bab x bentuk-bentuk akad tabarru’ dan aplikasinya di

40
1 BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH Akad tabarru’sebagaimana telah dibahas sebelumnya merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (trasaksi nirlaba). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong- menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah swt, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-partnya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut, tetapi tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, wasiat, dan wakqf. Berikut akan diulas satu-persatu bentuk-bentuk akad di atas yang dimulai dari akad hutang piutang (qard), jaminan/gadai (rahn), pengalihan hutang/piutang (hiwalah), penjaminan/ garansi (kafalah), titipan (wadi’ah), agensi/perwakilan (wakalah), pinjam meminjam (ariyah), hibah dan, wasiat. A. Hutang Piutang (Al-Qardh) 1. Pengertian dan Landasan hukum Secara etimologi, qardh berarti al-Qath’i (memotong). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang). Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

1

BAB X

BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH

Akad tabarru’sebagaimana telah dibahas sebelumnya merupakan

segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction

(trasaksi nirlaba). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-

menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr

dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak

yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun

kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah swt,

bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan

tersebut boleh meminta kepada counter-part–nya untuk sekedar menutupi

biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’

tersebut, tetapi tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’

itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah,

wadi’ah, hibah, wasiat, dan wakqf.

Berikut akan diulas satu-persatu bentuk-bentuk akad di atas yang

dimulai dari akad hutang piutang (qard), jaminan/gadai (rahn),

pengalihan hutang/piutang (hiwalah), penjaminan/ garansi (kafalah),

titipan (wadi’ah), agensi/perwakilan (wakalah), pinjam meminjam (ariyah),

hibah dan, wasiat.

A. Hutang Piutang (Al-Qardh)

1. Pengertian dan Landasan hukum Secara etimologi, qardh berarti al-Qath’i (memotong). Harta yang

dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad,

sebab merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang).

Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan

oleh ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan

seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi

Page 2: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

2

kebutuhannya.”. Sementara definisi Qardh menurut ulama Malikiyah

adalah “suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh

(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.”

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai

pengertian yang sama dengan term as-Salaf, yakni akad pemilikan sesuatu

untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.

Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh

merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah

dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak ta’awun (pertolongan)

kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena muqtarid

(penghutang/debitur) tidak diwajibkan memberikan iwadh (tambahan)

dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqrid (yang

memberikan pinjaman/kreditur), karena qardh menumbuhkan sifat

lemah lembut kepada manusia, mengasihi dan memberikan kemudahan

dalam urusan mereka serta memberikan jalan keluar dari duka dan kabut

yang menyelimuti mereka.

Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh

adalah al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 11: “Siapakah yang mau

meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat

gandakan pinjaman itu untuknya dan ia akan memperoleh pahala yang

baik.” (QS.). Selain itu ada beberapa hadis Nabi SAW yang mendukung

kebolehan Qardh, yaitu hadis riwayat Ibn majah dan ibn Hibban dari Ibnu

Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Bukan seorang muslim (mereka)

yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali dan yang sekali adalah

(senilai) sedekah.” Hadis yang diriwayatkan Ibn Majah dan Baihaqi dari

Anas, Rasulullah saw bersabda: “Aku melihat pada waktu malam diisra’kan,

pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan

belas kali lipat. Aku bertanya : wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama daripada

sedekah? Ia menjawab: karena meskipun orang pengemis meminta-minta namun

Page 3: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

3

ia masih mempunyai harta, sedangkan yang berhutang pastilah karena sangat

membutuhkannya”.

2. Rukun dan Syarat al-Qardh

Adapun yang menjadi rukun qardh adalah 1). Muqridh (pemilik

barang/yang memberikan pinjaman), 2). Muqtaridh (peminjam), 3). Qardh

(objek / barang yang dipinjamkan), 4). Ijab qabul.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh

adalah sebagai berikut:

a. Orang yang melakukan akad (Muqridh dan Muqtaridh) harus baligh,

dan berakal. Akad qardh ini menjadi tidak sah apabila yang berakad

itu anak kecil, orang gila dan dipaksa oleh seseorang.

b. Qardh (objek/barang yang dipinjamkan) harus berupa maal

mutaqawwim (harta yang menurut syara’ boleh

digunakan/dikonsumsi). Mengenai jenis harta benda yang dapat

menjadi objek utang piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan

fuqaha. Menurut Hanafiah, akad utang piutang hanya berlaku pada

harta benda mistlayat, yaitu harta benda yang banyak padanannya,

yang lazim dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan.

Sedangkan harta benda qimiyat tidak sah dijadikan objek utang

piutang seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain. Namun

menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah setiap harta yang dapat

diberlakukan atasnya akad salam dapat diberlakukan atasnya akad

utang piutang, baik berupa harta benda mistliyat maupun qimiyat.

c. Ijab qobul harus dilakukan dengan jelas, sebagaimana jual beli dengan

menggunakan lafal qardh atau yang sepadan dengannya. Menurut

Maliki, pemilikan terjadi dengan akad saja sekalipun serah terima

belum terjadi.

Page 4: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

4

3. Larangan Meraih keuntungan (manfa’at) melalui Qardh Akad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim

(tabarru’), bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan (tijarah),

bukan pula salah satu cara untuk mengeksploitir, karena inilah seorang

yang diberikan qardh tidak dibenarkan mengembalikan kepada pemberi

qardh kecuali apa yang telah ia terima darinya atau mengikuti kaidah fiqh

yang berbunyi:

كل قرض جر نفعا فهو ربا Artinya: “Semua bentuk qardh yang membuahkan bunga adalah riba.”

Pengharaman disini berkaitan dengan sesuatu yang terjadi apabila

keuntungan (manfaat) qardh disyaratkan atau tahu sama tahu. Jika tidak

disyaratkan, maka muqtaridh harus membayar lebih, baik dari qardh

dalam sifatnya atau menambahkan kadarnya atau menjual rumahnya jika

disyaratkan demikian. Dan bagi muqridh mempunyai hak untuk

mengambil hartanya dengan tidak memaksa, berdalil kepada hadis yang

diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim serta ashabus sunnah dari Abu

Rifa’i berkata.

“Rasulullah pernah meminjam unta kepada seseorang, kemudian

datanglah unta unta sedekah. Kemudian beliau memberitahukanku agar

membayar piutang orang tersebut yang diambil dari unta sedekah itu. Lalu aku

berkata: “ Aku tidak mendapatkan unta muda didalamnya kecuali unta pilihan

yang sudah berumur enam tahun masuk ketujuh “. Lalu Nabi saw bersabda:

طه اياه فان خيركم احسنكم قضاء اع

Artinya: “Berikanlah kepadanya. Sesungguhnya orang yang paling baik

diantaramu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.”

