bahasa ibu diantara diversitas kultural pada … · 1 laporan akhir hibah bersaing bahasa ibu...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING
BAHASA IBU
DIANTARA DIVERSITAS KULTURAL
PADA DESTINASI WISATA
INTERNASIONAL
TIM PENELITI
NIDN
Ketua : Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M.Hum 0029056907
Anggota :
1 Dra. Luh Putu Laksminy, M.Hum 0006026104
2 Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum 0031126517
Dibiayai oleh
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
Nomor : 17/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 3 Maret 2015
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 521 /Ilmu Linguistik
2
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ 1
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3
RINGKASAN ...................................................................................................... 4
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 5
1.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 5
1.3 Urgensi Penelitian ................................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 7
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................................ 7
2.2 Peta Jalan Penelitian ............................................................................... 10
BAB III. METODE PENELITIAN...................................................................... 12
3.1 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 12
3.2 Jenis dan sumber Data Penelitian ............................................................ 12
3.3 Instrumen Penelitian ................................................................................ 12
BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 17
3
RINGKASAN
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan model
pemertahanan bahasa ibu di daerah tujuan wisata internasional di Bali . Tujuan
khususnya adalah untuk mengetahui dan menganalisis model pemertahanan bahasa
Bali oleh masyarakat Bali khususnya generasi muda di Provinsi Bali yang meliputi
1) pola-pola pemakaian bahasa Bali oleh generasi muda di Bali dan 2) sikap bahasa
generasi muda terhadap bahasa Bali. Lokasi penelitian ini di daerah Bali bagian
Selatan dan Timur seperti Sanur (kota Denpasar), Kuta (kabupaten Badung),dan
Ubud (kabupaten Gianyar) dan pada Bali bagian barat (Tanah Lot) dan bagian
Utara (Lovina). Data dijaring menggunakan metode observasi dan menyebarkan
kuesioner, dibantu dengan teknik wawancara, dan teknik catat. Sample penelitian
ini adalah anak-anak dan remaja yang dilahirkan di Bali dan menggunakan bahasa
Bali sebagai bahasa ibu. Teknik quota diterapkan untuk menetapkan jumlah anggota
sampel tiap golongan yaitu masing-masing sebanyak 25 orang. Data dianalisis
menggunakan metode kualitatif dan kuantatif, kemudian disajikan dengan metode
formal dan informal. Dengan menggunakan teori pilihan bahasa dan teori
perubahan bahasa diharapkan dapat ditarik generalisasi model pemertahanan bahasa
ibu di daerah multilingual. Model pemertahanan ini sangat signifikan untuk
diketahui agar sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada
ranah formal maupun informal dapat dilakukan dengan tepat dan terarah yaitu agar
mampu mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis,
memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikologis menambah rasa aman bagi
anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis.
.
4
. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu oleh
masyarakat Bali dan juga merupakan salah satu elemen budaya Bali. Bahasa Bali
terkategori sebagai bahasa yang aman karena memiliki penutur di atas dua juta,
memiliki tradisi tulis yang kuat dan memiliki peranan sebagai pendukung
kebudayaan daerah (Alwi, 2001). Seiring dengan perkembangan jaman dan
munculnya berbagai destinasi wisata nternasional di Bali, menuntut masyarakat
sekitar destinasi wisata mampu berbahasa asing utamanya bahasa Inggris dengan
baik. Masyarakat sekitar destinasi wisata pada akhirnya cenderung menjadi
bilingual bahkan multilingual khususnya kalangan generasi muda. Mengingat
kondisi tersebut, timbul pertanyaan sejauh manakah kebertahanan generasi muda
terhadap bahasa ibunya. Untuk itu, penelitian mengenai tingkat kebertahanan
bahasa Bali sebagai bahasa ibu penting dilakukan sehingga ditemukan model
kebertahanan agar pembinaan dan pengembangan bahasa Bali berjalan sesuai
dengan kebijakan kebahasaan yang ada. Agar dapat dilaksanakan pembinaan dan
pengembangan yang tepat maka harus dilakukan terlebih dahulu harus dipahami
kondisi riil bahasa Bali di Bali termasuk perubahan-perubahan yang dialaminya
khususnya di daerah destinasi wisata internasional.
1.2 Tujuan Khusus
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan model
pemertahanan bahasa ibu di daerah tujuan wisata internasional. Tujuan khususnya
adalah untuk mengetahui dan menganalisis model pemertahanan bahasa Bali oleh
masyarakat Bali khususnya generasi muda di Provinsi Bali yang meliputi 1) pola-
pola pemakaian bahasa Bali oleh generasi muda di Bali dan 2) sikap bahasa
53
generasi muda terhadap bahasa Bali.
1.3 Urgensi Penelitian
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat agar dapat menerapkan, menguji, dan
atau mengembangkan pendekatan sosiolinguistik pada penggunaan bahasa di daerah
heterogen dan memiliki intensitas kontak yang tinggi. Hasil temuan diharapkan
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan teori linguistik di Indonesia,
khususnya di bidang linguistik makro
Secara praktis hasil penelitian ini bermanfat bagi pihak-pihak yaitu :1). Pusat
Bahasa dalam merancang pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah
khususnya di daerah-daerah yang memiliki intensitas pertemuan berbagai bahasa
sangat tinggi seperti di daerah wisata, daerah perkotaan pemukiman transmigran dan
atau daerah perbatasan,2) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali menentukan
kebijakan pendidikan khususnya dalam pendidikan bahasa daerah dan bahasa ibu 3). Para peneliti
dan penyelenggara pendidikan sosial, budaya, bahasa dan kesenian agar memahami, membina, dan
mengembangkan sistem pendidikan dan kebudayaan terutama bagi masyarakat Bali yang berada di
daerah destinasi wisata internasional.dan 3). Masyarakat Bali umumnya dan generasi muda
khususnya agar memahami pentingnya pelestarian Bahasa Bali dalam upaya pelestarian
budaya Bali.
Secara prospektif hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat akademis
atau para peneliti di bidang sosial – selain di bidang bahasa- seperti sosiologi, antropologi, dan
psikologi mengingat penelitian kebahasaan di daerah heterogenitas yang tinggi belum banyak
dilakukan. Adanya kecenderungan generasi muda untuk berakomodasi dan berasimilasi dengan
penutur bahasa lain menunjukkan adanya hubungan sosial yang bersifat asosiatif. Kajian
mengenai hubungan ini bermanfaat bagi sosiologi untuk melihat hubungan sosial antara
masyarakat lokal dan tamu asing yang berkunjung ke Bali. Bagi linguistik antropologi
penelitian ini bermanfaat untuk mempelajari hubungan antara bahasa dan prilaku sosial.
54
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai pemertahanan bahasa yang meliputi pola pemakaian
bahasa,sikap bahasa, sistem pewarisan bahasa telah banyak dilakukan oleh para peneliti
terdahulu. Beberapa di antaranya dijelaskan di bawah ini.
Berkaitan dengan pemertahanan bahasa Bali terlihat tanda-tanda menggembirakan ke
arah pelestarian dan pemeliharaan bahasa Bali di antara penutur bahasa Bali di daerah-daerah
pemukiman baru yang meliputi daerah Lampung, Sulawesi, Timor, dan Sumbawa ditemukan
Sutjaja (1991). Dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik yang dikaitkan dengan
identitas etnik faktor-faktor seperti umur, jangka waktu tinggal, kelas sosial, jenis pekerjaan, dan
topik pembicaraan juga menentukan pilihan variasi bahasa yang digunakan, baik tertulis maupun
lisan. Bahasa telah menjadi bagian dari jati diri mereka, di samping bahasa merupakan aspek
budaya. Pemeliharaan bahasa telah berjalan bersamaan dengan kenyataan adanya pemisahan
sosial dalam masyarakat. Pemisahan ini didasarkan pada sistem kasta dan anggota masyarakat
menerimanya sebagai warisan tradisi. Kontak antarkelompok masyarakat ini mengharuskan
pemakaian bentuk bahasa yang tepat agar tidak menimbulkan salah paham, terutama yang
menyangkut penghinaan. Peran upacara keagamaan dan tradisi tidak pula dapat diabaikan dalam
hubungannya dengan bahasa daerah. Perilaku dan tatakrama pergaulan yang ditunjukkan oleh
kaum tua telah menjadi contoh bagi para pemuda dan ini diakui manfaatnya oleh mereka
(Sutjaja :1991). Ditinjau dari segi kebahasaan, Sutjaja (1996:220) menyampaikan bahwa
komunitas Bali di Lampung menghadapi dua permasalahan pada saat bersamaan, yakni
(a) memudarnya penggunaan sor singgih (speech level) dan tergantikan oleh
penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin jarang
dipergunakan dan tergantikan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat
dikatakan bahwa bahasa Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang
paling sederhana yang penggunaannya dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil
Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka. Dalam situasi menurunnya
penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa kesenian memegang
peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi
di Bali. Kebertahanan bahasa Bali di Lampung terlihat juga dari penggunaan istilah
kekerabatan dan variasi tutur sapa bahasa daerah Bali yang digunakan oleh keluarga dosen di
55
Lampung. Pola tutur sapa bahasa Bali yang digunakan dalam berkomunikasi di Lampung
ditemukan masih cukup bertahan (Wetty :1996).
Hasil berbeda ditemukan oleh Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola
pengasuhan anak keluarga petani transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu
aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak
transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali,
anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas
menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali khususnya di kalangan anak- anak. Meskipun
penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil
penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu
mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.
Mandala (2000) mengadakan penelitian tentang penggunaan bahasa Bali orang-
orang Bali yang menetap di Lombok. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
penutur bahasa Bali di Lombok adalah dwibahasawan dan sebagian lagi
multibahasawan. Mereka fasih berbahasa Sasak. Jika berbicara dengan orang yang
belum dikenal, mereka pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia, dan setelah jati
diri lawan bicaranya diketahui dengan jelas barulah mereka mengambil strategi yang
lebih tepat dalam berkomunikasi, terutama menyangkut pemilihan kode yang sesuai.
Mereka tergolong cukup fundamentalis dalam hal penggunaan bahasa, sehingga orang
awam mengatakan bahwa bahasa Bali di Lombok lebih Bali dibandingkan dengan
bahasa Bali di Bali.
Laksminy (2001) mengungkapkan adanya kebertahanan Bahasa Indonesia dalam
keluarga campuran etnik Bali dengan orang asing, karena keluarga KCBT dan KCBB
cenderung memilih BI untuk berkomunikasi pada setiap ranah. Walaupun demikian,
dalam keluarga campuran etnik Bali dengan orang asing, tingkat kebertahanan BB - B1
penutur BB, cukup tinggi. Hal ini tercermin dari pilihan dan pemakaian BB lebih
tinggi dari BJp dan BAs1, karena semakin tinggi frekuensi pilihan B1 semakin
bertahan B1 tersebut. Keterkaitan aspek sosiologis, seperti faktor ranah yang
menentukan pilihan dan pemakaian bahasa yang didasarkan atas ranah konstalasi
seperti pelibat, latar, topik, dan situasi, serta aspek non-sosiologis, seperti strategi
orang tua mentransfer bahasa kepada anak dan faktor-faktor yang mendukung
pemilihan strategi tersebut, faktor latar belakang sosial budaya, demografi dan bahasa
56
lingkungan, etnisitas pelibat, gender, dan faktor kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa
yang terlibat dalam komunikasi tersebut, memberikan dorongan yang cukup besar
terhadap kebertahanan BI umumnya, dan kebertahanan BB khususnya.
Penelitian khusus pada kebertahanan bahasa penutur generasi remaja dilakukan
oleh Adisaputera (2010). Adisaputera (2010) melakukan penelitian mengenai
kebertahanan bahasa Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat. Menurutnya,
kebertahanan bahasa Melayu Langkat dapat dilihat dari proses regenerasi penuturnya.
Dalam proses regenerasi penutur bahasa Melayu Langkat, ada indikasi tidak
dikuasainya lagi sejumlah kosakata oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian
unsur sosial-budaya dan sosial-ekologi dalam komunitas Melayu di Stabat. Dalam
penelitian ini Adisaputera membuktikan adanya pergeseran BML ke BI di setiap ranah
penggunaan dan dalam berbagai situasi komunikasi. Dalam BML ditemukan juga
indikasi pergeseran bahasa secara internal. Pergeseran ini dipicu oleh keinginan
penutur untuk menyesuaikan bentuk-bentuk BML dengan bentuk-bentuk dan makna
lingual dalam BI, baik pada tataran bunyi, leksikal, maupun gramatikal.
Suteja (2007) mengungkap sikap (konatif, afektif, dan kognitif) kelompok
mahasiswa etnis Bali di Denpasar terhadap pemakaian ragam BB lisan dalam
komunitas pergaulan sehari-hari dalam konteks pilihan antarragam BB. Disimpulkan
bahwa rata-rata mereka bersikap negatif, baik kelompok yang tinggal di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Namun, sikap mereka terhadap pemakaian BB secara
umum dalam konteks pilihan bahasa antara BI dan BB untuk alat komunikasi informal
untuk kelompok yang tinggal di daerah perkotaan adalah negatif, sedangkan untuk
kelompok pedesaan bersikap netral. Sikap negatif tersebut terungkap karena ragam BB
pada umumnya dianggap tidak mencerminkan kesetaraan sosial dan kurang praktis
karena pemakaian kosakotanya yang dianggap sangat rumit.
Parwati ( 2011) melaksanakan penelitian terhadap remaja Kuta. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci (1) pilihan BI dan BB, (2) pilihan ragam
BB alus dan lumrah (BBA dan BBL),dan (3) menguraikan bentuk-bentuk lingual
dalam peristiwa alih kode dan campur kode yang muncul dalam tuturan komunitas
remaja di wilayah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Desa Sanur, Kecamatan
Denpasar Timur, dan Kecamatan Ubud. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
57
pilihan bahasa komunitas remaja di Kecamatan Kuta, Sanur dan Ubud dalam
berinteraksi adalah BB dan BI.
Malini, dkk (2012) dalam penelitiannya terhadap pemertahanan Bahasa bali
generasi muda di daerah destinasi wisata di Bali menemukan bahwa pilihan bahasa
generasi muda di Bali yaitu bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa- bahasa
tersebut digunakan pada berbagai ranah, utamanya ranah rumahtangga, ketetanggaan dan ranah
agama. Terkait dengan kemampuan berbahasa secara umum dapat dikatakan bahwa
pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap pemakaian kosakata
itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin semakin tinggi pula tingkat
pemakaiannya demikian sebaliknya. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat
pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu kosakata dasar Swadesh,
kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial masyarakat, kosakata berkaitan
dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan kesenian, kosakata berkaitan
dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih tinggi tingkat pemahamannya
dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta. Secara geografis Ubud merupakan
daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi oleh desa-desa kental dengan
tradisional Bali dengan ciri masyarakat lebih komunal dan lebih homogen lebih-lebih
keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat dengan ciri feodalismenya, Ubud
jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih mengandalkan budaya dan di sekeliling
Ubud masih terbentang persawahan. Berbeda halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua
wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat dekat dengan perkotaan dan penduduknya
pun lebih heterogen baik dari segi agama, ras, suku bangsa, matapencaharian dan
sebagainya. Terkait dengan sikap bahasa dari aspek kognitif, afektif dan konatif
generasi muda memiliki kecenderungan bersikap positif. Sikap positif ini merupakan
modal dasar yang harus dimiliki dalam upaya pemertahanan bahasa.
2.2 Peta Jalan Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan terdahulu berkaitan dengan
fenomena kontak bahasa dan perkembangan bahasa pada daerah daerah yang
heterogen. Peta jalan penelitian (roadmap penelitian) adalah sebagaimana bagan
berikut.
58
LUARAN 1.Model Pemertahanan Bahasa Ibu d i Destinasi Wisata Internasional di Bali
2. Dihasilkannya publikasi dalam bentuk buku
PE
NE
LIT
IAN
SA
AT
INI
Penelitian terbatas pada generasi muda Bali di pedesaan dan di luar wilayah pakai
bahasa Bali antara lain oleh :
Malini (2012) –penggunaan bahasa Bali di daerah destinasi wisata
Malini (2011)- degradasi penguasaan BB generasi muda di Lampung
Adisaputera (2010)-kebertahanan bahasa Melayu Langkat pada generasi muda
Parwati (2011) pemertahanan bahasa generasi muda di Kuta
Suteja (2007)- sikap bahasa etnis remaja denpasar
Laksminy (2004) –kebertahanan bahasa keluarga campuran etnis Bali dan etnis
asing
PE
NE
LIT
IAN
SE
BE
LU
MN
YA
Untuk mengetahui dan menganalisis kebertahanan
bahasa Bali oleh masyarakat Bali khususnya generasi
muda di Provinsi Bali yang meliputi 1) pola-pola
pemakaian bahasa Bali oleh generasi muda di Bali dan
2) sikap bahasa generasi muda terhadap bahasa Bali.
1.
T
U
J
U
A
N
M
E
T
O
D
E
Subyek : generasi muda Bali di daerah destinasi wisata
Metode :observasi partisipasi, kuesioner
Analisis data : Teori pilihan dan perubahan bahasa
59
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berdasarkan filosofi fenomenologis. Paradigma tersebut
membawa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif . Berkaitan dengan
metode penelitian dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di daerah-daerah destinasi wisata internasional di
Bali yaitu di Bali bagian Selatan dan Timur seperti Sanur (kota Denpasar), Kuta
(kabupaten Badung), Ubud (kabupaten Gianyar), di Bali barat dan utara yaitu di
Tanah Lot (kabupaten Tabanan) dan Lovina (kabupaten Buleleng). Pemilihan lokasi
tersebut karena daerah tersebut adalah destinasi wisata internasional yang mana terjadi
kontak bahasa yang tinggi antara wisatawan dan masyarakat lokal sebagai pengguna
bahasa ibu.
3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data lisan. Data primer penelitian ini
yaitu kata-kata, kalimat-kalimat, atau wacana yang dituturkan antar generasi muda
Bali dalam ranah keluarga, kekariban, pendidikan dan religi. Generasi muda Bali juga
menjadi responden penelitian ini. Generasi muda dimaksud adalah anak-anak usia
sekolah. Jumlah responden pada tahun pertama sejumlah 75 orang yang berasal dari
ketiga lokasi masing-masing 25 orang. Data yang diambil dari responden berupa data
lisan berupa teks pada kehidupan sosial generasi muda Bali. Data sekunder penelitian
ini adalah a) hasil survei sosiolinguistik dan b) informasi mengenai situasi kebahasaan,
kebudayaan dan tradisi masyarakat Bali.
3.3 Instrumen Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian diperlukan beberapa
instrumen, yang terdiri dari instrumen utama dan instrumen tambahan. Uraian masing-
masing instrument itu sebagai berikut.
60
1) Instrumen utama
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument).
