bab v proses politik partai rakyat...
TRANSCRIPT
88
BAB V
PROSES POLITIK PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
5.1 Partai Rakyat Demokratik
5.1.1 Pembentukan Formasi Partai Kiri
Kelahiran PRD di tengah tekanan Orde Baru tidak dapat dipisahkan dari
pasang surut gerakan anti kediktatoran yang dipelopori oleh mahasiswa pada awal
1980an. Upaya merintis persatuan gerakan yang memiliki sentimen kerakyatan
telah dimulai sejak 19831. Gerakan dengan sentimen kerakyatan tersebut berakar
pada gerakan sosial demokratik yang sebelumnya didominasi oleh kelompok-
kelompok yang memiliki pertautan dengan generasi muda PSI para aktivis 1970an
yang berada di luar pemerintahan.
Pada dekade 1980an, beberapa aktivis pergerakan berangkat ke Filipina
untuk belajar gerakan massa disaat Negara ini sedang bergejolak. Mereka mulai
mempelajari teknik pengorganisiran dan mobilisasi massa melawan kediktatoran
Marcos yang juga menggunakan militer sebagai alat kekuasaannya. Pengalaman
mereka di Filipina membawa pada kesimpulan bahwa mahasiswa tidak dapat
melawan kediktatoran Orde Baru tanpa bantuan elemen sosial lainnya2.
Sepulangnya dari Filipina, para aktivis ini mengenalkan pendekatan “live-in”
1 Menurut Daniel Inderakusuma (salah satu inisiator PRD) pada orasi politiknya di ulang tahun ke-17 PRD. prd.or.id: http://www.prd.or.id/berita/20130724/orasi-danial-indrakusumah-salah-satu-pendiri-prd-pada-hut-prd-ke-17.html 2 Mengenai keterlibatan kaum pergerakan Indonesia pada dekade 80an di Filipina selengkapnya
dapat dibaca pada Max Lane, 2007, Bangsa Yang Belum Selesai. Freedom institute.
89
(hidup dan berjuang bersama) yang menuntut mahasiswa tinggal bersama petani
dan buruh di rumah serta komunitas mereka (Lane, 2007;136).
Periode awal 1980an adalah periode awal proses teoritis dan
organisasional bagi politik sayap kiri. Proses teoritis kelompok kiri kembali
dimulai melalui tulisan-tulisan Arif Budiman dan perdebatannya dengan tokoh-
tokoh pendidikan di Harian Kompas (1985-1987). Budiman mengembalikan
kajian Marxisme dengan mengenalkan teori ketergantungan, analisis kelas, dan
kritik terhadap kapitalisme namun dalam bentuk yang lebih kontemporer. Sejak
itu banyak mahasiswa yang tertarik untuk mengkaji pemikiran Marxisme dan
mulai mencari referensi mengenai Marxisme3.
Proses berikutnya adalah proses organisasional, para mahasiswa mulai
membentuk kelompok-kelompok studi dan bersentuhan dengan sektor sosial
lainnya melebihi pekerjaan “penelitian sosial” dan proyek “peningkatan
pendapatan” seperti yang dikenalkan oleh LSM/NGO. Kontak mahasiswa dengan
sektor non-mahasiswa secara bertahap berubah menjadi pendidikan politik,
advokasi, dan mobilisasi aksi massa.
Proses organisasional yang lebih nyata dimulai ketika para aktivis
mahasiswa yang menggunakan strategi advokasi, mobilisasi aksi massa dengan
membentuk jaringan bawah tanah, atau jaringan tertutup yang tidak muncul di
permukaan sebagai organisasi legal. Salah satu jaringan bawah tanah yang lahir
pada akhir 1980an adalah Front Pemuda Nasional (FPN) yang merupakan hasil
3 Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013, menjelaskan bahwa ide sosial demokrasi masuk berbarengan dengan ide kiri dari para intelektual yang belajar di luar negeri seperti Arif Budiman, Farchan Bulkin, dan Sritua Arif. Sedangkan di dalam negeri ide kritis juga mulai muncul dari Dawam Raharjo. Perdebatan mengenai kapitalisme juga mengemuka dari pemuatan perdebatan Arief Budiman dan Arsyad Bachtiar di harian Kompas pada tahun 1987.
90
kristalisasi gerakan kiri yang mengambil garis radikal. Organisasi ini membentuk
banyak jaringan aktivis mahasiswa di kampus-kampus4.
Para aktivis yang tergabung dalam FPN mulai masuk kedalam berbagai
organisasi yang muncul di permukaan. Salah satunya adalah SKEPHI (Sekretariat
Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia). Organisasi lingkungan hidup ini
mengusung isu melampaui isu pelestarian hutan dan mulai mempromosikan
pengorganisasian dan serangkaian aksi petani. SKEPHI sendiri memiliki majalah
yang mencatat aksi-aksi protes kalangan gerakan yaitu majalah Progres5.
SKEPHI mengalami perpecahan karena aktivitas radikalnya, diluar
SKEPHI para anggota FPN membentuk organisasi lain yaitu YMB dan FBB. Dua
orang anggota YMB yaitu Daniel Indrakusuma dan Wilson kemudian menjadi
pendiri PRD, sementara anggota YMB lainnya seperti Hilmar Farid mendirikan
lembaga kajian Marxis akademik bernama Jaringan Kerja Budaya (JKB).
Organisasi lain diluar ketiga organisasi tersebut adalah Jaringan Kerja Kesenian
Rakyat (JAKKER) yang bersal dari sanggar-sanggar rakyat dan secara masif
mendukung aksi-aksi protes terhadap Orde Baru melalui jalur kesenian.
Organisasi ini dipimpin oleh seorang penyair yang tidak terkenal di kalangan
sastra namun sangat dikenal di kalangan pergerakan karena puisi-puisi yang
radikal, Widji Thukul.
4 Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013, menyatakan bahwa formasi partai kiri awal dibentuk di Jakarta pada tahun pertengahan 1980an. Formasi ini menyebar ke Bandung dan Jogja setelah 1987. Sejak saat itu, FPN mulai mengorganisir kampus dan membentuk kelompok-kelompok diskusi dan aksi mahasiswa. 5 Progres diedit oleh dua figur SKEPHI yaitu Indro Cahyono dan Danial Indrakusuma. Mantan aktivis Malari, Aini Chalid juga terlibat dalam pendanaan majalah ini.(Lane, 2007)
91
Pada saat yang sama, komite-komite aksi mahasiswa yang menggunakan
pendekatan mobilisasi massa di berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung,
Medan dan kota-kota lainnya mulai berjejaring. Pada bulan November 1992
jejaring mahasiswa radikal ini mengadakan pertemuan dan membentuk organisasi
pergerakan mahasiswa radikal berskala nasional yaitu Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang merupakan cikal bakal PRD. Selain
SMID, muncul juga organisasi-organisasi massa yang terbangun karena kontak
antara massa dengan mahasiswa radikal seperti STN, PPBI, JAKKER, SRI, dan
SPRIM. Organisasi-organisasi ini memiliki kesamaan dalam pandangan politik
dan strategi politik yaitu propaganda radikal dan aksi massa. Namun kesamaan ini
bukanlah kebetulan, para pendiri organisasi ini berasal dari jaringan aktivis yang
sama yaitu FPN. Peningkatan kekuatan mobilisasi dan perluasan propaganda
politik mereka mengarahkan pada perkembangan bentuk organisasi baru yang
mampu mengintegrasikan aktivitas politik dari organisasi-organisasi radikal
tersebut sekaligus membuka peluang politik dengan pelibatan kelompok-
kelompok oposisi di luar lingkaran FPN.
Pada tanggal 2 Mei 1994, organisasi-organisasi radikal ini mengadakan
pertemuan di Gedung YLBHI untuk mendeklarasikan Persatuan Rakyat
Demokratik (PRD)6 yang menunjuk Sugeng Bahagijo sebagai ketuanya.
Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang menggabungkan aktivis
mahasiswa dengan aktivis-aktivis sektor non mahasiswa dan mempelopori oposisi
radikal pada masa pemerintahan Orde Baru. 6 Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013, menjelaskan bahwa Persatuan Rakyat Demokratik
dibangun untuk menyerap oposisi dari berbagai kalangan terutama mahasiswa dan kaum intelektual.
92
Pembentukan PRD sebagai organisasi payung berhasil mempelopori
integrasi gerakan oposisi ekstra parlementer berskala nasional menghasilkan
program politik yang radikal pada masa itu. PRD menuntut dibukanya ruang
demokrasi seluas mungkin, pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985 dan
pencabutan Dwifungsi ABRI (1999;21). Tuntutan ini dianggap sangat radikal
karena pada saat itu kedua instrumen politik tersebut adalah tiang utama Orde
Baru.
Namun pada perjalanannya, para pimpinan PRD dianggap tidak optimal7
(PRD,1999;21). Maka, para deklarator PRD membentuk Komite Penyelamat
Organisasi-Persatuan Rakyat Demokratik (KPO-PRD) yang dipimpin oleh
Budiman Sudjatmiko. Ketika para pengurus PRD tidak bersedia memberikan
laporan pertanggungjawaban, KPO-PRD kemudian membentuk Presidium
Sementara Persatuan Rakyat Demokratik (PS-PRD) yang bertugas untuk
menyelenggarakan kongres.
Pelajaran dari gerakan anti-kediktatoran Marcos dan pengalaman para
aktivis mengorganisir sektor non mahasiswa merupakan dua faktor utama yang
melandasi strategi politik PRD. Faktor lain yang mempengaruhi strategi politik
PRD adalah pentingnya terbitan independen yang dijadikan sebagai alat
pengorganisiran. PRD (1999;17) menyimpulkan terdapat tiga tahapan utama pada
awal pembangunan perlawanan yaitu; pengorganisiran aksi massa, mengorganisir
terbitan, dan memberikan gagasan kerakyatan.
7 Inderakusuma (dalam wawancara 26/11/2013) menjelaskan bahwa pemecatan terhadap Sugeng Bahagio dilakukan karena penyelewengan terhadap hasil kongres Persatuan Rakyat Demokratik tentang resolusi Timor-Timur yang menyarankan dibentuknya referendum, sementara Sugeng menyelewengkannya dengan mengganti kata “referendum” dengan demokrasi. Selain itu, ia juga membentuk Persatuan Demokrasi Indonesia (PADI) diluar PS-PRD.
93
Jika dibandingkan dengan saat ini ketika ruang demokrasi sudah relatif
terbuka tulisan, puisi, gambar, dan poster yang mengkritik pemerintahan secara
radikal sudah dapat bertebaran, maka strategi radikalisasi PRD menjadi hal yang
tidak asing. Namun pada masa kediktatoran Orde Baru tindakan ini dianggap
sebagai provokasi yang mengarahkan massa untuk ber tindak subversi.
Dampaknya adalah pemberangusan, penangkapan, dan penculikan bagi para
pelaku tindakan subversi.
5.1.2 Pembentukan Partai Rakyat Demokratik
Kongres pertama PRD8 memutuskan pendirian Partai Rakyat Demokratik
(PRD) yang kemudian dideklarasikan di gedung YLBHI pada 22 Juli 1996.
Keputusan lain dalam kongres PRD disimpulkan dalam dokumen Manifesto PRD
yang dibacakan pada saat deklarasi. Kongres juga memutuskan Budiman
Sudjatmiko sebagai Ketua Umum dan Petrus H. Harianto sebagai Sekjen PRD.
Kepengurusan ini hanya berlangsung selama lima hari, pada tanggal 27
juli 1996, terjadi peristiwa kudatuli9 yang menuding PRD menjadi dalang
kerusuhan. Tudingan ini berkembang menjadi tudingan tindakan makar pada
setiap aksi massa PRD. Dalam waktu singkat, kader dan simpatisan PRD diburu
oleh aparat sejak Januari hingga Juni 1997. Ketua umum PRD divonis 13 tahun,
dan 13 pengurus/anggota PRD disidangkan dengan vonis beragam antara 1,5
tahun hingga 12 tahun. Pada bulan Januari 1998, kembali PRD dituduh
8Kongres diselenggarakan pada 15 April 1996 di Sleman, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh ratusan delegasi ormas sektoral dan peserta peninjau dari CNRM dan DSP (Australia). (PRD,1999;22) 9 Penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta oleh kelompok Soerjadi. Namun dicurigai pelakuknya adalah tentara. Hingga saat ini peristiwa Kudatuli tidak pernah diungkap secara jelas.
94
merencanakan teror bom setelah meledaknya sebuah bom di sebuah rumah susun
di kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Selatan.
Kejadian ledakan bom ini sempat memunculkan berbagai spekulasi baik di
dalam PRD maupun di luar PRD. Tuduhan terhadap PRD sebagai pelaku ledakan
bom tanah tinggi sulit untuk dielakkan karena seorang aktivisnya tertangkap10 dan
ditemukan bukti-bukti yang menguatkan keterlibatan PRD dan pendanaan dari
sejumlah politisi dan pengusaha. Para pimpinan PRD dipenjara menyatakan
bahwa PRD tidak terlibat dalam kasus bom tanah tinggi, sebaliknya mereka
menyatakan bahwa kasus tersebut adalah rekayasa ABRI. Sepanjang proses
pembuktian keterlibatan PRD, Jakarta mengalami peningkatan eskalasi
demonstrasi yang mengarah pada people power untuk menggulingkan Orde Baru.
Pada saat itu militer cepat tanggap dengan mengomandokan penculikan terhadap
anggota-anggota PRD.
