bab iv pembahasan - uksw...dalam putusan no 67 p/hum/2015 tanggal 24 november 2016 halaman 71...
TRANSCRIPT
-
65
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA
Pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan di Indonesia memiliki beberapa problematika hukum. Melalui
konsep pemisahan kewenangan tersebut maka sama halnya pemisahan hirarki
norma yang tersusun secara vertikal tersebut. Mengenai objek batu uji di
Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai penjaga dan pengawal konstitusi dan
Mahkamah Agung sebagai pengawal undang-undang. Kedua lembaga tersebut
menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma.
Konsekuensi yuridis tersebut menimbulkan permasalahan dan kendala
pada kelembagaan secara institusional maupun tujuan peradilan yaitu menegakkan
kepastian hukum dan keadilan. Kelembagaan yang berfungsi menguji peraturan
perundang-undangan bukanlah sistem yang ideal dan rawan terjadinya perbedaan
pelaksanaan fungsi antar lembaga tersebut, perbedaan putusan, dan perbedaan
konstruksi tafsir pertentangan norma. Berikut beberapa problematika yang terjadi
dalam pengujian peraturan perundang-undangan secara dua atap. Melalui
problematika pengujian, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa
sentralisasi kewenangan pengujian dalam peraturan perundang-undangan adalah
keniscayaan dalam kerangka supremasi konstitusi.
-
66
1. Problematika Kelembagaan Formil Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan
Pasal 55 UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan, pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang
dalam proses pengujian MK. Pemisahan kewenangan tersebut mendapatkan
kendala efektivitas dan kepastian hukum terhadap proses pengujian di kedua
lembaga. Dari segi keberlakuan norma, maka norma yang lebih tinggi peraturan
perundang-undangan harus lebih diutamakan dalam penilaian tingkat validitas
maupun konstitusionalitasnya. MK memiliki kewenangan tersebut terhadap
undang-undang yang menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang. Jika undang-undang telah dinyatakan tidak
bertentangan dengan norma konstitusi , maka penentuan nilai validitas norma
pada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-
undang dapat dilakukan pengujian karena undang-undang tersebut sudah
dinyatakan konstitusional. Hubungan MA dan MK dalam penyelenggaraan
pengujian peraturan perundang-undangan melihat pada batu uji antar lembaga
dimana konstitusi yang merupakan sumber hukum bagi peraturan perundang-
undangan lebih diutamakan.
Kasus konkrit yang pernah terjadi dimana Pemohon yang merupakan
pekerja pabrik menguji Pasal 55 UU MK terkait MA yang tak dapat menguji
Peraturan Pemerintah (PP) jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di
MK. Pemohon menjelaskan pihaknya hendak menguji Pasal 44 PP Nomor 78
-
67
Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan ke MA. Namun Pemohon berkaca dari pengalaman terkait
putusan serupa, maka permohonannya akan bernasib sama yakni ditolak MA.
Pemohon menjelaskan MA sudah memutus perkara lain menyangkut PP Nomor
78 Tahun 2015. Hasilnya perkara ditolak karena dasar pengujiannya, UU Nomor
13 Tahun 2013, sedang diuji di MK1. Dalam putusan terhadap permohonan ini
dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dengan demikian pada pokoknya
permohonan belum masuk pada substansi permohonan tetapi memasuki tahap
penilaian kompetensi kewenangan MA terhadap permohonan. Dalam Putusan No
67 P/HUM/2015 tanggal 24 November 2016 halaman 71 paragraph kedua,
Mahkamah Agung berpendapat :
“Menimbang, bahwa oleh karena Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar dalam
permohonan a quo sedang dalam proses pengujian di
Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor 99/PUU-
XIV/2016, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
menyatakan: “Pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah
Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses
pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan MK maka
permohonan hak uji materiil ke Mahkamah Agung yang
diajukan oleh Pemohon menjadi prematur (belum waktunya).
Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah Agung belum
waktunya menguji objek permohonan uji materiil a quo, maka
permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)”2
Problematika dalam Pasal 55 tersebut diajukan permohonan ke MK. Sejak
adanya permohonan tersebut di MK, putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017
1Nano Tresna Arfana, Humas Mahkamah Konstitusi:“ Pemeriksaan Uji Materi di MA
Wajib Ditunda Saat UU Diuji MK”, 20 Maret 2018, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id,
dikunjungi pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 03.21. 2 Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2015
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=14365#.WwccwfmFPIU
-
68
dinyatakan konstitusional bersyarat dan pada pokoknya menambahkan suatu frasa
untuk menghilangkan frasa multitafsir dan menjamin kepastian hukum pada pasal
55. Hasil putusan tersebut terhadap pasal 55 UU MK menjadi berbunyi :3
“Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaanya
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan
tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai
ada Putusan MK”
Terhadap putusan MA yang menyatakan tidak dapat diterima,
permohonan dapat diajukan kembali setelah adanya putusan MK. Hal tersebut
juga dapat dimaknai bahwa MA tidak boleh ikut dalam pihak yang berperkara
dalam proses pengujian di MK. Pengujian di MK lebih dahulu diutamakan untuk
meminimalisir pertentangan putusan atau penafsiran yang berbeda. Sementara itu
proses pengujian MA harus sudah diputus dengan waktu selama 14 hari sejak
permohonan keberatan didaftarkan (Pasal 31 ayat (4) UU MA). Terpantau data
sejak tahun 2017 - Februari 2018 perkara yang sedang di uji di Mahkamah Agung
dan pada saat bersamaan juga di uji di Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2017
perkara HUM yang UU nya sedang di uji di MK ada 7 perkara sedangkan di tahun
2018 sampai Februari 2018 terdapat 2 perkara.4 Melihat dari perspektif efektivitas
proses pengujian maka penyelenggaraan dua atap tidak efektif dan tidak efisien.
Penanganan pengujian peraturan perundang-undangan ditinjau dari hukum
acara yang terdiri atas asas-asas hukum beracara. Salah satu asas penting lainnya
yang dipakai dalam peradilan adalah asas sederhana, cepat dan murah dengan
prinsip semacam itu tidak dapat terealisasi secara maksimal. Pasal 2 ayat (4)
3 Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017
4 Putusan MK No 93/PUU-XV/2017
-
69
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan
dengan sederhana,cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (4) tersebut
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Asas tersebut
akan maksimal jika pengujian dilakukan dengan sistem sentralisasi di satu
Mahkamah.
