bab v penutup a. kesimpulan -...
TRANSCRIPT
193
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data dan penjabaran yang sudah dilakukan pada bab
sebelumnya, dan bersandar pada rumusan masalah pada bab pertama, maka dapat
disimpulkan bahwa: pertama dari segi pahatan termasuk kedalam relief rendah
(bas relief). Busana yang ditampilkan tidak terlalu jelas karena pahatannya yang
tipis, namun lain halnya apabila terkena cahaya sehingga nampak bayangan-
bayangan yang menampilkan kesan timbul. Selain itu relief rendah di sini
menimbulkan kesan dari pertunjukan wayang, dan busananya pun tidak jauh
berbeda dengan yang dikenakan pada tokoh-tokoh pewayangan.
Wayang merupakan gambaran dari proyeksi diri bagi manusia, seperti
halnya busana yang ditampilkan dalam relief Candi Panataran pada dasarnya
mengacu pada cerita-cerita yang terkandung di dalamnya. Cerita ini di usung dari
sastra puisi Jawa Kuno, yang terdapat pada Batur pendopo dan Candi Induk.
Keduanya memiliki kesamaan dalam hal inti cerita, namun busana pada relief
Candi Induk digambarkan dengan ragam busana yang kaya dan mewah.
Sedangkan untuk batur pendopo digambarkan dengan busana yang sedikit lebih
sederhana.
Kedua, relief candi Panataran merupakan data yang berwujud artefak.
Pendeskripsian busana dengan menggunakan pendekatan arkeologi seni disini
pada dasarnya mengacu pada teori gabungan antara materialistik dan idealistik.
Maka dengan demikian relief di ilustrasikan sesuai dengan data artefak yang ada
atau kondisi fisik materialnya, seperti yang digunakan hanya pada relief yang utuh
194
dan terutama pada saat busana dideskripsikan. Karena dikawatirkan akan timbul
keraguan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, hal ini mengacu pada
peranan cerita maupun bangunan candi yang digunakan oleh relief. Pada busana
dan atribut yang sudah diilustrasikan dibedakan mengenai jenis dan macamnya
saja. Untuk klasifikasi atau penggolongan dari busananya sendiri mengacu pada
istilah-istilah ikonografi Hindu yang kemudiana dijabarkan sesuai pada
pengamatan bentuk atribut busana yang dikenakan. Kemudian beberapa penelitian
yang juga membahas busana dan kemudian dilihat kesamaan dari busana yang
dikenakan.
Seperti halnya pada Batur Pendopo digambarakan dengan cerita-cerita
panji dengan busana yang sederhana atau dapat dikatakan dengan taraf menengah.
Terutama para tokoh pria identik dengan penutup kepala panjinya (topi tekes), dan
busananya yang hanya mengenakan kain dan antribut busana yang sederhana.
Begitu juga dengan tokoh punokawan yang selalu mengikuti sang Panji, dan juga
tokoh-tokoh yang lainnya biasanya mengenakan busana sederhana dengan kain
panjang ataupun pendek dan disertai beberapa perhiasan sebagai atributnya.
Sedangkan pada Candi Induk digambarkan dengan busana-busana yang mewah
dan atributnya yang lebih banyak nan lengkap. Seperti halnya relief cerita
Ramayana yang banyak menampilkan tokoh-tokoh raksasa dan gaya berbusana
lakon dengan hiasan model rambut yang khas bergaya supit urang. Konsep
tersebut dilihat dari keindahan seseorang dalam satu kesatuan dari ciri fisik, watak
dan pembawaannya. Maka demikian pula penampilan busana yang ada pada relief
195
tersebut dijadikan sebagai alat penunjang komunikasi yang dimaksudkan sebagai
penunjang keagungan agama.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, busana yang dikenakan dalam hal ini
sudah barang tentu mengacu pada status sosial dari pengguna busana tersebut,
namun kelangkapan busana yang dikenakan oleh setiap tokoh juga mengarah
kepada nilai-nilai seni dan estetik yang terkandung di dalam kesatuan busana
tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan gaya seni pada setiap kebudayaan
setiap bangsa, meskipun pada masalah relief Candi Panataran juga merupakan
salah satu karya yang di dalamnya terdapat pengaruh dari budaya asing seperti
India. Nilai estetik pada setiap kesatuan busana tersebut bisa di arahkan kedalam
kesan-kesan yang ditampilkan pada penggambaran busana tersebut. Akan tetapi
demikian ini dapat dilakukan apabila pembahasan menginjak pada tataran
kefilsafatan yang mana membutuhkan waktu dan data yang lebih banyak lagi.
