bapak kedokteran dunia

1
KAMIS, 18 FEBRUARI 2016 PARA PENAKLUK DUNIA 11 FOTO-FOTO: DOK PRIBADI Mimpi Jadi Penerus Bapak Kedokteran Dunia TARUNA IKRAR HERA KHAERANI S UATU kali banjir besar melanda Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Air melahap apa saja, mulai pasar, sekolah, hingga jembatan. Taruna Ikrar, bocah berusia 10 tahun yang kala itu tinggal di Desa Panakkukang, terkesan oleh kiprah seorang dokter muda yang tanpa kenal lelah melayani masyarakat. Dokter yang bekerja di sebuah puskesmas itu sigap mengobati pasien yang umum- nya terserang diare. “Namanya dokter Husein. Dia dokter yang membantu orang selama 24 jam sekalipun tidak dibayar,” kisah Taruna ketika dihubungi Media Indonesia, Jumat (12/2). Secara menakjubkan dia masih mengingat nama dokter yang dikenalnya ketika masih belia. Sejak hari itu, Taruna pun bercita- cita menjadi dokter dan keinginan itu memotivasinya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tertanam dalam benaknya betapa mulianya profesi dokter yang menolong masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit, berupaya menghilangkan penderitaan orang lain dengan pendekatan keil- muannya. Sebagai muslim, dia ingin menjadi penerus Ibnu Sina yang dike- nal sebagai Bapak Kedokteran Dunia. Doa ayahnya, Abubakar (alm), dan ibunda, Hasnah Lawani, yang tersemat dari nama yang dipilih untuknya, yakni Taruna Ikrar, tampaknya terkabul. Le- laki yang kini dikaruniai tiga anak itu tumbuh menjadi sosok bersemangat muda yang kukuh memegang komit- men dan janji-janji dalam hidupnya. Kini, dia menjadi seorang dokter yang pakar di bidang farmakologi, kardiologi, neurologi, dan elektrosiologi. Kedua orangtuanya dulu bekerja sebagai guru di sekolah da- sar. Mereka bukan dari kalangan berada, ditambah dia meru- pakan anak kelima dari sepuluh bersau- dara. Meski begitu, ayahnya selalu me- nekankan penting- nya pendidikan dan mengajarkan bahwa dengan kesung- guhan manusia bisa mewujudkan ke- inginannya. “Saya orang dari kampung yang tidak punya kemampuan nan- sial, aktivis sibuk luar biasa. Modalnya bukan uang, melainkan kemauan dan rasa percaya diri,” ungkap Taruna soal kiat suksesnya. Semua pendidikan yang ditempuh- nya di luar negeri dijalani dengan Pengantar: Dunia kian terhubung, batas-batas negara makin longgar dan tantangan globalisasi menjadi nyata. Pesimisme mestinya bukan milik kita karena banyak anak bangsa berjaya di tingkat dunia. Inilah 46 sosok inspiratif di antaranya, yang kami angkat dalam memperingati HUT ke-46 Media Indonesia. Berikut sosok ke-5. Dia termasuk satu dari lima dokter di dunia yang ahli di bidang farmakologi, kardiologi, neurologi, dan elektrofisiologi. ENERGI PERADABAN Nama: Taruna Ikrar Tempat/tanggal lahir: Makassar, 15 April 1969 Pendidikan: S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia (lulus 1994) S-2 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia (1997) Program Master Biomedical Sciences, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan spesialisasi di bidang farmakologi (2003) Doktor Tamu di Bologna University, Italia (2007) Gelar PhD di Niigata University, Jepang (2008) Program Postdoctoral di University of California, Amerika Serikat (2008-2010) SEDERET penghargaan dan keahlian yang dimiliki Taruna Ikrar mengun- dang tawaran dari pihak imigrasi Ame- rika Serikat agar dia berpindah kewar- ganegaraan. Hal itu memang lazim di sana, banyak ahli, ilmuwan, pakar, dan orang-orang yang dianggap potensial bagi AS dipermudah