Sejak saat itu, Orde baru melancarkan tuduhan bahwa PRD adalah
komunis. Tuduhan tersebut diformalkan dalam bentuk Surat Keputusan Mendagri
Nomor 201-221 Tahun 1997 yang membubarkan dan menyatakan PRD dan
ormas-ormasnya sebagai Organisasi Terlarang dengan alasan PRD tidak
berasaskan Pancasila11. Tuduhan ini dibantah oleh Budiman Sudjatmiko sebagai
ketua umum PRD dengan menggugat SK Mendagri tersebut melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara. Meskipun pada tahun 1999 PRD berhasil mengikuti pemilu,
10
Aktivis PRD yang ditangkap adalah Agus “Jabo” Priyono yang kini menjabat sebagai Ketua Umum PRD. 11
Kompas, 30 September 1997. Mulyana W.Kusumah pada ulang tahun ke-17 PRD menyatakan bahwa pembubaran PRD melalui SK Mendagri tersebut menggunakan Undang-undang Ormas tahun 1985 karena partai politik yang diakui oleh Orde Baru hanya PPP, PDI dan Golkar.
95
tuduhan komunis terhadap organisasi ini bertahan hingga kini dan mempengaruhi
persepsi masyarakat terhadap PRD.
5.1.3 Perjuangan Ekstra Parlementer dan Parlementer
5.1.3.1 Strategi Ekstra Parlementer
Strategi ekstra parlementer atau strategi politik gerakan merupakan strategi
dasar PRD, sedangkan strategi politik konvensional atau strategi parlementer
seperti pembentukan partai untuk pemilu sebenarnya adalah perluasan dari strategi
ekstra parlemen. Strategi ekstra parlementer PRD dibagi menjadi 3 bagian strategi
yaitu; pertama, ideologi meliputi penerbitan bacaan dan pendidikan politik.
Kedua, politik meluputi kampanye program, penggalangan front atau aliansi,dan
aksi massa. Ketiga, Organisasi meliputi pembangunan struktur dan pembangunan
sayap organisasi. Ketiga strategi ini dilakukan secara bersamaan dan saling
berkaitan.
Strategi ideologi merupakan upaya menandingi atau memberikan
pembacaan alternatif terhadap frame media massa besar terhadap isu-isu politik
terutama aksi-aksi massa yang dilakukan oleh PRD. Selain itu, koran partai juga
digunakan untuk mengomunikasikan gagasan, membangun solidaritas, hingga
melakukan pengorganisiran. Pada awal pendiriannya, PRD menerbitkan Progres
sebagai media alternatif. Pada saat PRD bekerja klandestin diterbitkanlah Koran
Pembebasan yang bertahan hingga tahun 2006. Koran ini kemudian digantikan
dengan Koran Berdikari yang karena keterbatasan dana percetakan akhirnya
dipindahkan dalam bentuk website. PRD menggunakan media elektronik sebagai
96
alat komunikasi, koordinasi internal dan meluaskan propaganda politiknya sejak
periode klandestin pada masa Orde Baru.
PRD yang kecil menggunakan internet lebih aktif ketimbang partai politik lain selama pemilu 1999. Alasan PRD mengapresiasi potensi teknologi ini karena basis partai ini adalah gerakan mahasiswa radikal pada awal 1990an, dan karena partai ini menggunakan internet secara ekstensif selama periode mereka dibawah tanah pada tahun-tahun terakhir Orde Baru. (Hill. 2005, hal. 81) Strategi politik yang digunakan oleh PRD dengan membangun aliansi
politik dan meluaskan kampanye program melalui aliansi-aliansi. Pada saat PRD
dalam status klandestin, PRD tetap mampu membangun aliansi politik dengan
PDI menggunakan gerakan Mega-Bintang-Rakyat. Kemampuan membangun
aliansi politik ini juga dibuktikan kembali menjelang reformasi 1998 dengan
membentuk Dewan Penyelamatan Kedaulatan Rakyat (DPKR)12. Percobaan
berikutnya adalah menaikkan level strategi politik pembangunan aliansi dengan
memadukan perjuangan parlementer didalamnya. Percobaan ini dilakukan pada
tahun 2003 saat pembentukan POPOR dan pada tahun 2006 melalui inisiasi
Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan nasional (KP-PAPERNAS).
Sementara, strategi organisasi merupakan strategi khusus dalam PRD yang
mampu menjelaskan bagaimana PRD dapat membangun banyak sayap organisasi
di berbagai sektor pengorganisiran. Pada saat klandestin, PRD membentuk
Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD)13 di Jakarta, Solo, Yogyakarta,
dan beberapa daerah lainnya. Berikutnya, PRD juga membentuk beberapa
12 DPKR secara konseptual adalah semacam direktorat yang mencoba menyatukan tokoh oposisi, yang secara politik akan menjadi pemerintahan sementara pasca people power 13
KNPD melibatkan tokoh-tokoh politik dari kubu reformis seperti Abdurrahman Wahid, Arif Budiman, Eros Djarot, dan lainnya. (http://www.asia-pasific-solidarity.net/southeastasia/indonesia/netnews/1998/and01_v2.htm#FormaCouncilofPolitical Leaders)
97
organisasi dan komite aksi yang diintegrasikan ke dalam sayap-sayap
organisasinya.
Keampuhan ketiga strategi tersebut dapat diperhatikan melalui
keberhasilan PRD menyelamatkan organisasinya setelah penangkapan para aktivis
PRD dan tuduhan komunis yang disebarkan secara luas oleh Orde Baru. Dalam
tekanan represi, PRD tetap mampu menjalankan roda organisasinya dengan
bekerja secara klandestin. PRD mengadakan pertemuan bawah tanah Dewan
Nasional dan memutuskan untuk memanfaatkan Sidang Umum MPR 1998 untuk
menggerakkan people power14. Tindakan ini direspon oleh rezim dengan
menggelar operasi intelejen “Tim Mawar” yang dipimpin oleh menantu Soeharto,
Prabowo Subianto15.
5.1.3.2 Strategi Parlementer
Perjuangan parlementer pertama kali diterapkan oleh PRD pada pemilu
1999SSetelah kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, PRD mengambil strategi ini
untuk merespon peluang politik yang selama 32 tahun ditutup oleh rezim. Ketika
itu, PRD memandang momentum ini sebagai kesempatan untuk memunculkan
PRD secara terbuka. Oleh karena itu, pada bulan juni 1998 atas mandat para
pimpinan PRD yang masih berada di dalam penjara, dibentuklan Komite
Persiapan Legalisasi Partai Rakyat Demokratik (Kepal-PRD) yang diketuai oleh
Hendri Kuok.
14
Strategi yang serupa dengan gerakan anti-kediktatoran Filipina saat menggulingkan Marcos 15
Dalam operasi ini enam orang anggota PRD yang diculik dan mengalami penyiksaan dibebaskan sedangkan tiga orang lainnya masih dinyatakan hilang hingga saat ini. Gilang, seorang aktivis PRD, ditemukan mayatnya di Madiun. (PRD,1999;27) (Miftahuddin, 2004, hal. 87)
98
Pada bulan Oktober 1998, PRD mengadakan kongres II di Yogyakarta.
Melalui perdebatan panjang yang dilanjutkan pada rapat kerja nasional di Bogor,
KPP-PRD mengumumkan secara keputusan untuk berpartisipasi dalam pemilu
1999. Pada pemilu 1999, PRD tetap mengajukan Sosial Demokrasi Kerakyatan
sebagai asas partai yang diterjemahkan menjadi perjuangan pembentukan suatu
sistem politik yang demokratis untuk memudahkan terciptanya peranan
pengawasan publik/sosial yang lebih kuat terhadap politik, pemilik modal, serta
kekayaan negara.
Intervensi pemilu 1999 mengalami kebuntuan dalam perolehan suara. Pun,
dalam konsepsi kampanye yang menunjukkan sikap politik yang ambigu16.
Kegagalan intervensi politik ini tidak lantas membuat PRD lemah karena pemilu
merupakan perluasan taktik politik partai. PRD kembali ke wilayah gerakan di
luar parlemen dan terus menyuarakan tuntutannya. Meskipun strategi ini tidak
membawa para aktivis PRD ke ruang parlemen, secara politik intervensi politik
parlemen ini memberikan kesempatan luas bagi PRD untuk dapat dikenal oleh
masyarakat secara nasional.
Percobaan pemilu tidak berhenti pada pemilu 1999, pemilu berikutnya
PRD kembali berusaha untuk mengikuti kontestasi pemilu. Namun, kali ini tidak
dengan mengajukan partainya sendiri melainkan dengan melakukan koalisi
dengan gerakan sosial lain di luar PRD. Koalisi ini melibatkan berbagai organisasi
yang dipersatukan oleh program populis radikal dan anti-neoliberalisme. Pada
tanggal 27 Juli 2003 koalisi ini melahirkan Partai Persatuan Oposisi Rakyat
16
Slogan PRD pada saat itu adalah “Bersama Mahasiswa-Rakyat Boikot Pemilu atau Coblos PRD”
99
(POPOR) yang diketuai oleh Yusuf Lakaseng, yang juga menjadi Ketua Umum
PRD, dan mengajukan Dita Indah Sari sebagai calon Presiden dari partai tersebut.
POPOR mengalami kendala dalam pemenuhan syarat administratif dan
gagal lolos verifikasi partai peserta pemilu. Seperti pada pemilu 1999, kegagalan
PRD melalui POPOR mengembalikan mereka ke ruang di luar parlemen untuk
menyuarakan program politiknya. Pada tahun 2006, PRD kembali menginisiasi
pembentukan koalisi gerakan melalui KPKGR. Koalisi ini gagal merebut
dukungan dari kaum pergerakan yang putus asa dengan percobaan pemilu 2004.
KPKGR kemudian mulai mengongkritkan langkahnya menjadi partai politik
dengan membentuk Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional
(KP-PAPERNAS) yang pada tahun 2007 mendeklarasikan dirinya menjadi
PAPERNAS. Pada perjalanannya, PAPERNAS menghadapi persoalan
propaganda Anti-Komunis yang dilancarkan oleh lawan-lawan politiknya. Di
Jakarta, deklarasi PAPERNAS diserang oleh massa Front Anti Komunis
Indonesia dan Front Pembela Islam. Di daerah lain, konferensi-konferensi
PAPERNAS selalu mendapatkan serangan bahkan izin legalisasi kantor pun
ditolak oleh RW setempat di Jawa Timur. Sekali lagi, PRD mengalami kegagalan
intervensi pemilu ketika PAPERNAS juga gagal memenuhi syarat verifikasi
partai peserta pemilu.
Kemudian, PRD melakukan manuver berbahaya yang berbeda dengan
pilihan politik PRD sebelumnya ketika mereka mengintervensi pemilu. Perbedaan
tersebut adalah pilihan koalisi politik yang terjadi antara PAPERNAS dengan
PBR untuk mensiasati tidak lolosnya PAPERNAS pada verifikasi partai politik
100
pada pemilu 2009. Strategi ini berbeda dengan strategi intervensi pemilu
sebelumnya pada pembentukan POPOR di tahun 2003 yang memilih kembali ke
jalan gerakan politik di luar parlemen setelah gagal melalui proses verifikasi partai
politik.
5.1.4 Sekuensi Historis Partai Rakyat Demokratik
Berdasarkan pemaparan sekuensi historis tersebut, Periodesasi perjalanan
politik PRD dapat dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahapan pembangunan gerakan (1983-1994) yang dibagi kedalam dua proses
yaitu proses teoritis dan proses organisasional. Periode ini ditandai dengan
pembentukan formasi partai kiri.
2. Tahapan pembentukan Partai Rakyat Demokratik (1994-1996) yang dibagi
dalam dua proses yang saling berkaitan yaitu pembentukan organisasi payung
pra-partai, Persatuan Rakyat Demokratik. Proses berikutnya adalah
pembentukan partai politik, Partai Rakyat Demokratik.
3. Tahapan Perjuangan Ekstra Parlementer dan Parlementer (1996-2009).
Strategi ekstra parlemen dapat ditandai oleh jumlah protes yang dilakukan
oleh PRD dan tingkat mobilisasi PRD dari masa ke masa. Strategi berikutnya
adalah percobaan strategi pemilu (1999-2009). Tahapan ini dibagi pada tiga
sekuensi histosis yaitu periode pembentukan partai elektoral (1999), periode
pembentukan partai front gerakan (2003) dan periode koalisi politik (1999).
Periode inilah yang menjadi objek utama penelitian.
101
5.2 Varian Politik Sayap Kiri PRD
Pada penelitian ini secara periodik, politik sayap kiri di Indonesia terbagi
pada dua periode besar yaitu periode pergerakan hingga periode 65 dan periode
pasca 65. Setiap periode politik tersebut menghadapi berbagai peristiwa politik
yang melahirkan berbagai tendesi. PRD merupakan representasi politik sayap kiri
di Indonesia pasca 1965 yang memiliki tendensi politik berbeda dengan periode
sebelumnya. Oleh karena itu, pada bagian ini peneliti akan mendefinisikan varian
politik sayap kiri PRD berdasarkan indikator politik sayap kiri, yaitu; analisis
kelas, konsep kekuasaan, konsep perbutan kekuasaan dan organisasi politik.
Simpulan dari pembahasan varian politik sayap kiri PRD digunakan sebagai
variabel mobilisasi dan statemaking pada pembahasan proses politik PRD.
5.2.1 Analisis Kelas PRD
Dalam politik sayap kiri, analisis kelas merupakan variabel utama yang
menentukan konsep kekuasaan, strategi politik, dan bentuk organisasi politik yang
dibutuhkan. Analisis kelas merupakan hasil dari penilaian terhadap situasi objektif
secara ekonomi politik yang dihadapi oleh organisasi politik. Secara teoritis,
analisis kelas adalah penentuan aktor politik sebagai subjek politik transformasi
sosial.
