bab iv menggugat fungsi gong perdamaian dunia …...merupakan inisiatif atau proyek pemerintah dan...
TRANSCRIPT
78
BAB IV
MENGGUGAT FUNGSI GONG PERDAMAIAN DUNIA
SEBAGAI SIMBOL REKONSILIASI LINTAS AGAMA DI AMBON
Pendahuluan
Kehadiran Gong Perdamaian Dunia tahun 2009 di Ambon, ibu kota
Provinsi Maluku merupakan salah satu momentum besar yang turut membuka
mata seluruh dunia terkait dengan konflik komunal bernuansa SARA yang terjadi
di Maluku tahun 1999-2004. Bunyi Gong yang dipukul pada saat peresmian yang
berlokasi di Pusat Kota Ambon sekaligus menandakan bahwa Ambon telah aman
dan damai. Gema gong membawa pesan dan harapan bahwa konflik semacam ini
tidak akan terulang lagi.
Gong Perdamaian Dunia menjadi salah satu icon terbesar di kota Ambon
yang menambah panjang daftar Ambon sebagai kota Manise. Maksud pemerintah
pusat dan Komite Perdamaian Dunia mendatangkan Gong Perdamaian Dunia di
Ambon adalah agar gong tersebut menjadi simbol perdamaian, dimana Ambon
menjadi Kota Perdamaian Dunia. Namun, tujuan utama hadirnya Gong
Perdamaian Dunia malah lebih bergesar ke tujuan sampingannya yaitu sebagai
destinasi pariwisata bagi para turis, sebab jarang sekali ada kegiatan-kegiatan
tentang perdamaian yang dilakukan dengan menggunakan monument Gong
Perdamaian Dunia sebagai medianya. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki
peran penting untuk memberi informasi pada masyarakat tentang pentingnya
Gong Perdamaian sebagai simbol Rekonsiliasi malah tidak menaruh perhatian
79
penting terhadap hal tersebut. Hal ini ditemukan saat melakukan penelitian,
dimana sebagian besar pengunjung gong tidak mengetahui alasan dibalik
penempatan Gong Perdamaian Dunia di Ambon. Akibatnya, masyarakat kota
Ambon sama sekali tidak merasa Gong Perdamaian Dunia sebagai identitas sosial
mereka untuk mewakilkan pesan perdamaian. Suara gaung gong hanya terdengar
sekali yang ditabuh saat peresmian, dan gemanya hilang setelah itu.
Ambon saat ini tengah berada jauh dari sekedar “pemulihan diri” pasca
konflik. Namun, tentu saja situasi kondusif yang diharapkan terus berlangsung di
kota Ambon tidak akan terwujud tanpa upaya-upaya rekonsiliatif/perdamaian.
Perdamaian menjadi sebuah proses tanpa akhir. Kenyataan terbaik yang terjadi di
Ambon adalah hubungan rekonsiliatif antara dua komunitas agama terbesar di
Ambon (Islam-Kristen) tidak hanya diupayakan oleh pemerintah semata. Semua
pihak dalam lapisan masyarakat turut berkontribusi dalam menciptakan suasana
hidup damai di kota Ambon.
4.1. Simbol Sebagai Tanda Pengenal
Banyak orang mengenal gong sebagai alat musik yang digunakan untuk
mengiring tari-tarian, dan penggunaannya lebih sering di daerah Jawa atau Bali
(gamelan) berbeda dengan orang Ambon yang lebih akrab dengan tifa dan
totobuang. Kedua jenis alat musik ini sering digunakan sebagai pengiring tari-
tarian tradisional orang Ambon, misalnya tari cakalele, bambu gila, dan tari
lenso. Selain itu, dalam acara-acara adat maupun acara resmi kelembagaan,
penggunaan tifa (pemukulan tifa) ditandai sebagai “simbol” untuk meresmikan
sebuah acara atau kegiatan. Dengan demikian, walaupun memiliki fungsi yang
80
sama, namun pemakaian sebuah gong terbilang minim bagi orang Ambon.
Melalui hasil penelitian diketahui bahwa masuknya gong di wilayah Maluku -
Ambon karena gong digunakan sebagai alat barter yang diberikan untuk
mendapatkan hasil alam berupa pala dan cengkih dari Maluku. Hal ini yang
mendasari argumentasi bahwa gong tidak menjadi simbol yang menggambarkan
identitas orang Ambon.
Pasca konflik di tahun 2009, Gong Perdamaian Dunia ditempatkan di kota
Ambon. Ide penempatan Gong Perdamaian di Ambon bukan lahir dari
masyarakat Ambon sendiri. Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon
merupakan inisiatif atau proyek pemerintah dan Komite Perdamaian Dunia untuk
memberi kesan pada “pihak luar” dan menjadi tanda bahwa Ambon telah ada
dalam suasana kondusif atau damai. Namun, bila Gong Perdamaian Dunia
dinyatakan sebagai simbol rekonsiliasi bagi masyarakat Ambon sendiri, maka hal
tersebut perlu dipertanyakan sebab sebagian besar orang Ambon, kehadiran Gong
Perdamaian Dunia tidak memiliki pengaruh yang besar bagi mereka (lihat hasil
wawancara di Bab III halaman 58-60). Hal ini disebakan karena pada dasarnya,
gong bukanlah sebuah warisan kebudayaan asli orang Ambon sehingga peran
gong dalam hidup orang Ambon pun tidak cukup besar.
