beberapa jalan an ide

48
Beberapa Jalan Menetaskan Ide-ide Kreatif Perspektif Psikologi Islami Tuesday, 26 April 2011 12:06 administrator T ulisan ini akan menunjukkan proses-proses terjadinya kreativitas dalam perspektif Psikologi Islami. Perspektif psikologi Islami mempercayai bahwa yang berperanan dalam menerima ilham atau ide-ide baru bukan hanya akal pikir manusia, tapi juga qalbu atau hati nurani manusia. Optimasi penggunaan akal pikir akan membuahkan dilahirkannya atau ditetaskannya ide-ide kreatif. Hal ini sebagaimana banyak diungkapkan oleh pemikiran dan hasil-hasil penelitian psikologi moderen selama ini. Psikologi moderen belum banyak menyoroti berfungsinya kalbu atau hati nurani yang dapat membuahkan kreativitas. Sebagaimana diungkapkan Imam Ghazali (Nashori, 2002), pada dasarnya manusia dapat memperoleh nur atau cahaya (yang berisi pengetahuan, kebenaran, bimbingan, petunjuk, dsb.) dari Allah SWT, baik diminta maupun tidak diminta. Allah dapat begitu saja memasukkan pengetahuan, ide atau ilham ke qalbu manusia. Sekalipun demikian, pilihan yang paling direkomendasikan adalah menggunakan akal pikir dan membeningkan hati nurani secara optimal. Berpikir Kreatif Kelahiran kreativitas dalam perspektif psikologi Barat selalu dikaitkan dengan penggunaan otak manusia. Bila seseorang menggunakan otak kanannya, maka ia akan banyak menghasilkan pemikiran dan karya-karya kreatif. Psikologi Islami juga mempercayai bahwa salah satu cara untuk memperoleh ide kreatif adalah dengan memberikan stimulus-stimulus yang menjadikan akal manusia berfungsi penuh. Penggunaan akal pikir secara optimal akan mengantarkan orang kepada tahap inkubasi atau tahap pengeraman. Dalam situasi seperti ini orang seakan berada dalam situasi di mana tidak ada jalan lain. Di hadapannya hanya ada jalan buntu. Bila seseorang beristirahat berpikir, maka pikirannya akan bekerja, yang pada intinya adalah mencari keterkaitan antar berbagai informasi hingga akhirnya muncullah ide-ide kreatif. Cara memperoleh ide kreatif adalah melakukan usaha kongkrit berpikir kreatif Usaha menetaskan ide- ide kreatif dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang diperkenalkan Albert Einstein, Leonardo da Vinci, atau juga cara berpikir Edward de Bono. Tulisan ini akan mengungkap salah satu teknik berpikir kreatif sebagaimana dijelaskan Munandar (1997) berdasar teori Guilford. Munandar menyebutkan empat unsur berpikir kreatif, yang meliputi unsur-unsur kelancaran, fleksibilitas atau kelenturan, orisinalitas dan elaborasi. Pertama, kelancaran. Kegiatan yang berupaya mengembangkan kelancaran berpikir kreatif mendorong seseorang untuk memikirkan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan atau masalah. Misalnya, ada problem bagaimana mencari uang dengan barang bekas. Kata kuncinya, menurut Utami Munandar (1997) adalah banyak. Kemungkinan jawaban adalah menjadikan kaleng penyemprot nyamuk sebagai mainan anak, menjadikan kayu bekas rumah sebagai mobil-mobilan, menjadikan jam dinding bekas sebagai mainan yang bisa diputar-putar, mengecat kembali barang jam dinding yang penuh goresan menjadi seperti semula, menjual barang bekas seperti sepeda, menukar ban sepeda dengan jam tangan, dans seterusnya. Proses kelancaran ini dapat juga dilakukan dalam suatu kelompok. Dalam suatu pertemuan, bisa dilakukan kegiatan sumbang saran (brainstorming). Dalam kenyataan sehari-hari, agar memperoleh jawaban yang paling meyakinkan, seseorang dapat minta pendapat atau saran dari berbagai orang secara sendiri-sendiri. Kedua, fleksibilitas (kelenturan atau keluwesan). Pada tahap ini ada usaha untuk menggolong-golongkan gagasan yang muncul ke dalam kategori-kategori tertentu. Sebagai contoh, jawaban-jawaban tentang cara memanfaatkan barang bekas dapat digolongkan sebagai berikut: (a) barang bekas dijual, yaitu barang bekas yang kini dimiliki dijual, membeli barang bekas untuk dijual lagi, (a) barang bekas

Upload: iwan-sakti

Post on 05-Jul-2015

167 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Beberapa Jalan an Ide

Beberapa Jalan Menetaskan Ide-ide Kreatif Perspektif Psikologi Islami Tuesday, 26 April 2011 12:06 administrator

T ulisan ini akan menunjukkan proses-proses terjadinya kreativitas dalam perspektif Psikologi Islami.

Perspektif psikologi Islami mempercayai bahwa yang berperanan dalam menerima ilham atau ide-ide baru bukan hanya akal pikir manusia, tapi juga qalbu atau hati nurani manusia. Optimasi penggunaan akal pikir akan membuahkan dilahirkannya atau ditetaskannya ide-ide kreatif. Hal ini sebagaimana banyak diungkapkan oleh pemikiran dan hasil-hasil penelitian psikologi moderen selama ini. Psikologi moderen belum banyak menyoroti berfungsinya kalbu atau hati nurani yang dapat membuahkan kreativitas. Sebagaimana diungkapkan Imam Ghazali (Nashori, 2002), pada dasarnya manusia dapat memperoleh nur atau cahaya (yang berisi pengetahuan, kebenaran, bimbingan, petunjuk, dsb.) dari Allah SWT, baik diminta maupun tidak diminta. Allah dapat begitu saja memasukkan pengetahuan, ide atau ilham ke qalbu manusia.

Sekalipun demikian, pilihan yang paling direkomendasikan adalah menggunakan akal pikir dan membeningkan hati nurani secara optimal.

Berpikir Kreatif

Kelahiran kreativitas dalam perspektif psikologi Barat selalu dikaitkan dengan penggunaan otak manusia. Bila seseorang menggunakan otak kanannya, maka ia akan banyak menghasilkan pemikiran dan karya-karya kreatif. Psikologi Islami juga mempercayai bahwa salah satu cara untuk memperoleh ide kreatif adalah dengan memberikan stimulus-stimulus yang menjadikan akal manusia berfungsi penuh. Penggunaan akal pikir secara optimal akan mengantarkan orang kepada tahap inkubasi atau tahap pengeraman. Dalam situasi seperti ini orang seakan berada dalam situasi di mana tidak ada jalan lain. Di hadapannya hanya ada jalan buntu. Bila seseorang beristirahat berpikir, maka pikirannya akan bekerja, yang pada intinya adalah mencari keterkaitan antar berbagai informasi hingga akhirnya muncullah ide-ide kreatif.

Cara memperoleh ide kreatif adalah melakukan usaha kongkrit berpikir kreatif Usaha menetaskan ide-ide kreatif dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang diperkenalkan Albert Einstein, Leonardo da Vinci, atau juga cara berpikir Edward de Bono. Tulisan ini akan mengungkap salah satu teknik berpikir kreatif sebagaimana dijelaskan Munandar (1997) berdasar teori Guilford. Munandar menyebutkan empat unsur berpikir kreatif, yang meliputi unsur-unsur kelancaran, fleksibilitas atau kelenturan, orisinalitas dan elaborasi.

Pertama, kelancaran. Kegiatan yang berupaya mengembangkan kelancaran berpikir kreatif mendorong seseorang untuk memikirkan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan atau masalah. Misalnya, ada problem bagaimana mencari uang dengan barang bekas. Kata kuncinya, menurut Utami Munandar (1997) adalah banyak. Kemungkinan jawaban adalah menjadikan kaleng penyemprot nyamuk sebagai mainan anak, menjadikan kayu bekas rumah sebagai mobil-mobilan, menjadikan jam dinding bekas sebagai mainan yang bisa diputar-putar, mengecat kembali barang jam dinding yang penuh goresan menjadi seperti semula, menjual barang bekas seperti sepeda, menukar ban sepeda dengan jam tangan, dans seterusnya.

Proses kelancaran ini dapat juga dilakukan dalam suatu kelompok. Dalam suatu pertemuan, bisa dilakukan kegiatan sumbang saran (brainstorming). Dalam kenyataan sehari-hari, agar memperoleh jawaban yang paling meyakinkan, seseorang dapat minta pendapat atau saran dari berbagai orang secara sendiri-sendiri.

Kedua, fleksibilitas (kelenturan atau keluwesan). Pada tahap ini ada usaha untuk menggolong-golongkan gagasan yang muncul ke dalam kategori-kategori tertentu. Sebagai contoh, jawaban-jawaban tentang cara memanfaatkan barang bekas dapat digolongkan sebagai berikut: (a) barang bekas dijual, yaitu barang bekas yang kini dimiliki dijual, membeli barang bekas untuk dijual lagi, (a) barang bekas didaur ulang, yaitu mengecat kembali barang bekas atau menjadikannya sebagai mainan anak, dan seterusnya.

Ketiga, orisinalitas atau keaslian. Cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh hasil berpikir yang orisinal adalah dengan menemukan ide-ide yang tidak biasa, ide yang tidak lazim diberikan. Berdasarkan pengalaman, ide-ide yang orisinl biasanya bukanlah ide yang pertama-tama diberikan. Biasanya ide-ide yang mula-mula muncul adalah ide yang lazim, yang diberikan oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu penting untuk memberikan waktu yang cukup untuk memikirkan gagasan-gagasan. Sebagai contoh, setelah ditemukan berbagai macam cara memanfaatkan barang bekas, akhirnya ditemukan cara yang tidak lazim atau cukup orisinal, misalnya membuka konsultasi penggunaan barang bekas.

Keempat, elaborasi. Elaborasi adalah mengembangkan suatu ide, merinci, melengkapi dan menambahkan detail-detail terhadap ide sehingga dapat dilaksanakan dan dikerjakan. Sebagai contoh, seseorang memutuskan untuk menggabungkan beberapa botol penyemprot nyamuk menjadi jembatan, maka ia perlu membuat uraian tentang bahan-bahan yang dibutuhkan dan cara membuatnya.

Page 2: Beberapa Jalan an Ide

Keempat aspek atau langkah dari berpikir kreatif menumbuhkan kesadaran akan strategi menghadapi masalah. Dengan meningkatnya kemampuan seseorang dalam keempat proses tersebut, masalah-masalah dapat dihadapi dan diselesaikan secara lebih kreatif. Langkah di atas akan dapat berlangsung lebih optimal, bila kondisi pribadi dan lingkungan menopang aspek-aspek berpikir kreatif di atas.

Berusaha Mendapat Ilham Dari Allah

Sumber pengetahuan adalah Allah Azza wa jalla. Dengan demikian, sumber kreativitas adalah Allah. Kalau seseorang mengharapkan kreativitas itu menyatu dalam dirinya dan dalam langkah hidupnya, maka salah satu yang diharapkan adalah ilham dari Allah. Ilham dari Allah akan menjadikan seseorang kaya dengan berbagai macam pengetahuan, yang pengetahuan itu diperoleh-Nya langsung dari Allah Azza wa jalla. Satu hal yang selalu perlu diingat adalah bahwa hadirnya ide-ide atau ilham ke dalam diri seseorang merupakan karunia Allah. Ia merupakan kewenangan sepenuhnya dari Allah apakah menggunakannya atau tidak menggunakannya.

Ilham sendiri dapat diartikan sebagai sejenis pengetahuan yang dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang dan dipaterikan pada hati atau kalbunya, sehingga tersingkap olehnya sebagian rahasia dan tampak jelas olehnya sebagian realitas (Najati, 2001). Dalam tradisi Islam seseorang yang banyak mendapat ilham disebut memiliki ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh melalui ilham.

Lahirnya ilham ditunjang oleh beningnya hati. Orang yang bening kalbunya adalah orang yang tidak memiliki tabir atau penghalang terhadap Allah. Saat Allah berkenan melimpahkan pengetahuan-Nya, ia siap menyambutnya. Dalam keadaan hati bening seperti ini ia banyak menerima ilham dari Allah. Sebaliknya, kalau hati seseorang kotor, penuh dengan bintik hitam atau penuh dengan kerak kotoran, maka ia adalah orang yang memasang tabir atau penghalang antara dirinya dengan Allah. Saat Allah berkenan menyampaikan pengetahuan-Nya melalui ilham kepada yang bersangkutan, ia melakukan penolakan. Ia akan menjadi miskin ilham.

Orang-orang yang dekat dengan Allah, memiliki kebeningan kalbu dan akhirnya mendapat ilham dari Allah berasal dari berbagai kalangan. Mereka bisa berasal dari kalangan khusus seperti Nabi dan Rasul dan dapat dari kalangan manusia umumnya. Salah seorang dari kalangan utusan Allah yang sering menerima ilham adalah Nabi Sulaiman. Suatu saat Sulaiman dan ayahnya, Dawud, mengadili perkara dua orang laki-laki. Orang pertama adalah pemilik ladang. Orang kedua pemilik ternak. Pemilik ladang melaporkan bahwa orang kedua telah menggembalakan ternaknya dalam ladangnya sehingga membuat ladang itu rusak. Dawud dan Sulaiman tidak memiliki pengetahuan atau gagasan untuk memecahkan persoalan tersebut. Melalui ilham-Nya, Allah memberikan pengetahuan atau gagasan kepada Sulaiman, suatu ide yang sebelumnya tidak dimiliki Sulaiman. Ilham Allah kepada Sulaiman adalah suatu cara yang menenangkan pemilik ladang. Si pemilik ladang diberi hak untuk memanfaatkan susu, anak, dan bulu ternak itu sampai ladang itu menjadi baik kembali. Hal di atas juga tidak merugikan orang yang kedua. Ternak akan dikembalikan kepada pemilik ternak setelah ladang itu baik dan tumbuh kembali tanaman-tanamannya. Melalui ilham, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ (21) ayat 78-79, akhirnya Dawud dan Sulaiman dapat memecahkan persoalan secara kreatif.

Dari kalangan manusia biasa, salah seorang yang selalu mendapatkan ilham adalah Umar bin Khattab. Ilham datang ke sanubari Umar dikarenakan ia adalah seseorang yang bening hatinya. Sebelum masuk Islam, Umar dikenal tegas, keras, dan jujur. Sifat-sifat di atas menjadikan Umar cukup responsif terhadap kehadiran Islam. Allah Azza wa jalla berkenan memberinya ilham lewat hatinya yang bening.

Salah satu peristiwa yang menunjukkan kebeningan hati Umar dan menghadirkan kreativitas adalah saat Umar berkhotbah Jum’at. Umumnya khotib menyampaikan pesan-pesan yang bersifat spiritual kepada jamaah Jum’at. Di tengah khotbahnya, tiba-tiba Umar mengucapkan suatu ungkapan komando: “Mundur dan naik ke bukit.” Suatu ungkapan yang seakan ditujukan kepada sebuah pasukan perang. Para jamaah Jum’at di Masjid Nabawi terhenyak. Di belakang hari diketahui bahwa Umar memang tengah memberi komando kepada pasukan Muslim yang tengah berperang menghadapi tentara Romawi di Negeri Syam. Suara Umar menggema di medan peperangan itu. Pasukan Muslim tahu bahwa itu adalah suara khalifah Umar dan mereka menaatinya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pasukan Muslim berhasil memukul mundur dan mengalahkan pasukan Romawi.

Seseorang akhirnya memiliki tabir atau penghalang kepada Allah karena ia menentang hukum-hukum Allah (sunnatullah). Dikatakan oleh ahli tafsir Ibnu Katsir, orang yang banyak berdosa akan menjadi orang yang hatinya dipenuhi bintik-bintik hitam. Setiap kali perbuatan dosa dilakukan, satu bintik hitam menempel pada hati sanubari seseorang. Bila dosa itu berlipat-lipat, maka hatinya akan dipenuhi oleh bintik hitam. Bila bintik hitam itu tidak mengalami proses pembersihan, maka bintik hitam akan mengeras dan menjadi kerak. Hati nurani yang bening memang tidak mati, tapi ia telah ditutupi kerak-kerak yang mungkin sangat keras.

Seseorang juga dapat disebut tidak menaati hukum Allah (sunnatullah) bila ia tidak menggunakan karunia Allah padahal Allah mewajibkan untuk mempergunakannya. Allah memberikan kepada setiap manusia potensi atau kemampuan berpikir. Allah mewajibkan manusia berpikir. Kalau manusia mau menaati Allah dengan mempergunakan potensi berpikirnya, maka Allah akan menjadikan yang bersangkutan sebagai orang yang berpengetahuan. Ia akhirnya dapat menjadi pribadi yang kreatif. Sebaliknya, bila seseorang mengabaikan potensi berpikirnya, maka kemampuan berpikirnya tidak terasah, dan akhirnya menjadi tumpul. Orang demikian suka dengan taqlid, yaitu mengikuti sesuatu tanpa pengertian. Mereka akan menjadi pribadi yang tidak kreatif.

Hati menjadi bening dapat dicapai dengan upaya-upaya khusus. Penulis menyebutnya sebagai upaya yang bersifat vertikal dan upaya yang bersifat horisontal. Upaya yang bersifat vertikal dilakukan dengan perbuatan baik kepada Allah, baik yang berisi penghapusan yang buruk dan penambahan yang baik. Penghapusan sesuatu yang buruk dilakukan dengan istighfar dan pertaubatan. Penambahan yang baik dilakukan dengan memperbanyak doa, dzikir, shalat sunnat di samping shalat wajib, membaca kitab suci, dan seterusnya.

Upaya yang bersifat horisontal dapat dilakukan dengan perbuatan baik terhadap sesama makhluk, terutama manusia. Upaya ini juga dilakukan dengan dua arah perbuatan, yaitu menghapus yang buruk dan menambahkan yang baik. Menghapus yang buruk dilakukan dengan permohonan maaf atau permohonan ampunan. Penambahan kebaikan

Page 3: Beberapa Jalan an Ide

dilakukan dengan bertindak sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, seadil-adilnya terhadap sesama.

Apabila upaya-upaya di atas telah dilakukan, maka hati akan menjadi bening. Bila hati bening, maka seakan-akan tidak ada pembatas antara Allah dengan manusia. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla bertutur: "Aku-lah yang menjadi … akal yang dengannya ia berpikir.” Bila seseorang sudah berusaha memperoleh ilham atau ide, maka hal yang patut diingat bahwa boleh jadi Allah tidak berkenan memberikan ilham kepadanya pada saat itu di situ. Allah insya Allah akan tetap memenuhinya di akhirat nanti. Oleh karena salah satu sikap yang patut kita kembangkan di samping berusaha dengan usaha spiritual (berdoa, berdzikir) adalah bertawakkal kepada Allah (berserah diri kepada Allah).

Agar hati yang bening dapat dicapai, maka disarankan untuk memperbanyak doa. Berbagai riset mutakhir menunjukkan bahwa doa-doa menghadirkan pengaruh bagi kehidupan manusia, baik doa yang dialamatkan pada diri sendiri maupun doa yang diarahkan kepada orang lain (Subandi & Hasanat, 2000). Doa agar orang lain dapat menjadi pribadi yang berkembang kemampuan berpikirnya pernah disampaikan Muhammad SAW kepada Abdullah ibnu Abbas.

Doa juga bisa diarahkan kepada diri sendiri. Lebih dari pengaruh auto-sugesti, doa juga memiliki peranan untuk menjolok turun karunia yang disediakan Allah pada manusia. Bila doa itu dilakukan lebih intensif, maka itu berarti usaha menjolok turun karunia tersebut juga semakin keras. Karenanya kerasnya doa insya Allah akan berbuah turunnya karunia. Salah satu bentuk karunia adalah kuatnya cahaya kefahaman dalam diri manusia. Manusia yang memiliki cahaya kefahaman cepat memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas segala sesuatu. Salah satu contoh doa untuk diri sendiri adalah doa sebagai berikut:

 

Ya, Allah, keluarkanlah diriku dari pemahaman yang gelap; dan muliakanlah diriku dengan cahaya kefahaman; dan bukalah atas diriku tentang cara mengetahui ilmu; dan indahkanlah tingkah laku diriku dengan kesopanan; dan mudahkanlah bagi diriku menuju pintu-pintu keutamaan-Mu; dan hamparkanlah untukku perbendaharaan-perbendaharaan rahmat-Mu, wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dari para pemberi kasih sayang.

Ya, Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kecepatan pemahaman para Nabi, kefasihan hafalan para Rasul, kecepatan ilham para malaikat al-Muqarrabin, dan muliakanlah aku dengan rahmat-Mu. Wahai Dzat yang memberi kasih sayang dari para pemberi kasih sayang. Dan puji-pujian milik Allah Tuhan Penguasa Seluruh Alam.

 

Berpikir Sambil Berusaha Mendapat Ilham Dari Allah

Ketika seseorang memikirkan problem dalam masa lama dan tidak mendapatkan jalan pemecahannya, biasanya ia meninggalkan problem tersebut untuk beberapa lama. Ini untuk mengistirahatkan benaknya. Nantinya ia akan kembali lagi menggeluti problem tersebut. Pada fase ini, yang oleh para ahli psikologi disebut sebagai fase inkubasi, terjadi berbagai perubahan penting dalam proses berpikir. Pertama, pikiran terlepas dari sebagian penghambat yang menghalanginya. Kedua, benak terbebaskan dari kegagalan yang menimpanya dan yang menghadangnya, sehingga tidak bisa melanjutkan pemikirannya. Apabila ia kembali lagi setelah beristirahat untuk menggeluti problem tersebut, pikirannya menjadi lebih jernih dan segar. Ketiga, terjadi semacam pengorganisasian informasi yang membuat jelasnya hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak tampak, dan timbulnya pikiran-pikiran baru yang mengantarkan pada jalan pemecahan problem. Menurut ahli psikologi, ketika itu terjadi semacam pemikiran tidak sadar akan problem tersebut dan tampaknya sebagian kegiatan intelektual tetap berlangsung ke suatu arah tertentu (Najati, 2001).

Dalam perspektif Islam, Allahlah yang mengendalikan sesuatu yang ada di alam semesta dan merencanakan segala urusannya. Termasuk yang ada dalam pikiran manusia. Dengan kehendak-Nya kadang Dia mengarahkan proses berpikir ke arah yang membuat mereka bisa menemukan sebagian realitas yang hendak Allah ilhamkan kepada mereka. Realitas-realitas itu tampak jelas bagi mereka, seakan-akan tiba-tiba dalam akal budi mereka terjadi ilumninasi atau pencerahan.

Salah satu contoh adalah apa yang terjadi pada Ibnu Sina. Ibnu Sina dikenal sangat kreatif. Beliau banyak memberikan saham terhadap dunia ilmu pengetahuan melalui penemuan-penemuan barunya yang kreatif, baik di bidang filsafat, geologi, kimia, kosmologi, sastra, politik, dan bahkan dalam bidang psikologi pernah menulis kitab an-Najat tentang kebahagiaan jiwa. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang jarang tertandingi ini ternyata tidak membuatnya lalai sebagai seorang Muslim yang religius. Tentang hal ini, ia sendiri pernah mengungkapkan: “Setiap aku menyangsikan suatu persoalan dan tidak mendapatkan batas pengertian yang benar aku senantiasa ke masjid melakukan shalat, memohon kepada Tuhan hingga terbuka bagiku pemecahannya dengan mudah. Aku pulang ke rumah dan meletakkan lampu di hadapanku lalu terus membaca dan mengarang. Bila rasa kantuk mendesak atau badanku merasa sangat letih aku lalu minum secangkir minuman hingga timbul kembali kesegaranku, dan aku teruskan membaca lagi. Tetapi jika kantuk tidak tertahankan aku lalu tidur. Biasanya aku bermimpi tentang soal-soal yang belum selesai dalam pikiranku. Di dalam mimpi itu kebanyakan persoalan-persoalan menjadi terang masalahnya.” (Arsyad, 1992).

Ilmuwan lain yang penulis kenal yang suka mendapatkan ide-idenya lewat pemikiran dan kemudian beribadah kepada Allah adalah salah seorang pakar psikologi Islami Hanna Djumhana Bastaman. Kepada kami, penulis buku Integrasi Psikologi dengan Islam dan buku Meraih Hidup Bermakna ini mengungkapkan bahwa bila ia telah memikirkan suatu gagasan dan tidak terbuka jalan untuk menyelesaikannya, ia akan berdzikir. Di rumahnya, Bastaman (1995) memiliki sebuah tempat khusus untuk berdzikir. Di sanalah ia menemukan sebuah istilah untuk suatu pemikirannya yang khas, yang sejauh ini dikenal sebagai antropo-religiosus-sentris.

Berpikir dan selanjutnya berusaha mendapatkan ilham atau ide dari Allah. Itulah jalan yang paling dianjurkan

Page 4: Beberapa Jalan an Ide

dikarenakan paling cocok dengan sunnatullah. Sebagaimana diketahui, dua hal (yakni berpikir dan berusaha) adalah dua hal yang diperintahkan Allah.

Berusaha Mendapat Ilham Lewat Mimpi

Allah juga mengirimkan ilhamnya kepada manusia lewat mimpi. Tidak semua mimpi dapat menjadi ilham. Hanya mimpi yang berkualitas yang berisi ilham.

