bab6 bab 6
DESCRIPTION
sdfghjjjnbbgTRANSCRIPT
94
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan mekanisme koping pada klien DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus
RS. Sukanto Jakarta. Hasil yang di bahas dalam penelitian ini terdiri dari 8 variabel
meliputi karakteristik responden (usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan), riwayat
keturunan, pengetahuan responden, sikap, motivasi responden. Analisa data dalam
penelitian ini meliputi analisa univariat dan analisa bivariat, keterbatasan penelitian
sbb:
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan berbagai keterbatasan
penelitian. Beberapa keterbatasan penelitian yang ada sebagai berikut:
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional
sehingga hubungan yang ditentukan dari variabel independen dan variabel
dependen bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian
dilakukan dalam waktu bersamaan dan tanpa adanya follow up.
2. Kualitas Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Pengumpulan data
dengan kuesioner mempunyai dampak yang sangat subjektif sehingga
95
kebenaran data tergantung dari kejujuran responden. Ketidaktepatan jawaban
dapat terjadi karena faktor pemahaman responden yang kurang terhadap
pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh peneliti saat wawancara. Oleh
sebab itu peneliti memberikan pengarahan dan mendampingi responden saat
responden mengisi kuesioner. Data yang terkumpul saat wawancara
ditentukan oleh kemampuan pengumpul data terutama kemampuan untuk
menggali informasi.
B. Pembahasan Hasil Penelitian Univariat
Analisis deskriptif adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya
analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase variabel.
1. Karakteristik Responden
a. Usia
Berdasarkan penelitian yang di lakukan pada klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
menunjukkan bahwa responden berusia ≥ 40 tahun yaitu 87 responden
(90,6%), sedangkan responden yang berusia < 40 tahun yaitu 9 responden
(9,4%).
Usia responden terbanyak ≥ 40 tahun, hal ini dapat disebabkan
karena semakin meningkatnya usia, maka terjadi penurunan fungsi organ
96
tubuh. Dimana pada penderita DM terjadi penurunan fungsi pankreas,
yang berfungsi untuk menyekresikan insulin.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati
(2008) tentang faktor - faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan
penderita DM dalam program senam DM di club senam kesehatan Meilea
Bogor, yang menyatakan sebagian besar yang mengikuti program senam
adalah responden yang berusia ≥ 40 tahun.
b. Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu 71
responden (74%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan rendah
yaitu 25 responden (26%).
Responden dengan pendidikan yang tinggi, perhatian terhadap
kesehatannya lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan
rendah. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan, semakin tinggi pendidikan maka intensitas
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan akan semakin tinggi (Kusnanto,
2006). Dalam dunia kesehatan, pendidikan seseorang akan sangat
menentukan derajat kesehatannya dikemudian hari baik untuk dirinya
sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya. Begitu pula pada
responden DM, persentase terbanyak adalah responden dengan tingkat
pendidikan tinggi, menurut peneliti hal ini dapat disebabkan responden
97
dengan pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan tentang kesehatan
yang lebih dibandingkan dengan responden berpendidikan rendah.
Sehingga responden dengan pendidikan tinggi menempati urutan
terbanyak yang memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan
diharapkan dengan semakin tingginya pendidikan formal responden maka
semakin adaptif mekanisme koping yang digunakan.
c. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
responden yang tidak bekerja yaitu 59 responden (61,5%), sedangkan
responden yang bekerja 37 responden (38,5%).
Pekerjaan adalah jenis pekerjaan responden sebagai tumpuannya
untuk mendapatkan uang. Menurut Notoatmodjo (2001) pekerjaan erat
kaitannya dengan kejadian kesakitan dimana timbulnya penyakit dapat
melalui beberapa jalan yakni karena adanya faktor-faktor lingkungan yang
langsung dapat menimbulkan kesakitan, situasi pekerjaan yang penuh
dengan stres dan ada tidaknya gerak badan di dalam pekerjaan. Kondisi ini
memungkinkan orang yang sudah bekerja memiliki kecenderungan lebih
banyak untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Dapat disimpulkan bahwa persentase terbanyak adalah responden
yang tidak bekerja. Menurut peneliti hal ini dapat disebabkan karena
sebagian besar penderita DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS.
