bab iv pemikiran imam khomeini tentang wilayatul...

72
BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL FAQIH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM 4.1 Biografi Imam Khomeini 4.1.1 Latar Belakang Kehidupan Imam Khomeini Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun 1902. Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama lengkapnya adalah Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Semasa kecil ia sering dipanggil Rohulloh, setelah dewasa dan menjadi seorang fuqoha ia sering dipanggil dengan sebutan Imam Khomeini. Al- Musavi merupakan nama keluarga besarnya, yaitu keluarga ulama bermarga Musavi. Ayahnya Sayyid Mustafa adalah seorang ulama terkemuka di Khomein. Ibunya Agha Khanum putri dari Mirza Ahmad Mojtahed-e Khonsari, yang juga seorang ulama terkenal dan sangat dihormati di Iran Tengah (Satori, 2010: 34). Baik dari ayah maupun ibunya, dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini merupakan keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi, yaitu keturunan dari ulama-ulama besar Iran, yang menjadi simbol pemimpin umat Islam. Berbicara mengenai silsilah keturunan, Imam Khomeini adalah keturunan dari Sayyid Mussawi yang diyakini oleh masyarakat Syiah sebagai keturunan Nabi melalui jalur Imam ketujuh Syiah, Imam Musa Al-Kadzim (Baqer Moin, 1998:69). Mereka berasal dari Neysyabur, Iran Timur laut. Pada awal abad ke delapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow kerajaan Oudh yang penguasanya menganut mazhab Syiah. Sayyid Ahmad Musavi Hindi, kakek Imam Khomeini yang kemudian menjadi seorang ulama terkemuka di India, dilahirkan di Kintur, wilayah Lucknow

Upload: vantram

Post on 25-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

BAB IV

PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL FAQIH

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM

4.1 Biografi Imam Khomeini

4.1.1 Latar Belakang Kehidupan Imam Khomeini

Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun 1902.

Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama lengkapnya adalah

Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Semasa kecil ia sering dipanggil Rohulloh, setelah

dewasa dan menjadi seorang fuqoha ia sering dipanggil dengan sebutan Imam Khomeini. Al-

Musavi merupakan nama keluarga besarnya, yaitu keluarga ulama bermarga Musavi.

Ayahnya Sayyid Mustafa adalah seorang ulama terkemuka di Khomein. Ibunya Agha

Khanum putri dari Mirza Ahmad Mojtahed-e Khonsari, yang juga seorang ulama terkenal

dan sangat dihormati di Iran Tengah (Satori, 2010: 34). Baik dari ayah maupun ibunya, dapat

dikatakan bahwa Imam Khomeini merupakan keluarga yang memiliki status sosial yang

tinggi, yaitu keturunan dari ulama-ulama besar Iran, yang menjadi simbol pemimpin umat

Islam.

Berbicara mengenai silsilah keturunan, Imam Khomeini adalah keturunan dari Sayyid

Mussawi yang diyakini oleh masyarakat Syiah sebagai keturunan Nabi melalui jalur Imam

ketujuh Syiah, Imam Musa Al-Kadzim (Baqer Moin, 1998:69). Mereka berasal dari

Neysyabur, Iran Timur laut. Pada awal abad ke delapan belas, keluarga ini bermigrasi ke

India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow kerajaan Oudh yang penguasanya

menganut mazhab Syiah. Sayyid Ahmad Musavi Hindi, kakek Imam Khomeini yang

kemudian menjadi seorang ulama terkemuka di India, dilahirkan di Kintur, wilayah Lucknow

Page 2: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

India Utara. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi

Nishapur penulis kitab Abaqat al Anwar, sebuah kitab yang menjadi kebanggaan umat Islam

di India.

Pada sekitar tahun 1830, Sayyid Ahmad, kakek Imam Khomeini meninggalkan India

untuk berziarah ke kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu dengan seorang saudagar

terkemuka dari Khomein, melalui perkenalan dengan saudagar dari Khomein ini, Sayyid

Ahmad memutuskan untuk pindah ke Khomein dan menjadi pembimbing spiritual di

Khomein.

Sayyid Ahmad kemudian menikah dengan Sakinah, dan dari pernikahannya, pasangan

ini dikaruniai empat orang anak, yang salah satunya adalah Sayyid Mustafa yang lahir pada

tahun 1856. Sayyid Mustafa inilah yang menjadi ayah Imam Khomeini. Terlahir sebagai

keluarga ulama besar, sayyid Mustafa pun menjadi seorang ulama terkemuka di Khomein dan

Iran. Sayyid Mustafa menikah dengan Agha Khanum, dan dari pernikahannya dikaruniai

enam orang anak, dan anak bungsunya adalah Rohulloh Al-Mussavi Khomeini atau Imam

Khomeini.

Imam Khomeini sudah menjadi yatim sejak berusia sembilan bulan. Ayahnya dibunuh

karena menentang dinasti Qajar (Khomeini, 2002:9). Imam Khomeini kemudian diasuh oleh

ibunya, yang juga dibantu oleh bibinya, Saheba. Ketika Imam Khomeini berusia lima belas

tahun, ibunya meninggal, dan tidak lama kemudian disusul oleh bibinya. Di usianya yang

menginjak remaja, Imam Khomeini sudah menjadi yatim piatu. Pengasuhan Imam Khomeini

kemudian diambil alih oleh kakak tertuanya, Morteza (Baqer Moen, 1998:70).

Semasa dalam asuhan kakaknya, Khomeini tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan

sangat menggemari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Bahasa Arab, Syair

Persia, kaligrafi, sastra dan juga sejarah menjadi pelajaran yang dikuasainya. Tak heran Pada

awal tahun 1930, Imam Khomeini menjadi mujtahid dan menerima ijazah, yaitu suatu level

Page 3: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

yang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

keagamaan yang menjadikan ia menempati posisi senioritas ulama yang cukup tinggi

(Fauziana, 2009:4) dari empat guru terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli,

seorang ulama terkemuka dari Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan

sejarawan terkemuka, yang juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul

Qasim Dehkordi Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza

Masjed Syahi.

Di usia yang ke-27 tahun, Imam Khomeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis

buku-buku tentang berbagai seni, dan agama. Pada usia 27 tahun pula, Imam Khomeini

menikah dengan Syarifah Batul, putri seorang Ayatollah yang bermukim di Teheran. Dari

pernikahannya Imam Khomeini dikaruniai lima orang anak, yaitu dua orang putra dan tiga

orang putri. Pada usia 30 tahun hingga awal 1960, Imam Khomeini melewatkan hidupnya di

kota suci Qom. Yaitu sebuah kota yang menjadi pusat pendidikan di Iran. Di sana ia

mengajar hukum, filsafat, dan etika. Ia bersikeras bahwa Islam memiliki komitmen terhadap

kehidupan sosial politik (Satori, 2010:35).

Perjalanan masa mudanya dilalui dengan bersikap apolitik, Imam Khomeini

mengikuti jejak guru-gurunya untuk beruzlah dan menghindar dari perpolitikan secara

langsung, namun setelah gurunya wafat, Imam Khomeini berkecimpung secara langsung ke

dalam kancah perpolitikan Iran. Imam Khomeini menjadi orang pertama dan orang yang

mendapat dukungan penuh dari masyarakat Iran yang sudah tidak percaya pada pemerintahan

Iran di bawah kekuasaan Syah Reza. Pengasingan dan penjara menjadi konsekuensi yang

harus dihadapinya. Hingga tahun 1979, sejarah mencatat sebagai puncak perjuangan dari

Imam Khomeini dan masyarakat Iran dalam menumbangkan kerajaan Syah Reza yang

berujung dengan Revolusi Rakyat Iran yang membuahkan pergantian bentuk pemerintahan

secara menyeluruh dari kerajaan menjadi Republik Islam Iran dengan konsep kepemimpinan

Page 4: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Wilayatul Faqih dan menempatkan Imam Khomeini menjadi orang pertama dalam Revolusi

Iran tersebut.

Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan memberikan suatu

keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang

sempurna, yang melingkupi seluruh aturan manusia, baik secara spiritual, sosial maupun

politik. Islam tidak membatasi manusia hanya bergelut dengan ibadah ritual semata, namun

Islam pun mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dan menganjurkan umat Islam untuk bisa

menguasai ilmu-ilmu modern. Agama dan ilmu pengetahuan bersinergis yang menjadikan

negara bisa maju dan tidak berada di bawah hegemoni penjajah. Visi-misi dan keyakinan

Imam Khomeini tersebut menjadi salah satu bagian dari karakteristik Republik Islam Iran

saat ini.

4.1.2 Latar Belakang Pendidikan Imam Khomeini

Imam Khomeini terlahir dari keluarga berpendidikan dan terkemuka, sehingga sejak

kecil ia sudah bergelut dengan pendidikan. Riwayat pendidikannya dimulai di kota

Khumayun atau Khomein. Imam Khomeini mulai memasuki maktab, yaitu pusat pendidikan

agama tradisional pada usia enam tahun. Di maktab ia belajar membaca dan menulis bahasa

Arab, ia juga mulai mempelajari kitab suci Al-quran, dan seperti anak-anak kecil lainnya ia

diajarkan menghapal surah-surah terakhir di dalam al-Quran dan beberapa frase bahasa Arab

serta sejarah Nabi dan para Imam versi Syiah (Baqer Moen, 1998:70). Pada usia tujuh tahun

Imam Khomeini baru memasuki sekolah formal pemerintah Iran, disana ia belajar kaligrafi

dari Mirza Mahallati, selain itu ia juga belajar sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan sains

dasar.

Pada perkembangan pendidikannya, Imam Khomeini tumbuh menjadi remaja yang

cerdas dan banyak menguasai ilmu yang dipelajarinya. Pada usia limabelas tahun, Imam

Khomeini telah menyelesaikan studi syair Persianya dan mulai menekuni tata bahasa Arab

Page 5: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

juga kaligrafi kepada Morteza yang merupakan pengajar tata bahasa Arab dan teologi di

Isfahan. Imam Khomeini adalah remaja yang memiliki minat tinggi dalam belajar, ia juga

memiliki bakat khusus dalam beberapa pelajaran yang diminatinya. Ia banyak belajar syair

klasik, banyak mengingat ratusan versi dari puisi yang berbeda-beda, pandai menulis dan

menyusun syair Persia (Baqer Moen, 1998:71).

Ketika Imam Khomeini berusia lima belas tahun, ibu dan bibi yang merawatnya

meninggal dunia akibat kolera yang menyerang Iran. Pengasuhan Imam Khomeini jatuh pada

kakak tertuanya, Morteza. Setelah pendidikan tata bahasanya selesai, Morteza mengirim

Imam Khomeini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia mengirim Imam Khomeini ke

Isfahan, kota penting yang merupakan pusat ilmu Syiah. Selain belajar fiqih dan bahasa Arab,

Imam Khomeini juga belajar filsafat dan Irfan (tasawuf) dibawah bimbingan seorang ahli

irfan Mirza Muhammad Ali Syahabad (Fauziana, 2009:11).

Diusia tujuh belas tahun, Imam Khomeini pergi ke Arak (sekarang Sultanabad), yaitu

kota yang menjadi pusat ilmu di Iran dan memiliki banyak ulama terkemukanya. Di Arak, ia

belajar pada ulama terkemuka, Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, Imam Khomeini belajar

fiqih dan ushul fiqih. Imam Khomeini sangat menyukai gurunya ini, sehingga ketika Syekh

Haeri Yazdi pindah ke Qum sebagai pusat daerah Syiah Iran karena wilayah Arak sudah

menjadi wilayah di bawah mandat Ingris, Imam Khomeini pun mengikuti langkah gurunya

untuk pindah ke Qum. Sejak itu Imam Khomini melanjutkan pendidikannya di kota Qum.

Imam Khomeini belajar disebuah perguruan tinggi Islam di Qom dan menyelesaikan

tahap awal pendidikan tingginya. Ilmu tentang politik banyak Imam Khomeini dapatkan dari

Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi. Imam Khomeini juga belajar fiqih dan usul fiqih dari

seorang guru dari Kasyan, yaitu Ayatulloh Alio Yasrebi atau Ayatulloh Kasyani. Dalam

bidang politik Khomeini lebih mengikuti jejak gurunya Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi,

Page 6: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

untuk bersikap pasif terhadap penolakan Reza Shah tentang tradisi dan budaya Islam yang

dianut sebagian besar masyarakat Islam. Ia tidak melakukan aktivitas politik hingga tahun

1930, karena ia berpendapat bahwa politik harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki

pengaruh keagamaan yang paling kuat. Walaupun selama menempuh pendidikannya Imam

Khomeini tidak melakukan aktivitas politik, hanya belajar dan mengajar, Imam Khomeini

tetap menaruh perhatian pada hukum Islam (syariat) dan terus memperdalam ilmu politik

Islam (Fauziana, 2009:12).

Pada tahun 1930, Imam Khomeini menyelesaikan studinya, mendapat ijazah serta

menjadi seorang Mujtahid dan mulai mengajar fiqih dan tata bahasa. Selain itu sejak awal

Imam Khomein menunjukkan bakat khususnya di bidang studi-studi irfan. Ilmu Irfan sering

disebut juga gnositisme, yaitu cabang dari ilmu filsafat yang melingkupi pengetahuan mistis

dunia bathiniyah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah (Rahnema,1998: 74).

Selain itu Imam Khomeini sendiri mengatakan bahwa al-Qur'an sarat dengan kajian-kajian

'irfani yang hanya bisa difahami oleh seorang yang mumpuni, yang merupakan puncak

rahasia dan menjadi sebab keagungan serta kebesaran al-Qur'an. Al-Qur'an yang mulia sangat

sarat dengan rahasia, hakikat, makna-makna luhur, tauhid dimana akal ahli makrifat

tercengang dengannya dan ini adalah mukjijat agung lembaran cahaya samawi (al-Qur'an)

(Satori, 2007:43).

Pada usia 27 tahun Imam Khomeini sudah menulis sebuah buku tentang Irfan dalam

bahasa Arab sekaligus menjadi guru dalam studi filsafat dan irfan, walaupun Irfan dan puisi

yang diminati Imam Khomeini, sebenarnya kurang popular di kalangan mullah di Qom pada

masa itu (Yamani, 2003:111).

Setelah Ayatullah Abdul Karim Haeri Yazdi wafat pada tahun 1937, Imam Khomeini

banyak dipengaruhi oleh Husayn Boroujerdi yang merupakan ulama paling berpengaruh di

Qom, dan Imam Khomeini menjadi asistennya. Di bawah bimbingannya Imam Khomeini

Page 7: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

belajar ilmu fiqih bersama rekan-rekannya yang suatu saat menjadi rekan dalam

penggulingan Syah Reza Pahalvi, diantaranya yaitu Ayatullah Muttahari, Ayatullah

Muntaziri, Hujatul Islam Muhammad Javad Bahonar, dan Hujatul Islam Ali Akbar Hashimi

Rafsanjani.

Pada tahun 1942 Imam Khomeini mulai menampakan ketertarikannya dalam bidang

bidang politik. Ia menulis sebuah buku politik yang berjudul Kasful Asrar (Membongkar

Tabir Rahasia) yang isinya sindiran tentang kejadian-kejadian politik Iran di bawah Syah

Reza yang bekerja sama dengan Barat. Ketika Ayatulloh Burujerdi wafat pada tahun 1961,

Imam Khomeini menggantinya dengan menjadi guru besar di Qum, sebagai guru besar, selain

dalam bidang politik, Imam Khomeini juga banyak menulis buku-buku dengan tema filsafat,

hukum, dan budaya Islam. Selain buku-buku karyanya sendiri, karya-karya Imam Khomeini

juga banyak yang disusun oleh orang lain, baik itu dari kumpulan ceramahnya maupun dari

kumpulan-kumpulan kuliah umumnya.

Pada fase hidupnya tahun 1908-1961, adalah masa ketika Imam Khomeini

menghabiskan waktunya dalam jenjang penidikan formal. Ia juga banyak menulis dan

mengajarkan ilmunya yang menggambarkan pandangan–pandangannya tentang hidup

bernegara dan bermasyarakat berdasarkan ajaran Islam.

4.1.3 Sikap Politik Imam Khomeini Terhadap Pemerintah Iran

Tahun 1962 Imam Khomeini terjun ke kancah politik Iran secara langsung. Sebelumnya

Imam Khomeini hanya terlibat secara pasif dengan menjadi pemerhati politik dan membuat

tulisan-tulisan yang berkomentar tentang Iran. Buku pertama Imam Khomeini dalam bidang

politik adalah Kasful Asrar (Menyingkap Tabir Rahasia) yang diterbitkan tahun 1942, isinya

sindiran terhadap pemerintahan Syah dan mengopinikan tentang sistem dan pilar-pilar

pemerintahan Islam.

Page 8: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Imam Khomeini memasuki debat agama dan politik nasional secara diam-diam setelah

Perang Dunia Kedua, yaitu ketika Reza Syah semakin melemah kekuasaannya. Pada

mulanya, situasi di Iran sangat tidak memungkinkan para ulama untuk angkat bicara masalah

politik. Reza Syah adalah pemimpin yang anti ulama, hal ini mengakibatkan para ulama

menghentikan perjuangannya secara terang-terangan dan tunduk di bawah rezim Reza Syah,

walaupun hal ini dirasa pilihan yang sulit, namun demi keselamatan para ulama dan

masyarakat Syiah, jalan taqiyyah (berdiam diri dan menyembunyikan identitas) diambilnya,

seperti dalam Ali Rahnema (1996:83) ―Seandainya Haeri berbicara, mereka (rezim Reza

Syah) tentu akan menghancurkan pusat teologi Qum.‖ Jelas seorang kawan dekat Khomeini,

Ali Saduqi.

Pendekatan pasif ini dibenarkan oleh konsep taqiyah dalam Syi‘ah, untuk melindungi

Islam ketika seorang muslim menghadapi bahaya yang tidak mungkin diatasinya. Akhirnya

selama pemerintahan Reza Syah, sikap taqiyah inilah yang dilakukan mayoritas ulama Iran,

termasuk langkah yang diambil oleh Imam Khomeini.