untuk memiliki izin tinggal, menjadi penduduk tetap (Green Card), bahkan kemudahan un- tuk berpindah kewarganegaraan. Andai dia memutuskan mengganti kewarganegaraan, tak lagi jadi warga negara Indonesia, sudah menanti daftar panjang keuntungan baginya. Dia bisa bebas bepergian ke 148 ne- gara tanpa visa sebagaimana warga negara Amerika lainnya. Dia berhak mencalonkan diri menjadi senator di negara itu dan turut berpartisipasi dalam pemilihan presiden, mendapat perlakuan prioritas dari American Investigation Service kalau ditimpa masalah di luar negeri, bisa menda- pat penghargaan-penghargaan khu- sus apabila berprestasi sebagai warga negara, dan seterusnya. “Namun saya masih cinta Indonesia, bukan tidak mencintai Amerika,” akunya. “Saya memikirkan bukan untung rugi, kalau pindah warga negara nantinya terbatas kontribusi untuk ne- gara yang melahirkan saya,” lanjutnya menambahkan soal kegiatannya yang masih diminta menjadi dosen luar biasa di Universitas Hassanudin. Di sisi lain, dengan berada di AS saat ini, dia justru menilai itu mesti dimanfaatkan untuk memajukan In- donesia, dengan membawa hasil-hasil penelitiannya ke Tanah Air ataupun leluasa transfer pengetahuan. Opsi kembali ke Tanah Air juga masih menyisakan kekhawatiran bag- inya yang takut akan ditarik ke politik karena dulunya ia seorang aktivis. Meski berprestasi di bidang akademik, Taruna tergolong aktif dalam berbagai organisasi di kampus. Dia pernah menjadi ketua senat bahkan sempat menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ujung Pandang. “Organisasi jadi hobi karena saya tidak senang menyendiri. Bahkan kalau sedang u biasa, ketika dikasih kesempatan bicara di muka umum, saya merasa bahagia dan langsung sembuh,” ungkap pengagum pidato Soekarno itu soal reaksi psikolo- gis yang dialaminya tiap berbicara di depan umum. Dalam pandangannya, politik itu masih menjadi panglima di Indonesia, bahkan dalam institusi pendidikan dan lingkup penelitian. “Di sini kalau kita mau kerja sama laboratorium, tidak perlu izin dari de- kan sekalipun, tapi kalau di Indonesia akan harus ada izin dari universitas, tidak independen.” Pada akhirnya orang-orang yang ingin berkontri- busi bagi masyarakat malah bisa habis energinya di politik. Ibarat kucing yang dibuang punya kecenderungan untuk menemukan jalannya pulang, alam bawah sadar Taruna pun selalu mendorongnya merindukan kampung halaman. Na- mun, dia masih merasa saat ini dia lebih bermanfaat ketika berada di luar negeri. “Saya belum ingin mengejar posisi struktural, mau berperan secara fungsional sesuai keahlian,” pungkas- nya. (Her/M-4) Bertahan dengan Paspor Garuda berbekal beasiswa. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar itu mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang untuk mengam- bil PhD di Niigata University, Jepang. Demikian pula ketika Postdoctoral di University of California, Amerika Serikat, dia menempuhnya dengan beasiswa. Terlahir cerdas, pria yang menguasai baha- sa Inggris, Jepang, dan Italia itu menyukai pelajaran matemati- ka, biologi, dan sika. Namun, ternyata ke- tika masih duduk di bangku kelas 3 SD, dia pernah dijuluki ‘raja bolos’. Itu disebab- kan pernah sebulan penuh dia tidak masuk sekolah. Setiap hari dia pamit dari rumah dengan seragam, bu- kannya ke sekolah dia malah asyik berenang di danau atau pergi ke pasar berjualan buah mangga. Orang- tuanya baru tahu ketika gurunya melaporkan masalah itu. “Ayah saya marah besar waktu itu,” kisah Taruna sambil terkekeh. Meski