Dan Jabir bin Abdullah mengatakan :

(رواه احمد والبخارى و مسلم ) على رسول الله حق فقضاني وزادتي كان لي

Page 5: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

5

Artinya: “Aku pernah mempunyai hak kepada Rasulullah. Beliau lalu

membayarku dan beliau melebihkan untukku.” (H.R Ahmad, Bukhari

dan Muslim)

Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar

memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau tambahan

kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.

Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal

tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab

Hanafiyah adalah boleh.

Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber

dari jual beli dan utang piutang saja (al-Qardh). Dalam hal utang piutang

yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak

disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang ansich (al-

Qardh) penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak

dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya

haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi

kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.

Penambahan pelunasan hutang yang diperjanjikan oleh muqtaridh

(pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyah pihak yang menghutangi

(muqridh) makruh menerimanya. Sedangkan pihak yang menghutangi

boleh menerimanya

4. Aplikasi Akad Qardh di Lembaga Keuangan Syari’ah

Page 6: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

6

1. Nasabah mengajukan pembiayaan qardh kepada bank syari’ah

2. Bank syari’ah memberikan pinjaman kepada nasabah

3. Nasabah mempergunakan dana tersebut untuk usaha

4. Ketika usaha tersebut mendapat keuntungan, maka keuntungan

semua menjadi hak nasabah.

5. Nasabah mengembalikan pinjaman (modal) yang diberikan oleh

bank syari’ah.

B. Jaminan/Gadai (al-Rahn)

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.

Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang

jaminan/agunan. Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para

ulama fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang

dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.

Adapun yang dapat dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja

yang bersifat materi, tetapi juga yang bersifat manfaat. Benda yang

dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual,

tetapi boleh juga penyerahanrrya secara hukum, seperti menjadikan

Page 7: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

7

sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat

jaminannya (sertifikat sawah).

Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Menjadikan sesuatu

(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai

pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan

ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan :

Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan

pembayar utang apabila orang yang berutang t idak bisa membayar utangnya itu.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh

dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak

termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah.

Barang jaminan itu boleh dijual apabila dalam waktu yang disepakati

kedua belah pihak, utang tidak dilunasi. Oleh sebab itu, hak pemberi

piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang

berutang tidak mampu melunasi utangnya.

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan

dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-

Baqarah, 2: 283 Mereka sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh

dilakukan dalam perjalanan ataupun tidak, asalkan barang jaminan itu

bisa langsung dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang.

Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka

yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat jaminan tanah itu. Ar-rahn

dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya

dalam rangka hubungan antar sesama manusia.

2. Ketentuan ar-Rahn

Para ulama fiqh mengemukakan beberapa ketentuan (syarat) ar-

rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri. Diantara ketentuan ar-rahn

yang penting dijelaskan diantaranya: a) syarat al-marhun bihi (utang)

adalah: (1) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang

berutang, (2) Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu, (3) Utang itu

Page 8: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

8

jelas dan tertentu; b) al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut

para pakar fiqh, adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan

nilainya seimbang dengan utang, (2) barang jaminan itu bernilai dan

dapat dimanfaatkan, (3) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (4) agunan

itu milik sah orang yang berutang, (5) barang jaminan itu tidak terkait

dengan hak orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang

utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, (7) barang jaminan itu

boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya, dan (8) besarnya

biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat

menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang

yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang,

dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila

barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah,

cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh

pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para

ulama disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara

hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah,

2: 283 menyatakan " fa rihanun magbudhah" (barang jaminan itu dikuasai

[secara hukum]).

Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang,

maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab

itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak

dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila

dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib

dikembalikan kepada pemiliknya.

Page 9: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

9

3. Memanfaatkan Barang Jaminan [Agunan] (al-Marhun)

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang

dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi

tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan

dengan sabda Rasulullah yang mengatakan:” ... pemilik barang jaminan

(agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggwig jawab

atas segala biaya barang jaminan itu.” (HR asy-Syafi'i dan ad-Daruquthni).

Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jarninan itu,

karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang

jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang berutang

tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai

barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur ulama adalah

sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:

Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil

(dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi

tanggung jawabnya. (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu

Hurairah)

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang

barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka

sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin,

tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan

barang itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama

Malikiyah, dan ulama Syafi'iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang

itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh

memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu

dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang

syara' ; sekalipun diizinkan pemilik barang. Bahkan, menurut mereka,

dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir

tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu. Hal ini sesuai

Page 10: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

10

dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan

Ibn Hibban di atas.

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu

adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin

boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari

pemiliknya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan

barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan

berhak untuk mengambil susunya dan mernpergunakannya, sesuai

dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang

jaminan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:

Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya

yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan

diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dun pada setiap hewan yang

dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR al-

Bukhan, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan

itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya

pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang barang jaminan tidak

boleh memanfaatkannya.

Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga

berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh ar-rahn.

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan pemilik barang boleh

memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan

al-murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang

jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini

sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-

Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu,

apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah

mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu

Page 11: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

11

rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggungjawab

membayar ganti ruginya.

Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar

dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila

pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin

dari pemegang al-marhun. Alasannya, barang itu adalah miliknya dan

seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak

miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak

barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh sebab itu, apabila

terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan pemiliknya,

maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan dengan sabda

Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu

Daud dari Abu Hurairah.

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah

berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfatkan al-marhun,

baik diizinkan oleh al-murtahin maupun tidak. Karena barang itu

berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak pemilik secara penuh.

4. Aplikasi Akad Rahn di Lembaga Keuangan Syari’ah

Page 12: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

12

1. Nasabah menggadaikan barangnya (contoh emas) kepada lembaga

keuangan syari’ah

2. LKS memberikan utang kepada nasabah

3. Nasabah membayar utang yang telah diberikan oleh LKS

4. LKS mengembalikan barang kepada nasabah

C. Pengalihan Hutang (Hiwalah)

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Hiwalah menurut etimologi berarti pengalihan atau pemindahan

(al-intiqal).

Sedangkan menurut terminologi, Ibnu Abidin, ulama madzhab

Hanafi, mendefinisikan hiwalah ialah pemindahan kewajiban membayar

hutang dari yang berhutang (Al-Muhil) kepada orang yang berhutang lainnya

(al-muhal alaih).

Menurut Jumhur ulama, hiwalah adalah akad yang menghendaki

pemindahan pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung

jawab orang lain.

