barang milik negara sebagai underlying...
TRANSCRIPT
BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI UNDERLYING ASSET
PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
YULI NOVIYARNI
NIM: 11140480000103
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI UNDERLYING ASSET
PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
YULI NOVIYARNI
NIM: 11140480000103
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
iii
ABSTRAK
Yuli Noviyarni. NIM 11140480000103. “BARANG MILIK NEGARA
SEBAGAI UNDERLYING ASSET PENERBITAN SURAT BERHARGA
SYARIAH NEGARA”. Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019M. Ix
+66 Halaman +4 daftar pustaka +20 halaman lampian.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai penggunaan barang milik
negara yang dijadikan sebagai underlying asset dalam penerbitan surat berharga
syariah negara/sukuk. Optimalisasi barang milik negara yang di underlyingkan
sesuai dengan dasar hukum penerbitan surat berharga syariah negara yang terdiri
dari: 1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah
Negara; 2) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Pembendaharaan
Negara; dan 3) Fatwa DSN-MUI mengenai penerbitan SBSN.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan penelitian yuridis-normatif dan yuridis-empiris. Penelitian yang
dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini,
peneliti juga melakukan penelitian langsung kelapangan dengan cara observasi
dan wawancara kepada pihak yang berhubungan, yaitu M. Syihabudin S.E.,
Selaku eselon III Direktorat Barang Milik Negara pada Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara ditegaskan bahwa penjualan
aset Negara pada dasarnya hanya penjualan hak manfaat (beneficial title) tanpa
disertai dengan penyerahan fisik serta pemindahan hak kepemilikan (legal title).
Barang Milik Negara bukan dijadikan sebagai objek perdagangan ataupun
jaminan (collateral), melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa
hak mendapatkan manfaat. Setelah SBSN dijual maka pemerintah wajib membeli
kembali SBSN tersebut, agar meminimalisir terjadinya wanprestasi ataupun gagal
bayar (default) maka pemerintah harus lebih memberikan kepastian hukum baik
terhadap investor maupun barang milik negara.
Kata Kunci: Barang Milik Negara, Underlying Asset, SBSN, Utang Luar Negeri.
Pembimbing Skripsi: Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka: 1993-2018
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan berkah dan nikmat
kesehatan sehingga skripsi yang berjudul: “BARANG MILIK NEGARA
SEBAGAI UNDERLYING ASSET PENERBITAN SURAT BERHARGA
SYARIAH NEGARA” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Shalawat serta salam
senantiasa dipanjatkan pada Rasulullah Muhammad Saw. beserta keluarga dan
sahabat-sahabatnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada para pihak
yang telah membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini, kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., Ketua Program Studi
Ilmu Hukum, dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, dosen pembimbing
skripsi yang telah menyediakan waktu serta memberikan bimbingan dan
dukungan dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi.
4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Kepala Perpustakaan Universitas Indonesia
yang telah mengadakan bahan-bahan pustaka untuk kelancaran penulisan
skripsi.
5. Direktorat Jendral kekayaan Negara khususnya Eselon III Direktorat
Barang Milik Negara Bapak Muhammad Syihabudin, S.E. telah
v
membantu dalam mengumpulkan data peneliti sehingga dapat
diselesaikannya skripsi.
6. Kepada pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-
persatu. Tidak ada yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa
kalian kecuali dengan ucapan terimakasih dan doa.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Akhir kata,
peneliti mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 06 Juni 2019
Yuli Noviyarni
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 9
E. Metode Penelitian................................................................. 9
F. Sistematika Penelitian .......................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UNDERLYING ASSET,
SBSN DAN BARANG MILIK NEGARA .............................. 15
A. Kerangka Konseptual ........................................................... 15
B. Kerangka Teori..................................................................... 29
C. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu .................................. 32
BAB III PENILAIAN KEMBALI ASET MILIK NEGARA
SEBAGAI UNDERLYING ASSET ......................................... 34
A. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ................................. 34
1. Visi dan Misi dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 35
2. Tujuan dan Fungsi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 35
B. Kebijakan Penilaian Kembali Barang Milik Negara ............ 36
C. Potensi Barang Milik Negara Sebagai Dasar Penerbitan
Sukuk ................................................................................... 43
D. Klasifikasi Utang Pemerintah .............................................. 45
vii
BAB IV BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI TRANSAKSI
DASAR PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA ..................................................................................... 48
A. Analisis yuridis barang milik Negara sebagai underlying
asset penerbitan sukuk berdasarkan peraturan di
Indonesia............................................................................... 48
B. Ketentuan barang milik negara untuk dijadikan sebagai
underlying asset...................................................................... 54
C. Penggunaan barang milik Negara sebagai underlying
asset........................................................................................ 56
D. Permasalahan sukuk default pada BMN................................ 63
E. Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagai Underlying
Asset SBSN berdasarkan Keputusan Mahkamah
Konstitusi............................................................................... 65
BAB V PENUTUP.. ................................................................................ 73
A. Kesimpulan .......................................................................... 73
B. Rekomendasi ........................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 76
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 ................................... 41
Tabel 3.2 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 ................................... 47
Tabel 3.3 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 ................................... 49
Tabel 3.4 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018 ................................... 50
Tabel 3.5 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018 ................................... 51
Tabel 3.6 Materi Marketing Sukuk SR-011 Kemenkeu................................. 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Pembendaharaan Negara, utang (utang negara) adalah
“sejumlah uang yang wajib dibayar pemerintah pusat dan atau kewajiban
pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perjanjian atau berdasarkan sebab
lain yang sah”. Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri adalah
sebagian atau total utang suatu negara yang diperoleh dari kreditur di luar
negara tersebut.
Utang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan
pembangunan yang sangat signifikan bagi negara berkembang. Namun
demikian, hasil studi tentang dampak utang terhadap pembangunan
ekonomi menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa ilmuwan
memperoleh kesimpulan bahwa utang luar negeri justru telah
menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara
pengutang besar, sementara studi lain menyimpulkan sebaliknya, yaitu
utang luar negeri menjadi salah satu faktor yang secara signifikan
mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara pengutang.1
Masalah utang luar negeri (ULN) sebagai sumber pembiayaan
pembangunan (deficit budged) telah menjadi perdebatan klasik, baik
dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow, posisi
utang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai
pembangunan ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri
merupakan vicious cyrcle dalam pembangunan, khususnya negara-negara
berkembang. Tercatat beberapa kali dunia mengalami debt crisis yang
1 Chowdurry, Khorshed dan Amnon L. Utang Eksternal dan Implikasinya Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.2 Nomor 2 (Yogyakarta: FE UII,
1997), h. 337.
2
hebat, misalnya tahun 1930-an, 1980-an, dan 1990-an hingga saat ini.
Penyelesaian utang luar negeri masih merupakan problematika yang
kompleks dan rumit untuk dipecahkan.2
Dari data yang ada, utang pemerintahan presiden Jokowi jauh
melampaui pemerintahan sebelumnya. Posisi utang pemerintah saat ini
yakni sebesar Rp. 3.800 Triliun. Dikabarkan ada surat utang terbaru yang
dibeli senilai Rp. 199 Triliun jadi hampir Rp. 4.000 Triliun yang berarti
dua kali lipat pembiayaan APBN. Sebagai perbandingan, di era
pemerintahan presiden Soeharto mewarisi utang Rp. 551,4 Triliun. Dimasa
Bj. Habibie, saat ekonomi Indonesia tertekan berat, menambah utang
sekitar Rp. 380 Triliun. Di era Gus Dur meninggalkan utang Rp. 200
Triliun, Megawati Rp. 27 Triliun dan SBY yang memerintah selama 10
tahun Rp. 1.400 Triliun.3 Itu berarti dalam kurun waktu 2,5 tahun era
kepemimpinan Jokowi sudah mewarisi utang ½ dari selama 47 tahun
utang kepemerintahan Soeharto s/d SBY (1967-2014) yakni sebesar Rp.
2.800 Triliun.
Berdasarkan laporan data dari Bank Indonesia posisi utang luar
negeri menurut posisi peminjam terbagi menjadi 2 yakni pertama,
pemerintah dan bank sentral, kedua yaitu swasta yang meliputi bank dan
non bank (LKBB/non bank financial corporations dan perusahaan bukan
lembaga keuangan/non financial corporations). Tercatat dalam laporan
statistik utang luar negeri Indonesia per Desember 2017 mencapai
$352.247 M terbagi atas $180.622 M utang pada pemerintah dan bank
sentral dan $171.625 M pada sektor swasta. Bank Indonesia memandang
perkembangan ULN pada triwulan IV 2017 masih terkendali. Rasio ULN
Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir triwulan IV
2017 tercatat stabil di kisaran 34%. Selain itu, rasio utang jangka pendek
2 MB Hendrie Anto, “Perspektif Islam Tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang Luar
Negeri Negara-negara Islam.” UNISIA No. 43/XXIV/2001, h. 479
3 Parlementaria, Melepas Ketergantungan Hutang, Mimpikah? edisi 153 th.XLVII 2017,
DPR-RI press, Jakarta, h. 6.
3
terhadap total ULN juga relatif stabil di kisaran 13%.4
Dalam Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara mengatur mengenai batas utang negara
sebagaimana tertulis: “Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan
sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-
undang tentang APBN”. Dengan penjelasan bahwa defisit anggaran
dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari produk domestik bruto.
Maka jika dihitung dalam jumlah tersebut utang Indonesia berada pada
kisaran 27,9% dari batas maksimal.
Dalam menyelesaikan utang Negara, salah satu jalan yang
ditempuh oleh pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan khususnya,
menjadikan aset negara sebagai objek underlying asset penerbitan surat
utang syariah yaitu berupa sukuk. Barang Milik Negara (selanjutnya
disingkat BMN) digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN). Didalamnya memberikan pengertian sukuk
sebagai surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset surat berharga syariah negara
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Dalam kasus utang Negara ada sejumlah masalah hukum yang
belum selesai bahkan cenderung berada dalam situasi ketidakpastian
hukum salah satunya adalah uji Materiil yang diajukan terkait dengan
kesalahpahaman atas penggunaan BMN sebagai underlying Aset atas
penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Mahkamah Konstitusi, berdasarkan putusan Nomor 143/PUU-
VI1I2009 tanggal 7 Mei 2010 tentang Uji Materiil atas penggunaan BMN
sebagai underlying asset SBSN sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat
(1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2008, telah memutuskan antara lain bahwa
4 http://www.bi.go.id/en/iru/economic-data/external-debt/Documents/SULNI-Feb-2018.pdf,
diakses pada 23 februari 2018.
4
terhadap dalil pemohon yang menyatakan BMN sebagai dasar penerbitan
SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan
umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Aset sukuk merupakan barang milik negara yang memiliki nilai
ekonomis seperti tanah/bangunan/projek, dan jelas dari segi fisik dan
nilainya. Penggunaan aset ini dapat dilakukan dengan cara dijual,
disewakan, atau cara lain yang mengacu kepada prinsip syariah.
Penggunaan aset negara sebagai underlying asset hanya dalam bentuk hak
manfaat (beneficial title) dan tidak ada kewajiban untuk penyerahan fisik
serta pengalihan/pemindahan hak kepemilikan (legal title). Jadi tidak
memengaruhi posisi fisik aset yang menjadi underlying (hanya sebagai
assesoir dan instrumen yang menjadi dasar kontrak). Imbal hasil sukuk
juga telah ditetapkan dalam APBN. Apabila terjadi default/gagal bayar,
pemerintah wajib membeli kembali aset tersebut.
Untuk optimalisasi aset negara, pengelola aset mempunyai peran
strategis sebagai pembuat kebijakan. Pengelola aset dalam memanfaatkan
barang milik negara dapat melakukan sewa, pinjam pakai, kerja sama
pemanfaatan, dan bangun guna serah/bangun serah guna tanpa mengubah
status kepemilikan. Dalam hal aset negara yang dijadikan underlying,
basis data harus baik, tertata, dan memiliki kekuatan legal sehingga
pengelola mengetahui aset apa saja yang dapat dioptimalkan. Hal ini
diperkuat oleh presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2017
Tentang Penilaian Kembali Barang Milik Negara/Daerah.
Hingga tahun 2018 jumlah Surat Berharga Negara (SBN) yang
sudah diterbitkan yakni sebesar Rp.251,336 Triliun. Sebesar 38% SBSN
diantaranya didominasi oleh investor asing. Khusus untuk tahun 2016,
terdapat SBN jatuh tempo senilai Rp.228,5 triliun, lalu SBN netto senilai
Rp.327,224 triliun sehingga dibutuhkan Rp.555,72 triliun.5
5 http://wikidpr.org/rangkuman/bmn-sebagai-underlying-asset-penerbitan-sbsn-rapat-
kerja-komisi-11-dengan-menteri-keuangan-dan-dirjen-pengelolaan-pembiayaan-dan-risiko,
diakses pada 26 Februari 2018.
5
Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Pembendaharaan Negara menyatakan:
1) Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai
Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama
pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan.
2) Bangunan milik negara/daerah harus dilengkapi dengan bukti
status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
3) Tanah dan bangunan milik negara/daerah yang tidak
dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi instansi yang bersangkutan, wajib diserahkan
pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/ Gubernur/Bupati/
Walikota untuk kepentingan penyelenggaraan tugas
pemerintahan negara/daerah.
4) Barang milik negara/daerah dilarang untuk diserahkan kepada
pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah
Pusat/Daerah.
5) Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan
jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
6) Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi
pengelolaan barang milik negara/daerah diatur dengan
peraturan pemerintah.