Pada tinjauan pustaka, analisis kelas dalam politik sayap kiri telah
menghasilkan dua pemilihan besar secara periodik yaitu analisis kelas Marxisme
klasik dan analisis kelas Neo Marxis. Analisis kelas Marxisme klasik membelah
populasi menjadi dua bagian berdasarkan hubungan kepemilikan alat produksi
dalam corak produksi kapitalisme. Analisis ini mengidentifikasi aktor politik
102
mayoritas berdasarkan kelas sosial dengan asumsi terjadinya integrasi
kepentingan, aspirasi, dan kesiapan aksi kolektif.
Marxisme klasik berkembang dalam tiga klasifikasi kontradiksi kelas
yaitu: proletar dan borjuasi, aliansi buruh-tani dan borjuasi, tenaga produktif
mayoritas dan borjuasi. Ketiga identifikasi ini merupakan kategori analisis kelas
yang mendominasi politik sayap kiri pada abad ke 20. Kategori kedua adalah
analisis kelas neo Marxis yang mencoba untuk memperbaiki kekurangan analisis
kelas Marxis klasik berdasarkan perkembangan situasi objektif kapitalisme dan
perkembangan situasi politik yang dihadapi. Analisis kelas ini menempatkan
dampak dari eksploitasi kapitalisme sebagai penentu relasi kelas. Tradisi neo
Marxis terbagi menjadi dua kategori besar yaitu; spektrum politik non-kelas dan
kelas popular. Kedua kategori ini merupakan kategori politik yang sangat luas
bersandarkan pada asumsi bahwa oposisi terhadap eksploitasi kapitalisme
melampaui kategori kelas yang didasarkan pada relasi kepemilikan alat produksi.
Analisis kelas di PRD dilakukan berdasarkan analisis terhadap kondisi
objektif yang terjadi di Indonesia. analisis ini dilakukan oleh PRD secara
periodikal menjelang kongres partai. Selain dokumen tersebut terdapat juga
dokumen yang dikeluarkan di antara kongres secara berkala yaitu dokumen situasi
nasional sebagai panduan dan laporan perkembangan analisis kondisi objektif
yang dikumpulkan melalui laporan aktivitas ideologi, politik, dan organisasi dari
setiap daerah. Melalui dokumen-dokumen ini para aktivis PRD dapat
menyesuaikan kondisi objektif yang mereka hadapi dari tingkatan lokal ataupun
sektoral aktivitas mereka dengan konstelasi politik secara nasional. Peran penting
103
dari dokumen ini adalah menjaga ritme politik organisasi dan panduan praktis
untuk membaca peluang politik.
Peneliti menemukan empat dokumen kunci yang digunakan oleh PRD
sebagai panduan analisis kelas yaitu; Kediktatoran Kelas dan Asal Usul
Pemerintah Orde Baru (Cokro, 1991), Sang Pandai Api (Surya, 2000),
Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia; Jalan Kemenangan (Nugroho,
2000), dan Manifesto Partai Rakyat Demokratik (PRD, 1996). Keempat dokumen
ini merupakan penanda historis perkembangan analisis kelas yang dilakukan oleh
PRD sejak masa pra partai hingga masa deklarasi partai. Semua dokumen ini
berisi mengenai posisi politik PRD sesuai dengan analisis kelasnya melalui
pendekatan Marxian dan berbagai teori dan data tambahan. Setelah 1999,
dokumen-dokumen ini digunakan untuk menguji analisis politik dan praktik
politik PRD sebelumnya17.
Pada dokumen-dokumen tersebut, PRD membelah populasi pada dua kelas
utama yaitu elit dan massa berdasarkan dampak kapitalisme yang mereka terima.
Kelas elit merupakan komposisi yang variatif terdiri dari militer, teknokrat Pro
barat, borjuasi Tionghoa, borjuasi Pribumi, Angkatan 66, Partai Politik (Surya,
2000). Ada pun massa atau rakyat adalah kelas-kelas sosial yang mengalami
tekanan paling kuat dari kapitalisme dan melakukan perlawanan terhadap tekanan
tersebut. Kedua kelompok ini berlawanan satu sama lain baik secara jumlah,
variabel ekonomi, variabel kekuasaan, dan variabel integrasi sosialnya.
Berdasarkan pemilahan tersebut, PRD menyimpulkan bahwa aktor politik
17 Dalam konteks partai kiri dokumen ini dapat disebut sebagai dokumen otokritik partai
104
radikalnya adalah massa. Aktor politik tersebut disebut dengan istilah “rakyat”
atau dalam konteks propaganda tertentu adalah “rakyat miskin”. Atribusi “miskin”
merupakan atribusi solidaritas, integrasi sosial, dan potensi perlawanan dari para
aktor tersebut.
Dalam manifestonya, PRD menyatakan bahwa potensi revolusioner tidak
hanya berada pada kaum buruh namun juga kelompok lain berdasarkan kategori
politik yang disesuaikan dengan sejarah politik Indonesia. Istilah “potensi
revolusioner” ini merujuk pada aktor politik.
“Kaum Buruh adalah pondasi yang paling mungkin untuk diraih dan diorganisir dalam perjuangan demokratik. Kekuatan kedua yang secara historis terbukti mampu menjadi kekuatan yang menentukan adalah mahasiswa dan kaum intelektual. Kekuatan ketiga yang terbukti sedang bangkit adalah kaum miskin kota.” (PRD, 2007). Konotasi rakyat yang digunakan oleh PRD disini bukanlah sebagai istilah
bagi keseluruhan populasi. Pada masa Orde Baru, istilah rakyat digantikan dengan
istilah masyarakat sebagai penanda populasi disamping warga negara dan sipil.
Menurut Dita Sari, penggunaan istilah ini adalah bagian dari metode perlawanan
PRD melawan hegemoni Orde Baru18. Dita juga menyatakan bahwa PRD melihat
bahwa istiah-istilah yang ada di masa Orde baru merupakan manifestasi instrumen
hegemoni dengan memecah pengelompokan yang sudah ada sebelumnya. Konsep
18 Dita Indah Sari dalam wawancara 27/6/2013, menjelaskan bahwa Kategori rakyat yang dimaksud oleh PRD adalah kelompok yang tertindas, dihisap nilai lebihnya berdasarkan kerja industrial maupun non industrial. Pada sisi politik pun kelompok ini adalah mereka yang diasingkan secara politik, tidak memiliki akses politik dan pada umumnya tidak memiliki pengetahuan mngenai politik.
105
ini berhubungan dengan konsep disorganisasi sosial yang disebut sebagai floating
mass oleh Ali Moertopo19.
Kategori rakyat yang disebutkan oleh PRD adalah kategori yang sangat
luas dalam analisis kelas. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Links
terhadap Marlin, salah seorang anggota PRD, Marlin menjelaskan konsep rakyat
yang digunakan oleh PRD dalam kutipan berikut;
Apa yang kita sebut sebagai kaum miskin kota adalah pengangguran, lumpen proletariat (copet, berandal, penipu, pekerja seksual, penjual obat, rampok yang melompat ke truk dan mengambil isinya) begitu jua dengan pada peddlers, pekerja pemerintah berpangkat rendah. di Jakarta Utara, mereka juga termasuk pekerja pabrik, asisten toko, pekerja supermarket dan departemen store (kebanyakan perempuan), kuli, sopir angkot, pemilik warung pinggir jalan dan lainnya. kebanyakan dari mereka hidup di dalam kampung (secara geografis adalah desa di dalam kota). sampah bertebaran dimana-mana, tidak ada air bersih, parit mampet, banyak nyamuk, kamar mereka sangat kecil sehingga orang tidur berjejer seperti sarden, meereka mandi dan buang air di WC umum yang harus bayar. listrik yang digunakan sekitar 100 watt per keluarga (kalo anda punya uang lebih anda bisa mendapatkan 450 watt). jarang sekali dari mereka yang mendapatkan pendidikan SMA atau Universitas. pendapatan mereka sekitar 100-300 ribu rupiah per bulan. kebanyakan keluarga terdiri dari lima orang. biasanya anak mereka menderita penyakit kolera, tipes, meningitis, disentri, penyakit kulit, influenza, sinus, infeksi mata dan kekurangan gizi. (Links, 1998) Konsep kelas Marxian secara praktis tidak dapat ditemukan di negara
dunia ketiga yang belum mencapai industrialisasi secara menyeluruh. Di
Indonesia, corak produksi non industrial masih mendominasi lapangan pekerjaan
utama penduduk di Indonesia. Corak utama produksi di Indonesia adalah produksi
agraris, sektor jasa dan perdagangan.
19 Konsep buruh misalnya merupakan konsep keseluruhan pekerja yang idak memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaganya. Orde Baru menggantikan konsep ini dengan karyawan lalu dibelah kembali ke dalam istilah lain yaitu buruh sebagai penanda pekerja kasar, pekerja sebagai kategori buruh manufaktur dan pegawai sebaga penanda pekerja administrasi. Selain konsep buruh, konsep tukang, pedagang, dan lainnya yang bekerja pada sektor informal digantikan dengan istilah yang lebih samar yaitu wirausaha.
106
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Sensus Penduduk 201020
Selain itu, kesadaran kelas dalam konteks Marxian adalah konsep yang
asing bagi alam pikir masyarakat Indonesia setelah penghancuran kaum kiri pada
tahun 1965. Lane (2007;296) menjelaskan bahwa komponen kesadaran kelas
terakhir adalah istilah “rakyat” yang memiliki definisi sebagai “orang-orang yang
dihisap dan ditindas”. Definisi ini menyiratkan bahwa terdapat satu kelompok
sosial yang mengeksploitasi kelompok lain21.
Dalam konteks analisis kelas Marxis, konsep rakyat ini merentang dari
intermediet class (termasuk petty burgoise dan semi proletariat) hingga lumpen
20 Diolah dari sumber website BPS: http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=290&wid=0 21
Diferensiasi ini meletakkan komponen rakyat sebagai oposit bagi komponen “non-rakyat” (Lane, 2007;296)
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
Per
tan
ian
Tan
aman
Pad
i dan
Pal
awija
Ho
rtik
ult
ura
Per
keb
un
an
Per
ikan
an
Pet
ern
akan
Keh
uta
nan
Per
tam
ban
gan
dan
Pen
ggal
ian
Ind
ust
ri P
engo
lah
an
List
rik
dan
Gas
Ko
nst
ruks
i/B
angu
nan
Per
dag
anga
n
Ho
tel d
an R
um
ah M
akan
Tran
spo
rtas
i dan
Per
gud
anga
n
Info
rmas
i dan
Ko
mu
nik
asi
Keu
anga
n d
an A
sura
nsi
Jasa
Pen
did
ikan
Jasa
Kes
ehat
an
Jasa
Kem
asya
raka
tan
Lain
nya
Penduduk berumur 15 tahun Keatas menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Jumlah (dalam Jutaan)
107
proletariat. Perbedaannya dengan analisis kelas berbasis masyarakat industrial
adalah penekanannya pada kausal kelas yang muncul sebagai dampak dari
kapitalisme. Model pemilahan aktor politik yang digunakan oleh PRD lebih mirip
dengan model Poder Popular di Chile ketimbang model kelas Marxian. Konsepsi
kelas seperti ini sering digunakan dalam analisis kelas di negara dunia ketiga atau
negara non industrial terutama di Amerika Latin dengan istilah kelas popular
(popular class).
Atribusi kemiskinan pada kelas popular juga sulit untuk disejajarkan
dengan konsep kelas Marxisme klasik. Pada penentuan aktor politik, kelas dalam
konsepsi Marxisme secara teoritis lebih ketat ketimbang kelas popular,
kecenderungan solidaritas dan integrasi sosial lebih memungkinkan ketimbang
kelas popular yang sangat beragam. Keterpisahan masing-masing kelas dalam
kelas popular dalam relasi produksinya menciptakan pembelahan isu ekonomi dan
politik yang akan diperjuangkan. Akan tetapi, konsep ini memiliki keunggulan
secara politik karena kemampuannya untuk merangkum spektrum oposisi yang
beragam. Model kelas popular juga mampu menembus kekakuan analisis kelas
Marxis klasik menghadapi situasi ekonomi-politik negara dunia ketiga yang masih
didominasi oleh corak agraris dengan tingkat konflik lahan yang tinggi dan corak
industrial yang masih terbelakang.
5.2.2 Konsep Kekuasaan PRD
Dalam politik sayap kiri, konsep kekuasaan ditelusuri oleh peneliti melalui
perdebatan konsep kediktatoran proletariat dan teori negara Marxisme. Konsep
kediktatoran proletariat sendiri melekat pada konsep negara bukan pada konsep
108
pemerintahan. Pada tinjauan pustaka disimpulkan bahwa pandangan konseptual
terhadap negara yang dibagi dalam tiga kategori yaitu pandangan instrumentalis
yang memandang negara sebagai alat kepentingan sosial, pandangan
institusionalis yang memandang negara sebagai tujuan, dan pandangan
strukturalis yang memandang negara sebagai lembaga yang memiliki otonomi
relatif.
Konsep kekuasaan PRD dapat ditelusuri melalui kritik PRD terhadap
negara dan konsep bentuk negara yang diajukan oleh PRD. Pada dokumen
Kediktatoran Kelas Dan Asal-Usul Pemerintah Orde Baru (Cokro, 1991) yang
dibuat pada periode formasi pra partai, PRD membantah teoritisasi kritis tentang
negara Orde Baru yang dijelaskan oleh para akademisi.
