bab iv pembahasan dan analisis - repository.uksw.edu...mendadak dan 29% dari kematian yang...
TRANSCRIPT
1
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini saya akan membahas dan menganalisa temuan-temuan yang
diperoleh oleh saya di lapangan terkait studi kasus kedukaan “X” mahasiswi Fakultas
Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua, dengan berpedoman pada teori-teori
yang lebih dahulu telah dipaparkan pada bab 2. Berdasarkan temuan-temuan yang
diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa, respon X terhadap peristiwa kehilangan
karena kematian kedua orang tua ialah X mengalami kedukaan, hal ini dibuktikan
dengan munculnya beberapa gejala dan pasca kehilangan X menjalani beberapa
tahapan kedukaannya.
4.1 Respon X terhadap Peristiwa Kehilangan
Peristiwa kematian orang tua selalu membawa pengaruh yang kuat dan
mendalam bagi anak-anak yang ditinggalkan. Pada peristiwa kematian kedua orang
tua secara berurutan, X mengalami kedukaan sebagai respon terhadap peristiwa
kehilangan karena kematian kedua orang tua. Bukti bahwa X benar-benar mengalami
kedukaan terlihat dari beberapa gejala yang muncul, namun perlu diingat bahwa tidak
semua gejala yang dijelaskan akan muncul pada diri X, disebabkan karena setiap
kedukaan yang dialami penduka bersifat unik, khas, personal, situasional dan
kontekstual.1 Ada pun gejala-gejala yang dialami oleh X sebagai berikut:
1Wiryasaputra, Mengapa Berduka........, 107.
2
4.1.1 Fisik
Melalui penelitian terhadap peristiwa kehilangan yang disebabkan karena
kematian kedua orang tua, secara fisik gejala awal yang ditunjukkan oleh X ialah
menangis. Menangis merupakan respon fisik akibat dari refleks ataupun gejolak emosi
yang dirasakan oleh seseorang. Dalam peristiwa kehilangan, reaksi menangis tidak
mudah dibuat-buat atau dipalsukan, karena pada saat menangis air mata yang
diproduksi seseorang mengaburkan pandangannya dan melumpuhkan kemampuannya
untuk menyerang ataupun bertahan dan mengirimkan sinyal pada orang-orang terdekat
bahwa orang tersebut dalam keadaan tubuh butuh pertolongan, ditenangkan atau
ditemani. Gejala yang diperlihatkan oleh X memperlihatkan adanya kesesuaian
dengan apa yang disampaikan dalam teori Worden bahwa tekanan stres menyebabkan
ketidakseimbangan kimia dalam tubuh sehingga berujung pada tangisan.2 Sejalan
dengan Worden, Wiryasaputra juga memberi pemahaman yang sama, yakni bahwa
menangis adalah gejala yang normal dalam proses berduka.3 Adanya kesesuaian antara
teori yang dipaparkan oleh Worden, Wiryasaputra dan temuan di lapangan disebabkan
karena secara psikologis, menangis selalu memiliki kaitan dengan emosi seseorang
pada saat senang, sedih, atau bahkan marah dan seseorang yang mengalami kehilangan
akan memiliki kecenderungan untuk menangis. Dengan kata lain, menangis
merupakan gejala universal yang akan dialami oleh setiap penduka dalam merespon
kedukaannya. Menangis dapat terjadi sebagai respon awal dari kedukaan, namun
2Worden, Grief Counseling........, 30.
3Wiryasaputra, Mengapa Berduka........, 108.
3
menangis juga sewaktu-waktu dapat diperlihatkan setelah kematian, ketika memori
penduka di bawa kembali kepada orang-orang yang telah meninggal. Dengan
demikian menurut saya, keselarasan antara temuan di lapangan dengan teori Worden
dan Wiryasaputra memberi gambaran bahwa menangis merupakan mekanisme alami
yang harus dilakukan untuk meluapkan emosi atau kesedihan pasca mengalami
kehilangan.