Moleong (1998:19) menyatakan bahwa pencari tahu alamiah dalam pengumpulan data
lebih banyak tergantung pada diri sendirinya sebagai alat pengumpul data. Hal tersebut
juga disebabkan penelitian ini bersifat etnografis yang bercirikan observation
participation.
2) Instrumen tambahan
Untuk menjaga validitas dan relibilitas data dan supaya penelitian berjalan
pada jalur yang sesuai dengan tujuan, sebagai bahan triangulasi digunakan beberapa
alat pengumpul data dan sebagai instrumen tambahan digunakan kuesioner survei
linguistik. Daftar pertanyaan disusun dengan membuat pertanyaan yang khusus, kongkret,
dan sesuai dengan konteks. Pertanyaan juga diupayakan dapat mengungkapkan bukti,
bukan simpulan (Showalter,1991:26). Daftar pertanyaan diadopsi dari berbagai sumber
seperti Mahsun (2005: 296-321), Dhanawaty (2002: 476-486), Showalter (1991:13-26),
dan Nursaid dkk (2000). Sumber-sumber pertanyaan tersebut dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kepentingan penelitian ini.
Secara umum rancangan metode penelitian adalah sebagaimana bagan berikut.
61
PENELITIAN
SEBELUMNYA
PENELITIAN SAAT INI
LUARAN :
-Model Pemertahanan
bahasa Ibu
-Publikasi berupa buku Data : tulis dan lisan
Lokasi : Kuta, Ubud, Sanur,
Tanah Lot, Lovina
Pengumpulan data :
observasi lapangan
Analisis Data
pola pemakaian bahasa
generasi muda di Bali (20%)
sikap bahasa generasi muda Bali(60%).
Model Pemertahan Bahasa Bali (100%)
Kajian terbatas pada
pilihan bahasa .
Kajian generasi
muda di luar Bali
dan pedesaan .
Kajian generasi muda
Bali di daerah Wisata
Kajian pada pilihan, sikap bahasa
dan faktor sosiolinguistik
METODE INDIKATOR
Luaran :
Model
Pemertahan
Publikasi
(Buku)
BAGAN ALIR PENELITIAN
62
BAB IV .
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berlokasi di bagian barat
Kepulauan Indonesia dan diapit oleh Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Dengan luas
wilayah 5,633 km2, Bali memiliki 3.891.428 jiwa penduduk pada tahun 2010. Bali kini
lebih dikenal dengan salah satu daerah tujuan wisata yang terkenal di Indonesia dan
juga dimata dunia, sehingga tidak heran jika setiap tahunnya Bali selalu mendapat
kunjungan wisatawan dari berbagai negara di dunia. Penelitian ini berlokasi di Bali,
mengingat tingginya kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Terdapat 3 lokasi
yang menjadi wilayah penelitian di Bali yang tersebar di Ubud, Sanur, dan Kuta.
1. Ubud
Sebagai pusat pariwisata di Kabupaten Gianyar, Ubud menawarkan panorama
persawahan yang sangat mengagumkan dan menyegarkan mata. Ubud dengan luas
wilayah 7,8 Km2 ini juga kaya akan kesenian dan budayanya. Terbukti dengan
beberapa nama besar pelukis, penari, dan budayawan yang lahir dan besar di Bali.
Ubud berada diantara desa Peliatan (sebelah timur) dan Desa Sayan (sebelah
Barat). Di bagian Selatan, Ubud berbatasan dengan Desa Mas, dan Kecamatan
Tegalalang di bagian utara. Sampai tahun 2008, tercatat sebanyak 11.180 penduduk
tinggal di Ubud yang didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu. Dari segi
kebahasaanpun, daerah Ubud masih didominasi oleh Bahasa Bali, meski masih
terdapat minoritas warga yang berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Mata pencaharian penduduk Ubud bervariasi mulai dari sektor pertanian,
perkebunan, perdagangan, pariwisata, hingga karyawan swasta dan pegawai negeri.
Dari segi pendidikan, Ubud cukup terdepan dalam pendidikan. Terbukti dengan
63
lulusan dari sekolah menengah atas dan perguruan tinggi yang cukup banyak setiap
tahunnya. Ubud saat ini memiliki 2 buah SLTA, 2 buah SLTP, 5 buah SD, 1 buah
lembaga kursus, dan 1 buah lembaga pendidikan anak usia dini.
Ubud yang kini berusia 31 tahun telah menjadi daerah kunjungan wisata yang
modern dengan akomodasi yang sangat lengkap, mulai dari hotel, villa, restoran, kafe,
galeri, museum, pasar seni, dan banyak tempat hiburan lainnya.
Sejarah singkat Desa Ubud sendiri dimulai dari perjalanan sejarah Guru suci
Mpu Markandya dari Gunung Raung Jawa ke Bali, dalam proses penyebaran Agama
Hindu beliau tiba disebuah lereng atau bukit kecil yang memanjang ke arah utara dan
selatan. Bukit ini diapit oleh dua buah sungai yang berliku yang mirip seperti dua ekor
naga. Sungai yang berada disebelah barat bernama Sungai Wos Barat, sedangkan yang
berada disebelah timur bernama Sungai Wos Timur. Mpu Markendya mendirikan
sebuah pemukiman disebut ―Sarwa Ada‖ yang terletak disekitar desa Taro.
Kedua Sungai Wos Barat dan Wos Timur bertemu menjadi satu di sebuah
lokasi yang disebut dengan Campuhan. Di Campuhan inilah Mpu Markendya
mengadakan tempat pertapaan dan beliau mulai merambas hutan untuk membuat
pemukiman dan membagikan tanah pertanian bagi pengikutnya. Dengan demikian
sempurnalah Yoga Sang Resi, yang ditandai dengan dimulainya kehidupan masyarakat
di Desa ini dengan dianugrahinya tanah untuk pertanian sebagai sumber kehidupan.
Sebutan Wos untuk kedua sungai yang telah bercampur ini melekat menjadi
nama desa/pemukiman pada jaman itu. Sedangkan nama sungai ini sesuai dengan
maknanya. Sesuai dengan isi lontar Markandya Purana, Wos ngaran ―Usadi‖, Usadi
ngaran ―Usada‖, dan Usada ngaran ―Ubad‖. Dari kata ubad ini ditranskripsikan
menjadi UBUD
Objek penelitian ini adalah anggota Sekehe Teruna di Kelurahan Ubud.
Terdapat dua kelompok Sekehe Teruna yang menjadi sample untuk penelitian ini; STT
Swadharma Sambahan Ubud, dan STT Putra Maha Dipta Padang Tegal Ubud. Kedua
STT ini aktif dalam berbagai kegiatan yang tidak hanya bernuansa adat dan budaya,
tetapi juga di bidang pengembangan wawasan, kreatifitas, dan kebersamaan.
64
Ubud yang kini sarat dengan sentuhan-sentuhan dari dunia luar terutama yang
berasal dari sektor pariwisata membuat kontak bahasa antara bahasa asing yang masuk
ke Bali dan Bahasa Bali sendiri semakin tinggi. Hal ini sungguh sangat
mengkhawatirkan mengingat generasi muda saat ini sangat rentan akan pengaruh-
pengaruh dari luar sehingga ditakutkan akan membuat generasi muda terpengaruh oleh
bahasa asing yang masuk ke Ubud dan melupakan bahasa ibu mereka, Bahasa Bali.
2. Sanur
Desa Sanur Kauh dengan asset pariwisata pantai, setiap harinya sangat ramai
dikunjungi oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Desa dengan
luas 386,0 ha/m2 ini terdiri dari 12.055 jiwa penduduk. Sanur Kauh yang dulu bagian
dari Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar ini kemudian
mengalami pemekaran menjadi Desa Sanur Kauh pada tahun 1982. Desa yang
berbatasan dengan Desa Sanur Kaja di sebelah utara, Kelurahan Sanur di sebelah
Timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan, dan Desa Sidakarya di sebelah Barat ini
masih didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu (85,76%) yang berbahasa Bali
disusul beberapa suku minoritas seperti Suku Jawa (12,30%), Cina (0,45%), Asia
(0,26%), Afrika (0.03%), Australia (0,42%), dan Eropa (0,67%). Sebanyak 85,81 %
penduduk di Sanur Kauh beragama Hindu, disusul oleh agama Islam sebanyak 11,28
%, dan agama Protestan, Katolik, dan Budha masing 1,84%, 0,84% dan 0,20%.
Sanur yang kini telah berkembang menjadi objek wisata modern dengan
banyak hotel, villa, restoran, kafe, galeri, dan tempat-tempat hiburan menyuguhkan
suasana liburan yang sangat diidamkan wisatawan. Maka dari itu, mata pencaharian
penduduk di Desa Sanur tidak terlepas dari industry pariwisata. Sebanyak 50,43%
warga bekerja sebagai karyawan pengusaha swasta yang bergerak di bidang pariwisata.
Sedangkan sisanya bervariasi mulai dari nelayan, petani, pengusaha kecil dan
menengah, PNS, Pedagang, Arsitek, dll.
65
Generasi muda yang menjadi objek penelitian di desa Sanur Kauh ini berada di
bawah naungan Sekehe Teruna Banjar Dangin Peken. Pemuda-pemuda ini aktif dalam
menjalankan berbagai program dibidang seni budaya dan kreatifitas. Sehingga aksi-
aksi pelestarian budaya Bali masih sangat kental terasa di Desa Sanur Kauh.
Menjamurnya akomodasi-akomodasi dan juga bisnis-bisnis dalam sektor
pariwisata di Sanur membuat Sanur menjadi sentra wisatawan asing di daerah
Denpasar. Dengan demikian kontak bahasa antara wisatawan-wisatawan tersebut
dengan masyarakat lokal cenderung tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan
terjadinya pergesekan antara bahasa ibu; Bahasa Bali, dan Bahasa asing yang masuk ke
Sanur; Bahasa Inggris.
3. Kuta
Kelurahan Kuta yang terletak di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung ini
memiliki Pantai yang berpasir putih halus, tanpa karang, menjadikan lokasi ini sangat
ideal didatangi turis. Daerah wisata seluas 17.52 Km2
ini selalu didatangi banyak turis
terutama turis Manca Negara yang mencari sinar matahari, berjemur sambil berenang
dan berselancar. Desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kuta Utara di sebelah Utara, Kota
Denpasar di sebelah Timur, Kecamatan Kuta Selatan di sebelah Selatan, dan Samudra
Indonesia di sebelah Barat ini memiliki 12.055 jiwa penduduk hingga akhir 2010 lalu,
yang terdiri atas 51,07 % laki-laki dan 48,84% perempuan. Mayoritas penduduk di
Kuta masih didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu (63,35%) yang berbahasa Bali,
disusul oleh etnik Jawa beragama Islam (14,59%), Budha (7,6&), Protestan (7,5%),
dan Katolik (7%).
Di Kelurahan Kuta sendiri terdapat 14 Sekehe Teruna yang tersebar di 12
lingkungan atau 13 banjar suka duka. Adapun organisasi ST di Kelurahan Kuta yakni:
ST Surya Kencana,ST Kerthyadnya,ST Yuwana Giri, ST Sanggraha Yasa,ST Teruna
Wana Daya Parwatha, ST Eka Putra, ST Sadharna Dharma, ST Eka Karma, ST
Mandala Kerti, ST Surya Dharma, ST Jeladi Putra, ST Yuwana Sari, ST Wira Aditya,
ST Andika Jagaditha.
Kegiatan yang paling menonjol dibidang pengembangan budaya dan
kreatifitas adalah lomba ogoh-ogoh antar desa yang dilaksanakan setiap hari raya
66
Nyepi. Semua komponen ST terlibat di dalamnya untuk berpartisipasi memeriahkan
hari raya nyepi. Selain itu, semua ST di Kuta secara aktif dan
mandiri mengembangkan kreatifitasnya dalam menggelar aneka kegiatan guna
memperingati momen-momen tertentu.
Kini, Kuta pun semakin berkembang menjadi sentra pariwisata di Kabupaten
Badung. Sehingga mata pencaharian penduduk Kuta yang sebelumnya sebagian besar
menjadi nelayan, kini beralih ke sektor pariwisata karena kunjungan wisawatan baik
domestic maupun international tiap tahunnya semakin bertambah. Dengan tingkat
kunjungan wisatawan yang tinggi memaksa penduduk Kuta untuk menguasai banyak
bahasa asing guna menjual produk yang mereka tawarkan.
4. LOVINA
5. TANAH LOT
5.2 Pilihan bahasa
Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa,
dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Dengan tersedianya
kode-kode itu, anggota masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat
secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya.
Konsep dan Kategori Pilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita
bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam
suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua
bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya,
seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu
67
di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa
komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan
memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila
seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa
Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu
bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang
lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan
campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan
bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Faktor Penanda Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa
disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikaskan
empat faktor utama sebagai penda pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu
(1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik
percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti
makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di sebuah
keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status
sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan
mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa
topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga
barang di pasar. Faktor keempat berupa hal-hal seperti penawaran informasi,
permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-
faktor yang berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat
faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan,
(2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara
monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi
68
wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi
iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang
masuk / mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa
tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa sesorang. Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama
pentingnya. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu
diketahui bahwa umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting
daripada faktor lain. Di Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik
penutur dan mitra tutur menduduki faktor yang penentu pilihan bahasa dalam
masyarakat tersebut. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang
penting daripada faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang
terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya
tentang pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa
lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan
pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah
akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.
5.2.1 Bahasa dan pemakaiannya
(1). Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah keluarga.
a) Kuta
Generasi muda di wilayah Kuta, sebagai salah satu daerah wisata yang paling
banyak dikunjungi wisatawan dari manca negara, yang menggunakan B1-BB sebanyak
16 responden (64%) dan menggunakan BI sebanyak 9 responden (36%). Dapat dilihat
pada diagram 1.1. Dari sekian bahasa yang digunakan, 22 responden (88%) masih
menguasai B1 dan 3 responden (12%) sedikit menguasai B1 mereka (diagram 1.2).
Semua responden, 25 responden (100%), masih menggunakan B1 mereka untuk
berkomunikasi (diagram 1.3). Dari 25 responden, 22 responden (88%) memperoleh B1
69
dari lingkungan sekitar rumah, dan 3 responden (12%) melalui lingkungan masyarakat
yang lebih luas (diagram 1.4).
Diagram 1.1 Bahasa ibu responden
Diagram 1.2 Penguasaan terhadap bahasa ibu
Diagram 1.3 Frekuensi pemakaian bahasa ibu sehari-hari
Diagram 1.4 . Tempat memperoleh bahasa ibu
70
Melihat penggunaan BB sebagai B1 oleh generasi muda di wilayah Kuta dan
pernyataan masih menguasai serta masih menggunakan BB dalam komunikasi
dapat dikorelasikan dengan hasil bahwa 15 responden (60%) mampu menggunakan
BB dalam bercakap-cakap, 3 responden (12%) sangat mampu menggunakan BB, dan
hanya 7 responden (28%) memahami ujaran BB, dalam arti bahwa mereka memahami
BB secara pasif (diagram 2.1.1). Walaupun mereka memiliki kemampuan dan
pemahaman yang berbeda terhadap BB tetapi semua responden, 25 responden (100%),
mengatakan bahwa mampu berbahasa Bali sangat perlu (diagram 2.3.1)
Kemampuan generasi muda menggunakan B. Ing direalisasikan dalam diagram
2.1.2 Sebanyak 15 responden (60%) mampu bicara sedikit dan mampu memahami
ujaran Bahasa Inggris (B. Ing), 9 responden (36%) mampu bercakap-cakap
menggunakan B. Ing dan 1 responden (4%) sangat mampu berbicara B. Ing. Mereka
mampu menggunakan karena 20 responden (80%) memperoleh bahasa tersebut di
sekolah/di tempat kursus, 1 responden (4%) memperoleh di masyarakat, 1 responden
(4%) memperoleh di lingkungan rumah dan 3 responden (12%) memperoleh dari
ketiga tempat tersebut (diagram 2.2), dan mereka mengatakan bahwa memahami BIng
tersebut sangat perlu mengingat mereka tinggal di daerah pariwisata (diagram 2.3.2)
Diagram 2.1.1 Kemampuan Berbahasa Bali
Keterangan:
1 = sama sekali tidak mampu
2 = hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara
3 = mampu berbicara sedikit dan mampu memahami ujaran
4 = mampu bercakap-cakap
5.= sangat mampu
71
Diagram 2.1.2 kemampuan berbahasa Inggris
Keterangan:
1 = sama sekali tidak mampu
2 = hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara
3 = mampu berbicara sedikit dan mampu memahami ujaran
4 = mampu bercakap-cakap
5 = sangat mampu
Diagram 2.2 tempat memperoleh bahasa Inggris
Diagram 2.3.1 perlu tidaknya bahasa Bali
72
Diagram 2.3.2 perlu tidaknya bahasa Inggris
Seperti yang disebutkan pada pembicaraan sebelumnya bahwa sebagian besar
generasi muda di kuta masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan
tersebut tampak pada pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah
yang dikaji adalah ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, dan ranah agama. Ranah
keluarga dibagi lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah
tangga dan topik kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional.
Komunikasi yang dilakukan oleh generasi muda di kuta pada ranah keluarga
berlangsung dengan ayah, dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu.
Dari hasil tabulasi diperoleh hasil bahwa komunikasi dengan semua pelibat
kecuali dengan pembantu pada semua ranah, generasi muda di Kuta menggunakan BB
dengan prosentase tertinggi, kemudian menggunakan BI dan pemakaian BB dan BI
menduduki prosentase terendah.
Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika
berkomunikasi dengan ayah, 18 responden (72%), dengan ibu 16 responden (64%),
dengan saudara kandung 13 responden (52%), dan keluarga lain 15 responden (60%).
Ketika berkomunikasi dengan pembantu, mereka memilih BI 7 responden (28%),
kemudian menggunakan BB 4 responden (16%) dan BB & BI 1 responden (4%).
Pada topik kedinasan pilihan bahasa dengan menggunakan BB 15 responden
(60%) ketika berkomunikasi dengan ayah, dengan ibu 15 responden (60%), dengan
saudara 12 responden (48%), dan dengan keluarga lain 12 responden (48%).
Sementara pilihan bahasa kedua setelah BB adalah BI kemudian prosentase terkecil
jatuh pada pilihan bahasa BB&BI ketika berkomunikasi dengan semua pelibat, namun
ketika dengan pembantu BI memiliki prosentase tertinggi yaitu 7 responden (28%)
kemudian disusul dengan BB 4 responden (16%) dan BB & BI 1 responden (4%).
73
Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase
tertinggi yaitu 18 responden (72%) jika berkomunikasi dengan ayah, 16 responden
(64%) dengan ibu, 14 responden (56%) dengan saudara, dan 14 responden (56%)
dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutannya adalah pada BI, kemudian disusul
dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, kecuali ketika berkomunikasi dengan
pembantu mereka cenderung menggunakan BI 7 responden (28%), BB 4 responden
(16%) dan BI 1 responden (4%).
