bab vi

30
69 BAB VI PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan interpretasi hasil penelitian dan keterbatasan penelitian. Interpretasi hasil akan membahas mengenai hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori yang ada pada tinjauan pustaka, sedangkan keterbatasan penelitian akan memaparkan keterbatasan yang terjadi selama pelaksanaan penelitian. A. Analisa Univariat 1. Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat RW 2 kelurahan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan. Jumlah responden yang diambil adalah 65 responden dengan jumlah responden laki- laki 19 orang (29,2%), dan responden perempuan 46 orang (70,8%). Mayoritas responden adalah perempuan sesuai dengan jumlah penduduk di RW 2 Kelurahan Pondok Aren. Dari 1339 penduduk, perempuan menjadi

Upload: rafita-octavia

Post on 26-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

86

BAB VIPEMBAHASANBab ini akan menjelaskan interpretasi hasil penelitian dan keterbatasan penelitian. Interpretasi hasil akan membahas mengenai hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori yang ada pada tinjauan pustaka, sedangkan keterbatasan penelitian akan memaparkan keterbatasan yang terjadi selama pelaksanaan penelitian.A. Analisa Univariat1. Karakteristik responden berdasarkan Jenis KelaminResponden dalam penelitian ini adalah masyarakat RW 2 kelurahan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan. Jumlah responden yang diambil adalah 65 responden dengan jumlah responden laki-laki 19 orang (29,2%), dan responden perempuan 46 orang (70,8%). Mayoritas responden adalah perempuan sesuai dengan jumlah penduduk di RW 2 Kelurahan Pondok Aren. Dari 1339 penduduk, perempuan menjadi yang terbanyak dengan jumlah 871 orang (65%) dan laki-laki sebanyak 468 orang (35%).2. Karakteristik responden berdasarkan umurResponden dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 kelompok umur, yaitu remaja dengan rentang umur 12-25 tahun, dewasa dengan rentang umur 26-45 tahun, dan lansia dengan rentang umur lebih dari 45 tahun. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang terbanyak adalah responden dewasa dengan jumlah 40 orang (61,5%), responden remaja sebanyak 17 orang (26,2%) dan responden lansia sebanyak 8 responden (12,3%). Dari hasil di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk RW 2 Kelurahan Pondok Aren adalah dewasa yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduknya adalah berada pada usia produktif.3. Karakteristik responden berdasarkan pendidikanHasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pendidikan menengah (SMA atau sederajat) sebanyak 39 orang (60%), diikuti dengan pendidikan rendah sebanyak 22 orang (33,8%), dan pendidikan tinggi sebanyak 4 orang (6,2%). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan penduduk sudah pada level menengah yang menggambarkan bahwa setiap tindakan dan perilaku penduduk tidak hanya sebatas perilaku tanpa pemikiran yang matang.4. Karakteristik responden berdasarkan pendapatan / ekonomiHasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai pendapatan yang cukup yaitu berkisar antara 1.500.000-2.500.000 berjumlah 27 orang (41,5%), diikuti oleh responden dengan pendapatan rendah sebanyak 25 orang (38,5%), dan responden dengan pendapatan tinggi sebanyak 13 orang (20%). Hal ini memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat di RW 2 Kelurahan Pondok Aren sebagian besar berada pada garis ekonomi menengah. Hal ini terjadi karena sebagian besar penduduk RW 2 Kelurahan Pondok Aren memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta dengan presentase 70%. Sedangkan yang bekerja sebagai aparatur negara (PNS) hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk.5. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuanHasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden mayoritas berada pada kelompok cukup yang berjumlah 28 orang (43,1%), diikuti oleh pengetahuan kurang sebanyak 21 orang (32,3%), dan pengetahuan baik berjumlah 16 orang (24,6%). Dari hasil tersebut dapat digambarkan bahwa masih sedikitnya responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang program pencegahan filariasis. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi program kepada warga. Sosialisasi hanya dilakukan melalui kegiatan-kegiatan terbatas usia seperti pengajian atau perkumpulan warga. Hal ini menyebabkan bahwa masyarakat dengan usia remaja kurang mendapatkan porsi dalam sosialisasi tersebut.6. Karakteristik responden berdasarkan sikap terhadap program pencegahan filariasisHasil penelitian menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap program pencegahan filariasis cukup baik. Hal ini dapat dilihat bahwa responden yang mempunyai sikap cukup berjumlah 32 orang (49,2%), responden dengan sikap baik berjumlah 30 orang (46,2%), dan responden dengan sikap kurang hanya berjumlah 3 orang (4,6%). Sikap yang diukur adalah sikap terhadap penyakit filariasis dan sikap terhadap program pencegahan filariasis.7. Karakteristik responden berdasarkan perilaku minum obat anti filariaHasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden minum obat anti filaria yang telah dibagikan yaitu sejumlah 45 orang (69,2%), sedangkan responden yang tidak minum obat sebanyak 20 orang (30,8%). Hal ini tidak sesuai dengan harapan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang memiliki target bebas kaki gajah 2014. Harapan pemerintah Kota Tangerang Selatan adalah 100% penduduk mengkonsumsi obat yang dibagikan, sehingga dapat menghapus filariasis secara menyeluruh di Kota Tangerang Selatan. dari hasil ini dapat dilihat bahwa keberhasilan program adalah 69,2%.

B. Analisa Bivariat1. Hubungan antara jenis kelamin dengan sikap masyarakatHasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan 70,8% dan responden laki-laki 29,2%. Bila dihubungkan dengan sikap masyarakat terhadap program pencegahan filariasis menunjukkan bahwa responden terbesar adalah responden perempuan dengan sikap cukup 37% diikuti responden perempuan deng sikap baik 30,8%, responden laki-laki dengan sikap baik 15,4%, laki-laki dengan sikap cukup 12,3%, responden perempuan dengan sikap kurang 3%, dan laki-laki dengan sikap kurang 1,5%.Hasil analisis menggunakan Pearson correlation didapatkan P= 0,609 (Sig = 0,05), maka Ho diterima yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan sikap masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Laurence Green yang mengatakan bahwa jenis kelamin adalah salah satu faktor pembentuk sikap. Penyebab ketidak sesuaian ini dimungkinkan karena perbandingan jumlah responden yang tidak sama, yaitu laki-laki 19 orang, sedangkan perempuan berjumlah 46 orang. Dari jumlah yang tidak seimbang inilah yang menyebabkan ketidaksesuaian jumlah pada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan laki-laki mendapatkan sedikit gambaran sikap dibandingkan perempuan yang berjumlah 46 sikap.Penyebab dari tidak ada hubungan yang signifikan adalah komponen afektif dan konatif (Kothandapani (1974) dalam Azwar (2013)). Komponen afektif dapat dilihat dari emosi seseorang terhadap suatu objek, sedangkan komponen konatif dapat dilihat dari perilaku dan sikap seseorang sehari-hari. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap minum obat (tidak mementingkan obat dalam penyembuhan), akan cenderung menolak jika diberikan obat. Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yetti tahun 2007, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhaan diit pada lansia. Sampel yang diteliti berjumlah 94 orang didapatkan nilai P 0,245.2. Hubungan antara umur dengan sikapHasil penelitian menunjukkan bahwa responden terbanyak adalah dewasa 61,5%, disusul remaja 26,2%, dan selanjutnya adalah lansia 12,3%. Jika dihubungkan dengan sikap masyarakat terhadap program pencegahan filariasis, maka didapatkan hasil bahwa responden dewasa dengan sikap baik mendapatkan jumlah terbanyak 32,3%, disusul dengan responden dewasa dengan sikap cukup 26,1%, dan dewasa dengan sikap kurang 3%. Pada responden remaja cenderung memiliki sikap yang cukup 17%, dan baik 9,2%. Hasil memperlihatkan bahwa tidak ada remaja yang memiliki sikap kurang. Pada responden lansia cenderung memiliki sikap cukup 6,1% dan baik 4,7%, sedangkan yang memiliki sikap kurang hanya 1,5%.Hasil analisis menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,835 dengan ketentuan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau dapat dijelaskan bahwa tidak ada hubungan antara variabel umur dengan sikap. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang dipakai pada penelitian ini yakni Teori Lewin dan Green yang menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor pembentuk sikap.Ketidak ada hubungan ini dimungkinkan karena faktor afektif dari responden. Komponen afektif dapat dilihat dari kecenderungan sikap responden selama hidupnya. Jika orang yang memiliki sikap selalu menolak dengan pengobatan atau program pemberian obat, maka meskipun umur semakin bertambah, sikap akan tetap cenderung sama karena sikap dan persepsi seseorang akan cenderung stabil dan menetap. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya lansia yang memiliki sikap kurang terhadap program pencegahan filariasis (1,5%).Hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Joni (2008) didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kepatuhan responden dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis paru di Pusksesmas Panunggangan Kota Tangerang.3. Hubungan antara pendidikan dengan sikapDari hasil dapat dilihat bahwa responden terbanyak adalah responden berpendidikan menengah dengan sikap yang cukup 29,2%, disusul responden berpendidikan menengah dengan sikap baik 27,7%, dan responden berpendidikan menengah dengan sikap kurang sebanyak 2 orang (3%). Pada responden berpendidikan dasar terdapat responden dengan sikap cukup sebanyak 11 orang (17%), sikap baik sebanyak 10 orang (15,3%), dan bersikap kurang sebanyak 1 orang (1,5%). Berbeda dengan responden dengan pendidikan tinggi, responden cenderung memiliki sikap yang cukup dan baik yaitu sebanyak 2 orang (3%).Hasil analisis menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,889 dengan P values 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu komponen pembentuk sikap.Ketidaksesuaian ini dimungkinkan karena belum adanya gejala atau tanda penyakit yang dilihat (preceived) ( Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2010)). Dalam teori Health Belief Model, Lewin mengungkapkan bahwa pendidikan bisa menjadi komponen sikap jika telah mendapatkan suatu gejala yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Seseorang dengan level pendidikan tinggi, akan cenderung melihat bahwa jika sakit, baru minum obat.Hal ini tidak sejalan dengan teori Azwar (2013) yang mengatakan bahwa salah satu komponen pembentuk sikap adalah lembaga pendidikan dan lembaga agama. Teori Azwar menjelaskan bahwa ada enam komponen pembentuk sikap, dan pendidikan adalah komponen kelima dalam pembentukan sikap.4. Hubungan antara pendapatan dengan sikapDari hasil penelitian dapat dilihat bahwa prevalensi tertinggi adalah responden dengan pendapatan cukup dengan sikap cukup yaitu berjumlah 15 orang (23%) dan disusul oleh responden dengan pendapatan cukup dengan sikap baik serta pendapatan kurang dengan sikap cukup sebanyak 12 orang (18,5%). Responden dengan pendapatan kurang dengan sikap baik berjumlah 11 orang (17%) dan bersikap kurang sebanyak 2 orang (3%). Pada responden dengan pendapatan tinggi dengan sikap baik berjumlah 7 orang (10,8%) dan bersikap cukup sebanyak 5 orang (7,7%), dan yang terakhir adalah bersikap kurang sebanyak 1 orang (1,5%).Hasil analisis dengan menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,574 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak adanya hubungan antara pendapatan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang dipakai pada penelitian ini. Lewin mengatakan bahwa kelas ekonomi adalah salah satu faktor pembentuk sikap.Ketidaksesuaian ini dimungkinkan karena tidak adanya biaya yang dikeluarkan saat responden menerima atau menolak program ini. Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa masyarakat akan memiliki sikap yang baik jika dapat melihat manfaat yang dikurangi biaya dalam pengambilan keputusan. Biaya disini memiliki peran yang penting dalam menentukan sikap selanjutnya karena cenderung orang akan merasa rugi jika telah membayar sesuatu tapi tidak dimanfaatkan. Dalam penelitian ini, masyarakat tidak akan ada kerugian secara material ketika masyarakat menerima obat atau tidak dan minum obat atau tidak, dikarenakan program ini telah ditanggung pemerintah.Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yuliarti (2007) yang mengatakan bahwa dari sampel sebanyak 104 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga dengan penerimaan obat.