Temuan berbeda juga diperoleh ketika X sempat dilarang oleh ibunya untuk
tidak menangis ketika kematian sang ayah. Temuan ini memperlihatkan adanya
kesenjangan dengan teori Worden dan Wiryasaputra. Kesenjangan yang terjadi antara
teori dan temuan di lapangan disebabkan karena dalam keseharian masyarakat,
menangis masih sering dianggap sebagai lambang kelemahan, sehingga anak-anak
sering dilarang untuk menangis bila jatuh dan sebagainya. Selain itu, dalam
masyarakattertentu menangis juga sering dianggap sebagai hal yang tidak perlu
danberusaha menghentikannya. Berdasarkan temuan yang berbeda ini menurut saya,
pemahaman tentang pentingnya menangis dalam merespon peristiwa kehilangan
masih dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang tidak penting, walau dalam
teori telah dijelaskan bahwa dalam proses kehilangan sebaiknya X dibiarkan saja
menangis sepuasnya, karena menangis merupakan salah satu mekanisme
penyembuhan dari rasa sakit.
Selain menangis, X juga begitu hiperaktif ketika beraktivitas. Gejala hiperkatif
yang diperlihatkan oleh X merupakan suatu bentuk peningkatan aktivitas motorik,
4
hingga pada tingkatan tertentu dapat menyebabkan gangguan perilaku. Gejala
hiperaktif yang dialami X memiliki kesesuaian dengan teori Wiryasaputra bahwa
secara fisik seorang penduka akan menunjukkan beberapa gejala diantaranya
hiperaktif. Teori Wiryasaputra didukung pula oleh Worden, yang mana secara mental,
pasca peristiwa kehilangan sebagian penduka memilih untuk mencari alternatif lain
yang memungkinkan penduka untuk menghindari ingatan terhadap kenangan dengan
orang-orang terkasih yang telah meninggal.4Adanya kesesuaian antara temuan di
lapangan dengan teori karena, secara psikologis hiperkatif merupakan gangguan
tingkah laku yang tidak normal, yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala
utama tidak mampu memusatkan perhatian. Dengan demikian, menurut saya pada
gejala ini X memperlihatkan bahwa X belum mampu menyesuaikan diri dengan
realita kematian kedua orang tuanya, sehingga mencoba mencari kesibukan lain yang
dapat membuat dirinya melupakan kematian kedua orang tua.
4.1.2 Mental
Hubungan orangtua dan anak adalah hubungan antar manusia yang paling
dalam dan mendasar, sebab orangtua merupakan sumber atau asal keberadaan sang
anak. Hubungan orang tua dan anak yang terjalin baik antara X dengan kedua orang
tua dan peristiwa kematian kedua orang tua yang terjadi secara berurutan, sering
menimbulkan kerinduan dalam diri X untuk bertemu lagi dengan kedua orang tua,
4Worden, Grief Counseling........, 29-30.
5
sehingga gejala yang sering dimunculkan oleh X ialah memimpikan dan angan-angan
untuk bertemu kembali dengan kedua orang tua.
Gejala yang terjadi pada X sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Wiryasaputra bahwa kedalaman kedukaan seorang anak karena kematian orang tua,
tidak hanya ditentukan dari objek yang hilang, namun dipengaruhi pula oleh hubungan
emosional antara anak dan orang tua.5 Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan
dan teori Wiryasaputra disebabkan karena, secara psikologis dalam perkembangannya
seorang anak sangat membutuhkan perhatian dari orang-orang yang ada disekeliling
kehidupan anak terutama orang tua. Peran dan fungsi orang tua dalam kehidupan anak
sangat besar, sehingga anak akan lebih senang dan lebih nyaman jika bersama dengan
orang tuanya. Berdasarkan teori dan temuan di lapangan, saya dapat menyimpulkan
bahwa gejala memimpikan kedua orang tua yang diperlihatkan oleh X, menunjukkan
bahwa X sangat merindukan kehadiran kedua orang tua yang telah meninggal tersebut,
dan rasa rindu X yang begitu besar terhadap kedua orang tua telah memicu X untuk
memimpikan kedua orang tua yang telah meninggal sebagai ganti obat kerinduan.
Umumnya rentang waktu masa berduka yang dialami oleh masing-masing
individu akan berbeda tergantung pada hubungan kedekatan antara penduka dengan
almarhum, sebab hubungan yang terjalin sangat baik dengan orang yang telah
meninggal akan mempersulit proses grief yang akan dilalui oleh penduka, sehingga
menurut saya, pada awal kedukaannya X sempat mengalami kesulitan menerima
5Wiryasaputra, Mengapa Berduka........, 53.
6
realita kematian kedua orang tua, disebabkan karena hubungan baik yang dibangun
antara X dan kedua orang tuanya semasa hidup.
