badoot zine #10

24

Upload: badoot-zine

Post on 12-Mar-2016

230 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kumis, kumis,kumis. milik tukang sate madura, milik pedagang ayam bakar, milik ayahmu, milik gurumu, milik siapapun. semua orang pasti kenal dengan pria berkumis. bersama yang-disebut-zine-ini, kami menjadikan kumis sebagai benang merah karya-karya yang tertera di dalamnya.

TRANSCRIPT

Ketika berjalan menuju pangkalan bis bersama seorang te-man, tak disengaja bahasan mengenai badoot muncul. Saya langsung deg-degan karena senang dibuatnya. Dia sampai tau gaya tulisan saya dan partner dalam yang-katanya-dise-but-zine-ini. Lalu, muncul satu pertanyaan darinya, “Seben-ernya tujuan kamu bikin ini apa sih?”

Aha. Pertanyaan itu baru pertama kali saya dengar, lang-sung dari mulut orang lain. Bagi beberapa orang, kehadiran Badoot layaknya kehidupan seorang kenalan yang tidak begitu akrab. Dia hidup, ya syukur-syukur kalau bertemu bisa mengobrol beberapa patah kata, basa-basi. Dia mati, turut berbelasungkawa, mungkin tanpa kesedihan karena saking jarangnya bertemu. Bagi saya tentu tidak begitu. Badoot adalah kumpulan ingatan, hasil berpikir, kreasi, dan aktualisasi diri saya. Jika jeli, orang lain bisa membaca saya lewat gambar atau tulisan yang saya buat. Terus, kenapa mesti disebarkan segala?

Bagi saya, belum afdol rasanya berkarya kalau hanya disimpan di buku sketsa, buku catatan, atau berupa file di komputer saja. Pembuat menikmati karya pembuat, tentu saja tidak akan maju-maju. Kehadiran Badoot ini sebagai media dari karya-karya saya dan rekan sejawat di Badoot. Seperti halnya penulis buku atau pembuat ilustrasi, hanya saja karya kami begitu bebas dan tidak terkekang oleh

aturan-aturan atau selera pasar. Kami berkarya atas ide yang hinggap di kepala dan semampunya. Menerima atau tidak, itu urusan pembaca.

Kami mau memajang karya orang lain pun, karena kami yakin ada potensi yang harus disebarkan pada orang lain. Penulis yang malas menulis, koki yang malas memasak, pelukis yang malas melukis, dan perancang busana yang malas menghasilkan pakaian, cepat atau lambat akan kehilangan keahlian mereka. Apalgi kalau ditinggalkan bertahun-tahun. Maka, berkarya lah, kawan. Berdayakan kemampuan mu :)

Lsy

sepak-sepik

Gambaran yang muncul pertama kali, ketika saya men-dengar kata kumis adalah Pak Raden. Pria berblangkon dengan baju adat jawa yang menciptakan karakter tokoh Si Unyil. April lalu, media sempat memberitakan soal ma-salah hak cipta boneka-boneka dalam serial Si Unyil yang diciptakan Pak Raden, yang memiliki nama asli Suyadi ini. Meski tidak didaftarkan ke Direktorat Jendral Hak Kekay-aan Intelektual (HaKI), hak cipta boneka tokoh cerita Un-yil tetap milik penciptanya, yakni Pak Raden. Sejak 1995, hak cipta Si Unyil berada di tangan Produksi Film Negara (PFN). Jadi, selama ini Pak Raden tidak menerima royalti atas pemakaian tokoh Si Unyil baik dalam program televisi ataupun pariwara. Pak Raden malah mengalami kesulitan keuangan di masa tuanya. Padahal hal tersebut enggak mungkin terjadi kalau hak cipta ada di tangan Pak Raden, ya. Pasti sedih rasanya kalau sesuatu yang diciptakan oleh pikiran dan segala usaha sendiri malah diakui sebagai mi-lik orang lain. Hal ini memang patut menjadi perhatian orang banyak. Peran komunitas-komunitas yang mem-beri dukungan moral dan materi pun turut berdatangan. Media massa menebar kabar ke seluruh penjuru negeri. Mungkin tak ada yang bisa saya lakukan saat ini untuk Pak Raden yang lekat dengan masa kecil kita, kecuali mendo-akannya..

words & artwork: Lana Syahbani

Kumis yang Selalu Tersenyum

PrologDi Bawah Hidungmu

“Apa nama rambut yang tumbuh di bawah hidung?”“Bulu hidung?”“Salah!”“Memangnya apa?”“Itu namanya kumis?”“Kenapa harus tumbuh di antara bibir dengan hidung?”“Hmmm kenapa ya? Mungkin untuk menggantungkan aneka cemilan, kalau lapar di sekolah, kita tinggal ambil di atas situ. Jaraknya kan dekat dengan mulut.”“Tapi itu terlalu kecil! Rambut saja tidak kita gunakan untuk hal aneh semacam itu!”“Hmmm ya juga. Mungkin agar kita bisa menumbuhkannya sampai sepanjang yang kita mau. Seperti rambut, rambut kan mahkota perempuan, mungkin kumis itu mahkota laki-laki.”“...”

