repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/t1_522009015_ba… · 21 iv....

172
21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang menjadi fokus penelitian ini sama- sama terletak di Desa Batur. Desa Batur merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Desa batur berbatasan wilayah dengan: desa Sumogawe di sebelah utara; desa Tajuk di sebelah timur; gunung Merbabu di sebelah selatan; dan desa Kopeng di sebelah barat. Desa Batur memiliki dusun berjumlah 19. Jumlah keseluruhan penduduk di desa Batur sebanyak 6.784 jiwa, dengan rincian: 3.214 laki-laki dan 3.570 perempuan. Desa Batur mempunyai topografi daerah pegunungan karena terletak pada ketinggian rata-rata + 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan curah hujan 2.500 mm. Menurut Zulkarnain (2009:25), ketinggian tempat yang seperti itu tergolong dalam wilayah dataran tinggi. Daerah ini memiliki suhu rata-rata harian 23 0 C, sehingga tergolong sebagai daerah yang sejuk (Ekowati, 2009:04). Kondisi topografi dan suhu yang demikian menjadi salah satu daya dukung untuk melakukan budidaya berbagai macam sayuran (Pracaya, 2011:18). Desa Batur memiliki lahan yang cukup untuk mendukung kegiatan budidaya tanaman sayuran, dengan rincian: tegalan seluas 321 ha dan tanah bengkok seluas 36 ha. Dengan luas lahan yang seperti itu, maka wajar apabila sebagian masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani berjumlah 3.989 orang dengan rincian 3228 orang petani dan 761 orang buruh tani (Data Sekunder: Profil Desa Batur). Organisasi Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE) mencatat bahwa terdapat 2 poktan di kecamatan ini yang tergolong aktif mempunyai sertifikat pangan organik (Sumber: Data Sekunder), yaitu: Poktan Tranggulasi dan Poktan Bangkit Merbabu (BM). Kedua poktan tersebut sama- sama terletak di Desa Batur dan memiliki orientasi usaha di bidang sayuran.

Upload: vankhue

Post on 03-Feb-2018

303 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Desa Batur

Kedua kelompok tani (poktan) yang menjadi fokus penelitian ini sama-

sama terletak di Desa Batur. Desa Batur merupakan salah satu desa yang berada di

Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Desa batur berbatasan wilayah

dengan: desa Sumogawe di sebelah utara; desa Tajuk di sebelah timur; gunung

Merbabu di sebelah selatan; dan desa Kopeng di sebelah barat. Desa Batur

memiliki dusun berjumlah 19. Jumlah keseluruhan penduduk di desa Batur

sebanyak 6.784 jiwa, dengan rincian: 3.214 laki-laki dan 3.570 perempuan.

Desa Batur mempunyai topografi daerah pegunungan karena terletak pada

ketinggian rata-rata + 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan curah

hujan 2.500 mm. Menurut Zulkarnain (2009:25), ketinggian tempat yang seperti

itu tergolong dalam wilayah dataran tinggi. Daerah ini memiliki suhu rata-rata

harian 230C, sehingga tergolong sebagai daerah yang sejuk (Ekowati, 2009:04).

Kondisi topografi dan suhu yang demikian menjadi salah satu daya dukung untuk

melakukan budidaya berbagai macam sayuran (Pracaya, 2011:18). Desa Batur

memiliki lahan yang cukup untuk mendukung kegiatan budidaya tanaman

sayuran, dengan rincian: tegalan seluas 321 ha dan tanah bengkok seluas 36 ha.

Dengan luas lahan yang seperti itu, maka wajar apabila sebagian masyarakat

bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani berjumlah 3.989 orang dengan

rincian 3228 orang petani dan 761 orang buruh tani (Data Sekunder: Profil Desa

Batur).

Organisasi Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE)

mencatat bahwa terdapat 2 poktan di kecamatan ini yang tergolong aktif

mempunyai sertifikat pangan organik (Sumber: Data Sekunder), yaitu: Poktan

Tranggulasi dan Poktan Bangkit Merbabu (BM). Kedua poktan tersebut sama-

sama terletak di Desa Batur dan memiliki orientasi usaha di bidang sayuran.

Page 2: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

22

4.2 Identitas Singkat Narasumber

Sebelum berlanjut ke pembahasan berikutnya, diharapkan para pembaca mengenal

terlebih dahulu identitas tiap narasumber dalam penelitian ini. Tiap narasumber

yang berasal dari poktan, maupun narasumber yang berasal dari luar poktan

memiliki peran ganda, artinya di satu sisi ia bisa berperan sebagai partisipan,

tetapi di sisi lain ia bisa berperan sebagai key informant. Penentuan peran

narasumber sebagai partisipan ataukah sebagai key informant tergantung pada

konteks yang sedang diteliti. Untuk memperoleh pemahaman, tabel berikut ini

akan membantu menjelaskan identitas singkat masing-masing narasumber, baik

yang berasal dari poktan maupun yang berasal dari luar poktan.

Tabel 2. Daftar Narasumber Poktan

Kelompok Tani Tranggulasi

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

1 Pitoyo Ngatimin, SP 46 S1 Ketua Poktan, Ketua Pengelola

Poktan, Koordinator I, dan Komisi

Persetujuan Internal Control System

Gapoktan KOMPOR Merbabu

2 Harto Slamet 60 SD Wakil Ketua Poktan dan Sie

Pelatihan & Pengembangan

(Pengelola)

3 Abdul Wahab 43 SMA Sekretaris I Poktan dan Bendahara

Pengelola

4 Suparyono 50 SD Sekretaris II Poktan

5 Syaefudin 38 SMP Bendahara II Poktan

6 Sumadi 47 SD Sie Sarana Produksi Poktan

7 Sri Jumiati 36 D-II Sie Pemberdayaan Poktan

8 Jumarno 49 SMP Sie Usaha Poktan dan Sie

Administrasi (Pengelola)

9 Ngatemin 48 SD Anggota Poktan

10 Ngatimin 43 SD Anggota Poktan

11 Wikan Mujiono 26 SMK Anggota Poktan

12 Rebo 45 SD Anggota Poktan dan Sie

Transportasi (Pengelola)

13 Sumar 31 SMP Anggota Poktan

14 Suparman 57 SD Anggota Poktan

Page 3: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

23

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

15 Supoyo 58 SD Anggota Poktan

16 Harun 49 SD Anggota Poktan dan Sie Lapangan

(Pengelola)

Kelompok Tani Bangkit Merbabu

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

1 Zaenal, Ama. Pd 58 Diploma Ketua Poktan dan Sekretaris II

Gapoktan Komunitas Petani

Organik (KOMPOR) Merbabu

2 Supilih 61 SD Sekretaris Poktan

3 Sumadi 69 SMA Bendahara Poktan

4 Rochmad 65 Pendidikan Guru Penasihat dan Divisi Humas Poktan

5 Rebo Wahono 44 SD Divisi Pertanian Poktan

6 Makruf 39 SD Divisi Pemasaran Poktan

7 Mujiyanti Rahayu 52 SLTP Divisi Pemberdayaan Poktan

8 Darwadi 43 MI Seksi Gudang dan Perlengkapan

9 Umar 57 SD Anggota Poktan

10 Pandi 60 SD Anggota Poktan

11 Budiyati 46 SD Anggota Poktan

12 Saminah 58 SD Anggota Poktan

Tabel 3. Daftar Narasumber Eksternal Poktan

No. Nama Status

1 Petrus Kriswigati Koordinator Penyuluh Pertanian (KPP) Kecamatan

Getasan dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa

Batur

2 T.O. Suprapto Presiden (Koordinator Umum) Ikatan Petani

Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)

3 Suwanto Pendamping Pemberdayaan Poktan Bangkit Merbabu

4 Yusuf N. S. Purba, SE Pendamping Pemasaran Poktan Bangkit Merbabu

5 Ir. Nick Tunggul Wiratmoko, M.Si Pendamping Teknis Poktan Bangkit Merbabu

6 Witono Pujo Sasongko Kepala Unit Lingkungan & Energi Yayasan Sion

7 Ir. Iswanto Kepala Kelompok Fungsional Dintanbunhut Kabupaten

Semarang

Page 4: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

24

No. Nama Status

8 Supardi Hadi Sucipto Kepala Dusun Selo Ngisor dan Penasihat Poktan

Tranggulasi

9 Giyono Petani non-poktan di Dusun Kaliduren

10 Daniel Rudolph Pendamping Research and Development Poktan Bangkit

Merbabu

11 Rahmat Direktur Utama PT. Mitra Mas

12 Bernadus Agus Prabowo, SH Koordinator Organic Indonesia Seraphine

13 Suwalim Penyuluh Pertanian Lapangan Desa Kopeng, Komisi

Persetujuan dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control

System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

14 Andi Raujung Koordinator Pelaksana Dinas (KPD) Pertanian

Kecamatan Getasan

15 Nyuwono, SP, M.Si Kepala Seksi Kelembagaan Pelaku Utama dan Usaha

Badan Koordinasi Penyuluhan Prov Jateng

16 Ferdian Lutfi Hermawan, SP Panitia Kegiatan Farmer Meeting “Sistem Pertanian

Organik”

17 Rame Ketua DPP Paguyuban Petani Merbabu

18 Nyoto, Waluyo, Nandar, dan Marshudi Pengurus dan Anggota Poktan Phala Tani (Poktan

dampingan Bangkit Merbabu)

19 Suryanti Pedagang Perantara Sayuran di Dusun Selo Ngisor

20 Tugiarto, SE Staff Bidang Ekonomi Badan Perencanaan &

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Semarang

21 Suroso Pengurus Kelompok Tani Jaya Abadi, Dusun Kaliduren

22 Subari, S.Pd Koordinator II “Internal Control System” Gapoktan

KOMPOR Merbabu

23 Giono Seksi Pemasaran dan Anggota Inspektor “Internal

Control System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

24 Asep Miswan Mantan Pegawai Penelitian dan Perekayasaan Kelompok

Penelitian Kesuburan Tanah, Balai Penelitian Tanah

(Balittan), Bogor

25 Sutopo Ketua dan Komisi Persetujuan Gapoktan Komunitas

Petani Organik (KOMPOR) Merbabu

26 Suwadi Sekretaris I dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control

System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

27 Sulasmin Petani non-kelompok tani

28 Sri Jumiati Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), Dusun Selo

Ngisor

Page 5: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

25

4.3 Gambaran Umum Kelompok Tani

Sub bab ini memberi gambaran tentang seluk-beluk poktan, yang meliputi: lokasi

usaha poktan dan sejarah terbentuknya poktan, peristiwa penting yang dialami

oleh poktan, model struktur organisasi poktan, jenis tanaman yang diusahakan

poktan, dan sebagainya. Berikut penjelasannya:

4.3.1 Kelompok Tani Tranggulasi

A. Sejarah Terbentuknya Poktan

Poktan ini memiliki hamparan usaha di dusun Selo Ngisor, Desa Batur,

Kecamatan Getasan. Nama “Tranggulasi” berawal dari adanya gumuk kecil

peninggalan zaman Belanda, yang terletak di belakang dusun yang dikenal oleh

masyarakat dengan nama “triangulasi”, yang artinya tiga sudut pandangan. Hal

tersebut diperjelas oleh pernyataan dari Supardi Hadi Sucipto yang statusnya

sebagai mantan ketua poktan “Ngudi Makmur” sebagai berikut:

“Dulu namanya Ngudi Makmur, itu tahun 1998 sampai 2001 atau 2000, terus hasilnya

tidak ada sama sekali. Terus tranggulasi ini teringat ada sejarah gumuk kecil, itu sejarah,

peninggalan belanda, ada triangulasi, triangulasi itu artinya tiga sudut pandangan. Orang

Jawa itu butuh mudah untuk menyebutkannya, jadinya bukan triangulasi tapi

tranggulasi.”

Sesuai dengan berbagai informasi tersebut, Poktan Tranggulasi dibentuk tahun

2001. Hal tersebut didukung pula oleh data sekunder (Anonim, 2013:26). Karena

masyarakat di sekitarnya butuh kemudahan untuk mengucapkannya, maka sampai

saat ini tidak menggunakan nama “Triangulasi”, tetapi Tranggulasi. Pembentukan

Poktan Tranggulasi juga disertai dengan visi: “menjadikan desa Batur sebagai

agrowisata sayuran organik agribisnis yang mampu meningkatkan ekonomi

petani” dan misi: a) memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia

untuk meningkatkan pendapatan petani; b) menjadikan petani berkelanjutan bagi

petani yang ramah lingkungan; c) membangun hubungan kerjasama kemitraan

untuk pemasaran hasil sayuran organik; dan d) menumbuhkembangkan sains

petani (Anonim, 2012:22).

Awal-mula terbentuknya poktan bernama Tranggulasi ini dilatarbelakangi

oleh adanya inisiatif dari beberapa petani untuk membentuknya. Ungkapan dari

Abdul Wahab akan memperjelas hal tersebut.

“Pak Pitoyo mengajak saya untuk bentuk organisasi. Ternyata di situ bentuknya

kelompok tani, itu di Puasan (keterangan peneliti: nama kelompok di Puasan adalah

Paguyuban Petani Merbabu). Terus kita pulang, bikin kelompok. Sebenarnya sudah ada

Page 6: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

26

organisasi ini, walaupun itu organisasi kelompok taninya KUT. Orang-orang KUT kita

kumpulkan, waktu itu kita kumpulkan ada sekitar 22 orang, terus kita buat kelompok, kita

modalkan 25.000 per orang. KUT itu yang bantuan modal dari pemerintah. Terus

berkembang anggotanya jadi 42. Karena seleksi alam, orangnya tidak mau, sedikit demi

sedikit pada keluar, kita gak pernah ngeluarkan orang.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Poktan

Tranggulasi terbentuk bukan atas anjuran dari pemerintah dan didukung oleh

organisasi serikat paguyuban petani yang bernama “Paguyuban Petani Merbabu

(PPM)”. Pembentukan Poktan Tranggulasi dimulai dari kelompok tani yang saat

itu sedang menjadi partisipan program Kredit Usaha Tani (KUT). Hal tersebut

senada dengan mandat yang tertera di permentan no. 82, bahwa pembentukan

poktan dapat dimulai dari kelompok atau organisasi sosial yang ada di

masyarakat. Poktan Tranggulasi merupakan perubahan dari poktan yang ada di

dusun Selo Ngisor (Ngudi Makmur) yang dibentuk lebih kepada tujuan untuk

distribusi bantuan dan memudahkan kontrol bagi pelaksana program KUT, seperti

poktan lain pada umumnya (Zuraida dan Rizal, 1993) (dalam Syahyuti, 2011:47).

Dari pernyataan di atas juga dapat disimpulkan bahwa terjadi penambahan

jumlah anggota dari 22 orang menjadi 42 orang. Menurut Supardi Hadi Sucipto,

lambat-laun terjadi penurunan anggota menjadi 32 orang yang bertahan sampai

sekarang, karena adanya “seleksi alam” dan ketidak-mampuan beralih ke UT

organik:

“Dulu waktu berdirinya kelompok awalnya ada 42 orang, yang 10 orang mundur karena

kurang berhasil. Sampai sekarang yang bertahan cuma 32 orang. Mereka mundur, karena

tidak mampu atau disibukkan dengan urusan rumah tangga, untuk beralih ke organik.”

Terkait dengan asal-usul pembentukan Poktan Tranggulasi, pernyataan dari Abdul

Wahab tersebut diperkuat melalui ungkapan dari Rame sebagai berikut:

“Kalau di kecamatan Getasan anggota kami ada di Desa Batur, yang sekarang jadi

Tranggulasi, awal-mulanya itu kita yang bentuk. Sosialisasi awal itu sampai berjalan,

Tranggulasi itu anggota paguyuban petani merbabu. Saya menanamkan pola pikir ke

mereka, bahwa kelompok tani yang maju itu adalah kelompok yang mau belajar. Kalau

maju ya mereka itu akan semakin besar usahanya?”

Dari pernyataannya, dengan adanya dukungan dari paguyuban petani merbabu

(PPM) dalam membentuk Poktan Tranggulasi, maka Poktan Tranggulasi

tergabung menjadi anggota PPM. Dari hasil penelitian itu, maka dapat

diungkapkan makna bahwa pembentukan poktan tidak hanya dilakukan oleh

pemerintah, melainkan pihak organisasi non-pemerintah juga bisa memegang

Page 7: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

27

peranan tersebut. Ketika pihak PPM memberikan dorongan untuk membentuk

poktan, sebagian individu Poktan Tranggulasi ditanamkan pola pikir bahwa

kegiatan belajar merupakan sesuatu hal yang bernilai ketika poktan ingin maju.

Hal tersebut turut membentuk motivasi petani dan diwujudnyatakan atau

dipraktekkan dalam kehidupan mereka selama berkelompok tani.

B. Peristiwa Penting Poktan

Poktan Tranggulasi secara kolektif mulai merintis sistem pertanian organik

pada tahun 2004. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Abdul

Wahab sebagai berikut:

“Mulai 2004 baru terlaksana organik, semua mengikuti. Tahun 2003 baru orang-orang

tertentu.”

Dari pernyataan Abdul Wahab maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2003

sudah terdapat beberapa petani yang mencoba untuk menerapkan sistem UT

organik.

Pada tahun 2006, poktan ini dijadikan Pusat Pelatihan Pertanian dan

Pedesaan Swadaya (P4S). Hal ini terbukti berdasarkan pernyataan dari Pitoyo

Ngatimin sebagai berikut:

“2006 baru menjadi P4S. P4S itu adalah lembaga yang diberi SK oleh kementan melalui

BPSDM-nya. BPSDM-tan itu punya lembaga-lembaga yang bukan miliknya negara,

termasuk P4S itu. Mereka memberi wewenang, memberi SK.”

Berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin, maka terbukti bahwa P4S

merupakan suatu organisasi yang diberi wewenang, diberi SK (Surat Keputusan)

oleh kementerian pertanian, melalui BPSDM-tan (Balai Pengembangan Sumber

Daya Manusia Pertanian). BPSDM-tan merupakan organisasi milik pemerintah

provinsi Jawa Tengah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan pelatihan

bagi petani. BPSDM-tan ini berlokasi di Desa Suropadan, Kecamatan Pringsurat,

Kabupaten Temanggung. P4S bukan tergolong lembaga milik negara. Menurut

Keputusan BPSDM-tan, P4S merupakan lembaga pelatihan atau pemagangan

pertanian dan perdesaan yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh petani secara

swadaya, baik perorangan maupun kelompok.

Pada tahun itu pula (tahun 2006), poktan ini menunjukkan keberaniannya

untuk berpartisipasi dalam lomba nasional “sayuran organik” yang

diselenggarakan oleh pemerintah. Pada kesempatan itu, Poktan Tranggulasi

Page 8: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

28

memperoleh juara I. Selanjutnya, pada tahun 2009 poktan ini kembali

mendapatkan penghargaan sebagai poktan berorientasi “ekspor buncis perancis”

(Anonim, 2014:24). Pada tahun 2014 poktan ini kembali memperoleh

penghargaan sebagai P4S juara I tingkat nasional. Berikut pernyataan dari Abdul

Wahab yang berkaitan dengan hal tersebut:

“Tranggulasi itu dapat penghargaan tingkat nasional tiga kali, terakhir P4S lomba tingkat

nasional juara I tahun 2014.”

C. Model Struktur Organisasi

Untuk menangani berbagai kegiatan poktan secara umum, Tranggulasi

membentuk struktur organisasi (dapat dilihat di lampiran IV). Selain itu, Poktan

Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi yang khusus untuk menangani

pemasaran produk sayuran yang dihasilkan oleh poktan. Pernyataan dari Harto

Slamet akan memperjelas hal tersebut:

“Pengelola itu pembentukannya bukan dibentuk, tapi ditunjuk dari anggota setelah kita

kerjasama dengan pasar. Kerjasama dengan eksportir, dikirim ke Malaysia dan Singapur.

Itu yang pertama.”

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Harto Slamet, maka dapat disimpulkan

bahwa pembentukan pengelola pemasaran dilatarbelakangi oleh penanganan

berbagai aktivitas untuk pemasaran ke luar negeri. Pengelola ini dibentuk

berdasarkan penunjukkan dari para anggota. Hasil observasi di lapangan

menunjukkan bahwa pengelola pemasaran melakukan fungsinya di bawah seksi

usaha. Di samping itu, Poktan Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi

khusus Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). Hal tersebut

sesuai dengan pernyataan Sri Jumiati sebagai berikut:

“Kalau P4S punya pengelola sendiri, yang kelompok tani Tranggulasi punya struktur

sendiri juga.”

Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa Poktan Tranggulasi memiliki

struktur organisasi yang diberdayakan untuk mengendalikan sistem internal.

Struktur organisasi tersebut dikenal dengan istilah internal control system (ICS).

Dengan demikian Poktan Tranggulasi memiliki empat struktur organisasi yang

seluruhnya dilampirkan dalam skripsi ini (lampiran IV).

Page 9: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

29

D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan

Poktan Tranggulasi sudah mengusahakan berbagai komoditas sayuran diantaranya

meliputi: sawi putih, wortel, kentang, sawi sendok, kubis, buncis perancis, tomat,

selada hijau, daun bawang (onclang), spinach (bayam Jepang), lettuce, timun

jepang, lobak, brokoli, bit root, dan sebagainya.

4.3.2 Kelompok Tani Bangkit Merbabu

A. Sejarah Terbentuk Poktan

Poktan Bangkit Merbabu (BM) berlokasi di dusun Kaliduren, Desa Batur.

Awal mula terbentuknya poktan ini karena adanya perbincangan antar beberapa

petani di Dusun Kaliduren. Pernyataan dari Rochmad akan memperjelas hal

tersebut:

“Tahun 1998 itu namanya bukan Bangkit Merbabu, tapi Ngudi Lestari. Lalu diganti

kembali menjadi Alhidayah. Itu dulunya jatuh-bangun, untuk dijadikan satu organisasi ini

ada yang mau, ada yang tidak. Kemudian setelah saya purna tugas tahun 2010, saya

mengajak pak Sumadi, pak Supilih, sama pak Zaenal untuk membentuk kelompok.

Sebetulnya dulu itu ada 36 anggota, ambil 10 saja yang kita amati bisa diajak

berkomunikasi dan bisa saling koreksi. Hanya 10 itu yang kita ambil, nantinya mau

dijadikan organik. Tapi namanya harus diganti. Karena kita perlu bangkit, maka dikasih

nama Bangkit Merbabu.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa poktan

berdiri pada tahun 2010. Sebenarnya ketika tahun 1998 sudah hidup poktan di

dusun Kaliduren yang namanya “Ngudi Lestari”. Setelah itu, poktan ini berubah

namanya menjadi “Alhidayah”. Ketika menggunakan kedua nama tersebut,

poktan di Dusun Kaliduren mengalami situasi yang dinamis (jatuh-bangun). Di

waktu itu, timbul suasana pro dan kontra antar petani di Dusun Kaliduren. Lalu

poktan yang ada di Dusun Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan BM fungsinya

belum begitu eksis. Poktan BM terbentuk sebagai akibat dari adanya gagasan dari

Rochmad dengan melibatkan tiga petani lainnya, yaitu: Sumadi, Supilih, dan

Zaenal. Keempat petani ini berembug membentuk poktan dengan nama dan

sistem yang baru dengan harapan fungsinya dapat berjalan lebih baik jika

dibandingkan dengan poktan-poktan yang pernah ada sebelumnya. Oleh karena

itu, nama poktan ini dinamakan Bangkit Merbabu. Penggunaan nama “Merbabu”

dikarenakan lokasinya berdekatan dengan gunung Merbabu. Diskusi oleh petani-

petani tersebut juga tidak lepas dari pembicaraan tentang penetapan tujuan poktan.

Page 10: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

30

Dengan demikian, disepakati bahwa Poktan BM memiliki tujuan: a) berupaya

untuk melestarikan alam, dalam hal ini mengembalikan kesuburan tanah dan

unsur-unsur yang ada di dalamnya (dengan menanam secara organik), sehingga

akan tercipta suatu kawasan pertanian yang memenuhi syarat sistem pangan

organik ramah lingkungan sesuai SNI 01-6729-2010 dan b) menghasilkan produk

pangan organik yang aman dikonsumsi dengan menerapkan GAP (Good

Agriculture Practices) atau sistem budidaya sayuran yang baik dan benar serta

SOP (Standar Operational Procedure) (Sumber: Profil kelompok tani).

Kemudian, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rochmad, bahwa

poktan yang ada sebelum terbentuknya Poktan BM berjumlah 36 individu. Lalu,

berdasarkan diskusi antar keempat petani tersebut, sepakat bahwa yang diajak

untuk bergabung dalam Poktan BM adalah berjumlah 10 petani. Petani yang

diajak bergabung dalam poktan diusahakan memiliki kriteria mudah diajak

berkomunikasi, saling pengertian, dan memiliki kesiapan untuk diajak bertani

organik. Dengan jumlah yang kecil (10 orang), diharapkan Poktan BM bisa

berjalan secara efektif. Menurut Hariadi (2011), besar-kecilnya kelompok

mempengaruhi tingkat kohesi. Kohesi merupakan rasa tertarik diantara para

anggota, oleh karena adanya kesamaan sikap, nilai, dan sifat-sifat pribadi. Dalam

interaksi, apabila seseorang tertarik pada orang lain, maka ia akan mengadakan

interaksi dengan orang bersangkutan (Walgito, 2010:46-47). Di samping itu, di

dalam amanat yang tercantum dalam permentan No. 82 dikatakan bahwa: “poktan

ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani dengan jumlah anggota

berkisar antara 20 sampai 25 orang petani”.

Jumlah keseluruhan Poktan BM pada saat ini sebanyak 20 orang.

Penyebab terjadinya peningkatan dari awalnya 10 anggota menjadi 20 anggota

dijelaskan oleh Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:

“Dulu hanya 10 orang. Dari kimia mau ke organik itu kan kendalanya banyak, terutama

penanganan tanaman tidak bisa instan seperti pakai kimia, sehingga banyak kendalanya.

Biasanya yang cerewet itu kan ibu-ibu, karena pindah organik malah rugi, dikarenakan

prosesnya yang lama. Jadi tanah yang betul-betul organik itu lama. Daripada ribut dalam

rumah tangga, ibu-ibu dimasukkan dalam kelaompok. Selain itu, agar ibu-ibu tahu

tentang pemasarannya, tentang kendala-kendalanya untuk beralih ke organik. Jadi sepakat

semua ikut, 20 itu suami-istri. Jadi dalam rumah tangga tidak ada percekcokan.”

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mujiyanti Rahayu, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa penambahan jumlah individu yang tergabung dalam poktan

Page 11: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

31

disebabkan oleh adanya keikutsertaan istri dari petani-petani yang tergabung

dalam poktan. Yang melatarbelakangi poktan mengambil keputusan untuk

melibatkan istri dari petani adalah supaya tercipta pemahaman yang seragam

selama menjalankan proses bertani. Dukungan moral dan tingkat kepedulian pria

tani sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan. Jika tidak, yang terjadi

adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran

atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan keluarga (Hubeis,

2010:145). Di samping itu, poktan juga memiliki pertimbangan lain sehingga

menetapkan poktan dengan jumlah 20 orang, sesuai dengan yang dikemukakan

oleh Rochmad berikut ini:

“Kita mengajukan proposal di dinas mengkehendaki kelompok itu yang paling bagus

berjumlah 20 orang, karena kelompok hanya berjumlah 10, akhirnya istri dimasukkan,

jadi 20 sama istri. Untuk meminta bantuan, kelompok minimal berjumlah 20 orang.”

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Rochmad maka dapat diketahui bahwa

penambahan jumlah poktan hingga 20 orang bertujuan agar poktan memiliki akses

untuk memperoleh bantuan dari pihak pemerintah.

B. Peristiwa Penting Poktan

Usaha poktan ini untuk beralih ke sistem UT organik didukung oleh pihak swasta.

Pihak penyuluh swadaya turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi

pertanian organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman

kubis. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu

pembentukan poktan. Meski begitu, sebelum tahun itu sudah ada sebagian petani

di dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke

sistem UT organik. Sebagian petani itu sama-sama tergabung dalam poktan yang

ada di wilayah Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan Bangkit Merbabu (BM),

yaitu poktan “Alhidayah”. Hal tersebut lebih rinci dijelaskan di sub bab 4.4.

tentang inisiator utama peralihan sistem usaha tani anorganik ke sistem usaha tani

organik dan peran pengurus poktan di tengah kehidupan pedesaan.

C. Model Struktur Organisasi Poktan

Poktan BM memiliki struktur organisasi dengan maksud supaya adanya

pembagian tugas diantara individu dalam poktan. Poktan ini memiliki ketua,

sekretaris, bendahara, dan beberapa divisi, meliputi: divisi pemasaran hasil, divisi

Page 12: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

32

pertanian, divisi pupuk organik, dan divisi pemberdayaan (Sumber: Data Primer).

Selain itu, dibentuk pula struktur organisasi Internal Control System (ICS) yang

terutama ditujukan untuk menjaga kesinambungan dari sertifikasi pangan organik.

Kedua struktur organisasi tersebut tertera dalam lampiran skripsi ini (lampiran

IV).

D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan

Poktan BM telah melakukan budidaya dan memproduksi berbagai macam

sayuran, seperti: wortel, brokoli, tomat, bit root, tamarillo, sawi sendok, sawi

putih, lobak, ketumbar, seledri, paterselly, selada keriting hijau, selada keriting

merah, kol hijau, kol merah, spinach, zukini, romen, head lettuce, dan sebagainya.

Hasil observasi lapangan memperlihatkan bahwa terdapat komoditas sayuran yang

diusahakan oleh Poktan BM, tetapi tidak diusahakan oleh Poktan Tranggulasi, dan

sebaliknya.

4.4 Inisiator Utama Peralihan Sistem Usaha Tani Anorganik ke Sistem

Usaha Tani Organik dan Peran Pengurus Poktan di Tengah

Kehidupan Pedesaan

Perlu diketahui bahwa poktan di kecamatan Getasan yang menerapkan

sistem usaha tani secara organik dan memiliki sertifikat lahan organik bukan

karena mereka hanya menunggu datangnya bantuan (baik material atau non-

material) dari organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.

Pencapaian itu disebabkan oleh adanya ide, inisiatif, dan kerja keras dari beberapa

orang, atau bahkan satu orang untuk menangani suatu permasalahan usaha

taninya. Perlu diketahui pula bahwa poktan satu dengan yang lainnya memiliki

latar belakang masalah yang berbeda-beda, sehingga bisa meraih pencapaian

tersebut. Penjelasan selanjutnya akan memberikan bukti konkrit akan hal tersebut.

Penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa ide untuk beralih ke

sistem usaha tani organik muncul atas kesadaran masyarakat. Selain itu, yang

perlu diingat adalah usaha tersebut tidak dilakukan oleh petani dalam jumlah

besar, melainkan dilakukan oleh jumlah yang kecil, bahkan oleh satu orang. Hal

tersebut akan diperjelas melalui pernyataan dari Pitoyo Ngatimin berikut ini:

Page 13: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

33

“Petani itu tidak perlu diajak. Dulu saya sendiri yang melakukan budidaya organik

sebelum tahun 2000. Setelah ada bukti mereka baru mau, jadi petani tidak perlu diajak,

tapi kalau sudah ada bukti, mereka baru mengikuti… Latar belakang saya beralih ke

organik karena keterpaksaan, karena saya modal tidak punya, punya lahan sedikit, modal

untuk berusaha tidak punya, karena harga jual rendah. Kubis dulu harganya 60 rupiah,

panennya banyak, tapi tidak laku dijual, padahal harga pupuk mahal. Karena tidak punya

modal, kita belajar dari situ, bahkan saya dulu tidak tahu kalau ini pertanian organik.

Hanya kebetulan, terus kita gali, justeru sebuah kegagalan itulah menjadi pelajaran kita,

tahun demi tahun ada hasilnya dan itu memang kita buktikan. Ternyata dengan organik

dan yang non-organik itu beda, awalnya hasil produksi dengan organik memang sangat

jelek, karena belum terbiasa. Tahun ke tiga baru bagus.”

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh penuturan dari Harto Slamet dan Petrus

Kriswigati sebagai berikut:

“Yang mulai berbudidaya secara organik pertama kali pak Pitoyo, itu tahun 99 pada

waktu itu.” (Harto Slamet)

“Ilmunya Pitoyo tertular ke petani tetangga dan mereka akhirnya tertarik untuk gabung.”

(Petrus Kriswigati)

Dari ungkapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan beralih ke

sistem organik disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan petani dalam

membeli pupuk. Poktan Tranggulasi membuktikan pentingnya seorang figur

untuk menciptakan suatu perubahan yang lebih baik. Bila dicermati dengan

seksama, Pitoyo Ngatimin tidak memberikan pelatihan secara formal atau

terstruktur (pelatihan yang direncanakan secara sistematis dalam rangka untuk

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani untuk

mengembangkan usaha taninya), melainkan teknik budidaya sayuran organik

yang ia lakukan banyak ditiru oleh petani yang ada di sekitarnya, karena terbukti

membuahkan hasil yang positif. Dengan begitu, proses belajar-mengajar antar

petani terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harto Slamet dan Petrus

Kriswigati bahwa Pitoyo Ngatimin secara langsung maupun tidak langsung telah

mempengaruhi tingkah laku petani dalam melakukan usaha tani. Dengan begitu,

tampak jelas bahwa keberadaan seorang figur sangat diperlukan untuk

membangun kesadaran dan sikap petani akan pentingnya menerapkan sistem UT

secara organik. Gambaran keadaan Poktan Tranggulasi di saat awal-mula merintis

usaha sayuran organik diperlengkap oleh pernyataan Andi Raujung berikut ini:

“Sebenarnya Tranggulasi itu awalnya hanya berapa 20-an orang, tapi mereka betul-betul

menerapkan apa yang sudah dipelajari, ilmunya berkembang-berkembang, tetangganya

ikut.”

Page 14: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

34

Berdasarkan pernyataan Andi Raujung, maka dapat disimpulkan bahwa pada

awal-mulanya, petani yang tergabung dalam Poktan Tranggulasi berjumlah

sedikit. Dengan jumlah yang sedikit itu, tingkat partisipasi dan keseriusan tiap

individu untuk mencoba beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT

organik menjadi terbangun dengan baik. Ketika itu, petani-petani yang ada di

sekitarnya (khususnya di Dusun Selo Ngisor) meniru cara atau metode UT yang

diterapkan oleh individu Poktan Tranggulasi.

Di samping peran pengurus poktan, upaya Poktan Tranggulasi untuk

beralih ke sistem UT organik didukung oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama

Terpadu Indonesia (IPPHTI). IPPHTI merupakan organisasi tani yang

beranggotakan alumni-alumni SLPHT dan petani-petani yang melakukan prinsip-

prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Hasil wawancara dengan Abdul

Wahab menunjukkan bahwa di sela-sela proses peralihan, yakni pada tahun 2004,

Poktan Tranggulasi mulai bergabung atau bekerjasama dengan instansi IPPHTI.

“Tahun 2004 IPPHTI masuk ke sini itu baru kelompok mendeklarasikan pertanian

organik. Pada tahun 2003 kami belum tahu teknologi untuk organik. Tahunya bikin

pupuk organik pakai urin sapi dari kandang langsung diberikan ke ladang, jadi tidak

difermentasi. Lalu, kalau mau mengusir hama cuma pakai tangan.”

Menanggapi pernyataan Abdul Wahab, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

awal-mula poktan merintis UT sayuran organik, teknologi yang digunakan masih

bersifat tradisional, seperti: mengaplikasikan pupuk cair menggunakan urin sapi

tanpa proses fermentasi, mengatasi hama secara manual, dan cara tradisional

lainnya. Melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI, Poktan Tranggulasi

sedikit demi sedikit mulai mengenal teknologi organik. Berikut pernyataan dari

Abdul Wahab kaitannya dengan hal tersebut:

“Tahun 2004 dari IPPHTI mengadakan kegiatan pengenalan teknologi organik, seperti

cara pembuatan dekomposer yang benar, cara membuat insektisida alami, pembuatan

pupuk organik. Bentuk kegiatannya itu loka karya, diikutsertakan oleh alumni-alumni

IPPHTI. Di kegiatan itu tercipta petani saling bertukar ide dan pengalaman.”

Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa teknologi organik mulai

didesiminasikan pada tahun 2004, bertepatan dengan waktu deklarasi pertanian

organik di Poktan Tranggulasi. Dari pernyataan Abdul Wahab, maka dapat

diketahui bahwa bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI adalah loka

karya yang diikutsertakan oleh alumni-alumni IPPHTI. Loka karya berarti

pertemuan orang yang bekerja sama dalam kelompok kecil, biasanya dibatasi pada

Page 15: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

35

masalah yang berasal dari mereka sendiri. Secara garis besar, susunan acara loka

karya meliputi: identifikasi masalah, pencarian dan usaha pemecahan masalah

dengan menggunakan referensi dan materi latar belakang yang cukup tersedia. Di

kegiatan loka karya tersebut, pihak IPPHTI berperan sebagai pemandu, dimana ia

menceritakan pengalamannya dan latihan yang diikutinya untuk memecahkan

masalah (Suprijanto. H, 2012:79). Di kegiatan tersebut terjadi suasana saling tukar

informasi yang bertujuan untuk memperkenalkan teknologi organik.

Pernyataan Abdul Wahab dipertajam oleh T.O Suprapto sebagai berikut:

”Kita membuat science sendiri, namanya science petani. Jadi belajar dari petani, oleh

petani, untuk petani. Kalau yang selama ini dari peneliti, oleh peneliti, untuk petani.

Membuat round up sendiri, itu namanya science petani, science adalah sebuah percobaan,

yang dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang melakukan petani, yang dapat

ilmunya petani. Tranggulasi itu jaringan kita. Saya pernah mengadakan kegiatan di sana.”

Mencermati pernyataan dari T.O Suprapto, maka dapat dinyatakan bahwa ide

dasar untuk menyelenggarakan kegiatan semacam itu, karena salah satu kegiatan

yang diwadahi oleh IPPHTI adalah science petani, dimana petani melakukan

sebuah percobaan. Dengan demikian, diharapkan dengan “science petani” ini

segala upaya pengembangan UT dan segala rintangan yang ada selama petani

mengelola UT, dapat dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang

melakukan petani, dan yang dapat ilmunya petani. Sehingga dengan “science

petani”, petani belajar dari petani, oleh petani, dan untuk petani. Berangkat dari

adanya kerjasama dengan IPPHTI, sampai saat ini individu Poktan Tranggulasi

tetap mempertahankan kepekaan dan ketajaman berpikirnya untuk menganalisa

potensi lokal yang sekiranya bisa membantu mereka sebagai daya dukung untuk

meningkatkan produksi sayuran. Dengan demikian, pelaku utama pertanian

organik (petani) dituntut memiliki ketajaman berpikir agar memperoleh hasil

produksi yang optimal.

Pada tahun 2009, Poktan Tranggulasi mengikuti program sekolah lapang

pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian,

Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Semarang. Pada dasarnya, partisipasi

Poktan Tranggulasi dalam kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya

persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah kaitannya untuk memperoleh

sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh INOFICE (Indonesian Organic

Page 16: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

36

Farming Certification). Hal tersebut mengutip dari pernyataan Abdul Wahab

sebagai berikut:

“SLPHT diadakan tahun 2009, karena kalau sertifikasi itu seharusnya sudah

melaksanakan SLPHT. Waktu itu sertifikasi tahun 2006 tapi belum ada SLPHT. Jadi

diadakan SLPHT itu untuk menindaklanjuti sertifikat, karena syaratnya harus sudah

melaksanakan SLPHT, tapi di sini belum pernah pada waktu itu.”

Pernyataan dari Abdul Wahab didukung oleh Petrus Kriswigati sebagai berikut:

“Kalau kelompok tani Tranggulasi itu sudah pernah dapat program SLPHT, waktu itu

sebenarnya cuma buat syarat untuk dapat sertifikasi pangan organik, karena memang itu

salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Kalau tidak salah kegiatannya itu diadakan

tahun 2009.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, sebelum tahun 2009 poktan ini sudah berupaya

untuk mengecek dan menilai unsur-unsur yang terkandung dalam produk

sayurannya. Hal ini dilakukan pada tahun 2006, dengan cara bekerja sama dengan

Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Surabaya. Di tahun 2006, poktan baru

menganalisakan kandungan produk sayuran organik ke Balai Besar Laboratorium

Kesehatan Surabaya pada tanggal 10 Mei 2006 dengan nomor 23/051/Tox/V/2006

terhadap berbagai jenis sayuran (Anonim, 2012:24). Partisipasi poktan dalam

kegiatan SLPHT juga berpeluang untuk mengakumulasikan ilmu pengetahuan dan

mengasah keterampilannya dalam menjalankan usaha tani sayuran organik.

Poktan Tranggulasi mengajukan permohonan sertifikasi kepada

Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE). Indonesian Organic

Farming Certification (INOFICE) merupakan lembaga sertifikasi organik yang

telah mendapat verifikasi Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO)

Kementerian Pertanian RI dan telah mendapatkan akreditasi dari Komite

Akreditasi Nasional (KAN). INOFICE melayani sertifikasi pertanian organik

berdasarkan SNI 01-6729-2013 kepada petani, produsen, maupun pihak lain di

dalam dan luar negeri. INOFICE mengeluarkan sertifikat pangan organik kepada

Poktan Tranggulasi pada tanggal 30 November 2010 seperti pada foto yang tertera

dalam lampiran skripsi ini (lampiran VII). Sampai saat ini, Poktan Tranggulasi

masih memiliki sertifikat pangan organik. Resertifikasi pangan organik terakhir

dilakukan pada tanggal 17 Januari 2014, sehingga lahan organik yang dimiliki

Poktan Tranggulasi tergolong aktif. Saat ini luas lahan yang sudah tersertifikasi

organik adalah 17,38 ha (Anonim, 2015:03). Sertifikat pangan organik merupakan

salah satu kekuatan yang dimiliki oleh produsen pangan organik yang bermanfaat

Page 17: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

37

untuk memberikan bukti autentik kepada supplier atau konsumen akhir, sehingga

keorganikan produk tersebut terpercaya.

Memang, usaha kolektif Poktan BM untuk beralih ke sistem UT organik

dilakukan pada tahun 2010 dan hal tersebut didukung oleh pihak luar kelompok.

Akan tetapi, sebelumnya, tepatnya pada tahun 2008 sudah ada sebagian petani di

dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke sistem

UT organik. Hal tersebut dijelaskan oleh Rochmad sebagai berikut:

“Dulunya masih biasanya kita kasih pupuk ponska, atau urea, dulunya kasih satu sendok

makan. Setelah tahun 2008 kita kurangi jadi ½ sendok makan. Perintis organik, itu hanya

saya, pak Nal, pak Rebo, dan pak Pilih. Itu sudah membentuk kelompok, kelompok

namanya sudah berubah dari Ngudi Lestari menjadi Alhidayah.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada

tahun 2008, petani yang tergabung dalam Poktan BM perlahan-lahan mulai

mengurangi penggunaan pupuk berbahan kimia sintetis. Usaha tersebut dirintis

melalui wadah poktan yang pada waktu itu masih bernama “Alhidayah”. Akan

tetapi perlu diingat, bahwa penguatan ide untuk beralih ke organik, Poktan BM

memang didukung oleh pihak luar. Pernyataan dari Zaenal akan memperjelas hal

tersebut:

“Tahun 2010 pak Nick itu ke sini… Sini dulu banyak penyakit akar gada. Pak Nick punya

produk yang namanya custom bio, itu ramah lingkungan. Lalu, pak Nick menganjurkan

pakai itu untuk dipraktekkan di lapangan.”

Mencermati pernyataan dari Zaenal, maka dapat diketahui bahwa Nick T.

Wiratmoko turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi pertanian

organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman kubis.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu pembentukan

poktan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Zaenal, bahwa poktan secara kolektif

beralih ke sistem UT organik bermula dari kegiatan praktek teknologi organik

dengan merk dagang custom bio yang bersifat ramah lingkungan yang

dilatarbelakangi oleh karena adanya penyakit akar gada pada tanaman kubis. Hal

tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Nick T. Wiratmoko sebagai berikut:

“Kelompok Tani Bangkit Merbabu hadir sebagai kelompok tani diawali dengan sebuah

pertemuan di Rumah Bapak Zaenal pada akhir tahun 2010. Pertemuan tujuh orang petani

di Dusun Kali Duren, Desa Batur, Kabupaten Semarang ini diadakan atas permintaan

rekan petani, penyuluh swadaya (PPS) di Salatiga, yang dianggap bisa membantu dalam

memecahkan masalah untuk mengatasi penyakit pada tanaman kobis-kobisan yang

Page 18: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

38

dikenal dengan akar gada….. Itu adalah komunikasi awal dari 7 orang petani yang

diperantarai oleh Mas Yusman dan Pak Suwanto.”

Dengan menganalisa pernyataan yang diungkapkan oleh Nick T. Wiratmoko,

maka dapat dipertajam bahwa terciptanya kerjasama antara poktan dengan

penyuluh swadaya diperantarai oleh beberapa rekan atau kolega dari petani yang

tergabung dalam kepengurusan poktan.

Awal-mula Poktan BM berkomitmen untuk beralih ke sistem UT organik,

risiko kegagalan panen sangat mudah terjadi. Hal tersebut secara singkat

dijelaskan melalui pernyataan Makruf berikut ini:

“Ketika beralih ke organik mengurangi bahan kimia sedikit-sedikit, kalau spontan bisa

banyak yang gagal, contohnya Bangkit Merbabu dulu 1 tahun gagal terus, karena

tanahnya masih banyak mengandung kimia.”

Berdasarkan pernyataan Makruf, upaya beralih ke sistem UT organik tidak bisa

dilakukan secara spontan, artinya tidak bisa langsung menghentikan penggunaan

saprotan berbahan kimia sintetik. Usaha untuk beralih dari sistem UT anorganik

menjadi sistem UT organik diawali dengan cara mengurangi segala saprotan

berbahan kimia sintetik dalam melakukan budidaya tanaman. Selanjutnya,

pernyataan dari Rochmad berikut ini akan menjelaskan proses Poktan BM dalam

memperoleh sertifikat pangan organik:

“Tahun 2012 surveyor mengadakan pelatihan tentang cara berusaha tani organik.

Surveyor ke kelompok sini. Tahun 2012 mendapat sertifikat. Di sini karena kompak jadi

prosesnya cepat, lahan semuanya itu sudah tersertifikasi yang di kelompok Bangkit

Merbabu, yang disertifikasi seluas 5,5 hektar.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa pihak

surveyor turut berperan dalam mensosialisasikan prosedur untuk memperoleh

sertifikat pangan organik dan memberikan pelatihan mengenai tata cara bertani

organik. Kemudian, pada tanggal 22 November tahun 2012 poktan ini

memperoleh sertifikat pangan organik dengan luas lahan 5,5 ha (Anonim,

2015:08).

Individu yang berusaha keras untuk menciptakan perubahan tersebut

merupakan aktor-aktor di balik terwujudnya pencapaian untuk memperoleh

sertifikat pangan organik maupun mempertahankan dan memperkuat

kesinambungan usaha tani sayuran organik yang dilakukan oleh individu poktan.

Bila diperhatikan secara seksama, maka terbukti bahwa poktan yang melakukan

Page 19: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

39

usaha tani secara organik disebabkan oleh adanya inisiatif dari beberapa orang

atau bahkan satu orang di suatu komunitas untuk memanfaatkan serta mengelola

sumber daya (terutama sumber daya alam) lokal yang tersedia secara optimal.

Individu-individu tersebut tergabung dalam kepengurusan poktannya. Akan tetapi

bila dicermati secara seksama, sebenarnya keinginan poktan untuk beralih ke

sistem UT organik itu timbul tidak terlepas dari adanya usaha pihak GO

(Governmental Organization) ataupun NGO (Non-Governmental Organization).

Letak perbedaan yang paling mencolok antara pengurus poktan dan pihak lain

(baik GO ataupun NGO) adalah inisiatif, kerja keras, dan kreativitas untuk beralih

ke organik diawali oleh pengurus poktan, sedangkan pihak luar hanya berperan

sebagai pelengkap untuk memperkenalkan teknologi pertanian organik.

Jika dipelajari secara seksama, tiap poktan memiliki latar belakang yang

berbeda-beda, sehingga timbul antusias dan inisiatif untuk beralih ke sistem UT

organik. Poktan Tranggulasi dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan yang

dirasakan oleh Pitoyo Ngatimin untuk menyediakan pupuk. Sedangkan, Poktan

BM lebih dilatarbelakangi oleh masalah penyakit akar gada, kemudian sebagian

petani yang statusnya sebagai pengurus poktan berusaha membangun kerjasama

dengan pihak luar untuk mengatasi penyakit tersebut (Lihat Sub Bab 4.6.2: Peran

pengurus sebagai pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diakui bahwa keberadaan

seseorang atau beberapa orang, khususnya di wilayah desa atau dusun sangat

diperlukan guna menumbuhkembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan

petani yang selanjutnya berdampak positif pada produksi, pendapatan, dan

kesejahteraan petani. Petani-petani tersebut tidak hanya sekedar mengajak atau

membujuk petani lainnya untuk beralih ke sistem UT organik. Melainkan, teknis

UT organik yang sudah diterapkan dirasa memiliki sebuah nilai tambah, baik dari

segi kualitas produksi, peningkatan harga jual produk, efisiensi biaya produksi,

bersifat ramah lingkungan, dan nilai tambah lainnya. Nilai tambah itu dirasakan

atau diyakini oleh masing-masing petani (khususnya yang tergabung dalam

poktan), sehingga merekapun antusias untuk menerapkan sistem UT yang

demikian. Jika dicermati, sebuah perubahan pola pertanian (dari anorganik

menjadi organik) bukan dimulai oleh kaum mayoritas, melainkan oleh kaum

Page 20: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

40

minoritas petani. Perubahan itu terbentuk, yang salah satunya dikarenakan oleh

daya kreativitas yang dimiliki oleh kaum minoritas petani itu. Itulah salah satu

wujud konkret dari creative minority (minoritas yang berdaya cipta), dalam

perspektif pertanian.

Jikalau tidak ada yang memulai untuk beralih ke organik, maka sistem UT

yang diterapkan oleh petani cenderung stagnan, yakni mengaplikasikan sistem

anorganik. Hal ini menjadi wajar mengingat kecenderungan yang terjadi di

lingkungan pedesaan adalah sebagian besar masyarakatnya enggan untuk

mencoba sesuatu hal yang baru. Ia akan mencoba hal baru, ketika hal baru

tersebut dirasa memberikan nilai tambah, khususnya bagi dirinya sendiri dan

umumnya bagi keluarganya. Dengan kata lain, budaya “ngikut” masih kental di

lingkungan pedesaan.

Di lain pihak, sebagian besar petani juga masih enggan untuk terlibat

dalam kepengurusan organisasi petani. Pernyataan dari Ngatemin dan Pandi akan

memberikan bukti autentik tentang keadaan tersebut:

“Sekarang itu belum ada pergantian pengurus mas. Belum pembaruan gitu. Jadi dari dulu

sampai sekarang pengurusnya masih itu… Saya tidak ada kemauan jadi pengurus, karena

jadi pengurus itu sulit, yang diurusi banyak, ngurusi administrasi, bantuan-bantuan, kayak

genzet... Pengelola itu ngurusi segala sesuatu mas, baik masalah sayur, masalah

keuangan, pemasaran, terus administrasi.” (Ngatemin)

“Kalau pemimpinnya itu gak benar, apa anggotanya ya benar? Kalau pemimpin itu benar,

jujur, di bidang apa saja anggota cuma ngikuti, jadi bersatu semua. Kalau pemimpinnya

baik, anggotanya baik. Kalau saya jadi anggota yang penting sabar, sama menerima apa

adanya, manut, jadi tidak mikir macam-macam. Mending mikir rumah tangga dan bertani.

Seperti saya sudah tua begini, mendingi ikut jadi anggota kelompok saja” (Pandi)

Dari berbagai pendapat narasumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika

poktan mengagendakan kegiatan reorganisasi, yang terjadi adalah tidak timbul

sebuah pergantian orang di kepengurusan. Hal tersebut yang membuktikan bahwa

sebagian besar anggota enggan untuk terlibat dalam kepengurusan poktan. Sesuai

dengan pernyataan Ngatemin, hal tersebut disebabkan oleh begitu kompleksnya

hal yang diurusi oleh pengelola atau pengurus, baik yang berkaitan dengan

pemasaran, administrasi, keuangan, pengorganisasian, dan hal-hal lain yang

berkaitan dengan poktan. Kemudian, Pandi berpendapat bahwa pengurus poktan

berperan sebagai panutan (as examplar). Hal tersebut sesuai dengan pandangan

Page 21: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

41

Krech dan Crutchfield (1948) (dalam Walgito, 2003:108) mengenai fungsi

pemimpin.

4.5 Komparasi Poktan Sebagai Unit Belajar

Poktan sebagai unit belajar diindikasikan oleh tiga hal, meliputi: tersedianya

wadah belajar di poktan, baik untuk pengembangan usaha tani maupun

pengembangan organisasi poktan, adanya pengetahuan, keterampilan, dan sikap

individu poktan dalam berusaha tani secara organik, serta tersedianya wadah

belajar bagi pihak lain untuk mengembangkan usaha taninya.

4.5.1 Penyediaan Wadah Belajar Poktan

Dalam aspek penyediaan wadah belajar poktan, kedua poktan dalam penelitian

memiliki kesamaan berdasarkan bentuk wadahnya, yaitu: wadah pertemuan

poktan, wadah percobaan dan adopsi teknologi, dan wadah pendelegasian.

Namun, masing-masing poktan memiliki situasi dan kondisi wadah belajar yang

berbeda-beda. Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa

intensitas, reaksi, dan partisipasi Poktan Tranggulasi cenderung kurang baik. Hal

ini antara lain diperlihatkan oleh: pertemuan poktan yang sementara waktu ini

tidak diadakan, reaksi daripada anggota yang cenderung bergantung dengan peran

pengurus dalam memanfaatkan wadah belajar poktan, dan partisipasi dari para

anggota poktan yang cenderung rendah dalam memanfaatkan wadah belajar.

Selain itu, beberapa wadah belajar (seperti: wadah pertemuan dan percobaan)

dilakukan oleh perorangan atau sekelompok individu poktan. Dengan situasi dan

kondisi yang semacam itu, maka fungsi Poktan Tranggulasi sebagai unit belajar

tergolong kurang baik. Sementara, hasil penelitian di Poktan BM memperlihatkan

bahwa dalam aspek penyediaan wadah belajar, fungsi poktan sebagai unit belajar

tergolong cukup baik, yang ditandai dengan intensitas pertemuan poktan yang

tergolong tinggi. Selain itu, para anggota bereaksi positif dan berperan serta dalam

memanfaatkan wadah belajar yang tersedia di poktan. Ditambah lagi wadah

belajar secara kolektif di Poktan BM masih eksis dilakukan hingga saat ini.

Page 22: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

42

4.5.2 Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap Individu Poktan Serta

Implikasinya Terhadap Produksi, Pendapatan, Kemandirian, dan

Kesejahteraan Petani

Kegiatan belajar yang tersedia di poktan berperan sebagai wadah untuk

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani (yang tergabung

dalam poktan) untuk mengimplementasikan UT sayuran organik (penyediaan

saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, sampai dengan pemasaran

hasil produksi). Dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang positif dalam

menjalankan UT sayuran organik, maka diharapkan berdampak positif terhadap

produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.

Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa dalam aspek

penyediaan saprotan, khususnya dekomposer, pupuk, pestisida, dan zat pengatur

tumbuh (ZPT) sebagian besar diadopsi dari wadah belajar poktan. Partisipasi para

anggota untuk menyediakan saprotan tergolong rendah. Sama halnya dengan

penyediaan saprotan, dalam menerapkan budidaya tanaman, para anggota

cenderung mengacu pada materi-materi di wadah belajar dan tiap individu poktan

berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya

masing-masing. Meski begitu, hasil penelitian di Poktan Tranggulasi

memperlihatkan bahwa sebagian individu memiliki kreasi tersendiri dalam

menyediakan saprotan dan membudidayakan tanaman. Kemudian hal yang sama

juga ditunjukkan oleh Poktan BM, yakni tata cara individu poktan dalam

penyediaan saprotan dan budidaya tanaman diadopsi dari materi yang ada di

wadah belajar. Kesamaan lainnya adalah tiap individu Poktan BM juga

berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya

masing-masing. Perbedaannya dengan Poktan Tranggulasi adalah tiap individu

Poktan BM berpartisipasi dalam penyediaan saprotan. Perbedaan lainnya

ditunjukkan oleh tata cara individu poktan dalam menyediakan saprotan dan

membudidayakan tanaman yang umumnya berpedoman pada materi yang tersedia

di wadah belajarnya.

Selanjutnya, dalam aspek penanganan pasca panen, hasil penelitian di

Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan pengetahuan dan

keterampilan antara anggota dan pengurus, dimana pengurus poktan lebih

Page 23: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

43

menguasai kegiatan tersebut. Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM

melibatkan para anggota dalam melakukan penanganan pasca panen yang

berakibat mengasah pengetahuan dan keterampilan para anggota dalam

penanganan pasca panen. Dalam aspek pemasaran, pengetahuan dan sikap para

pengurus ataupun anggota tergolong positif. Hal ini ditandai oleh adanya

pemahaman dan pandangan pengurus dan anggota mengenai perbandingan antara

pemasaran ke pasar tradisional dan pasar modern menurut beberapa aspek. Di sisi

lain, keterampilan pengurus poktan lebih unggul dibandingkan anggota poktan,

karena aktivitas-aktivitas pemasaran hasil yang bersifat khusus ditangani oleh

pengurus poktan.

Keempat proses produksi tersebut memberikan dampak yang cukup positif

terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.

4.5.3 Penyediaan Wadah Belajar Bagi Pihak Lain

Ditinjau dari aspek penyediaan wadah belajar bagi pihak lain, tiap poktan

mempunyai cara yang berbeda dalam teknis penyediaannya. Berdasarkan

penyediaannya, kedua poktan tergolong berfungsi. Meski begitu, ditinjau dari segi

partisipasi para anggota dalam memfungsikan wadah belajar ini, kedua poktan

kurang melibatkan peran serta dari para anggota.

4.6 Komparasi Peran Kepemimpinan Pengurus Poktan dalam

Mewujudkan Poktan Sebagai Unit Belajar

Hasil penelitian membuktikan bahwa pengurus poktan memegang peranan

kepemimpinan yang penting untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar.

Peran kepemimpinan pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit

belajar dijabarkan melalui beberapa bentuk tindakan, yaitu: sebagai penggerak

aktivitas individu poktan dalam kegiatan belajar-mengajar, pembangun relasi

untuk kebutuhan belajar poktan, peran pengurus poktan dalam forum gabungan

kelompok tani (Gapoktan) Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu, dan

peran dominan pengurus poktan untuk memfungsikan wadah belajar bagi pihak di

luar poktan.

Pembahasan di tiap sub bab ini juga memuat dampak atau implikasi dari

usaha pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar, baik dari

segi pembelajaran akan usaha tani maupun pembelajaran soal teknis berorganisasi

Page 24: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

44

di poktan. Di samping itu, disajikan pula pembahasan tentang reaksi atau sikap

individu poktan terhadap materi belajar yang ada di poktan, partisipasi individu

poktan dalam wadah belajar yang tersedia, dan intensitas wadah belajar

(khususnya pada aspek pertemuan). Kemudian, untuk mengetahui dampak wadah

belajar terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, maka

dibahas pula tata cara individu poktan dalam menerapkan usaha tani, baik

penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, pemasaran

hasil produksi, serta dampak UT sayuran organik terhadap produksi, pendapatan,

kemandirian, dan kesejahteraan petani. Tidak hanya itu, untuk mengetahui fungsi

poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain, maka dibahas peran dominan

pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui keterkaitan antar masing-

masing indikator variabel. Keterkaitan tersebut dijelaskan melalui gambar berikut

ini:

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Variabel Peran Kepemimpinan Pengurus Kelompok Tani

Variabel Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar

Mengacu pada gambar. 1 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tiap peran

kepemimpinan pengurus poktan memberi dukungan yang berbeda-beda terhadap

Pengurus poktan

menggerakkan aktivitas

individu poktan dalam

kegiatan belajar-mengajar

Pengurus Membangun

Relasi atau Jaringan

dengan Pihak Lain

Peran Pengurus Untuk

Memfungsikan Poktan

Sebagai Wadah Belajar

Bagi Pihak Lain

Wadah belajar bagi individu poktan

untuk pengembangan usaha taninya

dan pengembangan organisasi

poktannya, disertai dengan situasi dan

kondisi wadah belajarnya.

Pengetahuan, keterampilan, dan sikap

anggota dalam menerapkan usaha tani

sayur organik, serta dampaknya

terhadap produksi, pendapatan,

kemandirian, dan kesejahteraan

individu poktan.

Adanya wadah belajar

bagi pihak di luar poktan

untuk pengembangan

usaha taninya.