Selain gejala memimpikan kedua orang tua yang terjadi sebagai akibat dari
kerinduan X terhadap kedua orang tua dan kuatnya ikatan emosional antara X dan
kedua orang tuanya, X juga merasakan perubahan yang cukup siginifikan dalam
kehidupannya, diantaranya X merasa sedih karena tidak ada lagi perhatian orang tua
yang selama ini diterima olehnya.6 Gejala ini memperlihatkan bahwa kematian orang
tua merupakan peristiwa menyedihkan dan menyakitkan yang sulit dihadapi oleh
anak-anak yang ditinggalkan, apalagi bila peristiwa tersebut terjadi pada saat seorang
anak masih membutuhkan kehangatan dari orang tuanya. Pada lain pihak semasa
hidup kebutuhan anak menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua, namun
ketiadaan kedua orang tua mengharuskan seorang anak untuk belajar mandiri dalam
mengatur kehidupannya, dengan kata lain kematian kedua orang tua secara langsung
telah memutuskan sumber kehidupan anak.
4.1.3 Sosial
Dalam setiap peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian, seorang
penduka akan cenderung merasakan perubahan yang cukup signifikan dalam
lingkungan sosial dimana penduka berada. Secara sosial, menurut Worden salah satu
perilaku berduka yang sering dilakukan oleh penduka ialah menarik diri dari
6Hasil wawancara dengan X.
7
lingkungan sosialnya,7 akan tetapi dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena
kematian kedua orang tua, gejala ini tidak terdeteksi pada X. Menurut M.E.S selaku
sahabat X, pasca kematian kedua orangtuanya, X yang dulunya suka menyendirikini
lebih banyak bergaul dan peduli dengan orang-orang disekitar.8 Hal ini dibenarkan
pula oleh kedua sahabat X yang lainnya, yakni N.P dan M.M.B bahwa pasca kematian
kedua orang tuanya, X lebih mendekatkan diri dengan orang-orang disekitar, sebab
menurut X lingkungan sosialnya begitu membantu X dalam menjalani kedukaannya.
Berbagai dukungan diterima oleh X, yakni melalui lingkungan Asrama, kampus dan
sahabat-sahabat, sehingga bagi X tidak ada alasan untuk terus larut dalam
kesedihannya.9 Berdasarkan hasil penelitian, terjadi adanya kesenjangan antara teori
Worden dan temuan di lapangan, hal ini disebabkan karena masing-masing individu
pada umumnya memiliki kepribadian dan strategi yang berbeda dalam menyikapi
masalah yang sementara dihadapi. Bila Worden dalam teorinya melihat individu
cenderung menarik diri dari lingkungan ketika mengalami kehilangan, maka melalui
temuan ini dapat dilihat bahwa setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik
bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan,
sehingga masing-masing manusia terlahir untuk menjadi pribadi yang unik dan
keunikan ini membuat setiap manusia berbeda. Dengan demikian, tindakan X yang
berani untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungannya pasca kematian kedua
orang tua, dipicu oleh keinginan X sendiri dan di dukung oleh lingkungan dimana X
7Worden, Grief Counseling........, 28.
8Hasil wawancara dengan M.E.S.
9Hasil wawancara dengan N.P dan M.M.B.
8
berada. Besarnya dukungan yang diberikan dari lingkungan bagi X pasca kematian
kedua orang tua, mengindikasikan bahwa lingkungan X turut berperan dalam
kehilangan yang dialami oleh X.
4.1.4 Spiritual
Dalam kasus kehilangan, secara spiritual setiap orang akan mempertanyakan
keberadaan Tuhan. Pada awal kematian kedua orang tua, X mempertanyakan mengapa
peristiwa ini terjadi kepadanya. Menurut Westberg dalam teorinya mengungkapkan
bahwa, ketika seseorang mengalami kehilangan sesuatu yang berharga, orang tersebut
mulai meragukan keberadaan Tuhan.10
Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan
dengan teori karena penduka tidak memiliki kesiapan, sehingga mulai menggugat
Tuhan yang diyakini memiliki kekuasaan terhadap hidup dan mati manusia. Di sisi
lain, dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X
tetap percaya pada rencana Tuhan, sehingga teori Westberg memiliki kesenjangan
dengan apa yang diperlihatkan oleh X. Kesenjangan yang terjadi antara teori dan
temuan di lapangan disebabkan karena, pada agama tertentu telah diajarkan bahwa
kematian merupakan hal yang pasti dialami oleh semua orang, sehingga agama dapat
menghibur dan menimbulkan rasa aman bagi mereka yang mengalami kehilangan
karena kematian, walau pada kenyataannya ada pula yang menyalahkan Tuhan akan
kematian.
