bab viii analisis kebijakan - repository.ipb.ac.id · dengan pengembangan prasaran dan sarana...

40
BAB VIII ANALISIS KEBIJAKAN Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik Indonesia. Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air. 8.1 Analisis Konten Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review antara lain: 1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. 3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Upload: vongoc

Post on 17-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB VIII

ANALISIS KEBIJAKAN

Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan

pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah

daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan

pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era

otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam

mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik

Indonesia.

Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini

menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara

lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan

sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu

diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah

yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan

dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air.

8.1 Analisis Konten

Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air

lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan

dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang

terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review

antara lain:

1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air.

3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

223

4. Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 2005 Tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Analisis konten (isi) terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 2004, Undang-

undang No. 5 Tahun 1990, Undang-undang 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah

Nomor 38, Peraturan Pemerintah Nomor 42, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun

2005, Permen PU nomor 20 Tahun 2006, Permen PU No. 18 Tahun 2007. Hasil

analisis konten terhadap peraturan perundang-undangan terkait sumber daya air

nampak pada lampiran

8.1.1 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih

menekankan kepada, pengelolaan, wilayah sungai, pemerintah daerah

pengendalian, konservasi, keterpaduan dan pemerintah daerah. Hal ini

menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air memperhatikan

bahwa pengelolaan wilayah sungai agar tetap dikendalikan dan memperhatikan

kepentingan daerah secara terpadu serta memperhatikan konservasi sumber daya

air. UU No. 7 Tahun 2004, maupun UU No 5 Tahun 1990 serta PP No. 42 Tahun

2008 dan PP No. 43 Tahun 2008, serta Permen PU No. 20 Tahun 2006 tentang

KSNP SPAM dan Permen PU No. 18 tentang Strategi Pengembangan SPAM

tidak satupun yang menyinggung tentang kebijakan pendanaan konservasi

sumberdaya alam dan hayati maupun pendanaan konservasi air .

Pasal 40 UU No. 7 Tahun 2004 terdiri dari 9 ayat, ayat (1).Pemenuhan

kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam

pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum,

ayat (2) Pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi

tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, ayat (3) Badan Usaha Milik

Negara dan/ atau Badan Usaha Milik Daerah merupakan penyelenggaran

pengembangan SPAM, ayat (4) Koperasi, Badan Usaha Swasta dan masyarakat

dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM, ayat (5)

224

Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air munim bertujuan untuk

a). Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan

harga terjangkau, b. Tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen

dan penyedia jasa pelayanan, dan c. Meningkatnya efisiensi dan cakupan

pelayanan air minum.

Pasal 34 ayat (6) Pengaturan pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu

dengan pengembangan prasaran dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam

pasal 21 ayat (2) huruf d; ayat (7). Untuk mencapai tujuan pengaturan

pengembangan SPAM dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat

(6), pemerintah dapat membentuk badan yangn berada di bawah dan bertanggung

jawab kepada mentri yang membidangi sumber daya air; ayat (8) Ketentuan

pengembangan SPAM, BUMN dan/ atau BUMD penyelenggara pengembangan

SPAM, peran serta koperasi, bus dan masyarakat dalam penyelenggaraan

pengembangan SPAM dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4 ),dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan

pemerintah.

Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terdiri atas

18 Bab dengan 100 pasal. Undang-undang Nomor 5 tahun 2007 telah

menyinggung masalah konservasi sumber daya air sebanyak 6 pasal serta

pendayagunaan sumber daya air sebanyak 25 pasal, lampiran. Undang undang

SDA memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber

daya air bahkan dalam pengaturan berbagai aspek menunjukkan keseimbangan,

untuk itu UU SDA ini merupakan produk hukum yang relatif komprehensi

subatansinya. Keseimbangan perhatian terhadap nilai ekonomis produksi dengan

konservasi sudah ditunjukkan dalam Pasal 2,3, Pasal 4. Dalam ketiga pasal

tersebut dinyatakan bahwa Sumber Daya Ari mempunyai fungsi sosial,

lingkungan hidup, dan ekonomi yang harus diwujudkan secara selaras. SDA harus

dikelolah secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan

tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakayat. Sumber daya air dikelola berdasarkan asas

225

kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,

keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

Undang-undang SDA mengarahkan agar pengeloaan SDA sejak dari

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi harus diarahkan pada upaya

keselarasan antara konservasi dan pendayagunaan SDA serta pengendalian daya

rusak air. Asas kelestarian dan asas kesesimbangan harus dijadikan pedoman agar

pengelolaan SDA harus menjaga keberlanjutan eksistensi dan dungsi SDA baik

secara sosial maupun secara ekonomis. Pengaturan tentang keharusan melakukan

konservasi diatur melalui Pasal 20 s/d Pasal 25. Ketentuan konservasi

dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan daya dukung, daya

tampung, dan fungsi SDA. Upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan

perlindungan dan pengendalian pencemaran air. UU SDA juga melarang bagi

siapapun melakukan kegiatan yang menyebabkan rusaknya sumber air dan

prasarananya, pencemaran air, dan menganggu pengawetan air.

Pasal 5 menentukan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk

mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Negara

mempunyai kewajiban agar kebutuhan yang minimal sehari-hari akan air dari

perseorangan dan badan hukum dapat terpenuhi.Sedangkan pasal 29 ayat (2) dan

Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminan dan pemenuhan kebutuhan minimal untuk

kegitan manusia seperti kegiatan hidup sehari hari, sanitasi lingkungan, pertanian,

ketenagaaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan

keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estitika,

dan kebutuhan lain yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Jadi ada dua

kegiatan yang ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perolehan dan

pemanfaatan air yaitu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan irigasi

pertanian rakyat. Kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari mencakup untuk

mandi, cuci, masak, dan air minum, sedangkan ketersediaan air bagi pengairan

tanah pertanian rakyat diutamakan yang terlertak dalam jaringan saluran irigasi

aitu antrair laut yang ada di daratan untuk usaha budidaya tambak atau sistem

pendingin mesin atau penyulingan air laut untuk air minum.

226

Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini

karena pemberian kewenangan otonomi juga sampai ke pemerintahan desa.

Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan

Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun dengan

menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemdah dan Pemerintah Desa juga

diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa

penguasaan (Negara) atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemdah. Hak penguasaan negara dapat

saja bersifat desentralisasi mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh

Pemerintah dengan yang diserahkan berbeda, namun juga dapat bersifat

desentralisasi yang mengarah pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan

Pemerintah Pusat dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup

berlakungan kewenangan tersebut.

Hak Guna Air (HGA) merupakan wewenang untuk memperoleh dan

memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak Guna Air diatur

dalam pasal 7, HGA dibedakan antara Hak Guna Pakai Air (HGPA) yaitu

kewenangan untuk memperoleh dan memakai air seHGPA dan HGUA tidak jelas,

karena secara UU No. 7 Tahun 2004 tidak secara konsisten menggunakan

keduanya sebagai alas hak bagi siapapun untuk memakai atau mengusahakan air.

Alas hak yang memberikan kewenangana adalah ijin yang diberikan oleh

Pemerintah atau Pemda. Ijin diperlukan jika pemakaian air harus mengubah

kondisi alami sumber air, pemakaian dalam jumlah besar, dan pemakaian air

untuk pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada.

Privatisasi sumber daya air nampak pada nuansa UU No 7 Tahun 2004

tentang SDA. UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA memperkenalkan istilah air

bukan barang publik (sosial) namun mengarah kepada komoditas ekonomi.

Dengan UU No. 7 Tahun 2004 membuka peluang pengusahaan air dan atau

privatisasi air. Menurut Sanim (2011), lambannya reformasi institusi dan

ketidakpastian legal formal di sektor air, secara bersamaan privatisasi air sendiri

sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya privatisasi Perusahaan

Daerah Air Minum (PDAM) antara lain:

227

1. Tahun 1977, World Bank mensponsori privatisasi air di Jakarta, dibagi

kepada Thames Water (Inggris) dan Suwez-Lyonnaise (France).

2. Privatisasi PDAM Batam dan Palembang oleh Biwater (Inggris).

3. Privatisasi PDAM Pekanbaru dan Manado.

4. Privatisasi air oleh Ondo-Suez yang beroperasi di Jakarta, Medan,

Semarang, dan Tangerang, serta

5. Privatisasi air di Sidoarjo oleh Vivendi (Feance).

Hingga saat ini, privatisasi air di Indonesia difokuskan pada sektor sanitasi

atau penyediaan air bersih perkotaan. Keterlibatan swasta berupa penyediaan

prasarana, distribusi, dan penarikan retribusi pemakaian air dari konsumen.

Mereka menfokuskan pada wilayah perkotaan disebabkan adanya kemudahan

dalam investasi prasarana distribusi air dan kemampuan konsumen untuk

membanyar (willingness to pay) yang tinggi. Prasarana distribusi air di perkotaan

relatif sudah terbangun. Sementara di perdesaan, cakupan pengelolaan air akan

membutuhkan investasi prasarana yang cukup besar, willingness to pay

masyarakat perdesaan yang lemah dan persoalan peggunaaan air irigasi oleh

petani (Sanim, 2011).