Setelah wafat kedua gurunya, Boroujerdi dan Kasyani, tahun 1962 Imam Khomeini

benar-benar meninggalkan uzlah (menyepi/apolitik) dan sikap taqiyyahnya

(menyembunyikan identitas), ia menyuarakan apa yang jarang disuarakan oleh ulama-ulama

Iran sebelumnya, yaitu tentang politik sistem pemerintahan Islam. Dalam bukunya dan dalam

setiap pidatonya, Imam Khomeini menuduh Syah sebagai orang yang menghancurkan budaya

Islam dan patuh terhadap dominasi negara asing. Imam Khomeini juga menyatakan bahwa

negara Islam adalah satu-satunya bentuk negara yang paling baik dalam pemerintahannya.

Seperti perkataan Imam Khomeini

Allah, katanya, menciptakan Republik Islam. Patuhi Allah dan RasulNya dan mereka

di sekitarmu yang memiliki otoritas (ulama). Itu adalah satu-satunya bentuk

pemerintahan yang diterima Allah pada hari pembalasan. Kami tidak menyatakan bahwa

pemerintahan harus dipegang oleh para ulama. Tetapi pemerintahan harus dijalankan dan

Page 9: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

diarahkan sesuai dengan hukum Islam yang berlaku, dan hal ini hanya mungkin jika

dilakukan pengawasan oleh para ulama (Fauziana, 2009:24).

Kampanye dan opini Imam Khomeini yang pada awalnya dilakukan secara

sembunyi-sembunyi kemudian segera dilakukan secara terang-terangan. Perlawanan

sebelumnya yang ia lakukan adalah perlawanan penentangan kebijakan White Revolution atau

Revolusi Putih Syah Reza Pahlevi yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Shah

Muhammad Reza pada tahun 1963. Beberapa isi dari White Revolution mengandung

program reformasi, yaitu

1. Reformasi tentang peraturan pertanahan,

2. Nasionalisasi hutan,

3. Penjualan saham Badan Usaha Milik Negara kepada pribadi,

4. Memperbolehkan kaum non muslim untuk memiliki dan mengelola bisnisnya secara

individu

Kebijakan tersebut ditentang oleh para ulama karena mengandung unsur westernisasi

yang memuat ide-ide liberalisasi. Imam Khomeini mengumpulkan ulama-ulama dan pelajar

Iran untuk memboikot isi kebijakan White Revolution. Pada 22 Januari 1963, Imam Khomeini

mengeluarkan deklarasi yang menentang Shah dan rencananya. Hal ini direspon oleh Shah

dengan mengadakan pidato di Qom yang isinya ancaman keras terhadap ulama.

Perlawanan Imam Khomeini tidak berhenti, penentangannya terhadap Shah semakin

keras. Ia mengumpulkan tanda tangan dari ulama-ulama senior terkemuka, melakukan pidato-

pidato dan mengisi kuliah umum yang dalam setiap pidatonya Imam Khomeini menyerang

Shah dengan menyatakan bahwa Shah telah mencederai konstiusi, mengutuk kemerosotan

moral yang terjadi di seluruh negara, menuduh Shah bekerjasama dengan Amerika Serikat,

membeberkan kerjasama Shah dengan Israel, dan juga pemboikotan terhadap perayaan

Page 10: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Nowruz untuk memperingati tahun baru Iran 1342 yang bertepatan dengan 21 Maret 1963

sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah (Fauziana, 2009:26).

Perlawanan Imam Khomeini membuat gerah pemerintah. Setelah pidatonya di

sekolah agama Fayziyeh, Shah memerintahkan penangkapan terhadap Imam Khomeini. Hal

ini menyebabkan terjadinya kerusuhan besar di Iran selama tiga hari dengan korban tewas

kurang lebih 400 orang. Peristiwa 5 Juni 1963 tersebut semakin menunjukan dukungan rakyat

terhadap gerakan Imam Khomeini, yel-yel yang diserukan oleh para demonstran adalah :

Mati atau Khomeini.

Pergolakan dapat dipadamkan oleh pemerintah, kemudian satu persatu para ulama

pendukung Imam Khomeini banyak yang ditangkap dan diasingkan bahkan banyak pula yang

dihukum mati. Imam Khomeini sendiri ditahan selama delapan bulan. Imam Khomeini tidak

menjawab sedikitpun pertanyaan dari pengadilan kerajaan, ia melihat semuanya merupakan

sebuah kebohongan dan kerjasama orang-orang Shah. Imam Khomeini terus dipindah-

pindahkan tempat penahanannya, dalam masa sepuluh bulan hingga 7 April 1964 Imam

Khomeini sudah dipindahkan sebanyak lima kali dengan penjagaan yang ketat.

Para ulama dan para pendukung Imam Khomeini terus melakukan aksi protes

terhadap penahanan Imam Khomeini, semakin hari intensitas protes semakin tinggi,

pemerintah menjadi khawatir dan akhirnya membebaskan Imam Khomeini pada tanggal 7

April 1964. Pemerintah menganggap hukuman penahan terhadap Imam Khomeini akan

memberikan efek jera dan Imam Khomeini akan berubah sikap menjadi pro terhadap

pemerintah, akan tetapi ternyata dugaan tersebut keliru. Setelah keluar dari penjara Imam

Khomeini semakin gencar menyerang pemerintah dengan mengecam tindakan penguasa yang

melanggar agama dan juga bahayanya penguasa mengakui keberadaan Israel. Dalam dua

pidatonya yang disampaikan pada 10 dan 15 April 1964, seperti perkataan Imam Khomeini,

Khomeini tidak akan berkompromi, meskipun ia harus digantung di tiang gantungan.

Janganlah kalian berangan-angan. Andai kalian menawar Khomeini, maka umat Islam

Page 11: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

tidak akan menawar kalian. Kami senantiasa ada di dalam parit (perjuangan) dan kami

selalu berada di dalamnya. Kami akan selalu memerangi seluruh keputusan kalian

yang menyalahi Islam dan segala bentuk penindasan‖ (Fauziana, 2009:28).

Semenjak keluar dari tahanan, Imam Khomeini terus melakukan penentangan

terhadap Shah, sepanjang November 1964 Imam Khomeini terus mencela kebijakan

pemerintah dan juga Amerika Serikat, karena pemerintah memberikan kebijakan kekebalan

diplomatik terhadap militer Amerika Serikat di Iran. Hal ini menyebabkan militer AS tidak

pernah bisa tersentuh hukum Iran sekalipun banyak pelanggaran yang terjadi. Imam Khomeni

mendapat peringatan dan ancaman keras atas tindakannya terhadap Amerika, namun ia tidak

memperdulikannya. Dalam sebuah surat dari agen Shah berisi ancaman keras, seperti

paparannya,

Amerika sangat kuat. Serangannya jauh lebih berbahaya daripada serangan orang

nomor satu di negeri ini. Jika Ayatulloh Khomeini ingin menyampaikan pidatonya di

hari-hari ini, maka waspadalah! Karena, itu akan berbenturan dengan pemerintah

Amerika, dan itu sangat berbahaya. Dia akan menghadapi reaksi yang keras dan

kejam‖ (Fauziyana, 2009:29).

Ancaman tersebut tidak menjadi hambatan bagi Imam Khomeini. Ia terus berpidato

dan mengisi kuliah umum dengan celaan terhadap kebijakan kekebalan diplomatik terhadap

militer AS. Ia juga menyebarkan selebaran-selebaran yang berisi ancaman terhadap kebijakan

tersebut. Rakyat semakin marah dan suasana semakin panas. Akhirnya pemerintah menahan

kembali Imam Khomeini dan mengasingkannya dari Iran. Pada mulanya Imam Khomeini

mencari suaka politik ke Turki, namun atas permintaan Syah, Turki menolak keberadaan

Imam Khomeini. Kemudian Imam Khomeini pergi ke Najaf Irak, karena hubungan antara

Iran dan Irak tidak berjalan baik, maka Imam Khomini diterima oleh pemerintah Irak. Namun

kemudian Imam Khomeini pun diusir oleh pemerintah Irak, dan pergi untuk mencari suaka

politik di Paris, dan akhirnya Imam Khomeini tinggal di Neauphle-le-Chateau, desa kecil di

Page 12: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Paris. Selama lebih dari empat belas tahun Imam Khomeini mengisi waktunya di

pengasingan.

Selama di pengasingan ia tidak berhenti berjuang, dalam masa sepuluh tahun 1960-

1970, Khomeini menyelesaikan bukunya tentang formulasi sistem hukum pemerintahan

Islam. Ketika ia dipindahkan ke Najaf, ia terus berceramah dan mendiskusikan pemerintahan

Islam yang terkandung dalam bukunya Islamic Government Authority Of The Jurist

(Hokumat-e islami : Valayat-e faqih). Buku ini merupakan hasil karyanya yang sangat

popular dan berpengaruh. Beberapa poin yang menjadi intisari buku ini seperti dalam

Fauziana (2009: 31) yaitu :

1) Hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus disusun

berdasarkan hukum Allah (syariat Islam) yang mengatur secara lengkap tentang

hubungan sesama manusia, dan menjelaskan norma-norma yang ada maupun

implementasinya pada setiap norma kehidupan.

2) Karena hukum Islam (syariat) digunakan dalam pemerintahan, maka mereka

yang berada di jalur pemerintahan harus mendalami pengetahuan tentang syariat

Islam. Dan karena yang mempelajari syariat adalah para faqih, maka hukum dan

peradilan negara haruslah disusun berdasarkan pengetahuan para faqih yang

disebut marja’. Peraturan yang disusun oleh prinsip monarki ataupun Dewan

Parlemen dan legislative yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dinyatakan

salah dalam Islam.

3) Sistem hukum yang dibuat para ulama sangat diperlukan untuk menghindari

adanya ketidakadilan, korupsi, penindasan terhadap masyarakat lemah maupun

miskin, dan juga menghindari adanya inovasi atau perubahan dari Islam itu

sendiri maupun hukum syariat Islam. Adanya hukum itu juga untuk

Page 13: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

menghancurkan pengaruh anti Islam dan konspirasi oleh negara-negara asing

yang non muslim.

Seruan Imam Khomeini ini ternyata berdampak positif untuk perjuangannya. Walaupun

di pengasingan ia tetap tidak putus kontak dengan para pendukungnya. Di pengasingan Imam

Khomeini terus berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa Iran yang berkuliah disana, dan

merekalah yang menjadi jembatan dan penyalur semangat Imam Khomeini dengan para

pendukungnya. Mahasiswa dan pemuda merupakan sasaran yang tepat dalam pergerakan,

mereka memiliki semangat dan jiwa muda yang efektif untuk menumbangkan kekuasaan

Shah. Gerakan mahasiswa yang menentang Iran ini dibantu oleh rakyat dari berbagai

kalangan, hal ini semakin membuat rezim Shah semakin terpojok dan kehilangan cara.

Pada tanggal 5 Oktober 1978, Imam Khomeini diusir dari Irak dan dipindahkan ke Paris

(Prancis). Hal ini merupakan kesepakatan antara Shah dengan Saddam Hussein pemimpin

partai Ba‘ath. Hal ini membuat rakyat Iran sebagai pendukung Imam Khomeini semakin

gerah. Dari Paris Imam Khomeini menghimbau rakyat Iran untuk terus menerus melakukan

pemogokan total. Pemerintahan Shah menjadi tidak stabil, sehingga kabinet pada masa itu

diganti dengan kabinet militer, Ghofam Azhari ditunjuk sebagai perdana mentri. Pemerintah

menggunakan kekerasan untuk memaksa rakyat agar mau kembali bekerja, tetapi rakyat tetap

pada pendiriannya untuk melakukan pemogokan masal.

Kabinet militer Shah tidak berhasil memaksa rakyat, kemudian Shah membubarkan

kabinet militernya dan menggantinya dengan kabinet baru dengan perdana mentrinya dari

partai Front Nasional Shapour Bahtiar. Usahanya untuk menghentikan pemogokan masal

adalah dengan ia berjanji untuk menegakan hukum dan mengikuti kehendak rakyat. Akan

tetapi Imam Khomeini dari Paris menghimbau agar rakyat mengambil alih kekuasaan. Imam

Khomeini membentuk Dewan Islam pada tanggal 13 Januari 1979.

Page 14: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Situasi politik di dalam negeri Iran semakin tidak menentu, pemogokan masal telah

membuat gerak roda ekonomi Iran terhenti. Rakyat meminta Syah Reza dan Kabinet Shapour

Bakhtiar untuk turun dan menyerahkan kekuasaan pada rakyat, akibatnya pemerintahan tidak

berjalan. Dalam suasana seperti ini, Syah khawatir akan keselamatannya, akhirnya pada

tanggal 16 januari 1979 Syah Reza dan istrinya Maharani Farah Diba pergi meninggalkan

Iran menuju negara yang bersedia melindungi mereka. Pada awalnya, mereka pergi ke Mesir,

kemudian ke Maroko kemudian ke Eropa.

Kepergian Syah dan keluarganya semakin menguatkan perjuangan rakyat Iran, namun

demikian pemerintahan sementara masih di kuasai oleh Kabinet Shapour Bakhtiar. Imam

Khomeini menyatakan ketidak setujuan terhadap Kabinet ini yang merupakan Kabinet

bentukan Syah, Imam Khomeini menyeru rakyat Iran untuk mengambil kekuasaan dari

Kabinet Shapour Bakhtiar. Terjadi lobi politik antara Imam Khomeini dan Shapour Bakhtiar,

namun keputusan Imam Khomeini tetap yaitu bahwa Shapor Bakhtiar harus digulingkan dan

setelah itu baru Imam Khomeini akan kembali ke Iran.

Suasana Iran semakin memanas. Demonstarsi besar-besaran terjadi setiap hari, korban

tewas dan luka-luka berjatuhan. Namun kemudian kubu-kubu tentara terpecah menjadi

tentara yang masih mendukung Syah dan tentara yang mendukung Imam Khomeini.

Untuk perlawanan anti pemerintahan, atas persetujuan Imam Khomeini di Iran di bentuk

Dewan Revolusi Islam. Dewan ini dibentuk untuk memimpin oposisi anti Syah di Iran.

Seperti dalam Puar (1979:95), Dewan Revolusi Islam beranggotakan:

1. Jendral Madani (mantan Wakil Panglima Angkatan Laut Iran)

2. Dr. Yazdi (anggota Gerakan Pembebasan dan penasehat Ayatulloh Khomeini)

3. Sadegh Ghotb Zadeh (penasihat Ayatulloh Khomeini)

4. Mehdi Bazargan (anggota Front Nasional, kelompok oposisi terbesar Iran)

5. Fazlollah Bani Sadr (Ketua Kelompok Mahasiswa Badan Front Nasional).

Page 15: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Penentangan terhadap Shapour Bakhtiar semakin memanas, setiap hari rakyat demonstrasi

dengan yel-yel hidup Khomeini dan teriakan Allohu Akbar.

Dari Neauphle le Chateau, Paris, Imam Khomeini mengumumkan merencanakan

pembentukan pemerintahan sementara menuju sebuah Republik Islam. Dikatakannya bahwa

keberangkatan Syah dari Iran hanya merupakan langkah pertama menuju diakhirinya

kekuasaan tirani yang berlangsung lima puluh tahun.

Pembentukan pemerintah sementara akan melahirkan Majelis Konstituante yang dipilih

rakyat untuk meratifikasi konstitusi baru. Para pembantu Imam Khomeini mengatakan

Perdana Mentri Shapour Bakhtiar harus mengundurkan diri dan melapangkan jalan bagi

pembentukan suatu pemerintahan yang mendapat kepercayaan dari Imam Khomeini dan

rakyat. Pendekatan Shapour Bakhtiar terhadap Imam Khomeini telah ditolak sama sekali

(Puar, 1979:104).

Imam Khomeini dikabarkan akan kembali ke Iran pada tanggal 20 Januari 1979, namun

situasi di Iran masih belum memungkinkan, Perdana Mentri Shapour Bakhtiar masih

mempertahankan perwalian Syah, dan selama beberapa hari pelabuhan udara internasional

Iran, Maharabad Teheran ditutup yang diperkirakan untuk menolak kedatangan Imam

Khomeini. Imam Khomeini di Paris melakukan pertemuan dengan orang-orang Iran, dalam

pidatonya antara lain dikatakan,

Revolusi Iran baru saja dimulai. Saya menghimbau semua rakyat Iran dengan tidak

memandang partai politik atau ideologi yang mereka anut supaya bersatu membangun

kembali Iran yang telah dihancurkan oleh monarki. Saya mengecam Syah atas kejahatan

dan pengkhianatannya terhadap negara. Shah harus dibawa ke pengadilan.

Shah telah memerintahkan angkatan bersenjata Iran untuk melancarkan suatu kudeta

ketika dia meninggalkan Teheran menuju Mesir pekan lalu. Shah juga telah

memerintahkan pembom-pembom Angkatan Udara Iran untuk menggempur dan

menghancurkan kota Hamadan di Iran Barat, tetapi anggota-anggota militer tidak

mengindahkannya (Puar, 1979:112).

Para pendukung Imam Khomeini terus berdemonstrasi atas penutupan pelabuhan

udara yang menolak kedatangan Imam Khomeini. Ribuan orang memadati pelabuhan udara,

Page 16: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

pekuburan Rakyat Miskin Iran, dan di jalan-jalan kenegaraan. Korban tewas dan luka-luka

berjatuhan, namun hari-hari selanjutnya para tentara lebih bersahabat dan banyak yang

beralih menjadi pendukung Imam Khomeini sehingga mengurangi jatuhnya korban.

Pada tanggal 27 Januari 1979 bertepatan dengan hari Karbala, yaitu peringatan hari

wafatnya Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW, rakyat Iran berdemonstarsi, arak-

arakan sepanjang jalan raya Syah Reza dipadati barisan kaum wanita. Mereka bernyanyi

disertai mengacungkan tangan bersarung tangan hitam ke udara sambil meneriakan Khomeini

Adalah Pemimpin Kami juga nyanyian-nyanyian yang menjunjung Imam Khomeini.

