bab vii menyingkap faktor-faktor pemberdayaan masyarakat...

16
123 Bab VII Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru Sebagaimana telah diuraikan secara teoritis dalam Bab I-III dan secara empiris di Bab IV-VI tentang konsep pembangunan masyarakat yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat. Maka Bab ini mengupayakan suatu penyampaian kajian analitis atas hasil penelitian dan dari literatur tentang beberapa faktor yang berperan dalam proses suatu pemberdayaan masyarakat desa Tologoweru. Adrian Leftwich (2000), salah seorang praktisi politik pembangunan, menyebutkan bahwa kajian analitis atas suatu hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat dapat dijadikan sebagai percontohan atau simulasi bagi suatu perencanaan bagi pembangunan masyarakat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Nitisastro (2010:9) bahwa oleh karena pembangunan merupakan suatu proses, maka pembangunan tersebut membutuhkan “breakthrough” dari kondisi stagnant dan berupa pertumbuhan kumulatif. Oleh karenanya, kajian analitis atas suatu pemberdayaan masyarakat amat diperlukan, sehingga siapapun yang hendak melakukan pembangunan dapat mengadakan pilihan dari metode-metode pemberdayaam masyarakat yang ada sebagai alternatifnya. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat Konsep mendasar tentang pemberdayaan masyarakat sebagaimana dicanangkan oleh World Bank adalah suatu proses pembangunan masyarakat yang harus dijalan secara terus menerus dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal (Narayan 2002:11).

Upload: phamminh

Post on 18-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

123

Bab VII

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan

Masyarakat di Desa Tlogoweru

Sebagaimana telah diuraikan secara teoritis dalam Bab I-III dan

secara empiris di Bab IV-VI tentang konsep pembangunan masyarakat

yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat. Maka Bab ini

mengupayakan suatu penyampaian kajian analitis atas hasil penelitian

dan dari literatur tentang beberapa faktor yang berperan dalam proses

suatu pemberdayaan masyarakat desa Tologoweru. Adrian Leftwich

(2000), salah seorang praktisi politik pembangunan, menyebutkan

bahwa kajian analitis atas suatu hasil penelitian tentang pemberdayaan

masyarakat dapat dijadikan sebagai percontohan atau simulasi bagi

suatu perencanaan bagi pembangunan masyarakat. Hal ini senada

dengan apa yang diungkapkan oleh Nitisastro (2010:9) bahwa oleh

karena pembangunan merupakan suatu proses, maka pembangunan

tersebut membutuhkan “breakthrough” dari kondisi stagnant dan

berupa pertumbuhan kumulatif. Oleh karenanya, kajian analitis atas

suatu pemberdayaan masyarakat amat diperlukan, sehingga siapapun

yang hendak melakukan pembangunan dapat mengadakan pilihan dari

metode-metode pemberdayaam masyarakat yang ada sebagai

alternatifnya.

Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Konsep mendasar tentang pemberdayaan masyarakat

sebagaimana dicanangkan oleh World Bank adalah suatu proses

pembangunan masyarakat yang harus dijalan secara terus menerus

dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat

dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal (Narayan 2002:11).

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

124

Hal ini sesuai dengan pendapat Ife (1995:182) yang menjelaskan bahwa

suatu pemberdayaan masyarakat (social empowerment) adalah

providing people with the resourses, opportunities, knowledge, and skills to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and affect the life of their community,

(penyediaan pada masyarakat dengan sumber-sumber kebutuhan, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian-keahlian untuk menambah daya kemampuan mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi dan memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat mereka)

Di dalam pengertian mendasar tersebut, tersirat empat prinsip

utama yang memaknai suatu kegerakan pemberdayaan masyarakat

(Friedman 1992:31-32; Wrihatnolo & Dwidjowijoto 2007:7-9), yaitu:

Pertama, prinsip pemberdayaan masyarakat yang memfasilitasi

penyediaan sumber daya, kesempatan, pengetahuan serta ketrampilan

dalam suatu proses yang harus dijalankan secara terus menerus.

Maksud dari prinsip ini adalah bukan saja merujuk pada adanya nilai

kesinambungan atau kontinyuitas, tapi yang lebih mendasar adalah

prinsip ini merujuk pada perlu adanya suatu proses pembangunan

masyarakat yang sistematis, alamiah serta berkesinambungan.

