bencana komunitas

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponenkomponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu sebaiknya tidak dipisah- pisahkan keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi dan upaya-upaya peredaman risiko itu dilakukan. Bencana dapat dikurangi apabila masyarakat dan sistem sosial yang lebih tinggi yang bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola ancaman yang terjadi padanya (Nikelsen, 2009). Ancaman, pemicu dan kerentanan, masing-masing tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara jamak, baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks. Hal yang sama juga terjadi pada konflik. Konflik antar komunitas maupun unit sosial di 1

Upload: mahayuni

Post on 17-Nov-2015

35 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hghjfsgfgs

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar belakangBencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponenkomponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu sebaiknya tidak dipisah-pisahkan keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi dan upaya-upaya peredaman risiko itu dilakukan. Bencana dapat dikurangi apabila masyarakat dan sistem sosial yang lebih tinggi yang bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola ancaman yang terjadi padanya (Nikelsen, 2009). Ancaman, pemicu dan kerentanan, masing-masing tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara jamak, baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks. Hal yang sama juga terjadi pada konflik. Konflik antar komunitas maupun unit sosial di atasnya terjadi apabila secara langsung maupun tidak langsung ada upaya saling mengambil aset-aset atau mengganggu proses mengakses aset penghidupan tersebut di atas. Pengambilan aset maupun gangguan atas akses penghidupan dapat dipicu oleh permasalahan lingkungan. Aktivitas komunitas maupun unit sosial di atasnya yang memunculkan permasalahan lingkungan akan menjadi ancaman bagi pihak lain apabila aset-aset penghidupannya dan akses penghidupannya terganggu. Bencana dalam kenyataan keseharian dapat menyebabkan: 1. Berubahnya pola-pola kehidupan dari kondisi normal2. Merugikan harta, benda dan jiwa manusia3. Merusak struktur sosial komunitas4. Memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi/komunitas. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, penyebab terjadinya bencana dapat disebabkan oleh tiga faktor. Faktor tersebut yaitu : 1. Bencana dapat terjadi karena fenomena alam seperti Tsunami, letusan gunung berapi, gempa bumi, kekeringan, penyakit pada tanaman atau hewan peliharaan, dan seterusnya2. Bencana dapat terjadi karena perbuatan manusia terhadap lingkungannya, seperti banjir, tanah longsor, wabah penyebab virus, dan seterusnya3. Bencana dapat terjadi akibat tindakan manusia atau hubungannya terhadap lingkungan sosialnya, seperti konflik agama, kerusuhan politik yang kacau balau, dan konflik suku bangsa (Susanto, 2006). Pengesahan Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana oleh Pemerintah RI tanggal 26 April 2007 telah membawa dimensi baru dalam pengelolaan bencana di Indonesia. Paradigma yang dahulu lebih bersifat responsif dalam menangani bencana sekarang diubah menjadi suatu kegiatan yang bersifat preventif, sehingga bencana dapat dicegah atau diminimalkan (mitigasi) sehingga risikonya dapat dikurangi. Undang-undang tentang penanggulangan bencana tersebut juga mensyaratkan penanggulangan bencana harus dilakukan secara terdesentralisasi dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang seluasluasnya baik mulai sejak tahap awal program (identifikasi, analisis, penerapan rencana kerja, monitor dan evaluasi) sampai ke tahap akhir dimana program akan diserahterimakan sepenuhnya kepada masyarakat lokal. Berbicara tentang bencana pada dasarnya membicarakan lima hal sekaligus, yaitu penyebab bencana dan kerentanan (faktor alam dan manusia), dampak bencana (kerusakan lingkungan, korban dan kerugian), peran pemerintah (termasuk kebijakan penanggulangan bencana), peran masyarakat (sebagai korban, faktor penyebab atau penyelamat) dan yang terakhir berbicara tentang pengaruh dan tindakan stakeholders terkait dengan ancaman bahaya dan bencana tersebut. Dari paparan penjelasan diatas mengenai bencana komunitas yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik yang berkaitan dengan peran perawat kesehatan dalam bencana komunitas itu sendiri, maka dari itu kelompok menulis makalah Bencana Komunitas agar kita dapat memahami lebih jelas tentang Bencana Komunitas tersebut.