Peran aktif Pengurus

di Gapoktan

Komunitas Petani

Organik

Page 25: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

45

tiap-tiap indikator variabel poktan sebagai unit belajar. Peran pengurus dalam

wadah belajar yang tersedia di poktan; peran pengurus dalam gapoktan Komunitas

Petani Organik (KOMPOR) Merbabu; dan peran pengurus dalam membangun

relasi dengan pihak lain, masing-masing mendukung ketersediaan wadah belajar

bagi individu poktan untuk pengembangan usaha taninya dan pengembangan

organisasi poktannya, disertai pula dengan situasi dan kondisi wadah belajarnya.

Selanjutnya, peran tersebut mendukung pula pengetahuan, keterampilan, dan

sikap individu poktan dalam berusaha tani dan berdampak pada produksi,

pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Kemudian, peran dominan

pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain

mendukung keberfungsian wadah belajar bagi pihak di luar poktan untuk

pengembangan usaha taninya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci satu per satu

bentuk peran yang dijalankan oleh pengurus poktan:

4.6.1 Peran Pengurus Poktan Sebagai Penggerak Aktivitas Individu Poktan

dalam Kegiatan Belajar-mengajar

Pengurus poktan memiliki andil yang sangat besar untuk menyediakan wadah dan

menggerakkan aktivitas individu poktan untuk berpartisipasi dalam kegiatan

belajar-mengajar. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang peran pengurus

dalam penyelenggaraan wadah belajar-mengajar poktan beserta dampaknya:

A. Pertemuan Poktan

Poktan Tranggulasi memiliki dua macam pertemuan, yakni: pertemuan

umum (dihadiri oleh seluruh individu poktan) dan pertemuan pengelola (yang

khusus dihadiri oleh pengelola). Pertemuan umum diadakan sebanyak satu kali

dalam satu bulan, biasanya malam tanggal 6. Hal tersebut dibuktikan melalui

pernyataan dari Suparman sebagai berikut:

“Setiap bulan, malam tanggal 6 ada pertemuan, itu yang rutin. Kalau ada keperluan

mendadak sebelum tanggal 6 sudah berkumpul.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Suparman, apabila terdapat keperluan

mendadak yang perlu dibahas, pertemuan umum dapat diadakan kapan saja. Akan

tetapi, hasil wawancara dengan Ngatimin berikut ini menunjukkan bahwa Poktan

Tranggulasi sudah tidak mengadakan pertemuan secara rutin:

“Ini sudah lama tidak diadakan pertemuan yang melibatkan semua anggota kelompok,

kendalanya karena pembayaran pinjaman dari bank itu sedang macet.”

Page 26: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

46

Berdasarkan pernyataan dari Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab

tidak diadakannya pertemuan rutin sementara waktu ini, oleh karena adanya

kendala pengembalian pinjaman ke bank. Akibat dari keadaan itu, walaupun

diadakan pertemuan, sebagian individu poktan cenderung kurang berpartisipasi

atau enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut diperjelas melalui

pernyataan dari Jumarno sebagai berikut:

“Anggota kelompok biasanya pertemuan rutin malam tanggal 6. Dulu datang semua di

pertemuan, tetapi sekarang ini sedang ada kendala dengan bank.”

Keengganan tersebut dapat diperlihatkan melalui pernyataan yang dikemukakan

oleh Wikan Mujiono sebagai berikut:

“Tahun-tahun ini aku malas berangkat ke pertemuan, karena yang dibahas hanya masalah

keuangan. Jadi di pertemuan tidak ada pembahasan tentang tata cara bertani atau

informasi baru tentang teknologi.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa seringkali

pembicaraan yang diagendakan dalam pertemuan rutin adalah seputar teknis-

teknis untuk mengatasi kendala dengan bank. Akibatnya, pembicaraan seputar

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk usaha tani menjadi

terbengkalai. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sebagian individu

enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut turut dipertajam oleh

pernyataan Ngatemin berikut ini:

“Bulan-bulan ini kumpulan membicarakan masalah uang.”

Di samping itu, hasil observasi di lapangan memperlihatkan berhubung adanya

masalah dengan bank, maka sebagian individu poktan mengalami tekanan sosial

yang kemudian berakibat menurunkan keikut-sertaannya dalam kegiatan poktan,

termasuk pertemuan.

Meski begitu, Poktan Tranggulasi masih proaktif mengadakan pertemuan

khusus pengelola. Biasanya pertemuan pengelola ini dijadikan landasan untuk

menentukan kesepakatan di pertemuan umum. Hal tersebut diperjelas seperti apa

yang dikemukakan oleh Sri Jumiati berikut ini:

“Biasanya rapat kecil pengelola dulu. Kalau langsung rapat anggota dengan jumlah

banyak, terlalu banyak ide. Di rapat kecil pengelola didiskusikan dulu, lalu ditindaklanjuti

ke anggota. Tapi biasanya anggota mengikuti keputusan dari pengelola.”

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa segala hal yang ada

kaitannya dengan Poktan Tranggulasi dibahas terlebih dahulu di rapat pengelola

Page 27: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

47

dan diputuskan di situ. Setelah itu, hasil pembicaraan dari rapat pengelola

diserahkan kepada seluruh anggota di rapat umum poktan. Hasil observasi di

lapangan menunjukkan, yang dibahas dalam pertemuan pengelola diantaranya

meliputi: a) hal-hal yang ada sangkut-pautnya terhadap kerjasama dengan supplier

(pengepul); b) teknis usaha tani; c) masalah keuangan poktan; dan d) aktivitas

lainnya yang berkaitan dengan kelompok tani. Mencermati begitu banyaknya hal-

hal penting yang didiskusikan oleh pengurus di rapat pengelola, maka dapat

ditafsirkan bahwa pengurus berperan sebagai garda yang mengendalikan aktivitas

poktan. Dengan model pertemuan seperti ini, kecenderungan yang terjadi adalah

para anggota umumnya menerima keputusan apapun yang telah dibuat oleh

pengurus poktan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Ngatemin berikut

ini:

“Pasti ada pertemuan mas, kalau tidak ada, pasti tidak ada kemajuan mas. Bisa maju

mulai dari 0 sampai ke tingkat nasional kalau tidak ada informasi atau musyawarah itu

tidak bisa terjadi. Misalnya gitu, kalau saya cuma ikut-ikutan, saya menjadi anggota

kelompok, sudah. Sudah ada diskusi, kalau membahas itu, membahas masalah hama,

bersama-sama itu, itu seluruhnya anggota itu dikumpulkan, jadi musyawarah, apa yang

dibutuhkan. Semuanya sudah tahu mas, tapi kalau tidak ada yang mengatasi di depan itu

tidak bisa, seperti pak Pitoyo. Kalau membuat CP atau membuat apapun kalau tidak ada

Pitoyo tidak bisa, misalnya kalau cuma anggota itu tidak tahu sebetulnya.”

Dengan keadaan yang seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa pengurus poktan

memiliki peran sentral untuk mengembangkan poktannya menjadi berkembang

atau maju. Dapat disimpulkan pula bahwa pertemuan rutin dijadikan wadah

bersama individu Poktan Tranggulasi untuk saling mendiskusikan berbagai ilmu

atau informasi yang dimilikinya, khususnya untuk melakukan kegiatan UT

sayuran organik. Mencermati pernyataan itu, pengurus poktan (khususnya ketua

poktan) dinilai sebagai pihak yang banyak berkontribusi dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi tentang sistem UT organik di Poktan

Tranggulasi. Sedangkan, para anggota cenderung hanya mengikuti pola atau

konsep berpikir dari pengurus poktan.

Di badan kepengurusan Poktan Tranggulasi sudah mempunyai seksi

khusus untuk mengingatkan ketika ada anggota poktan yang tidak hadir dalam

pertemuan rutin. Hal ini diutarakan oleh Sumadi sebagai berikut:

“Tugas seksi humas kalau ada perkumpulan-perkumpulan itu wajib memberitahukan ke

yang lain, mengingatkan yang belum berangkat.”

Page 28: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

48

Dengan begitu, maka pengurus Poktan Tranggulasi (melalui seksi khusus seksi

humas) telah berusaha untuk mencegah terjadinya ketidakhadiran individu poktan

dalam pertemuan. Hal ini senada bilamana dipertautkan dengan uraian tugas

pengurus poktan, dimana seksi humas salah satunya bertugas untuk

menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan kelompok. Pertemuan

rutin merupakan wadah strategis poktan untuk mengevaluasi kedisiplinan dari

para individu Poktan Tranggulasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sri

Jumiati berikut ini:

“Kedisiplinan harus rutin dijaga setiap bulannya, bisa melalui pertemuan rutin. Lalu

setiap bulannya ada anggota yang berkeluh-kesah, sehingga mereka bisa mengungkapkan.

Jadi bisa terdeteksi.”

Berdasarkan pernyataan Sri Jumiati, maka dapat diketahui bahwa pengurus poktan

sering mengandalkan pertemuan rutin untuk mencari tahu persoalan yang

dihadapi anggotanya. Mencermati pembahasan sebelumnya, bahwa

ketidakhadiran para anggota dalam pertemuan rutin disebabkan oleh adanya

kendala dengan bank. Memperhatikan pula signifikansi dari kegiatan pertemuan

rutin, maka pengurus poktan perlu meningkatkan kepekaan terhadap situasi serta

kondisi anggotanya, disertai pula dengan usaha penanggulangannya yang tepat,

agar kegiatan pertemuan dapat berjalan dengan baik kembali dan dihadiri oleh

seluruh individu Poktan Tranggulasi (minimal sebagian besar).

Berbeda dengan model pertemuan di Poktan Tranggulasi, kegiatan

pertemuan rutin Poktan Bangkit Merbabu diadakan tiap minggu (hari Sabtu

malam) yang melibatkan seluruh individu dalam poktan. Akan tetapi, seringkali

istri dari pada pengurus dan anggota poktan tidak dilibatkan dalam pertemuan

rutin. Berikut penjelasan dari Makruf:

“Semua pengurus dan anggota pasti datang ke pertemuan, kalau ada kepentingan

mendadak tidak datang ke pertemuan, yang rutin itu yang bapak-bapak, yang 10 orang,

tapi yang ibu-ibu juga harus mengetahui. Kalau ditanya sama siapapun harus

mengetahui…. Diadakan pertemuan satu minggu sekali pandangan saya lebih banyak

manfaatnya, contohnya kalau tanaman yang pendek-pendek umpama kalau dibahas sudah

terlanjur panen, kalau pertemuan diadakan satu bulan sekali.”

Pertemuan tiap minggu seperti yang diungkapkan oleh Makruf tersebut masih

jarang terjadi di poktan yang berada di Kecamatan Getasan khususnya, karena

sebagian besar mengadakan pertemuan satu bulan sekali atau selapan (35 hari)

Page 29: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

49

sekali. Pertemuan ini wajib dihadiri oleh petani pria yang tergabung dalam

poktan. Dengan model pertemuan yang seperti itu, maka tiap individu poktan

yang mengalami kendala selama proses melakukan UT-nya dapat segera

didiskusikan di pertemuan. Mencermati hasil wawancara itu, jikalau terdapat

kendala UT yang dihadapi oleh satu petani, maka petani lainnya (khususnya yang

sudah berpengalaman) dapat membantu memberikan masukan atau saran tentang

cara untuk mengatasinya. Secara tidak langsung, pembicaraan itu didengarkan

oleh petani lainnya dan ilmu tersebut dapat dipetiknya. Dengan demikian,

pertemuan rutin sebagai kegiatan diskusi bermanfaat sebagai alat pemersatu fakta

dan pendapat anggota kelompok, sehingga kesimpulan dapat diambil. Sumbangan

pikiran dari setiap anggota kelompok akan menambah gudang pengetahuan

(Suprijanto, 2012:97).

Pernyataan dari Makruf diperlengkap oleh Rochmad sebagai berikut:

“Biarpun ada pengurus kita itu rata, kalau dalam pertemuan malam minggu itu seakan-

akan itu tidak ada ketua dan tidak ada lembaga, semuanya sama. Misalkan dalam

pertemuan malam minggu itu, semua usulan atau masukan dianggap bagus, tapi nanti

dirapikan, yang paling bagus yang mana? Yang berangkat ke pertemuan 10 orang bapak-

bapak, kalau ibu-ibu bila ada praktek itu baru diikutkan…. Seperti kemarin kita buat bir,

nantinya akan kami kumpulkan bapak sama ibu, semua harus tahu, semua harus

menguasai, jadi kita praktekan bersama-sama … Hasilnya rapat itu bapak-bapak beritahu

ke ibu-ibu, kesimpulannya yang kemarin itu seperti ini.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di

dalam pertemuan tiap individu dalam poktan memiliki kewajiban dan hak yang

sama, salah satunya untuk mengemukakan usulan. Ketika terdapat berbagai

macam usulan, maka poktan ini berusaha untuk mengambil keputusan dengan

cara musyawarah-mufakat. Suseno (1984:51) mendefinisikan musyawarah-

mufakat sebagai proses pertimbangan, pemberian dan penerimaan, dan

kompromis, di mana semua pendapat harus dihormati, yang berusaha untuk

mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran, yang bisa juga

diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan dan pendapat

partisipan. Menurut Sajogyo (2005:31), suatu cara berapat yang tertentu,

musyawarah itu rupa-rupanya harus ada kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat

mendorong proses mencocokkan dan mengintegrasikan pendapat itu. Dengan cara

yang demikian, diharapkan tidak ada pihak tertentu yang merasa terlalu dirugikan

Page 30: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

50

atau terlalu diuntungkan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pandi sebagai

berikut:

“Anggota dikasih kesempatan siapa yang mau usul. Karena saya waktu itu pernah usul,

gimana kalau tiap malam minggu pertemuan itu mengadakan uang paling tidak 50.000

untuk konsumsi minuman dan makanan.”

Kembali ke pernyataannya Rochmad, bahwa wanita tani yang tergabung dalam

poktan diikutsertakan dalam pertemuan ketika ada sosialisasi teknologi baru dan

kegiatan praktek (misalnya: membuat saprotan atau melakukan budidaya yang

benar). Memadukan pernyataan dari Makruf dan Rochmad, maka dapat

disimpulkan bahwa seluruh hasil yang didiskusikan di pertemuan harus

disampaikan oleh pria tani kepada wanita tani, agar tidak ketinggalan informasi.

Pria tani yang tergabung dalam Poktan BM juga diwajibkan untuk

mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan rutin kepada istrinya,

supaya tidak ketinggalan informasi. Kaitannya dengan kewajiban yang diemban

oleh para pria tani untuk mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan

kepada wanita tani dirasakan oleh Saminah sebagai berikut:

“Kalau ada informasi dari dinas itu sering ada pemberitahuan, diberikan di pertemuan.”

Pertemuan yang diadakan dengan frekuensi satu minggu sekali merupakan

suatu bentuk kebijakan. Di manapun yang namanya kebijakan ada kekuatan dan

ada pula kelemahannya. Pertemuan dengan model seperti ini dikhawatirkan oleh

Daniel Rudolph melalui pernyataan sebagai berikut:

“Kelompok Bangkit Merbabu sering berkumpul bersama. Di situ mereka mendiskusikan

tentang organik dan membicarakan tentang semangat untuk bertani organik. Jadi sebagian

petani terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk membantu petani lain, jadi usaha

tani dia tidak begitu tertangani dengan baik. Jadi, menurut saya menumbuhkan semangat

berkelompok itu baik, tapi ketika semangat itu tidak dibarengi dengan sebuah aktivitas

menjadi kurang baik. Karena bekerja sebagai petani itu menurut saya merupakan bagian

yang tersulit.”

Berdasarkan pernyataan dari Daniel Rudolph, maka dapat diketahui bahwa

pertemuan rutin yang diadakan oleh Poktan BM memiliki frekuensi yang cukup

tinggi. Hal ini dikhawatirkan petani yang memiliki pengetahuan dan kemampuan

tinggi (profesional) dalam berusaha tani terlalu banyak menggunakan waktu,

tenaga, dan pikirannya untuk membantu permasalahan UT yang dimiliki oleh

petani lainnya. Dengan demikian, proses usaha tani yang dijalankan oleh petani

profesional dapat menjadi terbengkalai. Hal ini menjadi rasional, mengingat

Page 31: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

51

petani memiliki tanggungan yang sungguh besar dan banyak, baik untuk berusaha

tani maupun melakukan aktivitas di luar UT (misal: menangani urusan rumah

tangga). Akan tetapi, dengan diadakannya pertemuan tiap minggu, berbagai

masalah yang terjadi selama proses produksi di tiap minggu dapat ditemukenali

dan didiskusikan bersama. Terlebih lagi, budidaya sayuran perlu pengelolaan dan

perhatian yang lebih dari tanaman lain (Sunarjono, 2010:02). Merupakan

tantangan tersendiri bagi petani sayuran untuk meningkatkan ketelitian dalam

melaksanakan proses produksi, karena mutu produk sayur ditentukan oleh

kesegaran, warna daun, dan ada atau tidaknya lubang-lubang bekas serangan

hama. Selain itu, pada produk sayuran, aspek keamanan sangat perlu diperhatikan,

karena umumnya sayuran dikonsumsi dalam bentuk segar (Zulkarnain, 2009:198-

199).

Poktan Tranggulasi memiliki dua macam pertemuan, yakni: pertemuan

umum (dihadiri oleh seluruh individu poktan) dan pertemuan pengelola (yang

khusus dihadiri oleh pengelola). Pertemuan rutin diadakan sebanyak satu kali

dalam satu bulan, biasanya malam tanggal 6. Akan tetapi, berdasarkan hasil

penelitian di Poktan Tranggulasi, menunjukkan bahwa saat ini pertemuan umum

poktan sudah lama tidak diadakan. Jikalau diadakan, sebagian besar anggota tidak

berpartisipasi dalam kegiatan pertemuan oleh karena adanya kendala dengan

bank. Partisipasi yang rendah ini disebabkan salah satunya oleh adanya kendala

dengan bank yang turut mempengaruhi topik pembicaraan dalam pertemuan,

sehingga sebagian anggota enggan untuk menghadiri pertemuan. Untuk mengatasi

persoalan tersebut, sudah ada upaya dari pengurus untuk menginformasikan

kepada para anggota ketika akan diadakan pertemuan umum, agar antusias dari

anggota untuk berpartisipasi dalam pertemuan dapat bertumbuh. Meski begitu,

Poktan Tranggulasi masih aktif mengadakan rapat pengelola yang khusus dihadiri

oleh pengelola poktan. Di rapat pengelola, pengurus Poktan Tranggulasi berperan

sebagai pihak yang berusaha untuk menemukenali dan mengatasi setiap persoalan

yang ada di poktan, sehingga para pengurus dituntut untuk peka terhadap keadaan

atau situasi dalam kelompoknya. Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa

pengurus Poktan Tranggulasi juga bertugas untuk membuat rencana kegiatan dari

yang dipimpinnya, sehingga pengurus berperan sebagai pihak perencana

Page 32: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

52

(planner). Selanjutnya, mereka juga bertugas menentukan kebijakan kelompok

yang dipimpinnya, sehingga mereka berperan sebagai pembuat kebijakan (policy

maker) (Walgito, 2003:108). Di kegiatan pertemuan umum, para anggota

cenderung menyetujui apa yang sudah disepakati di rapat pengelola. Dengan

demikian, pengurus dapat diistilahkan sebagai opinion leader (pengarah opini).

Selanjutnya, Poktan BM menerapkan model pertemuan dengan frekuensi

satu minggu sekali dan dihadiri oleh seluruh individu pria tani. Dengan model

semacam ini, tiap persoalan baik yang menyangkut UT maupun organisasi dapat

diutarakan dan dipecahkan bersama. Segala rencana atau kebijakan yang berkaitan

dengan poktan disusun secara partisipatif hingga mencapai mufakat. Kemudian,

wanita tani hanya dilibatkan ketika ada kegiatan praktek. Meski begitu, pria tani

diwajibkan untuk menginfokan setiap hasil pertemuan kepada wanita tani.

Dengan mengetahui perbedaan di kedua poktan tersebut dalam konteks

pertemuan rutin, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus Poktan Tranggulasi

belum mampu menggerakkan aktivitas seluruh individu poktan dalam kegiatan

belajar-mengajar di pertemuan rutin. Hal tersebut terjadi karena sebagian individu

poktan mengalami kendala dengan bank, yang kemudian mempengaruhi topik

pembicaraan dalam pertemuan dan turut menurunkan minat para anggota untuk

hadir dalam pertemuan. Sedangkan, pengurus Poktan BM mampu menggerakkan

seluruh aktivitas individu dalam kegiatan belajar-mengajar di kegiatan pertemuan.

Hal ini salah satunya disebabkan oleh pembicaraan yang difokuskan pada

pengembangan ilmu pengetahuan dan segala permasalahan yang terjadi di UT

individu poktan.

Pertemuan rutin merupakan salah satu bentuk kegiatan belajar yang

diadakan oleh poktan, karena kegiatan itu dijadikan wadah untuk membahas

segala hal yang berkaitan dengan poktan, termasuk permasalahan usaha tani

individu poktan. Oleh karena itu, di kegiatan ini interaksi antar individu poktan

secara otomatis terbangun, sehingga terjadi suasana transfer knowledge. Di

samping itu, pertemuan rutin dapat melatih kedisiplinan individu poktan dalam

berorganisasi. Kegiatan ini merupakan satu-satunya wadah untuk memunculkan

suasana belajar-mengajar (baik dalam melakukan UT maupun dalam hal

berorganisasi) antar individu poktan yang dilaksanakan secara rutin.

Page 33: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

53

B. Wadah Percobaan dan Adopsi Inovasi Teknologi Usaha Tani

Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dianggap sebagai

sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir.

Dengan demikian, adopsi inovasi dapat diartikan sebagai keputusan untuk

menerapkan suatu inovasi dan untuk terus menggunakannya (Ban, 1999: 122 &

331). Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dijelaskan batasan definisi dari

teknologi, yakni keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang

diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia (KBBI). Sejauh

mana inovasi baru itu, katakanlah suatu teknologi baru akan memberikan

keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang benar

bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari

nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi

akan berjalan lebih cepat (Soekartawi, 2005:62-63). Untuk mencapai ke tahapan

adopsi, seseorang atau sekelompok orang perlu melewati beberapa tahap. Tahap

pertama, kesadaran: pertama kali mendengar tentang inovasi; tahap ke dua, minat:

mencari informasi lebih lanjut; tahap ke tiga, evaluasi: menimbang manfaat dan

kekurangan penggunaan inovasi; tahap ke empat, mencoba: menguji sendiri

inovasi pada skala kecil; dan tahap ke lima, adopsi: menerapkan inovasi pada

skala besar setelah membandingkannya dengan metode lama. Pada kenyataannya,

adopsi tidak selalu mengikuti urutan ini (Ban, 1999:123-124).

Tahapan adopsi yang dibahas dalam sub bab ini lebih ditekankan kepada

tahap mencoba dan tahap adopsi yang dilakukan oleh poktan. Pengurus poktan

memegang peranan supaya kelompoknya melakukan adopsi inovasi teknologi.

Hal tersebut terbukti melalui penjelasan berikut ini.

Poktan Tranggulasi sudah pernah mengadakan demonstrasi secara mandiri

pada tahun 2004. Berikut penjelasan dari Abdul Wahab:

“Demplot itu sudah lama, sekitar tahun 2004. Kita buat Green house, kita tanami tomat,

modal demplotnya untuk pupuk kandang patungan. 1 anggota diminta menyediakan

pupuk kandang kurang-lebih 5 keranjang, untuk modal tani. Pada waktu itu belum ada

modal uang, kita cuma dapat pinjaman mulsa dari paguyuban, terus kita tanami tomat,

kita budidaya tomat organik, pada waktu itu bagus tapi belum punya pasar pada waktu

itu, itu kan harganya 400, paling mahal 600 perak/kg. Terus tanami tomat lagi, untuk

perawatan digilir berapa orang, tapi gak disiplin, jadi tanamannya gak bagus. Ada jadwal

piketnya, diserahkan bayar orang pada waktu itu. Tidak pakai pestisida. Kalau buat

organik sistemnya Green house sudah mengurangi penyakit, karena tertutup semua.

Green house itu pinjaman dari PPM, maka tidak bayar”

Page 34: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

54

Pernyataan dari Abdul Wahab diperlengkap oleh Syaefudin sebagai berikut:

“Dulu penyuluh pernah ke sini, memberi saran, sama mengadakan sekolah lapang, uji

coba di sini dengan kelompok sini, diadakan tahun 2004. 2004 kita baru bisa mengambil

kesimpulan. Uji coba yang pertama itu, yang pakai green house di lahan saya. Itu dipakai

selama 5 tahun, saya hanya dikasih 3 juta sama kelompok untuk ganti-ruginya.

Penyediaan alat blender dan bahan-bahan untuk uji coba kita swadaya, tiap anggota yang

berjumlah 22 orang itu iuran 10.000. Itu uji coba power, teknis budidaya, dan uji coba

pestisida”

Berdasarkan pernyataan dari Abdul Wahab dan Syaefudin, maka dapat diketahui

bahwa tanaman yang diujicobakan adalah tomat. Tiap individu diwajibkan untuk

menyediakan pupuk kandang sebanyak lima keranjang untuk diaplikasikan di

lahan demplot. Sarana demplot lainnya adalah mulsa dan green house (GH) yang

dipinjamkan oleh Paguyuban Petani Merbabu (PPM). Lahan yang digunakan

sebagai tempat untuk uji coba adalah lahannya Syaefudin selaku pengurus poktan,

yang disewa selama lima tahun dengan harga sewa tiga juta. Untuk teknis

perawatan tanaman, poktan sebenarnya menggunakan sistem piket yang terjadwal.

Akan tetapi, sebagian individu poktan tidak disiplin dalam melakukan perawatan

tanaman. Akibatnya, poktan mempekerjakan orang untuk melakukan perawatan

tanaman. Kemudian, pembiayaan untuk melaksanakan kegiatan uji coba

bersumber dari dana swadaya poktan dengan iuran per individu sebesar Rp.

10.000,00. Iuran itu antara lain digunakan untuk: pembelian alat blender, bahan-

bahan untuk membuat teknologi yang ingin diuji-coba, biaya sewa lahan, dan

sebagainya. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa pihak PPL ikut terlibat belajar

bersama dalam kegiatan uji coba tersebut. Kegiatan demplot tersebut bertujuan

untuk menguji coba kelayakan pupuk buatan kelompok yang diberi nama “power”

terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

Selain kegiatan demplot yang dilakukan secara kolektif, Poktan

Tranggulasi pernah memberi kewajiban kepada tiap individu untuk melakukan uji

coba teknologi di lahannya masing-masing. Berikut pernyataan dari Syaefudin:

“Dulu dari kelompok itu buat pestisida dan buat pupuk cair. Yang punya ide pada waktu

rapat kita terapkan di lapangan. Ketika diujicoba hasilnya bagus, kita buat lagi, contohnya

power itu. Dulu model uji cobanya itu tiap anggota dikasih satu liter. Nanti tiap anggota

uji coba di lahannya sendiri-sendiri. Waktu itu ketika diujicoba, hasilnya tidak sama.

Lalu, kita siasati dengan mengecek tanahnya. Lahannya itu dikasih power 1 tank itu satu

gelas, ada yang ¼ gelas. Tetapi yang ¼ gelas hasilnya lebih bagus. Dengan begitu, Pak

Pitoyo cari teman yang bisa menganalisa tanah.”

Page 35: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

55

Berdasarkan pernyataannya, maka dapat diketahui bahwa ketika muncul suatu ide

tentang teknologi UT di pertemuan rutin, maka teknologi tersebut diuji coba

terlebih dahulu. Apabila setelah dicoba terbukti memberikan hasil yang baik,

maka poktan baru optimis dalam menerapkan teknologi tersebut. Contohnya,

Poktan Tranggulasi sudah pernah memberikan satu liter “power” kepada tiap

individu untuk diujicobakan di lahannya masing-masing. Dengan metode belajar

yang seperti itu, masing-masing individu poktan dapat memberi laporan tentang

hasil dari percobaannya. Pada waktu itu pernah dilakukan dua percobaan

teknologi “power”. Percobaan pertama, pemberian “power” dilakukan dengan

perlakuan yang sama. Walau dengan perlakuan yang sama, tetapi percobaan yang

pertama ini memberikan hasil yang berbeda. Kemudian percobaan yang ke dua,

“power” diujicobakan dengan dua perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama

satu tank diberi satu gelas “power”, sedangkan perlakuan yang ke dua, satu tank

diberi ¼ gelas “power”. Akan tetapi, yang terjadi adalah pemberian “power”

dengan ¼ gelas memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan

pemberian “power” dengan satu gelas. Oleh karena itu, pengurus poktan

berinisiatif untuk membangun komunikasi dengan peneliti untuk menganalisis

tanahnya. Dengan upaya tersebut, poktan dapat menarik kesimpulan akan hasil

dari percobaannya tersebut.

Dinas Pertanian juga turut berperan dalam memperkenalkan teknologi atau

metode usaha tani. Kegiatan difusi (penyebarluasan) teknologi atau metode UT

diberikan melalui wadah sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Di

kegiatan SLPHT, PPL yang dinaungi oleh Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan,

dan Kehutanan (BP3K) tingkat kecamatan berperan sebagai pendamping atau

pembimbing teknisnya. Meskipun wadah percobaan diadakan oleh dinas

pertanian, tetapi pengurus poktan tetap memegang peran. Hal tersebut diperjelas

oleh Ngatimin sebagai berikut:

“Kelompok itu pernah ikut serta dalam sekolah yang diadakan oleh PPL. Di kegiatan itu

diajarkan cara buat pestisida. Tetapi anggota itu banyak yang lupa. Yang tidak lupa yang

kesehariannya menggunakan pestisida itu. Seperti saya itu tidak ingat cara buat pestisida,

seperti CP. PPL juga ngajarkan buat PGPR”

Dengan kegiatan SLPHT tersebut, individu poktan dapat memperkaya khasanah

ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam bercocok tanam sayuran secara

Page 36: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

56

organik. Kendala yang terjadi, sebagian individu poktan tidak ingat cara untuk

membuat sarana UT, seperti: CP (pestisida nabati). Untuk mengatasi hal tersebut,

pengurus poktan berperan untuk mengajarkan kembali tata cara pembuatannya.

Mencermati kasus tersebut, maka dapat dimaknai bahwa pengurus Poktan

Tranggulasi berperan mencatat dan menyimpan materi pelatihan.

Beberapa individu poktan (khususnya pengurus) memiliki kesadaran untuk

mengembangkan, mengkreasikan, dan menyempurnakan hasil dari uji coba

teknologi (atau metode) yang sudah pernah dilakukan atau yang sudah diakui oleh

poktan. Pernyataan Syaefudin akan membuktikan hal tersebut:

“Pakai urin sapi itu inisiatif saya sendiri. Pada kenyataannya sekarang semuanya ikut.

Karena pada kenyataannya bagus, melebihi power.”

Pernyataan tersebut dipertajam oleh Abdul Wahab sebagai berikut:

“Terkadang dari petani bisa menemukan pupuk yang lebih bagus dari buatan kelompok,

seperti pak Saefruddin aja contohnya. Saya amati, dia bisa membuat pupuk sendiri.”

Menanggapi pernyataan Syaefudin dan Abdul Wahab, maka dapat diketahui

bahwa Syaefudin (sebagai petani yang tergabung dalam kepengurusan poktan)

memiliki inisiatif untuk mengembangkan dan mengkreasikan teknologi pupuk

yang sudah dikenal oleh poktan. Teknologi tersebut menggunakan berbagai

bahan, yang sebagian bahannya bisa diperoleh di wilayah setempat (lokal). Ketika

teknologi tersebut diujicoba dan memberikan hasil yang baik, sebagian besar

petani secara otomatis melakukan peniruan. Dengan daya kreativitas petani yang

seperti itu, maka kemandirian poktan dalam penyediaan saprotan semakin

berkembang dan tidak menutup kemungkinan, petani di luar poktan juga dapat

memetik ilmu dari situ.

Akan tetapi, hasil dari kegiatan uji coba yang dilakukan secara mandiri

oleh individu poktan tidak semua ditularkannya. Hal tersebut terbukti melalui

pernyataan dari Syaefuddin sebagai berikut:

“Ketika musyawarah kelompok, saya tidak pernah mengutarakan ilmu saya sama petani

yang lain. Maksudnya kalau ada orang yang mau tahu, orangnya tanya kita sendiri.”

Pernyataan dari Syaefuddin dipertajam oleh Suwalim sebagai berikut:

“Biasanya petani kalau sudah sukses ditanya resepnya tidak mau kasih tahu, itu memang

kodratnya manusia.”

Hal semacam itu wajar, mengingat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh

dari kegiatan uji coba dapat berimplikasi positif terhadap penyediaan saprotan dan

Page 37: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

57

budidaya tanaman, yang selanjutnya dapat menjadi faktor penguat untuk

mengembangkan usaha taninya dan memperoleh keuntungan secara ekonomi.

Walaupun petani hidup berkelompok, namun hasrat untuk bersaing masih terdapat

di tiap individu petani (dalam poktan) untuk mengembangkan usaha taninya. Hal

ini juga selaras dengan pernyataan Hans-Dieter Evers (1982) (dalam Setiawan,

2012:322), semakin profesional dan mandiri, para petani cenderung akan semakin

individualis. Akan tetapi, keadaan semacam itu juga dapat terjadi karena petani

menghindarkan kesan dari petani lainnya bahwa dirinya seolah-olah lebih pintar

dalam hal bercocok tanam.

Poktan Tranggulasi juga tidak serta-merta melakukan budidaya jenis

tanaman tertentu, apabila jenis tanaman tersebut belum pernah dibudidayakan

oleh kelompok. Timbul keinginan untuk membudidayakan tanaman tertentu dapat

disebabkan oleh adanya permintaan pasar maupun atas kemauan petani sendiri.

Dalam hal ini, pengurus memegang peran untuk mengukur kelayakan bisnis dari

calon tanaman yang sekiranya ingin dibudidayakan atau diusahakan oleh poktan.

Berikut pernyataan dari Abdul Wahab:

“Tidak serta-merta ketika ada produk baru kita langsung menyuruh petani untuk nanam.

Kita uji coba dulu, untung-ruginya. Jadi misalkan ada permintaan sayur yang tergolong

baru dari pasar, pengurus itu yang nguji coba. Jadi kita analisa untung-ruginya, kita

tawarkan ke mereka dengan memberitahu penanamannya habis segini, umur segini, nanti

penjualannya segini.”

Untuk mengukur kelayakan tersebut, pengurus melakukan uji coba terlebih

dahulu. Kegiatan uji coba ini bertujuan untuk menilai kelayakan, baik dari segi

agronomis maupun segi ekonomisnya. Apabila dinilai layak, pengurus baru

menawarkan ke para anggota. Hal ini selaras dengan apa yang diutarakan oleh

Ban (1999:47), bahwa pengetahuan pertanian banyak dikembangkan dari

percobaan-percobaan sederhana yang dilakukan oleh petani, seperti misalnya saat

mereka menanam tanaman yang bagi daerah itu masih tergolong baru. Dengan

demikian, pengurus poktan sudah berperilaku sebagai seorang ahli (expert), yakni

sebagai sumber informasi dari anggota yang dipimpinnya (Krech and Crutchfield,

1948) (dalam Walgito, 2003:107).

Kegiatan uji coba pertama kali dilakukan oleh Poktan BM pada tahun

2010 (lihat gambaran umum Poktan BM). Ide untuk melakukan uji coba muncul

Page 38: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

58

ketika petani dilanda masalah penyakit akar gada pada tanaman kubis. Pernyataan

dari Zaenal dan Makruf akan menjelaskan hal tersebut:

“Karena penyakit akar gada terus ada pak Nick yang awal-awalnya mendampingi

kelompok…. Sudah pernah diadakan demplot di sini, itu dilakukan bersama-sama, setelah

itu kita mencoba di lahan masing-masing. Dari uji coba teknologi custom bio, ternyata

akar gadanya bisa berkurang drastis.” (Zaenal)

“Pak Rebo ngundang saya suruh kumpulan untuk datang mau sosialisasi produk pestisida

dari Amerika, yang membawa pak Nick. Seperti tablet penyubur tanah, pak Nick

mengajak temannya pak Ratno untuk sosialisasi.” (Makruf)

Berdasarkan pernyataan dari Zaenal dan Makruf, maka dapat diketahui bahwa

kegiatan uji coba tersebut dilakukan secara bersama-sama, artinya seluruh

individu poktan dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut difokuskan

untuk mengujicoba kelayakan teknologi dengan merk dagang custom bio yang

difasilitasi oleh Nick T. Wiratmoko, khususnya untuk mengatasi penyakit

tanaman yang dikenal dengan nama akar gada. Hasil uji coba teknologi tersebut

ternyata membuahkan hasil yang positif. Dengan begitu, petani optimis untuk

mencoba di lahannya masing-masing. Rasa optimis itu timbul bukan dari sekedar

pemberian materi tentang teknologi custom bio saja, akan tetapi petani telah

melewati beberapa tahapan atau proses, sehingga timbul rasa antusias untuk

sampai ke tahapan “mencoba” di lahannya masing-masing.

Pernyataan dari Nick T. Wiratmoko berikut ini akan menjelaskan proses adopsi

inovasi teknologi tersebut:

“Dari percakapan dengan pihak penyalur tablet Custom bio, akhirnya disepakati bahwa

tim promosi mereka akan melakukan promosi sekaligus sosialisasi yang memperkenalkan

kegunaan pemanfaatan Custom bio..... Penjelasan langsung dari pihak agensi Custom bio

sangat membantu untuk mencerahkan-menyadarkan kepada petani yang tengah didera

tanaman kobisnya oleh serangan jamur Phytophtora ini. Dalam sosialisasi ini, melalui

layar LCD dan infocus, dijelaskan apa itu Custom bio……. Petani diberikan sampel

Custom bio untuk mencoba sendiri secara terbatas pemakaian Custom bio. Petani masih

sulit percaya. Petani, selama ini, hanya percaya jika sudah ada bukti nyata di lapang.

Dalam pertemuan berikut, agenda yang mengganjal ini dibicarakan. Intinya, petani masih

ada harapan untuk mengatasi serangan jamur Phytophtora ini. Hanya saja masih ada

keraguan untuk menerapkan perlakuan pemakaian Custom bio ini. Akhirnya, ada

semacam usulan bahwa: Pertama, sang PPL menyumbangkan biaya sewa tanah.

Sebidang tanah yang disewa ini kelak akan dibagi dalam 17 bedeng bermulsa. Tanah

disewa dengan ongkos Rp 500.000 dengan luas hamparan sekitar 8 x 12 meter.

Sumbangan ini merupakan bentuk filantrofi PPS lantaran petani sayur ini masih berat hati

untuk mendukung dengan harus mengeluarkan nominal Rupiah, sementara mereka juga

merasa belum yakin dengan hasil demplot. Namun mereka bersepakat untuk

berkonstribusi membeli Custom bionya dengan harga perusahaan. Pada saat yang sama,

Page 39: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

59

mereka tetap menanam sayur dengan pola lama. Dengan demplot dan bertanam dengan

pola lama merupakan proses pembelajaran untuk membandingkan. Kedua, ke tujuh belas

bedeng ini akan digarap petani untuk memastikan perlakuan demonstrasi plot dan

sekaligus menyediakan pupuk organiknya. Ketiga, pada kesempatan itu, petani juga

bersepakat untuk melakukan pencatatan terhadap pembandingan dengan tanaman sejenis

yang tidak diberi perlakuan Custom bio. Bukan sekadar pencatatan, tetapi juga

pendokumentasian. Keempat, masih dengan keragu-raguan tetapi juga ada optimisme,

para petani bersepakat jika performance pertumbuhan tanaman kelihatan signifikan

bagus, selain didokumentasikan dengan potret, juga harus mengundang pihak PPL

Kecamatan Getasan.”

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Nick T. Wiratmoko, maka dapat

diketahui tahapan atau proses adopsi inovasi teknologi UT secara lebih detil.

Untuk memecahkan masalah penyakit akar gada, kegiatan ini diawali oleh Nick T.

Wiratmoko dengan membangun komunikasi dengan pihak penyalur produk

custom bio. Lalu, diadakan kegiatan promosi dan sosialisasi mengenai kegunaan

pemanfaatan teknologi custom bio yang materinya dibawakan oleh tim promosi.

Dengan diadakannya kegiatan tersebut, maka tahap “kesadaran” dan tahap

“minat” secara otomatis sudah dilangkahi. Hal ini terjadi karena petani mendengar

tentang inovasi (tahap kesadaran) dan tidak menutup kemungkinan petani merasa

penasaran, sehingga mencari informasi lebih lanjut tentang produk custom bio

dengan cara mengajukan pertanyaan. Setelah kegiatan ini selesai, walau petani

diberikan sampel produk custom bio, akan tetapi petani masih mengalami

keraguan untuk mencobanya (tahap evaluasi). Lalu, untuk melanjutkan ke tahapan

“mencoba”, Nick T. Wiratmoko memberi gagasan untuk melakukan kegiatan uji

coba, bahkan ia bersedia untuk menyumbangkan biaya sewa lahan dengan luasan

8 x 12 meter. Lahan ini diolah kemudian dibuat bedengan dengan jumlah 17 dan

dipasang mulsa. Hal ini dilakukan untuk memicu semangat petani untuk

berpartisipasi dalam kegiatan uji coba. Dengan upayanya tersebut, petani bersedia

untuk membeli produk custom bio sebagai bahan uji coba. Untuk sampai ke

tahapan “adopsi”, petani terlebih dahulu melakukan aktivitas “mencoba”. Pada

tahap ini, 17 bedengan tersebut diberi perlakuan teknologi custom bio dan petani

tetap menanam dengan pola lama di lahan yang lain. Dengan begitu, petani dapat

mengetahui efektifitas produk custom bio, karena terjadi aktivitas

“membandingkan”. Petani juga bersepakat untuk melakukan pencatatan dan

pendokumentasian terhadap pembandingan antara tanaman yang diberi perlakuan

custom bio dengan tanaman sejenis yang tidak diberi perlakuan custom bio. Hasil

Page 40: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

60

dari kegiatan uji coba membuktikan bahwa teknologi tersebut bisa diandalkan

untuk mengatasi penyakit akar gada. Dengan begitu, poktan mengundang pihak

PPL kecamatan Getasan, sehingga Poktan BM semakin eksis dan semakin kuat.

Selain adanya dukungan dari Nick T. Wiratmoko, partisipasi dari individu poktan

untuk mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya bisa timbul, karena tujuan

seseorang untuk mengikuti pendidikan, memang selalu berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan, terutama kebutuhan jangka pendek (Mardikanto,

2009:62). Selain itu, partisipasi petani untuk menguji-coba dan mengadopsi suatu

teknologi UT juga disebabkan oleh adanya kebutuhan. Dengan adanya kebutuhan

(need), terutama untuk mengatasi suatu masalah, maka proses untuk menguji-coba

dan mengadopsi sebuah inovasi menjadi lebih cepat. Hal tersebut diutarakan oleh

Iswanto sebagai berikut:

“Proses adopsi itu akan lebih cepat kalau mulai dari kebutuhan, selanjutnya mempercepat

pula kesadarannya.”

Bermula dari kegiatan uji coba teknologi yang didampingi oleh pihak luar,

saat ini pengurus Poktan BM berupaya untuk menggerakkan aktivitas petani untuk

melakukan percobaan terhadap penemuan teknologi baru secara kolektif.

Pernyataan dari Sumadi akan menjelaskan hal tersebut:

“Kalau uji coba seperti pestisida itu biasanya dilakukan secara kelompok. Kalau diuji-

coba hasilnya bagus, tiap anggota bikin sendiri-sendiri.”

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peran menggerakkan aktivitas dalam

melakukan percobaan teknologi tidak dijalankan sesuai dengan uraian tugas

pengurus. Tugas semacam itu seharusnya dijalankan oleh divisi pemberdayaan

yang memiliki tugas memberdayakan semua anggota kelompok dalam hal

penerapan teknologi berbasis pertanian organik. Kenyataannya, peran tersebut

cenderung dijalankan oleh pengurus lainnya, seperti: divisi pertanian atau ketua

poktan. Kesesuaian tugas berdasarkan job description (uraian tugas) tampak pada

seksi perlengkapan yang turut memperlancar jalannya kegiatan percobaan. Bentuk

perannya diutarakan oleh Darwadi sebagai berikut:

“Seksi perlengkapan itu tugasnya menyiapkan perlengkapan pertanian untuk Bangkit

Merbabu. Misalnya ada praktek buat pupuk itu saya yang menyiapkan perlengkapannya."

Mencermati pernyataannya, maka seksi perlengkapan sebagai salah satu bagian

dari pengurus poktan turut menjalankan tugas dalam menyiapkan segala macam

Page 41: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

61

perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan praktik atau percobaan terhadap

teknologi, seperti pupuk. Meskipun seksi perlengkapan ini tidak tertera di struktur

organisasi poktan, namun hasil wawancara dengan Makruf berikut ini menyatakan

bahwa seksi gudang merangkap tugas dalam penanganan perlengkapan:

“Seksi gudang itu juga mengurusi perlengkapan.”

Di samping dilakukan secara kelompok, kegiatan uji coba di Poktan BM juga

dilakukan secara perorangan. Hal tersebut umumnya dilakukan oleh petani yang

tergabung dalam kepengurusan poktan. Pernyataan dari Zaenal akan memperjelas

hal tersebut:

“Saya uji coba terlebih dulu, kalau sudah terbukti bagus baru disosialisasikan ke anggota.

Berarti kalau gagal ditanggung saya saja.”

Keadaan semacam itu biasanya timbul karena kegiatan uji coba yang dilakukan

secara perorangan tidak menyita waktu, tenaga, pikiran, dan biaya individu poktan

lainnya. Terlebih lagi jika terjadi kegagalan dalam melaksanakan uji coba, maka

petani dapat mengalami kerugian.

Berdasarkan hasil penelitian di kedua poktan tersebut, maka dapat

diketahui perbedaan dalam hal teknis poktan untuk mengadopsi suatu inovasi

teknologi UT. Kegiatan uji coba pertama kali dilakukan secara mandiri oleh

Poktan Tranggulasi (tahun 2004). Seluruh kegiatan uji coba yang pertama

dihidupkan oleh poktan secara mandiri dan tidak terlepas dari peran penting

pengurus. Poktan BM memiliki perbedaan dengan Poktan Tranggulasi, karena

awal-mulanya, kegiatan uji coba didampingi oleh pihak luar (seperti: Nick T.

Wiratmoko, Suwanto, tim promosi produk custom bio), sampai akhirnya petani

timbul antusias untuk melakukan kegiatan uji coba teknologi. Meskipun begitu,

hal tersebut tidak akan terjadi apabila pengurus poktan tidak berinisiatif

membangun komunikasi dengan pihak luar (Lihat Sub Bab 4.6.2: Peran pengurus

sebagai pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan). Di samping itu,

pengurus poktan berinisiatif mengajak beberapa petani setempat untuk turut

berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Saat ini, kegiatan percobaan dan adopsi inovasi di Poktan Tranggulasi

dilakukan secara perorangan atau sekelompok kecil (kepengurusan). Jika terbukti

manjur, teknologi tersebut disebarluaskan atau diperkenalkan kepada seluruh

Page 42: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

62

anggota. Meski begitu, secara historis poktan ini pernah melakukannya secara

kolektif. Pengurus Poktan Tranggulasi memegang peranan dalam mengorganisir

wadah percobaan yang dilakukan secara kolektif. Peran pengurus Poktan

Tranggulasi antara lain: menyediakan dan mengatur petani mempersiapkan sarana

dan prasarana untuk uji coba teknologi (seperti: lahan dan pupuk kandang). Selain

itu, pengurus Poktan Tranggulasi berinisiatif membangun komunikasi dengan

pihak yang dirasa berkompeten untuk mengkonsultasikan hasil uji coba yang

dirasa membingungkan. Selanjutnya, pengurus juga bertugas untuk menganalisis

dan mencatat hasil uji coba teknologi. Saat ini, Poktan BM masih melakukan

kegiatan percobaan secara kolektif. Akan tetapi, sama halnya dengan Poktan

Tranggulasi, terkadang uji coba teknologi dilakukan oleh sebagian petani yang

tergabung dalam kepengurusan poktan. Peran pengurus Poktan BM secara umum

adalah pengorganisiran para anggota untuk melakukan kegiatan uji coba, seperti:

menginisiasikan teknologi atau metode yang ingin diujicoba, menyediakan dan

mengatur anggota mempersiapkan sarana untuk melakukan kegiatan uji coba,

melakukan pencatatan mengenai materi atau data yang diperoleh dari wadah

percobaan, menggerakkan aktivitas tiap individu poktan untuk mengujicoba suatu

teknologi di lahannya masing-masing, dan mengkoordinir anggota poktan ketika

ada ajakan atau tawaran dari pihak luar untuk mengujicoba suatu teknologi atau

metode UT. Kedua poktan menunjukkan keadaan yang kurang-lebih sama dalam

aspek subyek pengurus yang menjalankan peran-peran yang diuraikan di atas.

Kesamaannya terlihat oleh pengembanan tugas-tugas tersebut yang tidak sesuai

dengan uraian tugas pengurus poktan yang telah ditetapkan. Meski begitu, studi di

Poktan BM menunjukkan bahwa seksi perlengkapan yang notabene sebagai

pengurus poktan menjalankan peran dalam mempersiapkan kebutuhan

perlengkapan untuk menunjang kegiatan percobaan. Peran tersebut sesuai dengan

job description dari seksi yang bersangkutan. Uraian tugas kedua poktan dapat

dilihat di lampiran skripsi ini (lampiran IV).

Dalam aspek wadah percobaan dan adopsi teknologi, kedua poktan

kurang-lebih mempunyai kesamaan dari segi teknis pelaksanaannya. Partisipasi

seluruh individu poktan dalam wadah ini sudah tercipta, namun terkadang

kegiatan uji coba dilakukan secara perorangan petani. Tidak hanya petani yang

Page 43: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

63

tergabung dalam kepengurusan poktan, melainkan sebagian anggota poktan

memiliki kesadaran untuk melakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui

dan menilai tingkat kelayakan dari teknologi yang diuji coba (khususnya di

Poktan Tranggulasi) (Lihat pembahasan tentang “Penyediaan Saprotan” dan

“Budidaya Tanaman”). Perbedaan yang mencolok ada pada aspek penyebarluasan

informasi hasil kegiatan uji coba, dimana Poktan Tranggulasi sedang terkendala

dalam melaksanakan kegiatan tersebut, sedangkan Poktan BM tergolong lancar.

Hal tersebut dikarenakan oleh tidak adanya pertemuan di Poktan Tranggulasi

untuk sementara waktu ini. Sedangkan, kegiatan pertemuan di Poktan BM masih

aktif dan rutin diadakan (Lihat pembahasan tentang “Pertemuan Poktan”). Dengan

demikian, kegiatan penyebarluasan informasi hasil kegiatan uji coba menjadi

mudah dilakukan.

Uji coba teknologi usaha tani dapat dilakukan secara individu maupun

secara kelompok. Kegiatan uji coba dan adopsi dapat diselenggarakan oleh poktan

secara mandiri maupun oleh pihak lain (baik GO maupun NGO). Kegiatan ini

bertujuan untuk menguji kelayakan dari teknologi usaha tani (seperti:

dekomposer, pupuk, pestisida, dan teknologi lainnya) yang kemudian membantu

poktan dalam penyediaan saprotan, budidaya tanaman, dan penanganan pasca

panen. Seperti yang diketahui bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat

inovasi yang rendah. Mereka cenderung menggunakan cara-cara yang mereka

tahu pasti akan menghasilkan. Mereka enggan menggunakan cara-cara baru yang

mungkin menyebabkan kegagalan (Rahardjo, 2010:75-76). Oleh karena itu,

dengan adanya sikap dan kesadaran akan pentingnya melakukan kegiatan

percobaan teknologi, tingkat inovasi petani bisa meningkat. Wadah percobaan dan

adopsi teknologi UT berakibat membentuk sikap sebagian individu poktan (baik

Tranggulasi maupun BM) bahwa kegiatan uji coba merupakan hal yang pertama

kali perlu dilakukan untuk memastikan, apakah teknologi atau metode itu layak

atau tidak?

C. Kegiatan Pendelegasian

Pendelegasian yang ada di poktan diberlakukan dalam beberapa bentuk,

seperti: pendelegasian untuk mengikuti forum pertanian (seperti: pelatihan, rapat,

temu usaha, bazaar, seminar, dan sebagainya) dan pendelegasian tugas maupun

Page 44: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

64

wewenang untuk menangani suatu kegiatan poktan. Sebelum membahas lebih

lanjut, perlu adanya pembatasan definisi dari pendelegasian. Pendelegasian untuk

mengikuti forum pertanian didefinisikan sebagai pengutusan individu poktan

untuk hadir dalam forum pertanian. Sedangkan, pendelegasian tugas dan

wewenang yang dimaksud di sini mengandung arti: suatu keadaan dimana

pengurus poktan melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada anggota untuk

menangani suatu kegiatan poktan. Peran pengurus poktan pada wadah belajar ini

diwujudkan dalam bentuk caranya dalam mengorganisir individu poktan untuk

menjadi delegator. Sebagai gambaran awal, kegunaan dengan diadakannya forum

pertanian sebagai wadah diskusi antar petani, pemerintah, dan pemangku

kepentingan lainnya dapat dibuktikan secara konkret melalui kegiatan Farmer

Meeting “Sistem Pertanian Organik” yang diadakan pada tanggal 25 November

2014. Hal ini dapat diketahui melalui pernyataan yang diutarakan oleh Ferdian L.

Hermawan sebagai panitia kegiatan sebagai berikut:

“Dibicarakan dari tanahnya sampai hasilnya. Yang dibahas budidayanya, pasca

panennya, dan pemasaran. Kalau di buku tamu yang hadir sampai 44, tapi itu termasuk

mahasiswa. Kalau petaninya sekitar 31, yang berasal dari Wonosobo, Salatiga, Kopeng,

Karanganyar, dan Sumowono. Yang dibicarakan tanaman hortikultura dan tanaman

pangan juga secara organik. Kegiatan juga diikutsertakan oleh peneliti dari Bogor, jadi

bisa mengetahui dampak penerapan pertanian organik terhadap tanah. Antusias petani

untuk mengungkapkan pendapat termasuk tinggi. Pertanyaannyapun dari kalangan petani

cukup kritis. Penyelenggara program itu dari Balittan. Yang kebanyakan kritis itu petani

yang konvensional, karena mungkin dia teriming-imingi, dia bertanya, masalahnya untuk

beralih ke organik, dia mencari solusi supaya bisa menghasilkan, memproduksi hasil yang

sama ketika dia melakukan secara konvensional. Jadi kendala utamanya ya waktu gus,

untuk sterilisasi lahan.”

Sebagai salah satu contoh forum pertanian, kegiatan farmer meeting “Sistem

Pertanian Organik” sebagai program dari Balai Penelitian Tanah (Balittan), Bogor

ini dihadiri oleh + 44 orang, yang terdiri dari: petani (berasal dari berbagai daerah,

termasuk petani yang berasal dari daerah Getasan, seperti dua poktan dalam

penelitian ini), penyuluh, dosen, tim peneliti dari Balittan, dan mahasiswa.

Agenda yang dibahas dalam kegiatan ini seputar tentang pertanian organik.

Kreatifnya, penyelenggara acara ini mengundang pula petani yang bertani dengan

sistem anorganik. Dengan begitu, kegiatan ini dapat menjadi wadah perangsang

bagi petani tersebut untuk menumbuhkembangkan antusiasnya untuk beralih ke

sistem UT organik. Karena kegiatan ini disertai dengan sesi diskusi, maka para

Page 45: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

65

peserta diberi kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengajukan pertanyaan

dan mengungkapkan pendapatnya. Materi pengantar dibawakan oleh pembicara

yang dirasa berkompeten untuk memberikan wawasan awal terhadap para peserta

mengenai dampak positif dari sistem pertanian organik. Kemudian di sesi diskusi,

petani-petani yang telah berpengalaman dalam menerapkan sistem pertanian

organik (seperti: Poktan Tranggulasi dan BM) dapat memberikan masukan atau

keterangan kepada petani yang belum memiliki pengalaman. Dengan memberi

pemaparan akan dampak positif dari sistem pertanian organik, diharapkan para

petani yang bertani dengan sistem anorganik dapat tumbuh sedikit demi sedikit

kemauan untuk beralih ke sistem UT organik.

Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, membuktikan bahwa

pendelegasian untuk mengikuti suatu forum pertanian biasanya dimusyawarahkan

terlebih dahulu di pertemuan rutin poktan. Hal ini dibuktikan melalui pernyataan

dari Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“Kalau ngirim untuk ikut pelatihan biasanya kami tawarkan siapa yang mau berangkat?

Karena tidak semuanya mau. Sebelum berangkat pelatihan, petani dikasih pembekalan.

Kita gilir yang mampu mengikuti, tidak semua anggota mampu mengikuti, artinya yang

tanggungan di rumah lebih banyak, ada yang sudah tua. Kalau pembekalan ada, karena

pasti ada juklak yang harus disampaikan. Setelah mengikuti pelatihan, mereka harus

menyampaikan hasil ke forum secara lisan, jadi semuanya bisa mengetahui. Bintek itu

bimbingan teknik. Bintek itu bisa juga dalam pelaksanaan proyek, artinya misalnya bintek

pasca panen, yang melakukan yang di pasca panen, bintek teknologi alsin, itu yang

melakukan yang ahli-ahli di alsin, jadi dipilih berdasar keahliannya. Jadi pelatihan tidak

harus pengurus, tapi anggotapun bisa. Sekarang kita diminta untuk memberikan

pengalaman, terus menjadi fasilitator, sehingga yang berangkat yang berani bicara di

depan umum, kalau tidak berani bicara tidak bisa. Ketika di Satya Wacana ada seminar

nasional tentang pertanian organik itu saya yang menjadi narasumber.”

Meski begitu, penentuan delegator (petani yang didelegasikan) didasarkan kepada

kemauan dan kemampuan individu poktan. Kemauan berkaitan dengan kehendak

individu poktan untuk dijadikan wakil mengikuti forum pertanian, sedangkan

kemampuan berkaitan dengan kesanggupan individu poktan untuk menjadi

perwakilan poktan dalam mengikuti forum pertanian. Terdapat beberapa kendala

yang dihadapi oleh individu poktan untuk hadir dalam forum pertanian, baik yang

diundang oleh pihak pemerintah maupun swasta. Kendala tersebut antara lain:

banyaknya tanggungan yang harus diemban untuk mengurusi urusan rumah

tangga, kendala umur, maupun ketidakberanian individu poktan. Dengan begitu,

Page 46: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

66

poktan ini mensiasatinya dengan cara menentukan individu poktan yang tidak

mengalami kendala-kendala seperti itu. Selain itu, biasanya pengurus poktan

memegang peranan dalam memberikan pembekalan (petunjuk

pelaksanaan/juklak) kepada petani yang dilimpahkan tugas untuk menjadi wakil

dalam forum pertanian. Petunjuk pelaksanaan ini diberikan khususnya bagi petani

yang didelegasikan untuk menjadi wakil dalam mengikuti kegiatan pelatihan

bintek (bimbingan teknik). Pengalaman di Poktan Tranggulasi menunjukkan

bahwa kegiatan bintek yang diikutinya terkadang bersifat spesifik (seperti: bintek

pasca panen, bintek alat dan mesin pertanian, dan sebagainya). Untuk mengutus

petani dalam bintek yang bersifat spesifik seperti itu, biasanya dilakukan dengan

penunjukkan langsung dan disesuaikan dengan bidang yang ditekuni oleh petani

yang bersangkutan. Setelah selesai mengikuti forum pertanian, maka pengurus

poktan mengagendakan pembicaraan tentang hasil forum dan mewajibkan

delegator untuk menyampaikannya secara lisan melalui pertemuan poktan.

Dengan begitu, pelajaran-pelajaran yang telah dipetik oleh delegator ditularkan

kepada petani lainnya, sehingga semuanya bisa mengetahui hasilnya. Saat ini

Poktan Tranggulasi sudah jarang diundang dalam forum pertanian yang berupa

pelatihan, karena akhir-akhir ini memang jarang memperoleh undangan. Akan

tetapi, perwakilan dari poktan sering diminta untuk menghadiri suatu forum

pertanian guna menjadi fasilitator atau pembawa materi (seperti kegiatan

seminar), khususnya tentang pertanian organik. Faktanya, yang sering menjadi

perwakilan untuk mengikuti forum semacam itu adalah pengurus poktan, karena

para anggota enggan untuk mengikutinya. Selain masalah kemauan, biasanya

yang dipercayakan untuk menjadi perwakilan adalah petani yang memiliki

kemampuan, baik dari segi materi maupun kemampuan dalam hal berbicara di

depan orang banyak (public speaking). Hal tersebut juga dibuktikan melalui

pernyataan Suparman dan Ngatimin sebagai berikut:

“Dulu sering ada pelatihan, pernah di surabaya, semarang, di Wonosobo. Saya pernah

ikut pelatihan, jadi anggota punya kesempatan.” (Suparman)

“Studi banding sering diadakan, tapi kalau saya tidak pernah ikut. Yang sering ikut kayak

gitu pak Abdul Wahab, Saefruddin. Itu dimusyawarahkan ke anggota, jadi hasilnya dari

sana ditularkan kepada anggota. Misalnya, caranya budidaya tanaman, caranya buat

pestisida. Sebenarnya bergilliran, tapi anggota-anggota kadang sering tidak mau ikut.

