bab iv tanggung jawab gereja dalam pendidikan …repository.uksw.edu › bitstream ›...

29
BAB IV TANGGUNG JAWAB GEREJA DALAM PENDIDIKAN ORANG DEWASA DAN PENDIDIKAN BAGI PERKEMBANGAN KELUARGA MUDA DI GKJ MANAHAN KLASIS KARTASURA Untuk menjawab pertanyaan bagaimana tanggung jawab gereja dalam pendidikan keluarga muda yang dilaksanakan di gereja Kristen jawa Manahan Klasis Kartasura maka diperlukan analisa. Analisa tersebut dilakukan dengan menilai hasil penelitian pada bab III dengan menggunakan barometer teori yang dipaparkan pada bab II tentang Pendidikan Agama Kristen Untuk Dewasa dan mengenai teori perkembangan usia dewasa muda. Oleh karena itu, dalam bab ini analisa akan diuraikan sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas. IV.1. Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan Sesuai dengan tugas panggilan gereja yang terdapat dalam Tata Gereja GKJ 1 mulai pasal 38 tentang Tugas Pemeliharaan Keselamatan “Salah satu tugas panggilan Gereja sebagai buah dan sekaligus alat keselamatan Allah yang berpusat di dalam diri Yesus Kristus atas manusia adalah pemeliharaan keselamatan” Dalam pasal 39 tentang Hakikat Pemeliharaan Keselamatan “Hakikat pemeliharaan keselamatan adalah segala upaya Gereja melaksanakan perintah Tuhan Yesus Kristus untuk menggembalakan orang-orang yang telah menerima keselamatan” 1 Sinode GKJ, Himpunan PPA GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ , Peraturan Pembimbingan dan ujian Calon Pendeta dan peraturan Kesejahteraan Pendeta dan Karyawan, Salatiga, 2005, 126-127

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB IV

    TANGGUNG JAWAB GEREJA

    DALAM PENDIDIKAN ORANG DEWASA DAN

    PENDIDIKAN BAGI PERKEMBANGAN KELUARGA MUDA

    DI GKJ MANAHAN KLASIS KARTASURA

    Untuk menjawab pertanyaan bagaimana tanggung jawab gereja dalam

    pendidikan keluarga muda yang dilaksanakan di gereja Kristen jawa Manahan

    Klasis Kartasura maka diperlukan analisa. Analisa tersebut dilakukan dengan

    menilai hasil penelitian pada bab III dengan menggunakan barometer teori yang

    dipaparkan pada bab II tentang Pendidikan Agama Kristen Untuk Dewasa dan

    mengenai teori perkembangan usia dewasa muda. Oleh karena itu, dalam bab ini

    analisa akan diuraikan sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas.

    IV.1. Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan

    Sesuai dengan tugas panggilan gereja yang terdapat dalam Tata Gereja GKJ1

    mulai pasal 38 tentang Tugas Pemeliharaan Keselamatan

    “Salah satu tugas panggilan Gereja sebagai buah dan sekaligus

    alat keselamatan Allah yang berpusat di dalam diri Yesus Kristus

    atas manusia adalah pemeliharaan keselamatan”

    Dalam pasal 39 tentang Hakikat Pemeliharaan Keselamatan

    “Hakikat pemeliharaan keselamatan adalah segala upaya Gereja

    melaksanakan perintah Tuhan Yesus Kristus untuk menggembalakan

    orang-orang yang telah menerima keselamatan”

    1 Sinode GKJ, Himpunan PPA GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ , Peraturan Pembimbingan dan ujian Calon Pendeta dan peraturan Kesejahteraan Pendeta dan Karyawan, Salatiga, 2005, 126-127

  • Dalam pasal 40 tentang Tujuan Pemeliharaan Keselamatan

    “Tujuan pemeliharaan keselamatan adalah upaya Gereja

    melaksanakan penggembalaan warga gereja, agar dalam perjalanan

    hidupnya yang penuh dengan pencobaan dapat mencapai

    keselamatan yang sempurna yaitu persekutuan dengan Allah dalam

    kemuliaan-Nya di sorga.”

    Jadi tugas pemeliharaan keselamatan itu adalah upaya gereja dalam

    melaksanakan perintah Tuhan Yesus untuk menggembalakan warga gereja,

    agar dalam perjalanan hidupnya dapat mencapai keselamatan sempurna.

    Tentunya, untuk melakukan tugas penggembalaan dengan baik perlu

    dipikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan atau pendidikan yang

    terstruktur, sistematis dan berkesinambungan. Selaras dengan itu dalam

    Kolose 11:28, bahwa gereja harus menolong jemaat untuk bertumbuh

    kearah kedewasaan dalam Kristus. Demikian pula dalam Efesus 4:12-13,

    gereja harus melayani jemaat agar pembangunan Tubuh Kristus terlaksana

    seperti apa yang dikehendaki Tuhan.

    GKJ Manahan telah berusaha melaksanakan tugas tersebut dengan

    jalan membuat Rencana Strategis Gereja tahun 2012-2016. Langkah

    pertama yang dilakukan adalah dengan menetapkan visi dan

    menjabarkannya kedalam beberapa misi yang bertujuan mendorong jemaat

    bertumbuh dewasa dalam iman dan kasih. Sedangkan untuk menjalankan

    misi tersebut telah dibuat pula tema-tema tahunan termasuk didalamnya

    setiap program yang dibuat oleh komisi. Tidak hanya itu, melalui rentra

    yang ada, majelis gereja memperbaharui struktur gereja pada tahun 2015

  • dengan melihat kebutuhan warga gereja dengan harapan semua komponen

    gereja tumbuh dan dapat dirasakan kehadirannya ditengah masyarakat.

    Secara umum, tanggung jawab gereja dalam mendidik warga gereja

    telah terlaksana dengan baik melalui program-program yang dilakukan oleh

    komisi-komisi yang ada, seperti dalam bentuk ibadah, liturgi, pembinaan

    secara insidental dan kategorial. Program yang disusun tidak hanya bersifat

    rutin, namun juga bersifat pembinaan dan mengembangkan jejaring dengan

    mempertimbangkan minat, bakat dan kemampuan warga gereja untuk ambil

    bagian dalam tanggung jawab gereja.