Orang Ambon pada dasarnya tidak memiliki hubungan yang erat dengan
gong. Hal inilah yang mengakibatkan hadirnya Gong Perdamaian di Ambon
menjadi sebuah peristiwa yang biasa-biasa saja. Masyarakat tidak melihat Gong
Perdamaian sebagai sebuah simbol rekonsiliasi yang dimaknai sama seperti
penggagas penempatan gong di Ambon dan “pihak luar” melihat gong tersebut.
Bagi pengunjung gong yang tidak berasal dari Ambon atau Maluku, mereka
81
melihat Gong Perdamaian sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara yang
damai. Keberadaan Gong Perdamaian Dunia di Ambon dengan demikian menjadi
tanda bahwa Ambon sepenuhnya pulih dari konflik. Meskipun tidak bisa
disimpulkan bahwa semua pengunjung Gong Perdamaian Dunia yang berasal dari
luar Ambon tertarik dengan gong tersebut, namun hal ini dapat dilihat ketika
setiap detail dari Gong ditelusuri dengan saksama dibarengi dengan antusiasme
(jadi tidak hanya sekedar berfoto dan duduk santai saja).
Menurut Paul Tillich, simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan
mendapat dukungan dari masyarakat.1 Masyarakat akan sangat menghargai
keberadaan sebuah simbol dan menjadi penting bagi mereka saat simbol tersebut
tumbuh dan berakar dalam tradisi maupun budaya mereka. Semua ini berkaitan
dengan “emosi” dari pemilik simbol yang tertampung dalam benda, alat, atau hal
lainnya yang dapat dijadikan sebuah simbol. Penyebab Gong Perdamaian Dunia
sedari awal tidak dipedulikan oleh orang Ambon karena gong bukanlah alat atau
benda yang mengakar dalam tradisi atau budaya orang Ambon. Tidak peduli
semegah apa pun bentuk Gong Perdamaian Dunia, orang Ambon tidak menaruh
perhatian serta kepedulian mereka terhadap gong itu.
Penjelasan tentang simbol yang dalam bahasa Yunani disebut symbollein
dan symbola diuraikan oleh F.W. Dillistone sebagai tanda pengenal bagi anggota-
angota dalam masyarakat.2 Dengan demikian, secara jelas Dillistone menerangkan
bahwa simbol memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sosial
bermasyarakat. Simbol menjadi sebuah kartu identitas yang menyatu dan melekat
1 Paul Tillich, Systematic Theology 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1964).
2 F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol : The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 21.
82
pada sebuah kelompok maupun masyarakat. Keterikatan dari simbol dan
penggunanya menghasilkan kepemilikan yang kuat antara keduanya. Hal ini
senada dengan berdirinya monumen pahlawan Johannes Leimena tahun 2012 di
Ambon. Ada ikatan khusus antara orang Ambon dengan John Leimena yang
merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia. Patung Leimena menjadi
kebanggaan bagi masyarakat Ambon dan sekaligus sebagai identitas orang
Ambon sendiri. “Kedekatan” patung Leimena dengan masyarakat Ambon terletak
pada asal usul, dimana Johannes Leimena sendiri berasal dari Ambon. Lain
halnya dengan gong yang aslinya tidak berasal dari Ambon. Pada umumnya
semua orang merasa bahwa yang menjadi identitas dari seseorang adalah bila ia
lahir atau berasal dari tempat asalnya sendiri.
Penggunaan simbol maupun ritual dalam kehidupan bermasyarakat
bukanlah hal yang asing bagi orang Ambon. Masyarakat Ambon yang sangat
terikat dengan budaya dan kental dengan penggunaan sistem simbol pada
dasarnya menjunjung tinggi simbol-simbol yang ada dalam masyarakat sebagai
bagian dari diri mereka. Seperti misalnya tradisi Arumbae Manggurebe3 yang
selalu dilakukan setiap tahun sebagai salah satu tradisi orang Maluku, parang
Salawaku yang menyimbolkan harga diri orang Maluku, dan juga Kakehang4
sebagai simbol penting bagi orang Ambon. Namun keadaan berbanding terbalik
inilah yang terjadi bagi masyarakat kota Ambon dengan Gong Perdamaian Dunia
3 Arumbae merupakan kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan
melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya masyarakat. Perjuangan melintasi lautan
adalah sejarah keluhuran. Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara
pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. Masyarakat Maluku melihat
laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.
Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup
orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. 4 Kakehang atau kakehan merupakan tradisi keagamaan para leluhur (nenek moyang) di
Maluku jauh sebelum penginjilan atau Kekristenan masuk ke wilayah Maluku.
83
yang secara global dikenal sebagai simbol perdamaian. Monumen Gong
Perdamaian Dunia hanya dijadikan sebagai tempat nongkrong bagi warga Ambon,
dan bagi pengunjung di luar wilayah Ambon, Gong dijadikan sebagai tempat
berfoto karena memiliki tata bangunan yang indah. Sayangnya, keakraban
masyarakat Ambon dengan simbol-simbol tidak terlihat dalam Gong Perdamaian
Dunia.