Keabsahan akad hiwalah didasarkan pada Al-Qur’an surat Yusuf

ayat 55: Berkata Yusuf: “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir),

sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi

berpengetahuan.”, dan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Imam

Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan

jika salah seorang dari kamu diikutkan (di hiwalahkan) kepada orang yang

mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”

2. Rukun dan Syarat Hiwalah

Rukun hiwalah terdiri dari, 1). Pihak yang berhutang dan

berpiutang (muhil), 2). Pihak yang berpiutang (muhal), 3). Pihak yang

berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhil (muhal

Page 13: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

13

‘alaih)., Hutang muhil kepada muhal (muhal bih), Hutang muhal alaih

kepada muhil, dan Ijab qabul (sighat).

Dari uraian tentang rukun hiwalah, ada tiga pihak yang terlibat

dalam hiwalah, adapun syarat-syarat untuk masing-masing pihak adalah;

1. Pihak yang berhutang dan berpiutang (muhil), disyaratkan cakap

melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh, dan

berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia

sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.

Selain itu muhil harus menyatakan persetujuannya (ridha). Adanya

persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang

merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk

membayar utang dialih-alihkan kepada pihak lain, meskipun pihak

lain itu memang berutang padanya.

2. Pihak yang berpiutang (muhal) disyaratkan cakap melakukan tindakan

hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama. Selain

itu, muhal hendaknya juga memberikan pernyataan persetujuan

terhadap pihak muhiil yang melakukan hiwalah. Persyaratan ini

berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasan orang dalam membayar

utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit

membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan

hak pihak muhal. Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja,

pihak muhal dapat saja merasa dirugikan, misalnya apabila ternyata

bahwa pihak muhal ‘alaih sulit membayar utang itu.

3. Pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada

muhil (muhal ‘alaih), disyaratkan cakap melakukan tindakan hukum

dalam bentuk akad, selain tu, menurut madzhab Hanafi, ia juga harus

memberikan pernyataan persetujuannya. Walaupun demikian,

madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak mensyaratkan hal itu.

Alasan ulama Hanafi adalah, tindakan hiwalah merupakan tindakan

hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga

Page 14: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

14

untuk membayar utang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban

itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad

hiwalah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan asy-Syaibani

menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) harus

dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majlis

akad.

4. Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-

muhal bih) adalah 1). Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah

dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti. Jika yang dialihkan itu

belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan

utang yang timbul akibat jual yang masih berada dalam masa khiyar

(tenggang waktu yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk

mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau

dibatalkan), maka hiwalah tidak sah., 2).Apabila pengalihan utang itu

dalam bentuk al-hiwalah al-muqayaadah, semua ulama fiqh sepakat

bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua, maupun utang

pihak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah dan

kualitasnya. Ulama dari mazhab Syafi’I menambahkan bahwa kedua

utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika

terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua

utang itu, maka hiwalah tidak sah.

3. Jenis-Jenis Hiwalah

Dari sekian mazhab yang ada, Imam Hanafi turut andil

memberikan kontribusi pendapat tersendiri dalam menanggapi persoalan

seputar aktifitas hiwalah, menurutnya, hiwalah dapat diklafikasikan atas

beberapa bagian dan dalam sudut pandang yang berbeda. Pertama,

ditinjau dari segi obyek akad, maka hiwalah dapat dibagi menjadi dua.

Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka

pemindahan itu disebut hiwalah al-haq (pemindahan hak). Sedangkan jika

Page 15: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

15

yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka

pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). Hiwalah al-

haqq merupakan sebuah kontrak pengalihan hak dari pemilik piutang

kepada pemilik piutang lainnya. Hiwalah ad-dain adalah kebalikannya,

hiwalah ad-dain merupakan pemindahan hutang dari seorang

penghutang kepada penghutang lainnya. Yakni antara pihak pertama

dengan pihak pertama (penghutang pertama) memiliki piutang pada

pihak ketiga (penghutang kedua)

4. Berakhirnya Akad

Akad hiwalah dapat berakhir karena beberapa sebab berikut ini:

a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu mem-fasakh

(membatalkan) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap,

dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua berhak menunutu

pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikianlah pula hak

pihak pertama kepada pihak ketiga.

b. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris

yang mewarisi harta pihak kedua.

d. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk

membayar utang yang dialihkan itu.

Page 16: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

16

5. Aplikasi Akad Hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah

D. Jaminan/Garansi (Kafalah)

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Kafalah memilik beberapa istilah dalam bahasa arab yang memiliki

makna yang sama yaitu al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah. Menurut

istilah, al-Kafalah adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung)

kepada pihak ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak kedua

(tertanggung)”.

Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Qur’an Surat Yusuf ayat

72; Penyeru itu berseru, “Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang

dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan

aku menjamin terhadapnya

Dasar hukum al-Kafalah yang kedua adalah al-Sunnah, dalam hal

ini Rasulullah SAW. bersabda:

Page 17: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

17

“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah

membayar” (Riwayat Abu Dawud).

Kafalah ini bermanfaat bagi orang yang memiliki kewajiban tetapi

tidak sanggup atau ada faktor-faktor yang membuatnya tidak dapat

memenuhi kewajibannya itu maka dapat diambil alih oleh orang lain

untuk menjaminnya.

2. Rukun Dan Syarat kafalah Menurut Mazhab Hanafi bahwa rukun al-Kafalah adalah satu, yaitu

ijab dan kabul. Sedangkan menurut para ulama yang lainnya, bahwa

rukun dan syarat al-Kafalah adalah sebagai berikut:

a. Dhamin, Kafil atau Zai’im, yaitu orang yang menjamin di mana ia

disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta

(mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.

b. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa orang

yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmun lah

disebut juga dengan makful lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh

penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini

dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.

c. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berutang, syaratnya

ialah: (1) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada

penjamin; (2) dikenal penjamin.

d. Madmun bih atau makful bih adalah utang, syarat makful bih adalah: (1)

merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa

uang, benda maupun pekerjann; (2) bisa dilaksanakan oleh penjamin;

(3) harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin

dihapus kecuali setelah bayar atau dibebaskan; (4) harus jelas nilai,

jumlah dan spesifikasinya; (5) tidak bertentangan dengan syariah.

e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak

digantungkan kepada seauatu dan tidak berarti sementara.

3. Macam-macam al-Kafalah

Page 18: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

18

Secara umum Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah

dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal pula

dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-

Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia

tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).

Penjaminan yang menyangkut masalah manusia adalah boleh

hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui

permasalahan, karena kafalah menyangkut badan bukan harta.

Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-Khamar dan hadd

menuduh zina adalah tidak sah, sebab Nabi SAW. bersabda: “Tidak ada

kafalah dalam hadd” (Riwayat al-Baihaqi).