10
Westberg, Good Grief......., 20.
9
Berdasarkan kesenjangan antara teori dan temuan di lapangan, saya dapat
menyimpulkan bahwa pemahaman X terhadap besarnya kemahakuasaan Tuhan, secara
spiritual telah menguatkan X dalam menghadapi kehilangan kedua orang tua yang
disebabkan karena kematian. Di lain sisi, X merupakan anak yang dibesarkan oleh
orang tua (ayah) seorang pendeta, sehingga ajaran dan didikan yang selama ini
diterima oleh X secara tidak langsung telah membentuk pribadi X.
1.2 Tahap-Tahap Kedukaan yang Dialami oleh X
Banyak teori tentang kedukaan yang telah dikemukakan oleh para ahli, namun
tidak ada individu yang secara otomatis dapat menerima kehilangan yang disebabkan
karena kematian, hal ini disebabkan peristiwa kedukaan yang disebabkan karena
kematian merupakan fakta esensial dalam kehidupan yang berharga dan bernilai bagi
setiap penduka, sehingga sejauhmana seorang penduka memproses kedukaannya pasca
mengalami kehilangan dapat diamati melalui tahapan-tahapan yang dijalani oleh
penduka. Dalam menganalisis tahapan-tahapan kedukaan yang dijalani oleh X, saya
menggunakan teori yang dipaparkan oleh Westberg dalam penelitian ini, karena teori
Westberg dianggap sesuai dengan kasus kedukaan bertumpuk yang diakibatkan karena
kematian kedua orang tua seperti yang dialami oleh X.
Perlu diingat bahwa setiap kedukaan bersifat unik, khas, personal, situasional
dan kontekstual, sehingga tidak semua tahapan akan dilewati oleh X. Dengan kata
lain, tahapan-tahapan kedukaan yang dilalui oleh X tidak linear. Berdasarkan temuan
di lapangan, terdapat dua tahapan dari 10 tahapan kedukaan Westberg yang tidak
10
dilalui oleh X dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang
tua.
1. Tahapan pertama: shock.
X mengalami shock ketika pertama kali mendengar kabar kematian sang ayah.
Hal ini disebabkan karena sebelum kematian, sang ayah sama sekali tidak
menunjukkan tanda atau gejala-gejala sakit apapun, hanya saja satu jam sebelum
kematian, sang ayah sempat menelepon X untuk meminta maaf.11 Peristiwa yang sama
terjadi pula untuk kematian sang ibu, dimana sang ibu tidak menunjukkan gejala
apapun sebelum kematiannya. Parkes dan Weiss dalam Camellay mengungkapkan
bahwa:
2 sampai 4 tahun kemudian 61% dari orang yang berduka karena kematian
mendadak dan 29% dari kematian yang diantisipasi masih mempertanyakan
mengapa kematian terjadi. Tidak mengejutkan, bahwa lebih mudah untuk
memahami kematian yang terantisipasi daripada kematian mendadak.12
Peristiwa kematian yang memisahkan hubungan anak dan orang tua secara
mendadak merupakan peristiwa yang sulit untuk diterima oleh setiap individu, karena
tidak ada individu yang benar-benar siap ketika harus menerima kehilangan orang
yang dicintainya. Westberg dalam teorinya menyebut tahapan ini sebagai serangan
kejutan, karena perasaan ini dapat terjadi dimana dan kapan saja.13
Sejalan dengan itu
Papalia dalam teorinya membenarkan hal yang sama bahwa, reaksi awal terhadap
11
Hasil wawancara dengan X. 12
Carnelley, B. K.; dkk. 2006. The Time Course of Grief Reactions to Spousal Loss: Evidence From a
National Probability Sample. Journal of Personality and Social Psychology, 2006. Vol.91, No. 3, 476-
492. 13
Westberg, Good Grief......., 11-14.
11
kematian orang yang disayangi meliputi shock dan menganggap reaksi ini berfungsi
sebagai perisai yang melindungi orang yang ditinggalkan dari masa kehilangan.14
Berdasarkan realita dan pemahaman-pemahaman di atas menurut saya, dalam tahapan
ini terdapat kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori Westberg dan Papalia,
karena secara psikologis penduka yang mengalami kedukaan secara mendadak tidak
memiliki kesiapan, sehingga cenderung mengalami shock.