Hasil analisis konten dan analisis legal review terhadap undang-undang

yang berkaitan dengan sumber daya air, dapat disimpulkan bahwa perlunya

dilakukan restrukturisasi dan reformasi pengelolaan sumber daya air. Karena

sektor air di Indonesia tidak mampu memenuhi pertumbuhan dan berbagai

tuntutan sebagai konsekwensi meningkatnya populasi penduduk, termasuk

penduduk DKI Jakarta yang meningkat pesat. Kebutuhan air untuk keperluan

rumah tangga, industri, dan mall serta pertanian meningkat dan gagal dipenuhi

oleh pemerintah. Restrukturisasi juga perlu dilakukan berkaitan deengan

kecenderungan yang berlaku, khususnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air. Jika sebelum adanya UU No. 7 Tahun 2007, tentang Sumber Daya Air,

swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, maka saat ini

swasta dimungkinkan berperan pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air

bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian. Bentuk kerjasama

228

dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak

manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan sebagainya.

Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto,

Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air

yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah

sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk dapat memenuhi

kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan

infrastruktur pengairan, pemulihan dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan,

pemerintah membutuhkan dana sebesar 5,1 triliun rupiah setiap tahun untuk

menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi hingga 2015.

Beberapa peraturan perundang-undangan dibawah UU Nomor 7 Tahun

2004 tentang Sumber Daya Air antara lain Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67

Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam

Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 294/PRT/M2005 tentang Badan Pendukung

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum Nomor: 18/PRT/M/2007 tentang Penyelanggaraan Pengembangan Sistem

Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem

penyediaan Air minum (KSNP – SPAM).

8.1.1.1 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air

Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak hanya

mengatur sehubungan dengan susunan organisasi dan tata kerja Dewan Sumber

Daya Air tetapi juga pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi, susunan

organisasi dan tata kerja, hubungan kerja antar dewan sumberdaya air; dan

pembiayaan. Pengaturan Dewan Sumber Daya Air dalam Undang-undang No. 7

Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdapat dalam Pasal 86 ayat 1– 4. Undang-

undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Bagian menimbang pada

Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air hanya

mencantumkan Pasal 86 ayat 4.

229

Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

sebagai satu-satunya dasar pertimbangan pembentukan Dewan Sumber Daya Air.

Pasal 86 ayat 4 Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya

Air hanya mengatur bahwa susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi

(Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 86 ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

dengan sangat jelas menyebutkan bahwa pengaturan tentang susunan organisasi

dan tata kerja wadah koordinasi (Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Presiden tetapi pengaturan lebih lanjut sebagai amanat

tersebut dilakukan dengan Peraturan Presiden sehingga perlu ditelusuri dan di

telaah lebih lanjut sehubungan dengan kedudukan peraturan presiden dengan

keputusan presiden. Tetapi yang jelas, amanat Undang-Undang adalah melalui

Keputusan Presiden tetapi justru diatur dengan Peraturan Presiden.

Susunan organisasi Dewan SDA Nasional terdiri dari ketua merangkap

anggota yang dijabat oleh Menko Perekonomian, ketua harian merangkap anggota

yang dijabat oleh Menteri dan anggota yang akan diisi oleh unsur pemerintah dan

non pemerintah. Susunan organisasi dimana ketua dijabat oleh Menko

Perekonomian sebenarnya sudah menunjukan watak dan corak pengelolaan

dan/atau pemanfaatan sumberdaya air nasional, yaitu menempatkan air sebagai

barang ekonomi semata. Air akan di tempatkan dan dimanfaatkan bagi

pemenuhan pemasukan Negara dalam konteks anggaran. Watak dan corak yang

akan mencerminkan keberpihakan pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya

air pada kesejahteraan rakyat adalah ketika posisi ketua di jabat oleh Menko

Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Menko Perekonomian akan lebih berorientasi pada

sector ekonomi sebagai pilar utamanya sedangkan Menko Kesra akan lebih

beroreintasi pada kesejahtaraan rakyat. Menko Kesra sendiri tidak mendapatkan

posisi apa pun dalam Dewan SDA Nasional. (Adhiyul, 2011)

Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

menyebutkan bahwa wadah koordinasi, yaitu Dewan SDA Nasional di tingkat

nasional beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam

230

jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Penjelasan pasal tersebut

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang

proporsional antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Perpres No. 12

Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak menunjukan proporsional

jumlah anggota antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Anggota dari

unsure pemerintah sesuai dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang

Dewan Sumberdaya Air adalah berjumlah 22 anggota, sedangkan jumlah angota

dari unsur non pemerintah hanya 11 anggota. Perbandingan antara unsur

pemerintah dan unsur nonpemerintah adalah 2:1. Hal ini jelas bertentangan

dengan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya

Air.

Keanggotaan Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah sesuai

dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air

tidak mencerminkan prinsip keterwakilan sebagaimana yang terdapat dalam

Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 yang menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya

kepentingan unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok

pengguna dan pengusaha sumber daya air. Keterwakilan rakyat selaku kelompok

pengguna sumberdaya air hanya terwakili dalam komposisi anggota dari unsur

non pemerintah adalah keterwakilan langsung bagi rakyat selaku pengguna

sumberdaya air maksimal hanya terdapat dalam 2 unsur, keterwakilan langsung

bagi pengusaha sumberdaya air terwakili dalam 7 unsur, keterwakilan langsung

bagi kalangan lingkungan hanya terwakili dalam 2 unsur.Komposisi keanggotaan

Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah menunjukkan bahwa pandangan

pemerintah sehubungan dengan keterwakilan dari unsur non pemerintah lebih

mengakomodasi kepentingan pengusaha sumberdaya air.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air telah

memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat

secara ambigu. Dalam konteks keanggotaan Dewan Sumberdaya Air, organisasi

masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya diposisikan sebagai

pihak yang “dapat” dilibatkan sebagai narasumber sebagaimana yang terdapat

231

dalam Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang

Sumberdaya Air.

Kalimat “dapat” memberikan gambaran bahwa masukan dari organisasi

masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat tidak menjadi suatu keharusan.

Dampak yang akan muncul adalah besarnya kemungkinan pengabaian masukan

organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan

dan/atau pemanfaatan sumberdaya air. Posisi organisasi masyarakat dan/atau

lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai narasumber, artinya organisasi

masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat belum benar-benar

mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai salah satu subjek dalam

pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air.

Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

menyebutkan bahwa organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air

berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan

kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya,

untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air. Penjelasan pasal ini

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang

sumber daya air antara lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati

masalah air, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber

daya air, asosiasi profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang

bergerak di bidang sumber daya air. Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004

tentang Sumberdaya Air dengan sangat jelas dan terang mengakui keberadaan

organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat sebagai suatu

subjek hukum dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air karena

mendapatkan hak gugat atas sumberdaya air.

Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, memposisikan

organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai

“narasumber” sesuai dengan Pasal 21 jis Pasal 30 dan Pasal 37 Perpres No. 12

Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, yaitu “Dalam melaksanakan

persidangan, Dewan SDA (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dapat

232

mengundang narasumber dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga

swadaya masyarakat, atau masyarakat terkait”. Klausul-klausul yang

memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat yang

terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan

Perper No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air menunjukkan bahwa

pemerintah beranggapan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya

masyarakat sebagai elemen utama dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan

sumberdaya air. Keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan Dewan Sumber

Daya Air masih belum seimbang yaitu hanya dua orang dimana keterlibatan

gender (wanita) belum banyak dibahas, padahal wanita paling banyak pengguna

air di rumah tangga.

8.1.1.2 Permen PU No. 20/PRT/M/2006 tentang KNSP-SPAM

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20/PRT/M/2006 tentang

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM), Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Kebijakan dan Strategi

Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang selanjutnya

disingkat KNSP – SPAM, merupakan pedoman untuk pengaturan

penyelenggaraan dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi

pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat.

Sedangkan Pasal 2 KNSP–SPAM digunakan sebagai pedoman untuk

pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air munim

berkualitas baik di tingkat pusat, maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah

setempat . Pada Pasal 4 ayat (1) Dalam hal daerah belum mempunyai pengaturan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka ketentuan dan rencana

pengembangan sistem penyediaan air minum di daerah perlu disiapkan dan

ditetapkan dengan Peraturan Daerah, mengacu pada peraturan menteri ini.

Pada ayat (2) Bagi daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah

Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebelum Peraturan

Menteri ini diterbitkan, agar Peraturan Daerah tersebut di sesuaikan berdasarkan

ketentuan – ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini.

233

8.1.1.3 Permen PU No 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan SPAM

Isi Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No 18/PRT/M/2007 tentang

Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, pada Bab VIII Pengaturan di daerah

pada pasal 62 terdiri dari dua ayat antara lain: ayat (1) Untuk pedoman

pelaksanaan penyediaan prasarana air minum di daerah perlu di buat Peraturan

Daerah yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan dalam peraturan mentri ini.

Ayat (2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka terhadap pelaksanaan penyediaan

prasarana dan sarana air minum di daerah diberlakukan ketentuan – ketentuan

dalam peraturan mentri ini.

Pasal 62 ayat 2 memberikan kewenangan kepada daerah untuk

menetapkan kebijakan daerah berupa perda tentang air bersih (air minum) maka

akan menimbulkan berbagai bentuk perda dalam pengelelolaan air bersih. Jika hal

ini terjadi maka dimungkinkan terjadi konflik kepentingan terkait air. Konflik air

dan tumpang tindih kepentingan akan air antar perda wilayah a dengan wilayah b

dikarenakan masing-masing pemerintah daerah mengacu dan berpegang teguh

pada pelaksanaan perda tersebut. Maka diperlukan model perda air minum (air

bersih) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai suatu Norma Standar

Prosedur Manual (NSPK) bagi daerah.

