repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/t1_522009015_ba… · 21 iv....
TRANSCRIPT
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Desa Batur
Kedua kelompok tani (poktan) yang menjadi fokus penelitian ini sama-
sama terletak di Desa Batur. Desa Batur merupakan salah satu desa yang berada di
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Desa batur berbatasan wilayah
dengan: desa Sumogawe di sebelah utara; desa Tajuk di sebelah timur; gunung
Merbabu di sebelah selatan; dan desa Kopeng di sebelah barat. Desa Batur
memiliki dusun berjumlah 19. Jumlah keseluruhan penduduk di desa Batur
sebanyak 6.784 jiwa, dengan rincian: 3.214 laki-laki dan 3.570 perempuan.
Desa Batur mempunyai topografi daerah pegunungan karena terletak pada
ketinggian rata-rata + 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan curah
hujan 2.500 mm. Menurut Zulkarnain (2009:25), ketinggian tempat yang seperti
itu tergolong dalam wilayah dataran tinggi. Daerah ini memiliki suhu rata-rata
harian 230C, sehingga tergolong sebagai daerah yang sejuk (Ekowati, 2009:04).
Kondisi topografi dan suhu yang demikian menjadi salah satu daya dukung untuk
melakukan budidaya berbagai macam sayuran (Pracaya, 2011:18). Desa Batur
memiliki lahan yang cukup untuk mendukung kegiatan budidaya tanaman
sayuran, dengan rincian: tegalan seluas 321 ha dan tanah bengkok seluas 36 ha.
Dengan luas lahan yang seperti itu, maka wajar apabila sebagian masyarakat
bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani berjumlah 3.989 orang dengan
rincian 3228 orang petani dan 761 orang buruh tani (Data Sekunder: Profil Desa
Batur).
Organisasi Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE)
mencatat bahwa terdapat 2 poktan di kecamatan ini yang tergolong aktif
mempunyai sertifikat pangan organik (Sumber: Data Sekunder), yaitu: Poktan
Tranggulasi dan Poktan Bangkit Merbabu (BM). Kedua poktan tersebut sama-
sama terletak di Desa Batur dan memiliki orientasi usaha di bidang sayuran.
22
4.2 Identitas Singkat Narasumber
Sebelum berlanjut ke pembahasan berikutnya, diharapkan para pembaca mengenal
terlebih dahulu identitas tiap narasumber dalam penelitian ini. Tiap narasumber
yang berasal dari poktan, maupun narasumber yang berasal dari luar poktan
memiliki peran ganda, artinya di satu sisi ia bisa berperan sebagai partisipan,
tetapi di sisi lain ia bisa berperan sebagai key informant. Penentuan peran
narasumber sebagai partisipan ataukah sebagai key informant tergantung pada
konteks yang sedang diteliti. Untuk memperoleh pemahaman, tabel berikut ini
akan membantu menjelaskan identitas singkat masing-masing narasumber, baik
yang berasal dari poktan maupun yang berasal dari luar poktan.
Tabel 2. Daftar Narasumber Poktan
Kelompok Tani Tranggulasi
No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status
1 Pitoyo Ngatimin, SP 46 S1 Ketua Poktan, Ketua Pengelola
Poktan, Koordinator I, dan Komisi
Persetujuan Internal Control System
Gapoktan KOMPOR Merbabu
2 Harto Slamet 60 SD Wakil Ketua Poktan dan Sie
Pelatihan & Pengembangan
(Pengelola)
3 Abdul Wahab 43 SMA Sekretaris I Poktan dan Bendahara
Pengelola
4 Suparyono 50 SD Sekretaris II Poktan
5 Syaefudin 38 SMP Bendahara II Poktan
6 Sumadi 47 SD Sie Sarana Produksi Poktan
7 Sri Jumiati 36 D-II Sie Pemberdayaan Poktan
8 Jumarno 49 SMP Sie Usaha Poktan dan Sie
Administrasi (Pengelola)
9 Ngatemin 48 SD Anggota Poktan
10 Ngatimin 43 SD Anggota Poktan
11 Wikan Mujiono 26 SMK Anggota Poktan
12 Rebo 45 SD Anggota Poktan dan Sie
Transportasi (Pengelola)
13 Sumar 31 SMP Anggota Poktan
14 Suparman 57 SD Anggota Poktan
23
No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status
15 Supoyo 58 SD Anggota Poktan
16 Harun 49 SD Anggota Poktan dan Sie Lapangan
(Pengelola)
Kelompok Tani Bangkit Merbabu
No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status
1 Zaenal, Ama. Pd 58 Diploma Ketua Poktan dan Sekretaris II
Gapoktan Komunitas Petani
Organik (KOMPOR) Merbabu
2 Supilih 61 SD Sekretaris Poktan
3 Sumadi 69 SMA Bendahara Poktan
4 Rochmad 65 Pendidikan Guru Penasihat dan Divisi Humas Poktan
5 Rebo Wahono 44 SD Divisi Pertanian Poktan
6 Makruf 39 SD Divisi Pemasaran Poktan
7 Mujiyanti Rahayu 52 SLTP Divisi Pemberdayaan Poktan
8 Darwadi 43 MI Seksi Gudang dan Perlengkapan
9 Umar 57 SD Anggota Poktan
10 Pandi 60 SD Anggota Poktan
11 Budiyati 46 SD Anggota Poktan
12 Saminah 58 SD Anggota Poktan
Tabel 3. Daftar Narasumber Eksternal Poktan
No. Nama Status
1 Petrus Kriswigati Koordinator Penyuluh Pertanian (KPP) Kecamatan
Getasan dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa
Batur
2 T.O. Suprapto Presiden (Koordinator Umum) Ikatan Petani
Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
3 Suwanto Pendamping Pemberdayaan Poktan Bangkit Merbabu
4 Yusuf N. S. Purba, SE Pendamping Pemasaran Poktan Bangkit Merbabu
5 Ir. Nick Tunggul Wiratmoko, M.Si Pendamping Teknis Poktan Bangkit Merbabu
6 Witono Pujo Sasongko Kepala Unit Lingkungan & Energi Yayasan Sion
7 Ir. Iswanto Kepala Kelompok Fungsional Dintanbunhut Kabupaten
Semarang
24
No. Nama Status
8 Supardi Hadi Sucipto Kepala Dusun Selo Ngisor dan Penasihat Poktan
Tranggulasi
9 Giyono Petani non-poktan di Dusun Kaliduren
10 Daniel Rudolph Pendamping Research and Development Poktan Bangkit
Merbabu
11 Rahmat Direktur Utama PT. Mitra Mas
12 Bernadus Agus Prabowo, SH Koordinator Organic Indonesia Seraphine
13 Suwalim Penyuluh Pertanian Lapangan Desa Kopeng, Komisi
Persetujuan dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control
System” Gapoktan KOMPOR Merbabu
14 Andi Raujung Koordinator Pelaksana Dinas (KPD) Pertanian
Kecamatan Getasan
15 Nyuwono, SP, M.Si Kepala Seksi Kelembagaan Pelaku Utama dan Usaha
Badan Koordinasi Penyuluhan Prov Jateng
16 Ferdian Lutfi Hermawan, SP Panitia Kegiatan Farmer Meeting “Sistem Pertanian
Organik”
17 Rame Ketua DPP Paguyuban Petani Merbabu
18 Nyoto, Waluyo, Nandar, dan Marshudi Pengurus dan Anggota Poktan Phala Tani (Poktan
dampingan Bangkit Merbabu)
19 Suryanti Pedagang Perantara Sayuran di Dusun Selo Ngisor
20 Tugiarto, SE Staff Bidang Ekonomi Badan Perencanaan &
Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Semarang
21 Suroso Pengurus Kelompok Tani Jaya Abadi, Dusun Kaliduren
22 Subari, S.Pd Koordinator II “Internal Control System” Gapoktan
KOMPOR Merbabu
23 Giono Seksi Pemasaran dan Anggota Inspektor “Internal
Control System” Gapoktan KOMPOR Merbabu
24 Asep Miswan Mantan Pegawai Penelitian dan Perekayasaan Kelompok
Penelitian Kesuburan Tanah, Balai Penelitian Tanah
(Balittan), Bogor
25 Sutopo Ketua dan Komisi Persetujuan Gapoktan Komunitas
Petani Organik (KOMPOR) Merbabu
26 Suwadi Sekretaris I dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control
System” Gapoktan KOMPOR Merbabu
27 Sulasmin Petani non-kelompok tani
28 Sri Jumiati Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), Dusun Selo
Ngisor
25
4.3 Gambaran Umum Kelompok Tani
Sub bab ini memberi gambaran tentang seluk-beluk poktan, yang meliputi: lokasi
usaha poktan dan sejarah terbentuknya poktan, peristiwa penting yang dialami
oleh poktan, model struktur organisasi poktan, jenis tanaman yang diusahakan
poktan, dan sebagainya. Berikut penjelasannya:
4.3.1 Kelompok Tani Tranggulasi
A. Sejarah Terbentuknya Poktan
Poktan ini memiliki hamparan usaha di dusun Selo Ngisor, Desa Batur,
Kecamatan Getasan. Nama “Tranggulasi” berawal dari adanya gumuk kecil
peninggalan zaman Belanda, yang terletak di belakang dusun yang dikenal oleh
masyarakat dengan nama “triangulasi”, yang artinya tiga sudut pandangan. Hal
tersebut diperjelas oleh pernyataan dari Supardi Hadi Sucipto yang statusnya
sebagai mantan ketua poktan “Ngudi Makmur” sebagai berikut:
“Dulu namanya Ngudi Makmur, itu tahun 1998 sampai 2001 atau 2000, terus hasilnya
tidak ada sama sekali. Terus tranggulasi ini teringat ada sejarah gumuk kecil, itu sejarah,
peninggalan belanda, ada triangulasi, triangulasi itu artinya tiga sudut pandangan. Orang
Jawa itu butuh mudah untuk menyebutkannya, jadinya bukan triangulasi tapi
tranggulasi.”
Sesuai dengan berbagai informasi tersebut, Poktan Tranggulasi dibentuk tahun
2001. Hal tersebut didukung pula oleh data sekunder (Anonim, 2013:26). Karena
masyarakat di sekitarnya butuh kemudahan untuk mengucapkannya, maka sampai
saat ini tidak menggunakan nama “Triangulasi”, tetapi Tranggulasi. Pembentukan
Poktan Tranggulasi juga disertai dengan visi: “menjadikan desa Batur sebagai
agrowisata sayuran organik agribisnis yang mampu meningkatkan ekonomi
petani” dan misi: a) memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia
untuk meningkatkan pendapatan petani; b) menjadikan petani berkelanjutan bagi
petani yang ramah lingkungan; c) membangun hubungan kerjasama kemitraan
untuk pemasaran hasil sayuran organik; dan d) menumbuhkembangkan sains
petani (Anonim, 2012:22).
Awal-mula terbentuknya poktan bernama Tranggulasi ini dilatarbelakangi
oleh adanya inisiatif dari beberapa petani untuk membentuknya. Ungkapan dari
Abdul Wahab akan memperjelas hal tersebut.
“Pak Pitoyo mengajak saya untuk bentuk organisasi. Ternyata di situ bentuknya
kelompok tani, itu di Puasan (keterangan peneliti: nama kelompok di Puasan adalah
Paguyuban Petani Merbabu). Terus kita pulang, bikin kelompok. Sebenarnya sudah ada
26
organisasi ini, walaupun itu organisasi kelompok taninya KUT. Orang-orang KUT kita
kumpulkan, waktu itu kita kumpulkan ada sekitar 22 orang, terus kita buat kelompok, kita
modalkan 25.000 per orang. KUT itu yang bantuan modal dari pemerintah. Terus
berkembang anggotanya jadi 42. Karena seleksi alam, orangnya tidak mau, sedikit demi
sedikit pada keluar, kita gak pernah ngeluarkan orang.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Poktan
Tranggulasi terbentuk bukan atas anjuran dari pemerintah dan didukung oleh
organisasi serikat paguyuban petani yang bernama “Paguyuban Petani Merbabu
(PPM)”. Pembentukan Poktan Tranggulasi dimulai dari kelompok tani yang saat
itu sedang menjadi partisipan program Kredit Usaha Tani (KUT). Hal tersebut
senada dengan mandat yang tertera di permentan no. 82, bahwa pembentukan
poktan dapat dimulai dari kelompok atau organisasi sosial yang ada di
masyarakat. Poktan Tranggulasi merupakan perubahan dari poktan yang ada di
dusun Selo Ngisor (Ngudi Makmur) yang dibentuk lebih kepada tujuan untuk
distribusi bantuan dan memudahkan kontrol bagi pelaksana program KUT, seperti
poktan lain pada umumnya (Zuraida dan Rizal, 1993) (dalam Syahyuti, 2011:47).
Dari pernyataan di atas juga dapat disimpulkan bahwa terjadi penambahan
jumlah anggota dari 22 orang menjadi 42 orang. Menurut Supardi Hadi Sucipto,
lambat-laun terjadi penurunan anggota menjadi 32 orang yang bertahan sampai
sekarang, karena adanya “seleksi alam” dan ketidak-mampuan beralih ke UT
organik:
“Dulu waktu berdirinya kelompok awalnya ada 42 orang, yang 10 orang mundur karena
kurang berhasil. Sampai sekarang yang bertahan cuma 32 orang. Mereka mundur, karena
tidak mampu atau disibukkan dengan urusan rumah tangga, untuk beralih ke organik.”
Terkait dengan asal-usul pembentukan Poktan Tranggulasi, pernyataan dari Abdul
Wahab tersebut diperkuat melalui ungkapan dari Rame sebagai berikut:
“Kalau di kecamatan Getasan anggota kami ada di Desa Batur, yang sekarang jadi
Tranggulasi, awal-mulanya itu kita yang bentuk. Sosialisasi awal itu sampai berjalan,
Tranggulasi itu anggota paguyuban petani merbabu. Saya menanamkan pola pikir ke
mereka, bahwa kelompok tani yang maju itu adalah kelompok yang mau belajar. Kalau
maju ya mereka itu akan semakin besar usahanya?”
Dari pernyataannya, dengan adanya dukungan dari paguyuban petani merbabu
(PPM) dalam membentuk Poktan Tranggulasi, maka Poktan Tranggulasi
tergabung menjadi anggota PPM. Dari hasil penelitian itu, maka dapat
diungkapkan makna bahwa pembentukan poktan tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah, melainkan pihak organisasi non-pemerintah juga bisa memegang
27
peranan tersebut. Ketika pihak PPM memberikan dorongan untuk membentuk
poktan, sebagian individu Poktan Tranggulasi ditanamkan pola pikir bahwa
kegiatan belajar merupakan sesuatu hal yang bernilai ketika poktan ingin maju.
Hal tersebut turut membentuk motivasi petani dan diwujudnyatakan atau
dipraktekkan dalam kehidupan mereka selama berkelompok tani.
B. Peristiwa Penting Poktan
Poktan Tranggulasi secara kolektif mulai merintis sistem pertanian organik
pada tahun 2004. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Abdul
Wahab sebagai berikut:
“Mulai 2004 baru terlaksana organik, semua mengikuti. Tahun 2003 baru orang-orang
tertentu.”
Dari pernyataan Abdul Wahab maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2003
sudah terdapat beberapa petani yang mencoba untuk menerapkan sistem UT
organik.
Pada tahun 2006, poktan ini dijadikan Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S). Hal ini terbukti berdasarkan pernyataan dari Pitoyo
Ngatimin sebagai berikut:
“2006 baru menjadi P4S. P4S itu adalah lembaga yang diberi SK oleh kementan melalui
BPSDM-nya. BPSDM-tan itu punya lembaga-lembaga yang bukan miliknya negara,
termasuk P4S itu. Mereka memberi wewenang, memberi SK.”
Berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin, maka terbukti bahwa P4S
merupakan suatu organisasi yang diberi wewenang, diberi SK (Surat Keputusan)
oleh kementerian pertanian, melalui BPSDM-tan (Balai Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pertanian). BPSDM-tan merupakan organisasi milik pemerintah
provinsi Jawa Tengah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan pelatihan
bagi petani. BPSDM-tan ini berlokasi di Desa Suropadan, Kecamatan Pringsurat,
Kabupaten Temanggung. P4S bukan tergolong lembaga milik negara. Menurut
Keputusan BPSDM-tan, P4S merupakan lembaga pelatihan atau pemagangan
pertanian dan perdesaan yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh petani secara
swadaya, baik perorangan maupun kelompok.
Pada tahun itu pula (tahun 2006), poktan ini menunjukkan keberaniannya
untuk berpartisipasi dalam lomba nasional “sayuran organik” yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Pada kesempatan itu, Poktan Tranggulasi
28
memperoleh juara I. Selanjutnya, pada tahun 2009 poktan ini kembali
mendapatkan penghargaan sebagai poktan berorientasi “ekspor buncis perancis”
(Anonim, 2014:24). Pada tahun 2014 poktan ini kembali memperoleh
penghargaan sebagai P4S juara I tingkat nasional. Berikut pernyataan dari Abdul
Wahab yang berkaitan dengan hal tersebut:
“Tranggulasi itu dapat penghargaan tingkat nasional tiga kali, terakhir P4S lomba tingkat
nasional juara I tahun 2014.”
C. Model Struktur Organisasi
Untuk menangani berbagai kegiatan poktan secara umum, Tranggulasi
membentuk struktur organisasi (dapat dilihat di lampiran IV). Selain itu, Poktan
Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi yang khusus untuk menangani
pemasaran produk sayuran yang dihasilkan oleh poktan. Pernyataan dari Harto
Slamet akan memperjelas hal tersebut:
“Pengelola itu pembentukannya bukan dibentuk, tapi ditunjuk dari anggota setelah kita
kerjasama dengan pasar. Kerjasama dengan eksportir, dikirim ke Malaysia dan Singapur.
Itu yang pertama.”
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Harto Slamet, maka dapat disimpulkan
bahwa pembentukan pengelola pemasaran dilatarbelakangi oleh penanganan
berbagai aktivitas untuk pemasaran ke luar negeri. Pengelola ini dibentuk
berdasarkan penunjukkan dari para anggota. Hasil observasi di lapangan
menunjukkan bahwa pengelola pemasaran melakukan fungsinya di bawah seksi
usaha. Di samping itu, Poktan Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi
khusus Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Sri Jumiati sebagai berikut:
“Kalau P4S punya pengelola sendiri, yang kelompok tani Tranggulasi punya struktur
sendiri juga.”
Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa Poktan Tranggulasi memiliki
struktur organisasi yang diberdayakan untuk mengendalikan sistem internal.
Struktur organisasi tersebut dikenal dengan istilah internal control system (ICS).
Dengan demikian Poktan Tranggulasi memiliki empat struktur organisasi yang
seluruhnya dilampirkan dalam skripsi ini (lampiran IV).
29
D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan
Poktan Tranggulasi sudah mengusahakan berbagai komoditas sayuran diantaranya
meliputi: sawi putih, wortel, kentang, sawi sendok, kubis, buncis perancis, tomat,
selada hijau, daun bawang (onclang), spinach (bayam Jepang), lettuce, timun
jepang, lobak, brokoli, bit root, dan sebagainya.
4.3.2 Kelompok Tani Bangkit Merbabu
A. Sejarah Terbentuk Poktan
Poktan Bangkit Merbabu (BM) berlokasi di dusun Kaliduren, Desa Batur.
Awal mula terbentuknya poktan ini karena adanya perbincangan antar beberapa
petani di Dusun Kaliduren. Pernyataan dari Rochmad akan memperjelas hal
tersebut:
“Tahun 1998 itu namanya bukan Bangkit Merbabu, tapi Ngudi Lestari. Lalu diganti
kembali menjadi Alhidayah. Itu dulunya jatuh-bangun, untuk dijadikan satu organisasi ini
ada yang mau, ada yang tidak. Kemudian setelah saya purna tugas tahun 2010, saya
mengajak pak Sumadi, pak Supilih, sama pak Zaenal untuk membentuk kelompok.
Sebetulnya dulu itu ada 36 anggota, ambil 10 saja yang kita amati bisa diajak
berkomunikasi dan bisa saling koreksi. Hanya 10 itu yang kita ambil, nantinya mau
dijadikan organik. Tapi namanya harus diganti. Karena kita perlu bangkit, maka dikasih
nama Bangkit Merbabu.”
Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa poktan
berdiri pada tahun 2010. Sebenarnya ketika tahun 1998 sudah hidup poktan di
dusun Kaliduren yang namanya “Ngudi Lestari”. Setelah itu, poktan ini berubah
namanya menjadi “Alhidayah”. Ketika menggunakan kedua nama tersebut,
poktan di Dusun Kaliduren mengalami situasi yang dinamis (jatuh-bangun). Di
waktu itu, timbul suasana pro dan kontra antar petani di Dusun Kaliduren. Lalu
poktan yang ada di Dusun Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan BM fungsinya
belum begitu eksis. Poktan BM terbentuk sebagai akibat dari adanya gagasan dari
Rochmad dengan melibatkan tiga petani lainnya, yaitu: Sumadi, Supilih, dan
Zaenal. Keempat petani ini berembug membentuk poktan dengan nama dan
sistem yang baru dengan harapan fungsinya dapat berjalan lebih baik jika
dibandingkan dengan poktan-poktan yang pernah ada sebelumnya. Oleh karena
itu, nama poktan ini dinamakan Bangkit Merbabu. Penggunaan nama “Merbabu”
dikarenakan lokasinya berdekatan dengan gunung Merbabu. Diskusi oleh petani-
petani tersebut juga tidak lepas dari pembicaraan tentang penetapan tujuan poktan.
30
Dengan demikian, disepakati bahwa Poktan BM memiliki tujuan: a) berupaya
untuk melestarikan alam, dalam hal ini mengembalikan kesuburan tanah dan
unsur-unsur yang ada di dalamnya (dengan menanam secara organik), sehingga
akan tercipta suatu kawasan pertanian yang memenuhi syarat sistem pangan
organik ramah lingkungan sesuai SNI 01-6729-2010 dan b) menghasilkan produk
pangan organik yang aman dikonsumsi dengan menerapkan GAP (Good
Agriculture Practices) atau sistem budidaya sayuran yang baik dan benar serta
SOP (Standar Operational Procedure) (Sumber: Profil kelompok tani).
Kemudian, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rochmad, bahwa
poktan yang ada sebelum terbentuknya Poktan BM berjumlah 36 individu. Lalu,
berdasarkan diskusi antar keempat petani tersebut, sepakat bahwa yang diajak
untuk bergabung dalam Poktan BM adalah berjumlah 10 petani. Petani yang
diajak bergabung dalam poktan diusahakan memiliki kriteria mudah diajak
berkomunikasi, saling pengertian, dan memiliki kesiapan untuk diajak bertani
organik. Dengan jumlah yang kecil (10 orang), diharapkan Poktan BM bisa
berjalan secara efektif. Menurut Hariadi (2011), besar-kecilnya kelompok
mempengaruhi tingkat kohesi. Kohesi merupakan rasa tertarik diantara para
anggota, oleh karena adanya kesamaan sikap, nilai, dan sifat-sifat pribadi. Dalam
interaksi, apabila seseorang tertarik pada orang lain, maka ia akan mengadakan
interaksi dengan orang bersangkutan (Walgito, 2010:46-47). Di samping itu, di
dalam amanat yang tercantum dalam permentan No. 82 dikatakan bahwa: “poktan
ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani dengan jumlah anggota
berkisar antara 20 sampai 25 orang petani”.
Jumlah keseluruhan Poktan BM pada saat ini sebanyak 20 orang.
Penyebab terjadinya peningkatan dari awalnya 10 anggota menjadi 20 anggota
dijelaskan oleh Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:
“Dulu hanya 10 orang. Dari kimia mau ke organik itu kan kendalanya banyak, terutama
penanganan tanaman tidak bisa instan seperti pakai kimia, sehingga banyak kendalanya.
Biasanya yang cerewet itu kan ibu-ibu, karena pindah organik malah rugi, dikarenakan
prosesnya yang lama. Jadi tanah yang betul-betul organik itu lama. Daripada ribut dalam
rumah tangga, ibu-ibu dimasukkan dalam kelaompok. Selain itu, agar ibu-ibu tahu
tentang pemasarannya, tentang kendala-kendalanya untuk beralih ke organik. Jadi sepakat
semua ikut, 20 itu suami-istri. Jadi dalam rumah tangga tidak ada percekcokan.”
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mujiyanti Rahayu, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa penambahan jumlah individu yang tergabung dalam poktan
31
disebabkan oleh adanya keikutsertaan istri dari petani-petani yang tergabung
dalam poktan. Yang melatarbelakangi poktan mengambil keputusan untuk
melibatkan istri dari petani adalah supaya tercipta pemahaman yang seragam
selama menjalankan proses bertani. Dukungan moral dan tingkat kepedulian pria
tani sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan. Jika tidak, yang terjadi
adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran
atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan keluarga (Hubeis,
2010:145). Di samping itu, poktan juga memiliki pertimbangan lain sehingga
menetapkan poktan dengan jumlah 20 orang, sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Rochmad berikut ini:
“Kita mengajukan proposal di dinas mengkehendaki kelompok itu yang paling bagus
berjumlah 20 orang, karena kelompok hanya berjumlah 10, akhirnya istri dimasukkan,
jadi 20 sama istri. Untuk meminta bantuan, kelompok minimal berjumlah 20 orang.”
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Rochmad maka dapat diketahui bahwa
penambahan jumlah poktan hingga 20 orang bertujuan agar poktan memiliki akses
untuk memperoleh bantuan dari pihak pemerintah.
B. Peristiwa Penting Poktan
Usaha poktan ini untuk beralih ke sistem UT organik didukung oleh pihak swasta.
Pihak penyuluh swadaya turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi
pertanian organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman
kubis. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu
pembentukan poktan. Meski begitu, sebelum tahun itu sudah ada sebagian petani
di dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke
sistem UT organik. Sebagian petani itu sama-sama tergabung dalam poktan yang
ada di wilayah Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan Bangkit Merbabu (BM),
yaitu poktan “Alhidayah”. Hal tersebut lebih rinci dijelaskan di sub bab 4.4.
tentang inisiator utama peralihan sistem usaha tani anorganik ke sistem usaha tani
organik dan peran pengurus poktan di tengah kehidupan pedesaan.
C. Model Struktur Organisasi Poktan
Poktan BM memiliki struktur organisasi dengan maksud supaya adanya
pembagian tugas diantara individu dalam poktan. Poktan ini memiliki ketua,
sekretaris, bendahara, dan beberapa divisi, meliputi: divisi pemasaran hasil, divisi
32
pertanian, divisi pupuk organik, dan divisi pemberdayaan (Sumber: Data Primer).
Selain itu, dibentuk pula struktur organisasi Internal Control System (ICS) yang
terutama ditujukan untuk menjaga kesinambungan dari sertifikasi pangan organik.
Kedua struktur organisasi tersebut tertera dalam lampiran skripsi ini (lampiran
IV).
D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan
Poktan BM telah melakukan budidaya dan memproduksi berbagai macam
sayuran, seperti: wortel, brokoli, tomat, bit root, tamarillo, sawi sendok, sawi
putih, lobak, ketumbar, seledri, paterselly, selada keriting hijau, selada keriting
merah, kol hijau, kol merah, spinach, zukini, romen, head lettuce, dan sebagainya.
Hasil observasi lapangan memperlihatkan bahwa terdapat komoditas sayuran yang
diusahakan oleh Poktan BM, tetapi tidak diusahakan oleh Poktan Tranggulasi, dan
sebaliknya.
4.4 Inisiator Utama Peralihan Sistem Usaha Tani Anorganik ke Sistem
Usaha Tani Organik dan Peran Pengurus Poktan di Tengah
Kehidupan Pedesaan
Perlu diketahui bahwa poktan di kecamatan Getasan yang menerapkan
sistem usaha tani secara organik dan memiliki sertifikat lahan organik bukan
karena mereka hanya menunggu datangnya bantuan (baik material atau non-
material) dari organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.
Pencapaian itu disebabkan oleh adanya ide, inisiatif, dan kerja keras dari beberapa
orang, atau bahkan satu orang untuk menangani suatu permasalahan usaha
taninya. Perlu diketahui pula bahwa poktan satu dengan yang lainnya memiliki
latar belakang masalah yang berbeda-beda, sehingga bisa meraih pencapaian
tersebut. Penjelasan selanjutnya akan memberikan bukti konkrit akan hal tersebut.
Penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa ide untuk beralih ke
sistem usaha tani organik muncul atas kesadaran masyarakat. Selain itu, yang
perlu diingat adalah usaha tersebut tidak dilakukan oleh petani dalam jumlah
besar, melainkan dilakukan oleh jumlah yang kecil, bahkan oleh satu orang. Hal
tersebut akan diperjelas melalui pernyataan dari Pitoyo Ngatimin berikut ini:
33
“Petani itu tidak perlu diajak. Dulu saya sendiri yang melakukan budidaya organik
sebelum tahun 2000. Setelah ada bukti mereka baru mau, jadi petani tidak perlu diajak,
tapi kalau sudah ada bukti, mereka baru mengikuti… Latar belakang saya beralih ke
organik karena keterpaksaan, karena saya modal tidak punya, punya lahan sedikit, modal
untuk berusaha tidak punya, karena harga jual rendah. Kubis dulu harganya 60 rupiah,
panennya banyak, tapi tidak laku dijual, padahal harga pupuk mahal. Karena tidak punya
modal, kita belajar dari situ, bahkan saya dulu tidak tahu kalau ini pertanian organik.
Hanya kebetulan, terus kita gali, justeru sebuah kegagalan itulah menjadi pelajaran kita,
tahun demi tahun ada hasilnya dan itu memang kita buktikan. Ternyata dengan organik
dan yang non-organik itu beda, awalnya hasil produksi dengan organik memang sangat
jelek, karena belum terbiasa. Tahun ke tiga baru bagus.”
Pernyataan tersebut ditegaskan oleh penuturan dari Harto Slamet dan Petrus
Kriswigati sebagai berikut:
“Yang mulai berbudidaya secara organik pertama kali pak Pitoyo, itu tahun 99 pada
waktu itu.” (Harto Slamet)
“Ilmunya Pitoyo tertular ke petani tetangga dan mereka akhirnya tertarik untuk gabung.”
(Petrus Kriswigati)
Dari ungkapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan beralih ke
sistem organik disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan petani dalam
membeli pupuk. Poktan Tranggulasi membuktikan pentingnya seorang figur
untuk menciptakan suatu perubahan yang lebih baik. Bila dicermati dengan
seksama, Pitoyo Ngatimin tidak memberikan pelatihan secara formal atau
terstruktur (pelatihan yang direncanakan secara sistematis dalam rangka untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani untuk
mengembangkan usaha taninya), melainkan teknik budidaya sayuran organik
yang ia lakukan banyak ditiru oleh petani yang ada di sekitarnya, karena terbukti
membuahkan hasil yang positif. Dengan begitu, proses belajar-mengajar antar
petani terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harto Slamet dan Petrus
Kriswigati bahwa Pitoyo Ngatimin secara langsung maupun tidak langsung telah
mempengaruhi tingkah laku petani dalam melakukan usaha tani. Dengan begitu,
tampak jelas bahwa keberadaan seorang figur sangat diperlukan untuk
membangun kesadaran dan sikap petani akan pentingnya menerapkan sistem UT
secara organik. Gambaran keadaan Poktan Tranggulasi di saat awal-mula merintis
usaha sayuran organik diperlengkap oleh pernyataan Andi Raujung berikut ini:
“Sebenarnya Tranggulasi itu awalnya hanya berapa 20-an orang, tapi mereka betul-betul
menerapkan apa yang sudah dipelajari, ilmunya berkembang-berkembang, tetangganya
ikut.”
34
Berdasarkan pernyataan Andi Raujung, maka dapat disimpulkan bahwa pada
awal-mulanya, petani yang tergabung dalam Poktan Tranggulasi berjumlah
sedikit. Dengan jumlah yang sedikit itu, tingkat partisipasi dan keseriusan tiap
individu untuk mencoba beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT
organik menjadi terbangun dengan baik. Ketika itu, petani-petani yang ada di
sekitarnya (khususnya di Dusun Selo Ngisor) meniru cara atau metode UT yang
diterapkan oleh individu Poktan Tranggulasi.
Di samping peran pengurus poktan, upaya Poktan Tranggulasi untuk
beralih ke sistem UT organik didukung oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama
Terpadu Indonesia (IPPHTI). IPPHTI merupakan organisasi tani yang
beranggotakan alumni-alumni SLPHT dan petani-petani yang melakukan prinsip-
prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Hasil wawancara dengan Abdul
Wahab menunjukkan bahwa di sela-sela proses peralihan, yakni pada tahun 2004,
Poktan Tranggulasi mulai bergabung atau bekerjasama dengan instansi IPPHTI.
“Tahun 2004 IPPHTI masuk ke sini itu baru kelompok mendeklarasikan pertanian
organik. Pada tahun 2003 kami belum tahu teknologi untuk organik. Tahunya bikin
pupuk organik pakai urin sapi dari kandang langsung diberikan ke ladang, jadi tidak
difermentasi. Lalu, kalau mau mengusir hama cuma pakai tangan.”
Menanggapi pernyataan Abdul Wahab, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
awal-mula poktan merintis UT sayuran organik, teknologi yang digunakan masih
bersifat tradisional, seperti: mengaplikasikan pupuk cair menggunakan urin sapi
tanpa proses fermentasi, mengatasi hama secara manual, dan cara tradisional
lainnya. Melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI, Poktan Tranggulasi
sedikit demi sedikit mulai mengenal teknologi organik. Berikut pernyataan dari
Abdul Wahab kaitannya dengan hal tersebut:
“Tahun 2004 dari IPPHTI mengadakan kegiatan pengenalan teknologi organik, seperti
cara pembuatan dekomposer yang benar, cara membuat insektisida alami, pembuatan
pupuk organik. Bentuk kegiatannya itu loka karya, diikutsertakan oleh alumni-alumni
IPPHTI. Di kegiatan itu tercipta petani saling bertukar ide dan pengalaman.”
Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa teknologi organik mulai
didesiminasikan pada tahun 2004, bertepatan dengan waktu deklarasi pertanian
organik di Poktan Tranggulasi. Dari pernyataan Abdul Wahab, maka dapat
diketahui bahwa bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI adalah loka
karya yang diikutsertakan oleh alumni-alumni IPPHTI. Loka karya berarti
pertemuan orang yang bekerja sama dalam kelompok kecil, biasanya dibatasi pada
35
masalah yang berasal dari mereka sendiri. Secara garis besar, susunan acara loka
karya meliputi: identifikasi masalah, pencarian dan usaha pemecahan masalah
dengan menggunakan referensi dan materi latar belakang yang cukup tersedia. Di
kegiatan loka karya tersebut, pihak IPPHTI berperan sebagai pemandu, dimana ia
menceritakan pengalamannya dan latihan yang diikutinya untuk memecahkan
masalah (Suprijanto. H, 2012:79). Di kegiatan tersebut terjadi suasana saling tukar
informasi yang bertujuan untuk memperkenalkan teknologi organik.
Pernyataan Abdul Wahab dipertajam oleh T.O Suprapto sebagai berikut:
”Kita membuat science sendiri, namanya science petani. Jadi belajar dari petani, oleh
petani, untuk petani. Kalau yang selama ini dari peneliti, oleh peneliti, untuk petani.
Membuat round up sendiri, itu namanya science petani, science adalah sebuah percobaan,
yang dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang melakukan petani, yang dapat
ilmunya petani. Tranggulasi itu jaringan kita. Saya pernah mengadakan kegiatan di sana.”
Mencermati pernyataan dari T.O Suprapto, maka dapat dinyatakan bahwa ide
dasar untuk menyelenggarakan kegiatan semacam itu, karena salah satu kegiatan
yang diwadahi oleh IPPHTI adalah science petani, dimana petani melakukan
sebuah percobaan. Dengan demikian, diharapkan dengan “science petani” ini
segala upaya pengembangan UT dan segala rintangan yang ada selama petani
mengelola UT, dapat dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang
melakukan petani, dan yang dapat ilmunya petani. Sehingga dengan “science
petani”, petani belajar dari petani, oleh petani, dan untuk petani. Berangkat dari
adanya kerjasama dengan IPPHTI, sampai saat ini individu Poktan Tranggulasi
tetap mempertahankan kepekaan dan ketajaman berpikirnya untuk menganalisa
potensi lokal yang sekiranya bisa membantu mereka sebagai daya dukung untuk
meningkatkan produksi sayuran. Dengan demikian, pelaku utama pertanian
organik (petani) dituntut memiliki ketajaman berpikir agar memperoleh hasil
produksi yang optimal.
Pada tahun 2009, Poktan Tranggulasi mengikuti program sekolah lapang
pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Semarang. Pada dasarnya, partisipasi
Poktan Tranggulasi dalam kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah kaitannya untuk memperoleh
sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh INOFICE (Indonesian Organic
36
Farming Certification). Hal tersebut mengutip dari pernyataan Abdul Wahab
sebagai berikut:
“SLPHT diadakan tahun 2009, karena kalau sertifikasi itu seharusnya sudah
melaksanakan SLPHT. Waktu itu sertifikasi tahun 2006 tapi belum ada SLPHT. Jadi
diadakan SLPHT itu untuk menindaklanjuti sertifikat, karena syaratnya harus sudah
melaksanakan SLPHT, tapi di sini belum pernah pada waktu itu.”
Pernyataan dari Abdul Wahab didukung oleh Petrus Kriswigati sebagai berikut:
“Kalau kelompok tani Tranggulasi itu sudah pernah dapat program SLPHT, waktu itu
sebenarnya cuma buat syarat untuk dapat sertifikasi pangan organik, karena memang itu
salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Kalau tidak salah kegiatannya itu diadakan
tahun 2009.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, sebelum tahun 2009 poktan ini sudah berupaya
untuk mengecek dan menilai unsur-unsur yang terkandung dalam produk
sayurannya. Hal ini dilakukan pada tahun 2006, dengan cara bekerja sama dengan
Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Surabaya. Di tahun 2006, poktan baru
menganalisakan kandungan produk sayuran organik ke Balai Besar Laboratorium
Kesehatan Surabaya pada tanggal 10 Mei 2006 dengan nomor 23/051/Tox/V/2006
terhadap berbagai jenis sayuran (Anonim, 2012:24). Partisipasi poktan dalam
kegiatan SLPHT juga berpeluang untuk mengakumulasikan ilmu pengetahuan dan
mengasah keterampilannya dalam menjalankan usaha tani sayuran organik.
Poktan Tranggulasi mengajukan permohonan sertifikasi kepada
Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE). Indonesian Organic
Farming Certification (INOFICE) merupakan lembaga sertifikasi organik yang
telah mendapat verifikasi Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO)
Kementerian Pertanian RI dan telah mendapatkan akreditasi dari Komite
Akreditasi Nasional (KAN). INOFICE melayani sertifikasi pertanian organik
berdasarkan SNI 01-6729-2013 kepada petani, produsen, maupun pihak lain di
dalam dan luar negeri. INOFICE mengeluarkan sertifikat pangan organik kepada
Poktan Tranggulasi pada tanggal 30 November 2010 seperti pada foto yang tertera
dalam lampiran skripsi ini (lampiran VII). Sampai saat ini, Poktan Tranggulasi
masih memiliki sertifikat pangan organik. Resertifikasi pangan organik terakhir
dilakukan pada tanggal 17 Januari 2014, sehingga lahan organik yang dimiliki
Poktan Tranggulasi tergolong aktif. Saat ini luas lahan yang sudah tersertifikasi
organik adalah 17,38 ha (Anonim, 2015:03). Sertifikat pangan organik merupakan
salah satu kekuatan yang dimiliki oleh produsen pangan organik yang bermanfaat
37
untuk memberikan bukti autentik kepada supplier atau konsumen akhir, sehingga
keorganikan produk tersebut terpercaya.
Memang, usaha kolektif Poktan BM untuk beralih ke sistem UT organik
dilakukan pada tahun 2010 dan hal tersebut didukung oleh pihak luar kelompok.
Akan tetapi, sebelumnya, tepatnya pada tahun 2008 sudah ada sebagian petani di
dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke sistem
UT organik. Hal tersebut dijelaskan oleh Rochmad sebagai berikut:
“Dulunya masih biasanya kita kasih pupuk ponska, atau urea, dulunya kasih satu sendok
makan. Setelah tahun 2008 kita kurangi jadi ½ sendok makan. Perintis organik, itu hanya
saya, pak Nal, pak Rebo, dan pak Pilih. Itu sudah membentuk kelompok, kelompok
namanya sudah berubah dari Ngudi Lestari menjadi Alhidayah.”
Berdasarkan pernyataan dari Rochmad tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada
tahun 2008, petani yang tergabung dalam Poktan BM perlahan-lahan mulai
mengurangi penggunaan pupuk berbahan kimia sintetis. Usaha tersebut dirintis
melalui wadah poktan yang pada waktu itu masih bernama “Alhidayah”. Akan
tetapi perlu diingat, bahwa penguatan ide untuk beralih ke organik, Poktan BM
memang didukung oleh pihak luar. Pernyataan dari Zaenal akan memperjelas hal
tersebut:
“Tahun 2010 pak Nick itu ke sini… Sini dulu banyak penyakit akar gada. Pak Nick punya
produk yang namanya custom bio, itu ramah lingkungan. Lalu, pak Nick menganjurkan
pakai itu untuk dipraktekkan di lapangan.”
Mencermati pernyataan dari Zaenal, maka dapat diketahui bahwa Nick T.
Wiratmoko turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi pertanian
organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman kubis.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu pembentukan
poktan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Zaenal, bahwa poktan secara kolektif
beralih ke sistem UT organik bermula dari kegiatan praktek teknologi organik
dengan merk dagang custom bio yang bersifat ramah lingkungan yang
dilatarbelakangi oleh karena adanya penyakit akar gada pada tanaman kubis. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Nick T. Wiratmoko sebagai berikut:
“Kelompok Tani Bangkit Merbabu hadir sebagai kelompok tani diawali dengan sebuah
pertemuan di Rumah Bapak Zaenal pada akhir tahun 2010. Pertemuan tujuh orang petani
di Dusun Kali Duren, Desa Batur, Kabupaten Semarang ini diadakan atas permintaan
rekan petani, penyuluh swadaya (PPS) di Salatiga, yang dianggap bisa membantu dalam
memecahkan masalah untuk mengatasi penyakit pada tanaman kobis-kobisan yang
38
dikenal dengan akar gada….. Itu adalah komunikasi awal dari 7 orang petani yang
diperantarai oleh Mas Yusman dan Pak Suwanto.”
Dengan menganalisa pernyataan yang diungkapkan oleh Nick T. Wiratmoko,
maka dapat dipertajam bahwa terciptanya kerjasama antara poktan dengan
penyuluh swadaya diperantarai oleh beberapa rekan atau kolega dari petani yang
tergabung dalam kepengurusan poktan.
Awal-mula Poktan BM berkomitmen untuk beralih ke sistem UT organik,
risiko kegagalan panen sangat mudah terjadi. Hal tersebut secara singkat
dijelaskan melalui pernyataan Makruf berikut ini:
“Ketika beralih ke organik mengurangi bahan kimia sedikit-sedikit, kalau spontan bisa
banyak yang gagal, contohnya Bangkit Merbabu dulu 1 tahun gagal terus, karena
tanahnya masih banyak mengandung kimia.”
Berdasarkan pernyataan Makruf, upaya beralih ke sistem UT organik tidak bisa
dilakukan secara spontan, artinya tidak bisa langsung menghentikan penggunaan
saprotan berbahan kimia sintetik. Usaha untuk beralih dari sistem UT anorganik
menjadi sistem UT organik diawali dengan cara mengurangi segala saprotan
berbahan kimia sintetik dalam melakukan budidaya tanaman. Selanjutnya,
pernyataan dari Rochmad berikut ini akan menjelaskan proses Poktan BM dalam
memperoleh sertifikat pangan organik:
“Tahun 2012 surveyor mengadakan pelatihan tentang cara berusaha tani organik.
Surveyor ke kelompok sini. Tahun 2012 mendapat sertifikat. Di sini karena kompak jadi
prosesnya cepat, lahan semuanya itu sudah tersertifikasi yang di kelompok Bangkit
Merbabu, yang disertifikasi seluas 5,5 hektar.”
Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa pihak
surveyor turut berperan dalam mensosialisasikan prosedur untuk memperoleh
sertifikat pangan organik dan memberikan pelatihan mengenai tata cara bertani
organik. Kemudian, pada tanggal 22 November tahun 2012 poktan ini
memperoleh sertifikat pangan organik dengan luas lahan 5,5 ha (Anonim,
2015:08).
Individu yang berusaha keras untuk menciptakan perubahan tersebut
merupakan aktor-aktor di balik terwujudnya pencapaian untuk memperoleh
sertifikat pangan organik maupun mempertahankan dan memperkuat
kesinambungan usaha tani sayuran organik yang dilakukan oleh individu poktan.
Bila diperhatikan secara seksama, maka terbukti bahwa poktan yang melakukan
39
usaha tani secara organik disebabkan oleh adanya inisiatif dari beberapa orang
atau bahkan satu orang di suatu komunitas untuk memanfaatkan serta mengelola
sumber daya (terutama sumber daya alam) lokal yang tersedia secara optimal.
Individu-individu tersebut tergabung dalam kepengurusan poktannya. Akan tetapi
bila dicermati secara seksama, sebenarnya keinginan poktan untuk beralih ke
sistem UT organik itu timbul tidak terlepas dari adanya usaha pihak GO
(Governmental Organization) ataupun NGO (Non-Governmental Organization).
Letak perbedaan yang paling mencolok antara pengurus poktan dan pihak lain
(baik GO ataupun NGO) adalah inisiatif, kerja keras, dan kreativitas untuk beralih
ke organik diawali oleh pengurus poktan, sedangkan pihak luar hanya berperan
sebagai pelengkap untuk memperkenalkan teknologi pertanian organik.
Jika dipelajari secara seksama, tiap poktan memiliki latar belakang yang
berbeda-beda, sehingga timbul antusias dan inisiatif untuk beralih ke sistem UT
organik. Poktan Tranggulasi dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan yang
dirasakan oleh Pitoyo Ngatimin untuk menyediakan pupuk. Sedangkan, Poktan
BM lebih dilatarbelakangi oleh masalah penyakit akar gada, kemudian sebagian
petani yang statusnya sebagai pengurus poktan berusaha membangun kerjasama
dengan pihak luar untuk mengatasi penyakit tersebut (Lihat Sub Bab 4.6.2: Peran
pengurus sebagai pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diakui bahwa keberadaan
seseorang atau beberapa orang, khususnya di wilayah desa atau dusun sangat
diperlukan guna menumbuhkembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
petani yang selanjutnya berdampak positif pada produksi, pendapatan, dan
kesejahteraan petani. Petani-petani tersebut tidak hanya sekedar mengajak atau
membujuk petani lainnya untuk beralih ke sistem UT organik. Melainkan, teknis
UT organik yang sudah diterapkan dirasa memiliki sebuah nilai tambah, baik dari
segi kualitas produksi, peningkatan harga jual produk, efisiensi biaya produksi,
bersifat ramah lingkungan, dan nilai tambah lainnya. Nilai tambah itu dirasakan
atau diyakini oleh masing-masing petani (khususnya yang tergabung dalam
poktan), sehingga merekapun antusias untuk menerapkan sistem UT yang
demikian. Jika dicermati, sebuah perubahan pola pertanian (dari anorganik
menjadi organik) bukan dimulai oleh kaum mayoritas, melainkan oleh kaum
40
minoritas petani. Perubahan itu terbentuk, yang salah satunya dikarenakan oleh
daya kreativitas yang dimiliki oleh kaum minoritas petani itu. Itulah salah satu
wujud konkret dari creative minority (minoritas yang berdaya cipta), dalam
perspektif pertanian.
Jikalau tidak ada yang memulai untuk beralih ke organik, maka sistem UT
yang diterapkan oleh petani cenderung stagnan, yakni mengaplikasikan sistem
anorganik. Hal ini menjadi wajar mengingat kecenderungan yang terjadi di
lingkungan pedesaan adalah sebagian besar masyarakatnya enggan untuk
mencoba sesuatu hal yang baru. Ia akan mencoba hal baru, ketika hal baru
tersebut dirasa memberikan nilai tambah, khususnya bagi dirinya sendiri dan
umumnya bagi keluarganya. Dengan kata lain, budaya “ngikut” masih kental di
lingkungan pedesaan.
Di lain pihak, sebagian besar petani juga masih enggan untuk terlibat
dalam kepengurusan organisasi petani. Pernyataan dari Ngatemin dan Pandi akan
memberikan bukti autentik tentang keadaan tersebut:
“Sekarang itu belum ada pergantian pengurus mas. Belum pembaruan gitu. Jadi dari dulu
sampai sekarang pengurusnya masih itu… Saya tidak ada kemauan jadi pengurus, karena
jadi pengurus itu sulit, yang diurusi banyak, ngurusi administrasi, bantuan-bantuan, kayak
genzet... Pengelola itu ngurusi segala sesuatu mas, baik masalah sayur, masalah
keuangan, pemasaran, terus administrasi.” (Ngatemin)
“Kalau pemimpinnya itu gak benar, apa anggotanya ya benar? Kalau pemimpin itu benar,
jujur, di bidang apa saja anggota cuma ngikuti, jadi bersatu semua. Kalau pemimpinnya
baik, anggotanya baik. Kalau saya jadi anggota yang penting sabar, sama menerima apa
adanya, manut, jadi tidak mikir macam-macam. Mending mikir rumah tangga dan bertani.
Seperti saya sudah tua begini, mendingi ikut jadi anggota kelompok saja” (Pandi)
Dari berbagai pendapat narasumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika
poktan mengagendakan kegiatan reorganisasi, yang terjadi adalah tidak timbul
sebuah pergantian orang di kepengurusan. Hal tersebut yang membuktikan bahwa
sebagian besar anggota enggan untuk terlibat dalam kepengurusan poktan. Sesuai
dengan pernyataan Ngatemin, hal tersebut disebabkan oleh begitu kompleksnya
hal yang diurusi oleh pengelola atau pengurus, baik yang berkaitan dengan
pemasaran, administrasi, keuangan, pengorganisasian, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan poktan. Kemudian, Pandi berpendapat bahwa pengurus poktan
berperan sebagai panutan (as examplar). Hal tersebut sesuai dengan pandangan
41
Krech dan Crutchfield (1948) (dalam Walgito, 2003:108) mengenai fungsi
pemimpin.
4.5 Komparasi Poktan Sebagai Unit Belajar
Poktan sebagai unit belajar diindikasikan oleh tiga hal, meliputi: tersedianya
wadah belajar di poktan, baik untuk pengembangan usaha tani maupun
pengembangan organisasi poktan, adanya pengetahuan, keterampilan, dan sikap
individu poktan dalam berusaha tani secara organik, serta tersedianya wadah
belajar bagi pihak lain untuk mengembangkan usaha taninya.
4.5.1 Penyediaan Wadah Belajar Poktan
Dalam aspek penyediaan wadah belajar poktan, kedua poktan dalam penelitian
memiliki kesamaan berdasarkan bentuk wadahnya, yaitu: wadah pertemuan
poktan, wadah percobaan dan adopsi teknologi, dan wadah pendelegasian.
Namun, masing-masing poktan memiliki situasi dan kondisi wadah belajar yang
berbeda-beda. Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa
intensitas, reaksi, dan partisipasi Poktan Tranggulasi cenderung kurang baik. Hal
ini antara lain diperlihatkan oleh: pertemuan poktan yang sementara waktu ini
tidak diadakan, reaksi daripada anggota yang cenderung bergantung dengan peran
pengurus dalam memanfaatkan wadah belajar poktan, dan partisipasi dari para
anggota poktan yang cenderung rendah dalam memanfaatkan wadah belajar.
Selain itu, beberapa wadah belajar (seperti: wadah pertemuan dan percobaan)
dilakukan oleh perorangan atau sekelompok individu poktan. Dengan situasi dan
kondisi yang semacam itu, maka fungsi Poktan Tranggulasi sebagai unit belajar
tergolong kurang baik. Sementara, hasil penelitian di Poktan BM memperlihatkan
bahwa dalam aspek penyediaan wadah belajar, fungsi poktan sebagai unit belajar
tergolong cukup baik, yang ditandai dengan intensitas pertemuan poktan yang
tergolong tinggi. Selain itu, para anggota bereaksi positif dan berperan serta dalam
memanfaatkan wadah belajar yang tersedia di poktan. Ditambah lagi wadah
belajar secara kolektif di Poktan BM masih eksis dilakukan hingga saat ini.
42
4.5.2 Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap Individu Poktan Serta
Implikasinya Terhadap Produksi, Pendapatan, Kemandirian, dan
Kesejahteraan Petani
Kegiatan belajar yang tersedia di poktan berperan sebagai wadah untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani (yang tergabung
dalam poktan) untuk mengimplementasikan UT sayuran organik (penyediaan
saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, sampai dengan pemasaran
hasil produksi). Dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang positif dalam
menjalankan UT sayuran organik, maka diharapkan berdampak positif terhadap
produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.
Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa dalam aspek
penyediaan saprotan, khususnya dekomposer, pupuk, pestisida, dan zat pengatur
tumbuh (ZPT) sebagian besar diadopsi dari wadah belajar poktan. Partisipasi para
anggota untuk menyediakan saprotan tergolong rendah. Sama halnya dengan
penyediaan saprotan, dalam menerapkan budidaya tanaman, para anggota
cenderung mengacu pada materi-materi di wadah belajar dan tiap individu poktan
berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya
masing-masing. Meski begitu, hasil penelitian di Poktan Tranggulasi
memperlihatkan bahwa sebagian individu memiliki kreasi tersendiri dalam
menyediakan saprotan dan membudidayakan tanaman. Kemudian hal yang sama
juga ditunjukkan oleh Poktan BM, yakni tata cara individu poktan dalam
penyediaan saprotan dan budidaya tanaman diadopsi dari materi yang ada di
wadah belajar. Kesamaan lainnya adalah tiap individu Poktan BM juga
berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya
masing-masing. Perbedaannya dengan Poktan Tranggulasi adalah tiap individu
Poktan BM berpartisipasi dalam penyediaan saprotan. Perbedaan lainnya
ditunjukkan oleh tata cara individu poktan dalam menyediakan saprotan dan
membudidayakan tanaman yang umumnya berpedoman pada materi yang tersedia
di wadah belajarnya.
Selanjutnya, dalam aspek penanganan pasca panen, hasil penelitian di
Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan pengetahuan dan
keterampilan antara anggota dan pengurus, dimana pengurus poktan lebih
43
menguasai kegiatan tersebut. Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM
melibatkan para anggota dalam melakukan penanganan pasca panen yang
berakibat mengasah pengetahuan dan keterampilan para anggota dalam
penanganan pasca panen. Dalam aspek pemasaran, pengetahuan dan sikap para
pengurus ataupun anggota tergolong positif. Hal ini ditandai oleh adanya
pemahaman dan pandangan pengurus dan anggota mengenai perbandingan antara
pemasaran ke pasar tradisional dan pasar modern menurut beberapa aspek. Di sisi
lain, keterampilan pengurus poktan lebih unggul dibandingkan anggota poktan,
karena aktivitas-aktivitas pemasaran hasil yang bersifat khusus ditangani oleh
pengurus poktan.
Keempat proses produksi tersebut memberikan dampak yang cukup positif
terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.
4.5.3 Penyediaan Wadah Belajar Bagi Pihak Lain
Ditinjau dari aspek penyediaan wadah belajar bagi pihak lain, tiap poktan
mempunyai cara yang berbeda dalam teknis penyediaannya. Berdasarkan
penyediaannya, kedua poktan tergolong berfungsi. Meski begitu, ditinjau dari segi
partisipasi para anggota dalam memfungsikan wadah belajar ini, kedua poktan
kurang melibatkan peran serta dari para anggota.
4.6 Komparasi Peran Kepemimpinan Pengurus Poktan dalam
Mewujudkan Poktan Sebagai Unit Belajar
Hasil penelitian membuktikan bahwa pengurus poktan memegang peranan
kepemimpinan yang penting untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar.
Peran kepemimpinan pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit
belajar dijabarkan melalui beberapa bentuk tindakan, yaitu: sebagai penggerak
aktivitas individu poktan dalam kegiatan belajar-mengajar, pembangun relasi
untuk kebutuhan belajar poktan, peran pengurus poktan dalam forum gabungan
kelompok tani (Gapoktan) Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu, dan
peran dominan pengurus poktan untuk memfungsikan wadah belajar bagi pihak di
luar poktan.
Pembahasan di tiap sub bab ini juga memuat dampak atau implikasi dari
usaha pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar, baik dari
segi pembelajaran akan usaha tani maupun pembelajaran soal teknis berorganisasi
44
di poktan. Di samping itu, disajikan pula pembahasan tentang reaksi atau sikap
individu poktan terhadap materi belajar yang ada di poktan, partisipasi individu
poktan dalam wadah belajar yang tersedia, dan intensitas wadah belajar
(khususnya pada aspek pertemuan). Kemudian, untuk mengetahui dampak wadah
belajar terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, maka
dibahas pula tata cara individu poktan dalam menerapkan usaha tani, baik
penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, pemasaran
hasil produksi, serta dampak UT sayuran organik terhadap produksi, pendapatan,
kemandirian, dan kesejahteraan petani. Tidak hanya itu, untuk mengetahui fungsi
poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain, maka dibahas peran dominan
pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui keterkaitan antar masing-
masing indikator variabel. Keterkaitan tersebut dijelaskan melalui gambar berikut
ini:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Variabel Peran Kepemimpinan Pengurus Kelompok Tani
Variabel Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar
Mengacu pada gambar. 1 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tiap peran
kepemimpinan pengurus poktan memberi dukungan yang berbeda-beda terhadap
Pengurus poktan
menggerakkan aktivitas
individu poktan dalam
kegiatan belajar-mengajar
Pengurus Membangun
Relasi atau Jaringan
dengan Pihak Lain
Peran Pengurus Untuk
Memfungsikan Poktan
Sebagai Wadah Belajar
Bagi Pihak Lain
Wadah belajar bagi individu poktan
untuk pengembangan usaha taninya
dan pengembangan organisasi
poktannya, disertai dengan situasi dan
kondisi wadah belajarnya.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap
anggota dalam menerapkan usaha tani
sayur organik, serta dampaknya
terhadap produksi, pendapatan,
kemandirian, dan kesejahteraan
individu poktan.
Adanya wadah belajar
bagi pihak di luar poktan
untuk pengembangan
usaha taninya.
Peran aktif Pengurus
di Gapoktan
Komunitas Petani
Organik
45
tiap-tiap indikator variabel poktan sebagai unit belajar. Peran pengurus dalam
wadah belajar yang tersedia di poktan; peran pengurus dalam gapoktan Komunitas
Petani Organik (KOMPOR) Merbabu; dan peran pengurus dalam membangun
relasi dengan pihak lain, masing-masing mendukung ketersediaan wadah belajar
bagi individu poktan untuk pengembangan usaha taninya dan pengembangan
organisasi poktannya, disertai pula dengan situasi dan kondisi wadah belajarnya.
Selanjutnya, peran tersebut mendukung pula pengetahuan, keterampilan, dan
sikap individu poktan dalam berusaha tani dan berdampak pada produksi,
pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Kemudian, peran dominan
pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain
mendukung keberfungsian wadah belajar bagi pihak di luar poktan untuk
pengembangan usaha taninya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci satu per satu
bentuk peran yang dijalankan oleh pengurus poktan:
4.6.1 Peran Pengurus Poktan Sebagai Penggerak Aktivitas Individu Poktan
dalam Kegiatan Belajar-mengajar
Pengurus poktan memiliki andil yang sangat besar untuk menyediakan wadah dan
menggerakkan aktivitas individu poktan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
belajar-mengajar. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang peran pengurus
dalam penyelenggaraan wadah belajar-mengajar poktan beserta dampaknya:
A. Pertemuan Poktan
Poktan Tranggulasi memiliki dua macam pertemuan, yakni: pertemuan
umum (dihadiri oleh seluruh individu poktan) dan pertemuan pengelola (yang
khusus dihadiri oleh pengelola). Pertemuan umum diadakan sebanyak satu kali
dalam satu bulan, biasanya malam tanggal 6. Hal tersebut dibuktikan melalui
pernyataan dari Suparman sebagai berikut:
“Setiap bulan, malam tanggal 6 ada pertemuan, itu yang rutin. Kalau ada keperluan
mendadak sebelum tanggal 6 sudah berkumpul.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan Suparman, apabila terdapat keperluan
mendadak yang perlu dibahas, pertemuan umum dapat diadakan kapan saja. Akan
tetapi, hasil wawancara dengan Ngatimin berikut ini menunjukkan bahwa Poktan
Tranggulasi sudah tidak mengadakan pertemuan secara rutin:
“Ini sudah lama tidak diadakan pertemuan yang melibatkan semua anggota kelompok,
kendalanya karena pembayaran pinjaman dari bank itu sedang macet.”
