bab tiga
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
BAB III
PENGARUH PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID PADA
KESUBURAN WANITA DITINJAU DARI ISLAM
3.1 Infertilitas Ditinjau dari Islam
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun
berhubungan seksual sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi ( Strigh B, 2005 :
5 ).
Infertilitas adalah bila pasangan suami istri, setelah bersanggama secara teratur 2-3 kali
seminggu, tanpa memakai metode pencegahan belum mengalami kehamilan selama satu
tahun (Mansjoer, 2004 : 389).
2. Jenis infertilitas
Jenis infertilitas ada dua yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas
primer adalah kalau istri belum pernah hamil walaupun bersanggama tanpa usaha
kontrasepsi dan dihadapkan pada kepada kemungkinan kehamilan selama dua belas
bulan.
Infertilitas sekunder adalah kalau isrti pernah hamil, namun kemudian tidak terjadi
kehamilan lagi walaupun bersanggama tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan selama dua belas bulan.
Struktur keluarga ideal terdiri dari atas suami sebagai kepala keluarga, istri
sebagai ibu rumah tangga, dan anak atau anak-anak sebagai anggota keluarga.
Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan
dalam struktur keluarga bahagia.
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanah yang harus disyukuri dan
dirawat atas kehadiranya. Anak tidak hanya menjadi pelengkap kehidupan sebuah
keluarga, namun juga harta di masa mendatang. Kelak anak-anak itu yang
mengangkat derajat kehidupan orang tua mereka.1 1 Ganjar Triadi Budi Kusuma,
Bercerai Dengan Indah, h. 33
Salah satu tujuan Syariat Islam adalah memelihara kelangsungan
keturunan atau hifz} an nasab melalui perkawinan yang sah menurut agama.
Pasangan yang mengalami gangguan ovulasi kemungkinan gagalnya
kehamilan lebih tinggi. Mereka akan dianggap mandul, setelah setahun
melakukan hubungan seksual dengan teratur tanpa penggunaan kontrasepsi.
Untuk mendapat keturunan mereka melakukan beberapa usaha.6 Mulai terapi
medis, maupun cara tradisional yang tentu semua upaya tersebut memerlukan
biaya yang tidak sedikit, dan memerlukan waktu, kesungguhan serta kesabaran,
kemungkinan tentu dua, yaitu berhasil atau gagal. Kumpulan Artikel Psikologi Anak, h.
98
Berbagai budaya di belahan dunia masih menggunakan simbol dan upacara adat untuk
merayakan fertilitas ataupun keberhasilan pasangan dalam memperoleh keturunan. Salah
satu upacara yang masih bertahan sampai saat ini ialah adat istiadat melempar beras ke
arah pengantin pria dan wanita. Ada juga yang memberikan rokok, permen ataupun
pensil sebagai ucapan selamat kepada pria yang baru menjadi ayah sebagai antisipasi
kelahiran anak.
Banyak budaya yang masih menjamur terutama ditengah-tengah masyarakat kita yang
menyatakan bahwa suatu ketidaksuburan itu merupakan tanggung jawab wanita.
Ketidakmampuan wanita untuk mengandung dihubungkan dengan dosa-dosanya, roh
setan atau fakta yang menyatakan bahwa wanita itu tidak adekuat ataupun sempurna
( Bobak dkk, 2005 : 997 ).
3.2 Bayi Tabung Ditinjau dari Islam
3.2.1 Definisi Bayi Tabung Ditinjau dari Islam
Istilah bayi tabung (tube baby) dalam bahasa kedokteran dikenal dengan sebutan “In
Vitro Fertilization and Embryo Transfer” (IVF-ET) atau dalam khazanah hukum Islam
dikenal dengan “Thifl al-Anâbîb” atau “Athfâl al-Anbûbah”.