Seperti kemarin diminta berangkat ke Semarang pada tidak mau.” (Ngatimin)

Page 47: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

67

Dengan pernyataan itu, maka terbukti bahwa kegiatan forum tersebut memberi

peluang kepada seluruh individu untuk menghadirinya. Di samping itu, delegator

menyampaikan hasil dari forum pertanian, sehingga segala informasi atau ilmu

yang diperolehnya dapat diserap oleh individu poktan lainnya. Berdasarkan

pernyataan Ngatimin, maka dapat dipastikan bahwa antusias para anggota

cenderung rendah. Permasalahan lainnya, beberapa informasi undangan dari pihak

pemerintah maupun swasta terkadang tidak sampai kepada anggota. Hal ini sesuai

dengan yang diutarakan oleh Sumar berikut ini:

“Tiap anggota punya kesempatan untuk ikut pelatihan, tapi kalau saya tidak pernah tahu

informasinya, yang biasanya dapat info itu pengurus. Misal ada program yang tahu

pengurus, kalau anggota sering tidak tahu informasi seperti itu. Misal ada pelatihan kayak

gitu, ketuanya yang nentuin perwakilannya. Informasi pelatihan itu tidak disebarluaskan

oleh pengurus. Instruksi dari pengurus diberikan ketika ada pertemuan, tapi kalau

pertemuannya masih bulan depan, ketua cari orang sendiri untuk berangkat pelatihan.

Tapi kalau undangan pelatihannya diberi sebelum pertemuan kelompok, bisa dibahas

siapa yang mau berangkat. Petani itu sibuk, pekerjaannya tidak bisa ditinggal. Jadi

pekerjaannya harus diselesaikan dulu.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, undangan dari pihak pemerintah maupun swasta

biasanya diberikan melalui pengurus poktan. Akan tetapi, berdasarkan

pengamatan anggota, pengurus seringkali melakukan penunjukkan dan

pengutusan secara langsung terhadap petani untuk hadir dalam forum pertanian.

Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Pitoyo Ngatimin, bahwa penentuan

utusan untuk hadir dalam forum pertanian (tertentu) perlu menyertakan

pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Kemudian, dapat diketahui bahwa permusyawarahan mengenai petani yang

menjadi utusan forum pertanian biasanya hanya dilakukan apabila waktu

undangan atau pemberitahuan kegiatan forum pertanian bertepatan dengan waktu

pertemuan rutin poktan diadakan. Melalui pernyataan Sumar, juga dapat ditarik

kesimpulan bahwa salah satu hal mendasar yang menjadi kendala bagi petani

untuk menghadiri forum pertanian adalah keterbatasan waktu, karena sebagian

besar waktunya dihabiskan untuk bercocok tanam. Pihak pengurus poktan

seringkali berusaha menjawab undangan dari pihak luar untuk hadir di forum

pertanian dan upaya itu signifikan terhadap pengembangan pengetahuan individu

poktan mengenai sistem UT organik. Hal tersebut diperlihatkan oleh penjelasan

dari Pitoyo Ngatimin berikut ini:

Page 48: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

68

“Dulu sudah pernah dapat info soal PGPR dari PPL, saya mengajarkan ke teman-teman,

temen-temen sini mengajarkan ke petani yang lain. Tapi saya dulu pertama kali dapat info

tentang itu dari IPB, kami sharing dengan temen-temen di sana, lalu kita coba. Kebetulan

saya memang diajak studi banding di IPB. Di sana hanya sehari, tapi menerima ilmu

banyak….. Hasil dari studi banding itu kita bisa membedakan atau membandingkan cara

bertani atau teknologi yang ada di kelompok dan yang di sana. Dari pelatihan itu, kita

bisa menyimpulkan ilmu yang sekiranya bisa diterapkan di kelompok.”

Berdasarkan pernyataannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PGPR (Plant

Growth Promoting Rhizobacteria) sebagai salah satu sarana produksi yang sampai

sekarang masih langgeng digunakan oleh petani dalam melaksanakan UT

merupakan sebagian kecil hasil dari adanya kegiatan pendelegasian. Dapat

diketahui bahwa sebelum memperoleh ilmu tentang PGPR dari PPL, ternyata

ketua poktan sudah pernah berkunjung ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil

dari kunjungan itu, ketua poktan memperoleh informasi tentang PGPR. Setelah

itu, ketua poktan menyebarluaskan ilmu atau informasi tersebut kepada individu

poktan lainnya, sehingga informasi tersebut bisa menjadi salah satu solusi bagi

petani untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi persoalannya dalam UT.

Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin memperjelas bahwa kegiatan studi banding itu

dapat menjadi bahan bagi poktan untuk membandingkan antara metode yang

diterapkan oleh sumber informasi (dalam hal ini IPB) dan metode yang diterapkan

oleh Poktan Tranggulasi. Selain itu, metode atau teknik yang diperoleh dari

sumber informasi dapat dilakukan percobaan terlebih dahulu di hamparan usaha

milik poktan. Dari kegiatan membandingkan dan percobaan tersebut, maka poktan

dapat mengetahui kelayakan dari metode atau teknik yang disebarluaskan oleh

sumber informasi.

Berkaitan dengan pendelegasian tugas atau wewenang untuk menangani

suatu kegiatan, ketua Poktan Tranggulasi mendelegasikan tugas atau

wewenangnya kepada anggota dan/atau pengurus lainnya. Hal ini senada dengan

uraian tugas pengurus poktan, dimana ketua poktan bertugas mengorganisir,

menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan kegiatan kelompok.

Pendelegasian tugas dan wewenang ini biasanya dilakukan untuk menangani

pendampingan tamu. Anggota memiliki peluang untuk menjadi fasilitator ketika

ada tamu yang ingin belajar di Poktan Tranggulasi, khususnya mengenai sistem

usaha tani sayuran secara organik. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan

membuktikan hal tersebut:

Page 49: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

69

“Sekarang yang menjadi pendamping kalau ada tamu tidak harus saya, anggota yang lain

juga bisa. Jadi kalau menjadi fasilitator untuk kegiatan, kalau saya tinggal mereka sudah

bisa. Semampu mereka, artinya penyampaian bahasa ke audience beda-beda, ada yang

mampunya menyampaikan di lahan. Tapi kalau di ruangan itu bagian saya. Tapi kalau di

luar, untuk praktek teman-teman bisa kasih materi. Tapi ada juga yang tidak mau bicara.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka ditarik kesimpulan bahwa tiap

individu poktan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyampaikan

materi pelatihan kepada peserta belajar. Sebagian individu poktan hanya sanggup

untuk mendampingi peserta belajar apabila materinya berkaitan langsung dengan

praktek di lapangan. Bahkan, masih ada sebagian anggota yang sama sekali tidak

mau atau tidak sanggup untuk mengemban tugas semacam itu. Berkaitan

pembagian tugas dengan anggota, ketua dan/atau pengurus poktan lainnya lebih

sering memberikan materi yang sifatnya teoritis. Pendelegasian tugas dan

wewenang berguna sebagai salah satu alat untuk melakukan kaderisasi pemimpin,

karena individu poktan dituntut untuk membimbing, menjelaskan tata cara usaha

tani sayuran organik, dan membangun kepercayaan kepada tamu (peserta belajar).

Ketiga aktivitas tersebut merupakan bagian dari prinsip kepemimpinan, karena

individu poktan tersebut dilibatkan dalam memberikan pengaruh supaya tujuan

yang telah digariskan oleh para tamu untuk menggali ilmu di Poktan Tranggulasi

dapat tercapai. Untuk mendidik individu poktan dalam menjalankan fungsi

kepemimpinan, pengurus poktan turut memegang peranan seperti pernyataan dari

Pitoyo Ngatimin berikut ini:

“Pelatihan kepemimpinan ada, caranya itu kadang-kadang saya sengaja kalau ada tamu

saya pergi, itu salah satu teknik saya untuk memberi kesempatan sebetulnya. Tapi saya

memberi kesempatan untuk menangani kegiatan yang tingkat kesulitannya rendah, seperti

kelompok lain melakukan studi banding di sini. Saya membiarkan teman-teman yang

mandu, diantaranya seperti itu. Dengan cara memberi kesempatan, itu diantaranya cara-

cara untuk melatih anggota.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketua poktan sengaja mendelegasikan tanggung jawab kepada individu poktan

lainnya untuk melayani para tamu yang berkunjung ke Poktan Tranggulasi.

Dengan metode yang seperti itu, individu poktan dididik bertanggungjawab untuk

menjaga kelangsungan Poktan Tranggulasi sebagai wadah belajar. Selain itu,

individu poktan dilatih untuk berbicara di depan umum dan membagi pengalaman

yang telah diperolehnya selama berusaha tani sayuran secara organik kepada

Page 50: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

70

peserta belajar. Dengan upaya pendelegasian yang seperti itu, diharapkan individu

poktan memiliki kompetensi sebagai pemimpin di generasi yang akan datang.

Walau demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sebagian anggota

poktan yang merasa kurang diberi kesempatan untuk menangani suatu kegiatan

poktan. Pernyataan Wikan Mujiono berikut ini akan memberikan bukti:

“Misalkan dari kelompok tani lain ada kunjungan ke sini, saya tidak mengerti.”

Mencermati pernyataan dari Wikan Mujiono, maka dapat dipastikan bahwa

pengurus Poktan Tranggulasi telah menentukan mentor untuk memfasilitasi

peserta belajar dan telah menentukan individu poktan yang bertugas sebagai

utusan untuk hadir dalam forum pertanian. Akan tetapi, pendelegasian tanggung

jawab ini belum dilakukan secara merata. Sehingga, beberapa individu poktan

merasa tidak dilibatkan untuk mengemban tanggung jawab yang ada di poktan.

Hasil penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa pada awal-mula

poktan merintis UT sayuran organik, pengurus poktan berinisiatif berperan

sebagai delegator dalam memenuhi kebutuhan belajar poktannya. Pernyataan dari

Zaenal akan memperjelas hal tersebut:

“Kita kenal dengan pak Daniel Rudolph sama mas Yusuf Nova dari UKSW. Dia juga

punya bimbingan kelompok di daerah Jelakah, Selo, Kabupaten Boyolali, kami diundang

pelatihan di sana, itu ilmunya dari Filipina. Penjelasannya menggunakan bahasa inggris,

terus Yusuf Purba yang menerjemahkan. Lalu kita mencatat dan saya rangkum. Jadi kita

bisa mengetahui semua informasi yang diperoleh dari pelatihan dan bisa mencari tahu

perbedaannya dan kita juga bisa cari kesamaannya. Materi yang diperoleh itu diantaranya

ada IMO 1 sampai 5, terus OHN, sebagai insektisida alami. Lalu, diajari cara buat pupuk

N, P, dan K, terus diajari cara buat FPJ, FPJ, untuk penyubur yang dari batang tanaman.

Terus FFJ itu khusus buah, rasanya manis, enak, ada fermentasinya di situ, terus kita

rangkum sampai penggunaannya, terus kita praktekan di kelompok ini, jadi dapat info itu

langsung kita praktekan.”

Berdasarkan pernyataan Zaenal, maka dapat diketahui bahwa beberapa individu

yang tergabung dalam kepengurusan poktan berpartisipasi mengikuti pelatihan di

daerah Jelakah, Selo, Kabupaten Boyolali. Kebetulan di daerah tersebut ada

poktan yang dibimbing oleh Yusuf N. S. Purba dan Daniel Rudolph. Pelatihan

yang difasilitasi oleh kedua orang tersebut membahas tentang kegunaan dan

teknik pembuatan teknologi pertanian organik yang diadopsi dari Filipina.

Teknologi pertanian organik yang diperkenalkan dalam pelatihan meliputi:

Indegenous Microorganism (IMO) 1-5 (sebagai pupuk hayati), Fermented Plant

Page 51: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

71

Juice (FPJ) dan Fermented Fruit Juice (FFJ) (sebagai zat pengatur tumbuh alami

dan starter pemicu aktivitas mikroorganisme tanah, dan dekomposer), Oriental

Herbs Nutrient (OHN) (Pestisida alami), dan pupuk tunggal organik (pupuk N,

pupuk P, dan pupuk K) (lihat lampiran VI). Penumbuhkembangan keyakinan

individu Poktan BM dalam menerapkan teknologi yang direkomendasikan dalam

pelatihan tersebut didasarkan oleh adanya inisiatif pengurus poktan. Pertama,

ketika pelatihan itu berlangsung, para pengurus poktan berinisiatif mencatat dan

merangkum materi-materi yang dibawakan oleh fasilitator. Lalu, dari hasil

rangkuman tersebut pengurus dapat mengetahui letak perbedaan dan persamaan

resep-resep teknologi pertanian yang diperkenalkan di pelatihan, sehingga

pengurus poktan terbantu dalam menarik kesimpulan tentang kegunaannya. Di

samping itu, pengurus terbantu dalam penyusunan rangkuman teknik pembuatan

saprodi yang diajarkan. Selanjutnya, teknologi itu diperkenalkan oleh pengurus

kepada seluruh individu dalam poktan dan dipraktekan. Dari kegiatan praktek,

individu poktan dapat menilai tingkat kelayakannya.

Pernyataan Zaenal didukung oleh Makruf sebagai berikut:

“Dulunya pelatihan tentang IMO itu dilakukan di Selo Pentongan, Klakah, Merapi. Tidak

hanya dekomposer IMO, tapi juga diajari cara buat pupuk dan pestisida nabati. Pelatihan

itu bukan dari dinas, melainkan dari pihak swasta, kami diajak.”

Dari pernyataan Makruf maka dapat dipastikan bahwa pelatihan di daerah Selo

bukan merupakan program dari pihak pemerintah, melainkan dari pihak swasta.

Ilmu-ilmu tentang teknologi pertanian organik yang diperoleh dari pelatihan itu

betul-betul dipraktekan. Terbangunnya relasi antara Poktan BM dengan pihak

swasta yang memberikan pelatihan tentang teknologi pertanian organik tersebut

dijelaskan melalui pernyataan dari Yusuf N.S. Purba sebagai berikut:

“Sebenarnya di kelompok Bangkit Merbabu itu sudah mulai menerapkan pertanian

organik, tapi waktu itu konsepnya belum begitu jelas. Akhirnya saya perkuat konsep

pertanian organiknya, saya ajari mereka dan saya pertemukan mereka dengan pak Daniel

dan beliau punya niat untuk membantu…. Saya bantu Bangkit Merbabu untuk bangun

jaringan, lalu saya datangi orang dari Filipin lewat perantara pak Daniel itu. Setelah itu,

kami mengadakan pelatihan, seperti cara pembuatan dekomposer dengan nama IMO.”

Dari pernyataan itu, maka dapat diketahui bahwa Yusuf N.S. Purba mulai

mengenal Poktan BM sejak awal-mula poktan ini merintis sistem UT secara

organik. Yang menjadi daya tarik bagi Yusuf N.S. Purba untuk mengenal Poktan

BM adalah semangatnya BM untuk berupaya melakukan peralihan dari sistem UT

Page 52: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

72

anorganik ke sistem UT organik. Akan tetapi pada saat itu, poktan ini belum

begitu mengenal teknologi organik untuk menerapkan sistem UT sayuran.

Kemudian, ia membantu poktan dalam membangun jaringan dengan Daniel

Rudolph sebagai pihak yang telah mempunyai pengalaman dalam bidang tersebut.

Dengan begitu, Poktan BM memperoleh banyak informasi yang dapat

dimanfaatkan sebagai unsur penunjang keberhasilan UT sayuran organiknya.

Kemudian, bagaimana asal-muasal poktan ini sehingga dapat mengadopsi ilmu-

ilmu tentang teknologi pertanian organik dari Filipina? Pernyataan dari Daniel

Rudolph akan menjelaskan hal tersebut:

“Pada waktu saya ke merapi, saya bertemu dengan pak Zaenal dan teman-teman dari

kelompok Bangkit Merbabu. Ketika itu, saya lihat kondisi petani dan kebetulan saya

punya pengalaman dengan hal semacam ini. Dengan begitu, saya ingin membantu. Saya

pikir kalau mau beralih ke pertanian organik, maka harus fokus dengan peningkatan

kualitas tanah, saya pikir itu langkah pertama……. Sering orang beranggapan untuk

beralih ke pertanian organik langsung menghilangkan pemakaian bahan kimia sintetik. Itu

bisa, tapi kalau tidak langsung tambah pupuk organik, produksi bisa menurun…….. Saya

bantu kelompoknya pak Zaenal ketika saya lihat perhatian dan semangat mereka.

Akhirnya, saya ajak mereka berkunjung ke lahan pertanian di Bandung beberapa tahun

yang lalu. Kami juga membantu mereka untuk bertemu orang yang punya pemahaman

tentang cara bertani organik, orang itu berasal dari Filipina. Saya bantu mereka untuk

bertemu dengan petani yang sudah memiliki keberhasilan dalam bertani organik.”

Sesuai dengan yang diutarakan oleh Daniel Rudolph, bahwa Poktan BM dilatih

untuk fokus terlebih dahulu pada peningkatan kualitas tanah. Poktan ditekankan

untuk tidak secara spontan atau langsung menghilangkan unsur-unsur kimia

sintetik dalam menerapkan budidaya tanaman. Akan tetapi, usaha untuk

mengurangi bahan-bahan yang mengandung kimia sintetik harus diiringi dengan

memperbanyak penggunaan saprodi berbahan organik (seperti: pupuk kandang).

Karena apabila tidak diiringi dengan perbanyakan penggunaan saprodi organik,

produksi akan turun secara drastis. Di sela-sela peralihan itu, Poktan BM

difasilitasi untuk melakukan kunjungan lapangan di lahan pertanian organik yang

berlokasi di Bandung. Selain itu, ia memperantarai Poktan BM untuk membangun

jaringan dengan pihak yang berasal dari Filipina, yang telah berhasil dalam

berusaha tani secara organik. Dengan terbangunnya jaringan, maka banyak

informasi yang bisa diperoleh oleh Poktan BM mengenai teknik penyediaan

saprodi dan teknik budidaya tanaman secara organik. Mencermati kasus yang

dinyatakan oleh Yusuf N.S. Purba dan Daniel Rudolph, maka dapat diungkapkan

Page 53: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

73

makna bahwa terbangunnya sebuah relasi antara Poktan BM dengan pihak luar

disebabkan oleh adanya usaha sekelompok petani untuk sedikit demi sedikit

beralih ke UT secara organik. Berawal dari usaha itu, maka individu poktan

memperoleh kesempatan dan undangan untuk hadir dalam forum pertanian.

Setelah kejadian tersebut di atas, Poktan BM tertanam kesadaran bahwa

kegiatan pendelegasian ke sumber informasi merupakan hal yang bernilai untuk

mengakumulasi pengetahuan dan keterampilan individu poktan dalam UT sayuran

secara organik. Penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa saat ini seluruh

individu poktan diberi kesempatan bahkan diwajibkan untuk menjadi utusan

dalam forum pertanian, baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun

swasta. Pernyataan dari Rochmad akan memberikan bukti konkret akan hal

tersebut:

“Kalau ada kesulitan menangani teknis budidaya, kelompok sini mengikuti kegiatan

pelatihan yang ada, berarti kunjungan.... Setelah selesai pelatihan itu, ilmunya kita

pecahkan dan catat bersama. Lalu kita coba. Ini nanti semua anggota digilir mas.

Sekarang sudah merata, semua anggota sudah ikut pelatihan. Yang tidak diutus ikut

pelatihan itu ketua. Kalau digilir seperti itu, nanti ilmunya itu merata mas, ada kewajiban

hasilnya harus diberikan kepada kelompok di pertemuan.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Rochmad, maka dapat terbukti, ketika

petani dihadapi dengan kesulitan dalam usaha tani, poktan mengambil kesempatan

untuk hadir dalam forum-forum pertanian dengan harapan permasalahan UT-nya

dapat teratasi. Ilmu-ilmu yang diperoleh dari pelatihan dicatat, dipelajari bersama,

dan dilakukan percobaan secara kolektif. Penentuan individu poktan untuk

menjadi utusan dilakukan dengan metode “bergilir”. Dengan metode seperti itu,

diharapkan tidak terjadinya kesenjangan sosial dalam poktan dan tiap individu

dididik bertanggung jawab untuk menggali informasi lewat forum-forum

pertanian, baik yang berkaitan dengan pengembangan UT, maupun

pengembangan organisasi poktan. Untuk mewujudkan kesama-rataan tanggung

jawab tiap individu dalam pendelegasian, seorang pengurus poktan bertugas

mengendalikan perilaku anggota dan kelompok itu sendiri (Gerungan, 1966)

(dalam Walgito, 2003:107). Sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, poktan ini

juga mewajibkan kepada utusan untuk menyebarluaskan atau melaporkan hasil

atau informasi yang diperoleh dari forum pertanian.

Pernyataan dari Rochmad dipertajam oleh Makruf sebagai berikut:

Page 54: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

74

“Dulu ikut pelatihan di Suropadan tentang budidaya tanaman, SOP. Jadi di sana itu yang

penting pestisida kimianya itu tidak melebihi dari standar pabrik. Kalau di sini tidak

menggunakan bahan kimia buatan sama sekali dalam proses budidayanya. Yang

mengadakan pelatihan itu dinas kabupaten Semarang…… Tiap anggota digilir,

bergantian ikut pelatihan, jadi semua punya kesempatan yang sama. Dari anggota punya

kemauan, karena memang ditugaskan, jadi anggota yang belum pernah tetap mau ikut,

karena kita cari ilmu.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa individu

poktan didelegasikan untuk menjadi utusan dalam forum pertanian. Individu

poktan yang turut berpartisipasi dalam forum pelatihan berpeluang untuk menilai

atau mengevaluasi informasi-informasi yang diperolehnya.

Hasil wawancara dengan Budiyati dan Rebo Wahono juga memperlihatkan bahwa

pendelegasian tanggung jawab untuk mengikuti forum pertanian dilakukan secara

merata.

“Saya sudah pernah ke Suropadan, ikut pelatihan tentang organik.” (Budiyati)

“Saya pernah ikut pelatihan pasca panen di Bogor, diadakan selama seminggu. Itu

programnya dinas.” (Rebo Wahono)

Poktan BM juga melakukan pendelegasian tugas dan wewenang ketika

salah satu bagian di badan kepengurusan poktan mengalami kesulitan untuk

memikul tanggung jawabnya. Pernyataan dari Sumadi akan memperjelas hal

tersebut:

“Saya menangani uang dalam jumlah besar. Saya berbagi tugas dengan pak Yono dan

Pak Pilih, kalau pak Yono itu menangani keuangan yang bersumber dari luar, kalau pak

Pilih nangani iuran mingguan kelompok tani.”

Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Sumadi selaku

bendaha poktan melimpahkan tugas kebendaharaan kepada individu lain, yakni

Suyono dan Supilih. Sumadi berorientasi terhadap pengelolaan uang dalam

jumlah besar, seperti: kas kelompok dari hasil penjualan sayuran, dana hibah, dan

dana lainnya yang nominalnya besar. Kemudian, Suyono menangani keuangan

yang ada hubungannya dengan sub kelompok dan Supilih berorientasi pada

pengelolaan kas yang bersumber dari iuran individu poktan tiap minggu (rutin).

Kegiatan pendelegasian di Poktan BM juga berpeluang untuk menciptakan

kesetaraan gender. Hal tersebut terlihat dari adanya wewenang dan kesempatan

wanita tani untuk menjadi peserta (utusan) dalam pertemuan rutin yang diadakan

oleh poktan. Pernyataan dari Pandi akan membuktikan hal tersebut:

Page 55: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

75

“Waktu malam minggu saya sedang berhalangan untuk hadir dalam kumpulan, saya izin.

Kalau seperti itu istri saya yang berangkat ke kumpulan, jadi ada perwakilannya. Kalau

ada perwakilannya infonnya bisa diketahui.”

Hal tersebut mengindikasikan bahwa wanita tani telah diberi kesempatan dalam

mengambil posisi strategis untuk berperan penting dalam mengembangkan

poktan. Alhasil, ketika poktan berkembang, maka berdampak pula pada

peningkatan taraf hidup rumah tangga petani.

Berlandaskan hasil penelitian di kedua poktan tersebut, maka dapat

diketahui adanya perbedaan dan persamaan dalam menerapkan sistem

pendelegasian, baik untuk mengikuti forum pertanian, maupun pendelegasian

tugas dan wewenang dalam menangani suatu kegiatan poktan. Di Poktan

Tranggulasi, penentuan utusan petani untuk hadir dalam forum pertanian

disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan petaninya. Oleh karena itu, anggota

poktan seringkali tidak merespon positif ketika ditunjuk sebagai delegator. Untuk

itu, pengurus poktan mengambil alih tanggung jawab anggota untuk menjadi

peserta delegator. Berbeda dengan Poktan BM yang mewajibkan seluruh individu

untuk menghadiri forum pertanian ketika ada kesempatan. Upaya kedua poktan

ketika awal-mula berusaha tani sayuran organik menjadi daya tarik bagi pihak

luar, sehingga poktan memperoleh kesempatan dan undangan untuk berkunjung

ke sumber informasi. Dalam hal tersebut, studi kasus di Poktan Tranggulasi

menunjukkan ketika pengurus melakukan kunjungan ke sumber informasi (misal:

IPB). Sedangkan, Poktan BM memperlihatkannya ketika individu poktan

memiliki kesempatan untuk berpartisipasi mengikuti pelatihan di daerah Jelakah,

Selo, Kabupaten Boyolali. Kunjungan ke sumber informasi yang dilakukan oleh

kedua poktan tersebut bertujuan untuk mengenal teknologi pertanian organik,

sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan semakin

terakumulasi untuk meningkatkan UT sayuran organik dan menjaga kelangsungan

usahanya. Penentuan utusan umumnya dikoordinir oleh pengurus poktan. Lalu,

kedua poktan ini sama-sama mewajibkan utusan forum pertanian untuk

melaporkan hasil atau informasi yang diperolehnya. Dengan begitu, semakin

banyak poktan menghadiri forum pertanian, maka semakin terakumulasi atau

terhimpunnya suatu informasi sebagai bahan masukan bagi individu poktan untuk

Page 56: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

76

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, baik untuk pengembangan

UT maupun pengembangan organisasi poktan.

Masing-masing poktan memiliki cara yang berbeda dalam hal

pendelegasian tugas dan wewenang. Poktan Tranggulasi mengarahkan

pendelegasian tugas dan wewenang terhadap pendampingan tamu yang menjadi

peserta belajar, sedangkan Poktan BM melakukannya ketika salah satu bagian di

badan kepengurusan poktan mengalami kesulitan untuk memikul tanggung

jawabnya. Hal tersebut turut diakui oleh Andi Raujung sebagai berikut:

“Seperti di Bangkit Merbabu dan Tranggulasi kalau ketuanya tidak ada, anggota itu sudah

bisa menangani.”

Selain itu, Poktan BM membuktikan bahwa kegiatan pendelegasian wewenang

atau tugas juga berpotensi untuk menciptakan kesetaraan gender antara pria tani

dan wanita tani, karena keduanya memiliki peran yang strategis, baik untuk

mengembangkan UT-nya, maupun untuk mengembangkan organisasi poktannya.

4.6.2 Peran Pengurus Sebagai Pembangun Relasi untuk Kebutuhan Belajar

Poktan

Ketika individu poktan membutuhkan informasi atau ilmu tentang tata cara

berusaha tani, maupun berorganisasi dalam poktan dan kebutuhan tersebut tidak

dapat dijawab oleh individu dalam poktan, maka pengurus bertindak sebagai

pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan.

Sampai sejauh ini, ketika ada persoalan (terutama persoalan UT) yang

tidak bisa diatasi oleh Poktan Tranggulasi secara mandiri, pengurus poktan

memegang peran untuk membangun relasi dengan pihak lain guna mengatasi

persoalan tersebut. Ketika awal-mula Poktan Tranggulasi merintis UT sayuran

organik, pengurus poktan berinisiatif untuk mengundang narasumber guna

memberikan penyuluhan. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan dari Sri Jumiati

sebagai berikut:

“Kalau misalnya ada hal-hal yang sekiranya anggota belum tahu, bisa diberi tahu. Seperti

dulu kita pernah mengundang narasumber PPL untuk memberi penyuluhan.”

Sri Jumiati berstatus sebagai seksi pemberdayaan. Selaras dengan uraian tugas

pengurus Poktan Tranggulasi, seksi pemberdayaan bertugas meningkatkan

keterampilan dan pengetahuan anggota kelompok, baik melalui pelatihan, kursus,

Page 57: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

77

maupun magang. Kemudian, pernyataan dari Wikan Mujiono berikut ini akan

menjelaskan betapa penting peran pengurus poktan dalam mencari atau menggali

informasi untuk memenuhi kebutuhan belajar poktannya.

“Kalau informasi pertanian itu biasanya dari kelompok menyebarluaskan ke anggota….

Saya dapat ilmu pertanian paling banyak dari pak Pitoyo dan pak petrus.... Yang paling

banyak mengerti tentang informasi atau peluang itu pak Pitoyo. Informasi apapun dan

dari manapun yang tahu pak Pitoyo.”

Menanggapi pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya

pengurus poktan untuk membangun relasi dilakukan ketika anggota poktan

mengalami kebingunan dalam mengatasi permasalahan UT. Di samping itu,

anggota poktan beranggapan bahwa pengurus poktan (khususnya ketua) sebagai

sumber informasi dan aktor yang mampu membaca peluang untuk meningkatkan

fungsi poktan ini sebagai wadah belajar.

Ketika Poktan BM ingin beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem

UT organik, pengurus poktan membangun relasi dengan pihak lain. Hal ini

dibuktikan melalui pernyataan Suwanto berikut ini:

“Kebetulan di sana ada seperti penyakit yang sulit ditangani. Petani di sana mengenal

dengan nama akar gada. Ada petani yang menyampaikan keluhan itu ke saya……..

Kebetulan petani itu teman saya, namanya Pak Pilih…. Kebetulan teman saya kenal

dengan pak Nick Tunggul, kita dipertemukan terus saya minta bantuan ke beliau dan kita

pecahkan permasalahan itu menjadi terselesaikan.”

Dari pernyataan Suwanto, maka dapat diketahui bahwa pengurus Poktan BM

berinisiatif membangun komunikasi dengannya untuk mengatasi penyakit akar

gada. Jika dicermati dari pembahasan di sub bab sebelumnya, penyakit akar gada

merupakan hal yang melatarbelakangi poktan ini untuk beralih ke sistem UT

organik. Dengan adanya komunikasi itu, Suwanto membantu poktan dalam

membangun komunikasi dengan Nick T. Wiratmoko supaya masalah tersebut

dapat teratasi. Komunikasi antara Suwanto dan Poktan BM juga melibatkan pula

anggota poktan. Keterlibatan anggota dalam komunikasi tersebut berkat adanya

usaha pengurus poktan untuk mengundang anggota. Hal tersebut terbukti dari

pernyataan Umar berikut ini:

“Saya bisa kenal dengan pak Wanto itu karena dulunya saya diajak ngobrol-ngobrol

sama pak Pilih di rumahnya.”

Page 58: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

78

Perbedaan peran antara pengurus poktan dengan pihak di luar Poktan BM untuk

beralih dari UT anorganik menjadi organik terletak pada model penyediaan

saprotan. Hal tersebut diperjelas oleh Suwanto sebagai berikut:

“IMO itu setelah tersentuh mas, sebelumnya dia sudah punya pupuk, tapi baru sebatas

pupuk cair dari air kencing…… Setelah itu berkembang, kita kenalkan untuk buat pupuk

cair bukan hanya pakai air kencing saja, tapi dikasih tetes tebu, akhirnya mereka bisa

mengembangkan sendiri….. Yang padat itu kotoran sapi yang sudah kering dirajang,

nanti kalau sudah jadi bentuknya seperti tanah. Kalau pupuk cair itu mereka sudah bisa

memfermentasi sendiri. Lalu dulu itu mereka belum bisa memfungsikan mesin perajang.

Akhirnya kita yang turun membantu menjelaskan cara mengoperasikan mesin itu.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebelum Poktan

BM terjamah oleh pihak luar, teknologi yang digunakan oleh petani masih

terkesan tradisional, misalnya hanya mengandalkan kotoran hewan (baik padat

ataupun cair) sebagai pupuk, tanpa melalui pengolahan. Di samping itu, petani

belum memiliki keterampilan dalam mengoperasikan alat dan mesin pertanian

yang sebenarnya sudah tersedia. Keberadaan pihak luar membantu individu

poktan dalam mengenalkan teknik-teknik untuk berusaha tani (terutama dalam hal

penyediaan atau penanganan saprotan).

Dalam konteks peran pengurus dalam membangun relasi untuk kebutuhan

belajar poktan, perbedaannya terlihat ketika individu Poktan Tranggulasi dilanda

masalah, pengurus poktan berinisiatif untuk mengundang narasumber guna

memberikan penyuluhan. Ketika awal-mula Poktan Tranggulasi merintis usaha

tani sayuran organik, pengurus yang memiliki tanggung jawab utama dalam

penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan mengundang narasumber adalah seksi

pemberdayaan. Di sisi lain, pembangunan relasi untuk kebutuhan belajar poktan

di Bangkit Merbabu terlihat ketika poktan beralih ke sistem UT organik, karena

pengurus membangun komunikasi dengan pihak lain untuk mengatasi penyakit

akar gada. Berawal dari situlah, poktan ini terbangun sikap dan kesadarannya akan

pentingnya penerapan sistem UT organik.

Selama berlangsungnya usaha tani sayuran organik, banyak permasalahan

yang dihadapi oleh kedua poktan tersebut. Ketika poktan mengalami kesulitan

untuk mengatasi suatu permasalahan secara mandiri, pengurus berinisiatif dalam

membangun relasi dengan pihak lain, khususnya untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan itu. Dari hasil penelitian, dapat terlihat bahwa pembangunan relasi

Page 59: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

79

merupakan salah satu kegiatan yang signifikan untuk mengakumulasi atau

memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, baik dalam

pengembangan UT maupun pengembangan organisasi poktan. Ketika diselaraskan

dengan teori Gerungan (1966) (dalam Walgito, 2003:107), pengurus poktan

bertugas sebagai juru bicara kelompok yang dipimpinnya (spokeman of the

group). Dimana, seorang pemimpin dapat merasakan atau menerangkan

kebutuhan-kebutuhan kelompok yang dipimpinnya ke dunia luar, baik mengenai

sikap kelompok, tujuan, harapan-harapan ataupun hal-hal lain.

4.6.3 Peran Pengurus Poktan dalam Komunitas Petani Organik

(KOMPOR) Merbabu dan Pengelolaan Standar Operasional

Prosedur (SOP)

Pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Komunitas Petani

Organik (KOMPOR) Merbabu merupakan hasil kesepakatan bersama dari tiga

poktan yang ada di desa Batur dan desa Kopeng. Tiga poktan yang dimaksud,

meliputi: Poktan Tranggulasi (Dusun Selo Ngisor, Desa Batur), poktan

Mardisantoso (Dusun Sidomukti, Desa Kopeng), dan Poktan Bangkit Merbabu

(Dusun Kaliduren, Desa Batur). Gapoktan KOMPOR Merbabu memfasilitasi

kegiatan, baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Fasilitasi kegiatan bersama di

sektor hulu terlihat dari adanya usaha kolektif tiga poktan ini untuk menyusun

sebuah standar operasional prosedur (SOP). SOP ini terdiri dari berbagai macam

kegiatan di sektor hulu, seperti teknis penyiapan lahan, teknis penyiapan benih,

teknis pembibitan, teknis penanaman, teknis perawatan tanaman, teknis

pemanenan, disertai pula dengan teknis budidaya tanaman sayuran secara spesifik

dan teknis pembuatan pupuk, MOL, dan saprotan lainnya. Kemudian, di sektor

hilir, terdapat SOP yang berisikan tentang tata cara penanganan pasca panen. SOP

yang disusun oleh Gapoktan KOMPOR Merbabu masih bersifat umum. Oleh

karena itu, sebagai turunan dari SOP gapoktan KOMPOR Merbabu, tiap-tiap

poktan (anggota KOMPOR Merbabu) menyusun dan memiliki SOP yang lebih

spesifik (khusus), baik dari segi wilayah dan sumber daya lahannya, maupun dari

segi daya kreativitas poktan yang bersangkutan.

Dokumentasi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pengurus tiap

poktan yang tergabung memegang status atau jabatan yang penting dan strategis

Page 60: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

80

dalam gapoktan KOMPOR Merbabu. Sejalan dengan wujud nyata kegiatan yang

terdapat di gapoktan KOMPOR Merbabu, yakni penyusunan SOP, maka pengurus

tiap poktan memegang peran sentral untuk memperkuat dan meningkatkan fungsi

poktan sebagai unit belajar. SOP berfungsi sebagai pedoman atau panduan petani

dalam melakukan proses produksi, baik di sektor hulu maupun hilir. Inilah wujud

nyata kegiatan bersama yang dilakukan oleh ketiga poktan yang tergabung dalam

gapoktan KOMPOR Merbabu. Intisari sub bab ini lebih menitikberatkan peran

pengurus poktan sebagai pihak yang mewakili kelompok ke luar (as external

group representative), yaitu pemimpin mewakili kelompoknya ke dunia luar

kelompoknya. Pemimpin sebagai cerminan sifat-sifat ataupun kepribadian

kelompok yang dipimpinnya (Walgito, 2003:207). Pembahasan sub bab ini

dilakukan dengan cara merangkum, memadukan, dan menginterpretasikan data-

data, baik yang diperoleh di Poktan Tranggulasi maupun Poktan BM.

Peran penting dan strategis pengurus tiap poktan dalam gapoktan

KOMPOR diawali dengan pernyataan oleh Suwadi sebagai berikut:

“KOMPOR itu gabungan dari tiga kelompok tani, jadi ada yang merangkap pengurus,

menjadi pengurus di masing-masing kelompok, tapi juga menjabat sebagai pengurus di

KOMPOR. Seperti saya, sekretaris kelompok dan sekretaris KOMPOR, lalu pak Zaenal

itu ketua dari Bangkit dan merangkap di sekretaris KOMPOR. Karena untuk

kepengurusan kalau tidak diambil dari pengurus di kelompok kinerjanya akan

membingungkan mas. Misalkan cuma anggota di kelompok, kemudian diangkat jadi

pengurus di KOMPOR, padahal KOMPOR itu istilahnya levelnya lebih tinggi dari

kelompok, nanti akan bingung dalam pengelolaannya. Kalau sudah kerja jadi pengurus di

kelompok, kemudian kerja di gapoktannya sudah mengerti tata cara berorganisasi, lalu

bisa menangani administrasinya. Apa yang dimengerti di kelompok, kemudian

dikembangkan di gapoktan, seperti itu.”

Berdasarkan pernyataan Suwadi, rata-rata pengurus poktan merangkap jabatan di

kepengurusan KOMPOR, karena pengurus poktan dipercaya mampu untuk

mengorganisir dan mengurus segala hal di KOMPOR. Selain itu, baik kekuatan

dan kelemahan yang disadari oleh masing-masing pengurus poktan dapat menjadi

bahan masukan untuk pengembangan KOMPOR.

Salah satu capaian nyata yang dilakukan oleh KOMPOR adalah

perancangan dan penyebarluasan SOP (Standar Operasional Prosedur) sebagai

pedoman petani untuk menerapkan sistem UT. Meski begitu, perlu diketahui

bahwa SOP KOMPOR merupakan hasil pengembangan dari SOP poktan yang

Page 61: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

81

telah disusun terlebih dahulu. Hal tersebut dibuktikan melalui pernyataan Pitoyo

Ngatimin berikut ini:

“Ada tukar pengalaman antar petani kelompok tani di forum gapoktan KOMPOR…..

SOP itu dibicarakan dan disusun sebelum terbentuknya KOMPOR. Pembuatan SOP itu

berdasarkan pembahasan dari teman-teman kelompok tani, maka sumbernya SOP itu dari

temen-temen kelompok Tranggulasi. Yang pertama kali mempunyai SOP itu Tranggulasi,

itu tiap sayuran ada SOP-nya. Itu dibicarakan ketika rapat bulanan. Untuk penulisannya

dibantu PPL, karena petani jarang yang bisa menulis seperti itu.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa

pembentukan KOMPOR diutamakan fungsinya sebagai wadah bertukar

pengalaman. Kemudian, dapat dipastikan bahwa sebelum dirancang SOP

KOMPOR, Poktan Tranggulasi telah memiliki SOP sebagai hasil dari diskusi dan

musyawarah-mufakat yang dilakukan oleh seluruh individu poktan. Dengan kata

lain, SOP KOMPOR bersumber dari SOP Poktan Tranggulasi. Diskusi dan

musyawarah-mufakat tentang SOP Poktan Tranggulasi dilakukan di wadah

pertemuan rutin. Oleh karena itu, ketika SOP Poktan Tranggulasi sudah tuntas

disusun, tidak perlu ada lagi sosialisasi untuk anggota, karena anggota juga turut

berperan serta dalam penyusunannya. Kemudian, dalam hal penyusunannya, PPL

banyak membantu, karena petani kurang memiliki kemampuan tulis-menulis.

Mencermati keadaan yang demikian, maka ada pembagian tugas yang

proporsional antara petani dan PPL.

Pembahasan berikut ini lebih ditekankan pada teknis penyusunan SOP.

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, terdapat pembagian peran antara petani

dan PPL dalam rangka penyusunan SOP. Pernyataan Suwadi berikut ini akan

memperjelas hal tersebut, sekaligus lebih memperjelas manfaat SOP bagi poktan

lain yang ingin bergabung ke KOMPOR:

“Ada pendampingan buat SOP dari PPL, dalam hal administrasi PPL itu sangat

membantu. Karena PPL itu memiliki kedekatan dengan anggota kelompok tani….. Itu

dalam jeda waktu satu setengah tahun kita bikin SOP itu sudah 25 item sayuran, sekarang

permintaan dari pasar sudah 40 item, nanti kedepannya lagi akan berkembang selalu.

Dinas itu lebih memfasilitasi ke masalah administrasi, karena kalau petani untuk

penyusunan kalimat, pembukuan seperti ini bukan keahliannya. Tapi sebenarnya petani

itu menyimpan ilmu yang jarang dibahasa-tuliskan, istilahnya begitu. Ilmu itu sebenarnya

ada di pikiran petani, tapi petani enggan untuk mencetuskan di dalam suatu tulisan,

kelemahannya petani itu di situ. Karena petani itu dilatarbelakangi dengan pendidikan

yang cenderung rendah. Tapi sebenarnya petani bisa mencetuskan suatu gagasan atau ide-

ide mengenai budidayanya. Dari dinas membantu, terutama untuk penyusunan, agar

mudah dipahami. Ketika ada anggota atau petani lain yang mau bergabung, kalau itu

tidak disusun di suatu buku dalam bentuk tulisan kami kerepotan. Kalau cuma penjelasan

Page 62: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

82

secara lisan mungkin ada petani yang bisa menerima, tapi ada yang tidak mudah bisa

memahami. Maka dari itu, diperlukan SOP mengenai budidaya. Yang turut membantu itu

dari dinas kecamatan sampai dinas provinsi, karena itu juga merupakan suatu program

dari dinas sebenarnya.”

Berdasarkan pernyataan Suwadi, maka dapat dipastikan bahwa ada sinergitas

antara petani dan PPL dalam menyusun SOP. Sinergitas berarti fungsi dan sumber

daya oleh masing-masing pihak (petani dan PPL) diberdayakan untuk mencapai

tujuan, yakni tersusunnya SOP (Wirawan, 2013:70). Berkaitan dengan masalah

pembagian peran untuk penyusunan SOP, pernyataan Sutopo dan Suwalim berikut

ini turut mendukung dan memperlengkap hal tersebut:

“Urusan tulis-menulis kalau petani tidak biasa. Ilmu budidaya jelas lebih tinggi petani,

ketika diminta untuk menerjemahkan ke dalam tulisan itu petani bingung mas. Istilah-

istilah pertanian itu kebanyakan petani tidak paham. Selain budidaya, di SOP itu ada cara

penanganan pasca panen, termasuk cara kerja alatnya. Isinya SOP itu mulai dari

pengolahan lahan sampai dengan pasca panen mas. Kemudian, setiap item tanaman, ada

25 item itu ada SOP-nya.” (Sutopo)

“Untuk administrasi kami membantu kelompok tani. Pembuatan dokumen sistem mutu

itu, dari SOP dan lain sebagainya saya yang buat, contohnya seperti di Bangkit Merbabu

itu. KOMPOR Merbabu itu juga pendampingannya saya, jadi SOP itu saya yang

membantu dalam penyusunannya, jadi kita kumpulkan menjadi satu, pakai LCD itu dan

dibacakan, sehingga ada kesepakatan bersama untuk membuat SOP. Itu diikutsertakan

oleh pengurus-pengurus di KOMPOR. Kita hanya membantu untuk membuat kalimat biar

mudah dibaca, kemudian ketika ada masukan-masukan yang perlu, itu disusun bersama-

sama. Kalau petani dalam teknis budidaya sudah pintar, tapi dalam penulisan perlu

dibantu….. Saya bantu dalam pembuatan SOP KOMPOR, sebagian besar yang

menyempurnakan SOP itu saya mas.” (Suwalim)

Merangkum pernyataan dua narasumber tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

petani lebih memiliki kemampuan dalam menggagas atau memberi ide dan ilmu

pengetahuan tentang segala hal yang menyangkut teknis UT yang bersumber dari

pengalamannya, sedangkan PPL memiliki keterampilan dalam penanganan

administrasi, agar isi dari SOP lebih mudah dipahami. Menyambung pernyataan

Suwalim, dapat diketahui bahwa seluruh pengurus dikumpulkan di satu tempat

untuk menyampaikan ide atau gagasan dan ilmu pengetahuannya tentang teknis

UT, sesuai dengan pengalaman yang pernah dilaluinya. Tidak hanya itu, dalam

pertemuan tersebut juga ada suasana diskusi dan musyawarah-mufakat untuk

penyempurnaan isi SOP, disertai pula dengan alat bantu tayang (LCD). Lalu, PPL

yang bertugas untuk mengetiknya. Kasus tersebut merupakan wujud nyata dari

partisipasi “peran serta” (bukan “ikut serta”), dimana PPL (selaku fasilitator)

bersama-sama dengan petani (selaku masyarakat) merencanakan, melakukan, dan

Page 63: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

83

mengevaluasi SOP yang dibuat. Jika partisipasi “ikut serta”, berarti fasilitator

(PPL) yang berpartisipasi, sedangkan masyarakat (petani) hanya ikut dilibatkan.

Masyarakat tidak aktif. Masyarakat melihat, mendengar, dan melaksanakan apa

yang diminta fasilitator. Masyarakat menjadi peserta dalam program yang

dirancang dan diprakarsai fasilitator. Ini adalah model partisipasi vertikal. Petani

adalah pelaku aktif, karena merekalah yang melahirkan inisiatif dan melakukan

aksi. PPL hanya sebatas mendampingi dan memfasilitasi dalam penyusunan SOP

(Francis, 2008:32). Menurut pernyataan Sutopo, isi pokok dari SOP diantaranya

menyangkut teknis budidaya dan penanganan pasca panen. Kemudian, beralih

kembali ke pernyataan Suwadi, penyusunan SOP juga berguna sebagai acuan bagi

petani atau poktan baru yang ingin bergabung ke KOMPOR. Bahkan, SOP ini

juga dijadikan acuan bagi poktan lain yang sekedar bekerjasama dengan poktan

anggota KOMPOR. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Suwadi berikut ini:

“Kami diizinkan membentuk plasma atau mitra, kerjasama dengan kelompok tani lain.

Tapi standar usaha taninya harus mengikuti SOP dari gapoktan KOMPOR.”

Kemudian, salah satu pengalaman petani dapat dipetik dari partisipasinya dalam

kegiatan SLPHT dan pengalaman tersebut sangat membantu sebagai bahan

masukan untuk menyempurnakan SOP KOMPOR. Hal tersebut diperjelas oleh

Giono sebagai berikut:

“SOP budidaya sayuran itu kalau tidak salah dibuat tahun 2011, antara tahun 2011-2012.

Setelah SOP selesai disusun, tahun 2012 atau 2013 dilakukan uji mutu, pengendalian

sistem internal. SOP setelah jadi, langsung dibagikan ke anggota buat panduan.

Pembelajaran dari SLPHT itu buat acuan pembuatan SOP. Kalau petani itu kurang paham

tulis-menulis, padahal dia kesehariannya bekerja sebagai petani, mereka sudah

mempraktekan….. Kalau membimbing petani itu harus diiringi dengan praktek dan

penyampaiannya harus secara langsung.”

Berdasarkan pernyataan Giono, maka dapat diketahui bahwa SOP dibuat antara

tahun 2011-2012. Selain dijadikan pedoman bagi petani untuk melaksanakan UT,

SOP juga dijadikan panduan untuk melakukan inspeksi. SOP sebagai pedoman

bagi petani untuk melaksanakan UT juga mengandung kelemahan jika tidak

diiringi dengan kegiatan praktek langsung di lapangan atau yang biasa dikenal

dengan istilah demonstrasi atau eksperimen. Metode tersebut terbukti efektif,

karena proses dan hasil yang diperagakan menjadi bahan belajar utama dalam

kegiatan pembelajaran. Bahan belajar tidak hanya dipertunjukkan, melainkan

peserta belajar berperan aktif dalam melakukan proses sampai diketahui sejauh

Page 64: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

84

mana hasilnya. Dengan demikian, peserta akan memiliki pengalaman belajar

langsung setelah diberi kesempatan untuk melakukan dan melihat atau merasakan

hasilnya (Fauzi, 2011:88-89). Selanjutnya, pernyataan Sutopo berikut ini

menjelaskan bahwa masing-masing poktan anggota KOMPOR memiliki SOP

yang isinya seragam:

“SOP KOMPOR dibuat seragam antar tiga kelompok tani. Pertimbangannya karena

wilayah sini sumber daya fisiknya relatif sama, otomatis perlakuannya juga hampir sama,

contohnya jenis tanahnya, sehingga dibuat jadi satu SOP tidak masalah.”

Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang signifikan antar ketiga

poktan tersebut, terutama dalam hal lingkungan dan sumber daya alam (SDA)-

nya. Otomatis, keadaan tersebut berpengaruh terhadap tata cara penanganan teknis

UT di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, pernyataan Subari berikut ini

memberi pendapat yang sedikit berbeda tentang karakteristik SOP masing-masing

poktan:

“SOP masing-masing kelompok tani itu tergantung wilayah kerja masing-masing mas,

karena daerah saya dengan pak Pitoyo sudah beda cara mengerjakannya. Standar yang

kami gunakan yang ada di kelompok kami masing-masing. Jadi SOP itu dibuat masing-

masing sebanyak 25 sayuran. Kemudian ada SOP pembibitan dan penanganan pasca

panen.”

Berdasarkan pernyataan Subari, masing-masing poktan memiliki SOP yang isinya

berbeda-beda, karena masing-masing wilayah kerja poktan memiliki perbedaan.

Terkait hal tersebut, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan berdasarkan

pembahasan sebelumnya (cermati sub bab tentang implementasi UT), perbedaan

antar poktan anggota KOMPOR paling terlihat pada aspek “penyediaan saprotan”.

Hasil penelitian menyatakan bahwa seiring berjalannya proses berusaha

tani yang dilakukan petani, isi SOP dapat berkembang. Hal tersebut secara singkat

digambarkan oleh Zaenal sebagai berikut:

“Yang belum itu SOP mengenai cara membuat herbisida dan moluskisida, kalau SOP

untuk pupuk dan insektisida itu sudah ada. Kalau ada tammbahan ilmu itu SOP-nya perlu

dikembangkan mas, karena berkaitan dengan sertifikasi.Jadi tiap ada inovasi baru kami

harus buat SOP, standar operasional prosedur.”

Menyambung pernyataan Zaenal, ketika individu poktan memperoleh ilmu baru

tentang segala hal yang berkaitan dengan teknis UT, maka ilmu tersebut perlu

dimuat dalam SOP. Hubungan antara inovasi dalam teknis UT dengan SOP secara

lebih rinci dijelaskan oleh Suwadi sebagai berikut:

“Ada SOP untuk budidaya itu tujuannya terutama ketika ada temuan–temuan selama

berbudidaya perlu ada muatannya. SOP sendiri bisa berubah-ubah, manakala ada

Page 65: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

85

perubahan di teknis budidaya, misalnya ada varietas tanaman baru atau ada tanaman yang

belum terdaftar di lembaga sertifikasi. Karena terkadang dari perusahaan ada permintaan

tanaman yang tergolong baru, sehingga kita harus membuat SOP-nya. SOP itu bisa

berubah, karena faktor lingkungan dan alam, misalkan ketika tahun tertentu hujannya

sangat ekstrim, terus angin, dan suhu, jadi SOP itu juga harus menyesuaikan alam. Ketika

ada perubahan SOP itu, kami buat bersama-sama, pengurus dan anggota. Pembuatan SOP

disusun secara musyawarah, baru kalau sudah jadi dibagikan SOP-nya. Ada 25 jenis

sayur yang sudah terakreditasi di lembaga sertifikasi. Penyusunan SOP yang

membimbing untuk penyusunannya itu PPL dari dinas kemudian, tapi sumber informasi

itu sebetulnya dari petani, dari anggota kelompok tani. Misalnya dalam hal cara

berbudidaya, kalau tanaman ini jaraknya segini, waktu tanamnya, pengaturan pemupukan,

kemudian dipupuk berapa hari sekali. Masing-masing petani istilahnya memiliki

pengetahuan yang berbeda-beda, itu dimusyawarahkan dan diambil kesepakatan untuk

penyusunan SOP.”

Berdasarkan pernyataan Suwadi, maka dapat dipastikan bahwa temuan atau

inovasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan teknis UT turut mengubah

isi dari SOP. Pada kenyataannya, hal tersebut perlu dilakukan sebagai

pertanggungjawaban poktan ke lembaga sertifikasi. Hal tersebut diperlihatkan

ketika individu poktan membudidayakan tanaman “baru” yang belum tercatat di

dokumen lembaga sertifikasi. Menurut Suwadi, saat ini jumlah teknis budidaya

tanaman yang telah tercatat di dokumen lembaga sertifikasi sudah sebanyak 25

jenis. Hal ini dipertajam oleh pendapat Hubeis (2014), bahwa poktan membuat

dokumen sistem mutu dan internal control system (ICS) yang berisikan standard

operating procedure (SOP) dalam budidaya sayuran organik dan kontrol

pengawasan internal terhadap semua kegiatannya. Konten SOP tentang budidaya

tiap jenis sayur berbeda-beda atau bersifat spesifik. Hal tersebut diperjelas secara

singkat oleh Abdul Wahab sebagai berikut:

“SOP sayur kita perlakuannya hampir sama. Cuma standarnya gini, kan ada komoditas

yang waktunya cuma berapa hari, 30 hari-40 hari, standar SOP-nya itu secara umum

hampir sama, cuma ada yang cuma pemupukan berapa kali, ada yang cuma 2 kali sudah,

ada yang sampai 4 atau 5 kali. Yang jangka panjang itu seperti cabai tidak cuma 2 kali.”

Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, dalam menyusun SOP budidaya sayuran

jenis tertentu, individu poktan dan KOMPOR perlu menyesuaikan dengan

karakteristik sayuran yang bersangkutan. Oleh karena itu, dibutuhkan kecermatan

atau ketelitian individu KOMPOR dan poktan dalam menyusunnya. Beralih

kembali ke pernyataan Suwadi, biasanya individu poktan termotivasi untuk

membudidayakan tanaman baru, karena disebabkan oleh adanya permintaan dari

perusahaan atau pasar modern. Di samping dua faktor tersebut, faktor perubahan

Page 66: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

86

alam dan lingkungan juga turut mendorong poktan untuk melakukan perubahan

SOP. Ketika ada rencana untuk merubah atau memperbarui SOP, seluruh individu

(baik pengurus dan anggota) diajak untuk berperan serta. Umumnya,

pembaharuan SOP dilakukan di wadah pertemuan poktan untuk SOP khusus

poktan, dan pertemuan KOMPOR, jika menyangkut gapoktan. Oleh karena itu,

seiring berjalannya proses, perubahan SOP otomatis terjadi. Hal tersebut juga

didukung oleh pendapat Bernadus Agus Prabowo berikut ini:

“Untuk memperoleh sertifikasi harus buat SOP. Itu saya amati hanya sekedar persyaratan

administratif, aplikasi dan kontinuitas SOP-nya saya ragukan. SOP itu berkembang, tidak

mungkin stagnan. SOP itu pasti berkembang, kalau SOP itu tidak berkembang, itu tidak

ada perubahan, berarti selama ini organisasi itu dapat dikatakan tidak baik. Karena SOP

itu selalu mengikuti kondisi riil dari pergerakan organisasi atau perusahaan. Selama

dalam organisasi atau unit itu tidak bisa mengembangkan suatu sistem di bawah

organisasinya itu, maka cenderung tidak akan berkembang, padahal yang namanya kasus

per kasus itu pasti muncul. Begitu ada kasus pasti berkembang, kalau itu ada pelanggaran

dari SOP, berarti ada sanksi. Selain itu, kalau ternyata di SOP tidak ada dan ada kasus

baru di lapangan berarti harus ada penyesuaian. SOP itu berkembang atau berubah juga

kaitannya dengan usia, kondisi cuaca, semakin lama, cuaca semakin ekstrim dan tidak

bisa diprediksi, ini SOP pasti berubah.”

Jika dicermati, kegiatan penyusunan atau pembaharuan SOP merupakan wujud

nyata dari pemberdayaan komunikasi petani. Pemberdayaan komunikasi petani

merupakan proses penguatan daya komunikasi petani, dengan menguatkan dan

mensinergikan sisi internal petani dengan sisi eksternalnya. Indikator harapannya

adalah petani lebih pandai berbicara, lebih memahami pesan, lebih kritis, lebih

efektif komunikasinya, lebih kreatif dan inovatif, lebih rasional dalam

menerapkan teknologi, lebih peduli untuk berbagi informasi, lebih kuat koordinasi

dan negosiasinya, lebih dinamis atau kuat organisasinya, lebih kompetitif inovasi

dan hasil usaha taninya, dan terbebas dari eksploitasi sumber informasi atau media

komunikasi (Setiawan, 2012: 332). Meski begitu, pernyataan Bernadus Agus

Prabowo menandakan bahwa pihak luar mengkhawatirkan aplikasi dan

kontinuitas dari SOP.

SOP akan menjadi sia-sia, jika hanya sampai di tahap penyusunan saja,

oleh karena itu perlu ada kegiatan penyebarluasan (difusi). Terkait hal tersebut,

pernyataan Zaenal berikut ini akan memberi gambaran singkat:

“Penyebarluasan SOP itu dilakukan tiap malam minggu, itu dimusyawarahkan. Jadi

sosialisasinya itu tiap rapat, rapat seminggu sekali sejak dulu itu kita sampaikan terus-

menerus hingga bisa dipraktekkan di lapangan.”

Page 67: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

87

Menanggapi pernyataan Zaenal, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus poktan

memanfaatkan kegiatan pertemuan rutin sebagai wadah untuk menyebarluaskan

SOP KOMPOR, yang kemudian dapat menjadi bahan masukan bagi poktan untuk

menyusun SOP. Dalam pelaksanaannya, tidak seluruh individu poktan yang

tergabung dalam KOMPOR mengimplementasikan SOP. Hal ini dikemukakan

oleh Subari sebagai berikut:

“Anggota sejauh ini yang memperhatikan umumnya mengikuti SOP-nya.”

Menurut Hariadi (2011:52), proses difusi atau penyebaran inovasi dari petani satu

ke petani yang lainnya di masyarakat, karena adanya proses social learning

(belajar sosial). Social learning memiliki empat tahapan, meliputi: proses atensi

(memperhatikan), proses retensi (mengingat), proses reproduksi motorik

(melakukan berdasarkan keterampilan yang dimilikinya), dan proses motivasi

(meniru model). Jika teori tersebut dikaitkan dengan pernyataan Subari di atas,

maka ada kekhawatiran dari pengurus KOMPOR, jangankan sampai ke tahapan

retensi, reproduksi motorik, atau motivasi, ada kemungkinan sebagian besar

petani tidak sampai ke tahap atensi. Lalu, berdasarkan pengamatan pengurus

Poktan Tranggulasi di lapangan, dalam pelaksanaannya, terdapat penyimpangan

SOP. Akan tetapi, penyimpangan itu mengarah ke sisi positif. Berikut pernyataan

dari Abdul Wahab terkait hal tersebut:

“Kalau sepengamatan saya, waktu-waktu ini masih sedikit ada penyimpangan SOP, tapi

penyimpangannya dalam hal positif. Maksudnya begini, terkadang dari petani saja bisa

menemukan pupuk yang lebih bagus dari buatan kelompok, seperti pak Syaefuddin

contohnya, itu memang masih menggunakan power, tapi powernya cuma untuk

kewajiban membeli pupuk di kelompok istilahnya, cuma beli satu botol. Tapi dia saya

amati, bisa membuat pupuk sendiri.”