46
Berdasarkan pernyataan dari Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab
tidak diadakannya pertemuan rutin sementara waktu ini, oleh karena adanya
kendala pengembalian pinjaman ke bank. Akibat dari keadaan itu, walaupun
diadakan pertemuan, sebagian individu poktan cenderung kurang berpartisipasi
atau enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut diperjelas melalui
pernyataan dari Jumarno sebagai berikut:
“Anggota kelompok biasanya pertemuan rutin malam tanggal 6. Dulu datang semua di
pertemuan, tetapi sekarang ini sedang ada kendala dengan bank.”
Keengganan tersebut dapat diperlihatkan melalui pernyataan yang dikemukakan
oleh Wikan Mujiono sebagai berikut:
“Tahun-tahun ini aku malas berangkat ke pertemuan, karena yang dibahas hanya masalah
keuangan. Jadi di pertemuan tidak ada pembahasan tentang tata cara bertani atau
informasi baru tentang teknologi.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa seringkali
pembicaraan yang diagendakan dalam pertemuan rutin adalah seputar teknis-
teknis untuk mengatasi kendala dengan bank. Akibatnya, pembicaraan seputar
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk usaha tani menjadi
terbengkalai. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sebagian individu
enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut turut dipertajam oleh
pernyataan Ngatemin berikut ini:
“Bulan-bulan ini kumpulan membicarakan masalah uang.”
Di samping itu, hasil observasi di lapangan memperlihatkan berhubung adanya
masalah dengan bank, maka sebagian individu poktan mengalami tekanan sosial
yang kemudian berakibat menurunkan keikut-sertaannya dalam kegiatan poktan,
termasuk pertemuan.
Meski begitu, Poktan Tranggulasi masih proaktif mengadakan pertemuan
khusus pengelola. Biasanya pertemuan pengelola ini dijadikan landasan untuk
menentukan kesepakatan di pertemuan umum. Hal tersebut diperjelas seperti apa
yang dikemukakan oleh Sri Jumiati berikut ini:
“Biasanya rapat kecil pengelola dulu. Kalau langsung rapat anggota dengan jumlah
banyak, terlalu banyak ide. Di rapat kecil pengelola didiskusikan dulu, lalu ditindaklanjuti
ke anggota. Tapi biasanya anggota mengikuti keputusan dari pengelola.”
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa segala hal yang ada
kaitannya dengan Poktan Tranggulasi dibahas terlebih dahulu di rapat pengelola
47
dan diputuskan di situ. Setelah itu, hasil pembicaraan dari rapat pengelola
diserahkan kepada seluruh anggota di rapat umum poktan. Hasil observasi di
lapangan menunjukkan, yang dibahas dalam pertemuan pengelola diantaranya
meliputi: a) hal-hal yang ada sangkut-pautnya terhadap kerjasama dengan supplier
(pengepul); b) teknis usaha tani; c) masalah keuangan poktan; dan d) aktivitas
lainnya yang berkaitan dengan kelompok tani. Mencermati begitu banyaknya hal-
hal penting yang didiskusikan oleh pengurus di rapat pengelola, maka dapat
ditafsirkan bahwa pengurus berperan sebagai garda yang mengendalikan aktivitas
poktan. Dengan model pertemuan seperti ini, kecenderungan yang terjadi adalah
para anggota umumnya menerima keputusan apapun yang telah dibuat oleh
pengurus poktan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Ngatemin berikut
ini:
“Pasti ada pertemuan mas, kalau tidak ada, pasti tidak ada kemajuan mas. Bisa maju
mulai dari 0 sampai ke tingkat nasional kalau tidak ada informasi atau musyawarah itu
tidak bisa terjadi. Misalnya gitu, kalau saya cuma ikut-ikutan, saya menjadi anggota
kelompok, sudah. Sudah ada diskusi, kalau membahas itu, membahas masalah hama,
bersama-sama itu, itu seluruhnya anggota itu dikumpulkan, jadi musyawarah, apa yang
dibutuhkan. Semuanya sudah tahu mas, tapi kalau tidak ada yang mengatasi di depan itu
tidak bisa, seperti pak Pitoyo. Kalau membuat CP atau membuat apapun kalau tidak ada
Pitoyo tidak bisa, misalnya kalau cuma anggota itu tidak tahu sebetulnya.”
Dengan keadaan yang seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa pengurus poktan
memiliki peran sentral untuk mengembangkan poktannya menjadi berkembang
atau maju. Dapat disimpulkan pula bahwa pertemuan rutin dijadikan wadah
bersama individu Poktan Tranggulasi untuk saling mendiskusikan berbagai ilmu
atau informasi yang dimilikinya, khususnya untuk melakukan kegiatan UT
sayuran organik. Mencermati pernyataan itu, pengurus poktan (khususnya ketua
poktan) dinilai sebagai pihak yang banyak berkontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tentang sistem UT organik di Poktan
Tranggulasi. Sedangkan, para anggota cenderung hanya mengikuti pola atau
konsep berpikir dari pengurus poktan.
Di badan kepengurusan Poktan Tranggulasi sudah mempunyai seksi
khusus untuk mengingatkan ketika ada anggota poktan yang tidak hadir dalam
pertemuan rutin. Hal ini diutarakan oleh Sumadi sebagai berikut:
“Tugas seksi humas kalau ada perkumpulan-perkumpulan itu wajib memberitahukan ke
yang lain, mengingatkan yang belum berangkat.”
48
Dengan begitu, maka pengurus Poktan Tranggulasi (melalui seksi khusus seksi
humas) telah berusaha untuk mencegah terjadinya ketidakhadiran individu poktan
dalam pertemuan. Hal ini senada bilamana dipertautkan dengan uraian tugas
pengurus poktan, dimana seksi humas salah satunya bertugas untuk
menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan kelompok. Pertemuan
rutin merupakan wadah strategis poktan untuk mengevaluasi kedisiplinan dari
para individu Poktan Tranggulasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sri
Jumiati berikut ini:
“Kedisiplinan harus rutin dijaga setiap bulannya, bisa melalui pertemuan rutin. Lalu
setiap bulannya ada anggota yang berkeluh-kesah, sehingga mereka bisa mengungkapkan.
Jadi bisa terdeteksi.”
Berdasarkan pernyataan Sri Jumiati, maka dapat diketahui bahwa pengurus poktan
sering mengandalkan pertemuan rutin untuk mencari tahu persoalan yang
dihadapi anggotanya. Mencermati pembahasan sebelumnya, bahwa
ketidakhadiran para anggota dalam pertemuan rutin disebabkan oleh adanya
kendala dengan bank. Memperhatikan pula signifikansi dari kegiatan pertemuan
rutin, maka pengurus poktan perlu meningkatkan kepekaan terhadap situasi serta
kondisi anggotanya, disertai pula dengan usaha penanggulangannya yang tepat,
agar kegiatan pertemuan dapat berjalan dengan baik kembali dan dihadiri oleh
seluruh individu Poktan Tranggulasi (minimal sebagian besar).
Berbeda dengan model pertemuan di Poktan Tranggulasi, kegiatan
pertemuan rutin Poktan Bangkit Merbabu diadakan tiap minggu (hari Sabtu
malam) yang melibatkan seluruh individu dalam poktan. Akan tetapi, seringkali
istri dari pada pengurus dan anggota poktan tidak dilibatkan dalam pertemuan
rutin. Berikut penjelasan dari Makruf:
“Semua pengurus dan anggota pasti datang ke pertemuan, kalau ada kepentingan
mendadak tidak datang ke pertemuan, yang rutin itu yang bapak-bapak, yang 10 orang,
tapi yang ibu-ibu juga harus mengetahui. Kalau ditanya sama siapapun harus
mengetahui…. Diadakan pertemuan satu minggu sekali pandangan saya lebih banyak
manfaatnya, contohnya kalau tanaman yang pendek-pendek umpama kalau dibahas sudah
terlanjur panen, kalau pertemuan diadakan satu bulan sekali.”
Pertemuan tiap minggu seperti yang diungkapkan oleh Makruf tersebut masih
jarang terjadi di poktan yang berada di Kecamatan Getasan khususnya, karena
sebagian besar mengadakan pertemuan satu bulan sekali atau selapan (35 hari)
49
sekali. Pertemuan ini wajib dihadiri oleh petani pria yang tergabung dalam
poktan. Dengan model pertemuan yang seperti itu, maka tiap individu poktan
yang mengalami kendala selama proses melakukan UT-nya dapat segera
didiskusikan di pertemuan. Mencermati hasil wawancara itu, jikalau terdapat
kendala UT yang dihadapi oleh satu petani, maka petani lainnya (khususnya yang
sudah berpengalaman) dapat membantu memberikan masukan atau saran tentang
cara untuk mengatasinya. Secara tidak langsung, pembicaraan itu didengarkan
oleh petani lainnya dan ilmu tersebut dapat dipetiknya. Dengan demikian,
pertemuan rutin sebagai kegiatan diskusi bermanfaat sebagai alat pemersatu fakta
dan pendapat anggota kelompok, sehingga kesimpulan dapat diambil. Sumbangan
pikiran dari setiap anggota kelompok akan menambah gudang pengetahuan
(Suprijanto, 2012:97).
Pernyataan dari Makruf diperlengkap oleh Rochmad sebagai berikut:
“Biarpun ada pengurus kita itu rata, kalau dalam pertemuan malam minggu itu seakan-
akan itu tidak ada ketua dan tidak ada lembaga, semuanya sama. Misalkan dalam
pertemuan malam minggu itu, semua usulan atau masukan dianggap bagus, tapi nanti
dirapikan, yang paling bagus yang mana? Yang berangkat ke pertemuan 10 orang bapak-
bapak, kalau ibu-ibu bila ada praktek itu baru diikutkan…. Seperti kemarin kita buat bir,
nantinya akan kami kumpulkan bapak sama ibu, semua harus tahu, semua harus
menguasai, jadi kita praktekan bersama-sama … Hasilnya rapat itu bapak-bapak beritahu
ke ibu-ibu, kesimpulannya yang kemarin itu seperti ini.”
Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di
dalam pertemuan tiap individu dalam poktan memiliki kewajiban dan hak yang
sama, salah satunya untuk mengemukakan usulan. Ketika terdapat berbagai
macam usulan, maka poktan ini berusaha untuk mengambil keputusan dengan
cara musyawarah-mufakat. Suseno (1984:51) mendefinisikan musyawarah-
mufakat sebagai proses pertimbangan, pemberian dan penerimaan, dan
kompromis, di mana semua pendapat harus dihormati, yang berusaha untuk
mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran, yang bisa juga
diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan dan pendapat
partisipan. Menurut Sajogyo (2005:31), suatu cara berapat yang tertentu,
musyawarah itu rupa-rupanya harus ada kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat
mendorong proses mencocokkan dan mengintegrasikan pendapat itu. Dengan cara
yang demikian, diharapkan tidak ada pihak tertentu yang merasa terlalu dirugikan
50
atau terlalu diuntungkan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pandi sebagai
berikut:
“Anggota dikasih kesempatan siapa yang mau usul. Karena saya waktu itu pernah usul,
gimana kalau tiap malam minggu pertemuan itu mengadakan uang paling tidak 50.000
untuk konsumsi minuman dan makanan.”
Kembali ke pernyataannya Rochmad, bahwa wanita tani yang tergabung dalam
poktan diikutsertakan dalam pertemuan ketika ada sosialisasi teknologi baru dan
kegiatan praktek (misalnya: membuat saprotan atau melakukan budidaya yang
benar). Memadukan pernyataan dari Makruf dan Rochmad, maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh hasil yang didiskusikan di pertemuan harus
disampaikan oleh pria tani kepada wanita tani, agar tidak ketinggalan informasi.
Pria tani yang tergabung dalam Poktan BM juga diwajibkan untuk
mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan rutin kepada istrinya,
supaya tidak ketinggalan informasi. Kaitannya dengan kewajiban yang diemban
oleh para pria tani untuk mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan
kepada wanita tani dirasakan oleh Saminah sebagai berikut:
“Kalau ada informasi dari dinas itu sering ada pemberitahuan, diberikan di pertemuan.”
Pertemuan yang diadakan dengan frekuensi satu minggu sekali merupakan
suatu bentuk kebijakan. Di manapun yang namanya kebijakan ada kekuatan dan
ada pula kelemahannya. Pertemuan dengan model seperti ini dikhawatirkan oleh
Daniel Rudolph melalui pernyataan sebagai berikut:
“Kelompok Bangkit Merbabu sering berkumpul bersama. Di situ mereka mendiskusikan
tentang organik dan membicarakan tentang semangat untuk bertani organik. Jadi sebagian
petani terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk membantu petani lain, jadi usaha
tani dia tidak begitu tertangani dengan baik. Jadi, menurut saya menumbuhkan semangat
berkelompok itu baik, tapi ketika semangat itu tidak dibarengi dengan sebuah aktivitas
menjadi kurang baik. Karena bekerja sebagai petani itu menurut saya merupakan bagian
yang tersulit.”
Berdasarkan pernyataan dari Daniel Rudolph, maka dapat diketahui bahwa
pertemuan rutin yang diadakan oleh Poktan BM memiliki frekuensi yang cukup
tinggi. Hal ini dikhawatirkan petani yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
tinggi (profesional) dalam berusaha tani terlalu banyak menggunakan waktu,
tenaga, dan pikirannya untuk membantu permasalahan UT yang dimiliki oleh
petani lainnya. Dengan demikian, proses usaha tani yang dijalankan oleh petani
profesional dapat menjadi terbengkalai. Hal ini menjadi rasional, mengingat
51
petani memiliki tanggungan yang sungguh besar dan banyak, baik untuk berusaha
tani maupun melakukan aktivitas di luar UT (misal: menangani urusan rumah
tangga). Akan tetapi, dengan diadakannya pertemuan tiap minggu, berbagai
masalah yang terjadi selama proses produksi di tiap minggu dapat ditemukenali
dan didiskusikan bersama. Terlebih lagi, budidaya sayuran perlu pengelolaan dan
perhatian yang lebih dari tanaman lain (Sunarjono, 2010:02). Merupakan
tantangan tersendiri bagi petani sayuran untuk meningkatkan ketelitian dalam
melaksanakan proses produksi, karena mutu produk sayur ditentukan oleh
kesegaran, warna daun, dan ada atau tidaknya lubang-lubang bekas serangan
hama. Selain itu, pada produk sayuran, aspek keamanan sangat perlu diperhatikan,
karena umumnya sayuran dikonsumsi dalam bentuk segar (Zulkarnain, 2009:198-
199).
Poktan Tranggulasi memiliki dua macam pertemuan, yakni: pertemuan
umum (dihadiri oleh seluruh individu poktan) dan pertemuan pengelola (yang
khusus dihadiri oleh pengelola). Pertemuan rutin diadakan sebanyak satu kali
dalam satu bulan, biasanya malam tanggal 6. Akan tetapi, berdasarkan hasil
penelitian di Poktan Tranggulasi, menunjukkan bahwa saat ini pertemuan umum
poktan sudah lama tidak diadakan. Jikalau diadakan, sebagian besar anggota tidak
berpartisipasi dalam kegiatan pertemuan oleh karena adanya kendala dengan
bank. Partisipasi yang rendah ini disebabkan salah satunya oleh adanya kendala
dengan bank yang turut mempengaruhi topik pembicaraan dalam pertemuan,
sehingga sebagian anggota enggan untuk menghadiri pertemuan. Untuk mengatasi
persoalan tersebut, sudah ada upaya dari pengurus untuk menginformasikan
kepada para anggota ketika akan diadakan pertemuan umum, agar antusias dari
anggota untuk berpartisipasi dalam pertemuan dapat bertumbuh. Meski begitu,
Poktan Tranggulasi masih aktif mengadakan rapat pengelola yang khusus dihadiri
oleh pengelola poktan. Di rapat pengelola, pengurus Poktan Tranggulasi berperan
sebagai pihak yang berusaha untuk menemukenali dan mengatasi setiap persoalan
yang ada di poktan, sehingga para pengurus dituntut untuk peka terhadap keadaan
atau situasi dalam kelompoknya. Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa
pengurus Poktan Tranggulasi juga bertugas untuk membuat rencana kegiatan dari
yang dipimpinnya, sehingga pengurus berperan sebagai pihak perencana
52
(planner). Selanjutnya, mereka juga bertugas menentukan kebijakan kelompok
yang dipimpinnya, sehingga mereka berperan sebagai pembuat kebijakan (policy
maker) (Walgito, 2003:108). Di kegiatan pertemuan umum, para anggota
cenderung menyetujui apa yang sudah disepakati di rapat pengelola. Dengan
demikian, pengurus dapat diistilahkan sebagai opinion leader (pengarah opini).
Selanjutnya, Poktan BM menerapkan model pertemuan dengan frekuensi
satu minggu sekali dan dihadiri oleh seluruh individu pria tani. Dengan model
semacam ini, tiap persoalan baik yang menyangkut UT maupun organisasi dapat
diutarakan dan dipecahkan bersama. Segala rencana atau kebijakan yang berkaitan
dengan poktan disusun secara partisipatif hingga mencapai mufakat. Kemudian,
wanita tani hanya dilibatkan ketika ada kegiatan praktek. Meski begitu, pria tani
diwajibkan untuk menginfokan setiap hasil pertemuan kepada wanita tani.
Dengan mengetahui perbedaan di kedua poktan tersebut dalam konteks
pertemuan rutin, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus Poktan Tranggulasi
belum mampu menggerakkan aktivitas seluruh individu poktan dalam kegiatan
belajar-mengajar di pertemuan rutin. Hal tersebut terjadi karena sebagian individu
poktan mengalami kendala dengan bank, yang kemudian mempengaruhi topik
pembicaraan dalam pertemuan dan turut menurunkan minat para anggota untuk
hadir dalam pertemuan. Sedangkan, pengurus Poktan BM mampu menggerakkan
seluruh aktivitas individu dalam kegiatan belajar-mengajar di kegiatan pertemuan.
Hal ini salah satunya disebabkan oleh pembicaraan yang difokuskan pada
pengembangan ilmu pengetahuan dan segala permasalahan yang terjadi di UT
individu poktan.
Pertemuan rutin merupakan salah satu bentuk kegiatan belajar yang
diadakan oleh poktan, karena kegiatan itu dijadikan wadah untuk membahas
segala hal yang berkaitan dengan poktan, termasuk permasalahan usaha tani
individu poktan. Oleh karena itu, di kegiatan ini interaksi antar individu poktan
secara otomatis terbangun, sehingga terjadi suasana transfer knowledge. Di
samping itu, pertemuan rutin dapat melatih kedisiplinan individu poktan dalam
berorganisasi. Kegiatan ini merupakan satu-satunya wadah untuk memunculkan
suasana belajar-mengajar (baik dalam melakukan UT maupun dalam hal
berorganisasi) antar individu poktan yang dilaksanakan secara rutin.
53
B. Wadah Percobaan dan Adopsi Inovasi Teknologi Usaha Tani
Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dianggap sebagai
sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir.
Dengan demikian, adopsi inovasi dapat diartikan sebagai keputusan untuk
menerapkan suatu inovasi dan untuk terus menggunakannya (Ban, 1999: 122 &
331). Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dijelaskan batasan definisi dari
teknologi, yakni keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang
diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia (KBBI). Sejauh
mana inovasi baru itu, katakanlah suatu teknologi baru akan memberikan
keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang benar
bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari
nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi
akan berjalan lebih cepat (Soekartawi, 2005:62-63). Untuk mencapai ke tahapan
adopsi, seseorang atau sekelompok orang perlu melewati beberapa tahap. Tahap
pertama, kesadaran: pertama kali mendengar tentang inovasi; tahap ke dua, minat:
mencari informasi lebih lanjut; tahap ke tiga, evaluasi: menimbang manfaat dan
kekurangan penggunaan inovasi; tahap ke empat, mencoba: menguji sendiri
inovasi pada skala kecil; dan tahap ke lima, adopsi: menerapkan inovasi pada
skala besar setelah membandingkannya dengan metode lama. Pada kenyataannya,
adopsi tidak selalu mengikuti urutan ini (Ban, 1999:123-124).
Tahapan adopsi yang dibahas dalam sub bab ini lebih ditekankan kepada
tahap mencoba dan tahap adopsi yang dilakukan oleh poktan. Pengurus poktan
memegang peranan supaya kelompoknya melakukan adopsi inovasi teknologi.
Hal tersebut terbukti melalui penjelasan berikut ini.
Poktan Tranggulasi sudah pernah mengadakan demonstrasi secara mandiri
pada tahun 2004. Berikut penjelasan dari Abdul Wahab:
“Demplot itu sudah lama, sekitar tahun 2004. Kita buat Green house, kita tanami tomat,
modal demplotnya untuk pupuk kandang patungan. 1 anggota diminta menyediakan
pupuk kandang kurang-lebih 5 keranjang, untuk modal tani. Pada waktu itu belum ada
modal uang, kita cuma dapat pinjaman mulsa dari paguyuban, terus kita tanami tomat,
kita budidaya tomat organik, pada waktu itu bagus tapi belum punya pasar pada waktu
itu, itu kan harganya 400, paling mahal 600 perak/kg. Terus tanami tomat lagi, untuk
perawatan digilir berapa orang, tapi gak disiplin, jadi tanamannya gak bagus. Ada jadwal
piketnya, diserahkan bayar orang pada waktu itu. Tidak pakai pestisida. Kalau buat
organik sistemnya Green house sudah mengurangi penyakit, karena tertutup semua.
Green house itu pinjaman dari PPM, maka tidak bayar”
54
Pernyataan dari Abdul Wahab diperlengkap oleh Syaefudin sebagai berikut:
“Dulu penyuluh pernah ke sini, memberi saran, sama mengadakan sekolah lapang, uji
coba di sini dengan kelompok sini, diadakan tahun 2004. 2004 kita baru bisa mengambil
kesimpulan. Uji coba yang pertama itu, yang pakai green house di lahan saya. Itu dipakai
selama 5 tahun, saya hanya dikasih 3 juta sama kelompok untuk ganti-ruginya.
Penyediaan alat blender dan bahan-bahan untuk uji coba kita swadaya, tiap anggota yang
berjumlah 22 orang itu iuran 10.000. Itu uji coba power, teknis budidaya, dan uji coba
pestisida”
Berdasarkan pernyataan dari Abdul Wahab dan Syaefudin, maka dapat diketahui
bahwa tanaman yang diujicobakan adalah tomat. Tiap individu diwajibkan untuk
menyediakan pupuk kandang sebanyak lima keranjang untuk diaplikasikan di
lahan demplot. Sarana demplot lainnya adalah mulsa dan green house (GH) yang
dipinjamkan oleh Paguyuban Petani Merbabu (PPM). Lahan yang digunakan
sebagai tempat untuk uji coba adalah lahannya Syaefudin selaku pengurus poktan,
yang disewa selama lima tahun dengan harga sewa tiga juta. Untuk teknis
perawatan tanaman, poktan sebenarnya menggunakan sistem piket yang terjadwal.
Akan tetapi, sebagian individu poktan tidak disiplin dalam melakukan perawatan
tanaman. Akibatnya, poktan mempekerjakan orang untuk melakukan perawatan
tanaman. Kemudian, pembiayaan untuk melaksanakan kegiatan uji coba
bersumber dari dana swadaya poktan dengan iuran per individu sebesar Rp.
10.000,00. Iuran itu antara lain digunakan untuk: pembelian alat blender, bahan-
bahan untuk membuat teknologi yang ingin diuji-coba, biaya sewa lahan, dan
sebagainya. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa pihak PPL ikut terlibat belajar
bersama dalam kegiatan uji coba tersebut. Kegiatan demplot tersebut bertujuan
untuk menguji coba kelayakan pupuk buatan kelompok yang diberi nama “power”
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
Selain kegiatan demplot yang dilakukan secara kolektif, Poktan
Tranggulasi pernah memberi kewajiban kepada tiap individu untuk melakukan uji
coba teknologi di lahannya masing-masing. Berikut pernyataan dari Syaefudin:
“Dulu dari kelompok itu buat pestisida dan buat pupuk cair. Yang punya ide pada waktu
rapat kita terapkan di lapangan. Ketika diujicoba hasilnya bagus, kita buat lagi, contohnya
power itu. Dulu model uji cobanya itu tiap anggota dikasih satu liter. Nanti tiap anggota
uji coba di lahannya sendiri-sendiri. Waktu itu ketika diujicoba, hasilnya tidak sama.
Lalu, kita siasati dengan mengecek tanahnya. Lahannya itu dikasih power 1 tank itu satu
gelas, ada yang ¼ gelas. Tetapi yang ¼ gelas hasilnya lebih bagus. Dengan begitu, Pak
Pitoyo cari teman yang bisa menganalisa tanah.”
55
Berdasarkan pernyataannya, maka dapat diketahui bahwa ketika muncul suatu ide
tentang teknologi UT di pertemuan rutin, maka teknologi tersebut diuji coba
terlebih dahulu. Apabila setelah dicoba terbukti memberikan hasil yang baik,
maka poktan baru optimis dalam menerapkan teknologi tersebut. Contohnya,
Poktan Tranggulasi sudah pernah memberikan satu liter “power” kepada tiap
individu untuk diujicobakan di lahannya masing-masing. Dengan metode belajar
yang seperti itu, masing-masing individu poktan dapat memberi laporan tentang
hasil dari percobaannya. Pada waktu itu pernah dilakukan dua percobaan
teknologi “power”. Percobaan pertama, pemberian “power” dilakukan dengan
perlakuan yang sama. Walau dengan perlakuan yang sama, tetapi percobaan yang
pertama ini memberikan hasil yang berbeda. Kemudian percobaan yang ke dua,
“power” diujicobakan dengan dua perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama
satu tank diberi satu gelas “power”, sedangkan perlakuan yang ke dua, satu tank
diberi ¼ gelas “power”. Akan tetapi, yang terjadi adalah pemberian “power”
dengan ¼ gelas memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian “power” dengan satu gelas. Oleh karena itu, pengurus poktan
berinisiatif untuk membangun komunikasi dengan peneliti untuk menganalisis
tanahnya. Dengan upaya tersebut, poktan dapat menarik kesimpulan akan hasil
dari percobaannya tersebut.
Dinas Pertanian juga turut berperan dalam memperkenalkan teknologi atau
metode usaha tani. Kegiatan difusi (penyebarluasan) teknologi atau metode UT
diberikan melalui wadah sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Di
kegiatan SLPHT, PPL yang dinaungi oleh Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (BP3K) tingkat kecamatan berperan sebagai pendamping atau
pembimbing teknisnya. Meskipun wadah percobaan diadakan oleh dinas
pertanian, tetapi pengurus poktan tetap memegang peran. Hal tersebut diperjelas
oleh Ngatimin sebagai berikut:
“Kelompok itu pernah ikut serta dalam sekolah yang diadakan oleh PPL. Di kegiatan itu
diajarkan cara buat pestisida. Tetapi anggota itu banyak yang lupa. Yang tidak lupa yang
kesehariannya menggunakan pestisida itu. Seperti saya itu tidak ingat cara buat pestisida,
seperti CP. PPL juga ngajarkan buat PGPR”
Dengan kegiatan SLPHT tersebut, individu poktan dapat memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam bercocok tanam sayuran secara
56
organik. Kendala yang terjadi, sebagian individu poktan tidak ingat cara untuk
membuat sarana UT, seperti: CP (pestisida nabati). Untuk mengatasi hal tersebut,
pengurus poktan berperan untuk mengajarkan kembali tata cara pembuatannya.
Mencermati kasus tersebut, maka dapat dimaknai bahwa pengurus Poktan
Tranggulasi berperan mencatat dan menyimpan materi pelatihan.
Beberapa individu poktan (khususnya pengurus) memiliki kesadaran untuk
mengembangkan, mengkreasikan, dan menyempurnakan hasil dari uji coba
teknologi (atau metode) yang sudah pernah dilakukan atau yang sudah diakui oleh
poktan. Pernyataan Syaefudin akan membuktikan hal tersebut:
“Pakai urin sapi itu inisiatif saya sendiri. Pada kenyataannya sekarang semuanya ikut.
Karena pada kenyataannya bagus, melebihi power.”
Pernyataan tersebut dipertajam oleh Abdul Wahab sebagai berikut:
“Terkadang dari petani bisa menemukan pupuk yang lebih bagus dari buatan kelompok,
seperti pak Saefruddin aja contohnya. Saya amati, dia bisa membuat pupuk sendiri.”
Menanggapi pernyataan Syaefudin dan Abdul Wahab, maka dapat diketahui
bahwa Syaefudin (sebagai petani yang tergabung dalam kepengurusan poktan)
memiliki inisiatif untuk mengembangkan dan mengkreasikan teknologi pupuk
yang sudah dikenal oleh poktan. Teknologi tersebut menggunakan berbagai
bahan, yang sebagian bahannya bisa diperoleh di wilayah setempat (lokal). Ketika
teknologi tersebut diujicoba dan memberikan hasil yang baik, sebagian besar
petani secara otomatis melakukan peniruan. Dengan daya kreativitas petani yang
seperti itu, maka kemandirian poktan dalam penyediaan saprotan semakin
berkembang dan tidak menutup kemungkinan, petani di luar poktan juga dapat
memetik ilmu dari situ.
Akan tetapi, hasil dari kegiatan uji coba yang dilakukan secara mandiri
oleh individu poktan tidak semua ditularkannya. Hal tersebut terbukti melalui
pernyataan dari Syaefuddin sebagai berikut:
“Ketika musyawarah kelompok, saya tidak pernah mengutarakan ilmu saya sama petani
yang lain. Maksudnya kalau ada orang yang mau tahu, orangnya tanya kita sendiri.”
Pernyataan dari Syaefuddin dipertajam oleh Suwalim sebagai berikut:
“Biasanya petani kalau sudah sukses ditanya resepnya tidak mau kasih tahu, itu memang
kodratnya manusia.”
Hal semacam itu wajar, mengingat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
dari kegiatan uji coba dapat berimplikasi positif terhadap penyediaan saprotan dan
57
budidaya tanaman, yang selanjutnya dapat menjadi faktor penguat untuk
mengembangkan usaha taninya dan memperoleh keuntungan secara ekonomi.
Walaupun petani hidup berkelompok, namun hasrat untuk bersaing masih terdapat
di tiap individu petani (dalam poktan) untuk mengembangkan usaha taninya. Hal
ini juga selaras dengan pernyataan Hans-Dieter Evers (1982) (dalam Setiawan,
2012:322), semakin profesional dan mandiri, para petani cenderung akan semakin
individualis. Akan tetapi, keadaan semacam itu juga dapat terjadi karena petani
menghindarkan kesan dari petani lainnya bahwa dirinya seolah-olah lebih pintar
dalam hal bercocok tanam.
Poktan Tranggulasi juga tidak serta-merta melakukan budidaya jenis
tanaman tertentu, apabila jenis tanaman tersebut belum pernah dibudidayakan
oleh kelompok. Timbul keinginan untuk membudidayakan tanaman tertentu dapat
disebabkan oleh adanya permintaan pasar maupun atas kemauan petani sendiri.
Dalam hal ini, pengurus memegang peran untuk mengukur kelayakan bisnis dari
calon tanaman yang sekiranya ingin dibudidayakan atau diusahakan oleh poktan.
Berikut pernyataan dari Abdul Wahab:
“Tidak serta-merta ketika ada produk baru kita langsung menyuruh petani untuk nanam.
Kita uji coba dulu, untung-ruginya. Jadi misalkan ada permintaan sayur yang tergolong
baru dari pasar, pengurus itu yang nguji coba. Jadi kita analisa untung-ruginya, kita
tawarkan ke mereka dengan memberitahu penanamannya habis segini, umur segini, nanti
penjualannya segini.”
Untuk mengukur kelayakan tersebut, pengurus melakukan uji coba terlebih
dahulu. Kegiatan uji coba ini bertujuan untuk menilai kelayakan, baik dari segi
agronomis maupun segi ekonomisnya. Apabila dinilai layak, pengurus baru
menawarkan ke para anggota. Hal ini selaras dengan apa yang diutarakan oleh
Ban (1999:47), bahwa pengetahuan pertanian banyak dikembangkan dari
percobaan-percobaan sederhana yang dilakukan oleh petani, seperti misalnya saat
mereka menanam tanaman yang bagi daerah itu masih tergolong baru. Dengan
demikian, pengurus poktan sudah berperilaku sebagai seorang ahli (expert), yakni
sebagai sumber informasi dari anggota yang dipimpinnya (Krech and Crutchfield,
1948) (dalam Walgito, 2003:107).
Kegiatan uji coba pertama kali dilakukan oleh Poktan BM pada tahun
2010 (lihat gambaran umum Poktan BM). Ide untuk melakukan uji coba muncul
58
ketika petani dilanda masalah penyakit akar gada pada tanaman kubis. Pernyataan
dari Zaenal dan Makruf akan menjelaskan hal tersebut:
“Karena penyakit akar gada terus ada pak Nick yang awal-awalnya mendampingi
kelompok…. Sudah pernah diadakan demplot di sini, itu dilakukan bersama-sama, setelah
itu kita mencoba di lahan masing-masing. Dari uji coba teknologi custom bio, ternyata
akar gadanya bisa berkurang drastis.” (Zaenal)
“Pak Rebo ngundang saya suruh kumpulan untuk datang mau sosialisasi produk pestisida
dari Amerika, yang membawa pak Nick. Seperti tablet penyubur tanah, pak Nick
mengajak temannya pak Ratno untuk sosialisasi.” (Makruf)
Berdasarkan pernyataan dari Zaenal dan Makruf, maka dapat diketahui bahwa
kegiatan uji coba tersebut dilakukan secara bersama-sama, artinya seluruh
individu poktan dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut difokuskan
untuk mengujicoba kelayakan teknologi dengan merk dagang custom bio yang
difasilitasi oleh Nick T. Wiratmoko, khususnya untuk mengatasi penyakit
tanaman yang dikenal dengan nama akar gada. Hasil uji coba teknologi tersebut
ternyata membuahkan hasil yang positif. Dengan begitu, petani optimis untuk
mencoba di lahannya masing-masing. Rasa optimis itu timbul bukan dari sekedar
pemberian materi tentang teknologi custom bio saja, akan tetapi petani telah
melewati beberapa tahapan atau proses, sehingga timbul rasa antusias untuk
sampai ke tahapan “mencoba” di lahannya masing-masing.
Pernyataan dari Nick T. Wiratmoko berikut ini akan menjelaskan proses adopsi
inovasi teknologi tersebut:
“Dari percakapan dengan pihak penyalur tablet Custom bio, akhirnya disepakati bahwa
tim promosi mereka akan melakukan promosi sekaligus sosialisasi yang memperkenalkan
kegunaan pemanfaatan Custom bio..... Penjelasan langsung dari pihak agensi Custom bio
sangat membantu untuk mencerahkan-menyadarkan kepada petani yang tengah didera
tanaman kobisnya oleh serangan jamur Phytophtora ini. Dalam sosialisasi ini, melalui
layar LCD dan infocus, dijelaskan apa itu Custom bio……. Petani diberikan sampel
Custom bio untuk mencoba sendiri secara terbatas pemakaian Custom bio. Petani masih
sulit percaya. Petani, selama ini, hanya percaya jika sudah ada bukti nyata di lapang.
Dalam pertemuan berikut, agenda yang mengganjal ini dibicarakan. Intinya, petani masih
ada harapan untuk mengatasi serangan jamur Phytophtora ini. Hanya saja masih ada
keraguan untuk menerapkan perlakuan pemakaian Custom bio ini. Akhirnya, ada
semacam usulan bahwa: Pertama, sang PPL menyumbangkan biaya sewa tanah.
Sebidang tanah yang disewa ini kelak akan dibagi dalam 17 bedeng bermulsa. Tanah
disewa dengan ongkos Rp 500.000 dengan luas hamparan sekitar 8 x 12 meter.
Sumbangan ini merupakan bentuk filantrofi PPS lantaran petani sayur ini masih berat hati
untuk mendukung dengan harus mengeluarkan nominal Rupiah, sementara mereka juga
merasa belum yakin dengan hasil demplot. Namun mereka bersepakat untuk
berkonstribusi membeli Custom bionya dengan harga perusahaan. Pada saat yang sama,
59
mereka tetap menanam sayur dengan pola lama. Dengan demplot dan bertanam dengan
pola lama merupakan proses pembelajaran untuk membandingkan. Kedua, ke tujuh belas
bedeng ini akan digarap petani untuk memastikan perlakuan demonstrasi plot dan
sekaligus menyediakan pupuk organiknya. Ketiga, pada kesempatan itu, petani juga
bersepakat untuk melakukan pencatatan terhadap pembandingan dengan tanaman sejenis
yang tidak diberi perlakuan Custom bio. Bukan sekadar pencatatan, tetapi juga
pendokumentasian. Keempat, masih dengan keragu-raguan tetapi juga ada optimisme,
para petani bersepakat jika performance pertumbuhan tanaman kelihatan signifikan
bagus, selain didokumentasikan dengan potret, juga harus mengundang pihak PPL
Kecamatan Getasan.”
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Nick T. Wiratmoko, maka dapat
diketahui tahapan atau proses adopsi inovasi teknologi UT secara lebih detil.
Untuk memecahkan masalah penyakit akar gada, kegiatan ini diawali oleh Nick T.
Wiratmoko dengan membangun komunikasi dengan pihak penyalur produk
custom bio. Lalu, diadakan kegiatan promosi dan sosialisasi mengenai kegunaan
pemanfaatan teknologi custom bio yang materinya dibawakan oleh tim promosi.
Dengan diadakannya kegiatan tersebut, maka tahap “kesadaran” dan tahap
“minat” secara otomatis sudah dilangkahi. Hal ini terjadi karena petani mendengar
tentang inovasi (tahap kesadaran) dan tidak menutup kemungkinan petani merasa
penasaran, sehingga mencari informasi lebih lanjut tentang produk custom bio
dengan cara mengajukan pertanyaan. Setelah kegiatan ini selesai, walau petani
diberikan sampel produk custom bio, akan tetapi petani masih mengalami
keraguan untuk mencobanya (tahap evaluasi). Lalu, untuk melanjutkan ke tahapan
“mencoba”, Nick T. Wiratmoko memberi gagasan untuk melakukan kegiatan uji
coba, bahkan ia bersedia untuk menyumbangkan biaya sewa lahan dengan luasan
8 x 12 meter. Lahan ini diolah kemudian dibuat bedengan dengan jumlah 17 dan
dipasang mulsa. Hal ini dilakukan untuk memicu semangat petani untuk
berpartisipasi dalam kegiatan uji coba. Dengan upayanya tersebut, petani bersedia
untuk membeli produk custom bio sebagai bahan uji coba. Untuk sampai ke
tahapan “adopsi”, petani terlebih dahulu melakukan aktivitas “mencoba”. Pada
tahap ini, 17 bedengan tersebut diberi perlakuan teknologi custom bio dan petani
tetap menanam dengan pola lama di lahan yang lain. Dengan begitu, petani dapat
mengetahui efektifitas produk custom bio, karena terjadi aktivitas
“membandingkan”. Petani juga bersepakat untuk melakukan pencatatan dan
pendokumentasian terhadap pembandingan antara tanaman yang diberi perlakuan
custom bio dengan tanaman sejenis yang tidak diberi perlakuan custom bio. Hasil
60
dari kegiatan uji coba membuktikan bahwa teknologi tersebut bisa diandalkan
untuk mengatasi penyakit akar gada. Dengan begitu, poktan mengundang pihak
PPL kecamatan Getasan, sehingga Poktan BM semakin eksis dan semakin kuat.
Selain adanya dukungan dari Nick T. Wiratmoko, partisipasi dari individu poktan
untuk mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya bisa timbul, karena tujuan
seseorang untuk mengikuti pendidikan, memang selalu berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan, terutama kebutuhan jangka pendek (Mardikanto,
2009:62). Selain itu, partisipasi petani untuk menguji-coba dan mengadopsi suatu
teknologi UT juga disebabkan oleh adanya kebutuhan. Dengan adanya kebutuhan
(need), terutama untuk mengatasi suatu masalah, maka proses untuk menguji-coba
dan mengadopsi sebuah inovasi menjadi lebih cepat. Hal tersebut diutarakan oleh
Iswanto sebagai berikut:
“Proses adopsi itu akan lebih cepat kalau mulai dari kebutuhan, selanjutnya mempercepat
pula kesadarannya.”
Bermula dari kegiatan uji coba teknologi yang didampingi oleh pihak luar,
saat ini pengurus Poktan BM berupaya untuk menggerakkan aktivitas petani untuk
melakukan percobaan terhadap penemuan teknologi baru secara kolektif.
Pernyataan dari Sumadi akan menjelaskan hal tersebut:
“Kalau uji coba seperti pestisida itu biasanya dilakukan secara kelompok. Kalau diuji-
coba hasilnya bagus, tiap anggota bikin sendiri-sendiri.”
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peran menggerakkan aktivitas dalam
melakukan percobaan teknologi tidak dijalankan sesuai dengan uraian tugas
pengurus. Tugas semacam itu seharusnya dijalankan oleh divisi pemberdayaan
yang memiliki tugas memberdayakan semua anggota kelompok dalam hal
penerapan teknologi berbasis pertanian organik. Kenyataannya, peran tersebut
cenderung dijalankan oleh pengurus lainnya, seperti: divisi pertanian atau ketua
poktan. Kesesuaian tugas berdasarkan job description (uraian tugas) tampak pada
seksi perlengkapan yang turut memperlancar jalannya kegiatan percobaan. Bentuk
perannya diutarakan oleh Darwadi sebagai berikut:
“Seksi perlengkapan itu tugasnya menyiapkan perlengkapan pertanian untuk Bangkit
Merbabu. Misalnya ada praktek buat pupuk itu saya yang menyiapkan perlengkapannya."
Mencermati pernyataannya, maka seksi perlengkapan sebagai salah satu bagian
dari pengurus poktan turut menjalankan tugas dalam menyiapkan segala macam
61
perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan praktik atau percobaan terhadap
teknologi, seperti pupuk. Meskipun seksi perlengkapan ini tidak tertera di struktur
organisasi poktan, namun hasil wawancara dengan Makruf berikut ini menyatakan
bahwa seksi gudang merangkap tugas dalam penanganan perlengkapan:
“Seksi gudang itu juga mengurusi perlengkapan.”
Di samping dilakukan secara kelompok, kegiatan uji coba di Poktan BM juga
dilakukan secara perorangan. Hal tersebut umumnya dilakukan oleh petani yang
tergabung dalam kepengurusan poktan. Pernyataan dari Zaenal akan memperjelas
hal tersebut:
“Saya uji coba terlebih dulu, kalau sudah terbukti bagus baru disosialisasikan ke anggota.
Berarti kalau gagal ditanggung saya saja.”
Keadaan semacam itu biasanya timbul karena kegiatan uji coba yang dilakukan
secara perorangan tidak menyita waktu, tenaga, pikiran, dan biaya individu poktan
lainnya. Terlebih lagi jika terjadi kegagalan dalam melaksanakan uji coba, maka
petani dapat mengalami kerugian.
Berdasarkan hasil penelitian di kedua poktan tersebut, maka dapat
diketahui perbedaan dalam hal teknis poktan untuk mengadopsi suatu inovasi
teknologi UT. Kegiatan uji coba pertama kali dilakukan secara mandiri oleh
Poktan Tranggulasi (tahun 2004). Seluruh kegiatan uji coba yang pertama
dihidupkan oleh poktan secara mandiri dan tidak terlepas dari peran penting
pengurus. Poktan BM memiliki perbedaan dengan Poktan Tranggulasi, karena
awal-mulanya, kegiatan uji coba didampingi oleh pihak luar (seperti: Nick T.
Wiratmoko, Suwanto, tim promosi produk custom bio), sampai akhirnya petani
timbul antusias untuk melakukan kegiatan uji coba teknologi. Meskipun begitu,
hal tersebut tidak akan terjadi apabila pengurus poktan tidak berinisiatif
membangun komunikasi dengan pihak luar (Lihat Sub Bab 4.6.2: Peran pengurus
sebagai pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan). Di samping itu,
pengurus poktan berinisiatif mengajak beberapa petani setempat untuk turut
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Saat ini, kegiatan percobaan dan adopsi inovasi di Poktan Tranggulasi
dilakukan secara perorangan atau sekelompok kecil (kepengurusan). Jika terbukti
manjur, teknologi tersebut disebarluaskan atau diperkenalkan kepada seluruh
62
anggota. Meski begitu, secara historis poktan ini pernah melakukannya secara
kolektif. Pengurus Poktan Tranggulasi memegang peranan dalam mengorganisir
wadah percobaan yang dilakukan secara kolektif. Peran pengurus Poktan
Tranggulasi antara lain: menyediakan dan mengatur petani mempersiapkan sarana
dan prasarana untuk uji coba teknologi (seperti: lahan dan pupuk kandang). Selain
itu, pengurus Poktan Tranggulasi berinisiatif membangun komunikasi dengan
pihak yang dirasa berkompeten untuk mengkonsultasikan hasil uji coba yang
dirasa membingungkan. Selanjutnya, pengurus juga bertugas untuk menganalisis
dan mencatat hasil uji coba teknologi. Saat ini, Poktan BM masih melakukan
kegiatan percobaan secara kolektif. Akan tetapi, sama halnya dengan Poktan
Tranggulasi, terkadang uji coba teknologi dilakukan oleh sebagian petani yang
tergabung dalam kepengurusan poktan. Peran pengurus Poktan BM secara umum
adalah pengorganisiran para anggota untuk melakukan kegiatan uji coba, seperti:
menginisiasikan teknologi atau metode yang ingin diujicoba, menyediakan dan
mengatur anggota mempersiapkan sarana untuk melakukan kegiatan uji coba,
melakukan pencatatan mengenai materi atau data yang diperoleh dari wadah
percobaan, menggerakkan aktivitas tiap individu poktan untuk mengujicoba suatu
teknologi di lahannya masing-masing, dan mengkoordinir anggota poktan ketika
ada ajakan atau tawaran dari pihak luar untuk mengujicoba suatu teknologi atau
metode UT. Kedua poktan menunjukkan keadaan yang kurang-lebih sama dalam
aspek subyek pengurus yang menjalankan peran-peran yang diuraikan di atas.
Kesamaannya terlihat oleh pengembanan tugas-tugas tersebut yang tidak sesuai
dengan uraian tugas pengurus poktan yang telah ditetapkan. Meski begitu, studi di
Poktan BM menunjukkan bahwa seksi perlengkapan yang notabene sebagai
pengurus poktan menjalankan peran dalam mempersiapkan kebutuhan
perlengkapan untuk menunjang kegiatan percobaan. Peran tersebut sesuai dengan
job description dari seksi yang bersangkutan. Uraian tugas kedua poktan dapat
dilihat di lampiran skripsi ini (lampiran IV).
Dalam aspek wadah percobaan dan adopsi teknologi, kedua poktan
kurang-lebih mempunyai kesamaan dari segi teknis pelaksanaannya. Partisipasi
seluruh individu poktan dalam wadah ini sudah tercipta, namun terkadang
kegiatan uji coba dilakukan secara perorangan petani. Tidak hanya petani yang
63
tergabung dalam kepengurusan poktan, melainkan sebagian anggota poktan
memiliki kesadaran untuk melakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui
dan menilai tingkat kelayakan dari teknologi yang diuji coba (khususnya di
Poktan Tranggulasi) (Lihat pembahasan tentang “Penyediaan Saprotan” dan
“Budidaya Tanaman”). Perbedaan yang mencolok ada pada aspek penyebarluasan
informasi hasil kegiatan uji coba, dimana Poktan Tranggulasi sedang terkendala
dalam melaksanakan kegiatan tersebut, sedangkan Poktan BM tergolong lancar.
Hal tersebut dikarenakan oleh tidak adanya pertemuan di Poktan Tranggulasi
untuk sementara waktu ini. Sedangkan, kegiatan pertemuan di Poktan BM masih
aktif dan rutin diadakan (Lihat pembahasan tentang “Pertemuan Poktan”). Dengan
demikian, kegiatan penyebarluasan informasi hasil kegiatan uji coba menjadi
mudah dilakukan.
Uji coba teknologi usaha tani dapat dilakukan secara individu maupun
secara kelompok. Kegiatan uji coba dan adopsi dapat diselenggarakan oleh poktan
secara mandiri maupun oleh pihak lain (baik GO maupun NGO). Kegiatan ini
bertujuan untuk menguji kelayakan dari teknologi usaha tani (seperti:
dekomposer, pupuk, pestisida, dan teknologi lainnya) yang kemudian membantu
poktan dalam penyediaan saprotan, budidaya tanaman, dan penanganan pasca
panen. Seperti yang diketahui bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat
inovasi yang rendah. Mereka cenderung menggunakan cara-cara yang mereka
tahu pasti akan menghasilkan. Mereka enggan menggunakan cara-cara baru yang
mungkin menyebabkan kegagalan (Rahardjo, 2010:75-76). Oleh karena itu,
dengan adanya sikap dan kesadaran akan pentingnya melakukan kegiatan
percobaan teknologi, tingkat inovasi petani bisa meningkat. Wadah percobaan dan
adopsi teknologi UT berakibat membentuk sikap sebagian individu poktan (baik
Tranggulasi maupun BM) bahwa kegiatan uji coba merupakan hal yang pertama
kali perlu dilakukan untuk memastikan, apakah teknologi atau metode itu layak
atau tidak?
C. Kegiatan Pendelegasian
Pendelegasian yang ada di poktan diberlakukan dalam beberapa bentuk,
seperti: pendelegasian untuk mengikuti forum pertanian (seperti: pelatihan, rapat,
temu usaha, bazaar, seminar, dan sebagainya) dan pendelegasian tugas maupun
64
wewenang untuk menangani suatu kegiatan poktan. Sebelum membahas lebih
lanjut, perlu adanya pembatasan definisi dari pendelegasian. Pendelegasian untuk
mengikuti forum pertanian didefinisikan sebagai pengutusan individu poktan
untuk hadir dalam forum pertanian. Sedangkan, pendelegasian tugas dan
wewenang yang dimaksud di sini mengandung arti: suatu keadaan dimana
pengurus poktan melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada anggota untuk
menangani suatu kegiatan poktan. Peran pengurus poktan pada wadah belajar ini
diwujudkan dalam bentuk caranya dalam mengorganisir individu poktan untuk
menjadi delegator. Sebagai gambaran awal, kegunaan dengan diadakannya forum
pertanian sebagai wadah diskusi antar petani, pemerintah, dan pemangku
kepentingan lainnya dapat dibuktikan secara konkret melalui kegiatan Farmer
Meeting “Sistem Pertanian Organik” yang diadakan pada tanggal 25 November
2014. Hal ini dapat diketahui melalui pernyataan yang diutarakan oleh Ferdian L.
Hermawan sebagai panitia kegiatan sebagai berikut:
“Dibicarakan dari tanahnya sampai hasilnya. Yang dibahas budidayanya, pasca
panennya, dan pemasaran. Kalau di buku tamu yang hadir sampai 44, tapi itu termasuk
mahasiswa. Kalau petaninya sekitar 31, yang berasal dari Wonosobo, Salatiga, Kopeng,
Karanganyar, dan Sumowono. Yang dibicarakan tanaman hortikultura dan tanaman
pangan juga secara organik. Kegiatan juga diikutsertakan oleh peneliti dari Bogor, jadi
bisa mengetahui dampak penerapan pertanian organik terhadap tanah. Antusias petani
untuk mengungkapkan pendapat termasuk tinggi. Pertanyaannyapun dari kalangan petani
cukup kritis. Penyelenggara program itu dari Balittan. Yang kebanyakan kritis itu petani
yang konvensional, karena mungkin dia teriming-imingi, dia bertanya, masalahnya untuk
beralih ke organik, dia mencari solusi supaya bisa menghasilkan, memproduksi hasil yang
sama ketika dia melakukan secara konvensional. Jadi kendala utamanya ya waktu gus,
untuk sterilisasi lahan.”
Sebagai salah satu contoh forum pertanian, kegiatan farmer meeting “Sistem
Pertanian Organik” sebagai program dari Balai Penelitian Tanah (Balittan), Bogor
ini dihadiri oleh + 44 orang, yang terdiri dari: petani (berasal dari berbagai daerah,
termasuk petani yang berasal dari daerah Getasan, seperti dua poktan dalam
penelitian ini), penyuluh, dosen, tim peneliti dari Balittan, dan mahasiswa.
Agenda yang dibahas dalam kegiatan ini seputar tentang pertanian organik.
Kreatifnya, penyelenggara acara ini mengundang pula petani yang bertani dengan
sistem anorganik. Dengan begitu, kegiatan ini dapat menjadi wadah perangsang
bagi petani tersebut untuk menumbuhkembangkan antusiasnya untuk beralih ke
sistem UT organik. Karena kegiatan ini disertai dengan sesi diskusi, maka para
65
peserta diberi kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengajukan pertanyaan
dan mengungkapkan pendapatnya. Materi pengantar dibawakan oleh pembicara
yang dirasa berkompeten untuk memberikan wawasan awal terhadap para peserta
mengenai dampak positif dari sistem pertanian organik. Kemudian di sesi diskusi,
petani-petani yang telah berpengalaman dalam menerapkan sistem pertanian
organik (seperti: Poktan Tranggulasi dan BM) dapat memberikan masukan atau
keterangan kepada petani yang belum memiliki pengalaman. Dengan memberi
pemaparan akan dampak positif dari sistem pertanian organik, diharapkan para
petani yang bertani dengan sistem anorganik dapat tumbuh sedikit demi sedikit
kemauan untuk beralih ke sistem UT organik.
Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, membuktikan bahwa
pendelegasian untuk mengikuti suatu forum pertanian biasanya dimusyawarahkan
terlebih dahulu di pertemuan rutin poktan. Hal ini dibuktikan melalui pernyataan
dari Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“Kalau ngirim untuk ikut pelatihan biasanya kami tawarkan siapa yang mau berangkat?
Karena tidak semuanya mau. Sebelum berangkat pelatihan, petani dikasih pembekalan.
Kita gilir yang mampu mengikuti, tidak semua anggota mampu mengikuti, artinya yang
tanggungan di rumah lebih banyak, ada yang sudah tua. Kalau pembekalan ada, karena
pasti ada juklak yang harus disampaikan. Setelah mengikuti pelatihan, mereka harus
menyampaikan hasil ke forum secara lisan, jadi semuanya bisa mengetahui. Bintek itu
bimbingan teknik. Bintek itu bisa juga dalam pelaksanaan proyek, artinya misalnya bintek
pasca panen, yang melakukan yang di pasca panen, bintek teknologi alsin, itu yang
melakukan yang ahli-ahli di alsin, jadi dipilih berdasar keahliannya. Jadi pelatihan tidak
harus pengurus, tapi anggotapun bisa. Sekarang kita diminta untuk memberikan
pengalaman, terus menjadi fasilitator, sehingga yang berangkat yang berani bicara di
depan umum, kalau tidak berani bicara tidak bisa. Ketika di Satya Wacana ada seminar
nasional tentang pertanian organik itu saya yang menjadi narasumber.”
Meski begitu, penentuan delegator (petani yang didelegasikan) didasarkan kepada
kemauan dan kemampuan individu poktan. Kemauan berkaitan dengan kehendak
individu poktan untuk dijadikan wakil mengikuti forum pertanian, sedangkan
kemampuan berkaitan dengan kesanggupan individu poktan untuk menjadi
perwakilan poktan dalam mengikuti forum pertanian. Terdapat beberapa kendala
yang dihadapi oleh individu poktan untuk hadir dalam forum pertanian, baik yang
diundang oleh pihak pemerintah maupun swasta. Kendala tersebut antara lain:
banyaknya tanggungan yang harus diemban untuk mengurusi urusan rumah
tangga, kendala umur, maupun ketidakberanian individu poktan. Dengan begitu,
66
poktan ini mensiasatinya dengan cara menentukan individu poktan yang tidak
mengalami kendala-kendala seperti itu. Selain itu, biasanya pengurus poktan
memegang peranan dalam memberikan pembekalan (petunjuk
pelaksanaan/juklak) kepada petani yang dilimpahkan tugas untuk menjadi wakil
dalam forum pertanian. Petunjuk pelaksanaan ini diberikan khususnya bagi petani
yang didelegasikan untuk menjadi wakil dalam mengikuti kegiatan pelatihan
bintek (bimbingan teknik). Pengalaman di Poktan Tranggulasi menunjukkan
bahwa kegiatan bintek yang diikutinya terkadang bersifat spesifik (seperti: bintek
pasca panen, bintek alat dan mesin pertanian, dan sebagainya). Untuk mengutus
petani dalam bintek yang bersifat spesifik seperti itu, biasanya dilakukan dengan
penunjukkan langsung dan disesuaikan dengan bidang yang ditekuni oleh petani
yang bersangkutan. Setelah selesai mengikuti forum pertanian, maka pengurus
poktan mengagendakan pembicaraan tentang hasil forum dan mewajibkan
delegator untuk menyampaikannya secara lisan melalui pertemuan poktan.
Dengan begitu, pelajaran-pelajaran yang telah dipetik oleh delegator ditularkan
kepada petani lainnya, sehingga semuanya bisa mengetahui hasilnya. Saat ini
Poktan Tranggulasi sudah jarang diundang dalam forum pertanian yang berupa
pelatihan, karena akhir-akhir ini memang jarang memperoleh undangan. Akan
tetapi, perwakilan dari poktan sering diminta untuk menghadiri suatu forum
pertanian guna menjadi fasilitator atau pembawa materi (seperti kegiatan
seminar), khususnya tentang pertanian organik. Faktanya, yang sering menjadi
perwakilan untuk mengikuti forum semacam itu adalah pengurus poktan, karena
para anggota enggan untuk mengikutinya. Selain masalah kemauan, biasanya
yang dipercayakan untuk menjadi perwakilan adalah petani yang memiliki
kemampuan, baik dari segi materi maupun kemampuan dalam hal berbicara di
depan orang banyak (public speaking). Hal tersebut juga dibuktikan melalui
pernyataan Suparman dan Ngatimin sebagai berikut:
“Dulu sering ada pelatihan, pernah di surabaya, semarang, di Wonosobo. Saya pernah
ikut pelatihan, jadi anggota punya kesempatan.” (Suparman)
“Studi banding sering diadakan, tapi kalau saya tidak pernah ikut. Yang sering ikut kayak
gitu pak Abdul Wahab, Saefruddin. Itu dimusyawarahkan ke anggota, jadi hasilnya dari
sana ditularkan kepada anggota. Misalnya, caranya budidaya tanaman, caranya buat
pestisida. Sebenarnya bergilliran, tapi anggota-anggota kadang sering tidak mau ikut.