Maksudnya adalah di dalam proses pembangunannya, masyarakat

sendirilah yang harus menentukan ukuran-ukuran idealisme yang akan

menjadi tolol ukur kemampuan masyarakat agar mampu

merealisasikannya secara obyektif. Kedua, prinsip pemberdayaan

masyarakat yang menekankan terjadinya peningkatan kemampuan dari

masyarakat setempat. Maksudnya adalah bahwa proses suatu

pembangunan masyarakat harus tetap memiliki konsistensi terhadap

tujuan proses itu sendiri, yakni pada peningkatan kemampuan

masyarakat dalam berbagai dimensinya. Dengan demikian segala

sesuatu yang dilakukan bagi pembangunan masyarakat haruslah ada

dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat pembangun yang

menjadi subyek pemberdayaan tersebut atau berlaku sebagai pemilik

dan aktor penentu pembangunan masyarakat itu sendiri. Ketiga,

prinsip pemberdayaan masyarakat yang ditandai dengan adanya pola

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

125

peningkatan kemandirian dari masyarakat dalam mengelola suatu

kebijakan pembangunan masyarakat. Kemandirian suatu masyarakat

merupakan syarat mutlak sebagai tolok ukur keberhasilan

pembangunan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai sosial

masyarakat lokal tersebut sebagai faktor modal sosial, antara lain

budaya, tradisi lokal atau kearifan lokal (local wisdom) yang memiliki

daya pengaruh terhadap tingkat kemandirian dari keseluruhan anggota

masyarakatnya. Keempat, prinsip pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan meningkatkan taraf hidup dari semua anggota masyarakat

kearah yang lebih sejahtera, aman dan kuat.

Konsep pemberdayaan masyarakat yang diutarakan di atas

sesuai dengan apa yang telah diusung oleh Moeljarto (1987) bahwa

pemberdayaan masyarakat yang dijalan dengan baik akan mendorong

suatu kegerakan partisipasi masyarakat yang akan memberi dampak

sosial secara signifikan, antara lain: (1) Mendorong terjadinya

partisipasi masyarakat karena menjadikan kepentingan masyarakat

sebagai fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan; (2) Melalui

pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan akan mendorong

terjadinya partisipasi masyarakat karena menimbulkan rasa harga diri

dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan

penting yang menyangkut masyarakat; (3) Maka dengan demikian

kegerakkan pemberdayaan masyarakat ini pada akhirnya akan

mendorong pula terjadinya partisipasi masyarakat yang dipicu dengan

kemampuan dari masyarakat setempat untuk menciptakan suatu siklus

umpan berputar pada informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan

kondisi daerah, yang tanpa keberadaannya tidak akan terungkap. Arus

informasi ini merupakan bagian dari efisiensi dari pembangunan; (4)

Oleh karena masyarakat telah mampu menjalankan aspirasinya dengan

baik maka secara otomatis pemberdayaan masyarakat yang ada tersebut

akan terus mendorong terjadinya suatu partisipasi masyarakat yang

diakibatkan sebagai bagian dari proses pembangunan masyarakat yang

akan dapat dilaksanakan lebih baik karena masyarakat memiliki rasa

kepemilikkan; (5) Maka sebagai konsekuensinya pemberdayaan

masyarakat tersebut akan mendorong juga terjadinya partisipasi

masyarakat karena kegerakkan masyarakat ini akan memperluas

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

126

jangkauan pengembangan proyek pembangunan masyarakat yang

bersangkutan; (6) Sebab itulah pemberdayaan masyarakat akan

mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena memperluas

jangkauan pelayanan pemerintah pada seluruh masyarakat dan

menopang proses pembangunan yang berlasngsung; (7) Pemberdayaan

masyarakat akan mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena

menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi artkulasi potensi

individu maupun pertumbuhan kelompok individu dalam masyarakat

mereka; (8) Pemberdayaan masyarakat akan mendorong terjadinya

partisipasi masyarakat karena merupakan cara efektif membangun

kemampuan masyarakat dalam pengelolaan perencanaan

pembangunan masyarakat itu sendiri; (9) Pemberdayaan masyarakat

akan mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena

mencerminkan hak-hak demokratis individu yang terlibat dalam

pembangunan mereka sendiri.

Konsep pemberdayaan tersebut di atas tampaknya telah

terimplementasikan di desa Tlogoweru melalui proses pengembangan

usaha peternakan sapi yang merupakan hasil dari partisipasi

masyarakatnya sebagai respon atas ide dari ibu Elisabeth selaku agen

perubahan dan pak Soetedjo selaku kepala desa yang memotivasi para

petani untuk tidak pesimis dan traumatis akibat kegagalan dan kondisi

yang selama ini mereka alami. Nilai-nilai semangat berpartisipasi inilah

yang menjadi daya dorong moral yang mumpuni sebagai penggerak

masyarakat dalam melakukan pembangunan. Nilai-nilai seperti ini

penulis temukan dalam diri pak kades Soetedjo,

“saya sebagai pemimpin masayarakat disini senantiasa menekankan filosofi hidup ngilmu lan makaryo, ojo podho nongkrong lan nekem tangan. Artinya, carilah ilmu dan berkaryalah, jangan hanya duduk-duduk dan berpangku tangan” (wawancara, 1 Juni 2011)

Kalimat ini sering berulang kali diucapkan untuk memberi

semangat pada berbagai kesempatan pertemuan khusus maupun dalam

rapat pembahasan pengembangan dan perencanaan proyek

pembangunan.