***“Kenapa cuma laki-laki dewasa yang punya kumis, aku juga mau punya kumis!”“Loh, tadi kamu sendiri yang bilang cuma laki-laki dewasa yang punya kumis, berarti kamu enggak bisa punya kumis.”“Iya juga ya.. Tapi kenapa?”“ Karena mereka sudah bisa pegang pisau cukur, sedangkan kamu belum.”

“Memangnya buat apa pegang pisau cukur?”“Kamu mau kumis yang tumbuh di bawah hidungmu tum-buh menutupi bibir?”“Hiiiiiy tidak mauuuu!”

***“Tadi aku nonton tv, ada perempuan punya kumis. Kalau ka-kak berkumis, kakak mau pura-pura jadi laki-laki tidak?”“Tidak mau.”“Kenapa?”“Kakak kan masih bisa mencukur kumisnya setiap hari.”“Kalau tidak bisa dicukur sampai lebat?”“Kakak bakal tetap pakai rok.”“Kakak aneh!”

***“Kenapa kumis beken banget ya? Gelas gambar kumis ada, bantal bentuk kumis ada, terus tadi aku lihat ada kakak-ka-kak kukunya digambari kumis. Aneh sekali.”“Ya namanya juga tren, dek. Kalau lagi rame ya rame, ntar juga sepi lagi.”“Kalau udah sepi aku bakalan suka sama kumis-kumisan itu kak, biar beda sama orang lain!”“Terserah kamu lah, dek!”

***

Saya tau beberapa perempuan pesohor yang berkumis. Salah satu yang paling terkenal, penyanyi dangdut asli Indramayu yang saat kejayaannya tak kalah pamor dengan penyanyi pop dan jazz. Beberapa teman perempuan saya pun berkumis. Mereka tetap cantik selayaknya perempuan. Jangan bayangkan kumis baplang seperti penjajah era kolonial, kumis yang mereka miliki hanya kumis tipis. Saya pernah membayangkan, jika kumis mereka terus tumbuh seperti laki-laki dan bagaimana jika itu terjadi pada saya?

Kaum perempuan tidak memiliki rutinitas mencukur kumis atau janggut seperti kaum pria. Saya akan merasa sangat aneh jika memiliki kumis dan harus bercukur setiap hari, karena perempuan dengan kumis pasti kelihatan sangat aneh. Tapi, mungkin saya akan coba menumbuhkannya sampai bisa menyisirnya. Sampai saya kelihatan seperti laki-laki. Laki-laki yang cantik.

But, I wouldn’t dress up or do anything like a sir. Itu pasti

sangat mengasyikan. Karena kata ‘saya’ kurang berkesan personal, maka mulai paragraf berikutnya, andai-andai ini akan diceritakan oleh ‘aku’.

Aku akan bertindak sebagaimana mestinya perempuan. Berdandan, berbelanja, dan menyukai hal-hal manis teru-tama warna merah muda yang sangat menggemaskan itu!

Mungkin orang lain akan berpendapat saya ini bijak setelah berkumis. Ya, saya sering mendengar pepatah orang berkumis itu kelihatan bijak. Tapi, mungkin mereka tidak akan beranggapan kalau saya ini jantan, karena saya selalu menggunakan rok ketika bepergian.

Mungkin beberapa teman dekatku mengira aku gila. Men-ertawakan, menjauhi, atau mendekati karena ingin tahu lebih jauh soal kumis yang tiba-tiba muncul ini.

Mungkin kekasihku bakal merasa aneh. Tapi kan, ia sudah

I Wouldn’t Dress Up or Do Anything Like A Sir

words & artwork: Lana Syahbani

berjanji menerimaku APA ADANYA, meskipun itu dengan kumis?

Mungkin aku akan menjadi anggota sirkus keliling. Pasti di sana banyak hal yang lebih aneh dari kumis yang tumbuh lebat di bawah hidung perempuan ini. Aku akan belajar berayun di ketinggian sepuluh meter. Memakai kostum unik yang selalu aku impikan. Aku punya banyak fantasi tentang kostum-kostum aneh, mungkin akan terpakai saat itu.