Melalui hasil wawancara dan penelitian, diketahui bahwa masyarakat
Ambon lebih menghargai simbol Kakehang atau tahuri dan tifa totobuang
dibandingkan dengan gong. Hal ini membuktikan bahwa simbol-simbol lokal
lebih berperan penting dalam pola dan interaksi masyarakat dibandingkan dengan
simbol yang umum digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya, Tahuri
Perdamaian yang dibuat oleh lima negeri (Yaputih, Laimu, Atiahu, Hatu dan
Lava) pada 7 Desember tahun 2016 yang bertempat di Lava, Kabupaten Maluku
Tengah. Tahuri Perdamaian ini dianggap lebih mewakili orang Ambon-Maluku
bila berbicara tentang sebuah simbol perdamaian dan alat rekonsiliasi bagi hidup
Salam-Sarane di Maluku. Ini disebabkan karena tahuri merupakan alat yang
sering digunakan oleh orang Ambon dan ditemukan hampir di setiap daerah di
Maluku. Semua kalangan dari tua hingga muda tahu tentang tahuri. Sedangkan
gong (Gong Perdamaian Dunia) lebih dilihat sebagai sebuah alat dari luar, yang
seakan-akan dipinjam dan dipasang untuk menerangkan dirinya sebagai sesuatu
yang berasal dari dalam (orang Ambon). Bila membandingkan keberadaan Gong
Perdamaian Dunia dengan Tahuri Perdamaian, orang-orang Ambon lebih condong
menghargai Tahuri Perdamaian sebagai simbol yang mewakili diri mereka, atau
identitas mereka sebagai orang Maluku, Ambon. Hal ini beranjak dari keakraban
84
mereka dengan benda (tahuri) yang dijadikan sebagai simbol perdamaian,
persaudaraan, dan persatuan dalam keberagaman, yang mana tahuri menjadi alat
yang digunakan dalam tradisi adat dan budaya orang Ambon. Inisiatif untuk
menjaga hubungan saudara antara Islam-Kristen beranjak dari orang Maluku
sendiri (yang diwakili oleh Raja-Raja Negeri). Kebutuhan akan perdamaian dan
keinginan untuk memelihara dan memperkuat hubungan persaudaraan lintas
agama terwakili dalam Tahuri Perdamaian sebagai simbol rekonsiliasi.
Melihat realita yang terjadi sehubungan dengan respon orang Ambon
dalam melihat Gong Perdamaian Dunia, dapat diusulkan untuk menggerakan
masyarakat Ambon “mengenakan” Gong Perdamaian sebagai salah satu simbol
atau tanda pengenal bagi mereka tentang perdamaian dan rekonsiliasi, maka
masyarakat harus disadarkan kembali bahwa setiap individu telah dibentuk dalam
sistem simbolis bersama. Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan
saling mempengaruhi. Artinya, hubungan timbal balik ini sama sekali tidak bisa
dilepaspisahkan sebab simbol hidup di dalam masyarakat, dan dalam pergerakan
atau siklus hidupnya, manusia tidak terlepas dari penggunaan simbol sebagai
identitas dari diri mereka. Dillistone mengatakan bahwa sebuah simbol sering
secara langsung menerangkan identitas penggunanya pada pihak lain.5 Tanpa
berkenalan secara langsung, seseorang sudah langsung dapat mengenali siapa
orang yang ditemuinya melalui simbol yang digunakan oleh orang tersebut.
Misalnya seorang perempuan ketika memakai aksesoris salib, tanpa
memperlihatkan tanda pengenalnya, orang yang melihatnya sudah langsung dapat
mengetahui bahwa perempuan yang dijumpainya itu beragama Kristen.
5 Dilistone, Daya Kekuatan Simbol … 22.
85
Lisa Schrich menjelaskan bahwa ritual dan simbol mengubah identitas
dengan menawarkan ruang kemanusiaan. Karena identitas didefinisikan dalam
konteks, persepsi dari identitas berubah menurut situasi fisik dan situasi
relasional.6 Pendapat Schrich tentang hal ini berlaku pada situasi dimana untuk
mengubah presepsi Ambon sebagai wilayah konflik (waktu itu) maka upaya
perdamaian dilakukan dengan menghubungkan serta mempererat kembali pela-
gandong sebagai salah satu tindakan simbolik (ritual) dan penempatan Gong
Perdamaian Dunia (simbol) diberlakukan. Pela gandong dan Gong Perdamaian
Dunia menjadi simbol perdamaian dan rekonsiliasi hubungan lintas agama di
Ambon, disana terjadi pembentukan identitas, sebuah simbol atau tanda pengenal
dijadikan sebagai identitas untuk memperkuat upaya perdamaian. Ritual dan
simbol mengubah fokus identitas dan lokus dari satu identitas, seperti etnisitas ke
rangkaian yang lebih inklusif, kompleks dan beragam.7
Pada dasarnya, Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon
menegaskan konteks yang diwakilinya sebagai simbol keberagaman dalam
kesatuan, memberi persepsi tentang identitas orang Ambon yang beragam suku,
budaya dan agama namun tidak serta merta menutup diri dari perbedaan tersebut
namun dalam sikap terbuka menerima perbedaan sebagai hal yang hakiki. Gong
Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon, mengandung nilai-nilai universal,
nasionalis dan lokal dalam konstruksi bangunannya. Nilai universal karena
terdapat berbagai bendera dari negara-negara yang terlibat dalam komite
perdamaian dunia, selain itu, simbol-simbol agama di seluruh dunia juga terdapat
dalam Gong tersebut yang menekankan bahwa semua agama tanpa terkecuali
6 Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 76.
7 Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 127
86
mendukung setiap upaya dan kegiatan-kegiatan perdamaian. Nilai nasionalis
dalam Gong Perdamaian Dunia terletak pada konstruksi bangunan yang
melambangkan tanggal dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus
1945 dan lambang negara yaitu, Pancasila. Sedangkan nilai-nilai lokal orang
Maluku dilihat melalui empat perisai yang melindungi bagian dalam gong yang
menggambarkan keberagaman masyarakat Maluku, yang terdiri dari empat etnis
terbesar dan terdapat pula simbol Kakehang pada perisai tersebut. Pada bagian
bawah gong terdapat museum yang memuat bukti berupa dokumentasi foto saat
konflik 1999 terjadi di Ambon sampai pada situasi dimana konflik bernuansa
agama itu berakhir.