Menurut analisis data dalam disertasi Zainal Arifin Hoesein menilai
efektifitas dan kefektifan penanganan perkara pengujian MA berjalan sangat tidak
efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahun antara 1-2 (gugatan)
dan 3 perkara (permohonan). Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru lebih
produktif, karena hanya dalam 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan dapat menyelesaikan
22 (dua puluh dua) perkara.5 Disamping itu, permohonan keberatan di MA
mewajibkan biaya permohonan yang dibebankan terhadap permohonan keberatan
sementara permohonan MK dibebankan kepada negara. Bahkan MA berencana
membuat 5 (lma) kali lipat biaya perkara yang dibebankan melalui revisi Perma
No 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.6
Disamping asas cepat, murah dan sederhana, permasalahan efektif dan
efisien penanganan perkara, dari segi formil pengujian di MA dalam pemeriksaan
dilakukan secara tertutup dan terbatas kembali membuka kelemahan pengujian di
MA. Undang-Undang Kekuasan Kehakiman dalam Pasal 13 ayat (1) menentukan
bahwa sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang
menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua
5 Safi’, Urgensi Penyatuatapan…, Op.Cir.,h.223
6 www.hukumonlie.com, MA Berencana Naikkan Biaya Judicial Review 5 Kali
Lipat,10 April 2018, dikunjungi 12 Juli 2018,pukul 18.50
http://www.hukumonlie.com/
-
70
lingkungan peradilan. Persidangan harus terbuka untuk umum merupakan satu
asas yang lahir dari kebutuhan social control, maka dalam hukum acara yang
secara umum berlaku terdapat pengecualian terhadap asas tersebut. KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengatur atas terdakwa anak-anak
pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Demikian pula pemeriksaan kesusilaan
dan perkara perceraian.
Prof Sudikno Mertokusumo menjelaskan prinsip keterbukaan sidang
pengaidilan tersebut berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain
untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan
yang adil kepada masyarakat. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk
social control.
Kemudian ketentuan yang memperkuat justifikasi sidang yang harus
terbuka untuk umum ada dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman serta Pasal 40 ayat (2) UU MA menyatakan sidang pemeriksaan
maupun sidang pengucapan putusan dalam perkara kasasi, perkara PK, dan
perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang harus
dilakukan dalam sidang yang sifatnya terbuka untuk umum. Dengan demikian
pemeriksaan pengujian MA seharusnya dapat dilakukan secara terbuka. Asas
terbuka untuk umum harusnya dapat diberlakukan dalam pengujian di MA
mengingat objek yang diuji adalah berupa peraturan (regelling) yang bersifat
abstrak dan umum yang berlaku mengikat pada masyarakat secara umum (erga
-
71
omnes) sehingga dapat dipertanggungjawabkan transparansi dan akuntabilitas nya.
Penggunaan kata permohonan dalam pengujian menjadikan pentingnya asas erga
omnes tersebut. Perma No.1 Tahun 2011 tidak lagi menggunakan istilah gugatan
seperti dalam Perma No.1 Tahun 1993. Melalui perubahan ini dapat dilihat adanya
perubahan paradigma terhadap hak uji. Kata permohonan juga digunakan MK
sehingga dapat dimaknai apabila perubahan ini menunjukkan muatan kepentingan
publik.
Mengenai sifat terbuka dan tertutup pernah dilakukan pengujian di MK.
Dalam putusan MK No. 30/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa ketentuan pasal
31A ayat (4) huruf h UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Alasan
pemberlakuan sidang pemeriksaan secara tertutup bahwa batas waktu
penyelesaian sampai pada penetapan putusan hanya diberi waktu 14 hari maka
dengan menghadirkan para pihak, pihak terkait dan keterangan ahli lainnya
membutuhkan waktu yang lebih lama dan tidak dapat menjamin ketentuan
mengenai batas waktu tersebut dapat dijalankan dalam praktiknya.
Pasal 31A ayat (4) menentukan :
“Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya permohonan”
Mahkamah menilai apabila para Pemohon mengharapkan perkara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan
dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak, maka MA harus
diberikan waktu yang cukup, serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal
-
72
tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang
(legislative power) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.7
Perbedaan dalam hukum formil pengujian peraturan perundang-undangan
juga ditemukan dalam putusan. Pada Putusan MA “telah membaca surat-surat
yang bersangkutan”. Hal ini dimaknai bahwa Mahkamah menilai berdasarkan
keterangan dalam surat-surat yang diterima dari pemohon maupun termohon.
Sedangkan dalam Putusan MK penilaian berdasarkan banyak faktor yang
dilakukan baik membaca atau mendengar dari pemohon, termohon, pihak terkait,
keterangan ahli yang dihadirkan, perwakilan pemerintah dan DPR. Dari segi
hukum acara kedua lembaga dapat dipahami bahwa hukum acara di MK memiliki
keunggulan dalam transparansi dan akuntabilitas terhadap pengujian perundang-
undangan.
Secara konseptual asas sidang terbuka untuk umum adalah keharusan bagi
peradilan (mandat undang-undang) terkecuali ditentukan lain dalam undang-
undang terhadap perkara-perkara tertentu. Tidak ada ketentuan yang mengatur
bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk menilai legalitas peraturan
perundang-undangan terhadap undang-undang. Sehingga ketentuan yang berlaku
adalah Pasal 13 ayat 1 dan 2 UU Kekuasaan Kehakiman tersebut yang
mengharuskan untuk sidang terbuka untuk umum tidak hanya pada pembacaan
putusan namun proses formil pemeriksaan dalam persidangan. Hal tersebut
berbeda dengan pemberlakuan pengujian undang-undang terhadap UUD yang
7Yusti Nurul Agustin, “MK : Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di
MA Konstitusional”, 01 Juni 2016, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, dikunjungi Pada
Tanggal 25 Mei 2018 Pukul 03.30
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13158#.WwcfNPmFPIU
-
73
dilakukan oleh MK yang dalam hukum acara MK (formil) menganut sidang
terbuka untuk umum.
2. Problematika Perbedaan Penafsiran atau Putusan Bertentangan
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat
secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak
kepadanya.8Putusan pengadilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan
dapat menyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi tingkatannya. Sifat dari putusan MA dan MK dalam pengujian tidak hanya
berlaku bagi para pemohon namun putusannya berlaku umum bagi siapa pun yang
terikat dalam putusan tersebut (erga omnes). Berbeda halnya dengan problematika
yang telah disebutkan sebelumnya yang muncul pada saat proses pengujian, dalam
hal putusan MA dan MK yang bersifat final and binding. Dikatakan final karena
terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum dan dikatakan
mengikat karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seketika dibacakan di
hadapan sidang yang terbuka untuk umum, maka langsung mempunyai kekuatan
hukum mengikat bagi seluruh subjek hukum. Putusan MA dan MK adalah dua
yurisdiksi yang berbeda dalam penanganan permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan. Untuk objek pengujian yang sama, pemohon berpeluang
menguji peraturan perundang-undangan di MA dengan alasan ketidakpuasan pada
tafsir undang-undang, maka pemohon melalukan pengujian undang-undang
tersebut terhadap tafsir konstitusi di MK. Karena tidak adanya hubungan antara
8Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi 2,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 201.
