bahasa dan sastra logat vol. 3 no. 2 oktober 2007 · jurnal logat pada tahun ketiga ... mulai dari...

86
PRAKATA Jurnal logat pada tahun ketiga ini (Vol. III No. 2) cukup puas dengan identitasnya, maju penuh percaya diri, mencuat dalam kancah ilmiah khususnya dalam bidang linguistik. Logat edisi kali ini terdiri atas delapan artikel. Kajian linguistik ini ditulis oleh beberapa penulis dengan topik yang sangat beragam, mulai dari kajian mikro sampai makrolinguistik. Kedelapan artikel ini dikupas dengan perspektif yang beragam. Artikel proses belajar–mengajar di sekolah dasar dengan judul “Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali” ditulis oleh Ni Luh Sutjiati Beratha. Artikel ini membahas tentang kemampuan berbahasa Bali siswa SD di kota dan di desa yang berbeda. Kajian yang sama juga ditulis oleh Lely Refnita dengan judul “Alih Kode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu dalam Proses Belajar – Mengajar Bahasa Asing”. Artikel ini membahas masalah alihkode pada bahasa ibu. Pembelajar harus mempunyai motivasi belajar di kelas. Untuk mencapai hasil belajar bahasa asing dengan baik seorang mahasiswa harus mempunyai distribusi dan korelasi motivasi belajar dengan kesiapan belajar di dalam kelas. Artikel sosiolinguistik yang dihubungkan dengan “Hipotesis Sapir–Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Minangkabau” ditulis oleh Jufrizal dkk. Hasil kajiannya mengemukakan bahwa data dan informasi budaya dalam hipotesis Sapir–Whorf bersesuaian dan dapat diterima. Artikel sintaksis ditulis oleh Mulyadi. Artikel ini mencoba membahas masalah sintaksis dengan mengaitkan kajian tipologi bahasa Indonesia. Kalimat koordinasi bahasa Indonesia mengizinkan pelepasan argumen yang koreferensial apabila berfungsi sebagai P dan S. Pada sisi lain bahasa Indonesia juga dianggap sebagai bahasa yang mempunyai properti keakusatipan sintaksis. Artikel semiotika yang dikaitkan dengan sintaksis ditulis oleh Ikhwanuddin Nasution dengan judul “Relasi Semiotika dengan Semantik dan Etnografi. Tulisan ini mengungkapkan bahwa relasi semiotika dengan semantik dan etnografi terbentuk melalui interpretasi tanda yang dihubungkan dengan kebiasaan masyarakat untuk menafsirkan sebuah tanda atau simbol bahasa. Artikel semantik dengan judul “Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis 2007” ditulis oleh Marini Nova Siska Naibaho dan Dardanila. Tulisan ini mengupas tentang jenis polisemi verba, nomina, dan adjectiva. Polisemi verba mendominasi pada harian ini. Artikel wacana ideologi Erdemubayu (perkawinan) Batak Karo ditulis oleh Jekmen Sinulingga. Kajian wacana ini dikupas dalam perspektif LFS, Semiotika, dan budaya Batak Karo. Hasil akhir kajian ini adalah dalam wacana ini ditemukan kekuatan (power) yang terletak pada kelompok partisipan, yaitu Kalimbubu. Jurnal ini ditutup dengan artikel penerjemahan yang ditulis oleh Eddy Setia dengan judul “Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan”. Tulisan ini mengungkapkan masalah terjemahan (lisan dan tulisan) dan sangat dibutuhkan masyarakat. Demikianlah kedelapan artikel yang termuat dalam jurnal logat kali ini. Harapan kami jurnal ini dapat menambah pengetahuan dan memberi inspirasi yang besar terhadap pembaca untuk mengespresikan tulisan-tulisan linguistik yang lain dengan perspektif dan titik pandang yang berbeda. Medan, Oktober 2007 Penyunting

Upload: lengoc

Post on 29-Jun-2018

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PRAKATA

Jurnal logat pada tahun ketiga ini (Vol. III No. 2) cukup puas dengan identitasnya, maju penuh percaya diri, mencuat dalam kancah ilmiah khususnya dalam bidang linguistik. Logat edisi kali ini terdiri atas delapan artikel. Kajian linguistik ini ditulis oleh beberapa penulis dengan topik yang sangat beragam, mulai dari kajian mikro sampai makrolinguistik. Kedelapan artikel ini dikupas dengan perspektif yang beragam. Artikel proses belajar–mengajar di sekolah dasar dengan judul “Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali” ditulis oleh Ni Luh Sutjiati Beratha. Artikel ini membahas tentang kemampuan berbahasa Bali siswa SD di kota dan di desa yang berbeda. Kajian yang sama juga ditulis oleh Lely Refnita dengan judul “Alih Kode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu dalam Proses Belajar – Mengajar Bahasa Asing”. Artikel ini membahas masalah alihkode pada bahasa ibu. Pembelajar harus mempunyai motivasi belajar di kelas. Untuk mencapai hasil belajar bahasa asing dengan baik seorang mahasiswa harus mempunyai distribusi dan korelasi motivasi belajar dengan kesiapan belajar di dalam kelas. Artikel sosiolinguistik yang dihubungkan dengan “Hipotesis Sapir–Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Minangkabau” ditulis oleh Jufrizal dkk. Hasil kajiannya mengemukakan bahwa data dan informasi budaya dalam hipotesis Sapir–Whorf bersesuaian dan dapat diterima. Artikel sintaksis ditulis oleh Mulyadi. Artikel ini mencoba membahas masalah sintaksis dengan mengaitkan kajian tipologi bahasa Indonesia. Kalimat koordinasi bahasa Indonesia mengizinkan pelepasan argumen yang koreferensial apabila berfungsi sebagai P dan S. Pada sisi lain bahasa Indonesia juga dianggap sebagai bahasa yang mempunyai properti keakusatipan sintaksis. Artikel semiotika yang dikaitkan dengan sintaksis ditulis oleh Ikhwanuddin Nasution dengan judul “Relasi Semiotika dengan Semantik dan Etnografi. Tulisan ini mengungkapkan bahwa relasi semiotika dengan semantik dan etnografi terbentuk melalui interpretasi tanda yang dihubungkan dengan kebiasaan masyarakat untuk menafsirkan sebuah tanda atau simbol bahasa. Artikel semantik dengan judul “Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis 2007” ditulis oleh Marini Nova Siska Naibaho dan Dardanila. Tulisan ini mengupas tentang jenis polisemi verba, nomina, dan adjectiva. Polisemi verba mendominasi pada harian ini. Artikel wacana ideologi Erdemubayu (perkawinan) Batak Karo ditulis oleh Jekmen Sinulingga. Kajian wacana ini dikupas dalam perspektif LFS, Semiotika, dan budaya Batak Karo. Hasil akhir kajian ini adalah dalam wacana ini ditemukan kekuatan (power) yang terletak pada kelompok partisipan, yaitu Kalimbubu. Jurnal ini ditutup dengan artikel penerjemahan yang ditulis oleh Eddy Setia dengan judul “Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan”. Tulisan ini mengungkapkan masalah terjemahan (lisan dan tulisan) dan sangat dibutuhkan masyarakat. Demikianlah kedelapan artikel yang termuat dalam jurnal logat kali ini. Harapan kami jurnal ini dapat menambah pengetahuan dan memberi inspirasi yang besar terhadap pembaca untuk mengespresikan tulisan-tulisan linguistik yang lain dengan perspektif dan titik pandang yang berbeda.

Medan, Oktober 2007 Penyunting

DAFTAR ISI Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali--------------------------------------------------------------------------------------------------- 54-57

Ni Luh Sutjiati Beratha Fakultas Sastra Universitas Udayana

Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing-------------------------------------------------------------------------------------------------- 68-78

Lely Refnita Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Minangkabau-------------------------------------------------------------------------------------------------- 79-89

Jufrizal, Zul Amri, dan Refnaldi Fakultas Bahasa Sastra dan Seni Universitas Negeri Padang

Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis ---------------------------------------------------------------------- 90-98

Mulyadi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Relasi Semiotika dengan Semantik dan Etnografi-------------------------------------------------------- 99-104

Ikhwanuddin Nasution Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007---------------------- 105-112

Marini Nova Siska Naibaho dan Dardanila Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo --------------------------------------------------------- 113-124

Jekmen Sinulingga Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan-------------------------------------------------- 125-135

Eddy Setia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

logat Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra Volume III, No. 2, Oktober 2007 ISSN: 1858 – 0831

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 54

KEBUTUHAN PEMBELAJARAN BAHASA BALI

SISWA SEKOLAH DASAR DI DAERAH TINGKAT I PROVINSI BALI1)

Ni Luh Sutjiati Beratha

Fakultas Sastra Universitas Udayana

Abstract This article discusses the needs of studying and learning processes of Balinese for primary student in Bali Province. From the research findings, it was discovered that the Balinese primary students’ proficiency is very poor and the goal of teaching Balinese is very urgent since its usage is getting rare. The scope of using Balinese involves the society, household, schools,, and psychosocial backgrounds like religions, brotherhood, relax, formal, politics, and ethics. Further, from the three domains of Balinese usage, it could be identified the communicants who speak Balinese and the social relations of those speakers, that is, high x low, and parallel. The communication instrumentality of primary students in rural areas, 1st – 4th classes are very productive at spoken language and written language for primary students of 1st and 3rd classes are receptive. For primary students at urban areas, the spoken language of 1st and 2nd classes is receptive and it is more productive for 3rd -4th classes. For written language its result is the same with the primary students in the country, that is, receptive on 1st – 3rd classes and it is getting more productive after the 4th classes. The communication mode of Balinese consists of monolog and dialogue and its communication channel is divided into three categories, that is, very important, important, and unimportant. The Balinese style that needs to be taught to primary students is standard style. The communication events consist of speech situation and speech acts that involve the society, household and school domains. Key words: studying and learning process, domain, spoken and written language,

productive, reseptive

1. PENDAHULUAN Makalah ini akan menguraikan pokok-pokok bahasan yang terkait dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI di daerah Tingkat I Provinsi Bali berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga kabupaten dan satu pemerintahan kota di Bali. Pembahasan mengenai pemerolehan bahasa I dan II mengawali makalah ini mengingat posisi bahasa Bali saat ini bisa sebagai bahasa I dan II. Ketidakpahaman seseorang terhadap bahasa Bali sangat erat kaitannya dengan apakah sebuah bahasa diperoleh sebagai bahasa I atau II (dengan kata lain bagaimanakah suatu bahasa diperoleh), dan tampaknya posisi bahasa Bali di Bali saat ini pada beberapa ranah pemakaian bahasa Bali diambil alih oleh bahasa Indonesia (Arnati 1996). Menurut Richard dkk. (1985:3), proses seseorang dalam mempelajari suatu bahasa disebut dengan istilah pemerolehan bahasa, bukan pembelajaran bahasa. Istilah pemerolehan bahasa berkembang

karena adanya kepercayaan para ahli bahasa bahwa perkembangan sebuah bahasa pertama pada seorang anak merupakan suatu proses khusus. Pendapat Richard dkk tampaknya sejalan dengan Chomsky yang menyatakan bahwa:

1. anak-anak lahir dengan kemampuan khusus dalam pembelajaran bahasa,

2. mereka tidak harus dipaksa untuk belajar bahasa atau memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka,

3. mereka belajar bahasa dengan menjelaskan secara rinci (membedah) hal-hal yang terkait dengan bahasa tersebut, dan

4. kaidah-kaidah bahasa berkembang secara tidak disadari.

Seorang anak dikatakan memperoleh

kaidah bahasa ibu mereka apabila mereka mampu membedah bahasa tersebut dengan cara memberi contoh-contoh, dan menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 55

Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru SD di desa dan di kota, dengan para budayawan dan pemerhati bahasa, secara umum anak-anak di perkotaan berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi karena mereka belum mampu berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa bahasa pertama mereka adalah bahasa Indonesia. Pada masyarakat pedesaan adalah sebaliknya, bahasa Bali merupakan bahasa pertama mereka. Dalam konteks seperti ini bahasa Bali di Bali adalah sebagai bahasa pertama di satu sisi dan sebagai bahasa kedua di sisi lain. Dalam kenyataan, pemerolehan bahasa I sangat berbeda dengan bahasa II, baik ditinjau dari karakteristik pribadi maupun kondisi dalam mempelajari suatu bahasa. Oleh sebab itu, hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian, khususnya untuk menyamakan persepsi dalam rangka pembelajaran bahasa Bali, baik untuk pengembangan maupun untuk pelestarian bahasa Bali. Berikut disajikan ciri-ciri seorang anak yang belajar bahasa I dan kondisi pembelajarannya. Ciri-ciri pembelajaran bahasa I:

1. Seorang anak yang mempelajari suatu bahasa sebagai bahasa I tidak memiliki cognitive maturity (yaitu kemampuan untuk ikut serta memecahkan suatu masalah deduksi dan yang terkait dengan memori kompleks). Di samping itu, mereka tidak memiliki kesadaran metabahasa, yaitu suatu kemampuan untuk memperlakukan bahasa sebagai bahasa sebuah objek, dan

2. Pengetahuan tentang bahasa-bahasa lain dapat mengantarkan pembelajaran untuk membuat terkaan yang tidak benar tentang bagaimana kedua bahasa tersebut berinteraksi, dan ini dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan (error) yang semestinya tidak perlu dibuat oleh pembelajar bahasa I.

Kondisi pembelajaran bahasa I:

1. Pembenaran penyimpangan cenderung terbatas pada perbaikan makna termasuk di dalamnya penyimpangan dalam pemilihan kosakata. Akan tetapi, untuk pemerolehan bahasa II kondisi seperti ini tidak terjadi sebab secara formal penyimpangan tidak berpengaruh terhadap makna, namun ini sering diperhatikan secara berlebihan. Penyimpangan terhadap tata bahasa, ucapan (pelafalan) jarang terjadi;

2. Kondisi yang tampaknya umum terjadi di dalam pemerolehan bahasa I dan II adalah akses terhadap masukan yang termodifikasi;

3. Anak-anak yang memperoleh kondisi pembelajaran bahasa yang baik di rumah menerima langsung umpan balik, sedangkan kondisi seperti ini sulit dilaksanakan dengan segera.

Di samping itu, bahasa I umumnya

diperoleh secara normal di dalam lingkungan keluarga (rumah) tanpa intervensi pedagogik, sedangkan bahasa II diperoleh melalui lingkungan sekolah di bawah penguasaan langsung seorang guru. Bahasa II mengizinkan pembangunan sebuah teori atas bahasa II dalam kaitannya dengan bahasa I tanpa melewati tahapan pemerolehan bahasa I.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengidentifikasi kebutuhan belajar bahasa Bali untuk siswa SD yang meliputi (1) pengukuran terhadap kemampuan berbahasa Bali, (2) tujuan belajar bahasa Bali, (3) latar penggunaan bahasa Bali, (4) interaksi dalam komunikasi, (5) ragam bahasa bali dan tingkat penguasaan berbahasa dan, (6) peristiwa komunikasi. Keenam materi tersebut akan diuraikan secara rinci berikut ini. 2. KEBUTUHAN PEMBELAJARAN

BAHASA BALI SISWA SEKOLAH DASAR

2.1 Kemampuan Berbahasa Bali Menurut Chomsky (1965), kemampuan adalah pengetahuan tentang penguasaan bahasa seseorang yang umum disebut dengan istilah linguistic competence, yaitu kemampuan dalam menggunakan bahasa secara memadai apabila dilihat dari sistem bahasa. Dalam studi ini kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan dalam konteks sosial sehingga dapat dimengerti (diterima) karena sudah sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam komunikasi, karena sudah sesuai dengan latar penggunaan bahasa, karakteristik penutur, peristiwa tutur, pelibat dalam tuturan, saluran komunikasi, dan situasi sosial-emosional tuturan. Ada tiga jenis kemampuan berbahasa Bali yang diukur dalam penelitian ini, yaitu (1) kemampuan berbahasa Bali lisan, (2) kemampuan berbahasa Bali sesuai dengan aras-tutur, dan (3) kemampuan berbahasa Bali tulis, baik dengan huruf Latin maupun huruf Bali.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 56

2.1.1 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Lisan

Seorang anak akan memperoleh bahasa lisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa adalah bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai gejala sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia dalam masyarakat. Kemampuan berbahasa lisan siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali sangat beraneka ragam, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan. Dari pengamatan secara mendalam terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa Bali lisan pada kelompok nihil khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka tampaknya hanya memiliki pemahaman secara pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat memahaminya, namun tidak dapat menggunakannya secara verbal, serta semua respon atas pertanyaan yang diberikan kepada mereka akan selalu dijawab dengan bahasa Indonesia. Ini sangat berbeda dengan siswa yang tergolong pada kelompok nihil di perkotaan: mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Bali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa bahasa I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Bali baru dipelajari di sekolah, bukan dari lingkungan keluarga yang semestinya merupakan komunitas kecil untuk mengawali pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan mengajarkan bahasa Bali di rumah tangga. Pada masyarakat pedesaan, terdapat peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang sangat tajam. Akan tetapi, pada masyarakat perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa lisan adalah tidak seperti pada masyarakat pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di rumah sangat kurang pada masyarakat perkotaan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan pemahaman berbahasa Bali lisan siswa SD pada masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai oleh penggunaan aras-tutur (unda-usuk) yang cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam yang merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan penggunaan aras-tutur dibahas secara rinci berikut ini. 2.1.2 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali

Sesuai dengan Aras-Tutur Menurut statistik (1997), penduduk Bali

saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri atas laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760. Sekitar 10% dari seluruh penduduk saat ini adalah

dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari kalangan kebanyakan (sudra). Masyarakat Bali terdiri atas dua kelompok masyarakat: (1) kelompok non-Triwangsa menduduki jumlah banyak sehingga sering disebut pula sebagai kalangan kebanyakan; dan (2) kelompok Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa Bali, seperti bentuk hormat dan lepas hormat (Bagus, 1976:109; Tinggen, 1995). Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum memiliki kemampuan penggunaan aras-tutur yang cukup memadai. Salah satu faktor penyebab tingkat kemampuan penggunaan aras-tutur yang belum memadai adalah karena rumit (‘sulit’) penggunaannya, dan siswa SD belum mampu untuk memahaminya; dengan berbahasa Indonesia tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus mengetahui pelibat dalam suatu peristiwa komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di samping itu, tampaknya sejauh ini belum tersedia materi yang khusus terkait dengan pengajaran aras-tutur bahasa Bali. Secara umum, siswa SD di desa dari kelas III sampai dengan kelas VI belum menguasai penggunaan aras-tutur dengan cukup baik. Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes (pengisian instrumen) yang dilakukan terhadap anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah pedesaan, para siswa tersebut sangat lambat di dalam menjawab semua pertanyaan yang berbahasa Bali, apabila dibandingkan dengan siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD yang berasal dari kalangan Triwangsa dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak jelas bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih mampu menggunakan aras-tutur daripada mereka dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari Triwangsa (khususnya Brahmana) selalu berkomunikasi dengan nenek/kakek (apabila mereka adalah pendeta Hindu) menggunakan bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang ditemukan seorang pendeta mau berkomunikasi dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali bahasa Bali. Pada siswa SD di pedesaan dapat dipahami dengan jelas bahwa kemampuan menggunakan aras-tutur semakin mantap setelah siswa SD berada di kelas IV ke atas. Siswa kelas IV dan V yang menguasai aras-tutur dalam kategori lanjut adalah 75% untuk kelas IV dan 87,5% pada kelas V. Setelah mereka di kelas VI, penguasaan aras-tutur pada kategori lanjut menjadi 93,7%. Dari 75% siswa kelas IV yang memiliki

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 57

kemampuan dalam kategori lanjut 50% adalah wanita dan selebihnya 25% adalah laki-laki. Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47% wanita dan 40% laki-laki, dan pada kelas VI: 50% wanita dan 43,7% laki-laki. Secara umum wanita dianggap selalu lebih rendah (subordinate) daripada pria. Menurut Smith (1992:59), wanita memiliki sifat lemah lembut, tidak langsung, dan kurang memiliki kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada siswa SD, baik di desa maupun di kota, sehingga penelitian ini mendukung pendapat Smith bahwa wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah daripada pria. Hal ini berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka berbahasa Bali bentuk hormat lebih sering dan lebih terampil daripada laki-laki. Ini mungkin dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest, pendiam (reticence), sopan. Sifat seperti ini jarang ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki oleh wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku berbahasa yang selalu tampak sopan dan formal sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada pria. Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki kemampuan penguasan aras-tutur 37,5%, sedangkan prianya 18,7%. Di samping itu, siswa wanita cenderung menggunakan kalimat kompleks pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini mendukung sifat formal yang dimiliki wanita. Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan kaidah penggunaannya. Kenyataan ini sudah disadari para guru mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan dalam mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu dirasakan makin bertambah berat karena belum tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa Bali yang sesuai sebagai materi pelajaran untuk siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen (1995) telah menulis Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut diperuntukan bagi siswa SLTP dan SLTA. Di samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki kualifikasi dalam bidang studi yang diajarkan. Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama (kualifikasi/latar belakang pendidikannya adalah agama Hindu), namun mereka diminta untuk mengajarkan bahasa Bali. 2.1.3 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali

Tulis Bahasa Bali tulis dalam penelitian ini

terdiri atas (a) bahasa Bali tulis yang berhuruf Latin dan (b) bahasa Bali tulis yang berhuruf Bali (hanacaraka). (a) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan

huruf Latin

Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Bali dengan huruf Latin siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali adalah seperti dijelaskan berikut ini. Menurut data penelitian ini, siswa SD kelas I baru diajarkan menulis dengan huruf Latin, dan pada Semester I baru diperkenalkan huruf balok. Oleh sebab itu, kemampuan mereka berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin boleh dikategorikan nihil. (b) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan

huruf Bali Hasil wawancara dengan informan kunci

menunjukkan bahwa pelajaran menulis Bali (dengan huruf Bali) baru diperkenalkan di kelas tiga pada Semester III, yaitu dengan mengajarkan alfabet bahasa Bali yang disebut dengan anacaraka. Pelajaran membaca dan menulis huruf Bali diberikan sampai dengan kelas VI. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis mereka dikategorikan sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah materi yang digunakan sebagai pegangan guru untuk mengajar penulisan huruf Bali di SD belum ada sampai saat ini. Buku pegangan guru untuk mengajar menulis (uger-uger pasang sastra aksara Bali) diambil dari Tinggen (1984). Buku ini tampaknya belum memadai sebab buku tersebut memiliki level tinggi, dan terasa sangat sulit bagi siswa SD. Buku Purwa Aksara, Pasang Aksara dan Pacraken digunakan untuk belajar menulis siswa SD kelas III—VI. Menurut pengakuan mereka menulis dengan aksara Bali sangat sulit. Pada akhir Semester II, siswa kelas VI belum mampu menggunakan dengan baik aturan (uger-uger) Pasang Aksara Bali. Hasil evaluasi akhir menunjukkan bahwa nilai rata-rata mereka adalah 75% cukup, dan hanya sebagian kecil yang memperoleh nilai 7 atau 8. 2.3 Tujuan Belajar Bahasa Bali Belajar suatu bahasa harus disertai dengan tujuan yang jelas. Apabila tidak jelas, sasaran yang hendak dicapai akan tidak terarah. Secara umum tujuan pengajaran bahasa Bali menjadi sangat urgen sebab kedudukan dan fungsi bahasa Bali tampaknya makin terdesak. Dengan memahami kenyataan itu, tujuan pengajaran bahasa hendaknya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai pada akhir pengajaran suatu bahasa. Tujuan ini sangat terkait dengan jenis-jenis keterampilan yang diajarkan, fungsi bahasa, aktivitas tutur, peristiwa tutur yang semuanya harus disesuaikan dengan jenjang/tingkatannya. Misalnya, apabila seseorang ingin belajar bahasa untuk berbelanja, keterampilan yang perlu diajarkan adalah bercakap-cakap. Akan tetapi, jika seseorang ingin

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 58

belajar bahasa untuk tujuan menulis surat, keterampilan yang diajarkan adalah menulis. Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai di dalam mempelajari suatu bahasa harus diketahui terlebih dahulu sebelum latar penggunaan bahasa sebab tujuan pembelajaran suatu bahasa sangat terkait dengan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran agar sasaran yang ingin dicapai terpenuhi dengan baik. Penelitian yang telah dilakukan adalah dalam rangka pelestarian bahasa Bali seperti digariskan dalam GBHN 1993 dan UUD 1945, dengan tujuan agar orang Bali tetap memiliki identitas, dan tidak tercabut dari akar dan budayanya. Dalam instrumen penelitian ada lima keterampilan yang diusulkan sebab kelima keterampilan ini sangat umum digunakan dalam pengajaran bahasa, baik untuk pengajaran bahasa I, II, ataupun bahasa asing. Keterampilan tersebut adalah (1) keterampilan membangun kosakata, (2) keterampilan bercakap-cakap, (3) keterampilan menyimak, (4) keterampilan membaca, dan (5) keterampilan menulis.

Kemampuan berbahasa seseorang akan tampak dalam kelima keterampilan di atas. Hasil penelitian sudah sesuai dengan filosofis bahasa bahwa seseorang belajar sebuah bahasa adalah melalui kata (leksikon), selanjutnya dengan menggabungkan kata dengan kata lainnya, dibentuk frasa, klausa (kalimat tunggal), kemudian kalimat (kalimat kompleks). Dalam kenyataannya, bahasa lisan diperoleh terlebih dahulu kemudian diikuti oleh bahasa tulis.

Untuk SD kelas I, tampaknya mereka baru diperkenalkan huruf Balok sehingga jenis keterampilan berbahasa Bali yang perlu diajarkan adalah (1) membangun kosakata dan (2) bercakap-cakap. Keterampilan yang diajarkan untuk siswa SD kelas II adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, dan (3) menyimak. Data studi ini menunjukkan bahwa keterampilan menyimak tampaknya mulai penting diajarkan pada siswa kelas II. Realisasi pelajaran menyimak untuk siswa kelas II ini adalah guru bercerita di depan kelas dan siswa mendengarkan sambil memahami isi cerita tersebut. Materi yang dipilih adalah yang sarat akan pesan dan berisikan pendidikan budi pekerti.

Siswa SD kelas III mulai diperkenalkan keterampilan menulis huruf Bali pada semester II. Pada kelas III, jenis-jenis keterampilan yang perlu diajarkan adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, (3) menyimak, dan (4) menulis dengan huruf latin dan Bali. Pada siswa SD kelas IV keterampilannya adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, (3) menyimak, (4)

menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan (5) membaca. Keterampilan huruf Bali tampaknya penting diajarkan mulai kelas IV Semester I sebab pengenalan huruf Bali sudah diajarkan pada kelas III semester II. Pelajaran membaca tampaknya perlu diajarkan seintensif mungkin pada saat itu, dan akan berlanjut sampai ke kelas V dan VI.

Pada siswa kelas V dan VI, semua keterampilan perlu diajarkan secara terintegrasi sebab keterampilan yang satu akan mendukung yang lain, dan kemampuan siswa sudah semakin meningkat. Penguatan atas semua keterampilan perlu diberikan di kelas IV mulai Semester II dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi EBTADA (EvaIuasi Belajar Tahap Akhir Daerah), di mana bahasa Bali merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diujikan.

Perlu dikemukakan di sini bahwa teks untuk keterampilan membaca diambil dari buku cerita rakyat Bali yang kaya akan pesan untuk mengajarkan budi pekerti kepada siswa. Untuk pelajaran menyimak, siswa SD diajarkan menyajikan lagu-lagu Bali, yaitu “Sekar Alit” terdiri atas: “Pupuh Ginanti”, “Mijil”, “Mas Kumambang”, “Pucung”, “Semaran Dana”, “Sinom”, “Ginada”, “Durma”, “Pangkur”, dan “Dangdang”. Untuk Kidung (khususnya “Kidung Dewa Nyadnya”) meliputi “Kidung Warga Sari” dan “Magatruh”. Keterampilan menyimak ini sekaligus dikaitkan dengan pelajaran apresiasi seni. Siswa juga diajarkan beberapa hal yang terkait dengan bidang kesusastraan seperti pepatah (sesonggan), ibarat (sasenggakan), tamsil (wewangsalan), seloka (bidal), metafora (beladbadan), pantun (peparikan), perumpamaan (papindan), perumpamaan (sesawangan), teka-teki (cacimpedan), syair teka-teki (cecangkriman), olok-olokan (cecangkitan), lawakan (raos ngempelin), sindiran (sasimbing), sindiran halus (sasemon), dan alamat (sipta).

2.4 Latar Penggunaan Bahasa Bali Ranah (domain) merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kehadiran bahasa atau ragam bahasa dalam komunikasi verbal. Schmidt-Rohr (1932) adalah orang pertama yang menyarankan konfigurasi ranah (domain) dan membedakannya menjadi sembilan ranah: keluarga, tempat bermain, jalan, sekolah, gereja, kesusatraan, pers, militer, pengadilan, dan administrasi pemerintah (dalam Pride dan Holmes, 1972:18). Menurut Fasold (1985) dan Romaine (1995:30), ranah merupakan konstelasi dari topik, situasi, latar, dan hubungan antarpelibat. Akan tetapi, Fishman (1979:18) mengemukakan bahwa ranah merupakan konteks dalam lingkungan sosial

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 59

di mana terjadinya peristiwa tutur. Pemakaian satu bahasa dapat terjadi pada ranah keluarga, adat, pendidikan, dan lain-lain.

Ranah dalam konteks ini terkait dengan latar (setting) penggunaan bahasa Bali yang dalam studi ini terdiri atas:

1. lokasi penggunaan hahasa, 2. waktu penggunaan bahasa, dan 3. latar psiko-sosial penggunaan bahasa

2.4.1 Lokasi Penggunaan Bahasa Bali

Objek penelitian ini adalah siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali. Dengan didasari atas asumsi bahwa mereka sekurang-kurangnya berada pada tiga lokasi dalam keseharian mereka di Bali, dalam studi ini diusulkan tiga lokasi penggunaan bahasa Bali, yaitu (a) pada masyarakat luas, (b) di rumah (tangga), dan (c) di sekolah. a. Pada masyarakat luas

Ada sejumlah lokasi yang dapat dikategorikan ke dalam masyarakat luas, di mana bahasa Bali dianggap memiliki potensi untuk digunakan. Bahasa dalam ranah ini digunakan oleh anggota masyarakat luas dalam interaksi verbal dengan kelompok sosial, lingkungan peribadatan, permainan, dan rekreasi. b. Di rumah tangga

Siswa SD hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah sehingga keluarga sebagai komunitas kecil sudah sewajarnya menggunakan bahasa Bali, dan rumah tangga digunakan sebagai tempat untuk memulai pengajaran bahasa Bali. Bahasa pada ranah keluarga digunakan oleh semua anggota keluarga, yaitu antara orang tua dengan anak-anak, atau sebaliknya. Pada SD pedesaan semua aktivitas tampaknya mampu diwahanai oleh bahasa Bali. Ini artinya bahwa mereka menganggap penggunaan bahasa Bali potensial atau sangat potensial, kecuali pada ruang belajar dan kamar mandi. Pada masyarakat perkotaan, potensi penggunaan bahasa Bali sangat bervariasi. Khusus untuk lokasi yang berkaitan dengan kegiatan adat istiadat, bahasa Bali dikatakan sangat potensial, serta untuk lokasi di dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur penggunaan bahasa Bali masih potensial, namun untuk halaman rumah, sumur, ruang belajar, dan kamar mandi, penggunaan bahasa Bali tidak potensial. c. Di sekolah

Sekolah juga merupakan salah satu lokasi siswa SD beraktivitas sehari-hari. Dalam ranah

sekolah bahasa Bali juga digunakan apabila guru berkomunikasi dengan siswa, pagawai dengan siswa, antarsiswa, pedagang dengan siswa.

Pada SD pedesaan, bahasa Bali mampu mewahanai semua aktivitas di luar kelas, dan dapat dikategorikan masih potensial, tetapi kenyataan ini tidak berlaku untuk aktivitas tutur di dalam kelas, baik di perpustakaan, ruang kelas, atau ruang guru. Tampaknya untuk semua aktivitas di sekolah diwahanai oleh bahasa Indonesia, dan bahasa Bali dianggap tidak potensial apabila digunakan di sekolah, terutama pada SD perkotaan.

Menurut para budayawan, pemerhati bahasa, dan para guru SD, penggunaan bahasa pada ranah sekolah masih terkait dengna kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi negara karena bahasa Indonesia selalu digunakan untuk mewahanai hal-hal yang bersifat resmi (Halim,1980). Jadi, pada ranah ini bahasa Bali tidak digunakan sebab situasi pada ranah tersebut tampaknya resmi. Akan tetapi, mereka mengimbau bahasa Bali digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas apabila mengajarkan bahasa Bali. Di samping itu, bahasa Bali digunakan pula sebagai bahasa pengantar pada SD kelas I apabila siswa tersebut belum memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia dengan baik. Keadaan seperti ini ditemukan khususnya pada SD di pedesaan di mana guru kelas menggunakan bahasa Bali pada saat menjelaskan semua mata pelajaran.

Perlu juga untuk diungkapkan di sini bahwa penguasaan bahasa dan variasi bahasa mempengaruhi keterampilan berbahasa sesuai dengan fungsi dan tingkat penguasaannya, termasuk di dalamnya kemampuan memahami (comprehension) secara lisan dan tulisan, dan kemampuan berbicara dan menulis (expression).

2.4.2 Waktu Penggunaan Bahasa Bali

Fungsi bahasa ditentukan oleh rentang waktu pemakaian (durasi), kekerapan, dan penekanan. Bahasa Bali yang diajarkan di SD saat ini adalah sebagai muatan lokal dalam Kurikulum Nasional, dan hanya diajarkan dua jam setiap minggu, termasuk teori dan praktik. Jumlah jam ini tampaknya masih sangat kurang sehingga perlu ditambah, sekurang-kurangnya 3-4 jam per minggu, baik untuk praktik maupun teori. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Bali sering digunakan pada masyarakat pedesaan untuk semua ranah, sedangkan pada masyarakat perkotaan penggunaan bahasa Bali dianggap kuna (Sukendra 1996).

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 60

2.4.3 Latar Psiko-Sosial Penggunaan Bahasa Bali

Fungsi bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan latar psiko-sosial penggunaan bahasa. Untuk ketiga lokasi/ranah di atas, latar psiko-sosial penggunaan bahasa Bali terdiri atas (a) etis, (b) santai, (c) politis, (d) resmi, dan (e) religius.

Suasana sosio-psikologi etis artinya suasana terjadi dalam komunikasi verbal penutur dengan lawan tutur di masyarakat luas dengan penuh keseriusan di mana salah satu lawan tuturnya tidak mengerti bahasa Bali. Suasana sosio-psikologi politis artinya suasana terjadi dalam rumah/di luar rumah dalam keadaan santai. Suasana sosio-psikologi politis artinya suasana terjadi di masyarakat luas dengan serius dan penuh perhatian untuk tujuan politik. Suasana sosio-psikologi formal artinya suasana terjadi di masyarakat luas, sekolah dan rumah dengan penuh perhatian dan keseriusan. Suasana sosio-psikologis religius artinya suasana terjadi di tempat-tempat peribadatan dengan serius dan memiliki kaitan dengan kegiatan keagaman (band. Pride, 1971:4-8)

Pada semua ranah, penggunaan bahasa Bali dalam suasana sosio-psikologi politis dianggap tidak penting, baik pada masyarakat kota maupun desa. Pada masyarakat luas, dan rumah tangga di desa, suasana santai dan kekeluargaan penggunaan bahasa Bali masih tetap dianggap penting, dan bahkan pada ranah rumah tangga pada suasana formal, kekeluargaan dan religius penggunaan bahasa Bali sangat penting. Akan tetapi, pada ranah sekolah, hanya pada suasana kekeluargaan dan religius tampaknya penggunaan bahasa Bali penting, sedangkan untuk suasana lainnya dianggap tidak penting.

Untuk masyarakat perkotaan, ranah masyarakat luas yang dianggap penting berbahasa Bali adalah apabila suasananya santai, dan kekeluargaan, serta menjadi penting sekali untuk suasana religius. Pada ranah rumah tangga suasana santai, formal, dan kekeluargaan penting menggunakan bahasa Bali, sedangkan pada suasana religius penggunaan bahasa Bali menjadi penting sekali. Pada ranah sekolah hanya suasana religius yang menganggap penggunaan bahasa Bali penting sekali, sedangkan pada suasana lainnya penggunaan bahasa Bali tidak penting.

2.5 Interaksi dan Instrumentalitas Komunikasi Suatu komunikasi verba yang baik memiliki pelibat dalam peristiwa tutur pada ranah-ranah pemakaian bahasa sebab latar selalu dihubungkan dengan tempat terjadinya peristiwa tutur. Posisi komunikan yang realistik diperankan oleh penutur.

Oleh sebab itu, pokok bahasan tentang interaksi dan komunikasi serta hubungan sosial antarpelibat akan mengawali uraian ini, dan selanjutnya diikuti dengan pembahasan tentang instrumentalitas komunikasi.

2.5.1 Interaksi dalam Komunikasi

Posisi komunikan dalam komunikasi perlu dibicarakan untuk mengetahui dengan siapa para komunikan biasanya berbahasa Bali pada ketiga ranah di atas. Pada masyarakat luas, penggunaan bahasa Bali menjadi penting bila digunakan oleh anggota banjar dengan klian banjar, antaranggota banjar, dan bahkan sangat penting bila komunikasi dengan bahasa Bali dilakukan oleh klian banjar dengan prajuru desa adat. Akan tetapi, tidak penting bila komunikasi itu terjadi antarkelompok masyarakat.

Di rumah tangga, penggunaan bahasa Bali penting bila komunikasi itu dilaksanakan antarsaudara, paman/bibi dengan kemenakan, orang tua dengan paman/bibi, dan sangat penting apabila anak dengan orang tua, kakek/nenek dengan cucu, ayah dengan ibu, orang tua dengan kakek/nenek, tetapi tidak penting apabila anak dengan pembantu. Di sekolah, posisi komunikan dalam komunikasi menjadi penting antarsiswa, dan siswa dengan orang tuanya, tetapi tidak penting jika guru dengan siswa, siswa dengan pegawai, dan siswa dengan pedagang di kantin.

2.5.2 Hubungan Sosial Antarpelibat

Menurut Haugen (1972:329), pemakaian bahasa dalam masyarakat dikaitkan dengan kekuasaan dan solidaritas seseorang dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Bown dan Gilman (1972:256) menyatakan bahwa kekuasaan mengacu kepada hubungan pelibat yang tidak sejajar karena jabatan, kedudukan, atau posisi lebih tinggi di masyarakat daripada penutur lain dalam masyarakat bahasa. Misalnya, hubungan guru dengan siswa, pengurus desa adat dengan anggota banjar, dan lain-lain. Solidaritas mengacu kepada hubungan antara penutur yang akrab dan sejajar, seperti hubungan antarteman akrab dan antaranggota banjar.

Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman (1972), parameter yang digunakan untuk memahami hubungan sosial antarpelibat pada ranah masyarakat luas, rumah tangga, dan sekolah adalah (a) tinggi vs rendah, dan (b) sejajar. Kedua hubungan ini sangat penting dalam komunikasi sebab masyarakat Bali berstratifikasi sosial yang dilatari oleh sistem

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 61

warna atau klen, dan di Bali dikenal dengan istilah caturwarga yang terdiri atas Brahmana, Ksatriya, Wesia, dan Sudra. Pemilihan dan penggunaan ragam bahasa apakah bentuk hormat atau lepas hormat sangat ditentukan oleh hubungan sosial antarpelibat.

2.5.3 Instrumentalitas Komunikasi

Sifat keterampilan berbahasa dapat dikategorikan sebagai reseptif atau produktif. Produktif artinya kemampuan untuk menghasilkan ungkapan (berupa frasa, klausa, atau kalimat) yang dapat dipahami dengan baik oleh penutur bahasa yang sama. Reseptif adalah kemampuan seseorang untuk memahami ungkapan yang disampaikan oleh penutur suatu bahasa, namun belum sanggup menghasilkan suatu ungkapan. 2.5.4 Modus Komunikasi

Modus komunikasi bisa bersifat monolog: komunikasi terjadi satu arah yang hanya dimiliki pembicara, dan pendengar tidak terlibat langsung. Misalnya, pembaca berita pada TV, pencerita, dan sebagainya. Dialog adalah komunikasi dua arah, terdiri atas pembicara dan pendengar yang kedua-duanya aktif dan terlibat langsung dalam komunikasi verbal, seperti diskusi dalam seminar, rapat, dan lain-lain. Kedua modus ini bisa dituliskan dan dilisankan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modus komunikasi yang dikategorikan penting sekali untuk siswa SD di desa dan di kota adalah (a) monolog yang ditulis untuk didengarkan dan dituliskan, dan (b) dialog yang ditulis untuk didengar dan dituliskan. Yang dianggap penting adalah (a) monolog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan, dan (b) dialog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan.

Dalam materi pembelajaran bahasa Bali terdapat keterampilan yang bermodus monolog dan dialog yang direalisasikan ke dalam jenis keterampilan yang akan diajarkan dengan pendekatan pragmatik yang lebih mementingkan kelancaran berkomunikasi (fluency) daripada ketepatan (accuracy). Misalnya, untuk siswa SD kelas III, guru harus mengajarkan siswa keterampilan menyimak. Pada keterampilan tersebut, siswa diminta mendengar dengan sungguh-sungguh cerita yang diucapkan oleh guru, selanjutnya siswa disuruh menyarikan cerita itu dengan kata-kata sendiri dengan ragam tulis, kemudian diminta bercerita di dalam kelas, dengan tujuan apakah telah terjadi pemahaman terhadap apa yang disampaikan guru.

2.5.5 Saluran Komunikasi Jenis-jenis komunikasi berbahasa Bali

yang dianggap tepat digunakan di siswa SD dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. Saluran komunikasi yang termasuk ke

dalam kategori penting sekali adalah tatap muka bilateral, barang cetakan, gambar-gambar.

b. Saluran komunikasi yang termasuk ke dalam kategori penting adalah tatap muka unilateral, TV dan radio

c. Saluran komunikasi yang termasuk ke dalam kategori tidak penting adalah telepon dan video.

2.6 Ragam Bahasa Bali dan Tingkat Penguasaan

Bahasa Bali Ragam bahasa Bali untuk siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI meliputi ragam standar dan nonstandar, serta penggunaan aras-tutur yang tepat dalam berkomunikasi. Di samping itu, tingkat penguasaan kemampuan berbahasa Bali yang terdiri atas ukuran teks, kompleksitas ujaran, rentang bentuk untuk fungsi mikro dan makro, kecepatan, serta fleksibilitas bentuk ujaran juga dibahas dan dipadukan dengan medium komunikasi lisan dan tulisan, baik yang bersifat reseptif maupun produktif.

2 6.1 Ragam Bahasa Bali

Bahasa Bali memiliki beraneka ragam variasi dialektal (variasi geografis). Menurut Bawa (1983), yang dianggap sebagai dialek standar adalah dialek Klungkung. Pemilihan tersebut didasari atas latar belakang sejarah dialek tersebut. Studi ini tidak mengacu pada salah satu dialek yang ada di Bali untuk menentukan standar tidaknya ragam bahasa Bali sebab untuk tujuan pembelajaran suatu bahasa, pertama-tama harus diketahui apa yang dimaksud dengan ragam standar.