Berdasarkan pengamatan Abdul Wahab, penyimpangan itu lebih mengarah ke sisi

positif, dimana petani mampu menghasilkan inovasi teknologi UT. Inovasi

teknologi UT itu dihasilkan melalui daya kreativitas petani dalam memodifikasi

teknologi yang sudah ada di dalam SOP.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan gapoktan KOMPOR Merbabu

memberi segudang manfaat bagi petani. Ironisnya, untuk sementara ini

komunikasi (secara terstruktur-lewat kegiatan pertemuan) sedang tidak berjalan.

Hal tersebut digambarkan melalui pernyataan Abdul Wahab berikut ini:

“Sementara ini dengan KOMPOR sudah lama tidak komunikasi. Waktu itu ada wacana

untuk memperoleh sertifikat internasional, itu latar belakang terbentuknya. Wacana itu

Page 68: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

88

sampai sekarang belum terjadi. Kemarin saya ajak teman pengurus KOMPOR untuk

diadakan pertemuan kembali.”

Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalannya pengurusan

sertifikasi internasional menjadi tersendat-sendat. Supaya pertemuan KOMPOR

kembali diadakan, pengurus Poktan Tranggulasi sudah berupaya untuk

membangun komunikasi dengan pengurus KOMPOR yang lain. Berkaitan dengan

itu, pernyataan Sutopo berikut ini menjelaskan alasan mengenai tidak

diadakannya kegiatan pertemuan KOMPOR untuk sementara waktu ini:

“Pertemuan kompor sementara ini dipending, itu dari personal saya, bukan dari anggota

kelompok. Ada alasan tertentu, artinya perlu saya padamkan dulu, pertemuan sudah saya

pending sekitar tiga atau empat bulan, biar suasananya padam. Karena tidak perlu

dipungkiri bahwa diantara kelompok dengan dinas itu ada sedikit masalah. Saya sebagai

pimpinan juga mengetahui kondisi. Meski begitu, saya sendiri sedikit punya pengetahuan

di bidang pertanian terutama budidaya, tetapi siapapun yang butuh saya, saya setiap saat

bersedia untuk membimbing. Apa yang saya punya, mereka butuh, saya kasihkan. Kalau

cuma fokus di pertemuan itu mengganggu mas, mengganggu proses produksi. Sering

pertemuan ganggu waktu mas. Interaksi antar teman di kelompok itu hampir tiap hari ada,

butuh informasi apapun kita saling memberikan, bisa antar kelompok tani. Sekarang

sudah ada HP, jadi tidak perlu harus datang ke lokasi, misalnya ada tawaran produk yang

kaitannya dengan dukungan produksi, saya kasihkan informasinya ke anggota KOMPOR

yang lain. SOP KOMPOR sudah dipegang oleh semua kelompok.”

Dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran kegiatan pertemuan KOMPOR

sementara ini ditunda, karena adanya kebijakan dari pengurus KOMPOR (ketua).

Kebijakan itu dibuat karena terdapat persoalan antara poktan dengan dinas.

Pertemuan KOMPOR dinon-aktifkan, juga disebabkan oleh adanya pandangan

bahwa kegiatan tersebut cukup menyita waktu yang dikhawatirkan dapat

mengganggu waktu pengurus KOMPOR untuk melakukan pekerjaannya sebagai

petani. Meskipun begitu, kegiatan belajar-mengajar dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan dan keterampilan petani dalam berusaha tani tetap bisa dan

mutlak perlu dijalankan. Cukup dengan media handphone, komunikasi antar

pengurus KOMPOR seharusnya tetap terjalin.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa gapoktan KOMPOR

Merbabu merupakan gabungan poktan organik di Kecamatan Getasan dan dapat

dianggap sebagai wadah belajar lintas poktan sayuran organik di Kecamatan itu.

Tiap pengurus poktan memegang status dan peran penting dalam KOMPOR.

Capaian nyata KOMPOR sebagai wadah belajar dapat terbukti dari adanya

kegiatan diskusi dan musyawarah-mufakat antar poktan organik untuk menyusun

Page 69: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

89

dan mengesahkan SOP. Dalam diskusi tersebut, masing-masing pengurus

mengandalkan pengalamannya selama menjalankan teknis-teknis UT untuk

mengutarakan pendapatnya demi penyempurnaan SOP KOMPOR. Diketahui pula

bahwa SOP KOMPOR juga mengacu pada SOP poktan yang sudah ada, sebelum

terbentuknya KOMPOR. Dalam proses penyusunan SOP, PPL turut berperan

terutama dalam penanganan administrasi, sehingga terjalin sinergitas diantara

petani dan PPL. Kemudian, SOP dijadikan pedoman bagi seluruh petani yang

tergabung dalam poktan terkait untuk menjalankan usaha tani. Tidak hanya itu,

SOP juga dijadikan acuan wajib bagi poktan lain yang menjalin kerjasama dengan

poktan anggota KOMPOR untuk menjalankan usaha taninya. Namun, komunikasi

efektif antar pengurus KOMPOR sedang tidak lancar, sehingga ada beberapa

tujuan atau agenda yang telah digariskan oleh KOMPOR di waktu lalu menjadi

cukup terbengkalai.

4.6.4 Implementasi Usaha Tani Sayuran Organik dan Implikasinya

Kegiatan belajar yang tersedia di poktan berperan sebagai wadah untuk

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani (yang tergabung

dalam poktan) untuk mengimplementasikan usahanya dalam menjalankan UT

sayuran organik (penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca

panen, sampai dengan pemasaran hasil produksi). Dengan keterampilannya

menjalankan UT sayuran organik, maka diharapkan adanya dampak positif

terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Di sisi

lain, penerapan UT dapat dimaknai sebagai wadah belajar bagi individu poktan,

dimana itu merupakan metode “learn by experience” (belajar dengan pengalaman)

atau “learn by doing” (belajar dengan melakukan), sehingga ia memiliki

pemahaman yang memadai tentang usaha tani secara organik berdasarkan

pengalaman empirisnya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dibuktikan bahwa

tata cara poktan (petani) dalam menjalankan proses produksi tertuang dalam

standar operational procedure (SOP). Dokumen tersebut berisikan penjelasan

tentang cara penyediaan saprotan, budidaya tanaman, dan penanganan pasca

panen. Di tiap proses UT, pengurus di kedua poktan menjalankan beberapa peran

yang umumnya bertujuan untuk memperlancar kegiatan UT organik serta

mengatasi kendala UT yang dialami anggota. Berikut akan dijelaskan secara lebih

Page 70: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

90

detil mengenai proses UT sayuran organik yang dilakukan oleh individu poktan,

beserta implikasinya terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan

kesejahteraannya.

A. Penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan)

Cakupan yang dibahas dalam anak sub bab ini menyangkut tentang:

penyediaan bibit tanaman sampai siap tanam, penyediaan pupuk, dekomposer,

pestisida, dan sarana lainnya. Saprotan berfungsi sebagai alat atau perlengkapan

yang digunakan oleh petani untuk mencapai maksud atau tujuannya. Saprotan

yang dimaksud antara lain meliputi: benih atau bibit, pupuk, pestisida,

dekomposer, dan sarana lainnya. Saprotan termasuk ke dalam faktor produksi

usaha tani yang vital, karena tanpa itu petani tidak bisa melaksanakan usaha

taninya. Untuk menyediakan saprotan, petani didukung oleh informasi-informasi

yang salah satunya berasal dari wadah belajar yang tersedia di poktan.

Ditinjau dari segi penyediaan benih, terdapat dua cara, yaitu: perbanyakan

sendiri dan pembelian benih. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan menjelaskan

hal tersebut:

“Kalau benih diantaranya ada yang buat sendiri dan ada yang beli. Seperti benih kol, sawi

putih, brokoli tidak bisa buat sendiri, seperti bit juga sulit. Tapi kalau wortel, tomat, cabai itu

bisa buat sendiri.”

Teknik penyediaan benih ini disesuaikan dengan jenis tanamannya. Benih yang

bisa disediakan dengan perbanyakan sendiri antara lain: wortel, tomat, dan cabai.

Sedangkan, benih yang tidak bisa disediakan dengan perbanyakan sendiri

diantaranya adalah: sawi putih, brokoli, kubis, bit, dan sebagainya. Penjelasan

Suparyono berikut ini akan menjelaskan lebih rinci tentang teknik perbanyakan

benih yang dilakukan secara mandiri:

“Wortel itu bikin bibit sendiri. Itu ditanam dulu. Lalu wortel yang masih muda diambil

umbinya yang panjang, terus ditanami kembali, itu bisa jadi benih.”

Dari pernyataan Suparyono tersebut, maka dapat diketahui bahwa upaya

penyediaan benih wortel sudah dapat dilakukan secara mandiri. Upaya

perbanyakan dilakukan melalui umbi yang berukuran panjang dari tanaman wortel

yang masih muda. Pitojo (2006, 35,45-51 & 73) mengungkapkan bahwa umbi

yang besar dapat menghasilkan tanaman yang kuat pada permulaannya.

Page 71: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

91

Sebagian besar benih tanaman sayur tidak dapat langsung ditanam di

bedengan, melainkan perlu melalui proses pembibitan terlebih dahulu.

Berdasarkan observasi, proses pembibitan tanaman di Poktan Tranggulasi

dilakukan oleh masing-masing petani secara individual. Pernyataan dari Supoyo

akan memberikan gambaran tentang teknis pembibitan yang dilakukan Poktan

Tranggulasi:

“Spinach dan selada disemai dulu, proses pembibitannya seminggu sudah berani dipindah ke

pot mas. Terus 10 hari baru siap tanam di lahan. Perawatan selama pembibitan pakai pupuk

yang lembut, pupuk kandang lembut, seperti tanah. Itu dicampur tanah buat media semai,

nanti tumbuhnya lebih cepat. Perlakuannya cuma pemupukan. Tata cara perawatan bibit itu

informasinya dari kelompok tani.”

Dari pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui teknik pembibitan dari tanaman

spinach dan selada. Pertama, benih ditabur di media semai dan ditunggu selama

satu minggu. Kemudian, bibit tanaman dipindah ke dalam pot atau polybag.

Pertumbuhan bibit di pot atau polybag diproses selama 10 hari, lalu siap ditanam

di lahan. Media pembibitan yang digunakan adalah campuran pupuk yang sudah

dilembutkan dan tanah. Dengan media yang seperti itu, proses pertumbuhan bibit

menjadi lebih cepat. Media yang seperti itu mampu meningkatkan optimalisasi

daya perkecambahan dan penyerapan unsur hara benih (Rostini, 2011:89). Dalam

mengimplementasikan pembibitan tanaman, petani telah dibekali informasi oleh

poktan yang terkandung di dalam SOP. Untuk menghasilkan bibit tanaman yang

lebih bagus, maka dibutuhkan perlakuan yang lebih kompleks. Pernyataan dari

Pitoyo Ngatimin akan memberikan wawasan tentang sarana pertanian yang

bermanfaat untuk meningkatkan kualitas bibit:

“Bambu itu punya keistimewaan, akarnya itu mengandung bakteri, yang namanya bakteri

perangsang pertumbuhan akar, istilahnya PGPR. Maka dari itu, tanah di sekitar bambu itu

luar biasa suburnya. PGPR bisa pake akar teki bisa. Jadi ekstraksi, proses ekstraksi itu

mengeluarkan bakteri itu ada caranya, diantaranya dengan cara merendam di tempat yang

steril. Dikeluarkan ekstraksinya, terus nanti bisa nyampur dengan media, setelah itu bisa

dikembangluaskan menjadi F1, F2, F3. Ambil akar bambu yang di dalam tanah, lalu

dibersihkan, tapi jangan dicuci, terus dikeringkan. Terus, dicincang, dipotong-potong,

dimasukkan, dan diberi media untuk ekstraksi. Medianya bisa pakai air kelapa dan bisa

ditambah dengan gula. Air kelapa mengandung hormon pertumbuhan.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa Poktan

Tranggulasi menerapkan inovasi yang turut berkontribusi terhadap peningkatan

produktivitas usaha tani. Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)

mengandung bakteri yang dapat menjadi perangsang tumbuh akar. Bahan baku

Page 72: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

92

pokok yang diperlukan untuk membuat PGPR adalah akar bambu atau akar teki

sebagai bahan alternatifnya. Penyediaan PGPR perlu melewati beberapa proses:

1) akar bambu dicincang dan dipotong-potong, 2) dimasukkan ke wadah yang

steril dan diberikan media untuk ekstraksi. Proses ekstraksi berguna untuk

mengeluarkaan bakteri. Media yang dapat digunakan untuk proses ekstraksi

adalah air kelapa, dicampur dengan gula. Menurut Pitoyo Ngatimin, air kelapa

mengandung hormon yang berguna untuk memacu pertumbuhan tubuh tanaman.

Menurut Wareing dan Phillips (1978), hormon tanaman (fitohormon) sebagai

pengatur pertumbuhan tanaman meliputi kategori luas, yaitu substansi (bahan)

organik (selain vitamin dan unsur mikro) yang dalam jumlah sedikit merangsang,

menghambat, atau sebaliknya mengubah proses fisiologis (Gardner dkk,

2008:206). Teknis pembuatan PGPR dijelaskan lebih detil dalam lampiran skripsi

ini (lampiran VI).

Kemudian, pengetahuan dan keterampilan Poktan Tranggulasi dalam

menyediakan pupuk dan pestisida organik sebagian besar bersumber dari hasil

belajar kelompok. Pernyataan dari Syaefuddin akan memberikan gambaran cukup

rinci mengenai hal tersebut:

“Kotoran sapi saya diamkan 2 hari itu masih panas dan masih mengandung gas. Terus itu

saya tambahi tempe yang sudah busuk atau tempe yang sudah tidak layak dimakan itu

saya blender. Lalu, itu saya masukkan, saya campur dengan kecambah tidak layak pakai

dan saya blender. Setelah itu saya campur, nah ½ bulan baru dipakai, bagus sampai

sekarang ini. Power itu bahannya 14 komoditas, meliputi air kelapa, tetes tebu, tempe,

rumput laut, empon-empon, seperti kunyit, ada temulawak, dlingo, temu ireng, terus ada

brotowali. Dicampur juga dengan nanas yang sudah tidak layak dikonsumsi. Nanas itu

saya tumbuk sama kulitnya. Setelah kita tumbuk, kita rendam satu hari, lalu ambil

airnya… Kalau benih supaya bisa tumbuh bagus, bisa dikasih power, dikasih satu tetes

power itu nanti dicampur sama benihnya itu baru disemai. Nanti ketika berumur ½ bulan

atau 20 hari atau minimal 10 hari disiram pakai power.”

Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa Poktan

Tranggulasi sudah mampu membuat kompos. Kompos yang dimaksud terbuat dari

campuran kotoran sapi dan dekomposer dengan nama “power”. Power terbuat dari

berbagai macam campuran bahan, diantaranya meliputi: tetes tebu, air kelapa,

tempe busuk, kecambah, rumput laut (cincau), empon-empon (seperti: kunyit,

temulawak, dlingo, temu ireng, dan brotowali), dan nanas. Menurut Sutanto

(2002:38), pengomposan ditakrifkan sebagai proses menghilangkan senyawa yang

keberadaannya tidak dikehendaki. Proses pengomposan bermanfaat untuk

Page 73: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

93

mengubah limbah yang berbahaya (seperti: tinja) menjadi bahan yang aman dan

bermanfaat. Menurut Syaefuddin, power bersifat multifungsi, yakni: sebagai

dekomposer, zat pengatur tumbuh (ZPT) (Hal ini dibuktikan melalui fungsinya

sebagai bahan campuran untuk merendam benih tanaman), dan sebagai pupuk cair

di pembenihan atau pembibitan sayuran. Poktan Tranggulasi juga telah

menghasilkan produk lain yang fungsinya kurang-lebih sama dengan power.

Pernyataan dari Syaefuddin akan memperjelas hal tersebut:

“Dulu kelompok memproduksi streng. Kalau sekarang streng dibuat sendiri-sendiri oleh

petani. Streng itu bahannya urin sapi dan urin kelinci….. Streng itu kunyit dan rempah-

rempah lain, itu saya blender. Kalau kunyit berfungsi untuk menghilangkan bau urin sapi

dan urin kelincinya itu….. Power dan streng itu fungsinya sama-sama untuk pupuk cair.”

Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa selain power, poktan

juga memproduksi pupuk cair dengan nama streng. Streng terbuat dari kunyit atau

empon-empon lainnya, urin sapi, dan urin kelinci. Menurut Syaefuddin, kunyit

atau empon-empon berguna untuk menghilangkan bau urin. Kedua produk

tersebut (power dan streng) sama-sama dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair

untuk membantu petani dalam budidaya tanaman.

Selain power dan streng sebagai pupuk, dekomposer atau faktor

pendukung UT lainnya, poktan ini sudah bisa menghasilkan pestisida alami

(pestisida yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan atau mikroba, seperti bakteri,

jamur, protozoa, dan virus). Nama dan proses pembuatan pestisida alami oleh

Poktan Tranggulasi akan diutarakan oleh Syaefuddin sebagai berikut:

“Beberapa kulit pohon itu bisa buat bahan pestisida alami, seperti kulit pohon kina dan

marehjangan. Lalu, buah pohon ketela itu kita ambil dan kita tumbuk, kemudian

direndam dengan cucian beras. Sesudah itu, airnya diambil dan dicampur dengan abu

dapur. Itu direndam selama tiga hari, baru kita ambil airnya. Cara kami membuat

pestisida seperti itu. Setelah saya uji coba, itu ada campuran lain, yaitu akar pohon

pepaya, dan akar pohon kelapa. Akar kelapa itu mengandung racun. Akar kelapa diambil,

lalu ditumbuk, direndam, dan diambil airnya. Nama pestisidanya di kelompok kami

adalah CP…. Proses perendaman air cucian beras dan abu dapur itu tiga hari. Kami saring

airnya, kalau air cucian beraas dan abu itu mengendap, yang diambil airnya yang di atas,

diambil airnya yang bening. Kalau mau yang lebih ampuh, tetapi di sini sulit mencarinya

itu bengkoang. Itu yang diambil bijinya, lalu ditumbuk. Sesudah itu dicampur dengan air

cucian beras. Sesudah itu jadi pestisida…. Supaya proses pembuatannya itu lebih cepat,

biji bengkoang direndam di air yang mendidih, lalu dikeringkan. Sesudah itu bijinya

menjadi keras, kemudian diblender dan dicampur dengan bahan lainnya. Didiamkan

selama ½ bulan atau 10 hari sudah jadi… CP dan biji bengkoang itu untuk pestisida.”

Page 74: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

94

Pestisida alami yang diproduksi oleh Poktan Tranggulasi bernama CP. Pestisida

alami tersebut terbuat dari berbagai bahan, diantaranya meliputi: kulit pohon

marehjangan, buah pohon ketela, akar pohon pepaya, dan akar kelapa. Seluruh

bahan tersebut ditumbuk, lalu direndam di wadah berisi air cucian beras (leri) dan

abu dapur selama tiga hari. Setelah terjadi pengendapan, airnya diambil untuk

diaplikasikan sebagai pestisida alami. Selain CP, Poktan Tranggulasi juga mampu

memproduksi pestisida alami yang berbahan utama biji bengkoang. Teknis

pembuatannya, biji bengkoang dimasukkan ke dalam air mendidih, lalu ditumbuk

atau diblender. Setelah itu, dicampur dengan air leri dan bahan atau input untuk

membuat CP (seperti: akar pohon pepaya, akar pohon kelapa, kulit pohon kina,

dan sebagainya). Meski begitu, berdasarkan observasi di lapangan, individu

poktan seringkali kesulitan dalam memperoleh biji bengkoang. Kesulitan itu juga

terjadi pada beberapa bahan lainnya (seperti: urin kelinci), yang sebetulnya efektif

untuk dijadikan sebagai sarana usaha tani sayuran.

Pembahasan selanjutnya akan memberikan gambaran tentang teknis

penyediaan input atau bahan saprotan, pembuatan saprotan, dan pendistribusian

saprotan, sehingga saprotan tersebut dapat dimanfaatkan oleh individu poktan

untuk melakukan usaha taninya. Pengurus poktan memegang peranan yang amat

penting dalam melaksanakan ketiga kegiatan tersebut. Hal ini terjadi karena tidak

semua individu dalam Poktan Tranggulasi memiliki kemauan, mengingat,

memahami, dan terampil dalam membuat saprotan. Hal tersebut terbukti

berdasarkan pernyataan dari Sumadi, Supoyo, dan Sumar sebagai berikut:

“Pakai pupuk kandang padat dan pakai power, setelah itu dipupuk pula dengan pupuk cair

berbahan urin sapi. Untuk pestisida pakai CP, namanya CP. CP itu bahannya pakai air

cucian beras dan apa gitu, saya sudah lupa.” (Sumadi)

“Yang buat pupuk itu pengurus kelompok, saya tidak tahu bahan-bahan yang digunakan.

Yang mengerti itu pengurus. Saya hanya ikut mengerahkan tenaga saja. Dulu pernah buat

bersama-sama, itu dilakukan rutin. Kalau sudah habis, kami buat lagi. Sekarang pengurus

masih buat. Buat pupuk, seperti power, lalu CP, dan Streng.” (Supoyo)

“Kelompok ini buat pestisida sendiri, pakai air kelapa, yang biasa disebut dengan CP. CP

yang buat kelompok. Seperti pupuk, pestisida yang buat hanya orang-orang tertentu mas,

tidak semua orang mengetahui cara buatnya.” (Sumar)

Dari ketiga pernyataan itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyediaan

saprotan sebagian individu Poktan Tranggulasi dilimpahkan kepada pengurus

Page 75: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

95

poktan. Bahkan Supoyo dan Sumar mengatakan bahwa pemahaman tentang tata

cara pembuatan saprotan hanya dimiliki oleh pengurus. Menurut Reijntjes dkk

(1999: 55), pengetahuan lokal setempat tidak menyebar secara merata di dalam

suatu masyarakat dan bakat seseorang untuk menyimpan pengetahuan tradisional

dan menghasilkan pengetahuan baru seringkali berbeda. Bagaimanapun juga,

petani tidak mendokumentasikan pengetahuan mereka sepenuhnya, sehingga bisa

diketahui oleh orang lain. Melalui pernyataan Supoyo, dapat diketahui bahwa dulu

penyediaan saprotan sempat dilakukan secara kolektif di Poktan Tranggulasi. Hal

demikian dilakukan, supaya individu poktan memperoleh pemahaman dan

keterampilan dalam membuat saprotan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan

oleh Suparman sebagai berikut:

“Yang bangun kemauan anggota-anggota untuk buat pupuk dan pestisida itu pengurus.

Pertamanya, pengalaman-pengalaman dimusyawarahkan, terus dilakukan percobaan. Itu

pelaksanaannya dua tahun. Bahannya itu bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kita. Yang

beli seperti air kelapa itu…… Kalau power bahannya air kelapa, tetes tebu, tempe,

rumput laut, cincau, nanas busuk, itu dicampur semua, diblender. Kalau buat sendiri itu

waktunya yang tidak ada, karena proses pembuatannya kurang cepat.”

Berdasarkan pernyataan Suparman, pengurus poktan membagikan pengalaman

dan menggerakkan aktivitas individu poktan untuk membuat saprotan. Pembuatan

saprotan itu dianggap menguntungkan, karena sebagian bahan atau inputnya dapat

diperoleh dari lingkungan sekitar. Melalui kegiatan percobaan, poktan secara

kolektif atau secara individual (dilakukan oleh petani perorangan) memperoleh

keyakinan untuk membuat saprotan, karena hal tersebut dianggap memiliki nilai.

Akan tetapi usaha kolektif tidak berlangsung lama, karena sebagian individu

poktan merasa kurang memiliki waktu untuk membuat saprotan yang prosesnya

relatif lama. Hal ini menjadi wajar, mengingat sebagian besar waktu petani

dikerahkan untuk kegiatan budidaya tanaman. Dengan keadaan seperti ini, para

anggota poktan mengandalkan pengurus poktan untuk menyediakan saprotan. Hal

tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Abdul Wahab berikut ini:

“Sebagian besar anggota menerapkan power. Sosialisasinya dilakukan pada waktu

pertemuan. Tapi ada sebagian anggota yang hanya cuman mengandalkan pembuatan dari

kelompok, kadang ditanya saja mereka tidak tahu bahan-bahannya dan cara membuatnya.

Yang buat itu kan pengelola, lalu semua anggota diajarkan. Tapi kalau anggota diminta

buat sendiri-sendiri mereka kurang mau, karena kebanyakan mengandalkan pengurus.”

Page 76: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

96

Fenomena semacam itu menandakan bahwa pengetahuan dan pemahaman, serta

keterampilan dari pengurus poktan lebih menonjol, dibandingkan dengan anggota

poktan, khususnya dalam hal penyediaan saprotan.

Kemudian, untuk membuat saprotan (dekomposer, pupuk, dan pestisida)

pengurus poktan melakukan upaya terlebih dahulu untuk menyediakan berbagai

bahan atau inputnya. Bahan atau input untuk membuat saprotan ada yang tersedia

di lingkungan sekitar petani dan ada juga yang tidak tersedia, sehingga pengurus

poktan mencari atau membelinya di daerah lain. Teknis penyediaan bahan atau

input pembuatan saprotan akan dijelaskan melalui pernyataan dari Syaefuddin dan

Suparyono sebagai berikut:

“Bahan-bahan itu ada yang kita beli di pasar. Yang ada di sini itu urin sapi, kalau urin

kelinci dulu ada, banyak yang budidaya kelinci, sekarang sudah langka. Selain urin,

pohon kina dan marehjangan dan bahan lainnya itu ada. Yang tidak ada di sini itu kunyit

dan rempah-rempah lainnya, lalu tetes tebu, akar kelapa dan air kelapa. Kalau pepaya ada

di lingkungan sini…. Biji bengkoang saya pesan di Salatiga, langsung ke petaninya, kalau

di pasar tidak ada yang jual..... Kalau beli rempah-rempah dengan bayar 20.000 saja

sudah dapat banyak. Kalau tetes tebu satu kilonya 3.500. Biji bengkoang harganya 30.000

per kilo.” (Syaefuddin)

“Bahan untuk power yang beli itu kedelai, rumput laut, nanas, dan tetes tebu. Kedelai

belinya di Salatiga, yang biasanya beli itu Pitoyo. Kedelai itu maksud saya raginya…..

Power itu bisa pakai buah sirsak atau nanas mas, diblender dengan rumput laut. Sirsak

beli mas, di sini tidak berbuah. Harganya beda-beda mas. Bengkoang itu juga beli

tumbas.” (Suparyono)

Dari pernyataan Syaefuddin dan Suparyono, maka dapat diketahui bahwa input

saprotan yang dapat diperoleh dari lingkungan sekitar petani diantaranya meliputi:

limbah ternak atau tanaman, kulit pohon kina atau marehjangan, air leri, akar

pohon pepaya, dan sebagainya. Sedangkan, bahan atau input yang tidak tersedia di

lingkungan sekitar petani diantaranya meliputi: akar pohon kelapa, aneka empon-

empon, rumput laut, nanas, tetes tebu, ragi, biji bengkoang, dan sebagainya.

Kemudian, sebagian anggota poktan beranggapan bahwa terdapat seksi khusus

yang bertugas membuat saprotan. Hal tersebut dikemukakan oleh Sumar sebagai

berikut:

“Bagian pemupukan itu buat pupuk padat dan cair. Tiap pengurus punya tugas masing-

masing.”

Sumar mengemukakan bahwa pembuatan saprotan, seperti pupuk padat dan

pupuk cair ditangani oleh pengurus yang bergelut di bagian pemupukan. Ketika

Page 77: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

97

diselaraskan dengan hasil observasi lapangan, pengurus yang bertugas untuk

menangani tugas tersebut dikenal dengan nama “seksi saprodi”. Berdasarkan

uraian tugas, seksi saprodi bertanggungjawab atas pengadaan dan penyiapan

saprodi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tugas pengadaan dan

penyiapan saprodi tidak selalu diemban oleh seksi yang bersangkutan. Selain

pengurus poktan, pihak di luar poktan juga berperan untuk menjaga ketersediaan

saprotan. Hal tersebut diutarakan oleh Suparyono sebagai berikut:

“Kadang yang suka mengolah power atau pestisida itu peserta PKL-PKL mas.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, keberadaan pihak yang melakukan praktek kerja

lapangan (PKL) di Poktan Tranggulasi seringkali melakukan praktek mengolah

power atau pestisida alami, sehingga petani terbantu dalam menyediakan saprotan

yang dibutuhkannya. Hal tersebut merupakan salah satu keuntungan yang dapat

diraup oleh Poktan Tranggulasi dari statusnya sebagai P4S.

Mencermati pembahasan sebelumnya, maka dapat ditafsirkan bahwa

pengurus poktan berperan untuk menyediakan saprotan. Untuk menambah kas

atau pemasukan poktan, saprotan yang dihasilkan oleh pengurus diperjual-belikan

kepada anggota. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Suparman dan

Ngatemin berikut ini:

“Di kelompok yang buat itu pengurus-pengurus itu dan itu dijual. Kalau anggota yang

beli, harganya beda dengan yang dijual umum, setengah harga.” (Suparman)

“Pembuatan pupuk atau pestisida itu dibuat oleh kelompok mas. Yang buat pengurus

kelompok. Kalau anggota bisa beli.” (Ngatemin)

Pernyataan dari Suparman dan Ngatemin dipertajam oleh Supoyo sebagai berikut:

“Power itu satu botolnya dihargai 6.000, lalu kalau CP harganya 3.000 per porsi, itu bisa

diaplikasikan untuk satu tangki. Streng per botolnya 6.000. Kalau tidak ada

pembeliannya, kas kelompok bisa macet. Kalau habis, pengurus buat lagi. Kadang-

kadang ada orang luar yang beli.”

Berdasarkan pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui gambaran yang lebih rinci

tentang penyediaan saprotan. Poktan memiliki kebijakan, dimana power dijual

dengan harga Rp. 6.000,00/botol, CP dijual dengan harga Rp. 3.000,00 (untuk

pembuatan 1 tangki), dan streng dijual dengan harga Rp. 6.000,00/botol. Kegiatan

ini sudah mampu menarik minat kepada petani yang tidak bergabung dalam

poktan untuk membeli saprotan yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi. Hal ini

Page 78: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

98

dapat menjadi nilai tawar tersendiri bagi Poktan Tranggulasi untuk menjadi eksis

dan tentunya menjadi penyangga kesinambungan UT sayuran organik.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa saprotan yang

dihasilkan oleh poktan sayuran organik bersifat multifungsi. Hal demikian

terbukti melalui pernyataan Suparyono berikut ini:

“Saya pakai pupuk kandang dan power. Kalau power saya buat sendiri……. Power itu

juga bisa buat pestisida, ditambah bahannya, ditambah biji bengkoang. Untuk

menanggulangi thrips.”

Berdasarkan pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui bahwa hasil tambahan

input biji bengkoang ke power dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami,

terutama untuk mengatasi hama thrips. Jika dicermati, antara informan satu

dengan yang lain memberikan informasi yang berbeda-beda mengenai input yang

digunakan untuk membuat power ataupun pestisida alami dengan bahan baku

utama biji bengkoang. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap petani

memiliki kreasi sendiri-sendiri untuk membuat saprotan, sehingga tidak selalu

harus terpatok pada prosedur yang telah ditetapkan oleh poktan dalam membuat

saprotan tertentu.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pembuatan atau penyediaan saprotan secara

mandiri (oleh poktan) menguras cukup banyak waktu dan tenaga. Lalu, apa yang

menjadi latar belakang petani (khususnya pengurus poktan), sehingga memiliki

kemauan untuk bertindak demikian? Jawaban dari pertanyaan itu dapat diperjelas

melalui pernyataan Syaefuddin sebagai berikut:

“Pakai pupuk atau pestisida kimia itu bahannya tidak semakin murah, kira-kira 5-10

tahun lagi itu akan semakin meningkat harganya. Saya siasati seperti itu. Sama keduanya

saya mau mengembalikan struktur tanah itu biar subur. Kita itu punya anak dan cucu,

kedepannya kalau dikasih kimia terus-menerus tanahnya akan menjadi rusak. Anak-anak

kita nanam kalau tidak dikasih pupuk dengan dosis yang lebih, seandainya kemarin satu

sendok, sekarang harus satu gelas. Nanti 10 tahun yang akan datang, segelas sudah tidak

ampuh, mesti dua gelas sampai 1 kilo, kemungkinan seperti itu. Sekarang pestisida kimia

dengan merk indoor di pasar harganya 82.000, untuk kedepannya satu tahun lagi berapa

harganya itu? Dulunya satu botol cuma 5.000. Dulunya waktu masih mendirikan

kelompok itu, pestisida yang namanya Matador, masudin, furakron, itu satu botolnya

7.500, itu isinya 250 mili, bisa mencapai 9.000. Sekarang harganya nyaris 70.000,

padahal baru berapa tahun itu? Saya pernah satu tahun memberikan pupuk kimia. Lalu

saya kasih urin sapi, ini yang saya kasih pupuk organik, tanahnya yang diberi pupuk

kimia itu strukturnya keras. Yang pakai pupuk organik, tanahnya subur. Apalagi kalau

musim kemarau gini, kalau tanahnya mengandung banyak unsur kimia buatan, tanahnya

sulit menyerap air dan tidak bisa menyimpan air, tapi yang organik bisa menyimpan air.

Gitu perbandingannya.”

Page 79: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

99

Berdasarkan pernyataan dari Syaefuddin, maka dapat diketahui secara konkrit

bahwa upaya Poktan Tranggulasi untuk membuat atau menyediakan saprotan

timbul dari adanya suatu permasalahan. Peningkatan harga saprotan (seperti

pestisida) dari tahun ke tahun merupakan sebuah problematika petani yang

berdampak positif terhadap kemandirian petani untuk menyediakan saprotan.

Permasalahan itulah yang membentuk sikap dan perilaku individu poktan

(khususnya pengurus) untuk senantiasa menyediakan, bahkan mengembangkan

saprotan untuk memenuhi kebutuhan individu poktan dalam melakukan UT. Di

samping itu pula, dapat diketahui bahwa Poktan Tranggulasi telah menyadari arti

penting dari usaha menjaga kesuburan tanah. Kesadaran semacam itu juga timbul

karena adanya permasalahan, dimana penggunaan saprotan (terutama pupuk)

berbahan kimia sintetis menyebabkan struktur tanah menjadi keras. Salikin

(2003:22) mengatakan bahwa pemakaian pupuk buatan sepanjang tahun salah

satunya akan mengakibatkan pemadatan dan perusakan struktur tanah. Pemadatan

struktur tanah akan mengurangi kemampuan tanah untuk mengikat air dan

mempersulit aktivitas perakaran tanaman, termasuk proses pengikatan nitrogen,

sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman

yang dibudidayakan. Keadaan semacam itu dirasa mencemari prinsip pertanian

berkelanjutan, dimana penggunaan pupuk kimia sintetis yang berlebihan akan

berdampak negatif terhadap kualitas tanah pertanian untuk menunjang

produktivitas hasil pertanian. Kelak, upaya-upaya semacam itu memiliki nilai

yang berarti bagi anak dan cucu untuk menjaga kelangsungan hidup, karena

mampu merawat atau menjaga (maintenance) untuk jangka panjang (prolong)

(Salikin, 2003:11). Selanjutya, inspirasi untuk menguji-coba dan membuat

ramuan saprotan muncul sebagai akibat dari adanya kepekaan individu poktan

(khususnya pengurus poktan) untuk mengamati lingkungan sekitar. Hal itu

dijelaskan oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“Di lingkungan kita ini banyak potensi yang bisa kita gunakan untuk buat pupuk.

Pertanian organik akan bisa berkembang ketika kita belajar dengan lingkungan. Potensi

yang ada di sekitar kita itulah yang kita gunakan, ternyata banyak sekali, limbahnya,

seperti limbah sayur, limbah ternak, baik padat maupun cair bisa kita gunakan sebagai

pupuk, lalu untuk apa kita membeli pupuk di pasar? Untuk insektisidanya, bahannya juga

bisa diperoleh di sekitar kita, tapi kalau kita mau tahu dan mau belajar. Contohnya gini

saja, di sekitar tanaman itu kalau ada tanaman yang tidak tersentuh oleh hama, berarti itu

menjadi salah satu insek. Berarti tanaman itu ditakuti oleh hama. Cari saja di sekitar kita

Page 80: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

100

itu apa yang ada, kita gunakan, ternyata itu efektif. Banyak sekali eksperimen yang kita

lakukan, dengan itu kita semakin yakin.”

Wujud nyata inspirasi atau ide yang dimaksud diantaranya limbah tanaman

ataupun ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Selain itu, tanaman

yang tidak tersentuh oleh hama berpotensi untuk dijadikan insektisida.

Fenomena yang menarik adalah tidak semua individu menggunakan

saprotan yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi. Pernyataan dari Wikan

Mujiono akan memberikan gambaran yang jelas akan hal tersebut:

“Saya beli pupuk organik sendiri di pasar. Cuma pakai dua kwintal pupuk organik bisa

diaplikasikan untuk 4000 tanaman kubis. Saya tidak pakai pupuk cair. Saya bertaninya

agak menyimpang. Saya memang sudah uji coba itu. Informasi pupuk organik awal-

mulanya dari kelompok, tapi setelah saya uji coba selama dua bulanan hasilnya bagus,

karena itu saya teruskan. Modalnya tidak banyak, lalu pengerjaannya lebih cepat.

Hasilnya hampir sama dengan menggunakan pupuk produksi kelompok.”

Pernyataan tersebut menandakan bahwa terdapat anggota poktan yang

menyediakan saprotan (seperti pupuk) secara mandiri, dengan membeli pupuk

organik di pasar. Dengan demikian, preferensi (keinginan) individu Poktan

Tranggulasi dalam menyediakan dan menggunakan saprotan tertentu bersifat

relatif. Hal tersebut terjadi karena teknologi yang diaplikasikan memiliki nilai

tambah, diantaranya: teknologi yang digunakan lebih kredibel (manjur), lebih

efisien dari segi biaya, lebih efisien dari segi tenaga, dan ketersediaan teknologi

lebih terjamin.

Ditinjau dari segi penyediaan saprotan, hasil penelitian di Poktan BM

menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan dengan Poktan Tranggulasi.

Kegiatan pembibitan di Poktan BM relatif sama dengan kegiatan pembibitan di

Poktan Tranggulasi. Hal tersebut dicerminkan melalui pernyataan Budiyati dan

Saminah berikut ini:

“Selada dan spinach disemai dulu, kalau selada kira-kira disemai selama ½ bulan.

Spinach sama. Perlakuannya kalau di pembibitan cuma tanah dicampur dengan pupuk

organik. Kalau sudah tumbuh daunnya, dipot dan disiram. Kalau musim panas seperti ini,

penyiraman tidak bisa telat. Kalau musim panas gini, sehari satu kali, disiram tiap hari.”

(Budiyati)

“Tanaman disemai, medianya tanah dan sicampur dengan pupuk kandang halus, dan

dikasih air. Baru dikepal.” (Saminah)

Berdasarkan pernyataan dari Budiyati dan Saminah, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa perlakuan yang diterapkan oleh Poktan BM dalam kegiatan

Page 81: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

101

pembibitan dilakukan seperti petani pada umumnya. Perlakuan pembibitan yang

dimaksud diantaranya: a) penggunaan campuran tanah, pupuk kandang halus, dan

sampah-sampah organik (seperti: daun kering) sebagai media semai, b)

pemindahan bibit berumur + 15 hari (untuk tanaman selada dan spinach) ke pot

atau polybag, dan c) penyiraman secara rutin dan teratur setiap hari. Meski begitu,

ada sebagian individu poktan yang memiliki ciri khas tersendiri dalam

menerapkan perlakuan di kegiatan pembibitan. Hal ini diketahui melalui

pernyataan dari Rebo Wahono sebagai berikut:

“Untuk pembibitan kami pakai abu sekam. Abu sekam itu berasal dari pembakaran,

sehingga belum ada penyakit sama sekali. Tapi petani pada umumnya cenderung tidak

mau ambil risiko, bekas benih atau bibit yang lalu hanya disiram, lalu ditanam lagi.

Kadang tidak tumbuh atau pertumbuhannya kerdil. Sebenarnya abu sekam itu manfaatnya

dalam posisi kultur jaringan tanah itu juga sangat membantu sekali, pertumbuhan dalam

pembuluh akar serabut itu sangat cepat sekali. Jadi di saat hujan lebat, ketika pupuk

dasarnya itu dicampur dengan abu kan akhirnya berongga, sehingga tanahnya tidak

terlalu padat. Dengan demikian, pertumbuhan akarnya menjadi mudah dan bisa mudah

dalam menyerap unsur hara.”

Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono tersebut, maka dapat diketahui bahwa

terdapat individu poktan yang menggunakan abu sekam sebagai media tambahan

untuk pembibitan. Perlakuan tersebut memberi manfaat, diantaranya berupa

minimnya peluang terjangkitnya penyakit dalam media dan penggemburan media

semai yang pada akhirnya membantu pertumbuhan akar.

Selanjutnya, dari segi penyediaan saprotan berupa dekomposer dan pupuk,

Poktan BM sudah mampu memproduksi IMO (Indigenous Microorganism). Hal

ini diperjelas oleh Rebo Wahono sebagai berikut:

“Kalau IMO masing-masing anggota sudah bisa buat sendiri. Kalau mengandalkan

kelompok, suatu misal saya dapat bagian satu liter, kalau lahan milik saya mungkin dua

sampai tiga bulan masih tersedia, karena lahan saya sedikit. Sedangkan, seperti pak

Zaenal kalau satu liter, sedangkan lahannya luas, sekali pakai bisa habis. Maka dari itu,

kami buat sendiri-sendiri.”

Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

upaya pembuatan IMO dilakukan oleh masing-masing individu Poktan BM.

Masing-masing individu poktan sudah mampu membuat IMO, sehingga

kemandiriannya dalam penyediaan saprotan (seperti: dekomposer dan pupuk)

menjadi tampak jelas. Dengan metode semacam itu pula, masing-masing individu

dapat menentukan sendiri jumlah kebutuhan IMO yang diperlukan untuk

melaksanakan UT-nya. Di samping secara individual, individu poktan juga masih

Page 82: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

102

mengandalkan usaha kolektif untuk pengadaan saprotan. Hal tersebut diperjelas

oleh Pandi sebagai berikut:

“Misalnya kelompok mau buat pupuk cair itu menggunakan berbagai macam bahan,

kalau beli pakai uang kas. Misalnya, beli bawang, cabai, bir, telur bebek. Terus buat

pupuk padat dengan abu itu difermentasi, tapi semua anggota paham cara pembuatannya.”

Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui bahwa sebagian saprotan

(khususnya pupuk, baik cair ataupun padat) diadakan secara kolektif oleh Poktan

BM. Pembiayaan bahan-bahan (yang harus dibeli) dilakukan dengan

menggunakan uang kas poktan. Untuk menyediakan IMO yang siap diaplikasi,

diperlukan beberapa tahapan atau proses dan tentunya melibatkan berbagai bahan

atau input untuk membuatnya. Berikut ini akan diperjelas gambaran umum teknik

pembuatan IMO dan pupuk organik oleh Umar:

“Buat pupuk organik itu bahannya tetes tebu dan nasi yang sudah basi. Terus dicampur

dan direndam selama seminggu. Setelah itu, langsung ditumpuk, lalu pupuknya dijemur,

disemprot dan dijemur kembali. Sesudah itu, digemburkan dan dicacah selama seminggu.

Setengah bulan sudah jadi.”

Melalui pernyataan Umar, maka dapat diketahui teknik pembuatan IMO, yakni:

tetes tebu dan nasi yang sudah basi dicampur dan direndam selama satu minggu,

selanjutnya ditumpuk. Di sisi lain, kotoran hewan (bahan baku pupuk) ditumpuk

dan dijemur. Kemudian, IMO yang sudah matang disemprot ke kotoran hewan

untuk fermentasi. Setelah itu, dicacah dan didiamkan seminggu. Setengah bulan

kemudian pupuk organik sudah jadi dan siap diaplikasikan. Teknis pembuatan

IMO dan pupuk organik lebih detil dijelaskan dalam lampiran skripsi ini

(lampiran VI). Selain IMO dan pupuk kandang, Poktan BM sudah mampu

membuat kompos dengan mendaur-ulang limbah sayuran. Berikut pernyataan dari

Sumadi:

“Kalau limbah organik itu, misal limbah kubis, kita pakai sebagai bahan untuk buat

kompos.”

Selanjutnya, Poktan BM juga sudah dapat memproduksi pestisida secara mandiri.

Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Makruf sebagai berikut:

“Produk yang dihasilkan kelompok selain IMO, kami bisa buat dekomposer, termasuk

pestisida, bahan untuk buat pestisida pakai rempah-rempah, dulu buatnya bersama-sama,

sekarang pada buat sendiri-sendiri. Kalau buat bersama-sama hasilnya sedikit, sehingga

banyak yang kekurangan untuk melakukan penyemprotan. Lahannya anggota yang luas,

jadinya mereka buat sendiri-sendiri.”

Page 83: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

103

Berdasarkan pernyataan Makruf, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada

awal-mula poktan memiliki ide, pembuatan pestisida dibuat bersama-sama.

Kemudian, saat ini pestisida dibuat dan disediakan oleh masing-masing individu

poktan secara perorangan. Sama halnya dengan sistem pembuatan IMO, dengan

metode semacam itu, masing-masing individu dapat menentukan sendiri jumlah

kebutuhan pestisida alami yang diperlukan untuk melaksanakan UT-nya.

Gambaran tentang pembuatan pestisida oleh Poktan BM dipertajam melalui

pernyataan Saminah berikut ini:

“Ini baru mau blender bawang sebanyak dua kilo, cabai itu empat kilo. Semua bahan itu

direbus dengan dedaunan dan susu untuk buat pestisida. Dulu buatnya bersama-sama, tapi

kalau sekarang buatnya sendiri-sendiri. Seperti pupuk kelompok juga buat, tapi saya tetap

buat sendiri.”

Berdasarkan yang diutarakan oleh Saminah, maka dapat diketahui lebih detil

mengenai gambaran teknis penyediaan pestisida alami di Poktan BM. Berbagai

bahan yang perlu dipersiapkan untuk membuat pestisida alami, diantaranya

adalah: bawang, cabai, dan daun-daunan. Dari pernyataan itu, maka dapat

diketahui pula bahwa poktan masih membuat saprotan (seperti: pestisida dan

pupuk) yang digerakkan oleh divisi bersangkutan yang ada di poktan. Divisi yang

menjalankan peran tersebut adalah divisi pupuk organik, dimana divisi tersebut

bertugas memproduksi serta mengatur penyaluran pupuk organik dan pestisida

nabati yang dibutuhkan anggota kelompok. Meski begitu, tiap anggota poktan

membuat saprotan secara mandiri. Berdasarkan observasi lapangan, saprotan yang

dibuat oleh kelompok diperjualbelikan kepada anggota. Selain untuk

mengembangkan modal, hal tersebut juga bertujuan untuk mengakomodir anggota

yang tidak mau (misal: tidak memiliki waktu) membuat saprotan secara swadaya.

Walau saprotan dibuat oleh kelompok, ketersediaannya dalam jumlah yang

terbatas, sehingga individu poktan terpacu usahanya untuk menyediakan saprotan

secara mandiri.

Di samping itu, individu Poktan BM memiliki kreativitas dalam

menyediakan input penunjang untuk mengaplikasikan saprotan (khususnya

pestisida alami). Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Sumadi berikut ini:

“Untuk buat pestisida alami sudah ditambah perekat bahannya dari jipan dan putih telur.

Kita pakai itu.”

Page 84: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

104

Dari pernyataan Sumadi, maka dapat disimpulkan bahwa individu Poktan BM

sudah menggunakan perekat dari bahan putih telur sebagai bahan campuran untuk

pestisida alami.

Semangat poktan dalam melakukan penyediaan saprotan secara mandiri

dianggap bernilai dan dilatarbelakangi oleh hal-hal yang kurang-lebih mirip

dengan Poktan Tranggulasi. Hal ini diperjelas melalui pernyataan Mujiyanti

Rahayu berikut ini:

“Kalau pertanian organik itu kita bisa menekan biaya. Kalau kita beli pestisida itu

harganya sudah 100.000. Pestisida dengan harga 100.000 itu baru buat nyemprot sekali.

Tapi kalau pakai organik di samping aman dimakan, kalau pakai organik kita hanya beli

bahan-bahan yang harganya tidak mahal dan sudah bisa buat pestisida dalam jumlah yang

cukup banyak.”

Berdasarkan pernyataan Mujiyanti Rahayu maka dapat disimpulkan bahwa

partisipasi individu Poktan BM dalam menyediakan saprotan secara mandiri

disebabkan oleh adanya efisiensi pembiayaan. Hal ini menjadi rasional,

mengingat sebagian input saprotan dapat diperoleh dari lingkungan sekitar dan

sebagian lainnya dapat dibeli dengan harga yang murah. Dengan demikian, biaya

penyediaan saprotan menjadi lebih hemat.

Dua poktan dalam penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dalam

hal tata cara penyediaan saprotan. Dari segi penyediaan bibit tanaman, kedua

poktan memiliki persamaan, yakni: dilakukan secara individual oleh masing-

masing petani. Sedangkan saprotan lain (seperti dekomposer, pupuk, pestisida,

dan ZPT), Poktan Tranggulasi lebih mengandalkan usaha dari pengurus poktan.

Saprotan yang khas dapat diproduksi sendiri oleh individu Poktan Tranggulasi

diantaranya: power, streng, dan CP. Usaha pengurus Poktan Tranggulasi dalam

penyediaan saprotan dijadikan ajang untuk memperjualbelikan saprotan tersebut,

sehingga menjadi salah satu sumber pemasukan kas poktan. Berbeda dengan

Poktan Tranggulasi, Poktan BM tidak hanya mengandalkan usaha pengurus

poktan dalam penyediaan saprotan, tetapi dengan adanya kegiatan belajar-

mengajar di awal, diharapkan para anggota dapat menyediakan saprotan secara

mandiri. Sebetulnya kemandirian individu Poktan BM dalam menyediakan

saprotan disebabkaan oleh adanya keterbatasan saprotan yang disediakan oleh

Poktan BM. Di sisi lain, individu Poktan Tranggulasi dalam menyediakan

saprotan cenderung tergantung dengan usaha dari pengurus, karena pengurus

Page 85: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

105

poktan menyediakannya dalam jumlah yang relatif besar. Produk saprotan khas

yang dapat dihasilkan oleh Poktan BM diantaranya: IMO 1-IMO 5, fermented fruit

juice (FFJ), fermented plant juice (FPJ), bahan perekat (seperti: putih telur) untuk

aplikasi pestisida, dan oriental herb nutrient (OHN). Meskipun saprotan

disediakan oleh pengurus poktan, akan tetapi jumlahnya cenderung terbatas,

sehingga individu poktan terangsang untuk menyediakannya secara individual.

Adapun produk saprotan yang sama-sama bisa dihasilkan oleh Poktan

Tranggulasi maupun Poktan BM, diantaranya: mikroorganisme lokal (MOL),

fermentasi urin sapi (ferinsa), plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), dan

pestisida nabati berbahan utama biji bengkoang. Persamaan yang paling mencolok

dari kedua poktan adalah penyediaan saprotan banyak memanfaatkan sumber daya

alami yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Kemudian, saprotan yang

digunakan bersifat multiguna, artinya satu saprotan memiliki lebih dari satu

manfaat.

Berdasarkan patokan individu poktan dalam membuat dan menyediakan

saprotan, terdapat beberapa individu Poktan Tranggulasi yang memiliki usaha

sendiri untuk menyediakan saprotan, baik dengan cara membeli di toko pertanian,

maupun ada juga yang memiliki inovasi sendiri. Oleh karena itu, untuk membuat

salah satu saprotan, individu Poktan Tranggulasi tidak melulu mengikuti prosedur

umum yang ada (bahan atau input saprotan bisa dimodifikasi, bisa ditambah

ataupun dikurangi). Sedangkan, individu Poktan BM, penyediaan saprotan

berdasarkan pada prosedur yang ada di poktan. Baik individu Poktan Tranggulasi

maupun Poktan BM, acuan yang dijadikan landasan petani dalam membuat atau

menyediakan saprotan bersumber dari kegiatan penelitian atau uji coba teknologi.

Partisipasi individu di kedua poktan didukung oleh adanya kesadaran akan

efisiensi biaya produksi dan kesadaran akan dampak positif bagi lingkungan, serta

keamanan pangan.

Poktan yang berusaha tani secara organik terlihat kreatif. Hal ini terlihat

dari saprotan yang digunakan bersifat multiguna, artinya satu saprotan memiliki

lebih dari satu manfaat. Petani mampu menarik kesimpulan bahwa saprotan yang

digunakan bersifat multiguna, karena hal tersebut diamati secara langsung di

lapangan UT. Itu mengapa timbul anggapan dari PPL bahwa petani merupakan

Page 86: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

106

“profesor di lahannya sendiri” seperti yang dikemukakan oleh Suwalim berikut

ini:

“Satu anggota punya beberapa petak lahan, itu dipakai beberapa bedeng dulu beberapa

bedeng buat praktek budidaya tanaman secara organik. Lama-kelamaan petani bisa

belajar sendiri dari praktek itu, tidak harus PPL-nya yang memberi semua ilmu. Harapan

saya petani itu bisa pintar dengan sendirinya, untuk uji coba di lahannya sendiri, menjadi

professor di lahannya sendiri. Dengan praktek seperti itu, ada yang menemukan rumput

atau tumbuhan tertentu bisa dijadikan sebagai bahan untuk buat pestisida. Akhirnya pada

waktu pertemuan petani bisa saling tukar pengalaman, akhirnya ilmunya mereka semakin

bertambah…. Maka dari itu, petani menjadi professor di lahannya sendiri.”

Mencermati pendapat Suwalim, sebagian petani berinisiatif untuk memanfaatkan

lahannya untuk melakukan uji coba seiring ketika mereka melakukan usaha tani.

Dengan melakukan uji coba atau praktek tersebut, petani dapat menemukenali

metode atau sumber daya yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk mendukung

keberhasilan usaha taninya. Berdasarkan patokan individu poktan dalam

penyediaan saprotan, masing-masing poktan memiliki perbedaan. Sebagian

individu Poktan Tranggulasi memiliki kreasi sendiri-sendiri untuk membuat

saprotan, sehingga tidak selalu terpatok pada prosedur yang telah ditetapkan oleh

poktan dalam pembuatan saprotan tertentu. Di sisi lain, sebagian besar individu

poktan berpatok pada prosedur kelompok untuk menyediakan saprotan.

Berdasarkan kasus yang terjadi di poktan Trangggulasi, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa hasil temuan teknologi atau metode yang bersumber dari kreasi

sendiri dirasa bermanfaat untuk mengembangkan keberhasilan usaha taninya. Di

sisi lain, individu Poktan BM sementara ini masih merasa bahwa teknologi yang

bersumber dari uji coba secara kolektif (dilakukan oleh poktan) dianggap cukup

bermanfaat untuk menunjang keberhasilan usaha taninya, sehingga mengikuti

prosedur yang ada di poktan. Baik menggunakan teknologi berdasarkan kreasi

sendiri ataupun prosedur poktan, persamaan yang dapat disinyalir dari

menanggapi kasus tersebut adalah teknologi atau metode dianggap layak karena

dilatarbelakangi oleh kegiatan uji coba. Kegiatan tersebut dianggap bernilai dan

kredibel untuk menilai kelayakan suatu teknologi atau metode.

B. Budidaya Tanaman

Cakupan yang dibahas dalam anak sub bab ini menyangkut tentang segala hal

yang berkaitan dengan ciri khas poktan organik dalam penanaman (termasuk

pengaturan jenis tanaman yang dibudidaya) dan pemeliharaan tanaman. Budidaya

Page 87: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

107

tanaman berkaitan erat dengan usaha petani dalam memanfaatkan dan mengelola

berbagai sumber daya yang tersedia di lapangan produksi dengan tujuan untuk

memperoleh hasil yang optimal.

Penentuan jenis tanaman yang dibudidayakan oleh Poktan Tranggulasi

tergantung dari beberapa pertimbangan petani. Pernyataan dari Sumadi akan

memperjelas hal tersebut:

“Pertimbangan saya nanam brokoli dan buncis karena prosesnya cepat. Kalau buncis itu dua

bulan sudah panen. Itu tiap bulan sudah petik paling tidak dua kali. Brokoli juga dua bulan.

Kalau selada itu cepat, tapi saya tidak pernah nanam selada, karena sudah banyak petani yang

tanam.”

Berdasarkan pernyataan Sumadi, maka dapat diketahui bahwa salah satu

pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang dibudidaya adalah

umur panen. Dengan umur panen yang relatif singkat, petani tertarik untuk

membudidayakannya. Di samping umur panen, jumlah petani yang

membudidayakan tanaman tertentu juga menjadi pertimbangan dalam memilih

komoditas yang ditanam. Jumlah petani yang membudidayakan tanaman tertentu

berkaitan erat dengan permintaan pasar. Hal ini diperjelas melalui pernyataan

Syaefuddin sebagai berikut:

“Yang ditanam nanti bisa masuk ke kelompok, tergantung kelompok itu membutuhkan sayur

apa. Itu yang menentukan jenis tanaman yang kita tanam, tergantung permintaan kelompok.

Kalau saya memilih tanaman yang dibudidaya itu atas kemauan saya sendiri, tetapi dalam

kelompok itu ada beberapa komoditas yang diminta dari supermarket atau dari pasar lain,

komoditas itulah yang kita tanam. Nanti sewaktu ada permintaan, tanaman sudah dipanen,

sehingga kita tidak sampai mengecewakan pasar. Maka dari itu saya menanam berbagai jenis

tanaman, itu panennya bisa bergilir.”

Walau begitu, sebelumnya poktan ini sudah pernah menerapkan

pembagian komoditas tanaman yang dibudidayakan. Hal ini selaras dengan yang

diutarakan oleh Syaefuddin berikut ini:

“Padahal yang laku buncis perancis, harga brokolinya di pasar lokal sedang turun.

Pesanan dari kelompok sedikit, akhirnya banyak yang dijual ke pasar lokal. Tapi petani

yang nanam buncis perancis bisa masuk ke kelompok semua, sehingga terjadi

kecemburuan antar temen. Maka dari itu, sekarang kita siasati nanam tanaman

berdasarkan keinginan sendiri. Dulu penyediaan bibitnya diusahakan dari

kelompok.Waktu penanaman sudah dijadwalkan dari kelompok. Penanaman jenis

tanaman sudah diatur, tapi jadi kecemburuan seperti itu. Maka dari itu, sekarang petani

nanamnya atas kemauan sendiri, nanti kalau ada pesanan tanaman tertentu bisa terserap,

kalau tidak kita jual ke pasar lokal. Kadang kita hasil panennya bagus, tapi permintaan

dari gudang kelompok itu.”

Page 88: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

108

Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa kebijakan pembagian

jenis tanaman yang dibudidaya sudah tidak diberlakukan oleh poktan karena

adanya kesenjangan permintaan pasar akan sayuran. Maksudnya, ketika petani

diminta untuk menanam komoditas tertentu, sedangkan permintaan akan tanaman

tersebut terbatas, maka sebagian besar produk yang dihasilkan tidak terserap ke

gudang poktan. Dengan adanya persoalan ini, penentuan jenis tanaman yang

dibudidayakan oleh petani didasarkan atas kemauan sendiri, tetapi tetap berpatok

pada permintaan dari pasar. Hal ini dipertajam melalui pernyataan Wikan

Mujiono berikut ini:

“Pengaturan pola tanam sudah lama tidak jalan. Masalahnya pikiran dari masing-masing

anggota itu tidak pasti. Misalkan saya diminta nanam sawi sendok, saya tidak mau. Lalu,

diminta nanam tomat saya tidak bisa. Istilahnya dari petani punya prediksi sendiri

mengenai hasilnya. Yang kompak nanam tanaman berdasar aturan kelompok hanya

petani-petani yang menangani pemasaran. Mereka berusaha untuk nanam sedikit-sedikit,

misalnya dalam satu lahan ada beberapa tanaman. Tapi sebagian besar anggota nanamnya

bebas, tidak diatur. Yang saya masukkan ke kelompok hanya daun bawang dan daun

seledri saja. Saya tanami sedikit-sedikit mas. Kalau saya tanami banyak terus anggota

yang lain gimana? Pertimbangan saya nanam daun bawang dan daun seledri itu karena

panennya bisa sedikit-sedikit atau bertahap mas. Misalkan kelompok mintanya 10 kilo,

saya bisa panen hanya 10 kilo, kalau 20 kilo yang saya panen hanya 20 kilo, gitu kalau

daun seledri. Kalau tomat tidak bisa dipanen lima kilo dulu, terus besok lima kilo lagi,

karena kalau sudah matang harus segera dipanen…. Kelompok tani sekarang minta

tanaman bangsanya buncis perancis, sawi sendok, yang kecil-kecil seperti itu, kalau saya

kurang suka. Sekali panen atau satu musim tanam hanya satu sampai dua kwintal. Kalau

tanam kubis bisa panen satu sampai dua ton.”