marah, dengan bijaksana ayahnya menanyakan alasannya. Ternyata ia dilanda kebosanan berseko- lah dengan pola pengajarannya. Siswa hanya disuruh menulis, sedangkan gurunya mengeja. Keluhan itu disam- paikan ayahnya ke guru dan sejak satu metode mengajar yang diubah, Taruna kembali bersemangat belajar dalam kelas. “Pendidikan adalah ‘golden gateuntuk berkiprah secara internasional,” simpulnya dengan yakin. Berkat keahliannya, dia mendapat pengakuan internasional dan saat ini sedang menjalani karier di California, Amerika Serikat. Tak hanya berpraktik sebagai dokter, dia juga peneliti dan akademisi yang mengajar di Univer- sity of California. Kampus tersebut lumayan dikenal dalam hal penelitian, terutama setelah banyak melahirkan sejumlah peraih Nobel. Meski berasal dari Indonesia yang tergolong negara berkembang, Taruna mengaku tidak pernah dipandang sebelah mata. Itu berkat kemam- puan, pengetahuan, dan profesional- ismenya yang memang layak diakui. Tidak kurang dari 54 karya ilmiah dihasilkannya dan 19 penghargaan di- terimanya. Di sisi lain, dia membekali dirinya dengan keterampilan yang tidak dimiliki banyak orang. Berbeda dengan kebanyakan dokter yang memilih menekuni satu bidang saja, dokter yang setiap hari selalu menyempatkan berolahraga 30 menit sebelum memulai harinya itu justru mengombinasikan beberapa disiplin ilmu sekaligus, yakni farmakologi, kardiologi, dan neurosains. “Saya jadi orang yang sangat spesik, mul- tidisiplin. Jarang orang yang punya keterampilan dan ketertarikan untuk menyelami beberapa disiplin sekali- gus begitu, tahun lalu paling hanya ada lima dokter yang begitu di dunia, ter- masuk saya salah satunya,” jelasnya. Dia memandang kardiologi dan neu- rosains menawarkan penelitian yang sangat menantang karena luasnya wilayah kedua bidang tersebut, mu- lai tingkat submolekuler, molekuler, subseluler, sel, jaringan, organ, hingga individual dan masyarakat. Demikian pula secara farmakologi yang bisa dilihat dari banyak sudut pandang, baik perjalanan dan nasib obat dalam tubuh, efeknya terhadap tubuh, dan seterusnya. Sudah dua temuan hasil penelitian Taruna dan timnya dipatenkan di Amerika dan saat ini mereka sedang dalam proses untuk mematenkan temuan terbarunya. Kedua temuannya ialah alat yang mampu secara presisi memetakan otak hingga detail yang sangat tinggi alias nano. Itu merupa- kan kerja yang rumit karena sebagai catatan, terdapat tak kurang dari 100 miliar sel saraf dan diperkirakan koneksinya mencapai triliunan. “Fungsi alat itu untuk mengatur menghidupkan atau mematikan (turn on/turn off ) sel-sel saraf dan nanti irama otak itu bisa diatur. Ini berguna, misalnya, pada pasien parkinson yang sel sarafnya tidak teratur,” terangnya soal bagaimana penelitiannya bisa berkontribusi pada dunia medis yang selama ini masih dihadapkan pada penyakit-penyakit saraf yang dianggap belum ada obatnya. Dewasa ini, penyakit jantung dan penyakit-penyakit saraf masih men- jadi penyebab kematian tertinggi, di antaranya cardiomyopathy, coronary artery disease , stroke, alzheimer, parkinson, skizofrenia, dan epilepsi. “Saya ingin berkontribusi demi ke- maslahatan umat manusia secara keseluruhan,” harapnya. (M-4) hera_khaerani @mediaindonesia.com Sudah dua temuan hasil penelitian Taruna dan timnya dipatenkan di Amerika dan saat ini mereka sedang dalam proses untuk mematenkan temuan terbarunya. Kedua temuannya ialah alat yang mampu secara presisi memetakan otak hingga detail yang sangat tinggi alias nano.