Berdasarkan kesesuaian antara teori dan temuan, saya dapat menyimpulkan
bahwa peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua yang
terjadi secara mendadak atau tidak diharapkan akan benar-benar mengejutkan bagi
orang-orang yang ditinggalkan, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk
menyiapkan diri secara psikologis untuk menghadapi kehilangan kematian orang-
orang yang dicintai tersebut.
2. Tahapan kedua: mengungkapkan emosi.
Dalam meluapkan dan mengekspresikan emosi terdapat perbedaan antara anak
laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki memiliki perasaan kehilangan yang sangat
sulit untuk diungkapkan, lebih menahan dan memendam perasaan tersebut. Sebaliknya
anak perempuan cenderung memiliki perasaan yang sensitif dan lebih peka, serta lebih
mudah menunjukkan kesedihan dan rasa kehilangannya. Dalam kasus kehilangan yang
disebabkan karena kematian kedua orang tua, X cenderung mengungkapkan emosinya
14
Papalia, Olds dan Feldman, Human Development......., 957.
12
dengan cara menangis dan mengungkapkan perasaan lewat media sosial.15 Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh J.S Jeffreys bahwa tidak semua individu akan
menyatakan kesedihan dengan cara yang sama.16
Ada invididu yang dapat merasakan
kesedihan ketika mengalami kehilangan orang yang dicintai, namun ada pula individu
yang menahan rasa dukanya karena adanya tekanan dari pihak luar atau karena
individu tersebut tidak merasa berhak untuk mengungkapkan rasa dukanya. Adanya
kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori disebabkan karena secara
psikologis mengungkapkan emosi menjadi bagian dari upaya mengkomunikasikan
status perasaan seseorang. Emosi menjadi energizer atau pembangkit energi yang
memberikan kegairahan dalam kehidupan manusia. Kematian saudara kandung, sanak
keluarga yang lain, teman atau sahabat, bahkan binatang kesayangan tidak sebanding
dengan reaksi emosional anak dalam menghadapi kematian orang tua atau figur yang
dianggap sebagai orang tua. Berdasarkan temuan dan teori di atas, saya dapat
menyimpulkan bahwa saat individu kehilangan kontak dengancaregiver (orang tua
atau pengasuh) maka dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam dan penduka
harus dapat bertahan hidup (survive) dalam situasi seperti ini. Bentuk pertahanan
tersebut dapat berupa menampilkan respon-respon emosi atas pengabaian yang
diterimanya tersebut.
15
Hasil wawancara dengan X. 16
Jeffreys, Helping Grieving People........, 105.
13
3. Tahapan ketiga: merasa depresi dan sangat kesepian.
Kematian orang tua selalu menimbulkan implikasi yang berat bagi anak-anak,
dikarenakan anak-anak telah kehilangan sandaran hidup. Pasca kematian kedua orang
tua, X mulai merasakan kesepian karena ketiadaan kasih sayang dari orang tua.
Hubungan yang selama ini terjalin begitu intens dengan kedua orang tua kini tidak lagi
dirasakan oleh X17
dan selama beberapa hari X mulai membandingkan dirinya dengan
teman-temannya yang lain.18
Dalam hal ini terdapat kesesuaian dengan apa yang
disampaikan oleh Westberg bahwa, dalam tahapan ketiga dari proses kedukaan,
penduka akan mengalami depresi dan kesepian karena sesuatu yang berharga telah di
ambil dari kehidupannya.19
Teori Westberg sejalan dengan teori Parkes yang
menyatakan bahwa kesedihan merupakan sebuah proses yang tidak dimulai setelah
kematian dan kemudian memudar, melainkan gejala-gejala yang sering bergabung
dan saling menggantikan. Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori
disebabkan karena secara psikologis, pada diri anak kebutuhan kasih sayang mutlak
dipenuhi, agar kehidupan psikisnya dapat tumbuh secara wajar. Kebutuhan akan kasih
sayang umumnya diperoleh dari orang tua, namun anak-anak yang telah kehilangan
cinta orang tua karena kematian, sering dalam diri mereka timbul perasaan depresi dan
kesepian. Dengan demikian saya dapat menyimpulkan bahwa, ketiadaan orang tua
karena kematian adalah perubahan hidup yang selalu menimbulkan berbagai risiko
bagi anak, sehingga menuntut anak berespon dalam melakukan penyesuaian diri.