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

127

Kegigihan dan jiwa determinasi dari ibu Elisabeth juga

berperan vital, misalnya dalam kelangsungan program pengembangan

bina usaha peternakan sapi. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang

dipakai oleh ibu Elisabeth mampu memotivasi para peternak sehingga

bangkit dari keterpurukan ketika anjlognya harga jual daging sapi atau

tatkala mengalami kegagalan dalam proses penggemukan sapi. Dalam

hal pengambilan keputusan, pak kades Soetedjo maupun ibu Elisabeth

tidak pernah memaksakan kehendak mereka, walaupun sebenarnya

ibu Elisabeth memiliki kapasitas itu karena kucuran dana adalah

mutlak bergantung dari beliau. Namun toh ibu Elisabeth biasa berkata,

“ya sudah kalo itu memang keinginan dari bapak-bapak… cuman saya minta satu yang harus dilakukan yaitu jujur, transparan dan rajin …” (saat penelitian, 29 Maret 2012) sebagai respon atas pendapat yang tidak setuju pada pendapatnya.

Pendekatan dan pola kerja yang non-birokratis inilah yang

nampaknya mendorong kegerakan partisipasi masyararakat desa

Tlogoweru. Gerakan pemberdayaan ini dapat terjadi karena adanya

suatu perubahan paradigma sistem manajemen dari sistem manajemen

yang dari arah top down ke arah bottom up. Menurut Peter Senge

dalam the Fifth Discipline (1990) perobahan dari organisasi tradisonal

yang top down, birokratis, otoriter ke organisasi pembelajaran bisa

terjadi apabila tersedianya jalur sistem organisasi yang mengalami

perubahan fokus dari kekuasaan kepada prinsip kebersamaan, dimana

para anggota masyarakatnya belajar lebih baik dalam cara berfikir

dalam sistem sosialnya, yaitu memberikan umpan balik dalam rangka

interaksi sebagai antara mitra bukan sebagai antara atasan versus

bawahan. Hal ini oleh Peter Senge disebut sebagai berfikir sistemis

dengan memahami konsep sederhana yang disebut dengan feedback

(umpan balik) yang menyatakan bagaimana suatu tindakan dapat

memperkuat atau meniadakan satu sama lain di antara kemitraan yang

ada. Pola pikir senada dengan Senge juga diutarakan oleh Widjajono

Partowidagdo (2004:165-170) yang menyatakan bahwa perbaikan atau

perubahan suatu paradigma dari suatu sistem dari suatu masyarakat

akan mengubah masyarakatnya, terutama jika masyarakat tersebut

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

128

terlibat langsung dengan sistem sosial tersebut. Namun suatu sistem

sosial bisa dijalankan dengan baik membutuhkan adanya suatu struktur

sosial yang memadai dengan sistem sosial tersebut, karena untuk

mengubah perilaku dari sistem diperlukan struktur yang

mendukungnya.

Peranan Trust dalam Pemberdayaan Masyarakat

Dari hasil observasi lapangan atas kehidupan desa Tlogoweru,

khususnya berkenaan dengan keefektifan dalam pendayagunaan

sumur-sumur pantek sehingga mampu mengakselerasi pembangunan

di beberapa sektor lainnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa

adanya rasa trust (kepercayaan sosial) amat menentukan tingkat

keberhasilan proses dalam pembangunan masyarakatnya, yaitu trust di

antara para pemimpin masyarakat yang membangun, dalam hal ini

diwakili oleh pak Soetedjo selaku kepada desa dengan para stakeholder dalam hal ini terwakili oleh ibu Elisabeth.

Henslin (2002) memandang trust sebagai pembangkit harapan

dan kepercayaan dari individu terhadap reliabilitas orang lain. Fondasi

terjadinya trust diantara anggota suatu masyarakat adalah meliputi

saling menghargai satu dengan lainnya dan sikap menerima adanya

perbedaan di antara anggota masyarakat atau kelompok-kelompok

yang ada di suatu masyarakat (Carter 2001). Hal ini disebabkan karena

seorang individu yang memiliki trust yang tinggi cenderung lebih

menjadi individu yang mudah disukai, lebih memiliki rasa bahagia, dan

dianggap sebagai seorang individu yang paling dekat dibandingkan

individu yang memiliki trust yang rendah (Marriages 2001; Hanks

2002). Dengan demikian trust merupakan faktor pemberdayaan

masyarakat yang memiliki kekuatan dan yang mampu memicu suatu

hubungan yang akrab di antara para pelaku pembangunan sehingga

bisa bekerjasama dalam suatu pembangunan masyarakat.