Pada hari Kamis, tanggal 1 Februari 1979 pukul 1.10 menjelang dini hari Imam Khomeini

bertolak dari lapangan udara Roissy dekat Paris menuju Teheran. Pesawat carteran Boeing

milik perusahaan penerbangan Air France membawa Imam Khomeini yang disertai 50 orang

Iran lainnya dan juga 150 wartawan dari berbagai negara tiba di pelabuhan udara Teheran

pada hari Kamis, 1 Februari 1979 pukul 09.02. Jutaan rakyat Iran berkumpul di pelabuhan

udara Teheran menyambut kedatangan Imam Khomeini.

Kembalinya Imam Khomeini ke Iran menandakan puncak revolusi Iran terjadi. Imam

Khomeini kemudian mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara karena Kabinet

Shapour Bakhtiar sudah tidak diindahkan oleh rakyat Iran. Pada tanggal 12 Februari Imam

Khomeini melantik Dr. Mehdi Bazargan sebagai kepala pemerintahan sementara Iran.

Kemudian tanggal 13 Februari Perdana Mentri Mehdi Bazargan mengumumkan

pembentukan Pemerintah Sementara Iran, diantaranya:

1. Dr. Ibrahim yazdi, Wakil Perdana Mentri Urusan Revolusi

2. Hasshem Sabbaghian, Wakil Perdana Mentri Urusan Pemindahan Kekuasaan

3. Amir Estezam, wakil Perdana Mentri Urusan Hubungan Msyarakat

Page 17: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

4. Mayor Jendral Mohamad Vali Gharbani, Kepala Staf Angkatan Perang Iran

5. Karim Sanjabi, Mentri Luar Negeri.

Dengan dibentuknya pemerintahan sementara yang didukung oleh militer, Pasukan

Revolusi menduduki Istana Kerajaan di Nivaran sebelah utara Teheran. Dengan demikian,

maka runtuh pulalah kekuasaan Syah dan Kabinet Shapour Bakhtiar. Kekuasaan langsung

dipegang oleh pemerintahan Sementara Iran. Imam Khomeini dan Pemerintahan Sementara

Iran pada tanggal 30 Maret 1979 melaksanakan referendum pemilihan umum bentuk negara

Iran selanjutnya, kemudian Imam Khomeini pada tanggal 1 April 1979 mengumumkan

bahwa bangsa Iran telah memberikan suaranya dengan bulat bagi Republik Islam Iran. Imam

Khomeini pun mendekritkan tanggal 1 April sebagai Hari Republik Islam Iran untuk

menghormati hasil-hasil referendum nasional yang diselenggarakan dua hari sebelumnya

(Puar, 1979:181).

Pada tanggal 4 April 1979, pemerintah Iran mengumumkan hasil-hasil resmi

referendum selama dua hari yang menunjukan 99,3% mendukung peralihan negeri itu

menjadi sebuah Republik Islam menggantikan kerajaan yang sudah berlangsung selama 2500

tahun. Perjuangan dan pengorbanan Imam Khomeini dengan para pendukungnya

membuahkan hasil manis dengan tumbangkanya Iran dan berganti menjadi Republik Islam

Iran pada tahun 1979.

4.2 Sistem Pemerintahan Islam menurut Imam Khomeini

Beberapa hal yang akan disampaikan mengenai perbandingan antara politik Sunni dan

Syiah adalah sebagai gambaran dan perbandingan tentang pemikiran politik Islam secara

lengkap. Sejarah mencatat bahwa setelah meninggalnya Rasul SAW, maka kepemimpinan

Page 18: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, dalam bentuk Kekhilafahan, namun kemudian muncul

mazhab Syiah, yang diantaranya sebagai landasan pemikiran politik Imam Khomeini.

Berbicara tentang politik Islam, maka akan dihadapkan pada dua pendapat besar yang

terus mewarnai warisan pemikiran Islam, yaitu Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini

menjadi dua kelompok besar dengan perbedaan penafsiran dalam beberapa hal, termasuk

dalam politik Islam. Baik Sunni maupun Syiah memberikan penafsiran-penafsiran yang

sesuai dengan apa yang diyakininya sesuai dengan aturan Islam, sehingga walaupun berbeda

apabila kedua penafsiran tersebut memiliki landasan hukum Islam, maka keduanya adalah

bagian dari ajaran Islam. Betapapun diskusi tentang politik Islam ini telah berlangsung sejak

dahulu, namun kedua kelompok ini belum menemukan titik terang menuju fokus yang sama

dalam hal bagaimana sistem pemerintahan Islam tersebut.

4.2.1 Pemikiran Politik Islam : Muslim Sunni dan Muslim Syiah

Islam, tidak hanya menjadi sebuah agama, namun Islam juga menjadi sebuah sistem

politik. Seperti dalam Al-Khatani (2001:5) Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam

bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion),

namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem). Negara Islam dengan

sistem pemerintahan Islamnya yang sudah ada sejak abad ke tujuh menjadi sebuah bukti

keselarasan Islam atas agama dan politik. Namun setelah bersinggungan dengan berbagai

pemikiran Barat, banyak yang terpengaruh dan berkembanglah pemikiran-pemikiran tentang

politik Islam. Beberapa kalangan ada yang menerima dan ada pula yang menolak pemikirn

Islam tersebut.

Kelompok yang menolak keberadaan politik Islam dapat dikelompokan menjadi dua

kategori utama, pertama adalah pendukung sekularisme, yang berpendirian bahwa agama

harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia. Kelompok yang kedua yaitu kelompok

Page 19: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

yang tidak mempermasalahkan adanya pembatasan-pembatasan. Pada prinsipnya mereka

setuju bahwa tidak ada yang dapat mencegah hubungan antara individu dengan Tuhannya,

namun demikian walaupun Islam memiliki ide-ide tentang politik namun tidak serta merta

semuanya harus menggabungkan antara spiritualitas dengan politik. Jadi ia tidak menentukan

secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Oleh karena itu umat Islam bebas untuk

mendukung rezim apapun yang mereka inginkan. (Vaezi, 2006:11-14).

Terlepas dari perkembangan pemikiran politik Islam yang setuju dan tidak setuju,

pemikiran politik Islam semakin berkembang. Sebagai sebuah agama politik dalam

perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik. Teori-teori politik

tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan

kejadian kesejarahan yang dikaji dan dijadikan teori secara sistematis. Teori-teori politik

yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan

Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka

terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan,

kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara

mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka (Satori, 2007:50).

Perdebatan tentang pemikiran politik Islam semakin luas lingkupnya. Banyak ulama dan

intelektual membahas berbagai aspek pemikiran-pemikiran politik seperti filsafat politik,

ideologi politik, ilmu politik dan sistem-sistem politik. Para pemikir yang membahas

hubungan antara Islam dan politik biasanya tertarik untuk mengetahui ilmu politik seperti apa

yang diajarkan oleh Islam, apakah Islam mendukung filsafat politik atau apakah sumber-

sumber Islam mendukung suatu bentuk sistem politik tertentu.

Secara historis, pemikiran politik Islam selalu tertarik pada masalah kepemimpinan, cara-

cara penunjukan sebuah otoritas politik dan kualitas-kualitas yang harus dipunyai oleh

Page 20: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

seorang penguasa. Meskipun demikian, harus dapat dibedakan sesuatu yang menjadi warisan

pemikir-pemikir politik Islam dan ilmu yang terkandung dalam politik Islam. Pemikiran

politik Sunni dan Syiah menjadi warisan dari pemikiran-pemikiran Islam, untuk memahami

teori politik Sunni dan Syi'ah, diperlukan pandangan ringkas tentang ajaran Islam, sejarah

pertumbuhan kedua aliran ini dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya.

Menurut Abdu Salam Arief dalam Satori (2007:51), Sunni dan Syiah merupakan dua

kelompok besar dalam Islam. Sunni dan Syiah sebenarnya tidak memiliki perbedaan dalam

hal inti keimanan, yaitu meyakini keberadaan Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai

Rasul dan Al-Quran sebagai kitab pedoman hidup. Permasalahan sebenarnya bersumber pada

sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun

kemudian dicarikan legitismasinya secara teologis. Terpecahnya politik kedua golongan

tersebut diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi

Khalifah, namun Muawiyah bin Abu Sufyan menolak eksistensi Kekhalifahan Ali (karena

dianggap tidak serius menangani kasus pembunuhan Usman Khalifah ke-3), hal ini

menimbulkan ketegangan politik yang terus memanas dari kedua belah pihak yang berujung

pada terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sejarawan disebut al-fitnah al-

kubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam

dari generasi ke generasi sesudahnya.

Pada masa sesudahnya, perpecahan politik dalam Islam antara kedua kelompok Sunni dan

Syi'ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah kepemimpinan, antara Imamah

atau Khilafah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi'ah, A. Syarifuddin al–

Mussawi dalam Satori yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab perpecahan diantara umat

Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal

imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada

Page 21: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan Imamah menurut al-Mussawi, adalah

penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi

generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa

dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala

dingin (Satori,2007:52).

Ulama Syi'ah Thabathaba‘i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul

karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, walaupun tidak

berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di

kalangan kaum muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada

perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan

dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut

kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak

oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan

kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah

kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat (Satori, 2007:53).

Ayatullah Rohulloh Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan

pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya,

Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di

Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan

terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme

menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka

sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan

yang menekan.

Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah menurut

ulama Syiah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap

penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini,

Page 22: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran

ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya

pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi.

Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan

dengan ikhwal kepatuhan. Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari pemahaman

kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai

hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang

kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan

dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri. Akar

permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami

Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang

Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan, kadangkala mereka mampu

melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam (Alghar, 1981:55).

Beberapa pendapat di atas merupakan pendapat-pendapat para ulama muslim Syiah,

sehingga pendapat-pendapat tersebut syarat subjektivitas pemikiran muslim Syiah dan

pandangannya terhadap muslim Sunni. Tidak semua muslim Sunni menerima interpretasi

tersebut (terutama kalangan Sunni kontemporer), pada faktanya beberapa negara muslim

Sunni pun banyak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang tiran seperti yang

terjadi pada tahun 2010-2011 yang dialami oleh beberapa negara Sunni seperti Mesir,

Tunisia, Yaman dan Libia.

Pandangan lain menurut Ahmad Vaezi (2006: 76-84) terhadap perbedaan politik

Muslim Sunni dan Syiah juga dapat dilihat dari tiga hal berikut, penunjukan otoritas menjadi

seorang Imam (pemimpin), metode penunjukan dan kualitas-kualitas yang harus dimiliki

seorang pemimpin.

Menurut Muslim Sunni teori pemerintahan Islam adalah dengan Khilafah. Khilafah

secara esensial berarti penerus, atau seseorang yang memegang posisi yang sebelumnya

dipegang oleh orang lain. Akan tetapi kata Khilafah tidak terbatas hanya pada konteks

otoritas politik saja. Seorang Khalifah bukan saja penerus dari pemerintahan sebelumnya

tetapi bisa juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh

orang yang telah menunjuknya, atau menjadi wakil atau penerusnya.

Page 23: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Dalam hal penunjukan otoritas, Muslim sunni berasumsi bahwa otoritas khalifah

termasuk segalanya, mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang abadi, dengan

sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh ahli fiqih Sunni kontemporer, yang

berargumentasi bahwa Allah dan RasulNya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu

sebagai penguasa atas kaum muslimin. Dan sebagai konsekuensi logis atas konsep takdir dan

jalan Ilahiah yang unik ialah tidak menjadi soal siapa yang memerintah dan bagaimana ia

memperoleh otoritas. Sebab, bagaimanapun itu semua tergantung pada kehendak Tuhan.

Adapun dalam konsep Imamah Syiah, otoritas penunjukan seorang Imam adalah hal

yang sangat fundamental. Otoritas yang sah harus ditunjuk baik langsung atau tidak langsung

oleh Tuhan. Seperti halnya dalam keyakinan Syiah, imam-imam Syiah merupakan imam-

imam yang maksum dan otoritasnya ditunjuk langsung oleh Tuhan.

Berkaitan dengan metode penunjukan pemimpin, teori politik Imamah meyakini

bahwa hanya ada satu cara yang sah untuk pengangkatan otoritas dan penunjukan Ilahiah.

Meskipun perwalian faqih yang adil dibentuk atas dasar ini, mereka adalah wakil kuasa dari

Imam yang gaib, yang kepemimpinan Ilahiahnya dibentuk atas dasar penunjukan yang

eksplisit, dan secara implisit menyerahkan perwalian atas pengikut-pengikutnya kepada

mereka. Dan tentu saja semua otoritas ini dianugrahkan oleh Tuhan Yang maha Kuasa yang

mempunyai otoritas dan perwalian mutlak atas semua mahluk.

Berbeda dengan Syiah, menurut Sunni ada beberapa cara dimana seorang khalifah

dapat dipilih, yang menurut Syiah hal ini tidak termasuk pada legitimasi yang unik. Muslim

Sunni menerima penunjukan keempat khalifah pertama setelah wafatnya Nabi, dari mulai

sebagai sumber rujukan agama sampai sebagai otoritas yang menegakan sangsi-sangsi

politik. Sebagai konsekuensinya dalam penafsiran Sunni, seorang khalifah dapat dipilih oleh

Page 24: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

sekelompok kecil elit, oleh penunjukan eksplisit dari pendahulunya atau oleh majelis yang

ditunjuk (syura).

Perbedaan ketiga berkaitan dengan kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin. Dalam doktin Syiah, seorang imam tidak saja sebagai seorang pemimpin politik,

tetapi juga seorang pemimpin agama yang mampu menerapkan ilmu-ilmu Ilahiah. Seorang

imam harus melengkapi dirinya dengan moral dan kualitas-kualitas intelektual yang sangat

tinggi, imunitas dari dosa dan pengetahuan yang tidak mungkin salah. Berbeda dengan

pandangan Sunni, Vaezi berpendapat bahwa dalam Sunni, seorang Khalifah tidak harus

memiliki syarat tidak pernah berbuat dosa dan memiliki pengetahuan yang tidak pernah

salah, dan ketaatan terhadap khalifah harus diberikan walaupun terjadi ketidak adilan atau

tirani.

Adapun beberapa pandangan tentang sistem khilafah yang lain, yaitu menurut Zallum

(2002:53), khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan

kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara. Dalam Islam, kekuasaan dan

pemerintahan adalah milik umat, dan Khalifah menjadi wakil dari rakyat dalam pelaksanaan

urusan tersebut. Syarat seseorang dapat dikatakan khalifah adalah ketika ia memperoleh baiat

dari ahlul hali wal aqdi. Adapun beberapa syarat khalifah terbagi menjadi dua, yaitu sebagai

berikut:

1. syarat Ini‘qod (syarat utama/wajib)

1) Muslim, 2) Laki-laki, 3) Baligh, 4) Berakal, 5) Adil 6) Merdeka 7) Mampu

melaksanakan amanat khalifah

2. syarat Afdaliyah (syarat keutamaan)

1) Mujtahid 2) Pemberani dan Politikus ulung

Page 25: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Syarat-syarat menjadi seorang khalifah di atas menjelaskan kriteria-kriteria yang

harus dipenuhi dan mana yang menjadi keutamaan saja. Beberapa syarat afdaliah

(keutamaan) seperti mujtahid dan politikus ulung, merupakan syarat keutamaan saja,

sehingga ketika pun ia tidak memenuhi hal tersebut namun memenuhi syarat Iniqod maka ia

dapat diterima sebagai khalifah. Begitupunasal keturunan calon khalifah boleh dari kalangan

mana saja, tidak disyaratkan dari kalangan ahlul-bayt saja.

Dari pandangan-pandangan di atas, masing-masing memiliki pemahaman yang

berbeda terhadap Sunni dan Syiah, sudut pandang dan kebulatan pemahaman seseorang

terhadap suatu hal mempengaruhi bagaimana seseorang akan memberikan sikap.

Berkaitan dengan kepemimpinan imamah dan khilafah, menurut Satori (2007:65)

bahwa telah banyak para pemikir cendikiawan muslim Sunni dan Syiah yang telah membahas

permasalahan antara imamah dan khilafah. Dalam sejarah teori politik Islam klasik,

pemikiran politik kalangan Sunni tentang kepemimpinan yaitu terfokus pada konsep-konsep

kepemimpinan yang disebut khilafah, khalifah, ahlu hali wal aqdi, sulthan, dan sebagainya.

Adapun dalam kelompok Syiah, konsep-konsep kepemimpinannya yaitu imamah dan

wilayatul faqih (kepemimpinan ulama/faqih) yang dewasa ini digagas oleh Imam Khomeini.

Secara etimologi, Imam atau Imamah berasal dari bahasa Arab amma yang berarti

pergi, menuju, atau pergi untuk melihat. Imamah mengandung arti petunjuk jalan atau

memberikan suatu contoh. Dalam hal ini imam bisa berarti orang yang mempelopori,

bertindak sebagai pemimpin atau yang memiliki keunggulan dibanding yang lain. Oleh sebab

itu pemimpin dalam suatu ibadah keagamaan juga disebut sebagai imam. Dalam konteks

umum imamah juga didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat. Ini merupakan definisi

umum yang diterima baik oleh para tokoh Sunni maupun Syiah. Kedua kelompok ini

bersepakat bahwa imamah memang berarti suatu pemerintahan yang menjadikan syariah

Page 26: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

sebagai undang-undang pokok atau induk atau yang diistilahkan sekarang sebagai konstitusi

(Satori, 2007:66).

Perbedaan dari kedua kelompok tersebut ialah di kalangan Syiah, imamah mempunyai

makna yang lebih dari sekedar definisi umum seperti pembahasan di atas. Bagi Syiah,

imamah merupakan keyakinan yang paling penting, setelah keyakinan terhadap wahyu

kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Muslim Syiah meyakini bahwa imamah bukan

sekedar kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga bermakna

sebagai kepemimpinan relegius, atau kepemimpinan di bidang politik dan sekaligus agama.