    Namun demikian, untuk program pembinaan atau pendidikan kepada

    warga dewasa belum maksimal dijalankan oleh Majelis Gereja. Belum

    maksimalnya tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa

    khususnya kepada warga dewasa muda disebabkan oleh beberapa faktor:

    1. Gereja sebagai organisasi belum dapat menjalankan tata organisasinya

    secara “luwes” (Fleksibel), tetapi masih sebagai organisasi yang beku

    dan kaku. Berdasarkan pada sistem pemerintahan yang digunakan oleh

    GKJ yang presbiterial sinodal yang memungkinkan setiap presbyteros

    untuk mengatur dan melaksanakan tugas pelayanan berdasarkan

    kebutuhan jemaat setempat tanpa meninggalkan asas kebersamaan

    ditingkat Klasikal maupun Sinodal. Selain itu dengan sistem

    pemerintahan ini dimungkinkan keterlibatan warga jemaat yang

    sebesar-besarnya untuk memenuhi panggilan pelayanan. Maka, dalam

    persekutuan warga gereja, fleksibilitas sangat perlu ditonjolkan.

  • Artinya, program dan kegiatan serta pokok bahasan tidak dijadwalkan

    kaku. Bahkan, bagi sebagian jemaat, hal itu lebih banyak bergantung

    pada pimpinan Roh Kudus.2 Namun dalam kenyataannya tidak

    demikian, dalam hal pembuatan program, pengambilan keputusan,

    penggunaan anggaran yang bersifat mendesak, masih harus berhadapan

    dengan tatanan birokrasi yang kaku. Konsekuensi dari sistem

    presbiterial sinodal adalah semua keputusan yang menyangkut hal

    ”prinsip” harus melalui persidangan Gerejawi terlebih dahulu baru

    diberlakukan. Hal ini berlaku juga pada hal-hal yang tidak “prinsip”

    seperti penggunaan anggaran yang tidak terlalu banyak, penanganan

    terhadap kegiatan yang diprogramkan dan barangkali perlu ada

    perubahan dan penambahan oleh komisi, harus selalu dikonsultasikan

    kepada Majelis dalam sidang Majelis Gereja. Akibatnya, mekanisme

    mengambil kebijakan terlalu lama dan lemah.

    2. Sumber Daya Manusia (SDM) majelis gereja kurang memadai.

    Seringkali terdengar ungkapan di kalangan warga gereja “Yang mau

    menjadi majelis gereja bukan orang-orang yang mampu tetapi hanya

    orang-orang yang penting mau”. Ungkapan ini hampir benar adanya,

    kebanyakan mereka yang menjadi majelis gereja umumnya adalah

    orang-orang yang sudah mulai memasuki usia senja (usia pensiun),

    orang yang berpendidikan rendah, orang yang bekerja serabutan.

    Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan

    2 Sidjabat, op.cit., 29

  • baik, orang-orang usia produktif masih belum mau terlibat untuk

    melayani gereja dengan alasan kesibukan di dunia kerja. Selain itu,

    jangka waktu jabatan Majelis gereja ditentukan oleh periodisasi,

    sehingga jika waktu pelayanan selesai maka akan digantikan dengan

    orang baru yang harus beradaptasi kembali terhadap kegiatan, pola

    pelayanan dan program gereja yang sedang dikembangkan. Sistem yang

    dibangun di gereja sampai saat ini belum sepenuhnya dilihat sebagai

    aturan yang harus dipatuhi dan disepakati oleh siapapun sekalipun harus

    berganti orang.

    3. Pemahaman Majelis Gereja tentang pembinaan atau pendidikan warga

    gereja yang berhubungan dengan PAK dan khususnya PAK dewasa

    pada umumnya masih kurang. Beberapa pemahaman tersebut

    diantaranya PAK adalah metode pengajaran yang hanya cocok

    diterapkan di sekolah-sekolah tidak digereja, sehingga gereja tidak

    perlu menerapkan PAK di gereja; jika dilakukan pembinaan kepada

    orang dewasa dianggap sama metodenya dengan pembinaan usia

    lainnya. Sehingga dari dua pemahaman tersebut, dapat dipahami jika

    pendidikan yang dijalankan terkesan seadanya, tanpa ada upaya untuk

    mengembangkan sesuai dengan prinsip pendidikan bagi orang dewasa.

    Pendidikan kepada warga dewasa berbeda sama sekali, karena orang

    dewasa berbeda dalam banyak hal dengan anak-anak. Seharusnya

    pendidikan orang dewasa dalam konteks gereja berlangsung dalam

  • berbagai dimensi, bentuk atau pendekatan namun tidak demikian yang

    terjadi.

    4. Terdapat paradigma yang masih kuat baik dikalangan Majelis Gereja,

    pengurus komisi maupun sebagian besar warga gereja, bahwa

    pelayanan yang dilakukan cukup untuk membangun iman, hal ini lebih

    penting daripada yang lain. Sehingga majelis gereja lebih terfokus pada

    melayani jemaat dengan tujuan tersebut sehingga kecenderungan

    memisahkan yang teologi dan yang non teologi cukup besar. Padahal

    dengan perubahan yang cukup pesat sekarang ini, pembinaan iman

    perlu dilengkapi dengan pembinaan yang berkaitan dengan kebutuhan,

    tanggung jawab dan masalah yang sedang dihadapi, sehingga iman pun

    mampu menjawab tantangan yang terjadi setiap hari.

    5. Dalam bidang PWG terdapat KWD yang dibentuk oleh Sinode GKJ

    dalam keputusan sidang Sinode GKJ XXI tahun 1994. Pemahaman Para

    Pendeta dan Majelis Gereja tentang latar belakang dan tujuan

    pembentukan KWD yang dibentuk oleh Sinode masih kurang.

    Keputusan Sinode untuk mengganti Komisi Wanita Jemaat (KWJ)

    menjadi KWD didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu pertama,

    peningkatan pemahaman dan perwujudan Kemitraan Pria-Wanita dan

    yang kedua, peningkatan kualitas pembinaan pria-wanita dan yang

    ketiga, jika dihubungkan dengan pembinaan kategorial terjadi

    kehilangan satu masa pertumbuhan manusia yang harus dibina.

    Seharusnya setelah membina kaum muda dilanjutkan ke warga dewasa

  • setelah itu baru warga usia lanjut. Namun dalam kurun waktu yang

    cukup lama, justru kaum perempuan yang lebih nyata keberadaannya,

    sedangkan kaum laki-laki tidak terlibat dalam kegiatan gereja dalam

    kegiatan orang dewasa. Lebih memprihatinkan lagi seperti yang

    ditegaskan oleh Deputat Sinode GKJ XXI, Pdt. Retno Ratih3, kegiatan-

    kegiatan yang dilakukan oleh KWJ hanya mengadaptasi kegiatan

    Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Sayangnya, setelah ada

    perubahan dari KWJ menjadi KWD, nuansa kegiatannya tetap sama

    sebagai KWJ termasuk personalia pengurus KWD masih di dominasi

    oleh kaum wanita dan bahkan para warga lanjut usia. Termasuk

    didalamnya program-program yang direncanakan.