Karena penyediaan air merupakan wewenang pemerintah pusat dan daerah

maka, perlu dipikirkan kebijakan lintas wilayah yang mengakomodir pengelolaan

air bersih secara lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah. Kerjasama antar

wilayah harus tetap dalam koridor nasional artinya bahwa kerjasama lintas

wilayah dalam pengelolaan air bersih harus dipandu oleh Pemerintah Pusat

segbagai penengah dan pengawas kerjasama tersebut dikaernakan wilayah sungai

tidak dapat dibatasi oleh satuan wilayah administrasi.

Pengelolaan yang dibahasakan sebagai penataan ruang dilakukan sebagai

suatu sistem proses (i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii)

pengendalian pemanfaatan rauang. Dengan demikian harus difahami bahwa

penataan ruang adalah sebuah sistem yang berkelanjutan. Dimulai dari

perencanaan terhadap ruang, dilanjutkan dengan pemanfaatan ruang, dan diakiri

dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Penataan

234

ruang tersebut diselenggarakan berdasarkan asas; (i) keterpaduan; (2) keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan, (iii) keberlanjutan, (iv) keberdayagunaan dan

keberhasilgunaan (v) keterbukan; (vi) kebersamaan dan kemitraan: (vii)

perlindungan kepentingan umum (viii) kepastian hukum dan keadilan; dan (ix)

akuntabilitas. Dalam implementasi, penataan ruang mengklasifikasikan penataan

ruang didasarkan pada lima hal, pertama, sistem penataan ruang; kedua, fungsi

utama kawasan, ketiga: wilayah adminstrasi: keempat, kegiatan kwasan dan

kelima: nilai stategi kawasan.

Pada konstek Good governance yang dicirikan melalui prinsip transparansi

dan akutanbilitas, UUPR merumuskan kannya melalaui hak dan peran serta

masyarakat (pasal 60) dan pasal 65) serta rumusan mengenai potensi penjatuhan

sanksi pidana (tanggung gugat) bagi pejabat pemerintah yang menerbitkan ijin

yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (pasal 73). Perumusan tanggung

gugat bagi pejabat pemerintah dalam konsteks ini oleh UUPR bisa dibaca sebagai

langkah maju yang menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak selamanya

steriil dari potensi penyimpangan (absuse of power). Oleh karena itu, harus ada

mekaniseme yang bisa digunakan untuk menyikkapinya.

8.1.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah

Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdiri

dari 16 bab dan 240 pasal. Pada pasal 10 ayat 1 mengamanatkan bahwa

pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini

ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan peemerintahan yang menjadi

urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,

moneter dan fiskal nasional dan agama.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan eksternalitas,

akutanbilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar

susunan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 11 ayat 1. Adapun yang

dimaksud dengan eksternalitas yang dimuat dalam penjelaasan Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2007 adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan

dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan

suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,

235

maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah

kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota

dan/atau/regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintah

provinsi, dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka

urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah.

Pasal 12 ayat 1 menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan

kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan

prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

Urusan pemerintah yang dilimpahkan kepda Gubernur disertai dengan pendanaan

sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pasal 13 urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam

skala privinsi yang meliputi penangan kesehatan, penanggulangan masalah sosial

lintas kabupaten/ kota, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian

lingkungan hidup dan peyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yanb belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten dan/ kota.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 menempatkan urusan

penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi masyarakat di

kabupaten/kota sebagai “urusan wajib pemerintah kabupaten/kota”. Tentunya

lingkup atau pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta

pelayanan dasar bagi masyarakat di kabupaten/ kota tersebut mencakup pula

penyediaan air minum bagi masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana

terkait air bersih selain menjadi kewenangan pemerintah pusat juga menjadi

kewenangan pemerintah provinsi serta kewenangan pemerintah daerah.

Namun perhatian yang besar terdahap sektor air minum ini belum diimbangi

dengan perhatian yang besar terhadap sektor sanitasi yang mencakup limbah

domestik dan persampahan. Penduduk yang memiliki akses kepada jamban yang

aman baru 48,52% (BPS 2000) dan yang dilayani sistem perpipaan baru mencapai

2,33% di 11 kota, itu pun sebagian besar belum memenuhi standar kualitas yang

ditentulan. Sisanya yang sebagian besar lagi membuang limbahnya tanpa

pengolahan ke lingkungan, terutama ke badan-badan airah.

Hubungan antara pemerintah daerah dalam bidang pelayanan umum

dituangkan pada pasal 16 ayat 1-3. Pada pasal 16 ayat 2 hubungan dalam bidang

236

pelayanan umum antar pemerintahan daerah meliputi kerjasama antar

pemerintahan daerah dalam penyelenggaran pelayanan umum dan pengelolaan

perizinan bersama bidang pelayanan umum. Lebih lanjut pada pasal 17 ayat 1

dijelaskan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintah daerah meliputi kewengangan,

tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak budi daya,

dan pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya, dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota.

PP Nomor 38 Tahun 2007 terdiri dari 9 bab dan 23 pasal. Pada pasal 19 ayat 1

dinyatakan bahwa khusus untuk Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota secara otomatis

menjadi kewenangan provinsi.

8.2 Kerjasama Lintas Wilayah Berbasis Otonomi Daerah

Untuk memenuhi kebutuhan air DKI Jakarta perlu dilakukan kerjasama

lintas wilayah, karena kebutuhan air besih DKI Jakarta disupali dari luar DKI

Jakarta. Sedangkan sungai-sungai pensuplai air ke DKI Jakarta merupakan sungai

dengan kategori lintas provinsi dan Sungai Wilayah Strategis Nasional (Permen

PU No.11A/PRT/M/2006). Kerjasama pengelolaan air bersih lintas wilayah dalam

rangka pemenuhan air bersih DKI Jakarta dilakukan agar keberlanjutan

pemenuhan air bersih tercapai baik dari segi kualitas, kuantitas maupun

kontinuitas. Bentuk kerjasama lintas wilayah tersebut mengacu kepada PP 38

tahun 2007 maupun mengacu kepada PP 42 tahun 2008 serta peraturan

turunannya yaitu Permen PU No.11A/PRT/M/2006.

Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber

Daya Air pasal 12 menjelaskan; (a) rancangan pola pengelolaan sumber daya air

pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan

kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan (b)

237

rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada

tingkat kabupaten/kota. (c) rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada

wilayah sungai lintas provinsi disusun dengan memperhatikan kebijakan

pengelolaan SDA pada tingkat provisi yang bersangkutan. (d) rancangan pola

pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas negara dan wilayah

sungai strategi nasional disusun dengan memperhatikan kebijakan nasional SDA

dan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat povinsi dan/kabupaten/kota yang

bersangkutan.

Pola pengelolaan sumber daya air dirumuskan oleh wadah koordinasi

pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi setelah

dikonsultasikan dengan para gubernur yang bersangkutan diserahkan kepada

Mentri untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai

lintas provinsi. Sedangkan pola sumber daya air pada wilayah sungai lintas negera

dirumuskan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk dilakukan konsultasi

publik dengan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait dengan mengikut

sertakan bupati/walikota dan gubernur yang bersangkutan, mentri yang

membidangi pertahanan, dan mentri yang membidangi hubungan luar negeri dan

hasilnya disampaikan oleh unit teknis yang membidangi SDA kepada Mentri

untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas

negara.

Bersasarkan kebijakan sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah DKI

Jakarta dapat melakukan kerjasama dengan Pemda lain seperti Provinsi Jabar dan

Provinsi Banten serta dapat pula melakukan kerjasama langsung dengan Pemda

Kabupaten/Kota Bogor, Tangerang dan Bekas dengan melakukan koordinasi

terlebih dahulu dengan pemerintah provinsi masing-masing, sesuai dengan PP No.

38 Tahun 2007 pasal 19 ayat (1) Khusus Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta

rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

sebagaimana tertuang dalam PP ini secara otomatis menjadi kewenangan provinsi

DKI Jakarta.

Kerjasama yang bersifat lintas wilayah tersebut tidak terbatas dalam

pemanfaatan sungai untuk sumber air baku, namun termasuk dalam pengelolaan

238

sungai termasuk didalamnya kegiatan konservasi. Bentuk kerjasama pengelolaan

air bersih lintas wilayah adalah pendanaan konservasi melalui mekanisme role

sharing dari daerah pemanfaat air (DKI Jakarta) kepada daerah pensuplai air

dengan besaran berapa air yang dapat diterima oleh DKI dari daerah tersebut.

Kontribusi pendanaan konservasi air untuk wilayah hulu dan tengah DAS tersebut

biasa disebut dengan pembayaran jasa lingkungan atau payment environtment

servise (PES). Agar kebijakan kerjasama lintas wilayah memiliki payung hukum

yang tetap dan kuat, sebaiknya ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pekerjaan

Umum atas nama Pemerintah Pusat.

8.3 Pengelolaan air baku untuk air bersih DKI Jakarta

Untuk meningkatkan pelayanan air bersih, pemda DKI Jakarta melakukan

kerjasama dengan pihak swasta. Perjanjian kerjasama dimaksudkan untuk

meningkatkan produksi, distribusi, pengelolaan dan kemampuan teknologi. Surat

perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tersebut disaksikan dan

disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta. Surat perjanjian setebal 245 halaman

memuat secaca rinci dan detail tentang makna atau definisi-definisi 41 halaman

yang harus dibaca dengan cermat dan teliti karena berisi definisi yang complicated

dan penuh dengan makna yang mengambang. Kerjasama tersebut dilakukan

dilakukan sejak 1997 dengan beberapa kali perubahan surat perjanjian. Perjanjian

kerjasama pertama kali ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6

Juni 1997 yang kemudian diubah dengan perubahan terhadap perjanjian

kerjasama pada tanggal 28 Januari 1998 dan diubah kembali dengan perjanjian

kerjasama tertanggal 22 Oktober 2001.