3.2.2 Hukum Penggunaan Teknologi Reproduksi Manusia
Bagi seorang hadhinah (pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang di asuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang
memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja
maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah-nya. Adapun syarat-syaratnya itu
adalah (Subkhan, 2009) :
1) Berakal sehat
2) Dewasa (baligh)
3) Mampu mendidik
4) Amanah dan berbudi
5) Islam
6) Keadaan wanita (ibu) belum kawin
7) Merdeka
Sebagian ahli Fiqh berpendapat bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah
apabila dilaksanakan oleh kedua orang tuanya yang masih terikat oleh tali perkawinan.
Apabila kedua orang tuanya sudah bercerai maka dikembalikan pada peraturan yang ada
(Subkhan, 2009).
Tugas mengasuh lebih diutamakan pada ibunya sampai anak itu mumayyiz. Setelah
anak mumayyiz maka anak tersebut diserahkan kepada pihak yang lebih mampu, baik dari
segi ekonomi maupun dari segi pendidikan diantara keduanya. Jikalau keduanya mempunyai
kemampuan yang sama maka anak itu diberi hak untuk memilih yang mana di antara kedua,
ayah dan ibunya yang ia sukai untuk tinggal bersama. Apabila orang yang menempati urutan
terdahulu terdapat suatu halangan yang mencegahnya dari hak hadhanah, maka hak tersebut
berpindah kepada orang yang menempati urutan berikutnya (Subkhan, 2009).
Seperti yang ditulis dalam Mugniyyah MJ, menurut Ulama Syafi’iyyah urutan orang
yang berhak hadhanah adalah ibu, kemudian ibunya ibu, apabila tidak ada, dengan syarat ada
hubungan waris, kemudian bapak, kemudian ibunya bapak, apabila tidak ada dengan syarat
ada hubungan waris kemudian kerabat dekat dari arah perempuan, kemudian kerabat dekat
dari arah laki-laki (Subkhan, 2009)
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyyah adalah pindahnya hak hadhanah dari ibu
kepada ibunya ibu, kemudian ibunya bapak, kemudian saudara perempuan sekandung,
kemudian saudara perempuan seibu, kemudian saudara perempuan sebapak, kemudian anak
perempuan saudara perempuan sekandung, kemudian anak perempuan saudara perempuan
seibu demikian itu hingga sampai kepada bibi (darah ibu) dan bibi (dari ayah) (Subkhan,
2009).
Dan menurut Ulama Malikiyyah pindahnya (hak hadhanah) dari ibu kepada ibunya
ibu, jika tidak ada kemudian bibi dari ibu sekandung kemudian bibi dari ibu yang seibu,
kemudian bibinya ibu (dari arah ibu), kemudian bibinya ibu (dari ayah), kemudian ibu ibunya
bapak, kemudian ibunya bapaknya bapak dan seterusnya (Subkhan, 2009).
Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa urutan yang berhak hadhanah
ini dianjurkan adalah seorang ibu atau wanita. Hal ini dapat diartikan bahwa memang di
dalam diri seorang ibu atau wanita memiliki sifat-sifat tertentu yang umumnya tidak dimiliki
oleh ayah ataupun laki-laki seperti perasa, halus, lembut dan penuh kasih sayang.
3.2.3 Alasan Bolehnya Bayi Tabung
Penanaman iman kepada Allah harus dilakukan sejak anak masih kecil, bahkan
sebenarnya tugas orang tua dalam menanamkan keimanan sudah dilakukan ketika memilih
pasangan hidup, menikah secara Islam, etika hubungan suami istri mengikuti cara-cara yang
dicontohkan Rasulullah SAW (Muhyani, 2012).
Tanggung jawab orang tua pada pendidikan anak dimulai ketika anak baru lahir. Nabi
Muhammad SAW sangat menganjurkan pada orang tua untuk melaksanakan kegiatan yang
berkenaan dengan kelahiran bayi. Kegiatan-kegiatan ini adalah (Mahmud dkk, 2013) :
1) Menyambut dengan berita gembira
Islam mengajarkan agar anak yang baru dilahirkan disambut dengan gembira, juga
dianjurkan agar menggembirakan dan membahagiakan seseorang yang melahirkan anak. Hal
ini dimaksudkan untuk membangun dan menguatkan ikatan persaudaraan di antara sesama
muslim. Selain itu, dianjurkan untuk mendoakan ibu dan bayinya.