1.2 Rumusan MasalahDari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka kami dapat mengambil beberapa rumusan masalah,yaitu:1. Apa definisi dari bencana ?2. Apa jenis-jenis dari bencana ?3. Bagaimana fase-fase dari bencana ?4. Bagaimana paradigma penanggulangan bencana ?5. Siapa saja kelompok rentan dalam kondisi bencana ?6. Apa sefe community dari bencana ?7. Bagaimana resiko pengurangan bencana ?8. Bagaimana permasalahan dan penanggulangan bencana ?9. Bagaimana peran perawat kesehatan komunitas dalam manajemen bencana ? 1.3 Tujuan1.3.1 Tujuan khusus :1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai krisis bencana dalam komunitas dan penerapan konsep keperawatan pada bencana komunitas.2. Menambah wawasan pengetahuan mengenai penerapan peran perawat kesehatan komunitas dalam manajemen bencana.

1.3.2 Tujuan Umum :1. Untuk dapat mengetahui definisi dari bencana.2. Untuk dapat mengetahui jenis-jenis dari bencana.3. Untuk dapat mengetahui fase-fase dari bencana.4. Untuk dapat mengetahui paradigma penanggulangan bencana.5. Untuk dapat mengetahui kelompok rentan dalam kondisi bencana.6. Untuk dapat mengetahui sefe community dari bencana.7. Untuk dapat mengetahui resiko pengurangan bencana.8. Untuk dapat mengetahui permasalahan dan penanggulangan bencana.9. Untuk dapat mengetahui peran perawat kesehatan komunitas dalam manajemen bencana.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 tahun 2007).Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Kepmen No.17/kep/Menko/Kesra/x/95).Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Departemen Kesehatan RI, 2001).Bencana (disaster) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajad kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena (WHO, 2002).Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (International Strategy for Disaster Reduction, 2004).Bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction 2009).Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan olehalam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).

2.2 Jenis-jenis bencanaUsep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari: 1. Bencana LokalBencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan.Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya.Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.2. Bencana RegionalJenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.Menurut UN International Strategy for Disaster Reduction (UN/ISDR, 2002), terdapat dua jenis utama bencana yaitu bencana alam dan bencana teknologi. Bencana alam terdiri dari tiga: 1. Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang, kekeringan dan tanah longsor. 2. Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulkanik 3. Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan. Bencana teknologi terbagi menjadi tiga grup yaitu:1. Kecelakaan industri berupa kebocoran zat kimia, kerusakan infrastruktur industri, kebocoran gas, keracunan dan radiasi.2. Kecelakaan transportasi berupa kecelakaan udara, rail, jalan dan transportasi air. 3. Kecelakaan miscellaneous berupa struktur domestic atau struktur nonindustrial, ledakan dan kebakaran.

2.3 Fase-fase bencanaMenurut Barbara Santamaria (2005), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat. Peran perawat pada fase ini adalah sebagai tenaga medis formal yang bekerja dalam disiplin ilmunya atau tenaga medis informal yang dapat sewaktu-waktu melayani masyarakat.2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan. Peran perawat pada fase ini adalah bagian dari komunitas dalam masyarakat yang mampu menjadi katalisator untuk mengatasi persoalan medis dan non medis pertolongan bencana.3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan. Peran perawat dalam fase ini sebagai team kesehatan yang bekerja dengan lintas sektor lainnya menangani masalah kesehatan dan sebagai model untuk penyembuhan trauma masyarakat pasca bencana.Fase-fase bencana menurut UN/ISDR (2002) terbagi menjadi lima fase,yaitu:1. Fase Prediction. Dalam fase ini, dilakukan kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural. Langkah structural yaitu langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari bencana alam, kerusakan lingkungan dan bencana teknologi. Sedangkan langkah non-struktural yaitu tindakan yang diambil pada saat awal terjadi bencana untuk memastikan respon yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk peringatan dini yang efektif dan tepat waktu, serta evakuasi sementara penduduk dan barang dari lokasi terancam bencana.2. Fase Warning. Fase ini mengacu pada penyediaan informasi yang efektif dan tepat waktu melalui lembaga-lembaga yang terpercaya, agar individu dapat mengambil tindakan untuk menghindari atau mengurangi risiko dan mempersiapkan respon yang efektif.3. Fase Emergency relief. Pemberian bantuan atau pertolongan selama atau segera setelah bencana terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan yang mendasar orang-orang yang terkena. Hal ini dapat langsung dalam jangka pendek atau jangka panjang. 4. Fase Rehabilitation. Fase ini mencakup keputusan dan tindakan yang diambil setelah bencana dengan tujuan untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat serta mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi risiko bencana.5. Fase Reconstruction. Fase ini mencakup semua kegiatan yang penting dilakukan dalam jangka panjang yaitu fase prediksi berupa mitigasi dan kesiapsiagaan, fase respon terhadap peringatan dan pemberian bantuan darurat, serta fase pemulihan berupa rehabilitasi dan rekonstruksi.

