bahan kkl pencemaran air, b3

12
Kritis, Jatim ‘Impor’ Air Bersih Selasa, 05/06/2012 | 12:55 WIB Surabaya- Negara ini mestinya malu, kala gerakan ‘Ekonomi Hijau’ digaungkan dalam rangka Hari Lingkungan Hidup yang jatuh hari ini, 5 Juni, salah satu kebutuhan utama masyarakat yaitu air layak konsumsi makin sulit ditemukan. Di Jawa Timur (Jatim) saja, akibat kerusakan lingkungan sekitar 70% mata airnya telah ‘sakit’. Bahkan, masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses air bersih. Tak hanya itu, dari sisi ekonomi harganya juga terus mendaki. Di daerah seperti Probolinggo, harganya mencapai Rp 7.500/meter kubik (m3). Padahal jelas-jelas mandat Pasal 33 UUD 1945 berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ironis! “Tidak ada alternatif yang bisa dilakukan selain mengolah air laut (berita baca halaman 14) dan hujan. Terus terang, saya sendiri ragu untuk mengonsumsi (air, red), meski sudah melalui pengolahan serta penjernihan di PDAM,” ujar pakar dan peneliti air, Prof. Dr. dr. R. Soedibyo Hari Purnomo, Selasa (5/6) siang. Profesor dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) ini memprediksi dalam 20 tahun ke depan, Surabaya dan Jatim akan jadi wilayah ‘pengimpor’ air. Hal tersebut didukung dengan tidak adanya geliat untuk memperbaiki sistem dann mekanisme perlindungan lingkungan secara komprehesnif dan berkesinambungan. “Kalau terus-terusan seperti ini dan tidak ada kepedulian untuk mencegah, bisa diprediksi 2030, pulau Jawa akan mengimpor air,” ingatnya. Ia juga mencontohkan, sumber air utama di 3 titik sentral Jatim kini juga mengalami penurunan debit air. Ketiganya itu ada di Umbulan, Pasuruan, Prigen, Pandaan dan Trawas Mojokerto.“Sumber-sumber air tadi itu kualitas airnya katagori ‘A’. Kayak di Umbulan, debit airnya tinggal 3 ribu meter kubik per detik. Dulu masih bisa memproduksi sampai 10 ribu meter

Upload: winaldo-satryadi-manurung

Post on 03-Aug-2015

80 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

Kritis, Jatim ‘Impor’ Air Bersih

Selasa, 05/06/2012 | 12:55 WIB

Surabaya- Negara ini mestinya malu, kala gerakan ‘Ekonomi Hijau’ digaungkan dalam rangka Hari Lingkungan Hidup yang jatuh hari ini, 5 Juni, salah satu kebutuhan utama masyarakat yaitu air layak konsumsi makin sulit ditemukan.Di Jawa Timur (Jatim) saja, akibat kerusakan lingkungan sekitar 70% mata airnya telah ‘sakit’. Bahkan, masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses air bersih.

Tak hanya itu, dari sisi ekonomi harganya juga terus mendaki. Di daerah seperti Probolinggo, harganya mencapai Rp 7.500/meter kubik (m3). Padahal jelas-jelas mandat Pasal 33 UUD 1945 berbunyi,  “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ironis!“Tidak ada alternatif yang bisa dilakukan selain mengolah air laut (berita baca halaman 14) dan hujan. Terus terang, saya sendiri ragu untuk mengonsumsi (air, red), meski sudah melalui pengolahan serta penjernihan di PDAM,” ujar pakar dan peneliti air, Prof. Dr. dr. R. Soedibyo Hari Purnomo, Selasa (5/6) siang.

Profesor dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) ini memprediksi dalam 20 tahun ke depan, Surabaya dan Jatim akan jadi wilayah ‘pengimpor’ air. Hal tersebut didukung dengan tidak adanya geliat untuk memperbaiki sistem dann mekanisme perlindungan lingkungan secara komprehesnif dan berkesinambungan. “Kalau terus-terusan seperti ini dan tidak ada kepedulian untuk mencegah, bisa diprediksi 2030, pulau Jawa akan mengimpor air,” ingatnya.

Ia juga mencontohkan, sumber air utama di 3 titik sentral Jatim kini juga mengalami penurunan debit air. Ketiganya itu ada di Umbulan, Pasuruan, Prigen, Pandaan dan Trawas Mojokerto.“Sumber-sumber air tadi itu kualitas airnya katagori ‘A’. Kayak di Umbulan, debit airnya tinggal 3 ribu meter kubik per detik. Dulu masih bisa memproduksi sampai 10 ribu meter kubik per detik. Itu belum yang di Prigen atau Trawas,” ulasnya.

Apalagi, kata Dibyo, sumber-sumber air berkualitas langsung minum itu kini dalam penguasaan pengelola dan produsen air kemasan isi ulang. “Selain itu, pemicunya ini adalah limbah pabrik yang tanpa diolah melalui IPAL (instalasi pengolahan air limbah, red), penggundulan hutan dan semakin terkikisnya lingkungan serapan air. Mungkin, mereka juga berpikir, pembiayaan buat IPAL bisa sampai 20% dari semua pembiayaan pabrik,” tuturnya.Terpisah, Pakar Hukum Lingkungan dari Unair, Suparto Wijoyo mengatakan, “Memang akses terhadap air naik, tapi belum semuanya dapat menikmatinya,” katanya Senin (4/6) malam.

Akses air bersih di Jawa Timur pada tahun 2005-2007 sebesar 46%. Sedangkan untuk tahun 2008-2011 terjadi peningkatan sebesar 25%  menjadi 71%. Artinya masih ada 29% warga Jatim yang tak bisa menikmati akses air bersih. "Peningkatan ini dikarenakan pemulìhan lahan kritis mencapai 5% dan tingkat rehabilitasi kawasan meningkat 5% baik di Jatim sebelah pasuruan ke timur maupun di Madura," ujarnya. Selain itu, beban pencemaran air tahun 2010-2011 mengalami penurunan 15%.

Page 2: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

Menurut catatan Bank Dunia, Sejak Indonesia merdeka, hanya terdapat 8 juta sambungan air perpipaan, dan apabila setiap sambungan melayani lima orang maka hanya sekitar 40 juta penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap air perpipaan. Padahal, Bank Dunia telah memperingatkan Indonesia dan menyatakan, rata-rata 50 ribu anak di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat sanitasi yang buruk.

Diakuinya, banyak sumber air, terutama di Trawas dan Pacet yang mengalami kerusakan ekosistem, sehingga secara kualitas dan kuantitas air menurun. Sementara, bahan baku air yang dari sungai yang tidak layak konsumsi adalah Kali Surabaya.

“Karena Kali Surabaya sudah banyak tercemar limbah pabrik seperti beberapa hari lalu hingga banyak ikan yang mabuk,” ujarnya. Dahulu tahun 1987-1990 ada operasi penggelontoran air dan operasi kemukus yaitu operasi dalam rangka mengendalikan pencemaran air yang diadakan Polda Jatim.

Terkait pencemaran Kali Surabaya sebagai bahan baku PDAM Surabaya juga dibenarkan oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah  atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).  Prigi Arisandi selaku Direktur Eksekutif Ecoton menyatakan terjadi feminisasi ikan sebagi bukti pencemaran.  “Kondisi ini akibat ikan-ikan di Kali Surabaya terkena limbah urin perempuan yang mengkonsumsi pil kontrasepsi. Penyebab lainnya adalah terkena bahan kimia seperti pestisida, PCB, logam berat, deterjen, plastilizer (bahan pembuat plastik) dan sampo serta obat-obatan kimia,” bebernya. “Kami sarankan air PDAM tidak usah untuk minum untuk mandi saja tidak layak,” ujarnya.

Kabar terbaru, Perum Jasa Tirta II menggelontor PDAM  Surya Sembada Surabaya dengan air baku mutu yang tercemar. Akibatnya, IPAM  Karang Pilang dan  Ngagel ikut tercemar. Kondisi ini membuat PDAM Surya Sembada kelabakan.Terpisah, Ashari Mardiono, Dirut PDAM Surabaya mengatakan, pihaknya akan melakukan membicarakan masalah ini dengan Perum Jasa Tirta. Apa yang akan dibahas, di antaranya soal kondisi air baku mutu.

Ia menambahkan pencemaran air baku mutu kali ini terjadi sejak, 16 Mei lalu. Pencemaran terjadi mulai dari kawasan Wringin Anom, Gresik. Akibatnya IPAM Karang Pilang ikut terdampak sehingga dinyatakan tercemar kategori sedang. Namun polutan lendir akhirnya masuk ke instalasi Ngagel.

Sementara, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menerima laporan dari tim yang dibentuk untuk menginvestigasi pencemaran di kali Surabaya. Hasilnya untuk sementara Pemerintah Provinsi mendapati 45%pencemaran Kali Surabaya berasal dari limbah pabrik, sisanya sebesar 55% berasal dari limbah rumah tangga.

Hal tersebut disampaikan Gubernur Jawa Timur Soekarwo usai menghadiri rapat paripurna di gedung DPRD Provinsi Jawa Timur senin (4/5).Pakde Karwo menyatakan sampai saat ini tim yang diterjunkan belum menentukan perusahaan mana saja yang telah mencemari Kali Surabaya.

Akan tetapi saat ini menurutnya sudah ada 17 sampai 20 tabung yang berisi limbah dari Kali Surabaya yang dilakukan penelitian. Dari penelitian itu baru dapat diambil keputusan industri mana yang bersalah telah membuang limbahnya. Gubernur menduga industri-industri yang

Page 3: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

membuang limbah ke Kali Surabaya itu sengaja tidak memanfaatkan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL)-nya dengan alasan efisensi produksi.

Biaya yang mahal ditengarai menjadi alasan perusahaan untuk membuang limbahnya di kali. “Perusahaan itu membuang limbahnya sekitar pukul 03.00 WIB. Makanya sulit bagi kita untuk mengetahuinya. Dengan membuang limbah itu mereka bisa menekan ongkos,” ungkapnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya ratusan ikan di Kali Surabaya mati. Kematian ikan tersebut disebabkan karena kondisi kali yang memburuk akibat limbah pabrik yang dibuang ke kali surabaya oleh beberapa pabrik yang berada di sepanjang aliran kali. Beberapa nama perusahaan dibidik. Diantaranya Pabrik Gula Gempol Kerep, PT. Tjiwi Kimia dan PT Alu Aksara Pertama. Hasilnya ditemukan instalasi Pengolahan Air Limbah di ketiga parik tersebut tidak sesuai dengan standar yang ada. Sementara satu perusahaan bernama PT. Mandrim yang berdomisili di gresik telah dilaporkan ke Polda Jawa Timur. m2

Daerah, Aman tapi MahalKalau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surabaya mengandalkan bahan baku dari Kalimas, yang tak kalis dari limbah, air PDAM di daerah lebih aman. PDAM Kota Probolinggo, juga Kabupaten Probolinggo misalnya, mengandalkan sumber air Ronggojalu di Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo yang jernih dan debitnya melimpah.

”Sumber Ronggojalu benar-benar melimpah, pernah diteliti tim dari Amerika Serikat, debitnya sekitar 15.000 liter per detik dan aman untuk air minum,” ujar Dirut PDAM Kota Probolinggo, Lukman Tjahyono. Sumber air di Desa Banjarasawah, Kecamatan Tegalsiwalan itu sudah dimanfaatkan sebagai air minum sejak 1926, semasa penjajahan Belanda. ”Hingga kini pun kami masih mewarisi pipa-pipa induk peninggalan Belanda,” ujar mantan Account Manager PT Telkom Cabang Probolinggo itu.

Dikatakan tidak hanya PDAM Kota Probolinggo yang memanfaatkan mata air Ronggojalu. ”PDAM Kota Probolinggo hanya memanfaatkan sekitar 300 liter per detik, PDAM Kabupaten lebih kecil lagi, selain itu juga PT Kertas Leces,” ujar Lukman.

Ditanya tarif PDAM, Lukman menyebutkan angka Rp 1.600/m3. ”Harga air PDAM Kota Probolinggo Rp 1.600 per meter kubik, lebih murah dibandingkan PDAM Kabupaten yang Rp 2.000,” ujarnya.

Kalau PDAM Kota Probolinggo hanya mengandalkan sumber Ronggojalu, tidak demikian dengan PDAM Kabupaten. Karena masyarakat yang dilayani terpencar-pencar di 24 kecamatan. Walhasil,  warga di Pulau Giliketapang yang berjarak sekitar 3 mil laut (5 Km) di utara pelabuhan Tanjung Tembaga, Kota Probolinggo bisa menikmati air PDAM yang dipasok melalui pipa bawah laut. Warga di pulau karang yang sebelumnya mengandalkan air hujan dan ‘mengimpor’ air bersih dengan diangkut perahu dari Kota Probolinggo itu sejak Januari 2010 lalu bisa menikmati kucuran air PDAM.

Hanya saja warga yang tinggal di Desa Giliketapang, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo itu harus membayar taruf air PDAM jauh lebih mahal dibandingkan di Kabupaten Probolinggo. Warga Giliketapang dikenai tarif air Rp 7.500/m3. Bandingkan dengan tarif air PDAM di Kota Probolinggo Rp 1.600 dan di PDAM Kabupaten Probolinggo Rp 2.000/m3.pur,isa,zar,bas,ony,m2,m13,pur

Page 5: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

MI/Ramdani/cs

Limbah domestik mendominasi pencemaran air sungai. Padahal, banyak daerah sangat mengandalkan sungai sebagai sumber air baku untuk memasok air bersih.

TUMPUKAN sampah tersebar di Desa Tanjung Pasir. Desa yang berjarak sekitar 12 kilometer dari ibu kota Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, itu layaknya tempat pembuangan akhir sampah.

Barang buangan teronggok dari gerbang utama desa hingga ke pantai yang menjadi kawasan wisata. Mulai kotoran kambing hingga plastik ada di sana.

Warga yang mendiami kawasan tersebut terlihat tidak risih. Enggum, salah satunya. Drainase yang mampat dan menebar bau tak sedap tidak membuatnya mencari jalan alternatif untuk lewat.

"Dari dulu memang seperti ini. Tidak ada yang dididik bagaimana membuang sampah. Saya saja enggak pernah diajari buang sampah yang benar," kata Enggum.

Dari ratusan rumah di desa itu, hanya rumah Lurah Gunawan yang terlihat bersih. Rumah itu juga satu-satunya yang menyediakan tong sampah, yang berada di depan teras.

Padahal, dampak sampah sudah dirasakan para nelayan. Seperti diungkapkan Amin, ikan mulai sulit dicari di perairan. "Kami mesti mencari ikan sampai ke Muara Gembong, Bekasi. Di sini banyak sampah sehingga ikan pergi," tandas pria yang kemudian memilih profesi sebagai tukang ojek perahu itu.

Desa Tanjung Burung, tetangga Desa Tanjung Pasir, juga memiliki persoalan serupa. Kala musim penghujan, air Sungai Cisadane yang mengalir di desa itu tampak bening dan bersih.

Namun bila musim kemarau tiba, debit air menyusut dan muncul warna hitam serta berbau. "Baunya sampai radius 1 kilometer," kata Sekretaris Desa Tanjung Burung Sahudin.