2) Membisikkan adzan dan iqamah di telinga bayi
Salah satu bentuk pendidikan awal bagi anak adalah membacakan adzan pada telinga
sebelah kanan dan iqamah pada telinga sebelah kiri ketika lahir. Berdasarkan kesepakatan
para ulama, bahwa mengumandangkan adzan dan iqamah pada saat bayi lahir ke dunia
hukumnya adalah sunnah. Keutamaan lainnya dari pelaksanaan ini adalah agar apa yang
pertama-tama menembus pendengaran manusia adalah kalimat-kalimat seruan Yang Maha
Tinggi, yang mengandung kebesaran Tuhan dan syahadat.
3) Tahnik
Tahnik adalah memamah kurma, kemudian memasukkan ke mulut bayi. Hal ini
dilakukan untuk melatih anak makan dan minum.
4) Tasmiyah
Memberi nama yang baik pada anak adalah hal yang sangat penting. Nama yang
diberikan membuat pengaruh yang amat besar bagi orang yang diberi nama itu karena secara
tidak langsung nama merupakan doa bagi anak.
5) Akikah
Kata Akikah secara etimologis berasal dari kata aqqa memiliki makna membelah atau
memotong. Sedangkan dalam pengertian terminologis adalah binatang yang disembelih pada
hari ketujuh dari hari kelahiran anak, akan tetapi jika tidak dapat boleh juga disembelih
beberapa hari setelah hari itu, asal anak belum sampai baligh. Untuk anak laki-laki
hendaknya disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan satu ekor
kambing.
Hikmah dari pelaksanaan akikah adalah merupakan kurban yang dapat mendekatkan
anak kepada Allah swt, mengokohkan tali persaudaraan, sarana yang dapat menghapus
kemiskinan di masyarakat.
6) Mencukur rambut bayi
Nasih Ulwan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim, mengatakan bahwa cukuran rambut
anak yang baru dilahirkan mengandung hikmah higienis, karena mencukur rambut anak akan
memperkuat anak itu, membuka selaput kulit kepala, dan mempertajam indera penglihatan,
penciuman dan pendengaran. Selain itu bernilai sosial karena bersedekah dengan emas
sebanyak berat timbangan rambut anak
7) Menyusui
Islam memerintahkan agar anak-anak disusui secara langsung oleh ibunya sendiri
dengan memberikan ASI. Karena ASI dianggap sebagai makanan yang lengkap bagi anak,
yang memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan.
8) Khitan
Kata khitan secara etimologis berasal dari kata khatana yang berarti memotong.
Sedangkan secara terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf) yang
menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari najis.
Nasih Ulwan mendeskripsikan tentang tanggung jawab orang tua dalam pendidikan
anak menjadi (Mahmud dkk, 2013) :
1) Tanggung jawab pendidikan iman
Tanggung jawab pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar
keimanan sejak anak mampu berkomunikasi, membiasakannya dengan rukun Islam sejak
anak memahami, dan mengajarkan kepada anak dengan dasar-dasar syariah.
Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa dalam rangka untuk menumbuhkan
kesadaran beragama, hendaklah didasarkan kepada wasiat-wasiat Rasulullah SAW dan
petunjuknya seperti (Muhyani, 2012) :
a. Awali dengan kalimat La Ilaha Illallah
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda :
“Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan La Ilaha Illallah (tidak ada
Tuhan selain Allah)”
Rahasianya adalah agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang
pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat yang pertama diucapkan oleh lisannya
dan lafal pertama yang dipahami anak.