Mungkin aku akan mengikuti kompetisi kumis terunik yang diadakan di salah satu bagian dunia entah di mana. Menge-catnya menjadi warna merah muda, membuat ujung-ujungnya keriting, dan menumbuhkannya sampai menutupi ujung-ujung bibir.

Mungkin aku akan ke tempat pangkas rambut pria, barber shop tanpa tempat keramas itu. Aku akan membayar mahal untuk mengurus kumisku agar tumbuh sehat dan enak dili-hat (meskipun kenyataannya itu hanya anggapanku).

Mungkin, orang-orang di sekitar saya tak akan lelah ber-pandangan ganjil pada saya dan saya pun tak akan lelah menjawab pertanyaan semacam ini: “Apakah kumis itu sungguhan?” Tentu saja sungguhan dan ini hanya ada dalam pikiranku!

Apa yang pertama kali yang anda pikirkan tentang band Queen? Acara Glee yang men-cover lagu-lagu mereka? Bohemian Rhapsody? gitar solo dari Brian May? Suara melengking Freddie? Kalau saya adalah bagaimana Roger Taylor memainkan beat-beat khusus di tiap-tiap lagu me-reka. Atau ada salah satu diantara yang langsung terngiang-ngiang kumis sang vokalis dan gigi tonggosnya.

Queen terbentuk pada tahun 1973 di album yang sama dengan nama bandnya tersebut. Namun, di tahun 1980 orang-orang melihat Freddie Mercury tidak lagi de-ngan badan ceking dan rambut panjang sebahu. Ada satu hal yang unik dari sang vokalis asal Persia ini selain otot bisepnya dan potongan rambut yang lebih rapi, yaitu kumis.

Ya, kumis menjadi satu hal yang tak terpisahkan dari Fred-die. Apalagi sejak dunia tahu dan media mengekspos Jim Hutton sebagai pasangan gay-nya. Sebenarnya dia bukan

gay, tapi biseksual.

Tak ada kata-kata yang bisa diungkapkan lagi selain keinda-han kumis pentolan Queen ini. Kalau dipikir-pikir. Apa yang membuat dia bisa bernyanyi sampai 3,5 oktaf ya? Apakah dia menyimpan microchip di kumisnya? Atau kumis tadi berfungsi sebagai kamuflase atau menyembunyikan gigi tonggosnya?

Kumis Freddie menjadi legenda dan telah menjadi icon rockstar berkumis. Bahkan kumis seorang gitaris kelas dunia Frank Zappa sekalipun. Karena apa? Frank Zappa tidak rapi dalam merawat rambut kecilnya tersebut. Bisa jadi penyanyi yang bernama asli Farrokh Bulsara ia selalu menyiapkan gunting kecil, sisir kumis, dan cermin mini khusus untuk merapikan kumisnya sebelum pemotretan dan tampil live di tiap-tiap konser. Entahlah, kita tak tahu. Bahkan puluhan kucing-kucing piarannya sekalipun.

...

words: Ilham Maulanaartwork: Lana Syahbani

Odette. Pustakawan dengan segudang ide brilian. Umur 25 tahun. Tinggal sendiri di pinggiran kota, biar dekat dengan tempat kerja. Nerd. Rambut bob sebahu, sweater, kemeja, rok selutut tanpa motif dan sepatu flat. Ia tidak canggung dan kaku. Semua orang bisa dia ajak bicara, sekalipun orang yang tak sengaja bersebelahan dengannya di bis kota. Meski sangat sering membaca, ia tetap bermata dua. Tak pernah periksa mata, yakin sehat katanya.

Jules. Pustakawan dengan segudang ide brilian. Umur 35 tahun. Tinggal bersama istrinya, Sabine, di pinggiran kota, kebetulan dekat dengan tempat kerja. Good looking. Rambut ikal sampai telinga selalu disisir rapi, jeans, kemeja warna netral, sneakers, dan senyuman yang kata orang san-gat menawan. Kebetulan, rumahnya bersebelahan dengan Odette. Jules, Sabine, dan Odette. Tiga tahun bersahabat.

Odette dan Jules, satu tempat kerja. Perpustakaan tempat mereka bekerja lumayan besar untuk perpustakaan di ping-giran kota. Sehari bisa kedatangan berpuluh-puluh pengun-jung.