Konsep Imamah menurut Teori Politik Syiah, penjelasan tentang kepemimpinan Islam

dalam pandangan Syiah pada dasarnya bertolak pada konsep wilayah dan imamah. Wilayah

adalah konsep yang luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah, sedangkan

imamah adalah kepemimpinan (zi’āmah), pemerintahan (hukūmah) dan ri’sah ‘ammah dalam

urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi SAW dan para imam sesudahnya.

Dalam konsep Syiah kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah

memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia

yang mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusia-

manusia ini adalah para nabi yang menjadi imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam

urusan kemasyarakatan. Para nabi dilanjutkan oleh para aushiya, dan para aushiya

dilanjutkan oleh para Imam faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian merupakan

keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia (Satori, 2007:67).

Wilayatul Faqih, sebagai konsep kepemimpinan Syiah dan dasar doktrin-doktrin

politik Syiah terutama pada masa kegaiban Imam Zaman merupakan bagian terpenting dan

menjadi komponen universal bagi seluruh muslim Syiah. Baik dalam bertaqiyyah ataupun

perjuangan secara terang-terangan muslim Syiah menjadikan Wilayatul Faqih sebagai tujuan

Page 27: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

pemerintahan untuk menjembatani antara masa kegaiban hingga turunnya Imam ke 12 yang

diyakini muslim Syiah akan kembali.

Berkaitan dengan kerukunan Sunni dan Syiah dalam bernegara, setelah Iran menjadi

sebuah Republik Islam Iran tahun 1979, dan sebagai negara yang mayoritas penduduknya

bermazhab Syiah belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan masyarakat muslim Sunni.

Beberapa laporan di media yang mengabarkan adanya penangkapan terhadap muslim Sunni,

sulitnya muslim Sunni untuk membangun tempat ibadah dan komunitas pengkajian Sunni

masih sering terdengar. Perlakuan ini terkadang berasal dari aparat tapi terkadang juga

dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat Syiah.

Perpecahan Sunni Syiah yang berawal dari konflik politik pada awalnya, hinga kini

setelah lebih dari seribu tahun lamanya tetap menyisakan perpecahan. Belum bersatunya

Sunni Syiah ini selain karena perbedaan pemikirannya juga karena adanya upaya-upaya dari

pihak musuh yang tidak menginginkan persatuan Islam, sehingga mereka terus mengadu

domba dan melanggengkan perpecahan antara Sunni –Syiah ini. Hal ini seperti yang

dikatakan Presiden Syuriah Bassar Al-Assad dalam kunjungannya ke Iran pada Februari

2007, dalam perbincangannya Assad menyatakan,

Menciptakan konflik antara Syiah dan Sunni di Irak dan Lebanon adalah kartu akhir

yang dimiliki Amerika dan sekutunya. Mereka berusaha menutupi kegagalan mereka

dengan membuat propaganda-propaganda bohong. AS dan Israel berusaha merusak

posisi Iran dan Suriah di kawasan (AP/AFP/OKI) (Kompas Online, 19 Februari

2007).

Upaya pemerintah Iran mengahadapi permasalahan ini memang tidak tinggal diam.

Beberapa upaya untuk meredakan konflik ini seperti kerjasama, komunitas dan pertemuan-

pertemuan antara muslim Sunni dan Syiah, dan penutupan hal-hal yang memicu perpecahan

digelar. Seperti ditutupnya makam Abu-Luluah (pembunuh Khalifah Abu Bakar) yang oleh

Page 28: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Muslim Syiah Garis Keras dijadikan sebagai pahlawan dan pemberani. Makam ini ditutup

karena dianggap melecehkan muslim Sunni. Kemudian dibangun kerjasama antara Iran dan

ulama-ulama Muslim Sunni dengan membangun suatu forum Sunni-Syiah

(syiahindonesia.com, 2009).

4.2.2 Wilayatul Faqih

4.2.2.1 Definisi dan Sejarah perkembangannya

Konsep politik Islam wilayatul faqih merupakan poros sentral dari pemikiran Syiah

kontemporer. Sebuah sistem politik yang mengadopsi sistem politik berbasis perwalian, yang

bersandar pada seorang faqih yang adil dan kapabel untuk memegang pimpinan pemerintahan

selama gaibnya Imam yang maksum. Adapun definisi dari Wilayatul Faqih tersebut, adalah

sebagai berikut.

Menurut Tehrani (2005:38), dalam bahasa Arab, kata ‗wilayah‘ dari kata wali yang

menurut istilah kalangan leksiograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil (tunggal) dalam

bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/ hubungan dekat/ persamaan/

pertalian. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata wali: (1) teman;

(2) setia/berbakti; (3) Pendukung atau Penyokong. Di samping ketiga arti ini, dua arti lain

disebutkan untuk kata wilaya’: (1) kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan; (2) kepemimpinan

dan pemerintahan. Dalam bahasa Persia, kata wali memiliki sederet arti, seperti teman,

pendukung, pemilik, pelindung, pembantu, dan penjaga. Begitu pula kata wilayah, yang

bermakna mengatur dan memerintah. Kata wilayah dalam Wilayatul Faqih bermakna

pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan. Sebagian kalangan meletakkan makna ini

untuk mendapatkan pengertian pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim, dan

kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas wali (sang pembawa wilayah) atas mawla

‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah).

Page 29: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Wilayatul Faqih menurut Vaezi (2006:73-84) wilayah memiliki akar kata wali yang

artinya (1) teman, (2) pendukung, (3) berbakti, (4) pelindung. Kata lain yang memiliki akar

kata wali selain wilayah yaitu maula dan maula alaih. Makna dari perwalian yaitu dimana

urusan-urusan seseorang telah diambil alih oleh orang lain. Oleh karena itu siapapun orang

yang mengambil alih urusan-urusan ini adalah wali dan konsekuensinya hal itu juga berlaku

bagi sebuah pemerintahan. Selain itu wilayah juga memiliki arti utama dekat dengan

seseorang atau dengan sesuatu, ditarik ke arti-arti umum seperti mendapat tugas, memerintah,

menjalankan otoritas. Dalam fiqih Islam, istilah wilayah mempunyai beberapa penggunaan,

diantaranya: (1) wilayatul Qaraba, (2) wilayatul Qada, (3) wilayatul hakim, (4) wilayatul

mutlaqa (otoritas mutlak), (5) wilayatul usuba.

Adapun berkenaan dengan faqih (orang-orang yang faham ilmu fiqih), meskipun para

ahli fiqih imamiah umumnya sepakat atas doktrin Niyabah (vicegerency) yang menekankan

peran para ahli fiqih yang kapabel sebagai wakil dari Imam yang gaib, untuk diserahi

sebagian derajat otoritasnya. Beberapa peran-peran dan fungsi dari ahli fiqih yang cakap

memenuhi syarat sebagai wakil dari Imam adalah sebagai berikut : (1) membuat suatu fatwa

(ifta), (2) untuk menghakimi (al-qada), (3) menguasai urusan-urusan hisbiya.

Apabila seorang imam telah mendelegasikan otoritas dan tugas-tugasnya secara

menyeluruh kepada seorang faqih yang adil dan kapabel sebagai wali/wakilnya selama masa

gaib Imam Besar, wilayah fuqaha akan menjadi universal (amma). Keuniversalan wilayah

membawa implikasi bahwa masyarakat Islam membutuhkan seorang wali untuk memimpin

dan mengatur urusan-urusan mereka, tanpa mempermasalahkan kehadiran seorang imam

yang maksum.

Berdasar penjelasan di atas, Wilayatul Faqih dapat didefinisikan sebagai sebuah

otoritas yang diserahkan kepada fuqaha yang berilmu tinggi, sehingga mereka dapat

Page 30: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

mengarahkan dan memberi nasihat pada umat Islam selama tidak hadirnya seorang Imam

Maksum. Otoritas ini didapat dari hujjah Tuhan, oleh karena itu wajib menaati semua

perintah-perintahnya sebagai otoritas tunggal yang sah, baik dalam urusan keagamaan

ataupun pemerintahan.

Menurut Yamani (2003:125) mengingat pemerintahan Islam merupakan pemerintahan

hukum, maka mengetahui hukum menjadi keharusan bagi para penguasa. Sudah merupakan

prinsip yang disepakati bahwa faqih memiliki otoritas atas penguasa. Apabila penguasa

mengatur Islam, maka para penguasa harus tunduk pada faqih dan bertanya bagaimana aturan

dan cara menerapkan hukum Islam. Maka dengan demikian, sesungguhnya penguasa adalah

faqih itu sendiri.

Melihat beberapa penjelasan definisi Wilayatul Faqih dari beberapa ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa wilayatul faqih, merupakan sebuah konsep pemerintahan dimana para

penguasa (yang memiliki otoritas) yang menjalankan hukumnya adalah seorang faqih atau

berada di bawah pengawasan faqih selama dalam masa kegaiban Imam Maksum. Sehingga

hukum – hukum Islam senantiasa terjaga baik dalam pemerintahan maupun dalam

keagamaan.

Beberapa pendapat tentang Wilayatul Faqih (wilayatul amma) adalah suatu

perkembangan baru dalam pemikiran Islam dan tidak terkait dengan fuqaha imamiah yang

terdahulu. Namun beberapa literatur historis fiqih imamiah menunjukan bahwa Wilayatul

Faqih (wilayatul amma) adalah sebuah konsep yang didukung secara luas oleh banyak fuqaha

berpengaruh (Vaezi,2006:101).

Dua alur pemikiran diantara para pendukung wilayatul amma, yaitu mereka yang

secara terang-terangan mengatakan bahwa Wilayatul Faqih adalah universal dan beberapa

pendapat lain mengatakan bahwa seorang faqih yang alim dapat diserahi beberapa tugas

Page 31: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

utama yang tiga, yaitu ifta, qada, dan hisbah. Pendapat yang kedua ini terjadi pada awal

periode fiqih Syiah. Komunitas Syiah di Iran (Persia) pada mulanya merupakan komunitas

minoritas tanpa politik (kekuasaan), hingga munculnya dinasti Safawid. Hal ini megakibatkan

bahasan otoritas, teori politik dan tugas-tugas penguasa dalam pemerintahan memiliki

bahasan yang sedikit dari para fuqaha Syiah. Pendapat-pendapat mereka baik secara hasil

ijtihad ataupun secara konsensus umum (ijmaa) tentang pembahasan ini sesuai dengan para

fuqaha imamiah, namun para fuqaha tersebut memilih untuk bertaqiah (berdiam diri)

berkaitan dengan isu politik, seperti pemerintahan dan otoritas universal, hal tersebut

dilakukan oleh situasi sosial politik saat itu yang tidak mendukung kelompok Syiah. (Vaezi,

2006:103).

Berkenaan dengan alur pemikiran yang menyatakan secara terang-terangan bahwa

wilayatul faqih adalah universal, salah seorang faqih imamiah Al-Muhaqiq al Karaqi berkata,

Fuqaha imamiah mempunyai konsensus dalam satu hal, bahwa faqih yang benar-

benar memenuhi syarat, dikenal sebagai mujtahid adalah wakil (naib) dari maksumin

as dalam segala urusan yang berkaitan dengan niyabah (perwalian). Oleh karena itu,

adalah wajib untuk merujuk padanya dalam menerima ligitasi dan menerima

putusannya. Jika perlu, ia bisa menjual harta dari pihak yang menolak untuk

membayar apa yang menjadi tanggungannya. Hal ini lebih baik daripada jika tidak

ada wilayatul amma, dimana banyak urusan-urusan dan keperluan ummat Syiah tidak

terselsaikan (Vaezi, 2006: 103).

Adapun menurut Syeh Muhammad Hassan,

Melaksanakan hukuman-hukuman Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah

agama adalah sebuah kewajiban dalam era gaibnya Imam. Sebagai wakil dari Imam

as, banyak hal yang ditangani fuqaha. Status sosial faqih adalah sama dengan Imam.

Tidak ada bedanya antara dia dengan Imam as dalam hal ini. Putusan (verdict) dari

fuqaha kita dalam hal ini adalah tak terbantahkan. Dalam pekerjaan mereka, kerap

kali mereka menggaris bawahi ide untuk merujuk pada seorang wali (hukum) yang

merupakan wakil dari Imam yang Gaib. Apabila fuqaha tidak memiliki perwalian

yang umum (general vicegerency), maka semua urusan umat Syiah akan tetap tidak

tertangani. Yang mengherankan ialah mereka yang menyatakan keberatan atas

wilayatul amma dari faqih, seakan-akan seperti mengabaikan jurisprudenci (fiqih) dan

Page 32: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

kata-kata Imam Maksum. Mereka tidak merenungkan kata-kata itu berikut maknanya

(Vaezi, 2006:104).

Menurut haji Aga Reza Hamedani,

Bagaimanapun juga, tidak ada keraguan bahwa fuqaha yang berintegritas tinggi (jami

al-Sharayeti), yang mempunyai kualitas-kualitas sempurna yang diperlukan untuk

menangani Wilayatul Faqih adalah wakil imam pada saat itu. Fuqaha kita telah

membuat pernyataan ini dalam karya mereka yang mengindikasikan bahwa

pandangan mereka mengenai Wilayatul Faqih dalam segala hal tidak terbantahkan

lagi, sehingga beberapa dari mereka membuat konsensus (ijmaa) untuk dilampirkan

sebagai bukti dari perwalian umum faqih (niyabah al-mma) (Vaezi, 2006:105).

Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa pembahasan Wilayatul Faqih

merupakan bukan suatu pembahasan baru dalam politik Syiah, namun merupakan suatu

bahasan yang tidak terputus dari fiqih imamiah.

Setelah Syiah terimplementasikan pada masa dinasti Safavid, ulama-ulama (faqih)

Syiah memiliki pengaruh dalam kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Namun lambat laun

posisi para ulama kian tersingkirkan dalam ranah politik, bahkan beberapa penguasa

menganggap para ulama sebagai oposisi.

Setelah sekian lama otoritas faqih tidak diakui, adalah Mulla Ahmad Naraqi atau

Fadhil Kasyani Ali Syah seorang faqih terakhir dinasti Qajar pada abad -19 kembali

mengungkapkan gagasan mengenai otoritas pemerintahan faqih.

Mulla Ahmad Naraqi berpandangan bahwa faqih mempunyai wilayah atas apapun

yang dimiliki Nabi Muhammad SAW dan imam-imam maksum. Sebagai pemimpin atas

masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Faqih mempunyai wilayah itu kecuali masalah-

masalah yang menurut ijma’ atau nash jelas berada diluar lingkup wilayahnya. Wilayah

seorang faqih yaitu apapun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniaan

masyarakat yang perlu diselesaikan. Hal ini menurut Naraqi selain sudah merupakan

Page 33: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

kesepakatan para faqih terhadap kebenaran hukum Islam, juga karena banyak hadits-hadits

yang dengan jelas memberi penekanan pada masalah ini.

Kemudian Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) penulis kitab Jawahir

mengemukakan pendapatnya mengenai konsep Wilayatul Faqih. Ia menulis,

Pernyataan umum tentang wilayah al- faqih di jadikan argumen melalui praktik

dan fatwa-fatwa para ahli hukum agama (fuqaha). Ini berarti bahwa dalam

pandangan mereka, wilayah al-faqih adalah aksiomatik dan tidak perlu dibuktikan

lagi. Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada

para fuqaha ‗pemegang otoritas‘ (ulil amri) sebagai kewajiban kita, bukti-bukti

mengenai pemerintahan faqih, khususnya hadits dari Imam Mahdi membenarkan

hal itu (Satori, 2007:89).

Dari pernyataan di atas menurut Syeikh Najafi (dalam Satori, 2007:89), bahwa

permasalahan pemerintahan faqih, merupakan sesuatu hal yang dapat diterima oleh

masyarakat muslim, karena telah banyak dalil-dalil yang memberikan bukti yang sangat jelas.

Pandangan lain dikemukakan oleh Ayatullah Burujerdi (w. 1962) dalam Satori

(2007:89), yang menganggap bahwa pemerintahan faqih dalam segala urusan telah

mempengaruhi masyarakat sebagai aksioma, sehingga tidak diragukan lagi untuk

mempengaruhi menyatakan dengan penuh yakin bahwa banyak hadits yang membuktikan

masalah ini. Pendapat Burujerdi dibenarkan oleh Ayatullah Syeikh Murthada Hariri, yang

merupakan guru dari Ayatullah Khomeini. Ia menganggap perintah suci (berupa stempel,

tanda tangan, perintah) dari Imam Mahdi sebagai salah satu bukti tentang Wilayah al-Faqih.

Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini (w. 1989) dalam Teherani (2005:56-57) seorang

faqih yang kemudian mengaplikasikan konsep Wilayatul Faqih ini secara praksis ke dalam

konstitusi Iran, meyakini bahwa faqih menerima otoritas absolut (mutlaqah). Yaitu bahwa

faqih yang memenuhi persyaratan penuh (jami’ syarait) diberi semua kekuasaan dan

tanggung jawab Imam ke-12 pada masa keghaibannya kecuali bila ada alasan tertentu yang

Page 34: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

pasti bahwa kekuatan dan tanggung jawab itu masih berada di tangan Imam. Imam Khomeini

mengatakan,

Ide wilayah al-faqih bukanlah temuan kita. Wilayah al-faqih adalah sebuah

masalah yang telah bergulir lama…yang mana kita hanya menggali serta

mendiskusikan aspek-aspek yang berbeda dalam konteks pemerintahan untuk

lebih memperjelas duduk perkaranya…ini adalah masalah yang sama dengan

yang dipikirkan dan disampaikan para fuqaha itu. Kita mengemukakan inti

permasalahan; (jadi selanjutnya) ini tergantung pada generasi sekarang dan yang

akan datang untuk meneliti lebih lanjut dan berusaha menemukan cara-cara untuk

merealisasikannya…

Dari beberapa pandangan para fuqaha tersebut, bahwa konsep wilayatul faqih

merupakan konsep yang telah lama ada dan berkembang seiring waktu. Hingga sampai saat

ini ketika konsep tersebut telah direalisasikan dalam konstitusi Republik Islam Iran oleh

Imam Khomeini.