Ragam bahasa Bali standar adalah ragam bahasa Bali yang mengikuti atau sesuai dengan kaidah bahasa Bali, meliputi fungsi bahasa dan aras-tutur, baik untuk bahasa lisan maupun tulisan. Ragam nonstandar adalah kebalikan dari ragam standar, yaitu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa Bali, baik untuk tujuan tulis dan lisan. Pemilihan ragam ini penting diajarkan sejak dini sebab kesalahan dalam pemilihan ragam bahasa dalam berkomunikasi dapat menyesatkan. Misalnya, bisa membuat seseorang tersinggung atau marah, dan bahkan tidak dapat mengerti pesan atau amanat yang disampaikan dalam komunikasi tersebut.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 62

Penggunaan aras-tutur menunjukkan bahwa bahasa Bali Kepara tampaknya tidak perlu diajarkan pada siswa SD di Bali. Bahasa Bali Kepara dapat diperoleh dengan cepat dari lingkungan tetangga ataupun sekolah (hasil wawancara dengan para informan kunci). Bahasa Bali Alus perlu diajarkan kepada siswa kelas I dan II, bahkan guru bahasa Bali tampaknya menggunakan bahasa Bali Alus sebagai bahasa pengantar siswa SD kelas I dan II di desa. Untuk itu, materi pelajaran untuk siswa SD I dan II sebaiknya menggunakan bahasa Bali Alus. Bahasa Bali ragam Alus mulai diajarkan dari kelas III sampai dengan kelas VI baik untuk materi pelajaran ataupun bahasa pengantar di kelas. Hasil ini sudah sesuai dengan kenyataan bahwa pada masyarakat Bali, apabila ada orang ingin menyapa seseorang yang belum jelas stratifikasi sosialnya, dia akan disapa dengan bahasa Alus dengan ungkapan seperti ti/tiang nunasang antuk linggih (yang artinya ‘bolehkan saya mengetahui status sosial Anda’). Mengajarkan seseorang berbahasa Bali ragam Alus jauh lebih baik daripada mengajarkan bahasa Kepara sebab seseorang yang belum dikenal lebih senang jika disapa dengan bahasa Alus daripada bahasa Kepara. Penggunaan bahasa Bali Kepara, terlebih-lebih dengan orang yang usianya lebih tua atau belum dikenal dapat membuat orang tersinggung sebab tidak sesuai dengan tata krama adat Bali.

2.6.2 Tingkat Penguasaan Kemampuan Berbahasa

Bali Parameter yang digunakan untuk

mengukur tingkat penguasaan kemampuan berbahasa Bali adalah (a) ukuran ujaran/bahasa, (b) kompleksitas ujaran, (c) rentang bentuk fungsi mikro dan makro, (d) kecepatan, dan (e) fleksibilitas bentuk ujaran. Parameter di atas akan dikombinasikan dengan medium komunikasi, baik lisan maupun tulisan, serta sifat keterampilan berbahasa, yaitu reseptif dan produktif. 2.7 Peristiwa Komunikasi 2.7.1 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur sangat penting dalam berkomunikasi, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas tutur yang akan memunculkan fungsi bahasa. Peristiwa tutur dalam suatu komunikasi harus dipahami terlebih dahulu sebelum memilih jenis fungsi bahasa yang tepat dalam komunikasi tersebut.

Pada ranah komunikasi di masyarakat luas, peristiwa tutur dapat di kategorikan penting sekali, dan bahasa Bali dapat mewahanai peristiwa tutur seperti (a) menyucikan pratima ke laut

(melasti), (b) membuat sesajen, (c) membuat makanan tradisional Bali (mebat) di banjar, (d) gotong royong (ngaturang ayah) di pura, dan (e) melayat (majenukkan), atau kundangan. Semua peristiwa tutur di atas dianggap sangat penting sebab pemakaian bahasa Bali sangat erat hubungannya dengan adat-istiadat (budaya) Bali, yang memiliki sifat gotong royong.

Peristiwa tutur yang termasuk ke dalam kategori penting adalah (a) piknik dengan keluarga dan (b) nonton kesenian Bali. Pada ranah rumah tangga, peristiwa komunikasi yang termasuk kategori tidak penting adalah menjawab dan menerima telepon, tetapi yang termasuk ke dalam kategori penting adalah (a) memberi informasi diri, (b) memberi perintah, (c) menunjuk arah mata angin, (d) menghitung, (e) bersenda gurau, (f) menanyakan menu makanan, (g) menjelaskan kesehatan, dan (h) meninggalkan pesan.

Yang termasuk kategori penting sekali, artinya bahasa Bali harus digunakan adalah pada peristiwa komunikasi (a) peristiwa tutur yang berhubungan dengan upacara keagamaan, (b) membantu orang tua, dan (c) kegiatan sehari-hari di rumah. Pada ranah sekolah, bahasa Bali tidak perlu mewahanai peristiwa tutur sebagai berikut: (a) belajar dan (b) berolahraga. Yang dikategorikan penting adalah (a) bermain, (b) berkebun, (c) berbelanja, dan (d) bertengkar.

2.7.2 Aktivitas Tutur

Aktivitas tutur merupakan unsur dasar untuk menginterpretasikan kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam sebuah bahasa sebab fungsi bahasa memuat makna dan berisikan faktor isyarat kecocokan (appropriacy condition) dari sebuah aktivitas tutur (Kempson 1980). Konsep syarat kecocokan kondisi dapat digeneralisasi pada semua tuturan dalam masyarakat bahasa dan pikiran manusia.

Fungsi bahasa adalah fungsi yang sesuai dengan penggunaan bahasa. Berikut disajikan fungsi-fungsi bahasa yang tepat diajarkan kepada siswa SD kelas I sampai VI, yang sesuai dengan ranah (lokasi) penggunaan bahasa. Fungsi bahasa dalam penggunaan sering tumpang tindih. Ini sangat tergantung pada peristiwa tuturnya. a. Ranah masyarakat luas

Pada ranah masyarakat luas ada sejumlah fungsi bahasa apabila dikaitkan dengan peristiwa tutur, yaitu (i) menanyakan harga, (ii) menjelaskan arah, (iii) membandingkan dan mengontraskan, (iv) menyatakan setuju, (v) mengklasifikasikan, (vi) mendeskripsikan, (vii) memberi contoh, (viii) menyangkal, (ix) memberikan informasi, (x) memberi perintah,

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 63

(xi) menyatakan sebab akibat, (xii) mendeskripsikan proses, (xiii) menyatakan kualifikasi, (xiv) memberi saran dan nasihat, (xv) menginterpretasikan, (xvi) memberikan pendapat, (xvii) mengakui, (xviii) mengidentifikasi, dan (xix) memberi penilaian.

b Ranah rumah tangga

Fungsi bahasa yang terkait dengan ranah rumah tangga adalah (i) menyangkal, (ii) memerintah, (iii) melarang, (iv) menyatakan sebab akibat, (v) mengandaikan, (vi) menjelaskan, (vii) mengakui, (viii) mendeskripsikan, (ix) menjelaskan, (x) menerka, (xi) menyimpulkan, (xii) bertanya, (xiii) memberikan penilaian, (xiv) memberi saran atau nasihat, (xv) bercerita, (xvi) memberikan informasi, (xvii) membandingkan dan mengontraskan, (xviii) menyatakan setuju dan tidak setuju, (xix) menyatakan pendapat, dan (xx) menyatakan kualifikasi.

c. Ranah sekolah

Fungsi bahasa yang bertalian dengan ranah sekolah meliputi (i) mengidentifikasi orang/benda dan tempat, (ii) mendeskripsikan orang, bangunan, proses, dan waktu, (iii) mengikuti perintah, (iv) bertanya, (v) memberikan informasi, (vi) memberikan penilaian, (vii) membandingkan dan mengontraskan, (viii) menyatakan sesuatu, (ix) memperingati, (x) memberi contoh, (xi) mendefinisikan, (xii) mengkalisifikasikan, (xiii) menggeneralisasi, dan (xiv) menyatakan kualifikasi.

Semua fungsi bahasa yang dikemukakan

di atas memiliki kata kerja performatif (Austin 1962; Searle 1969). Menurut Searle (1969), teori tindak tutur yang dikembangkannya adalah untuk membicarakan penggunaan bahasa, kondisi penggunaan, serta kaidah yang menyertai dan sekaligus turut menjelaskan tindak tutur dalam ujaran. 3. SIMPULAN Beberapa simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan berbahasa Bali siswa SD di

Provinsi Bali yang terdiri atas kemampuan berbahasa lisan, unda-usuk, dan bahasa tulis adalah sebagai berikut: a. Kemampuan merekam dalam berbahasa

lisan sangat bervariasi, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Siswa SD di

pedesaan memiliki kemampuan berbahasa lisan lebih baik daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di desa lebih intensif daripada di kota;

b. Kemampuan menggunakan unda-usuk siswa SD belum memadai. Menurut mereka, penggunaan unda-usuk adalah rumit (’sulit’), serta belum tersedianya materi yang baik untuk mengajarkan unda-usuk bahasa Bali di SD; dan

c. Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin untuk siswa SD kelas I adalah nihil, kelas II dan III pemula, kelas IV menengah, serta untuk kelas V dan VI lanjut. Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan dengan huruf Bali sangat rendah sebab sampai dengan kelas VI mereka belum menguasai dengan baik Pasang Sastra Aksara Bali (tata cara penulisan huruf Bali). Menurut pengakuan guru, mereka hanya menggunakan buku acuan yang sifatnya masih umum, dan belum berisikan aturan yang pasti tentang tata cara penulisan huruf Bali.

2. Tujuan belajar bahasa Bali siswa SD dapat

dikatagorikan sangat urgensi mengingat kemampuan berbahasa Bali mereka sangat rendah, dan penggunaan bahasa Bali semakin dihindari. Dalam rangka pengembangan dan pelestarian bahasa Bali perlu dicarikan jalan pemecahannya, yaitu mengajarkan mereka keterampilan yang disesuaikan dengan jenjang mereka. Penelitian ini menunjukan bahwa keterampilan yang perlu diajarkan sesuai dengan tujuan belajar tersebut adalah sebagai berikut:

Kelas I : membangun kosakata, dan

bercakap-cakap, Kelas II : membangun kosakata, bercakap-

cakap, dan menyimak, Kelas III : membangun kosakata, bercakap-

cakap, menyimak, dan menulis dengan huruf Latin dan Bali,

Kelas IV : membangun kosakata, bercakap- cakap, menyimak, menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan membaca huruf Bali.

Kelas V dan VI : semua keterampilan diajarkan secara terintegrasi.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 64

3. Latar penggunaan bahasa Bali terdiri atas: (a) Lokasi penggunaan bahasa Bali bagi

siswa SD dalam kesehariannya berada pada tiga lokasi, yaitu (i) di masyarakat luas: pura, banjar, sawah, sungai, pasar tradisional, supermarket, laut, tempat hiburan, dan kolam renang, (ii) di rumah tangga: sanggah, Bali Gede, dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur, halaman rumah, kebun, sumur, ruang belajar, dan kamar mandi, serta (iii) di sekolah: kantin sekolah, halaman sekolah, lapangan olahraga, perpustakaan, kamar mandi, kelas, dan ruang guru.

(b) Waktu penggunaan bahasa Bali untuk di SD perkotaan masih perlu ditingkatkan sebab siswa berbahasa Bali pada saat diajarkan bahasa Bali di kelas. Bahasa Bali perlu digunakan pada semua ranah pakai yang bersifat kedaerahan. Di desa bahasa Bali secara umum digunakan setiap saat.

(c) latar psiko-sosial penggunaan bahasa meliputi (i) religius, (ii) kekeluargaan, (iii) santai, (iv) formal, (v) politis, dan (vi) etis.

4. Bentuk interaksi dan instrumentalitas dalam komunikasi meliputi: a. Interaksi dalam komunikasi: dengan siapa

para komunikan menggunakan bahasa Bali pada ketiga ranah di atas: (i) di masyarakat luas: anggota banjar dengan klian banjar, antaranggota banjar, klian banjar dengan prajuru desa, antarkelompok masyarakat; (ii) di rumah tangga: anak dengan orang tua, antarsaudara, kakek/nenek dengan cucu, paman/bibi dengan kemanakan, ayah dan ibu, orang tua dengan kakek/nenek, anak dengan pembantu, dan orang tua dengan paman/bibi; (iii) di sekolah: antarsiswa, guru dan siswa, siswa dengan pegawai, siswa dengan pegawai di kantin, dan siswa dengan orang tuanya;

b. Hubungan sosial antarpelibat pada ketiga ranah di atas adalah tinggi x rendah, dan sejajar;

c. Instrumentalitas komunikasi mereka adalah pada SD di pedesaan kelas I—VI bahasa lisan mereka sangat produktif, dan bahasa tulis untuk siswa SD kelas I dan III adalah reseptif, tetapi makin produktif setelah di kelas IV sampai dengan kelas VI. Pada SD di kota, bahasa lisan kelas I dan II adalah reseptif, dan lebih produktif setelah di kelas III dan berlanjut sampai

dengan kelas VI. Untuk bahasa tulis hasilnya sama dengan SD di pedesaan, yaitu reseptif pada kelas I sampai dengan III, dan makin produktif setelah di kelas IV;

d. Modus komunikasi bahasa Bali terdiri atas (i) monolog yang dituliskan untuk didengar dan dituliskan, serta dialog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan termasuk kategori penting sekali; dan (ii) monolog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan, serta dialog yang dituliskan untuk didengar dan dituliskan termasuk kategori penting;

e. Saluran komunikasi siswa SD dibagi menjadi 3 kategori: (i) penting sekali: tatap muka bilateral, barang cetakan, dan gambar-gambar; (ii) penting: tatap muka unilateral, TV, dan radio; (iii) tidak penting: telepon dan video.

5. Ragam bahasa Bali yang perlu diajarkan untuk

siswa SD adalah ragam standar, yaitu bahasa Bali yang baik dan benar (karena sudah sesuai dengan kaedah penggunaan bahasa). Dan hasil penelitian ini menunjukan ragam bahasa untuk siswa SD dimulai dengan mengajarkan mereka bahasa Bali Madya dan Halus, sebab bahasa Bali kasar akan di pahami secara cepat dari pergaulan baik dengan tetangga maupun dengan teman sekelas.

6. Peristiwa komunikasi terdiri atas peristiwa

tutur dan aktivitas tutur. (a) Peristiwa tutur yang berbahasa Bali

meliputi (i) masyarakat luas: menyucikan pratima ke laut (melasti), membuat sesajen, membuat makanan tradisional Bali, gotong royong di pura, melayat/kundangan, piknik, dan nonton kesenian tradisioanal Bali, (ii) rumah tangga: semua peristiwa tutur yang berhubungan dengan kegiatan upacara keagamaan, membantu orang tua, aktivitas sehari-hari, memberi informasi diri, memberi perintah, menunjukan arah mata angin, menghitung, bersenda gurau, menanyakan menu makanan, menjelaskan kesehatan, dan meninggalkan pesan, (iii) ranah sekolah: bermain, berkebun, berbelanja, bertengkar.

(b) Sejumlah aktivitas tutur yang digunakan pada ketiga ranah adalah (i) di masyarakat luas: menanyakan harga, menjelaskan arah, membandingkan dan mengontraskan, menyatakan setuju/kualifikasi, meng-

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 65

klasifikasikan, mendeskripsikan orang/ tempat/proses, memberi contoh/saran/ nasihat, menyangkal, memberi informasi/ perintah/pendapat/ penilaian, menyatakan sebab akibat: menginterpretasikan dan mengakui, (ii) di rumah tangga: menyangkal, memerintah, melarang, menyatakan setuju/sebab akibat/ pendapat/kualifikasi, menjelaskan, mengakui, mendeskripsikan, menerka, menyimpulkan, memberi penilian, memberi informasi diri/saran dan nasehat, bercerita, membandingkan dan mengontraskan, (iii) di sekolah: mengindentifikasi orang, benda/tempat, mendeskripsikan orang, bangunan, proses, mengikuti perintah, bertanya, memberi informasi/penilaiaan, mem-bandingkan dan mengontraskan, menya-takan setuju/kualifikasi, memperingati, memberi contoh, mendefinisikan, mengklarifikasikan, dan menjederalisasi.

--------------------------------- 1 Makalah ini telah dipresentasikan pada

Lokakarya Bahasa Bali yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali pada tanggal 29 – 31 Oktober 2007 di Denpasar dan disunting sesuai keperluan LOGAT tanpa mengubah isi.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

1975. Kurikulum Sekolah Dasar 1975 Garis-Garis Besar Program Pengajaran Bidang Studi Bahasa Bali Untuk Kelas III, IV, V, VI. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi

Bali. 1994. Lampiran II Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali Nomor 22/I 19 C/Kep/I.94 Tanggal 17 Januari 1994, Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata Pelajaran: Bahasa Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Bali.

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1983 Tatabahasa Bali.

Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali.

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1995. Kusumasari 1, 4, 5. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1997. Kusumasari 2, 3,

6. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.

Arnati, Ni Wayan. 1996. Kedwibahasaan di

Kalangan Karyawan Etnis Bali di Bali. Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Austin, J.L. 1962. “How to Do Thing with

Words.” Dalam J.O. Urmson (ed). New York: Oxford University Press.

Azies, F., A. C. Alwasilah. 1996. Pengajaran

Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Bagus, I Gusti Ngurah. “Perubahan Bentuk

Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa.” Disertasi untuk Universitas Indonesia.

Barbar, C.C. 1977. “A Grammar of the Balinese.”

Language, Vol. 1 dan 2. Arberdeen: Arberdeen University.

Blum-Kulka, Shosana, dkk., 1989. Cross-Cultural

Pragmatics: Request and Apologies. New Jersey: Ablex.

Brown dan A. Gilman. 1960. “The Pronouns of

Power and Solidarity’ dalam Language and Social Context.” Dalam Pierpaolo (eds.) 1972.

Brumfit, C. J. 1986. The Practice of

Communicative Teaching. Oxford: Pergamon Press.

Coates, J. 1986. Women, Men, and Language: A

Sosiolinguistic Account of Sex Differences in Language. London: Longmn.

Dulay, Heide, Marina Burt, dan Stephen Krashen.

1982. Language Two. New York: Oxford University Press.

Ellis, G. dan Barmara Sinclair. 1989. Learning to

Learn English. Cambridge: Cambridge University Press.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 66

Finocchiro, M. 1979. “The Funcional-national Syllabus: Problems, Practices, Problems.” Dalam English Teaching Forum 17 (1979), 11-20.

Fishman, 1972. “Language Maintenance and

Language Shift.” Dalam J.A. Fishman, Language in the Sosiocultural Change. Stanford: Stanford University Press.

Granoka, Ida Wayan, dkk. 1984/1985. Tatabahasa

Bali. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gumperz, J.J. dan D.H. Hymes (eds.) 1972.

Direction in Sosiolinguistics: The Ethnography of Communication. Oxford: basil Blackwell.

Gumperz, J.J. 1982a. Discourse Strategies.

Cambridge: Cambridge University Press. Gumperz, J.J. 1982b. Language and Social

Identity. Cambridge: Cambridge University Press.

Halim, A. (ed). 1980/1981. Politik Bahasa

nasional 1 dan 2. Jakarta: Bali Pustaka. Halliday, M.A.K. 1997. Exploration in the

Function of Language. London: Edward Arnold.

Hynes, D. H. 1962. “The Ethnography of

Speaking.” Dalam Readings on Sosiology of Language. The Hagua: Mounton.

Hymes, D.H. 1972. “On Communicative

Competence.” Dalam Pride dan Holmes (eds.) 1972. London: Penguin Book.

Harmer, J. 1991. The Practice of English

Language. London: Longman Group Ltd. Haugen, E. 1972. The Ecology of Language.

California: Standard University Press. Jorden, R.R. 1990. Academiv Writing Course.

London: Collins. Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan

Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Kersten SVD, J. 1984. Bahasa Bali, Tatabahasa, Kamus Bahasa Balu Lumrah. Ende: Nusa Indah.

Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.

Jakarta: Universitas Indonesia Press. Littlewood, W.T. 1985. “Integrating the New and

the Old Communicative Approach.” Das (ed), 1985:1—13.

Mackey, W.E. 1968. “The Description.” Dalam

Joshua H. Fishman (ed). Reading in the Sociology.

Madera, I Gede. 1967. Sari Basa Bali. Denpasar:

Gema. Moleong, L.J. 1991. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: PT remaja Indonesia. Muhadjir. N. 1992. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Yogyakarta: Raka sarasin. Munby, J. 1978. Communicativ Syllabus Design.

Cambridge: Cambridge University Press. Nunan, D. 1991. Language Teaching

Methodology. Hertfordshire: Prentice Hall International Ltd.

Poedjosoedarmo, S. 1982. Javanese Influence on

Indonesian, Canberra.: Pasific Linguistic, D-38. The Australian National University.

Putra, I Ketut Adnyana. 1994. “Kesulitan Siswa

dalam Belajar Membaca Permulaan di Sekolah Dasar” (Laporan Penelitian). Singaraja: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Raka, A.A. Gde, dkk. Titi Basa Bali I-VI.

Denpasar: Upada Sastra. Rasmi, Ni Nengah, dkk. “Efek Psikologis dan

Sikap Komunikan Atas Penggunaan Ragam Bahasa Komunikator dalam Proses Komunikasi pada Masyarakat Etnik Bali, Sebuah Kajian Psiko-sosio-etnolinguistik dalam Eksistensi Bahasa Bali Halus antara Peninggalan dan Pemertahanan.” (Laporan Penelitian). Singaraja: Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesian, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

Halaman 67

Redman, S. 1990. A Way with Words: Vocabulary Development Activities for Learners of English. Cambridge: Cambridge University Press.

Remen, I Ketut. 1982. Penuntun Mempelajari

Sekar Alit. Denpasar: Upada Sastra. Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Acts.” Dalam

The Philosophy of Language. Oxford: Oxford University Press.

Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Act”. Dalam P

Cole dan J. Morgon (eds). Syntax and Semantics Vol. 3. New York: Academic Press.

Simpen, A.B. I Wayan. 1996. Purwa Aksara I-IV.

Denpasar: Upada Sastra. Smith, J.S. 1992. “Women in Charge Politeniss

and Directives in the Speech of Javanese Women.” Dalam Language in Society, 21: 59—82. Cambridge: Cambridge University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik

Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sukarta, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan

Masyarakat di Kawasan Wisata di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Sukendra, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan

generasi Muda pada Masyarakat Desa dan Kota di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Sulaga, I Nyoman, dkk. 1996. Tata Bahasa Baku

Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Suparka, I Wayan dan I Gusti Ketut Anom. 1993.

Tata Bahasa Bali Anyar. Denpasar: Upada Sastra.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1996. Beberapa Pemikiran tentang Pemantapan Kedwibahasaan Masyarakat Bali di Bali. Makalah disajikan pada Pesamuhan Agung Basa Bali IV dan Kongres Bahsa Bali II, Denpasar7—9 November 1996.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. dkk. 1998/1999. “Buku

Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. Dkk. 1999/2000. “Buku

Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II.

Tama, I Wayan. 1996. “Kedwibahasaan

Masyarakat Desa dan Kota di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Taro, Made. 1993. Mari Bermain. Denpasar:

Upada Sastra. Taro, Made. 1993. Gending-Gending Pelalian

Bali. Denpasar: Yaysan Sabha Sastra Bali. Tinggen, I Nengah, 1984. Tata Basa Bali Ringkas.

Singaraja: Rhika. Tinggen, I Nengah, 1995. Sor Singgih Basa Bali.

Singaraja: Rhika Dewata. Wilkins.. D.A. 1976. National Syllabus: A

Taxonomy and Its Relevance to Foreign. Language Curriculum Development, London: Oxford University Press.

Wierzbicka. A. 1996. Semantics: Primes and

Universal. Oxford: Oxford University Press. Yule, G. dan G. Brown. 1985. Discourse Analysis.

Cambridge: Cambridge University Press.

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 68

ALIHKODE DAN PERAN PSIKOLOGIS BAHASA IBU

DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR BAHASA ASING1

Lely Refnita

Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta

Abstract The role of mother tongue is not only social but also psychological, either in its daily use or in foreign language learning. This article is the development and further analysis of a part of the writer’s research results conducted in 2007 and in 1999. The main topic of this article focuses on sociolinguistic and psychological roles of mother tongue in the classroom teaching-learning process of foreign language, in this case English. Sociolinguistic roles in this article are limited to the code-switching processes and psychological ones are limited to the aspect of adult learning-motivation. Research results showed that the mother tongue was one address of having code-switching and it had important role in foreign language learning. Although the English class should be formally full of the use of the learned language, switching process to mother tongue took place naturally and the use of mother tongue had psychological roles in order to improve learning motivation for adults. Key words: code-switching, psychological role, mother tongue, teaching-learning, foreign

language

1. PENDAHULUAN Apabila manusia (dua orang atau lebih) berkomunikasi, mereka menggunakan alat atau sistem komunikasi. Alat atau sistem komunikasi utama yang dimiliki manusia dan menjadikannya lebih daripada makhluk lain adalah bahasa. Alat atau sistem komunikasi tersebut, di kalangan linguis, sering juga disebut dengan kode (code) yang dalam pengertian agak luas dapat merujuk ke bahasa, dialek, ragam, atau gaya bahasa. Kemampuan berbahasa dan menggunakan kode adalah salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain (lihat White & Dillingham dan 1973 Wardhaugh 1988). Kenyataan bahwa manusia dalam kehidupan moderen ini mampu menguasai dan berkomunikasi dalam dua bahasa atau lebih sudah menjadi hal yang wajar. Sebagian besar penutur bahasa di dunia ini adalah dwibahasawan dan bahkan anekabahasawan. Dalam berbagai peristiwa bahasa hampir pasti terjadi alihkode atau campur kode karena manusia sering dihadapkan pada pilihan kode setiap kali ia ingin berbicara.

Apa yang menyebabkan seseorang beralihkode atau bercampurkode? Kapan dan di mana sajakah alihkode atau campurkode terjadi? Apakah dwibahasawan atau anekabahasawan ‘kehilangan’ bahasa ibu dalam berkomunikasi? Ini adalah sebagian pertanyaan yang menarik dan menantang untuk dijawab sehubungan dengan

adanya peristiwa alihkode dan campurkode. Gejala alihkode dan campurkode yang dikenal dalam sosiolinguistik cukup menarik perhatian para peneliti dan ahli bahasa untuk ditelaah dari berbagai segi. Tulisan ini hanya membahas perihal alihkode yang terjadi dalam proses belajar mengajar (PBM), khususnya dalam PBM bahasa Inggris di perguruan tinggi. Pokok bahasan ini dikaitkan dengan peran psikologis bahasa ibu (dalam hal ini bahasa Indonesia) dalam PBM matakuliah tatabahasa (Grammar) bahasa Inggris. Dengan demikian, pokok bahasan tulisan ini berkenaan dengan alihkode dan peran psikologis bahasa ibu dalam PBM bahasa asing dengan mengambil latar pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi.

Tidak semua aspek alihkode dalam PBM di kelas bahasa asing akan dibahas pada artikel ini. Pembahasan hanya dikhususkan pada fungsi-fungsi komunikatif alihkode dalam PBM kelas bahasa asing dan peran psikologis pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan salah satu arah beralihkode di kelas bahasa Inggris. Pembahasan ini penting artinya untuk melihat keberadaan dan kealamian alihkode dalam peristiwa bahasa serta untuk mencermati peran psikologis bahasa Indonesia dalam PBM bahasa Inggris. Selain itu, pembahasan ini mempunyai arti penting untuk mengungkapkan adanya peran sosial dan psikologis bahasa di dalam kelas yang dapat

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 69

dikatakan sebagai percontohan masyarakat kecil dengan latar yang lebih resmi. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, informasi dan temuan kajian ini dapat dimanfaatkan untuk pencapaian keberhasilan pembelajaran bahasa asing, khususnya pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi.

2. METODE PENELITIAN Sebagaimana dikemukakan di atas, tulisan ini merupakan pengembangan dan telaah lanjut dari sebagian hasil penelitian dari dua buah penelitian yang penulis lakukan tahun 2007 (Penelitian Dosen Muda) dan dikaitkan dengan sebagian hasil penelitian lain yang dilaksanakan tahun 1999. Subpokok bahasan mengenai fungsi komunikatif alihkode dalam PBM kelas bahasa Inggris didasarkan pada penelitian tahun 1999, sementara subpokok bahasan tentang peran psikologis bahasa ibu didasarkan pada hasil penelitian dosen muda yang dilakukan tahun 2007. Jenis penelitian yang dilakukan pada tahun 1999, sehubungan dengan pemerolehan data dan temuan penelitian tentang fungsi komunikatif alihkode, adalah penelitian deskriptif-kualitatif. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi langsung dengan teknik rekam dan teknik catat. Sementara itu penelitian tentang peran psikologis bahasa ibu, yang dilakukan tahun 2007, merupakan penelitian eksperimental. Dengan demikian, pokok bahasan tulisan ini didasarkan atas dua bentuk penelitian yang berbeda, yakni penelitian deskriptif-kualitatif dan penelitian eksperimental. Subjek penelitian yang pertama adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Universitas Bung Hatta yang terdaftar pada tahun akademik 1998/1999. Ada delapan kelas PBM yang diamati dan direkam untuk memperoleh data tentang fungsi komunikatif alihkode, yaitu kelas matakuliah Introduction to Literature, English Phonology, Introduction to Linguistics, Seminar on English Language Teaching, Research on English Language Teaching, Curriculum and Material Development, English Correspondence II dan Translation II. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan (satu semester). Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dan didukung oleh analisis deskriptif-kuantitatif yang bersifat jumlah dan persentase.

Penelitian eksperimental untuk mendapatkan data tentang peran psikologis bahasa ibu dilakukan selama satu semester juga dengan populasi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Universitas Bung Hatta yang mengambil matakuliah Grammar III pada tahun akademik 2006/2007. Sampel penelitian

untuk kelas eksperimental adalah kelas IIC (20 orang mahasiswa). Kelas ini diajar dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Sementara itu, sampel untuk kelas kontrol adalah kelas IIA (24 orang mahasiswa). Kelas ini diajar dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Analisis data dilakukan secra kuantitatif, yaitu dengan menggunakan analisis uji signifikansi (t-test dan ancova) dan diikuti dengan penjelasan verbal terkait hasil-hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan.

Pokok bahasan yang menjadi dasar uraian tulisan ini bersifat deskriptif-kualitatif meskipun sebagian dasar pengkajiannya berasal dari data kuantitatif (lihat Refnita 1999 & 2007). Hal ini disebabkan oleh bentuk pembahasan yang lebih pada perihal data kualitatif daripada data kuantitatif. Fungsi-fungsi komunikatif alihkode dan peran psikologis yang menjadi dasar pemaparan tulisan ini mengarah ke penelaahan yang bersifat nilai dan fenomena bahasa, khususnya yang terjadi dalam PBM kelas bahasa asing, yaitu kelas bahasa Inggris.

3. TINJAUAN TEORI DAN PENELITIAN

TERKAIT 3.1 Alihkode dalam Proses Belajar Mengajar Kajian alihkode yang secara umum dipayungi oleh sosiolinguistik membuka peluang untuk peneliti dan ahli bahasa untuk mempelajari gejala yang umum terjadi dalam masyarakat dwibahasa dan anekabahasa ini. Alihkode dapat dikaji dari berbagai sudut pandang seperti bentuk, tempat terjadi, pola, dan fungsi alihkode itu sendiri. Alihkode yang terjadi dalam PBM di kelas, misalnya, begitu sering terjadi dengan pola yang bervariasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh begitu beragamnya masukan dan latar belakang pelibat dalam PBM tersebut, lebih-lebih dalam PBM di perguruan tinggi. Alihkode tidak hanya terjadi di kelas biasa, tetapi juga di kelas bahasa asing meskipun secara formal amat diharapkan kelas tersebut didominasi oleh pemakaian bahasa yang sedang dipelajari.

Masyarakat dwibahasa dan anekabahasa umumnya cenderung beralihkode dalam berbahasa sehari-hari. Alihkode yang terjadi pada masyarakat sering dianggap sebagai strategi percakapan. Kadang-kadang strategi tersebut dilihat dari segi pengaruh stilistika, yaitu berkaitan dengan penggunaannya dalam mempertegas atau melemahkan tindak tutur seperti permintaan, bantahan, peralihan topik, elaborasi atau komentar, validasi, atau klarifikasi (lihat Heller 1988: 77). Gejala alihkode mmepunyai nilai “kealamiahan” untuk peristiwa tutur tertentu bagi masyarakat atau penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih.

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 70

Menurut Milroy (1995: v) alihkode ialah penggunaan beberapa bahasa ecara bergantian oleh penutur dwibahasa/aekabahasa. Pada bagian lain Milroy (1995: 7) menyebutkan bahwa alihkode adalah penggunaan alternatif dua bahasa atau lebih oleh penutur dwibahasa/anekabahasa dalam satu percakapan. Dalam hal ini Milroy melihat bahwa alihkode merupakan cara atau bentuk komunikasi yang lumrah terjadi pada masyarakat dwibahasa dan anekabahasa. Sebaliknya, dalam proses pendidikan dwibahasa dan bahasa asing alihkode tidaklah selumrah dan sealami yang terjadi dalam masyarakat dwibahasa/anekabahasa tetapi lebih bersifat manajerial. Dalam PBM alihkode lebih berperan sebagai alat untuk mengelola dan memperlancar interaksi belajar mengajar (Martin-Jones 1995: 100).

Heller (1988: 1) secara lugas mengatakan bahwa alihkode merupakan proses penggunaan lebih dari satu bahasa dalam satu episode komunikasi. Dalam hal ini ia tidak mensyaratkan adanya kseimbangan penguasaan kedua bahasa atau lebih oleh penutur yang beralihkode. Bahkan, Auer (1995: 126) mengisyaratkan bahwa penggunaan satu kata asing di dalam sebuah percakapan dapat digolongkan sebagai alihkode. Hal ini juga didukung oleh Dabene (1995: 31) yang menamai alihkode semacam itu dengan unitary codeswitching, Menurutnya ada empat jenis alihkode lainnya, yaitu: alihkode antarujaran yang terjadi antara dua ujaran yang diucapkan oleh seorang penutur (inter-utterance code-switching), alihkode antarkalimat (inter-sentential code-switching), alihkode dalam kalimat (intra-sentential code-switching), dan alihkode segmental yang terjadi dengan memodifikasi suatu segmen ujaran yang melibatkan klausa atau frasa (segmental code-switching).

Banyak ahli juga telah mempelajari dan menyimpulkan fungsi alihkode. Gumperz (1982) dalam Heller (1988: 34) memperkenalkan enam kategori fungsi alihkode dalam percakapan, yaitu untuk mengutip, mengkhususkan orang yang dituju, menyampaikan seruan, mengulangi pernyataan, membatasi pesan, dan personalisasi. Heller (1988: 77-94) di sisi lain mencoba menyimpulkan penelitian beberapa ahli bahasa tentang fungsi alihkode sebagai strategi komunikasi. Di antara fungsi alihkode tersebut ialah sebagai berikut:

1. untuk menyampaikan kemarahan atau mempertegas argumen;

2. untuk menarik/memfokuskan perhatian si pendengar;

3. untuk melibatkan pihak ketiga; 4. untuk mengurangi cercaan;

5. untuk mengomentari hubungan antara penutur dengan orang yang sedang dibicarakannya.

Penelitian alihkode dalam kelas

dwibahasa juga telah berkembang selama dua dekade terakhir. Penelitian tersebut beranjak dari penelitian pendidikan tentang interaksi kelas dan gaya bahasa guru. Kemudian pengkajian beralih ke analisis percakapan, pragmatik, dan etnografi komunikasi. Di antara fungsi alihkode di dalam PBM di kelas adalah untuk mengurangi efek teguran, untuk mengenyampingkan, untuk membuat komentar metalinguistik, untuk berbisik, untuk mengutip, untuk mengkhususkan orang yang dituju, untuk memindahkan kerangka belajar/mengajar, untuk menerjemahkan, untuk memberi perintah/prosedur, untuk memberikan penjelasan, untuk mengecek pemahaman, untuk mengubah pijakan, untuk mengubah kerangka wacana, untuk mewakili tokoh yang berbeda dalam narasi, dan untuk menandai perubahan topik (lihat Zentella 1981; Lin, 1988 & 1990; Guthrie 1984; Auer 1990 dalam Martin-Jones 1995: 94—97).

3.2 Pemakaian Bahasa Ibu dalam Kelas

Bahasa Asing Dalam dunia pengajaran bahasa, istilah-istilah seperti bahasa ibu, bahasa pertama, bahasa kedua, bahasa asing, pemerolehan bahasa, pembelajaran bahasa, dan lain-lain sering muncul dengan variasi konsep yang cukup beragam. Meskipun konsep dasarnya tetap sama, namun pengembangan dan penafsirannya sering memunculkan permasalahan yang bermacam pula. Stern (1994) mengemukakan bahwa, secara mendasar, bahasa pertama (bahasa ibu) adalah bahasa yang dikuasai oleh seseorang sewaku kecil dan awal masa kanak-kanaknya sebelum adanya penguasaan (dan pemakaian) bahasa lain. Bahasa pertama juga dipahami sebagai bahasa yang pertama kali diperoleh dan bahasa yang dominan digunakan. Bahasa kedua, di sisi lain, adalah bahasa yang diperoleh atau akan diperoleh lebih kemudian daripada bahasa pertama. Bahasa asing adalah bahasa yang berasal dari luar wilayah pemakaian bahasa pertama atau kedua yang sengaja dipelajari secara lebih resmi atau tertata secara akademis.

Konsep dasar tentang bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa asing seperti dikemukakan di atas mestinya diketahui oleh guru bahasa, baik guru bahasa Indonesia, bahasa kedua, atau bahasa asing. Guru bahasa perlu mengembangkan PBM di kelas dengan memperhatikan status bahasa yang diajarkannya. Meskipun ada kemiripan mendasar dari pengajaran

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 71

dan pembelajaran tiga jenis bahasa tersebut, namun yang tidak dapat dihindari adalah bahwa ketiganya jelas berbeda. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, misalnya, tidak dapat disamakan secara mutlak dengan pengajaran bahasa Indonesia. Di sinilah peran guru bahasa sungguh menentukan keberhasilan PBM kelas bahasa.

Murphy dan Byrd (2001) dalam Mattioli (2004:21) mengatakan bahwa bahasa Inggris dapat disebut sebagai bahasa kedua (English as a Second Language/ESL) di negara di mana bahasa Inggris adalah bahasa utama dalam perdagangan dan pendidikan, di mana para siswa (mahasiswa) sering mendengar bahasa Inggris digunakan secara teratur di luar ruang kelas. Sebaliknya bahasa Inggris akan menjadi bahasa asing (English as a Foreign Language/EFL) di negara di mana kondisi di atas tidak ada. Para siswa (mahasiswa) kebanyakan hanya mendengar bahasa Inggris digunakan di dalam ruang kelas atau sekali-sekali di luar kelas dan itu pun sangat terbatas. Jadi, pertemuan di kelas adalah satu-satunya kesempatan untuk mempelajari, menggunakan, atau mempraktikkan bahasa. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa asing di Indonesia. Justru bahasa Indonesia-lah yang menjadi bahasa kedua. Sedangkan bahasa pertama (bahasa ibu) di sebagian besar wilayah Indonesia adalah bahasa daerah karena bahasa daerah-lah yang pertama diperoleh seorang anak semenjak dia lahir.

Pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia memiliki beberapa permasalahan. Yang paling sering diungkapkan oleh media massa, pemerintah, guru, dan orang tua ialah rendahnya kemampuan berbahasa Inggris siswa dan mahasiswa Indonesia. Pemerintah kecewa karena kurikulum apapun yang diterapkan belum dapat meningkatkan pemahaman dan nilai bahasa Inggris siswa/mahasiswa. Guru/dosen juga kecewa karena berbagai metode dan strategi pengajaran telah digunakan, tetapi hasil belajar siswa/mahasiswa belum juga memuaskan. Para orang tua lebih bingung lagi karena setelah enam tahun belajar bahasa Inggris, bahkan ada yang lebih, anak mereka tidak juga bisa berbahasa Inggris. Para pembelajar sendiri pun tidak kalah bingungnya karena setelah belajar sekian lama mereka belum juga dapat berbahasa Inggris dengan baik.

Di lingkungan atau negara di mana bahasa Inggris dipelajari sebagai bahasa asing, motivasi intrinsik siswa biasanya rendah. Bahasa Inggris dianggap tidak relevan bagi siswa karena bukan menjadi bagian dari kehidupan hariannya. Bahasa Inggris dipelajari hanya karena menjadi

matapelajaran wajib di sekolah. Jumlah siswa di dalam kelas biasanya sangat banyak, sedangkan jam tatap muka sangat terbatas. Hal ini tidak memberikan kesempatan pemajanan (exposure) bahasa yang cukup kepada siswa. Hal ini tidak akan terjadi di lingkungan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Di lingkungan seperti ini motivasi intrinsik siswa cukup tinggi karena bahasa Inggris relevan dengan kehidupan hariannya. Mereka harus bisa berbahasa Inggris untuk bisa ‘bertahan hidup’. Lagipula, karena hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Inggris, mereka punya banyak kesempatan untuk menggunakan bahasa Inggris dan melihat hasilnya segera.

Motivasi adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pembelajaran bahasa, apalagi bahasa asing. Karena itu, para guru/dosen bahasa Inggris sebagai bahasa asing telah dan selalu mencoba mencari pendekatan atau strategi baru untuk meningkatkan motivasi pembelajar dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris. Sayang sekali, banyak siswa/mahasiswa tidak suka belajar bahasa Inggris; dan walaupun mereka hadir di dalam kelas, mereka tidak tertarik untuk turut berbicara. Mereka hanya ingin lulus ujian (walaupun dengan nilai seadanya). Penelitian di Sekolah Perawat di Holguin juga memperlihatkan bahwa para siswa tidak tertarik belajar bahasa Inggris karena mereka merasa tidak ada hubungan antara bahasa Inggris dengan karir mereka nanti sebagai perawat (Corria 1999:17). Toh, yang akan mereka layani adalah warga negaranya sendiri yang tidak berbahasa Inggris.

Di negara yang mempunyai keadaan dan suasana belajar bahasa Inggris seperti di Indonesia, misalnya, diperlukan adanya dorongan psikologis dan emosional yang mengajak pembelajar secara sadar dan sukarela mau belajar dengan sungguh-sungguh. Para peneliti dan ahli pengajaran bahasa (kedua dan asing) telah mengemukakan banyak kiat untuk memunculkan motivasi pembelajar tersebut. McKay (2004) misalnya memilih pendekatan budaya untuk membangkitkan semangat pembelajar. Menurutnya, membentuk sikap positif terhadap budaya penutur asli bahasa Inggris akan mendorong siswa untuk sering belajar bahasa tersebut. Mattioli (2004), sebaliknya, mengemukakan bahwa pemakaian bahasa ibu pembelajar dapat menimbulkan motivasi untuk belajar bahasa Inggris. Dengan menciptakan suasana kelas yang komunikatif pembelajar akan merasa sangat senang belajar dan mempunyai keinginan untuk mengoptimalkan kemampuannya. Banyak lagi kiat lain yang mungkin dipakai dalam mengatasi kesulitan pembelajar bahasa Inggris di negara seperti Indonesia.

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 72

Keterlibatan pembelajar secara psikologis dan emosional dalam belajar mempunyai peranan penting untuk keberhasilan dan ketercapaian tujuan proses belajar mengajar. Rasa senang dan aman dalam belajar merupkan unsur-unsur psikologis dan emosional yang perlu dimunculkan agar pembelajar benar-benar “belajar”. Katu (2006) berpendapat bahwa murid mau belajar jika topik yang disajikan itu menarik perhatian dan minat mereka sehingga timbul rasa ingin tahu dari mereka. Jika guru bisa memfasilitasi ini, suasana belajar akan menyenangkan dan murid akan antusias untuk melakukan kegiatan pembelajaran tersebut. Lebih jauh, Dryden dan Voss seperti dikutip oleh Katu (2006: 5) menyatakan bahwa belajar akan efektif jika suasana pembelajarannya menyenangkan. Suasana yang menyenangkan dan tidak tegang sangat baik untuk membangkitkan motivasi untuk belajar. Motivasi belajar tidak hanya penting bagi pembelajar usia dini tetapi juga perlu bagi pembelajar dewasa.

Perlu disadari bahwa guru (dosen) bahasa harus mengetahui dan mengajarkan aspek kebahasaan sesuai dengan kebutuhan agar pembelajar yang dididiknya mempunyai keterampilan berbahasa yang baik; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa yang dipelajarinya. Menurut Stern (1994: 122), guru bahasa yang mengajarkan bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Perancis, dan lain-lain juga mesti mengajarkan aspek bahasa yang bersangkutan seperti tatabahasa dan kosakata. Pengetahuan aspek tatabahasa, terutama tatabahasa bahasa asing, menjadi bagian penting dari bahasa yang bersangkutan untuk dipelajari dan diajarkan. Brown (1994: 347) mengatakan bahwa pengajaran tatabahasa dan kosakata merupakan aspek penting dalam pengajaran bahasa asing. Karena itu, pengajaran tatabahasa bahasa asing, katakanlah tatabahasa bahasa Inggris, di Indonesia tidak dapat dihindari sama sekali. Hal ini terkait dengan adanya perbedaan yang cukup besar antara tatabahasa bahasa Indonesia (atau bahasa ibu pembelajar) dengan tatabahasa bahasa Inggris. Penyajian materi tatabahasa tersebut mempunyai dua sasaran utama, yaitu sasaran keilmuan dan sasaran keterampilan penerapannya. Oleh karena itu, pembelajar harus diarahkan sedemikian rupa agar mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkannya.

