tinjauan hukum tentang pengembalian dana tabarru’
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN DANA TABARRU’
PADA PESERTA ASURANSI SYARIAH PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI
NO. 81 TAHUN 2011 DAN PASAL 1688 KUH PERDATA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Siti Gina Imania
11140460000137
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018 M
i
ABSTRAK
Siti Gina Imania. NIM 11140460000137. TINJAUAN HUKUM TENTANG
PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ PADA PESERTA ASURANSI
SYARIAH PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011 DAN
PASAL 1688 KUH PERDATA. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
vi + 63 halaman.
Pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan baik dalam industr i
asuransi kerugian maupun asuransi jiwa bagi peserta yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir, namun terhadap praktiknya tersebut timbul masalah tentang
hukum pengembalian tabarru’ peserta asuransi syariah yang sudah dihibahkan.
Banyak pemberi hibah yang menginginkan untuk menarik kembali hibahnya.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan ketentuan pengembalian atau
penarikan kembali hibah antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan
Pasal 1688 KUH Perdata dan implikasi hukum dari pengembalian hibah
perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata
pada Asuransi Syariah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian komparatif deskrispsi dan
library reasearch dengan melakukan pangkajian terhadap Fatwa DSN-MUI, KUH
Pedata, buku-buku, jurnal dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan judul
skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan dalam pasal 1688 KUH
Perdata, upaya untuk menarik kembali atas sesuatu hibah yang telah diberikan
kepada orang lain dapat dilakukan. Begitu pula dalam ketentuan hukum
pengembalian dana hibah pada Fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011 dapat
dilakukan oleh peserta asuransi secara kolektif. Namun, syarat dan ketentuan
dalam kedua hukum tersebut memiliki perbedaan. Mayoritas ulama berpendapat
haram hukumnya apabila hibah mutlak ditarik kembali. Lain halnya dengan hibah
bersyarat dalam Islam dibenarkan, apabila syarat yang telah disepakati tidak
ditunaikan penerima hibah, maka hibah dapat ditarik kembali. Dan tidak terdapat
implikasi hukum antara pengembalian hibah pada Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun
2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata.
Kata Kunci: Asuransi Syariah, Tabarru’, Hibah, Pengembalian Hibah
Pembimbing : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM
Daftar Pustaka : 1996 s.d 2017
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji serta syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
berkat taufiq dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta
keluarga dan para sahabatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi hambatan dan
rintangan, namun Alhamdulilah atas ridho dan kuasa Allah SWT serta do’a dan
dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar, skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, izinkan penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M. A,
beserta para pembantu dekan.
2. Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Bapak AM. Hasan Ali,
M.A dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA, selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para staff lainnya yang
telah meluangkan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan baik.
3. Dosen pembimbing, Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA.,
MM yang telah banyak meluangkan waktu di tengah kesibukannya, serta
sabar dalam memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat, solusi, dan
motivasi bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
iii
4. Penguji I dan II, Bapak Dr. Muh. Fudhail Rahman, M.A dan Bapak AH.
Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H yang telah memberikan banyak arahan
sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik.
5. Para dosen atas pendidikan dan dukungan moril serta ilmu yang telah
diberikan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di prodi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas fasilitas untuk mendukung studi pustaka.
6. Kepada orang tua penulis ayahanda Dwi Priyana, dan Bunda negara
Komar Yetin love you much more, Mas Raf, Ka Tania, Aurel yang telah
menjadi pemicut semangat untuk bangkit. Terima kasih atas do’a, cinta
dan kasih sayang, dukungan moril dan material. Semoga penulis dapat
membanggakan kalian semua.
7. Teruntuk Ka Rina, terima kasih banyak karena sudah mendengarkan keluh
kesah ketika penulis merasa stuck, banyak memberikan arahan dan solusi
kepada penulis sejak menyusun proposal skripsi hingga akhir.
8. Sahabat-sahabat terdekat penulis, al-quds gruop : Wiwin, Asri. Terima
kasih sudah mau-maunya berteman dengan penulis selama ini. Terima
kasih atas persahabatan, kebahagiaan, canda, tawa, motivasi, serta
pengalaman suka duka yang kalian berikan kepada penulis.
9. Kepada keluarga besar angkatan pertama Hukum Ekonomi Syariah 2014,
khususnya kepada Native C. Terima kasih atas senda, gurau, obrolan,
saran dan segala rasa kekeluargaan yang telah kalian bangun selama ini.
Sampai jumpa dimasa yang akan datang.
10. Kepada keluarga besar Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta, yang banyak
membantu penulis baik moril, skill, dan materil. Terima kasih banyak
kepada Ibu Dr. Amelia Fauzia, para manager, para staf, Ka Indi, Ka Dian,
Ka Elita, Ka Dewi, Ka Rere, dan semua volunteer yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
11. Kepada teman-teman rasa keluarga, Ahsan, Parman, Awe, Angga, Tumi,
Teh Lalan dan Teh Yayang selaku sepupu yang telah banyak membantu
iv
dan memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini serta saling
mendoakan.
12. Serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terima kasih ini penulis sampaikan. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan kalian dan semoga skripsi ini pun bermanfaat. Aamiin
Allahumma Aamiin.
Ciputat, Agustus 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................5
D. Metode Penelitian .......................................................................................6
E. Sistematika Penulisan ..................................................................................6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................................9
A. Asuransi Syariah .........................................................................................9
B. Hibah ..........................................................................................................9
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................................... 27
BAB III DATA PENELITIAN .................................................................................. 35
A. Pencabutan dan Pembatalan Hibah dalam KUH Perdata ............................ 35
B. Penarikan Hibah dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 ................... 38
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PASAL 1688 KUH PERDATA
DAN FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011 ......................................... 40
A. Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011
dan Pasal 1688 KUH Perdata .................................................................... 40
1. Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 ....................................................40
2. Pasal 1688 KUH Perdata .......................................................................43
3. Perbandingan Hibah Dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI Dan KUH
Perdata ..................................................................................................46
4. Persamaan dan Perbedaan antara KUH Perdata, Fatwa DSN- MUI dan
Fiqih tentang Hibah ...............................................................................51
B. Implikasi Hukum Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI
No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata ..................................... 54
vi
BAB V PENUTUP.................................................................................................... 58
A. Kesimpulan .............................................................................................. 58
B. Saran ........................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya terdapat berbagai macam cara yang bisa dilakukan untuk
meminimalisir kesenjangan sosial dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial.
Seorang pemilik harta kekayaan seringkali juga mempunyai keinginan untuk
memberikan sebagian hartanya kepada pihak lain dengan cara dan tujuan
tertentu. Dalam Islam perbuatan demikian terakualisasikan dalam beberapa
konsep yang berbeda, yakni berupa zakat, infaq atau shadaqah, wakaf, hadiah,
hibah dan wasiat.1
Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini merupakan mashdar dari kata
yang berarti pemberian.2 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa (وهب)
Indonesia (KBBI) berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan
hak atas sesuatu kepada orang lain. 3 Dalam hukum perdata Barat disebut
schenking.4
Hibah menurut hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan
atau menghadiahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya ketika masih
hidup kepada orang lain. Selain itu, hibah juga didefinisikan sebagai suatu
pemberian yang bersifat sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi
dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si
pemberi masih hidup.5
Hibah merupakan salah satu bentuk hubungan sosial kemasyarakatan telah
diatur secara jelas dan rinci dalam kitab fiqh muamalah yang berpedoman
1 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 6 2 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 1584 3 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 520 4 Ilham Gunawan dan Marthus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: CV Restu Agung, 2002),
h. 481 5 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta:
Citra Media, 2006), h. 115
2
pada al-Qur’an dan al-Hadist dan kini telah dipositifisasi baik dalam bentuk
KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan pada perkembangannya
saat ini juga ada pada Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kontrak atau akad
yang digunakan pada asuransi syariah melibatkan hubungan antara para
pemegang polis/peserta satu dengan yang lain adalah Akad Tabarru’.
Tabarru’ adalah derma kebajikan atau iuran kebajikan yang telah
diniatkan oleh peseta untuk dana tolong-menolong apabila ada peserta lain
yang terkena musibah. Konsep ini menjadikan semua peserta sebagai satu
keluarga besar yang saling menanggung, saling menjamin, dan saling
melindungi apabila musibah datang.6
Yusuf Qardhawi mengartikan tabarru’ sama dengan hibah.7 Dalam Akad
Tabarru’ ini peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong
dan membantu peserta lain yang terkena musibah secara suka rela tanpa
berharap adanya keuntungan. Sedangkan perusahaan asuransi hanya
bertindak sebagai pengelola dana hibah saja. Dengan kata lain, kumpulan
dana tersebut hanya dapat digunakan untuk kepentingan para peserta asuransi
yang terkena musibah. Apabila digunakan untuk kepentingan lain, berarti
melanggar syarat akad.
Peserta yang telah menyerahkan derma untuk membantu peserta lain yang
terkena musibah, tidaklah terhalang baginya (orang yang memberi derma)
tersebut untuk menerima jika ia terkena musibah juga.8 Dengan demikian,
secara praktek peserta dalam akad tabarru’ mempunyai peran ganda,
yaitupeserta sebagai pemberi dana tabarru’ dan peserta sebagai pihak yang
berhak menerima dana tabarru’. Dengan adanya peran ganda tersebut, peserta
yang memberikan dana tabarru’ secara tidak langsung mengharapkan adanya
penggantian apabila suatu saat ia mengalami musibah karena dana tabarru’
yang diberikan merupakan hak peserta.
6 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,2007), h. 36 7 Yusuf Qardhawi, al-Halal wal-haram fil-Islam, penerjemah Abu Sa’id al-Falahi dan
Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Halal dan Haram dalam Islam. (Jakarta: Rabbani Press, 2000), h.
317 8 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,2007), h. 36
3
Pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 81/DSN-MUI/III/2011 tentang
pengembalian dan tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir dan KUH Perdata Bab X tentang penghibahan di Pasal
1688, keduanya mengatur mengenai pencabutan atau pengembalian dana
hibah dengan ketentuan yang berbeda.
Dalam KUH Perdata Pasal 1688 disebutkan bahwasanya “Suatu
penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan,
kecuali jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh penerima
hibah, jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut
dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah
atau jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk
memberikan nafkah kepadanya.”
Berbeda dengan ketentuan hukum yang ada dalam Fatwa No. 81 tahun
2011 mengenai pengembalian dana tabarru’ bagi peserta Asuransi yang
berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, yang mana peserta asuransi
syariah secara individual tidak boleh meminta kembali dana tabarru’ yang
sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi sebagai wakil dari peserta
asuransi secara kolektif, dan perusahaan asuransi syariah pun dalam tidak
memiliki wewenang unutk mengembalikan dana tabarru’ tersebut.
Namun, peserta asuransi syariah secara kolektif sebagai penerima dana
tabarru’, memiliki kewenangan untuk membuat aturan-aturan mengenai
penggunaan dana tabarru’, termasuk mengembalikan dana tabarru kepada
peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian
berakhir. Adapun wewenang tersebut dapat diserahkan perusahaan asuransi,
dengan catatan kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad
dilakukan dan perusahaan asuransi syariah harus membuat ketentuan-
ketentuan mengenai pengelolaan dana tabarru’, termasuk ketentuan mengenai
pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang
berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
Selain komparasi antara KUH Perdata dan Fatwa DSN, Mazhab para
ulama juga memiliki pendapatnya masing-masing mengenai pengambalian
4
hibah. Jumhur ulama mengatakan bahwa pemberi hibah tidak boleh
menarik/mencabut hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali pemberi hibah
itu adalah ayah dan penerima hibah adalah anaknya sendiri. 9
Adanya perbedaan antara kedua hukum tersebut menimbulkan pertanyaan
seperti, dari sisi apa saja KUH Perdata dan Fatwa DSN memiliki persamaan
dalam mengatur pengembalian hibah? Apa yang melatarbelakangi perbedaan
keduanya? Dan apa yang melatarbelakangi Fatwa DSN MUI sehingga
memungkinkan dana hibah dapat dikembalikan sedangkan dalam fiqih secara
tegas dikatakan tidak dapat ditarik kembali?
Menariknya tema ini untuk diteliti ialah karena dalam praktiknya, banyak
pemberi hibah yang menginginkan untuk menarik kembali hibahnya, berikut
juga pada peserta asuransi yang berhenti sebelum berakhirnya masa
perjanjian. Berdasarkan keterangan di atas, penulis memilih judul: “Tinjauan
Hukum Tentang Pengembalian Dana Tabarru’ Pada Peserta Asuransi Syariah
Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH
Perdata.”
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang timbul setelah pemaparan latar
belakang diatas adalah:
a. Bagaimana pengembalian atau penarikan kembali hibah dalam Fatwa
DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata?
b. Apa persamaan dari penghibahan antara Fatwa DSN-MUI No. 81
Tahun 2011 dengan Pasal 1688KUH Pedata?
c. Apa perbedaan dari penghibahan antara Fatwa DSN-MUI No. 81
Tahun 2011 dengan Pasal 1688KUH Pedata?
d. Apa saja ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata mengenai hibah
namun tidak diatur dalam Fatwa DSN-MUI?
9Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata”,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015), h. 3.
5
e. Apa saja ketentuan yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI mengenai
hibah tetapi tidak diatur dalam KUH Perdata?
f. Bagaimana perbandingan pengembalian dana tabarru’ dalam Fatwa
DSN-MUI dan KUH Perdata pada Asuransi Syariah?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis
hanya akan membahas tentang bagaimana pengembalian dana tabarru’
(Hibah) pada peserta asuransi syariah perspektif Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 81 Tahun 20111 dan Pasal 1688 KUHPerdata.
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan pengembalian atau penarikan kembali hibah
antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH
Perdata?
b. Apa implikasi hukum terhadap pengembalian dana tabarru’ (hibah)
dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH
Perdata?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui ketentuan pengembalian atau penarikan kembali hibah
antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH
Perdata.
b. Untuk mengetahui implikasi hukum pengembalian dana tabarru’ antara
Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata pada
Asuransi Syariah.