5. Hubungan antara pengetahuan dengan sikapDari hasil dapat dilihat bahwa responden terbanyak adalah responden dengan pengetahuan cukup dengan sikap baik sebanyak 15 orang (23%), disusul dengan pengetahuan cukup dengan sikap cukup sebanyak 13 orang (20%). Pada responden dengan pengetahuan kurang paling banyak adalah responden yang bersikap baik dan cukup dengan jumlah 10 orang (15,3%) dan dilanjutkan oleh responden dengan sikap kurang sebanyak 1 orang (1,5%). Responden dengan pengetahuan baik terbanyak adalah dengan sikap cukup berjumlah 9 orang (13,8%) dan bersikap baik berjumlah 5 orang (8,1%) dan terakhir dengan sikap kurang berjumlah 2 orang (3%).Hasil analisis menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,270 dengan P Value 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak adanya hubungan pengetahuan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang menjadi dasar penelitian ini.Penyebab yang signifikan dari tidak adanya hubungan ini adalah dalam memberikan pendidikan kesehatan, petugas tidak memberikan menyeluruh kepada semua kelompok umur, melainkan hanya kepada ibu-ibu pengajian dan perkumpulan warga. Sedangkan masyarakat dengan kelompok remaja tidak mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas, melainkan dari sekolah atau media massa. Hal inilah yang membuat tidak sama dan tidak setaranya pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat tentang filariasis dan program pencegahan filariasis ini.6. Hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku minum obatPada bab hasil dapat dilihat bahwa responden yang minum obat terbanyak adalah responden perempuan sebanyak 31 orang (47,7%), sedangkan yang tidak minum obat terdapat 15 responden (23%). Pada responden laki-laki, terdapak 14 orang (21,5%) yang minum obat dan 5 orang responden (7,7%) yang tidak minum obat anti filaria.Hasil analisis menggunakan Chi square didapatkan bahwa P tabel adalah 0,617 dengan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang mendasari penelitian ini, yakni teori Lewin dan Green. Lewin mengatakan bahwa jenis kelamin adalah salah satu faktor pembentuk perilaku masyarakat.Becker (1974) dalam Notoatmodjo (2010) memperkirakan bahwa teori Lewin yang menyebutkan bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap perilaku adalah karena dalam kesehariannya, perempuan lebih tunduk dan patuh kepada laki-laki. Laki-laki adalah kepala keluarga yang mempunyai kekuatan, sehingga mempunyai rasa bahwa keputusannya adalah keputusan mutlak. Namun, setelah kemajuan jaman dan terbukanya seluruh aspek pengetahuan terhadap perempuan, hal tersebut semakin berubah. Pada saat ini, perempuan mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, mempunyai pengetahuan yang sama, dan mempunyai pengaruh yang sama terhadap masyarakat. Hal inilah yang menjadi penyebab ketidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku yang dilakukan. Mechanics (1988) dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa dalam keadaan sakit atau dalam memenuhi kebutuhannya, laki-laki dan perempuan akan melakukan tindakan dan tahapan-tahapan yang sama.Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Joni (2008). Dalam penelitiannya yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien tuberkulosis dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis di Puskesmas Panunggangan kota Tanggerang tahun 2008. Penderita wanita biasanya akan lebih patuh minum obat karena sesuai kodrat wanita yang ingin tampak terlihat cantik dan tidak ingin ada cacat pada tubuhnya. 