Diktum Pasal 49 Ayat (4) telah jelas menyatakan bahwa barang
milik Negara/daerah dilarang diserahkan kepada pihak lain sebagai
pembayaran atas tagihan pemerintah pusat/daerah. Dan dalam Pasal 5
menyatakan bahwa barang milik Negara/daerah dilarang digadaikan atau
dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
Kebijakan BMN sebagai jaminan telah menuai pro dan kontra di
kalangan masyarakat karena dianggap sebagai privatisasi BMN. Sebagian
masyarakat berpendapat bahwa BMN adalah aset negara yang harus tetap
dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak
6
mendatangkan manfaat karena terus merugi. Namun ada pula kalangan
masyarakat yang berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya
memiliki BMN, yang penting BMN tersebut dapat mendatangkan manfaat
yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
Langkah privatisasi merupakan pilihan terakhir jika pemerintah
dalam kondisi yang sangat memerlukan dana. Program privatisasi juga
harus mempertimbangkan social benefit, kepentingan negara dan rasa
keadilan sosial. Jika dalam privatisasi suatu BUMN tidak
memperhitungkan social benefit, kepentingan negara dan rasa keadilan
sosial maka secara politis dan ekonomis berarti negara dan masyarakat
dirugikan, akibatnya sering terjadi reaksi atau gejolak masyarakat terhadap
privatisasi tersebut.6
Polemik tentang meringankan utang luar negeri atau moratorium
semakin merebak seiring bertumbuhnya angka utang. Indonesia sebagai
negara yang juga masih tergantung dalam kemelut utang luar negeri harus
bangkit dan setidaknya meminimalisir utang dan mengoptimalkan potensi
pendapatan negara dari pajak, keuntungan BMN, serta potensi di masing-
masing yang ada di daerah guna untuk mensejahterakan masyarakat
banyak. Menarik untuk dikaji adalah bagaimana status aset negara yang
telah diterbitkan SBSNnya bila pemerintah selaku penerbit sukuk
melakukan wanprestasi atau gagal bayar atas objek BMN yang dijadikan
underlying asset jika diambil hak manfaatnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
lebih dalam melalui prespektif hukum mengenai mekanisme peraturan
perundang-undangan yang mengatur penyelesaian utang luar negeri
Indonesia serta status BMN yang dijadikan underlying asset dalam bentuk
skripsi dengan judul: “BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI
UNDERLYING ASSET PENERBITAN SURAT BERHARGA
SYARIAH NEGARA ”.
6 Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, (Jakarta: Literata Lintas Media,
2003) h. 144.
7
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Utang luar negeri merupakan salah satu cara/kebijakan yang
cukup penting untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat
khususnya masyarakat Indonesia. Bahkan negara adikuasa seperti
Amerika juga tetap melakukan utang dengan negara lainnya. Utang
luar negeri sangat bermanfaat untuk beberapa hal seperti:
pembangunan infrastruktur nasional, menutupi anggaran, modal
pembangunan dan juga dapat membangun hubungan bilateral antar
negara.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat beberapa persoalan berkaitan dengan utang
Indonesia luar negeri sampai saat ini. selanjutnya dalam upaya
memperjelas tahapan serta fokus pembahasan dalam penelitian ini
dilakukan pengidentifikasian masalah. Identifikasi masalah merupakan
kegiatan menemukan sebanyak-banyaknya masalah yang sekiranya
dapat ditemukan jawabannya.7
Terdapat beberapa unsur masalah yang dapat diidentifikasikan
dari pemaparan latar belakang masalah sebelumnya:
a. Dalam segi hukum, perlu diketahui ketentuan yang berlaku dalam
menjadikan BMN sebagai objek underlying asset berdasarkan
Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-
undang Pembendaharaan Negara.
b. Mekanisme peraturan perundang-undangan yang mengatur cara
penyelesaian utang negara luar negeri merupakan pembahasan
yang harus diketahui solusinya.
c. Penghitungan kembali aset kekayaan milik Negara merupakan
kebijakan presiden dalam membantu mengurangi utang Indonesia,
maka perlu dibuat aturan-aturan untuk BMN yang diunderlyingkan
7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. XV, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015) h. 104
8
agar tidak berpindah tangan.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan
yang dimaksud, penulis hanya mengkaji dan membatasinya pada
ruang lingkup penelitian yaitu mengenai mekanisme peraturan
perundang-undangan/kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengatur
mengenai barang milik negara yang merupakan kekayaan Negara
yang dijadikan sebagai underlying asset penerbitan sukuk serta
kebijakan pemerintah jika terjadi default.
3. Perumusan Masalah
Utang Indonesia luar negeri terus meningkat setiap tahunnya.
Berbagai kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk mengurangi angka
utang tersebut. Salah satunya dengan menerbitkan sukuk atau surat
berharga syariah Negara yang menjadikan BMN sebagai objek
underlying asset. Selanjutnya dapat dijabarkan lagi beberapa
pertanyaan penelitian yang ingin dikaji secara lebih lanjut dan
mendalam, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan barang milik negara yang dijadikan sebagai
underlying asset ?
2. Bagaimana mekanisme peraturan perundang-undangan serta
kebijakan-kebijakan pemerinah dalam menjadikan Barang Milik
Negara sebagai Underlying asset?
3. Apa langkah yang dilakukan pemerintah pada Barang Milik
Negara yang diunderlyingkan jika utang tidak dapat terlunasi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memliki tujuan untuk memberikan tambahan literatur
bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi hukum keuangan negara dalam
penanganan masalah penyelesaian utang negara serta kekayaan negara
yang dijadikan jaminan dalam utang luar negeri yang harus sesuai dengan
9
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan khusus penulisan
antara lain:
a. Untuk mengetahui kedudukan barang milik negara yang dijadikan
sebagai Underlying asset untuk utang luar negeri.
b. Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan
dalam menjadikan Barang Milik Negara sebagai Underlying asset.
c. Untuk mengetahui langkah yang dilakukan pemerintah pada BMN
yang telah memiliki sukuk jika tidak dapat terlunasi hutangnya.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya hukum keuangan negara, lebih khusus lagi terkait
dengan penerapan teori-teori hukum terkait pelaksanaan peraturan
keuangan di Indonesia dengan dikeluarkannya aturan-aturan maupun
kebijakan-kebijakan baru tentang barang milik Negara yang dijadikan
sebagai underlying asset penerbitan surat berharga syariah negara di
Indonesia.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat agar
dapat memberikan suatu masukan bagi kementrian keuangan Indonesia
khususnya didalam menjalankan kegiatannya agar selalu patuh dan tunduk
pada peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan pendapat hukum mengenai kekayaan
negara/ barang milik negara yang dijadikan sebagai objek underlying asset
untuk utang.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan Undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-
undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
10
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.8 Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian hukum
normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis.
Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-
undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari
adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan
undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-
Undang Dasar atau regulasi dan Undang-Undang. Hasil dari telaah
tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.9
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian
yuridis-normatif, dan yuridis-empiris. Yuridis normatif yaitu penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.10
Pendekatan ini menggunakan konsepsi
legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-
norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang terkait dengan Barang milik Negara yang di
underlyingkan.11
Sedangkan penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara
mengkaji dan memperjelas kajian hukum penelitian tersebut guna
mendapat hasil penelitian yang objektif dan terperinci dengan cara
melalukan wawancara dengan narasumber dilokasi tempat penelitian.
3. Sumber Data
Dalam upaya meneliti sesuatu diperlukan adanya bahan atau data
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group, 2005) h.93
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ….. h.93-94
10 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006) h. 295
11 Ronny Hanitijo Soemito, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988) h.13-14.
11
yang menjadi dasar pertimbangan serta proposisi yang berguna untuk
menguji serta memverifikasi hipotesa yang ada. Adapun dalam
penulisan skripsi ini diklasifikasikan beberapa data sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif atau memiliki otoritas.12
Bahan hukum
primer terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Pembendaharaan Negara.
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara
4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat
Berharga Syariah Nasional.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak
memiliki otoritas tetapi berkisar atau menjelaskan tentang tema
penelitian. Dalam penulisan skripsi ini bahan hukum sekunder
antara lain: buku hukum, dokumen publikasi hukum dan
ekonomi dalam jurnal ilmiah, skripsi, serta dokumen lain yang
berkaitan dengan tema penelitian seperti wawancara pada
lembaga terkait yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
4. Sumber Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan
masalah yang hendak diteliti.13
Teknis pengumpulan data serta metode
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group, 2005) h.
180.
13 Moh Nazir, Metode Penelitian cet. III (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) h. 211.
12
penelitian disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti sehingga
memiliki persinggungan yang logis antara permasalahan dan upaya
pengejaran terhadap kebenarannya.14
Berdasarkan jenis penelitian sekunder dan metode penelitian
normatif, peneliti melakukan pengumpulan data secara langsung
untuk mendapatkan bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder
sebagaimana dijelaskan diatas. Selain itu, dalam upaya pengumpulan
data digunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue
approach), pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan
teoritis (conceptual approach). Pendekatan peraturan perundang-
undangan merupakan pendekatan dalam level dogmatif dan sadar
hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
memahami hierarki dan asas-asas yang terkandung didalamnya.
Selanjutnya, pendekatan konseptual adalah pendekatan yang
didasarkan pada teori, asas dan prinsip yang terkandung didalam
hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.15
Ketiga pendekatan tersebut digunakan dengan tujuan untuk
mengkaji secara tuntas tentang Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Pembendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional serta kebijakan-
kebijakan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan masalah piutang
negara.
5. Subjek penelitian
Dengan dirumuskannya judul penelitian secara implisit maupun
eksplisit pihak yang menjadi subjek penelitian ini antara lain: Negara
Indonesia cq Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
6. Teknik Pengelolaan Data dan Analisa Data
14
Restu Kartika Widi, asas-asas metode penelitian (Yoyakarta: Graha Ilmu, 2010) h. 237
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group, 2005)
hal.135-177
13
Penafsiran data merupakan pencarian pengertian yang lebih luas
dari penemuan-penemuan yang ada.16
Artinya, satuan dari data yang
berhasil diperoleh diberikan pengertian yang lebih luas dengan
membagi variable data serta komponen yang terkandung didalamnya.
Dengan demikian data yang ada dipergunakan untuk mendapatkan
hasil penelitian yang valid.
Adapun analisis data yang menggunakan metode analisis
komparatif deskriptif yaitu dengan upaya membandingkan antara
muatan data satu dengan data yang lainnya setelah semua data
dideskripsikan secara rigid dan terperinci.
7. Teknik Penelitian
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2017.
F. Sistematika Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini peneliti membuat sistematika penulisan
sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang mencakup
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review
studi terdahulu, kerangka teoritis dan kerangka konseptual,
metode penelitian dan sitematika penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM
Bab ini mencakup pengertian surat berharga syariah negara,
underlying asset, konsep pengelolaan barang milik negara,
tinjauan (review) kajian terdahulu, serta teori-teori hukum
yang berkaitan mengenai penelitian ini.
16
Moh Nazir, Metode Penelitian cet. III (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) hal 437.
14
BAB III DATA PENELITIAN
Bab ini membahas tentang profil direktorat jendral
kekayaan Negara, kebijakan penilaian kembali dan besaran
nilai revaluasi barang milik negara pada 78
kementerian/lembaga Negara. Besaran utang dalam dan
luar negeri pemerintah, serta potensi barang milik Negara
sebagai dasar penerbitan sukuk.
BAB IV BARANG MILIK NEGARA YANG DIJADIKAN
SEBAGAI UNDERLYING ASSET PENERBITAN
SBSN
Bab ini menganalisa mengenai peraturan-peraturan serta
kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap barang milik
Negara yang dijadikan dasar transaksi untuk penerbitan
sukuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Pembendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,
ketentuan/persyaratan dari BMN, serta mekanisme default
di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Bab ini mencakup kesimpulan dan rekomendasi atas
penelitian berikut
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG UNDERLYING ASSET, SBSN DAN
BARANG MILIK NEGARA
A. Kerangka Konseptual
1. Surat Berharga Syariah Negara
Surat berharga syariah negara yang biasanya disingkat
menjadi SBSN sudah menjadi salah satu investasi yang telah dikenal
oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 2002, dan instrumen investasi
syariah ini dulunya disebut dengan Obligasi Syariah. SBSN atau
sukuk negara ini adalah suatu instrumen utang piutang tanpa riba
sebagaimana dalam obligasi, di mana sukuk ini diterbitkan
berdasarkan suatu aset acuan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Sukuk sebenarnya merupakan surat berharga yang diterbitkan dan
merepresentasikan kepemilikan investor atas aset yang menjadi
dasar penerbitan sukuk (underlying asset) tanpa melupakan
penerapan prinsip-prinsip syariah.
Pengembalian atau pembagian terkait dengan aset, akad dan
tujuan pendanaan umumnya berupa imbalan yang berasal dari uang
sewa (ujrah), fee margin, bagi hasil atau sumber lainnya sesuai
dengan akad yang telah disepakati. Maka tidak dikenal istilah bunga
dalam sukuk. Dalam konsep sukuk, perdagangan obligasi bukan
dinilai sebagai surat utang, namun sebagai penjualan atas
kepemilikan aset yang menjadi dasar penerbitan.