b. Mengenalkan hukum-hukum halal dan haram kepada anak sejak dini
Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata :
“Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta
suruhlah anak-anak kamu untuk mentaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-
larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka”
Rahasianya adalah agar ketika akan membukakan kedua matanya dan tumbuh besar,
ia telah mengenal perintah-perintah Allah, sehingga ia bersegera untuk melaksanakannya.
c. Menyuruh anak untuk beribadah ketika sudah memasuki usia 7 tahun
Al-Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Amr bin Al-Ash r.a dari
Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda :
“Perintahkan anak-anakmu menjalankan ibadah shalat jika mereka sudah berusia tujuh
tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau
melaksanakannya dan pisahkan tempat tidur mereka”
Dalam kaitannya dengan kesadaran religius dalam Islam ajaran yang paling utama
adalah bagaimana anak sadar melaksanakan ibadah terutama shalat, Allah berfirman :
Artinya : “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (Q.S Taha (20) : 132)
Pada ayat di atas Allah memerintahkan pada orang tua untuk mengajak anak-anaknya
mendirikan shalat dan perlu disadari oleh orang tua bahwa masa kanak-kanak bukanlah masa
taklif (pembebanan syariat), melainkan masa persiapan, pelatihan dan pembiasaan untuk
sampai kepada masa taklif ketika mereka sampai pada usia baligh, sehingga pada masa baligh
mereka sudah memiliki kesadaran religius dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agama
mereka.
d. Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca Al-Quran
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ali r.a bahwa Nabi SAW bersabda :
“Didiklah anak-anakmu pada tiga hal : mencintai Nabi kamu, mencintai keluarganya dan
membaca Al-Quran. Sebab orang-orang yang ahli Al-Quran itu berada dalam lingkungan
singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain daripada perlindungan-Nya
beserta para Nabi-Nya dan orang-orang yang suci”
Hadits di atas mengisyaratkan agar anak mampu meneladani perjalanan hidup orang-
orang dahulu, baik mengenai gerakan, kepahlawanan maupun jihad mereka, agar mereka juga
memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan maupun kejayaannya, dan juga agar mereka
terkait dengan Al-Quran baik semangat, metode maupun bacaan.
2) Tanggung jawab pendidikan akhlak
Tanggung jawab pendidikan akhlak adalah serangkaian prinsip dasar moral dan
keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak
yang merupakan buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan yang benar
sejak masa pemula hingga ia menjadi mukalaf, yaitu siap mengarungi lautan kehidupan
(Muhyani, 2012).
3) Tanggung jawab pendidikan jasmani
Tanggung jawab pendidikan jasmani adalah agar anak-anak tumbuh dewasa dengan
kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Termasuk dalam menyediakan
makanan dan minuman yang sehat dan halal, menyediakan pakaian yang sesuai dengan
syariat Islam, menyediakan tempat tinggal yang baik, dan lain sebagainya (Muhyani, 2012).
4) Tanggung jawab pendidikan psikis
Tanggung jawab pendidikan psikis adalah untuk mendidik anak semenjak mulai
mengerti supaya bersikap berani, terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan
amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak serta
terhindar dari sifat-sifat buruk (Muhyani, 2012).
5) Tanggung jawab pendidikan sosial
Tanggung jawab pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa
menjalankan perilaku sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber
pada akidah Islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar ditengah-tengah
masyaraat nanti ia mampu bergaul dan berperilaku sosial yang baik, memiliki keseimbangan
akal yang matang dan tindakan yang bijaksana (Muhyani, 2012).
6) Tanggung jawab pendidikan intelektual
Tanggung jawab pendidikan intelektual adalah membentuk pola pikir anak dengan
segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan, dan peradaban
(Muhyani, 2012).