4.2.2.2 Dalil dan Dasar Argumentasi Rasional Konsep Wilayatul Faqih

Secara prinsipil, masalah Wilayatul Faqih berakar pada dasar-dasar argumentasi

rasional dan pada dalil teks-teks keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim

Muharram Habsiye dalam Satori (2007:92), argumentasi wilayatul faqih berakar pada:

Pertama, keharusan adanya pemerintahan sebuah masalah, selama menyangkut sistem nilai

baik dan buruk yang berkaitan dengan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, maka

otomatis ia akan menjadi objek agama; Kedua, pemerintahan merupakan masalah yang ekstra

krusial dalam kebahagiaan itu, maka agama mengingat tujuannya, harus memasuki wacana

pemerintahan. Akal mensyaratkan keadilan, pengetahuan agama dan kemampuan memimpin

bagi pemerintahan (penguasa). Ketiga, Al-Qur‘an memberi pernyataan pada surah an-Nissa

ayat 59,

Page 35: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Wahai orang-orang yang beriman. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan

mereka yang memiliki otoritas atas kalian dan jika kalian bertikai tentang sesuatu

maka kembalikanlah hal itu ke Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan

Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya..

Dengan meyakini keselarasan dan keserasian antara akal dan keyakinan (naql) maka

menurut Satori (2007:93) dengan ayat suci ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal:

a. Pemerintahan termasuk wilayah agama,

b. Pemerintahan hanya merupakan hak Tuhan,

c. Ketaatan terhadap penguasa legitimate seiring dengan ketaatan terhadap Allah dan

Rasul-Nya.

Penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa dalam pemikiran Syiah, kebutuhan akan

pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih sudah dibuktikan dalam banyak hadist yang

terutama sanadnya disampaikan oleh ahli-ahli hadits kalangan Syiah. Ada banyak hadis dan

riwayat dikemukakan sebagai dalil wilayatul faqih, salah satu hadist tersebut antara lain

sebagai berikut,

Riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib ra, melalui Syekh al-Shaduq, bahwa Rasulallah

SAW mengatakan, "Ya Allah! Berikanlah kasih sayang dan kemurahan kepada

penggantiku." Ketika ditanya siapakah para penggantinya itu, Rasulallah menjawab,

"Mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku.

Menurut Teherani (2005:61-62), terdapat dua catatan penting mengenai riwayat dan

sanad dari hadis ini bagaimana memaknai wilayatul faqih: Pertama, Rasulullah SAW

mempunyai tiga tanggung jawab utama: (1) menyebarkan wahyu Allah SWT, menyampaikan

perintah-perintah agama dan membimbing umat manusia; (2) memutuskan perkara-perkara

yang berhubungan dengan hukum dan melerai percekcokan; dan (3) masalah wilayah, yakni

pemerintahan dan kepemimpinan atas umat Islam. Kedua, maksud dari perkataan "mereka

yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku" tertuju pada

Page 36: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

para fuqaha, bukan untuk para perawi dan pelapor hadits semata. Karena seseorang yang

memiliki keahliah dan dapat menentukan sebuah hadist dan sunah itu berasal dari Rasulullah

SAW, berarti telah mencapai maqam faqih dan memiliki kecakapan dalam berijtihad

(memberi interpretasi dan pertimbangan mandiri) Dengan mempertimbangkan masalah

penting tersebut, maka hadits ini menyatakan sebagai berikut, "Para fuqaha adalah pengganti-

pengganti Nabi SAW." Karena Nabi memegang beberapa kedudukan, sementara tidak ada

kedudukan khusus yang disebutkan, maka selanjutnya dikatakan bahwa para fuqaha adalah

pengganti-pengganti Nabi SAW dalam semua kedudukan itu Hadits selanjutnya, riwayat dari

Imam ke-12, Syekh al-Shaduq meriwayatkan dalam kitab Kamal ad-Din dari Ishaq bin

Ya'qub, bahwa Imam Mahdi, Imam ke-12 memberi jawaban atas pertanyaan Ishaq secara

pribadi, ia menuliskan yang bersegel tuqi' yang isinya ―Dimasa ketidakpastian (kegaiban

Imam) rujuklah para penghantar (perawi) hadis-hadis kami (faqih), Karena mereka adalah

hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka‖ (Satori, 2007:44).

Dalam menegakkan otoritas fuqaha, para pembela wilayatul faqih sering merujuk

pada bagian kedua dari hadits ini, yang berbunyi "Mereka hujjah-ku untuk kalian dan aku

hujjah Allah untuk mereka." Bagaimanapun menurut ulama Syiah seperti Imam Khomeini

berpendapat bahwa bagian pertama dari hadits tersebut juga bisa digunakan untuk

menegakkan otoritas faqih. Bagian pertama dari hadits itu mendorong masyarakat untuk

bertanya pada mereka yang dekat dengan ajaran-ajaran para Imam as. menyangkut semua

parmasalahan baru yang dihadapi masyarakat.

Pernyataan itu membuat jelas bahwa fuqaha bertindak sebagai hujjah dari Imam

dalam segala hal dimana Imam bertindak sebagai hujjah Allah dalam bagian kedua hadits

tersebut, Imam Khomeini menjelaskan bahwa hujjah Allah sebagai seseorang yang telah

dipersiapkan oleh Allah untuk menjawab beberapa perkara, artinya segala perbuatan,

Page 37: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

tindakan-tindakan, dan perkataan-perkataannya bermakna sebagai hujjah (bukti) bagi kaum

muslim. Kesimpulannya menjadi seorang hujjah berimplikasi memegang otoritas atas para

pengikutnya dan oleh karenanya semua perintah-perintah dari pemegang status seperti itu

haruslah dipatuhi. Inilah yang kemudian dijadikan dalil wilayatul faqih sekaligus menjadi

bukti kuat bahwa fakih adalah wakil Imam. (Teherani, 2005:86)

4.2.2.3 Pengertian Faqih dan Kualifikasi Faqih

Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam konsep wilayatul faqih,

hanya seseorang yang telah mencapai tingkat fuqaha (tingkat seorang faqih) dan cakap dalam

menggali hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber yang sahih (al-Qur‘an dan Hadits) saja

yang dapat menangani masyarakat Islam. Bagaimanapun juga pemimpin atau penguasa

masyarakat Islam harus mampu membuat keputusan dan pertimbangan hukum yang tepat

berdasarkan ketentuan yang telah dibuat oleh Tuhan. Di samping itu ijtihad dan kemampuan

untuk membuat interpretasi dari keputusan hukum yang mandiri, seharusnya dibatasi dalam

sebuah bidang tertentu, Imam Khomeini mengatakan,

Seorang wali harus memiliki dua sifat, yang keduanya merupakan ketentuan

mendasar dalam pemerintahan -yakni pemerintahan dengan undang-undang Ilahi-

yang tidak dapat diterima akal kecuali dengan keduanya. Yang pertama adalah

pemahaman terhadap undang-undang. Dan yang kedua, keadilan. Sedangkan masalah

kafa'ah termasuk ke dalam permasalahan ilmu dengan keluasan ungkapannya, yang

juga tidak diragukan keharusannya bagi seorang hakim. Dapat juga Anda katakan

syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang mendasa r(Teherani, 2005:74).

Dalam buku lain yaitu bukunya yang berjudul Islamic Government, Imam Khomeini

(dalam Satori, 2007:96) mengklasifikasikan sekurang-kurangnya ada delapan (8) persyaratan

yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu:

(1). Mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; (2). Harus Adil, dalam arti

memiliki iman dan akhlak yang tinggi; (3). Jenius; (4). Dapat dipercaya dan berbudi luhur;

(5).Memiliki Kemampuan Administratif; (6). Bebas dari segala pengaruh Asing; (7). Mampu

Page 38: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam,

sekalipun harus dibayar dengan nyawa, dan; (8). hidup sederhana.

Sedangkan menurut Jalaludin Rahmat (dalam Satori, 2005:96) secara terperinci

seorang faqih harus mencukupi syarat-syarat berikut, antara lain,

a. Faqahah

Page 39: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Faqahah adalah pencapaian derajat ijtihad (mujtaid muthlaq), yaitu kemampuan

secara ilmi dalam menurunkan hukum syariat dari dalil-dalil yang telah tetap baginya. Juga,

faqahah sebagai syarat imamah terbagi dua: Pertama, bahwa untuk memenuhi tugas dan

tanggung jawab, seorang imam hendaknya memiliki kecukupan (kafaah) ilmu dalam setiap

permasalahan syariat Islam, mulai dari hukum-hukumnya, tujuan syariat, akhlak syariat, dan

metode syariat dalam membenahi setiap perkara, sehingga dia pun dapat mengatur

perjalanan politik pemerintah. Juga hendaknya memiliki kemampuan ilmi dalam mengatasi

kesulitan-kesulitan dengan dasar syariat. Dalam hal ini, seorang imam tidak dibenarkan

untuk bersandar kepada mujtahid lain. Karena dalam menentukan ketentuan syariat haruslah

sesuai dengan permasalahan politik yang ada. Dalam menentukan keperluan umum suatu

pemerintahan, diperlukan kebijaksanaan yang selalu sesuai dengan cuaca politik yang ada,

serta meliputi seluruh masalah yang diperlukan dalam pemerintahan.

Seorang imam harus memiliki pandangan yang jelas tentang seluruh kebutuhan

syariat yang harus dimiliki suatu pemerintah, sehingga itu semua tidak akan dapat dicapai

kecuali waliul amr ataupun imam adalah seorang mujtahid. Kedua, selain imam adalah

seorang mujtahid, sebagai syarat umat dibenarkan taklid kepadanya, akan sangat banyak

memudahkan apabila imam juga seorang marja' taqlid, sehingga mempererat keterikatan

antara imam dengan umat. Hal ini sangat penting karena keberhasilan pemerintahan Islami

juga bergantung pada hubungan keterikatan antara imam dan umat.

b. 'Adalah (Bertindak Adil )

'Adalah yaitu sifat istiqamah dalam tariqah dan syariat Islam. Dengan syarat,

istiqamah sudah merupakan tabiat yang tetap bagi seorang yang disifati adil, atau dengan

ibarat yang lain, telah menjadi kebiasaan baginya. Demikianlah pendapat yang masyhur di

antara para ulama. Mereka tidak mengartikan 'adalah cukup hanya dengan memenuhi

kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Tetapi sudah merupakan suatu kekuatan

Page 40: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

dalam menguasai diri, sehingga orang percaya bahwa dia tidak lagi akan melakukan

pelanggaran meskipun dalam situasi yang sangat sulit.

mempertahankan agamanya, menentang hawa nafsunya, taat pada perintah maula-nya, maka

bagi orang awam hendaklah bertaklid kepadanya."

c. Kafa'ah

Makna kafa'ah adalah pemahaman yang dimiliki secara luas mencakup permasalahan

kemasyarakatan, politik, dan kemanusiaan, yang semuanya merupakan pendukung untuk

sampai kepada wilayah yang baik, seperti yang telah disebutkan dalam hadits. Bersabda

Rasul SAW:

Siapapun yang memimpin kaum muslim, sementara ia melihat adanya seseorang yang

lebih utama darinya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum

muslimin." Imam Khomeini berkata: "Masalah kafa'ah adalah masalah pengetahuan

dalam bentuk luas. Dan tidak diragukan kelazimannya bagi seorang hakim.

4.2.3 Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini

Berbicara mengenai konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang

benar-benar baru dari Imam Khomeini. Imam Khomeini mengungkapkan bahwa persoalan

keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang bisa segera

disepakati, khususnya di kalangan Syiah. Hal tersebut diungkapkan Imam Khomeini dalam

kalimat pembuka kumpulan ceramah-ceramahnya mengenai pemerintahan Islam yang diberi

judul Hukumat-I Islam (Yamani, 2003:114).

Menurut Imam Khomeini dalam buku Hukumat-e Islami tersebut, tema wilayatul

faqih sebenarnya dapat diterima keberadaanya dengan mudah dan tidak lagi memerlukan

dalil untuk mendukungnya. Keberadaan pemerintahan Islam akan menjamin keberlangsungan

ditegakan hukum-hukum Islam. Beberapa hal yang berkaitan dengan konsep wilayatul faqih

Page 41: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Imam Khomeini adalah tentang kebutuhan akan pemerintahan Islam, bentuk pemerintahan

Islam dan bagaimana pandangan Imam Khomeini terhadap demokrasi.

4.2.3.1 Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam

Menurut Imam Khomeini, Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat

hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum

Muslim sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu

efektif, diperlukan kuasaan eksekutif (al-shulthon al-tanfidziyyah). Makna diwajibkannya

kaum Muslim menaati ulil amri di samping Allah dan Rasulnya, berarti kaum muslim

diwajibkan untuk membentuk pemerintahan. Suatu peraturan akan menjadi sia-sia tanpa

adanya kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajiban-

kewajiban seorang muslim tidak mengenal waktu dan situasi siapa yang berkuasa saat itu.

Tidak ada dasar bagi setiap muslim untuk mengesampingkan kewajiban-kewajiban seorang

muslim seperti membayar zakat, jizyah, kharaj, khumus, ataupun dalam pelaksanaan hukum

qishas dan hudud (Yamani, 2003: 116).

Kewajiban membentuk pemerintahan Islam juga dapat dilihat dari makna kewajiban

seorang muslim menjaga integritas wilayah Islam. Sifat dan hukum Islam sendiri memiliki

fungsi untuk mengelola urusan politik, ekonomi, soaial dan kebudayaan. Hukum Syariah juga

meliputi segenap aspek yang membentuk suatu system social yang lengkap, mulai dari

hubungan pertetanggan, kewarganegaraan, kekeluargaan, sampai hubungan internasional.

Aturan-aturan bersosial dan ibadah individual dalm Islam prbandingannya adalah seratus

banding satu.

Pendapat lain adalah keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup

untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat

mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan

Page 42: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil keputusan atas suatu masalah).

Karnanya, Allah yang maha kuasa, dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis

seperti aturan-aturan syariat telah meletakan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh

institusi eksekutif dan administratif.

Rasul SAW telah membentuk institusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat.

Berkaitan dengan penyampaian wahyu, penjelasan, dan penafsiran atas akidah, hukum-

hukum Islam serta penegakannya, Rasul saw menegakan semua tanggung jawabnya, dan

dengan hal tersebut Rasul saw membentuk negara Islam. Dalam penerapannya, Rasul saw

tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menerapkannya, seperti hukum memotong

tangan, mencambuk dan merajam. Setelah Rasul saw wafat, para penerus kepemimpinan

beliau juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama. Ketika Rasul saw menunjuk seorang

penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan hanya untuk menjelaskan tentang akidah

dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksekusi berdasarkan hukum

Allah SWT (Khomeini, 2002:35).

Wajibnya pengeksekusian hukum-hukum Islam dan penegakan negara Islam

menjadikan adanya penerus Rasul saw adalah suatu hal yang sangat penting. Sepeninggal

Rasul, kaum Muslim tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi (menerapkan)

hukum-hukum Islam dan menegakan negara Islam, sehingga kaum muslim akan

mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Keberadaan legislative (pembuat hukum) tanpa

pelaksanaan hukumnya hanya akan memberikan sedikit manfaat, oleh kaena itu setelah

adanya pembuat hukum, harus terbentuk pula eksekutif (pelaksana), dan hal inilah yang akan

memberikan manfaat untuk manusia dan masyarakat.

Mengingat pentingnya hal tersebut, menurut Imam Khomeini, Islam mewujudkan

seseorang yang pantas menduduki kekuasaan eksekutif. Orang yang memegang kekuasaan

Page 43: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

eksekutif ini disebut wali amr. Yaitu seseorang yang memiliki otoritas untuk memutuskan

suatu perkara atau permasalahan umat. Sebagaimana tersebut dalam Quran surah an-nisa:

―wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan ulil amri kalian‖

(QS. An-nisa: 59).

Assunah dan thariqoh (metode rasul) menyajikan bukti atas kebutuhan akan tegaknya

pemerintahan. Pertama, Nabi Muhammad sendiri menegakan sebuah pemerintahan,

sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah, ia melaksanakan hukum-hukum Islam,

menegakkan aturan-aturannya dan fungsi administrasinya dalam masyarakat. Nabi

Muhammad SAW telah menjalankan seluruh fungsi pemerintahan seperti, mengutus orang-

orang terpilihnya untuk menjadi Gubernur di daerah-daerah yang berbeda, membentuk badan

kehakiman dan menunjuk seorang hakim, mengirim duta (utusan) ke berbagai negara asing,

kepala suku dan para Raja, ia juga mensyahkan berbagai perjanjian dan pakta, serta

memimpin sendiri pasukan Islam di berbagai pertempuran.

Kedua, Nabi Muhammad menunjuk seorang pelaksana aturan-aturan untuk

meneruskan kepemimpinan beliau yang didasari atas perintah Allah SWT. Hal ini dapat

dimaknai jika Allah Yang Maha Kuasa, melalui Nabi Muhammad SAW, menunjuk seseorang

yang akan menjalankan aturan sebagai masyarakat muslim sepeninggalnya, maka ini

merupakan indikasi bahwa pemerintahan tetap menjadi kebutuhan setelah wafatnya Nabi.

Dengan menjalankan perintah Allah melalui penunjukan seorang penerus kepemimpinan,

Rasulullah SAW secara implisit menegaskan perlunya untuk menegakkan pemerintahan.

Dengan demikian jelaslah bahwa kebutuhan akan perundang-undangan dan terbentuknya

pemerintahan oleh Nabi SAW tidak terbatas pada masanya, melainkan terus berlanjut setelah

Nabi wafat (Khomeini, 2002:35-37).