6
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis: dapat memberikan kontribusi sebuah keilmuan bagi
siapa saja khususnya bagi penulis dan pihak yang bersangkutan baik
dalam Hukum Positif maupun Hukum Islam mengenai hibah.
b. Secara Praktis: dapat dijadikan sebuah landasan hukum bagi siapa saja
apabila terjadi sebuah permasalahan yang terkait dengan pengembalian
atau penarikan kembali hibah.
D. Metode Penelitian
Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang
langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode yang digunakan pada
penelitian skripsi ini ialah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan yaitu
penelitian terhadap naskah dokumen yang ada dalam peraturan-peraturan
atau dokumen lainnya dalam hal ini literatur yang relevan.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah oleh penulis
berdasarkan sumber pokok atau data utama yang diperlukan yaitu Fatwa
DSN No.81/DSN-MUI/III/2011 tentang Pengembalian Dana Tabarru’
Bagi Peserta Asuransi Yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir
dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang mendukung data primer,
diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, seperti: jurnal, buku-buku
yang relevan, Kompilasi Hukum Islam, dan Literatur-literatur Hukum.
c. Data Tersier, yang merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, seperti:
kamus.
7
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data berupa teknik studi dokumentasi atau studi
dokumenter yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library
research), kemudian memilih dengan memprioritaskan sumber bacaan
yang memiliki nilai aktual dan kualitas, baik dari aspek isinya maupun
otoritas pengarangnya. Untuk itu digunakan data kepustakaan yang
berkaitan dengan masalah pengembalian hibah.
4. Metode analisis data
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan metode
komparatif deskriptif yakni analisis yang bersifat membandingkan dan
mengambarkan pengembalian dana tabarru’ dalam bentuk hibah antara
Fatwa DSN dengan KUH Perdata.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab memiliki
keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Gambaran yang lebih jelas
mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika berikut:
Bab I Pendahuluan: dipaparkan uraian mengenai Latar Belakang
Penelitian, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
Bab II Merupakan Kajian Pustaka,terdiri dari kajian teoritis dan review
(tinjauan ulang) hasil studi terdahulu yang berisikan uraian
mengenai teori-teori terkait dengan masalah pengembalian hibah.
Bab III Berisikan mengenai tinjauan hukum pengembalian hibah dalam
Pasal 1688 KUHPerdata dan Fatwa No. 81/DSN-MUI/III/2011
tentang Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi Yang
Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir.
Bab IV Berisikan hasil analisis perbandingan dan implikasi hukum tentang
pengembalian hibah atau dana tabarru’ dalam asuransi syariah
8
yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011, dan Pasal
1688 KUH Perdata.
Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Asuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang
artinya tolong menolong atau saling membantu atas dasar prinsip syariat
yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjamin
kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.10
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246,
asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan seseorang
penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapakan yang mungkin
akan dideritannya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.11
Menurut Muhaimin Iqbal, asuransi syariah adalah suatu pengaturan
pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong
secara mutual yang melibatkan peserta dan operator. 12
Para ahli fiqih terkini, seperti Wahbah Az-Zuhaili, mendefinsikan
asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat
tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar
sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka
ditimpa musibah. Hal ini menyiratkan adanya saling menanggung atau
saling menjamin satu sama lain jika diantara mereka ada yang tertimpa
musibah. Ini lebih tepat disebut sebagai prinsip takaful.
Takaful dapat diartikan sebagai saling menanggung atau saling
menjamin yang dilakukan masing-masing individu sehingga individu yang
10 Muhammad Maksum, “Pertumbuhan Asuransi di Dunia dan Indonesia” (Jurnal:
Iqtishad, Ekonomi Islam, Februari 2009), h. 73. 11 Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Ekonisia, 2002)
Edisi Ke-2. h. 112 12 Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah-Berkah Terakhir yang tak Terduga, (Yogyakarta:
Andi, 2016), h. 11.
10
satu menjadi penjamin/penanggung individu yang lain jika musibah datang
menimpa, dengan cara setiap individu memberikan sumbangan finansial
atau iuran kebijakan (tabarru’).13
Konsep takaful ini menjadi landasan pengertian asuransi syariah
menurut ketetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-
MUI/X/2001, yang merumuskan Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful,
Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong monolong diantara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.14
Asuransi dalam literatur keislaman lebih banyak bernuansa sosial
daripada bernuansa ekonomi atau profit oriented (keuntungan bisnis). Hal
ini dikarenakan oleh aspek tolong-menolong yang menjadi dasar utama
dalam menegakkan praktik asuransi dalam Islam.15
Oleh sebab itu, premi pada Asuransi Syariah adalah sejumlah dana
yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan
Tabarru’. Dana Tabungan adalah dana titipan dari peserta Asuransi
Syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-
mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun.
Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada
peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa
klaim niali tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan, Tabarru’
adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh
peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar
klaim atau manfaat asuransi (life maupun generalinsurance).16
13 Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), h.
19. 14 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah. 15 Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 55. 16Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 30.
11
Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan dapat penulis
simpulkan bahwa secara umum asuransi syariah merupakan usaha saling
melindungi, tolong menolong sesama peserta, yang prinsip oprasionalnya
didasarkan pada syariat Islam mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Landasan Hukum Asuransi Syariah
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi syari’ah
khususnya di Indonesia, berpedoman pada Kitab Suci Al-Qur’an dan
Hadits, serta fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan
tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini
teridentifikasi dengan munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara
nyata dalam al-Qur’an. Namun, al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat
yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar tolong-menolong, kerjasama,
atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian
(peril) di masa mendatang.17
Hakikat asuransi secara Islami adalah saling bertanggung jawab,
saling bekerja sama atau membantu dan saling melindungi penderitaan
satu sama lain. Oleh karena itu, berasuransi diperbolehkan secra syariat
karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang
berakibat keerataan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang
meringankan bencana mereka.18
Sebagaimana firman Allah SWT:
(2عدوان.ان الله شديد العقاب )المائدة:تعاونوا على الإثم والوتعاونوا على البر والتقو ول
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, danjangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah
17Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 105 18 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 141
12
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya” (Q.S Al-
Maidah: 2)
Ayat ini memuat perintah tolong menolong antara sesama manusia.
Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota
(nasabah) perusahaan asuransi unutk menyisikan dananya agar digunakan
sebaga dan sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabbaru’
pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu
peserta yang mengalami musibah.19
Rasullah SAW bersabda:
صلى الله عليه وسلم: من نفس عن مسلم كربة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الل
من كرب يوم القيامة,ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والخرة ]رواه مسلم[
“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda: Barang
siapa yang menghilangkan kesulitan seseorang mu’min, maka Allah SWT,
akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa yang
mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah
urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)20
Selain prinsip-prinsip umum al-Qur’an dan Hadits, untuk
pengaturan asuransi syariah saat merujuk kepada fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Fatwa DSN MUI ini memang
bukan merupakan produk hukum nasional karena tidak termasuk peraturan
perundang-undang di Indonesia. Walaupun sebenarnya bisa dimasukan
katagori dokrin dalam ilmu hukum. 21 Berikut ini merupakan beberapa
fatwa yang terkait dengan operasional asuransi syariah di Indonesia: Fatwa
No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah,
Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah Musytarakah
Pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, Fatwa No.
19Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan
Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 54 20Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, KitabBulughul Maram, No. Hadits 1493, h.598 21Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan
Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 58
13
53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabbaru’ pada Asuransi Syariah,
dan Fatwa No. 81/DSN-MUI/III/2011 Tentang Pengembalian Dana
Tabarru’ bagi Peserta Asuransi yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian
Berakhir.
Selain bersumber dari hukum Islam, operasional asuransi syariah
di Indonesia didasarkan pada hukum positif yang saat ini berlaku yaitu:
Kitab Undang-undang Hukum Pedata, ketentuan mengenai kegiatan
asuransi dalam KUH Perdata diatur dalam bab kelima belas tentang
Perjanjian Untung-untungan dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD).
Adapun asuransi syariah mendasarkan legalitasnya pada UU No.
40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Selain itu, Peraturan perundang-
undang yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi
syariah, ialah: 22
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat
dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa: “Setiap pihak dapat melakukan
usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah.....”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal
3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memeroleh izin usaha perusahaan
asuransi dan reasurasi dengan prinsip syariah.
Ketentuan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkait-an asuransi syariah
tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan
harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan reasuransi
dengan prinsip syariah.
22Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 142
14
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.
4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.23
Pada landasan ini, secara filosofis tersirat bahwa asuransi syari’ah
merupakan salah satu solusi bagi pihak-pihak yang hendak mengatasi
musibah atau bencana yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Dalam
teologi Islam yang masyhur bahwa musibah dan bencana yang menimpa
manusia itu merupakan qadha dan qadar Allah swt. Namun demikian,
bukan berarti bahwa keterlibatan dalam asuransi merupakan salah satu
upaya menolak qadha dan qadar Allah SWT, melainkan upaya untuk
meminimalisir risiko finansial yang memungkinkan akan diderita.
Hal ini berarti bahwa sekalipun Allah SWT telah menetapkan
qadha dan qadar manusia, tetapi manusia masih memiliki kesempatan
untuk merubah atau mengkondisikan hal tersebut. Dalam substansi ajaran
Islam itu ditemukan sebuah pernyataan bahwa manusia memiliki
kesempatan untuk berusaha dan Tuhan berwenang untuk menentukan;
oleh karena itulah, maka dalam Islam dikenal pranata tawakkal.24
Kedudukan hukum mengenai perasuransian sudah diatur pada UU
No. 40 Tahun 2014 dan mengenai prinsip syariahnya diatur pula pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 69/POJK.05/2016 tentang
penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian. 25 Adapun prinsip dasar tersebut, sebagaimana
tercantum padal pasal 53 POJK No. 69 /POJK.05/2016 ialah terpenuhinya
23Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan
dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 40. 24 Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 12. 25 Pasal 1 poin 19 POJK No. 69 /POJK.05/2016
15
prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan
(tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul) dan
tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti ketidakpastian atau
ketidakjelasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan
(zhulm), suap (risywah), maksiat, dan objek haram.
Selain itu terdapat pengaturan khusus mengenai dana tabarru’ pada
POJK nomor 72 tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
3. Operasional Asuransi Syariah
Pada dasarnya operasional asuransi syariah hampir sama dengan
perusahaan asurnasi pada umumnya. Walaupun demikian, tentu nilai-nilai
Islami melingkupi keseluruhan proses asuransi syariah mulai dari
pemasaran, penawaran, penyeleksian risiko, dan pembayaran klaim.
Tampak dalam asuransi syariah dilakukan modifikasi-modifikasi
operasional asuransi konvensional, baik dalam produk, sistem, maupun
budaya perusahaan. Dengan demikian, pemahaman syariah yang mumpuni,
kreativitas, dan inovasi sangat memungkinkan sebuah perusahaan asuransi
syariah dapat unggul dalam operasional sehingga memperkuat product
image maupun brand image perusahaan.26
a. Pemasaran dan Penawaran Asuransi Syariah
Menurut Denis W. Goodwin seperti dikutip M. Syakir Sula bahwa
sebagian dari proses pemasaran, perusahaan asuransi sebelum
menawarkan produk asuransi harus melakukan hal-hal berikut:
(1) Menganalisis pasar/harga yang diharapkan dan yang sedang
berlaku bagi penutupan asuransi kehilangkan pendapatan
seseorang. Langkah ini diambil untuk memastikan adanya
pembeli yang potensial agar dapat menentukan dan
menawarkan produknya.
26 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan
Syariah,(Bandung: Salamadani, 2009), h. 146.
16
(2) Menentukan macam apa produk asuransi disability income
jangka panjang atau pendek yang diingikan orang serta
keuntungan dan gambaran yang mereka butuhkan, sehingga
produk yang tepat dapat ditawarkan.
(3) Menetapkan harga bagi setiap penutupan yang dapat
diterima oleh pembeli yang potensial dan dapat mencukupi
klaim yang diharapkan dan biaya lainnya.
(4) Menetapkan sistem distribusi yang paling efisien.
(5) Meneliti kembali keterangan tentang peraturan asuransi
dalam penerapan hukum dimana produk itu akan
dipasarkan.
(6) Menentukan bahan-bahan promosi yang sebaiknya dipakai.
(7) Menetapkan apakah akunting, underwriting, pelayanan
pada pemegang polis, administrasi klaim serta sistem
informasi perusahaan tersebut cukup untuk memenuhi
permintaan yang akan dilaksanakan oleh sumber daya
manusia perusahaan tersebut bila produk yang baru
ditingkatkan dan dijual.
(8) Meneliti produk yang sama yang ditawarkan oleh pesaing.27
Dengan demikian pemasaran dan penawaran lebih dari sekedar
penjualan ataupun pengiklanan, melainkan suatu pemasaran tersebut
melibatkan keikutsertaan yang lebih dari seluruh bidang fungsional
lain dalam suatu perusahaan.
b. Underwriting Asuransi Syariah
Menurut Hasan Ali, Underwrirting disebut juga seleksi risiko,
adalah proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang
terdapat pada seorang calon tertanggung. Tugas itu merupakan sebuah
elemen yang esensial dalam operasi perusahaan asuransi, sebab
27Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 509.