Perjanjian kerjasama antara pemda DKI Jakarta yang diwakili oleh PAM

Jaya dengan pihak PT.Palyja dan PT.Aetra, dengan pembagian wilayah timur

Jakarta dengan pihak PT.Thames PAM Jays dan wilayah barat Jakarta dengan

pihak PT. Palyja. PT. Palyja berkantor di daerah Pejompongan dengan wilayah

operasi di wilayah barat sedangkan PT. Aetra wilayah operasinya mulai dari

Kalimalang sampai dengan Pulogadong, peta wilayah kerjasama dengan swasta

dapat dilihat pada Gambar 49.

239

Gambar 49. Intake building PT. Aetra Air Jakarta (PAM JAYA) di Kalimalang

JakTim

.

Gambar 50 . Peta proyek kerjasama air bersih di DKI Jakarta

Dalam perjanjian tersebut pihak kedua melakukan penagihan rekening air

kepada pelanggan, melakukan pengoperasian fasilitas-fasiltas produksi dan

distribusi air bersih dan air minum. Pembangunan aset baru (akan dibangun)

240

didanai bukan oleh pihak kedua (swasta) namun oleh pihak pertama dengan

persetujuan badan regulator. Pada tahun ini PT Palyja mengajukan dana sebesar

13 milyar untuk membangun WTP (IPA) baru di Kali Pesanggrahan dengan

kapasitas 600 liter per detik. Sungai Cisadane 3000 liter per detik, Kali Krukut

5.600 liter per detik. Badan regulator tidak menyetujui hal tersebut, badan

regulator menyarankan untuk menunggu hasil proyek pipanisasi yang akan

dibangun dengan dana APBN dan diperkirakan dimulai pada tahun 2013 dengan

kapasitas 4.000 liter per detik. Sedangkan WTP (water treatment Plant) Curug

diperkirakan akan mampu menghasilkan 5.000 liter detik.

Pendapatan dari usaha ini disimpan dalam rekening bersama yang

dinamakan dengan rekening escrow. Rekening escrow berarti rekening escrow

yang diadakan menurut perjanjian rekenening escrow sesuai dengan klausal 30.

Adapun pendapatan pendapatan yang tidak dibagi adalah semua pendapatan yang

tidak dibagi menurut perjanjian ini dan yang akan diterrima oleh masing-masing

pihak sebagai berikut; untuk pihak pertama, pendapatan yang terdiri dari; (i)

semua piutang yang belum diselesaikan sejak tanggal berlakunya kerjasama. (2)

kontribusi atau sumbangan yang dipungut atas nama instansi pemerintah. (iii)

hasil penjualan surplus aset (iv) pendapatan lain yang bukan milik pihak kedua

dari pendapatan yang tidak dibagi (v) 50% (lima puluh persen) dari semua denda

dan penalti yang dikenakan kepada para pelanggan selain biaya-biaya pemutusan

sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas distribusi.

Untuk pihak kedua, pendapatan yang terdiri dari pendapatan yang bukan

milik pihak pertama, termasuk: (i) biaya nyata sambungan pelanggan; (ii) denda

untuk keterlambatan pembanyaran hutang atau setiap pembanyaran rekening tak

tertagiih pada setiap waktu selama jangka waktu, baik berdasarkan perintah

pengadilan atau lainnya. Sehubungan dengan ganti rugi telah dibayar kepada

pihak pertama. (iii) bagian dari piutang yang belum diselesaikan yang berkaitan

dengan jumlah volume air yang ditagih dikalikan dengan imbalan yang berlaku

pada saat berakirnya jangka waktu atau tanggal berlakunya pengakiran perjanjian

ini. (iv) biaya pemutusan sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas

distribusi (v) 50% dari semua denda dan penalti yang dikenakan kepada pelangan

241

selain dari biaya-biaya pemutusan sambungan dari atau penyambungan kembali

ke fasilitas distribusi.

Dengan adanya kerjasama tersebut maka, pihak swasta yang melakukan

penagihan hasil distribusi air, pihak swasta pula yang melakukan pengeloaan air

minum dengan menggunakan instalasi dari PAM JAYA (yang telah terpasang)

sedangkan untuk WTP yang baru atas usulan pihak swasta pendanaannya tetap

ditanggung oleh pihak pemerintah dalam hal ini DKI Jakarta. Dengan model

kerjasama semacam ini, maka pihak PAM Jaya mengalami kerugian terus

menerus bahkan pada semester II tahun 2011 sebesar Rp. 8,6 milyar. Lihat Tabel

48 Kerugian PAM Jaya pada awal tahun 2011.

Tabel 48. Kerugian PAM JAYA awal tahun 2011.

No. Bulan Jumlah (Rp)

1.

2.

3.

Januari

Februari

Maret

2.504.310.120

3.090.960.482

2.984.632.513

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan PAM Jaya, (2011)

Kondisi di atas, meperlihatkan kerjasama dengan pihak swasta semacam

ini patut untuk dikaji ulang. Sesuai dengan pendapat Sanim (2011), terdapat

beberapa negara yang mengalami kegagalan dalam hal privatisasi air bersih. PAM

Bogor melakukan pengelolaan sendiri, dengan modal sendiri dan pinjaman

dengan dana lain dan menunjukkkan kinerja PAM Bogor sangat bagus. Begitu

pula PAM di luar Pulau Jawa misalnya Banjarmasin juga menunjukkan kinerja

PAM yang bagus sekali jika dikelolah oleh PAM tanpa ada kerjasama dengan

pihak swasta.

Dalam kerjasama dengan pihak swasta semacam ini, beberapa pegawai

yang ada di PAM Jaya dipekerjakan di pihak swasta yaitu PT.Palyja dan

PT.Aetra, padahal dalam kerjasama dinyatakan bahwa pihak swasta memiliki

keahlian dan modal, pihak pemerintah memiliki infrastruktur. Sedangkan

242

kenyataannya pihak pemerintah keahlian dan sdm yang berpengalaman serta

infrastruktur dan juga sumber air. Jika pemerintah kekurangan modal, maka tidak

perlu melakukan swastanisasi (privatusasi) karena privatisasi hanya menambah

beban bagi rakyat. Pihak swasta tentu hanya mengejar keuntungan sebesar-

besaranya, padahal air bersih berfungsi sosial, ekonomi dan fungsi lingkungan.

Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat (Undang-undang No 7 Tahun 2004 pasal 5).

Menurut Dirut PAM JAYA, MAURITS Napitupulu meminta operator

bekerjasama dengan PAM Jaya untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada

termasuk peninjauuan ulang kerja sama. Jika peninjauan ulang perjanjian kontrak

pada tahun 2012 mendatang berlangsung adil, PAM Jaya berencana membangun

sejumlah instalasi pengelolaan Air (IPA) dan pipa di sejumlah lokasi yang rawan

air bersih dengan bantuan dana dari Pemprov DKI akan membangun reservior

(penampung) dan pipa di kawasan Cilincing dan Muara Karang, Jakarta Utara.

Selain itu, meningkatnya IPA dibuaran dengan membangun IPA III dan IV,

pembangunan IPA itu akan dilakukan seiring dengan ditingkatnay debit air baku

di Kalimalang oleh pemerintah pusat dari 16 meter kubik per detik menjadi 26

m3/ per detik pada tahun 2015.

Mauritz Napitupulu menegaskan, pihaknya tidak pernah menahan uang

dari pelanggan (cash retntion) yang berada di rekening bersama antara Palyja dan

PAM Jaya, Maurit menilai Palyja tidak konsisten menerapkan aturan

sebagaimana diamanatkan Perda 11/1993 tentang pelayanan air minum. Kalim

Palyja yang menyatakan bahwa kami menahan dana mereka, tidak benar. Selama

ini Palyja tidak bisa membuktikan dana itu milik mereka. Kami tidak bisa

menandatangani suatu pencairan dana tanpa ada bukti kalim yang jelas, “ tutur

Mauritz kepada SP di Jakarta. Selasa 13/12. Menurut Meyritha Maryani

mengatakan, mereka memiliki bukti-bukti klaim. Selain penahanan cash retention,

hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak

pernah diperbaruhi sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya

shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal

kerjasama sehingga menyulitkan operator.

243

Juga perlunya revisi Perda 11/1993 yang sudah tidak sesuai dengan

kondisi saat ini. Kerjasama PAM Jaya DENGAN PALYJA tahun 2008,

Seperti diberitakan sebelumnya, salah satu operator pelayanan air bersih Jakarta,

Palyja nilai yang tertahan sejak Agustus 2010 hingga Oktober 2011 mencapai

10% hingga 15% dari pendapatan Palyja atau total Rp.163,4 milyar. Cash

retention tersebut berasal dari para pelanggan yang menunggak pembayaran pada

periode tententu termasuk. Untuk penggunaan dana dari rekening tersebut harus

ada tanda tangan kedua belah pihak yakni operator dan PAM Jaya. Yang terjadi

saat ini. Palyja sebagai opeator tak dapat mencairkan cash tetention karena PAM

Jaya tak menyetujui. PAM Jaya dinilai menahan uang dari pelanggan.