Selanjutnya Imam Khomeini mengatakan,

Page 44: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

In truth, the social laws and regulations need an executor. In all countries of the

world, legislation alone is not enough and cannot secure people's happiness. The

legislative authority that can bring to people the fruits of just legislation. This way

Islam decides to establish an executive authority side by side with the legislatif

authority and appointed a person in charge to implement. In addition to teaching,

disseminating, and explaining.

Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan memerlukan keberadaan

eksekutor. Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri

sendiri, tidak cukup memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin

terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan

eksekutif harus terbentuk. Islam menentukan untuk keharusan keberadaan eksekutif

disamping legislative dan menetapkan seseorang untuk menjadi pelaksananya. Hal ini

bertujuan untuk mengajarkan, menyebarkan dan menjelaskan (Satori, 2007:102).

Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan merlukan keberadaan eksekutor.

Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri sendiri, tidak cukup

memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan

untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk.

Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh

pengadilan. Hal ini akan menjadikan hukum-hukum lebih bermanfaat bagi manusia dan

masyarakat juga akan mendapatkan keputusan adil. Kebutuhan akan berjalannya hukum Ilahi,

kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuan-

tujuan dari misi kenabian serta tegaknya aturan yang adil yang akan memberikan

kebahagiaan bagi umat manusia, menurut Imam Khomeini dapat dilakukan semuanya dengan

penunjukan atas seseorang untuk menjadi penerus kepemimpinan yang merupakan pelengkap

dari misi kenabian.

Imam Khomeini adalah seorang ulama yang menginterpretasikan Islam sebagai

agama yang memiliki komitmen terhadap perkembangan sosial dan politik. Bagi Imam

Khomeini, masalah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah perlunya Islam dan Iran

merdeka dari kolonialisme Barat dan Timur, serta perlunya kaum ulama bertanggung jawab

Page 45: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

untuk kemanusiaan, tidak hanya di Iran tetapi juga terhadap orang-orang lapar dan tertindas

dimanapun mereka berada. Imam Khomeini yakin bahwa Islam itu bersifat politis, kalau

tidak maka agama hanyalah omong kosong belaka. Menurut Khomeini, al-Qur'an memuat

seratus kali lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada

masalah-masalah ibadah. Menurutnya jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya

mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan mahluk-Nya.

Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh campur

dalam masalah-masalah sosial politik, menurut Imam Khomeini merupakan propaganda dari

Imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah

sosial politik. Mereka itulah yang menurut Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang

menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan pada mereka dari para Imam. Imam

Khomeini mengutuk sikap para "ulama istana" (ulama of the court/ akhund-ha-e-darbari),

yaitu mereka yang berdampingan dengan Syah dan menerima jabatan yang diberikan Syah.

Para ulama seperti itu menurut Khomeini merupakan musuh Islam (Satori, 2007:102).

Pendapat lain yang menyatakan akan butuhnya pemerintahan islam, yaitu bahwa asas

dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat) menjadi bukti tambahan

atas kebutuhan tertegakannya pemerintahan. Hukum-hukum Islam memberikan indikasi

bahwa hukum Islam diciptakan untuk menegakan negara dan menangani permasalahan

politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.

Pertama, hukum-hukum syariat mencakup bermacam-macam badan hukum dan

peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang lengkap. Pada system ini semua

kebutuhan manusia terpenuhi. Kebutuhan ini berupa menjalin hubungan dengan para

tetangganya, sesama warga negara, anak-anak dan keluarganya, dan yang berkaitan dengan

kehidupan pribadi dan pernikahannya. Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang

Page 46: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

dan damai, hubungan dengan negara-negara lain, hukum komersial dan hukum tentang

perdagangan dan pertanian.

Hukum-hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan

persiapan dan bagaimana melakukan ijab qabul dalam pernikahan. Hukum-hukum ini pun

meliputi aturan turunannya, seperti aturan-aturan yang berhubungan dengan perkembangan

janin dalam kandungan, serta apa yang harus dimakan orang tua saat merencanakan

kehamilan. Kemudian hukum-hukum yang menetapkan kewajiban-kewajiban atas para ibu

selama mereka menyusui bayi, bagaimana mengasuh anak, dan mengatur hubungan suami-

istri serta anak-anak mereka. Keberadaan hukum-hukum tersebut dalam Islam bertujuan

untuk membentuk penganutnya (muslim) menjadi manusia seutuhnya yang saleh yang akan

menerapkan dan melaksanakan hukum-hukum Islam tersebut secara alaminya. Hal ini

menunjukan begitu besarnya perhatian Islam akan sebuah pemerintahan dan hubungan social

politik dalam masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi

pembentukan manusia yang tulus dan saleh (Khomeini, 2002: 39).

Kedua, jika diteneliti lebih dalam lagi tentang asas dan karakter ketetapan hukum,

maka akan disadari bahwa eksekusi dan pelaksanaannya tergantung dari bentuk

pemerintahannya, tidak mungkin perintah-perintah Allah (hukum Islam) bisa ditegakan tanpa

adanya organ-organ eksekutif (penegak hukum) dan administrative yang sesuai dengan

hukum Islam (Khomeini, 2002:39-40).

Dari penjelasan-penjelasan di atas, semakin menegaskan akan pentingnya keberadaan

sebuah negara dalam rangka pengeksekusin (penerapan) hukum-hukum Islam. Adanya

legislative (pembuat hukum) hanya akan menjadi sebuah hiasan tanpa adanya eksekutor

(pelaksana) hukum-hukum tersebut. Keberadaan legislative harus diikuti dengan keberadaan

Page 47: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

eksekutif supaya hukum-hukum tersebut dapat membuahkan manfaat bagi kehidupan

manusia.

4.2.3.2 Bentuk Pemerintahan Islam

Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Islam berpendapat bahwa Pemerintahan

Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada saat ini. Sebagai contoh,

pemerintahan Islam bukan pemerintahan yang bersifat tirani, dimana para pemimpin negara

dan pemerintahan yang tiran dapat bertindak sewenang-wenang atas harta dan kehidupan

masyarakat mereka, memperlakukan orang sekehendak mereka, membunuh orang yang

mereka inginkan, dan memperkaya seseorang yang mereka kehendaki dengan memberikan

tanah dan harta milik orang lain. Seperti perkataan Imam Khomeini,

Nabi termulia saw, amirul mukminin dan para khalifah tidak diijinkan untuk

menjalankan kekuasaan tiran. Pemerintahan Islam tidak bersifat tiran dan juga tidak

bersifat absolute kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Namun bukan

bersifat konstitusional sebagaimana pengertian saat ini, yaitu berdasarkan persetujuan

yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara mayoritas. Pengertian

konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin adalah suatu subjek dari

kondisi-kondisi tertentu yang berlaku di dalam kegiatan memerintah dan mengatur

negara yang dijalankan oleh pemimpin tersebut, yaitu kondisi-kondisi yang telah

dinyatakan oleh al-quran dan as-sunah Nabi saw. Kondisi-kondisi tersebut

merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam yang juga terdiri dari kondisi-

kondisi yang harus diperhatikan dan dipraktikan. Pemerintahan Islam karenanya dapat

didefinisikan sebagai pmerintahan yang berdasarkan hukum-hukum Ilahi (Tuhan) atas

manusia (makhluk). Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam

dengan pemerintahan monarki dan republik (Khomeini, 2002: 57).

Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan

monarki atau republik. Karekteristik pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang

dipimpin oleh seorang raja (sebagai perwalian atas rakyat) dengan berdasarkan undang-

undang (legislasi), sedangkan karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif dan

wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif adalah milik Allah SWT. Pembuat

undang-undang suci ini adalah satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada seorangpun yang

Page 48: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

berhak membuat undang-undang lain dan tidak ada hukum yang harus dilaksanakan kecuali

hukum dari pembuat undang-undang yaitu hukum Allah SWT.

Atas dasar itulah dalam sebuah pemerintahan Islam, badan atau majelis perencanaan

mengambil peran sebagai Majelis legislatif, yang merupakan salah satu dari tiga cabang

kekuasaan dalam pemerintahan yang ada saat ini yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan

legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Majelis ini menyusun program-program bagi

departemen-departemen kementrian di dalam rangka aturan-aturan Islam dan dengan cara

demikian majelis ini akan menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik

yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Hukum-hukum Islam yang ada dalam al-

Qur'an dan Sunnah Nabi telah diterima kaum muslim dan ditaati. Penerimaan mereka ini

memudahkan tugas pemerintah dan menerapkan hukum-hukum tersebut dan membuatnya

agar tetap menjadi milik rakyat dengan mensosialisasikannya.

Sebaliknya, pada penerimaan republik atau monarki konstitusional, sebagian besar

para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat, yang mana

dengan suara mayoritas tersebut rakyat pasti akan mengabulkan apapun yang mereka

kehendaki, kemudian memaksakan hal-hal yang menjadi kehendak mereka tersebut kepada

seluruh penduduk yang dikuasainya. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berbasis

hukum. Dalam pemerintahan ini, kedaulatan hanyalah milik Allah serta hukum adalah

berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum ini mempunyai kewenangan mutlak atas

semua individu dalam sebuah pemerintahan Islam.

Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-hukumnya, yang

mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. Bahkan kekuasaan

terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah dalam mendelegasikannya kepada manusia) yang

dimiliki oleh nabi saw dan para pelaksana hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugrah

Page 49: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Allah kepada mereka. Setiap Rasul saw menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan

hukum tertentu, maka beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah,

hukum dimana setiap manusia tanpa kecuali harus menaati dan mengikutinya. Hukum Allah

berlaku bagi pemimpin dan yang dipimpin. Satu-satunya hukum yang sah dan berisi perintah

yang wajib untuk ditaati adalah hukum Allah.

Dalam pandangan Imam Khomeini, pandangan individu, bahkan pandangan pribadi

Nabi saw tidak dapat ikut campur dalam permasalahan pemerintahan atau hukum Allah

SWT. Seluruh manusia wajib mengikuti kehendak Allah SWT. Pemerintahan Islam tidak

berbentuk monarki, terutama sistem kekaisaran. Pada tipe pemerintahan seperti kekaisaran,

pemimpin pemerintahan berkuasa atas harta dan rakyat yang ia pimpin dan rakyat diharuskan

memberikan semua yang ia inginkan (Khomeini, 2002:60).

4.2.3.3 Demokrasi menurut Imam Khomeini

Berbagai macam bentuk pemerintahan menjadi perdebatan setiap negara untuk

menuju perubahan yang lebih baik. Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang

menempatkan kedaulatan di tangan seluruh rakyat, atau sebagian besar rakyat, sehingga

warga yang menjadi magistrate (raja) lebih banyak daripada warga biasa dan swasta. Dewasa

ini bentuk pemerintahan demokrasi mayoritas diterapkan di negara-negara Barat dan

disebarluaskannya ke negara-negara timur. Banyak negara muslim yang akhirnya

mengadopsi sistem demokrasi.

Penentangan dan dukungan terhadap demokrasi sudah ada sejak kemunculan

demokrasi. Seperti pendapat Rousseau,

Apabila istilah-istilah demokrasi diterima secara ketat, sampai sekarang demokrasi

yang sesungguhnya belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada. Suatu hal

bertentangan dengan tatanan alami apabila sejumlah besar orang memerinah dan

sejumlah kecil diperintah. Tak dapat dibayangkan bahwa rakyat terus menerus

Page 50: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

berkumpul untuk menyelesaikan urusan umum. Dengan mudah dapat dipahami bahwa

untuk keperluan itu, perlu dibentuk komisi tanpa mengubah bntuk administrasi

(Rousseau, 2010:73).

Adapun Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi),

berdasarkan dua alasan: Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan

Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak

berhak membuat hukum. Kedua, karena praktik ―kedaulatan rakyat‖ sering justru menjadi

omong-kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat

atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari

sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang—sekalipun mengatasnamakan

rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21).

Imam Khomeini mengungkapkan pandangannya tentang sistem pemerintahan akan

perlunya partisipasi rakyat dalam memilih para pemimpin. Dalam wasiatnya yang trakhir

untuk rakyat Iran (dalam yamani, 2003:135) dia mengingatkan bahwa merupakan tanggung

jawab yang berat bagi rakyat untuk memilih para ahli dan wakil yang akan duduk sebagai

pemimpin atau dewan kepemimpinan. Imam Khomeini menekankan akan pentingnya posisi

rakyat dalam pemerintahan dan negara. Namun demikian, kekuasaan rakyat, bukanlah

kekuasaan yang mutlak.

Negara, menurut Imam Khomeini adalah instrument bagi pelaksanaan undang-undang

Tuhan di muka bumi. Tidak seperti dalam negara demokrasi (murni), pada dasarnya dalam

negara Islam, tidak ada hak negara (yaitu lembaga legislative, sebagai wakil rakyat) untuk

membuat undang-undang. Otoritas membuat undang-undang dan kedaulatan ada di tangan

Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membua undang-undang, selain bertentangan

dengan ajaran Islam juga hanya akan memaksa negara untuk menerima perundang-undangan

Page 51: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun menolak perundang-

undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat (Yamani, 2003:117).

Dalam beberapa pemikiran politiknya, Imam Khomeini tampaknya mengkritisi

demokrasi Barat yang justru berkembang di dunia Timur. Menurut Imam Khomeini

demokrasi Barat telah merusak dunia Timur, khususnya dunia Islam. Untuk itu umat Islam

harus mengajarkan kepada orang-orang Barat tentang makna demokrasi yang sebenarnya. Ia

menawarkan model baru demokrasi yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam dengan

menyebut "demokrasi sejati". Bagi Imam Khomeini, yang dimaksud dengan demokrasi sejati

adalah Islam. "inilah demokrasi. Bukan berasal dari Barat, yang sangat kapitalis, bukan pula

demokrasi yang diterapkan di timur, yang telah melakukan penindasan kepada rakyat jelata

(Haydar, 2001:62).

Dalam penjelasannya Imam Khomeini menegaskan, bahwa rakyat memiliki otoritas

dalam mewujudkan pemerintahan. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa pemerintahan

sebagai perwujudan dari kehendak rakyat. Partisipasi rakyat dalam penentuan sebuah

kepemimpinan sangat dijunjung tinggi oleh Imam Khomeini. Namun demikian, pada satu sisi

rakyat memang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan pemimpinnya, pada sisi lain,

Imam Khomeini menekankan agar dalam penentuan pilihan pemimpinnya, rakyat memegang

teguh ajaran-ajaran Islam.

Menurut Imam Khomeini, penyelenggaraan pemerintahan, penanggungjawab

pelaksanaan hukum dan pengelolaan masyarakat harus komitmen menjaga dan menjalankan

hukum-hukum agama. Maka dari itu, pemerintahan Islam ialah pemerintahan hukum Tuhan

atas rakyat. Namun demikian, Imam Khomeini berpandangan meskipun kekuasaan yang ideal

menurutnya dipegang oleh kaum filusuf fuqaha, namun ia sangat menolak jika menggunakan

cara-cara pemaksaan. Sebab menurutnya "Kita tidak hendak membenarkan cara itu sehingga

Page 52: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

kita jadi diktator. Tuhan dan Nabi Tidak pernah memberikan hak demikian itu kepada kita

(Satori, 2007: 111).

Ketika pemilu pertama di Iran akan diselenggarakan, Imam Khomeini mengatakan,

saya mengajak setiap orang untuk memberikan suaranya kepada Republic Islam.

Namun, anda semua dapat memberikan suara secara bebas. Anda memiliki hak untuk

memberikan suara kepada rezim kerajaan, rezim demikrasi, atau rezim apapun yang

ada dalam kotak suara. Anda bebas (Yamani, 2003:136).

Berbicara tentang sumber keabsahan Dewan pembentuk Konstitusi atau Majelis

Konstituante Republic Islam Iran, Imam Khomeini mengatakan,

keabsahan dewan pembentuk konstitusi diwujudkan dengan penunjukan dewan

tersebut oleh rakyat. Mekanismenya adalah pemilihan umum yang dilaksanakan

secara nasional. Dalam satu mekanisme, rakyat memilihnya secara langsung, dan

dalam mekanisme yang lain, rakyat memilih wakil-wakil yang bertindak atas nama

mereka. Mekanisme apapun yang dipakai, hak memilih itu sejatinya ada pada rakyat

itu sendiri (Yamani, 2003:136).

Adapun pendapat Imam Khomeini terkait pemilihan kepala-kepala pemerintahan dan

wakil-wakil d lembaga perwakilan adalah sebagai berikut,

wali faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme,

pengetahuan, dan kompetnsi yang sudah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang

memilih figure mana yang sesuai dengan criteria semacam itu. Rakyat sendirilah,

sekali lagi, yang harus mengelola urusan-urusan administrative dan bidang-bidang

kerja yang serta urusan-urusan lain dalam pemerintahan mereka. Rakyat berhak

memilih sendiri presiden mereka, dan memang sudah semestinya demikian. Sesuai

dengan hak asasi manusia, anda semua, rakyat, harus menentukan nasib anda sendiri.

Majelis (parlemen Iran) menempati posisi tertinggi di atas semua institusi yang lain,

dan majelis ini tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat (Yamani,

2003:136).

Dalam kesempatan lain Imam Khomeini menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan

rakyat, dan menolak konsep bahwa kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu (elit)

dalam masyarakat,

Page 53: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Pemilihan umum tidaklah dibatasi pada sekelompok tertentu dalam masyarakat –

entah itu kelompok ulama, partai politik, atau yang lain-tetapi berlaku untuk

seluruh rakyat. Nasib rakyat ada di tangan mereka sendiri. Dewasa ini hak pilih

ada di tangan rakyat. Dalam pemilihan umum, semua warga negara adalah setara

satu sama lain, entah itu presiden, perdana menteri, petani, pemilik tanah, atau

pedagang. Dengan kata lain, setiap orang tanpa kecuali berhak atas satu suara.

Pada titik ini Imam Khomeini memilih demokrasi bukan sebagai doktrin atau

ideologi, tetapi sebatas cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksanaannya dapat

berkuasa serta efektif secara damai, seiring kebebasan karuniawi manusia. Sebab menurut

Imam Khomeini, nasib selamat atas celaka suatu bangsa ada di tangan mereka, mereka bebas.