    6. Dalam setiap program yang direncanakan oleh PWG khususnya di

    Komisi Warga Dewasa belum sepenuhnya melibatkan orang dewasa.

    Padahal orang dewasa harus mempunyai bagian yang kuat dalam

    menentukan tema program atau keseluruhan PAK Dewasa.4 Seandainya

    program tersusun, namun materi yang berhubungan dengan PAK

    Dewasa kurang dipersiapkan dengan baik dan bertanggung jawab.

    Bahkan Akibatnya, persekutuan yang telah dibentuk dengan banyak

    anggota diawal perjumpaan, lama-kelamaan semakin menyusut.

    7. Paradigma tentang orang dewasa tidak lagi memerlukan pendidikan,

    tidak hanya jamak ditemui dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga

    terjadi ditengah jemaat. Program-program yang disusun lebih banyak 3 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB 4 Nuhamara, Daniel, op.cit., 38

  • bersifat monolog (seperti: kebaktian padang, persekutuan, kebaktian

    kebangunan rohani, ibadah alternatif, dsb) daripada yang dialog.

    (seperti:sarasehan, ceramah, pelatihan, dsb).

    8. Setiap pembuatan program gereja tidak disertai hasil dari evaluasi

    program-program sebelumnya. Evaluasi yang dimaksud bukan hanya

    berkaitan dengan terlaksananya program tersebut atau tidak, tidak

    hanya dilihat dari jumlah kehadiran warga gereja, tidak hanya dari

    keterserapan dana yang diberikan oleh Majelis gereja, namun yang

    lebih penting adalah mengetahui kebutuhan yang sesuai dan mengetahui

    pertumbuhan warga gereja dalam kedewasaan iman dan tanggung

    jawabnya.

    9. Warga GKJ Manahan khususnya bagi keluarga muda cenderung tidak

    lagi tinggal di wilayah pembagian kelompok pelayanan yang sudah ada.

    Tempat tinggal mereka cenderung di pinggiran wilayah kota solo.

    Tempat tinggal yang jauh tersebut hampir sebagian besar bukan karena

    keinginan pribadi tetapi karena beberapa faktor seperti hunian di kota

    solo sudah semakin padat, harga perumahan diluar kota solo yang jauh

    lebih murah, pekerjaan, mengikuti suami. Sehingga dengan kondisi

    yang demikian, Majelis Gereja mengalami kesulitan untuk memberikan

    pelayanan yang maksimal dan kesulitan untuk mengadakan kegiatan

    secara rutin karena jangkauan yang cukup luas.

    Gereja adalah ladang yang subur bagi pengembangan kehidupan iman,

    spiritual dan sumber daya manusia. Sebagai ladang, gereja mempunyai

  • peran besar mengupayakan diri untuk menjadi tempat bertumbuhnya

    kehidupan jemaat secara maksimal dan utuh. Dalam kaitannya dengan

    pendidikan iman Kristen, tugas mendidik warga gereja adalah bagian yang

    sentral dalam menjalankan panggilan Tuhan. Ruang lingkup PAK

    mencakup semua bentuk pelayanan pendidikan dan/atau pembinaan Kristen

    untuk semua lapisan usia yang menjadi tanggung jawab dan

    diselenggarakan oleh gereja secara teratur, bertujuan, dan terus menerus.5

    Demikian pula hal itu berlaku bagi PAK Dewasa di gereja.

    Oleh karenanya, Pendidikan Warga Gereja sangat penting

    dilakukan sebagai sarana menumbuhkan dan memperlengkapi jemaat agar

    gereja secara kesatuan bertumbuh ke arah kedewasaan dalam Kristus dan

    pembangunan tubuh Kristus tercapai sesuai dengan panggilan gereja.

    Selain itu menolong warga gereja menjalankan panggilannya dalam

    keseimbangan antara membangun jemaat dan melayani masyarakat.6

    Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”, Mitra Membina

    Gereja, mengatakan bahwa setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah

    untuk melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam

    tindakan sosial yang bermanfaat dan dengan demikian

    mengkomunikasikan kekuasaan Injil7 Artinya bahwa pengajaran ini

    mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosial dan eklesiologis yang

    5 Borrong, Robert P., dkk (Ed), Berakar didalam Dia dan Dibangun diatas Dia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 108 6 Institut Oikumene Indonesia, Pembinaan Warga Gereja Memasuki Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 94 7 Andar Ismail, Awam dan Pendeta : Mitra Membina Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 3.

  • mendalam. Secara sosial, tidak ada perbedaan mendasar antara orang-

    orang Kristen yang saleh dan sekuler, antara orang awam dan rohaniwan.

    Semua mempunyai kewajiban yang sama untuk menerima panggilan

    Tuhan. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang dibangun terus

    menerus di dalam kehidupan orang-orang percaya untuk mewujudkan

    panggilannya bagi dunia. Kerjasama yang dibangun terus menerus dalam

    konteks pendidikan warga gereja dewasa hendaknya mempertimbangkan

    keterlibatan orang dewasa dalam merencanakan, menjalankan dan

    mengevaluasi kegiatan yang dilakukan secara bersama.

    Oleh karena itu perlu dipikirkan, direncanakan, dikembangkan

    bahkan jika perlu ada perubahan, supaya tanggung jawab gereja terhadap

    pendidikan dapat dilakukan dengan baik. Beberapa hal dibawah ini bisa

    menjadi pertimbangan majelis gereja dalam melakukan tanggung jawab

    pendidikan kepada warga gereja yang berusia dewasa:

    1. Sistem pemerintahan Gereja yang presbiterial Sinodal dengan

    memungkinkan keterlibatan semua warga gereja hendaknya dapat

    diterjemahkan dengan baik pada level pemangku jabatan bersama

    dengan warga jemaat pada umumnya. Kalau sistem presbiterial-

    sinodal tersebut dapat ditempatkan sebagai sarana untuk pembinaan

    gereja dengan melibatkan warga gereja maka dalam penerapan struktur

    gereja dan birokrasi yang kaku perlu diperbaharui. Barangkali gereja

    perlu belajar tentang wacana Gereja Diaspora yang pernah

    dikemukakan oleh Romo Mangun. Seperti diingatkan oleh Romo

  • Mangun, kita perlu menyadari bahwa saat ini warga gereja dihadapkan

    pada situasi diaspora. Istilah diaspora yang dipakai oleh Romo

    Mangunwijaya adalah benih-benih yang serba tersebar, terpencar.