Alasan PAM Jaya, sepeti dikemukakan Mauritz, Palyja tak memiliki bukti

klaim pelanggan yang menunggak dan besaran klaim yang tidak sesuai kenyataan,

PAM Jaya juga tidak mengetahui kapan dana yang ada di rekening bersama mulai

terisi. Palyja meminta pembayaran Rp. 7200 per meter kubik. Sementara

pelanggan mereka yang menunggak itu hanya membayar tagihan air sebesar Rp.

1.050 per meter kubik. Darimana dana PAM Jaya menanggulangi selisih itu?”

kata Mauritz.

Terkait dengan bukti klaim cash retention, Manager Komunikasi Palyja

Meyritha Maryani mengatakan, mereka memilikinya. Bahkan, sambung dia, PAM

Jaya juga memiliki bukti-bukti klaim yang sama. Selain penahanan cash retention,

hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak

pernah diperbarui sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya

shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal kerja

sama sehingga menyulitkan operator.

Ketua komisi B (bidang perekonomian) DPRD Jakarta, Selamet Nurdin

mengatakan, restrukturisasi kesepakatan antara PAM Jaya dengan dua

operatornya yakni PT.Aetra dan PT. Palyja sudah mendesak. Selambat-lambatnya

reskonstruksi itu dilaksanakan pada 2012 mendatang. Pada 2012 mendatang

merupakan saat yang tepat untuk merestrukturisasi utang PAM Jaya.

244

8.4 Implikasi Kebijakan Kerjasama Lintas Wilayah

Berdasarkan verifikasi yang dilakukan, perlu disusun strategi untuk

memperkuat sistem yang telah disusun guna meningkatkan kinerja sistem dalam

mencapai tujuan. Perlu dilakukan suatu setting agenda dalam mengimplikasikan

kebijakan sebelum kebijakan itu diterapkan secara luas di masyarakat. Kebijakan

pengelolaan air lintas wilayah secara terpadu, holistik yang mengkaitkan antara

kualitas dan kuantitas serta berbasis OTDA, perlu memperhatikan kesetaraan

kepentingan daerah baik daerah hilir selaku pemanfaat air maupun daerah hulu.

Untuk itu perlu dipikirkan suatu imbalan dari pihak pemanfaat kepada daerah

hulu, imbalan tersebut bisa dinamakan jasa lingkungan (PES) yang dipergunakan

untuk budget konservasi air atau perbaikan lingkungan yang di hulu. Iuran atau

pendanan tersebut belum banyak dibahas dalam peraturan perundang-udangan

yang ada, walau telah banyak peraturan perundang-udangan yang membahas

konservasi namun tidak ada satupun peraturan baik undang-undang sampai

kepada peraturan pelaksana yang mengatur masalah dana atau pendanaan

konservasi air dan pembayaran jasa lingkungan.

8.4.1 Setting agenda kebijakan menuju DKI berketahanan air bersih

Suatu kebijakan akan lebih mudah untuk diimplementasi jika telah jelas

tahapan pencapaiannya dan pembagian tugas (role sharing). Pencapaian target

dapat dituangkan dalam setting agenda sedangakan penetapan setting agenda

serta role sharing mengacu peraturan perundang-undangan yang ada dan juga

mempertimbangkan target MDGs serta mengkaitkan hasil beberapa analisis

sebelumnya seperti identifikasi DAS terkait supply demand, identifikasi

dukungan kebijakan, analisis ISM, MDS dan juga Sistem Dinamik (SD).

Keterkaitan beberapa komponen kebijakan Tabel 49.

245

Tabel 49 Keterkaitan komponen kebijakan dalam model dinamik

Atribut sensitif hasil analisis MDS

Analisis Sistem Dinamik

Analisa das terkait supply deman

Driver power (dependen) hasil analisis ISM

Dukungan kebijakan

Banjir, Kekeringan, ,

BKT, 13 sungai, Desalinasi,

Citarum, Ciliwung, Cisadane wilayah sungai lintas propinsi yang memiliki potensi yang besar dan menjadi kewenangan pemerrintah pusat

Pemerintah Pusat, Suplai air bersih Kebutuhan air tinggi

UU No.32/2004, PP 38/2007Perpres No.12/2008 Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006 Pement PU No. 18/PRT/M2007, PermentPU No.21/PRT/M/2006 UU No.32/2004, PP 38/2007, PP 42/2008 Perpres 12/2008

Kualitas air bersih Pipanisasi

Citarum, Kualitas air, Terhindar dari penyakit, jumlah limbah,

PP 82/2001, Permen Kes

Keberadaan lembaga keuangan, Kapasitas lembaga pengelola air

PES Citarum, Ciliwung, Cisadane

jumlah limbah,

UU No. 7/ 2004 UU No.32/2004, UU No.32/2009 PP 38/2007, PP 42 / 2008

Partisipasi masyarakat dalam program (prokasi)

13 sungai, program 3 R,

Citarum, Ciliwung, dll.

Suplai air bersih, Kebutuhan air tinggi

Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006

pembayaran rek. air, PAD

Dana otda, Harga air tinggi, UU No.32/2004, PP 38/2007 Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006

Dengan mengacu pada hasil analisis MDS (atribut yang sensitif) dan analisis ISM

(elemen pendorong), analisis supply demand dan DAS terkait, analisis kebijakan

terkait pengelolaan air bersih, serta hasil dari analisis sistem dinamik, maka

kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI

Jakarta dapat ditetapkan dalam suatu rencana berupa target waktu dalam setting

agenda kebijakan sebagaimana nampak pada Tabel 50 berikut ini.

246

Tabel 50 Setting agenda kebijakan berketahanan air bersih

N0 Kebijakan 2012 2015 2020 2025 2030

1 Pemanfaatan BKT

2 Kebocoran (perbaikan pipa distribusi)

3 Peningkatan cakupan pelayanan (pemasangan pipa baru/distribusi)

4 Penerapan 3R

5 Pipanisasi WTP Curug

6 PES DKI (konservasi)

7 Sumber lain dari 13 Sungai lainnya

8 Desalinasi (pemanfaatan air laut)

Pencapaian target yang dituangkan dalam setting agenda perlu dilaksanakan

secara konsisten dan memperhatikan beberapa kondisi dan kendala yang mungkin

dihadapi. Program setting agenda tersebut di atas (Tabel 49) secara rinci dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Banjir Kanal Timur (BKT).

Proyek ini dimulai sejak tahun 2005 yang tercantum dalam Perda Provinsi

DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Tahun 2010 Provinsi DKI Jakarta. Presiden RI Megawati Soekarno Putri

mencanangkan pembangunan BKT pada tahun 2003 melalui percakapan jarak

jauh saat pencangan 30 proyek infrastruktur yang dipusatkan di Jepara Jawa

Tengah dan didanai oleh APBNI sejak 3 Desember 2007.

Pembuatan proyek BKT memotong sungai-sungai Cipinang, Sunter,

Buaran, Jatikramat, dan Cakung, dari barat ke timur, sejajar dengan jalan

Basuki Rahmat sampai perbatasan Pondok Kopi, lalu dialirkan ke utara di

prerbatasan timur wilayah DKI Jakarta (Robert Adhi Ksp 2009). Proyek

Banjir Kanal Timur meliputi wilayah seluas + 160 km2. Dengan proyek BKT

diharapkan dapat mengurangi masalah banjir di DKI Jakarta. Namun

DKI, Banten, Jabar Pusat

PU DKI, PU Pusat

PU, DKI, PAM

10% PAM, DKI

80%(MDG Nasional) PU,DKI,PAM

Pusat dan daerah

DKI, Pemda Non DKI, Pusat,

PAM

DKI, PAM

247

demikian diperlukan peran Pemda DKI dalam membenahi sistem drainase

lokal di utara BKT serta pemanfaatan ruangnya ditata kembali sesuai kaidah-

kaidah penataan ruang agar proyek BKT berfungsi sesuai harapan. Peran lain

pemerintah DKI Jakarta yaitu dengan menganggarkan untuk pembebasan

tanah sebesar 2,5 trilyun rupiah. Pembangunan Banjir Kanal Timur selesai

dibangun pada tahun 2011 dengan kemampuan pendanaan dan tenaga kerja

dari bangsa sendiri. Dengan memanfaatkan air dari Banjir Kanal Timur maka

diperkirakan akan menambah kurang lebih 10.000 liter/ detik.

2. Penurunan tingkat kebocoran. 

Penurunan tingkat kebocoran dengan melakukan perbaikan pipa pada

jaringan distribusi dan sehingga dapat menurunkan tingkat kebocoran sampai

dengan 10% pada tahun 2015. Perbaikan pipa distribusi diperlukan mengingat

kondisi pipa distribusi rata-rata sudah berumur di atas 15 tahun. Kebocoran

yang terjadi disebabkan oleh pipa distribusi yang sudah berumur di atas 15

tahun. Umur pipa distribusi yang tua, keropos, dan berkarat menyebabkan

kebocoran, mengurangi volume air serta mengakibatkan penurunan kualitas

air akibat kematian.

Kebocoran air yang terjadi pada pertengahan 2011 di daerah Kebon Jeruk,

distribusi yang ditanam di bawah tanah (jalan raya). Kebocoran pipa

distribusi air bersih yang terjadi di daerah Pangeran Jayakarta yang

disebabkan oleh proyek pengerukan got/ saluran air untuk penanggulangan

banjir. Pengerukan got (drainase) dengan menggunakan peralatan berat

(backqu loader) mengakibatkan kebocoran pipa distribusi dan distribusi air

bersih di daerah Pangeran Jayakarta mengalami gangguan kurang lebih

sebulan dari bulan Nopember 2011 sampai dengan Desember 2011.