Berdasarkan pernyataan Wikan Mujiono, maka semakin jelas bahwa petani

memiliki motif yang berbeda-beda dalam menentukan jenis tanaman yang

dibudidaya. Jika dicermati secara seksama, anggota poktan tertentu masih

memperhatikan nasib anggota poktan yang lain supaya produk yang dihasilkannya

(anggota lain) dapat terjual ke gudang poktan. Hal tersebut terbukti dari teknik

yang dilakukan oleh Wikan Mujiono dengan menanam sayuran tertentu dalam

jumlah yang sedikit, sehingga menciptakan peluang bagi anggota poktan lain

untuk menanam sayuran yang sama dan bisa terjual ke gudang poktan. Kemudian,

pola panen juga menentukan kemauan petani dalam membudidayakan komoditas

tertentu, misalnya tanaman seledri dan daun bawang yang proses matangnya

relatif lambat, sehingga memungkinkan untuk menunda waktu panen. Dengan

begitu, pemanenan tanaman tersebut bisa disesuaikan dengan waktu pengadaan

barang di gudang. Berbeda dengan tanaman tomat yang proses kematangannya

Page 89: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

109

lebih cepat, sehingga petani dituntut untuk disiplin dalam melakukan pemananen.

Pertimbangan lainnya adalah sebagian petani enggan untuk menanam sayuran

yang hasil panennya tergolong memiliki berat yang rendah (dalam satuan kg atau

kwintal), seperti: buncis perancis, sawi sendok, dan lain-lain. Mereka lebih

berminat membudidayakan tanaman yang hasil satuannya memiliki bobot tinggi,

seperti: kubis, tomat, dan sebagainya. Kemudian jika pernyataan dari Wikan

Mujiono dicermati, maka dapat disimpulkan bahwa pengurus (khususnya yang

tergabung dalam pengelola pemasaran) masih menerapkan pembagian jenis

tanaman yang dibudidayakan. Di samping itu, menurut Iswanto petani di

Indonesia sebagian besar berstatus ganda, yakni: sebagai produsen dan sekaligus

sebagai konsumen. Berikut pernyataannya:

“Faktanya di lapangan, petani itu tidak semata-mata menanam jenis tanaman karena

produksi yang tinggi. Karena petani di Indonesia itu, di samping dia adalah produsen, dia

juga sekaligus sebagai konsumen. Berbeda dengan di negara-negara maju, petani jelas

sebagai pengusaha, artinya ia akan selalu mengejar keuntungan. Kalau di negara kita

petani itu masih berfungsi sebagai produsen sekaligus konsumen, mereka tidak akan

mungkin menanam tanaman yang mereka sendiri tidak suka. Tapi kalau di negara maju

dia mau suka makan atau tidak, selama barang ini nanti bisa menjadi uang dan

menguntungkan, akan mereka usahakan.”

Petani yang bermotif subsistensi semacam itu yang menyebabkan pengurus

poktan mengalami kesulitan dalam mengatur pembagian jenis tanaman yang

dibudidayakan oleh individu poktannya. Pada dasarnya, yang menyebabkan

kesulitan poktan untuk mengatur pembagian jenis tanaman yang dibudidaya oleh

masing-masing petani diungkapkan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:

“Seharusnya ada pembagian tugas di kelompok mengenai komoditas yang ditanam. Tapi

karakter atau kultur petani itu kadang-kadang membuat sulit, karena mereka selalu

mengusahakan tanaman yang penanganannya mudah dan tidak beresiko.”

Menanggapi pernyataan Bernadus Agus Prabowo, maka dapat disimpulkan bahwa

mayoritas petani menentukan jenis tanaman yang dibudidaya dengan

pertimbangan kemudahan penanganan dan minimalnya jumlah risiko pada saat

membudidayakan tanaman yang bersangkutan. Oleh karena itu, demi

terpenuhinya permintaan pasar modern, pengurus poktan berinisiatif membentuk

kelompok kecil untuk melakukan pembagian tugas. Hal tersebut terbukti melalui

pernyataan Wikan Mujiono berikut ini:

Page 90: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

110

“Yang masih menerapkan pengaturan jenis tanaman itu hanya petani-petani yang

mengurusi pasar modern. Kalau sudah ada permintaan, mereka saling koordinasi untuk

pengadaan barangnya.”

Meski begitu, ada sebagian anggota yang masih mentaati kebijakan pembagian

komoditas sayuran untuk melakukan budidaya. Demikian pernyataan Supoyo:

“Pembagian tanaman saya taati, saya biasanya menanam selada, bit, dan spinach. Saya

selalu ajeg nanam itu. Ada anggota yang tanam brokoli, ajeg tanam brokoli terus.

Terkadang ada pergantian. Dengan begitu bisa menjaga kemampuan kelompok untuk

menuhi permintaan.”

Kemudian, berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pola tanam

yang umumnya diterapkan oleh poktan adalah tumpang sari. Hal ini terbukti

berdasarkan pernyataan dari Supoyo sebagai berikut:

“Jadinya tumpang sari itu satu bedeng ada selada, ada brokoli, bit, jarak tanamnya

masing-masing 30 cm. Empat jenis tanaman juga bisa, dengan kubis, kubisnya ditanam di

tengah-tengah, kalau kubis daunnya lebar mas. Kalau kubis umur panennya 3 bulan mas.

Kalau bangsanya selada, bit itu 40 hari sudah panen. Selada dan bit panen, kubisnya baru

tumbuh…….. Ditumpang sari ini fungsinya untuk jaga umur mas, kalau selada umurnya

pendek, 40 hari sudah panen, spinach juga sama. Pakai mulsa, mulsa fungsinya untuk

mencegah pertumbuhan rumput, jadinya kami tidak kerepotan untuk menyiangi mas.

Jarak tanamnya spinach dan selada selang 30 hari, itu dibuat selang-seling, selada-

spinach-selada.”

Berdasarkan pernyataan Supoyo, maka dapat diketahui bahwa pola tanam

tumpang sari memiliki beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Penentuan

jarak tanam dan waktu penanaman sangat berpengaruh terhadap efektifitas dan

efisiensi dari pola tanam ini. Jarak tanam antar kedua komoditi yang berbeda

(misalnya: spinach dan selada) diatur rapat dengan jarak 30 x 30 cm. Jarak tanam

yang dekat sangat dianjurkan. Dengan tajuk yang rapat menutupi permukaan

tanah dari terik matahari, maka evaporasi diperkecil (Sutanto, 2002:125).

Sedangkan, perhatian petani terhadap jarak waktu penanaman antara tanaman satu

dengan tanaman lain yang dibudidayakan bertujuan untuk menciptakan

kesinambungan produksi (kegiatan panen). Hal ini terjadi karena jarak waktu

panen antar tanaman yang dibudiayakan relatif dekat, sehingga kesinambungan

pendapatan petani pun dapat tercipta. Akan tetapi hal tersebut sangat berkaitan

erat dengan kemampuan petani dalam mengatur waktu tanam. Jika tidak

memperhatikan jarak waktu tanam antar tanaman, maka kesinambungan

pemanenannya tidak optimal, selain itu dapat mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Sarana yang digunakan untuk penyiapan lahan adalah

Page 91: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

111

mulsa. Mulsa bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan gulma, sehingga tenaga

untuk melakukan penyiangan dapat terminimalisir. Selain mengurangi

pertumbuhan gulma, menurut Reijntjes dkk (1999:189), pemulsaan merupakan

teknik yang penting untuk memperbaiki iklim mikro tanah; meningkatkan

kehidupan, struktur, dan kesuburan tanah; menjaga kelembapan tanah; mencegah

kerusakan akibat dampak radiasi sinar matahari dan curah hujan (pengendalian

erosi); dan mengurangi kebutuhan akan pengolahan tanah. Beralih kembali ke

pola tanam tumpang sari, Suparman mempertajam bahwa pola tanam tumpang

sari bermanfaat untuk menciptakan kesinambungan pemanenan atau produksi,

yang kemudian berimplikasi pada kesinambungan pendapatan. Berikut

pernyataannya:

“Itu saya campur tomat dan sawi putih bersamaan di satu tempat, tumpang sari.

Keuntungannya, nanam tomat itu tiga bulan baru panen, sawi putih 40 hari mulai panen,

jadinya bisa untuk keberlanjutan modal. Kalau tidak ditumpangsari, modalnya bisa

terputus.”

Dengan keadaan seperti itu, ketersediaan modal petani untuk melakukan UT juga

terjaga. Selain itu, kegagalan salah satu tanaman dapat dikompensasikan oleh

tanaman yang lain, sehingga risiko kegagalan panen dapat ditekan seminimal

mungkin. Kemudian, dengan pola tanam yang seperti itu, produktivitas lahan per

satuan luas lebih besar daripada pertanaman tunggal, jika ditinjau dari hasil panen

untuk setiap satuan luas (Sutanto, 2002:131). Hal ini dipertajam oleh Sumar

sebagai berikut:

“Tomat biasanya ditumpangsari dengan kubis, brokoli, terakhir ditanam tomat. Jadi

nanam kubis, umur ½ bulan, ditanami tomat. Tidak ditanam dalam waktu sama, kalau

bersamaan, tomatnya tersaingi. Masalahnya kalau tomat itu lebat, tomat itu perlu ruang

longgar. Jadi kubis sudah habis dipanen, tomat sudah berumur dua bulan. Kalau pakai

mulsa itu hemat tenaga, rumputnya tidak terlalu banyak, kalau kebanyakan gulma

tanamannya jadi tidak bagus, karena unsur haranya terserap dengan gulmanya.”

Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola tanam

tumpang sari perlu memperhatikan jenis tanaman yang dibudidaya. Perhatian

petani terhadap jenis tanaman yang dibudidaya pada pola tanam tumpang sari

bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam memanfaatkan air, sinar, dan hara

yang tersedia (Sutanto, 2002:131). Sebagai contoh tumpang sari antara tanaman

kubis dan tomat. Tanaman kubis ditanam terlebih dulu, kemudian tanaman tomat

menyusul. Perlakuan semacam ini dilakukan mengingat laju pertumbuhan kedua

Page 92: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

112

tanaman tersebut berbeda. Penanaman harus memperhitungkan kondisi tanaman

dan waktu yang tersedia, termasuk ruang yang digunakan masing-masing jenis

yang ditanam, kompetisi terhadap sinar, kelembapan, dan hara tanaman. Struktur

tanaman harus memperhitungkan juga perspektif horizontal dan vertikal bentuk

kanopi di atas tanah dan perakaran tanaman (Sutanto, 2002:122). Sumar

memperjelas manfaat dari pemulsaan, yaitu untuk mencegah pertumbuhan gulma

dan mengurangi tenaga untuk penyiangan, serta mencegah terjadinya kompetisi

penyerapan unsur hara antara tanaman dengan gulma. Kaitan yang erat antara

penentuan jenis tanaman yang ditumpang-sari dengan efektifitas dan efisiensi

pemanfaatan sinar matahari turut diutarakan oleh Syaefuddin sebagai berikut:

“Kalau habis panen, saya menanam tanaman yang tidak sejenis. Misalnya brokoli habis,

kita cabut. Bekas brokolinya itu tidak ditanam brokoli lagi, tapi ditanam jenis yang lain.

Waktu tanamnya itu susul-susulan……. Kalau kurang ½ bulan sudah siap panen, sudah

diisi yang sebelahnya lagi, kalau yang panennya habis, yang sebelahnya sudah

tumbuh…… Itu mengatur supaya tidak terlalu kepanasan, kalau musim kemarau ada

naungannya. Jarak tanam antar satu sama lain 30 cm x 30 cm, tapi itu tanamnya bukan

satu komoditas, tetapi dua komoditas. Kalau jarak tanam satu komoditas 60 cm. Kalau

dua komoditas, misalnya brokoli dan sawi putih jaraknya 30 cm.”

Berdasarkan pernyataan dari Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa sebagian

individu Poktan Tranggulasi menerapkan sistem penanaman susul-susulan atau

biasa dikenal dengan istilah sistem pergiliran tanaman. Sistem pergiliran tanaman

perlu memperhatikan beberapa hal seperti yang sudah dibahas sebelumnya (jarak

waktu tanam, jarak tanam, dan komoditas yang ditanam). Hal tersebut salah

satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang dibudidaya terhadap

intensitas sinar matahari, yang selanjutnya juga berpengaruh terhadap pengaturan

tingkat kelembapan. Berdasarkan pernyataan itu, kreativitas petani terlihat dari

adanya usaha untuk mengkombinasikan komoditas sayuran yang membutuhkan

intensitas sinar matahari yang tinggi dan komoditas yang hanya membutuhkan

intensitas sinar matahari yang rendah atau sedang. Keuntungan lain dengan pola

bergilir diutarakan oleh Suparyono sebagai berikut:

“Kubis ditumpangsari dengan wortel, kalau kubis sudah berumur 25 hari atau satu bulan,

ditaburi benih wortel. Jadi kubis sudah hampir panen, wortel baru mau tumbuh. Sehabis

kubis dipanen, ditanami sawi putih. Pada waktu wortel dipanen, sudah membalik tanah.”

Mencermati pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui manfaat tumpang sari

antara tanaman kubis dan wortel, kemudian disusul dengan penanaman tanaman

sawi putih. Ketika tanaman kubis sudah dipanen, tanaman wortel sudah hampir

Page 93: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

113

siap panen. Lubang tanam bekas kubis, diisi dengan tanaman sawi putih. Ketika

wortel sudah siap panen, maka tanah yang menjadi lubang tanam dari wortel

secara otomatis sudah terolah dan dapat memberi manfaat sebagai sirkulasi udara

(aerasi) yang kemudian berguna untuk menunjang pertumbuhan dan

perkembangan tanaman sawi putih. Mencermati pembahasan-pembahasan

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pola tanam tumpang sari bermanfaat

untuk membangun interaksi. Setiap tanaman memiliki caranya sendiri untuk

berkembang dalam interaksi dengan lingkungan, yakni memiliki kebutuhan khas

untuk faktor-faktor pertumbuhan, yang terwujud dalam ruang sebagai

morfologinya. Perbedaan-perbedaan morfologi antar tanaman dapat digunakan

petani untuk mendapatkan suatu dampak yang dikehendaki terhadap interaksi

antara komponen-komponen dengan lingkungan. Bukan hanya morfologi di atas

permukaan tanah, namun juga sistem perakaran (Reijntjes dkk, 1999:89).

Selanjutnya, ditinjau dari segi perawatan tanaman, poktan sayuran organik

juga memiliki keunikan tersendiri. Implementasi perawatan tanaman salah

satunya ditujukan untuk meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap

tanaman budidaya. Teknis pengendalian hama dan penyakit digambarkan melalui

pernyataan Sumar berikut ini:

“Mengamati perkembangannya itu gimana, ada ulatnya atau tidak? Kalau ada ulatnya

diambil pakai tangan. Kalau musim kemarau gini, hamanya banyak, tapi kalau musim

penghujan penyakitnya yang banyak, hamanya berkurang….. Insektisidanya pakai CP.

Penyemprotan pestisida biasanya dilakukan pagi hari.”

Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat diketahui bahwa umumnya serangga

yang tergolong sebagai hama muncul pada saat musim kemarau, sedangkan

serangan patogen penyakit banyak terjadi pada musim penghujan. Menurut Heddy

(2010:98), suhu tinggi (musim kemarau) dapat membuat tanaman layu dan

menjadikannya lebih “enak” bagi serangga. Sedangkan, perkembangan serangan

patogen penyakit berjalan dengan pesat pada saat musim penghujan, dikarenakan

oleh adanya hubungan yang erat antara perkecambahan spora (patogen fungi)

dengan kelembapan. Kelembapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan

pertumbuhan sukulentis pada tanaman dan ini dapat mengurangi ketahanan

terhadap parasit (Semangun, 2006:246). Pengendalian hama dilakukan secara

manual (menggunakan tangan) dan kimiawi (menggunakan pestisida yang dikenal

Page 94: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

114

dengan nama CP). Pengendalian secara kimia dilakukan pada pagi hari. Kegiatan

pengendalian hama atau penyakit tanaman tidak selalu menggunakan teknologi

yang diproduksi oleh poktan melalui eksperimen. Hal tersebut didukung oleh

kegiatan uji coba mandiri yang dilakukan bersamaan pada saat petani

melaksanakan kegiatan pengendalian hama atau penyakit tanaman. Pernyataan

dari Syaefuddin akan menjelaskan hal tersebut:

“Dulu pernah saya buat pestisida tertentu salah, buat pestisida tertentu salah. Saya buat

pestisida, kalau ulat bisa mati, tapi belalang tidak bisa mati, itu dikasih apa lagi?.......

Terus kutu kebul, yang putih itu, itu sulit penanganannya. Dikasih yang bau-bau,

dedaunan yang bau tidak bisa. Saya punya siasat, saya pakai sari manis, itu bisa buat

campuran roti, untuk pemanis. Itu saya semprot pakai itu, kutu kebulnya bisa hilang.”

Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui bahwa kegiatan

pemeliharaan tanaman dapat dijadikan ajang untuk menguji-coba dan menilai

efektifitas dari suatu teknologi. Upaya petani untuk melakukan uji coba teknologi

biasanya didasarkan atas adanya permasalahan di lapangan UT. Sebagian petani

menggunakan teknologi yang berbeda untuk membuat dan mengaplikasikan

pestisida alami. Hal tersebut diutarakan oleh Ngatemin berikut ini:

“Sekarang mau membasmi hama, petani di sini cuma pakai apa? Itu cuma pakai daun

suren, kliko pinah, dan cabai, itu semua dicampur dan direbus. Bisa buat membasmi

hama. Dicoba-coba terus bisa……. Itu uji cobanya secara pribadi. Ada anggota kelompok

yang menanggulangi hama cuma pakai peresan tembakau mas.”

Berdasarkan pernyataan Ngatemin, maka dapat diketahui bahwa petani di Poktan

Tranggulasi memanfaatkan sumber daya lokal (seperti: daun suren, cabai, dan

tembakau) dan daya kreativitasnya untuk membuat pestisida alami. Berangkat dari

hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu petani tidak hanya

mengandalkan produk pestisida yang dihasilkan oleh Poktan Tranggulasi, akan

tetapi dengan daya kreativitasnya, petani mampu menemukenali sumber daya

lokal yang potensial, membuat atau mengolah, menghasilkan, dan

mengaplikasikan pestisida alami. Kreativitas tersebut terbangun dari adanya

kemauan petani untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dijelaskan

melalui pernyataan Rahmat berikut ini:

“Mana yang mudah didapat dari lingkungan kita, itu bisa kita ekstrak maupun kita suling,

bisa kita gunakan sebagai pestisida alami. Cuma kalau menggunakan itu tidak seperti

menggunakan pestisida kimia, kalau pestisida kimia sifatnya kan membunuh sekali dan

digunakan petani biasanya kalau sudah ada serangan. Kalau yang organik tidak bisa,

harus digunakan sejak awal, tujuannya untuk menjaga tanaman itu agar sehat, supaya

tidak terkena penyakit dan hama. Kalau sudah terlanjur kena serangan hama, pestisida

Page 95: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

115

organik tidak bisa diterapkan, harus pakai pestisida kimia. Jadi organik itu tidak seperti

anorganik, serba instan. Kalau organik itu biasanya orang bilang rumit, jadi sulitnya di

situ. Tenaga yang dikerahkan banyak, karena paling tidak harus 10 hari sekali kita

semprotkan pakai itu. Sifatnya lebih kepada mengusir hama.”

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya yang tersedia di

sekitar lingkungan dapat diolah menjadi saprotan, diantaranya melalui proses

pengekstrakan atau penyulingan. Dari segi pengendalian hama dan penyakit,

perspektif UT organik lebih menekankan atau mengutamakan upaya preventif

(pencegahan). Di samping itu, pengendalian hama dan penyakit dengan sistem

organik bersifat lebih intensif, dibandingkan dengan sistem yang anorganik.

Selanjutnya, perlakuan lain yang dilakukan oleh petani untuk merawat

tanamannya adalah pemupukan. Pernyataan dari Sumar akan memberikan

gambaran tentang teknik pemupukan yang diimplementasikan oleh Poktan

Tranggulasi:

“Saya nanam tomat, pakai pupuk cair power itu. Kalau pupuk padat bahannya dari

kotoran sapi. Power fungsinya yang utama untuk penyubur dan mempercepat

pertumbuhan…. Untuk pemeliharaan yang penting diperkuat pupuk cairnya. Bisa juga

pupuknya pakai segala macam hijau-hjauan, lalu urin sapi, dan lain-lain. Yang penting

segala macam bahan alami.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sumar, maka dapat disimpulkan bahwa

sarana yang digunakan oleh individu Poktan Tranggulasi adalah power sebagai

pupuk cair. Sedangkan, pupuk padatnya menggunakan pupuk kandang sapi.

Sumar mengutarakan bahwa berbagai alternatif input digunakan untuk meracik

dan mengaplikasikan pemupukan, seperti penggunaan seresah-seresah daun

sebagai pupuk hijau dan input lainnya. Gambaran tentang teknis pemupukan yang

dilakukan oleh Poktan Tranggulasi dipertajam oleh Syaefuddin sebagai berikut:

“Perawatan tanaman kita biasanya ke lahan. Kita amati pertumbuhan tanamannya, misal

ada hamanya atau tidak, itu yang diperhatikan. Seandainya tanahnya itu tidak subur, kita

harus segera memberi pupuk cair berbahan urin sapi. Pertama, kita buat lubang, lalu

dikasih pupuk cair satu gelas per lubang. Pupuk cair itu perbandingannya dengan air satu

banding dua. Limbah sayuran juga bisa digunakan sebagai pupuk cair. Seandainya panen

brokoli, sisanya itu dimasukkan ke air, lalu ditunggu tiga sampai empat hari itu sudah

busuk. Sesudah itu diambil, airnya yang digunakan. Kalau di lingkungan sini lembap,

sehingga tidak terpengaruh untuk urin sapi. Tapi kalau di bawah seandainya Salatiga,

perbandingan antara pupuk cair urin sapi dan air kira-kira satu banding tiga. Saya pernah

uji coba, kalau di sini lingkungannya lembap, sehingga pohonnya kuat, tapi kalau di

dataran rendah atau sedang kondisinya panas, itu kalau diberi urin sapi terlalu banyak

bisa layu. Jadi dipengaruhi juga oleh suhu.”

Page 96: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

116

Dari pernyataan Syaefuddin, maka dapat diketahui lebih detil perlakuan

pemupukan yang dilakukan oleh petani. Petani perlu peka terhadap keadaan atau

kondisi tanaman. Jika dirasa kurang subur, tanah diberi perlakuan pupuk cair

berbahan urin sapi (ferinsa fermentasi urin sapi). Di samping itu, untuk

membuat pupuk cair, petani juga bisa menggunakan limbah sayuran. Pupuk cair

menggunakan urin sapi atau limbah sayuran cocok digunakan di daerah

pegunungan, mengingat tingkat kelembapannya yang lebih tinggi dibandingkan

dengan daerah dataran sedang atau rendah yang tingkat kelembapannya relatif

lebih rendah. Dengan kelembapan yang tinggi, berdirinya tanaman menjadi lebih

kokoh, sehingga tidak mudah layu apabila diberi perlakuan pupuk cair.

Selanjutnya, pelaksanaan budidaya tanaman oleh individu Poktan Tranggulasi

terbantu karena sudah tersedia tata cara atau panduan dalam mengaplikasikan

pupuk atau pestisida. Hal tersebut diungkapkan oleh Rebo sebagai berikut:

“Tata cara untuk pemberian power atau CP sudah ada. Berapa dosisnya, kapan waktu

pemberiannya.”

Selain menggunakan produk yang dihasilkan poktan atau hasil kreasi

sendiri untuk membuat pupuk atau pestisida, sebagian petani ada yang membeli

produk pupuk atau pestisida di toko pertanian. Pernyataan dari Suparman

menandakan hal tersebut:

“Ini baru nanam tomat, pakai pupuk meganik, saya sementara ini tidak pakai power……

Kalau saya pestisidanya beli di toko dengan bermacam-macam merk.”

Hal tersebut terjadi karena adanya kesulitan yang dirasakan oleh petani dalam

melakukan UT tanaman sayuran tertentu dengan sistem organik. Hal tersebut

diungkapkan oleh Ngatemin sebagai berikut:

“Kalau cabai pakai bahan organik tidak ampuh mas, pasti semi organik….. Selain cabai,

tanaman tomat itu kalau mengandalkan organik tidak ampuh mas.”

Dari pernyataan Ngatemin tersebut, maka dapat diketahui bahwa beberapa

tanaman, seperti tomat dan cabai masih sulit dibudidayakan, jika hanya

mengandalkan saprotan (khususnya pestisida) organik. Kedua tanaman tersebut

memiliki kesamaan dari segi familinya, yakni famili solanaceae.

Penerapan budidaya semacam itu juga disebabkan oleh adanya faktor-

faktor yang dirasa oleh petani sebagai hal yang bernilai. Pernyataan Ngatemin

akan memberikan gambaran awal mengenai hal yang bernilai tersebut:

Page 97: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

117

“Masalah bertani organik itu gini mas. Kalau petani di sini mau memulihkan tanah, kalau

tanahnya sudah kebanyakan unsur kimia buatan itu untuk budidaya mengalami kesulitan.

Sekarang sudah bisa mengurangi unsur kimia buatan, dibudidaya secara organik setiap

tahun pertumbuhan tanamannya selalu bagus. Kalau dulu tiap tahun nyangkulnya lebih

dalam, sekarang nyangkulnya lebih pendek. Sekarang bisa dirasakan hasilnya, ternyata

tanpa kimia lebih bagus.”

Mencermati pernyataan dari Ngatemin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

telah terbentuk kesadaran individu Poktan Tranggulasi tentang pentingnya

menerapkan UT secara organik, mengingat hal tersebut merupakan upaya untuk

menjaga pertanian yang berkelanjutan. Salah satu sumber daya yang perlu

dipertahankan kualitasnya adalah tanah. Kesadaran itu muncul sebagai akibat

adanya masalah yang dialami langsung oleh petani. Hal ini terbukti dari adanya

pendapat bahwa penggunaan input kimia sintetik yang berlebihan dapat

mengakibatkan tanah menjadi keras, sehingga mempersulit petani dalam

mengolah lahan. Dengan keadaan seperti itu pula, input yang digunakan untuk

meningkatkan produktivitas tanah menjadi semakin banyak dan berdampak pula

pada peningkatan biaya produksi. Hal tersebut dipertajam oleh Wikan Mujiono

sebagai berikut:

“Hasilnya lebih banyak yang anorganik, tapi lama-kelamaan tanahnya rusak. Misalnya

cabai yang anorganik, harusnya lahannya didiamkan dulu beberapa bulan, biar rumputnya

pada tumbuh, baru diolah. Misalkan habis lahan masih banyak mengandung kimia, terus

langsung saya olah, tanamannya sulit tumbuh. Saya mengalami ketika nanam brokoli,

kemarin saya tanami terung. Terung itu saya semprot, aku beri pupuk banyak mas.

Sekarang terong saya panen, saya tambahi pupuk lagi, saya tanami brokoli, brokoliku

gagal, sekitar 2.500 tanaman gagal, panennya hanya sedikit-sedikit. Tapi kalau organik,

misalkan organik terus saya terapkan organik, tanah itu tidak saya kasih pupuk kandang,

hanya saya pasangi plastik mulsa, lalau saya kasih pupuk organik per lubang satu gelas.

Saya buat nanam, hasilnya bagus mas. Saya tambahi pupuk cair juga, sedikit-sedikit.

Terus sehabis panen, saya tanami lagi, mulsanya tidak saya bongkar, saya biarkan seperti

itu. Saya kasih pupuk organik, hasilnya tetap bagus. Tapi beda kalau yang anorganik,

harus dibongkar dan didiamkan lama terlebih dahulu.”

Berdasarkan pernyataan Wikan Mujiono, maka dapat diketahui bahwa dengan

sistem UT anorganik akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi daripada

menerapkan sistem UT organik. Akan tetapi, penggunaan input berbahan kimia

sintetik secara terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan tanah. Sebelum

menerapkan sistem UT organik, petani sengaja mendiamkan lahan yang

sebelumnya diberi aplikasi input kimia sintetik selama berbulan-bulan, agar

tumbuh rumput, kemudian baru diolah. Penerapan sistem UT organik tanpa

mendiamkan terlebih dahulu lahan yang sebelumnya diberi input kimia sintetik,

Page 98: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

118

mengakibatkan tanaman mengalami kegagalan panen yang prosentasenya tidak

sedikit. Akan tetapi jika petani konsisten menggunakan input berbahan organik,

maka semakin sedikit input yang digunakan untuk melakukan budidaya tanaman.

Di samping itu, penggunaan mulsa dan penggunaan input berbahan organik

mampu mengurangi tenaga untuk mengolah tanah. Sedangkan, penggunaan input

berbahan kimia sintetik mengakibatkan lebih intensifnya kegiatan pengolahan

tanah. Pengolahan tanah secara intensif dapat menimbulkan dampak negatif,

karena merusak struktur tanah, mempercepat dekomposisi bahan organik, dan

meningkatkan kemungkinan terjadi erosi. Sistem pengelolaan yang cukup populer

adalah mengurangi kegiatan pengolahan tanah dalam bentuk olah tanah minimum

(OTM) dan TOT (tanpa olah tanah). Dengan sistem ini, kegiatan makrofauna

dapat dipertahankan, misalkan lorong yang dibentuk kegiatan cacing tanah

menyebabkan infiltrasi air lebih cepat. Selain itu, dapat mempertahankan hara

tanaman di permukaan tanaman (Sutanto, 2002:31-32). Kemudian, penerapan

sistem UT organik dapat berdampak positif untuk membangun peran

mikroorganisme dalam tanah. Hal tersebut diungkapkan oleh Rahmat sebagai

berikut:

“Kendalanya itu bisanya mereka tidak sabar, karena organik memerlukan waktu yang

cukup panjang, tidak sekedar seperti pupuk anorganik. Tapi kalau tanah itu sudah jadi

organik, walaupun tidak dipupuk itu tetap menghasilkan, karena di situ sudah banyak

mikroorganisme yang berperan.”

Dengan menggunakan input organik, mikroorganisme yang ada di dalam tanah

dapat lebih terpelihara populasinya. Mikroorganisme tanah tersebut mampu

membantu petani dalam menunjang kesuburan dan kesehatan tanah, sehingga

pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat lebih optimal. Mikoriza dan

mikroorganisme lain dapat memobilisasi hara, sehingga tersedia bagi tanaman

(Sutanto, 2002:29). Meski begitu, ada sebagian individu poktan yang beranggapan

bahwa penerapan sistem UT organik mengandung beberapa kesulitan terutama di

masa konversi. Pernyataan Suparman berikut ini akan memberikan gambaran

tentang hal tersebut:

“Tapi kalau 100% semua menggunakan organik itu sulit, dulu itu dua tahun itu

memperoleh hasil sejuta. Itu dua tahun khusus menerapkan usaha tani organik tapi

hasilnya sama dan waktunya lebih lama.”

Page 99: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

119

Dari pernyataan Suparman, maka dapat disimpulkan bahwa penanganan budidaya

tanaman dengan sistem organik memiliki kesulitan, terutama pada saat masa

transisi dari sistem anorganik menjadi organik. Kemudian, dengan sistem organik

umur panen tanaman lebih lama, dibandingkan dengan sistem anorganik. Hal

tersebut terjadi karena pada umumnya pemupukan organik memiliki daya

pelepasan unsur hara yang lambat, serta memiliki daya penyimpanan unsur hara

yang lambat untuk dilepaskan ke dalam larutan air tanah, sehingga

ketersediaannya bagi tanaman juga lambat. Terlebih lagi jika pengelolaan tidak

dilakukan secara memadai, maka dapat menyebabkan pemanfaatan unsur hara

yang tidak efisien, hilangnya unsur hara, pengikatan unsur hara atau pengasaman

(Reijntjes dkk, 1999:68 & 70). Semua penyebab tersebut memberi efek negatif

terhadap laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yang kemudian

berdampak negatif pula terhadap kecepatan umur panen. Hal yang kurang-lebih

sama juga diutarakan oleh Harto Slamet sebagai berikut:

“Cuma waktu yang dibutuhkan untuk bertani organik sedikit agak lama. Kalau yang

namanya organik itu tidak bisa instan. Lalu, ketersediaan hara dari pupuk organik juga

terbatas.”

Mencermati pernyataan Harto Slamet, dapat diketahui pula bahwa tenaga dan

pikiran yang dicurahkan untuk menerapkan UT organik lebih tinggi. Hal lain yang

menyebabkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih lamban adalah

unsur hara makro (unsur hara pokok untuk mempercepat pertumbuhan dan

perkembangan tanaman, seperti N, P, dan K) yang terkandung dalam pupuk

organik jumlahnya terbatas. Menurut Sutanto (2002:06), pada umumnya pupuk

organik mengandung hara makro (seperti: N, P, K, Ca, Mg, dan sebagainya)

rendah, tetapi mengandung hara mikro (seperti: besi, mangan, boron, seng,

tembaga, dan sebagainya) dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan untuk

pertumbuhan tanaman. Lain halnya dengan teknologi pupuk pabrik (baik tunggal

maupun majemuk) yang kandungan unsur haranya makronya sudah tersedia

dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, pemakaian pupuk sintetis dalam jumlah besar,

terutama pupuk nitrogen, dalam jangka panjang dapat menurunkan kesuburan

tanah (Salikin, 2003:23). Dengan demikian, meskipun sistem UT organik

mengandung beberapa kelemahan, namun dengan adanya sikap positif individu

poktan terhadap sistem UT organik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

Page 100: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

120

semangat untuk menerapkan budidaya secara organik tetap bertahan, bahkan

berkembang.

Ditinjau dari segi teknis budidaya, terdapat persamaan dan perbedaan

antara Poktan Tranggulasi dan Poktan BM. Perbedaan mendasar antara Poktan

Tranggulasi dan Poktan BM terlihat dari motif petani dalam menentukan jenis

tanaman yang dibudidaya. Pernyataan dari Saminah memberi gambaran awal

letak perbedaan tersebut:

“Pertimbangan memilih tanaman, kelompok beranggotakan 10 orang itu sudah ada

pembagian sendiri-sendiri. Ada pengaturan, jadi masing-masing anggota punya tugas

budidaya tanaman tertentu.”

Berdasarkan pernyataan Saminah, maka dapat diketahui bahwa masing-masing

individu Poktan BM memiliki tugas dalam membudidayakan jenis tanaman

tertentu. Pernyataan dari Saminah diperkuat oleh Supilih sebagai berikut:

“Sudah ada pengaturan jenis tanaman, di sini ada 20 anggota kelompok. Yang mau

ditanam itu berapa komoditi? Berapa macam? Misalnya ada 20 macam, 20 macam ini

penanamannya harus bisa rutin, tapi jumlahnya sedikit-sedikit mas. 20 anggota, kalau

semuanya menanam banyak, nanti sisanya mau dijual kemana? Padahal kelompok

mampu menyerap semua, akhirnya dijual ke pasar lokal. Yang penting permintaan

kelompok tersedia setiap saat mas. Jadwal tugasnya itu bergiliran.”

Berdasarkan pernyataan Supilih, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di Poktan

BM sudah ada pengaturan jenis tanaman yang dibudidayakan oleh tiap-tiap

individu dalam poktan. Satu petani bisa memperoleh tugas untuk

membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman, mengingat pola tanam yang

diterapkan adalah polikultur (menanam beraneka ragam tanaman di satu petak

tanah atau bedengan). Alasan mendasar dilakukannya pembagian tanaman, supaya

poktan dapat memenuhi permintaan pasar. Selain itu, tiap komoditas yang

ditanam oleh satu petani berjumlah sedikit-sedikit, agar produknya semaksimal

mungkin bisa terserap oleh pasar modern. Pemberian tugas ke petani untuk

membudidayakan komoditas tertentu terjadwal dan pada waktu tertentu bisa

berubah. Untuk mengoptimalkan fungsi pengaturan jenis tanaman yang

dibudidaya oleh tiap individu, Poktan BM memiliki pengurus khusus yang

mengelola fungsi tersebut. Hal tersebut dikemukakan oleh Makruf sebagai

berikut:

“Kalau di pertemuan jenis tanaman yang ditanam itu diatur sama kelompok tani, itu

terdiri dari macam-macam tanaman, penataannya sulit. Itu terkadang penugasannya

bergantian. Yang bertugas membagi pengurus divisi pertanian.”

Page 101: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

121

Kemudian, pernyataan Makruf dipertajam oleh Pandi berikut ini:

“Yang menentukan anggota nanam apa itu bagian pemasaran, misalnya satu minggu ini

anggota tertentu nanam brokoli, anggota lain nanam tanaman yang berbeda. Itu

tujuannya supaya bisa memenuhi permintaan, jadi stoknya masih ada.”

Berdasarkan pernyataan Makruf dan Pandi, maka dapat dipastikan bahwa

pengaturan jenis tanaman yang dibudidaya oleh tiap anggota didiskusikan

bersama di wadah pertemuan. Kemudian, dapat dipastikan pula bahwa dalam

situasi tertentu, tugas individu poktan dalam membudidayakan tanaman tertentu

bisa berubah. Mencermati pernyataannya Makruf, maka dapat diketahui bahwa

Poktan BM memiliki pengurus khusus untuk mengelola tugas tersebut yang

dikenal oleh individu Poktan BM dengan istilah “divisi pertanian”. Hal ini senada

dengan uraian tugas pengurus poktan, dimana divisi pertanian bertugas menangani

kegiatan budidaya pertanian, mengatur pola tanam, dan jadwal tanam komoditas

kepada semua anggota kelompok. Meski begitu, Pandi mengungkapkan bahwa

divisi pemasaran yang bertugas mengatur hal tersebut. Hal tersebut menandakan

bahwa ada perbedaan pendapat antara Makruf dan Pandi. Jika kedua pendapat

tersebut disintesiskan, maka dapat disimpulkan, baik bagian pertanian maupun

bagian pemasaran bertugas untuk mengelola tugas tersebut. Di samping itu, dapat

terungkap makna bahwa bagian pertanian dan bagian pemasaran memiliki

hubungan yang integratif. Perbedaan jenis produk yang dihasilkan oleh tiap-tiap

petani dapat berimplikasi terhadap kemampuan poktan dalam memenuhi

permintaan pasar. Hal tersebut juga diutarakan oleh Suwanto sebagai berikut:

“Semua petani mempunyai sayuran yang berbeda, karena itu untuk memenuhi kebutuhan

konsumen. Kalau semuanya punya sayuran yang sama, bisa merugi dan tidak bisa

memenuhi permintaan pasar.”

Salah satu kendala dalam mengatur jenis tanaman yang dibudidaya oleh

individu Poktan BM adalah terdapat keengganan petani untuk membudidayakan

jenis tanaman tertentu, karena perawatannya yang sulit. Walau begitu, perlu ada

petani yang menyanggupi tantangan tersebut. Pernyataan dari Rebo Wahono akan

memperjelas hal tersebut:

“Tomat pada tidak mau nanam, karena takut gagal. Yang hitam itu penyakit yang

disebabkan cendawan, jamur, itu sangat rentan sekali ketika musim hujan. Kalau musim

kemarau seperti ini sudah terbakar dengan sinar matahari…… Penanaman tanamanan

didiskusikan di pertemuan. Suatu misal orang itu tidak pernah nanam tomat, walaupun

diminta nanam, mereka tidak mau. Seperti saya tidak pernah nanam sawi sendok, kalau

diminta nanam itu, saya tidak telaten. Jadi sudah ada pembagian masing-masing. Jadi

misalnya satu orang itu menyanggupi nanam satu macam saja, kalau 20 anggota berarti

Page 102: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

122

sudah 20 macam……. Jadi kita punya catatan, hari ini mungkin pak Pilih nanam brokoli

1000 batang, lalu seminggu atau 10 hari ke depan siapa yang tanam itu? Akhirnya setiap

malam minggu masing-masing anggota punya laporan.”

Berangkat dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat diketahui bahwa salah satu

tanaman sayur yang penanganannya relatif sulit adalah tomat. Salah satu

kendalanya terletak pada kerentanan tanaman tomat terhadap penyakit “hitam”,

yang disebabkan oleh patogen jamur. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman

tomat ketika musim hujan. Dalam perspektif akademisi, penyakit ini lebih dikenal

dengan istilah penyakit busuk daun. Penyakit ini disebabkan oleh jamur

Phythoptora infestans. Busuk daun tomat hanya merupakan masalah berat di

dataran tinggi pada musim hujan, karena perkembangan P. infestans memerlukan

kelembapan total udara yang tinggi dan suhu yang rendah (Semangun, 2007:234).

Untuk menanggulangi penyakit itu, petani selalu berupaya untuk menjaga kondisi

lahan agar tidak terlalu lembap. Rebo Wahono juga menyinggung bahwa

penentuan jenis tanaman ke masing-masing petani memperhatikan kebiasaan

petani dalam membudidayakan jenis tanaman tertentu. Penentuan jenis tanaman

dan kuota tiap tanaman yang dibudidayakan oleh individu poktan dicatat dalam

buku sebagai bahan pelaporan dan evaluasi lewat pertemuan rutin poktan. Hasil

wawancara dengan Rebo Wahono memperlihatkan bahwa pengurus poktan

berperan untuk menanggung risiko dalam membudidayakan tanaman yang

penanganannya tergolong sulit. Hasil observasi dan dokumenter memperlihatkan

bahwa hal tersebut ditanggung oleh divisi pertanian dan ketua poktan. Di samping

itu, jumlah permintaan tiap tanaman dari pasar modern memiliki perbedaan,

sehingga jenis tanaman yang dibudidaya beserta jumlah tanaman yang ditanam

oleh tiap petani sudah diatur. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Supilih

berikut ini:

“Petani bisa diatur nanam, tapi jumlah tanaman yang ditanam sedikit-sedikit. Misalnya,

semua anggota nanam 1.000, di ini ada orang 10 yang nanam, jadinya 10.000. Kalau

seperti itu tidak bisa mencukupi kebutuhan masing-masing anggota. Sebangsa daun-

daunan, seperti siomak, selada keris itu, lalu selada hijau, selada merah, basil, itu

permintaan dari kelompok sedikit. Tapi kalau sebangsa horenzo, lettuce, atau brokoli itu

permintaannya banyak. Ketumbar dari supplier minta, tapi cuma sedikit.”

Dari pernyataan itu, maka terbukti jelas bahwa jenis tanaman dan jumlah tanaman

yang dibudidaya oleh individu Poktan BM menyesuaikan permintaan dari pasar

modern. Tanaman yang permintaannya banyak antara lain: brokoli, head lettuce,

Page 103: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

123

horenzo (bayam Jepang), dan sebagainya. Sedangkan, yang permintaannya sedikit

antara lain: siomak, selada hijau, selada merah, daun basil, ketumbar, dan

sebagainya. Asumsinya, jika jenis tanaman dan jumlah tanaman yang dibudidaya

oleh petani tidak diatur oleh poktan, maka jumlah produksi sayuran yang

dihasilkan akan terlalu banyak terserap ke pasar tradisional dan berdampak pada

harga jual yang cenderung rendah.

Kemudian, persamaan antara Poktan Tranggulasi dan Poktan BM ditandai

dengan pola serta teknis penanaman. Pernyataan Makruf berikut ini akan

menjelaskan hal tersebut:

“Nanam bit, selada, spinach, brokoli, saya nanam 7 macam sayuran, saya tumpang sari.

Lahannya saya itu menyebar. Kalau tidak ditumpangsari hasilnya kurang, pupuknya beli

banyak kalau cuma satu tanaman kami rugi. Tapi kalau misalkan tumpang sari

tanamannya harus disesuaikan, mana tanaman yang panjang, yang tinggi, yang pendek

harus diatur. Umpama ditanam bersamaan, bisa kalah dengan tanaman yang di

sebelahnya. Itu harus tanam tanaman yang pendek, itu nanti bisa menyusul. Kalau

tanaman bit, spinach, dan selada itu tidak butuh pestisida dalam jumlah banyak, karena

ulatnya tidak banyak. Karena itu, perawatannya mudah.”

Berdasarkan pernyataan Makruf, maka dapat diketahui bahwa sama halnya

dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM juga menerapkan pola tanam tumpang-

sari. Titik kesadaran individu poktan mengenai fungsi pola tanam tumpang sari

ada pada optimalisasi penggunaan pupuk atau input lainnya. Individu Poktan BM

juga sangat jeli dalam menentukan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan

dengan pola tanam tumpang sari. Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan serta

perkembangan tanaman, yang selanjutnya berdampak pula pada hasil panen. Jika

pernyataan Makruf dicermati, individu poktan juga memperhatikan aspek

kemudahan penanganan tanaman dalam membudidayakan tanaman. Selanjutnya,

terkait teknis dari pola tanam tumpang sari diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai

berikut:

“Tomat bisa ditumpangsari dengan selada atau brokoli. Tapi setidak-tidaknya itu selang

satu bulan, jadi brokoli ditanam, sampai berumur satu bulan, baru ditanami tomat. Tomat

umur dua bulan sudah siap panen. Kalau waktunya bersamaan tidak bisa, karena bisa

beradu. Nanti tomat mungkin sekitar setengah bulan lagi kami pangkas, kami pangkas

daun yang kering-kering, habis itu di bawahnya bisa ditumpang sari apa lagi.”

Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka gambaran pola tanam tumpang sari

dicontohkan dengan kombinasi antara tanaman tomat dan selada. Sistem

penanaman bergilir (contohnya: pertama dilakukan penanaman tanaman brokoli,

kemudian selang satu bulan baru ditanami tanaman tomat) bertujuan untuk

Page 104: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

124

mencegah terjadinya kompetisi antar spesies tanaman dalam hal penyerapan unsur

hara. Kemudian, kegiatan petani melakukan pemangkasan terhadap daun-daun

yang sudah kering berakibat menciptakan ruang yang terkena sinar matahari,

sehingga petani memiliki peluang untuk menanam komoditas lain (tentunya tetap

memperhatikan kecocokan jenis yang ditanam). Menurut Wahyudi (2011:150),

pemangkasan tanaman tomat umumnya dilakukan terhadap tunas air. Biasanya

tunas air tumbuh pada masa pertumbuhan vegetatif, yaitu 0-35 hari setelah tanam

(HST). Salah satu tujuannya, agar batang tanaman memiliki kesempatan untuk

berkembang lebih besar dan kokoh.

Penggunaan sarana mulsa untuk budidaya tanaman sayuran juga disadari

memiliki fungsi. Pernyataan Budiyati dan Pandi berikut ini memberikan gambaran

akan fungsi dari mulsa:

“Saya pakai mulsa, fungsinya itu kalau hujan tidak kotor, bersih.” (Budiyati)

“Kalau pakai mulsa, masuknya air cuma di lubang tanamnya. Jadi pertumbuhan akar

serabut itu bisa lancar, tanahnya tidak begitu padat. Kena air itu tanahnya bisa padat.

Kalau tanahnya padat, pertumbuhan akarnya sulit.” (Pandi)

Berdasarkan pernyataan Budiyati dan Pandi, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa individu Poktan BM menyadari fungsi mulsa sebagai pembersih bedengan

dari air hujan. Mulsa dapat mencegah terjadinya pemadatan tanah yang terlalu

tinggi akibat air hujan. Hal itu dapat mempertahankan kegemburan tanah,

sehingga meminimalisir peluang terjadinya pertumbuhan akar tanaman yang

tersendat-sendat.

Bentuk kegiatan petani di Poktan BM dalam pemeliharaan tanaman relatif

sama dengan petani di Poktan Tranggulasi. Walau begitu, ada penanganan yang

berbeda di Poktan BM, yakni penggunaan sarana green house. Dampak positif

dari penggunaan green house diungkapkan oleh Pandi dan Suwanto sebagai

berikut:

“Kalau pendapat saya, green house itu fungsinya untuk mencegah hujan. Itu kalau tidak

dikasih green house, kalau hujan airnya masuk semua.” (Pandi)

“Tomat itu sulit, tapi dengan adanya penggunaan green house mereka tidak khawatir.”

(Suwanto)

Dengan menggunakan green house, maka dapat mencegah tanaman terkena air

hujan yang berlebihan, sehingga kondisi kelembapannya dapat terjaga. Kondisi

Page 105: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

125

sekitar lahan yang terlalu lembap umumnya dapat mengakibatkan tanaman mudah

terserang penyakit, sehingga tanaman dapat layu, disertai dengan pembusukan

(Pracaya, 2011:19). Oleh karena itu, penggunaan green house dapat berfungsi

untuk meminimalisir serangan hama atau penyakit pada tanaman. Meski

menggunakan green house, petani masih diperhadapkan dengan tantangan,

terutama dalam hal memenuhi kebutuhan tanaman akan air. Cara petani untuk

menghadapi tantangan tersebut dijelaskan melalui pernyataan Budiyati berikut ini:

“Di green house itu yang dekat air, kalau nyiram-nyiram jadinya dekat. Yang jauh air

biarkan saja, tidak di-green house, tapi di-mulsa.”

Berdasarkan pernyataan Budiyati, maka dapat diketahui bahwa petani

memperhatikan tata letak untuk membangun green house. Green house dibangun

pada lahan yang jaraknya dekat dengan air, agar petani mudah dalam melakukan

penyiraman untuk kebutuhan tanaman. Sedangkan, lahan yang tidak berdekatan

dengan air hanya diberi mulsa. Akan tetapi, penggunaan green house cukup

mengundang kritik dari petani yang ada di sekitar dusun Poktan BM. Pernyataan

dari Giyono akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hal tersebut:

“Green house ini bukan syarat mutlak untuk organik. Itu yang ikut bikin green house saya

tanya, berapa penghasilan green house itu?....... Sekarang yang ikut green house berapa

hasil penjualannya? Nanam di satu bedeng, dua bedeng, kebutuhan masyarakat itu bukan

seperti itu, sangat kompleks sekali. Seperti kebutuhan makan, kebutuhan anak sekolah,

kebutuhan sosial kemasyarakatan. Kalau hanya mengandalkan seperti itu, kapan mau

cukup? Percuma punya lahan banyak, kalau ada lahan 5.000, berapa juta green house,

penghasilannya tidak sesuai dengan pembiayaan green housenya.”

Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian masyarakat

beranggapan bahwa penggunaan green house mengakibatkan pengeluaran biaya

produksi UT menjadi relatif tinggi. Selain itu, penggunaan green house dicirikan

oleh biaya energi yang sangat tinggi (sistem pemanasan) (Leeuwis, 2009:16).

Belum lagi, lahan yang bisa dinaungi oleh green house tidak begitu luas. Dengan

demikian, tidak semua lahan yang dimiliki oleh seorang petani dapat dinaungi

oleh green house. Giyono mengutarakan bahwa penghasilan yang diterima oleh

petani dari hasil produksi UT sayuran tidak sebanding atau tidak sesuai dengan

biaya yang dikeluarkan untuk membuat green house.

Selanjutnya, teknis pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit

tanaman yang diterapkan di Poktan BM relatif sama dengan Poktan Tranggulasi.

Pernyataan Budiyati akan memberikan gambaran awal tentang hal tersebut:

Page 106: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

126

“Pemeliharaannya selada dan spinach diberi pupuk cair. Bahannya tetes tebu, kotoran

sapi itu buat pupuk cair, pakai urin. Kalau pupuk padatnya itu ditimbun dulu, baru diaduk

biar lembut, nanti dibuat untuk pemupukan. Untuk mengatasi hama penyakit,

pestisidanya buat sendiri, yang buat bapak-bapak. Dari IMO itu bisa buat pupuk padat dan

pestisida. Kalau nyemprot hama sayur itu seperti lalat itu bahannya cabai rawit, bawang

putih, daun-daunan, itu dicampur mas.”

Berdasarkan pernyataan Budiyati, maka dapat diketahui bahwa Poktan BM juga

menggunakan urin sapi yang sudah difermentasi sebagai bahan pupuk cair.

Kemudian, pupuk padat yang berbahan dasar kotoran sapi. Sedangkan, untuk

mengendalikan hama dan penyakit, Poktan BM menggunakan pestisida alami,

antara lain berbahan dasar dari: cabai, bawang putih, dan sebagainya. Dari

pernyataan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa saprotan yang digunakan untuk

merawat tanaman adalah hasil kerja keras pribadi individu Poktan BM.

Pernyataan dari Rebo Wahono akan memberikan gambaran lebih lanjut tentang

teknis pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit di Poktan BM:

“Kalau kasih pupuk cair seminggu sekali, terus aplikasi pupuk daun itu kalau bisa

seminggu sekali, tapi menurut kita itu semaunya…. Jadi mengatasi penyakit kuncinya ada

di bakteri. Jadi pertama itu saya kasih pupuk kandang. Pupuk kandang lalu saya sirami

IMO….. Jadi kadang seseorang itu organik-organik, organik itu seperti apa? Kadang-

kadang masih simpang-siur, bisa dikatakan kalau pupuk dasar, kalau pupuk kandang yang

sudah keluar dari kandangnya itu, itu dikatakan organik, sedangkan kalau di kelompok

kami yang namanya pupuk kandang organik itu harus lewat proses fermentasi, bagaimana

biar jamurnya itu tidak ada, terus diserap tanaman juga tidak menimbulkan penyakit, akar

gada dan bermacam-macam….. Kalau dalam rumah plastik yang sudah rapat seperti ini

kendalanya itu bagi kami hama wereng, tapi wereng itu juga bisa kita antisipasi dengan

air yang banyak, kalau di tempat kami, kenapa tidak ada wereng? Karena setiap hari

hampir disiram. Maka dari itu, dimanapun saat kering itu mudah sekali hama-hama itu

mendatang.”

Pemberian pupuk cair dilakukan sebanyak satu minggu sekali, demikian pula

dengan pemberian pupuk daun. Akan tetapi, teknis aplikasi pupuk tidak harus

mutlak seperti itu. Individu Poktan BM telah mengenal teknologi-teknologi untuk

fermentasi pupuk maupun pestisida. Hal ini dibuktikan dengan adanya

penggunaan mikroorganisme untuk mengolah pupuk maupun pestisida, sehingga

menekan jumlah patogen penyakit yang berpotensi menyerang tanaman. Menurut

Sutanto (2002:39), organisme yang bersifat patogen akan mati, karena suhu yang

tinggi pada saat proses penguraian berlangsung. Dari pernyataan itu pula dapat

disimpulkan akan arti penting dari kegiatan penyiraman, mengingat sebagian

lahan pertanian milik petani dipasangi green house. Penyiraman yang tidak

Page 107: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

127

intensif dapat mengakibatkan tingkat serangan hama terhadap tanaman yang

semakin tinggi. Teknis perawatan lainnya adalah modifikasi pH tanah yang ideal

dan teknis peningkatan kualitas tanah lainnya. Hal tersebut disinggung oleh

Rochmad sebagai berikut:

“Kalau tanah yang paling bagus itu pH nya 5,5-6,5. Kalau kurang tinggi dikasih kapur.

Kalau ketinggian diturunkan, kasih belerang, sehingga pH tanahnya maksimal. Ternyata

sekarang tanah itu yang sudah betul-betul bagus, itu menekan biaya yang sangat tajam.

Kalau kita menanam sawi sendok atau selada, itu tidak perlu diberi pupuk, cuma kasih

OHN itu dan pupuk cair itu saja sudah mampu. Itu menekan biaya yang sangat besar.

Kalau dulu tidak dikasih pupuk, tidak bisa panen, kalau anorganik, tapi setelah tanahnya

itu subur kembali seperti ini yang di dalam green house, itu sudah menekan biaya yang

sangat besar.”

Berdasarkan pernyataan Rochmad, dapat diketahui bahwa pengapuran berguna

untuk menaikkan pH tanah, sedangkan pemberian belerang berguna untuk

menurunkan pH tanah yang terlalu tinggi. pH tanah dapat diatur se-ideal mungkin,

sesuai dengan syarat tumbuh dari tanaman yang dibudidaya. Selain itu,

pengapuran tanah juga berfungsi untuk menetralisir tanah yang terlalu banyak

mengandung bahan kimia sintetik. Dengan upaya tersebut, pemberian pupuk

dapat ditekan. Dosis pemberian pupuknya tidak sebanyak ketika tanah terlalu

banyak mengandung bahan kimia sintetik, sehingga lebih efisien, baik dari segi

material maupun biaya produksi. Dapat ditafsirkan pula bahwa anggota Poktan

BM menggunakan OHN (Oriental Herb Nutrient) untuk mengendalikan hama

secara kimiawi. Perbedaan antara sistem UT organik dan sistem UT anorganik

dalam mengendalikan hama dan penyakit juga dikemukakan oleh Rochmad

sebagai berikut:

“Dengan organik ini lamban namun pasti……. Kalau dengan pestisida pabrik begitu kita

semprot, mati ulatnya. Kalau organik pengendali, kalau dari tanam itu empat hari

kemudian sudah kita kasih pengendali itu. Dengan begitu, ulatnya tidak ada. Tapi kalau

dengan pestisida kimia, tidak ada ulatnya tidak semprot. Pada waktu ada ulatnya baru

disemprot. Kalau organik setiap empat hari harus kita semprot, karena kita melakukan

pencegahan. Bedanya di situ.”

Ditinjau dari segi efektifitasnya, pengendalian hama dan penyakit dengan sistem

UT anorganik lebih ampuh. Dengan sistem UT organik, petani tidak

terkonsentrasi pada pembasmian hama atau patogen peyakit secara seketika,

melainkan lebih menekankan pada penghalauan atau pencegahan serangan oleh

hama atau patogen penyakit. Dengan teknik ini, populasi dari hama dikendalikan,

sehingga populasi dari predator hama tersebut dapat dipertahankan (atau

Page 108: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

128

diperbanyak). Namun demikian, beberapa pestisida alami juga beracun bagi

manusia dan hewan. Banyak tanaman (seperti tembakau yang mengandung

nikotin) memiliki efek defensif atau mematikan pada vertebrata, serangga, tungau,

nematoda, jamur atau bakteri (yang bisa berpotensi sebagai musuh alami)

(Reijntjes dkk, 1999:209). Di samping itu, pengendalian hama dan penyakit

(menggunakan pestisida alami) di sistem UT organik cenderung lebih intensif,

karena pestisida ini akan lebih cepat mengalami disintegrasi atau terurai (Reijntjes

dkk, 1999:206). Sedangkan, untuk mengatasi serangan hama atau patogen

penyakit pada sistem UT anorganik cenderung bersifat membasmi dan dilakukan

secara spontan, artinya: ketika tanaman terserang hama atau penyakit baru

dilakukan perlakuan yang orientasinya membasmi atau memberantas. Petani yang

menerapkan sistem UT anorganik pada umumnya mengandalkan pestisida kimia

sintetik untuk membasmi hama dan patogen penyakit. Kecenderungannya,

pestisida kimia sintetis bukan hanya membunuh organisme yang menyebabkan

kerusakan pada tanaman, namun juga membunuh organisme yang berguna, seperti

musuh alami hama (Reijntjes dkk, 1999:15). Dampak negatifnya terutama terjadi

pada penurunan biota tanah. Menurut Suprihati, dkk (2013:146), dalam

penerapannya, tidak seluruh pestisida mengenai sasaran, tergantung dari

persentase efektifitasnya. Hanya sekitar 20% pestisida mengenai sasaran,

sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut

mengakibatkan pencemaran lahan pertanian, yang selanjutnya juga berpengaruh

terhadap kehidupan biota tanah maupun rantai makanan. Apabila masuk ke dalam

rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai

penyakit. Menanggapi pernyataan Suprihati, maka dapat disimpulkan bahwa ada

korelasi antara teknis pengendalian hama dan penyakit dengan usaha untuk

menunjang kesuburan dan kesehatan tanah. Meski begitu, jika kondisi cuaca

sangat rawan bagi tanaman, maka pemanfaatan pestisida kimia sintetik masih

diperlukan. Hal tersebut diutarakan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:

“Makanya kalau sudah curah hujan seperti ini, untuk budidaya tomat organik saya

khawatir. Sekarang kalau di sini jamur phytoptoranya luar biasa, tidak mungkin diatasi

dengan pestisida organik, karena tidak mampu.”

