bab iv pembahasan - uksw...dalam putusan no 67 p/hum/2015 tanggal 24 november 2016 halaman 71...

36
65 BAB IV PEMBAHASAN A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA Pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia memiliki beberapa problematika hukum. Melalui konsep pemisahan kewenangan tersebut maka sama halnya pemisahan hirarki norma yang tersusun secara vertikal tersebut. Mengenai objek batu uji di Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai penjaga dan pengawal konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pengawal undang-undang. Kedua lembaga tersebut menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma. Konsekuensi yuridis tersebut menimbulkan permasalahan dan kendala pada kelembagaan secara institusional maupun tujuan peradilan yaitu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. Kelembagaan yang berfungsi menguji peraturan perundang-undangan bukanlah sistem yang ideal dan rawan terjadinya perbedaan pelaksanaan fungsi antar lembaga tersebut, perbedaan putusan, dan perbedaan konstruksi tafsir pertentangan norma. Berikut beberapa problematika yang terjadi dalam pengujian peraturan perundang-undangan secara dua atap. Melalui problematika pengujian, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa sentralisasi kewenangan pengujian dalam peraturan perundang-undangan adalah keniscayaan dalam kerangka supremasi konstitusi.

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 65

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

    UNDANGAN DI INDONESIA

    Pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang

    diberlakukan di Indonesia memiliki beberapa problematika hukum. Melalui

    konsep pemisahan kewenangan tersebut maka sama halnya pemisahan hirarki

    norma yang tersusun secara vertikal tersebut. Mengenai objek batu uji di

    Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai penjaga dan pengawal konstitusi dan

    Mahkamah Agung sebagai pengawal undang-undang. Kedua lembaga tersebut

    menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma.

    Konsekuensi yuridis tersebut menimbulkan permasalahan dan kendala

    pada kelembagaan secara institusional maupun tujuan peradilan yaitu menegakkan

    kepastian hukum dan keadilan. Kelembagaan yang berfungsi menguji peraturan

    perundang-undangan bukanlah sistem yang ideal dan rawan terjadinya perbedaan

    pelaksanaan fungsi antar lembaga tersebut, perbedaan putusan, dan perbedaan

    konstruksi tafsir pertentangan norma. Berikut beberapa problematika yang terjadi

    dalam pengujian peraturan perundang-undangan secara dua atap. Melalui

    problematika pengujian, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa

    sentralisasi kewenangan pengujian dalam peraturan perundang-undangan adalah

    keniscayaan dalam kerangka supremasi konstitusi.

  • 66

    1. Problematika Kelembagaan Formil Pengujian Peraturan Perundang-

    Undangan

    Pasal 55 UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 24 tahun

    2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan, pengujian peraturan perundang-

    undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan

    apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang

    dalam proses pengujian MK. Pemisahan kewenangan tersebut mendapatkan

    kendala efektivitas dan kepastian hukum terhadap proses pengujian di kedua

    lembaga. Dari segi keberlakuan norma, maka norma yang lebih tinggi peraturan

    perundang-undangan harus lebih diutamakan dalam penilaian tingkat validitas

    maupun konstitusionalitasnya. MK memiliki kewenangan tersebut terhadap

    undang-undang yang menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan

    di bawah undang-undang. Jika undang-undang telah dinyatakan tidak

    bertentangan dengan norma konstitusi , maka penentuan nilai validitas norma

    pada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-

    undang dapat dilakukan pengujian karena undang-undang tersebut sudah

    dinyatakan konstitusional. Hubungan MA dan MK dalam penyelenggaraan

    pengujian peraturan perundang-undangan melihat pada batu uji antar lembaga

    dimana konstitusi yang merupakan sumber hukum bagi peraturan perundang-

    undangan lebih diutamakan.

    Kasus konkrit yang pernah terjadi dimana Pemohon yang merupakan

    pekerja pabrik menguji Pasal 55 UU MK terkait MA yang tak dapat menguji

    Peraturan Pemerintah (PP) jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di

    MK. Pemohon menjelaskan pihaknya hendak menguji Pasal 44 PP Nomor 78

  • 67

    Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang

    Ketenagakerjaan ke MA. Namun Pemohon berkaca dari pengalaman terkait

    putusan serupa, maka permohonannya akan bernasib sama yakni ditolak MA.

    Pemohon menjelaskan MA sudah memutus perkara lain menyangkut PP Nomor

    78 Tahun 2015. Hasilnya perkara ditolak karena dasar pengujiannya, UU Nomor

    13 Tahun 2013, sedang diuji di MK1. Dalam putusan terhadap permohonan ini

    dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dengan demikian pada pokoknya

    permohonan belum masuk pada substansi permohonan tetapi memasuki tahap

    penilaian kompetensi kewenangan MA terhadap permohonan. Dalam Putusan No

    67 P/HUM/2015 tanggal 24 November 2016 halaman 71 paragraph kedua,

    Mahkamah Agung berpendapat :

    “Menimbang, bahwa oleh karena Undang-Undang Nomor 13

    tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar dalam

    permohonan a quo sedang dalam proses pengujian di

    Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor 99/PUU-

    XIV/2016, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang

    Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang

    menyatakan: “Pengujian peraturan perundang-undangan di

    bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah

    Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi

    dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses

    pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan MK maka

    permohonan hak uji materiil ke Mahkamah Agung yang

    diajukan oleh Pemohon menjadi prematur (belum waktunya).

    Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah Agung belum

    waktunya menguji objek permohonan uji materiil a quo, maka

    permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon tersebut harus

    dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)”2

    Problematika dalam Pasal 55 tersebut diajukan permohonan ke MK. Sejak

    adanya permohonan tersebut di MK, putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017

    1Nano Tresna Arfana, Humas Mahkamah Konstitusi:“ Pemeriksaan Uji Materi di MA

    Wajib Ditunda Saat UU Diuji MK”, 20 Maret 2018, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id,

    dikunjungi pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 03.21. 2 Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2015

    http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=14365#.WwccwfmFPIU

  • 68

    dinyatakan konstitusional bersyarat dan pada pokoknya menambahkan suatu frasa

    untuk menghilangkan frasa multitafsir dan menjamin kepastian hukum pada pasal

    55. Hasil putusan tersebut terhadap pasal 55 UU MK menjadi berbunyi :3

    “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

    yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaanya

    apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan

    tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai

    ada Putusan MK”

    Terhadap putusan MA yang menyatakan tidak dapat diterima,

    permohonan dapat diajukan kembali setelah adanya putusan MK. Hal tersebut

    juga dapat dimaknai bahwa MA tidak boleh ikut dalam pihak yang berperkara

    dalam proses pengujian di MK. Pengujian di MK lebih dahulu diutamakan untuk

    meminimalisir pertentangan putusan atau penafsiran yang berbeda. Sementara itu

    proses pengujian MA harus sudah diputus dengan waktu selama 14 hari sejak

    permohonan keberatan didaftarkan (Pasal 31 ayat (4) UU MA). Terpantau data

    sejak tahun 2017 - Februari 2018 perkara yang sedang di uji di Mahkamah Agung

    dan pada saat bersamaan juga di uji di Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2017

    perkara HUM yang UU nya sedang di uji di MK ada 7 perkara sedangkan di tahun

    2018 sampai Februari 2018 terdapat 2 perkara.4 Melihat dari perspektif efektivitas

    proses pengujian maka penyelenggaraan dua atap tidak efektif dan tidak efisien.