-
74
MA dan MK dalam hal penetapan putusan, maka putusan MK yang memiliki
tafsir terhadap konstitusi memiliki daya mengikat yang lebih kuat padahal sifat
dari putusan kedua lembaga tersebut adalah final dan binding. Dengan beberapa
kasus menentukan bahwa putusan MK seperti memiliki daya mengikat terhadap
putusan MA. Hal ini membuktikan perbedaan penafsiran atau putusan yang
bertentangan. Peristiwa hukum yang pernah terjadi terangkum dalam beberapa
kasus yang menjadi perhatian dalam putusan MA dan MK. Komparasi ditentukan
berdasarkan kategori Putusan MA dan Putusan MK atau sebaliknya dan Putusan
MK yang kedudukannya sama dengan undang-undang mengikat MA.
a. Putusan MA No. 15/P/HUM/2009 dan Putusan MK Nomor 110-
111-112-113/PUU VII/2009
Kronologis perkara dalam Putusan MA No 15/P/HUM/2009 yakni mulai
dari adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2009,
tanggal 16 Maret 2009 tentang Pedoman Tekhnis Penetapan Dan
Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan
Kursi, Penetapan Calon Terpilih Dan Penggantian Calon Terpilih Dalam
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Dan DPRD
Kabupaten/ Kota Tahun 2009. Dari pemberlakuan Peraturan KPU No. 15
Tahun 2009 tersebut, Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat (Zaenal
Ma’arif, SH, Yosef B Badeoda, SH.MH., Drs. H.M.Utomo A.Karim T, SH
dan Mirda Rasyid, SE.MM.) selaku pemohon.9 Peserta Pemilu 2009 merasa
dirugikan kepentingannya terhadap Putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009
bahwa Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam
9 Putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009
-
75
Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu pasal 205 ayat 4.
Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan :
“Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan
kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang
belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh
suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”
Pasal 22 huruf c Peraturan KPU No 15 tahun 2009 :
“Apabila dalam penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
Partai Politik yang bersangkutan masih memiliki sisa suara tersebut
akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap berikutnya”
Pasal 23 ayat (1)
“ Tahap Kedua penghitungan perolehan kursi Partai Politik peserta
Pemilu Anggota DPR di setiap daerah Pemilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, dilakukan dengan :
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu dengan cara mengalikan angka 50% (lima puluh
perseratus) dengan angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) ;
2. Apabila hasil perkalian tersebut menghasilkan angka pecahan, makaangka pecahan 0,5 atau lebih dibulatkan ke atas dan angka
pecahan dibawah 0,5 dihapuskan ;
3. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan
ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d
mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)
dariangka BPP, maka Partai Politik tersebut diberikan 1 (satu)
kursi;
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d
tidakmencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)
dariangka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka :
1. Suara sah Partai Politik yang bersangkutan, dikategorikansebagai sisa suara yang akan diperhitungkan
dalampenghitungan kursi Tahap Ketiga, dan
2. Sisa suara partai politik yang bersangkutan, akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi Tahap Ketiga “
Pasal 23 ayat (3) :
“ Apabila terdapat Partai Politik pesertaPemilu Anggota DPR yang
memiliki suara sah atau sisa suara sama, maka untuk menetapkan Partai
-
76
Politik yang berhak atas sisa kursi terakhir dilakukan dengan cara
diundi dalam rapat pleno KPU terbuka”
Para Pemohon mendalilkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) adalah
bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, yang mengakibatkan Para Pemohon sebagai caleg dari Partai Politik
peserta Pemilu tidak mendapatkan keadilan sehubungan dengan pembagian
sisa kursi pada tahap II (kedua).10
Dalam putusan MA No. 15 P/HUM/
2009, Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam
Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu pasal 205 ayat 4. MA dalam putusan Nomor 15P/HUM/ 2009
meminta KPU membatalkan pasal-pasal tentang penetapan calon terpilih
pada tahap kedua tersebut. KPU juga diharuskan merevisi Keputusan KPU
No259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi.
Mensikapi putusan MA tersebut sejumlah pemohon perwakilan dari
sejumlah partai politik mengajukan permohonan pengujian undang-undang
(UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu) dengan pengujian konstitusionalitas
dan penafsiran suatu ketentuan dalam norma ke Mahkamah Konstitusi. Pada
pokoknya hakim MK menyatakan pasal 205 ayat 4 dan pasal 212 ayat 3 UU
Pemilu dinyatakan konstitusional bersyarat yang artinya konstitusional
sepanjang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam putusan MK.
Pasal 205 ayat 4 yang dipersoalkan dalam dasar pengujian di MA, dalam
praktiknya harus menjalankan ketentuan putusan MK. Hal yang tampak
berbeda dari kedua putusan adalah double counting (perhitungan suara
10
Putusan MA Nomor 15P/HUM/ 2009
-
77
ganda) yang dilegalkan oleh putusan MA namun ketentuan putusan MK
double counting tidak terjadi dengan dalil upaya sistem proporsional dalam
pemilu dapat dicapai maksimum. Disamping itu tafsir MK memberikan
kepastian hukum pada frasa “suara” pada penghitunganperolehan kursi
tahap kedua dalam pasal 205 ayat 4 UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu.
Penafsiran konstitusi yang dilakukan MK memberikan kepastian hukum
sehingga telah menghilangkan frasa yang multitafsir untuk pasal a quo dan
memberikan keadilan bagi sistem demokrasi dalam pemilu. Dalam
putusannya MK menilai dalam penilaian perspektif sistem proporsional,
“Cara yang dipilih dalam penetapan perolehan kursi untuk partai
politik peserta pemilu adalah cara yang menimbulkan deviasi
paling kecil sebagaimana penghitungan yang telah diterapkan
dalam pemilu sistem proporsional yang berlaku pada pemilu
sebelum tahun 2009. Agar deviasi yang ditimbulkan oleh cara
penetapan perolehan kursi untuk partai politik 103 peserta
pemilu menjadi kecil, sesuai dengan tujuan sistem proporsional,
maka “suara” pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus
dimaknai sebagai:
a) Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah
dipergunakan untuk memenuhi BPP;
b) Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan
kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP.11
Kendati alasan penafsiran hukum oleh MK yang memberikan
kepastian, KPU akhirnya memilih mengikuti dan melaksanakan putusan
MK tersebut dan mengabaikan Putusan MA. Dari perspektif kekuatan
hukum dan daya mengikat, putusan MA dalam perkara ini kehilangan
kekuataan daya hukumnya karena dasar hukum pengujian dinyatakan
konstitusional bersyarat oleh MK.