Sukanto Jakarta adalah pensiunan dan ibu rumah tangga.
98
d. Penghasilan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang
memiliki penghasilan < UMR sebanyak 14 responden (14,6%), sedangkan
yang memiliki penghasilan ≥ UMR sebanyak 82 responden (85,4%).
Penghasilan adalah pendapatan yang diterima setelah seseorang
melakukan pekerjaan. Penghasilan keluarga didasarkan pada UMR kota
DKI Jakarta dimana Upah Minimum DKI Jakarta (UMP / UMR DKI
Jakarta) 2009 telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp1.069.865,.
Dapat disimpulkan bahwa penghasilan keluarga dalam sebulan
sebagian besar ≥ UMR. Hal ini sesuai dengan standar penghasilan yaitu ≥
UMR dimana seseorang akan lebih dapat mencukupi kebutuhannya
dibandingkan dengan yang berpenghasilan < UMR.
2. Riwayat keturunan
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
responden dengan riwayat keturunan DM sebanyak 43 responden (44,8%),
sedangkan responden yang tidak memiliki keturunan DM sebanyak 53
responden (55,2%).
Penyakit keturunan adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan
genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Tidak berarti bahwa
setiap kelainan genetik tersebut harus bermanifestasi secara nyata dalam
silsilah keluarga, tetapi dapat pula tersembunyi hingga tercetus oleh faktor
99
dari lingkungan seperti polutan, pola makan yang salah, dll.
(http://smallcrab.com/diabetes/49-diabetes/90-benarkah-diabetespenyakit-
keturunan).
Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden yang tidak
memiliki keturunan DM, hal ini dapat dikarenakan pasien Diabetes Melitus di
Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta tidak hanya
disebabkan oleh faktor keturunan, melainkan dapat disebabkan oleh pola
hidup orang tersebut.
3. Pengetahuan Responden
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
responden dengan tingkat pengetahuan rendah 32 responden (33,3%),
sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan tinggi 64 responden
(66,7%).
Sebagian besar responden DM memiliki pengetahuan tinggi tentang
DM, hal ini karena responden DM mendapatkan informasi dari berbagai
sumber informasi, misalnya media cetak, televisi, phamplet, internet,
talkshow, bahkan ada yang dari mulut ke mulut. Dengan berkembangnya
informasi melalui media masyarakat, semakin banyak menggali informasi dari
media cetak dan elektronik, dengan demikian masyarakat dapat lebih
mengetahui tentang penyakit yang dideritanya dan bagaimana cara
mengatasinya.
100
Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan
tingkat pengetahuan tinggi, hal ini berarti menunjukkan bahwa sebagian
responden sudah memahami dan mengerti tentang penyakit Diabetes Melitus
yang diderita, meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, komplikasi,
dan perencanaan diet.
4. Sikap
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki sikap positif yaitu 66 responden (68,8%),
sedangkan yang memiliki sikap negatif 30 responden (31,3%).
Merujuk pada teori Green (1980), bahwa sikap merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka sikap klien yang merasa
terancam oleh penyakitnya dan percaya bahwa pengobatan akan
menguntungkan (sikap positif) cenderung untuk patuh pada instruksi dokter.
Manusia sebagai makhluk sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari
pengaruh interaksi manusia satu dengan yang lain (eksternal). Di samping itu,
manusia juga sebagai makhluk individual sehingga apa yang datang dari
dalam dirinya (internal). Teori lain menurut Mar’at (1884) menjelaskan
bahwa sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang
bereaksi dan merupakan predisposisi tingkah laku.
Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan sikap
positif, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap klien Diabetes
101
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta sebagian
besar bersikap menerima, mengerti, dan mempunyai keinginan untuk
menjalani apa yang harus dilakukan oleh penderita DM.
5. Motivasi
Berdasarkan penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit
Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa sebagian
besar responden memiliki motivasi tinggi yaitu 57 responden (59,4%),
sedangkan yang memiliki motivasi rendah 39 responden (40,6%).