17
maksud underwrirting adalah memaksimalkan laba melalui
penerimaan distribusi risiko yang diperkirakan akan mendatangkan
laba. Pertanggungjawaban yang utama dari underwrirting dalam
seleksi risiko tersebut adalah memastikan tidak ada risiko yang bisa
menyebabkan kesulitan besar bagi perusahaan di belakang hari.28
Abdullah Amrin menjelaskan bahwa prinsip underwrirting dalam
asuransi syariah sama dengan asuransi konvensional hanya saja pada
asuransi syariah dalam menseleksi risiko secara implisit tergabung dua
elemen yang penting, yaitu: Seleksi dan pengklasifikasian. Maksud
dari seleksi adalah proses dimana perusahaan mengevalusi permintaan
asuransi oleh calon peserta, untuk menentukan batas risiko yang
ditampilkan oleh calon. Sedangkan yang dimaksud dengan
pengklasifikasian ialah proses penetapan individu kepada grup
individu yang sekiranya mempunyai kemungkinan kerugian yang
sama.29
Dari kedua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penekanan
utama dari underwrirting ialah rasa keadilan baik bagi calon peserta
maupun perusahaan untuk meminimalisir risiko.
c. Klaim Asuransi Syariah
Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru
semua peserta. Perusahaan sebagai mudharib wajib menyelesaikan
proses klaim secara cepat, tepat, dan efisien sesuai amanah yang
diterimanya. 30
Suatu perusahaan asuransi bertanggung jawab untuk memenuhi
pembayaran uang sebagaimana yang dijanjikan oleh perusahaan dalam
polis asuransi. Untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan kepada
28Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 89. 29Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan
dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 172. 30Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi
Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 121.
18
para pemegang polis, ahli waris dan tertanggung, bidang klaim harus
dapat menyakinkan bahwa benefit dibayarkan segera dan kepada yang
berhak. Dalam penentuan apakah harus membayar atau menolak suatu
klaim, penilai mengikuti prosedur penyelesaian dengan empat langkah
pokok, yaitu: pemberitahuan kerugian, penyelidikan kerugian, bukti
kerugian, pembayaran atau menolak tuntutan itu.31
d. Investasi Asuransi Syariah
Dana yang berhasil dihimpun oleh perusahaan dari peserta
selanjutnya akan diinvestasikan sesuai dengan karakteristik jenis
dananya. Hal ini sesuai dengan fungsi perusahaan asuransi syariah
sebagai pengelolaan risiko dan administrator data kepesertaan. Selain
itu perusahaan asuransi syariah juga berfungsi sebagai pengelola dana
(fund manager) peserta.
Aktivitas investasi ini dilakukan dalam rangka mengupayakan dana
tabarru’ yang terkumpul cukup untuk memenuhi kewajiban kepada
para peserta, yaitu memberikan santunan apabila ada peserta yang
mengalami musibah sesuai dengan yang telah diakadkan.32
Profesor Ali Mustafa Ya’qub sebagaimana dikutip Muhammad
Syakir Sula menjelaskan bahwa salah satu bentuk pengelolaan dana
asuransi yang paling dominan adalah menginvestasikan dana yang
terkumpul dari premi. Pihak asuransi dapat menginvestasikan dana
tersebut dalam bentuk investasi apa saja selama investasi tersebut tidak
mengandung salah satu dari unsur syara. Upaya untuk mengabaikan
prinsip ini, akan mengakibatkan investasi tersebut diharamkan menurut
syariat Islam.33
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan
investasi asuransi syariah apabila diperuntukan dalam bentuk deposito,
31Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 47 32 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan
Syariah,(Bandung: Salamadani, 2009), h. 164. 33Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 378.
19
maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank tempat dana
tersebut didepositokan tidak beroperasi dengan sistem bunga,
melainkan sistem bagi hasil (mudharabah). Begitu juga apabila
dilakukan dalam bentuk penyertaan modal di sebuah perusahaan, maka
pihak asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak
memperjualbelikan produk-produk yang diharamkan.
e. Akuntansi Asuransi Syariah
Akuntansi syariah adalah akuntansi yang didasarkan atas kaidah
syariah.Dalam asuransi syariah terbentuk kerangka konseptual yang
mana konsep tersebut mendasari penyusunan dan penyajian laporan
keuangan bagi asuransi syariah. Apabila tidak diatur secara spesifik
dalam kerangka konseptual ini maka berlakulah kerangka dasar
asuransi umum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.34
Suatu transaksi dikatakan sesuai dengan prinsip syariah apabila
telah memenuhi syarat-syarat meliputi: transaksi tidak mengandung
unsur kedzaliman, bukan riba, tidak membahayakan pihak sendiri atau
pihak lain, tidak ada penipuan (gharar), tidak mengandung materi-
materi yang diharamkan, dan tidak mengandung unsur judi.35
Tujuan akuntansi keuangan syariah adalah menentukan hak dan
kewajiban pihak terkait, termasuk hak dan kewajiban yang berasal dari
transaksi yang belum selesai dan atau kegiatan ekonomi lain, sesuai
dengan prinsip syariah yang berlandaskan pada konsep kejujuran,
keadilan, kebajikan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai bisnis Islami.
Selain itu, bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang
bermanfaat bagi pemakai laporan untuk pengambilan keputusan dan
34 Abdul Ghani, Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti & Praktek,
(Jakarta: INSCO Consulting), h. 11 35Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan
Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 59
20
meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua
transaksi serta kegiatan usaha.36
f. Corporate Culture pada Perusahaan Asuransi Syariah
Dari sudut pandang fungsi, corporate culture mempuyai beberapa
fungsi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda (different).
Hal ini berarti bahwa corporate culture menciptakaan pembedaan yang
jelas antara satu organisasi dengan yang lainnya. Misalnya, antara
perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan asuransi dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah. Kedua, corporate culture
membawa suatu rasa identitas bagi para anggota organisasinya,
misalnya lebih merasa lebih Islami perilakunya. Ketiga, corporate
culture mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada suatu yang
lebih luas daripada kepentingan diri sendiri. Keempat, corporate
culture dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial, misalnya
merasa lebih selamat dan lebih percaya diri bekerja di lembaga
syariah.37
4. Akad-akad dalam Asuransi Syariah
Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung
sesuatu. Ikatan disini tidak dibedakan apakah berbentuk fisik atau kiasan.
Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan
qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah, di mana terjadi
konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan.38
Abdullah Amrin menjelaskan bahwa kata “akad” berasal dari lafal
Arab al’aqd yang mengandung arti perikatan atau perjanjian, dan
pemufakatan yang dikenal dengan sebutan al-ittikaq. Menurut terminilogi
36 Abdul Ghani, Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti & Praktek,
(Jakarta: INSCO Consulting), h. 14 37Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 583. 38 Kuat Iswanto, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), h. 64.
21
fikih, kata “akad” diartikan sebagai pertalian ijab, yaitu pernyataan
penerimaan ikatan yang sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh
pada suatu perikatan yang dilakukan pihak-pihak yang terkait dianggap
sah apabila sejalan dengan syariah, sedangkan maksud dari berpengaruh
pada suatu perikatan berarti terjadinya suatu perpindahan kepemilikan dari
suatu pihak kepada pihak yang lain. 39
Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan tertentu,
beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai Prinsip Syariah. 40 Dalam
asuransi syariah akad yang digunakan berupa akad tijarah dan atau akad
tabarru. Dimana akad tijarah merupakan semua bentuk akad yang
dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, mudharabah
musytarakah, dan wakalah. Sedangkan akad tabarru’ merupakan semua
bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong
tidak ditujukan untuk komersial.41
Berikut ini merupakan implementasi akad-akad yang digunakan dalam
asuransi syariah, yaitu akad tabarru’ yang berkaitan antara sesama peserta
asuransi, serta akad tijarah yaitu antara peserta dengan perusahaan, yang
berorientasi pada keuntungan komersial mengingat asuransi syariah juga
sebagai komponen bisnis dalam praktik ekonomi syariah.
a. Akad antara peserta
Secara sederhana, konsep tabarru’ dalam asuransi syariah dapat
dijelaskan bahwa dana tabarru’ yang merupakan dana untuk saling
menolong antara sesama nasabah, tidak boleh diubah menjadi dana
tijari. Misalnya, untuk biaya operasional perusahaan, atau bahkan
diklaim sebagai keuntungan perusahaan. Dana tabarru’ hanya boleh
digunakan untuk segala hal yang langsung berkaitan dengan
39Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi
Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 31. 40 Pasal 1 poin 30 POJK No. 69 tahun 2016. 41Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan
dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 106.
22
kepentingan nasabah, seperti klaim, cadangan tabarru’, dan reasuransi
syariah.
Dana tabarru’ adalah dana milik peserta yang dibayarkan oleh
nasabah melalui premi atau kontribusi. Dana ini khusus diperuntukan
bagi nasabah yang mendapatkan musibah sehingga disimpan dalam
akun secara khusus. Ketika diinvestasikan, hasil investasinya pun
masuk kembali ke dalam akan tabarru’. Kemudian, apabila terdapat
surplus tabarru’ (yaitu apabila total dana tabarru’ yang terkumpul
lebih besar dari total dana klaim dan biaya-biaya yang dibebankan atas
dana tersebut dalam satu periode tertentu), surplus dana tabarru’
tersebut dapat dibagikan dengan cara: sebagian dikembalikan kepada
nasabah, sebagian dicadangkan dalam cadangan tabarru’, dan sebagian
lainnya dialokasikan untuk perusahaan asuransi syariah. Pembagian
surplus tabarru’ seperti ini mengikuti Fatwa Dewan Syariah Nasional,
No.53/DSN-MUI/I0II/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi
Syariah dan Reasuransi Syariah. 42
Dalam Akad Tabarru’ harus dibentuk Dana Tabarru’ dari
kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal perjanjian asuransi
syariah atau perjanjian reasuransi syariah. 43
Kedudukan tabarru dalam takaful merupakan sebagian dari suatu
akad. Dalam akad takaful disepakati dan dimateraikan perjanjian
pembagian keuntungan berdasarkan al-mudharabah dan sekaligus
disepakati bahwa peserta akan setuju memberikan sebagian tertentu
dari sumbangan atau uang yang dibayarnya dimasukkan kedalam dana
keuangan kebajikan bersama yang ditujukan khusus untuk menolong
para peserta, dan bentuk akad perjanjian ini dibuat atas konsep tabarru.
Dengan demikian tabarru telah termasuk kedalam akad perjanjian
takaful yang dimateraikan dengan jelas. Dalam asuransi takaful
42 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,
(Bandung: Salamadani, 2009), h. 77-78. 43 Pasal 56 ayat (3) POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.
23
persetujuan peserta untuk tabarru digabungan dalam akad dan
dilafazkan pada saat peserta tersebut menyertai takaful.
Adapun pengelolaan dana preminya dapat dilihat pada gambar
berikut:44
Jadi, pada konsep asuransi takaful sebagaimana bagan diatas,
setiap pembayaran preminya sudah termasuk sejumlah dana tabarru’
yang sudah disepakati oleh para peserta untuk saling tolong menolong.
b. Akad antara peserta dengan perusahaan
Perlu ditegaskan kembali bahwa tidak ada hubungan saling
berasuransi antara peserta dan perusahaan asuransi syariah. Pesertalah
yang saling menjamin satu sama lain. Perusahaan asuransi dilibatkan
oleh peserta untuk mengelola skim takaful bagi pihak peserta. Adapun
akad yang digunakan ialah akad tijarah.
Akad Tijarah adalah Akad antara peserta secara kolektif atau
secara individu dan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dengan tujuan komersial.45
44Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 156. 45 Pasal 1 poin 32 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.
Keuntungan
Perusahaan
Biaya Operasional
Bagian
Perusahaan
Premi
Takaful
Surplus
Operasi
Total
Dana
Total
Dana
Beban
Asuransi
Hasil
Investasi Investasi
Hubungan
Mudharabah
Bagian
Peserta
Perusahaan
Peserta
24
Ada beberapa akad tijarah yang menghubungkan antara peserta
dengan perusahaan asuransi syariah, diantaranya: Akad Mudharabah,
Akad Mudharabah Musytarakah, dan Akad Wakalah.
1) Akad Mudharabah
Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan
kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib
(pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana Tabarru’
dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang
yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya telah disepakati sebelumnya.46
Pada akad mudharabah ini sebuah perusahaan asuransi
memiliki tugas untuk menginvestasikan premi-premi asuransi
yang telah diterimanya dengan tujuan mendapat keuntungan.
Tujuan tersebut tidak bertentangan selama dilaksanakan
melalui norma-norma tertentu.
Akad mudharabah mengandung unsur-unsur: perusahaan
asuransi menjadi mudharib (pengelola), para musta’minn
menjadi shahibul mal (penyandang dana), keuntungan dibagi
antara kedua pihak berdasarkan prosentase tertentu,
prosentasenya ditentukan sesaat sebelum awal tahun
keuangan.47
2) Akad Mudharabah Musytarakah
Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai
mudharib (pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana
46 Pasal 1 poin 34 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah. 47Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan
Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 98.
25
Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan
dengan kekayaan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil
(nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi
kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya.48
Mudharabah Musytarakah merupakan salah satu akad yang
dapat digunakan dalam asuransi syariah. Dewan Syariah
Nasional-MUI memfatwakan secara khusus penggunaan akad
ini dalam asuransi syariah, yaitu dalam Fatwa DSN-MUI No.
50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.
Mudharabah musytarakah adalah bentuk akad mudharabah
di mana pengelola (mudharib) menyertakan modalnya dalam
kerja sama investasi tersebut.49
Dalam asuransi syariah, umumnya akad mudharabah
musytarakah digunakan pada produk yang memiliki unsur
investasi, seperti pada produk dana pendidikan, dana wakaf,
dan dana haji. Bentuk sederhananya adalah nasabah berperan
sebagai shahibul maal (karena nasabah membayar premi dan
premi tersebut diinvestasikan dalam investasi-investasi syariah),
sedangkan perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai
mudharib. Pada saat bersamaan, perusahaan asuransi syariah
juga menyertakan dananya untuk diinvestasikan pada proyek
investasi tertentu bersamaan dengan dana nasabah.
Apabila proyek investasi ini mendapatkan keuntungan,
pertama-tama dibagi terlebih dahulu hasil investasi tersebut
berdasarkan share dana yang diinvestasikan. Setelah itu dibagi
kembali nisbah keuntungan antara nasabah dan asuransi syariah,
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (contoh 70:30
48 Pasal 1 poin 35 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah. 49 Fatwa DSN-MUI No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.