Warga Kota Ambon sejauh ini hanya melihat Gong Perdamaian Dunia
sebatas aset yang diberikan pemerintah untuk diletakan di kota mereka terkait
peristiwa konflik 1999. Sebuah simbol dapat memiliki posisi penting dalam tata
hidup masyarakat bila penempatan simbol tersebut sesuai dengan konteks yang
dialami oleh masyarakat. Pemaknaan terhadap simbol tidak bisa dipaksakan
sesuai dengan keinginan seseorang begitu saja, melainkan terlebih dulu berasal
dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Simbol dan pemaknaan
terhadapnya menjadi hidup bila ada kebutuhan masyarakat terhadap simbol
tersebut. Kebutuhan menjadi kepentingan dari masyarakat yang kemudian secara
sadar atau pun tidak membuat mereka memaknai keberadaan simbol. Kebutuhan
mereka terwakilkan dalam simbol tersebut. Masyarakat Ambon memahami
sungguh kebutuhan mereka untuk ada dalam hubungan yang rekonsiliatif, namun
ternyata dalam hal ini diri dan kebutuhan mereka tidak terwakilkan melalui Gong
Perdamaian Dunia.
87
Keberadaan Gong Perdamaian merupakan kebijakan yang diambil
pemerintah (sekaligus apresiasi) terhadap situasi kondusif yang terus berlangsung
pasca konflik. Namun, ditegaskan kembali bahwa gong ini tidak mendapat tempat
yang mendalam di hati orang Ambon sendiri. Salah satu contoh, sebagian orang
Ambon (misalnya anak usia remaja, atau anak-anak yang lahir pasca konflik)
sama sekali tidak belajar tentang rekonsiliasi lintas agama, hal ini terlihat dalam
kasus pelecehan agama yang diposting pada akun facebook pelaku.8 Seharusnya,
dari kejadian-kejadian seperti ini, pemerintah dapat membantu masyarakat dalam
memberi informasi dan media pembelajaran terkait konflik dan rekonsiliasi yang
mana Gong Perdamaian Dunia harusnya menjadi salah satu dari sekian banyak
solusi untuk orang belajar tentang perdamaian dan rekonsiliasi. Namun,
pemerintah sendiri tidak memberi ruang atau akses penuh agar orang dapat
memahami secara benar tentang konflik, dan rekonsiliasi. Museum di bawah
monument Gong Perdamaian Dunia tidak setiap saat dibuka, padahal didalamnya
termuat berbagai dokumentasi tentang peristiwa konflik yang dialami oleh orang
Ambon, sampai pada berbagai upaya perdamaian yang dilakukan, dan melaluinya
orang Ambon dan pengunjung-pengunjung Gong Perdamaian Dunia dapat belajar
banyak mengenai konflik dan rekonsiliasi. Dengan demikian, agar Gong
Perdamaian Dunia dapat berfungsi secara maksimal sebagai simbol rekonsiliasi
lintas agama, maka pemerintah sebagai fasilitator harus memberi informasi dan
akses tentang Gong Perdamaian Dunia yang ditempatkan di Ambon.
8 http://kilasmaluku.fajar.co.id/2017/05/16/bikin-postingan-melecehkan-agama-di-
medsos-pemilik-akun-ian-dirks-paling-diincar/
88
4.2. Menikmati Perdamaian Dalam Aksi “Baku Bae”.
Sebagaimana yang dikatakan Nelman Weny tentang damai adalah suasana
tidak adanya permusuhan dan hubungan yang serasi atau harmonis di antara
kedua belah pihak. Oleh karena damai yang menunjuk pada sebuah suasana atau
keadaan maka perdamaian merupakan proses atau usaha menuju suasana damai
itu.9 Perdamaian dan rekonsiliasi merupakan suasana idaman bagi semua orang
baik secara pribadi (keadaan damai atau tenang yang dirasakan dalam diri
seseorang) dan hubungan antar orang atau kelompok, masyarakat, dan negara.
Namun pada kenyataannya tidak dapat disangkali bahwa tidak ada satu pun
kelompok, masyarakat dalam wilayah atau negara yang terbebas dari gesekan-
gesekan yang memicu ricuh, rusuh, dan konflik. Proses menciptakan perdamaian
dan rekonsiliasi kemudian menjadi pekerjaan tiada akhir, sebab tentu saja bagi
daerah dan orang-orang yang pernah merasakan konflik, hal tersebut
meninggalkan luka dan trauma mendalam yang harus disembuhkan.
Bagi orang Ambon, rekonsiliasi yang berlangsung setelah meredamnya
konflik panas datang dari kemauan mereka sendiri untuk berdamai. Orang Ambon
pada akhirnya menyadari bahwa konflik yang mereka alami sebenarnya adalah
“settingan” pihak luar.10
Dalam hal ini, tidak ditemukan secara pasti siapa yang
memicu konflik Ambon, namun lewat penelitian dan penelusuran lebih lanjut
tentang konflik Maluku, diketahui bahwa orang-orang Ambon sengaja
9 N. A. Weny, “Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang
Tersobek: Sebuah Kristologi Pendamaian dari Perspektif Orang Pantar Barat” dalam Sosiologi
Agama Pilihan Berteologi Di Indonesia, Izak Latu, Rama Tulus Pilakoannu, dkk., (Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 229. 10
Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 157.