17
Hasilwawancara dengan X. 18
Hasil wawancara dengan M.B. 19
Westberg, Good Grief......., 19.
14
4. Tahapan keempat: muncul gejala-gejala fisik
Dalam menjalani tahapan kedukaannya, kondisi seperti shock dan rasa tidak
percaya perlahan menghilang dengan sendirinya setelah pemakaman selesai. Kondisi
seperti gangguan pola makan, gangguan tidur, kekhawatiran dan kebingungan tidak
lagi dirasakan oleh penduka.20 Di sisi lain gejala mati rasa masih dirasakan oleh X.
Menurut Wiryasaputra, salah satu gejala fisik yang diperlihatkan oleh penduka ketika
menjalani kedukaannya ialah mati rasa.21
Berdasarkan temuan di lapangan terdapat
adanya kesesuaian dengan teori Wiryasaputra karena secara psikologis gejala mati
rasa merupakan kondisi dimana seseorang tidak bisa merespons secara emosional
suatu peristiwa yang dialami. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mati rasa
berarti tidak mempunyai perasaan lagi. Secara mental psikologis individu yang
mengalami mati rasa akan merasa terasing dan tidak ada gairah hidup, dan secara
afektif menjadi gampang lupa dan tidak bisa memusatkan atensi dengan baik.
Berdasarkan temuan dan teori di atas menurut saya, mati rasa merupakan bentuk
perlindungan diri dari kesedihan yang mendalam atau kejadian-kejadian traumatik.
Misalnya, dengan mati rasa seseorang bisa menjalani hari, sementara hatinya terluka
karena orang yang dikasihi meninggal.
5. Tahapan kelima: panik
Pada umumnya saat seseorang berada dalam kondisi tertekan dan tidak memiliki
rasa percaya diri serta pengendalian diri yang baik, orang tersebut akan mudah
20
Hasil wawancara dengan X. 21
Wiryasaputra, Mengapa Berduka........, 75.
15
mengalami perasaan panik. Kondisi ini juga akan dialami oleh seorang penduka dalam
menjalani proses kedukaannya dan merupakan hal yang normal. Perasaan panik atau
panik attack adalah gangguan atau tekanan perasaan yang datang secara tiba-tiba dan
sering ditandai dengan preasaan gelisah dan cemas yang mendalam. Dalam kasus yang
dialami oleh X, X tidak memperihatkan gejala kepanikan dalam proses kedukaannya,
sehingga menurut saya tahapan ini dan tahapan sebelumnya memiliki kesesuaian
dengan teori, yakni bahwa proses berduka tidak selamanya mengikuti pola garis linear,
secara teratur, berurutan dari satu tahap ke tahapan yang lain, karena kedukaan
masing-masing penduka akan cenderung berbeda-beda.
6. Tahapan keenam: perasaan bersalah.
Kedukaan yang mendalam sering berhubungan dengan adanya perasaan bersalah
atas pikiran, sikap, perasaan serta tindakan penduka terhadap orang yang telah
meninggal. Perasaan bersalah ini umumnya bersifat subjektif. Sumbernya dapat
berupa pikiran, perasaan, perlakukan serta tindakan yang secara objektif begitu
mengecewakan, menyakiti hati atau bahkan mencederai mental maupun fisik orang
yang meninggal semasa hidup. Sebagai anak bungsu yang sementara menuntut ilmu di
perantauan, peristiwa kematian kedua orang tua yang terjadi secara berurutan
membuat X mulai menyalahkan diri sendiri. Hal ini disebabkan karena keinginan X
untuk membanggakan kedua orang tua belum sempat dilakukan oleh X.22
Demi
menebus perasaan bersalah yang dirasakan, X kini lebih aktif berkuliah dengan tujuan
ingin membanggakan kedua orang tua yang telah tiada. Perasaan bersalah yang
22
Hasil wawancara dengan N.P.