    Penanganan pengujian peraturan perundang-undangan ditinjau dari hukum

    acara yang terdiri atas asas-asas hukum beracara. Salah satu asas penting lainnya

    yang dipakai dalam peradilan adalah asas sederhana, cepat dan murah dengan

    prinsip semacam itu tidak dapat terealisasi secara maksimal. Pasal 2 ayat (4)

    3 Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017

    4 Putusan MK No 93/PUU-XV/2017

  • 69

    Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan

    dengan sederhana,cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (4) tersebut

    menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan

    penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Asas tersebut

    akan maksimal jika pengujian dilakukan dengan sistem sentralisasi di satu

    Mahkamah.

    Menurut analisis data dalam disertasi Zainal Arifin Hoesein menilai

    efektifitas dan kefektifan penanganan perkara pengujian MA berjalan sangat tidak

    efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahun antara 1-2 (gugatan)

    dan 3 perkara (permohonan). Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru lebih

    produktif, karena hanya dalam 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan dapat menyelesaikan

    22 (dua puluh dua) perkara.5 Disamping itu, permohonan keberatan di MA

    mewajibkan biaya permohonan yang dibebankan terhadap permohonan keberatan

    sementara permohonan MK dibebankan kepada negara. Bahkan MA berencana

    membuat 5 (lma) kali lipat biaya perkara yang dibebankan melalui revisi Perma

    No 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.6

    Disamping asas cepat, murah dan sederhana, permasalahan efektif dan

    efisien penanganan perkara, dari segi formil pengujian di MA dalam pemeriksaan

    dilakukan secara tertutup dan terbatas kembali membuka kelemahan pengujian di

    MA. Undang-Undang Kekuasan Kehakiman dalam Pasal 13 ayat (1) menentukan

    bahwa sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang

    menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua

    5 Safi’, Urgensi Penyatuatapan…, Op.Cir.,h.223

    6 www.hukumonlie.com, MA Berencana Naikkan Biaya Judicial Review 5 Kali

    Lipat,10 April 2018, dikunjungi 12 Juli 2018,pukul 18.50

    http://www.hukumonlie.com/

  • 70

    lingkungan peradilan. Persidangan harus terbuka untuk umum merupakan satu

    asas yang lahir dari kebutuhan social control, maka dalam hukum acara yang

    secara umum berlaku terdapat pengecualian terhadap asas tersebut. KUHAP

    (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengatur atas terdakwa anak-anak

    pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Demikian pula pemeriksaan kesusilaan

    dan perkara perceraian.

    Prof Sudikno Mertokusumo menjelaskan prinsip keterbukaan sidang

    pengaidilan tersebut berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan

    mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain

    untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan

    serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan

    mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan

    yang adil kepada masyarakat. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk

    social control.

    Kemudian ketentuan yang memperkuat justifikasi sidang yang harus

    terbuka untuk umum ada dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan

    Kehakiman serta Pasal 40 ayat (2) UU MA menyatakan sidang pemeriksaan

    maupun sidang pengucapan putusan dalam perkara kasasi, perkara PK, dan

    perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang harus

    dilakukan dalam sidang yang sifatnya terbuka untuk umum. Dengan demikian

    pemeriksaan pengujian MA seharusnya dapat dilakukan secara terbuka. Asas

    terbuka untuk umum harusnya dapat diberlakukan dalam pengujian di MA

    mengingat objek yang diuji adalah berupa peraturan (regelling) yang bersifat

    abstrak dan umum yang berlaku mengikat pada masyarakat secara umum (erga

  • 71

    omnes) sehingga dapat dipertanggungjawabkan transparansi dan akuntabilitas nya.

    Penggunaan kata permohonan dalam pengujian menjadikan pentingnya asas erga

    omnes tersebut. Perma No.1 Tahun 2011 tidak lagi menggunakan istilah gugatan

    seperti dalam Perma No.1 Tahun 1993. Melalui perubahan ini dapat dilihat adanya

    perubahan paradigma terhadap hak uji. Kata permohonan juga digunakan MK

    sehingga dapat dimaknai apabila perubahan ini menunjukkan muatan kepentingan

    publik.

    Mengenai sifat terbuka dan tertutup pernah dilakukan pengujian di MK.

    Dalam putusan MK No. 30/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa ketentuan pasal

    31A ayat (4) huruf h UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Alasan

    pemberlakuan sidang pemeriksaan secara tertutup bahwa batas waktu

    penyelesaian sampai pada penetapan putusan hanya diberi waktu 14 hari maka

    dengan menghadirkan para pihak, pihak terkait dan keterangan ahli lainnya

    membutuhkan waktu yang lebih lama dan tidak dapat menjamin ketentuan

    mengenai batas waktu tersebut dapat dijalankan dalam praktiknya.

    Pasal 31A ayat (4) menentukan :

    “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

    oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung

    sejak tanggal diterimanya permohonan”

    Mahkamah menilai apabila para Pemohon mengharapkan perkara

    pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan

    dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak, maka MA harus

    diberikan waktu yang cukup, serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal

  • 72

    tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang

    (legislative power) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.7

    Perbedaan dalam hukum formil pengujian peraturan perundang-undangan

    juga ditemukan dalam putusan. Pada Putusan MA “telah membaca surat-surat

    yang bersangkutan”. Hal ini dimaknai bahwa Mahkamah menilai berdasarkan

    keterangan dalam surat-surat yang diterima dari pemohon maupun termohon.

    Sedangkan dalam Putusan MK penilaian berdasarkan banyak faktor yang

    dilakukan baik membaca atau mendengar dari pemohon, termohon, pihak terkait,

    keterangan ahli yang dihadirkan, perwakilan pemerintah dan DPR. Dari segi

    hukum acara kedua lembaga dapat dipahami bahwa hukum acara di MK memiliki

    keunggulan dalam transparansi dan akuntabilitas terhadap pengujian perundang-

    undangan.

    Secara konseptual asas sidang terbuka untuk umum adalah keharusan bagi

    peradilan (mandat undang-undang) terkecuali ditentukan lain dalam undang-

    undang terhadap perkara-perkara tertentu. Tidak ada ketentuan yang mengatur

    bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk menilai legalitas peraturan

    perundang-undangan terhadap undang-undang. Sehingga ketentuan yang berlaku

    adalah Pasal 13 ayat 1 dan 2 UU Kekuasaan Kehakiman tersebut yang

    mengharuskan untuk sidang terbuka untuk umum tidak hanya pada pembacaan

    putusan namun proses formil pemeriksaan dalam persidangan. Hal tersebut

    berbeda dengan pemberlakuan pengujian undang-undang terhadap UUD yang

    7Yusti Nurul Agustin, “MK : Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di

    MA Konstitusional”, 01 Juni 2016, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, dikunjungi Pada

    Tanggal 25 Mei 2018 Pukul 03.30

    http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13158#.WwcfNPmFPIU

  • 73

    dilakukan oleh MK yang dalam hukum acara MK (formil) menganut sidang

    terbuka untuk umum.