Ditinjau dari segi jenis akadnya, berdasarkan Standar Syariah
The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutons
(AAOIFI), sukuk dibagi menjadi sembilan jenis, yaitu:1
1 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Ekonisia. 2008)
h.301
16
a. Sukuk Ijarah: adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau
jasa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang atau
jasa itu sendiri. Sukuk Ijarah adalah sukuk yang diterbitkan
berdasarkan akad ijarah. Sukuk Ijarah terdiri dari; sukuk
kepemilikan aset berwujud yang disewakan, sukuk kepemilikan
manfaat dan sukuk kepemilikan jasa.
b. Sukuk Mudharabah: adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan
perjanjian atau akad mudharabah dimana satu pihak menyediakan
modal (rab al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan
keahlian (mudharib), keuntungan dari kerja sama tersebut akan
dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui
sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
c. Sukuk Salam: sukuk yang diterbitkan dengan tujuan untuk
mendapatkan dana untuk modal dalam akad salam, sehingga
barang yang akan disediakan melalui akad salam menjadi milik
pemegang sukuk.
d. Sukuk Musyarakah: adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan
perjanjian atau akad musyarakah dimana dua pihak atau lebih
bekerja sama menggabungkan modal untuk membangun proyek
baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai
kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul
ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal
masing-masing pihak.
e. Sukuk Istishna: adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan
perjanjian atau akad istishna’ dimana para pihak menyepakati
jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun
harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi proyek/barang
ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
f. Sukuk Murabahah: adalah sukuk yg diterbitkan berdasarkan
prinsip jual-beli, penerbit sertifikat sukuk adalah penjual
17
komoditi, sedangkan investornya adalah pembeli komoditi
tersebut.
g. Sukuk Wakalah: adalah sukuk yang merepresentasikan suatu
proyek atau kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan akad
wakalah, dengan menunjuk agen (wakil) tertentu untuk
mengelola usaha atas nama pemegang sukuk.
h. Sukuk Muzaraah: sukuk yang diterbitkan dengan tujuan
mendapatkan dana untuk membiayai kegiatan pertanian
berdasarkan akad muzaraah, sehingga pemegang sukuk berhak
atas bagian dari hasil panen sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian.
i. Sukuk Musaqah: adalah sukuk yang diterbitkan dengan tujuan
menggunakan dana hasil penerbitan sukuk untuk melakukan
kegiatan irigasi atas tanaman berbuah, membayar biaya
operasional dan perawatan tanaman tersebut berdasarkan akad
musaqah, dengan demikian pemegang sukuk berhak atas bagian
dari hasil panen sesuai kesepakatan.
2. Underlying Asset
Underlying berasal dari bahasa Inggris yakni underlie, yang berarti
mendasari. Asset yang juga disebut aset dalam bahasa Indonesia secara
etimologi berarti modal, milik atau sifat yang bernilai.2
Secara
terminology Underlying asset adalah aset yang dijadikan sebagai objek
atau dasar transaksi dalam kaitannya dengan penerbitan sukuk.3 Sukuk
adalah Efek berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang tidak terpisahkan atas aset yang mendasarinya. Prinsip keuangan
syariah mengharuskan adanya underlying asset untuk menghindari
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (online) http://kbbi.web.id/pusat diakses pada
5 Desember 2018.
3 https://www.winmahdi.com/2017/11/Underlying-Asset.html diakses pada 6 Desember
2018.
18
terjadinya transaksi „money for money‟ yang dapat dikategorikan sebagai
riba.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN
atau dapat disebut sukuk Negara adalah surat berharga Negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing. Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau
barang milik Negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa bangunan,
yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan
SBSN.
Sukuk atau obligasi syariah pada dasarnya hampir sama dengan
obligasi konvensional, perbedaannya terletak pada penggunaan konsep
imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung (underlaying transaction) berupa sejumlah aset tertentu yang
menjadi dasar penerbitan obligasi syariah, juga karena adanya perjanjian
antara para pihak yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Underlying asset yang menjadi dasar dalam penerbitan Sukuk
dapat terdiri atas:
a. Aset berwujud tertentu (a‟yan maujudat).
b. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a‟yan) tertentu
baik
yang sudah ada maupun yang akan ada;
c. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada;
d. Aset proyek tertentu (maujudat masyru‟ mu‟ayyan);
dan/atau
e. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin
khashah).
Underlying asset merupakan salah satu aspek utama yang menjadi
pembeda antara penerbitan surat utang dengan sukuk. Tanpa adanya
underlying asset surat berharga yang diterbitkan akan memiliki sifat
19
sebagai instrumen utang, karena tidak terdapat transaksi yang mendasari
penerbitan sukuk tersebut.
Aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk wajib memenuhi
Prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Tujuan penerbitan SBSN yakni:
a. Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran Negara.
b. Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah.
c. Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah
d. Di versifikasi basis investor
e. Mengembangkan alternatif instrumen investasi
f. Mengoptimalkan pemanfaatan barang milik Negara
g. Membiayai pembangunan proyek infrastruktur
h. Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring
oleh sistem keuangan konvensional.
3. Barang Milik Negara
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2014, Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan Barang
Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah.
BMN tersebut tidak terbatas hanya yang berada dan penguasaan
kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah, namun juga yang berada pada
perusahaan negara dan badan hukum milik negara (BHMN) atau bentuk-
bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan statusnya. Khusus
BMN yang berada dalam penguasaan Perusahaan Negara, BHMN dan
Lembaga lainnya yang belum ditetapkan statusnya menjadi kekayaan
negara yang dipisahkan.4
4 Cahyo, J. N. Pengelolaan Barang Milik Negara. Diakses dari
https://jokonurcahyo.wordpress.com /category/pengelolaan-barang-milik-negara-bmn/ pada 5
Oktober 2018.
20
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara, BMN/D
meliputi:
a. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD
dan;
b. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah
Batasan pengertian barang-barang yang berasal dari perolehan
lainnya yang sah adalah sebagai berikut:
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang
sejenis;
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari
perjanjian/kontrak;
c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-
undangan;
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ruang lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, meliputi:
1) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
Perencanaan kebutuhan adalah suatu kegiatan merumuskan
rincian kebutuhan barang milik negara untuk menghubungkan
pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang
berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan
datang. Sedangkan penganggaran merupakan suatu rencana kerja
yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan
moneter standar dan satuan ukuran yang lain yang mencakup
jangka waktu satu tahun.5
5
Cahyo, J. N. Pengelolaan Barang Milik Negara. Diakses dari
https://jokonurcahyo.wordpress.com/category/pengelolaan-barang-milik-negara-bmn/ pada 5
Oktober 2018.
21
2) Pengadaan;
Pengadaan barang/jasa menurut Peraturan Presiden Nomor
16 Tahun 2018 adalah kegiatan pengadaan barang/jasa oleh
Kementerian/ Lembaga/ Perangkat daerah yang dibiayai oleh
APBN/ APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai
dengan serah terima hasil pekerjaan. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Barang Milik
Negara/Daerah, Pengadaan Barang Milik Negara/Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan
dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pelaksanaan pengadaan Barang Milik Negara/Daerah dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah ini.
3) Penggunaan;
Barang Milik Negara/Daerah pada dasarnya digunakan
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam rangka
menjamin tertib dalam penggunaan, pengguna barang harus
melaporkan kepada pengelola barang atas semua BMN/D yang
diperoleh untuk ditetapkan status penggunaannya. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 Tentang Barang
Milik Negara/Daerah, penetapan status penggunaan BMN
dilakukan oleh Pengelola Barang dan BMD oleh
Gubernur/Walikota/Bupati.
4) Pemanfaatan;
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Tentang Barang Milik Negara/Daerah, Pemanfaatan adalah
pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerahyang tidak
digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan/atau
optimalisasi Barang Milik Negara/daerah dengan tidak mengubah
22
status kepemilikan.
Pemanfataan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan oleh:
a) Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada
dalam penguasaannya;
b) Pengelola Barang dengan persetujuan
Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang
berada dalam penguasaan Pengelola Barang;
c) Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang,
untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaan
Pengguna Barang; atau
d) Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang,
untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau
bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan
selain tanah dan/atau bangunan.
Bentuk Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa:6
(1) Sewa;
Sewa Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan oleh
Pengelola Barang. Sewa Barang Milik Negara/Daerah
dilaksanakan terhadap:
(a) Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola
Barang;
(b) Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau
bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna
Barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dan
dilaksanakan oleh Pengelola Barang setelah
mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/ Walikota.
(c) Barang Milik Negara yang berada pada Pengguna
Barang;
(d) Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan /
6 Cahyo, J. N. Pengelolaan Barang Milik Negara. ... diakses pada 5 Oktober 2018.
23
atau bangunan yang masih digunakan oleh
Pengguna Barang; atau;
(e) Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau
bangunan.
Barang Milik Negara/Daerah dapat disewakan
kepada Pihak Lain. Jangka waktu Sewa Barang Milik
Negara/ Daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang. Jangka waktu Sewa Barang Milik
Negara/Daerah dapat lebih dari 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk:
(a) kerja sama infrastruktur, Besaran Sewa atas Barang
Milik Negara/Daerah untuk kerja sama infrastruktur
dapat mempertimbangkan nilai keekonomian dari
masing-masing jenis infrastruktur.
(b) kegiatan dengan karakteristik usaha yang
memerlukan waktu sewa lebih dari 5 (lima) tahun;
atau
(c) ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Formula tarif/ besaran Sewa Barang Milik Negara/
Daerah berupa tanah dan/ atau bangunan ditetapkan oleh
Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara atau
Gubernur/ Bupati/ Walikota, untuk Barang Milik Daerah.
Sewa Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan
berdasarkan perjanjian, yang sekurang-kurangnya memuat:
(a) para pihak yang terikat dalam perjanjian;
(b) jenis, luas atau jumlah barang, besaran Sewa, dan
jangka waktu;
(c) tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan
pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; dan
(d) hak dan kewajiban para pihak.
24
Hasil Sewa Barang Milik Negara/Daerah
merupakan penerimaan negara dan seluruhnya wajib
disetorkan ke rekening Kas Umum Negara/Daerah.
Penyetoran uang Sewa harus dilakukan sekaligus secara
tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
ditandatanganinya perjanjian Sewa Barang Milik
Negara/Daerah. Kecuali, penyetoran uang Sewa Barang
Milik Negara/Daerah untuk kerja sama infrastruktur dapat
dilakukan secara bertahap dengan persetujuan Pengelola
Barang.
(2) Pinjam Pakai
Pinjam Pakai Barang Milik Negara/Daerah
dilaksanakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan. Jangka waktu Pinjam Pakai
Barang Milik Negara/Daerah paling lama 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(3) Kerja Sama Pemanfaatan
Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik
Negara/Daerah dilaksanakan terhadap:
(a) Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola
Barang;
(b) Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang kepada
Gubernur/Bupati/Walikota;
(c) Barang Milik Negara yang berada pada Pengguna
Barang;
(d) Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau
bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna
Barang; atau
(e) Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan.
25
Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik
Negara/Daerah dilaksanakan dengan ketentuan:
(a) Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
untuk memenuhi biaya operasional, pemeliharaan,
dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Barang
Milik Negara/Daerah tersebut;
(b) Mitra Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan melalui
tender, kecuali untuk Barang Milik Negara/Daerah
yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan
langsung;
(c) Penunjukan langsung mitra Kerja Sama
Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah yang
bersifat khusus dilakukan oleh Pengguna Barang
terhadap Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang
memiliki bidang dan/atau wilayah kerja tertentu
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
(d) Mitra kerja sama pemanfaatan harus membayar
kontribusi tetap setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian
keuntungan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ke
rekening Kas Umum Negara/Daerah;
(e) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ditetapkan
dari hasil perhitungan tim yang dibentuk.
(4) Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan dengan
pertimbangan:
(a) Pengguna Barang memerlukan bangunan dan
fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan
26
negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum
dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
(b) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
untuk penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut.
(5) Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Kerja Sama Penyediaan lnfrastruktur atas Barang
Milik Negara/Daerah dilakukan antara Pemerintah dan
Badan Usaha. Badan Usahanya berbentuk:
(a) perseroan terbatas;
(b) Badan Usaha Milik Negara;
(c) Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
(d) koperasi.
5) Pengamanan dan pemeliharaan;
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 Tentang Barang Milik Negara/Daerah Pengelola Barang,
Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib
melakukan pengamanan Barang Milik Negara/Daerah yang
berada dalam penguasaannya. Pengamanan meliputi pengamanan
administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. Barang
Milik Negara/Daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas
nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah dan pengguna
barang.
6) Penilaian;
Penilaian Barang Milik Negara/Daerah dilakukan dalam
rangka penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah,
Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan, kecuali dalam hal untuk:
a. Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai; atau
b. Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah.
27
Penetapan nilai Barang Milik Negara/Daerah dalam rangka
penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah dilakukan dengan
berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Dalam
kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat melakukan Penilaian
kembali atas nilai Barang Milik Negara/Daerah yang telah
ditetapkan dalam neraca Pemerintah Pusat/Daerah.
7) Penghapusan;
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Tentang Barang Milik Negara/Daerah, Penghapusan adalah
tindakan menghapus Barang Milik Negara/Daerah dari daftar
barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang
berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna
Barang, dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab
administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam
penguasaannya.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia
Nomor 50/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penghapusan Barang Milik Negara tertulis bahwasanya ruang
lingkup pelaksanaan penghapusan BMN adalah pengelola barang
dan pengguna barang/kuasa pengguna barang. Pelaksana
penghapusan BMN terdiri atas Pengelola Barang, untuk BMN
berupa: tanah dan/atau bangunan yang diserahkan oleh Pengguna
Barang kepada Pengelola Barang; tanah dan/atau bangunan dan
selain tanah dan/atau bangunan yang berasal dari perolehan lain
yang sah yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang.