Seperti kemarin diminta berangkat ke Semarang pada tidak mau.” (Ngatimin)
67
Dengan pernyataan itu, maka terbukti bahwa kegiatan forum tersebut memberi
peluang kepada seluruh individu untuk menghadirinya. Di samping itu, delegator
menyampaikan hasil dari forum pertanian, sehingga segala informasi atau ilmu
yang diperolehnya dapat diserap oleh individu poktan lainnya. Berdasarkan
pernyataan Ngatimin, maka dapat dipastikan bahwa antusias para anggota
cenderung rendah. Permasalahan lainnya, beberapa informasi undangan dari pihak
pemerintah maupun swasta terkadang tidak sampai kepada anggota. Hal ini sesuai
dengan yang diutarakan oleh Sumar berikut ini:
“Tiap anggota punya kesempatan untuk ikut pelatihan, tapi kalau saya tidak pernah tahu
informasinya, yang biasanya dapat info itu pengurus. Misal ada program yang tahu
pengurus, kalau anggota sering tidak tahu informasi seperti itu. Misal ada pelatihan kayak
gitu, ketuanya yang nentuin perwakilannya. Informasi pelatihan itu tidak disebarluaskan
oleh pengurus. Instruksi dari pengurus diberikan ketika ada pertemuan, tapi kalau
pertemuannya masih bulan depan, ketua cari orang sendiri untuk berangkat pelatihan.
Tapi kalau undangan pelatihannya diberi sebelum pertemuan kelompok, bisa dibahas
siapa yang mau berangkat. Petani itu sibuk, pekerjaannya tidak bisa ditinggal. Jadi
pekerjaannya harus diselesaikan dulu.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, undangan dari pihak pemerintah maupun swasta
biasanya diberikan melalui pengurus poktan. Akan tetapi, berdasarkan
pengamatan anggota, pengurus seringkali melakukan penunjukkan dan
pengutusan secara langsung terhadap petani untuk hadir dalam forum pertanian.
Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Pitoyo Ngatimin, bahwa penentuan
utusan untuk hadir dalam forum pertanian (tertentu) perlu menyertakan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Kemudian, dapat diketahui bahwa permusyawarahan mengenai petani yang
menjadi utusan forum pertanian biasanya hanya dilakukan apabila waktu
undangan atau pemberitahuan kegiatan forum pertanian bertepatan dengan waktu
pertemuan rutin poktan diadakan. Melalui pernyataan Sumar, juga dapat ditarik
kesimpulan bahwa salah satu hal mendasar yang menjadi kendala bagi petani
untuk menghadiri forum pertanian adalah keterbatasan waktu, karena sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk bercocok tanam. Pihak pengurus poktan
seringkali berusaha menjawab undangan dari pihak luar untuk hadir di forum
pertanian dan upaya itu signifikan terhadap pengembangan pengetahuan individu
poktan mengenai sistem UT organik. Hal tersebut diperlihatkan oleh penjelasan
dari Pitoyo Ngatimin berikut ini:
68
“Dulu sudah pernah dapat info soal PGPR dari PPL, saya mengajarkan ke teman-teman,
temen-temen sini mengajarkan ke petani yang lain. Tapi saya dulu pertama kali dapat info
tentang itu dari IPB, kami sharing dengan temen-temen di sana, lalu kita coba. Kebetulan
saya memang diajak studi banding di IPB. Di sana hanya sehari, tapi menerima ilmu
banyak….. Hasil dari studi banding itu kita bisa membedakan atau membandingkan cara
bertani atau teknologi yang ada di kelompok dan yang di sana. Dari pelatihan itu, kita
bisa menyimpulkan ilmu yang sekiranya bisa diterapkan di kelompok.”
Berdasarkan pernyataannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PGPR (Plant
Growth Promoting Rhizobacteria) sebagai salah satu sarana produksi yang sampai
sekarang masih langgeng digunakan oleh petani dalam melaksanakan UT
merupakan sebagian kecil hasil dari adanya kegiatan pendelegasian. Dapat
diketahui bahwa sebelum memperoleh ilmu tentang PGPR dari PPL, ternyata
ketua poktan sudah pernah berkunjung ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil
dari kunjungan itu, ketua poktan memperoleh informasi tentang PGPR. Setelah
itu, ketua poktan menyebarluaskan ilmu atau informasi tersebut kepada individu
poktan lainnya, sehingga informasi tersebut bisa menjadi salah satu solusi bagi
petani untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi persoalannya dalam UT.
Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin memperjelas bahwa kegiatan studi banding itu
dapat menjadi bahan bagi poktan untuk membandingkan antara metode yang
diterapkan oleh sumber informasi (dalam hal ini IPB) dan metode yang diterapkan
oleh Poktan Tranggulasi. Selain itu, metode atau teknik yang diperoleh dari
sumber informasi dapat dilakukan percobaan terlebih dahulu di hamparan usaha
milik poktan. Dari kegiatan membandingkan dan percobaan tersebut, maka poktan
dapat mengetahui kelayakan dari metode atau teknik yang disebarluaskan oleh
sumber informasi.
Berkaitan dengan pendelegasian tugas atau wewenang untuk menangani
suatu kegiatan, ketua Poktan Tranggulasi mendelegasikan tugas atau
wewenangnya kepada anggota dan/atau pengurus lainnya. Hal ini senada dengan
uraian tugas pengurus poktan, dimana ketua poktan bertugas mengorganisir,
menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan kegiatan kelompok.
Pendelegasian tugas dan wewenang ini biasanya dilakukan untuk menangani
pendampingan tamu. Anggota memiliki peluang untuk menjadi fasilitator ketika
ada tamu yang ingin belajar di Poktan Tranggulasi, khususnya mengenai sistem
usaha tani sayuran secara organik. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan
membuktikan hal tersebut:
69
“Sekarang yang menjadi pendamping kalau ada tamu tidak harus saya, anggota yang lain
juga bisa. Jadi kalau menjadi fasilitator untuk kegiatan, kalau saya tinggal mereka sudah
bisa. Semampu mereka, artinya penyampaian bahasa ke audience beda-beda, ada yang
mampunya menyampaikan di lahan. Tapi kalau di ruangan itu bagian saya. Tapi kalau di
luar, untuk praktek teman-teman bisa kasih materi. Tapi ada juga yang tidak mau bicara.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka ditarik kesimpulan bahwa tiap
individu poktan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyampaikan
materi pelatihan kepada peserta belajar. Sebagian individu poktan hanya sanggup
untuk mendampingi peserta belajar apabila materinya berkaitan langsung dengan
praktek di lapangan. Bahkan, masih ada sebagian anggota yang sama sekali tidak
mau atau tidak sanggup untuk mengemban tugas semacam itu. Berkaitan
pembagian tugas dengan anggota, ketua dan/atau pengurus poktan lainnya lebih
sering memberikan materi yang sifatnya teoritis. Pendelegasian tugas dan
wewenang berguna sebagai salah satu alat untuk melakukan kaderisasi pemimpin,
karena individu poktan dituntut untuk membimbing, menjelaskan tata cara usaha
tani sayuran organik, dan membangun kepercayaan kepada tamu (peserta belajar).
Ketiga aktivitas tersebut merupakan bagian dari prinsip kepemimpinan, karena
individu poktan tersebut dilibatkan dalam memberikan pengaruh supaya tujuan
yang telah digariskan oleh para tamu untuk menggali ilmu di Poktan Tranggulasi
dapat tercapai. Untuk mendidik individu poktan dalam menjalankan fungsi
kepemimpinan, pengurus poktan turut memegang peranan seperti pernyataan dari
Pitoyo Ngatimin berikut ini:
“Pelatihan kepemimpinan ada, caranya itu kadang-kadang saya sengaja kalau ada tamu
saya pergi, itu salah satu teknik saya untuk memberi kesempatan sebetulnya. Tapi saya
memberi kesempatan untuk menangani kegiatan yang tingkat kesulitannya rendah, seperti
kelompok lain melakukan studi banding di sini. Saya membiarkan teman-teman yang
mandu, diantaranya seperti itu. Dengan cara memberi kesempatan, itu diantaranya cara-
cara untuk melatih anggota.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketua poktan sengaja mendelegasikan tanggung jawab kepada individu poktan
lainnya untuk melayani para tamu yang berkunjung ke Poktan Tranggulasi.
Dengan metode yang seperti itu, individu poktan dididik bertanggungjawab untuk
menjaga kelangsungan Poktan Tranggulasi sebagai wadah belajar. Selain itu,
individu poktan dilatih untuk berbicara di depan umum dan membagi pengalaman
yang telah diperolehnya selama berusaha tani sayuran secara organik kepada
70
peserta belajar. Dengan upaya pendelegasian yang seperti itu, diharapkan individu
poktan memiliki kompetensi sebagai pemimpin di generasi yang akan datang.
Walau demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sebagian anggota
poktan yang merasa kurang diberi kesempatan untuk menangani suatu kegiatan
poktan. Pernyataan Wikan Mujiono berikut ini akan memberikan bukti:
“Misalkan dari kelompok tani lain ada kunjungan ke sini, saya tidak mengerti.”
Mencermati pernyataan dari Wikan Mujiono, maka dapat dipastikan bahwa
pengurus Poktan Tranggulasi telah menentukan mentor untuk memfasilitasi
peserta belajar dan telah menentukan individu poktan yang bertugas sebagai
utusan untuk hadir dalam forum pertanian. Akan tetapi, pendelegasian tanggung
jawab ini belum dilakukan secara merata. Sehingga, beberapa individu poktan
merasa tidak dilibatkan untuk mengemban tanggung jawab yang ada di poktan.
Hasil penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa pada awal-mula
poktan merintis UT sayuran organik, pengurus poktan berinisiatif berperan
sebagai delegator dalam memenuhi kebutuhan belajar poktannya. Pernyataan dari
Zaenal akan memperjelas hal tersebut:
“Kita kenal dengan pak Daniel Rudolph sama mas Yusuf Nova dari UKSW. Dia juga
punya bimbingan kelompok di daerah Jelakah, Selo, Kabupaten Boyolali, kami diundang
pelatihan di sana, itu ilmunya dari Filipina. Penjelasannya menggunakan bahasa inggris,
terus Yusuf Purba yang menerjemahkan. Lalu kita mencatat dan saya rangkum. Jadi kita
bisa mengetahui semua informasi yang diperoleh dari pelatihan dan bisa mencari tahu
perbedaannya dan kita juga bisa cari kesamaannya. Materi yang diperoleh itu diantaranya
ada IMO 1 sampai 5, terus OHN, sebagai insektisida alami. Lalu, diajari cara buat pupuk
N, P, dan K, terus diajari cara buat FPJ, FPJ, untuk penyubur yang dari batang tanaman.
Terus FFJ itu khusus buah, rasanya manis, enak, ada fermentasinya di situ, terus kita
rangkum sampai penggunaannya, terus kita praktekan di kelompok ini, jadi dapat info itu
langsung kita praktekan.”
Berdasarkan pernyataan Zaenal, maka dapat diketahui bahwa beberapa individu
yang tergabung dalam kepengurusan poktan berpartisipasi mengikuti pelatihan di
daerah Jelakah, Selo, Kabupaten Boyolali. Kebetulan di daerah tersebut ada
poktan yang dibimbing oleh Yusuf N. S. Purba dan Daniel Rudolph. Pelatihan
yang difasilitasi oleh kedua orang tersebut membahas tentang kegunaan dan
teknik pembuatan teknologi pertanian organik yang diadopsi dari Filipina.
Teknologi pertanian organik yang diperkenalkan dalam pelatihan meliputi:
Indegenous Microorganism (IMO) 1-5 (sebagai pupuk hayati), Fermented Plant
71
Juice (FPJ) dan Fermented Fruit Juice (FFJ) (sebagai zat pengatur tumbuh alami
dan starter pemicu aktivitas mikroorganisme tanah, dan dekomposer), Oriental
Herbs Nutrient (OHN) (Pestisida alami), dan pupuk tunggal organik (pupuk N,
pupuk P, dan pupuk K) (lihat lampiran VI). Penumbuhkembangan keyakinan
individu Poktan BM dalam menerapkan teknologi yang direkomendasikan dalam
pelatihan tersebut didasarkan oleh adanya inisiatif pengurus poktan. Pertama,
ketika pelatihan itu berlangsung, para pengurus poktan berinisiatif mencatat dan
merangkum materi-materi yang dibawakan oleh fasilitator. Lalu, dari hasil
rangkuman tersebut pengurus dapat mengetahui letak perbedaan dan persamaan
resep-resep teknologi pertanian yang diperkenalkan di pelatihan, sehingga
pengurus poktan terbantu dalam menarik kesimpulan tentang kegunaannya. Di
samping itu, pengurus terbantu dalam penyusunan rangkuman teknik pembuatan
saprodi yang diajarkan. Selanjutnya, teknologi itu diperkenalkan oleh pengurus
kepada seluruh individu dalam poktan dan dipraktekan. Dari kegiatan praktek,
individu poktan dapat menilai tingkat kelayakannya.
Pernyataan Zaenal didukung oleh Makruf sebagai berikut:
“Dulunya pelatihan tentang IMO itu dilakukan di Selo Pentongan, Klakah, Merapi. Tidak
hanya dekomposer IMO, tapi juga diajari cara buat pupuk dan pestisida nabati. Pelatihan
itu bukan dari dinas, melainkan dari pihak swasta, kami diajak.”
Dari pernyataan Makruf maka dapat dipastikan bahwa pelatihan di daerah Selo
bukan merupakan program dari pihak pemerintah, melainkan dari pihak swasta.
Ilmu-ilmu tentang teknologi pertanian organik yang diperoleh dari pelatihan itu
betul-betul dipraktekan. Terbangunnya relasi antara Poktan BM dengan pihak
swasta yang memberikan pelatihan tentang teknologi pertanian organik tersebut
dijelaskan melalui pernyataan dari Yusuf N.S. Purba sebagai berikut:
“Sebenarnya di kelompok Bangkit Merbabu itu sudah mulai menerapkan pertanian
organik, tapi waktu itu konsepnya belum begitu jelas. Akhirnya saya perkuat konsep
pertanian organiknya, saya ajari mereka dan saya pertemukan mereka dengan pak Daniel
dan beliau punya niat untuk membantu…. Saya bantu Bangkit Merbabu untuk bangun
jaringan, lalu saya datangi orang dari Filipin lewat perantara pak Daniel itu. Setelah itu,
kami mengadakan pelatihan, seperti cara pembuatan dekomposer dengan nama IMO.”
Dari pernyataan itu, maka dapat diketahui bahwa Yusuf N.S. Purba mulai
mengenal Poktan BM sejak awal-mula poktan ini merintis sistem UT secara
organik. Yang menjadi daya tarik bagi Yusuf N.S. Purba untuk mengenal Poktan
BM adalah semangatnya BM untuk berupaya melakukan peralihan dari sistem UT
72
anorganik ke sistem UT organik. Akan tetapi pada saat itu, poktan ini belum
begitu mengenal teknologi organik untuk menerapkan sistem UT sayuran.
Kemudian, ia membantu poktan dalam membangun jaringan dengan Daniel
Rudolph sebagai pihak yang telah mempunyai pengalaman dalam bidang tersebut.
Dengan begitu, Poktan BM memperoleh banyak informasi yang dapat
dimanfaatkan sebagai unsur penunjang keberhasilan UT sayuran organiknya.
Kemudian, bagaimana asal-muasal poktan ini sehingga dapat mengadopsi ilmu-
ilmu tentang teknologi pertanian organik dari Filipina? Pernyataan dari Daniel
Rudolph akan menjelaskan hal tersebut:
“Pada waktu saya ke merapi, saya bertemu dengan pak Zaenal dan teman-teman dari
kelompok Bangkit Merbabu. Ketika itu, saya lihat kondisi petani dan kebetulan saya
punya pengalaman dengan hal semacam ini. Dengan begitu, saya ingin membantu. Saya
pikir kalau mau beralih ke pertanian organik, maka harus fokus dengan peningkatan
kualitas tanah, saya pikir itu langkah pertama……. Sering orang beranggapan untuk
beralih ke pertanian organik langsung menghilangkan pemakaian bahan kimia sintetik. Itu
bisa, tapi kalau tidak langsung tambah pupuk organik, produksi bisa menurun…….. Saya
bantu kelompoknya pak Zaenal ketika saya lihat perhatian dan semangat mereka.
Akhirnya, saya ajak mereka berkunjung ke lahan pertanian di Bandung beberapa tahun
yang lalu. Kami juga membantu mereka untuk bertemu orang yang punya pemahaman
tentang cara bertani organik, orang itu berasal dari Filipina. Saya bantu mereka untuk
bertemu dengan petani yang sudah memiliki keberhasilan dalam bertani organik.”
Sesuai dengan yang diutarakan oleh Daniel Rudolph, bahwa Poktan BM dilatih
untuk fokus terlebih dahulu pada peningkatan kualitas tanah. Poktan ditekankan
untuk tidak secara spontan atau langsung menghilangkan unsur-unsur kimia
sintetik dalam menerapkan budidaya tanaman. Akan tetapi, usaha untuk
mengurangi bahan-bahan yang mengandung kimia sintetik harus diiringi dengan
memperbanyak penggunaan saprodi berbahan organik (seperti: pupuk kandang).
Karena apabila tidak diiringi dengan perbanyakan penggunaan saprodi organik,
produksi akan turun secara drastis. Di sela-sela peralihan itu, Poktan BM
difasilitasi untuk melakukan kunjungan lapangan di lahan pertanian organik yang
berlokasi di Bandung. Selain itu, ia memperantarai Poktan BM untuk membangun
jaringan dengan pihak yang berasal dari Filipina, yang telah berhasil dalam
berusaha tani secara organik. Dengan terbangunnya jaringan, maka banyak
informasi yang bisa diperoleh oleh Poktan BM mengenai teknik penyediaan
saprodi dan teknik budidaya tanaman secara organik. Mencermati kasus yang
dinyatakan oleh Yusuf N.S. Purba dan Daniel Rudolph, maka dapat diungkapkan
73
makna bahwa terbangunnya sebuah relasi antara Poktan BM dengan pihak luar
disebabkan oleh adanya usaha sekelompok petani untuk sedikit demi sedikit
beralih ke UT secara organik. Berawal dari usaha itu, maka individu poktan
memperoleh kesempatan dan undangan untuk hadir dalam forum pertanian.
Setelah kejadian tersebut di atas, Poktan BM tertanam kesadaran bahwa
kegiatan pendelegasian ke sumber informasi merupakan hal yang bernilai untuk
mengakumulasi pengetahuan dan keterampilan individu poktan dalam UT sayuran
secara organik. Penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa saat ini seluruh
individu poktan diberi kesempatan bahkan diwajibkan untuk menjadi utusan
dalam forum pertanian, baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun
swasta. Pernyataan dari Rochmad akan memberikan bukti konkret akan hal
tersebut:
“Kalau ada kesulitan menangani teknis budidaya, kelompok sini mengikuti kegiatan
pelatihan yang ada, berarti kunjungan.... Setelah selesai pelatihan itu, ilmunya kita
pecahkan dan catat bersama. Lalu kita coba. Ini nanti semua anggota digilir mas.
Sekarang sudah merata, semua anggota sudah ikut pelatihan. Yang tidak diutus ikut
pelatihan itu ketua. Kalau digilir seperti itu, nanti ilmunya itu merata mas, ada kewajiban
hasilnya harus diberikan kepada kelompok di pertemuan.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan Rochmad, maka dapat terbukti, ketika
petani dihadapi dengan kesulitan dalam usaha tani, poktan mengambil kesempatan
untuk hadir dalam forum-forum pertanian dengan harapan permasalahan UT-nya
dapat teratasi. Ilmu-ilmu yang diperoleh dari pelatihan dicatat, dipelajari bersama,
dan dilakukan percobaan secara kolektif. Penentuan individu poktan untuk
menjadi utusan dilakukan dengan metode “bergilir”. Dengan metode seperti itu,
diharapkan tidak terjadinya kesenjangan sosial dalam poktan dan tiap individu
dididik bertanggung jawab untuk menggali informasi lewat forum-forum
pertanian, baik yang berkaitan dengan pengembangan UT, maupun
pengembangan organisasi poktan. Untuk mewujudkan kesama-rataan tanggung
jawab tiap individu dalam pendelegasian, seorang pengurus poktan bertugas
mengendalikan perilaku anggota dan kelompok itu sendiri (Gerungan, 1966)
(dalam Walgito, 2003:107). Sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, poktan ini
juga mewajibkan kepada utusan untuk menyebarluaskan atau melaporkan hasil
atau informasi yang diperoleh dari forum pertanian.
Pernyataan dari Rochmad dipertajam oleh Makruf sebagai berikut:
74
“Dulu ikut pelatihan di Suropadan tentang budidaya tanaman, SOP. Jadi di sana itu yang
penting pestisida kimianya itu tidak melebihi dari standar pabrik. Kalau di sini tidak
menggunakan bahan kimia buatan sama sekali dalam proses budidayanya. Yang
mengadakan pelatihan itu dinas kabupaten Semarang…… Tiap anggota digilir,
bergantian ikut pelatihan, jadi semua punya kesempatan yang sama. Dari anggota punya
kemauan, karena memang ditugaskan, jadi anggota yang belum pernah tetap mau ikut,
karena kita cari ilmu.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa individu
poktan didelegasikan untuk menjadi utusan dalam forum pertanian. Individu
poktan yang turut berpartisipasi dalam forum pelatihan berpeluang untuk menilai
atau mengevaluasi informasi-informasi yang diperolehnya.
Hasil wawancara dengan Budiyati dan Rebo Wahono juga memperlihatkan bahwa
pendelegasian tanggung jawab untuk mengikuti forum pertanian dilakukan secara
merata.
“Saya sudah pernah ke Suropadan, ikut pelatihan tentang organik.” (Budiyati)
“Saya pernah ikut pelatihan pasca panen di Bogor, diadakan selama seminggu. Itu
programnya dinas.” (Rebo Wahono)
Poktan BM juga melakukan pendelegasian tugas dan wewenang ketika
salah satu bagian di badan kepengurusan poktan mengalami kesulitan untuk
memikul tanggung jawabnya. Pernyataan dari Sumadi akan memperjelas hal
tersebut:
“Saya menangani uang dalam jumlah besar. Saya berbagi tugas dengan pak Yono dan
Pak Pilih, kalau pak Yono itu menangani keuangan yang bersumber dari luar, kalau pak
Pilih nangani iuran mingguan kelompok tani.”
Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Sumadi selaku
bendaha poktan melimpahkan tugas kebendaharaan kepada individu lain, yakni
Suyono dan Supilih. Sumadi berorientasi terhadap pengelolaan uang dalam
jumlah besar, seperti: kas kelompok dari hasil penjualan sayuran, dana hibah, dan
dana lainnya yang nominalnya besar. Kemudian, Suyono menangani keuangan
yang ada hubungannya dengan sub kelompok dan Supilih berorientasi pada
pengelolaan kas yang bersumber dari iuran individu poktan tiap minggu (rutin).
Kegiatan pendelegasian di Poktan BM juga berpeluang untuk menciptakan
kesetaraan gender. Hal tersebut terlihat dari adanya wewenang dan kesempatan
wanita tani untuk menjadi peserta (utusan) dalam pertemuan rutin yang diadakan
oleh poktan. Pernyataan dari Pandi akan membuktikan hal tersebut:
75
“Waktu malam minggu saya sedang berhalangan untuk hadir dalam kumpulan, saya izin.
Kalau seperti itu istri saya yang berangkat ke kumpulan, jadi ada perwakilannya. Kalau
ada perwakilannya infonnya bisa diketahui.”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa wanita tani telah diberi kesempatan dalam
mengambil posisi strategis untuk berperan penting dalam mengembangkan
poktan. Alhasil, ketika poktan berkembang, maka berdampak pula pada
peningkatan taraf hidup rumah tangga petani.
Berlandaskan hasil penelitian di kedua poktan tersebut, maka dapat
diketahui adanya perbedaan dan persamaan dalam menerapkan sistem
pendelegasian, baik untuk mengikuti forum pertanian, maupun pendelegasian
tugas dan wewenang dalam menangani suatu kegiatan poktan. Di Poktan
Tranggulasi, penentuan utusan petani untuk hadir dalam forum pertanian
disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan petaninya. Oleh karena itu, anggota
poktan seringkali tidak merespon positif ketika ditunjuk sebagai delegator. Untuk
itu, pengurus poktan mengambil alih tanggung jawab anggota untuk menjadi
peserta delegator. Berbeda dengan Poktan BM yang mewajibkan seluruh individu
untuk menghadiri forum pertanian ketika ada kesempatan. Upaya kedua poktan
ketika awal-mula berusaha tani sayuran organik menjadi daya tarik bagi pihak
luar, sehingga poktan memperoleh kesempatan dan undangan untuk berkunjung
ke sumber informasi. Dalam hal tersebut, studi kasus di Poktan Tranggulasi
menunjukkan ketika pengurus melakukan kunjungan ke sumber informasi (misal:
IPB). Sedangkan, Poktan BM memperlihatkannya ketika individu poktan
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi mengikuti pelatihan di daerah Jelakah,
Selo, Kabupaten Boyolali. Kunjungan ke sumber informasi yang dilakukan oleh
kedua poktan tersebut bertujuan untuk mengenal teknologi pertanian organik,
sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan semakin
terakumulasi untuk meningkatkan UT sayuran organik dan menjaga kelangsungan
usahanya. Penentuan utusan umumnya dikoordinir oleh pengurus poktan. Lalu,
kedua poktan ini sama-sama mewajibkan utusan forum pertanian untuk
melaporkan hasil atau informasi yang diperolehnya. Dengan begitu, semakin
banyak poktan menghadiri forum pertanian, maka semakin terakumulasi atau
terhimpunnya suatu informasi sebagai bahan masukan bagi individu poktan untuk
76
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, baik untuk pengembangan
UT maupun pengembangan organisasi poktan.
Masing-masing poktan memiliki cara yang berbeda dalam hal
pendelegasian tugas dan wewenang. Poktan Tranggulasi mengarahkan
pendelegasian tugas dan wewenang terhadap pendampingan tamu yang menjadi
peserta belajar, sedangkan Poktan BM melakukannya ketika salah satu bagian di
badan kepengurusan poktan mengalami kesulitan untuk memikul tanggung
jawabnya. Hal tersebut turut diakui oleh Andi Raujung sebagai berikut:
“Seperti di Bangkit Merbabu dan Tranggulasi kalau ketuanya tidak ada, anggota itu sudah
bisa menangani.”
Selain itu, Poktan BM membuktikan bahwa kegiatan pendelegasian wewenang
atau tugas juga berpotensi untuk menciptakan kesetaraan gender antara pria tani
dan wanita tani, karena keduanya memiliki peran yang strategis, baik untuk
mengembangkan UT-nya, maupun untuk mengembangkan organisasi poktannya.
4.6.2 Peran Pengurus Sebagai Pembangun Relasi untuk Kebutuhan Belajar
Poktan
Ketika individu poktan membutuhkan informasi atau ilmu tentang tata cara
berusaha tani, maupun berorganisasi dalam poktan dan kebutuhan tersebut tidak
dapat dijawab oleh individu dalam poktan, maka pengurus bertindak sebagai
pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan.
Sampai sejauh ini, ketika ada persoalan (terutama persoalan UT) yang
tidak bisa diatasi oleh Poktan Tranggulasi secara mandiri, pengurus poktan
memegang peran untuk membangun relasi dengan pihak lain guna mengatasi
persoalan tersebut. Ketika awal-mula Poktan Tranggulasi merintis UT sayuran
organik, pengurus poktan berinisiatif untuk mengundang narasumber guna
memberikan penyuluhan. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan dari Sri Jumiati
sebagai berikut:
“Kalau misalnya ada hal-hal yang sekiranya anggota belum tahu, bisa diberi tahu. Seperti
dulu kita pernah mengundang narasumber PPL untuk memberi penyuluhan.”
Sri Jumiati berstatus sebagai seksi pemberdayaan. Selaras dengan uraian tugas
pengurus Poktan Tranggulasi, seksi pemberdayaan bertugas meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan anggota kelompok, baik melalui pelatihan, kursus,
77
maupun magang. Kemudian, pernyataan dari Wikan Mujiono berikut ini akan
menjelaskan betapa penting peran pengurus poktan dalam mencari atau menggali
informasi untuk memenuhi kebutuhan belajar poktannya.
“Kalau informasi pertanian itu biasanya dari kelompok menyebarluaskan ke anggota….
Saya dapat ilmu pertanian paling banyak dari pak Pitoyo dan pak petrus.... Yang paling
banyak mengerti tentang informasi atau peluang itu pak Pitoyo. Informasi apapun dan
dari manapun yang tahu pak Pitoyo.”
Menanggapi pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya
pengurus poktan untuk membangun relasi dilakukan ketika anggota poktan
mengalami kebingunan dalam mengatasi permasalahan UT. Di samping itu,
anggota poktan beranggapan bahwa pengurus poktan (khususnya ketua) sebagai
sumber informasi dan aktor yang mampu membaca peluang untuk meningkatkan
fungsi poktan ini sebagai wadah belajar.
Ketika Poktan BM ingin beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem
UT organik, pengurus poktan membangun relasi dengan pihak lain. Hal ini
dibuktikan melalui pernyataan Suwanto berikut ini:
“Kebetulan di sana ada seperti penyakit yang sulit ditangani. Petani di sana mengenal
dengan nama akar gada. Ada petani yang menyampaikan keluhan itu ke saya……..
Kebetulan petani itu teman saya, namanya Pak Pilih…. Kebetulan teman saya kenal
dengan pak Nick Tunggul, kita dipertemukan terus saya minta bantuan ke beliau dan kita
pecahkan permasalahan itu menjadi terselesaikan.”
Dari pernyataan Suwanto, maka dapat diketahui bahwa pengurus Poktan BM
berinisiatif membangun komunikasi dengannya untuk mengatasi penyakit akar
gada. Jika dicermati dari pembahasan di sub bab sebelumnya, penyakit akar gada
merupakan hal yang melatarbelakangi poktan ini untuk beralih ke sistem UT
organik. Dengan adanya komunikasi itu, Suwanto membantu poktan dalam
membangun komunikasi dengan Nick T. Wiratmoko supaya masalah tersebut
dapat teratasi. Komunikasi antara Suwanto dan Poktan BM juga melibatkan pula
anggota poktan. Keterlibatan anggota dalam komunikasi tersebut berkat adanya
usaha pengurus poktan untuk mengundang anggota. Hal tersebut terbukti dari
pernyataan Umar berikut ini:
“Saya bisa kenal dengan pak Wanto itu karena dulunya saya diajak ngobrol-ngobrol
sama pak Pilih di rumahnya.”
78
Perbedaan peran antara pengurus poktan dengan pihak di luar Poktan BM untuk
beralih dari UT anorganik menjadi organik terletak pada model penyediaan
saprotan. Hal tersebut diperjelas oleh Suwanto sebagai berikut:
“IMO itu setelah tersentuh mas, sebelumnya dia sudah punya pupuk, tapi baru sebatas
pupuk cair dari air kencing…… Setelah itu berkembang, kita kenalkan untuk buat pupuk
cair bukan hanya pakai air kencing saja, tapi dikasih tetes tebu, akhirnya mereka bisa
mengembangkan sendiri….. Yang padat itu kotoran sapi yang sudah kering dirajang,
nanti kalau sudah jadi bentuknya seperti tanah. Kalau pupuk cair itu mereka sudah bisa
memfermentasi sendiri. Lalu dulu itu mereka belum bisa memfungsikan mesin perajang.
Akhirnya kita yang turun membantu menjelaskan cara mengoperasikan mesin itu.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebelum Poktan
BM terjamah oleh pihak luar, teknologi yang digunakan oleh petani masih
terkesan tradisional, misalnya hanya mengandalkan kotoran hewan (baik padat
ataupun cair) sebagai pupuk, tanpa melalui pengolahan. Di samping itu, petani
belum memiliki keterampilan dalam mengoperasikan alat dan mesin pertanian
yang sebenarnya sudah tersedia. Keberadaan pihak luar membantu individu
poktan dalam mengenalkan teknik-teknik untuk berusaha tani (terutama dalam hal
penyediaan atau penanganan saprotan).
Dalam konteks peran pengurus dalam membangun relasi untuk kebutuhan
belajar poktan, perbedaannya terlihat ketika individu Poktan Tranggulasi dilanda
masalah, pengurus poktan berinisiatif untuk mengundang narasumber guna
memberikan penyuluhan. Ketika awal-mula Poktan Tranggulasi merintis usaha
tani sayuran organik, pengurus yang memiliki tanggung jawab utama dalam
penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan mengundang narasumber adalah seksi
pemberdayaan. Di sisi lain, pembangunan relasi untuk kebutuhan belajar poktan
di Bangkit Merbabu terlihat ketika poktan beralih ke sistem UT organik, karena
pengurus membangun komunikasi dengan pihak lain untuk mengatasi penyakit
akar gada. Berawal dari situlah, poktan ini terbangun sikap dan kesadarannya akan
pentingnya penerapan sistem UT organik.
Selama berlangsungnya usaha tani sayuran organik, banyak permasalahan
yang dihadapi oleh kedua poktan tersebut. Ketika poktan mengalami kesulitan
untuk mengatasi suatu permasalahan secara mandiri, pengurus berinisiatif dalam
membangun relasi dengan pihak lain, khususnya untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan itu. Dari hasil penelitian, dapat terlihat bahwa pembangunan relasi
79
merupakan salah satu kegiatan yang signifikan untuk mengakumulasi atau
memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, baik dalam
pengembangan UT maupun pengembangan organisasi poktan. Ketika diselaraskan
dengan teori Gerungan (1966) (dalam Walgito, 2003:107), pengurus poktan
bertugas sebagai juru bicara kelompok yang dipimpinnya (spokeman of the
group). Dimana, seorang pemimpin dapat merasakan atau menerangkan
kebutuhan-kebutuhan kelompok yang dipimpinnya ke dunia luar, baik mengenai
sikap kelompok, tujuan, harapan-harapan ataupun hal-hal lain.
4.6.3 Peran Pengurus Poktan dalam Komunitas Petani Organik
(KOMPOR) Merbabu dan Pengelolaan Standar Operasional
Prosedur (SOP)
Pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Komunitas Petani
Organik (KOMPOR) Merbabu merupakan hasil kesepakatan bersama dari tiga
poktan yang ada di desa Batur dan desa Kopeng. Tiga poktan yang dimaksud,
meliputi: Poktan Tranggulasi (Dusun Selo Ngisor, Desa Batur), poktan
Mardisantoso (Dusun Sidomukti, Desa Kopeng), dan Poktan Bangkit Merbabu
(Dusun Kaliduren, Desa Batur). Gapoktan KOMPOR Merbabu memfasilitasi
kegiatan, baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Fasilitasi kegiatan bersama di
sektor hulu terlihat dari adanya usaha kolektif tiga poktan ini untuk menyusun
sebuah standar operasional prosedur (SOP). SOP ini terdiri dari berbagai macam
kegiatan di sektor hulu, seperti teknis penyiapan lahan, teknis penyiapan benih,
teknis pembibitan, teknis penanaman, teknis perawatan tanaman, teknis
pemanenan, disertai pula dengan teknis budidaya tanaman sayuran secara spesifik
dan teknis pembuatan pupuk, MOL, dan saprotan lainnya. Kemudian, di sektor
hilir, terdapat SOP yang berisikan tentang tata cara penanganan pasca panen. SOP
yang disusun oleh Gapoktan KOMPOR Merbabu masih bersifat umum. Oleh
karena itu, sebagai turunan dari SOP gapoktan KOMPOR Merbabu, tiap-tiap
poktan (anggota KOMPOR Merbabu) menyusun dan memiliki SOP yang lebih
spesifik (khusus), baik dari segi wilayah dan sumber daya lahannya, maupun dari
segi daya kreativitas poktan yang bersangkutan.
Dokumentasi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pengurus tiap
poktan yang tergabung memegang status atau jabatan yang penting dan strategis
80
dalam gapoktan KOMPOR Merbabu. Sejalan dengan wujud nyata kegiatan yang
terdapat di gapoktan KOMPOR Merbabu, yakni penyusunan SOP, maka pengurus
tiap poktan memegang peran sentral untuk memperkuat dan meningkatkan fungsi
poktan sebagai unit belajar. SOP berfungsi sebagai pedoman atau panduan petani
dalam melakukan proses produksi, baik di sektor hulu maupun hilir. Inilah wujud
nyata kegiatan bersama yang dilakukan oleh ketiga poktan yang tergabung dalam
gapoktan KOMPOR Merbabu. Intisari sub bab ini lebih menitikberatkan peran
pengurus poktan sebagai pihak yang mewakili kelompok ke luar (as external
group representative), yaitu pemimpin mewakili kelompoknya ke dunia luar
kelompoknya. Pemimpin sebagai cerminan sifat-sifat ataupun kepribadian
kelompok yang dipimpinnya (Walgito, 2003:207). Pembahasan sub bab ini
dilakukan dengan cara merangkum, memadukan, dan menginterpretasikan data-
data, baik yang diperoleh di Poktan Tranggulasi maupun Poktan BM.
Peran penting dan strategis pengurus tiap poktan dalam gapoktan
KOMPOR diawali dengan pernyataan oleh Suwadi sebagai berikut:
“KOMPOR itu gabungan dari tiga kelompok tani, jadi ada yang merangkap pengurus,
menjadi pengurus di masing-masing kelompok, tapi juga menjabat sebagai pengurus di
KOMPOR. Seperti saya, sekretaris kelompok dan sekretaris KOMPOR, lalu pak Zaenal
itu ketua dari Bangkit dan merangkap di sekretaris KOMPOR. Karena untuk
kepengurusan kalau tidak diambil dari pengurus di kelompok kinerjanya akan
membingungkan mas. Misalkan cuma anggota di kelompok, kemudian diangkat jadi
pengurus di KOMPOR, padahal KOMPOR itu istilahnya levelnya lebih tinggi dari
kelompok, nanti akan bingung dalam pengelolaannya. Kalau sudah kerja jadi pengurus di
kelompok, kemudian kerja di gapoktannya sudah mengerti tata cara berorganisasi, lalu
bisa menangani administrasinya. Apa yang dimengerti di kelompok, kemudian
dikembangkan di gapoktan, seperti itu.”
Berdasarkan pernyataan Suwadi, rata-rata pengurus poktan merangkap jabatan di
kepengurusan KOMPOR, karena pengurus poktan dipercaya mampu untuk
mengorganisir dan mengurus segala hal di KOMPOR. Selain itu, baik kekuatan
dan kelemahan yang disadari oleh masing-masing pengurus poktan dapat menjadi
bahan masukan untuk pengembangan KOMPOR.
Salah satu capaian nyata yang dilakukan oleh KOMPOR adalah
perancangan dan penyebarluasan SOP (Standar Operasional Prosedur) sebagai
pedoman petani untuk menerapkan sistem UT. Meski begitu, perlu diketahui
bahwa SOP KOMPOR merupakan hasil pengembangan dari SOP poktan yang
81
telah disusun terlebih dahulu. Hal tersebut dibuktikan melalui pernyataan Pitoyo
Ngatimin berikut ini:
“Ada tukar pengalaman antar petani kelompok tani di forum gapoktan KOMPOR…..
SOP itu dibicarakan dan disusun sebelum terbentuknya KOMPOR. Pembuatan SOP itu
berdasarkan pembahasan dari teman-teman kelompok tani, maka sumbernya SOP itu dari
temen-temen kelompok Tranggulasi. Yang pertama kali mempunyai SOP itu Tranggulasi,
itu tiap sayuran ada SOP-nya. Itu dibicarakan ketika rapat bulanan. Untuk penulisannya
dibantu PPL, karena petani jarang yang bisa menulis seperti itu.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa
pembentukan KOMPOR diutamakan fungsinya sebagai wadah bertukar
pengalaman. Kemudian, dapat dipastikan bahwa sebelum dirancang SOP
KOMPOR, Poktan Tranggulasi telah memiliki SOP sebagai hasil dari diskusi dan
musyawarah-mufakat yang dilakukan oleh seluruh individu poktan. Dengan kata
lain, SOP KOMPOR bersumber dari SOP Poktan Tranggulasi. Diskusi dan
musyawarah-mufakat tentang SOP Poktan Tranggulasi dilakukan di wadah
pertemuan rutin. Oleh karena itu, ketika SOP Poktan Tranggulasi sudah tuntas
disusun, tidak perlu ada lagi sosialisasi untuk anggota, karena anggota juga turut
berperan serta dalam penyusunannya. Kemudian, dalam hal penyusunannya, PPL
banyak membantu, karena petani kurang memiliki kemampuan tulis-menulis.
Mencermati keadaan yang demikian, maka ada pembagian tugas yang
proporsional antara petani dan PPL.
Pembahasan berikut ini lebih ditekankan pada teknis penyusunan SOP.
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, terdapat pembagian peran antara petani
dan PPL dalam rangka penyusunan SOP. Pernyataan Suwadi berikut ini akan
memperjelas hal tersebut, sekaligus lebih memperjelas manfaat SOP bagi poktan
lain yang ingin bergabung ke KOMPOR:
“Ada pendampingan buat SOP dari PPL, dalam hal administrasi PPL itu sangat
membantu. Karena PPL itu memiliki kedekatan dengan anggota kelompok tani….. Itu
dalam jeda waktu satu setengah tahun kita bikin SOP itu sudah 25 item sayuran, sekarang
permintaan dari pasar sudah 40 item, nanti kedepannya lagi akan berkembang selalu.
Dinas itu lebih memfasilitasi ke masalah administrasi, karena kalau petani untuk
penyusunan kalimat, pembukuan seperti ini bukan keahliannya. Tapi sebenarnya petani
itu menyimpan ilmu yang jarang dibahasa-tuliskan, istilahnya begitu. Ilmu itu sebenarnya
ada di pikiran petani, tapi petani enggan untuk mencetuskan di dalam suatu tulisan,
kelemahannya petani itu di situ. Karena petani itu dilatarbelakangi dengan pendidikan
yang cenderung rendah. Tapi sebenarnya petani bisa mencetuskan suatu gagasan atau ide-
ide mengenai budidayanya. Dari dinas membantu, terutama untuk penyusunan, agar
mudah dipahami. Ketika ada anggota atau petani lain yang mau bergabung, kalau itu
tidak disusun di suatu buku dalam bentuk tulisan kami kerepotan. Kalau cuma penjelasan
82
secara lisan mungkin ada petani yang bisa menerima, tapi ada yang tidak mudah bisa
memahami. Maka dari itu, diperlukan SOP mengenai budidaya. Yang turut membantu itu
dari dinas kecamatan sampai dinas provinsi, karena itu juga merupakan suatu program
dari dinas sebenarnya.”
Berdasarkan pernyataan Suwadi, maka dapat dipastikan bahwa ada sinergitas
antara petani dan PPL dalam menyusun SOP. Sinergitas berarti fungsi dan sumber
daya oleh masing-masing pihak (petani dan PPL) diberdayakan untuk mencapai
tujuan, yakni tersusunnya SOP (Wirawan, 2013:70). Berkaitan dengan masalah
pembagian peran untuk penyusunan SOP, pernyataan Sutopo dan Suwalim berikut
ini turut mendukung dan memperlengkap hal tersebut:
“Urusan tulis-menulis kalau petani tidak biasa. Ilmu budidaya jelas lebih tinggi petani,
ketika diminta untuk menerjemahkan ke dalam tulisan itu petani bingung mas. Istilah-
istilah pertanian itu kebanyakan petani tidak paham. Selain budidaya, di SOP itu ada cara
penanganan pasca panen, termasuk cara kerja alatnya. Isinya SOP itu mulai dari
pengolahan lahan sampai dengan pasca panen mas. Kemudian, setiap item tanaman, ada
25 item itu ada SOP-nya.” (Sutopo)
“Untuk administrasi kami membantu kelompok tani. Pembuatan dokumen sistem mutu
itu, dari SOP dan lain sebagainya saya yang buat, contohnya seperti di Bangkit Merbabu
itu. KOMPOR Merbabu itu juga pendampingannya saya, jadi SOP itu saya yang
membantu dalam penyusunannya, jadi kita kumpulkan menjadi satu, pakai LCD itu dan
dibacakan, sehingga ada kesepakatan bersama untuk membuat SOP. Itu diikutsertakan
oleh pengurus-pengurus di KOMPOR. Kita hanya membantu untuk membuat kalimat biar
mudah dibaca, kemudian ketika ada masukan-masukan yang perlu, itu disusun bersama-
sama. Kalau petani dalam teknis budidaya sudah pintar, tapi dalam penulisan perlu
dibantu….. Saya bantu dalam pembuatan SOP KOMPOR, sebagian besar yang
menyempurnakan SOP itu saya mas.” (Suwalim)
Merangkum pernyataan dua narasumber tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
petani lebih memiliki kemampuan dalam menggagas atau memberi ide dan ilmu
pengetahuan tentang segala hal yang menyangkut teknis UT yang bersumber dari
pengalamannya, sedangkan PPL memiliki keterampilan dalam penanganan
administrasi, agar isi dari SOP lebih mudah dipahami. Menyambung pernyataan
Suwalim, dapat diketahui bahwa seluruh pengurus dikumpulkan di satu tempat
untuk menyampaikan ide atau gagasan dan ilmu pengetahuannya tentang teknis
UT, sesuai dengan pengalaman yang pernah dilaluinya. Tidak hanya itu, dalam
pertemuan tersebut juga ada suasana diskusi dan musyawarah-mufakat untuk
penyempurnaan isi SOP, disertai pula dengan alat bantu tayang (LCD). Lalu, PPL
yang bertugas untuk mengetiknya. Kasus tersebut merupakan wujud nyata dari
partisipasi “peran serta” (bukan “ikut serta”), dimana PPL (selaku fasilitator)
bersama-sama dengan petani (selaku masyarakat) merencanakan, melakukan, dan
83
mengevaluasi SOP yang dibuat. Jika partisipasi “ikut serta”, berarti fasilitator
(PPL) yang berpartisipasi, sedangkan masyarakat (petani) hanya ikut dilibatkan.
Masyarakat tidak aktif. Masyarakat melihat, mendengar, dan melaksanakan apa
yang diminta fasilitator. Masyarakat menjadi peserta dalam program yang
dirancang dan diprakarsai fasilitator. Ini adalah model partisipasi vertikal. Petani
adalah pelaku aktif, karena merekalah yang melahirkan inisiatif dan melakukan
aksi. PPL hanya sebatas mendampingi dan memfasilitasi dalam penyusunan SOP
(Francis, 2008:32). Menurut pernyataan Sutopo, isi pokok dari SOP diantaranya
menyangkut teknis budidaya dan penanganan pasca panen. Kemudian, beralih
kembali ke pernyataan Suwadi, penyusunan SOP juga berguna sebagai acuan bagi
petani atau poktan baru yang ingin bergabung ke KOMPOR. Bahkan, SOP ini
juga dijadikan acuan bagi poktan lain yang sekedar bekerjasama dengan poktan
anggota KOMPOR. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Suwadi berikut ini:
“Kami diizinkan membentuk plasma atau mitra, kerjasama dengan kelompok tani lain.
Tapi standar usaha taninya harus mengikuti SOP dari gapoktan KOMPOR.”
Kemudian, salah satu pengalaman petani dapat dipetik dari partisipasinya dalam
kegiatan SLPHT dan pengalaman tersebut sangat membantu sebagai bahan
masukan untuk menyempurnakan SOP KOMPOR. Hal tersebut diperjelas oleh
Giono sebagai berikut:
“SOP budidaya sayuran itu kalau tidak salah dibuat tahun 2011, antara tahun 2011-2012.
Setelah SOP selesai disusun, tahun 2012 atau 2013 dilakukan uji mutu, pengendalian
sistem internal. SOP setelah jadi, langsung dibagikan ke anggota buat panduan.
Pembelajaran dari SLPHT itu buat acuan pembuatan SOP. Kalau petani itu kurang paham
tulis-menulis, padahal dia kesehariannya bekerja sebagai petani, mereka sudah
mempraktekan….. Kalau membimbing petani itu harus diiringi dengan praktek dan
penyampaiannya harus secara langsung.”
Berdasarkan pernyataan Giono, maka dapat diketahui bahwa SOP dibuat antara
tahun 2011-2012. Selain dijadikan pedoman bagi petani untuk melaksanakan UT,
SOP juga dijadikan panduan untuk melakukan inspeksi. SOP sebagai pedoman
bagi petani untuk melaksanakan UT juga mengandung kelemahan jika tidak
diiringi dengan kegiatan praktek langsung di lapangan atau yang biasa dikenal
dengan istilah demonstrasi atau eksperimen. Metode tersebut terbukti efektif,
karena proses dan hasil yang diperagakan menjadi bahan belajar utama dalam
kegiatan pembelajaran. Bahan belajar tidak hanya dipertunjukkan, melainkan
peserta belajar berperan aktif dalam melakukan proses sampai diketahui sejauh
84
mana hasilnya. Dengan demikian, peserta akan memiliki pengalaman belajar
langsung setelah diberi kesempatan untuk melakukan dan melihat atau merasakan
hasilnya (Fauzi, 2011:88-89). Selanjutnya, pernyataan Sutopo berikut ini
menjelaskan bahwa masing-masing poktan anggota KOMPOR memiliki SOP
yang isinya seragam:
“SOP KOMPOR dibuat seragam antar tiga kelompok tani. Pertimbangannya karena
wilayah sini sumber daya fisiknya relatif sama, otomatis perlakuannya juga hampir sama,
contohnya jenis tanahnya, sehingga dibuat jadi satu SOP tidak masalah.”
Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang signifikan antar ketiga
poktan tersebut, terutama dalam hal lingkungan dan sumber daya alam (SDA)-
nya. Otomatis, keadaan tersebut berpengaruh terhadap tata cara penanganan teknis
UT di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, pernyataan Subari berikut ini
memberi pendapat yang sedikit berbeda tentang karakteristik SOP masing-masing
poktan:
“SOP masing-masing kelompok tani itu tergantung wilayah kerja masing-masing mas,
karena daerah saya dengan pak Pitoyo sudah beda cara mengerjakannya. Standar yang
kami gunakan yang ada di kelompok kami masing-masing. Jadi SOP itu dibuat masing-
masing sebanyak 25 sayuran. Kemudian ada SOP pembibitan dan penanganan pasca
panen.”
Berdasarkan pernyataan Subari, masing-masing poktan memiliki SOP yang isinya
berbeda-beda, karena masing-masing wilayah kerja poktan memiliki perbedaan.
Terkait hal tersebut, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan berdasarkan
pembahasan sebelumnya (cermati sub bab tentang implementasi UT), perbedaan
antar poktan anggota KOMPOR paling terlihat pada aspek “penyediaan saprotan”.
Hasil penelitian menyatakan bahwa seiring berjalannya proses berusaha
tani yang dilakukan petani, isi SOP dapat berkembang. Hal tersebut secara singkat
digambarkan oleh Zaenal sebagai berikut:
“Yang belum itu SOP mengenai cara membuat herbisida dan moluskisida, kalau SOP
untuk pupuk dan insektisida itu sudah ada. Kalau ada tammbahan ilmu itu SOP-nya perlu
dikembangkan mas, karena berkaitan dengan sertifikasi.Jadi tiap ada inovasi baru kami
harus buat SOP, standar operasional prosedur.”
Menyambung pernyataan Zaenal, ketika individu poktan memperoleh ilmu baru
tentang segala hal yang berkaitan dengan teknis UT, maka ilmu tersebut perlu
dimuat dalam SOP. Hubungan antara inovasi dalam teknis UT dengan SOP secara
lebih rinci dijelaskan oleh Suwadi sebagai berikut:
“Ada SOP untuk budidaya itu tujuannya terutama ketika ada temuan–temuan selama
berbudidaya perlu ada muatannya. SOP sendiri bisa berubah-ubah, manakala ada
85
perubahan di teknis budidaya, misalnya ada varietas tanaman baru atau ada tanaman yang
belum terdaftar di lembaga sertifikasi. Karena terkadang dari perusahaan ada permintaan
tanaman yang tergolong baru, sehingga kita harus membuat SOP-nya. SOP itu bisa
berubah, karena faktor lingkungan dan alam, misalkan ketika tahun tertentu hujannya
sangat ekstrim, terus angin, dan suhu, jadi SOP itu juga harus menyesuaikan alam. Ketika
ada perubahan SOP itu, kami buat bersama-sama, pengurus dan anggota. Pembuatan SOP
disusun secara musyawarah, baru kalau sudah jadi dibagikan SOP-nya. Ada 25 jenis
sayur yang sudah terakreditasi di lembaga sertifikasi. Penyusunan SOP yang
membimbing untuk penyusunannya itu PPL dari dinas kemudian, tapi sumber informasi
itu sebetulnya dari petani, dari anggota kelompok tani. Misalnya dalam hal cara
berbudidaya, kalau tanaman ini jaraknya segini, waktu tanamnya, pengaturan pemupukan,
kemudian dipupuk berapa hari sekali. Masing-masing petani istilahnya memiliki
pengetahuan yang berbeda-beda, itu dimusyawarahkan dan diambil kesepakatan untuk
penyusunan SOP.”
Berdasarkan pernyataan Suwadi, maka dapat dipastikan bahwa temuan atau
inovasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan teknis UT turut mengubah
isi dari SOP. Pada kenyataannya, hal tersebut perlu dilakukan sebagai
pertanggungjawaban poktan ke lembaga sertifikasi. Hal tersebut diperlihatkan
ketika individu poktan membudidayakan tanaman “baru” yang belum tercatat di
dokumen lembaga sertifikasi. Menurut Suwadi, saat ini jumlah teknis budidaya
tanaman yang telah tercatat di dokumen lembaga sertifikasi sudah sebanyak 25
jenis. Hal ini dipertajam oleh pendapat Hubeis (2014), bahwa poktan membuat
dokumen sistem mutu dan internal control system (ICS) yang berisikan standard
operating procedure (SOP) dalam budidaya sayuran organik dan kontrol
pengawasan internal terhadap semua kegiatannya. Konten SOP tentang budidaya
tiap jenis sayur berbeda-beda atau bersifat spesifik. Hal tersebut diperjelas secara
singkat oleh Abdul Wahab sebagai berikut:
“SOP sayur kita perlakuannya hampir sama. Cuma standarnya gini, kan ada komoditas
yang waktunya cuma berapa hari, 30 hari-40 hari, standar SOP-nya itu secara umum
hampir sama, cuma ada yang cuma pemupukan berapa kali, ada yang cuma 2 kali sudah,
ada yang sampai 4 atau 5 kali. Yang jangka panjang itu seperti cabai tidak cuma 2 kali.”
Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, dalam menyusun SOP budidaya sayuran
jenis tertentu, individu poktan dan KOMPOR perlu menyesuaikan dengan
karakteristik sayuran yang bersangkutan. Oleh karena itu, dibutuhkan kecermatan
atau ketelitian individu KOMPOR dan poktan dalam menyusunnya. Beralih
kembali ke pernyataan Suwadi, biasanya individu poktan termotivasi untuk
membudidayakan tanaman baru, karena disebabkan oleh adanya permintaan dari
perusahaan atau pasar modern. Di samping dua faktor tersebut, faktor perubahan
86
alam dan lingkungan juga turut mendorong poktan untuk melakukan perubahan
SOP. Ketika ada rencana untuk merubah atau memperbarui SOP, seluruh individu
(baik pengurus dan anggota) diajak untuk berperan serta. Umumnya,
pembaharuan SOP dilakukan di wadah pertemuan poktan untuk SOP khusus
poktan, dan pertemuan KOMPOR, jika menyangkut gapoktan. Oleh karena itu,
seiring berjalannya proses, perubahan SOP otomatis terjadi. Hal tersebut juga
didukung oleh pendapat Bernadus Agus Prabowo berikut ini:
“Untuk memperoleh sertifikasi harus buat SOP. Itu saya amati hanya sekedar persyaratan
administratif, aplikasi dan kontinuitas SOP-nya saya ragukan. SOP itu berkembang, tidak
mungkin stagnan. SOP itu pasti berkembang, kalau SOP itu tidak berkembang, itu tidak
ada perubahan, berarti selama ini organisasi itu dapat dikatakan tidak baik. Karena SOP
itu selalu mengikuti kondisi riil dari pergerakan organisasi atau perusahaan. Selama
dalam organisasi atau unit itu tidak bisa mengembangkan suatu sistem di bawah
organisasinya itu, maka cenderung tidak akan berkembang, padahal yang namanya kasus
per kasus itu pasti muncul. Begitu ada kasus pasti berkembang, kalau itu ada pelanggaran
dari SOP, berarti ada sanksi. Selain itu, kalau ternyata di SOP tidak ada dan ada kasus
baru di lapangan berarti harus ada penyesuaian. SOP itu berkembang atau berubah juga
kaitannya dengan usia, kondisi cuaca, semakin lama, cuaca semakin ekstrim dan tidak
bisa diprediksi, ini SOP pasti berubah.”
Jika dicermati, kegiatan penyusunan atau pembaharuan SOP merupakan wujud
nyata dari pemberdayaan komunikasi petani. Pemberdayaan komunikasi petani
merupakan proses penguatan daya komunikasi petani, dengan menguatkan dan
mensinergikan sisi internal petani dengan sisi eksternalnya. Indikator harapannya
adalah petani lebih pandai berbicara, lebih memahami pesan, lebih kritis, lebih
efektif komunikasinya, lebih kreatif dan inovatif, lebih rasional dalam
menerapkan teknologi, lebih peduli untuk berbagi informasi, lebih kuat koordinasi
dan negosiasinya, lebih dinamis atau kuat organisasinya, lebih kompetitif inovasi
dan hasil usaha taninya, dan terbebas dari eksploitasi sumber informasi atau media
komunikasi (Setiawan, 2012: 332). Meski begitu, pernyataan Bernadus Agus
Prabowo menandakan bahwa pihak luar mengkhawatirkan aplikasi dan
kontinuitas dari SOP.
SOP akan menjadi sia-sia, jika hanya sampai di tahap penyusunan saja,
oleh karena itu perlu ada kegiatan penyebarluasan (difusi). Terkait hal tersebut,
pernyataan Zaenal berikut ini akan memberi gambaran singkat:
“Penyebarluasan SOP itu dilakukan tiap malam minggu, itu dimusyawarahkan. Jadi
sosialisasinya itu tiap rapat, rapat seminggu sekali sejak dulu itu kita sampaikan terus-
menerus hingga bisa dipraktekkan di lapangan.”
87
Menanggapi pernyataan Zaenal, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus poktan
memanfaatkan kegiatan pertemuan rutin sebagai wadah untuk menyebarluaskan
SOP KOMPOR, yang kemudian dapat menjadi bahan masukan bagi poktan untuk
menyusun SOP. Dalam pelaksanaannya, tidak seluruh individu poktan yang
tergabung dalam KOMPOR mengimplementasikan SOP. Hal ini dikemukakan
oleh Subari sebagai berikut:
“Anggota sejauh ini yang memperhatikan umumnya mengikuti SOP-nya.”
Menurut Hariadi (2011:52), proses difusi atau penyebaran inovasi dari petani satu
ke petani yang lainnya di masyarakat, karena adanya proses social learning
(belajar sosial). Social learning memiliki empat tahapan, meliputi: proses atensi
(memperhatikan), proses retensi (mengingat), proses reproduksi motorik
(melakukan berdasarkan keterampilan yang dimilikinya), dan proses motivasi
(meniru model). Jika teori tersebut dikaitkan dengan pernyataan Subari di atas,
maka ada kekhawatiran dari pengurus KOMPOR, jangankan sampai ke tahapan
retensi, reproduksi motorik, atau motivasi, ada kemungkinan sebagian besar
petani tidak sampai ke tahap atensi. Lalu, berdasarkan pengamatan pengurus
Poktan Tranggulasi di lapangan, dalam pelaksanaannya, terdapat penyimpangan
SOP. Akan tetapi, penyimpangan itu mengarah ke sisi positif. Berikut pernyataan
dari Abdul Wahab terkait hal tersebut:
“Kalau sepengamatan saya, waktu-waktu ini masih sedikit ada penyimpangan SOP, tapi
penyimpangannya dalam hal positif. Maksudnya begini, terkadang dari petani saja bisa
menemukan pupuk yang lebih bagus dari buatan kelompok, seperti pak Syaefuddin
contohnya, itu memang masih menggunakan power, tapi powernya cuma untuk
kewajiban membeli pupuk di kelompok istilahnya, cuma beli satu botol. Tapi dia saya
amati, bisa membuat pupuk sendiri.”