16
dialami oleh X dapat dikategorikan sebagai rasa bersalah normalsesuai dengan apa
yang disampaikan oleh Westberg, yakni bahwa ketika penduka tidak sempat
melakukan sesuatu bagi almarhum semasa hidupnya, maka akan timbul rasa bersalah
dalam diri penduka.23
Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori
disebabkan karena orang tua sering menjadi motivasi terbesar bagi kehidupan anak-
anaknya, sehingga banyak sekali anak-anak yang ingin membalas semua budi baik
dari kedua orang tua,walau orang tua telah tiada. Motivasi ini dapat muncul karena
adanya keinginan dari seorang anak untuk membahagiakan orang tuanya, atau lebih
dari itu karena anak tersebut adalah anak rantau yang jauh dari kedua orang tua,
sehingga berkeinginan besar untuk sukses.
7. Tahapan ketujuh: permusuhan dan kebencian.
Pada kematian yang mendadak, akan lebih sulit penduka untuk menghadapi
kenyataan, hal ini disebabkan karena penduka tidak memiliki kesempatan untuk
menyiapkan diri. Kecenderungan dari tidak siapnya penduka dalam mempersiapkan
diri, membuat penduka mulai mengekpresikan kemarahan dan kebencian kepada
orang-orang disekitar. Dalam kasus ini, X sama sekali tidak memperlihatkan
permusuhan dan kebencian terhadap siapa pun.24 Hal ini disebabkan karena orang-
orang terdekat dari X justru memberikan kekuatan tersendiri dalam menjalani
kedukaannya. Dengan demikian dalam menjalani proses kedukaannya X tidak berada
23
Westberg, Good Grief......., 35-37. 24
Hasil wawancara dengan X.
17
dalam tahapan permusuhan dan kebencian yang umumnya terjadi bagi para penduka
yang lainnya.
8. Tahapan kedelapan: kembali ke kebiasaan awal.
Seseorang yang mengalami grief karena kematian orang yang dicintai
dapatmengakibatkan adanya perubahan tingkahlaku keseharian dalam bersosialisasi
dimasyarakat, serta kurangnya percaya diri untuk bersosialisasi di masyarakat
sehingga dapat menutup diri di lingkungan, namun hal ini tidak terdeteksi pada X.
Hari ke dua setelah acara pemakaman kedua orang tua dilaksanakan, X kemudian
kembali ke Salatiga untuk menjalankan perannya sebagai seorang mahasiswi di
Fakultas Teologi UKSW.25
Rutinitas kuliah rupanya membantu X untuk
menghilangkan perasaan sedih atas kematian kedua orang tua. Selain padatnya
aktivitas kuliah yang di lakukan, X juga memiliki lingkungan soisal dan sahabat-
sahabat yang ternyata sangat membantu X menjalani kehidupannya pasca kematian
kedua orang tua.26
Dalam peristiwa kehilangan karena kematian kedua orang tua,
lingkungan memiliki daya dukung terhadap penduka dalam menjalani proses
kedukaannya. Hal ini disebabkan karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku penduka, baik secara fisik
maupun sosio-psikologis. Selain lingkungan, dukungan yang diberikan dari teman-
teman terdekat kepada penduka akan membuat penduka semakin lebih kuat dan tegar
untuk menghadapi kondisi kedukaannya. Tanpa adanya dukungan dari orang-orang
25
Hasil wawancara dengan X. 26
Hasil wawancara dengan X.
18
terdekat, cenderung membuat penduka merasa kesepian dan hampa dalam menjalani
kehidupannya. Temuan lapangan ini memiliki kesesuaian dengan apa yang dijelaskan
oleh Westberg bahwa, peranan orang-orang terdekat dari penduka sangat penting bagi
penduka dalam menjalani tahapan kedukaannya. Orang-orang terdekat penduka
berfungsi untuk menjaga memori penduka terhadap orang yang telah meninggal.
Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori karena lingkungan yang
mendukung berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan psikologis seseorang,
terlebih mereka yang sedang terpuruk karena peristiwa hidup yang menimbulkan
kedukaan. Penduka yang memiliki jaringan dukungan sosial dapat mendapatkan
beberapa manfaat, antara lain rasa memiliki kebersamaan, peningkatan rasa diri
berharga serta perasaan aman.
Berdasarkan teori dan temuan di lapangan, saya menyimpulkan bahwa X yang
mengalami kedukaan mampu untuk mengatasi perasaan kehilangan yang dialami dan
dapat kembali hidup normal serta menjalani kehidupan selanjutnya, karena adanya
support dari orang-orang sekitar yang dapat memberikan kepercayaan diri bahwa X
mampu mengatasi kedukaan yang dialami, sehingga melalui bantuan dan dukungan
dari lingkungan serta orang-orang terdekat secara tidak langsung dapat mencegah
perwujudan perilaku-perilaku negatif dari X.