Berkaitan dengan itu, pemakaian bahasa Inggris untuk menjelaskan dan menekankan konsep tatabahasa tersebut bagi pembelajar yang bukan penutur bahasa Inggris kadang-kadang tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Pemakaian bahasa ibu pembelajar atau bahasa nasional untuk

menjelaskan aspek tatabahasa yang dipelajari kembali menjadi perhatian para ahli, di samping penggunaan bahasa Inggris itu sendiri atau bahasa campuran. Krieger (2005) mengungkapkan bahwa pemakaian bahasa pertama dalam kelas bahasa asing kadang-kadang sangat diperlukan, terutama untuk penjelasan dan penegasan konsep-konsep kebahasaan dan tatabahasa. Motivasi pembelajar dapat dibangkitkan dengan pemakaian bahasa pertama mereka untuk menjelaskan bagian-bagian bahasa yang memang sulit dipahami jika dijelaskan dalam bahasa Inggris. Budaya bahasa dan perbedaan yang cukup tajam antara aspek tatabahasa bahasa Inggris dengan bahasa pertama pembelajar dapat diimbangi dengan penjelasan sistematis dengan memakai bahasa yang dikuasai oleh pembelajar.

Para professional dalam pemerolehan bahasa kedua semakin menyadari akan pentingnya peran bahasa pertama (bahasa ibu) dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing. Nunan dan Lamb (1996), misalnya, dalam Tang (2002:37) mengatakan bahwa guru-guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang mengajar siswa-siswa yang tidak fasih berbahasa Inggris menemukan bahwa pelarangan penggunaan bahasa pertama sangatlah tidak mungkin. Di sisi lain, Dornyei dan Kormos (1998) dalam Tang (2002:37) menemukan bahwa bahasa pertama digunakan oleh para pembelajar bahasa kedua sebagai strategi komunikasi untuk mengimbangi kekurangan mereka dalam bahasa kedua tersebut. Pengalaman Tang sendiri sebagai pelajar dan kemudian sebagai pengajar bahasa asing telah memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa pertama dapat membantu dan mempermudah pembelajaran dan pengajaran bahasa asing.

Hasil penelitian dan pengalaman belajar dan mengajar bahasa asing para ahli dan peneliti yang digambarkan oleh Tang (2002) memberikan informasi bahwa pemakaian bahasa pertama dalam kelas bahasa asing bukan masalah, malah cukup membantu. Jika dikaitkan dengan pengajaran tatabahasa bahasa Inggris (Grammar I, II, III, IV di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unaiversitas Bung Hatta), pemakaian bahasa Indonesia (atau bahkan bahasa daerah, seperti bahasa Minangkabau) untuk menjelaskan materi pelajaran diperkirakan dapat bermanfaat. Pencermatan keefektifan pemakaian bahasa Indonesia atau bahasa Inggris inilah yang menjadi pokok masalah penelitian ini.

Lyn (1990) menemukan dari penelitiannya bahwa bahasa Kanton digunakan sejajar dengan bahasa Inggris di dalam mengajar

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 73

bahasa Inggris di China. Wells (1999) dan Anton & DiCamilla (1998) menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat dilakukan lebih mudah dan alamiah bila bahasa pertama yang digunakan, dan penggunaan bahasa pertama juga bisa memberikan landasan bagi siswa untuk membangun struktur bahasa kedua. Atkinson (1993) juga menyarankan perlunya perimbangan penggunaan bahasa pertama dalam proses pembelajaran bahasa kedua (lihat Mattioli 2004:21—22).

Selanjutnya, Auerbach (1993) mengatakan bahwa memulai pelajaran bahasa Inggris dengan bahasa pertama akan memberikan rasa aman kepada para siswa sehingga memungkinkan mereka mengekspresikan diri mereka sendiri dan pada gilirannya mereka akan mau bereksperimen dengan bahasa Inggris. Schweers (2003) dalam penelitiannya mengajar bahasa Inggris di Puerto Rico menemukan bahwa 88,7% siswanya merasa bahwa bahasa Spanyol harus digunakan dalam belajar bahasa Inggris. Terence Doyle (1997) melaporkan bahwa dalam kajian yang ia lakukan para siswa menggunakan bahasa pertama sekitar 90% dari waktu yang mereka habiskan di dalam kelas (lihat Schweers, Jr 2003:34—36).

Selain itu, Tang (2002:37) telah melakukan penelitian senada di sebuah universitas di Beijing dengan sampelnya 100 orang mahasiswa tahun pertama dan 20 orang dosen yang telah berpengalaman mengajar bahasa Inggris selama 1—30 tahun. Ia menemukan bahwa penggunaan bahasa pertama di dalam pengajaran bahasa Inggris tidak mengurangi pemajanan bahasa Inggris kepada mahasiswa, tetapi malah membantu proses belajar mengajar.

Di Indonesia sendiri, Budiyana dkk. (2005) melaporkan hasil penelitian mereka tentang pemakaian bahasa Indonesia di kelas bahasa Inggris. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia di kelas bahasa Inggris cukup membantu pembelajar terutama untuk memberi penjelasan dan mendudukkan konsep kebahasaan. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia diperlukan juga untuk menjelaskan kosakata baru, memperkenalkan pelajaran baru, memberi perintah, membuat gurauan apabila suasana kelas mulai lesu dan kurang kondusif. Keefektifan pemakaian bahasa Indonesia dalam penelitian tersebut mirip dengan temuan Schweers (di Spanyol) dan Tang (di China). Pemakaian bahasa Indonesia untuk hal-hal yang mendesak dan tidak terlalu sering cukup membantu untuk membangkitkan keinginan belajar siswa.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Fungsi Komunikatif Alihkode dalam PBM

Bahasa Asing 4.1.1 Fungsi Komunikatif Alihkode oleh Dosen

Pada bagian ini dipaparkan hasil penelitian yang berkenaan dengan fungsi komunikatif alihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh dosen dalam PBM di kelas-kelas matakuliah yang menjadi sampel penelitian. Adapun fungsi komunikatif alihkode yang utama dan paling sering muncul dan ditemukan pada penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut ini. (a) Untuk memperjelas

Fungsi komunikatif ini muncul apabila dosen menganggap bahwa bahasa Inggris yang digunakannya sebagai bahasa interaksi kurang dipahami oleh mahasiswa, sehingga dia merasa perlu beralihkode ke bahasa Indonesia. Sering juga terjadi fungsi ini muncul karena dosen yang membacakan materi berbahasa Inggris perlu memberikan uraian tambahan dalam bahasa Indonesia agar mahasiswa benar-benar mamahami materi ajar. Berikut ini adalah cuplikan peristiwa bahasa yang menunjukkan hal ini.

(1) Mhs 1 : Which one is short story and oo

novel? Dosen : once again Mhs 1 : Which one is short story and a

novel? Dosen : Do you understand the question? Mhs-Mhs : NO! Dosen : Can you make your friends

understand? Mhs 1 : Which one is short story and a

novel? Dosen : What do you want to say? Mhs 1 : Mana yang lebih, mana yang

lebih baik short story dari novel?

Dosen : In what case? In what case? In what case is it better? Which one

: is better: a short story or a novel? In what case?

Mhs 1 : Yes Dosen : What do you mean by ‘yes’?

Dalam hal mana yang Anda tanya-

: kan lebih baik? Mhs 1 : Dalam alur ceritanya, pak! Dosen : Oh, you haven’t studied the plot

yet…

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 74

(b) Untuk menerjemah Fungsi ini disebabkan oleh adanya kata-

kata atau frasa yang dianggap oleh dosen masih baru bagi mahasiswa. Selain itu, fungsi ini juga muncul karena kebiasaan dosen menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa interaksi sehingga pada saat ia mengutip materi berbahasa Inggris ia sering langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kutipan data berikut ini memperlihatkan fungsi menerjemah ini. (2) Dosen : In producing anterior, it is said

here, the main obstruction of the : air stream is at a point no

further back tidak lebih jauh no further

: back in the mouth than the alveolar ridge.

(3) Dosen : Juga state your most relevant work experience. Itu diulang lagi

: kan? If your experience is greater than your qualification, jika

: pengalaman anda lebih besar dari keahlian anda, the step 4 …

: maka langkah empat ini… (c) Untuk mempertegas

Kadang kala dosen merasa perlu mengulangi kalimat bahasa Inggrisnya dengan bahasa Indonesia. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk sekedar menerjemahkan tetapi lebih bersifat penegasan, karena tanpa diulang dengan bahasa Indonesia pun mahasiswa sudah mengerti dengan bahasa Inggris yang dipakainya. Perhatikan data berikut ini!

(4) Dosen : What about the rest? … Who

hasn’t got the turn yet? Yang : belum mendapat giliran? … (d) Untuk memberikan komentar metalinguistik

Kadang-kadang, kondisi kelas dan sikap mahasiswa dalam mengikuti PBM menghendaki dosen untuk memberikan komentar yang tidak ada kaitannya dengan bahasa yang mereka pelajari. Komentar seperti itu muncul karena dosen menyadari bahwa PBM bukan hanya sekedar proses transfer ilmu pengetahuan. Mari perhatikan kutipan data berikut ini! (5) Dosen : … it seems you haven’t

understood. Rupanya masih ada yang

: tidak mengerti belajar itu ndak? Tidak mengkopi itu yang

: penting. Perlu betul mengkopi itu?

Mhs : No. Dosen : No. Anda ikuti semua kegiatan.

You follow all activities … (e) Untuk menandai simpulan, pengulangan,

atau peralihan topik Dalam PBM yang didominasi oleh dosen,

kemunculan alihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan frekuensi tinggi sangat mungkin adanya. Alihkode paling sederhana yang dilakukan dosen ialah meyelipkan kata nah dan ya yang sering mengawali kemunculan simpulan; pengulangan kata, frasa, atau istilah; dan pada saat peralihan topik. Kutipan data berikut ini memperlihatkan fungsi-fungsi ini. (6) Dosen : Right. The mother speaks all the

time … Give the child chance : to speak. Nah, this is the idea of

interaction … (7) Dosen : Do you still remember what SPE

system stands for? … : The sound pattern of English ya?

… (8) Dosen : Nah, we start to discuss now

what we mean by consonants …

4.1.2 Fungsi Komunikatif Alihkode oleh Mahasiswa

Sebagaimana alihkode yang dilakukan oleh dosen, alihkode yang dilakukan oleh mahasiswa juga membawa fungsi komunikatif tertentu sesuai dengan peristiwa bahasa yang terjadi. Pada tulisan (dan bagian) ini, hanya dipaparkan fungsi alihkode oleh mahasiswa dalam PBM di kelas dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Ada empat fungsi komunikatif utama alihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia yang ditemukan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah uraian ringkasnya. (a) Untuk melancarkan komunikasi

Fungsi pertama ini merupakan hal yang wajar ditemukan dalam kelas bahasa asing, terutama di kelas-kelas tingkat awal. Hal ini disebabkan oleh kemampuan mahasiswa yang masih terbatas untuk menggunakan bahasa yang sedang mereka pelajari tersebut. Cermati kutipan data berikut ini!

(9) Mhs 1 : I want to question ooo what your

opinion about short story …

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 75

Dosen : Do you understand the question? Mhs-mhs : No, … Mhs 1 : What opinion short story ooo

what opinion ooo, about short… Mhs 2 : Apa perbedaannya? Mhs 1 : Maksudnya apa pandapat kamu

tentang short story … (b) Untuk mengajukan permintaan

‘Kedekatan’ mahasiswa dengan bahasa nasional (bahasa Indonesia; bahasa ibu) dibandingkan dengan bahasa Inggris diperkirakan menyebabkan mereka merasa lebih suka mengajukan permintaan dalam bahasa Indonesia walaupun bahasa interaksi yang dipakai di dalam PBM adalah bahasa Inggris. Kemungkinan lain yang menyebabkan hal itu adalah ketidakbiasaan mereka memanggil ‘You’ kepada orang yang lebih tua atau dihormati. Keadaan ini terlihat dari kutipan data berikut ini. (10) Dosen : Everybody, clap your hand …

click fingers … Now follow up me

: and repeat after me … Mhs : Ulangi pak! … (c) Untuk menerjemah

Dalam PBM yang berkaitan dengan konsep atau teori, dosen sering menanyakan arti atau definisi istilah kepada mahasiswa, dengan pertanyaan What do you mean by? Walaupun pertanyaan itu tidak selalu meminta mahasiswa untuk menerjemahkan istilah, mahasiswa cenderung menyebutkan istilah tersebut dalam bahasa mereka. Perhatikan kutipan data berikut ini! (11) Dosen : The idea of rule is central to

transformational generative : grammar. What is rule? Mhs : Aturan ! Dosen : Rule, aturan … what do you

mean by operational definition? Mhs : Pernyataan Dosen : … is modified, dirubah …

(d) Untuk mengingatkan

Fungsi komunikatif ini berkenaan dengan mengingatkan dosen bahwa sesuatu telah terjadi, akan terjadi, atau sedang terjadi. Lihat kutipan data berikut ini!

(12) Dosen : So, we do not start with the T but

we start with S … Mhs 1 : the material Dosen : the material (dosen menuliskannya) Mhs-mhs : Sudah pak!

Fungsi komunikatif alihkode yang dikemukakan pada tulisan ini hanya yang berkenaan dengan alihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan fungsi-fungsi yang dapat dikatakan paling sering muncul dan utama saja. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dalam PBM bahasa Inggris, di mana pemakaian bahasa asing tersebut amat dianjurkan, alihkode ke bahasa Indonesia tidak dapat dihindarkan sama sekali. Ini membuktikan bahwa fenomena sosiolinguistik, seperti alihkode, merupakan kebutuhan dan hal yang alami adanya. Di samping itu, kenyataan ini menyiratkan bahwa peran psikologis bahasa ibu tetap ada dan menjadi bentuk lain dalam pencapaian hasil belajar. Bagian berikut akan menguraikan secara ringkas peran psikologis bahasa ibu dalam PBM bahasa asing. 4.2 Peran Psikologis Bahasa Ibu dalam PBM

Bahasa Asing Keadaan dan Susana kebahasaan di Indonesia cukup unik, menarik, sekaligus menantang untuk dipelajari. Di negeri ini ada bahasa daerah yang begitu banyak dan beragam. Bahasa daerah tersebut, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, merupakan bahasa pertama (atau bahasa ibu). Dengan demikian, bagi kebanyakan orang Indonesia, bahasa Indonesia dapat disebut sebagai bahasa kedua. Akan tetapi, pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar di dunia pendidikan telah dimulai sejak tingkat pendidikan paling rendah. Dalam jenjang pendidikan, pemakaian bahasa Indonesia cukup dominan. Meskipun tidak cukup merata, bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai bahasa ibu terutama jika dikaitkan dengan lingkungan pendidikan. Oleh kerena itu, bahasa ibu yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bahasa Indonesia, bahasa pengantar resmi yang dipakai di tiap tingkat pendidikan di Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan di atas, terjadinya alihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia cukup lazim dijumpai dalam PBM kelas bahasa Inggris, dalam hal ini dalam PBM kelas bahasa Inggris di FKIP Universitas Bung Hatta, Padang. Ada banyak pola dan fungsi komunikatif mengapa pelibat dalam PBM di kelas bahasa Inggris tersebut beralihkode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia (atau malah ke bahasa daerah lain). Kenyataan ini menunjukkan bahwa peran bahasa ibu tidak hanya bersifat sosiolinguistis tetapi juga psikologis. Terjadinya alihkode seperti dikemukakan di atas adalah sebagian bentuk peran sosiolinguistis, sementara faktor dan motivasi pelibat beralihkode tersebut dapat dikatakan sebagai peran psikologis. Secara teoretis dan

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 76

berdasarkan bukti empiris, peristiwa alihkode melibatkan fungsi sosial dan psikologis bahasa.

Masyarakat sekolah atau kelas formal, sebenarnya dapat dianggap sebagai kelompok masyarakat kecil yang terbentuk karena adanya ikatan formal-akademis. Di antara yang penting perannya dalam masyarakat sekolah (kelas) adalah bahasa. Kelas bahasa asing (bahasa Inggris) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, FKIP Univesitas Bung Hatta, Padang secara teoretis harus menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam PBM di kelas. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa pelibat dalam PBM (dosen dan mahasiswa) tidak cukup setia untuk tetap menggunakan bahasa asing tersebut di dalam berkomunikasi di kelas. Agaknya hal itu cukup beralasan karena mereka semua adalah dwibahasawan dan anekabahasawan. Kelaziman alihkode sebagaimana yang dijumpai pada masyarakat nyata, ternyata terjadi juga dalam interaksi di kelas. Hal ini juga membuktikan bahwa peran bahasa ibu tidak hanya bersifat sosial tetapi juga psikologis, peran yang terkait dengan kondisi-kondisi kejiwaan dan emosional penuturnya.

Hasil penelitian tentang keefektifan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di kelas bahasa Inggris (dalam hal ini matakuliah Grammar III) memperlihatkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam PBM cukup efektif, terutama dalam menjelaskan hal-hal penting. Meskipun secara statistic perbedaan skor uji-t kelas eksperimen (kelas yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar) dengan kelas kontrol (kelas yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar) tidak berbeda secara signifikan (menggunakan uji-t), namun berdasarkan pengamatan langsung peneliti, hasil wawancara, dan tanggapan mahasiswa melalui kuisioner, pemakaian bahasa Indonesia begitu efektif dalam membangkitkan semangat belajar mahasiswa. Alihkode ke bahasa Indonesia cukup berperan, tidak hanya secara sosiolinguistik tetapi juga secara psikologis.

Hasil uji-f (dalam hal ini uji ANCOVA), khususnya pada tahap uji penyesuaian skor rata-rata (adjustment of means) memperlihatkan bahwa kelas yang diajar dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di kelas Grammar III memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada kelas yang diajar dengan bahasa Inggris apabila mahasiswa di kelas eksperimental dan kelas kontrol memiliki skor tes awal, motivasi, minat, serta kesiapan belajar yang seimbang.

Tanpa mengabaikan faktor-faktor psikologis lain dalam PBM bahasa asing, pemakaian bahasa ibu ternyata tetap mempunyai

peran penting dalam pencapaian hasil belajar. Berdasarkan wawancara dan tanggapan yang diberikan melalui kuesioner, sebagian besar mahasiswa di kelas eksperimental menyatakan bahwa pemakaian bahasa Indonesia sangat membantu mereka memahami konsep-konsep tatabahasa bahasa Inggris yang sebagiannya sangat berbeda dengan tatabahasa bahasa Indonesia. Di samping merasa terbantu dengan pemakaian bahasa Indonesia dalam PBM Grammar III, mereka mengaku termotivasi untuk belajar dan memahami aspek-aspek tatabahasa bahasa Inggris tersebut. Keterangan yang disampaikan oleh dosen dengan memakai bahasa yang telah mereka kuasai dapat membantu mereka memahami dan merekonstruksi sendiri simpulan-simpulan yang amat penting artinya bagi pembelajar dewasa. Ini berkaitan dengan faktor psikologis mahasiswa, khususnya motivasi, keinginan belajar, dan kemauan untuk menyimpulkan sendiri butir-butir pelajaran yang dipelajari.

Jika dikaitkan dengan fungsi komunikatif alihkode, sebagaimana dijelaskan di atas, beralihkode ke bahasa Indonesia bukan saja penting artinya secara sosiolinguistik dan akademis, akan tetapi juga mempunyai peran psikologis. Keterlibatan pembelajar secara psikologis dalam belajar bahasa asing (bahasa Inggris) dapat didorong dengan melakukan alihkode ke bahasa ibu pembelajar sehingga memunculkan peristiwa komunikatif. Di sisi lain, pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar PBM matakuliah Grammar III berperan untuk membantu mahasiswa memahami secara akademis dan mendorong mereka untuk terlibat secara emosional dalam memahami pelajaran. Keterlibatan secara akademis dan psikologis jelas amat membantu terjadinya pembelajaran yang efektif dan pencapaian hasil belajar yang baik. Ternyata bahasa ibu mepunyai peran psikologis yang penting dalam PBM kelas bahasa asing di perguruan tinggi, khususnya dalam membangkitkan motivasi belajar. 5. SIMPULAN DAN SARAN Alihkode mempunyai fungsi komunikatif yang penting dalam PBM di kelas, dalam hal ini kelas bahasa asing. Alihkode tidak hanya terjadi di tengah masyarakat umum tetapi juga dalam masyarakat sekolah atau kelas yang terbentuk secara lebih formal-akademis. Alihkode adalah peristiwa bahasa yang lazim adanya. Beralihkode ke bahasa ibu pembelajar ternyata mempunyai peran psikologis dalam mendorong motivasi belajar mahasiswa di kelas bahasa asing. Para peneliti terdahulu telah mengemukakan bahwa pemakaian bahasa ibu dalam PBM bahasa asing

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 77

bukanlah hal yang taboo, melainkan dapat memberikan makna penting untuk ketercapaian hasil belajar. Dalam penelitian ini ternyata bahwa pemakaian bahasa ibu untuk menjelaskan kaida-kaidah tatabahasa, apalagi yang cukup rumit, tetap diperlukan. Penulis berpendapat bahwa penggunaan bahasa ibu begitu penting untuk menekankan kaidah-kaidah tatabahasa yang banyak berbeda dari bahasa pembelajar sendiri.

Alam bahasa begitu luas. Kajian, penelitian, atau tulisan mengenai bahasa memberikan peluang besar kepada ahli dan pemerhati bahasa untuk terus bergelut dengan bahasa. Sosiolinguistik adalah juga bidang ilmu yang cukup luas dan memang untuk terus ditindaklanjuti. Berbagai topik dan subbidang kajian dalam sosiolinguistik belum banyak diselami oleh para peneliti bahasa di Nusantara ini. Sudah seharusnya para ahli dan pemerhati pengajaran bahasa mengarahkan kajian dan mencurahkan perhatian mereka ke sosiolinguistik. Hal ini terkait dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan ‘perekat’ alami masyarakat. bahasa adalah ‘diri’ dan sekaligus juga ‘sosial’

Kepada para ahli, pemerhati, dan peneliti pengajaran bahasa juga disarankan untuk mengungkapkan lebih jauh distribusi dan korelasi motivasi belajar, kesiapan belajar, atau kemampuan dasar pembelajar terhadap pencapaian hasil belajar. Penelitian dan pengkajian yang bersifat psikologis dan humanis juga perlu dilakukan sehubungan dengan peran bahasa pertama sebagai bahasa pegantar dalam PBM matakuliah ketatabahasaan dan kebahasaan bahasa asing. Para praktisi pengajaran dan pembelajaran, terutama dosen matakuliah tatabahasa bahasa Inggris, diharapkan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dengan berbagai pertimbangan dan penyesuaian sehingga hal-hal yang bersifat sistem dan aturan tatabahasa dapat dipahami oleh pembelajar dengan baik melalui penjelasan dengan bahasa pertama.

----------------------------- 1) Artikel ini adalah pengembangan dan telaah lanjut dari sebagian hasil penelitian dosen muda yang penulis lakukan tahun 2007 dan dikaitkan dengan sebagian hasil penelitian lain yang dilakukan tahun 1999. DAFTAR PUSTAKA Auer, Peter. 1995. “The Pragmatics of Code-

switching: a Sequential Approach.” Dalam Milroy, Lesley & Peter Muysken (Editor.). One Speaker, Two Languages. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, H. Douglas. 1994. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.

Budiyana, Y.E., Ritonga, Y., dan Suratno A. 2005.

“The Use of Bahasa Indonesia in EFL Class.” CELT: A Journal of Culture, English Language Teaching & Literature. Vol 5 No. 1 hal. 61—75. Semarang: Soegijapranata Catholic University Press.

Corria, Ignacio Lopez. 1999. “Motivating EFL

Learners.” English Teaching Forum. Vol. 37 No. 2 April—June 1999 p. 17.

Dabene, Louise & Danielle Moore. 1995.

“Bilingual Speech of Migrant People.” Dalam Milroy, Lesley & Peter Muysken (Editor.). One Speaker, Two Languages. Cambridge: Cambridge University Press.

Heller, Monica (Editor). 1988. Codeswitching. Berlin: Mouton de Gruyter.

Katu, Nggandi. 2006. “Belajar Paling Efektif Jika

Menyenangkan” dalam Polyglot: Jurnal Ilmiah. Vol. 1 no. 1 hal 3 – 8. Tangerang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan.

Krieger, Daniel. 2005. “Teaching ESL versus EFL:

Principles and Practices.” English Teaching Forum. Vol. 43 No. 2, April 2005. pp. 8—16.

Martin-Jones, Marylin.1995. “Code-switching in

the Classroom.” Dalam Milroy, Lesley & Peter Muysken (Editor.). One Speaker, Two Languages. Cambridge: Cambridge University Press.

Mattioli, Gyl. 2004. “On Native Language

Intrusions and Making Do with Words: Linguistically Homogenous Classrooms and Native Language Use.” English Teaching Forum. Vol. 42 No. 4, October 2004. p. 21.

McKay, Sandra Lee. 2004. “Western Culture and

the Teaching of English as an International Language” dalam English Teaching Forum. Vol. 42 No. 2, April 2004 Hal.: 10 – 15.

Milroy, Lesley & Peter Muysken (Editor.). One

Speaker, Two Languages. Cambridge: Cambridge University Press.

❏ Lely Refnita Alihkode dan Peran Psikologis Bahasa Ibu

dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Asing

Halaman 78

Refnita, Lely. 1999. “Alihkode dalam Proses Belajar Mengajar (Sebuah Kajian Sosiolinguistik)”. (Tesis belum diterbitkan). Padang: Program Pascasarjana UNP Padang.

Refnita, Lely. 2007. “Keefektifan Penggunaan

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar Perkuliahan Gramatika Bahasa Inggris”. (Laporan penelitian belum diterbitkan). Padang: FKIP Universitas Bung Hatta.

Schweers Jr, C. William. 2003. “Using L1 in the

L2 Classroom.” English Teaching Forum. Vol. 41 No. 4 October 2003. p. 34.

Stern, H. H. 1994. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Tang, Jinlan. 200. “Using L1 in the English

Classroom.” English Teaching Forum. Vol. 40 No. 1 January 2002. pp. 36—37.

Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to

Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.

White, Leslie & Beth Dillingham. 1973. The

Concept of Culture. Burgess Publishing Company.

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 79

HIPOTESIS SAPIR-WHORF, PENTOPIKALAN, DAN

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM BAHASA MINANGKABAU

Jufrizal, Zul Amri, dan Refnaldi Fakultas Bahasa Sastra dan Seni Universitas Negeri Padang

Abstract Linguistic relativity theory and Sapir-Whorf hypothesis may be debatable among linguists. In accordance with this, they should be consulted to and faced toward various linguistic data. This article, which is based on a part of fundamental research conducted in 2006, discusses to what extent the theory and hypothesis are acceptable by having linguistic and cultural data of Minangkabaunese, especially, topicalization construction and language politeness in Minangkabau society. The data analysis and discussion were primarily done by means of linguistic typology, especially grammatical typology, and supported by anthropological linguistic and sociolinguistic theories. The data were the spoken and written forms of words, clauses, sentences, or utterances of Minangkabaunese, including ideas, opinions, or judgments given by native speakers. The data were collected through field research and library study. It was found that the Sapir-Whorf hypothesis is highly accepted then, and the topicalization construction in Minangkabaunese conveys the value of polite language. Key words: linguistic relativity, Sapir-Whorf hypothesis, language politeness, linguistic

typology, topicalization

1. PENDAHULUAN Bahasa merupakan sarana intelektual yang paling berdaya dan paling lentur (fleksibel) yang dikembangkan oleh umat manusia. Di samping dapat menggambarkan dunia, bahasa juga dapat menggambarkan dirinya sendiri. Setiap bahasa alami manusia merupakan sistem tanda yang kompleks dan dirancang untuk mengemas uangkapan makna yang tidak terbatas. Setiap tanda pada tataran dasar mengaitkan antara makna dan bentuk bahasa (fonetis atau grafis); tanda-tanda itu bergabung bersama menurut kaidah tertentu untuk membentuk sistem tanda yang kompleks guna mengungkapkan makna yang kompleks pula. Bahasa adalah kecakapan manusia untuk berkomunikasi dengan menggunakan jenis-jenis tanda tententu (misalnya suara, isyarat, dsb.) dan disusun dalam jenis-jenis unit tertentu (misalnya tataurut) (lihat Duranti 1997:7, 69; Cruse 2000:6).

Sehubungan dengan bahasa sebagai “dirinya sendiri” dan fungsinya sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa mempunyai kaitan erat dengan masyarakat dan kebudayaan, bahkan dengan dunia secara umum. Bahasa (lihat Duranti 1997:43,332) dapat dikatakan sebagai “panduan” bagi kehidupan sosial karena bahasa dapat mengarahkan, mengganti bentuk tindakan,

atau merujuk kepada seseorang atau benda lain. Memiliki budaya berarti memiliki komunikasi dan memiliki komunikasi berarti memiliki hubungan dengan bahasa. Keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan dapat dilihat dari kenyataan bahwa deskripsi bentuk dan nilai budaya dilakukan dengan memanfaatkan bahasa. Bahasa, pada dasarnya, dapat pula dikatakan sebagai bentuk budaya manusia (penuturnya). Silverstein (dalam Duranti 1997:7) mengungkapkan bahwa kemungkinan gambaran-gambaran kebudayaan (masyarakat tertentu) bergantung kepada sejauh mana bahasa masyarakat tersebut memungkinkan penuturnya mengujarkan apa yang dilakukan oleh kata dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel, yang didasarkan dari sebagian hasil penelitian dasar (fundamental research) tahun 2006, ini membahas sejauh mana keberterimaan hipotesis Sapir-Whorf yang merupakan pengembangan dari teori relativitas linguistik berdasarkan data kebahasaan bahasa Minangkabau (BM), khususnya konstruksi pentopikalan. Artikel ini juga membahas informasi kebahasaan yang terkemas dalam konstruksi pentopikalan dengan menghubungkannya dengan kesantunan berbahasa menurut budaya berbahasa orang Minangkabau. Sehubungan dengan itu,

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 80

artikel ini membahas pokok kajian: “Sejauh manakah keberterimaan hipotesis Sapir-Whorf dilihat berdasarkan konstruksi pentopikalan BM dan apakah ada muatan kesantunan berbahasa yang dibawa oleh konstruksi pentopikalan tersebut sesuai dengan budaya berbahasa masyarakat penutur BM?”

Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan keberterimaan hipotesis Sapir-Whorf dan struktur informasi yang ada dalam konstruksi pentopikalan BM. Dalam hal ini, pencermatan diarahkan pada aspek budaya santun berbahasa sebagai bagian dari keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Dengan terungkapnya nilai santun berbahasa yang dibawa oleh konstruksi pentopikalan akan dapat dijelaskan bagaimana stuktur gramatikal suatu bahasa dapat mengemas struktur informasi yang berhubungan dengan budaya berbahasa. 2. Tinjauan Teori Terkait 2.1 Tipologi Linguistik: Gramatikal dan

Fungsional Secara etimologis, tipologi berarti pengelompokkan ranah (classification of domain). Pengertian tipologi, pada dasarnya, bersinonim dengan istilah taksonomi. Istilah teknis tipologi yang masuk ke dalam linguistik mempunyai pengertian pengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas tatakata dan tatakalimatnya. Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Kajian tipologi linguistik yang umum dikenal adalah kajian yang berusaha menetapkan pengelompokkan luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Di antara bentuk kajian tipologi pada periode awal dalam linguistik adalah tipologi tataurut kata (word order typology), seperti yang dilakukan oleh Greenberg (Mallinson dan Blake 1981:3). Kajian tipologi tataurut kata Greenberg telah dapat memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan kata pada klausa dasar menjadi kelompok bahasa (S)ubjek – (V)erba – (O)bjek, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Kajian yang berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, kemudian membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology). Hasil kajian seperti itu melahirkan tipologi bahasa, yaitu pengelompokan bahasa dengan sebutan kelompok tertentu.

Menurut Comrie (1988), tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku struktural bahasa yang bersangkutan. Tujuan pokoknya adalah untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu?. Ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yakni (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Berdasarkan pengkajian secara tipologis linguistik tersebut, para ahli berusaha melakukan pengelompokan (disebut pula pentipologian) bahasa-bahasa yang melahirkan tipologi bahasa. Dengan upaya itu dikenal adanya bahasa bertipologi nominatif-akusatif (bahasa akusatif), bahasa bertipologi ergatif-absolutif (bahasa ergatif), bahasa aktif dan sebagainya. Dengan demikian, istilah sebutan bahasa akusatif, bahasa ergatif, atau bahasa aktif merujuk ke sebutan tipologi bahasa-bahasa yang kurang lebih (secara gramatikal) mempunyai persamaan (lihat lebih jauh Comrie 1983, 1989; Dixon 1994; Artawa 2004).

Pentipologian bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku gramatikal tersebut, untuk lebih jelasnya, sering juga disebut sebagai tipologi gramatikal. Penyebutan ini dilakukan untuk membedakannya dari kajian tipologi fungsional, yaitu kajian tipologi yang mendasarkan telaahannya pada fitur-fitur dan fungsi pragmatis atau fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Jadi, dalam perkembangannya, tipologi linguistik yang pada awalnya dikembangkan dari tipologi gramatikal berkembang ke bentuk kajian tipologi fungsional. Meskipun demikian, dasar kajian tipologi linguistik masih bertumpu pada tipologi gramatikal (Givon 1984, 1990; Artawa 2004; Jufrizal 2004). Croft (1993:1 – 3) menambahkan bahwa kajian tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas bahasa.

Givon (1984) berpendapat bahwa pendekatan kajian bahasa dan analisis perilaku bahasa tidak mungkin “sunyi” (lepas begitu saja) dari perilaku bahasa dalam konteksnya. Tipologi fungsional dikembangkan dari pendekatan tipologi tataurut kata Greenberg. Dengan memperhatikan fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi, tipologi fungsional mendasarkan analisisnya pada tataran gramatikal bahasa dengan memperhatikan pemakaian bahasa tersebut dalam konteks tertentu (fungsi pragmatis-wacana). Fenomena bahasa yang sulit (atau belum) terpecahkan secara gramatikal memerlukan pencermatan fungsional sehingga memungkinkan adanya pendapat ilmiah untuk mengungkapkan hakikat bahasa.

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 81

2.2 Topik dan Pentopikalan Kelenturan dan keberdayaan bahasa sebagai alat komunikasi telah dan terus memungkinkan manusia untuk berkembang secara sosial-budaya dan mencapai kesejahteraan hidup secara bersama. Bahasa adalah sistem tanda yang begitu rumit, terikat kaidah, dan digunakan oleh masyarakat penuturnya untuk berkomunikasi. Foley (1997:27) menambahkan bahwa bahasa secara umum didefinisikan sebagai sistem tanda dan kaidah-kaidah penggabungannya. Semua tanda-tanda linguistik, pelambang-pelambang tersebut, indeks atau symbol-simbolnya mempunyai struktur ganda, yaitu kutub bentuk yang berhubungan dengan kutub makna.

Secara umum istilah pentopikalan (topicalization) digunakan untuk merujuk kepada konstruksi sintaktis (turunan) karena frasa nomina (FN) pada konstruksi dasar (kanonis) yang berada pada posisi setelah verba (predikat) muncul pada posisi awal sebelum subjek (atau langsung sebelum verba dalam bahasa dengan urutan 2-verba, yang dalam hal ini subjek muncul pada posisi objek). Fungsi pragmatis konstruksi pentopikalan diduga berbeda dari konstruksi kanonisnya; FN objek sekarang (yakni pada konstruksi pentopikalan) menjadi topik (dari pada menjadi bagian ranah fokus). Apa yang sering tidak terketahui adalah bahwa jenis sintaktis seperti ini mempunyai dua fungsi wacana (pragmatis) yang amat berbeda. Dalam bahasa Perancis dan Inggris, secara berturut-turut, frasa pentopikalan dapat muncul dalam relasi topik atau relasi fokus terhadap proposisi yang diungkapkan oleh kalimat; relasi topik mempunyai struktur “fokus – predikat”, dan relasi fokus mempunyai struktur “argumen – fokus”. Perbedaan yang jelas ini dalam dalam fungsi pragmatis berhubungan dengan perbedaan prosodi yang jelas secara setara. Pada tataran sintaksis, perbedaan itu tidak dimarkahi (lihat Lambrecht 1996:31).

Lambrecht (1996:118) juga menjelaskan bahwa topik kalimat adalah sesuatu tentang proposisi yang diungkapkan oleh kalimat. Definisi topik dalam pengertian relasi “ketentangan” antara satu wujud dan satu proposisi, sebenarnya, diturunkan dari definisi tradisional “subjek”. Dua istilah “topik” dan “subjek” ini tidak dapat disamakan. Topik tidak harus subjek gramatikal dan subjek gramatikal tidak harus topik, sekurang-kurangnya dalam bahasa Inggris. Misalnya, unsur kalimat bukan subjek dapat berperilaku sebagai topik dalam konstruksi pentopikalan, dan subjek dapat berperan sebagai unsur bukan topik dalam kalimat berpenekanan-awal: My CAR broke down. Topik kadang-kadang juga didefinisikan sebagai

uangkapan latar-pandangan, atau sebagai unsur yang mengatur kerangka jarak, waktu, atau pribadi yang dikendalikan predikasi utama (Chafe dalam Lambrecht 1996:118). Topik adalah relasi kalimat yang dikonstruksi secara pragmatis; menggunakan relasi pragmatis yang harus dipahami sebagai makna yang dikerangkai oleh konteks wacana tertentu (Lambrecht 1996:127). Berdasarkan konteks dan relasi pragmatis tersebut, topik boleh dibedakan menjadi topik rujukan dan topik ungkapan. Sebuah rujukan ditafsirkan sebagai topik proposisi jika pada situasi tertentu prosposisi itu ditafsirkan sebagai sesuatu tentang rujukan tersebut. Misalnya pengungkapan informasi yang bersesuaian dengan dan meningkatkan pengetahuan si pendengar rujukan tersebut. Sebuah konstituen merupakan topik ungkapan jika proposisi yang diungkapkan oleh klausa itu ditafsirkan secara pragmatis sesuatu tentang rujukan konstituen itu (Lambrecht 1996:131).

Kroeger (2004:28) mengatakan bahwa pentopikalan adalah konstruksi sintaksis yang menempatkan suatu konstituen, yang normalnya mengikuti verba, dipindahkan ke depan (bagian awal) kalimat, dan mendahului FN subjek. Perhatikan konstruksi berikut ini (diambil dari Kroeger, 2004): a. [Your elder sister]NP I can’t stand. b. [That you sincerely wanted to help]Cl I do not

doubt. c. [Out of this pocket]PP John pulled a

crumpled $ 100 bill.

Pengertian dan konsep dasar tentang topik, boleh jadi bersentuhan dengan apa yang disebut subjek. Secara tipologis dan kajian lintas bahasa, topik dan subjek itu bukan dua hal yang sama. Topik amat berkaitan dengan ihwal pragmatis, sementara subjek (pada dasarnya) adalah unsur kalimat yang bersifat gramatikal. Gundel (1988:14) mengatakan bahwa subjek adalah apa yang Anda bicarakan, dan predikat adalah apa yang dikatakan tentang subjek.

Lebih jauh, Gundel (1988:40) menjelaskan bahwa ungkapan (unsur kalimat) yang bernama topik tidak harus semua unsur kalimat paling kiri atau FN paling kiri pada struktur luar, walaupun ini merupakan kemungkinan posisinya yang paling umum dan ini selalu dikaitkan dengan informasi latar (non-fokal) dalam kalimat. Oleh karena itu, topik tidak pernah mendapat tekanan utama, ungkapan rujukannya terbatas, dan mungkin hanya sebagai topik, serta mempunyai praanggapan eksistensial. Bentuk-bentuk frasa nomina yang tidak pernah mempunyai praanggapan eksistensial, yakni spesifik (bukan

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 82

generik), ketidakterbatasan, juga tidak pernah bisa sebagai topik.

Apabila dikaitkan dengan sifat-perilaku gramatikal konstruksi topik – komen, dapat dikemukakan bahwa serangkaian piranti umum penandaan relasi topik – komen meliputi pemarkahan morfologis, struktur kalimat, dan intonasi. Secara tradisional, subjek kalimat digambarkan sebagai unsur yang mengkhususkan tentang apa kalimat itu. Jika ini diterima, dapat dikatakan bahwa kalimat pasif harusnya dipahami secara umum sebagai ihwal tentang ‘pasien’ dari pada sebagai ‘agen’ karena pemasifan merupakan proses sintaktis yang memindahkan pasien menjadi subjek dan subjek menjadi adjunta (berelasi oblik dalam tatabahasa relasional). Akan tetapi, bukanlah berarti bahwa seluruh argumen awal adalah subjek. Ada konstruksi sintaktis yang argumen awalnya bukan subjek kalimat tersebut. Konstruksi tersebut dikenal sebagai pelepasan ke kiri (left-dislocation) dan pentopikalan (topicalization). Perhatikan contoh (dalam bahasa Inggris) berikut ini. (a) Mary, she came yesterday. (b) Mary I know.

Pada (a), pronomina she adalah anaforis; she merujuk ke Mary. Pada konstruksi ini, ada pronomina dalam klausa utama yang merujuk ke frasa nomina klausa awal. Konstruksi inilah yang dinamakan konstruksi pelepasan ke kiri. Konstruksi (b) merupakan contoh konstruksi pentopikalan, yaitu proses sintaktis-pragmatis yang menjadikan konstituen bukan-topik menjadi topik. Konstituen yang ditopikkan tersebut merupakan argumen inti, bukan argumen berelasi oblik, seperti frasa lokatif atau frasa instrument. Jika yang ditopikkan itu adalah frasa berelasi oblik, itu bukan pentopikalan melainkan sejenis pengedepanan biasa (lihat Gundel 1988; Artawa 2004). 2.3 Teori Relativitas Linguistik dan Hipotesis

Sapir-Whorf Apabila dilihat lebih rinci dan memperhatikan alam bahasa sebagai sistem dan keberhubungannya dengan budaya, pendapat Foley (1997:27 – 29) tentang bahasa dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, bahasa adalah sistem tanda dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Semua tanda linguistik dalam bentuk ikon, indeks, atau symbol mempunyai struktur ganda, kutub bentuk (form) dan kutub makna (meaning). Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah penggabungan tanda-tanda untuk membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa bahasa yang bersangkutan. Tatabahasa terbentuk

secara alami sejalan dengan budaya dan pola hidup masyarakat penuturnya. Ini berarti bahwa bahasa tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat penuturnya, baik dalam arti luas maupun dalam arti khusus. Kramcsch (2001:3, 6) berpendapat bahwa bahasa adalah wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan kehidupan sosial. Sewaktu digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya; bahasa mewujudkan kenyataan budaya; bahasa melambangkan kenyataan budaya. Kunci bahwa bahasa dan budaya terjadi secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau penyesuaian diri manusia yang beragam.

Kramsch (2001:11) lebih lanjut mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Pendapat seperti ini adalah dasar pemikiran teori relativitas linguistik. Pandangan relativitas linguistik ini dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian Amerika. Pandangan Whorf tentang saling ketergantungan antara bahasa dan pikiran dikenal dengan hiptosis Sapir-Whorf. Hipotesis ini lebih tegas menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berperilaku. Bahasa dapat pula dikatakan sebagai bagian integral dari manusia – bahasa menyerap setiap pikiran dan cara memandang dunia penuturnya (Kramsch 2001:77).

Teori relativitas linguistik tidak menyatakan bahwa struktur linguistik mengatur secara ketat apa yang dipikirkan atau dirasakan orang, tetapi struktur bahasa tersebut cenderung mempengruhi apa yang sesungguhnya mereka pikirkan terus-menerus. Menurut padangan ini, apa yang dilakukan Sapir dan Whorf mengarah ke dua gagasan penting, yaitu (i) Ada satu pendapat akhir-akhir ini bahwa

bahasa, sebagai kode, mencerminkan kebiasaan dan ikatan budaya sebagai cara orang berpikir;

(ii) Lebih dari pendapat Whorf, kita mengenal alangkah pentingnya konteks dalam melengkapi makna yang terkemas dalam bahasa.

Gagasan pertama berhubungan dengan

budaya sebagai kemasan makna dalam bahasa itu sendiri. Gagasan kedua berkenaan dengan budaya

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 83

sebagaimana diungkapkan melalui pemahaman nyata bahasa (Kramsch 2001:35).