Berdasarkan pengamatan Abdul Wahab, penyimpangan itu lebih mengarah ke sisi
positif, dimana petani mampu menghasilkan inovasi teknologi UT. Inovasi
teknologi UT itu dihasilkan melalui daya kreativitas petani dalam memodifikasi
teknologi yang sudah ada di dalam SOP.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan gapoktan KOMPOR Merbabu
memberi segudang manfaat bagi petani. Ironisnya, untuk sementara ini
komunikasi (secara terstruktur-lewat kegiatan pertemuan) sedang tidak berjalan.
Hal tersebut digambarkan melalui pernyataan Abdul Wahab berikut ini:
“Sementara ini dengan KOMPOR sudah lama tidak komunikasi. Waktu itu ada wacana
untuk memperoleh sertifikat internasional, itu latar belakang terbentuknya. Wacana itu
88
sampai sekarang belum terjadi. Kemarin saya ajak teman pengurus KOMPOR untuk
diadakan pertemuan kembali.”
Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalannya pengurusan
sertifikasi internasional menjadi tersendat-sendat. Supaya pertemuan KOMPOR
kembali diadakan, pengurus Poktan Tranggulasi sudah berupaya untuk
membangun komunikasi dengan pengurus KOMPOR yang lain. Berkaitan dengan
itu, pernyataan Sutopo berikut ini menjelaskan alasan mengenai tidak
diadakannya kegiatan pertemuan KOMPOR untuk sementara waktu ini:
“Pertemuan kompor sementara ini dipending, itu dari personal saya, bukan dari anggota
kelompok. Ada alasan tertentu, artinya perlu saya padamkan dulu, pertemuan sudah saya
pending sekitar tiga atau empat bulan, biar suasananya padam. Karena tidak perlu
dipungkiri bahwa diantara kelompok dengan dinas itu ada sedikit masalah. Saya sebagai
pimpinan juga mengetahui kondisi. Meski begitu, saya sendiri sedikit punya pengetahuan
di bidang pertanian terutama budidaya, tetapi siapapun yang butuh saya, saya setiap saat
bersedia untuk membimbing. Apa yang saya punya, mereka butuh, saya kasihkan. Kalau
cuma fokus di pertemuan itu mengganggu mas, mengganggu proses produksi. Sering
pertemuan ganggu waktu mas. Interaksi antar teman di kelompok itu hampir tiap hari ada,
butuh informasi apapun kita saling memberikan, bisa antar kelompok tani. Sekarang
sudah ada HP, jadi tidak perlu harus datang ke lokasi, misalnya ada tawaran produk yang
kaitannya dengan dukungan produksi, saya kasihkan informasinya ke anggota KOMPOR
yang lain. SOP KOMPOR sudah dipegang oleh semua kelompok.”
Dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran kegiatan pertemuan KOMPOR
sementara ini ditunda, karena adanya kebijakan dari pengurus KOMPOR (ketua).
Kebijakan itu dibuat karena terdapat persoalan antara poktan dengan dinas.
Pertemuan KOMPOR dinon-aktifkan, juga disebabkan oleh adanya pandangan
bahwa kegiatan tersebut cukup menyita waktu yang dikhawatirkan dapat
mengganggu waktu pengurus KOMPOR untuk melakukan pekerjaannya sebagai
petani. Meskipun begitu, kegiatan belajar-mengajar dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan dan keterampilan petani dalam berusaha tani tetap bisa dan
mutlak perlu dijalankan. Cukup dengan media handphone, komunikasi antar
pengurus KOMPOR seharusnya tetap terjalin.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa gapoktan KOMPOR
Merbabu merupakan gabungan poktan organik di Kecamatan Getasan dan dapat
dianggap sebagai wadah belajar lintas poktan sayuran organik di Kecamatan itu.
Tiap pengurus poktan memegang status dan peran penting dalam KOMPOR.
Capaian nyata KOMPOR sebagai wadah belajar dapat terbukti dari adanya
kegiatan diskusi dan musyawarah-mufakat antar poktan organik untuk menyusun
89
dan mengesahkan SOP. Dalam diskusi tersebut, masing-masing pengurus
mengandalkan pengalamannya selama menjalankan teknis-teknis UT untuk
mengutarakan pendapatnya demi penyempurnaan SOP KOMPOR. Diketahui pula
bahwa SOP KOMPOR juga mengacu pada SOP poktan yang sudah ada, sebelum
terbentuknya KOMPOR. Dalam proses penyusunan SOP, PPL turut berperan
terutama dalam penanganan administrasi, sehingga terjalin sinergitas diantara
petani dan PPL. Kemudian, SOP dijadikan pedoman bagi seluruh petani yang
tergabung dalam poktan terkait untuk menjalankan usaha tani. Tidak hanya itu,
SOP juga dijadikan acuan wajib bagi poktan lain yang menjalin kerjasama dengan
poktan anggota KOMPOR untuk menjalankan usaha taninya. Namun, komunikasi
efektif antar pengurus KOMPOR sedang tidak lancar, sehingga ada beberapa
tujuan atau agenda yang telah digariskan oleh KOMPOR di waktu lalu menjadi
cukup terbengkalai.
4.6.4 Implementasi Usaha Tani Sayuran Organik dan Implikasinya
Kegiatan belajar yang tersedia di poktan berperan sebagai wadah untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani (yang tergabung
dalam poktan) untuk mengimplementasikan usahanya dalam menjalankan UT
sayuran organik (penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca
panen, sampai dengan pemasaran hasil produksi). Dengan keterampilannya
menjalankan UT sayuran organik, maka diharapkan adanya dampak positif
terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Di sisi
lain, penerapan UT dapat dimaknai sebagai wadah belajar bagi individu poktan,
dimana itu merupakan metode “learn by experience” (belajar dengan pengalaman)
atau “learn by doing” (belajar dengan melakukan), sehingga ia memiliki
pemahaman yang memadai tentang usaha tani secara organik berdasarkan
pengalaman empirisnya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dibuktikan bahwa
tata cara poktan (petani) dalam menjalankan proses produksi tertuang dalam
standar operational procedure (SOP). Dokumen tersebut berisikan penjelasan
tentang cara penyediaan saprotan, budidaya tanaman, dan penanganan pasca
panen. Di tiap proses UT, pengurus di kedua poktan menjalankan beberapa peran
yang umumnya bertujuan untuk memperlancar kegiatan UT organik serta
mengatasi kendala UT yang dialami anggota. Berikut akan dijelaskan secara lebih
90
detil mengenai proses UT sayuran organik yang dilakukan oleh individu poktan,
beserta implikasinya terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan
kesejahteraannya.
A. Penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan)
Cakupan yang dibahas dalam anak sub bab ini menyangkut tentang:
penyediaan bibit tanaman sampai siap tanam, penyediaan pupuk, dekomposer,
pestisida, dan sarana lainnya. Saprotan berfungsi sebagai alat atau perlengkapan
yang digunakan oleh petani untuk mencapai maksud atau tujuannya. Saprotan
yang dimaksud antara lain meliputi: benih atau bibit, pupuk, pestisida,
dekomposer, dan sarana lainnya. Saprotan termasuk ke dalam faktor produksi
usaha tani yang vital, karena tanpa itu petani tidak bisa melaksanakan usaha
taninya. Untuk menyediakan saprotan, petani didukung oleh informasi-informasi
yang salah satunya berasal dari wadah belajar yang tersedia di poktan.
Ditinjau dari segi penyediaan benih, terdapat dua cara, yaitu: perbanyakan
sendiri dan pembelian benih. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan menjelaskan
hal tersebut:
“Kalau benih diantaranya ada yang buat sendiri dan ada yang beli. Seperti benih kol, sawi
putih, brokoli tidak bisa buat sendiri, seperti bit juga sulit. Tapi kalau wortel, tomat, cabai itu
bisa buat sendiri.”
Teknik penyediaan benih ini disesuaikan dengan jenis tanamannya. Benih yang
bisa disediakan dengan perbanyakan sendiri antara lain: wortel, tomat, dan cabai.
Sedangkan, benih yang tidak bisa disediakan dengan perbanyakan sendiri
diantaranya adalah: sawi putih, brokoli, kubis, bit, dan sebagainya. Penjelasan
Suparyono berikut ini akan menjelaskan lebih rinci tentang teknik perbanyakan
benih yang dilakukan secara mandiri:
“Wortel itu bikin bibit sendiri. Itu ditanam dulu. Lalu wortel yang masih muda diambil
umbinya yang panjang, terus ditanami kembali, itu bisa jadi benih.”
Dari pernyataan Suparyono tersebut, maka dapat diketahui bahwa upaya
penyediaan benih wortel sudah dapat dilakukan secara mandiri. Upaya
perbanyakan dilakukan melalui umbi yang berukuran panjang dari tanaman wortel
yang masih muda. Pitojo (2006, 35,45-51 & 73) mengungkapkan bahwa umbi
yang besar dapat menghasilkan tanaman yang kuat pada permulaannya.
91
Sebagian besar benih tanaman sayur tidak dapat langsung ditanam di
bedengan, melainkan perlu melalui proses pembibitan terlebih dahulu.
Berdasarkan observasi, proses pembibitan tanaman di Poktan Tranggulasi
dilakukan oleh masing-masing petani secara individual. Pernyataan dari Supoyo
akan memberikan gambaran tentang teknis pembibitan yang dilakukan Poktan
Tranggulasi:
“Spinach dan selada disemai dulu, proses pembibitannya seminggu sudah berani dipindah ke
pot mas. Terus 10 hari baru siap tanam di lahan. Perawatan selama pembibitan pakai pupuk
yang lembut, pupuk kandang lembut, seperti tanah. Itu dicampur tanah buat media semai,
nanti tumbuhnya lebih cepat. Perlakuannya cuma pemupukan. Tata cara perawatan bibit itu
informasinya dari kelompok tani.”
Dari pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui teknik pembibitan dari tanaman
spinach dan selada. Pertama, benih ditabur di media semai dan ditunggu selama
satu minggu. Kemudian, bibit tanaman dipindah ke dalam pot atau polybag.
Pertumbuhan bibit di pot atau polybag diproses selama 10 hari, lalu siap ditanam
di lahan. Media pembibitan yang digunakan adalah campuran pupuk yang sudah
dilembutkan dan tanah. Dengan media yang seperti itu, proses pertumbuhan bibit
menjadi lebih cepat. Media yang seperti itu mampu meningkatkan optimalisasi
daya perkecambahan dan penyerapan unsur hara benih (Rostini, 2011:89). Dalam
mengimplementasikan pembibitan tanaman, petani telah dibekali informasi oleh
poktan yang terkandung di dalam SOP. Untuk menghasilkan bibit tanaman yang
lebih bagus, maka dibutuhkan perlakuan yang lebih kompleks. Pernyataan dari
Pitoyo Ngatimin akan memberikan wawasan tentang sarana pertanian yang
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas bibit:
“Bambu itu punya keistimewaan, akarnya itu mengandung bakteri, yang namanya bakteri
perangsang pertumbuhan akar, istilahnya PGPR. Maka dari itu, tanah di sekitar bambu itu
luar biasa suburnya. PGPR bisa pake akar teki bisa. Jadi ekstraksi, proses ekstraksi itu
mengeluarkan bakteri itu ada caranya, diantaranya dengan cara merendam di tempat yang
steril. Dikeluarkan ekstraksinya, terus nanti bisa nyampur dengan media, setelah itu bisa
dikembangluaskan menjadi F1, F2, F3. Ambil akar bambu yang di dalam tanah, lalu
dibersihkan, tapi jangan dicuci, terus dikeringkan. Terus, dicincang, dipotong-potong,
dimasukkan, dan diberi media untuk ekstraksi. Medianya bisa pakai air kelapa dan bisa
ditambah dengan gula. Air kelapa mengandung hormon pertumbuhan.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa Poktan
Tranggulasi menerapkan inovasi yang turut berkontribusi terhadap peningkatan
produktivitas usaha tani. Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
mengandung bakteri yang dapat menjadi perangsang tumbuh akar. Bahan baku
92
pokok yang diperlukan untuk membuat PGPR adalah akar bambu atau akar teki
sebagai bahan alternatifnya. Penyediaan PGPR perlu melewati beberapa proses:
1) akar bambu dicincang dan dipotong-potong, 2) dimasukkan ke wadah yang
steril dan diberikan media untuk ekstraksi. Proses ekstraksi berguna untuk
mengeluarkaan bakteri. Media yang dapat digunakan untuk proses ekstraksi
adalah air kelapa, dicampur dengan gula. Menurut Pitoyo Ngatimin, air kelapa
mengandung hormon yang berguna untuk memacu pertumbuhan tubuh tanaman.
Menurut Wareing dan Phillips (1978), hormon tanaman (fitohormon) sebagai
pengatur pertumbuhan tanaman meliputi kategori luas, yaitu substansi (bahan)
organik (selain vitamin dan unsur mikro) yang dalam jumlah sedikit merangsang,
menghambat, atau sebaliknya mengubah proses fisiologis (Gardner dkk,
2008:206). Teknis pembuatan PGPR dijelaskan lebih detil dalam lampiran skripsi
ini (lampiran VI).
Kemudian, pengetahuan dan keterampilan Poktan Tranggulasi dalam
menyediakan pupuk dan pestisida organik sebagian besar bersumber dari hasil
belajar kelompok. Pernyataan dari Syaefuddin akan memberikan gambaran cukup
rinci mengenai hal tersebut:
“Kotoran sapi saya diamkan 2 hari itu masih panas dan masih mengandung gas. Terus itu
saya tambahi tempe yang sudah busuk atau tempe yang sudah tidak layak dimakan itu
saya blender. Lalu, itu saya masukkan, saya campur dengan kecambah tidak layak pakai
dan saya blender. Setelah itu saya campur, nah ½ bulan baru dipakai, bagus sampai
sekarang ini. Power itu bahannya 14 komoditas, meliputi air kelapa, tetes tebu, tempe,
rumput laut, empon-empon, seperti kunyit, ada temulawak, dlingo, temu ireng, terus ada
brotowali. Dicampur juga dengan nanas yang sudah tidak layak dikonsumsi. Nanas itu
saya tumbuk sama kulitnya. Setelah kita tumbuk, kita rendam satu hari, lalu ambil
airnya… Kalau benih supaya bisa tumbuh bagus, bisa dikasih power, dikasih satu tetes
power itu nanti dicampur sama benihnya itu baru disemai. Nanti ketika berumur ½ bulan
atau 20 hari atau minimal 10 hari disiram pakai power.”
Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa Poktan
Tranggulasi sudah mampu membuat kompos. Kompos yang dimaksud terbuat dari
campuran kotoran sapi dan dekomposer dengan nama “power”. Power terbuat dari
berbagai macam campuran bahan, diantaranya meliputi: tetes tebu, air kelapa,
tempe busuk, kecambah, rumput laut (cincau), empon-empon (seperti: kunyit,
temulawak, dlingo, temu ireng, dan brotowali), dan nanas. Menurut Sutanto
(2002:38), pengomposan ditakrifkan sebagai proses menghilangkan senyawa yang
keberadaannya tidak dikehendaki. Proses pengomposan bermanfaat untuk
93
mengubah limbah yang berbahaya (seperti: tinja) menjadi bahan yang aman dan
bermanfaat. Menurut Syaefuddin, power bersifat multifungsi, yakni: sebagai
dekomposer, zat pengatur tumbuh (ZPT) (Hal ini dibuktikan melalui fungsinya
sebagai bahan campuran untuk merendam benih tanaman), dan sebagai pupuk cair
di pembenihan atau pembibitan sayuran. Poktan Tranggulasi juga telah
menghasilkan produk lain yang fungsinya kurang-lebih sama dengan power.
Pernyataan dari Syaefuddin akan memperjelas hal tersebut:
“Dulu kelompok memproduksi streng. Kalau sekarang streng dibuat sendiri-sendiri oleh
petani. Streng itu bahannya urin sapi dan urin kelinci….. Streng itu kunyit dan rempah-
rempah lain, itu saya blender. Kalau kunyit berfungsi untuk menghilangkan bau urin sapi
dan urin kelincinya itu….. Power dan streng itu fungsinya sama-sama untuk pupuk cair.”
Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa selain power, poktan
juga memproduksi pupuk cair dengan nama streng. Streng terbuat dari kunyit atau
empon-empon lainnya, urin sapi, dan urin kelinci. Menurut Syaefuddin, kunyit
atau empon-empon berguna untuk menghilangkan bau urin. Kedua produk
tersebut (power dan streng) sama-sama dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair
untuk membantu petani dalam budidaya tanaman.
Selain power dan streng sebagai pupuk, dekomposer atau faktor
pendukung UT lainnya, poktan ini sudah bisa menghasilkan pestisida alami
(pestisida yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan atau mikroba, seperti bakteri,
jamur, protozoa, dan virus). Nama dan proses pembuatan pestisida alami oleh
Poktan Tranggulasi akan diutarakan oleh Syaefuddin sebagai berikut:
“Beberapa kulit pohon itu bisa buat bahan pestisida alami, seperti kulit pohon kina dan
marehjangan. Lalu, buah pohon ketela itu kita ambil dan kita tumbuk, kemudian
direndam dengan cucian beras. Sesudah itu, airnya diambil dan dicampur dengan abu
dapur. Itu direndam selama tiga hari, baru kita ambil airnya. Cara kami membuat
pestisida seperti itu. Setelah saya uji coba, itu ada campuran lain, yaitu akar pohon
pepaya, dan akar pohon kelapa. Akar kelapa itu mengandung racun. Akar kelapa diambil,
lalu ditumbuk, direndam, dan diambil airnya. Nama pestisidanya di kelompok kami
adalah CP…. Proses perendaman air cucian beras dan abu dapur itu tiga hari. Kami saring
airnya, kalau air cucian beraas dan abu itu mengendap, yang diambil airnya yang di atas,
diambil airnya yang bening. Kalau mau yang lebih ampuh, tetapi di sini sulit mencarinya
itu bengkoang. Itu yang diambil bijinya, lalu ditumbuk. Sesudah itu dicampur dengan air
cucian beras. Sesudah itu jadi pestisida…. Supaya proses pembuatannya itu lebih cepat,
biji bengkoang direndam di air yang mendidih, lalu dikeringkan. Sesudah itu bijinya
menjadi keras, kemudian diblender dan dicampur dengan bahan lainnya. Didiamkan
selama ½ bulan atau 10 hari sudah jadi… CP dan biji bengkoang itu untuk pestisida.”
94
Pestisida alami yang diproduksi oleh Poktan Tranggulasi bernama CP. Pestisida
alami tersebut terbuat dari berbagai bahan, diantaranya meliputi: kulit pohon
marehjangan, buah pohon ketela, akar pohon pepaya, dan akar kelapa. Seluruh
bahan tersebut ditumbuk, lalu direndam di wadah berisi air cucian beras (leri) dan
abu dapur selama tiga hari. Setelah terjadi pengendapan, airnya diambil untuk
diaplikasikan sebagai pestisida alami. Selain CP, Poktan Tranggulasi juga mampu
memproduksi pestisida alami yang berbahan utama biji bengkoang. Teknis
pembuatannya, biji bengkoang dimasukkan ke dalam air mendidih, lalu ditumbuk
atau diblender. Setelah itu, dicampur dengan air leri dan bahan atau input untuk
membuat CP (seperti: akar pohon pepaya, akar pohon kelapa, kulit pohon kina,
dan sebagainya). Meski begitu, berdasarkan observasi di lapangan, individu
poktan seringkali kesulitan dalam memperoleh biji bengkoang. Kesulitan itu juga
terjadi pada beberapa bahan lainnya (seperti: urin kelinci), yang sebetulnya efektif
untuk dijadikan sebagai sarana usaha tani sayuran.
Pembahasan selanjutnya akan memberikan gambaran tentang teknis
penyediaan input atau bahan saprotan, pembuatan saprotan, dan pendistribusian
saprotan, sehingga saprotan tersebut dapat dimanfaatkan oleh individu poktan
untuk melakukan usaha taninya. Pengurus poktan memegang peranan yang amat
penting dalam melaksanakan ketiga kegiatan tersebut. Hal ini terjadi karena tidak
semua individu dalam Poktan Tranggulasi memiliki kemauan, mengingat,
memahami, dan terampil dalam membuat saprotan. Hal tersebut terbukti
berdasarkan pernyataan dari Sumadi, Supoyo, dan Sumar sebagai berikut:
“Pakai pupuk kandang padat dan pakai power, setelah itu dipupuk pula dengan pupuk cair
berbahan urin sapi. Untuk pestisida pakai CP, namanya CP. CP itu bahannya pakai air
cucian beras dan apa gitu, saya sudah lupa.” (Sumadi)
“Yang buat pupuk itu pengurus kelompok, saya tidak tahu bahan-bahan yang digunakan.
Yang mengerti itu pengurus. Saya hanya ikut mengerahkan tenaga saja. Dulu pernah buat
bersama-sama, itu dilakukan rutin. Kalau sudah habis, kami buat lagi. Sekarang pengurus
masih buat. Buat pupuk, seperti power, lalu CP, dan Streng.” (Supoyo)
“Kelompok ini buat pestisida sendiri, pakai air kelapa, yang biasa disebut dengan CP. CP
yang buat kelompok. Seperti pupuk, pestisida yang buat hanya orang-orang tertentu mas,
tidak semua orang mengetahui cara buatnya.” (Sumar)
Dari ketiga pernyataan itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyediaan
saprotan sebagian individu Poktan Tranggulasi dilimpahkan kepada pengurus
95
poktan. Bahkan Supoyo dan Sumar mengatakan bahwa pemahaman tentang tata
cara pembuatan saprotan hanya dimiliki oleh pengurus. Menurut Reijntjes dkk
(1999: 55), pengetahuan lokal setempat tidak menyebar secara merata di dalam
suatu masyarakat dan bakat seseorang untuk menyimpan pengetahuan tradisional
dan menghasilkan pengetahuan baru seringkali berbeda. Bagaimanapun juga,
petani tidak mendokumentasikan pengetahuan mereka sepenuhnya, sehingga bisa
diketahui oleh orang lain. Melalui pernyataan Supoyo, dapat diketahui bahwa dulu
penyediaan saprotan sempat dilakukan secara kolektif di Poktan Tranggulasi. Hal
demikian dilakukan, supaya individu poktan memperoleh pemahaman dan
keterampilan dalam membuat saprotan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan
oleh Suparman sebagai berikut:
“Yang bangun kemauan anggota-anggota untuk buat pupuk dan pestisida itu pengurus.
Pertamanya, pengalaman-pengalaman dimusyawarahkan, terus dilakukan percobaan. Itu
pelaksanaannya dua tahun. Bahannya itu bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kita. Yang
beli seperti air kelapa itu…… Kalau power bahannya air kelapa, tetes tebu, tempe,
rumput laut, cincau, nanas busuk, itu dicampur semua, diblender. Kalau buat sendiri itu
waktunya yang tidak ada, karena proses pembuatannya kurang cepat.”
Berdasarkan pernyataan Suparman, pengurus poktan membagikan pengalaman
dan menggerakkan aktivitas individu poktan untuk membuat saprotan. Pembuatan
saprotan itu dianggap menguntungkan, karena sebagian bahan atau inputnya dapat
diperoleh dari lingkungan sekitar. Melalui kegiatan percobaan, poktan secara
kolektif atau secara individual (dilakukan oleh petani perorangan) memperoleh
keyakinan untuk membuat saprotan, karena hal tersebut dianggap memiliki nilai.
Akan tetapi usaha kolektif tidak berlangsung lama, karena sebagian individu
poktan merasa kurang memiliki waktu untuk membuat saprotan yang prosesnya
relatif lama. Hal ini menjadi wajar, mengingat sebagian besar waktu petani
dikerahkan untuk kegiatan budidaya tanaman. Dengan keadaan seperti ini, para
anggota poktan mengandalkan pengurus poktan untuk menyediakan saprotan. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Abdul Wahab berikut ini:
“Sebagian besar anggota menerapkan power. Sosialisasinya dilakukan pada waktu
pertemuan. Tapi ada sebagian anggota yang hanya cuman mengandalkan pembuatan dari
kelompok, kadang ditanya saja mereka tidak tahu bahan-bahannya dan cara membuatnya.
Yang buat itu kan pengelola, lalu semua anggota diajarkan. Tapi kalau anggota diminta
buat sendiri-sendiri mereka kurang mau, karena kebanyakan mengandalkan pengurus.”
96
Fenomena semacam itu menandakan bahwa pengetahuan dan pemahaman, serta
keterampilan dari pengurus poktan lebih menonjol, dibandingkan dengan anggota
poktan, khususnya dalam hal penyediaan saprotan.
Kemudian, untuk membuat saprotan (dekomposer, pupuk, dan pestisida)
pengurus poktan melakukan upaya terlebih dahulu untuk menyediakan berbagai
bahan atau inputnya. Bahan atau input untuk membuat saprotan ada yang tersedia
di lingkungan sekitar petani dan ada juga yang tidak tersedia, sehingga pengurus
poktan mencari atau membelinya di daerah lain. Teknis penyediaan bahan atau
input pembuatan saprotan akan dijelaskan melalui pernyataan dari Syaefuddin dan
Suparyono sebagai berikut:
“Bahan-bahan itu ada yang kita beli di pasar. Yang ada di sini itu urin sapi, kalau urin
kelinci dulu ada, banyak yang budidaya kelinci, sekarang sudah langka. Selain urin,
pohon kina dan marehjangan dan bahan lainnya itu ada. Yang tidak ada di sini itu kunyit
dan rempah-rempah lainnya, lalu tetes tebu, akar kelapa dan air kelapa. Kalau pepaya ada
di lingkungan sini…. Biji bengkoang saya pesan di Salatiga, langsung ke petaninya, kalau
di pasar tidak ada yang jual..... Kalau beli rempah-rempah dengan bayar 20.000 saja
sudah dapat banyak. Kalau tetes tebu satu kilonya 3.500. Biji bengkoang harganya 30.000
per kilo.” (Syaefuddin)
“Bahan untuk power yang beli itu kedelai, rumput laut, nanas, dan tetes tebu. Kedelai
belinya di Salatiga, yang biasanya beli itu Pitoyo. Kedelai itu maksud saya raginya…..
Power itu bisa pakai buah sirsak atau nanas mas, diblender dengan rumput laut. Sirsak
beli mas, di sini tidak berbuah. Harganya beda-beda mas. Bengkoang itu juga beli
tumbas.” (Suparyono)
Dari pernyataan Syaefuddin dan Suparyono, maka dapat diketahui bahwa input
saprotan yang dapat diperoleh dari lingkungan sekitar petani diantaranya meliputi:
limbah ternak atau tanaman, kulit pohon kina atau marehjangan, air leri, akar
pohon pepaya, dan sebagainya. Sedangkan, bahan atau input yang tidak tersedia di
lingkungan sekitar petani diantaranya meliputi: akar pohon kelapa, aneka empon-
empon, rumput laut, nanas, tetes tebu, ragi, biji bengkoang, dan sebagainya.
Kemudian, sebagian anggota poktan beranggapan bahwa terdapat seksi khusus
yang bertugas membuat saprotan. Hal tersebut dikemukakan oleh Sumar sebagai
berikut:
“Bagian pemupukan itu buat pupuk padat dan cair. Tiap pengurus punya tugas masing-
masing.”
Sumar mengemukakan bahwa pembuatan saprotan, seperti pupuk padat dan
pupuk cair ditangani oleh pengurus yang bergelut di bagian pemupukan. Ketika
97
diselaraskan dengan hasil observasi lapangan, pengurus yang bertugas untuk
menangani tugas tersebut dikenal dengan nama “seksi saprodi”. Berdasarkan
uraian tugas, seksi saprodi bertanggungjawab atas pengadaan dan penyiapan
saprodi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tugas pengadaan dan
penyiapan saprodi tidak selalu diemban oleh seksi yang bersangkutan. Selain
pengurus poktan, pihak di luar poktan juga berperan untuk menjaga ketersediaan
saprotan. Hal tersebut diutarakan oleh Suparyono sebagai berikut:
“Kadang yang suka mengolah power atau pestisida itu peserta PKL-PKL mas.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, keberadaan pihak yang melakukan praktek kerja
lapangan (PKL) di Poktan Tranggulasi seringkali melakukan praktek mengolah
power atau pestisida alami, sehingga petani terbantu dalam menyediakan saprotan
yang dibutuhkannya. Hal tersebut merupakan salah satu keuntungan yang dapat
diraup oleh Poktan Tranggulasi dari statusnya sebagai P4S.
Mencermati pembahasan sebelumnya, maka dapat ditafsirkan bahwa
pengurus poktan berperan untuk menyediakan saprotan. Untuk menambah kas
atau pemasukan poktan, saprotan yang dihasilkan oleh pengurus diperjual-belikan
kepada anggota. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Suparman dan
Ngatemin berikut ini:
“Di kelompok yang buat itu pengurus-pengurus itu dan itu dijual. Kalau anggota yang
beli, harganya beda dengan yang dijual umum, setengah harga.” (Suparman)
“Pembuatan pupuk atau pestisida itu dibuat oleh kelompok mas. Yang buat pengurus
kelompok. Kalau anggota bisa beli.” (Ngatemin)
Pernyataan dari Suparman dan Ngatemin dipertajam oleh Supoyo sebagai berikut:
“Power itu satu botolnya dihargai 6.000, lalu kalau CP harganya 3.000 per porsi, itu bisa
diaplikasikan untuk satu tangki. Streng per botolnya 6.000. Kalau tidak ada
pembeliannya, kas kelompok bisa macet. Kalau habis, pengurus buat lagi. Kadang-
kadang ada orang luar yang beli.”
Berdasarkan pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui gambaran yang lebih rinci
tentang penyediaan saprotan. Poktan memiliki kebijakan, dimana power dijual
dengan harga Rp. 6.000,00/botol, CP dijual dengan harga Rp. 3.000,00 (untuk
pembuatan 1 tangki), dan streng dijual dengan harga Rp. 6.000,00/botol. Kegiatan
ini sudah mampu menarik minat kepada petani yang tidak bergabung dalam
poktan untuk membeli saprotan yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi. Hal ini
98
dapat menjadi nilai tawar tersendiri bagi Poktan Tranggulasi untuk menjadi eksis
dan tentunya menjadi penyangga kesinambungan UT sayuran organik.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa saprotan yang
dihasilkan oleh poktan sayuran organik bersifat multifungsi. Hal demikian
terbukti melalui pernyataan Suparyono berikut ini:
“Saya pakai pupuk kandang dan power. Kalau power saya buat sendiri……. Power itu
juga bisa buat pestisida, ditambah bahannya, ditambah biji bengkoang. Untuk
menanggulangi thrips.”
Berdasarkan pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui bahwa hasil tambahan
input biji bengkoang ke power dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami,
terutama untuk mengatasi hama thrips. Jika dicermati, antara informan satu
dengan yang lain memberikan informasi yang berbeda-beda mengenai input yang
digunakan untuk membuat power ataupun pestisida alami dengan bahan baku
utama biji bengkoang. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap petani
memiliki kreasi sendiri-sendiri untuk membuat saprotan, sehingga tidak selalu
harus terpatok pada prosedur yang telah ditetapkan oleh poktan dalam membuat
saprotan tertentu.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pembuatan atau penyediaan saprotan secara
mandiri (oleh poktan) menguras cukup banyak waktu dan tenaga. Lalu, apa yang
menjadi latar belakang petani (khususnya pengurus poktan), sehingga memiliki
kemauan untuk bertindak demikian? Jawaban dari pertanyaan itu dapat diperjelas
melalui pernyataan Syaefuddin sebagai berikut:
“Pakai pupuk atau pestisida kimia itu bahannya tidak semakin murah, kira-kira 5-10
tahun lagi itu akan semakin meningkat harganya. Saya siasati seperti itu. Sama keduanya
saya mau mengembalikan struktur tanah itu biar subur. Kita itu punya anak dan cucu,
kedepannya kalau dikasih kimia terus-menerus tanahnya akan menjadi rusak. Anak-anak
kita nanam kalau tidak dikasih pupuk dengan dosis yang lebih, seandainya kemarin satu
sendok, sekarang harus satu gelas. Nanti 10 tahun yang akan datang, segelas sudah tidak
ampuh, mesti dua gelas sampai 1 kilo, kemungkinan seperti itu. Sekarang pestisida kimia
dengan merk indoor di pasar harganya 82.000, untuk kedepannya satu tahun lagi berapa
harganya itu? Dulunya satu botol cuma 5.000. Dulunya waktu masih mendirikan
kelompok itu, pestisida yang namanya Matador, masudin, furakron, itu satu botolnya
7.500, itu isinya 250 mili, bisa mencapai 9.000. Sekarang harganya nyaris 70.000,
padahal baru berapa tahun itu? Saya pernah satu tahun memberikan pupuk kimia. Lalu
saya kasih urin sapi, ini yang saya kasih pupuk organik, tanahnya yang diberi pupuk
kimia itu strukturnya keras. Yang pakai pupuk organik, tanahnya subur. Apalagi kalau
musim kemarau gini, kalau tanahnya mengandung banyak unsur kimia buatan, tanahnya
sulit menyerap air dan tidak bisa menyimpan air, tapi yang organik bisa menyimpan air.
Gitu perbandingannya.”
99
Berdasarkan pernyataan dari Syaefuddin, maka dapat diketahui secara konkrit
bahwa upaya Poktan Tranggulasi untuk membuat atau menyediakan saprotan
timbul dari adanya suatu permasalahan. Peningkatan harga saprotan (seperti
pestisida) dari tahun ke tahun merupakan sebuah problematika petani yang
berdampak positif terhadap kemandirian petani untuk menyediakan saprotan.
Permasalahan itulah yang membentuk sikap dan perilaku individu poktan
(khususnya pengurus) untuk senantiasa menyediakan, bahkan mengembangkan
saprotan untuk memenuhi kebutuhan individu poktan dalam melakukan UT. Di
samping itu pula, dapat diketahui bahwa Poktan Tranggulasi telah menyadari arti
penting dari usaha menjaga kesuburan tanah. Kesadaran semacam itu juga timbul
karena adanya permasalahan, dimana penggunaan saprotan (terutama pupuk)
berbahan kimia sintetis menyebabkan struktur tanah menjadi keras. Salikin
(2003:22) mengatakan bahwa pemakaian pupuk buatan sepanjang tahun salah
satunya akan mengakibatkan pemadatan dan perusakan struktur tanah. Pemadatan
struktur tanah akan mengurangi kemampuan tanah untuk mengikat air dan
mempersulit aktivitas perakaran tanaman, termasuk proses pengikatan nitrogen,
sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman
yang dibudidayakan. Keadaan semacam itu dirasa mencemari prinsip pertanian
berkelanjutan, dimana penggunaan pupuk kimia sintetis yang berlebihan akan
berdampak negatif terhadap kualitas tanah pertanian untuk menunjang
produktivitas hasil pertanian. Kelak, upaya-upaya semacam itu memiliki nilai
yang berarti bagi anak dan cucu untuk menjaga kelangsungan hidup, karena
mampu merawat atau menjaga (maintenance) untuk jangka panjang (prolong)
(Salikin, 2003:11). Selanjutya, inspirasi untuk menguji-coba dan membuat
ramuan saprotan muncul sebagai akibat dari adanya kepekaan individu poktan
(khususnya pengurus poktan) untuk mengamati lingkungan sekitar. Hal itu
dijelaskan oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“Di lingkungan kita ini banyak potensi yang bisa kita gunakan untuk buat pupuk.
Pertanian organik akan bisa berkembang ketika kita belajar dengan lingkungan. Potensi
yang ada di sekitar kita itulah yang kita gunakan, ternyata banyak sekali, limbahnya,
seperti limbah sayur, limbah ternak, baik padat maupun cair bisa kita gunakan sebagai
pupuk, lalu untuk apa kita membeli pupuk di pasar? Untuk insektisidanya, bahannya juga
bisa diperoleh di sekitar kita, tapi kalau kita mau tahu dan mau belajar. Contohnya gini
saja, di sekitar tanaman itu kalau ada tanaman yang tidak tersentuh oleh hama, berarti itu
menjadi salah satu insek. Berarti tanaman itu ditakuti oleh hama. Cari saja di sekitar kita
100
itu apa yang ada, kita gunakan, ternyata itu efektif. Banyak sekali eksperimen yang kita
lakukan, dengan itu kita semakin yakin.”
Wujud nyata inspirasi atau ide yang dimaksud diantaranya limbah tanaman
ataupun ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Selain itu, tanaman
yang tidak tersentuh oleh hama berpotensi untuk dijadikan insektisida.
Fenomena yang menarik adalah tidak semua individu menggunakan
saprotan yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi. Pernyataan dari Wikan
Mujiono akan memberikan gambaran yang jelas akan hal tersebut:
“Saya beli pupuk organik sendiri di pasar. Cuma pakai dua kwintal pupuk organik bisa
diaplikasikan untuk 4000 tanaman kubis. Saya tidak pakai pupuk cair. Saya bertaninya
agak menyimpang. Saya memang sudah uji coba itu. Informasi pupuk organik awal-
mulanya dari kelompok, tapi setelah saya uji coba selama dua bulanan hasilnya bagus,
karena itu saya teruskan. Modalnya tidak banyak, lalu pengerjaannya lebih cepat.
Hasilnya hampir sama dengan menggunakan pupuk produksi kelompok.”
Pernyataan tersebut menandakan bahwa terdapat anggota poktan yang
menyediakan saprotan (seperti pupuk) secara mandiri, dengan membeli pupuk
organik di pasar. Dengan demikian, preferensi (keinginan) individu Poktan
Tranggulasi dalam menyediakan dan menggunakan saprotan tertentu bersifat
relatif. Hal tersebut terjadi karena teknologi yang diaplikasikan memiliki nilai
tambah, diantaranya: teknologi yang digunakan lebih kredibel (manjur), lebih
efisien dari segi biaya, lebih efisien dari segi tenaga, dan ketersediaan teknologi
lebih terjamin.
Ditinjau dari segi penyediaan saprotan, hasil penelitian di Poktan BM
menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan dengan Poktan Tranggulasi.
Kegiatan pembibitan di Poktan BM relatif sama dengan kegiatan pembibitan di
Poktan Tranggulasi. Hal tersebut dicerminkan melalui pernyataan Budiyati dan
Saminah berikut ini:
“Selada dan spinach disemai dulu, kalau selada kira-kira disemai selama ½ bulan.
Spinach sama. Perlakuannya kalau di pembibitan cuma tanah dicampur dengan pupuk
organik. Kalau sudah tumbuh daunnya, dipot dan disiram. Kalau musim panas seperti ini,
penyiraman tidak bisa telat. Kalau musim panas gini, sehari satu kali, disiram tiap hari.”
(Budiyati)
“Tanaman disemai, medianya tanah dan sicampur dengan pupuk kandang halus, dan
dikasih air. Baru dikepal.” (Saminah)
Berdasarkan pernyataan dari Budiyati dan Saminah, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perlakuan yang diterapkan oleh Poktan BM dalam kegiatan
101
pembibitan dilakukan seperti petani pada umumnya. Perlakuan pembibitan yang
dimaksud diantaranya: a) penggunaan campuran tanah, pupuk kandang halus, dan
sampah-sampah organik (seperti: daun kering) sebagai media semai, b)
pemindahan bibit berumur + 15 hari (untuk tanaman selada dan spinach) ke pot
atau polybag, dan c) penyiraman secara rutin dan teratur setiap hari. Meski begitu,
ada sebagian individu poktan yang memiliki ciri khas tersendiri dalam
menerapkan perlakuan di kegiatan pembibitan. Hal ini diketahui melalui
pernyataan dari Rebo Wahono sebagai berikut:
“Untuk pembibitan kami pakai abu sekam. Abu sekam itu berasal dari pembakaran,
sehingga belum ada penyakit sama sekali. Tapi petani pada umumnya cenderung tidak
mau ambil risiko, bekas benih atau bibit yang lalu hanya disiram, lalu ditanam lagi.
Kadang tidak tumbuh atau pertumbuhannya kerdil. Sebenarnya abu sekam itu manfaatnya
dalam posisi kultur jaringan tanah itu juga sangat membantu sekali, pertumbuhan dalam
pembuluh akar serabut itu sangat cepat sekali. Jadi di saat hujan lebat, ketika pupuk
dasarnya itu dicampur dengan abu kan akhirnya berongga, sehingga tanahnya tidak
terlalu padat. Dengan demikian, pertumbuhan akarnya menjadi mudah dan bisa mudah
dalam menyerap unsur hara.”
Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono tersebut, maka dapat diketahui bahwa
terdapat individu poktan yang menggunakan abu sekam sebagai media tambahan
untuk pembibitan. Perlakuan tersebut memberi manfaat, diantaranya berupa
minimnya peluang terjangkitnya penyakit dalam media dan penggemburan media
semai yang pada akhirnya membantu pertumbuhan akar.
Selanjutnya, dari segi penyediaan saprotan berupa dekomposer dan pupuk,
Poktan BM sudah mampu memproduksi IMO (Indigenous Microorganism). Hal
ini diperjelas oleh Rebo Wahono sebagai berikut:
“Kalau IMO masing-masing anggota sudah bisa buat sendiri. Kalau mengandalkan
kelompok, suatu misal saya dapat bagian satu liter, kalau lahan milik saya mungkin dua
sampai tiga bulan masih tersedia, karena lahan saya sedikit. Sedangkan, seperti pak
Zaenal kalau satu liter, sedangkan lahannya luas, sekali pakai bisa habis. Maka dari itu,
kami buat sendiri-sendiri.”
Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
upaya pembuatan IMO dilakukan oleh masing-masing individu Poktan BM.
Masing-masing individu poktan sudah mampu membuat IMO, sehingga
kemandiriannya dalam penyediaan saprotan (seperti: dekomposer dan pupuk)
menjadi tampak jelas. Dengan metode semacam itu pula, masing-masing individu
dapat menentukan sendiri jumlah kebutuhan IMO yang diperlukan untuk
melaksanakan UT-nya. Di samping secara individual, individu poktan juga masih
102
mengandalkan usaha kolektif untuk pengadaan saprotan. Hal tersebut diperjelas
oleh Pandi sebagai berikut:
“Misalnya kelompok mau buat pupuk cair itu menggunakan berbagai macam bahan,
kalau beli pakai uang kas. Misalnya, beli bawang, cabai, bir, telur bebek. Terus buat
pupuk padat dengan abu itu difermentasi, tapi semua anggota paham cara pembuatannya.”
Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui bahwa sebagian saprotan
(khususnya pupuk, baik cair ataupun padat) diadakan secara kolektif oleh Poktan
BM. Pembiayaan bahan-bahan (yang harus dibeli) dilakukan dengan
menggunakan uang kas poktan. Untuk menyediakan IMO yang siap diaplikasi,
diperlukan beberapa tahapan atau proses dan tentunya melibatkan berbagai bahan
atau input untuk membuatnya. Berikut ini akan diperjelas gambaran umum teknik
pembuatan IMO dan pupuk organik oleh Umar:
“Buat pupuk organik itu bahannya tetes tebu dan nasi yang sudah basi. Terus dicampur
dan direndam selama seminggu. Setelah itu, langsung ditumpuk, lalu pupuknya dijemur,
disemprot dan dijemur kembali. Sesudah itu, digemburkan dan dicacah selama seminggu.
Setengah bulan sudah jadi.”
Melalui pernyataan Umar, maka dapat diketahui teknik pembuatan IMO, yakni:
tetes tebu dan nasi yang sudah basi dicampur dan direndam selama satu minggu,
selanjutnya ditumpuk. Di sisi lain, kotoran hewan (bahan baku pupuk) ditumpuk
dan dijemur. Kemudian, IMO yang sudah matang disemprot ke kotoran hewan
untuk fermentasi. Setelah itu, dicacah dan didiamkan seminggu. Setengah bulan
kemudian pupuk organik sudah jadi dan siap diaplikasikan. Teknis pembuatan
IMO dan pupuk organik lebih detil dijelaskan dalam lampiran skripsi ini
(lampiran VI). Selain IMO dan pupuk kandang, Poktan BM sudah mampu
membuat kompos dengan mendaur-ulang limbah sayuran. Berikut pernyataan dari
Sumadi:
“Kalau limbah organik itu, misal limbah kubis, kita pakai sebagai bahan untuk buat
kompos.”
Selanjutnya, Poktan BM juga sudah dapat memproduksi pestisida secara mandiri.
Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Makruf sebagai berikut:
“Produk yang dihasilkan kelompok selain IMO, kami bisa buat dekomposer, termasuk
pestisida, bahan untuk buat pestisida pakai rempah-rempah, dulu buatnya bersama-sama,
sekarang pada buat sendiri-sendiri. Kalau buat bersama-sama hasilnya sedikit, sehingga
banyak yang kekurangan untuk melakukan penyemprotan. Lahannya anggota yang luas,
jadinya mereka buat sendiri-sendiri.”
103
Berdasarkan pernyataan Makruf, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
awal-mula poktan memiliki ide, pembuatan pestisida dibuat bersama-sama.
Kemudian, saat ini pestisida dibuat dan disediakan oleh masing-masing individu
poktan secara perorangan. Sama halnya dengan sistem pembuatan IMO, dengan
metode semacam itu, masing-masing individu dapat menentukan sendiri jumlah
kebutuhan pestisida alami yang diperlukan untuk melaksanakan UT-nya.
Gambaran tentang pembuatan pestisida oleh Poktan BM dipertajam melalui
pernyataan Saminah berikut ini:
“Ini baru mau blender bawang sebanyak dua kilo, cabai itu empat kilo. Semua bahan itu
direbus dengan dedaunan dan susu untuk buat pestisida. Dulu buatnya bersama-sama, tapi
kalau sekarang buatnya sendiri-sendiri. Seperti pupuk kelompok juga buat, tapi saya tetap
buat sendiri.”
Berdasarkan yang diutarakan oleh Saminah, maka dapat diketahui lebih detil
mengenai gambaran teknis penyediaan pestisida alami di Poktan BM. Berbagai
bahan yang perlu dipersiapkan untuk membuat pestisida alami, diantaranya
adalah: bawang, cabai, dan daun-daunan. Dari pernyataan itu, maka dapat
diketahui pula bahwa poktan masih membuat saprotan (seperti: pestisida dan
pupuk) yang digerakkan oleh divisi bersangkutan yang ada di poktan. Divisi yang
menjalankan peran tersebut adalah divisi pupuk organik, dimana divisi tersebut
bertugas memproduksi serta mengatur penyaluran pupuk organik dan pestisida
nabati yang dibutuhkan anggota kelompok. Meski begitu, tiap anggota poktan
membuat saprotan secara mandiri. Berdasarkan observasi lapangan, saprotan yang
dibuat oleh kelompok diperjualbelikan kepada anggota. Selain untuk
mengembangkan modal, hal tersebut juga bertujuan untuk mengakomodir anggota
yang tidak mau (misal: tidak memiliki waktu) membuat saprotan secara swadaya.
Walau saprotan dibuat oleh kelompok, ketersediaannya dalam jumlah yang
terbatas, sehingga individu poktan terpacu usahanya untuk menyediakan saprotan
secara mandiri.
Di samping itu, individu Poktan BM memiliki kreativitas dalam
menyediakan input penunjang untuk mengaplikasikan saprotan (khususnya
pestisida alami). Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Sumadi berikut ini:
“Untuk buat pestisida alami sudah ditambah perekat bahannya dari jipan dan putih telur.
Kita pakai itu.”
104
Dari pernyataan Sumadi, maka dapat disimpulkan bahwa individu Poktan BM
sudah menggunakan perekat dari bahan putih telur sebagai bahan campuran untuk
pestisida alami.
Semangat poktan dalam melakukan penyediaan saprotan secara mandiri
dianggap bernilai dan dilatarbelakangi oleh hal-hal yang kurang-lebih mirip
dengan Poktan Tranggulasi. Hal ini diperjelas melalui pernyataan Mujiyanti
Rahayu berikut ini:
“Kalau pertanian organik itu kita bisa menekan biaya. Kalau kita beli pestisida itu
harganya sudah 100.000. Pestisida dengan harga 100.000 itu baru buat nyemprot sekali.
Tapi kalau pakai organik di samping aman dimakan, kalau pakai organik kita hanya beli
bahan-bahan yang harganya tidak mahal dan sudah bisa buat pestisida dalam jumlah yang
cukup banyak.”
Berdasarkan pernyataan Mujiyanti Rahayu maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi individu Poktan BM dalam menyediakan saprotan secara mandiri
disebabkan oleh adanya efisiensi pembiayaan. Hal ini menjadi rasional,
mengingat sebagian input saprotan dapat diperoleh dari lingkungan sekitar dan
sebagian lainnya dapat dibeli dengan harga yang murah. Dengan demikian, biaya
penyediaan saprotan menjadi lebih hemat.
Dua poktan dalam penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dalam
hal tata cara penyediaan saprotan. Dari segi penyediaan bibit tanaman, kedua
poktan memiliki persamaan, yakni: dilakukan secara individual oleh masing-
masing petani. Sedangkan saprotan lain (seperti dekomposer, pupuk, pestisida,
dan ZPT), Poktan Tranggulasi lebih mengandalkan usaha dari pengurus poktan.
Saprotan yang khas dapat diproduksi sendiri oleh individu Poktan Tranggulasi
diantaranya: power, streng, dan CP. Usaha pengurus Poktan Tranggulasi dalam
penyediaan saprotan dijadikan ajang untuk memperjualbelikan saprotan tersebut,
sehingga menjadi salah satu sumber pemasukan kas poktan. Berbeda dengan
Poktan Tranggulasi, Poktan BM tidak hanya mengandalkan usaha pengurus
poktan dalam penyediaan saprotan, tetapi dengan adanya kegiatan belajar-
mengajar di awal, diharapkan para anggota dapat menyediakan saprotan secara
mandiri. Sebetulnya kemandirian individu Poktan BM dalam menyediakan
saprotan disebabkaan oleh adanya keterbatasan saprotan yang disediakan oleh
Poktan BM. Di sisi lain, individu Poktan Tranggulasi dalam menyediakan
saprotan cenderung tergantung dengan usaha dari pengurus, karena pengurus
105
poktan menyediakannya dalam jumlah yang relatif besar. Produk saprotan khas
yang dapat dihasilkan oleh Poktan BM diantaranya: IMO 1-IMO 5, fermented fruit
juice (FFJ), fermented plant juice (FPJ), bahan perekat (seperti: putih telur) untuk
aplikasi pestisida, dan oriental herb nutrient (OHN). Meskipun saprotan
disediakan oleh pengurus poktan, akan tetapi jumlahnya cenderung terbatas,
sehingga individu poktan terangsang untuk menyediakannya secara individual.
Adapun produk saprotan yang sama-sama bisa dihasilkan oleh Poktan
Tranggulasi maupun Poktan BM, diantaranya: mikroorganisme lokal (MOL),
fermentasi urin sapi (ferinsa), plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), dan
pestisida nabati berbahan utama biji bengkoang. Persamaan yang paling mencolok
dari kedua poktan adalah penyediaan saprotan banyak memanfaatkan sumber daya
alami yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Kemudian, saprotan yang
digunakan bersifat multiguna, artinya satu saprotan memiliki lebih dari satu
manfaat.
Berdasarkan patokan individu poktan dalam membuat dan menyediakan
saprotan, terdapat beberapa individu Poktan Tranggulasi yang memiliki usaha
sendiri untuk menyediakan saprotan, baik dengan cara membeli di toko pertanian,
maupun ada juga yang memiliki inovasi sendiri. Oleh karena itu, untuk membuat
salah satu saprotan, individu Poktan Tranggulasi tidak melulu mengikuti prosedur
umum yang ada (bahan atau input saprotan bisa dimodifikasi, bisa ditambah
ataupun dikurangi). Sedangkan, individu Poktan BM, penyediaan saprotan
berdasarkan pada prosedur yang ada di poktan. Baik individu Poktan Tranggulasi
maupun Poktan BM, acuan yang dijadikan landasan petani dalam membuat atau
menyediakan saprotan bersumber dari kegiatan penelitian atau uji coba teknologi.
Partisipasi individu di kedua poktan didukung oleh adanya kesadaran akan
efisiensi biaya produksi dan kesadaran akan dampak positif bagi lingkungan, serta
keamanan pangan.
Poktan yang berusaha tani secara organik terlihat kreatif. Hal ini terlihat
dari saprotan yang digunakan bersifat multiguna, artinya satu saprotan memiliki
lebih dari satu manfaat. Petani mampu menarik kesimpulan bahwa saprotan yang
digunakan bersifat multiguna, karena hal tersebut diamati secara langsung di
lapangan UT. Itu mengapa timbul anggapan dari PPL bahwa petani merupakan
106
“profesor di lahannya sendiri” seperti yang dikemukakan oleh Suwalim berikut
ini:
“Satu anggota punya beberapa petak lahan, itu dipakai beberapa bedeng dulu beberapa
bedeng buat praktek budidaya tanaman secara organik. Lama-kelamaan petani bisa
belajar sendiri dari praktek itu, tidak harus PPL-nya yang memberi semua ilmu. Harapan
saya petani itu bisa pintar dengan sendirinya, untuk uji coba di lahannya sendiri, menjadi
professor di lahannya sendiri. Dengan praktek seperti itu, ada yang menemukan rumput
atau tumbuhan tertentu bisa dijadikan sebagai bahan untuk buat pestisida. Akhirnya pada
waktu pertemuan petani bisa saling tukar pengalaman, akhirnya ilmunya mereka semakin
bertambah…. Maka dari itu, petani menjadi professor di lahannya sendiri.”
Mencermati pendapat Suwalim, sebagian petani berinisiatif untuk memanfaatkan
lahannya untuk melakukan uji coba seiring ketika mereka melakukan usaha tani.
Dengan melakukan uji coba atau praktek tersebut, petani dapat menemukenali
metode atau sumber daya yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk mendukung
keberhasilan usaha taninya. Berdasarkan patokan individu poktan dalam
penyediaan saprotan, masing-masing poktan memiliki perbedaan. Sebagian
individu Poktan Tranggulasi memiliki kreasi sendiri-sendiri untuk membuat
saprotan, sehingga tidak selalu terpatok pada prosedur yang telah ditetapkan oleh
poktan dalam pembuatan saprotan tertentu. Di sisi lain, sebagian besar individu
poktan berpatok pada prosedur kelompok untuk menyediakan saprotan.
Berdasarkan kasus yang terjadi di poktan Trangggulasi, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa hasil temuan teknologi atau metode yang bersumber dari kreasi
sendiri dirasa bermanfaat untuk mengembangkan keberhasilan usaha taninya. Di
sisi lain, individu Poktan BM sementara ini masih merasa bahwa teknologi yang
bersumber dari uji coba secara kolektif (dilakukan oleh poktan) dianggap cukup
bermanfaat untuk menunjang keberhasilan usaha taninya, sehingga mengikuti
prosedur yang ada di poktan. Baik menggunakan teknologi berdasarkan kreasi
sendiri ataupun prosedur poktan, persamaan yang dapat disinyalir dari
menanggapi kasus tersebut adalah teknologi atau metode dianggap layak karena
dilatarbelakangi oleh kegiatan uji coba. Kegiatan tersebut dianggap bernilai dan
kredibel untuk menilai kelayakan suatu teknologi atau metode.
B. Budidaya Tanaman
Cakupan yang dibahas dalam anak sub bab ini menyangkut tentang segala hal
yang berkaitan dengan ciri khas poktan organik dalam penanaman (termasuk
pengaturan jenis tanaman yang dibudidaya) dan pemeliharaan tanaman. Budidaya
107
tanaman berkaitan erat dengan usaha petani dalam memanfaatkan dan mengelola
berbagai sumber daya yang tersedia di lapangan produksi dengan tujuan untuk
memperoleh hasil yang optimal.
Penentuan jenis tanaman yang dibudidayakan oleh Poktan Tranggulasi
tergantung dari beberapa pertimbangan petani. Pernyataan dari Sumadi akan
memperjelas hal tersebut:
“Pertimbangan saya nanam brokoli dan buncis karena prosesnya cepat. Kalau buncis itu dua
bulan sudah panen. Itu tiap bulan sudah petik paling tidak dua kali. Brokoli juga dua bulan.
Kalau selada itu cepat, tapi saya tidak pernah nanam selada, karena sudah banyak petani yang
tanam.”
Berdasarkan pernyataan Sumadi, maka dapat diketahui bahwa salah satu
pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang dibudidaya adalah
umur panen. Dengan umur panen yang relatif singkat, petani tertarik untuk
membudidayakannya. Di samping umur panen, jumlah petani yang
membudidayakan tanaman tertentu juga menjadi pertimbangan dalam memilih
komoditas yang ditanam. Jumlah petani yang membudidayakan tanaman tertentu
berkaitan erat dengan permintaan pasar. Hal ini diperjelas melalui pernyataan
Syaefuddin sebagai berikut:
“Yang ditanam nanti bisa masuk ke kelompok, tergantung kelompok itu membutuhkan sayur
apa. Itu yang menentukan jenis tanaman yang kita tanam, tergantung permintaan kelompok.
Kalau saya memilih tanaman yang dibudidaya itu atas kemauan saya sendiri, tetapi dalam
kelompok itu ada beberapa komoditas yang diminta dari supermarket atau dari pasar lain,
komoditas itulah yang kita tanam. Nanti sewaktu ada permintaan, tanaman sudah dipanen,
sehingga kita tidak sampai mengecewakan pasar. Maka dari itu saya menanam berbagai jenis
tanaman, itu panennya bisa bergilir.”
Walau begitu, sebelumnya poktan ini sudah pernah menerapkan
pembagian komoditas tanaman yang dibudidayakan. Hal ini selaras dengan yang
diutarakan oleh Syaefuddin berikut ini:
“Padahal yang laku buncis perancis, harga brokolinya di pasar lokal sedang turun.
Pesanan dari kelompok sedikit, akhirnya banyak yang dijual ke pasar lokal. Tapi petani
yang nanam buncis perancis bisa masuk ke kelompok semua, sehingga terjadi
kecemburuan antar temen. Maka dari itu, sekarang kita siasati nanam tanaman
berdasarkan keinginan sendiri. Dulu penyediaan bibitnya diusahakan dari
kelompok.Waktu penanaman sudah dijadwalkan dari kelompok. Penanaman jenis
tanaman sudah diatur, tapi jadi kecemburuan seperti itu. Maka dari itu, sekarang petani
nanamnya atas kemauan sendiri, nanti kalau ada pesanan tanaman tertentu bisa terserap,
kalau tidak kita jual ke pasar lokal. Kadang kita hasil panennya bagus, tapi permintaan
dari gudang kelompok itu.”
108
Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa kebijakan pembagian
jenis tanaman yang dibudidaya sudah tidak diberlakukan oleh poktan karena
adanya kesenjangan permintaan pasar akan sayuran. Maksudnya, ketika petani
diminta untuk menanam komoditas tertentu, sedangkan permintaan akan tanaman
tersebut terbatas, maka sebagian besar produk yang dihasilkan tidak terserap ke
gudang poktan. Dengan adanya persoalan ini, penentuan jenis tanaman yang
dibudidayakan oleh petani didasarkan atas kemauan sendiri, tetapi tetap berpatok
pada permintaan dari pasar. Hal ini dipertajam melalui pernyataan Wikan
Mujiono berikut ini:
“Pengaturan pola tanam sudah lama tidak jalan. Masalahnya pikiran dari masing-masing
anggota itu tidak pasti. Misalkan saya diminta nanam sawi sendok, saya tidak mau. Lalu,
diminta nanam tomat saya tidak bisa. Istilahnya dari petani punya prediksi sendiri
mengenai hasilnya. Yang kompak nanam tanaman berdasar aturan kelompok hanya
petani-petani yang menangani pemasaran. Mereka berusaha untuk nanam sedikit-sedikit,
misalnya dalam satu lahan ada beberapa tanaman. Tapi sebagian besar anggota nanamnya
bebas, tidak diatur. Yang saya masukkan ke kelompok hanya daun bawang dan daun
seledri saja. Saya tanami sedikit-sedikit mas. Kalau saya tanami banyak terus anggota
yang lain gimana? Pertimbangan saya nanam daun bawang dan daun seledri itu karena
panennya bisa sedikit-sedikit atau bertahap mas. Misalkan kelompok mintanya 10 kilo,
saya bisa panen hanya 10 kilo, kalau 20 kilo yang saya panen hanya 20 kilo, gitu kalau
daun seledri. Kalau tomat tidak bisa dipanen lima kilo dulu, terus besok lima kilo lagi,
karena kalau sudah matang harus segera dipanen…. Kelompok tani sekarang minta
tanaman bangsanya buncis perancis, sawi sendok, yang kecil-kecil seperti itu, kalau saya
kurang suka. Sekali panen atau satu musim tanam hanya satu sampai dua kwintal. Kalau
tanam kubis bisa panen satu sampai dua ton.”