Pengelola Barang melakukan Penghapusan BMN dengan
cara menghapus BMN dari Daftar Barang Pengelola (DBPL).
Penghapusan BMN dari DBPL dilakukan dalam hal BMN sudah
tidak berada dalam penguasaan Pengelola Barang karena:
beralihnya kepemilikan, sebagai akibat dari:
28
a. Pemindahtanganan; adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada
upaya hukum lainnya.
b. Pemusnahan; sebab-sebab lain.
Selain alasan Penghapusan BMN dari DBPL dapat pula
dilakukan karena penyerahan kepada Pengguna Barang atau
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebab-sebab lain
merupakan sebab-sebab yang secara normal dapat diperkirakan
wajar menjadi penyebab Penghapusan, seperti rusak berat, hilang,
susut, menguap, mencair, kadaluwarsa, mati/cacat berat/tidak
produktif untuk tanaman/hewan, dan sebagai akibat dari keadaan
kahar (force majeure).
8) Pemindahtanganan;
Pemindahtanganan BMN adalah pengalihan kepemilikan
BMN dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau
disertakan sebagai modal pemerintah. Pemindahtangan BMN
bukan tanah/bangunan bernilai wajar diatas Rp. 100 Miliar oleh
Pemerintah Pusat dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR
sesuai Pasal 55 (1) huruf a, kecuali memang sudah tak sesuai
tataruang & penataan kota, bangunan lama diruntuhkan untuk
diganti bangunan baru, berdasarkan Pasal 55 (3).
Pemindahtanganan BMN bukan tanah/bangunan bernilai
wajar tepat Rp.100 Miliar kebawah dilakukan oleh Pemerintah
Pusat tanpa perlu persetujuan DPR. Dengan demikian, nilai buku
aset tercantum dineraca dan pada subledger (pembukuan) tak
dapat digunakan, karena tak selalu merepresentasikan nilai wajar.
Pada pemerintah pusat, penilaian BMN selain
tanah/bangunan untuk pemanfaatan dan pemindahtanganan
berdasarkan nilai wajar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan sesuai Ayat (3) Pasal 51 dilakukan Penilaian yang
ditetapkan Pengguna Barang sesuai Ayat (1) Pasal 51, selanjutnya
29
digunakan Pengguna Barang untuk BMN tersebut sesuai Ayat (5)
Pasal 51 dan PMK tentang Penilaian BMN.
9) Penatausahaan;
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN sesuai ketentuan
yang berlaku. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
120/Pmk.06/2007 Tentang Penatausahaan Barang Milik Negara
Daftar Barang Milik Negara menyatakan bahwa:
a. Pelaksana Penatausahaan BMN melaksanakan proses
pembukuan.
b. Pelaksana Penatausahaan BMN harus menyimpan dokumen
kepemilikan, dokumen penatausahaan dan/atau dokumen
pengelolaan.
Setiap adanya perubahan data terkait dengan pengelolaan
BMN, dilaporkan kepada Pelaksana Penatausahaan. Pelaporan
adanya perubahan data dilakukan setelah adanya perubahan,
kecuali inventarisasi BMN. Pengelola Barang dapat menolak
usulan pemanfaatan, penghapusan atau pemindahtanganan dari
Kuasa Pengguna Barang/ Pengguna Barang terhadap BMN yang
tidak tercantum dalam daftar barang pada Pengelola Barang.
B. KERANGKA TEORI
Kerangka teori merupakan sebuah gambaran keadaan yang
seharusnya terjadi, oleh karena itu peneliti akan memaparkan teori-teori
yang digunakan dalam penelitian guna menjadi tolak ukur dalam
melakukan analisis suatu permasalahan. Dalam penelitian ini landasan
teori yang penulis gunakan adalah :
1. Teori Kemanfaatan Hukum (Utilitarian Theory)
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi
Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham
pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu
30
kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan
kata lain bagimana menilai suatu kebijakan publik yang
mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak
dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling
objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau
tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau,
sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.7
Bila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum
(baca Kebijakan), maka baik buruknya hukum harus diukur dari
baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu.
Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat
yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya
dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang
tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga
tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori
kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran
hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan
evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-
besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat,
dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang
dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu,
maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan
kesejahteraan Negara.8
2. Teori Efektifitas Hukum
Pengertian Teori efektifitas hukum yang dikemukakan oleh
7 Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kansius, 1998) h.
93-95.
8 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1993) h. 89-90.
31
Soerjono Soekanto adalah inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses pada
hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
pengambilan keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah
hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada
hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam
arti sempit).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum
bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan peraturan perundang-
undangan walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian sehingga pengertian Law Enforcement begitu
popular. Berdasarkan hal tersebut, bahwa masalah pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya.
3. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma.
Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya”
atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang
apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan
yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah
laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan
pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
32
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3
(tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau
dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari
sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk
semua orang di depan pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid
atau utility
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu. Ajaran kepastian hukum ini
berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada
aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya
kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak
lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya
yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.
Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa
hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
33
pustaka yang sudah dilakukan baik berupa skripsi, tesis, jurnal ataupun
buku pedoman dan penelitian-penelitian lainnya. Yakni sebagai berikut:
1. Judul: “Kebijakan Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) Sebagai Instrumen Pembiayaan Defisit APBN”. Skripsi ini
ditulis oleh Fadlyka Himmah Syahputera Harahap, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009. Membahas tentang analisis kebijakan fiskal islam
yang dilakukan pemerintah untuk mendapatkan dana dari investor
luar dan dalam negeri melalui penerbitan SBSN sebagai salah satu
instrumen pembiayaan defisit APBN. Perbedaanya terdapat pada
objek kajian yakni pada penulisan skripsi ini yang disoroti adalah
barang milik negara sebagai objek dasar transaksi dalam penerbitan
surat berharga syariah negara.
2. Judul: “Manajemen Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia”.
Buku ini ditulis oleh Tim Biro Hub. & Studi Inter-Bank Ind,
diterbitkan tahun 2008. Buku ini berisikan perkembangan
kebijakan dalam pinjaman utang luar negeri serta data rill dalam
praktek penerimaan pinjaman luar negeri di Indonesia. Buku ini
juga menganalisa pengaruh positif dan negative dari pinjaman
utang luar negeri terhadap aspek monoter nasional. Didalamnya
juga bertuliskan regulasi tertentu Bank Indonesia dalam mengatur
pinjaman utang luar negeri yang sedikit masyarakat ketahui.
34
BAB III
PENILAIAN KEMBALI ASET MILIK NEGARA
SEBAGAI UNDERLYING ASSET
A. Direktorat Jendral Kekayaan Negara
Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan pada
tahun 2006 menjadikan fungsi pengurusan piutang negara dan pelayanan
lelang digabungkan dengan fungsi pengelolaan kekayaan negara pada
Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara (PBM/KN)
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), sehingga berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi
dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia, DJPLN berubah
menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan KP2LN
berganti nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) dengan tambahan fungsi pelayanan di bidang kekayaan negara
dan penilaian.1
Direktorat Jendral Kekayaan Negara yang menjadi salah satu
subjek penelitian dalam skripsi ini yang beralamat di Jalan Lapangan
Banteng Timur No. 2 - 4, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, DKI
Jakarta yang dikepalai oleh Bapak Isa Rachmatarwata sebagai Direktur
Jendral Kekayaan Negara. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan data
yang berasal dari Direktorat Jendral Kekayaan Negara yang hasil analisis
data tersebut akan dibahas dalam bab selanjutnya.
1. Visi dan Misi dari Direktorat Jendral Kekayaan Negara:
a. Visi
Menjadi pengelola kekayaan negara yang profesional dan
akuntabel untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
1 https://www.kemenkeu.go.id/profil/profil-pejabat/ diakses pada 15 Desember 2018
35
b. Misi
1) Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi
pengeluaran, dan efektivitas pengelolaan kekayaan
negara.
2) Mengamankan kekayaan negara secara fisik,
administrasi, dan hukum.
3) Meningkatkan tata kelola dan nilai tambah pengelolaan
investasi pemerintah
4) Mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan
dapat dijadikan acuan dalam berbagai keperluan.
5) Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efektif,
efisien, transparan, dan akuntabel.
6) Mewujudkan lelang yang efisien, transparan, akuntabel,
adil, dan kompetitif sebagai instrumen jual beli yang
mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
2. Tugas dan fungsi Direktorat Jendral Kekayaan Negara
a. Tugas
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mempunyai
tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang
negara, dan lelang.
b. Fungsi
1) Perumusan kebijakan di bidang kekayaan negara,
piutang negara,dan lelang;
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara,
piutang negara, dan lelang;
3) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; dan
5) Pelaksanaan administrasi Dirjen Kekayaan Negara.
36
B. Kebijakan Penilaian Kembali Barang Milik Negara
Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, menyatakan bahwa:
1. “Dalam kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat melakukan
Penilaian kembali atas nilai Barang Milik Negara/Daerah yang telah
ditetapkan dalam neraca Pemerintah Pusat/Daerah”.
2. “Keputusan mengenai Penilaian kembali atas nilai Barang Milik
Negara dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pemerintah yang
berlaku secara nasional”.
Dalam rangka memperoleh nilai aset tetap yang terkini dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementeian Keuangan,
sesuai nilai wajarnya dan untuk membangun database aset yang lebih
baik untuk kepentingan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) di
kemudian hari, pemerintah memandang perlu untuk melakukan penilaian
kembali (revaluasi) atas BMN dengan tujuan antara lain untuk:2
1. Memperoleh nilai aset tetap yang update dalam laporan keuangan;
2. Membangun database BMN yang lebih baik untuk kepentingan
pengelolaan BMN di kemudian hari;
3. Mengidentifikasi BMN idle; dan
4. Meningkatkan leverage BMN sebagai underlying asset untuk
penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Terkait dengan pelaksanaan revaluasi BMN tersebut, Pemerintah
telah menetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2017 Tentang Penilaian Kembali Barang Milik Negara/Daerah
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.06/2017 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kembali Barang Milik Negara.
Pelaksanaan revaluasi BMN dilakukan atas BMN berupa Aset tetap
yakni:
1. Tanah,
2 Kementerian keuangan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP) 2018 (Jakarta:
Kemenkeu press, 2018) h. 210
37
2. Gedung dan bangunan, dan
3. Jalan, irigasi, dan jaringan yang meliputi:
a) Jalan dan jembatan,dan
b) Bangunan air
Pelaksanaan penilaian dalam rangka revaluasi dilakukan dengan
pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan/atau pendekatan
pendapatan oleh penilai pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Berdasarkan pertimbangan
efisiensi anggaran dan waktu penyelesaian, pelaksanaan penilaian
dilakukan dengan survei lapangan untuk objek penilaian berupa tanah
dan tanpa survei lapangan untuk objek penilaian selain tanah. Atas hasil
pelaksanaan penilaian kembali BMN yang telah dilakukan, selanjutnya
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melakukan koreksi data dan
nilai BMN melalui sistem aplikasi penatausahaan BMN berdasarkan
Laporan Hasil Inventarisasi dan Penilaian BMN (LHIP).
Berdasarkan database BMN Kementerian/Lembaga tahun 2017
(audited) diketahui terdapat 83 Kementerian/Lembaga yang memiliki
objek revaluasi dengan jumlah keseluruhan sebanyak 939.803 Nomor
Urut Pendaftaran (NUP), terdiri dari 124.471 NUP tanah, 435.049 NUP
gedung dan bangunan, 83.598 NUP Jalan dan Jembatan, 295.591 NUP
bangunan air, serta 1.094 NUP BMN pada aset kemitraan pihak ketiga.
Atas pelaksanaan revaluasi yang selesai di tahun 2017, berdasarkan
Laporan Barang Milik Negara (LBMN) tahun 2017 (audited) yang
disampaikan oleh Kementerian/Lembaga diketahui bahwa jumlah BMN
yang telah disajikan dengan nilai wajar adalah sebanyak 300.980 NUP.
BMN tersebut tersebar pada 7.865 Satuan Kerja pada 79
Kementerian/Lembaga dengan total koreksi nilai revaluasi BMN sebesar
Rp1.874.275.414.154.960 (satu kuadran tiliun delapan ratus tujuh puluh
empat triliun dua ratus tujuh puluh lima milyar empat ratus empat belas
juta seratus lima puluh empat ribu Sembilan ratus enam puluh rupiah).
