babi
TRANSCRIPT
![Page 1: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/1.jpg)
PENDAHULUAN
Di negara-negara yang multilingual, multirasial, dan multi kultural, untuk
menjamin kelangsungan komunikasi kebangsaan perlu dilakukan sesuatu
perencanaan bahasa ( Inggris: language planning) yang tentunya terlebih dahulu
harus dimulai dengan kebijaksanaan bahasa (Inggris: Language Policy). Yang
dimaksud dengan multilingual disini adalah adanya dan digunakannya banyak
bahasa dengan berbagai ragamnya di dalam wilayah negeri itu sendiri secara
berdampingan, entah digunakan secara terpisah oleh masing-masing ras (suku
bangsa) maupun digunakan secara bergantian, seperti yang dibicarakan dalam
bilingualisme. Lalu, yang dimaksud dengan multirasial adalah terdapatnya etnis
yang berbeda, yang biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari
bahasa dan budaya yang melekat pada etnis tersebut. Sedangkan yang dimaksud
dengan multikultural adalah terdapatnya berbagai budaya, adat istiadat, dan
kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami negara tersebut. Biasanya
ciri etnis, bahasa, dan kultur terikat menjadi satu, menandai ras ( suku bangsa)
tertentu yang membedakannya dari ras lainnya. Negara Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura. Dan India merupakan contoh negera yang multi lingual,
multirasial, dan multikultural, yang memerlukan adanya kebijakan bahasa, agar
masalah pemilihan atau oenentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi di
dalam negara itu tidak menimbulkan gejolak konflik horizontal yang pada
akhirnya akan dapat menggoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut. Di
Negara Indonesia, kebijakan tersebut sudah termaktub dalam Pembukaan UUD
45, dan sumpah pemuda, sehingga tidak pernah terjadi komplik sebagaimana di
Page 1
![Page 2: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/2.jpg)
tersebut di atas, karena semua bangsa, etnis sudah memiliki komitmen berbahasa
satu bahasa Indonesia, dan berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia.
KEBIJAKSANAAN BAHASA
Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar Politik Bahasa
Nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975, maka kebijaksanaan bahasa itu
dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang
dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-
ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah
kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan
bahasa itu merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian
membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan bahassa
sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat diseluruh
negara, dan dapat diterima oleh segenap warga secara lingual, etnis, dan kultur
yang berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama,
sebab tergantung pada situasi nkebahasaan yang ada dalam negara itu sendiri.
Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam
negara itu hanya ada satu bahasa saja( meskipun dengan sekian dialek dan
ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara
yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggri. Tetapi di
nega-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan
memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan
untuk timbulnya gejolak sosial dan politik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia
Page 2
![Page 3: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/3.jpg)
sebagai negara yang relatif baru dengan masalah-masalah kebahasaan yang bisa
terjadi di negara lain, secara historis buah bahasa, yaitu (1) bahasa nasional
Indonesia, (2) bahasa daerah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan
bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, paa pemimpin
perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Melayu telah sejak
berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai liguna franca di
seluruh Nusantara dan Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh
Indonesia, dan memberinya nama bahasa Indonesaia. Peristiwa pengangkatan
bahasa indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang
disebut Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi
negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebi
banyak berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa
negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh
karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa
yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai
dengan kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai
lambang kebanggaan nasional, dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan
atau intrabangsa; bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kedaerahan dan alat
komunikasi intrasuku; sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat komunikasi
antar- bangsa dan alat penambah ilmu pengatahuan. Ketiga bahasa itu dengan
fungsinya masing-masing tidak menimbulkan masalah dan peningkatan
penggunaan bahasa Indonesia dari para warga bangsa Indonesia, sebab hingga
Page 3
![Page 4: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/4.jpg)
kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan
(lihat Chaer 1993).
Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina agak mirip dengan
keadaan di Indonesia, tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih
kompleks. Di Filipina, seperti di Indonesia, terdapat banyak bahasa daerah dan
dua bahasa asing bekas penjajahannya yang sangat melekat pada bangsa itu, yaitu
bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Ketika merdeka dan memerlukan simbol
indentitas bangsa, mereka menetapkan dan mengangkat bahasa Tgalog, salah satu
bahasa daerah, menjadi bahasa nasional yang diberi nama baru bahasa Filipino.
Berbeda dengan bahasa Melayu ( yang menjadi dasar bahasa Indonesia), bahasa
Tagalog ( sebagai dasar bahasa Filipino) sebelumnya belum digunakan secara
meluas di seluruh wilayah Filipina. Oleh karena itu, penerimaan waraga Filipina
terhadap bahasa Filipino ini tidak begitu menggembirakan; lebih-lebih karena
mereka punya kesan bahwa bahasa Filipina ini hanya didasarkan pada bahasa
Tagalog (based on Tagalog). Untuk lebih menggalakan penerimaan bahasa dan
pengunaan bahasa Pilipino ini pada tahun 1973 Majelis Konstituante Filipina
mengganti nama Pilipino dengan nama Filipino dengan janji bahwa bahasa
Filipino akan didasarkan pada semua bahasa daerah yang ada fi Filipina.
Bagaimana caranya, entahlah. Yang jelas ingga saat ini untuk komunikasi
kenegaraan dan komunikasi antarsuku masih digunkan bahasa inggris, diselruh
wilayah Filipina. Dengan bahasa Inggris mereka dapat berkomunikasi
intrabangsa, tetapi dalam bahasa Filipino belum dilakukan.
Masalah kebahsaan yang dihadapi negara Singapur juga cukup ruwet; tetapi
tampaknya pemerintah Singapur telah dapat melakukan kebijaksanaan bahasa
Page 4
![Page 5: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/5.jpg)
dengan tepat. Republik Singapur adalah negaa kecil yang warganya multilingual,
multirsial, dan multikultural. Maka menyadarai keadaan itu, pemerintah Singapur
mula-mula membedakan adanya dua hal, yaitu fungsi bahasa dan penggunaan
bahasa. Dalam hal fungsi bahasa ini, mereka membedakan adanya bahasa
nasional dan bahasa resmi. Mereka mengkui punya satu bahasa nasional, yaitu
bahasa Melayu yang menjadi lambang kenasionalan negara itu, seperti dalam lagu
kebangsaan, aba-aba kemiliteran, dan slogan-slogan lain. Di samping itu Singapur
mengakui adanya empat buah bahasa resmi, yang dapat digunakan dalam segala
urusan resmi kepemerintahan. Keempat bahasa resmi itu adalah (1) bahasa
Melayu, (2) bahasa Mandarin(bahasa-bahasa cina), (3) bahasa Tamil( termasuk
bahasa india lainnya),dan (4) bahasa Inggris. Dari urutannya secara emosional
paling terhormat kedudukannya adalah bahasa Melayu, namun, penggunaanya
relatif kecil. Sebaliknya bahasa Inggris berada dalam kedudukan yang paling
rendah, tetapi frekuensi penggunaanya paling tinggi.
Penanganan masalah kebahasaan di India tampaknya mirip dengan di
Singapur; hanya skalanya lebih besar. Kalau Singapur mengakui satu bahasa
nasioal dan dapat dapat diterima dengan baik oleh waga Singapur secara
keseluruhan, karena di samping satu bangsa nasional itu (yang lebih bersifat
lambang kenasionalan) ditetapkan uga adanya empat bahasa resmi
( termasukbahasa Melayu) yang dapat digunakan dengan kedudukan sederajat
(walaupun dalam kenyataannya frekuensi penggunaan bahasa Inggris lebih
tinggi). Bahasa India juga menetapkan adanya satu bahasa nasional, yaitu bahsa
Hindia, dua bahasa resmi kenegaraan, yaitu bahasa Hindia dan bahasa Inggris,
serta sejumlah bahasa resmi kedaerahan ( lihat Moeliono 1983). Bahasa nasional,
Page 5
![Page 6: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/6.jpg)
bahasa Hindia, tidak dapat digunakan secara luas alay komunikasi yang dapat
digunakan untuk keperluan itu adalah bahasa Inggris, bahasa bekas penjajahanya,
yang sejak dulu memang telah menjadi liguna franca.