    2. Problematika Perbedaan Penafsiran atau Putusan Bertentangan

    Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat

    negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat

    secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak

    kepadanya.8Putusan pengadilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan

    dapat menyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum yang lebih

    tinggi tingkatannya. Sifat dari putusan MA dan MK dalam pengujian tidak hanya

    berlaku bagi para pemohon namun putusannya berlaku umum bagi siapa pun yang

    terikat dalam putusan tersebut (erga omnes). Berbeda halnya dengan problematika

    yang telah disebutkan sebelumnya yang muncul pada saat proses pengujian, dalam

    hal putusan MA dan MK yang bersifat final and binding. Dikatakan final karena

    terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum dan dikatakan

    mengikat karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seketika dibacakan di

    hadapan sidang yang terbuka untuk umum, maka langsung mempunyai kekuatan

    hukum mengikat bagi seluruh subjek hukum. Putusan MA dan MK adalah dua

    yurisdiksi yang berbeda dalam penanganan permohonan pengujian peraturan

    perundang-undangan. Untuk objek pengujian yang sama, pemohon berpeluang

    menguji peraturan perundang-undangan di MA dengan alasan ketidakpuasan pada

    tafsir undang-undang, maka pemohon melalukan pengujian undang-undang

    tersebut terhadap tafsir konstitusi di MK. Karena tidak adanya hubungan antara

    8Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi 2,

    Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 201.

  • 74

    MA dan MK dalam hal penetapan putusan, maka putusan MK yang memiliki

    tafsir terhadap konstitusi memiliki daya mengikat yang lebih kuat padahal sifat

    dari putusan kedua lembaga tersebut adalah final dan binding. Dengan beberapa

    kasus menentukan bahwa putusan MK seperti memiliki daya mengikat terhadap

    putusan MA. Hal ini membuktikan perbedaan penafsiran atau putusan yang

    bertentangan. Peristiwa hukum yang pernah terjadi terangkum dalam beberapa

    kasus yang menjadi perhatian dalam putusan MA dan MK. Komparasi ditentukan

    berdasarkan kategori Putusan MA dan Putusan MK atau sebaliknya dan Putusan

    MK yang kedudukannya sama dengan undang-undang mengikat MA.

    a. Putusan MA No. 15/P/HUM/2009 dan Putusan MK Nomor 110-

    111-112-113/PUU VII/2009

    Kronologis perkara dalam Putusan MA No 15/P/HUM/2009 yakni mulai

    dari adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2009,

    tanggal 16 Maret 2009 tentang Pedoman Tekhnis Penetapan Dan

    Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan

    Kursi, Penetapan Calon Terpilih Dan Penggantian Calon Terpilih Dalam

    Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Dan DPRD

    Kabupaten/ Kota Tahun 2009. Dari pemberlakuan Peraturan KPU No. 15

    Tahun 2009 tersebut, Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat (Zaenal

    Ma’arif, SH, Yosef B Badeoda, SH.MH., Drs. H.M.Utomo A.Karim T, SH

    dan Mirda Rasyid, SE.MM.) selaku pemohon.9 Peserta Pemilu 2009 merasa

    dirugikan kepentingannya terhadap Putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009

    bahwa Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam

    9 Putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009

  • 75

    Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang

    Pemilu pasal 205 ayat 4.

    Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan :

    “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan

    kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang

    belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh

    suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”

    Pasal 22 huruf c Peraturan KPU No 15 tahun 2009 :

    “Apabila dalam penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf a,

    Partai Politik yang bersangkutan masih memiliki sisa suara tersebut

    akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap berikutnya”

    Pasal 23 ayat (1)

    “ Tahap Kedua penghitungan perolehan kursi Partai Politik peserta

    Pemilu Anggota DPR di setiap daerah Pemilihan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 21, dilakukan dengan :

    1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu dengan cara mengalikan angka 50% (lima puluh

    perseratus) dengan angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) ;

    2. Apabila hasil perkalian tersebut menghasilkan angka pecahan, makaangka pecahan 0,5 atau lebih dibulatkan ke atas dan angka

    pecahan dibawah 0,5 dihapuskan ;

    3. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan

    ketentuan:

    a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d

    mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)

    dariangka BPP, maka Partai Politik tersebut diberikan 1 (satu)

    kursi;

    b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d

    tidakmencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)

    dariangka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka :

    1. Suara sah Partai Politik yang bersangkutan, dikategorikansebagai sisa suara yang akan diperhitungkan

    dalampenghitungan kursi Tahap Ketiga, dan

    2. Sisa suara partai politik yang bersangkutan, akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi Tahap Ketiga “

    Pasal 23 ayat (3) :

    “ Apabila terdapat Partai Politik pesertaPemilu Anggota DPR yang

    memiliki suara sah atau sisa suara sama, maka untuk menetapkan Partai

  • 76

    Politik yang berhak atas sisa kursi terakhir dilakukan dengan cara

    diundi dalam rapat pleno KPU terbuka”

    Para Pemohon mendalilkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum

    Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) adalah

    bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

    2008, yang mengakibatkan Para Pemohon sebagai caleg dari Partai Politik

    peserta Pemilu tidak mendapatkan keadilan sehubungan dengan pembagian

    sisa kursi pada tahap II (kedua).10

    Dalam putusan MA No. 15 P/HUM/

    2009, Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam

    Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang

    Pemilu pasal 205 ayat 4. MA dalam putusan Nomor 15P/HUM/ 2009

    meminta KPU membatalkan pasal-pasal tentang penetapan calon terpilih

    pada tahap kedua tersebut. KPU juga diharuskan merevisi Keputusan KPU

    No259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi.

    Mensikapi putusan MA tersebut sejumlah pemohon perwakilan dari

    sejumlah partai politik mengajukan permohonan pengujian undang-undang

    (UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu) dengan pengujian konstitusionalitas

    dan penafsiran suatu ketentuan dalam norma ke Mahkamah Konstitusi. Pada

    pokoknya hakim MK menyatakan pasal 205 ayat 4 dan pasal 212 ayat 3 UU

    Pemilu dinyatakan konstitusional bersyarat yang artinya konstitusional

    sepanjang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam putusan MK.

    Pasal 205 ayat 4 yang dipersoalkan dalam dasar pengujian di MA, dalam

    praktiknya harus menjalankan ketentuan putusan MK. Hal yang tampak

    berbeda dari kedua putusan adalah double counting (perhitungan suara

    10

    Putusan MA Nomor 15P/HUM/ 2009

  • 77

    ganda) yang dilegalkan oleh putusan MA namun ketentuan putusan MK

    double counting tidak terjadi dengan dalil upaya sistem proporsional dalam

    pemilu dapat dicapai maksimum. Disamping itu tafsir MK memberikan

    kepastian hukum pada frasa “suara” pada penghitunganperolehan kursi

    tahap kedua dalam pasal 205 ayat 4 UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu.