Selain itu, dalam proses pelaksanaan Penilaian Kembali terdapat BMN
38
yang baru ditemukan dan belum dilakukan pencatatan sebanyak 13.574
NUP. Terhadap BMN yang baru ditemukan ini, dilakukan pencatatan dan
disajikan sebagai BMN berlebih dengan nilai wajar keseluruhan sebesar
Rp 45.930.225.133.461.3
Namun demikian, dalam rangka pemenuhan prinsip konsistensi
dalam penyajian Laporan Keuangan Tahun 2017 (audited), nilai BMN
hasil penilaian kembali tahun 2017 pada Laporan Keuangan Kementerian
Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
2017 audited disajikan dengan menggunakan nilai historical cost. Hasil
Inventarisasi dan Penilaian BMN akibat pelaksanaan revaluasi BMN
Tahun 2017 adalah sebagai berikut:
Table 3.1
Nilai BMN dari revaluasi aset tetap (kurs rupiah)
No KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA NILAI
1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Rp. 624.977.904.902
2 Dewan Perwakilan Rakyat Rp. 988.884.712.188
3 Badan Pemeriksa Keuangan RI Rp. 3.974.748.052.924
0
4 Mahkamah Agung Rp. 10.369.939.318.758
5 Kejaksaan Rp. 10.386.118.627.454
6 Sekretariat Negara Rp. 284.017.301.933.079
7 Kementerian Dalam Negeri Rp. 3.261.384.990.754
8 Kementerian Luar Negeri Rp. 4.069.727.618.263
3 https://www.kemenkeu.go.id/media/10117/lkpp-2017.pdf diakses pada 20 April 2018 h.202
39
9 Kementerian Pertahanan Rp. 316.558.034.198.414
10 Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Rp. 26.151.326.661.179
11 Kementerian Keuangan RI Rp. 75.975.423.031.858
12 Kementerian Pertanian Rp. 35.692.171.191.744
13 Kementerian Perindustrian Rp. 6.348.830.247.561
14 Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Rp. 5.960.707.092.313
15 Kementerian Perhubungan Rp. 95.294.552.201.124
16 Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Rp. 14.158.674.169.988
17 Kementerian Kesehatan Rp. 47.525.260.398.944
18 Kementerian Agama Rp. 34.496.611.656.259
19 Kementerian Ketenagakerjaan Rp. 4.036.541.977.297
20 Kementerian Sosial RI Rp. 15.250.735.202.085
21 Kementerian Kehutanan Rp. 6.797.425.734.801
22 Kementerian Kelautan dan Perikanan Rp. 5.900.206.737.097
23 Kementerian Pekerjaan Umum Rp. 419.589.654.846.767
24 Kementerian Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan Rp. 3.925.194.930
25 Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian Rp. 10.113.676.635
40
26
Kementerian Koordinator Bidang
pembangunan Manusia dan
Kebudayaan
Rp. 4.028.510.497
27 Kementerian Pariwisata Rp. 4.961.824.030.567
28 Kementerian Negara Badan Usaha
Milik Negara Rp.1.160.300.520.883
29 Kementerian Negara Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi Rp. 190.728.671.140.640
30 Kementerian Negara Koperasi dan
UKM Rp. 2.148.147.757.953
31 Kementerian Negara Pemberdayaan
perempuan Rp. 17.768.486.506
32 Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara Rp. 29.163.448.394
33 Badan Intelijen Negara Rp. 3.118.141.847.029
34 Lembaga Sandi Negara Rp. 427.967.461.006
35 Badan Pusat Statistik Rp. 2.258.094.135.860
36 Kementerian Negara PPN/BAPPENAS Rp. 1.219.620.544.166
37 Badan Pertanahan Nasional Rp. 6.697.468.852.367
38 Perpustakaan Nasional RI Rp. 1.616.817.495.228
39 Kementerian Komunikasi dan
Informatika Rp. 3.941.492.416.853
40 Kepolisian Negara Republik Indonesia Rp. 117.491.450.450.151
41
41 Badan Pengawas Obat dan Makanan Rp. 940.693.740.673
42 Lembaga Ketahanan Nasional Rp. 1.413.481.362.919
43 Badan Koordinasi Penanaman Modal Rp. 1.740.850.077.799
44 Badan Narkotika Nasional Rp. 15.270.378.803
45 Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rp. 418.648.914.318
46 Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Rp. 1.930.796.673.380
47 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Rp. 3.372.746.739
48 Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika Rp. 2.314.761.788.826
49 Komisi Pemiihan Umum Rp. 514.988.567.601
50 Mahkamah Konstitusi RI Rp. 330.026.072.893
51 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Rp. 324.844497.524
52 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rp. 22.022.229.167.995
53 Badan Tenaga Nuklir Indonesia Rp. 12.269.929.359.482
54 Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Rp. 3.921.737.536.398
55 Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional Rp. 1.633.493.345.522
56 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional Rp. 164.334.306.637
42
57 Badan Pengawas Tenaga Nuklir Rp. 68.178.945.244
58 Lembaga Administrasi Negara Rp. 3.601.088.568.028
59 Arsip Nasional RI Rp. 716.819.995.387
60 Badan Kepegawaian Negara Rp. 2.260.525.926.684
61 Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan Rp. 3.316.076.286.725
62 Kementerian Perdagangan Rp. 1.710.226.791.125
63 Kementerian Negara Pemuda dan
Olahraga Rp. 556.968.958.083
64 Komisi Pemberantas Korupsi Rp. 1.271.590.097.291
65 Dewan Perwakilan Daerah Rp. 79.483.912.660
66 Komisi Yudisial Rp. 211.749.326.321
67 Badan Nas Penanggulangan Bencana Rp. 56.400.219.741
68 BNP2TKI Rp. 200.851.012.057
69 Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Rp. 225.955.997.823
70 Badan SAR Rp. 682.485.406.377
71 Badan Pengembangan Wilayah Surabaya
Madura Rp. 146.848.939.999
72 Badan Nasional Pengelola Perbatasan Rp. 386.558.841
73
Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas & Pelabuhan Bebas
Batam
Rp. 27.053.532.234.208
43
74 Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Rp. 47.599.972.648
75 Badan Pengawas Pemilu RI Rp. 2.346.592.238
76 Lembaga Penyiaran Publik RRI Rp. 10.009.779.614.754
77 Lembaga Penyiaran Publik TVRI Rp. 8.994.177.335.929
78
Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Sabang
Rp. 65.402.686.170
Sumber: LKPP Kemenkeu 2017
C. Potensi Barang Milik Negara Sebagai Dasar Penerbitan Sukuk
SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau sukuk negara
merupakan salah satu instrumen pembiayaan pembangunan nasional
yang mensyaratkan adanya underlying asset (BMN yang dijadikan dasar
untuk penerbitan SBSN). BMN harus memiliki nilai ekonomis, berupa
tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang
dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan
SBSN. Dalam menentukan BMN yang layak untuk dijadikan aset SBSN.
Ada dua pihak yang harus saling berkoordinasi, yaitu DJKN dan DJPU.4
Table 3.2
Jumlah peningkatan aset Negara pertahun berdasarkan
laporan Kemenkeu (kurs rupiah)
Jenis Aset 2009 2010 2011 2012 2013
4https://www.kemenkeu.go.id/media/10117/lkpp-2017.pdf diakses pada 20 April
2018
44
Tanah 468,627,411.9 565,920,546.5 806,436,356.6 996,878,472.3 1,041,082,888.4
Peralatan
dan Mesin 145,766,663.5 150,868,673.2 183,852,199.6 238,129,446.8 282,940,410.6
Gedung dan
Bangunan 123,197,516.5 137,042,921.1 152,223,087.0 170,243,267.0 191,283,482.8
Jalan Irigasi
& Jaringan 186,921,467 276,682,171.7 347,164,628.2 379,236,268.0 423,232,566.2
Aset tetap
lainnya 5,885,891.4 7,748,128.2 11,517,129.9 14,566,662.6 38,607,829.9
Total 930,398,951.1
1,138,262,440
1,501,193,401.3
1,799,054,116
1,977,147,177
Sumber: LKPP 2017
Pada table diatas terlihat besarnya aset BMN yang terus meningkat
setiap tahunnya menjadi peluang untuk memanfaatkan aset-aset tersebut
dengan menjadikannya dasar penerbitan sukuk. Ada beberapa persyaratan
aset BMN agar bisa dijadikan underlying, yaitu bernilai ekonomis, layak,
tercatat, dan tidak dalam sengketa. Cara pengoptimalan aset BMN oleh
pemerintah adalah dengan menerbitkan sertifikat kepemilikan negara
sehingga bisa menjadi dasar yang telah dijamin oleh hukum.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
45
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pasal 3 menyebutkan (1)
pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas
fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai (2) pengelolaan barang milik
negara/daerah meliputi: perencanaan kebutuhan, penganggaran dan
pengadaan.
D. Klasifikasi Utang Pemerintah
Utang pemerintah Indonesia dapat diklasifikasi berdasarkan utang
luar negeri dan utang dalam negeri. Utang luar negeri pemerintah adalah
termasuk nilai Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan di luar
negeri dan dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk, sedangkan
Utang Dalam Negeri adalah utang pemerintah yang dimiliki oleh
penduduk. Rincian dengan klasifikasi tersebut sebagai berikut (dalam
miliar rupiah):
Table 3.3
Jumlah Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri per Desember
2017
Data tabel di atas adalah nilai pokok atas utang (tidak
memperhitungkan unamortized discount dan unamortized premium).
Yang dimaksud klasifikasi utang dalam modul Sistem Akuntansi
46
Pemerintah (SAUP) adalah klasifikasi sebagaimana yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akutansi
Pemerintah yang menyatakan bahwa utang diklasifikasikan dalam utang
jangka pendek dan utang jangka panjang.5
1. Utang jangka pendek
Merupakan utang yang harus dibayar kembali atau jatuh
tempo dalam satu periode akutansi. Utang jangka pendek terdiri dari:
a. Utang yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 bulan setelah
tanggal pelaporan.
b. Utang biaya kewajiban, adalah bunga utang dan biaya utang
lainnya yang telah terjadi dan telah dibayar setelah tanggal
pelaporan yang terdiri dari: utang bunga berjalan dan utang
biaya lainnya.
Table 3.4
Utang jangka pendek per De sember 2018 (kurs rupiah)6
5 kementerian keuangan, Modul sistem akuntansi pemerintah (Jakarta: kemenkeu press.
2008) h. 7 6 Kementerian keuangan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP) 2018 (Jakarta:
Kemenkeu press, 2018) h.6
47
2. Utang Jangka panjang
Merupakan utang yang harus dibayar kembali atau jatuh tempo
lebih dari periode akutansi dengan kata lain yakni utang yang jatuh
tempo dalam waktu 12 bulan. Utang jangka panjang berasal dari
Pinjaman Luar Negeri dan Surat Berharga Nasional . Utang jangka
panjang terdiri dari:
a. Jangka waktu lebih dari 12 bulan.
b. Entitas bermaksud untuk mendanai kembali kewajiban
tersebut atas dasar jangka panjang.
c. Maksud tersebut didukung dengan suatu perjanjian
pendanaan kembali/adanya penjadwalan kembali terhadap
pembayaran yang diselesaikan sebelum laporan keuangan
disetujui.
Table 3.5
Utang Jangka Panjang per Desember 2018 (kurs rupiah) 7
7 Kementerian keuangan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP) 2018 (Jakarta:
Kemenkeu press, 2018) h.7
48
BAB IV
BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI TRANSAKSI DASAR
PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
A. Analisis yuridis barang milik Negara sebagai underlying asset
penerbitan sukuk berdasarkan peraturan di Indonesia.
Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah,
sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Pembendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 menyebutkan
bahwa barang milik Negara yang berasal dari perolehan yang sah
mencakup:
1. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari
perjanjian/kontrak;
3. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
4. Barang yang diperoleh berdasakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BMN tersebut dapat berada disemua tempat, tidak terbatas hanya
yang ada pada kementerian atau lembaga, namun juga yang berada pada
perusahaan Negara dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau
bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan statusnya
menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan. Tidak termasuk dalam
pengertian BMN adalah barang-barang yang dikuasai dan atau dimiliki
oleh:1
1. Pemerintah Daerah;
2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
1 Faniyah iyah, Kepastian Hukum Sukuk Negara Sebagai Instrumen Investasi di
Indonesia (Yogyakarta: deepublish, 2018) h.191
49
Daerah (BUMD) yang terdiri dari: perusahaan perseroan dan
perusahaan umum;
3. Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah
Peraturan tentang pengelolaan BMN diatur secara umum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/ Barang Milik Daerah, selanjutnya tata cara pelaksanaan
diatur secara khusus dalam peraturan menteri keuangan. Pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan BMN adalah Presiden selaku
kepala pemerintahan, sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Selanjutnya
kewenangan Presiden dikuasakan kepada menteri keuangan selaku
pengelola BMN.
Terdapat macam-macam jenis BMN, baik dalam hal bentuk, tujuan
perolehannya, maupun manfaat yang diharapkan. Undang-Undang SBSN
dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan BMN/BMD terbagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok
tanah/bangunan, serta kelompok selain tanah/bangunan. Sedangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi,
Pemerintah membagi BMN menjadi aset lancar, aset tak berwujud, aset
bersejarah dan aset lainnya.
1. Dikategorikan sebagai aset lancar apabila BMN tersebut diadakan
dengan tujuan segera dipakai atau dimiliki untuk dijual dalam waktu
12 bulan sejak tanggal perolehan. BMN yang memenuhi kriteria ini
diperlakukan sebagai persediaan.
