objek material ini, peneliti
menggunakan teori kajian struktural yang mencakup alur, tokoh, penokohan, dan latar,
sebagai unsur pembangun cerita dengan paradigma Renne Wellek dan Austin Warren,
yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Penelitian bentuk-bentuk kekerasan dengan unsur
pembangun cerita belum mencukupi hasil penelitian alur, tokoh, penokohan, dan latar,
sebagai bagian kasualitas dari bentuk-bentuk kekerasan atau hubungan dari bentuk-
bentuk kekerasan. Peneliti menyarankan bahwa, jika ingin melanjutkan penelitian
objek formal yang sama, peneliti selanjutnya dapat mengkaji unsur pembangun cerita
dalam menentukan peristiwa bentuk-bentuk kekerasan menggunakan persepktif Johan
Galtung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melania (Penerjemah). 2008. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Damono, Sapardi Djoko. 1989. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai
Post-Modernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Praptomo, I. Bariyadi. 2012. Bahasa, Kekuasaan, Dan
Kekerasan.Yogyakarta:Sanata Dharma University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salmi, Jamil. 2003. Kekuasaan dan Kapitalisme: Pendekatan Baru dalam
Melihat Hak-hak Asasi Manusia. Diterjemahkan oleh Agung Prihartono
dari Violence and Demogratic Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Rumah Kaca. Jakarta Timur: Lentera
Dipantara
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Taum, dkk. 2017. Kritis Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi. Makalah.
Dalam: Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kritik Sastra, 15-16
Agustus.
Utami, Marcelina. 2018. “Kekerasan Struktural dan Kekerasan Personal dalam
novel Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky”. Skripsi. Program
Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2008. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan
oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Windhu, I Marsana. 1992. Kekerasan dan Kekuasaan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta: Kanisius
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI