bagian iv juliater

14
BAGIAN IV PENDEKATAN SISTEM KEGIATAN (ACTIVITY SYSTEMS APPROACH) Pendekata ini secara komprehensif dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan firma-firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan didalam kota (“behaviour patterns of individuals, institutions and firms which occur in spatial patterns” (Chapin. 1965)). Dalam hal ini yang menjadi penekanan analisis adalah unsur-unsur utama perilaku manusia serta dinamika perilaku manusia yang kemudian di dalam proses imbal dayanya telah mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan tertentu didalam sesuatu kota. Menurut Chapin perilaku manusia yang timbul karena adanya nilai-nilai yang hidup di dalam persepsi perorangan atau kelompok tersebut, tercermin didalam suatu siklus yang terdiri dari 4 tahap/fase, yaitu: 1) Fase merumuskan kebutuhan (needs) dan keinginan (experiencing needs and wants). 2) Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” and “wants” tersebut (defining goals). 3) Fase membuat alternatif perencanaan (planning alternatives).

Upload: nahampun-juliater

Post on 02-Jul-2015

196 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bagian IV juliater

BAGIAN IVPENDEKATAN SISTEM KEGIATAN(ACTIVITY SYSTEMS APPROACH)

Pendekata ini secara komprehensif dapat diartikan sebagai suatu upaya

untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan

firma-firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan didalam kota

(“behaviour patterns of individuals, institutions and firms which occur in spatial

patterns” (Chapin. 1965)).

Dalam hal ini yang menjadi penekanan analisis adalah unsur-unsur utama perilaku

manusia serta dinamika perilaku manusia yang kemudian di dalam proses imbal

dayanya telah mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan tertentu didalam

sesuatu kota.

Menurut Chapin perilaku manusia yang timbul karena adanya nilai-nilai

yang hidup di dalam persepsi perorangan atau kelompok tersebut, tercermin

didalam suatu siklus yang terdiri dari 4 tahap/fase, yaitu:

1) Fase merumuskan kebutuhan (needs) dan keinginan (experiencing needs

and wants).

2) Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” and

“wants” tersebut (defining goals).

3) Fase membuat alternatif perencanaan (planning alternatives).

4) Fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap sesuai dan

melaksanakan tindakan (deciding and acting).

Pola perilaku manusia dapat diamati dari sistem-sistem kegiatan yang

dilaksanakan oleh perorangan maupun badan-badan swasta,pemerintah. Raonels

(dalam Carter 1975) menggolongkan sistem-sistem kegiatan tersebut menjadi 3,

yaitu:

1) Sistem kegiatan rutin (routine activities) yaitu aspek kegiatan utama

individu yang dilaksanakan, seperti pergi belanja dll.

Page 2: Bagian IV juliater

2) Sistem kegiatan terlembaga (institutionalized activities) yaitu kegiatan

kelembagaan yang baik itu lembaga swasta maupun lembaga pemerintah

yang difokuskan pada “particular points”.

3) Sistem kegiatan yang menyangkut organisasi dari pada proses-prosesnya

sendiri (organization of process) Hal ini menyangkut hubungan yang lebih

kompleks (cross relationships) dengan berbagai sistem kegiatan yang lain,

baik dengan perorangan, kelompok dan lembaga.

1. Charles Colby (1933)

Pertama kali mencetuskan idenya tentang kekuatan –kekuatan dinamis

yang mempengaruhi pola penggunaan lahan kota pada artikelnya yang berjudul

“Centrifugal and Ceatripetal Forces in Urban Geography” pada tahun 1933.Oleh

karena didalam kota terdapat kekuatan-kekuatan dinamis yang mempengaruhi

pola penggunaan lahan kota maka pola penggunaan lahan kota sendiri tidak statis

sifatnya.

Secara garis besar , kekuatan-kekuatan dinamis dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu:

- kekuatan-kekuatan centrifugal

- kekuatan-kekuatan centripetal

Kekuatan sentrifugal adalah kekuatan- kekuatan yang menyebabkan terjadinya

pergerakan penduduk dan fungsi-fungsi perkotaan dari bagian dalam sesuatu kota

menuju ke bagian luarnya.Kekuatan Sentripental adalah kekuatan-kekuatan yang

menyebabkan terjadinya pergerakan baik penduduk maupun fungsi-fungsi yang

berasal dari bagian luar menuju kebagian dalam daerah perkotaan.

Dalam mengemukakan teorinya, Charles Colby membagi daerah

perkotaan menjadi 3 bagian :

- Bagian paling dalam / sentral dari pada kota (an innermost or

nuclear zone)

- Bagian tengah (middle zone)

- Bagian paling luar atau pinggiran (an outermost of peripheral

zone).

Page 3: Bagian IV juliater

Menurut , Charles Colby kekuatan-kekuatan centrifugal (yang merupakan

kombinasi dari “push factors” pada bagian dalam dan “pull factors” pada bagian

luar) dapat diperinci lagi kedalam 6 jenis kekuatan, yaitu:

- kekuatan-kekuatan keruangan (spatial forces)

- kekuatan-kekuatan sait (site forces)

- kekuatan-kekuatan situational (situational forces)

- kekuatan-kekuatan evaluasi sosial (nthe forces of social evaluation)

- kekuatan-kekuatan status penempatan dan organisasi penempatan (the

forces of status and organization of occupance)

- kekuatan-kekuatan persamaan harkat kemanusiaan (human equation

forces).

Kekuatan-kekuatan sentripetal (yang merupakan kombinasi dari “push

factors” pada bagian luar dan “pull factors” pada bagian dalam) dapat dibagi lagi

kedalam 5 jenis kekuatan, yaitu:

- kekuatan sait (site forces)

- kekuatan kemudahan fungsional (functional convenience forces)

- kekuatan magnetisme fungsional (magnetism functional forces)

- kekuatan prestise fungsional (functional prestice forces)

- kekuatan persamaan kemanusiaan (human equation forces).

Untuk kota-kota yang didominasi oleh “centripetal forces” maka

“centripetal movement” dari pada penduduk maupun fungsi-fungsi terlihat sangat

mencolok. Proses pemadatan struktur makin kompleksnya tipe penggunaan di

bagian dalam kota . makin tingginya volume kegiatan didalam kota, makin

padatnya volume kegiatan didalam kota, makin padatnya volume lalu-lintas di

jalan-jalan utama ,makin padatnya jumlah penduduk, makin padatnya

permukiman adalah beberapa akibat yang nyata (dampak primair). Sementara itu

dampak sekundair yang negatif perlu diantisipasi yaitu makin semrawutnya

tatanan penggunaan lahan makin banyak munculnya pemukiman liar, makin cepat

terjadi deteriorisasi lingkungan permukiman (antara lain karena over carrying

capacity) makin banyak polusi (udara, air, tanah), makin banyak tindak kriminal

Page 4: Bagian IV juliater

dan makin banyak pengangguran. Dalam hal ini persoalan-persoalan penggunaan

lahan banyak menumpuk di bgian dalam kota.

Bagi kota-kota yangdidominasi oleh “centrifugal forces” maka

“centrifugal movement” dari pada penduduk dan fungsi terlihat sangat nyata. Pada

bagian dalam kota akan mengalami penurunan fungsi-fungsi dan sebaliknya pada

bagian luar “peripheral areas” akan terjadi dinamika pembangunan lahan yang

cukup tinggi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sangat tinggi

volume dan frekuensinya, sehingga pemekaran kota (“artian alami”)terjadi sangat

cepat.

Apabila kedua kekuatan tersebut terlihat berperan dalam sesuatu kota

maka masalah penggunaan lahan yang dihadapi akan semakin kompleks. Kota-

kota besar di negara yang sedang berkembang di Asia khususnya di Indonesia

sangat dipengaruhi oleh kedua kekuatan ini.

2. John Tarner (1968)

Sarjana ini mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal (Residential

Mobility). Tesisnya pertama kali diperkenalkan tahun 1968 pada artikel yang

berjudul “Housing priorities, settlement patterns, and Urban Development in

Modernizing Ceuntries”. Dalam menjelaskan teorinya, sarjana ini mengemukakan

beberapa dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal ini. Ada

empat macam dimensi yang perlu diperhatikan dalam mencoba memahami

dinamika perubahan tempat tinggal pada sesuatu kota, yaitu:

dimensi lokasi

dimensi perumahan

dimensi siklus kehidupan dan

dimensi penghasilan.

Dinamika teorinya didasari oleh “azas equilibrium” (keseimbangan) dimana

mengandung pengertian bahwa mereka yang lebih kuat ekonominya memperoleh

sesuatu yang lebih baik dalam hal “residential location”.

Page 5: Bagian IV juliater

Kondisi ini merupakan produk mempertukarkan (trade off) didalam 3 prioritas

lingkungan tempat tinggal, yaitu:

Masalah penguasaan tempat tinggal (tenure)

Masalah lokasi (location)

Masalah rumahnya sendiri (shelter)

Dalam dimensi personal dan dimensi “residential” terdapat korelasi yang

sangat erat semakin tinggi “income” seseorang, semakin tinggi pula prioritas

untuk memperoleh perumahan yang baik, semakin tinggi pula prioritas untuk

menempatkan identitas pribadi. Sementara itu terdapat korelasi negatif antara

“income” dengan prioritas untuk memperoleh tempat tinggal yang dekat dengan

tempat kerja.

Untuk membahas “activity system approach” ini mendalam tigam macam

pendekatan utama yang lebih detail akan dikemukakan, yaitu: (1) “social area

analysis”, (2) “conflict managemen approach” dan (3) “marxist approach”.

4.1. Pendekatan Wilayah Sosial

Pendekatan ini menekankan pada struktur sosial dan struktur keruangan

pada sesuatu kota dan mulai dikembangkan pada tahun 40-an. Pertama kali

dikemukakan oleh Shevky dan Williams (1949). Pada saat itu kedua penulis

tersebut, memperkenalkannya sebagai suatu metode untuk mengkalisifikasi jalur

daerah sensus dan kemudian disempurnakan oleh Shevky dan Bell (1955) sebagai

suatu model perubahan sosial yang kemudian dipakai sebagi salah satu teori

umum tentang differensiasi kekotaan.

Selanjutnya Shevky dan Bell menjelaskan bahwa meningkatkannya skala

daripada masyarakat industri kekotaan yang modern (modern urban industrial

society) ternyata berasosiasi dengan perubahan-perubahan mendasar pada

hubungan-hubungan mendasar pada hubungan-hubungan ekonomi dan sosial.

Hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan teori diferensiasi keruangan

kota ini adalah bahwa analisis wilayah sosial (“social area analysis”) sangat

berbeda dengan analisis ekologi (“ecological and analysis”) untuk studi

perkotaan. Analisis wilayah sosial selalu mulai dengan teori-teori diferensial

Page 6: Bagian IV juliater

sosial, mengidentifikasi variasi-variasi dalam ruang sosial (sosial space) yang

kemudian diterjemahkan menjadi ruang geografis (geographical space).

Shevky dan Bell memandang kot sebagai suatu bagian masyarakat

keseluruhan (as a part of society as a whole) dan semua perubahan-perubahan

masyarakat akan selalu tercermin di dalam kota. Perubahan-perubahan tersebut

menyangkut ciri-ciri kehidupan sosial dari sifat yang dianggap “primitif

tradisional!” sampai ke sifat-sifat gaya hidup modern.

4.1.1 Persebaran Ruang Sosial Konsentris

Persebaran ini menunjukkan distribusi keruangan tentangm jenjang sosial.

Menurut Bell, preferensi ini sangat berkaitan dengan gaya hidup seseorang, secara

gari besar ada 3 macam gaya hidup, yaitu (1) familisme (2) konsmerisme (3)

karirisme.

Familisme sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Tahap pre-marriage (tahap sebelum kawin)

2. Tahap “marriage pre-children” (tahap setelah kawin tetapi belum punya

anak)

3. Tahap “child-rearing” (tahap membesarkan anak-anak)

4. Tahap “child-launching” (tahap melepaskan anak-anak)

5. “marriage post-children” (tahap setelah tidak ada lagi anak-anak)

6. “Widowlhood” (karena salah satu meninggal)

Keruangan wilayah sosial konsentris akan tercipta dari variasi “life style”

yang berbeda-beda ini. Bagian dalam kota lebih didominasi oleh penduduk yang

tua, orang-orang dewasa belum kawin dan mud, mereka yang menekankan gaya

hidupnya pada “konsumerisme” dan “karirisme” jadi pada bagian dalam lebih

heterogen sifatnya.

4.1.2 Persebaran Ruang Sosial Sektoral

Persebaran ini lebih banyak disebabkan oleh alasan-alasan sosial ekonomi.

Ide pertama memang berasal dari pendapat Homert Hoyt (1939) yang menemukan

pola penyebaran keruangan secara sektoral di kota-kota USA. Perbedaan

Page 7: Bagian IV juliater

penggunaan lahan yang mencolok antara daerah pusat dan pinggiran serta “spoke

like wedges of land use” (penggunaan lahan seperti taji dan menjari) terdapat

hampir di semua kota-kota yang ditelitinya.

4.1.3 Persebaran Ruang Sosial Diskrit

Perbedaan-perbedaan kultural mengkibatkan kecenderungan etnis-etnis

tertentu mengelompok pada bagian tertentu di dalam kota. Masahlah bahasa,

agama dan adat kebiasaan menurut Bell dianggap sebagai penenu terjadinya

“Segresi sosial” dan kebutuhan untuk dekat dengan tempat-tempat pertemuan

mereka yang sepaham, pusat agam, toko-toko khusus (misalnya toko penjual

daging yang penyembelihannya melalui prosedur keagamaan yang dianut), pusat-

pusat hiburan tertentu akan menyebabkan terjadinya proses pengelompokan ini.

4.2 Conflict/Managemen Approach (Pendekatan Konflik/Pengelolaan)

Pendekatan ini tergolong baru kehadirannya dalam studi “geografi kota”.