Generasi muda di Kuta ketika membicarakan hal-hal yang sifatnya serius lebih
sering menggunakan BB. 18 responden (72%) dengan ayah, 15 responden (60%)
dengan ibu, 14 responden (56%) dengan saudara, 13 responden (52%) dengan keluarga
lain, namun cenderung memilih BI (28%) dengan pembantu. Ketika situasi bicara
berlangsung emosional mereka memilih BB 18 responden (72%) dengan ayah dan 17
responden (68%) dengan ibu, kemudian dengan saudara 15 responden (60%) dan
keluarga lain 14 responden (56%). Selanjutnya mereka menggunakan BI dan pilihan
bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.
Secara keseluruhan, dalam ranah keluarga untuk daerah Kuta, responden
menggunakan BB untuk berbicara dengan ayah (71%), dengan ibu (66%), dengan
saudara (55%), dengan keluarga lain (55%), dan dengan pembantu (35%). Dapat
dilihat pada diagram 3.1.1.
Diagram 3.1.1. Penggunaan bahasa di ranah keluarga Kuta
b) Sanur
Di wilayah Sanur, generasi muda yang menggunakan B1-BB sebanyak 24
responden (86%), dan menggunakan BI sebanyak 3 responden (11%) (diagram
1.1), dan 24 responden (86%) mengatakan masih menguasai B1 mereka (86%), dan
hanya 4 responden (14%) mengatakan masih menguasai sedikit B1 tersebut
74
(diagram 1.2). Dari sekian bahasa yang digunakan 24 responden (86%) masih
menggunakan B1 tersebut, dan 4 responden (14%) jarang menggunakannya dalam
komunikasi (diagram 1.3). Dalam hal kemampuan berkomunikasi menggunakan
BB, 14 responden (50%) mampu bercakap-cakap menggunakan BB, 9 responden
(32%) sangat mampu, 3 responden (11%) mampu memahami ujaran BB, dalam arti
bahwa mereka memahami BB secara
pasif, dan 2 responden (7%) yang hanya mampu memahami ujaran tetapi tidak
mampu berbicara (diagram 2.1.1). 11 responden (39%) memperoleh B1 mereka
melalui komunikasi dengan masyarakat luas, 16 responden (57%) melalui lingkungan
rumah, dan melalui kedua tempat tersebut sebanyak 1 responden (4%) (diagram 1.4).
Generasi muda yang tinggal di wilayah Sanur-sebagai salah satu tujuan wisata,
yang hanya mampu berkomunikasi sedikit menggunakan B. Ing sebanyak 13
responden (46%), sama sekali tidak mampu menggunakan B. Ing 1 responden (4%),
yang mampu memahami ujaran B. Ing 10 responden (36%), dan yang mampu
bercakap-cakap hanya 4 responden (14%) (diagram 2.1.2). Sebanyak 21 responden
(75%) mampu menggunakan B. Ing karena mereka mengikuti kursus atau
memperolehya di sekolah, 2 responden (7%) memperoleh dari masyarakat, 3
responden (11%) memperoleh B. Ing di lingkungan rumah mereka (diagram 2.2).
Sama halnya dengan generasi muda di wilayah Kuta, generasi muda di Sanur
masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan tersebut tampak pada
pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah yang dikaji adalah
ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, dan ranah agama. Ranah keluarga dibagi
lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah tangga dan topik
kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional. Komunikasi yang
dilakukan oleh generasi muda di Sanur pada ranah keluarga berlangsung dengan ayah,
dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu. Komunikasi pada ranah agama
difokuskan pada kegiatan yang berlangsung di rumah dan di pura.
Dari hasil tabulasi sementara diperoleh hasil bahwa komunikasi dengan semua
pelibat generasi muda di Sanur menggunakan BB dengan prosentase tertinggi,
75
kemudian menggunakan BI dan pemakaian BB dan BI menduduki prosentase
terendah.
Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika
berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara sebanyak 23 responden (82%), dan
keluarga lain 14 responden (50%). Ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak
11 responden (39%) memilih BB.
Pada topik kedinasan pilihan bahasa dengan menggunakan BB 13 responden
(46%) ketika berkomunikasi dengan ayah, dengan ibu 14 responden (50%), dengan
saudara 13 responden (46%), dan dengan keluarga lain 9 responden (32%). Ketika
dengan pembantu 8 responden (29%) menggunakan BI dan kemudian dengan BB 9
responden (32%).
Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase
tertinggi yaitu 24 responden (86%) jika berkomunikasi dengan ayah, 25 responden
(89%) dengan ibu, 21 responden (75%) dengan saudara, dan 15 responden (54%)
dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutnya adalah pada BI, kemudian disusul
dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, termasuk ketika berkomunikasi dengan
pembantu, sebanyak 14 responden (50%), cenderung menggunakan BB.
Generasi muda di Sanur ketika membicarakan hal-hal yang sifatnya serius lebih
sering menggunakan BB. 19 responden (68%) dengan ayah, 20 responden (71%)
dengan ibu, 19 responden (68%) dengan saudara, 14 responden (50%) dengan keluarga
lain, 14 responden (50%) dengan pembantu. Ketika situasi bicara berlangsung
emosional, 24 responden (86%) memilih menggunakan BB dengan ayah, ibu dan
saudara, dan keluarga lain 18 responden (64%). Selanjutnya mereka menggunakan BI
dan pilihan bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.
Secara keseluruhan, dalam ranah keluarga untuk daerah Sanur, responden
menggunakan BB untuk berbicara dengan ayah (78%), dengan ibu (80%), dengan
saudara (76%), dengan keluarga lain (55%), dan dengan pembantu (75%). Dapat
dilihat pada diagram 3.1.2.
76
Diagram 3.1.2 penggunaan bahasa di ranah keluarga Sanur
c) Ubud
Di Ubud, generasi muda yang menggunakan B1-BB sebanyak 26 responden
(93%), menggunakan BI sebanyak 2 responden (7%) (diagram 1.1), dan semua, 28
responden (100%), mengatakan masih menguasai B1 mereka (diagram 1.2) dan masih
menggunakan BB tersebut untuk berkomunikasi (diagram 1.3). Dalam hal kemampuan
berkomunikasi menggunakan BB, 8 responden (29%) mampu bercakap-cakap
menggunakan BB, dan 20 responden (71%) lainnya sangat mampu menggunakan BB
(diagram 2.1.1). 3 responden (11%) memperoleh B1 mereka melalui komunikasi
dengan masyarakat luas, 21 responden (75%) melalui lingkungan rumah, dan melalui
kedua tempat tersebut sebanyak 4 responden (14%) (diagram 1.4).
Generasi muda yang tinggal di wilayah Ubud sebagai salah satu tujuan wisata,
yang hanya mampu berkomunikasi sedikit menggunakan B. Ing sebanyak 10
responden (36%), yang hanya mampu memahami ujaran B. Ing 3 responden (11%),
yang mampu bercakap-cakap 11 responden (39%), dan hanya 4 responden (14%)
sangat mampu menggunakan B. Ing (diagram 2.1.2). Sebanyak 23 responden (82%)
mampu menggunakan B. Ing karena mereka mengikuti kursus atau memperolehya di
sekolah, dan 5 responden (18%) memperoleh B. Ing di lingkungan rumah mereka
(diagram 2.2).
77
Seperti yang disebutkan pada pembicaraan sebelumnya bahwa sebagian besar
generasi muda di Ubud masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan
tersebut tampak pada pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah
yang dikaji adalah ranah keluarga, ketetanggaan dan ranah Agama. Ranah keluarga
dibagi lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah tangga dan
topik kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional. Komunikasi yang
dilakukan oleh generasi muda di Ubud pada ranah keluarga berlangsung dengan ayah,
dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu.
Dari hasil tabulasi sementara diperoleh hasil bahwa komunikasi dengan semua
pelibat kecuali dengan pembantu pada semua ranah, generasi muda di Ubud
menggunakan BB dengan prosentase tertinggi, kemudian menggunakan BI dan
pemakaian BB dan BI menduduki prosentase terendah.
Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika
berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara sebanyak 26 responden (93%), dan
keluarga lain 25 responden (89%). Ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak
2 responden (7%) memilih BB.
Pada topik kedinasan pilihan bahasa dengan menggunakan BB 22 responden
(79%) ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu, dengan saudara 20 responden
(71%), dan dengan keluarga lain 18 responden (64%). Ketika dengan pembantu 1
responden (4%) menggunakan BI dan kemudian dengan BB 2 responden (7%).
Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase
tertinggi yaitu 26 responden (93%) jika berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara,
dan 25 responden (89%) dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutnya adalah pada
BI, kemudian disusul dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, termasuk ketika
berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak 2 responden (7%), cenderung
menggunakan BB.
Generasi muda di Ubud ketika membicarakan hal-hal yang sifatnya serius lebih
sering menggunakan BB. 25 responden (89%) dengan ayah, ibu dan saudara, 22
78
responden (79%) dengan keluarga lain, 2 responden (7%) dengan pembantu. Ketika
situasi bicara berlangsung emosional, 24 responden (86%) memilih menggunakan BB
dengan ayah, 25 responden (89) dengan ibu dan 26 responden (93%) saudara, dan
keluarga lain 25 responden (89%). Selanjutnya mereka menggunakan BI dan pilihan
bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.
Secara keseluruhan, dalam ranah keluarga untuk daerah Sanur, responden
menggunakan BB untuk berbicara dengan ayah (89%), dengan ibu (89%), dengan
saudara (89%), dengan keluarga lain (83%), dan dengan pembantu (67%). Dapat
dilihat pada diagram 3.1.3.
Diagram 3.1.2. Penggunaan bahasa pada ranah keluarga di Ubud
(2) Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah ketetanggaan.
a) Kuta
Mengingat Kuta adalah daerah yang sangat heterogen, banyak warga yang
berasal dari kelompok etnik dan berbagai negara berdomisili di sana sehingga banyak
bahsa yng terlibat dalam berkomunikasi. Oleh karena itu generasi muda Kuta dalam
ranah ketetanggaan menggunakan BI dengan prosentase tertinggi, 14 responden (56%),
kemudian BB 4 responden (24%), dan BB&BI 5 responden (20%) (lihat diagram 3.2).
b) Sanur
Mengingat Sanur adalah daerah yang sangat heterogen, banyak warga yang
berasal dari kelompok etnik dan berbagai negara berdomisili di sana sehingga banyak
bahsa yng terlibat dalam berkomunikasi. Namun demikian generasi muda Sanur dalam
ranah ketetanggaan menggunakan BB dengan prosentase tertinggi, 16 responden
79
(57%), kemudian BI 8 responden (29%) dan BB&BI 4 responden (14%) (lihat diagram
3.2).
c) Ubud
Mengingat Ubud adalah daerah yang sangat heterogen, banyak warga yang
berasal dari kelompok etnik dan berbagai negara berdomisili di sana sehingga banyak
bahsa yng terlibat dalam berkomunikasi. Namun demikian generasi muda Ubud dalam
ranah ketetanggaan menggunakan BB dengan prosentase 27 responden (96%) dan
BB&BI 1 responden (4%) (lihat diagram 3.2).
Diagram 3.2. Bahasa saat berbincang-bincang di sekitar lingkungan rumah.
(3) Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah keagamaan
a) Kuta
Komunikasi yang berkenaan dengan ranah agama baik yang berlangsung di
rumah maupun di pura, pilihan terhadap BB menduduki frekuensi tertinggi. Pilihan
terhadap BB ini dilkukan jika berkomikasi dengan ayah, yaitu (76%) ketika di rumah
dan (80%) ketika di pura. Prosentase berikutnya ketika berkomunikasi berturut-turut
dengan ibu, saudara, dan keluarga masing-masing untuk di rumah dan di pura. Pilihan
terhadap BI tetap menduduki pilihan tertinggi jika berkomunikasi dengan pembantu
baik untuk di rumah dan di pura (lihat diagram 3.3).
b) Sanur
Komunikasi yang berkenaan dengan ranah agama baik yang berlangsung di
rumah maupun di pura, pilihan terhadap BB menduduki fungsi tertinggi. Pilihan
tertinggi ini dilkukan jika berkomikasi di rumah dengan ayah, ibu, dan saudara
80
(100%), dengan keluarga lain (82%) dan pembantu (50%). Ketika di pura prosentase
tertinggi ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu masing-masing (96%) dengan
saudara (89%) menggunakan BB. Mereka menggunakan BB (75%) ketika
berkomunikasi dengan keluarga dan (50%) dengan pembantu (lihat diagram 3.3).
c) Ubud
Komunikasi yang berkenaan dengan ranah agama baik yang berlangsung di
rumah maupun di pura, pilihan terhadap BB menduduki fungsi tertinggi. Pilihan
tertinggi ini dilkukan jika berkomikasi di rumah dengan ayah, ibu, dan saudara (93%).
Ketika di pura prosentase ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu pada pilihan BB
(89%), dengan saudara (93%) menggunakan BB, dan menggunakan BB (89%) ketika
berkomunikasi dengan keluarga (lihat diagram 3.3).
Diagram 3.3.1. Bahasa saat upacara keagamaan di Pura
Diagram 3.3.2. Bahasa saat upacara keagamaan di rumah
5.3 Kemampuan Bahasa Bali di Kalangan Generasi Muda
81
Bahasa tidak akan digunakan dalam berinteraksi apabila penuturnya tidak
memiliki kemampuan untuk menggunakannya. Fenomena tingkat kemampuan
generasi muda dalam menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa ibu dapat dilihat dari
indikator pemahaman dan pemakaian terhadap BB. Pada indikator pemahaman di
pakai dua parameter, yaitu (a) tahu dan (b) tidak tahu. Sedangkan pada indikator
pemakaian digunakan parameter (a) pernah memakai dan (b) tidak pernah memakai.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa kemampuan generasi muda
dalam pemakaian BB di tiga wilayah destinasi wisata internasional adalah sebagai
berikut.
(1) Ubud
Kemampuan berbahasa Bali di kalangan generasi muda di Ubud dengan 28
responden dari 25 orang yang direncanakan cukup menggembirakan. Berdasarkan
daftar kata Swadesh yang diajukan sebanyak 25 buah kata ternyata persentasenya
cukup tinggi, yakni dalam rentangan 71% -- 100% mereka tahu dengan tujuh
kelompok persentase. Dalam bahasa Bali yang mengenenal sistem sor – singgih
(anggah-ungguhing basa) keduapuluh lima buah kata tersebut masing-masing memilki
bentuk alus atau padanan kata yang memiliki nilai rasa hormat. Berdasarkan ukuran
terhadap pemahaman kata-kata sesuai daftar kata Swadesh dengan parameter tahu dan
tidak tahu, maka dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat tabel 4.1.1)
Persentase yang terendah, yakni yang 71 % (duapuluh orang) itu ditemukan
hanya pada satu kata, yakni kata wilis/gadang 'hijau'. Atau dapat dikatakan ada 8 orang
dari 28 responden tidak mengetahui kata wilis/gadang ‗hijau tersebut. Satu kata pula
(22 orang) atau 79% mengetahui kata uyah/tasik ‗garam‘. Sebanyak 24 orang atau
86% mengetahui kata-kata bilangan selae ‗duapuluh lima‘, sasur ‗tiga puluh lima‘,
dan telung benang ‗tujuh puluh lima‘. Selanjutnya, 25 orang atau 89% mengetahu kata
basang/weteng ‗perut‘. Tiga kata, yakni api/geni ‗api, ipun/ida ‗ia‘, dan satak ‗dua
ratus‘ mencapai 93% atau 26 orang. Selanjutnya, lima buah kata, yakni pianak/oka
‗anak, kenken/sapunapi ‗bagaimana, labuh/ulung/runtuh ‗jatuh‘, ubad/tamba ‗obat,
dan luung/becik ‗baik mencapai 96% atau 27 orang. Yang paling menggembirakan
dengan tingkat capaian 100% atau 28 orang sebanyak 11 kata yakni, kata-kata siu
'seribu", meme 'ibu', negak 'duduk, yeh/toya 'air‘, cicing ''anjing‘, be ‘ikan/daging‘,
jukut ‗sayur‘, teka ‗datang‘, selem ‗hitam‘, bek/liu/akeh ‗banyak‘, bongol ‗tuli‘. Ini
82
berarti bahwa hampir sebagian (44%) dari daftar kata yang ditanyakan diketahui
dengan baik oleh generasi mudanya.
Jika dihitung perbandingan antara jumlah persentase yang diperoleh dengan
jumlah kata yang ditanyakan kata sebanyak 25 buah kata, maka didapati rerata
persentasenya sebesar 88,32%, maka dikatakan bahwa 88,32%% generasi mudanya
mengetahui dan paham dengan kata-kata tersebut atau sebanyak 17,68% mereka sudah
tidak mengetahui atau memahami kata-kata yang ditanyakan.
Dilihat dari segi pemakaiannya, ternyata rentangan pemakaiannya 71% --
100% mereka pernah memakainya. Rentangan ini menunjukkan korelasi yang sama
dengan tingat pemahaman kata yang ditanyakan juga 71%--100%. Namun, yang
membedakannya adalah dalam kelompok strata persentasenya. Kalau dalam ukuran
aspek pemahaman kata dengan tingkat pengetahuan kata terbagi atas tujuh kelompok
persentase, maka dalam aspek pemakaian kata terdapat delapan kelompok strata
persentase, atau satu strata lebih banyak atau lebih variatif. Kedelapan strata persentase
tersebut dapat diuraikan berikut ini (lihat tabel 4.1.2).
Ada satu kata masing-masing yang mencapai pemakaian 71% (kata wilis), 82%
(kata satak) , 86% (kata bilangan selai), dan 89% (kata basang/weteng). Ada tiga buah
kata mencapai tingkat pemakaian 75%, yakni kata uyah/tasik ‗garam, sasur ‗tiga
puluh lima‘ telung benang ‘tujuh puluh lima‘. Sebanyak lima kata mencapai tingkat
pemakaian 93%, yakni api/geni ‗api, pianak/oka ‗anak‘, luung/becik ‗baik‘, ipun/ida
‗ia‘, dan ubad/tamba ‗obat. Yang menarik dari daftar kata Swadesh yang diajukan
adalah kata wilis/gadang ‗hijau‘, yakni sama-sama mencapai 71% baik dari segi
pemahaman maupun dari segi pemakaian.
Bila dihitung perbandingan jumlah persentase pemakaian kata dengan jumlah
kata yang ditanyakan sebanyak 25 buah kata, maka akan didapai pemakaian kata
mencapai 92,08%. Persentase ini menunjukkan angka lebih tinggi jika dibandingkan
dengan persentase aspek pemahaman yang hanya mencapai 88,32%. Hal ini sudah
tentu sangat baik dan menggembirakan karena menunjukkan adanya dinamika
penggunaan kata yang lebih baik walaupun sesungguhnya masih ada sekitar 3,76%
kata-kata tersebut sudah tidak pernah dipakai lagi dalam pergaulan dan percakapan
sehari-hari.