“Sangatlah mencengangkan, begitu banyaknya penamaan (label) diberikan oleh literatur tersebut, sehingga memberikan pertanda bahwa dunia akademis kontemporer telah kehilangan daya kreatifnya. Penamaan tersebut antara lain: negara pangreh-praja (beamtenstaat), negara birokrat militer (military bureaucratic state), negara birokrat-politis (politico-bureau-cratic state), negara otoriter patrimonial (patrimonial authoritarian state), negara rentenir (rentier state), negara militeris rentenir (rentier militarist state), negara pembangunan penindas (repressive developmentalist state), dan rejim atau negara pembangunan integralis (integralist developmentalist regime or state). Ringkasnya, yang esensinya adalah: negara-demi-negara (state-qua-state).” (Cokro, 1991; 1) Dalam analisis PRD, simpulan negara otonom dari dominasi kelas
tersebut meleset jauh dari dinamika kekuasaan yang sesungguhnya terjadi dibalik
kemunculan negara Orde Baru. Pandangan kritis yang muncul mengarah pada
pemaknaan negara bersifat mandiri atau otonom ataupun relatif otonom terhadap
dominasi kelas. Pelabelan ini meskipun terlihat kritis namun a-historis dengan
109
menganalisis kebijakan rezim dari struktur dan fungsi bukan relasi historis yang
melahirkan rezim.
PRD menekankan pada peran imperialisme atau peran modal asing dalam
konstelasi politik dalam negeri yang melahirkan rezim Orde Baru. Indonesia
disebutkan sebagai bagian dari sistem kapitalisme dunia yang berperan sebagai
pasar bagi komoditas industri di Asia Tenggara. Peran tersebut dapat dilihat dari
kecilnya pasar dalam negeri dan besarnya orientasi ekspor pada perekonomian
Indonesia.
Namun peran Indonesia sebagai pasar yang dapat mengakslerasi
akumulasi kapital modal asing tidak didukung oleh perangkat hegemonik yang
kuat. Indonesia tidak mengembangkan kelas borjuasi yang mapan dalam
organisasi produksi. Borjuasi pribumi di Indonesia muncul tanpa mengalami
penghancuran hubungan produksi feodal sehingga relasi kekuasaan dalam corak
feodal masih bertahan melalui hirarki kekuasaan. Corak yang berlainan ini
bertahan dalam konfigurasi elit di Inonesia.
Hubungan-hubungan sosial feodal dan pra-borjuis tidak sepenuhnya "hancur lumat (remuk redam)" dengan adanya ledakan kemampuan teknologi dan tenaga produktif (productive forces) yang memerlukan hubungan-hubungan sosial yang baru. Jadi ideologi dan cara berpikir feodal juga tidak dihancur-lumatkan oleh ledakan gagasan-gagasan borjuis baru. (Cokro, 1991; 1) Konfigurasi inilah yang membedakan dinamika kekuasaan di Indonesia
dengan yang terjadi di Eropa. Borjuasi yang lemah menghasilkan struktur
kekuasaan yang juga lemah sehingga mudah terinterupsi oleh kekuasaan modal
internasional. Negara yang bertahan sejak revolusi nasional menurut PRD adalah
negara yang didominasi oleh borjuasi yang lemah dalam organisasi produksi.
110
Kelemahan ini ditutupi oleh represi dan kekuatan bersenjata yaitu militer sehingga
setiap protes, dan gejolak sosial baru yang mengarah pada perubahan diredam
dengan represi. Orde Baru merupakan representasi dari borjuasi yang lemah
dalam organisasi produksi dan menggunakan militer sebagai alat represi untuk
menetapkan dominasinya.
PRD menyatukan persepsi politik terhadap kekuasaan Orde Baru adalah
persepsi anti-kediktatoran yang diatribusikan pada militerisme. Dapat dilihat dari
kutipan berikut;
“Hak-hak dasar partisipasi rakyat untuk berpolitik dipasung, dibatasi, dibuntungi dengan penerapan 5 paket UU politik dan Dwifungsi ABRI. Hakekat kemerdekaan, yang adalah kebebasan memilih, mengawasi dan menentukan negara yang berkedaulatan rakyat, semakin menjauh dari kehidupan politik sehari-hari. Secara sistematis penguasa semakin mendominasi lapangan politk dnegan cara-cara inkonstitusional, keji dan brutal. Tidak menghargai perbedaan pendapat, tidak menghargai kritik dan tidak mau mendengar aspirasi-aspirasi rakyat. Kebangkitan perlawanan dalam makna masyarakat sipil dibalas dengan intimidasi, teror, penangkapan, pemenjaraan, berondongan peluru dan bahkan dengan pembantaian.” (PRD, 2007) Kutipan yang berasal dari manifesto PRD tersebut mencoba untuk
menggambarkan praktik kediktatoran Orde Baru dan dampaknya terhadap rakyat.
Secara konseptual, PRD membongkar fondasi kediktatoran Orde Baru yaitu alat
yang melegitimasi kekerasan negara. Alat ini menurut PRD adalah lima paket UU
politik dan Dwifungsi ABRI. Kedua fondasi kekuasaan tersebut menurut PRD
berdampak pada disorganisasi sosial dan alienasi politik rakyat.
Pandangan ini membawa PRD pada pandangan negara instrumental yang
mengasumsikan bahwa negara adalah instrumen kelas dominan. Konsep ini
membawa pandangan politik pada dua episentrum yang berlawanan yaitu negara
111
sebagai penindas dan negara sebagai alat transformasi kelas. Maka tesis yang
harus dihasilkan adalah bagaimana kelas popular menggunakan negara sebagai
instrumen kekuasaan untuk menindas elit. Penindasan terhadap elit tersebut tidak
dibatasi oleh negara melainkan dibatasi oleh perlawanan dari elit itu sendiri.
Berdasarkan kritik tersebut, PRD menyusun pandangan politiknya
mengenai kekuasaan sebagai antitesa dari kediktatoran Orde Baru. Pandangan
politik PRD menitikberatkan pada proses demokratisasi yang dikaitkan pada
kedaulatan rakyat sebagai antitesa kediktatoran. Pandangannya terhadap
pemerintahan juga berlandaskan pada sikap oposisinya terhadap kediktatoran
sehingga PRD mengusulkan pemerintahan koalisi demokratik kerakyatan sebagai
antitesa terhadap dominasi Golkar dan ABRI dalam konstruksi kekuasaan Orde
Baru. Seperti dijelaskan pada kutipan berikut;
“PRD memandang penting, di masa depan, membangun suatu masyarakat sipil modern yang menghormati kedaulatan rakyat dan pembenahan praktik demokrasi dengan trias politikanya secara sejati dan sepenuh-penuhnya. Pembangunan demokrasi yang sejati dan sepenuh-penuhnya. Pembangunan demokrasi yang sejati dan sepenuh-penuhnya haruslah diabdikan pada kedaulatan rakyat. Untuk itu suatu pemerintahan koalisi demokratik kerakyatan haruslah diciptakan di masa depan untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-masing secara damai tanpa kekerasan.” (PRD, 2007) Pandangan politik PRD terhadap kekuasaan yang mengedepankan proses
demokratisasi jika diamati secara menyeluruh, tidak berbicara soal konsep
pemerintahan. Konsep yang diajukan oleh PRD merupakan konsep negara yang
dikuasai oleh kelas popular dan berkerja melalui demokrasi kelas popular. Dalam
kutipan ini, istilah “pembenahan” tidak dapat disejajarkan dengan istilah
reformasi karena atribusi “sejati dan sepenuh-penuhnya” pada ujung kalimat.
112
Istilah pembenahan secara menyeluruh mengacu pada reorganisasi kelas popular
dan transformasi kekuasaan pada kelas popular. Dalam istilah PRD proses
pembenahan ini disebut sebagai “revolusi demokratik”.
Mengenai konsep kekuasaan, PRD hanya memberikan gambaran umum
mengenai bentuk negara yang secara prinsipil dipandang sebagai instrumen
transformasi kelas. Pandangan kekuasaan PRD pertama kali dimanifestasikan
setelah turunnya Soeharto pada Mei 1998 dalam bentuk seruan mendirikan
“Dewan Rakyat” atau “Komite Rakyat”. Konsep ini berasal dari keterlibatan
berbagai komite dan kelompok non-permanen, temporal, terlibat dalam
pengorganisiran aksi massa penggulingan Orde Baru ke dalam bentuk yang lebih
permanen dan melaksanakan fungsi kekuasaan pasca Orde Baru. Konsep ini gagal
mendapatkan dukungan meskipun di Lampung pada bulan Agustus 1998 berhasil
dibentuk Dewan Rakyat yang pertama22.
Pada pemilu 1999, PRD mengajukan konsep Pemerintahan Persatuan
Demokratik yang terdiri dari kelompok oposan Orde Baru23. Konsep ini tidak
mendetail, hanya sebagai acuan umum komposisi koalisi pasca Orde Baru yang
berasal dari kelompok oposan Orde Baru. Selain itu konsep ini juga difokuskan
pada penghancuran kediktatoran Orde Baru dan kroni-kroninya.
Pada pemilu 2004, melalui partai POPOR, PRD kembali mengajukan
konsep yang dinamakan sebagai pemerintahan demokrasi rakyat. Meskipun masih
22 Komite rakyat PRD dijelaskan oleh Max Lane pada “Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto” (2007;198-211) 23
Pemerintahan persatuan Demokratik yaitu pemerintahan yang terdiri dari unsur demokratik yang memberikan sumbangan dalam menumbangkan diktator Soeharto; dan terdiri dari unsur-unsur demokratik yang mau berjuang menghentikan atau menggantikan warisan-warisan lama rejim Orde Baru (PRD, 1999)
113
membawa sentimen anti militerisme yang kental, konsep PRD kali ini lebih jelas
menunjukkan garis politiknya pada kelas popular. Konsep pemerintahan
demokrasi rakyat tetap dalam isu oposisi terhadap pemerintahan namun
konsentrasinya adalah reorganisasi rakyat dengan membangun organisasi
perwakilan di setiap tingkatan pemerintahan.
“Kaum oposisi demokratik mestilah mempelopori, terlibat aktif untuk memajukan dan membangun wadah-wadah perjuangan rakyat (Dewan Buruh, Dewan Tani, Dewan kaum miskin perkotaan yang harus dibangun di setiap jenjang teritori); serta front persatuan dinatar wadah-wadah sejati rakyat tersebut.” (POPOR, 2003)
Konsep ini memperinci pandangan PRD mengenai negara sebagai
instrumen dominasi kelas popular terhadap kelas elit. Meskipun tidak dapat
disamakan dengan konsepsi kediktatoran proletariat Marxisme klasik, secara
radikal konsep ini memindahkan episentrum kekuasaan dari kelas elit yang
minoritas ke kelas popular yang mayoritas. Sayangnya konsep ini tidak
memperinci tahapan transformasi kekuasaannya.
Pada tahun 2009, PRD mengajukan konsep pemerintahan persatuan
nasional melalui PAPERNAS. Persepsi pemerintahan ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan persepsi sebelumnya yaitu bentuk front politik. Perbedaannya
adalah tekanannya terhadap aspek kebangsaan yang didasarkan oleh
perkembangan analisis ekonomi politik.
“Pemerintahan koalisi persatuan nasional dibentuk dan tersusun dari bawah, meliputi bukan saja partai politik, tapi juga golongan, organisasi massa, tokoh agama, bahkan individu yang menyepakati platform dan visi perjuangan kami24. Koalisi persatuan nasional berdiri atas kepentingan nasional dan seluruh rakyat, sehingga ia tetap menyandarkan kekuatannya pada aksi dan mobilisasi umum seluruh rakyat.” (PAPERNAS, 2008)
24 Platform; kemandirian nasional, pluralisme, dan pro-rakyat (PAPERNAS, 2008)
114
Ketiga konsep yang diajukan oleh PRD bersandarkan pada konsep front
persatuan kelas popular. Front ini dibangun melalui organisasi-organisasi gerakan
massa dari tingkatan terkecil hingga tingkat nasional. Istilah yang digunakan
secara umum dalam ketiga front tersebut adalah “membangun demokrasi dari
bawah”. Konsep membangun demokrasi dari bawah ini sendiri merupakan
replikasi dari metode aliansi kelas popular yang juga dijalankan di Amerika Latin.
Secara historis, konsep front persatuan gerakan dapat ditelusuri dalam
konsep Marxisme klasik yaitu pada konsepsi aliansi kelas buruh dan tani untuk
memperkuat mobilisasi massa dalam revolusi. Perbedaannya kembali lagi pada
pilihan analisis kelas yang digunakan oleh PRD. Konsep front sebagai bentuk
kekuasaan yang digunakan oleh PRD merupakan konsekuensi dari pilihan analisis
kelas popular dan kondisi ekonomi politik di Indonesia yang menyebabkan
luasnya dampak kapitalisme. Konsep ini berbasis pada model gerakan politik dan
mobilisasi massa. Kelemahan dari konsep ini terletak pada komposisi kelas dan
perubahan konstelasi politik. tanpa reorganisasi massa yang baik, konsep front
persatuan kelas popular sulit untuk diharapkan memiliki visi politik yang kuat
seperti kelas proletariat.