Limbah berwarna hitam itu menjadi lumpur yang menyumbat di ujung pesisir Tanjung Burung. Warga yang berprofesi sebagai nelayan tidak bisa melaut karena perahu mereka terhalang oleh lumpur limbah. Mau tak mau, mereka harus memutar ke desa lain agar bisa melaut.

Beban berat

Page 6: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

Dari hasil penelitian, limbah domestik paling dominan mencemari Sungai Cisadane. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Tangerang Affandi Permana mengakui beban Sungai Cisadane sangat berat.

"Sebetulnya bukan industri yang menyumbang pencemaran sungai, melainkan limbah domestik. Industri jelas terpantau," tuturnya.

BPLH mencatat kontribusi pencemaran limbah industri 14%, sedangkan limbah domestik 84%. Di Cisadane ada 22 perusahaan, dua di antaranya rumah sakit, yang pernah melanggar karena membuang limbah di sungai tanpa diolah. Seluruh perusahaan tersebut tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Sesuai dengan aturan, setiap perusahaan wajib memiliki IPAL. Kasus mereka saat ini dalam pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup.

Affandi menyebutkan semua limbah domestik dari perumahan dan perkampungan langsung masuk ke sungai. Ada limbah cair dan padat. "Yang menyedihkan, banyak perumahan besar dan mewah juga tidak memiliki sistem pengolahan limbah domestik. Semua mengalir ke sungai," kritiknya.

Padahal, sungai-sungai besar yang membelah kawasan Tangerang dan sekitarnya menjadi sumber air baku yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Beruntung, kualitas Sungai Cisadane berdasarkan uji sampling masih menunjukkan tingkat pencemaran ringan. Itu karena sungai tersebut memiliki arus air yang deras dan memiliki kemampuan self recovery secara alami.

Uji sampling dilakukan tiga kali dalam setahun di 16 titik, bersamaan dengan sungai lain seperti Angke, Kali Sabi, Cirarab, dan Mookervart.

Ke depan, untuk menjaga kualitas air, BPLH Kota Tangerang berupaya menggerakkan pengelola perumahan untuk memiliki IPAL sendiri. Kondisi yang sama juga berlaku bagi rumah sakit, yang lima di antaranya berfungsi sebagai tempat titik simpan sementara limbah rumah sakit sebelum dimusnahkan.

"Klinik swasta atau praktik dokter harus punya pengolahan limbah atau dititipkan ke rumah sakit. Untuk mengurangi pencemaran akibat limbah domestik, pemilik toko juga harus sadar lingkungan sebelum membuka usaha," tutur Affandi.

Kewajiban pengusaha Limbah domestik, diakui Kepala Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arie Herlambang, merupakan ancaman terbesar pencemaran sungai. "Sumbernya dari permukiman," kata dia saat ditemui di kantornya di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, pekan lalu.

Para pengembang perumahan besar, lanjut dia, seharusnya membangun IPAL sendiri. Jangan sampai semua sampah dibuang ke sungai tanpa diolah. Faktanya, hanya 5% dari seluruh pengembang besar yang sudah membangun IPAL di areal perumahan.

Arie berharap industri dan pengusaha ikut mengajak konsumen untuk sadar lingkungan dengan cara mendukung produk-produk ramah lingkungan. "Pengusaha harus mengajak konsumen untuk hidup sebagai green consumer. Jangan menciptakan konsumen yang rakus karena masalah lingkungan bukan milik orang lingkungan, semua orang bertanggung jawab," tegasnya.

Dia mencontohkan, di kota besar, jika ada hujan kurang dari sejam pasti menimbulkan genangan di banyak tempat. Itu terjadi lantaran selokan tersumbat oleh sampah yang bersumber dari permukiman.

Masyarakat harus dilibatkan pada setiap produk yang dihasilkan industri. Selama ini mereka tidak pernah dilibatkan dan hanya disuruh membeli dan memakai.