Maka dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan, kajian ini hanya
sampai pada taraf pendeskripsian busana saja. Dapat disimpulkan bahwa pada
penelitian ini hanya sampai menginjak pada teori dengan permasalahan
materialistik atau hanya pada permukaan awalnya saja. Sedangkan pada teori
idealistik lebih mengarahkan kepada sesuatu hal yang lebih dalam lagi, seperti
yang sudah disinggung di atas yaitu masalah status sosial sampai nilai-nilai
seninya. Meskipun dalam mendeskripsikan busana data-data di atas digunakan,
namun hanya beberapa sebagai data pembanding. Maka demikian dapat
digunakan data-data seperti pada ilmu ikonografi maupun filologi dan lainnya
yang lebih mendalam untuk dapat di jadikan sebagai sarana dalam memperoleh
data dan hasil yang maksimal.
196
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dan hasil yang didapat, maka
dapat diajukan saran bagi para akademisi ataupun para arkeolog yang tertarik
dalam hal mengkaji busana, diharapkan dapat lebih melakukan penelitian yang
lebih mendalam mengenai busana pada relief Candi Panataran. Terkait penelitian
ini merupakan hasil dari permukaan awal penelitian yang lebih mendalam dan
penelitian yang mengkaji busana pada relief masih sangat jarang ditemukan.
197
DAFTAR PUSTAKA
Asba, A.Rasyid. 2007. Paradigma Baru Perkembangan Teori dalam Ilmu Sejarah
dan Arkeologi. Seminar bulan bahasa dan Ulang tahun Fakultas Ilmu
Budaya. 46. 12.
Arikunto, S. 1985. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Ayatroehadi et al. 1978. Kamus Istilah Arkeologi. Jakarta: Proyek Penelitian
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Berger, Arthur Asa. 2005. Tanda – Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,
Suatu Pengantar Semiotika. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
BP3 Jawa Tengah. 2009. “Dewa-Dewi Masa Klasik Jawa Tengah”. Edisi revisi.
Halama. 59.
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat
Permuseuman. 2000. Ragam Hias pada Busana dan Peralatan Kesenian
Tradisional Se-Jawa, NTT, NTB Dan Bali.
Dhamika, Ida Bagus dan tim. 1988. Pakaian Adat Tradisional Daerah Bali.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hall, Stuart. 1997. Representation, Cultural Representations and Signifying
Practices. London: Sage Publications.
Hari Lelono, T.M. 1999. “Pakaian dan Startifikasi Sosial Masa Klasik di Jawa
Timur”. Berkala Arkeologi. Thn XIX No.1. halaman 112-113.
Husni, Muhammad et al. 2000. Perhiasan Tradisional Indonesia. Jakarta:
Direktorat Permusiuman, Direktorat Jendral Kebudayaan dan Departemen
Pendidikan Nasional.
Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Universitas Indonesia
Fakultas Sastra.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Slamet. 1979. Negarakertagama dan Penafsirannya. Jakarta: Bharata.
Ngadino, et al. 2003. Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Candi Panataran.
Surabaya: Dinas Pnedidikan Dan Kebudayaan.
Noerhadi, Inda Citraninda. 2012. Busana Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
198
Nordholt, Henk Schulte (ed). 2005. Outward Appearances : Trend, Identitas,
Kepentingan.Cetakan I. Yogyakarta: LKiS.
Primordian Meisner, Widma. 2011. Busana Dan Perhiasan Pada Relief Sudamala
Dan Sri Tanjung Di Candi-Candi Jawa Timur Masa Majapahit. Skrupsi.
Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Arkeologi.
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Edisi Cetakan I. Panji Pustaka.
Purwadi dan Eko Priyo Purnomo. 2005. Kamus Sansekerta Indonesia.
Yogyakarta: Budaya Jawa.com.