Pada dasarnya ketika seseorang tidur, jiwa seseorang berada dalam genggaman Allah. Dalam sebuah kisah diceritakan dialog Umar bin Khattab radhiyallahu anhu dan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu. Umar berkata: “Ada orang bermimpi aneh sekali. Ia mimpi melihat sesuatu yang tidak terbayangkan olehnya dan mimpinya begitu jelas. Kemudian ia mimpi lagi namun ia tidak melihat apa-apa.” Ujar Ali: “Bisakah ini kuuraikan, wahai Amirul Mukminin? Allah berfirman: ‘Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai batas waktu yang ditentukan.’ Jadi, Allahlah yang mematikan jiwa seluruhnya. Dan apa yang terlihat dalam mimpi, sementara jiwa berada di sisi Allah di langit, ia adalah mimpi yang benar. Sedangkan apa yang terlihat dalam mimpi, sementara jiwa telah dikembalikan ke tubuh, ia adalah mimpi yang tidak benar.”

Bila jiwa seseorang bersih dan Allah berkenan memberikan pengetahuan dan sebagian rahasia ini kepadanya, maka ia akan mendapatkan ilham melalui mimpinya itu. Sebaliknya, bila jiwa seseorang kotor, sementara Allah sesungguhnya berkenan menyampaikan pengetahuannya kepadanya, maka jiwa orang tersebut melakukan penolakan atas pengetahuan atau rahasia dari Allah. Orang ini tidak bisa mendapatkan mimpi yang benar yang di dalamnya berisi ilham. Kalaupun ia bermimpi, lebih banyak mimpinya itu dipengaruhi oleh kondisi tubuh dan jiwanya yang diselimuti oleh kegelisahan. Diungkapkan oleh Ibnu Sina, mimpi yang benar terjadi karena adanya kontak antara jiwa manusia dengan dunia malakut atau malaikat di waktu seseorang tidur. Dari mimpi tersebut diterima wahyu atau ilham. Sedangkan mimpi yang buruk timbul dari pengaruh perasaan-perasaan fisik.

Orang yang hatinya bening memiliki kemampuan untuk memahami pesan-pesan dari mimpi yang benar. Melalui mimpi seorang raja, Nabi Yusuf mengetahui apa yang bakal terjadi di negerinya dengan cara menafsirkan mimpi sang raja. Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf (12) ayat 46-49 diungkapkan:

 

... “Yusuf, hai orang yang dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh (bulir) gandum yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar kami kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh ahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.”

 

Mimpi yang benar dan bermutu dapat diperoleh dengan membersihkan hati dan melakukan persiapan mimpi yang bermutu. Persiapan mimpi yang bermutu antara lain dilakukan dengan cara menyadari sepenuhnya bahwa ketika tidur, jiwanya digenggam Allah. Ia berdoa sebelum tidur untuk menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah. Menjelang tidurnya, ia perlu membasahi tidurnya dengan kalimat-kalimat Allah. Insya Allah mimpi yang baik akan menjadi milik kita. Dari sana kita boleh berharap akan mendapatkan mimpi-mimpi yang bermuatan ilham.

Kiranya demikian. Bagaimana pendapat Anda? [FN]

Page 5: Beberapa Jalan an Ide

Menjadi Pribadi Transformatif Wednesday, 27 April 2011 02:40 administrator

S eorang penggembala yatim piatu keturunan agung suku Quraisy itu memang lebih suka menyendiri,

memilih untuk lebih banyak merenung dan berkhalwat di tengah-tengah kegiatannya menggembalakan kambing. Bertafakur, memikirkan tentang alam semesta dan isinya, di tengah teduhnya oase sahara, di keheningan nafas malam di bawah naungan taburan bintang-bintang langit Makkah.

Mencoba memahami hakikat penciptaan alam raya, melalui bahasa transedental dengan dimensi sosial sebagai ukuran nya. Berangkat dari lanskap gurun pasir dan stepa di barat daya semenanjung saudi arabia hingga sepertiga kawasan dunia, Muhammad SAW membawa arus perubahan besar bagi peradaban manusia. Beserta para pengikut nya (dimana Muhammad seringkali menyebut sebagai sahabatnya), Muhammad SAW tidak saja menjadi pembawa risalah terakhir Illahi, ia juga menjelma menjadi pemimpin politik yang bersahaja, jendral besar ahli strategi yang beretika, hingga seorang sahabat dekat bagi pengikutnya.

Melintasi ruang dan waktu, dari Makkah hingga ke benua Eropa dan dunia, menyusuri Granada dan Alhambra di barat, bergerak ke utara melalui konstantinopel hingga khurasan, lalu ke wilayah selatan, menapak jalur sutra di pusat peradaban negeri cina, mengarungi samudera hindia, hingga kepulauan rumpun melayu di ujung barat kepulauan nusantara. Pribadi-pribadi berjiwa besar para pemimpin perubahan yang dilandasi keimanan bermunculan. Dari Shalahudin Al-ayubi “Malik An naser” sang penakluk Yarussalem yang berasal dari irak, sampai ke pedalaman kepulauan Belitong, Harfan Efendy Noor, kepala sekolah SD Muhammadiyah Gantong dalam cerita Laskar Pelangi, adalah sedikit contoh para pribadi transformatif.

Mengapa Muhammad SAW dapat melakukan perubahan sedemikian besar nya di tengah jahil nya sikap dan perilaku masyarakat arab pada waktu itu? Mengapa Shalahuddin Al Ayubbi dapat menggerakkan pasukan nya dengan semangat kemanusiaan, yang berperang demi kesucian bukan nafsu menaklukan? Mengapa Pak Harfan dapat menggerakan dan menginspirasi bu Muslimah dan anak-anak didiknya untuk terus berprestasi dan bertahan walau dalam kondisi serba kesulitan dan keterbatasan?

Pertanyaan nya kemudian adalah, apakah mungkin dimensi-dimensi tersebut

juga dapat muncul pada setiap diri kita?

Salah satu jawabannya adalah mungkin kepribadian tangguh yang selalu berorientasi pada masa depan, konsisten, peduli, dan dilandasi hati yang tulus. Sebagian sifat-sifat kepribadian tersebut melekat pada salah satu paradigma model kepemimpinan yang banyak dibahas dalam 25 tahun terakhir, yaitu gaya kepemimpinan transformasional. Istilah pemimpin transformatif diperkenalkan pertama kali oleh James Burns (1978) dalam ranah sosial dan politik, namun pada perkembangannya istilah ini justru lebih banyak dibicarakan dalam diskusi-diskusi di meja para mahasiswa manajemen dan psikologi, juga ditemukan di lembaran-lembaran literatur cabang ilmu psikologi industri dan manajemen sumber daya manusia.

Pada dasarnya terdapat empat dimensi yang melekat pada diri seorang pemimpin transformasional, yaitu: Karisma, Inspirasi, Kesadaran individu, dan Stimulasi intelektual. Karisma adalah terminologi yang menggambarkan aura kewibawaan dan kesan menawan yang dihadirkan seseorang melalui sikap, perilaku dan penampilan nya. Namun, aspek karisma dalam konteks kepemimpinan lebih bermuara pada kemampuan pemimpin untuk menjadi tauladan atau role models, menghadirkan pemahaman bersama terhadap visi yang ingin dicapai, dan mampu menanamkan kebanggaan serta kepercayaan diri pada relung hati setiap pengikut nya terhadap apa yang dilakukannya. Inspirasi diterjemahkan sebagai kemampuan dalam memberi inspirasi dan menstimulus pengikut nya untuk tertantang dan antusias dalam menghadapi tantangan dan perubahan. Konsiderasi pribadi terdiri atas sikap dan perilaku yang berkiblat pada rasa hormat dan saling menghargai setiap pendapat dan pribadi dengan berfokus pada potensi atau kelebihan yang dimiliki. Pada akhirnya, seorang pemimpin yang selalu memiliki sudut pandang baru dan inovatif dalam menghadapi masalah, serta mampu meng-artikulasikan ide-ide baru dan inovatif tersebut kepada para pengikutnya, sehingga membuat para pengikutnya tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, berpikir terbuka, dan memandang kegagalan sebagai media pembelajaran, adalah pemimpin yang dikatakan bisa menunjukan aspek stimulasi intelektual.

Pertanyaan nya kemudian adalah, apakah mungkin dimensi-dimensi tersebut juga dapat muncul pada setiap diri kita? Apakah dimensi-dimensi tersebut hanya berlaku pada diri seorang pemimpin yang memiliki anak buah atau pengikut di dalam setting institusi atau organisasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya akan bermuara pada satu pertanyaan, yaitu, apakah setiap diri kita adalah pemimipin? Jawabannya adalah tentu saja iya, bukankah Allah katakan dengan jelas di dalam kitab-Nya, bahwa manusia diberikan amanah dan tanggung jawab sebagai duta Tuhan pemegang kekuasaan di atas bumi, manusia diserahi tugas memimpin dirinya untuk memakmurkan bumi dan segala isinya (Khalifah). Bumi beserta isinya diserahkan sebagai amanah bagi manusia untuk beribadah dan mengabdi pada kebesaran Allah SWT.

Setiap pemimpin adalah pribadi yang melekat pada dirinya tanggung jawab dan kekuasaan untuk mengarahkan dan mengambil keputusan. Tanggung jawab seorang ayah untuk memimpin keluarganya, tanggung jawab seorang ibu

Page 6: Beberapa Jalan an Ide

terhadap anak-anaknya, tanggung jawab seorang guru terhadap anak-anak didiknya, dan tanggung jawab setiap diri kita terhadap semua sikap dan perilaku kita. Manusia adalah entitas unik yang terangkai di dalamnya miliyaran sel yang saling berkorelasi dan bekerja secara multi tasking, yang didalamnya ter-install sekaligus masalah dan solusinya, persoalan dan jawabannya, kesulitan dan kekuatan untuk melaluinya, kekurangan dan potensinya, serta kelemahan dan kekuatannya.

Dimensi kepemimpinan transformasional tidak hanya dapat dianalisa dan diidentifikasi dalam sudut penglihatan ilmu kepemimpinan secara holistik, namun ia juga mampu ditelaah secara mikro pada diri setiap pribadi, yang ter manifestasi dalam setiap sikap dan perilaku nya. Dimensi-dimensi transformasional mampu muncul pada setiap individu, dimana dan bagiamana pun ia hidup dan berperan. Nilai-nilai karismatik, Inspiratif, Kesadaran pada setiap kelebihan individu, dan Stimulus intelektual dapat merekah pada diri setiap individu yang yakin dan percaya bahwa setiap pribadi adalah Khalifah Tuhan di muka bumi, pemimpin besar bagi kerajaan hati nya, yang bertanggung jawab pada setiap sikap dan perilakunya terhadap kemakmuran sekitarnya.

Karisma yaitu derajat dimana sikap dan perilaku seseorang dapat dijadikan teladan, manusia dapat menjadi contoh ideal bagi dirinya dalam waktu tertentu tentang bagaimana harusnya ia bersikap, yang membuatnya berwibawa dan dihormati. Seseorang dengan karisma akan memiliki keyakinan dan prinsip nilai yang jelas dan mampu meng aplikasikannya dalam setiap perbuatnnya, dan hal tersebutlah yang membuatnya dikenali, dihormati, dan diikuti.

Inspiratif, yaitu derajat dimana seseorang dapat meng-artikulasikan visi yang dimilikinya dalam bentuk perilaku konkrit dan mampu menjadi inspirasi buat orang sekitar nya. Seseorang yang memiliki dorongan untuk selalu memberi insipirasi untuk orang disekitarnya akan selalu merasa tertantang untuk dapat melakukan amanah nya sebaik mungkin, optimis, dan selalu dapat menemukan makna di balik setiap tugas yang diberikan padanya.

Stimulasi intelektual adalah derajat dimana seseorang berani untuk berpikir kritis, berani mengambil resiko dan tidak anti terhadap perubahan, bahkan mendambakan nya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses menjadi manusia yang lebih baik.

Perhatian terhadap setiap individu yaitu derajat dimana seseorang peka terhadap kebutuhan orang lain dan perubahan kondisi di sekitarnya. Ia mampu menjadi mentor bagi dirinya dan orang lain, sekaligus ia juga mampu menjadi murid dan pendengar yang baik. Berfokus pada sisi positif, menghormati dan tidak memandang remeh orang lain.

Pada akhirnya, pribadi transformatif tidak dilahirkan begitu saja dari keturunan secara genetis, ia dicari dan ditemukan, dilatih dan dikembangkan. Nilai-nilai itu bersemayam dalam setiap pribadi manusia, yang sadar akan hakikat dirinya diciptakan untuk memakmurkan bumi, sebagai khalifah dunia, representasi nama-nama Agung milikNya. Semoga

Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam

kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan

dan menjadikan kamu sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di

samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Sedikit sekali (Nikmat Allah) yang

kamu ingat. 

(An-Naml:62). [HM]

Page 7: Beberapa Jalan an Ide

Mencapai Puncak Prestasi dengan Meningkatkan Kualitas Tidur dan Mimpi: Perspektif Psikologi Islami Wednesday, 27 April 2011 02:31 administrator

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu diwaktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian

dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan

(QS 30, al-Ruum:23).

 

D alam sejarah peradaban Islam dan peradaban Barat ada orang yang sangat brilian. Mereka adalah Ibnu

Sina dan Leonardo da Vinci. Leonardo da Vinci seperti kita ketahui adalah seorang ahli fisika (dialah perancang pertama kapal selam), seorang pemusik klasik, dan tentu seorang pelukis. Dia adalah salah seorang dari sedikit ilmuwan peradaban Barat yang ahli dalam berbagai bidang. Ibnu Sina adalah bapak kedokteran Islam, ahli-ahli di bidang: filsafat, geologi, kimia, kosmologi, sastra, politik, psikologi, dan sebagainya. Dalam bidang psikologi beliau menulis kitab al-Najat tentang kebahagiaan jiwa. Dia adalah salah satu di antara puluhan bahkan ratusan ilmuwan Islam yang sangat brilian, ahli dalam berbagai bidang.

Tidur yang berkualitas akan menjadikan kondisi fisik dan psikologis

seseorang terasa segar dan nyaman ketika mereka terbangun.

Yang patut untuk mendapat catatan adalah dua orang ini menganggap bahwa tidur dan mimpi merupakan jalan untuk memperoleh ide yang cemerlang. Cerita tentang dua orang di atas menggarisbawahi satu hal bahwa kalau kita dapat mengelola tidur dan mimpi kita, maka kita dapat memaksimalkan potensi fisik, kognitif, afektif, dan spiritual kita sehingga akan dapat kita tunjukkan prestasi puncak!

Pertanyaan yang dapat diajukan: bagaimana tidur dan mimpi yang berkualitas bisa menghasilkan prestasi belajar yang optimum? Bagaimana tidur dan mimpi yang berkualitas bisa menghasilkan prestasi yang optimum dalam bidang-bidang hidup yang digeluti?

Tidur dan Mimpi yang Berkualitas

Tidur merupakan arena bagi manusia untuk memperoleh ketentraman hidup. Dalam al-Qur’an, Allah Azza wa jalla berfirman: “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu tidur (al-nu’asa) sebagai penentraman dari pada-Nya (QS al-Anfaal, 8:11). “Tidur” (al-nu’asa), menurut Adnan Syarif (2002) adalah tidur yang terlelap. Tidur yang terlelap akan memberikan efek yang penting dalam kehidupan manusia. Kalau manusia memperolehnya, maka manusia telah memperoleh salah satu ciri utama tidur yang berkualitas.

Kualitas tidur dan kualitas mimpi dirumuskan penulis berdasarkan telaah pustaka atas berbagai macam pendapat (Freud, 2001a; Freud, 2001b; Nashori, 2002; Maas, 2002; Purwanto, 2003). Kualitas tidur adalah suatu keadaan di mana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran di saat terbangun. Berdasarkan berbagai pandangan, penulis membagi aspek-aspek kualitas tidur seperti berikut ini:

 

 

Tabel 1. Aspek-aspek Kualitas Tidur

 

Aspek-aspek Kualitas Tidur

1. Bersuci, berdoa dan berdzikir sebelum tidur

2. Memulai tidur dalam keadaan miring ke kanan dan menghadap ke kiblat

Page 8: Beberapa Jalan an Ide

3. Merasa nyaman, tak ada beban psikologis yang berat menjelang tidur

4. Badan dalam keadaan rileks, tak ada aktivitas fisik yang berat menjelang tidur

5. Nyenyak, tidak terbangun dalam tidur

6. Tidur lebih awal dan bangun dari tidur lebih awal

7. Waktu tidur minimal enam jam dalam sehari

 

 

Sementara itu yang dimaksud dengan kualitas mimpi adalah suatu keadaan di mana mimpi yang diperoleh seseorang banyak menggambarkan hal-hal yang benar yang berkaitan dengan masa lalu dan masa depan, menghasilkan optimisme serta kepastian bagi individu yang mengalaminya. Tentang mimpi yang berkualitas ini salah satu aspek pentingnya adalah mimpi yang memiliki aspek kebenaran (al-ru’ya al-shadiqah, al-ru’ya al-shalihah, penulis menyebutnya mimpi nubuwat). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh hadis Nabi: Mimpi yang baik datangnya dari Allah dan mimpi (polusi) datangnya dari setan (HR Bukhari dari Abdullah Ibnu Qatadah). Hadis yang lain dari Nabi Muhammad mengungkapkan: Mimpi yang benar adalah salah satu dari empat puluh enam cabang kenabian (HR Bukhari dari Anas bin Malik)

Berdasarkan berbagai macam pandangan, penulis membagi aspek-aspek kualitas mimpi seperti berikut ini:

 

 

Tabel 2. Aspek-aspek Kualitas Mimpi

 

Aspek-aspek Kualitas Tidur

1. Meminta perlindungan Tuhan dari mimpi buruk

2. Memperoleh mimpi yang menyenangkan

3. Memperoleh mimpi yang berisi pengetahuan (ide, masa depan, masa lalu), petunjuk, maupun peringatan

4. Memandang hidup lebih positif dan optimis setelah bermimpi

5. Menjaga jarak dengan mimpi buruk

6. Monitoring diri berkaitan dengan mimpi

7. Mengambil hikmah dari mimpi

 

 

Pengaruh Kualitas Tidur dan Mimpi terhadap Prestasi Belajar

Prestasi Belajar. Belajar adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan sebagai pengalaman orang yang bersangkutan dalam interaksinya dengan lingkungan (Rumini dkk, 1995). Sementara prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasar pengukuran dan penilaian terhadap hasil pendidikan yang diwujudkan berupa angka atau nilai maupun indeks prestasi. Untuk mengetahui prestasi belajar, guru atau dosen melakukan pengukuran, kemudian penilaian berdasarkan norma yang dipergunakan. Hasilnya diwujudkan dalam suatu simbol yang biasa menggunakan angka atau huruf yang biasa disebut sebagai indeks prestasi. Ada yang menggunakan angka dengan rentang 1-10 atau 1-100 atau juga dalam bentuk huruf seperti A,B,C,D,E.

Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Prestasi Belajar. Tidur yang berkualitas akan menjadikan kondisi fisik dan psikologis seseorang terasa segar dan nyaman ketika mereka terbangun. Al-Qur’an menggambarkannya sebagai penentraman (QS al-Anfaal, 8:11). Hal senada dikatakan oleh James B. Maas (2002) bahwa proses tidur, jika diberi waktu yang cukup

Page 9: Beberapa Jalan an Ide

dan lingkungan yang tepat, menghasilkan tenaga yang luar biasa. Tidur memulihkan, meremajakan dan memberi energi tubuh dan otak. Sepertiga (8 jam) atau seperempat (6 jam) hidup manusia, yang seharusnya dilewati dengan tidur, berpengaruh besar terhadap dua pertiga lainnya, dalam hal kewaspadaan, energi, suasana hati, berat badan, persepsi, daya ingat, daya pikir, kecekatan reaksi, produktivitas, kinerja, ketrampilan komunikasi, kreativitas, keselamatan, dan kesehatan prima.

Bagaimana tidur bisa menghasilkan efek-efek sebagaimana di atas? Secara garis besar, bila seseorang tidur secara nyenyak dan dengan waktu yang cukup, maka ada dua proses fisiologis yang terjadi. Pertama, proses pemulihan dan pertumbuhan. Yang pasti, pada saat tidur pasokan darah ke otak meningkat. Meningkatnya pasokan darah ini berkaitan dengan posisi tubuh seseorang. Saat tidur, tubuh seseorang dalam posisi horisontal. Dalam kondisi demikian peredaran darah akan berlangsung lebih lancar. Pasokan darah yang lancar berakibat pada pemulihan dalam tubuh berlangsung lebih lancar. Di samping itu, pada saat tidur sekresi hormon pertumbuhan oleh kelenjar pituitari (kelenjar yang mengatur pertumbuhan, metabolisme, pematangan) mencapai puncak saat tidur delta (tidur delta adalah tahapan tidur paling terlelap atau nyenyak). Hormon pertumbuhan merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta memperbaiki jaringan tubuh. Terutama bagi anak dan remaja, tidur nyenyak yang tidak terganggu sangat penting untuk membantu pertumbuhan dan pematangan mereka.

Kedua, meningkatkan kekebalan terhadap infeksi. Pada waktu seseorang tidur dengan nyenyak, senyawa protein-karbohidrat pengatur sistem kekebalan meningkat. Hal ini memiliki peran besar dalam meningkatkan kekebalan terhadap infeksi. Dikatakan oleh Michael Irwin (Maas, 2002), bahwa kekurangan tidur, meskipun sedikit, menurunkan respons kekebalan tubuh. Fakta juga menunjukkan bahwa kematian sel tumor meningkat pada saat orang tidur. Sebaliknya, jika kekurangan tidur, ketahanan terhadap infeksi menurun drastic. Orang yang sakit membutuhkan istirahat yang cukup untuk meningkatkan kekebalan. Orang yang sehat butuh tidur yang cukup dan nyenyak akan kekebalannya optimum.

Dalam keadaan daya ingat, daya pikir, persepsi, dan kesehatan yang prima, mahasiswa siap berkonsentrasi saat mengikuti proses belajar mengajar. Konsentrasi memegang peranan penting bagi seorang mahasiswa untuk merekam dan mengingat dan selanjutnya mengembangkan pelajaran yang diperoleh di perguruan tinggi. Kemampuan merekam, mengingat dan mengembangkan materi pelajaran akan memungkinkan mahasiswa memperoleh prestasi yang optimal. Sebaliknya, dengan tidur yang berkualitas jelek, yang terutama ditandai oleh tidak nyamannya fisik dan psikologis saat tidur, akan menghasilkan daya ingat, daya pikir, persepsi yang menurun. Dalam kondisi demikian, konsentrasi belajar biasanya tidak optimal. Dengan daya ingat, daya pikir, dan persepsi yang jelek, maka individu akan gagal dalam melakukan perekaman atas pengetahuan yang semestinya diserapnya dengan baik.

Perlu untuk disampaikan bahwa tidur yang dialami seseorang melalui beberapa tahapan. Dua tahapan yang dianggap paling penting adalah tahapan tidur delta dan tahap tidur REM (rapid eye movement). Yang menarik pada saat tidur REM ada dua kejadian. Pertama, terjadi penyimpanan dan retensi daya ingat. Pada saat tidur REM, terjadi pengaktifan neuron yang intensif yang menyebar ke atas dari batang otak. Ini dianggap sebagai penyebab meningkatnya penyimpanan dan retensi ingatan serta pengingatan kembali, serta pengategorisasian informasi. Kedua, organisasi dan reorganisasi ingatan. Berbagai informasi yang ada informasi yang telah ditancapkan dalam ingatan ditata sebagaimana penataan folder dalam komputer. Dalam keadaan tidur, otak mengganti, memodifikasi, dan meningkatkan ingatan sesuai dengan keperluan.

Hal di atas diperkuat oleh ungkapan mahasiswa sendiri berdasarkan konseling dan wawancara yang penulis lakukan. Mereka yang kualitas tidurnya jelek, seperti tidur sangat larut (sesudah pukul 24), kesulitan untuk tidur atau sering bangun tidur, mengaku memiliki prestasi belajar yang rendah. Sebaliknya, ketika ditanyakan pada mahasiswa yang berprestasi tinggi dan kebiasaan hidup mereka, maka diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki prestasi yang baik mampu menjalani tidur secara baik, seperti tidur di awal waktu dan bangun lebih awal, waktu tidur cukup.

Di samping itu, mimpi yang berkualitas, yang ditandai oleh adanya mimpi yang positif serta kemampuan menjaga jarak dan mengambil hikmah dengan mimpi buruk, menjadikan seseorang dapat menyongsong kehidupan terjaga secara optimal. Dalam kondisi psikologis yang bersifat positif ini seorang mahasiswa akan dapat mengerahkan konsentrasinya untuk belajar. Dari sanalah akhirnya prestasi yang optimal dapat dicapai.

Berkaitan dengan kualitas mimpi, maka salah satu tanda mimpi seseorang berkualitas adalah diperolehnya mimpi yang memiliki unsur pengetahuan masa depan. Mimpi yang demikian biasa disebut mimpi nubuwat (Fuad Nashori, 2002). Dengan mimpi nubuwat itulah dalam diri seseorang terbentang pengetahuan. Mimpi yang berkualitas dicapai oleh Hidayat Nur Wakhid. Pada waktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Moderen GONTOR beliau sering memimpikan soal-soal yang akan diujikan guru/ustadz-nya. Mimpi yang sejenis dialami oleh Abud (bukan nama yang sebenarnya). Siswa sebuah SMU di Balikpapan ini menjelang ujian akhir SMU memimpikan berbagai soal. Dalam mimpi soal-soal muncul secara terang benderang. Dalam kehidupan nyata apa yang mereka mimpikan ini benar-benar mereka saksikan dalam ujian yang nyata (bukan mimpi). Dengan demikian, mudahlah soal-soal itu dikerjakannya.