Akan tetapi manakala mereka memilih hukum Islam dan wali faqihnya mereka harus

komitmen pada pilihan ini, yakni patuh dan menerima kebebasannya diatur oleh hukum dan

wali faqihnya. Hal ini ia lakukan melalui referendum di awal kemenangan revolusi Iran dan

pemilihan umum Majelis Ahli (Mejlis Khubreghan).

Dari pendapatnya di atas, Imam Khomeini mempertegas bahwa meskipun seorang

pemimpin (wali-faqih) secara de jure memiliki kewenangan untuk memerintah, tetapi ia juga

memerlukan suara dan kehendak rakyat, untuk dapat menjadi wali, berkuasa dan

mengaktifkan kewenangannya secara praktis. Dengan begitu, wali faqih yang berkuasa, akan

mendapatkan kekuatan legitimasinya dari dua sisi vertikal, dari Tuhan dan dari rakyat,

sebesar jarak antara langit dan bumi (Satori, 2007:113).

Terkait dengan posisi perempuan dalam Islam, Imam Khomeini sangat tidak setuju

terhadap intimidasi perempuan. Dalam hal persamaan antara laki-laki dan perempuan Imam

Khomeini berpandangan bahwa Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan.

Islam pertama muncul di jazirah Arab dimana wanita pada masa itu seperti barang dagangan

dan perbedaan status yang sangan jauh dengan laki-laki. Akan tetapi Islam datang untuk

menghapus itu semua dan Islam datang untuk ―menyamakan‖ mereka dengan laki-laki.

Page 54: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Beliau menambahkan juga, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam

menentukan masa depannya dan kami ingin perempuan sampai pada kedudukan yang tinggi

dan perempuan harus mampu untuk itu. Mengenai hak perempuan dalam Islam, Imam

Khomeini berpandangan dari sisi hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda

antara hak laki-laki dan perempuan, karena dua-duanya adalah manusia dan mereka memiliki

hak dalam menentukan masa depannya masing-masing. Berusahalah dalam meraih ilmu dan

ketaqwaan, karena ilmu adalah milik bersama tanpa pengecualian. Sekarang para perempuan

menjadi partner dalam belajar atau hal lainnya di dalam semua bidang ilmu pengetahuan

begitu juga industri.

Dalam hal berpolitik, perempuan juga memiliki hak berpolitik dan inilah tugas

mereka. Seluruh perempuan dan laki-laki harus masuk dalam masalah sosial, politik bahkan

harus menjadi pemantau perkembangan politik yang ada, dan tidak hanya itu mereka juga

dituntut untuk menyumbangkan ide-ide mereka, sekarang perempuan harus melaksanakan

tugas sosial dan agama mereka dan menjaga kehormatan umum dan di bawah kehormatan

tersebut mereka melakukan urusan sosial dan politiknya. Perempuan di dalam urusan sosial

politiknya harus menjadi partner para laki-laki, dengan syarat menjaga hal-hal yang telah

diatur dalam Islam.

Setelah Iran menjadi Republik Islam Iran, pandangan Imam Khomeini terhadap

kedudukan perempuan teraplikasikan dalam UU Republik Islam Iran, yaitu

Wanita dalam Undang-Undang Dasar

Dalam menegakan fundasi-fundasi sosial Islam, semua tenaga manusia yang hingga

kini telah menjadi pelayan bagi eksploitasi asing, akan diperoleh kembali dengan

identitasnya yang sesungguhnya dan hak-hak manusiawinya yang sebenarnya. Dalam

memperoleh kembali semua ini, adalah alami bagi kaum wanita, yang hingga kini tlah

menderita penindasan yang lebih besar dari sistem tirani, akan lebih dipenuhi hak-

haknya.

Page 55: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Keluarga adalah unit fundamental dari masyarakat dan pusat utama pertumbuhan dan

kelanjutan umat manusia. Kesesuaian ideal-ideal dan aqidah dalam pembentukan

keluarga sebagai pemersiap utama lahan gerakan evolusi dan perkembangan umat

manusia, merupakan suatu prinsip dasar dan memberikan prinsip-prinsip, serta

mempersiapkan kemungkinan bagi tercapainya tujuan ini, adalah tanggung jawab

pemerintahan Islam ini.

Dengan presep-presep semacam itu, wanita, sebagai suatu unit masyarakat, tidak lagi

akan dipandang sebagai ‗barang‘ atau sebagai alat yang melayani konsumerisme dan

eksploitasi. Dalam memperoleh kembali kewajibannya yang penting dan peranannya

yang paling terhormat sebagai ibu dalam memelihara manusia-manusia yang

berakidah, sebagai pelopor bersama kaum pria, sebagai prajurit yang aktif dalam

medan juang kehidupan, akan mengakibatkan dia menerima tanggung jawab yang

lebih serius. Dalam pandangan Islam ia akan mendapatkan nilai dan kebajikan yang

lebih tinggi (UUD RRI, 10-11).

Adapun dalam aplikasinya pada sistem Iran modern bagaimana posisi perempuan

dalam kehidupan sehari-hari dan bernegara, maka posisi perempuan di Iran termasuk ke

dalam posisi perempuan yang maju dan dihormati. Hal ini dapat dilihat dari faktor

pendidikan, karir, dan penyikapan fasilitas bagi perempuan oleh pemerintah. Ruang publik

bagi perempuan Iran telah diberikan dan perempuan Iran pun banyak yang menjadi ilmuwan

yang memegang sains high-tech.

Dalam bidang politik, Parlemen Iran mengesahkan menteri perempuan pertama dalam

30 tahun sejarah Republik Islam Iran, Kamis 3 September 2009.

Menteri perempuan yang disahkan tersebut adalah Marzieh Vahid Dastjerdi. Marzieh

menjabat sebagai menteri kesehatan. Marzieh merupakan salah satu dari 18 nominasi untuk

kabinet baru Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Marzieh pada pengalaman politiknya pernah

mengajukan proposal perawatan kesehatan terpisah di Iran, perempuan merawat perempuan

dan lelaki merawat lelaki. Sebuah gagasan yang bagus untuk melindungi kehormatan kaum

perempuan.

Page 56: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Beberapa penghargaan pemerintah terhadap perempuan pun salah satunya dengan

dibangunnya fasilitas khusus yang dibuat khusus untuk perempuan, seperti transportasi

khusus perempuan, yaitu gerbong kereta yang khusus perempuan dan terpisah dari laki-laki.

Atas kemajuan perempuan Iran ini, Mentri Pemberdayaan Peremuan dan

Perlindungan Anak (Indonesia) Linda Amalia Sari Gumelar melakukan pertemuan dan

kerjasama dengan Kepala Pusat Urusan Perempuan dan Keluarga (Iran) Mojtehed.

Ketertarikannya untuk bekerjasama dengan Iran adalah karena penerapan sistem organisasi

perempuan di setiap departemen di Iran, yaitu setiap departemen atau lembaga pemerintah di

Iran memiliki centre of women office dan special advisor. Linda pun mengatakan,

Kami sangat cocok untuk bekerja sama dalam isu pemberdayaan perempuan dan

anak, lantaran Iran juga punya model yang bagus dalam pemberdayaan perempuan.

Dengan hadirnya sistem tersebut, setiap kebijakan yang keluar dari setiap departemen

di Iran, selalu diarahkan untuk tidak melupakan kepentingan perempuan dan jender.

Adapun di bidang pemberdayaan ekonomi perempuan, pemerintah Iran memiliki

kebijakan pemberian alokasi dana khusus bagi pemberdayaan ekonomi perempuan.

Alokasi dana itu diberikan terpisah dari program bantuan untuk usaha mikro dan

usaha kecil dan menengah (UKM) (Media Indonesia, 21 Oktober 2010)

Perempuan di Iran termasuk kategori yang maju dan berani untuk melakukan terobosan-

terobosan baru, jumlah lulusan perempuan di universitas sekitar 60% dari total sarjana atau

lebih tinggi daripada laki-laki yang hanya sebesar 40% (Media Indonesia, 21 Oktober 2010).

Apabila dibandingkan dengan posisi perempuan di berbagai negara, maka Iran dapat

dikatakan sebagai negara yang menghargai perempuan. Isu kesetaraan jender yang

berkembang dan diusung oleh para feminis merupakan suatu upaya perjuangan penyetaraan

yang apabila dikaji lebih jauh akan menimbulkan suatu kontradiksi dan kepincangan.

Perjuangan kesetaraan jender yang dikatakan untuk membela kaum perempuan justru banyak

yang melechkan dan merugikan kaum perempuan itu sendiri.

Dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana Iran memperlakukan perempuan dalam

politik, apakah kabinetnya akan diisi oleh perempuan, Ahmaddinejad menjawab,

Page 57: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Kita semua adalah bagian dari bangsa Iran, seharusnya kita tidak memiliki pandangan

yang bersifat jender (gender gaze), seluruh individu yang paling cocok dan paling

memenuhi kualifikasi (baik pria maupun wanita) akan dipilih. Diskriminasi (yang

didasarkan pada jender) pada kenyataannya akan selalu mempunyai konsekuensi

negatif (Chaidaroh, 2011:47).

Dalam beberapa hal jawaban Ahmaddinejad merupakan jawaban yang tepat untuk

pertanyaan kaum feminis, yaitu tentang keadilan tanpa mempertimbangkan jender, tapi

pertimbangan kualifikasi (kualitas dan kapabilitaas serta akseptabilitas). Apabila kaum

feminis berfikir objektif, jika yang diinginkan adalah kesetaraan dan persamaan, maka dalam

menduduki peran dan posisi sosial politik, faktor yang terpenting adalah kualitas, kapabilitas

dan akseptabilitas, bukan masalah ada atau tidak adanya wanita dalam posisi tersebut.

Sehingga konsekuensinya, adanya posisi semisal mentri pemberdayaan wanita, atau meminta

jatah kuota 30% merupakan isu yang menyalahi unsur kualitas, kapabilitas dan akseptabilitas.

Bahkan isu tersebut secara tidak langsung menunjukan kelemahan perempuan dengan

meminta-minta peran, posisi dan bagian bukan dengan menunjukan potensi atau kemampuan

dirinya. Tidaklah tepat bahwa hal-hal yang biasanya berkaitan dengan perempuan harus

perempuan pula yang mengurusinya karena laki-laki tidak akan memahami apa yang

diinginkan perempuan, pada faktanya banyak laki-laki yang mempunyai keahlian dan

pengetahuan lebih dari perempuan itu sendiri, keadilan perempuan bukan lah berarti dengan

harusnya perempuan kembali yang memimpin, namun dengan memahaminya si pemimpin

terhadap kebijakan-kebijakan hakiki yang harus diambil demi tebangunnya pemerintahan

yang adil.

4.3 Aflikasi Wilayatul Faqih dalam Republik Islam Iran

4.3.1 Pencantuman Wilayatul Faqih Dalam Konstitusi Iran

Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979, telah berhasil meruntuhkan

kekuasaan monarki absolut Dinasti Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigma

Page 58: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

baru mengenai sistem pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah,

dari monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok di

antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara sekuler, maka

Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara ―teo-demokratis‖ yang didominasi

kaum Mullah (ulama Syiah) (Sihbudi, 2004:149-150).

Sistem pemerintahan Republik Islam Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur

berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama.

Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang faqih

yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. Sebuah keyakinan

bahwa pengaturan urusan-urusan adalah ditangan orang-orang yang alim tentang Allah, yang

terpercaya dalam urusan yang menyangkut apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah,

sebagai bagian dari kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh

berbagai organ negara dan tugas-tugas Islam.

Imam Khomeini mempunyai peran sangat penting terhadap berdirinya Republik Islam

Iran. Dibawah pimpinan Imam Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang

keputusan-keputusannya diikuti, menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam

yang sejati dalam perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan wilayatul

faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada puncak rezim Pahlevi,

memberikan motivasi dan harapan yang jelas terhadap masyarakat Iran akan adanya

perubahan pemerintahan di Iran (Satori, 2007:115).

Masih pada tahun 1979, pasca terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII

yang telah ditulis sejak Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga

rancangan UUD rumusan Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua

rumusan sebagai masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian

Page 59: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15 rumusan ini menyebutkan bahwa

suara mayoritas merupakan prinsip negara dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara

keIslaman sistem negara didukung oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana

tidak tercatat kata wilayatul faqih.

Imam Khomeini kembali memberikan waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada

seluruh komponen masyarakat untuk memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada

musim panas tahun 1979, media massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka

yang berlatar belakang agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap

sistem negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi.

Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari sebagian mereka,

baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama dengan para maraji’

memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah ini terus bergulir bagai bola salju yang pada

akhirnya mereka meminta agar wilayatul faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD

Republik Islam Iran (Satori, 2007:116-117).

Menurut Yamani, konsep republik sebagaimana diterapkan dalam RII, telah

dimodifikasi dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama.

Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa

disebut sebagai Trias Politika. Adapun mengenai wilayatul faqih, pasal 5 konstitusi Iran

menyatakan bahwa selama gaibnya Shahib al-Zaman (Imam Mahdi), wilayah dan

kepemimpinan umat beralih ke faqih yang adil dan saleh, yang memahami benar keadaan

zamannya. Yang berani, cerdas, dan mampu memerintah, serta diakui dan diterima sebagai

pemimpin oleh mayoritas rakyat. Adapun yang dirujuk oleh pasal konstitusi ini adalah

tentang Imam Khomeini yang secara otomatis mengemban jabatan wali faqih tanpa proses

seleksi, bukan eleksi (pemilu) (Yamani, 2003:127).

Page 60: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Selain pendapat-pendapat di atas, menurut Lapadi, tiga marja yang berpengaruh di

antara maraji Qom, turut memainkan peran yang sangat penting bagi dimasukkannya prinsip

wilayatul faqih ke dalam UUD RII. Pertama, Ayatullah Golpaigani. Beliau dalam

manifestonya berkata,

Bila UUD secara sempurna tidak sesuai dengan undang-undang syariat maka

UUD seperti itu tidak boleh ditulis. Dan jika masalah asas negara yang

berlandaskan sistem Imamah dan wilayatul faqih tidak dijelaskan dalam UUD,

maka negara berdasarkan thagut dan zalim.

Kedua, Ayatullah Muntazeri yang mengeluarkan statemen berpengaruh dalam sejarah

dicantumkannya kata wilayatul faqih dalam UUD. Ringkasnya beliau menyebutkan,

…suara mayoritas berdasarkan hukum pemberi hidup Islam sebagai dasar

negara...Pada zaman kegaiban besar Imam, maka wilayah (kekuasaan) berada

pada mereka yang memiliki syarat-syarat berikut ini: (1) Orang yang memiliki

kemampuan dalam masalah agama dan mujtahid; (2) Adil dan bertakwa; (3)

Menguasai isu-isu dan dinamika politik.

Ketiga, pendapat yang muncul dari usulan-usulan Ayatullah Mar‘asyi Najafi. Salah

satu usulan beliau agar wilayatul faqih ditambahkan dalam UUD adalah; ―Wilayatul faqih

yang memenuhi segala syarat (jami’us syarait) di setiap masa adalah standar yang tidak dapat

diganggu gugat‖. Fatwa-fatwa ini kemudian diikuti oleh ulama lain dan masyarakat yang

sejak awal dekat dengan mereka dan semakin memperkuat tekanan untuk memasukkan kata

wilayatul faqih ke dalam rancangan UUD. Ditambah kelompok-kelompok lain di luar garis

rohaniwan yang ikut mendukung usulan ini (Satori, 2007:117-118).

Sejak perintahnya untuk menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini

sebagai founding father revolusi tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses

penulisan rumusan-rumusan yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin

mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan

pencerahan bahwa yang diinginkan adalah Islam. Secara perlahan-lahan beliau

Page 61: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk tetap berada pada jalur Islam. Hal

ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir yang

berpihak ke Barat.

Peran ini secara cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir

pengumuman untuk mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII. Dalam

tanggapannya terhadap kalangan rohaniawan yang kecewa mengapa kata wilayatul faqih

tidak dicantumkan dalam rumusan UUD RII beliau menyampaikan sikapnya dengan ucapan

yang sangat arif namun memberikan jawaban yang sesungguhnya. Khomeini menjawab;

―Masalah wilayatul faqih adalah sekian dari masalah yang saat ini tidak tepat bila saya ikut

campur tangan, karena satu dan lain hal‖.

Kata Wilayatul Faqih pada akhirnya memang tidak secara resmi disebutkan sebagai

dasar negara, namun konsep-konsep dan ketentuan wilayatul faqih mewarnai system

pemerintahan Republik Islam Iran. Beberapa pasal yang menyatakan secara langsung tentang

konsep wilayatul faqih yaiu,

Pasal 5 UUD RRI, menyatakan,

selama masa ketidak hadiran imam yang ke dua belas (semoga Allah mempercepat

kedatangannya), dalam Republic Islam Iran wilayat dan kepemimpinan umat

merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa, mengenal zaman,

pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang tanggung

jawab jabatan ini sesuai dengan pasal 107.

Bab Delapan, Pemimpin dan Dewan Kepemimpinan, Pasal 107 UUD RII,

menyatakan,

setelah wafatnya marji’ al-taqlid terkemuka dan pemimpin besar revolusi Islam

universal, dan pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini –

quddisa sirruh al-syarif- yang diakui dan diterima sebagai marji‘ dan pemimpin olh

mayoritas besar rakyat, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak para ahli

yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan meninjau dan bermusyawarah diantara

sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi yang dikhususkan

dalam pasal 5 dan 109. dalam hal mereka mendapatkan satu diantara mereka lebih

ahli dalam pengaturan Islam, masalah fiqih, atau dalam urusan politik dan sosial, atau

memiliki popularitas umum, atau kemenonjolan khusus untuk salah satu dari

Page 62: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

kualifikasi yang tersebut pada pasal 109. Mereka harus memilihnya sebagai

pemimpin. Bila tidak demikian halnya, dalam ketiadaan keunggulan semacam itu,

mereka harus memilih dan menyatakan satu diantara mereka sebagai pemimpin.

