bahan manajemen bencana

13
BAHAN MANAJEMEN BENCANA Selamat UTS1. TSUNAMI Gelombang besar yang ditimbulkan oleh tenaga yang tiba-tiba dilepaskan oleh gempa bumi atau gunung meletus dinamakan tsunami, yang kadang-kadang mengakibatkan kerusakan yang hebat. Gelombang jenis ini mempunyai panjang gelombang yang sangat panjang mencapai 200 km, periodenya mencapai sampai 20 menit, tinggi 0,5 m dan mempunyai kecepatan 800 km setiap jam. Tinggi gelombang meningkat secara dramatis bila mereka mencapai daerah pantai yang membuat kekuatan merusak mereka menjadi sangat menakutkan. Tahun 1883, tsunami yang ditimbulkan oleh ledakan Gunung Krakatau yang terletak di Pulau Krakatau antara Pulau Jawa dan Sumatera mempunyai tinggi geloombang 40 meter dan menyapu masuk sampai ke pedalaman Pulau Jawa sejauh 10 mil. Dalam peristiwa ini diperkirakan telah meninta korban sejumlah 36.000 penduduk yang meninggal (Hutabarat dan Evans, 1986). Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), tsunami merupakan serangkaian gelombang laut yang digerakkan oleh perpindahan dasar laut, gerak massa batuan atau aktivitas vulkanik secara tiba-tiba. Di laut dalam, gelombang tsunami yang terbentuk tak terlalu tinggi. Tsunami tidak bisa dicegah, namun dampaknya dapat diminimalisir dengan peringatan sebelum terjadi (Dudley, 1998). Sebuah sistem peringatan dini tsunami merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di masyarakat. Sejak tahun 1946, sistem peringatan tsunami sudah dikembangkan di daerah sekitar Samudra Pasifik untuk mengontrol gelombang laut disana meskipun data yang dihasilkan belum begitu jelas dan akurat (Bernard, 1998). Di Indonesia, apabila terjadi suatu gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat seismograf (pencatat gempa). Informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya BMG akan mengeluarkan info gempa yang disampaikan melalui peralatan teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu. Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan info peringatan tsunami. Data gempa ini juga akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS,

Upload: nastiti-rachma-desfitiany

Post on 22-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

BAHAN MANAJEMEN BENCANA

“Selamat UTS”

1. TSUNAMI

Gelombang besar yang ditimbulkan oleh tenaga yang tiba-tiba dilepaskan oleh gempa

bumi atau gunung meletus dinamakan tsunami, yang kadang-kadang mengakibatkan

kerusakan yang hebat. Gelombang jenis ini mempunyai panjang gelombang yang sangat

panjang mencapai 200 km, periodenya mencapai sampai 20 menit, tinggi 0,5 m dan

mempunyai kecepatan 800 km setiap jam. Tinggi gelombang meningkat secara dramatis

bila mereka mencapai daerah pantai yang membuat kekuatan merusak mereka menjadi

sangat menakutkan. Tahun 1883, tsunami yang ditimbulkan oleh ledakan Gunung

Krakatau yang terletak di Pulau Krakatau antara Pulau Jawa dan Sumatera mempunyai

tinggi geloombang 40 meter dan menyapu masuk sampai ke pedalaman Pulau Jawa

sejauh 10 mil. Dalam peristiwa ini diperkirakan telah meninta korban sejumlah 36.000

penduduk yang meninggal (Hutabarat dan Evans, 1986).

Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), tsunami

merupakan serangkaian gelombang laut yang digerakkan oleh perpindahan dasar laut,

gerak massa batuan atau aktivitas vulkanik secara tiba-tiba. Di laut dalam, gelombang

tsunami yang terbentuk tak terlalu tinggi. Tsunami tidak bisa dicegah, namun

dampaknya dapat diminimalisir dengan peringatan sebelum terjadi (Dudley, 1998).

Sebuah sistem peringatan dini tsunami merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan

melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di

masyarakat.

Sejak tahun 1946, sistem peringatan tsunami sudah dikembangkan di daerah sekitar

Samudra Pasifik untuk mengontrol gelombang laut disana meskipun data yang dihasilkan

belum begitu jelas dan akurat (Bernard, 1998). Di Indonesia, apabila terjadi suatu

gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat seismograf (pencatat gempa). Informasi

gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta.

Selanjutnya BMG akan mengeluarkan info gempa yang disampaikan melalui peralatan

teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan

apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Perhitungan

dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu.

Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan info peringatan tsunami. Data gempa ini juga

akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS,

Page 2: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi apakah gelombang tsunami

benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG. BMKG

menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara, yang

meliputi Pemerintah Daerah dan media. Institusi perantara inilah yang meneruskan

informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan

melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara

penyampaian info gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, faksimile, telepon,

email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio

Data Sistem) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).

Pengalaman serta banyak kejadian di lapangan membuktikan bahwa meskipun banyak

peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk

sistem peringatan dini tsunami adalah radio. Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang

tinggal di daerah rawan tsunami diminta untuk selalu siaga mempersiapkan radio FM

untuk mendengarkan berita peringatan dini tsunami. Alat lainnya yang juga dikenal

ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya adalah

RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Penggunaan radio ini dikarenakan ketika

gempa seringkali mati lampu tidak ada listrik. Radio dapat beroperasi dengan baterai.

Selain itu karena ukurannya kecil, dapat dibawa-bawa (mobile). Radius

komunikasinyapun relatif cukup memadai.

2. BANJIR ROB

Banjir dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu (Smith et al, 1998 dalam Marfai, 2003):

a. Klimatologi

Banjir dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Namun pada banjir rob

diakibatkan oleh gabungan antara gelombang yang tinggi, kenaikan muka laut dan

ombak yang disertai dengan badai yang merupakan hasil dari sistem siklon.

b. Perubahan penggunaan lahan dan penambahan jumlah populasi

Perubahan penggunaan lahan di daerah perkotaan menjadi lahan terbangun sangat

berpotensi terkena banjir. Urbanisasi, kepadatan bangunan, dan kepadatan penduduk

berpengaruh pada kapasitas infiltasi tanah dan sistem drainase sehingga dapat

meningkatkan volume run off.

c. Penurunan muka tanah

Ketika ombak lautan dari lautan menuju kea rah daratan maka daerah yang mengalami

penurunan muka tanah lebih rentan terhadap bencan banjir.

Page 3: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Karakteristik banjir dipengaruhi oleh (Kigma, 2002 dalam Marfai, 2003 ):

a. Kedalaman air

b. Durasi

c. Kecepatan

d. Sedimen

e. Laju kenaikan muka air ini berhubungan dengan proses evakuasi

f. Frekuensi

Banjir rob adalah banjir yang disebabkan oleh pasang surut air laut. Naiknya

permukaan air laut (sea level rise) ini disebabkan oleh adanya pemanasan global yang

menyebabkan air laut memuai dan es di kutub mencair (Putra dan Marfai, 2012). Hal ini

diperparah dengan meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kota-kota besar

di Indonesia sebagian besar berada di kawasan pesisir. Sehingga, daerah ini memiliki

daya tarik tersendiri bagi para pengusaha untuk membangun usahanya disini. Alasannya

adalah kemudahan distribusi barang dan jasa sehingga dapat menekan biaya produksi.

Semakin banyak manusia dan industry yang ada di kawasan pesisir mengakibatkan

penurapan air secara besar-besaran. Pemompaan air berlebih yang tidak memperhatikan

kemampuan pengisian kembali dapat menyebabkan penurunan muka air tanah (Kodoatie,

1995 dalam Putra dan Marfai, 2012). Lebih lanjut kondisi ini akan menyebabkan

penurunan muka tanah dan intrusi air laut (Asdak, 1995 dalam Putra dan Marfai, 2012).

Penurunan muka tanah adalah fenomena pemampatan tanah yang bersifat lunak (Marfai,

2007 dalam Ramdhany, dkk, 2012).

Adaptasi masyarakat yang terkena banjir rob dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,

pendidikan, dan pekerjaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sariffuddin dan

Susanti (2011) di Terboyo Wetan, Semarang, ada tiga kelompok warga mengenai kondisi

lingkungan yang buruk akibat rob, yaitu:

d. Kelompok berpendidikan rendah, bekerja di sector informal, dan tinggal di tanah GG

Menurut mereka kondisi terkena rob adalah hal yang wajar karena letaknya yang di

pesisir.

e. Kelompok berpendidikan menegah, bekerja sebagai buruh pabrik, dan wirausaha

(warung makan, bengkel, dan lain-lain)

Kelompok ini menganalogikan mereka seperti orang mengkontrak karena harus

meninggikan rumah setiap tahunnya. Meskipun begitu, jika rezeki lancar mereka

masih bisa melanjutkan hidup.

f. Kelompok masyarakat berpendidikan tinggi dan mampu

Page 4: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Mereka menganggap kondisi ini adalah kondisi yang harus mereka terima.