5.2.3 Konsep Perebutan Kekuasaan
Pada pembahasan sebelumnya mengenai konsep kekuasaan telah
ditemukan bahwa konsep kekuasaan PRD menekankan pada konsep front politik
kelas popular sebagai konsekuensi dari analisis kelas PRD. Konsep front popular
merupakan konsep yang sangat fleksibel dalam konsep kekuasaan. Front popular
menjadi bentuk pemerintahan transisi dalam pandangan negara instrumen,
115
sekaligus menjadi konsep perebutan kekuasaan. Pada tinjauan pustaka, peneliti
mengategorikan bahwa terdapat tiga model strategi politik yang diterapkan oleh
politik sayap kiri.
Strategi pertama adalah strategi insureksi, strategi ini adalah strategi
perebutan kekuasaan secara paksa. Secara metode strategi ini dibagi menjadi dua
metode yaitu metode bersenjata dan metode tidak bersenjata. Strategi kedua
adalah strategi elektoral yang percaya bahwa kekuasaan dapat direbut melalui
jalur demokrasi formal. Konsentrasi dari strategi ini adalah perebutan kekuasaan
melalui pemilu. Strategi ini diterapkan oleh partai-partai kiri di Eropa seperti di
Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol. Strategi ketiga adalah strategi kombinasi
dari kedua strategi tersebut. Strategi ini berakar dari tradisi Bolshevisme Lenin
yang mensyaratkan kejelian organisai untuk melihat peluang politik yang tersedia.
Strategi ini dikembangkan kembali dalam praktik politik sayap kiri di Amerika
Latin dengan mengubah episentrum atau aktor politiknya pada kelas popular.
Dalam strategi politiknya, PRD tidak terlepas dari konsep kekuasaan dan
analisis kelasnya. Pilihan strategi PRD adalah front persatuan. yang dimaksudkan
untuk memperluas jangkauan organisasi dan memperkuat tekanan politik. Pada
manifestonya, PRD menekankan pentingnya pembentukan front persatuan kelas
popular bahkan sebelum menghadapi momentum elektoral.
“... Membangun suatu front persatuan diatas suatu platform bersama untuk
mencapai sasaran-sasaran strategis bagi kedaulatan rakyat seperti
pencabutan 5 paket UU politik 1985 dan pencabutan Dwifungsi ABRI.
Dan fondasi front tidak bisa lagi dan tidak bakal mengalami penguatan
bila tidak didasarkan pada basis-basis massa.” (PRD, 2007)
116
Berbeda dengan partai lainnya, PRD tidak memisahkan kerja politiknya
dengan kerja organisasionalnya. PRD mengintegrasikan propaganda dengan
pengorganisiran sebagai komponen integratif. Pembentukan front persatuan bagi
PRD merupakan salah satu umpan balik dari aktivitas pengorganisiran. Front
persatuan sendiri dijadikan sebagai masukan peluang bagi pengorganisiran PRD.
Proses penting dari pembangunan front persatuan adalah aksi massa yang menjadi
strategi politik utama PRD sejak masa pembentukan formasi partai.
Menurut Danial Indrakusuma, strategi ini merupakan strategi politik yang
membedakan PRD dengan organisasi politik lainnya di Indonesia25. PRD
menginisiasi model aksi massa ini dari sejarah politik Indonesia di masa
pergerakan yang berakar pada pemikiran dua tokoh kiri di Indonesia yaitu Tan
Malaka dan Soekarno. Malaka menyusun sebuah pamflet khusus yang
menjelaskan mengenai strategi aski massa pada tahun 1926.
“Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan ekonomi dan menunjukkan pada musuh berapa besarnya kekuatan kita. Bila semboyan dan tuntutan sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa” (Malaka, 2008;101) Bagi Tan Malaka, ssecara mendasar aksi massa merupakan konsepsi
gerakan protes politik yang terorganisir. Aksi massa ditopang oleh organisasi
protes dan tuntutan politik. Secara metode, aksi massa juga mengedepankan
metode knfrontasi tidak bersenjata. Konsep aksi massa ini secara politis
25
Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013
117
memperlihatkan struktur mobilisasi gerakan sosial di depan publik yang
dimaksudkan untuk melakukan propaganda secara langsung.
Berbeda dengan Tan yang berorientasi pada konfrontasi terbuka, Soekarno
mengenalkan konseplain dari aksi massa. Konsep Soekarno menambahkan konsep
aksi massa dari tindakan konfrontasi fisik menjadi aktivitas intelektual dan
keseharian pengorganisiran. Konsep aksi massa yang lebih variatif ini lahir
setelah periode represi 1926 yang mengharuskan gerakan sosial dan politik saat
itu menyembunyikan aktivitas politiknya.
“Apa yang kita kerjakan hari ini, apapun kegiatan kita adalah jalan dari pembangunan organisasi, menulis artikel untuk jurnal dan koran, mengadakan kursus, mengadakan rapat-rapat umum, mengorganisir demonstrasi, semuanya termasuk dalam aksi massa.” (Soekarno , 2005;184) Aksi massa yang dilakukan oleh PRD juga bertujuan sebagai tindakan
konfrontasi terhadap negara untuk mendobrak atmosfer politik “massa
mengambang”. Dengan memadukan kedua konsep aksi massa tersebut, PRD
mengkombinasikan pengorganisiran di basis-basis konflik rakyat seperti petani,
buruh, mahasiswa dan kaum miskin perkotaan dengan aksi massa yang
terorganisir.
Konsep massa mengambang yang mengandalkan alienasi politik terhadap
rakyat dikejutkan oleh protes terbuka yang terus berskalasi dari jumlah dan
perluasan spektrum politiknya. Dalam rezim diktator yang menekan partisipasi
politik kelas popular, munculnya protes terbuka merupakan ancaman bagi
stabilitas politik. Kemampuan provokasinya sewaktu-waktu dapat menjadi
gelombang besar yang menyebabkan lepasnya kontrol negara terhadap agenda
118
pemerintahan yang juga berarti menghilangnya legitimasi publik terhadap rezim.
Oleh karena itu, aksi massa mampu berskalasi menjadi insureksi meskipun tanpa
menggunakan senjata.
Aksi massa memungkinkan PRD membentuk aliansi politik dalam bentuk
front dan meluaskan jangkauan organisasi terutama dalam hal propaganda
program politik. Ketika isu politik dapat terintegrasi dalam beberapa kubu maka
peluang politik akan muncul dari terpecahnya konsolidasi kekuasaan. Hingga saat
ini, strategi aksi massa menjadi strategi utama PRD dalam melakukan aktivitas
politik.
Pada level strategi politik, pembentukan front politik diarahkan oleh PRD
untuk membangun instrumen politik legal yang mampu mengintervensi proses
demokrasi secara formal. Front politik yang dibentuk PRD secara taktis selalu
diarahkan pada mobilisasi aksi massa namun secara strategis dapat menjadi partai
politik sebagaimana yang dipraktikkan oleh PRD pada respon pemilu 2004 dan
2009. Tujuannya adalah memperluas jangkauan program politik dan memperluas
struktur organisasi untuk memenuhi verifikasi administratif partai politik.
Berdasarkan pemaparan diatas, strategi perebutan kekuasaan PRD
dilakukan melalui instrumen front persatuan. Instrumen ini merupakan instrumen
yang secara fleksibel mampu mengkombinasikan strategi insureksi tak bersenjata
dengan strategi elektoral. Persoalan yang dihadapi oleh strategi ini kembali lagi
pada luasnya cakupan front persatuan yang seringkali mempersulit terjadinya
konsensus politik.
119
5.2.4 Organisasi Politik PRD
PRD banyak mengadopsi konsep organisasi politik sayap kiri, dari konsep
Marxisme klasik hingga konsep pasca Marxisme. Pada wawancara yang
dilakukan oleh peneliti pada beberapa tokoh PRD, peneliti menemukan bahwa
secara praktik konsep organisasi poltik PRD masih mengalami perubahan. Pada
awal pembentukan PRD, konsep organisasi politik yang digunakan adalah konsep
partai pelopor (vanguard) untuk memastikan kemampuan organisasi melawan
kediktatoran militer yang disiplin. Konsep ini dipengaruhi oleh konsep organisasi
politik yang dikembangkan oleh Lenin26. Organisasi model ini juga mampu
bertindak secara konspiratif untuk menciptakan peluang politik sesuai dengan
konsep kekuasaan, analisis kelas dan strategi politiknya27.
Model partai pelopor ini meskipun sangat efektif melawan kediktatoran
namun akan mengalami kesulitan ketika beradaptasi dengan iklim kebebasan
demokrasi yang mengharuskan partai memiliki basis legitimasi suara. Menurut,
Anom Astika momentum 1999 merupakan momentum utama dalam evolusi
politik PRD menjadi partai politik elektoral. Momentum ini gagal dilalui oleh
PRD baik dalam perolehan suara juga dalam kerangka konseptual partai elektoral.
Pendapat Astika tersebut tentu saja berseberangan dengan pendapat yang
diberikan oleh Indrakusuma yang menekankan bahwa peluang elektoral
26 Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013menjelaskan bahwa tujuan yang dirumuskan oleh PRD adalah revolusi demokratik agar tercipta syarat-syarat menuju sosialisme. Pencapaian tujuan ini dilaksanakan oleh sebuah partai pelopor yang menyuntikkan kesadaran politik massa. 27 Pola pengorganisiran partai sebelumnya, yang sangat ketat, cenderung konspiratif dan rekrutmennya juga. (Oktavianus, dalam wawancara 12/11/ 2013) Struktur vanguard itu cocok untuk menjebol kediktatoran tapi gagal berevolusi jadi partai elektoral di masa damai. (Astika, dalam wawancara 11/11/ 2013)
120
seharusnya tidak menjadi konsentrasi PRD jika menggunakan bentuk partai
vanguard.
Berbeda dengan kedua mantan anggota PRD diatas, para aktivis PRD yang
masih aktif menyatakan bahwa kedua tendensi tersebut telah mengalami
perubahan semenjak perumusan konsep partai front menjelang pemilu 2009.
Hartono menjelaskan bahwa konsep partai pelopor yang pernah digunakan oleh
PRD seringkali berdampak pada kesalahpahaman dan perpecahan dalam
organisasi karena munculnya lapisan “elit” partai28.
Persoalan “elit” partai tersebut membawa PRD dalam perpecahan berkali-
kali sehingga akhirnya PRD membuka ruang demokrasi secara luas di internal
partai. Namun pengambilan keputusan ini tidak berarti tanpa resiko, beberapa
anggota lama masih mengalami kesulitan beradaptasi dengan model baru ini. Pada
respon pemilu 2009, PRD mempraktikkan keterbukaan dalam organisasinya
ketika pembentukan PAPERNAS dengan memberikan ruang jeda keputusan
organisasi afiliatornya untuk bergabung dengan inisiasi PAPERNAS. Proyeksi ini
juga berhasil membuka peluang politik eksternal dengan membuka peluang
komunikasi dengan partai-partai politik lainnya dan organisasi-organisasi sosial
yang tidak berada di spektrum kiri.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa bentuk organisasi
politik yang digunakan oleh PRD merupakan kombinasi dari bentuk partai
pelopor dan front persatuan. Kedua model ini dapat saling bertentangan namun
juga dapat saling mendukung pada strategi mobilisasi massa. Kelemahannya
28 Rudi Hartono dalam wawancara 13/11/2013, menjelaskan bahwa PRD sebelum kongres 2010 cenderung menggunakan sistem sentralis dalam pengambilan keputusan sehingga perdebatan tidak menjadi dinamika keseluruhan melainkan terbatas pada pimpinan atau elit partai.
121
adalah ketika menghadapi strategi legal demokrasi seperti pemilu, partai akan
mengalami kesulitan untuk mentransformasikan struktur mobilisasi massa
menjadi struktur administratif partai berdasarkan struktur pemerintahan negara.
5.2.5 Simpulan Varian Politik Sayap Kiri PRD
Berdasarkan pembahasan empat indikator politik sayap kiri di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa varian politik sayap kiri yang digunakan oleh PRD
berbeda dengan varian politik sayap kiri di Indonesia sebelumnya. PRD
melandaskan konsep organisasinya pada konsep konflik Marxisme klasik dalam
analisis kelas namun memindahkan episentrum politiknya pada subjek yang lebih
mudah dikenali yaitu kelas popular. Kelas popular sendiri memang memiliki
kekuatan mobilisasi yang tinggi pada momentum poltik namun memiliki
kerentanan integrasi sosial.
Kesimpulan analisis kelas PRD pada kelas popular membedakannya dari
analisis kelas Marxis klasik dan merubah koordinat analisis kelas secara ontologis
dari analisis kelas Marxis. Marx, seperti juga Lenin dan Mao tidak menggunakan
stratum atau dampak corak produksi pada analisis kelasnya, melainkan
menempatkannya pada relasi produksi. Penggunaaan kelas berbasis relasi
produksi bukanlah tanpa alasan ataupun hanya memfasilitasi alasan politik
melainkan konsekuensi dari kritik radikal Marx terhadap kapitalisme.
Penggunaan stratum sebagai landasan analisis kelas memiliki dampak
berbeda dengan analisis kelas Marxian. Pada analisis kelas Marxian aktor
mobilisasinya adalah kelas sosial yang berhadapan langsung dengan sistem
produksi sehingga berkonsekuensi pada perombakan corak produksi sementara
122
elemen lainnya seperti negara, bangsa dan kepentingan sosial lainna menjadi
subordinat dari perombakan corak produksi. Pada analisis kelas popular, aktor
politik dipilih berdasarkan stratum dampak ekonomi kapitalisme yang memiliki
konfigurasi beragam sehingga tidak secara langsung berhadapan dengan
organisasi produksi melainkan berhadapan langsung dengan suprastruktur
perantara organisasi produksi yaitu negara. Secara epistemik pandangan PRD
terhadap negara tidak berbeda dengan Marxis klasik yaitu negara sebagai
instrumen, perbedaannya adalah besarnya peran negara terhadap transformasi
sosial karena kerentanan kelas popular membutuhkan instrumen integrasi sosial
dalam bentuk suprastruktur politik.