Analisisnya menekankan pada hubungan antara perorangan (individualis) dan

kelembagaan (institutions). Latar belakang munculnya pendekatan ini antara lain

didasari oleh adanya kenyataan perbedaan yang menyolok antara bagian dalam

kota dengan daerah-daerah pinggiran dan suburban.

Dari konsepsi di atas kemudian muncul istilah eksternalitas. Dalam hal ini

dikenal dua tipe efek eksternalitas, yaitu: (1) eskternalitas perilaku umum (public

behaviour externalitas) dan (2) eksternalitas status (status eksternalities) (Cox,

1973). Eksternalitas perilaku umum meliputi tingkat-tingkat pemeliharaan harta

benda, tingkat-tingkat kejahatan, tingkat-tingkat perilaku umum (levels of public

compartment) dan kegiatan anak-anak. Eksternalitas status adalah akibat-akibat

yang ditimbulkan oleh keadaan sosial dan keadaan etnis daripada keluarga.

Munculnya pola-pola areal di dalam kota didorong oleh pembangunan

daerah kompleks perumahan dalam skala besar yang seragam bentuknya,

arsiteknya, kualitasnya, harganya sehingga secara tidak langsung akan mem-

“filter” masuk, mereka yang mampu mempertahankan dan

menambah/memperbaiki eksternalitas tersebut dan tidak meloloskan mereka-

Page 8: Bagian IV juliater

mereka yang tidak mampu untuk itu. Faktor selanjutnya adalah industri “real

estate” dan keuangan yang bertidnak pilih kasih dalam memberikan informasi

perumahan dan alokasinya. Hasilnya sudah jelas yaitu terjadinya segregasi tempat

tinggal yang didasarkan pada (1) variabel pendapatan, (2) variabel klas sosial dan

(3) variabel “etnic origin” (Palm, 1976)

Pembagian areal di kota akan terus terpelihara sedemikian rupa oleh aliran

keuangan antarzone-zone yang ada (introconal flows of finance). Untuk

menjelaskan zona-zona ini, Bunge (1975) membedakan menjadi 3 zona keruangan

yaitu:

1) zona paling dalam kota (the city of death)

2) zona di antara (1) dan (2) (the city of needs)

3) zona paling luar (the city of superfluity)

4.2.1 Penyebab Kesenjangan

Dengan mengamati karakteristik daerah hunian tersebut, nyatalah adanya

“private sector flows”. Pembagian wilayah kota menjadi unit-unit pemerintah

lokal ternyata telah menimbulkan kesenjangan dan konflik-konflik sosial.

Pendekatan pengelolaan (managerial apprach) untuk memahami struktur

keruangan kota mulai dikembangkan pada tahun 70-an. Salah satu diantaranya

adalah karya Ambrose dan Colenutt (1975) yang mengamati tentang

“housing/property development system” (sistem pengembangan perumahan/harta

benda). Dalam sistem ini dikenal berbagai aktor, agen, institusi keuangan, bentuk

hubungan antardepartemental serta hubungan fungsional.

Masyarakat umum memang terdiri dari berbagai kalangan, golongan dan

peranan dalam masyarkat, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya baik

keperluan rumah tangga sehari-harimaupun keperluan istitusi kerjanya menuntut

sarana maupun prasarana yang bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhan

tersebut.

4.2.2. Implikasi Keruangan Pendekatan Konflik Pengelolaan

Analisis struktur keruangan kota yang mendasarkan pada pendekatan

pengelokaan daripada sistem di atas menyimpulkan bahwa operasionalisasi sistem

Page 9: Bagian IV juliater

tersebut ternyata hanya menguntungkan sementara pihak sedang pihak-pihak

tertentu yang lain terpaksa menelan pil pahitnya. Hal inilah yang kemudian

memperlebar pembagian sosial di dalam kota. Ketidak beresan kerja terlihat pada

3 badang pembuat keputusan di dalam sistem tersebut, yaitu (1) pembuat

keputusan tentang tipe pembangunanya (tipe of development decision) (2)

pembuat keputusan alokasi hipotik (mortgage allocation decision) dan (3)

pembuatan keputusan bantuan perbaikan (improvement grant decision).

Pendekatan ini masih baru kehadirannya dalam studi kota serta belum

begitu banyak studi kasus yang dikemukakan baik di neara maju apalagi di negara

dunia ketiga maka analisisnya masih kelihatan belum mantap, mengambang dan

belum lengkap. Walaupun penkanan analisis dari pendakatan konflik (conflict

approach) berbeda dengan pendekatan pengelolaan (managerial approach),

namun keduanya mempunyai kesamaan yang mendasar yaitu: “keduanya

menyoroti mekanisme gesekan/pergeseran (frictions mechanism) dan mekanisme

alokatif (allocative mechanism) di dalam sistem ekonom perkotaan (Clark, 1982).