Keperluaan suatu negara atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang
menjadi indentitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa
resmi kenegaraan (bisa bahasa yang sama dengan bahasa nasional) tidak selalu
bisa dipenuhi kebutuhan oleh bahasa atau bahasa-bahasa asli pribumi yang
dimiliki. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi;
Filipina dapat memenuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak dapat sama sekali.
Berkenaan dengan itu dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe
endoglosi, seperti Indonesia;tipe eksoglosik-endoglosik, seperti Filipina; dan tipe
eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut yang diangkat dari
Moeliono 1983.
Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar Politik Bahasa
Nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975, maka kebijaksanaan bahasa itu
dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang
dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-
ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah
kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan
bahasa itu merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian
membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan bahassa
sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat diseluruh
negara, dan dapat diterima oleh segenap warga secara lingual, etnis, dan kultur
yang berbeda.
Page 6
![Page 7: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/7.jpg)
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama,
sebab tergantung pada situasi nkebahasaan yang ada dalam negara itu sendiri.
Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam
negara itu hanya ada satu bahasa saja( meskipun dengan sekian dialek dan
ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara
yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggri. Tetapi di
nega-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan
memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan
untuk timbulnya gejolak sosial dan politik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia
sebagai negara yang relatif baru dengan masalah-masalah kebahasaan yang bisa
terjadi di negara lain, secara historis buah bahasa, yaitu (1) bahasa nasional
Indonesia, (2) bahasa daerah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan
bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, paa pemimpin
perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Melayu telah sejak
berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai liguna franca di
seluruh Nusantara dan Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh
Indonesia, dan memberinya nama bahasa Indonesaia. Peristiwa pengangkatan
bahasa indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang
disebut Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi
negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebi
banyak berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa
negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh
karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa
yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
Page 7
![Page 8: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/8.jpg)
asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai
dengan kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai
lambang kebanggaan nasional, dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan
atau intrabangsa; bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kedaerahan dan alat
komunikasi intrasuku; sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat komunikasi
antar- bangsa dan alat penambah ilmu pengatahuan. Ketiga bahasa itu dengan
fungsinya masing-masing tidak menimbulkan masalah dan peningkatan
penggunaan bahasa Indonesia dari para warga bangsa Indonesia, sebab hingga
kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan
(lihat Chaer 1993).
Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina agak mirip dengan
keadaan di Indonesia, tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih
ruwet. Di Filipina, seperti di Indonesia, terdapat banyak bahasa daerah dan dua
bahasa asing bekas penjajahannya yang sangat melekat pada bangsa itu, yaitu
bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Ketika merdeka dan memerlukan simbol
indentitas bangsa, mereka menetapkan dan mengangkat bahasa Tgalog, salah satu
bahasa daerah, menjadi bahasa nasional yang diberi nama baru bahasa Filipino.
Berbeda dengan bahasa Melayu ( yang menjadi dasar bahasa Indonesia), bahasa
Tagalog ( sebagai dasar bahasa Filipino) sebelumnya belum digunakan secara
meluas di seluruh wilayah Filipina. Oleh karena itu, penerimaan waraga Filipina
terhadap bahasa Filipino ini tidak begitu menggembirakan; lebih-lebih karena
mereka punya kesan bahwa bahasa Filipina ini hanya didasarkan pada bahasa
Tagalog (based on Tagalog). Untuk lebih menggalakan penerimaan bahasa dan
pengunaan bahasa Pilipino ini pada tahun 1973 Majelis Konstituante Filipina
Page 8
![Page 9: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/9.jpg)
mengganti nama Pilipino dengan nama Filipino dengan janji bahwa bahasa
Filipino akan didasarkan pada semua bahasa daerah yang ada fi Filipina.