    Penafsiran konstitusi yang dilakukan MK memberikan kepastian hukum

    sehingga telah menghilangkan frasa yang multitafsir untuk pasal a quo dan

    memberikan keadilan bagi sistem demokrasi dalam pemilu. Dalam

    putusannya MK menilai dalam penilaian perspektif sistem proporsional,

    “Cara yang dipilih dalam penetapan perolehan kursi untuk partai

    politik peserta pemilu adalah cara yang menimbulkan deviasi

    paling kecil sebagaimana penghitungan yang telah diterapkan

    dalam pemilu sistem proporsional yang berlaku pada pemilu

    sebelum tahun 2009. Agar deviasi yang ditimbulkan oleh cara

    penetapan perolehan kursi untuk partai politik 103 peserta

    pemilu menjadi kecil, sesuai dengan tujuan sistem proporsional,

    maka “suara” pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus

    dimaknai sebagai:

    a) Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah

    dipergunakan untuk memenuhi BPP;

    b) Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan

    kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP.11

    Kendati alasan penafsiran hukum oleh MK yang memberikan

    kepastian, KPU akhirnya memilih mengikuti dan melaksanakan putusan

    MK tersebut dan mengabaikan Putusan MA. Dari perspektif kekuatan

    hukum dan daya mengikat, putusan MA dalam perkara ini kehilangan

    kekuataan daya hukumnya karena dasar hukum pengujian dinyatakan

    konstitusional bersyarat oleh MK.

    11

    Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009

  • 78

    b. Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 dan Putusan MA RI

    Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012

    Putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah salah satu sumber hukum

    dalam sistem hukum Indonesia. Hirarki peraturan perundang-undangan

    mengharuskan adanya hubungan dengan putusan pengadilan atas pengujian

    terhadap peraturan perundang-undangan dan memaksa putusan tersebut

    harus sejalan dengan prinsip yang ada dalam hirarki norma. Dengan

    demikian prinsip yang dipakai adalah putusan uji materil peraturan yang

    lebih rendah tingkatanya harus sesuai atau selaras dengan putusan peraturan

    yang lebih tinggi tingkatannya. Namun demikian karena secara yuridis

    kedudukan MA dan MK tidak memiliki hubungan secara konseptual karena

    masing-masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. Namun

    dalam hal konsep hirarki norma maka mengharuskan putusan MK mengikat

    kepada MA. Dalam kasus ini justru Putusan MK menjadi referensi atau

    acuan dalam putusan MA sehingga maknanya putusan MK tersebut setara

    dengan undang-undang (negative legislator) yang dapat dijadikan batu uji

    dalam pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

    undang-undang terhadap undang-undang. Bahkan Titon Slamet Kurnia

    menyebutkan bahwa judicial law making melalui putusan MK adalah

    konstitusi yang berpotensi menjadi salah satu cara yang sah dalam

    “amandemen” konstitusi melalui intepretasi konstitusi yang dilakukannya.

    Dengan konsep demikian maka Putusan MK dapat disebut sebagai

  • 79

    konstitusi.12

    Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi dan kedudukan

    kekuasaan kehakiman dalam melakukan penegakan hukum maupun

    penemuan hukum.

    Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 , para pemohon mendalilkan

    Pasal 37 Ayat (2), Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, Pasal 79

    huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4431) karena dipandang bertentangan

    dengan UUD 1945. Namun Makamah hanya mengabulkan sebagian

    permohonan. Terhadap Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 dinyatakan

    bertentangan dengan konstitusi.

    Pasal 75 ayat (1)

    “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik

    kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana 3 (tiga) tahun atau denda paling

    banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”

    Pasal 76

    “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek

    kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

    tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)”

    Pasal 79

    “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau

    denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap

    dokter atau dokter gigi yang :

    a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

    b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

    c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

    atau huruf e.

    12

    Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga HAM (The Guardian of Human Rights), FH UKSW, Salatiga, 2013, h. 191-192.

  • 80

    Pasal 36

    “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

    Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik”

    Penilaian Mahkamah dalam putusan tersebut menentukan bahwa

    ancaman pidana tidak tepat diberikan karena hukum pidana harus humanis

    dan memberikan perspektif proporsional terhadap kode etik profesi.

    “ Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana

    penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak

    proporsional karena pemberian sanksi pidana harus

    memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan

    terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut

    Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk

    mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan

    cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian

    yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan

    apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih

    merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan

    dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv)

    ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban,

    sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and

    competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan

    antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural

    dan substantif (social defence, fairness, procedural and

    substantive justice“13

    Melalui pandangan tersebut Mahkamah memutuskan ketentuan

    “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai

    kata-kata“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” bertentangan dengan

    UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Dalam Putusan MA RI Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012 yang sekaligus

    membatalkan putusan pengadilan pada tingkat pertama yaitu putusan

    Pengadilan Negeri Kota Madiun No. 79/Pid.Sus/ 2011/PN.Kd.Mn tanggal

    13

    Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007

  • 81

    06 Oktober 2011 menyatakan bahwa terdakwa dr. BAMBANG

    SUPRAPTO, Sp.B.M.Surg dinyatakan bersalah dan dihukum satu tahun

    enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000,00 yang didasarkan

    pada Pasal 76 UU Praktik Kedoktekteran tersebut. Pandangan Mahkamah

    bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa

    memiliki surat ijin praktik dan tidak memenuhi kewajibannya memberikan

    pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

    operasional. Namun pasal 76 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD

    NRI 1945 sepanjang mengenai hukuman pidana penjara bagi terpidana yang

    pernah diputus MK sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Dalam putusan

    MA juga tidak ditemukan satu kausal hubungan atau acuan pada putusan

    tersebut yang menyangkutkan pada putusan MK terhadap pasal tersebut.

    Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan putusan MK yang terikat pada

    penyelenggara negara dan warga negara. Putusan final and binding putusan

    MK mengikat penyelengara negara dan warga negara meskipun sifatnya

    deklaratif. Seperti hasil putusan MK No. 79/PUU-XV/2017 yang pada

    pokoknya mendalilkan bahwa putusan MK mengikat Mahkamah Agung dan

    menambahkan ketentuan tersebut dalam norma.

    “Putusan diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu

    30 hari setelah diucapkan. Dengan dimuat dalam berita negara

    maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat

    untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum

    yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan uud

    1945 (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum

    mengikat. Oleh karena itu jika terdapat suatu perbuatan yang

    dilakukan atas dasar undang-undang yang oleh Mahkamah telah

    dinyatakan baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan

    dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

  • 82

    mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai

    perbuatan melawan hukum.”14

    Dengan demikian dapat dipahami dengan fungsi dan kewenangan

    yang dimiliki MK maka putusan yang dikeluarkan mengikat pula kepada

    penyelenggara negara termasuk Mahkamah Agung. Dengan sifat mengikat

    tersebut maka jaminan akan kepastian hukum dan keadilan akan terwujud.

    c. Putusan MK No 78/PUU-XV/2016 dan Putusan MA No

    37/HUM/2017

    Dalam kasus ini ditemukan kembali hal tidak memiliki daya mengikat

    Putusan MK terhadap MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

    Peraturan Menteri Perhubungan RI No PM.26 Tahun 2017 tentang

    Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

    tidak dalam Trayek terhadap UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas

    Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ). Kasus tersebut

    mempermasalahkan keharusan penyelenggara angkutan online harus

    berbadan hukum.