9. Tahapan kesembilan: berpengharapan.
Dalam tahapan ini, seorang penduka akan mulai memberanikan diri untuk
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar atas keinginan penduka sendiri dan berusaha
19
hidup tanpa kedua orang tua. Pada kasus yang di alami oleh X, keinginan X untuk
kembali bersosialisasi dengan lingkungan sekitar terlihat begitu kuat, sehingga X
memberanikan diri untuk menyesuaikan diri dan tidak ingin berlarut-larut di dalam
kesedihannya. Tindakan X memiliki kesesuaian dengan teori yang dijelaskan oleh
Westberg karena tidak ada penduka yang sama dalam menjalani proses kedukaannya,
ada penduka yang begitu cepat tetapi adapula penduka yang begitu lambat.27
Berdasarkan temuan dan teori di atas saya menyimpulkan bahwa, dalam peristiwa
kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X tetap memiliki
pengharapan kepada Tuhan. Pengharapan X ini terlihat dari tahapan sebelumnya
dimana keinginan X untuk kembali ke kebiasaan awal pasca mengalami kehilangan
kedua orang tua.
10. Tahapan kesepuluh: menerima kenyataan.
Tahapan menerima kenyataan sering disebut juga sebagai tahapan reorganisasi
dimana penduka mulai membangun kembali identitasnya, arah dan tujuan hidup, rasa
mandiri dan percaya diri. X memahami dengan baik bahwa peristiwa kehilangan yang
dirinya alami merupakan bagian dari perencanaan Tuhan. Keyakinan X ini didukung
oleh teori Westberg, yang mana pada tahapan terakhir ini penduka yang imannya
kuat akan lebih menyadari bahwa hidup tidak akan pernah sama dan merasakan bahwa
banyak hal dalam hidup ini perlu dilalui. Sejalan dengan Westberg, pada tahapan
kelima dari teorinya, Kübler Ross memberikan penekanan yang sama bahwa pada
tahapan terakhir penduka sudah mulai berbesar hati menerima kepergian almarhum.
27
Westberg, Good Grief......., 45-47.
20
Adanya kesesuaian antara temuan di lapangan dengan teori karena pada tahapan
terakhir dari setiap rangkaian proses kedukaan selalu ditandai dengan diterimanya
peristiwa kehilangan sebagai sebuah peristiwa yang riil.
Menurut Kathleen Nadercara seorang penduka menjalani kedukaannya
ditentukan oleh beberapa faktor.
Sifat dari penduka (misalnya kepribadian, genetika dan jenis kelamin), keterampilan
(misalnya keterampilan dan pengalaman dengan kematian dan kedukaan), lingkungan
(misalnya budaya, status sosial ekonomi, sistem pendukung), perkembangan usia dan
gaya berduka, jenis kehilangan atau penyebab kematian (misalnya trauma, tenang),
dan hubungan dengan almarhum (misalnya keluarga, kenalan).28
Dalam kasus kehilangan yang di alami X, faktor yang menentukan X dalam
menjalani kedukaannya ialah sifat dari X itu sendiri. Selain sebagai anak yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menanamkan nilai-nilai kemandirian oleh
kedua orang tua, X juga merupakan mahasiswi Fakultas Teologi UKSW yang
nantinya akan menjadi pendeta. Sebagai seorang yang sementara menekuni
pendidikan Teologi, bagi X peristiwa kematian kedua orang tua yang di alaminya
merupakan bagian dari jalan Tuhan. Menurut X “kehidupan ini milik Tuhan, manusia
tidak dapat menambah sejengkal umurnya dan kematian itu sesungguhnya adalah jalan
Tuhan”.29
Menurut saya, didikan dan ajaran kedua orang tua yang diperoleh oleh X
semasa hidup kedua orang tua, sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan
X. Semua pendidikan dalam keluarga begitu mendukung X untuk semakin kuat
28
Kathleen Nader; Salloum, Alison. Journal of Child & Adolescent Trauma. Jul2011, Vol. 4 Issue 3,
p233-257. 29
Hasil wawancara dengan X.
21
menerima kenyataan kematian kedua orang tua, sehingga proses recovery kasus
kedukaan yang dialami oleh X ditandai dengan keikhlasan X untuk menerima
kematian kedua orang tua, dan kini X telah kembali menjalankan aktivitasnya seperti
semula.