Ratnawati, Yuni Dwi. 2000. Study Komparatif relief Cerita Ramayana pada
Candi Prambanan dan Candi Panataran. Surabaya : Fak. Ilmu Sosial
Universitas Negri Surabaya.
Sedyawati, Edy. 2012. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sedyawati, Edy. 1984. Kumpulan Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Jakarta :
Depdikbud.
Setya Nurma Wahyuni, Erry. “Motif-Motif Sanggul Masa Majapahit: Suatu
Penelitian Melalui Ungkapan Bentuk Sanggul Terakota Figurin Manusia
Koleksi Informasi Majapahit”. Skripsi. Malang : Universitas Negeri
Malang Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, 2009.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. 1973. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.
Soekmono, R. “Candi Fungsi dan Pengertiannya”. Desertasi UI. Semarang : IKIP
Semarang Pres, 1977.
Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret Press.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Windarti, Esti. 1998. Busana Kain Pada Beberapa Arca Masa Singasari. Skripsi.
Denpasar : Universitas Udayana Fakultas Sastra.
Wisnoewhardono, Soeyono. 1995. Memperkenalkan Komplek Percandian
Panataran di Blitar. Mojokerto : KPN. Purbakala.
199
Sumber Lain :
Hasanudin. 2010. Arkeologi Toraja Pola Sebaran Dan Hubungan Fungsional
Situs Pemukiman Di Tana Toraja. Diperoleh 5 juni 2013 jam 07:28 dari
<http://hasanuddinblr.blogspot.com/2010/06/arkeologi-toraja.html>
<http://wayangindonesia.web.id> (Diakses pada tanggal 6 juni 2014 jam 22:10).
<http://id.wikipedia.org> (Diakses pada tanggal 19 juni 2014 jam 16:32, 23:30,
01:50).
200
GLOSARIUM
Arca : Perwujudan seorang Dewa dalam bentuk patung. Dalam
bahasa Sansekerta, istilah arca berarti perwujudan atau
gambaran jasmani dari seorang Dewa yang disembah
penganutnya untuk tujuan pemujaan. Ada pula arca
perwujudan yang merupakan perwujudan dari seorang
Raja yang wafat dan kemudian diarcakan dalam wujud
salah seorang Dewa dari agama yang dianutnya semasa
hidup.
Artefak : Semua benda, alat-alat yang masih sangat sederhana
bentuknya, dipakai pada zaman batu dan semua
tinggalan arkeologis yang dibuat oleh manusia.
Agni : Dewa api yang berkedudukan di tenggara dan merupakan
anggota lokapala.
Alengka : Kerajaan Alengka atau Lanka dalam bahasa Sansekerta
lanka berarti pulau. Kerajaan ini diperintah oleh
Rahwana dalam kisah cerita Ramayana. Konon pada
zaman sekarang dikenal dengan nama Sri Langka.
Angkin : Istilah dalam bahasa Jawa untuk stagen, dan dalam
bahasa sansekerta diartikan sebagai ikat pinggang. atribut
ini biasa dikenakan oleh wanita.
Asana : Pemaknaan sebagai tempat duduk atau disebut juga
pitha. Dalam pengertian tempat duduk arca, bahan yang
dikenakan berupa batu, logam ataupun kayu.
Ayodhya : Kota kuno di India, ibu kota Awadh di distrik Faizabad
di Uttar Pradesh. Dalam kisah epik Ramayana Ayodya
merupakan ibukota Kerajaan Kosala. Ayodhya dalam
bahasa Sansekerta berarti “yang tidak akan kalah dalam
peperangan”, menurut Susastra Hindu, Kerajaan Kosala
201
terletak di sebelah utara Sungai Gangga dan Ayodhya
merupakan kota suci bagi umat Hindu.
Bas Relief : Relief rendah, wujudnya timbul dari latar belakang
sangat tipis, namun jika diterpa sinar ketebalannya akan
nampak sebagai akibat efek bayangan yang
ditimbulkannya terhadap batas tepi dari wujud tersebut.
Sebagai contoh, uang logam.
Batur Pendopo : Sebutan lain dari Pendopo Teras, letaknya disebelah
tenggara bale agung
Betara Guru : Dalam mitologi Jawa merupakan Dewa yang menguasai
Kahyangan.
Betari Durga : Dipercaya sebagai salah satu perwujudan agresif parwati,
yang merupakan sakti (istri) Siwa.