11
Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009
-
78
b. Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 dan Putusan MA RI
Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012
Putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah salah satu sumber hukum
dalam sistem hukum Indonesia. Hirarki peraturan perundang-undangan
mengharuskan adanya hubungan dengan putusan pengadilan atas pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan dan memaksa putusan tersebut
harus sejalan dengan prinsip yang ada dalam hirarki norma. Dengan
demikian prinsip yang dipakai adalah putusan uji materil peraturan yang
lebih rendah tingkatanya harus sesuai atau selaras dengan putusan peraturan
yang lebih tinggi tingkatannya. Namun demikian karena secara yuridis
kedudukan MA dan MK tidak memiliki hubungan secara konseptual karena
masing-masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. Namun
dalam hal konsep hirarki norma maka mengharuskan putusan MK mengikat
kepada MA. Dalam kasus ini justru Putusan MK menjadi referensi atau
acuan dalam putusan MA sehingga maknanya putusan MK tersebut setara
dengan undang-undang (negative legislator) yang dapat dijadikan batu uji
dalam pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Bahkan Titon Slamet Kurnia
menyebutkan bahwa judicial law making melalui putusan MK adalah
konstitusi yang berpotensi menjadi salah satu cara yang sah dalam
“amandemen” konstitusi melalui intepretasi konstitusi yang dilakukannya.
Dengan konsep demikian maka Putusan MK dapat disebut sebagai
-
79
konstitusi.12
Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi dan kedudukan
kekuasaan kehakiman dalam melakukan penegakan hukum maupun
penemuan hukum.
Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 , para pemohon mendalilkan
Pasal 37 Ayat (2), Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, Pasal 79
huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431) karena dipandang bertentangan
dengan UUD 1945. Namun Makamah hanya mengabulkan sebagian
permohonan. Terhadap Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 75 ayat (1)
“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Pasal 76
“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)”
Pasal 79
“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap
dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
atau huruf e.
12
Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga HAM (The Guardian of Human Rights), FH UKSW, Salatiga, 2013, h. 191-192.
-
80
Pasal 36
“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik”
Penilaian Mahkamah dalam putusan tersebut menentukan bahwa
ancaman pidana tidak tepat diberikan karena hukum pidana harus humanis
dan memberikan perspektif proporsional terhadap kode etik profesi.
“ Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana
penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak
proporsional karena pemberian sanksi pidana harus
memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan
terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut
Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk
mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan
cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian
yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan
apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih
merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan
dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv)
ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban,
sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and
competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan
antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural
dan substantif (social defence, fairness, procedural and
substantive justice“13
Melalui pandangan tersebut Mahkamah memutuskan ketentuan
“penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai
kata-kata“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” bertentangan dengan
UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MA RI Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012 yang sekaligus
membatalkan putusan pengadilan pada tingkat pertama yaitu putusan
Pengadilan Negeri Kota Madiun No. 79/Pid.Sus/ 2011/PN.Kd.Mn tanggal
13
Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007
-
81
06 Oktober 2011 menyatakan bahwa terdakwa dr. BAMBANG
SUPRAPTO, Sp.B.M.Surg dinyatakan bersalah dan dihukum satu tahun
enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000,00 yang didasarkan
pada Pasal 76 UU Praktik Kedoktekteran tersebut. Pandangan Mahkamah
bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa
memiliki surat ijin praktik dan tidak memenuhi kewajibannya memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional. Namun pasal 76 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
NRI 1945 sepanjang mengenai hukuman pidana penjara bagi terpidana yang
pernah diputus MK sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Dalam putusan
MA juga tidak ditemukan satu kausal hubungan atau acuan pada putusan
tersebut yang menyangkutkan pada putusan MK terhadap pasal tersebut.
Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan putusan MK yang terikat pada
penyelenggara negara dan warga negara. Putusan final and binding putusan
MK mengikat penyelengara negara dan warga negara meskipun sifatnya
deklaratif. Seperti hasil putusan MK No. 79/PUU-XV/2017 yang pada
pokoknya mendalilkan bahwa putusan MK mengikat Mahkamah Agung dan
menambahkan ketentuan tersebut dalam norma.
“Putusan diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu
30 hari setelah diucapkan. Dengan dimuat dalam berita negara
maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat
untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum
yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan uud
1945 (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Oleh karena itu jika terdapat suatu perbuatan yang
dilakukan atas dasar undang-undang yang oleh Mahkamah telah
dinyatakan baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
-
82
mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai
perbuatan melawan hukum.”14
Dengan demikian dapat dipahami dengan fungsi dan kewenangan
yang dimiliki MK maka putusan yang dikeluarkan mengikat pula kepada
penyelenggara negara termasuk Mahkamah Agung. Dengan sifat mengikat
tersebut maka jaminan akan kepastian hukum dan keadilan akan terwujud.
c. Putusan MK No 78/PUU-XV/2016 dan Putusan MA No
37/HUM/2017
Dalam kasus ini ditemukan kembali hal tidak memiliki daya mengikat
Putusan MK terhadap MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri Perhubungan RI No PM.26 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
tidak dalam Trayek terhadap UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ). Kasus tersebut
mempermasalahkan keharusan penyelenggara angkutan online harus
berbadan hukum.
Sebelumnya telah ditetapkan putusan MK terhadap pasal 139 ayat (4)
UU LLAJ,
“Penyedia Jasa Angkutan Umum dilaksanakan oleh badan usaha
milik Negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, para pemohon sebagai
pengemudi angkutan berbasis online menganggap hak konstitusionalnya
untuk mendapatkan hak atas pekerjaan yang layak dirugikan karena akan
14
Putusan MK No 79/PUU-XV/2017
-
83
merasa kesulitan jika usaha angkutan online harus disamakan dengan
BUMN, BUMD ataupun badan hukum dan mendalilikan bahwa ketentuan
tersebut tidak mengakomodir dari perorangan. Namun MK memperkuat
pasal 139 ayat (4) tersebut yang mengartikan bahwa eksistensi ketentuan
tersebut konstitusional. Mahkamah menilai dengan adanya keharusan
berbadan hukum demikian apabila terjadi sengketa, mekanisme
penyelesaiannya menjadi lebih jelas. Demikian pula halnya bagi pengguna
jasa angkutan online akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau
tuntutan yang harus diajukan manakala merasa dirugikan.