26
untuk produk dana pendidikan. Nasabah mendapatkan 70%
dari hasil investasi, sedangkan asuransi syariah mendapatkan
30%).50
3) Akad Wakalah Bil Ujrah
Wakalah/wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Dengan demikian, wakalah adalah
pelimpahan, pendelegsian wewenang atau kuasa dari pihak
pertama kepada pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu atas
nama pihak pertama. Sistem pemasaran dengan menggunakan
agen merupakan salah satu penerapan dari sistem al-wakalah.51
Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai
wakil peserta untuk mengelola Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan,
dengan imbalan berupa ujrah (fee). 52
Sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 57 ayat (3)
POJK no 69 tahun 2016: “Dalam hal pengelolaan investasi
Dana Tabarru’, Dana Tanahud, atau Dana Investasi Peserta
didasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah
tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.”
Dengan demikian, akad wakalah bil ujrah pada lembaga
asuransi syariah merupakan salah satu bentuk akad ketika pihak
peserta asuransi memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi
dalam pengelolaan dana premi yang telah disetorkan oleh
mereka dengan pemberian upah.
50 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,
(Bandung: Salamadani, 2009), h. 85. 51Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi
Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 164. 52 Pasal 1 ponit 33 POJK no 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.
27
B. Hibah
1. Definisi Hibah
Kata hibah adalah bentuk mashdar dari kata wahaba digunakan dalam
Al-Qur’an beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.
Wahaba artinya memberi, dan jika subjeknya Allah berarti memberi
karunia, atau menganugrahi (QS Ali-Imran [3]:8, 38; Maryam [19]:5,
49,50,53).53
Menurut pasal 1666 KUH Perdata, penghibahan (Bahasa Belanda
schenking, bahasa Inggris: donation) adalah suatu perjanjian dengan mana
penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat
ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan penerima
hibah yang menerima penyerahan itu.54
Hibah dalam hukum adat dikenal dengan “beri-memberi” yang
memiliki makna memberi orang lain barang-barang untuk menunjukan
belas kasih, harga menghargai, tanda ingat, tanda hormat, tanda terima
kasih, tanda akrab, tanda prihatin dan sebagainya.55
Dalam pengetian lain, hibah merupakan pemberian pemilikan sesuatu
benda melalui transaksi (‘aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah
diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan
kompilasi, hibah adalah pemberi suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.56
Mencermati pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hibah
merupakan suatu pemberian dilakukan oleh seseorang yang masih hidup,
secara cuma-cuma tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dan hibah
juga dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Hibah demikian
dapat diperhitungkan sebagai warisan.
53 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 44. 54 Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2008), h. 436. 55 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011) h. 60. 56 Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam.
28
2. Dasar Hukum Hibah
Dalam Al-Qur’an, kata hibah digunakan dalam konteks pemberian
anugerah Allah kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh
hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang
Maha memberi karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah
seperti yang dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit, sejauh upaya
penulis, tidak ditemukan. Namun dapat digunakan petunjuk dan anjuran
secara umum agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada
orang lain.57 Misalnya Q.S Al-Baqarah [2]:262:
يتبعون ما أنفقوامناولأذى لهم أجرهم عند رب هم ولخوف الذين ينفقون أمولهم فى سبيل الله ثم ل
عليهم وليحزنون
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak menghargai apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS
Al-Baqarah [2]: 262)
Firman Allah SWT :
وأنفقوا رتنى إلى أجل قريب فأ لولأخ ن قبل أن يأتىأحدكم آلموت فيقولرب ا رزقنكم م دق من م ص
لحين ن آلص وأكن م
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepda salah seorang di antara
kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku mengapa engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku
dapatbersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Al-
Munafiqun[63]:10)
57 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 45
29
Ada banyak sekali di dalam Al-Qur’an yang menggunakan istilah
dengan konotasi penganjuran agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu
mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang lain. Mulai dari kata nafkah,
zakat, hibah, sadaqah, wakaf, hingga wasiat. Walaupun istilah-istilah
tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan
yang sama yaitu bahwa manusia diperintahkan untuk mengeluarkan
sebagian hartanya.
3. Rukun dan Syarat Hibah
Ibu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa rukun
hibah ada tiga, yaitu:
1. Orang yang menghibahkan (al-wahib).
2. Orang yang menerima hibah (al-mauhub lahu).
3. Pemberiannya (al-hibah).58
Orang yang menghibahkan haruslah pemilik sah dari harta benda
yang dihibahkan, sedang dalam keadaan sehat, dan memilki kebebasan
untuk menghibahkan bendanya itu. Sedangkan orang yang menerima
hibah, pada dasarnya setiap orang yang memiliki kecakapan
melakukan perbuatan hukum dapat menerima hibah. Anak-anak atau
mereka yang berada di bawah pengampuan (kuratele) juga dapat
menerima hibah melalui kuasa (wali)-nya.
Adapun syarat-syarat hibah, selain mengikuti rukun-rukun hibah,
para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaan (al-qabdl).
Menurut Al-Syafi’i dan Abu Hanifah, penerimaan merupakan syarat
sah hibah. Karena itu jika pemberian hibah tidak disertai pernyataan
menerima, maka tidak sah hibahnya itu. Ahmad ibn Hanbal dan ahli
Dhahir berpendapat, hibah sah hukumnya dengan akad dan
penerimaan tidak termasuk syarat.59
58 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, h. 247 59 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.
47-49.
30
4. Pengembalian Hibah
Hibah dalam sistem KUHPerdata diatur dalam Buku III Tentang
Perikatan, BAB X Tentang Hibah. Hibah dikenal dengan pemberian
(schenking). Pemberian dalam Pasal 1666 BW diartikan sebagai suatu
perjanjian dengan mana si penghibahan, di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu.
Sebagai suatu perjanjian, pemberian (schenking) itu seketika
mengikat dan tidak dapat dicabut kembali begitu saja menurut
kehendak satu pihak. Agar dapat dikatakan sebagai suatu pemberian
perbuatan tersebut harus bertujuan memberikan suatu hadiah belaka
(liberaliteit).60
Definisi pemberian tanpa syarat atau dengan cuma-cuma (omniet)
sebagai persetujuan yang salah satu pihak mendapatkan keuntungan
dengan pihak lain dengan tanpa syarat tidak lantas berarti tidak boleh
ada kontraprestasi. Menurut undang-undang, suatu pemberian boleh
disertai dengan suatu beban (last), yaitu suatu kewajiban dari yang
menerima pemberian untuk menerima sesuatu. Namun jika prestasi
yang harus dilakukan oleh si penerima melampaui harga barang yang
diterimanya, maka tidak dapat dikatakan sebagai suatu pemberian lagi.
Hibah dalam BW diatur antara lain sebagai berikut:
a. Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada
(pasal 1667);
b. Penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa
untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda
yang telah dihibahkan (pasal 1668);
60Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011) h. 66-67.
31
c. Penghibah diperbolehkan untuk memperjanjikan bahwaia tetap
memiliki kenikmatan atau nikmat hasil dari benda-benda yang
telah dihibahkan (pasal 1669);
d. Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si
penerima hibah akan melunasi utang-utang atau benda-benda lain,
baru akan diserahkan kepada orang-orang yang diberi bagian,
apabila si pemberi telah meninggal dunia. Jika demikian halnya
maka perbuatannya menjadi suatu hibah wasiat. Karena hibah
adalah pemberian yang dilakukan semasa si pemberi hidup
sedangkan wasiat adalah pemberin yang baru dapat dilakukan
setelah si pemberi meninggal.61
Hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan, kecuali
dalam dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh
penerima hibah;
2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau
ikut dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain
atas diri penghibah;
3. Jika penghibah jatuh msikin sedang yang diberi hibah menolak
untuk memberikan nafkah kepadanya.62
Sedangkan dalam hukum Islam kebolehan menarik kembali hibah
hanya berlaku bagi orang tua yang menghibahkan sesuatu kepada
anaknya. Kebolehan menarik kembali hibah dimaksudkan agar orang
tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya, memerhatikan
nilai-nilai keadilan. Rasullah SAW sangat tegas dalam memerintahkan
pemberi hibah untuk menarik kembali hibah, karena anak-anak yang
61 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011) h. 70-71. 62 Pasal 1688 KUHPerdata
32
lain tidak diberi hibah, sebagimana telah diberikan kepada anak yang
diberi.63
Riwayat dari Nu’man ibn Basyir mengatakan, dari Nu’man ibn
Basyir r.a, dia berkata: “Pada suatu hari bapakku membawaku
kehadapan Rasulullah saw, lalu kata bapak kepada beliau,
“sesungguhnya aku telah memberi anakku ini seorang hamba
kepunyaanku”. Rasulullah saw bertanya, “Apakah setiap anakmu
kamu beri seorang hamba seperti ini?” Jawab bapakku, “Tidak!”
Maka bersabda Rasullullah saw, “Kalau begitu, mintalah kembali!”.64
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penulis menyadari bahwa penelitian ini bukanlah hal baru yang muncul,
untuk itu agar dapat membedakan antara penelitian telah ada dengan
penelitian yang akan penulis teliti, maka penulis melakukan review terdahulu,
diantaranya ialah Skripsi yang disusun Muhammad Munir dengan judul:
“Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi’i tentang Hukum Pencabutan
Kembali Hibah”. Pada intinya penulis skripsi ini menyatakan bahwa menurut
Imam Syafi’i, hibah tidak boleh dicabut kembali manakala si Penghibah
memberi hibah dengan maksud untuk memperkuat silaturahmi atau sebagai
sedekah sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Sehingga si penghibah dengan
maksud mendapatkan imbalan maka hibah boleh dicabut kembali karena
hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak
milik.65
Dalam penulisan skripsi tersebut penulisan hanya berbatas pada pendapat
Imam Syafi’i saja. Berbeda dengan apa yang penulis analisis yaitu
mengkomparasikan antara Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 81 Tahun 2011
dengan apa yang dijelaskan dalam pasal 1688 KUH Perdata.
63Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 52. 64Shahih Muslim, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984. Cet.1,
Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1598 h.199. 65 Muhammad Munir, “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang hukum Pencabutan
Kembali Hibah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2006), h. 6.
33
Pada penelitian “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal
1688 KUH Perdata” yang dibuat oleh Masitah Fakultas Syariah IAIN
Zawuyah Cot Kala Langsa. 66 Dalam penelitian ini lebih menitikberatkan
tentang bagaimana aturan dari KUH Perdata dan hukum Islam yang mengatur
mengenai penarikan hibah sedangkan dalam penelitian yang penulis lakukan
lebih kepada perbandingan antara Fatwa DSN-MUI dengan KUH Perdata.
Dan dalam “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212
KHI dan Pasal 1688 KUH Perdata” yang ditulis oleh Umi Nur Kholidah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Pada penelitiannya dijelaskan
bahwa penarikan hibah dalam ketentuan pasal 1688, yang mana menurut pasal
ini kemungkinan untuk mencabut atau menarik kembali atas sesuatu hibah
yang diberikan kepada oranglain ada, sedangkan dalam Pasal 212 Kompilasi
Hukum Islam dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat
ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 212 KHI
sejalan dan sesuai dengan pandangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa
hibah tidak dapat ditarik kembali, dan hal ini berbeda dengan pandangan KUH
Perdata yang dalam pasal 1688 KUH Perdata bahwa hibah dapat dicabut
kembali kecuali jika karena terjadi tiga hal sebagaimana telah disebut
sebelumnya. Tentang hukumnya, bahwa kebolehan penarikan kembali hibah
dalam Pasal 1688 KUH Perdata, yaitu (a) Karena syarat-syarat resmi untuk
penghibahan tidak dipenuhi. (b). Jika orang yang diberi hibah telah bersalah
melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan membunuh
atau kejahatan lain terhadap penghibah. (c). Apabila penerima hibah menolak
memberi nafkah atau tunjangan kepada penghibah, setelah penghibah jatuh
miskin. Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala
macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada
66 Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata”,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015), h. 6.
34
penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas
barang tersebut.67
Perbedaannya dengan penulis ialah terkait komparasi KUH Perdata
dengan Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 yang mengatur tentang
penarikan atau pengembalian kembali hibah.
67 Umi Nur Khalidah, “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212 KHI
dan Pasal 1688 KUH Perdata”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, 2006),
h. 5.
35
BAB III
DATA PENELITIAN
A. Pencabutan dan Pembatalan Hibah dalam KUH Perdata
Pada Bab X Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat 28 pasal
yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai hibah, termasuk
bagaimana pencabutan dan pembatalan hibah.
Hibah dalam hukum perdata sebagaimana disebutkan pada Pasal 1666
KUH Perdata, ialah: “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa
dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima
penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-
penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”68
Pasal tersebut menjelaskan bahwa hibah adalah suatu pemberian yang
diberikan kepada penerimanya secara sukarela, tidak ada paksaan, tidak
ada tuntutan dari pihak manapun dan tidak mengharap timbal balik pada si
penerima hibah.
Dalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa orang yang telah
memberikan hibahnya kepada orang lain tidak dapat menariknya kembali.
Artinya, setelah hibah tersebut diserahkan dan telah diterima oleh si
penerima hibah, ia berhak mempergunakannya untuk kepentingan dirinya
sendiri. Selain itu, hibah hanya berlaku bagi orang-orang yang masih
hidup.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur
hibah, yaitu sebagai berikut:
1. Hibah adalah pernyataan serah terima barang hibah dari pemberi
kepada penerima tanpa adanya imbalan;
68 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, h.
436
36
2. Dalam hibah harus menguntungkan si penerima hibah, bukan
sebaliknya;
3. Yang dapat dijadikan sebagai barang hibah adalah setiap harta benda
yang dimiliki si penghibah;
4. Barang yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali oleh si
penghibah;
5. Penghibahan harus dilakukan pada saat penghibahan masih hidup;
6. Pelaksanaan dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia;
7. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.69
Berkenaan dengan sejarah hibah atau penghibahan dalam Hukum
Perdata Indonesia, telah dirumuskan dalam beberapa pasal yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diantaranya sebagai berikut:
Dalam Pasal 1667 disebutkan bahwa: “Penghibahan hanya boleh
dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan
itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka
penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.”70
Penjelasan dari pasal tersebut, bahwa segala macam bentuk yang akan
dihibahkan merupakan barang yang sudah ada wujudnya. Apabila barang
tersebut tidak ada atau baru akan diadakan maka penghibahan dikatakan
batal.