Upload: taruna-ikrar

Post on 20-Jan-2017

109 views

Category:

Health & Medicine


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bapak kedokteran dunia

KAMIS, 18 FEBRUARI 2016 PARA PENAKLUK DUNIA 11

FOTO-FOTO: DOK PRIBADI

Mimpi Jadi Penerus Bapak Kedokteran Dunia

TA R U N A I K R A R

HERA KHAERANI

SUATU kali banjir besar melanda Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Air melahap apa saja, mulai pasar, sekolah, hingga

jembatan. Taruna Ikrar, bocah berusia 10 tahun yang kala itu tinggal di Desa Panakkukang, terkesan oleh kiprah seorang dokter muda yang tanpa kenal lelah melayani masyarakat. Dokter yang bekerja di sebuah puskesmas itu sigap mengobati pasien yang umum-nya terserang diare.

“Namanya dokter Husein. Dia dokter yang membantu orang selama 24 jam sekalipun tidak dibayar,” kisah Taruna ketika dihubungi Media Indonesia, Jumat (12/2). Secara menakjubkan dia masih mengingat nama dokter yang dikenalnya ketika masih belia.

Sejak hari itu, Taruna pun bercita-cita menjadi dokter dan keinginan itu memotivasinya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tertanam dalam benaknya betapa mulianya profesi dokter yang menolong masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit, berupaya menghilangkan penderitaan orang lain dengan pendekatan keil-muannya. Sebagai muslim, dia ingin menjadi penerus Ibnu Sina yang dike-nal sebagai Bapak Kedokteran Dunia.

Doa ayahnya, Abubakar (alm), dan ibunda, Hasnah Lawani, yang tersemat dari nama yang dipilih untuknya, yakni Taruna Ikrar, tampaknya terkabul. Le-laki yang kini dikaruniai tiga anak itu tumbuh menjadi sosok bersemangat muda yang kukuh memegang komit-men dan janji-janji dalam hidupnya. Kini, dia menjadi seorang dokter yang pakar di bidang farmakologi, kardiologi, neurologi, dan elektrofi siologi.

Kedua orangtuanya dulu bekerja sebagai guru di sekolah da-sar. Mereka bukan dari kalangan berada, ditambah dia meru-pakan anak kelima dari sepuluh bersau-dara. Meski begitu, ayahnya selalu me-nekankan penting-nya pendidikan dan meng ajarkan bahwa dengan kesung-guhan manusia bisa mewujudkan ke-inginannya. “Saya orang dari kampung yang tidak punya kemampuan fi nan-sial, aktivis sibuk luar biasa. Modalnya bukan uang, melainkan kemauan dan rasa percaya diri,” ungkap Taruna soal kiat suksesnya.

Semua pendidikan yang ditempuh-nya di luar negeri dijalani dengan

Pengantar: Dunia kian terhubung, batas-batas

negara makin longgar dan tantangan globalisasi menjadi nyata. Pesimisme

mestinya bukan milik kita karena banyak anak bangsa berjaya di tingkat dunia. Inilah 46 sosok inspiratif di antaranya,yang kami angkat dalam memperingati

HUT ke-46 Media Indonesia. Berikut sosok ke-5.

Dia termasuk satu dari lima dokter di dunia yang ahli di bidang farmakologi, kardiologi, neurologi, dan elektrofisiologi.

ENERGIPERADABAN

Nama: Taruna Ikrar

Tempat/tanggal lahir: Makassar, 15 April 1969

Pendidikan: • S-1 Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia (lulus 1994)

• S-2 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia (1997)

• Program Master Biomedical Sciences, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan spesialisasi di bidang farmakologi (2003)

• Doktor Tamu di Bologna University, Italia (2007)

• Gelar PhD di Niigata University, Jepang (2008)

• Program Postdoctoral di University of California, Amerika Serikat (2008-2010)

SEDERET penghargaan dan keahlian yang dimiliki Taruna Ikrar mengun-dang tawaran dari pihak imigrasi Ame-rika Serikat agar dia berpindah kewar-ganegaraan. Hal itu memang lazim di sana, banyak ahli, ilmuwan, pakar, dan orang-orang yang dianggap potensial bagi AS dipermudah untuk memiliki izin tinggal, menjadi penduduk tetap (Green Card), bahkan kemudahan un-tuk berpindah kewarganegaraan.