2. Dikategorikan sebagai aset tetap apabila BMN mempunyai masa
manfaat lebih dari 12 bulan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam
operasi normal kuasa pengguna barang, dan diperoleh atau dibangun
dengan maksud untuk digunakan. Termasuk dalam kategori aset
tetap adalah:
a. Tanah
50
Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah
yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan
operational pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Tanah
yang dimiliki atau dikuasai oleh instansi pemerintah diluar
negeri, misalnya tanah yang dipakai perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri, hanya diakui bila kepemilikan tersebut
berdasarkan isi perjanjian penguasaan dan hukum serta
perundang-undangan yang berlaku dinegara tempat perwakilan
Republik Indonesia berada bersifat permanen.
b. Peralatan dan Mesin
Peralatan dan mesin mencangkup mesin-mesin dan
kendaraan bermotor, alat elektronik, dan seluruh inventaris
kantor yang nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari
12 bulan dan dalam kondisi siap pakai. Wujud fisik peralatan
dan mesin bisa meliputi: alat besar, alat angkutan, alat bengkel
dan alat ukur, alat pertanian, alat kantor dan rumah tangga, alat
studio dan sebagainya.
c. Gedung dan bangunannya
Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan
bangunan yang dibeli atau dibangun dengan maksud untuk
dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam
kondisi siap dipakai. Termasuk dalam kategori gedung dan
bangunan adalah BMN yang berupa bangunan gedung,
monument, bangunan menara, rambu-rambu, serta tugu titik
control.
d. Jalan, iriagsi dan jaringan jalan
Mencangkup jalan, irigasi dan jaringan yang dibangun oleh
pemerintah seta dikuasai oleh pemerintahan dalam kondisi siap
pakai.
e. Aset tetap lainnya
51
Mencakup asset tetap yang tidak dapat gedung dan
bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, yang diperoleh dan
dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam
kondisi siap dipakai. BMN yang termasuk dalam kategori aset ini
adalah koleksi perpustakaan/buku, barang bercorak kesenian/
kebudayaan/ olahraga, hewan, ikan dan tanaman.
f. Konstruksi dalam pengerjaan
Adalah aset-aset yang sedang dalam proses pembangunan
pada tanggal laporan keuangan. Konstruksi dalam pengerjaan
mencangkup tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya yang proses
peolehannya dan/ atau pembangunannya membutuhkan suatu
periode waktu tertentu dan belum selesai.
3. Dikategorikan sebagai aset tak berwujud adalah aset non keuangan
yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud fisik
serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau
jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas
kekayaan intelektual. Aset tak berwujud meliputi software
komputer, lisensi dan franchise, hak cipta (copyright), paten, dan
hak lainnya, dan hasil kajian/ penelitian yang memberikan manfaat
jangka panjang.
4. Dikategorikan sebagai aset lainnya adalah aset yang tidak dapat
dikelompokan kedalam aset tak berwujud, berupa tagihan
penjualan angsuran, tuntutan perbendaharaan, tuntutan ganti rugi,
dan kemitraan dengan pihak ketiga.
5. Dikategorikan aset bersejarah adalah bangunan bersejarah,
monumen, tempat bersejarah purbakala seperti candi, dan karya
seni. Beberapa aset tetap dijelaskan sebagai aset bersejarah
dikarenakan kepentingan budaya, lingkungan dan sejarah.2
2 Faniyah iyah, Kepastian Hukum Sukuk Negara Sebagai Instrumen Investasi di
Indonesia, (Yogyakarta: deepublish, 2018) h.193
52
Menurut peneliti, yang dimaksud dalam Undang-undang SBSN,
BMN yang dijadikan underlying asset dalam penerbitan SBSN adalah
BMN yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah, dan/ atau bangunan
maupun selain tanah dan/ atau bangunan. Adapun yang dimaksud dengan
pengertian tanah dan/ atau bangunan disini adalah termasuk proyek yang
akan atau sedang dibangun. Sedangkan yang dimaksud dengan selain
tanah dan/ atau bangunan adalah berupa barang berwujud yang memiliki
nilai ekonomis dan/ atau memiliki aliran penerimaan kas, termasuk
didalamnya yakni jasa.
Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah
perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset
negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan
yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber
pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak
diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga
berdasarkan prinsip syariah. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama
seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain
berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya
suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu
aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau
perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip
syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut
merupakan barang milik Negara.
Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan
surat berharga oleh pemerintah berupa sukuk negara mempunyai implikasi
yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan
ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik.
Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan
memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik
atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
53
Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan
konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus,
baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang
diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Dari penelitian yang didapat, praktek penerbitan awal mulai tahun
2008 hingga sekarang, BMN yang dijadikan underlying asset dalam
penerbitan SBSN adalah tanah dan bangunan dalam bentuk gedung-
gedung kantor kementerian Negara. Hal ini sudah terlihat sejak awal
mencanangkan penerbitan SBSN/sukuk Negara tahun 2008, pemerintah
telah menyediakan underlying asset dari BMN senilai Rp. 18,84 triliun
yang dijadikan sebagai aset SBSN. BMN tersebut dalam bentuk tanah dan
bangunan kantor-kantor pemerintah yang merupakan aset kementerian
keuangan. Aset tanah senilai Rp. 12,23 triliun dan asset bangunan senilai
Rp. 6,62 triliun. Penetapan BMN sebagai aset SBSN senilai Rp.18,84
triliun ini telah mendapatkan persetujuan dari DPR dalam rapat kerja
dengan Menteri Keuangan pada tanggal 10 Juli 2008.
Setahun kemudian pemerintah kembali mengajukan BMN dan
disetujui oleh DPR dalam rapat kerja dengan menteri keuangan pada
tanggal 31 Agustus 2009 untuk dijadikan sebagai aset SBSN senilai Rp.
25,94 triliun yang berasal dari 35 kementerian/lembaga dalam bentuk
tanah dan bangunan. Aset bangunan sejumlah 1%, dan tanah sejumlah
22% serta tanah dan bangunan berjumlah 22%. Aset-aset tersebut 90%
berlokasi di Jakarta, dan 10% diluar Jakarta meliputi Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Sulawesi Utara.
Dari senilai Rp. 25,94 triliun. Terhitung hingga tahun 2010 telah
digunakan pemerintah untuk menerbitkan sukuk senilai Rp. 15,9 triliun,
sehingga masih sisa Rp. 10 triliun. Untuk penerbitan SBSN tahun 2011
pemerintah berencana mengajukan lagi underlying asset kepada DPR
senilai Rp. 39 triliun.
54
B. Ketentuan barang milik negara untuk dijadikan sebagai underlying
asset
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
SBSN menyebutkan bahwa barang milik negara dapat digunakan sebagai
dasar penerbitan surat berharga syariah negara, BMN yang dimaksud
sebagai aset SBSN yakni dapat berupa tanah dan/atau bangunan
termasuk juga proyek yang akan atau sedang dibangun, selain tanah
dan/atau bangunan dapat berupa barang berwujud dan barang yang tidak
berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran
penerimaan kas, termasuk didalamya adalah jasa. Namun tidak semua
BMN dapat dijadikan sebagai aset SBSN. Ada beberapa syarat ketentuan
untuk menjadikan BMN sebagai aset SBSN, antara lain;
1. Memiliki nilai ekonomis;
2. Dalam kondisi baik/layak;
3. Telah tercatat dalam dokumen penatausahaan BMN;
4. Bukan merupakan alat utama sistem persenjataan;
5. Tidak sedang dalam sengketa; dan
6. Tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN.
Persiapan BMN sebagai aset SBSN dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) berkordinasi dengan Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang (DJPU) menyusun target indikatif penerbitan SBSN termasuk
jumlah nilai BMN yang dibutuhkan sebagai aset SBSN. Berkaitan dengan
hal ini, DJPU meminta daftar nominasi aset SBSN kepada DJKN paling
lambat awal triwulan ketiga. Daftar nominasi aset SBSN meliputi:
1. Alamat/lokasi BMN;
2. Jenis BMN;
3. Satuan/luas/volume BMN;
4. Nilai BMN;
5. Kondisi BMN;
6. Jenis dan nomor dokumen kepemilikan BMN; dan
55
7. Status penggunaan oleh kementerian/lembaga dan/atau
pemanfaatan BMN oleh pihak ketiga.
Selanjutnya Direktur Jenderal Pengelolaan Utang menyampaikan
daftar nominasi asset SBSN kepada menteri keuangan, dan oleh menteri
keuangan kepada DPR RI untuk memperoleh pesetujuan atas BMN
tersebut. Setelah DPR RI menyetujui BMN yang akan dijadikan sebagai
aset SBSN, maka menteri keuangan menetapkan BMN tersebut sebagai
aset SBSN dengan menerbitkan keputusan menteri (Keputusan Menteri
Keuangan yang telah diterbitkan dalam kaitannya dengan penetapan
BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN terlampir).
Pentapan BMN sebagai underlying asset dilakukan setiap kali pada
saat penerbitan SBSN. Penetapan menteri keuangan mengenai BMN yang
digunakan sebagai aset SBSN meliputi: jenis, spesifikasi, dan nilai dari
BMN. Jenis barang mencangkup barang berwujud tanah dan/ atau
bangunan dan barang tidak berwujud tanah dan/atau bangunan. Sedangkan
spesifikasi barang yakni: satuan/ luas/ volume BMN, kondisi BMN,
kepemilikan BMN, status penggunaan oleh kementerian/ lembaga dan/
atau pemanfaatan oleh pihak ketiga.
BMN harus memiliki bukti kepemilikan (sertifikat), jika BMN
yang akan digunakan sebagai aset SBSN belum memiliki bukti
kepemilikan, menteri keuangan dapat menerbitkan pernyataan mengenai
status kepemilikan, penggunaan dan penguasaan BMN. BMN yang sedang
digunakan sebagai asset SBSN dapat dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi.
Dalam Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
Tentang SBSN menyatakan bahwa menteri keuangan selaku pengelola
BMN akan menyampaikan pemberitahuan mengenai penetapan BMN
sebagai aset SBSN kepada pengguna BMN yang bersangkutan. Apabila
terjadi perubahan penggunaan BMN yang sedang digunakan sebagai aset
SBSN, harus terlebih dahulu diberitahukan oleh pengelola barang kepada
DJPU.
56
BMN yang sedang digunakan sebagai aset SBSN tidak dapat
dihapus dan/ atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Jika dilakukan
penghapusan dan/ atau pemindah tanganan atas BMN yang sedang
digunakan sebagai aset SBSN harus dilakukan penggantian terhadap aset
SBSN yang bersangkutan dengan BMN lainnya yang memenuhi
persyaratan sebagai aset SBSN yang memiliki nilai sekurang-kurangnya
sama dengan BMN tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh pengelola barang
berkoordinasi dengan pengguna barang dan harus terlebih dahulu
diberitahukan ke DJPU.
Dalam siklus pengelolaan BMN yang dimulai dari tahap
perencanaan sampai dengan tahap penatausahaan, dapat ditemukan
beberapa permasalah terutama dalam penggunaan BMN, yakni:
1. Terdapat BMN yang belum ditentukan statusnya. Berdasarkan hasil
audit Badan Pemeiksa Keuangan (BPK) tahun 2006 terdapat lebih dari
Rp. 35 Triliun yang terdapat pada 6 BUMN (bangunan pemerintah
yang belum ditetapkan statusnya);
2. Terdapat penggunaan BMN bukan untuk penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi;
3. Penggunaan yang tidak sesuai prosedur, sehingga BMN rusak atau
hilang.
Jika aset Negara yang mendasarinya masih undervalue (dibawah
nilai) atau penataan dan pengelolaannya masih buruk, maka nilai surat
berharga yang diterbitkan akan menjadi sangat buruk.
C. Penggunaan barang milik Negara sebagai underlying asset
Sebagai surat berharga yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah,
penerbitan SBSN harus berdasarkan pada akad atau perjanjian antara
pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan
Undang-undang SBSN akad yang digunakan adalah akad ijarah, akad
mudharabah, akad musyarakah, akad istisna, akad-akad lain dan
kombinasi dua atau lebih akad. Sukuk Negara di Indonesia menggunakan
57
akad ijarah dengan stuktur ijarah sale and lease back. Underlying asset
untuk Akad Ijarah Sale and Lease Back adalah Barang Milik Negara
(BMN) saja sementara itu Akad Ijarah Asset to be Leased adalah BMN
dan Proyek yang direncanakan Pemerintah.
Penerbitan sukuk di setiap negara berbeda-beda, seperti Malaysia,
penerbitan sukuknya menggunakan akad yang lebih inoviatif dan
kompetetif, yaitu sukuk ijarah (11%), sukuk musyarakah (58%), sukuk
mudharabah (15%), murabahah (19%), sukuk istisna (9%).3 Sebagai
contoh di Bahrain sukuk Negara diterbitkan menggunakan akad:
1. Ijarah, diterbitkan oleh Bahrain Monotary Agency (BMA) atas nama
pemerintah kerajaan Bahrain senilai USD 50 juta pada tahun 2002.
2. Mudharabah, diterbitkan bank Shamil Bahrain sebesar USD 360 juta.
3. Murabahah, penerbitan sukuk ini didukung bayerische hypo-und
vereinsbank AG, standard bank pic dan west LB AG cabang London,
diamanatkan oleh arcapita bank.
4. Salam, diterbitkan dibawah kontrak pemerintah Bahrain Alsalam.
5. Istisna, diterbitkan atas nama perusahaan pendingin nasional pusat
UEA.4
Sukuk dengan akad ijarah sale and lease back diterbitkan atas
dasar kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan penerbit SBSN yakni
Special Purpose Vehicle (SPV). Pemerintah sebagai pemilik dan/atau
pihak yang menguasai secara sah BMN sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Pembendaharaan Negara Junto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 Pengelolaan BMN/BMD melakukan jual beli BMN yang akan
dijadikan aset SBSN, yang jenis, nilai spesifikasinya sebagaimana
dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan
perusahaan SPV.
3 buletin suku tahunan „Malaysia ICM‟ (Januari 2008), suruhan Jaya sekuriti Malaysia.
4 Mohamed Riza Abdullah, Regulatory Issues: Innovations and application in Sukuk,
Sukuk Islamic Capital Market Series (Malaysia,2009) h.79
58
Direktorat Jendral Kekayaan Negara menyiapkan barang milik
Negara yang free dan clear yang sesuai dengan prinsip syariah yang syarat
dan ketentuan BMN tersebut sesuai dengan Undang-undang SBSN, lalu
BMN dilakukan do diligent dan di audit oleh Dewan Syariah Nasional.