Ketentuan lainnya juga disebutkan dalam KUH Perdata pasal 1668
yang berbunyi: “Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap
berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan
itu, penghibahan demikian sekedar mengenai barang itu dipandang sebagai
tidak sah.”
69 Elfrida R. Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literara, 2010), h. 106. 70 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, h.
436
37
Penjelasan pasal di atas dapat dipahami bahwa orang yang telah
menghibahkan harta bendanya sama dengan menyerahkan kuasa dan hak
miliknya pada penerima hibah sehingga si penghibah tidak dapat menjual
ataupun memberikannya kembali pada orang lain. Apabila si penghibah
membuat perjanjian semacam itu maka penghibahannya tidak sah.
Lain halnya jika si penghibah menjanjikan bahwa ia tetap memiliki
hak untuk menikmati atau memungut hasil barang baik bergerak maupun
tidak bergerak atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain. Hal
seperti itu diperbolehkan, karena sebagaimana diatur dalam pasal 1669
KUH Perdata yang berbunyi:“Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia
tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang
tak bergerak, yang dihibahkan atau menggunakan hak itu untuk keperluan
orang lain, dalam hal demikian harus diperhatikan ketentuan-ketentuan
Bab X Buku Kedua Kitab Undang-undang ini”71
Adapun ketentuan-ketentuan pada Bab X Buku Kedua Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang dimaksud adalah mengenai Hak Pakai Hasil.
Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan mengenai tanah telah diatur
dengan Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), sedangkan
mengenai barang bergerak tetap berlaku.72
Berdasarkan penjelasan beberapa pasal KUH Perdata di atas, dapat
penulis simpulkan bahwa hibah hanya boleh dilakukan dengan barang
yang sudah ada, penghibah tidak boleh mengusai atau menyatakan janji
untuk dapat menguasai kembali barang yang telah dihibahkan kecuali
mengenai hak pakai hasil dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan, kecuali dalam
dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh penerima
hibah;
71Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.
436 72Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), h.
365
38
2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut
dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri
penghibah;
3. Jika penghibah jatuh msikin sedang yang diberi hibah menolak untuk
memberikan nafkah kepadanya.73
Tuntutan hukum mengenai hal ini akan gugur dengan lewatnya satu
tahun, terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan
tuntutan itu dan dapat diketahui hal itu oleh penghibah.74
B. Penarikan Hibah dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011
Untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan LKS/LBS
mengenai persoalan tersebut, DSN-MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang pengembalian kontribusi tabarru’ bagi peserta asuransi yang
berhenti sebelum masa perjanjian berakhir untuk dijadikan pedoman oleh
pihak-pihak yang memerlukannya.
Pada ketentuan Fatwa DSN-MUINo.81 Tahun 2011 dijelaskan bahwa
yang dimaksud pengembalian dana tabarru’ disini ialah pengembalian
sebagian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu
karenaberhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
Adapun ketentuan hukum pengembalian dana tabarru’ bagi peserta
asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir ialah, sebagai
berikut: Peserta asuransi syariah secara individual tidak boleh meminta
kembali dana tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi
sebagai wakil dari peserta asuransi secara kolektif, dan perusahaan
asuransi syariah pun dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk
mengembalikan dana tabarru’ tesebut.
Namun, peserta asuransi syariah secara kolektif (sebagai penerima
dana tabarru’) memiliki kewenangan untuk membuat aturan-aturan
mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pula didalam aturannya
73 Pasal 1688 KUHPerdata 74 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011) h. 77
39
mengatur perihal pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi
secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir. Adapun
wewenang tersebut juga dapat diserahkan perusahaan asuransi, dengan
catatan kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad
dilakukan danperusahaan asuransi syariah harus membuat ketentuan-
ketentuan mengenai pengelolaan dana tabarru’, termasuk ketentuan
mengenai pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara
individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
40
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PASAL 1688 KUH PERDATA
DAN FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011
A. Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun
2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata
1. Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011
Salah satu peraturan yang diaturdalam Undang-Undang tentang
Perasuransian dipaparkan bahwa prinsip syariah yang berlaku pada
asuransi syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan pada fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah,75 dalam hal ini yaitu Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Pada tahun 2006, MUI telah mengeluarkan fatwa yang memuat
ketentuan tentang akad tabbaru’, yaitu tertuang dalam Fatwa DSN
MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabbaru’ Pada Asuransi
Syariah. Fatwa tersebut dibuat untuk melengkapi dan memperinci
mengenai ketentuan akad tabarru’ dikarenakan pada Fatwa DSN MUI
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang dinilai sifatnya masih sangat umum.
Mengenai pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan
baik dalam industri asuransi kerugian maupun asuransi jiwa bagi
peserta yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, namun
terhadap praktik tersebut timbul masalah tentang hukum pengembalian
tabarru' peserta asuransi syariah yang sudah dihibahkan. Untuk itu
ditetapkanlah sebuah fatwa yang mengatur tentang pengembalian dana
tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa
perjanjiannya berakhir yaitu fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011.
75Pasal 1 Angka 3Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
41
Pada ketentuan umum, dijelaskan bahwa yang dimaksud dana
tabarru’ tersebut merupakan iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan
asuransi yang diberikan secara individu kepada peserta secara kolektif.
Dalam hal ini, terdapat surat permintaan yang merupakan bagian dari
polis asuransi. Pada surat permintaan tersebut menyebutkan bahwa
sebelumnya calon pemegang polis menyatakan menyutujui untuk
menghibahkan sejumlah iuaran/hibah dengan tujuan saling tolong
menolong apabila salah satu dari mereka mengalami musibah.
Pada ketentuan hukumnya, peserta asuransi tidak boleh meminta
kembali dana tabarru’ dalam bentuk hibah tersebut kepada perusahaan
asuransi, yang berperan sebagai wakil dari peserta secara kolektif.
Dana tabbaru’ dalam asuransi syariah dapat dikembalikan apabila
dilakuan secara kolektif, hal ini merupakan salah satu hak dan
wewenang peserta secara bersama-sama yaitu membuat peraturan
mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pengajuan
pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu
yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, sebagaimana yang
telah disebutkan pada ketentuan kedua point 3 Fatwa DSN MUI
No.81/DSN-MUI/III/2011.
Dengan demikian dapat disimpulkan, perusahaan asuransi syariah
sebagai pengelola dana tabarru’ tidak memiliki wewenang untuk
mengembalikan dana tabarru’ tersebut apabila pengajuannya dilakukan
oleh peserta secara individu. Perusahaan asuransi syariah akan
mengembalikan iuran/hibah tersebut jika permintaannya dilakukan
secara kolektif, artinya semua peserta dalam hal ini sepakat, namun
dalam pengembaliannya tidak secara utuh sesuai yang telah mereka
bayar sejak awal melainkan sebagiannya yaitu setelah dikurangi
dengan biaya administrasi, penerbitan polis, dan biaya lainnya yang
telah dikeluarkan.
Salah satu akad yang digunakan antar peserta dan perusahaan
asuransi Syariah ialah akad wakalah. Akad wakalahpada lembaga
42
asuransi syariah adalah salah satu bentuk akad ketika pihak peserta
asuransi memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dalam
pengelolaan dana premi yang telah disetorkan oleh mereka dengan
pemberian ujrah (fee). Prinsip yang dianut dalam asuransi syariah
adalah prinsip risk sharing, jadi risiko bukan dipindahkan dari
nasabah/peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer), namun
dibagi atau dipikul bersama di antara para peserta.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peserta
asuransi secara bersama-sama memiliki wewenang membuat aturan-
aturan mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pengajuan
pengembalian dana tabarru’. Dalam ketentuan kedua poin 4 Fatwa
DSN-MUI No.81 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam hal ini peserta
memberikan kewenangan tersebut kepada pengelola (perusahaan
asuransi), dan kewenangan tersebut harus dilakukan secara jelas
semenjak awal akad tersebut berlangsung.
Dengan demikian, akad wakalah bil ujrah merupakan suatu akad di
mana pihak peserta mengikatkan diri dengan perusahaan asuransi
untuk mewakili para peserta dalam semua hal yang berhubungan
dengan pengelolaan dana premi tabarru’. Dikarenakan perusahaan
asuransi merupakan suatu lembaga yang berorientasi bisnis, maka
apabila perusahaan asuransi berperan sebagai wakil dari para peserta,
pihak perusahaan akan meminta sejumlah upah (ujrah) atas wewenang
atau tugas yang diserahkan kepadanya.
Berdasarkan hal tersebut, akad yang digunakan bukanlah
wakalahmurni yang bersifat tabarru’, melainkan wakalah bil ujrah.
Dasar hukum asuransi syariah dengan akad wakalah bil ujrah adalah
fatwa Dewan Syariah Nasional No.52/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Wakalah bil ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Salah
satu hadits pada bagian landasan hukum fatwa tersebut yang dijadikan
dasar pembolehan akad wakalah bil ujrah adalah:“Ali bin Abdullah
menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syabib
43
bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya mendengar
penduduk bercerita tentangUrwah, bahwa Nabi saw memberikan uang
satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau,
kemudian dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, lalu ia
jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang dengan membawa
satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi SAW mendoakannya dengan
keberkahan pada jual belinya. Seandainya‟Urwah membeli tanah pun
ia pasti mendapat untung.” (H.R. Bukhari)
Menurut fatwa tersebut, pengaplikasian yang efektif dan dapat
diaplikasikan antar perusahaan dan peserta asuransi ialah akad
wakalah bil ujrah. Akad tersebut dalam asuransi syariah dimaknai
sebagai pemberian kuasa dari pihak peserta kepada perusahaan untuk
mengelola dana premi yang dikumpulkan dari para peserta dengan
imbalan berupa pemberian ujrah (fee).76
2. Pasal 1688 KUH Perdata
Dalam KUH Perdata Bab X tentang penghibahan didalamnya
berisikan mengenai pengertian dan ketentuan umum hibah,
kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah, cara
menghibahkan sesuatu, serta pencabutan dan pembatalan hibah.
Adapun syarat, ketentuan dan tata cara hibah berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ialah sebagai berikut:
1. Pemberi hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum,
kecuali dalam hak yang ditetapkan dalam Bab VII dari buku ke satu
KUH Perdata (Pasal 1667 KUH Perdata).
2. Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta Notaris yang aslinya
disimpan oleh Notaris (Pasal 1682 KUH Perdata).
76TazkiahAshfia, “Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada Asuransi
Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah”, Jurnal Hukum, 2015, h. 20
44
3. Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat
mulai dari penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima
oleh si penerima hibah (Pasal 1683 KUH Perdata).
4. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di
bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang
melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 KUH Perdata).
5. Hibah hanya sah jika barang yang dihibahkan merupakan barang
yang sudah ada.
6. Hibah harus dilakukan melalui akta notaris.
7. Hibah dinyatakan dengan kata-kata yang tegas atau dengan akta
otentik.
Adapun yang maksud dengan ketentuan ke lima diatas merupakan
sebab batalnya hibah yaitu apabila barang yang dihibahkan merupakan
sesuatu yang baru akan ada di kemudian hari. Contohnya seperti
menghibahkan beras yang masih diladang padi, buah-buahan yang
masih belum panen dikebun, anak sapi yang masih dalam kandungan.
Suatu penghibahan dalam pasal 1666 KUH Perdata, sebagaimana
halnya dengan suatu perjanjian pada umumnya, tidak dapat ditarik
kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan. Penarikan
kembali suatu hibah hanya dimungkinkan jika terdapat suatu
persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini berdasarkan pada pasal
1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu Perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undangdinyatakan cukup
untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”77
Meskipun demikian, Undang-undang memberikan kemungkinan
bagi penghibah dalam hal-hal tertentu dapat menarik kembali atau
77Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.
342
45
menghapuskan hibah yang telah diberikan kepada seorang.
Kemungkinan itu diberikan oleh pasal 1688 dan berupa tiga hal:
Pertama, Jika syarat-syarat penghibahan tidak dipenuhi oleh
penerima hibah. Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa ada
syarat dalam penghibahanyang tidak terpenuhi oleh penerima hibah,
misalnya bahwa si penerima hibah merupakan orang yang tidak cakap
hukum untuk dapat menerima suatu penghibahan. Dengan begitu,
barang yang dihibahkan boleh diminta kembali, dan harus bersih dari
segala beban-beban yang ada pada barang tersebut sebelum barang
tersebut dikembalikan pada si penghibah.
Kedua, Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau ikut
membantu melakukan suatu usaha pembunuhan atau kejahatan lainnya
terhadap penghibah. Maksudnya, apabila penerima hibah terbukti
bersalah hendak melakukan pembunuhan kepada penghibah, atau
tindak pidana lainnya. Sekalipun hanya memberikan bantuan yang
mengancam jiwa si penghibah. Maka, dalam hal demikian
penghibahannya dapat dicabut kembali.
Ketiga, Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada
penghibah, saat si penghibah jatuh miskin. Memberi nafkah yang
dimaksud bukanlah pemberiannya sifatnya beban tanggungan secara
terus menerus, hanya saja sebagai bentuk bantuan dan balas budi atau
rasa terima kasih pada penghibah. Pada ketentuan ini, penerima hibah
memiliki hak untuk menarik hibahnya kembali jika penerima hibah
enggan untuk memberi nafkah pada saat pemberi hibah sedang
mengalami penurunan dalam perekonomiannya.
Penarikan kembali atau penghapusan penghibahan dilakukan
dengan menyatakan kehendaknya kepada penerima hibah disertai
penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan dan apabila
itu tidak dipenuhi secara sukarela, maka penuntutan kembali objek
hibah tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan.