2.4 Paradigma penanggulangan bencanaKonsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift) dari konvensional, yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak terelakkan korban harus segera mendapatkan pertolongan (berfokus pada emergency dan relief), ke paradigma pendekatan holistik, yakni menempatkan bencana dalam tata kerangka manajerial yang dikenali dari bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), serta kemampuan (capacity) masyarakat. Pada konsep ini, dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak dapat dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada di lokasi rawan bencana serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penanganan bencana.Dalam pendekatan ini resiko (risk) merupakan interaksi dari kerentangan dan bahaya dibandingkan dengan kemampuan masyarakat. Pada perspektif ini, maka bencana bukan saja dilihat dari aspek metafisis di luar jangkauan manusia namun justru dilihat dari aspek manajerial dengan melakukan intervensi pada kegiatan faktor diatas: inilah yang selanjutnya dikenal dengan pendekatan pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction-DRR).Penanganan bencana dengan paradigma pengurangan resiko bencana merupakan pendekatan ilmiah dan teknis dengan memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan politik. Tujuan utama dari pendekatan holistik PRB adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekan resiko saat terjadi bencana. Hal penting dalam paradigma ini adalah memandang masyarakat sebagai penentu utama (subjek) penanganan.Paradigma penanggulangan bencana yaitu:1. Daur Penanggulangan Bencana : Memandang bencana sebagai rentetan kejadian dengan fokus ketika, sebelum dan sesudah bencana.

2. Model Kue-marmer : Upaya penanggulangan bencana dapat dilaksanakan setiap saat, masing-masing meluas atau menyempit, tergantung pada risiko yang dihadapi.3. Tabrakan Unsur : Upaya mengatasi (melepaskan tekanan) kerentanan (tekanan) yang berakar pada proses proses sosial ke arah masyarakat yang aman, berdaya tahan, dan berkesinambungan.4. Pengurangan Risiko : Upaya-upaya untuk mengatasi secara komprehensif dan terpadu untuk mengurangi risiko bencana.

2.5 Kelompok rentan dalam kondisi bencanaMemahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus konseptual penanggulangan bbencana adalah manusia yang potensial sebagai korban, maka dua hal mendasar yang perlu menjadi fokus utama adalah mengenali kelompok rentan (vulnerable group) dan meningkatkan kapasitas masyrakat sebagai subjek penyelenggaraan penanggulangan bencana.Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan ini mencakup kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku yang dapat ditimbulkan oleh beragam penyebab.Dalam UU Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan penjelasan Pasal 26 Ayat 1, disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah angggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya di antaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, penyandang cacat, dan lanjut usia. Secara umum, kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dikelompokkan menjadi berikut ini.1. Kerentananan FisikKerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa dan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat di dekat bantaran sungai.1. Kerentanan EkonomiKemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya untuk pencegahan dan mitigasi serta penanggulangan bencanan. Pada umumnya, masyarakat miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahay karena tidak punya kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.1. Kerentanan SosialKondisi sosial masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman bahaya dan risiko bencana, serta tingkat kesehatan yang rendah juga berpotensi meningkatkan kerentanan.1. Kerentanan LingkunganKeadaan lingkungan di sekitar masyarakat tinggal. Misalnya, masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau lereng pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor, sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah sulit air akan rentan terhadap bencana kekeringan.

Kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana juga bergantung pada potensi ancaman bencana itu sendiri. Dalam hal ini, semua ancaman bahaya dapat dipetakan sesuai dengan jenis kerentanan yang akan dihadapi oleh masyarakat, misalnya bencana letusan gunung Merapi, ancaman bahayanya terbawa angin yang mengakibatkan hujan abu, longsoran material pada musim hujan (lahar dingin) yang seluruhnya mempunyai ancaman tersendiri dan menimbulkan kerentanan khusus bagi kelompok masyarakat tertentu. Hujan abu, misalnya, potensial mengakibatkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagi anak samapai radius 25 km bahkan lebih. Artinya, dalam konsepsi penanggulangan bencana, pemetaan ancaman bahaya (hazard) harus melihat potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard) yang secara keseluruhan akan bberpengaruh pada potensi kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana.

2.6 Safe communitySafe community adalah keadaan aman dan sehat dalam seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia. Perlindungan keadaan aman dan sehat bagi segenap bangsa adalah sesuai dengan apa yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 (Depkes RI, 2007).Safe community merupakan nilai hakiki kemanusiaan dimana peran masyarakat (dari, oleh, dan untuk masyarakat) merupakan unsur utama yang didukung pemerintah dan seluruh unsur terkait. Pemerintah berperan sebagai fasilitator yang memberdayakan seluruh masyarakat untuk menciptakan safe community. Namun, dalam penyelamatan nyawa (life and limb saving) yang merupakan situasi krisis dan membutuhkan pertolongan segera pada saat masyarakat tak berdaya hal tersebut adalah tugas pemerintah atau secara teknis disebut sebagai kebutuhan masyarakat (public goods).Safe community dapat terwujud didesa siaga, jika pada aspek care yang terdiri atas kesiagaan (community preparedness), pencegahan (prevention), dan upaya penanggulangan (mitigation) dikembangkan secara lintas sektoral, seiring dengan aspek cure yang terdiri atas respons yang cepat (quick response) untuk life and limb saving serta rehabilitasi sesuai kepmenkes 979/Menkes/SK/IX/2001. Dan sebagai pengejahwantahan dari konsep safe community maka dikembangkan Sistem PenanggulanganGawat Darurat Terpadu (SPGDT).