Sikap trust yang dinyatakan oleh pak Soetedjo terhadap ibu

Elisabeth merupakan modal sosial yang memungkinkan keberhasilan

pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru. Pengamatan penulis

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

129

selama ini terhadap pola kerja dari ibu Elisabeth yang tidak pernah

menuntut laporan-laporan administratif yang kaku otoriter terhadap

penggunaan dana, misalnya untuk pembuatan sumur pantek,

melainkan cukup meminta pak Soetedjo selaku penanggungjawab

untuk melaporkan nota pembeliaan. Hal ini bisa dilakukan oleh sebab

sikap trust ibu Elisabeth terhadap para pemimpin desa Tlogoweru

mendapat sambutan positif sehingga semangat trust ini akhirnya

berbalik kepada ibu Elisabeth dan timnya, dengan demikian trust yang

hadir ditengah-tengah para pemimpin ini memberi dampak yang besar

terhadap pelaksanaan proyek-proyek pembuatan sumur-sumur, yang

pada akhirnya dapat diselesaikan dan dimanfaatkan secara maksimal

dan efektif oleh masyarakat desa Tlogoweru. Peranan trust sebagaimana yang terjadi di masyarakat desa Tlogoweru ini nampaknya

memiliki keselarasan dengan teori sosial tentang peranan trust didalam

suatu masyarakat yang sedang membangun, seperti telah dikemukakan

oleh Fukuyama dalam bukunya “Trust: the Social Vitues and the Creation of Prosperity” (1995) yang mengungkapkan bahwa terjalinnya

trust di antara anggota masyarakat akan menggerakkan suatu persatuan

dan memiliki potensi untuk melahirkan pemberdayaan masyarakat.

Peranan Pemimpin dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kotter (2005) mengungkapkan bahwa suatu pemberdayaan

masyarakat akan terjadi secara alamiah dan responsif apabila atmosfer

pemberdayaan masyarakat tersebut berlangsung secara konduktif, yaitu

pemberdayaan masyarakat yang direncanakan dan diimplementasikan

dengan pendekatan non-birokatis melalui gaya kepemimpinan yang

terbuka pada semua pendapat orang-orang disekitarnya. Misalnya,

sikap proaktif untuk mendapatkan informasi baru atau pengetahuan

baru serta memegang teguh komitmen untuk mencapai hasil dari

perencanaan tersebut. Hal ini senada dengan penegasan Warren Bennis

(2001:136) bahwa pemimpin adalah seorang yang menciptakan suatu

struktur yang dapat membebaskan daya pikir semua orang dan

mengalirkan berbagai ide dengan cepat.

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

130

Kasus pembanguan desa Tlogoweru dalam hal ini

pengembangan dan pembudidayaan burung Tyto Alba bisa dijadikan

suatu percontohan pembangunan masyarakat yang konkrit berkenaan

dengan peranan kepemimpinan dalam pergerakan untuk menggalang

pemberdayaan masyarakat sehingga tercipta partisispasi dari setiap

anggota masyarakat secara maksimal. Di dalam buku mereka,

Empowerment Takes More Than a Minute, Dr. Ken Blanchard, John

Carlos dan Alan Randolph (1997) menegaskan bahwa seorang

pemimpin akan mampu membawa pola perubahan dari para

anggotanya untuk berpartsisipasi sehingga terjadi pemberdayaan

masyarakat tidak lain melalui tiga kunci, yaitu berbagi informasi,

menetapkan batasan-batasan, dan mengganti sistem birokrasi dengan

sistim pendekatan individu dan tim yang mandiri. Salah satu

keunggulan yang menonjol dari Pak kades Soetedjo dalam

kepemimpinannya adalah kemampuan menyampaikan informasi

tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan perencanaan dan

pelaksanaan pengembangan burung Tyto Alba dengan sederhana, to the point dan akurat, sehingga mampu membangkitkan rasa memikili