Berdasarkan pernyataan Wikan Mujiono, maka semakin jelas bahwa petani
memiliki motif yang berbeda-beda dalam menentukan jenis tanaman yang
dibudidaya. Jika dicermati secara seksama, anggota poktan tertentu masih
memperhatikan nasib anggota poktan yang lain supaya produk yang dihasilkannya
(anggota lain) dapat terjual ke gudang poktan. Hal tersebut terbukti dari teknik
yang dilakukan oleh Wikan Mujiono dengan menanam sayuran tertentu dalam
jumlah yang sedikit, sehingga menciptakan peluang bagi anggota poktan lain
untuk menanam sayuran yang sama dan bisa terjual ke gudang poktan. Kemudian,
pola panen juga menentukan kemauan petani dalam membudidayakan komoditas
tertentu, misalnya tanaman seledri dan daun bawang yang proses matangnya
relatif lambat, sehingga memungkinkan untuk menunda waktu panen. Dengan
begitu, pemanenan tanaman tersebut bisa disesuaikan dengan waktu pengadaan
barang di gudang. Berbeda dengan tanaman tomat yang proses kematangannya
109
lebih cepat, sehingga petani dituntut untuk disiplin dalam melakukan pemananen.
Pertimbangan lainnya adalah sebagian petani enggan untuk menanam sayuran
yang hasil panennya tergolong memiliki berat yang rendah (dalam satuan kg atau
kwintal), seperti: buncis perancis, sawi sendok, dan lain-lain. Mereka lebih
berminat membudidayakan tanaman yang hasil satuannya memiliki bobot tinggi,
seperti: kubis, tomat, dan sebagainya. Kemudian jika pernyataan dari Wikan
Mujiono dicermati, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus (khususnya yang
tergabung dalam pengelola pemasaran) masih menerapkan pembagian jenis
tanaman yang dibudidayakan. Di samping itu, menurut Iswanto petani di
Indonesia sebagian besar berstatus ganda, yakni: sebagai produsen dan sekaligus
sebagai konsumen. Berikut pernyataannya:
“Faktanya di lapangan, petani itu tidak semata-mata menanam jenis tanaman karena
produksi yang tinggi. Karena petani di Indonesia itu, di samping dia adalah produsen, dia
juga sekaligus sebagai konsumen. Berbeda dengan di negara-negara maju, petani jelas
sebagai pengusaha, artinya ia akan selalu mengejar keuntungan. Kalau di negara kita
petani itu masih berfungsi sebagai produsen sekaligus konsumen, mereka tidak akan
mungkin menanam tanaman yang mereka sendiri tidak suka. Tapi kalau di negara maju
dia mau suka makan atau tidak, selama barang ini nanti bisa menjadi uang dan
menguntungkan, akan mereka usahakan.”
Petani yang bermotif subsistensi semacam itu yang menyebabkan pengurus
poktan mengalami kesulitan dalam mengatur pembagian jenis tanaman yang
dibudidayakan oleh individu poktannya. Pada dasarnya, yang menyebabkan
kesulitan poktan untuk mengatur pembagian jenis tanaman yang dibudidaya oleh
masing-masing petani diungkapkan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:
“Seharusnya ada pembagian tugas di kelompok mengenai komoditas yang ditanam. Tapi
karakter atau kultur petani itu kadang-kadang membuat sulit, karena mereka selalu
mengusahakan tanaman yang penanganannya mudah dan tidak beresiko.”
Menanggapi pernyataan Bernadus Agus Prabowo, maka dapat disimpulkan bahwa
mayoritas petani menentukan jenis tanaman yang dibudidaya dengan
pertimbangan kemudahan penanganan dan minimalnya jumlah risiko pada saat
membudidayakan tanaman yang bersangkutan. Oleh karena itu, demi
terpenuhinya permintaan pasar modern, pengurus poktan berinisiatif membentuk
kelompok kecil untuk melakukan pembagian tugas. Hal tersebut terbukti melalui
pernyataan Wikan Mujiono berikut ini:
110
“Yang masih menerapkan pengaturan jenis tanaman itu hanya petani-petani yang
mengurusi pasar modern. Kalau sudah ada permintaan, mereka saling koordinasi untuk
pengadaan barangnya.”
Meski begitu, ada sebagian anggota yang masih mentaati kebijakan pembagian
komoditas sayuran untuk melakukan budidaya. Demikian pernyataan Supoyo:
“Pembagian tanaman saya taati, saya biasanya menanam selada, bit, dan spinach. Saya
selalu ajeg nanam itu. Ada anggota yang tanam brokoli, ajeg tanam brokoli terus.
Terkadang ada pergantian. Dengan begitu bisa menjaga kemampuan kelompok untuk
menuhi permintaan.”
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pola tanam
yang umumnya diterapkan oleh poktan adalah tumpang sari. Hal ini terbukti
berdasarkan pernyataan dari Supoyo sebagai berikut:
“Jadinya tumpang sari itu satu bedeng ada selada, ada brokoli, bit, jarak tanamnya
masing-masing 30 cm. Empat jenis tanaman juga bisa, dengan kubis, kubisnya ditanam di
tengah-tengah, kalau kubis daunnya lebar mas. Kalau kubis umur panennya 3 bulan mas.
Kalau bangsanya selada, bit itu 40 hari sudah panen. Selada dan bit panen, kubisnya baru
tumbuh…….. Ditumpang sari ini fungsinya untuk jaga umur mas, kalau selada umurnya
pendek, 40 hari sudah panen, spinach juga sama. Pakai mulsa, mulsa fungsinya untuk
mencegah pertumbuhan rumput, jadinya kami tidak kerepotan untuk menyiangi mas.
Jarak tanamnya spinach dan selada selang 30 hari, itu dibuat selang-seling, selada-
spinach-selada.”
Berdasarkan pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui bahwa pola tanam
tumpang sari memiliki beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Penentuan
jarak tanam dan waktu penanaman sangat berpengaruh terhadap efektifitas dan
efisiensi dari pola tanam ini. Jarak tanam antar kedua komoditi yang berbeda
(misalnya: spinach dan selada) diatur rapat dengan jarak 30 x 30 cm. Jarak tanam
yang dekat sangat dianjurkan. Dengan tajuk yang rapat menutupi permukaan
tanah dari terik matahari, maka evaporasi diperkecil (Sutanto, 2002:125).
Sedangkan, perhatian petani terhadap jarak waktu penanaman antara tanaman satu
dengan tanaman lain yang dibudidayakan bertujuan untuk menciptakan
kesinambungan produksi (kegiatan panen). Hal ini terjadi karena jarak waktu
panen antar tanaman yang dibudiayakan relatif dekat, sehingga kesinambungan
pendapatan petani pun dapat tercipta. Akan tetapi hal tersebut sangat berkaitan
erat dengan kemampuan petani dalam mengatur waktu tanam. Jika tidak
memperhatikan jarak waktu tanam antar tanaman, maka kesinambungan
pemanenannya tidak optimal, selain itu dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Sarana yang digunakan untuk penyiapan lahan adalah
111
mulsa. Mulsa bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan gulma, sehingga tenaga
untuk melakukan penyiangan dapat terminimalisir. Selain mengurangi
pertumbuhan gulma, menurut Reijntjes dkk (1999:189), pemulsaan merupakan
teknik yang penting untuk memperbaiki iklim mikro tanah; meningkatkan
kehidupan, struktur, dan kesuburan tanah; menjaga kelembapan tanah; mencegah
kerusakan akibat dampak radiasi sinar matahari dan curah hujan (pengendalian
erosi); dan mengurangi kebutuhan akan pengolahan tanah. Beralih kembali ke
pola tanam tumpang sari, Suparman mempertajam bahwa pola tanam tumpang
sari bermanfaat untuk menciptakan kesinambungan pemanenan atau produksi,
yang kemudian berimplikasi pada kesinambungan pendapatan. Berikut
pernyataannya:
“Itu saya campur tomat dan sawi putih bersamaan di satu tempat, tumpang sari.
Keuntungannya, nanam tomat itu tiga bulan baru panen, sawi putih 40 hari mulai panen,
jadinya bisa untuk keberlanjutan modal. Kalau tidak ditumpangsari, modalnya bisa
terputus.”
Dengan keadaan seperti itu, ketersediaan modal petani untuk melakukan UT juga
terjaga. Selain itu, kegagalan salah satu tanaman dapat dikompensasikan oleh
tanaman yang lain, sehingga risiko kegagalan panen dapat ditekan seminimal
mungkin. Kemudian, dengan pola tanam yang seperti itu, produktivitas lahan per
satuan luas lebih besar daripada pertanaman tunggal, jika ditinjau dari hasil panen
untuk setiap satuan luas (Sutanto, 2002:131). Hal ini dipertajam oleh Sumar
sebagai berikut:
“Tomat biasanya ditumpangsari dengan kubis, brokoli, terakhir ditanam tomat. Jadi
nanam kubis, umur ½ bulan, ditanami tomat. Tidak ditanam dalam waktu sama, kalau
bersamaan, tomatnya tersaingi. Masalahnya kalau tomat itu lebat, tomat itu perlu ruang
longgar. Jadi kubis sudah habis dipanen, tomat sudah berumur dua bulan. Kalau pakai
mulsa itu hemat tenaga, rumputnya tidak terlalu banyak, kalau kebanyakan gulma
tanamannya jadi tidak bagus, karena unsur haranya terserap dengan gulmanya.”
Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola tanam
tumpang sari perlu memperhatikan jenis tanaman yang dibudidaya. Perhatian
petani terhadap jenis tanaman yang dibudidaya pada pola tanam tumpang sari
bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam memanfaatkan air, sinar, dan hara
yang tersedia (Sutanto, 2002:131). Sebagai contoh tumpang sari antara tanaman
kubis dan tomat. Tanaman kubis ditanam terlebih dulu, kemudian tanaman tomat
menyusul. Perlakuan semacam ini dilakukan mengingat laju pertumbuhan kedua
112
tanaman tersebut berbeda. Penanaman harus memperhitungkan kondisi tanaman
dan waktu yang tersedia, termasuk ruang yang digunakan masing-masing jenis
yang ditanam, kompetisi terhadap sinar, kelembapan, dan hara tanaman. Struktur
tanaman harus memperhitungkan juga perspektif horizontal dan vertikal bentuk
kanopi di atas tanah dan perakaran tanaman (Sutanto, 2002:122). Sumar
memperjelas manfaat dari pemulsaan, yaitu untuk mencegah pertumbuhan gulma
dan mengurangi tenaga untuk penyiangan, serta mencegah terjadinya kompetisi
penyerapan unsur hara antara tanaman dengan gulma. Kaitan yang erat antara
penentuan jenis tanaman yang ditumpang-sari dengan efektifitas dan efisiensi
pemanfaatan sinar matahari turut diutarakan oleh Syaefuddin sebagai berikut:
“Kalau habis panen, saya menanam tanaman yang tidak sejenis. Misalnya brokoli habis,
kita cabut. Bekas brokolinya itu tidak ditanam brokoli lagi, tapi ditanam jenis yang lain.
Waktu tanamnya itu susul-susulan……. Kalau kurang ½ bulan sudah siap panen, sudah
diisi yang sebelahnya lagi, kalau yang panennya habis, yang sebelahnya sudah
tumbuh…… Itu mengatur supaya tidak terlalu kepanasan, kalau musim kemarau ada
naungannya. Jarak tanam antar satu sama lain 30 cm x 30 cm, tapi itu tanamnya bukan
satu komoditas, tetapi dua komoditas. Kalau jarak tanam satu komoditas 60 cm. Kalau
dua komoditas, misalnya brokoli dan sawi putih jaraknya 30 cm.”
Berdasarkan pernyataan dari Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa sebagian
individu Poktan Tranggulasi menerapkan sistem penanaman susul-susulan atau
biasa dikenal dengan istilah sistem pergiliran tanaman. Sistem pergiliran tanaman
perlu memperhatikan beberapa hal seperti yang sudah dibahas sebelumnya (jarak
waktu tanam, jarak tanam, dan komoditas yang ditanam). Hal tersebut salah
satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang dibudidaya terhadap
intensitas sinar matahari, yang selanjutnya juga berpengaruh terhadap pengaturan
tingkat kelembapan. Berdasarkan pernyataan itu, kreativitas petani terlihat dari
adanya usaha untuk mengkombinasikan komoditas sayuran yang membutuhkan
intensitas sinar matahari yang tinggi dan komoditas yang hanya membutuhkan
intensitas sinar matahari yang rendah atau sedang. Keuntungan lain dengan pola
bergilir diutarakan oleh Suparyono sebagai berikut:
“Kubis ditumpangsari dengan wortel, kalau kubis sudah berumur 25 hari atau satu bulan,
ditaburi benih wortel. Jadi kubis sudah hampir panen, wortel baru mau tumbuh. Sehabis
kubis dipanen, ditanami sawi putih. Pada waktu wortel dipanen, sudah membalik tanah.”
Mencermati pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui manfaat tumpang sari
antara tanaman kubis dan wortel, kemudian disusul dengan penanaman tanaman
sawi putih. Ketika tanaman kubis sudah dipanen, tanaman wortel sudah hampir
113
siap panen. Lubang tanam bekas kubis, diisi dengan tanaman sawi putih. Ketika
wortel sudah siap panen, maka tanah yang menjadi lubang tanam dari wortel
secara otomatis sudah terolah dan dapat memberi manfaat sebagai sirkulasi udara
(aerasi) yang kemudian berguna untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sawi putih. Mencermati pembahasan-pembahasan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pola tanam tumpang sari bermanfaat
untuk membangun interaksi. Setiap tanaman memiliki caranya sendiri untuk
berkembang dalam interaksi dengan lingkungan, yakni memiliki kebutuhan khas
untuk faktor-faktor pertumbuhan, yang terwujud dalam ruang sebagai
morfologinya. Perbedaan-perbedaan morfologi antar tanaman dapat digunakan
petani untuk mendapatkan suatu dampak yang dikehendaki terhadap interaksi
antara komponen-komponen dengan lingkungan. Bukan hanya morfologi di atas
permukaan tanah, namun juga sistem perakaran (Reijntjes dkk, 1999:89).
Selanjutnya, ditinjau dari segi perawatan tanaman, poktan sayuran organik
juga memiliki keunikan tersendiri. Implementasi perawatan tanaman salah
satunya ditujukan untuk meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap
tanaman budidaya. Teknis pengendalian hama dan penyakit digambarkan melalui
pernyataan Sumar berikut ini:
“Mengamati perkembangannya itu gimana, ada ulatnya atau tidak? Kalau ada ulatnya
diambil pakai tangan. Kalau musim kemarau gini, hamanya banyak, tapi kalau musim
penghujan penyakitnya yang banyak, hamanya berkurang….. Insektisidanya pakai CP.
Penyemprotan pestisida biasanya dilakukan pagi hari.”
Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat diketahui bahwa umumnya serangga
yang tergolong sebagai hama muncul pada saat musim kemarau, sedangkan
serangan patogen penyakit banyak terjadi pada musim penghujan. Menurut Heddy
(2010:98), suhu tinggi (musim kemarau) dapat membuat tanaman layu dan
menjadikannya lebih “enak” bagi serangga. Sedangkan, perkembangan serangan
patogen penyakit berjalan dengan pesat pada saat musim penghujan, dikarenakan
oleh adanya hubungan yang erat antara perkecambahan spora (patogen fungi)
dengan kelembapan. Kelembapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
pertumbuhan sukulentis pada tanaman dan ini dapat mengurangi ketahanan
terhadap parasit (Semangun, 2006:246). Pengendalian hama dilakukan secara
manual (menggunakan tangan) dan kimiawi (menggunakan pestisida yang dikenal
114
dengan nama CP). Pengendalian secara kimia dilakukan pada pagi hari. Kegiatan
pengendalian hama atau penyakit tanaman tidak selalu menggunakan teknologi
yang diproduksi oleh poktan melalui eksperimen. Hal tersebut didukung oleh
kegiatan uji coba mandiri yang dilakukan bersamaan pada saat petani
melaksanakan kegiatan pengendalian hama atau penyakit tanaman. Pernyataan
dari Syaefuddin akan menjelaskan hal tersebut:
“Dulu pernah saya buat pestisida tertentu salah, buat pestisida tertentu salah. Saya buat
pestisida, kalau ulat bisa mati, tapi belalang tidak bisa mati, itu dikasih apa lagi?.......
Terus kutu kebul, yang putih itu, itu sulit penanganannya. Dikasih yang bau-bau,
dedaunan yang bau tidak bisa. Saya punya siasat, saya pakai sari manis, itu bisa buat
campuran roti, untuk pemanis. Itu saya semprot pakai itu, kutu kebulnya bisa hilang.”
Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa kegiatan
pemeliharaan tanaman dapat dijadikan ajang untuk menguji-coba dan menilai
efektifitas dari suatu teknologi. Upaya petani untuk melakukan uji coba teknologi
biasanya didasarkan atas adanya permasalahan di lapangan UT. Sebagian petani
menggunakan teknologi yang berbeda untuk membuat dan mengaplikasikan
pestisida alami. Hal tersebut diutarakan oleh Ngatemin berikut ini:
“Sekarang mau membasmi hama, petani di sini cuma pakai apa? Itu cuma pakai daun
suren, kliko pinah, dan cabai, itu semua dicampur dan direbus. Bisa buat membasmi
hama. Dicoba-coba terus bisa……. Itu uji cobanya secara pribadi. Ada anggota kelompok
yang menanggulangi hama cuma pakai peresan tembakau mas.”
Berdasarkan pernyataan Ngatemin, maka dapat diketahui bahwa petani di Poktan
Tranggulasi memanfaatkan sumber daya lokal (seperti: daun suren, cabai, dan
tembakau) dan daya kreativitasnya untuk membuat pestisida alami. Berangkat dari
hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu petani tidak hanya
mengandalkan produk pestisida yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi, akan
tetapi dengan daya kreativitasnya, petani mampu menemukenali sumber daya
lokal yang potensial, membuat atau mengolah, menghasilkan, dan
mengaplikasikan pestisida alami. Kreativitas tersebut terbangun dari adanya
kemauan petani untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dijelaskan
melalui pernyataan Rahmat berikut ini:
“Mana yang mudah didapat dari lingkungan kita, itu bisa kita ekstrak maupun kita suling,
bisa kita gunakan sebagai pestisida alami. Cuma kalau menggunakan itu tidak seperti
menggunakan pestisida kimia, kalau pestisida kimia sifatnya kan membunuh sekali dan
digunakan petani biasanya kalau sudah ada serangan. Kalau yang organik tidak bisa,
harus digunakan sejak awal, tujuannya untuk menjaga tanaman itu agar sehat, supaya
tidak terkena penyakit dan hama. Kalau sudah terlanjur kena serangan hama, pestisida
115
organik tidak bisa diterapkan, harus pakai pestisida kimia. Jadi organik itu tidak seperti
anorganik, serba instan. Kalau organik itu biasanya orang bilang rumit, jadi sulitnya di
situ. Tenaga yang dikerahkan banyak, karena paling tidak harus 10 hari sekali kita
semprotkan pakai itu. Sifatnya lebih kepada mengusir hama.”
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya yang tersedia di
sekitar lingkungan dapat diolah menjadi saprotan, diantaranya melalui proses
pengekstrakan atau penyulingan. Dari segi pengendalian hama dan penyakit,
perspektif UT organik lebih menekankan atau mengutamakan upaya preventif
(pencegahan). Di samping itu, pengendalian hama dan penyakit dengan sistem
organik bersifat lebih intensif, dibandingkan dengan sistem yang anorganik.
Selanjutnya, perlakuan lain yang dilakukan oleh petani untuk merawat
tanamannya adalah pemupukan. Pernyataan dari Sumar akan memberikan
gambaran tentang teknik pemupukan yang diimplementasikan oleh Poktan
Tranggulasi:
“Saya nanam tomat, pakai pupuk cair power itu. Kalau pupuk padat bahannya dari
kotoran sapi. Power fungsinya yang utama untuk penyubur dan mempercepat
pertumbuhan…. Untuk pemeliharaan yang penting diperkuat pupuk cairnya. Bisa juga
pupuknya pakai segala macam hijau-hjauan, lalu urin sapi, dan lain-lain. Yang penting
segala macam bahan alami.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sumar, maka dapat disimpulkan bahwa
sarana yang digunakan oleh individu Poktan Tranggulasi adalah power sebagai
pupuk cair. Sedangkan, pupuk padatnya menggunakan pupuk kandang sapi.
Sumar mengutarakan bahwa berbagai alternatif input digunakan untuk meracik
dan mengaplikasikan pemupukan, seperti penggunaan seresah-seresah daun
sebagai pupuk hijau dan input lainnya. Gambaran tentang teknis pemupukan yang
dilakukan oleh Poktan Tranggulasi dipertajam oleh Syaefuddin sebagai berikut:
“Perawatan tanaman kita biasanya ke lahan. Kita amati pertumbuhan tanamannya, misal
ada hamanya atau tidak, itu yang diperhatikan. Seandainya tanahnya itu tidak subur, kita
harus segera memberi pupuk cair berbahan urin sapi. Pertama, kita buat lubang, lalu
dikasih pupuk cair satu gelas per lubang. Pupuk cair itu perbandingannya dengan air satu
banding dua. Limbah sayuran juga bisa digunakan sebagai pupuk cair. Seandainya panen
brokoli, sisanya itu dimasukkan ke air, lalu ditunggu tiga sampai empat hari itu sudah
busuk. Sesudah itu diambil, airnya yang digunakan. Kalau di lingkungan sini lembap,
sehingga tidak terpengaruh untuk urin sapi. Tapi kalau di bawah seandainya Salatiga,
perbandingan antara pupuk cair urin sapi dan air kira-kira satu banding tiga. Saya pernah
uji coba, kalau di sini lingkungannya lembap, sehingga pohonnya kuat, tapi kalau di
dataran rendah atau sedang kondisinya panas, itu kalau diberi urin sapi terlalu banyak
bisa layu. Jadi dipengaruhi juga oleh suhu.”
116
Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui lebih detil perlakuan
pemupukan yang dilakukan oleh petani. Petani perlu peka terhadap keadaan atau
kondisi tanaman. Jika dirasa kurang subur, tanah diberi perlakuan pupuk cair
berbahan urin sapi (ferinsa fermentasi urin sapi). Di samping itu, untuk
membuat pupuk cair, petani juga bisa menggunakan limbah sayuran. Pupuk cair
menggunakan urin sapi atau limbah sayuran cocok digunakan di daerah
pegunungan, mengingat tingkat kelembapannya yang lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah dataran sedang atau rendah yang tingkat kelembapannya relatif
lebih rendah. Dengan kelembapan yang tinggi, berdirinya tanaman menjadi lebih
kokoh, sehingga tidak mudah layu apabila diberi perlakuan pupuk cair.
Selanjutnya, pelaksanaan budidaya tanaman oleh individu Poktan Tranggulasi
terbantu karena sudah tersedia tata cara atau panduan dalam mengaplikasikan
pupuk atau pestisida. Hal tersebut diungkapkan oleh Rebo sebagai berikut:
“Tata cara untuk pemberian power atau CP sudah ada. Berapa dosisnya, kapan waktu
pemberiannya.”
Selain menggunakan produk yang dihasilkan poktan atau hasil kreasi
sendiri untuk membuat pupuk atau pestisida, sebagian petani ada yang membeli
produk pupuk atau pestisida di toko pertanian. Pernyataan dari Suparman
menandakan hal tersebut:
“Ini baru nanam tomat, pakai pupuk meganik, saya sementara ini tidak pakai power……
Kalau saya pestisidanya beli di toko dengan bermacam-macam merk.”
Hal tersebut terjadi karena adanya kesulitan yang dirasakan oleh petani dalam
melakukan UT tanaman sayuran tertentu dengan sistem organik. Hal tersebut
diungkapkan oleh Ngatemin sebagai berikut:
“Kalau cabai pakai bahan organik tidak ampuh mas, pasti semi organik….. Selain cabai,
tanaman tomat itu kalau mengandalkan organik tidak ampuh mas.”
Dari pernyataan Ngatemin tersebut, maka dapat diketahui bahwa beberapa
tanaman, seperti tomat dan cabai masih sulit dibudidayakan, jika hanya
mengandalkan saprotan (khususnya pestisida) organik. Kedua tanaman tersebut
memiliki kesamaan dari segi familinya, yakni famili solanaceae.
Penerapan budidaya semacam itu juga disebabkan oleh adanya faktor-
faktor yang dirasa oleh petani sebagai hal yang bernilai. Pernyataan Ngatemin
akan memberikan gambaran awal mengenai hal yang bernilai tersebut:
117
“Masalah bertani organik itu gini mas. Kalau petani di sini mau memulihkan tanah, kalau
tanahnya sudah kebanyakan unsur kimia buatan itu untuk budidaya mengalami kesulitan.
Sekarang sudah bisa mengurangi unsur kimia buatan, dibudidaya secara organik setiap
tahun pertumbuhan tanamannya selalu bagus. Kalau dulu tiap tahun nyangkulnya lebih
dalam, sekarang nyangkulnya lebih pendek. Sekarang bisa dirasakan hasilnya, ternyata
tanpa kimia lebih bagus.”
Mencermati pernyataan dari Ngatemin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
telah terbentuk kesadaran individu Poktan Tranggulasi tentang pentingnya
menerapkan UT secara organik, mengingat hal tersebut merupakan upaya untuk
menjaga pertanian yang berkelanjutan. Salah satu sumber daya yang perlu
dipertahankan kualitasnya adalah tanah. Kesadaran itu muncul sebagai akibat
adanya masalah yang dialami langsung oleh petani. Hal ini terbukti dari adanya
pendapat bahwa penggunaan input kimia sintetik yang berlebihan dapat
mengakibatkan tanah menjadi keras, sehingga mempersulit petani dalam
mengolah lahan. Dengan keadaan seperti itu pula, input yang digunakan untuk
meningkatkan produktivitas tanah menjadi semakin banyak dan berdampak pula
pada peningkatan biaya produksi. Hal tersebut dipertajam oleh Wikan Mujiono
sebagai berikut:
“Hasilnya lebih banyak yang anorganik, tapi lama-kelamaan tanahnya rusak. Misalnya
cabai yang anorganik, harusnya lahannya didiamkan dulu beberapa bulan, biar rumputnya
pada tumbuh, baru diolah. Misalkan habis lahan masih banyak mengandung kimia, terus
langsung saya olah, tanamannya sulit tumbuh. Saya mengalami ketika nanam brokoli,
kemarin saya tanami terung. Terung itu saya semprot, aku beri pupuk banyak mas.
Sekarang terong saya panen, saya tambahi pupuk lagi, saya tanami brokoli, brokoliku
gagal, sekitar 2.500 tanaman gagal, panennya hanya sedikit-sedikit. Tapi kalau organik,
misalkan organik terus saya terapkan organik, tanah itu tidak saya kasih pupuk kandang,
hanya saya pasangi plastik mulsa, lalau saya kasih pupuk organik per lubang satu gelas.
Saya buat nanam, hasilnya bagus mas. Saya tambahi pupuk cair juga, sedikit-sedikit.
Terus sehabis panen, saya tanami lagi, mulsanya tidak saya bongkar, saya biarkan seperti
itu. Saya kasih pupuk organik, hasilnya tetap bagus. Tapi beda kalau yang anorganik,
harus dibongkar dan didiamkan lama terlebih dahulu.”
Berdasarkan pernyataan Wikan Mujiono, maka dapat diketahui bahwa dengan
sistem UT anorganik akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi daripada
menerapkan sistem UT organik. Akan tetapi, penggunaan input berbahan kimia
sintetik secara terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan tanah. Sebelum
menerapkan sistem UT organik, petani sengaja mendiamkan lahan yang
sebelumnya diberi aplikasi input kimia sintetik selama berbulan-bulan, agar
tumbuh rumput, kemudian baru diolah. Penerapan sistem UT organik tanpa
mendiamkan terlebih dahulu lahan yang sebelumnya diberi input kimia sintetik,
118
mengakibatkan tanaman mengalami kegagalan panen yang prosentasenya tidak
sedikit. Akan tetapi jika petani konsisten menggunakan input berbahan organik,
maka semakin sedikit input yang digunakan untuk melakukan budidaya tanaman.
Di samping itu, penggunaan mulsa dan penggunaan input berbahan organik
mampu mengurangi tenaga untuk mengolah tanah. Sedangkan, penggunaan input
berbahan kimia sintetik mengakibatkan lebih intensifnya kegiatan pengolahan
tanah. Pengolahan tanah secara intensif dapat menimbulkan dampak negatif,
karena merusak struktur tanah, mempercepat dekomposisi bahan organik, dan
meningkatkan kemungkinan terjadi erosi. Sistem pengelolaan yang cukup populer
adalah mengurangi kegiatan pengolahan tanah dalam bentuk olah tanah minimum
(OTM) dan TOT (tanpa olah tanah). Dengan sistem ini, kegiatan makrofauna
dapat dipertahankan, misalkan lorong yang dibentuk kegiatan cacing tanah
menyebabkan infiltrasi air lebih cepat. Selain itu, dapat mempertahankan hara
tanaman di permukaan tanaman (Sutanto, 2002:31-32). Kemudian, penerapan
sistem UT organik dapat berdampak positif untuk membangun peran
mikroorganisme dalam tanah. Hal tersebut diungkapkan oleh Rahmat sebagai
berikut:
“Kendalanya itu bisanya mereka tidak sabar, karena organik memerlukan waktu yang
cukup panjang, tidak sekedar seperti pupuk anorganik. Tapi kalau tanah itu sudah jadi
organik, walaupun tidak dipupuk itu tetap menghasilkan, karena di situ sudah banyak
mikroorganisme yang berperan.”
Dengan menggunakan input organik, mikroorganisme yang ada di dalam tanah
dapat lebih terpelihara populasinya. Mikroorganisme tanah tersebut mampu
membantu petani dalam menunjang kesuburan dan kesehatan tanah, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat lebih optimal. Mikoriza dan
mikroorganisme lain dapat memobilisasi hara, sehingga tersedia bagi tanaman
(Sutanto, 2002:29). Meski begitu, ada sebagian individu poktan yang beranggapan
bahwa penerapan sistem UT organik mengandung beberapa kesulitan terutama di
masa konversi. Pernyataan Suparman berikut ini akan memberikan gambaran
tentang hal tersebut:
“Tapi kalau 100% semua menggunakan organik itu sulit, dulu itu dua tahun itu
memperoleh hasil sejuta. Itu dua tahun khusus menerapkan usaha tani organik tapi
hasilnya sama dan waktunya lebih lama.”
119
Dari pernyataan Suparman, maka dapat disimpulkan bahwa penanganan budidaya
tanaman dengan sistem organik memiliki kesulitan, terutama pada saat masa
transisi dari sistem anorganik menjadi organik. Kemudian, dengan sistem organik
umur panen tanaman lebih lama, dibandingkan dengan sistem anorganik. Hal
tersebut terjadi karena pada umumnya pemupukan organik memiliki daya
pelepasan unsur hara yang lambat, serta memiliki daya penyimpanan unsur hara
yang lambat untuk dilepaskan ke dalam larutan air tanah, sehingga
ketersediaannya bagi tanaman juga lambat. Terlebih lagi jika pengelolaan tidak
dilakukan secara memadai, maka dapat menyebabkan pemanfaatan unsur hara
yang tidak efisien, hilangnya unsur hara, pengikatan unsur hara atau pengasaman
(Reijntjes dkk, 1999:68 & 70). Semua penyebab tersebut memberi efek negatif
terhadap laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yang kemudian
berdampak negatif pula terhadap kecepatan umur panen. Hal yang kurang-lebih
sama juga diutarakan oleh Harto Slamet sebagai berikut:
“Cuma waktu yang dibutuhkan untuk bertani organik sedikit agak lama. Kalau yang
namanya organik itu tidak bisa instan. Lalu, ketersediaan hara dari pupuk organik juga
terbatas.”
Mencermati pernyataan Harto Slamet, dapat diketahui pula bahwa tenaga dan
pikiran yang dicurahkan untuk menerapkan UT organik lebih tinggi. Hal lain yang
menyebabkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih lamban adalah
unsur hara makro (unsur hara pokok untuk mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, seperti N, P, dan K) yang terkandung dalam pupuk
organik jumlahnya terbatas. Menurut Sutanto (2002:06), pada umumnya pupuk
organik mengandung hara makro (seperti: N, P, K, Ca, Mg, dan sebagainya)
rendah, tetapi mengandung hara mikro (seperti: besi, mangan, boron, seng,
tembaga, dan sebagainya) dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman. Lain halnya dengan teknologi pupuk pabrik (baik tunggal
maupun majemuk) yang kandungan unsur haranya makronya sudah tersedia
dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, pemakaian pupuk sintetis dalam jumlah besar,
terutama pupuk nitrogen, dalam jangka panjang dapat menurunkan kesuburan
tanah (Salikin, 2003:23). Dengan demikian, meskipun sistem UT organik
mengandung beberapa kelemahan, namun dengan adanya sikap positif individu
poktan terhadap sistem UT organik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
120
semangat untuk menerapkan budidaya secara organik tetap bertahan, bahkan
berkembang.
Ditinjau dari segi teknis budidaya, terdapat persamaan dan perbedaan
antara Poktan Tranggulasi dan Poktan BM. Perbedaan mendasar antara Poktan
Tranggulasi dan Poktan BM terlihat dari motif petani dalam menentukan jenis
tanaman yang dibudidaya. Pernyataan dari Saminah memberi gambaran awal
letak perbedaan tersebut:
“Pertimbangan memilih tanaman, kelompok beranggotakan 10 orang itu sudah ada
pembagian sendiri-sendiri. Ada pengaturan, jadi masing-masing anggota punya tugas
budidaya tanaman tertentu.”
Berdasarkan pernyataan Saminah, maka dapat diketahui bahwa masing-masing
individu Poktan BM memiliki tugas dalam membudidayakan jenis tanaman
tertentu. Pernyataan dari Saminah diperkuat oleh Supilih sebagai berikut:
“Sudah ada pengaturan jenis tanaman, di sini ada 20 anggota kelompok. Yang mau
ditanam itu berapa komoditi? Berapa macam? Misalnya ada 20 macam, 20 macam ini
penanamannya harus bisa rutin, tapi jumlahnya sedikit-sedikit mas. 20 anggota, kalau
semuanya menanam banyak, nanti sisanya mau dijual kemana? Padahal kelompok
mampu menyerap semua, akhirnya dijual ke pasar lokal. Yang penting permintaan
kelompok tersedia setiap saat mas. Jadwal tugasnya itu bergiliran.”
Berdasarkan pernyataan Supilih, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di Poktan
BM sudah ada pengaturan jenis tanaman yang dibudidayakan oleh tiap-tiap
individu dalam poktan. Satu petani bisa memperoleh tugas untuk
membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman, mengingat pola tanam yang
diterapkan adalah polikultur (menanam beraneka ragam tanaman di satu petak
tanah atau bedengan). Alasan mendasar dilakukannya pembagian tanaman, supaya
poktan dapat memenuhi permintaan pasar. Selain itu, tiap komoditas yang
ditanam oleh satu petani berjumlah sedikit-sedikit, agar produknya semaksimal
mungkin bisa terserap oleh pasar modern. Pemberian tugas ke petani untuk
membudidayakan komoditas tertentu terjadwal dan pada waktu tertentu bisa
berubah. Untuk mengoptimalkan fungsi pengaturan jenis tanaman yang
dibudidaya oleh tiap individu, Poktan BM memiliki pengurus khusus yang
mengelola fungsi tersebut. Hal tersebut dikemukakan oleh Makruf sebagai
berikut:
“Kalau di pertemuan jenis tanaman yang ditanam itu diatur sama kelompok tani, itu
terdiri dari macam-macam tanaman, penataannya sulit. Itu terkadang penugasannya
bergantian. Yang bertugas membagi pengurus divisi pertanian.”
121
Kemudian, pernyataan Makruf dipertajam oleh Pandi berikut ini:
“Yang menentukan anggota nanam apa itu bagian pemasaran, misalnya satu minggu ini
anggota tertentu nanam brokoli, anggota lain nanam tanaman yang berbeda. Itu
tujuannya supaya bisa memenuhi permintaan, jadi stoknya masih ada.”
Berdasarkan pernyataan Makruf dan Pandi, maka dapat dipastikan bahwa
pengaturan jenis tanaman yang dibudidaya oleh tiap anggota didiskusikan
bersama di wadah pertemuan. Kemudian, dapat dipastikan pula bahwa dalam
situasi tertentu, tugas individu poktan dalam membudidayakan tanaman tertentu
bisa berubah. Mencermati pernyataannya Makruf, maka dapat diketahui bahwa
Poktan BM memiliki pengurus khusus untuk mengelola tugas tersebut yang
dikenal oleh individu Poktan BM dengan istilah “divisi pertanian”. Hal ini senada
dengan uraian tugas pengurus poktan, dimana divisi pertanian bertugas menangani
kegiatan budidaya pertanian, mengatur pola tanam, dan jadwal tanam komoditas
kepada semua anggota kelompok. Meski begitu, Pandi mengungkapkan bahwa
divisi pemasaran yang bertugas mengatur hal tersebut. Hal tersebut menandakan
bahwa ada perbedaan pendapat antara Makruf dan Pandi. Jika kedua pendapat
tersebut disintesiskan, maka dapat disimpulkan, baik bagian pertanian maupun
bagian pemasaran bertugas untuk mengelola tugas tersebut. Di samping itu, dapat
terungkap makna bahwa bagian pertanian dan bagian pemasaran memiliki
hubungan yang integratif. Perbedaan jenis produk yang dihasilkan oleh tiap-tiap
petani dapat berimplikasi terhadap kemampuan poktan dalam memenuhi
permintaan pasar. Hal tersebut juga diutarakan oleh Suwanto sebagai berikut:
“Semua petani mempunyai sayuran yang berbeda, karena itu untuk memenuhi kebutuhan
konsumen. Kalau semuanya punya sayuran yang sama, bisa merugi dan tidak bisa
memenuhi permintaan pasar.”
Salah satu kendala dalam mengatur jenis tanaman yang dibudidaya oleh
individu Poktan BM adalah terdapat keengganan petani untuk membudidayakan
jenis tanaman tertentu, karena perawatannya yang sulit. Walau begitu, perlu ada
petani yang menyanggupi tantangan tersebut. Pernyataan dari Rebo Wahono akan
memperjelas hal tersebut:
“Tomat pada tidak mau nanam, karena takut gagal. Yang hitam itu penyakit yang
disebabkan cendawan, jamur, itu sangat rentan sekali ketika musim hujan. Kalau musim
kemarau seperti ini sudah terbakar dengan sinar matahari…… Penanaman tanamanan
didiskusikan di pertemuan. Suatu misal orang itu tidak pernah nanam tomat, walaupun
diminta nanam, mereka tidak mau. Seperti saya tidak pernah nanam sawi sendok, kalau
diminta nanam itu, saya tidak telaten. Jadi sudah ada pembagian masing-masing. Jadi
misalnya satu orang itu menyanggupi nanam satu macam saja, kalau 20 anggota berarti
122
sudah 20 macam……. Jadi kita punya catatan, hari ini mungkin pak Pilih nanam brokoli
1000 batang, lalu seminggu atau 10 hari ke depan siapa yang tanam itu? Akhirnya setiap
malam minggu masing-masing anggota punya laporan.”
Berangkat dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat diketahui bahwa salah satu
tanaman sayur yang penanganannya relatif sulit adalah tomat. Salah satu
kendalanya terletak pada kerentanan tanaman tomat terhadap penyakit “hitam”,
yang disebabkan oleh patogen jamur. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman
tomat ketika musim hujan. Dalam perspektif akademisi, penyakit ini lebih dikenal
dengan istilah penyakit busuk daun. Penyakit ini disebabkan oleh jamur
Phythoptora infestans. Busuk daun tomat hanya merupakan masalah berat di
dataran tinggi pada musim hujan, karena perkembangan P. infestans memerlukan
kelembapan total udara yang tinggi dan suhu yang rendah (Semangun, 2007:234).
Untuk menanggulangi penyakit itu, petani selalu berupaya untuk menjaga kondisi
lahan agar tidak terlalu lembap. Rebo Wahono juga menyinggung bahwa
penentuan jenis tanaman ke masing-masing petani memperhatikan kebiasaan
petani dalam membudidayakan jenis tanaman tertentu. Penentuan jenis tanaman
dan kuota tiap tanaman yang dibudidayakan oleh individu poktan dicatat dalam
buku sebagai bahan pelaporan dan evaluasi lewat pertemuan rutin poktan. Hasil
wawancara dengan Rebo Wahono memperlihatkan bahwa pengurus poktan
berperan untuk menanggung risiko dalam membudidayakan tanaman yang
penanganannya tergolong sulit. Hasil observasi dan dokumenter memperlihatkan
bahwa hal tersebut ditanggung oleh divisi pertanian dan ketua poktan. Di samping
itu, jumlah permintaan tiap tanaman dari pasar modern memiliki perbedaan,
sehingga jenis tanaman yang dibudidaya beserta jumlah tanaman yang ditanam
oleh tiap petani sudah diatur. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Supilih
berikut ini:
“Petani bisa diatur nanam, tapi jumlah tanaman yang ditanam sedikit-sedikit. Misalnya,
semua anggota nanam 1.000, di ini ada orang 10 yang nanam, jadinya 10.000. Kalau
seperti itu tidak bisa mencukupi kebutuhan masing-masing anggota. Sebangsa daun-
daunan, seperti siomak, selada keris itu, lalu selada hijau, selada merah, basil, itu
permintaan dari kelompok sedikit. Tapi kalau sebangsa horenzo, lettuce, atau brokoli itu
permintaannya banyak. Ketumbar dari supplier minta, tapi cuma sedikit.”
Dari pernyataan itu, maka terbukti jelas bahwa jenis tanaman dan jumlah tanaman
yang dibudidaya oleh individu Poktan BM menyesuaikan permintaan dari pasar
modern. Tanaman yang permintaannya banyak antara lain: brokoli, head lettuce,
123
horenzo (bayam Jepang), dan sebagainya. Sedangkan, yang permintaannya sedikit
antara lain: siomak, selada hijau, selada merah, daun basil, ketumbar, dan
sebagainya. Asumsinya, jika jenis tanaman dan jumlah tanaman yang dibudidaya
oleh petani tidak diatur oleh poktan, maka jumlah produksi sayuran yang
dihasilkan akan terlalu banyak terserap ke pasar tradisional dan berdampak pada
harga jual yang cenderung rendah.
Kemudian, persamaan antara Poktan Tranggulasi dan Poktan BM ditandai
dengan pola serta teknis penanaman. Pernyataan Makruf berikut ini akan
menjelaskan hal tersebut:
“Nanam bit, selada, spinach, brokoli, saya nanam 7 macam sayuran, saya tumpang sari.
Lahannya saya itu menyebar. Kalau tidak ditumpangsari hasilnya kurang, pupuknya beli
banyak kalau cuma satu tanaman kami rugi. Tapi kalau misalkan tumpang sari
tanamannya harus disesuaikan, mana tanaman yang panjang, yang tinggi, yang pendek
harus diatur. Umpama ditanam bersamaan, bisa kalah dengan tanaman yang di
sebelahnya. Itu harus tanam tanaman yang pendek, itu nanti bisa menyusul. Kalau
tanaman bit, spinach, dan selada itu tidak butuh pestisida dalam jumlah banyak, karena
ulatnya tidak banyak. Karena itu, perawatannya mudah.”
Berdasarkan pernyataan Makruf, maka dapat diketahui bahwa sama halnya
dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM juga menerapkan pola tanam tumpang-
sari. Titik kesadaran individu poktan mengenai fungsi pola tanam tumpang sari
ada pada optimalisasi penggunaan pupuk atau input lainnya. Individu Poktan BM
juga sangat jeli dalam menentukan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan
dengan pola tanam tumpang sari. Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan serta
perkembangan tanaman, yang selanjutnya berdampak pula pada hasil panen. Jika
pernyataan Makruf dicermati, individu poktan juga memperhatikan aspek
kemudahan penanganan tanaman dalam membudidayakan tanaman. Selanjutnya,
terkait teknis dari pola tanam tumpang sari diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai
berikut:
“Tomat bisa ditumpangsari dengan selada atau brokoli. Tapi setidak-tidaknya itu selang
satu bulan, jadi brokoli ditanam, sampai berumur satu bulan, baru ditanami tomat. Tomat
umur dua bulan sudah siap panen. Kalau waktunya bersamaan tidak bisa, karena bisa
beradu. Nanti tomat mungkin sekitar setengah bulan lagi kami pangkas, kami pangkas
daun yang kering-kering, habis itu di bawahnya bisa ditumpang sari apa lagi.”
Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka gambaran pola tanam tumpang sari
dicontohkan dengan kombinasi antara tanaman tomat dan selada. Sistem
penanaman bergilir (contohnya: pertama dilakukan penanaman tanaman brokoli,
kemudian selang satu bulan baru ditanami tanaman tomat) bertujuan untuk
124
mencegah terjadinya kompetisi antar spesies tanaman dalam hal penyerapan unsur
hara. Kemudian, kegiatan petani melakukan pemangkasan terhadap daun-daun
yang sudah kering berakibat menciptakan ruang yang terkena sinar matahari,
sehingga petani memiliki peluang untuk menanam komoditas lain (tentunya tetap
memperhatikan kecocokan jenis yang ditanam). Menurut Wahyudi (2011:150),
pemangkasan tanaman tomat umumnya dilakukan terhadap tunas air. Biasanya
tunas air tumbuh pada masa pertumbuhan vegetatif, yaitu 0-35 hari setelah tanam
(HST). Salah satu tujuannya, agar batang tanaman memiliki kesempatan untuk
berkembang lebih besar dan kokoh.
Penggunaan sarana mulsa untuk budidaya tanaman sayuran juga disadari
memiliki fungsi. Pernyataan Budiyati dan Pandi berikut ini memberikan gambaran
akan fungsi dari mulsa:
“Saya pakai mulsa, fungsinya itu kalau hujan tidak kotor, bersih.” (Budiyati)
“Kalau pakai mulsa, masuknya air cuma di lubang tanamnya. Jadi pertumbuhan akar
serabut itu bisa lancar, tanahnya tidak begitu padat. Kena air itu tanahnya bisa padat.
Kalau tanahnya padat, pertumbuhan akarnya sulit.” (Pandi)
Berdasarkan pernyataan Budiyati dan Pandi, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa individu Poktan BM menyadari fungsi mulsa sebagai pembersih bedengan
dari air hujan. Mulsa dapat mencegah terjadinya pemadatan tanah yang terlalu
tinggi akibat air hujan. Hal itu dapat mempertahankan kegemburan tanah,
sehingga meminimalisir peluang terjadinya pertumbuhan akar tanaman yang
tersendat-sendat.
Bentuk kegiatan petani di Poktan BM dalam pemeliharaan tanaman relatif
sama dengan petani di Poktan Tranggulasi. Walau begitu, ada penanganan yang
berbeda di Poktan BM, yakni penggunaan sarana green house. Dampak positif
dari penggunaan green house diungkapkan oleh Pandi dan Suwanto sebagai
berikut:
“Kalau pendapat saya, green house itu fungsinya untuk mencegah hujan. Itu kalau tidak
dikasih green house, kalau hujan airnya masuk semua.” (Pandi)
“Tomat itu sulit, tapi dengan adanya penggunaan green house mereka tidak khawatir.”
(Suwanto)
Dengan menggunakan green house, maka dapat mencegah tanaman terkena air
hujan yang berlebihan, sehingga kondisi kelembapannya dapat terjaga. Kondisi
125
sekitar lahan yang terlalu lembap umumnya dapat mengakibatkan tanaman mudah
terserang penyakit, sehingga tanaman dapat layu, disertai dengan pembusukan
(Pracaya, 2011:19). Oleh karena itu, penggunaan green house dapat berfungsi
untuk meminimalisir serangan hama atau penyakit pada tanaman. Meski
menggunakan green house, petani masih diperhadapkan dengan tantangan,
terutama dalam hal memenuhi kebutuhan tanaman akan air. Cara petani untuk
menghadapi tantangan tersebut dijelaskan melalui pernyataan Budiyati berikut ini:
“Di green house itu yang dekat air, kalau nyiram-nyiram jadinya dekat. Yang jauh air
biarkan saja, tidak di-green house, tapi di-mulsa.”
Berdasarkan pernyataan Budiyati, maka dapat diketahui bahwa petani
memperhatikan tata letak untuk membangun green house. Green house dibangun
pada lahan yang jaraknya dekat dengan air, agar petani mudah dalam melakukan
penyiraman untuk kebutuhan tanaman. Sedangkan, lahan yang tidak berdekatan
dengan air hanya diberi mulsa. Akan tetapi, penggunaan green house cukup
mengundang kritik dari petani yang ada di sekitar dusun Poktan BM. Pernyataan
dari Giyono akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hal tersebut:
“Green house ini bukan syarat mutlak untuk organik. Itu yang ikut bikin green house saya
tanya, berapa penghasilan green house itu?....... Sekarang yang ikut green house berapa
hasil penjualannya? Nanam di satu bedeng, dua bedeng, kebutuhan masyarakat itu bukan
seperti itu, sangat kompleks sekali. Seperti kebutuhan makan, kebutuhan anak sekolah,
kebutuhan sosial kemasyarakatan. Kalau hanya mengandalkan seperti itu, kapan mau
cukup? Percuma punya lahan banyak, kalau ada lahan 5.000, berapa juta green house,
penghasilannya tidak sesuai dengan pembiayaan green housenya.”
Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian masyarakat
beranggapan bahwa penggunaan green house mengakibatkan pengeluaran biaya
produksi UT menjadi relatif tinggi. Selain itu, penggunaan green house dicirikan
oleh biaya energi yang sangat tinggi (sistem pemanasan) (Leeuwis, 2009:16).
Belum lagi, lahan yang bisa dinaungi oleh green house tidak begitu luas. Dengan
demikian, tidak semua lahan yang dimiliki oleh seorang petani dapat dinaungi
oleh green house. Giyono mengutarakan bahwa penghasilan yang diterima oleh
petani dari hasil produksi UT sayuran tidak sebanding atau tidak sesuai dengan
biaya yang dikeluarkan untuk membuat green house.
Selanjutnya, teknis pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit
tanaman yang diterapkan di Poktan BM relatif sama dengan Poktan Tranggulasi.
Pernyataan Budiyati akan memberikan gambaran awal tentang hal tersebut:
126
“Pemeliharaannya selada dan spinach diberi pupuk cair. Bahannya tetes tebu, kotoran
sapi itu buat pupuk cair, pakai urin. Kalau pupuk padatnya itu ditimbun dulu, baru diaduk
biar lembut, nanti dibuat untuk pemupukan. Untuk mengatasi hama penyakit,
pestisidanya buat sendiri, yang buat bapak-bapak. Dari IMO itu bisa buat pupuk padat dan
pestisida. Kalau nyemprot hama sayur itu seperti lalat itu bahannya cabai rawit, bawang
putih, daun-daunan, itu dicampur mas.”
Berdasarkan pernyataan Budiyati, maka dapat diketahui bahwa Poktan BM juga
menggunakan urin sapi yang sudah difermentasi sebagai bahan pupuk cair.
Kemudian, pupuk padat yang berbahan dasar kotoran sapi. Sedangkan, untuk
mengendalikan hama dan penyakit, Poktan BM menggunakan pestisida alami,
antara lain berbahan dasar dari: cabai, bawang putih, dan sebagainya. Dari
pernyataan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa saprotan yang digunakan untuk
merawat tanaman adalah hasil kerja keras pribadi individu Poktan BM.
Pernyataan dari Rebo Wahono akan memberikan gambaran lebih lanjut tentang
teknis pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit di Poktan BM:
“Kalau kasih pupuk cair seminggu sekali, terus aplikasi pupuk daun itu kalau bisa
seminggu sekali, tapi menurut kita itu semaunya…. Jadi mengatasi penyakit kuncinya ada
di bakteri. Jadi pertama itu saya kasih pupuk kandang. Pupuk kandang lalu saya sirami
IMO….. Jadi kadang seseorang itu organik-organik, organik itu seperti apa? Kadang-
kadang masih simpang-siur, bisa dikatakan kalau pupuk dasar, kalau pupuk kandang yang
sudah keluar dari kandangnya itu, itu dikatakan organik, sedangkan kalau di kelompok
kami yang namanya pupuk kandang organik itu harus lewat proses fermentasi, bagaimana
biar jamurnya itu tidak ada, terus diserap tanaman juga tidak menimbulkan penyakit, akar
gada dan bermacam-macam….. Kalau dalam rumah plastik yang sudah rapat seperti ini
kendalanya itu bagi kami hama wereng, tapi wereng itu juga bisa kita antisipasi dengan
air yang banyak, kalau di tempat kami, kenapa tidak ada wereng? Karena setiap hari
hampir disiram. Maka dari itu, dimanapun saat kering itu mudah sekali hama-hama itu
mendatang.”
Pemberian pupuk cair dilakukan sebanyak satu minggu sekali, demikian pula
dengan pemberian pupuk daun. Akan tetapi, teknis aplikasi pupuk tidak harus
mutlak seperti itu. Individu Poktan BM telah mengenal teknologi-teknologi untuk
fermentasi pupuk maupun pestisida. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penggunaan mikroorganisme untuk mengolah pupuk maupun pestisida, sehingga
menekan jumlah patogen penyakit yang berpotensi menyerang tanaman. Menurut
Sutanto (2002:39), organisme yang bersifat patogen akan mati, karena suhu yang
tinggi pada saat proses penguraian berlangsung. Dari pernyataan itu pula dapat
disimpulkan akan arti penting dari kegiatan penyiraman, mengingat sebagian
lahan pertanian milik petani dipasangi green house. Penyiraman yang tidak
127
intensif dapat mengakibatkan tingkat serangan hama terhadap tanaman yang
semakin tinggi. Teknis perawatan lainnya adalah modifikasi pH tanah yang ideal
dan teknis peningkatan kualitas tanah lainnya. Hal tersebut disinggung oleh
Rochmad sebagai berikut:
“Kalau tanah yang paling bagus itu pH nya 5,5-6,5. Kalau kurang tinggi dikasih kapur.
Kalau ketinggian diturunkan, kasih belerang, sehingga pH tanahnya maksimal. Ternyata
sekarang tanah itu yang sudah betul-betul bagus, itu menekan biaya yang sangat tajam.
Kalau kita menanam sawi sendok atau selada, itu tidak perlu diberi pupuk, cuma kasih
OHN itu dan pupuk cair itu saja sudah mampu. Itu menekan biaya yang sangat besar.
Kalau dulu tidak dikasih pupuk, tidak bisa panen, kalau anorganik, tapi setelah tanahnya
itu subur kembali seperti ini yang di dalam green house, itu sudah menekan biaya yang
sangat besar.”
Berdasarkan pernyataan Rochmad, dapat diketahui bahwa pengapuran berguna
untuk menaikkan pH tanah, sedangkan pemberian belerang berguna untuk
menurunkan pH tanah yang terlalu tinggi. pH tanah dapat diatur se-ideal mungkin,
sesuai dengan syarat tumbuh dari tanaman yang dibudidaya. Selain itu,
pengapuran tanah juga berfungsi untuk menetralisir tanah yang terlalu banyak
mengandung bahan kimia sintetik. Dengan upaya tersebut, pemberian pupuk
dapat ditekan. Dosis pemberian pupuknya tidak sebanyak ketika tanah terlalu
banyak mengandung bahan kimia sintetik, sehingga lebih efisien, baik dari segi
material maupun biaya produksi. Dapat ditafsirkan pula bahwa anggota Poktan
BM menggunakan OHN (Oriental Herb Nutrient) untuk mengendalikan hama
secara kimiawi. Perbedaan antara sistem UT organik dan sistem UT anorganik
dalam mengendalikan hama dan penyakit juga dikemukakan oleh Rochmad
sebagai berikut:
“Dengan organik ini lamban namun pasti……. Kalau dengan pestisida pabrik begitu kita
semprot, mati ulatnya. Kalau organik pengendali, kalau dari tanam itu empat hari
kemudian sudah kita kasih pengendali itu. Dengan begitu, ulatnya tidak ada. Tapi kalau
dengan pestisida kimia, tidak ada ulatnya tidak semprot. Pada waktu ada ulatnya baru
disemprot. Kalau organik setiap empat hari harus kita semprot, karena kita melakukan
pencegahan. Bedanya di situ.”
Ditinjau dari segi efektifitasnya, pengendalian hama dan penyakit dengan sistem
UT anorganik lebih ampuh. Dengan sistem UT organik, petani tidak
terkonsentrasi pada pembasmian hama atau patogen peyakit secara seketika,
melainkan lebih menekankan pada penghalauan atau pencegahan serangan oleh
hama atau patogen penyakit. Dengan teknik ini, populasi dari hama dikendalikan,
sehingga populasi dari predator hama tersebut dapat dipertahankan (atau
128
diperbanyak). Namun demikian, beberapa pestisida alami juga beracun bagi
manusia dan hewan. Banyak tanaman (seperti tembakau yang mengandung
nikotin) memiliki efek defensif atau mematikan pada vertebrata, serangga, tungau,
nematoda, jamur atau bakteri (yang bisa berpotensi sebagai musuh alami)
(Reijntjes dkk, 1999:209). Di samping itu, pengendalian hama dan penyakit
(menggunakan pestisida alami) di sistem UT organik cenderung lebih intensif,
karena pestisida ini akan lebih cepat mengalami disintegrasi atau terurai (Reijntjes
dkk, 1999:206). Sedangkan, untuk mengatasi serangan hama atau patogen
penyakit pada sistem UT anorganik cenderung bersifat membasmi dan dilakukan
secara spontan, artinya: ketika tanaman terserang hama atau penyakit baru
dilakukan perlakuan yang orientasinya membasmi atau memberantas. Petani yang
menerapkan sistem UT anorganik pada umumnya mengandalkan pestisida kimia
sintetik untuk membasmi hama dan patogen penyakit. Kecenderungannya,
pestisida kimia sintetis bukan hanya membunuh organisme yang menyebabkan
kerusakan pada tanaman, namun juga membunuh organisme yang berguna, seperti
musuh alami hama (Reijntjes dkk, 1999:15). Dampak negatifnya terutama terjadi
pada penurunan biota tanah. Menurut Suprihati, dkk (2013:146), dalam
penerapannya, tidak seluruh pestisida mengenai sasaran, tergantung dari
persentase efektifitasnya. Hanya sekitar 20% pestisida mengenai sasaran,
sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut
mengakibatkan pencemaran lahan pertanian, yang selanjutnya juga berpengaruh
terhadap kehidupan biota tanah maupun rantai makanan. Apabila masuk ke dalam
rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai
penyakit. Menanggapi pernyataan Suprihati, maka dapat disimpulkan bahwa ada
korelasi antara teknis pengendalian hama dan penyakit dengan usaha untuk
menunjang kesuburan dan kesehatan tanah. Meski begitu, jika kondisi cuaca
sangat rawan bagi tanaman, maka pemanfaatan pestisida kimia sintetik masih
diperlukan. Hal tersebut diutarakan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:
“Makanya kalau sudah curah hujan seperti ini, untuk budidaya tomat organik saya
khawatir. Sekarang kalau di sini jamur phytoptoranya luar biasa, tidak mungkin diatasi
dengan pestisida organik, karena tidak mampu.”
Berdasarkan pernyataan Bernadus Agus Prabowo, maka dapat diketahui bahwa
ketika kondisi cuaca ekstrem, seperti musim hujan yang lebat, maka tanaman
129
tomat (dan tanaman famili solanaceae lainnya, seperti: kentang) sangat rawan
terhadap serangan penyakit, yang disebabkan oleh jamur Phythoptora infestans.