Perbaikan pipa dapat berjalan dengan baik jika dilakukan dengan secara

bertahap dan didukung oleh data tentang panjang, umur, lokasi pipa bawah

tanah dan lain-lain. Perbaikan pipa distribusi dibawah tanah (dekat jalan raya)

akan mengakibatkan kemacetan di DKI Jakarta. Untuk itu perbaikan

pipanisasi harus direncanakan secara baik dan dilakukan di malam hari secara

bertahap.

248

Jika PAM Jaya mampu menurunkan tingkat kebocoran dari 46% sampai

kepada30% bisa mendapatkan tambahan air bersih sebesar 3,6 m3/ detik atau

setara dengan 110.376.000 m3/ tahun dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 3

trilyun. Dana sebesar itu dipergunakan untuk perbaikan pipa distribusi yang

sudah tua dan mengalami kebocoran.

3. Peningkatan cakupan layanan.

Saat ini cakupan pelayanan air bersih DKI Jakarta masih sekitar 50%

sampai dengan 60% dari total penduduk DKI Jakarta. MDGs mentargetkan

untuk kota besar cakupan pelayanan air bersih perpipaan sebesar 80% pada

tahun 2015. Peningkatan layanan air bersih perpipaan saat ini masih

mengalami banyak kendala antara tingginya tingkat kebocoran dan

kehilangan air di saluran distribusi. Tingkat kehilangan tersebut diakibatkan

oleh berbagai hal baik kebocoran pipa distribusi maupun tingkat hal lain.

Selain itu kuantitas air baku belum mencukupi kebutuhan masyarakat DKI

Jakarta.

Sejalan dengan program peningkatan (penambahan) sumber air baku,

maka ditingkat distribusi perlu dilakukan peningkatan cakupan pelayanan

dengan menambah saluran perpipaan yang baru. Peningakatan jaringan

distribusi perpipaan harus dimulai pada tahun 2013 sehingga pada tahun 2015

sudah tercapai target MDGs yaitu cakupan pelayanan air bersih sebesar 80%

dari total penduduk DKI Jakarta.

4. 3R ( reduce, reuse , recyle)

Dalam pelaksanaan program 3R tidak dapat hanya mengharapkan dari

kesadaran masyarakat walau keberhasilan program 3R sangat menuntut

kesadaran masyarakat. Program 3R yaitu reduce (menghemat), reuse

(menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali). Pemerintah Pusat dan

Pemda DKI Jakarta haruslah memulai dengan melakukan sosialisasi program

3R ditiap-tiap Kecamatan sampai kepada tingkat kelurahan.

Pelaksanaan program reduce, reuse , recyle dimulai dengan sosialisasi ke

RT dan RW seluruh Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2012. Selanjutnya

pelaksanaan program 3R yaitu melakukan pembangunan instalasi pengelollan

3R di tiap-tiap kelurahan sampai kepada tiap-tiap Rukun Warga (RW) yang

249

dimulai pada tahun 2013 diseluruh kelurahan wilayah Propinsi DKI Jakarta.

dan dapat dimanfaatkan pada tahun 2015.

Jika program 3R dapat dilaksanakan dengan baik, maka DKI Jakarta akan

menghemat 30% dari pasokan air baku saat ini atau sekitar 99.255.000 m3. .

5. Pipanisasi dari Waduk Jatiluhur

Menurut Direktur Jendral Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan, Dr.Ir.

Muhamdad Amron (Suara Pembaruan 14/12/11) saluran Taum Barat yang

mengalirkan air baku dari Jatiluhur mendapatkan banyak masalah antara lain

pencemaran, kondisi saluran, serta penyalahgunaan fasilitas di sekitar saluran.

Pipanisasi diperlukan dikarekan air dari Jatiluhur yang disalurkan ke IPA

Buaran melalui saluran terbuka mudah terkena pencemaran. Perkiraan dana

untuk porgram pipanisasi menelan biaya sebesar Rp.2,3 triliun. Program

pipanisasi dari Jatiluhur hingga Jakarta sepanjang 78 kilometer dengan

ukuran pipa berdiameter 1,8 meter, akan mampu menggelontorkan air bersih

hingga 4.000 liter/detik. Program pipanisasi air bersih langsung, jauh lebih

efektif dan murah karena air tidak perlu diolah di IPA, suplai air langsung

dihubungkan ke pipa distribusi air minum yang ada di Jakarta.

Pembangunan pipanisasi akan meningkatkan efisiensi pemanfaaan air

baku dari tingkat kehilangan 50% menjadi 10 % dan penurunan tingkat

pencemaran di sumber air baku. Program pembangunan pipanisasi dimulai

dalam waktu dekat (Muhamad Amron) diperkirakan dimulai tahun 2012 dan

diperkirakan selesai dan dapat beroperasi pada tahun 2025.

6. PES (Payment For Environment Sevice).

Awal teori tentang PES muncul pada tahun 1960 melaui tulisan artikel The

Problem of Social Cost oleh Prof Ronald Harry Coase, Universitas Chicago.

Sedangkan menurut Sven Wunder, PES adalah skema pemberian imbalan

kepada penghasil jasa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jasa

lingkungan, bukan pembayaran kepada ekosistem itu sendiri. Jadi transaksi

PES dilakukan secara sukarela antara penerima manfaat dan pemberi manfaat

jasa lingkngan. Kongres Watersheed Management tahun 2003 mendefisinikan

PES sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa lingkungan

(service providers) dibayar oleh pengguna manfaat jasa lingkungan (service

250

users). PES untuk jasa air dan perlindungan DAS diartikan sebagai penerapan

mekanisme pasar pemberian kompensasi kepada masyarakat pemilik lahan di

hulu untuk konservasi dan tidak merubah peruntukan lahan-lahan yang

berpengaruh terhadap ketersediaan atau kualitas sumber daya air di hilir. PES

bersifat jangka panjang dan insentif bersifat jangka pendek, hal tersebu sesuai

pendapat dari Doribel Herrador dan Leopoldo Dimas, peneliti disiplin ilmu

agronomist dan environment economisc dari El Salvador.

Pembayaran PES (payment environment services) bertujuan mendorong

pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan bertanggungjawab.

Skema PES untuk mendorong kesejahteraan masyarakat yang berkontribusi

dalam meletarikan sumberdaya alam, dengan catatan bahwa daerah hilir atau

penerima manfaat atau pihak yang membayar, logikanya harus levih sejahtera

dibanding daerah hulu atau penyedia jasa lingkungan atau pihak yang

menerima pembayaran, jika tidak, tak akan terjadi skema PES (Dewa Gumay,

2011).

Pembayaran PES dapat dilakukan secara sukarela oleh penerima manfaat

dan pemberi manfaat, hal tersebut seperti yang dilaksanakan di DAS Cidanau

yaitu PT.KTI secara sukarela membayar iuran jasa lingkungan sebesar Rp.

175.000.000,- melalui Forum Komunikasi Das Cidanau (FKDC) yang

dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/02

tanggal 24 Mei 2002. Namun dalam kesepakan sukarela pembayaran jasa

lingkungan tersebut belum jelas menakisme kepada siapa sebenarnya PES

dibayarkan.

Pembayaran PES dalam kasus pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta

sebaiknya dilakukan dengan pandangan bahwa air merupakan barang publik

yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu pembayaran PES dalam

pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI Jakarta

yang berbasiskan otonomi daerah, berbeda dengan pembayaran PES yang

terjadi di DAS Cidanau. DKI Jakarta melalui PAM Jaya menerima manfaat

dari daerah hulu untuk itu Pemda DKI Jakarta harus membayar PES sebagai

kepeduliannya dalam rangka konservasi sumber daya air kepada daerah hulu

251

yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DAS bagian tengah yaitu Pemda

Tangerang Provinsi Banten.

Beberapa contoh pembayaran PES seperti yang terjadi di Banten dan juga

di Cirebon dan Kuningan dapat dijadikan pelajaran untuk mekanisme

pembayaran PES. Kerjasama pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis

Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan antara pemerintah Kabupaten

Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian tersebut disepakati

bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan

mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif berlaku sebelum diolah

bagi pelanggan di Kota Cirebon dan tingkat kebocoran air (Hikmat

Ramdhan). Pada saat proses negosiasi berjalan penyedia jasa lingkungan

menunjukkan bentuk sertifikat komitmen untuk menyakinkan wilayah

pengguna bawhwa wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologi secara serius

menjamin wilayahnya tetap mampu memasok air. Skema pembayaran jasa

lingkungan yang menganut skena voluntery akan sulit diwujudkan jika

pandangan masyarakat daerah tersebut menganut faham bahwa air dan bumi

seisinya adalah dikuasai negara dan dimanfaatakan untuk kemakmuran

masayrakat sebesar-besarnya. Skema voluntery hanya bisa diterapakan pada

kelompok bisnis yang bersifat komersial seperti yang diterapkan di Propinsi

Banten.