Bagaimana caranya, entahlah. Yang jelas ingga saat ini untuk komunikasi
kenegaraan dan komunikasi antarsuku masih digunkan bahasa inggris, diselruh
wilayah Filipina. Dengan bahasa Inggris mereka dapat berkomunikasi
intrabangsa, tetapi dalam bahasa Filipino belum dilakukan.
Masalah kebahsaan yang dihadapi negara Singapur juga cukup ruwet;
tetapi tampaknya pemerintah Singapur telah dapat melakukan kebijaksanaan
bahasa dengan tepat. Republik Singapur adalah negaa kecil yang warganya
multilingual, multirsial, dan multikultural. Maka menyadarai keadaan itu,
pemerintah Singapur mula-mula membedakan adanya dua hal, yaitu fungsi
bahasa dan penggunaan bahasa. Dalam hal fungsi bahasa ini, mereka
membedakan adanya bahasa nasional dan bahasa resmi. Mereka mengkui punya
satu bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu yang menjadi lambang kenasionalan
negara itu, seperti dalam lagu kebangsaan, aba-aba kemiliteran, dan slogan-slogan
lain. Di samping itu Singapur mengakui adanya empat buah bahasa resmi, yang
dapat digunakan dalam segala urusan resmi kepemerintahan. Keempat bahasa
resmi itu adalah (1) bahasa Melayu, (2) bahasa Mandarin(bahasa-bahasa cina), (3)
bahasa Tamil( termasuk bahasa india lainnya),dan (4) bahasa Inggris. Dari
urutannya secara emosional paling terhormat kedudukannya adalah bahasa
Melayu, namun, penggunaanya relatif kecil. Sebaliknya bahasa Inggris berada
dalam kedudukan yang paling rendah, tetapi frekuensi penggunaanya paling
tinggi.
Penanganan masalah kebahasaan di India tampaknya mirip dengan di
Singapur; hanya skalanya lebih besar. Kalau Singapur mengakui satu bahasa
nasioal dan dapat dapat diterima dengan baik oleh waga Singapur secara
keseluruhan, karena di samping satu bangsa nasional itu (yang lebih bersifat
lambang kenasionalan) ditetapkan uga adanya empat bahasa resmi
Page 9
![Page 10: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/10.jpg)
( termasukbahasa Melayu) yang dapat digunakan dengan kedudukan sederajat
(walaupun dalam kenyataannya frekuensi penggunaan bahasa Inggris lebih
tinggi). Bahasa India juga menetapkan adanya satu bahasa nasional, yaitu bahsa
Hindia, dua bahasa resmi kenegaraan, yaitu bahasa Hindia dan bahasa Inggris,
serta sejumlah bahasa resmi kedaerahan ( lihat Moeliono 1983). Bahasa nasional,
bahasa Hindia, tidak dapat digunakan secara luas alay komunikasi yang dapat
digunakan untuk keperluan itu adalah bahasa Inggris, bahasa bekas penjajahanya,
yang sejak dulu memang telah menjadi liguna franca.
Keperluaan suatu negara atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang
menjadi indentitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa
resmi kenegaraan (bisa bahasa yang sama dengan bahasa nasional) tidak selalu
bisa dipenuhi kebutuhan oleh bahasa atau bahasa-bahasa asli pribumi yang
dimiliki. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi;
Filipina dapat memenuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak dapat sama sekali.
Berkenaan dengan itu dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe
endoglosi, seperti Indonesia;tipe eksoglosik-endoglosik, seperti Filipina; dan tipe
eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut yang diangkat dari
Moeliono 1983.
Negara tipe Endoglosik
No Negara Bahasa
Nasional
Bahasa Resmi
Kenegaraan
Bahasa Resmi
Kedaerahan
1 Indonesia Indonesia Indonesia -
2 Malaysia Malaysia Malaysia I -
3 Thailand - Thai -
Page 10
![Page 11: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/11.jpg)
4 Belgia - Belanda
Prancis
-
5 R.R Cina Putunghua Putunghua (2) -
Keterangan :
1. Antara tahun 1957, tahun proklamasi kemerdekaan persatuan Tanah Melayu,
sampai tahun 1967 bahasa Melayu dan bahasa Inggris kedua-duanya merupakan
bahasa resmi di Malaysia. Sejak tahun 1967 bahasa Malaysia yang menjadi
bahasa resmi.