Keberhubungan antara bahasa dan budaya, sejauh ini, tercermin dalam teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf. Oleh karena itu, kajian fenomena hubungan bahasa dan budaya, pada umumnya, dikaitkan dengan teori dan hipotesis itu. Menurut Wardhaugh (1988:22), pendapat yang ada tentang keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan adalah: (i) Struktur bahasa menentukan cara-cara

penutur bahasa tersebut memandang dunianya;

(ii) Budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka pakai, karena mereka menilai segala sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa yang mereka lakukan. Dalam pandangan ini, perangkat-perangkat budaya tidak menentukan struktur bahasa tetapi perangkat-perangkat tersebut jelas mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin menentukan mengapa butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara berbahasa;

(iii) Ada sedikit atau tidak ada hubungan antara bahasa dan budaya.

Pernyataan bahwa struktur bahasa

mempengaruhi bagaimana penuturnya memandang dunia, sebenarnya telah diperkenalkan oleh Humbolt pada abad ke-19. Namun sekarang, pernyataan itu dirujuk sebagai hipotesis Sapir-Whorf atau hipotesis Whorfian (Wardhaugh 1988:212). 2.4 Budaya dan Kesantunan Berbahasa Keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup dekat terjadi pada tataran lahiriah dan batiniah dalam kehidupan manusia, termasuk dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Aspek kesantunan berbahasa termasuk bagian penting dalam peristiwa komunikasi (bahasa) verbal yang erat pula persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Rasa budaya dan rasa bahasa masyarakat tertentu terjadi secara alamiah melalui proses pemerolehan dan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, Duranti (1997) mengatakan bahwa kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari, dipindahkan, dilewatkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui tindakan manusia, keseringannya dalam bentuk interaksi langsung, dan tentu saja, melalui komunikasi linguistik. Dalam pemerolehan bahasa, alam dan

budaya berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan kekhasan bahasa-bahasa manusia.

Mengetahui budaya sama dengan mengetahui bahasa. Baik bahasa maupun budaya merupakan wujud hal yang bersifat kejiwaan. Kesantunan berbahasa adalah sebagian wujud kejiwaan (baik pribadi maupun kelompok) yang dilahirkan bersamaan dengan pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi. Ini juga berarti bahwa kebudayaan adalah komunikasi. Mengatakan kebudayaan adalah komunikasi berarti melihat dan memahami kebudayaan itu sebagai sistem tanda. Ini terkait pula dengan teori semiotik budaya. Mempercayai bahwa bahasa adalah komunikasi juga berarti bahwa teori seseorang (atau kelompok orang) tentang dunia harus dikomunikasikan agar dapat hidup (lihat Duranti 1997:27, 33).

Kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat berbahasa yang mendukung keberhasilan penyampaian pesan (berkomunikasi). Meskipun kosep kesantunan cukup abstrak dan berbeda sesuai dengan pandangan masing-masing, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kesantunan berbahasa berkaitan dengan ‘penghormatan” (honorific) atau penempatan seseorang pada tempat ‘terhormat’ (honor), atau sekurang-kurangnya menempatkan seseorang pada tempat yang diingininya. Berbicara tentang kesantunan, Yule (1998:60), misalnya, berpendapat bahwa kesantunan dalam interaksi (berbahasa) dapat didefinisikan sebagai kiat yang dipakai untuk memperlihatkan kepedulian terhadap citra-diri seseorang di tengah masyarakatnya. Kesantunan berbahasa berbeda secara lintas bahasa karena budaya berbahasa antarkelompok masyarakat penutur juga berbeda. Wierzbicka (1994:69) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berbeda dan dalam komunitas yang berbeda, orang berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara bicara tersebut cukup dapat diamati dan sistematis. Perbedaan-perbedaan itu, di antaranya, menggambarkan perbedaan nilai budaya yang ada di tengah masyarakat tertentu. Cara berbicara yang berbeda, gaya komunikatif yang berbeda, atau pilihan struktur kalimat (ujaran) yang berbeda mempunyai perbedaan kandungan nilai sosial-budaya, di samping nilai kebahasaan yang lain. 3. METODE PENELITIAN Sebagaimana dikemukan di atas, artikel ini merupakan pengembangan dan telaah lanjut dari sebagian hasil penelitian dasar (fundamental research) yang dilaksanakan tahun 2006. Penelitian dilaksanakan dalam bentuk penelitian

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 84

lapangan dan studi kepustakaan. Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang juga bersifat eksplanatoris dan siknronis. Data penelitian dalam bentuk kata, frasa, atau klausa bahasa lisan diperoleh melalui keterlibatan langsung tim penelitian di lapangan dan hasil wawancara mendalam dengan informan. Data bahasa tulis diperoleh melalui angket yang diberikan kepada responden dan melalui studi kepustakaan. Informan penelitian (34 orang) dan responden penelitian (154 orang) berasal dari 14 kota dan ibu negeri kabupaten yang berbeda di Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai). Analisis data dilakukan dengan metode agih (elisitasi dan distribusi) disertai metode reflektif-introspektif (lihat Sudaryanto 1993). 4. TEMUAN PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN 4.1 Pentopikalan dalam Bahasa Minangkabau

dan Hipotesis Sapir-Whorf Secara tipologi gramatikal, BM adalah bahasa bertipologi nominatif-akusatif (bahasa akusatif) secara sintaksis. Artinya, BM adalah bahasa yang, secara gramatikal, memperlakukan S(ubjek) klausa intransitif sama dengan A(gen) klausa transitif, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P(asien) klausa intransitif (S = A, ≠ P). Di antara ciri mendasar dari bahasa akusatif lainnya adalah klausa dasarnya berdiatesis aktif dengan konstruksi turunan pasangannya adalah konstruksi pasif. Dengan demikian, BM mengenal konstruksi aktif (sebagai diatesis klausa dasar) dan konstruksi klausa berdiatesis pasif (sebagai diatesis klausa turunannya). Dikotomi konstruksi aktif – pasif cukup jelas adanya dalam BM dengan pemarkah morfologis dan proses gramatikal yang bersesuaian dengan konstruksi aktif – pasif secara tipologis lintas bahasa (lihat Jufrizal 2004).

Mirip dengan pemasifan, pentopikalan, pada dasarnya, juga merupakan ihwal “keobjekan”; memberikan fungsi sebagai “topik” kepada unsur klausa yang bukan topik. Berbeda dari pemasifan yang murni bersifat gramatikal, pentopikalan merupakan proses gramatikal yang dipengaruhi oleh fungsi-fungsi pragmatis. Sebagian ahli malah menempatkan dan berpedapat bahwa konstruksi pentopikalan sebagai salah satu jenis pasif dan ada yang menyebutkannya sebagai jenis konstruksi ergatif dalam bahasa rumpun Melayu. Penetapan konstruksi pentopikalan sebagai bagian konstruksi pasif dalam bahasa-bahasa rumpun Melayu kurang beralasan secara linguistik (konstruksi pentopikalan ini dalam BM disebut oleh Jufrizal (2004, 2005) sebagai sebagai

konstruksi zero). Sebaliknya, untuk mengatakannya sebagai konstruksi ergatif masih memerlukan penelaahan lebih lanjut dan lebih tajam secara tipologis dan lintas bahasa (lihat Jufrizal 2004; Jufrizal 2005).

Untuk memperoleh gambaran tentang ihwal pentopikalan itu secara tipologi gramatikal dalam BM, dimulai dengan mencermati konstruksi klausa dasar berikut ini. (1) Mak Itam mam-baka sarok di balakang

rumah. nama AKT-bakar sampah di belakang rumah ‘Mak Itam membakar sampah di belakang

rumah’ (2) Patugas kacamatan man-data kaluarga miskin

di tiok kampuang. petugas kecamatan AKT-data keluarga miskin

di tiap kampung ‘Petugas kecamatan mendata keluarga miskin

di tiap kampung’ (3) Pak Malinin alah ma- narimo dana

kompensasi BBM siang tadi. nama telah AKT-terima dana kompensasi

BBM siang tadi ‘Pak Malinin telah menerima dana

kompensasi BBM siang tadi’ (4) Dauih ma- nyuruah urang se dari tadi. nama AKT-suruh orang saja dari tadi ‘Firdaus menyuruh orang saja dari tadi’ (5) Pak Lurah mam-bao barito dari kantua

camat jo kantua pos. Pak Lurah AKT-bawa barito dari kantor camat

KON kantor pos. ‘Pak Lurah membawa barito dari kantor camat

dan kantor pos’

Lima klausa dasar BM di atas adalah klausa berdiatesis aktif yang dimarkahi secara morfologis pada verbanya oleh prefiks verbal pasif, {maN-}. Tataurutan katanya adalah S –V – O, yang merupakan tataurutan baku klausa dasar BM. Sebagai gambaran sekilas dan perbandingan, ada baiknya pada bagian ini juga diperlihatkan konstruksi turunan tiap-tiap klausa dasar yang berdiatesis pasif (pada bagian ini hanya diperlihatkan konstruksi pasif umum saja), seperti pada contoh yang ditandai dengan huruf a berikut ini. (1a) Sarok di- baka (dek) Mak Itam di balakang

rumah. Sampah PAS-bakar (oleh) Mak Itam di

belakang rumah ‘Sampah dibakar oleh Mak Itam di belakang

rumah’

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 85

(2a). Kaluarga miskin di- data (dek) patugas kacamatan di tiok kampuang.

Keluarga miskin PAS-data (oleh) petugas kecamatan di tiap kampung

‘Keluarga miskin didata oleh petugas kecamatan di tiap kampung’

(3a) Dana kompensasi BBM alah di- tarimo (dek) Pak Malinin siang tadi.

Dana kompensasi BBM telah PAS-terima oleh nama siang tadi

‘Dana kompensasi BBM telah diterima oleh Pak Malinin siang tadi’

(4a) Urang di- suruah se dek Dauih dari tadi. Orang PAS-suruh saja oleh nama dari tadi ‘Orang disuruh saja oleh Firdaus dari tadi’ (5a) Barito di- bao (dek) Pak Lurah dari kantua

camat jo kantua pos. berita PAS-bawa (oleh) pak lurah dari kantor

camat KON kantor pos ‘Berita dibawa oleh Pak Lurah dari kantor

camat dan kantor pos’

Sebagaimana terlihat dari serangkaian contoh di atas, pasif adalah konstruksi turunan yang berasal dari konstruksi dasar berdiatesis pasif. Konstruksi pasif merupakan klausa intransitif turunan; relasi objek klausa dasar naik ke posisi subjek gramatikal klausa turunan (pasif); subjek gramatikal klausa dasarnya menjadi relasi oblik dan verbanya dimarkahi oleh prefiks verbal pasif (di-). Berdasarkan tipologi tataurutan kata (secara gramatikal), tidak terjadi perubahan tataurutan kata argumen inti pada konstruksi pasif, yaitu S – V (struktur argumen inti klausa intransitif). Sebagaimana disebut di atas, pemasifan adalah perihal kebahasaan “keobjekan” secara gramatikal dan secara semantis memberikan penekanan dan penonjolan pada objek (unsur sintaksis yang pada konstruksi dasar tidak menjadi pokok atu topik pembicaraan (dalam hal ini pokok kalimat).

Selain konstruksi pasif (seperti pada 1a,2a,3a, 4a,5a) di atas, BM juga mengenal konstruksi gramatikal yang menaikkan status unsur klausa yang bukan topik menjadi topik. Cermati contoh-contoh yang ditandai dengan (b) berikut ini, yang merupakan konstruksi turunan juga dari klausa dasar (1, 2, 3, 4, dan 5). (1b) Sarok Mak Itam baka di balakang rumah. Sampah-TOP Mak Itam baka di balakang

rumah ‘Sampah (yang) Mak Itam bakar di belakang

rumah’ (2b) Kaluarga miskin patugas kacamatan data

di tiok kampuang.

Keluarga miskin-TOP petugas kecamatan data di tiap kampung

‘Keluarga miskin (yang) petugas kecamatan data di tiap kampung’

(3b) Dana kompensasi BBM alah Pak

Malinin tarimo siang tadi. Dana kompensasi BBM-TOP telah nama

terima siang tadi ‘Dana kompensasi BBM (yang) telah Pak

Malinin terima siang tadi’ (4b) Urang se Dauih suruah dari tadi. Orang-TOP saja nama suruh dari tadi ‘Orang saja (yang) Firdaus suruh dari tadi’ (5b) Barito Pak Lurah bao dari kantua

camat jo kantua pos. berita-TOP pak lurah bawa dari kantor camat

KON kantor pos ‘Berita (yang) Pak Lurah bawa dari kantor

camat dan kantor pos’

Rangkaian konstruksi turunan dari klausa dasar sebelumnya seperti ditandai dengan b di atas adalah konstruksi sintaktis yang lazim adanya dalam BM. Proses gramatikal yang terjadi pada klausa dasar adalah: (i) unsur (konstituen) FN yang terletak pada

posisi setelah verba ditempatkan pada posisi awal klausa, mendahului FN subjek gramatikal;

(ii) pemarkah diatesis aktif dan pasif (morfologis) pada verbanya lesap sehingga verba itu muncul dalam konstruksi zero (bentuk dasar). Jika pemarkah morfologis verbanya dipertahankan maka klausa tersebut tidak berterima secara gramatikal (lihat contoh-contoh yang ditandai dengan c di bawah ini);

(iii) tataurutan kata klausa tersebut berubah menjadi O – S – V;

(iv) unsur FN yang ditempatkan pada posisi awal (dikedepankan) itu adalah unsur argumen inti klausa, bukan unsur feriferal atau berelasi oblik;

(v) ada pergeseran struktur informasi yang dibawa oleh konstruksi tersebut secara semantis dan pragmatis, yakni ada penonjolan topik pembicaraan, namun FN yang ditonjolkan itu tidak sampai pada kedudukan sebagai subjek gramatikal.

Sesuai dengan kerangka teori yang

dipaparkan di atas dan yang digunakan dalam penelitian ini, konstruksi gramatikal turunan seperti ditandai (b) di atas merupakan konstruksi

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 86

pentopikalan (FN yang ditopikkan diberi tanda –TOP) secara gramatikal dalam BM (lihat Gundel 1988; Lambrecht 1996; Artawa 2004). Konstruksi ini dianggap turunan karena merupakan perubahan dari konstruksi dasar klausa BM. Namun, berbeda dari konstruksi pasif yang murni bersifat gramatikal, konstruksi pentopikalan dipengaruhi oleh fungsi-fungsi pragmatis (dan fungsional) pada tataran sintaksis. Struktur klausa pentopikalan cukup khas karena adanya perpindahan konstituen, perubahan tataurutan kata, dan pelesapan pemarkah morfologis. Jika pemarkah morfologisnya dipertahankan pada konstruksi seperti itu, klausa itu tidak berterima secara gramatikal. Dengn demikian, konstruksi pentopikalan berikut ini (ditandai dengan c) tidak berterima dalam BM karena pemarkah morfologis pada verbanya dipertahankan. (1c) *Sarok Mak Itam mam-baka di balakang

rumah. (2c) *Kaluarga miskin patugas kacamatan man-

data di tiok kampuang. (3c) *Dana kompensasi BBM Pak Malinin ma-

narimo siang tadi. (4c) *Urang se Dauih ma-nyuruah dari tadi. (5c) *Barito Pak Lurah Mam-bao dari kantua

camat jo kantua pos.

Dilihat secara gramatikal hanya ada satu jenis pentopikalan dalam BM, yaitu pentopikalan FN yang bukan topik menjadi topik klausa melalui proses gramatikal. Jika dibandingkan dengan pemasifan, pentopikalan tidak sampai pada proses penciptaan subjek gramatikal baru (sebagai hasil dari proses gramatikal). Pada pemasifan FN objek pada klausa dasar dinaikkan ke posisi subjek klausa turunan (pasif)nya dan subjek klausa dasar turun ke relasi oblik. Pada pentopikalan, FN yang ditopikkan hanya berfsungsi sebagai topik (secara pragmatis) dan tidak sampai pada tataran sebagai subjek gramatikal klausa turunan tersebut. Meskipun konstruksi pentopikalan merupakan turunan, secara semantis ada perbedaan struktur informasi (kemasan makna) yang dibawanya jika dibandingkan dengan konstruksi dasarnya. Konstruksi ini juga menyiratkan bahwa tatabahasa BM mempunyai sesuatu yang dapat dikaitkan dengan budaya berbahasa masyarkat penuturnya. Hal ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Pada pentopikalan, peran subjek gramatikal yang dimiliki oleh FN pada klausa dasarnya tidak tergantikan. Hanya saja perannya sebagai topik digantikan oleh FN yang pada konstruksi dasarnya bukan topik. Dengan kata lain, kadar orientasi “keobjekan-kepasienan” konstruksi pentopikalan tidak sekuat yang terjadi pada

pemasifan. Perhatikan konstruksi pentopikalan yang diturunkan dari klausa dasar yang sama. (6) Pagede anak-anak mudo jua di ateh

oto. pegedel-TOP anak-anak muda jual di atas

mobil ‘Pegedel anak-anak muda jual di atas mobil’ (7) Aia alah kami minum sagaleh duo

galeh. air-TOP telah PRO1JM minum segelas dua

gelas ‘Air telah kami minum segelas dua gelas’ (8) Rapek katua pamuda pimpin malam tu. rapat-TOP ketua pemuda pimpin malam ART ‘Rapat ketua pemuda pimpin malam itu’

FN anak-anak mudo, kami, dan katua

pamuda pada (6), (7), dan (8) tetap mempunyai sifat-perilaku subjek gramatikal. Akan tetapi, perannya sebagai topik yang dimiliki pada konstruksi dasar telah digantikan oleh FN yang mendahuluinya. FN tersebut pada konstruksi klausa dasar adalah bukan topik. Dengan demikian, struktur informasi kebahasaan yang dibawa oleh konstruksi pentopikalan memberikan isyarat semantis dan pragmatis bahwa peran subjek gramatikal sebagai agen tetap ada meskipun fungsinya secara pragmatis sebagai topik telah hilang. Dengan demikian, konstruksi pentopikalan berada di antara konstruksi klausa dasar (yang menonjolkan peran agen dan subjek sekaligus) dan konstruksi pasifnya (yang menggantikan kedudukan subjek dan topik dengan FN baru yang sebelumnya bukan subjek atau topik).

Informasi dari para informan melalui wawancara mendalam dan hasil pencermatan tim peneliti terhadap sifat-perilaku gramatikal BM dalam peristiwa bahasa yang terjadi mengantarkan tim peneliti kepada kenyataan bahwa makna dan fungsi bahasa yang dibawa oleh klausa konstruksi pentopikalan lebih santun dan lebih menyentuh jika dibandingkan dengan penggunaan konstruksi klausa dasar (aktif) atau konstruksi pasif. Jika dibandingkan aspek makna dan emosional yang dibawa oleh konstruksi dasar (aktif) dan konstruksi turunan (pasif dan pentopikalan) dapat dikemukakan bahwa penggunaan konstruksi klausa dasar bersifat netral dan tidak mempunyai aspek emosional santun secara budaya. Struktur informasi yang dibawa oleh klausa dasar BM merupakan kemasan makna ”datar” dan apa adanya. Secara budaya dan emosional, konstruksi klausa dasar digunakan untuk membuat ungkapan (pernyataan) yang tidak mempunyai nilai santun, hormat, atau merendah diri. Klausa dasar, yang secara tipologi gramatikal adalah konstruksi

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 87

nominatif-akusatif dan berdiatesis aktif, mengemas struktur informasi kebahasaan apa adanya dan menonjolkan pelaku perbuatan.

Hubungan timbal balik yang cukup kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia menjadi temuan baru penelitian ini yang dapat digunakan untuk memperkuat sekaligus memberikan ide tambahan terhadap teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf yang sudah ada. Sejauh ini, teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf telah menyatakan dengan tegas adanya keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran. Penelitian ini memperkuat pernyataan itu bahwa ada keberhubungan yang cukup kuat dan timbal balik antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Adanya keberhubungan timbal balik dan cukup kuat itu mempunyai tiga konsekuensi logis, yaitu (1) keberhubungan antara bahasa, budaya, dan

pikiran tidak bersifat acak atau sewaktu-waktu, melainkan terjadi secara sistematis, logis, dan sepanjang waktu;

(2) keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran tidak bersifat satu arah, melainkan aneka arah;

(3) perkembangan bahasa, budaya, dan pikiran manusia berjalan beriringan dan terjadi secara alami.

4.2 Pentopikalan dan Kesantunan Berbahasa

dalam Budaya Minangkabau Secara gramatikal, pentopikalan merupakan proses morfosintaksis yang mendapat pengaruh pragmatis. Dengan kata lain, pentopikalan merupakan proses gramatikal-fungsional yang terjadi pada tataran sintaksis. Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, pada pentopikalan terjadi pergeseran fungsi pragmatis topik klausa yang terjadi melalui proses gramatikal; perubahan tata urutan kata dan pelesapan pemarkah morfologis pada verbanya. Jika pada pemasifan terjadi pergeseran relasi gramatikal, peran semantis, dan fungsi pragmatis, pada pentopikalan tidak semua peran dan fungsi tersebut yang bergeser. Relasi gramatikal subjek klausa dasar tidak berubah pada konstruksi pentopikalan. Artinya, proses pentopikalan tidak menurunkan/menggeser relasi gramatikal subjek menjadi relasi gramatikal atau peran semantis lain. Yang terjadi pada pentopikalan adalah pergeseran topik. Unsur-unsur klausa yang bukan topik pada klausa dasar diangkat menjadi topik dan ditempatkan pada awal klausa (turunan) pentopikalan tersebut. Pentopikalan FN yang bukan topik (pada klausa dasar) menyebabkan terjadinya perubahan tataurutan kata, pelesapan

pemarkah morfologis pada verbanya, dan perubahan topik klausa. Meskipun terjadi pergeseran topik, FN yang pada klausa dasar adalah subjek gramatikal tetap menjadi subjek pada klausa turunan pentopikalan.

Berdasarkan penjelasan ini, pentopikalan itu membawa struktur informasi yang berbeda dari pemasifan. Secara semantis, pentopikalan tidak menghilangkan peran agen klausa yang bersangkutan. Peran agen dan subjek gramatikal FN tertentu pada klausa dasar tidak hilang, hanya perannya sebagai topik yang tergeser. Konstruksi ini secara tipologis dan semantis berada di antara klausa dasar (akusatif-aktif) dan klausa pasifnya. Pentopikalan membawa makna penonjolan topik pembicaraan, bukan penonjolan agen (pelaku) atau penonjolan objek (pasien). Dapat pula dikatakan bahwa konstruksi pentopikalan merupakan konstruksi pertengahan, baik secara gramatikal maupun secara semantis-pragmatis. Pilihan klausa pentopikalan dalam peristiwa bahasa, secara serta merta, menunjukkan penempatan posisi penutur (atau sesuatu yang disampaikan) sebagai topik yang dibicarakan. Secara psikologis dan budaya bahasa, penutur yang menggunakan konstruksi pentopikalan berada pada posisi tidak menonjolkan diri.

Selain mampu membedakan dua kutub yang bertolak belakang, budaya Minangkabau juga memperlihatkan kebiasaan ”menyamarkan” atau “menyelimuti” keadaan yang memang perlu “disamarkan” atau “diselimuti”. Orang Minangkabau sering bertindak dan berprilaku ”pertengahan”, di antara menonjolkan diri dan tidak menonjolkan diri. Malah kadang-kadang budaya seperti ini memiliki nilai arif-bijaksana dan santun. Kearifan dan kesantunan berprilaku menurut budaya alam Minangkabau ditunjukkan oleh kemampuan diri untuk berada di antara dua kutub ekstrim. Budaya seperti ini tercermin dengan adanya konstruksi pentopikalan yang sifat-prilaku gramatikal dan fungsionalnya telah dipaparkan pada uraian terdahulu.

Budaya dan pola pikir orang Minangkabau yang pada satu kesempatan dapat berpindah menonjolkan diri (ego), pada kesempatan lain menyembunyikan diri (menyembunyikan pelaku), dan pada kejadian lain lagi menempatkan diri hanya sebagai topik (bukan agen dan bukan pasien) tercermin melalui tiga konstruksi klausa dasar dan konstruksi turunannya, yakni konstruksi pasif dan konstruksi pentopikalan. Berdasarkan ini, ada keberhubungan yang erat antara budaya, masyarakat, pikiran orang Minangkabau dengan konstruksi (struktur gramatikal) bahasa yang dimilikinya. Lebih jauh

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 88

lagi, budaya orang Minangkabau yang lebih menonjolkan topik pembicaraan daripada pelaku perbuatan untuk menciptakan nilai santun dan arif secara sosial-budaya tercermin pula dari struktur klausa (ujaran) orang Minangkabau yang dapat menempatkan hampir semua relasi gramatikal di awal klausa (ujaran).

Secara sosial-budaya, masyarakat Minangkabau termasuk kelompok masyarakat yang sering mengurangi penonjolan diri (atau pelaku perbuatan) sebagai salah satu kiat berbahasa santun. Orang Minangkabau yang dikerangkai pola hidupnya oleh kerangka budaya memilih mengurangi peran agen (pelaku perbuatan) di balik topik pembicaraan untuk tujuan santun berbahasa dan merendah diri. Dengan demikian, adanya konstruksi (struktur) pentopikalan dalam tatabahasa BM memungkinkan penuturnya untuk berpikir “mengurangi” penonjolan pelaku dan “bersembunyi” dibalik apa yang menjadi topik pembicaraan untuk bersikap santun berbahasa dan budaya merendah diri, meskipun sesungguhnya dia adalah pelaku perbuatan tersebut. Secara sosial-budaya, prilaku ”tidak menonjolkan diri” dan “lebih mengutamakan topik pembicaraan” bernilai santun dan lebih menyentuh dalam peristiwa bahasa. Ini berarti bahwa sikap-prilaku pribadi (berpikir) dan bertindak-laku dalam kehidupan (dalam hal ini tindak laku berbahasa) tercermin dan berhubungan erat dengan adanya konstruksi (struktur gramatikal) pentopikalan. 5. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengkajian data kebahasaan dan informasi sosial-budaya (berbahasa) yang dilakukan ternyata teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf dapat diterima. Keberterimaan teori dan hipotesis yang sudah begitu dikenal dalam sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan itu cukup berarti dan kuat. Artinya, teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf bersesuaian dan didukung oleh data kebahasaan (pentopikalan) BM.

Hasil pengkajian data kebahasaan dan informasi budaya berbahasa yang terkumpul menunjukkan bahwa urutan kesantunan berbahasa berdasarkan konstruksi gramatikal BM dapat digambarkan sebagai berikut:

Konstruksi (dasar) < Konstruksi (turunan) < Konstruksi (turunan)

Aktif Pasif Pentopikalan

Urutan kesantunan di atas dapat dijelaskan bahwa pemakaian klausa berkonstruksi dasar-aktif lebih rendah nilai kesantunannya dari pada konstruksi pasif, dan konstruksi pentopikalan lebih santun dari pada konstruksi pasif.

Berterimanya teori relativitas lingusitik dan hipotesis Sapir-Whorf berdasarkan data konstruksi pentopikalan dalam BM dan termuatnya makna budaya santun berbahasa dalam kemasan struktur informasi pentopikalan tersebut merupakan temuan penting penelitian ini. Meskipun demikian, temuan dan simpulan ini perlu dicermati lebih jauh dan ditindaklanjuti agar diperoleh simpulan yang kuat dan logis. Untuk itu, kepada para pemerhati, ahli, dan peneliti bahasa disarankan untuk menindaklanjuti penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Artawa, I Ketut. 2004. Baliness Language: A

Typological Description. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.

Comrie. Bernard. 1988. ‘Linguistic Typology’

dalam F. J. Newmeyer (editor). Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. 1: 447 – 467. Cambridge: Cambridge University Press.

Comrie, Bernard. 1983. 1989. Language

Universals and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell Publishers Limited.

Croft, William. 1993. Typology and Universals.

Cambridge: Cambridge University Press. Cruse, D. Allan. 2000. Meaning in Language: An

Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Dixon, R. W. M. 1994. Ergativity. Cambridge:

Cambridge University Press. Duranti, Allessandro. 1997. Linguistic

Anthrophology. Cambridge: Cambridge University Press.

Foley, William A. 1997. Anthrophological

Linguistics. Oxford: Blackwell, Ltd. Givon,. T. 1984. Syntax: A Functional Typological

Introduction. Vol. 1. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Givon, T. 1990. Syntax: A Functional Typological

Introduction. Vol. 2. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Gundel, Jeanette K. 1988. The Role of Topic and

Comment in Linguistic Theory. New York: Garland Publishing, Inc.

❏ Jufrizal ❏ Zul Amri ❏ Refnaldi

Hipotesis Sapir-Whorf, Pentopikalan, dan Kesantunan Berbahasa dalam

Bahasa Minangkabau

Halaman 89

Jufrizal. 2004. “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau” (disertasi doktor belum terbit). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Jufrizal. 2005. ‘Konstruksi Zero Bahasa

Minangkabau: Pasif, Pentopikalan, atau Ergatif?’ (makalah disajikan pada Seminar Nasional PLU-4; 13 – 14 September 2005). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Kramsch, Claire. 2001. Language and Culture.

Oxford: Oxford University Press. Kroeger, Paul R. 2004. Analyzing Syntax: A

Lexical Functional Approach. Cambridge: Cambrdige University Press.

Lambrecht, Kund. 1996. Information Structure

and Sentence Form: Topic, Focus, and the Mental Representations of Discourse Referents. Cambridge: Cambridge University Press.

Mallinson, Graham dan Barry J. Blake. 1981. Language Typology: Cross-Cultural Communication. (2nd ed.). Amsterdam: North-Holland Publishing Company.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik

Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Press.

Wardaugh, Ronald. 1988. An Introduction to

Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Wierzbicka, Anna. 1994. ‘Cultural Scripts: A New

Approach to the Study of Cross-Cultural Communication’ dalam Putz, Martin. 1994. Language Contact and Language Conflicts. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

Yule, George. 1998. Pragmatics. Oxford: Oxford

University Press.

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 90

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA

Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Mulyadi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This article discusses behaviour of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By using syntactic typological approach, the research purpose is to describe the sentence types in bahasa Indonesia. The results of the research show that bahasa Indonesia has syntactic ergativity properties because they allow the deletion of coreferencial argument if their functions are as patient and subject. But bahasa Indonesia also has the syntactic accusative properties because argument of deleted intransitive clauses coreference with agent. Key words: coordination sentences, syntactic typologies, syntactic argument, coreferencial

relations

1. PENGANTAR Konstruksi sintaktis sebuah bahasa pada dasarnya dibentuk oleh tiga primitif gramatikal-semantis (Song, 2001:40-41) atau tiga relasi inti dasar (Dixon, 1989). Ketiga primitif itu terdiri atas subjek (S) klausa intransitif, agen (A) atau subjek logis klausa transitif, dan pasien (P) atau objek logis klausa transitif. Dalam kajian tipologi bahasa, menurut Song (2001:40-41), ketiga primitif itu berguna dalam pembahasan pemarkah kasus, terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa,1 misalnya apakah sebuah bahasa tergolong bertipe akusatif atau bertipe ergatif.

Di kalangan ahli bahasa (antara lain, misalnya, Fokker, 1980; Keraf, 1984, 1989; Parera, 1991; Alwi, dkk, 2000), terdapat kesamaan pandangan dalam penggolongan tipe bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa akusatif. Beberapa ahli lain, seperti Verhaar (1989) dan Artawa (1997), justru memiliki pendapat yang berbeda. Verhaar, misalnya, mengatakan bahwa bahasa Indonesia secara tipologis ‘terpisah’ atas dua tipe, yaitu tipe akusatif untuk bahasa Indonesia ragam resmi dan tipe ergatif untuk bahasa Indonesia ragam tak resmi. Artawa, dalam telaah komparatifnya atas bahasa Sasak, Bali, dan Indonesia, juga mengklaim bahwa bahasa Indonesia memiliki properti ergatif secara sintaktis.

Dalam artikel ini akan dianalisis perilaku argumen S, A, dan P pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tipe bahasa Indonesia pada tataran klausa. Pemilihan kalimat

koordinasi didasarkan atas pertimbangan bahwa tipe kalimat ini sangat cocok dengan tipologi verba-objek (VO) sebagai tipe bahasa Indonesia (lihat Purwo, 1989:351; Verhaar, 1996:288).

Korpus penelitian ini sebagian besar menggunakan data tulis.2 Perilaku S, A, dan P pada kalimat koordinasi dikumpulkan dari berbagai sumber seperti novel, cerita pendek, surat kabar. Metode reflektif-instrospektif juga diterapkan untuk membangkitkan data intuitif. Semua data selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan kesamaan perilaku argumennya. Untuk menguji perilaku argumen sintaktis itu diterapkan teknik pengujian kepivotan,3 yang dianggap sangat tepat untuk dipraktikkan pada bahasa-bahasa yang memiliki pemarkahan sintaktis pada argumennya, seperti halnya bahasa Indonesia.

2. KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Untuk kepentingan analisis, ada dua konsep perlu dibatasi, yakni kalimat koordinasi dan susunan beruntun. Kalimat koordinasi merujuk pada aliansi dua klausa atau lebih dalam hubungan yang setara (lihat Verhaar, 1996:282; Alwi, dkk, 2000:386). Aliansi itu dapat terjadi melalui penggunaan konjungsi, seperti pada (1) atau penggunaan tanda koma, seperti pada (2). Dalam bahasa Indonesia dua klausa itu biasanya dihubungkan oleh konjungsi yang bermakna aditif (mis., dan, lalu, kemudian), kontrastif (mis., [te]tapi, sedang[kan], namun), dan alternatif (mis., atau). Jika aliansinya

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 91

menggunakan tanda koma, hubungan antarklausa ditafsirkan secara semantis. (1) Ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan

bebas. [Nayla, 2005] (2) Ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak.

[RSK, 1996:23]

Dalam ‘pohon biologis’, dua konstituen kalimat (K) atau lebih pada kalimat koordinasi disebut sebagai ‘anak’ dan ko-inti dari K yang lebih tinggi (Kroeger, 2004:40). Klausa ‘anak’ itu masing-masing mempunyai struktur internal yang mandiri pada sebuah kalimat kompleks. Dalam kalimat koordinasi yang terdiri atas aliansi dua klausa, FN subjek dapat dilesapkan dari klausa kedua apabila berkoreferensi dengan subjek dari klausa pertama. Misalnya, kedua klausa pada kalimat koordinasi pada (1) dan (2) di atas mempunyai subjek yang sama sehingga subjek dari klausa kedua dapat dilesapkan, yang ditandai dengan [ ]. Struktur kalimat koordinasi pada (1) dan (2) digambarkan pada (3).

(3) K K Konj K ia bisa datang dan [ ] pergi kapan saja dengan bebasia telentang di ranjangnya [ ] enggan bergerak

Susunan beruntun mengacu pada

penggolongan bahasa-bahasa yang didasarkan pada tiga konstituen utama, yaitu S, V, dan O. Dalam hal ini, S mengacu pada entitas yang mengawali tindakan, O merujuk pada entitas yang menjadi sasaran tindakan, dan V adalah tindakan itu sendiri. Menurut Song (2001:49), ada enam permutasi yang logis—yang disebut susunan beruntun dasar, yang direalisasikan pada bahasa-bahasa di dunia, yakni SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Song (2001:138) menambahkan bahwa fungsi utama dari susunan beruntun dasar pada tingkat klausa ialah untuk menunjukkan ‘siapa melakukan sesuatu (X) pada siapa’.

Bahasa Indonesia dalam beberapa literatur digolongkan bersusunan SVO (periksa Sudaryanto, 1983; Purwo, 1989:351). Pola susunan ini dengan mudah dapat diterangkan dengan membandingkan contoh (4) dan (5) di bawah. Peran semantis FN perampok itu dan polisi pada (4) berbeda dengan peran semantis FN yang sama pada (5) kendatipun kedua kalimat ini memuat kata dan konstituen yang sama. Dengan peran yang dimaksud, hubungannya berlaku antara FN dan verba, dan juga antara FN itu sendiri. Lebih jelasnya, pada (4) perampok itu adalah agen

dan polisi adalah pasien, sementara pada (5), polisi adalah agen dan perampok itu adalah pasien. (4) Perampok itu menembak polisi. (5) Polisi menembak perampok itu.

Perbedaan dalam peran FN dalam kalimat (4) dan (5) ditandai secara langsung oleh perbedaan dalam penempatan FN. FN praverbal ditafsirkan sebagai ‘orang yang membawa tindakan penembakan’, sedangkan FN posverbal dipahami sebagai ‘orang yang menjadi korban tindakan penembakan’. Peran FN ditafsirkan begitu karena bahasa Indonesia memiliki mekanisme gramatika yang melibatkan bentuk-bentuk morfologis untuk mengekspresikan peran semantis atau relasi gramatikal FN pada sebuah klausa. Bentuk-bentuk morfologis itu biasanya direalisasikan dalam bentuk afiks dan sebagai pemarkah pada verba yang merupakan unsur sentral pada sebuah klausa.

2.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan ancangan tipologi sintaksis. Dalam kajian tipologi sintaktis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaktis berikut: (6) S = argumen subjek kalimat intransitif A = argumen agen kalimat transitif P = argumen pasien kalimat transitif

Relasi S, A, dan P di atas secara eksplisit menerangkan jumlah argumen yang hadir pada sebuah klausa. Pada klausa intransitif hanya hadir satu argumen (S), tetapi pada klausa transitif terdapat dua argumen, A dan P. Penetapan tipe sebuah bahasa, akusatif atau ergatif, mengacu pada perilaku sintaktis A dan P. Artinya, dari argumen A dan P dipilih satu argumen yang berperilaku sintaktis sama dengan argumen S pada klausa intransitif. Apabila argumen A berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen P, bahasa itu digolongkan bertipe akusatif. Sebaliknya, sebuah bahasa bertipe ergatif apabila argumen P berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen A. Perbedaan kedua tipe bahasa ini dapat digambarkan sebagai berikut. (7) akusatif ergatif S S A P A P

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 92

Contoh bahasa yang memiliki properti ergatif secara sintaktis adalah bahasa Dyirbal, sebuah bahasa Aborigin di Australia. Dalam bahasa Dyirbal, dua jenis klausa dapat dikoordinasikan jika kedua FN-nya berfungsi sebagai P dan S. Argumen yang berkoreferensi pada klausa kedua biasanya dilesapkan. (8) Marri Jani-nggu bura-n nyina-nyu. Mary (P) John-ERG see-NONFUT sit down-NONFUT

Pada contoh (8), S pada klausa intransitif

tidak dinyatakan secara eksplisit. Pada kalimat ini, S ditafsirkan secara sintaktis berkoreferensi dengan P (Mary) pada klausa transitif yang mendahuluinya. Jadi, bahasa Dyirbal mengizinkan penghilangan argumen yang berkoreferensi dalam struktur kalimat koordinasi jika masing-masing berfungsi sebagai P dan S.

Fakta gramatikal yang diterangkan di atas berbeda dengan bahasa yang bertipe akusatif, seperti bahasa Inggris. Pada kalimat (9) konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua, yang disimbolkan dengan [ ], adalah S yang ditafsirkan berkoreferensi dengan A pada klausa pertama, dan bukan dengan P. Dengan kata lain, dalam bahasa Inggris A berperilaku sama dengan S sehingga digolongkan sebagai bahasa akusatif.

(9) John (A) saw Mary (P) and [ ] sat down. 3. INTERPRETASI TIPOLOGIS

BAHASA INDONESIA Interpretasi terhadap relasi S, A, dan P berbasis pada tipe-tipe aliansi klausa yang membentuk kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Dengan mengamati hubungan koreferensi yang terjadi pada ketiga argumen tersebut, seperti yang diringkas pada Tabel 1, berikut ini diterangkan interpretasi tipologis pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tabel 1. Tipe aliansi klausa pada kalimat koordinasi

Bahasa Indonesia Tipe Klausa I Klausa II Hubungan

Koreferensi I Intransitif Intransitif S1 = S2 II Intransitif Transitif S1 = P2

S1 = A2 III Transitif Intransitif P1 = S2

A1 = S2 IV Transitif Transitif P1 = P2

A1 = A2 P1 = A2 A1 = P2

P1 = P2 dan A1 = A2 P1 = A2 dan A1 = P2

3.1 Intransitif-Intransitif S1 = S2 (10) Dan laki-laki itu melangkah dengan tenang ke

muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah. [RSK, 1996:64]

(11) Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. [RSK, 1996:15]

Kalimat koordinasi pada (10) dan (11)

dibentuk oleh dua klausa intransitif yang kedua argumen S-nya berkoreferensi. Pada (10), FN subjek kepalanya pada klausa kedua mengacu pada FN subjek laki-laki itu pada klausa pertama. Begitu pula, pada (11) FN subjek mereka pada klausa kedua merujuk pada FN subjek anak cucu kami itu pada klausa pertama. Namun, layak dicatat di sini bahwa kekoreferensialan dalam bahasa Indonesia tidak selalu direalisasikan oleh relasi antarkonstituen, tetapi bisa juga oleh relasi konstituen dengan klausa, seperti diilustrasikan pada (12). (12) a. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri

di Karangasem terus bertambah dan itu cukup memprihatinkan. [BP]

b. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan [korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan.

c. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan [penambahan terus korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan. Pada contoh (12b), pronomina itu sebagai

argumen S pada klausa kedua secara semantis kurang tepat ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen S pada klausa pertama. Munculnya keprihatinan (masyarakat) tidak semata-mata dikarenakan adanya korban tewas bunuh diri, tetapi lebih disebabkan terjadinya penambahan jumlah korban, seperti pada (12c). Dalam bahasa Indonesia, hubungan anaforis ini dimungkinkan sebab pronomina demonstratif seperti itu, dan juga pronomina yang lain seperti ini dan demikian, dapat mengacu pada tataran di atas konstituen, seperti klausa, kalimat, atau paragraf.

Apabila dua argumen S yang referensial digabungkan ke dalam sebuah kalimat koordinasi, argumen S pada klausa kedua dapat dilesapkan. Sebagai contoh, S2 pada (13) dan (14) dapat dilesapkan karena berkoreferensi dengan S1, yakni FN Om Indra pada (13) dan FN terdakwa pada (14). Ditafsirkan seperti itu sebab tidak ada argumen S lain yang hadir pada kalimat itu. Jadi, satu-satunya argumen yang dapat mengisi slot

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 93

yang ditinggalkan S2 adalah argumen S yang mendahuluinya, yaitu S1. (13) Om Indra tinggal di rumah dan [ ] tidur di

kamar ibu. [Nayla, 2005:96] (14) Terdakwa mengaku tidak bersalah dan [ ]

tidak menyesal terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. [BP]

Mengingat hubungan koreferensi dapat

terjalin antara konstituen dan klausa pada kalimat koordinasi, seperti pada (12), implikasinya adalah bahwa argumen S2 yang lesap juga dapat diinterpretasikan berkoreferensi dengan klausa, bukan dengan sebuah konstituen. Dengan tes sintaktis berikut, contoh (15) menunjukkan bahwa S2 lebih tepat berkoreferensi dengan sebuah klausa, seperti pada (15c), daripada berkoreferensi dengan sebuah konstituen, seperti pada (15b). (15) a. Ompi bertanya dengan suara yang

mendesis, tapi [ ] terburu-buru berdesakan keluar. [RSK, 1996:26]

b. *Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [Ompi] terburu-buru berdesakan keluar.

c. Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [pertanyaan Ompi] terburu-buru berdesakan keluar.

Dapat disimpulkan bahwa pelesapan S2

pada tipe kalimat koordinasi ini dapat diizinkan jika dua argumen S-nya referensial dan S2 yang dilesapkan tidak mutlak berkoreferensi dengan konstituen, tetapi dapat juga dengan klausa. 3.2 Intransitif-Transitif a) S1 = P2 (16) a. Dia masuk ke dalam dan saya

mengintipnya dari lobang kunci. b. *Dia masuk ke dalam dan saya

mengintip [ ] dari lobang kunci (17) a. Temanku baik-baik, tapi aku suka

menjahili mereka. b. *Temanku baik-baik, tapi aku suka

menjahili [ ].