Bhatara : Sebutan untuk arwah nenek moyang atau raja yang telah
didewakan dalam masyarakat Jawa Kuno Pada masa
Kerajaan Majapahit dipakai sebagai gelar untuk para
raja-raja daearah dengan disertai nama tempat atau
daerah kekuasaannya. Dalam hal ini dikaitkan dengan
kata Bhatara Palah.
Binggel : Perhiasan berbentuk gelang yang melingkar tanpa ujung
pangkal, dan sebagai lambang keabadian. Dalam
Ikonografi Hindu disebut Kankana.
Candi Induk : Candi utama dalam suatau komplek percandian, dapat
diketahui melalui besar dan megahnya suatu bangunan,
terdapat arca dewa tertinggi dan terletak di tengah
halaman kmplek. Di Indonesia umumnya candi tidak
berdiri sendiri melainkan suatu kelompok bangunan yang
dibatasi oleh pagar.
202
Cantrik : Siswa yang berguru pada seorang begawan, pendeta atau
resi.
Cawat : Kain yang diangkat pendek dengan panjang kain di atas
lutut dan dipakai di sekeliling badan mulai dari bawah
pusar.
Celurit : Bentuknya menyerupai sabit ataupun arit, perbedaannya
secara bahasa kedua alat tersebut digunakan sebagai alat
pertanian yang berupa pisau melengkung dan
menyerupai bulan sabit. Sedangkan celurit lebih merujuk
pada penggunaan senjata tajam khas suku Madura.
Cerita Panji : Merupakan kumpulan cerita yang berasal dari Jawa
periode klasik, dan yang sangat populer adalah cerita
Panji Asmarabangun tepatnya di era Kerjaan Kadiri.
Isinya menceritakan kepehlawanan dan cinta yang
berpusat pada dua orang tokoh utammanya. Beberapa
cerita rakyat dalam berbagai versi juga dimasukkan ke
dalam lingkup cerita Panji.
Cungkup : Dalam “Kamus Bahasa Sansekerta-Indonesia”
disebutkan bahwa cungkup merupakan rumah yang ada
di kuburan.
Dharma Lpas : Bangunan suci yang bukan merupakan tempat
pendarmaan nenek moyang raja.
Dharma : Berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti cukup
luas, yaitu seperti hukum, aturan hidup dan tingkah laku
yang ditentukan oleh agama dan adat, keadilan,
kabajikan, ajaran agama, kebenaran, kewajiban,
kesucian, dan lain-lain. Salah satu pengertian kata
dharma dalam bahasa Jawa kuna adalah lembaga
keagamaan, candi, biara, pertapaan, dan bangunan suci
lainnya.
203
Dodot : Atau kemben, berupa kain lebar dan panjang yang
menutupi dada. Pada busana artefak terakota
digambarkan tanpa mengenakan perhiasan dan lain-lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagain pakaian adat Jawa dari kain batik, dipakai pada
upacara resmi.
Dwarapala : Arca penjaga dengan sikap yang bermacam-macam, ada
yang berdiri ada juga yang menekuk salah satu lututnya
Ekofak : Dalam arkeologi dikenal dengan nama boifak dan
merupakan salah satu objek kajian arkeologi yang tidak
pernah mengalami perubahan oleh perbuatan manusia.
Obyek ini terkait dengan lingkungan yang terkait dengan
temuan artefak dan fitur. Ekofak juga memperlihatkan
bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan pada
masa lampau.
Emban Wanita : Sama halnya dengan punokawan yang merupakan
seorang abdi. Hanya saja Emban wanita merupakan abdi
wanita dan yang selalu mendampingi tokoh utama
(wanita) dalam sebuah cerita.
Gada : Alat pemukul yang bentuknya mirip dengan pemukul
kasti. Senjata ini dipergunakan sebagai senjata jarak
dekat. Dalam seni Arca dan relief, gada ada yang
digambarkan sederhana dan ada juga yang digambarkan
dengan hiasan.
Genta : Atau ghanta adalah sebuah lonceng.