2. Putunghua( atau pu-tung-hua) bahasa bersama adalah bahasa nasional Cina
sejak tahun 1955. Di Taiwan disebut Guoyu bahasa Cina dialek kota Bejing.
Negara Tipe Eksoglosik-Endoglosik
Negara Bahasa Nasional
Bahasa Resmi Kenegaraan
Bahasa Resmi Kedaerahan
1 Filipina Pilipino 1 Pilipino, Inggris, Spanyol 2
---
2 India Hindia HindiInggris
(sebelas bahasa berdasarkan konstitusi,a.l Telugu, Tamil, dan Benggali
3 Singapura Melayu MelayuMandarinTamil Inggris
---
4 Tanzania Swahili SwahiliInggris
--
5 Ethiopia Amhar AmharInggris
--
Keterangan :
Page 11
![Page 12: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/12.jpg)
1. Antara tahun 1946-1972 nama bahasa nasional Filipina adalah Pilipino(dengan
huruf P) yang berdasarkan pada bahasa Tagalog lalu setelah itu diubah menjadi
Filipino semua bahasa daerah(dengan huruf F) yang akan diusuhakan berdasarkan
unsur semua bahasa daerah yang ada di Filipina.
2. Bahasa Spanyol hanya menjadi bahasa resmi antara tahun 1946 sampai 1972,
setelah itu tidak lagi.
Negara Tipe Eksoglosik
Negara Bahasa Nasional
Bahasa Resmi Kenegaraan
Bahasa Resmi Kedaerahan
1 Somalia SomaliaArab
InggrisItalia
--
2 Haiti Kreol Prancis -3 Senegal Wolof Prancis -4 Liberal - Inggris -5 Mauritania Arab Prancis -6 Sudan Arab Inggris(lalu di
ganti arab-
7 Papua Nugini Tok PisinHiri Mott
Inggris -
8 Nigeria - Inggris Hausa9 Ghana Prancis Inggris -10 R.R Kongo - Prancis Kiruba
LubaLingalaSwahili
Pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan bahasa oleh para pemimpin
negara untuk menetapkan suatu bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa
resmi kenegaraan biasanya juga berkaitan dengan keinginan untuk memajukan
suatu bangsa. Umpamanya, Mustafa Kemal Atturk, presiden pertama Republik
Turki(Proklamasi Turki menjadi sebuah negara republik adalah tanggal 19
Page 12
![Page 13: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/13.jpg)
Oktober 1923) demi modernisasi san kemajuan bangsa, menghapuskan
penggunaan huruf Arab yang sudah berabad-abad lamanya digunaka, dan
menggantinyadengan huruf latin. Suatu keputusan yang berani dan luar biasa.
Dengan motivasi yang mirip dengan Turki, untuk mencapai kemajuan
pengatahuan teknologi Barat, Nehru.
Tujuan Keijiksanaan bahasa adalah dapat berlasungnya komunikasi
kenegaraan dan komunisi inrtabangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak
sosial dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa. Oleh karena itu,
kebijaksanaan bahasa yang telah diambil di Indonesia, Filifina, India, dan
Singapura, meskipun dalam perwujudan yang berbeda, suah dapat dianggap
mencapai sasaran dan tujuan. Indonesia tampaknya telah dapat dengan tepat
menyelesaikan masalah kebahasaan ini dengan menetapkan fungsi dan dtatus
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa aasing pada tempatnya masing-
masing. Singapura pun demikian juga, yaknindengan mengangkat keempat bahasa
milik warganya yang multirasial sebagai bahasa resmi yang kedudukannya
sederajat, dan mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.
Kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsauntuk
menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa-bahasa yang
ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat
berlangsung dengan baik.