    Tidak kompak dalam satu tempat.8 Tidak terisolasi dan terkonsentrasi

    dalam satu wilayah tertutup yang padat. Kehidupan umat yang

    tersebar, tidak saja secara geografis, tetapi terutama juga secara

    psikologis dan kultural. Maka, struktur organisasi Gereja yang kaku,

    birokratis, dan hirarkis, perlu disempurnakan, diperbaharui, dan

    disegarkan dengan pola kehidupan baru. Dalam hal ini, Romo Mangun

    membicarakan Gereja sebagai organisme, untuk mengganti struktur

    organisasi yang beku, sistem jaringan yang melengkapi sistem hirarkis

    dan sebagainya agar kebutuhan pelayanan rohani dapat dipenuhi sesuai

    dengan tuntutan zaman.9 Selain itu pelayanan teritorial-tradisional

    perlu dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora.

    Karena itu, para pemangku jabatan gereja hendaknya juga memahami

    dan memaklumi, seandainya ada umat yang tidak bisa aktif dalam

    aneka kegiatan gereja maupun kelompok karena “kediasporaan”-nya.

    Di lain pihak, para pemangku jabatan sebagai pribadi kiranya juga

    perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala diaspora” bagi sahabat-

    kenalan dari lain lingkungan dan gereja. Namun, Romo Mangun

    berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk

    lingkungan) ini tetaplah perlu karena hal ini justru menggambarkan 8 Mangunwijaya, Y.B., Gereja Diaspora, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 27 9 Sudiarja, A.(Ed.), Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 21

  • kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada beberapa sektor

    yang tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan

    remaja, dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo. Dalam hal

    ini, Romo Mangunwijaya hendak mengajak gereja khususnya katolik

    dan umumnya (barangkali) bisa digunakan di gereja protestan yang

    menghadapi tantangan yang sama yaitu terseraknya (diaspora) warga

    gereja di kota-kota besar. GKJ Manahan menghadapi tantangan

    tersebut, seperti yang tertulis dalam bab sebelumnya, banyak diantara

    jemaat yang usia produktif tersebar kemana-mana baik karena tempat

    tinggal ataupun pekerjaan. Oleh karenanya, pendidikan kepada warga

    gereja perlu mempertimbangkan pembinaan kategorial yang diaspora,

    dengan jalan membuat program kegiatan yang dapat menjangkau

    warga gereja yang telah terserak kemana-mana. Program kegiatan

    tersebut dapat dijalankan secara fleksibel tanpa harus terpusat di gereja

    dan dengan suasana yang kaku. Metodologinya harus berubah

    menyesuaikan diri, tetapi tetap mempertahankan identitas diri dan

    aturan yang sudah disepakati bersama. Mengambil elemen gereja

    jaringan yang ditawarkan oleh Romo Mangun yaitu membangun

    komunikasi akrab non formal, suasana kekeluargaan, keguyuban,

    susunan kerja sama yang melewati jalan lorong yang teratur, tetapi

    dengan multi-connection yang luwes, mampu mengatasi persoalan

    relevan dan aktual tanpa terhambat oleh birokrasi.10 Gereja jaringan itu

    10 Mangunwijaya, op.cit., 97

  • bhinneka, namun terkoordinasi tunggal, yang saling berdialog, baik top

    down, dari atas ke bawah maupun bottom up, dari bawah ke atas. Ia

    bahkan sebenarnya tanpa hubungan yang didominasi status atas bawah;

    atau lebih tepat, dalam bahasa sekarang, suatu kinergi dan kinerja yang

    saling melengkapi dan mendewasakan, mandiri, tetapi tidak liar

    menjadi sekte-sekte yang serba sempal.11 Secara ringkas, gereja

    khususnya GKJ Manahan dan GKJ pada umumnya perlu senantiasa

    mengembangkan model pelayanan yang tidak hanya terkungkung oleh

    struktur kaku warisan zending, tetapi selalu dapat “beradaptasi” pada

    perubahan dan kebutuhan perkembangan warga gerejanya. Sekaligus

    mempersiapkan pendamping atau pelayanan kategorial yang sudah

    tersebar atau diaspora, agar dapat menjangkau keberadaan dan

    menumbuhkan keterlibatan warga gereja dewasa.

    2. Bentuk-bentuk pendidikan orang dewasa pada level jemaat masih

    sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah para pemimpin gereja

    dalam hal ini Majelis gereja (Pendeta, Penatua dan Diaken) masih

    sangat terbatas dalam pemahamannya terhadap PAK dewasa, sehingga

    tidak dapat menyentuh aspek-aspek yang dibutuhkan oleh orang

    dewasa. Sedangkan sebab lain, karena tradisi pelayanan yang

    dikembangkan oleh gereja selama ini masih berasal dari warisan

    zending yang hanya mengutamakan soal keimanan. Jika gereja ingin

    mengembangkan pelayanan Pembinaan atau Pendidikan warga Dewasa

    11 Ibid.

  • perlu pemahaman yang jelas tentang PAK Dewasa dan

    signifikansinya.12 Signifikansi yang dimaksud adalah berkaitan

    pentingnya pendidikan orang dewasa bagi gereja, memahami orang

    dewasa sebagai agen dari pelaksanaan tugas panggilan gereja,

    karakteristik pembelajaran orang dewasa, mengantisipasi perubahan-

    perubahan yang terjadi di sekitar dan dunia, dan pentingnya memahami

    bahwa orang dewasa tetap membutuhkan pendampingan dalam

    pertumbuhan hidup dan imannya sampai mereka mengerti bagaimana

    seharusnya hidup dan memikul tanggung jawab sebagai orang dewasa.