Konsep kekuasaan yang digunakan oleh PRD mencerminkan kebutuhan
dari kelas popular, begitupun juga dengan strategi perebutan kekuasaannya.
Strategi front politik baik dalam respon isu politik ataupun pembentukan partai
politik merupakan satu frame utuh dari kebutuhan reorganisasi kelas popular.
Konsep perebutan kekuasaan harus menjadi bagian dari pembentukan integrasi
sosial secara politik karena tanpa integrasi sosial kelas popular tidak akan menjadi
episentrum politik yang kuat. Integrasi sosial kelas popular ini tidak dapat
dibangun dalam waktu singkat, perbedaan orientasi politik memerlukan latihan
yang berulang-ulang maka dibutuhkan wadah-wadah politiknya. Proses
transformasi kekuasaan juga tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, kelas
popular memerlukan pengetahuan dan pengalaman demokrasi.
Kunci dari konsep kekuasaan dan perebutannya adalah membangun
demokrasi dari bawah yang ditunjukkan melalui integrasi organisasi-organisasi
123
kelas popular dalam satu isu politik. Front politik adalah bentuk integrasi
organisasi kelas popular tersebut. Bukan hanya sebagai motif, front politik ini
diuji melalui mobilisasi massa dalam bentuk aksi massa seperti dalam konsepsi
Tan Malaka, dan dikombinasikan dengan propaganda sebagai aktivitas yang
terintegrasi didalamnya seperti konsep massa aksi Soekarno. Oleh karena itu,
kombinasi strategi front politik dan aksi massa yang dilakukan oleh PRD
merupakan penyempurnaan dari kedua konsep yang telah ada sebelumnya. Pada
tensi tertentu, integrasi isu politik dan organisasi sosial kelas popular dapat
mengarah pada terbukanya peluang politik untuk melakukan penggulingan
kekuasaan secara paksa ataupun melalui cara konstitusional pada proses pemilu.
Melalui posisi analisis kelas PRD, konsep kekuasaan dan konsep
perebutan kekuasaannya maka perubahan bentuk organisasi merupakan
konsekuensi yang tidak terpisah. Perubahan ini tidak mengubah arah politik PRD
karena pada dasarnya PRD telah menentukan aktor politiknya dan memahami
kebutuhan politik dari aktor tersebut. PRD menempatkan dirinya sebagai
instrumen dari proses reorganisasi kelas popular. Berdasarkan dari indikator yang
digunakan, peneliti menyimpulkan bahwa varian politik sayap kiri PRD dapat
dikategorikan dalam varian neo Marxis. Kategori ini dapat dilihat dari kedekatan
konseptualnya dengan varian sayap kiri yang berkembang di negara dunia ketiga
terutama Amerika Latin. Konsep rakyat dalam analisis kelas PRD memiliki corak
yang sama dengan konsep popular di Chile dan Venezuela. Kedekatan ini
dikembangkan melalui proses teoritis dan praktik politik PRD
menginterpretasikan kembali Marxisme di Indonesia.
124
5.3 Proses Politik PRD
Pada penelitian ini, proses politik PRD digunakan untuk menjelaskan
perubahan strategi politik PRD pada momentum pemilu. PRD dipandang sebagai
fenomena politik pasca Orde Baru yang mengambil posisi radikal sayap kiri
dalam tendensi dikotomi politik di Indonesia. Sebagai fenomena politik, PRD
tidak muncul begitu saja melainkan berasal dari kontigensi politik yang terjadi
selama Orde Baru.
Teori proses politik berupaya menjelaskan setiap kontigensi politik
menghasilkan peluang-peluang politik yang merubah struktur mobilisasi
organisasi politik untuk merespon peluang politik. Peluang ini diciptakan oleh
pertentangan antara member dan challenger dalam spektrum politik negara.
Analogi member merujuk pada kelompok politik yang berada di dalam lingkaran
kekuasaan negara sedangkan challenger merujuk pada kelompok politik di luar
lingkaran kekuasaan dan berusaha untuk memasuki lingkaran kekuasaan.
Seperti Marx, Tilly tidak melihat negara dalam sebuah harmoni melainkan
dari pertentangan-pertentangan didalamnya. Bagi Tilly, Negara merupakan
penanda kekuasaan yang tidak memiliki bentuk yang tetap, dominasi kelompok
politik yang berhasil menguasainya adalah bentuk kestabilan sementara dari
negara. Kestabilan ini disebut bersifat sementara karena negara sebagai sumber
kekuasaan dan kemampuannya untuk memobilisasi keuntungan baik secara
ekonomi maupun politik bagi kelompok yang menguasainya tidak pernah berhenti
diperebutkan oleh kelompok lain melalui berbagai metode perebutan kekuasaan.
125
Penelitian ini menggunakan katalog peristiwa yang dirumuskan pada bab
sebelumnya sebagai sumber data untuk menemukan ketiga faktor proses politik
tersebut dalam sebuah peristiwa politik yang berulang. Peneliti melihat bahwa
PRD melakukan sebuah tindakan politik yang berulang dalam peristiwa politik
sepanjang 1999-2009. Tindakan politik tersebut adalah strategi politik elektoral
PRD menjelang pemilu. Pada setiap sekuensi historis yang dialami oleh PRD,
tindakan politik ini memiliki perbedaan kualitas dan perbedaan kausal. Namun,
strategi ini mengikuti sekuensi tetap dalam mekanisme demokrasi perwakilan
yaitu pemilihan umum. Oleh karena itu, melalui teori proses politik, peneliti akan
membedah peristiwa politik elektoral PRD dan menguraikannya melalui teori
proses politik. pada penelitian ini, peneliti membahas tiga indikator umum teori
proses politik dan mengintegrasikannya dalam satu simpulan naratif berdasarkan
kerangka pemikiran pada bab 2.
Pada pembahasan ini, peneliti akan menggabungkan indikator dan sub
indikator proses politik pada analisis sekuensi historis PRD. Pembahasan ini
dibagi pada tiga sekuensi yang berlaku pada 1999-2009. Sekuensi pertama pemilu
1999, termasuk periode pembentukan PRD, peristiwa politik 1998 dan pemilu
1999. Sekuensi kedua pemilu 2004, termasuk pembentukan partai POPOR dan
ekslasi politik PRD pasca reformasi. Sekuensi ketiga pada pemilu 2009, termasuk
periode periode pembentukan PAPERNAS hingga koalisi PRD dengan PBR.
5.3.1 Sekuensi Pertama: Pembentukan Partai Elektoral 1999
Pemilu 1999 adalah peristiwa politik yang tersusun dari rangkaian
peristiwa politik sebelumnya. Peristiwa ini adalah pertama kalinya PRD muncul
126
sebagai partai elektoral dan menjadi peserta pemilu. Dalam penelitian proses
politik, sekuensi historis pemilu 1999 yang melahirkan strategi politik elektoral
pertama PRD perlu dilihat dari kumpulan peristiwa politik yang melahirkan
peluang pemilu. Terbentuknya PRD merupakan bagian dari dinamika
pertentangan politik sejak masa pembentukan formasi pra partai hingga
pembentukan PRD sebagai partai.
Dalam teori proses politik, sebuah peluang politik terbentuk dari
multiplisitas sentral kekuasan dalam suatu rezim, keterbukaan rezim terhadap
aktor baru, ketidakstabilan koalisi politik, tersedianya sekutu, perlawanan
terhadap represi rezim, dan aksi kolektif. Kelima kategori mempengaruhi
perubahan strategi politik organisasi penantang berdasarkan respon negara
terhadap aksi kolektif organisasi penantang.
Orde Baru yang mampu merebut kekuasaan dari Soekarno dan
mendapatkan dukungan publik dari pemberantasan PKI mulai mendapatkan
perlawanan enam tahun setelah pemerintahannya berkuasa. Persoalan yang
mengemuka pada saat itu adalah persoalan korupsi dan modal asing. Kritik
terhadap Orde Baru pada periode ini masih bersifat moralis belum memiliki
orientasi politik merebut kekuasaan meskipun mengadopsi protes terbuka dan
mobilisasi massa sebagai aksi kolektifnya.
Namun, pada periode ini tidak terjadi perpecahan berarti ketika
konsolidasi elit Orde Baru. Militer berperan penting dalam menindas protes
politik tersebut dan menekannya hingga titik terendah. Sejak kegagalan protes
1970an dan menguatnya struktur represif negara, gerakan oposisi tidak muncul di
127
permukaan. Pada periode ini, perpecahan paling penting adalah perpecahan salah
satu fraksi pendukung Orde Baru yaitu eksponen PSI. Salah satu pecahan dari
fraksi ini berubah menjadi kubu oposisi radikal yang membawa kembali
Marxisme dalam bentuk yang moderat.
Peluang politik baru muncul setelah eskalasi protes terbuka meningkat
pada awal 1990an. Antara tahun 1996 hingga 1998, elit politik terbelah dalam dua
kubu. Kubu pertama adalah kubu Orde Baru yang terdiri dari Militer, Golkar dan
kelompok yang mendukung konsep “massa mengambang”. Kubu kedua adalah
kelompok reformis yang merespon proses reorganisasi politik dalam aksi-aksi
politik dengan proses transisi damai.
Kedua kubu elit politik ini menghadapi gelombang protes dan aksi massa
gerakan popular yang tidak dapat dikendalikan oleh struktur represi. Upaya
peredaman gelombang protes melalui represi pada 1996-1998 gagal menekan
proses gelombang protes yang meluas di luar pusat pemerintahan. Kubu Orde
Baru mulai kehilangan dukungan terutama ketika krisis ekonomi menyebabkan
naiknya harga kebutuhan pokok yang selama ini menjadi instrumen kontrol.
Sementara kubu reformis menunggu hasil dari perseteruan antara kubu Orde Baru
dengan gerakan popular.
Pada bulan November 1998, ketika gelombang protes gerakan popular
mulai mengendur kubu reformis berhasil merebut perhatian dengan
mengumpulkan tokoh-tokoh di luar Orde Baru dalam pertemuan di Ciganjur.
Pertemuan ini melibatkan organisasi mahasiswa dan aktivis-aktivis mahasiswa
yang sebelumnya tidak terlibat aktif dalam aksi massa namun dijadikan legitimasi
128
politik pertemuan ini. Konsolidasi Ciganjur berhasil menghentikan mobilisasi
gerakan popular, menolak gerakan ekstra parlementer dan merubah koordinasi
politik pada aktivitas lobby dan negosiasi politik.
Transisi politik gerakan popular dengan merombak organisasi
kekuasaan menjadi milik kelas popular gagal mendapatkan peluang politik.
Transisi ekstra parlementer berhasil diredam melalui fasilitasi pemilu 1999.
Gerakan popular yang terkonsentrasi pada mobilisasi protes tidak dapat merespon
pemilu 1999 karena tidak memiliki struktur yang siap untuk verifikasi
administratif pemilu sementara kubu reformis yang tidak terlibat dalam mobilisasi
aksi massa lebih muda menyiapkan struktur elektoral. Merespon kelemahan ini
gerakan popular menyuarakan abstain atau golput untuk mendelegitimasi proses
sirkulasi kekuasaan rezim.
Pada pemilu 1999, struktur peluang politik terletak pada upaya re-integrasi
sentral-sentral kekuasaan kubu reformis dan kubu Orde Baru. Dalam kubu-kubu
tersebut juga terjadi pergulatan internal yang mendorong setiap kelompok
padakubu besar itu untuk membentuk partai politik baru. Pada saat itu, legitimasi
momentum reformasinya masih dipegang oleh gerakan popular yang terdiri dari
organisasi-organisasi non-permanen. Maka kubu reformis yang juga oposan
terhadap kubu Orde Baru namun moderat berhasil memanfaatkan momentum ini
untuk mendapatkan sekutu politik dari sebagian gerakan popular. Krisis
kekuasaan berhasil dilewati tanpa terjadinya perombakan sistem kekuasaan
dengan koalisi yang kuat antara kubu reformis dan sebagian gerakan popular. Isu
129
radikal seperti “Komite Rakyat”, “Dewan Rakyat” ataupun “Presidium Rakyat”
dapat diredam oleh fasilitasi rezim melalui pemilu.
Struktur mobilisasi PRD pada saat itu adalah mobilisasi aksi massa dan
pembentukan organisasi-organisasi kelas popular. Pandangan politik PRD pada
saat itu masih kental semangat anti kediktatoran Orde Baru yang memang sedang
melakukan konsolidasi ulang setelah kejatuhannya pada Mei 1998. Konsentrasi
program politik PRD pun masih berusahan mencabut fondasi kekuasaan Orde
Baru melalui pencabutan lima paket UU politik dan pencabutan dwifungsi ABRI.
Secara organisasional, PRD belum terkonsolidasi dengan baik, para pimpinan
PRD masih di dalam penjara, sebagaian anggota masih dinyatakan hilang,
organisasi pada tingkatan daerah belum terkonsolidasi.
PRD menyadari bahwa kekuatan gerakan telah jauh mengendur, isu politik
boikot pemilu pun tidak akan mampu menghadang konsolidasi elit. Kondisi
gerakan yang tidak terorganisir dalam organisasi-organisasi permanen pun
menjadikan gerakan ini rentan perpecahan. Setelah perdebatan internal yang
sengit akhirnya PRD mengadopsi kedua ritme politik ini sekaligus dalam slogan
kontroversialnya “Bersama Mahasiswa-Rakyat Boikot Pemilu atau Coblos PRD”.