Alasan lainnya ialah, karena menggugurkan dan menolak had

adalah perkara syubhat, oleh karena itu tidak ada kekuatan jaminan yang

dapat dipegang dan tidaklah mungkin hadd dapat dilakukan kecuali oleh

orang yang bersangkutan.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah dengan

menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia,

seperti qishas dan qadzaf, karena kedua hal tersebut menurut Syafi’i

termasuk hak yang pasti. Sedangkan bila menyangkut hadd yang telah

ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.

Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut, menjamin dengan

menghadirkan badan pada dasarnya tidak boleh, baik menyangkut

persoalan harta maupun menyangkut masalah hadd, karena syarat apapun

yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah bathil.

Sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa (Kafalah bil al-

Wajh), dengan alasan bahwa Rasulullah SAW. pernah menjamin urusan

tuduhan. Namun menurut Ibnu Hazm, hadits yang menceritakan tentang

penjaminan Rasulullah SAW. pada masalah tuduhan adalah bathil, karena

hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia

adalah dha’if dan tidak boleh diambil periwayatannya.

Page 19: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

19

Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka

orang tersebut wajib menghadirkannya, bila ia tidak dapat

menghadirkannya, sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu

sendiri berhalangan hadir, menurut mazhab Maliki dan penduduk

Madinah, penjamin wajib membayar hutang orang yang ditanggungnya,

dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “Penjamin adalah berkewajiban

membayar” (Riwayat Abu Dawud).

Sementara itu, mazhab Hanafi berpendapat bahwa penjamin (kafil

atau dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut

atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia.

Dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan

harta, kecuali bila ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan

membayarnya).

Menurut mazhab Syafi’i, bila ashil telah meninggal dunia, maka

kafil tidak membayar kewajibannya, karena ia tidak menjamin harta tapi

menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab (sabiq, t.t:

161).

Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti

ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan)

berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu:

1. Kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi

beban orang lain. Dalam hadits Salamah bin Akwa disebutkan bahwa

Nabi SAW. tidak mau menshalatkan jenazah yang mempunyai

kewajiban membayar utang; kemudian Qathadah ra. berkata:

“Shalatkanlah dia dan saya akan membayar hutangnya, Rasulullah kemudian

menshalatkannya”.

Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:

a). Utang tersebut bersifat mengikat/ tetap (mustaqir) pada waktu

terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah dan mahar.

Page 20: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

20

Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh

menjamin suatu utang yang belum mengikat (ghairu mustaqir).

b). Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut Mazhab Syafi’i

dan Ibnu Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak

diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sementara Abu

Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh

menjamin sesuatu yang tidak diketahui.

2. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan

benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti

mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang

jualan kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan materi yang dijamin

tersebut adalah untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila

bukan berbentuk jaminan, maka kafalah batal.

3. Kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang

yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu

lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang)

bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi

kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).

4. Aplikasi Kafalah di Lembaga Keuangan Syari’ah

Dalam mekanisme sistem perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat

diaplikasikan dalam bentuk pemebrian jaminan bank dengan terlebih

dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank

atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan

fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada

perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen

Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan

prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi, fasilitas letter of

credit, kartu kredit dll. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh

bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka

secara lebih aman dan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam

Page 21: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

21

berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan

mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah

wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya

Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga

akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah

yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga

akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka

E. Titipan (Wadi’ah)

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Secara etimologi, kata wadi'ah berarti menempatkan sesuatu yang

ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara

terminologi, ada dua definisi wadi'ah yang dikemukakan pakar fiqh.

Pertama, menurut ulama Hanafiyah, wadi'ah adalah: Mengikutsertakan

orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui

tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Malikiyah,

Syafi'iyah, dan Hanabilah (jumhur ulama) wadi'ah adalah: Mewakilkan

orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dari definisi

Page 22: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

22

di atas, secara esensi wadi’ah adalah menitipkan sesuatu harta/barang

pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.

Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling menolong

(tabarru’), para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wadi'ah

disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunat. Alasannya QS an-

Nisa' ayat 58: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan

amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya ….” dan surat al-Baqarah,

ayat 283: “…. Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah

yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia

bertakwa kepada Allah Tuhannya …..”

Landasan hukum akad al-wadi'ah yang lain bersumber dari Hadits

Nabi: “Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu

mengkhianati orang yang mengkhianati engkau.” (HR Abu Daud, at-Tirmizi

dan al-Hakim).

Berdasarkan ayat dan hadis ini, para ulama fiqh sepakat

mengatakan bahwa akad wadi'ah (titipan) boleh dan disunatkan, dalam

rangka saling tolong menolong antara sesama manusia. Oleh karena

itu, Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223 M), pakar fiqh Hambali,

menyatakan bahwa sejak zaman Nabi saw. sampai generasi-generasi

berikutnya, akad wadi'ah telah menjadi ijma' 'amali (konsensus dalam

praktek) bagi umat dan tidak ada ulama yang mengingkarinya.

2. Rukun dan Syarat Wadi’ah

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun Al-Wadi’ah hanya

satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti ”Saya

titipkan sepeda ini pada kamu), sedangkan qabul (ungkapan menerima

titipan oleh orang yang dititipi seperti “saya terima titipan ini” ) tidak

menjadi rukun Wadi’ah.

Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-Wadi’ah ada tiga 1).

orang yang berakad (muwaddi’ dan wadii’), 2). barang titipan (syai’

muwadda’), 3). shigat ijab dan qabul baik secara lafal maupun melalui

Page 23: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

23

tindakan. Rukun pertama dan kedua yang dikemukakan jumhur ulama

ini menurut Hanafiyah termasuk syarat bukan rukun.

Sedangkan syarat-syarat Al-wadi’ah adalah sebagai berikut:

a. Pihak-pihak yang melakukan akad al-Wadi’ah (yang menitipkan atau

menerima titipan) disyaratkan telah balig, berakal, dan cerdas (rusyd)

karena akad Al-wadi’ah merupakan akad yang mengandung banyak

resiko penipuan.

b. Barang titipan itu jelas wujudnya dan bisa dikuasai. Maka tidak boleh

menitipkan burung yang ada di udara, mobil yang sedang dicuri

orang, atau harta yang jatuh di sungai.

3. Sifat Akad al-Wadi `ah

Dilihat dari segi sifat akad al-wadi'ah, para ulama fiqh sepakat me-

nyatakan akadnya bersifat mengikat kedua belah pihak. Apabila

seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi

rukun dan syarat al-wadi'ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab

untuk memelihara barang titipan itu. Namun demikian, apakah tanggung

jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (adh-

dhaman), para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status al-wadi'ah di

tangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga

seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi

tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakannya disengaja atau

atas kelalaian orang yang dititipi. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah

saw. yang mengatakan: Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan

pengkhianatan, tidak dikenakan ganti rugi. (HR al-Baihaqi dan ad-

Daraquthni). Dalam riwayat lain dikatakan: Orang yang dipercaya

memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi. (HR ad-Darquthni dari

'Amr ibn Syu'aib).