83
Tabulasi kosa kata budaya berdasarkan medan makna khususnya kata yang
berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial dapat dijelaskan seperti berikut ini (lihat
tabel 4.1.2)
Ada sepuluh kata yang ditanyakan berkaitan dengan organisasi sosial.
Berdasarkan persentasenya, ternyata tingkat pemahaman kata menunjukkan rentangan
57% -- 100% mereka tahu yang terdiri atas tujuh kelompok. Ketujuh strata tersebut
adalah: ada dua kata menunjukkan angka 57% (nyambangin ‗ronda malam‘ dan
cingkrem ‗iuran‘), satu kata masing-masing 75% (panyarikan ‗juru tulis‘), 79%
(manggala karya ‗ketua panitia), 82% (perbekel ‗kepala desa), 86% (arah-arah
‗pemberitahuan), 93% (nguopin ‗membantu‘), dan 96% (kelihan adat ‗kepala adat‘).
Strata tertinggi yang merupakan strata ketujuh menunjukkan ada dua buah kata
mencapai angka 100%, yakni kata sangkep/paun ‗rapat‘ dan bale banjar ‗balai desa‘.
Bila dihitung rerata perbandingan antara jumlah persentase dengan jumlah kosa
kata yang ditanyakan maka hasilnya menunjukkan 82,5% mereka tahu atau 17,5% ada
kata-kata bahasa Bali yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka pahami. Khusus
mengenai kata nyambangin ‗ronda malam‘ dan cingkrem ‗iuran‘ yang menunjukkan
angka 57% merupakan kata yang paling rendah persentasenya atau hampir sebagian
(43%) mereka sudah tidak mengetahui dan tidak memahimnya lagi. Mereka lebih
mengenal kata ronda malam untuk kata nyambangin dan lebih mengenal kata iuran
untuk kata cingkrem.
Dilihat dari tingkat pemakaiannya, hasil tabulasi menunjukkan terdiri atas
tujuh strata dengan rentangan 46% -- 100% mereka memakainya (lihat tabel 4.2.2).
Satu kata masing-masing menunjukkan angka 46% (arah-arah ‗pemberitahuan‘), 61%
(nyambangin ‗ronda malam‘), 71% (panyarikan ‗juru tulis‘), 86% (cingkrem ‗iuran‘).
Ada dua buah kata menunjukkan 79% (perbekel ‗kepala desa‘ dan manggala karya
‗ketua panitia‘) dan 93% (nguopin ‗bantu‘ dan kelihan adat ‗kepala adat‘). Capaian
100% juga ditunjukkan oleh dua buah kata (sangkep/paum ‗rapat‘ dan bale banjar
‗balai desa‘).
Bila dihitung rerata perbandingan jumlah persentase pemakaian kata dengan
jumlah kata yang ditanyakan, maka hasilnya menunjukkan angka 80,8% mereka
memakainya atau 19,2% mereka tidak pernah menggunakan kata-kata yang
ditanyakan. Jika dibandingkan dengan rerata tingkat pengetahuan dan pemahaman kata
84
yang ditanyakan yang mencapai angka 82,5%, maka ini berarti masih ada selisih atau
lebih rendah pemakaiannya lagi 1,7%. Keadaan yang lebih mencolok mengenai kata
arah-arah ‗pemberitahuan‘ menunjukkan yang menunjukkan angka 46%
mengindikasikan bahwa sudah sebagian lebih (54%) mereka sudah tidak pernah
memakainya lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan persentase tingkat pengetahuan
dan pemahaman mereka yang menunjukkan angka 86%. Artinya, walaupun mereka
tahu tetapi mereka jarang menggunakannya.
Khusus kata sangkep ‗rapat‘ dan bale banjar ‗balai desa‘ adalah dua buah kata
yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan intensitas penggunaan yang paling
tinggi mencapai 100% baik dari segi pemahaman kata maupun dari segi pemakaian
kata. Pengetahuan dan pemahaman kata berbanding lurus dengan pemakaian kata. Ini
mengindikasikan bahwa keberadaan bale banjar sebagai institusi organisasi tradisional
masih kuat. Bale banjar adalah sebuah wadah/organisasi yang sudah ada sejak dahulu
dan masih diwarisi sampai sekarang. Bale banjar merupakan tempat untuk
melaksanakan rapat-rapat anggota banjar. Data juga menujukkan bahwa masyarakat
Ubud masih terikat dalam organisasi sosial banjar sebagai ciri khas masyarakat Bali
yang komunal. Kata yang menunjukkan intensitas penggunaan yang tinggi juga
ditunjukkan oleh kata kelihan adat ‗kepala adat‘ (93%). Kelihan adat dalam
masyarakat Bali merupakan jabatan kehormatan sekaligus dituakan yang dipilih secara
demokratis karena kemampuan, pengaruh, maupun pengetahuannya.
Mayarakat Ubud rupanya juga masih melestarikan tradisi ngoopin
‗bantu,tolong‘ dengan capaian pemakaian 93%. Ngoopin merupakan aktivitas
masyarakat yang membantu keluarganya, tetangganya, masyarakatnya secara sukarela
tanpa imbalan materi maupun uang. Yang paling rendah capaiannya adalah kata arah-
arah ditunjukkan dengan angka 46%, dapat dikatakan bahwa generasi mudanya sudah
tidak pernah menggunakan ‗pemberitahuan‘ untuk menyampaikan pemberitahuan
dalam suatu organisasi.
Ada 36 kata yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan religi .Tingkat
pengetahuan kata yang berkaitan dengan religi dapat dipaparkan sebagai berikut ini.
Hasil tabulasi menunjukkan rentangan cukup tinggi, yakni 71% – 100% mereka tahu
dan memahami dengan tujuh strata pengelompokan (lihat tabel 4.3.1)
85
Yang paling banyak diketahui dengan capaian 100% dengan tigabelas buah
kata, yaitu roban/nyama ‗keluarga batih‘, pedanda/jero mangku ‗pendeta/pemimpin
upacara, matatah/mapandes ‗upacara potong gigi‘, pawiwahan ‗menikah‘, mati/seda
‗meninggal‘ ngaben ‗kremasi‘, nanem ‗mengubur‘, ngayah ‗kerja adat‘, makemit ‗jaga
malam‘, dan magibung ‗makan bersama‘, kulkul ‗kentongan‘, piodalana/patoyan ‗hari
suci‘, nganten ‗kawin‘. Kata berikutnya yang persentasenya sangat tinggi (96%)
sebanyak 6 buah kata, yaitu kata saiban ‗sejenis upacara setelah selasai masak‘,
matungan ‗berpacaran‘, nglekadang ‗melahirkan‘, pradana ‗bertindak sebagai wanita
dalam kedudukan adat‘, nguopin ‗partisipasi dalama kerja adat‘. Selain itu, ada empat
kata yang menunjukkan psersentase cukup tinggi (93%), yaitu: beling/mobot ‗hamil‘,
nelubulanin ‗upacara tiga bulan bayi‘, otonan ‗upacara kelahiran‘, rahinan ‗hari suci‘.
Hanya ada dua kata yang mencapai 89%, yaitu kata ngidih/ngluku ‗upacara meminang‘
dan magebagan ‗begadang di rumah orang mati‘. Selanjutnya ada empat kata yang
mencapai 86%, yaitu: majenukan ‗melayat‘, bulan pitung dina/akambuhan ‗upacara 42
hari‘, rajasewala/rajasinga ‗upacara akil balik untuk laki-laki/perempuan‘, dan
malukat ‗upacara pembersihan diri‘. Ada empat buah kata yang mecapai angka 82%,
yaitu: kepus pungsed ‗upacara putus tali pusar‘, nyeeb/ngatelunin ‗upacara tiga hari
setelah penguburan mayat‘, dosa ‗denda‘, dan ngulapin ‗upacara setelah mengalami
kecelakaan‘. Yang terendah 71% sebanyak tiga buah kata, yaitu kundangan ‗datang ke
acara manusa yadnya‘, prayascita ‗upacara pembersihan lingkungan rumah‘, meras
‗upacara mengadopsi anak‘.
Bila dihitung rerata perbandingan jumlah persentase dengan jumlah kata yang
ditanyakan sebanyak 36 buah kata, maka hasil yang diperoleh adalah 91, 97% mereka
tahu. Angka ini mengindikasikan bahwa mereka para generasi muda di Ubud tahu dan
memahami dengan baik tentang kehidupan religi.
Hal sebaliknya justru terjadi dari aspek pemakaian kata (lihat tabel 4.3.2).
Berdasarkan hasil tabulasi, maka rentangannya menunjukkan kisaran 54% -- 100%
mereka memakai dengan sepuluh strata pengelompokan. Satu kata masing- masing
menunjukkan 54% 75% dan 79%. Dua kata menunjukkan 64%, tiga kata menunjukkan
82%, empat kata masing-masing menunjukkan 89%, 96%. Yang tertinggi 100%
ditunjukkan oleh enam buah kata. Pengetahuan dan pemahaman kata hasil tabulasi
71% ternyata dari segi pemakaiannya hanya menunjukkan angka 54%. Masih ada
86
kesenjangan pemakaian kata sebesar 17%. Ada sejumlah kata yang menunjukkan
korelasi tinggi berbanding lurus antara pengetahuan dan pemahaman kata dengan
pemakaian kata (100%). Adapun kat-kata tersebut adalah: pandita/jero mangku
‗pendeta/kepala upacara‘, nyama/roban ‗keluarga batih‘, ngaben ‗upacara pembakaran
mayat‘, ngayah ‗bekerja secara tulus ikhlas dalam adat dan di pura‘, kulkul
‗kentongan‘, dan magibung ‗makan bersama secara adat‘.
Dilihat dari segi pemakaiannya, ada enam kata yang pernah mereka
pakai/gunakan yang persentase paling tinggi (100%), yakni: kata pedanda/jero mangku
‗pendeta/pemuka/pemimpin upacara‘, nyama/roban ‗keluarga batih‘, ngayah ‗kerja
adat‘, magibung ‗makan bersama‘, ngaben ‗upacara pembakaran mayat‘, kuklkul
‗kentongan‘. Penggunaan kata pedanda/jero mangku menunjukkan bahwa aktivitas
kehidupan religinya sangat baik. Demikian juga untuk kata roban/nyama menunjukkan
bahwa intensitas interaksi dalam keluarga sangat baik. Aktivitas magibung dan ngayah
juga ditunjukkan oleh generasi muda Ubud terbukti mereka pernah menggunakan kata-
kata tersebut.
Frekuensi pemakaian yang tinggi (96%) yang pernah dipakai oleh generasi
muda di Ubud ditunjukkan oleh kata-kata nganten ‗kawin/menikah‘, nelubulanin
‗upacara tiga bulanan bayi‘, makemit ‗jaga malam di pura‘, dan nguopin ‗partisipasi
dalam kerja adat‘. Hanya 4% sisanya mereka tidak memakainya.
Bila dihitung rerata perbandingan jumlah persentase aspek pemakaian kata
dengan jumlah kata yang ditanyakan, maka hasil yang diperoleh adalah 87,78%. Ini
berarti bahwa tingkat pemakaian kata lebih rendah 4,19% dari tingkat pengetahuan dan
pemahaman kata sebesar 91,97%.
Pengetahuan kosa kata yang berkaitan dengan bidang kesenian dapat
dijabarkan sebagai berikut ini (lihat tabel 4.4.1).
Ada delapan belas buah kata yang ditanyakan kepada responden dalam aspek
pemahaman dan pengetahuan kata dalam rentangan 79% -- 100% mereka tahu dengan
enam strata. Urutan persentase tiga teratas yang menduduki rentangan paling tinggi
adalah sebagai berikut. Ada lima buah kata yang menunjukkan tingkat 100%, yaitu:
mabalih ‗nonton‘, senteng ‘selempang‘ mapayas ‗ berhias‘, bungkung ‗cincin‘, ngigel
‗menari‘. Ada enam buah kata dengan tingkat persentase mencapai 96%, yaitu: saput
‗kain penutup‘, kamen ‗kain, gong ‗gong, magending ‗bernyanyi‘, sekaa gong
87
‗kelompok penabuh‘, dalang ‗dalang‘. Urutan ketiga dengan persentase tertinggi
(93%) adalah kata isandal ‘alas kaki’.
Kedelapan belas buah kata tersebut ternyata kata-kata yang pernah dipakai
memiliki rentangan antara 75%% -- 100% mereka memakainya dengan strata 8
kelompok (lihat tabel 4.4.2). Rentangan ini cukup korelatif dengan aspek pengetahuan
dan pemahaman kata dengan rentangan 79% -- 100%. Dapat dikatakan bahwa ada
degradasi pemakaian kata sebesar 4%. Tiga urutan pemakaian kata teratas adalah
sebagai berikut ini. Lima buah kata mencapai 100%, yaitu: pasantian ‗semacam
kelompok penyanyi‘, senteng ‗selempang‘, mabalih ‗menonton‘, ngigel ‗menari‘,
mabalih menonton‘. Lima buah kata mencapai 96%, yaitu: sekaa gong ‗sekelompok
penabuh‘, magending ‗bernyanyi‘, dalang ‘dalang’, gong ‗gong‘, kamen ‗kain‘,
mapayas ‗berhias‘. Dua buah kata mencapai angka pemakaian 93%, yakni kata saput
‗kain penutup‘ dan sandal ‗sandal‘.
Ada 12 kata berbanding lurus antara aspek pengetahuan dan pemahaman kata
dengan aspek pemakaian kata. Adapun kata-kata yang dimaksud adalah: sekaa gong,
pragina, ngigel, magending, dalang, gong, bungkung, sandal, kamen, sabuk, senteng,
lelancingan, dan mabalih. Jika dihitung rerata perbandingan persentase aspek
pengetahuan dan pemahaman kata dengan jumlah kata sebanyak 18 buah kata hasilnya
adalah 97,17% sedangkan rerata perbandingan aspek pemakaian dengan jumlah kata
maka hasilnya adalah 92,39%. Masih ada kesenjangan pemakaian kata sebesar 4,78%
Ada 14 kata yang ditanyakan berkaitan dengan mata pencaharian. Hasilnya
dapat dijabarkan sebagai berikut.
Aspek pengetahuan dan pemahaman kata memiliki rentangan antara 61% --
100% mereka tahu dengan delapan strata pengelompokan (lihat tabel 4.5.1). Ada tiga
kata menunjukkan angka 61% (derep, tulup, tapini), dua kata mencapai angka 64%
(panyakap, juru boros), ada satu kata menunjukkan angka 75% (undagi), dua kata
masing-masing 79% (bendega dan balian manak) dan 82% (pangango dan bondres),
satu kata menunjukkan angka 86% (tukang terang), dua kata menunjukkan angka 93%
(pande dan buruh), satu kata menunjukkan angka 100% (balian). Derep ‗buruh penuai
padi‘, tulup ‗penyumpit‘, merupakan dua buah kata berkaitan dengan kehidupan
pertanian dan perburuan. Seiring perkembangan zaman serta perubahan lingkungan
dari agraris menuju industri pariwisata kedua kata ini mengalami degradasi yang cukup
88
tajam. Sebesar 39% mereka sudah tidak mengetahui dan memahami kata tersebut.
Berbeda dengan kata tapini ‗juru banten‘, walaupun hanya menunjukkan angka 61%
tetapi kata tapini ini adalah kata khusus, kata yang berkaitan dengan keahlian
seseorang dalam hal membuat segala macam bentuk alat-alat upacara banten. Tapini
adalah kata spesifik untuk keahlian dan kemampuan seseorang dalam hal
menyelenggarakan upacara.
Ke-14 buah kata tersebut ternyata rentang pemakaiannya hanya menunjukkan
43% -- 86% mereka memakainya dengan sepuluh strata pengelompokan (lihat tabel
4.5.2). Tidak ada sebuah kata pun yang menunjukkan angka pemakaian 100%. Boleh
jadi keadaan ini mengindikasikan bahwa di Ubud telah terjadi perubahan pola
ekonomi untuk mencari nafkah dari agraris menuju industri pariwisata bila dilihat dari
aspek penggunaan bahasa. Data berikut menguatkan indikasi adanya degradasi dari
aspek pemakaian bahasa. Hampir semua kata yang ditanyakan frekuensi
kemunculannya hanya sekali. Angka 43% (derep), 46% (tulup), 50% (tapini), 54%
(juru boros), 57% (panyakap), 61% (balian manak, bendega, undagi), 71%
(pangangon), 75% (bondres), 82% (pande), 86% (balian). Sebagai daerah tujuan
wisata, profesi sebagai pande (tukang emas, perak, dll) dengan angka 82% memang
cukup korelatif sebagai pendukung tujuan wisata. Demikian juga dengan angka 75%
(bondres) Ubud terkenal dengan seni budayanya, sedangkan untuk kata balian dengan
capaian 86% rupanya masih terkait dengan pola kehidupan masyarakat pedesaan.
Bila dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kosa kata maka dapat
dikatakan sebagai berikut. Aspek pengetahuan dan pemahaman kata hasil
perbandingannya 77,14 mereka mengetahui (masih ada 22,86% tidak mengetahui dan
memahami kata yang ditanyakan) dan rerata jumlah persentase aspek pemakaian kata
sebesar 63,5%. Ini berarti masih ada sekitar 36,50% mereka tidak pernah memakai
kata-kata yang ditanyakan dan merupakan angka yang cukup signifikan. Bila dikaitkan
antara aspek pemahaman sebesar 77,14 % dengan aspek pemakaian sebesar 63,50%
maka akan ada degradasi pemakaian sebesar 13,64% suatu angka yang cukup
signifikan dalam rangka pemertahanan bahasa Bali sebagai bahasa ibu.
Slogan/ungkapan dalam bahasa Bali merupakan salah satu cara dalam budaya
berbahasa bahasa Bali. Dalam hal memahami dan memakai slogan/ungkapan dalam
89
bahasa Bali ada 10 slogan/ungkapan yang ditanyakan. Hasilnya dapat dilihat dalam
tabel 4.6. Berikut deskripsi masing-masing wilayahan penelitian.
Untuk wilayah Ubud dari 10 buah ungkapan yang ditanyakan ternyata
memiliki rentangan antara 54% -- 86%. Untuk hal ini generasi muda yang dijadikan
responden ternyata tidak ada yang 100% memakai ungkapan dalam bahasa Bali. Yang
paling sulit dan paling rendah pemakaiannya adalah ungkapan ngejuk balang ngaba
alutan ‗bagaikan menangkap belalang sambil membawa api, dapat satu dimakan satu‘.
Secara filosofis, ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam ditujukan
kepada orang yang tidak bisa menabung, tidak bisa menyisihkan pendapatannya untuk
hari esok. Dahulu tradisi menangkap belalang merupakan salah satu kegiatan petani
untuk mencari lauk dan belalang merupakan salah satu pilihan favorit masa itu.
Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi itu barangkali sudah dilupakan dan tidak
pernah dilakukan lagi. Hal ini barangkali seiring dengan semakin sempitnya ladang
dan persawahan serta perubahan pola kehidupan perekonomian. Ungkapan kedua yang
jarang dipakai (61%) adalah cen kayune sing tempuh angin ‗semakin tinggi ikhtiar kita
semakin tinggi pula cobaan menghadang‘. Banyak yang tidak memahami bahwa
godaan itu selalu ada dan hal itu adalah alamiah, semuanya tergantung pada kita.
Ungkapan yang paling populer dengan angka 75% adalah gede kenehne/gede
tendasne, ngaduk sera aji keteng, gede ombak gede angin. Ketiga ungkapan tersebut
adalah ungkapan yang populer di masyarakat, gede kenehne/gede tendasne ‗besar
kemauannya/ besar kepalanya‘ ditujukan untuk orang yang sombong, ngaduk sera aji
keteng ‗nila setitik rusak susu sebelanga‘ merupakan ungkapan salah satu ciri
masyarakat komunal yang ditujukan kepada perbuatan segelintir orang berakibat pada
nama baik keseluruhan. Ungkapan gede ombak gede angin ‗besar pendapatan besar
pula pengeluarannya‘ sebenarnya kosakata masyarakat pesisir pantai, namun ungkapan
ini begitu memasyarakat di Bali (khususnya di Ubud). Ungkapan ini biasanya
ditujukan pada orang yang berperilaku konsumtif.
(2) Sanur
Untuk wilayah Sanur berhasil dikumpulkan 28 orang responden dari 25 orang
yang direncanakan. Dari 25 buah kata daftar kata Swadesh menunjukkan mereka tahu.
Hasil tabulasi menunjukkan untuk aspek pemahaman mereka tahu kata-kata yang
90
ditanyakan dengan rentangan 89% -- 100% dengan empak pengelompokan (lihat tabel
4.1.1). Ada lima buah kata menunjukkan angka 89% (kenken, selae, sasur, telung
benang, ubad). Ada enam kata dengan capaian 93% (jukut, teka/rauh, uyah/tasik,
gadang/wilis, ulung/labuh/runtuh, satak). Ada tujuh kata dengan angka 96% (yeh/toya,
cicing/asu, api/geni, bek/liu/akeh, negak/malinggih, ia/ipun/ida, basang/weteng). Ada
tujuh kata yang mencapai angka 100% (pianak/oka, luung/beci, be/ulam, selem,
meme/biang, siu,bongol).
Rentangan persentase di atas ternyata tidak diimbangi dari aspek pemakaian
kata. Hasil tabulasi menunjukkan bahwa tingkat pemahaman yang tinggi itu tidak
serta-merta kata itu digunakan. Rentangannya cukup variatif dengan tujuh strata
pengelompokan berkisar 75% -- 100% (lihat tabel 4.2.1). Satu kata menunjukkan
angka 75% (gadang/wilis) merupakan angka terrendah. Ada lima kata menunjukkan
angka 82% (cicing/asu, kenke/sapunapi, uyah/tasik, sasur, dan telung benang). Ada
empat kata menunjukkan angka 86% (api/geni, ulung/labuh/runtuh, selae, satak). Ada
empat kata menunjukkan angka 89% (pianak/oka, jukut/jangan, basang/weteng,
ubad/tamba). Ada empat kata menunjukkan angka 93% (teka/ rauh, ipun/ida/ia, siu,
bongol). Ada enam kata yang menunjukkan angka 96% dan merupakan frekuensi
tertinggi, yakni yeh/toya, luung/becik, bek/liu, negak/malinggih, selem, meme/biang).
Ada satu kata yang menunjukkan angka 100%, yakni ulam/be. Kata ulam/be
berbanding lurus antara pemahaman dan pemakaian sama-sama mencapai 100%. Hal
ini sangat rasional mengingat Sanur adalah wilayah pantai.
Jika dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kata yang ditanyakan
sebanyak 25 buah, maka hasilnya adalah 95% mereka tahu kata-kata yang ditanyakan
tersebut. Namun, jika dibandingkan dengan rerata persentase pemakaiannya dibagi
dengan jumlah kata yang ditanyakan maka hasilnya 89,32%. Artinya masih ada
kesenjangan pemakaian kata sebesar 5,68% dari kata yang mereka tahu dan mereka
pahami.
Untuk kosakata budaya berdasarkan medan makna khususnya kata-kata yang
berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial ada 10 buah kata yang ditanyakan
kepada responden dan menunjukkan rentang pengetahuan dan pemahaman kata
91
antara 50 %-100% mereka mengetahu kata tersebut (lihat tabel 4.2.1). Masing-masing
satu kata menunjukkan angka 50%, 54%, 71%, 79%, 82%. Ada tiga kata menunjukkan
96% (kelihan adat, nguopin, arah-arah). Ada dua kata yangmenunjukkan 100%
(sangkep/paum dan bale banjar).
Dalam aspek pemakaian kata ternyata rentangannya ada di kisaran 39% -- 93%
(lihat tabel 4.2.2). Kata yang terrendah pemakaiannya adalah kata cingkrem ‗iuran‘
39% atau 61% kata tersebut sudah tidak pernah dipakai lagi. Kata yang rendah
pemakaiannya adalah kata nyambangin ‗ronda malam‘ hanya mencapai 43%. Yang
paling tinggi pemakaiannya adalah kata kelihan adat ‗kepala adat‘ menunjukkan angka
93%. Tidak ada sebuah kata pun mampu menunjukkan angka 100%. Tertinggi kedua
(89%) dengan dua buah kata, yaitu kata sangkep/paum dan bale banjar. Namun
demikian, bila dirata-ratakan antara jumlah persentase dengan jumlah kata yang
ditanyakan maka aspek pemahaman kata hasilnya 82,40% dan aspek pemakaiannya di
kisaran 70,60%. Dengan kata lain bahwa ada selisih sebesar 11,80% kata-kata yang
diketahui dan dipahami dengan aspek pemakaiannya.
Pengetahuan mengenai kosa kata yang berkaitan dengan kehidupan religi, dari
36 buah kata yang ditanyakan kisarannya antara 50%-100% (lihat tabel 4.3.1).
Angka 50% ini ditunjukkan oleh kata ngidih/ngluku ‗meminang‘ sisanya lagi 50%
generasi muda di Sanur sudah tidak paham dan tidak tahu. Pemahaman terrendah
kedua (68%) ditunjukkan oleh kata-kata nyama/roban, pradana, dan meras. Namun
demikian, secara keseluruhan hasil jumlah psersentase dengan jumlah kaa yang
ditanyakan sebanyak 36 buah maka hasilnya 92, 38%, yakni dapat sesuatu pemahaman
yang baik.
Dilihat dari aspek pemakaian kata, hasil tabulasi menunjukkan angka 39% --
100% (lihat tabel 4.3.2). Tiga terrendah pemakaian kata-kata tersebut adalah kata
meras ‗mengadopsi anak‘ (39%), satu kata (43%) adalah kata pradana ‗bertindak
sebagai wanita dalam perkawinan‘, satu kata (61%) adalah kata seda/mati. Hanya ada
satu kata yang mencapai angka 100%, yakni kata saiban ‗upacara setelah selesai
masak‘. Pemakaian tertinggi kedua (96%) ditunjukkan dengan tiga kata (ngulapin,
malukat, nguopin). Ada lima kata yang menunjukkan pemakaian tertinggi ketiga
(93%), yaitu kata makemit, ngayah, patoyan,matunangan, dan pandita/jero mangku.
92
Bila jumlah persentase pemakaian dibandingkan dengan jumlah kata yang
ditanyakan maka hasilnya adalah 82,70%. Kisaran ini masih cukup bagus walaupun
masih ada degradasi pemakaian kata sebesar 9,68% dari 92,38 aspek pemahaman kata.
Untuk kata-kata yang berkaitan dengan kesenian ada 18 buah kata yang
ditanyakan. Hasil tabulasi menunjukkan aspek pemahaman kata dengan parameter
tahu dan tidak tahu mencapai rentangan cukup tinggi 71% -- 100% (lihat tabel 4.4.1).
Yang terrendah (71%) hanya terdapat satu kata, yakni kata suweng/subeng/gliur
―giwang‘. Ada satu kata mencapai 82%, yakni kata lelancingan/kancut ‗ujung kain
laki-laki‘. Ada tiga kata mencapai 96%, yakni kata sekaa gong, pragina, dan
pasantian. Yang menggembirakan dengan angka 100% adalah kata ngigel, magending,
masolah, dalang, gong, bungkung, sandal, kamen,saput,mapayas, mabalih, semuanya
berjumlah sebelas buah kata atau 61,11% tahu kata-kata yang ditanyakan sebanyak 18
buah. Dengan rentangan seperti itu, maka bila dihitung jumlah persentase dengan
jumlah kata
Untuk aspek pemakaian kata hasil tabulasi menunjukkan angka lebih rendah
berada dalam rentangan 61% -- 100% (lihat tabel 4.4.2). Angka 61% ditunjukkan oleh
kata suweng/subeng/gliur. Angka 75% ditunjukkan oleh kata pasantian dan
lelancingan. Angka 86% ditunjukkan oleh tiga kata, yaitu sekaa gong, pragina, dan
dalang. Selanjutnya, angka 89% hanya satu kata, yakni senteng. Angka 93% juga
hanya satu kata, yakni kata saput. Angka 96% cukup paling banyak dengan enam buah
kata, yaitu: ngigel, masolah,gong, bungkung, sabuk dan mapayas. Angka 100% juga
cukup banyak dengan empat buah kata, yaitu kata magending, sandal, kamen, mabalih.
Bila dihitung rerata jumlah persentase pemakaian yang diperoleh dengan jumlah kata
yang ditanyakan sebanyak 18 buah, maka hasilnya adalah 90,39%. Ini berarti bahwa
aspek pemakaian kata-kata yang ditanyakan itu cukup tinggi walaupun masih ada
kesenjangan 5,11% dari aspek pemahaman kata.
Untuk kata-kata yang berhubungan dengan mata pencaharian, ada 14 buah kata
bahasa Bali yang ditanyakan. Hasil tabulasi menunjukkan 46%—100% mereka tahu
kata-kata yang ditanyakan (lihat tabel 4.5.1). Tiga persentase terrendah terjadi pada
satu kata, yakni 46% (derep), 57% (panyakap), 64% (tulup). Ada lima kata dengan
perolehan persentase tinggi, yaitu 93% (satu kata bendega), 96% (satu kata pande),
100% (ada tiga buah kata, yakni kata balian, buruh, bondres). Adapun rerata jumlah
93
persentase yang diperoleh dengan jumlah kata sebanyak 14 buah maka hasilnya 81,
36%.
Dilihat dari aspek pemakaian kata ternyata menunjukkan hasil rentangan 18% -
- 79%. Tidak ada sebuah kata pun menunjukkan angka 100% (lihat tabel 4.5.2). Ada
enam buah kata menunjukkan dibawah 50%. Adapun kata-kata yang dimaksud adalah
derep (18%), panyakap (25%), tulup (32%), dua kata balian manak dan tapini (43%),
dan kata juru boros (46%). Selebihnya 57% satu kata (undagi), 61% satu kata
(balian), 64% dua kata (pangangon dan tukang terangi), 68% satu kata (bendega),
75% dua kata (buruh dan pande), dan yang tertinggi 79% satu kata (bondres). Dengan
demikian, bila dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kata sebanyak 14 buah
maka hasilnya 53,57% atau hampir setengah (46,43%) mereka sudah tidak memakai
kata itu. Kalau dibandingkan dengan rerata aspek pemahaman kata dengan parameter
tahu yang menunjukkan angka 81,36% maka kesenjangan pemakaiannya mencapai
27,79% suatu kesenjangan yang cukup tinggi.
Pengetahuan dan pemakaian slogan berbahasa Bali di wilayah Sanur
menunjukkan kisaran 39 % -- 89% (lihat tabel 4.6). Yang terendah (39%) ditunjukkan
oleh slogan cen kayune sing tempuh angin ‗semakin besar sadhana kita, makin besar
cobaan yang datang. Secara filosofis ungkapan ini mengandung makna yang cukup
dalam bahwasanya setiap orang dalam usahanya pasti mengalami suatu cobaan,
mengalami pasang surut, makin besar ikhtiar kita semakin besar juga godaannya.
Barangkali untuk generasi muda filosofis ini belum mengakar dan belum dipahami.
Hal ini dapat dimaklumi karena para remaja umumnya belum mengenal akan pahit
getirnya kehidupan, bagi mereka masa remaja adalah masa bersenang-senang.
Pemakaian ungkapan terrendah kedua adalah aduk sera aji keteng ‗nila setitik rusak
susu sebelanga‘. Ungkapan ini berlaku untuk masyarakat yang komunal, namun
rupanya di wilayah Sanur ungkapan ini kurang populer, hasil tabulasi menunjukkan
angkga 54%. Ada tiga ungkapan yang menunjukkan perolehan 89%. Ketiga ungkapan
itu adalah (i) gede kenehne/gede tendasne ‗orang yang semakin besar saja
kemauannya‘. Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak pernah puas akan
kemauannya tanpa mempertimbangkan kemampuannya. (ii) liep-liep lipi gadang
‗bagai api dalam sekam‘ ditujukan bagi orang yang diam-diam menghanyutkan, jangan
94
sekali-kali memandang remeh orang lain. (iii) buka siap sambehin injin ‗bagai ayam
diberi ketan hitam‘ ditujukan kepada orang yang linglung tidak melihat ada makanan
di sampingnya akhirnya kelaparan sendiri.
Berdasarkan rerata jumlah persentase tahu dan pernah memakainya maka
hasilnya adalah 68,10% atau masih ada sebagian sebanyak 31,90% mereka tidak tahu
dan tidak pernah memakainya.
(3) Kuta
Sesuai dengan rencana jumlah responden di Kuta mencapai 25 orang. Dari 25
buah kata daftar kata Swadesh yang ditanyakan untuk aspek pemahaman kata dengan
parameter tahu dan tidak tahu serta aspek pemakaian dengan parameter pernah pakai
dan tidak pernah pakai dapat diketahui berdasarkan hasil tabulasi sebagi berikut ini.
Aspek pemahaman kata dari tabulasi kata menunjukkan rentangan 52% --100%
mereka tahudengan sembilan tingkat pengelompokan (lihat tabel 4.1.1). Kelompok
terrendah dengan angka 52% hanya pada satu kata bilangan sasur ‗tiga puluh lima‘,
72% ditunjukkan oleh satu kata telung benang ‗tujuh puluh lima‘, angka 76%
ditunjukkan satu kata satak ‗dua ratus‘, angka 80% ditunjukkan oleh empat kata
sekaligus sebagai kata dengan frekuensi paling banyak kedua, yaitu kata gadang/wilis,
siu, basang/weteng, dan ubad/tamba. Selanjutnya, angka 84% ditunjukkan dengan dua
kata ulung/labuh/runtuh dan selae, angka 88% ditunjukkan dengan dua kata uyah/tasik
dan ida/ipun, angka 92% ditunjukkan dengan tiga kata negak/malinggih, meme/biang
dan bongol. Angka 96% ditunjukkan dengan satu kata selem, dan angka 100%
ditunjukkan dengan 10 buah kata sekaligus frekuensi tertinggi. Dengan rentangan
seperti itu, maka jumlah persentase dibandingkan dengan jumlah kata sebanyak 25
buah akan hasilnya adalah 89,44%. Dari segi aspek pemahaman kata angka 89,44%
sudah cukup baik.
Dilihat dari aspek pemakaiannya hasil tabulasi menunjukkan rentangan 56% --
96% mereka memakainya tidak ada yang mencapai 100% sehingga rentangan ini lebih
rendah dari aspek pemahaman (lihat tabel 4.1.2). Frekuensi satu kata terlihat dalam
56% (sasur), 60% (telung benang), dan 84% (cicing/asu). Frekuensi dua kata terlihat
dalam 76% (satak, ubad/tamba) dan 88% (pianak/oka dan uyah/tasik). Frekuensi
empat kata terlihat dalam 92% (meme/biang, ipun/ida, negak/malinggih, dan
95
ubad/tamba). Angka 80% muncul dalam lima kata, yaitu gadang/wilis,
ulung/labuh/runtuh, selae, siu, dan basang/weteng). Bila dirata-ratakan jumlah
persentase dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 25 buah kata, maka hasilnya
86,40%. Dengan demikian, selisihnya tidak terlalu jauh sebesar 3,04% dengan aspek
pemahaman kata sebesar 89,44%.
Kosa kata yang berkaitan dengan budaya berdasarkan medan makna
khususnya kosa kata yang berkaitan dengan organisasi sosial sebanyak 10 buah kata
yang ditanyakan. Adapun hasil tabulasi menunjukkan sebagai berikut.
Aspek pemahaman dengan parameter tahu dan tidak tahu menunjukkan
rentangan 36% -- 96% mereka tahu dengan delapan kelompok (lihat tabel 4.2.1).
Kelompok 1 – 7 ditunjukkan oleh satu kata, yaitu: 36% (nyambangin), 44% (manggala
karya), 52% (cingkrem), 56% (panyarikan), 64% (nguopin), 72% (perbekel), 84%
(arah-arah), dan kelompok delapan yang tertinggi 96% dalam tiga kata (frekuensi
tertinggi), yaitu kelihan adat, sangkep/paum, dan bale banjar. Dengan rentangan
seperti itu, maka hasil rerata jumlah persentase dibandingkan dengan jumlah kata yang
ditanyakan adalah 69,60%.
Dilihat dari aspek pemakaian kata ternyata hasil tabulasi juga menunjukkan
rentangan yang tidak jauh berbeda, yakni berada dalam rentangan 28% -- 92% mereka
memakainya, lebih rendah dari rentangan aspek pemahaman kata (lihat tabel 4.2.2).
Rentangan ini juga terdiri atas delapan kelompok dengan sebaran frekuensi yang
hampir merata. Adapun kedelapan kelompok tersebut adalah: 28% dalam dua kata
(nyambangin dan manggala karya), 40% dalam satu kata (panyarikan), 48% dalam
satu kata (cingkrem), 52% dalam satu kata (perbekel), 64% dalam kata (nguopin), 76%
dalam satu kata (arah-arah), 88% dalam satu kata (kelihan adat), dan 92% dalam dua
kata (sangkep/paum dan bale banjar). Dengan demikian, berdasarkan penjumlahan
seluruh persentase dibandingkan dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 10
buah maka hasilnya adalah 60,80% suatu perolehan angka yang memerlukan perhatian
khusus dari sudut pemertahanan bahasa. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan aspek
pemahaman kata sebesar 69,60% maka akan terjadi selisih pemakaian kata sebesar
8,80%.
Ada 36 buah kosakata yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan religi.