Pengaruh Tidur dan Mimpi terhadap Prestasi Puncak

Prestasi Puncak. Prestasi puncak adalah prestasi optimum yang dicapai seseorang setelah menekuni bidang-bidang pekerjaan tertentu. Prestasi yang dapat kita tunjukkan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar, yaitu prestasi jangka pendek (untuk waktu yang pendek, satu sampai lima tahun), jangka menengah (sepanjang hidup kita di dunia), dan jangka panjang (dunia-akhirat). Contoh-contoh prestasi: jangka pendek adalah prestasi belajar, jangka menengah adalah karya yang berarti bagi banyak orang, dan jangka panjang adalah diridhai Allah menjadi penghuni surga.

Page 10: Beberapa Jalan an Ide

Seorang manajer pemasaran disebut mencapai prestasi puncak bila ia dapat menghasilkan berbagai terobosan yang menjadikan produk atau jasa yang dipasarkan memperoleh respon yang optimum dari pasar. Seorang dosen yang berprestasi puncak bila ia dapat memberikan materi pelajaran dan cara mengajar yang membuat mahasiswa bersemangat mempelajari dan mengembangkan pengetahuannya. Dan, seterusnya.

Pengaruh Tidur yang Berkualitas terhadap Prestasi Puncak. Tidur yang berkualitas akan menjadikan kewaspadaan, energi, suasana hati, berat badan, persepsi, daya ingat, daya pikir, kecekatan reaksi, produktivitas, kinerja, ketrampilan komunikasi, kreativitas, keselamatan, dan kesehatan prima seseorang meningkat (Maas, 2002). Setiap individu yang hidup dan bekerja dengan mengharapkan hasil yang optimum membutuhkan kualitas-kualitas sebagaimana disebutkan di atas. Dengan kualitas seperti suasana hati yang baik, persepsi yang baik, daya ingat yang baik, maka pekerjaan-pekerjaan akan dilakukannya dengan hasil yang baik. Sebagai contoh, seorang karyawan yang harus berangkat dari rumahnya pagi hari akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik bila suasana hati, persepsi, dan daya ingat baik. Dengan tidur yang berkualitas, kualitas sebagaimana yang telah disebutkan tadi dapat dicapai secara optimum, dan selanjutnya ia dapat melaksanakan pekerjaannya dengan hasil optimum. Sebuah riset yang dilakukan Timothy Roehrs dan Thomas Roth (Michigan, USA) membuktikan bahwa kewaspadaan meningkat secara signifikan jika orang yang biasanya tidur cukup mendapatkan tambahan dua jam lagi.

Sebaliknya, ketika seorang karyawan kurang tidurnya, maka proses pemulihan dalam tubuhnya tidak optimum. Akibatnya, ketika berangkat kerja atau saat di dalam tempat kerja ia bisa memperoleh resiko kecelakaan. Stanley Cohen menemukan fakta bahwa dalam waktu empat hari setelah orang-orang di negara Barat kehilangan satu jam tidur setelah pergantian musim semi karena matahari lebih awal, ada peningkatan tujuh persen kematian akibat kecelakaan jika dibandingkan dengan seminggu sebelumnya dan seminggu setelahnya.

Pengaruh Mimpi yang Berkualitas terhadap Prestasi Puncak. Sebagaimana telah disebutkan bahwa saat orang tidur berlangsung organisasi dan reorganisasi ingatan. Berbagai informasi yang ada informasi yang telah ditancapkan dalam ingatan ditata sebagaimana penataan folder dalam komputer. Dalam keadaan tidur, otak mengganti, memodifikasi, dan meningkatkan ingatan sesuai dengan keperluan.Para ahli psikologi Barat, termasuk di dalamnya Maas (2002) dan Deepak Chopra (2003), mempercayai bahwa penemuan-penemuan cemerlang dari ahli-ahli ilmu pengetahuan dan sastra adalah karena otak mereorganisasi ingatan sehingga terbentuk ide baru. Friedrich August Kekule von Stradonitz mengaku bahwa ia menemukan struktur molekuler benzena atau cincin benzena dalam tidurnya (Maas, 2002; Purwanto, 2003). Novel Hamlet, Macbeth, Richard III karya William Shakespeare, diperoleh dalam mimpi (Chopra, 2003). Namun, ahli-ahli psikologi Barat tidak percaya bahwa mempelajari (baca: mengetahui) sesuatu yang baru dalam mimpi. Benarkah?

Jawabnya, menurut psikologi Islami (Nashori & Mucharam, 2002), salah satu cara manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui mimpi. Mimpi yang diperoleh seseorang tidak hanya berkaitan berbagai pengalaman dan harapannya, tapi bisa pula berisi pengetahuan yang berasal dari Allah SWT. Seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan jasmani, nafsani, dan ruhaninya sebelum tidur, akan lebih dimungkinkan untuk memperoleh mimpi yang benar.

Dengan mimpi yang mampu menghasilkan ilham, seseorang akan terbantu untuk menyelesaikan pekerjaan dengan memperoleh ide melalui mimpi. Seorang pemikir besar Islam Ibnu Sina mendapatkan banyak ide untuk penulisan bukunya melalui mimpi. Inilah cerita Ibnu Sina: “Setiap aku menyangsikan suatu persoalan dan tidak mendapatkan batas pengertian yang benar aku senantiasa ke masjid melakukan shalat, memohon kepada Tuhan hingga terbuka bagiku pemecahannya dengan mudah. Aku pulang ke rumah dan meletakkan lampu di hadapanku lalu terus membaca dan mengarang. Bila rasa kantuk mendesak atau badanku merasa sangat letih aku lalu minum secangkir minuman hingga timbul kembali kesegaranku, dan aku teruskan membaca lagi. Tetapi jika kantuk tidak tertahankan aku lalu tidur. Biasanya aku bermimpi tentang soal-soal yang belum selesai dalam pikiranku. Di dalam mimpi itu kebanyakan persoalan-persoalan menjadi terang masalahnya.”

Pada orang Barat ada seseorang yang menghabiskan sekitar 11 jam dalam hidupnya untuk tidur. Orang ini mengharapkan datangnya berbagai ide atau ilham melalui mimpi. Dia adalah seorang ilmuwan yang cemerlang, pemusik yang handal, pelukis MONALISA yang terkenal itu, Leonardo da Vinci.

Sekalipun perlu diingat bahwa ilham yang diperoleh seseorang saat tidur tidak selalu berasal dari Allah Azza wa jalla. Ilham melalui mimpi ini sebagaimana diungkapkan oleh hadis Nabi, bisa berasal dari Allah dan bisa pula berasal dari setan. Mimpi yang baik datangnya dari Allah dan mimpi (polusi) datangnya dari setan (HR Bukhari dari Abdullah Ibnu Qatadah). Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa seseorang dapat memperoleh petunjuk yang menyesatkan melalui mimpi. Seorang dukun membunuh 42 wanita setelah memperoleh ide melalui mimpi.

Maka, sekalipun dalam mimpi terdapat ide atau ilham, tapi ilham itu bisa menginspirasi untuk berbuat hal yang salah dan destruktif. Berkaitan dengan pengaruh mimpi yang berkualitas, maka mimpi yang berkualitas ditandai oleh minimnya mimpi yang bersifat negatif-konstruktif. Kalaupun dalam diri seseorang terjadi mimpi yang bersifat demikian, seseorang memiliki kemampuan untuk mengambil hikmah dan menjaga jarak dengan mimpi. Mampu menjaga jarak artinya individu menyadari bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal realitas. Kesan buruk yang diperoleh dari mimpi adalah sesuatu yang tidak nyata. Sebagaimana diungkapkan oleh sebuah hadis Nabi Muhammad, seseorang yang menjaga jarak dengan mimpi (yang ditandai oleh tidak diceritakannya mimpi kepada orang lain) tidak akan terpengaruh oleh mimpi yang dialaminya. Bila individu bersikap demikian, mimpi buruk tidak akan mengganggu aktivitasnya, sehingga ia dapat tetap berkonsentrasi terhadap usahanya untuk berkarya. Sementara itu yang dimaksud dengan mengambil hikmah adalah mengambil pelajaran dari mimpi yang dialaminya. Mimpi yang buruk berkaitan dengan pelanggan bisa menjadi pelajaran bahwa ada relasi yang lebih baik yang perlu dikembangkan oleh

Page 11: Beberapa Jalan an Ide

oleh si pemimpi. Mimpi buruk berkaitan dengan teman kerja memberi pelajaran bahwa ada sesuatu yang semestinya diperbaiki.

Sebuah hadis Nabi Muhammad pernah menandaskan bahwa seseorang yang banyak berdzikir akan dapat mencapai keunggulan (baca: prestasi puncak). Kalau dikontekskan dengan bahasan di atas, maka dapat disebutkan bahwa untuk memperoleh prestasi puncak, seseorang bisa memperoleh mimpi yang berkualitas. Mimpi yang berkualitas dapat diperoleh melalui aktivitas yang melibatkan dzikir kepada Allah. Urutannya adalah demikian: dzikir – membuat hati tenang – mimpi yang berkualitas – kinerja puncak!

Kiranya demikian tulisan singkat ini. Semoga dapat memotivasi Anda untuk memperdalam kajian tentang tidur dan mimpi. [FN]

Berbagi Berbuah Nikmat Wednesday, 27 April 2011 02:38 administrator

Page 12: Beberapa Jalan an Ide

P ernah mendengar kisah ‘Sepotong Roti’ dari Ustadz Yusuf Mansur? Jika belum, ceritanya begini: Alkisah,

ada seorang imam yang diberitahu oleh pembantunya bahwa mereka hanya memiliki sepotong roti. Tentu saja roti tersebut tidak cukup untuk dibagi berdua. “Jadi, roti ini enaknya diapakan, Tuan?” tanya si pembantu. Saking laparnya, pembantu itu berharap tuannya mau merelakan roti itu untuk dimakannya sendiri..

Ternyata tidak. Sang imam malah menyuruh si pembantu untuk memberikan roti tersebut kepada tetangga mereka. Pikir imam, ada orang yang lebih membutuhkan. Wajah si pembantu tampak kecewa. Imam itu lalu menghiburnya, “Sudah tenang saja. Allah punya janji yang lain. Kalau kita berkenan membantu orang lain, Allah pun akan membantu kita.” Kata imam lagi, “Kalau roti ini kita bagi berdua, maka kita hanya kebagian sebelah-sebelah. Tidak kenyang. Kalau dimakan salah seorang dari kita, maka salah satu dari kita pasti ada yang tidak makan.”

Akhirnya, si pembantu pun keluar mencari tetangga yang kelaparan. Di saat imam sendirian di rumah, datanglah enam orang bertamu. Imam tahu bahwa dia tidak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada enam tamunya tersebut. Tapi, ia tahu bahwa dirinya sudah bersedekah. Dan Allah akan membukakan pintu rezeki bagi siapa saja yang mau bersedekah. Begitu yang imam yakini.

Tidak berapa lama kemudian, setelah si pembantu kembali ke rumah, datang pula seorang tamu lagi. Ia tidak masuk ke dalam rumah. Ia hanya berdiri di depan pintu. “Imam, saya membawa hadiah roti buat Anda dan pembantu Anda,” katanya.

Imam lalu melihat hadiah roti itu. Cuma dua potong. Sang imam tersenyum. Mungkin tamu tersebut cuma tahu bahwa penghuni rumah itu hanya dua orang. “Maaf,” kata imam, “saya tidak bisa menerimanya. Roti ini salah alamat.”

“Tidak imam, tidak salah alamat. Memang roti ini untuk Anda dan pembantu Anda,” ujar si pembawa roti.

“Maaf, saya tidak bisa menerima. Sudah ya, saya ada tamu,” kata imam itu.

Si pembawa roti ini tentu saja bingung. Kenapa imam menolak? Rupanya, ia sempat melihat ke dalam rumah imam. Benar memang, di dalam ruangan sedang banyak tamu. “Oh, mungkin imam menolak sebab tamunya memang banyak. Kalau roti ini dia terima, tidak cukup untuk dibagikan dengan tamunya,” pikirnya.

Lalu orang itu kembali pulang. Ia menambahkan jumlah hadiah roti itu hingga genap sepuluh potong. Di depan rumah imam, orang itu berkata, “Maaf, imam. Kali ini, pasti tidak salah alamat.”

Sang imam kembali memperhatikan isi baki tersebut. Ia melihat ada sepuluh potong roti. “Ya, sekarang tidak salah alamat,” ujarnya.

Imam pun menyuguhkan roti itu buat keenam tamunya. Ia juga memanggil pembantunya untuk ikut bersama-sama menikmati roti tersebut. Tidak lupa ia juga makan satu potong. “Lihatlah,” kata imam kepada pembantunya, “Sekarang engkau saksikan, kita malah punya sisa dua roti. Enam tamu kita kenyang, kamu kenyang, dan saya pun kenyang.”

Begitulah cara Allah untuk mengganti sepotong roti yang telah disedekahkan sang imam pada orang lain. Tidak tanggung-tanggung, satu potong roti berbalas sepuluh. Itu merupakan pengganti dari Allah bagi orang yang mau berbagi. Karena berbagi merupakan salah satu ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah kita peroleh. Tampaknya, demi melihat kekurangan dan kesulitan kita, langkah berbagi atau bersedekah menjadi layak untuk lebih diperhatikan.

Memahami Hakikat Berbagi

“Don’t ask what your country can do for you, ask what you can do for your country.” Kata-kata sakti John F. Kennedy ini tentu tidak asing. Tetapi dalam konteks ini, saya tidak sedang bicara politik. Saya cuma ingin menganalogikan ungkapan tersebut untuk memahami hakikat berbagi. Kata-kata itu bisa dibaca begini: “Jangan tanyakan apa yang bisa diberikan orang lain kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang akan kau berikan kepada orang lain.”

Dalam hitungan manusia, satu dikurang satu sama dengan nol atau habis. Sayangnya, hitung-hitungan ini terbawa saat kita berbagi atau bersedekah. Bahwa kalau kita punya satu, kemudian yang satu itu kita sedekahkan pada orang lain, maka kita tidak akan memiliki apa-apa lagi. Logis memang. Namun, tidak demikian dengan matematika sedekah. Allah punya hitungan lain. Dia yang Maha Pemurah akan membalas sepuluh kali lipat harta yang disedekahkan seseorang, sebagaimana Dia membalas kebaikan apa pun sepuluh kali lipat kebaikan dari-Nya. Tentunya harus didasari keimanan. Maha benar Allah dalam firman-Nya:

Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali

lipat amalnya; dan barangsiapa membawa perbuatan yang jahat maka dia

tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang

mereka sedikitpun tidak dirugikan. 

Page 13: Beberapa Jalan an Ide

(QS. Al-An’aam [6]: 160)

Selain balasan tersebut, berbagi juga dapat membentuk kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga menumbuhkan kepekaan sosial (social sensitivity). Seperti pada tayangan reality show ‘Toloong!!’ pada salah satu stasiun televisi swasta yang mampu membuat saya terharu. Namun, tidak semua pemberian itu berbuah nikmat. Hanya orang-orang yang memberi dengan hati yang ikhlas, tanpa mengharapkan nama harum, apalagi sanjungan yang dapat memetik kenikmatan dari perbuatannya. Rasulullah Saw bersabda:

 

Allah mengkhususkan pemberian kenikmatan-Nya kepada kaum-kaum

tertentu untuk kemaslahatan umat manusia. Apabila mereka

membelanjakannya (menggunakannya) untuk kepentingan manusia maka

Allah akan melestarikannya. Namun bila tidak, maka Allah akan mencabut

kenikmatan itu dan menyerahkannya kepada orang lain. 

(HR. Athabrani dan Abu Dawud)

Berbagi Tak Harap Kembali

Berbagi memang perbuatan mulia. Agama manapun memberi tempat terhormat pada orang yang mau berbagi atau berderma. Begitu agung perilaku berderma sehingga Islam banyak memberi tuntunan dalam soal ini. “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah,” begitu sabda Nabi Saw. Nafkahkanlah sebagian hartamu dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dermawan itu dekat kepada Allah dan dekat dari surga, dan sebagainya. Perilaku dermawan dijadikan buah bibir. Namun, mengapa semangat berbagi pada umumnya belum terwujud dalam perilaku kita sehari-hari? Pertanyaan ini muncul dari kenyataan bahwa egoisme dan individualisme masih bahkan makin berkembang di tengah masyarakat.

Selalu berbuat baik tanpa pamrih memerlukan sikap mental yang bertolak belakang dengan kebiasaan orang zaman sekarang. Mungkin banyak di antara kita tergerak berbuat kebajikan karena alasan-alasan tertentu yang tujuannya untuk kepentingan diri juga. Kita mau memberikan sesuatu, asal kita juga mendapatkan sesuatu sebagai imbalan, entah itu dalam bentuk materi atau lainnya. Padahal, nilai tertinggi suatu amal ada pada keikhlasan. Sedikit saja ada niat meninggikan nama pribadi atau pamrih, maka pada saat itu sudah terjadi riya. Dan, semua orang mengerti, amal yang disertai riya menjadi berkurang bobotnya.

Secara psikologis, berbagi itu amalan yang menggembirakan. Bukan hanya menggembirakan yang diberi, melainkan juga yang memberi. Berbagi dapat memberi kepuasan pada diri sendiri. Ada perasaan bangga karena dapat berbuat baik pada orang lain. Perasaan seperti itu tentu saja sangat manusiawi, meskipun konsep ikhlas mengajarkan yang sebaliknya. Maka, kita mesti introspeksi dan mawas diri: apakah kita sungguh-sungguh ikhlas ketika berbagi?

Rentetan musibah yang susul-menyusul menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah di tanah air, seperti petaka Situ Gintung di Cirendeu, Tangerang Selatan, beberapa hari lalu, sepantasnya dapat menggugah kesadaran kita untuk mau berbagi dengan para korban hingga mereka mendapatkan kembali kehidupan yang normal. Mereka mengharapkan uluran bantuan yang tidak sedikit. Tidak ada ruginya menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu mereka. Berbahagialah, karena memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan, ibarat meminjamkannya kepada Sang Khaliq. Suatu saat, Allah pasti mengembalikannya plus ‘bunga pinjaman’. Alangkah indahnya firman Allah berikut ini:

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena

mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah

kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka

kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak

menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat

apa yang kamu perbuat. 

(QS. Al-Baqarah [2]: 265)

Nah, saatnya meluruskan niat semata-mata mengharap ridha-Nya. Seorang bijak pernah berkata, “Bila kita rela berbagi dengan orang lain tanpa mengharap apa-apa, maka segala kekurangan itu pasti akan menjadi berkah bagi

Page 15: Beberapa Jalan an Ide

A lkisah, dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil mengalahkan lawannya. Ali berhasil

memukul pedang lawannya hingga terlempar. Kemudian, Ali menjatuhkan lawannya hingga tak berkutik di tanah. Ali lalu menudingkan ujung pedangnya di leher lawannya tersebut. Ia tinggal menusukkannya.

Namun tiba-tiba lawannya yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali kaget. Ia lalu mengusap lelehan air ludah di wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawannya. Padahal, hanya dengan satu gerakan kecil saja, Ali bisa membunuhnya.

Katanya, bisa membuat orang yang marah merasa lebih baik dan nyaman.

Anggapan ini jelas keliru

Seseorang lalu bertanya. Ia heran kenapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuhnya, bahkan diludahi segala. Ali menjawab, “Karena aku diludahi, maka timbul amarah dan rasa benci di dalam hati saya kepadanya. Karena itu saya meninggalkannya.” Lanjut Ali, “Betapa marahnya Tuhan kepada saya kalau saya membunuhnya karena disebabkan oleh amarah dan kebencian.”

Sebuah jawaban yang sulit dimengerti. Manusia macam apa ini? Musuh sudah tidak berkutik, ditambah menghina dengan meludahi muka, kok malah diampuni. Alasan Ali, jihad fisabilillah yang dilakukannya telah ternoda: membunuh atas dasar nafsu pribadi! Kebesaran jiwa seorang Ali tergambar jelas di sini. Ia tidak mau mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah.

Bolehkah Aku Marah?

Pernah suatu hari, saya mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Mungkin saya salah sampai memancing emosi gadis itu. Ia merasa sangat kesal. Nada suaranya menjadi lebih keras dan lebih bertenaga. Saking marahnya, tidak disangka, telapak tangannya mengayun keras ke pipi kiriku. Plak! Seumur-umur, baru sekali itu saya ditampar. Syukur, saya bisa menahan diri. Saya memilih untuk pergi. Semoga Tuhan mengampuninya.

Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas dendam memang membutuhkan perjuangan. Selama ini, di beberapa tempat, nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak terelakkan. Apalagi emosi sudah di ubun-ubun, punya kesempatan, serta ada yang memprovokasi. Yang berhati lembut bisa berubah sangar, yang pengasih pun bisa beralih jadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna, tapi penglihatan tertutup.

Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan hati-hati memang bisa kebablasan. Makanya, kemarahan itu tak patut diumbar. Kita hanya boleh marah secara wajar. Seperti kata Aristoteles, “Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”

Melampiaskan amarah terkadang dianggap sebagai salah satu cara mengatasi amarah. Katanya, bisa membuat orang yang marah merasa lebih baik dan nyaman. Anggapan ini jelas keliru. Pasalnya, berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa melampiaskan amarah tidak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan meredakannya, meskipun terasa memuaskan.

Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangat populer: Emotional Intelligence, mengutip hasil riset Diane Tice, seorang ahli psikologi pada Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakannya. Dikatakan dalam buku itu, ledakan amarah biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukannya berkurang. Dari cerita orang-orang tentang saat-saat mereka melampiaskan amarahnya kepada seseorang, tindakan itu justru memperpanjang suasana marah, bukan menghentikannya. Yang jauh lebih efektif adalah terlebih dahulu menenangkan diri, kemudian, dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, menghadapi orang yang bersangkutan dengan kepala dingin dan hati tulus untuk menyelesaikan masalah.

Sebuah tulisan berjudul “Forgiveness”, yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan. Mereka lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.

Saatnya Menahan Amarah

Amarah terkait erat dengan sikap atau perilaku yang cenderung mengarah pada penolakan atau menganggap musuh pada orang lain. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat. Semua itu berjalan sesuai dengan naluri manusia untuk mempertahankan diri (gharizah baqa). Naluri ini ada pada setiap manusia normal. Naluri ini membutuhkan pemuasan. Sekalipun jika tidak terpenuhi tidak membawa kematian,

Page 16: Beberapa Jalan an Ide

namun menimbulkan kegelisahan. Islam memberikan arahan yang jelas untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia, termasuk amarah ini.

Dalam telaah psikologi Islam, Dr. Abdul Mujib mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian (personality disorder), yang dalam terminologi Islam klasik disebut sebagai akhlak tercela (akhlak madzmumah). Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya, amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu sebabnya seorang pemarah tidak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga tidak memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain. Tidak berlebihan apabila Rasul SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan dan sejelek-jelek orang adalah orang yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha.” (HR. Ahmad)

 

Menurut Imam al-Ghazali dalam karyanya yang sangat mahsyur, Ihya’ Ulumuddin, amarah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-hararah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthubah) dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukan dilawan dengan kemarahan, melainkan dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik. Kanjeng Nabi Saw berwasiat:

 

“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air, maka barangsiapa yang marah hendaklah berwudhu.” (HR. Abu Dawud)

 

Hadits ini selain menunjukkan sumber amarah, juga menunjukkan bagaimana terapinya. Wudhu dijadikan sebagai terapi amarah, karena air yang dibasuhkan pada bagian-bagian tubuh dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat syaraf. Selain itu, wudhu mengingatkan psikis manusia agar berzikir kepada Tuhan-nya, sebab zikir dapat menyembuhkan penyakit batin.

Kalau kita telusuri sejarah Nabi Muhammad Saw, kita akan tahu bahwa menahan amarah adalah salah satu teladan yang diajarkan beliau. Masih ingat kisah ketika Rasulullah selalu dilempari kotoran hewan oleh seorang Quraisy? Beliau tetap sabar dan berdoa semoga Tuhan membuka hatinya. Benar saja. Suatu hari Rasulullah mendengar orang itu sakit. Dengan kebesarannya, beliau menjenguk orang tersebut dan menghiburnya. Akhirnya, orang itu masuk Islam.

Rasul Saw sudah memberi teladan. Termasuk tak ada satu kata buruk pun dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah. Kalau Rasulullah saja tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani melakukan hal sebaliknya? Mahabenar Allah dalam firman-Nya:

“Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-‘Imran [3]: 133-134)

Nah, mampukah kita mengamalkannya: tanpa dengki, dendam, sakit hati, dan kemarahan? “Bukanlah disebut kuat orang yang pandai bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika ia marah,” begitu sabda Nabi Saw. [AA]

Ciri-ciri Keluarga Bahagia Wednesday, 27 April 2011 02:26 administrator

Page 17: Beberapa Jalan an Ide

K eluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri mental sehat demikian:

sakinah (perasaan tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Antar anggota keluarga saling mencintai, menyayangi, dan merindukan. Sang ayah mencintai, menyayangi dan merindukan anak dan ibu dari anak-anaknya. Sang ibu menyayangi, mencintai dan merindukan anak dan ayah dari anak-anaknya. Sang anak pun demikian: menyayangi, mencintai, dan merindukan ayah dan ibunya. Dengan demikian di antara mereka terdapat kesatuan (unity) satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia adalah (1) kesatuan dengan Sang Pencipta, (2) kesatuan dengan alam semesta, (3) komitmen, (4) tausiyah dan feedback, (5) keluwesan, (6) kesatuan fisik dan hubungan seks yang sehat, (7) kerjasama, (8) saling percaya, dan lain-lain.