46
Dengan demikian, berdasarkan pasal 1691 penerima hibah
diwajibkan mengembalikan barang yang dihibahkan itu dengan hasil-
hasilnya terhitung mulai hari diajukannya gugatan, atau jika barang
sudah dijualnya, dapat mengembalikan harganya pada waktu
dimasukkannya gugatan, juga disertai hasil-hasil sejak hibah tersebut
diberikan. Tuntutan hukum tersebut, gugur dengan lewatnya waktu
satu tahun, terhitung mulai hari terjadinya peristiwa-peristiwa yang
menjadi alasan tuntutan.
Pada pasal 1692 dijelaskan bahwa tuntutan hukum tersebut tidak
dapat diajukan oleh penghibah terhadap para ahli warisnya penerima
hibah, atau oleh para ahli warisnya penghibah terhadap penerima hibah,
kecualidalam hal yang terakhir, jika tuntutan itu sudah diajukan oleh
penghibah ataupun jika orang ini telah meninggal di dalam waktu satu
tahun setelah terjadinya peristiwa yang dituduhkan.
Dalam ketentuan ini terkandung maksud bahwa apabila penghibah
sudah mengetahui adanya peristiwa yang merupakan alasan untuk
menarik kembali atau menghapuskan hibahnya, namun ia tidak
melakukan tuntutan hukum dalam waktu yang cukup lama itu, maka si
pemberi hibah dianggap telah mengampuni penerima hibah.
3. Perbandingan Hibah Dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI Dan
KUH Perdata
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hibah yang telah dipaparkan
dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH
Pedata, adanya peluang penarikan kembali hibah menjadikan fungsi
hibah tidak jelas. Hal ini menjadi tidak adanya kepastian hukum.
Adanya pembolehan penarikan kembali hibah hanya akan
menunjukkan bahwa penerima hibah tidak mempunyai kekuasaan
penuh. Hak mutlak seakan masih digenggam oleh pemberi hibah.
Kekuasaan pemberi hibah tidak terbatas, sedangkan kekuasaan
penerima hibah sewaktu-waktu dapat dicabut.
47
Oleh karena itu dapat dipelajari lebih dalam mengenai landasan
hibah yang sudah diberikan dapat dikembalikan. Bagi Abdullah bin
Abdirahman hibah memiliki kategori tertentu. Menurutnya, secara
umum hibah dikategorikan kepada 2 macam, yakni:
1. Hibah Mutlak yang tidak menuntut kompensasi. Ia adalah hibah
yang diberikan secara sukarela karena semata-mata mengharapkan
ridho Allah dengan maksud untuk menumbuhkan sayang.
2. Hibah dengan Kompensai/bersyarat yang berhubungan dengan
keduniaan ia adalah hibah yang diberikan dengan harapan adanya
kompensasi dari penerima hibah. Dengan kata lain si pemberi hibah
memberikan syarat-syarat tertentu kepada penerima hibah
sehubungan dengan hibah yang akan diberikannya.78
Apabila dilihat pengaplikasiannya pada asuransi syariah, kontrak
atau akad yang digunakan dalam hal melibatkan hubungan antara para
pemegang polis/peserta satu sama lain ialah Akad Tabarru’. Secara
praktek pesertadalam akad tabarru’ mempunyai peran ganda, yaitu
peserta sebagai pemberi dana tabarru’ dan peserta sebagai pihak yang
berhak menerima dana tabarru’. Dengan adanya peran ganda tersebut,
peserta yang memberikan dana tabarru’ secara tidak langsung
mengharapkan adanya penggantian apabila suatu saatia mengalami
musibah karena dana tabarru’ yang diberikan merupakan hak peserta.
Dengan demikian, iuran dana/hibah yang ada dalam asuransi syariah
memiliki kompensasi antara para peserta itu sendiri.
Menurut Ahmad Sayuti, kedua macam kategori hibah tersebut tidak
ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehannya secara
syara’.
78Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, syarah Bulugul Maram, cet.1, Terj. Thahirin
Supara Cs. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 145
48
Sedangkan mengenai dasar hukum dibolehkannya hibah bersyarat
tidak ada pertentangan di kalangan para ulama, mayoritas ulama
membenarkan hibah tersebut.79
Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwathta’ membenarkan adanya
hibah bersyarat. Hal ini berdasarkan atas pendapat beliau, jika hibah
diberikan pada penerima hibah dengan tujuan mendapatkan balasan
maka penerima hibah harus memberikan balasan tersebut.80 Sedangkan
Imam Syafi’I berpendapat bahwa hibah bersyarat dibenarkan, karena si
pemberi hibah punya kebebasan untuk memilih atau menetukan sendiri
tentang hibahnyaapakah akan mendapat komponsasi atau tidak, sama
halnya dengan jual beli. Seseorang memiliki hak kebebasan untuk
menentukan menjual atau tidak barang yang dimilikinya.81
Hal ini berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW diantara ialah
diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a:
.ليه وسلم يقبل الهدية ويثيب عليهارضي الله عنها قالت : "كان رسول الله صلى الله ع عن عائشة
Dari ‘Aisyah radhiallahu‘anha, dia berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selalu menerima hadiah dan membalasnya” (H.R Al-
Bukhari)82
Hadis riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas
berkata:“Seorang laki-laki memberikan kepada Rasullah SAW seekor
unta betina, kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasullah SAW dan
bersabda: “Telah relakah engkau?,” Laki-laki itu menjawab: “belum”,
Rasullah SAW lalu menambahkan balasan dan bersabda : “Telah
relakah engkau?” Laki-laki itu menjawab: “belum”, Kemudian
79 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 53 80Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam Malik, Jilid 2, cet. I, terj. Muhammad Iqbal Qadir
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 183 81Imam Syafi’I, Ringkasan Kitab Al Umm, jilid 3-6, cet. Ke-3, terj. Muhammad Yasir
Abdul Muthalib (Jakarta: Pusataka Azzam, 2007), h.170 82 M. Nashiruddin Al-Bani, Ringkasan Shahih Bukhori II, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattar,
A. Ikhwani, Depok: Gema Insani, 2007. Nomor Hadits 1174, h.
49
ditambahkan lagi balasannya itu, lalu beliau bersabda: “Telah
relakah engkau?,” Laki-laki itu menjawab: “Ya, sudah.”.83
Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam peringkat hadis ini
sahih, karena dikuatkan juga oleh Al Hakim dan Al Haitsami. Al
Bassam juga berpendapat bahwa hibah dengan kompensasi dibenarkan
secara syara’. Dasarnya, di samping hadis di atas juga hadis Nabi yang
lain mengatakan:“Siapa yang memberikan kebaikan untuk kalian,
maka balaslah. Jika engkau tidak mampu membalasnya, doakanlah ia
sampai-sampai engkau yakin telah benar-benar membalasnya.” (HR.
Abu Daud no.1672 dan An-Nasa’i no.2568. Hadits ini dishahihkan
oleh Ibnu Hibban, Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi).
Oleh sebab itu apabila si pemberi hibah tersebut mengharapkan
suatu balasan tertentu agar dirinya ridho, hal ini tidak ada salahnya
memberikan balasan sesuai apa yang ia kehendaki. Al-Bassam
menegaskan bahwa “jika hibahnya dibalas dengan sesuatu yang tidak
disukainya maka ia dapat menarik kembali hibahnya.” 84
Hal ini selaras dengan poin 3 Pasal 1688 KUH Perdata manakala si
pemberi sedang mengalami penurunan perekonomiannya lalu ia jatuh
miskin. Namun, mengetahui hal tersebut si penerima hibah menolak
atau enggan memberi nafkah dalam arti bukan yang bersifat tanggung
beban secara terus menerus melainkan sekadar bentuk bantuan atau
bentuk rasa terima kasih, saling memberi dan saling membantu satu
sama lain antara makhluk sosial.
Berdasarkan hadis nabi dan beberapa pendapat ulama di atas dapat
disimpulkan bahwa, alasan utama bagi ulama untuk menetapkan
sahnya sebuah transaksi ialah asas keridaan. Apabila antara sesama
pihak saling meridoi, senang untuk saling membantu dan memberi, hal
demikian boleh dan tidak ada salahnya.
83 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 51-59 84Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulugul Maram, cet.1, Terj. Thahirin
Supara Cs. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 158
50
Hukum mencabut kembali hibah mutlak (yang tidak bersyarat),
mayoritas ulama berpendapat haram hukumnya menarik kembali hibah
tersebut, sekalipun terjadi antara saudara atau antara suami istri.
Kecuali, hibahnya orang tua kepada anaknya. Hal ini berdasarkan
Hadis Nabi SAW:
كمثل الكلب يقىء النبى صلى الله عليه وسلم قال مثل الذى يرجع فى صدقته عن ابن عبا س ان
ثم يعود فى قيئه فيأكله
Dari Ibnu’Abbas r.a, dia berkata bahwa Rasullah saw bersabda:
“Perumpamaan orang yang mengambil sedekah (pemeberian)nya
kembali, tak ubahnya seperti anjing muntah, kemudian dimakannya
kembali muntahnya itu.”85
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang hal ini, yakni Pasal
212 menegaskan: “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah
orang tua terhadap anaknya.”
Sedangkan hukum mencabut kembali hibah bersyarat,
sebagaimana mayoritas ulama membolehkan hibah bersyarat, maka
mayoritas ulama juga membolehkan mencabut kembali hibah bersyarat
apabila syarat yang dikehendaki oleh si penghibah tidak ditunaikan
oleh penerima hibah.
Menurut Al-Sayyid Sabiq, boleh menarik kembali suatu hibah jika
hibah yang berikan bertujuan untuk mendapatkan ganti atau balasan
dari yang diberi hibah, namun orang yang diberi hibah tidak juga
membalasnya.86
Imam Maliki dan Syafi’I juga berpendapat bahwa hibah bersyarat
dapat ditarik kembali. Bila si Wahib (pemberi hibah) tidak rela dengan
pemberiannya. Keduanya mendasarkan pendapatnya kepada pendapat
Umar bin Khaththab yang diriwayatkan dari Daud bin Al Husein dan
85Shahih Muslim, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984. Cet.1,
Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1597 h.199. 86Sulaiman Al-Faifi, Mukhtashar Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, terj. Abdul Majid Cs. (Solo:
PT Aqwam Media Profetika, 2010), h. 434
51
Abu Ghathafan bin Tharif Al-Murri, Umar berkata: “Barangsiapa telah
memberikan hibah untuk menyambung tali silaturrahmi, atau dengan
tujuan bersedekah, maka ia tidak berhak menariknya kembali. Dan
barangsiapa telah memberikan hibah dan merasa bahwa ia
melakukannya untuk memperoleh balasan, maka boleh menariknya
kembali jika ia tidak rida dengan hibah tersebut.”87
Menurut Mazhab Hanafi, makruh hukumnya menarik kembali
hibah yang diberikan, dan boleh menarik kembali hibah yang diberikan
terutama hibah yang menghendaki adanya kompensasi.88
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya mayoritas ulama
berpendapat apabila hibah yang tidak dapat ditarik kembali merupakan
hibah yang mutlak dalam arti benar-benar ingin memberi dan tidak
memiliki rasa pamrih. Sedangkan, apabila hibah yang dilakukan
merupakan kategorihibah bersyarat dalam Islam dibolehkan, apabila
syarat yang telah disepakati tidak ditunaikan penerima hibah.
4. Persamaan dan Perbedaan antara KUH Perdata, Fatwa DSN-MUI
dan Fiqih tentang Hibah
Berdasarkan pemaparan sebelumnya dijelaskan bahwa ketiga
hukum tersebut sama-sama membahas tentang konsep pengembalian
hibah baik secara umum maupun khusus. Pada Fatwa DSN-MUI dan
KUH Perdata memungkinan adanya penarikan hibah dengan
perbedaan hal yang mendasari pembolehan penarikan tersebut. Poin
yang dapat disimpulkan atas perbedaan tersebut ialah penarikan
kembali hibah pada KUH Perdata tidak diperbolehkan, kecuali ada 3
syarat ketentuan yang apabila terjadi dapat dicabut kembali sesuai
degan Pasal 1688 KUH Perdata. Penarikan kembali iuran tabarru’/
hibah dalam Fatwa DSN pada asuransi Syariah diperbolehkan, apabila
aturan dan ketentuan pengembaliannya sudah disepakati dan
87Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam Malik, Jilid 2, cet. I, terj. Muhammad Iqbal Qadir
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 182 88 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 51-59
52
dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan. Sedangkan dalam Fiqh,
apabila hibah yang dilakukan sejak awal merupakan hibah mutlak,
hukumnya haram. Jika hibah tersebut kompensasi/bersyarat tidak
diperdebatkan. Demikian dalam segi objek KUH Perdata dan Fiqh
cakupannya umum seperti barang baik bergerk maupun tidak bergerak.
Sedangkan dalam Fatwa bentuknya berupa objek khusus yaitu premi.
Adapun titik temu persamaan antara kedua hukum tersebut ialah
antara Fatwa DSN MUI dengan KUH Perdata tujuannya sama-sama
untuk menguntungkan pihak yang diberi, namun disisi lain juga
keduanya sama-sama menunjukkan bahwa pemberi hibah masih
mempunyai kekuasaan atas suatu yang dihibahkan tersebut. Hal ini
dikarenakan keduanya juga mengatur kemungkinan adanya
pengembalian hibah kembali atas apa yang telah diberikan.
Untuk lebih jelasnya mengenai persamaan dan perbedaan hibah
dalam KUH Perdata, Fiqih dan Fatwa DSN-MUI dapat dilihat melalui
table dibawah ini:
KUHPerdata Fiqih Fatwa DSN-MUI
Definisi Hibah dikenal dengan
pemberian (schenking).
Pemberian itu sendiri
diartikan dalam Pasal
1666 KUH Perdata
sebagai suatu perjanjian
yang mana penghibah
di waktu hidupnya,
dengan cuma-cuma
tanpa dapat ditarik
kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna
keperluan si penerima
hibah yang menerima
penyerahan itu.