Aspek pemahaman kata dengan parameter tahu dan tidak tahu hasil tabulasi dapat
96
dijelaskan sebagai berikut ini. Berdasarkan persentasenya, ke- 36 kata tersebut dibagi
dalam 12 kelompok dengan rentangan antara 24% -- 96% mereka paham dan tahu
(lihat tabel 4.3.1). Angka 24% ditunjukkan dengan satu kata (meras), 40% dengan satu
kata (pradana), 48% dengan dua kata (rajasewala/rajasinga dan dosa), 52% dengan
satu kata (magebagan), 68% dengan dua kata (nyeeb/ngatelunin dan patoyan), 72%
dengan dua kata (pandita/jero mangku dan nyama/roban), 76% dengan satu kata
(prayascita), 80% dengan tiga kata (kundangan, kepus pungsed, bulan pitung dina),
84% dengan tiga kata (nelubulanin, ngidih/ngluku, dan saiban), 88% dengan empat
kata (nguopin, makemit, ngulapin, dan magibung), 92% dengan empat kata
(otonan/paweton dan kulkul, nglekadang, dan rahinan), 96% dengan sebelas kata
(majenukan, matunangan, nganten, beling/mobot, matatah/mapandes, pawiwahan,
mati/seda, nanem,ngaben,malukat, dan ngayah,). Dengan sebaran persentase seperti
itu, maka jika dihitung jumlah persentase seluruhnya dibandingkan dengan jumlah kata
yang ditanyakan adalah 81,33%.
Dilihat dari aspek pemakaian kata dengan parameter pernah memakai dan tidak
pernah, maka berdasarkan hasil tabulasi menunjukkan rentangan antara 24% -- 100%
mereka memakainya dengan sebelas kelompok (lihat tabel 4.3.2). Tiga kelompok
terrendah dengan angka di bawah 50% sebanyak lima kata, yakni 24% dengan satu
kata (meras), 40% dengan satu kata (pradana), 48% dengan tiga kata
(rajasewala/rajasinga, saiban, dan ngulapin). Tiga kelompok tertinggi dengan capaian
di atas 90% dengan 18 buah kata, yaitu 92% dengan lima kata (nglekadang,
otonan/paweton, nguopin, makemit, dan pandita/jero mangku), 96% dengan lima kata
(nguopin, malukat, ngayah, kulkul,dan rahinan), 100% dengan delapan kata
(matunangan, beling/mobot, nganten, matatah/mapandes, pawiwahan, mati/seda,
nanem,dan ngaben). Bila dihitung secara keseluruhan hasil tabulasi persentase
pemakaiannya dibandingkan dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 18 buah
kata maka hasilnya adalah 80,11%.
Hasil tabulasi seperti tersebut di atas juga menunjukkan adanya perbedaan
antara tingkat pemahaman kata dengan tingkat pemakaian kata. Dari aspek
pemahaman kata khususnya pengetahuan kata menunjukkan tidak ada sebuah kata pun
yang mencapai angka 100% tertinggi hanya 96% dengan 11 kata, sebaliknya dalam
aspek pemakaian kata capaiannya sampai 100%. Namun, hasil tabulasi secara umum
97
dapat dikatakan bahwa ada korelasi antara aspek pemahaman kata berbanding lurus
dengan aspek pemakaian kata. Pemahaman kata yang rendah akan diikuti pula dengan
pemakaian kata yang rendah pula, demikian sebaliknya pemahaman yang tinggi akan
diikuti dengan pemakaian yang tinggi pula. Kata meras dalam aspek pemahaman yang
capaiannya hanya 24% ternyata dalam aspek pemakaian juga sama 24%, kata parada
dalam aspek pemahaman 40% ternyata dalam aspek pemakaian juga menunjukkan
angka 40%. Demikian pula dalam aspek pemahaman capaian tertinggi 96% diikuti
dengan capaian 100% dalam aspek pemakaian (matunangan, nangten, beling/mobot,
matatah/mapandes, pawiwahan, mati/seda, nanem, ngaben). Secara umum selisih
angka persentase antara aspek pemahaman dengan aspek pemakaian tidak terlalu jauh.
Dalam aspek pemahaman jumlah rerata persentasenya sebesar 81,33% dan dalam
aspek pemakaian rerata persentasenya sebesar 80,11%. Jadi, selisihnya hanya 1,22%.
Ada 18 buah kosakata yang ditanyakan berkaitan dengan kesenian. Hasil
tabulasi dari aspek pemahaman dengan parameter tahu dan tidak tahu menunjukkan
rentangan antara 44% -- 100% mereka paham dan tahu (lihat tabel 4.4.1). Angka 44%
ditunjukkan dengan satu kata (suweng/subeng/gliur), 52% ditunjukkan dengan satu
kata (lelancingan), 60% dengan satu kata (pasantian), 72% dengan satu kata
(masolah), 84% dengan satu kata (dalang), 88% dengan satu kata (gong), 92% dengan
lima kata (pragina, ngigel, sabuk, senteng, dan mapayas), 96% dengan empat kata
(magending, bungkung, mabalih, dan saput), 100% dengan tiga kata (sekaa gong,
sandal, dan kamen). Dengan deskripsi seperti ini maka rerata jumlah seluruh
persentase aspek pemahaman kata dibandingkan dengan jumlah kata yang ditanyakan
maka hasilnya adalah 85,78%.
Hasil tabulasi dari aspek pemakaian kata tidak jauh berbeda dari aspek
pemahaman kata rentangannya berada dalam kisaran 40% -- 100% mereka
memakainya (lihat tabel 4.4.2). Angka 40% dengan dua kata (suweng/subeng/gliur,
52% dengan satu kata (pasantian), 72% dengan satu kata (masolah), 80% dengan satu
kata (dalang), 84% dengan dua kata (gong senteng), 88% dengan dua kata (pragina,
saput), 92% dengan tiga kata (ngigel, sabuk, mapayas), 96% dengan empat kata (sekaa
gong, magending, bungkung, dan mabalih), 100% dengan dua kata (sandal, kamen).
98
Jika dijumlahkan seluruh angka persentase aspek pemakaiannya dibandingkan dengan
jumlah kata yang ditanyakan maka hasilnya adalah 82, 67%.
Dari dua deskripsi kata yang berkaitan dengan kesenian seperti di atas, maka
terjadi perbedaan persebaran antara aspek pemahaman dengan aspek pemakaian.
Dalam aspek pemahaman persentase tinggi ditunjukkan dengan frekuensi kata yang
tinggi pula sedangkan alam aspek pemakaian persebaran frekuensi pemakaian masing-
masing kata cukup merata baik dalam persentase rendah maupun tinggi. Demikian
juga halnya dengan hasil rerata persentase aspek pemahaman sebesar 85,78% dengan
hasil rerata aspek pemakaian sebesar 82,67% selisih hanya 3,11%.
Kosa kata yang berkaitan dengan matapencaharian sebanyak 14 buah kata
untuk aspek pemahaman dengan parameter tahu dan tidak tahu menunjukkan angka
4% –88% mereka tahu dan paham dengan persentase sebelas kelompok (lihat tabel
4.5.1). Ada sepuluh kata dengan frekuensi kemunculan kata cuma sekali sedangan
yang paling banyak empat kali. Berikut dideskripsi kata tersebut. Angka 4% satu kata
(derep), 8% satu kata (tulup), 12%satu kata (panyakap), 16% satu kata (tapini), 36%
satu kata (juru boros), 40% satu kata (balian manak), 48% satu kata (pangangon),
56% satu kata (tukang terang), 60% satu kata (undagi), 88% satu kata (buruh), dan
80% dengan 4 kata (balian, bendega, pande, dan bondres) merupakan frekuensi
terbanyak. Ada tujuh kata yang menunjukkan pemahaman kata di bawah 50%.
Hasil tabulasi kata berkaitan dengan matapencaharian dengan parameter pernah
memakai dan tidak pernah memakai menunjukkan rentangan 4% -- 88% pernah
memakai dengan sepuluh kelompok persentase (lihat tabel 4.5.2). Hasil ini tidak jauh
berbeda dengan aspek pemahaman kata. Adapun kelompok persentase itu adalah: 4%
satu kata (derep), 12% dua kata (panyakap, tulup), 16% satu kata (tapini), 20% satu
kata (balian manak), 28% satu kata (juru boros), 44% dengan satu (pangangon), 52%
dua kata (tukang terang, undagi), 76% dua kata (bendega, pande), 80% dua kata
(balian, bondres), 88% satu kata (buruh). Dengan hasil ini menunjukkan bahwa ada
tujuh kata (50%) dari 14 kata yang ditanyakan mereka pernah memakainya dan sisanya
tujuh kata lagi (50%) tidak memakainya.
Jika dihitung rerata jumlah persentase kata yang diketahui dibandingkan
dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 14 buah maka hasilnya adalah 49,14%.
Hasil ini tentu sangat rendah karena berada di bawah 50%. Tidak jauh berbeda dengan
99
aspek pemakaian kata yang pernah mereka gunakan maka hasil rerata jumlah
persentasenya sebesar 45, 71% juga suatu capain yang sangat rendah. Adapun selisih
rerata aspek pemahaman kata dengan rerata aspek pemakaian kata sebesar 3,43%.
Kata derep, panyakap, tulup, juru boros, pangangon dengan angka di bawah
50% merupakan kosakata masyarakat agraris. Khusus kata derep ‗jurupanen padi‘
merupakan sebuah tradisi dalam sistem bagi hasil antara pemilik sawah dengan buruh
panennya dengan perbandingan/persentase menurut perjanjian. Barangkali seiring
pesatnya perkembangan Kuta sebagai destinasi wisata internasional berbanding lurus
dengan keberadaan sawah di sekitarnya yang sudah semakin sedikit bahkan habis
digantikan dengan bangunan hotel dan restoran. Hilangnya persawahan menyebabkan
kata-kata seperti panyakap ‗petani gurem mengerjakan sawah orang lain‘, pangangon
‗gembala‘, juru boros ‗pemburu‘ mulai ditinggalkan pemakaiannya dan lama-
kelamaan boleh jadi kata-kata itu hilang.
Pengetahuan dan pemakaian slogan berbahasa Bali menunjukkan kisaran 28—
84% (lihat tabel 4.6). Untuk angka 28% ini ada pada slogan ngejuk balang ngaba
alutan ‗bagaikan menangkap belalang membawa api, dapat satu dimakan satu‘.
Sebagaimana halnya dengan wilayah Sanur, di Kuta juga kurang memahami slogan ini.
Memang secara filosofis maknanya cukup dalam bahwasanya hasil usaha semuanya
habis untuk dimakan, tidak tersisa sedikitpun apalagi untuk ditabung. Hilangnya
persawahan juga menyebabkan hilangnya komunitas belalang sehingga lama-kelamaan
ungkapan ini juga semakin hilang. Ungkapan yang rendah juga ditunjukkan oleh
ungkapan cen kayune sing tempuh angin ‗semakin tinggi sadhana kita, semakin tinggi
ikhtiar kita semakin tinggi pula cobaan dan godaan yang dihadapi‘. Sebagai anak muda
rupanya mereka belum memahami secara baik ungkapan ini yang memang secara
filosofis maknanya sangat dalam. Ungkapan yang menunjukkan persentase tertinggi
adalah buka siap sambehin injin ‗seperti ayam diberi beras hitam, ada makanan di
hadapannya namun tidak dilihat akhirnya lapar sendiri‘. Ungkapan ini rupanya cukup
baik dipahami oleh generasi muda Kuta mengingat persaingan untuk mencari nafkah
dalam mempertahankan hidup sangat kompetitif. Peluang sekecil apa pun harus
diambil dan direbut lebih-lebih berada di pelupuk mata.
Selain hasil di atas ditemukan juga mengenai kemampuan generasi muda Bali
terhadap penggunaan aras tutur BB. Untuk sementara ini berdasarkan hasil klasifikasi
100
yang dilakukan khususnya untuk daerah Ubud menunjukkan adanya tingkat
pengetahuan dan pemakaian sor singgih basa yang cukup rumit menunjukkan hal
positif masih berkisar di rentangan 68 – 100%. Yang 68% ini pun hanya pada satu
kata, yakni kata wilis ‗hijau‘ lebih banyak di kisaran 80% ke atas. Kondisi ini tentu
tidak dapat dilepaskan dari keadaan wilayah Ubud masih seperti keadaan desa-desa di
Bali pada umumnya tidak seperti di dua wilayah lainnya (Sanur dan Kuta). Selain
secara topografis berada jauh ke pedalaman, wilayah Ubud juga dikelilingi oleh desa-
desa tradisional Bali dengan berbagai ragam kebudayaannya. Terlebih lagi para tetua
Puri Ubud dengan corak feodalnya masih sangat kental dan sering kali salah satu dari
para tetuanya itu menjadi bupati di Gianyar. Oleh karena itu, kondisi ini berpengaruh
pada aras tutur dalam bahasa Balinya.
Kalau dibandingkan tingkat pemahaman kosa kata dasar Swadesh ketiga
wilayah penelitian tersebut (Kuta, Sanur, dan Ubud) dengan parameter tahu dan tidak
tahu, berdasarkan hasil tabulasi menunjukkan wilayah Sanur menduduki tingkat paling
tinggi, yakni 95% disusul Kuta dengan 89,44% terakhir Ubud dengan 88,32% (lihat
tabel 4.1.1). Namun demikian, jika dilihat dari parameter pemakaiannya ternya tidak
menunjukkan koreralasi yang tepat. Pemahaman dan pengetahuan kata yang tinggi
tidak disertai dengan pemakaian yang tinggi (lihat tabel 4.1.2). Adapun persentase
tertinggi dai aspek pemakaian kata berdasarkan tabulasi adalah Ubud dengan 92,08%,
lalu Sanur dengan 89,32% dan terrendah Kuta dengan 86,4%.
Untuk wilayah Sanur dan Kuta ternyata kosakata bilangan (selae, sasur, telung
benang) menunjukkan angka terrendah dengan parameter mereka tahu sedangkan
untuk wilayah Ubud kosakata warna gadang/wilis. Dari aspek pemakaian kata dengan
parameter pernah dipakai mencapai 100% ternyata dari 25 kosakata dasar Swadesh
ternyata Ubud mencapai 11 kosakata, Kuta 10 kosakata, dan Sanur 7 kosakata.
Perbandingan kosakata budaya dasar berdasarkan medan makna yang berkaitan
dengan kehidupan organisasi sosial di ketiga wilayah tersebut dapat dikatakan sebagai
berikut.
Berdasarkan pemahaman kata dengan parameter tahu dan tidak tahu maka
berdasarkan hasil tabulasi menunjukkan kosakata yang paling diketahui dengan
persentase tertinggi adalah Ubud (82,5%, Sanur (82,4%), dan Kuta (69,6%) (lihat tabel
4.2.1). Untuk ketiga wilayah ini ternyata kosakata yang paling tidak dipahami dan
101
diketahui di Ubud adalah kata cingkrem dan nyambangin (43%), di Sanur kata
nyambangin (50%), dan di Kuta kata nyambangin (36%). Berdasarkan aspek
pemakaiannya secara umum hasil tabulasinya adalah yang tertinggi pemakaiannya
adalah Ubud (80,8%), Sanur (70,6%), Kuta (60,8%). Diantara ketiga wilayah ini
ternyata menunjukkan selisih yang cukup tinggi. Kata sangkep/paum ‗rapat‘ dan bale
banjar ‗balai desa‘ adalah dua kata dengan frekuensi pemakaian paling tinggi (tabel
4.2.2). Kedua kata ini secara fungsional sangat berkaitan. Bale banjar merupakan
tempat untuk melakukan rapat anggota banjar. Ini mencerminkan bahwa untuk ketiga
wilayah penelitian sistem organisasi banjar masih sangat kuat.
Untuk kosakata yang berkaitan dengan religi tingkat pemahaman dan
pengetahuan kata dengan parameter mereka tahu (tabel 4.3.1) maka Sanur mencapai
persentase tertinggi dengan 92,38% , Ubud dengan 91,97%, dan Kuta dengan 81,33%.
Tidak banyak selisih antara Ubud dengan Sanur, namun dengan Kuta cukup tinggi.
Namun demikian, dari aspek pemakaian kata ternyata Ubud sedikit lebih tinggi dari
Sanur (tabel 4.3.2), yakni Ubud dengan 87,78%, Sanur 82,70%, dan Kuta 80,11%. Di
ketiga wilayah itu ada ternyata satu kata yang paling jarang dipakai, yakni meras
‗adopsi anak‘ bahwa di Kuta pemakaiannya hanya 24% atau sudah 76% kata itu sudah
tidak pernah dipakai lagi karena mereka sudah tahu dan tidak memahami kata itu lagi.
Perbandingan ketiga wilayah untuk aspek pemahaman dengan parameter tahu
terhadap kosakata dasar bidang kesenian berdasarkan deskripsi tabel 4.4.1 ternyata
persentase tertinggi adalah Sanur dengan 95,5%, Ubud 93,17%, dan Kuta 85,78%.
Hanya di Kuta saja ditemukan satu kata suweng/subeng/gliur ‗giwang‘ yang persentase
sangat rendah (44%) sedangkan di Ubud dan Sanur masih cukup tinggi (lihat tabel
4.4). Untuk aspek pemakaian kata dengan parameter pernah dipakai (tabel 4.4.2) Ubud
menduduki tempat teratas dengan 92,39%, Sanur 90,39%, dan Kuta 82,67%. Hanya di
Kuta juga persentase pemakaian kata terrendah mencapai 40%, yakni
suweng/subeng/gliur sedangkan di Ubud dan Sanur capaiannya lebih dari 60%.
Kosakata dasar yang berkaitan dengan matapencaharian di ketiga wilayah
penelitian (tabel 4.6) menunjukkan bahwa untuk aspek pemahaman dengan parameter
tahu persentase yang tertinggi adalah Sanur dengan 81, 36%, Ubud 77,14%, dan Kuta
49,14%. Khusus untuk kata derep ‗pembagian hasil dari sistem panen padi‘ untuk
ketiga wilayah penelitian ternyata menunjukkan yang paling rendah, banyak generasi
102
muda sudah tidak tahu dan tidak paham kata itu lagi. Lebih-lebih di Kuta hanya
mencapai 4%, Sanur lebih baik dengan 46%, hanya di Ubud mencapai 61%. Bahkan di
Kuta, 50% kata yang ditanyakan (7 dari 14 kata) kisarannya di bawah 50%. Untuk
aspek pemakaian kata dengan parameter pernah dipakai Ubud dengan persentase
tertinggi dengan 63,5%, Sanur 53,57%, dan Kuta 45,71%. Seiring dengaan perubahan
pola kehidupan perekonomian dari agraris ke industri pariwisata hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi terhadap pemahaman dan pengetahuan
kosa kata bahasa Bali sehingga pemakaiannya pun mengalami degradasi juga.
Demikian juga halnya dengan pemahaman dan pemakaian slogan/ungkapan dalam
bahasa Bali. Sesuai tabel 4.6 secara akumulatif Ubud menduduki persentase tertinggi
(71,6%) lalu Sanur (68,1%) dan terakhir Kuta (63,2%)
Dari seluruh deskripsi tabel di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa
pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap pemakaian kosakata
itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin semakin tinggi pula tingkat
pemakaiannya demikian sebaliknya. Dilihat secara geografis, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu
kosakata dasar Swadesh, kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial
masyarakat, kosakata berkaitan dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan
kesenian, kosakata berkaitan dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih
tinggi tingkat pemahamannya dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta.