1. Kesatuan dengan Sang Pencipta

Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memelihara keterikatan dengan Allah Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat alamiah. Antara manusia dan Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu Allah adalah adalah Tuhan manusia. Para ahli psikologi menyederhanakannya dengan istilah religious instinct. Bila keterikatan alamiah ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan memelihara fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang.

Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini disederhanakan dengan ungkapan pernikahan merupakan ibadah. Artinya, ketika dilangsungkan dan dijalankan roda kehidupan pernikahan (baca: dibentuk keluarga), maka yang dilakukan mereka berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan. Allah menghendaki pernikahan karena Allah dan orang-orang yang menjadi utusan-Nya menghendaki dilakukannya pernikahan itu.

Dalam perjalanan hidup keluarga yang dijalaninya, mereka selalu berusaha untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Tuhannya. Bila ada problem yang menimpa, mereka mengembalikannya kepada Sang Pencipta. Mereka sadar sepenuhnya bahwa Sang Pencipta memuliakan pernikahan dan sangat membenci perceraian.

Kesatuan dengan Tuhan yang berkonteks keluarga paling kentara dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Segenap langkah hidupnya dinaungi semangat menyatukan diri dengan Tuhan. Bahkan, karena kesatuannya dengan Tuhan, Ibrahim rela untuk melakukan apapun yang diperintahkan oleh Tuhan. Karena kerelaannya menjalankan perintah Tuhan, Ibrahim bersedia untuk ‘meninggalkan’ anak bayi dan istrinya di padang tandus dan juga patuh ketika diperintahkan untuk menyembelih anak yang amat dicintainya. Kerelaan atas perintah Tuhan ini mengantarkan Sang Pencipta menghadiahi Ibrahim, yaitu tetap utuhnya keluarga: sang anak tetap hidup (tergantikannya si anak dengan domba). Kisah ini memberi petunjuk bahwa kesatuan dengan Tuhan akan diakhiri dengan kebahagiaan yang sejati, sebagaimana dirasakan oleh Ibrahim.

Secara empiris, sebagaimana diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman (2001) setelah menanyai berbagai pasangan yang menikah minimal 25 tahun, keluarga yang kuat selalu menyadari pentingnya agama (baca: kesatuan dengan Allah) sebagai sesuatu yang penting dalam menunjang kebahagiaan keluarga. Bagi keluarga yang bahagia, menjalani hidup dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang melekat pada mereka. Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta semakin tinggi tingkat kebahagiaan hidup keluarga.

2. Kesatuan dengan alam semesta (terutama manusia)

Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memiliki keterikatan dengan sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam semesta ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari amanat yang diterima setiap manusia untuk menjadi pengganti Tuhan di bumi (khalifah fi-al-‘ardh). Panggung aksi dari amanat atau tanggung jawab itu menurut Ismail al-Faruqi adalah seluruh manusia dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Keluarga yang memiliki keselarasan dengan lingkungannya akan memperoleh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada mereka. Tanpa kesatuan dengan sesama manusia dan lingkungan alam, keluarga sering berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.

Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelaraskan diri dengan lingkungan dan memberi sumbangan bagi lingkungan. Penyelarasan terhadap lingkungan terutama menyangkut adanya kenyataan bahwa lingkungan memiliki kekuatannya sendiri dan karenanya yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengannya. Berdasarkan pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan yang terwujud dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sering menjadi prasayarat bagi ketenangan hidup dalam keluarga. Sebuah riset menunjukkan bahwa orang-orang (termasuk keluarga) yang baru tinggal di negeri asing akan terhindar dari keterkejutan budaya bila memiliki seorang atau beberapa kawan yang berasal dari orang atau keluarga negeri tuan rumah (John W. Berry dkk, 1999). Keterputusan dengan alam semesta (baca: lingkungan sosial) akan menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai misal, bila kita sakit dan tak satupun tetangga atau sahabat yang mengunjungi kita, maka kita akan sakit keloro-loro (sakit yang sangat pedih).

Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas menyumbang: memperbaiki dan mengubah

Page 18: Beberapa Jalan an Ide

lingkungannya. Lingkungan yang tidak kondusif bagi kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh dengan persoalan, adalah medan bagi setiap manusia untuk berkiprah memperbaiki dan mengubahnya menjadi lebih baik. Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia menunjukkan kesatuannya dengan lingkungannya. Tugas ini secara mengesankan telah ditunjukkan Nabi, Rasul, juru dakwah, pejuang, pahlawan, pejuang lingkungan, dsb. Manusia-manusia yang hidup di masa kini dan mendatang memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam bentuk perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita berikan, maka ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan terasa tidak enaknya tidak menyatu dengan lingkungan.

3. Komitmen Berkeluarga

 

Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga memiliki niat dan itikad untuk membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan. Komitmen utama adalah bagaimana keluarga bertahan. Di sini suami dan istri memiliki niatan untuk mempertahankan keluarga dalam situasi apapun dan juga berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk memenuhi tanggung jawab vertikal maupun horisontal. Biar gelombang menerjang dan gunung berguguran, komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh. Sebagaimana diungkapkan Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.

Komitmen yang lain adalah bagaimana keluarga mencapai posisi sebagai keluarga yang barakah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Di sini ada keinginan, niat, dan itikad untuk meningkatkan mutu berkeluarga. Dengan komitmen itu mereka berusaha menghilangkan kebosanan satu terhadap yang lain, selalu meningkatkan rasa fresh satu bagi yang lain, dan seterusnya.

Bila komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga, suami dan istri serta juga anak-anak, maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki medan penghancuran. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa keluarga yang pecah (broken home), yang ditandai oleh percekcokan dan perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang pencemas, rendah diri, apatisme, dan sejenisnya (Yeti Fauzia, 2001).

4. Umpan Balik (Feedback) dan Tausiyah

Setiap manusia dapat tergelincir ke hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan sebaliknya dapat pula berkembang secara optimal. Salah satu fungsi keluarga adalah melakukan sosialisasi primer. Melalui sosialisasi primer ini anggota keluarga dapat memahami apa yang patut dan tidak patut, baik dan tidak baik. Sosialisasi primer dilakukan dengan kebiasaan memberi umpan balik (feedback) dan saling menasehati (tausiyah). Nasihat dimaksudkan untuk menjaga orang-orang yang ada dalam keluarga dari kemungkinan mengambil pilihan yang merugikan dan menyesatkan diri maupun orang lain. Anjuran Sang Pencipta agar manusia menjaga diri dan keluarganya (qu anfusakum wa ahlikum naara) mengisyaratkan pentingnya saling menasehati.

Tausiyah biasanya diawali oleh feedback (umpan balik). Umpan balik dan saling menasehati dalam keluarga ini berlangsung di antara seluruh anggota keluarga, yaitu bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lain. Berbagai bukti menunjukkan bahwa adanya saling menasehati atau memberikan umpan balik akan menjadikan keluarga kokoh. Salah satu adalah sebagaimana yang diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman (2001) bahwa pernikahan (baca: keluarga) yang awet ditandai oleh adanya saling asah-asih-asuh, saling menunjang hasrat dan cita-cita pasangannya.

Yang patut diperhatikan adalah fungsi saling menasehati ini banyak yang tidak berlangsung. Salah satu kritik yang pernah dialamatkan pakar psikologi perkembangan Indonesia Kusdwiratri Setiono terhadap orang tua (baca: pengendali keluarga) adalah mereka sangat minim dalam menasehati anaknya dan terlalu percaya bahwa sekolahlah yang akan menjadikan anak mereka pintar dan santun. Anak-anak dari orang berhasil ternyata tidak memiliki kehidupan yang sukses, diduga keras karena tidak berjalannya proses komunikasi yang berisi umpan balik. Karenanya umpan balik dan saling menasehati tampaknya menjadi hal yang penting untuk menjaga keluarga agar tetap memiliki jalur yang benar.

Salah satu persoalan berkaitan dengan masalah ini adalah adab (tata krama) menasehati. Mungkinkah anak menasehati sang ayah? Mungkin salah satu kenyataan budaya kita menunjukkan bahwa ayah begitu perkasa dan berwibawa untuk diposisikan sebagai orang yang dinasehati. Dalam Islam, siapapun dapat berada dalam posisi yang benar dan sebaliknya bisa dalam posisi salah. Orang yang yakin dengan kebenaran berada dalam posisi amar ma’ruf nahi munkar, tidak peduli ayah, ibu, atau presiden sekalipun.

5. Keluwesan

Pada awal pembentukan keluarga umumnya orang memiliki harapan-harapan yang ideal. Ke manapun pergi selalu bersamamu, begitu mimpi setiap pasangan baru. Dalam kenyataannya harapan itu dan berbagai harapan lainnya, tidak mewujud. Dalam situasi seperti ini, orang merasakan keadaan yang diidealkan tidak tercapai.

Bertindaklah realistis, kata orang. Artinya, orang tetap luwes dengan idealita yang dipatoknya : menyesuaikan diri

Page 19: Beberapa Jalan an Ide

dengan kenyataan tanpa kehilangan harapan untuk mencapainya di suatu hari kelak. Keluwesan yang lain adalah keluwesan terhadap pasangan. Setiap individu yang berkeluarga mengharapkan pasangannya bertindak dan bersikap baik seperti yang ada dalam kerangka pikirnya. Dalam kenyataannya, banyak sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan dan menyesakkan dada. Dalam situasi seperti ini, toleransi terhadap hal-hal yang berbeda dari pasangan menjadi amat penting. Yang patut dicatat, dalam toleransi ada komitmen untuk menjadikan yang ada berubah menjadi lebih baik, tentu secara bertahap.

6. Kesatuan Fisik dan Hubungan Seks yang Sehat

Berbagai literatur mengungkapkan bahwa keluarga yang sehat mental ditandai oleh adanya hubungan seks yang sehat antara suami dan istri. Seks merupakan bentuk hubungan yang melibatkan kesatuan fisik dan psikologis dari suami istri. Adanya keberlangsungan hubungan seks yang semestinya akan menjaga kesatuan dalam keluarga, menjadikan anggota keluarga bahagia, dan puas. Berbagai temuan mutakhir menunjukkan bahwa terjaganya hubungan seks suami istri (seminggu 2-3 kali) menjadikan suami istri puas dalam pernikahan yang secara jangka panjang dapat memanjangkan umur. Sebaliknya, sebagaimana dapat dilihat dalam kenyataan sosial, kegagalan hubungan seks, terlalu jarangnya kontak seksual, dan juga terlalu berlebihannya hubungan seksual akan memiliki dampak kekisruhan dalam keluarga (semisal perselingkuhan, dan seterusnya) dan ketidakstabilan emosi. Sebuah kasus di Rumah Sakit Jiwa Magelang menunjukkan bahwa seks yang berlebihan menyebabkan seorang istri jadi pasien rumah sakit jiwa.

Tidak kurang dari itu, kesatuan fisik antara anggota keluarga sangat berguna untuk memupuk adanya keluarga yang kokoh. Kehadiran secara fisik orang yang kita cintai akan menjadikan cinta terpelihara. Pernyataan ini bukan berarti anggota keluarga harus terus menerus bersama. Maksudnya, adanya perpisahan yang bersifat sementara (misalnya karena kerja, studi, atau bepergian beberapa hari) segera disusul oleh perjumpaan. Di zaman Nabi Muhammad, laki-laki yang berperang selama I.k. dua bulan diberi kesempatan pulang untuk berjumpa istri dan anaknya. Pada keluarga Muslim saat ini, adanya keterpisahan antar anggota keluarga (terutama suami istri) sangat dihindarkan.

Berbagai kasus menunjukkan jarak yang jauh menyebabkan terjadinya berbagai macam perselingkuhan dan perceraian.

7. Kerjasama

Agar keluarga dapat berjalan secara optimal, semestinya mereka saling bekerjasama. Suami membantu istri dan anak. Istri membantu suami dan anak. Anak membantu bapak dan ibunya. Masalah kerjasama atau kekompakan ini akan berkembang bila mereka mengupayakan untuk melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama. Salah satu medan kerjasama atau kekompakan adalah dalam hal mendidik anak. Kultur masyarakat masa lalu dan juga masa kini sering menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab mendidik anak. Kesalahkaprahan ini sangat sering terjadi. Laki-laki pun banyak yang merasa tidak bersalah saat mereka bulat-bulat menyerahkan tanggung jawab mendidik anak kepada istri, atau malah kepada baby sitter, pembantu rumah tangga, atau kepada televisi. Bahkan, pembantu pun menyerahkan ke peminta-minta di jalanan (sebagaimana terjadi di Bandung beberapa waktu lalu).

Keadaan di atas tentu sangat tidak ideal. Yang semestinya diupayakan oleh setiap keluarga adalah bagaimana terdapat kerjasama dalam mendidik anak, lebih khusus bagaimaana laki-laki terlibat dalam pendidikan anak. Isyarat pentingnya peran ayah sangat tampak dalam diri Lukman Hakim, seseorang yang diidentifikasi oleh ulama sebagai Nabi Allah. Ia secara aktif mendidik anaknya agar selalu lurus dalam keberimanan, mensyukuri apa yang diberikan Sang Pencipta, berbuat baik kepada kedua orang tua (QS Luqman, 31 : 12-19). Beberapa ungkapannya yang terkenal adalah : “Bersyukurlah kepada Allah. Barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri ….. Hai, anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar …” Dengan begitu, kedua orang tua semestinya bekerjasama dalam mendidik anak-anaknya.

Satu hal amat penting untuk diperhatikan dalam masalah kerjasama adalah peran ganda pria (baca: suami). Kultur yang berkembang dalam masyarakat umumnya menempatkan laki-laki bekerja dalam sektor publik dan sangat minim bekerja dalam sektor domestik, terutama mendidik anak. Kerjasama dapat dioptimalkan bila laki-laki menyediakan diri untuk mengerjakan wilayah domestik. Apabila ini dilakukan, maka babak kerjasama suami dan istri mulai menguat.

8. Saling Percaya

Pembentukan keluarga (baca: pernikahan) diawali oleh kesalingpercaya-an. Masing-masing pihak –suami dan istri-- percaya bahwa satu sama lain akan melakukan usaha agar jalinan kesatuan di antara mereka dapat mengantarkan mereka menjadi bahagia dan sejahtera. Bila kepercayaan ini dijaga, maka kehidupan berkeluarga dapat dipertahankan. Bila kepercayaan tidak dijaga, maka keluarga dapat pecah (broken home).

Salah satu ajaran agama yang dalam kehidupan kongkrit bersifat kontroversial adalah menikah lebih dengan seorang istri. Al-Qur’an secara tegas mempersilakan laki-laki untuk menikahi lebih dari satu orang: dua, tiga, atau empat, dengan catatan dapat bertindak adil. Persoalannya adalah rasa keadilan itu amat sulit dipenuhi. Dalam keluarga yang demikian, satu istri bisa sangat cemburu dan bahkan sangat curiga manakala sang suami tampak lebih akrab dan lebih cinta terhadap istri yang lainnya. Kalau kecemburuan dan kecurigaan merajalela, maka yang bakal terjadi adalah rusaknya bangunan keluarga. Artinya, sebagaimana ditemukan dalam banyak kasus, poligami ternyata rentan terhadap upaya mempertahankan kesalingpercayaan suami istri.

Page 20: Beberapa Jalan an Ide

Bagaimana pendapat Anda? [FN]

Proses Pembentukan Keluarga Wednesday, 27 April 2011 02:24 administrator

M anusia ditakdirkan berpasang-pasangan sebagaimana segala sesuatu yang lain. Sang Pencipta

pernah berfirman: Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan (QS Yaasin, 36: 36). Hukum Allah (sunnatullah) yang berlaku pada manusia dan makhluk-makhluk lain menunjukkan bahwa sebagian besar manusia dan yang lain berpasang-pasangan, menjalani dan memperjuangkan hidup bersama pasangannya. Manusia

Page 21: Beberapa Jalan an Ide

berjodohan atau berpasangan membentuk keluarga melalui ikrar pernikahan. Tulisan ini secara khusus akan mengungkapkan bahwa proses pencarian pasangan yang paling sukses adalah melalui kriteria kedekatan, kemiripan, menikah dan mereka melalui proses-proses demikian.

Kedekatan

Kedekatan dengan calon pasangan terhadap salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan keluarga. Kalau dicermati, sebagian besar orang menikah dengan seseorang yang tempat tinggalnya tidak berjauhan dengan tempat tinggalnya. Suatu penelitian atas buku nikah 5.000 perkawinan di Philadelphia, USA, pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa sepertiga dari pasangan itu tinggal di antara lima blok dari perumahan mereka. Di tempat lain, termasuk di Indonesia, walaupun belum ada data resmi, terdapat fakta yang lebih kurang demikian. Pasangan-pasangan yang menikah itu umumnya tinggal di tempat yang berdekatan. Penulis mendengar beberapa kisah di mana pasangan-pasangan itu bertetangga satu sama lain, bahkan ada yang rumahnya saling berhadap-hadapan dan hanya dibatasi oleh jalan yang lebarnya lima meter.

Kedekatan fisik dimungkinkan oleh banyak kesempatan. Kesempatan berjumpa antara lain dialami di tempat tinggal, di tempat kerja, di kampus, di tempat pengajian, di tempat hiburan. Mereka saling bertemu, saling mengenal dan akhirnya berakrab-akraban. Orang Jawa menyebutnya :Witing trisna jalaran saka kulino.

Penjelasan psikologis atas kedekatan fisik bisa diterangkan oleh Daryl J. Bem (Rita L. Atkinson dkk, 1993). Kebiasaan bertemu atau sering berdekatan secara fisik bisa menghadirkan rasa suka. Bila dua orang sering bertemu, maka di antara mereka akan tumbuh rasa suka. Hal ini didukung oleh suatu eksperimen ilmiah sebagaimana dilaporkan Dari eksperimen itu diketahui bahwa semakin sering wajah tertentu (dalam foto) diperlihatkan semakin tinggi kemungkinan mereka akan menyukainya. Mereka mengira bahwa mereka menyukai orang tersebut.

Dengan mempercayai pandangan bahwa jodoh kita adalah orang yang kita sering berjumpa dengannya, maka kita dapat meramal siapa jodoh kita. Kita juga dapat meramal bahwa jodoh anak-anak kita adalah seseorang yang sering bertemu dengannya, disengaja atau tidak disengaja. Jodoh manusia adalah si dia yang sengaja atau tak disengaja manusia itu sering berjumpa dengannya dalam momen-momen bersama. Berkaca dari pengalaman empiris di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa secara alamiah jodoh atau pasangan hidup manusia adalah seseorang yang cukup dekat atau cukup dikenal. Oleh karena itu pengenalan pasangan sebelum menikah adalah sesuatu yang semestinya terjadi.

Yang patut mendapat perhatian adalah kedekatan fisik antar calon pasangan itu semestinya dalam koridor moral-spiritual. Pertemuan dengan sang kekasih semestinya dilakukan atas dasar keinginan melakukan pertemuan yang berkualitas, yang ditandai oleh kesatuan dengan Sang Pencipta. Perjumpaan mereka adalah perjumpaan yang berada dalam naungan Allah. Maka, secara logis, semestinya mereka tetap menjaga kualitas kedekatan itu dengan melakukan pola perilaku yang digariskan Sang Pencipta. Secara simpel, Sang Pencipta mengingatkan untuk menjauhkan diri dari kedekatan yang tidak bermutu, yaitu menjauhkan diri dari setan. Allah Azza wa jalla mengingatkan bahwa apabila dua manusia berlainan jenis bertemu, maka akan hadir pihak ketiga yang bernama setan. Tantangan kita adalah bagaimana menghadirkan pihak ketiga yang bukan setan, tapi manusia. Karena itu, bertemu dengan pasangan dengan mengajak saudara atau teman adalah pilihan yang terbaik.

 

Kemiripan dan Komplementer

Pada umumnya orang menyukai orang lain yang memiliki kemiripan dengan dirinya. Demikian kesimpulan ahli psikologi sosial. Keluarga yang kokoh antara lain dibangun oleh adanya ciri kemiripan antara dua orang yang membentuknya. Kemiripan meliputi banyak hal, seperti fisik, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, hobi, pandangan hidup, dan sebagainya. Kemiripan yang paling prinsip adalah kemiripan pandangan hidup.

Mengapa orang memilih orang lain yang mirip dengan dirinya? Orang menghargai pendapat dan pilihan sendiri serta senang bergaul dengan mereka yang cocok dengan pilihannya. Perasaan cocok dengan mereka yang memiliki kemiripan dapat meningkatkan keakraban dan rasa suka.

Bukti empiris menunjukkan bahwa kemiripan dijadikan dasar pernikahan oleh sebagian besar pasangan. Penelitian yang dilakukan tahun 1870 menyatakan bahwa 99 persen pasangan suami istri di Amerika terdiri atas rasa yang sama; 94 persen beragama sama. Penelitian statistik yang dilakukan Rubin menunjukkan bahwa suami istri sangat mirip satu sama lain, tidak hanya dalam ciri fisik seperti tinggi badan, warna kulit, gaya berpakaian, dan ciri psikologis seperti intelegensi dan emosi (Nashori & Diana, 1997).

Semakin banyak kemiripan semakin aman suatu pernikahan. Namun, kemiripan yang paling dinomor satukan adalah kemiripan pandangan hidup. Dalam pandangan agama, ada istilah satu kufu, satu cara berpikir. Tentang pentingnya kemiripan pandangan hidup atau cara berpikir diisyaratkan oleh Sang Pencipta Manusia: “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada wanita yang musyrik, dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik dengan wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik meskipun ia menarik hatimu” (QS al-

Page 22: Beberapa Jalan an Ide

Baqarah, 2 : 221). Cara berpikir yang mirip atau sangat dekat memungkinkan untuk mengatasi berbagai perbedaan fisik, sosiologis, maupun psikologis.

 

Juga firman-Nya:

.. dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki

yang baik adalah untuk wanita yang baik pula… 

(QS 24 ayat 26).

 

Sebaliknya, perbedaan pandangan hidup memiliki potensi membu-barkan keluarga yang dibentuk. Penelitian Paulus Wirutomo (dalam Partini, 2000) menunjukkan bahwa perceraian banyak terjadi karena adanya perbedaan pandangan hidup antara suami dan istri. Penulis sendiri, saat mau menikah tahun 1997, pernah berdiskusi tentang masalah ini dengan seorang psikolog yang bernama Adolf Mamboe. Masih teringat kata-kata beliau bahwa pernikahan yang paling beresiko adalah pernikahan yang banyak perbedaan, terutama perbedaan cara memandang sesuatu.

Sekalipun demikian, pasangan yang hendak membentuk keluarga dapat menggunakan prinsip saling melengkapi (complementary) saat memilih pasangan. Bila jadi ada berbagai perbedaan dan hanya pandangan hidup yang mirip. Maka, diupayakan agar hal-hal yang berbeda dapat merupakan hal yang saling melengkapi. Kalau saling melengkapi belum ada dalam kenyataan hidup pasangan itu, yang dapat mereka lakukan adalah mencoba mengcomplementary-kan sebanyak mungkin perbedaan di antara mereka.

 

Pendekatan Empiris dan Spiritual

Secara umum, ada dua pendekatan yang dilakukan dalam memilih pasangan, yaitu pendekatan spiritual dan rasional-empiris. Pendekatan spiritual dilakukan dengan menyandarkan pengambilan keputusan dengan ‘bertanya’ Pada Sang Pencipta dan berharap Dia akan menunjukkan pilihan yang tepat. Pendekatan ini diawali dari asumsi bahwa Tuhan paling mengetahui siapa yang paling cocok sebagai pasangan hidup seseorang. Sang Pencipta memberikan pengetahuan kepada si penanya melalui mimpi. Pendekatan kedua adalah rasional-empiris. Orang yang menempuh cara ini bersikap objektif terhadap calon pilihan hidupnya. Dia akan mencari pasangan yang sesuai dengan harapannya. Adanya kesamaan pandangan hidup, visi hidup, dan latar belakang yang sama akan menjadi pertimbangan utama. Hal-hal yang lain bisa jadi menjadi pertimbangan : latar belakang sosek, pendidikan, kondisi fisik, dan seterusnya. Bila diperlukan dia dapat bersikap kritis.

Menurut penulis, cara yang terbaik adalah bertindak secara rasional-empiris dalam naungan spiritual. Artinya, memilih calon pasangan hidup tetap harus dilewati dengan pertimbangan rasional yang maksimal, mencari info yang selengkap-lengkapnya, dan tetap dalam koridor menyerahkan penilaian itu kepada Sang Pencipta.

 

Demikian. Bagaimana pendapat Anda?  [FN]

Melejitkan Moral-Spiritual Anak Wednesday, 27 April 2011 02:19 administrator

Ada sejumlah langkah untuk melejitkan moral-spiritual anak, yaitu dengan meningkatkan stimulasi pendengaran, penglihatan dan perabaan serta permainan.

Stimulasi Pendengaran

S timulasi pendengaran dicontohkan oleh Ibunda Imam Syafii. Kita tahu Imam Syafii adalah orang besar

Page 23: Beberapa Jalan an Ide

dalam khazanah pemikiran Islam, khususnya pemikiran fikih. Sudah pasti kapasitas otaknya luar biasa. Ia memiliki kemampuan mengingat informasi hadits yang teramat banyak. Lebih dari itu, kemampuannya yang sangat menonjol adalah menganalisis dan mensintesis serta mengaplikasikan ajaran Islam sehingga akhirnya banyak ijtihad fiqihnya yang bertahan lebih dari seribu tahun. Sedemikian kuatnya argumentasi yang dibangunnya, sehingga sebagaian besar umat Islam mendasarkan ibadah dan muammalahnya berdasarkan kitab fikih yang disusun Imam Syafii.