Kontradiksi kembali ditemukan dalam putusan MA Nomor
37/P/HUM/2017 yang pada intinya menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e,
Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27
huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10)
huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal
38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat(10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3)
huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat
(11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3),dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum tidak dalam Trayek banyak mengatur kewajiban harus berbadan
hukum justru dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MA
menilai terdapat 14 pasal dalam PM 26 Tahun 2017 dinyatakan
bertentangan dengan UU No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah serta UU LLAJ. Putusan MK yang ada sebelumnya yang
-
84
menegaskan konstitusionalnya dalam hal kewajiban berbadan hukum harus
mengikat pula bagi MA untuk dapat dijalankan. Dalam hal ini putusan MK
menjadi hal penting selain undang-undang yang dapat menjadi batu uji
dalam pengujian di MA.
3. Pertentangan Norma dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara umumnya UUD NRI 1945 mencakup mengenai struktur
pemerintahan, pembagian kekuasaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Materi muatan HAM menjadi hal yang pokok dalam
pembahasan sub bab ini yang membahas salah satu problematika hukum terhadap
dualisme kewenangan pengujian perundang-undangan. Bagian ini ingin
menjustifikasi bahwa dualisme kewenangan tersebut melupakan esensi dan
eksistensi muatan HAM dalam perundang-undangan. Produk peraturan
perundangan-undangan adalah produk politik yang dapat saja disertai berbagai
kepentingan politik didalamnya. Secara instititusional produk hukum tersebut
dapat dilakukan dengan kontrol normatif oleh MA dan MK. Namun mekanisme
kontrol perundang-undangan tidak seluruhnya mengikat pada UUD NRI 1945.
Produk politik Undang-Undang dapat dinilai konstitusionalitasnya melalui
pengujian di MK namun tidak ada landasan yuridis terhadap mekanisme
pengujian konstitusionalitas perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap konstitusi. Hal ini dikarenakan MA tidak memiliki tafsir konstitusi (the
fimal interpreter of constitution) terhadap objek pengujiannya. MK adalah
lembaga tunggal penafsir konstitusi.
-
85
Dalam kaitan dengan HAM negara memiliki kewajiban to respect, to
protect dan to fulfill.15
Orientasi pengertian pelanggaran HAM yang digunakan
lebih spesifik, yaitu tindakan legislator menghasilkan undang-undang yang
substansinya bertentangan dengan HAM dimana sebagian telah dianumerasikan
oleh Bab XA UUD NRI 1945. Penerapan ketentuan pembatasan HAM merupakan
kewenangan inheren negara dalam rule making namun tetap disertai pembatasan-
pembatasan yang tidak dapat dilakukan sewenang-wenang dan tetap menghormati
dan memberikan pengakuan hak asasi manusia orang lain (Pasal 28 J ayat 1 dan 2
UUD NRI 1945). Negara tidak boleh melakukan pembatasan hak alamiah
manusia baik melalui regelling maupun beschikking dengan alasan apapun.
Negara dalam hal pembentukan produk hukum harus memperhatikan HAM. Pasal
2 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan
bahwa,
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.16
Dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sebagian contoh bukti
bahwa kesewenangan penguasa yang memiliki legitimasi pembentukan
perundang-undangan adalah masih ditemui Perda ataupun Peraturan Pemerintah
sebagai delegasi norma dari norma diatasnya tidak mencerminkan perlindungan
terhadap HAM. Terlebih lagi terdapat putusan MK yang menyatakan pembatalan
15
Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak…,Op.Cit.,h.130. 16
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-
86
perda oleh pemerintah dengan mekanisme (executive review) semakin
membiarkan produk politik perundang-undangan bertentangan atau menyimpang
dari kostitusi yang memuat banyak mengenai materi HAM. Untuk itu pada bagian
ini dapat dibuktikan bahwa HAM merupakan hal pokok dalam perundang-
undangan dan perlunya mekanisme dalam penilaian materi HAM terhadap
konstitusi. Sebagai contoh riil karena merupakan daerah otonom maka tiap daerah
memiliki kewenangan dalam pembentukan Perda, namun tidak sedikit perda-
perda yang bernuansa perda syariah, perda diksriminatif dan produk perundang-
undangan dibawah undang-undang lainnya yang berpotensi secara implisit
melanggar atau menyimpangi HAM yang hanya dapat dilakukan pengujian MK
melalui batu uji konstitusi.
Dengan melihat berbagai problematika hukum diatas, sangat terlihat
dampak yang terjadi jika hal seperti ini terus terjadi dan seharusnya dalam negara
hukum yang demokratis ini harus dilakukan upaya penataan pembangunan hukum
yang mencerminkan konsep negara hukum yang berkeadilan dan berkepastian
hukum. Beberapa masalah yang disebutkan tersebut sudah menggambarkan
potensi atau peluang terjadinya perbedaan penafisiran atau putusan yang
bertentangan pada konsep pemisahan kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan. Pemberlakuan konsep hirarki norma idealnya tidak
menggunakan sistem dua atap namun dilakukan dengan sentralisasi dan
mengintegrasikan pengujian peraturan perundang-undangan pada satu Mahkamah
yang memiliki legitimasi menilai atau menafsirkan norma pada kedudukan norma
yang paling tinggi atau puncak hirarki yaitu konstitusi (UUD NRI 1945). Dengan
-
87
melihat dari konseptual kelembagaan maka sudah tepat dan ideal penanganan
perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan adalah satu
Mahkamah yang memiliki kemampuan dalam menilai peraturan perundang-
undangan nasional atau dengan kewenangan MK untuk mengadili permohonan
konstitusional (constitutional complaint) atas upaya perlindungan hak-hak
konstitusional warga negara seperti diberlakukan oleh beberapa lainnya seperti
Jeman, Austria, Rusia.