dalam berpartisipasi untuk pemberdayaan masyarakat bagi mereka

sendiri. Selanjutnya, dalam kepemimpinannya, pak kades Soetedjo

menciptakan budaya kerja yang mandiri yang non-birokratis namun

memiliki batasan-batasan kepemimpinan melakui tim kerja dan

peraturan-peraturan internal mereka. Dengan demikian, setiap anggota

tim pelaksana pemberdayaan masyarakat dengan jelas memahami

tentang apa saja yang harus mereka lakukan dan hal-hal apa saja yang

bukan menjadi wewenang mereka. Jadi batasan-batasan kerja ini

seperti garis di lapangan bulu tangkis, yaitu memberi kepastisan

sekaligus wewenang bagi setiap anggota masyarakat untuk

berpartsisipasi untuk pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan

demikian, pemberdayaan berarti setiap anggota masyarakat memiliki

kebebasan untuk berpartisipasi namun juga mereka memiliki tanggung

jawan kepada cara dan hasilnya. Langkah selanjutnya dalam

mengefektifkan pemberdayaan masyarakat, pak kades Soetedjo

membuka diri dalam kepemimpinannya dengan pola pendekatan

komunikasi individual, artinya setiap anggota masyarakat memiliki

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

131

kesempatan untuk dapat bertemu dan membicara tentang hal apa saja

berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat secara terbuka. Dengan

demikian setiap anggota masyarakat melalui tim-tim pemberdayaan

memiliki kemandirian dalam pengelolaan maupun pelaksanaan

program-program pemberdayaan masyarakat mereka.

Peranan Visi dalam Pemberdayaan Masyarakat

Rivai (2004:96) mengaplikasikan peranan kepemimpinan

kedalam beberapa bentuk peranan dalam pemberdayaan masyarakat,

antara lain: (1) Pemimpin harus mampu menciptakan visi bagi

kegerakkan dalam suatu kelompok masyarakat, karena tanpa adanya

sebuah visi yang jelas, lugas dan tegas tidak ada suatu kegerakkan

apapun apalagi mengharapkan tercapainya sebuah pencapaian suatu

keberhasilan. Dictum “Everything rises and falls on leadership”

(Maxwell, 1999) menegaskan tentang kebenaran tentang kebenaran

ini, bahwa segala sesuatu akan bisa dibangunkan dan dirobohkan

bergantung dari pemimpinnya. Hal ini bisa terjadi sebab seorang

pemimpin adalah seorang yang memiliki visi untuk membawa orang-

orang yang dipimpinnya kepada satu tujuan bersama; (2) Seorang

pemimpin setelah memiliki visi yang jelas akan mampu membantu

pengembangan komitmen dalam diri setiap anggota masyarakat yang ia

pimpin. Sehingga setiap anggota tersebut ketika menjalankan program-

program kerja mereka bukan sekedar menjalankannya secara mekanis,

melainkan secara personil. Dengan demikian setiap anggota memiliki

tuntutan terhadapa diri mereka sendiri untuk berkomitmen dalam

pekerjaan merea untuk mencapai apa yang menjadi visi mereka

bersama; (3) Dengan adanya komitmen dari setiap anggota tersebut

terhadap visi bersama, maka seorang pemimpin akan memiliki

kemampuan untuk menginspirasi kepercayaan (trust) dalam diri setiap

anggota masyarakat yang dipimpinnya, yaitu dengan mengintegrasikan

pandangan-pandangan yang berlainan dari antara para anngotanya

sehingga meminimalisir kesenjangan hubungan atau konflik di antara

mereka. Dengan demikian setiap angggota akan merasakan

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

132

kenyamanan dalam bekerjasama karena merasa sebagai bagian yang

holistik dari lembaga atau organisasi dimana mereka berada.