89
ditunggangi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.11
Dengan demikian, secara langsung dilihat bahwa pelaku konflik adalah orang-
orang Ambon yang tanpa sadar dan tahu bahwa mereka sengaja diperalat untuk
membuat kekacauan, yang ternyata mengakibatkan diri mereka sendirilah yang
menjadi korban dan menderita akibat konflik tersebut. Kesadaran ini membuat
mereka tidak ingin lagi terprovokasi dengan issue pemicu konflik dan melawan
konflik dengan berbagai aksi damai. Hal ini pula yang ditegaskan oleh Johan
Galtung tentang rekonsiliasi sebagai bentuk akomodasi dari pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik destruktif untuk saling menghargai satu dengan yang lain,
menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak
lawan.12
Tindakan-tindakan ini nyata dalam cara mereka “baku bae” dengan
mempererat lagi sistem kearifan lokal pela-gandong, pembentukan Kelembagaan
Majelis Latupati Maluku dan Kota Ambon yang bertugas secara umum untuk
melakukan aktifitas perdamaian di Ambon-Maluku bersama dengan pemerintah
melalui jalur adat dan nilai-nilai budaya yang ada di Ambon, serta kegiatan dialog
lintas agama. Nico Kana mengatakan bahwa upaya untuk rekonsiliasi lintas
agama tidak akan berjalan mulus ketika suatu komunitas agama mempertahankan
primodialisme yang ekslusif.13
Dengan demikian, berbagai kegiatan dialog lintas
agama diberlakukan untuk membantu kedua komunitas agama yang berkonflik
(Islam-Kristen) ini untuk menemukan titik temu yang bertujuan melihat
perbedaan bukan sebagai penghancur, tetapi sebagai keindahan. Setiap agama atau
orang yang beragama harus terbuka satu dengan yang lain, dan tidak menganggap
11
John Pieris, Tragedi Maluku; Sebuah Krisis Peradaban, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 164-170.
12 Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.
13 Nico L. Kana, Agama-agama dan Rekonsiliasi , (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005), 22.
90
kebenaran hanya ada dalam agama mereka sendiri. Selain itu juga, para
provokator damai (yang muncul pada tahun 2011 hingga kini) terus berupaya
membawa dan menebarkan pesan perdamaian di Ambon.
Aksi baku bae yang dinilai berhasil dilakukan oleh para provokator damai,
menggugah banyak warga Kota Ambon terkait dengan kericuhan 11 September
2011. Aksi ini berkaitan erat dengan bagaimana peran ritual dan simbol dalam
kehidupan masyarakat. Schrich mengatakan bahwa ritual menggunakan tindakan
simbolik untuk berkomunikasi membentuk atau mengubah pesan dalam ruang
sosial yang unik. Schrich mengatakan bahwa pesan dari tindakan simbolik tidak
secara langsung membahas orang atau peristiwa yang sementara terjadi, tetapi
komunikasi melalui simbol, mitos, dan metafora yang mengizinkan beragam
interpretasi. Ritual dan simbol bertujuan untuk membentuk (membangun) atau
merubah pandangan seseorang, identitas, dan hubungan.14
Hal ini terjadi ketika
dalam kegiatan yang dilakukan provokator damai, ada berbagai tindakan simbolik
misalnya nyanyian, pembacaan puisi yang kemudian diinterpretasi dan dimaknai
oleh peserta yang hadir. Simbol-simbol yang digunakan saat itu seperti kain putih
(kain gandong) dan monumen Gong Perdamaian Dunia yang saat itu digunakan
sebagai tempat berlangsungnya kegiatan. Tujuan dari kegiatan (ritual) tersebut
tercapai dimana orang-orang saling duduk bersama mendengarkan satu dengan
yang lain dan memberi dukungan bagi berlangsungnya rekonsiliasi lintas agama.
Schrich menjelaskan tentang tipe ritual untuk membentuk dan mengubah,
bahwa semua budaya memiliki ritual tradisional untuk membangun hubungan,
membatasi kekerasan, dan memecahkan masalah. Aktivis perdamaian dapat
14
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 16-17.
91
membantu menghidupkan kembali atau menggambar di ritual yang ada dalam
suatu budaya yang dapat membantu untuk kegiatan pembangunan dan proses
perdamaian. 15
Berbagai tindakan atau aksi simbolik (ritual) yang dilakukan oleh
para provokator perdamaian berkaitan secara langsung dengan budaya orang
Ambon tentang pela-gandong dan kapata. Ritual yang dilakukan untuk
membangun hubungan persaudaraan antar peserta yang berbeda agama dan
sempat ricuh karena peristiwa 11 September 2011. Semua aksi simbolik yang
dilakukan bertujuan untuk menghilangkan sikap curiga satu sama lain dan
membangun tekad untuk ada dalam hubungan rekonsiliatif lintas agama.