Menurut James L Gibson, motivasi adalah konsep yang kita gunakan
jika kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam
diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Motivasi
didefinisikan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang
tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu, yang dikondisikan oleh kemampuan,
upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Bila individu
termotivasi, dia akan mencoba sekuat tenaga, tetapi kemungkinan kecil
tingkat upaya yang akan menghambat hasil kinerja pekerjaan kecuali bila
upaya disalurkan dalam suatu arah yang bermanfaat. Jadi motivasi diperlukan
sebagai proses pemenuhan kebutuhan (Soekidjo, 2005). Adapun teori lain
yang menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu tenaga faktor yang terdapat
dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan, dan
mengorganisasikan tingkah lakunya (Winardi, 2001).
102
Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan
motivasi tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati
(2008) tentang faktor - faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan
penderita DM dalam program senam DM di club senam kesehatan Meilea
Bogor, yang menyatakan sebagian besar responden memiliki motivasi tinggi
dalam mengikuti senam DM.
6. Mekanisme Koping
Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli
Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa
sebagian besar responden menggunakan mekanisme koping adaptif yaitu 56
responden (58,3%), sedangkan yang menggunakan mekanisme koping
maladaptif yaitu 40 responden (41,7%)
Menurut Suliswati (2005) mekanisme koping adalah perilaku
pemecahan masalah yang bertujuan untuk meredakan ketegangan dalam
kehidupan. Menurut Steven, dkk (1999) reaksi mekanisme koping yang
muncul terhadap sakit yang diderita meliputi empat fase, yaitu:
1) Penyangkalan, manusia tidak dapat melihat kenyataan dan berusaha
menghindar
2) Agresi, bereaksi terhadap lingkungannya atas frustasi yang terjadi
pada dirinya, dengan cara melukai atau mencemaskan dirinya.
3) Depresi, bentuk putus asa yang dalam,
103
4) Penerimaan, penilaian ulang bahwa hidup ini cukup berharga untuk
dinikmati.
Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden yang
menggunakan mekanisme koping adaptif, hal ini dapat disebabkan karena
setiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap sumber stres
(termasuk sumber stres yang sama) oleh karena itu mekanisme koping yang
digunakan individu berbeda-beda.
C. Pembahasan Bivariat
1. Hubungan Usia dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes Melitus
di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.
Hasil analisis hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada
klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto
Jakarta diperoleh bahwa dari 9 responden dengan usia < 40 tahun dapat dilihat
bahwa 2 responden (22,2%) dengan usia < 40 tahun menerapkan mekanisme
koping mal adaptif dan 7 responden (77,8%) menerapkan mekanisme koping
adaptif, sedangkan 87 responden dengan usia ≥ 40 tahun dapat di lihat bahwa
38 responden (43,7%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 49
responden (56,3%) menerapkan mekanisme koping adaptif.
Usia adalah jumlah hari, bulan, tahun yang telah dilalui sejak lahir
sampai dengan waktu tertentu. Usia juga bisa diartikan sebagai satuan waktu
yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup
104
maupun yang mati. Misalnya umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur
sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.
( http: / /www. Wikipedia. Co. Id, diakses pada tanggal 16 Juli 2009).
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara usia responden dengan mekanisme koping pada klien
Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Tidak adanya hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada
penelitian ini dikarenakan penyakit diabetes dapat menyerang siapa saja tanpa
memandang usia namun dalam penelitian ini mayoritas responden adalah
berusia diatas 40 tahun (www.google.com). Hal lain yang menyebabkan tidak
adanya hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada klien DM
adalah setiap orang yang menderita suatu penyakit pasti menginginkan agar
segera sembuh dengan menggunakan mekanisme koping adaptif baik yang
berusia < 40 tahun maupun ≥ 40 tahun.
2. Hubungan Pendidikan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan mekanisme koping
pada klien DM diperoleh bahwa dari 25 responden dengan pendidikan rendah,
dapat dilihat bahwa 12 responden (48%) menerapkan mekanisme koping mal
adaptif dan 13 responden (52%) menerapkan mekanisme koping adaptif.
Sedangkan dari 71 responden dengan tingkat pendidikan tinggi, dapat dilihat
105
bahwa 28 responden (39,4%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan
43 responden (60,6%) menerapkan mekanisme koping adaptif.