Secara geografis Ubud merupakan daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi
oleh desa-desa kental dengan tradisional Bali dengan ciri masyarakat lebih komunal
dan lebih homogen lebih-lebih keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat
dengan ciri feodalismenya, Ubud jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih
mengandalkan budaya dan di sekeliling Ubud masih terbentang persawahan. Berbeda
halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat
dekat dengan perkotaan dan penduduknya pun lebih heterogen baik dari segi agama,
ras, suku bangsa, matapencaharian dan sebagainya.
Aras tutur dalam Bahasa Bali (Sor Singgih) telah banyak mendapat
perhatian dari para ahli baik secara lokal (Bali), nasional, maupun internasional.
Dikatakan oleh Suastra (2002:131) bahwa istilah aras tutur pertama kali digunakan
oleh Geertz (1960) untuk mengkategorikan etika bertutur bahasa Jawa. Berkaitan
103
dengan Sor Singgih bahasa Bali di wilayah pakainya (Provinsi Bali), Suastra (2002)
menyampaikan bahwa pada dasarnya Sor Singgih bahasa Bali terdiri atas dua kategori,
yakni bentuk Alus dan Andap. Bentuk Alus kemudian dapat disubklasifikasikan atas
Alus Singgih, Alus Sor, dan Alus Madia, sedangkan bentuk Andap terdiri dari
subkategori Biasa dan Kasar. Kelima jenis aras tutur tersebut diasosiasikan dengan
nilai sosial tertentu. Kaitan antara nilai-nilai tersebut utamanya ditentukan oleh sistem
kasta atau wangsa, pekerjaan, dan derajat formalitas. Berkaitan dengan aras tutur ini
dalam penelitian ini ada kecenderungan bentuk alus seperti kata wilis ‘hijau‘ lebih
sedikit diketahui. Umumnya dalam proses komunikasi berbahasa Bali, penggunaan
bentuk-bentuk alus memang lebih rumit dibandingkan dengan bentuk-bentuk
biasa/andap. Penggunaan bentuk-bentuk alus sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu,
tempat, dan siapa lawan bicara, serta hal apa yang dibicarakan. Penggunaan ragam
alus juga memperhitungkan faktor intimitas, yakni semakin dikenal dan akrab lawan
bicara maka bahasanya pun semakin biasa/andap dan sebaliknya, orang harus
menggunakan bentuk alus bila lawan bicara belum dikenal/belum akrab. Secara
filosofis, penggunaan bentuk alus didasari oleh penghormatan kepada lawan bicara,
lebih-lebih lawan bicara belum diketahui/belum dikenal, intinya bahwa dalam
berbicara menggunakan bahasa Bali maka pembicara tidak boleh meninggikan dirinya
sendiri, lawan bicara adalah orang yang harus dihormati.
5.4 Sikap Bahasa
Menurut Suhardi (1996:14), pada awalnya istilah sikap merupakan pokok
utama bahasan bidang psikologi sosial. Mengikuti alur pemikiran Allport (1954),
Suhardi menjelaskan bahwa sikap sebagai kesiagaan saraf dan mental, yang tersusun
melalui pengalaman, yang memberikan arah atau pengaruh dinamis kepada tanggapan
seseorang terhadap semua benda dan situasi yang berhubungan dengan kesiagaan itu.
Dari pengertian itu tersirat bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, tetapi
harus disimpulkan melalui introspeksi diri seorang subjek. Sementara itu, Rokeach
(dalam Suhardi 1996) menjelaskan sikap sebagai tata kepercayaan (organization of
beliefs) yang secara relatif berlangsung lama terkait suatu objek atau situasi yang
mendorong seseorang untuk menanggapinya dengan cara tertentu yang disukainya.
Rokeach beranggapan bahwa setiap kepercayaan terdiri atas tiga bagian atau
104
komponen, yakni komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen perilaku.
Komponen kognitif merujuk kepada pengetahuan seseorang pada apa yang benar atau
salah, baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan. Komponen afektif
berhubungan dengan penilaian seseorang mengenai suatu objek, apakah ia suka atau
tidak suka akan objek itu. Komponen perilaku berhubungan dengan kecenderungan
seseorang untuk bertindak.
Menurut Anderson (1974), sikap bahasa adalah tata kepercayaan yang
berhubungan dengan bahasa yang secara relatif berlangsung lama, mengenai suatu
objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang (yang memiliki sikap
bahasa itu) untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Sikap bisa positif
dan bisa juga negatif.
Berkaitan dengan sikap bahasa ini, responden diberi 10 butir pertanyaan.
Butir-butir pertanyaan tersebut dikaitkan dengan aspek kognitif, afektif, dan perilaku
(konatif) mereka terhadap bahasa Bali
5.4.1 Aspek Kognitif Sikap Bahasa
Triandis (dalam Suhardi, 1996:23) menyatakan komponen kognitif sebagai gagasan
pada umumnya berupa kategori tertentu yang dipakai oleh manusia untuk berpikir.
Kategori itu diperoleh sebagai hasil kesimpulan dari ketaatasasan di dalam
menanggapi berbagai rangsangan yang berbeda. Mann (dalam Azwar, 2008: 24)
menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe
yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Berkenaan dengan aspek kognitif, generasi muda Bali diberikan pertanyaan
berkenaan dengan persepsi mereka terhadap bahasa Bali. Pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut.
Aspek Kognitif 1. Bahasa Bali adalah bahasa yang indah dan merdu
2. Bahasa Bali adalah pengemban budaya yang tinggi
Dari jawaban yang diberikan oleh responden terlihat bahwa adanya kecenderungan
sikap positif terhadap bahasa Bali seperti terlihat pada grafik berikut.
105
Grafik tiap-tiap komponen sikap bahasa di atas menunjukkan bahwa
persentase pilihan sangat setuju dan setuju sangat dominan untuk pernyataaan bahwa
BB merupakan bahasa yang indah dan merdu. Begitu pula bila dikaitkan dengan
pernyataan nomor (2), hampir 95% responden menyatakan sangat setuju dengan
bahasa Bali secara simbolis merupakan pengemban kebudayaan yang tinggi dan
merupakan bahasa yang indah dan merdu. Kecenderungan persentase yang tinggi ini
dapat ditafsirkan sebagai pengakuan mereka terhadap bahasa Bali, dalam hal ini
berkaitan dengan keberadaan bahasa sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus
kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan
faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan identitas sosial, termasuk di dalamnya
identitas etnis anggota masyarakat.
Dalam hal ini, komponen kognitif sikap pemuda Bali terhadap bahasa Bali
adalah menyangkut apa saja yang mereka percayai terhadap bahasa Bali itu sendiri.
Seperti pernyataan di atas, mengukur kepercayaan mereka atas keindahan dan
kemerduan bahasa Bali serta fungsi bahasa Bali sebagai pengemban budaya yang
tinggi. Menurut Azwar (2008:24–25), sering apa yang dipercayai seseorang itu
merupakan stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan dalam pikirannya. Jadi,
apabila telah terpolakan dalam pikiran para transmigran bahwa bahasa Bali merupakan
sesuatu yang negatif atau tidak baik, maka segala yang dilakukan terkait usaha
pelestarian bahasa Bali akan membawa asosiasi pola pikiran itu, terlepas daripada
maksud dan tujuan dilakukannya pelestarian terhadap bahasa Bali itu sendiri. Apabila
demikian kenyataannya, apa pun juga yang menyangkut bahasa Bali akan membawa
106
makna negatif dan mereka menjadi percaya bahwa usaha pelestarian pun membawa
arti yang kurang baik itu.
Namun tidaklah demikian faktanya terhadap persepsi penutur Bali terhadap
bahasa Bali. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of language norms), yang
mendorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun;
merupakan faktor yang sangat besar berpengaruh terhadap perbuatan yaitu kegiatan
menggunakan bahasa (language use) ( Garvin dan Mathiot (1968)). Demikian juga
halnya dengan generasi muda Bali. Kesadaran yang telah dimilikinya merupakan sikap
positif yang dimiliki generasi muda Bali untuk mempertahankan bahasa Bali.
5.4.2 Aspek Afektif Sikap Bahasa
Komponen afektif merupakan emosi yang mengisi gagasan. Apabila
seseorang ‗merasa senang‘ atau ‗merasa tidak senang‘ kepada seseorang, sekelompok
orang, sesuatu, atau suatu keadaan, dia memiliki sikap positif atau negatif kepada
seseorang atau kepada hal yang lain. Sikap positif atau negatif ini biasanya ditentukan
oleh hubungan objek sikap dengan keadaan yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komponen afektif
merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
(Suhardi, 1996:23). Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.
Untuk mengetahui sikap afektif generasi muda Bali, mereka diberikan tiga
pernyataan (nomor 3—5) sebagaimana berikut.
Aspek Afektif 3. Sebagai orang Bali, saya bangga dapat berbahasa Bali
4. Saya senang bila orang berbahasa Bali dengan saya
5. Saya senang berbahasa Bali dengan orang Bali lainnya
Hasil jawaban responden terlihat sebagaimana grafik berikut.
107
Dari grafik di atas terlihat bahwa persentase untuk pernyataan yang berkaitan dengan
komponen afektif (nomor (3), (4), (5)), rata-rata 90 % responden menyatakan setuju terhadap
pertanyaan mengenai rasa bangga bisa berbahasa Bali dan senang bila ada orang berbahasa Bali
dengan responden. Hal tersebut mengindikasikan sikap positif para generasi muda.
Menurut Azwar (2008:26), secara umum komponen afektif dapat disamakan
dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu yang sering bersifat subyektif.
Kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Bahasa Bali merupakan penanda identitas etnik dan pengemban kebudayaan Bali yang
adiluhung maka sangatlah mungkin terbentuk sikap afektif yang positif.
Hasil pengukuran terhadap sikap responden menunjukan kecenderungan
sikap positif, haruslah selaras dengan pemakaian dan penguasaan generasi muda Bali
atas bahasa Bali. Namun, hal ini perlu ditanggapi sebagai sesuatu yang prospektif bagi
pelestrian bahasa Bali di daerah destinasi wisata.
5.4.3 Aspek Konatif Sikap Bahasa
Komponen ini, menurut Triandis (dalam Suhardi, 1996:24), menunjukkan
adanya kecenderungan untuk bertindak. Seseorang menanggapi rangsangan-
108
rangsangan di sekitarnya pertama-tama dengan membuat kategori dan kemudian
menghubungkan kategori yang satu dengan yang lainnya. Komponen perilaku dalam
struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini
didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Azwar (2008:27) menyampaikan bahwa kecenderungan berperilaku secara konsisten,
selaras dengan kepercayaan dan perasaan membentuk sikap individual. Oleh karena
itu, adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya
dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek. Sebagai contoh, apabila generasi muda
tidak percaya bahasa Bali mampu mengakomodasi kehidupan pergaulan modern dan
mereka merasa tidak suka pada bahasa Bali, maka wajarlah apabila mereka tidak mau
berbahasa Bali.
. Berkaitan dengan aspek perilaku generasi muda Bali terhadap Bahasa Bali,
terdapat lima butir pernyataan (nomor 6—10) yang diajukan kepada responden
sebagaimana berikut.
Aspek Konatif 6. Segala upaya perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Bali
7. Bahasa Bali perlu terus dikembangkan (misalnya, kosakatanya ditambah)
8. Bahasa Bali harus diajarkan di sekolah meskipun di daerah yang minoritas
berbahasa Bali
9. Pemerintah harus lebih aktif membina dan mengembangkan bahasa Bali
10. Perlu ada kampanye untuk menggunakan bahasa Bali di antara anggota
keluarga Bali
109
Dari hasil analisis di atas terlihat kecendrungan bahwa jawaban responden antara
setuju dan sangat setuju terhadap upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Hanya
terdapat kurang lebih 1.2 % responden tidak setuju akan pernyataan no 8 Bahasa Bali perlu
terus dikembangkan (misalnya, kosakatanya ditambah). Menurut responden tidak
perlu ada upaya khusus untuk itu tetapi biarkan bahasa Bali yang saat ini mereka
pergunakan seperti apa adanya. Demikian juga dengan pernyataan no 8 mengenai
pentingnya BB diajarkan di sekolah. 3.7 % generasi muda menyatakan agar BB tidak
diajarkan di sekolah. Hal ini dapat dimaklumi karena materi pelajaran BB di sekolah
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.
Namun demikian secara umum dari data di atas tergambar bahwa pemuda
Bali memiliki sikap positif terhadap upaya pembinaan dan pengembangan terhadap
Bahasa Bali.
Berkenaan dengan pernyataan tentang komponen perilaku (konatif) kebahasaan
untuk pernyataan nomor (6)—(10), dapat digambarkan bahwa sikap responden cenderung
positif, meskipun bila dikaitkan secara berurutan antara masing-masing pertanyaan
menunjukkan penurunan secara kontinum tingkat kesetujuan antara pernyataan nomor (7), (8),
110
ke nomor (9). Namun, hal ini tidak serta merta bisa dikaitkan dengan penurunan sikap positif
responden pada tataran perilaku mengingat persentase jawaban mereka masih cenderung bernilai
positif. Jadi, bila dilihat dari tataran komponen perilaku, para generasi muda pada dasarnya
merespon positif terhadap upaya-upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Bali di daerah
destinasi wisata.
VI. SIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagaimana berikut.
Pilihan bahasa generasi muda di Bali yaitu bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Bahasa- bahasa tersebut digunakan pada berbagai ranah, utamanya ranah rumahtangga,
ketetanggaan dan ranah agama. Terkait dengan kemampuan berbahasa secara umum dapat
dikatakan bahwa pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap
pemakaian kosakata itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin
semakin tinggi pula tingkat pemakaiannya demikian sebaliknya. Penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu
kosakata dasar Swadesh, kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial
masyarakat, kosakata berkaitan dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan
kesenian, kosakata berkaitan dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih
tinggi tingkat pemahamannya dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta.
Secara geografis Ubud merupakan daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi
oleh desa-desa kental dengan tradisional Bali dengan ciri masyarakat lebih komunal
dan lebih homogen lebih-lebih keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat
dengan ciri feodalismenya, Ubud jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih
mengandalkan budaya dan di sekeliling Ubud masih terbentang persawahan. Berbeda
halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat
dekat dengan perkotaan dan penduduknya pun lebih heterogen baik dari segi agama,
ras, suku bangsa, matapencaharian dan sebagainya. Terkait dengan sikap bahasa dari
aspek kognitif, afektif dan konatif generasi muda memiliki kecenderungan bersikap
positif. Sikap positif ini merupakan modal dasar yang harus dimiliki dalam upaya
pemertahanan bahasa.
111
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputera, Abdurrahman. 2010. ―Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat: Studi
terhadap Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat‖ (Disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana
Alwi, Hasan dan Sugono, Dendy (ed). 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik
Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa
Bawa, I.W. 1983. ―Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi
Dialek‖ (Disertasi Doktor). Jakarta: Universitas Indonesia
Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London:
Batsford
Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Diterjemahkan oleh H. Nuktah Arfawie dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dhanawaty, Ni Made. 2002. ―Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi di
Lampung Tengah‖ (Disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Downes, W. 1984. Language and Society. London: Fontana Paperbacks
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell
Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague; Mouton
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England:
Harvard University Press.
Kismosuwartono, I. 1991. ―Pola Pengasuhan Anak Keluarga Petanai Transmigran
Jawa dan Bali di Daerah Transmigrasi Desa Ruktiharjo Kecamatan Seputih
Raman Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung. (Studi Perbandingan
Keluarga Petani Jawa dan Bali)‖. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas
Udayana
Lukman. 2002. ―Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-
Polmas‖ dalam Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar:
Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra
Universitas Udayana
Mandala, H. 2000. ―Pemakaian Bahasa Bali di Lombok‖ dalam Kumpulan Makalah
Kongres Bahasa Bali V di Denpasar, 13-16 November 2001
Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. ‖ Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di
Provinsi Lampung‘‘. Disertasi. Denpasar .Universitas Udayana.
112
Nursaid, dkk. 2000. Karakteristik Kebahasaan Warga Transmigrasi di Sitiung
Provinsi Sumatera Barat: Suatu Kajian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas.
Parwati, Sang Ayu Putu Eny. 2011.‖Kebertahanan Bahasa Bali Komunitas Remaja
Kuta, Badung‖. Thesis. Denpasar: Universitas Udayana.
Putra Yadnya, I.B, dkk. 2010. ―Akomodasi Linguistik dan Sosial Antaretnis Daerah
Transmigrasi di Provinsi Lampung: Menuju Pola Penanggulangan
Disharmonisasi Sosial‖. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Strategis
Nasional DIKTI
Showalter, C.J. 1991. ‖Getting what you asked for : A study of sociolinguistics survey
questionnaires‖. Dalam Kindel, Gloria E (ed).1991. Proceedings of the Summer
Institute of Linguistics International Language Assesment Conference,Horsleys
Green, 23-31 May 1989. Dallas;SIL,Paper 20.
Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok
Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok : Fakultas Sastra UI
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Sutama, P. 2007. ―Profil Sosiolinguistik Bahasa Bali‖ dalam Prosiding Seminar
Perdana Bahasa Ibu Program Studi Magister dan Doktor Linguistik
Universitas Udayana. Hal 374-385
Suteja, I Nyoman.2007. ― Sikap Bahasa Kalangan Mahasiswa Etnis Bali Terhadap
Pemakaian Bahasa Bali‖. (Disertasi).Denpasar: Universitas Udayana.
Sutjaja, I. G. M. 1990-1992. ―Language Change: The Case of Balinese in the
Transmigration Areas of Lampung, Sulawesi, Sumbawa, and Timor‖. Laporan
Penelitian dengan Dukungan Dana Toyota Foundation, Tokyo
Wijaya, P. 1999. ―Bali‖ dalam Supartha, I.W. (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-
198. Denpasar: PT Bali Post.
113
LAMPIRAN
CONTOH INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN :
A. IDENTITAS RESPONDEN
KODE :
1. Nama : ________
2. Alamat : ________
3. Tempat/tanggal lahir : ________
4. Kebangsaan : ________
5. Umur : ________
6. Bahasa Ibu :______________________________________________________
7. Pendidikan Terakhir : ________
8. Pekerjaan : _______
A. BAHASA DAN PEMAKAIANNYA
Kode :
1. a. Bahasa Ibu (BI) saudara (bahasa waktu kecil) :
a. BB; b. BI; c. B Ing d.Bhs.....….
b. Apakah masih menguasai bahasa ibu (BI) tersebut ?
a. Masih b. sedikit c. Tidak
c. Apakah masih dipakai sehari-hari ?
a. Masih b. Jarang c. Tidak pernah
2. Dimana anda memperoleh bahasa tersebut?
a. Di sekolah/ di tempat kursus
b. Di Masyarakat
c. Di lingkungan rumah
d. ……………..