Andai dia memutuskan mengganti kewarganegaraan, tak lagi jadi warga negara Indonesia, sudah menanti daftar panjang keuntungan baginya. Dia bisa bebas bepergian ke 148 ne-gara tanpa visa sebagaimana warga negara Amerika lainnya. Dia berhak mencalonkan diri menjadi senator di negara itu dan turut berpartisipasi dalam pemilihan presiden, mendapat perlakuan prioritas dari American Investigation Service kalau ditimpa masalah di luar negeri, bisa menda-pat penghargaan-penghargaan khu-sus apabila berprestasi sebagai warga negara, dan seterusnya. “Namun saya masih cinta Indonesia, bukan tidak

mencintai Amerika,” akunya. “Saya memikirkan bukan untung

rugi, kalau pindah warga negara nantinya terbatas kontribusi untuk ne-gara yang melahirkan saya,” lanjutnya menambahkan soal kegiatannya yang masih diminta menjadi dosen luar biasa di Universitas Hassanudin.

Di sisi lain, dengan berada di AS saat ini, dia justru menilai itu mesti dimanfaatkan untuk memajukan In-donesia, dengan membawa hasil-hasil penelitiannya ke Tanah Air ataupun leluasa transfer pengetahuan.

Opsi kembali ke Tanah Air juga masih menyisakan kekhawatiran bag-inya yang takut akan ditarik ke politik karena dulunya ia seorang aktivis. Meski berprestasi di bidang akademik, Taruna tergolong aktif dalam berbagai organisasi di kampus.

Dia pernah menjadi ketua senat bahkan sempat menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ujung Pandang. “Organisasi jadi hobi karena saya tidak senang menyendiri. Bahkan kalau sedang fl u biasa, ketika dikasih kesempatan bicara di muka

umum, saya merasa bahagia dan langsung sembuh,” ungkap pengagum pidato Soekarno itu soal reaksi psikolo-gis yang dialaminya tiap berbicara di depan umum.

Dalam pandangannya, politik itu masih menjadi panglima di Indonesia, bahkan dalam institusi pendidikan dan lingkup penelitian.

“Di sini kalau kita mau kerja sama laboratorium, tidak perlu izin dari de-kan sekalipun, tapi kalau di Indonesia akan harus ada izin dari universitas, tidak independen.” Pada akhirnya orang-orang yang ingin berkontri-busi bagi masyarakat malah bisa habis ener ginya di politik.

Ibarat kucing yang dibuang punya kecenderungan untuk menemukan jalannya pulang, alam bawah sadar Taruna pun selalu mendorongnya merin dukan kampung halaman. Na-mun, dia masih merasa saat ini dia lebih bermanfaat ketika berada di luar negeri. “Saya belum ingin mengejar posisi struktural, mau berperan secara fungsional sesuai keahlian,” pungkas-nya. (Her/M-4)

Bertahan dengan Paspor Garuda

berbekal beasiswa. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar itu mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang untuk mengam-bil PhD di Niigata University, Jepang. Demikian pula ketika Postdoctoral di University of California, Amerika Serikat, dia menempuhnya dengan beasiswa.

Terlahir cerdas, pria yang menguasai baha-sa Inggris, Jepang, dan Italia itu menyukai pelajaran matemati-ka, biologi, dan fi sika. Namun, ternyata ke-tika masih duduk di bangku kelas 3 SD, dia pernah dijuluki ‘raja bolos’. Itu disebab-kan pernah sebulan penuh dia tidak masuk sekolah. Setiap hari dia pamit dari rumah dengan seragam, bu-kannya ke sekolah dia malah asyik berenang di danau atau pergi ke

pasar berjualan buah mangga. Orang-tuanya baru tahu ketika gurunya melaporkan masalah itu. “Ayah saya marah besar waktu itu,” kisah Taruna sambil terkekeh.