Kesamaan Odette dan Jules, mengoleksi jam weker. Sulit dipahami. Tak jarang mereka bertengkar memperebutkan saru weker. Mereka sering mencari ke toko loak bersama. Kadang Sabine ikut. Tapi, ia hanya bisa terkantuk-kantuk ketika Odette dan Jules memperbincangkan kualitas weker.

***

Odette harus pindah ke desa tempat Ayah dan Ibunya meng-habiskan hari tua. Tak ada yang mengurus mereka, kecuali si anak semata wayang pulang. Pulang dalam waktu yang cepat dan menetap di sana.

Mengemasi pakaian, buku, dan weker. Semua rapi dalam kardus coklat yang ia dapatkan dari Jules, bantuan terakhir katanya. Barang-barang masuk truk, Odette pamit. “Jangan lupa kirim kartu pos atau surat dari desa!” Jules mengingat-kan.

Odette agak sedih. Meninggalkan Jules dan Sabine, juga per-

Dua Jules

words & artwork: Lana Syahbani

pustakaan tempatnya bekerja. Satu hal yang ia senangi, ber-temu kembali dengan orang tuanya dan jam weker. Jam wek-er? Ayah dan Ibunya sering mengirim surat tentang seorang pria kolektor weker di desa. Odette tak sabar menemuinya.

***

Sudah tiga bulan ia di desa. Odette mengurus perkebunan milik orang tuanya. Ia tidak begitu antusias lagi bertemu dengan pria itu, sejak datang ke desa. Kata orang, pria kolektor weker itu memang sering bolak-balik ke kota, se-hingga Odette belum pernah menemuinya.

Odette tak pernah lupa mengirim kartu pos dan surat pada Jules dan Sabine Ia sampai mengenal dekat para petugas di kantor pos. Dalam kiriman pada Jules dan Sabine, Odette menceritakan kehidupannya di desa. Bagaimana ia antusias menggeluti bidang baru dan jam weker. Ia menemukan keluarga keturunan pembuat jam termahsyur di desa itu, Antoine Redier. Mereka memiliki weker dari tahun 1847. Tak dapat dipercaya, mereka memberikannya pada Odette. Mereka bilang, Odette orang yang tepat untuk memiliki weker tersebut. Odette hanya kolektor berkantung tipis. Ia bisa saja menjualnya dan mendapatkan uang sangat-sangat banyak. Tapi ia tidak menjualnya.

Suatu ketika, Odette menemukan sosok baru di kantor pos, saat ia mengirimkan surat untuk Jules dan Sabine. Pria berkumis cokelat, tampan, dan tentu saja mengenakan se-

ragam. “Pria semuda itu mau-maunya bekerja di kantor pos dan mengecap surat sepanjang hari?” pikir Odette.

“Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” ujar Odette pada pria itu.

“Ya, aku memang baru pindah ke desa kemarin sore. Pamanku menawarkan pekerjaan ini. Katanya kantor pos butuh orang,” jawabnya lugas.

“Oh ya, aku Odette. Aku tinggal di dekat sini dan akan sering ke kantor pos, ada sahabatku di kota,” Odette mem-perkenalkan diri.

“Aku Jules, senang bisa mengenalmu.”“Jules? Kau mengingatkanku pada sahabatku di kota!” Odette tersenyum padanya. Ia berbincang sedikit, lalu pergi meninggalkan kantor pos.

***

Odette sangat senang bercerita dalam surat kepada Jules dan Sabine di kota. Terkadang mereka mengirimkan buku terbaru untuk Odette baca. Meski usia mereka terpaut jauh, mereka bisa akrab. Banyak kesamaan.

Setiap rabu sore, ia menulis surat di dekat jendela dan men-girim keesokan harinya. Ia senang berlama-lama di situ. Bisa melihat keluar tanpa diketahui orang yang melewati

rumahnya. Ketika ia membuang pandangan ke jendela, ia melihat Jules bersepeda dan mencoba melihat ke dalam. Odette bergegas keluar.

“Hey Jules! Kau tidak kerja hari ini? Kukira ini masih jam ker-ja. Pamanmu saja belum lewat.”

“Kebetulan aku tidak bekerja di hari Rabu. Aku hanya kerja di Kantor Pos Kamis dan Jumat.”

“Aneh sekali. Lantas, hari lain kau bekerja di mana?”“Aku... membantu Bibi mengurus kedainya. Permisi aku bu-ru-buru!” Jules melesat kencang dengan sepedanya.

***

Setiap bulan sekali, Odette biasa mengecek kondisi koleksi wekernya. Mulai dari kebersihan sampai elemen yang ada di dalamnya. Tapi hari itu terasa janggal bagi Odette. Tidak seperti bulan kemarin saat terakhir ia mengecek rak terse-but.