Slogan ini sebenarnya menyamarkan keputusan politik di internal PRD
yang menggunakan pemilu 1999 sebagai instrumen propaganda politik dan re-
organisasi partai dengan memanfaatkan sumber daya negara. PRD berhasil
menjadi peserta pemilu 1999 dan untuk pertama kalinya melakukan propaganda
politik secara legal dengan jangkauan yang luas. Hasilnya tidak begitu
130
mengecewakan, struktur PRD meluas namun jumlah suara yang diperoleh tidak
mencukupi untuk mendapatkan perwakilan di pemerintahan reformasi.
Struktur mobilisasi PRD 1999 dibentuk melalui pengorganisiran massa
dengan menempatkan aktivis-aktivisnya di tengah-tengah massa. Para aktivis
PRD tersebut tinggal di daerah-daerah pemukiman yang padat penduduk di
Jakarta menunggu momentum politik yang terus mengalami percepatan. Dengan
berada ditengah-tengah massa mereka berusaha menyerap potensi konflik dan
potensi mobilisasi massa di daerah tersebut. Pada tahun 1998, mereka
menginisiasi pembasisan di Jakarta untuk mempersiapkan potensi people power
yang telah mereka perkirakan sejak setahun sebelumnya29.
Strategi ini merupakan bagian dari strategi live in yang digunakan oleh
PRD sejak awal pendiriannya, perbedaannya adalah pada momentum politik
tertentu strategi ini dimobilisasi untuk mengkonsentrasikan kekuatan politik dan
mengendalikan potensi konflik massa. Hingga saat ini meskipun PRD tidak lagi
mengorganisir berbasis konflik strategi ini tetap digunakan. Berbaur di tengah
kelas popular adalah kunci pengorganisiran PRD sebagai oposisi tindakan politik
partai lainnya yang memisahkan diri dengan kelas popular. Metode ini dilakukan
melalui organisasi-organisasi afiliatornya yang bertugas menyelenggarakan
pendidikan politik bagi kelas popular berdasarkan sektor pengorganisirannnya.
29 Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013, menyatakan bahwa PRD membentuk komite bernama Koamndo untuk menyiapkan people power pada awal 1998. Gerakan ini dilakukan dengan menempatkan seluruh kader PRD pada 92 kelurahan di Jakarta, hidup bersama masyarakat dan mengorganisir juga memobilisasi mereka pada saat momentum politik kejatuahn Orde Baru terjadi.
131
Kelas popular akan diperkenalkan dengan program politik PRD dan direkrut
sebagai anggota PRD melalui oerganisi-organisasi afiliatornya30.
Di tengah kontigensi antara elit politik dan gerakan popular terjadi proses
framing yang berjalan bersamaan dengan kontigensi tersebut. Framing dilakukan
oleh negara melalui media massa yang luas dan pernyataan politik31. PRD adalah
fenomena yang penting dalam proses framing ini. Sejak pendiriannya pada 1996,
PRD telah dibingkai dengan tuduhan komunisme yang juga diasosiasikan sebagai
dalang kerusuhan, ancaman terhadap ideologi negara, dan lainnya32. Frame ini
berjalan hingga pemilu 1999 untuk menekan mobilisasi PRD dan memperkecil
kemungkinan munculnya dukungan politik kepada PRD.
Proses framing rezim terhadap PRD tidak diterima begitu saja tanpa
perlawanan33. PRD melakukan klarifikasi terhadap tuduhan rezim melalui
medianya sendiri yaitu koran pembebasan, selebaran-selebaran, website, mailing
list dan juru bicara yang ditempatkan di luar negeri. Selain itu, pada juru bicara
legal PRD seperti Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari sebenarnya adalah
orang-orang yang ditempatkan untuk mengklarifikasi tuduhan rezim ataupun
30 Oktavianus dalam wawancara, 12/11/2013 31 Seperti Diberitakan pada Harian Jawa Pos, 8 Agustus 1996, Pak Harto: PRD bermental makar. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/08/08/0022.html 32 Seperti disebutkan pada Surat Keputusan Mendagri Nomor 201-221 Tahun 1997 Tentang Pembubaran Partai Rakyat Demokratik, juga diberitakan pada wawancara Tempo dengan Syarwan Hamid, Edisi 42/01 - 13/Des/1996. 33 Frame PRD terhadap negara dapat dilihat juga dari: Guntoro. G. 2008. Gerakan Kiri dan daris Politik Parlementaris. Dipetik 2,7, 2013. http://arahkakiku.blogspot.com/2008/09/gerakan-kiri-dan-garis-politik.html , Partai Rakyat Demokratik. 1996. Manifesto Partai Rakyat Demokratik. Dipetik February 10, 2013 dari http://peace.home.xs4all.nl/pubeng/mov/movto/manifes.html , Tempo. 2004. PRD serukan Golput. http://www.tempo.co/read/news/2004/07/12/05544945/PRD-Serukan-Golput, Tempo.2005. Dita Indah Sari Pimpin PRD. http://www.tempo.co/read/news/2005/03/19/05558267/Dita-Indah-Sari-Pimpin-PRD,
132
lawan politik PRD34. Sayangnya daya jangkau media PRD sangat terbatas
sehingga framing rezim sulit untuk dibendung.
PRD memang tidak memisahkan counter framing dengan strategi
propaganda secara keseluruhan. PRD menyadari motif framng rezim terhadapnya
sebagai simbol perlawanan kelas popular. Maka dari awal legalisasinya, PRD
telah menyiapkan opini alternatif untuk mengklarifikasi berbagai tuduhan yang
akan mereka hadapi sebagai konsekuensi garis politik yang mereka pilih.
Gambar 5.1 Proses Politik PRD pada Pemilu 1999
34
Indrakusuma dalam wawancara 26/11/2013. Menerangkan bagaimana PRD memilih Juru Bicara seperti Budiman Sudjatmiko untuk ditampilkan secara publik dan berfungsi sebagai legal partai sementara yang lain tetap berada di bawah tanah.
133
5.3.2. Sekuensi kedua: Partai Front Oposisi 2004
Sekuensi kedua pada pemilu 2004, PRD menghadapi atmosfer politik yang
baru. Kekuasaan elit sudah kembali menguat, meskipun tidak ada lagi sentral
kekuasaan yang dominan elit mampu melakukan konsolidasi politik. pemilu 2004
merupakan proses reorganisasi elit setelah pertentangan perebutan kekuasaan
antara kubu reformis dan kubu konservatif (sisa Orde Baru). Sementara itu, bagi
gerakan popular, periode ini ditandai dengan surutnya kemampuan mobilisasi.
Pada sekuensi ini, struktur peluang politik dimulai sejak kegagalan
konsolidasi elit setelah pemilu 1999. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden namun partainya, PKB bukan partai dominan35. Konfigurasi koalisi elit
kubu reformis yang tidak stabil ini dimanfaatkan oleh kubu konservatif yang
sedang melakukan konsolidasi ulang.
Selama kepemimpinannya, Abdurrahman Wahid berupaya untuk
menggusur kubu Orde Baru dalam pemerintahan. Ia mencoba untuk
merealisasikan pencabutan dwifungsi ABRI dan yang paling kontroversial adalah
menganjurkan pencabutan perlarangan terhadap komunisme dan rekonsiliasi
dengan korban 65. Tindakan ini menimbulkan reaksi penolakan dari kubu Militer
dan sebagian kelompok muslim. Oposisi terhadap Wahid mulai mengkristal pada
tahun 2001. Kubu reformis yang dipimpin oleh Megawati dan Amin Rais (PAN
dan PDIP) yang beraliansi dengan kubu konservatif yang mewakili kekuatan lama
(Golkar-TNI-PPP) mengajukan impeachment terhadap Gus Dur atas tuduhan
kasus korupsi sumbangan Sultan.
35 Partai dominan saat itu adalah PDIP yang dipimpin oleh Megawati.
134
Ketidakstabilan koalisi politik melahirkan struktur peluang politik bagi
gerakan popular yang mulai meredup. PRD berhasil melakukan kerjasama politik
dengan kubu Gus Dur yang diwakili oleh NU. Kerjasama politik ini tidak berjalan
lancar karena framing rezim terhadap PRD yang dituduh komunis masih memiliki
dampak politik terutama di kalangan massa NU36. Puncaknya pada tanggal 22 juli
2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit Presiden mengenai pembekuan MPR,
Percepatan pemilu dan pembubaran Golkar. Dekrit ini ditentang oleh Militer dan
Parlemen, sementara mobilisasi protes menurun. Keesokan harinya, MPR
mempercepat Sidang Istimewa dan mengangkat Megawati sebagai Presiden.
Upaya PRD untuk berkoalisi dengan pemerintah pun kandas pada saat itu.
Setelah penggulingan Gus Dur, elit politik baru yang terdiri dari kekuatan
lama dan kubu reformis mulai melakukan konsolidasi kekuasaan dan terbelah
kembali. Megawati mengaktifkan kembali status Daerah Operasi Militer di Aceh
dan Papua, aksi-aksi protes terhadap pemerintah ditekan melalui UU subversif.
Kebijakan penting pada masa Megawati adalah privatisasi perusahaan negara.
Perpecahan elit dimulai dari keluarnya dua tokoh oposisi dari lingkaran
Megawati yaitu Eros Djarot dan Rachmawati Soekarnoputri. Gerakan popular
disisi lain juga melakukan konsolidasi ulang dengan membentuk Koalisi Nasional.
Koalisi Nasional melibatkan organisasi-organiasi gerakan popular dan partai-
partai oposisi. Namun menjelang pemilu 2004 Koalisi Nasional terbelah, partai-
partai yang bergabung di dalamnya memutuskan untuk bergerak sendiri.
36
Tempo. 2001. Indonesia harus Waspadai Ancaman Neo-komunis. http://www.tempo.co/read/news/2001/02/12/05522144/8220Indonesia-Harus-Waspadai-Ancaman-Neo-komunis
135
Bagi PRD, perpecahan Koalisi Nasional (KN) berdampak buruk karena
memecah integrasi gerakan popular. Namun, perpecahan ini juga menyediakan
peluang sekutu antara gerakan popular yang sudah tergabung dalam KN. Pada
bulan Juli 2003, sebuah koalisi gerakan kembali dibentuk tanpa tokoh oposisi
nasional. Koalisi yang terdiri dari 60 organisasi ini mendeklarasikan pembentukan
Partai Persatuan Oposisi Rakyat untuk mengikuti pentas pemilu. POPOR sendiri
dalam persepsi PRD adalah sebuah front politik yang digunakan untuk
mengintegrasikan kelas popular di tingkat nasional. Meski diarahkan pada partai
elektoral, motif pembentukan POPOR berada pada ruang ekstra parlemen
bedasarkan keanggotaan organisasi di dalamnya.
Struktur mobilisasi PRD pada sekuensi ini megalami kemunduran setelah
puncak mobilisasinya pada tahun 2001. Pada tahun 2002, PRD mengalami
perpecahan internal yang melahirkan PDS dan meluas di daerah-daerah.
Perpecahan itu melemahkan konsolidasi organisasi PRD sehingga koalisi gerakan
popular menjadi penting bagi perluasan propaganda juga perluasan struktur
organisasi PRD. Secara konseptual, pandangan PRD terhadap negara mulai
mengarah pada bentuk pemerintahan yang lebih stabil dengan mengajukan bentuk
pmerintahan demokrasi rakyat yang terdiri dari koalisi gerakan oposisi.
Tema politik yang diusung memperhatikan kondisi organisasional dan
perluasan front yang dapat mempersatukan gerakan popular. Konsentrasi
kekuasaan yang diajukan adalah pembangunan demokrasi dari bawah melalui
organisasi-organisasi rakyat yang lebih permanen. Front politik dikonsentrasikan
untuk merebut ruang politik legal melalui proses pemilu. Sayangnya POPOR
136
gagal memenuhi verifikasi administratif. Meskipun begitu, eksprimen POPOR
menunjukkan bahwa elemen-elemen termaju pada gerakan popular telah mampu
mengintegrasikan isu politiknya dan membentuk alat politik sendiri. Kegagalan
konsolidasi POPOR sendiri dapat diperhatikan pada konfigurasi kelas popular
yang menjadi aktor politik POPOR.
Pada periode ini, proses framing dimulai ketika pembangunan koalisi
antara PRD dan NU. PRD kembali menghadapi tudingan komunis yang
dimobilisasi oleh lawan politiknya. Perbedaannya pada periode ini, isu anti
komunis bukan lagi dilakukan melalui represi militer melainkan melalui bentuk
organisasi para-militer yang dimobilisasi untuk meluaskan propaganda anti
komunis. Salah satunya adalah MAKI (Masyarakat Anti Komunis Indonesia)
yang sering memunculkan tuduhan ganjil. MAKI menuduh Gusdur, Rizal Ramli
(Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan), Winar Witoelar (Juru Bicara
Presiden), Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, dan Letnan Jenderal Agus
Wirahadikusuma sebagai persekongkolan komunis. Mereka juga menuduh PRD
sebagai representasi komunis baru37. Propaganda ini mulai surut seiring jatuhnya
Gus Dur dan tidak menguat pada pemilu 2004.