Berdasarkan hadis-hadis ini, para ulama fqh sepakat apabila

dalam akad al-wadi'ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai

Page 24: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

24

ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun

kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka

akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad

al-wadi'ah adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah

dari barang titipan itu.

Berkaitan dengan sifat akad wadi'ah sebagai akad yang bersifat

amanah, yang imbalannya hanya mengharap ridha Allah, para ulama

fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al-wadi'ah dari

sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh

mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini:

a. Barang itu tidak dipelihara secara semestinya oleh orang yang

dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang

yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia

mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena

memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas

kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).

b. Barang titipan itu dititipkan oleh penerima titipan kepada

orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan

bukan pula tanggungjawabnya. Resiko ditanggung pihak

kedua (penerima titipan). Apabila barang itu hilang atau

rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan

ganti rugi.

c. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.

Dalam hal ini menurut kesepakatan ulama, jika barang titipan

tersebut rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak

yang dititipi, maka pihak yang dititipi tersebut wajib

mengganti kerusakan yang ditimbulkannya meskipun

kerusakannya di luar kekuasaan atau kontrolnya. Alasan

mereka adalah, karena barang titipan itu dititipkan hanya

Page 25: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

25

untuk dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang

titipan dianggap sebagai suatu penyelewengan.

d. Orang yang dititipi mengingkari al-wadi'ah itu. Para ulama

sepakat, apabila pemilik barang meminta kembali barang

titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang dititipi

menolak tanpa alasan yang jelas, maka ia dikenakan ganti

rugi.

e. Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta

pribadinya sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama

berpendapat apabila barang itu sulit dipisahkan, maka pemilik

berhak atas ganti rugi. Tetapi, jika barang dapat dipisahkan,

maka pemilik barang mengambil barangnya tersebut.

f. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah

ditentukan. Jika syarat tersebut dilanggar oleh pihak yang

dititipi maka ia dikenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti

tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang

dikemukakan penitip barang.

g. Barang titipan dibawa bepergian jauh (as-safar).

Dalam perkembangan konsep al-wadi'ah di dunia Islam, dijumpai

berbagai bentuk dan variasi, serta pihak-pihak yang terlibat pun semakin

beragam. Misalnya, giro pos atau tabungan yang dikelola oleh pihak bank.

Pada dasarnya, giro dan tabungan tersebut merupakan titipan (wadi’ah)

yang dapat diambil setiap saat oleh orang yang menitipkannya.

Jika barang titipan itu (umpamanya uang) dimanfaatkan oleh pihak

penerima titipan, kemudian dikembalikan lagi secara utuh, dan bahkan

dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Malikiyah dan Hanafiyah,

hukumnya boleh, sekalipun dalam pemanfaatan imbalan jasa dari bank ini

disedekahkan pada orang yang memerlukan atau bait al-mal. Akan tetapi

menurut ulama Syafi'iyah tidak boleh dan akadnya dinyatakan gugur.

Page 26: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

26

Sedangkan masalah yang menyangkut biaya pemeliharaan barang

(yang dalam bank diistilahkan sebagai biaya administrasi), merupakan

tanggung jawab pemilik barang atau uang, karena pihak yang dititipi

hanya bertugas memelihara, sedangkan biaya pemeliharaan dibebankan

kepada pemilik barang.

4. Hukum Meminta Imbalan dalam wadi’ah

Menurut Wahbah Zuhaili, penerima wadi’ah tidak boleh meminta

imbalan atas wadi’ah, kecuali bila harta atau barang titipan itu

memerlukan ruang khusus di dalam rumahnya, maka ia boleh meminta

uang sewa. Apabila harta atau barang titipan itu mengharuskan pintu

harus dibuka dan ditutup, maka hal ini menjadi kewajiban penerima

titipan.

5. Aplikasi Akad Wadi’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah

Produk dengan akad wadiah di lembaga keuangan syari’ah dapat

berupa Tabungan atau Giro. karena sifatnya titipan, maka produk

dengan akad ini tidak akan mendapatkan return dari bank berupa bagi

hasil. Namun sesuai dengan kebijakan bank nasabah dengan produk

wadiah bisa mendapatkan bonus terutama untuk nasabah dengan akad

Wadiah Al-Dhamanah.

Jika anda datang ke bank syariah dan tujuannya untuk berinvestasi

atau dengan kata lain untuk mendapatkan keuntungan dari dana yang

kita simpan maka jangan pilih produk dengan akad wadiah tetapi pilih

produk dengan akan mudharabah, tetapi jika tujuannya hanya untuk

mendapatkan tempat yang lebih aman dalam menyimpan uang saja maka

wadiah bisa menjadi alternatif pilihan produk.

Page 27: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

27

F. Perwakilan/Agency (Wakalah)

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Secara etimologi wakalah berarti, al-hifdh ( الحفظ ) pemeliharaan, Al-

Tafwidh (التفويض ) penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.

Menurut terminologi wakalah berarti :1 "Pemberian kewenangan /kuasa

kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa)

secara syar'i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang

ditentukan."

Islam mensyari'atkan al-wakalah karena manusia

membutuhkannya dalam berbagai mu'amalah. Al-Wakalah diperbolehkan

dalam al-Qur'an (Q.S. Kahfi, 18: 19; 9/60; 4/35; 12/55); al-Hadits.

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw. pernah mewakilkan

kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Di antaranya untuk

membayarkan hutangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan

melaksanakannya, dan lain-lain. Para ulama telah sepakat (ijma’) atas

1Nazih Hammad, Mu'jam al-Musthalahat al-Iqtishadiyyah fi Lughat al-Fuqaha', (Al-

Ma'had 'Ali lil fikri al-Islamy, 1995), cet. 3, h. 354.

Page 28: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

28

diperbolehkannya wakalah karena kebutuhan ummat terhadapnya.

Wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong-menolong atas dasar

kebaikan dan taqwa. (Q.S. 5/2).

