benarkah kartini mengajarkan emansipasi

6
Benarkah Kartini Mengajarkan Emansipasi? Sejak dulu wanita dijajah pria! barangkali penggalan bait lagu ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa wanita merasa terjajah oleh kaum pria. Jika kita coba telusuri, sejak kira- kira tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya. Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-hidup. Di Mesir dan Persia , perlakuan terhadap perempuan tak kalah sadisnya. Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah SWT, Muhammad

Upload: loneli-costaner

Post on 25-Jun-2015

228 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Benarkah kartini mengajarkan emansipasi

Benarkah Kartini Mengajarkan Emansipasi?

Sejak dulu wanita dijajah pria! barangkali penggalan bait lagu ini membuat kita bertanya-

tanya, mengapa wanita merasa terjajah oleh kaum pria. Jika kita coba telusuri, sejak kira-kira

tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-

laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka

dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang

suami dalam memperlakukan istrinya.

Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di

Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab,

lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-

hidup. Di Mesir dan Persia , perlakuan terhadap perempuan tak kalah sadisnya.

Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai

predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan

kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang

perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah

SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan yang tiada

tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda Rasulullah SAW ini

mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti seorang perempuan) adalah salah satu

penentu dalam meraih surga. Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai

luhur.

Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga akhirnya pada awal abad

ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar, seiring dengan peradaban, sains dan teknologi

yang ditawarkan oleh Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang

dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation

(Gerakan Pembebasan Wanita).

Page 2: Benarkah kartini mengajarkan emansipasi

Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak. Mereka

memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi

demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme di AS

difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena kala itu wanita

disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga

pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-

hak mereka sebagai warga negara.

Setelah tuntutan itu terpenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun 1950-an.

Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tak pernah digugat, meski

sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah sebagai buah revolusi industri. Pada

tahun 1960, isu feminisme berkembang lagi di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum

wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestic (rumah tangga) merupakan hal

yang tidak produktif. Kemunculan kembali isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty

Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran

tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak

berkembang kepribadiannya.

Untuk itu, wanita tidak harus kawin dan punya anak agar tidak membebani dan menghambat

pengembangan dirinya. Tokoh-tokoh feminis kala itu, memberikan dorongan kepada wanita

untuk membebaskan diri dari kewajiban kerumahtanggaan. Juliet Mitcher dalam bukunya

Women’s Estate (1971) mengatakan “menjadi ibu rumah tangga itu sama dengan menjadi

budak.” Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk

membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki. Laki-laki dipandang

sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita. Gerakan kaum feminis yang mengecilkan

arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada

sebagian besar masyarakat AS.

Page 3: Benarkah kartini mengajarkan emansipasi

Hal ini karena: Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala

keberhasilan dengan bentuk materi. Kekuasaan dalam keluarga diukur dari banyaknya materi

yang dibawa ke dalam keluarga. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga,

jika tidak menghasilkan materi (uang).

Kedua, individualisme yang dianut kuat di masyarakat. Sistem yang ada di Barat telah

menempatkan individu sebagai figur yang lebih penting dari kelompok. Individu adalah the

center of human action. Menurut paham ini, pekerjaan kerumahtanggaan dianggap sebagai

penindasan individu. Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan

domesticwanita dalam perhitungan GNP (Gross National Product). Dengan demikian wanita

dengan tugas reproduktifnya dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-

apa dalam pembangunan.

Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS, tetapi di

seluruh dunia, virus peradaban ini terus menginfeksi tubuh masyarakat. Hal ini terbukti dari

hasil yang dicapai pada Konferensi Wanita Sedunia (2 Juli 1975), di Mexico City.

Konferensi tersebut merupakan Puncak Tahun Wanita Internasional (TWI) dan

menghasilkan World Plan of Action of The International Women’s Year, sebagai pedoman

bagi kegiatan dalam jangka waktu 10 tahun. Hasil Konferensi ini diterima Majelis Umum

PBB dan dijadikan resolusi PBB yang mempunyai kekuatan untuk ditaati oleh semua negara

anggota PBB, tak terkecuali negeri-negeri Islam seperti Indonesia .

Munculnya tokoh-tokoh feminisme di negeri-negeri Islam seperti Fatima Mernissi (Maroko),

Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud, Mazharul Haq Khan

serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz, Myra Diarsi setidaknya menjadi

bukti bahwa gerakan inipun cukup laku di dunia Islam. Bahkan tak hanya dari kalangan

wanita, dari kalangan pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin

Syafruddin, dan lain-lain. Di Indonesia, feminisme lebih dikenal dengan emansipasi wanita.

Tak sedikit orang-orang yang telah memperjuangkan emansipasi tersebut menjadikan RA

Page 4: Benarkah kartini mengajarkan emansipasi

Kartini menjadi simbol perjuangannya. Pikiran-pikiran RA Kartini yang tertuang dalam

bentuk surat-menyurat kemudian dikumpulkan dalam satu buku “Habis Gelap Terbitlah

Terang”.

Dari sini kita jadi bertanya? Benarkah RA Kartini yang telah mengajarkan emansipasi? Jika

ditilik lebih lanjut, apa yang diajarkan RA Kartini, pada dasarnya adalah peningkatan harkat

dan martabat wanita serta menuntut hak-hak wanita yang memang itu menjadi haknya dan

bukanlah emansipasi sebagaimana yang berkembang di Barat. Rupanya kiprah RA Kartini

telah disalahartikan atau memang sengaja dijadikan cantolan oleh para tokoh emansipasi

wanita di Indonesia untuk menggolkan tujuannya yakni menuntut persamaan hak antara laki-

laki dan wanita di segala bidang, bukan sekedar menuntut apa-apa yang memang menjadi

kaum wanita.

Bukankah Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan wanita dengan posisinya masing-

masing secara pas, tidak mengeksploitasi satu sama lain? Allah telah memberikan hak-hak

kepada wanita sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki, kecuali ada hal-hal khusus yang

diberikan Allah terkait dengan tabiat dan martabat wanita, seperti kemampuan hamil,

melahirkan dan menyusui yang tidak diberikan-Nya kepada laki-laki. [Siti Nuryati]