Sejak periode ini, framing komunis terhadap PRD dan gerakan kiri lainnya
tidak lagi dilakukan melalui represi militer melainkan dengan represi organisasi
masyarakat. Media pada proses ini tidak lagi berpihak penuh terhadap rezim
melainkan secara moderat menggunakan kontroversi politik sebagai komoditas
37
Tuduhan MAKI dijelaskan oleh Lane (2007;245) dengan mengutip terbitan MAKI, Awas PKI Bangkit lagi!!! Dibalik gerakan Radikalisme, anarkhisme dan barbarianisme PRD, Jakarta, Maret, 2001, hal 7-8.
137
Keterangan: Interaksi langsung Respon Interaksi Interaksi tidak langsung
mereka. Meskipun begitu tindakan politik seperti aksi massa tetap berada pada
frame disfungsi sosial untuk menegasikan tuntutan politiknya.
Gambar 5.2 Proses Politik PRD pada Pemilu 2004
Persatuan
Demokrasi Rakyat
Integrasi Oposisi, menghapus Sisa Orde
Baru, Anti Neoliberalisme,
Demokrasi Dari bawah
Integrasi Oposisi Intervensi Pemilu 2004
PartaiFront Oposisi
Front Politik Partai Elektoral
Perluasan Oposisi Pemilu 2004
Represi Fasilitasi
138
5.3.3 Sekuensi ketiga: Koalisi Politik 2009
Sekuensi ketiga,pada pemilu 2009, struktur mobilisasi PRD mulai
diperbaiki mengambil pelajaran dari kegagalan dan keberhasilan parsial respon
pemilu 2004 melalui POPOR. Rentang waktu persiapan POPOR yang cenderung
sempit membuat PRD mempertimbangkan persiapan yang panjang untuk
mengintervensi momentum pemilu. Dua tahun sebelum pemilu 2009 berlangsung
PRD sudah menginisiasi front politik dalam bentuk proposal partai persatuan.
Inisiasi awal dilakukan dengan membentuk Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat
(KPGR) pada tahun 2006.
Front politik KPGR yang dibentuk oleh PRD tidak bertahan lama karena
pecahnya konsentrasi respon politik organisasi-organisasi yang berada di
dalamnya. Menyikapi penurunan tensi politik pada front KPGR, PRD
meningkatkan eskalasi politiknya pada pembentukan partai persatuan melalui
proposal partai persatuannya. Pada akhir 2006, PRD membentuk Komite
Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP-PAPERNAS) terdiri dari
gabungan organisasi pergerakan yang menyepakati platform politik PRD pada
proposal partai persatuannya. Komite ini kemudian mendeklarasikan diri sebagai
partai politik setahun berikutnya.
PAPERNAS berkonsentrasi pada isu kemandirian bangsa sebagai anti tesis
neo-liberalisme yang dianggap identik dengan pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. PRD menekankan pada pengaruh modal asing dan hutang luar negeri
yang membuat Indonesia tidak mampu menjadi negara mandiri dan terus
bergantung pada modal asing, keadaan ini disimpulkan pada tiga program
139
perjuangan politik yang disebut sebagai Tripanji Persatuan Nasional38 yang
dijadikan sebagai program politik PAPERNAS.
Program ini berhasil menyentuh spektrum politik yang lebih luas sehingga
PRD dapat mengintegrasikan banyak organsasi sosial dari tingkat lokal hingga
tingkat nasional39. Propaganda konsisten program ini menarik perhatian elit
politik yang terkena dampak modal asing. Pada pertengahan 2007, struktur
peluang politik mulai terbuka bagi PRD. Elit politik oposan pemerintahan mulai
membangun komunikasi dengan PRD, begitupun juga partai-partai kecil yang
membutuhkan perluasan struktur partai untuk memenuhi verifikasi pemilu.
Terbukanya struktur peluang politik membuka juga peluang kristalisasi
lawan politik PRD. Isu anti-komunis kembali mendominasi situasi politik sejak
akhir 2007. Mobilisasi massa yang terdiri dari organisasi-organisasi para-militer
non permanen mulai meluas pada sebagian kelompok islam. Pada akhir 2007,
kelompok-kelompok para-militer seperti FPI, FBR, MAKI, FAKI dan kelompok
lainnya merepresi deklarasi PAPERNAS di Jakarta dengan melempari bis-bis
yang diisi oleh anggota organisasi afiliator Papernas, SRMK. Sejak saat itu,
PAPERNAS menghadapi represi dari organisasi Islam dan organisasi kedaerahan
yang berbasis kaum miskin urban dan pedesaan. Peningkatan represi membuat
PAPERNAS kehilangan dukungan politik dan pelemahan konsolidasi organisasi.
38 Tripanji Persatuan Nasional: Hapus Utang Luar Negeri! Nasionalisasi Industri Pertambangan! Bangun Industri (Pabrik) Nasional. 39 Organisasi inisiator PAPERNAS terdiri dari: Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (Hikmahbudhi), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK). (PAPERNAS, 2007)
140
Kontradiksi yang dihasilkan oleh represi para-militer tersebut
memunculkan perdebatan di internal PRD. Perdebatan ini sebenarnya perdebatan
lama antara kelompok yang ingin menempuh jalur parlementer dengan kelompok
yang menolak jalur parlementer. Namun kali ini perdebatan antara kedua kubu
yang mengendap selama satu dekade akhirnya meluas. Kepemimpinan PRD
terbelah menjadi kubu mayoritas dan minoritas yang mewakili jumlah
dukungannterhadap pilihan strategi politik. Awalnya, kedua kubu menyepakati
terjadinya perpecahan sementara (temporary split) namun seiring dengan respon
terhadap perubahan struktur peluang politik, kedau kubu ini akhirnya terpecah
secara permanen. Hasilnya, PRD terbelah dari tingkat pusat hingga tingkat lokal,
begitupun juga organisasi-organisasi afiliatornya40.
Struktur mobilisasi PRD pun berubah, meskipun mayoritas memenangkan
pertarungan di dalam organisasi sepakat mengikuti jalur parlemen kekuatan
mobilisasi tidak lagi sekuat sebelumnya. Pada proses verifikasi partai politik,
PAPERNAS gagal lagi dalam proses verifikasi administratif. Kegagalan PRD
dalam proses verifikasi administratif lebih disebabkan pada minimnya pendanaan
partai dan meningkatnya syarat verifikasi administratif sejak pemilu 2004. Selain
itu, menurut Dita Sari juga terdapat persoalan intensitas demonstrasi yang terlalu
tinggi sehingga konsolidasi politik terhambat.
Di luar persoalan mobilisasi PRD, situasi politik nasional mengalami
perubahan sejak berubahnya sistem pemilihan umum menjadi proporsional daftar
terbuka yang memungkinkan calon legislatif dipilih bukan berdasarkan nomor 40
Perpecahan ini melahirkan faksi-faksi dalam organisasi afiliator PRD dan bertransformasi menjadi organsasi kiri yang lebih radikal yaitu KPRM (Komite Politik Rakyat Miskin) yang berevolusi menjadi Partai Pembebasan Rakyat (PPR) pada tahun 2010.
141
urut melainkan berdasarkan jumlah akumulasi suara pribadi. Perubahan lainnya
juga diciptakan oleh penerapan parliamentary treshold dan electoral treshold
yang menentukan presentase perolehan suara partai. Penerapan sistem baru ini
berkaitan dengan upaya pengurangan jumlah partai politik peserta pemilu agar
menciptakan koalisi pemerintahan yang stabil.
Perubahan struktur peluang politik ini melahirkan peluang bagi PRD untuk
berfiliasi dengan partai politik lain. Pada saat itu pilihan PRD jatuh pada Partai
Bintang Reformasi yang dipimpimpin oleh Bursah Zarnubi41. Partai ini bersedia
menampung aktivis-aktivis PRD untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif
dari PBR dan mengadopsi program politik PRD meskipun hanya diatas kertas.
Pada saat itu, kepentingan PBR adalah memperbesar kemungkinan pemenuhan
electoral treshold dan parliamentary treshold.
Meskipun PBR lolos verifikasi administratif, persoalan yang muncul
adalah partai ini tidak populer di kalangan massa. Hasilnya PBR tidak lolos
electoral treshold dan PRD kembali gagal masuk dalam lingkungan parlemen.
Peluang politik masih terbuka pada pencalonan Presiden, namun kondisi
organisasi PRD memburuk sejak kegagalan PBR. Beberapa aktivis PRD
mendirikan blok politik mendukung salah satu calon presiden sementara yang
lainnya memilih keluar ataupun tidak merespon pemilihan Presiden.
Pada sekuensi ini proses framing rezim terhadap PRD masih
menggunakan pola lama dengan tuduhan komunis dan mobilisasi massa untuk
41
Setelah kegagalan verifikasi admisnistratif PAPERNAS, PRD menjajaki potensi koalisi dengan beberapa partai lainnya. Koalis dengan PBR pada awalnya merupakan kolaisi tiga partai yaitu PBR, Partai Pelopor dan PRD yang mengusung program anti-neoliberalisme. Namun dalam prosesnya Partai Pelopor menarik diri dari koalisi.
142
menyerang PRD42. Framing media tidak memberikan tekanan sekuat mobilisasi
penyerangan dari organisasi-organisasi massa non permanen tersebut. Sementara
itu, secara politik framing PRD terhadap rezim dengan isu kemandirian bangsa
berhasil meluas meskipun pada praktik politiknya isu ini malah digunakan oleh
lawan-lawan politiknya.
Sementara di kalangan gerakan, terutama gerakan kiri, PRD mulai
dianggap telah mengingkari perjuangan ekstra parlemen. Pertentangan internal
PRD dengan faksi radikal yang telah terkonsentrasi di KPRM menyeruak di ruang
publik. Kelompok-kelompok kiri baru mulai bermunculan menggantikan PRD di
panggung politik sayap kiri gerakan ekstra parlemen. Sayangnya fragmentasi ini
terjadi terus menerus hingga saat ini, tidak ada lagi organisasi kiri yang dapat
dijadikan sentral gerakan semenjak PRD. Di kalangan internal PRD sendiri
perpecahan terus berlanjut, baru pada tahun 2010 mengakhiri pembelahan melalui
reorganisasi partai.
42 Seperti diberitakan pada: Detiknews. 2007. Front Anti Komunis turun ke jalan ajak ganyang neo-komunis. http://news.detik.com/surabaya/read/2007/05/23/111918/783909/466/front-anti-komunis-turun-jalan-ajak-ganyang-neo-komunis, Detiknews. 2007. Kaca Belasan Kendaraan Massa Papernas Berhamburan. http://news.detik.com/read/2007/03/29/121558/760463/10/kaca-belasan-kendaraan-massa-papernas-pecah-berhamburan?nd771104bcj, Beritasatu. 2009. Mantan Wakasad Letjen (Purnawirawan) Kiki Syahnakri: bahaya laten PKI masih mengintai. http://www.beritasatu.com/nasional/75002-bahaya-laten-pki-masih-mengintai.html.
143
Keterangan: Interaksi langsung Respon Interaksi Interaksi tidak langsung
Gambar 5.3 Proses Politik PRD pada Pemilu 2009
144
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Penelitan ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana
PRD mengembangkan strategi pemilu pada 1999-2009. Berdasarkan analisa
proses politiknya, peneliti memperoleh simpulan berikut:
1. Berdasarkan empat indikator politik marxisme, peneliti menyimpulkan
bahwa varian politik sayap kiri PRD termasuk pada kategori Neo-Marxist.
Varian ini secara konseptual memiliki kemiripan dengan pengembangan
Marxisme di Amerika Latin dan negara dunia ketiga lainnya pada periode
pasca perang dingin.
2. Varian Neo marxist dapat dilihat dari analisa kelas yang ditempatkan pada
aktor politik berdasarkan ukuran dampak kapitalisme disamping relasi
sosial produksi, pandangan instrumental terhadap negara, kombinasi
strategi perebutan kekuasaan dan pembentukan front politik sebagai alat
pengorganisiran kelas popular.
3. Sruktur peluang politik PRD ditentukan oleh perubahan respon rezim
terhadap mobilisasi PRD dari represi yang bersifat eskalatif menjadi
fasilitasi yang bersifat pengulangan.
4. Struktur mobilisasi PRD cenderung pada strategi insureksi tidak
bersenjata, mengandalkan momentum peningkatan peluang politik yang
145
tersedia dari konflik politik. Strategi ini efektif dalam kondisi represif
namun lemah dalam menghadapi peluang politik berulang seperti pemilu.
5. Proses framing PRD yang ditautkan dengan phobia komunisme
mempengaruhi pembentukan peluang politik PRD dan struktur
mobilisasinya pada peluang politik yang berulang seperti pemilu. Proses
framing dijalankan melalui represi vertikal (1996), represi horizontal
(2004, 2009), dan pembentukan opini di media massa (1996-2009). .
6.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan penelitian ini, peneliti
merumuskan beberapa saran yaitu:
1. Interaksi mobilisasi gerakan sosial dengan negara menghasilkan peluang
politik bagi gerakan sosial. Transformasi politik secara organisasional
merupakan konsekuensi dari respon gerakan sosial terhadap peluang
politiknya. Berdasarkan pengalaman PRD, gerakan sosial perlu
mengklasifikasikan struktur peluang politiknya untuk membedakan respon
politik terhadap peluang politik yang bersifat momentum dengan peluang
politik yang bersifat repetitif seperti pemilu.
2. Pada peluang politik repetitif seperti pemilu, struktur mobilisasi gerakan
sosial perlu mempertimbangkan proses verifikasi administratif formal
negara dan mengembangkan jangkauan organisasionalnya.
3. Proses framing menentukan dukungan dan resistensi politik. Berdasarkan
pengalaman PRD, gerakan sosial memerlukan rancangan counter framing
yang mampu menyaring pembiasan isu.