Kekoreferensialan argumen S dan P tampak pada contoh (16a) dan (17a). Argumen P pada klausa kedua tidak boleh dilesapkan langsung sebab akan terbentuk kalimat yang tidak gramatikal, seperti pada (16b) dan (17b). Untuk melesapkan argumen P, klausa kedua harus dipasifkan. Dengan mekanisme ini, P akan berpindah ke slot subjek pada struktur derivasi dan pada gilirannya dapat ‘diakses’ oleh argumen S klausa intransitif. Dalam kalimat (16c) dan (17c) di

bawah ini, pemasifan klausa transitif ditandai verbanya yang tidak bermarkah.

(16) c. Dia masuk ke dalam dan [ ] saya intip

dari lobang kunci. (17) c. Temanku baik-baik, tapi [ ] suka aku

jahili.

Begitu juga: (18) Alam di luar menghijau dan [ ] disungkup

oleh awan yang memutih di langit. [RSK, 1996:55]

(19) Ia kini jadi lemah dan [ ] sempoyongan oleh pukulan itu. [RSK, 1996:59]

Struktur pasif pada kedua contoh di atas

berbeda. Pada (18), verba pasifnya dimarkahi oleh afiks –di. Pada (19), verba pasifnya tidak bermarkah, seperti pada (16c) dan (17c). Oleh sebab itu, untuk contoh (19) perlu sedikit catatan dalam menandainya sebagai struktur pasif. Identifikasi (19) sebagai kalimat pasif didasarkan pada ciri semantis predikatnya dan ciri semantis ini diperjelas pula dengan hadirnya FN pukulan itu yang ditafsirkan berperan sebagai agen. Tes sintaktis berikut memperkuat argumentasi ini.

(18) a. Alam di luar menghijau dan awan yang

memutih di langit menyungkup alam. (19) a. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu

menyempoyongkannya. b. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu

membuatnya sempoyong.

Perubahan struktur pasif menjadi struktur aktif, seperti pada (18a) dan (19a-b), memperlihatkan bahwa argumen yang dilesapkan pada klausa kedua adalah P, dan argumen ini berkoreferensi dengan argumen S pada klausa pertama. Dengan demikian, pada tipe kalimat koordinasi ini, perilaku S dan P sama dan merupakan ciri-ciri keergatifan sintaktis dalam bahasa Indonesia. b) S1 = A2 (20) Lena tertegun dan matanya melihat anak

dalam gendongan itu. [RSK, 1996:86] (21) Kemudian aku duduk di sampingnya dan

aku jamah pisau itu. (RSK, 1996:8)

Argumen S pada klausa pertama dan argumen A pada klausa kedua dapat berkoreferensi. Pada (20), A2 yang berupa FN matanya berkoreferensi dengan S1 Lena; pada (21), A2 yang berupa FN aku berkoreferensi dengan S1 dengan jenis FN yang sama. Namun,

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 94

struktur kedua kalimat itu berbeda. Pada (20), klausa keduanya dalam bentuk aktif, sedangkan pada (21) klausa keduanya dalam bentuk pasif. Fakta gramatikal ini seolah-olah memberi indikasi bahwa pelesapan A2 dapat terjadi, baik klausa keduanya aktif maupun pasif. Sekarang pertimbangkan contoh ini. (22) Mereka mandi dan [ ] mencuci pakaian

bergantian di sana. (Nayla, 2005:15) (23) Lama baru orang tahu dan [ ] memapahnya

ke ranjangnya di kamar. (RSK, 1996:24)

Pelesapan A2 pada (22) dan (23) terjadi pada klausa aktif. Pertanyaannya adalah apakah A2 dapat dilesapkan jika struktur klausa keduanya adalah pasif? Untuk mengetahuinya, struktur klausa kedua pada (22) dan (23) dipasifkan, menjadi (22a) dan (23a). Hasilnya adalah kalimat yang tidak gramatikal. (22) a. *Mereka mandi dan [ ] dicuci pakaian

bergantian di sana. (23) a. *Lama baru orang tahu dan [ ]

dipapahnya ke ranjangnya di kamar.

Fakta ini menunjukkan bahwa pada tipe koordinasi ini pelesapan A hanya dibolehkan apabila klausa kedua berstruktur aktif. Sebaliknya, A mesti dimunculkan jika klausa keduanya dalam bentuk pasif. Karena A klausa transitif berperilaku sama dengan S klausa intransitif, bahasa Indonesia memperlihatkan properti akusatif secara sintaktis. 3.3 Transitif-Intransitif a) P1 = S2 (24) Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat

bersembahyang. (RSK, 1996:16) (25) Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi

kau malas. (RSK, 1996:15)

Petunjuk gramatikal yang ditawarkan oleh kedua contoh di atas adalah bahwa argumen P klausa transitif dan argumen S klausa intransitif berkoreferensi apabila klausa transitifnya berstruktur pasif. Namun, ada fakta sintaktis lain bahwa dalam hubungan koreferensi antara argumen P dan S, pelesapan S klausa intransitif dapat dibenarkan, baik klausa pertamanya berstruktur aktif maupun berstruktur pasif. Misalnya, (26) a. Saya melihat dia minggu lalu dan kini [ ]

menghilang. b. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [ ]

menghilang.

(27) a. Ibu baru saja memasak nasi dan [ ] masih hangat.

b. Nasi baru saja dimasak ibu dan [ ] masih hangat.

Pada (26), FN dia sebagai P pada klausa

pertama berkoreferensi dengan argumen S yang dilesapkan pada klausa kedua. Begitu juga, FN nasi pada (27) yang merupakan P pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua. Tes sintaktis berikut membuktikan hal ini.

(26) c. Saya melihat dia minggu lalu dan kini

[dia] menghilang. d. *Saya melihat dia minggu lalu dan kini

[saya] menghilang. e. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [dia]

menghilang. f. *Dia saya lihat minggu lalu dan kini

[saya] menghilang. (27) c. Ibu baru saja memasak nasi dan [nasi]

masih hangat. d. *Ibu baru saja memasak nasi dan [ibu]

masih hangat e. Nasi baru saja dimasak ibu dan [nasi]

masih hangat. f. *Nasi baru saja dimasak ibu dan [ibu]

masih hangat. Ketidakgramatikalan (26d) dan (26f) serta

(27d) dan (27f) menegaskan bahwa bukan argumen A pada klausa pertama yang berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua, melainkan argumen P. Bertolak dari fakta gramatikal ini dapat diikhtisarkan bahwa bahasa Indonesia pada tipe koordinasi ini memperlihatkan perilaku keergatifan secara sintaktis.

b) A1 = S2 (28) a. Djenar mematikan rokoknya dan [ ]

kembali beringsut ke dalam selimut. [Nayla, 2005]

(29) a. Matanya tidak memandang suaminya, melainkan [ ] tetap menatap bulat ke daun palam. [RSK, 1996:82]

Pada dua contoh di atas, konstituen yang

dilesapkan pada klausa intransitif adalah S yang berkoreferensi dengan A, dan bukan P. Dikatakan demikian sebab tidak logis pada (28a) bahwa ‘rokok yang beringsut ke dalam selimut’ atau pada (29a) bahwa ‘suaminya yang menatap bulat ke daun palam’. Ini berarti bahwa hubungan koreferensi antara A1 dan S2 terjadi karena struktur klausa transitifnya dalam bentuk aktif. Jika klausa transitif dipasifkan, kalimatnya

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 95

menjadi tidak gramatikal, seperti pada (28b) dan (29b). Pada dua contoh terakhir ini, tidak dapat diinterpretasikan bahwa konstituen yang dilesapkan pada klausa intransitif berkoreferensi dengan argumen A klausa transitif.

(28) b. *Rokoknya dimatikan Djenar dan [ ]

kembali beringsut ke dalam selimut. (29) b. *Suaminya tidak dipandang matanya,

melainkan [ ] tetap menatap bulat ke daun palam.

Akan tetapi, jika argumen S klausa

intransitif tidak dilesapkan, klausa transitif dapat berstruktur pasif. Pada contoh (30), argumen A klausa transitif, yang dimarkahi oleh pronomina –nya, berkoreferensi dengan argumen S klausa intransitif, yang ditandai oleh FN ia. Dengan demikian, pada tipe konstruksi koordinatif ini, bahasa Indonesia memiliki properti keakusatifan secara sintaktis.

(30) Diambilnya bungkusan kainnya, lalu ia

melangkah ke pintu. (RSK, 1996:64) 3.4 Transitif-Transitif a) P1 = P2 (31) a. Ayah membaca koran, tapi ibu

merebutnya. b. *Ayah membaca koran, tapi ibu merebut

[ ]. c. Ayah membaca koran, tapi [ ] direbut

ibu. d. Koran dibaca ayah, tapi [ ] direbut ibu.

Hubungan koreferensi dua argumen P dapat terjadi pada kalimat koordinasi yang dibentuk oleh aliansi dua klausa transitif. Misalnya, pada (31a), P2 berkoreferensi dengan P1 dan kedua klausanya berstruktur aktif. Dengan struktur klausa seperti ini, pelesapan P2 tidak diizinkan, seperti pada (31b). Untuk melesapkan P2, operasi sintaktis yang dapat dilakukan adalah merevaluasi struktur klausa kedua, seperti pada (31c) atau merevaluasi struktur klausa pertama dan klausa kedua, seperti pada (31d). Jadi, pelesapan P2 hanya dimungkinkan apabila P2 menempati fungsi subjek pada struktur derivasi.

Ada data lain yang sedikit berbeda dalam memperlihatkan kekoreferensialan dua argumen P. Pada data ini, yang dilesapkan justru klausa kedua dan kalimatnya tetap berterima, seperti pada (32a). Namun, seperti halnya contoh (31b), pada contoh ini pelesapan P2 juga tidak dibolehkan apabila klausa keduanya berstruktur aktif.

(32) a. Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau kenalannya dengan menggunakan suluh. (RSK, 1996:97)

b. *Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau beberapa kelompok mencari [ ] dengan menggunakan suluh.

b) A1 = A2 (33) a. Ia mengecup kening ibu dan [ ] menjabat

tangan Nayla. [Nayla, 2005:96] b. *Kening ibu dikecupnya dan [ ] menjabat

tangan Nayla. (34) a. Dengan sigap Nayla memapah Juli

keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola [....] (Nayla, 2005:60)

b. *Dengan sigap Juli dipapah Nayla keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola.

Apabila dua argumen A referensial dan

kedua klausanya berstruktur aktif, argumen A pada klausa kedua dapat dilesapkan. Perilaku A ini dicontohkan pada (33a) (34a). Terungkap dari contoh di atas bahwa konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama. Jika klausa pertama direvaluasi, kalimatnya menjadi tidak gramatikal, seperti pada (33b) dan (34b). Apakah pelesapan A2 hanya terjadi pada klausa aktif? Untuk menjawabnya, bandingkan dengan contoh berikut. (35) a. Aku tak ingin cari kaya, [ ] bikin rumah.

[RSK, 1996:10] Pada contoh (35a) argumen A2 dilesapkan dan argumen itu berkoreferensi dengan argumen A1. Struktur kalimatnya menyerupai pasif karena verbanya tidak bermarkah. Seperti yang dikatakan oleh Artawa (1997:119), verba pada kalimat aktif secara morfologis lebih kompleks daripada verba pada kalimat pasif. Namun, pemarkah morfologis bukanlah satu-satunya paramater kepasifan. Peran semantis juga menentukan. Dalam konteks ini, kalimat (35a) tampaknya lebih tepat disebut kalimat aktif daripada kalimat pasif karena relasi agen-pasien pada kalimat tersebut begitu kuat. Dalam kalimat pasif, agen biasanya ditempatkan sebagai frasa ajung atau dihilangkan. Tambahan pula, dalam bahasa lisan yang dituliskan, ada kecenderungan untuk menghilangkan pemarkah nasal pada verba bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, struktur (35a) dapat “dinormalkan” menjadi (35b). (35) b. Aku tak ingin mencari kekayaan, [ ]

membikin rumah.

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 96

Bukti lain bahwa pelesapan A2 hanya terjadi apabila kedua klausanya berstruktur aktif diberikan pada contoh (36). Jika salah satu atau kedua klausanya pasif, kalimatnya tidak gramatikal, seperti (36a) dan (36b). Slot yang kosong pada klausa keduanya tidak dapat diisi oleh argumen A, kecuali kedua struktur klausanya diaktifkan, seperti pada (36c).

(36) a. *Dibelainya rambutku lalu [ ]

mengucapkan kata sayang. b. *Dibelainya rambutku lalu [ ] diucapkan

kata sayang. c. Dia membelai rambutku lalu [ ]

mengucapkan kata sayang. c) P1 = A2 (37) a. Orang-orang suka minta tolong

kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. [RSK, 1996:7]

b. *Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang [ ] tak pernah meminta imbalan apa-apa.

c. ?Dia suka dimintai tolong orang-orang, sedang [ ] tak pernah meminta imbalan apa-apa.

Kalimat koordinasi pada (37a) secara

eksplisit menandai kekoreferensialan argumen P, yang dimarkahi oleh -nya pada klausa pertama dan argumen A, yang dimarkahi oleh ia, pada klausa kedua. Kedua klausanya berstruktur aktif dan A2 tidak bisa dilesapkan, seperti pada (37b). Jika klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tampaknya memungkinkan dalam bahasa Indonesia. Namun, sebagai pembanding, cermati contoh (38).

(38) a. Tidak pernah aku melihat kakek begitu

durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. [RSK, 1996:8]

b. *Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu.

c. Tidak pernah kakek kulihat begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu.

Contoh (38a) dengan jelas

memperlihatkan P1 dan A2 berkoreferensi. Seperti halnyacontoh (37b), pada struktur kalimat seperti ini, A2 juga tidak dapat dilesapkan. Pelesapan A2 diizinkan apabila klausa pertama dipasifkan, seperti pada (38c). Jadi, untuk tipe koordinasi ini,

bahasa Indonesia menunjukkan ciri-ciri keakusatifan secara sintaktis.

d) A1 = P2 (39) Anak itu mengacungkan tangannya lalu dia

diminta guru untuk menjawab. (40) Dia membezuk kakak di rumah sakit, tapi ibu

malah memarahinya.

Kalimat koordinasi sebagai aliansi dua klausa transitif memberi alternatif untuk argumen A pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen P pada klausa kedua. Pada (39), anak itu sebagai A berkoreferensi dengan dia sebagai P, sementara pada (40) dia sebagai A berkoreferensi dengan –nya sebagai P. Pada kedua contoh tersebut, A2 dapat dilesapkan, seperti pada (39a) dan (40a). Apabila struktur klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tidak diizinkan, seperti pada (39b) dan (40b). Karena kesamaan perilaku argumen A dan P, properti keakusatifan terlihat pada tipe koordinasi ini. (39) a. Anak itu mengacungkan tangannya lalu

[ ] diminta guru untuk menjawab. b. *Tangannya diacungkan anak itu lalu [ ]

diminta guru untuk menjawab. (40) a. Dia membezuk kakak di rumah sakit,

tapi [ ] malah dimarahi ibu. b. Kakak dibezuknya di rumah sakit, tapi

[ ] malah dimarahi ibu. e) P1= P2 dan A1 = A2 (41) a. Seorang gadis perawat menghampirinya

dan [ ] merebahkannya lagi. [RSK, 1996:105]

b. *Seorang gadis perawat menghampirinya dan dia merebahkan [ ] lagi.

Kalimat koordinasi dapat dibentuk oleh

dua FN yang sama, yang menggambarkan hubungan koreferensi di antara argumennya. Pada (41a), argumen P pada kedua klausa transitif itu berkoreferensi, yang direalisasikan oleh pronomina –nya. Begitu juga, argumen A pada klausa pertama dan klausa kedua berkoreferensi, yang direalisasikan pada klausa pertama oleh FN seorang gadis perawat, sedangkan pada klausa kedua argumen tersebut dilesapkan. Jadi, A2 dapat dilesapkan pada klausa yang berstruktur aktif. Jika argumen P2 yang dilesapkan, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (41b).

Patut dicatat bahwa argumen P2 juga dapat dilesapkan apabila kalimatnya berstruktur pasif. Perilaku argumen ini diilustrasikan pada (42a). Slot kosong pada klausa kedua adalah milik argumen P dan hal itu bisa dirujuk pada argumen P

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 97

pada klausa pertama, yang direalisasikan oleh FN air itu. Sementara itu, pelesapan argumen A pada klausa kedua mengalami kegagalan sebab argumen ini tidak dapat diinterpretasikan berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama, seperti pada (42b). (42) a. Ditampungnya air itu dengan kedua

telapak tangannya, lalu [ ] dibawanya ke mulutnya. (RSK, 1996:99)

b. *Ditampungnya air itu dengan kedua telapak tangannya, lalu air itu dibawa [ ] ke mulutnya.

Dari gambaran ini dapat disimpulkan

bahwa pelesapan argumen A atau P pada klausa kedua bergantung pada diatesis kalimatnya. f) P1 = A2 dan A1 = P2 (43) a. Dia menipu saya dan saya tidak

mencurigainya. b. *Dia menipu saya dan saya tidak

mencurigai [ ]. c. *Dia menipu saya dan [ ] tidak

mencurigainya.

Konstruksi (43a) menggambarkan tipe koreferensi yang lain pada dua FN yang sama. FN yang sama itu adalah argumen A (= dia) pada klausa pertama dan argumen P (= -nya) pada klausa kedua dan kemudian argumen P (= saya) pada klausa pertama dan argumen A (= saya) pada klausa kedua. Dalam struktur aktif seperti ini, baik A2 maupun P2 tidak dapat dilesapkan, seperti terlihat pada (43b) dan (43c). Untuk melesapkan A2 ataupun P2, mekanisme gramatika yang disarankan adalah dengan merevaluasi struktur klausa pertama.

Model kalimat yang klausa pertamanya sudah direvaluasi tampak pada contoh (44a). Karena struktur klausa pertama dalam bentuk pasif, argumen A2 ataupun P2 dapat dilesapkan tanpa menyalahi kaidah sintaksis bahasa Indonesia. Pada (44b), pelesapan terjadi pada argumen A2, sedangkan pada (44c) pada argumen P2.

(44) a. Aku hukum kamu, tapi kamu malah

menantangku. [Nayla, 2005:7] b. Aku hukum kamu, tapi [ ] malah

menantangku. c. Aku hukum kamu, tapi kamu malah

menantang [ ].

Dari perilaku argumen di atas dapat dapat disimpulkan bahwa A dan P pada klausa kedua dapat dilesapkan apabila struktur klausa pertama direvaluasi. Perilaku argumen ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri keakusatifan.

4. SIMPULAN Bahasa Indonesia memiliki perilaku argumen sintaktis yang “terbelah”. Di satu sisi, bahasa Indonesia dapat digolongkan sebagai bahasa yang ergatif secara sintaktis karena memperlakukan P sama dengan S, tetapi perlakuan yang berbeda diberikan pada A. Dalam sejumlah kalimat koordinasi, bahasa Indonesia mengizinkan pelesapan argumen yang koreferensial apabila berfungsi sebagai P dan S. Di sisi lain, bahasa Indonesia juga dianggap sebagai bahasa yang mempunyai properti keakusatifan sintaktis. Terbukti dalam struktur koordinasi, argumen klausa intransitif yang dilesapkan ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen A, dan bukan dengan argumen P, pada klausa transitif.

Hasil kajian ini memperkuat klaim Verhaar (1989) dan Artawa (1997) perihal keergatifan sintaktis bahasa Indonesia. Kendatipun pandangan Verhaar, misalnya, sudah dikemukakan hampir dua dekade silam, hingga kini belum terlihat adanya upaya untuk mereevaluasi buku-buku tata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan mendesak yang perlu segera dilakukan adalah merevisi isi buku-buku tersebut. Namun, tentunya diperlukan “kebesaran jiwa” para ahli untuk mengubah pandangan yang sudah begitu kuat “mengakar” perihal keakusatifan sintaktis bahasa Indonesia. Catatan Akhir: 1 Song (2001) mengusulkan bahwa primitif S,

A, dan P dapat menghasilkan lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia, yaitu nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, tripartit, AP/S, dan netral.

2 Lihat, antara lain, Fokker (1980), Keraf (1984, 1991), Parera (1991), Alwi, dkk (2005).

3 Verhaar (1996:7) mengatakan bahwa bahasa tulis memuat banyak masalah yang perlu diselidiki karena bukan representasi langsung dari bahasa tutur.

4 Uraian yang terperinci dan mendalam, lihat Dixon (1994).

Sumber Data 1. Nayla, 2005, Jenar Maesa Ayu, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta. 2. Robohnya Surau Kami (RSK). 1996. A.A.

Navis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 3. Bali Post (BP), 30 Oktober 2007

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

Halaman 98

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H., dkk. 2005. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Artawa, K. 1997. “Keergatifan Sintaktis dalam

Bahasa: Bahasa Bali, Sasak, dan Indonesia”. Dalam B.K. Purwo. 1997. Pellba 10. Jakarta: Kanisius.

Comrie, B. 1983. Language Universal and

Linguistic Typology. Oxford: Blackwell. Dixon, R. M. W. 1994. Ergativity. Cambridge:

Cambridge University Press. Fokker, A. A. 1980. Pengantar Sintaksis Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Keraf, G. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende:

Nusa Indah. Keraf, G. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa

Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kroeger, P. R. 2004. Analyzing Syntax: A Lexical-Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Parera, J.D. 1991. Sintaksis. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama Purwo, B. K. 1989. “Diatesis di dalam Bahasa

Indonesia: Telaah Wacana”. Dalam B. K. Purwo. 1989. Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Song, J. J. 2001. Linguistic Typology. England:

Pearson Education Limited. Sudaryanto. 1983. Predikat-Objek dalam Bahasa

Indonesia. Jakarta: Djambatan. Verhaar, J. W. M. 1989. “Keergatifan Sintaktis di

dalam Bahasa Indonesia Modern”. Dalam B.K. Purwo (ed.). 1989. Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik

Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 99

RELASI SEMIOTIKA DENGAN SEMANTIK DAN ETNOGRAFI

Ikhwanuddin Nasution

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract Semiotics relation with semantics and ethnography will give the good understanding about sociocultural aspect. Cultural signs of certain society can be same as with other society. But as they are related to the semantics and ethnography, the signs can differ from the aim and what being intended. Therefore, the signs are not more with denotation meaning except that with connotation meaning. As the connotation meaning of signs related to semantics and ethnography, there emergeness of mythology or ideology. Key words: connotation meaning, mythology, and ideology

1. PENDAHULUAN Semiotika telah berkembang luas setelah Saussure menempatkannya sebagai bidang pragmatik yang dihubungkan dengan sosial dan budaya. Permasalahan semiotika dapat dibaca di jurnal-jurnal ilmiah, kamus, dan ensiklopedia yang khusus memuat hal itu. Sebaliknya, metode semiotika telah mempengaruhi ilmu-ilmu sosial dan pada bidang sastra dan budaya berkaitan dengan kritik dan representasi-simbolik.

Kompleksitas semiotika sebenarnya berpusat pada dualisme antara Saussure (lingguistik Eropa) dengan Pierce (filsafat Amerika). Perkembangan semiotika hingga sekarang merupakan hasil dari dua tradisi ilmu yang berbeda.

1. Filsafat; pemikiran filosofis mengenai tanda sudah ada sejak Plato dan Aristoteles kemudian dilanjutkan oleh Aliaran Stoa, Agustin, aliran Skolastik, Locke, Leibnis, Wolf, Lambert, Hegel, Bolzano, hingga pada Frege, Pierce, Wittgenstein, Husserl, Carnap, dan Morris. Berkembang di negara-negara Anglo-Sachsen.

2. Linguistik Eropa; meskipun berakar dari filsafat, tetapi melepaskan diri dari filsafat. Berawal dari Ferdinand de Saussure kemudian Jacobson, Trubetzkoy,

dan Hjelmslevs. Mereka ini membuka jalan untuk berbagai penelitian ilmiah yang bersifat semiotis. Semiotika semacam ini berkembang terutama di negara-negara yang berbahasa Perancis atau beorientasi pada kebudayaan Perancis seperti Italia, Jerman, dan Uni Soviet (Rusia).

Tahun 1960-an kedua aliran ini justru menjadi satu kesatuan, meskipun masih membingungkan. Tahun 1963 Georg Klaus memperbandingkan kedua pandangan yang berbeda ini dan kemudian mengintegrasikannya menjadi satu kesatuan (Trabaut 1996:6-7).

Di samping itu, adanya relasi antara semiotika dengan semantik yang berupa ilmu tentang arti/maksud bahasa dan etnografi yang berusaha mempelajari peristiwa budaya dan mendeskripsikannya. Kedua bidang ilmu ini seakan-akan dicakup oleh semiotika modern dan posmodernisme. 2. TOPI BASEBALL AMERIKA Ketika semiotika diterapkan untuk meneliti tanda dengan pendekatan sosial budaya, maka persepsi tanda tersebut dapat membentuk berbagai makna, bahkan dapat menjadi mitologi atau ideologi, seperti yang pernah dilakukan Manning (2001) dalam menganalisis “topi baseball Amerika”, yang digunakan di luar permainan baseball, sehingga membentuk makna baru. Topi-topi itu bervariasi, baik warnanya maupun bahan bakunya. Topi sebagai alat untuk menutup kepala ternyata dapat membentuk karakteristik, keluarga, dan komunitas yang membedakannya dengan komunitas lain. Topi yang bermacam-macam warna, bahan baku, dan bentuknya memberikan ciri tersendiri bagi yang memakainya.

Manning (2001) melakukan pengamatan di depan sebuah kampus di negaranya dan menunjukkan bahwa topi yang digunakan oleh orang-orang yang lewat di depan kampus tersebut dapat dibeda-bedakan, sehingga membentuk ciri dan peran orang yang menggunakannya di kampus tersebut. Misalnya seorang profesor dapat dibedakan dengan mahasiswa, dilihat dari topi

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 100

yang dipakainya. Seorang kru televisi, kontraktor, atau pegawai kampus juga dapat dibedakan dengan melihat topi yang dipakainya.

Topi merupakan sebuah tanda dan sebuah tanda akan memiliki makna bila tanda tersebut mempunyai relasi antara penanda dan petanda. Relasi pertama itu akan menghasilkan tanda yang dijadikan penanda pada ekspresi semiotika tingkat kedua. Kemudian penanda tadi diberikan petanda yang berupa sosial budaya. Hal ini jelas digambarkan oleh Barthes (2004:161) untuk menggambarkan mitologi yang terdapat dalam tanda, dengan bagan:

Bahasa

Mitos

1.Penanda 2.Petanda

3.Tanda

I. Penanda

II. Petanda

III. Tanda

Berdasarkan semiologi Barthes inilah,

Manning (2001) menafsirkan pemakaian topi yang membentuk suatu karakteristik, keluarga, dan komunitas baru, yang membedakannya dengan lainnya. Akhirnya, menciptakan satu ideologi atau mitologi. Topi tidak ditafsirkan secara denotatif tetapi konotatif. Denotasi merupakan makna yang sebenarnya makna pada relasi kenyataan (sosial), yang pada tingkat inilah relasi antara semiotikadengan semantik akan tergambar. Semantik dalam linguistik berkaitan dengan maksud atau arti dari sebuah kata (bahasa), yang oleh Ferdinand de Saussure dihubungkan dengan realitas, tidak hanya kenyataan dalam ide. Relasi inilah yang disebut oleh Saussure sebagai semiologi. Dengan bagan berikut:

Penanda Petanda Realitas

Di samping itu, Saussure juga mempunyai konsep tentang linguistik yang dibaginya menjadi langue dan parole. Langue merupakan bahasa sebagai milik masyarakat yang memiliki sistem dan dalam semiologi langue menaruh perhatian pada kode-kode bahasa. Parole merupakan bahasa yang sepenuhnya individual yang dilakukan sebagai tindakan individual-individual (Budiman 2004:38-40; Sobur 2003:50-52).

Makna denotasi bersifat langsung, sedangkan makna konotasi bersifat tidak langsung. Denotasi sebuah kata merupakan definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi sebuah kata merupakan makna subjektif atau mosionalnya, makna ini melibatkan simbol-simbol dan historis, serta ada nilai rasa (Berger 2000:55; Sobur 2003:264).

3. RELASI SEMIOTIKA DENGAN SEMANTIK DAN ETNOGRAFI

Perkembangan semiotika cukup cepat, hampir semua bidang ilmu memanfaatkan ilmu ini. Semiotika saat ini sudah merupakan semiotika gabungan antara semiotika Saussure (lingguistik Eropa) dengan semiotika memiliki relasi dengan semantik dan etnografi.

Semiotika Amerika membagi tiga cabang semiotika, terutama yang diwakili oleh Pierce, Morris, dan Mead. Ketiga cabang ini masing-masing menjadi suatu sistem yang berhubungan dengan tanda, yakni:

1. Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antartanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll)

2. Semantik semiotis menganalisis hubungan antara tanda, denotatum, dan interpretasinya. Semantik ini akan berkaitan dengan makna. Makna yang bersifat relasional.

3. Pragmatik semiotis menganalisis hubungan tanda dan pemakaian tanda. Dalam pragmatik semiotis belum ada perangkat pengertian yang tersedia. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang mendorong pengirim mempergunakan tanda? Apa yang terjadi apabila seseorang menerima tanda? Apa yang mendasari penggunaan tanda dalam masyarakat tertentu? Semuanya bersifat pragmatis. Sumbangan penting untuk pragmatik

diberikan oleh filsuf J.L Austin (Zoest 1993:37). Austin mempertanyakan apa sebetulnya yang dikerjakan seseorang, ketika ia mengatakan sesuatu? Kalau orang itu mengatakan sesuatu, tentu saja ia selalu berbuat sesuatu, meski tidak selalu merupakan hal yang sama. Dengan kata-kata (tanda pada umumnya) orang itu dapat melakukan sesuatu bahkan dapat menyebabkan terjadinya sesuatu. Austin menyebutnya sebagai daya ilokusioner. Zoest (1993:50) memcontohkan peristiwa ketika dua orang sedang berjalan di sebuah lapangan rumput dan di sana ada seekor sapi. Yang satu berseru “Sapi jantan!” Yang lain

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 101

menangkapnya sebagai pernyataan suatu kenyataan dan mengakatakan, “Bukan tolol! Itu sapi perah!” Lalu terjadilah pertikaian semantik antara; Ya!, Tidak!, Benar!, Salah! Mungkin juga yang lain berseru, “Sapi jantan!”dengan maksud memperingatkan kawannya. Lalu keduanya segera berlari. Efek tersebut dapat dicapai berkat kekuatan bahasa.

Lebih lanjut Austin (Stephanus 2001:52) mengatakan bahwa semua ungkapan bahasa harus dipandang sebagai tindakan. Ia membedakan tindakan lokusi, yakni menghasilkan suatu ujaran; tindakan ilokusi yaitu tindakan mengikat janji dengan mengeluarkan suatu ujaran, seperti berjanji, mengancam; dan tindakan perlokusi yakni adanya akibat, misalnya suatu perintah dilaksanakan oleh yang diberi perintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan bila seorang guru mengucapkan kalimat, “panas sekali ya, di dalam ruangan ini”. Tindakan lokusinya ialah pengungkapan kalimat itu; tindak ilokusinya mungkin merupakan suatu keluhan; sedangkan tindakan perlokusinya adalah bahwa salah seorang murid membuka jendela atau pintu sehingga ada angin, atau menyalakan kipas angin atau mesin pendingin udara (kalau ada).

Ketiga cabang semiotika diwujudkan oleh Morris dalam sebuah model yang kemudian disesuaikan oleh Klaus dengan sistem semiosis berikut:

semantik

(makna designatum) sigmatik

(acuan, denotatum)

TANDA

tanda lain

Penafsir

(Dikutip dari Teeuw 1984:55)

Pada dimensi sintaksis, tanda berhubungan dengan tanda-tanda lain. Dengan kata lain, sebuah tanda akan berfungsi jika ada hubungannya dengan tanda lain. Dimensi semantik menunjukkan bahwa tanda memiliki konseptual yang dihubungkan dengan referensial yang menjadi acuan dalam kenyataan atau realita kehidupan. Dimensi pragmatik merupakan hubungan dengan si penafsir. Penafsir bisa saja berbeda-beda interpretasinya terhadap sebuah tanda. Dalam hal inilah tanda dihubungkan dengan suatu konteks lingkungan tertentu, apakah itu berupa karakteristik, ideologi, nitologi, atau budaya.

Kelemahan Saussure tidak mempertimbangkan sela antara penanda dan petanda yang berkaitan dengan perubahan yang ditandai, dalam jangka panjang dan hubungannya dengan konteks budaya. Pierce, Morris, dan Mead (aliran pragmatik) mengarahkan perhatian pada fungsi tanda yang memiliki petunjuk komunikatif dan menyelidiki peran sosial-budaya delam interpretant. Di samping itu, Mead juga menghubungkan fungsi tanda pada interaksi-simbolik. Hal ini juga diikuti oleh Roman Jacobson (lingkaran linguistik Moscow) dan Umberto Eco (novelis, filosofis, dan kritikus Italia).

Relasi semiotika dengan etnografi terbentuk melalui interpretant tanda yang dihubungkan dengan kebiasaaan masyarakat untuk menafsirkan sebuah tanda atau simbol. Hubungan itu tentunya tergantung pada penafsiran masyarakat tertentu, dengan kata lain penafsiran satu masyarakat dapat berbeda dengan penafsiran masyarakat lain meskipun tanda atau simbol yang sama. Kebanyakan hubungan ini berupa indeksikal yakni hubungan sebab akibat dari sebuah tanda. Misalnya lolongan anjing atau srigala pada malam hari oleh masyarakat Meksiko Tenggara dihubungkan dengan adanya wanita tukang sihir yang datang pada malam itu. Untuk menafsirkan ini Manning (2001) menghubungkannya dengan tiga tingkatan maksud, yakni denotasi (koneksi sempit), konotasi (koneksi luas), dan ideologi (koneksi yang lebih luas) atau oleh Barthes (2004) disebut mitologi.

Walaupun Barthes bertolak dari Saussure dengan proses penandaan, sistem penanda dan petanda, namun Barthes memberi tingkatan pada sistem itu. Pada tingkatan itu terdapat pemaknaan bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan pada tingkat kedua disebut metabahasa. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama disebut denotatif/terminologi dan sistem tanda kedua disebut konotatif/retoris/mitologi. Sistem pemaknaan semiotika Barthes ada pada tingkat kedua.

Barthes (Kurniawan 2001:67) sependapat dengan Hjemslev bahwa sistem bahasa dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi, sebagai berikut:

Konotasi metabahasa

Denotasi objek bahasa

E C

E C

E C

E C

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 102

Sistem bahasa biasanya mengenal tanda dalam ekspresi (E) yang memiliki relasi (R) dengan content (C) atau isi. Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua (ERC) R C, di sini sistem pertama berkorespodensi dengan tingkat denotasi dan sistem kedua dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan), sitem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua E R (ERC). Di sini, sistem pertama berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem kedua dengan metabahasa (metalinguistik). Dalam hal ini, Barthes telah menghubungkan semiotika dengan konteks budaya atau dengan etnografi.

Relasi semiotika dengan etnografi sampai pada kode-kode yang terdapat dalam masyarakat pengguna tanda. Kode-kode itu sebenarnya merupakan sistem luar dari tanda itu sendiri, yang oleh Barthes disebut ekstra-linguistik yang substansinya adalah objek atau imaji. Barthes (Kurniawan 2001: 69-70; Selden 1991:80-81) mengatakan bahwa setiap tanda terdapat lima jenis kode, yakni:

1. Kode hermeneutik berhubungan dengan teks-teks (enigma) yang timbul ketika teks mulai dibaca. Siapakah tokoh ini? Bagaimanakah peristiwa itu berlanjut? Jadi, didaftarkan beragam istilah, teka-teki yang dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkap. Apa sebenarnya istilah atau teka-teki tersebut. Kode ini disebut juga “Suara Kebenaran” (The voice of Truth).

2. Kode proaretik (Suara Empirik) yang merupakan tindakan naratif dasar. Tindakan-tindakan yang dapat terjadi dalam beragam sekuen yang mungkin diindikasikan.

3. Kode semik (petanda dari konotasi atau pembicaraan yang ketat) merupakan kode relasi penghubung (medium relatic code) yang merupakan sebuah konotator dari orang, tempat, objek, yang pertandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).

4. Kode simbolik (tema) yang bersifat tidak stabil dan dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan. Kode ini berhubungan dengan polaritas (perlawanan) dan antitesis (pertentangan) yang mengizinkan berbagai relasi dan “pembalikan”. Kode simbolik ini menandai sebuah pola yang mungkin diikuti orang.

5. Kode budaya (suara ilmu) sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga pengetahuan (fisika, psikologi, sejarah, dll.) yang dihasilkan oleh masyarakat. Kode ini akan mengacu pada budaya yang ada dalam masyarakat dan diekspresikan dalam masyarakat tersebut. Relasi semantik dengan etnografik

terbentuk karena ahli etnografi memanfaatkan bahasa/semantik linguistik sebagai alat untuk menimbulkan data yang tersembunyi dalam sebuah teks atau artifak, sedangkan data yang masih hidup dalam tingkah laku masyarakat dipergunakan sosiolinguistik. Kalau diberi bagan relasi semiotika dengan semantik dan etnografi, maka akan tergambar sebagai berikut:

etnografi

semiotika semantik maksud/arti

4. LOOSE SEMIOTICS, POSTSEMIOTIKA,

ATAU HIPERSEMIOTIKA Yang menarik dari tulisan Manning (2001) adanya perkembangan semiotika yang mengarah kepada hilangnya makna dari tanda tersebut. Tanda hanya mereferentasikan tanda itu sendiri, atau tanda itu tidak lagi menggambarkan suatu realita atau kenyataan sosial. Tanda lebih jauh berkembang meninggalkan logika semiotika itu sendiri. Hal ini disebut Manning sebagai “loose semiotics”. Hal ini dapat disebut dengan postsemiotika atau hipersemiotika.

“loose semiotics” itu terjadi karena interaksionisme-simbolik yang mempergunakan tanda secara bebas tanpa memperhitungkan referensi dan interpretasi. Geertz, Gusfield, Richard Merelman, Murray Edelman, dan Lauren Edelman ketika membuat laporan penelitian terkadang melabrak kosa kata semiotika, yang menjauhkan pengertian tanda dari referensi yang dimaksud masyarakat tempat mereka meneliti. Mereka sering mempertimbangkan interpretasi mereka sendiri tanpa mengaitkannya dengan sosial budaya setempat.

Pada perkembangan berikutnya, the artificial intelligence (AI) group, justru melepaskan semiotika itu dari logika, yang

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 103

menyatakan bahwa logika dapat membuat kekeliruan. Misi AI sama dengan ilmu sosial dan antropologi budaya yaitu berusaha melakukan tiruan dari bagaimana orang-orang berpikir, bagaimana asumsi budaya, tindakan, dan praktiknya dilakukan oleh masyarakat secara budaya penuh arti. Dalam hal ini, terlihat bagaimana persimpangan antara semiotika dengan semantik dan etnogrfi. Jadi, sebuah tanda ditiru dan ditiru terus menerus, hal inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard “simulacra” atau “simulacrum”.

Kekuatan simulacrum adalah kemampuannya memproduksi tanda-tanda yang menyimpang dari rujukan (referent) atau dari yang asli, dengan menciptakan tanda-tanda sebagai topeng (mask), sebuah strategi penyamaran tanda (disgusing), yang dengan cara itulah kemampuan dunia kopi, ikon, dan reproduksi dapat diganggu, serta kestabilan dunia representasi dapat disubversi. Baudrillard tidak saja melihat simulakrum sebagai penyimpangan, deformasi, atau penyelewengan ikonik dari realitas rujukan, ia bahkan melihatnya tidak lagi mempunyai relasi dengan dunia realitas itu sendiri (Piliang 2004:62).

Baudrillard (Irawanto 2003:20; Piliang 2003:42-43) menegaskan adanya “empat fase suksesi dari citra”. Hal ini terjadi karena kompleksitas relasi antara tanda, citra, dan realitas. Fase-fase itu bertautan dengan tanda atau suksesi citra yang berdistansi dengan objek representasi (referent) melalui tahapan signifikan dan nilai:

1. It is the reflection of basic reality 2. It mask and preverts a basic reality 3. It masks the absence of a basic reality 4. It bears no relation to any reality

whatever; it is its own pure simulacrum

Pertama, sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang didalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas (representation). Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopengi ketidaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempar, citra tidak berkaitan dengan realitas apa pun, disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya sendiri (pure simulacrum), yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda tidak berkaitan dengan realitas apa pun di luar dirinya, oleh karena ia merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri.

Manning juga menjelaskan bagaimana AI menggambarkan komputer (mesin) yang dapat menciptakan simulasi-simulasi, yang membuat semiotika makin sulit untuk menghubungkan sebuah tanda dengan perangkat lunak yang

terdapat dalam komputer dan dengan tanda lain. Seseorang dapat bermain-main dengan tanda tanpa ketakutan untuk mengubah kenyataan, sebab kenyataan dapat diinterpretasikan atau dimanipulasi sesuai dengan kehendak orang tersebut, semuanya dikendalikan oleh mouse.

Ikon yang ada dalam tampilan layar komputer juga dapat bermacam-macam dengan makna yang berbeda-beda, tergsntung pada orang yang mempunyai komputer tersebut. Ikon-ikon itu dapat ditampilkan bersama-sama, tanpa ada kaitannya satu sama lain, seperti kata-kata, gambar bintang film, gambar keluarga, gambar kita sendiri, gambar karton, bentuk-bentuk abstrak, dan pemandangan. Inilah simulasi yang merupakan perspektif perasaan dan kreasi.

Tatangan semiotika adalah banyaknya peniruan dan tindakan pengulangan, yang bukan berarti tidak dapat dipahami. Pemahaman memerlukan teori fungsi tanda yang dihubungkan pada konsep sosial dasar seperti diri, peran, identitas, dan dasar-dasar individu lainnya. Dalam hal ini, hubungan individu dengan kelompok sebagai suatu kultur.

Alan Woife sependapat dengan Mead yang menyatakan bahwa komputer bagaimanapun juga hanyalah ciptaan manusia. Manusialah yang memprogram, komputer hanya mengikuti aturan dan prosedur. Hal ini menandakan suatu format simulasi hubungan sosial dengan kecerdasan atau intelegensi manusia. Adanya penciptaan perangkat lunak dan perangkat keras yang seolah-olah mengenal aturan dan prosedur. Interaksi yang diperagakan komputer ini merupakan semiotika sebagai sosial metalinguistik.

Layar yang ada pada komputer, televisi, dan internet merupakan perpanjangan komunikasi, tetapi hal ini dapat juga dimanipulasi dan dapat dibuat efek-efek tertentu sehingga tampilan seolah-olah nyata. Layar menampilkan objek yang menjadi interaksi sebagai bagian dari suatu dialog yang dilakukan dengan teknologi sesuai dengan selera dan antropomorfemis. Layar sebagai dunia digital sekarang ini menjadi kapsitas untuk mengubah bentuk pesan ke dalam banyak format. 5. SIMPULAN Semiotika yang dikaitkan dengan semantik akan menunjukkan makna denotatif dan konotatif, sedangkan semiotika yang dihubungkan dengan etnografi akan mengarah pada kode-kode, yakni kode hermeneutik, proaretik, semik, simbolik, dan budaya. Perkembangan semiotika saat ini sudah mencapai tingkat yang mengaburkan makna yang biasa disebut loose semantic, hipersemiotika, dan postsemiotika.

❏ Ikhwanuddin Nasution Relasi Semiotika dengan Semantik

dan Etnografi

Halaman 104

DATAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi dan

A. Sahabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiman, Kres. 2004. Semiotika Visual.

Yogyakarta: Buku Baik. Irawanto, Budi. 2003. “Sastra dan Simulacra”.

Dalam Sirojuddin Arif (Penyunting). Sastra Interdisipliner. Yogyakarta: Qalam.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes.

Mangelang: Indonesia Tera. Manning. Peter K. 2001. “Semiotics, Semantics,

and Ethnography”. Dalam Paul Atkinson, dkk. (ed). Handbook of Ethnography. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Pulications.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir

Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas

Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Selden, Raman. 1991. Pandauan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.

Bandung: Remaja Rosdakarya. Stephanus, Djanawai. 2001. “Bahasa dan

Kekerasan”. Dalam Sunjati AS, dkk (ed). Manusia dan Dinamika Budaya. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan Bigraf Publishing.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:

Pustaka Jaya. Trabaut, Jurgen. 1996. Dasar-dasar Semiotika.

Diterjemahkan oleh Sally Pattynasarany. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam

Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa.