    Sebelumnya telah ditetapkan putusan MK terhadap pasal 139 ayat (4)

    UU LLAJ,

    “Penyedia Jasa Angkutan Umum dilaksanakan oleh badan usaha

    milik Negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum sesuai

    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

    Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, para pemohon sebagai

    pengemudi angkutan berbasis online menganggap hak konstitusionalnya

    untuk mendapatkan hak atas pekerjaan yang layak dirugikan karena akan

    14

    Putusan MK No 79/PUU-XV/2017

  • 83

    merasa kesulitan jika usaha angkutan online harus disamakan dengan

    BUMN, BUMD ataupun badan hukum dan mendalilikan bahwa ketentuan

    tersebut tidak mengakomodir dari perorangan. Namun MK memperkuat

    pasal 139 ayat (4) tersebut yang mengartikan bahwa eksistensi ketentuan

    tersebut konstitusional. Mahkamah menilai dengan adanya keharusan

    berbadan hukum demikian apabila terjadi sengketa, mekanisme

    penyelesaiannya menjadi lebih jelas. Demikian pula halnya bagi pengguna

    jasa angkutan online akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau

    tuntutan yang harus diajukan manakala merasa dirugikan.

    Kontradiksi kembali ditemukan dalam putusan MA Nomor

    37/P/HUM/2017 yang pada intinya menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e,

    Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27

    huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10)

    huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal

    38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat(10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3)

    huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat

    (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3),dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan

    Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017

    tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor

    Umum tidak dalam Trayek banyak mengatur kewajiban harus berbadan

    hukum justru dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MA

    menilai terdapat 14 pasal dalam PM 26 Tahun 2017 dinyatakan

    bertentangan dengan UU No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil

    dan Menengah serta UU LLAJ. Putusan MK yang ada sebelumnya yang

  • 84

    menegaskan konstitusionalnya dalam hal kewajiban berbadan hukum harus

    mengikat pula bagi MA untuk dapat dijalankan. Dalam hal ini putusan MK

    menjadi hal penting selain undang-undang yang dapat menjadi batu uji

    dalam pengujian di MA.

    3. Pertentangan Norma dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945 Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)

    Secara umumnya UUD NRI 1945 mencakup mengenai struktur

    pemerintahan, pembagian kekuasaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi

    Manusia (HAM). Materi muatan HAM menjadi hal yang pokok dalam

    pembahasan sub bab ini yang membahas salah satu problematika hukum terhadap

    dualisme kewenangan pengujian perundang-undangan. Bagian ini ingin

    menjustifikasi bahwa dualisme kewenangan tersebut melupakan esensi dan

    eksistensi muatan HAM dalam perundang-undangan. Produk peraturan

    perundangan-undangan adalah produk politik yang dapat saja disertai berbagai

    kepentingan politik didalamnya. Secara instititusional produk hukum tersebut

    dapat dilakukan dengan kontrol normatif oleh MA dan MK. Namun mekanisme

    kontrol perundang-undangan tidak seluruhnya mengikat pada UUD NRI 1945.

    Produk politik Undang-Undang dapat dinilai konstitusionalitasnya melalui

    pengujian di MK namun tidak ada landasan yuridis terhadap mekanisme

    pengujian konstitusionalitas perundang-undangan dibawah undang-undang

    terhadap konstitusi. Hal ini dikarenakan MA tidak memiliki tafsir konstitusi (the

    fimal interpreter of constitution) terhadap objek pengujiannya. MK adalah

    lembaga tunggal penafsir konstitusi.

  • 85

    Dalam kaitan dengan HAM negara memiliki kewajiban to respect, to

    protect dan to fulfill.15

    Orientasi pengertian pelanggaran HAM yang digunakan

    lebih spesifik, yaitu tindakan legislator menghasilkan undang-undang yang

    substansinya bertentangan dengan HAM dimana sebagian telah dianumerasikan

    oleh Bab XA UUD NRI 1945. Penerapan ketentuan pembatasan HAM merupakan

    kewenangan inheren negara dalam rule making namun tetap disertai pembatasan-

    pembatasan yang tidak dapat dilakukan sewenang-wenang dan tetap menghormati

    dan memberikan pengakuan hak asasi manusia orang lain (Pasal 28 J ayat 1 dan 2

    UUD NRI 1945). Negara tidak boleh melakukan pembatasan hak alamiah

    manusia baik melalui regelling maupun beschikking dengan alasan apapun.

    Negara dalam hal pembentukan produk hukum harus memperhatikan HAM. Pasal

    2 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan

    bahwa,

    Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi

    hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak

    yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari

    manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan

    demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,

    kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.16

    Dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

    manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sebagian contoh bukti

    bahwa kesewenangan penguasa yang memiliki legitimasi pembentukan

    perundang-undangan adalah masih ditemui Perda ataupun Peraturan Pemerintah

    sebagai delegasi norma dari norma diatasnya tidak mencerminkan perlindungan

    terhadap HAM. Terlebih lagi terdapat putusan MK yang menyatakan pembatalan

    15

    Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak…,Op.Cit.,h.130. 16

    Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  • 86

    perda oleh pemerintah dengan mekanisme (executive review) semakin

    membiarkan produk politik perundang-undangan bertentangan atau menyimpang

    dari kostitusi yang memuat banyak mengenai materi HAM. Untuk itu pada bagian

    ini dapat dibuktikan bahwa HAM merupakan hal pokok dalam perundang-

    undangan dan perlunya mekanisme dalam penilaian materi HAM terhadap

    konstitusi. Sebagai contoh riil karena merupakan daerah otonom maka tiap daerah

    memiliki kewenangan dalam pembentukan Perda, namun tidak sedikit perda-

    perda yang bernuansa perda syariah, perda diksriminatif dan produk perundang-

    undangan dibawah undang-undang lainnya yang berpotensi secara implisit

    melanggar atau menyimpangi HAM yang hanya dapat dilakukan pengujian MK

    melalui batu uji konstitusi.

    Dengan melihat berbagai problematika hukum diatas, sangat terlihat

    dampak yang terjadi jika hal seperti ini terus terjadi dan seharusnya dalam negara

    hukum yang demokratis ini harus dilakukan upaya penataan pembangunan hukum

    yang mencerminkan konsep negara hukum yang berkeadilan dan berkepastian

    hukum. Beberapa masalah yang disebutkan tersebut sudah menggambarkan

    potensi atau peluang terjadinya perbedaan penafisiran atau putusan yang

    bertentangan pada konsep pemisahan kewenangan pengujian peraturan

    perundang-undangan. Pemberlakuan konsep hirarki norma idealnya tidak

    menggunakan sistem dua atap namun dilakukan dengan sentralisasi dan

    mengintegrasikan pengujian peraturan perundang-undangan pada satu Mahkamah

    yang memiliki legitimasi menilai atau menafsirkan norma pada kedudukan norma

    yang paling tinggi atau puncak hirarki yaitu konstitusi (UUD NRI 1945). Dengan

  • 87

    melihat dari konseptual kelembagaan maka sudah tepat dan ideal penanganan

    perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan adalah satu

    Mahkamah yang memiliki kemampuan dalam menilai peraturan perundang-

    undangan nasional atau dengan kewenangan MK untuk mengadili permohonan

    konstitusional (constitutional complaint) atas upaya perlindungan hak-hak

    konstitusional warga negara seperti diberlakukan oleh beberapa lainnya seperti

    Jeman, Austria, Rusia.