Syafii yang hebat ini –di masa kecilnya-- ternyata distimulasi pendengaran secara optimum oleh ibundanya. Stimulasi yang bersifat terus menerus adalah mendengar bacaan ayat suci Al Qur’an dari ibundanya yang hafidhah. Kita tahu seorang hafidhah yang aktif biasanya menghabiskan 3-4 hari untuk mengkhatamkan Al Qur’an. Rata-rata Ibunda Imam Syafii membacakan untuk Syafii 8-10 juz sehari. Kita bisa bayangkan banyaknya stimulasi kognitif oleh ibundanya: 5-8 jam sehari memperoleh stimulasi yang bersifat aktif. Dalam situasi demikian, neuron-neuron dalam otak Syafii kecil bekerja secara aktif. Terjadi sambung menyambung antara neuron satu dengan yang lain sehingga menghasilkan wadah kognitif dan spiritualitas yang luar biasa.

Memang demikianlah keadaannya. Beberapa tahun setelah banyak duduk di pangkuan ibundanya, Imam Syafii mulai belajar membaca dan menghafal Al Qur’an. Hari demi hari ia pelajari satu per satu ayat-ayat suci Al Qur’an. Orang melihat betapa cerdas Imam Syafii. Karena wadah kognitifnya yang demikian besar, ia mampu memasukkan asupan informasi secara optimum. Pada usia 7 tahun, ia telah menghafal seluruh isi Al Qur’an. Sekali lagi: Luar Biasa!

Dalam konteks kehidupan kita saat ini, kita juga semestinya memperkaya stimulasi pada anak dengan berbagai aktivitas. Memberinya nama yang baik, mengajaknya bicara, menyanyikan lagu indah dan optimistik, memperdengarkan cerita-cerita yang baik, ceramah-ceramah dan murottal, mengajak dan mendorongnya ikut acara keagamaan, dan sebagainya adalah upaya untuk mengaktifkan otak dan hati anak. Kita dipersilakan untuk mencari sendiri secara kreatif apa yang bisa diberikan pada anak, baik dalam bentuk mengarahkan, memberi feedback, melarang, dan sebagainya. Catatan yang terpenting adalah informasi yang diberikan bersifat positif dan tidak menjadikan anak takut untuk berkembang, seperti cerita yang mengerikan, cerita dengan tokoh jahat, dan sebagainya.

Stimulasi Penglihatan

Dalam konteks kehidupan saat ini, anak-anak kita pun layak untuk mendapatkan stimulasi ini secara optimum. Kita dipersilakan melakukan cara kreatif untuk memberikan stimualasi penglihatan ini pada anak. Kita tahu bahwa anak yang sehat selalu menginginkan ini. Mereka ingin melihat dunia ini dengan bermilyar warna-warninya. Kalau kita penuhi kebutuhan mereka, kita berarti memberinya kesempatan untuk memperbesar wadah kognitifnya.

Ada cerita menarik dari seorang kenalan saya yang kebetulan seorang hakim. Suatu ketika ia mendapati anaknya mengambil uang di lemari tanpa bilang ke orangtuanya. Ini diulanginya berkali-kali. Wah, ini perilaku tidak baik dan tak boleh berlanjut, kata sang ibu dalam hati. Maka, ia ajak naik sang anak ke mobil dan berhenti di pintu masuk sebuah penjara. Ia berkata kepada anaknya: apa kau ingin masuk ke sana? Kalau kau suka mengambil uang tanpa diizinkan pemiliknya, kau bisa dipenjara seperti mereka. Apa yang dilihat anak ini berkesan sepanjang kehidupannya. Berdasar cerita kenalan saya tadi, si anak tidak lagi mengambil uang tanpa izin.

Cerita berikutnya adalah seorang ayah yang mendapati anaknya yang suka membantah. Setiap kali orangtua bicara ada saja alasan untuk menolak perintah sang ayah. Si ayah ingin memberi pelajaran kepada sang anak bahwa orangtua itu penting. Nasihat orangtua adalah sesuatu yang patut menjadi perhatian. Maka, sang orangtua mengajak anak naik motor dan berhentilah mereka di depan pemakaman. Si ayah berkata: Nak, kamu tahu tempat apa ini? Si anak menjawab: makam. Si ayah meneruskan: Apa yang akan kamu rasakan kalau ayah tiba-tiba meninggal dunia dan dikubur di sini? Si anak tidak segera menjawab. Ia diam. Tetapi sejak saat itu, si anak tidak lagi membantah kepada nasihat dan perintah orangtuanya.

Tentang pentingnya stimulasi penglihatan ini, para pendidik dan ahli pendidikan sangat menyadari pentingnya masalah ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Zakiah Daradjat, perilaku yang mereka tunjukkan akan dijadikan anak sebagai rujukan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh penglihatan mereka (83 persen), pendengaran (11 persen), dan penciuman-pencicipan-perabaan (6 persen). Apa yang dilakukan orangtua membekas ”seribu kali” lebih besar dibandingkan dengan kata-kata yang bertentangan dengan perilaku orangtua. Maka, dapat dikatakan di sini, keteladanan orangtua sangat penting.

Masalah moralitas dan spiritualitas ini sangat penting didekati dengan stimulasi penglihatan atau keteladanan. Si anak akan mudah menjadi hamba yang suka beramal bila si orangtua mudah memberikan sebagian rezeki kepada pengemis jalanan, tetangga yang membutuhkan, masjid yang sedang dibangun, dan seterusnya. Si anak juga akan mudah melakukan perilaku bermoral bila orangtua juga: tidak sembarangan meletakkan kaki di meja, membuang sampah dengan cara melempar, membicarakan orang lain, dan seterusnya. Kata orang, kalau anak melihat yang baik belum tentu ia meniruanya. Tapi kalau jelek, ia jauh lebih mudah menirunya.

Stimulasi Perabaan

Yang tak kalah pentingnya ketika berkomunikasi dengan anak adalah menyentuh mereka. Saya sendiri sering menyentuh dan bahkan memeluk anak saya yang menangis meraung-raung. Kalau sudah dipeluk, biasanya ia mulai tenang.

Nabi Muhammad SAW., sebagaimana diungkapkan oleh seorang sahabat yang waktu kecil disentuh Nabi, juga suka menyentuh anak-anak. ”Pada suatu hari aku tengah shalat dhuhur bersama Nabi SAW. Seusasi shalat beliau keluar menuju rumah keluarganya, aku pun mengikuti Nabi SAW ke rumahnya. Aku melihat anak-anak menyambut beliau, maka beliau pun mengusap kedua pipi mereka satu per satu. Ketika mengetahui bahwa aku mengikutinya, Nabi SAW. pun mengusap pipiku, dan aku merasakan tangannya yang dingin dan tersebar harumnya tangan Nabi SAW. seolah-

Page 24: Beberapa Jalan an Ide

olah tangan beliau baru saja dikeluarkan dari tempat minyak wangi.”

Stimulasi Bermain

Dalam kehidupan sehari-hari, penting bagi orangtua untuk bermain dan bercanda dengan anak-anak. Hal-hal sejenis ini sangat berguna untuk membentuk lingkungan yang menyenangkan bagi anak. Nabi Muhammad SAW. adalah contoh orang dewasa yang suka bermain-main dengan anak-anak, terutama dengan kedua cucunya yang bernama Hasan dan Husain. Nabi merendahkan tangan dan badannya serta berlari ke sana kemari seolah-olah bertingkah seperti kuda. Ini menjadikan anak-anak tertawa gembira. Nabi pun pernah memanjangkan sujud dalam shalatnya karena Husain naik ke punggung beliau. Umar bin Khattab ra. pernah berkata: ”Diupayakan agar setiap orang berlaku seperti anak ketika bercanda dengan anak-anaknya. Hal ini akan membaut mereka senang dan bergembira dalam bermain bersamanya.”

Dalam buku Doktor Cilik Hafal dan Paham al-Qur’an, diceritakan bagaimana orangtua sang hafidh Muhammad Husein Tabataba’i mendidik dirinya. Sayid Muhammad Mahdi Tabataba’i adalah guru dari anak-anaknya dan sejumlah anak lain yang belajar menghafal al-Qur’an darinya. Ketika mengajarkan hafalan al-Qur’an, Mahdi banyak menggunakan metode permainan. Salah satunya adalah mengulang-ulang ayat bergantian dengan berlomba mencari kursi. Siapa yang tidak dapat kursi giliran mengulang bacaan.

Demikian. Bagaimana menurut Anda? [FN]

Mengakhiri Kehampaan dengan Dzikir Wednesday, 27 April 2011 02:16 administrator

Masalah kebermaknaan hidup senantiasa menjadi problem penting dalam kehidupan manusia, baik dulu, kini dan di masa depan. Seribu tahun lalu, ketika berada di puncak popularitasnya sebagai guru besar pemikiran Islam di Universitas Nizamiyah, Imam Abu Hamid Al-Ghazali bertanya: untuk apa popularitas ini? Maka, Al-Ghazali pun memilih hidup sebagai sufi, ia hidup zuhud dengan diawali pengasingan diri.

Ironi

H al-hal yang digadang-gadang orang sebagai sumber kebahagiaan dikejar dengan mengerahkan

Page 25: Beberapa Jalan an Ide

‘segala’ sumber daya yang ada. Di mana-mana orang mengagung-agungkan harta, popularitas, kedudukan atau sebagai sesuatu yang menjanjikan kebahagiaan. Ketika semua itu diperolehnya, orang merasa apa yang dicari, yaitu kebahagiaan, kehidupan yang bermakna, tak jua ia dapatkan. Ketika berhasil meraih keberhasilan-keberhasilan material, orang bertanya: sesungguhnya untuk apa harta benda yang bertumpuk-tumpuk, yang bahkan sebagian didapatkan dari cara yang haram. Ketika menjadi populer, orang berkata dalam hati bahwa popularitas itu hampa belaka, untuk apa?.

Orang-orang yang hidup di negara maju boleh jadi sejahtera secara lahir, namun kosongnya makna hidup menjadikan mereka memilih “bunuh diri”. Hal ini sebagaimana terjadi di negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia), juga di Jepang. Mereka merasakan kosongnya makna hidup sehingga menjadikan mereka tidak memiliki harga diri yang kokoh, dan karenanya itu membuat mereka tidak tahan terhadap penderitaan.

Hal ini dipertegas oleh ungkapan psikolog Erich Fromm. Fromm mengungkapkan bahwa manusia moderen menghadapi suatu ironi. Mereka berjaya dalam menggapai capaian-capaian material, namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa. Orang-orang moderen banyak yang sangat rentan terhadap stres, depresi, merasa teralienasi (meski mereka hidup bersama orang lain), mengalami berbagai penyakit kejiwaan, hingga memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini sejalan dengan pandangan filosuf Inggris, Bertrand Russell, yang mengatakan bahwa kemajuan-kemajuan material yang dicapai itu ternyata tidak dibarengi oleh kemajuan di bidang moral-spiritual. Russell menilai bahwa peradaban Barat moderen ditandai oleh terputusnya rantai kemajuan material dan kemajuan moral-spiritual.

Pertanyaan tentang kebermaknaan hidup ini terjadi manakala sesuatu yang dimiliki, yang biasanya dipandang positif, telah hilang. Berbagai pengalaman hidup yang tragis, yang memilukan bahkan mengiris-iris hati, kadang menjadikan seseorang berputus asa. Kenyataan hidup yang tidak searah dengan harapan hidup menjadikan mereka menderita. Hilangnya kekasih tercinta menjadikan seseorang memilih untuk tidak mau menikah, bahkan sebagian bunuh diri. Berada dalam tekanan atau teror orang lain atau dalam keadaan kehilangan sanak keluarga yang sangat dicintai, menjadikan seseorang merasa tidak berarti lagi. Ketika berada dalam teror psikologis tentara NAZI, banyak orang Yahudi yang diselimuti keputusasaan, sesuatu yang menjadikan NAZI tersenyum saat mengeksekusi mereka. Kenyataan yang harus sering kita dengar adalah kehidupan terpaksa berakhir dikarenakan apa yang dicari tak juga diperoleh dan apa yang dianggap sebagai milik kita telah tercabut dari kehidupan kita.

Orang mempercayai bahwa kebermaknaan hidup ini begitu penting. Psikolog pun menjadikan masalah ini sebagai bahan kajian mereka. Seorang psikolog humanistik bernama Viktor E. Frankl pun tertarik untuk meneorikannya. Maka, dari tangannya lahirlah teori tentang kebermaknaan hidup, yang biasa dikenal dengan teori logoterapi. Seorang psikolog kontemporer, Danah Zohar bersama suaminya Ian Marshall, pun menempatkan kebermaknaan hidup sebagai modal utama keberhasilan hidup manusia, sehingga ia meneorikannya menjadi kecerdasan spiritual.

Sebenarnya apa yang paling bermakna bagi manusia? Secara umum adalah seberapa seseorang yakin dirinya memiliki keberartian atau keberhargaan bagi Sang Pencipta dan atau terhadap sesama. Kalau Bunda Theresa ditanya tentang kebermaknaan hidup, maka beliau secara lugas akan menjawabnya demikian. Tuhan dan sesama. Bagi seorang ibu yang terkena penyakit yang mengancam jiwa seperti kanker, kebermaknaan hidupnya adalah kesadaran akan arti penting dirinya bagi anak-anak dan suaminya.

Keberhargaan bagi Tuhan dilakukan dengan meletakkan diri sebagai hamba. Dzikir merupakan sarana bagi manusia untuk memperoleh keberhargaan diri bagi Tuhan. Imam Al-Ghazali adalah contoh orang yang kuat berdzikirnya.

Dzikir dan Makna Hidup

Sudah menjadi pengetahuan bersama kita bahwa dzikir memiliki pengaruh terhadap keadaan kepribadian kita. Teori umum dalam pemikiran Islam yang dipercayai adalah dalam diri manusia terdiri Ruh Tuhan (the Spirit of God), yang berarti dalam diri manusia terdapat potensi-potensi positif berupa melekatnya sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Upaya-upaya mengembangkan potensi itu akan menghasilkan berkembangnya sifat-sifat positif sebagaimana digambarkan dalam asmaul husna (sifat-sifat baik Tuhan). Allah Azza wa jalla memiliki sifat rahman-rahim (pengasih-penyayang), ‘alim (cerdas), qahhar (perkasa), dsb., maka manusia pun memiliki sifat kasih-sayang, cerdas, perkasa, dsb. Bila seseorang melazimkan diri berdzikir kepada Allah, maka sifat-sifat Allah sebagaimana yang baca itu akan berimbas terhadap dirinya. Potensi-potensi yang ada dalam diri manusia itu menjadi berkembang.

Kebiasaan berdzikir akan memancarkan pengaruh terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia. Ia dapat membersihkan yang kotor. Pun menguatkan apa yang sudah ada dalam pribadi manusia. Bacaan dzikir yang bersifat dasar mestilah menjadi ‘konsumsi’ kita bila kita menghendaki anugerah dari Allah itu berupa berkembangnya sifat-sifat atau keadaan-keadaan baik yang real-aktual. Bacaan dzikir yang dasar adalah kalimat thayyibah, ta’awwudz, basmalah, hamdalah, tasbih, takbir, hauqalah, shalawat. Bila kita menghendaki kebaikan dalam berbagai dimensi kehidupan kita, maka membiasakan diri melakukan dzikir akan menumbuhkembangkan sifat-sifat positif yang sudah ada dalam diri kita. Membaca 99 asmaul husna berarti upaya menumbuhkan semua potensi positif.

Sekalipun demikian, bila seseorang membutuhkan agar sifat-sifat tertentu dapat berkembang lebih optimal, maka ia dapat memperbanyak bacaan-bacaan tertentu dalam asmaul husna. Sebagai misal, bila seseorang merasa bahwa dalam dirinya tidak ada cinta, maka bacaan ya rahmaan dan ya rahiim dapat ia perbanyak. Bila diri ini diliputi ketakutan, maka bacaan ya qahhar (yang perkasa) patut untuk diperbanyak. Bila diri ini penuh dengan kekasaran terhadap perilaku manusia, maka bacaan ya latiif (yang lembut) perlu diintensifkan bacaannya.

Orang-orang yang mengalami persoalan makna hidup sangat direkomendasikan untuk melazimkan diri dengan berbagai macam bacaan dzikir. Persoalan-persoalan yang mengganjal kehidupan mereka dapat mereka sadari dengan berdzikir. Terutama untuk dzikir yang dilakukan secara berkelompok, maka dzikir dapat kuat pengaruhnya dalam upaya menghadirkan kesadaran diri. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Muhammad Arifin Ilham dengan majelis dzikirnya memberi manfaat untuk penguatan kesadaran diri. Dalam dunia sufisme, hubungan itu berlangsung antara guru dan murid (baca: guru tarekat atau mursyid dan murid). Hubungan itu agak mirip dengan hubungan antara terapis dan klien. Dalam kegiatan tarekat, pengenalan diri itu dilakukan dengan proses talqin (pengajaran), yaitu

Page 26: Beberapa Jalan an Ide

proses di mana guru (mursyid) mengajarkan bagaimana cara berdzikir yang baik kepada muridnya. Pada waktu seseorang mengikuti talqin, timbul pemahaman atau pencerahan (insight) tentang diri sendiri, dosa-dosa dan sifat-sifat jelek sehingga timbul penyesalan.

Sesudah mengikuti dzikir ternyata berbagai persoalan yang berkaitan dengan makna hidup dapat teratasi. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Dr. Subandi, MA (UGM) terhadap pengamal dzikir Kelompok Pengajian Tawakkal –yang beraliran Qadiriyah-Naqsabandiyah— ditemukan bahwa orang-orang yang melazimkan diri melakukan dzikir memiliki berbagai pengalaman seperti penyucian diri, penemuan kebenaran, transisi, kedekatan/keakraban dengan Tuhan, hilangnya rasa keakuan, pembaharuan moralitas, perasaan diatur oleh Tuhan, mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Orang yang banyak melanggar perintah Tuhan, setelah intens melazimkan berdzikir seseorang menjadi tersucikan lahir maupun batin. (Saya malah kena penyakit kulit. Seluruh badan saya gatal… Menurut teman saya itu mungkin merupakan pembersihan diri dari syirik-syirik kecil). Mereka juga merasakan adanya keakraban/kedekatan dengan Tuhan. (Sepertinya saya dijiewer (Allah): ‘Kamu itu mengertilah!’). Rasa sombong atau keakuan juga mencari hilang. (Saya merasa tidak punya apa-apa). Berdzikir juga menghadirkan pembaharuan moralitas. (Pikiran dan hati saya tidak ada rasa macam-macam. Tadinya mungkin suka iri, dengki. Itu hilang semua. Lapang sekali dada ini).

Bila seseorang banyak berdzikir dan banyak melakukan perintah lain dari Tuhan, maka sekalipun terdapat penderitaan, sikap atas penderitaan itu akan selalu positif. Kita cermati ungkapan dari orang-orang yang mengalami peristiwa tragis di bawah ini dan respon positif mereka. “Kalau saya tinjau lagi seluruh perjalanan hidup saya, dapat dikatakan hampir tak merasakan kebahagiaan. Rasanya sebentar sekali, yaitu hanya sekitar delapan tahun saya benar-benar merasakan kebahagiaan berumah tangga bersama almarhum suami. Setelah itu dilanjutkan dengan masa-masa kerja keras mencari nafkah dengan segala suka dukanya. Tapi puji syukur kepada Tuhan, pada akhirnya saya menyaksikan ketiga anak saya mandiri dan hidup dengan baik. Dan itulah puncak kebahagiaan saya sekarang” (Ny. Imas, Jakarta, 50 tahun, Swasta, Sunda, Islam).

Bagaimana menurut Anda? [FN]

Penyakit Hati Tanda, Sebab, Upaya Penyembuhan Wednesday, 27 April 2011 02:12 administrator

D alam Islam, suci dan kotornya hati memiliki arti yang sangat penting. Hati yang suci dan hati yang kotor

ikut menentukan tingkat keberimanan seseorang. Sebuah ungkapan yang sangat terkenal dari Rasulullah berbunyi: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sebelum lurus hatinya. Dan tidaklah lurus hatinya sebelum lurus lisannya.” Kalau hati seseorang kotor, atau bepenyakit, maka imannya menjadi menipis. Sementara kalau hati bersih, atau sehat, maka imannya menguat.

Tulisan yang banyak merujuk pada pandangan Ibnu Qayyim al-Jauzy ini akan mengungkap bagaimana tanda-tanda penyakit hati, sebab-sebab penyakit hati, dan upaya penyembuhannya.

Page 27: Beberapa Jalan an Ide

Tanda-tanda Penyakit Hati

Pada dasarnya ada dua tanda penyakit hati. Pertama, tidak merasa sakit dan tidak merasa menyesal atas dosa-dosa yang diperbuat dan tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Contonya adalah memakan uang rakyat tanpa merasa bersalah, menculik, menjarah, mengambil hak orang lain dengan tenang dan tanpa perasaan berdosa. Bahkan, kadang seseorang merasa bangga atas “prestasinya” melakukan sejumlah perbuatan dosa yang sesungguhnya sangat menjijikkan (misalkan: seorang laki-laki bangga telah menggauli sejumlah wanita dari Eropa, Afrika, Arab, Jepang, pribumi, dan sebagainya). Ada pula yang berbicara lantang tentang kebenaran walaupun dirinya sendiri menyimpang dari jalan kebenaran itu tanpa perasaan berdosa.

Kedua, condong kepada santapan ruhani yang mudharat (buruk) dan menghindari santapan ruhani yang bermanfaat (baik). Saat ada panggilan atau anjuran untuk mengikuti cara berpikir atau cara berperilaku yang buruk, mereka cepat dalam meresponnya. Sementara bila ada anjuran yang dapat menjadikan mereka lebih tinggi kualitas pribadinya, mereka cenderung menolaknya.

Sebab-sebab Penyakit Hati

Tanda-tanda penyakit di atas terjadi karena ada beberapa sebab. Penyebab penyakit hati pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kata-kata iseng, memandang sesuatu secara berlebihan, makan secara berlebih-lebihan, dan bergaul secara bebas.

Pertama, kata-kata iseng yang tidak berguna. Kata-kata iseng sangat mudah kita ucapkan dengan harapan orang menjadi tertarik dengan kata-kata kita. Padahal kata-kata iseng dapat menyebabkan tidak lurusnya hati manusia. Sebuah hadis yang disampaikan Anas bin Malik radhiyallahu anhu mengungkapkan bahwa Rasulullah bersabda: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sebelum lurus hatinya. Dan tidaklah lurus hatinya sebelum lurus lisannya.”

Pembicaraan-pembicaraan yang tidak berguna menyebabkan hati menjadi menurun kualitasnya. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu berkata: “Jangan kalian memper-banyak ucapan selain dzikrullah, karena banyak omongan itu menyebabkan kesatnya hati. Dan bahwa manusia yang paling jauh dari Allah Azza wa jalla adalah manusia yang berhati kesat kasar.” Maka, dapat disimpulkan bahwa kata-kata iseng dapat menyebabkan hati rentasng terhadap penyakit.

Kedua, memandang hal yang semestinya tidak dipandang. Di dunia ini ada hal-hal yang seharusnya dipandang, ada pula yang sebaiknya dipandang, di samping ada pula yang tidak boleh dipandang. Orang bijak mengatakan: “Antara hati dan mata ada tali penghubung. Bila mata rusak, maka rusaklah hati dan menjadikannya seperti keranjang sampah berisi tumpukan sampah dan macam-macam kotoran.” Pemandangan-pemandangan yang buruk memiliki pengaruh terhadap hati manusia. Kalau yang dipandang adalah hal-hal yang berbau pornografis, kekerasan (violence), pengrusakan (vandalism), dan agresivitas, maka hal-hal demikian dapat menyebabkan hati menjadi rusak kualitasnya. Sebagai contoh, kalau seseorang banyak menonton tontonan kekerasan, maka orang ini akan kehilangan kepekaan terhadap kekerasan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa paparan kekerasan yang berulang-ulang dapat menyebutnya ada penumpulan emosi yang selanjutnya mempengaruhi kemampuan empati terhadap penderitaan korban dalam kehidupan nyata dan menurunkan kesiapan untu menolong. Dalam hal seperti ini, ahli psikologi menyebutnya sebagai desensitisasi (desensitization). Dalam suatu eksperimen (Thomas dkk, 1977) ditemukan bahwa anak-anak dan mahasiswa menjadi tidak peka lagi terhadap penderitaan akibat akibat agresi dan kekerasa setelah menonton drama polisi yang penuh kekasaran. Karena terbiasa melihat kekejaman, mereka tidak lagi kasihan atau terkejut ketika melihat kekerasan dan kekejian.

Yang perlu diperhatikan oleh manusia adalah bahwa iblis dapat menjadikan sesuatu yang sesunguhnya buruk tampak seperti sesuatu yang baik dan indah. Hal ini difirmankan Allah Azza wa jalla dalam al-Qur’an. Sebagai misal, pornografi adalah hal yang buruk, tapi ibadah menjadikan pemandangan ini sebagai sesuatu yang tampak indah.

Oleh karena Allah Azza wa jalla menganjurkan kepada manusia agar menunduk-kan pandangannya. Dalam al-Qur’an Surat an-Nur ayat 30, Allah Azza wa jalla berfirman: “Katakanlah kepada orang yang beriman supaya mereka menundukkan pandangannya (dari melihat yang terlarang) dan menjaga kehormatannya. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mengetahui apa-apa yang mereka lakukan.”

