bahan manajemen bencana
TRANSCRIPT
BAHAN MANAJEMEN BENCANA
“Selamat UTS”
1. TSUNAMI
Gelombang besar yang ditimbulkan oleh tenaga yang tiba-tiba dilepaskan oleh gempa
bumi atau gunung meletus dinamakan tsunami, yang kadang-kadang mengakibatkan
kerusakan yang hebat. Gelombang jenis ini mempunyai panjang gelombang yang sangat
panjang mencapai 200 km, periodenya mencapai sampai 20 menit, tinggi 0,5 m dan
mempunyai kecepatan 800 km setiap jam. Tinggi gelombang meningkat secara dramatis
bila mereka mencapai daerah pantai yang membuat kekuatan merusak mereka menjadi
sangat menakutkan. Tahun 1883, tsunami yang ditimbulkan oleh ledakan Gunung
Krakatau yang terletak di Pulau Krakatau antara Pulau Jawa dan Sumatera mempunyai
tinggi geloombang 40 meter dan menyapu masuk sampai ke pedalaman Pulau Jawa
sejauh 10 mil. Dalam peristiwa ini diperkirakan telah meninta korban sejumlah 36.000
penduduk yang meninggal (Hutabarat dan Evans, 1986).
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), tsunami
merupakan serangkaian gelombang laut yang digerakkan oleh perpindahan dasar laut,
gerak massa batuan atau aktivitas vulkanik secara tiba-tiba. Di laut dalam, gelombang
tsunami yang terbentuk tak terlalu tinggi. Tsunami tidak bisa dicegah, namun
dampaknya dapat diminimalisir dengan peringatan sebelum terjadi (Dudley, 1998).
Sebuah sistem peringatan dini tsunami merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan
melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di
masyarakat.
Sejak tahun 1946, sistem peringatan tsunami sudah dikembangkan di daerah sekitar
Samudra Pasifik untuk mengontrol gelombang laut disana meskipun data yang dihasilkan
belum begitu jelas dan akurat (Bernard, 1998). Di Indonesia, apabila terjadi suatu
gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat seismograf (pencatat gempa). Informasi
gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta.
Selanjutnya BMG akan mengeluarkan info gempa yang disampaikan melalui peralatan
teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan
apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Perhitungan
dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu.
Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan info peringatan tsunami. Data gempa ini juga
akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS,
BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi apakah gelombang tsunami
benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG. BMKG
menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara, yang
meliputi Pemerintah Daerah dan media. Institusi perantara inilah yang meneruskan
informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan
melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara
penyampaian info gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, faksimile, telepon,
email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio
Data Sistem) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).
Pengalaman serta banyak kejadian di lapangan membuktikan bahwa meskipun banyak
peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk
sistem peringatan dini tsunami adalah radio. Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang
tinggal di daerah rawan tsunami diminta untuk selalu siaga mempersiapkan radio FM
untuk mendengarkan berita peringatan dini tsunami. Alat lainnya yang juga dikenal
ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya adalah
RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Penggunaan radio ini dikarenakan ketika
gempa seringkali mati lampu tidak ada listrik. Radio dapat beroperasi dengan baterai.
Selain itu karena ukurannya kecil, dapat dibawa-bawa (mobile). Radius
komunikasinyapun relatif cukup memadai.
2. BANJIR ROB
Banjir dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu (Smith et al, 1998 dalam Marfai, 2003):
a. Klimatologi
Banjir dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Namun pada banjir rob
diakibatkan oleh gabungan antara gelombang yang tinggi, kenaikan muka laut dan
ombak yang disertai dengan badai yang merupakan hasil dari sistem siklon.
b. Perubahan penggunaan lahan dan penambahan jumlah populasi
Perubahan penggunaan lahan di daerah perkotaan menjadi lahan terbangun sangat
berpotensi terkena banjir. Urbanisasi, kepadatan bangunan, dan kepadatan penduduk
berpengaruh pada kapasitas infiltasi tanah dan sistem drainase sehingga dapat
meningkatkan volume run off.
c. Penurunan muka tanah
Ketika ombak lautan dari lautan menuju kea rah daratan maka daerah yang mengalami
penurunan muka tanah lebih rentan terhadap bencan banjir.
Karakteristik banjir dipengaruhi oleh (Kigma, 2002 dalam Marfai, 2003 ):
a. Kedalaman air
b. Durasi
c. Kecepatan
d. Sedimen
e. Laju kenaikan muka air ini berhubungan dengan proses evakuasi
f. Frekuensi
Banjir rob adalah banjir yang disebabkan oleh pasang surut air laut. Naiknya
permukaan air laut (sea level rise) ini disebabkan oleh adanya pemanasan global yang
menyebabkan air laut memuai dan es di kutub mencair (Putra dan Marfai, 2012). Hal ini
diperparah dengan meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kota-kota besar
di Indonesia sebagian besar berada di kawasan pesisir. Sehingga, daerah ini memiliki
daya tarik tersendiri bagi para pengusaha untuk membangun usahanya disini. Alasannya
adalah kemudahan distribusi barang dan jasa sehingga dapat menekan biaya produksi.