Hibah
merupakan
bentuk
mashdar dari
kata wahaba.
Wahaba
artinya
memberi.
Hibah
merupakan
salah satu
instrument
yang
dibenarkan
oleh Islam
dalam hal
perpindahan
kepemilikan
harta.
Hibah yang dalam
hal ini diatur
dalam Fatwa
DSN-MUI No. 81
tahun 2011
dikenal sebagai
dana tabarru’
pada asuransi
syariah yaitu
iuran sejumlah
dana peserta yang
diberikan secara
individual kepada
peserta secara
kolektif.
53
Landasan
Hukum Hukum Positif Al-Qur’an &
As-Sunnah
Al-Qur’an&As-
Sunnah
Objek Benda Barang Premi
Pengembalian
Hibah Dapat dilakukan Tidak Dapat
dilakukan
Dapat dilakukan
Ketentuan
Pengembalian
Hibah
Jika syarat-syarat
penghibahan tidak
dipenuhi oleh
penerima hibah.
Jika si penerima
hibah telah bersalah
melakukan atau ikut
membantu
melakukan suatu
usaha pembunuhan
atau kejahatan
lainnya terhadap
penghibah.
Jika ia menolak
memberikan
tunjangan nafkah
kepada penghibah,
saat si penghibah
jatuh miskin
Jumhur
ulama
sepakat
bahwa hibah
yang sudah
diberikan
tidak dapat
dikembalikan
kecuali
hibahnya
orang tua
terhadap
anaknya.
Hibah yang
demkianlah
yang
dikategorikan
sebagai hibah
mutlak.
Apabila
hibah yang
diberikan
merupakan
hibah
bersyarat
maka dapat
dimungkinka
n untuk dapat
ditarik
kembali.
Dana tabbaru’
dalam asuransi
syariah dapat
dikembalikan
apabila
dilakuan secara
kolektif.
Pengembalian
Dana Tabarru’
yang dimaksud
ialah
pengembalian
sebagian dana
kepada peserta
asuransi yang
berhenti
sebelum masa
perjanjian
berakhir.
Ketentuan
umum
mengenai
Pengembalian
Dana Tabarru’
bagi Peserta
Asuransi yang
Berhenti
sebelum Masa
Perjanjian
Berakhir diatur
dalam diktum
kedua Fatwa
DSN MUI
No.81/DSN-
MUI/III/2011.
54
B. Implikasi Hukum Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-
MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata
Terjadinya pengembalian dana tabarru’/hibah oleh peserta asuransi
sebelum masa perjanjiannya berakhir, meskipun akad tabarru’ ini
merupakan akad penghubung antara sesama peserta, dalam hal demikian
perusahaan asuransi yang akan mengurus segala pengembalian dana
tabarru’ sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh para peserta
asuransi Syariah sejak awal perjajian dengan menggunakan akad wakalah
bil ujrah.
Dengan begitu perusahaan asuransi, wajib mengembalikan sebagian
dana tabbaru’ kepada peserta asuransi yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir. Disamping itu pula, perusahaan sebagai pengelola
dana dapat meminta atau menarik sejumlah ujroh. Dan peserta asuransi
Syariah yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir berhak menerima
sebagian dana tabarru’ sesuai dengan pembagian yang telah disepakati
sejak awal kontrak. Adapun pembagian sebagian dana tabarru’ ini
memiliki ketentuan yang berbeda-beda pada setiap perusahaan asuransi
tergantung pembagian pembiayaan operasional.
Sedangkan, akibat hukum terjadinya penarikan atau penghapusan
hibah pada KUH Perdata, apabila akibat pembatalan hibah tersebut
dikarenakan si penerima hibah tidak memenuhi syarat yang ditentukan
dalam perjanjian hibah, maka barang yang dihibahkan harus dikembalikan,
pengembalian barang tersebut harus bebas dari segala beban yang telah
diletakkan penerima hibah atas barang tersebut dan penerima hibah wajib
menyerahkan kepada pemberi hibah semua hasil yang diperoleh dari
barang yang dihibahkan itu, sejak penerima hibah lalai memenuhi
persyaratan yang ditentukan.
Apabila akibat pembatalan yang didasarkan atas kesalahan kejahatan
atau pelanggaran atau oleh karena tidak memberi nafkah kepada pemberi
hibah (Pasal 1688 poin 2 dan 3) maka barang yang dihibahkan harus
dikembalikan kepada pemberi hibah, penerima hibah wajib menyerahkan
55
kepada pemberi hibah semua hasil yang diperoleh dari barang yang
dihibahkan itu, sejak gugatan diajukan ke Pengadilan, Beban yang telah
terletak pada barang itu sebelum gugatan diajukan, tetap melekat pada
barang tersebut. Sedangkan beban-beban yang diletakkan sesudah gugatan
pembatalan didaftarkan di Pengadilan adalah batal. Dalam hal ini untuk
menghindari pembebasan yang tidak diinginkan, pemberi hibah dapat
mendaftarkan gugatannya dikantor pendaftaran tanah yang tersebar
diberbagai macam daerah, jika barang hibah itu adalah barang yang tidak
bergerak. Tuntutan pembatalan hibah karena sebab ini, hanya dapat
diajukan maksimal 1 tahun setelah penerima hibah melakukan kesalahan
yang menjadi alasan pembatalan.
Kedudukan asuransi Syariah berdasarkan berbagai macam pengaturan
yang ada diantaranya ialah Undang-Undang nomor 40 tahun 2014 tentang
Perasuransian dan mengenai dana tabarru’ pada asuransi Syariah terdapat
pengaturan khususnya pada POJK no. 72 tahun 2016 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip
Syariah, terdapat beberapa ketentuan mengenai dana tabarru’ yang
merupakan kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang
polis atau peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan
perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.89
Pengembalian dana tabarru’ dapat dilakukan sebagai akibat dari
beberapa faktor yaitu pembatalan polis dalam tenggang waktu yang
diperkenankan (freelook period), penghentian polis oleh pemegang polis
atau peserta sebelum masa asuransi berakhir, penghentian polis oleh
Perusahaan sebelum masa asuransi berakhir dan/atau pembayaran
kontribusi dana tabarru’ yang lebih besar dari seharusnya. Adapun
pengembalian dana tabarru’ dan kondisi penyebab pengembalian dana
89 Pasal 1 Poin 14, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72 tahun 2016 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
56
tabarru’ tersebut wajib dimuat di dalam polis, hal ini sebagaimana yang
telah diatur dalam POJK nomor 72 tahun 2016.90
Dengan adanya dua peraturan tersebut jelas bahwa adanya asas lex
spesialis yaitu asas peraturan perundang-undangan yang menyatakan
bahwa ketentuan yang bersifat khusus menghapus ketentuan yang bersifat
umum sehingga jika ada ketentuan tentang sesuatu kewenangan tertentu
namun bersifat umum, kemudian terdapat ketentuan tentang kewenangan
yang sama tetapi bersifat khusus, maka ketentuan yang khusus
mengesampingkan ketentuan yang umum. Sehingga tidak ada implikasi
apapun mengenai pengembalian hibah antara Fatwa DSN-MUI No. 81
tahun 2011 dengan KUH Perdata pasal 1688.
Hal lain yang perlu ditegaskan bahwa perbedaan yang signifikan
antara penghibahan dalam Fatwa DSN-MUI dengan KUH Perdata pasal
1688 ialah model hibah yang diterapkan fatwa merupakan saling
menghibahkan artinya dari awal akad para peserta telah menyepakati
apabila dana hibahnya tidak terpakai, terdapat surplus, atau ada peserta
asuransi yang berhenti sebelum masa kontrak berakhir dan berniat untuk
menarik kembali hibahnya lalu peserta asuransi secara kolektif setuju,
maka hal demikian disebut model saling hibah. Sedangkan pada KUH
Perdata hibah yang dimaksud merupakan hibah secara sepihak sehingga
adanya pencabutan, dan adanya beberapa ketentuan yang memungkinkan
hibah tersebut dapat dicabut kembali tidak menjadi masalah selama
ketentuan pencabutannya tersebut memenuhi kriteria.
Landasan lainnya mengapa tidak terdapat implikasi hukum ialah
karena adanya Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa
setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang
berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. 91 Artinya bahwa setiap orang bebas
90 Pasal 4 ayat 2 dan 3. 91 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), Cet. VI, h. 13.
57
untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh undang-
undang, maka tidak tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat
persetujuan-persetujuan tersebut. Namun kebebasan berkontrak bukan
berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara-bebas, tetapi kontrak
(perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk
sahnya perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut pasal 1320
KUH Perdata maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Jadi, antara Fatwa DSN No. 81 tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH
Perdata tersebut benar memiliki perbedaan namun tidak ada indikator
mengenai implikasi hukum dikarenakan model hibahnya yang berbeda dan
pada KUH Perdata juga tidak ada aturan yang mengatur mengenai hibah
secara kolektif atau bersama-sama.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan rumusan masalah dan pembahasan yang telah
dipaparkan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ketentuan pengembalian iuran tabarru’ (hibah) dalam Fatwa DSN-
MUI No. 81 Tahun 2011 diperbolehkan. Penarikan sebagian dana
tabbaru’ tersebut dapat dilakukan jika aturan dan ketentuan
pengembaliannya sudah disepakati dan dinyatakan secara jelas sejak
akad dilakukan dengan perusahaan asuransi yang berperan sebagai
pengelola dana menggunakan akad wakalah bil ujrah. Sedangkan,
penarikan kembali hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata tidak
diperbolehkan, kecuali (1) apabila syarat-syarat penghibahan tidak
dipenuhi oleh penerima hibah, (2) apabila penerima hibah telah
bersalah melakukan atau ikut membantu suatu kejahatan terhadap
penghibah atau (3) apabila penerima hibah menolak memberikan
tunjangan nafkah kepada penghibah, saat jatuh miskin. Ketentuan pada
kedua peraturan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan untuk
menguntungkan pihak yang diberi, namun disisi lain keduanya juga
menunjukkan bahwa pemberi hibah hibah masih mempunyai
kekuasaan atas suatu yang dihibahkan tersebut.
2. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa meskipun terjadi perbedaan
terhadap pengembalian dana tabarru’ (hibah) dalam Fatwa DSN-MUI
No. 81 Tahun 2011 dan KUH Perdata Pasal 1688, ketentuan perdata
tersebut tidak bisa diberlakukan pada asuransi karena adanya asas lex
spesialis dalam UU No. 40 tahun 2011 tentang perasuransian yang
prinsip asuransi syariahnya diperinci pada POJK nomor 69 dan 72
tahun 2016, adapun POJK tersebut berdasarkan ketentuan atau amanah
dari fatwa DSN-MUI. Landasan lainnya karena asas kebebasan
berkontrak pada pasal 1338. Sehingga tidak terdapat implikasi hukum,
59
dikarenakan pada hukum perdata belum ada yang mengatur model
hibah yang saling memberi, melainkan pada KUH Perdata hibah yang
dimaksud ialah hibah secara sepihak bukan saling menghibah.
B. Saran
1. Apabila suatu saat dalam Fatwa DSN-MUI tentang pengembalian dana
tabarru’ pada peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian
berakhir hendak ditinjau kembali, maka ada baiknya pada diktum
selanjutnya diperjelas mengenai ketentuan pembagian sebagian dana
yang dikembalikan kepada peserta asuransi. Hal ini guna menghindari
kekeliruan persepsi dan keseragaman standar pengelolaan dana pada
perusahaan asuransi Syariah.
2. Bagi masyarat muslim umumnya, apabila ingin tolong menolong baik
terhadap diri sendiri, keluarga maupun sesama, maka salah satuya
dapat mengkontribusikan sebagian hartanya dengan menjadi peserta
Asuransi Syariah.
3. Bagi penghibah hendaknya menyatakan dengan jelas apabila
melakukan penghibahan kepada orang lain, apakah menghibahkan
suatu barang tersebut dilakukan secara mutlak atau bersyarat. Hal ini
untuk mengantisipasi adanya kekeliruan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shahih Bukhori II, Terj. Abdul Hayyie Al-
Kattar, A. Ikhwani, Depok: Gema Insani, 2007.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulugul Maram, diterjemahkan
oleh Thahirin Supara dkk, cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al-Faifi, Sulaiman, Mukhtashar Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, diterjemahkan oleh
Abdul Majid dkk, Solo: PT Aqwam Media Profetika, 2010.
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Bulughul Maram, No. Hadits 1493.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004.
Amrin, Abdul, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari
Perbandingan dengan Asuransi Konvensional, Jakarta: PT Elex Media
Komputido, 2011.
Amrin, Abdullah, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah
Asuransi Konvensional, Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Anwar, Khoiril, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, Solo: Tiga Serangkai,2007.
Ashifa, Tazkiah,“Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada
Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001
61
Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah”, Jurnal Hukum, 2015, 2,
(2015): 19-20.
Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Jakarta: DSN, 2003.
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Gultom, Elfrida R., Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta: Literara, 2010.
Gunawan, Ilham dan Marthus Sahrani, Kamus Hukum, Jakarta: CV Restu Agung,
2002.
Ghani, Abdul dan Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti &
Praktek, Jakarta: INSCO Consulting.
Hadi, Ahmad Chairul, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum,
Dan Sistem Operasonalnya, Jakarta: UIN Press, 2015.
Iswanto, Kuat, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Janwari, Yadi, Asuransi Syari’ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Khalidah, Umi Nur, “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212
KHI dan Pasal 1688 KUH Perdata”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah, IAIN
Walisongo Semarang, 2006.
Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH
Perdata.”Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015.
62
Maksum, Muhammad, “Pertumbuhan Asuransi di Dunia dan Indonesia”.
IqtishadEkonomi Islam, Vol. 2009, 2,(2009):73.
Malik, Imam, Al-Muwaththa’ Imam Malik, diterjemahkan oleh. Muhammad Iqbal
Qadir, jilid II, cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Munir, Muhammad, “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang hukum Pencabutan
Kembali Hibah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang, 2006.