“Ibu! Apa kau melihat jam weker yang diberikan keluarga Redier? Tidak ada di tempat biasa aku menyimpan, aneh,” Odette masih penasaran mencari.

“Tidak, tau rupanya saja tidak. Semua jam wekermu terlihat sama bagi Ibu. Mungkin kau lupa menyimpannya,” Ibu me-leos pergi dengan santai.

“Harga jam itu sama dengan tiga kali lipat perkebunan dan rumah ini, bu!” Odette mematung. Tidak ada seruan bala-san dari Ibunya. Tidak mendengar. Ia merasa gagal mengem-ban amanat dari keluarga Redier yang bernilai sangat- tinggi itu. Menangis pun tiada guna. Odette masih berusaha men-carinya. Ia berencana bertanya pada orang di desa besok. Ia sudah mencari sampai larut.

***Meski kehilangan weker yang sangat penting, Odette tetap mengirim surat pada Jules dan Sabine, seperti biasa, di hari Kamis pagi. Petugas yang Odette temui hari itu Jules, Jules yang sebulan lalu pindah ke desa. Secara kebetulan, paman Jules, Alfred hari itu bekerja juga.

“Hai Odette! Apa kabarmu?”

“Kurang baik paman. Aku kehilangan weker yang sangat ber-harga kemarin pagi..”“Weker seperti apa? Mungkin Jules bisa bantu. Kau sudah tau Jules mengoleksi weker juga?” Paman Alfred menyapa sambil menanyakan hal yang mengejutkan.

“Kau? Mengoleksi weker juga? Sungguh aneh! Ini kebetulan yang aneh!” Odette tertawa mendengar hal tersebut.

“Memangnya kenapa? Kenapa kau tertawa?” Jules mema-sang muka kebingungan.

“Ternyata kau kolektor weker yang Ayah dan Ibu ceritakan! Dan namamu Jules! Temanku kolektor weker dan dia berna-ma Jules, sepertimu! Astaga, ini benar-benar aneh!” Odette masih tertawa. Paman Alfred pun turut tertawa mendengar hal tersebut. Jules pun ikut tertawa berasama.

“Kau tau weker buatan keluarga Redier dari tahun 1847? Weker itu yang hilang kemarin,” Odetter mulai berbicara dengan biasa kembali.

“Ya, aku tau. Tapi, aku benar-benar tidak tau di mana weker tersebut sekarang. Lagi pula, weker itu sudah terlalu tua. Aku hanya mengoleksi yang masih berfungsi saja Odette. Maafkan aku tidak bisa membantu,” Jules terlihat menyesal.

“Ya sudah, tak apa. Aku akan berkeliling untuk menanyakan pada orang desa. Aku pergi dulu!”

***Sebulan berlalu. Tidak ada kabar soal weker keluarga Redier. Hilang. Tanpa jejak. Seolah bersamaan dengan surat dan kartu pos dari Jules dan Sabine yang berhenti datang. Meskipun sampai sekarang aku masih mengirim surat ke-pada mereka, belum ada balasan.

***

“Sabine? Kau ke mana saja? Kenapa tidak membalas suratku selama ini? Kau datang bersama Jules?” Odette sangat kaget melihat kedatangan Sabine di pintu rumah keluarganya.

“Aku datang sendiri. Bolehkan aku masuk? Aku sangat lelah.. Aku membawa kabar untukmu Odette,” Sabine masuk ber-sama Odette dan bercerita panjang lebar.

***

Jules menghilang sejak sebulan yang lalu. Begitu kata Sa-bine. Hari itu bertepatan dengan surat terakhir yang datang dariku, menceritakan hilangnya jam weker keluarga Redier. Sabine menceritakan kebohongan yang sangat mencen-gangkan. Selama ini, Jules tinggal di desa yang sama den-ganku dan bekerja di kantor pos! Bertahun-tahun Jules memang mengincar weker milik keluarga Redier. Ia bolak-balik desa dan kota hanya untuk mencari informasi terbaru tentang weker tersebut. Keluarga Redier selama ini meny-embunyikannya di tempat yang aman dan tidak terjangkau orang banyak, sampai akhirnya Odette yang menjaga weker tersebut.Kini Jules kabur membawa weker bernilai sangat tinggi itu.

“Bagaimana mungkin aku tidak bisa mengenali Jules hanya karena kumis coklatnya yang menawan?! Padahal ia sama sekali tidak berbohong soal identitasnya!”