7. Hubungan antara umur dengan perilaku minum obatPada bab hasil dapat dilihat bahwa responden yang mengkonsumsi obat dengan jumlah terbanyak adalah responden dewasa dengan jumlah 32 orang (49,2%) disusul dengan responden remaja sebanyak 9 orang (13,8%) dan responden lansia dengan jumlah 4 orang (6,2%). Sedangkan responden yang tidak minum obat paling banyak adalah responden remaja dan dewasa masing-masing dengan jumlah 8 orang (12,3%), dan disusul responden lansia dengan jumlah 4 orang (6,2%).Hasil analisis dengan menggunakan Sperman correlation didapatkan P tabel 0,494 dengan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori Lewin dan Green yang menyatakan bahwa umur adalah salah satu faktor pembentuk perilaku masyarakat.Erik Erikson dalam teori perkembangannya mengatakan bahwa pada tahap Integrity atau Despair manusia akan mengalami beberapa kemunduran dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih ada 6,2% lansia yang tidak minum obat yang diberikan. Hal inilah yang memperkuat ketidak ada hubungan antara umur denga perilaku masyarakat dalam minum obat.Penelitian serupa juga dilakukan oleh Randika (2011) yang berjudul Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat anti Filariasis pada penduduk usia 15-65 tahun di RW 09 Kelurahan Pondok Petir Kecamatan Bojongsari Kota Depok Tahun 2011. Hasil penelitian tersebut adalah didapatkan p=0,450 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku minum obat.8. Hubungan antara pendidikan dengan perilaku minum obatPada bab hasil dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang minum obat anti filaria adalah responden dengan pendidikan menengah dengan jumlah 27 orang (41,5%) disusul oleh responden dengan pendidikan dasar yang berjumlah 15 orang (23%) dan responden dengan pendidikan tinggi berjumlah 3 orang (4,7%). Sedangkan responden yang tidak minum obat sebagian besar adalah responden dengan pendidikan menengah sebesar 12 orang (18,5%) disusul dengan responden dengan pendidikan dasar sebanyak 7 orang (10,8%) dan responden dengan pendidikan tinggi sejumlah 1 orang (1,5%).Hasil analisis dengan menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,845 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk perilaku manusia.Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa faktor pembentuk perilaku akan sangat kuat jika terdapat faktor pendorong (cues) dalam diri dan lingkungan yang ditempati. Dalam penelitian ini, faktor pendorong dapat dilihat dari jurusan atau ranah masyarakat dalam mengambil pendidikan. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, namun jika pendidikan yang diambil tidak menjurus pada jurusan kesehatan, maka perilaku kesehatanpun akan menurun. Seseorang dengan pendidikan tinggi belum tentu mengetahui dengan detail tentang filariasis, sehingga perilaku terhadap pencegahan filariasis akan cenderung kurang. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan tidak selalu berhubungan dengan perilaku kesehatan.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Randika (2011) yang mendapatkan P pada variabel pendidikan 0,976, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kepatuhan minum obat filariasis.9. Hubungan antara pendapatan dengan perilaku minum obatPada bab hasil dapat dilihat bahwa responden yang minum obat anti filaria paling banyak adalah responden dengan pendapatan cukup yaitu 19 orang (29,2%) dan dilanjutkan dengan responden dengan pendapatan kurang sebanyak 16 orang (24,6%) dan responden dengan pendapatan tinggi sebanyak 10 orang (15,4%). Sedangkan responden yang tidak minum obat anti filaria paling banyak adalah responden dengan pendapatan kurang sebanyak 9 orang (13,8%), dan disusul oleh responden dengan pendapatan cukup sebanyak 8 orang (12,4%) dan responden berpendidikan tinggi sebesar 3 orang (4,6%).Hasil analisis dengan menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,413 dengan P Value 0,05 yang menunjukan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pendapatan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin yang