Ketiga, makan secara berlebih-lebihan. Segala sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik. Kalau seseorang makan secara cukup, maka itu akan menjadikannya tetap sehat. Sementara kalau seseorang makan secara berlebihan, maka secara fisik ia akan dirugikan, yaitu hadirnya kegemukan (obesity). Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang mengisi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi manusia beberapa suapan saja untuk menegakkan punggungnya. Jika tidak mungkin demikian, maka hendaklah sepertiga dari perutnya diisi dengan makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernapasan.”

Keempat, adalah bergaul atau berkawan secara bebas. Sudah sangat disadari bahwa lingkungan yang baik akan menjadikan kita baik. Sebaliknya, kawan atau sahabat yang berkarakter buruk akan menjadikan kita buruk. Pesan yang disampaikan Rasulullah “bergaullah dengan orang yang saleh” mengisyaratkan bahwa orang yang baik akan memberi pengaruh baik pada kita. Sebaliknya, kalau kawan buruk, maka kita bisa terpengaruh dengannya, yaitu kita menjadi mudah berpikir dan berperilaku buruk. Mengapa demikian? Salah satu kemungkinannya adalah adanya kecenderungan dalam diri manusia untuk bersikap konformis atau bersikap seragam dengan orang-orang yang ada di sekitarnnya. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa setiap orang ingin diterima oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Maka, cara yang ditempuh orang dalam berbagai situasi adalah mengikuti pola yang dikembangkan oleh kelompok atau pola yang dikembangkan orang lain, bahkan biarpun hal itu tidak kita setujui. Contoh esktrim yang dapat kita angkat adalah kesediaan orang Indonesia selama 32 tahun mengikuti sistem politik otoriter yang digariskan Soeharto. Kita menyesuaikan diri untuk menjadi orang Indonesia yang taat kepada pemerintah, tetapi hal itu menjadikan kita sulit untuk memilih yang sungguh-sungguh benar menurut keyakinan kita.

Cara Menyembuhkan Penyakit Hati

Page 28: Beberapa Jalan an Ide

Ada beberapa cara penyembuhan penyakit hati. Pertama, dzikrullah. Yaitu memperbanyak dzikir kepada Allah. Dalam ayat suci al-Qur’an, Allah menandaskan bahwa kalau seseorang banyak berdzikir, maka akan tenanglah hati seseorang. Dzikir itu sendiri dapat dibaca dalam segala situasi, yaitu ketika berdiri, duduk, dan terlentang. Adapun dzikir-dzikir yang bisa dijadikan contoh adalah Subhanallah, wa Alhamdulillah. La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La haula wa la quwwata illah billah.

Kedua, tilawatil qur’an. Dengan memperbanyak al-Qur’an, kita memperbanyak pahala. Pahala bagaikan air yang dapat menghapus kotoran atau penyakit yang ada dalam diri seseorang.

Ketiga, istighfar. Istighfar adalah salah satu bentuk pertaubatan. Pada dasarnya, kalau seseorang beristighfar, seseorang menilai dirinya dalam keadaan bermasalah atau dalam keadaan salah.

Keempat, doa. Doa melambangkan adanya harapan (hope) dalam diri seseorang. Dalam Islam diterangkan bahwa kalau seseorang berdoa, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat diharapkan. Kelima, shalawat nabi. Keenam, qiyamul lail. Yaitu, terbangun di waktu malam untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla.

Menjadi Manusia Kreatif Sudut Pandang Psikologi Islami Wednesday, 27 April 2011 02:09 administrator

P sikologi Islami (Islamic psychology) dapat diartikan suatu studi tentang jiwa dan perilaku manusia

berdasarkan pandangan dunia Islam (Islamic world view). Sebagai suatu studi, ia haruslah suatu kajian yang sistematis dan objektif. Sementara jiwa adalah suatu substansi yang ada dalam diri manusia yang memiliki pengaruh terhadap perilaku. Perilaku sendiri dapat diartikan sebagai ekspresi jiwa, baik yang tampak dan tak tampak. Selanjutnya, yang dimaksud dengan pandangan dunia Islam adalah cara memandang sesuatu dengan menempatkan sumber-sumber Islam (terutama al-Qur’an dan alh-Hadits) sebagai bahan dasar dalam memahami manusia. Dalam pandangan dunia Islam, pengetahuan atau kebenaran juga diperoleh melalui akal dan indra manusia.

Secara agak khusus akan dijelaskan tentang jiwa dan perilaku kreatif. Jiwa manusia terdiri atas ruh, qalbu, akal, dan nafsu. Ruh (al-ruh) adalah substansi yang ada dalam diri manusia yang memiliki keterkaitan langsung dengan Tuhan (juga dunia gaib pada umumnya). Perlu diingat ruh-lah yang pertama kali diciptakan Tuhan sebalum Dia menciptakan

Page 29: Beberapa Jalan an Ide

raga manusia. Ruh memiliki sifat suci nan abadi. Qalbu (al-qalb) atau al-fuad adalah komponen dalam diri manusia yang mempunyai kemampuan memahami realitas/kebenaran melalui cita rasa. Ia dapat membedakan yang baik dan buruk, mengetahui keadaan orang lain sampai ke keadaan batinnya, mampu menerima pengetahuan yang intuitif, menjadi sumber kekuatan dalam diri manusia, mampu memahami realitas dunia gaib. Oleh hadis Nabi, qalbu ditempatkan sebagai center (pusat) diri manusia. Akal adalah komponen yang ada dalam diri manusia yang memiliki kemampuan untuk menerima pengetahuan, menyimpan pengetahuan, mengolah pengetahuan, dan juga menghasilkan pengetahuan baru setelah memproses beragam pengetahuan itu. Nafsu adalah pendorong perilaku manusia untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan manusia dan mencegah sesuatu yang merugikan manusia.

Orang-orang yang mencoba peka hati pun kadang menjadi intuitif

Komponen-komponen jiwa manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat berada dalam keadaan berkembang atau tidak berkembang, yang akhirnya dalam keadaan berfungsi atau tidak berfungsi. Qalbu manusia yang seharusnya memiliki kemampuan sebagaimana yang telah disebut, bisa saja dalam keadaan mandul. Penjelasan atas kemandulan qalbu sesungguhnya banyak diungkapkan dalam hadis Nabi maupun penjelasan para ulama. Sebuah hadis Nabi menunjukkan secara tegas bahwa kalau seseorang meninggalkan bekasan yang bersifat negatif dalam jiwanya (yang biasa disebut dosa), maka bekasan negatif itu akan berperan sebagai noda hitam yang bakal menutupi qalbu manusia. Akibatnya, qalbu manusia mengalami proses penurunan fungsi. Karena itu, mengapa seseorang tidak peka terhadap kenyataan dan kebenaran, atau tidak mudah memperoleh ide-ide kreatif, tidak lain adalah karena qalbunya tidak dalam keadaan berfungsi secara baik.

Akal yang semestinya dapat memiliki fungsi menerima atau menyerap pengetahuan ternyata tidak dapat menjalankan perannya. Ada sebuah ungkapan yang menggelitik kita bahwa otak kita –manusia Indonesia—katanya paling mulus dibandingkan otak orang lain atau bangsa lain. Kalau otak bangsa lain penuh kerutan atau berjonjot-jonjot, bagian luar otak bangsa Indonesia dalam keadaan halus. Ini menunjukkan bahwa otak kita tidak difungsikan. Kalau otak tidak dilatih untuk menerima dan mengolah pengetahuan, maka kemampuannya untuk menerima pengetahuan tidak berkembang. Sebaliknya, kalau seseorang memfungsikan akalnya, maka si akal akan memiliki kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menjadikan sesuatu yang baru atas berbagai informasi yang diperoleh atau dimiliki manusia.

Nafsu juga memiliki kondisi berfungsi atau sebaliknya tidak berfungsi. Nafsu yang berfungsi akan menjadikan manusia penuh gairah dalam kehidupan. Dalam kondisi penuh gairah, ada banyak hal yang ingin dilakukan. Gairah untuk meraih kehidupan yang baik dan sejahtera. Gairah untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain yang dicintai membangkitkan kekuatan dalam diri manusia. Semangat untuk menunjukkan bahwa diri ini mampu dan dapat menjadi the best of the best menjadikan seseorang penuh semangat. Orang-orang Eropa (terutama Anglo-Saxon) berbondong-bondong dengan penuh gairah dan harapan ke negeri Impian (Amerika) sekitar abad 17-18, karena keinginan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Sebaliknya, nafsu atau pendorong itu bisa melemah. Orang tidak lagi memiliki semangat hidup. Mudah putus asa. Bahkan akhirnya bisa disetir oleh kekuatan lain (sesama manusia, jin/setan) untuk melakukan pengrusakan. Juga bunuh diri.

Pengaruh Religiusitas terhadap Kreativitas

Orang beragama maupun tidak beragama dapat menjadi kreatif adalah pernyataan yang benar, tapi belum lengkap. Syarat menjadi pribadi kreatif adalah mereka menggunakan potensi jiwanya (akal-hati-nafsu) secara optimal dan positif. Orang-orang beragama (Islam) maupun yang kurang beragama bila memiliki semangat yang kuat untuk berbuat sesuatu untuk masyarakatnya dan menggunakan akal pikirnya membuka kemungkinan untuk menjadi pribadi yang kreatif. Thomas Alva Edison, Isaac Newton, Albert Einstein, bahkan Nietszhe yang menganggap Tuhan telah mati pun adalah orang-orang kreatif. Tidak lain, hal ini karena mereka, mempergunakan modal-modal dasar manusia (terutama nafsu dan akal) untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Orang-orang yang mencoba peka hati pun kadang menjadi intuitif. Sekalipun banyak seniman tidak jelas agamanya, tetapi mereka terbukti sangat kreatif. Hal ini karena mereka mempergunakan qalbunya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Adanya kepekaan hati menjadikan mereka peka dalam menangkap realitas. Pada orang yang peka, sesuatu dapat dilihat secara sangat subjektif, sehingga mereka bisa melihat atas apa yang tidak dilihat orang lain. Lalu apa yang membedakan antara orang-orang yang beragama dan tidak beragama?

Orang yang beragama (Islam) dimungkinkan lebih optimal dalam menggunakan qalbu (hati nuraninya). Proses pembersihan atau pembeningan hati nurani di samping dilakukan dengan lebih peduli kepada sesama (manusia dan alam), yang lebih penting adalah dengan banyak melakukan perbuatan yang tulus-ikhlas kepada Tuhan. Keimanan yang kuat, ibadah yang rajin, amal-sosial yang berbasis agama, dan pengalaman keagamaan yang kuat terbukti (R. Rachmy Diana, 1999) memungkinkan seseorang memperoleh ide-ide yang kreatif yang memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi atau lebih abadi. Mengapa pemikiran Ali bin Abi Thalib, Imam Ghazali, Ibnu Qayyim, tetap dapat kita nikmati setelah rentang waktu 1.000 tahun bahkan lebih, tidak lain, adalah karena ide-ide yang ada di dalamnya memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi, sehingga dapat bertahan dalam berbagai zaman. Mengapa tingkat kebenaran mereka itu luar biasa, tidak lain, karena ide-ide yang mereka hasilkan seperti kebenaran yang langsung turun dari Allah masuk ke dalam qalbunya Bahkan kebenaran ide-ide mereka mendekati kebenaran wahyu Ilahi. Oleh karena itu, orang seperti Manna Khalil Al-Qattan (M. Hamdani Adz-Dzaky, 2001) berpendapat bahwa wahyu dan ilham pada hakikatnya sama saja, yaitu sama-sama kebenaran yang berasal dari Tuhan. Namun, perbedaannya adalah tingkat kebenaran yang satu lebih tinggi dari yang lain (wahyu setingkat lebih tinggi dibanding ilham).

Orang-orang yang beragama (islam) yang kreatif mempergunakan akal dan qalbunya lebih optimal. Mereka memiliki wadah kognitif-spiritual yang lebih luas. Mereka dapat menyimpan dan mengolah pengetahuan sedemikian luar biasa. Mereka dapat belajar bermacam-macam ilmu, dapat menyerap ilmu secara cepat dan luar biasa banyaknya. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menerima pengetahuan begitu luar biasa. Genius dalam berbagai bidang dapat ditemukan dalam diri ilmuwan Islam, dan sangat sedikit ditemukan dalam diri ilmuwan non Muslim. Ilmuwan Islam

Page 30: Beberapa Jalan an Ide

seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Haytsam, dan yang lain adalah orang-orang yang menjadi ahli dalam bermacam-macam bidang atau displin ilmu. Ilmuwan Barat hanya mencatat nama Leonardo da Vinci sebagai orang yang sukses di beragam lini.

Orang-orang yang beragama (Islam) juga lebih optimal dalam kreativitas, karena kreativitas yang mereka hasilkan dibuat dalam kerangka ibadah (Sayyid Quthb, 2001). Orang yang terbaik adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain, demikian ungkap Nabi dalam sebuah hadis. Orang yang terbaik adalah yang dapat melakukan peran sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Orang yang terbaik adalah yang mengaktualisasikan konsep rahmatan lil alamin. Maka, Muslim akan bekerja keras. Semakin bagus yang dapat diberikan kepada orag lain, maka mereka akan berupaya untuk berbuat yang terbaik bagi orang lain. Salah satu yang sangat diharapkan oleh manusia adalah bantuan orang lain yang membuat kehidupan mereka lebih baik, lebih enjoy, lebih bahagia, lebih sejahtera. Penjelasan mengapa Imam Ghazali mendedikasikan kehidupannya dengan menulis ratusan buku adalah karena buku-buku yang beliau tulis dapat membangkitkan kesadaran hidup/beragama pada manusia. Memang pada awalnya ada pamrih, tapi setelah Al-Ghazali melewati masa uzlah (pengasingan diri) yang menjadikannya hanya ingin memperoleh ridha Allah, beliau membebaskan diri dari pamrih atas apa yang dilakukannya. Hidupnya didedikasikan untuk berbuat yang terbaik dan optimal. Maka, kitabnya yang paling ngetop, Ihya’ Ulumuddin, hingga kini tetap menjadi best seller, atau best seller sepanjang zaman,

Pentingnya Kreativitas untuk Kejayaan Islam

Apakah umat Islam taqlid atau kreatif? Jawabnya: kenyataannya cenderung taklid dan semestinya kreatif. Adagium bahwa Islam adalah unggul dan tak terungguli oleh yang lain pernah menyejarah. Hal ini ditunjukkan secara meyakinkan oleh umat Islam pada zaman Abbasiyah. Pemikiran dan temuan dalam berbagai bidang ilmu berkembang sedemikian luar biasa, baik dalam pemikiran ilmu-ilmu keruhanian maupun ilmu sosial-eksakta. Hingga umat Islam menjadi pemimpin bagi umat yang lain. Kini apa yang terjadi?

Pemikir-pemikir Islam seperti Nurcholish Madjid dan Ismail Raji Al-Faruqi memotret secara memilukan keadaan umat Islam, yaitu berada di barisan terbelakang bangsa-bangsa atau berada di anak tangga terbawah bangsa-bangsa. Maka, menjadi tantangan bagi kita, yaitu bagaimana meraih kembali kejayaan/keunggulan itu.

Jawaban umum atas pertanyaan di atas adalah gunakan akal dan hati serta manage nafsu untuk meraih kesuksesan. Semangat untuk membentuk masyarakat maju nan sejahtera semestinya terus dipelihara. Dalam Islam ada semangat yang patut digelorakan yaitu semangat sebagai khalifah di muka bumi dan semangat kenabian menjadi rahmat bagi sekalian alam. Mari kita berikan yang terbaik kepada orang lain dengan cara meningkatkan diri secara terus-menerus. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memelihara semangat adalah memiliki visi atas pilihan hidup kita. Adanya visi yang jelas tentang masa depan menjadikan kita berupaya lurus dengan niat yang sudah ditancapkan sejak awal. Secara individual, visi bisa berupa “aku akan menjadi seorang manajer yang humanis dan adil”, “aku akan menjadi dosen yang dapat memberikan penjelasan yang cerdas dan penuh semangat”, dan seterusnya. Visi tersebut akan menjadi dasar bagi kita untuk memberikan yang terbaik. Dalam situasi seperti ini akan muncul dorongan untuk berbuat yang terbaik, termasuk melakukan kreasi-kreasi baru yang memungkinkan visi dapat diwujudkan.

Di samping semangat atau gairah hidup yang kuat, yang banyak memberi sumbangan untuk tercapainya kejayaan kita adalah penggunaan akal secara optimal. Kemajuan yang diperoleh masyarakat Barat didasari oleh keyakinan bahwa akal adalah hal yang menjadi kelebihan manusia atas makhluk yang lain. Maka, mereka melakukan upaya agar akal manusia dapat secara optimal. Mereka mendorong penduduknya untuk menjadi kreatif. Berbagai penghargaan mereka berikan kepada insan-insan kreatif. Sejak lama orang Inggris memiliki Guiness Book of the World Records. Orang Amerika pasti sangat menghargai para kreator. Umat Islam pun semestinya mempergunakan akalnya secara optimal agar kreativitas itu dapat diraih. Proses pendidikan di Indonesia perlu didorong untuk mengoptimalkan penggunaan akal, namun tidak hanya dalam pengertian menghafal (atau istilah Benjamin Bloom sebatas knowledge). Harus dilakukan upaya agar orang memiliki kemampuan menghafal yang baik. Salah satu cara untuk menjadi penghafal adalah dengan melatih menghafal al-Qur’an. Hafalan memang penting, tapi ia dilengkapi kemampuan berpikir yang lebih tinggi, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan untuk memahami realitas. Kebiasaan berpikir analisis-sintesis akan memungkinkan seseorang mengaktifkan akalnya. Tidak kurang dari itu, akal pun perlu dilatih untuk menemukan jalan baru atas berbagai masalah kehidupan.

Pengaktifan hati sudah semestinya dilakukan untuk meraih keungulan. Sebuah hadis Nabi mengisyaratkan bahwa mufarridun (orang-orang yang unggul) adalah orang-orang yang banyak melakukan dzikir. Keimanan juga mengaktifkan qalbu. Begitu pula dengan ibadah. Demikian juga amal sosial yang berbasis rasa keagamaan dan juga pengalaman keagamaan (H. Fuad Nashori & Rachmi Diana Mucharam, 2002). Mengapa dzikir membuat orang jadi unggul, tidak lain adalah dzikir memungkinkan hati berperan lebih aktif. Salah satu fungsi hati nurani adalah menerima pengetahuan atau ilham dari Allah. Kalau seorang kreator Muslim menghadapi masalah maka ia akan memperoleh jalan keluar, suatu ide yang berasal dari Allah. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS ath-Thalaq, 65:2)

Penutup

Demikian sekilas tulisan yang dapat penulis buat. Memang masih sederhana dan mungkin kurang mendalam dan aplikatif, tapi semoga dapat menjadi stimulasi untuk kita. [FN]

Page 31: Beberapa Jalan an Ide

Kitab Suci Sebagai Sumber Pengembangan Psikologi Islami Wednesday, 27 April 2011 02:05 administrator

S elalu ditemukan dalam komunitas apapun orang-orang yang menganjurkan kebenaran yang berasal dari

Tuhan. Mereka berupaya menyadarkan orang banyak bahwa ada kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar kebenaran yang bersifat indrawi atau material. Dalam konteks Islam, ada yang selalu berupaya untuk meletakkan kebenaran yang berasal dari Tuhan sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam segala sisi kehidupan individu dan masyarakat. Namun, seperti kita saksikan dalam drama kehidupan, sang protagonis (pejuang, pahlawan, syahid, hero) akan selalu memiliki “pasangannya”, sang antagonis (pecundang). Saat sejumlah aktivis ilmuwan atau mahasiswa berupaya meletakkan kebenaran kitab suci sebagai dasar pembentukan ilmu, bermunculanlah sang tokoh antagonis. Kekuatan tokoh antagonis, yang kadang melemahkan perjuangan si protagonis, adalah otoritas dan keyakinan yang dimilikinya. Khusus dalam upaya meletakkan kitab suci sebagai dasar pengembangan psikologi Islami, banyak cerita tentang protagonis dan antagonisme, di antaranya adalah cerita-cerita berikut ini.

Saya pernah menemukan suatu fakta yang mengejutkan. Di suatu fakultas psikologi di salah satu perguruan tinggi negeri, beberapa mahasiswa yang mencoba menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai rujukan diminta oleh pembimbingnya untuk “memperbaiki” skripsinya. Saran dosennya adalah hapus semua kutipan al-Qur’an dan al-

Page 32: Beberapa Jalan an Ide

Hadits. Artinya, suatu skripsi hanya baik bila bebas dari pengaruh kitab suci. Dosen yang lain berkomentar bahwa karya tulis ilmiah tidak dapat dibangun berdasarkan sesuatu yang tidak ilmiah (seperti mitos, di mana ia mengutip Sigmund Freud yang memasukkan kitab suci sebagai salah satu jenis mitos). “Al-Qur’an kan bukan buku ilmiah! Tak bisa dong dijadikan rujukan teoritis.”

Di samping itu, penulis sering didatangi mahasiswa (S1 maupun S2). Mereka bilang karya tulisnya sulit diterima oleh dosen pembimbingnya dan harus ditulis dengan “bahasa psikologi”. Dosen umumnya berkomentar bahwa dalam isi skripsi atau tesis yang mereka buat bobot agamanya (karena bersumber dari al-Qur’an, al-Hadis, dan khazanah pemikiran Islam) terlalu berat dibanding bobot psikologinya (sangat minim teori psikologi Freud, Skinner, Maslow, dkk). Karenanya, harus dirombak.

Cerita lain, ada sebuah skripsi yang sangat baik, dan berkomentarlah seorang penguji atas skripsi tersebut: “Skripsi Anda (yang penuh dengan ayat suci ini) sungguh bagus, tapi itu hanya cocok kalau Anda adalah mahasiswa fakultas agama di IAIN.” Kecenderungan semacam ini biasa disebut sebagai Islamophobia. Seperti diketahui Islamophobia adalah suasana psikologis yang berisi ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap Islam atau terhadap simbol-simbol Islam yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar pada kenyataan.

Pengkaji psikologi Islami menandaskan bahwa hati nurani dalam diri

manusia bukanlah semata-mata faktor eksternal, tapi secara inheren ia telah

berada dalam diri manusia semenjak awal penciptaannya.

Mencermati fenomena di atas, para pengkaji psikologi Islami menjadi prihatin. Hanna Djumhana Bastaman (1995) sendiri terjadi karena adanya kecenderungan untuk melihat ayat-ayat Tuhan dari kitab suci secara mendua. Ketika seseorang hendak beribadah kepada Allah mereka jadikan ayat suci sebagai rujukan. Namun, dalam kerja-kerja ilmiah mereka enggan menggunakan ayat suci sebagai dasar atau rujukan. Malik B. Badri (1986) pernah mengeritik kecenderungan semacam ini sebagai kepribadian terpecah (split personality). Dalam diri orang yang memiliki kepribadian terpecah, kecenderungan satu dengan kecenderungan lain tidak terorganisasi dalam suatu sistem, tapi berjalan sendiri-sendiri. Saat beribadah, shalat misalnya, ia adalah Muslim yang khusyu’ yang menghadapkan dirinya kepada Tuhan. Namun, setelah bekerja sebagai ilmuwan, cara kerja dan pola pikirnya sama sekali tidak berkaitan dengan shalat. Ia biasa saja menerangkan segala sesuatu dengan “hukum-hukum alam” dan melupakan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan bahwa tidak ada sesuatu yang bergerak kecuali dengan perkenan Allah.

Fenomena kepribadian terpecah dan Islamophobia menggambarkan bahwa ada kendala psikologis di kalangan umat Islam juga ilmuwan (Muslim) sendiri terhadap ajaran Islam umumnya dan terhadap kitab suci khususnya. Terhadap kenyataan ini, kita sangat mengharapkan agar orang-orang semakin terbuka terhadap informasi kitab suci yang sampai kepada mereka atau yang akan hadir kepada mereka. Sangat tidak elok bila menolak isi kitab suci sebelum memperoleh kesempatan untuk menelaahnya secara memadai. Hanna Djumhana Bastaman (1995) menandaskan bahwa salah satu tantangan berat yang kita hadapi adalah menjadikan orang --terutama ilmuwan yang beragama Islam-- memiliki keberanian menjadikan kitab suci --al-Qur’an dan al-Hadits-- sebagai rujukan dalam memahami manusia.

Di samping itu, sebagaimana diungkapkan oleh Paul Feyerabend, selayaknya terdapat penerimaan kitab suci sebagai dasar pembentukan kitab suci. Di samping itu, sesungguhnya berbagai ilmuwan psikologi moderen tidak lagi malu-malu menjadikan kitab suci sebagai rujukan. Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) dalam Spiritual Quotient, tidak ragu mengutip Injil, Veda, dan sebagainya. Bahkan, orang seperti Sigmund Freud (2001, 2002) dalam The Interpretation of Dream dan Introductory to Psychoanalysis juga tak ragu mengutip berbagai ayat dalam kitab suci untuk menguatkan argumentasinya.

Komitmen: Memposisikan Kitab Suci Sebagai Rujukan

Memahami manusia dengan mencermati apa yang terjadi pada manusia adalah suatu cara objektif dan akhir-akhir ini dipandang sebagai tipikal cara berpikir Barat. Akan tetapi, memahami manusia dengan mendasarkan diri pada kitab suci bukanlah cara populer dalam kebiasaan berpikir Barat. Memahami manusia dengan menyimak isi-isi kitab suci adalah sesuatu yang secara ilmiah (Barat) kontroversial. Bahkan, mungkin dipandang sebagai penyimpangan berpikir.