Gunung Meru : Disebut juga Sumeru yang berarti Gunung Agung,
adalah gunung suci dalam kosmologi Hindu, Buddha dan
juga Jain. Gunung ini merupakan tempat bersemayam
para Dewa, dan dianggap sebagai pusat alam semesta
baik secara fisik maupun metafisik spiritual. Tinggi dari
204
gunung ini setinggi 84.000 Yojana atau sekitar 1.082 juta
kilometer, dan banyak kuil dan candi Hindu dan Jain
dibangun dengan bentuk simbol meyerupai gunung ini.
Hara : Dalam Ikonografi Hindu merupakan sebutan lain dari
kalung dan bentuknya bermacam-macam.
Hanoman : Hanumat atau disebut juga sebagai Anoman. Merupakan
salah satu Dewa dalam kepercayaan Hindu, Hanoman
adalah manusia kera (Wanara) putih anak dari Batara
Bayu dan Anjani dan memiliki saudara Subali dan
Sugriwa. Menurut kitab Serat Pedhalangan, Hanoman
merupakan tokoh asli dari cerita Ramayana dan di India,
Hanoman dipuja sebagai Dewa pelindung.
Ikat Pinggang : Atribut busana yang dikenakan di sekeliling pinggang
dengan kegunaan agar kain tidak merosot dan terdiri dari
satu, dua bahkan tiga susun. Dalam Ikonografi Hindu,
penyebutan ikat pinggang berbeda-beda sesuai
penggunanya. Antara lain, Udarabandha dikenakan oleh
arca laki-laki berperut gendut, Katibandha dikenakan
oleh arca wanita, Avyanga yaitu ikat pinggang yang
dikenakan oleh Dewa Surya, dan terutama pada kesenian
India Utara.
Ikonografi Hindu : Cabang ilmu sejarah seni yang mempelajari identifikasi,
deskripsi dan interpretasi yang terkandung dalam suatu
gambar atau benda dengan menggunakan simbol-simbol
berupa unsur-unsur bentuk untuk mencapai realitas
sosial, dan tidak di tujukan kepada materi gambar saja
melainkan ditujukan kepada tokoh yang digambarkan.
Dalam hal ini arca dalam bahasa Sansekerta diartikan
sebagai gambaran.
Indraloka : Kahyangan tempat tiggal Dewa Indra
205
Jamang : Tepian mahkota pada perbatasan dahi dan rambut, dan
bisa juga dikenakan tersendiri. Merupakan sebuah
perhiasan yang dikenakan di kepala dan bukan
merupakan bagian bawah dari suatu mahkota.
Jarik : Busana berupa kain berbentuk sarung yang biasa
dikenakan oleh wanita.
Jata : Pintalan rabut yang disusun hingga seperti sorban besar,
dan bukan sebagai penutup kepala. Gaya rambut ini biasa
diguakan oleh para pertapa dan pendeta. Dalam
Ikonografi Hindu disebut dengan Jatamakuta.
Kahyangan : Istilah Kahyangan berasal dari bahasa sanskerta yang
jika dipilah menjadi ka-hyang-an, atau bermakna
"tempat tinggal para Hyang atau leluhur". Sebelum
masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat
Nusantara di pulau Jawa dan Bali, seperti masyarakat
Sunda, Jawa, dan Bali sudah menganut agama pribumi
berupa pemujaan terhadap arwah leluhur. Mereka
menyebut leluhur mereka dengan istilah Hyang dan
tempat tinggal mereka di alam gaib disebut Kahyangan.
Kakawin : Karya sastra Jawa Kuno berupa tembang-tambang atau
lagu berbahasa Kawi.
Kala : Dalam perwujudan sebagai Dewa, merupakan putera
Dewa Siwa yang menguasai waktu, dalam mitologi
hindu juga digambarkan sebagai salah satu binatang yang
sangat menakutkan. Mata melotot, mulut menyeringai
dngan memperlihatkan taring.
Kalawijaya : Dalam agama Hindu, Kala adalah putera Dewa Siwa
yang menguasai waktu. Sedangkan Wijaya dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia di artikan sebagai kemenangan.
Dalam cerita Bubuksah dan gagang aking digambarkan
206
sebagai dewa yang diutus batara guru untuk menguji
mereka.
Kara : Adik sepupu Rahwana dalam wiracarita Ramayana dan
merupakan penghuni pos penjagaan raksasa di Citrakuta.