B. REKONSTRUKSI (PENYATUATAPAN) PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Setelah mengkaji latar belakang, pengaturan pengujian peraturan
perundang-undangan dan implikasi kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan secara dua atap, maka dalam bab ini akan memberikan gagasan
penataan yang membangun kembali atau rekonstruksi terhadap kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang dengan
melihat pada realitas pengujian yang berlaku saat ini. Langkah-langkah reformasi
hukum tidak hanya dimulai dengan mereformasi substansi hukum (legal
substances) saja, seperti perbaikan pada kualitas peraturan perundang-undangan,
namun juga diikuti dengan perbaikan institusi kekuasaan kehakiman. Setelah
mengkaji dan menganalisis berbagai macam persoalan dan implikasinya
pembagian kewenangan dalam dualisme kewenangan terhadap stuktur kesatuan
norma yang idealnya tidak dapat dipisahkan. Maka sebuah gagasan fundamental
untuk memperkuat lembaga kekuasaan kehakiman dengan menyatuatapkan atau
sentralisasi kewenangan sebagai lembaga tunggal dalam pengujian peraturan
-
88
perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian terdapat
peralihan dan perluasan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah undang-udang MA kepada MK yang bersifat konstitusional yaitu
penuangan dalam konstitusi (UUD NRI 1945). Untuk itu perubahan terhadap
Pasal 24 A ayat 1 dan Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945 dan aturan turanannya
adalah keniscayaan.
1. Mahkamah Konstitusi Berwenang Menguji Peraturan Perundang-
Undangan
Secara historis pola penyatuatapan pengujian peraturan perundang-undangan
sudah ada dalam pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar. Melalui
perdebatan antara Soepomo dan Moh. Yamin terdapat kesimpulan bahwa
penyatuatapan pernah menjadi gagasan dalam pengujian peraturan perundang-
undangan.
Secara historis dilihat dari niat para penyusun UUD, legitimasi
pengujian undang-undang penting untuk dikaji. Pentingnya isu
ini karena sejarah penyusunan UUD masa lalu ketika dalam
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung tepatnya pada tanggal 15
Juli 1945. Moh.Yamin mengusulkan dengan menyatakan bahwa
Agar Balai Agung (istilah yang digunakan Yamin untuk
Mahkamah Agung) tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan
kehakiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding
(menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak
melanggar UUD atau bertentangan dengan hukum adat yang
diakui ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam.
Pendapat Moh.Yamin kemudian ditanggapi oleh Soepomo yang
pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan
diberikan kepada peradilan khusus yang namanya
Constitutioneelhof, Cekoslawakia seperti Jerman...17
17
Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi…, Op.Cit.,h.70
-
89
Namun gagasan tersebut harus terkendala pada sistem pemisahan kekuasaan
yang belum secara tegas seperti masih diberlakukannya lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara serta pakar hukum dan konstitusi yang masih terbilang
minim. Dengan demikian dapat dipahami bahwa urgensi penyatuatapan
kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan sudah ada sejak
pembentukan UUD 1945 itu berlangsung. Dasar filosofis judicial review hanya
diberlakukan oleh MA yang menguji perundang-undangan dibawah undang-
undang. Hanya saja MA dibentuk tidak memiliki tafsir konstitusional tehadap
norma karena masih diberlakukannya undang-undang yang tidak dapat diganggu
gugat.
Pada perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) dengan terbentuknya
Mahkamah Konstitusi maka konsep pengujian menjadi bersifat dualistik.
Pemisahan kewenangan pengujian perundang-undangan dilakukan MA dan MK
dengan kewangan yang dimilikinya. Padahal dalam prinsip hirarki norma, maka
pengujian terhadapnya harus monistik, karena UUD adalah puncak hirarki norma
yang menjadi sumber bagi seluruh perundang-undangan. Karenanya pengujian
tidak boleh dilakukan secara terputus atau terbelah. Hirarki norma adalah kesatuan
nilai yang mengharuskan pengujiannya dilakukan secara tersentralisasi. Gagasan
menyatuatapkan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi menjustifikasi bahwa dengan mekanisme pengujian tersentralisasi
maka akan tegaknya prinsip supremasi konsitusi.
Secara substantif tidak ada relevansinya memisahkan objek pengujian
peraturan perundang-undangan pada dua lembaga negara yang menganut prinsip
hirarki norma dan supremasi konstitusi. Hal ini dikarenakan esensial dari
-
90
menanisme pengujian adalah untuk menjaga harmonisasi normatif sekaligus
kontrol normatif supaya sistem norma konsisten, sinkron secara vertikal serta
menjaga tertib hukum. Keduanya memiliki kewenangan pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan namun dengan tingkatan yang berbeda dalam
tatanan hirarkis. Saldi Isra mengatakan bahwa jika hendak menempatkan MA dan
MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan persinggungan
kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan
penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan umu sebagai bagian dari
kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian
demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial tidak memunculkan
masalah dalam pelaksanaannya yang terjadi.18
Pada pokoknya MK berfungsi
menjaga dan menafsirkan konstitusi yang kemudian memiliki kontrol normatif
terhadap perundang-undangan. Disisi lain MA sejatinya berfungsi sebagai
institusi kekuasaan kehakiman yang menerapkan hukum termasuk diantaranya
perundang-undangan dalam menyelesaikan perkara yang bersifat konkrit. MA
tidak perlu dilibatkan dalam pengujian perundang-undangan.
Mekanisme pengujian yang diberlakukan Indonesia saat ini mengadopsi
pengujian perundang-undangan model Korea Selatan dengan membedakan
pengujian oleh MA dan MK, pemberlakuan tersebut mengalami beberapa
problematika hukum yang sangat krusial. MPR perlu menjadikan diskurus
penyatuatapan pengujian judicial review serta merumuskan kembali model
pengujian sebagaimana yang dipraktikkan di negara Federal Jerman dengan
18
Saldi Isra, Titik Singgung…,Op.Cit.,h.19.
-
91
kombinasi yang sesuai dengan sistem hukum di Indonesia. Demikian hal nya
dasar gagasan Kelsen mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa,
Berpandangan norma konstitusi sebagai landasan bagi validitas
seluruh norma hukum dalam suatu tata hukum atau tertib hukum
tertentu. Konsep dasar ini mengandung konsekuensi logis yang
bersifat fundamental berupa kebutuhan akan adanya suatu organ
negara yang menjamin tegaknya konstitusi, yaitu untuk
menyelesaikan masalah inkonsistensi seluruh norma hukum,
baik yang lebih spesifik maupun umum, dengan norma-norma
yang lebih tinggi tingkatannya yang menjadi landasannya dan
pada tahap terakhir dengan norma konstitusi.19
Jimly Asshiddiqie menyampaikan dalam Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi Sosial dan eksistensi masyarakat
adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium Masyarakat Adat ke-2
dalam menjawab pertanyaan atas problematika konstitusionalitas peraturan
perundang-undangan dibawah undang-udang yang menyatakan,
“Saya sudah usulkan harus terintegrasi semua di MK, semuanya
tapi karena di MA sudah mengangani (pengujian peraturan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang), maka ini
orang (MPR) males mikir. Jadi diundanglah Ketua MK seperti
Jerman,Afrika Selatan Austria termasuk diantaranya Korea
Selatan. Pas Korea Selatan bicara dia jelaskan sejarah MA
disana yang tetap menguji peraturan dibawah undang-undang,…
maka pragmatis saja Mahkamah Agung menangani pengujian
peraturan dibawah undang-undang”20
Gagasan atas peralihan kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh MK maka judicial review
terhadap hirarki norma dengan batu uji konstitusi menjadi konstitusionalitas.