Semakin banyak manusia dan industry yang ada di kawasan pesisir mengakibatkan
penurapan air secara besar-besaran. Pemompaan air berlebih yang tidak memperhatikan
kemampuan pengisian kembali dapat menyebabkan penurunan muka air tanah (Kodoatie,
1995 dalam Putra dan Marfai, 2012). Lebih lanjut kondisi ini akan menyebabkan
penurunan muka tanah dan intrusi air laut (Asdak, 1995 dalam Putra dan Marfai, 2012).
Penurunan muka tanah adalah fenomena pemampatan tanah yang bersifat lunak (Marfai,
2007 dalam Ramdhany, dkk, 2012).
Adaptasi masyarakat yang terkena banjir rob dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,
pendidikan, dan pekerjaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sariffuddin dan
Susanti (2011) di Terboyo Wetan, Semarang, ada tiga kelompok warga mengenai kondisi
lingkungan yang buruk akibat rob, yaitu:
d. Kelompok berpendidikan rendah, bekerja di sector informal, dan tinggal di tanah GG
Menurut mereka kondisi terkena rob adalah hal yang wajar karena letaknya yang di
pesisir.
e. Kelompok berpendidikan menegah, bekerja sebagai buruh pabrik, dan wirausaha
(warung makan, bengkel, dan lain-lain)
Kelompok ini menganalogikan mereka seperti orang mengkontrak karena harus
meninggikan rumah setiap tahunnya. Meskipun begitu, jika rezeki lancar mereka
masih bisa melanjutkan hidup.
f. Kelompok masyarakat berpendidikan tinggi dan mampu
Mereka menganggap kondisi ini adalah kondisi yang harus mereka terima.
Masyarakat mampu akan meninggikan bangunan rumahnya atau membuat rumah dua
lantai. Tujuannya agar anggota keluarga mereka merasa nyaman.
Hasil penelitian dari Hardoyo, dkk () di Pekalongan, Jawa Tengah menyebutkan bahwa
ada beberapa adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir terkait banjir rob, yaitu:
1. Adaptasi terhadap lingkungan permukiman
a. Meninggikan jalan.
b. Meninggikan pondasi rumah atau membuat tanggul di depan rumah.
c. Membuat “urugan” tanah di genangan yang sulit untuk surut dan digunakan
untuk jalan.
d. Membuat tanggul dari bamboo yang diisi tanah sepanjang tepi jalan.
e. Membuat tanggul buatan dari bambu pada mulut saluran air untuk menahan pasir
agar tidak jatuh dan menahan pasir dari laut agar tidak masuk.
f. Gotong royong untuk membersihkan saluran air serta perbaikan pintu air
2. Adaptasi terhadap lingkungan permukiman perumahan
a. Meninggikan jalan lingkunga
b. Meninggikan pondasi rumah
c. Memperbaiki saluran pintu air
d. Mengoperasikan mesin sedot kecil guan menyedot air dan dibuang ke saluran air.
e. Membangun polder berupa penampungan air.
f. Mengelola polder secara mandiri.
3. Adaptasi terhadap lingkungan tambak
a. Membuat jaring yang dipasang di sepanjang kolam dan pintu saluran air tambak.
b. membuat alat dari pipa paralon untuk membuka saluran air.
c. memperbaiki tambak menjadi lebih tinggi.
d. Mencoba budidaya rumput laut.
e. Memanen lebih awal sebelum waktunya bila mengetahui jadwal puncak pasang
air air laut.
3. LONGSOR
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan
bahwa tanah longsor disebut juga dengan gerakan tanah. Tanah longsor didefinisikan
sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir dan kerakal serta
bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor
gravitasi bumi.
Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek
dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi
lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi
sekaligus dalam periode yang sangat pendek. Sedangkan menurut Dwiyanto (2002),
tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi
adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational
slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama
ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara
penggalian atau penimbunan.
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass
wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan
perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material
hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa
faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain
kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi
antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-partikel tersebut
dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material,
sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya
dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :
a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.
b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk
tapal kuda.
c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak
cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.
d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang
lebih lanjut menjadi aliran.
e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air
tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan
proses pemadatan tanah.
Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu
penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan
volume suatu lapisan tanah. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran
yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).
1.
Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan
batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau
menggelombang landai.
2. Longsoran Rotasi Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan
batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang
bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran
ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
4. Runtuhan Batu Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau
material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh
bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar
yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5. Rayapan Tanah Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang
bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar
dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat
dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis
rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon,
pohon, atau rumah miring ke bawah.
6. Aliran Bahan Rombakan Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah
bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung
pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan
jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang
lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di
beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di
daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah
ini dapat menelan korban cukup banyak.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor
dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah
longsor, yaitu :
a. Faktor alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
1. Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung,
lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan
lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air
miring ke lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena
proses alam (gempa bumi, tektonik).
2. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan
tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.
3. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal).
4. Keadaan topografi: lereng yang curam.
5. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi
dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah
tanah pada sungai lama).
6. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di
tanah kritis.
b. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :
1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
4. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang
menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah
menjadi lembek
5. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
7. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat,
sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin
terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
9. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah
dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena
material urugan atau material longsoran lama pada tebing.
10. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran.
Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan
besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah
longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.
1. Kelerengan (Slope)
Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam
proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan
kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu mendapat
perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar
wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berbakat
atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada
kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi
penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.
Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan
untuk bergerak/ longsor, yaitu :
1. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah
yang lebih kompak.
2. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.
3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
2. Penutupan Vegetasi
Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan, erosi,
dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) Batang
mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak
butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, (4)
Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat
mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.
Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara,
sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah penjenuhan
material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007).
Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi dan
pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil. Dalam
batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng. Namun,
terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman dalam
mencegah longsor.
Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor. Jenis
tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi geofisik
dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok ditanam di
lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang
luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).
Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang
ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Konstruksi tersebut seluruhnya
tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum
yang tercakup dalam penutupan lahan, yaitu :
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang
3. Tipe pembangunan
Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu.
Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan
penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada
lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan
lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).
3. Faktor Tanah
Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang
gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih
berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah
bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai
kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami erosi,
ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K makin tidak
peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air
limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam
(>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan
terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan
permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan
lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian
besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian, 2006).
Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada
intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih cepat
mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah lempung, 0,03
jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.
4. Curah Hujan
Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah
longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada
lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya
hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya
dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan
mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan
kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir
longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di
atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan
penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka
semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke
dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa
tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat
berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara
gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan
menurunkan kuat geser tanah.
Pengaruh curah hujan dalam mengasilkan tanah longsor adalah sesuatu yang jelas,
meskipun sangat sulit untuk menjelaskan secara tepat (Blong dan Dunkerley, 1976).
Kesulitan ini muncul karena curah hujan hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara
tidak langsung terhadap kondisi air-pori di dalam material pembentuk lereng.
Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah “pengaruh memicu” curah hujan
terhadap tanah longsor.
5. Faktor Geologi
Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur
geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan
gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak
batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan
patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan
berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap
(Surono, 2003).
Daftar Pustaka:
Bernard, E.N. (1998): Program aims to reduce impact of tsunamis on Pacific states. Eos
Trans. AGU, 79(22), 258, 262-263.
Dudley, Walter C., and Min Lee. 1998. Tsunami! Second Edition. Honolulu: University of
Hawai'i Press
Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Jurnal. Pusdi
Kebumian LEMLIT UNDIP Semarang.
Hardoyo, Su Rito, dkk. 2011. Strategi Adaptasi Masyrakat dalam Menghadapi Bencana
Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan. Yogyakarta: MPPDAS Fakultas
Geografi UGM.
Hutabarat, Sahala dan Stewart M.Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press
Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan
Rekomendasi). Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada.
Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim Longsoran
Teknik Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Lillesand, T. M. & R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Marfai, Muh Aris. 2003. GIS Modelling of Rover and Tidal Flood Hazards in a Waterfront
City (Case Study: Semarang City, Central Java, Indonesia). Thesis. Netherlands: ITC
Netherlands.
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa
Tahun 2001. Jakarta: BPPT
Ongkosongo, O. 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan
Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi
Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.
Ramadhany, Apriliawan Setiya, dkk. 2012. Daerah Genangan Rob di Wilayh Semarang.
Jurnal. Journal of Marine Research Vol. 1, No. 2, Tahun 2012.
Rusli, Salim. 2007. Waspada Hujan dan Longsor. Jakarta
Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran Aktivitas
Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Bogor: Departemen Tanah Fakultas Pertanian
IPB.
Saptohartono, Endri. 2007. Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerawanan
Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu
Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung.
Sarifuddin dan Retno Susanti. 2011. Penilaian Kesejahteraan Masyarakat Untuk
Mendukung Permukiman Berkelanjutan di Kelurahan Terboyo Wetan, Semarang.
Jurnal. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011: 29-42
Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol
Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Jakarta: Direktorat Jenderal
Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.
Somantri, Lili. 2006. Kajian Mitigasi Bencana Longsorlahan dengan Menggunakan
Teknologi Penginderaan Jauh. Makalah Seminar Ikatan Geografi Indonesia. Padang.
Sudibyakto, 2009. Pengembangan Sistem Perencanaan Manajemen Resiko Bencana di
Indonesia. Jurnal Kebencanaan Indonesia PSBA UGM Vol.2 No.1
Sugito, Nanin 2008. Tsunami dan Penyebabnya. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia
Sutikno, 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan
Massa Tanah dan Batuan. Makalah Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi
Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset
Blong, R.J. and Dunkerley, D.L., 1976. Landslides in the Razorback area. http://forda-
mof.org/files/Intensitas_curah_hujan_memicu_tanah_longsor.pdf diakses tanggal 20
Agustus 2013 pukul 20:09
Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan
Pegunungan. http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf
diakses tanggal 20 Agustus 2013 pukul 19:20
NOAA. 2012. The Tsunami Story. http://www.tsunami.noaa.gov/ diakses tanggal 20
Agustus 2013 pukul 07:16