Dalam situasi yang mendesak seperti itu, petani perlu memanfaatkan pestisida
kimia sintetik untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini rasional dilakukan,
menimbang bahwa penelitian tentang pestisida alami masih relatif terbatas dan
sedikit sekali informasi berkenaan dengan keefektifan dan efek sampingnya
terhadap kesehatan dan lingkungan. Hampir semua penelitian tentang pestisida
alami dilakukan oleh LSM-LSM dan para petani, tetapi jarang sekali yang
dievaluasi secara ilmiah. Akan tetapi, penggunaan pestisida kimia sintetik yang
berlebihan juga dapat menimbulkan kerugian yang serius pada produk dan juga
pada lingkungan. Apalagi, pestisida ini berharga mahal dan seringkali sulit
didapat. Karena petani kecil hanya memiliki sedikit pilihan terhadap pestisida,
mereka tidak bisa memilih pestisida yang bekerja secara selektif. Hal tersebut
menghambat aplikasi pengendalian hama terpadu dan menghadapkan petani pada
bahan-bahan beracun untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Reijntjes, dkk
(1999:207) juga sependapat bahwa dalam beberapa keadaan darurat, seperti kasus
yang diutarakan oleh Bernadus Agus Prabowo di atas, pestisida kimia mungkin
saja digunakan.
Terdapat alasan-alasan mendasar dari petani untuk melakukan budidaya
dengan model atau sistem organik yang seperti itu. Alasan-alasan tersebut secara
implisit dijelaskan melalui pendapat dari beberapa individu Poktan BM berikut
ini:
“Biayanya kalau organik lebih ringan, tapi perawatannya harus rutin, kalau pakai kimia
misalkan satu minggu sekali, kalau organik tiga hari sekali.” (Supilih)
“Kalau modalnya lebih ringan, tapi perawatannya lebih rumit yang organik. Kalau urea
bisa langsung diterapkan. Kalau pupuk cair tiap seminggu sekali, kalau urea tinggal naruh
aja di batang-batangnya, kalau urea.” (Makruf)
“Dalam hal fungisida, ketika musim penghujan itu kalau kimia pakai antrakol sedikit-
sedikit sudah bisa. Cuma kalau organik kadang kita masih kesulitan di situ, pakai IMO
sebagai dekomposer itu. Tapi ketika menghadapi penyakit jamur pada musim penghujan
itu kadang seharian tidak ada sinar matahari. Akhirnya jamurnya mudah berkembang.”
(Rebo Wahono)
Menurut pendapat beberapa petani tersebut, pertimbangan untuk melakukan
budidaya tanaman dengan model seperti itu disebabkan oleh karena adanya
130
keringanan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk menyediakan saprotan,
meskipun tenaga yang dikeluarkan lebih tinggi. Selain itu, individu Poktan BM
merasa kesulitan untuk mengatasi penyakit tanaman, khususnya yang disebabkan
oleh patogen jamur (seperti: “penyakit hitam” pada tanaman tomat). Walau
terdapat tantangan semacam itu, pembahasan sebelumnya telah memberi
penjelasan bahwa penerapan UT secara organik dapat mempertahankan atau
bahkan menumbuhkembangkan kualitas lingkungan yang bermanfaat untuk
pertanian masa depan. Prinsip itulah yang dipegang teguh oleh Poktan BM,
sehingga penerapan budidaya tanaman dengan model semacam itu masih
dipertahankan. Konsistensi individu Poktan BM untuk berusaha tani secara
organik juga disebabkan oleh adanya dampak positif yang dirasakan olehnya. Hal
tersebut diutarakan oleh Suwanto berikut ini:
“Karena ini sudah kebiasaan mereka untuk menjual non-organik, begitu dia sadar bahwa
organik harganya lebih mahal daripada anorganik, akhirnya secara perlahan-lahan dia
beralih. Untuk penyadaran itu sulit, karena sudah turun-temurun. Dari tiga petak laahan,
yang diterapkan secara organik hanya satu petak. Akhirnya dia bisa merasakan satu petak
harganya lebih untung daripada yang dua petak lebih untung satu petak.”
Berdasarkan pernyataannya, maka dapat disimpulkan bahwa perasaan atau
kesadaraan tersebut muncul karena harga jual produk sayuran organik lebih mahal
ketimbang sayuran anorganik. Hal tersebut turut menumbuhkembangkan
perasasaan senang dan pandangan positif dari petani terhadap sistem UT organik,
sehingga UT sayuran organiknya dapat kontinyu. Dalam kasus tersebut,
pandangan positif (komponen kognitif) dan perasaan senang petani (komponen
afektif) merupakan komponen sikap, dimana sistem UT organik merupakan objek
sikapnya. Ketika dua komponen tersebut bersifat ajeg, maka seseorang akan
mengalami kecenderungan bertindak terhadap objek sikap (Walgito, 1999) (dalam
Hariadi, 2011:32). Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh
sikap yang ada pada orang yang bersangkutan, jika adanya keselarasan antar tiga
komponen sikap tersebut (Walgito, 2003:124). Akan tetapi, tidak adanya jaminan
bahwa kecenderungan berperilaku itu akan benar-benar ditampakkan dalam
bentuk perilaku yang sesuai, apabila individu berada dalam situasi tertentu
(Azwar, 2013:28). Sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan
keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal.
Pertama, perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap umum, tapi sikap spesifik
131
terhadap sesuatu. Ke dua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga
oleh norma-norma subjektif, yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain
inginkan agar kita perbuat. Ke tiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-
norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu
(Azwar, 2013:11). Walau begitu, supaya petani dapat berhasil dalam
memproduksi dan memperoleh pendapatan yang optimal, penerapan sistem UT
organik memiliki tantangan yang perlu dihadapinya. Salah satu tantangan petani
organik untuk memperoleh keberhasilan dijelaskan melalui pernyataan Pandi
berikut ini:
“Kalau menurut saya lebih untung bertani organik, sebenarnya kalau dari segi penjualan
untungnya sama, tapi modal yang diperlukan untuk bertani organik itu sedikit dan hasil
penjualan terutama ke pasar modern itu dihargai tinggi. Tapi ternyata, kalau bertani
organik itu tiap tiga hari harus rutin kasih pupuk cair, itu pasti hasilnya bagus dan
pekerjaannya macam-macam, pokoknya harus rutin.”
Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui, untuk mewujudkan
keberhasilan, baik dari segi produksi maupun pendapatan, petani perlu
meningkatkan ketelitian, kedisiplinan, dan kreativitas dalam menjalankan segala
proses produksi. Contohnya, dengan sistem UT organik petani perlu melakukan
kegiatan pemupukan secara lebih intensif dan frekuensinya lebih tinggi,
dibandingkan dengan sistem UT anorganik. Menurut Sutanto (2002:36),
penggunaan pupuk organik memiliki kelemahan, diantaranya ialah: 1) diperlukan
dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari
suatu pertanaman, 2) hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat
bervariasi, 3) bersifat ruah (curah atau limpah), baik dalam pengangkutan dan
penggunaannya di lapangan, dan 4) kemungkinan akan menimbulkan kekahatan
(kekurangan terhadap zat atau unsur tertentu) unsur hara, apabila bahan organik
yang diberikan belum cukup matang. Oleh karena itu, ketajaman berpikir
merupakan tantangan tersendiri bagi individu poktan, agar hasil produksi dan
pendapatan dari sistem UT secara organik dapat ditingkatkan.
Hasil wawancara dengan petani di dusun Kaliduren memperoleh
anggapan-anggapan yang sifatnya “kontra” terhadap penerapan sistem UT organik
yang dilakukan oleh Poktan BM. Pernyataan dari Giyono berikut ini akan
memberi gambaran akan hal tersebut:
132
“Mengandalkan organik, terus tanah itu tidak butuh kimia? Saya itu melakukan pertanian
untuk mengajak mereka-mereka untuk pertanian organik ini kita semikan dulu. Semi
organik, tidak serta-merta langsung kita tinggalkan unsur kimianya. Kita pulihkan sedikit
demi sedikit. Kita pulihkan dulu pertama, mungkin pada awalnya per hektar ini mencapai
200 kilo, terus tahap ke dua kita potong setengahnya, seperti itu. Suplai-suplai makanan
juga perlu kita dukung.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian petani
agak ragu dengan penerapan sistem UT organik yang dilakukan oleh Poktan BM.
Hal tersebut terjadi, karena untuk membuat tanah menjadi steril membutuhkan
waktu yang lama dan penggunaan saprotan berbahan kimia sintetik tidak dapat
secara langsung ditinggalkan. Dapat dimaknai bahwa keraguan petani tersebut
muncul atas akibat dari proses transisi yang cukup lama akan berpotensi
menurukan semangat petani untuk beralih ke sistem UT organik. Seiring
berjalannya proses transisi itu, hasil panen petani tidak dapat optimal dan
berakibat pada penurunan pendapatan UT. Hal ini pada akhirnya membuat petani
terpaksa menggunakan bahan kimia sintetik untuk meminimalisir segala risiko
yang ada selama proses berusaha tani. Kemudian, petani lain mengungkapkan
bahwa penerapan UT secara organik di daerah pegunungan sangat rawan
terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia sintetik. Hal tersebut diperjelas melalui
pernyataan dari Suroso berikut ini:
“Yang namanya organik, khususnya kelompok tani di wilayah pegunungan cuma lisan
dan tulisan….. Yang asli organik itu buat di polybag khusus, itu pasti jadi organik benar-
benar. Kalau tanah-tanah di sekitar sini, saya sendiri punya satu petak tanah. Terus yang
bawah, yang atas bukan milik saya, jadi intinya jelas bisa terkontaminasi, pasti itu.
Organik itu kan dari tanah sampai yang ditanam. Jadi atasnya organik, bawahnya tidak
organik bisa terkontaminasi.”
Peluang terjadinya kontaminasi di lahan sayuran organik sangat besar, mengingat
lahan yang ada di sekitarnya belum tentu organik. Oleh karena aliran air, erosi
atau bahkan kecurangan manusia, maka lahan sayuran organik dapat
terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia sintetik. Bila dicermati, inisiatif Poktan
BM untuk menggunakan green house adalah salah satu cara unuk mencegah
terjadinya hal tersebut.
Dua poktan pada umumnya melakukan penanaman tanaman dengan pola
tumpang sari dengan sistem pergiliran tanaman. Beberapa hal yang diperhatikan
untuk menerapkan pola tersebut diantaranya: jarak tanam, waktu penanaman, dan
komoditas yang ditumpang-sarikan. Salah satu perbedaan yang mencolok terlihat
133
dari pertimbangan petani untuk menentukan tanaman yang dibudidaya.
Perbedaannya, Poktan Tranggulasi sudah tidak memberlakukan pengaturan jenis
tanaman budidaya karena berbagai macam alasan yang mendasarinya. Oleh
karena itu, pengaturan jenis tanaman umumnya hanya diberlakukan oleh pengurus
poktan. Sedangkan, Poktan BM masih menerapkan kebijakan pengaturan jenis
tanaman budidaya secara strategis, terutama untuk memenuhi permintaan dari
pasar modern. Aktivitas tersebut dikoordinir oleh divisi pertanian. Lalu, kedua
poktan sama-sama menggunakan sarana mulsa dengan berbagai pertimbangan.
Perbedaannya, Poktan BM menggunakan sarana green house untuk melindungi
tanaman dari air hujan yang berlebihan dan untuk meminimalisir serangan hama
atau penyakit. Kedua poktan sama-sama memiliki panduan untuk menerapkan
budidaya tanaman.
Perbedaan lainnya diperlihatkan oleh adanya antusias individu Poktan BM
dalam melakukan pencatatan kegiatan budidaya tanaman secara berkala.
Pencatatan itu bertujuan sebagai bahan evaluasi mengenai kegiatan budidaya yang
telah dilakukannya. Pengendalian hama dan pemupukan secara kimiawi di kedua
poktan menggunakan teknologi yang diperoleh dari wadah belajar. Pengendalian
hama dan penyakit tidak terkonsentrasi pada pembasmian hama atau patogen
peyakit secara seketika, melainkan lebih menekankan pada penghalauan atau
pencegahan serangan oleh hama atau patogen penyakit. Selanjutnya, dua poktan
memiliki keluhan yang kurang-lebih sama dalam membudidayakan tanaman yang
berfamili solanaceae (khususnya: tomat dan kentang), terutama pada saat musim
hujan. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam penanganan penyakit busuk
daun yang disebabkan oleh jamur phythoptora. Untuk mengatasi hal tersebut,
individu Poktan Tranggulasi mengandalkan pestisida kimia sintetik, sedangkan
individu Poktan BM mengandalkan sarana green house dan pemberian tugas
penanaman tanaman yang bersangkutan dilimpahkan kepada pengurus poktan.
Partisipasi individu Poktan Tranggulasi dan Poktan BM dalam menerapkan
budidaya didasarkan atas adanya kepedulian terhadap lingkungan dan jaminan
keamanan pangan untuk dikonsumsi.
134
C. Penanganan Pasca Panen
Setelah sayuran dipanen, masih terdapat beberapa perlakuan atau kegiatan
yang perlu diperhatikan oleh petani untuk menghasilkan produk yang sesuai
dengan permintaan pasar (khususnya pasar modern). Beberapa perlakuan atau
kegiatan setelah panen biasa dikenal dengan istilah penanganan pasca panen.
Perlakuan yang ada di penanganan pasca panen antara lain meliputi: pencucian
sayur, penimbangan, sortasi, grading, penyimpanan, pengepakan, dan perlakuan
lainnya. Kegiatan sortasi, pengkelasan (grading), pengemasan, dan penyimpanan
sayur dilakukan berdasarkan ukuran dan standar mutu yang telah ditentukan untuk
menghasilkan sayur yang baik dan seragam (KOMPOR Merbabu, 2012). Hal
tersebut juga bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar modern, baik dari segi
kualitas, kuantitas, dan komformitas. Paragraf berikutnya akan memberi
gambaran yang jelas tentang teknis penanganan pasca panen di kedua poktan
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, penanganan pasca panen yang dilakukan oleh
Poktan Tranggulasi dan Poktan BM relatif sama. Pernyataan dari Supoyo akan
memberikan gambaran singkat tentang teknis penanganan pasca panen:
“Dalam seminggu bisa dua kali kirim sayuran, bermacam-macam jenis, ada selada, bit,
spinach, tergantung pesanan. Kalau pasar minta 10 jenis tanaman, kelompok harus mengirim
10. Di sini sudah dilipihi, terus di gudang, karakteristik produk yang diminta kami sudah tahu,
misal ukuran yang diminta. Seperti buncis perancis, panjangnya harus 12 cm, yang
panjangnya mencapai 15 cm ditolak, hanya diterima yang 12 cm itu. Di gudang itu sudah ada
pengelolanya. Nanti barang yang dikirim disesuaikan dengan permintaan, sehingga semuanya
laris terjual.”
Berdasarkan pernyataan itu, maka dapat diketahui bahwa tiap minggu terdapat
kegiatan pengiriman sayuran dan jenis sayurannya disesuaikan dengan permintaan
dari pasar modern. Di gudang poktan, sayuran yang dipilih juga disesuaikan
berdasarkan permintaan dari pasar modern, baik dari segi kualias, kuantitas,
maupun komformitas. Kemudian, di poktan sudah ada komponen yang bertugas
khusus untuk melakukan penanganan pasca panen. Keterampilan dalam
melakukan kegiatan penanganan pasca panen mutlak diperlukan, untuk
semaksimal mungkin menekan jumlah produk yang ditolak dan mencegah
komplin dari pasar modern.
Berbagai informasi pokok untuk melakukan kegiatan penanganan pasca
panen dimuat dalam SOP Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu. Baik
135
Poktan Tranggulasi maupun Poktan Bangkit Merbabu, keduanya tergabung dalam
gabungan kelompok tani (Gapoktan) Komunitas Petani Organik (KOMPOR)
Merbabu. Di SOP dijelaskan informasi pokok tentang alat dan perlengkapan yang
diperlukan, seperti: pisau untuk membuang bagian yang tidak memenuhi kualitas,
timbangan, keranjang sayur, lakban, stiker (untuk labelling), kemasan kantong
plastik, kemasan kotak karton, sapu, dan informasi pokok lainnya (KOMPOR
Merbabu, 2012).
Di tempat penampungan dilakukan penyortiran sayur. Dipilih sayuran yang
mulus, ukuran merata, bentuknya normal (tidak luka, tidak terserang penyakit,
tidak ada cacat fisik, dan sebagainya). Khusus untuk tanaman bit, lobak, dan
wortel individu poktan melakukan pencucian dengan air bersih. Sortasi dilakukan
pada ruangan bersuhu + 18o C. Limbah sisa sayuran yang tidak memenuhi standar
mutu dapat dimanfaatkan oleh poktan sebagai pakan ternak atau untuk bahan
pembuatan pupuk organik (KOMPOR Merbabu, 2012).
Setelah disortasi, individu poktan memasukkan sayuran dalam kemasan yang
mempunyai lubang ventilasi (khususnya untuk sayuran: buncis, daun bawang,
seledri, paterselly, selada, dan sebagainya). Untuk sayuran jenis tertentu
dimasukkan ke dalam kemasan hampa udara. Lalu, poktan menimbang sayuran
sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Poktan mengupayakan kemasan
berisikan sayur dengan bobot yang sama dan kemasan dalam keadaan bersih, serta
terbebas dari segala benda asing. Cara pengemasan dilakukan oleh poktan sesuai
dengan permintaan pasar (apakah menggunakan stereofoam atau plastic
wrapping). Selanjutnya, sayuran yang sudah dikemas oleh poktan, diangkut
dengan mobil pick up atau mobil box berpendingin (KOMPOR Merbabu, 2012).
Di kedua poktan sudah ada pembagian tugas antara komponen yang berperan
dalam penyediaan saprotan dan budidaya dengan komponen yang berperan dalam
penanganan pasca panen. Kegiatan pasca panen ditangani oleh ibu-ibu
(khususnya istri dari petani yang tergabung dalam poktan). Pernyataan dari Wikan
Mujiono (Tranggulasi) dan Makruf (BM) akan memberikan gambaran yang jelas
tentang hal tersebut:
“Tidak semua ikut pengepakan, cuma ibu-ibu. Mereka dibayar pakai kas kelompok, dari hasil
penjualan sayuran.” (Wikan Mujiono)
136
“Spesifikasi produk sekarang sudah tahu, ibu-ibu sudah bisa memilah. Kalau di sini sudah
tahu mana yang bisa dikirim dan mana yang tidak.” (Makruf)
Berdasarkan hasil wawancara dengan Wikan Mujiono dan Makruf, maka dapat
disimpulkan bahwa ibu-ibu telah terampil dalam melakukan kegiatan pasca panen
sayuran. Dari pernyataan Wikan Mujiono, dapat diketahui bahwa tenaga pasca
panen ditanggung oleh poktan menggunakan kas. Meski begitu, hasil observasi di
lapangan menunjukkan bahwa penanganan pasca panen di Poktan Tranggulasi
saat ini sudah tidak dilaksanakan oleh ibu-ibu, melainkan poktan sudah memiliki
individu-individu tertentu yang ditugaskan untuk mengelola aktivitas itu. Hal
tersebut terbukti dari hasil wawancara dengan Pitoyo Ngatimin berikut ini:
“Kelompok itu mempekerjakan orang di dalam kelompok tani sendiri untuk mengelola
produk setelah dipanen, namanya pengelola gudang. Pengelola gudang itu ada bagian order,
bagian packing, bagian pencatatan, dan bagian transportasi. Tiap anggota tidak bisa jadi
pengelola, karena butuh kesabaran, butuh ketelatenan, karena karakteristik produk yang
diminta itu beda-beda, jadi harus bisa menyesuaikan.”
Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin dipertajam oleh Ngatimin sebagai berikut:
“Kegiatan packing itu dikelola oleh kelompok, tapi yang ikut itu hanya sebagian orang,
jadi tidak semua anggota. Itu kegiatannya ditangani oleh pengelola.”
Yang bertugas untuk menangani aktivitas pasca panen dikenal dengan nama
“pengelola gudang” atau “pengelola unit bisnis”. Pengelola gudang memiliki
bagian-bagian untuk memperlancar aktivitas pasca panen, diantaranya: bagian
order, bagian packing, bagian pencatatan, dan bagian transportasi. Menanggapi
pernyataan Pitoyo Ngatimin, pemberian tugas dan status untuk mengelola
aktivitas pasca panen dilakukan secara selektif, karena dibutuhkan kesabaran dan
ketelatenan dalam mengelola aktivitas tersebut. Individu yang terlibat dalam
pengelola gudang sebagian besar berstatus sebagai pengurus poktan. Hasil
wawancara dengan Harun membuktikan hal tersebut:
“Pengelola gudang itu diantaranya ada Pitoyo sebagai ketua, Wahab sebagai sekretaris,
pak Slamet sebagai keuangan, Jumarno itu mengurusi nota, saya di bagian lapangan,
Jumari dan Pardi itu bagian gudang, lalu Rebo itu di bagian transportasi.”
Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, aktivitas pasca panen di Poktan BM dikelola
oleh ibu-ibu. Peran pengurus Poktan BM hanya terbatas pada pengecekan dan
pengambilan sayuran di lahan sesuai dengan permintaan supplier, baik dari segi
jenis komoditasnya, kualitas, dan kuantitasnya. Pengurus juga bertugas
137
melakukan pengangkutan ke gudang poktan. Hal tersebut diketahui melalui
pernyataan Makruf berikut ini:
“Saya yang bertugas mencari sayur dengan Pak Rebo. Saya bagian pemasaran bersama
dengan pak Rebo. Kami khususnya itu mencari sayur di petani luar kelompok tani,
misalkan yang sub kelompok. Kalau sebagian anggota itu terkadang langsung
mengangkut sayuran ke gudang, tapi sebagian anggota terkadang ada yang keliru dari
spesifikasi yang diminta pasar. Kalau pengurus kelompok yang cari, sudah pasti tahu
spesifikasinya. Itu waktu pengiriman, jenis tanaman yang diminta, dan spesifikasi produk
sudah diatur.”
Pernyataan dari Makruf dipertajam oleh Pandi sebagai berikut:
“Yang bertugas mengambil sayur itu bagian pemasaran. Jadi mereka itu yang mengecek
ke lahan dan mencari tanaman milik anggota yang sudah siap dipanen dan itu disesuaikan
dengan permintaannya supplier, itu yang diambil.”
Terkadang anggota poktan mengangkut sendiri hasil panenannya ke gudang,
namun seringkali produk yang diangkut tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diminta oleh pasar modern dan memperbanyak jumlah produk yang tidak
lolos sortasi. Oleh karena itu, peran pengurus Poktan BM dalam penanganan
pasca panen terletak pada minimalisasi produk-produk yang tidak lolos seleksi
ketika sortasi dilakukan. Dengan demikian, hasil panen yang tidak sesuai dengan
permintaan pasar modern (yang ditinggal di lahan) dapat segera dijual ke
pedagang perantara (seperti: pengepul) atau diangkut ke pasar tradisional. Tugas
tersebut diemban oleh divisi pertanian dan divisi pemasaran. Apabila
dihubungkan dengan uraian tugas pengurus Poktan BM, sebetulnya divisi
pemasaran tidak memiliki tanggung jawab mengemban tugas tersebut, melainkan
yang bersangkutan bertugas untuk memasarkan hasil sayuran organik kepada
pelaku pasar. Jika dicermati, keadaan semacam itu tumpang-tindih dengan uraian
tugas seksi pembelian hasil, dimana yang bersangkutan bertugas untuk menangani
pembelian dan pengadaan atau pengumpulan sayuran organik dari anggota.
Sedangkan, divisi pertanian memang memiliki tugas untuk mengumpulkan
sayuran organik dari anggota poktan.
Kemudian, terdapat fenomena yang cukup unik di Poktan Tranggulasi.
Keunikan ini terlihat dari adanya upaya kerjasama yang dibangun oleh Poktan
Tranggulasi dengan kelompok wanita tani (KWT) di dusun setempat dalam
rangka pengolahan sayur. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan Pitoyo
Ngatimin dan Sri Jumiati berikut ini:
138
“Yang di Kelompok Wanita Tani fokusnya di bidang usaha pasca panen.” (Pitoyo
Ngatimin)
Pernyataan Pitoyo Ngatimin dipertajam oleh pernyataan Sri Jumiati sebagai
berikut:
“Kelompok Wanita Tani Bogasari berdiri tahun 2011. Dulu bogasari anggotanya berumur
tua-tua, sekarang yang saya ajak anak-anaknya. Fokusnya ke pengolahan hasil tanaman
sayur, misal daun bit, daun buncis, daun seledri, daun rending yang kecil dan bulat, daun
lobak, daun klemoh, itu buat obat ginjal, memperlancar kencing. Daun-daun itu dibuat
makanan ringan berupa keripik, tapi punya nilai tambah untuk obat. Kendalanya itu
kandungan minyaknya belum bisa hilang. Kandungan air tiap sayur beda-beda, kalau
daun bit kandungan airnya banyak, kalau digoreng bisa kering, tapi setelah kering itu
minyaknya baru keluar, minyaknya tidak bisa kering. Kalau daun buncis perancis tidak
berair, jadi kandungan minyaknya tidak banyak. Kalau kelompok tranggulasi itu
fokusnya di hasil panen dari lahan, kalau KWT kita memanfaatkan, mengolah hasil
panennya, yang saya inginkan bisa diolah sendiri, daripada dijual di luar. Kenapa tidak?
Kalau kita bisa mengolah hasilnya, mungkin untuk meningkatkan harga produk pertanian
yang lebih mahal. Ini rencananya mau buat dodol, dari lobak dan bit. Kemarin sudah
mencoba.”
Dengan adanya kerjasama dengan KWT, Poktan Tranggulasi sudah ada upaya
untuk menuju ke usaha tani berbasis agroindustri. KWT ini terbentuk pada tahun
2011 dan dikenal dengan nama Boga Sari. Menurut Sri Jumiati, dulu KWT
didominasi oleh ibu-ibu yang sudah lansia (lanjut usia), tetapi saat ini didominasi
oleh ibu-ibu yang masih berusia muda (produktif). Perihal kerjasama dengan
KWT, Poktan Tranggulasi lebih berkonsentrasi terhadap kegiatan usaha tani di
sektor hulu, seperti: penyediaan saprotan dan budidaya tanaman. Sedangkan KWT
lebih berkonsentrasi pada kegiatan UT di sektor hilir, yaitu penanganan pasca
panen atau lebih tepatnya pengolahan sayuran. Terdapat berbagai macam sayuran
hasil panen Poktan Tranggulasi yang dapat diolah oleh KWT, diantaranya
meliputi: daun bit, daun lobak, daun seledri, daun buncis, daun rending, dan daun
klemoh. Dari keseluruhan daun tersebut, ada yang tergolong sebagai tanaman
budidaya dan ada pula yang tergolong sebagai tumbuhan liar. Daun-daun sayuran
tersebut dapat diolah menjadi keripik. Selain manfaatnya sebagai konsumsi
sehari-hari, ada sebagian daun yang memiliki kandungan obat, sehingga usaha
yang dilakukan oleh KWT juga memiliki manfaat di bidang medis. Kendala yang
dihadapi oleh KWT dalam melaksanakan proses pengolahan sayuran salah
satunya adalah kesulitan untuk menghilangkan minyak, terutama sayuran yang
memiliki kadar air tinggi (seperti tanaman bit). Oleh karena itu, saat ini KWT
sedang dalam upaya mencari mesin atau alat pengering minyak. Rencana
139
kedepannya, KWT ingin menghasilkan produk olahan inovasi, yaitu dodol yang
berbahan dasar dari sayuran bit dan lobak. Mencermati usaha yang dilakukan oleh
KWT, maka tidak dapat dipungkiri bahwa wanita dianggap memiliki peran sentral
dalam pembangunan jika ditinjau dari sudut pandang makro. Ditinjau dari sudut
pandang mikro, wanita memiliki peran yang nyata dalam meningkatkan taraf
hidup keluarganya. Dengan demikian, terwujudnya kesetaraan gender, dimana
pria maupun wanita sama-sama memiliki kesempatan untuk mencari nafkah untuk
menghidupi rumah tangganya. Dalam kacamata ekonomi, upaya yang dilakukan
oleh KWT untuk mengolah sayuran menjadi keripik merupakan suatu capaian
yang luar biasa bagi petani kecil, dimana melalui daya kreativitasnya sudah
mampu meningkatkan nilai tambah produk dengan membangun UT yang berbasis
kepada agroindustri pedesaan. Peningkatan nilai tambah produk secara umum
diiringi oleh peningkatan harga jual. Tidak hanya itu, seperti yang diketahui
bahwa sayuran tergolong sebagai produk pertanian yang mudah rusak. Dengan
usaha yang dilakukan oleh KWT, maka berubah menjadi produk yang tahan lama.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bentuk aktivitas pasca panen di
dua poktan relatif sama. Bentuk aktivitas dalam penanganan pasca panen
diantaranya: pencucian sayur, penimbangan, sortasi, grading, penyimpanan,
pengepakan, dan pengangkutan. Adanya persamaan antara dua poktan dalam
penanganan pasca panen oleh karena adanya SOP yang dijadikan pedoman
mereka untuk melakukan kegiatan tersebut, dimana pengurus poktan turut
berperan serta dalam penyusunannya melalui forum gapoktan KOMPOR
Merbabu. Selain itu, dengan adanya kerjasama pemasaran dengan pasar modern,
poktan tertuntut untuk melaksanakan penanganan pasca panen yang kegiatannya
cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan pemasaran ke pasar tradisional.
Hal tersebut berakibat pula pada pengembangan pengetahuan dan sikap individu
poktan akan kegiatan pasca panen. Penanganan pasca panen di Poktan
Tranggulasi dilakukan oleh petani yang tergabung dalam pengelola, sedangkan
pasca panen di Poktan BM dilakukan oleh wanita tani yang berstatus sebagai
anggota poktan. Dari kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengelola
Poktan Tranggulasi memegang peran yang dominan untuk melakukan aktivitas
pasca panen yang mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus lebih
140
unggul daripada anggota poktan. Sebaliknya, anggota Poktan BM memegang
peran untuk melakukan aktivitas pasca panen, sehingga anggota memiliki
pengetahuan dan keterampilan khusus dalam aktivitas tersebut. Meski begitu,
pengurus Poktan BM tetap memegang peran dalam mengorganisir bidang usaha
tersebut. Secara normatif, peran tersebut dijalankan oleh seksi gudang yang
bertanggungjawab atas segala aktivitas kegiatan di dalam gudang pengemasan
sayuran organik. Tetapi, hasil observasi di lapangan membuktikan bahwa
pengurus di divisi atau seksi lainnya juga turut mengawasi aktivitas pasca panen.
Beralih kembali ke hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, menunjukkan bahwa
wanita tani membentuk KWT yang memiliki orientasi usaha di bidang pengolahan
hasil sayuran. Kegiatan penanganan pasca panen dirasa mampu mewujudkan
kesetaraan gender, dimana wanita juga memiliki kesempatan untuk turut berperan
dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
D. Pemasaran Hasil Produksi
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pengurus poktan untuk beralih ke UT
organik menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak pemerintah maupun swasta yang
kemudian membuat mereka bersedia untuk memperantari terjalinnya hubungan
kerjasama antara poktan dengan pedagang perantara (supplier). Dengan demikian,
individu poktan memiliki kesempatan untuk memasarkan hasil produksi ke pasar
modern. Situasi semacam itu membuat individu poktan memiliki pengetahuan dan
sikap mengenai pemasaran hasil produksi ke pasar modern dan bisa mengetahui
perbedaan antara pemasaran ke pasar tradisional dan pemasaran ke pasar modern.
Pemasaran merupakan suatu kegiatan untuk mengalirkan barang atau jasa sampai
ke tangan konsumen. Dalam konteks penelitian ini, pembahasan dititikberatkan
pada pengetahuan dan sikap individu poktan terhadap pemasaran (baik pasar
modern maupun tradisional). Disertai pula dengan pembahasan tentang tata cara
(keterampilan) individu poktan dalam kegiatan pemasaran.
Ketika usaha poktan difokuskan pada sayuran organik, petani merasa
memiliki manfaat atau keuntungan daripada usaha yang sebelumnya. Hal tersebut
terbukti melalui pernyataan dari Suparyono berikut ini:
“Penjualan lebih mudah sayurnya. Sekarang kalau sayur, pasarnya lebih banyak. Kalau dulu
tembakau yang beli cuma pabrik, itupun satu tahun sekali.”
141
Dari pernyataan itu, maka petani merasa bahwa jumlah pasar untuk menjual
sayuran lebih banyak tersedia dan lebih bersifat kontinyu, dibandingkan dengan
UT tembakau yang hanya dibeli atau didistribusikan ke pabrik rokok dan hanya
terjadi satu kali dalam setahun. Suparyono juga menjelaskan bahwa penjualan
sayuran juga memiliki kendala atau masalah, terutama dalam hal kuantitas yang
diminta oleh pasar modern (seperti: supermarket, hypermarket, atau pasar luar
negeri). Berikut pernyataan Suparyono terkait hal tersebut:
“Hasil panen jualnya ke kelompok, tapi kelompok mengambilnya cuma sedikit mas,
cuma tiga kwintal, itupun terdiri dari beberapa komoditi mas. Kalau saya punya barang
banyak, yang bawa itu istri saya. Brokoli harganya 8.000 mas kalau dijual ke kelompok,
kalau pasar lokal itu 5.000. Kalau harga brokoli di pasar lokal di bawah 5.000, harganya
di pasar modern 8.000. Kalau wortel kita memperhatikan harga di pasar lokal mas, kalau
di lokal harganya 3.000, di pasar modern 5.000, kalau di bawah 2.000, harganya wortel di
pasar modern 3.500. Kalau di gudang kelompok itu hanya diambil 10 kilo, atau 25 kilo.
Brokoli sedang banyak permintaannya, cuacanya seperti ini, barangnya lagi sulit tersedia,
permintaannya bisa 50 kilo atau 30 kilo. Permintaannya banyak.”
Hal tersebut dicontohkan seperti demikian. Dalam satu kali pengiriman ke pasar
modern, jumlah yang diminta hanya 3 kwintal. Itupun terdiri dari berbagai macam
sayuran, sehingga produk sayuran yang dihasilkan oleh satu petani hanya terserap
kisaran 10-25 kg, bahkan terkadang ada petani yang produknya tidak dikirim
sama sekali ke pasar modern. Akan tetapi, ditinjau dari segi harga, penjualan
sayuran ke pasar modern lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
penjualan sayur ke pasar tradisional. Contohnya, di pasar modern harga brokoli
sebesar Rp. 10.000,00, sedangkan di pasar lokal hanya Rp. 5.000,00. Diketahui
pula bahwa harga produk sayuran di pasar tradisional dapat mempengaruhi harga
produk di pasar modern. Misalkan jika harga brokoli di pasar lokal di bawah Rp.
5.000,00, maka harga di pasar modern sebesar Rp. 8.000,00. Berdasarkan
pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui pula bahwa keadaan cuaca turut
mempengaruhi jumlah permintaan pasar modern akan sayuran. Keuntungan yang
diterima oleh petani terkait dengan harga jual ke pasar modern yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan penjualan ke pasar tradisional juga diungkapkan oleh
Ngatemin sebagai berikut:
“Keuntungannya begini mas, misalnya saya punya cabai, kalau di pasar lokal itu laku
payu 2.000, sekarang ternyata kelompok bisa beli 10.000. Misal pasar lokal harganya
10.000, kelompok bisa menghargai 15.000, gitu.”
142
Perbandingan antara pasar tradisional dan pasar modern digambarkan lebih detil
oleh Syaefuddin sebagai berikut:
“Padahal satu orang nanamnya 2.000-3.000 batang, kalau orang lima jadinya 15 ribu
batang kan. Padahal permintaan dari kelompok cuma tiga kwintal, dua kwintal, kadang-
kadang pernah satu kwintal, padahal pada waktu itu petani yang punya barang jumlahnya
banyak. Permintaan dari Jakarta cuma 50 kilo, malaysia satu kwintal, padahal satu orang,
saya sendiri saja barangnya punya dua kwintal, lalu mau jual kemana ini? Terkadang
lebih bagus pasar lokal, terkadang di kelompok itu minta brokoli cuma segini gagangnya,
batangnya. Tapi kalau di pasar lokal dengan daunnya tidak apa-apa, kalau dibanding-
bandingkan, berat timbangannya bagus yang pasar lokal. Sekarang pasar lokal harganya
7.000, di kelompok kontraknya itu 9.000, selisih 2.000, timbangannya menang yang
lokal. Di supermarket tidak boleh ada daunnya. Yang supermarket minta barang yang
benar-benar berkualitas, seperti brokoli yang dipilih itu kalau dipencet tidak kendor. Tapi
kalau yang masih kencang itu dua hari-tiga hari tidak kendor. Harga di pasar lokal hampir
sama, kalau pembeli di sana tahunya sayur, bukan ini sayur organik, ini non-organik,
tidak seperti itu. Saya punya brokoli kalau bagus-bagus harganya agak tinggi sedikit.
Kalau yang jelek-jelek harganya lebih rendah sedikit. Jadi hanya tergantung kualitas
barang. Kita sudah susah-payah pake organik, mengikuti prosedur kesepakatan dari
kelompok, kalau tidak bisa masuk ke kelompok, kita rugi. Harganya cenderung lebih
tinggi kalau ke supermarket, ketimbang ke pasar lokal.”
Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah
permintaan dari pasar modern belum dapat mengimbangi total jumlah produksi
sayuran yang dihasilkan oleh satu petani. Terkadang harga sayuran di pasar
tradisional lebih tinggi dibandingkan dengan harga sayuran di pasar modern.
Kasus tersebut pasti terjadi, tetapi harga jual sayuran di pasar lokal bersifat
fluktuatif. Di samping itu, keuntungan penjualan sayuran ke pasar tradisional
dapat terlihat dari spesifikasi produk yang diminta tidak begitu “muluk-muluk”.
Contohnya, pasar tradisional mau menerima produk sayuran yang masih ada
daunnya atau batangnya, sehingga berpengaruh pada bobot produksi. Sedangkan,
di pasar modern umumnya tidak menerima produk sayuran yang masih ada
daunnya atau batangnya. Harga penjualan sayur organik ke pasar tradisional tidak
siginifikan terhadap keuntungan petani, karena umumnya harga produk sayur
organik di pasar tradisional disamakan dengan harga produk sayur anorganik.
Tetapi, terkadang petani dapat menjual produk sayuran organik yang lebih tinggi,
jika tampilan (performance) produk dianggap berkualitas. Penjualan sayuran
organik ke pasar modern tetap diminati oleh petani, karena harganya yang
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan ke pasar tradisional.
Walau biaya produksi untuk berusaha tani sayuran organik relatif lebih rendah,
tetapi petani tetap berkeinginan produknya terjual di pasar modern. Hal tersebut
143
wajar mengingat harga jual di pasar modern bersifat stabil. Hal tersebut sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Supoyo berikut ini:
“Untungnya kalau harga di pasar modern tinggi dan stabil, karena ada kontraknya.”
Harga jual produk sayur di pasar modern bersifat stabil, karena sudah ada kontrak
kerjasama yang salah satunya memuat kesepakatan harga. Selain itu, preferensi
petani untuk menjual produk ke pasar modern juga disebabkan oleh tenaga dan
pikiran yang terkuras untuk berusaha tani organik cenderung lebih banyak
dibandingkan dengan UT anorganik.
Produk sayuran yang disalurkan ke pasar modern distandarisasi, baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Hal tersebut digambarkan melalui pernyataan
Suparman berikut ini:
“Hasil panen saya tidak dibawa ke gudang, dulu pernah, tapi sekarang sudah tidak. Dijual
ke pasar lokal saja. Kalau nanam paling tidak 2000-3000 tanaman, kalau nanti dijual ke
kelompok lima kilo sampai 10 kilo, lalu itu butuh berapa lama? Saya panen tomat pernah
sekali panen itu satu ton, padahal kalau dimasukkan ke kelompok itu paling banyak 20
kilo. Akhirnya banyak yang tidak terjual ke kelompok.”
Dari pernyataan Suparman dapat diketahui bahwa sebagian petani merasa enggan
untuk menjual produk sayurannya ke poktan yang kemudian disalurkan ke pasar
modern. Hal tersebut terjadi karena jumlah produk yang diminta terlalu sedikit.
Selain itu, produk sayuran yang bisa dijual ke pasar modern harus sesuai
berdasarkan spesifikasi atau standarisasi produk yang diminta. Hal ini dipertajam
oleh Wikan Mujiono sebagai berikut:
“Hasil panen dikirim ke kelompok gimana mas? Aku misalkan nanamnya 4.000 tanaman,
sekali panen 2 ton, misalkan 1-2 ton, kelompok tani butuhnya hanya 10 kilo, 20 kilo,
otomatis yang lainnya tetap dijual ke pasar lokal. Dalam seminggu anggota hanya dapat
mengirim 50 kilo, padahal misalkan tomat, seminggu panen dua kali, sekali panen bisa
memproduksi satu sampai dua kwintal. Itupun dipilih yang bagus-bagus saja, yang tidak
terpilih dijual ke pasar lokal. Sebetulnya saya sudah malas menjual barang ke kelompok
tani…… Produk milik anggota kelompok tani belum 100% terjual ke kelompok mas,
permintaan pasar belum di kelompok tani.”
Standar kualitas yang diminta oleh pasar modern dalam negeri tidak seketat
dengan pasar modern yang di luar negeri. Hal ini diperjelas melalui pernyataan
Sumadi berikut ini:
“Buncis harganya hanya 7.000, itu yang dijual ke supermarket. Ukurannya harus 13 cm
kalau diekspor. Kalau supermarket tidak ada batasan ukuran, jadi tidak seketat ekspor.”
Berdasarkan pernyataan Sumadi, ketatnya standar kualitas yang diminta oleh
pasar modern, salah satunya ditandai oleh aspek “ukuran” produk yang dijadikan
144
tolok ukur. Berbeda halnya dengan pasar modern di dalam negeri, aspek “ukuran”
tidak menjadi tolok ukur untuk memutuskan diterima atau ditolaknya produk yang
dipasarkan oleh poktan. Walau demikian, sebagian petani sudah memiliki solusi,
agar poduk yang dihasilkannya dapat terjual ke pasar modern. Pernyataan dari
Jumarno akan memberi penjelasan akan hal tersebut:
“Permintaan paling banyak dari supermarket itu sayuran brokoli. Hampir setiap petani
nanam brokoli, kalau saya tidak pernah nanam, karena sudah banyak petani yang nanam
brokoli.”
Berdasarkan pernyataan Jumarno, maka dapat disimpulkan bahwa sayur brokoli
merupakan salah satu komoditas yang relatif diminta dalam jumlah banyak oleh
pasar modern. Agar produk sayuran yang dihasilkan oleh petani dapat terjual ke
pasar modern, maka petani memperhatikan jumlah permintaan pasar modern akan
sayuran tertentu dan jumlah petani yang menanam komoditas tertentu dijadikan
bahan pertimbangannya untuk memilih komoditas yang dibudidaya.
Permintaan pasar modern akan jenis tanaman tertentu bersifat dinamis,
artinya dari waktu ke waktu bisa berubah, baik dari segi kuantitas, kualitas,
bahkan jenis tanamannya. Hal tersebut selaras dengan yang diutarakan oleh
Syaefuddin berikut ini:
“Saya pernah nanam lobak, tapi yang diminta bit. Dengan begitu, lobak saya tidak
diminta oleh kelompok, sampai besar-besar ukurannya. Dari kelompok pernah seperti itu,
padahal sudah diinstruksikan untuk nanam lobak, akhirnya saya tanam. Begitu hampir
panen saya lapor ke kelompok, tapi dari kelompok mintanya hanya sedikit. Akhirnya saya
cari informasi tengkulak mana yang bisa beli, masalah harga tidak apa-apa, yang penting
hasil tani saya bisa habis terjual semua, tidak sia-sia dibuang. Tetapi lobaknya sudah tidak
laku, satu buahnya beratnya itu hampir 4 kilo. Saya pernah nanam sawi putih dan banyak
petani yang punya, tapi di kelompok mintanya hanya sedikit, 60 kilo-70 kilo. Akhirnya
ada anggota yang hanya menjual ke kelompok sebanyak 10 kilo, ada yang lima kilo.
Waktu itu harga di pasar lokal hanya 200 perak, akhirnya buat pakan sapi.”
Hal tersebut dimisalkan seperti demikian. Pada awalnya petani diinstruksikan
untuk menanam lobak, tetapi ketika lobak sudah siap panen, permintaan poktan
berubah menjadi bit. Akibatnya, lobak tidak laku dijual ke poktan, bahkan produk
tersebut tidak terjual ke pengepul. Sedangkan, harga jual di pasar tradisional
cenderung rendah, sehingga produk tersebut dialihkan menjadi pakan sapi.
Dampak negatif lainnya yang dirasakan oleh petani ketika menjual produknya ke
pasar modern diutarakan oleh Sumar sebagai berikut:
“Kalau penjualan ke supermarket yang tidak lancar hanya keuangan. Petani maunya
pembayaran hasil penjualan sayuran itu lancar, jadi tidak bisa aku panen terus jual, tapi
keuangannya macet. Kalau seperti itu aku utang, misalnya untuk beli pupuk. Supermarket
145
itu pembayaraannya kelamaan. Ini sehabis panen, kami menunggu secepat-cepatnya
sebulan, gitu jadinya kelamaan mas. Kalau seperti itu, petani harus pintar mengatur
keuangan. Cuman kalau sayuran dijual ke pasar tradisional, dijual kami bisa langsung
menerima bayaran, tapi harganya tidak bagus. Kalau dijual ke supermarket harganya
bagus, coba kalau keuangannya lancar, jadinya lebih bagus.”
Kerugiannya adalah petani harus menunggu pembayaran akan produk yang
dijualnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan di kontrak
kerjasama, bahkan terkadang pasar modern mengalami keterlambatan dalam
melakukan pembayaran. Dengan adanya kasus tersebut, petani akhirnya kesulitan
memenuhi modal untuk berusaha tani selanjutnya, sehingga mereka berutang.
Berbeda dengan pasar modern, ketika dipasarkan ke pasar tradisional, petani dapat
langsung menerima bayaran.
Ditinjau dari segi promosi, poktan sering memanfaatkan kegiatan pameran
sebagai media untuk melakukan promosi tentang produknya. Kegiatan pameran
umumnya diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Hal tersebut
diperjelas melalui pernyataan dari Syaefuddin sebagai berikut:
“Saya dulu pernah ke Semarang, ke matahari. Saya ke sana sebagai utusan dari kelompok
ikut kegiatan pameran di sana selama satu minggu. Di sana kebanyakan orang membeli
yang non-organik, karena harganya lebih murah. Konsumen tahunya produknya sama-
sama bagus. Itu kalau konsumen tidak bisa membandingkan, nanti kedepannya mereka
tidak paham konsumsi yang sehat. Soalnya wah ini bagus-ini bagus kok harganya selisih
gitu.”
Metode promosi yang dilakukan oleh poktan dalam kegiatan pameran adalah
direct selling (menjual langsung). Direct selling merupakan salah satu bentuk
promosi dari personal selling, dimana merupakan kegiatan pengusaha (Poktan
Tranggulasi) untuk melakukan kontak langsung dengan calon konsumennya.
Dengan kontak langsung ini, diharapkan akan terjadi hubungan atau interaksi
yang positif antara pengusaha dengan calon konsumennya itu. Kontak langsung
akan dapat mempengaruhi secara lebih intensif para konsumennya, karena dalam
hal ini, pengusaha dapat mengetahui keinginan dan selera, serta gaya hidup
konsumen. Dengan demikian, pengusaha dapat menyesuaikan cara pendekatan
atau komunikasinya dengan konsumen itu secara lebih tepat (Gitosudarmo,
2008:288). Beralih ke preferensi konsumen, di pameran tersebut konsumen lebih
berminat membeli produk sayuran anorganik, karena harganya lebih murah.
Lagipula, tampilan produk sayuran anorganik dan sayuran organik relatif sama.
Konsumen kurang mampu membandingkan perbedaan antara sayuran anorganik
146
dan sayuran organik. Di samping itu, konsumen juga belum memiliki kesadaran
atau pemahaman bahwa produk sayuran organik lebih aman dikonsumsi, jika
dibandingkan dengan produk sayuran anorganik.
Aspek pemasaran dapat dianggap sebagai komponen yang paling
berpengaruh secara signifikan untuk memberi manfaat atau keuntungan dan
menumbuhkembangkan antusias bagi petani untuk berkelompok. Hal tersebut
digambarkan melalui pernyataan dari Ngatemin berikut ini:
“Ternyata hasil dari berusaha tani sayur organik itu bisa memungkinkan, kalau dijual ke
pasar lokal itu kalau harganya sedang hancur, pasti hancur. Kalau organik itu stabil mas.
Keuntungannya berkelompok, kalau dari petani seperti saya itu cuma pemasaran saja
mas. Kalau di pasar lokal jual cabai aja kemarin itu 2000, tapi kalau di kelompok masih
10.000, itu dijual ke supermarket-supermarket itu.”
Dengan berusaha tani organik, produk yang dihasilkan oleh poktan dapat
menembus pasar modern yang harga jualnya relatif lebih tinggi dan stabil, jika
dibandingkan dengan harga jual di pasar tradisional. Bahkan pada prinsipnya,
motif pembentukan Poktan Tranggulasi bertujuan untuk memotong beberapa mata
rantai pemasaran sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pitoyo Ngatimin dan
Abdul Wahab sebagai berikut:
“Motif dibentuk kelompok itu untuk bisa jalin pasar, itu tujuan akhirnya. Bagaimana
untuk kita bisa berorganisasi ini tapi dengan tujuan memutus siklus pasar. Siklus pasar itu
umumnya rantainya panjang, minimal kita mengurangi rantai itu, sehingga harga kita
tidak selalu dipermainkan.” (Pitoyo Ngatimin)
“Otomatis kalau petani jaminannya cuma pasar, kalau petani tidak bisa memasarkan
barangnya sendiri, otomatis kita gagal, kalau larinya tetap ke tengkulak otomatis gagal,
harganya dipermainkan. Kami berusaha mutus mata rantai.” (Abdul Wahab)
Perhatian utama Poktan Tranggulasi ditunjukkan dengan adanya usaha poktan
untuk terus-menerus menjalin kerjasama dengan pasar modern. Distribusi sayuran
organik ke pasar modern mampu memotong beberapa mata rantai, sehingga harga
jual di tingkat petani dapat meningkat. Terkait dengan pemotongan mata rantai
pemasaran, pernyataan Pitoyo Ngatimin berikut ini memberi penjelasan yang
lebih konkret:
“Ke Malaysia dan Singapur kita langsung ke yang punya toko di sana, langsung ke
supermarket. Dari supermarket, lalu langsung dijual ke konsumen. Kalau yang pasar
tradisional itu rantainya dari petani ke tengkulak, tengkulak baru ke pengepul, pengepul
baru ke distributor, terus ke pengecer, lalu baru sampai ke konsumen. Paling tidak kita
memotong dua mata rantai. Sebetulnya kita jual di pasar lokal sama saja, cuma kalau di
sana harganya tidak ada bedanya dengan yang anorganik. Meskipun kalau kelebihan
147
produk, kita jual ke situ. Yang ada pembedaan antara organik dan anorganik itu di pasar
modern, bidikan itulah yang untuk meningkatkan daya saing.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa mata
rantai pemasaran sayuran ke pasar modern lebih sedikit, dibandingkan ke pasar
tradisional. Kemudian, mencermati pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat
disimpulkan bahwa pemotongan mata rantai lebih ideal ketika poktan
memasarkan sayurannya ke luar negeri, dimana poktan langsung menjual
produknya ke toko modern dan selanjutnya dijual ke konsumen akhir. Umumnya,
penjualan sayuran ke pasar modern dilakukan melalui perantara, yang biasa
dikenal oleh petani dengan istilah supplier atau buyer, seperti yang diungkapkan
oleh Jumarno berikut ini:
“Semuanya lewat supplier, jadi tidak langsung dikirim ke supermarket. Jadi dari supplier
baru ke supermarket.”
Selanjutnya, pengurus poktan berjasa untuk mendistribusikan produk sayuran ke
beberapa jaringan pasar modern. Pernyataan Rebo berikut ini akan memberi
gambaran akan hal tersebut:
“Saya itu pengurus atau pengelola pemasaran. Saya pengelola bagian transportasi.
Biasanya kirim sayur ke Solo, Semarang, Jogja. Kalau ke pasar yang di Jakarta, saya
paketkan lewat bis, saya cukup bawa sayurannya ke JLS saja.”
Berdasarkan pernyataan Rebo, maka dapat dipastikan bahwa Poktan Tranggulasi
memiliki pengelola khusus di bagian transportasi yang bertugas untuk
mendistribusikan produk yang dihasilkan individu poktan. Mencermati pernyataan
itu, terdapat beberapa jaringan pasar yang sistem pendistribusiannya dilakukan
secara mandiri oleh pengelola poktan. Hal tersebut turut dipertajam oleh Sumadi
dan Sumar sebagai berikut:
“Kelompok itu yang kirim barang, seperti yang ke Jakarta, itu tiga kali seminggu, tiap
hari Senin, Rabu, dan Sabtu.” (Sumadi)
“Kalau masalah pengiriman produk itu sudah ada orang-orang tertentu yang mengurusi.”
(Sumar)
Penjualan sayuran ke pasar modern berpeluang mengubah posisi petani
dari penerima harga (price taker) menjadi penentu harga (price maker). Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Suryanti sebagai berikut:
“Tetap enak kalau ada kelompok mas. Kalau dulu kita dipermainkan tengkulak. Kalau
ada kelompok kita sudah tidak terlalu dipermainkan oleh tengkulak dan sudah ada
148
kontrak harga dengan supplier. Seperti brokoli, kalau dijual ke tengkulak harganya 5.000,
kalau dijual ke kelompok bisa mencapai 10.000.”
Berdasarkan pernyataan Suryanti, maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama
dengan supplier memberi peluang bagi petani untuk menentukan harga jual
sayuran. Oleh karena itu, poktan perlu mendelegasikan tugas dan wewenangnya
kepada orang yang dianggap berkompeten untuk melakukan tawar-menawar
dengan pihak supplier untuk membuat kesepakatan. Hal tersebut diungkapkan
oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“Negosiasi itu teknisnya yang pertama itu dibicarakan kemauan dari supplier itu apa, lalu
kami sesuaikan dengan kesiapan kami anggota kelompok. Misalnya ada sayuran
tertentu yang diminta supplier tapi kami belum punya sayurannya itu, kita menawarkan
ke supplier untuk menunggu kesiapan kami dalam menyediakan produk itu. Selain itu,
yang dinegosiasi termasuk juga kesepakatan harga, kesepakatan kualitas, waktu
pengiriman, dan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan.”
Menanggapi pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa supplier
diberi keleluasaan terlebih dahulu untuk menawarkan konsep kerjasama,
khususnya permintaan akan komoditas sayuran. Ketika terdapat jenis komoditas
tertentu yang belum tersedia di poktan, individu Poktan Tranggulasi meminta
toleransi waktu untuk mempersiapkan komoditas yang bersangkutan. Apabila
pihak supplier menyetujui permintaan dari poktan, maka kesepakatan akan jenis
komoditas tercapai. Di samping kesepakatan mengenai komoditas sayuran yang
diminta, terdapat hal-hal lain yang disepakati antara supplier dengan poktan,
diantaranya: harga, kualitas atau spesifikasi produk, waktu pengiriman, dan hal-
hal yang berkaitan dengan keuangan. Berkaitan kerjasama dengan supplier,
pernyataan dari Abdul Wahab dan Jumarno berikut ini mempertajam pernyataan
dari Pitoyo Ngatimin:
“Yang bertugas bernegosiasi dengan supplier itu pak Pitoyo, tapi terkadang saya. Kita itu
sudah punya kesepakatan, seperti komoditas yang diinginkan apa saja, selain itu model
pengemasannya seperti apa, curah atau dikemas pakai platik wrapping. Kalau curah dan
packing itu harganya beda. Itu antara kelompok dengan supplier saling terbuka. Selain itu
yang disepakati itu juga karakteristik produk, misalkan brokoli itu yang pakai daun atau
tidak dan isi sayuran dalam kemasan, mau 1 kemasan berisi tiga atau empat brokoli, itu
semuanya kita bicarakan terlebih dahulu.” (Abdul Wahab)
“Kalau ada kerjasama dengan supermarket dibicarakan di rapat pengelola. Kalau masalah
pasar anggota tidak tahu. Jadi anggota cuma diberi tahu jenis tanamannya.”
(Jumarno)
Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat diketahui bahwa pengurus
Poktan Tranggulasi bertugas untuk melakukan negosiasi. Tugas itu khususnya
149
diemban oleh ketua atau sekretaris poktan. Selain ragam kesepakatan yang telah
diutarakan oleh Pitoyo Ngatimin sebelumnya, pihak poktan dan supplier juga
menyepakati model pengemasan produk dan muatan produk per satu kemasan.
Kemudian, sikap keterbukaan perlu ditonjolkan ketika proses negosiasi berjalan,
agar kedepannya tidak terjadi suatu masalah. Selanjutnya, Jumarno
mengemukakan bahwa sebelum terjadi kesepakatan antara poktan dengan
supplier, seluruh pengelola dilibatkan untuk mendiskusikan terlebih dahulu
konsep kerjasama lewat wadah pertemuan pengelola. Lalu, hasil kesepakatan
dalam pertemuan pengelola itu yang dijadikan acuan bagi negosiator untuk
menyepakati konsep kerjasama dengan pihak supplier. Dalam hal ini, keterlibatan
para anggota poktan hanya sebatas pada pengetahuannya mengenai jenis
komoditas yang diminta oleh supplier. Mencermati pernyataan yang diutarakan
oleh Abdul Wahab dan Jumarno, maka dapat dimaknai bahwa pengelola poktan
(khususnya yang berperan sebagai pihak negosiator) memiliki andil dan tanggung
jawab yang besar untuk memperjuangkan terjalinnya kerjasama (dengan supplier)
dengan konsep yang bijaksana dan realistis, baik dari segi jenis komoditas, jumlah
produksi, karakteristik atau spesifikasi produk, waktu pengiriman produk, dan
harga jual produk.
Ditinjau dari segi pemasaran, ada persamaan dan perbedaan pandangan
serta tata cara pemasaran yang dilakukan antara Poktan BM dan Poktan
Tranggulasi. Persamaan Poktan BM dengan Poktan Tranggulasi diawali dengan
gambaran yang diberikan melalui pernyataan Budiyati berikut ini:
“Terkadang kalau di pasar lokal itu harganya rendah. Kalau organik dan dijual ke pasar
modern bisa unggul harganya dan harganya tetap. Kalaupun di pasar lokal harganya
tinggi, bisa 10.000 gitu. Tapi kalau di kelompok seumpanya 9.000, tapi ajeg segitu, tapi
kalau di pasar lokal itu harganya tinggi, tapi waktunya hanya sebentar.”
Dari pernyataan itu, maka dapat disimpulkan bahwa harga jual produk sayuran di
pasar modern relatif lebih tinggi dan stabil. Walaupun harga jual di pasar
tradisional terkadang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar
modern, tetapi tidak bersifat ajeg, artinya harga jual tersebut tidak berlaku lama.
Dengan kata lain, harga jual sayuran di pasar tradisional dapat berubah dari waktu
ke waktu. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Zaenal berikut ini:
“Di tempat kita ini hanya pasar yang tidak menentu, maka dari itu mengapa petani
hidupnya pada sulit? Karena pasar tidak menentu, suatu misal cabai, yang punya jarang-
150
jarang, karena kurang produksi harganya bisa melonjak, lalu kalau kelebihan produksi,
untuk mengembalikkan modal usaha lagi tidak bisa, itulah pertanian kita.”