    Fakta terbatasnya pemahaman Majelis Gereja terhadap tanggung jawab

    pendidikan warga dewasa dapat dilihat melalui Komisi Warga Dewasa

    (KWD) yang dibentuk melalui persidangan Klasis tahun 1994. KWD

    pada sisi lain adalah bukti kesadaran Sinode GKJ dalam

    memperhatikan pembinaan orang dewasa secara utuh, akan tetapi di

    sisi lain pada level jemaat lokal dan di tingkat Majelis Gereja masih

    kurang jelas apa yang dikerjakannya. Apalagi dalam sejarah

    pembentukan KWD dilatarbelakangi oleh bayang-bayang kegiatan

    wanita jemaat yang lebih responsif terhadap kegiatan “kumpul-

    kumpul” (berorganisasi) dibandingkan dengan keterlibatan para laki-

    laki. Seperti yang dikatakan oleh Pdt. Ratih Suryaning Handayani

    bahwa gereja-gereja belum benar-benar menangkap tujuan

    dibentuknya KWD di gereja, akibatnya sampai sekarang gereja belum

    12 Nuhamara, Daniel, PAK Dewasa, (Bandung : Jurnal Info Media, 2008), 18

  • dapat mengembangkan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan orang

    dewasa.13 Akibat lainnya, ketiadaan kurikulum yang dirancang khusus

    untuk membina orang-orang dewasa di gereja. Kurikulum yang

    dimaksud berkaitan dengan apapun baik materi, waktu, metode dan

    sebagainya. Sekalipun kurikulum tersebut dirancang sederhana, tetapi

    tetap mempertimbangkan kebutuhan belajar dan pertumbuhan orang

    dewasa.

    3. Orang dewasa merupakan pribadi-pribadi yang terus menerus

    mengalami perubahan. Sekalipun secara fisik orang dewasa tidak lagi

    mengalami perkembangan, dalam arti pertumbuhan, justru terjadi

    penurunan apalagi setelah berusia 40 tahun. Akan tetapi, dalam segi

    pengalaman, mereka terus berubah dalam perjalanan waktu yang

    mengikat. Setiap hari mereka berinteraksi dengan sesamanya dan

    memasuki peristiwa-peristiwa penting. Mereka pun memberi makna

    atas peristiwa yang dilihat maupun yang dialaminya.14 Melalui

    pemahaman yang demikian, Majelis gereja hendaknya mau membuka

    kemungkinan-kemungkinan model pendidikan yang dapat merubah

    paradigma gereja dalam mendidik warganya. Shared Christian praxis

    mengandung keyakinan bahwa pengalaman konkret manusia sangat

    berharga. Pengalaman orang-orang pada masa kini dapat berdialog

    dengan pengalaman atau cerita Alkitab di masa lalu. Melalui dialog

    tersebut dapat memberikan pemahaman makna pengalaman konkrit 13 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB 14 Sidjabat, op.cit., 33

  • hidup manusia melalui sudut pandang Alkitab. Pada saat yang sama,

    semakin memahami makna pesan Alkitab dalam terang pengalaman

    hidup masa kini.

    Thomas H. Groome mendefinisikan Shared Christian Praxis sebagai :

    “A partipative and dialogical pedagogy in which people reflect

    critically on their own historical agency in time and place and on

    their sociocultural reality, have access together to Christian

    Story/vision, and personally appropriate it in community with the

    creative intent of renewed praxis in Christian faoth toward God’s

    reign for all creation.”15

    Dari definisi Groome tersebut, kita dapat melihat bahwa Shared

    Christian Praxis merupakan sebuah ilmu pendidikan yang partisipatif

    dan dialogis. Partisipatif berarti melibatkan setiap orang yang ada di

    dalamnya, baik pengalaman, pemikiran, maupun refleksi kritis orang

    tersebut. Dialogis berarti terjadi dialog di dalam kegiatan tersebut baik

    antarpeserta maupun antara pengalaman masa kini dan cerita Alkitab.

    Hasil dialog tersebut, kemudian, menjadi praksis baru bagi iman

    Kristen dalam mewujudkan kerajaan Allah. Shared Christian Praxis

    adalah ilmu pendidikan untuk konasi (conation). Kata “konasi”

    merupakan istilah kuno dalam bahasa latin dan disengaja. Kata kerja

    “konasi” berarti dengan sengaja membuat sebuah usaha. Dalam

    bahasa Yunani: kinesis, artinya gerakan, dan kinoun yang berarti

    pelaku yang aktif. Konasi bukan sekedar mengetahui tetapi berbuat.

    Misalnya, tidak sekedar mengetahui tentang keadilan tetapi berlaku

    15 Groome, Thomas, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, (Louisville: Southern Baptist Theological seminary, 1991), 135

  • adil, tidak sekedar mengetahui tentang kasih tetapi berbuat belas

    kasih. Konasi Kristen adalah keberadaan diri kita sebagai orang

    Kristen dan melakukan nilai-nilai kristiani.16 Groome memiliki

    maksud tertentu ketika ia memilih istilah Shared Christian Praxis

    sebagai pendekatan yang ia kemukakan ini. Kata “berbagi” (Shared)

    menekankan hubungan yang terjadi di antara peserta, yaitu hubungan

    kemitraan yang saling melengkapi. Kata shared juga mengharapkan

    adanya partisipasi aktif setiap peserta didik sehingga terjadi dialog.

    Dialog yang dimaksud adalah terjadi percakapan antara pengalaman

    hidup dan tradisi Kristen; dari kehidupan ke iman, dan kembali ke

    kehidupan (life-faith-life). Pemikiran Groome dalam shared Christian

    praxis dapat diwujudkan melalui pertemuan-pertemuan iman atau

    yang disebut persekutuan. Metode sharing pengalaman iman, hidup

    sehari-hari dengan tanggung jawab dan permasalahan yang dihadapi

    mampu menguatkan kelompok orang dewasa di gereja, apalagi jika

    dalam setiap program persekutuan dibuat dalam tema-tema yang

    sesuai dengan kebutuhan keluarga seperti menjadi suami yang baik,

    istri yang tangguh, orang tua teladan, parenting, perkawinan langgeng,

    hubungan mertua-mantu, seks, dsb.

    16 Kurniawati, Maryam, Pendidikan Kristiani Multikultural, (Tangerang: Bamboo Bridge press), 2014, 77

  • IV.2 Pendidikan Bagi Perkembangan Keluarga Muda

    Pendidikan kepada usia dewasa muda (keluarga muda) yang

    biasanya efektif dan jamak dilakukan oleh gereja adalah ketika mereka

    hendak memasuki hidup berkeluarga. Program katekisasi pra-nikah atau

    bimbingan pra-nikah adalah program andalan untuk membekali pasangan-

    pasangan muda dalam menjalani hidup berkeluarga. Biasanya program

    pembinaan ini dilaksanakan selama 6 bulan bahkan ada yang hanya 3

    bulan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sedangkan metode pembelajaran

    yang digunakan dalam katekisasi pra-nikah menggunakan metode

    pengajaran model “Bank Transfer”. Berupa mengkotbahi atau bercerita.