Zoest, Aart van.1993. Semiotika: tentang Tanda,

Cara Kerjanya dan yang Kita Lakukan dengannya. Penerjemah Ani Soekawati. Jakarta: Sumber Agung

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 105

ANALISIS PENGGUNAAN POLISEMI

PADA HARIAN MEDAN BISNIS EDISI AGUSTUS 2007 1

Marini Nova Siska Naibaho dan Dardanila

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This paper aimed to make an analysis of polysemic matter found on August 2007 edition of daily Medan Medan Bisnis. The purposes to be maintained mainly are: to know about polysemic matter found and to describe the polysemic types found in the above mentioned Newspaper. The data collected by using observation method, while in data analysing it was distributional method. The theory was by following Abdul Chaerconcepts for semantics, polysemy, and types of words. The achievement lastly from this analysis is that there are three kinds of polysemy found in the above mentioned newspaper. They arepolysemic verbs (46,7%), polysemic nouns (33,3%), and polysemic adjectives (20%). So it was a tendency in daily Medan Bisnis, August 2007 to use verbs in usage. Key words: semantics, polysemy, types of words

1. PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa terus berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Pemakaian bahasa diwujudkan di dalam bentuk kata – kata dan kalimat. Manusialah yang menggunakan kata, kalimat dan manusia yang menambah kosakata sesuai dengan kebutuhan.

“Bahasa dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan karena bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri” (Kridalaksana 1982 : 2). Maksud sistem lambang bunyi yang arbitrer yakni tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang menandai, berwujud kata atau leksem dengan benda atau konsep yang ditandai yaitu referensi dari kata atau leksem tersebut.

“Kearbitreran lambang bahasa dapat menyebabkan orang dalam sejarah linguistik menelantarkan penelitian mengenai makna” (Chaer 1995 : 1). Namun, mengenai makna menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari studi linguistik lainnya. Hal itu terjadi karena orang mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa sesungguhnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang dua bahasa untuk menyampaikan makna – makna yang ada pada lambang tersebut, kepada lawan bicara (dalam berkomunikasi lisan) atau pembaca (dalam komunikasi tulis).

Dalam kehidupan sehari–hari kita harus berkomunikasi dengan baik. Alat komunikasi yang kita gunakan adalah bahasa. Bahasa yang kita sampaikan akan lancar jika bahasa tersebut berupa kata–kata yang memiliki makna yang jelas. Oleh karena itu, bahasa merupakan alat pemersatu antara seseorang dengan yang lainnya.

“Salah satu bahasa yang ada hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya adalah polisemi atau kegandaan makna” (Chaer 1995: 101).

Menurut Aminuddin (200: 123) polisemi adalah hubungan antara bentuk kebahasaan dengan perangkat makna. Misalnya, kata berjalan dapat mengandung makna (1) terlaksana, (2) berlangsung, dan (3) dengan alat. Makna tersebut dapat dilihat dalam kalimat berikut: (1) Ali pergi ke sekolah berjalan kaki. Makna kata berjalan adalah dengan alat. (2) Acara itu telah berjalan dengan sukses. Makna kata berjalan adalah terlaksana. (3) Pesta adat itu berjalan hingga pukul 18.00 WIB.

Makna kata berjalan adalah berlangsung..

Pada kalimat (1) terkandung makna aslinya, sedangkan pada kalimat (2) dan kalimat (3) kata berjalan berubah maknanya tetapi masih mempunyai pertalian dengan makna aslinya walaupun sedikit dan dapat disebut sebagai polisemi.

Surat kabar merupakan salah satu sumber informasi tertulis yang dapat memberikan informasi berbagai hal dan peristiwa. Sebagai

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 106

sumber informasi yang penting, surat kabar memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan haruslah bahasa lugas yang dapat dipahami dengan baik sehingga informasi yang disampaikan kepada pembaca sesuai dengan apa yang diharapkan penulis. Informasi yang jelas dan akurat akan diperoleh dari pemilihan kata dan kalimat yang tepat

2. TEORI 2.1 Semantik Chaer (1995: 2) menyatakan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani “ Sema “ (kata benda) yang berarti “ tanda “ atau “ lambang “. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “ menandai “ atau “ melambangkan “. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang sebagai padanan kata “ sema ” adalah tanda linguistik. Kata semantik yakni sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda – tanda linguistik dengan hal – hal yang ditandainya atau bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Semantik juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti. Oleh karena itu, makna merupakan objek semantik.

Pengertian makna berbeda dengan arti di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur – unsur bahasa itu sendiri (terutama kata–kata). Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan – hubungan makna yang dibuat kata tersebut berbeda dari kata – kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata itu sendiri yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksem.

Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap pengguna bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pengguna bahasa dituntut agar menaati kaidah gramatikal dan tunduk pada kaidah pilihan kata menurut leksikal yang berlaku di dalam suatu bahasa.

Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal dan leksikal saja tetapi bergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikalnya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana. Contoh: “ terima kasih “ bermakna “ tidak mau “

dalam situasi jamuan makan atau minum, bila kita ditawari sesuatu pada jamuan itu.

Kata laki – laki secara leksikal memiliki makna sama dengan pria. Maknanya akan berbeda bila dilihat hubungannya dengan unsur lain secara gramatikal. (4) Laki – laki itu suaminya. (5) Ih, dasar laki – laki !

Pada ekspresi (4) bermakna kebapaan, sedangkan kata laki – laki pada ekspresi (5) memiliki makna tamak, rakus, tidak sesuai dengan kodrat kebapaan (makna konotatif).

Semantik juga bermanfaat bagi kita. Manfaat semantik itu tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas sehari – hari. 1. Bagi seorang wartawan, seorang reporter, atau

orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

2. Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Pengetahuan teori harus dapat dipahami dan dimiliki secara memadai. Tanpa pengetahuan teori, tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan perbedaan dan persamaan semantis antara dua bentuk kata serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar.

3. Bagi orang awam pada umumnya pengetahuan yang luas tentang teori semantik tidaklah diperlukan. Tetapi penggunaan dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan.

2.2 Polisemi Djajasudarma (1993 : 43) menyatakan bahwa polisemi merupakan suatu kata memiliki lebih dari satu makna. Misalnya, kata jalan yang berarti “tempat berjalan” dan “kegiatan berjalan“. Makna tersebut dapat dilihat dari kalimat berikut: (6) Jalan ke rumah si Tuti rusak (7) Jalan dulu, saya menyusul

Kata jalan pada kedua contoh tersebut dikatakan polisemi karena memiliki makna ganda. Pada kalimat (6) kata jalan bermakna “tempat berjalan” sedangkan kalimat (7) kata jalan bermakna “kegiatan berjalan”. Chaer (1995: 101)

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 107

menyatakan bahwa polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kata mata dalam bahasa Indonesia yang memiliki makna yang banyak. 1. Mata manusia yang bermakna bagian organ

tubuh untuk melihat. 2. Mata air yang bermakna sumber keluarnya air. 3. Mata pencaharian yang bermakna pekerjaan

yang menghasilkan. 4. Mata angin yang bermakna arah letaknya

angin.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa kata mata setidaknya mengacu kepada 4 buah makna.

Contoh lain pada kata tangan yang memiliki komponen makna, antara lain: (8) Anggota tubuh manusia, seperti tangan Lulu

terkilir. (9) Kegiatan mencuci tangan setelah bekerja atau

makan, seperti cuci tanganmu setelah makan supaya tidak kotor.

(10) Berfungsi untuk memberi dan menerima sesuatu, seperti pada frase tangan kanan.

Komponen makna (8) adalah makna asal

yang sesuai dengan referen, atau juga makna leksikal dari kata itu. Komponen makna (9) berkembang menjadi makna tersendiri untuk menyatakan kegiatan mencuci tangan. Komponen makna (10) juga berkembang menjadi makna sendiri untuk menyatakan bagian dari segala sesuatu yang berfungsi untuk memberi dan menerima.

Jika kita perhatikan kata mata dan kata tangan yang memiliki berbagai macam makna, dapat dinyatakan bahwa makna - makna yang banyak dari sebuah kata yang berbentuk polisemi masih ada sangkut pautnya dengan makna asal karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.

Di dalam meneliti penggunaan polisemi, peneliti harus memiliki kosakata yang besar jumlahnya karena pengertian yang akan digunakan berbeda-beda satu dengan yang lain. Namun, hal itu bukan persyaratan mutlak. Pada perkembangan pemikiran manusia, secara bergelombang makna dasar suatu kata berkembang, bertambah atau berubah akibat pola pikir pengguna bahasa yang berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Hal ini dapat juga menggambarkan perkembangan bentuk polisemi dalam bahasa.

Makna ganda dapat membuat pendengar atau pembaca ragu – ragu dalam menafsirkan makna atau kalimat yang didengar atau dibaca. Misalnya, jika kita mendengarkan orang

mengatakan pukul kita menjadi ragu – ragu. Apakah yang dimaksud adalah (1) jam (pukul delapan mereka berangkat), dan (2) kegiatan memukul (pukul saja kalau memang berani). Kesalahpahaman sering terjadi jika kita tidak melihat konteks kalimat lebih dahulu.

Selain pendapat Chaer dan Djajasudarma mengenai polisemi, ada beberapa pandangan mengenai polisemi sebagai berikut: 1. Gorys (2006: 36) mendefinisikan bahwa

polisemi ialah satu bentuk mempunyai beberapa makna.

2. Parera (2004: 81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah satu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda – beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antara makna-makna yang berlainan tersebut.

3. Usman (dalam Bandana 2002: 42) mengatakan bahwa polisemi berarti suatu bentuk yang memiliki makna lebih dari satu.

Dari pendapat para ahli di atas,

disimpulkan bahwa polisemi adalah makna ganda yang saling berhubungan, berkaitan baik berupa denotasi maupun konotasi, seperti contoh di bawah ini: (11) Tidak ada rezeki kita memancing hari ini. (12) Sudah 3 tahun berumah tangga mereka belum

mendapat rezeki. Kata rezeki pada (11) mempunyai arti

yang sebenarnya yaitu mempunyai rezeki, tetapi pada (12) maknanya adalah makna kiasan yaitu mempunyai anak karena anak merupakan rezeki dari Tuhan, seperti juga harta, jabatan, dan lain-lain.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, penelitian ini menggunakan pendapat Chaer dan Djajasudarma mengenai polisemi.

Menurut Ullman (dalam Aminuddin), terdapat beberapa unsur penyebab polisemi. Unsur-unsur tersebut meliputi: 1. Spesifikasi dalam ilmu pengetahuan. Misalnya: kata bentuk dalam bidang

kebahasaan, arsitektur, maupun seni rupa memiliki maknanya sendiri-sendiri.

2. Spesialisasi penggunaan dalam kehidupan sosial – masyarakat yang beraneka ragam, sehingga kata jalan oleh para sopir diartikan “bekerja“, oleh para pedagang diartikan “berlangsung“.

3. Penggunaan dalam gaya bahasa. Misalnya: puisi, sehingga kata darah dan beku

dalam baris puisi Chairil, Nanti darahku jadi beku, telah mengalami penambahan maupun perpindahan makna; dan

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 108

4. Dalam tuturan lisan maupun tulisan yang salah, bentuk seperti kelapangan dapat mengandung makna

“sesuatu yang lapang“ dan “pergi ke lapangan“. Polisemi, selain dapat berakibat negatif

juga merupakan unsur positif. Disebut berakibat negatif karena dapat menimbulkan kesalahan penerimaan informasi. Disebut positif karena memperkaya kandungan makna suatu bentuk kebahasaan sehingga lebih jelas digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda. Oleh karena itu, pengguna bahasa harus menghapal, mengingat, dan menguasai banyak kata. Untuk memudahkan beban ingatan pengguna bahasa, kata– kata seharusnya: 1. Ditambah unsurnya, baik ditambah di sebelah

kiri atau ditambah di sebelah kanan, misalnya kata kemeja. Jika. ditambah di sebelah kiri terdapat urutan kata tangan kemeja yang maknanya berbeda dengan makna kemeja. Jika ditambah di sebelah kanan terdapat urutan kata kemeja biru yang maknanya berbeda dengan makna kata kemeja.

2. Leksem diberi imbuhan, misalnya leksem datang menjadi berdatangan, didatangi, mendatangi yang tentu saja maknanya tidak sama lagi dengan makna datang.

3. Penggunaannya diperluas, misalnya kata mengudara dapat digunakan di lingkungan penerbangan dan di lingkungan siaran radio.

2.3 Jenis Kata Kata merupakan masalah yang sering dihadapi oleh para linguis dalam linguistik. Para pengguna bahasa yang awam dengan mudah membentuk kalimat-kalimat dengan kata dan dapat memisah-misahkan kalimat terhadap kata-kata. Begitu juga terhadap orang pandai dapat menuliskan kalimat-kalimat dan dengan mudah memisahkan kata-kata antar sesamanya dalam tulisan mereka.

Adapun ciri-ciri kata yang dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti: 1. Bloomfield (dalam Pateda 2001 : 134)

menggunakan kebebasan berdiri sendiri di dalam ujaran sebagai ciri kata.

2. Hockett (dalam Pateda 2001 : 134) menggunakan jeda dan dapat diisolasi.

3. Reichling (dalam Pateda 2001 : 134) menggunakan ciri-ciri sebagai momen bahasa, dapat dipisahkan, dapat dipindahkan, dan dapat ditukar.

4. de Groot (dalam Pateda, 2001 : 134) berpendapat ciri kata adalah berdiri sendiri dan bermakna.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, kata adalah satuan ujaran yang

berdiri sendiri dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat ditukar, dapat dipindahkan dan mempunyai makna serta digunakan untuk berkomunikasi.

Di dalam KBBI (Depdikbud 1993 : 451) kata bermakna sebagai berikut: 1. Unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan

merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa.

2. Ujar, bicara. 3. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh

bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas.

4. Satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem.

Adapun penggolongan kata yang dikemukakan oleh beberapa ahli, sebagai berikut:

Alwi (dalam Bandana 2002: 78-79) membagi kelas kata ke dalam empat kelompok kata yaitu: 1. Verba (kata kerja), yaitu kata yang berfungsi

sebagai predikat dalam tataran klausa atau kalimat. Misalnya: mandi, makan.

2. Nomina (kata benda), yaitu kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, konsep, atau pengertian. Misalnya: pedagang, tikus, buku, dan komputer.

3. Adjektiva (kata sifat), yaitu: a. Kata yang dapat bergabung dengan

partikel sekali, tidak, sangat seperti tidak jahat.

b. Kata yang dapat mendampingi nomina, seperti: guru baik, anak malas.

c. Kata yang dapat didampingi partikel sekali, seperti: jelek sekali, hancur sekali.

4. Adverbia (kata keterangan).

Berdasarkan ciri bentuk dan kelompok kata, Keraf (dalam Ramlan 1985: 44-46) menggolongkan kata-kata menjadi empat golongan, yaitu: 1. Kata benda.

Berdasarkan bentuknya, semua kata yang mengandung morfem terikat atau imbuhan ke-an, pe-an, pe-, -an, ke- merupakan calon kata benda. Misalnya: perumahan, perbuatan, kecantikan, pelari, jembatan, kehendak, dan lain – lainnya. Berdasarkan kelompok kata, kata benda mempunyai ciri dapat diperluas dengan yang + kata sifat. Jadi, yang disebut kata benda adalah semua kata yang dapat diterangkan atau diperluas dengan yang + kata sifat. Kata ganti merupakan sub golongan kata benda.

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 109

2. Kata Kerja. Berdasarkan bentuknya, semua kata yang

mengandung imbuhan me-, ber-, -kan, -i, di- dicalonkan sebagai kata kerja. Berdasarkan kelompok kata, semua jenis kata dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat termasuk golongan kata kerja. Misalnya, kata berjalan, menyanyi, tidur, mendengar, memperbaiki, dan sebagainya.

3. Kata Sifat.

Berdasarkan bentuknya, semua kata dapat menggunakan se + reduplikasi kata dasar + nya dicalonkan sebagai kata sifat, misalnya kata setinggi –tingginya. Berdasarkan kelompok kata semua kata sifat dapat diterangkan oleh kata paling, lebih, sekali. Kata bilangan merupakan sub golongan kata sifat.

4. Kata Tugas

Berdasarkan bentuknya kata tugas sukar sekali mengalami perubahan bentuk. Misalnya: kata dengan, telah, dan, tetapi. Ada juga yang dapat mengalami perubahan bentuk, misalnya kata tidak, sudah.

Berdasarkan kelompok kata, kata tugas hanya mempunyai tugas untuk memperluas transformasi kalimat. Kata tugas tidak dapat menduduki fungsi – fungsi pokok dalam sebuah kalimat dan tidak dapat membentuk kalimat meskipun ada juga kata tugas yang dapat membentuk kalimat. Misalnya: sudah, belum, tidak, bukan.

Berdasarkan empat kategori kata yang dikemukakan oleh Alwi (dalam Bandana, 2002) dan Gorys Keraf (dalam Ramlan 1985 : 44 – 46) peneliti menggunakan teori Alwi dan Gorys Keraf berdasarkan kelas kata verba (kata kerja), nomina (kata benda), dan adjektiva (kata sifat) dalam penelitian ini. 3. POLISEMI DALAM HARIAN

MEDAN BISNIS EDISI AGUSTUS 2007

Berdasarkan kategori kata polisemi dalam harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu (1) Polisemi Verba, (2) Polisemi Nomina, (3) Polisemi Adjektiva. Kalimat yang mengandung polisemi yang terdapat dalam harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 adalah sebagai berikut: (13) Akhirnya Amandemen ke – 5 UUD 1945

diusulkan akhirnya kandas ditengah jalan. (14) Aturan obligasi perbankan segera terbit

dengan dikeluarkannya aturan dari Bank Indonesia.

(15) Akhirnya Inter Milan berhasil tendang AC Milan dari posisi puncak.

(16) Tahun 2008 cadangan devisa tembus US$ 66 miliar.

(17) Pemerintah ancam pangkas anggaran dana alokasi umum jika masih disimpan di SBI. PT Danareksa mendorong investor domestik untuk terjun dalam transaksi saham dipasar modal agar persentase investor dalam negeri semakin besar dalam pasar modal.

(18) Dalam upaya menyukseskan program ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, aparat fiskus akan aktif menyisir pusat bisnis mengikuti pusat perbelanjaan dan pertokoan, termasuk di kota Medan.

(19) Rudd mengatakan ia sudah menduga rating pribadinya akan rontok sebagai akibatnya.

(20) Stiker Jerman Miroslav Klose menyelamatkan muka Bayern Munich Senin dengan mencetak gol untuk menyamakan atas klub papan bawah Wacker Burghausan ketika klubnya itu akhirnya menang 4 – 3 dalam adu tendangan penalti pada putaran kedua piala Jerman.

(21) Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Elektronika (Gabel) Rahmat Gobel dalam workshop fasilitas pengembangan iklim usaha elektronika.

(22) Namun, aneh bila kini elit Golkar bereaksi negatif karena perbedaan kacamata yang sangat tajam padahal itu merupakan sebuah proses demokrasi.

(23) Kegagalan meraih nilai penuh di laga pertama harus dijadikan cambuk oleh Manchester United.

(24) Saya rasa, faktor nonteknis yang menjadi kunci sukses tim kami menjadi juara.

(25) Sridhar tampil gemilang dan berhasil menyamakan kedudukan dan bahkan sempat memaksa deuce.

(26) Saat dikonfirmasi, Gading sempat membantah, “Ah, tidak mungkin papa bilang semacam itu. Aku masih yakin dengan agamaku, “ tuturnya dengan mulus.

(27) Pengalaman pahit masa lalu dijanjikan tidak lagi terulang.

3.1 Jenis Kata yang Polisemi dalam Harian

Medan Bisnis Edisi Agustus 2007 3.1.1 Polisemi Verba (Kata Kerja)

Secara sintaksis, verba berfungsi sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam tataran klausa atau kalimat yang berupa perbuatan dan keadaan yang tidak dapat diawali kata ter- (paling). Berdasarkan bentuknya, semua kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, -kan,-I, di- dicalonkan sebagai kata kerja. Contoh kata – kata

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 110

polisemi verba yang terdapat dalam harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 adalah sebagai berikut: (28) a. Akhirnya Amandemen ke – 5 UUD 1945

diusulkan akhirnya kandas di tengah jalan. b. Kapal itu kandas di tepi pelabuhan. Dari contoh di atas makna kandas pada (a) adalah gagal, tidak berhasil. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah terlanggar pada dasar laut. Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(29) a. Aturan obligasi perbankan segera terbit

dengan dikeluarkannya aturan dari Bank Indonesia.

b. Matahari yang terbit di timur selalu menjadi pemandangan yang sangat indah di pulau Dewata.

Dari contoh di atas makna terbit pada (a) adalah dibuat, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah timbul, naik, keluar sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(30) a. Akhirnya Inter Milan berhasil tendang AC

Milan dari posisi puncak. b. Nenek tua yang sedang berjalan kena

tendang bola. Dari contoh di atas makna tendang pada (a) adalah menggeser. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah sepak, terjang. Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(31) a. Tahun 2008 cadangan devisa tembus US$

66 miliar. b. Peluru yang ditembak ke dadanya tembus

sampai ke tulangnya. Dari contoh di atas makna tembus pada (a) adalah mencapai. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah masuk sampai (keluar). Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(32) a. Pemerintah ancam pangkas anggaran dana

alokasi umum jika masih disimpan di SBI. b. Akibat tidak pernah pangkas, sekarang

rambutnya bertambah panjang. Dari contoh di atas makna pangkas pada (a) adalah memperkecil. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah bergunting (rambut). Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

33) a. Dalam upaya menyukseskan program

ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, aparat fiskus akan aktif menyisir pusat bisnis mengikuti pusat perbelanjaan dan pertokoan, termasuk di kota Medan.

b. Wanita cantik itu menyisir rambut dari ujung rambut.

Dari contoh di atas makna menyisir pada (a) adalah menertibkan. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah merapikan dengan sisir. Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(34) a. Rudd mengatakan ia sudah menduga

rating pribadinya akan rontok sebagai akibatnya.

b. Musim kemarau telah membuat daun pepohonan rontok.

Dari contoh di atas makna rontok pada (a) adalah menurun. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah gugur.Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. 3.1.2 Polisemi Nomina (Kata Benda) Kata benda yaitu kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, konsep, atau pengertian. Dalam kalimat yang predikatnya verba cenderung menempati fungsi subjek, objek, atau pelengkap. Kata benda juga dapat diikuti oleh adjektiva. Semua kata mengandung morfem terikat atau imbuhan ke – an, pe – an, pe-, -an, ke- merupakan calon kata benda. Contoh kata – kata polisemi nomina yang terdpat dalam harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 adalah sebagai berikut: (35) a. Stiker Jerman Miroslav Klose menyelamatkan

muka Bayern Munich Senin dengan mencetak gol untuk menyamakan atas klub papan bawah Wacker Burghausan ketika klubnya itu akhirnya menang 4 – 3 dalam adu tendangan penalti pada putaran kedua piala Jerman.

b. Setiap pagi ia membasuh muka dengan air hangat.

Makna muka pada (a) adalah harga diri, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah bagian depan kepala, dari dahi atas sampai ke dagu dan dari telinga yang satu ke telinga yang lain sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(36) a. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum

Gabungan Elektronika (Gabel) Rahmat Gobel dalam workshop fasilitas pengembangan iklim usaha elektronika.

b. Indonesia merupakan negara yang mempunyai iklim tropis.

Makna iklim pada (a) adalah suasana, keadaan, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah keadaan hawa (suhu, kelembapan) sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. (37) a. Namun, aneh bila kini elit Golkar bereaksi

negatif karena perbedaan kacamata yang sangat tajam padahal itu merupakan sebuah proses demokrasi.

b. Dia memakai kacamata yang sangat kecil.

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 111

Makna kacamata pada (a) adalah pandangan seseorang terhadap suatu hal ditinjau dari sudut tertentu, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah lensa tipis untuk mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(38) a. Kegagalan meraih nilai penuh di laga

pertama harus dijadikan cambuk oleh Manchester United.

b. Pennjahat yang tertangkap kemarin dikenai cambuk oleh polisi.

Makna cambuk pada (a) adalah sesuatu yang dapat menimbulkan dorongan untuk maju (lebih baik), sedangkan makna leksikal pada (b) adalah cemeti yang besar sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi.

(39) a. Saya rasa, faktor nonteknis yang menjadi

kunci sukses tim kami menjadi juara. b. Kunci pintu depan hilang di tengah jalan. Makna kunci pada (a) adalah sesuatu yang dipakai untuk menentukan kalah menang, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah alat yang terbuat dari logam untuk membuka atau mengancing pintu dengan cara memasukkan ke dalam lubang sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. 3.1.2 Polisemi Adjektiva (Kata Sifat)

Kata sifat adalah kategori yang ditandai dengan 1. bergabung dengan partikel tidak. 2. mendampingi nomina. 3. di dampingi partikel sekali.

Semua kata yang dapat menggunakan se + reduplikasi kata dasar + nya dicalonkan sebagai kata sifat.

Contoh kata-kata polisemi adjektiva dalam harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 adalah sebagai berikut: (40) a. Sridhar tampil gemilang dan berhasil

menyamakan kedudukan dan bahkan sempat memaksa deuce.

b. Karirnya semakin gemilang sejak ia membuka usaha restoran di sekitar kampus.

Makna gemilang pada (a) adalah bagus, baik sekali, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah bersinar sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. (41) a. Saat dikonfirmasi, Gading sempat

membantah, “Ah, tidak mungkin papa bilang semacam itu. Aku masih yakin dengan agamaku,“ tuturnya dengan mulus.

b. Kulit tubuhnya kelihatan mulus tanpa ada noda.

Dari contoh di atas makna mulus pada (a) adalah jujur, tulus. Sedangkan makna leksikal pada (b) adalah halus. Sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. (42) a. Pengalaman pahit masa lalu dijanjikan

tidak lagi terulang. b. Setelah diminum ternyata kopi itu terasa

pahit. Makna pahit pada (a) adalah sedih, tidak menyenangkan hati, sedangkan makna leksikal pada (b) adalah rasa tidak sedap sehingga kalimat (a) dan kalimat (b) disebut polisemi. 4. SIMPULAN Setelah melihat keterangan di atas, dapat dinyatakan bahwa harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 memiliki tiga kelas kata polisemi yakni polisemi verba (kata kerja) sebanyak 46,7%, polisemi nomina (kata benda) sebanyak 33,3%, polisemi adjektiva (kata sifat) sebanyak 20%. Oleh karena itu, polisemi pada harian Medan Bisnis edisi Agustus 2007 lebih cenderung menggunakan kata kerja. -------------------------------- Catatan: 1 Artikel ini merupakan ringkasan dari skripsi

yang telah dipertahankan di hadapan dewan penguji pada 28 Desember 2007 di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dengan pembimbing utama Drs. Kabar Bangun dan pembimbing pendamping Dra. Dardanila, M.Hum.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2001. Semantik Pengantar Studi

Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru. Bandana, dkk. 2002. Polisemi dalam Bahasa Bali.

Jakarta: Pusat Bahasa. Chaer Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa

Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1.

Pengantar Ke arah Ilmu Makna. Bandung: Refika.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik.

Jakarta: Gramedia.

❏ Marini Nova Siska Naibaho ❏ Dardanila

Analisis Penggunaan Polisemi pada Harian Medan Bisnis Edisi Agustus 2007

Halaman 112

Lyons, John. 1077. Semantics 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Parera, Daniel Jos. 2004. Teori Semantik. Jakarta:

Erlangga. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta:

Rineka Cipta.

Ramlan, M. 1985. Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offset.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik

Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana. Sumber Data: Surat Kabar Medan Bisnis edisi Agustus 2007

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 113

IDEOLOGI ERDEMUBAYU (PERKAWINAN) BATAK KARO1

Jekmen Sinulingga

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This article discusses the interesting ideological phenomenon in the Erdemubayu Discourse of Batak Karo (WEBK). Erdemubayu is a marriage ceremony that still exists in Kabupaten Karo. WEBK represents social marking which has the selected ideology. On the basic of the logonomic system, WEBK represents the ideological behavior (1) ideology of ways of sitting, (2) speech ideology, (3) ideology self positioning, (4) ideology of gender construction, and (5) pronominal ideology concerned with power and solidarity. Key words: erdemubayu discourse, ideology, logonomic system

1. PENDAHULUAN Wacana erdemubayu Batak Karo (WEBK) merupakan semiotik sosial yang tidak hanya didasarkan pada asumsi umum tentang masyarakat dan makna. Individu yang bertindak satu sama lain dan dunia materi sebagai basis dan sumber kesadaran. Proses semiotik sosial mengacu pada objek, agen dari material dan dunia sosial. Tatanan sosial yang berbeda terletak pada kelompok pengatur dan diatur atau mengekploitasi dan dieksploitasi. Untuk mempertahankan dominasi tersebut kelompok yang dominan berusaha mereprensitasikan dunia sesuai dengan kekuasaan (power) yang dimiliki. Namun, kelompok dominan juga perlu menampakkan solidaritas untuk menjaga relasi.

Keterkaitan antara dominasi dan kebertahanan kelompok yang didominasi menimbulkan kegandaan ideologi (ada ideologi dominasi dan ideologi didominasi) sehingga muncul ideological complexes (Hodge dan Kress 1991: 17).

Idiological complexes adalah ideologi yang dipandang sebagai kesadaran yang keliru yang merepresentasikan dunia secara terbalik (upside down) dalam bentuk yang diinversi. Dunia atau suatu realitas dilihat dari sudut pandang kelompok dominan dan pada yang saat yang sama juga dilihat sudut pandang kelompok yang didominasi.

Idiological complexes muncul untuk menjaga hubungan antara kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Komponen ideological complexes terdiri atas dua model yakni (1) model relational yang mencakup klasifikasi jenis sosial, agen, aksi, objek lainnya dan (2) model aksi mengacu pada spesifikasi aksi dan perilaku yang diharuskan, diijinkan, dilarang (Hodge dan Kress 1991 : 25). Jadi ideologi dan ideological (content)

digunakan untuk menunjukkan tingkat makna sosial, orientasi dan fungsi yang berbeda bagi setiap kelas sosial.

Idiological complexes dirancang dengan tujuan membatasi perilaku melalui penstrukturan realitas yang mendasari aksi sosial dengan cara tertentu. Setiap pembuat suatu pesan bersandar sepenuhnya kepada sipenerima. Konsekuensinya setiap penerima pesan harus memiliki pengetahuan cara membaca pesan. Segala sesuatu secara ideologi memiliki nilai semiotik, ideologi dapat dikatakan seperangkat makna yang padu dan merupakan sebuah teks (Hodge dan Kress 1991 : 19).

Terkait dengan kekuasaan (power) dan solidaritas, Hersey (1982), Tofler (1990), Tannen (1990), Padmadewi (2005:4-5), menyatakan bahwa kekuasaan didefenisikan sebagai kemampuan menggunakan kekuatan, sebagai keberhasilan atau kesanggupan mempengaruhi orang lain. Hal ini kekuasaan berimplikasi pada pengaturan hubungan asimetri yang ditunjukkan posisi subordinasi terhadap yang lain, kekuatan (power) mengacu pada pengatur dan yang diatur.

WEBK mempunyai unsur partisipan yang menunjukkan idiological complexes yaitu ada kekuasaan (power) dan solidaritas dalam aktivitasnya. Hal ini terjadi karena dalam WEBK, setiap partisipan sebagai pelibat baik langsung maupun tidak langsung memiliki peran atau fungsi sosial tersendiri.

Berdasarkan fungsi, masyarakat BK mempunyai tatanan sosial yang beragam karena ada kelompok mengatur dan yang diatur. Terkait dengan pengatur (power) dan yang diatur (solidaritas), ada beberapa hal yang berkaitan sistem logonomik yang menghadirkan perilaku ideologis seperti dinyatakan Hodge & Kress (1991: 40-55) terdiri

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 114

atas (1) ideologi cara-cara duduk, (2) ideologi pertuturan, (3) ideologi penempatan diri, (4) ideologi konstruksi gender, dan (5) ideologi pronomina yang menyangkut power dan solidaritas.

Berdasarkan hal di atas penempatan seseorang (partisipan) dalam suatu ruang memberikan ciri kekuata (power) dan solidaritas, termasuk posisi tempat duduk yang mengindikasikan adanya unsur power dan solidaritas sebagai sebuah ideologi. Suatu keharusan partisipan duduk di suatu tempat tertentu, sementara yang lainnya dilarang, hal ini menunjukkan sebuah kekuatan (power) dan solidaritas yang muncul disebabkan oleh pembuat tanda dan membentuk identitas sosial tertentu baik pada dirinya maupun untuk penerima tanda itu sendiri. Dari segi relasi bertutur juga memberikan indikasi kehadiran kekuatan (power) dan solidaritas secara sosial, termasuk jenis kelamin (Hodge& Kress 1991: 40).

Hal yang paling mendasar dalam peristiwa perkawinan (WEBK) adalah keinginan dan persetujuan baik secara individual maupun secara kelompok (Sitepu 1985 : 122 dan Vergouwen 2004 : 235). Keinginan dan persetujuan individual berasal dari niat pribadi sierjabu (pengantin) dibuktikan ada kesamaan pandangan, pendapat sidilaki (calon pengantin pria) dengan sidiberu (calon pengantin wanita) berawal dari naki-naki (pacaran) sampai keinginan kedua mempelai untuk erjabu (berumah tangga).

Penyampaian keinginan dan persetujuan di atas ditingkatkan pada persetujuan keluarga khususnya orangtua kedua belah pihak sampai kepada ketingkat kelompok/masyarakat. Keinginan tersebut tidak hanya secara individual/keluarga dekat juga, namun dapat disetujui/disahkan secara sosial/adat-istiadat maupun secara agama. Hal ini dibuktikan dalam data teks di bawah ini: (1) ABK: Bujur silih, ersentabi kami lebe man

bandu kerina senina bage pe kalimbubu, sebab so pe lenga kami kujenda, enggo isungkuni permen kami mbages-mbages janah nina: O, Bengkila aku enggo lit surang-surangku emkap erjabu ras permendu emkap si … (anu…) janah cubaken sungkun bapa ras nande adi senang ukurna, janah bagenda silih: kalimbubu kami pe enggo isungkuni janah meriah nge ukurna, adi enggo bage nina permendu, cubaken siorati kalimbubunta bage nina kalimbubu kami, Jadi emaka kami reh ndahi kalimbubunta emkap, nungkun kerna keriahen ukur kalimbubunta, entah enggo kin lit

sinungkunisa permenta entah lit janjina ras sideban? Arih kam kerina!

“Terima kasih ipar! Kami memohon maaf ke hadapan Saudara, kalimbubu, karena sebelum berangkat kemari, terlebih dahulu kami sudah berembuk dan menanyakan keinginan keponakan kami. Kata keponakan kami, bahwa dia ingin mempersunting si... (anu...) anak kalimbubu di rumah ini, dan kami semua sudah menyutujuinya, sehingga kedatangan kami bermaksud menayakan kesenangan hati semua keluarga, atau mugkin ada orang lain yang telah meminangnya? Mohon tanyakan kepada kalimbubunya! “ (DS.17/ABK)

Berdasarkan data (1) calon pengantin pria

(CPP) mempunyai sura-sura (keinginan) meminang seorang gadis yakni calon pengantin wanita (CPW) yang dibuktikan dengan leksem ...surang-surangku emkap erjabu, (keinginanku menikah).

Leksem sura-sura (keinginan) CPP tidak hanya perlu persetujuan keluarga sendiri namun juga ingin memperoleh persetujuan dari keluarga dekat CPW hal ini dibuktikan bentuk lingual ....nungkun kerna keriahen ukur kalimbubunta.., (menanyakan kesenangan hati keluarga CPW) dikuatkan kehadiran keluarga CPP ke rumah CPW yang dibuktikan oleh leksem reh (datang).

Keinginan CPP, CPW berumah tangga dapat diterima atau gagal karena persetujuan ditentukan keluarga CPW dibuktikan dengan kehadiran leksem keriahen (kesenangan) dari pihak kalimbubu. Jika keinginan CPP, CPW disetujui oleh keluarga kedua belah pihak, maka level berikut berubah menjadi keinginan keluarga.

Kedua belah pihak keluarga mempunyai keinginan, pengakuan, dan persetujuan yang lebih tinggi lagi yakni dapat diterima/disahkan secara adat istiadat maupun agama hal ini dibuktikan data di bawah ini: (2) ABK: Ibas keriahen ukur enda silih, janah ibas

ketutusen kerehen kami, maka ibaba kami nge enda pendindih pudun, cubaken sungkun keriahen ukur kalimbubunta.

“Mengenai kesenangan ini Ipar! Dan

berdasarkan ketulusan hati, kami membawa ikatan janji, Mohon tanyakan kesenangan hati kalimbubu untuk menerimanya!”.

(DE. 45/ABK)

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 115

(3) ABS: Enda enggo aloken kami anakberu, penindih pudun ndai, gelah enggo sieteh kerina. Bujur ras mejuah-juah kerina. Kai denga sura-surandu? Arih kam kerina!

“Tanda ikatan janji sudah kami terima,

agar dapat diketahui. Terima kasih dan selamat berbahagia kita semua. Apalagi keinginannya? Silakan diskusikan dengan kalimbubunya!”.

(DE.54/ABS)

Data (2) menunjukkan keluarga CPP menyatakan keseriusan dengan membawa sebuah tanda kepada pihak wanita dibuktikan leksem pinindih pudun (alat ikat) atau tanda ikatan janji. Penindih pundun (tanda ikatan janji) diterima pihak keluarga wanita dibuktikan leksem... enggo aloken ...(sudah diterima).

Sesuai jawaban pihak wanita dalam data (3) yaitu penindih pudun (tanda ikatan janji) sudah diterima, berdasarkan konteks budaya maka upacara peminangan (Maba Belo Selambar) sudah sah, dibuktikan kehadiran pelibat kalimbubu, senina, anakberu kedua belah pihak sebagi penentu.

Penindih pudun (tanda ikatan janji) berfungsi untuk mengikat seluruh pelibat dalam upacara MBS. Seperti data WEBK di bawah ini: (4) ABS: Adi ialoken kami penindih pudun enda,

ertina kita enggo i iket, jadi adi kam pepagi ngelanggar janji, enda pepagi nuntut anakberu sidilaki janah terpaksa kita nangdangi, uga dage petetap ukurndu?

“Jika kami menerima ikatan janji ini,

maka kita semuanya sudah terikat, jadi seandainya kamu melanggar jaji, maka mereka akan menuntut dan kita wajib bertanggungjawab, bagaimana coba tetapkan pendiriannya!”.

(MBS.50.ABS)

Data (4) menunjukkan keluarga pihak wanita menerima penindih pudun (tanda ikatan janji) menandakan ada keterikatan baik pihak laki-laki maupun pihak wanita, hal ini dibuktikan leksem ...kita enggo iiket... (kita semuanya sudah diikat).

Penindih pudun (tanda ikatan jaji) juga sebagai hukum untuk pelibat hal ini dibuktian kehadiran leksem nangdangi (membayar) yang bermakna semua pelibat (kalimbubu, anakberu, senina) harus bertanggungjawab.

Data 1, 2, 3, dan 4 menandakan keinginan dan persetujuan dari pihak laki-laki mapun pihak

wanita melahirkan ideological complexes yang mengacu ada kekuatan (power) dan solidaritas, dibuktikan orang yang menyutujui dan yang disetujui. Kehadiran lekem kalimbubu dalam data 1 adalah sebagai orang/kelompok yang memiliki kekuatan (power) dibuktikan leksem...nungkun kerna keriahen ukur kalimbubunta... (menanyakan kesenangan kalimbubu), baik kalimbubu Singalo Bere-bere (paman kandung CPW, Kalimbubu Singalo Perninin (kalimbubu paman CPW), Kalimbubu Singalo Perbibin (saudari ibu CPW), maupun anakberu (saudari ayah CPW).

Berdasarkan konteks budaya, bahwa tuturan data 1 ditemukan dalam upacara Maba belo Selambar (MBS) (membawa sirih selambar) yang berarti upacara peminangan telah terlaksana. Inti yang dibahas dalam MBS adalah persetujuan kalimbubu, senina, anakberu pihak wanita, dibuktikan partisipan yang terlibat dalam upacara MBS.

Berdasarkan konteks sosial (budaya) dalam WEBK peran kalimbubu lebih mendominasi dibandingkan dengan sukut (pembuat upacara perkawinan), dan anak beru (penerima dara), karena pengakuan dan persetujuan secara sosial (budaya) ditentukan oleh pihak kalimbubu, seperti data di bawah ini: (5) ABK: Bujur Silih! Ope dengan ituriken kami

sura-sura kalimbubu kami, erbicara-bicara nge enda kami, bicara ipedalan kami lebe kampil kehamaten man kalimbubuta, ije maka ituriken kami sura-sura kami. Uga akapndu? Arih kam kerina ras Kalimbubundu!

“Terima kasih Ipar! Sebelum kami

mengutarakan keinginan kalimbubu kami, seandainya kami suguhkan terlebih dahulu kampil kehamaten (tanda kehormatan) untuk kalimbubu kita, setelah itu baru kami sampaikan keinginan kami. Bagaimana menurut Ipar?. Mohon tanyakan kepada kalimbubunya!”

(ABS.7 ABK)

Data (5) menunjukkan pelibat ABK (pembicara dari pihak laki-laki) menyampaikan sura-sura (keinginan) ke ABS (pembicara pihak wanita).

Berdasarkan proses penyampaian pesan dalam data (5) ada aturan yang harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak kalimbubu. Leksem sura-sura (keinginan) menandakan pihak laki-laki terlebih dahulu penyampaian kampil kehamaten (tanda kehormatan) kepada pihak wanita. Sebelum dilaksanankan penyampaian sura-sura (keinginan)

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 116

juga ada aturan yang harus dipenuhi pihak laki-laki yakni penyampaian kampil kehamaten (tanda kehormatan) (Sitepu 1996: 128).

Berdasarkan konteks sosial/budaya BK, penyampaian sura-sura (keinginan) dilarang secara langsung, namun harus melalui juru bicara (anakberu kedua belah pihak) yang disebut ABK dan ABS. Pelarangan ini dilakukan untuk menghindari adanya konflik antar pelibat, dibuktikan kehadiran ABK, ABS sebagai moderator atau penengah dalam penyampaian sura-sura (keinginan) dari pihak laki-laki maupun pihak wanita.

Kampil kehamaten, yakni tempat sirih yang berisi sirih, kapur, gambir, tembako, rokok, dan korek api. Kampil kehamatan yang sebanyak enam buah didistribusikan masing-masing kepada kalimbubu Singalo Bere-bere, Kalimbubu Singalo Perninin, Kalimbubu Singalo Perbibin, senina, anakberu pihak perempuan dan satu untuk kalimbubu Singalo Ulu Emas dari pihak laki-laki. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data di bawah ini: (6) ABS: Bujur Silih!. Biasana enem, emekap

sada ibereken man Kalimbubu sukut... mergana, sada man Kalimbubu Singalo Bere-bere, sada man Kalimbubu Singalo Perninin, sada man Kalimbubu Singalo Perbibin, sada man Sirembah Kulau, sada man Anakberu... mergana, janah bereken sada man kalimbubundu Singalo Ulu Emas, janah bereken sada man kalimbubundu Singalo Ulu Emas. Adi nggo sikap banci i pedalanndu!

“Terima kasih Ipar! Biasanya sejumlah

enam kampil kehamaten yang masing-masing disampaikan kepada Kalimbubu Singalo Bere-bere, Kalimbubu Singalo Perninin, Kalimbubu Singalo Perbibin, Sirembah Kulau, Anakberu... merga-nya, dan kepada kalimbubu Singalo Ulu Emas.!”.

(DE.12/ABS)

Berdasarkan data (6), pihak perempuan menyampaikan syarat pemberian kepada kalimbubu yang dibuktikan leksem enem (enam) yang berarti jumlah kampil kehamaten (tanda kehormatan). Fungsi pemberian kampil kehamatan kepada pihak keluarga pengantin perempuan sebagai tanda penghormatan sekaligus tanda pembicaraan dapat dimulai. Maksud kedatangan pihak laki-laki yakni mengenai persetujuan pihak wanita dalam peminangan, hal ini mengindikasikan kekuatan (power) dan solidaritas. Berdasarkan data dalam WEBK ada beberapa data

menyatakan kekuatan (power) dimiliki kalimbubu baik pihak laki-laki maupun pihak wanita. 2. HASIL PENELITIAN 2.1 Ideologi Tempat Duduk

“Spatial codes are frequently the premary medium for ideological statements, as mediated throught other codes in wide range of situations”. (Hodge dan Kress 1991: 61)

Berdasarkan konsep di atas bahwa kode

(ruang) merupakan medium utama untuk menunjukkan ideologi. Hal ini juga dikuatkan orang/pelibat yang seharusnya diijinkan/dilarang duduk di tempat suatu tempat. Penempatan partisipan/pelibat termasuk jarak yang melingkupinya antar partisipan mengindikasikan ada kekuatan (power) dan solidaritas. Terkait dengan ideologi kekuatan (power) dan solidaritas, Hodge dan Kress (1991 : 61) menyatakan,

The table’s riged from and the chairs act to impose a structuring of space on everyone concerned, which carries clear ideological messages about power and solidarity in the company.