Peranan pemimpin lebih lanjut dijabarkan oleh John Adair

(2008:11) tentang fungsi kepemimpinan berkenaan dengan visinya,

yaitu: Pertama, fungsi perencanaan, yakni kemampuan untuk

mengusahakan dan memahami visi bersama, kemudian mendefinisikan

tugas, maksud dan tujuan tim kerjanya, sehingga ia bisa memperoleh

gambaran yang menyeluruh dari suatu perencanaan (visi) yang realitis

dan efektif. Fungsi kedua dari seorang pemimpin adalah bertindak

sebagai instruktur, yaitu memberi pengarahan kepada tim kerjanya

supaya mengenali sasaran atau tujuan dan rencana yang ditetapkan

bersama sesuai dengan visi dan menjelaskan apa yang menjadi tujuan

dari visi tersebut dengan akurat. Dengan demikian akan mampu

mengkoordinir tim kerja untuk melaksanakan program kerja yang

sudah dijadikan perencanaan. Fungsi ketiga adalah pengendalian, yaitu

senantiasa menciptakan dan memelihara suasana kerja tim yang

konduktif dengan memastikan bahwa setiap anggota tim yang ada telah

memahami tujuan visi dan mendorong mereka untuk mengambil

partisipasi sebagai satu tim. Fungsi keempat adalah sebagai pendukung,

yaitu dapat memberi apresiasi kepada setiap orang dari timnya yang

memang telah memberi kontribusi pada pencapaian hasil sesuai dengan

visi bersama. Pemberian semangat ini diberikan baik secara individu

maupun sebagai satu tim. Fungsi kelima adalah penginformasian, yaitu

kemampuan untuk memberi kejelasan tentang tugas dan perencanaan

dari visi dengan bahasa yang mudah dipahami dan memberi data yang

akurat dengan cara membuat ringkasan pokok-pokok tugas kerja atau

gagasan-gagasan baru. Dan fungsi keenam adalah pengevaluasian, yaitu

mengkaji setiap kelayakan ide-ide atau perencanaan secara rutin,

mengevaluasi prestasi tim kerja dan menentukan batas-batas kerja yang

baru dalam pencapaian visi.

Kouzes dan Posner (2003) menjelaskan makna visi sebagai

berikut: Visi adalah ungkapan yang secara harfiah berarti “melihat”

yaitu kemampuan memandang ke depan. Visi berarti mengisyaratkan

orientasi ke masa depan. Visi adalah gambaran – lukisan tentang

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

133

bagaimana kemungkinan nantinya, yakni tentang arah strategis

organisasi. Visi mengandung arti standar pencapaian sukses atau cita-

cita. Visi memiliki arti yang menunjukkan suatu pilihan nilai. Sebab

itu, visi memiliki karekateristik yang unik dan mengarahkan pemimpin

dan orang-orang yang dipimpinnya kepada suatu tugas yang istimewa.

Dengan demikian, visi seorang pemimpin amat berperan vital

dalam memicu suatu pemberdayaan masyarakat dalam organisasi

apapun, termasuk terhadap suatu negara. Sebab, dengan visi yang

sudah menyatu kedalam darah daging dan sanubarinya, seorang

pemimpin memiliki kekuatan moral (moral authority) yang mampu

meniupkan inspirasi yang mendorong suatu partisipasi dari

masyarakatnya untuk melalukan dan mencapai apa yang menjadi

impian masa depan mereka. Suatu organisasi atau masyarakat yang

berada dalam pengaruh visi dari pemimpinnya akan memiliki alasan

rasionil untuk menyatukan diri dalam partsipasi pembangunan,

mentransformasi diri untuk menjadi pelaku pembangan secara

partisipatif yang menciptakan peluang-peluang yang tadinya tidak ada

(unexist). Jesse Stoner dalam rangka penyelesaian disertasinya di

Universitas Massachussetts (1988) dengan tajuk “Visionary Leadership, Management and High Performance Work Units” melakukan studi

intensif yang menunjukkan dampak yang luar biasa yang dihasilkan

oleh visi dalam kepemimpinan bagi suatu kinerja sebuah perusahaan.

Ia mengumpulkan lebih dari 500 pemimpin perusahaan yang memiliki

visi yang kuat terlihat memiliki tim yang berkinerja tinggi, sedangkan

seorang pemimpin walaupun memiliki kemampuan manajemen yang

tinggi namun tidak memiliki visi yang kuat nampak memiliki tim kerja

dengan kinerja yang biasa-biasa saja bahkan cenderung lemah.

Dalam kasus pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru,

penulis dapat menyimpulkan Pak Soetedjo bersama bu Elisabeth adalah

pemimpin visioner yang kuat, hal ini terindikasikan melalui Pak

Soetedjo yang menangkap visi dari ibu Elisabeth untuk usaha

pengembangan peternakan sapi unggul, kemudian mampu

menginternalisasikannya dan akhirnya menginspirasikannya kepada

para pemimpin masyarakat desa Tlogoweru sehingga menjadi suatu

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

134

pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan

masyarakat desa Tlogoweru. Dengan demikian, pemberdayaan

masyarakat desa Tlogoweru merupakan wujud dari implementasi visi

masyarakatnya. Adapun visi desa Tlogoweru telah dicanangkan dengan

jelas sebagai berikut:1 Visi: “Mewujudkan masyarakat Desa Tlogoweru

yang sejahtera, maju, kreatif, demokratis, dalam suasana kehidupan

yang konduksif, religius dan mandiri.” Dan visi ini dilengkapi dengan

Misi masyarakatnya, yaitu: “Kamtibmas, good governance, pendapatan

naik, ketersediaan pangan, sarpras, sosial, ekonomi, kerjasama dengan

pihak swasta, pelestarian adat, pemberdayaan pokmas, kerukunan

hidup antar pemeluk agama, pelaksanaan kerja koordinatif dan

sinergis.”