2.7 Resiko pengurangan bencanaTahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pra bencana, tanggapan darurat, dan pasca bencana. Pada tahap pra bencana (yang terbagi menjadi saat tidak terjadi bencana dan potensi terjadi bencana) dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemanduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis resiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan, dan mitigasi bencana).Pada tahapan tanggap darurat, kegiatannya mencangkup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya, penentuan status keadaan darurat, penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar (air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan tempat hunian), perlindungan kelompok rentan (prioritas bagi kelompok reentan) serta pemulihan prasarana dan sarana vital.Pada tahapan pasca bencana, mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsilisasi dan resolusi konflik, sosial ekonomi dan budaya, keamanan dan ketertiban, fungsi pemerintahan dan pelayanan publik) dan rekontruksi (pembangunan, pembangkitan, dan peningkatan berbagai saranan dan prasarana termasuk fungsi pelayanan publik).Pengurangan resiko bencana (PRB) merupakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul. Secara konseptual, PRB merupakan wujud dari perubahan paradigma penanggulangan bencana yakni dari pendekatan konvensional kepada pendekatan holistik. Penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi secara keseluruhan manajemen risiko. Perlindungan masyarakat dari ancaman bahaya merupakan wujud perlindungan sebagai hak asasi rakyat dan penanggulangan bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab bersana antara pemerintah dan masyarakat.Landasan penyelenggaraan PRB adalah Resolusi PBB Nomor 63 Tahun 1999 tentang Internasional Strategy For Disaster Reduction (ISDR), The Yokohama Strategy tahun 1994, Hyogo Framework For Action tahun 2005, serta Beijing Action. Sedangkan, secara nasional telah diterbitkan rencana aksi Nasional Penggurangan Resiko Bencana (RAN PRB) tahun 2006 di samping Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Prinsip dasar PRB mengacu pada The Yokohama Strategy yang meliputi hal berikut ini :a. Pengkajian risiko bencana merupakan langkah yang diperlukan untuk penerapan kebijakan dan upaya pengurangan bencana.b. Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana penting dalam pengurangan kebutuhan untuk pertolongan bencana.c. Pencegahan bencana dan kesiapsiagaan meliputi aspek integral dari kebijakan pembangunan dan perencanaan ditingkat nasional, bilateral, multilateral, serta international.d. Pengembangan dan penguatan kemampuan untuk mencegah, mengurangi, dan mitigasi bencana adalah prioritas utama dalam dekade pengurangan bencana alam internasional.e. Peringatan ini terhadap bencana dan penyebarluasan informasi bencana dilakukan secara efektif dengan menggunakan sarana telekomunikasi.f. Upaya pencegahan adalah langkah paling efektif bila melibatkan peran serta masyarakat lokal, nasional, regional, dan internasional.g. Kerentaan terhadap bencana dapat dikurangi dengan penerapan disain dan pola pengembangan pembangunan yang difokuskan pada kelompok-kelompok dengan menggunakan pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi masyarakat.h. Masyarakat internasional perlu berbagi teknologi untuk mencegah, mengurangi, memitigasi bencana yang dilaksanakan secara bebas dan tepat waktu sebagai satu kesatuan dari kerjasama teknis.i. Perlindungan lingkungan merupakan salah satu komponen pembangunan berkelanjutan (sustainable development)yang sejalan dengan pengentasan kemiskinan.j. Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat, infrastruktur, dan aset nasional dari dampak bencana. Sedangkan, masyarakat internasional harus menunjukan kemauan politik yang kuat untuk mengarahkan sumber daya yang ada secara memadai dan efisien.Sedamgkan, substansi manajerial dasar yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam PRB mengacu pada Hyogo Framework Framenwork for Action Plan 2005-20015 yaitu sebagai berikut:a. Meletakkan PRB sebagai prioritas nasional dan daerah yang implementasinya dilakukan oleh institusi yang kuat.b. Mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau resiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangunkan kesadaran tentang keselamatan dini dan ketahanan terhadap bencana bagi semua tingkatan masyarakat.d. Mengaurangi cangkupan risiko bencana.e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar mendapat respon yang efektif.Secara umum, pemerintah bersama masyarakat berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah PRB melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:a. Pengenalan dan pemantauan resiko bencana. Fokus kegian ini adalah mengenali bahaya (utama dan ikutan), mengenali kelompok rentan untuk masing-masing bahaya yang potensial, dan mengenali kemampuan masyarakat (communities capacity) dalam hal ini bencana sekaligus menganalisis probabilitas kejadian bencana dan risiko bencana disuatu wilayah pada periode tertentu.b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana. Fokus kegiatan ini adalah penyadaran masyarakat akan hak dan kewajiban serta keberadaannya dalam penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas (capacity building) dan pendayagunaan (empowerment) tentang kemampuan, kekuasaan, otoritas, atau peluang dalam penyusunan rencana, terlibat dalam penetapan rencana dan pelaksanan rencana.c. Pengembangan budaya sadar bencana. Fokus kegiatan ini adalah kesadaran publik (public awareness), pengembangan institusi, pelestarian kearifan lokal (local wisdom), serta pemberdayaan masyarakat agar dapat melakukan upaya pencegahan (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (emergency), sampai dengan pemulihan (relief).d. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana. Fokus kegiatan ini adalah adanya institusi yang kuat dalam hal penanggulangan bencana dan didukung dengan sumber daya ideal.e. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengeturan penanggulangan bencana. Fokus kegiatan ini adalah pada penerbitan tata peraturan perundangan (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah), standar, norma, mekanisme, prosedur dengan hukumnya, serta upaya-upaya kegiatan fisik seperti pembuatan tanggul, tempat pengungsian, dan lain sebagainya.