Pemakan daging manusia terutama para resi yang
menghuni daerah sekitar Citrakuta dan sempat meneror
hutan Dandaka.
Kebaya : Pakaian baju perempuan bagian atas, berlengan panjang,
dan dipakai dng kain panjang.
Keyura : Hiasan berbentuk tipis dan digunakan pada pangkal
lengan, ada yang berhiaskan permata ada juga yang tidak
atau berbentuk tipis sebutan dari kelat-bahu dalam
Ikonografi Hindu.
Kidung : Tembang-tambang atau lagu berbahasa Jawa.
Kiritamakuta : Dalam Ikonografi Hindu Kiritamakuta merupakan
bentuk dari mahkota dan bukan berupa pintalan rambut
seperti Jatamakuta. Bentuknya silindris dan bagian
atasnya mengecil, biasanya diberi beberapa benda
penghias dan pada bagian depan dihias dengan manikam.
Kiritamakuta biasa dikenakan oleh Narayana sebagai
avatara Wisnu, arca lain seperti Surya dan Kubera.
Selain itu mahkota ini kerap dikenakan oleh raja-raja
besar seperti Rahwana.
Klasik Tua : Periode Jawa yang lebih tua, dan kerap dicirikan dengan
periode Jawa Tengah.
Kloncer : Atribut busana yang dikenakan pada busana kesenian
Panji Asmorobangun berupa tiruan bunga yang
207
menggantung pada pelipis kanan dan kiri. Tertancap
pada topeng berjuntai panjang sampai pinggang.
Makuta : Sebutan lain dari mahkota dalam Ikonografi Hindu.
Manikam : Hiasan berupa intan atau permata dan biasa digunakan
sebagi penghias benda atribut dari busana seperti
mahkota dan yang lainnya.
Negarakertagama : Kitab karangan Mpu Prapanca yang dibuat pada tahun
1287 Saka atau 1365 Masehi. Kitab ini dibuat pada masa
pemerintahan Hayamwuruk setelah meninggalnya Gajah
Mada. Negarakertagama berisi tentang laporan
perjalanan Prabu Hayamwuruk yang sedang inspeksi ke
daerah-daerah, pedoman tata cara upacara, tuntunan budi
pekerti luhur dan metode mengatur tata pemerintahan
yang baik. Nama lain Negarakertagama adalah
Desawarnana dan diakui sebagai Memory of the World
oleh UNESCO pada tahun 2008.
Paduraksa : Istilah dalam arkeologi dalam menyebutkan bangunan
berbentuk gapura yang memiliki atap. Banyak ditemukan
pada arsitektur kuno masa klasik Jawa dan Bali.
Bagnunan ini juga sering disebut sebagai candi.
Pandawa : Putra mahkota kerajaan salah satu Raja Hastinapura
dalam wiracarita Mahabharata. Menurut susastra Hindu
(Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan
titisan dari Dewa tertentu.
Panteon : Sususnan dewa dewi Hindu maupun Buddha yang berarti
keseluruhan dewa dewi yang dipuja.
Patirtan : Bangunan yang digunakan sebagai tempat pemandian
kuno yang biasa digunakan oleh kalangan istana dan di
masa sekarang sering disebut sebagai candi.
208
Perdikan : Desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak
pada zaman kerajaan
Topi Tekes : Penutup kepala yang biasa dikenakan oleh tokoh
kepahlawanan dalam cerita panji dan menjadi ciri
khasnya.
Pradaksina : Cara menyelenggarakan uapacara keagamaan dengan
berjalan berkeliling menurut arah jarum jam.
Pradaksina patha : Lorong yang mengelilingi badan candi. Biasanya pada
tembok langkan atau pada tembok candi yang
terpahatkan relief cerita, dan urutan jalan cerita tersebut
searah dengan jarum jam.
Prasasti : Tulisan kuno yang dipahatkan atau digoreskan pada batu,
logam maupun daun tal (lontar), dikeluarkan oleh raja
atau pejabat tertentu sejak abad kelima. Prasasti berisi
penetapan sima (perdikan) pada suatu desa atau sebidang
tanah sebagai anugerah kepada seseorang atau kelompok
tertentu yang sudah berjasa. Namun, dapat juga sebagai
sebagai anugerah untuk kepentingan keagamaan dan
sebagainya tergantung pada kepentingannya. Bahasa
yang dikenakan juga tergantung pada dimana dan kapan
prasasti tersebut dibuat.