menyatakan bahwa pendapatan atau kelas ekonomi adalah salah satu faktor pembentuk perilaku kesehatan.Masih dalam teori yang sama, Lewin memberikan penguatan bahwa pendapatan atau ekonomi tidak secara langsung membentuk perilaku. Masyarakat akan cenderung memanfaatkan sesuatu yang didapatkan jika dia telah mengeluarkan biaya dalam mendapatkannya. Rasa rugi adalah salah satu faktor penguat untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku sehat. Masyarakat akan merasa terdorong untuk mengambil manfaat jikalau dia akan merasa rugi atau membuang uang jika tidak dimanfaatkan. Sedangkan pada program pencegahan filariasis ini, pemerintah menjalankan program dengan gratis, sehingga menurunkan dorongan untuk bertindak.Penelitian serupa juga dilakukan oleh Jaya (2009) yang mengemukakan bahwa hasil uji statistik antara pendapatan dengan kepatuhan minum obat adalah P= 0,757 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan dengan kepatuhan minum obat.10. Hubungan antara pengetahuan dengan perilaku minum obatPada tabel bab hasil menunjukkan bahwa mayoritas responden yang mengkonsumsi obat anti filaria adalah responden dengan pengetahuan cukup sebanyak 22 orang (33,8%) disusul oleh responden dengan pengetahuan kurang sebanyak 14 orang (21,6%) dan responden dengan pengetahuan baik sebanyak 9 orang (13,8%). Sedangkan responden yang tidak minum obat anti filaria paling banyak adalah responden dengan pengetahuan kurang dan tinggi yaitu berjumlah 7 orang (10,8%) dan disusul oleh responden dengan pengatahuan cukup sebesar 6 orang (9,2%).Hasil analisis dengan menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,589 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah salah satu faktor pembentuk perilaku manusia.Penyebab utama ketidaksesuaian ini adalah bahwa petugas kesehatan tidak memberikan pendidikan kesehatan secara merata kepada semua kelompok umur. Petugas hanya memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu pengajian dan pertemuan warga. Sedangkan kelompok remaja tidak mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas. Selain itu, petugas tidak memberikan obat secara langsung kepada masyarakat pada waktu obat akan diminum (malam hari). Waktu pemberian obat juga menentukan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap obat tersebut, karena jikalau ada sesuatu yang akan ditanyakan, masyarakat bisa langsung bertanya dan petugas bisa langsung memberikan pengarahan. Selain itu, petugas bisa melihat secara langsung ketika masyarakat minum obat yang dibagikan.Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Bahavior Intention yang dikemukakan oleh Snehedu Kar (1988) dalam Notoatmodjo (2010) yang mengatakan bahwa perilaku dalam kesehatan dipengaruhi oleh niat, dukungan sosial, pengetahuan, otonomi pribadi, dan situasi yang memungkinkan.

C. Keterbatasan Penelitian1. Penelitian ini bersifat Retrospektif yaitu mengingat sesuatu yang telah berlalu. Kelemahan dari penelitian ini adalah faktor daya ingat responden yang lemah dan peneliti tidak bisa observasi secara langsung sehingga kemungkinan bias sangat tinggi.2. Instrumen penelitian: belum adanya standar instrumen terkait pengetahuan dan sikap terhadap filariasis, sehingga kuisioner yang dibuat peneliti memungkinkan banyak ditemukan kelemahan. Instrumen perilaku tidak bisa dilakukan dengan menggunakan lembar observasi, sehingga sangat dimungkinkan hasil bias.3. Peneliti kurang mendalam dalam mengkaji variabel sikap petugas kesehatan yang seharusnya heterogen, dimasukkan ke dalam homogen sehingga tidak ikut ke dalam variabel yang diteliti.4. Tidak adanya data dasar dari Puskesmas ataupun dinas kesehatan tentang pencapaian program pencegahan filariasis di RW 2 Kelurahan Pondok Aren, sehingga data yang dipakai adalah data hasil penelitian ini.