Pemimpin yang terpilih semacam itu oleh dewan ahli akan memegang semua

kekuasaan wilayatul-amr dan semua tanggung jawab yang timbul daripadanya.

Pemimpin sama dengan rakyat lainnya dalam negara di mata hukum.

Pasal 109 UUD RII menyatakan,

Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin ialah:

a. Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa)

dalam berbagai bidang fiqih.

b. Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan umat Islam.

c. Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, berani, mampu dalam

pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan.

Dalam hal banyak orang memenuhi kualifikasi dan persyaratan tersebut di atas

maka orang yang lebih mahir dalam fiqih dan tajam pandangan politiknya yang

akan diutamakan.

4.3.2 Bentuk Pemerintahan Iran

Bulan Januari 1979, ketika menulis gagasannya mengenai draft konstitusi

pemerintahan Islam di tempat pengasingannya di Paris, Imam Khomeini ditanya mengenai

bentuk negara dan pemerintahan Islam apa yang di cita-citakannya, ia menjawab, "seperti

sepuluh tahun pemerintahan Rasulullah atau lima tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi

Thalib". Bagi Imam Khomeini, "Negara Islam" seperti Arab Saudi, Libia dan lainnya

bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru (Sihbudi,1991: 78).

Menurut Imam Khomeini dalam Satori, mengatakan bahwa bentuk pemerintahan

Islam setidaknya mencakup dua kriteria, Pertama, pemerintahan tersebut harus didasarkan

pemilihan umum. Khomeini berpendapat bahwa Seluruh anggota masyarakat ikut

bertanggungjawab atas terpilihnya seseorang yang mampu dan bersedia membentuk republik

tersebut. Seluruh rakyat memiliki hak untuk memilih dengan bebas.

Page 63: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Kedua, mengenai orang yang terpilih dan doktrin politik, ekonomi atau masalah sosial

lainnya, akan didasarkan pada ajaran Islam. Khomeini mengatakan,

Dalam pemerintahan yang demikian, pemerintah harus senantiasa melakukan

hubungan permanen dengan dewan hasil pilihan rakyat, yang bila mereka tidak

menyetujui mengenai suatu hal, pemerintah tak bias mengambil keputusan

sendiri. Dan ia yang dipilih rakyat untuk memimpin pemerintahan Islam harus

benar-benar memiliki berbagai kondisi yang menjamin kepatuhan kepada rakyat

Islam dan bukan mewakili sekelompok minoritas. Sedangkan konstitusi dalam

pemerintahan itu dibuat dengan prinsip-prinsip yang benar-benar terbukti berasal

dari Qur'an dan tradisi Islam (Satori, 2007:116).

Mengenai Bentuk Pemerintahan Iran, semenjak kemenangan revolusi Islam tahun

1979, Imam Khomeini dan para founding father Republik Islam Iran dengan penuh

kesadaran memilih bentuk republik. Di satu sisi jelas ini merupakan bukti bahwa mereka

tidak tertutup dari gagasan politik baru, di sisi lain ini merupakan bantahan terhadap tuduhan

bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur ke jaman abad pertengahan.

Republik dipilih tentu saja karena bentuk pemerintahan ini dianggap bisa menjadi wadah bagi

pemahaman mereka mengenai tata cara pengaturan negara modern yang sejalan dengan

konsep Islam mengenai masalah ini. Meskipun dalam kenyataannya ada banyak hal penting

yang perlu diperhatikan (Yamani,2002:127).

Konsep republik, sebagaimana di terapkan dalam Republik Islam Iran, telah di

modifikasikan dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama.

Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi eksekutif,

legislatif, dan yudikatif yang biasa disebut Trias Politika (Yamani,2002:127).

Dalam hal persetujuannya dengan konsep demokrasi, di mana ditunjukan dengan

istilah-istilah republik, konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam system pemerintahan

Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara substansial mengenai

makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini sekalipun pemerintahan ini adalah

pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum berasal dari Tuhan. Oleh karena itu konstitusi

Page 64: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

maupun peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan,

yang tertera pada al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih.

Menurut Imam Khomeini, negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam

adalah pemerintahan konstitusional, namun pengertian konstitusional dengan negara hukum

di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk

pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem

pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum

Tuhan. Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif-disamping sebagai

pemegang kedaulatan- tertinggi yang sebenarnya, bukan parlemen (Azzam,1983:128).

Singkatnya di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada

pada faqih atau fuqaha yang menjalankan fungsi selaku wakil para Imam, maka kekuasaan

legislatif sepenuhnya berasal dari hukum Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga

disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Tetapi, bukan berarti tidak

diperlukan adanya parlemen. Parlemen diperlukan guna menyusun program untuk berbagai

kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di

seluruh negeri.

Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintahan memiliki tugas dan fungsi sebagai

berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga hukum Islam; (2) melaksanakan hukum

Islam; (3) membangun kembali tatanan yang adil; (5) memungut dan memanfaatkan pajak

sesuai dengan ajaran Islam; (6) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan

kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam; (7) memajukan pendidikan; (8)

memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (9) memberikan perlakuan

yang sama terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi; (10) memecahkan masalah

kemiskinan; dan (11) memberi pelayanan kemanusiaan secara umum (Satori, 2007:124).

Page 65: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

Adapun berdasarkan asas-asas umum, sistem pemerintahan Republik Islam Iran, yaitu

sebagai berikut,

BAB 1

Asas-Asas Umum Konstitusi Iran

Pasal 1

Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang telah disepakati oleh rakyat

Iran, berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Al-Qur‘an yang benar

dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya yang dipimpin oleh Ayatullah al-‘Uzma

Imam Khomeini, yang dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal

29 dab 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Djumadil Awal tahun 1399 H, yang

ditentukan oleh mayoritas 98, 2% dari jumlah suara orang-orang yang berhak memilih

memberikan suara persetujuannya.

Pasal 2

Republik Islam Iran menerapkan suatu sistem yang berasaskan hal-hal sebagai

berikut;

1. Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti yang terpantul dari kaimat

‘Laailaaha illallāh’). Kemahakuasaan-Nya dan Syari‘at-Nya hanyalah milik-Nya

semata-mata dan kewajiban mentaati perintah-Nya.

2. Wahyu Ilahi dan peranannya yang mendasar dalam mengekspresikan dan

menetapkan hukum perundang-undangan.

3. Qiyamah (kebangkitan di akhirat) dan peranan konstruktifnya dalam evolusi

menuju Tuhan yang berarti kembali kepada Allah di alam Baka‘

4. Keadilan Allah dalam Penciptaan dan Syari‘ah

5. Imamah dan Kepemimpinan positifnya serta peranannya yang terus menerus

dalam kelanjutan Revolusi Islam.

6. Keagungan martabat dan nilai- nilai luhur kemanusiaan yang ada pada manusia

dan kehendak bebas bersama tanggung jawab yang berkaitan dengan itu

dihadapan Tuhan, yang mempersiapkan tegaknya keadilan, kemerdekaan politik,

ekonomi, sosial dan kultural, serta kesatuan nasional, melalui hal-hal sebagai

berikut:

a. Praktek ijtihad yang berlanjut dari fuqaha yang memenuhi syarat

berdasarkan Al-Qur‘an, Hadits Nabi dan para Imam

b. Memanfaatkan pengetahuan dan teknologi serta pengalaman-pengalaman

insani yang telah maju serta usaha-usaha yang dilakukan ke arah

pengembangannya untuk terus memajukannya.

c. Menghapus segala macam penindasan serta penyerahan kepada

penindasan, menghapus tirani dalam penerapan maupun penerimaannya.

Bentuk dan asas-asas umum pemerintahan Republik Islam Iran semuanya mengacu

pada konsep-konsep wilayatul faqih. Penggabungan antara konsep-konsep pemerintahan

Page 66: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

dengan konsep yang bukan dari Islam, selalu didasarkan atas penyaringan dan pengkajian

terlebih dahulu sehingga apapun yang diadopsi tidak keluar dari jalur aturan Islam yang

dipahami oleh para Faqih Syiah Iran tersebut.

4.3.3 Struktur Politik Iran Pasca Revolusi

Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada di tangan

Imam (pemimpin dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat

Syiah) atau dewan kepemimpinan (Syura-e-rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab

ajaran Syiah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran

utamanya. Pasal 5 Konstitusi Iran 1979 menyebutkan:

Selama ketidakhadiran Imam yang kedua belas (semoga Allah mempercepat

kedatangannya, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan

pimpinan ummat merupakan tanggung jawab dariseorang faqih (ahli hukum

Islam) yang adil dan taqwa, mengenai zaman, pemberani, giat dan berinisiatif

yang dikenal dan diterima oleh mayoritas ummat sebagai imam (pemimpin)

mereka. Apabila faqih seperti itu tidak mempunyai mayoritas semacam itu, suatu

Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat

tersebut diatas akan memegang tanggungjawab itu.

Selanjutnya dalam pasal 107 disebutkan antara lain,

Jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal

5…sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (marja’i) dan

pemimpin Revolusi Ayatullah Uzma Imam Khomeini. Pemimpin ini

berkedudukan wilayatul faqih…apabila tidak demikian halnya maka tiga atau

lima marja’i yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan akan dipilih untuk

jabatan anggota dewan pimpinan dan diperkenalkan kepada rakyat.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut. Jelas kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran

berada di tangan Imam. Semasa hidupnya Imam Khomeini selain berkedudukan sebagai

Imam, juga sebagai wilayatul faqih. Kekuasaan Imam atau pemimpin tidak diperoleh melalui

suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat. Ayatullah Imam Khomeini,

Page 67: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

misalnya muncul sebagai penguasa tertinggi, karena dinilai berhasil memimpin revolusi

Islam yang menggulingkan rezim monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam,

sehingga Khomeini juga mendapat gelar sebagai ―Pemimpin Revolusi Islam Iran‖ dan

―Bapak Pendiri Republik Islam Iran‖. Meskipun demikian walaupun Imam Khomeini tidak

memegang jabatan formal, baik sebagai Presiden ataupun Perdana Menteri, tetapi kekuasaan

Khomeini sangatlah besar (Sihbudi,1989:63).

Munculnya Imam Khomeini sebagai pemimpin kharismatis, yang dapat

mempersatukan rakyat Iran, di sisi lain menimbulkan kesulitan bagi para pemimpin Iran

dalam mencari penggantinya. Pasal 5 dan 107 Konstitusi Iran 1979 bahkan menyebutkan

bahwa dalam hal tidak ada seorang yang dianggap tepat untuk menggantikan Khomeini,

maka harus dibentuk suatu Dewan Kepemimpinan (Council of Leadership) yang terdiri dari

tiga atau lima orang ulama, untuk menggantikan posisi Imam Khomeini jika ia meninggal.

Kekuasaan Imam sangatlah besar seperti terlihat dari sejumlah wewenang yang

dimilikinya, sebagaimana tercantum dalam pasal 110 yang antara lain menyebutkan:

mengangkat fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shuraye-Nigahban); Fuqaha

merupakan bentuk jamak dari faqih (ahli hukum Islam); marja’i adalah ahli agama

yang menjadi panutan; sedangkan wilayatul faqih berarti faqih yang alim, adil takwa

dan saleh, mengenal zam,an, pemberani, aktif, berinisiatif, yang paling menonjol,

dikenal, dan di;akui sebagai pemimpin atau Imam (Konstitusi Iran, 1979: 67-68)

mengangkat pejabat kehakiman tertinggi negara; mengangkat dan memberhentikan

Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam; membentuk

Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional; menyatakan perang dan damai; serta

mengesahkan dan memberhentikan presiden (Sihbudi,1989:64).

Menurut Satori, (2007:127-129) menyatakan bahwa pada masa Kekuasaan Imam

Khomeini, ada tiga lembaga yang sangat penting yang ada dalam pemerintahan Republik

Islam Iran, yaitu: Dewan Revolusi Islam (Revolutionary Council), Partai Republik Islam

(Islamic Republic Party), dan Pasadran (Pasukan Pengawal Revolusi Islam). Dewan

Revolusi Iran (DRI) dibentuk tiga bulan sebelum kejatuhan Syah. Dewan ini dibentuk

Page 68: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

dengan tujuan meletakan dasar-dasar negara Republik Islam Iran sebagaimana dikehendaki

Khomeini dalam gagasannya tentang wilayatul faqih. Setelah berfungsinya pemerintahan

Republik Islam Iran, DRI mulai menjalankan peranannya sebagai lembaga legislatif, dengan

tugas utama membuat rancangan Undang Undang Dasar, mempersiapkan referendum, dan

menjalankan pemerintahan sementara, namun setelah kejatuhan Presiden Mehdi Bazagan,

DRI memegang peranan sebagai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sekaligus. Peranan

ini dijalankan sampai berakhirnya masa tugas dewan ini, yaitu setelah terbentuknya parlemen

hasil pemilihan umum tahun 1980. Setelah itu DRI kemudian dibubarkan oleh Imam

Khomeini.

Setelah Dewan Revolusi Islam dibubarkan, Partai Republik Islam (PRI) merupakan

partai yang dominan di Iran yang dijadikan basis utama kelompok mullah yang berhasil

menyingkirkan kekuatan nasionalis dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting. Kemudian

partai ini terpecah menjadi dua fraksi, yaitu: Maktabiyah dan Hujatiyah. Keduanya saling

bersaing dalam merebutkan sejumlah posisi. Maktabiyah merupakan fraksi yang radikal yang

didukung mullah berhaluan keras, sedangkan hujatiyah merupakan fraksi yang lebih moderat.

Namun meskipun terjadi pertentangan tetapi kedua fraksi ini sepakat dalam hal-hal:

kepemimpinan Khomeini, perlunya mempertahankan Republik Islam Iran, dan keterlibatan

kaum mullah dalam politik.

Selanjutnya adalah Pasadran yang dibentuk pada Maret 1979, dengan tugas

melindungi Revolusi dan hasil-hasilnya, sebagaimana dinyatakan dalam Kontitusi RII, pasal

150. pembentukan pasadran setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh dua hal: pertama, untuk

menyatukan kelompok-kelompok bersenjata (milisi), kedua, untuk memperkuat angkatan

bersenjata Iran. Pasadran mempunyai tugas utama membantu Angkatan Bersenjata Iran

dalam memelihara perdamaian dan kemerdekaan negara, serta melawan musuh-musuh dari

luar. Tugas lain Pasadran adalah menumpas apa yang disebut kaum kontra revolusioner,

Page 69: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

yaitu geriliya Mujahidin dan Feydan Halq serta suku Kurdi. Dalam hal ini Pasdaran

berfungsi menjaga kepentingan kaum mullah (Satori,2007:127-128).

Dalam prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul faqih) dan keutamaan hukum Islam

di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai

pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan

badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pasal 56 UUD RII, mengenai kedaulatan

nasional dan kekuasaan yang berasal dari padanya, telah jelas disebutkan bahwa kedaulatan

adalah di tangan Allah Yang Maha Kuasa, yang kekuasaannya atas umat manusia dan di

dunia ini adalah mutlak. Adapun tiga kekuasaan dalam Republik Islam Iran adalah kekuasaan

eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan di bawah

pengawasan wilayatul al-amr yang mutlak dan kepemimpinan umat sesuai dengan pasal-

pasal yang menyusul dalam Undang Undang Dasar RII. Dalam pelaksanaannya ketiga

lembaga ini independen satu sama lainnya, dan presiden adalah penghubung diantara

ketiganya.

Kekuasaan legislatif melaksanakan prosedurnya melalui Majelis Syura Islami yang

terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Perundang-undangan yang disahkan oleh majelis

diteruskan kepada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif untuk penerapannya, setelah

menyelesaikan berbagai tahap. Dalam masalah-masalah penting mengenai masa depan

negara, persetujuan undang-undang itu dapat diperoleh dengan rujukan langsung kepada

suara rakyat. Permintaan untuk melakuksn referendum harus disetujui oleh dua pertiga dari

seluruh jumlah anggota Majelis.

Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan para menteri, kecuali dalam hal-

hal dimana pemimpin secara langsung bertanggungjawab menurut Undang-undang.

Kekuasaan yudikatif dilaksanakan melalui pengadilan, yang harus didirikan di atas dasar

Page 70: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

presep-presep Islam dan yang akan menyelesaikan persengketaan, melindungi hak-hak umum

dan perluasan wilayah, administrasi keadilan, serta pelaksanaan perintah-perintah Ilahi.

Ketiga lembaga negara tersebut di atas, mempunyai kedudukan dan fungsinya

masing-masing. Dan semua lembaga dalam RII mengacu pada konsep wilayatul faqih dimana

terintegrasi kesatuan antara para faqih dan keikutsertaan rakyat dalam bentuk pemerintahan

Republik Islam Iran.

Model Kekuasaan Wilayatul Faqih Imam Khomeini

ALLAH Pemegang Kedaulatan

Page 71: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

(Sumber: Satori, 2007:91 )

Berikut bagan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran:

ALLAH

IMAMAH

NUBUWWAH

DEWAN AHLI

Majlis e-Khubregan

NABI

12 IMAM

ULAMA

(Perwakilan

Umum)

UMMAT

Pemegang Kekuasaan

Page 72: BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL …a-research.upi.edu/operator/upload/bab_iv(21).pdfyang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip

EKSEKUTIF LEGISLATIF YUDIKATIF

Catatan : Anggota Dewan Ahli, Presiden, dan anggota Parlemen dipilih dalam

pemilu langsung

(sumber: Yamani, 2003:164)

Wilayatul Al-Faqih

Dewan wali

(syura-ye

Negahban)

Presiden &

perdana mentri

Dewan maslahat

(the council of expediency)

(syura-ye maslahat)

Parlemen

(majlis syura-

ye Islami)

Badan-badan

yudikatif