Page 7: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

Menurut Arie, sangat sedikit perusahaan yang merespons dengan melakukan sosialisasi pertanggungjawaban produk terhadap lingkungan. Masyarakat semestinya dilibatkan untuk menentukan mana yang baik untuk lingkungan.

Selain masalah limbah dan sampah, selama ini pembangunan di Indonesia sangat mengandalkan eksploitasi sumber daya alam. Arie menyebut 80% daerah di Indonesia masih mengandalkan sumber daya alam sebagai penopang pembangunan ekonomi.

"Bila tidak dikurangi, aktivitas eksploitasi mulai dari sekarang akan membahayakan bagi masyarakat Indonesia. Eksploitasi alam akan berdampak pada terjadinya bencana alam," tandasnya. Untuk itu, dia sepakat badan lingkungan hidup di daerah diperkuat dalam fungsi monitoring, pengawasan, pemberian izin, plus pemberian sanksi. (N-2)

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/06/06/324372/38/5/Buangan-Rumah-yang-Jadi-Masalah

Page 8: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

Penanganan Limbah B3 Harus Dimaksimalkan

Int Ilustrasi Berita Terkait:

» Pemprov Investigasi Pengolah Limbah B3

» Kasus Korupsi IPAL RS Masuk Tahap Penyidikan

» RS Wahidin Rutin Periksa Limbah

» Makassar Berharap Bantuan Pengolah Limbah Cair

» Panply Klaim Rutin Uji Amdal

MAKASSAR, FAJAR -- Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) harus dilakukan secara maksimal. Alasannya, Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup sudah menegaskan pentingnya menangani limbah B3 tersebut."Selama ini koordinasi pemerintah dan instansi terkait terkesan belum padu dalam menangani persoalan limbah B3 ini. Padahal regulasinya sudah ada. Sekarang tinggal koordinasi yang dipermantap," kata public relation Komite Nasional Responsive Care Indonesia (KNRCI), Sankrib di redaksi FAJAR Sabtu, 26 November.Sankrib mengatakan selain koordinasi, pemerintah dan pihak terkait juga perlu memperbanyak sosialisasi. Publik dan sebagian masyarakat, kata dia, juga belum banyak tahu soal dampak dari limbah B3 yang banyak diproduksi industri tersebut.Menurut dia, jika tidak ditangani dengan baik, limbah B3 itu akan menimbulkan pencemaran baik pencemaran udara,  pencemaran air, maupun pencemaran lainnya. Ujung-ujungnya, kata dia masyarakat yang menjadi korban.Padahal, kata Sankrib, jika dikelola dan ditangani dengan serius, limbah B3 itu justru bisa menghasilkan uang. Menurut dia, limbah B3 bisa diolah kembali. Benda yang tidak bisa diolah kembali biasanya dikubur atau dimusnahkan.Hal sama disampaikan Direktur PT Multazam, Jannuar Irianto. Jannuar mengatakan instansi terkait perlu duduk bersama untuk berkoordinasi menangani lambah B3 yang produksinya terus meningkat. Ia menyebut beberapa instansi yang perlu terlibat seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian, Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Polri, dan pihak-pihak lainnya.Multazam sebagai perusahaan pengumpul limbah B3 dan tranporter limbah B3 bersedia bermitra dan bersinergi dengan pemerintah serta industri. Selama ini, perusahaan sudah menangani limbah B3 beberapa perusahaan di Sulsel. Di antaranya Energi Equity, Alstom, Makassar Power, PLTD Tello, Sentral Daya Energi Gowa, dan lainnya.

Page 9: Bahan KKL Pencemaran Air, B3

"Saat ini kami sedang melakukan workshop pengiriman limbah B3 lewat udara dan transportasi laut. Ini merupakan komitmen Multazam untuk mengelola lombah B3," kata Jannuar lagi. (*/pap)

http://www.fajar.co.id/read-20111127193505-penanganan-limbah-b3-harus-dimaksimalkan