    B. REKONSTRUKSI (PENYATUATAPAN) PENGUJIAN PERATURAN

    PERUNDANG-UNDANGAN

    Setelah mengkaji latar belakang, pengaturan pengujian peraturan

    perundang-undangan dan implikasi kewenangan pengujian peraturan perundang-

    undangan secara dua atap, maka dalam bab ini akan memberikan gagasan

    penataan yang membangun kembali atau rekonstruksi terhadap kewenangan

    pengujian peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang dengan

    melihat pada realitas pengujian yang berlaku saat ini. Langkah-langkah reformasi

    hukum tidak hanya dimulai dengan mereformasi substansi hukum (legal

    substances) saja, seperti perbaikan pada kualitas peraturan perundang-undangan,

    namun juga diikuti dengan perbaikan institusi kekuasaan kehakiman. Setelah

    mengkaji dan menganalisis berbagai macam persoalan dan implikasinya

    pembagian kewenangan dalam dualisme kewenangan terhadap stuktur kesatuan

    norma yang idealnya tidak dapat dipisahkan. Maka sebuah gagasan fundamental

    untuk memperkuat lembaga kekuasaan kehakiman dengan menyatuatapkan atau

    sentralisasi kewenangan sebagai lembaga tunggal dalam pengujian peraturan

  • 88

    perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian terdapat

    peralihan dan perluasan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan

    dibawah undang-udang MA kepada MK yang bersifat konstitusional yaitu

    penuangan dalam konstitusi (UUD NRI 1945). Untuk itu perubahan terhadap

    Pasal 24 A ayat 1 dan Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945 dan aturan turanannya

    adalah keniscayaan.

    1. Mahkamah Konstitusi Berwenang Menguji Peraturan Perundang-

    Undangan

    Secara historis pola penyatuatapan pengujian peraturan perundang-undangan

    sudah ada dalam pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar. Melalui

    perdebatan antara Soepomo dan Moh. Yamin terdapat kesimpulan bahwa

    penyatuatapan pernah menjadi gagasan dalam pengujian peraturan perundang-

    undangan.

    Secara historis dilihat dari niat para penyusun UUD, legitimasi

    pengujian undang-undang penting untuk dikaji. Pentingnya isu

    ini karena sejarah penyusunan UUD masa lalu ketika dalam

    Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

    Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung tepatnya pada tanggal 15

    Juli 1945. Moh.Yamin mengusulkan dengan menyatakan bahwa

    Agar Balai Agung (istilah yang digunakan Yamin untuk

    Mahkamah Agung) tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan

    kehakiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding

    (menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak

    melanggar UUD atau bertentangan dengan hukum adat yang

    diakui ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam.

    Pendapat Moh.Yamin kemudian ditanggapi oleh Soepomo yang

    pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji

    undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan

    diberikan kepada peradilan khusus yang namanya

    Constitutioneelhof, Cekoslawakia seperti Jerman...17

    17

    Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi…, Op.Cit.,h.70

  • 89

    Namun gagasan tersebut harus terkendala pada sistem pemisahan kekuasaan

    yang belum secara tegas seperti masih diberlakukannya lembaga tertinggi dan

    lembaga tinggi negara serta pakar hukum dan konstitusi yang masih terbilang

    minim. Dengan demikian dapat dipahami bahwa urgensi penyatuatapan

    kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan sudah ada sejak

    pembentukan UUD 1945 itu berlangsung. Dasar filosofis judicial review hanya

    diberlakukan oleh MA yang menguji perundang-undangan dibawah undang-

    undang. Hanya saja MA dibentuk tidak memiliki tafsir konstitusional tehadap

    norma karena masih diberlakukannya undang-undang yang tidak dapat diganggu

    gugat.

    Pada perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) dengan terbentuknya

    Mahkamah Konstitusi maka konsep pengujian menjadi bersifat dualistik.

    Pemisahan kewenangan pengujian perundang-undangan dilakukan MA dan MK

    dengan kewangan yang dimilikinya. Padahal dalam prinsip hirarki norma, maka

    pengujian terhadapnya harus monistik, karena UUD adalah puncak hirarki norma

    yang menjadi sumber bagi seluruh perundang-undangan. Karenanya pengujian

    tidak boleh dilakukan secara terputus atau terbelah. Hirarki norma adalah kesatuan

    nilai yang mengharuskan pengujiannya dilakukan secara tersentralisasi. Gagasan

    menyatuatapkan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah

    Konstitusi menjustifikasi bahwa dengan mekanisme pengujian tersentralisasi

    maka akan tegaknya prinsip supremasi konsitusi.

    Secara substantif tidak ada relevansinya memisahkan objek pengujian

    peraturan perundang-undangan pada dua lembaga negara yang menganut prinsip

    hirarki norma dan supremasi konstitusi. Hal ini dikarenakan esensial dari

  • 90

    menanisme pengujian adalah untuk menjaga harmonisasi normatif sekaligus

    kontrol normatif supaya sistem norma konsisten, sinkron secara vertikal serta

    menjaga tertib hukum. Keduanya memiliki kewenangan pengujian terhadap

    peraturan perundang-undangan namun dengan tingkatan yang berbeda dalam

    tatanan hirarkis. Saldi Isra mengatakan bahwa jika hendak menempatkan MA dan

    MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan persinggungan

    kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan

    perundang-undangan sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan

    penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan umu sebagai bagian dari

    kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian

    demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial tidak memunculkan

    masalah dalam pelaksanaannya yang terjadi.18

    Pada pokoknya MK berfungsi

    menjaga dan menafsirkan konstitusi yang kemudian memiliki kontrol normatif

    terhadap perundang-undangan. Disisi lain MA sejatinya berfungsi sebagai

    institusi kekuasaan kehakiman yang menerapkan hukum termasuk diantaranya

    perundang-undangan dalam menyelesaikan perkara yang bersifat konkrit. MA

    tidak perlu dilibatkan dalam pengujian perundang-undangan.

    Mekanisme pengujian yang diberlakukan Indonesia saat ini mengadopsi

    pengujian perundang-undangan model Korea Selatan dengan membedakan

    pengujian oleh MA dan MK, pemberlakuan tersebut mengalami beberapa

    problematika hukum yang sangat krusial. MPR perlu menjadikan diskurus

    penyatuatapan pengujian judicial review serta merumuskan kembali model

    pengujian sebagaimana yang dipraktikkan di negara Federal Jerman dengan

    18

    Saldi Isra, Titik Singgung…,Op.Cit.,h.19.

  • 91

    kombinasi yang sesuai dengan sistem hukum di Indonesia. Demikian hal nya

    dasar gagasan Kelsen mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi yang

    menyatakan bahwa,

    Berpandangan norma konstitusi sebagai landasan bagi validitas

    seluruh norma hukum dalam suatu tata hukum atau tertib hukum

    tertentu. Konsep dasar ini mengandung konsekuensi logis yang

    bersifat fundamental berupa kebutuhan akan adanya suatu organ

    negara yang menjamin tegaknya konstitusi, yaitu untuk

    menyelesaikan masalah inkonsistensi seluruh norma hukum,

    baik yang lebih spesifik maupun umum, dengan norma-norma

    yang lebih tinggi tingkatannya yang menjadi landasannya dan

    pada tahap terakhir dengan norma konstitusi.19

    Jimly Asshiddiqie menyampaikan dalam Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr.

    Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi Sosial dan eksistensi masyarakat

    adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium Masyarakat Adat ke-2

    dalam menjawab pertanyaan atas problematika konstitusionalitas peraturan

    perundang-undangan dibawah undang-udang yang menyatakan,

    “Saya sudah usulkan harus terintegrasi semua di MK, semuanya

    tapi karena di MA sudah mengangani (pengujian peraturan

    dibawah undang-undang terhadap undang-undang), maka ini

    orang (MPR) males mikir. Jadi diundanglah Ketua MK seperti

    Jerman,Afrika Selatan Austria termasuk diantaranya Korea

    Selatan. Pas Korea Selatan bicara dia jelaskan sejarah MA

    disana yang tetap menguji peraturan dibawah undang-undang,…

    maka pragmatis saja Mahkamah Agung menangani pengujian

    peraturan dibawah undang-undang”20

    Gagasan atas peralihan kewenangan pengujian peraturan perundang-

    undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh MK maka judicial review

    terhadap hirarki norma dengan batu uji konstitusi menjadi konstitusionalitas.

    Pengujian terhadap norma adalah judicial review suatu produk hukum atau norma

    19

    I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional…,Op.Cit.,h.188. 20

    Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi Sosial dan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium

    Masyarakat Adat ke-2 di Universitas Pancasila, 16-17 Mei 2016, https://www.youtube.com ,

    dikunjungi pada 6 Juni 2018 pukul 11.00

    https://www.youtube.com/

  • 92

    terhadap konstitusi. Melalui peralihan kewenangan dengan bangunan

    konstitusionalitas tersebut maka harus mengubah ketentuan dalam UUD NRI

    1945 terkhusus mengenai ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-

    undangan di MK. Peraturan perundang-undangan yang diuji adalah peraturan

    yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12

    tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diuji

    berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Sebagaimana hal tersebut gagasan

    tersebut merupakan perwujudan dari prinsip supremasi konstitusi dan menjadikan

    konstitusi yang hidup (the living constitution).

    2. Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan

    Pembangunan hukum terhadap prinsip supremasi konstitusi adalah

    keniscayaan mengikat kepada MK untuk melaksanakan fungsinya dalam

    penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undang di bawah Undang-

    Undang Dasar supaya menjadi tertib hukum dan tidak menyimpang dari Undang-

    Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bertugas memastikan norma di bawah

    Undang-Undang Dasar sebagai dasar pengujian adalah konstitusional. Apabila

    materi muatan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diuji

    berdasarkan Undang-Undang tertentu maka MK memastikan terlebih dahulu

    materi muatan ayat, pasal dan ketentuan Undang-Undang tersebut terlebih dahulu

    dinyatakan konstitusional. Setelah MK menyatakan dasar pengujiannya

    konstitusional, maka MK dapat menilai validitas perundang-undangan di bawah

    undang-undang yang diajukan pemohon. Dengan demikian peran dan fungsi MK

    dalam menegakkan supremasi konstitusi dapat dilaksanakan dengan alur

    demikian. Kepentingan MK adalah untuk memastikan alur pegujian perundang-

  • 93

    undangan menjadi terkawal dan bertumpu pada Undang-Undang Dasar. Karena

    ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan yang dijalankan

    oleh MK adalah Undang-Undang Dasar itu sendiri. Walaupun demikian Undang-

    Undang Dasar tidak hanya dimaknai norma-norma tertulis saja, melainkan juga

    prinsip dan moral Undang-Undang Dasar antara lain prinsip negara hukum dan

    demokrasi, perlindungan hak asasi manusia serta perlindungan hak konstitusional

    warga negara.21

    MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi

    produk hukum yang keluar dari koridor Undang-Undang Dasar sehingga hak-hak

    konstitusional warga terjaga dan produk perundang-undangan itu sendiri terkawal

    konstitusionalitasnya.

    Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna

    tegaknya prinsip konstitusionalitas norma. Demikian halnya yang melandasi

    negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem

    ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-

    undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan

    Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi

    supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.22

    Karena prinsip supremasi

    parlemen sudah ditinggalkan maka prinsip yang dianut sekarang adalah supremasi

    konstitusi. Jika supremasi parlemen itu dapat dijalankan oleh parlemen itu sendiri,

    maka berbeda hal nya dengan supremasi konstitusi maka kepatuhan seluruh warga

    negara maupun penyelenggara negara tunduk pada konstitusi. Secara implisit MK

    adalah lembaga yang memiliki fungsi untuk membuat konstitusi menjadi supreme,

    karena konstitusi bukanlah sebuah lembaga atau institusi yang tidak dapat

    21

    Maria Farida Indrati, Teori…,Op.Cit.,h.1.18 22

    Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam

    Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI, Surakarta, 2009, h.11.

  • 94

    menjalankan fungsinya, maka MK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki

    legitimasi fungsi tersebut.

    Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui lembaga yudikatif

    dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan yang dilakukan

    oleh otoritas yang berwenang harus memiliki budaya konstitusi (constitutionalist

    culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka sikap tunduk

    penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan (constitutional

    convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi.

    Dengan demikian MK sebagai kontrol normatif terhadap peraturan perundang-

    undangan yang telah ditetapkan, maka legislator menjadi kontrol normatif sendiri

    terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berlandaskan pada

    konstitusi. Pembentuk undang-undang tidak sewenang-wenang dalam melakukan

    pembentukan perundang-undangan tanpa memperhatikan alur dasar pembentukan

    norma melalui prinsip hirarki norma. Melalui tegaknya prinsip supremasi

    konstitusi maka produk peraturan perundang-undangan lainnya sebagai bagian

    dari produk politik tidak terlepas atau melebar dari koridor kesepakatan umum

    dalam konstitusi sehingga dengan demikian maka semakin kuatnya prinsip

    kedaulatan rakyat dan cita-cita demokrasi.

    Mengintergrasikan pengujian di MK dengan sistem sentralisasi kewenangan

    pengujian peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya perubahan pada

    subjek dan objek pengujian. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan

    kehakiman tunggal yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian pada

    tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat terhadap

    produk hukum yang merupakan dasar pengujian legalitas. Sebelum pengujian

  • 95

    legalitas itu dilaksanakan, MK menyatakan konstitusional terlebih dahulu aturan

    yang menjadi dasar atau batu uji pengujian yang menjadi sumber hukum

    pembentukan objek norma yang akan dilakukan pengujian di MK.