Implikasi pernyataan di atas bahwa

penempatan meja dan kursi menggambarkan makna yang ideologis (power) dan solidaritas dalam sebuah lokasi/ruang. Konsekwensi dari penyataan di atas semua atribut yang ada mulai dari partisipan, tempat, cara duduk, arus pembicaraan ditentukan berdasarkan kaidah logonomik yang menunjukkan hubungan partisipan yang menghadirkan perilaku ideologis. Hal ini melahirkan kegandaan ideologi (ideological complexes) yakni peran partisipan mengakibatkan ada seseorang atau kelompok diijinkan atau dilarang duduk di suatu tempat dan menunjukkan seseorang/ kelompok memiliki kekuatan (power) dan solidaritas.

WEBK terikat pada partisipan/pelibat, tempat, cara duduk, dan arus pembicaraan yang mengindikasikan kehadiran sebuah kekuatan (power) dan solidaritas yang dimiliki oleh kalimbubu. Hal ini dapat di temukan dalam WEBK yaitu: (7) ABK: Ibas enggo sehna Kalimbubu Singalo Ulu

Emas, kalimbubu Singalo Ciken-Ciken maka kerina kita Sukut... mergana bage pe kerina kita anakberu, sialo-alo kalimbubuta janah sitaruhken kujabuna.

“Karena Kalimbubu Singalo Ulu Emas,

kalimbubu Singalo Ciken-Ciken telah

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 117

sampai di tempat ini, maka mohon kepada seluruh Sukut dan anakberu menyambut kedatangan, mengantar sampai ke tempat duduknya”.

(DE.001/ABK) (8) ABS: Ibas enggo sehna Kalimbubu Singalo

Bere-bere, kalimbubu Singalo Perkempun, ras Kalimbubu Singalo Perbibin, maka kerina kita Sukut... mergana bage pe kerina kita anakberu, sialo-alo kalimbubuta janah sitaruhken ku jabuna.

“Karena Kalimbubu Singalo Bere-bere,

kalimbubu Singalo Ciken-Ciken telah sampai di tempat ini, makai mohon kepada seluruh Sukut dan anakberu menyambut kedatangannya, mengantar sampai ke tempat duduknya”.

(DE.003/ABS)

Data (7 dan 8) menunjukkan ABK, ABS memohon seluruh hadirin baik sukut, maupun anakberu berdiri menyambut kedatangan kalimbubu dengan menggunakan leksem sialo-alo (kita sambut), sitaruhken (kita antarkan). Perlakuan penyambutan, pengormatan dilakukan pihak senina/sukut dan anakberu baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan menyatakan adanya kekuatan (power). Kekuatan (power) yang dimiliki oleh kalimbubu dalam data 7 dan 8 adalah, kelompok kalimbubu disambut sukut, dan anakberu namun bukan sebaliknya. Penyambutan ini dilakukan dengan perlakuan berdiri, bersalaman dan mengantarkan sampai ke tempat duduknya. Hal ini secara sosial budaya BK bahwa kalimbubu harus dihormati.

Tempat duduk kalimbubu juga telah dipersiapkan dan memiliki ciri distingtif yakni dengan tikar tempat duduk anak beru atau sukut yakni beralaskan amak mbentar (tikar putih) dengan maksud lebih sopan dan betah duduk. Perlakuan yang demikian menunjukkan bahwa kekuatan (power) dimiliki kalimbubu Singalo Ulu Emas, Kalimbubu Singalo Ciken Ciken (dari pihak laki-laki), Kalimbubu Singalo Bere-bere, Perkempun dan Perbibin (dari pihak wanita) dibuktikan leksem sitaruhken ku jabuna (diantar sampai tempat duduknya).

Lokasi, cara, dan tempat duduk juga telah ditentukan berdasarkan adat-istiadat BK yakni kemuhen (sebelah kanan) dari sukut dalam arti mengikuti struktur jambur (tempat WEBK). Norma atau aturan adat-istiadat mengenai cara, posisi, dan penempatan kalimbubu menunjukkan bahwa kalimbubu kedua belah pihak adalah sebelah kemuhen (kanan) dari sukut dan di samping kiri sukut adalah anakberu. Kehadiran leksem.. ku

jabuna... (ketempat duduknya), mengindikasikan bahwa sebelum kehadiran kalimbubu di jambur ABK, ABS telah menentukan tempat duduk kalimbubu masing-masing. Penempatan posisi sebelah kemuhen (kanan) ini juga menunjukkan sebuah kekuatan (power). Secara adat istiadat BK (ideologis) pemberian sesuatu melalui kemuhen (tangan kanan) kepada orang lain lebih sopan, hormat bila dioposisikan pemberian sesuatu melalui tangan kiri.

Dibalik kekuatan (power) yang dimiliki kalimbubu, juga menunjukkan solidaritas yang tinggi kepada sukut, dan anakberu kedua belah pihak. Solidaritas kalimbubu tampak pada fungsi/peran dalam upacara perkawinan. Seluruh permintaan, keinginan yang dilakukan sukut beserta anakberu dipenuhi oleh kalimbubu. Kehadiran seluruh kalimbubu ke tempat upacara perkawinan baik pemberian nasihat kepada kedua mempelai maupun keluarga sukut mengindikasikan sebuah kebanggaan, penghormatan yang sangat tinggi bagi sukut.

Sukut juga menyadari kehadiran kalimbubu bukan hanya sekedar meramaikan sebuah upacara perkawinan namun kehadirannya menunjukkan penghormatan kepada sukut. Berdasarkan hubungan sosial, menunjukkan bahwa keseimbangan pelayaan (solidaritas) yang baik terhadap kalimbubu, maupun sukut/anakberu berkorelasi dengan hak dan kewajiban kedua belah pihak yaitu menunjjukan sikap saling menghargai, menghormati, dan bila dihubungan dengan nilai maka mengacu pada nilai kekerabatan dan nilai sosial.

Jadi ideological complexes (kegandaan ideologi) yakni kekuatan (power) kalimbubu diakui secara nyata sukut, anakberu yang direpresentasikan melalui bakti pelayanan sukut dan anakberu pada penyambutan, penempatan, dan pemberi keputusan, pada sisi lain juga sukut merasa dihormati kalimbubu yang direpresentasikan melalui kehadiran dan persetujuan yang diberikan kepada sukut.

Hal ini bila dioposisikan dengan ketidakhadiran kalimbubu pada upacara adat, maka pandangan masyarakat BK sangat negatif, jelek, dan dicela maksudnya adanya ketidakcocokon antara sukut dengan kalimbubu dan hal ini merupakan aib bagi seluruh keluarga, karena secara adat istiadat kalimbubu harus dihormati, dalam pengertian masyarakat bukan melihat siapa yang benar atau siapa yang salah, tapi melihat ketidakmampuan sukut bersatu dengan kalimbubunya, dan sangat pantang bila dalam hal upacara hal demian yang terjadi. Resiko yang dialami sukut (sipembuat upacara) adalah mempunyai kendala dalam keputusan, pemberian pakaian, adat, dan sebagainya.

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 118

Lebih ekstrim Print (1985:116) dan Sitepu (1996:42) menyatakan bahwa “Kalimbubu Dibata ni idah, simeteh pate geluh” dan anakberu kuda peteruh sinatang kini malun” yang berarti kalimbubu adalah Tuhan yang tampak, yang mengetahui hidup matinya seseorang”, dan anakberu disimbolkan sebagai kuda yang berfungsi sebagai alat, kendaraan kalimbubu, dengan demikian membantah, melawan, membenci, tidak mengundang, dan memojokkan kalimbubu, merupakan perbuatan yang sangat dihindarkan dalam masyarakat BK.

Berdasarkan hal di atas yakni kehadiran kalimbubu, persetujuan, dan pemberian petuah yang diberikan kepada sukut, menunjukkan sebuah solidaritas.

2.2 Ideologi Pakaian Pakaian merupakan sebuah tanda, karena dalam menunjukkan sistem logonomik yang mengasilkan makna-makna yang bersifat ideologis baik secara individual maupun kelompok. Style berpakaian merefleksikan makna status, kelas dan kategori-kategori sosial, hal ini tertentu saja dibarengi model, warna, dan jenis bahan dan lainnya, yang menghadirkan kekuatan (power) dan solidaritas Hodge & Kress (1991: 107). Dalam WEBK yang berkutat mengenai pakaian sangat menonjol, hal tersebut dibuktikan dalam data yakni: (9) KLW: Kerna perose enggo isikapken kami

kalimbubundu, janah lampas pepagi bebere kami, ras silih kami ersikap gelah pedas dung iosei, nindu!

“Mengenai pakaian sudah kami

persiapkan, agar besok keponakan kami beserta ipar untuk mempersiapkan diri, agar pakaian lekas dipakaikannya, sampaikan kepadanya!”.

(DE.35/KLW) (10) KLS: Kerna perose enggo isikapken kami

kalimbubundu, janah lampas pepagi bebere kami, ras silih kami ersikap gelah pedas dung ia dung iose, nindu!

“Mengenai pakaian sudah kami

persiapkan, agar besok keponakan kami besertaipar mempersiapkan diri, agar pakaian lekas dipakaikannya, sampaikan kepadanya!”.

(DE.35/KLS)

Berdasarkan data (9 dan 10) di atas kalimbubu (kelompok paman) menyiapkan seluruh ose (pakaian) CPP, CPW beserta orang tua kandung CPP, CPW. Ose (pakaian) yang dimaksudkan

adalah pakaian yang sesuai dengan adat istiadat BK. Hal ini sesuai dengan ujaran ABS mengenai pakaian yakni (11) Bujur Silih!, Ertima kam kentisik!, Man

bandu kalimbubu ijenda kami ercakap kerna perose, emaka tertinggel-tinggel kam kerina!. Sue arih ras percakapenta sanga Maba Belo Selambar maka, 1. Si erjabu duana rose lengkap

eremas-emas 2. Nande, bapa pe kepar rose lenggap

la ermas-emas 3. Senina, sembuyak ertanda-tanda la

erbeligan, kerna perose me enggo ipesikap uga nindu kalimbubu kami? Arih kam kerina!.

“Terima kasih Ipar!, Besabarlah sebentar

agar dirembukkan dengan kalimbubu!. Yang terhormat kalimbubu kami saat ini kami berrembuk mengenai pakaian adat, oleh sebab itu kami mohon perhatiannya!. Sesuai dengan pembicaraan ketika Maba Belo Selambar (peminangan) maka, Kedua pengantian memakai pakaian lengkap beserta emas-emas.Orangtua kedua belah pihak memakai pakaian lenggap tanpa emas-emasSenina kedua belah pihak memakai tanda yang jumlahnya tidak terbatas. Mengenai pakaian ini apakah kalimbubu sudah menyiapkannya? Kami mohon kalimbubu berembuk!”.

(DE.34/ABS)

Berdasarkan data (11) yang berkaitan dengan ose (pakaian adat) kedua belah pihak pengantin dipersiapkan kalimbubu masing-masing. Sesuai dengan konteks budaya BK, maka orang yang paling berhak nampitken (memasang) bulang-bulang (penutup kepala) ke CPP adalah paman kandung (saudara laki-laki ibu), hal ini tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, begitu juga mengenai ose (pakaian) CPW, orang paling berhak nampit (memasang) tudung adalah istri paman kandungnya. Proses ose ini juga menunjukkan kekuatan (power) dimiliki kalimbubu kedua belah pihak.

Aturan memakai ose (pakaian) menurut budaya BK memiliki ciri distingtif bila dibandingkan dengan pakaian biasa (pakaian sehari-hari). Pakaian adat BK biasa dipergunakan dalam situasi resmi atau upacara adat.

Syarat ose (pakaian) CPP dan CPW memiliki bentuk, warna yang berbeda. Menurut adat istiadat BK pakaian lengkap CPP baik bahan kain maupun bahan perhiasan dan kelengkapan lainnya, (dapat di lihat pada sarana dan prasaran upacara). Ose (pakaian) CPPdan CPW disebut dengan rose

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 119

lengkap eremas-emas (berpakaian lengkap disertai emas-emas) karena pakaian adat dilengkapi oleh penik-pernik (emas- emas).

Perbedaan ose (pakaian) orang tua kandung pengantin dengan pengantin adalah orang tua pengantin tidak menggunakan hiasan emas-emas, dan saudara orang tua kandung pengantin hanya menggunakan tanda-tanda yakni beka buluh di pakai bahu.

Pemberian ose (pakaian) kepada CPP,CPP beserta orang tua kandung kedua mempelai, menunjukkan kekuatan (power) yang dimiliki oleh kalimbubu kedua belah pihak, karena berdasarkan adat hanya kalimbubu yang berhak nampitken (memasangkan) di kepala kedua mempelai dan orang tuanya, karena yang berhak memegang kepala seseorang adalah pemiliknya sendiri yaitu paman kandung CPP/CPW, dan sering disebut dengan istilah Kalimbubu Singalo Ulu Emas yaitu paman kandung yang menerima ulu emas (kepala emas/ inti emas) sehingga yang berhak memegang kepala seseorang adalah kalimbubu (paman kandung). Secara literal ulu (kepala) dan emas (harta yang paling berharga) menurut masyarakat BK.

Tuturan ritual yang diucapkan kalimbubu ketika memasangkan ose (pakaian) ke kepala orang tua, kedua pengantin adalah kalimbubu Singalo Ulu Emas. Tuturan ritual pemakanan ose (pakaian) adalah sebagai berikut: (12) KLS: Enda tudungndu man pakenndu gelah

kam metunggung, ras mehaga anakku, mejuah-juahkal kam enjabuken bana ras anak kami.

“Inilah tudung yang kamu pakai, semoga engkau layak, terhormat anakku, dan berbahagialah engkau menikah dengan anak kami”.

(DE.001/KLS) (13) KLS: Enda bulangndu anakku gelah kam

metunggung, mehaga, ras mejuah-juahkal kam pejabuken anak

“Inilah bulang-bulang yang kamu pakai,

semoga engkau layak, terhormat anakku, dan berbahagialah engkau menikah anak kami”.

(DE.002/ KLS) (14) KLW: Enda osendu anakku gelah kam

metunggung, mehaga, ras mejuah-juahkal kam pejabuken anak.

“Inilah bulang-bulang yang kamu pakai,

semoga engkau layak, terhormat anakku, dan berbahagialah engkau dalam menikahkan anak”.

(DE.004/KLW)

Berdasarkan data (12, 13, dan 14) kedua kalimbubu baik pihak laki-laki maupun pihak wanita memberikan ose (pakaian) kepada kedua mempelai dan orangtua kandung dibuktikan kehadiran leksem tudung (penutup kepala wanita), dan leksem bulang (penutup kepala pria). Proses pemasangan tudung, bulang (penutup kepala) dilakukan langsung paman kandung kedua mempelai dan disaksikan kelompoknya.

Fungsi ose (pakaian) adat adalah sebagai tanda pelibat yang melaksanakan upacara, sebagai tanda siapa pengantin dan orangtua. Makna tuturan tersebut semoga kedua mempelai dan orang tua kandung menjadi metunggung (layak), mehaga (terhormat) dihadapan masyarakat BK sesuai dengan kehadiran leksem. Pada data 12 yang memberikan ose (pakaian) CPW adalah istri pamannya (mami) sedangkan CPP adalah paman kandungnya, begitu juga orangtua kandung kedua mempelai. Syarat pemakaian ose (pakaian) yang isampitken (dipakaikan) adalah bulang (penutup kepala CPP), dan tudung (kepala CPW), disertai dengan pemakaian emas-emas sertali. Berdasarkan ose (pakaian) terkait dengan mode, warna pakaian. Ose (pakaian) sesuai adat perkawinan terbuat dari kain tenun, dengan mode pewarnaan alami karena berasal dari zat pewarna tumbuhan seperti kunyit, getah gambir, kapur dan sebagaianya. Sedangkan warna pakaian dalam perkawinan secara umum adalah warna dasar tertentu yakni merah. Warna dasar ini sesuai dengan konsep kosmologi budaya Batak Karo. Benang benalu, adalah benang tiga rupa yakni putih, merah dan hitam. Benang benalu merupakan mitos kepercayaan masyarakat BK terhadap pencipta, alam. Warna merah berkaitan dengan penciptaan, bila direlasikan dengan peristiwa perkawinan mengindikasikan pada keinginan untuk mendapat keturunan, sehingga ketika anak lahir, ibu dan anak diberikan benang benalu dipakai sebagai gelang, yang bermakna tahan terhadap pengaruh mistik. Putih biasanya menyimbolkan kesucian, sehingga pada upacara suci seperti erpangir kulau (pembersihan diri), raleng tendi (pemanggilan roh) pakaian berwarna putih. Hitam menandakan warna dasar tanah, dan pada umumnya pada upacara kematian dipergunakan pakaian yang berwarna hitam, direlasikan bahwa manusia meninggal dan kembali ke tanah. 2.3 Ideologi Pronomina

“Logonomic systems specify and assume relations of power and solidarity between categories of participan, projecting an ideological vision of realy”. (Hodge dan Kress 1991 : 46)

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 120

Implikasi pernyataan di atas bahwa sistem logonomik yang mengatur hubungan power dan solidaritas yang mengacu relasi khusus, kekuatan (power) dan solidatitas antara kategori partisipan atau pelibat yang memproyeksikan sebuah visi ideologis. Sistem logonomik yang mengacu pada kategori partisipan adalah status sosial pelibat dalam sebuah kegiatan/ upacara WEBK.

Yang dimaksud dengan struktur/status sosial adalah kedudukan seseorang dalam sebuah aktivitas sosial WEBK. Berdasarkan status, etnik BK mempunyai kebiasaan memberikan nama dan merga (clan) dalam lingkungan keluarga, artinya setiap orang memiliki merga dan sub clan merga (Meliala 1978 : 15). Masyarakat BK, mempunyai merga merupakan sebuah simbol yang terdiri atas lima merga: (1) Karo-karo, (2) Ginting, (3) Sembiring, (4) Tarigan, dan (5) Perangin-angin. Etnik Batak Karo mempunyai: (a) merga (Pria) dan beru (perempuan) yang berasal dari clan ayah, (b) bebere berasal dari clan ibu, (c) kempu berasal dari clan bebere ibu, (d) soler berasal dari clan kempu ibu, (e) binuang berasal dari clan bebere ayah, dan (f) kampah berasal dari clan bebere kakek dari pihak ayah (Darwan 1985 : 42).

Berdasarkan keenam ciri/identitas tersebut dalam hal upacara adat, maka etnik Batak Karo (BK) membagi diri menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan Dalikan Sitelu (tungku nan tiga) atau Rakut Sitelu (ikatan tiga) yakni: (1) senina, (2) anakberu, (3) kalimbubu. 1. Senina adalah salah satu kelompok/unsur

dalam Dalikan Sitelu yakni orang yang mempunyai saudara karena: (a) pertalian darah, (b) semerga/beru, (c) sipemeren (ibu bersaudara), (d) siparibanen (istri/suami bersaudara), Sitepu, (1985: 45-46). Dalam kegiatan adat-istiadat, Senina merupakan penjamin materi dan moral seseorang dalam masyarakat, berhak mendapat warisan, dan berhak mendapat mas kawin.

2. Anakberu adalah salah satu kelompok/unsur sosial dalam Dalikan Sitelu, berdasarkan etimologinya: anak ‘anak’, beru ‘perempuan’ jadi anakberu adalah anak perempuan. Dalam pengertian lain orang/pihak yang menikahi anak perempuan suatu keluarga. Misalnya: A memperisti C, maka dari segi status sosial dalam masyarakat BK semua keluarga si A menjadi anakberu pada keluarga si C, keluarga si C adalah kalimbubu si A. Tugas dan kewajiban anakberu adalah: (a) mengatur jalannya pembicaraan runggu ‘musyawarah’ adat., (b) menanggung biaya sementara dalam upacara, (c) mengawasi segala harta milik kalimbubunya, (d) mengatur pertemuan keluarga, (e) menyiapkan peralatan dalam setiap upacara., (f) menanggung aib

dari kalimbubunya, (g) berhak mengawinkan putranya dengan putri kalimbubunya terlepas setuju atau tidak, dan (h) berhak menerima pembagian harta warisan dari kalimbubunya (Darwan, 1985: 68), Sitepu, (1985: 45-46). Pada prinsipnya anakberu pelaksana pekerjaan kalimbubu dan tetap menjaga keharmonisan dalam keluarga.

3. Kalimbubu adalah keluarga/pihak pemberi dara, kalimbubu sebagai pengayom dalam keluarga, pemberi nasehat, dan pemberi keputusan dalam konflik keluarga. Dalam adat istiadat kedudukan/status kalimbubu sangat tinggi, malah disebut sebagai “Dibata ni idah” artinya Tuhan yang yang dapat dilihat, Sitepu, (1985 : 42). Kalimbubu sangat dihormati karena mereka yang melahirkan ibu kita sendiri, dan pelindung dalam keluarga. Sapaan Kalimbubu Singalo Ulu Emas adalah sebagai status sosial tertinggi dalam masyarakat BK. Kalimbubu sebagai pemilik Ulu ‘kepala/inti’dan Emas (sejenis harta paling mahal) menurut adat istiadat BK. Sapaan yang dipergunakan pada situasi tidak formal/kehidupan sehari-hari adalah mama untuk paman, mami untuk sapaan istri paman, dan ketika situasi upacara disapa dengan kalimbubu.

2.4 Ideologi Pertuturan Dalam suatu pertuturan, kekuatan (power) dan solidaritas sering ditunjukkan dengan pilihan leksikal, mengacu situasi keformalan dan ketidak formalan (Hodge dan Kress 1991: 49). Hal ini berkaitan dengan sapaan yang dipergunakan antarpartisipan dalam tindak berbahasa. Hal ini dapat ditemukan dalam WEBK. (15) ABS: Adi enggo bage nina, meriahkal ukur

kami sebab reh teremna kita jadi kuda dalin kalimbubunta.

“Bila begitu, kamipun sangat gembira

dan senang disebabkan makin banyak kita menjadi pesuruh kalimbubu”.

(MBS.32/ABS)

Berdasarkan data (15) pilihan leksikal yang dipergunakan ABS yakni menggunakan sapaan kalimbubu dalam konteks sosial WEBK yang mengandung kekuatan (power) dan lebih formal, dan menjangkau ranah publik. Berdasarkan pilihan leksikal tersebut sapaan kalimbubu status sosialnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan ABS yang memiliki status sosial lebih rendah, yakni anakberu/pesuruh kalimbubu. Hal ini dibuktikan dengan leksem yang dipergunakan oleh ABS yakni kuda dalin (kuda tunggangan) yang

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 121

bermakna sebagai alat, pembawa kalimbubu, karena anakberu sebagai pekerja.

Dalam situasi tidak formal maka sapaan kalimbubu dipergunakan pilihan leksikal sapaan mama (paman), mami (istri paman), sedangkan anakberu dipergunakan pilihan leksikal dengan menggunakan sapaan bengkila (pakcik), bibi (istri pakcik), dan senina dipergunakan status sosial yang setara. Dengan demikian ideologi pertuturan dalam WEBK sapaan kalimbubu, mama, mami mengandung kekuatan (power) sedangkan sapaan anakberu, bengkila, bibi memiliki status sosial yang lebih rendah, dan pilihan leksikal dengan menggunakan sapaan senina menunjukkan status sosial yang setara. 2.5 Ideologi Konstruksi Gender Ideologi konstruksi gender adalah pembatasan diri (self limitation) peran pelibat dalam sebuah aktivitas (Hodge dan Kress 1991 : 97). Implikasi pernyataan di atas mengindikasikan bahwa, pesan gender baru terlihat pada diri seseorang bila dibarengi dengan kaidah etika. Peran bahasa verbal sangat penting dan sebagai penyokong, kode ruangan yang bersifat fisik, gaya berpakaian, penampilan, dan tingkah laku, harus benar-benar diperhatikan sehingga muncul makna-makna yang bersifat ideologis (Hodge dan Kress 1991 : 102-104).

Berdasarkan prosedur yang dimaksudkan di atas bahwa, setiap interaksi antarpelibat dilingkupi kaidah etika sebagai pemarkah konstruksi gender. Gender merupakan suatu kategori yang dianggap penting dalam mayarakat, karena sistem logonomik yang memunculkan makna semiotik yang berkaitan dengan gender. Suatu aspek sistem gender adalah pengklasifikasian realitas yang memproyeksikan makna-makna sosial mengenai laki-laki dan perempuan.

Terkait dengan sistem logonomik dalam penjelasan ideologi tempat, pakaian, pertuturan dan pronomina dihubungkan dengan ideologi konstruksi gender, maka status sosial kalimbubu, senina, dan anakberu sebagai pelibat dalam WEBK tidak menunjukkan fitur gender yang signifikan. Hal ini dibuktikan bahwa kalimbubu, senina, dan anakberu dapat berjenis kelamin laki-laki atau wanita, tidak seperti she, he, penanda maskulin, feminin dalam bahasa Indo Eropa.

Pronomina kita, kami, aku, ia, kam (kamu) dalam WEBK tidak mengacu pada gender laki-laki atau wanita. Tetapi perbedaan gender dalam WEBK dapat ditemui pada tataran sapaan yang digunakan dalam segala aktifitas, seperti penggunaan sapaan nande (ibu), bapa, (ayah), mama (paman), mami (istri paman), bengkila

(pakcik), bibi (istri pakcik), bulang (kakek), nini (nenek) yang menunjukkan konstruksi gender.

Disisi lain konstruksi gender dapat dilihat berdasarkan etika dalam beraktivitas, yakni pelibat yang diijinkan dan dilarang melakukan kegiatan tentu, hal ini sangat terkait dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara. Secara umum pemberian belo(sirih), tendang (lampu), amak (tikar), kudin (periuk), perakan (tempat beras), dan uis (kain) kepada pengantin mengindikasikan kekuatan (power) gender wanita, karena dilakukan kalimbubu yakni mami (istri paman), dan bibi. Sarana upacara seperti manuk (ayam), sirih, lampu, tikar, periuk, beras dan kain menunjukkan alat rumah tangga, yang mengacu ideologi konstruksi gender, mengarahkan mempelai wanita bekerja secara domestik yakni pekerjaan rumah tangga. Dari etika dalam beraktifikas dalam maka pemberian sarana WEBK di atas di lakukan oleh istri paman CPP/CPW (kelompok kalimbubu). Ideologi konstruksi gender dapat ditemukan seperti data di bawah ini: (16) ABK: Bujur kalimbubu, enda dage kerina

cakapndu, enggo kam banci kundul ku jabundu!. Momo man banta kerina, ibas dungna acarata enda, maka kari berngi ibahan mukul, inganta pulung i rumah kalimbubu kami emkap i..., janah sura-sura kalimbubu kami, piga-piga kam kalimbubu ikut naruh.

Terima kasih kepada kalimbubu

semuanya! Apakah masih ada yang menambahkannya? Pengumuman kepada kita semuanya, acara telah dilaksanakan semuanya, oleh sebab itu nanti malam dilaksanakan upacara Mukul, di rumah kalimbubu kami yaitu di..., dan kami memohon agar perwakilan kalimbubu dapat menghadirinya!”.

(DE.78/ABK)

Berdasarkan data (16) di atas bahwa seusainya upacara erdemubayu masih ada upacara berikutnya yaitu upacara Mukul. Berdasarkan tempat maka upacara tersebut di laksanakan di rumah pihak laki-laki (CPP) hal ini dibuktikan oleh kehadiran bentuk lingual berngi ibahan mukul, inganta pulung i rumah kalimbubu... (nanti malam dilaksanakan upacara muku, tempatnya di rumah kalimbubu kita di...). Implikasinya, bahwa selesai upacara erdemubayu maka pihak wanita (CPW) mengikut suami (patrilineal). Hal ini juga dikuatkan oleh pemberian batang unjuken (mahar), yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagi simbol ganti diri

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 122

CPW. Sifat patrilineal dalam WEBK juga tampak dalam pemberian marga (clan), hal ini dibuktikan oleh pemberian marga ayah (suami/bapak). Misalnya, jika seorang anak lahir baik laki-laki atau perempuan aka secara langsung marga (clan) bapak yang digunakan dalam tambahan nama.

Di sisi lain solidaritas konstruksi gender nyata pada pemberian wewenang yang diberikan oleh paman (kalimbubu) kepada istrinya. Penunjukkan solidaritas dalam WEBK terdapat dalam tuturan di bawah ini: (17) ABS: Eak, man bandu kalimbubu kami terus

ku puangkalimbubu kami, silih kami terlebih man banta anak beru: reh nina anakberu sireh enda ndai, enggo lit sura-surana erjabu ras diri kalimbubunta rumah enda gelarna si... (anu)... janah kerehenna enda emkap nungkun keriahen ukurta. a. Uga nindu kam Puang kami? b. Uga nindu kam kalimbubu kami? c. Uga nindu kam silih kami?

“Ya, Yang terhormat kalimbubu, dan

puang kalimbubu, ipar, khususnya anakberu, saat ini telah disampaikan anak beru pihak laki-laki kepada kita seluruhnya, bahwa kedatangannya bermaksud ingin meminang si...anu, a bagaimana menurut Puang Kalimbubu? Bagaimana menurut Kalimbubu?, c. Bagaimana menurut Ipar?

(MBS.24/ABS) Secara pragmatis tuturan data (17) ABS

menanyakan tentang persetujuan kalimbubu mengenai peminangan yang dilakukan pihak keluarga ABK hal ini direpresentasikan oleh leksem ...uga nindu ... (bagaimana menurut).... pertanyaan tersebut adalah mengacu sebuah keputusan yang berasal dari pihak kalimbubu ABS.

Secara pragmatis, maksud ABS adalah agar kalimbubu memberikan jawaban atas pertanyaan di atas yakni sebuah keputusan apakah kalimbubu senang atau tidak mengenai peminangan. Data (17) bahwa kekuatan (power) dimiliki oleh kalimbubu, yaitu sebuah keputusan senang atau tidak, tidak memperlihatkannya dan malah menolak keputusan dengan menggunakan leksem Engkai maka isungkunndu kami? (mengapa kami yang ditanya) seperti data di bawah ini: (18) KLW: Engkai maka isungkundu kami? Me

ate kena adi barang - barang kena! Banlah arihndu sebab permendu e me kena nge empuna, emaka uga nindu? Arih kam kerina anakberu kami!

“Mengapa bertanya tentang kesenangan hati kami? Ini terserah kalian anakberu kami! Terserah kalian sebab permen adalah barang-barang kalian. Kalian yang berhak menentukannya! Bermusyawarahlah kalian!”

(MBS.25/KLW)

Implikasi leksem yang dipergunakan kalimbubu sesuai data (18) adalah anak kandungnya sendiri diserahkan kepada anakberu, hal ini dibuktikan leksem, Me ate kena adi barang - barang kena! Terserah kalian. Berarti, anak kandung kalimbubu merupakan hak milik anakberu dan lebih sarkas dinyatakan dengan anak disimbolkan seperti benda biasa dibuktikan leksem barang - barang kena (barang-barang kalian).

Berdasarkan data (18) kalimbubu memberikan kekuatan (power) kepada anakberu sehingga bibi kandung CPW menunjukkan kekuatannya (power) dibuktikan data 11 yakni: (19) BIBI: Kami Bibina la senang ... enterem anak

kami enggo galang, erdahin, lit sierpangkat, emaka kami kerina anakberu la senang? Kam mis kupejabu ras anakku, siapai atendu ngena, milihi kam!

“Kami sebagai bibinya merasa tidak

senang, sebab anak kami juga ada yang sudah dewasa, sudah bekerja, ada yang berpangkat tinggi, oleh sebab itu kami semuanya merasa keberatan! Kamu harus menikah dengan anakku yang baik itu, yang mana kamu pilih!”.

(MBS 27/BIBI)

Berdasarkan data (19) bibi CPW menolak dan menyatakan tidak senang, dan memaksakan kehendak yakni berusaha menikahkan anak kandungnya dengan CPW, bukan dengan orang yang dicintai CPW. Bibi CPW malah memberikan beberapa pilihan kepada CPW yakni bebas memilih anaknya baik sudah bekerja maupun berpangkat tinggi dan sebagainya dibuktikan leksem Kam mis kupejabu ras anakku, siapai atendu? Milihi kam! (Kamu aku nikahkah dengan anakku, yang mana kamu sukai, silakan pilih!).

Berdasarkan konteks sosial budaya BK sesuai dengan data 19 sering ditemukan, konflik di atas yakni perseteruan kelompok anakberu dengan CPW, yang melahirkan ideological complexes, yakni anakberu (bibi) dengan CPW. Kehadiran ideological complexes konstruksi gender dibuktikan dengan kontradiksi yakni keinginan bibi dan keinginan CPW yang berbeda. Solusinya seperti data di bawah ini:

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 123

(20) CPW: O, Bibi, Bengkila, jelma sikubaba enda serikal ras anakndu sirumahndu, janah enggo ngaku nggit jadi anakndu bibi,bengkila emaka ula kal kam merawa!

“Ya, Bi.., Pakcik, orang yang kubawa

kehadapanmu ini sama persis dengan anak kalian, dan dia juga sudah mengaku dan berjanji berkeinginnan menjadi anakmu, jadi kami mohon kabulkanlah permintaan kami berdua!”

(MBS/28.CPW) (21) BIBI: Payo bage nindu anakku? “Apakah benar yang kau ucapkan itu

anakku?”. (MBS.29/BIBI) (22) CPP: Payo Pa…, payo Bi…. “Benar Pak..., benar Bi”. (MBS.30/CPP)

Berdasarkan data (20) CPW memberikan solusi agar konflik kepentingan tidak mengarah ke negatif, misalnya bentrok, marah dan sebagainya. CPW menggunakan leksem serikal (sama dengan) yang berarti mengisyarakatkan bahwa CPP sama dengan anak kandung bibinya. Kebenaran tersebut dibuktikan oleh bibinya dengan mengarahkan pertanyaan kepada CPP sesuai dengan data (21). Berdasarkan data (22) CPP menguatkan kebenaran pernyataan CPW yakni dengan menggunakan leksem payo (benar).

Secara pragmatis data (19-22) peristiwa ketidaksetujuan, kemarahan, kelompok anakberu pihak wanita sering diperlihatkan di depan umum. Perilaku sikap emosional di depan umum sebenarnya tidak wajar dilaksanakan di hadapan banyak orang, khususnya dalam upacara, tetapi secara ideologis sosial budaya BK, perilaku anakberu (kelompok bibi CPW) pada sisi lain sangat membanggakan kalimbubunya (kelompok paman CPW) karena kalimbubu merasa dilindungi/dibela secara terang-terangan oleh anakberu. Maksud tuturan di atas adalah menunjukkan sikap saling menghormati, membela keluarga secara langsung di hadapan umum. Berdasarkan proses logonomik tanda di atas mengindikasikan power dan solidaritas dimiliki kalimbubu, senina dan anakberu dalam status sosial BK.

3. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data maka beberapa simpulan yang dihasilkan sesuai dengan permasalahan, adalah sebagai berikut: WEBK memiliki makna bersifat ideologis yang mengacu

pada kekuatan (power) dan solidatas. Dalam WEBK ditemukan kekuatan (power) terletak pada kelompok partisipan yaitu kalimbubu. Pembuktian kekuatan (power) kalimbubu adalah berdasarkan: (1) ideologi tempat duduk, hal ini dibuktikan pemasangan ose (pakaian adat) hanya dapat dilakukan oleh kalimbubu CPP/CPW atau tidak dapat diwakilkan oleh orang lain, juga pada ngalo-ngalo (penyambutan) hanya clan kalimbubu yang disambut seluruh pelibat WEBK, dan juga penenpatan posisi yaitu sebelah ulu (kepala) atau kemuhen (kanan) pelibat WEBK dengan tujuan penghormatan. (2) ideologi pertuturan, hal ini dibuktikan oleh sapaan kalimbubu sebagai status sosial yang paling tinggi dalam WEBK, termasuk berdasarkan perilaku ideologis yaikni pelayanan semua kebutuhan WEBK dipenuhi oleh sukut (pembuat upacara) perilaku tidak sopankepada kalimbubu merupakan aib bagi sukut dan anakberu, (3) ideologi penempatan diri, (4) ideologi pronomina, dan (5) ideologi konstruksi gender dalam WEBK dibuktikan oleh perilaku sosial masyarakat BK. BK menganut patrilineal yaitu mengikut garis keturunan pihak laki-laki. Pemberian alat rumah tangga dilakukan oleh istri pihak paman CPP/CPW.

------------------------------ 1 Artikel ini dikembangkan dari Tesis Magister

Linguistik

DAFTAR PUSTAKA Arfinal. 2003. Teks Pasambahana Kamatian

Masyarakart Kota Padang: Sebuah Analisis Teori Semiotik Sosial. Tesis. Denpasar: Program Studi Magister Linguistik UNUD.

Brown, Gillian & George Yule. 1996. Analisis

Wacana. Penerjemah. I. Soetikno. Jakarta: Gramedia.

Budiman. Kris. 2004. Semiotika

Visual.Yogyakarta: Buku Baik. Bukit.M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Istiadat

Batak Karo. Kabanjahe: Bukit. Cobley, Paul. Ed. 2001. Semiotics and Linguistics.

London: Routledge. Dillistone. F.F. 2002. The Power Of Symbols.

London: SCM Press. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik.

Bandung: Eresco. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 2.

Bandung: Refika.

❏ Jekmen Sinulingga Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo

Halaman 124

Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana. Bandung: Eresco.

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta:

LKiS. Foley. William A. 1997. Anthropological

Linguistics An Introduction. University of Sydney: Blackwell.

Geert, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan.

Yogyakarta: Kanisius. Hadge, Robert & Gunter Kress. 1991. Social

Semiotics. Cambrigde: Polity Press. Hogde, Robert & Gunther Kress. 1979. Language

as Ideology. London: Routledg. Hymes, D. 1972b. “Toward Etnography of

Communication: The Analysis of Communication Events”. Dalam Goglioli 1972 : 22-24.

Koentjaraningrat. 1982. Pengantar Ilmu

Antropologi. Jakarta: Renika Cipta. Laksana, I Ketut Darma. 2003. “Tabu Bahasa

Bali”. Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indoensia.

Leech,Geoffrey. 2003. Semantik. Penerjemah.

Paina Partana.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.

Terj. M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam

Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Lucy, Niall.ed. 1995. Social Semiotics. Australia:

Murdoch University. Malini, Ni Luh Nyoman. 2004. “Dakwah

Masyarakat Muslim di Kampung Wabasari Denpasar: Sebuah Analisis Wacana Kritis”. (Tesis). Program Magister Linguistik Universitas Udayana.

Miles, dan M. Huberman. 1992. Analisis Data

Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Munaf, Yarni.dkk. 2001. Kajian Semiotik dan

Mitologis. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

North, Winfried. 1995.Hand Book of Semiotics. USA: American University Press.

Padmadewi, Ni Nyoman, 2005. “Tuturan Wacana

Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”. (Disertasi). Program. Pascasarjana Universitas Udayana.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori

Baru Mengenal Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pattinasarany, Sally.1996. Dasar-Dasar Semiotik.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Rahadi, R. Kutjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan

Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rani, Abdul.dkk. 2004. Analisis Wacana. Malang:

Bayumedia. Samsuri, 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia.

Jakarta: Sastra Hudaya. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial;

Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.

Saragih, Amrin. 2002. Bahasa dalam Konteks

Sosial. Medan: Universitas Negeri Medan. Sartini, Ni Wayan. 1998. “Wacana Ritual

Masyarakat Tenganan Pegringsingan: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. (Tesis). Program Studi Magister Linguistik UNUD.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan:

Poda. Siregar, Asrul.1994. “Referensi dan Inferensi

Dalam Ujara-Ujaran pada Upacara ‘Mangupa’ Masyarakat Tapanuli Selatan”. (Tesis). Program Pendidikan Pascasarjana Universitas Indonesia.

Sitepu, Sempa. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan:

Bali. Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung:

Remaja Rosdakarya. Spadley, James P. 1997. Metode Etnografi.

Penerjemah. Misbah. Yogyakarta: Tiara Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: ke arah

Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 125

TERJEMAHAN, PERMASALAHAN, DAN BEBERAPA

PENDEKATAN

Eddy Setia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This paper deals with translation, problems, and some approaches. The topic is interesting enough to be discussed to give ideas and information to those who are interested in translation. It gives some important description related to the common problems faced by translators and some approaches to be refered. Translating is a hard work. It needs thorough understanding and mastering not only the understanding and mastering the target language but also the source one. The idea of the problems in translation here serves the knowledge of ways to cope with. The approaches given could be as the opening minds – selecting the one that match with the work of translation or combining one to another in oder to get the best way. Some other information and illustration about trend in translation could be as the motivation to increase the skill in order to be professional Key words: translation, problems, approaches, globalization, internalization, localization

1. PENDAHULUAN Banyak orang mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih sulit dibandingkan dengan pekerjaan menerjemahan. Penerjemah tidak hanya harus menguasai bahasa sumber (BS) nya dengan baik; tetapi mereka juga harus memiliki kemampuan pemahaman menyeluruh tentang bidang pengetahuan yang dicakupi teks BS tersebut. Artinya, setiap konotasi sosial, kultural, dan emosional yang perlu dicantumkan dalam bahasa target (BT) harus dipahami benar. Kesadaran tertentu yang sama perlu dihadirkan untuk BT, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan kata-kata dan frasa tertentu, ungkapan-ungkapan tabu, ekspektasi lokal, dan sebagainya dapat diperhitungkan dengan matang karena menerjemahkan tidak hanya sekadar mentransfer atau merubah BS ke BT, akan tetapi lebih dari itu.

Beratnya tugas dan tanggungjawab penerjemah (tentunya bagi penerjemah yang telah memenuhi kriteria profesionalitas tinggi) sangat sesuai dengan nilai nominal yang diterimanya. Dapat dikatakan bahwa kemampuan menerjemahkan merupakan kemampuan yang mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi dibanding dengan kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa dan ilmu bahasa lainnya.

2. TERJEMAHAN DAN PERMASALAHANNYA

Tujuan terjemahan adalah untuk menyediakan padanan semantik antara BS dan BT. Inilah yang membedakan antara terjemahan dengan semua jenis kegiatan linguistik. Banyak persoalan yang tersembunyi di dalam pernyataan yang sederhana ini, semua dilakukan dengan standar padanan apa yang harus diharapkan dan diterima. Padanan yang sebenarnya tentu saja tidak mungkin: tak seorang penerjemah pun dapat memberikan sebuah terjemahan yang benar-benar sama/padan dengan teks sumbernya. Meskipun ada kesamaan dalam penguraian kata-kata dalam satu bahasa, selalu ada beberapa informasi yang hilang.

Di sisi lain, ada banyak jenis padanan nyata, sebagian di antaranya dapat berhasil pada suatu tingkatan fungsi praktis tertentu. Keberhasilan suatu proses penerjemahan sangat bergantung pada tujuan terjemahan itu dilakukan, yang hasilnya merefleksikan kebutuhan orang yang memerlukannya. Sebuah terjemahan yang luwes, bersifat kasar dan berguna (rough-and-ready translation) dari sebuah surat bisa mencukupi untuk memberikan informasi yang akurat. Sebuah terjemahan teks ilmiah membutuhkan perhatian yang super hati-hati terhadap makna, tetapi tidak demikian terhadap bentuk-bentuk estetikanya. Karya-karya sastra membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang sensitif terhadap bentuk dan isi. Terjemahan yang

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 126

menyangkut teks-teks keagamaan khususnya kitab suci paling tidak harus memenuhi dua kriteria, yang justru selalu bertentangan karena kriteria yang satu melihat ke belakang (latar belakang sejarah) dan yang satu lagi melihat ke depan (masa depan pemeluknya). Pertama, terjemahannya harus menurut sejarah akurat, tepat mewakili makna yang ada pada sumber aslinya, sepanjang hal ini dapat diketahui, dan dipadukan dalam tradisi keagamaan yang terpisah. Yang kedua, terjemahannya harus dapat diterima oleh pengguna terjemahan tersebut – yang dalam praktiknya – dapat dimengerti, secara estetika menyenangkan, dan mampu menghubungkan dengan kecenderungan masa kini khususnya dalam pemikiran keagamaan, tekanan-tekanan sosial, dan perubahan bahasa. Sebenarnya, tidak ada terjemahan yang memenuhi kebutuhan faktor-faktor tersebut di atas, dan kebanyakan dalam satu faktor tertentu justru kontroversial.