Perbedaaan masalah pemenuhan air dan sumber air di masing-masing

daerah serta belum diputuskannya secara hukum mekanisme pembayaran jasa

lingkungan, maka skema pembayaran jasa lingkungan setiap daerah juga

berbeda-beda. Untuk DKI Jakarta, pemerintah DKI Jakarta dapat melakukan

beberapa kerjasama dengan pemerintah daerah di sekitarnya, misalnya untuk

pemanfaatan sumber mata air yang terdapat di Kabupaten Bogor, maka skema

kerjasama bisa menggunakan atau mencontoh skema pembayaran yang

dilakukan oleh Kabupaten Cirebon dan Kuningan. Namun untuk pemanfaatan

DAS Sungai dengan status wilayah sungai strategis nasional dan sungai lintas

propinsi, maka mekanisme kerjasama antar propinsi yang perlu dilakukan dan

dibawah payung hukum pemerintah pusat karena kewengan pengelolaan

252

sungai starategis nasional dan sungai lintas propinsi berada pada kewenangan

pemerintah pusat.

Pembayaran PES oleh Pemda DKI ke Provinsi Jabar dan Tangerang

Provinsi Banten dengan perhitungan air yang dapat diterima oleh DKI Jakarta

dengan perkiraan sebesar Rp. 100/ m3 . Biaya atau dana PES tersebut diambil

dari teori valuasi air dan mempertimbangkan biaya pengelolaan air yang rata-

rata membutuhkan dana sebesar Rp. 1.000,-/ m3 s.d. Rp. 1.500,- (termasuk

biaya investasi IPA) serta mempertimbangkan pembayaran jasa air sebesar

Rp.161,-. Saat ini DKI Jakarta menerima pasokan air baku dari Jatiluhur

sebesar 400 juta m3 s.d. 500 juta m3 sehingga DKI Jakarta perlu

menyediakan dana PES sebesar kurang lebih Rp.50.000.0000.000.- . Dana

tersebut dibayarkan kepada Provinsi Jabar dan Pemda Tangerang Provinsi

Banten yang diperuntukan perbaikan lingkungan dan konservasi sumber daya

air di hulu DAS Citarum dan Cisadane sesuai dengan besaran air baku yang

ditrima. Mekanisme kerjasama tersebut sebaiknya dibahas oleh pihak pihak

terkait termasuk para gubernur yang melibatkan beberapa kabupaten yang

dilewati oleh DAS Citarum dan DAS Cisadane. Kerjasama antar wilayah

dengan daerah atau propinsi lain dalam pemanfaatan DAS sungai wilayah

strategis nasional seperti DAS Ciatrum dan Cisadane haruslah ditetapkan

dalam payung hukum pemerintah pusat hal tersebut sesuai dengan PP 38

tahun 2007 dan PP 42 tahun 2008.

Kerjasama dengan Provinsi Jabar dimulai tahun 2013 sampai dengan

tahun 2033 serta Provinsi Banten (Pemda Tangerang) 2013 sampai dengan

2033, kerjasama tersebut bersifat jangka panjang. Dana PES yang dibayarkan

kepada daerah hulu dan daerah tengah DAS tersebut dipergunakan untuk

memperbaiki kondisi DAS di hulu Sungai Citarum yang berada di Kabupaten

Bandung. Sedangkan bagian tengah DAS Citarum bagian tengah yaitu

Purwakarta, Karawang, dan Bekasi mendapatkan dana PES sesuai dengan

kesepakatan dan arahan Gubernur Jabar. Dana PES dipergunakan untuk

perbaikan badan sungai dan program kali bersih di daerah tersebut, agar

masyarakat dan industri yang ada di ketiga daerah tersebut tidak membuang

sampah dan limbah ke badan sungai.

253

7. Menambah sumber lain dari 13 sungai lainnya.

Penambahan air baku untuk air bersih dari 13 sungai yang ada dalam

rangka peningkatan kapasitas pelayanan air bersih perpipaan sampai 80%

pada 2015 dan sekaligus penurunan cakupan pelayanan air bersih dengan

sistem non-perpipaan terlindungi sampai 20% pada tahun 2015. Pemanfaatan

sumber air baru dari 13 sungai di DKI yang belum dimanfaatkan secara

maksimal dengan metode pengelolaan ultrafiltras dengan diikuti program kali

bersih dan melakukan normalisasi sungai-sugai di DKI Jakarta.

Kebijakan semacam ini pernah dilakukan oleh Pemerintah Singapuran.

Singapura melakukan pemindahan bangunan di pingiran atau bantaran sungai

ke rumah susun sederhana dan pembuangan saluran rumah tangga tidak

dialirkan ke sungai. Program ultraviltasi air sungai Jakarta dimulai pada tahun

2012 sampai tahun 2015. Menambah sumber air baru baik dari luar DKI

Jakarta, misalnya Bogor yang tekenal memiliki DAS terbaik dan terbanyak.

Kerja sama dengan Provinsi Jawa Barat, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif

untuk melakukan rencana kerjasama pengelolaan tersebut kepada menteri dan

ditembuskan kepada badan koordinasi pengelolaan sumber daya air pada

wilayah sungai untuk di bahas dalam pola pengelolaan wilayah sungai lintas

propinsi dengan melibatkan Gubernur Jawa Barat dan DKI Jakarta serta

melibatkan Bupati Bandung, Bupati Purwakarta, Bupati Karawang, Bupati

Bekasi, dan Bupati Bogor. Rencana pola pengelolaan sungai lintas propinsi

yang telah disusun dengan melibatkan para gubernur dan bupati terkait serta

pihak terkait dalam konsultasi publik, untuk draft tersebut di kembalikan

kepada menteri.

Kualitas 13 sungai yang melewati wilayah DKI Jakarta dari waktu ke

waktu terus mengalami pencemaran oleh buangan rumah tangga dan industri.

Program perbaikan kualitas sengai melalui Program Kali Bersih (Prokasih)

pada awal tahun 90-an yang kemudian terhenti karena krisis moneter dan

ekonomi melanda Indonesia ternyata tidak mampu memenuhi target yang

ditetapkan. Akibat perubahan kualitas air yang signifikan tersebut, bisa

dipastikan bahwa hampir tidak ada sungai-sungai dalam kota yang bisa

254

dijadikan sumber air baku bag PAM DKI. Beberapa instalasi pengolahan air

bersih skala kecil (mini water treatment plant) yang pada awalnya

menggunakan beberapa sungai yang ada di dalam kota sebagai sumber air

bakunya sudah tidak difungsikan lagi akibat jeleknya airnya serta

berkurangnya debit air, terutama selama musim kemarau.

Sebagaimana diketahui, penurunan muka air tanah merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan penurunan muka tanah di wilayah Jakarta. Abidin

dan kawan-kawan (2002) menemukan bahwa dari hasil pemantauan dengan

menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) yang dilakukan

secara berkala dari tahun 1997 sampai tahun 2000 pada beberapa tempat

diwilayah DKI Jakarta, ditemukan terjadi penurunan muka tanah secara

signifikan dengan kecepatan yang bervariasi. Dari hasil pemantauan,

diketahui bahwa daerah yang cukup besar terjadi penurunan muka tanahnya

adalah di daerah Kapuk dengan kecepatan 10 cm/tahun dan di daerah

Marunda yang mencapai 9 cm /tahun. Penurunan permukaan tanah ini dapat

menyebabkan potensi volume dan permukaan genangan air pada musim

hujan (banjir) bertambah secara signifikan. Sedangkan pada saat musim

kemarau, karena perubahan tekanan hidrolisis pada sistem geohidrologis air

tanah di wilayah dekat pantai dan akibat tingkat etraksi air tanah sedang dan

dalam yang sangat tinggi, instrusi air laut bergerak dengan sangat cepat dari

utara ke arah selatan bahkan sudah hampir mencapai wilayah Jakarta Selatan.

Sementara itu, khususnya pada air tanah dangkal karena belum

tersedianya sistem penanganan limbah cair yang memenuhi persyaratan

sanitasi, sebagian besar air tanah di wilayah DKI Jakarta tercemar oleh

limbah cair rumah tangga yang terlihat dari indikasi kandungan Fecal Coli

Form yang sangat tinggi. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh BPLHD

DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005 menunjukan bahwa 67% dari sumur

yang dipantau mengandung bakteri coliform dan 58% diantaranya

mengandung fecal coli melebihi bakal mutu.

Pemanfaatan sungai yang mengalir di DKI Jakarta terkendala dengan

kualitas air sungi yang tercemar berat dan debit air sungai yang tidak setabil.

Progam pemanfaatan 13 sungai lainnya yang mengalir ke DKI Jakarta, harus

255

dibarengi dengan penanganan pembuangan air limbah ke sungai oleh pabrik

dan perumahan penduduk ataau perumahan kumuh di badan sungai. Selain itu

pelaksanaan program kali bersih harus terus diterapkan secara konsisten.

Program tersebut direncanakan dimulai pada tahun 2015 sampai tahun 2025.

Untuk mengurangi limbah industri yang dibuang ke sungai, maka perlu

dipertimbangkan untuk melakukan pemindahan pabrik-pabrik /industri berat

yang ada di bantaran sungai atau pinggiran sungai ke wilayah pinggiran DKI

Jakarta atau BODETBEK..

Salah satu dari 13 sungai yang ada di Jakarta adalah Sungai Ciliwung.

Sungai Ciliwung memiliki panjang aliran utama adalah hampir 120 km

dengan daerah pengaruhnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi.

Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota

Depok, dan Jakarta. Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di

perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di

Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati

bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan

Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai

batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai

aliran Ciliwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur

aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun

setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-

kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di

antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran. Dari 13 sungai yang mengalir di

Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan

karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak

perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman

kumuh.http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama.