Peranan Karakter dalam Pemberdayaan Masyarakat

Sebagaimana telah diungkapkan di atas tentang peranan trust dalam pemberdayaan masyarakat, sedangkan trust adalah berkenaan

tentang penerimaan atas diri seseorang untuk melakukan tindakan

bersama, maka trust sesungguhnya merupakan produk dari karakter

seseorang, yaitu nilai etika atau moral dari seorang pribadi, misalnya;

kejujuran, ketulusan, atau kesabarannya (Koentjaraningrat 1984 dan

1999).

Covey (1990) menyatakan bahwa hampir selama 150 tahun,

sebagaian besar pengkajian literatur tentang karakteristik dari pribadi

(pemimpin) yang sukses menegaskan bahwa karakter memiliki

pengaruh yang amat kuat dalam mempengaruhi seseorang atau

kelompok orang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan dan

sebagai akibtanya akan mengantarkan mereka mencapai kesuksesan.

Itulah sebabnya pemberdayaan masyarakat akan dapat dijalankan

apabila digerakkan oleh seorang pemimpin yang memiliki karakter

yang mampu menjadi panutan model (role model) bagi setiap anggota

masyarakat atau lembaga yang dipimpinnya. D’Souza (2007)

1 Perdes No.04 Tahun 2010. Tentang RPJM Desa tahun 2010 – 2014.

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

135

menggambarkan pemimpin yang efektif adalah seorang pemimpin

yang “know the way, show the way and lead the way” yaitu pemimpin

yang tidak sekedar pandai mengucapkan jargon-jargon kepemimpinan

atau program-program yang muluk-muluk tetapi pemimpin yang

mengetahui dengan baik dan benar pada setiap tindakannya, kemudian

ia membuktikan bahwa dirinya telah melakukannya, sehingga ia

mampu mendapat kepercayaan untuk memimpin orang lain mencapai

keberhasilan sesusai dengan visinya.

Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru yang mampu

membangun partisipasi masyarakatnya dengan baik adalah tidak lain

disebabkan oleh karakter dari kepemimpinan dari kepala desa

Tlogoweru, yaitu pak Soetedjo. Karakter kepemimpinan Pak kades

Soetedjo sebenarnya adalah sederhana sekali, yaitu terletak pada

falsafah hidup “Sandal Jepit”nya. Suatu falsafah kepemimpinan yang

dijiwai oleh sifat ketulusan, kesederhanaan dan keterbukaan tanpa

pilih kasih terhadap siapapun, baik secara strata ekonomi, pendidikan

dan latar belakang agama. Seperti istilah yang dipakainya “Sandal

Jepit”, pak kades dalam kesehariaanya memang beralaskan sepasang

sandal jepit ketika berkunjung ke rumah warganya atau melakukan

supervisi ke semua perangkat desa Tlogoweru. Demikian pula dalam

berkomunikasi dengan anggota warganya maupun siapa saja, pak

Soetedjo memakai bahasa jawa sehari-hari yang sederhana, sehingga

setiap warga merasa nyaman dan terayomi ketika berjumpa maupun

berinteraksi. Oleh karena keefektifannya, falsafah kepemimpinan

“Sandal Jepit” pak Soetedjo amat berperan dalam menciptakan ruang

publik bagi setiap anggota masyarakat untuk berani dengan terbuka

mengekspresikan sikap maupun keinginan mereka. Hal ini nampak,

misalnya ketika pada awal perjumpaan mereka dengan kelompok ibu

Elisabeth untuk melakukan bantuan kerjasama pembangunan

masyarakat. Bagi penulis yang sudah hampir delapan tahun berkenalan

dan bersama-sama melakukan pemberdayaan masyarakat di desa

Tlogoweru melihat karakter kepemimpinan dari pak Soetedjo ini

merupakan pengejawantahan yang konkrit dari karakter

kepemimpinan Pancasila sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh

Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantoro (Soleh,

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

136

2014:80-81) yang berbunyi “Ing ngarso asung tulodo” yang artinya

seorang pemimpin harus mampu menjadi contoh keteladanan bagi

setiap anggota masyarakatnya. Pemimpin yang demikian akan

memberi daya bagi masyarakatnya untuk turut berpartisipasi aktif

dalam pemberdayaan dalam diri mereka. Kemudian karakter

kepemimpinan dengan “Ing madyo mangun karso” yang artinya

seorang pemimpin harus mampu menumbuhkan prakarsa atau inisiatif

untuk merangsang kekreatifan masyarakat yang dipimpinnya melalu

sikap kesejajaran dan kesederhanaan, dengan demikian masyarakat

akan tergerak untuk lebih berpartisipasi karena merasa sebagai bagian

dari segenap proses pemberdayaan yang sedang berlangsung. Dan

akhirnya karakter “Tut wuri handayani” yang artinya seorang

pemimpin harus memiliki jiwa kerendahan hati untuk menghargai

setiap pendapat anggota masyarakatnya dan mau menerima saran atau

usulan bahkan kritikan. Dengan demikian setiap anggota masyarakat

akan merasakan ketenangan dan kepastisan dalam berpartisipasi dalam

proses pemberdayaan masyarakat setempat. Pak Soetedjo secara pribadi

merumuskan karakter kepemimpinannya dengan prinsip 8 (delapan)