3. Kemampuan berbahasa Bali
a. Sama sekali tidak mampu
b. Hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara
c. Mampu bicara sedikit dan mampu memahami ujaran
d. Mampu bercakap-cakap
114
e. Sangat mampu.
4. Dimana anda memperoleh bahasa Bali (BB) tersebut ?
a. Di sekolah / di tempat kursus
b. Di Masyarakat
c. Di lingkungan rumah
d. ……………..
5. Kemampuan berbahasa Inggris
a. Sama sekali tidak mampu
b. Hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara
c. Mampu bicara sedikit dan mampu memahami ujaran
d. Mampu bercakap-cakap
e. Sangat mampu.
6. Dimana anda memperoleh bahasa tersebut?
a. Di sekolah/ di tempat kursus
b. Di Masyarakat
c. Di lingkungan rumah
d. ……………..
7. Apakah mampu berbahasa Bali perlu bagi anda?
a. ‗ya‘ b. ‗tidak‘
Jika ‗ya‘ beri alasan !
8. Apakah mampu berbahasa Inggris perlu bagi anda?
a. ‗ya‘ b. ‗tidak‘
Jika ‗ya‘ beri alasan !
9. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah, jika anda berbicara
masalah kehidupan keluarga sehari-hari, tentang barang-barang di rumah, dan
lain-lain? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
115
10. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah, jika anda berbicara
hal-hal yang bersifat kedinasan? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
11. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah ketika sedang
bersantai? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
12. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah ketika situasi bicara
berlangsung serius? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
13. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah ketika situasi bicara
berlangsung secara emosional? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
14. Di sekitar rumah, bahasa apakah yang biasa saudara pakai jika anda
berbincang- bincang tentang kehidupan/kejadian sehari-hari di sekitar anda dan
masalah berita- berita di koran dan di televisi, dan sebagainya, dengan teman?
…………………………………………………………….
15. Bahasa apakah yang bisa anda pakai sehari-hari di rumah ketika berbicara
tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti persembahyangan,
pembuatan sajen dan upacara-upacara keagamaan lainnya yang berlangsung di
rumah anda? Jika berbicara dengan :
116
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
16. Jika upacara keagamaan berlangsung di pura, bahasa apakah yang biasa anda
pakai? Jika berbicara dengan :
a. dengan ayah : BB; BI; ;……………
b. dengan ibu : BB; BI; ;……………
c. dengan saudara : BB; BI; ;…………
d. dengan keluarga lain : BB; BI; ;…………
e. dengan pembantu : BB; BI; ;…………
17. Bahasa apakah yang biasa di pakai di rumah jika berbicara dengan ayah, ibu, kakak, adik, nenek, kakek, keluarga lain, dan pembantu, ketika berbicara tentang :
a. kehidupan sehari-hari
b. hal-hal yang bersifat kedinasan (tentang sekolah)
c. jika situasi sedang santai
d. jika situasi sedang serius
e. jika dalam keadaan emosi
Anak berbicara
dengan : (a) (b) © (d) (e)
Ayah
Ibu
Kakak
Adik
Nenek
Kakek
Keluarga lain
Pembantu
Isi dengan
BB = Bahasa Bali
BI = Bahasa Indonesia
BIng = Bahasa Inggris
BA lain = Bahasa Asing lain (sebutkan…._
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apakah kaum muda sedang meninggalkan adat-adat nenek moyang Anda/ budaya
Bali?
117
..................................
2. Apakah anda pernah mengirim sms dengan B. Bali?
..................................
3. Apakah Anda pernah melihat bahan-bahan apa saja yang ditulis dalam bahasa Bali?
..................................
4. Apakah Anda ingin agar anak-anak Anda nantinya belajar membaca dan menulis dalam
bahasa Bali?
..................................
5. Bagaimana seandainya bahasa Bali dituliskan dan orang mulai membuat surat
kabar dan buku dalam bahasa itu? Apakah Anda akan tertarik untuk belajar
membaca dan menulis dalam bahasa Bali?
……………………
6. Apa keuntungan yang dapat Anda lihat jika bisa membaca dan menulis dalam
bahasa Bali?
…………………....
118
KEMAMPUAN BERBAHASA BALI. Pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berbahasa Bali saudara.
A.Kosa Kata Dasar Swadesh
No Istilah dalam
B. Indonesia
Istilah dalam Bahasa Bali Pemahaman Pemakaian
Biasa Alus Tahu Tidak Tahu Pernah
pakai
Tidak
pernah pakai
1 Air Yeh Toya
2 Anak Pianak Oka
3 Anjing Cicing Asu
4 Api Api Geni
5 Bagaimana Kenken Sapunapi
6 Baik Luung Becik
7 Banyak Bek / liu Akeh
8 Daging / ikan Be Ulam
9 Sayur Jukut Jangan
10 Datang Teke Rauh
11 Duduk Negak Melinggih
12 Garam Uyah Tasik
13 Hijau Gadang Wilis
14 Hitam Selem Selem
15 Ibu Meme Biang
16 Ia Ia Ipun / ida
17 Jatuh Ulung Labuh / runtuh
18 25 Selae -
19 35 Sasur -
20 200 Satak -
21 1000 Siu -
22 75 Telung benang -
23 Perut Basang Wateng
24 Obat Ubad Tamba
25 Tuli Bongol -
B.Kosa Kata Budaya Dasar Berdasarkan Medan Makna
B1 Kata yang berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial
No Istilah dalam
Bahasa Indonesia
Istilah dalam Bahasa
Bali
Pemahaman Pemakaian
Tahu Tidak tahu Pernah pakai Tidak pernah
pakai
1 Kepala desa Perbekel 2 Juru tulis Penyarikan 3 Kepala adat Kelian Adat 4 Ronda malam Nyambangin 5 Iuran Cingkrem 6 Denda Ngoopin 7 Rapat Sangkep / paum 8 Balai desa Bale banjar 9 Ketua panitia Manggala karya 10 Pemberitahuan Ngarahin/mearah-
arah
B2. Kata yang berkaitan dengan kehidupan religi
119
No Istilah dalam
Bahasa Indonesia
Istilah dalam Bahasa
Bali
Pemahaman Pemakaian
Tahu Tidak tahu Pernah pakai Tidak pernah
pakai
1 Pendeta Pandita/jero mangku 2 Keluarga batih Nyama/rooban 3 Datang ke acara
Manusa Yadnya
4 Melayat Majenukan 5 Berpacaran Matunangan 6 Kawin Nganten 7 Mengandung Beling/mobot 8 Melahirkan Nglekadang 9 Upacara puput
puser Kepus pungsed
10 Upacara bayi usia
42 hari Bulan pitung dina
11 Upacara tiga
bulanan Nelu bulanin
12 Upacara enam
bulanan(weton) Otonan / paweton
13 Upacara akil balig Raja sewala (laki) Raja singa (perem.)
14 Upacara potong
gigi Metatah / mepandes
15 Upacara
perkawinan Pawiwahan
16 Bertindak
sbg.wanita.dlm.
perkawinan
Pradana
17 Meninggal Mati/seda 18 Mengubur Nanem 19 Upacara tiga hari
setelah penguburan Nyeeb/ngetelunin
20 Upacara
pembakaran mayat Ngaben
21 Berpatisipasi dlm.
Kerja adat Ngoopin
22 Denda Dosan 23 Membantu orang
punya gawe Ngoopin
24 Hari suci Rahinan 25 Piodalan Petoyan 26 Upacara
pembersihan diri Melukat
27 Upacara
pembersihan
lingkungan rumah
Prayascita
28 Upacara meminang
dalam perkawinan Ngidih / meluku
29 Membantu
menyelesaikan
Ngayah
120
pekerjaan adat di
pura 30 Kentongan Kulkul 31 Bergadang di pura Makemit 32 Bergadang di
rumah orang mati
Magebagan
33 Upacara
mengadopsi anak Meras panak
34 Upacara setelah
masak Saiban
35 Upacara setelah
mendapat
kecelakaan
Ngulapin
36 Makan bersama
dalam upacara adat Megibung
B3. Kata yang berkaitan dengan kesenian
No Istilah dalam
Bahasa Indonesia
Istilah dalam Bahasa
Bali
Pemahaman Pemakaian
Tahu Tidak tahu Pernah pakai Tidak pernah
pakai
1 Kelompok
penabuh Sekehe gong
2 Penari Pragina 3 Penyanyi Pesantia 4 Menari Ngigel 5 Menyanyi Megending 6 Pentas Mesolah 7 Pengisi suara Dalang 8 Tabuh Gong 9 Giwang Suweng/subeng/gliur 10 Cincin Bungkung 11 Alas kaki Sandal 12 Kain ( jarik ) Kamen 13 Stagen Sabuk 14 Selendang Senteng 15 Sesaputan Saput 16 Kancut Lelancingan 17 Berhias sebelum
menari Mepayas
18 Menonton Mebalih
B4. Kata yang berkaitan dengan mata pencaharian
No Istilah dalam
Bahasa Indonesia
Istilah dalam Bahasa
Bali
Pemahaman Pemakaian
Tahu Tidak tahu Pernah pakai Tidak pernah
pakai
1 Buruh tani Penyakap
121
2 Buruh penuai padi Derep 3 Dukun Balian 4 Dukun bayi Balian manak 5 Gembala Pengangon 6 Kuli Buruh 7 Nelayan Bendega 8 Pandai besi Pande 9 Pawang hujan Tukang terang 10 Pelawak Bondres 11 Pemburu Juru boros 12 penyumpit Tulup 13 Tukang umah Undagi 14 Tukang banten Tapini
C. FRASA
1. Pohon rambutan ______________________________________________________
2. Lima hari __________________________________________________________
3. Adik ayah saya ______________________________________________
4. Sedang Mandi ________________________________________________
D KALIMAT
1. saya membelikan adik baju
……………………………………………………………………………………….
2. ayah sedang mencangkul di sawah
……………………………………………………………………………………….
3. dia menanam ubi kayu di ladang
……………………………………………………………………………………….
4. ibu berbelanja ke pasar
……………………………………………………………………………………….
122
E. SELOGAN, UNGKAPAN
No Ungkapan dalam Bahasa
Indonesia Ungakapan dalam Bahasa Bali
Pemakaian
Tahu Tidak tahu
1 Orang yang semakin besar saja
kemauannya Gede kenehne / Gede tendasne
2 Karena nila setitik rusak susu
sebelanga Aduk sere aji keteng
3 Air cucuran atap jatuhnya ke
pelimbahan juga Ia enceh bapane
4 Makin besar pemasukan makin
besar pula pengeluaran Gede ombak gede angin
5 Maunya cari untung, tpi modalnya
ikut hilang Takut ngetel payu makebyos
6 Makin tinggi sdhana kita, makin
besar cobaan yang datang Cen kayu ane sing tempuh angin
7 Bagaikan menangkap belalang
dapat satu dimakan satu Ngejuk balang ngabe alutan
8 Semiskin-miskinnya orang kaya
masih ada juga kekayaannya Berag-beragan gajah nu masih
misi muluk
9 Bagai bara sabut kelapa, kalau
ditiup suaranya keras Liep-liep lipi gadang
10 Bagai ayam ditaburi ketan Buka siap sambuin injin
SIKAP TERHADAP BAHASA BALI
Pertanyaan-pertanyaan berikut bertujuan untuk mendapatkan data tentang persepsi
dan sikap adik-adik terhadap bahasa Bali
A. Persepsi terhadap bahasa Bali
Beri tanda rumput (√) pada kolom yang tersedia
NO
Sangat
Setuju Setuju
Ragu-Ragu/
Tidak Tahu Tidak
Setuju
Sangat Tidak
Setuju
1 Bahasa Bali adalah adalah bahasa
yang indah dan merdu
2. Bahasa Bali adalah pengemban
budaya yang tinggi
3 Sebagai orang Bali, saya bangga dapat
berbahasa Bali
4. Saya senang bila orang berbahasa Bali
dengan saya
5 Saya senang berbahasa Bali dengan
orang Bali lainnya
6 Segala upaya perlu dilakukan untuk
melestarikan bahasa Bali
7 Bahasa Bali perlu terus dikembangkan
123
(misalnya, kosakatanya ditambah)
8 Bahasa Bali harus diajarkan di sekolah
meskipun di daerah yang minoritas
berbahasa Bali
9 Pemerintah harus lebih aktif membina
dan mengembangkan bahasa Bali
10 Perlu ada kampanye untuk
menggunakan bahasa Bali diantara
anggota keluarga Bali
11. Bahasa-bahasa apa yang paling sering Anda gunakan:
a. bermimpi _______________________________
b. berdoa di rumah __________________________
c. bertengkar ______________________________
d. bertengkar (sewaktu ada orang lain diluar pasangan tengkar) _________
e. menghitung uang ______________________________
f. menghitung barang ____________________________
g. menceritakan kisah-kisah tradisional __________________________
h. bernyanyi ___________________________________
i. berbicara mengenai politik ________________________
j. menyelesaikan pertengkaran _______________________
k. meminta tolong (pelayanan). ________________________
LEMBAR PENGAMATAN/
PEDOMAN WAWANCARA
B. Sikap terhadap Penggantian Bahasa
1. Jika seorang pemuda Bali menuturkan bahasa lain / bahasa perdagangan di rumah,
apakah seseorang yang sudah tua tidak akan senang dengan hal itu?
____________________
2. Apakah kaum muda sedang meninggalkan adat-adat nenek moyang Anda/ budaya Bali?
________
Apakah menurut Anda ini sesuatu yang baik atau buruk? ________________________
3. Apakah kaum muda bangga dengan bahasa Bali ?
4. Ketika anak-anak dari desa ini bertumbuh dewasa dan sudah mempunyai anak sendiri,
apakah menurut Anda anak-anak itu akan menuturkan bahasa Bali ? _______________
Apakah itu sesuatu yang baik atau buruk? _______________________________
5. Pada masa-masa mendatang yang jauh dari sekarang, apakah menurut Anda orang akan
berhenti menuturkan bahasa Bali dan hanya menuturkan bahasa Asing atau bahasa
Indonesia? ______________________________________
124
6. Apakah menuturkan bahasa Bali merupakan hal yang baik? _______________
Mengapa? _______________________________________________________
8. Bahasa apa yang sebaiknya harus dikuasai jika Anda ingin mendapat pekerjaan?
____________
Apakah orang yang hanya mampu menuturkan bahasa tersebut dapat memperoleh
pekerjaan yang baik? __________________
9. Bahasa apa yang sebaiknya digunakan untuk berbicara mengenai pemakaman?
(Kepercayaan-kepercayaan religius tradisional, dunia roh, dsb.) ______________
Apakah Anda pernah menggunakan bahasa lain dan bahasa nasional pada acara
pemakaman?
10. Bahasa apa yang paling baik digunakan untuk menyanyikan lagu-lagu tradisional?
______________
Apakah Anda pernah bernyanyi dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah
_____________________?
11. Bahasa apa yang sebaiknya digunakan oleh seorang guru di sekolah dasar /menengah?
___________________ Mengapa?
___________________________________________________________________
11. Bahasa-bahasa apa yang harus diajarkan di sekolah? ______________________
12. Bahasa apa yang paling baik digunakan untuk berbicara mengenai politik?
_________________ Mengapa? ________________________________________
13. Apakah menurut Anda bahasa Bali sama baiknya dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa perdagangan,atau menggunakan bahasa kedua lain?
14. Apakah Anda dapat menyebutkan suatu situasi yang di dalamnya bahasa Bali tidak
baik untuk digunakan? __________________
15. Apakah Anda pernah malu karena seseorang mendengar Anda berbicara bahasa Bali?
16. Bahasa apa yang paling bermanfaat untuk dikuasai di sekitar sini? _______________
17. Bahasa apa yang paling baik untuk menghina? _________________
Untuk menceritakan lelucon? _____________________________
18. Apakah lebih penting bagi anak laki-laki daripada anak perempuan untuk mempelajari
bahasa perdagangan atau bahasa kedua? ____________________
Apa keuntungannya bagi anak laki-laki? ___________________________________
Apa keuntungannya bagi anak perempuan? _________________________________
19. Bahasa apa yang ada disekitar tempat tinggal anda?
20. bahasa apa digunakan dengan penghuni disekitar tempat ini untuk masalah :
a. resmi............
b. santai
c. keagamaan
d. masalah keluarga
C. Sikap terhadap Penutur Bahasa Lain
125
1. Apakah orang menghormati seseorang yang menuturkan bahasa Indonesia atau bahasa
daerah lain lebih daripada seseorang yang tidak menuturkannya?
____________________________________________________
2. Jika Anda kehilangan kartu identitas dan uang di pasar desa dan seorang penutur bahasa
Bali menemukannya, apakah dia akan mengembalikannya? _____________Dan jika
orang itu adalah penutur bahasa Jawa , apakah dia akan mengembalikannya?
___________________
3. Apakah Anda ingin agar anak laki-laki atau perempuan Anda menikah dengan orang
yang hanya menuturkan bahasa Indonesia, bahasa asing, atau bahasa daerah lainnya ?
___________________
Mengapa (ya) atau mengapa( tidak)?
__________________________________________
4. Apakah baik atau buruk untuk tinggal bersebelahan dengan penutur bahasa daerah
lainnya atau bahasa asing? _________________________________________
Mengapa? _____________________________________________________
D. Aspirasi Bahasa
1. Apakah Anda pernah melihat bahan-bahan apa saja yang ditulis dalam bahasa Bali ?
_____________________________________________________
2. Apakah menurut Anda dapat membaca dan menulis dalam bahasa Bali itu merupakan
suatu hal yang baik?
______________________________________________________
3. Apakah Anda ingin agar anak-anak Anda belajar membaca dan menulis dalam bahasa
Bali ? ____________________________________________
Hal-hal apa saja yang Anda inginkan untuk ditulis dalam bahasa Bali ? (Pepatah, cerita
rakyat, cerita-cerita tradisional?)
__________________________________________________________________
4. Apakah Anda ingin dapat menuturkan bahasa Indonesia, bahasa daerah lainnya dan
atau bahasa asing dengan lebih baik?
_________________________________________
Mengapa? _________________________________________________________
5. Bagaimana seandainya bahasa Bali dituliskan dan orang mulai membuat surat kabar dan
buku dalam bahasa itu. Apakah Anda akan tertarik untuk belajar membaca dan menulis
dalam bahasa Bali ? _____________________________________________
6. Bagaimana seandainya orang mulai membuat surat kabar dan buku dalam daerah
lainnya. Menurut Anda apakah Anda ingin belajar membaca dan menulis dalam bahasa
itu? _________________________________________
7. Bahasa mana menurut Anda yang sebaiknya dipilih untuk membuat surat kabar dan
buku? ________________________________________
126
8.Apa keuntungan yang dapat Anda lihat jika bisa membaca dan menulis dalam bahasa
Bali, bahasa Indonesia, bahasa asing?
_____________________________________________________________________