Proses terjemahan antara dua bahasa tulis yang berbeda melibatkan penerjemah mengubah teks tulis asli (Teks Sumber/TS) dalam bahasa verbal asal (Bahasa Sumber/BS) ke dalam teks tulis (Teks Target/TT) dalam bahasa verbal yang berbeda (Bahasa Target/BT). Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:

3. BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENERJEMAHAN

3.1 Roman Jakobson: Sifat Makna Linguistik dan Padanan Kata

Jakobson (1959/2000:114) – dengan pendekatan sifat makna linguistik dan padanan kata - mengelompokkan terjemahan ke dalam tiga kelompok: (1) terjemahan intralingual, atau penyusunan kata-

kata kembali (rewording): suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan tanda-tanda lain dalam bahasa yang sama.

(2) terjemahan interlingual, atau terjemahan yang sebenarnya: suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan bahasa lainnya.

(3) terjemahan intersemiotik, atau transmutasi: suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan sistem tanda nonverbal.

Terjemahan interlingual dilakukan misalnya ketika seseorang hendak mengatakan sesuatu dengan cara lain baik berupa sebuah ungkapan maupun teks dalam bahasa yang sama

untuk menjelaskan atau mengklarifikasi sesuatu yang sudah dijelaskan atau dituliskan. Terjemahan intersemiotik dilakukan kalau sebuah teks tulis diterjemahkan, misalnya ke dalam musik, film atau lukisan. Terjemahan interlingual merupakan terjemahan tradisional yang menjadi fokus kajian dalam kajian terjemahan (translation studies). Setidaknya ada dua tujuan utama kajian terjemahan ini, antara lain: (1) untuk mendeskripsikan fenomena

penerjemahan dan terjemahan sebagaimana keduanya nyata di dunia pengalaman kita.

(2) untuk menetapkan prinsip-prinsip umum dengan menggunakan fenomena-fenomena yang dapat dijelaskan dan yang dapat diprediksi.

Jakobson (1959:238) membuat pernyataan yang sangat penting bahwa ‘semua pengalaman kognitif dan klasifikasinya dapat disampaikan dalam bahasa yang ada.’ Dia mencontohkan konsep bahasa Inggris British seperti the National Health Service, public-private partnership dan congestion charging, atau di Amerika Serikat, Ivy League university, Homeland Security dan speed dating juga bisa diungkapkan dengan berbagai cara dalam bahasa target (BT).

Isu kunci yang digagas khususnya menyangkut makna linguistik dan padanan kata. Pendekatan yang dilakukan masih kental mengikuti konsep Saussure yaitu signifier (tanda lisan dan tulisan) dan signified (konsep tanda). Signifier dan signified membentuk tanda linguistik, tetapi tanda itu manasuka atau tidak dimotivasi (Saussure 1916/1983:67-69). Dicontohkan kata cheese dalam bahasa Inggris merupakan signifier akustik yang menunjukkan konsep makanan yang terbuat dari pati susu yang dipadatkan (signified).

Terjemahan interlingual meliputi penggantian pesan dalam satu bahasa bukan untuk memisahkan satuan-satuan kode, tetapi untuk keseluruhan pesan dalam bahasa lainnya. Penerjemah mengkodefikasikan ulang dan memindahkan pesan yang diterima dari sumber lain. Oleh karenanya, terjemahan meliputi dua pesan yang padan dalam dua buah kode yang berbeda (Jakobson 1959/2000:114).

Untuk pesan yang padan dalam TS dan TT, satuan-satuan kodenya akan berbeda selama kode-kode tersebut dalam dua sistem tanda yang berbeda (bahasa-bahasa yang berbeda). Dari sudut linguistik dan semiotik, Jakobson membahas permasalahan padanan dengan definisi yang sekarang ini menjadi terkenal: padanan dalam perbedaan merupakan permasalahan pokok bahasa dan merupakan pertimbangan linguistik yang

TS / BS TT / BT

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 127

sangat penting. Permasalahan makna dan padanan berfokus pada perbedan dalam struktur dan terminologi bahasa bukan pada ketidakmampuan suatu bahasa untuk membawa pesan yang telah dituliskan dalam bahasa verbal lainnya.

Perbedaan antarlinguistik mengitari bentuk-bentuk tata bahasa dan leksikal: bahasa berbeda secara esensial dalam hal sesuatu yang harus disampaikan dan bukan pada sesuatu yang bisa disampaikan. Contoh-contoh perbedaannya mudah ditemukan dan perbedaan-perbedaan itu terjadi pada: (1) tingkat gender: misalnya house adalah feminin

dalam bahasa-bahasa Roma, netral dalam bahasa Jerman dan bahasa Inggris; honey adalah maskulin dalam bahasa Perancis, Jerman, dan Itali, feminin dalam bahasa Spanyol dan netral dalam bahasa Inggris.

(2) tingkat aspek: dalam bahasa Rusia morfologi verba bervariasi menurut apakah tindakan yang dimaksud sudah dilakukan atau belum.

(3) tingkat bidang semantik: children dalam bahasa Inggris dalam pernyataan ‘I’ve got two children’ diterjemahkan hijas dalam bahasa Spanyol kalau kedua anak yang dimaksud perempuan.

Permasalahan makna, padanan, dan

kemampuan menerjemah menjadi tema yang berkesinambungan dalam kajian terjemahan di tahun 1960an dan ditangani oleh sebuah pendekatan ilmiah yang baru oleh salah seorang figur yang sangat penting dalam kajian terjemahan yaitu Eugene Nida.

3.2 Eugene Nida dan “Ilmu Penerjemahan” Teori terjemahan yang digagas oleh Nida berkembang dari pengalaman kerjanya dari tahun 1940an dan seterusnya ketika dia menerjemahkan dan mengorganisasikan terjemahan Injil. Teorinya dipergunakan dalam bentuk kongkret pada kedua karya besarnya (1) Toward a Science of Translating (1960), dan (2) Theory and Practice of Translation (Nida dan Taber 1969). Pendekatan terjemahan Nida kemudian lebih sistematis setelah mengadopsi ‘konsep teoretis dan terminologi semantik dan pragmatik, dan teorinya Chomsky, yaitu Tatabahasa Transformasi Generatif.

Nida menggolongkan makna ke dalam dua bagian, (1) makna linguistik (meminjam unsur-unsur modelnya Chomsky); (2) makna referensial (makna denotatif – makna yang ada pada kamus dan makna emotif (konotatif)). Serangkaian teknik diadaptasikan dari berbagai karya dalam kajian linguistik dan disajikan sebagai bantuan bagi penerjemah dalam menentukan

makna unsur-unsur linguistik yang berbeda. Teknik yang ditawarkan dalam menentukan makna referensial dan makna emotif (konotatif) berfokus pada analisis struktur kata dan membedakan kata-kata yang sama dalam bidang leksikal terkait. Ini termasuk juga penyusunan urutan tingkatan yang membedakan rangkaian kata sesuai dengan tingkatannya (misalnya, subordinat binatang dan hiponimnya: sapi, kambing, kucing, anjing, dan lain-lain), dan teknik analisis komponen (misalnya dalam mengidentifikasi dan membedakan ciri-ciri khusus tingkatan kata-kata yang berhubungan. Hasilnya dapat digambarkan secara visual untuk membantu dalam membuat suatu bandingan menyeluruh. Nida (1964a: 84--5) mencontohkan penggambaran istilah-istilah hubungan (grandmother, mother, cousin, dsn lain-lain) menurut jenis kelamin (pria, wanita), generasi (sama, satu, dua, atau lebih yang terpisah) dan keturunan langsung (leluhur langsung/keturunan atau bukan). Hasilnya sangat berguna bagi penerjemah khususnya dalam menerjemahkan sebuah bahasa yang memiliki sistem pertalian keluarga yang berbeda.

Teknik lain yang digagas oleh Nida adalah analisis struktur semantik (1964a:107). Dia memisahkan secara visual perbedaan makna spirit (‘demons’, ‘angels’, ‘gods’, ‘ghost’, ‘ethos’, ‘alcohol’, dan lain-lain) sesuai dengan ciri-cirinya (human vs. non-human; good vs. bad, dan lain-lain). Ide utama dari analisis ini adalah bahwa pengertian sebuah istilah semantik yang rumit seperti spirit (atau contoh lain bachelor) sangat bervariasi dan lebih utama lagi ‘terkondisi’ oleh teksnya. Spirit tidak selalu berkaitan dengan signifikansi keagamaan. Istilah Holy Spirit, nilai emotif dan konotatifnya beragam menurut budaya targetnya.

Secara umum, teknik analisis komponen dimaksudkan sebagai cara untuk mejelaskan ambiguitas/ketaksaan, menghindarkan bagian-bagian yang tak jelas dan mengidentifikasi perbedaan-perbedaan budaya. Semua ini bisa menyajikan suatu bandingan bahasa dan budaya yang berbeda.

Pengaruh Chomsky yang kuat dalam teori yang dikembangkan Nida dapat diringkaskan sebagai berikut: (1) kaidah struktur-frase menurunkan suatu

lapisan atau struktur dalam yang (2) ditransformasikan dengan menggunakan

kaidah transformasi menghubungkan lapisan struktur ke lapisan struktur lainnya (misalnya aktif ke pasif, untuk menghasilkan

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 128

(3) sebuah struktur luar akhir, yang merupakan subjek bagi kaidah fonologis dan morfemis.

Struktur luar TS dianalisis ke dalam unsur-unsur dasar struktur dalam yang kemudian ditransfer ke dalam proses terjemahan dan kemudian direstrukturisasi secara semantik dan stilistika ke dalam struktur luar TT. Sistem tiga-tingkatan terjemahan ini (analisis, transfer, dan restrukturisasi) dapat dagambarkan sebagai berikut.

Deskripsi proses yang ditawarkan Nida dan Taber menekankan keuntungan-keuntungan ‘ilmiah’ dan ‘praktis’ dibandingkan dengan upaya manapun untuk menyusun daftar padanan yang benar-benar komprehensif antara pasangan khusus sistem BS dan BT. ‘Inti’ merupakan istilah kunci dalam model ini. Seperti kalimat-kalimat inti yang merupakan unsur-unsur struktur dasar dari model awalnya Chomsky. Jadi, bagi Nida ’inti-inti tersebut merupakan unsur-unsur struktur dasar dan bahasa membangun struktur luarnya yang rinci’ (Nida dan Taber 1969:39). Inti-inti tersebut diperoleh dari struktur luar TS dengan suatu proses reduksi transformasi kembali (Nida 1964a:63--69). Ini melibatkan analisis menggunakan empat tipe kelas fungsional tatabahasa transformasi generatif: (1) peristiwa (sering tetapi tidak selalu dilakukan

oleh verba). (2) objek (sering tetapi tidak selalu dilakukan

oleh nomina). (3) abstrak (kuantitas dan kualitas, termasuk

adjektiva). (4) relasional (termasuk gender, preposisi dan

konjungsi).

Berkenaan dengan padanan, Nida memberikan dua orientasi dasar atau tipe padanan, yaitu (1) padanan formal, dan (2) padanan dinamis

(1964a:159). Padanan formal memfokuskan perhatiannya pada pesan itu sendiri, baik bentuk maupun isi …bahwa pesan dalam bahasa penerima harus mencocokkan sedekat mungkin unsur-unsur yang berbeda dalam BS. Padanan formal secara teliti diorientasikan pada struktur TS, yang menggunakan pengaruh kuat dalam menentukan akurasi dan kebenaran.

Padanan dinamis berdasarkan pada prinsip pengaruh padanan yang hubungan antara penerima dan pesan secara substansi sama seperti yang ada antara penerima aslinya dengan pesan. Pesan harus diciptakan untuk kebutuhan linguistik penerima dan ekspektasi kultural dan “mengarah pada kewajaran ekspresi yang lengkap”. Tujuan padanan dinamis ini seperti mencari padanan alami yang paling mendekati pesan BS. 3.3 Peter Newmark: Terjemahan Semantik dan

Komunikatif Dua karya akbar Peter Newmark, yaitu (1) Approaches to Translation (1981) dan (2) A Textbook of Translation (1988) digunakan secara luas pada pelatihan-pelatihan penerjemah, kombinasi contoh-contoh praktis teori makna linguistik, dan aplikasi terjemahan. Pendekatan Newmark berangkat dari gagasan yang pernah dicetuskan oleh Nida. Untuk menghindari kesamaan istilah khususnya pada BS dan BT, Newmark menggunakan istilah ‘terjemahan semantik’ dan ‘terjemahan komunikatif’. Terjemahan komunikatif mencoba menghasilkan suatu pengaruh bagi pembacanya sedekat mungkin sehingga memperoleh keaslian bagi pembacanya. Terjemahan semantik mencoba untuk menerjemahkan sedekat mungkin struktur sintaksis dan semantik BT, makna kontekstual dari aslinya (Newmark 1981:34).

Uraian mengenai terjemahan komunikatif ini mirip dengan padanan dinamis yang disarankan Nida, sedangkan terjemahan semantik sama dengan padanan formalnya. Definisi-definisi Newmark tentang kedua jenis terjemahan ini menampakkan perbedaan-perbedaan yang jelas, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Beberapa penulis lainnya yang erat kaitannya dengan gagasan Jakobson khususnya bertautan dengan teori padanan antara lain: (1) Wenner Koller (1979/1989): Korrespondenz and Äquivalenz dan (2) S. Bassnett (1990/1991): Translation Studies: Problems of equivalence.

A (Bahasa Sumber) B(Bahasa penerima) (analisis) (restrukturisasi)

X Transfer Y

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 129

Parameter Terjemahan Semantik Terjemahan Komunikatif Fokus pengirim/ penerima Budaya Waktu dan keaslian Hubungannya dengan TS Penggunaan bentuk BS Bentuk BT Kelayakan/ kepatutan Kriteria evaluasi

Fokus pada proses pemikiran tentang pengirim sebagai individu; hanya membantu pembaca TT dengan pengertian-pengertian tambahan kalau pengertian-pengertian tambahan tersebut merupakan bagian terpenting dari pesan yang dimaksud. Cenderung dalam budaya BS Tidak tetap pada waktu atau daerah setempat; terjemahan baru perlu dilakukan. Selalu rendah mutunya dengan TS dan kehilangan makna Kalau bahasa TS memberi norma-norma menyimpang, kemudian harus diganti dalam TT; ‘kesetiaan’ pada penulis. Lebih kompleks, kaku, rinci, terfokus, cenderung pada terjemahan yang berlebihan. Untuk karya sastra yang bersifat serius, seperti otobiografi, perasaan perorangan yang tak terkendali, pernyataan-pernyataan politik. Ketepatan reproduksi keaslian TS.

Subjektif, pembaca TT difokuskan, diarahkan pada satu bahasa dan budaya tertentu. Mentransfer unsur-unsur asing ke dalam budaya BT Berlangsung sebentar saja dan berakar pada konteks jamannya sendiri. Bisa lebih baik debanding TS; mencapai kekuatan dan kejelasan meski kehilangan isi semantik. Mematuhi bentuk BS, tetapi menolak ‘kesetiaan’ pada norma-norma BT. Lebih halus, lebih sederhana, lebih jelas, lebih langsung, lebih konvensional, cenderung pada kesesuaian terjemahan. Untuk berbagai tulisan misalnya karya-karya nonsastra, teks teknis dan informasi, pemberitaan, jenis-jenis yang standar, fiksi-fiksi populer. Ketepatan komunikasi pesan TS dalam TT.

3.4 Teori Fungsional dalam Terjemahan Ada suatu perpindahan dari tipologi linguistik yang statis dari pergeseran terjemahan (translation shift) dan kemunculan, serta tumbuh suburnya faham fungsionalis dan pendekatan komunikatif di Jerman sekitar tahun 1970an dan 1980an. Beberapa pakar yang berpengaruh pada masa ini antara lain: 1. Kathrina Reiss (Text Type and Language

Function) 2. Justa Holz-Mänttäri (Theory of Translation

Action) 3. Hans J. Vermeer (Skopos Theory, yang

berkonsentrasi pada tujuan TT). 4. Christiane Nord (Text-analysis Model, yang

kemudian dilanjutkan dengan The Functionalist Tradition [1990an]).

Karya Reiss di tahun 1970an mengembangkan konsep padanan, tetapi difokuskan pada teks bukan pada kata atau

kalimat, tingkat komunikasi dapat diperoleh dan padanan harus didapatkan (Reiss 1977/89:113--114). Pendekatan fungsionalnya bertujuan pertama sekali pada sistematika penilaian terjemahan. Pendekatan yang ia lakukan meminjam tiga cara kategorisasi fungsi bahasa yang digagas oleh Karl Bühler. Reiss menghubungkan ketiga fungsi ini dalam hubungannya dengan dimensi bahasa dan dengan tipe teks atau situasi komunikasi yang digunakan. Ciri-ciri tipe teks yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: (1) komunikasi sederhana tentang fakta:

informasi, ilmu pengetahuan, opini, dan lain-lain. Dimensi bahasa yang digunakan untuk meneruskan informasi adalah logis, referensial (bersifat keterangan), isi atau topik yaitu fokus utama komunikasi, dan tipe teksnya yaitu informatif.

(2) komposisi kreatif: penulis menggunakan dimensi estetika bahasa. Penulis atau pengirim

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 130

berada di latar depan, demikian juga bentuk pesannya, dan tipe teksnya adalah ekspresif.

(3) rangsangan respon tingkah laku: Tujuan fungsi penunjukan adalah untuk memunculkan atau untuk meyakinkan pembaca atau penerima mengenai teks untuk kemudian bertindak dalam cara tertentu. Bentuk bahasanya adalah dialogis, fokusnya penunjukan atau operatif.

(4) teks Audiomedial, seperti filem dan iklan-iklan suara atau visual yang menambahkan tiga fungsi lainnya dengan gambar-gambar visual, musik, dan lain-lain.

Ciri-ciri fungsional tipe teks dan

kaitannya dengan metode terjemahan dapat digambarkan sebagai berikut.

TIPE TEKS INFORMATIF EKSPRESIF OPERATIF

Fungsi Bahasa

Dimensi Bahasa

Fokus Teks

TT harus

Metode

Terjemahan

Informatif (merepresentasikan

objek dan fakta)

Logis

Fokus – isi

mengirimkan isi referensial atau

informasi

‘tulisan sederhana’, penjelasan

seperti yang diminta

Ekspresif (mengekspresikan

sikap pengirim)

Estetis

Fokus – bentuk

mengirimkan bentuk estetika

Metode ‘pengidentifikasian’,

mengadopsi pandangan

penulis

Seruan (membuat seruan

pada teks penerima)

Dialogis

Fokus – seruan

mendatangkan respon

yang diinginkan

‘adaptif’, pengaruh

padanan

Informatif

Laporan

KuliahInstruksi operasional Brosur-brosur wisata Pidato resmi Satir

Biografi

Drama

Puisi

Khotbah

Pidato pemilihan Iklan

Pedoman

Ekspresif Operatif

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 131

Contoh varietas teks atau genre yang dikaitkan dengan ketiga tipe teks di atas divisualisasikan seperti yang terdapat pada gambar segitiga di atas (Chesterman 1989:105).

Dari gambar dapat dilihat bahwa pedoman/referensi merupakan varietas teks dengan tipe teks yang paling informative. Puisi merupakan tipe teks yang paling ekspresif dan fokus-bentuk. Iklan merupakan tipe teks yang paling jelas (mencoba mempengaruhi seseorang untuk membeli atau melakukan sesuatu). Antara ketiga sudut (sudut informatif, ekspresif, dan operatif diposisikan sejumlah tipe teks hibrida (teks yang tidak sepenuhnya satu tipe teks). Oleh karenanya, teks jenis biografi terletak di antara tipe teks informatif dan ekspresif, sepanjang teks tersebut memberikan informasi tentang subjeknya dan juga sebagian menyajikan fungsi ekspresif. Sama halnya dengan teks khotbah yang memberikan informasi (tentang agama) juga memenuhi fungsi operatif dan berupaya mempengaruhi umat untuk berperilaku tertentu. Walaupun ada tipe teks jenis hibrida ini, penyampaian fungsi utama TS merupakan faktor penentu untuk memastikan TT. Jadi, metode terjemahannya harus disesuaikan menurut tipe teks. (1) TT jenis informatif harus menyampaikan

referensi/keterangan penuh atau isi konsep TS. Terjemahannya harus dengan bahasa sederhana, tak berlebihan, dan dengan menggunakan penjelasan kalau diperlukan.

(2) TT jenis ekspresif harus menyampaikan bentuk estetika dan seni dari TS. Terjemahannya harus menggunakan metode pengidentifikasian, dengan penerjemah mengadopsi sudut pandang penulis TS.

(3) TT jenis operatif harus menghasilkan respon yang diinginkan penerima TT. Terjemahannya harus menggunakan metode penyesuaian, menciptakan suatu pengaruh yang padan di kalangan pembaca TT.

(4) Teks audio-medial memerlukan metode tambahan, yaitu dengan menambahkan kata-kata tertulis dengan imajinasi gambar dan musik.

Reiss (1971:54-88) juga mendaftarkan serangkaian kriteria instruksi intralinguistik dan ekstralinguistik yang bisa menilai kelengkapan sebuah TT. (1) kriteria intralinguistik: semantik, leksikal,

gramatikal, dan ciri-ciri stilistika. (2) kriteria ekstralinguistik: situasi, subjek,

bidang, waktu, tempat, penerima, pengirim, dan implikasi afektif seperti humor, emosi, dan ejekan.

Meskipun berkaitan, kepentingan kriteria tersebut di atas beragam menurut tipe teksnya. Misalnya, terjemahan teks fokus-isi apa saja. Pertama sekali terjemahan jenis ini harus mengarah pada pemertahanan padanan semantik. Namun, TT artikel berita menempatkan kriteria gramatikal menjadi yang kedua. Buku ilmiah populer akan lebih memperhatikan pada gaya perorangan dari TS. Seperti pernyataan, lebih penting mempertahankan metafor dalam terjemahan teks ekspresif dari pada TT informatif, dan terjemahan nilai semantiknya akan mencukupi. 3.5 Tindak Terjemahan Model tindak terjemahan digagas oleh Holz-Mänttäri (Translatorisches Handelen: Theorie und Methode), yang mengangkat konsep dari teori komunikasi dan teori tindak dengan tujuan untuk penyediaan model atau garis-garis besar yang bisa diterapkan pada situasi terjemahan profesional dengan skala luas. Tindak terjemahan memandang terjemahan sebagai tujuan yang diarahkan, interaksi manusia berorientasi pada hasil dan berfokus pada proses terjemahan sebagai pengirim pesan yang majemuk dengan melibatkan transfer antar budaya. Tindak terjemahan bukan mengenai terjemahan kata-kata, kalimat, atau teks tetapi lebih pada kasus-perkasus tentang tuntunan kerjasama yang diharapkan di atas rintangan kultural yang memungkinkan komunikasi berorientasikan fungsional. (Holz-Mänttäri 1984:7-8).

Terjemahan interlingual dideskripsikan sebagai tindak terjemahan dari sebuah TS dan sebagai proses komunikasi yang melibatkan serangkaian peran dan pemeran. (1) inisiator: perusahaan atau perorangan yang

memerlukan terjemahan; (2) pemesan: orang yang menghubungi

penerjemah; (3) produsen TS: orang di perusahaan yang

menulis TS, tidak perlu selalu melibatkan produksi TT;

(4) produsen TT: penerjemah; (5) pengguna TT: orang yang menggunakan

TT; misalnya sebagai materi ajaran atau literatur/brosur penjualan, dan lain-lain.

Di sini para pemeran masing-masing mempunyai tujuan primer dan sekunder yang khusus.Contoh yang diberikan oleh Holz-Mänttäri, yaitu seorang penerjemah profesional yang dihadapkan dengan teks tentang instruksi (manual). Di sini peran partisipan yang berbeda dalam tindak terjemahan dianalisis. Tujuan primernya adalah untuk mendapatkan uang dan tujuan sekundernya adalah untuk memenuhi kontrak dan memproses pesan yang ada pada teks

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 132

tersebut. Dari analisis yang diberikan, seorang penerjemah bisa tidak ahli dalam bidang tipe teks dan bidang subjek khusus yang berkaitan dengan teks tersebut. Masukan ekstra pengetahuan tentang bidang subjek itu justru datang dari penulis TS yang ada di perusahaan tersebut.

Tindak terjemahan berfokus pada produksi TT yang secara fungsional komunikatif bagi penerima. Artinya, bahwa bentuk dan genre TT harus diarahkan yang secara fungsional tepat dalam budaya TT dibandingkan dengan hanya mengopi profil TS. Apa yang secara fungsional tepat harus ditentukan oleh penerjemah yang ahli dalam tindak terjemahan dan yang berperan untuk meyakinkan bahwa transfer antarbudaya ditempatkan secara memuaskan. Dalam pengoperasian teks terjemahan (penggunaan produksi TT), TS dianalisis semata-mata untuk konstruksi dan profil fungsinya. Sifat-sifat yang relevan dideskripsikan menurut pemisahan isi dan bentuk. (1) Isi: dibentuk oleh apa yang disebut dengan

‘tektonik’, dibedakan atas: (a) informasi faktual, dan (b) strategi komunikatif secara menyeluruh.

(2) Bentuk: dibentuk oleh tekstur, dibedakan atas: (a) terminologi, dan (b) unsur-unsur kepaduan.

Kebutuhan penerima adalah faktor-faktor

yang menentukan bagi TT. Oleh karenanya, selama terminologi diperhatikan, istilah teknis dalam manual TS bisa memerlukan penjelasan untuk istilah nonteknis pengguna TT. Kemudian untuk menjaga kepaduan bagi pembaca TT, setiap istilah perlu diterjemahkan secara konsisten. 3.6 Teori Skopos Skopos dalam bahasa Yunani berarti ‘tujuan’ dan telah diperkenalkan ke dalam teori terjemahan pada tahun 1970an oleh Hans Vermeer sebagai istilah teknis untuk tujuan suatu terjemahan dan tindak penerjemahan. Karya utama teori skopos (Skopostheorie) adalah Grundlegung eineŗ allgemeine Translationstheorie (‘Groundwork for a General Theory of Translation). Meskipun teori skopos mendahului teori tindak terjemahan yang digagas oleh Holz-Mänttäri, teori ini dipertimbangkan menjadi bagian teori yang sama. Teori skopos berfokus pada tujuan terjemahan yang menentukan metode dan strategi terjemahan yang dilakukan untuk menghasilkan terjemahan yang secara fungsional tepat. Hasil ini oleh Vermeer disebut translatum. Dalam teori skopos, mengetahui mengapa sebuah TS diterjemahkan dan apa fungsi TT akan menjadi penting bagi penerjemah.

Reiss dan Vermeer (1984:119) mengarahkan pada sebuah teori terjemahan umum untuk semua teks. Ada enam kaidah dasar dari teori yang mereka gagas, antara lain: (1) sebuah translatum (TT) ditentukan oleh

skoposnya. (2) sebuah TT merupakan sebuah penawaran

informasi (Informationsangebot) dalam budaya target dan BT mengenai sebuah penawaran informasi dalam budaya sumber dan BS.

(3) sebuah TT tidak memprakarsai sebuah penawaran informasi dalam suatu cara yang secara jelas bisa dibalik.

(4) sebuah TT secara internal harus koheren/bertalian.

(5) sebuah TT harus koheren dengan TS.

Kelima kaidah di atas berdiri secara hirarkis berurutan, dengan kaidah skopos yang utama. 3.7 Model Halliday tentang Bahasa dan

Wacana Model Halliday tentang analisis wacana, berdasarkan pada istilah yang diberikan yaitu Tatabahasa Fungsional Sistemik. Model ini mampu mengkaji bahasa sebagai komunikasi, memandang makna dalam pilihan linguistik pembaca, dan secara sistematis menghubungkan pilihan-pilihan ini pada suatu kerangka sosial budaya yang lebih luas. Ada hubungan yang kuat antara realisasi linguistik pada tingkat permukaan dan kerangka sosial budaya. Bagan di bawah ini menggambarkan hubungan genre dan register dengan bahasa. Tanda panah menunjukkan arah hubungan. Genre (tipe-tipe teks yang konvensional dihubungkan dengan fungsi komunikasi khusus, misalnya surat-surat bisnis), dikondisikan oleh lingkungan/situasi sosial budaya dan menentukan unsur-unsur lain dalam kerangka sistemik.

Yang pertama, register yang terdiri atas tiga unsur variabel: (1) bidang (field): tentang apa yang ditulis,

misalnya pidato; (2) pelibat (tenor): siapa yang mengkomunikasikan

dan kepada siapa, misalnya bidang pemasaran kepada konsumen;

(3) model (mode): bentuk komunikasi, misalnya bentuk tulisan.

Tiap-tiap variabel register ini dihubungkan dengan untaian makna. Untaian-untaian ini bersama-sama membentuk semantik wacana sebuah teks yaitu tiga metafungsi: ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 133

ini dibentuk atau direalisasikan oleh leksikogramatika, yaitu pilihan-pilihan struktur kata dan sintaksis.

(1) bidang teks dikaitkan dengan makna

ideasional yang direalisasikan melalui pola-pola transitivitas (jenis verba, struktur aktif/pasif, partisipan di dalam proses, dan lain-lain).

(2) tenor sebuah teks dikaitkan dengan makna interpersonal yang direalisasikan melalui pola-pola modalitas (verba modal dan adverbia, seperti dalam bahasa Inggris hopefully, should, possibly, dan leksis evaluatif seperti beautiful, dreadful, dan lain-lain).

(3) modus sebuah teks dikaitkan dengan makna tekstual yang direalisasikan melalui struktur tematis dan informasi (terutama urutan dan penyusunan unsur-unsur dalam sebuah klausa dan kohesi (cara teks bergantung bersama-sama secara leksikal, termasuk penggunaan pronomina, elipsis, kata sanding, pengulangan, dan lain-lain).

Analisis metafungsi mempunyai tempat

utama dalam model ini. Dekatnya hubungan antara pola-pola leksikogramatika dan metafungsi bermakna bahwa analisis pola-pola transitivitas, modalitas, struktur tematis, dan kohesi dalam teks mengungkapkan bagaimana metafungsi bekerja dan bagaimana teks itu bermakna (Eggins 2004:210—213).

Beberapa ahli yang juga mengembangkan pendekatan ini antara lain: (1) J. House (1977): Model Translation Quality Assessment, (2) M. Baker (1992): Text and Pragmatic Level Analysis: a course book for translator, dan (3) B. Hatim dan I. Mason (1990): The Semiotic Level of Context and Discourse.

4. TERJEMAHAAN DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI: TRANSLATION, GLOBALIZATION, AND LOCALIZATION

Fakta menyebutkan bahwa volume terjemahan yang dilakukan di seluruh dunia meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan majunya teknologi khususnya teknologi komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan di seluruh dunia tanpa mengenal batas wilayah. Bahasa Inggris sebagai bahasa yang mendominasi komunikasi ini sepertinya bukan menjadi halangan lagi. Ini juga disebabkan peran para ahli teknologi komunikasi yang bersinergi dengan ahli-ahli lain seperti ahli bahasa (linguis) yang dapat menciptakan perangkat penerjemahan untuk membantu dan mempermudah proses penerjemahan.

Globalisasi yang dikenal selama ini merupakan istilah yang multilevel yang digunakan untuk merujuk pada sifat global dalam dunia perekonomian dengan seluruh penyebarannya yang menembus multinasional. Dalam terjemahan komersial kata globalisasi ini sering digunakan dalam pengertian kreasi websites versi lokal tentang perusahaan-perusahaan penting secara internasional atau terjemahan produk dan pemasaran barang untuk pasar global (Lihat Esselink 2000:4).

Perkembangan organisasi-organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropah, dan organisasi lainnya selalu membutuhkan terjemahan apakah terjemahan lisan (dalam pertemuan-pertemuan) atau pun tulisan (dokumen-dokumen). Demikian halnya dengan pertemuan dan jamuan internasional lainnya. Sebagai contoh, dalam kasus Uni Eropah, tanggung jawab terjemahan ke dalam semua bahasa resmi bagi anggota senat berupa sejumlah halaman dokumen asli yang diterjemahkan oleh Pusat Penerjemahannya di Luxembourg meningkat dari 20.000 di tahun 1995 menjadi 280.000 pada tahun 2001. Jumlah orang yang dipekerjakan di Pusat Penerjemahan ini mencapai 140 pegawai tetap dan menawarkan tender sebagian tugas-tugas mereka kepada agen-agen penerjemah komersial dan omsetnya hampir mencapai 26 juta Euro (kurang lebih Rp400 miliar). Ini hanya sebagian kecil biaya terjemahan (lisan, tulisan) yang diperkirakan pada tahun 2001 sekitar 2 miliar Euro per tahun. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa terjemahan merupakan bisnis besar. Kenyataannya, bagi banyak perusahaan, terjemahan telah menjadi bagian yang dikenal dengan bisnis GILT: Globalization, Internationalization, Localization and Translation. Akronim ini selalu disingkat menjadi GIL saja,

Lingkungan Sosial Budaya

Genre

Register (bidang, tenor, modus)

Semantik Wacana (ideasional, interpersonal, tekstual)

Leksikogramatika (transitifitas, modalitas, tema, rema/kohesi)

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 134

sejak bagian terjemahan digolongkan di bawah localization, yang ditentukan oleh LISA (Localization Standards Industry Association).

Localization meliputi pengambilan suatu produk dan membuatnya tepat secara linguistik dan budaya bagi wilayah target/WT (negara/wilayah dan bahasa) yang akan menggunakan dan menjual produk tersebut (Localization Standards Industry Association 2003 (www,lisa.org)).

Website LISA melanjutkan perbedaan antara localization dan translation dalam bidang utama perangkat lunaknya. Dijelaskan bahwa localization meliputi terjemahan isi linguistik, termasuk mengadaptasi ukuran kotak layar dialog, warna dan perangkat karakter (untuk bahasa-bahasa seperti bahasa China, Korea dan Jepang) untuk memastikan peragaan yang benar. Dalam dunia bisnis, kata localize menggantikan kata translate.

Dalam model proses localization, terjemahan hanya satu unsur saja. Misalnya, localization process yaitu dari milengo, sebuah aliansi localization Eropah dan Asia (http://www. milengo.com/), yang mempertunjukkan unsur terjemahan linguistik dari perangkat lunak proyek localization.

Websitenya menjelaskan bahwa ada empat masukan untuk proses ini: (1) perangkat lunak baru yang diterjemahkan; (2) file dokumentasi baru dan Help; (3) terjemahan dari artikel perangkat lunak terdahulu; (4) file dokumentasi dan Help terakhir yang diterjemahkan. Proses ini difasilitasi oleh CAT (Computer-Assisted Translation); khususnya terjemahan perangkat lunak sebelumnya digabungkan ke dalam translation memory tool. Proses ini membantu untuk memastikan konsistensi terminologi dan artinya bahwa penerjemah hanya perlu menerjemahkan teks yang diubah.

Dari sini jelas bahwa memory tool terjemahan memainkan peranan kunci dalam membantu penerjemah. Inilah contoh kerja penerjemah sekarang ini. Translation memory tools, dimana Translator’s Workbench TRADOS (www.trados.com) dan Déjà Vu ATRIL (www.atril.com) merupakan contoh yang terkenal, yaitu berupa kumpulan data yang membantu penerjemah untuk tujuan konsistensi istilah. 5. MESIN DAN PENERJEMAH Kemampuan komputer dimanfaatkan oleh industri terjemahan, seperti penggunaan Computer-Assisted Translation. Tujuan serba otomatis atau Mesin Terjemahan (MT) tetap sukar dipahami walaupun perkembangan terakhir lebih menjanjikan.

Berbagai pendapat pro dan kontra mengenai penggunaan MT. Martin Kay (1980/2003) membicarakan beberapa hambatan keberhasilan MT termasuk di antaranya ‘kata dengan makna banyak, kalimat dengan struktur gramatika banyak, ketidakpastian tentang pronomina yang merujuk ke siapa, dan permasalahan gramatika lainnya.

Perkembangan MT dekade terakhir ini berfokus pada generasi kedua sistem ‘indirect’, yang menambahkan suatu fase lanjutan antara TS dan TT. Keduanya menggunakan pendekatan interlingual, yakni makna TS direpresentasikan dalam bentuk abstrak sebelum disusun kembali dalam TT atau menggunakan pendekatan transfer. Pendekatan ini terdiri atas tiga tahapan: (1) analisis dan representasi struktur sintaksis TT; (2) transfer ke dalam stuktur BT; (3) perpaduan hasil dari struktur itu.

Sistem MT yang digunakan paling luas, yang dibanyak penggabungan sistem generasi pertama dan kedua, adalah SYSTRAN. Sistem ini secara nyata menggunakan leksikon dalam jumlah yang sangat banyak dan sedikit sintaksis. SYSTRAN dikembangkan secara swasta di Amerika Serikat dan telah diujicobakan di Komisi Eropah di Luxembourg. SYSTRAN sekarang digunakan secara ekstensif untuk terjemahan instan halaman web. 6. SIMPULAN Kebutuhan akan terjemahan (lisan dan tulisan) pada dekade ini terus menembus ke tingkat yang paling signifikan. Hal ini terkait dengan terbukanya era komunikasi global yang tanpa batas. Berbagai pendekatan baru bermunculan dengan maksud untuk penyederhanaan proses penerjemahan itu. Yang tidak kalah menarik dan sangat penting adalah peran teknologi komunikasi modern dalam mendukung proses itu. Kolaborasi ahli linguistik, ahli komunikasi, dan ahli teknologi komputer telah menciptakan perangkat lunak yang inovasinya semakin hari semakin menunjukkan eksistensinya dengan hasil kecepatan dan akurasi prima. Hal ini dibuktikan dengan temuan beberapa perangkat lunak seperti SYSTRAN yang sudah digunakan secara meluas. DAFTAR PUSTAKA Baker, Mona. 1992. In Other Words: A Course on

Translation. London and New York: Routledge.

Baker, M. (ed.) 1997a. The Routledge

Encyclopedia of Translation Studies. London: Routledge.

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 135

Bassnett, S. and A. Lafevere. 1990. Translation, History and Culture. London and New York: Pinter.

Bassnett, S. 1991. Translation Studies. London:

Routledge. Catford, J. 2000. A Linguistic Theory of

Translation. London: OUP. Catford, J. 2000. Translation Shifts in Translation

Studies Reader. Lawrence Venuti (ed). Page(s). London and New York: Routledge.

Dryden, J. 1992. “Metaphrase, Paraphrase and

Imitation”. Dalam R. Schulte dan J. Beguenet (eds.) (1992) hal. 17-31.

Eggins, S. 2004. An Introduction to Systemic

Functional Linguistics. London: Continuum.

Fawcett, P. 1997. Translation and Language:

Linguistic Approaches Explained. Manchester: St. Jerome.

Hatim, B. dan I. Mason. 1990. Discourse and the

Translator. London: Longman. Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as

Communicator. London: Routledge. Hatim, B. dan Jeremy, M. 2004. Translation: An

advanced resource book. London: Routledge.

Kidwai, A.R. 2003. Translating the

Untranslatable: A Survey of English Translations of the Quran. http://www.quranicstudies.com/article32 (downloaded on Mar 17, 2005).

Jakobson, R. 1959/2000. “On linguistic aspecs of

translation”. Dalam L. Venuti (ed.).2000: 113-118.

Newmark, P. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon.

Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation.

London: Prentice-Hall. Nida, E. 1964a. Toward a Science of Translating.

Leiden: E.J. Brill. Nida, E. dan C. Taber. 1969. The Theory and

Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Nida, E. 2000. “Principles of Correspondence”.

Dalam L. Venuti (ed.): 126-140. Nord, C. 1997. Text Analysis in Translation:

Theory, Methodology and Didactic Application of a Modl for Translation-Oriented Text Analysis. Amsterdam: Rodopi.

Shei, Chris C.-C. 2005. “Translation Commentary:

A Happy Medium between Translation Curriculum and EAP” [01-2005]. System. Vol. 33: 309-25.

Venuti, L (ed.) 1992. Rethinking Translation:

Discourse, Subjectivity, Ideology. London: Routledge.

Venuti, L. 1995. The Translator’s Invisibilty: A

history of Translation Venuti, Lawrence (ed.) 2000. Translation Stiudies

Reader. London and New York: Routledge. Vermeer, H. J. 2000. Skopos and Commission in

Translation Action in Translation Studies Reader, ed. by Lawrence Venuti, Page(s) 221-32. London and New York: Routledge.

TENTANG PENULIS 1. Ni Luh Sutjiati Bratha

Ni Luh Sutjiati Bratha adalah Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pengajar Program Magister dan Doktor Linguistik untuk mata kuliah Morfologi dan Semantik. Kini beliau menjabat sebagai Asisten Direktur I Program Pascasarjana Universitas Udayana.

2. Lely Refnita

Lely Refnita adalah Dosen Kopertis Wilayah X, dpk pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Universitas Bung Hatta Padang, sejak tahun 1992 sampai sekarang. Menyelesaikan Program Sarjana (S-1) pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, FPBS IKIP Padang (1991) dan Program Magister (S-2) Pendidikan Bahasa, di PPs Universitas Negeri Padang (2000).

3. Jufrizal, Zul Amri, dan Refnaldi

Jufrizal, lahir di Padang, 22 Juli 1967, adalah dosen tetap pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FBSS Universitas Negeri Padang. Dia menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S-3) Linguistik, di PPs Universitas Udayana, Denpasar (2004). Pengutamaan minat kajiannya adalah Tipologi Linguistik. Selain itu, dia juga menulis dan meneliti di bidang linguistik kebudayaan dan pengajaran bahasa. Makalah dan artikelnya di bidang linguistik dan pengajaran bahasa disajikan pada seminar nasional dan internasional, dan diterbitkan di beberapa jurnal ilmiah nasional.

Zul Amri, lahir di Padang, 5 Mei 1960, adalah dosen tetap pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBSS Universitas Negeri Padang. Dia menyelesaikan pendidikan Master (S-2) di University of Houston, Texas, U.S.A. (1995) dan sekarang sedang mengikuti pendidikan doktor (S-3) di Universitas Negeri Jakarta. Minat kajiannya adalah di bidang pengajaran bahasa asing. Refnaldi, lahir di Kab. Solok, Sumatera Barat, 1 Maret 1968, adalah dosen tetap pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBSS Universitas Negeri Padang. Dia menyelesaikan pendidikan Master (S-2) di University of Sydney, Australia (2000). Minat kajiannya adalah linguistik dan pengajaran bahasa asing.

4. Mulyadi

Mulyadi adalah dosen di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Lulusan magister humaniora Universitas Udayana (1998) dan kini sedang mengikuti pendidikan doktor linguistik di universitas yang sama dengan minat utama pada semantik. Puluhan artikelnya telah dimuat di berbagai jurnal linguistik.

5. Ikhwanuddin Nasution

Ikhwanuddin Nasution lahir di P. Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya, Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007. Beliau aktif menulis di berbagai jurnal.

6. Marini Nova Siska Naibaho dan Dardanila

Marini Nova Siska Naibaho lahir di Medan 9 november 1984. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU pada tahun 2007. Dardanila lahir di Takengon 31 Maret 1961. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang linguistik. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada fakultas yang sama pada tahun 1985 dan pendidikan lanjutan (S-2) pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004. Beliau aktif mengikuti seminar baik nasional maupun internasional.

❏ Eddy Setia Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa

Pendekatan

Halaman 137

7. Jekmen Sinulingga Jekmen Sinulingga lahir di Kutajulu 26 Juni 1962 adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang linguistik. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di fakultas yang sama pada tahun 1986 dan menyelesaikan pendidikan lanjutan (S-2) di Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007.

8. Eddy Setia

Eddy Setia lahir di Stabat 12 April 1957 adalah staf pengajar Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Fakultas Sastra USU pada tahun 1982 dan menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Teaching English for Specific Purposes (TESP) (1991) di University of Exeter, Inggris pada tahun 1991.