Menurut Notoatmodjo (2003), semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin banyak bahan, materi, atau pengetahuan yang di
peroleh untuk mencapai perubahan tingkah laku yang baik. Pendidikan
menjadi dasar yang penting bagi seseorang karena kemajuan pengetahuan dan
teknologi, dan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi, meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menerima cara-cara pencegahan dan
penanggulangan penyakit DM.
Uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan responden dengan dengan Mekanisme Koping
pada Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS.
Sukanto Jakarta.
Tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan mekanisme koping
pada klien DM dalam penelitian ini menurut peneliti lebih disebabkan karena
pengetahuan penyakit DM umumnya didapatkan di luar pendidikan formal.
3. Hubungan Pekerjaan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan mekanisme koping
pada klien DM diperoleh bahwa dari 37 responden yang bekerja, dapat dilihat
bahwa 16 responden (43,2%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan
21 responden (56,8%) menerapkan mekanisme koping adaptif, sedangkan dari
106
59 responden yang tidak bekerja dapat dilihat bahwa 24 responden (40,7%)
menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 35 responden (59,3%)
menerapkan mekanisme koping adaptif.
Pekerjaan adalah jenis pekerjaan responden sebagai tumpuannya untuk
mendapatkan uang. Hasil uji statistik (Chi Square) di dapat P value sebesar
0,972 yang berarti P value lebih besar dari (0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan
Mekanisme Koping pada Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam
Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan mekanisme koping
pada klien DM dalam penelitian ini menurut peneliti lebih disebabkan karena
klien DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
umumnya pensiunan atau ibu rumah tangga, sehingga walaupun tidak bekerja
tetapi masih memiliki penghasilan dalam keluarga untuk biaya pengobatan.
4. Hubungan Penghasilan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Hasil analisis hubungan antara penghasilan dengan mekanisme koping
pada klien DM diperoleh bahwa dari 14 responden dengan penghasilan <
UMR, dapat dilihat bahwa 10 responden (71,4%) menerapkan mekanisme
koping mal adaptif dan 4 responden (28,6%) menerapkan mekanisme koping
adaptif, sedangkan dari 82 responden dengan penghasilan ≥ UMR dapat
107
dilihat bahwa 30 responden (36,6%) menerapkan mekanisme koping mal
adaptif dan 52 responden (63,4%) menerapakan mekanisme koping adaptif.
Penghasilan adalah pendapatan yang diterima setelah seseorang
melakukan pekerjaan. Penghasilan keluarga didasarkan pada UMR kota DKI
Jakarta dimana Upah Minimum DKI Jakarta (UMP / UMR DKI Jakarta) 2009
telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp1.069.865,.
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara penghasilan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Keadaan finansial ini sangat dibutuhkan untuk biaya pengobatan,
keterbatasan finansial dapat menghambat pengobatan dan menjadi sumber
stres dalam keluarga yang akan mempengaruhi mekanisme koping apa yang
akan digunakan oleh seseorang (http://aricloud.wordpress.com, diakses
tanggal 22 Juni 2009).
5. Hubungan Riwayat Keturunan dengan Mekanisme Koping pada Klien
Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto
Jakarta
Hasil analisis hubungan antara riwayat keturunan dengan mekanisme
koping pada klien DM diperoleh bahwa dari 43 responden yang keturunan
DM, dapat dilihat bahwa 10 responden (23,3%) menerapkan mekanisme
koping mal adaptif dan 33 responden (76,7%) menerapkan mekanisme koping
adaptif, sedangkan dari 53 responden yang tidak memiliki riwayat keturunan
108
DM dapat dilihat bahawa 30 responden (56,6%) menerapakan meakanisme
koping mal adaptif dan 23 responden (43,4%) menerapkan mekanisme koping
adaptif.
Penyakit keturunan adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan
genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Tidak berarti bahwa
setiap kelainan genetik tersebut harus bermanifestasi secara nyata dalam
silsilah keluarga, tetapi dapat pula tersembunyi hingga tercetus oleh faktor
dari lingkungan seperti polutan, pola makan yang salah, dll.
(http://smallcrab.com/diabetes/49-diabetes/90-benarkah-diabetespenyakit-
keturunan).