256

            

Gambar 1. Sungai Ciliwung yang bermuara di Pasar Ikan

Tabel 51. Luas DAS dan Debit

No DAS Luas Daerah Tangkapan Air (Ha)

Luas DAS

Debit Q max m3/detik

Debit Q min m3/detik

Volume air permukaan (juta m3/thn)

1 Citarum hilir 719.605 85.196 4.5140 0.0030 1.220

2 Ciliwung 38.260 28.634 1.6830 1.6000 410

3 Cisadane 155.975 124.013 4.8800 0.2800 1.775

4. Kali angke-

pesanggrahan

65.957

5. Sunter 12.346

6. Kali Bekasi 176.000 41.175. 590

Sumber : Diolah dari berbagai sumber.

8. Desalinasi.

Pemanfaatan air laut untuk mencukupi kebutuhan masyarakat DKI dengan

metode desalinasi dan ultraviolet. Air laut memiliki kapasitas yang sangat

besar dan belum dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih. Namun kondisi

dan kualitas air laut DKI Jakarta yang asin dan tercemar logam berat perlu

dilakukan metode reverse osmoses.

Penggunaan air laut untuk air bersih sudah diuji coba dilaksanakan di

daerah Bali. Air laut diambil pada kedalaman 300 meter dibawah permukaan,

kemudian dinaikkan dan dimasukan kedalam tangki untuk menjaga suhu air .

257

Setelah itu dilakukan pemisahan air dari garam laut (desalinasi), yang

menghasilkan air tawar kurang lebih sebesar 50%nya. Selanjutnya dilakukan

proses kimiawi, biologi, dan fisika. Metode ultraviltrasi diperlukan agar

kuman-kuman yang terdapat pada air tersebut dapat dilemahkan. Selanjutnya,

sebelum air tersebut didistribusikan kepada masyarakat, perlu dilakukan

pengecekan melalui laboratorium untuk memastikan apakah air hasil

desalinasi sudah sesuai dengan baku mutu.

8.4.2 Role Sharing (Bagi Peran ) Pengelolaan Air Baku untuk Air Bersih

Pengelolaan air bersih bersifat kompleks dan melibatkan beberapa stake

holders, misalnya pemerintah, pemda, PAM, Kementrian PU, Kementrian

Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian ESDM, LSM, masyarakat dan

swasta (telah dibahas pada bab sebelumnya tentang analisis kelembagaan). Untuk

itu dalam pengelolaan air tidak dapat mengandalkan lembaga yang tunggal,

pengelolaan air di era otonomi daerah seperti sekarang ini harus berdasarkan

kepada prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, berwawasan lingkungan dan

berdasarkan prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), yaitu

dengan melibatkan semua stakeholder yang berkepentingan dalam proses

pengelolaan air. Institusi inti dan usulan atau bagi peran dalam pengelolaan air

lintas wilayah dapat diringkas pada role sharing Tabel 52

258

Tabel 52. Role Sharing pengelolaan air bersih lintas wilayah berbasis otonomi

daerah

Institusi Peran

Pemerintah Pusat - Memfasilitasi pemerintah kabupaten kota untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat al.

- Memenuhi kebutuhan minimun air bersih masyarakat .

- Kementrian Kesehatan dengan program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penetapan dan pengawasan kualitas air.

- Kementrian Pekerjaan Umum dengan program sanitasi masyarakat (Sanimas), sosialisasi 3R, pembangunan sarana dan prasarana yang menjadi wewenang pusat (skala nasional), mengelolah sungai lintas negara, sungai lintas propinsi dan sungai strategis nasional.

- Kementrian Kehutanan dengan program pelestarian hutan

- BKKBN program KB untuk menekan laju pertumbuhan penduduk

- Kementrian Lingkungan Hidup untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh Industri

DKI Jakarta - Berinisiatif untuk mengidentifikasi sumber air baku di wilayah DKI Jakarta.

- Melakukan koordinasi dengan instansi terkait lintas propinsi dan lintas kabupaten/kota serta mendiskusikan permasalahan yang ada dalam pemanfaatan air sungai lintas provinsi.

- Melakukan evaluasi status mutu air sungai DKI Jakarta dan melakukan studi kelayakan pemanfaatan air sungai. 

- Melakukan  normalisasi  sungai  dan  program prokasi. 

- Menerapkan Law Enforcement bagi pelaku pencemaran lingkungan terutama di sungai. - Mewajibkan Industri melaksanakan progam

Reduce, reuse dan recycle dengan cara membuat instalasi pengolahan limbah industri dan mengolahnya kembali dan membuat studi kelayakan untuk pemindahan industri besar ke daerah di luar DKI Jakarta.

- Mewajibkan Hotel melakukan progam reduce dan reuse dengan cara mengganti equipment kamar mandi menjadi yang otomatic

- Menaikkan tarif pajak air tanah akan diperoleh dana untuk konservasi air tanah

259

Institusi Peran

- Memberikan subsidi air untuk keperluan masyarakat miskin dan meningkatkan akses kepada air bersih.

- Berkoordinasi dengan BKKBN untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. .

PDAM - Mengurangi kebocoran - Meningkatkan pelayanan dan menambah jumlah

sambungan rumah - Ikut terlibat dalam program pelestarian DAS

hulu. - Meningkatkan teknologi modern untuk

pengelolaan. - Melakukan kajian terhadap program desalinasi. - Mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan

air bersih di DKI Jakarta.

PJT II - Melaksanakan konservasi air di das yang

menjadi wewenangnya, memelihara dan menjaga

kestabilan debit di Bendungan Jatiluhur . LSM - Ikut terlibat dalam proses pemerdayaan

masyarakat - Mengawasi pemanfaatan lahan dan mencegah

konversi lahan serta terlibat dalam proses reboisasi

- Turut mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan air bersih di DKI Jakarta.

Masyarakat - Terlibat langsung dalam pelaksanaan reboisasi hutan, terasering pada tegalan.

- Ikut mencegah pencemaran dengan tidak lagi memuang limbah rumah tangga kedalam sungai atau selokan.

- Melaksanakan program hemat air dengan metode / program 3R.

- Mewakili komponen masyarakat dalam dewan SDA dan lain-lain.

Perguruan tinggi - Melakukan penelitian R & D terkait pemenuhan air bersih baik teknis maupun kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah.

- Mendesain metoda metoda sosialisasi pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah provinsi Jabar

dan Tangeran Banten - Memfalitasi koordinasi antara pemerintah

kabupaten kota (Kota Bogor, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Sukabumi) terkiat dengan pemanfaatan sumber air di sungai lintas

260

Institusi Peran

provinsi dan lintas kabupaten/kota. - Memfasilitasi koordinasi antara pemerintah

kabupaten kota dengan Pemerintah Pusat

BP SPAM - Melaksanakan tugas dan fungsi BPSPAM terkait pengembangan sistem penyediaan air minum sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

- Melaksanakan kebijakan yang sudah digariskan.

Untuk mensukseskan DKI Jakarta yang berketahanan air, maka seluruh

stakeholder harus berperan pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pemenuhan

air bersih DKI Jakarta selain membutuhkan kerjasama lintas wilayah dan lintas

sektoral dan bersifat holistik, juga membutuhkan peran semua pihak. Untuk

mencukupi kebutuhan air bersih DKI Jakarta tidak hanya dapat dilakukan dengan

memperbaiki sisi supply tetapi juga perlu pengendalian sisi demand (permintaan/

pemanfaatan). Dari sisi deman program pengendalian dapat dilakukan melalui

pengendalian jumlah penduduk (BKKBN) dan Dinas Kependudukan, program

hemat air (3R) dan program pengendalian perijinan (DKI Jakarta).

Berdasarkan skenario kebijakan dan role sharing dapat disusun suatu perkiraan

pendanaan biaya yang diperlukan untuk masing-masing program kegiatan baik

untuk kegiatan 3R, pemanfaatan DAS BKT, pembayaran PES, desalinasi dan

pipanisasi dari Jatiluhur serta perbaikan kebocoran pada pipa distribusi.

261

Tabel 53. Perkiraan biaya dan kapasitas air yang diperoleh

No.

Program Kapasitas(liter/ detik)

Volumem3

Dana APBN(Rp)

Pemda DKI (Rp)

1 Kali Pasanggrahan 6.000 189.216.000 - 5 trilyun 2 Sungai Cisadane 3.000 94.608.000 - 189 trilyun 3 Pipanisasi Curug 5.000 157.680.000 6.0 trilyun -

4 BKT 10.000 315.360.000 5.5 trilyun 4,5 miyar 5 Desalinisasi Tidak

terbatas- 5 trilyun

6 PES 5.00.000.000 - 50 milyar 7 Perbaikan

Kebocoran Pipa Distribusi

113.529.600 - 3 trilyun

8 Program 3R 99. 255.000 s.d

157.680.000

- 6 trilyun

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

Program pipanisasi Curug (Jatiluhur) akan menghasilkan pasokan air yang

cukup besar dengan pendanaan dari pemerintah pusat (APBN) dan pemda DKI

Jakarta tidak mengeluarkan dana apapun. Melihat komposisi tersebut tentunya

Pemda DKI memilih menunggu proyek tersebut selesai. Namun demikian sebagai

Pemerintah Provinsi yang memiliki ketergantungan sumber air baku dari daerah

lain, maka Pemerintah DKI sebaiknya memanfaatkan debit sungai BKI yang

cukup besar tersebut untuk mencukupi kebutuhan warganya. Pemda DKI telah

mengeluarkan dana sebesar 2.5 milyar untuk pembebasan tanah dan diperlukan

sekitar 2 milyar untuk membangun IPA baru untuk mengelola air baku dari BKT.