babad cirebon berdasarkan naskah klayan

25
BABAD CIREBON BERDASARKAN NASKAH KLAYAN Pupuh pertama Dangdanggula, 13 Bait. Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini menceritakan lolosnya Walangsungsang—putra Prabu Siliwangi—yang berkeinginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang –yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan untuk berguru agama Nabi Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon. Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama Sang Danuwarsi. Pupuh Kedua Kinanti, 24 bait. Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang –adik Walangsungsang yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi –yang menyusul kakaknya hingga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari, Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela. Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat

Upload: adampraguna

Post on 26-Jun-2015

425 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

BABAD CIREBON BERDASARKAN NASKAH KLAYAN

Pupuh pertama Dangdanggula, 13 Bait.

Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini menceritakan

lolosnya Walangsungsang—putra Prabu Siliwangi—yang berkeinginan mencari agama Nabi

Muhammad. Walangsungsang –yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan

untuk berguru agama Nabi Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada

ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir

Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri

meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama

nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon.

Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta

Budha bernama Sang Danuwarsi.

Pupuh Kedua Kinanti, 24 bait.

Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang –adik Walangsungsang yang juga

berkeinginan untuk mempelajari agama nabi –yang menyusul kakaknya hingga

pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari, Rarasantang amat

bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak

tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Lalu,

Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak diperkenankan

pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka

karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri

Tajimalela. Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-

perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai

Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar

Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh

ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan

seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan

menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar

meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi. Cerita beralih dengan menceritakan Resi

Danuwarsi—yang juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita—yang tengah mengajar

Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah

dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala

macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah

Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang

dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang Geulis. Sesuai dengan petunuk

Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju

bukit Ciangkup. Indang Geulis dan Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.

Page 2: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Pupuh Ketiga Asmarandana, 16 bait.

Di bukit Ciangkup—tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang Naga—

Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang yang dapat berbicara

seperti manusia dan bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah menjadi Kyai

Sangkan, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke

Gunung Kumbang menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat

tua. Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga

beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta

umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini,

Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru

bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.

Pupuh Keempat Megatru,26 bait.

Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap cabangnya

dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap salah seekor burung

bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah

waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan

setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat

bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan.

Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan

menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”. Raja

Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap

dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango

mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kepada

Walangsunsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pusaka. Di

dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan

benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi

beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi

kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango

memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan

perjalanan ke Gunung Jati.

Pupuh kelima Balakbak, 16 bait.

Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga bernama

Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan Nabi Muhammad dari Jenal

Ngabidin. Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim

dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi

menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang

memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan

adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan

dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama

Page 3: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan

sebutan Ki Cakrabumi.

Pupuh keenam Menggalang, 13 bait.

Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan kesaktian Golok

Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya bekerja membabat

hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar

kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara

Walangsungsang tidur mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-

pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat,

pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana

dengan sebutan Kuwu Sangkan. Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya

hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke

selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang

terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada disana.

Pupuh ketujuh Sinom, 24 bait.

Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia menganjurkan

supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Walangsungsang

mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Rarasantang.

Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan

disarankan agar Walangsungsan beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di

Mekah. Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang baru ditinggal

mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari seorang wanita yang parasnya serupa

benar dengan almarhumah permaisurinya. Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum,

Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang diinginkan

rajanya. Akhirnya, ia pergi ke Mekah pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang berjalan

beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang, dan Rarasantang. Sang

Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut penglihatannya, Rarasantang mirip

sekali dengan almarhumah permaisuri Mesir. Patih Raja Uttara meminta Rarasantang utuk

menjadi istri Raja Uttara di Bani Israil. Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan

mas kawin sebuah sorban peningglan Nabi Muhammad SAW.

Pupuh kedelapan Asmarandana, 13 bait.

Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan suaminya yang bermaksud

mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta. Untung tak dapat diraih malang

tak dapat ditolak, baru satu hari Raja Uttara berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan

tak tertolong lagi. Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke Mesir

untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.

Page 4: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Pupuh kesembilan Sinom, 15 bait.

Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh suaminya, serta

kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan Rarasantang yang sedang

hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian suaminya, apalagi masa

kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan. Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan

Walangsunsang tengah bercakap-cakap tentang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam

perbincangan itu, Syekh Bayan berkeinginan untuk turut serta ke pulau Jawa.

Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman meminta agar Syekh Bayan

bersabar dahulu karena Abdul Iman ingin berkelana mengelilingi daerah Mekah hingga ke

desa-desa. Tetapi, ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang

saat itu sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang

wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama.

Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga sedang sakit parah.

Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih

kecil kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.

Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata belum kembali

juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat sendiri dari pelabuhan Julda

( Jeddah ) menuju Cirebon.

Pupuh kesepuluh Maskumambang, 13 bait.

Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya meninggalkan Mekah

menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah setelah melakukan

pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan kesaktiannya, Abdul Iman segera

melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan

menyamar sebagai pencari ikan. Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang

pencari ikan. Ia bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh Datuk

Kahfi. Syekh Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak menjawab pertanyaan

syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa jika Syekh Bayan ingin menjadi orang yang

mulia dan menjadi wali, tunggulah syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah.

Pupuh kesebelas Dangdanggula, 12 bait.

Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan, sementara Syekh

Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul Iman teringat kepada gurunya,

lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata

gurunya tidak ada, dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk

Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke Pandanjalmi.

Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrinya

dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gunung Jati,

serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan,

berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru

kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”. Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa

Page 5: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak

angkatnya yang bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya

berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa

Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari, yang juga

terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan. Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif

Hidayat. Tersebutlah Rarasantang di Mesir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak

pertama diberi nama Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin. Ketika mereka

sudah berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat,

segala macam kitab agama ia baca hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang

tertulis dengan tinta emas.

Pupuh keduabelas Sinom, 21 bait.

Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing

Mukhamad( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah kepada Muhammad ), Syarif

Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat yang tertera dalam buku itu.

Namun, dalam setiap tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara:

e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi,

ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku, jika engkau

ingin menjadi manusia mulia sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan

bergurulah kepada Muhammad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang

tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian,

hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada

ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan

sebagai raja. Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke

patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk.

Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan, membaca shalawat nabi, dan mengucapkan

taubat. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini. Di sana, ia bertemu dengan

Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat

hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku

benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika

Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama

Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif

Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti (Mardada) menemui pertapa di sana. Pulau

Mardada dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda

biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda

bernama Syekh Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada

harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha mendapatkan cincin

Mulikat yang berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki

cincin Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia.

Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil cincin

tersebut.

Page 6: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Pupuh ketigabelas Kinanti, 30 bait.

Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi Sulaeman seolah-olah

hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya. Syekh Nataullah mencoba merebut cincin

tersebut, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga

yang sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah

melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Surandil. Cerita dalam

pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan Syarif Hidayat. Sudah sepuluh

tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu berdoa agar anaknya mendapat lindungan

Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya : wondening anakira iku,

waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara

brangta, amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa, lamon

arep ya pinanggi ( Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail,

bergelar Abdul Sapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarip Hidayat,

sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa.) Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa

menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi. Cerita kembali ke

Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia melihat sebuah kendi berisi air

sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu mempersilahkan Syarif Hidayat meminumnya.

Karena ia hanya menghabiskan setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang

kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu

dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata

demikian, kendi itu pun lenyap. Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah.

Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan

gelar Syekh Ampeldenta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba

di tanah Jawa.

Pupuh keempatbelas Sinom, 28 bait.

Suatu ketika, Nabi Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai seorang wanita pembawa roti. Ia

menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah roti sorga, dan barang siapa yang

memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan,

Inggris, dan Turki. Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari

Muhammad ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir yang

dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa

tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di

ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat

terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari. Abdul Sapari memberinya dua

butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh Syarif Hidayat dan terasa manis sekali,

sementara sebuah lagi disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan

itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat

menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah

Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat

menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika. Abdul

Page 7: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubungan

mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit. Dalam perjalanan mikraj, pertama kali ia

sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan

kuat beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada

suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif

Amanatunggal. Di langit keempat, ia bertemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh

Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain,

Malaikat Jibril memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil

memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari. Di

langit kelima, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi

Musa. Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama

Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Syekh

Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim.

Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang.

Pupuh kelimabelas Kinanti, 26 bait.

Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang sedang tafakur.

Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal. Karena itu, ia tidak boleh

mengajar umat manusia. Apalagi karena di dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji,

kitab Al qur’an, puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi, Syarif

Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari

Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi kalimat syahadat dan perbedaannya

dengan zikir satari. Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan

menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan

berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.

Syarif Hidayat lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan kembali

ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa wanita

bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam.

Pupuh keenambelas Sinom, 27 bait.

Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika tamunya

datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke

Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke

Gunung Jati. Akhirnya, atas petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan.

Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat denga

nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.

Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah muncul lagi

sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama Pangeran Panjunan atau Syekh Siti Jenar,

dan bergelar Sunan Sasmita. Dengan perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat

ke mana sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya di Gunung

Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Kamarullah yang bergelar Syekh

Ampeldenta. Saat itu, Syekh Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya

Page 8: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

agar dengan sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran Kendal

disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi pantai, dan Pangeran

Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah murid-muridnya pergi, datanglah Syarif

Hidayat. Lalu, keduanya mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta,

pergilah Syarif Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal dari

Mekah.

Pupuh ketujuhbelas Amarandana, 48 bait.

Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama menjadi Pajarakan. Tetapi,

saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jagung atau Syekh Majagung, atau Ki

Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki Dares tengah bersenandung seraya memahat enau,

datanglah Syarif Hidayat. Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang

diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan mengubahnya

menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya. Syarif Hidayat melanjutkan

perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar

Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus

mandi dan tak pernah tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat

tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah

lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui

makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul. Lalu, Syarif

Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang sedang bertapa

membisu—siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata. Seperti halnya ketika

bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat menjelaskan sekelumit ilmu kepada Pangeran

Kendal dan menganjurkan supaya pergi ke Cirebon. Giliran selanjutnya mendatangi

Pangeran Makdum yang sedang bertapa denga tidur di pantai serta pergi ke Madura

menemui Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua

pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui Syekh Ampel

di Gunung Muria. Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih

beragama Budha. Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya

datang, ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat kemudian

meneruskan perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling sedang melarung jenazah

ayahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja Keling kemudian dimandikan dan dikubur.

Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mesir.

Pupuh kedelapanbelas Dangdanggula, 25 bait.

Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya, Syarif Arifin, untuk memangku

jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai

ulama. Ia hanya meminta kepada adiknya seorang kemenakannya yang bernama

Pulunggana untuk diajak berkelana. Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi

pamannya, Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina. Raja

Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum yang jath cinta

kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak pulang ke Pulau Jawa, Ratna Gandum

Page 9: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

berniat mengikutinya, tetapi dilarang oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan

akhirnya melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di Pulau Jawa

dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati semakin ramai sebagai pusat agama

islam. Tersebutlah Nyi Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempuan

bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik. Berita tentang wali

yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati mengingatkan Indang Geulis akan

pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap pegi ke Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula,

ia membawa kendaga yang ditinggalkan suaminya. Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di

Gunung jati, terlebih dahulu telah datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta

beserta murid-muridnya. Tujuan utamanya adalah membicarakan penyerangan terhadap

negara Majapahit yang masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan rencana itu.

Menyusul kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan kendaga

kepada Syarif Hidayat yang ternyata isinya sorban dan surat dari uaknya, Walangsungsang.

Akhirnya, Syarif Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara

( kota) Cirebon yang dimulai dengan pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian

terkenal dengan nama istana Pakungwati.

Pupuh Kesembilanbelas Asmarandana, 18 bait.

Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam cerita Sunan

Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban, Suryadiwangsa. Ia adalah anak

tunggal yang telah menjadi yatim piatu sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya

adalah Nurkamal. Ia bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari, ia

membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh rakyatnya. Sedekahnya

dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da para pelaku perbuatan maksiat,

semuanya boleh ikut menghabiskan hartanya. Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis

ketika Nurkamal harus menyelenggarakan selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia

memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada Patih

Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten sudah digadaikan. Itu

berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi, dan ia berniat untuk bersedekah di pasar. Di

pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg

yang dapat menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng

dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan. Akhirnya, ia

memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga

2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan

suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk

jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa

menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang

berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan

sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada

Adipati Urawan.

Pupuh keduapuluh Pangkur 26 bait,

Page 10: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di ajak berburu ke

hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di istana. Durakman di suruh mengambil

senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan

Raden Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan membawa

tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera menyusul

suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu, mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak

senonoh kepada dirinya. Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada

Patih Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika tidak,

Patih Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan menjelaskan pada istrinya –

Dewi Srigading–bahwa Durakman akan di bunuh oleh Patih Judipati. Dalam perjalanan,

Durakman bertemu dengan Raden Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan. Di

tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman

untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek

bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri. Raden Turna

tidak sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia mengambil surat untuk

ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada

ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih Judipati menuruti isi surat itu : kepala

anaknya segera ia penggal dan Raden Turna meninggal seketika. Tidak lama kemudian,

Durakhman tiba di rumah Patih Judipati yang menyatakan diutus sang Adipati untuk

mengambil mayat Raden Turna. Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang

membawa mayatTurna. Durakman lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng

seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk

kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di negeri Diriliwungan.

Pupuh keduapuluh satu Dangdanggendis, 25 bait.

Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di sana, ia melihat

banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan

dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang

Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya. Di malam hari, ketika akan tidur Durakman

teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri.

Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu Diriliwungan

merasa kesal dan sangat lelah sehingga akhirnya tertidur, sementara Durakman hanya duduk

termangu.Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang

Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah

wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini

menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga

membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang

yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal. Sementara itu,

Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke

laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Adapun Durakman melanjutkan

perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta yang mengetahui bahwa tamunya

merupakan calon wali penutup tidak berani menerima sembahnya, bahkan mengajar pun ia

Page 11: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

tidak berani. Ia hanya memberi petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan

supaya menjadi perampok di hutan Japura dengan nama Lokajaya dan membunuh setiap

orang yang melewati hutan Japura. Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung

Gajah hendak pergi ke Cirebon mencari guru agama Islam bersama-sama istrinya, Nyi

Mukena. Suami-istri itu berjalan melewati hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang

segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa

memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya

ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta

brguru kepadanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar

tubuh Lokajaya bersih dari segala dosa. Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton

Majapahit, Raja Brawijaya sedang menerima kedatangan dua orang putranya dari

Palembang : Raden Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi Adipati

Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan diharapkan kelak akan

menjadi raja.

Pupuh keduapuluh dua Sinom, 9 bait.

Raden Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi adipati. Ia pun pergi ke

Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru kepadanya. Dalam pada itu,

sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban

berjatuhan dihajar oleh Adipati Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani

melawa Adipati Terung. Barangsiapa dapat mengalahkan Majapahit, ia akan diangkat

menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk menyerang Majapahit. Ia

lalu diangkat menjadi Adipati Bintaro, sekaligus menjadi senopati.

Pupuh keduapuluh tiga Kinanti, 14 bait.

Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke hutan Japura untuk

menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti mati dan beratnya seringan kapas.

Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui roh Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat

kesempurnaan dan bergelar Sunan Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares

menganjurkan agar Sunan Kali mencari Sunan Jati. Syarif Hidayat yang sudah mengetahui

kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatangan tamunya dengan menyamar sebagai

seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak menyampaikan sesuatu kepada Syarif

Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruhnya menunggu di pintu gerbang istana. Setelah

meninggalkan tamunya di pintu gerbang, Syarif Hidayat langsung berangkat ke Pajajaran.

Pupuh keduapuluh empat Sinom, 14 bait.

Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati. Dicertakan

bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua putranya meninggalkan istana,

bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya,

Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa malu

kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan

Page 12: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah.

Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka

Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam. Syarif Hidayat yang datang kemudian

menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembunyi di hutan seperti harimau. Seketika itu

juga, orang-orang Pajajaran berubah menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di

cabut, mereka belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang

menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana diminta pulang ke

Cirebon menghadiri pertemuan para wali. Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh

Bentong yang sebenarnya adalah putra Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di

kenal dengan nama Jaka Tarub.

Pupuh keduapuluh lima Kinanti, 28 bait.

Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan seorang

bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan,

yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia

bertapa memati raga. Pada suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat

datang menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan karena asyiknya

berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat,

seketika terciptalah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga

habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong.

Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak

mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan

kembali bebeknya. Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia

cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya

dianjurkan supaya pergi ke Cirebon. Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah

menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa

tidur sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa

lelah berdiri, ia pun duduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon

terdapat sebuah tempat yang dinamakan Lemahwungkuk. Syarif Hidayat yang kemudian

datang menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di sembarang tempat karena pelajaran

akan diberikan di tepi sebuah sungai, dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri

untuk menghitung ilmu. Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya

ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai,

Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke

sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah

meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga

ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang

dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.

Pupuh keduapuluh enam Balakbak, 22 bait.

Page 13: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang menasehatinya

agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal sebuah pisau. Ketika Durakhman

tengah bertapa, tangannya mencoret-coret tanah membuat gambar-gambar yang tersusun

menjadi sebuah cerita wayang. Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi

wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang

tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika

lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa. Ternyata, pertapa itu adalah seorang

raja zaman Budha bernama Konteya Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum

bernama Samiaji. Dialah yang dulu memiliki azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan

seluruh cerita wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia menyerahkan Surat Kalimasada yang

selama dipegangnya belum pernah ia baca karena tidak dapat membaca apa yang tertulis

didalamnya. Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya

Darmakusuma. Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat

Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk

agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji

belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati

memancarkan sembilan cahaya.

Pupuh keduapuluh tujuh Durma, 33 bait.

Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus Adipati Terung

untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena Brawijaya berniat menyerahkan tahta

kepadanya. Adipati Terung berusaha mencari Raden Patah sampai ke bonang, tetapi Raden

Patah tidak mau pergi ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus

memaksa, sementara Raden Patah tetap bertahan. Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali

mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan

Japan yang diharapkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya

berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara

Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak

mampu melawan pasukan Majapahit.

Pupuh keduapuluh delapan Pangkur, 11 bait.

Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang. Tak

seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. Demikian pula Raden

Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang.

Pupuh keduapuluh sembilan Dangdanggula, 17 bait.

Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan lamanya.

Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan Adipati Terung ia harus

berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat

menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah

bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang

Page 14: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung

dengan panah Hantu.

Pupuh ketigapuluh Sinom, 22 bait.

Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak

mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir yang berakibat raja

serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di

Tunjungbang. Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka

sepakat untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi

raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi

Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak

untuk merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah. Sementara itu, durakhman yang

telah menyelesaikan tapanya di Gunung Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu

yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja para wali

meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia beranjak pergi, terdengar suara

mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama

kemudian, keluar teko serta cangkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman

menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.

Pupuh ketigapuluh satu Asmaranda, 19 bait.

Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung Jati baru

kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta kota Mekah untuk dijadikan contoh

pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon.

Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif

Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu

menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat.

Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat

adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban.

Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali. Menurut kitab

tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri Gajah bergelar Sultan

Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar

Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar

Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton;

Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus

atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga bergelar Suhunan Adi. Pada

kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan

ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar

sampai ke gunung Dieng—mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera datang ke

Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia menerima

sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.

Pupuh ketigapuluh dua Sinom, 18 bait.

Page 15: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun belajar agama

islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya hanya disuruh menghafal kalimat

syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap pelajaran yang

diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki

Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha

mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan

Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng

Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan

Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki

Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai

Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat,

puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah.

Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.

Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon

juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh

ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati

yang berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-

mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan bau busuk.

Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng

Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada

Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.

Pupuh ketigapuluh tiga Kinanti, 38 bait.

Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan. Nyi Panguragan

atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang siapa yang mampu

mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang akan menjadi suaminya. Melalui sayembara

itu, banyak orang yang ingin tampil untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan

Gandasari. Tetapi, tak seorangpun yang dapat mengalahkannya hingga datanglah seorang

satria dari negeri Syam bernama Pangeran Magelung. Dinamai Pangeran Magelung karena

rambutnya digelung karena sejak kecil hingga dewasa tidak ada pisau cukur yang mempan

untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cirebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di

Karanggetas, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang mampu memotong rambutnya

hanya dengan jari tangan. Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya

sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat

sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas

Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap,

gandasari berlindung pada Sunan Jati.

Pupuh ketigapuluh empat Dangdanggula, 14 bait.

Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari. Namun, mereka

berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kecuali kelak di akhir zaman. Menurut

kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tidak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di

Page 16: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Pulau Kuntul (Bangau). Sekarang, pulau bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau

Karas atau di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori. Dalam pada itu,

para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus—sering berkumpul

untuk membicarakan syareat Rasul, usul fikh, serta kitab Fakulwahab.

Pupuh ketigapuluh lima Menggalang, 17 bait.

Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang Keraton Cirebon.

Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para ponggawanya, antara lain, Sanghyang

Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel, Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna

membicarakan negara Cirebon di bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut

mengambil keputusan, yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka

diri, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem Ciamis, Dalem

Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah persiapan selesai, pasukan Galuh segera

berangkat menuju Cirebon.

Pupuh ketigapuluh enam Sinom, 8 bait.

Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di perjalanan.

Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng Kemuning sangat rindu pada

Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga

dan Anggasura, serta para mantri.

Pupu ketigapuluh tujuh Dangdanggula, 15 bait.

Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan pasukan Galuh.

Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke Cirebon—saat para wali masih berkumpul

untuk membangun masjid dan mendiskusikan agama Islam.

Pupuh ketigapuluh delapan Asmaranda, 13 bait.

Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya

Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera dilangsungkan di Demak.

Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang

mengabarkan adanya pasukan Galuh yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap

berangkat ke Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang

segera mengatur barisannya di Gunug Gundul.

Pupuh ketigapuluh sembilan Durma, 24 bait.

Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki kekuatan pasukan Galuh. Ia

pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki Anggarunting bertemu dengan

Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan

Page 17: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

Kuningan terdesak. Arya Kemuning maju membantu yang membuat barisan Palimanan

berantakan. Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning yang

bernama Wisnu.

Pupuh keempat puluh<>

Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai seekor gajah

terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini dihadapi oleh Dalem Kuningan.

Pupuh kempatpuluh satu Pangkur, 27 bait.

Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan dipati Kiban

yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama sekali. Meskipun sudah

berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya

mereka berlaga, dorong mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-

duanya tercebur ke laut dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya lenyap, kedua

belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya masing-masing.

Pupuh keempatpuluh dua Sinom, 18 bait.

Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk membantu

pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak menyetujuinya. Ki Kuwu

Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan

seperti orang linglung. Ia pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan akhirnya tafakur disana.

Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan keadaan

peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning bersama Dalem Kiban.

Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur di lautan. Kemudian pihak Cirebon

menyusun bala bantuan dan segera diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan

Patih Keling. Dalam pertempuran lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda

terdesak hebat oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan Galuh tak terlawan

oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur.

Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang

sedang melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari

mengundurkan diri.

Pupuh keempatpuluh tiga Pangkur, 10 bait.

Pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap bertafakur di

gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului kehendak kemenakannya, Sunan

Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang berasal dari sebatang pohon randu yang isinya

menyatakan bahwa ia telah dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu

pasukan Cirebon yang sedang terdesak. Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan langsung

menuju medan pertempuran. Ia mendengar suara di angkasa yang menantang Sunan Jati.

Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda

terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng,

Page 18: Babad Cirebon Berdasarkan Naskah Klayan

kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang

Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu

membuntuti.