    Umumnya masih dijumpai monolog dari pengajar, dan pendekatan yang

    deduktif dengan “content-centered curriculum” sedangkan katekisan

    tinggal mendengarkan dan menghafal. Metode pembelajaran untuk orang

    dewasa belum menggunakan metode sesuai dengan pengajaran kepada

    orang dewasa. Setelah program katekisasi atau bimbingan pra-nikah

    selesai, praktis tidak ada program pendidikan yang dapat membimbing

    keluarga muda dalam menghadapi pertumbuhan dan tanggung jawabnya.

    Kebanyakan gereja menganggap bahwa materi katekisasi pra-nikah

    yang diberikan dianggap sudah cukup untuk seluruh hidup kemudian.

    Pengetahuan yang diberikan dirasa sudah mencukupi bagi bekal kehidupan

    keluarga. Bahkan karena anggapan Majelis dan warga yang lebih tua

    usianya, seringkali muncul dorongan yang kurang tepat terhadap

    keterlibatan keluarga muda di gereja, misalnya seperti permintaan agar

  • para keluarga muda bisa langsung mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah

    ada, baik di blok atau kegiatan di gereja melalui pemahaman Alkitab atau

    persekutuan doa atau mengambil tanggung jawab lain dalam pelayanan di

    gereja. Akibatnya, banyak dari keluarga muda yang enggan untuk

    mengikuti kegiatan yang tidak sesuai kebutuhan mereka, seperti yang

    diungkapkan oleh Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany.17

    Padahal jika Majelis Gereja melihat data jumlah keluarga muda

    dengan usia pernikahan 0-10 tahun di GKJ Manahan, dari tahun 2005

    sampai dengan tahun 2015 tercatat ada 278 pasang. Itu artinya ada 556

    orang yang termasuk umur dewasa muda yang telah berkeluarga. Jumlah

    yang cukup banyak untuk dibina bahkan menjadi potensi yang besar bagi

    perkembangan gereja. Namun demikian, sejak direncanakan adanya

    kegiatan persekutuan keluarga muda, jumlah kehadiran mereka yang

    hanya 10-20 pasang tidak sebanding dari total pasangan keluarga muda.

    Dalam pertemuan FGD hampir sebagian besar dari anggota keluarga muda

    masih mengalami kesulitan untuk tegak berdiri di atas kaki sendiri, mereka

    membutuhkan pertolongan dalam hal mengelola keuangan keluarga,

    mengasuh anak, menghadapi persoalan-persoalan hidup, belum

    sepenuhnya lepas dari bantuan orang tua secara finansial maupun dalam

    hal lain, rentan terhadap godaan, masih kesulitan untuk mengendalikan

    emosi, dsb.18

    17 Wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany, pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 2015 di rumah pastori GKJ Manahan pada pukul 19.30 WIB. 18 Wawancara dengan keluarga muda dalam FGD

  • Ketika gereja tidak dapat menyediakan wadah yang dapat menjawab

    persoalan mereka, biasanya yang dilakukan adalah mencari tahu

    persoalannya kepada teman sebaya, kepada rekan kerja, melalui media

    elektronik, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hobi, dsb.19 Akibatnya,

    yang pertama, banyak di antara keluarga muda yang kemudian semakin

    menjauh dan asing dengan kegiatan gereja; yang kedua, gereja mengalami

    kesulitan ketika mengundang mereka untuk mengikuti kegiatan termasuk

    ketika seharusnya keluarga muda ambil bagian dalam pelayanan seperti

    menjadi Majelis gereja menggantikan generasi tua.

    Persoalan-persoalan inilah yang seharusnya dapat diperhatikan oleh

    gereja dalam mengembangkan pembinaan kepada orang-orang dewasa

    khususnya kepada keluarga muda. Mereka membutuhkan wadah bukan

    hanya untuk tumbuh di dalam iman tetapi tumbuh dalam pengetahuan dan

    tanggung jawabnya. Jika gereja mendasarkan tugas pelayanannya dalam

    kerangka mendidik warga gereja maka pembinaan kepada orang dewasa di

    dalam dan melalui warga gereja tidak lepas dari pembelajaran. Istilah

    pembelajaran mengandung arti ‘pengelolaan kegiatan sedemikian rupa,

    secara sadar tujuan, sehingga setiap peserta yang mengikuti kegiatan

    pembinaan dapat mengalami proses belajar’. Melalui proses belajar,

    diharapkan pula tiap-tiap peserta binaan mengalami perubahan, apakah

    19 Ibid.

  • dalam aspek pengetahuan, sikap, ketrampilan, relasi atau dalam

    keseluruhan aspek itu secara integral.20

    Pendidikan Orang Dewasa (POD) diperlukan oleh gereja karena

    merupakan bidang pelayanan yang sangat strategis oleh karena

    bagaimanapun orang dewasa adalah orang Kristen garis depan yang

    menghadapi dunia ini dengan segala tantangannya.21 Sedangkan dunia di

    mana orang Kristen dan gereja ditempatkan adalah dunia yang penuh

    dengan berbagai permasalahan. Oleh karena itu orang dewasa perlu

    diperlengkapi dengan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan

    tersebut dan mencoba meninjaunya dari perspektif atau sudut pandang

    kristiani yang berdasarkan Alkitab serta didorong untuk turut serta dalam

    penanggulangannya.22 Dalam hal ini POD tidak perlu dipandang sebagai

    ancaman terhadap metode pembinaan lain yang sudah dikembangkan oleh

    gereja tetapi POD ditempatkan sebagai pembimbing terhadap tugas dan

    tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa dalam praktiknya.

    Melalui penelitian yang telah dilakukan, ada hal-hal yang perlu

    menjadi perhatian gereja dalam mendidik warga gereja dewasa khususnya

    keluarga muda, yaitu :

    1) Kesiapan seorang pendamping, dalam hal ini pendeta dan Majelis

    Gereja termasuk di dalamnya pengurus KWD ketika membuat

    program kegiatan persekutuan keluarga muda. Kesiapan tersebut

    meliputi materi yang digunakan, dana yang harus dikeluarkan, 20 Sidjabat, op.cit. 177-178 21 Nuhamara, op.cit. 9 22 Ibid.