PERENCANAAN BAHASA
Page 13
![Page 14: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/14.jpg)
Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah
kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka
perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah
melakukan kebijaksaan bahasa. Atau dengan kata lain, perencanaan bahasa, itu
disusun berdasarkan ketentua-ketentuan yang telah digariskan dalam
kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelunya perlu diketahui ada pula pakar yang
memasukan bahasa kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu tahap dalam
perencanaan bahasa.
Istilah perencanaan bahasa(language planing) mula-mula digunakan oleh
Haugen (1959) pengertian usaha untuk membingbing perkembangan bahasa ke
arah yang diingninkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya,
perancanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan
dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha
yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha
perencanaan itu disebutkan pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata
bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam
masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugn melancarkan istilah language
planing itu, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para
pakar memang menjadi bervariasi, baik baikdari segi luasnya kegiatan, pelaku
yang berperan di dalamnya, maupun peristilahnya. Keberhasilan perencanaan
bahasa itu sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada
mobilitas kekuatan sosial.
Page 14
![Page 15: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/15.jpg)
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planninh ini
sebenarnya sudah berlasung sebelum nama itu diperkenalkan oleh
Hauge(Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada komisi
Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah pembina
Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language
planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa
melayu (Indonesia) pada tahun 1901, disusul dengan berdirinya Commisie voor
Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah namnya menjadi Balai
Pustaka; lalu disambung dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian
Kongres Bahasa I tahun 1938 di kota Solo.
Istilah yang digunakan Alijsahbana adalah language engineering, yang
dianggapnya lebih tepat daripada istilah language planning yang terlalu sempit
maksudnya. Cita-cita Alijahbana dalam language engineering ini adalah
pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya,
dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencanaan yang cermat. Menurut
Alijsahbana masalah language engineering yang penting adalah (1) pembakuan
bahasa, (2) pemoderenan bahasa, dan (3) penyediaan alat perlengkapan seperti
buku pelajaran dan buku bacaan.
Istilah lain dalam perencanaan bahasa ini ada juga digunakan glottopolitics
dan language reform. Istilah glottopolitics digunakan oleh Hall (1951) dalam
tulisannya mengenai keadaan bahasa di Haiti. Istilah tersebut digunakan untuk
mengacu pada penerapan linguistik pada kebijaksanaan pemerintah dalam
penentuan sarana komunikasi yang paling cocok. Sedangkan istilah language
reform digunakan oleh Heyd (1954) dan Galagher (1971) yang masing-masing
Page 15
![Page 16: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/16.jpg)
menguraikan reformasi bahasa di Turki. Istilah itu juga digunakan oleh De Francis
(1950) dan Serruys (1962) yang menulis tentang reformasi bahasa dan gerakan
pemberantasan buta huruf di Cina. Terakhir dalam keputusan Inggris da juga
digunkan istilah language development dalam arti yang sama dengan language
planning.
Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan
bahasa dimulai dengan berdirinya Comissie voor de Volksectuur yang didirikan
oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908, yang pada tahun 1917
berubah menjadi Balai Pustaka. Lembaga ini dengan majalahnya Sari Pustaka,
Pandji Pustaka, dan Kedjawen dapat dianggap sebagai perencana da pengembang
bahasa.
Masalah berikutnya dalam perencanaan dalam bahasa ini adalah, apakah
sasaran perencanaan bahasa itu. Dari berbagai kajian dapat kita lihat sasaran
perencanaan bahasa itu (yang dilakukan setelah menetapkan kestatusan bahasa
nasional dan bahasa resmi kenegaraan), yaitu (1) pembinaan dan pengembangan
bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasiona, bahasa resmi kenegaraan, dan
sebagainya);, dab (2) khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan
menerima dan menggunakan saran yang disusulkan dan ditetapkan.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan megalami
hambatan yang mungkin akibat dari perencanaannya yang kurang tepat bisa juga
dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu dari sikap
bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenangan. Berhasil dan tidak nya
usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evluasi . dalam hal ini memang
Page 16
![Page 17: BABI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082323/5571fb0a497959916993ca09/html5/thumbnails/17.jpg)
dapat dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar
dilaksanakan.
Page 17