2. Rukun dan Syarat Wakalah

a. Al-Muwakkil (yang mewakilkan) harus memenuhi syarat: (1)

pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang

diwakilkan; (2) orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-

batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti

mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan

sebagainya

b. Wakil harus memenuhi syarat: (1) Cakap hukum; (2) dapat

mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya; (3) wakil adalah

yang diberi amanat.

c. Hal-hal yang diwakilkan harus memenuhi syarat: (1) diketahui

dengan jelas oleh orang yang mewakili; (2) tidak bertentangan

dengan syariah; (3) dapat dwakilkan menurut syariah Islam

2. Al-Wakalah dengan bayaran

Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa

bayaran. Rasulullah saw. memberi komisi ( عمولظظ) kepada para petugas

penarik zakat. Dari Bisr ibn Said dari ibn As-Sa'idi berkata, “Umar ra

pernah memperkerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah). Setelah

pekerjaanku selesai, Umar memberiku upah, maka saya protes: “saya

bekerja ini hanya untuk Allah". Umar menjawab, "Ambil saja apa yang

diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan Rasulullah saw.

dan beliau memberiku upah”. Imam Abu Daud juga meriwayatkan

tentang sahabat yang menerima pemberian (upah, pemberian) dari kepala

kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang

(kalajengking) melalui bacaan surat "al-Fatihah." Abu Daud mengangkat

kasus ini dalam kitabnya bab كسظ اطببظاء (jasa/ pendapatan dokter). Jika

Page 29: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

29

diperhatikan, dua kasus di atas adalah termasuk amal tabarru' (suka rela

dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima fee. Seiring

dengan perkembangan zaman, aktivitas yang terkait dengan jasa seperti

mengajar, pengobatan dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat

menghasilkan uang atau imbalan.

Jika seorang wakil menerima upah, maka baginya berlaku hukum

orang ‘upahan’ (pegawai/pekerja-ijarah). Maka wajib baginya

melaksanakan tugas yang diwakalahkan kepadanya. Ia tidak boleh

meninggalkan pekerjaannya begitu saja tanpa ada uzur yang dapat

dimaklumi. Seperti wakalah terhadap seorang pengacara atau kepada

broker yang biasanya setelah melaksanakan tugas dengan tuntas, mereka

mendapat fee sesuai lazimnya atau sesuai kesepakatan.

3. Bentuk-bentuk al-Wakalah

Secara global al-Wakalah ada dua macam :

a. Al-Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu wakalah terhadap pekerjaan

tertentu seperti untuk membelikan tanah atau mobil. Dalam hal ini

seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang telah ditentukan.

b. Al-Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, seperti

engkau sebagai wakilku dalam berbagai pekerjaan. Maka seorang

wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas.

c. Wakalah adalah jenis akad ghairu lazimah (tidak meningkat) maka

muwakkil dan wakil boleh menghentikan akad tersebut kapan saja.

Hanya saja jika dalam wakalah itu ada kesepakatan fee dan waktu,

maka harus disepakati ulang antara keduanya.

4. Aplikasi Akad Wakalah di Lembaga Keuangan Syari’ah

Wakalah dalam jasa lembaga keuangan syari’ah, dapat digunakan

dalam beberapa produk, antara lain L/C (letter of credit), transfer, kliring,

RTGS, inkaso, dan pembayaran gaji.

Page 30: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

30

1. Importir mewakilkan kepada bank untuk mengurus dokumen-

dokumen transaski import.

2. Importir menabung ke bank syari’ah untuk keperluan pembayaran

impor, dan membayar biaya administrasi untuk pengurusan

dokumen.2

3. Bank melakukan pengurusan dokumen dan melakukan

pembayaran terhadap eksportir.

4. Eksportir mengirim barang kepada importer.

G. Pinjam-Meminjam (‘Ariyah )

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut bahasa ‘ariyah artinya sesuatu yang dipinjam, pergi dan

kembali atau beredar. Sedangkan menurut termologi, ada beberapa

definisi tentang ariyah yang dikemukakan oleh ulama fiqh.

Menurut al-Syarakhsy dan ulama Malikiyah, ‘ariyah adalah

“Pemilikan manfaat tanpa imbalan “.Sedangkan menurut ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah, ‘ariyah didefinisikan“ Kebolehan

memanfaatkan sesuatu tanpa imbalan..

Jadi yang dimaksud dengan al-‘ariyah adalah memberikan manfaat

suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis),

2 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal,

bukan dalam bentuk prosentase

Page 31: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

31

bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, maka hal itu tidak

dapat disebut al-‘ariyah.

Al-‘Ariyah sebagai sarana dalam rangka tolong-menolong antara

orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu, menurut ulama

fiqh, didasarkan kepada firman Allah yang berbunyi : “Dan tolong-

menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ ( Q.S Al-Maidah : 2

),selain dari al-Qur’an landasan hukum yang kedua ialah hadits riwayat

Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda “Barang pinjaman adalah benda yang

wajib dikembalikan, dan Hadis yang diriwayatkan Daruquthni, bahwasanya

rasulullah SAW bersabda “ Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban

mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak

berkewajiban mengganti kerugian)

Berdasarkan ayat dan hadits diatas para ulam fiqh sepakat

mengatakan bahwa hukum al-‘ariyah adalah mandub (sunnah), karena

melakukan al-‘ariyah ini merupakan salah satu bentuk ta’abbud (ketaatan)

pada Allah.

2. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Menurut ulama Hanafiyah, bahwa rukun al-‘ariyah adalah satu,

yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan tapi cukup dengan

menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh

hukum ijab qabul dengan ucapan.

Sedangkan menurut jumhur ulama fiqih, rukun ariyah ada empat

yaitu: 1). Mu’ir ( peminjam ), 2). Musta’ir ( yang meminjam ), 3). Mu’ar (

barang yang dipinjam ), dan 3),. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan

kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun

perbuatan.

Page 32: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

32

Sedangkan syarat-syarat ariyah adalah pertama, Bagi mu’ir (

peminjam ) dan musta’ir ( yang meminjam) hendaknya baligh, Berakal,

dan tidak sedang dalam pengampuan (mahjur).

Sedangkan Mu’ar ( barang yang dipinjam ), disyaratkan tiga hal:

pertama, barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah

‘ariyah yang barangnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung

yang sudah hancur, sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan

padi. Kedua, pemanfaatan barang dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang

pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam

benda-benda najis. Ketiga, Barang yang dipinjamkan harus langsung dapat

dikuasai oleh peminjam.

3. Hukum Meminjamkan Barang pinjaman (Mu’ar)

Perbedaan para ulama dalam memberikan definisi ariyah, pada

gilirannya memunculkan perbedaan mereka dalam menetapkan hukum

meminjamkan barang pinjaman (mu’ar). Ulama Hanafiyah dan Malikiyah

mengatakan bahwa al-‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan

peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu

dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh

sebab itu, pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang

lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi

miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi

peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk

meminjamkannya kepada orang lain.

Akan tetapi ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan Abu al-Hasan al-

Karkhi (260-340 H / 870-952 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa

akad al-‘ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.

Oleh sebab itu, pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam dan

ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian,

Page 33: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

33

seluruh ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa pihak peminjam tidak

boleh menyewakannya kepada orang lain.