  • komitmen dan kesetiaan dalam mendampingi keluarga muda sampai

    keluarga muda menemukan “dunia nyamannya” dalam kegiatan

    persekutuan dan dengan kelompok seusia mereka. Mendampingi

    orang dewasa membutuhkan kesabaran dan kesetiaan, khususnya

    kepada keluarga muda yang sedang “disibukkan” dengan masa

    penyesuaian dalam segala tugas dan tanggung jawabnya.

    2) Berusaha untuk mengubah paradigma yang kurang mengukur dampak

    positif dari suatu program maupun kegiatan yang dilaksanakan.

    Karena pada umumnya gereja masih mengukur keberhasilan sebuah

    kegiatan jika dana yang dikeluarkan sebanding dengan jumlah

    kehadiran dalam penyelenggaraan. Hal ini berdampak pada kekurang

    perhatian pada pertumbuhan rohani dan aspek lain yang justru lebih

    penting bagi kehidupan. Contoh, ketika keluarga muda melakukan

    kegiatan yang lebih bersifat refreshing, sudah muncul “kasak-kusuk”

    yang mengatakan bahwa keluarga muda maunya hura-hura. Bahkan

    menganggap bahwa kegiatan tersebut hanya menghambur-hamburkan

    uang, sedangkan jika ada kegiatan yang lebih serius tidak mau datang.

    3) Pemilihan Personalia Bidang Pembinaan Gereja belum sesuai dengan

    keahlian, minat dan bakat. Berlaku juga terhadap kepengurusan

    Komisi Warga Dewasa, unsur-unsur yang duduk dalam personalia

    belum mewakili usia dewasa muda. Sehingga seringkali terjadi

    kesalahpahaman terhadap apa yang sedang dilakukan oleh keluarga

  • muda. Pembicaraan ditingkat pengurus menjadi timpang, karena tidak

    mengetahui kebutuhan keluarga muda.

    4) Pengaruh orang tua para keluarga muda, baik dalam cara mendidik

    anak, mengelola kehidupan rumah tangga, sampai pada keterlibatan

    mereka dalam kegiatan di gereja masih nampak. Hal ini perlu

    dipahami karena budaya timur dengan hubungan kekerabatan cukup

    erat menjadi faktor kunci dalam mempengaruhi bagaimana orang

    dewasa awal menjalani kehidupan barunya. Walaupun secara hukum

    telah lepas dari tanggung jawab orang tua, namun dalam hidup sehari-

    hari masih terdapat ketergantungan, terutama ketika belum stabil

    secara ekonomi dan ketika mempunyai anak. Perasaan “pekewuh”

    (tidak enak hati) kepada orang tua mereka, seringkali mempengaruhi

    cara keluarga muda untuk menyatakan tanggung jawabnya baik secara

    iman maupun hidup sehari-hari secara mandiri.

    Jika pembinaan yang dikembangkan oleh gereja sesuai dengan

    kebutuhan mereka maka hasilnya akan berbanding lurus pada sikap

    partisipatif keluarga muda di gereja. Maksudnya adalah gereja perlu

    mendesain setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan melibatkan

    sebanyak-banyaknya orang dewasa dalam merencanakan, dan

    melaksanakannya. Oleh karena itu Gereja perlu mengembangkan Model

    Pendidikan warga gereja seperti:23

    23 Sidjabat, B.S, Pendewasaan……………….., 104-116

  • 1. Pengembangan sikap kritis gereja karena biasanya di kelompok usia

    ini cenderung menanggapi informasi dengan cara kritis, tidak asal

    menerima, tetapi mempertanyakan mengapa harus demikian. Hal-hal

    yang didapatkan dalam pembinaan tersebut dirasakan dapat

    memperluas wawasan dan meningkatkan pemahaman mereka. Jika

    tidak demikian, kegiatan pembinaan dipandang tidak membawa

    manfaat. Pengalaman penulis ketika mengadakan FGD dengan

    kelompok keluarga muda di gereja yang diteliti, menjelaskan

    keadaan yang demikian. Dalam diskusi kelompok terarah (FGD)

    menunjukkan perhatian yang cukup besar. Ketika tema diskusi

    merupakan hal baru, terbuka ruang diskusi yang dinamis dan diajak

    untuk bersama-sama berpikir tentang hal-hal yang dapat dilakukan

    untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, mereka menemukan

    kembali karakteristik sebagai orang dewasa muda.

    2. Peran Kelompok Sebaya. Seperti kegiatan kategorial lainnya,

    demikian pula persekutuan keluarga muda membutuhkan peran dan

    dukungan dari mereka yang mempunyai kebutuhan yang sama.

    Peran kelompok sebaya mampu membawa suasana keterbukaan,

    saling menerima, saling mendukung, dan saling membutuhkan satu

    dengan yang lain. Prinsip homogentitas berlaku ketika mereka

    mempunyai kebutuhan yang sama.

  • 3. Pembinaan Pasangan Suami Istri

    Pembinaan terhadap pasangan suami istri adalah upaya gereja untuk

    memperkaya kehidupan pernikahan dan harmonisnya hubungan

    suami-istri. Berbagai tema berkaitan dengan kasih, komunikasi

    suami-istri atau komunikasi dalam keluarga, seks, relasi suami-istri,

    kesehatan reproduksi, dsb, dapat menjadi tema-tema pembinaan

    pasangan suami-istri.

    4. Pengembangan Spiritualitas

    Pembinaan bagi orang dewasa juga berkaitan dengan masalah iman

    (faith) karena iman menjadi dasar atau fondasi dalam kehidupan.

    Berkaitan dengan pembinaan iman, James Fowler mengingatkan

    bahwa gereja tidak boleh terpaku pada isi atau content iman, tetapi

    juga pada cara beriman. Menurut teori Fowler, orang dewasa awal

    lazimnya memiliki cara beriman sintetik konvensional dan cara

    beriman pribadi dan reflektif.24 Walaupun demikian, teori James

    Fowler bukan satu-satunya dasar pemahaman gereja dalam melihat

    perkembangan iman orang dewasa awal seperti yang sudah

    ditelitinya. Hal ini mengingat perbedaan relasi, tradisi dan budaya

    barat dan timur sehingga perlu ada penelitian khusus akan hal ini.