Meski marah, dengan bijaksana ayahnya menanyakan alasannya. Ternyata ia dilanda kebosanan berseko-lah dengan pola pengajarannya. Siswa hanya disuruh menulis, sedangkan

gurunya mengeja. Keluhan itu disam-paikan ayahnya ke guru dan sejak satu metode mengajar yang diubah, Taruna kembali bersemangat belajar dalam kelas. “Pendidikan adalah ‘golden gate’ untuk berkiprah secara internasional,” simpulnya dengan yakin.

Berkat keahliannya, dia mendapat pengakuan internasional dan saat ini sedang menjalani karier di California, Amerika Serikat. Tak hanya berpraktik sebagai dokter, dia juga peneliti dan akademisi yang mengajar di Univer-sity of California. Kampus tersebut

lumayan dikenal dalam hal penelitian, terutama setelah banyak melahirkan sejumlah peraih Nobel.

Meski berasal dari Indonesia yang tergolong negara berkembang, Taruna mengaku tidak pernah dipandang sebelah mata. Itu berkat kemam-puan, pengetahuan, dan profesional-ismenya yang memang layak diakui. Tidak kurang dari 54 karya ilmiah dihasilkannya dan 19 penghargaan di-terimanya. Di sisi lain, dia membekali dirinya dengan keterampilan yang tidak dimiliki banyak orang.

Berbeda dengan kebanyakan dokter yang memilih menekuni satu bidang saja, dokter yang setiap hari selalu menyempatkan berolahraga 30 menit sebelum memulai harinya itu justru mengombinasikan beberapa disiplin ilmu sekaligus, yakni farmakologi, kardiologi, dan neurosains. “Saya jadi orang yang sangat spesifi k, mul-tidisiplin. Jarang orang yang punya keterampilan dan ketertarikan untuk menyelami beberapa disiplin sekali-gus begitu, tahun lalu paling hanya ada lima dokter yang begitu di dunia, ter-masuk saya salah satunya,” jelasnya.

Dia memandang kardiologi dan neu-rosains menawarkan penelitian yang sangat menantang karena luasnya wilayah kedua bidang tersebut, mu-lai tingkat submolekuler, molekuler, subseluler, sel, jaringan, organ, hingga individual dan masyarakat. Demikian pula secara farmakologi yang bisa dilihat dari banyak sudut pandang,

baik perjalanan dan nasib obat dalam tubuh, efeknya terhadap tubuh, dan seterusnya.

Sudah dua temuan hasil penelitian Taruna dan timnya dipatenkan di Ame rika dan saat ini mereka sedang dalam proses untuk mematenkan temuan terbarunya. Kedua temuannya ialah alat yang mampu secara presisi memetakan otak hingga detail yang sangat tinggi alias nano. Itu merupa-kan kerja yang rumit karena sebagai catatan, terdapat tak kurang dari 100 miliar sel saraf dan diperkirakan koneksinya mencapai triliunan.

“Fungsi alat itu untuk mengatur menghidupkan atau mematikan (turn on/turn off) sel-sel saraf dan nanti irama otak itu bisa diatur. Ini berguna, misalnya, pada pasien parkinson yang sel sarafnya tidak teratur,” terangnya soal bagaimana penelitiannya bisa berkontribusi pada dunia medis yang selama ini masih dihadapkan pada penyakit-penyakit saraf yang dianggap belum ada obatnya.

Dewasa ini, penyakit jantung dan penyakit-penyakit saraf masih men-jadi penyebab kematian tertinggi, di antaranya cardiomyopathy, coronary artery disease, stroke, alzheimer, parkinson, skizofrenia, dan epilepsi. “Saya ingin berkontribusi demi ke-maslahatan umat manusia secara keseluruhan,” harapnya. (M-4)

[email protected]

Sudah dua temuan hasil penelitian Taruna dan timnya dipatenkan di Amerika dan saat ini

mereka sedang dalam proses untuk mematenkan temuan terbarunya. Kedua temuannya ialah alat yang

mampu secara presisi memetakan otak hingga detail yang sangat tinggi

alias nano.