Berdasarkan pernyataan Bernadus Agus Prabowo, maka dapat diketahui bahwa

ketika kondisi cuaca ekstrem, seperti musim hujan yang lebat, maka tanaman

Page 109: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

129

tomat (dan tanaman famili solanaceae lainnya, seperti: kentang) sangat rawan

terhadap serangan penyakit, yang disebabkan oleh jamur Phythoptora infestans.

Dalam situasi yang mendesak seperti itu, petani perlu memanfaatkan pestisida

kimia sintetik untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini rasional dilakukan,

menimbang bahwa penelitian tentang pestisida alami masih relatif terbatas dan

sedikit sekali informasi berkenaan dengan keefektifan dan efek sampingnya

terhadap kesehatan dan lingkungan. Hampir semua penelitian tentang pestisida

alami dilakukan oleh LSM-LSM dan para petani, tetapi jarang sekali yang

dievaluasi secara ilmiah. Akan tetapi, penggunaan pestisida kimia sintetik yang

berlebihan juga dapat menimbulkan kerugian yang serius pada produk dan juga

pada lingkungan. Apalagi, pestisida ini berharga mahal dan seringkali sulit

didapat. Karena petani kecil hanya memiliki sedikit pilihan terhadap pestisida,

mereka tidak bisa memilih pestisida yang bekerja secara selektif. Hal tersebut

menghambat aplikasi pengendalian hama terpadu dan menghadapkan petani pada

bahan-bahan beracun untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Reijntjes, dkk

(1999:207) juga sependapat bahwa dalam beberapa keadaan darurat, seperti kasus

yang diutarakan oleh Bernadus Agus Prabowo di atas, pestisida kimia mungkin

saja digunakan.

Terdapat alasan-alasan mendasar dari petani untuk melakukan budidaya

dengan model atau sistem organik yang seperti itu. Alasan-alasan tersebut secara

implisit dijelaskan melalui pendapat dari beberapa individu Poktan BM berikut

ini:

“Biayanya kalau organik lebih ringan, tapi perawatannya harus rutin, kalau pakai kimia

misalkan satu minggu sekali, kalau organik tiga hari sekali.” (Supilih)

“Kalau modalnya lebih ringan, tapi perawatannya lebih rumit yang organik. Kalau urea

bisa langsung diterapkan. Kalau pupuk cair tiap seminggu sekali, kalau urea tinggal naruh

aja di batang-batangnya, kalau urea.” (Makruf)

“Dalam hal fungisida, ketika musim penghujan itu kalau kimia pakai antrakol sedikit-

sedikit sudah bisa. Cuma kalau organik kadang kita masih kesulitan di situ, pakai IMO

sebagai dekomposer itu. Tapi ketika menghadapi penyakit jamur pada musim penghujan

itu kadang seharian tidak ada sinar matahari. Akhirnya jamurnya mudah berkembang.”

(Rebo Wahono)

Menurut pendapat beberapa petani tersebut, pertimbangan untuk melakukan

budidaya tanaman dengan model seperti itu disebabkan oleh karena adanya

Page 110: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

130

keringanan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk menyediakan saprotan,

meskipun tenaga yang dikeluarkan lebih tinggi. Selain itu, individu Poktan BM

merasa kesulitan untuk mengatasi penyakit tanaman, khususnya yang disebabkan

oleh patogen jamur (seperti: “penyakit hitam” pada tanaman tomat). Walau

terdapat tantangan semacam itu, pembahasan sebelumnya telah memberi

penjelasan bahwa penerapan UT secara organik dapat mempertahankan atau

bahkan menumbuhkembangkan kualitas lingkungan yang bermanfaat untuk

pertanian masa depan. Prinsip itulah yang dipegang teguh oleh Poktan BM,

sehingga penerapan budidaya tanaman dengan model semacam itu masih

dipertahankan. Konsistensi individu Poktan BM untuk berusaha tani secara

organik juga disebabkan oleh adanya dampak positif yang dirasakan olehnya. Hal

tersebut diutarakan oleh Suwanto berikut ini:

“Karena ini sudah kebiasaan mereka untuk menjual non-organik, begitu dia sadar bahwa

organik harganya lebih mahal daripada anorganik, akhirnya secara perlahan-lahan dia

beralih. Untuk penyadaran itu sulit, karena sudah turun-temurun. Dari tiga petak laahan,

yang diterapkan secara organik hanya satu petak. Akhirnya dia bisa merasakan satu petak

harganya lebih untung daripada yang dua petak lebih untung satu petak.”

Berdasarkan pernyataannya, maka dapat disimpulkan bahwa perasaan atau

kesadaraan tersebut muncul karena harga jual produk sayuran organik lebih mahal

ketimbang sayuran anorganik. Hal tersebut turut menumbuhkembangkan

perasasaan senang dan pandangan positif dari petani terhadap sistem UT organik,

sehingga UT sayuran organiknya dapat kontinyu. Dalam kasus tersebut,

pandangan positif (komponen kognitif) dan perasaan senang petani (komponen

afektif) merupakan komponen sikap, dimana sistem UT organik merupakan objek

sikapnya. Ketika dua komponen tersebut bersifat ajeg, maka seseorang akan

mengalami kecenderungan bertindak terhadap objek sikap (Walgito, 1999) (dalam

Hariadi, 2011:32). Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh

sikap yang ada pada orang yang bersangkutan, jika adanya keselarasan antar tiga

komponen sikap tersebut (Walgito, 2003:124). Akan tetapi, tidak adanya jaminan

bahwa kecenderungan berperilaku itu akan benar-benar ditampakkan dalam

bentuk perilaku yang sesuai, apabila individu berada dalam situasi tertentu

(Azwar, 2013:28). Sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan

keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal.

Pertama, perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap umum, tapi sikap spesifik

Page 111: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

131

terhadap sesuatu. Ke dua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga

oleh norma-norma subjektif, yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain

inginkan agar kita perbuat. Ke tiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-

norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu

(Azwar, 2013:11). Walau begitu, supaya petani dapat berhasil dalam

memproduksi dan memperoleh pendapatan yang optimal, penerapan sistem UT

organik memiliki tantangan yang perlu dihadapinya. Salah satu tantangan petani

organik untuk memperoleh keberhasilan dijelaskan melalui pernyataan Pandi

berikut ini:

“Kalau menurut saya lebih untung bertani organik, sebenarnya kalau dari segi penjualan

untungnya sama, tapi modal yang diperlukan untuk bertani organik itu sedikit dan hasil

penjualan terutama ke pasar modern itu dihargai tinggi. Tapi ternyata, kalau bertani

organik itu tiap tiga hari harus rutin kasih pupuk cair, itu pasti hasilnya bagus dan

pekerjaannya macam-macam, pokoknya harus rutin.”

Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui, untuk mewujudkan

keberhasilan, baik dari segi produksi maupun pendapatan, petani perlu

meningkatkan ketelitian, kedisiplinan, dan kreativitas dalam menjalankan segala

proses produksi. Contohnya, dengan sistem UT organik petani perlu melakukan

kegiatan pemupukan secara lebih intensif dan frekuensinya lebih tinggi,

dibandingkan dengan sistem UT anorganik. Menurut Sutanto (2002:36),

penggunaan pupuk organik memiliki kelemahan, diantaranya ialah: 1) diperlukan

dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari

suatu pertanaman, 2) hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat

bervariasi, 3) bersifat ruah (curah atau limpah), baik dalam pengangkutan dan

penggunaannya di lapangan, dan 4) kemungkinan akan menimbulkan kekahatan

(kekurangan terhadap zat atau unsur tertentu) unsur hara, apabila bahan organik

yang diberikan belum cukup matang. Oleh karena itu, ketajaman berpikir

merupakan tantangan tersendiri bagi individu poktan, agar hasil produksi dan

pendapatan dari sistem UT secara organik dapat ditingkatkan.

Hasil wawancara dengan petani di dusun Kaliduren memperoleh

anggapan-anggapan yang sifatnya “kontra” terhadap penerapan sistem UT organik

yang dilakukan oleh Poktan BM. Pernyataan dari Giyono berikut ini akan

memberi gambaran akan hal tersebut:

Page 112: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

132

“Mengandalkan organik, terus tanah itu tidak butuh kimia? Saya itu melakukan pertanian

untuk mengajak mereka-mereka untuk pertanian organik ini kita semikan dulu. Semi

organik, tidak serta-merta langsung kita tinggalkan unsur kimianya. Kita pulihkan sedikit

demi sedikit. Kita pulihkan dulu pertama, mungkin pada awalnya per hektar ini mencapai

200 kilo, terus tahap ke dua kita potong setengahnya, seperti itu. Suplai-suplai makanan

juga perlu kita dukung.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian petani

agak ragu dengan penerapan sistem UT organik yang dilakukan oleh Poktan BM.

Hal tersebut terjadi, karena untuk membuat tanah menjadi steril membutuhkan

waktu yang lama dan penggunaan saprotan berbahan kimia sintetik tidak dapat

secara langsung ditinggalkan. Dapat dimaknai bahwa keraguan petani tersebut

muncul atas akibat dari proses transisi yang cukup lama akan berpotensi

menurukan semangat petani untuk beralih ke sistem UT organik. Seiring

berjalannya proses transisi itu, hasil panen petani tidak dapat optimal dan

berakibat pada penurunan pendapatan UT. Hal ini pada akhirnya membuat petani

terpaksa menggunakan bahan kimia sintetik untuk meminimalisir segala risiko

yang ada selama proses berusaha tani. Kemudian, petani lain mengungkapkan

bahwa penerapan UT secara organik di daerah pegunungan sangat rawan

terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia sintetik. Hal tersebut diperjelas melalui

pernyataan dari Suroso berikut ini:

“Yang namanya organik, khususnya kelompok tani di wilayah pegunungan cuma lisan

dan tulisan….. Yang asli organik itu buat di polybag khusus, itu pasti jadi organik benar-

benar. Kalau tanah-tanah di sekitar sini, saya sendiri punya satu petak tanah. Terus yang

bawah, yang atas bukan milik saya, jadi intinya jelas bisa terkontaminasi, pasti itu.

Organik itu kan dari tanah sampai yang ditanam. Jadi atasnya organik, bawahnya tidak

organik bisa terkontaminasi.”

Peluang terjadinya kontaminasi di lahan sayuran organik sangat besar, mengingat

lahan yang ada di sekitarnya belum tentu organik. Oleh karena aliran air, erosi

atau bahkan kecurangan manusia, maka lahan sayuran organik dapat

terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia sintetik. Bila dicermati, inisiatif Poktan

BM untuk menggunakan green house adalah salah satu cara unuk mencegah

terjadinya hal tersebut.

Dua poktan pada umumnya melakukan penanaman tanaman dengan pola

tumpang sari dengan sistem pergiliran tanaman. Beberapa hal yang diperhatikan

untuk menerapkan pola tersebut diantaranya: jarak tanam, waktu penanaman, dan

komoditas yang ditumpang-sarikan. Salah satu perbedaan yang mencolok terlihat

Page 113: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

133

dari pertimbangan petani untuk menentukan tanaman yang dibudidaya.

Perbedaannya, Poktan Tranggulasi sudah tidak memberlakukan pengaturan jenis

tanaman budidaya karena berbagai macam alasan yang mendasarinya. Oleh

karena itu, pengaturan jenis tanaman umumnya hanya diberlakukan oleh pengurus

poktan. Sedangkan, Poktan BM masih menerapkan kebijakan pengaturan jenis

tanaman budidaya secara strategis, terutama untuk memenuhi permintaan dari

pasar modern. Aktivitas tersebut dikoordinir oleh divisi pertanian. Lalu, kedua

poktan sama-sama menggunakan sarana mulsa dengan berbagai pertimbangan.

Perbedaannya, Poktan BM menggunakan sarana green house untuk melindungi

tanaman dari air hujan yang berlebihan dan untuk meminimalisir serangan hama

atau penyakit. Kedua poktan sama-sama memiliki panduan untuk menerapkan

budidaya tanaman.

Perbedaan lainnya diperlihatkan oleh adanya antusias individu Poktan BM

dalam melakukan pencatatan kegiatan budidaya tanaman secara berkala.

Pencatatan itu bertujuan sebagai bahan evaluasi mengenai kegiatan budidaya yang

telah dilakukannya. Pengendalian hama dan pemupukan secara kimiawi di kedua

poktan menggunakan teknologi yang diperoleh dari wadah belajar. Pengendalian

hama dan penyakit tidak terkonsentrasi pada pembasmian hama atau patogen

peyakit secara seketika, melainkan lebih menekankan pada penghalauan atau

pencegahan serangan oleh hama atau patogen penyakit. Selanjutnya, dua poktan

memiliki keluhan yang kurang-lebih sama dalam membudidayakan tanaman yang

berfamili solanaceae (khususnya: tomat dan kentang), terutama pada saat musim

hujan. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam penanganan penyakit busuk

daun yang disebabkan oleh jamur phythoptora. Untuk mengatasi hal tersebut,

individu Poktan Tranggulasi mengandalkan pestisida kimia sintetik, sedangkan

individu Poktan BM mengandalkan sarana green house dan pemberian tugas

penanaman tanaman yang bersangkutan dilimpahkan kepada pengurus poktan.

Partisipasi individu Poktan Tranggulasi dan Poktan BM dalam menerapkan

budidaya didasarkan atas adanya kepedulian terhadap lingkungan dan jaminan

keamanan pangan untuk dikonsumsi.

Page 114: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

134

C. Penanganan Pasca Panen

Setelah sayuran dipanen, masih terdapat beberapa perlakuan atau kegiatan

yang perlu diperhatikan oleh petani untuk menghasilkan produk yang sesuai

dengan permintaan pasar (khususnya pasar modern). Beberapa perlakuan atau

kegiatan setelah panen biasa dikenal dengan istilah penanganan pasca panen.

Perlakuan yang ada di penanganan pasca panen antara lain meliputi: pencucian

sayur, penimbangan, sortasi, grading, penyimpanan, pengepakan, dan perlakuan

lainnya. Kegiatan sortasi, pengkelasan (grading), pengemasan, dan penyimpanan

sayur dilakukan berdasarkan ukuran dan standar mutu yang telah ditentukan untuk

menghasilkan sayur yang baik dan seragam (KOMPOR Merbabu, 2012). Hal

tersebut juga bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar modern, baik dari segi

kualitas, kuantitas, dan komformitas. Paragraf berikutnya akan memberi

gambaran yang jelas tentang teknis penanganan pasca panen di kedua poktan

tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, penanganan pasca panen yang dilakukan oleh

Poktan Tranggulasi dan Poktan BM relatif sama. Pernyataan dari Supoyo akan

memberikan gambaran singkat tentang teknis penanganan pasca panen:

“Dalam seminggu bisa dua kali kirim sayuran, bermacam-macam jenis, ada selada, bit,

spinach, tergantung pesanan. Kalau pasar minta 10 jenis tanaman, kelompok harus mengirim

10. Di sini sudah dilipihi, terus di gudang, karakteristik produk yang diminta kami sudah tahu,

misal ukuran yang diminta. Seperti buncis perancis, panjangnya harus 12 cm, yang

panjangnya mencapai 15 cm ditolak, hanya diterima yang 12 cm itu. Di gudang itu sudah ada

pengelolanya. Nanti barang yang dikirim disesuaikan dengan permintaan, sehingga semuanya

laris terjual.”

Berdasarkan pernyataan itu, maka dapat diketahui bahwa tiap minggu terdapat

kegiatan pengiriman sayuran dan jenis sayurannya disesuaikan dengan permintaan

dari pasar modern. Di gudang poktan, sayuran yang dipilih juga disesuaikan

berdasarkan permintaan dari pasar modern, baik dari segi kualias, kuantitas,

maupun komformitas. Kemudian, di poktan sudah ada komponen yang bertugas

khusus untuk melakukan penanganan pasca panen. Keterampilan dalam

melakukan kegiatan penanganan pasca panen mutlak diperlukan, untuk

semaksimal mungkin menekan jumlah produk yang ditolak dan mencegah

komplin dari pasar modern.

Berbagai informasi pokok untuk melakukan kegiatan penanganan pasca

panen dimuat dalam SOP Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu. Baik

Page 115: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

135

Poktan Tranggulasi maupun Poktan Bangkit Merbabu, keduanya tergabung dalam

gabungan kelompok tani (Gapoktan) Komunitas Petani Organik (KOMPOR)

Merbabu. Di SOP dijelaskan informasi pokok tentang alat dan perlengkapan yang

diperlukan, seperti: pisau untuk membuang bagian yang tidak memenuhi kualitas,

timbangan, keranjang sayur, lakban, stiker (untuk labelling), kemasan kantong

plastik, kemasan kotak karton, sapu, dan informasi pokok lainnya (KOMPOR

Merbabu, 2012).

Di tempat penampungan dilakukan penyortiran sayur. Dipilih sayuran yang

mulus, ukuran merata, bentuknya normal (tidak luka, tidak terserang penyakit,

tidak ada cacat fisik, dan sebagainya). Khusus untuk tanaman bit, lobak, dan

wortel individu poktan melakukan pencucian dengan air bersih. Sortasi dilakukan

pada ruangan bersuhu + 18o C. Limbah sisa sayuran yang tidak memenuhi standar

mutu dapat dimanfaatkan oleh poktan sebagai pakan ternak atau untuk bahan

pembuatan pupuk organik (KOMPOR Merbabu, 2012).

Setelah disortasi, individu poktan memasukkan sayuran dalam kemasan yang

mempunyai lubang ventilasi (khususnya untuk sayuran: buncis, daun bawang,

seledri, paterselly, selada, dan sebagainya). Untuk sayuran jenis tertentu

dimasukkan ke dalam kemasan hampa udara. Lalu, poktan menimbang sayuran

sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Poktan mengupayakan kemasan

berisikan sayur dengan bobot yang sama dan kemasan dalam keadaan bersih, serta

terbebas dari segala benda asing. Cara pengemasan dilakukan oleh poktan sesuai

dengan permintaan pasar (apakah menggunakan stereofoam atau plastic

wrapping). Selanjutnya, sayuran yang sudah dikemas oleh poktan, diangkut

dengan mobil pick up atau mobil box berpendingin (KOMPOR Merbabu, 2012).

Di kedua poktan sudah ada pembagian tugas antara komponen yang berperan

dalam penyediaan saprotan dan budidaya dengan komponen yang berperan dalam

penanganan pasca panen. Kegiatan pasca panen ditangani oleh ibu-ibu

(khususnya istri dari petani yang tergabung dalam poktan). Pernyataan dari Wikan

Mujiono (Tranggulasi) dan Makruf (BM) akan memberikan gambaran yang jelas

tentang hal tersebut:

“Tidak semua ikut pengepakan, cuma ibu-ibu. Mereka dibayar pakai kas kelompok, dari hasil

penjualan sayuran.” (Wikan Mujiono)

Page 116: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

136

“Spesifikasi produk sekarang sudah tahu, ibu-ibu sudah bisa memilah. Kalau di sini sudah

tahu mana yang bisa dikirim dan mana yang tidak.” (Makruf)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Wikan Mujiono dan Makruf, maka dapat

disimpulkan bahwa ibu-ibu telah terampil dalam melakukan kegiatan pasca panen

sayuran. Dari pernyataan Wikan Mujiono, dapat diketahui bahwa tenaga pasca

panen ditanggung oleh poktan menggunakan kas. Meski begitu, hasil observasi di

lapangan menunjukkan bahwa penanganan pasca panen di Poktan Tranggulasi

saat ini sudah tidak dilaksanakan oleh ibu-ibu, melainkan poktan sudah memiliki

individu-individu tertentu yang ditugaskan untuk mengelola aktivitas itu. Hal

tersebut terbukti dari hasil wawancara dengan Pitoyo Ngatimin berikut ini:

“Kelompok itu mempekerjakan orang di dalam kelompok tani sendiri untuk mengelola

produk setelah dipanen, namanya pengelola gudang. Pengelola gudang itu ada bagian order,

bagian packing, bagian pencatatan, dan bagian transportasi. Tiap anggota tidak bisa jadi

pengelola, karena butuh kesabaran, butuh ketelatenan, karena karakteristik produk yang

diminta itu beda-beda, jadi harus bisa menyesuaikan.”

Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin dipertajam oleh Ngatimin sebagai berikut:

“Kegiatan packing itu dikelola oleh kelompok, tapi yang ikut itu hanya sebagian orang,

jadi tidak semua anggota. Itu kegiatannya ditangani oleh pengelola.”

Yang bertugas untuk menangani aktivitas pasca panen dikenal dengan nama

“pengelola gudang” atau “pengelola unit bisnis”. Pengelola gudang memiliki

bagian-bagian untuk memperlancar aktivitas pasca panen, diantaranya: bagian

order, bagian packing, bagian pencatatan, dan bagian transportasi. Menanggapi

pernyataan Pitoyo Ngatimin, pemberian tugas dan status untuk mengelola

aktivitas pasca panen dilakukan secara selektif, karena dibutuhkan kesabaran dan

ketelatenan dalam mengelola aktivitas tersebut. Individu yang terlibat dalam

pengelola gudang sebagian besar berstatus sebagai pengurus poktan. Hasil

wawancara dengan Harun membuktikan hal tersebut:

“Pengelola gudang itu diantaranya ada Pitoyo sebagai ketua, Wahab sebagai sekretaris,

pak Slamet sebagai keuangan, Jumarno itu mengurusi nota, saya di bagian lapangan,

Jumari dan Pardi itu bagian gudang, lalu Rebo itu di bagian transportasi.”

Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, aktivitas pasca panen di Poktan BM dikelola

oleh ibu-ibu. Peran pengurus Poktan BM hanya terbatas pada pengecekan dan

pengambilan sayuran di lahan sesuai dengan permintaan supplier, baik dari segi

jenis komoditasnya, kualitas, dan kuantitasnya. Pengurus juga bertugas

Page 117: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

137

melakukan pengangkutan ke gudang poktan. Hal tersebut diketahui melalui

pernyataan Makruf berikut ini:

“Saya yang bertugas mencari sayur dengan Pak Rebo. Saya bagian pemasaran bersama

dengan pak Rebo. Kami khususnya itu mencari sayur di petani luar kelompok tani,

misalkan yang sub kelompok. Kalau sebagian anggota itu terkadang langsung

mengangkut sayuran ke gudang, tapi sebagian anggota terkadang ada yang keliru dari

spesifikasi yang diminta pasar. Kalau pengurus kelompok yang cari, sudah pasti tahu

spesifikasinya. Itu waktu pengiriman, jenis tanaman yang diminta, dan spesifikasi produk

sudah diatur.”

Pernyataan dari Makruf dipertajam oleh Pandi sebagai berikut:

“Yang bertugas mengambil sayur itu bagian pemasaran. Jadi mereka itu yang mengecek

ke lahan dan mencari tanaman milik anggota yang sudah siap dipanen dan itu disesuaikan

dengan permintaannya supplier, itu yang diambil.”

Terkadang anggota poktan mengangkut sendiri hasil panenannya ke gudang,

namun seringkali produk yang diangkut tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi

yang diminta oleh pasar modern dan memperbanyak jumlah produk yang tidak

lolos sortasi. Oleh karena itu, peran pengurus Poktan BM dalam penanganan

pasca panen terletak pada minimalisasi produk-produk yang tidak lolos seleksi

ketika sortasi dilakukan. Dengan demikian, hasil panen yang tidak sesuai dengan

permintaan pasar modern (yang ditinggal di lahan) dapat segera dijual ke

pedagang perantara (seperti: pengepul) atau diangkut ke pasar tradisional. Tugas

tersebut diemban oleh divisi pertanian dan divisi pemasaran. Apabila

dihubungkan dengan uraian tugas pengurus Poktan BM, sebetulnya divisi

pemasaran tidak memiliki tanggung jawab mengemban tugas tersebut, melainkan

yang bersangkutan bertugas untuk memasarkan hasil sayuran organik kepada

pelaku pasar. Jika dicermati, keadaan semacam itu tumpang-tindih dengan uraian

tugas seksi pembelian hasil, dimana yang bersangkutan bertugas untuk menangani

pembelian dan pengadaan atau pengumpulan sayuran organik dari anggota.

Sedangkan, divisi pertanian memang memiliki tugas untuk mengumpulkan

sayuran organik dari anggota poktan.

Kemudian, terdapat fenomena yang cukup unik di Poktan Tranggulasi.

Keunikan ini terlihat dari adanya upaya kerjasama yang dibangun oleh Poktan

Tranggulasi dengan kelompok wanita tani (KWT) di dusun setempat dalam

rangka pengolahan sayur. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan Pitoyo

Ngatimin dan Sri Jumiati berikut ini:

Page 118: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

138

“Yang di Kelompok Wanita Tani fokusnya di bidang usaha pasca panen.” (Pitoyo

Ngatimin)

Pernyataan Pitoyo Ngatimin dipertajam oleh pernyataan Sri Jumiati sebagai

berikut:

“Kelompok Wanita Tani Bogasari berdiri tahun 2011. Dulu bogasari anggotanya berumur

tua-tua, sekarang yang saya ajak anak-anaknya. Fokusnya ke pengolahan hasil tanaman

sayur, misal daun bit, daun buncis, daun seledri, daun rending yang kecil dan bulat, daun

lobak, daun klemoh, itu buat obat ginjal, memperlancar kencing. Daun-daun itu dibuat

makanan ringan berupa keripik, tapi punya nilai tambah untuk obat. Kendalanya itu

kandungan minyaknya belum bisa hilang. Kandungan air tiap sayur beda-beda, kalau

daun bit kandungan airnya banyak, kalau digoreng bisa kering, tapi setelah kering itu

minyaknya baru keluar, minyaknya tidak bisa kering. Kalau daun buncis perancis tidak

berair, jadi kandungan minyaknya tidak banyak. Kalau kelompok tranggulasi itu

fokusnya di hasil panen dari lahan, kalau KWT kita memanfaatkan, mengolah hasil

panennya, yang saya inginkan bisa diolah sendiri, daripada dijual di luar. Kenapa tidak?

Kalau kita bisa mengolah hasilnya, mungkin untuk meningkatkan harga produk pertanian

yang lebih mahal. Ini rencananya mau buat dodol, dari lobak dan bit. Kemarin sudah

mencoba.”

Dengan adanya kerjasama dengan KWT, Poktan Tranggulasi sudah ada upaya

untuk menuju ke usaha tani berbasis agroindustri. KWT ini terbentuk pada tahun

2011 dan dikenal dengan nama Boga Sari. Menurut Sri Jumiati, dulu KWT

didominasi oleh ibu-ibu yang sudah lansia (lanjut usia), tetapi saat ini didominasi

oleh ibu-ibu yang masih berusia muda (produktif). Perihal kerjasama dengan

KWT, Poktan Tranggulasi lebih berkonsentrasi terhadap kegiatan usaha tani di

sektor hulu, seperti: penyediaan saprotan dan budidaya tanaman. Sedangkan KWT

lebih berkonsentrasi pada kegiatan UT di sektor hilir, yaitu penanganan pasca

panen atau lebih tepatnya pengolahan sayuran. Terdapat berbagai macam sayuran

hasil panen Poktan Tranggulasi yang dapat diolah oleh KWT, diantaranya

meliputi: daun bit, daun lobak, daun seledri, daun buncis, daun rending, dan daun

klemoh. Dari keseluruhan daun tersebut, ada yang tergolong sebagai tanaman

budidaya dan ada pula yang tergolong sebagai tumbuhan liar. Daun-daun sayuran

tersebut dapat diolah menjadi keripik. Selain manfaatnya sebagai konsumsi

sehari-hari, ada sebagian daun yang memiliki kandungan obat, sehingga usaha

yang dilakukan oleh KWT juga memiliki manfaat di bidang medis. Kendala yang

dihadapi oleh KWT dalam melaksanakan proses pengolahan sayuran salah

satunya adalah kesulitan untuk menghilangkan minyak, terutama sayuran yang

memiliki kadar air tinggi (seperti tanaman bit). Oleh karena itu, saat ini KWT

sedang dalam upaya mencari mesin atau alat pengering minyak. Rencana

Page 119: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

139

kedepannya, KWT ingin menghasilkan produk olahan inovasi, yaitu dodol yang

berbahan dasar dari sayuran bit dan lobak. Mencermati usaha yang dilakukan oleh

KWT, maka tidak dapat dipungkiri bahwa wanita dianggap memiliki peran sentral

dalam pembangunan jika ditinjau dari sudut pandang makro. Ditinjau dari sudut

pandang mikro, wanita memiliki peran yang nyata dalam meningkatkan taraf

hidup keluarganya. Dengan demikian, terwujudnya kesetaraan gender, dimana

pria maupun wanita sama-sama memiliki kesempatan untuk mencari nafkah untuk

menghidupi rumah tangganya. Dalam kacamata ekonomi, upaya yang dilakukan

oleh KWT untuk mengolah sayuran menjadi keripik merupakan suatu capaian

yang luar biasa bagi petani kecil, dimana melalui daya kreativitasnya sudah

mampu meningkatkan nilai tambah produk dengan membangun UT yang berbasis

kepada agroindustri pedesaan. Peningkatan nilai tambah produk secara umum

diiringi oleh peningkatan harga jual. Tidak hanya itu, seperti yang diketahui

bahwa sayuran tergolong sebagai produk pertanian yang mudah rusak. Dengan

usaha yang dilakukan oleh KWT, maka berubah menjadi produk yang tahan lama.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bentuk aktivitas pasca panen di

dua poktan relatif sama. Bentuk aktivitas dalam penanganan pasca panen

diantaranya: pencucian sayur, penimbangan, sortasi, grading, penyimpanan,

pengepakan, dan pengangkutan. Adanya persamaan antara dua poktan dalam

penanganan pasca panen oleh karena adanya SOP yang dijadikan pedoman

mereka untuk melakukan kegiatan tersebut, dimana pengurus poktan turut

berperan serta dalam penyusunannya melalui forum gapoktan KOMPOR

Merbabu. Selain itu, dengan adanya kerjasama pemasaran dengan pasar modern,

poktan tertuntut untuk melaksanakan penanganan pasca panen yang kegiatannya

cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan pemasaran ke pasar tradisional.

Hal tersebut berakibat pula pada pengembangan pengetahuan dan sikap individu

poktan akan kegiatan pasca panen. Penanganan pasca panen di Poktan

Tranggulasi dilakukan oleh petani yang tergabung dalam pengelola, sedangkan

pasca panen di Poktan BM dilakukan oleh wanita tani yang berstatus sebagai

anggota poktan. Dari kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengelola

Poktan Tranggulasi memegang peran yang dominan untuk melakukan aktivitas

pasca panen yang mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus lebih

Page 120: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

140

unggul daripada anggota poktan. Sebaliknya, anggota Poktan BM memegang

peran untuk melakukan aktivitas pasca panen, sehingga anggota memiliki

pengetahuan dan keterampilan khusus dalam aktivitas tersebut. Meski begitu,

pengurus Poktan BM tetap memegang peran dalam mengorganisir bidang usaha

tersebut. Secara normatif, peran tersebut dijalankan oleh seksi gudang yang

bertanggungjawab atas segala aktivitas kegiatan di dalam gudang pengemasan

sayuran organik. Tetapi, hasil observasi di lapangan membuktikan bahwa

pengurus di divisi atau seksi lainnya juga turut mengawasi aktivitas pasca panen.

Beralih kembali ke hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, menunjukkan bahwa

wanita tani membentuk KWT yang memiliki orientasi usaha di bidang pengolahan

hasil sayuran. Kegiatan penanganan pasca panen dirasa mampu mewujudkan

kesetaraan gender, dimana wanita juga memiliki kesempatan untuk turut berperan

dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

D. Pemasaran Hasil Produksi

Usaha-usaha yang dilakukan oleh pengurus poktan untuk beralih ke UT

organik menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak pemerintah maupun swasta yang

kemudian membuat mereka bersedia untuk memperantari terjalinnya hubungan

kerjasama antara poktan dengan pedagang perantara (supplier). Dengan demikian,

individu poktan memiliki kesempatan untuk memasarkan hasil produksi ke pasar

modern. Situasi semacam itu membuat individu poktan memiliki pengetahuan dan

sikap mengenai pemasaran hasil produksi ke pasar modern dan bisa mengetahui

perbedaan antara pemasaran ke pasar tradisional dan pemasaran ke pasar modern.

Pemasaran merupakan suatu kegiatan untuk mengalirkan barang atau jasa sampai

ke tangan konsumen. Dalam konteks penelitian ini, pembahasan dititikberatkan

pada pengetahuan dan sikap individu poktan terhadap pemasaran (baik pasar

modern maupun tradisional). Disertai pula dengan pembahasan tentang tata cara

(keterampilan) individu poktan dalam kegiatan pemasaran.

Ketika usaha poktan difokuskan pada sayuran organik, petani merasa

memiliki manfaat atau keuntungan daripada usaha yang sebelumnya. Hal tersebut

terbukti melalui pernyataan dari Suparyono berikut ini:

“Penjualan lebih mudah sayurnya. Sekarang kalau sayur, pasarnya lebih banyak. Kalau dulu

tembakau yang beli cuma pabrik, itupun satu tahun sekali.”

Page 121: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

141

Dari pernyataan itu, maka petani merasa bahwa jumlah pasar untuk menjual

sayuran lebih banyak tersedia dan lebih bersifat kontinyu, dibandingkan dengan

UT tembakau yang hanya dibeli atau didistribusikan ke pabrik rokok dan hanya

terjadi satu kali dalam setahun. Suparyono juga menjelaskan bahwa penjualan

sayuran juga memiliki kendala atau masalah, terutama dalam hal kuantitas yang

diminta oleh pasar modern (seperti: supermarket, hypermarket, atau pasar luar

negeri). Berikut pernyataan Suparyono terkait hal tersebut:

“Hasil panen jualnya ke kelompok, tapi kelompok mengambilnya cuma sedikit mas,

cuma tiga kwintal, itupun terdiri dari beberapa komoditi mas. Kalau saya punya barang

banyak, yang bawa itu istri saya. Brokoli harganya 8.000 mas kalau dijual ke kelompok,

kalau pasar lokal itu 5.000. Kalau harga brokoli di pasar lokal di bawah 5.000, harganya

di pasar modern 8.000. Kalau wortel kita memperhatikan harga di pasar lokal mas, kalau

di lokal harganya 3.000, di pasar modern 5.000, kalau di bawah 2.000, harganya wortel di

pasar modern 3.500. Kalau di gudang kelompok itu hanya diambil 10 kilo, atau 25 kilo.

Brokoli sedang banyak permintaannya, cuacanya seperti ini, barangnya lagi sulit tersedia,

permintaannya bisa 50 kilo atau 30 kilo. Permintaannya banyak.”

Hal tersebut dicontohkan seperti demikian. Dalam satu kali pengiriman ke pasar

modern, jumlah yang diminta hanya 3 kwintal. Itupun terdiri dari berbagai macam

sayuran, sehingga produk sayuran yang dihasilkan oleh satu petani hanya terserap

kisaran 10-25 kg, bahkan terkadang ada petani yang produknya tidak dikirim

sama sekali ke pasar modern. Akan tetapi, ditinjau dari segi harga, penjualan

sayuran ke pasar modern lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan

penjualan sayur ke pasar tradisional. Contohnya, di pasar modern harga brokoli

sebesar Rp. 10.000,00, sedangkan di pasar lokal hanya Rp. 5.000,00. Diketahui

pula bahwa harga produk sayuran di pasar tradisional dapat mempengaruhi harga

produk di pasar modern. Misalkan jika harga brokoli di pasar lokal di bawah Rp.

5.000,00, maka harga di pasar modern sebesar Rp. 8.000,00. Berdasarkan

pernyataan Suparyono, maka dapat diketahui pula bahwa keadaan cuaca turut

mempengaruhi jumlah permintaan pasar modern akan sayuran. Keuntungan yang

diterima oleh petani terkait dengan harga jual ke pasar modern yang relatif lebih

tinggi dibandingkan dengan penjualan ke pasar tradisional juga diungkapkan oleh

Ngatemin sebagai berikut:

“Keuntungannya begini mas, misalnya saya punya cabai, kalau di pasar lokal itu laku

payu 2.000, sekarang ternyata kelompok bisa beli 10.000. Misal pasar lokal harganya

10.000, kelompok bisa menghargai 15.000, gitu.”

Page 122: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

142

Perbandingan antara pasar tradisional dan pasar modern digambarkan lebih detil

oleh Syaefuddin sebagai berikut:

“Padahal satu orang nanamnya 2.000-3.000 batang, kalau orang lima jadinya 15 ribu

batang kan. Padahal permintaan dari kelompok cuma tiga kwintal, dua kwintal, kadang-

kadang pernah satu kwintal, padahal pada waktu itu petani yang punya barang jumlahnya

banyak. Permintaan dari Jakarta cuma 50 kilo, malaysia satu kwintal, padahal satu orang,

saya sendiri saja barangnya punya dua kwintal, lalu mau jual kemana ini? Terkadang

lebih bagus pasar lokal, terkadang di kelompok itu minta brokoli cuma segini gagangnya,

batangnya. Tapi kalau di pasar lokal dengan daunnya tidak apa-apa, kalau dibanding-

bandingkan, berat timbangannya bagus yang pasar lokal. Sekarang pasar lokal harganya

7.000, di kelompok kontraknya itu 9.000, selisih 2.000, timbangannya menang yang

lokal. Di supermarket tidak boleh ada daunnya. Yang supermarket minta barang yang

benar-benar berkualitas, seperti brokoli yang dipilih itu kalau dipencet tidak kendor. Tapi

kalau yang masih kencang itu dua hari-tiga hari tidak kendor. Harga di pasar lokal hampir

sama, kalau pembeli di sana tahunya sayur, bukan ini sayur organik, ini non-organik,

tidak seperti itu. Saya punya brokoli kalau bagus-bagus harganya agak tinggi sedikit.

Kalau yang jelek-jelek harganya lebih rendah sedikit. Jadi hanya tergantung kualitas

barang. Kita sudah susah-payah pake organik, mengikuti prosedur kesepakatan dari

kelompok, kalau tidak bisa masuk ke kelompok, kita rugi. Harganya cenderung lebih

tinggi kalau ke supermarket, ketimbang ke pasar lokal.”

Berdasarkan pernyataan Syaefuddin, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah

permintaan dari pasar modern belum dapat mengimbangi total jumlah produksi

sayuran yang dihasilkan oleh satu petani. Terkadang harga sayuran di pasar

tradisional lebih tinggi dibandingkan dengan harga sayuran di pasar modern.

Kasus tersebut pasti terjadi, tetapi harga jual sayuran di pasar lokal bersifat

fluktuatif. Di samping itu, keuntungan penjualan sayuran ke pasar tradisional

dapat terlihat dari spesifikasi produk yang diminta tidak begitu “muluk-muluk”.

Contohnya, pasar tradisional mau menerima produk sayuran yang masih ada

daunnya atau batangnya, sehingga berpengaruh pada bobot produksi. Sedangkan,

di pasar modern umumnya tidak menerima produk sayuran yang masih ada

daunnya atau batangnya. Harga penjualan sayur organik ke pasar tradisional tidak

siginifikan terhadap keuntungan petani, karena umumnya harga produk sayur

organik di pasar tradisional disamakan dengan harga produk sayur anorganik.

Tetapi, terkadang petani dapat menjual produk sayuran organik yang lebih tinggi,

jika tampilan (performance) produk dianggap berkualitas. Penjualan sayuran

organik ke pasar modern tetap diminati oleh petani, karena harganya yang

cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan ke pasar tradisional.

Walau biaya produksi untuk berusaha tani sayuran organik relatif lebih rendah,

tetapi petani tetap berkeinginan produknya terjual di pasar modern. Hal tersebut

Page 123: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

143

wajar mengingat harga jual di pasar modern bersifat stabil. Hal tersebut sesuai

dengan yang diungkapkan oleh Supoyo berikut ini:

“Untungnya kalau harga di pasar modern tinggi dan stabil, karena ada kontraknya.”

Harga jual produk sayur di pasar modern bersifat stabil, karena sudah ada kontrak

kerjasama yang salah satunya memuat kesepakatan harga. Selain itu, preferensi

petani untuk menjual produk ke pasar modern juga disebabkan oleh tenaga dan

pikiran yang terkuras untuk berusaha tani organik cenderung lebih banyak

dibandingkan dengan UT anorganik.

Produk sayuran yang disalurkan ke pasar modern distandarisasi, baik dari

segi kuantitas maupun kualitas. Hal tersebut digambarkan melalui pernyataan

Suparman berikut ini:

“Hasil panen saya tidak dibawa ke gudang, dulu pernah, tapi sekarang sudah tidak. Dijual

ke pasar lokal saja. Kalau nanam paling tidak 2000-3000 tanaman, kalau nanti dijual ke

kelompok lima kilo sampai 10 kilo, lalu itu butuh berapa lama? Saya panen tomat pernah

sekali panen itu satu ton, padahal kalau dimasukkan ke kelompok itu paling banyak 20

kilo. Akhirnya banyak yang tidak terjual ke kelompok.”

Dari pernyataan Suparman dapat diketahui bahwa sebagian petani merasa enggan

untuk menjual produk sayurannya ke poktan yang kemudian disalurkan ke pasar

modern. Hal tersebut terjadi karena jumlah produk yang diminta terlalu sedikit.

Selain itu, produk sayuran yang bisa dijual ke pasar modern harus sesuai

berdasarkan spesifikasi atau standarisasi produk yang diminta. Hal ini dipertajam

oleh Wikan Mujiono sebagai berikut:

“Hasil panen dikirim ke kelompok gimana mas? Aku misalkan nanamnya 4.000 tanaman,

sekali panen 2 ton, misalkan 1-2 ton, kelompok tani butuhnya hanya 10 kilo, 20 kilo,

otomatis yang lainnya tetap dijual ke pasar lokal. Dalam seminggu anggota hanya dapat

mengirim 50 kilo, padahal misalkan tomat, seminggu panen dua kali, sekali panen bisa

memproduksi satu sampai dua kwintal. Itupun dipilih yang bagus-bagus saja, yang tidak

terpilih dijual ke pasar lokal. Sebetulnya saya sudah malas menjual barang ke kelompok

tani…… Produk milik anggota kelompok tani belum 100% terjual ke kelompok mas,

permintaan pasar belum di kelompok tani.”

Standar kualitas yang diminta oleh pasar modern dalam negeri tidak seketat

dengan pasar modern yang di luar negeri. Hal ini diperjelas melalui pernyataan

Sumadi berikut ini:

“Buncis harganya hanya 7.000, itu yang dijual ke supermarket. Ukurannya harus 13 cm

kalau diekspor. Kalau supermarket tidak ada batasan ukuran, jadi tidak seketat ekspor.”

Berdasarkan pernyataan Sumadi, ketatnya standar kualitas yang diminta oleh

pasar modern, salah satunya ditandai oleh aspek “ukuran” produk yang dijadikan

Page 124: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

144

tolok ukur. Berbeda halnya dengan pasar modern di dalam negeri, aspek “ukuran”

tidak menjadi tolok ukur untuk memutuskan diterima atau ditolaknya produk yang

dipasarkan oleh poktan. Walau demikian, sebagian petani sudah memiliki solusi,

agar poduk yang dihasilkannya dapat terjual ke pasar modern. Pernyataan dari

Jumarno akan memberi penjelasan akan hal tersebut:

“Permintaan paling banyak dari supermarket itu sayuran brokoli. Hampir setiap petani

nanam brokoli, kalau saya tidak pernah nanam, karena sudah banyak petani yang nanam

brokoli.”

Berdasarkan pernyataan Jumarno, maka dapat disimpulkan bahwa sayur brokoli

merupakan salah satu komoditas yang relatif diminta dalam jumlah banyak oleh

pasar modern. Agar produk sayuran yang dihasilkan oleh petani dapat terjual ke

pasar modern, maka petani memperhatikan jumlah permintaan pasar modern akan

sayuran tertentu dan jumlah petani yang menanam komoditas tertentu dijadikan

bahan pertimbangannya untuk memilih komoditas yang dibudidaya.

Permintaan pasar modern akan jenis tanaman tertentu bersifat dinamis,

artinya dari waktu ke waktu bisa berubah, baik dari segi kuantitas, kualitas,

bahkan jenis tanamannya. Hal tersebut selaras dengan yang diutarakan oleh

Syaefuddin berikut ini:

“Saya pernah nanam lobak, tapi yang diminta bit. Dengan begitu, lobak saya tidak

diminta oleh kelompok, sampai besar-besar ukurannya. Dari kelompok pernah seperti itu,

padahal sudah diinstruksikan untuk nanam lobak, akhirnya saya tanam. Begitu hampir

panen saya lapor ke kelompok, tapi dari kelompok mintanya hanya sedikit. Akhirnya saya

cari informasi tengkulak mana yang bisa beli, masalah harga tidak apa-apa, yang penting

hasil tani saya bisa habis terjual semua, tidak sia-sia dibuang. Tetapi lobaknya sudah tidak

laku, satu buahnya beratnya itu hampir 4 kilo. Saya pernah nanam sawi putih dan banyak

petani yang punya, tapi di kelompok mintanya hanya sedikit, 60 kilo-70 kilo. Akhirnya

ada anggota yang hanya menjual ke kelompok sebanyak 10 kilo, ada yang lima kilo.

Waktu itu harga di pasar lokal hanya 200 perak, akhirnya buat pakan sapi.”

Hal tersebut dimisalkan seperti demikian. Pada awalnya petani diinstruksikan

untuk menanam lobak, tetapi ketika lobak sudah siap panen, permintaan poktan

berubah menjadi bit. Akibatnya, lobak tidak laku dijual ke poktan, bahkan produk

tersebut tidak terjual ke pengepul. Sedangkan, harga jual di pasar tradisional

cenderung rendah, sehingga produk tersebut dialihkan menjadi pakan sapi.

Dampak negatif lainnya yang dirasakan oleh petani ketika menjual produknya ke

pasar modern diutarakan oleh Sumar sebagai berikut:

“Kalau penjualan ke supermarket yang tidak lancar hanya keuangan. Petani maunya

pembayaran hasil penjualan sayuran itu lancar, jadi tidak bisa aku panen terus jual, tapi

keuangannya macet. Kalau seperti itu aku utang, misalnya untuk beli pupuk. Supermarket

Page 125: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

145

itu pembayaraannya kelamaan. Ini sehabis panen, kami menunggu secepat-cepatnya

sebulan, gitu jadinya kelamaan mas. Kalau seperti itu, petani harus pintar mengatur

keuangan. Cuman kalau sayuran dijual ke pasar tradisional, dijual kami bisa langsung

menerima bayaran, tapi harganya tidak bagus. Kalau dijual ke supermarket harganya

bagus, coba kalau keuangannya lancar, jadinya lebih bagus.”

Kerugiannya adalah petani harus menunggu pembayaran akan produk yang

dijualnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan di kontrak

kerjasama, bahkan terkadang pasar modern mengalami keterlambatan dalam

melakukan pembayaran. Dengan adanya kasus tersebut, petani akhirnya kesulitan

memenuhi modal untuk berusaha tani selanjutnya, sehingga mereka berutang.

Berbeda dengan pasar modern, ketika dipasarkan ke pasar tradisional, petani dapat

langsung menerima bayaran.

Ditinjau dari segi promosi, poktan sering memanfaatkan kegiatan pameran

sebagai media untuk melakukan promosi tentang produknya. Kegiatan pameran

umumnya diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Hal tersebut

diperjelas melalui pernyataan dari Syaefuddin sebagai berikut:

“Saya dulu pernah ke Semarang, ke matahari. Saya ke sana sebagai utusan dari kelompok

ikut kegiatan pameran di sana selama satu minggu. Di sana kebanyakan orang membeli

yang non-organik, karena harganya lebih murah. Konsumen tahunya produknya sama-

sama bagus. Itu kalau konsumen tidak bisa membandingkan, nanti kedepannya mereka

tidak paham konsumsi yang sehat. Soalnya wah ini bagus-ini bagus kok harganya selisih

gitu.”

Metode promosi yang dilakukan oleh poktan dalam kegiatan pameran adalah

direct selling (menjual langsung). Direct selling merupakan salah satu bentuk

promosi dari personal selling, dimana merupakan kegiatan pengusaha (Poktan

Tranggulasi) untuk melakukan kontak langsung dengan calon konsumennya.

Dengan kontak langsung ini, diharapkan akan terjadi hubungan atau interaksi

yang positif antara pengusaha dengan calon konsumennya itu. Kontak langsung

akan dapat mempengaruhi secara lebih intensif para konsumennya, karena dalam

hal ini, pengusaha dapat mengetahui keinginan dan selera, serta gaya hidup

konsumen. Dengan demikian, pengusaha dapat menyesuaikan cara pendekatan

atau komunikasinya dengan konsumen itu secara lebih tepat (Gitosudarmo,

2008:288). Beralih ke preferensi konsumen, di pameran tersebut konsumen lebih

berminat membeli produk sayuran anorganik, karena harganya lebih murah.

Lagipula, tampilan produk sayuran anorganik dan sayuran organik relatif sama.

Konsumen kurang mampu membandingkan perbedaan antara sayuran anorganik

Page 126: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

146

dan sayuran organik. Di samping itu, konsumen juga belum memiliki kesadaran

atau pemahaman bahwa produk sayuran organik lebih aman dikonsumsi, jika

dibandingkan dengan produk sayuran anorganik.

Aspek pemasaran dapat dianggap sebagai komponen yang paling

berpengaruh secara signifikan untuk memberi manfaat atau keuntungan dan

menumbuhkembangkan antusias bagi petani untuk berkelompok. Hal tersebut

digambarkan melalui pernyataan dari Ngatemin berikut ini:

“Ternyata hasil dari berusaha tani sayur organik itu bisa memungkinkan, kalau dijual ke

pasar lokal itu kalau harganya sedang hancur, pasti hancur. Kalau organik itu stabil mas.

Keuntungannya berkelompok, kalau dari petani seperti saya itu cuma pemasaran saja

mas. Kalau di pasar lokal jual cabai aja kemarin itu 2000, tapi kalau di kelompok masih

10.000, itu dijual ke supermarket-supermarket itu.”

Dengan berusaha tani organik, produk yang dihasilkan oleh poktan dapat

menembus pasar modern yang harga jualnya relatif lebih tinggi dan stabil, jika

dibandingkan dengan harga jual di pasar tradisional. Bahkan pada prinsipnya,

motif pembentukan Poktan Tranggulasi bertujuan untuk memotong beberapa mata

rantai pemasaran sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pitoyo Ngatimin dan

Abdul Wahab sebagai berikut:

“Motif dibentuk kelompok itu untuk bisa jalin pasar, itu tujuan akhirnya. Bagaimana

untuk kita bisa berorganisasi ini tapi dengan tujuan memutus siklus pasar. Siklus pasar itu

umumnya rantainya panjang, minimal kita mengurangi rantai itu, sehingga harga kita

tidak selalu dipermainkan.” (Pitoyo Ngatimin)

“Otomatis kalau petani jaminannya cuma pasar, kalau petani tidak bisa memasarkan

barangnya sendiri, otomatis kita gagal, kalau larinya tetap ke tengkulak otomatis gagal,

harganya dipermainkan. Kami berusaha mutus mata rantai.” (Abdul Wahab)

Perhatian utama Poktan Tranggulasi ditunjukkan dengan adanya usaha poktan

untuk terus-menerus menjalin kerjasama dengan pasar modern. Distribusi sayuran

organik ke pasar modern mampu memotong beberapa mata rantai, sehingga harga

jual di tingkat petani dapat meningkat. Terkait dengan pemotongan mata rantai

pemasaran, pernyataan Pitoyo Ngatimin berikut ini memberi penjelasan yang

lebih konkret:

“Ke Malaysia dan Singapur kita langsung ke yang punya toko di sana, langsung ke

supermarket. Dari supermarket, lalu langsung dijual ke konsumen. Kalau yang pasar

tradisional itu rantainya dari petani ke tengkulak, tengkulak baru ke pengepul, pengepul

baru ke distributor, terus ke pengecer, lalu baru sampai ke konsumen. Paling tidak kita

memotong dua mata rantai. Sebetulnya kita jual di pasar lokal sama saja, cuma kalau di

sana harganya tidak ada bedanya dengan yang anorganik. Meskipun kalau kelebihan

Page 127: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

147

produk, kita jual ke situ. Yang ada pembedaan antara organik dan anorganik itu di pasar

modern, bidikan itulah yang untuk meningkatkan daya saing.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa mata

rantai pemasaran sayuran ke pasar modern lebih sedikit, dibandingkan ke pasar

tradisional. Kemudian, mencermati pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat

disimpulkan bahwa pemotongan mata rantai lebih ideal ketika poktan

memasarkan sayurannya ke luar negeri, dimana poktan langsung menjual

produknya ke toko modern dan selanjutnya dijual ke konsumen akhir. Umumnya,

penjualan sayuran ke pasar modern dilakukan melalui perantara, yang biasa

dikenal oleh petani dengan istilah supplier atau buyer, seperti yang diungkapkan

oleh Jumarno berikut ini:

“Semuanya lewat supplier, jadi tidak langsung dikirim ke supermarket. Jadi dari supplier

baru ke supermarket.”

Selanjutnya, pengurus poktan berjasa untuk mendistribusikan produk sayuran ke

beberapa jaringan pasar modern. Pernyataan Rebo berikut ini akan memberi

gambaran akan hal tersebut:

“Saya itu pengurus atau pengelola pemasaran. Saya pengelola bagian transportasi.

Biasanya kirim sayur ke Solo, Semarang, Jogja. Kalau ke pasar yang di Jakarta, saya

paketkan lewat bis, saya cukup bawa sayurannya ke JLS saja.”

Berdasarkan pernyataan Rebo, maka dapat dipastikan bahwa Poktan Tranggulasi

memiliki pengelola khusus di bagian transportasi yang bertugas untuk

mendistribusikan produk yang dihasilkan individu poktan. Mencermati pernyataan

itu, terdapat beberapa jaringan pasar yang sistem pendistribusiannya dilakukan

secara mandiri oleh pengelola poktan. Hal tersebut turut dipertajam oleh Sumadi

dan Sumar sebagai berikut:

“Kelompok itu yang kirim barang, seperti yang ke Jakarta, itu tiga kali seminggu, tiap

hari Senin, Rabu, dan Sabtu.” (Sumadi)

“Kalau masalah pengiriman produk itu sudah ada orang-orang tertentu yang mengurusi.”

(Sumar)

Penjualan sayuran ke pasar modern berpeluang mengubah posisi petani

dari penerima harga (price taker) menjadi penentu harga (price maker). Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan Suryanti sebagai berikut:

“Tetap enak kalau ada kelompok mas. Kalau dulu kita dipermainkan tengkulak. Kalau

ada kelompok kita sudah tidak terlalu dipermainkan oleh tengkulak dan sudah ada

Page 128: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

148

kontrak harga dengan supplier. Seperti brokoli, kalau dijual ke tengkulak harganya 5.000,

kalau dijual ke kelompok bisa mencapai 10.000.”

Berdasarkan pernyataan Suryanti, maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama

dengan supplier memberi peluang bagi petani untuk menentukan harga jual

sayuran. Oleh karena itu, poktan perlu mendelegasikan tugas dan wewenangnya

kepada orang yang dianggap berkompeten untuk melakukan tawar-menawar

dengan pihak supplier untuk membuat kesepakatan. Hal tersebut diungkapkan

oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“Negosiasi itu teknisnya yang pertama itu dibicarakan kemauan dari supplier itu apa, lalu

kami sesuaikan dengan kesiapan kami anggota kelompok. Misalnya ada sayuran

tertentu yang diminta supplier tapi kami belum punya sayurannya itu, kita menawarkan

ke supplier untuk menunggu kesiapan kami dalam menyediakan produk itu. Selain itu,

yang dinegosiasi termasuk juga kesepakatan harga, kesepakatan kualitas, waktu

pengiriman, dan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan.”

Menanggapi pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa supplier

diberi keleluasaan terlebih dahulu untuk menawarkan konsep kerjasama,

khususnya permintaan akan komoditas sayuran. Ketika terdapat jenis komoditas

tertentu yang belum tersedia di poktan, individu Poktan Tranggulasi meminta

toleransi waktu untuk mempersiapkan komoditas yang bersangkutan. Apabila

pihak supplier menyetujui permintaan dari poktan, maka kesepakatan akan jenis

komoditas tercapai. Di samping kesepakatan mengenai komoditas sayuran yang

diminta, terdapat hal-hal lain yang disepakati antara supplier dengan poktan,

diantaranya: harga, kualitas atau spesifikasi produk, waktu pengiriman, dan hal-

hal yang berkaitan dengan keuangan. Berkaitan kerjasama dengan supplier,

pernyataan dari Abdul Wahab dan Jumarno berikut ini mempertajam pernyataan

dari Pitoyo Ngatimin:

“Yang bertugas bernegosiasi dengan supplier itu pak Pitoyo, tapi terkadang saya. Kita itu

sudah punya kesepakatan, seperti komoditas yang diinginkan apa saja, selain itu model

pengemasannya seperti apa, curah atau dikemas pakai platik wrapping. Kalau curah dan

packing itu harganya beda. Itu antara kelompok dengan supplier saling terbuka. Selain itu

yang disepakati itu juga karakteristik produk, misalkan brokoli itu yang pakai daun atau

tidak dan isi sayuran dalam kemasan, mau 1 kemasan berisi tiga atau empat brokoli, itu

semuanya kita bicarakan terlebih dahulu.” (Abdul Wahab)

“Kalau ada kerjasama dengan supermarket dibicarakan di rapat pengelola. Kalau masalah

pasar anggota tidak tahu. Jadi anggota cuma diberi tahu jenis tanamannya.”

(Jumarno)

Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat diketahui bahwa pengurus

Poktan Tranggulasi bertugas untuk melakukan negosiasi. Tugas itu khususnya

Page 129: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

149

diemban oleh ketua atau sekretaris poktan. Selain ragam kesepakatan yang telah

diutarakan oleh Pitoyo Ngatimin sebelumnya, pihak poktan dan supplier juga

menyepakati model pengemasan produk dan muatan produk per satu kemasan.

Kemudian, sikap keterbukaan perlu ditonjolkan ketika proses negosiasi berjalan,

agar kedepannya tidak terjadi suatu masalah. Selanjutnya, Jumarno

mengemukakan bahwa sebelum terjadi kesepakatan antara poktan dengan

supplier, seluruh pengelola dilibatkan untuk mendiskusikan terlebih dahulu

konsep kerjasama lewat wadah pertemuan pengelola. Lalu, hasil kesepakatan

dalam pertemuan pengelola itu yang dijadikan acuan bagi negosiator untuk

menyepakati konsep kerjasama dengan pihak supplier. Dalam hal ini, keterlibatan

para anggota poktan hanya sebatas pada pengetahuannya mengenai jenis

komoditas yang diminta oleh supplier. Mencermati pernyataan yang diutarakan

oleh Abdul Wahab dan Jumarno, maka dapat dimaknai bahwa pengelola poktan

(khususnya yang berperan sebagai pihak negosiator) memiliki andil dan tanggung

jawab yang besar untuk memperjuangkan terjalinnya kerjasama (dengan supplier)

dengan konsep yang bijaksana dan realistis, baik dari segi jenis komoditas, jumlah

produksi, karakteristik atau spesifikasi produk, waktu pengiriman produk, dan

harga jual produk.

Ditinjau dari segi pemasaran, ada persamaan dan perbedaan pandangan

serta tata cara pemasaran yang dilakukan antara Poktan BM dan Poktan

Tranggulasi. Persamaan Poktan BM dengan Poktan Tranggulasi diawali dengan

gambaran yang diberikan melalui pernyataan Budiyati berikut ini:

“Terkadang kalau di pasar lokal itu harganya rendah. Kalau organik dan dijual ke pasar

modern bisa unggul harganya dan harganya tetap. Kalaupun di pasar lokal harganya

tinggi, bisa 10.000 gitu. Tapi kalau di kelompok seumpanya 9.000, tapi ajeg segitu, tapi

kalau di pasar lokal itu harganya tinggi, tapi waktunya hanya sebentar.”

Dari pernyataan itu, maka dapat disimpulkan bahwa harga jual produk sayuran di

pasar modern relatif lebih tinggi dan stabil. Walaupun harga jual di pasar

tradisional terkadang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar

modern, tetapi tidak bersifat ajeg, artinya harga jual tersebut tidak berlaku lama.

Dengan kata lain, harga jual sayuran di pasar tradisional dapat berubah dari waktu

ke waktu. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Zaenal berikut ini:

“Di tempat kita ini hanya pasar yang tidak menentu, maka dari itu mengapa petani

hidupnya pada sulit? Karena pasar tidak menentu, suatu misal cabai, yang punya jarang-

Page 130: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

150

jarang, karena kurang produksi harganya bisa melonjak, lalu kalau kelebihan produksi,

untuk mengembalikkan modal usaha lagi tidak bisa, itulah pertanian kita.”