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara riwayat keturunan dengan Mekanisme Koping pada Klien
Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Riwayat keturunan DM juga bisa dihubungkan dengan mekanisme
koping penderita DM, dimana seseorang yang mengetahui dirinya memiliki
riwayat keturunan suatu penyakit, misalnya DM akan lebih waspada terhadap
hal-hal yang akan mencetuskan terjadinya DM, dibandingkan seseorang yang
tidak memiliki riwayat keturunan (http://smallcrab.com/kesehatan/25-
healthy/225-penyakit-keturunan-masih-bisa-ditangkal).
6. Hubungan Pengetahuan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme
109
koping pada klien DM diperoleh bahwa dari 32 responden dengan tingkat
pengetahuan rendah, dapat dilihat bahwa 19 responden (59,4%) menerapkan
mekanisme koping mal adaptif dan 13 responden (40,6%) menerapkan
mekanisme koping adaptif, sedangkan dari 64 responden dengan tingkat
pengetahuan tinggi dapat dilihat bahwa 21 responden (32,8%) menerapkan
mekanisme koping mal adaptif dan 43 responden (67,2%) menerapkan
mekanisme koping adaptif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan
responden maka akan semakin adaptif mekanisme koping yang digunakan
dalam menghadapi masalah.
Menurut Soekidjo (1997), pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku individu. Karena
dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh dengan berbagai cara, baik inisiatif
maupun orang lain, dengan melihat atau mendengar sendiri tentang kenyataan
atau melalui alat komunikasi, seperti radio, televisi, buku, majalah, surat
kabar dan lain-lain.
Seperti yang dikemukakan oleh (Roger, 1974 dalam Soekidjo, 1997 :
128) mengungkapkan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru, di
dalam diri individu terjadi proses berurutan :
a) Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
110
b) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan responden dengan Mekanisme Koping pada
Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto
Jakarta.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2008)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan keikutsertaan responden senam DM.
7. Hubungan Sikap dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 responden dengan sikap
negatif dapat dilihat bahwa 18 responden (60%) menerapkan mekanisme
koping mal adaptif dan 12 responden (40%) menerapkan mekanisme koping
adaptif, sedangkan dari 66 responden dengan sikap positif dapat dilihat bahwa
111
22 responden (33,3%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 44
responden (66,7%) menerapkan meakanisme koping adaptif.
Sikap adalah kecenderungan untuk berespon secara positif maupun
negatif terhadap orang, objek atas situasi tertentu (Sarwono, 2002). Sikap
merupakan suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
stimulus atau objek, sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap
merupakan predisposisi tindakan atau perilaku, sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.
Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang
bermakna antara sikap responden dengan mekanisme koping pada klien DM
di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta. Dari nilai OR
dapat disimpulkan bahwa responden dengan sikap positif 3,000 kali akan
menerapkan mekanisme koping adaptif dibandingkan dengan responden
dengan sikap negatif. Hal ini dapat disebabkan karena perilaku positif
dibentuk dari sikap yang positif.
8. Hubungan Motivasi dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta
Hasil analisis hubungan antara motivasi dengan mekanisme koping
pada klien DM diperoleh bahwa dari 39 respon rendah dengan motivasi
rendah, dapat dilihat bahwa 11 responden (28,2%) menerapkan mekanisme
koping mal adaptif dan 28 responden (71,8%) menerapkan mekanisme koping
adaptif, sedangkan dari 57 responden dengan motivasi tinggi dapat dilihat
112
bahwa 29 responden (50,9%) menerapakan mekanisme koping mal adaptif
dan 28 responden (49,1%) menerapkan mekanisme koping adaptif.
Menurut Soekidjo (2005), motivasi merupakan proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi seorang individu sebagai interaksi antara perilaku
dan lingkungan sehingga individu dapat meningkatkan, menurunkan, atau
mempertahankan perilaku. Jika individu sudah memiliki motivasi yang kuat
dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan, maka
perilakunya menjadi lebih konsisten. Hal ini juga terjadi pada klien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.
Responden dengan tingkat motivasi tinggi memiliki perilaku lebih tinggi
dibandingkan dengan responden dengan motivasi rendah.
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara motivasi responden dengan mekanisme koping pada klien
Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.
Hal ini berarti semakin tinggi motivasi responden, maka semakin adaptif
mekanisme koping yang digunakan dalam menghadapi sakit DM yang
dideritanya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2008)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara motivasi
dengan keikutsertaan responden senam DM.