Hal ini berkaitan dengan cara berpikir Barat yang mementingkan skeptisisme, yaitu cara berpikir yang menekankan pentingnya keraguan akan segala sesuatu. Keraguan, oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam dan The Philosophy of Science, adalah pergerakan antara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan pada salah satunya. Cara berpikir ini menempatkan segala objek sebagai sesuatu yang layak diragukan kebenarannya. Dalam keadaan demikian, objek dibiarkan bergerak tanpa kepastian. Kepastian yang bersifat sementara dapat dicapai setelah diuji secara rasional dan empiris. Selanjutnya, kepastian sementara itu diragukan lagi.

Celakanya, begitu banyak keterangan dari kitab suci yang bagi cara berpikir Barat tidak dapat diterima rasio dan tidak dapat dibuktikan secara empiris, seperti ada tidaknya kehidupan akhirat yang berisi sorga dan neraka yang akan dialami manusia, adanya malaikat yang mengirim ilham yang diberikan Tuhan kepada manusia, setan dan iblis yang selalu berupaya menggoda manusia, tentang ruh Tuhan (the Spirit of God) yang dihembuskan ke dalam diri manusia ketika manusia dalam kandungan ibu, dan seterusnya. Maka, kitab suci, yang sebagian keterangannya di luar jangkauan cara berpikir Barat, tidak dapat diterima sebagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

Sebaliknya, Islam justru mementingkan kepastian. Salah satu yang diyakini adalah kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an, sebagaimana sesuatu yang pasti kebenarannya. Dalam ilmu pengetahuan Islam dikenal apa yang disebut sebagai metode keyakinan (method of tenacity). Dalam metode keyakinan, seseorang meyakini kebenaran sesuatu tanpa keraguan apapun di dalamnya. Dalam metode ini, yang absah dijadikan sebagai sumber yang diyakini kebenarannya adalah wahyu Ilahi, khususnya al-Qur’an dan al-Hadits. Penempatan kitab suci atau wahyu Ilahi sebagai sumber kebenaran dan sumber pengetahuan berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (The Creator)

Page 33: Beberapa Jalan an Ide

kehidupan ini. Sebagai pencipta, Dia tentu mengetahui dan memahami seluk beluk diri dan makhluk ciptaan-Nya itu. Dia ungkapkan pengetahuan-Nya itu melalui kitab suci.

Psikologi Islami sepenuhnya mempercayai al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber kebenaran tentang manusia. Di samping menempuh jalan rasional dan empiris dalam memahami manusia, psikologi Islami juga menggunakan jalan tekstual dari kitab suci dalam memahami makhluk yang berpotensi paling mulia ini. Sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka kitab suci dapat dijadikan sebagai bahan untuk memahami manusia. Selain kitab suci, interpretasi dari para ulama atau ilmuwan Muslim yang dapat memahami al-Qur’an sebagai jernih juga dapat dipakai untuk merumuskan dasar-dasar psikologi Islami tentang manusia.

Pengertian Psikologi Islami

Dengan mempertimbangkan pandangan di atas, psikologi Islami (Islamic psychology) dapat didefiniskan sebagai suatu studi tentang jiwa dan perilaku manusia yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Sebagai suatu studi, ia adalah suatu kajian melalui cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ia dikaji melalui berbagai metode, baik metode ilmiah maupun metode semi ilmiah. Di samping menggunakan metode ilmiah, psikologi Islami juga menggunakan metode-metode keyakinan, intuisi, otoritas, dan berbagai metode lainnya. Penggunaan metode yang lebih variatif ini dikarenakan objek yang dikaji psikologi lebih luas dan beragam dibanding objek yang dikaji oleh teori-teori psikologi Barat pada saat ini. Sebagai contoh, selama ini kajian psikologi Barat memahami mimpi dalam konteks fisk-biologis. Psikologi Islami memahami mimpi sebagai suatu proses jiwa dan perilaku manusia yang tidak hanya dipengaruhi kondisi fisik dan psikologis seseorang, tapi juga berkaitan dengan kualitas spiritual seseorang dan kekuatan spiritual di luar diri manusia (Allah Azza wa jalla dan setan yang terkutuk).

Berkaitan dengan objek kajiannya, Psikologi Islami agak berbeda dengan trend psikologi Barat yang akhir-akhir ini semakin banyak mengabaikan kajian tentang jiwa. Psikologi Barat sering diartikan ahlinya sebagai studi tentang perilaku (behavior) manusia. Psikologi Islami menjadikannya sebagai objek kajian karena ia merupakan bagian dalam diri manusia yang melahirkan adanya perilaku. Tentang perilaku, dapat dikatakan bahwa ia dapat saja berupa perilaku yang tampak (overt behavior) maupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior).

Tentang pandangan dunia Islam (Islamic world view), maka dapat dikatakan bahwa pandangan dunia Islam merupakan cara pandang yang dimiliki Islam dapat memahami realitas. Realitas menurut Islam terdiri atas realitas yang dapat diindra (observable area), realitas yang dapat dirasakan-dipikirkan (conceivable area), dan realitas ayang tidak dapat dipikirkan dan dirasakan (unconceivable area). Mencermati realitas kehidupan manusia yang luas seperti itu, maka psikologi Islami dituntut untuk memahami realitas dengan beragam cara/metode.

Kompetensi: Objektivikasi dan Rekonstruksi Teori

Berkaitan dengan posisi kitab suci sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka sekurang-kurangnya terdapat dua langkah yang dapat dilakukan oleh pengkaji/perumus psikologi Islami, yaitu objektivikasi dan rekonstruksi teori.

1. Objektivikasi

Objektivikasi adalah proses mentransformasikan pandangan-pandangan yang normatif menjadi pandangan yang objektif atau menjadi teori yang dapat diukur. Oleh banyak kalangan, apa yang ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits dipandang sebagai sesuatu yang normatif. Isi al-Qur’an, kalau hendak dijadikan teori, harus mengalami transformasi. Dalam hal ini, langkah yang perlu dilakukan adalah meneorikan apa yang dianggap benar, apa yang harus dilakukan manusia.

Adapun teori yang baik, sebagaimana selama ini kita pahami, semestinya memiliki ciri-ciri: (a) konsisten secara logis, (a) bisa diuji dan (c) konsisten dengan data. Teori selalu menyangkut sekurang-kurangnya keterkaitan dua hal. Bila hubungan antara hal satu dan yang lain itu logis, maka ia memenuhi ciri konsisten secara logis. Untuk teori-teori yang bersifat umum (grand theory), seperti proses penciptaan manusia, sifat asal manusia, kemungkinan manusia, perkembangan manusia, ciri konsiten secara logis ini amat penting. Bahkan, upaya objektifikasi untuk teori yang umum ini cukuplah hanya dengan ciri ini.

Sementara itu untuk teori-teori yang bersifat khusus, ciri bisa diuji dan konsisten dengan data adalah ciri yang harus ada. Bisa diuji berarti bahwa teori tersebut dapat diukur dengan menggunakan metode-metode tertentu. Di kalangan ilmuwan Islam, metode penelitian ini bukan hanya metode yang selama ini dipandang ilmiah (scientific) seperti eksperimentasi, observasi, wawancara, korelasi, komparasi, tapi juga yang lain seperti metode intuisi, metode otoritas, serta metode-metode yang lain. Agar dapat diukur, biasanya diawali oleh elaborasi atau uraian tentang hal yang diteorikan. Biasanya ada rumusan tentang pengertiannya, ciri-ciri, dan keterkaitannya dengan hal lain. Penjelasan pokok yang akhirnya dapat diukur biasanya disebut ciri-ciri, aspek-aspek, komponen-komponen. Konsisten dengan data artinya setelah dicek di kancah kehidupan nyata, teori ternyata didukung oleh kenyataan yang ada dalam kehidupan.

Sebagai contoh, berangkat dari ayat “fashbiru” atau "innallaha ma’ash-shabirin”, maka kita membuat teori teori tentang kesabaran atau kelapangdadaan. Dalam berbagai ayat suci, Allah memerintahkan manusia untuk berlapang dada. Maka, kita dapat berteori bahwa pada dasarnya tingkat kelapangdadaan dalam diri manusia sangat beragam. Kelapangdadaan ditandai oleh beberapa indikator utama berupa kesadaran bahwa segala kejadian menyenangkan maupun tidak menyenangkan diciptakan Allah, kesiapan untuk menerima stimulasi yang tidak menyenangkan, dalam dadanya selalu terdapat pemberian ampunan/maaf bagi orang lain, keyakinan akan adanya hikmah di balik peristiwa, dan keyakinan akan adanya perbaikan keadaan setelah berlangsungnya keadaan yang tidak menyenangkan.

Bila manusia memiliki keikhlasan atau ketulusan dalam berbuat sesuatu, maka mereka akan memiliki kelapangdadaan. Sebaliknya, bila dalam diri seseorang penuh dengan pamrih dalam melakukan sesuatu, maka dadanya akan menjadi sempit. Maka, bila si lapang dada –sebagaimana Nabi Muhammad—dilempari batu, diludahi, atau ditumpakkan ke punggungnya kotoran hewan, ia tidak merespons secara reaktif. Dalam dadanya ada kesadaran

Page 34: Beberapa Jalan an Ide

bahwa setiap kejadian yang tidak menyenangkan pasti menghadirkan peringatan dan manfaat bagi yang menerima kejadian itu. Maka, setelah diberi perlakuan yang demikian, dadanya tetap terbuka: ia pun beri ampunan, ucapkan doa untuk kebaikan anak cucu dari si pengeroyok, dan mengunjungi dia yang suka meludahi dengan penuh pemberian ampunan/maaf.

2. Rekonstruksi teori

 

Bila kita melakukan rekonstruksi pemikiran atas pemikiran ilmuwan di atas, maka kita melakukannya dengan berdasarkan cara pandang Islam. Dengan menggunakan pandangan dunia Islam, kita menggunakan pandangan murni al-Qur’an dan al-Hadits, khazanah pemikiran Islam masa lalu-masa kini, khazanah ilmu pengetahuan Barat dulu dan kini.

Dalam rekonstruksi teori, isi pemikiran seseorang hanya dipandang dan diperlakukan sebagai satu atau beberapa bahan dan tidak terelakkan bagi kita untuk menggunakan bahan-bahan lain sepanjang diambil dengan metode yang benar dan terdapat kepercayaan akan pandangan-pandangan dari orang lain. Kalau diandaikan sebagai bangunan, maka rekonstruksi teori dilakukan dengan memanfaatkan “bahan bangunan dari rumah-rumah” yang dirobohkan maupun dari bahan-bahan lain yang menjadikan “bangunan” aman, nyaman, dan estetis.

Rekonstruksi teori dilakukan dengan pertimbangan: (a) untuk menghasilkan pemikiran yang komprehensif, (b) kita berorientasi kepada upaya menghasilkan konstruk yang lebih baik, lebih sempurna, dan sejauh mungkin ada originalitasnya, dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran yang lebih dulu. Yang patut dihindari dalam melakukan upaya rekonstruksi adalah mengulang begitu saja pemikiran seseorang atau beberapa orang tanpa sikap kritis.

Salah satu contoh rekonstruksi adalah upaya memahami mimpi manusia sebagaimana yang penulis jelaskan lebih lengkap dalam buku Mimpi Nubuwat (Pustaka Pelajar, Jogja, 2002). Sigmund Freud mengungkapkan bahwa tidak ada penjelasan tentang mimpi kecuali tentang harapan (mimpi berisi harapan-harapan). Jung berpendapat bahwa di samping mimpi harapan, manusia juga mengalami mimpi prospektif (penulis menyebutnya mimpi prediktif). Al-Qur’an dan Sunnah al-Hadits menyebut mimpi yang berisi petunjuk, berisi peringatan, dan mengenai masa lalu (penulis menyebutnya mimpi retrospektif). Pemikir Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebut adanya mimpi yang penulis sebut mimpi yang kuat. Masih ada mimpi yang lain: mimpi yang berisi gema masa lalu, mimpi yang terjadi karena keluhan fisik, mimpi yang terjadi karena kemasakan (mimpi basah). Setelah mencermati semua jenis mimpi, maka dapat dilakukan rekonstruksi teori (disimpulkan) mimpi terdiri atas mimpi jasmani/fisik (mimpi karena kelelahan/sakit, mimpi karena kemasakan, dan mimpi karena kondisi lingkungan yang amat kuat menstimulasi seperti panas), mimpi nafsani/psikologis (gema ingatan masa lalu, kondisi perasaan-pikiran menjelang tidur, harapan), dan mimpi ruhani/spiritual (mimpi retrospektif, prediktif, petunjuk, peringatan, dan kuat).

Kompetensi Lain: Studi Kritis dan Similarisasi

3. Studi Kritis Islam atas Psikologi Moderen.

Yang dilakukan ahli psikologi dalam hal ini adalah melakukan upaya kritik-objektif atas berbagai asumsi yang dibangun para ilmuwan psikologi moderen. Setelah objek kritik ditetapkan, maka yang mereka lakukan adalah menunjukkan apa yang menjadi kekuatan sekaligus kekurangan atau kelemahan psikologi Barat. Sebuah contoh yang dapat disampaikan di sini adalah telaah kritik terhadap teori superego. Menurut Freud, superego yang ada dalam diri manusia terbentuk karena adanya pendidikan moral dari lingkungan sosial manusia. Lingkungan sosial manusia selalu mengajarkan agar seseorang berbuat baik dan tidak berbuat hal yang sebaliknya. Terhadap teori di atas, para pengkaji psikologi Islami menandaskan bahwa hati nurani dalam diri manusia bukanlah semata-mata faktor eksternal, tapi secara inheren ia telah berada dalam diri manusia semenjak awal penciptaannya. Faktor luar hanya berperan untuk menguatkan atau melemahkan potensi-potensi tersebut. Argumen yang sering diberikan adalah manusia diciptakan dalam keadaan fitrah (suci, bersih, borpotensi positif secara fisik, psikologis maupun spiritual). Argumen tambahan yang dapat diungkapkan adalah sekalipun seseorang dikerangka oleh lingkungan sosialnya untuk memiliki perilaku yang buruk dan jahat, namun hati nuraninya tetap dapat berbicara: ia tetap mampu mentransformasikan dirinya, potensi-potensinya, menjadi pribadi yang baru (sebagaimana kasus Umar bin Khattab radhiyallahu anhu).

4. Similarisasi atau AYATISASI.

Yang dilakukan oleh pengkaji psikologi Islami adalah melakukan kajian atas kesamaan antara konsepsi Islam dengan konsepsi psikologi Barat tentang suatu objek tertentu. Yang sering dilakukan adalah membahas objek kajian psikologi dan melihat kesamaannya dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Cara yang paling mudah untuk ditempuh adalah dengan melakukan ayatisasi. Ayatisasi yang dimaksud di sini adalah menghadirkan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an untuk membenarkan apa yang dibahas dalam suatu topik. Sebagai contoh, dalam teori Freud dikenali adanya struktur kepribadian yang terdiri atas id,ego, dan superego. Orang yang melakukan similarisasi akan menyamakan teori ini dengan tiga macam al-nafs sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an. Maka, hasil similariasinya adalah id = al-nafs al-ammarah, ego = al-nafs al-lawwamah, dan superego = al-nafs al-muthmainnah.

Kompetensi ketiga dan keempat ini adalah quasi-competence dalam psikologi Islami. Dua cara ini dapat ditempuh sebagai latihan, karena untuk melakukan cara per-tama dan kedua dibutuhkan kemampuan logis, analitis, dan pemahaman al-Qur’an yang cukup. Untuk para pemula dianjurkan untuk menempuh cara ketiga dan keempat ini.

Penutup

BerdzikirDi samping melakukan empat cara di atas, salah satu aktivitas yang dapat membangun kualitas diri kita sebagai SDM yang dapat mengembangkan psikologi Islami adalah selalu mendekatkan diri kepada Allah. Yang paling pokok adalah mengingat Allah Azza wa jalla, bahkan kalau bisa –seperti istilah Aa Gym—merasa Allah selalu menatap diri kita. Dzikir

Page 35: Beberapa Jalan an Ide

ini di samping menghasulkan efek pembentukan diri kita sebagai pribadi yang lebih stabil/matang, yang tak kalah penting adalah dapat memudahkan kita memperoleh ide-ide yang memercik (Jawa: mlethik). Kegiatan dzikir ini (yang dilakukan melalui bacaan dzikir atau dengan perbuatan lain yang diperintahkan Allah) akan menjadikan kita berpikir dengan qalbu Allah. Kalau seseorang berpikir dengan qalbu Allah, maka ia dapat memahami pengetahuan dan memperoleh pengetahuan dengan cepat dan tepat.

 

Hambaku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah, maka ia Kusenangi dan Kucintai. Karenanya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan menjadi qalbu yang dengannya ia berpikir. Apabila ia berdoa kepada-Ku Aku perkenankan doanya. Apabila ia minta sesuatu pada-Ku, niscaya Aku mengaruniakannya, dan apabila ia meminta pertolongan kepada-Ku niscaya Aku akan menolongnya. Ibadah yang Aku senangi adalah menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya untuk-Ku (HR Thabrani).

 

Saatnya Melakukan RisetPenelitian dimaksudkan untuk mengecek apakah pengetahuan yang bersifat kognitif (pernyataan) yang diperoleh dari rumusan teoritis itu benar secara empiris. Benarkah pernyataan sesuai dengan kenyataan? Itulah hal yang dilakukan dalam penelitian! Mengetahui kenyataan itu sangat penting, karena dengan mengetahui kenyataan (yang bersifat empiris ini) kita menjadi lebih yakin dengan kebenaran sesuatu. Sebagai contoh, ada pernyataan (teori) bahwa kelapangdadaan (al-samhah) berhubungan secara negatif dengan agresivitas. Semakin tinggi kelapangdadaan semakin rendah agresivitas. Untuk mengetahui apakah benar pernyataan di atas, orang melakukan penelitian (tentang hubungan negatif antara kelapangdadaan dan agresivitas).

Khusus dalam rangka pengembangan psikologi Islami, penelitian menempati posisi yang sangat penting. Dalam buku Agenda Psikologi Islami (2002), penulis membagi fase-fase perkembangan psikologi Islami: “Terpesona”-Kritis (level persiapan) serta perumusan-penelitian-penerapan (level aksi). Selama ini para pengkaji psikologi Islami telah mencoba melahirkan teori-teori psikologi Islami dan sebagian mahasiswa memandang keadaan tersebut dengan komentar sinis: “teori melulu”. Padahal, kata mereka, kan harus aplikatif! Maka, sejumlah mahasiswa langsung menjadikan suatu teori sebagai rujukan dalam berbagai pelatihan yang mereka tangani. (Bahkan kadang-kadang teori Barat dicomot begitu saja tanpa melalui verifikasi Islam atas teori tersebut). Dari penjelasan di atas, ada loncatan dari teori langsung ke penerapan. Semestinya di antara keduanya ada yang namanya penelitian. Penelitian, bila hasilnya linear (alias searah) dengan teorinya, maka akan membuat suatu teori kokoh, dan karenanya, layak untuk dijadikan dasar sebagai rujukan suatu penerapan ilmu. Bila tidak linear (tak searah), maka tugas peneliti sebagaimana dianjurkan oleh Noeng Muhadjir adalah melakukan gerak mondar-mandir antara menyusun teori-mengambil data penelitian-hasilnya tidak linear-melakukan perbaikan teori-mengambil data penelitian dst.

Kalau anda dan saya mau meneliti teori-teori psikologi berperspektif Islam, maka apa yang kita lakukan akan memberi sumbangan terhadap pengembangan psikologi Islami. Dengan menyumbang satu penelitian, maka itu seperti menyumbang satu batu bata untuk membangun rumah (yang namanya psikologi islami). Maka, yuk, meneliti psikologi Islami, yuk!

Apa Saja yang Bisa Diteliti? Sejauh ini ada pandangan bahwa yang bisa diteliti oleh mahasiswa dan ilmuwan adalah suatu pernyataan yang sudah diteorikan oleh ahlinya. Hingga, akhirnya yang diteliti hanya apa yang diteorikan ilmuwan psikologi Barat. Suatu teori yang tak ada dalam buku teks psikologi Barat seakan tidak bisa diteliti (Malik Badri menyindir Muslim yang demikian sebagai tak sadar masuk liang biawak). Sebagai contoh, saat penulis hendak meneliti kualitas mimpi, segera beberapa reaksi bermunculan: apa mimpi bisa diteliti? Apa kualitas mimpi bukan sesuatu yang begitu tersembunyi? Apa ada teorinya tentang kualitas mimpi?

Cara pandang semacam itu –yaitu penelitian harus menggunakan teori psikologi Barat yang sudah baku-- tidaklah benar dan menunjukkan inferioritas kita. Yang benar adalah bahwa kita bisa meneliti apa saja (tentang jiwa dan perilaku manusia) yang menarik perhatian kita sepanjang kita dapat menunjukkan landasan teoritis penelitian kita, entah dengan mencari dasar teorinya dari teks psikologi Islami atau menyusun sendiri dasar teori itu. Sebagai misal, ketika menyusun pengertian, aspek-aspek, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas mimpi, penulis melakukan rekonstruksi teori. Maksudnya, berbagai pandangan atau teori yang ada (dalam psikologi, al-Qur’an, al-Hadits, khazanah pemikiran Islam) penulis sistematisasi sendiri.

Sekalipun demikian, harus penulis katakan bahwa sebagian kita umumnya konservatif. Saat Anda menulis skripsi yang ada hubungannya dengan keagamaan atau topik psikologi Islami pada umumnya boleh jadi sementara dosen akan segera menolaknya, lebih-lebih kalau hal yang diteliti tak ada dasar teorinya. Saat Anda hendak mengikuti lomba penelitian, pembimbing Anda akan segera mengingatkan bahwa judul yang menyangkut keagamaan atau psikologi Islami biasanya segera diragukan sehingga tak mungkin menang dalam lomba. Menghadapi situasi ini, yang bisa diperjuangkan adalah (a) pada dasarnya masalah sikap-perilaku keagamaan dan psikologi Islami lainnya jelas dapat diteliti dan (b) rekonstruksi teori jelas dapat dilakukan sepanjang rujukannya jelas.

Mengapa Perlu Metode? Metode adalah cara kerja untuk memperoleh pengetahuan secara empiris. Dalam dunia ilmu metode penelitian sangat penting, sehingga setiap ilmuwan harus secara jujur menunjukkan cara untuk memperoleh pengetahuan empiris.

Bila suatu pengetahuan empiris diperoleh melalui cara yang benar, maka pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan empiris yang terpercaya. Sebaliknya, bila pengetahuan empiris diperoleh melalui cara yang diragukan atau melalui cara yang salah, maka pengetahuan empiris yang diperoleh tidak akan dipercaya.

Sebagai contoh, benarkah mahasiswi Yogya tidak perawan? Bila cara memperoleh data meragukan atau salah, maka hasil penelitian yang mengatakan bahwa 97% mahasiswi tidak perawan tak akan kita percaya. Sebaliknya, bila

Page 36: Beberapa Jalan an Ide

caranya telah benar, maka kita akan percaya bahwa memang 97% mahasiswi tidak perawan.

Dengan demikian, metode apa yang akan digunakan untuk mengetahui kebenaran/pengetahuan empiris sangat penting untuk diperhatikan.

Apa Saja Metode Penelitian? Dalam Islam, metode penelitian sangat beragam. Ini dengan sangat lugas disampaikan oleh ilmuwan Muslim Osman Bakar dalam buku Tauhid dan Sains. Dikarenakan realitas yang diakui oleh sains Islam lebih luas, maka metodenya pun lebih bervariasi. Ilmu pengetahuan moderen selama ini mengungkapkan bahwa metode penelitian yang disebut sebagai metode ilmiah (the scientific method) terdiri atas eksperimentasi (yang biasa disebut the true scientific method), pengamatan (wawancara, observasi, angket, tes), dan komparasi.

Dalam buku Agenda Psikologi Islami (2002), saya ungkapkan bahwa di samping metode ilmiah, mestinya diakui pula metode yang untuk sementara waktu ini disebut metode semi ilmiah, seperti metode otoritas, metode intuisi, metode pemahaman (verstehen), metode riset aksi, grounded research, dan sebagainya.

Untuk pemula, saya sarankan untuk sementara ini gunakan saja metode-metode penelitian yang umum yang dianggap sebagai metode ilmiah seperti metode korelasional (menggunakan angket) atau metode wawancara (menggunakan daftar pertanyaan). Metode yang semi ilmiah, disimpan saja dan diyakini, dan suatu saat nanti dicobagunakan untuk mengetahui sesuatu yang empiris.Dalam ilmu pengetahuan Islami dipercayai bahwa semakin beragam metode yang digunakan untuk memahami sesuatu, maka hasilnya akan lebih meyakinkan dan karenanya semakin dipercaya. Mengapa demikian? Tidak lain karena sudut pandang yang digunakan berbeda-beda dan satu metode dengan metode yang saling bisa saling mengecek. Sebagai contoh, peneliti menggunakan metode wawancara dan metode eksperimen untuk mengecek kebenaran pernyataan “hubungan seks tanpa perlindungan Allah memiliki hubungan dengan sikap oragtua terhadap anak”. Metode eksperimen dilakukan dengan “memberi perlakuan terhadap sejumlah pasangan berupa baca doa dan tidak banyak doa ketika hendak berhubungan seks” dan mengukur “sikap terhadap anak”. Metode wawancara dilakukan terhadap orangtua yang telah memiliki anak, kita tanya dulu melakukannya pakai doa atau tidak dan setelah itu kita tanya sikapnya terhadap anak.