Pengujian terhadap norma adalah judicial review suatu produk hukum atau norma
19
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional…,Op.Cit.,h.188. 20
Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi Sosial dan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium
Masyarakat Adat ke-2 di Universitas Pancasila, 16-17 Mei 2016, https://www.youtube.com ,
dikunjungi pada 6 Juni 2018 pukul 11.00
https://www.youtube.com/
-
92
terhadap konstitusi. Melalui peralihan kewenangan dengan bangunan
konstitusionalitas tersebut maka harus mengubah ketentuan dalam UUD NRI
1945 terkhusus mengenai ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-
undangan di MK. Peraturan perundang-undangan yang diuji adalah peraturan
yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diuji
berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Sebagaimana hal tersebut gagasan
tersebut merupakan perwujudan dari prinsip supremasi konstitusi dan menjadikan
konstitusi yang hidup (the living constitution).
2. Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan
Pembangunan hukum terhadap prinsip supremasi konstitusi adalah
keniscayaan mengikat kepada MK untuk melaksanakan fungsinya dalam
penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undang di bawah Undang-
Undang Dasar supaya menjadi tertib hukum dan tidak menyimpang dari Undang-
Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bertugas memastikan norma di bawah
Undang-Undang Dasar sebagai dasar pengujian adalah konstitusional. Apabila
materi muatan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diuji
berdasarkan Undang-Undang tertentu maka MK memastikan terlebih dahulu
materi muatan ayat, pasal dan ketentuan Undang-Undang tersebut terlebih dahulu
dinyatakan konstitusional. Setelah MK menyatakan dasar pengujiannya
konstitusional, maka MK dapat menilai validitas perundang-undangan di bawah
undang-undang yang diajukan pemohon. Dengan demikian peran dan fungsi MK
dalam menegakkan supremasi konstitusi dapat dilaksanakan dengan alur
demikian. Kepentingan MK adalah untuk memastikan alur pegujian perundang-
-
93
undangan menjadi terkawal dan bertumpu pada Undang-Undang Dasar. Karena
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan yang dijalankan
oleh MK adalah Undang-Undang Dasar itu sendiri. Walaupun demikian Undang-
Undang Dasar tidak hanya dimaknai norma-norma tertulis saja, melainkan juga
prinsip dan moral Undang-Undang Dasar antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, perlindungan hak asasi manusia serta perlindungan hak konstitusional
warga negara.21
MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi
produk hukum yang keluar dari koridor Undang-Undang Dasar sehingga hak-hak
konstitusional warga terjaga dan produk perundang-undangan itu sendiri terkawal
konstitusionalitasnya.
Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna
tegaknya prinsip konstitusionalitas norma. Demikian halnya yang melandasi
negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem
ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-
undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi
supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.22
Karena prinsip supremasi
parlemen sudah ditinggalkan maka prinsip yang dianut sekarang adalah supremasi
konstitusi. Jika supremasi parlemen itu dapat dijalankan oleh parlemen itu sendiri,
maka berbeda hal nya dengan supremasi konstitusi maka kepatuhan seluruh warga
negara maupun penyelenggara negara tunduk pada konstitusi. Secara implisit MK
adalah lembaga yang memiliki fungsi untuk membuat konstitusi menjadi supreme,
karena konstitusi bukanlah sebuah lembaga atau institusi yang tidak dapat
21
Maria Farida Indrati, Teori…,Op.Cit.,h.1.18 22
Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI, Surakarta, 2009, h.11.
-
94
menjalankan fungsinya, maka MK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki
legitimasi fungsi tersebut.
Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui lembaga yudikatif
dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan yang dilakukan
oleh otoritas yang berwenang harus memiliki budaya konstitusi (constitutionalist
culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka sikap tunduk
penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan (constitutional
convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi.
Dengan demikian MK sebagai kontrol normatif terhadap peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan, maka legislator menjadi kontrol normatif sendiri
terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berlandaskan pada
konstitusi. Pembentuk undang-undang tidak sewenang-wenang dalam melakukan
pembentukan perundang-undangan tanpa memperhatikan alur dasar pembentukan
norma melalui prinsip hirarki norma. Melalui tegaknya prinsip supremasi
konstitusi maka produk peraturan perundang-undangan lainnya sebagai bagian
dari produk politik tidak terlepas atau melebar dari koridor kesepakatan umum
dalam konstitusi sehingga dengan demikian maka semakin kuatnya prinsip
kedaulatan rakyat dan cita-cita demokrasi.
Mengintergrasikan pengujian di MK dengan sistem sentralisasi kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya perubahan pada
subjek dan objek pengujian. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan
kehakiman tunggal yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat terhadap
produk hukum yang merupakan dasar pengujian legalitas. Sebelum pengujian
-
95
legalitas itu dilaksanakan, MK menyatakan konstitusional terlebih dahulu aturan
yang menjadi dasar atau batu uji pengujian yang menjadi sumber hukum
pembentukan objek norma yang akan dilakukan pengujian di MK.