Penentuan harga jual produk sayuran di pasar tradisional tergantung oleh besar
atau kecilnya jumlah sayuran yang beredar. Menurut pendapat Hanafie
(2010:177), ketika ada surplus barang, penjual tidak dapat menjual seluruh barang
yang ingin mereka jual pada harga yang berlaku saat itu. Situasi ini disebut
sebagai “kelebihan penawaran”. Pada saat seperti ini, penjual akan bereaksi
terhadap kelebihan penawaran ini dengan memotong harga. Harga akan terus
turun sampai pasar memperoleh keseimbangan. Di sisi lain, ketika ada
kekurangan barang, para pembeli tidak dapat membeli seluruh barang yang
mereka inginkan pada harga yang berlaku. Situasi ini disebut sebagai “kelebihan
permintaan”. Pada seperti ini, karena terlalu banyak pembeli, penjual dapat
memberikan reaksi dengan menaikkan harga tanpa kehilangan penjualan. Ketika
harga naik, pasar bergerak ke arah keseimbangan. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa semakin banyak jumlah barang yang beredar di pasar, maka harga jual
produk semakin rendah dan sebaliknya. Beralih ke sisi pasar modern, jumlah
produk sayuran yang didistribusikan ke pasar modern ditentukan berdasarkan
permintaan dari supplier. Hal tersebut diungkapkan melalui pernyataan Budiyati
sebagai berikut:
“Kalau udah panen sebagian dijual ke pasar lokal, sebagian ke pak Toni selaku supplier.
Tapi yang dijual ke pasar lokal itu kalau ada kelebihan produk. Suppliernya hanya satu.
Seperti selada, kalau di kelompok permintaannya hanya 10 kilo atau 15 kilo, kadang-
kadang cuma 5 kilo, yang dijual ke kelompok itu menurut permintaannya.”
Jika dari jumlah total produksi yang dihasilkan oleh petani masih terdapat
kelebihan, maka dijual ke pasar tradisional.
Letak perbedaan Poktan BM dan Poktan Tranggulasi dalam memasarkan
produk sayurannya, salah satunya terlihat pada inisiatif dari individu Poktan BM
untuk menjual langsung ke konsumen akhir. Hal tersebut terbukti berdasarkan
pernyataan dari Makruf dan Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:
“Kalau tidak dijual ke kelompok, maka dijual sendiri, ke bakul lain.” (Makruf)
“Kalau produknya masih berlebihan, itu dibawa ke kopeng, diikat-ikat, kami bisa
mematok harga sendiri. Berdagang di Kopeng itu banyak pembelinya, banyak tamu,
justeru malah kalau bawa ke kopeng itu kita bisa matok harga, kalau pasar itu 1.000,
mungkin kalau di Kopeng bisa 5.000.” (Mujiyanti Rahayu)
151
Berdasarkan pernyataan Makruf dan Mujiyanti Rahayu, maka dapat diketahui
bahwa ketika produk sayuran yang dihasilkan oleh individu Poktan BM tidak
terjual ke pasar modern, maka dijual ke tempat wisata di Kopeng. Keuntungan
penjualan di tempat tersebut adalah petani bisa mematok harga, sehingga tidak
ditentukan oleh lembaga pemasaran (seperti: pengepul). Hal tersebut dijadikan
alternatif pasar (selain pasar tradisional) oleh individu poktan, ketika produknya
tidak bisa terjual ke pasar modern. Terkait dengan hal tersebut, Supilih
memperlengkap pernyataan dari Makruf dan Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:
“Misalkan kita punya hasil tani sayuran, terus kita jual di kelompok saja, kalau yang
terjual di kelompok cuma sedikit-sedikit, akhirnya sisanya dijual ke pasar lokal mas……
Kami tidak mengandalkan kelompok saja. Maka dari itu, selain dijual ke pasar lokal,
kami juga jual langsung ke konsumen di Kopeng. Kalau jual ke situ harganya sama
dengan ke pasar lokal. Misalnya kubis, di pasar lokal itu harganya 1.000, kalau kita jual
1.500 di Kopeng tidak laku mas. Di pasar lokal harga yang organik dan anorganik sama,
tapi kalau supermarket itu ada perbedaan antara yang organik dan non-organik.”
Mencermati pernyataan Supilih tentang harga jual produk di tempat wisata, maka
dapat disimpulkan bahwa pernyataannya bertentangan dengan pernyataan yang
diutarakan oleh Makruf dan Mujiyanti Rahayu, yakni tidak adanya perbedaan
antara harga jual di tempat wisata dengan harga jual di pasar tradisional. Ketika
dua pendapat tersebut disintesiskan, maka dapat dinyatakan bahwa satu petani
dengan petani lainnya menjual produk sayurannya di tempat wisata dengan harga
yang berbeda-beda. Petani berpeluang untuk menentukan harga, ketika produknya
dijual secara mandiri di tempat wisata Kopeng, bukan ditentukan oleh mekanisme
pasar (seperti di pasar tradisional).
Selanjutnya, pendistribusian sayuran organik oleh Poktan BM ke pasar
modern dilakukan melalui perantara perusahaan yang bergerak di bidang
distributor. Teknis pemasaran melalui perusahaan distribusi ini digambarkan
melalui pernyataan dari Rebo Wahono berikut ini:
“Permintaan dari supplier akan tomat ada, tapi tomat itu hanya hari Kamis dan Jumat,
jumlahnya sekitar 14-15 kilo. Itu sebenarnya kalau tiap hari ada permintaan, kita untung.
Satu kilo rata-rata sekitar 10 buah, itu yang besar…… Yang kecil tidak masuk standar,
tapi yang ukurannya kecil kalau dibawa ke Kopeng masih bisa memberikan hasil. Jadi
tidak cuma mengandalkan supplier saja.”
Dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat diketahui bahwa waktu pengiriman
jenis sayuran tertentu sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian, tiap produk
sayuran yang ingin dijual harus sesuai dengan standarisasi yang ditentukan oleh
152
pasar modern. Untuk itu, poktan perlu memiliki ketelitian dalam melakukan
penyortiran produk. Produk yang bertentangan dengan standarisasi yang
ditetapkan oleh pasar modern, dijual ke pasar tradisional atau dijual langsung ke
tempat wisata di Kopeng. Lalu, jumlah permintaan tiap komoditas berbeda-beda.
Hal ini diungkapkan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:
“Tanaman seperti brokoli, sawi putih, sawi sendok, lettuce, wortel, tomat, itu di pasar
umum ada. Tapi kalau seperti parseley, rosemary permintaan dari pasar modern tidak
terlalu banyak….. Kalau jual ke pasar lokal itu sebenarnya masih untung, tetapi dari
anggota merasa berat hati itu karena perawatannya mas, yang begitu beratnya, sehingga
mereka merasa kurang rela. Persediaan tomat di sini terkadang kurang dari permintaan
supplier. Permintaan supplier akan tomat terkadang 20 kilo, kadang hanya dua kilo, lima
kilo. Pasar itu mintanya barang yang habis, kalau yang habis permintaannya banyak.
Kerugian kami itu di situ, kita tanamnya banyak, tapi permintaannya sedikit.”
Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa komoditas sayuran yang jumlah permintaannya banyak dan ada juga
yang jumlah permintaannya sedikit. Komoditas sayuran yang jumlahnya
permintaannya banyak umumnya beredar di pasar tradisional, contohnya: sawi
putih, brokoli, sawi sendok, head lettuce, wortel, dan tomat. Sedangkan komoditas
sayuran yang jumlah permintaannya sedikit diantaranya: paterselly dan rosemary.
Jumlah permintaan akan komoditas sayuran otomatis berpengaruh pada banyak
atau sedikitnya jumlah petani yang ditugaskan untuk membudidayakan komoditas
sayuran tersebut. Jumlah permintaan sayuran organik dari supplier ke petani
dipengaruhi oleh ketersediaan sayuran organik di pasar modern. Sama halnya
dengan Poktan Tranggulasi, keinginan individu Poktan BM lebih condong untuk
menjual produknya ke pasar modern, karena harga jual produk di pasar tradisional
relatif rendah dan tidak stabil, tidak sebanding dengan tenaga yang terkuras
selama melakukan budidaya sayuran secara organik. Selanjutnya, Supilih
menjelaskan bahwa waktu panen harus disesuaikan dengan waktu pengiriman
sayuran organik ke pasar modern. Berikut pernyataannya:
“Permintaan pasar modern akan semua tanaman itu tercatat. Sudah pernah kejadian, sini
sudah hampir panen, dua hari tidak ada permintaan, sehingga tanamannya sudah agak tua.
Akhirnya saya jual ke pasar lokal. Kalau dibawa ke supermarket, standarnya tidak cocok.
Jadi sayuran itu kalau sudah waktunya panen, harus segera dipanen dan dikirim ke pasar.”
Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa jumlah permintaan sayuran
organik dalam waktu tertentu sudah tercatat, sehingga dapat dijadikan acuan bagi
petani yang ditugaskan untuk memanajemen waktu dalam budidaya sayuran.
153
Kegiatan pemanenan yang tidak tepat waktu berdampak negatif terhadap
keterlambatan dalam menyediakan produk. Waktu panen yang tidak tepat juga
berakibat buruk pada kelayakan produk dari segi mutu.
Selanjutnya sama hal halnya dengan Poktan Tranggulasi, individu Poktan
BM juga merasa memiliki peluang sebagai penentu harga (price maker), terbukti
dari keterlibatannya dalam membuat kontrak kerjasama dengan pihak supplier.
Hal tersebut secara implisit diutarakan oleh Rochmad sebagai berikut:
“Ada kontrak harga dan kontrak kerjasama dengan supplier.”
Hal tersebut diperlengkap oleh pernyataan Supilih berikut ini:
“Di sini sudah ada patokan harga dengan supplier. Melakukan revisi harga itu empat
bulan sekali. Kalau supermarket itu patokannya pasar tradisional. Lalu, kerjasama dengan
supplier itu ada tawar-menawar harga, perjanjian kualitas barang, dan perjanjian waktu
pengiriman.”
Berdasarkan pernyataan Supilih, maka dapat dipastikan bahwa individu poktan
terlibat untuk menyepakati konsep kerjasama dengan supplier, termasuk
kesepakatan mengenai harga jual produk. Di samping kesepakatan harga, pihak
poktan dan supplier juga menyepakati kualitas atau spesifikasi produk dan waktu
pengiriman. Mencermati pernyataan Supilih, kontrak kerjasama, khususnya
mengenai harga jual produk tidak berlaku selamanya, melainkan ada revisi harga
yang biasanya dilakukan dengan frekuensi empat bulan sekali. Kemudian,
pernyataan Pandi berikut ini akan memberi gambaran mengenai pihak yang
bertugas secara intensif untuk membangun komunikasi dengan supplier:
“Bagian pemasaran, supplier itu misalnya dari pemasaran ada berapa kilo? Yang bagian
pemasaran waktu pertemuan itu yang memimpin pembicaraan mengenai itu.”
Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui bahwa pengurus divisi
pemasaran memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membangun komunikasi
secara intensif dengan pihak supplier, termasuk pembicaraan mengenai revisi
harga. Selain itu, divisi pemasaran juga bertugas sebagai pihak yang berinisiatif
melibatkan individu poktan lain untuk mendiskusikan kelayakan kerjasama
dengan supplier, contohnya pendiskusian mengenai jenis-jenis komoditas sesuai
dengan permintaan supplier, baik dari aspek jenis komoditasnya maupun aspek
kuantitasnya. Mencermati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan tugas di Poktan BM disesuaikan dengan bagian atau divisi
kepengurusan poktan yang bersangkutan.
154
Keterbatasan poktan untuk memenuhi permintaan (terutama aspek
kuantitas) dari supplier merupakan hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, poktan
mensiasati dengan cara mengambil sayuran dari petani di luar poktan. Pernyataan
dari Makruf akan memperjelas strategi poktan ketika mengalami masalah seperti
itu:
“Kami juga cari sayur ke sub-sub kelompok, kalau ada kekurangan……. Kami cari
produk itu tidak sembarangan, kalau kekurangan sayur, kami mintanya yang produk sayur
organik.”
Individu Poktan BM bersikap selektif untuk memungut hasil panen sayuran dari
daerah lain, artinya sayuran yang bisa terserap ke Poktan BM harus terjamin
keorganikannya. Biasanya, pemungutan sayuran dari luar poktan dilakukan
melalui sub-sub kelompok yang bekerjasama dengan Poktan BM. Dengan cara
tersebut, sebagian petani di luar poktan merasa khawatir dengan kemurnian
organik dari produk sayuran yang dijual ke pasar modern. Pernyataan Suroso akan
memperjelas hal tersebut:
“Tapi kenyataannya yang dikirim oleh kelompok tani Bangkit Merbabu itu bisa saja
produk semi organik. Masalahnya ketersediaan sayurnya itu terkadang tidak mencukupi
permintaan dari pasar modern, lalu mereka mengambil sayur dari luar kelompok. Apa di
luar kelompok itu terjamin organik?”
Aspek pemasaran hasil produksi pertanian merupakan keuntungan yang
paling dirasakan dan diakui oleh individu poktan yang berorientasi usaha sayuran
organik. Hal tersebut juga diakui oleh Tugiarto sebagai berikut:
“Kalau dianalisis usaha, secara ekonomis usaha tani organik itu bagus, karena biasanya
dari segi pemasaran lebih tinggi harganya.”
Keadaan demikian terjadi, karena produk sayuran organik memiliki peluang
untuk dijual ke pasar modern. Penjualan produk sayuran ke pasar modern
memberi manfaat bagi keuntungan dan kemandirian petani. Keuntungan yang
dimaksud adalah harga jual produk relatif lebih tinggi dan stabil, jika
dibandingkan dengan pasar tradisional. Sedangkan sisi kemandiriannya terbukti
dengan adanya perubahan status petani dalam pemasaran, yang awalnya sebagai
price taker, kemudian menjadi price maker.
Terbangun relasi yang kuat antara poktan dengan dinas pertanian milik
pemerintah mengakibatkan terjalinnya jaringan poktan dengan pedagang perantara
(supplier), sehingga poktan memiliki kesempatan untuk memasarkan hasil
155
produksinya ke pasar modern. Dengan demikian, individu poktan memperoleh
pengetahuan mengenai pemasaran produksi hasil pertanian ke pasar modern.
Selain itu, individu poktan memahami perbandingan antara pemasaran hasil
produksi ke pasar tradisional dan ke pasar modern.
Kemudian, baik Poktan Tranggulasi maupun Poktan BM, pengurus poktan
memegang peran yang menonjol dalam kegiatan pemasaran, yaitu: bertindak
sebagai negosiator harga, sebagai pihak yang intensif menjalin komunikasi
dengan supplier, sebagai pihak yang berinisiatif melibatkan individu poktan lain
untuk mendiskusikan kelayakan kerjasama dengan supplier, sebagai promotor
produk, dan sebagai distributor. Pada aspek tersebut, perbedaannya adalah Poktan
Tranggulasi umumnya mengandalkan pengelola unit bisnis (pemasaran) untuk
menjalankan peran-peran tersebut. Tinjauan di lapangan menunjukkan bahwa
meskipun pengelola unit bisnis berada di bawah naungan seksi usaha, namun
dalam manajemennya masih didominasi oleh pengurus yang berstatus sebagai
ketua dan sekretaris poktan. Sedangkan, Poktan BM umumnya melimpahkan
peran-peran itu kepada divisi pemasaran. Kalaupun dijalankan oleh ketua poktan,
divisi pemasaran turut dilibatkan dalam pengembanan tugas tersebut.
Kesamaannya terlihat dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pengurus di
kedua poktan yang lebih unggul dibandingkan dengan anggota poktan.
Selain perbedaan yang diuraikan di atas, terdapat perbedaan lainnya yang
cukup mencolok, dimana individu Poktan BM tidak hanya mengandalkan pasar
tradisional dan pasar modern, tetapi mencari alternatif pasar yang lain, yaitu:
menjual langsung (direct selling) di tempat wisata, Kopeng. Kemudian, perbedaan
lainnya terlihat pada aspek subyek yang secara intensif bersinggungan dengan
supplier. Poktan Tranggulasi lebih mengandalkan ketua atau sekretaris poktan.
Hal tersebut cukup bertentangan bilamana dikaitkan dengan uraian tugas pengurus
Poktan Tranggulasi. Sebenarnya tugas semacam itu diemban oleh seksi usaha
sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pemasaran hasil usaha tani. Sedangkan
Poktan BM cenderung mengandalkan divisi terkait (divisi pemasaran) untuk
melakukan aktivitas tersebut. Hal tersebut tidak menyimpang dari uraian tugas
yang ditetapkan oleh Poktan BM, dimana pengurus divisi pemasaran bertugas
memasarkan hasil produk sayuran organik kepada pelaku pasar. Selain itu,
156
perbedaan lainnya ada pada aspek pihak-pihak yang dilibatkan untuk
mendiskusikan kelayakan kerjasama dengan supplier. Pada aspek itu, Poktan
Tranggulasi hanya melibatkan individu-individu yang tergabung sebagai
pengelola pemasaran, sedangkan Poktan BM melibatkan seluruh individu.
Ditinjau dari segi pemasaran hasil produksi, pemahaman kedua individu
poktan relatif sama. Berikut ini diuraikan beberapa pandangan emik dari
masyarakat terkait dengan pemasaran hasil produksi sayuran organik:
a. Jumlah pasar untuk menjual sayuran lebih banyak tersedia dan lebih bersifat
kontinyu, dibandingkan dengan sebelumnya, yakni UT tembakau yang hanya
dibeli atau didistribusikan ke pabrik rokok dan hanya terjadi satu kali dalam
setahun.
b. Penjualan sayuran, baik ke pasar tradisional maupun pasar modern sama-sama
menggunakan agen pemasaran (seperti: pengepul atau supplier).
c. Narasumber beranggapan bahwa jumlah (kuantitas) sayuran yang diminta oleh
pasar modern sedikit. Jumlah permintaan dari pasar modern belum dapat
mengimbangi total jumlah produksi sayuran yang dihasilkan oleh satu petani.
d. Ditinjau dari segi harga, penjualan sayuran ke pasar modern lebih
menguntungkan, stabil, tetapi lebih ketat (standarisasinya), jika dibandingkan
dengan penjualan sayur ke pasar tradisional.
e. Ditinjau dari segi kuantitas, kualitas, dan jenis tanamannya, pada saat-saat
tertentu permintaan dari pasar modern dapat berubah. Berbeda dengan
permintaan dari pasar tradisional yang cenderung stabil.
f. Ditinjau dari segi pembayaran, pasar tradisional lebih menguntungkan bagi
petani, karena petani dapat langsung menerima bayaran dari pembeli ketika
produk tersebut sudah didistribusikan. Berbeda dengan pasar modern yang
terkadang terlambat (tidak sesuai dengan kesepakatan atau kontrak) dalam
membayar produk yang telah didistribusikan.
g. Ditinjau dari segi promosi, poktan sering memanfaatkan kegiatan pameran
sebagai media untuk melakukan promosi tentang produknya.
h. Aspek pemasaran memegang peran penting untuk mempertahankan dan
menumbuhkembangkan antusias petani untuk berkelompok tani. Antusias
tersebut tumbuh terutama karena dengan berusaha tani organik, produk yang
157
dihasilkan oleh poktan dapat menembus pasar modern yang harga jualnya
relatif lebih tinggi dan stabil, jika dibandingkan dengan harga jual di pasar
tradisional.
i. Mata rantai pemasaran sayuran ke pasar modern lebih sedikit, dibandingkan ke
pasar tradisional. Pengalaman individu Poktan Tranggulasi menunjukkan
bahwa pemotongan mata rantai lebih banyak ketika poktan memasarkan
sayurannya ke luar negeri.
j. Penjualan sayuran ke pasar modern berpeluang mengubah posisi petani dari
penerima harga (price taker) menjadi penentu harga (price maker). Kerjasama
dengan supplier memberi peluang bagi petani untuk menentukan harga jual
sayuran, sehingga tidak dipermainkan oleh lembaga pemasaran (seperti
pengepul).
E. Dampak terhadap Produksi, Pendapatan, Kemandirian, dan
Kesejahteraan Petani
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa pengetahuan, keterampilan,
dan sikap individu poktan dalam menjalankan UT sayuran organik, dari
penyediaan input atau saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, dan
pemasaran hasil produksi dipengaruhi oleh berbagai wadah belajar yang tersedia
di poktan. Dengan UT yang baik, maka dapat berpengaruh atau berdampak positif
pada produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Pengaruh atau
dampak yang positif terhadap itu menjadi unsur pengikat dan pendorong bagi
petani untuk terus-menerus melakukan UT sayuran organik. Seturut dengan
pembahasan sebelumnya, pengetahuan dan sikap individu poktan mengenai
dampak positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan
juga tidak terlepas dari adanya peran pengurus poktan dalam mengorganisir
poktannya.
Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, petani tergugah
kesadaraannya bahwa dengan merubah jenis UT-nya menjadi sayuran organik,
produksi dan penghasilannya dapat lebih intensif (dalam waktu setahun)
dibandingkan dengan jenis UT yang dilakukan sebelumnya. Hal tersebut
diperjelas melalui pernyataan dari Suparyono berikut ini:
158
“Setelah ada kelompok itu bisa berkembang. Tanaman satu tahun bisa 3 kali sampai 4 kali
musim mas, kalau dulu waktu belum ada kelompok tani itu tanamannya cuma jagung dan
tembakau, selalu itu. Karena itu, penghasilannya kurang mas, satu tahun cuma satu kali
panen tembakau, jagung buat konsumsi rumah tangga.”
Berdasarkan pernyataan itu, maka dapat diketahui sebelum poktan merintis UT
sayuran organik, dulu sebagian besar petani melakukan UT jagung dan tembakau.
Itupun, jenis usaha yang bermotif komersial (untuk mencari keuntungan) hanya
diarahkan pada komoditas tembakau, sedangkan UT jagung bermotif subsisten
(berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan keluarga). Dengan beralih ke UT
sayuran organik, maka jumlah musim tanam (MT) dalam waktu setahun dapat
mencapai tiga sampai empat kali. Oleh karena itu, dengan UT sayuran, petani
dapat memperoleh pendapatan yang frekuensinya lebih tinggi (lebih sering) dan
lebih intensif dalam jangka waktu setahun. Apalagi, UT sayuran organik
berpeluang untuk menerapkan pola tanam polikultur, yakni membudidayakan
lebih dari satu jenis sayuran di satu petak lahan atau bedengan. Dengan pola
tanam yang seperti itu, memungkinkan tanaman sayuran yang dibudidaya saling
melengkapi, sehingga mampu menciptakan rekayasa lingkungan dan mampu
menunjang kebutuhan ekonomi.
Ditinjau dari segi kuantitas produksi, sistem UT sayuran anorganik lebih
unggul dibandingkan dengan sistem UT organik. Pernyataan Suparman berikut ini
memberi gambarannya:
“Hasilnya lebih banyak yang non-organik. Kalau dari segi kualitas lebih unggul yang
organik.”
Akan tetapi, ditinjau dari mutu produksi, petani menganggap sistem UT secara
organik lebih unggul, mengingat penanganannya dalam menghasilkan produk
berusaha menghindari penggunaan input berbahan kimia sintetis dan lebih
berkonsentrasi terhadap penggunaan input alami. Motivasi individu Poktan
Tranggulasi untuk menerapkan sistem UT organik juga terbentuk atas dasar
keyakinannya akan produk organik yang aman dikonsumsi. Pernyataan Pitoyo
Ngatimin akan memberikan penjelasan akan hal tersebut:
“Dengan menerapkan pertanian organik jelas, dalam bahasa islam itu biasa mengatakan
makanan itu yang halal dan thoyib, kalau makanan yang halal itu sudah sering kita jumpai,
tapi yang thoyib masih jarang, artinya makanan yang tidak meracuni orang lain atau tanpa
residu.”
159
Dari pernyataan Pitoyo Ngatimin tersebut, maka cukup memberikan bukti bahwa
individu Poktan Tranggulasi berpandangan bahwa produk yang bermutu juga
harus dinilai berdasarkan jaminan keamanan produk untuk dikonsumsi.
Selanjutnya, pernyataan Syaefuddin berikut ini akan menggambarkan lebih jelas
tentang pengaruh sistem UT organik terhadap pendapatan dan keuntungan:
“Saya bisa meningkatkan taraf ekonomi, karena harga jual produk organik lebih tinggi.
Dengan demikian, saya bisa memenuhi modal untuk musim tanam berikutnya. Kalau di pasar
lokal harganya tidak tentu. Kalau di kelompok sudah ada patokan harga untuk dipasarkan ke
pasar modern. Sayur kita tetap bisa masuk ke kelompok, berkisar satu sampai dua kwintal,
terkadang lima kwintal, kami sudah bisa menerima hasil tani yang layak. Lagipula, modal
yang dibutuhkan untuk bertani organik itu termasuk rendah.”
Dari pernyataan tersebut, petani merasa dengan berusaha tani secara organik,
maka kebutuhan ekonominya dapat lebih terpenuhi. Hal ini dikarenakan, harga
jual produk sayuran organik relatif lebih tinggi dan stabil (sudah terpatok),
daripada produk sayuran anorganik. Walaupun produk sayuran yang dijual ke
pasar modern dan jumlah produksi yang dibeli ke tiap petani masih sedikit, tetapi
petani merasa sudah cukup terbantu dalam menyediakan modal untuk melakukan
UT di musim tanam (MT) berikutnya. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh
jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani cenderung rendah. Hal tersebut turut
dipertajam oleh Harto Slamet sebagai berikut:
“Jumlah produksi bertani organik lebih rendah. Tapi kalau dari segi harga jual dan
pendapatan usaha tani organik itu lebih tinggi, karena biaya yang dikeluarkan sudah
tertekan.”
Selanjutnya, kemandirian petani paling jelas terlihat ketika melakukan
kegiatan penyediaan saprotan. Hal tersebut juga berpengaruh untuk
meminimalkan biaya produksi untuk menyediakan saprotan. Pernyataan dari
Harto Slamet akan memberi gambaran yang lebih jelas tentang itu:
“Kita menggunakan limbah dari kandang, seperti kotoran sapi, itu tidak perlu beli. Tapi
kalau pupuk kimia kita harus beli.”
Dari pernyataan Harto Slamet, maka dapat diketahui bahwa sistem UT organik
banyak mengandalkan sumber daya lokal yang dapat diperoleh secara gratis. Hal
tersebut merupakan salah satu indikasi kemandirian petani, karena mereka tidak
bergantung dengan pihak lain, khususnya dalam penyediaan saprodi. Selanjutnya,
sistem UT organik juga berdampak pada kesejahteraan petani. Kesejahteraan
petani salah satunya diukur oleh kemampuan atau keberdayaan petani untuk
160
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut diutarakan oleh Rebo
sebagai berikut:
“Sayurnya kalau udah panen dimasukkan ke gudang. Dengan begitu, saya bisa
menyekolahkan anak saya yang di Kalimantan itu. Satu tahun saya hitung sayurnya 16
juta habis tidak tersisa, sehingga itu bisa buat menyekolahkan anak. Sekarang anak saya
sudah kerja di Kalimantan Tengah, Palangkaraya.”
Hal tersebut digambarkan oleh Rebo melalui kemampuannya untuk
menyekolahkan anaknya. Hasil penelitian Ariyanti (2013:15) di Poktan
Tranggulasi yang menganalisa sebelum dan sesudah kehidupan sosial-ekonomi
petani organik membuktikan bahwa dari segi pengeluaran rumah tangga, terjadi
peningkatan pengeluaran sesudah petani beralih ke sistem UT organik. Sesudah
menjadi petani organik, pengeluaran rumah tangga responden untuk konsumsi,
biaya pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari mengalami peningkatan. Pergeseran
peningkatan pengeluaran yang tergolong sedang (Rp. 1.550.000-Rp.
2.000.000,00/bulan), sebelum menjadi petani organik, dari total responden
sebanyak 20 orang, hanya tiga orang yang pengeluarannya tergolong seperti itu.
Sesudah menjadi petani organik, menjadi enam orang, sehingga mengalami
peningkatan sebesar 50%.
Keberhasilan UT salah satunya didukung oleh kegiatan administrasi yang
berperan untuk mengukur atau menganalisa usaha, sehingga petani sebisa
mungkin mampu memproyeksikan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produksi dengan jumlah tertentu. Berikut tanggapan Sumar
terhadap analisa usaha:
“Ada penyuluhan dari dinas tentang cara mengatur biaya, tapi kalau petani diatur seperti
itu tidak bisa mas. Misalkan, lahan seribu meter persegi, biayanya dimaksimalkan segini.
Secara teori, biaya itu bisa diatur, tapi pada prakteknya belum tentu bisa, kalau petani itu
biasanya pakai perkiraan. Jadi petani itu misal pemupukan saya kasih sekian dosis pasti
cukup, petani itu yang penting secukupnya, kalau misalkan kurang yang beli atau cari
lagi. Dihitung secara teori, petani tidak bisa…… Kalau terlalu banyak berhitung, bisa jadi
beban pikiran.”
Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat disimpulkan bahwa perhatian petani
terhadap analisa usaha tani masih minim. Menurut sudut pandang petani,
pembiayaan UT diperhitungkan melalui perkiraannya, sehingga pembiayaan UT
tidak dilakukan dengan prosedur yang sistematis dan taktis. Di samping itu,
perhitungan biaya UT dinilai menambah beban pikiran bagi petani. Keadaan
semacam itu dikeluhkan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:
161
“Sebetulnya secara teori petani itu perlu dibina dalam hal analisa usaha, karena
kebanyakan dari mereka itu bekerja tanpa suatu rencana, tanpa suatu analisa. Sehingga
mereka tidak paham, misal menanam brokoli itu dijual dengan harga sekian, sudah
untung atau rugi? Mereka tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja, biaya sewa lahan,
bahkan pembelian pestisida dan pupuk itu tidak dihitung, itu yang kadang-kadang
menjadi kendala. Sehingga mereka yang penting itu panen, laris terjual, dan dapat uang,
tapi uang itu sebetulnya untung atau rugi mereka tidak tahu. Maka dari itu, analisa usaha
perlu diadakan.”
Berdasarkan pernyataan Bernadus Agus Prabowo, dengan apatisnya petani untuk
menganalisa usaha, maka dalam berusaha tani petani tidak memiliki perencanaan
yang matang akan target-target produksi (baik kuantitas maupun kualitas). Selain
itu, biaya-biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan petani dalam
berusaha tani tidak di dicatat atau dianggarkan. Kemudian, petani tidak mampu
mengukur atau mengevaluasi keberhasilan usaha taninya, apakah untung atau
rugi? Dengan keadaan semacam itu, Bernadus Agus Prabowo menyimpulkan
bahwa petani hanya sekedar mementingkan pemanenan dari tanaman yang
dibudidayakan dan hasilnya tersebut dapat laku di pasar, entah rugi atau untung.
Sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, individu Poktan BM
berpendapat atau berkeyakinan bahwa sistem UT organik memiliki dampak atau
pengaruh yang positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan
kesejahteraan petani. Pernyataan Mujiyanti Rahayu akan memberi gambaran awal
tentang pendapat atau keyakinan tersebut:
“Biaya produksinya kalau organik jauh lebih murah dan harga jualnya lebih tinggi.
Kemarin pada waktu makan brokoli ada rasa manisnya. Lalu, kalau yang tidak organik itu
dari sini ke bandara sudah busuk. Setelah kami itu konsen di organik, sekarang itu bapak
kalau beli daging dan telur dari ayam kampung. Sekarang sudah tidak konsumsi moto,
masako, dan michin mas. Kalau masak cuma pakai bumbu alami. Sayur organik itu awet
dan aman dikonsumsi, karena tidak berbahan kimia sintetis, terus dijual harganya tinggi
dan biaya produksinya juga murah. Seandainya tidak organik mas, harga jualnya tidak
tinggi.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa dengan berusaha
tani secara organik, pendapatan petani lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
UT anorganik. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah biaya produksi yang
dikeluarkan dan harga produk yang relatif lebih tinggi, ketika dijual ke pasar
modern. Kemudian dari sisi produksi, dengan menerapkan UT organik, maka
dapat menghasilkan sayuran yang lebih berkualitas, baik dari segi rasa, daya
tahannya, maupun jaminan keamanannya untuk dikonsumsi. Ditambahkan pula
oleh Zulkarnain (2009:220), secara morfologi sayuran organik memiliki
162
penampilan yang lebih alami dengan rasa yang lebih enak, renyah, halus, dan
kurang berserat. Selain itu, pola bertani organik juga berpengaruh terhadap pola
rumah tangga petani (RTP) dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari. RTP
mulai menghindari produk-produk makanan yang sekiranya mengandung bahan
kimia sintetik. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, sebagian individu Poktan
BM mengarahkan usaha tani sayuran organik untuk tujuan subsistensi (hasil
produknya dikonsumsi sendiri). Selanjutnya, terkait dengan keringanan biaya
untuk penyediaan saprotan dipertajam pula oleh pernyataan Supilih sebagai
berikut:
“Sekarang saya sudah bisa membedakan, kalau organik biayanya itu sedikit lebih ringan,
misalkan pestisida kimia itu satu botol harganya 50.000, kalau buat pestisida organik
biayanya tidak sebanyak itu, karena kita buat sendiri, misalkan kita buat ramuan pestisida
dengan mengeluarkan biaya 100.000 sudah bisa menghasilkan banyak mas, kalau beli
pestisida kimia, biaya 100.000 itu cuma dapat berapa cc?”
Berdasarkan pernyataan Supilih, petani banyak memanfaatkan sumber daya alami
yang tersedia di daerah setempat untuk membuat saprotan (seperti: pupuk,
pestisida, dan sebagainya). Meskipun tidak semua bahan untuk membuat saprotan
tersedia di daerah setempat dan harus membeli, namun pengeluaran petani tidak
sebanyak dibandingkan dengan membeli saprotan buatan pabrik. Dengan adanya
keringanan biaya produksi untuk melakukan UT, maka berimplikasi positif
terhadap pendapatan UT.
Pendapat atau keyakinan petani terhadap dampak positif terhadap
produksi, pendapatan, dan kesejahteraan memiliki hubungan dengan
pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman tertentu. Pernyataan dari
Rebo Wahono akan memperjelas hal tersebut:
“Kita juga memperhatikan nominal keuangan yang kita terima, kalau tomat itu satu
batang bisa menghasilkan dua kilo, artinya kita mendapat 20.000 per satu batang, kita
asumsikan satu kilonya dihargai 10.000. Kita bayangkan ketika harga sawi sendok itu
4.000 per kilo, sehingga kalau mau memperoleh 20.000 perlu menghasilkan 5 kilo sawi
sendok. Coba kalau tomat menghasilkan 100-200 kilo, dikali 10.000, pendapatannya
sudah dua juta. Kemarin pada waktu mulai nanam cabai, awalnya dihargai 2000,
kebetulan pada waktu panen kita dapat harga 7.000, lalu meningkat menjadi 9.000,
sekarang itu hampir 20.000. Jadi kita sudah perhitungkan, sehingga bisa kembali modal.
Dari hasil panenan itu kita mampu beli benih satu pack dan pupuk 2 kolt.”
Rebo Wahono sebagai petani tomat berpendapat, walau tantangan untuk
menjalankan proses produksi tomat cukup besar, namun dari sisi jumlah produksi
(kuantitas) dan pendapatan lebih menguntungkan daripada komoditas sayur yang
163
lain. Contohnya, perbandingan antara tomat dan sawi sendok, bobot sayur tomat
di timbangan lebih berat dan harga jual tomat lebih tinggi, jika dibandingkan
dengan sawi sendok. Rebo Wahono menyatakan perbandingan keuntungan antara
tanaman tomat dan sawi sendok adalah 1:5, artinya keuntungan dengan menjual
satu kg tomat sama dengan menjual lima kg sawi sendok. Kemudian, mencermati
pernyataan Rebo Wahono, kesejahteraan petani terlihat dari kemampuannya
menyediakan modal untuk melakukan UT sayuran di musim tanam berikutnya.
Kemampuan menyediakan modal untuk MT berikutnya didukung oleh adanya
ketajaman analisa petani dalam memanajemen waktu panen ketika harga produk
sayuran di pasar tradisional sedang melambung tinggi, sehingga kesejahteraannya
bisa bertumbuhkembang. Pertimbangan ekonomis dari segi jumlah produksi yang
digunakan oleh petani, sehingga mengambil keputusan untuk melakukan budidaya
tanaman tertentu juga dibuktikan melalui pernyataan Zaenal berikut ini:
“Saya menanam 500 m2, satu tahun paling tidak itu menghasilkan dua ton, kalau satu
hektar berarti dikalikan 20, sehingga menghasilkan 40 ton tomat. Padahal itu sudah saya
turunkan perkiraannya, bisanya tiap hari bisa menghasilkan enam kwintal. Dua sampai
tiga kwintal itu hitungannya gagal. Itu data rill di lapangan yang saya catat, tanaman saya
sendiri. Sudah saya perhitungkan. Di kelompok kami ini luas lahannya 5,5 hektar, per
hektar saya buat asumsi minim menghasilkan 25 sampai 30 ton, kalau 30 ton dikalikan
5,5 ha, katakanlah menghasilkan 150 ton, dibagi satu tahun atau 360 hari, satu harinya
kira-kira bisa menerima dari hasil enam kwintal. Itupun tidak hasil yang maksimal, saya
nanam tomat itu biasanya menghasilkan tiga kilo, itu termasuk ideal, itu saya asumsikan
hanya menghasilkan satu kilo per batang…. Apalagi kalau kubis, kubis satu hektar itu
jumlahnya 20.000 batang, satu tahun tiga kali tanam, kalau per batangnya satu kilo, jadi
bsa menghasilkan 20 ton per musim tanam per hektar, kalau dikali tiga musim tanam
hasilnya jadi 60 ton, Itupun diasumsikan sekilo per batang, terkadang ada yang dua kilo,
ada yang dua setengah kilo, ada yang satu setengah. Itu data riil mas.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa preferensi Zaenal
dalam memilih komoditas yang dibudidaya dilatarbelakangi oleh besarnya jumlah
produksi yang dihasilkan. Dengan jumlah produksi yang relatif besar ini, individu
poktan berpeluang untuk memperoleh tambahan pendapatan, yang kemudian
berdampak positif pula terhadap kesejahteraannya.
Selanjutnya, hasil penelitian di Poktan BM juga menunjukkan bahwa
petani sudah antusias dan mampu dalam melakukan pencatatan dalam
menjalankan proses produksi. Hal tersebut ditandai dengan adanya pencatatan
akan hasil produksi dan pendapatan yang diterima petani. Pernyataan Supilih akan
memberi gambaran mengenai hal tersebut:
164
“Setiap anggota kelompok, baik jual di pasar lokal maupun ke kelompok segala sayur apa
saja yang dijual itu perlu dicatat mas, satu tahun bisa menghasilkan sayur dengan bobot
berapa, lalu menjual sayur itu nominal yang kita terima berapa. Itu kami hitung
penghasilannya mas. Jadi kita hitung keuntungannya dan dievaluasi untung atau rugi.”
Dengan mencatat, petani dapat menghitung dan mengevaluasi hasil usaha taninya,
baik sisi produksi, produktivitas, pendapatan, dan keuntungan bersih. Dengan
mengevaluasi, petani dapat melakukan perencanaan untuk meminimalisir risiko
yang sekiranya timbul di musim tanam (MT) berikutnya dan menentukan target
produksi. Hal tersebut dilakukan oleh setiap individu Poktan BM, dibuktikan
dengan pernyataan Pandi selaku anggota poktan berikut ini:
“Saya, diwajibkan untuk mencatat usaha tani saya pribadi, maksudnya misalnya saya
punya menghasilkan produk itu keuntungannya berapa, untung atau rugi? Kalau rugi,
ruginya berapa? Itu tercatat semua. Nanti dari catatan itu direkap semua, jadi bisa
ketahuan total produksinya berapa? Keuntungannya berapa?”
Dari pernyataan tersebut, maka terbukti bahwa petani sudah mulai berproses
untuk menjadi wirausaha (entreprenuer) yang handal. Fenomena itu menandakan
kemandirian petani untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merencanakan
tindakan perbaikan untuk mengembangkan usaha taninya. Kemandirian yang lain
juga diperlihatkan sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, dimana terbukti dari
adanya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengidentifikasi dan
memanfaatkan potensi lokal yang mampu membantu petani untuk menjalankan
proses produksi, khususnya dalam hal penyediaan saprotan. Hal tersebut
diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:
“Buat pestisida alami kami juga cukup banyak manfaatkan bahan yang tersedia di sini,
sehingga tidak tergantung untuk beli antrakol yang satu kilonya seharga 85.000, bahkan
95.000.”
Dengan realita yang semacam itu, petani tidak tergantung dengan saprotan buatan
pabrik yang harganya relatif mahal dan cenderung meningkat dari waktu ke
waktu.
Kesejahteraan petani salah satunya diindikasikan oleh kemampuannya
dalam menyediakan modal, terutama untuk penyediaan saprotan. Hal tersebut
terbukti melalui pernyatan dari Rebo Wahono sebagai berikut:
“Sebagian pembayaran dari supplier itu bisa disisihkan untuk beli ternak. Kalau pupuk
sudah banyak yang punya ternak, artinya bisa kita manfaatkan untuk nambah pupuk
kandang sapi.”
165
Dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat disimpulkan bahwa usaha poktan
untuk menjual sayurannya ke pasar modern memberikan dampak yang positif
terhadap kemampuan petani dalam menyisihkan sisa hasil usahanya untuk
penyediaan saprotan di MT berikutnya. Selanjutnya, dengan adanya
pemberdayaan wanita tani dalam menjalankan proses produksi, maka
menunjukkan bahwa sudah terwujudnya kesetaraan gender untuk menunjang
kesejahteraan keluarga. Kesetaraan gender berarti perempuan dan lelaki
menikmati status yang sama dan memiliki kondisi dan potensi yang sama untuk
merealisasikan hak-haknya sebagai manusia, serta berkontribusi pada
pembangunan, diantaranya pembangunan ekonomi dan sosial (Hubeis, 2010: 82).
Hal tersebut terbukti dari pernyataan Mujiyanti Rahayu berikut ini:
“Dari kegiatan packing ada pemasukan, ada penghasilan tambahan. Setelah ada kelompok
Bangkit itu memang penghasilannya bisa meningkat……. Pemasukan kegiatan packing
itu dari buyer, yang bayar itu buyer. Packing itu per kilo-nya dihargai 800 rupiah.”
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, bahwa wanita tani diberdayakan atau
dilibatkan dalam menangani kegiatan pasca panen. Dengan jasa penanganan
pasca panen, wanita tani memperoleh upah. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa wanita tani turut berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan
keluarganya. Keadaan tersebut menjadi indikator dari terwujudnya
kemitrasejajaran lelaki dan perempuan. Kemitrasejajaran yang dimaksud terlihat
dalam konteks rumah tangga tani, dimana pria maupun wanita tani mempunyai
kesempatan memperoleh pekerjaan (pertanian) yang dibayar (Hubeis, 2010:99).
Lalu, individu Poktan BM dapat tergolong sebagai petani yang berdaya, karena
sudah mampu menjadi penentu harga (price maker). Hal tersebut dibuktikan
melalui pernyataan yang diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:
“Dengan berkelompok tani banyak untungnya, karena yang jelas harga itu kita yang
menentukan, kita bisa jadi penentu harga. Saat brokoli di pasaran umum harganya saat ini
200-500 perak per kilo, di kelompok tetap stabil dihargai 10.000 per kilo….. Seperti
spinach yang dihasilkan pak Makruf itu yang tidak terpakai sampai 100 kilo, akhirnya
dibuang, dibuat pakan hewan, karena memang komoditas seperti spinach, lettuce, lobak,
dan selada itu di musim kemarau sangat mudah sekali penanganannya, tapi harganya
rendah. Seperti selada itu saat ini di pasar tradisional hanya dihargai 1.500 satu kilo, tapi
kalau dibeli supplier masih stabil seharga 10.000. Jadi kita jual dua kilo itu sama dengan
jual di pasar tradisional enam kilo. Keuntungannya kita bisa menentukan harga…..
Sebenarnya, kemarin dihitung-hitung yang dibeli oleh supplier itu baru 20% dari total
produksi yang kami hasilkan, selebihnya masih kita jual ke pasar tradisional. Tapi
keuntungan bagi kita, karena kita sudah ditekan oleh biaya produksi, karena kita tidak
harus beli ini-beli itu, seperti pestisida atau pupuk.”
166
Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, status petani sebagai penentu harga (price
maker) hanya berlaku ketika poktan memasarkan produknya ke pasar modern. Hal
tersebut juga mengindikasikan bahwa individu poktan mandiri dalam menentukan
harga yang layak. Dengan realita semacam itu, ketika harga jual produk sayuran
di pasar tradisional sedang anjlok, petani tidak resah, karena masih ada peluang
bagi mereka untuk menjual sayurnya ke pasar modern dengan harga jual yang
relatif tinggi. Ironisnya, dari jumlah total produksi yang dihasilkan oleh Poktan
BM, baru + 20% yang terserap ke pasar modern, sehingga selebihnya masih dijual
ke pasar tradisional yang harganya selalu berfluktuatif dari waktu ke waktu.
Menurut Rebo Wahono, harga yang selalu berfluktuasi ini salah satunya
disebabkan oleh tidak menentunya kemudahan penanganan komoditas sayuran
tertentu dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, merupakan tantangan ke depan bagi
poktan untuk memperluas jaringan pemasaran ke pasar modern. Akan tetapi,
petani sudah merasa diuntungkan, mengingat jumlah biaya produksi yang
dikeluarkan terutama untuk penyediaan saprotan tidak begitu besar. Di sisi lain,
kesejahteraan juga dapat dipandang sebagai pelestarian, bahkan pengembangan
sumber daya dan lingkungan untuk kebutuhan masa depan. Sistem UT organik
secara konkret berusaha mempertahankan, bahkan menumbuhkembangkan
kualitas sumber daya alam (SDA) dan lingkungan, sehingga kebutuhan manusia
di masa yang akan datang dapat tetap terpenuhi. Hal tersebut diakui oleh Iswanto
sebagai berikut:
“Kata kuncinya ketika kita bisa mengendalikan hama dan penyaki tanpa pestisida, kenapa
tidak? Dengan membuat situasi lingkungan, contohnya begini, kalau manusia ibaratnya
kalau dengan kebersihan itu kemudian bisa menjaga kesehatan, kenapa kita harus
kemudian mengandalkan obat? Di tanaman juga begitu, lingkungan juga memberikan
dampak terhadap kondisi tanaman, dimana lingkungan yang cenderung mudah dijadikan
sarang hama-penyakit, di situ kemudian mereka bisa berkembang biak. Kalau sarang ini
bisa kita hindari, sehingga kondisi tanaman bisa menjadi aman dari serangan hama
penyakit. Kemudian, ditambah dengan budidaya tanaman yang sehat, sehingga
lingkungannya mendukung, kemudian dari dalam tubuh tanaman itu sendiri sehat, jadi
tingkat ketahanan tubuhnya menjadi lebih kuat. Ketika ada serangan hama-penyakit dari
luar dia bisa bertahan. Dengan begitu, petani tidak perlu lagi harus bersusah payah untuk
membeli pestisida dengan harga yang mahal, sekaligus itu juga tidak aman dikonsumsi
dan juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Yang harus kita cermati dengan cerdas,
kerusakan lingkungan itu sebenarnya karena ulah kita sendiri, manusia…………
Dampaknya yang dirasakan sekarang, kondisi lingkungan itu rusak, salah satunya adalah
keberadaan serangga-serangga yang berperan sebagai hama itu sulit diatasi karena
populasi dari predator itu saat ini sudah langka……. Kondisi tanah yang dulu lebih
banyak memberi suplai makanan secukupnya bagi tanaman, sehingga tidak begitu sulit
167
untuk memperbaiki tanahnya itu. Tanamannya terpenuhi suplainya, karena NPK-nya
terpenuhi, lalu unsur-unsur mikronya lebih lengkap. Dengan go organik, memang kita
mati-matian berjuang untuk mengembalikan kondisi tanah itu menjadi alami, tapi ini
butuh waktu lama. Karena apa? Begitu dikasih pupuk organik, memerlukan waktu untuk
kemudian organiknya itu bisa diserap oleh tanaman. Sementara, sebagian besar petani
masih nyemprot seenaknya sendiri. Bagaimana organik ini menjadi lebih baik, kalau
jasad renik yang ada di dalam organik ini dimatikan sendiri oleh petani dengan semprot
itu. Idealnya itu memang ada larangan penggunaan pestisida kimia sintetis, misalnya, tapi
itu tidak mungkin, siapa yang berani menanggung larangan kalau kemudian petani tidak
panen.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka secara singkat dapat dijelaskan bahwa
kesadaran petani untuk menjaga kondisi lingkungan tetap sehat mutlak
diperlukan. Hal tersebut diantaranya dapat diwujudkan dengan cara: menghindari
pemberian limbah tanaman atau hewan di lahan tanpa adanya perlakuan (seperti
fermentasi) terlebih dahulu, menghindari penyemprotan pestisida kimia sintetik
yang berlebihan, menghindari pemberian pupuk kimia sintetik yang berlebihan,
menghindari pemburuan liar satwa-satwa (yang sebenarnya berperan sebagai
predator), menghindari pengolahan lahan yang terlalu intensif, dan menghindari
perlakuan lainnya yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan
mempertahankan kondisi lingkungan tetap sehat, maka dapat berdampak positif
ke tanaman yang dibudidaya. Hasil UT dapat lebih optimal, jika petani memberi
perlakuan-perlakuan tertentu yang dapat menopang kesehatan tanaman, seperti
pemilihan benih atau bibit yang berkualitas (baik dari segi fisik, fisiologis,
genetis, terbebas dari organisme pengganggu tanaman, dan sebagainya). Usaha
petani untuk menjaga kesehatan tanaman itu juga mampu menjamin produksi
yang aman dikonsumsi oleh manusia. Dengan demikian, untuk memperoleh hasil
panen yang ideal (baik dari sisi produsen maupun konsumen), petani sebagai
pelaku utama pertanian perlu memperhatikan segala aspek yang turut menjamin
kesehatan tanaman yang dibudidayakan. Hal tersebut salah satunya dapat
diwujudkan dengan cara menjaga keseimbangan ekosistem, agar tidak ada mata
rantai yang terputus di siklus lingkungan yang telah tertata sedemikian rupa. Oleh
karena kondisi lingkungan saat ini sudah mengalami kerusakan yang cukup besar,
maka tantangannya petani perlu membuat lingkungan steril kembali dan
membutuhkan proses yang cukup lama untuk lingkungan bisa steril kembali. Pada
masa sterilisasi itu petani banyak mengalami kendala untuk menghasilkan
produksi yang maksimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dengan begitu,
168
tidak sedikit petani yang putus asa di masa-masa itu, apalagi jika tidak didukung
oleh pasar yang memadai (terutama dari segi harga produk yang dihasilkan oleh
petani). Lalu, motivasi apa yang paling tepat, supaya petani dapat ajeg atau
konsisten menerapkan sistem UT organik, walau banyak rintangan yang
dihadapinya? Pernyataan dari Zaenal berikut ini akan memberi jawaban singkat
atas pernyataan tersebut:
“Kalau pola pikir kita tentang organik hanya terfokus pada pasar tidak mungkin bisa
kontinyu. Jadi, ketika bertani organik jangan hanya mikir pasar, tapi lebih berorientasi
untuk merubah sistem, karena kita punya lahan itu sudah rusak dan kesehatan lingkungan
itu merupakan hal yang utama. Kalau mikir pasar, tidak mungkin kontinyu bertani
organik, karena pada masa awal atau transisi itu kita harus siap gagal dulu.”
Berdasarkan pernyataan Zaenal, maka dapat disimpulkan bahwa kontinuitas
individu poktan sayuran organik terjamin oleh akibat dari adanya persepsi
terhadap pola budidaya organik yang lebih mengedepankan aspek kesehatan
lingkungan, daripada aspek pemasaran. Ketika hanya terfokus pada pasar,
kontinuitas petani untuk menerapkan usaha tani secara organik dikhawatirkan.
Risiko itu pada umumnya terjadi pada masa awal atau transisi untuk beralih ke
sistem organik, dimana peluang keberhasilan lebih rendah dibandingkan dengan
peluang kegagalan. Hal tersebut membuktikan bahwa petani merupakan garda
terdepan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas organisme dan SDA yang ada
di dunia (termasuk di dalamnya: tanah, manusia, hewan, tumbuhan,
mikroorganisme, dan sebagainya). Petani sebagai pelaku bisnis sebaiknya
memperhatikan unsur etika dalam menjalankan bisnisnya. Jadi, petani yang
bersaing dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang
semakin profesional justeru akan menang, karena tetap dipercaya masyarakat.
Untuk jangka pendek, mungkin mereka yang “bisnis secara tidak etis” akan
menang. Tetapi itu bukan bisnis yang tulen. Bisnis yang tulen dan baik adalah
bisnis yang tahan lama. Dan untuk itu norma dan nilai etika ikut menentukan.
Kejujuran, mutu barang, aspek keramahan pada lingkungan, aspek keamanan dan
kesehatan dalam produk ikut menentukan baiknya suatu bisnis (Keraf & Imam,
1995:63). Seluruh aspek itu turut menunjang kesejahteraan untuk generasi
mendatang, karena menganut prinsip lestari untuk jangka waktu yang relatif
panjang.
169
Sama halnya dengan pembahasan mengenai pasca panen dan pemasaran
hasil produksi, pembahasan mengenai dampak terhadap produksi, pendapatan,
kemandirian, dan kesejahteraan petani juga mengakumulasikan pengetahuan dan
sikap individu di kedua poktan, yaitu Tranggulasi dan Bangkit Merbabu.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan dalam menjalankan
UT sayuran organik, dari penyediaan input atau saprotan, budidaya tanaman,
penanganan pasca panen, dan pemasaran hasil produksi dipengaruhi oleh berbagai
wadah belajar yang tersedia di poktan. Dengan proses UT yang baik, maka dapat
berpengaruh atau berdampak positif pada produksi, pendapatan, kemandirian, dan
kesejahteraan petani. Pengaruh atau dampak yang positif terhadap itu menjadi
unsur pengikat dan pendorong bagi petani untuk terus-menerus melakukan UT
sayuran organik. Seturut dengan pembahasan sebelumnya, pengetahuan dan sikap
individu poktan mengenai dampak positif terhadap produksi, pendapatan,
kemandirian, dan kesejahteraan juga tidak terlepas dari adanya peran pengurus
poktan dalam mengorganisir poktannya. Berikut diuraikan beberapa pandangan
emik dari masyarakat terkait dengan dampak UT sayuran organik terhadap
produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani:
a. Dari segi produksi, sayuran yang ditangani dengan sistem organik dianggap
lebih berkualitas. Hal ini ditunjukkan dari segi rasa, daya tahannya, maupun
jaminan keamanannya untuk dikonsumsi. Dari segi kuantitas, produksi sayuran
yang ditangani dengan sistem organik lebih rendah dibandingkan dengan
sistem anorganik.
b. Dari segi pendapatan, harga jual sayuran organik cenderung lebih tinggi,
terutama ketika terserap di pasar modern. Selain itu, pendapatan petani
bertambah oleh karena adanya penekanan biaya produksi, dimana penyediaan
saprotan banyak mengandalkan sumber daya alami lokal, kalaupun
mengandalkan input dari luar, biaya yang dikeluarkan tidak sebesar dengan
membeli saprotan dari toko atau pabrik pertanian.
c. Kemandirian petani terutama ditampakkan melalui kemampuannya dalam
menyediakan saprotan (seperti pupuk, pestisida, dan lain-lain) secara mandiri,
sehingga tidak bergantung dengan toko atau pabrik pertanian. Selain itu,
kemandirian petani juga ditampakkan khususnya oleh individu Poktan BM
170
untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merencanakan tindakan perbaikan
untuk mengembangkan usaha taninya. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan
dan kemauannya untuk melakukan kegiatan pencatatan dalam menjalankan
proses produksi. Selain dua hal tersebut, kemandirian petani turut ditandai oleh
adanya posisi tawar mereka sebagai penentu harga, sehingga ia memiliki
kemandirian untuk memperkirakan harga jual yang layak terhadap produk
sayuran yang dihasilkannya.
d. Kesejahteraan petani terlihat dari kemampuannya untuk menyediakan modal
untuk melakukan UT sayuran di musim tanam berikutnya. Selain itu,
kesejahteraan petani juga ditandai oleh kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, misalnya: biaya penyekolahan anak. Di samping itu,
pemberdayaan wanita tani dalam menjalankan proses produksi menunjukkan
bahwa sudah terwujudnya kesetaraan gender untuk menunjang kesejahteraan
keluarga. Dalam kasus tersebut, wanita tani diberdayakan atau dilibatkan
dalam menangani kegiatan pasca panen. Dengan jasa penanganan pasca
panen, wanita tani memperoleh upah. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa wanita tani turut berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan
keluarganya. Selanjutnya, kesejahteraan yang dimaksud dalam penelitian ini
juga dirasakan oleh individu poktan untuk jangka waktu yang relatif panjang.
Dalam hal tersebut, individu poktan beranggapan bahwa sistem UT organik
lebih mengedepankan aspek keramahan lingkungan, sehingga mutu lingkungan
dapat tetap terjaga untuk jangka waktu yang panjang dan berguna bagi
kesejahteraan generasi mendatang.
4.6.5 Poktan Sebagai Wadah Belajar Bagi Pihak Lain dan Peran Dominan
Pengurus Poktan dalam Mengorganisir Wadah Belajar Bagi Pihak
Lain
Di samping fungsinya sebagai wadah untuk mengembangkan usaha tani
sayuran organik internal poktan, poktan juga berfungsi sebagai promotor dan
fasilitator bagi pihak lain, khususnya dalam hal pengembangan usaha tani secara
organik. Pembahasan berikut ini akan menjelaskan hal tersebut.
Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi secara konkret menunjukkan bahwa
poktan ini diakui sebagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S).
171
Pada tahun 2006 poktan ini resmi dijadikan Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S) yang berfungsi sebagai wadah belajar mengenai usaha
tani sayuran. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan memberikan gambaran awal
tentang hal tersebut:
“Tahun 2006 kami baru diakui sebagai P4S. Denga P4S itu ternyata kami mampu
menambah jaringan. P4S itu adalah lembaga yang diberi SK oleh kementan melalui
BPSDM. BPSDM-tan itu menaungi lembaga-lembaga, diantaranya ada lembaga yang
bukan milik negara, termasuk P4S itu. P4S diberi wewenang, diberi SK, sehingga tempat
ini bisa jadi rujukan untuk studi banding, pelatihan, permagangan. Pesertanya itu dari
Sabang-Merauke yang pernah ke sini. Dari Papua sudah pernah, dari Aceh sudah pernah,
Kalimantan, Sulawesi, NTT, Sumatera sudah pernah.”
Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin didukung oleh Budi sebagai berikut:
“Tranggulasi itu kita hanya sekedar koordinasi, artinya pembinaan ke mereka itu atas
inisiatif kita. Kami membangun hubungan kerjasama dengan kelompok tani. Khususnya
dengan Tranggulasi kita waktu itu berkunjung ke sama dalam rangka melatih petani, kita
pakai sebagai tempat PKL di sana. Kami juga yang mempersiapkan Tranggulasi menjadi
P4S. Tranggulasi itu salah satu lembaga pelatihan pertanian milik petani.”
Berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin dan Budi, maka terbukti bahwa P4S
merupakan suatu organisasi yang diberi wewenang, diberi SK (Surat Keputusan)
oleh kementerian pertanian, melalui BPSDM-tan (Balai Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pertanian). Akan tetapi P4S ini bukan tergolong lembaga milik
negara. P4S berguna sebagai tempat rujukan untuk studi banding, pelatihan, atau
permagangan. P4S Tranggulasi sebagai lembaga pelatihan pertanian milik petani
telah digunakan sebagai tempat PKL (Praktek Kerja Lapang) oleh BPSDM-tan
dalam rangka melatih petani. Sudah banyak petani dari berbagai daerah di
Indonesia yang memiliki pengalaman menjadi peserta belajar di P4S, diantaranya
dari: Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sebagainya. Selain
petani, terdapat beberapa golongan lain yang menjadi peserta belajar di P4S,
yaitu: kaum akademisi (siswa, mahasiswa, bahkan dosen), organisasi pemerintah,
atau organisasi swasta Mencermati hal itu, BPSDM-tan telah berkontribusi besar
dalam mempersiapkan Poktan Tranggulasi sebagai P4S. Pembentukan P4S
Tranggulasi juga tidak terlepas untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu: a)
mengembangkan swadaya petani dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk menumbuhkembangkan profesionalisme di bidang
kewirausahaan agribisnis pertanian organik; b) membangun rasa tanggung jawab,
kesetiakawanan sosial, dan berperan aktif untuk membangun masa depan petani
172
agar lebih baik, sehingga tercipta dan berkembangnya hubungan sosial dan
interaksi positif antar petani, pengusaha, pemerintah, dan perguruan tinggi, c)
menyalurkan aspirasi petani kepada lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah,
baik di dalam maupun di pusat (Anonim, 2012:02). Beralih kembali ke proses
pembentukan P4S Tranggulasi, Abdul Wahab berpendapat lain tentang sejarah
terbentuknya sebagai berikut:
“P4S itu sebetulnya terbentuk resmi pada tahun 2014. Tahun 2006 baru dianggap sebagai
tempat kunjungan, karena P4S itu statusnya hanya legal untuk pemerintah. Sekitar tahun
2006 itu belum diakui statusnya. Cuma dianggap sebagai Balai Pelatihan. Pusat pelatihan
petani masih diarahkan ke Bakoorluh sama Bappeluh, itu lembaga milik pemerintah.
Sehingga ketika ada program dari pemerintahan, diarahkan ke situ. Bappeluh itu tingat
kabupaten, sedangkan Bakoorluh tingkat provinsi. Tapi pada saat ini, Bakoorluh dan
Bappeluh sudah mengakui status P4S, jadi ketika ada program dari dinas pemerintah, P4S
bisa mewadahinya. Sebelum itu, pelatihan-pelatihan itu rata-rata yang diadakan oleh
Bappeluh dan Bakoorluh, biasanya lokasinya di hotel. Biasanya petani itu kalau
pelatihannya di hotel sering merasa tidak cocok, itu salah satu tujuannya dibentuk P4S.
Kalau di P4S, pembelajaran secara teori sekaligus praktek bisa dilakukan, tapi kalau di
hotel pembelajarannya cuma sekedar teori.”
Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat diketahui bahwa pada tahun
2006 statusnya P4S belum resmi, melainkan diistilahkan dengan nama Balai
Pelatihan. Pada tahun tersebut dan sekitar tahun itu, penyelenggaraan pelatihan
untuk petani dilakukan oleh badan koordinasi penyuluhan-Bakoorluh (tingkat
provinsi) atau diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan-Bappeluh
(tingkat Kabupaten). Penyelenggaraan kegiatan pelatihan banyak dilakukan di
ruangan tertutup (seperti hotel), sehingga terkesan formal. Selain itu, materi
ajarnya didominasi oleh unsur teori, melainkan bukan praktek. Sebelum
membahas lebih jauh, maka diperjelas terlebih dahulu secara singkat hubungan
antara P4S Tranggulasi dan Poktan Tranggulasi. Hal tersebut dijelaskan oleh
Abdul Wahab sebagai berikut:
“Kita itu punya dua organisasi, namanya P4S dan kelompok tani, kedua organisasi itu
memang ada kaitannya. Tapi pengorganisirannya itu berbeda, misalnya kas P4S itu kita
sendirikan, kita pisah dengan kas kelompok.”
Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat disimpulkan bahwa individu
Poktan Tranggulasi membedakan manajemen antara P4S Tranggulasi dan Poktan
Tranggulasi. Contohnya, pengaturan pemasukan dan pengeluaran kas P4S
Tranggulasi dan Poktan Tranggulasi dipisah. Pengaturan kas tersebut dilakukan
oleh pengurus poktan.
173
Anggota Poktan Tranggulasi juga turut merasakan keberadaan P4S di
wilayahnya. Hal ini terbukti dari pernyataan yang diungkapkan oleh Ngatemin
sebagai berikut:
“Kelompok Tranggulasi itu untuk peserta pemagangannya sudah datang dari mana-mana
mas. Dari Jakarta, lalu dari Kalimantan. Di sini juga jadi tempat studi banding. Pak
Pitoyo itu sering diminta jadi pembicara.”
Mencermati pernyataan Ngatemin, terdapat tokoh Poktan Tranggulasi (yang
tergabung dalam kepengurusan poktan) yang sering dipercaya atau diberi mandat
sebagai pembicara dalam seminar, pelatihan, atau forum pertanian lainnya. Hal
tersebut membuktikan bahwa keberadaan Poktan Tranggulasi telah
diperhitungkan oleh pihak luar sebagai narasumber sistem UT sayuran organik.
Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan oleh Walgito (2003:107), bahwa
pemimpin berfungsi sebagai seorang yang mewakili kelompok ke luar (as
external group representative), yaitu pemimpin mewakili kelompoknya ke dunia
luar kelompoknya. Pemimpin sebagai cerminan sifat-sifat atau kepribadian
kelompok yang dipimpinnya. Pengalaman P4S cukup rinci diperjelas melalui
pernyataan Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“P4S itu diutamakan untuk berbagi pengalaman, yang ke dua sebagai tempat
pemagangan. Magang itu seputar tentang budidaya. Biasanya mahasiswa PKL itu yang
magang, dan P4S juga sebagai tempat pelatihan bagi petani. Pelatihan itu biasanya
program dari dinas, pelatihan beberapa hari, tiga hari misalkan. Kalau magang itu
biasanya waktunya sebulan, tapi bisa beberapa hari atau beberapa minggu. Tapi kalau
pelatihan umumnya hanya beberapa hari. Lalu, pelatihannya kadang berbentuk workshop.
Selain itu, juga untuk studi banding. Kalau studi banding itu biasanya pesertanya hanya
datang dan melakukan pengamatan. Intinya, yang kami tularkan adalah pengalaman
apapun yang sudah pernah kita lakukan.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, dapat disimpulkan bahwa P4S
difokuskan sebagai wadah belajar tentang sistem UT sayuran organik. Bentuk
pelatihan yang ada di P4S diantaranya meliputi: magang, pelatihan, workshop,
dan studi banding. Pertama magang, dimana peserta belajar tinggal sementara di
dusun Selo Ngisor selama beberapa minggu atau beberapa bulan untuk menggali
ilmu tentang sistem UT sayuran organik. Ke dua pelatihan, dimana peserta belajar
diberi materi tentang tata cara UT sayuran organik dalam waktu beberapa hari
yang relatif singkat. Kemudian workshop atau dalam bahasa Indonesia biasa
dikenal dengan istilah loka karya, dimana kegiatan tersebut mempertemukan
orang yang bekerjasama dalam kelompok kecil, biasanya dibatasi pada masalah
174
yang berasal dari mereka sendiri. Pemandu (narasumber) biasanya hadir untuk
menceritakan pengalamannya dan latihan yang pernah diikutinya untuk
memecahkan masalah. Penekanannya yang sebenarnya adalah bukan pada
inspirasi yang diberikan oleh pembicara, tetapi pada pengayaan silang dari ide dan
pengalaman (Suprijanto, 2012:79). Terakhir studi banding, dimana peserta
melakukan pengamatan mengenai tata cara individu Poktan Tranggulasi dalam
membudidayakan sayuran organik. Beberapa kalangan menyamakan studi
banding dengan kunjungan lapangan, dimana itu berkenaan dengan kegiatan
membawa kelompok ke tempat khusus untuk tujuan khusus. Tujuan tersebut
biasanya dimaksudkan untuk mengamati situasi, mengamati kegiatan atau praktik,
atau membawa kelompok menemui suatu objek. Kunjungan lapangan biasanya
berjangka waktu pendek (Suprijanto, 2012:137). Materi pembelajaran Wadah P4S
ini juga dijadikan ajang bagi pengurus poktan untuk mengasah keterampilan
anggota untuk berbicara di depan umum dan memberi kesempatan anggota untuk
membagikan pengalaman usaha taninya kepada peserta belajar. Hal tersebut
dikemukakan oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“Di sini sudah ada pembagian tugas, jadi tidak sulit ketika kita mendampingi tamu.
Contohnya, pada waktu itu ada tamu dari IPB. Pesertanya ada 170 mahasiswa, termasuk
dosen. Saya bagi kelompok, tiap anggota saya libatkan semua. Ada yang bertugas
menjadi pemandu, moderator, dan narasumber. Sebelum pelaksanaan kegiatan belajar,
saya ajarkan dulu cara menyampaikannya.”
Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa pengurus
poktan bertugas mengkoordinir seluruh individu poktan untuk berpartisipasi
menjadi fasilitator bagi peserta belajar P4S. Fasilitator menangani beberapa
kegiatan, sehingga pengurus poktan bertugas pula untuk melakukan pembagian
tugas. Sebelum pelaksanaan kegiatan belajar dimulai, pengurus juga bertugas
memberi petunjuk operasional kepada para anggota sebagai acuan bagi mereka
mengenai tata cara penyampaian materi kepada peserta belajar. Dengan demikian,
materi belajar tersebut dapat terpola dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
diharapkan oleh peserta belajar. Upaya dan tugas pengurus Poktan Tranggulasi
semacam itu dapat dimaknai sebagai tekniknya untuk meningkatkan kekayaan
anggota poktan dari segi intelektualitas, dimana anggota diberi kesempatan, diberi
jaminan, dimampukan, dan diberdayakan untuk membuktikan pengetahuan dan
175
keterampilannya dalam berusaha tani, yang kemudian juga berdampak pula pada
pengembangan mutu P4S.
Di lain sisi, terdapat sebagian anggota poktan yang merasa kurang
dilibatkan dalam P4S. Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Sumar sebagai
berikut:
“Kalau ada tamu di P4S itu yang menangani hanya orang-orang tertentu. Jadi semua
anggota belum tentu semuanya mengetahui. Jadi misalkan anda tanya saya, P4S itu
gimana, saya tidak mengerti, karena saya tidak pernah diikutkan. Yang biasanya ikut itu
orang-orang tertentu, pengelolanya.”
Menurutnya, yang proaktif sebagai narasumber di P4S adalah beberapa petani,
khususnya yang tergabung dalam pengelola atau pengurus poktan. Hal tersebut
terjadi, mengingat pengurus poktan lebih memiliki pemahaman atau pengetahuan
dan keterampilan sebagai narasumber untuk membawakan materi tentang sistem
UT sayuran organik. Di samping itu, pengurus Poktan Tranggulasi juga berperan
dalam melakukan promosi atau memperkenalkan P4S kepada pihak luar. Hal
tersebut diperjelas melalui pernyataan Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:
“Saya dan teman-teman pengurus yang publikasi ke SMK dan kelompok tani lain. Media
promosinya secara lisan, kita juga pakai power point, pakai peralatan LCD. Kalau untuk
promosi kita juga bisa lewat on line, karena kita punya web P4S itu. Diantaranya itu, tapi
di samping itu kita pakai metode mulut ke mulut…. Sekarang kita punya web P4S
Tranggulasi.”
Metode promosi sering dilakukan secara lisan dan menggunakan alat bantu tayang
(seperti: Liquid Crystal Display-LCD). Di samping metode tersebut, pengurus
Poktan Tranggulasi menggunakan web, sehingga dapat disimpulkan bahwa
individu poktan telah mengenal media komunikasi dan informasi secara online.
Selain dua metode yang telah dijelaskan, pengurus poktan juga melakukan metode
“mulut ke mulut” (mouth to mouth) untuk melakukan promosi. Dengan upaya-
upaya tersebut, pengurus poktan memperkenalkan keberadaan P4S Tranggulasi.
Upaya promosi tersebut membuahkan hasil bagi kaum akademisi, seperti lembaga
penelitian untuk melakukan penelitian tentang pengaruh efektifitas pupuk
terhadap pertumbuhan sayuran yang ditanam dengan pola tumpang-sari. Hal
tersebut diperjelas melalui pernyataan Asep Miswan berikut ini:
“Kita melakukan penelitian mengenai pengaruh pupuk alternatif pada tanaman brokoli
ditumpang sari dengan sawi putih di lahan pak Pitoyo. Dulu penelitiannya di lahan
Pitoyo, kalau tidak salah ada beberapa perlakuan, kita aplikasikan pupuk hayati,
kemudian pupuk hijau tithonia. Untuk hasil penelitiannya ada laporannya, tapi belum
jadi… Pertimbangan pemilihan lokasi karena kita penelitian organik, kebetulan di sana
176
lahannya organik. Diharapkan dari hasil penelitian itu, pak Pitoyo itu bisa menyampaikan
ke anggota kelompok taninya…. Waktu itu penelitian soal pengaruh pupuk kandang sapi,
kemudian pupuk hayati itu pake agrimed, kemudian pupuk segar hijauan tithonia.…
Sekarang balittan sudah penelitian on farm, penelitian on farm di lahan petani, seperti di
lahannya pak Pitoyo. Jadi apa yang Balittan kerjakan itu paling tidak bisa dipelajari oleh
kelompok tani.”
Berdasarkan pernyataan Asep Miswan, maka dapat disimpulkan bahwa P4S
bukan hanya sebatas dijadikan rujukan tempat pelatihan, melainkan juga dijadikan
rujukan sebagai tempat penelitian. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan
lahan milik Poktan Tranggulasi sudah terjamin organik. Kemudian, objek
penelitian ini adalah dua tanaman, yaitu tanaman brokoli dan sawi putih yang
ditanaman dengan pola tumpang sari. Dua tanaman yang ditanam dengan pola
tanam tumpang-sari tersebut diberi beberapa perlakuan, meliputi: pemberian
pupuk kandang sapi, pemberian pupuk hayati dengan merk dagang “agrimed”,
dan pemberian pupuk hijau dari tumbuhan tithonia. Pemberian pupuk-pupuk
tersebut dilakukan dengan dosis tertentu. Setelah diberi perlakuan, tim peneliti
menganalisa pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan dua tanaman
tersebut (brokoli dan sawi putih). Selain itu, peneliti dapat membandingkan tiga
perlakuan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini dilakukan oleh Balai Penelitian
Tanah (Balittan) yang berlokasi di Bogor. Setelah data selesai diolah, maka
disusun laporan hasil penelitian dan dipublikasikan. Meninjau kasus ini, maka
hamparan usaha atau lahan milik individu Poktan Tranggulasi dijadikan rujukan
tempat untuk penelitian yang kedepannya mampu memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan bagi masyarakat luas (khususnya yang berkecimbung dalam bidang
pertanian). Akan tetapi, manfaat penelitian ini paling bisa dirasakan oleh individu
Poktan Tranggulasi, maka dari itu Asep Miswan berharap ketika laporan
penelitian ini sudah selesai disusun, selanjutnya dipublikasikan ke individu Poktan
Tranggulasi. Dengan demikian, Poktan Tranggulasi memperoleh bahan masukan
untuk didiskusikan bersama dalam wadah belajar, yang selanjutnya dapat
berdampak positif terhadap pengembangan usaha tani individu poktan.
Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, model penyediaan wadah belajar-
mengajar bagi pihak lain yang dipelopori oleh Poktan BM dilakukan dengan cara
membentuk sub-sub kelompok. Pernyataan Mujiyanti Rahayu berikut ini akan
memberi gambaran awal tentang hal tersebut:
177
“Yang ngesub dengan Bangkit Merbabu ada kelompok Phala Tani, lalu kelompok tani di
Selo Nduwur, kemudian kelompok tani Karya Muda, ada juga kelompok di Kenteng,
Ngablak itu, namanya Mutiara Organik. Jadi pengurus kelompok Bangkit mengelola itu.
Ketua kelompok tani itu kadang diminta oleh dinas pertanian provinsi, misal pelatihan
tentang pembuatan pupuk cair. Pernah di Pemalang, lalu pernah juga di Batang.”
Berdasarkan pernyataan Mujiyanti Rahayu, maka dapat diketahui bahwa ada
beberapa poktan yang bekerjasama (ngesub) dengan Poktan BM. Beberapa poktan
yang dimaksud, diantaranya meliputi: poktan Phala Tani (dusun Deplongan, Desa
Wates), poktan di dusun Selo Nduwur (Desa Batur), poktan Karya Muda (dusun
Kaliduren, Desa Batur), dan poktan Mutiara Organik (Dusun Kenteng, Kecamatan
Ngablak). Kemudian, persamaan Poktan BM dengan Poktan Tranggulasi terletak
pada peran pengurus poktan (terutama ketua poktan) sebagai pembicara atau
fasilitator dalam kegiatan pelatihan, seminar, atau forum pertanian lainnya. Hal
tersebut selaras dengan uraian tugas pengurus Poktan BM, dimana ketua poktan
bertugas sebagai pemimpin kelompok yang bertanggungjawab ke dalam dan ke
luar jalannya organisasi. Berkaitan dengan adanya sub kelompok dari Poktan BM
turut diperlengkap oleh pernyataan Sutopo dan Suwalim berikut ini:
“Sudah ada usaha penyadaran petani untuk bertani organik, dari kelompok Bangkit
Merbabu itu yang aktif. Kelompok itu membentuk sub kelompok di luar dan dalam
dusunnya. Itu sudah dilakukan.” (Sutopo)
“Itu kelompok BM Phala Tani, nginduk atau istilahnya menjadi plasma kelompok tani
Bangkit Merbabu. Itu yang ketuanya mas Aji, namanya kelompok SBBM, Sejahtera
Bersama Bangkit Merbabu. Tapi sampai saat SBBM itu kegiatannya baru sekedar buat
demplot kecil di tingkat kelompok…. Phala Tani sudah ngesub dengan Bangkit
Merbabu.” (Suwalim)
Selanjutnya, pernyataan Rochmad berikut ini akan memberi gambaran singkat
tentang asal-muasal munculnya ide untuk membentuk sub kelompok:
“Kelompok kami itu bukan menawarkan kelompok tani lain untuk ngesub dengan kami.
Dulunya seperti ini, petani-petani tetangga di sekitar dusun kami itu meminta diajarkan
cara buat pupuk cair, lalu pupuk padat. Kemudian, karena beberapa petani itu belum
punya kelompok, saya menghimbau untuk dibentuk kelompok tani di dusunnya. Karena
dengan begitu, kami lebih mudah mendampinginya, selain itu secara waktu juga lebih irit.
Kami satu minggu sekali ada pendampingan ke sub kelompok.”
Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat diketahui bahwa ide untuk
membentuk sub kelompok muncul dari adanya kebutuhan petani di luar Poktan
BM untuk belajar dan menggali ilmu tentang sistem UT organik dari Poktan BM.
Hal tersebut yang akhirnya menciptakan inisiatif petani untuk membangun relasi
dengan Poktan BM. Mencermati pernyataan itu, maka dapat disimpulkan pula
178
bahwa pembentukan poktan sangat signifikan untuk mewujudkan efisiensi dalam
penyebarluasan informasi atau ilmu (dalam hal ini sistem UT organik).
Pendampingan ke sub kelompok secara rutin dilakukan tiap satu minggu sekali
(melalui wadah pertemuan rutin sub kelompok). Hal tersebut turut didukung oleh
pernyataan Marshudi berikut ini:
“Saya dulu itu sudah kenal dengan pak Rochmad, saya diajari bertani organik oleh beliau.
Lalu, saya diminta pak Rochmad untuk mengajak orang dan bentuk kelompok.”
Kemudian, teknis pembentuk sub kelompok diperjelas melalui pernyataan Sumadi
berikut ini:
“Dibentuk sub kelompok itu dimusyawarahkan dalam kelompok lewat pertemuan.
Masing-masing sub kelompok ada perbedaan masing-masing….. Tiap anggota punya
kesempatan untuk jadi perwakilan dari Bangkit Merbabu untuk hadir dalam pertemuan
sub kelompok.”
Berdasarkan pernyataan Sumadi, maka dapat diketahui bahwa pembentukan sub
kelompok dilakukan dengan berdiskusi atau bermusyawarah hingga mencapai
mufakat antar individu Poktan BM. Menurut pengamatan Sumadi, tiap sub
kelompok memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga menjadi tantangan
bagi Poktan BM untuk menentukan serta menerapkan model pembinaan dengan
cara yang tepat. Mencermati pernyataannya, juga dapat disimpulkan bahwa tiap
individu Poktan BM memiliki hak dan kewajiban untuk hadir dalam pertemuan
yang diadakan oleh sub-sub kelompok tani BM. Hal tersebut dapat dimaknai
sebagai cara pengurus poktan untuk mengembangkan keterampilan seluruh
individu poktan untuk berkomunikasi di depan umum dan memberi kesempatan
untuk membagikan pengalaman dan pengetahuannya mengenai UT sayuran
organik kepada petani lain. Beralih kembali ke usaha pembentukan sub kelompok,
pihak luar juga turut membantu Poktan BM untuk membentuk sub kelompok. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Witono P. Sasongko sebagai
berikut:
“Bangkit Merbabu pertama secara legitimasi untuk sertifikat nasional sudah punya, selain
itu juga punya keterampilan pertanian yang cukup baik, sehingga beberapa binaan
Yayasan Sion itu yang ada di beberapa daerah kami ikutkan di pelatihan di Bangkit
Merbabu, dan kedepannya bisa menjadi sub dari kelompok Bangkit Merbabu.”
Berdasarkan pernyataan Witono P. Sasongko, maka dapat diketahui bahwa
yayasan Sion juga turut berperan dalam pembentukan sub kelompok Bangkit
Merbabu. Dengan demikian, Poktan BM berpeluang untuk memperluas jaringan
179
diseminasi (penyebarluasan) ilmu dan keterampilan tentang UT sayuran organik
ke poktan lain. Selain itu, dengan adanya bantuan dari yayasan Sion, maka
rekognisi (pengenalan) Poktan BM ke khalayak luas semakin terealisasi.
Selanjutnya, hasil penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa kesadaran
atau kebiasaan individu Poktan BM untuk mendampingi atau membina sub
kelompoknya sudah mengakar, artinya tanpa ada dorongan pun, individu poktan
memiliki kesadaran untuk melakukannya. Pernyataan dari Rochmad berikut ini
akan memperjelas hal tersebut:
“Kalau malam Kamis saya mendampingi kelompok Karya Muda di dusun sini. Saya juga
ke Deplongan dan Selo Nduwur, tapi itu bergilir, jadi tidak harus saya. Kami bukan
diundang, memang kami bertugas untuk mendampingi. Karena mereka merupakan sub
dari kelompok tani kami, maka kami berkewajiban untuk mendampingi. Itu tidak ada
syaratnya, kami tidak meminta imbalan apapun. Syaratnya hanya penerapan usaha
taninya menyesuaikan standar organik seperti di kelompok kami…… Kami punya prinsip
bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditularkan kepada masyarakat umum.
Seperti sub kelompok kami yang ada di Sumatera itu materi pembinaannya lewat e-mail.
Kalau kelompok di sekitar sini materinya kami berikan menggunakan flash disk, lalu
nanti ada keterangan susulan secara lisan, mungkin ada yang kurang jelas. Dari sub
kelompok tinggal menghubungi ke sini.”
Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat dipastikan bahwa sub-sub
kelompok memang dibina atau didampingi secara intensif oleh individu Poktan
BM. Pembinaan atau pendampingan terbukti dari adanya keikutsertaan individu
Poktan BM dalam pertemuan rutin yang diadakan oleh sub kelompok. Kemudian,
utusan yang hadir dalam pertemuan rutin yang diadakan oleh sub kelompok
dilakukan secara bergantian. Walau begitu, berdasarkan observasi lapangan,
menunjukkan bahwa pengurus Poktan BM lebih sering menjadi utusan dalam
pertemuan yang diadakan oleh sub kelompok. Mencermati keadaan tersebut,
maka pengurus poktan dapat dituntut sebagai seorang pengambil alih tanggung
jawab, yakni bahwa pengurus poktan berkewajiban untuk mengambil alih
tanggung jawab, ketika anggota belum memiliki kemampuan untuk membimbing
sub kelompok (Walgito, 2003:108). Persyaratan poktan yang ingin bekerjasama
atau ngesub dengan Poktan BM tidak begitu sulit, hanya perlu memperlihatkan
totalitas atau keseriusan untuk menerapkan sistem UT sesuai dengan standar
organik yang ditetapkan Poktan BM. Kemudian, maksud baik Poktan BM untuk
membentuk sub kelompok juga disebabkan oleh adanya sikap mengutamakan
kepentingan saling menopang dan saling mengisi di atas kepentingan untuk
180
bersaing (secara tidak sehat) dengan poktan lain. Hal tersebut diperjelas melalui
pernyataan Zaenal berikut ini:
“Kelompok di Kecamatan Getasan itu pernah saya tanya, tapi saya tidak diberi
informasinya. Waktu pertama kita mendirikan kelompok saya tanya ke yang lebih
berpengalaman mengenai GAP, lalu SOP, tapi tidak dijawab. Kalau kami tidak fokus
untuk bersaing, nyatanya kami punya sub kelompok. Kami memberikan ilmu-ilmu
kepada siapapun yang butuh. Kalau sub kelompok itu lebih pintar dari kami, kami punya
rasa senang, karena kami rasa semakin banyak yang berbudidaya dengan baik dan benar.”
Mencermati pernyataan Zaenal, kesulitan individu Poktan BM dalam mengakses
informasi tentang sistem UT organik justeru menumbuhkembangkan semangatnya
untuk membentuk sub kelompok. Individu Poktan BM terus berupaya untuk
menularkan ilmu atau pengalaman tentang sistem UT sayuran organik yang
dimilikinya, yang selanjutnya mampu membentuk SDM petani yang handal,
khususnya di bidang usaha tani sayuran organik. Argumen tersebut dipertajam
oleh Suwanto sebagai berikut:
“Kelompok Bangkit Merbabu itu ada usaha untuk menularkan ilmu organiknya ke petani
di sekitarnya. Sekarang sudah punya beberapa sub kelompok yang berada di luar wilayah
dusunnya itu.”
Model pembinaan terhadap sub-sub kelompok dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu secara teroritis maupun praktis. Teknis pembinaan sub
kelompok lebih jelas digambarkan oleh Rochmad berikut ini:
“Tata cara untuk buat pupuk padat dan cair ilmunya selalu ditularkan kepada sub
kelompok. Itu dipraktekkan bersama-sama. Di sub kelompok itu sudah ada flash disk
berisi materi budidaya sayuran organik. Lalu dengan flash disk ini kita menindaklanjuti
dengan mengkaji dan mempelajari bersama…. Di flash disk itu sudah ada standarisasi
budidaya organik, kami beri dalam bentuk file.”
Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat diketahui bahwa secara teoritis,
individu Poktan BM membagikan informasi-informasi tentang teknik UT sayuran
organik yang tersimpan di dalam flash disk. Secara praktis, Poktan BM juga
mendampingi sub kelompok untuk mempraktekkan atau menguji-coba teknologi
dan metode teknik UT sayuran organik. Kemudian, hasil praktek atau uji coba
tersebut dikaji dan dipelajari bersama, sehingga sub kelompok yang bersangkutan
mampu menarik sebuah kesimpulan tentang kelayakannya. Poktan BM memberi
kesempatan kepada siapapun individu dari sub-sub kelompok untuk berkonsultasi.
Selain itu, Poktan BM juga memberi keleluasaan kepada sub kelompok untuk
menyelesaikan permasalahan internal yang terjadi di sub kelompok. Hal-hal
tersebut digambarkan secara jelas melalui pernyataan Rochmad berikut ini:
181
“Tiap sub kelompok punya kesempatan untuk konsultasi ketika mereka punya kendala,
sehingga konsultasinya tidak harus seminggu sekali pada waktu pertemuan. Lalu, ketika
ada hal-hal yang harus dibicarakan secara internal oleh sub kelompok, kami tidak
memperoleh informasi pertemuan lewat SMS. Sehingga, ketika kami tidak memperoleh
informasi pertemuan dari sub kelompok, kami tidak hadir di pertemuannya. Kalau kami
dapat informasi pertemuan, kami hadir ke sub kelompok untuk membina. Kami pikir
kalau ada hal-hal yang sifatnya privat dan harus diselesaikan oleh sub kelompok secara
mandiri, itu tidak harus melibatkan Bangkit.”
Berdasarkan pernyataan Rochmad, keterlibatan individu Poktan BM dalam
pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh sub kelompok hanya berlaku jikalau
diundang oleh sub kelompok melalui SMS atau telepon. Kemudian, model
pertemuan rutin yang diterapkan oleh sub kelompok sama persis dengan yang
dilakukan oleh Poktan BM. Hasil penelitian di sub kelompok BM, yakni poktan
Phala Tani menunjukkan bahwa individu sub kelompok BM merasakan
keuntungan atau manfaat dengan menerapkan pertemuan rutin dengan frekuensi
seminggu sekali. Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Nyoto berikut ini:
“Dengan pertemuan tiap minggu masalah soal pertanian bisa teratasi, misal penyemprotan
pestisida alami itu dilakukan satu minggu paling tidak dua kali, kalau pertemuan satu
bulan sekali terlalu lama mas. Selain itu, tiap siklus perkembangan sayuran, masalah
penyakitnya itu banyak, kalau pertemuannya satu minggu sekali bisa teratasi. Sehingga
ada masalah pertanian itu bisa dimusyawarahkan. Kami itu mengikuti cara bertani
organik dari Bangkit Merbabu. Yang sekiranya kami belum tahu, bisa ditanyakan, yang
kami sudah tahu, kami memberi informasi ke mereka. Komunikasi dengan pengurus
Bangkit Merbabu lancar-lancar saja, saling berkomunikasi ketika terjadi hal apapun. Ibu-
ibu kami ikut sertakan dalam kelompok, kalau ada kepentingan baru diajak ikut
pertemuan, dari Bangkit Merbabu yang menyarankan, supaya tidak saling mencurigai,
misalkan masalah jual-beli sayuran, lalu harga pasar, dan yang ada sangkut-pautnya
seputar kerjasama dengan kelompok Bangkit. Tapi di sini itu biasanya ibu-ibu bergantung
dengan suaminya. Ibu-ibu bantu nanam sayuran, lalu cara untuk memupuk dan
menyemprot itu ibu-ibu sudah bisa.”
Berdasarkan pernyataan Nyoto, maka dapat diketahui bahwa pertemuan satu
minggu sekali memberi manfaat untuk mendiskusikan berbagai hal yang ada
sangkut-pautnya dengan proses UT sayuran organik, dari penyediaan saprotan,
budidaya tanaman, pemanenan, penanganan pasca panen, sampai dengan
pemasaran hasil produksi. Di samping itu, dalam situasi yang mendesak, individu
sub kelompok juga memiliki kesempatan untuk berkonsultasi atau berkoordinasi
dengan individu Poktan BM di luar pertemuan. Berdasarkan observasi di
lapangan, kegiatan konsultasi di luar pertemuan lebih banyak dilakukan dan dirasa
lebih efektif oleh petani. Nyoto menuturkan, selama bekerjasama dengan Poktan
BM, ada proses belajar-mengajar yang sifatnya interaktif (timbal-balik atau saling
mempengaruhi). Kemudian, sama halnya dengan Poktan BM, poktan Phala Tani
182
sebagai sub kelompoknya juga melibatkan wanita tani (ibu-ibu) dalam poktan,
sehingga ilmu-ilmu tentang UT sayuran organik dapat terserap juga ke wanita
tani.
Saat ini, poktan Phala Tani sedang berproses untuk beralih dari sistem UT
anorganik menjadi sistem UT organik (masa transisi). Pernyataan Nandar berikut
ini akan memberikan gambaran singkat tentang proses transisi dari sistem UT
anorganik menjadi sistem UT organik:
“Dari Bangkit Merbabu memberi kami masukan mengenai cara penanaman, pembuatan
pupuk organik, dan cara pemulihan tanah. Kami sekrang ini sedang tahap pemulihan
tanah. Ketika ada keluhan, bisa kami konsultasikan ke Bangkit Merbabu. Setiap
masukkan dari Bangkit Merbabu, kita bicarakan di dalam pertemuan kelompok Phala
Tani. Demplot itu diadakan karena arahan dari Bangkit Merbabu, kami buat sebagai
percontohan, mereka mendampingi di tiap tahapan demplot. Awal-awalnya kami
mengambil pupuk organik itu dari sana.”
Dari pernyataan Nandar, maka dapat disimpulkan bahwa peralihan sistem UT
anorganik menjadi sistem UT organik diawali dengan penyelenggaraan kegiatan
demontrasi plot (demplot). Proses kegiatan demplot, dari masa persiapan,
pelaksanaan, dan evaluasi didampingi oleh Poktan BM. Tujuan utama
diadakannya demplot adalah untuk menganalisa, memperoleh gambaran, dan
mendokumentasikan hasil uji coba teknologi atau metode UT suatu tanaman.
Selain itu, poktan Phala Tani memiliki peluang untuk mengkonsultasikan segala
kendala yang terjadi selama proses peralihan ke organik. Di samping itu, sebagian
pupuk organik untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan peralihan disediakan oleh
Poktan BM. Masa peralihan dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT organik
biasa dikenal dengan istilah konversi atau periode transisi. Periode transisi
merupakan waktu antara saat mulai melaksanakan prinsip pertanian organik dan
sertifikasi hasil tanaman. Konversi atau periode transisi tidak diperlukan untuk
lahan yang masih asli, artinya belum pernah dilakukan sama sekali pertanian
anorganik, atau pertanian dilaksanakan dengan teknologi tradisional dan
memenuhi persyaratan standar baku pertanian organik. Lamanya periode konversi
didasarkan atas penggunaan lahan masa lalu dan kondisi ekologinya (Sutanto,
2002:152-153). Kedepannya Poktan BM sudah memiliki rencana untuk
mendampingi sub kelompok untuk menangani masalah administrasi dalam rangka
mengajukan usulan sertifikasi pangan organik. Hal tersebut diutarakan oleh
Zaenal sebagai berikut:
183
“Untuk tahun depan biar kita tidak rugi karena biaya sendiri kan kelompok-kelompok
yang ngesub sini sudah kita ajari tentang pertanian organik, suatu saat kita ajarkan
tentang administrasinya, usulan resertifikasi. Kerjasama dengan sub kelompok tidak ada
kendala, kita hanya memberikan ilmu. Ada pengawasan ke lapangan, lokasinya
berdekatan, jadinya sering ketemuan.”
Selain membantu dalam pengajuan usul sertifikasi pangan organik, Poktan BM
juga membantu dalam menangani kegiatan selama konversi. Proses
pendampingan dan monitoring ini dirasa tidak berat oleh Poktan BM, karena dari
segi lokasi, letak hamparan usaha yang dimiliki oleh sub-sub kelompok tidak
begitu jauh dan terjangkau. Pembahasan berikut ini akan menyinggung secara
komprehensif tentang upaya atau kegiatan nyata poktan Phala Tani untuk
melakukan teknis konversi ke sistem UT organik. Hal tersebut diawali dengan
pernyataan Nyoto sebagai berikut:
“Kami mengurangi ponska sedikit demi sedikit, kemudian diiringi dengan penambahan
pupuk kandang organik. Kalau bertani organik itu diharuskan tepat waktu untuk
perawatannya, kami melakukan penyemprotan untuk pencegahan. Tetapi kami masih
pakai revaton untuk pengendalian hama dan penyakit, itu residu kimianya tidak terlalu
berlebihan, karena kalau pakai pestisida organik belum mampu. Tidak sepenuhnya lahan
ditanami organik, paling hanya 500 meter persegi. Dari Bangkit Merbabu sudah
mengambil sayuran dari sini. Kalau saya rubah jadi cara organik sekaligus lahan yang
luas, bisa sia-sia mas. Dari Bangkit Merbabu tidak mengawasi secara rutin, yang kalau
kami sudah punya produk organik baru dilaporkan. Target tahun depan kami dapat
sertifikat organik.”
Mengacu pernyataan Nyoto, konversi lahan pertanian anorganik menjadi lahan
organik diawali dengan usaha pengurangan penggunaan pupuk kimia sintetik
(seperti ponska), serta diiringi dengan usaha memperbanyak penggunaan pupuk
kandang. Penggunaan pupuk kandang bertujuan untuk meningkatkan humus,
memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme
pengurai (Zulkarnain, 2009:213). Kegiatan tersebut berupaya untuk menciptakan
keseimbangan organisme yang menyebabkan tanah lebih subur dan produktif.
Selain itu, meningkatkan kemampuan menahan air, sehingga frekuensi
penyiraman dapat dikurangi (Sutanto, 2002:03). Selama masa konversi,
penggunaan pestisida kimia sintetik (seperti revaton) untuk pengendalian hama
dan penyakit masih dilakukan. Hal tersebut wajar, mengingat pemahaman petani
terhadap pestisida alami masih terbatas. Selain itu, belum ada jaminan
keberhasilan panen yang pasti dengan menggunakan pestisida alami. Dengan
demikian, penggunaan pestisida kimia sintetik masih digunakan demi
meminimalisir risiko gagal panen, lagipula petani hanya menggunakan pestisida
184
kimia sintetik yang residunya rendah. Hal tersebut selaras dengan yang diutarakan
oleh Reijntjes dkk (1999:207), bahwa jika tidak tersedia pengetahuan yang sesuai
tentang praktek-praktek pestisida alami, maka pemanfaatan pestisida kimia atau
racun-racun masih perlu. Kemudian, konversi dari sistem UT anorganik menjadi
sistem UT organik dipraktekkan di lahan yang sempit (misal: + 500 m2). Dengan
kata lain, tidak semua lahan yang dimiliki oleh individu poktan Phala Tani
digunakan untuk praktek konversi ke sistem UT organik. Selanjutnya, individu
poktan Phala Tani mengutamakan kejujuran dalam pemasaran. Maksudnya adalah
produk sayuran yang bisa dijual ke Poktan BM, hanyalah yang diproses dengan
sistem organik sesuai dengan standar yang ditetapkan Poktan BM. Sehingga yang
masih dalam tahap konversi, hasil produksinya belum dianggap sebagai produk
sayuran organik dan tidak dapat dijual ke Poktan BM. Selanjutnya, pernyataan
Marshudi berikut ini akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang teknis
pemeliharaan tanaman di masa konversi:
“Pemeliharaannya kami beri pupuk cair seminggu sekali, kalau penyemprotan pestisida
empat hari sekali, itu kami buat sendiri menggunakan bahan alami, seperti daun suren,
daun pepaya, bawang, cabe, temu ireng, dikasih biji mahoni. Lalu pakai biji bengkoang,
itu ditumbuk, lalu dikukus, supaya dingin dikasih penutup atasnya dan dikasih minyak
tanah. Untuk menjaga ketersediaan unsur hara ditambahi ponska. Dari Bangkit Merbabu
mengatakan kalau tidak mampu menggunakan pupuk cair, bisa pakai ponska, itu cuma
sebagai penunjang saja. Cara budidaya itu ada bimbingan atau panduan dari Bangkit
Merbabu. Dari kelompok Bangkit Merbabu kami diberi materi dalam bentuk file untuk
pembelajaran sendiri. Pestisida alami itu fungsinya juga untuk menambah kesuburan, jadi
tidak hanya berfungsi untuk mengatasi hama saja. Itu berguna sebagai vitamin untuk
menyehatkan tanah. Selain itu, kami juga dapat ilmu mengenai pengaturan waktu
penanaman jenis sayuran, istilahnya rotasi tanaman mas.”
Berdasarkan pernyataan Marshudi, maka dapat diketahui bahwa penyemprotan
pupuk cair dilakukan setiap minggu sekali. Frekuensi pemupukan yang cukup
tinggi ini disebabkan oleh karakter yang dimiliki pupuk organik, diantaranya
adalah: ketersediaan unsur hara lambat dan ketersediaan hara dalam jumlah
terbatas (Sutanto, 2002:07). Sehingga dalam penerapannya, takaran pemupukan
harus banyak dan sesering mungkin. Usaha individu poktan untuk menjaga
ketersediaan unsur hara adalah pemberian ponska (pupuk kimia sintetis) ke tanah
dengan dosis yang rendah. Kekurangan unsur hara merupakan halangan utama
bagi produksi tanaman. Ketersediaan unsur hara sangat tergantung pada kondisi
umum tanah, kehidupan tanah, dan pengelolaan bahan organik. Oleh karena itu,
perhatian yang besar harus juga diberikan pada pemberian unsur hara yang
185
diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (Reijntjes dkk, 1999:70). Di samping
pemupukan, penyemprotan pestisida alami juga dilakukan dengan frekuensi yang
tinggi, yakni empat hari sekali, karena pestisida semacam ini lebih cepat
mengalami disintegrasi (mudah hilang atau terurai). Selain untuk mengendalikan
serangan hama dan penyakit, pestisida alami juga berkontribusi untuk menambah
kesuburan tanah. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya sifat yang mudah terurai,
sehingga meminimalisir gangguan terhadap kehidupan biota dalam tanah, baik
mikroorganisme (diantaranya: bakteri, aktinomisetes, dan fungsi) maupun
makrofauna tanah (diantaranya: cacing tanah dan rayap) (Reijntjes dkk, 1999:15).
Menurut Sutanto (2002:66), cacing tanah (sebagai makrofauna tanah) sangat peka
terhadap pestisida. Oleh karena itu, penggunaan pestisida alami berusaha
membangun kembali keaktifan biota tanah untuk meningkatkan kesuburan dan
kesehatan tanah (Sutanto, 2002:57). Beralih kembali ke pernyataan Marshudi,
maka dapat dipastikan bahwa Poktan BM memberikan panduan atau pedoman
tertulis mengenai tata cara melakukan proses produksi sayuran secara organik.
Selain teknis pemeliharaan, individu poktan Phala Tani juga diberikan
pemahaman mengenai tata cara pengaturan waktu penanaman, sehingga dapat
memberi hasil yang optimal terhadap efisiensi pemanfaatan air, sinar, dan hara;
produktivitas lahan per satuan luas; penekanan terhadap serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT); serta pendapatan usaha tani (Sutanto, 2002:131).
Secara garis besar, kerjasama antara Poktan BM dengan sub kelompok Phala Tani
tidak menimbulkan masalah, bahkan individu poktan Phala Tani banyak
memperoleh manfaat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Waluyo berikut ini:
“Keuntungannya bekerjasama dengan Bangkit Merbabu itu bisa menambah ilmu, karena
yang membimbing semua hal tentang pertanian organik itu mereka. Dari situ kami bisa
menambah pengalaman. Kalau misalkan ada kumpulan di sini, itu dari Bangkit Merbabu
kalau tidak ada acara yang penting pasti hadir, sehingga tidak ada kendala apa-apa selama
bekerjasama dengan Bangkit Merbabu.”
Manfaat yang dimaksud diperlihatkan melalui adanya peningkatan ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan sistem UT sayuran organik.
Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi dan Poktan BM,
keduanya memiliki cara yang berbeda dalam menyediakan wadah belajar untuk
pihak lain. Poktan Tranggulasi diakui oleh negara sebagai P4S, dimana P4S ini
bisa dijadikan sebagai rujukan untuk kegiatan pemagangan, studi banding, praktek
186
kerja lapangan, dan bentuk pelatihan lainnya. Pengalaman P4S tidak hanya
sebatas melatih petani atau poktan, tetapi kaum akademisi juga banyak yang
berkunjung ke P4S untuk menggali ilmu tentang sistem UT sayuran organik.
Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM menyediakan wadah belajar bagi
pihak lain dengan cara membentuk sub-sub kelompok. Pembentukan sub
kelompok tersebar luas di luar desa, atau kabupaten, bahkan di luar provinsi.
Poktan BM lebih terkonsentrasi untuk membina poktan lain. Di samping
perbedaan-perbedaan tersebut, salah satu persamaan yang terlihat di kedua poktan
tersebut adalah wadah belajar bagi pihak lain juga bermanfaat bagi seluruh
individu poktan. Tiap individu poktan, baik Tranggulasi maupun BM memiliki
hak dan kewajiban untuk menjalankan wadah belajar bagi pihak lain. Hal tersebut
dapat dimaknai sebagai cara pengurus poktan untuk mengembangkan
keterampilan seluruh individu poktan untuk berkomunikasi di depan umum dan
memberi kesempatan untuk membagikan pengalaman dan pengetahuannya
mengenai UT sayuran organik kepada pihak lain. Persamaan lainnya, kedua ketua
poktan sering diberi mandat untuk menjadi pembawa materi tentang sistem UT
organik di kegiatan pelatihan, seminar, atau forum pertanian lainnya, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Berdasarkan peran itu, maka
pengurus poktan dapat dimaknai sebagai seorang ahli (expert), yakni digunakan
sebagai sumber informasi. Selain itu, juga dianggap sebagai seorang yang
mewakili kelompok ke luar (as external group representative), yakni mewakili
kelompoknya ke dunia luar, sebagai cerminan sifat-sifat atau kepribadian
kelompok yang dipimpinnya (Walgito, 2003:108). Di samping itu, letak
persamaan lainnya ada pada dominasi pengurus poktan sebagai diseminator atau
pembawa materi tentang sistem UT organik ke peserta belajar. Kalaupun sudah
ada pembagian yang jelas atau penjadwalan yang jelas tentang waktu bertugas
individu poktan untuk mendampingi peserta belajar, seringkali individu poktan
(khususnya anggota) tidak mampu untuk mengemban tugas tersebut. Dengan
demikian, pengurus poktan mengambil alih tanggung jawab anggotanya. Dengan
peran pengurus yang seperti itu, maka ia bisa dianggap sebagai pelopor terdepan
untuk menggiatkan aktivitas poktan dalam melakukan pembinaan tentang sistem
UT organik kepada pihak lain. Upaya yang dilakukan oleh Poktan Tranggulasi
187
maupun Poktan BM untuk menyebarluaskan ilmu atau informasi tentang sistem
UT sayuran organik secara tidak langsung telah memberi keringanan bagi
penyuluh pemerintah (PNS Pegawai Negeri Sipil) untuk melaksanakan
tugasnya. Salah satu kendala yang disadari oleh Dinas Pertanian terkait dengan
penyuluhan pertanian di Indonesia adalah keterbatasan SDM penyuluh, baik
secara kuantitas maupun kualitas. Keberadaan poktan seperti Tranggulasi dan BM
yang turut berpartisipasi dalam penyebarluasan ilmu atau informasi tentang sistem
UT sayuran organik dirasa bermanfaat bagi penyuluh. Manfaat tersebut
disampaikan melalui pernyataan Nyuwono berikut ini:
“Kendala yang kami hadapi itu adalah keterbatasan SDM, jelas itu yang nomor satu.
Penyuluh kita itu hanya ada hampir 6.000 untuk seluruh Jawa Tengah itu hampir 6.000.
Jumlah itu tidak seimbang dengan areal yang ada di Jawa Tengah. Untuk rekrutmen itu
ranah pemerintah pusat, kami sudah mengusulkan. Idealnya kalau penyuluh itu satu desa
satu penyuluh, tapi saat ini belum bisa menjangkau itu. Jalan keluarnya, kami mendidik
dan memberikan pelatihan-pelatihan kepada kelompok tani atau gapoktan untuk menjadi
penyuluh swadaya. Harapannya penyuluh swadaya itu nanti bisa menyampaikan kepada
petani di seikitarnya, contohnya seperti P4S itu mas, itu sebagai pusat pelatihan pertanian
pedesaan.”
Berdasarkan pernyataan Nyuwono, maka dapat diketahui bahwa kendala yang
dihadapi oleh dinas pertanian di daerah tingkat I (Provinsi), daerah tingkat II
(Kabupaten), dan kecamatan adalah keterbatasan SDM penyuluh untuk
memperkenalkan teknologi atau metode berusaha tani maupun berkelompok tani
dalam rangka menumbuhkembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
petani, di daerahnya (khususnya). Dari segi kuantitas, jumlah penyuluh di daerah
Jawa Tengah tidak seimbang dengan jumlah keseluruhan desa yang ada di Jawa
Tengah, sehingga ada sebagian penyuluh yang merangkap tugas di dua desa atau
bahkan lebih. Kemudian dari segi kualitas, kemampuan tenaga penyuluh harus
spesifik, artinya ketika di lokasi (misal kecamatan) tertentu, ada petani yang
berusaha tani tanaman perkebunan, maka dibutuhkan tenaga penyuluh yang ahli
di tanaman perkebunan. Ironisnya, kedua aspek tersebut masih serba terbatas.
Kehadiran P4S (Tranggulasi) dan sub-sub kelompok (Bangkit Merbabu) di
tengah-tengah lingkungan pertanian di Jawa Tengah membantu penyuluh PNS
untuk melaksanakan tugas dan mencapai tujuannya. Jika dihubungkan dengan UU
No. 16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan, maka Poktan Tranggulasi dan Poktan BM tergolong sebagai penyuluh
swasta, yaitu penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang
188
mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Dalam konteks ini,
penyuluhan diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik untuk
memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar
bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua
stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses
pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan
partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan (Mardikanto, 2009:22 &
23). Menurut Syahyuti (2011:69), selain dari petugas penyuluh profesional,
penyuluhan dari petani ke petani juga merupakan pendekatan baru yang dalam
beberapa hal bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani diharapkan akan lebih
efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap
persoalan, dan metode pemecahan masalah.
4.7 Penutupan
Pada hakekatnya, petani memiliki alasan sendiri, apakah ia akan
menjalankan usahanya dalam kelompok atau tidak. Petani membandingkan antara
kompensasi yang diperolehnya jika terlibat dalam organisasi formal dengan
pengorbanan yang harus diberikannya. Jika tambahan pendapatan yang diperoleh
tidak sebanding, mereka cenderung enggan terlibat. Simmons (2002) (dalam
Syahyuti, 2011:108) menyumbangkan bahwa ada empat area strategis yang
menjadi pertimbangan petani terlibat dalam berorganisasi, yakni: 1) apakah
mereka dapat mengakses ke pasar karena sebelumnya mereka menghadapi biaya
transaksi yang tinggi, 2) apakah mereka dapat mengakses kredit dengan bunga
yang tidak mahal, ketika sebelumnya selain bunga yang tinggi bahkan seringkali
tidak memiliki akses ke lembaga permodalan, 3) apakah mereka disediakan
berbagai pelayanan untuk memperbaiki manajemen risiko di sektor hulu, dan 4)
apakah mereka disediakan informasi, penyuluhan serta dukungan logistik
sehingga biaya transaksi yang lebih rendah dapat mereka raih.
Petani menjalankan berbagai kegiatan dalam menjalankan usahanya, mulai
dari memenuhi kebutuhan sarana produksi sampai dengan penjualan hasil
produksi. Untuk menjalankan usaha pertanian, petani harus dapat memenuhi input
atau sarana produksi berupa benih, bibit, pupuk, obat-obatan, serta alat-alat dan
mesin pertanian. Ia juga membutuhkan buruh tani untuk membantu bekerja jika
189
tenaga dari dalam keluarga tidak cukup. Selain itu, ia juga harus menjalin relasi
dengan pedagang untuk menjualkan hasil panennya, dan juga dengan berbagai
pihak lain untuk memperoleh informasi, misalnya informasi tentang pasar maupun
teknologi. Untuk setiap kebutuhan tersedia berbagai pilihan, yaitu dengan usaha
sendiri, menjalin relasi individual atau mengandalkan relasi kolektif melalui
organisasi formal (Syahyuti, 2011:110). Dalam konteks penelitian ini, salah satu
kebutuhan petani adalah informasi atau ilmu pengetahuan dan keterampilan
tentang sistem UT sayuran organik (dari penyediaan saprotan, budidaya tanaman,
penanganan pasca panen, sampai dengan pemasaran). Pada umumnya, kombinasi
berbagai alternatif pilihan tersebut dipakai oleh petani untuk memperkaya dan
mengasah pengetahuan serta keterampilannya dalam rangka melaksanakan sistem
UT sayuran organik.
Skripsi ini sudah cukup banyak memberi gambaran tentang wadah belajar
bagi petani yang tergabung dalam poktan, beserta dampaknya terhadap produksi,
pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan. Namun, belum semua petani di
Indonesia tergabung dalam atau memiliki poktan. Pertanyaannya kemudian,
bagaimana cara petani yang belum memiliki poktan untuk memperkaya dan
mengasah pengetahuan serta keterampilan dalam berusaha tani? Pernyataan
Sulasmin (petani sayuran yang bertempat tinggal di luar desa Batur) berikut ini
akan memberi gambaran akan hal tersebut:
“Untungnya kalau di kelompok tani itu misal ada bantuan-bantuan dari pemerintah
biasanya lewat kelompok tani. Kalau petani di luar kelompok tani tidak ada bantuan-
bantuan pertanian, penyuluhan pertanian juga jarang sekali kami terima Jadi kalau
pertanian di luar kelompok tani itu cuma istilahnya gethuk tular. Biasanya kalau untuk
pemasaran sayuran, dibeli oleh tengkulak. Petani di luar kelompok tani, misal masalah
pestisida, saya sering diberi informasi oleh penjual obat, misal ada penyakit tanaman
seperti ini diberi pestisida seperti ini, lalu saya praktekan hasilnya bagus. Jadi
konsultasinya dengan penjual pestisida, di toko pertanian. Selain itu, tidak ada berbagi
informasi dengan petani yang tergabung dalam kelompok tani, sehingga misalnya ada
masalah kami cari informasi sendiri. Tapi kalau tukar info dengan kelompok tani di luar
dusun sudah pernah…. Harga jual dengan kebutuhan petani sering tidak imbang, karena
harga penjualannya sayur tergantung tengkulak, belum bisa menentukan harga.”
Setelah mencermati pernyataan Sulasmin, maka dapat dirangkum tata cara petani
yang tidak berkelompok tani (non-poktan) untuk mengakses sumber daya (seperti:
teknologi atau sarana-prasarana, informasi, dan pasar). Berbeda dengan poktan
yang memiliki kemudahan dalam mengakses bantuan-bantuan dari pemerintah,
190
baik bantuan material (seperti: benih atau bibit, pupuk, bangunan, uang tunai, dan
sebagainya) maupun non-material (contohnya: informasi), petani yang tidak
berkelompok tani cenderung mengupayakan semua hal itu secara mandiri.
Kalaupun ada dukungan dari pihak luar, ia lebih mengandalkan relasi individunya
untuk memenuhi kebutuhan UT. Budaya “gethuk tular” (budaya menyebarkan
informasi secara lisan melalui orang-perorang, orang ke kelompok atau
sebaliknya, dan dari kelompok ke kelompok) sangat dipertahankan dan diterapkan
oleh petani untuk memperoleh informasi guna mengembangkan pengetahuannya
mengenai teknis UT. Hasil pengamatan juga memperlihatkan bahwa sebagian
petani menerapkan berbagai teknik atau metode UT yang dikenal secara turun-
temurun. Kemudian, dari segi pemasaran, seperti yang diketahui umumnya petani
menjual produk UT-nya ke pedagang perantara (seperti: pengepul), sehingga
harga produk tidak dapat dipastikan, sering berubah-ubah (fluktuatif), dan petani
tidak memiliki peluang untuk menentukan harga. Lalu, media alternatif bagi
petani non-poktan untuk mengakses informasi tentang saprodi (terutama pupuk
atau pestisida) adalah toko pertanian, dimana terjalin komunikasi antara petani
dan penjual saprodi mengenai segala hal yang berkaitan dengan saprotan (seperti:
kegunaannya, teknik aplikasinya, dan informasi lain). Media komunikasi dan
informasi alternatif seperti itu digunakan oleh petani non-poktan, mengingat ia
tidak pernah diberi penyuluhan oleh PPL dan pemerintah merasa lebih efisien dan
efektif ketika penyuluhan pertanian diberikan ke petani lewat kelompok. Yang
lebih memprihatinkan adalah petani-petani yang tergabung dalam poktan (yang
satu lokasi dengan narasumber petani non-poktan) dirasa tidak pernah memberi
atau membagikan informasi yang diketahuinya tentang seputar teknis UT,
sehingga tidak adanya interaksi yang efektif antara petani poktan dan petani non-
poktan. Uniknya, justeru terjalin komunikasi antara petani non-poktan dengan
petani poktan yang berada di luar daerah. Ada dua kemungkinan yang
menyebabkan hal tersebut terjadi. Kemungkinan pertama, petani yang
bersangkutan tidak ada usaha untuk menjalin komunikasi dengan poktan di
daerahnya dan kemungkinan ke dua adalah sudah ada upaya dari petani untuk
menjalin komunikasi dengan poktan, namun tidak direspon. Yang jelas, fenomena
191
semacam itu menandakan bahwa budaya “gengsi” (untuk belajar dan mengajar)
masih hidup di daerah pedesaan.
Perlu dicermati bahwa kelompok tani hanyalah salah satu media
komunikasi dan informasi. Petani masih memiliki pilihan alternatif media
komunikasi dan informasi lainnya untuk memperkaya pengetahuan dan
keterampilan dalam berusaha tani. Hasil penelitian Sustika (2014:32)
menunjukkan bahwa terdapat alternatif pilihan media atau sumber komunikasi
dan informasi selain kelompok tani, seperti: penyuluh (PNS, Swasta, dan
Swadaya), pedagang saprodi, tengkulak, media cetak, dan media elektronik. Di
dalam penelitian ini, ditunjukkan bahwa penyuluhan terbukti efektif dalam
memperoleh informasi tentang budidaya dan kebijakan pemerintah. Lalu, toko
pertanian efektif dalam memperoleh informasi mengenai penanganan hama dan
penyakit, serta ketersediaan saprodi. Tengkulak efektif untuk memperoleh
informasi mengenai harga jual. Walaupun begitu, penelitian ini membuktikan
bahwa kelompok tani tetap merupakan sumber informasi yang paling efektif bagi
petani, karena digunakan oleh seluruh petani dalam sembilan informasi UT yang
diamati (meliputi: budidaya pembibitan, pengolahan lahan, penanaman,
pemeliharaan; penanggulangan hama dan penyakit; panen; ketersediaan saprodi;
harga jual; dan kebijakan pemerintah). Itu mengapa, kelompok tani masih
dianggap sebagai wadah yang efektif dan efisien untuk mengakomodir kebutuhan
belajar petani.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa poktan merupakan wadah belajar
yang efektif dan efisien. Kata efektif dan efisien perlu digarisbawahi, karena dua
hal tersebut baru bisa terwujud, apabila wadah (poktan) tersebut juga efektif dan
efisien. Banyak juga dijumpai poktan yang fungsi belajarnya tidak berjalan secara
efektif dan efisien, bahkan ditemukan pula poktan “jadi-jadian”, dimana
pembentukan poktan dilakukan petani (bahkan masyarakat umum yang sebetulnya
bukan bekerja sebagai petani) atas dasar motif menerima bantuan pemerintah.
Lalu, ketika sudah memperoleh bantuan, poktan tersebut bubar.
Penelitian ini menggambarkan segala upaya yang dilakukan oleh pengurus
poktan untuk mewujudkan wadah belajar yang efektif dan efisien bagi petani yang
tergabung di dalamnya. Untuk mewujudkan wadah belajar yang efektif dan
192
efisien, pengurus poktan bertindak sebagai: penggerak aktivitas individu poktan
dalam kegiatan belajar-mengajar, pembangun relasi dengan pihak luar untuk
pemenuhan kebutuhan belajar poktan, sebagai pihak yang mewakili poktan dalam
gapoktan KOMPOR sebagai wadah belajar lintas poktan organik di Kecamatan
Getasan, dan sebagai pelopor utama untuk menggiatkan aktivitas poktan dalam
membina pihak lain. Tindakan-tindakan itu turut menentukan reaksi atau sikap
individu poktan terhadap materi belajar yang ada di poktan dan partisipasi
individu poktan dalam wadah belajar tersebut, yang kemudian berdampak positif
terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam berusaha tani. Selain
implikasi dari wadah belajar, penjelasan mengenai implementasi usaha tani dapat
dimaknai sebagai gambaran pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan
tentang proses UT sayuran organik, dari penyediaan saprotan sampai dengan
pemasaran hasil produksi. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan
tentang UT sayuran organik itu dapat timbul juga tidak terlepas dari adanya peran
pengurus poktan, yang kemudian memampukan individu poktan untuk menilai
dampaknya terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan
petani. Karena itu, selain dimaknai sebagai dampak materi belajar terhadap
pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, implementasi UT juga
dapat dimaknai sebagai wadah belajar.