4. Sifat Akad Al-‘Ariyah

Disepakati oleh para ulama fiqh bahwa akad al-‘ariyah itu bersifat

tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah akad al-‘ariyah

bersifat amanah ditangan peminjam sehingga ia tidak boleh dituntut ganti

rugi jika barang itu rusak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan

mereka.

Menurut ulama Hanafiyah al-‘ariyah ditangan peminjam bersifat

amanah. Menurut mereka, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap

kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau

kelalaiannya dalam pemanfaatan barang ini. Akan tetapi, apabila

kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian peminjam dalam

memelihara amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi.

Sementara, Ulama Malikiyah menyatakan apabila barang yang

dipinjamkan itu dapat disimpan, seperti pakaian, cincin emas dan kalung

mutiara, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur,

sedang ia tidak dapat membuktikannya, maka ia tidak dikenakan ganti

rugi. Selanjutnya, apabila barangyang dipinjam itu rusak ketika

dimanfaatkan, tetapi barang itu tidak dapat disimpan, seperti rumah dan

tanah, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu. Alasan mereka

adalah hadits Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa :

“ Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi “ (

HR Abu Daud dan Al-Hakim )

dan hadist :

“ Barang pinjaman apabila rusak dikenakan ganti rugi “ ( HR Ahmad ibn

Hanbal dan Abu Daud )

Menurut mereka, hadits pertama berlaku pada barang pinjaman

yang tidak boleh disembunyikan dan pada barang pinjaman yang

Page 34: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

34

dikatakan hilang atau hancur tetapi dapat dibuktikan. Sedangkan hadits

kedua berlaku pada barang pinjaman yang hilang atau hancur, tetapi

dapat disimpan, sedangkan peminjam tidak boleh mengemukakan alat

bukti hilang atau hancurnya barang itu. Dengan demikian, menurut

mereka, kedua hadits itu dapat diamalkan.

Sedangkan, menurut ulama Syafi’iyah, apabila kerusakan barang

itu disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka

peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam

maupun orang lain.

Akad al-‘ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah

menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :

1). apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak, 2).

apabila barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali, 3). apabila

pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan

yang berlaku, atau tidak sesuai syarat yang disepakati bersama ketika

berlangsungnya akad, 4). apabila pihak peminjam melakukan sesuatu

yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.

H. Hibah

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Pengertian Hibah tercakup di dalamnya hadiah dan shadaqah, hal

ini karena ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berdekatan satu

dengan lainnya. Jika maksudnya untuk mendekatkan diri kepada Allah

dengan memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan disebut

Shadaqah, jika dimaksudkan untuk penghargaan atau karena motif kasih

sayang maka dinamakan hadiah, dan jika selain itu dinamakan hibah.

Hibah menurut terminologi adalah:

اط نسان ماله لغيره في الحياة بلا عوض عقد موضوعه تمليك“Akad yang pokok persoalannya pada pemberian harta milik seseorang kepada

orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan.”

Page 35: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

35

Ada dua definisi lain yang dikemukakan oleh para ulama,

pertama, adalah definisi hibah yang dikemukakan oleh jumhur ulama,

yaitu :

عقد يفيد الثمليك بغير عوض حال الحياة تطوعا"Akad yang menyebabkan adanya kepemilikan tanpa

mengharapkan imbalan yang dilakukan semasa hidup seseorang secara

sukarela.

Kedua definisi yang rinci dan komperehensif yang dikemukakan

oleh ulama Hanabilah, yang artinya :“Pemberian milik yang dilakukan orang

dewasa yang cerdas sejumlah harta yang diketahui atau namun sulit

diketahuinya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak

wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.”

Ketiga definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian harta

kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali

untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dasar hukum hibah dapat kita ketahui dari al-Qur’an surat An-

Nisa ayat “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari

maskawin itu, dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu

(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”, Surat Al-Baqarah ayat

177: Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak

yatim, orang-orang miskin, musafir (orang yang memerlukan pertolongan).”

Surat Al-Maidah ayat 2: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan taqwa.” Dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i,

Hakim, dan Baihaqi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Saling

memberi hadialah kalian dan juga saling mengasihi”

2. Rukun dan Syarat Hibah

Rukun hibah menurut Hanafi yaitu ijab dan qobul. Sebagaimana

dikiaskan pada akad jual beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun

Page 36: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

36

hibah ada empat, yaitu: 1). Pemberi hibah (wahib), 2). Penerima hibah

(mauhub lahu), 3). Barang yang dihibahkan (mauhub), dan 4). Shighat.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hibah adalah

sebagai berikut:

1). Pemberi hibah merupakan orang yang cakap hukum (berakal, baligh,

dan cerdas) oleh karena itu, anak kecil dan orang gila tidak sah

hibahnya karena mereka termasuk orang-orang yang tidak cakap

hukum.

2). Barang yang dihibahkan disyaratkan yaitu ada ketika hibah terjadi,

berupa barang mutaqawwim (halal dimanfaatkan), milik penuh, milik

pribadi, barang yang terjaga dan terpisah, dapat dibedakan, terpisah

dan tidak menduduki barang lainnya.

3). Shighat (ijab dan qobul) menurut madzhab syafi’i harus bersambung,

tidak dibatasi dengan syarat karena hibah adalah pengalihan

kepemilikan mutlak seperti jual beli.

3. Pemberian Orang Tua Kepada Anak.

Ulama jumhur tidak berbeda pendapat dalam mengutamakan

persamaan pada pemberian diantara anak-anak dan dibencinya

perbedaan pemberian diantara mereka semasa hidup. Namun mereka

berselisih pendapat dalam penjelasan maksud dari persamaan tadi.

Menurut Hanbali dan Muhammad dari Hanafi : untuk seorang ayah agar

membagi kepada anak-anaknya sesuai dengan pembagian Allah dalam

warisan. Yaitu bagian anak laki-laki adalah seperti bagian dua anak

perempuan. Sementara, menurut Ahmad, ats-tsauri, thowwus, Ishak dan

lainnya menyamakan pemberian diantara anak-anak hukumnya wajib

dan batal jika tidak sama. Sedangkan menurut jumhur ulama (Abu Yusuf,

Hanafi, Maliki, dan syafi’I), persamaan dalam pemberian kepada anak

tidak wajib melainkan mandub. Pengistimewaan atau melebihkan

sebagian pewaris dibolehkan namun hukumnya makruh. Karena setiap

Page 37: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

37

orang bebas bertasharruf dengan hartanya. Hal ini didasarkan pada hadits

Nabi SAW :

(رواه الطبرانى)سووا بين اوطدكم فى العطي ولو كنت مؤثرا طثرت النساء على الرجال Artinya : “Samakanlah pemberian diantara anak-anak mu walau kamu lebih

menyayangi anak perempuan dari pada anak laki-laki”.(HR.