Penentuan harga jual produk sayuran di pasar tradisional tergantung oleh besar

atau kecilnya jumlah sayuran yang beredar. Menurut pendapat Hanafie

(2010:177), ketika ada surplus barang, penjual tidak dapat menjual seluruh barang

yang ingin mereka jual pada harga yang berlaku saat itu. Situasi ini disebut

sebagai “kelebihan penawaran”. Pada saat seperti ini, penjual akan bereaksi

terhadap kelebihan penawaran ini dengan memotong harga. Harga akan terus

turun sampai pasar memperoleh keseimbangan. Di sisi lain, ketika ada

kekurangan barang, para pembeli tidak dapat membeli seluruh barang yang

mereka inginkan pada harga yang berlaku. Situasi ini disebut sebagai “kelebihan

permintaan”. Pada seperti ini, karena terlalu banyak pembeli, penjual dapat

memberikan reaksi dengan menaikkan harga tanpa kehilangan penjualan. Ketika

harga naik, pasar bergerak ke arah keseimbangan. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa semakin banyak jumlah barang yang beredar di pasar, maka harga jual

produk semakin rendah dan sebaliknya. Beralih ke sisi pasar modern, jumlah

produk sayuran yang didistribusikan ke pasar modern ditentukan berdasarkan

permintaan dari supplier. Hal tersebut diungkapkan melalui pernyataan Budiyati

sebagai berikut:

“Kalau udah panen sebagian dijual ke pasar lokal, sebagian ke pak Toni selaku supplier.

Tapi yang dijual ke pasar lokal itu kalau ada kelebihan produk. Suppliernya hanya satu.

Seperti selada, kalau di kelompok permintaannya hanya 10 kilo atau 15 kilo, kadang-

kadang cuma 5 kilo, yang dijual ke kelompok itu menurut permintaannya.”

Jika dari jumlah total produksi yang dihasilkan oleh petani masih terdapat

kelebihan, maka dijual ke pasar tradisional.

Letak perbedaan Poktan BM dan Poktan Tranggulasi dalam memasarkan

produk sayurannya, salah satunya terlihat pada inisiatif dari individu Poktan BM

untuk menjual langsung ke konsumen akhir. Hal tersebut terbukti berdasarkan

pernyataan dari Makruf dan Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:

“Kalau tidak dijual ke kelompok, maka dijual sendiri, ke bakul lain.” (Makruf)

“Kalau produknya masih berlebihan, itu dibawa ke kopeng, diikat-ikat, kami bisa

mematok harga sendiri. Berdagang di Kopeng itu banyak pembelinya, banyak tamu,

justeru malah kalau bawa ke kopeng itu kita bisa matok harga, kalau pasar itu 1.000,

mungkin kalau di Kopeng bisa 5.000.” (Mujiyanti Rahayu)

Page 131: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

151

Berdasarkan pernyataan Makruf dan Mujiyanti Rahayu, maka dapat diketahui

bahwa ketika produk sayuran yang dihasilkan oleh individu Poktan BM tidak

terjual ke pasar modern, maka dijual ke tempat wisata di Kopeng. Keuntungan

penjualan di tempat tersebut adalah petani bisa mematok harga, sehingga tidak

ditentukan oleh lembaga pemasaran (seperti: pengepul). Hal tersebut dijadikan

alternatif pasar (selain pasar tradisional) oleh individu poktan, ketika produknya

tidak bisa terjual ke pasar modern. Terkait dengan hal tersebut, Supilih

memperlengkap pernyataan dari Makruf dan Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:

“Misalkan kita punya hasil tani sayuran, terus kita jual di kelompok saja, kalau yang

terjual di kelompok cuma sedikit-sedikit, akhirnya sisanya dijual ke pasar lokal mas……

Kami tidak mengandalkan kelompok saja. Maka dari itu, selain dijual ke pasar lokal,

kami juga jual langsung ke konsumen di Kopeng. Kalau jual ke situ harganya sama

dengan ke pasar lokal. Misalnya kubis, di pasar lokal itu harganya 1.000, kalau kita jual

1.500 di Kopeng tidak laku mas. Di pasar lokal harga yang organik dan anorganik sama,

tapi kalau supermarket itu ada perbedaan antara yang organik dan non-organik.”

Mencermati pernyataan Supilih tentang harga jual produk di tempat wisata, maka

dapat disimpulkan bahwa pernyataannya bertentangan dengan pernyataan yang

diutarakan oleh Makruf dan Mujiyanti Rahayu, yakni tidak adanya perbedaan

antara harga jual di tempat wisata dengan harga jual di pasar tradisional. Ketika

dua pendapat tersebut disintesiskan, maka dapat dinyatakan bahwa satu petani

dengan petani lainnya menjual produk sayurannya di tempat wisata dengan harga

yang berbeda-beda. Petani berpeluang untuk menentukan harga, ketika produknya

dijual secara mandiri di tempat wisata Kopeng, bukan ditentukan oleh mekanisme

pasar (seperti di pasar tradisional).

Selanjutnya, pendistribusian sayuran organik oleh Poktan BM ke pasar

modern dilakukan melalui perantara perusahaan yang bergerak di bidang

distributor. Teknis pemasaran melalui perusahaan distribusi ini digambarkan

melalui pernyataan dari Rebo Wahono berikut ini:

“Permintaan dari supplier akan tomat ada, tapi tomat itu hanya hari Kamis dan Jumat,

jumlahnya sekitar 14-15 kilo. Itu sebenarnya kalau tiap hari ada permintaan, kita untung.

Satu kilo rata-rata sekitar 10 buah, itu yang besar…… Yang kecil tidak masuk standar,

tapi yang ukurannya kecil kalau dibawa ke Kopeng masih bisa memberikan hasil. Jadi

tidak cuma mengandalkan supplier saja.”

Dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat diketahui bahwa waktu pengiriman

jenis sayuran tertentu sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian, tiap produk

sayuran yang ingin dijual harus sesuai dengan standarisasi yang ditentukan oleh

Page 132: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

152

pasar modern. Untuk itu, poktan perlu memiliki ketelitian dalam melakukan

penyortiran produk. Produk yang bertentangan dengan standarisasi yang

ditetapkan oleh pasar modern, dijual ke pasar tradisional atau dijual langsung ke

tempat wisata di Kopeng. Lalu, jumlah permintaan tiap komoditas berbeda-beda.

Hal ini diungkapkan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:

“Tanaman seperti brokoli, sawi putih, sawi sendok, lettuce, wortel, tomat, itu di pasar

umum ada. Tapi kalau seperti parseley, rosemary permintaan dari pasar modern tidak

terlalu banyak….. Kalau jual ke pasar lokal itu sebenarnya masih untung, tetapi dari

anggota merasa berat hati itu karena perawatannya mas, yang begitu beratnya, sehingga

mereka merasa kurang rela. Persediaan tomat di sini terkadang kurang dari permintaan

supplier. Permintaan supplier akan tomat terkadang 20 kilo, kadang hanya dua kilo, lima

kilo. Pasar itu mintanya barang yang habis, kalau yang habis permintaannya banyak.

Kerugian kami itu di situ, kita tanamnya banyak, tapi permintaannya sedikit.”

Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, maka dapat disimpulkan bahwa ada

beberapa komoditas sayuran yang jumlah permintaannya banyak dan ada juga

yang jumlah permintaannya sedikit. Komoditas sayuran yang jumlahnya

permintaannya banyak umumnya beredar di pasar tradisional, contohnya: sawi

putih, brokoli, sawi sendok, head lettuce, wortel, dan tomat. Sedangkan komoditas

sayuran yang jumlah permintaannya sedikit diantaranya: paterselly dan rosemary.

Jumlah permintaan akan komoditas sayuran otomatis berpengaruh pada banyak

atau sedikitnya jumlah petani yang ditugaskan untuk membudidayakan komoditas

sayuran tersebut. Jumlah permintaan sayuran organik dari supplier ke petani

dipengaruhi oleh ketersediaan sayuran organik di pasar modern. Sama halnya

dengan Poktan Tranggulasi, keinginan individu Poktan BM lebih condong untuk

menjual produknya ke pasar modern, karena harga jual produk di pasar tradisional

relatif rendah dan tidak stabil, tidak sebanding dengan tenaga yang terkuras

selama melakukan budidaya sayuran secara organik. Selanjutnya, Supilih

menjelaskan bahwa waktu panen harus disesuaikan dengan waktu pengiriman

sayuran organik ke pasar modern. Berikut pernyataannya:

“Permintaan pasar modern akan semua tanaman itu tercatat. Sudah pernah kejadian, sini

sudah hampir panen, dua hari tidak ada permintaan, sehingga tanamannya sudah agak tua.

Akhirnya saya jual ke pasar lokal. Kalau dibawa ke supermarket, standarnya tidak cocok.

Jadi sayuran itu kalau sudah waktunya panen, harus segera dipanen dan dikirim ke pasar.”

Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa jumlah permintaan sayuran

organik dalam waktu tertentu sudah tercatat, sehingga dapat dijadikan acuan bagi

petani yang ditugaskan untuk memanajemen waktu dalam budidaya sayuran.

Page 133: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

153

Kegiatan pemanenan yang tidak tepat waktu berdampak negatif terhadap

keterlambatan dalam menyediakan produk. Waktu panen yang tidak tepat juga

berakibat buruk pada kelayakan produk dari segi mutu.

Selanjutnya sama hal halnya dengan Poktan Tranggulasi, individu Poktan

BM juga merasa memiliki peluang sebagai penentu harga (price maker), terbukti

dari keterlibatannya dalam membuat kontrak kerjasama dengan pihak supplier.

Hal tersebut secara implisit diutarakan oleh Rochmad sebagai berikut:

“Ada kontrak harga dan kontrak kerjasama dengan supplier.”

Hal tersebut diperlengkap oleh pernyataan Supilih berikut ini:

“Di sini sudah ada patokan harga dengan supplier. Melakukan revisi harga itu empat

bulan sekali. Kalau supermarket itu patokannya pasar tradisional. Lalu, kerjasama dengan

supplier itu ada tawar-menawar harga, perjanjian kualitas barang, dan perjanjian waktu

pengiriman.”

Berdasarkan pernyataan Supilih, maka dapat dipastikan bahwa individu poktan

terlibat untuk menyepakati konsep kerjasama dengan supplier, termasuk

kesepakatan mengenai harga jual produk. Di samping kesepakatan harga, pihak

poktan dan supplier juga menyepakati kualitas atau spesifikasi produk dan waktu

pengiriman. Mencermati pernyataan Supilih, kontrak kerjasama, khususnya

mengenai harga jual produk tidak berlaku selamanya, melainkan ada revisi harga

yang biasanya dilakukan dengan frekuensi empat bulan sekali. Kemudian,

pernyataan Pandi berikut ini akan memberi gambaran mengenai pihak yang

bertugas secara intensif untuk membangun komunikasi dengan supplier:

“Bagian pemasaran, supplier itu misalnya dari pemasaran ada berapa kilo? Yang bagian

pemasaran waktu pertemuan itu yang memimpin pembicaraan mengenai itu.”

Berdasarkan pernyataan Pandi, maka dapat diketahui bahwa pengurus divisi

pemasaran memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membangun komunikasi

secara intensif dengan pihak supplier, termasuk pembicaraan mengenai revisi

harga. Selain itu, divisi pemasaran juga bertugas sebagai pihak yang berinisiatif

melibatkan individu poktan lain untuk mendiskusikan kelayakan kerjasama

dengan supplier, contohnya pendiskusian mengenai jenis-jenis komoditas sesuai

dengan permintaan supplier, baik dari aspek jenis komoditasnya maupun aspek

kuantitasnya. Mencermati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan tugas di Poktan BM disesuaikan dengan bagian atau divisi

kepengurusan poktan yang bersangkutan.

Page 134: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

154

Keterbatasan poktan untuk memenuhi permintaan (terutama aspek

kuantitas) dari supplier merupakan hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, poktan

mensiasati dengan cara mengambil sayuran dari petani di luar poktan. Pernyataan

dari Makruf akan memperjelas strategi poktan ketika mengalami masalah seperti

itu:

“Kami juga cari sayur ke sub-sub kelompok, kalau ada kekurangan……. Kami cari

produk itu tidak sembarangan, kalau kekurangan sayur, kami mintanya yang produk sayur

organik.”

Individu Poktan BM bersikap selektif untuk memungut hasil panen sayuran dari

daerah lain, artinya sayuran yang bisa terserap ke Poktan BM harus terjamin

keorganikannya. Biasanya, pemungutan sayuran dari luar poktan dilakukan

melalui sub-sub kelompok yang bekerjasama dengan Poktan BM. Dengan cara

tersebut, sebagian petani di luar poktan merasa khawatir dengan kemurnian

organik dari produk sayuran yang dijual ke pasar modern. Pernyataan Suroso akan

memperjelas hal tersebut:

“Tapi kenyataannya yang dikirim oleh kelompok tani Bangkit Merbabu itu bisa saja

produk semi organik. Masalahnya ketersediaan sayurnya itu terkadang tidak mencukupi

permintaan dari pasar modern, lalu mereka mengambil sayur dari luar kelompok. Apa di

luar kelompok itu terjamin organik?”

Aspek pemasaran hasil produksi pertanian merupakan keuntungan yang

paling dirasakan dan diakui oleh individu poktan yang berorientasi usaha sayuran

organik. Hal tersebut juga diakui oleh Tugiarto sebagai berikut:

“Kalau dianalisis usaha, secara ekonomis usaha tani organik itu bagus, karena biasanya

dari segi pemasaran lebih tinggi harganya.”

Keadaan demikian terjadi, karena produk sayuran organik memiliki peluang

untuk dijual ke pasar modern. Penjualan produk sayuran ke pasar modern

memberi manfaat bagi keuntungan dan kemandirian petani. Keuntungan yang

dimaksud adalah harga jual produk relatif lebih tinggi dan stabil, jika

dibandingkan dengan pasar tradisional. Sedangkan sisi kemandiriannya terbukti

dengan adanya perubahan status petani dalam pemasaran, yang awalnya sebagai

price taker, kemudian menjadi price maker.

Terbangun relasi yang kuat antara poktan dengan dinas pertanian milik

pemerintah mengakibatkan terjalinnya jaringan poktan dengan pedagang perantara

(supplier), sehingga poktan memiliki kesempatan untuk memasarkan hasil

Page 135: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

155

produksinya ke pasar modern. Dengan demikian, individu poktan memperoleh

pengetahuan mengenai pemasaran produksi hasil pertanian ke pasar modern.

Selain itu, individu poktan memahami perbandingan antara pemasaran hasil

produksi ke pasar tradisional dan ke pasar modern.

Kemudian, baik Poktan Tranggulasi maupun Poktan BM, pengurus poktan

memegang peran yang menonjol dalam kegiatan pemasaran, yaitu: bertindak

sebagai negosiator harga, sebagai pihak yang intensif menjalin komunikasi

dengan supplier, sebagai pihak yang berinisiatif melibatkan individu poktan lain

untuk mendiskusikan kelayakan kerjasama dengan supplier, sebagai promotor

produk, dan sebagai distributor. Pada aspek tersebut, perbedaannya adalah Poktan

Tranggulasi umumnya mengandalkan pengelola unit bisnis (pemasaran) untuk

menjalankan peran-peran tersebut. Tinjauan di lapangan menunjukkan bahwa

meskipun pengelola unit bisnis berada di bawah naungan seksi usaha, namun

dalam manajemennya masih didominasi oleh pengurus yang berstatus sebagai

ketua dan sekretaris poktan. Sedangkan, Poktan BM umumnya melimpahkan

peran-peran itu kepada divisi pemasaran. Kalaupun dijalankan oleh ketua poktan,

divisi pemasaran turut dilibatkan dalam pengembanan tugas tersebut.

Kesamaannya terlihat dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pengurus di

kedua poktan yang lebih unggul dibandingkan dengan anggota poktan.

Selain perbedaan yang diuraikan di atas, terdapat perbedaan lainnya yang

cukup mencolok, dimana individu Poktan BM tidak hanya mengandalkan pasar

tradisional dan pasar modern, tetapi mencari alternatif pasar yang lain, yaitu:

menjual langsung (direct selling) di tempat wisata, Kopeng. Kemudian, perbedaan

lainnya terlihat pada aspek subyek yang secara intensif bersinggungan dengan

supplier. Poktan Tranggulasi lebih mengandalkan ketua atau sekretaris poktan.

Hal tersebut cukup bertentangan bilamana dikaitkan dengan uraian tugas pengurus

Poktan Tranggulasi. Sebenarnya tugas semacam itu diemban oleh seksi usaha

sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pemasaran hasil usaha tani. Sedangkan

Poktan BM cenderung mengandalkan divisi terkait (divisi pemasaran) untuk

melakukan aktivitas tersebut. Hal tersebut tidak menyimpang dari uraian tugas

yang ditetapkan oleh Poktan BM, dimana pengurus divisi pemasaran bertugas

memasarkan hasil produk sayuran organik kepada pelaku pasar. Selain itu,

Page 136: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

156

perbedaan lainnya ada pada aspek pihak-pihak yang dilibatkan untuk

mendiskusikan kelayakan kerjasama dengan supplier. Pada aspek itu, Poktan

Tranggulasi hanya melibatkan individu-individu yang tergabung sebagai

pengelola pemasaran, sedangkan Poktan BM melibatkan seluruh individu.

Ditinjau dari segi pemasaran hasil produksi, pemahaman kedua individu

poktan relatif sama. Berikut ini diuraikan beberapa pandangan emik dari

masyarakat terkait dengan pemasaran hasil produksi sayuran organik:

a. Jumlah pasar untuk menjual sayuran lebih banyak tersedia dan lebih bersifat

kontinyu, dibandingkan dengan sebelumnya, yakni UT tembakau yang hanya

dibeli atau didistribusikan ke pabrik rokok dan hanya terjadi satu kali dalam

setahun.

b. Penjualan sayuran, baik ke pasar tradisional maupun pasar modern sama-sama

menggunakan agen pemasaran (seperti: pengepul atau supplier).

c. Narasumber beranggapan bahwa jumlah (kuantitas) sayuran yang diminta oleh

pasar modern sedikit. Jumlah permintaan dari pasar modern belum dapat

mengimbangi total jumlah produksi sayuran yang dihasilkan oleh satu petani.

d. Ditinjau dari segi harga, penjualan sayuran ke pasar modern lebih

menguntungkan, stabil, tetapi lebih ketat (standarisasinya), jika dibandingkan

dengan penjualan sayur ke pasar tradisional.

e. Ditinjau dari segi kuantitas, kualitas, dan jenis tanamannya, pada saat-saat

tertentu permintaan dari pasar modern dapat berubah. Berbeda dengan

permintaan dari pasar tradisional yang cenderung stabil.

f. Ditinjau dari segi pembayaran, pasar tradisional lebih menguntungkan bagi

petani, karena petani dapat langsung menerima bayaran dari pembeli ketika

produk tersebut sudah didistribusikan. Berbeda dengan pasar modern yang

terkadang terlambat (tidak sesuai dengan kesepakatan atau kontrak) dalam

membayar produk yang telah didistribusikan.

g. Ditinjau dari segi promosi, poktan sering memanfaatkan kegiatan pameran

sebagai media untuk melakukan promosi tentang produknya.

h. Aspek pemasaran memegang peran penting untuk mempertahankan dan

menumbuhkembangkan antusias petani untuk berkelompok tani. Antusias

tersebut tumbuh terutama karena dengan berusaha tani organik, produk yang

Page 137: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

157

dihasilkan oleh poktan dapat menembus pasar modern yang harga jualnya

relatif lebih tinggi dan stabil, jika dibandingkan dengan harga jual di pasar

tradisional.

i. Mata rantai pemasaran sayuran ke pasar modern lebih sedikit, dibandingkan ke

pasar tradisional. Pengalaman individu Poktan Tranggulasi menunjukkan

bahwa pemotongan mata rantai lebih banyak ketika poktan memasarkan

sayurannya ke luar negeri.

j. Penjualan sayuran ke pasar modern berpeluang mengubah posisi petani dari

penerima harga (price taker) menjadi penentu harga (price maker). Kerjasama

dengan supplier memberi peluang bagi petani untuk menentukan harga jual

sayuran, sehingga tidak dipermainkan oleh lembaga pemasaran (seperti

pengepul).

E. Dampak terhadap Produksi, Pendapatan, Kemandirian, dan

Kesejahteraan Petani

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa pengetahuan, keterampilan,

dan sikap individu poktan dalam menjalankan UT sayuran organik, dari

penyediaan input atau saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, dan

pemasaran hasil produksi dipengaruhi oleh berbagai wadah belajar yang tersedia

di poktan. Dengan UT yang baik, maka dapat berpengaruh atau berdampak positif

pada produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Pengaruh atau

dampak yang positif terhadap itu menjadi unsur pengikat dan pendorong bagi

petani untuk terus-menerus melakukan UT sayuran organik. Seturut dengan

pembahasan sebelumnya, pengetahuan dan sikap individu poktan mengenai

dampak positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan

juga tidak terlepas dari adanya peran pengurus poktan dalam mengorganisir

poktannya.

Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi, petani tergugah

kesadaraannya bahwa dengan merubah jenis UT-nya menjadi sayuran organik,

produksi dan penghasilannya dapat lebih intensif (dalam waktu setahun)

dibandingkan dengan jenis UT yang dilakukan sebelumnya. Hal tersebut

diperjelas melalui pernyataan dari Suparyono berikut ini:

Page 138: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

158

“Setelah ada kelompok itu bisa berkembang. Tanaman satu tahun bisa 3 kali sampai 4 kali

musim mas, kalau dulu waktu belum ada kelompok tani itu tanamannya cuma jagung dan

tembakau, selalu itu. Karena itu, penghasilannya kurang mas, satu tahun cuma satu kali

panen tembakau, jagung buat konsumsi rumah tangga.”

Berdasarkan pernyataan itu, maka dapat diketahui sebelum poktan merintis UT

sayuran organik, dulu sebagian besar petani melakukan UT jagung dan tembakau.

Itupun, jenis usaha yang bermotif komersial (untuk mencari keuntungan) hanya

diarahkan pada komoditas tembakau, sedangkan UT jagung bermotif subsisten

(berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan keluarga). Dengan beralih ke UT

sayuran organik, maka jumlah musim tanam (MT) dalam waktu setahun dapat

mencapai tiga sampai empat kali. Oleh karena itu, dengan UT sayuran, petani

dapat memperoleh pendapatan yang frekuensinya lebih tinggi (lebih sering) dan

lebih intensif dalam jangka waktu setahun. Apalagi, UT sayuran organik

berpeluang untuk menerapkan pola tanam polikultur, yakni membudidayakan

lebih dari satu jenis sayuran di satu petak lahan atau bedengan. Dengan pola

tanam yang seperti itu, memungkinkan tanaman sayuran yang dibudidaya saling

melengkapi, sehingga mampu menciptakan rekayasa lingkungan dan mampu

menunjang kebutuhan ekonomi.

Ditinjau dari segi kuantitas produksi, sistem UT sayuran anorganik lebih

unggul dibandingkan dengan sistem UT organik. Pernyataan Suparman berikut ini

memberi gambarannya:

“Hasilnya lebih banyak yang non-organik. Kalau dari segi kualitas lebih unggul yang

organik.”

Akan tetapi, ditinjau dari mutu produksi, petani menganggap sistem UT secara

organik lebih unggul, mengingat penanganannya dalam menghasilkan produk

berusaha menghindari penggunaan input berbahan kimia sintetis dan lebih

berkonsentrasi terhadap penggunaan input alami. Motivasi individu Poktan

Tranggulasi untuk menerapkan sistem UT organik juga terbentuk atas dasar

keyakinannya akan produk organik yang aman dikonsumsi. Pernyataan Pitoyo

Ngatimin akan memberikan penjelasan akan hal tersebut:

“Dengan menerapkan pertanian organik jelas, dalam bahasa islam itu biasa mengatakan

makanan itu yang halal dan thoyib, kalau makanan yang halal itu sudah sering kita jumpai,

tapi yang thoyib masih jarang, artinya makanan yang tidak meracuni orang lain atau tanpa

residu.”

Page 139: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

159

Dari pernyataan Pitoyo Ngatimin tersebut, maka cukup memberikan bukti bahwa

individu Poktan Tranggulasi berpandangan bahwa produk yang bermutu juga

harus dinilai berdasarkan jaminan keamanan produk untuk dikonsumsi.

Selanjutnya, pernyataan Syaefuddin berikut ini akan menggambarkan lebih jelas

tentang pengaruh sistem UT organik terhadap pendapatan dan keuntungan:

“Saya bisa meningkatkan taraf ekonomi, karena harga jual produk organik lebih tinggi.

Dengan demikian, saya bisa memenuhi modal untuk musim tanam berikutnya. Kalau di pasar

lokal harganya tidak tentu. Kalau di kelompok sudah ada patokan harga untuk dipasarkan ke

pasar modern. Sayur kita tetap bisa masuk ke kelompok, berkisar satu sampai dua kwintal,

terkadang lima kwintal, kami sudah bisa menerima hasil tani yang layak. Lagipula, modal

yang dibutuhkan untuk bertani organik itu termasuk rendah.”

Dari pernyataan tersebut, petani merasa dengan berusaha tani secara organik,

maka kebutuhan ekonominya dapat lebih terpenuhi. Hal ini dikarenakan, harga

jual produk sayuran organik relatif lebih tinggi dan stabil (sudah terpatok),

daripada produk sayuran anorganik. Walaupun produk sayuran yang dijual ke

pasar modern dan jumlah produksi yang dibeli ke tiap petani masih sedikit, tetapi

petani merasa sudah cukup terbantu dalam menyediakan modal untuk melakukan

UT di musim tanam (MT) berikutnya. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh

jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani cenderung rendah. Hal tersebut turut

dipertajam oleh Harto Slamet sebagai berikut:

“Jumlah produksi bertani organik lebih rendah. Tapi kalau dari segi harga jual dan

pendapatan usaha tani organik itu lebih tinggi, karena biaya yang dikeluarkan sudah

tertekan.”

Selanjutnya, kemandirian petani paling jelas terlihat ketika melakukan

kegiatan penyediaan saprotan. Hal tersebut juga berpengaruh untuk

meminimalkan biaya produksi untuk menyediakan saprotan. Pernyataan dari

Harto Slamet akan memberi gambaran yang lebih jelas tentang itu:

“Kita menggunakan limbah dari kandang, seperti kotoran sapi, itu tidak perlu beli. Tapi

kalau pupuk kimia kita harus beli.”

Dari pernyataan Harto Slamet, maka dapat diketahui bahwa sistem UT organik

banyak mengandalkan sumber daya lokal yang dapat diperoleh secara gratis. Hal

tersebut merupakan salah satu indikasi kemandirian petani, karena mereka tidak

bergantung dengan pihak lain, khususnya dalam penyediaan saprodi. Selanjutnya,

sistem UT organik juga berdampak pada kesejahteraan petani. Kesejahteraan

petani salah satunya diukur oleh kemampuan atau keberdayaan petani untuk

Page 140: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

160

memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut diutarakan oleh Rebo

sebagai berikut:

“Sayurnya kalau udah panen dimasukkan ke gudang. Dengan begitu, saya bisa

menyekolahkan anak saya yang di Kalimantan itu. Satu tahun saya hitung sayurnya 16

juta habis tidak tersisa, sehingga itu bisa buat menyekolahkan anak. Sekarang anak saya

sudah kerja di Kalimantan Tengah, Palangkaraya.”

Hal tersebut digambarkan oleh Rebo melalui kemampuannya untuk

menyekolahkan anaknya. Hasil penelitian Ariyanti (2013:15) di Poktan

Tranggulasi yang menganalisa sebelum dan sesudah kehidupan sosial-ekonomi

petani organik membuktikan bahwa dari segi pengeluaran rumah tangga, terjadi

peningkatan pengeluaran sesudah petani beralih ke sistem UT organik. Sesudah

menjadi petani organik, pengeluaran rumah tangga responden untuk konsumsi,

biaya pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari mengalami peningkatan. Pergeseran

peningkatan pengeluaran yang tergolong sedang (Rp. 1.550.000-Rp.

2.000.000,00/bulan), sebelum menjadi petani organik, dari total responden

sebanyak 20 orang, hanya tiga orang yang pengeluarannya tergolong seperti itu.

Sesudah menjadi petani organik, menjadi enam orang, sehingga mengalami

peningkatan sebesar 50%.

Keberhasilan UT salah satunya didukung oleh kegiatan administrasi yang

berperan untuk mengukur atau menganalisa usaha, sehingga petani sebisa

mungkin mampu memproyeksikan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk

menghasilkan produksi dengan jumlah tertentu. Berikut tanggapan Sumar

terhadap analisa usaha:

“Ada penyuluhan dari dinas tentang cara mengatur biaya, tapi kalau petani diatur seperti

itu tidak bisa mas. Misalkan, lahan seribu meter persegi, biayanya dimaksimalkan segini.

Secara teori, biaya itu bisa diatur, tapi pada prakteknya belum tentu bisa, kalau petani itu

biasanya pakai perkiraan. Jadi petani itu misal pemupukan saya kasih sekian dosis pasti

cukup, petani itu yang penting secukupnya, kalau misalkan kurang yang beli atau cari

lagi. Dihitung secara teori, petani tidak bisa…… Kalau terlalu banyak berhitung, bisa jadi

beban pikiran.”

Berdasarkan pernyataan Sumar, maka dapat disimpulkan bahwa perhatian petani

terhadap analisa usaha tani masih minim. Menurut sudut pandang petani,

pembiayaan UT diperhitungkan melalui perkiraannya, sehingga pembiayaan UT

tidak dilakukan dengan prosedur yang sistematis dan taktis. Di samping itu,

perhitungan biaya UT dinilai menambah beban pikiran bagi petani. Keadaan

semacam itu dikeluhkan oleh Bernadus Agus Prabowo sebagai berikut:

Page 141: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

161

“Sebetulnya secara teori petani itu perlu dibina dalam hal analisa usaha, karena

kebanyakan dari mereka itu bekerja tanpa suatu rencana, tanpa suatu analisa. Sehingga

mereka tidak paham, misal menanam brokoli itu dijual dengan harga sekian, sudah

untung atau rugi? Mereka tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja, biaya sewa lahan,

bahkan pembelian pestisida dan pupuk itu tidak dihitung, itu yang kadang-kadang

menjadi kendala. Sehingga mereka yang penting itu panen, laris terjual, dan dapat uang,

tapi uang itu sebetulnya untung atau rugi mereka tidak tahu. Maka dari itu, analisa usaha

perlu diadakan.”

Berdasarkan pernyataan Bernadus Agus Prabowo, dengan apatisnya petani untuk

menganalisa usaha, maka dalam berusaha tani petani tidak memiliki perencanaan

yang matang akan target-target produksi (baik kuantitas maupun kualitas). Selain

itu, biaya-biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan petani dalam

berusaha tani tidak di dicatat atau dianggarkan. Kemudian, petani tidak mampu

mengukur atau mengevaluasi keberhasilan usaha taninya, apakah untung atau

rugi? Dengan keadaan semacam itu, Bernadus Agus Prabowo menyimpulkan

bahwa petani hanya sekedar mementingkan pemanenan dari tanaman yang

dibudidayakan dan hasilnya tersebut dapat laku di pasar, entah rugi atau untung.

Sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, individu Poktan BM

berpendapat atau berkeyakinan bahwa sistem UT organik memiliki dampak atau

pengaruh yang positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan

kesejahteraan petani. Pernyataan Mujiyanti Rahayu akan memberi gambaran awal

tentang pendapat atau keyakinan tersebut:

“Biaya produksinya kalau organik jauh lebih murah dan harga jualnya lebih tinggi.

Kemarin pada waktu makan brokoli ada rasa manisnya. Lalu, kalau yang tidak organik itu

dari sini ke bandara sudah busuk. Setelah kami itu konsen di organik, sekarang itu bapak

kalau beli daging dan telur dari ayam kampung. Sekarang sudah tidak konsumsi moto,

masako, dan michin mas. Kalau masak cuma pakai bumbu alami. Sayur organik itu awet

dan aman dikonsumsi, karena tidak berbahan kimia sintetis, terus dijual harganya tinggi

dan biaya produksinya juga murah. Seandainya tidak organik mas, harga jualnya tidak

tinggi.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa dengan berusaha

tani secara organik, pendapatan petani lebih tinggi dibandingkan dengan sistem

UT anorganik. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah biaya produksi yang

dikeluarkan dan harga produk yang relatif lebih tinggi, ketika dijual ke pasar

modern. Kemudian dari sisi produksi, dengan menerapkan UT organik, maka

dapat menghasilkan sayuran yang lebih berkualitas, baik dari segi rasa, daya

tahannya, maupun jaminan keamanannya untuk dikonsumsi. Ditambahkan pula

oleh Zulkarnain (2009:220), secara morfologi sayuran organik memiliki

Page 142: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

162

penampilan yang lebih alami dengan rasa yang lebih enak, renyah, halus, dan

kurang berserat. Selain itu, pola bertani organik juga berpengaruh terhadap pola

rumah tangga petani (RTP) dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari. RTP

mulai menghindari produk-produk makanan yang sekiranya mengandung bahan

kimia sintetik. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, sebagian individu Poktan

BM mengarahkan usaha tani sayuran organik untuk tujuan subsistensi (hasil

produknya dikonsumsi sendiri). Selanjutnya, terkait dengan keringanan biaya

untuk penyediaan saprotan dipertajam pula oleh pernyataan Supilih sebagai

berikut:

“Sekarang saya sudah bisa membedakan, kalau organik biayanya itu sedikit lebih ringan,

misalkan pestisida kimia itu satu botol harganya 50.000, kalau buat pestisida organik

biayanya tidak sebanyak itu, karena kita buat sendiri, misalkan kita buat ramuan pestisida

dengan mengeluarkan biaya 100.000 sudah bisa menghasilkan banyak mas, kalau beli

pestisida kimia, biaya 100.000 itu cuma dapat berapa cc?”

Berdasarkan pernyataan Supilih, petani banyak memanfaatkan sumber daya alami

yang tersedia di daerah setempat untuk membuat saprotan (seperti: pupuk,

pestisida, dan sebagainya). Meskipun tidak semua bahan untuk membuat saprotan

tersedia di daerah setempat dan harus membeli, namun pengeluaran petani tidak

sebanyak dibandingkan dengan membeli saprotan buatan pabrik. Dengan adanya

keringanan biaya produksi untuk melakukan UT, maka berimplikasi positif

terhadap pendapatan UT.

Pendapat atau keyakinan petani terhadap dampak positif terhadap

produksi, pendapatan, dan kesejahteraan memiliki hubungan dengan

pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman tertentu. Pernyataan dari

Rebo Wahono akan memperjelas hal tersebut:

“Kita juga memperhatikan nominal keuangan yang kita terima, kalau tomat itu satu

batang bisa menghasilkan dua kilo, artinya kita mendapat 20.000 per satu batang, kita

asumsikan satu kilonya dihargai 10.000. Kita bayangkan ketika harga sawi sendok itu

4.000 per kilo, sehingga kalau mau memperoleh 20.000 perlu menghasilkan 5 kilo sawi

sendok. Coba kalau tomat menghasilkan 100-200 kilo, dikali 10.000, pendapatannya

sudah dua juta. Kemarin pada waktu mulai nanam cabai, awalnya dihargai 2000,

kebetulan pada waktu panen kita dapat harga 7.000, lalu meningkat menjadi 9.000,

sekarang itu hampir 20.000. Jadi kita sudah perhitungkan, sehingga bisa kembali modal.

Dari hasil panenan itu kita mampu beli benih satu pack dan pupuk 2 kolt.”

Rebo Wahono sebagai petani tomat berpendapat, walau tantangan untuk

menjalankan proses produksi tomat cukup besar, namun dari sisi jumlah produksi

(kuantitas) dan pendapatan lebih menguntungkan daripada komoditas sayur yang

Page 143: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

163

lain. Contohnya, perbandingan antara tomat dan sawi sendok, bobot sayur tomat

di timbangan lebih berat dan harga jual tomat lebih tinggi, jika dibandingkan

dengan sawi sendok. Rebo Wahono menyatakan perbandingan keuntungan antara

tanaman tomat dan sawi sendok adalah 1:5, artinya keuntungan dengan menjual

satu kg tomat sama dengan menjual lima kg sawi sendok. Kemudian, mencermati

pernyataan Rebo Wahono, kesejahteraan petani terlihat dari kemampuannya

menyediakan modal untuk melakukan UT sayuran di musim tanam berikutnya.

Kemampuan menyediakan modal untuk MT berikutnya didukung oleh adanya

ketajaman analisa petani dalam memanajemen waktu panen ketika harga produk

sayuran di pasar tradisional sedang melambung tinggi, sehingga kesejahteraannya

bisa bertumbuhkembang. Pertimbangan ekonomis dari segi jumlah produksi yang

digunakan oleh petani, sehingga mengambil keputusan untuk melakukan budidaya

tanaman tertentu juga dibuktikan melalui pernyataan Zaenal berikut ini:

“Saya menanam 500 m2, satu tahun paling tidak itu menghasilkan dua ton, kalau satu

hektar berarti dikalikan 20, sehingga menghasilkan 40 ton tomat. Padahal itu sudah saya

turunkan perkiraannya, bisanya tiap hari bisa menghasilkan enam kwintal. Dua sampai

tiga kwintal itu hitungannya gagal. Itu data rill di lapangan yang saya catat, tanaman saya

sendiri. Sudah saya perhitungkan. Di kelompok kami ini luas lahannya 5,5 hektar, per

hektar saya buat asumsi minim menghasilkan 25 sampai 30 ton, kalau 30 ton dikalikan

5,5 ha, katakanlah menghasilkan 150 ton, dibagi satu tahun atau 360 hari, satu harinya

kira-kira bisa menerima dari hasil enam kwintal. Itupun tidak hasil yang maksimal, saya

nanam tomat itu biasanya menghasilkan tiga kilo, itu termasuk ideal, itu saya asumsikan

hanya menghasilkan satu kilo per batang…. Apalagi kalau kubis, kubis satu hektar itu

jumlahnya 20.000 batang, satu tahun tiga kali tanam, kalau per batangnya satu kilo, jadi

bsa menghasilkan 20 ton per musim tanam per hektar, kalau dikali tiga musim tanam

hasilnya jadi 60 ton, Itupun diasumsikan sekilo per batang, terkadang ada yang dua kilo,

ada yang dua setengah kilo, ada yang satu setengah. Itu data riil mas.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa preferensi Zaenal

dalam memilih komoditas yang dibudidaya dilatarbelakangi oleh besarnya jumlah

produksi yang dihasilkan. Dengan jumlah produksi yang relatif besar ini, individu

poktan berpeluang untuk memperoleh tambahan pendapatan, yang kemudian

berdampak positif pula terhadap kesejahteraannya.

Selanjutnya, hasil penelitian di Poktan BM juga menunjukkan bahwa

petani sudah antusias dan mampu dalam melakukan pencatatan dalam

menjalankan proses produksi. Hal tersebut ditandai dengan adanya pencatatan

akan hasil produksi dan pendapatan yang diterima petani. Pernyataan Supilih akan

memberi gambaran mengenai hal tersebut:

Page 144: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

164

“Setiap anggota kelompok, baik jual di pasar lokal maupun ke kelompok segala sayur apa

saja yang dijual itu perlu dicatat mas, satu tahun bisa menghasilkan sayur dengan bobot

berapa, lalu menjual sayur itu nominal yang kita terima berapa. Itu kami hitung

penghasilannya mas. Jadi kita hitung keuntungannya dan dievaluasi untung atau rugi.”

Dengan mencatat, petani dapat menghitung dan mengevaluasi hasil usaha taninya,

baik sisi produksi, produktivitas, pendapatan, dan keuntungan bersih. Dengan

mengevaluasi, petani dapat melakukan perencanaan untuk meminimalisir risiko

yang sekiranya timbul di musim tanam (MT) berikutnya dan menentukan target

produksi. Hal tersebut dilakukan oleh setiap individu Poktan BM, dibuktikan

dengan pernyataan Pandi selaku anggota poktan berikut ini:

“Saya, diwajibkan untuk mencatat usaha tani saya pribadi, maksudnya misalnya saya

punya menghasilkan produk itu keuntungannya berapa, untung atau rugi? Kalau rugi,

ruginya berapa? Itu tercatat semua. Nanti dari catatan itu direkap semua, jadi bisa

ketahuan total produksinya berapa? Keuntungannya berapa?”

Dari pernyataan tersebut, maka terbukti bahwa petani sudah mulai berproses

untuk menjadi wirausaha (entreprenuer) yang handal. Fenomena itu menandakan

kemandirian petani untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merencanakan

tindakan perbaikan untuk mengembangkan usaha taninya. Kemandirian yang lain

juga diperlihatkan sama halnya dengan Poktan Tranggulasi, dimana terbukti dari

adanya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengidentifikasi dan

memanfaatkan potensi lokal yang mampu membantu petani untuk menjalankan

proses produksi, khususnya dalam hal penyediaan saprotan. Hal tersebut

diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:

“Buat pestisida alami kami juga cukup banyak manfaatkan bahan yang tersedia di sini,

sehingga tidak tergantung untuk beli antrakol yang satu kilonya seharga 85.000, bahkan

95.000.”

Dengan realita yang semacam itu, petani tidak tergantung dengan saprotan buatan

pabrik yang harganya relatif mahal dan cenderung meningkat dari waktu ke

waktu.

Kesejahteraan petani salah satunya diindikasikan oleh kemampuannya

dalam menyediakan modal, terutama untuk penyediaan saprotan. Hal tersebut

terbukti melalui pernyatan dari Rebo Wahono sebagai berikut:

“Sebagian pembayaran dari supplier itu bisa disisihkan untuk beli ternak. Kalau pupuk

sudah banyak yang punya ternak, artinya bisa kita manfaatkan untuk nambah pupuk

kandang sapi.”

Page 145: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

165

Dari pernyataan Rebo Wahono, maka dapat disimpulkan bahwa usaha poktan

untuk menjual sayurannya ke pasar modern memberikan dampak yang positif

terhadap kemampuan petani dalam menyisihkan sisa hasil usahanya untuk

penyediaan saprotan di MT berikutnya. Selanjutnya, dengan adanya

pemberdayaan wanita tani dalam menjalankan proses produksi, maka

menunjukkan bahwa sudah terwujudnya kesetaraan gender untuk menunjang

kesejahteraan keluarga. Kesetaraan gender berarti perempuan dan lelaki

menikmati status yang sama dan memiliki kondisi dan potensi yang sama untuk

merealisasikan hak-haknya sebagai manusia, serta berkontribusi pada

pembangunan, diantaranya pembangunan ekonomi dan sosial (Hubeis, 2010: 82).

Hal tersebut terbukti dari pernyataan Mujiyanti Rahayu berikut ini:

“Dari kegiatan packing ada pemasukan, ada penghasilan tambahan. Setelah ada kelompok

Bangkit itu memang penghasilannya bisa meningkat……. Pemasukan kegiatan packing

itu dari buyer, yang bayar itu buyer. Packing itu per kilo-nya dihargai 800 rupiah.”

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, bahwa wanita tani diberdayakan atau

dilibatkan dalam menangani kegiatan pasca panen. Dengan jasa penanganan

pasca panen, wanita tani memperoleh upah. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa wanita tani turut berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan

keluarganya. Keadaan tersebut menjadi indikator dari terwujudnya

kemitrasejajaran lelaki dan perempuan. Kemitrasejajaran yang dimaksud terlihat

dalam konteks rumah tangga tani, dimana pria maupun wanita tani mempunyai

kesempatan memperoleh pekerjaan (pertanian) yang dibayar (Hubeis, 2010:99).

Lalu, individu Poktan BM dapat tergolong sebagai petani yang berdaya, karena

sudah mampu menjadi penentu harga (price maker). Hal tersebut dibuktikan

melalui pernyataan yang diutarakan oleh Rebo Wahono sebagai berikut:

“Dengan berkelompok tani banyak untungnya, karena yang jelas harga itu kita yang

menentukan, kita bisa jadi penentu harga. Saat brokoli di pasaran umum harganya saat ini

200-500 perak per kilo, di kelompok tetap stabil dihargai 10.000 per kilo….. Seperti

spinach yang dihasilkan pak Makruf itu yang tidak terpakai sampai 100 kilo, akhirnya

dibuang, dibuat pakan hewan, karena memang komoditas seperti spinach, lettuce, lobak,

dan selada itu di musim kemarau sangat mudah sekali penanganannya, tapi harganya

rendah. Seperti selada itu saat ini di pasar tradisional hanya dihargai 1.500 satu kilo, tapi

kalau dibeli supplier masih stabil seharga 10.000. Jadi kita jual dua kilo itu sama dengan

jual di pasar tradisional enam kilo. Keuntungannya kita bisa menentukan harga…..

Sebenarnya, kemarin dihitung-hitung yang dibeli oleh supplier itu baru 20% dari total

produksi yang kami hasilkan, selebihnya masih kita jual ke pasar tradisional. Tapi

keuntungan bagi kita, karena kita sudah ditekan oleh biaya produksi, karena kita tidak

harus beli ini-beli itu, seperti pestisida atau pupuk.”

Page 146: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

166

Berdasarkan pernyataan Rebo Wahono, status petani sebagai penentu harga (price

maker) hanya berlaku ketika poktan memasarkan produknya ke pasar modern. Hal

tersebut juga mengindikasikan bahwa individu poktan mandiri dalam menentukan

harga yang layak. Dengan realita semacam itu, ketika harga jual produk sayuran

di pasar tradisional sedang anjlok, petani tidak resah, karena masih ada peluang

bagi mereka untuk menjual sayurnya ke pasar modern dengan harga jual yang

relatif tinggi. Ironisnya, dari jumlah total produksi yang dihasilkan oleh Poktan

BM, baru + 20% yang terserap ke pasar modern, sehingga selebihnya masih dijual

ke pasar tradisional yang harganya selalu berfluktuatif dari waktu ke waktu.

Menurut Rebo Wahono, harga yang selalu berfluktuasi ini salah satunya

disebabkan oleh tidak menentunya kemudahan penanganan komoditas sayuran

tertentu dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, merupakan tantangan ke depan bagi

poktan untuk memperluas jaringan pemasaran ke pasar modern. Akan tetapi,

petani sudah merasa diuntungkan, mengingat jumlah biaya produksi yang

dikeluarkan terutama untuk penyediaan saprotan tidak begitu besar. Di sisi lain,

kesejahteraan juga dapat dipandang sebagai pelestarian, bahkan pengembangan

sumber daya dan lingkungan untuk kebutuhan masa depan. Sistem UT organik

secara konkret berusaha mempertahankan, bahkan menumbuhkembangkan

kualitas sumber daya alam (SDA) dan lingkungan, sehingga kebutuhan manusia

di masa yang akan datang dapat tetap terpenuhi. Hal tersebut diakui oleh Iswanto

sebagai berikut:

“Kata kuncinya ketika kita bisa mengendalikan hama dan penyaki tanpa pestisida, kenapa

tidak? Dengan membuat situasi lingkungan, contohnya begini, kalau manusia ibaratnya

kalau dengan kebersihan itu kemudian bisa menjaga kesehatan, kenapa kita harus

kemudian mengandalkan obat? Di tanaman juga begitu, lingkungan juga memberikan

dampak terhadap kondisi tanaman, dimana lingkungan yang cenderung mudah dijadikan

sarang hama-penyakit, di situ kemudian mereka bisa berkembang biak. Kalau sarang ini

bisa kita hindari, sehingga kondisi tanaman bisa menjadi aman dari serangan hama

penyakit. Kemudian, ditambah dengan budidaya tanaman yang sehat, sehingga

lingkungannya mendukung, kemudian dari dalam tubuh tanaman itu sendiri sehat, jadi

tingkat ketahanan tubuhnya menjadi lebih kuat. Ketika ada serangan hama-penyakit dari

luar dia bisa bertahan. Dengan begitu, petani tidak perlu lagi harus bersusah payah untuk

membeli pestisida dengan harga yang mahal, sekaligus itu juga tidak aman dikonsumsi

dan juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Yang harus kita cermati dengan cerdas,

kerusakan lingkungan itu sebenarnya karena ulah kita sendiri, manusia…………

Dampaknya yang dirasakan sekarang, kondisi lingkungan itu rusak, salah satunya adalah

keberadaan serangga-serangga yang berperan sebagai hama itu sulit diatasi karena

populasi dari predator itu saat ini sudah langka……. Kondisi tanah yang dulu lebih

banyak memberi suplai makanan secukupnya bagi tanaman, sehingga tidak begitu sulit

Page 147: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

167

untuk memperbaiki tanahnya itu. Tanamannya terpenuhi suplainya, karena NPK-nya

terpenuhi, lalu unsur-unsur mikronya lebih lengkap. Dengan go organik, memang kita

mati-matian berjuang untuk mengembalikan kondisi tanah itu menjadi alami, tapi ini

butuh waktu lama. Karena apa? Begitu dikasih pupuk organik, memerlukan waktu untuk

kemudian organiknya itu bisa diserap oleh tanaman. Sementara, sebagian besar petani

masih nyemprot seenaknya sendiri. Bagaimana organik ini menjadi lebih baik, kalau

jasad renik yang ada di dalam organik ini dimatikan sendiri oleh petani dengan semprot

itu. Idealnya itu memang ada larangan penggunaan pestisida kimia sintetis, misalnya, tapi

itu tidak mungkin, siapa yang berani menanggung larangan kalau kemudian petani tidak

panen.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka secara singkat dapat dijelaskan bahwa

kesadaran petani untuk menjaga kondisi lingkungan tetap sehat mutlak

diperlukan. Hal tersebut diantaranya dapat diwujudkan dengan cara: menghindari

pemberian limbah tanaman atau hewan di lahan tanpa adanya perlakuan (seperti

fermentasi) terlebih dahulu, menghindari penyemprotan pestisida kimia sintetik

yang berlebihan, menghindari pemberian pupuk kimia sintetik yang berlebihan,

menghindari pemburuan liar satwa-satwa (yang sebenarnya berperan sebagai

predator), menghindari pengolahan lahan yang terlalu intensif, dan menghindari

perlakuan lainnya yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan

mempertahankan kondisi lingkungan tetap sehat, maka dapat berdampak positif

ke tanaman yang dibudidaya. Hasil UT dapat lebih optimal, jika petani memberi

perlakuan-perlakuan tertentu yang dapat menopang kesehatan tanaman, seperti

pemilihan benih atau bibit yang berkualitas (baik dari segi fisik, fisiologis,

genetis, terbebas dari organisme pengganggu tanaman, dan sebagainya). Usaha

petani untuk menjaga kesehatan tanaman itu juga mampu menjamin produksi

yang aman dikonsumsi oleh manusia. Dengan demikian, untuk memperoleh hasil

panen yang ideal (baik dari sisi produsen maupun konsumen), petani sebagai

pelaku utama pertanian perlu memperhatikan segala aspek yang turut menjamin

kesehatan tanaman yang dibudidayakan. Hal tersebut salah satunya dapat

diwujudkan dengan cara menjaga keseimbangan ekosistem, agar tidak ada mata

rantai yang terputus di siklus lingkungan yang telah tertata sedemikian rupa. Oleh

karena kondisi lingkungan saat ini sudah mengalami kerusakan yang cukup besar,

maka tantangannya petani perlu membuat lingkungan steril kembali dan

membutuhkan proses yang cukup lama untuk lingkungan bisa steril kembali. Pada

masa sterilisasi itu petani banyak mengalami kendala untuk menghasilkan

produksi yang maksimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dengan begitu,

Page 148: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

168

tidak sedikit petani yang putus asa di masa-masa itu, apalagi jika tidak didukung

oleh pasar yang memadai (terutama dari segi harga produk yang dihasilkan oleh

petani). Lalu, motivasi apa yang paling tepat, supaya petani dapat ajeg atau

konsisten menerapkan sistem UT organik, walau banyak rintangan yang

dihadapinya? Pernyataan dari Zaenal berikut ini akan memberi jawaban singkat

atas pernyataan tersebut:

“Kalau pola pikir kita tentang organik hanya terfokus pada pasar tidak mungkin bisa

kontinyu. Jadi, ketika bertani organik jangan hanya mikir pasar, tapi lebih berorientasi

untuk merubah sistem, karena kita punya lahan itu sudah rusak dan kesehatan lingkungan

itu merupakan hal yang utama. Kalau mikir pasar, tidak mungkin kontinyu bertani

organik, karena pada masa awal atau transisi itu kita harus siap gagal dulu.”

Berdasarkan pernyataan Zaenal, maka dapat disimpulkan bahwa kontinuitas

individu poktan sayuran organik terjamin oleh akibat dari adanya persepsi

terhadap pola budidaya organik yang lebih mengedepankan aspek kesehatan

lingkungan, daripada aspek pemasaran. Ketika hanya terfokus pada pasar,

kontinuitas petani untuk menerapkan usaha tani secara organik dikhawatirkan.

Risiko itu pada umumnya terjadi pada masa awal atau transisi untuk beralih ke

sistem organik, dimana peluang keberhasilan lebih rendah dibandingkan dengan

peluang kegagalan. Hal tersebut membuktikan bahwa petani merupakan garda

terdepan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas organisme dan SDA yang ada

di dunia (termasuk di dalamnya: tanah, manusia, hewan, tumbuhan,

mikroorganisme, dan sebagainya). Petani sebagai pelaku bisnis sebaiknya

memperhatikan unsur etika dalam menjalankan bisnisnya. Jadi, petani yang

bersaing dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang

semakin profesional justeru akan menang, karena tetap dipercaya masyarakat.

Untuk jangka pendek, mungkin mereka yang “bisnis secara tidak etis” akan

menang. Tetapi itu bukan bisnis yang tulen. Bisnis yang tulen dan baik adalah

bisnis yang tahan lama. Dan untuk itu norma dan nilai etika ikut menentukan.

Kejujuran, mutu barang, aspek keramahan pada lingkungan, aspek keamanan dan

kesehatan dalam produk ikut menentukan baiknya suatu bisnis (Keraf & Imam,

1995:63). Seluruh aspek itu turut menunjang kesejahteraan untuk generasi

mendatang, karena menganut prinsip lestari untuk jangka waktu yang relatif

panjang.

Page 149: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

169

Sama halnya dengan pembahasan mengenai pasca panen dan pemasaran

hasil produksi, pembahasan mengenai dampak terhadap produksi, pendapatan,

kemandirian, dan kesejahteraan petani juga mengakumulasikan pengetahuan dan

sikap individu di kedua poktan, yaitu Tranggulasi dan Bangkit Merbabu.

Pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan dalam menjalankan

UT sayuran organik, dari penyediaan input atau saprotan, budidaya tanaman,

penanganan pasca panen, dan pemasaran hasil produksi dipengaruhi oleh berbagai

wadah belajar yang tersedia di poktan. Dengan proses UT yang baik, maka dapat

berpengaruh atau berdampak positif pada produksi, pendapatan, kemandirian, dan

kesejahteraan petani. Pengaruh atau dampak yang positif terhadap itu menjadi

unsur pengikat dan pendorong bagi petani untuk terus-menerus melakukan UT

sayuran organik. Seturut dengan pembahasan sebelumnya, pengetahuan dan sikap

individu poktan mengenai dampak positif terhadap produksi, pendapatan,

kemandirian, dan kesejahteraan juga tidak terlepas dari adanya peran pengurus

poktan dalam mengorganisir poktannya. Berikut diuraikan beberapa pandangan

emik dari masyarakat terkait dengan dampak UT sayuran organik terhadap

produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani:

a. Dari segi produksi, sayuran yang ditangani dengan sistem organik dianggap

lebih berkualitas. Hal ini ditunjukkan dari segi rasa, daya tahannya, maupun

jaminan keamanannya untuk dikonsumsi. Dari segi kuantitas, produksi sayuran

yang ditangani dengan sistem organik lebih rendah dibandingkan dengan

sistem anorganik.

b. Dari segi pendapatan, harga jual sayuran organik cenderung lebih tinggi,

terutama ketika terserap di pasar modern. Selain itu, pendapatan petani

bertambah oleh karena adanya penekanan biaya produksi, dimana penyediaan

saprotan banyak mengandalkan sumber daya alami lokal, kalaupun

mengandalkan input dari luar, biaya yang dikeluarkan tidak sebesar dengan

membeli saprotan dari toko atau pabrik pertanian.

c. Kemandirian petani terutama ditampakkan melalui kemampuannya dalam

menyediakan saprotan (seperti pupuk, pestisida, dan lain-lain) secara mandiri,

sehingga tidak bergantung dengan toko atau pabrik pertanian. Selain itu,

kemandirian petani juga ditampakkan khususnya oleh individu Poktan BM

Page 150: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

170

untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merencanakan tindakan perbaikan

untuk mengembangkan usaha taninya. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan

dan kemauannya untuk melakukan kegiatan pencatatan dalam menjalankan

proses produksi. Selain dua hal tersebut, kemandirian petani turut ditandai oleh

adanya posisi tawar mereka sebagai penentu harga, sehingga ia memiliki

kemandirian untuk memperkirakan harga jual yang layak terhadap produk

sayuran yang dihasilkannya.

d. Kesejahteraan petani terlihat dari kemampuannya untuk menyediakan modal

untuk melakukan UT sayuran di musim tanam berikutnya. Selain itu,

kesejahteraan petani juga ditandai oleh kemampuannya untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga, misalnya: biaya penyekolahan anak. Di samping itu,

pemberdayaan wanita tani dalam menjalankan proses produksi menunjukkan

bahwa sudah terwujudnya kesetaraan gender untuk menunjang kesejahteraan

keluarga. Dalam kasus tersebut, wanita tani diberdayakan atau dilibatkan

dalam menangani kegiatan pasca panen. Dengan jasa penanganan pasca

panen, wanita tani memperoleh upah. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa wanita tani turut berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan

keluarganya. Selanjutnya, kesejahteraan yang dimaksud dalam penelitian ini

juga dirasakan oleh individu poktan untuk jangka waktu yang relatif panjang.

Dalam hal tersebut, individu poktan beranggapan bahwa sistem UT organik

lebih mengedepankan aspek keramahan lingkungan, sehingga mutu lingkungan

dapat tetap terjaga untuk jangka waktu yang panjang dan berguna bagi

kesejahteraan generasi mendatang.

4.6.5 Poktan Sebagai Wadah Belajar Bagi Pihak Lain dan Peran Dominan

Pengurus Poktan dalam Mengorganisir Wadah Belajar Bagi Pihak

Lain

Di samping fungsinya sebagai wadah untuk mengembangkan usaha tani

sayuran organik internal poktan, poktan juga berfungsi sebagai promotor dan

fasilitator bagi pihak lain, khususnya dalam hal pengembangan usaha tani secara

organik. Pembahasan berikut ini akan menjelaskan hal tersebut.

Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi secara konkret menunjukkan bahwa

poktan ini diakui sebagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S).

Page 151: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

171

Pada tahun 2006 poktan ini resmi dijadikan Pusat Pelatihan Pertanian dan

Pedesaan Swadaya (P4S) yang berfungsi sebagai wadah belajar mengenai usaha

tani sayuran. Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin akan memberikan gambaran awal

tentang hal tersebut:

“Tahun 2006 kami baru diakui sebagai P4S. Denga P4S itu ternyata kami mampu

menambah jaringan. P4S itu adalah lembaga yang diberi SK oleh kementan melalui

BPSDM. BPSDM-tan itu menaungi lembaga-lembaga, diantaranya ada lembaga yang

bukan milik negara, termasuk P4S itu. P4S diberi wewenang, diberi SK, sehingga tempat

ini bisa jadi rujukan untuk studi banding, pelatihan, permagangan. Pesertanya itu dari

Sabang-Merauke yang pernah ke sini. Dari Papua sudah pernah, dari Aceh sudah pernah,

Kalimantan, Sulawesi, NTT, Sumatera sudah pernah.”

Pernyataan dari Pitoyo Ngatimin didukung oleh Budi sebagai berikut:

“Tranggulasi itu kita hanya sekedar koordinasi, artinya pembinaan ke mereka itu atas

inisiatif kita. Kami membangun hubungan kerjasama dengan kelompok tani. Khususnya

dengan Tranggulasi kita waktu itu berkunjung ke sama dalam rangka melatih petani, kita

pakai sebagai tempat PKL di sana. Kami juga yang mempersiapkan Tranggulasi menjadi

P4S. Tranggulasi itu salah satu lembaga pelatihan pertanian milik petani.”

Berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin dan Budi, maka terbukti bahwa P4S

merupakan suatu organisasi yang diberi wewenang, diberi SK (Surat Keputusan)

oleh kementerian pertanian, melalui BPSDM-tan (Balai Pengembangan Sumber

Daya Manusia Pertanian). Akan tetapi P4S ini bukan tergolong lembaga milik

negara. P4S berguna sebagai tempat rujukan untuk studi banding, pelatihan, atau

permagangan. P4S Tranggulasi sebagai lembaga pelatihan pertanian milik petani

telah digunakan sebagai tempat PKL (Praktek Kerja Lapang) oleh BPSDM-tan

dalam rangka melatih petani. Sudah banyak petani dari berbagai daerah di

Indonesia yang memiliki pengalaman menjadi peserta belajar di P4S, diantaranya

dari: Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sebagainya. Selain

petani, terdapat beberapa golongan lain yang menjadi peserta belajar di P4S,

yaitu: kaum akademisi (siswa, mahasiswa, bahkan dosen), organisasi pemerintah,

atau organisasi swasta Mencermati hal itu, BPSDM-tan telah berkontribusi besar

dalam mempersiapkan Poktan Tranggulasi sebagai P4S. Pembentukan P4S

Tranggulasi juga tidak terlepas untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu: a)

mengembangkan swadaya petani dalam meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap untuk menumbuhkembangkan profesionalisme di bidang

kewirausahaan agribisnis pertanian organik; b) membangun rasa tanggung jawab,

kesetiakawanan sosial, dan berperan aktif untuk membangun masa depan petani

Page 152: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

172

agar lebih baik, sehingga tercipta dan berkembangnya hubungan sosial dan

interaksi positif antar petani, pengusaha, pemerintah, dan perguruan tinggi, c)

menyalurkan aspirasi petani kepada lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah,

baik di dalam maupun di pusat (Anonim, 2012:02). Beralih kembali ke proses

pembentukan P4S Tranggulasi, Abdul Wahab berpendapat lain tentang sejarah

terbentuknya sebagai berikut:

“P4S itu sebetulnya terbentuk resmi pada tahun 2014. Tahun 2006 baru dianggap sebagai

tempat kunjungan, karena P4S itu statusnya hanya legal untuk pemerintah. Sekitar tahun

2006 itu belum diakui statusnya. Cuma dianggap sebagai Balai Pelatihan. Pusat pelatihan

petani masih diarahkan ke Bakoorluh sama Bappeluh, itu lembaga milik pemerintah.

Sehingga ketika ada program dari pemerintahan, diarahkan ke situ. Bappeluh itu tingat

kabupaten, sedangkan Bakoorluh tingkat provinsi. Tapi pada saat ini, Bakoorluh dan

Bappeluh sudah mengakui status P4S, jadi ketika ada program dari dinas pemerintah, P4S

bisa mewadahinya. Sebelum itu, pelatihan-pelatihan itu rata-rata yang diadakan oleh

Bappeluh dan Bakoorluh, biasanya lokasinya di hotel. Biasanya petani itu kalau

pelatihannya di hotel sering merasa tidak cocok, itu salah satu tujuannya dibentuk P4S.

Kalau di P4S, pembelajaran secara teori sekaligus praktek bisa dilakukan, tapi kalau di

hotel pembelajarannya cuma sekedar teori.”

Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat diketahui bahwa pada tahun

2006 statusnya P4S belum resmi, melainkan diistilahkan dengan nama Balai

Pelatihan. Pada tahun tersebut dan sekitar tahun itu, penyelenggaraan pelatihan

untuk petani dilakukan oleh badan koordinasi penyuluhan-Bakoorluh (tingkat

provinsi) atau diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan-Bappeluh

(tingkat Kabupaten). Penyelenggaraan kegiatan pelatihan banyak dilakukan di

ruangan tertutup (seperti hotel), sehingga terkesan formal. Selain itu, materi

ajarnya didominasi oleh unsur teori, melainkan bukan praktek. Sebelum

membahas lebih jauh, maka diperjelas terlebih dahulu secara singkat hubungan

antara P4S Tranggulasi dan Poktan Tranggulasi. Hal tersebut dijelaskan oleh

Abdul Wahab sebagai berikut:

“Kita itu punya dua organisasi, namanya P4S dan kelompok tani, kedua organisasi itu

memang ada kaitannya. Tapi pengorganisirannya itu berbeda, misalnya kas P4S itu kita

sendirikan, kita pisah dengan kas kelompok.”

Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab, maka dapat disimpulkan bahwa individu

Poktan Tranggulasi membedakan manajemen antara P4S Tranggulasi dan Poktan

Tranggulasi. Contohnya, pengaturan pemasukan dan pengeluaran kas P4S

Tranggulasi dan Poktan Tranggulasi dipisah. Pengaturan kas tersebut dilakukan

oleh pengurus poktan.

Page 153: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

173

Anggota Poktan Tranggulasi juga turut merasakan keberadaan P4S di

wilayahnya. Hal ini terbukti dari pernyataan yang diungkapkan oleh Ngatemin

sebagai berikut:

“Kelompok Tranggulasi itu untuk peserta pemagangannya sudah datang dari mana-mana

mas. Dari Jakarta, lalu dari Kalimantan. Di sini juga jadi tempat studi banding. Pak

Pitoyo itu sering diminta jadi pembicara.”

Mencermati pernyataan Ngatemin, terdapat tokoh Poktan Tranggulasi (yang

tergabung dalam kepengurusan poktan) yang sering dipercaya atau diberi mandat

sebagai pembicara dalam seminar, pelatihan, atau forum pertanian lainnya. Hal

tersebut membuktikan bahwa keberadaan Poktan Tranggulasi telah

diperhitungkan oleh pihak luar sebagai narasumber sistem UT sayuran organik.

Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan oleh Walgito (2003:107), bahwa

pemimpin berfungsi sebagai seorang yang mewakili kelompok ke luar (as

external group representative), yaitu pemimpin mewakili kelompoknya ke dunia

luar kelompoknya. Pemimpin sebagai cerminan sifat-sifat atau kepribadian

kelompok yang dipimpinnya. Pengalaman P4S cukup rinci diperjelas melalui

pernyataan Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“P4S itu diutamakan untuk berbagi pengalaman, yang ke dua sebagai tempat

pemagangan. Magang itu seputar tentang budidaya. Biasanya mahasiswa PKL itu yang

magang, dan P4S juga sebagai tempat pelatihan bagi petani. Pelatihan itu biasanya

program dari dinas, pelatihan beberapa hari, tiga hari misalkan. Kalau magang itu

biasanya waktunya sebulan, tapi bisa beberapa hari atau beberapa minggu. Tapi kalau

pelatihan umumnya hanya beberapa hari. Lalu, pelatihannya kadang berbentuk workshop.

Selain itu, juga untuk studi banding. Kalau studi banding itu biasanya pesertanya hanya

datang dan melakukan pengamatan. Intinya, yang kami tularkan adalah pengalaman

apapun yang sudah pernah kita lakukan.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, dapat disimpulkan bahwa P4S

difokuskan sebagai wadah belajar tentang sistem UT sayuran organik. Bentuk

pelatihan yang ada di P4S diantaranya meliputi: magang, pelatihan, workshop,

dan studi banding. Pertama magang, dimana peserta belajar tinggal sementara di

dusun Selo Ngisor selama beberapa minggu atau beberapa bulan untuk menggali

ilmu tentang sistem UT sayuran organik. Ke dua pelatihan, dimana peserta belajar

diberi materi tentang tata cara UT sayuran organik dalam waktu beberapa hari

yang relatif singkat. Kemudian workshop atau dalam bahasa Indonesia biasa

dikenal dengan istilah loka karya, dimana kegiatan tersebut mempertemukan

orang yang bekerjasama dalam kelompok kecil, biasanya dibatasi pada masalah

Page 154: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

174

yang berasal dari mereka sendiri. Pemandu (narasumber) biasanya hadir untuk

menceritakan pengalamannya dan latihan yang pernah diikutinya untuk

memecahkan masalah. Penekanannya yang sebenarnya adalah bukan pada

inspirasi yang diberikan oleh pembicara, tetapi pada pengayaan silang dari ide dan

pengalaman (Suprijanto, 2012:79). Terakhir studi banding, dimana peserta

melakukan pengamatan mengenai tata cara individu Poktan Tranggulasi dalam

membudidayakan sayuran organik. Beberapa kalangan menyamakan studi

banding dengan kunjungan lapangan, dimana itu berkenaan dengan kegiatan

membawa kelompok ke tempat khusus untuk tujuan khusus. Tujuan tersebut

biasanya dimaksudkan untuk mengamati situasi, mengamati kegiatan atau praktik,

atau membawa kelompok menemui suatu objek. Kunjungan lapangan biasanya

berjangka waktu pendek (Suprijanto, 2012:137). Materi pembelajaran Wadah P4S

ini juga dijadikan ajang bagi pengurus poktan untuk mengasah keterampilan

anggota untuk berbicara di depan umum dan memberi kesempatan anggota untuk

membagikan pengalaman usaha taninya kepada peserta belajar. Hal tersebut

dikemukakan oleh Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“Di sini sudah ada pembagian tugas, jadi tidak sulit ketika kita mendampingi tamu.

Contohnya, pada waktu itu ada tamu dari IPB. Pesertanya ada 170 mahasiswa, termasuk

dosen. Saya bagi kelompok, tiap anggota saya libatkan semua. Ada yang bertugas

menjadi pemandu, moderator, dan narasumber. Sebelum pelaksanaan kegiatan belajar,

saya ajarkan dulu cara menyampaikannya.”

Berdasarkan pernyataan Pitoyo Ngatimin, maka dapat diketahui bahwa pengurus

poktan bertugas mengkoordinir seluruh individu poktan untuk berpartisipasi

menjadi fasilitator bagi peserta belajar P4S. Fasilitator menangani beberapa

kegiatan, sehingga pengurus poktan bertugas pula untuk melakukan pembagian

tugas. Sebelum pelaksanaan kegiatan belajar dimulai, pengurus juga bertugas

memberi petunjuk operasional kepada para anggota sebagai acuan bagi mereka

mengenai tata cara penyampaian materi kepada peserta belajar. Dengan demikian,

materi belajar tersebut dapat terpola dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang

diharapkan oleh peserta belajar. Upaya dan tugas pengurus Poktan Tranggulasi

semacam itu dapat dimaknai sebagai tekniknya untuk meningkatkan kekayaan

anggota poktan dari segi intelektualitas, dimana anggota diberi kesempatan, diberi

jaminan, dimampukan, dan diberdayakan untuk membuktikan pengetahuan dan

Page 155: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

175

keterampilannya dalam berusaha tani, yang kemudian juga berdampak pula pada

pengembangan mutu P4S.

Di lain sisi, terdapat sebagian anggota poktan yang merasa kurang

dilibatkan dalam P4S. Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Sumar sebagai

berikut:

“Kalau ada tamu di P4S itu yang menangani hanya orang-orang tertentu. Jadi semua

anggota belum tentu semuanya mengetahui. Jadi misalkan anda tanya saya, P4S itu

gimana, saya tidak mengerti, karena saya tidak pernah diikutkan. Yang biasanya ikut itu

orang-orang tertentu, pengelolanya.”

Menurutnya, yang proaktif sebagai narasumber di P4S adalah beberapa petani,

khususnya yang tergabung dalam pengelola atau pengurus poktan. Hal tersebut

terjadi, mengingat pengurus poktan lebih memiliki pemahaman atau pengetahuan

dan keterampilan sebagai narasumber untuk membawakan materi tentang sistem

UT sayuran organik. Di samping itu, pengurus Poktan Tranggulasi juga berperan

dalam melakukan promosi atau memperkenalkan P4S kepada pihak luar. Hal

tersebut diperjelas melalui pernyataan Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“Saya dan teman-teman pengurus yang publikasi ke SMK dan kelompok tani lain. Media

promosinya secara lisan, kita juga pakai power point, pakai peralatan LCD. Kalau untuk

promosi kita juga bisa lewat on line, karena kita punya web P4S itu. Diantaranya itu, tapi

di samping itu kita pakai metode mulut ke mulut…. Sekarang kita punya web P4S

Tranggulasi.”

Metode promosi sering dilakukan secara lisan dan menggunakan alat bantu tayang

(seperti: Liquid Crystal Display-LCD). Di samping metode tersebut, pengurus

Poktan Tranggulasi menggunakan web, sehingga dapat disimpulkan bahwa

individu poktan telah mengenal media komunikasi dan informasi secara online.

Selain dua metode yang telah dijelaskan, pengurus poktan juga melakukan metode

“mulut ke mulut” (mouth to mouth) untuk melakukan promosi. Dengan upaya-

upaya tersebut, pengurus poktan memperkenalkan keberadaan P4S Tranggulasi.

Upaya promosi tersebut membuahkan hasil bagi kaum akademisi, seperti lembaga

penelitian untuk melakukan penelitian tentang pengaruh efektifitas pupuk

terhadap pertumbuhan sayuran yang ditanam dengan pola tumpang-sari. Hal

tersebut diperjelas melalui pernyataan Asep Miswan berikut ini:

“Kita melakukan penelitian mengenai pengaruh pupuk alternatif pada tanaman brokoli

ditumpang sari dengan sawi putih di lahan pak Pitoyo. Dulu penelitiannya di lahan

Pitoyo, kalau tidak salah ada beberapa perlakuan, kita aplikasikan pupuk hayati,

kemudian pupuk hijau tithonia. Untuk hasil penelitiannya ada laporannya, tapi belum

jadi… Pertimbangan pemilihan lokasi karena kita penelitian organik, kebetulan di sana

Page 156: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

176

lahannya organik. Diharapkan dari hasil penelitian itu, pak Pitoyo itu bisa menyampaikan

ke anggota kelompok taninya…. Waktu itu penelitian soal pengaruh pupuk kandang sapi,

kemudian pupuk hayati itu pake agrimed, kemudian pupuk segar hijauan tithonia.…

Sekarang balittan sudah penelitian on farm, penelitian on farm di lahan petani, seperti di

lahannya pak Pitoyo. Jadi apa yang Balittan kerjakan itu paling tidak bisa dipelajari oleh

kelompok tani.”

Berdasarkan pernyataan Asep Miswan, maka dapat disimpulkan bahwa P4S

bukan hanya sebatas dijadikan rujukan tempat pelatihan, melainkan juga dijadikan

rujukan sebagai tempat penelitian. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan

lahan milik Poktan Tranggulasi sudah terjamin organik. Kemudian, objek

penelitian ini adalah dua tanaman, yaitu tanaman brokoli dan sawi putih yang

ditanaman dengan pola tumpang sari. Dua tanaman yang ditanam dengan pola

tanam tumpang-sari tersebut diberi beberapa perlakuan, meliputi: pemberian

pupuk kandang sapi, pemberian pupuk hayati dengan merk dagang “agrimed”,

dan pemberian pupuk hijau dari tumbuhan tithonia. Pemberian pupuk-pupuk

tersebut dilakukan dengan dosis tertentu. Setelah diberi perlakuan, tim peneliti

menganalisa pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan dua tanaman

tersebut (brokoli dan sawi putih). Selain itu, peneliti dapat membandingkan tiga

perlakuan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini dilakukan oleh Balai Penelitian

Tanah (Balittan) yang berlokasi di Bogor. Setelah data selesai diolah, maka

disusun laporan hasil penelitian dan dipublikasikan. Meninjau kasus ini, maka

hamparan usaha atau lahan milik individu Poktan Tranggulasi dijadikan rujukan

tempat untuk penelitian yang kedepannya mampu memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan bagi masyarakat luas (khususnya yang berkecimbung dalam bidang

pertanian). Akan tetapi, manfaat penelitian ini paling bisa dirasakan oleh individu

Poktan Tranggulasi, maka dari itu Asep Miswan berharap ketika laporan

penelitian ini sudah selesai disusun, selanjutnya dipublikasikan ke individu Poktan

Tranggulasi. Dengan demikian, Poktan Tranggulasi memperoleh bahan masukan

untuk didiskusikan bersama dalam wadah belajar, yang selanjutnya dapat

berdampak positif terhadap pengembangan usaha tani individu poktan.

Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, model penyediaan wadah belajar-

mengajar bagi pihak lain yang dipelopori oleh Poktan BM dilakukan dengan cara

membentuk sub-sub kelompok. Pernyataan Mujiyanti Rahayu berikut ini akan

memberi gambaran awal tentang hal tersebut:

Page 157: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

177

“Yang ngesub dengan Bangkit Merbabu ada kelompok Phala Tani, lalu kelompok tani di

Selo Nduwur, kemudian kelompok tani Karya Muda, ada juga kelompok di Kenteng,

Ngablak itu, namanya Mutiara Organik. Jadi pengurus kelompok Bangkit mengelola itu.

Ketua kelompok tani itu kadang diminta oleh dinas pertanian provinsi, misal pelatihan

tentang pembuatan pupuk cair. Pernah di Pemalang, lalu pernah juga di Batang.”

Berdasarkan pernyataan Mujiyanti Rahayu, maka dapat diketahui bahwa ada

beberapa poktan yang bekerjasama (ngesub) dengan Poktan BM. Beberapa poktan

yang dimaksud, diantaranya meliputi: poktan Phala Tani (dusun Deplongan, Desa

Wates), poktan di dusun Selo Nduwur (Desa Batur), poktan Karya Muda (dusun

Kaliduren, Desa Batur), dan poktan Mutiara Organik (Dusun Kenteng, Kecamatan

Ngablak). Kemudian, persamaan Poktan BM dengan Poktan Tranggulasi terletak

pada peran pengurus poktan (terutama ketua poktan) sebagai pembicara atau

fasilitator dalam kegiatan pelatihan, seminar, atau forum pertanian lainnya. Hal

tersebut selaras dengan uraian tugas pengurus Poktan BM, dimana ketua poktan

bertugas sebagai pemimpin kelompok yang bertanggungjawab ke dalam dan ke

luar jalannya organisasi. Berkaitan dengan adanya sub kelompok dari Poktan BM

turut diperlengkap oleh pernyataan Sutopo dan Suwalim berikut ini:

“Sudah ada usaha penyadaran petani untuk bertani organik, dari kelompok Bangkit

Merbabu itu yang aktif. Kelompok itu membentuk sub kelompok di luar dan dalam

dusunnya. Itu sudah dilakukan.” (Sutopo)

“Itu kelompok BM Phala Tani, nginduk atau istilahnya menjadi plasma kelompok tani

Bangkit Merbabu. Itu yang ketuanya mas Aji, namanya kelompok SBBM, Sejahtera

Bersama Bangkit Merbabu. Tapi sampai saat SBBM itu kegiatannya baru sekedar buat

demplot kecil di tingkat kelompok…. Phala Tani sudah ngesub dengan Bangkit

Merbabu.” (Suwalim)

Selanjutnya, pernyataan Rochmad berikut ini akan memberi gambaran singkat

tentang asal-muasal munculnya ide untuk membentuk sub kelompok:

“Kelompok kami itu bukan menawarkan kelompok tani lain untuk ngesub dengan kami.

Dulunya seperti ini, petani-petani tetangga di sekitar dusun kami itu meminta diajarkan

cara buat pupuk cair, lalu pupuk padat. Kemudian, karena beberapa petani itu belum

punya kelompok, saya menghimbau untuk dibentuk kelompok tani di dusunnya. Karena

dengan begitu, kami lebih mudah mendampinginya, selain itu secara waktu juga lebih irit.

Kami satu minggu sekali ada pendampingan ke sub kelompok.”

Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat diketahui bahwa ide untuk

membentuk sub kelompok muncul dari adanya kebutuhan petani di luar Poktan

BM untuk belajar dan menggali ilmu tentang sistem UT organik dari Poktan BM.

Hal tersebut yang akhirnya menciptakan inisiatif petani untuk membangun relasi

dengan Poktan BM. Mencermati pernyataan itu, maka dapat disimpulkan pula

Page 158: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

178

bahwa pembentukan poktan sangat signifikan untuk mewujudkan efisiensi dalam

penyebarluasan informasi atau ilmu (dalam hal ini sistem UT organik).

Pendampingan ke sub kelompok secara rutin dilakukan tiap satu minggu sekali

(melalui wadah pertemuan rutin sub kelompok). Hal tersebut turut didukung oleh

pernyataan Marshudi berikut ini:

“Saya dulu itu sudah kenal dengan pak Rochmad, saya diajari bertani organik oleh beliau.

Lalu, saya diminta pak Rochmad untuk mengajak orang dan bentuk kelompok.”

Kemudian, teknis pembentuk sub kelompok diperjelas melalui pernyataan Sumadi

berikut ini:

“Dibentuk sub kelompok itu dimusyawarahkan dalam kelompok lewat pertemuan.

Masing-masing sub kelompok ada perbedaan masing-masing….. Tiap anggota punya

kesempatan untuk jadi perwakilan dari Bangkit Merbabu untuk hadir dalam pertemuan

sub kelompok.”

Berdasarkan pernyataan Sumadi, maka dapat diketahui bahwa pembentukan sub

kelompok dilakukan dengan berdiskusi atau bermusyawarah hingga mencapai

mufakat antar individu Poktan BM. Menurut pengamatan Sumadi, tiap sub

kelompok memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga menjadi tantangan

bagi Poktan BM untuk menentukan serta menerapkan model pembinaan dengan

cara yang tepat. Mencermati pernyataannya, juga dapat disimpulkan bahwa tiap

individu Poktan BM memiliki hak dan kewajiban untuk hadir dalam pertemuan

yang diadakan oleh sub-sub kelompok tani BM. Hal tersebut dapat dimaknai

sebagai cara pengurus poktan untuk mengembangkan keterampilan seluruh

individu poktan untuk berkomunikasi di depan umum dan memberi kesempatan

untuk membagikan pengalaman dan pengetahuannya mengenai UT sayuran

organik kepada petani lain. Beralih kembali ke usaha pembentukan sub kelompok,

pihak luar juga turut membantu Poktan BM untuk membentuk sub kelompok. Hal

tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Witono P. Sasongko sebagai

berikut:

“Bangkit Merbabu pertama secara legitimasi untuk sertifikat nasional sudah punya, selain

itu juga punya keterampilan pertanian yang cukup baik, sehingga beberapa binaan

Yayasan Sion itu yang ada di beberapa daerah kami ikutkan di pelatihan di Bangkit

Merbabu, dan kedepannya bisa menjadi sub dari kelompok Bangkit Merbabu.”

Berdasarkan pernyataan Witono P. Sasongko, maka dapat diketahui bahwa

yayasan Sion juga turut berperan dalam pembentukan sub kelompok Bangkit

Merbabu. Dengan demikian, Poktan BM berpeluang untuk memperluas jaringan

Page 159: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

179

diseminasi (penyebarluasan) ilmu dan keterampilan tentang UT sayuran organik

ke poktan lain. Selain itu, dengan adanya bantuan dari yayasan Sion, maka

rekognisi (pengenalan) Poktan BM ke khalayak luas semakin terealisasi.

Selanjutnya, hasil penelitian di Poktan BM menunjukkan bahwa kesadaran

atau kebiasaan individu Poktan BM untuk mendampingi atau membina sub

kelompoknya sudah mengakar, artinya tanpa ada dorongan pun, individu poktan

memiliki kesadaran untuk melakukannya. Pernyataan dari Rochmad berikut ini

akan memperjelas hal tersebut:

“Kalau malam Kamis saya mendampingi kelompok Karya Muda di dusun sini. Saya juga

ke Deplongan dan Selo Nduwur, tapi itu bergilir, jadi tidak harus saya. Kami bukan

diundang, memang kami bertugas untuk mendampingi. Karena mereka merupakan sub

dari kelompok tani kami, maka kami berkewajiban untuk mendampingi. Itu tidak ada

syaratnya, kami tidak meminta imbalan apapun. Syaratnya hanya penerapan usaha

taninya menyesuaikan standar organik seperti di kelompok kami…… Kami punya prinsip

bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditularkan kepada masyarakat umum.

Seperti sub kelompok kami yang ada di Sumatera itu materi pembinaannya lewat e-mail.

Kalau kelompok di sekitar sini materinya kami berikan menggunakan flash disk, lalu

nanti ada keterangan susulan secara lisan, mungkin ada yang kurang jelas. Dari sub

kelompok tinggal menghubungi ke sini.”

Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat dipastikan bahwa sub-sub

kelompok memang dibina atau didampingi secara intensif oleh individu Poktan

BM. Pembinaan atau pendampingan terbukti dari adanya keikutsertaan individu

Poktan BM dalam pertemuan rutin yang diadakan oleh sub kelompok. Kemudian,

utusan yang hadir dalam pertemuan rutin yang diadakan oleh sub kelompok

dilakukan secara bergantian. Walau begitu, berdasarkan observasi lapangan,

menunjukkan bahwa pengurus Poktan BM lebih sering menjadi utusan dalam

pertemuan yang diadakan oleh sub kelompok. Mencermati keadaan tersebut,

maka pengurus poktan dapat dituntut sebagai seorang pengambil alih tanggung

jawab, yakni bahwa pengurus poktan berkewajiban untuk mengambil alih

tanggung jawab, ketika anggota belum memiliki kemampuan untuk membimbing

sub kelompok (Walgito, 2003:108). Persyaratan poktan yang ingin bekerjasama

atau ngesub dengan Poktan BM tidak begitu sulit, hanya perlu memperlihatkan

totalitas atau keseriusan untuk menerapkan sistem UT sesuai dengan standar

organik yang ditetapkan Poktan BM. Kemudian, maksud baik Poktan BM untuk

membentuk sub kelompok juga disebabkan oleh adanya sikap mengutamakan

kepentingan saling menopang dan saling mengisi di atas kepentingan untuk

Page 160: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

180

bersaing (secara tidak sehat) dengan poktan lain. Hal tersebut diperjelas melalui

pernyataan Zaenal berikut ini:

“Kelompok di Kecamatan Getasan itu pernah saya tanya, tapi saya tidak diberi

informasinya. Waktu pertama kita mendirikan kelompok saya tanya ke yang lebih

berpengalaman mengenai GAP, lalu SOP, tapi tidak dijawab. Kalau kami tidak fokus

untuk bersaing, nyatanya kami punya sub kelompok. Kami memberikan ilmu-ilmu

kepada siapapun yang butuh. Kalau sub kelompok itu lebih pintar dari kami, kami punya

rasa senang, karena kami rasa semakin banyak yang berbudidaya dengan baik dan benar.”

Mencermati pernyataan Zaenal, kesulitan individu Poktan BM dalam mengakses

informasi tentang sistem UT organik justeru menumbuhkembangkan semangatnya

untuk membentuk sub kelompok. Individu Poktan BM terus berupaya untuk

menularkan ilmu atau pengalaman tentang sistem UT sayuran organik yang

dimilikinya, yang selanjutnya mampu membentuk SDM petani yang handal,

khususnya di bidang usaha tani sayuran organik. Argumen tersebut dipertajam

oleh Suwanto sebagai berikut:

“Kelompok Bangkit Merbabu itu ada usaha untuk menularkan ilmu organiknya ke petani

di sekitarnya. Sekarang sudah punya beberapa sub kelompok yang berada di luar wilayah

dusunnya itu.”

Model pembinaan terhadap sub-sub kelompok dilakukan dengan dua

pendekatan, yaitu secara teroritis maupun praktis. Teknis pembinaan sub

kelompok lebih jelas digambarkan oleh Rochmad berikut ini:

“Tata cara untuk buat pupuk padat dan cair ilmunya selalu ditularkan kepada sub

kelompok. Itu dipraktekkan bersama-sama. Di sub kelompok itu sudah ada flash disk

berisi materi budidaya sayuran organik. Lalu dengan flash disk ini kita menindaklanjuti

dengan mengkaji dan mempelajari bersama…. Di flash disk itu sudah ada standarisasi

budidaya organik, kami beri dalam bentuk file.”

Berdasarkan pernyataan Rochmad, maka dapat diketahui bahwa secara teoritis,

individu Poktan BM membagikan informasi-informasi tentang teknik UT sayuran

organik yang tersimpan di dalam flash disk. Secara praktis, Poktan BM juga

mendampingi sub kelompok untuk mempraktekkan atau menguji-coba teknologi

dan metode teknik UT sayuran organik. Kemudian, hasil praktek atau uji coba

tersebut dikaji dan dipelajari bersama, sehingga sub kelompok yang bersangkutan

mampu menarik sebuah kesimpulan tentang kelayakannya. Poktan BM memberi

kesempatan kepada siapapun individu dari sub-sub kelompok untuk berkonsultasi.

Selain itu, Poktan BM juga memberi keleluasaan kepada sub kelompok untuk

menyelesaikan permasalahan internal yang terjadi di sub kelompok. Hal-hal

tersebut digambarkan secara jelas melalui pernyataan Rochmad berikut ini:

Page 161: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

181

“Tiap sub kelompok punya kesempatan untuk konsultasi ketika mereka punya kendala,

sehingga konsultasinya tidak harus seminggu sekali pada waktu pertemuan. Lalu, ketika

ada hal-hal yang harus dibicarakan secara internal oleh sub kelompok, kami tidak

memperoleh informasi pertemuan lewat SMS. Sehingga, ketika kami tidak memperoleh

informasi pertemuan dari sub kelompok, kami tidak hadir di pertemuannya. Kalau kami

dapat informasi pertemuan, kami hadir ke sub kelompok untuk membina. Kami pikir

kalau ada hal-hal yang sifatnya privat dan harus diselesaikan oleh sub kelompok secara

mandiri, itu tidak harus melibatkan Bangkit.”

Berdasarkan pernyataan Rochmad, keterlibatan individu Poktan BM dalam

pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh sub kelompok hanya berlaku jikalau

diundang oleh sub kelompok melalui SMS atau telepon. Kemudian, model

pertemuan rutin yang diterapkan oleh sub kelompok sama persis dengan yang

dilakukan oleh Poktan BM. Hasil penelitian di sub kelompok BM, yakni poktan

Phala Tani menunjukkan bahwa individu sub kelompok BM merasakan

keuntungan atau manfaat dengan menerapkan pertemuan rutin dengan frekuensi

seminggu sekali. Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan Nyoto berikut ini:

“Dengan pertemuan tiap minggu masalah soal pertanian bisa teratasi, misal penyemprotan

pestisida alami itu dilakukan satu minggu paling tidak dua kali, kalau pertemuan satu

bulan sekali terlalu lama mas. Selain itu, tiap siklus perkembangan sayuran, masalah

penyakitnya itu banyak, kalau pertemuannya satu minggu sekali bisa teratasi. Sehingga

ada masalah pertanian itu bisa dimusyawarahkan. Kami itu mengikuti cara bertani

organik dari Bangkit Merbabu. Yang sekiranya kami belum tahu, bisa ditanyakan, yang

kami sudah tahu, kami memberi informasi ke mereka. Komunikasi dengan pengurus

Bangkit Merbabu lancar-lancar saja, saling berkomunikasi ketika terjadi hal apapun. Ibu-

ibu kami ikut sertakan dalam kelompok, kalau ada kepentingan baru diajak ikut

pertemuan, dari Bangkit Merbabu yang menyarankan, supaya tidak saling mencurigai,

misalkan masalah jual-beli sayuran, lalu harga pasar, dan yang ada sangkut-pautnya

seputar kerjasama dengan kelompok Bangkit. Tapi di sini itu biasanya ibu-ibu bergantung

dengan suaminya. Ibu-ibu bantu nanam sayuran, lalu cara untuk memupuk dan

menyemprot itu ibu-ibu sudah bisa.”

Berdasarkan pernyataan Nyoto, maka dapat diketahui bahwa pertemuan satu

minggu sekali memberi manfaat untuk mendiskusikan berbagai hal yang ada

sangkut-pautnya dengan proses UT sayuran organik, dari penyediaan saprotan,

budidaya tanaman, pemanenan, penanganan pasca panen, sampai dengan

pemasaran hasil produksi. Di samping itu, dalam situasi yang mendesak, individu

sub kelompok juga memiliki kesempatan untuk berkonsultasi atau berkoordinasi

dengan individu Poktan BM di luar pertemuan. Berdasarkan observasi di

lapangan, kegiatan konsultasi di luar pertemuan lebih banyak dilakukan dan dirasa

lebih efektif oleh petani. Nyoto menuturkan, selama bekerjasama dengan Poktan

BM, ada proses belajar-mengajar yang sifatnya interaktif (timbal-balik atau saling

mempengaruhi). Kemudian, sama halnya dengan Poktan BM, poktan Phala Tani

Page 162: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

182

sebagai sub kelompoknya juga melibatkan wanita tani (ibu-ibu) dalam poktan,

sehingga ilmu-ilmu tentang UT sayuran organik dapat terserap juga ke wanita

tani.

Saat ini, poktan Phala Tani sedang berproses untuk beralih dari sistem UT

anorganik menjadi sistem UT organik (masa transisi). Pernyataan Nandar berikut

ini akan memberikan gambaran singkat tentang proses transisi dari sistem UT

anorganik menjadi sistem UT organik:

“Dari Bangkit Merbabu memberi kami masukan mengenai cara penanaman, pembuatan

pupuk organik, dan cara pemulihan tanah. Kami sekrang ini sedang tahap pemulihan

tanah. Ketika ada keluhan, bisa kami konsultasikan ke Bangkit Merbabu. Setiap

masukkan dari Bangkit Merbabu, kita bicarakan di dalam pertemuan kelompok Phala

Tani. Demplot itu diadakan karena arahan dari Bangkit Merbabu, kami buat sebagai

percontohan, mereka mendampingi di tiap tahapan demplot. Awal-awalnya kami

mengambil pupuk organik itu dari sana.”

Dari pernyataan Nandar, maka dapat disimpulkan bahwa peralihan sistem UT

anorganik menjadi sistem UT organik diawali dengan penyelenggaraan kegiatan

demontrasi plot (demplot). Proses kegiatan demplot, dari masa persiapan,

pelaksanaan, dan evaluasi didampingi oleh Poktan BM. Tujuan utama

diadakannya demplot adalah untuk menganalisa, memperoleh gambaran, dan

mendokumentasikan hasil uji coba teknologi atau metode UT suatu tanaman.

Selain itu, poktan Phala Tani memiliki peluang untuk mengkonsultasikan segala

kendala yang terjadi selama proses peralihan ke organik. Di samping itu, sebagian

pupuk organik untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan peralihan disediakan oleh

Poktan BM. Masa peralihan dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT organik

biasa dikenal dengan istilah konversi atau periode transisi. Periode transisi

merupakan waktu antara saat mulai melaksanakan prinsip pertanian organik dan

sertifikasi hasil tanaman. Konversi atau periode transisi tidak diperlukan untuk

lahan yang masih asli, artinya belum pernah dilakukan sama sekali pertanian

anorganik, atau pertanian dilaksanakan dengan teknologi tradisional dan

memenuhi persyaratan standar baku pertanian organik. Lamanya periode konversi

didasarkan atas penggunaan lahan masa lalu dan kondisi ekologinya (Sutanto,

2002:152-153). Kedepannya Poktan BM sudah memiliki rencana untuk

mendampingi sub kelompok untuk menangani masalah administrasi dalam rangka

mengajukan usulan sertifikasi pangan organik. Hal tersebut diutarakan oleh

Zaenal sebagai berikut:

Page 163: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

183

“Untuk tahun depan biar kita tidak rugi karena biaya sendiri kan kelompok-kelompok

yang ngesub sini sudah kita ajari tentang pertanian organik, suatu saat kita ajarkan

tentang administrasinya, usulan resertifikasi. Kerjasama dengan sub kelompok tidak ada

kendala, kita hanya memberikan ilmu. Ada pengawasan ke lapangan, lokasinya

berdekatan, jadinya sering ketemuan.”

Selain membantu dalam pengajuan usul sertifikasi pangan organik, Poktan BM

juga membantu dalam menangani kegiatan selama konversi. Proses

pendampingan dan monitoring ini dirasa tidak berat oleh Poktan BM, karena dari

segi lokasi, letak hamparan usaha yang dimiliki oleh sub-sub kelompok tidak

begitu jauh dan terjangkau. Pembahasan berikut ini akan menyinggung secara

komprehensif tentang upaya atau kegiatan nyata poktan Phala Tani untuk

melakukan teknis konversi ke sistem UT organik. Hal tersebut diawali dengan

pernyataan Nyoto sebagai berikut:

“Kami mengurangi ponska sedikit demi sedikit, kemudian diiringi dengan penambahan

pupuk kandang organik. Kalau bertani organik itu diharuskan tepat waktu untuk

perawatannya, kami melakukan penyemprotan untuk pencegahan. Tetapi kami masih

pakai revaton untuk pengendalian hama dan penyakit, itu residu kimianya tidak terlalu

berlebihan, karena kalau pakai pestisida organik belum mampu. Tidak sepenuhnya lahan

ditanami organik, paling hanya 500 meter persegi. Dari Bangkit Merbabu sudah

mengambil sayuran dari sini. Kalau saya rubah jadi cara organik sekaligus lahan yang

luas, bisa sia-sia mas. Dari Bangkit Merbabu tidak mengawasi secara rutin, yang kalau

kami sudah punya produk organik baru dilaporkan. Target tahun depan kami dapat

sertifikat organik.”

Mengacu pernyataan Nyoto, konversi lahan pertanian anorganik menjadi lahan

organik diawali dengan usaha pengurangan penggunaan pupuk kimia sintetik

(seperti ponska), serta diiringi dengan usaha memperbanyak penggunaan pupuk

kandang. Penggunaan pupuk kandang bertujuan untuk meningkatkan humus,

memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme

pengurai (Zulkarnain, 2009:213). Kegiatan tersebut berupaya untuk menciptakan

keseimbangan organisme yang menyebabkan tanah lebih subur dan produktif.

Selain itu, meningkatkan kemampuan menahan air, sehingga frekuensi

penyiraman dapat dikurangi (Sutanto, 2002:03). Selama masa konversi,

penggunaan pestisida kimia sintetik (seperti revaton) untuk pengendalian hama

dan penyakit masih dilakukan. Hal tersebut wajar, mengingat pemahaman petani

terhadap pestisida alami masih terbatas. Selain itu, belum ada jaminan

keberhasilan panen yang pasti dengan menggunakan pestisida alami. Dengan

demikian, penggunaan pestisida kimia sintetik masih digunakan demi

meminimalisir risiko gagal panen, lagipula petani hanya menggunakan pestisida

Page 164: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

184

kimia sintetik yang residunya rendah. Hal tersebut selaras dengan yang diutarakan

oleh Reijntjes dkk (1999:207), bahwa jika tidak tersedia pengetahuan yang sesuai

tentang praktek-praktek pestisida alami, maka pemanfaatan pestisida kimia atau

racun-racun masih perlu. Kemudian, konversi dari sistem UT anorganik menjadi

sistem UT organik dipraktekkan di lahan yang sempit (misal: + 500 m2). Dengan

kata lain, tidak semua lahan yang dimiliki oleh individu poktan Phala Tani

digunakan untuk praktek konversi ke sistem UT organik. Selanjutnya, individu

poktan Phala Tani mengutamakan kejujuran dalam pemasaran. Maksudnya adalah

produk sayuran yang bisa dijual ke Poktan BM, hanyalah yang diproses dengan

sistem organik sesuai dengan standar yang ditetapkan Poktan BM. Sehingga yang

masih dalam tahap konversi, hasil produksinya belum dianggap sebagai produk

sayuran organik dan tidak dapat dijual ke Poktan BM. Selanjutnya, pernyataan

Marshudi berikut ini akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang teknis

pemeliharaan tanaman di masa konversi:

“Pemeliharaannya kami beri pupuk cair seminggu sekali, kalau penyemprotan pestisida

empat hari sekali, itu kami buat sendiri menggunakan bahan alami, seperti daun suren,

daun pepaya, bawang, cabe, temu ireng, dikasih biji mahoni. Lalu pakai biji bengkoang,

itu ditumbuk, lalu dikukus, supaya dingin dikasih penutup atasnya dan dikasih minyak

tanah. Untuk menjaga ketersediaan unsur hara ditambahi ponska. Dari Bangkit Merbabu

mengatakan kalau tidak mampu menggunakan pupuk cair, bisa pakai ponska, itu cuma

sebagai penunjang saja. Cara budidaya itu ada bimbingan atau panduan dari Bangkit

Merbabu. Dari kelompok Bangkit Merbabu kami diberi materi dalam bentuk file untuk

pembelajaran sendiri. Pestisida alami itu fungsinya juga untuk menambah kesuburan, jadi

tidak hanya berfungsi untuk mengatasi hama saja. Itu berguna sebagai vitamin untuk

menyehatkan tanah. Selain itu, kami juga dapat ilmu mengenai pengaturan waktu

penanaman jenis sayuran, istilahnya rotasi tanaman mas.”

Berdasarkan pernyataan Marshudi, maka dapat diketahui bahwa penyemprotan

pupuk cair dilakukan setiap minggu sekali. Frekuensi pemupukan yang cukup

tinggi ini disebabkan oleh karakter yang dimiliki pupuk organik, diantaranya

adalah: ketersediaan unsur hara lambat dan ketersediaan hara dalam jumlah

terbatas (Sutanto, 2002:07). Sehingga dalam penerapannya, takaran pemupukan

harus banyak dan sesering mungkin. Usaha individu poktan untuk menjaga

ketersediaan unsur hara adalah pemberian ponska (pupuk kimia sintetis) ke tanah

dengan dosis yang rendah. Kekurangan unsur hara merupakan halangan utama

bagi produksi tanaman. Ketersediaan unsur hara sangat tergantung pada kondisi

umum tanah, kehidupan tanah, dan pengelolaan bahan organik. Oleh karena itu,

perhatian yang besar harus juga diberikan pada pemberian unsur hara yang

Page 165: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

185

diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (Reijntjes dkk, 1999:70). Di samping

pemupukan, penyemprotan pestisida alami juga dilakukan dengan frekuensi yang

tinggi, yakni empat hari sekali, karena pestisida semacam ini lebih cepat

mengalami disintegrasi (mudah hilang atau terurai). Selain untuk mengendalikan

serangan hama dan penyakit, pestisida alami juga berkontribusi untuk menambah

kesuburan tanah. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya sifat yang mudah terurai,

sehingga meminimalisir gangguan terhadap kehidupan biota dalam tanah, baik

mikroorganisme (diantaranya: bakteri, aktinomisetes, dan fungsi) maupun

makrofauna tanah (diantaranya: cacing tanah dan rayap) (Reijntjes dkk, 1999:15).

Menurut Sutanto (2002:66), cacing tanah (sebagai makrofauna tanah) sangat peka

terhadap pestisida. Oleh karena itu, penggunaan pestisida alami berusaha

membangun kembali keaktifan biota tanah untuk meningkatkan kesuburan dan

kesehatan tanah (Sutanto, 2002:57). Beralih kembali ke pernyataan Marshudi,

maka dapat dipastikan bahwa Poktan BM memberikan panduan atau pedoman

tertulis mengenai tata cara melakukan proses produksi sayuran secara organik.

Selain teknis pemeliharaan, individu poktan Phala Tani juga diberikan

pemahaman mengenai tata cara pengaturan waktu penanaman, sehingga dapat

memberi hasil yang optimal terhadap efisiensi pemanfaatan air, sinar, dan hara;

produktivitas lahan per satuan luas; penekanan terhadap serangan organisme

pengganggu tanaman (OPT); serta pendapatan usaha tani (Sutanto, 2002:131).

Secara garis besar, kerjasama antara Poktan BM dengan sub kelompok Phala Tani

tidak menimbulkan masalah, bahkan individu poktan Phala Tani banyak

memperoleh manfaat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Waluyo berikut ini:

“Keuntungannya bekerjasama dengan Bangkit Merbabu itu bisa menambah ilmu, karena

yang membimbing semua hal tentang pertanian organik itu mereka. Dari situ kami bisa

menambah pengalaman. Kalau misalkan ada kumpulan di sini, itu dari Bangkit Merbabu

kalau tidak ada acara yang penting pasti hadir, sehingga tidak ada kendala apa-apa selama

bekerjasama dengan Bangkit Merbabu.”

Manfaat yang dimaksud diperlihatkan melalui adanya peningkatan ilmu

pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan sistem UT sayuran organik.

Berdasarkan hasil penelitian di Poktan Tranggulasi dan Poktan BM,

keduanya memiliki cara yang berbeda dalam menyediakan wadah belajar untuk

pihak lain. Poktan Tranggulasi diakui oleh negara sebagai P4S, dimana P4S ini

bisa dijadikan sebagai rujukan untuk kegiatan pemagangan, studi banding, praktek

Page 166: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

186

kerja lapangan, dan bentuk pelatihan lainnya. Pengalaman P4S tidak hanya

sebatas melatih petani atau poktan, tetapi kaum akademisi juga banyak yang

berkunjung ke P4S untuk menggali ilmu tentang sistem UT sayuran organik.

Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM menyediakan wadah belajar bagi

pihak lain dengan cara membentuk sub-sub kelompok. Pembentukan sub

kelompok tersebar luas di luar desa, atau kabupaten, bahkan di luar provinsi.

Poktan BM lebih terkonsentrasi untuk membina poktan lain. Di samping

perbedaan-perbedaan tersebut, salah satu persamaan yang terlihat di kedua poktan

tersebut adalah wadah belajar bagi pihak lain juga bermanfaat bagi seluruh

individu poktan. Tiap individu poktan, baik Tranggulasi maupun BM memiliki

hak dan kewajiban untuk menjalankan wadah belajar bagi pihak lain. Hal tersebut

dapat dimaknai sebagai cara pengurus poktan untuk mengembangkan

keterampilan seluruh individu poktan untuk berkomunikasi di depan umum dan

memberi kesempatan untuk membagikan pengalaman dan pengetahuannya

mengenai UT sayuran organik kepada pihak lain. Persamaan lainnya, kedua ketua

poktan sering diberi mandat untuk menjadi pembawa materi tentang sistem UT

organik di kegiatan pelatihan, seminar, atau forum pertanian lainnya, baik yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Berdasarkan peran itu, maka

pengurus poktan dapat dimaknai sebagai seorang ahli (expert), yakni digunakan

sebagai sumber informasi. Selain itu, juga dianggap sebagai seorang yang

mewakili kelompok ke luar (as external group representative), yakni mewakili

kelompoknya ke dunia luar, sebagai cerminan sifat-sifat atau kepribadian

kelompok yang dipimpinnya (Walgito, 2003:108). Di samping itu, letak

persamaan lainnya ada pada dominasi pengurus poktan sebagai diseminator atau

pembawa materi tentang sistem UT organik ke peserta belajar. Kalaupun sudah

ada pembagian yang jelas atau penjadwalan yang jelas tentang waktu bertugas

individu poktan untuk mendampingi peserta belajar, seringkali individu poktan

(khususnya anggota) tidak mampu untuk mengemban tugas tersebut. Dengan

demikian, pengurus poktan mengambil alih tanggung jawab anggotanya. Dengan

peran pengurus yang seperti itu, maka ia bisa dianggap sebagai pelopor terdepan

untuk menggiatkan aktivitas poktan dalam melakukan pembinaan tentang sistem

UT organik kepada pihak lain. Upaya yang dilakukan oleh Poktan Tranggulasi

Page 167: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

187

maupun Poktan BM untuk menyebarluaskan ilmu atau informasi tentang sistem

UT sayuran organik secara tidak langsung telah memberi keringanan bagi

penyuluh pemerintah (PNS Pegawai Negeri Sipil) untuk melaksanakan

tugasnya. Salah satu kendala yang disadari oleh Dinas Pertanian terkait dengan

penyuluhan pertanian di Indonesia adalah keterbatasan SDM penyuluh, baik

secara kuantitas maupun kualitas. Keberadaan poktan seperti Tranggulasi dan BM

yang turut berpartisipasi dalam penyebarluasan ilmu atau informasi tentang sistem

UT sayuran organik dirasa bermanfaat bagi penyuluh. Manfaat tersebut

disampaikan melalui pernyataan Nyuwono berikut ini:

“Kendala yang kami hadapi itu adalah keterbatasan SDM, jelas itu yang nomor satu.

Penyuluh kita itu hanya ada hampir 6.000 untuk seluruh Jawa Tengah itu hampir 6.000.

Jumlah itu tidak seimbang dengan areal yang ada di Jawa Tengah. Untuk rekrutmen itu

ranah pemerintah pusat, kami sudah mengusulkan. Idealnya kalau penyuluh itu satu desa

satu penyuluh, tapi saat ini belum bisa menjangkau itu. Jalan keluarnya, kami mendidik

dan memberikan pelatihan-pelatihan kepada kelompok tani atau gapoktan untuk menjadi

penyuluh swadaya. Harapannya penyuluh swadaya itu nanti bisa menyampaikan kepada

petani di seikitarnya, contohnya seperti P4S itu mas, itu sebagai pusat pelatihan pertanian

pedesaan.”

Berdasarkan pernyataan Nyuwono, maka dapat diketahui bahwa kendala yang

dihadapi oleh dinas pertanian di daerah tingkat I (Provinsi), daerah tingkat II

(Kabupaten), dan kecamatan adalah keterbatasan SDM penyuluh untuk

memperkenalkan teknologi atau metode berusaha tani maupun berkelompok tani

dalam rangka menumbuhkembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap

petani, di daerahnya (khususnya). Dari segi kuantitas, jumlah penyuluh di daerah

Jawa Tengah tidak seimbang dengan jumlah keseluruhan desa yang ada di Jawa

Tengah, sehingga ada sebagian penyuluh yang merangkap tugas di dua desa atau

bahkan lebih. Kemudian dari segi kualitas, kemampuan tenaga penyuluh harus

spesifik, artinya ketika di lokasi (misal kecamatan) tertentu, ada petani yang

berusaha tani tanaman perkebunan, maka dibutuhkan tenaga penyuluh yang ahli

di tanaman perkebunan. Ironisnya, kedua aspek tersebut masih serba terbatas.

Kehadiran P4S (Tranggulasi) dan sub-sub kelompok (Bangkit Merbabu) di

tengah-tengah lingkungan pertanian di Jawa Tengah membantu penyuluh PNS

untuk melaksanakan tugas dan mencapai tujuannya. Jika dihubungkan dengan UU

No. 16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan

kehutanan, maka Poktan Tranggulasi dan Poktan BM tergolong sebagai penyuluh

swasta, yaitu penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang

Page 168: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

188

mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Dalam konteks ini,

penyuluhan diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik untuk

memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar

bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua

stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses

pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan

partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan (Mardikanto, 2009:22 &

23). Menurut Syahyuti (2011:69), selain dari petugas penyuluh profesional,

penyuluhan dari petani ke petani juga merupakan pendekatan baru yang dalam

beberapa hal bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani diharapkan akan lebih

efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap

persoalan, dan metode pemecahan masalah.

4.7 Penutupan

Pada hakekatnya, petani memiliki alasan sendiri, apakah ia akan

menjalankan usahanya dalam kelompok atau tidak. Petani membandingkan antara

kompensasi yang diperolehnya jika terlibat dalam organisasi formal dengan

pengorbanan yang harus diberikannya. Jika tambahan pendapatan yang diperoleh

tidak sebanding, mereka cenderung enggan terlibat. Simmons (2002) (dalam

Syahyuti, 2011:108) menyumbangkan bahwa ada empat area strategis yang

menjadi pertimbangan petani terlibat dalam berorganisasi, yakni: 1) apakah

mereka dapat mengakses ke pasar karena sebelumnya mereka menghadapi biaya

transaksi yang tinggi, 2) apakah mereka dapat mengakses kredit dengan bunga

yang tidak mahal, ketika sebelumnya selain bunga yang tinggi bahkan seringkali

tidak memiliki akses ke lembaga permodalan, 3) apakah mereka disediakan

berbagai pelayanan untuk memperbaiki manajemen risiko di sektor hulu, dan 4)

apakah mereka disediakan informasi, penyuluhan serta dukungan logistik

sehingga biaya transaksi yang lebih rendah dapat mereka raih.

Petani menjalankan berbagai kegiatan dalam menjalankan usahanya, mulai

dari memenuhi kebutuhan sarana produksi sampai dengan penjualan hasil

produksi. Untuk menjalankan usaha pertanian, petani harus dapat memenuhi input

atau sarana produksi berupa benih, bibit, pupuk, obat-obatan, serta alat-alat dan

mesin pertanian. Ia juga membutuhkan buruh tani untuk membantu bekerja jika

Page 169: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

189

tenaga dari dalam keluarga tidak cukup. Selain itu, ia juga harus menjalin relasi

dengan pedagang untuk menjualkan hasil panennya, dan juga dengan berbagai

pihak lain untuk memperoleh informasi, misalnya informasi tentang pasar maupun

teknologi. Untuk setiap kebutuhan tersedia berbagai pilihan, yaitu dengan usaha

sendiri, menjalin relasi individual atau mengandalkan relasi kolektif melalui

organisasi formal (Syahyuti, 2011:110). Dalam konteks penelitian ini, salah satu

kebutuhan petani adalah informasi atau ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang sistem UT sayuran organik (dari penyediaan saprotan, budidaya tanaman,

penanganan pasca panen, sampai dengan pemasaran). Pada umumnya, kombinasi

berbagai alternatif pilihan tersebut dipakai oleh petani untuk memperkaya dan

mengasah pengetahuan serta keterampilannya dalam rangka melaksanakan sistem

UT sayuran organik.

Skripsi ini sudah cukup banyak memberi gambaran tentang wadah belajar

bagi petani yang tergabung dalam poktan, beserta dampaknya terhadap produksi,

pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan. Namun, belum semua petani di

Indonesia tergabung dalam atau memiliki poktan. Pertanyaannya kemudian,

bagaimana cara petani yang belum memiliki poktan untuk memperkaya dan

mengasah pengetahuan serta keterampilan dalam berusaha tani? Pernyataan

Sulasmin (petani sayuran yang bertempat tinggal di luar desa Batur) berikut ini

akan memberi gambaran akan hal tersebut:

“Untungnya kalau di kelompok tani itu misal ada bantuan-bantuan dari pemerintah

biasanya lewat kelompok tani. Kalau petani di luar kelompok tani tidak ada bantuan-

bantuan pertanian, penyuluhan pertanian juga jarang sekali kami terima Jadi kalau

pertanian di luar kelompok tani itu cuma istilahnya gethuk tular. Biasanya kalau untuk

pemasaran sayuran, dibeli oleh tengkulak. Petani di luar kelompok tani, misal masalah

pestisida, saya sering diberi informasi oleh penjual obat, misal ada penyakit tanaman

seperti ini diberi pestisida seperti ini, lalu saya praktekan hasilnya bagus. Jadi

konsultasinya dengan penjual pestisida, di toko pertanian. Selain itu, tidak ada berbagi

informasi dengan petani yang tergabung dalam kelompok tani, sehingga misalnya ada

masalah kami cari informasi sendiri. Tapi kalau tukar info dengan kelompok tani di luar

dusun sudah pernah…. Harga jual dengan kebutuhan petani sering tidak imbang, karena

harga penjualannya sayur tergantung tengkulak, belum bisa menentukan harga.”

Setelah mencermati pernyataan Sulasmin, maka dapat dirangkum tata cara petani

yang tidak berkelompok tani (non-poktan) untuk mengakses sumber daya (seperti:

teknologi atau sarana-prasarana, informasi, dan pasar). Berbeda dengan poktan

yang memiliki kemudahan dalam mengakses bantuan-bantuan dari pemerintah,

Page 170: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

190

baik bantuan material (seperti: benih atau bibit, pupuk, bangunan, uang tunai, dan

sebagainya) maupun non-material (contohnya: informasi), petani yang tidak

berkelompok tani cenderung mengupayakan semua hal itu secara mandiri.

Kalaupun ada dukungan dari pihak luar, ia lebih mengandalkan relasi individunya

untuk memenuhi kebutuhan UT. Budaya “gethuk tular” (budaya menyebarkan

informasi secara lisan melalui orang-perorang, orang ke kelompok atau

sebaliknya, dan dari kelompok ke kelompok) sangat dipertahankan dan diterapkan

oleh petani untuk memperoleh informasi guna mengembangkan pengetahuannya

mengenai teknis UT. Hasil pengamatan juga memperlihatkan bahwa sebagian

petani menerapkan berbagai teknik atau metode UT yang dikenal secara turun-

temurun. Kemudian, dari segi pemasaran, seperti yang diketahui umumnya petani

menjual produk UT-nya ke pedagang perantara (seperti: pengepul), sehingga

harga produk tidak dapat dipastikan, sering berubah-ubah (fluktuatif), dan petani

tidak memiliki peluang untuk menentukan harga. Lalu, media alternatif bagi

petani non-poktan untuk mengakses informasi tentang saprodi (terutama pupuk

atau pestisida) adalah toko pertanian, dimana terjalin komunikasi antara petani

dan penjual saprodi mengenai segala hal yang berkaitan dengan saprotan (seperti:

kegunaannya, teknik aplikasinya, dan informasi lain). Media komunikasi dan

informasi alternatif seperti itu digunakan oleh petani non-poktan, mengingat ia

tidak pernah diberi penyuluhan oleh PPL dan pemerintah merasa lebih efisien dan

efektif ketika penyuluhan pertanian diberikan ke petani lewat kelompok. Yang

lebih memprihatinkan adalah petani-petani yang tergabung dalam poktan (yang

satu lokasi dengan narasumber petani non-poktan) dirasa tidak pernah memberi

atau membagikan informasi yang diketahuinya tentang seputar teknis UT,

sehingga tidak adanya interaksi yang efektif antara petani poktan dan petani non-

poktan. Uniknya, justeru terjalin komunikasi antara petani non-poktan dengan

petani poktan yang berada di luar daerah. Ada dua kemungkinan yang

menyebabkan hal tersebut terjadi. Kemungkinan pertama, petani yang

bersangkutan tidak ada usaha untuk menjalin komunikasi dengan poktan di

daerahnya dan kemungkinan ke dua adalah sudah ada upaya dari petani untuk

menjalin komunikasi dengan poktan, namun tidak direspon. Yang jelas, fenomena

Page 171: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

191

semacam itu menandakan bahwa budaya “gengsi” (untuk belajar dan mengajar)

masih hidup di daerah pedesaan.

Perlu dicermati bahwa kelompok tani hanyalah salah satu media

komunikasi dan informasi. Petani masih memiliki pilihan alternatif media

komunikasi dan informasi lainnya untuk memperkaya pengetahuan dan

keterampilan dalam berusaha tani. Hasil penelitian Sustika (2014:32)

menunjukkan bahwa terdapat alternatif pilihan media atau sumber komunikasi

dan informasi selain kelompok tani, seperti: penyuluh (PNS, Swasta, dan

Swadaya), pedagang saprodi, tengkulak, media cetak, dan media elektronik. Di

dalam penelitian ini, ditunjukkan bahwa penyuluhan terbukti efektif dalam

memperoleh informasi tentang budidaya dan kebijakan pemerintah. Lalu, toko

pertanian efektif dalam memperoleh informasi mengenai penanganan hama dan

penyakit, serta ketersediaan saprodi. Tengkulak efektif untuk memperoleh

informasi mengenai harga jual. Walaupun begitu, penelitian ini membuktikan

bahwa kelompok tani tetap merupakan sumber informasi yang paling efektif bagi

petani, karena digunakan oleh seluruh petani dalam sembilan informasi UT yang

diamati (meliputi: budidaya pembibitan, pengolahan lahan, penanaman,

pemeliharaan; penanggulangan hama dan penyakit; panen; ketersediaan saprodi;

harga jual; dan kebijakan pemerintah). Itu mengapa, kelompok tani masih

dianggap sebagai wadah yang efektif dan efisien untuk mengakomodir kebutuhan

belajar petani.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa poktan merupakan wadah belajar

yang efektif dan efisien. Kata efektif dan efisien perlu digarisbawahi, karena dua

hal tersebut baru bisa terwujud, apabila wadah (poktan) tersebut juga efektif dan

efisien. Banyak juga dijumpai poktan yang fungsi belajarnya tidak berjalan secara

efektif dan efisien, bahkan ditemukan pula poktan “jadi-jadian”, dimana

pembentukan poktan dilakukan petani (bahkan masyarakat umum yang sebetulnya

bukan bekerja sebagai petani) atas dasar motif menerima bantuan pemerintah.

Lalu, ketika sudah memperoleh bantuan, poktan tersebut bubar.

Penelitian ini menggambarkan segala upaya yang dilakukan oleh pengurus

poktan untuk mewujudkan wadah belajar yang efektif dan efisien bagi petani yang

tergabung di dalamnya. Untuk mewujudkan wadah belajar yang efektif dan

Page 172: repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11924/4/T1_522009015_BA… · 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Batur Kedua kelompok tani (poktan) yang

192

efisien, pengurus poktan bertindak sebagai: penggerak aktivitas individu poktan

dalam kegiatan belajar-mengajar, pembangun relasi dengan pihak luar untuk

pemenuhan kebutuhan belajar poktan, sebagai pihak yang mewakili poktan dalam

gapoktan KOMPOR sebagai wadah belajar lintas poktan organik di Kecamatan

Getasan, dan sebagai pelopor utama untuk menggiatkan aktivitas poktan dalam

membina pihak lain. Tindakan-tindakan itu turut menentukan reaksi atau sikap

individu poktan terhadap materi belajar yang ada di poktan dan partisipasi

individu poktan dalam wadah belajar tersebut, yang kemudian berdampak positif

terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam berusaha tani. Selain

implikasi dari wadah belajar, penjelasan mengenai implementasi usaha tani dapat

dimaknai sebagai gambaran pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan

tentang proses UT sayuran organik, dari penyediaan saprotan sampai dengan

pemasaran hasil produksi. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan

tentang UT sayuran organik itu dapat timbul juga tidak terlepas dari adanya peran

pengurus poktan, yang kemudian memampukan individu poktan untuk menilai

dampaknya terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan

petani. Karena itu, selain dimaknai sebagai dampak materi belajar terhadap

pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, implementasi UT juga

dapat dimaknai sebagai wadah belajar.