Masyarakat mampu akan meninggikan bangunan rumahnya atau membuat rumah dua

lantai. Tujuannya agar anggota keluarga mereka merasa nyaman.

Hasil penelitian dari Hardoyo, dkk () di Pekalongan, Jawa Tengah menyebutkan bahwa

ada beberapa adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir terkait banjir rob, yaitu:

1. Adaptasi terhadap lingkungan permukiman

a. Meninggikan jalan.

b. Meninggikan pondasi rumah atau membuat tanggul di depan rumah.

c. Membuat “urugan” tanah di genangan yang sulit untuk surut dan digunakan

untuk jalan.

d. Membuat tanggul dari bamboo yang diisi tanah sepanjang tepi jalan.

e. Membuat tanggul buatan dari bambu pada mulut saluran air untuk menahan pasir

agar tidak jatuh dan menahan pasir dari laut agar tidak masuk.

f. Gotong royong untuk membersihkan saluran air serta perbaikan pintu air

2. Adaptasi terhadap lingkungan permukiman perumahan

a. Meninggikan jalan lingkunga

b. Meninggikan pondasi rumah

c. Memperbaiki saluran pintu air

d. Mengoperasikan mesin sedot kecil guan menyedot air dan dibuang ke saluran air.

e. Membangun polder berupa penampungan air.

f. Mengelola polder secara mandiri.

3. Adaptasi terhadap lingkungan tambak

a. Membuat jaring yang dipasang di sepanjang kolam dan pintu saluran air tambak.

b. membuat alat dari pipa paralon untuk membuka saluran air.

c. memperbaiki tambak menjadi lebih tinggi.

d. Mencoba budidaya rumput laut.

e. Memanen lebih awal sebelum waktunya bila mengetahui jadwal puncak pasang

air air laut.

3. LONGSOR

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan

bahwa tanah longsor disebut juga dengan gerakan tanah. Tanah longsor didefinisikan

sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir dan kerakal serta

bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor

gravitasi bumi.

Page 5: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang

pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek

dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi

lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi

sekaligus dalam periode yang sangat pendek. Sedangkan menurut Dwiyanto (2002),

tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi

adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational

slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama

ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara

penggalian atau penimbunan.

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass

wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan

perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang

rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material

hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.

Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa

faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain

kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi

antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-partikel tersebut

dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material,

sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya

dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :

a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.

b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk

tapal kuda.

c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak

cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.

d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang

lebih lanjut menjadi aliran.

e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air

tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan

proses pemadatan tanah.

Page 6: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu

penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan

volume suatu lapisan tanah. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran

yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).

1.

Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau

menggelombang landai.

2. Longsoran Rotasi Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

3. Pergerakan Blok Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang

bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran

ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

4. Runtuhan Batu Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau

material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh

bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga

menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar

yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

5. Rayapan Tanah Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang

bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar

dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat

dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis

rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon,

pohon, atau rumah miring ke bawah.

6. Aliran Bahan Rombakan Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah

bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung

pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan

jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang

Page 7: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di

beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di

daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah

ini dapat menelan korban cukup banyak.

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor

dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah

longsor, yaitu :

a. Faktor alam

Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:

1. Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung,

lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan

lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air

miring ke lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena

proses alam (gempa bumi, tektonik).

2. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan

tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.

3. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal).

4. Keadaan topografi: lereng yang curam.

5. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi

dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah

tanah pada sungai lama).

6. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di

tanah kritis.

b. Faktor manusia

Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :

1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.

2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.

3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.

4. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang

menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah

menjadi lembek

5. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.

6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.

Page 8: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

7. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat,

sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.

8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin

terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.

9. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah

dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena

material urugan atau material longsoran lama pada tebing.

10. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran.

Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan

besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah

longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.

1. Kelerengan (Slope)

Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam

proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan

kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu mendapat

perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan

mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar

wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang

membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berbakat

atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada

kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi

penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.

Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan

untuk bergerak/ longsor, yaitu :

1. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah

yang lebih kompak.

2. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.

3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

2. Penutupan Vegetasi

Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan, erosi,

dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) Batang

mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak

butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, (4)

Page 9: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat

mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.

Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara,

sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah penjenuhan

material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007).

Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi dan

pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil. Dalam

batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng. Namun,

terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman dalam

mencegah longsor.

Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor. Jenis

tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi geofisik

dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok ditanam di

lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang

luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).

Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang

ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Konstruksi tersebut seluruhnya

tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum

yang tercakup dalam penutupan lahan, yaitu :

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.

2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang

3. Tipe pembangunan

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu.

Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan

penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada

lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan

lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).

3. Faktor Tanah

Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang

gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih

berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah

bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai

kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami erosi,

Page 10: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K makin tidak

peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).

Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air

limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam

(>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan

terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan

permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan

lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian

besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian, 2006).

Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada

intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih cepat

mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah lempung, 0,03

jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.

4. Curah Hujan

Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah

longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada

lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya

hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya

dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan

mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan

kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir

longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di

atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan

penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka

semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke

dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa

tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat

berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara

gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan

menurunkan kuat geser tanah.

Pengaruh curah hujan dalam mengasilkan tanah longsor adalah sesuatu yang jelas,

meskipun sangat sulit untuk menjelaskan secara tepat (Blong dan Dunkerley, 1976).

Kesulitan ini muncul karena curah hujan hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara

tidak langsung terhadap kondisi air-pori di dalam material pembentuk lereng.

Page 11: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah “pengaruh memicu” curah hujan

terhadap tanah longsor.

5. Faktor Geologi

Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur

geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan

gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak

batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan

patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan

berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap

(Surono, 2003).

Daftar Pustaka:

Bernard, E.N. (1998): Program aims to reduce impact of tsunamis on Pacific states. Eos

Trans. AGU, 79(22), 258, 262-263.

Dudley, Walter C., and Min Lee. 1998. Tsunami! Second Edition. Honolulu: University of

Hawai'i Press

Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Jurnal. Pusdi

Kebumian LEMLIT UNDIP Semarang.

Hardoyo, Su Rito, dkk. 2011. Strategi Adaptasi Masyrakat dalam Menghadapi Bencana

Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan. Yogyakarta: MPPDAS Fakultas

Geografi UGM.

Hutabarat, Sahala dan Stewart M.Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta:

Universitas Indonesia Press

Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan

Rekomendasi). Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas

Gadjah Mada.

Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim Longsoran

Teknik Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Lillesand, T. M. & R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Marfai, Muh Aris. 2003. GIS Modelling of Rover and Tidal Flood Hazards in a Waterfront

City (Case Study: Semarang City, Central Java, Indonesia). Thesis. Netherlands: ITC

Netherlands.

Page 12: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa

Tahun 2001. Jakarta: BPPT

Ongkosongo, O. 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan

Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi

Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.

Ramadhany, Apriliawan Setiya, dkk. 2012. Daerah Genangan Rob di Wilayh Semarang.

Jurnal. Journal of Marine Research Vol. 1, No. 2, Tahun 2012.

Rusli, Salim. 2007. Waspada Hujan dan Longsor. Jakarta

Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran Aktivitas

Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Bogor: Departemen Tanah Fakultas Pertanian

IPB.

Saptohartono, Endri. 2007. Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerawanan

Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu

Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung.

Sarifuddin dan Retno Susanti. 2011. Penilaian Kesejahteraan Masyarakat Untuk

Mendukung Permukiman Berkelanjutan di Kelurahan Terboyo Wetan, Semarang.

Jurnal. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011: 29-42

Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol

Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Jakarta: Direktorat Jenderal

Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.

Somantri, Lili. 2006. Kajian Mitigasi Bencana Longsorlahan dengan Menggunakan

Teknologi Penginderaan Jauh. Makalah Seminar Ikatan Geografi Indonesia. Padang.

Sudibyakto, 2009. Pengembangan Sistem Perencanaan Manajemen Resiko Bencana di

Indonesia. Jurnal Kebencanaan Indonesia PSBA UGM Vol.2 No.1

Sugito, Nanin 2008. Tsunami dan Penyebabnya. Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia

Sutikno, 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan

Massa Tanah dan Batuan. Makalah Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam.

Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi

Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.

Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset

Page 13: BAHAN MANAJEMEN BENCANA

Blong, R.J. and Dunkerley, D.L., 1976. Landslides in the Razorback area. http://forda-

mof.org/files/Intensitas_curah_hujan_memicu_tanah_longsor.pdf diakses tanggal 20

Agustus 2013 pukul 20:09

Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan

Pegunungan. http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf

diakses tanggal 20 Agustus 2013 pukul 19:20

NOAA. 2012. The Tsunami Story. http://www.tsunami.noaa.gov/ diakses tanggal 20

Agustus 2013 pukul 07:16