Contoh lain yang benar-benar pernah penulis lakukan adalah penggunaan metode wawancara untuk meneliti mimpi psiko-spiritual (baca: mimpi nubuwat) para kyai dan ustadz. Penulis menyampaikan berbagai pertanyaan berkaitan dengan mimpi-mimpi mereka dengan mendasarkan pada rekonstruksi teori yang sudah penulis susun sebelumnya. Mimpi psiko-spiritual berdasar teori terdiri atas mimpi yang berasal dari setan dan berasal dari Allah. Mimpi spiritual yang berasal dari Allah terdiri atas mimpi prediktif, mimpi retrospektif, mimpi petunjuk, mimpi peringatan, mimpi kuat.

Contoh yang berkaitan dengan penggunaan metode korelasional dengan angket adalah saat meneliti peranan kualitas mimpi dan kualitas tidur terhadap prestasi belajar. Penulis merumuskan sendiri teori tentang kualitas tidur dan kualitas mimpi, yang penulis dasarkan pada pandangan Islam tentang masalah ini.

Untuk sementara itu yang dapat saya sampaikan. Wallahu A’lam bi ash-shawab [FN]

Refleksi Psikologi Islami Tuesday, 26 April 2011 12:04 administrator

INTISARI

 

Tulisan ini bertujuan untuk mengomentari sejumlah isu yang berkembang dalam pergumulan pengembangan wacana psikologi Islami. Penulis berpandangan bahwa sekalipun terbuka terhadap urutan kerja pengembangan psikologi Islami, yang paling direkomendasikannya adalah melakukan perumusan teori dulu, merisetnya dan baru setelah itu mengaplikasikannya.

Isu berikutnya yang ditanggapinya adalah upaya-upaya mensinkronkan antara ayat-ayat qauliyah (wahyu, al-Qur’an dan al-Hadits) dengan ayat-ayat kauniyah (pengalaman empiris). Menurutnya, pengembangan psikologi Islami hendaknya tetap memprioritaskan pengembangan ilmu yang berdasarkan ayat-ayat qauliyah, tetapi tetap memberi peluang untuk melakukan pola-pola pengembangan psikologi dengan bertitik tolak dari isu-isu yang berkembang dalam dunia psikologi.

Kata Kunci: Psikologi Islami, refleksi

 

Pengantar

Penulis memperoleh berbagai pertanyaan dari banyak kalangan berkaitan dengan pengembangan psikologi Islami. Ada sekian banyak isu, mulai dari yang bersifat teoritis-paradigmatis, alasan pengembangan psikologi Islami, ciri khas psikologi Islami, teori-teori khusus psikologi Islami, aplikasi psikologi Islami hingga ke pengembangan kurikulum dan bahkan pengembangan organisasi yang berkomitmen pada psikologi Islami. Di antara berbagai isu yang sampai ke penulis, ada beberapa hal yang ingin penulis tanggapi, di antaranya urutan pengembangan psikologi Islami, perlunya mengakumulasi berbagai modal untuk mengoptimumkan pengembangan psikologi Islami, langkah-langkah akomodatif

Page 37: Beberapa Jalan an Ide

untuk pengembangan psikologi Islami. Pertimbangan penulis dalam menanggapi isu-isu tersebut adalah intensitas isu dan kemampuan penulis untuk menanggapinya.

Urutan Pengembangan Psikologi Islami

S alah satu persoalan penting dalam setiap mazhab psikologi adalah temuan apa yang bisa disumbangkan

dalam memahami dan mengembangkan diri manusia. Kemampuan memahami diri manusia secara baru dapat diperoleh melalui perumusan teori dan penelitian terhadap realitas empiris. Pengembangan diri manusia dilakukan dengan berbagai upaya aplikasi dari teori-teori yang telah dirumuskan dan diriset, yang dilakukan dengan training, konseling, terapi, dan seterusnya.

Penulis memahami sepenuhnya bahwa di tengah kehidupan yang sangat pragmatis seperti saat ini, tuntutan akan adanya aplikasi psikologi Islami sungguh sangat besar. Penulis mendengar ungkapan semacam itu, baik dari generasi tua dan terutama generasi muda. Ungkapan ini ternyata antara lain dicermati oleh Hanna Djumaha Bastaman (2005) dalam tulisan yang berjudul “Dari KALAM Sampai Ke API”. Beliau bermaksud mengangkat kembali keresahan yang terjadi pada sekelompok generasi muda peminat psikologi Islami. “Mengapa perkembangan psikologi Islami sangat lambat?” Demikian ungkapan yang disampaikan sejumlah peminat psikologi Islami dari kalangan generasi muda. Lebih lanjut mereka mempertanyakan: “mengapa lebih banyak berputar pada dataran teoritis dan kurang menggarap wilayah aplikatif?”

Betul adanya, jangan sampai teori melulu. Arahkan psikologi Islami ke aplikasi! Tuntutan semacam itu, semestinya kita dukung dan kita perjuangkan bersama-sama. Suatu kajian atau suatu mazhab memang harus menunjukkan nilai aplikasi dari wacana yang dikembangkannya. Kalau tidak, ia akan jadi wacana yang tidak membumi.

Dalam pemahaman penulis, gerakan pengembangan psikologi Islami adalah usaha bersama dari banyak orang yang memiliki komitmen untuk menghadirkan sumbangan Islam bagi kemanusiaan. Pengembangan psikologi Islami perlu melibatkan banyak orang di mana orang-orang yang berminat terhadapnya bekerja, berjalin berkelindan, dalam mengembangkan psikologi Islami sesuai dengan minat dan kemampuannya. Harus ada orang yang bekerja dalam aplikasi, tapi juga harus ada yang berupaya dalam merumuskan teori-teori, dan menelitinya.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa sebagaimana ilmu-ilmu atau mazhab-mazhab ilmu yang lainnya, psikologi Islami harus didukung seperangkat teori yang kuat. Teori yang kuat menandakan adanya fondasi keilmuan yang kuat. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, psikologi Islami harus menguatkan aspek teoritisnya. Penulis sendiri, dalam beberapa tahun terakhir, berupaya melakukan peran tersebut. Penulis sendiri juga berupaya melakukan riset, beberapa di antaranya adalah tentang mimpi dan kreativitas, dengan harapan teori yang dirumuskan lebih kokoh. Sementara orang lain yang lebih canggih dalam aplikasi, diharapkan memperkuat barisan pengembang psikologi Islami lewat berbagai jalan praktis seperti training, konseling, terapi, dan sejenisnya.

Urutan kerja yang penulis pernah sampaikan dalam berbagai macam kesempatan adalah merumuskan teori, menelitinya, dan setelah itu mengaplikasikannya. Bila urutan kerja ini dipakai, maka pengembang psikologi Islami terlebih dahulu merumuskan toeri, yang ciri-cirinya adalah logis dan objektif (bisa diukur). Setelah teori dirumuskan sesuai dengan ciri-ciri di atas, maka ia siap untuk diriset. Di sini peneliti membuat hipotesis. Bila hasil penelitian sesuai dengan teori yang dibangun, maka jadilah ilmu yang kokoh dan selanjutnya siap untuk diaplikasikan.

Urutan kerja di atas tidaklah bersifat mutlak. Bila ada kesesuaian antara teori dan hasil riset, maka hasil riset itu membenarkan teori atau mengukuhkan kebenaran teori, dan selanjutnya siap diaplikasikan. Namun, bila ternyata tidak ada kesinkronan di antara keduanya, yaitu hasil penelitian berbeda dengan teori/hipotesis yang dirumuskan, maka sebagaimana disarankan oleh Noeng Muhadjir (1997), yang mestinya kita lakukan adalah gerak mondar-mandir antara perumusan teori dan riset. Cek lagi teorinya, bila perlu dirumuskan ulang terhadap teori yang sudah dirumuskan, lalu digunakan untuk memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan. Dari sini pengembang psikologi Islami melakukan penggalian data empiris hingga ditemukan ilmu yang kokoh bangunannya. Setelah teori dan hasil riset selaras, saatnya untuk mengaplikasikannya.

Seorang pengembang psikologi Islami bisa juga mengembangkan psikologi Islami dengan berangkat terlebih dahulu dari penelitian. Dalam hal ini, pengembang psikologi Islami melakukan penelitian tanpa membuat hipotesis terlebih dahulu. Ia melakukan apa yang biasa dilakukan para peneliti kualitatif. Ia hadir, bertanya dan mengamati perilaku responden, sampai ke ceruk-ceruknya, tanpa membuat perkiraan-perkiraan terlebih dahulu. Kalau pilihan ini ditempuh, penulis mengusulkan agar yang diteliti bukan hanya responden-reponden pada umumnya, tapi perlu juga untuk dicari responden khusus yang memiliki keimanan yang kuat. Pertimbangan yang utama adalah keimanan merupakan unsur yang amat penting yang mampu membedakan seseorang dari yang lain.

Tidak kurang dari itu, seorang pengembang psikologi Islami juga bisa memulai pengembangan psikologi Islami dari aplikasi. Dengan aplikasi yang sudah diterjuninya, seseorang dapat memotret dan menghayati realitas kehidupan. Dengan berbagai pengalaman mengaplikasikan suatu pandangan, maka ia akan memperoleh insight apa yang penting dan tidak penting yang berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Agar aplikasi ini terarah, ada baiknya bila seorang pengembang psikologi Islami terlebih membuka diri untuk menerima kritik teori atas rancangan-rancangan/modul-modul aplikatifnya. Hal ini ditempuh agar aplikasi memang memiliki paradigma psikologi Islami.

Dengan sikap akomodatif sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, penulis tetap merekomendasikan langkah berupa pengembangan psikologi Islami dengan terlebih dahulu melakukan perumusan teori, dilanjutkan riset, dan baru aplikasi. Urutan kerja yang lain dimungkinkan, dengan tetap berpegangan pada prinsip bahwa setiap langkah

Page 38: Beberapa Jalan an Ide

didahului atau dibingkai oleh paradigma psikologi Islami, yaitu meletakkan pandangan dunia Islam tentang manusia sebagai landasannya.

Dibutuhkan Akumulasi Modal: Manusia, Waktu, Usaha

Berkaitan dengan pengembangan psikologi Islami menjadi paradigma keilmuan yang kokoh, penulis berpendapat bahwa memang dibutuhkan waktu yang cukup, usaha yang keras, dan tetap mengharap pertolongan Allah ‘Azza wa jalla supaya wacana psikologi Islami terus berkembang maju. Perlu dipahami bahwa perkembangan suatu konsep atau suatu aliran berpikir mensyaratkan adanya akumulasi hasil pemikiran, hasil penelitian, dan hasil penerapan yang dilakukan banyak orang. Aliran-aliran psikologi moderen (psikoanalisis, behaviorisme, humanistik, transpersonal) membutuhkan waktu lima puluh hingga seratus tahun untuk bisa diterima sebagai aliran utama dalam psikologi.

Secara alamiah psikologi Islami harus berada dalam jalur sunnatullah (hukum Allah), yaitu ia tumbuh dan berkembang dengan membutuhkan waktu. Psikologi Islami sendiri memiliki nama psikologi Islami “baru” sekitar sebelas tahun lalu, saat terbitnya buku Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, 1994) yang segera disusul oleh Simposium Nasional Psikologi Islami di Surakarta (1994) atau --sebagaimana dijelaskan oleh Bastaman (2005-a)—baru tiga belas tahun yang lalu yaitu saat diterbitkan Jurnal Pemikiran Psikologi Islami KALAM (1992),. Sebelumnya, memang telah dilakukan upaya menghasilkan psikologi Islami, yaitu dengan dilakukannya International Symposium on Islam and Psychology di Riyadh (1978) dan terbitnya The Dilemma of Muslim Psychologist karya Malik B. Badri (1979). Itu pun isunya tidak benar-benar kuat sehingga sebagai gerakan ia belum mampu melibatkan banyak orang untuk mengkaji dan mengembangkannya lebih lanjut. Itu artinya psikologi Islami lengkap dengan namanya baru berusia sepuluh tahun lebih sedikit. Menurut kami, dibutuhkan waktu sekitar 10-20 tahun lagi agar aliran psikologi yang diproklamasikan sebagai mazhab kelima di Jombang (1997) ini benar-benar diakui oleh “masyarakat psikologi di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya.”

Lebih dari sekadar waktu, yang lebih utama adalah usaha dengan sungguh-sungguh. Dengan usaha yang sungguh-sungguh insya Allah hasilnya akan nyata. Suatu keadaan akan berubah (tepatnya diubah oleh Tuhan) bila manusia berupaya mengubahnya. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila mereka berupaya mengubah keadaan mereka. Masih menurut-Nya, setiap urusan semestinya ditangani dengan kesungguhan atau dalam bahasa sekarang secara profesional. Allah berfirman: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Alam Nasyroh, 94, ayat 7). Dari sini kami berpandangan bahwa menjadi tuntutan bagi kita yang selama ini memilih psikologi Islami sebagai minat kajian untuk secara bersungguh-sungguh melakukan upaya terobosan untuk mengembangkan terus wacana psikologi Islami.

Langkah yang dapat ditempuh bermacam-macam, seperti mengadakan dan mengikuti kegiatan ilmiah (seminar, simposium, lokakarya, konferensi, temu ilmiah), terlibat atau menangani lembaga yang bergerak dalam pengembangan psikologi Islami (misalnya Asosiasi Psikolog Muslim Internasional, Asosiasi Psikologi Islami Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia), terlibat dalam penelitian psikologi Islami, ikut serta menulis pemikiran psikologi Islami dalam bentuk artikel, karya tulis ilmiah, maupun buku. Tentu juga sampai mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dan menyebarkannya ke masyarakat. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang apa yang perlu dilakukan untuk pengembangan psikologi Islami, dapat dibaca dalam buku Agenda Psikologi Islami (Fuad Nashori, 2002). Bila kesungguhan ini ada di hati kita, insya Allah perkembangan dan perbaikan berjalan secara lancar.

Siapa yang harus melakukannya? Terhadap pertanyaan ini, sepandapat dengan Bastaman (2005) penulis berpandangan bahwa generasi muda, dengan rentang masa depannya yang lebih panjang, diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam pengembangan psikologi Islami, baik pada fase perumusan teori, penelitian, maupun fase penerapan. Dengan semangat yang lebih berkobar, dengan tenaga yang lebih penuh, generasi muda peminat psikologi Islami diharapkan terlibat dalam berbagai fase pengembangan psikologi Islami.

Sekalipun demikian, baik generasi muda, generasi tengah baya, maupun generasi yang lebih tua, diharapkan melakukan peran yang dapat dimainkan. Penulis percaya bahwa ilmu –dalam hal psikologi Islami, dapat mencapai bentuknya yang lebih sempurna, dengan mengakumulasi berbagai pemikiran, penelitian, dan aplikasi.

Metode-metode Pengembangan Psikologi Islami

Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami, kita berhadapan dengan tuntutan agar pengetahuan yang didasarkan pada pandangan dunia Islam (yang berasal dari kitab suci, alam semesta, maupun diri manusia) dikonstruksi sehingga dapat digolongkan sebagai ilmu yang kokoh. Contoh realitas yang patut dikonstruksi adalah orang-orang yang dekat dengan baitullah merasa tentram dan ingin lagi mengunjunginya. Bagaimana meneorikan fakta ini?

Menurut penulis, tantangan pengembangan teori ini sangat berat, karena lemahnya kreativitas di kalangan akademisi psikologi khususnya dan akademisi dunia ketiga umumnya serta belum adanya usaha untuk keluar tradisi lemah di atas. Sepemahaman kami, sangat jarang (kalau tidak boleh dikatakan tidak ada) dosen atau mahasiswa psikologi yang menunjukkan teorinya yang orisinal. Hampir semuanya mengatakan menurut ini menurut itu. Saatnya telah tiba untuk merumuskan teori psikologi Islami.

Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami ini, ada satu hal yang sebenarnya menjadi sejenis kesepemahaman antar pengkaji psikologi Islami, yaitu meletakkan kitab suci atau wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai sumber pengembangan ilmu. Perbedaan utama antara sains Islam atau studi Islam dengan sains sekuler adalah posisi kitab suci. Sains Islam jelas-jelas meletakkan wahyu (al-Qur’an dan al-hadits) sebagai sumber untuk perumusan ilmu. Baik Abdul Mujib (2005) maupun Hanna Djumhana Bastaman (2005-a) berpandangan sepaham bahwa ayat-ayat kauniyah, wahyu, atau al-Qur’an dan al-Hadists adalah sumber penting bagi pengembangan psikologi Islami.

Page 39: Beberapa Jalan an Ide

Penulis sendiri --walaupun dilihat dari latar belakang keilmuan lebih dekat dengan sudut pandang Hanna Djumhana Bastaman (2005-a)-- tetap meletakkan wahyu sebagai sumber utama pengembangan ilmu. Oleh karena dalam berbagai kesempatan penulis mengusulkan agar dikembangkan pola objektivikasi teori dan rekonstruksi teori dalam pengembangan psikologi Islami. Penjelasan tentang dua hal ini penulis sampaikan dalam buku Potensi-potensi Manusia (Nashori, 2005). Objektivikasi adalah usaha untuk menjadikan pandangan yang berasal dari al-Qur’an dan al-hadits sebagai pandangan bersama manusia, yang diwujudkan dalam suatu rumusan teori yang dapat diukur. Sebagai contoh adalah tafakkur, yaitu berpikir mendalam tentang segala sesuatu yang ditandai usaha untuk mengkaitkan seluruh keadaan dan kejadian dengan Sang Pencipta. Rekonstruksi teori adalah usaha untuk menata ulang berbagai pandangan yang berasal dari pemahaman terhadap wahyu dengan apa yang ditemukan dari berbagai pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan moderen. Sebagai contoh, dalam konsep psikologi Barat, tidur yang berkualitas adalah tidur yang nyenyak dengan waktu yang cukup. Pandangan ini kalau direkonstruksi akan menghasilkan pandangan bahwa seseorang akan tidur dengan berkualitas bila ia memperoleh kesempatan untuk berada dalam naungan Tuhan, yang ditandai oleh diperolehnya mimpi-mimpi yang benar.

Dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Psikologi Islami dengan Pendekatan Studi Islam”, Abdul Mujib (2005) berpandangan bahwa pola-pola yang sejauh ini direkomendasikan Hanna Djumhana Bastaman (2005-b), di antaranya similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, ditinggalkan. Penulis sendiri berpandangan bahwa pola-pola sebagaimana yang direkomendasikan oleh Bastaman tetap kita perlukan sebagai proses mengakrabkan para peminat psikologi Islami dengan wacana integrasi Islam dan psikologi. Dalam pandangan penulis, langkah-langkah berupa kritik teori terhadap psikologi Barat, ayatisasi (atau similarisasi), pararelisasi, komplementasi, dan komparasi berguna untuk mengantarkan kita pada terwujudnya psikologi Islami. Dengan keimanan yang dimilikinya, penulis yakin bahwa hal semacam ini akan menghadirkan adanya ilham atau insight bagi peminat psikologi Islami untuk bertanya tentang bagaimana pandangan Islam tentang manusia. Sekalipun demikian, para pengguna pola similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, hendaknya menyadari sejak awal bahwa pola-pola tersebut adalah pola antara, bukan pola ideal.

Apa yang Diperjuangkan Psikologi Islami?

Salah satu isu yang sering disampaikan oleh sejumlah orang kepada penulis adalah untuk apa psikologi Islami dimunculkan? Apa psikologi yang ada selama ini tidak cukup untuk menjadikan manusia lebih mengenal dan mengembangkan dirinya?

Secara garis besar, psikologi Islami dimaksudkan untuk melakukan pemberda-yaan manusia sehingga kualitas hidup manusia meningkat. Psikologi Islami akan mengingatkan kepada kita bahwa manusia harus dipahami sebagai makhluk yang multi dimensi. Hanya dengan mengerti hal inilah dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan manusia. Dalam perspektif psikologi Islami, manusia bukan semata makhluk fisik, psikologis (kognitif, afektif), social, tapi juga moral-spiritual. Sejauh ini alat yang digunakan psikologi moderen untuk memahami kebenaran tentang siapa sesungguhnya manusia adalah indra, akal budi, dan belum menggunakan alat yang melekat pada manusia, yaitu qalbu dan yang lurus dengan fitrah manusia dan berada di luar diri manusia, yaitu wahyu. Resiko dari tidak digunakannya wahyu dan qalbu adalah kegagalan dalam memahami manusia.

Dalam perspektif psikologi Barat moderen pada umumnya, hal-hal yang bersifat spiritual kurang mendapat perhatian yang memadai. Padahal dalam perspektif Islam, manusia tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual (Allah, malaikat, jin, setan/iblis). Jelas bahwa manusia diciptakan Allah sang penentu hidup manusia. Hal-hal semacam ini diabaikan sehingga ketika muncul gejala-gejala spiritual, aliran psikologi Barat gagal untuk memahaminya dan karenanya gagal dalam menanganinya. Sebagai contoh apa yang dikatakan psikologi Barat bila ada seorang pemikir besar yang sangat populer kemudian memilih jalan sufi dengan hidup di desa yang jauh dari keramaian? Fenomena ini akan sulit dijelaskan oleh psikologi Barat secara spiritualistik. Dalam pandangan mereka hal itu dilakukan karena adanya kepuasan dengan hidup secara baru. Dalam perspektif Islam, semua itu dilakukan untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi dalam hal hubungan mereka dengan Allah ‘Azza wa jalla. Contoh yang lain lagi adalah fenomena senyum Amrozi. Bagaimana mungkin seseorang yang menerima vonis dihukum mati bisa tersenyum. Senyum Amrozi ini sering ditafsirkan sebagai senyum orang yang sudah tidak dapat mengendalikan kesadarannya. Dalam perspektif psikologi Islami, sebagaimana diungkapkan Achmad Mubarok (2005), senyum Amrozi berdimensi spiritual, berdimensi vertikal. Ia adalah ungkapan kemenangan atas perjuangan membela kebenaran melawan terorisme kuat Amerika Selanjutnya, alat yang melekat pada diri manusia yang perlu diberdayakan adalah qalbu. Dengan qalbu yang bersih, tajam, dan bercahaya dimungkinkan bagi seseorang untuk memahami kebenaran-kebenaran atau pengetahuan yang bersifat hakiki maupun yang tak tampak oleh mata. Dengan qalbu yang tajam dimungkinkan bagi profesional psikologi untuk memahami kondisi psikologis klien atau mitranya secara efektif. Pertemuan/proses konseling dalam upaya memahami keadaan mereka tidak harus dilakukan dalam beberapa kali. Dengan menembus dada atau jantung mereka terbentang pengetahuan tentang mereka melalui satu dua kali pertemuan.

Dengan ketajaman qalbu yang tingkat tinggi berkembang kemampuan-kemam-puan yang lebih tinggi, di antaranya adalah pengetahuan parapsikologis (prekognisi, retrokognisi, clairvoyance) maupun kekuatan parapsikologis (psikokinetik, bilocation, dsb). Muhammad SAW dan Khidhir adalah contoh manusia yang sangat intuitif!

Yang menjadi persoalan adalah peradaban moderen sangat ini tidak kondusif untuk mengembangkan kemampuan qalbu itu. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di peradaban milenium ketiga ini selalu mengasah kemampuan akal budi dan melupakan pengasahan intuisi. Kami yakin bahwa apabila qalbu dihidup-hidupkan dalam diri manusia, maka manusia akan berkembang lebih baik dan lebih optimal. Dengan cara inilah pemberdayaan manusia dapat lebih dioptimalkan.

Persoalan yang lain berkaitan dengan tidak berkembangnya hati nurani atau qalbu manusia adalah adanya penghalang yang sengaja dilakukan manusia sehingga menjadikan hati nurani tidak atau kurang berfungsi secara optimal. Secara spiritual, hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Ahli tafsir ini berpandangan bahwa hati nurani tidak berfungsi karena hati kita diselubungi oleh bintik-bintik atau noda-noda hitam. Noda hitam ini adalah dosa-dosa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya maupun terhadap Allah. Bila bintik hitam ini terus bertambah, maka hati nurani semakin tidak berfungsi. Ia seperti barang bening dan bercahaya, namun karena cahayanya dihalangi oleh

Page 40: Beberapa Jalan an Ide

bintik hitam, maka ia tidak memancar keluar. Bila seseorang menginginkan cahaya itu menampak keluar, maka proses pertama adalah menghilangkan bintik hitam; dan selanjutnya mempertajam cahaya itu dengan perbuatan baik terhadap Allah dan sesama.

Alat di luar diri manusia yang lurus dengan fitrah manusia adalah wahyu Allah. Wahyu berisi potret tentang siapa manusia. Lebih dari itu, ia pun berisi petunjuk bagaimana kita memperlakukan manusia. Dengan wahyu kita juga memperoleh pengetahuan tentang rentang perkembangan hidup manusia, sifat asal manusia, kemungkinan-kemungkinan manusia (fujur dan takwa), hal-hal yang dapat menja-dikannya melenceng dari sifat aslinya, dan tentu cara-cara untuk tetap berada dalam jalur yang lurus dan benar.

Penutup

Penjelasan-penjelasan di atas adalah beberapa pokok pikiran yang dimaksudkan untuk merespon sejumlah isu yang berkembang berkaitan dengan pengambangan wacana psikologi Islami. Sebagian isu-isu yang ditanggapi telah dibicarakan oleh Hanna Djumhana Bastaman dan Abdul Mujib yang ditulis dalam Jurnal Psikologi Islami edisi 1 (2005).Demikian.

Bagaimana menurut Anda? [FN]