    Namun yang pasti bahwa iman bukan sesuatu yang pasif, dan obyek

    24 Cara beriman Sintetik-konvensional, ditandai dengan cara melihat, mengamati, meniru, dan mencari masukan dari orang lain termasuk teman sebaya, guru, mentor, orang-orang terkenal, juga dari literature (bahan bacaan). Mereka membuka diri pada pribadi dan kelompok yang dianggap dan dirasakan memeberikan perhatian dan dukungan. Sedangkan cara beriman individual-reflektif ditandai dengan kecenderungan untuk menyatakan iman dengan menekankan pengalaman, pengertian, dan pemahaman dirinya sendiri. Mereka mampu bersikap kritis terhadap dirinya juga mengenai keyakinan (ideology) yang diterimanya selama ini.

  • yang statis. Tetapi sesuatu yang dinamis, dan dapat berkembang.

    Sekalipun perkembangan iman itu juga tidak seragam pada semua

    orang dan walaupun semua orang menempuhnya dari taraf yang

    rendah ke taraf yang lebih tinggi. Bahkan ada orang-orang yang

    imannya mengalami stagnasi, walaupun aspek-aspek lain

    berlangsung normal.25 Namun melalui studi Fowler tentang iman

    kembali menegaskan bahwa tiap-tiap individu adalah unik dalam

    segi perkembangan iman kepercayaan.26

    5. Pertolongan dalam menghadapi Krisis.

    Kelompok dewasa awal membutuhkan pengajaran dan bimbingan

    krisis, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah keluarga,

    pekerjaan, dan relasi-relasi sosial. Erickson memandang bahwa

    perjalanan hidup manusia itu selalu diwarnai krisis psikologis

    (emosional dan mental) sebagai hasil interaksi sosialnya dari

    lingkungan terdekat (keluarga) hingga jauh (masyarakat luas). Untuk

    orang dewasa awal, krisis kehidupan yang menonjol adalah

    bagaimana membangun penerimaan dan harga diri yang sehat.

    Adapun krisis lain yang mengemuka ialah bagaimana memelihara

    keakraban (intimasi) dengan orang-orang yang dikasihi pada satu sisi

    dan pada sisi lain bagaimana menghindari perasaan terasing (isolasi)

    dalam persahabatan.27

    25 Hadinoto, Atmadja, op.cit., 236 26 Ibid, 237 27 Sijabat, op.cit.115-116

  • 6. Bantuan Menghadapi Stres.

    Stres, depresi atau pikiran tertekan adalah bagian hidup manusia.

    Kehidupan yang berat, krisis yang berkepanjangan, dan harapan-

    harapan yang keliru atau tidak dapat tercapai kerap kali membuat

    orang dewasa awal pun masuk ke dalam lembah stres yang

    berkepanjangan atau depresi. Cara mengatasi stress dan mengadapi

    depresi patut diperbincangkan bersama dengan kelompok orang

    dewasa awal.

    Bahkan Sidjabat mengutip pendapat Warren N. Wilbert

    mengemukakan bahwa, dalam konteks gereja, pendidikan orang dewasa

    itu pada prinsipnya memiliki tiga tujuan utama. Selain untuk pemberitaan

    Injil (proclamation), pendidikan itu juga berguna untuk membangun

    persekutuan (fellowship) sesama orang percaya serta untuk pembangunan

    hidup atau pengasuhan (nurture) para peserta.28 Selain tujuan tersebut,

    gereja juga harus mampu mewujudkan pendidikan untuk proses

    transformasi bagi warga gereja, karena sebenarnya itu pula yang menjadi

    karakter gereja. Transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses

    perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau

    pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang

    menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik (warga

    28 Ibid.,

  • gereja).29 Dalam Injil Matius 4:18-22 (Lukas 5:1-11; Markus 1:16-20),

    tatkala Tuhan Yesus memanggil Simon dan teman-temannya untuk

    mengikut Dia, Yesus mengatakan : “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan

    Kujadikan penjala manusia.” Selama 3 tahun, Tuhan Yesus telah

    mengubah mereka dari penjala ikan, orang biasa, menjadi orang yang

    berani untuk membuat perubahan dalam dirinya dan mewartakan kabar

    keselamatan kepada semua orang.

    Kemudian jika merujuk kepada teks 2 Timotius 3:15-17 proses

    pendidikan jemaat dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan jemaat terdiri

    atas beberapa hal yakni: pertama, menjadikan jemaat percaya dan

    mengenal Alkitab; kedua, proses penemuan kebenaran firman Tuhan yang

    pada gilirannya jemaat mengalami pembaharuan tingkah laku dan

    menghidupi kebenaran; ketiga, menjadikan umat Tuhan menjadi pribadi

    yang bijaksana dengan menghidupi iman di dalam Kristus; keempat,

    dengan pendidikan kepada jemaat diharapkan warga gereja diperlengkapi

    dan mengalami perubahan perbuatan menuju kesempurnaan kehidupan.

    Melalui kegiatan pembinaan atau pendidikan yang diselenggarakan

    oleh gereja dengan mempertimbangkan pendidikan orang dewasa dan

    perkembangan manusia diharapkan membantu kelompok usia dewasa

    muda (keluarga muda) untuk mengerti dirinya, menolong dalam masa

    penyesuaiannya, mengembangkan pemahaman iman dan tanggung jawab

    dalam kehidupan sehari-hari, ditengah jemaat dan masyarakat. Pembinaan 29 Moedzakir, djauzi, M., http://berkarya.um.ac.id/2010/02/konsep-dan-strategi-pembelajaran-transformasi-untuk-pls-oleh-m-djauzi-moedzakir-ketua-jurusan-pls-fip-um/, diakses pada tanggal 31 Januari 2015 pada jam 11.24 WIB.

    http://berkarya.um.ac.id/2010/02/konsep-dan-strategi-pembelajaran-transformasi-untuk-pls-oleh-m-djauzi-moedzakir-ketua-jurusan-pls-fip-um/http://berkarya.um.ac.id/2010/02/konsep-dan-strategi-pembelajaran-transformasi-untuk-pls-oleh-m-djauzi-moedzakir-ketua-jurusan-pls-fip-um/

  • warga gereja dituntut, direncanakan, dan perlu dikembangkan secara

    kreatif mengingat banyak faktor yang mempengaruhi iman dan cara

    beriman mereka. Pembinaan pemimpin dan pengerja di jemaat merupakan

    keperluan yang berkesinambungan supaya mampu merespons tantangan

    zaman mereka. Dalam hal ini, bukan hanya teologi dan Alkitab yang patut

    dipelajari oleh para pembina. Mereka juga harus membuka diri dan belajar

    ilmu pengetahuan sosial serta mendengarkan kontribusinya dalam

    memahami tugas perkembangan manusia dan caranya belajar.30

    30 Sidjabat, op.cit., 274