2.8 Permasalahan dan penanggulangan bencanaSecara umum, masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah di daerah memiliki keterlibatan pengetahuan tentang bencana seperti berikut ini.a. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazard).b. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA (vulnerability).c. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang menyebabkan ketidaksiapan.d. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.Ketika bahaya dan kerentanan tadi dipicu dengan adanya fenomena alam maupun buatan manusia (gempa, Tsunami, banjir, lumpur lapindo, dan sebagainya), maka timbul masalah berurutan, meliputi korban jiwa dan luka, pengungsian, kerusakan infrastruktur, dan terputusnya pelayan publik. Sebagian besar masalah ini pada akhirnya merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan.2.8.1 Permasalahan di Bidang KesehatanBerikut ini merupakan akibat-akibat bencana yang dapat muncul baik langsung maupun tidak langsung terhadap bidang kesehatan.a. Korban jiwa, dan sakit (berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan).b. Adanya pengungsian yang ada pada umumnya akan rentan dan beresiko mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stres.c. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vektor penyakit.d. Sering kali sistem pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.e. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi menyebabkan terjadinya KLB.Penyakit-penyakit yang sering kali diderita para pengungsian di Indonesia tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain meliputi diare, ISPA, campak, dan malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering kali mncul sesuai dengan karakteristik bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus diare yang tinggi, juga memunculkan kasus leptospirosis yang relatif besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR 7,66%). Sedangkan gempa di DIY dan Jateng pada tahun 2006 mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 diantaranya meninggal dunia.2.8.2 Penanggulangan bencana di bidang kesehatanDengan melihat faktor risiko yang terjadi akibat bencan, maka penanggulangan bencana sektor kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan masyarakat. Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan merupakan salah satu bagian dari aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaannya tertentu harus melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan sektor dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyelamatan lingkungan, terutama pada saat tanggap darurat dan pasca bencana.a. Sanitasi daruratKegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban: kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standar. Kekurang jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.b. Pengendalian vektorBila tempat pengungsian dikatagorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat nyamuk dan vektor lain disekitar pengungsi. Ini termasuk adanya timbunan sampah dan genangan air yang memungkinkan terjadinya perindukan vektor. Maka kegiatan pengendalian vektor terbatas sangat diperlukan, baik dalam bentuk spraying atau fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.c. Pengendalian penyakitBila dari laporan pos-pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakunkan pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor risikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.d. Imunisasi terbatasPengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu hamil, dan balita. Bagi bayi dan balita perlu diimunisasi campak bila dalam catatan program daerah tersebut belum mendapat crash program campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan sesuai dengan kebutuhan setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan Jateng pada tahun 2006.e. Surveilans epidemiologiKegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemiologi penyakit potensi KLB dan faktor risiko. Atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vektor, dan pemberian imunisasi. Informasi epidemiologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilans epidemiologi, yaitu:0. Reaksi sosial0. Penyakit menular0. Perpindahan penduduk0. Pengaruh cuaca0. Makanan dan gizi0. Persediaan air dan sanitasi0. Kesehatan jiwa0. Kerusakan infrastruktur kesehatan