Prasawya : Upacara keagamaan yang diselenggarakan dengan
berjalan bereliling menurut arah yang berlawanan
dengan arah jarum jam.
Pripih : Benda-benda yang melambangkan zat jasmaniah sebagai
pengganti jenazah seorang raja yang telah wafat. Benda
tersebut dapat menjadi wadah Sang Dewa untuk
memasukkan zat inti kedewaannya. Dapat berupa 5
macam kepingan logam (pancadatu), yang masing-
209
masing diberi tanda huruf gaib (rajahan), kemudian
dibungkus dengan lalang, rumput dan kapas, dan
kemudian diikat menjadi satu dengan benang merah-
putih-hitam (benang tridatu).
Punden : Tempat pemujaan dan biasa digunakan sebagai tempat
pemujaan kepada nenek moyang. Umumnya berupa
bangunan teras bertingkat dan dikenal dengan nama
punden berundak.
Punokawan : Seorang abdi laki-laki yang selalu mendampingi tokoh
utama cerita, dan merupakan tokoh ciptaan pujangga
Jawa.
Pylaster : Pilaster, tiang segi empat yang menempel atau bersandar
pada tembok. Pada dasarnya berfungsi sebagai penahan
tembok dan bukan sebagai penahan bagunan yang ada di
atasnya. Pada candi-candi di Indonesia umumnya tiang
tersebut dibuat pada sudut-sudut bagian luar candi atau
menjadi batas antara bidang hias. Jadi pilaster tidak lain
hanya berfungsi sebagai hiasan.
Raksasi : Sebutan untuk raksasa wanita
Rapek Atau sembong : Atribut yang dikenakan pada busana kesenian Panji
Asmorobangun, terbuat dari kain beludru hitam dan
digunakan sebagai penutup bawah perut terletak di depan
dan belakang.
Relung : Ceruk atau lubang yang sengaja dibuat pada bangunan
atau candi dan biasa digunakan untuk menempatkan
arca.
Saka : Sebuah kalender pertanggalan asal India. Kalender ini
menggunakan kalender Suryacandra atau Kalender
Lunisolar yang menggunakan fase bulan sebagai acan
210
pergantian musim dan dalam satu tahun dapat mencapai
12 sampai 13 bulan. Era ini dimulai pada tahun 78
Masehi.
Sampur : Hiasan yang dikenakan pada pinggang atau pinggul yang
ujungnya terjuntai di sekitar pinggul.
Sanggul : Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
sanggul merupakan Gelung atau sususnan rambut
perempuan di atas, atau di belakang kepala, dapat disebut
dengan kundai ataupun konde. Namun dalam Kamus
bahasa Sansekerta, sanggul juga merupakan gelung
rambut bagi pria. Pada terakota figurin koleksi PIM
(Pusat Informasi Majapahit) terdapat 4 macam sanggul
yaitu sanggul samping, sanggul konde, sanggul keling,
dan juga sanggul jata.
Sang Hyang Wenang : Salah satu nama seorang dewa senior dalam
tradisi pewayangan Jawa dan dianggap sebagai
leluhur Batara Guru
Sankhapatrakundala : Subang atau anting-anting yang memiliki ciri bentuk atau
hiasan siput dengan daun-daunan maupun rumah siput
yang sudah diiris.
Sima : Tugu atau tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas
suatu daerah perdikan. Tugu ini biasa berbentuk lingga
yang dipasang di empat sudut, terkadang berisi prasasti
dan istilah ini biasa digunakan untuk menyebutkan
daerah perdikan yang dibatasi oleh tugu atau tiang batu
tersebut.
Simbar Atau Antefix : Salah satu bentuk hiasan candi ayng terutama ditemukan
pada bagian atap.
211
Siristrakamakuta : Penyebutan makuta dalam Ikonografi Hindu yang
memiliki ciri bentuk menyerupai sorban besar,
menyerupai Jatamakuta. Namun makuta seperti ini
hanya khusus dalam kesnian Sunga.