Dengan demikian subjek pengujian peraturan perundang-undangan
dipusatkan pada satu lembaga sama hal nya yang diberlakukan oleh Mahkamah
Konstitusi Austria maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Saat ini
mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya mengikuti
pengujian yang dilakukan oleh MK Federal Jerman. Yang dipakai saat ini adalah
mekanisme pengujian seperti di Korea Selatan yang membaginya antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengan melalui problematika yang
terjadi tidak menguntungkan menggunakan prinsip pembagian kewenangan. Maka
prinsip sentralisasi pengujian supaya terintegrasi menerapkan sepenuhnya
mekanisme seperti pengujian peraturan perundang-undangan sama seperti yang
diberlakukan di Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Meskipun saat ini MK RI
belum menerapkan mekanisme pengaduan konstitusional seperti MK Federal
Jerman, namun menurut MK itu sendiri pengaduan konstitusional dapat dilakukan
dengan mekanisme uji materil.23
3. Mahkamah Konstitusi Melakukan Pengujian Konstitusionalitas dan
Legalitas Norma
Pengujian yang dilakukan dengan mekanisme satu atap oleh Mahkamah
Konstitusi yang objek pengujiannya adalah regelling berupa peraturan perundang-
undangan dibawah Undang-Undang Dasar NRI 1945. Menurut Maruarar Siahaan
23
www.mahkamahkonstitusi.go.id , Komplain Konstitusional Bisa di Putus Lewat Uji
Materi, 4 Agustus 2015, Jakarta, yang diakses pada 14 Juli 2018.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
-
96
mengenai kategorial Peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan menjadi
4 (empat), yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan abstrak, yang tidak menunjuk pada hal, peristiwa atau kasus
konkret sebelum peraturan ditetapkan;
b. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diatur, yaitu berlaku hanya untuk
subjek hukum tertentu;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus berdasar wilayah berlakunya, yaitu khusus berlaku di wilayah/lokal
tertentu; dan
d. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal
24
Objek pengujian peraturan perundang-undangan di MK berupa norma
hukum di bawah Undang-Undang Dasar NRI 1945 berupa Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten
dan Peraturan Institusional lainnya. Produk hukum tersebut adalah aturan yang
bersumber pada undang-undang atau merupakan aturan turunan atau mandat
delagasi aturan dari undang-undang yang menilai keabsahannya melalui pengujian
legalitas, sementara undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dinilai
melalui pengujian konstitusionalitas. Konsep pengujian di MK adalah dengan
menilai dasar pengujian terlebih dulu dinyatakan konstitusional.
Melalui kontrol normatif kewenangan yang dilakukan MK sebagai lembaga
yang mengontrol kesatuan nilai dalam kebersisteman peraturan perundang-
undangan dan teori hirarki norma yang berjenjang dan berlapis tidak lagi
dipisahkan akibat pemisahan kewenangan pengujian. Dari segi hukum acara maka
24
Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Vol. 7 No.7, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010, h.19.
-
97
pengujian sentralisasi lebih efektif dan efisien serta mewujudkan prinsip peradilan
yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Selain prinsip hirarki norma untuk
mengintegrasikan produk hukum peraturan perundang-undangan, prinsip the
living constitution yang menjadikan konstitusi hidup dan menjadi budaya
konstitusi dalam masyarakat. Yang dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk
undang-undang untuk menerapkan kaidah konstitusi dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi terhadap peraturan
perundang-undangan. Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui
lembaga yudikatif dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan
yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang memiliki budaya konstitusi
(constitutionalist culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka
sikap tunduk penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan
(constitutional convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan
konstitusi.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusionalitas
peraturan perundang-undangan adalah final and binding. Tidak dapat dilakukan
upaya hukum lain terhadap putusan yang mengikat secara hukum terhadap
putusan yang telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Terhadap
tindakan hukum yang bertentangan dengan putusan MK maka hal tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan hanya Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tunggal yang menjalankan kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat ditemukan lagi
perbedaan penafsiran dalam putusan. Putusan MK adalah satu-satu nya putusan
-
98
yang menjalankan pemeriksaan dan putusan terhadap produk perundang-
undangan. Dalam kasus tertentu mengindikasikan bahwa MK berupaya
melindungi konstitusionalitas norma melalui putusannya. Kontrol normatif secara
tidak langsung pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pengujian Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan
cara memberikan rambu-rambu pada produk hukum pelaksana Undang-Undang
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (PP SPAM) yang merupakan norma hukum dibawah
undang-undang yang bukan merupakan objek pengujian di MK. Namun untuk
dapat mengontrol peraturan pelaksana tersebut, MK membuat rambu-rambu
dalam pembentukan PP tersebut yang telah diputus dalam Putusan Nomor 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 8/PUU-III/2005. Terdapat
perbedaan di PP terhadap rambu-rambu tersebut adalah swastanisasi terselubung
dan pengingkaran tafsir konstitusional MK.25
MK berpendapat Pasal 10 UU SDA
yang menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.” Sehingga dalam hal ini PP SPAM yang merupakan penggaturan
delegasi (delegated legislation) mendapatkan mandat pengaturan secara langsung
oleh UU SDA.26
Pada akhirnya putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah
menilai bahwa UU SDA bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
25
Hukumonline.com , MK Batalkan UU Sumber Daya Air Pengelolaan SDA harus diserahkan pada BUMN maupun BUMD, 18 Februari 2015 yang diakses pada tanggal 12 Juli 2018 pukul 9.06.
26 Mahkamah Konstitusi kerja sama FH Universitas Brawijaya Malang, Laporan Hasil
Penelitian Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengelolaan Sumber Daya
Alam, 2017, h.49
-
99
Dalam perkara ini dapat disimpulkan bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi
inheren dengan fungsi kontrol normatif terhadap norma dibawah Undang-Undang
Dasar NRI 1945 agar konstitusional. Putusan MK terhadap pengujian legalitas
norma adalah dikabulkan, ditolak dan tidak dapat diterima. Sedangkan putusan
MK mengenai konstitusionalitas dapat yang bersifat progresif saat ini dengan
berbagai varian putusan dapat diberlakukan sama terhadap pengujian peraturan
perundang-undangan. Terhadap Putusan MK bersifat declaratoir
menyatakan tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan
putusan MK, Status Putusan MK dianggap sederajat dengan UU, karena Putusan
MK yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (pasal 57 ayat [3] UU MK).
5. Keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes. Keberlakuaannya pada saat
putusan dibacakan disidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK mengikat
untuk umum, putusan tersebut dapat dijadikan acuan dalam perbaikan norma
maupun pembentukan norma baru bagi peraturan perundang-undangan. Putusan
MK tersebut mengikat terhadap otoritas pembentuk undang-undang (legislative
power). Dalam hal terjadi inkonsistensi dan pelanggaran terhadap prinsip hierarki
perundang-undangan yang berlaku, tidak selalu dapat diidentifikasi secara kasat
mata dan segera. Tetapi inkonsistensi maupun pelanggaran prinsip demikian akan
menggerakkan mekanisme kontrol yang inherent dalam prinsip hierarki tersebut
dan menjadi kewajiban konstitusional dari pemegang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif untuk memberi akibat hukum pada norma hukum yang
-
100
inkonstitusional dalam batas kewenangannya. Hasil putusan MK sebagai muatan
publik dipublikasikan dalam Berita Negara. Dengan demikian maka hasil
pengujian dapat memiliki akses publik dalam pemenuhan informasi publik
terhadap suatu norma hukum yang abstrak dan umum.