Thabrani)

Adapun sebaliknya, berkaitan dengan pemberian anak kepada orang

tuanya, Disunnatkan agar menyamakan pemberian untuk kedua orang tua, dan

boleh juga mengutamakan ibu dan mengistimewakannya melalui pemberian dan

penghormatan yang lebih. Seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari

Abu Hurairah r.a: “ Datang seorang lelaki kepada rasul saw. Dan berkata :

wahai rasul, siapa yang lebih berhak aku muliakan ? nabi menjawab:

Ibumu. Ia berkata :Kemudian siapa? Nabi menjawab ; Ibumu. Ia berkata:

Kemudian siapa ? nabi menjawab: Ibumu Ia berkata: Kemudian siapa

lagi ? ayahmu.”

H. Wasiat

1. Pengertian dan Dasar Hukumnya

Wasiat menurut etimologi berarti janji kepada orang lain untuk

melakukan sesuatu, ketika hidup maupun setalah meninggal. Atau

memberikan harta untuk orang lain (ja’lu al-maal lighairihi).

Sedangkan menurut terminologi, para ulama Fiqh memberikan

definisi wasiat adalah penyerahan kepemilikan yang disandarkan kepada

saat setelah kematian melalui akad tabarru’ (derma), baik berupa benda

(ain) maupun nilai guna (manfaatan).

Dari beberapa definisi di atas, jelas bahwa wasiat merupakan

penyerahan kepemilikan harta kepada pihak lain yang secara efektif

berlaku seetelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dari sisi “penyerahan

harta kepada pihak lain” wasiat termasuk bagian dari hibah. Namun

Page 38: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

38

karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki setelah pemberi wasiat

meninggal dunia maka wasiat merupakan pemberian dalam bentuk

khusus.

Adapun perbedaan wasiat dengan warisan adalah dalam wasiat

peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkan semasa masih

hidup, pada warisan tidak harus ada kehendak dari pemilik harta selama

masih hidup.

Wasiat merupakan perbuatan kebajikan yang diperintahkan Allah

SWT dan Rasulnya. Hal ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat al-

Baqarah ayat 180: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,

berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)

kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” Surat An-Nisa’ ayat 12: ”Sesudah

dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”.

Sedangkan hadis Nabi yang menjelaskan wasiat terdapat dalam riwayat

Turmudzi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Penuhilah hutang

sebelum melaksanakan wasiat”

2. Rukun dan Syarat Wasiat

Menurut jumhur ulama wasiat terdiri dari empat rukun yaitu : 1).

Pemberi wasiat, 2). Penerima wasiat, 3). Barang yang diwasiatkan, 4).

Shighat, yaitu ijab dan qobul.

Adapun Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:

a. Bagi Pemberi wasiat hendaknya cakap hukum, yaitu mukallaf (baligh,

berakal dan merdeka), dan atas kehendak dankerelaan pribadi.

b. Bagi penerima wasiat disyaratkan telah ada ketika wasiat dinyatakan,

diketahui dengan jelas ketika pernyataan wasiat, dan bukan

pembunuh dari pemberi wasiat.

c. Untuk barang yang diwasiatkan disyaratkan berupa mal mutaqawwim,

dapat dimiliki, ada ketika wasiat dinyatakan, Merupakan milik sah

Page 39: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

39

dari pemberi wasiat, dan tidak untuk maksiat. Selain itu, menurut

jumhur ulama ada ketentuan bahwa wasiat tidak berlaku jika lebih

dari 1/3, kecuali dengan persetujuan ahli waris. Jika disetujui maka

wasiat berlaku dan jika tidak maka wasiat batal. Karena Allah

memberikan hak tasharruf kepada pemberi wasiat hanya 1/3 saja,

demi menjaga hak ahli waris. Dalam sebuah hadits Bukhari Muslim

dikatakan : “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli waris mu sebagai

orang-orang kaya adalah lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka

sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak”

d. Shighat, dapat dipergunakan sebagai segala perkataan yang memberi

pengertian adanya wasiat. Shighat dapat diungkapkan melalui tiga

cara yaitu berupa ucapan (lisan), tulisan dan berupa isyarat bagi yang

tidak mampu berbicara atau menulis.

3. Wasiat Kepada Ahli Waris

Jumhur ulama menyaratkan untuk keabsahan wasiat agar tidak

ditujuan kepada ahli waris. Lebih-lebih apabila masih ada pewaris (ahli

waris) selainnya. Akan tetapi apabila ahli waris lain dengan sukarela

menerima adanya wasiat tersebut maka wasiat dinilai sah. Dengan

demikian kebolehan wasiat kepada ahli waris sangat tergantung kepada

restu ahli waris lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadis yang

diriwayatkan oleh Ahmad dari umar Ibn Kharijah bahwasanya Rasulullah

SAW bersabda “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak-hak bagi

pemiliknya, maka tidak ada lagi wasiat untuk ahli waris”. Demikian juga hadis

yang diriwayatkan Dar al-Quthni dari Ibn Abbas, rasulullah SAW

bersabda “Tidak boleh wasiat untuk ahli waris, kecuali ada restu dari ahli waris

lain”.

Walaupun demikian, ada beberapa syarat untuk menilai

keabsahan restu atau izin ahli waris. Yaitu pertama, hendaknya ahli waris

yang merestui tersebut terkenal sebagai orang yang suka berderma dan

Page 40: BAB X BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI

40

mengetahui dengan baik keadaan obyek wasiat, kedua, hendaknya restu

tersebut diberikan setelah wafatnya orang yang berwasiat.

4. Perbedaan Hibah dan Wasiat

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa wasiat merupakan

bagian hibah, tetapi ia memiliki beberapa karakteristik tersendiri yang

membedakan dengan hibah, adapun letak perbedaannya adalah:

a. Hibah itu diberikan kepada sipenerima sebelum si pemberi hibah itu

meninggal dunia, Sedangkan wasiat, diberiakan ketika sipemberi

wasiat meninggal dunia.

b. pada hibah, sipenerima boleh menolak pemberian harta hibah,

sedangkan pada wasiat sipenerima tidak boleh menolak

c. Pada hibah, tidak ada ukuran pada jumlah harta yang diberikan,

sedangkan padea wasiat harta yang diberikan maksimal adalah 1/3

dari harta yang dimiliki sipewasiat.

d. Pada hibah, harta boleh diberikan kepada ahli waris, sedangkan pada

wasiat harat tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

e. Pada hibah itu bersifat mengikat dan wasiat itu tidak mengikat.

f. Hibah berupa barang, wasiat itu berupa barang, piutang, ataupun

manfaat.