Siwa : Salah satu dari dewa trimurti yang berberan sebagai
Dewa perusak, dan menjadi dewa tertinggi dalam
alirannya. Dalam kedudukannya ia mempunyai berbagai
aspek dan dipuja sebagai Siwa Mahadewa, Siwa
Mahakala, Siwa Nataraja atau sebagai Bhuteswara.
Soubasement : Dasar bangunan atau batur
Stamba : Stamba merupakan bentuk variasi dari Stupa, berbentuk
tugu batu dan berfungsi sebagai penyebaran ajaran
Buddha.
Stupa : Tempat yang digunakan untuk menyimpan benda-benda
suci seperti abu bagi orang yang sudah wafat, terutama
dari kalangan bangsawan ataupun tokoh tertentu. Dalam
ajaran Buddha digunakan sebagai tempat menyimpan
abu Buddha, dan di India Kuno dugunakan sebagai
makam.
Subang : Hiasan telinga, kundala atau anting-anting, digunakan
pada daun telinga yang berlubang panjang. Terdapat
beberapa macam yang dapat diklasifikasikan menurut
Ikonografi Hindu, di antaranya patrakundala subang
dengan hiasan daun. Makarakundala subang berbentuk
makara, sankhapatrakundala subang berhiaskan siput
dengan daun-daunan atau terdiri dari rumah siput yang
sudah diiris. Subang yang terbuat dari manikam biasa
disebut dengan ratnakundala, dan sarpakundala
merupakan subang berbentuk ular.
212
Supit Urang : Jenis gaya rambut yang di sususn melebihi tiggi kepala,
bentuknya murip dengan capit udang
Surphanaka : Adik kandung Rahwana Dalam wiracarita Ramayana dan
merupakan seorang rakshasi (raksasa perempuan). Salah
satu tokoh antagonis yang tinggal di pos perbatasan
raksasa Chitrakuta. Dalam bahasa Sansekerta
Surphanaka berarti “(Dia) yang memiliki kuku jari yang
tajam”.
Tantri Kamandaka : Kitab dongeng tentang hewan dengan induk karangan
dari kitab Prapancantra berbahasa Sansekerta yang
berasal dari tanah Indu dan datang di tanah Jawa sejak
jaman kuno.
Terakota : Terracotta, tanah yang dimasak atau benda tanah liat
yang dibakar. Istilah ini biasa digunakan untuk
menyebutkan benda-benda kecil yang masif seperti alat
pemberat, miniatur candi, arca kecil dan yang sejenis.
Uncal : Perhiasan yang digantungkan pada ikat pinggang dan
terjuntai di depan paha, dapat berupa tali yang terjulur
pada bagaian kanan dan bagian kiri.
Upavita : Selempang kasta atau pita kasta yang dikenakan dari
bahu kiri turun ke pinggang kanan, dapat berupa tali
polos ataupun untaian mutiara. Dalam Ikonografi Hindu
disebut juga sebagai Yajnopavita, pada mulanya pita
kasta ini dikenakan oleh para pendeta namun sejak jaman
Gupta, dikenakan juga pada arca-arca tokoh.
Wanara : Sebutan untuk manusia kera jantan, sedangkan untuk
betina wanari.
213
Wibhisana : Vibhīshaṇa merupakan bangsa raksasa sama halnya
dengan Kumbakarna dan Sumali dalam wiracarita
Rammayana, hanya saja kedudukannya yang berbeda
dan merupakan salah satu dalam tokoh pewayangan
Jawa. Wibhisana adalah adik kandung Rahwana yang
membela Rama dalam peperangan antara raksasa
melawan manusia kera (Wanara). Menjadi raja Alengka
setelah Rahwana wafat dan dianggap sebagai
Chiranjiwin, yaitu mahluk abadi selamanya. Dalam
pewayangan Jawa, sering disebut dengan Gunawan
Kuntawibisana dan tempat tinggalnya bernama
Kasatrian Parangkuntara.
Wihara : Rumah ibadah agama Buddha dan bisa juga disebut
dengan kuil.
Wiru : Lipatan-lipatan kain dan biasanya terdapat pada sampur.
Yajnopavita : Atribut busana yang memiliki fungsi sama dengan
upavita, yaitu sebagai pita kasta dan pita kasta ini
digunakan oleh para pendeta. Akan tetapi sejak jaman
Gupta dikenakan juga pada arca-arca tokoh.