    Dengan demikian subjek pengujian peraturan perundang-undangan

    dipusatkan pada satu lembaga sama hal nya yang diberlakukan oleh Mahkamah

    Konstitusi Austria maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Saat ini

    mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya mengikuti

    pengujian yang dilakukan oleh MK Federal Jerman. Yang dipakai saat ini adalah

    mekanisme pengujian seperti di Korea Selatan yang membaginya antara

    Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengan melalui problematika yang

    terjadi tidak menguntungkan menggunakan prinsip pembagian kewenangan. Maka

    prinsip sentralisasi pengujian supaya terintegrasi menerapkan sepenuhnya

    mekanisme seperti pengujian peraturan perundang-undangan sama seperti yang

    diberlakukan di Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Meskipun saat ini MK RI

    belum menerapkan mekanisme pengaduan konstitusional seperti MK Federal

    Jerman, namun menurut MK itu sendiri pengaduan konstitusional dapat dilakukan

    dengan mekanisme uji materil.23

    3. Mahkamah Konstitusi Melakukan Pengujian Konstitusionalitas dan

    Legalitas Norma

    Pengujian yang dilakukan dengan mekanisme satu atap oleh Mahkamah

    Konstitusi yang objek pengujiannya adalah regelling berupa peraturan perundang-

    undangan dibawah Undang-Undang Dasar NRI 1945. Menurut Maruarar Siahaan

    23

    www.mahkamahkonstitusi.go.id , Komplain Konstitusional Bisa di Putus Lewat Uji

    Materi, 4 Agustus 2015, Jakarta, yang diakses pada 14 Juli 2018.

    http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

  • 96

    mengenai kategorial Peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan menjadi

    4 (empat), yaitu:

    a. Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan abstrak, yang tidak menunjuk pada hal, peristiwa atau kasus

    konkret sebelum peraturan ditetapkan;

    b. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diatur, yaitu berlaku hanya untuk

    subjek hukum tertentu;

    c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus berdasar wilayah berlakunya, yaitu khusus berlaku di wilayah/lokal

    tertentu; dan

    d. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal

    24

    Objek pengujian peraturan perundang-undangan di MK berupa norma

    hukum di bawah Undang-Undang Dasar NRI 1945 berupa Undang-Undang atau

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah,

    Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten

    dan Peraturan Institusional lainnya. Produk hukum tersebut adalah aturan yang

    bersumber pada undang-undang atau merupakan aturan turunan atau mandat

    delagasi aturan dari undang-undang yang menilai keabsahannya melalui pengujian

    legalitas, sementara undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dinilai

    melalui pengujian konstitusionalitas. Konsep pengujian di MK adalah dengan

    menilai dasar pengujian terlebih dulu dinyatakan konstitusional.

    Melalui kontrol normatif kewenangan yang dilakukan MK sebagai lembaga

    yang mengontrol kesatuan nilai dalam kebersisteman peraturan perundang-

    undangan dan teori hirarki norma yang berjenjang dan berlapis tidak lagi

    dipisahkan akibat pemisahan kewenangan pengujian. Dari segi hukum acara maka

    24

    Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Vol. 7 No.7, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010, h.19.

  • 97

    pengujian sentralisasi lebih efektif dan efisien serta mewujudkan prinsip peradilan

    yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Selain prinsip hirarki norma untuk

    mengintegrasikan produk hukum peraturan perundang-undangan, prinsip the

    living constitution yang menjadikan konstitusi hidup dan menjadi budaya

    konstitusi dalam masyarakat. Yang dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk

    undang-undang untuk menerapkan kaidah konstitusi dan tidak bertentangan

    dengan prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi terhadap peraturan

    perundang-undangan. Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui

    lembaga yudikatif dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan

    yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang memiliki budaya konstitusi

    (constitutionalist culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka

    sikap tunduk penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan

    (constitutional convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan

    konstitusi.

    4. Putusan Mahkamah Konstitusi

    Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusionalitas

    peraturan perundang-undangan adalah final and binding. Tidak dapat dilakukan

    upaya hukum lain terhadap putusan yang mengikat secara hukum terhadap

    putusan yang telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Terhadap

    tindakan hukum yang bertentangan dengan putusan MK maka hal tersebut

    merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan hanya Mahkamah Konstitusi

    sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tunggal yang menjalankan kewenangan

    pengujian peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat ditemukan lagi

    perbedaan penafsiran dalam putusan. Putusan MK adalah satu-satu nya putusan

  • 98

    yang menjalankan pemeriksaan dan putusan terhadap produk perundang-

    undangan. Dalam kasus tertentu mengindikasikan bahwa MK berupaya

    melindungi konstitusionalitas norma melalui putusannya. Kontrol normatif secara

    tidak langsung pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara

    pengujian Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan

    cara memberikan rambu-rambu pada produk hukum pelaksana Undang-Undang

    yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem

    Penyediaan Air Minum (PP SPAM) yang merupakan norma hukum dibawah

    undang-undang yang bukan merupakan objek pengujian di MK. Namun untuk

    dapat mengontrol peraturan pelaksana tersebut, MK membuat rambu-rambu

    dalam pembentukan PP tersebut yang telah diputus dalam Putusan Nomor 058-

    059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 8/PUU-III/2005. Terdapat

    perbedaan di PP terhadap rambu-rambu tersebut adalah swastanisasi terselubung

    dan pengingkaran tafsir konstitusional MK.25

    MK berpendapat Pasal 10 UU SDA

    yang menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan

    pemerintah.” Sehingga dalam hal ini PP SPAM yang merupakan penggaturan

    delegasi (delegated legislation) mendapatkan mandat pengaturan secara langsung

    oleh UU SDA.26

    Pada akhirnya putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah

    menilai bahwa UU SDA bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak

    mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    25

    Hukumonline.com , MK Batalkan UU Sumber Daya Air Pengelolaan SDA harus diserahkan pada BUMN maupun BUMD, 18 Februari 2015 yang diakses pada tanggal 12 Juli 2018 pukul 9.06.

    26 Mahkamah Konstitusi kerja sama FH Universitas Brawijaya Malang, Laporan Hasil

    Penelitian Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengelolaan Sumber Daya

    Alam, 2017, h.49

  • 99

    Dalam perkara ini dapat disimpulkan bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi

    inheren dengan fungsi kontrol normatif terhadap norma dibawah Undang-Undang

    Dasar NRI 1945 agar konstitusional. Putusan MK terhadap pengujian legalitas

    norma adalah dikabulkan, ditolak dan tidak dapat diterima. Sedangkan putusan

    MK mengenai konstitusionalitas dapat yang bersifat progresif saat ini dengan

    berbagai varian putusan dapat diberlakukan sama terhadap pengujian peraturan

    perundang-undangan. Terhadap Putusan MK bersifat declaratoir

    menyatakan tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan

    putusan MK, Status Putusan MK dianggap sederajat dengan UU, karena Putusan

    MK yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum

    mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30

    (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (pasal 57 ayat [3] UU MK).

    5. Keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi

    Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes. Keberlakuaannya pada saat

    putusan dibacakan disidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK mengikat

    untuk umum, putusan tersebut dapat dijadikan acuan dalam perbaikan norma

    maupun pembentukan norma baru bagi peraturan perundang-undangan. Putusan

    MK tersebut mengikat terhadap otoritas pembentuk undang-undang (legislative

    power). Dalam hal terjadi inkonsistensi dan pelanggaran terhadap prinsip hierarki

    perundang-undangan yang berlaku, tidak selalu dapat diidentifikasi secara kasat

    mata dan segera. Tetapi inkonsistensi maupun pelanggaran prinsip demikian akan

    menggerakkan mekanisme kontrol yang inherent dalam prinsip hierarki tersebut

    dan menjadi kewajiban konstitusional dari pemegang kekuasaan eksekutif,

    legislatif, dan yudikatif untuk memberi akibat hukum pada norma hukum yang

  • 100

    inkonstitusional dalam batas kewenangannya. Hasil putusan MK sebagai muatan

    publik dipublikasikan dalam Berita Negara. Dengan demikian maka hasil

    pengujian dapat memiliki akses publik dalam pemenuhan informasi publik

    terhadap suatu norma hukum yang abstrak dan umum.