pilar, yang merupakan rangkuman dari penuturan dan wejangan yang

pernah diterimanya dari bu Elisabeth dalam rangka pemberdayaan

masyarakat desa Tlogoweru, sebagai berikut:

“Saya sendiri diberi pemahaman, kita pegang 8 pilar untuk memajukan desa Tlogoweru” jelasnya. “Yang pertama, Tuhan. Artinya kami membiasakan masyarakat untuk mengandalkan Tuhan dalam setiap laku kita maka Tuhan akan memberkati jalan hidup kita. Pilar kedua adalah kebenaran. Salah satu kebenaran itu mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan, dalam keadaan sakit atau sehat; dalam keadaan kelimpahan atau kekurangan. Pilar ketiga adalah belajar hidup takut akan Tuhan. Kita bekerja tanpa diawasi siapa pun. Jadi tidak usah takut sama manusia, tapi belajar mengetahui bahwa Tuhan ada di setiap langkah kita. Pilar yang keempat, hidup rendah hati. Karena kesombongan itu awal kehancuran, tinggi hati itu awal pada kejatuhan. Yang kelima adalah kejujuran. Tuhan itu akan memberi pertolongan kepada orang yang jujur dan hidup tidak bercela. Pilar keenam adalah kerendahan hati. Ilmu yang kita peroleh, keberhasilan yang sudah kita peroleh, kita

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

137

harus berani kembali membagikan kepada orang lain. Pilar ketujuh adalah menjalin harta hubungan. Saya katakan hubungan itu merupakan harta, harta yang tidak bisa hilang. Jangan menilai segala sesuatu hubungan itu dengan uang. Uang itu bisa habis. Delapan adalah menerima semua manusia sebagai saudara, sekalipun kami berbeda warna kulit, berbeda suku bangsa, berbeda kebudayaan, berbeda agama, tetapi mereka adalah manusia, sesama yang harus kita hargai dan hormati.” (Wawancara, 1 Juni 2011)

Catatan Penutup

Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru merupakan

perwujudan nyata dari partisipasi aktif masyarakat Tlogoweru. Itulah

sebabnya, pemberdayaan masyarakat tersebut mampu memberi

harapan bagi masyarakat desa Tlgoweru untuk terus berupaya

mencapai kemajuan ekonomi dan harkat kehidupan masyarakatnya.

Adapun proses pemberdayaan masyarakat tersebut dapat

diskemakan sebagai berikut:

Sumber: yusuf

Gambar 7.1 Skema Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Dari skema di atas amat gamblang terlihat pemberdayaan

masyarakat di desa Tlogoweru merupakan akibat dari partispasi

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

138

masyarakat yang aktif yang disebabkan oleh beberapa faktor yang

mendukungnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) Adanya peranan

para agen perubahan sebagai penggerak suatu pemberdayaan

masyarakat yang melahirkan partisipasi aktif dari setiap anggota

masyarakat oleh karena memiliki persepsi yang sama untuk

berpartisipasi didalamnya. (2) Para agen perubahan, baik para agen

perubahan internal yang berperan sebagai fasilitator yang memahami

kebutuhan masyarakat; maupun para agen perubahan eksternal yang

berperan sebagai fasilitator yang menyediakan sarana bagi pemenuhan

kebutuhan masyarakat. Kedua kelompok agen perubahan ini

mengandalkan trust sebagai social-glue di antara mereka, dengan

demikian para agen perubahan melakukan peranan mereka masing-

masing melalui jalur interpersonal relationship dan komunikasi yang

transparan, tegas dan lugas. (3) Adanya kejelasan visi pembangunan

masyarakat di antara para agen perubahan, sehingga mampu menarik

perhatian dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi. (4)

Tampilnya kepemimpinan yang berkarakter dalam diri para agen

perubahan yang berperan sebagai kekuatan sosial yang mampu

menyatukan setiap anggota masyarakatnya, memberi kepastian atas

pencapaian visi pembangunan dengan integritas, dan keteladan yang

konkrit dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.