3.2.4 Keterlibatan Donor
3.2.5 Fatwa Ulama Indonesia tentang Bayi Tabung
3.3 Tinjauan Islam mengenai Pengaruh Pengasuhan Orang Tua terhadap Volume
Hipokampus Anak
Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Orang tua terutama ibu merupakan
pendidik pertama dan utama bagi anak dalam membentuk pribadinya. Sedangkan ayah
mempengaruhi anaknya melalui sifatnya yang mengembangkan kepribadian, menanamkan
disiplin, memberikan arahan dan dorongan serta bimbingan agar anak tambah berani dalam
menghadapi kehidupan. Apabila anak tumbuh dalam atmosfir yang baik (keluarganya)
memperoleh bimbingan, arahan, dan adanya saling menyayangi antar anggota keluarga, maka
anak akan tumbuh seperti apa yang ia lihat dan ia dengar dari semua perilaku orang-orang
disekitarnya. Melihat pentingnya peran keluarga, maka wajib bagi setiap kaum muslimin
untuk membangun keluarga atas dasar kebenaran, keadilan, kasih sayang, tolong menolong,
dan saling hormat menghormati yang dibangun berdasarkan iman (Muhyani, 2012).
Berbagai stimulasi yang diberikan oleh orang tua kepada anak akan menentukan
kualitas ikatan emosionalnya. Al-Quran menggambarkan pentingnya hubungan ibu dan anak
pada tahun-tahun pertama kelahiran, terutama melalui pemberian ASI. Tetapi menurut Islam,
tanggung jawab pemberian stimulasi tidak harus sepenuhnya dibebankan pada ibunya.
Tanggung jawab ini dapat dibagi dengan ayahnya, atau dengan orang lain yang mau
membantu proses pengasuhan anak (Hasan, 2006). Seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran :
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah (2) : 233)
Anak yang kurang mengalami perhatian sosial atau bahkan mengalami kekerasan dari
figur ibu (maternal deprivation), dapat berkembang menjadi seseorang yang penyendiri dan
apatis. Anak bahkan dapat mengalami kekurangan perkembangan intelektual, masalah
perilaku dan gangguan ikatan reaktif (reactive attachment disorder) (Hasan, 2006).
Selain itu keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik,
atau gap communication, juga dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental
(mental illness) bagi anak. Oleh karena itu pengasuhan yang dipraktekkan oleh orang tua
dalam keluarga diasumsikan sebagai sumber belajar dan perkembangan anak (Muhyani,
2012).
Dalam hal ini stimulasi positif khususnya yang berasal dari keluarga bersifat penting
karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa orang-orang yang berakal adalah
orang-orang yang memadukan fungsi antara pikiran (korteks) dan perasaan (sistem limbik)
secara maksimum. Peran hipokampus yang merupakan salah satu dari sistem limbik sebagai
pusat memori akan menyimpan kesimpulan proses-proses rasional yang terjadi di korteks.
Proses berpikir lewat penglihatan dan pendengaran yang terjadi di korteks pun bakal masuk
dan tersimpan di hipokampus (Anonim-B, 2013). Dalam proses ini jika stimulasi yang
diberikan buruk maka nantinya pasti akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan
akal anak.
Penelitian tentang anak yatim di panti asuhan yang memiliki program pengasuhan
yang baik, menunjukkan bahwa anak-anak yatim tersebut tidak mengalami maternal
deprivation selama pengasuh-pengasuh pada panti asuhan tersebut memberikan stimulasi
yang dibutuhkan untuk anak, baik fisik maupun emosional (Hasan, 2006).
Sedangkan penelitian sebelumnya yang telah dimulai semenjak tahun 1950an
menunjukkan perawatan anak yang buruk saat anak dirawat dipanti asuhan menunjukkan
akibat yang kurang baik dan bersifat jangka panjang pada perkembangan kognitif, emosi dan
sosial dari seorang anak (Dalimunthe, 2009)
Selain itu, pengalaman traumatis anak mengalami penelantaran dan juga pegasuhan
yang salah sering ditemukan sebagai prediktor munculnya problem psikologis lain di masa
depan, seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks berisiko (Margaretha dkk,
2013). Untuk itu, tak salah jika ada yang berpendapat bahwa keluarga merupakan faktor
utama dalam membentuk anak yang sehat secara mental.