Aksi simbolik dalam mengusahakan perdamaian pasca ricuh 11 September
oleh provokator perdamaian tampak dalam ritual tradisional (penggunaan simbol-
simbol lokal) sekaligus terwujud dalam tipe ritual konstruktif. Schrich
menjelaskan lebih lanjut tentang ritual konstruktif yang digunakan untuk
memperbaiki kehidupan orang-orang yang menggunakannya, tanpa menyebabkan
kerugian bagi orang lain. Ritual dapat memainkan peranan penting dalam
komunikasi antara kelompok yang berkonflik.16
Pembacaan narasi, kapata yang
disampaikan oleh korban kericuhan saat itu memberi semangat bagi semua orang
untuk tidak memadamkan semangat api perdamaian diantara mereka. Salah satu
dari Kapata yang dibacakan adalah “Seng ada tumpah darah, karena katong satu
darah. Seng ada perpecahan, karena katong satu gandong. Ale Salam, beta
Sarane, tapi katong satu gandong” (Tidak ada darah yang tertumpah, karena kita
satu darah. Tidak ada perpecahan, karena kita satu gandong. Anda Islam, saya
Kristen, tapi kita satu gandong). Dialog lintas agama dalam bentuk berbagi cerita
15
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebulding … 22-23. 16
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 24
92
dan solusi penyelesaian ricuh dilakukan agar pihak-pihak yang berkonflik mampu
berada dalam ruang bersama membicarakan dan mencari kekuatan-kekuatan
bersama untuk menciptakan hubungan rekonsiliasi yang meruntuhkan setiap
dinding yang membatasi ikatan saudara antara Salam-Sarane di Ambon. Akan
tetapi, melalui hasil penelitian ditemukan kekurangan fungsi Gong Perdamaian
Dunia sebagai simbol. Hal ini dikarenakan alasan pemilihan lokasi kegiatan tepat
berada pada pusat kota, dimana untuk mengakses lokasi dengan mengkonfirmasi
semua jenis kegiatan dapat dilakukan dengan mudah. Pemaknaan atau
pengahayatan terhadap Gong Perdamaian Dunia tidak tampak dalam hal ini.
Dari berbagai aksi “baku bae” inilah maka Kota Ambon dapat kembali
lagi mengecap suasana rekonsiliasi lintas agama, dimana orang Kristen tidak lagi
merasa takut untuk berkunjung ke daerah Islam atau sebaliknya, meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa hingga kini segregasi masih terus ada antara kedua
komunitas agama terbesar di Kota Ambon. Namun, pemerintah dalam rencana ke
depan berusaha untuk menciptakan hubungan rekonsiliasi lintas agama dengan
membangun pemukiman bersama bagi orang Kristen dan Islam di Ambon (Hasil
wawancara, lihat Bab III). Lewat rencana ini, diharapkan agar masyarakat tidak
lagi berada dalam rasa takut atau curiga satu dengan lain. Semua sekat yang
tercipta akibat konflik dihancurkan dengan rasa percaya untuk hidup
berdampingan antar orang bersaudara yang tinggal dalam satu atap (Kota
Ambon).
93
Sebagaimana tindakan juga merupakan bentuk simbolik maka, sebuah
simbol pada mulanya adalah sebuah benda, tanda, atau sebuah kata yang
digunakan untuk saling mengenali dan dengan arti yang sudah dipahami. 17
Hal
ini berarti bahwa ketika sebuah benda digunakan sebagai simbol oleh individu,
kelompok, maupun suatu negara maka pengguna simbol tersebut telah dengan
sangat cermat mengetahui apa makna simbol itu dan apa saja yang
melatarbelakangi benda tersebut digunakan sebagai simbol bagi mereka.
Sejak tahun 2002 pasca insiden bom Bali, Gong Perdamaian Dunia adalah
sebuah benda atau alat yang ditandai sebagai simbol Perdamaian, tidak hanya oleh
bangsa Indonesia tapi seluruh dunia. Namun kenyataannya kehadiran Gong
Perdamaian Dunia tidak serta merta dimaknai oleh masyarakat Ambon sebagai
simbol perdamaian dan rekonsiliasi Ambon. Padahal, kebenaran asasi mengenai
simbol-simbol adalah bahwa simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan
transformasi sosial.18
Sebuah simbol mampu merubah kehidupan masyarakat
disekitarnya, tergantung pada bagaimana masyarakat memaknai simbol tersebut.
Dengan demikian, penyebab warga Ambon tidak menganggap penting kehadiran
Gong Perdamaian Dunia didasarkan pada kebudayaan orang Ambon sendiri yang
tidak cukup familiar dengan gong.
17
Dilistone, Daya Kekuatan Simbol … 21.
94
4.3. Simbol Sebagai Kekuatan Penggerak.
Peristiwa konflik Ambon tahun 1999 menjadi ingatan yang kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi dan membentuk ingatan kolektif. Ingatan ini
akan tetap ada walaupun waktu berubah dan tradisi menghilang. Namun, ingatan
kolektif ini membantu masyarakat Ambon untuk tidak lagi terkungkung dalam
luka lama yang mereka derita akibat dampak konflik. Jan Assmann dan John
Czaplicka mengatakan bahwa ingatan kolektif juga membekas dalam ruang
material suatu masyarakat misalnya taman, jalan, gedung, monumen dan berbagai
hal lainnya. Ruang material adalah representatif dari identitas suatu masyarakat.19
Ruang material inilah yang dikenal dengan simbol, dan simbol yang hidup dalam
ingatan kolektif suatu komunitas kemudian menjadi identitas bagi mereka.