Penilaian dilakukan oleh Direktorat Penilaian untuk memastikan harga
objek tidak over atau undervalue.
Harga objek jual beli adalah sebesar nilai nominal SBSN yang
akan diterbitkan oleh perusahaan SPV yang akan dibayarkan pada tanggal
dilakukannya pembayaran dana pembelian SBSN oleh pemegang SBSN
kedalam rekening kas umum Negara di bank Indonesia. Setelah menguasai
BMN yang akan dijadikan sebagai aset SBSN, perusahaan SPV
menerbitkan SBSN sebagai bukti atas kepemilikan investor terhadap aset
SBSN. Hasil pembayaran selanjutnya digunakan sebagai pembayaran
harga jual beli oleh perusahaan SPV ke pemerintah.
Perusahaan SPV sebagai wali amanat dari pemegang SBSN
membuat dan menandatangani akad ijarah dengan pemerintah dalam
rangka mengalihkan manfaat atas aset SBSN dengan cara menyewakan
aset SBSN kepada pemerintah untuk digunakan dalam menjalankan
kegiatan umum pemerintah dan memastikan terpenuhinya hak-hak
pemegang SBSN, termasuk hak untuk mendapatkan pembayaran imbalan
SBSN secara tepat waktu dari pemerintah melalui agen pembayaran.
Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak akan mengurangi
kewenangan instansi pengguna BMN untuk tidak memanfaatkan BMN
yang dimaksud sesuai dengan penggunaan sebelumnya, sehingga
tanggung jawab untuk mengelola BMN yang bersangkutan tetap melekat
pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan sampai dengan SBSN jatuh tempo.
Perusahaan SPV menyatakan secara sepihak untuk menjual aset
SBSN hanya kepada pemerintah apabila periode ijarah berakhir/ apabila
terjadi pembelian kembali atas SBSN yang diterbitkan. Penjualan aset
SBSN oleh perusahaan SPV dilakukan dengan nilai sebesar nilai nomilal
59
SBSN yang diterbitkan atau sebesar jumlah pembelian kembali oleh
perusahaan SPV.
Menurut ketentuan Pasal 11 Ayat (1) undang-undang Surat
Berharga Syariah Nasional menyatakan “penggunaan BMN sebagai aset
SBSN dilakukan menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak
manfaat atas BMN atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan
dalam rangka penerbitan SBSN”. Dengan demikian penjualan maupun
penyewaan BMN yang dijadikan sebagai underlying asset berdasarkan
Undang-Undang SBSN hanyalah dalam bentuk hak manfaat (beneficial
title) dan tidak diikuti adanya kewajiban penyerahan fisik serta pengalihan
kepemilikan BMN dari pemerintah kepada SPV, hal ini bukanlah sebagai
jaminan (collateral), dan pada saat jatuh tempo SBSN atau default, BMN
tetap dikuasai pemerintah tidak akan berpindah tangan kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian yang dilakukan.
Mekanisme pemindahtanganan BMN sebagai underlying asset
SBSN dengan struktur ijarah sale and lease back menurut Undang-undang
SBSN adalah:
1. Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat (beneficial title)
BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan (legal title);
2. Pemerintah akan menyewa kembali BMN tersebut, tidak terjadi
pengalihan fisik BMN, sehingga tidak mengurangi kewenangan
pemerintah dalam menggunakan BMN tersebut;
3. Tidak terdapat permasalahan dari sisi akutansi mengingat kepemilikan
BMN tidak berpindah tangan tetap tercantum dalam neraca atau on
balance sheet.
4. Pada saat BMN jatuh tempo, pemerintah wajib membeli kembali/
membatalkan sewa atas aset SBSN dan SPV wajib mejual aset SBSN
kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN.
Menurut Undang-Undang SBSN definisi dari hak manfaat adalah
untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset
tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan hak tersebut.
60
Penjelasan ini menarik bagi penulis, karena didalam hukum Indonesia,
konsep ini merupakan sesuatu yang baru, khususnya apabila diterapkan
dalam aset SBSN yang berupa tanah dan/ atau bangunan. Selain itu
dengan konstruksi seperti ini, maka pemilik/ pemegang sukuk adalah
pemilik/ pemegang bagian yang tidak terbagi atas hak manfaat atas BMN.
Dengan dilakukanya jual beli atas hak manfaat atas BMN, maka setelah
peristiwa jual beli dimaksud akan muncul suatu keadaan dimana BMN
(misalnya dalam bentuk tanah dan/ atau bangunan) secara yuridis tetap
dimiliki oleh Negara/ pemerintah, tetapi hak manfaat atas BMN dimiliki
perusahaan penerbit cq pemegang sukuk.
Transaksi yang digunakan dalam dalam penerbitan SBSN/ sukuk
Negara di Indonesia adalah ijarah sale and lease back dengan BMN
sebagai underlying assetnya. Dalam fatwa DSN-MUI No.71/DSN-
MUI/VI/2008 tanggal 26 Juni 2008 Tentang SBSN ijarah sale and lease
back tidak dibahas secara khusus mengenai kepemilikan hak manfaat
secara syariah. Dalam fatwa tersebut memutuskan bahwa:
1. Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian
pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.
2. Sale and Lease Back hukumnya boleh.
3. Akad yang digunakan adalah Bai' dan Ijarah yang dilaksanakan
secara terpisah.
4. Dalam akad Bai', pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk
menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan
kesepakatan.
5. Akad Ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset
yang akan dijadikan sebagai obyek Ijarah.
6. Obyek Ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai
ekonomis.
7. Rukun dan syarat Ijarah dalam fatwa Sale and Lease Back ini harus
memperhatikan substansi ketentuan terkait dalam fatwa DSN-MUI
Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.
61
8. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
9. Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan Obyek Sale and Lease
Back diatur dalam akad.
10. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan sesuai prinsip syariah.
11. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Dari hasil penelitian maupun wawancara, peneliti belum
mendapatkan bentuk tepat dari BMN yang dijadikan underlying asset pada
sukuk yang telah di pasarkan. Yang didapat hanyalah term and condition
sukuk ritel dengan underlying asset proyek kegiatan APBN dan BMN
tanpa dijelaskan lebih spesifik dari proyek APBN dan BMN itu sendiri.
Table 3.6
Contoh Sukuk Ritel Seri SR-011
62
Menurut pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa Pengelolaan
barang milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional,
kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas,
dan kepastian nilai. Namun sepertinya asas-asas tersebut belum seluruhnya
terpenuhi, salah satunya asas transparansi dan keterbukaan.
Berkaitan dengan penggunaan BMN sebagai underlying asset
dalam penerbitan SBSN, terdapat suatu permohonan uji materil atas
Undang-undang SBSN yang diajukan oleh Bastian Lubis kepada
Mahkamah konstitusi yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan terkait
penggunaan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN. Uji materil yang
diajukan Bastian Lubis (pemohon) tersebut terkait dengan penggunaan
BMN sebagai asset SBSN, pemerintah telah melakukan perbuatan yang
melanggar UUD 1945. Dalam Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun1945 menyatakan:
“setiap warganegara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”.
Menurut pemohon, bahwa dengan menggunankan BMN sebagai
underlying asset untuk penerbitan SBSN, berarti pemerintah telah
menyalahgunakan BMN dan menjadikan BMN sebagai jaminan sehingga
dapat berpindah tangan kepada pihak lain apabila pemerintah wanprestasi
atau default.
Di negara-negara lain seperti Malaysia, Pakistan, dan Qatar dalam
penerbitan sukuk Negara juga menggunakan aset-aset Negara sebagai
underlying asset. Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan
milik Negara di Kuala Lumpur sebagai underlying asset dalam penerbitan
sukuk globalnya tahun 2002. Pemerintah Qatar menggunakan tanah milik
Negara yang berlokasi di Doha sebagai underlying asset dalam penerbitan
sukuk globalnya pada tahunn 2003. Demikian juga pemerintah Pakistan
63
menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway sebagai underlying
asset dalam penerbitan sukuk globalnya pada tahun 2005. 5
D. Permasalahan sukuk default pada BMN
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa SBSN adalah surat berharga
yang diterbitkan oleh Negara berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Pasal 1
ayat (1) Undang-undang SBSN menyebutkan bahwa surat berharga
syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk
Negara adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap asset SBSN, baik
dalam mata uang rupiah ataupun valuta asing.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) undang-undang SBSN
mengamanatkan bahwa SBSN/ sukuk Negara bukan merupakan utang
berbunga tetap, tetapi merupakan penyertaan dana (investasi) yang
didasarkan pada prinsip imbalan, margin, bagi hasil, sesuai dengan jenis
akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk tersebut dan adanya
transaksi pendukung (underlying transaction) yakni berupa sejumlah aset
tertentu yang menjadi dasar penerbitannya.
Bentuk transaksi yang digunakan dalam dalam penerbitan SBSN/
sukuk Negara di Indonesia adalah ijarah sale and lease back dengan BMN
sebagai underlying assetnya. Transaksi ijarah sale and lease back diawali
dengan penjualan (sale) BMN kepada investor yang melalui perusahaan
penerbit SBSN (SPV), kemudian investor melalui SPV (special purpose
vehicle) menyewakan kembali (lease back) kepada pemerintah. Sewa yang
dibayar oleh pemerintah merupakan imbal hasil yang diterima investor.
Kewajiban pemerintah untuk membayar sewa dan nilai nominal SBSN ini
dianggarkan oleh pemerintah setiap tahunnya didalam APBN sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
SBSN.
5 Faniyah iyah, Kepastian Hukum Sukuk Negara Sebagai Instrumen Investasi di
Indonesia, (Yogyakarta: deepublish, 2018) h.204
64
Berdasarkan undang-undang SBSN dalam transaksi sale and lease
back, BMN dijual dan dialihkan kepada perusahaan penerbit SBSN
hanyalah “hak manfaatnya”. Dengan demikian tidak ada perpindahan aset
yang riil dari penerbit SBSN kepada pemegang SBSN. Perpindahan hanya
hak manfaat dari aset dalam kontrak SBSN. Hak manfaat adalah hak untuk
memiliki dan mendapat hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu
dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. (Pasal 1 Ayat
(16) Undang-Undang SBSN). Dalam konstruksi seperti ini, maka pemilik/
pemegang SBSN adalah pemilik/ pemegang bagian yang tidak terbagi atas
hak manfaat atas BMN. Dengan dilakukannya jual beli “hak manfaat” atas
SBSN, maka setelah peristiwa jual beli dimaksud akan muncul suatu
keadaan dimana BMN yang berupa tanah dan/ atau bangunan secara
yuridis tetap dimiliki oleh negara/ pemerintah, tetapi hak manfaat atas
BMN dimiliki oleh perusahaan penerbit SBSN cq pemegang SBSN.
terkait dengan hal tersebut, maka menimbulkan beberapa permasalahan.
Salah satu permasalahan yang akan terjadi dalam penerbitan SBSN
dengan struktur sale and lease back adalah terkait dengan gagal bayar
(default) pada saat jatuh tempo. Insturmen investasi SBSN merupakan
jangka panjang yang diterbitkan untuk jangka waktu tertentu (5, 10, 15
atau 20 tahun).
Sekecil apapun resikonya, SBSN tetap memiliki kemungkinan
resiko untuk gagal bayar. Apabila suatu hari pemerintah mengalami defisit
anggaran dan tidak memiliki dana untuk membeli kembali BMN yang
dijadikan sebagai aset SBSN, dan karenanya gagal membayar nominal
SBSN kepada pemegang SBSN. Walaupun sulit dibayangkan, pemerintah
akan menolak membayar kembali kepada para pemegang SBSN,
mengingat perbuatan ini pasti akan menurunkan kepercayaan publik pada
SBSN. Investor tidak dapat menyita BMN, karena sesuai ketentuan Pasal
11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang SBSN
yang dialihkan hanya hak manfaat dari BMN saja dan investor tidak dapat
mengalihkan/menjual BMN kepada pihak lain, karena investor hanya
65
boleh menjual kembali BMN pada saat jatuh tempo hanya kepada
pemerintah. Dalam hal ini investor hanya bisa menunggu itikad baik
pemerintah untuk membayar imbalan dan nominal SBSN tersebut.
Kasus gagal bayar (sukuk default) pernah terjadi untuk pertama
kalinya oleh investment dar, perusahaan investasi yang berbasis di Kuwait,
adalah perusahaan yang pertama kali gagal memenuhi kewajibannya atas
sukuk yang diterbitkannya sebesar 100 juta Dollar AS. Kasus gagal bayar
(sukuk default) juga pernah dialami oleh ECP (East Cameron Partner),
perusahaan eksplorasi minyak dan gas yang terletak di texas dengan
jumlah sukuk sekitar 170 juta Dollar AS kemudian yang baru terjadi
adalah kasus gagal bayar Dubai World yang dilakukan perusahaan milik
pemerintah Dubai sebesar USD 80 Miliyar.6
E. Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagai Underlying Asset SBSN
berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Pengaturan mengenai pemanfaatan Barang Milik Negara
sebagai underlying asset yang berupa Surat Berharga Syariah Negara/
Sukuk Negara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10, Pasal 11 dan
Pasal 12. Meski demikian, mekanisme penggunaan BMN
sebagai underlying asset penerbitan SBSN sampai saat ini masih belum
dipahami secara utuh dan komprehensif oleh masyarakat luas sehingga
menimbulkan kesalahpahaman atas penggunaan BMN yang dianggap
sebagai jaminan bahkan suatu yang yang digadaikan.