Muslim,Sahih, Kitab al-Birr, No. Hadits 59
Muslim, Shahih, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984.
Cet.1, Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1598
Nopriansyah Waldi, Asuransi Syariah-Berkah Terakhir yang tak Terduga,
Yogyakarta: Andi, 2016.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,
Bandung: Salamadani, 2009.
Qardhawi, Yusuf, al-Halal wal-haram fil-Islam, diterjemahkan oleh Abu Sa’id al-
Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Halal dan Haram dalam Islam.
Jakarta: Rabbani Press, 2000.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Sayuti, Ahmad, Jurnal mimbar hukum dan peradilan, Pusat Pengembangan
Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). Edisi No. 77 (2013):
51-59.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.
63
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1996.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Ekonisia,
2002) Edisi Ke-2. h. 112.
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan
Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Syafi’I, Imam, Ringkasan Kitab Al Umm, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir
Abdul Muthalib, jilid III-VI, cet III, Jakarta: Pusataka Azzam, 2007.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��
FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 81/DSN-MUI/III/2011
Tentang
PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ BAGI PESERTA ASURANSI
YANG BERHENTI SEBELUM MASA PERJANJIAN BERAKHIR
������������������ ������
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) setelah:
Menimbang : a. bahwa pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan
baik dalam industri asuransi kerugian maupun asuransi jiwa
bagi peserta yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;
b. bahwa terhadap praktik tersebut timbul masalah tentang hukum
pengembalian tabarru' peserta asuransi syariah yang sudah
dihibahkan;
c. bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan
LKS/LBS tersebut, DSN-MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang Pengembalian Kontribusi Tabarru’ bagi Peserta
Asuransi yang Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir
untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang
memerlukannya.
Mengingat : 1. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang
harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
������� ���������������� ����� �� ���!�"# �����$%� &�'�(�� ��" %)�* �+����,-.� �/�������� ���0�� �1%'�����2��������"���0�3��- %4�*56+�������(�,��� �2���7�&8'�3�"�����9���0���'�:;<2=�>?@A
“Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).
Sekretariat : Jl. Dempo No. 19 Pegangsaan - Jakarta Pusat 10320
Telp. (021) 390 4146 Fax: (021) 3190 3288
81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 2
Fatwa Pedoman Asuransi Syariah
Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��
�4�� �B��!� ������ ���(���0�� �C�*� ����'�D�� &���* �E��,��"�F�� ���G�H �4�� ���I���"�F�� �J%'� %4�*K����7���K������L�4��I- %4�*5�J�����0�M����������,- %4�*�N�2�����������0�3�H;O��!�?
PQA “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan
adil…” (QS. an-Nisa [4]: 58).
�4��%)�*�R�S��T��������0�!�������0�����"�����'�I�F�H�)���!�"-O�����$%��������������:U<�V��W�H�4��0�H�K�����V���0���4��I�J%'�%4�*5���0���X�,�����'�(���H�)� ���0�!�"YZ���H;O��!�?[\A
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
(mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa
perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian..”
(QS. an-Nisa [4]: 29).
2. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong
dalam perbuatan positif, antara lain :
����� ���]���&�'�: ��,� ����H ���� _�����(�� ��T��&�'�: ��,� ����H� %4�* �J%'� ����H� �4� �2�a��������2��2�b�J%'�;<2=�>?[cA
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-
Maidah [5]: 2).
3. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa
prinsip bermuamalah, antara lain:
a. Hadis Riwayat Ibnu Abbas:
�:������:�T�B��V�d�ef �:�J!��%4�V�L�N�� �g%'f &�:�'�J�� �Lh�'���i�N�:����=��2���De�T�(�J�I�0���j'����������ie�k��J;l V4�m�n�A
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda :
“orang yang mengambil kembali hibah seperti anjing yang
menelan kembali muntahnya.”
b. Hadis Riwayat Muslim:
�a���I���"U/�����IY��'���"���:�o�������"����,�2�f �o����5�J�!�:U/�����I�a���I���" �J���p�� �4���: �e�� �2�T���� �+����" �2�T���� �4���: �e�� f � 5�/�"������� �+����;l V
�'�"cA
81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 3
Fatwa Pedoman Asuransi Syariah
Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu
kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya
pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-
Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim).
c. Hadis Riwayat Muslim:
�����������H� ���Dq����H �e�� �����!�"�G���� �R�r�"�����X�S����H� �R�r�"�2���W��&�0�(�b �C�* &���3��� ���������� �2���W�� ���=��L �J�� &�:�2�H 6��s�: �J�!�";�: �'�" l V
tn���4���!�A“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling
mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu);
jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan
turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
d. Hadis Riwayat Muslim:
�J�s�����2�n���4����!�T����I���"�G���'�����"�G������Ks����;&L�"u��:�'�"l VA“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah
bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR.
Muslim dari Abu Musa).
e. Hadis Riwayat Tirmidzi:
�K"����%R����� ��U)�v���+�����US���b%)�*�����S ���b&�'�:�4����'������� ;cl Vw�:�� ��:�:x$"�(�A
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka
buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf).
f. Hadis Riwayat Ibnu Majah:
�V���d�)� �V���d�);���:2y� 51"�7���<��T:�:/z�"��l Ve{�:|��" 5B�T:A
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh
pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu
Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu
‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
4. Kaidah fikih yang menegaskan:
@}����������3�H&�'�:~R������%N�2���4��%)�*�/���������E�v�"�������&���R�g-.�“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 4
Fatwa Pedoman Asuransi Syariah
Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��
Memperhatikan : 1. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah.
2. Penjelasan dan Hasil Pertemuan PT Syarikat Takaful Indonesia
dengan DSN-MUI pada tanggal 31 Maret 2010.
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada
tanggal 3 Rabiul Akhir 1432 H/8 Maret 2011 M.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Pengembalian Dana Tabarru’ bagi Peserta Asuransi yang
Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Tabarru' adalah iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan
asuransi yang diberikan oleh peserta asuransi syariah individu
kepada peserta secara kolektif (Kumpulan Dana Tabarru’/
Tabarru’ Pooling Fund) sesuai dengan kesepakatan; dan
2. Pengembalian Dana Tabarru’ adalah pengembalian sebagian
Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu karena
berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
Kedua : Ketentuan Hukum Pengembalian Dana Tabarru’ bagi Peserta
Asuransi yang Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir
1. Peserta Asuransi Syariah secara individu tidak boleh meminta
kembali Dana Tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada
Perusahaan Asuransi sebagai wakil dari Peserta Asuransi
secara kolektif;
2. Perusahaan Asuransi Syariah dalam kapasitasnya sebagai
wakil peserta Asuransi, tidak berwenang untuk mengembalikan
Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud dalam butir 1;
3. Peserta Asuransi Syariah secara kolektif sebagai penerima
Dana Tabarru’, memiliki kewenangan untuk membuat aturan-
aturan mengenai penggunaan Dana Tabarru’, termasuk
mengembalikan Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara
individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;
4. Dalam hal Peserta Asuransi Syariah secara kolektif
memberikan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam butir 3
kepada Perusahaan Asuransi, maka kewenangan tersebut harus
dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan; dan
5. Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah mendapatkan
kewenangan sebagaimana dimaksud butir 4 dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari Peserta Asuransi secara
Kolektif, Perusahaan Asuransi Syariah harus membuat
81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 5
Fatwa Pedoman Asuransi Syariah
Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��
ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan Dana Tabarru’,
termasuk ketentuan mengenai pengembalian Dana Tabarru’
kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum
masa perjanjian berakhir.
Ketiga : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 03 Rabi’ul Akhir1432 H
08 Maret 2011 M
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
DR. K.H. M.A. SAHAL MAHFUDH DRS. H.M. ICHWAN SAM
Jika akta pendirian, reglemen atau perjanjian itu tidak menentukan cara lain maka hak para anggota bersifat perorangan dan tidak beralih kepada para ahli waris.
Pasal 1665
Bila terjadi pembubaran badan hukum demikian maka para anggota yang masih ada atau anggota yang tinggal satu-satunya wajib membayar utang-utang badan hukum dengan kekayaan badan hukum itu, dan hanya sisa kekayaan itu yang boleh mereka bagi antara mereka dan mereka serahkan kepada ahli waris mereka.
Dalam hal memanggil para kreditur, menyelesaikan perhitungan dan pertanggungjawaban dan membayar semua utang badan hukum, mereka harus tunduk pada semua kewajiban seperti yang dipikul oleh para ahli waris yang menerima warisan dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta benda.
Bila tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban maka masing-masing anggota sebagai perseorangan wajib menanggung seluruh utang badan hukum yang bubar itu, dan tanggungan itu dapat jatuh kepada ahli waris mereka.
BAB X
PENGHIBAHAN
BAGIAN I
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 1666
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Pasal 1667
Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.
Pasal 1668
Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu, penghibahan demikian sekedar mengenai barang itu dipandang sebagai tidak sah.
Pasal 1669
Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak, yang dihibahkan atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain, dalam hal demikian harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua Kitab Undang-undang ini.
Pasal 1670
Suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan.
Pasal 1671
Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia akan tetap menguasai penggunaan sejumlah uang yang ada di antara barang yang dihibahkan. Jika ia meninggal dunia sebelum menggunakan uang itu, maka barang dan uang itu tetap menjadi milik penerima hibah.
Pasal 1672
Penghibah boleh memberi syarat, bahwa barang yang dihibahkannya itu akan kembali kepadanya bila orang yang diberi hibah atau ahli warisnya meninggal dunia lebih dahulu dari penghibah, tetapi syarat demikian hanya boleh diadakan untuk kepentingan penghibah sendiri.
Pasal 1673
Akibat dari hak mendapatkan kembali barang-barang yang dihibahkan ialah bahwa pemindahan barang-barang itu ke tangan orang lain, sekiranya telah terjadi, harus dibatalkan, dan pengembalian barang-barang itu kepada penghibah harus bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan pada barang itu sewaktu ada di tangan orang yang diberi hibah.
Pasal 1674
Penghibah tidak wajib menjamin orang bebas dari gugatan pengadilan bila kemudian barang yang dihibahkan itu menjadi milik orang lain berdasarkan keputusan Pengadilan.
Pasal 1675
Ketentuan-ketentuan Pasal 879, 880, 881 884, 894, dan akhirnya juga Bagian 7 dan 8 dan Bab XIII Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini, berlaku pula terhadap hibah.
BAGIAN 2
Kemampuan Untuk Memberikan dan Menerima Hibah
Pasal 1676
Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu.
Pasal 1677
Anak-anak di bawah umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.
Pasal 1678
Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.
Pasal 1679
Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus ada di dunia atau dengan memperhatikan aturan dalam Pasal 2 yaitu sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat penghibahan dilakukan.
Pasal 1680
Hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika Presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.
Pasal 1681
Ketentuan-ketentuan ayat (2) dan terakhir pada Pasal 904, begitu pula Pasal 906, 907, 908, 909 dan 911, berlaku terhadap penghibahan.
BAGIAN 3
Cara Menghibahkan Sesuatu
Pasal 1682
Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah.
Pasal 1683
Tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu.
Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta otentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh Notaris asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya.
Pasal 1684
Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.
Pasal 1685
Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud maka hibah itu tetap sah. meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.
Pasal 1686
Hak milik atas barang-barang yang dihibahkan meskipun diterima dengan sah, tidak beralih pada orang yang diberi hibah, sebelum diserahkan dengan cara penyerahan menurut Pasal 612, 613, 616 dan seterusnya.
Pasal 1687
Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hibah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah.
BAGIAN 4
Pencabutan dan Pembatalan Hibah
Pasal 1688
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.
Pasal 1689
Dalam hal yang pertama. barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah, atau ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh penerima hibah sejak ia alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Dalam hal demikian penghibah boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang memegang barang tak bergerak yang telah dihibahkan sebagaimana terhadap penerima hibah sendiri.
Pasal 1690
Dalam kedua hal terakhir yang disebut dalam Pasal 1688, barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu susah diajukan kepada dan didaftarkan di Pengadilan dan dimasukkan dalam pengumuman tersebut dalam Pasal 616. Semua pemindahtanganan,
penghipotekan atau pembebanan lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.
Pasal 1691
Dalam hal tersebut pada Pasal 1690, penerima hibah wajib mengembalikan apa yang dihibahkan itu bersama dengan buah dan hasilnya terhitung sejak hari gugatan diajukan kepada Pengadilan, sekiranya barang itu telah dipindahtangankan maka wajiblah dikembalikan harganya pada saat gugatan diajukan bersama buah dan hasil sejak saat itu.
Selain itu ia wajib membayar ganti rugi kepada penghibah atas hipotek dan beban lain yang telah diletakkan olehnya di atas barang tak bergerak yang dihibahkan itu termasuk yang diletakkan sebelum gugatan diajukan.
Pasal 1692
Gugatan yang disebut dalam Pasal 1691 gugur setelah lewat satu tahun, terhitung dari hari peristiwa yang menjadi alasan gugatan itu terjadi dan dapat diketahui oleh penghibah.
Gugatan itu tidak dapat diajukan oleh penghibah terhadap ahli waris orang yang diberi hibah itu; demikian juga ahli waris penghibah tidak dapat mengajukan gugatan terhadap orang yang mendapat hibah kecuali jika gugatan itu telah mulai diajukan oleh penghibah atau penghibah ini meninggal dunia dalam tenggang waktu satu tahun sejak terjadinya peristiwa yang dituduhkan itu.
Pasal 1693
Ketentuan-ketentuan bab ini tidak mengurangi apa yang sudah ditetapkan pada Bab VII dan Buku Pertama dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
BAB XI
PENITIPAN BARANG
BAGIAN I
Penitipan Barang pada Umumnya dan Berbagai Jenisnya
Pasal 1694
Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.
Pasal 1695
Ada dua jenis penitipan barang yaitu; penitipan murni (sejati) dan Sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).
BAGIAN 2
Penitipan Murni
Pasal 1696