Pada prinsipnya, pemaknaan Gong Perdamaian dunia sebagai simbol
rekonsiliasi lintas agama bagi masyarakat di Ambon dapat dibentuk ataupun tidak,
terlebih dahulu dilihat dari bagaimana pihak yang mendatangkan Gong
Perdamaian Dunia menyikapinya. Menurut Firth, simbol mempunyai peranan
yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia; manusia menata dan
menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksi
realitasnya itu dengan simbol.20
Keberadaan simbol sebagai sarana manusia
mengekspresikan diri serta mengatur tatanan kehidupan membuat adanya
ketergantungan antara simbol dengan penggunanya. Akan tetapi, menurut
Schrich, ditangan manusia kekuatan simbol bisa mendatangkan hal yang baik atau
19
Jan Assman dan John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity, No. 65,
Cultural History/Cultural Studies. (Spring - Summer, 1995). 20
Raymond Firth, Symbols: Public and Private (Allen and Uwin), 1973
95
malah sebaliknya.21
Simbol dapat menjadi kekuatan yang menggerakan
penggunanya untuk mengingat dan melakukan kebaikan, dan bila simbol
disalahgunakan maka berpotensi menjadi penghancur bagi penggunanya atau
tempat dimana simbol itu ada.
Dalam hal ini, dilihat tentang bagaimana sebuah simbol mendatangkan
kebaikan atau sebaliknya, apakah sebuah simbol itu menjadi berguna bagi
penggunanya atau tidak. Keterbatasan pemaknaan Gong Perdamaian Dunia
sebagai simbol rekonsiliasi sesungguhnya tidak menjadi kesalahan warga Ambon
sendiri. Kurangnya informasi dan sosialisasi tentang Gong Perdamaian Dunia oleh
pemerintah daerah maupun kota sebagai pihak yang lebih banyak mengetahui
tentang gong tersebut menjadi alasan utama masyarakat Ambon seolah tidak
peduli dengan keberadaan gong itu. Kehadirannya saja tidak diperlukan sehingga
sulit rasanya bila Gong Perdamaian Dunia dijadikan simbol utama rekonsiliasi
oleh orang Ambon. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemerintah sendiri tidak
sepenuhnya mendukung kerja-kerja perdamaian yang dilakukan di lokasi Gong
Perdamaian Dunia. Padahal sebenarnya melalui kerja-kerja perdamaian dengan
menggunakan Gong Perdamaian Dunia sebagai sarana atau media hal tersebut
dapat membantu masyarakat memaknai hadirnya Gong Perdamaian Dunia sebagai
simbol rekonsiliasi hubungan lintas agama di Ambon.
Tidak maksimalnya dukungan pemerintah ini yang kemudian membuat
Gong Perdamaian Dunia sama halnya dengan Perjanjian Malino yang pada waktu
itu diketahui sebagai salah satu simbol perdamaian di Maluku. Perjanjian Malino
menjadi sebuah simbol yang dipaksakan oleh pemerintah pusat agar konflik
21
Schrich, Ritual And Symbol in Peacebuilding... 4.
96
Ambon segera berakhir. Hal serupa nampak terjadi dengan Gong Perdamaian
Dunia di Ambon. Pemerintah pusat bekerja sama dengan Komite Perdamaian
Dunia untuk menjadikan Ambon sebagai salah satu tempat perdamaian dunia,
namun makna dari penempatan Gong Perdamaian itu tidak sampai pada
masyarakat. Melalui hasil penelitian diketahui bahwa bagi masyarakat Ambon,
ada atau tidaknya Gong Perdamaian Dunia di Ambon tidak memberi dampak
sama sekali bagi masyarakat. Gong Perdamaian Dunia tidak menjadi simbol
rekonsiliasi lintas agama di Ambon walaupun komponen-komponen di gong
tersebut sudah dengan sangat jelas memuat tentang nilai-nilai persatuan dan
perdamaian. Adanya Gong Perdamaian Dunia di Ambon menjadi aset pariwisata
dimana semua pengunjung dapat berfoto atau bersantai disitu. Melalui penelitian
yang dilakukan, tidak satu pun pengunjung yang terinspirasi dari gong tersebut
dan menjadi bersemangat untuk menyebar pesan perdamaian ke seluruh pelosok
Ambon. Sehingga peran Gong Perdamaian Dunia lebih mengarah pada simbol
atau icon pariwisata daripada simbol perdamaian yang dapat menjadi sarana bagi
rekonsiliasi hubungan lintas agama.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Victor Turner bahwa lewat kesepakatan
kolektif, pada simbol dapat ditambahkan makna baru dan setiap individu dapat
menambahkan makna pribadi pada makna umum simbol itu. Simbol terus hidup
dalam masyarakat, dan selama masyarakat tetap menyeleraskan simbol dalam
konteks yang mungkin akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, simbol
itu tidak akan mati atau terus menjadi daya penggerak dalam masyarakat. 22
Ini
berarti bahwa pemaknaan terhadap simbol tidak hanya terbatas pada satu fungsi
22
Victor Turner and Edith Turner, Image and Pilgrimage in Christian Culture:
Anthropological Perspective (New York: Columbia University Press, 1978).
97
atau bermakna tunggal. Simbol dapat diberi makna tambahan sesuai dengan
konteks serta kebutuhan dan keinginan dari pengguna simbol tersebut. Hal ini
senada dengan yang dikatakan oleh Paul Tillich tentang ciri simbol sebagai
bentuk objektif dan konsepsi imajinatif.23
Simbol menjadi objek dimana ketika
seseorang melihat sebuah benda yang dijadikan sebagai simbol, mereka dapat
dengan bebas berimajinasi atau membayangkan seperti apa simbol atau tentang
asal usul dari keberadaan simbol itu. Dengan demikian, agar Gong Perdamaian
Dunia tidak kehilangan maknanya sebagai simbol perdamaian, dan dapat
digunakan oleh warga Ambon menjadi simbol yang menggerakan mereka untuk
terus menjaga rekonsiliasi hubungan lintas agama maka perlu diciptakan
pemaknaan ulang yang mendalam terhadap Gong Perdamaian Dunia bagi seluruh
masyarakat Ambon. Pemaknaan terhadap Gong Perdamaian Dunia sebagai simbol
dapat dibarengi dengan aksi-aksi perdamaian yang dilakukan dengan
menggunakan Monument Gong Perdamaian Dunia sebagai media yang sekaligus
dapat memberi informasi tentang Gong Perdamaian itu sendiri.