Menurut ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2008 Tentang SBSN, telah diatur dengan jelas bahwa
penggunaan BMN sebagai Aset SBSN dilakukan dengan cara menjual
atau menyewakan Hak Manfaat atas BMN tersebut, dimana Pemerintah
wajib membeli kembali Aset SBSN yang dijadikan
6 Ali Rama, Krisis Dubai dan sukuk default, http://ekisopini.blogspot.com/2009/12/krisis-
dubai-dan-sukuk-defaul.html diakses pada 10 Desember 2018
66
sebagai underlying pada saat jatuh tempo, sehingga tidak ada lagi celah
hukum yang memungkinkan beralihnya BMN kepada investor SBSN
ataupun pihak lain.
Namun beberapa pihak masih mempertanyakan proses dan
konsekuensi penggunaan BMN sebagai aset SBSN. Salah satu contoh
kasus aktual terkait kesalahpahaman atas penggunaan BMN sebagai Aset
SBSN, adalah permohonan Uji Materiil atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 tentang SBSN yang diajukan Saudara Bastian Lubis kepada
Mahkamah Konstitusi yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan terkait
penggunaan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN.
Uji Materiil yang diajukan tersebut terkait dengan kesalahpahaman
atas penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, dimana pemohon menganggap
dengan penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN, Pemerintah
telah melakukan perbuatan yang melanggar Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Menurut pemohon, bahwa dengan menggunakan BMN
sebagai underlying asset SBSN, Pemerintah telah menyalahgunakan BMN
dan menjadikan BMN sebagai jaminan sehingga dapat berpindahtangan
kepada pihak lain apabila Pemerintah wanprestasi atau default.
Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Putusan Nomor 143/PUU-
VI1I2009 tanggal 7 Mei 2010 Tentang Uji Materiil atas penggunaan BMN
sebagai underlying asset SBSN sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat
(1) dan Ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2008, telah memutuskan antara lain bahwa
terhadap dalil pemohon yang menyatakan BMN sebagai dasar penerbitan
SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan
umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, adalah tidak
benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya
dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN
sebagai dasar penerbitan SBSN underlying asset bukan merupakan
jaminan collateral yang dapat dipindah-tangankan, sedangkan yang dapat
dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja.
67
Detil kasusnya, Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan
permohonan pengujian atas Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf a dan
huruf b, serta Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang SBSN, yang menyatakan:
Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf a dan huruf b:
1. Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan
SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud
sebagai aset SBSN.
2. Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a) tanah dan/atau bangunan;
b) selain tanah dan/atau bangunan;
Pasal 11 ayat (1):
1. Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (2) dilakukan Menteri
dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang
milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang
digunakan dalam rangka penerbitan SBSN.
Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan
dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang
menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”.7 kesimpulan tertulis dari pemohon,
Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan pasal yang
dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2)
huruf a dan huruf b serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 menghilangkan hak konstitusional pemohon yang
ditentukan dalam Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-
7https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_Putusan%20143-
puu-vii-2009.pdf diakses pada 30 Mei 2018
68
Undang a quo, nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh
Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian,
yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN
berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau
bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar
(default), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga
(pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya
objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata
bagi pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas
umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau
bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi
memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak
tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset
yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo
justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan
termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber
anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan barang milik negara
dalam rangka penerbitan surat berharga syariah negara dipandang
sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka (opened legal
policy) dari pembentuk Undang-undang maka mutatis mutandis
pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon
yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru
memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau
menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan
akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
3. Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan barang milik
negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain
yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat
dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut
tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan
69
melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak
mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN
(underlying asset) bukan merupakan jaminan (collateral) yang
dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat
dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang-Undang a quo
memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat
pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat
dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Nomor 19
Tahun 2008.
4. Pasal 49 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik
Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain
sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah
Pusat/Daerah,” dan Ayat (5) menyatakan, “Barang Milik
Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk
mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya
dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN (underlying asset)
sebab menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor19 Tahun 2008
apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali
bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan
membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga
tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun
Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tersebut
menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali aset SBSN,
membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN
lainnya pada saat SBSN jatuh tempo”, sedangkan Pasal 12 Ayat (2)
menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali aset SBSN,
pembatalan Akad sewa dan pengakhiran akad penerbitan SBSN
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar
70
nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai akad
penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN”;
5. Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak
dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau
bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset
SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena
pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara,
melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang
digunakan oleh instansi pengguna. Apabila pemohon sebagai
instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka
pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut,
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yang menyatakan,
“Penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN tidak
mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara
untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai
dengan penggunaan awalnya”. Jika yang dimaksud pemanfaatan
barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak
kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying
asset atas penerbitan SBSN;
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang SBSN memiliki
kekhususan (Lex specialist) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang juga mengatur mengenai
pemindahtanganan BMN. Dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2008 dinyatakan bahwa "Pemindahtanganan
Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan
pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau
penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii)
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik
71
Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara
sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan".
Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
1. Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;
2. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Pokok permohonan tidak beralasan hukum;
Menimbang bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara
tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN,
dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat
digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat
yang dijadikan underlying asset, tidak ada pemindahan hak milik (legal
title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak
mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah
Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; Amar Putusan, Mengadili:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.8
Lebih lanjut dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terungkap
bahwa eksistensi dan penerapan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2008
Tentang SBSN justru memberi manfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan termasuk pemohon, terutama karena menjadi salah satu
sumber anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa pada pokoknya
penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN, tidak merugikan
negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai
APBN, dan BMN yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan
8https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_Putusan%2
0143-puu-vii-2009.pdf diakses pada 30 Mei 2018
72
oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang
dijadikan underlying asset, tidak ada pemindahan hak milik (legal title)
dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu
fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. Berdasarkan definisi tersebut
dapat dikatakan hak manfaat ekuivalen dengan hak menikmati (genot
recht) bukan hak milik (eigendom/ownership) atas barang milik Negara. 9
Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-
VII/2009 tersebut, secara hukum penggunaan BMN sebagai Aset SBSN
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga
diharapkan kedepannya kesalah-pahaman tersebut dapat semakin
diminimalkan oleh masyarakat.
9 A. setiadi & setyowati, Aspek Hukum Penerbitan Surat Berharga Negara Ritel Ijarah,
Newsleter No. 72/Maret/2009.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan pada bab-bab
sebelumnya, maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan dan
sekaligus sebagai jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian yakni
sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat
Berharga Syariah Negara ditegaskan bahwa penjualan aset Negara
pada dasarnya hanya penjualan hak manfaat (beneficial title) tanpa
disertai dengan penyerahan fisik ataupun pemindahan hak
kepemilikan (legal title) BMN dari Pemerintah kepada SPV atau
investor. Selain itu, dengan adanya ketentuan sebagaimana diatur
dalam purchase & sale undertaking agreement maka terdapat jaminan
bahwa aset tidak akan berpindah tangan kepada pihak lain dan akan
tetap menjadi milik negara. hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal
1 Ayat (16) Undang-Undang SBSN menyebutkan bahwa hak manfaat
merupakan hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas
pemanfaatan suatu aset, tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas
kepemilikan dan/atau bangunan. Berdasarkan definisi tersebut dapat
dikatakan hak manfaat ekuivalen dengan hak menikmati (genot recht)
bukan hak milik (eigendom/ownership) atas barang milik Negara.
2. Direktorat Jendral Kekayaan Negara menyiapkan barang milik Negara
yang free dan clear yang sesuai dengan prinsip syariah yang syarat
dan ketentuan BMN tersebut sesuai dengan Undang-undang SBSN,
lalu BMN dilakukan do diligent dan dilakukan syariah complient oleh
Dewan Syariah Nasional. Penilaian dilakukan oleh Direktorat Penilaian
untuk memastikan harga objek tidak over atau undervalue. Sukuk
akan diterbitkan oleh perusahaan SPV yang pembeliannya masuk ke
dalam rekening kas umum Negara di bank Indonesia. Setelah
74
menguasai BMN yang akan dijadikan sebagai aset SBSN, perusahaan
SPV menerbitkan SBSN sebagai bukti atas kepemilikan investor
terhadap aset SBSN. Hasil pembayaran selanjutnya digunakan sebagai
pembayaran harga jual beli oleh perusahaan SPV ke pemerintah.
3. Sekecil apapun resikonya, SBSN tetap memiliki kemungkinan resiko
untuk default/ gagal bayar. Apabila suatu hari pemerintah mengalami
defisit anggaran dan tidak memiliki dana untuk membeli kembali
BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN, dan karenanya gagal
membayar nominal SBSN kepada pemegang SBSN. Walaupun sulit
dibayangkan, pemerintah akan menolak membayar kembali kepada
para pemegang SBSN, mengingat perbuatan ini pasti akan
menurunkan kepercayaan publik pada SBSN.
B. Rekomendasi
Sebagai penutup dari kesimpulan diatas, peneliti memberikan
beberapa saran terkait dengan optimalisasi penggunaan barang milik
Negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN, yakni sebagai
berikut:
1. Karena penerbitan sukuk digunakan untuk jenis utang jangka
panjang pada umumnya, dan pemanfaatan sukuk oleh pemerintah
Indonesia sebagai sumber dana pembangunan masih relatif baru,
oleh karena itu seiring berjalannya waktu diharapkan ada mekanisme
peraturan yang lebih detil untuk menangani resiko default dimasa
mendatang agar tercapainya kepastian hukum. Sebab bukan hal yang
tidak mungkin Negara dapat melakukan default atau gagal
membayar kembali SBSN yang telah dijual.
2. Pemahaman mengenai BMN sebagai underlying asset serta
transparansi BMN yang diunderlyingkan harus disosialisasikan
dengan baik agar masyarakat dapat mengetahui dan memantau
dengan mudah. Sebab jika hal ini sulit diakses oleh khalayak
mengenai perkembangan BMN yang dijadikan underlying asset,
75
dikhawatikan nantinya akan terjadi kesalahpahaman seperti praduga
privatisasi BMN oleh pemerintah.
76
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.
Bumi Intitama Sejahtera, 2009.
Iyah Faniyah, Kepastian Hukum Sukuk Negara Sebagai Instrumen Investasi di
Indonesia,Yogyakarta: deepublish, 2018.
Restu Kartika Widi, Asas-asas metode penelitian. Yoyakarta: Graha Ilmu. 2010.
Kementerian keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP), Jakarta:
Kemenkeu press, 2018.
kementerian keuangan, Modul sistem akuntansi pemerintah, Jakarta: kemenkeu
press. 2008.
Sonny Keraf,. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kansius.
1998.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia. 2003. Jakarta: Literata
Lintas Media.
Mohamed Riza Abdullah, Regulatory Issues: Innovations and application in
Sukuk, Sukuk Islamic Capital Market Series, Malaysia, 2009.
Mohammad Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Parlementaria. Melepas Ketergantungan Hutang, Mimpikah? edisi 153 th.XLVII,
Jakarta: DPR-RI pres. 2017.
Lili Rasjidi, dan I.B Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
Remaja Rosda Karya. 1993.
Jonatan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2006.
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia..
2008.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2015.
77
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor Pmk 120/Pmk.06/2007 Tentang
Penatausahaan Barang Milik Negara Daftar Barang Milik Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 27 tahun 2014 tentang Barang Milik
Negara/Daerah.
C. JURNAL
Khorshed Chowdurry, dan Amnon Levy, Utang Eksternal dan Implikasinya
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Vol. 2 Nomor 2, Yogyakarta: Jurnal
Ekonomi Pembangunan.,1997.
MB Hendrie Anto, Perspektif Islam Tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang
Luar Negeri Negara-negara Islam.” Jurnal UNISIA No. 43/XXIV,
2001.
buletin suku tahunan „Malaysia ICM‟ (Januari 2008), suruhan Jaya sekuriti
Malaysia
A. setiadi & setyowati, Aspek Hukum Penerbitan Surat Berharga Negara Ritel
Ijarah, Newsleter No. 72/Maret/2009, 2009.
D. INTERNET
Joko Nur Cahyo, 2011. Pengelolaan Barang Milik Negara. (Online), (https://
jokonurcahyo.wordpress.com/category/pengelolaan-barang-milik-negara-
bmn/). Diakses pada 5 Oktober 2018.
78
“Jumlah Besaran Penerbitan Surat Berharga Negara” http://wikidpr.org
/rangkuman /bmn-sebagai-underlying-asset-penerbitan-sbsn-rapat-kerja-
komisi-11-dengan-menteri-keuangan-dan-dirjen-pengelolaan-
pembiayaan-dan-risiko Diakes pada 26 Februari 2018.
“Data Utang Luar Negeri Indonesia” http://www.bi.go.id/en/iru/economic-data
/external-debt/Documents/SULNI-Feb-2018.pdf. Diakses Pada 23
Februari 2018
“Pengertian Underlying Asset Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”.
(online) http://kbbi.web.id/pusat. Diakses pada 5 Desember 2018
““Pengertian Underlying Asset”
https://www.winmahdi.com/2017/11/Underlying-Asset.html. Diakses
pada 6 Desember 2018
“Profil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara” https://www.kemenkeu.go.id
/profil /profil-pejabat/. Diakses pada 15 Desember 2018
Ali Rama, Krisis Dubai dan sukuk default, http://ekisopini.
blogspot.com/2009/12/ krisis-dubai-dan-sukuk-defaul.html. Diakses pada
10 Desember 2018