2.9 Peran perawat kesehatan komunitas dalam manajemen bencanaPeran perawat komunitas dalam penanggulangan bencana bervariasi berdasarkan tahapan disaster managemen (M.Kandasamy,jurnal of india, 2007). Peran perawat kesehatan komunitas pada tahap preparedness adalah:a. Memfasilitasi dalam mempersiapkan komunitas dalam menghadapi bencana dan menyiapkan tempat penampungan korbanb. Menyediakan program pendidikan menghadapi bencana pada berbagai areac. Menyediakan dan memperbaharui laporan atau catatan populasi rentan yang ada dikomunitasd. Memberikan pendidikan kesehatan pada populasi rentan tentang tindakan penyelamatan yang dapat dilakukan pada saat bencanae. Memberikan pendidikan kesehatan pada populasi rentan tentang tindakan penyelamatan yang dapat dilakukan pada saat bencana.f. Sebagai advokat masyarakat dalam menciptakan dan menjaga lingkungan yang aman.g. Melakukan pengkajian dan laporan tentang bahaya lingkunganh. Mengetahui sumber-sumber yang dapat digunakan dalam penanganan bencana serta menggerakkan kerja sama dengan komunitas atau masyarakatPeran perawat kesehatan komunitas pada saat bencana terjadi tergantung dari pengalaman dalam penanggulangan bencana peran perawat dalam institusi dan persiapan komunitas (preparedness), pelatihan atau training yang pernah diikuti dan ketertarikan dalam penanggulangan bencana. Peran perawat pada saat bencana adalah:a. Bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat kepada badan atau organisasi penanganan bencana yang ada agar dapat memfasilitasi tindakan penyelamatan segera.b. Melakukan evakuasi dan triage terhadap korban bencana berdasarkan tingkat keparahan cedera yang dialami korban.c. Memberikan pertolongan dan perawatan emergency pada korban bencana sesuai triage yang dilakukand. Terus menerus membuat laporan perkembangan kejadian bencana.Peran perawat kesehatan komunitas pada tahap setelah bencana (recovery) adalah:a. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan korban bencana seperti air bersih, makanan, minuman, dan lain-lainb. Membantu kesehatan mental korban yang mengalami trauma dan merujuk kepada terapis mental untuk penanganan lebih lanjut.c. Memperhatikan bahaya lingkungan yang dapat terjadi setelsh bencanad. Melakukan home visit untuk memastikan terpenuhnya kebutuhan korban bencana akan rumah sehat, air bersih dan listrik.e. Memperhatikan kemungkinan adanya binatang yang hidup atau mati yang dapat membahayakan kesehatan korban bencana.f. Care finding dan memberikan asuhan keperawatan pada korban bencana berdasarkan masalah yang ditemukan.g. Membantu korban agar dapat beraktifitas secara normal sesuai perannya dimasyarakat.Peran perawat kesehatan komunitas juga sangat penting dalam CBDRM yaitu meningkatkan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana perawat komunitas dengan ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan pengelolaan masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya dapat berperan sebagai pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan bencana.Perawat juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada dimasyarakat, mengidentifikasi kapasitas atau kemampuan atau sumber daya yang ada dimasyarakat yang dapat digunakan dalam penanggulangan bencana, membatu menyusun perencanaan penanggulangan bencana dan pedoman implementasi dan evaluasi, serta menjadi fasilitator dalam mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan bencana dimasyarakat.Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional penanggulangan bencana Nomor 4 tahun 2008 Tentang Pedoman penyusunan Rencana penanggulangan bencana. Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan postimpact. Peran perawat disini bisa dikatakan multiple:a. Sebagai bagian dari penyusun rencana, b. Pendidik, c. Pemberi asuhan keperawatand. Bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut,2.9.1 Peran dalam Pencegahan PrimerAda beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:a. mengenali instruksi ancaman bahaya;b. mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda)c. melatih penanganan pertama korban bencana.d. Berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakatPendidikan kesehatan diarahkan kepada :a. usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)b. pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakarc. memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, RS dan ambulans.d. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai) e. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko bencana

2.9.2 Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan stabil.Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama.Ada saat dimana seleksi pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. TRIASE :a. Merah---paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-IIb. Kuning --- penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II c. Hijau --- prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasid. Hitam --- meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal2.9.3 Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencanaa. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-harib. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harianc. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RSd. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan hariane. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatanf. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwag. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiaterj. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi

2.9.4 Peran perawat dalam fase postimpact a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis korban.b. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi

BAB IIIPENUTUP

3.1 KESIMPULANDari paparan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan olehalam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.Perawat juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada dimasyarakat, mengidentifikasi kapasitas atau kemampuan atau sumber daya yang ada dimasyarakat yang dapat digunakan dalam penanggulangan bencana, membatu menyusun perencanaan penanggulangan bencana dan pedoman implementasi dan evaluasi, serta menjadi fasilitator dalam mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan bencana dimasyarakat.

3.2 SARANPenulis menyadari betul bahwa baik isi maupun penyajian tugas Bencana Komunitas ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kelompok sangat mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai penyempurnaan tugas ini, sehingga dikemudian hari tugas-tugas selanjutnya dapat lebih baik dan bermanfaat bagi semua mahasiswa keperawatan dan tentunya bagi mahasiswa yang melakukan asuhan keperawatan komunitas diharapkan harus menganalisa keadaan masyarakat atau komunitas dengan baik dan tepat dan dapat diterapkan ilmunya untuk meningkatkan taraf kesehatan dan meminimalkan terjadinya bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, F & Makfudli. 2009. Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hartiningsih. (2005). Bencana gempa dan tsunami. Jakarta: Buku Kompas.

Heterington, M. E., & Parke, R. D. (2003). Child psychology a contemporary viewpoint. Boston : McGraw Hill.

Bappenas. (2012) Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana. Bappenas. Diunduh pada tanggal 18 maret 2015 dari http://www.gitews.org/tsunamikit/id/E6/sumber_lainnya/produk_hukum_nasional/RAN-RENAS/RAN-PRB-2010-2012-BAPPENAS.pdf

1