Dalam kepentingan membantu pemaknaan yang mendalam terhadap Gong
Perdamaian Dunia sebagai simbol rekonsiliasi bagi rakyat Ambon, maka apa yang
dikatakan oleh Marry Douglas perhatikan. Menurut Douglas, simbol historis
memainkan peran penting dalam hal ini. Simbol historis yaitu simbol yang
dibangun, dipolakan, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa penting dalam
pengalaman sosial.24
Pada dasarnya, kejadian-kejadian yang penting untuk diingat
apalagi peristiwa yang dialami bersama dalam masyarakat akan membekas dan
23
Tillich, Systematic Theology 3, … 24
Mary Douglas, Natural Symbols:Explorations in Cosmology(London and New York:
Rotledge, 1970).
98
diteruskan sebagai ingatan kolektif. Dalam ingatan kolektif, tercipta simbol-
simbol yang berfungsi sebagai penyimpan cerita serta mengandung nilai dan
pesan. Maka, Gong Perdamaian Dunia sebenarnya dapat dijadikan sebagai simbol
historis bagi orang Ambon yang memuat tentang begitu banyak kehilangan yang
dialami oleh mereka akibat konflik dan banyaknya upaya keras yang dilakukan
agar Ambon menjadi kota yang damai. Orang memaknai setiap unsur yang ada
pada Gong Perdamaian Dunia. Dimulai dari kekhususan Gong Perdamaian Dunia
di Ambon yang terletak pada museum. Semua bukti tentang bagaimana konflik
memporak-poranda kehidupan warga Ambon saat itu, kemudian dijadikan sebagai
kekuatan untuk membangun hubungan rekonsiliasi lintas agama di Ambon.
Pengalaman tersebut dimuat dalam sebuah simbol besar yang mencakup berbagai
nilai tentang kebudayaan orang Ambon-Maluku sendiri, memuat nilai-nilai
tentang persatuan dan toleransi.
Simbol dan ritual sekali lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Simbol menjadi penggerak bagi masyarakat yang kemudian
disemangati oleh kekuatan simbol untuk melakukan tindakan atau hal yang
diwakilkan pada simbol tersebut. Menghidupkan dan memberi kekuatan pada
sebuah simbol, bergantung pada masyarakat dimana simbol itu berada. Sebagai
pihak yang mengetahui lebih banyak tentang Gong Perdamaian Dunia, pemerintah
harus bekerja sama dengan misalnya lembaga Majelis Latupati Maluku dan Kota
Ambon, para tokoh agama untuk menghidupkan fungsi Gong Perdamaian Dunia
sebagai simbol rekonsiliasi lintas agama di Ambon, agar masyarakat pun merasa
Gong Perdamaian Dunia sebagai bagian dari identitas orang Ambon, dan bukan
semata aset pemerintah yang diletakan disana. Peran agama juga memiliki
99
keterlibatan dalam hal ini, mengingat salah satu issue provokasi yang memicu
konflik adalah issue agama. Dengan demikian, tokoh-tokoh agama pun memiliki
tanggung jawab untuk memberi informasi tentang makna serta nilai yang
terkandung dalam monument Gong Perdamaian. Salah satu jalan masuk lewat
kerja sama dengan pemerintah dan tokoh adat, melalui ritual (sebagai tindakan
simbolik) seperti duduk bersama dan saling berbagi cerita tentang kekhasan
agama dan suku dari orang Maluku-Ambon sendiri. Pemerintah, tokoh agama,
dan tokoh adat dapat kemudian melakukan kegiatan-kegiatan perdamaian dengan
menggunakan Gong Perdamaian Dunia sebagai media bagi sarana belajar bagi
seluruh masyarakat Ambon tentang rekonsiliasi. Maka, orang Ambon kemudian
dapat membuka ruang bagi penghayatan terhadap Gong Perdamaian Dunia
sebagai simbol rekonsiliasi lintas agama di Ambon, dimana lewat simbol tersebut,
masyarakat Ambon tersemangati untuk tetap memelihara perdamaian di Ambon.
5. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan dan diuraikan di atas, maka
terlihat bahwa orang Ambon melihat Gong Perdamaian Dunia sebagai aset
pemerintah yang lebih difungsikan sebagai tempat pariwisata. Gong Perdamaian
Dunia tidak dijadikan sebagai salah satu simbol bagi orang Ambon tentang
perdamaian dan rekonsiliasi hubungan lintas agama di Ambon. Hal ini didasari
pada budaya orang Ambon sendiri yang tidak memiliki kedekatan dengan gong.
Selain itu, alasan penting lainnya adalah minimnya informasi dan sosialisasi dari
pemerintah tentang Gong Perdamaian di Ambon sebagai simbol perdamaian di
100
Ambon, serta kurangnya dukungan penuh dari pemerintah bagi pihak-pihak yang
melakukan kerja perdamaian dengan menggunakan monument Gong Perdamaian
Dunia, yang sebenarnya dapat memberi informasi dan semangat bagi warga
Ambon untuk mempunyai “rasa memiliki” gong tersebut.